PENGARUH LEVELS OF INQUIRY-INTERACTIVE DEMONSTRATION TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA SMA PADA MATA PELAJARAN FISIKA KELAS X
Retno Ayu H (1), Lia Yuliati (2), dan Muhardjito(3) Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Malang E-mail(1) :
[email protected] ABSTRAK : Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas kemampuan berpikir kritis antara siswa yang belajar Fisika dengan levels of inquiry-interactive demonstration dan siswa yang belajar Fisika dengan levels of inquiry-discovery learning. Jenis penelitian kuasi eksperimen dengan teknik post-test only group design. Instrumen penelitian terdiri atas 7 soal uraian. Analisis data menggunakan Mann Whitney U-test untuk mengetahui perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa kelas eksperimen dan kontrol. Uji Scheffe digunakan untuk mengetahui efektivitas levels of inquiry-interactive demonstration terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara siswa kelas levels of inquiry-interactive demonstration dan siswa kelas levels of inquiry-discovery learning. Hasil analisis data menunjukkan kelas levels of inquiry-interactive demonstration memiliki kemampuan berpikir kritis lebih tinggi daripada kelas levels of inquiry-discovery learning. Kata kunci : levels of inquiry-interactive demonstration, kemampuan berpikir kritis Pembelajaran abad 21 menuntut pembelajaran yang mengedepankan kemampuan berpikir kritis siswa. Tuntutan tersebut mempunyai banyak manfaat bagi siswa. Menurut Cottrell (2005) manfaat kemampuan berpikir kritis antara lain 1) meningkatkan kemampuan memperhatikan dan mengamati, 2) meningkatkan kemampuan untuk merespon sesuatu dengan lebih cepat, dan 3) memiliki kemampuan analisis yang tepat untuk berbagai situasi. PISA (Programme International for Student Assesment) adalah penilaian secara internasional terhadap kemampuan dan keterampilan siswa. Orientasi PISA mencerminkan perubahan dalam tujuan dan sasaran kurikulum, yang lebih memperhatikan apa yang dapat dilakukan siswa dari apa yang mereka pelajari di sekolah dan tidak hanya memperhatikan apakah mereka telah menguasai materi tertentu (Indonesia PISA Center, 2013). Siswa dalam tes PISA diminta untuk
merefleksi dan mengevaluasi materi, bukan hanya untuk menjawab pertanyaanpertanyaan yang memiliki jawaban yang benar tunggal. Indonesia berada pada urutan ke-64 dari 65 negara pada pemetaan PISA tahun 2012 (Baswedan, 2014). Hasil studi pendahuluan tersebut menunjukkan bahwa kemampuan menganalisis dan menalar siswa sangat kurang, terutama kemampuan berpikir kritisnya. Kurangnya kemampuan berpikir kritis siswa didukung oleh hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan kepada 52 siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Diperoleh hasil bahwa 71% siswa tidak dapat menyelesaikan soal yang membutuhkan kemampuan berpikir kritis. Kurangnya kemampuan berpikir kritis siswa dikarenakan dalam proses pembelajarannya guru lebih mengedepankan latihan soal yang bersifat matematis, sehingga aspek yang berkembang adalah aspek kognitif-matematis sedangkan kemampuan berpikir kritis siswa kurang berkembang. Pembelajaran fisika yang dilakukan oleh guru berdasarkan hasil observasi menunjukkan bahwa 48% proses kegiatan pembelajaran adalah
mengerjakan
latihan soal hitungan dan 50% berupa diskusi. Selama proses pembelajaran, persentase guru mengajukan pertanyaan sebesar 65% sedangkan siswa 25%. Pembelajaran tersebut bertentangan dengan proses pembelajaran yang melatih siswa agar memiliki kemampuan berpikir kritis. Pembelajaran yang disarankan oleh kurikulum 2013 yaitu discovery learning, project based learning, problem-based learning, dan inquiry learning. Salah satu model pembelajaran kontruktivistik yang dapat memfasilitasi berkembangnya kemampuan berpikir kritis siswa menurut kurikulum 2013 adalah inquiry learning. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Laurina (2007) model inkuiri terbimbing lebih efektif dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa daripada model tradisional. Disampaikan juga oleh Fikriy (2011) bahwa kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar dengan model inkuiri lebih tinggi dibandingkan dengan model konvensional. Anggareni (2013) menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan inkuiri dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan pemahaman konsep siswa daripada menggunakan pembelajaran langsung. Azizah (2013) menunjukkan bahwa pembelajaran inkuiri terbimbing dapat meningkatkan kemampuan kognitif siswa.
Model pembelajaran inkuiri yang dipilih peneliti untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa adalah adalah levels of inquiry. Levels of inquiry merupakan model pembelajaran yang mengembangkan kemampuan intelektual dan keterampilan proses sains dengan pendekatan inkuiri yang lebih sistematis dan komprehensif (Wenning, 2011:9). Kemampuan intelektual dikembangkan melalui questioning sedangkan ketrampilan proses sains dikembangkan melalui investigating. Questioning dan investigating merupakan ciri dari inkuiri. Levels of inquiry membagi pembelajaran berbasis inkuiri menjadi lima tingkatan yaitu discovery learning, interactive demonstration, inquiry lesson, inquiry laboratory, dan hypothethycal inquiry. Model Interactive Demonstration merupakan model pembelajaran yang melatih siswa untuk membuat prediksi terhadap sesuatu dan memberikan penjelasan yang sesuai terhadap prediksi yang telah dibuat. Interactive demonstration merupakan sebuah model pengajaran berpusat pada siswa, siswa diminta untuk memprediksi hasil eksperimen, mengamati, dan mendiskusikan prediksi yang telah dibuat (Zimrot & Ashkenazi, 2007:197). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Susanti (2013) pendekatan demonstrasi interaktif mampu meningkatkan pemahaman konsep fisika siswa. Levels of inquiry pada tingkatan interactive demonstration merupakan model pembelajaran yang dipilih peneliti untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Model pembelajaran ini termasuk model pembelajaran kontruktivistik dan berpusat pada siswa. Levels of inquiry-interactive demonstration menuntut siswa untuk membuat prediksi dari sebuah eksperimen. Siswa dalam membuat prediksi perlu untuk berpikir reflektif, yaitu mengenali masalah yang diajukan kemudian menganalisis dan menentukan akar permasalahannya, menghubungkan uraian hasil analisis dan kemudian membuat prediksinya. Pada tahap ini dapat berkembang kemampuan berpikir kritis tingkat mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi, bertanya dan menjawab pertanyaan yang membutuhkan penjelasan, membuat nilai keputusan, dan memutuskan suatu tindakan.
METODE Metode penelitian yang diguanakan adalah kuasi eksperimen. Desain yang digunakan adalah post-tes only group design, dikarenakan kemampuan awal melihat hasil dari materi sebelumnya. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kelas X SMAN 9 Malang. Pengambilan sampel menggunakan teknik cluster random sampling. Sampelnya adalah kelas X MIA 4 sebagai kelas eksperimen dan X MIA 5 sebagai kelas kontrol. Instrumen perlakuan berupa silabus, RPP materi suhu dan kalor, dan lembar keterlaksanaan pembelajaran. Instrumen pengukuran pada penelitian ini berupa tes tulis (prestasi) kemapuan berpikir kritis siswa pada materi Suhu dan Kalor. Instrumen yang digunakan adalah 7 butir soal uraian kemampuan berpikir kritis.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Data Post-test Data nilai post-test terdiri atas 7 soal uraian pada kelas eksperimen dan
kontrol dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Data Post-test Berpikir Kritis Kelas Eksperimen dan Kontrol Parameter Kelas Eksperimen Kontrol N 29 25 ̅ 52.03 48.24 𝑿 Median Modus SD
2.
51.00 51.00 5.622
48.00 53.00 6.030
Pelaksanaan Pembelajaran Levels of Inquiry-Interactive Demonstration Sintaks Levels of Inquiry-Interactive Demonstration yang dipakai dalam
penelitian ini diadaptasi dari Wenning (2011). Sintaks Levels of Inquiry-Interactive Demonstration terdiri atas 5 tahap, yaitu Observation, Manipulation, Generalization, Verification, dan Application. Keseluruhan sintaks ini tercermin dalam
kegiatan inti pembelajaran. Berikut merupakan pelaksanaan pembelajaran Levels of Inquiry-Interactive Demonstration pada kelas eksperimen. Kegiatan inti pembelajaran pada kelas eksperimen diawali dengan tahap observation. Pada tahap ini, siswa diminta untuk mengamati apersepsi (video, demonstrasi) mengenai materi yang akan dibahas. Kemudian, siswa menuliskan deskripsi hasil pengamatannya dan dideskripsikan secara lisan. Setelah itu, masing-masing siswa membuat pertanyaan yang hanya dapat dijawab dengan jawaban “ya” “tidak” atau “saya tunjukkan jawabannya”. Pertanyaan dan jawaban tersebut digunakan untuk melengkapi hasil deskripsi yang telah ditulis, kemudian siswa mendeskripsikan hasil observasi. Tahap kedua adalah tahap manipulation. Pada tahap ini siswa diminta untuk membuat prediksi. Prediksi dibuat berdasarkan pengalaman dan pertanyaan yang diajukan serta jawaban guru. Prediksi yang telah dibuat dibuktikan dengan demonstrasi yang dilakukan oleh guru. Tahap ketiga adalah tahap generalization. Pada tahap ini siswa secara berkelompok membuat kesimpulan dari demonstrasi yang telah dilakukan oleh guru. Tahap keempat adalah verification. Pada tahap ini, masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusinya, membandingkan prediksi yang telah dibuat dengan demonstrasi dan diskusi. Guru memberikan penguatan materi untuk membenarkan miskonsepsi siswa. Tahap kelima adalah application. Pada tahap ini siswa menyimpulkan kegiatan pembelajaran dan menjawab pertanyaan aplikasi yang diberikan oleh guru.
3.
Analisis Uji Hipotesis Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Berdasarkan analisis dengan mann whitney u-test didapatkan Zhit = 2.11 >
1.96 (Z0.5), sehingga Ho ditolak. Dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara siswa yang belajar menggunakan levels of inquiry-interactive demonstration dan levels of inquiry-discovery learning. Hasil uji Scheffe didapatkan nilai sebesar 5.72 dengan nilai F(1;52;.0.5) sebesar 4.03. Maka, Fhitung = 5.72 > 4.03 ( F1;52;0.5), sehingga Ha diterima, yaitu kemampuan berpikir kritis siswa
yang belajar dengan levels of inquiry-interactive demonstration lebih tinggi daripada siswa yang belajar dengan levels of inquiry-discovery learning.
4.
Pengaruh Levels of Inquiry-Interactive Kemampuan Berpikir Kritis Siswa
Demonstration
terhadap
Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yaitu penelitian Ulfa (2010) menunjukkan bahwa pembelajaran inkuiri terbimbing dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar siswa. Septiana (2012) menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan inkuiri training dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan keterampilan proses sains siswa. Disampaikan juga oleh Anggraini (2014) bahwa keterampilan proses sains terpadu dan prestasi belajar dapat ditingkatkan menggunakan levels of inquiry. Wijaya (2014) menunjukkan bahwa levels of inquiry dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada materi IPBA. Pengaruh signifikan levels of inquiry-interactive demonstration terhadap kemampuan berpikir kritis, sesuai dengan pendapat Wenning dan Khan (2011) levels of inquiry memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan observasi, membuat prediksi, mengumpulkan dan menganalisis data. Zimrot dan Ashkenazi (2007) interactive demonstration merupakan sebuah metode pengajaran berpusat pada siswa, siswa diminta untuk memprediksi hasil eksperimen, mengamati, dan mendiskusikan prediksi yang telah dibuat. Ennis (1991) dasar mengambil keputusan menggunakan kemampuan berpikir kritis secara umum terdiri atas observasi, pernyataan dari sumber tertentu atau dalil yang sudah diterima sebelumnya. Hasil uji lanjut terhadap kemampuan berpikir kritis siswa dengan menggunakan uji Scheffe, menunjukkan bahwa kemampuan siswa yang belajar dengan levels of inquiry-interactive demonstration lebih tinggi daripada siswa yang belajar dengan levels of inquiry-discovery learning. Perbedaan kemampuan berpikir kritis tidak terlepas dari perbedaan karakteristik pembelajaran dantara kedua model. Wenning (2011) dalam jurnalnya
menyatakan bahwa levels of inquiry-interactive demonstration mempunyai tingkatan intelektual dan student-oriented yang lebih tinggi dibandingkan dengan levels of inquiry-discovery learning. Kedua model memiliki langkah pembelajaran yang sama yaitu observation, manipulation, generalization, verification, dan application. Meskipun kedua model memiliki langkah pembelajaran yang sama tetapi proses pembelajaran setiap tahap berbeda. Pada tahap observation kedua model siswa bertanya kemudian mendeskripsikan apersepsi (video dan demonstrasi). Siswa yang belajar dengan levels of inquiry-interactive demonstration tidak dibantu guru sama sekali dalam mendeskrisikan apersepsi berupa video dan demonstrasi, tetapi siswa yang belajar dengan levels of inquiry-discovery learning masih dibantu guru untuk mendeskripsikan apersepsi berupa video dan demonstrasi. Tahap manipulation pada siswa yang belajar dengan levels of inquiryinteractive demonstration, siswa diminta untuk membuat prediksi dari demonstrasi yang diperagakan oleh guru. Prediksi dibuat oleh siswa secara berkelompok dengan melakukan proses berpikir kritis. Siswa harus bertanya mengenai demonstrasi yang diperagakan, menganalisis argumen dari teman sekelompoknya, mengobservasi demonstrasi guru tanpa disertai penjelasan , membuat nilai keputusan kemudian memutuskan suatu tindakan berupa keputusan pengajuan prediksi secara kelompok. Langkah dalam membuat prediksi sesuai dengan indikator berpikir kritis menurut Ennis. Indikator kemampuan berpikir kritis menurut Ennis (2011) 1) menganalisis argumen 2) bertanya dan menjawab pertanyaan yang membutuhkan penjelasan, 3) mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi, 4) melakukan induksi, 5) melakukan deduksi, 6) membuat nilai keputusan, 7) memutuskan suatu tindakan.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan. 1.
Terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara kelompok siswa kelas X MIA SMAN 9 Malang tahun ajaran 2014-2015 yang pembelajarannya dengan levels of inquiry-interactive demonstration dan levels of inquirydiscovery learning. Levels of inquiry-interactive demonstration terdiri atas 5 tahapan yaitu observation, manipulation, generalization, verification, dan
application. Melalui levels of
inquiry-interactive demonstration ini
kemampuan berpikir kritis siswa dapat dilatih terutama dalam menganalisis argumen, bertanya dan menjawab pertanyaan yang membutuhkan penjelasan, mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi, mengidentifikasi asumsi dan definisi, melakukan induksi, membuat nilai keputusan, memutuskan suatu tindakan. 2.
Kemampuan berpikir kritis siswa kelas X MIA SMAN 9 Malang tahun ajaran 2014-2015 yang belajar dengan levels of inquiry-interactive demonstration lebih tinggi daripada siswa yang belajar dengan levels of inquiry-discovery learning.
SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, beberapa saran dapat diberikan sebagai berikut. 1.
Guru Levels of inquiry-interactive demonstration efektif sebagai alternatif pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.
2.
Peneliti Lain Salah satu kelemahan dalam penelitian ini adalah pada tahap manipulation khususnya pada waktu demonstrasi siswa sulit untuk dikondisikan. Karena siswa lebih tertarik untuk mencoba daripada hanya melihat. Oleh karena itu untuk penelitian selanjutnya dibutuhkan metode agar bisa mengkondisikan siswa ketika guru melakukan demonstrasi.
DAFTAR RUJUKAN Anggareni, N.W. 2013. Implementasi Strategi Pembelajaran Inkuiri terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Pemahaman Konsep IPA Siswa SMP. (online) (http:// http://119.252.161.254/ejournal/index.php/jurnal_ipa/article/view/752), diakses tanggal 11 Mei 2015. Anggraini, Desita T. 2014. Pengaruh Model Pembelajaran Levels of Inquiry terhadap Keterampilan Proses Sains Terpadu dan Prestasi Belajar Fisika Siswa Kelas XI SMAN 2 Probolinggo. (online) (http://jurnalonline.um.ac.id), diakses tanggal 11 Mei 2015. Azizah, N. 2013. Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing untuk Meningkatkan Kemampuan Kognitif Siswa Kelas X-H MAN Malang 1. (online) (http://karya-ilmiah.um.ac.id), diakses tanggal 11 Mei 2015.
Baswedan, Anies R. 2014. Gawat Darurat Pendidikan Indonesia. (online) (http://www.kemdikbud.go.id), diakses tanggal 2 Desember 2014. Cotrell, Stella. 2005. Critical Thinking Skills Developing Effective Analysis and Argument. Cina : Palgrave Macmillan. Ennis, Robert H. 1991. Teaching Philosophy. (online) (http://www.criticalthinking.net) 14:1 1991, diakses tanggal 12 Februari 2015. Ennis, Robert H. 2011. Why Teach It. (online) (http://www.criticalthinking.net), diakses tanggal 12 Februari 2015. Fikriy, M. Pengaruh Kemampuan Berpikir Kritis terhadap Prestasi Belajar Siswa dengan Menggunakan Model Inkuiri pada Kelas X Sman 1 Lawang. (online) (http://karya-ilmiah.um.ac.id), diakses tanggal 20 Mei 2015. Indonesia PISA Center.2013.Sekilas Tentang PISA. (online)(www.indonesiapisacenter.com) diakses tanggal 4 Desember 2014. Laurina, D. 2007. Efektifitas Penerapan Model Inkuiri Terbimbing untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas X SMAN Pademawu Pamekasan pada Materi Pokok Reaksi Oksidasi dan Reduksi. (online) (http://karya-ilmiah.um.ac.id), diakses tanggal 30 November 2014. Septiana, A. 2012. Penerapan Model Pembelajaran Inquiry Training untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Keterampilan Proses Sains Siswa Kelas XI IPA 6 SMAN 3 Malang. (online) (http://karyailmiah.um.ac.id), diakses tanggal 20 Mei 2015. Ulfa, N. M. 2010. Penerapan Bahan Ajar IPA Terpadu dengan Strategi Pembelajaran Inkuiri Terbimbing untuk Meningkatkan Kemampuan
Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Siswa Kelas VII SMPN I Singosari. (online) (http://karya-ilmiah.um.ac.id) diakses tanggal 20 Mei 2015. Wenning, Carl J.2011. The Levels of Inquiry Models of Science Teaching. Journal Physics Teacher Education Summer 2011, (online),6(2):920,(http://www.phy.ilstu.edu), diakses tanggal 6 September 2014. Wijaya, H. R. 2014. Penerapan levels of inquiry dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa pada Materi IPBA. (online) (http://repository.upi.edu), diakses tanggal 20 Mei 2015. Zimrot R. and Ashkenazi G., (2007), Interactive lecture demonstrations: a tool for exploring and enhancing conceptual change, Chemistry Education Research and Practice 2007, (online) 8, 197-211.(http://www.rsc.org), diakses tanggal 23 Januari 2015.