PENGARUH METODE PENEMUAN DENGAN STRATEGI HEURISTIK TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS
Lia Kurniawati dan Belani Margi Utami UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email:
[email protected]
ABSTRAK: Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kemampuan berpikir kritis matematis siswa dalam materi relasi fungsi dan persamaan garis lurus dengan menggunakan metode penemuan dengan strategi heuristik. Penelitian dilakukan di Madrasah Tsanawiyah Negeri Tangerang II Pamulang, Tahun Pelajaran 2012/2013. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen dengan desain Randomized Control Group Posttest Only. Data kemampuan berpikir kritis dikumpulkan dengan tes berbentuk uraian. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa kemampuan berpikiri kritis matematis siswa yang diajar dengan metode penemuan dengan strategi heuristik lebih tinggi dari pada siswa yang diajar dengan metode konvensional. Kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajar dengan metode penemuan dengan strategi heuristik kemampuan Elementary clarification sebesar 73,25%, Basic Support sebesar 71,50%, Inference sebesar 61,75%, Advance clarification sebesar 51,38%, Strategy and tactics sebesar 72,75%. Sedangkan untuk kelas kontrol kemampuan Elementary clarification sebesar 74,63%, Basic Support sebesar 67,25%, Inference sebesar 23,60%, Advance clarification sebesar 22,25%, Strategy and tactics sebesar 11,75%. Jadi kesimpulan penelitian ini adalah metode penemuan dengan strategi heuristik mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan berpikir kritis matematis. Kata kunci: Penemuan, Heuristik, Berpikir Kritis Matematis
Matematika merupakan pelajaran yang dianggap penting, karena matematika dianggap sebagai ilmu dasar yang berkembang dengan pesat baik isi maupun aplikasinya. Tujuan pembelajaran matematika dalam kurikulum 2006 yaitu KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) diantaranya agar peserta didik memiliki kemampuan pemahaman konsep, menggunakan penalaran dalam mengeneralisasi, memecahkan masalah, mengkomunikasikan gagasan, memiliki sikap menghargai kegunaan matematika. Pada kurikulum ini, hasil belajar dijabarkan dalam beberapa kemampuan yang telah disebutkan diatas. Namun untuk menguasai kelima kemampuan tersebut diperlukan kemampuan dasar yaitu kemampuan berpikir.
Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 mensahkan SKL Mata Pelajaran Matematika di SMP/ MTs yang salah satunya ialah siswa harus memiliki kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif, serta mempunyai kemampuan untuk bekerja sama (Wardani, 2008). Dari lima kemampuan berpikir tersebut kemampuan berpikir kritis dan kreatif termasuk dalam kemampuan tingkat tinggi. The Natonal Council of teaching of Mathematics (NCTM) tahun 1989 menyatakan bahwa kurikulum dan evaluasi disusun sebagai suatu standar dalam usaha memberi kesempatan kepada siswa dalam berbagai tingkat satuan pendidikan untuk mengonsumsi informasi secara kritis. Ini berarti berpikir kritis sebagai kemampuan
208
209, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
berpikir tingkat tinggi menjadi salah satu tujuan yang dicanangkan dalam aturan penyusunan kurikulum secara internasional. Berpikir kritis berarti merefleksikan permasalahan secara mendalam, mempertahankan pikiran agar tetap terbuka bagi pendekatan berbagai pendekatan dan persepektif yang berbeda, tidak mempercayai begitu saja informasi-informasi yang datang dari berbagai sumber (lisan atau tulisan) serta berpikir reflektif ketimbang hanya menerima ide dari luar tanpa adanya pemahaman dan evaluasi yang signifikan (Desmita,2010). Dengan demikian peserta didik dituntut tidak hanya menerima informasi, tetapi dituntut untuk dapat menggunakan pemikirannya dalam tingkatan yang lebih tinggi sehingga terbiasa untuk memahami dan menilai kebenaran suatu informasi. Dalam pembelajaran matematika Norris mendefinisikan berpikir kritis sebagai pengambilan keputusan secara rasional yang diyakini dan dikerjakan (Lambertus, 2009), maksudnya peserta didik dituntut bukan hanya memindahkan rumus dari dalam penyelesaian soal, tapi meyakini secara rasional apa yang dikerjakan, mengerti yang ditanyakan, dan konsep apa yang digunakan dalam penyelesaian soal tersebut. Namun pentingnya kemampuan berpikir kritis belum sejalan dengan pembiasaan terhadap kemampuan tersebut. Pada pendidikan formal kemampuan berpikir tingkat tinggi ini lebih banyak ditanamkan pada jenjang pendidikan tinggi saja. Pada jenjang Sekolah tingkat menengah pertama (SMP) masih jarang sekali sekolah yang membiasakan siswanya untuk berpikir kritis. Pembelajaran matematika cenderung dikhususkan pada kemampuan menyelesaikan soal dengan rumus secara prosedural. Siswa menghafal bukan memahami konsep
sehingga siswa kurang tanggap dalam menyelesaikan soal. Pada pembelajaran konvensional ini siswa tidak berperan secara aktif dalam pembelajaran. Pembelajaran berpusat pada guru. Sehingga siswa hanya menerima informasi tanpa memahami informasi tesebut. Akibatnya kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa tidak berkembang dengan optimal. Dampak dari keadaan tersebut dapat terlihat pada hasil survai Trends International Mathematics and Science Study (TIMSS) dan Programme for International Student Assessment (PISA), yang mengukur kemampuan anak usia 15 tahun dalam literasi membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan. Pada PISA tahun 2009 Indonesia hanya menduduki rangking 61 dari 65 peserta dengan rata-rata skor 371, sementara rata-rata skor internasional adalah 496. Prestasi pada TIMSS 2007 juga sangat memprihatinkan karena ratarata skor siswa kelas 8 menurun menjadi 405, dibanding tahun 2003 yaitu 411. Rangking Indonesia pada TIMSS tahun 2007 menjadi rangking 36 dari 49 negara. Bahkan hasil TIMSS 2011 dari keikutsertaan 42 negara indonesia berada pada rangking 38 dengan skor yang juga menurun menjadi 386. Hasil ini menunjukan rangking Indonesia turun 2 peringkat dari tahun 2007. Hasil TIMSS dan PISA yang rendah tersebut tentunya disebabkan oleh banyak faktor. Salah satu faktornya adalah sistem pembelajaran saat ini yang membiasakan siswa hanya menerima informasi saja, sehingga peserta didik hanya mampu menyelesaikan masalah yang prosedural saja. Keadaan itu tidak sejalan dengan karakteristik dari soal-soal pada TIMSS dan PISA yang substansinya kontekstual, menuntut penalaran, argumentasi dan kreativitas dalam menyelesaikannya. Dari data PISA, siswa Indonesia hanya mampu menafsirkan atau
Kurniawati dan Utami, Pengaruh Metode Penemuan, 210
mengenali situasi dalam konteks soal yang diberikan, dan mengerjakan soal menggunakan rumus-rumus umum atau secara prosedural, sehingga dapat diasumsikan siswa belum mampu mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tingginya. Peneliti melakukan penelitian terbatas untuk mendukung data di atas pada salah satu Madrasah Tsanawiyah di daerah Tangerang Selatan yang menganalisis mengenai kemampuan berpikir kritisnya. Hasil penelitian kemampuan berpikir kritis yang dilakukan pada kelas VIII di sekolah tersebut adalah rendah. Dari beberapa indikator berpikir kritis yang diujikan rata-rata kurang dari 12% yang mendapat skor baik. Sisanya kurang baik dan cenderung buruk karena tidak diisi. Dalam proses pembelajaran guru terfokus pada pemberian materi, mencontohkan soal, dan pemberian soal latihan saja. Siswa kurang berperan aktif dalam pembelajaran. Siswa hanya mendengarkan dan memperhatikan penjelasan guru saja. Hal ini menyebabkan kemampuan berpikir siswa kurang terasah. Siswa terbiasa menerima konsep secara langsung bukan membangun konsep secara mandiri, sehingga pemahaman siswa terhadap konsep kurang. Pembelajaran satu arah yang diberikan guru, membuat siswa hanya mampu meniru bukan memahami. Terbukti siswa hanya mampu mengerjakan soal yang sudah pernah dicontohkan guru. Pada soal yang belum dicontohkan sebagian besar siswa tidak mampu dalam menyelesaikannya. Berarti siswa hanya bisa mengerjakan secara prosedural seperti yang dicontohkan guru. Suatu pembahasan pembelajaran matematika biasanya didalamnya terdapat beberapa rumus. Diakhir pembahasan biasanya akan dilakukan evaluasi secara menyeluruh. Pada evaluasi akhir ini banyak siswa kebingungan harus menggunakan rumus yang mana dalam
menyelesaikan soal tersebut. Bahkan beberapa siswa salah menerapkan rumus sehingga salah dalam langkah penyelesaian soal. Hal ini disebabkan siswa hanya menghafal konsep bukan memahami konsep. Dalam menghadapi sebuah masalah matematika apalagi yang belum pernah dicontohkan oleh guru, siswa tidak tahu langkah apa yang harus dilakukan untuk menemukan solusi masalah tersebut. Proses pembelajaran yang bersifat satu arah tersebut, sulit bagi siswa dalam mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tingginya secara optimal. Lemahnya kemampuan berpikir kritis ini memberikan dampak yang cukup besar bagi perkembangan pendidikan di Indonesia. Maka diperlukan upaya dalam memperbaiki keadaan tersebut. Dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis pembelajaran harus difokuskan pada pemahaman konsep dengan berbagai pendekatan dari pada keterampilan prosedural. Pott menyatakan ada tiga strategi spesifik untuk pembelajaran kemampuan berpikir kritis, yakni membangun kategori, menentukan masalah, dan menciptakan lingkungan yang mendukung fisik dan intelektual (Rochmaniah,2008). Metode pembelajaran yang mempunyai karakteristik tersebut diantaranya pembelajaran penemuan. Bruner menjelaskan pembelajaran matematika sebagai usaha yang membantu siswa dalam mengkonstruk pengetahuan melalui proses dan bukan suatu produk karena tingkat pemahaman matematika seorang siswa lebih dipengaruhi oleh pengalaman siswa itu sendiri Interaksi yang dilakukan sesama siswa maupun guru dan siswa melalui diskusi sangat berpengaruh terhadap tumbuh dan kembangnya kemampuan berpikir kritis sisiwa. Guru sebagai fasilitator proses pembelajaran yang bertugas menjalankan perannya dalam me-
211, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
ngadakan interaksi baik antara sesama siswa maupun siswa dengan guru tersebut. Untuk mengembangakan kemampuan berpikir kritis matematis diperlukan pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk menentukan konsep sendiri bukan diberikan dalam bentuk sudah jadi oleh guru. Maka untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis ini perlu metode yang mengajak siswa untuk menemukan sendiri suatu konsep. Penemuan menurut J.Brurner adalah sebuah proses, suatu jalan/cara dalam mendekati permasalahan bukan suatu item produk tertentu. Proses penemuan dapat menjadi kemampuan umum melalui latihan pemecahan masalah dan praktek membentuk dan menguji hipotesis (Markaban, 2006). Namun Metode penemuan murni dianggap kurang cocok dalam metode pembelajaran yang diterapkan pada sekolah formal apabila tidak dengan bimbingan guru, karena materi matematika yang ada dalam kurikulum tidak banyak yang dapat dipelajari karena kekurangan waktu bahkan siswa cenderung tergesagesa menarik kesimpulan dan tidak semua siswa dapat menemukan sendiri. Untuk meleng-kapi metode penemuan dibutuhkan strategi yang dapat menyesuaikan metode pene-muan dalam sekolah formal. Heuristik adalah suatu langkah yang memandu pemecahan masalah dalam menemukan solusi masalah. Heuristik menyajikan suatu “road map” atau cetak biru agar proses pemecahan masalah dapat menghasilkan solusi yang benar (Dindin, 2009). Heuristik merupakan strategi yang berisi panduan sehingga dapat memandu siswa dalam menemukan konsepnya sendiri. Dengan demikian Metode penemuan dengan strategi heuristik dapat diterapkan dalam sekolah formal. Pembelajaran seperti ini menuntun siswa untuk berpikir dari sebuah masalah, kemudian mengumpulkan informasi dan mengene-
ralisasinya menjadi sebuah konsep. Guru berperan bukan sebagai pusat pembelajaran, tetapi hanya sebagai fasilitator pembelajaran yang membimbing dan mengarahkan siswa dalam menemukan suatu konsep. Dengan demikian pembe-lajaran bukan hanya pemindahan informasi, sehingga menemukan informasi dengan menggunakan ide dan gagasan siswa dengan adanya interaksi baik sesama siswa maupun dengan guru. Dengan demikian proses pembelajaran dengan metode penemuan dengan strategi heuristik dapat memfasilitasi dalam usaha peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis peserta didik. Berdasarkan paparan diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini diantaranya: Apakah terdapat pengaruh penggunaan metode penemuan dengan strategi heuristik terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa?, Bagaimana kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang menggunakan metode penemuan dengan strategi heuristik?. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis kemampuan berpikir kritis siswa yang pembelajarannya diterapkan metode penemuan dengan strategi heuristik, mengkaji dan menganalisis kemampuan berpikir kritis siswa yang pembelajarannya dilakukan secara konvensional, dan membandingkan kemampuan berpikir kritis siswa yang pembelajaran diterapkan metode penemuan dengan strategi heuristik dengan siswa yang pembelajarannya dilakukan secara konvensional . KAJIAN PUSTAKA 1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Gerhand (Mayadiana, 2009) mendefinisikan berpikir kritis sebagai proses kompleks yang melibatkan penerimaan dan penguasaan data, analisis data, evaluasi data, dan pertimbangan aspek kualitatif
Kurniawati dan Utami, Pengaruh Metode Penemuan, 212
dan kuantitatif serta membuat seleksi atau membuat keputusan berdasarkan hasil evaluasi. Pendpat tersebut sesuai dengan pendapat Fisher and Scriven yang menyatakan bahwa: Critical thinking is skilled and active interpretation and evaluation of observations and comunications, information and argumentation (Fisher,2001). Artinya berpikir kritis adalah terampil dan aktif menginterpretasi dan mengevaluasi, pengamatan dan komunikasi, informasi dan argumentasi. Berpikir kritis matematis didefinisikan oleh Glazer dirujuk dari kombinasi pemecahan masalah, penalaran, dan pembuktian matematika. Berpikir kritis sebagai pemecahan masalah menawarkan solusi untuk menyelesaikan masalah baik satu atau lebih. Penalaran merupakan bagian dari berpikir matematik yang melibatkan pembentukan generalisasi dan penarikan kesimpulan terhadap ide-ide dan bagaimana ide-ide tersebut dihubungkan. Berpikir kritis menuntut untuk tidak hanya menerima informasi secara langsung, tetapi harus bisa seleksi melalui pembuktian-pembuktian matematika. Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis matematis adalah suatu cara berpikir dalam usaha memperoleh pengetahuan dengan melalakukan pertimbangan dan membuat keputusan berdasarkan penalaran yang akan digunakan dalam penyelesaian masalah matematika. Tujuan dari berpikir kritis adalah untuk mencapai pemahaman yang mendalam. Pemahaman membuat kita mengerti maksud dibalik ide yang mengarahkan hidup kita setiap hari. Pemahaman mengungkapkan makna dibalik suatu kejadian. Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli, maka penulis merumuskan indikator kemampuan berpikir kritis matematis yang digunakan dalam penelitian ini pada sintaks dibawah ini:
Tabel 1: Sintaks Indikator Kemampuan Berpikir Kritis Matematis No Keterampilan Penjelasan Berpikir Kritis 1. Elementary Mengkomunikasika clarification n pernyataan dalam (memberikan bentuk model penjelasan matematika, grafik, sederhana) tabel, dll 2. Basic Support Memberikan alasan (membangun keterampilan dasar) 3. Inference Membuat (menyimpulkan) kesimpulan atau generalisasi 4. Advanced Menghubungkan clerivication konsep dengan (membuat fakta dalam penjelasan lebih masalah lanjut) Membuat contoh soal 5. Strategies and Membuat langkah tactics (membuat penyelesaian strategi dan masalah taktik)
2. Metode Penemuan Piaget memberikan definisi penemuan sebagai pendidikan yang mempersiapkan situasi bagi anak/siswa untuk melakukan eksperimen sendiri. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan mencari sendiri jawaban atas pertanyaan yang mereka ajukan (Amri, 2010). Belajar dengan penemuan yang dimaksud adalah belajar untuk menemukan, dimana seorang siswa dihadapkan dengan suatu masalah atau situasi yang tampaknya ganjil sehingga siswa dapat mencari jalan pemecahan. Sund menjelaskan bahwa metode penemuan adalah suatu metode yang melibatkan proses mental dimana siswa mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip, yang dimaksud dengan proses mental tersebut antara lain ialah mengamati, mencerna, mengerti, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya (Mahmud, 2010).
213, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
Kata penemuan sebagai metode mengajar merupakan penemuan yang dilakukan oleh siswa. Dalam belajarnya menemukan sendiri sesuatu hal yang baru. Tetapi tidak berarti yang ditemukannya benar-benar baru karena sudah ditemukan oleh orang lain (Suherman,2003). Pengajaran dengan metode penemuan berharap agar siswa benar-benar aktif belajar menemukan sendiri bahan yang dipelajarinya. Dari paparan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa metode penemuan adalah metode pembelajaran yang berpusat pada siswa, yang dimulai dari mengidentifikasi sebuah masalah sehingga dibentuklah hipotesis awal, dilanjutkan dengan pengumpulan data, penganalisisan data, sampai pada penarikan kesimpulan dan pengujian hasil kesimpulan. 3. Strategi Heuristik Strategi merupakan siasat atau kiat yang direncanakan guru, berkenaan dengan persiapan pembelajaran agar pelaksanaan berjalan lancar dan tujuannya berupa hasil belajar bisa tercapai optimal (Suherman, 2003). Persiapan pembelajaran yang dimaksud dalam penelitian ini adalah metode penemuan artinya strategi heuristik sebagai siasat atau kiat guru dalam menyesuaikan pembelajaran dengan metode penemuan sehingga pembelajaran berjalan lancar dan tujuannya dapat tercapai secara optimal. Heuristik dalam bahasa Yunani yaitu heuriskein dan bahasa latin yaitu heurisricus berarti mencari tahu. Heuristik adalah sesuatu yang digunakan sebagai bantuan untuk memecahkan masalah dan proses dalam memahami (Novak dan Growin, 1984). Heuristik merupakan sebuah proses. Siswa diajak dalam proses berpikir bukan pemberian jawaban secara langsung. Jadi pemberian konsep kepada siswa melalui panduan tertentu yang memudahkan siswa untuk menemukan
konsep dan bukan pemberian konsep secara langsung. Menurut Romanicyia heuristik digunakan untuk membantu proses penalaran seperti mengajukan pertanyaan tertentu, menggambar diagram, menebak, memandang masalah dari perspektif yang berbeda, dll. Metode ini mengarahkan pikiran ke arah melihat solusi. Mengembangkan dari heuristik Polya, Krulik dan Rudnik mengartikan strategi heuristik dalam 5 langkah yaitu read and think (membaca dan berpikir), explore and plan (eksplorasi dan merencanakan), select a strategy (memilih strategi), find an answer (mencari jawaban), dan reflect and extend (refleksi dan pengembangan) (Dindin,2009). 4. Pembelajaran Matematika dengan Metode Penemuan dan Strategi Heuristik Pembelajaran dengan menggunakan metode penemuan bermula dari sebuah masalah, dilanjutkan dengan pembentukan hipotesis awal, pengumpulan data, analisis data, pen-generalisasian dan pengujian hasil generalisasi. Maka pembelajaran ini mengajak siswa untuk berpikir. Metode penemuan ini memungkinkan siswa menemukan sendiri suatu konsep. Guru pada metode ini berperan sebagai penyedia lingkungan belajar. Dengan menemukan konsepnya sendiri, siswa menjadi lebih paham terhadap konsep tersebut. Konsep inilah yang akan digunakan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika yang akan dihadapinya. Untuk menyesuaikan metode penemuan pada keterbatasan sekolah formal maka digunakan strategi heuristik yang berfungsi sebagai bimbingan dari metode penemuan. Suatu heuristik terdiri dari tahapan-tahapan berpikir yang membantu seseorang dalam memecahkan masalah. Tahapan-tahapan tersebut merupakan bagian-bagian dari kemampuan memecahakan
Kurniawati dan Utami, Pengaruh Metode Penemuan, 214
masalah (Dindin,2009). Metode penemuan bermula dari sebuah masalah. Pemecahan masalah dalam metode penemuan akan menghasilkan sebuah konsep baru. Strategi heuristik akan memandu siswa dalam menemukan konsep baru. Berdasarkan paparan pendapat di atas, pembelajaran dengan menggunakan metode penemuan dengan strategi heuristik dalam penelitian ini dirumuskan dalam beberapa tahapan sebagai berikut: 1. Think (berpikir). Tahap awal pembelajaran ini dimulai dengan mengaitkan konsep yang akan dipelajari baik dengan kehidupan sehari-hari ataupun dengan pembelajaran sebelumnya. Berangkat dari masalah tersebut siswa dibimbing pada pembentukan hipotesis awal untuk melanjutkan pada kompetensi yang akan dicapai. 2. Explore (eksplorasi). Pada tahap explore siswa membangun pemahaman konsep melalui kegiatan menemukan konsep yang dipandu melalui pertanyaan pada LKS. Diawali dengan langkah pembuktian hipotesis yang sudah dibuat sebelumnya. Siswa dibimbing menjawab masalah yang disajikan pada tahap think. Setelah mendapatkan hasilnya siswa membandingkannya dengan hipotesis sebelumnya. Siswa mendeskripsikan hasilnya hingga akan terbentuk pemahaman siswa. Berdasarkan hasil dari membandingkan siswa akan dibimbing untuk mengeneralisasikan sebuah konsep baru atau berupa kelanjutan dari konsep sebelumnya. Pada akhir langkah ini, siswa mempresentasikan hasil dari hipotesisnya dan pengeneralisasiannya. Dalam proses ini siswa antar kelompok bisa bertukar informasi, sehingga antar kelompok saling melengkapi informasi kelompok lainnya. Guru sebagai pengatur jalannya diskusi, serta pembimbing
siswa membuat kesimpulan sementara secara interaktif. 3. Extend (perluasan). Setelah siswa mendapatkan kesimpulan sementara, siswa kembali bekerja secara kelompok untuk mengerjakan extend. Pada langkah ini siswa mengerjakan soal yang berkaitan dengan hasil kesimpulan sementara. Langkah ini dilakukan untuk membuktikan hasil kesimpulan sementara dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah matematika. 4. Reflection (menyimpulkan). Tahap akhir adalah reflection. Ditahap ini siswa membuat kesimpulan secara menyeluruh hasil dari kegiatan yang telah dilakukan. Siswa menuliskan kesimpulan akhir pada kolom reflection di LKS. METODE Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuasi eksperimen. Desain eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adapun rancangan penelitian dengan menggunakan Randomized Control Group Post Test Only. Perlakuan khusus diberikan pada kelas eksperimen dalam bentuk pemberian variabel bebas (Metode Penemuan dengan Strategi Heuristik) untuk kemudian dilihat pengaruhnya pada variabel terikat (Kemampuan berpikir kritis matematis siswa). Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah skor tes kemampuan berpikir kritis matematis siswa dalam belajar matematika. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik tes,yaitu tes kemampuan berpikir kritis matematis. Analisis data yang digunakan adalah pengujian hipotesis mengenai perbedaan dua rata–rata populasi. Uji yang digunakan adalah uji–t. Sebelum dilakukan pengujian hipotesis, terlebih dahulu dilakukan uji pra-syarat yaitu uji normalitas dan uji homogenitas.
215, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa MTs Negeri Tangerang II Pamulang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik Cluster Random Sampling yang mengambil 2 kelas dari 9 kelas yang ada. Kemudian dari 2 kelas tersebut di undi, kelas mana yang akan di jadikan kelas eksperimen dan kontrol, maka terpilihlah kelas VIII-Inggris 1 sebagai kelas eksperimen dan kelas VIII-Arab sebagai kelas kontrol yang masing-masing berjumlah 36 siswa. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelompok Eksperimen Hasil tes yang diberikan kepada kelompok eksperimen yang menggunakan metode penemuan dengan strategi heuristik memiliki nilai terendah adalah 46 dan nilai tertinggi adalah 86. Untuk lebih jelasnya, data hasil tes kemampuan berpikir kritis matematis kelompok eksperimen disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi sebagai berikut: Tabel 2 : Distribusi Frekuensi Kemampuan Berpikir Kritis Matematis kelas Eksperimen Frekuensi Frekuensi No. Interval Kumulati (fi) f(%) f 1 46-52 5 13,89 5 2 53-59 9 25,00 14 3 60-66 7 19,44 21 4 67-73 5 13,89 26 5 74-80 5 13,89 31 6
81-87
JUMLAH
5
13,89
36
36
100
-
Pada kelas eksperimen diperoleh nilai ratarata sebesar 65,14. Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa siswa yang memiliki nilai diatas rata-rata pada kelas eksperimen sebanyak 15 orang atau sebanyak 41,67% dari seluruh siswa kelompok eksperimen.Sedangkan siswa yang
mendapat nilai di bawah rata-rata sebanyak 21 orang atau sebesar 58,33%. Siswa yang kemampuan berpikir kritis matematisnya rendah, yaitu sebanyak 5 orang siswa yang berada pada interval 46 – 52 dengan persentase 13,89%, sedangkan siswa yang kemampuan berpikir kritis matematisnya tinggi yaitu sebanyak 5 orang siswa yang berada pada interval 81 – 87 dengan persentase 13,89%. 2. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelompok Kontrol Hasil tes yang diberikan kepada kelompok kontrol yang menggunakan metode konvensional memiliki nilai terendah adalah 21 dan nilai tertinggi adalah 75. Untuk lebih jelasnya, data hasil tes kemampuan berpikir kritis matematis kelompok kontrol disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi sebagai berikut: Tabel 3: Distribusi Frekuensi Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Kelas Kontrol Frekuensi (fi)
f(%)
Frekuensi Kumulatif
21-28
2
5,55
2
2
29-36
10
27,77
12
3
37-44
9
25
21
4
45-52
9
25
30
5
53-60
5
13,88
35
6
61-68
0
0
35
7
69-76
1 36
2,77 100
36
No.
Interval
1
JUMLAH
-
Pada kelas eksperimen diperoleh nilai rata-rata sebesar 42,50. Dari tabel 3 dapat dilihat sebanyak 15 orang siswa kelompok kontrol mendapat nilai diatas rata-rata atau sebesar 41,67% dari seluruh siswa kelompok kontrol. Sedangakan siswa yang nilainya dibawah rata-rata ada 21 orang atau sebesar 58,33%. Siswa yang kemampuan berpikir kritis matematisnya rendah, yaitu sebanyak 2 orang siswa yang
Kurniawati dan Utami, Pengaruh Metode Penemuan, 216
berada pada interval 21-28 dengan persentase 5,55%, sedangkan siswa yang kemampuan berpikir kritis matematisnya tinggi yaitu sebanyak 1 orang siswa yang berada pada interval 67-76 dengan persentase 2,77%. Berdasarkan uraian mengenai Kemampuan berpikir kritis matematis siswa kelas eksperimen dan kemampuan berpikir kritis matematis siswa kelas kontrol dapat terlihat adanya perbedaan. Untuk lebih memperjelas perbedaan Kemampuan berpikir kritis matematis antara kelas eksperimen (kelompok dengan Metode penemuan dan strategi heuristik) dengan kelas kontrol (kelompok yang diajarkan dengan metode konvensional), dapat dilihat pada tabel berikut:
Statistik Deskriptif
Kelompok Eksperimen 36
Kontrol 36
Maksimum
86
75
Minimum
46
21
Rata-rata
65,14
42,50
Median (Me)
63,50
41,83
Modus (Mo)
57,17 133,89
35,61 111,09
11,57
10,54
Jumlah Siswa
Varians Simpangan Baku (S)
Eksperimen
Kontrol
Kemiringan
0,69
0,65
Ketajaman
0,30
0,28
Tabel 4 di atas menunjukkan adanya perbedaan perhitungan statistik deskriptif antara kedua kelompok. Dari tabel 4 dapat diketahui bahwa nilai ratarata kelompok eksperimen lebih tinggi dari pada nilai rata-rata kelompok kontrol dengan selisih 22,64. Nilai siswa tertinggi dari dua kelompok tersebut terdapat pada kelompokeksperimen dengan nilai 86, sedangkan nilai terendah terdapat pada kelompok kontrol dengan nilai 21, artinya kemampuan berpikir kritis matematis perorangan tertinggi terdapat di kelompok eksperimen sedangkan kemampuan berpikir kritis matematis perorangan terendah terdapat di kelompok kontrol. 3. Tahapan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Ditinjau dari indikator berpikir kritis matematis tersebut, skor persentase rata-rata indikator berpikir kritis matematis pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol disajikan pada tabel berikut ini.
Tabel 4: Perbandingan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelompok Eksperimen dan Kelompok kontrol Statistik Deskriptif
Kelompok
Tabel 5: Persentase Rata-rata Indikator Berpikir Kritis Matematis Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Indikator Berpikir Kritis Elementary clarification Basic support Inference Advance clarification Strategy and tactics
Skor Ideal 8 4 4 8 4
Kelompok Eksperimen ̅ % 5,86 73,26 2,86 71,53 2,47 61,81 4,11 51,39 2,91 72,92
Kelompok Kontrol ̅ % 5,97 74,65 2,69 67,36 0,94 23,61 1,78 22,22 0,47 11,81
217, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa dari 5 indikator kemampuan berpikir kritis matematis yang diukur memiliki skor ideal yang berbeda. Hal ini dikarenakan beberapa indikator diwakilkan oleh soal yang jumlahnya berbeda pula. Untuk indikator elementary clarification diwakilkan oleh 2 soal dengan skor maksimum per-soal adalah 4 sehingga skor ideal per-siswa untuk indikator elementary clarification adalah 8. Siswa yang mampu mencapai indikator ini pada kelas eksperimen sebesar 73,25% dari seluruh siswa sedangkan pada kelas kontrol lebih besar yaitu sebesar74,63%, artinya siswa kelas kontrol lebih mampu mengkomunikasikan dalam bentuk model matematika daripada kelas eksperimen. Pada kelas eksperimen rata-rata skor tertinggi ada pada indikator pertama yaitu elementary clarification sebesar 73,25%. Sedangkan yang terendah ada pada indikator ke-empat yaitu advance clarification (kemampuan menghubungkan fakta dengan konsep dan membuat contoh soal) sebesar 51,38%. Berarti siswa pada kelas eksperimen memiliki kemampuan tertinggi pada mengkomunikasikan pernyataan kedalam model matematika dan memiliki kemampuan terendah pada kemampuan menghubungkan konsep dengan fakta. Pada kelas kontrol rata-rata tertinggi sama dengan kelas eksperimen ada pada indikator pertama yaitu elementary clarification sebesar 74,63%. Sedangkan yang terendah ada pada indikator ke-lima yaitu strategy and tactics (kemampuan membuat langkah penyelesaian masalah) sebesar 11,75%. Sama dengan kelas eksperimen kemampuan tertinggi pada kelas kontrol adalah kemampuan mengkomunikasikan pernyataan ke dalam model matematika, sedangkan kemampuan terendah pada kelas kontrol adalah pada kemampuan membuat langkah penyelesaian masalah.
4. Analisis data Sebelum melakukan uji t, dilakukan uji prasyarat yaitu uji normalitas dan uji homogenitas. Hasil perhitungan uji normalitas pada kelompok eksperimen dan kontrol dengan menggunakan Chi Squere dan taraf signifikansi 5%. Pada kelas eksperimen diperoleh harga 2hitung = 6,21 dan harga kritis 2tabel adalah 7,81. Pada kelas kontrol diperoleh harga 2hitung = 6,27 dan harga kritis 2tabel adalah 9,49. Dari hasil perhitungan kedua kelompok diperoleh bahwa 2hitung kurang dari sama dengan 2tabel. Dapat disimpulkan kedua kelompok berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Sedangkan uji homogenitas varians yang menggunakan uji F mendapatkan hasil F hitung kurang dari F tabel (1,21 < 1,55) maka kedua varians homogen. Dari hasil perhitungan uji prasyarat menunjukan bahwa data kemampuan berpikir kritis matematis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal dan homogen.Untuk menguji perbedaan dua rata-rata antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol digunakan uji t. Setelah melakukan perhitungan dengan menggunakan uji t maka diperoleh thitung= 8,68 menggunakan tabel distribusi t pada taraf signifikansi 5% dan derajat kebebasan (db) = 70, diperoleh harga ttabel (α=0.05) = 1,67. Terlihat bahwa thitung>ttabel (8,68> 1,67) maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan H1 diterima, dengan taraf signifikansi 5%, berikut sketsa kurvanya:berikut sketsa kurvanya:
Gambar 1: Kurva Uji Perbedaan Data Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol
Kurniawati dan Utami, Pengaruh Metode Penemuan, 218
Berdasarkan gambar di atas, dapat terlihat bahwa nilai thitungyaitu 8,68 lebih besar dari ttabel yaitu 1,67 artinya jelas bahwa thitung jatuh pada daerah penolakan Ho (daerah kritis). Hal ini berarti bahwa pembelajaran matematika menggunakan metode penemuan strategi heuristik berpengaruh positif terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Hasil pengamatan sebelum dilakukan pembelajaran dengan metode penemuan strategi heuristik, kegiatan pembelajaran berpusat pada guru. Siswa hanya mendengarkan, mencatat kemudian menghafalkan. Pembelajaran tersebut membuat siswa menjadi pasif sehingga kurang mengembangkan ide-ide pikiran mereka. Ini mengakibatkan kemampuan berpikir kritis siswa kurang berkembang dengan baik. Pada penelitian ini diketahui bahwa terdapat perbedaan rata-rata kemampuan berpikir kritis matematis antara kelas eksperimen yang menggunakan metode penemuan dengan strategi heuristik dengan kelas kontrol yang menggunakan metode konvensional. Ratarata kemampuan berpikir kritis matematis siswa pada kelas eksperimen cenderung lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol. Metode Penemuan dengan strategi heuristik ini memfasilitasi siswa untuk menuangkan ide dan gagasannya pada LKS, inilah yang menstimulus siswa untuk berpikir. Tahap think pada LKS berisi mengenai suatu masalah yang dapat dijawab berdasarkan pembelajaran yang sudah dipelajari sebelumnya. Siswa dituntut untuk mengingat kembali pembelajaran sebelumnya, dan mengidentifikasi informasi yang terdapat dalam soal, yang selanjutnya dikomunikasikan dalam bentuk model matematikanya dan diselesaikan sesuai pertanyaan pada tahap tersebut. Siswa mengembangkan kemampuan
mengkomunikasikan pernyataan dalam bentuk model matematikanya dengan mengerjakan tahap think. Setelah mengerjakan tahap think, siswa mengerjakan tahap explore. Pada tahap ini siswa membuktikan hasil pengerjaan pada tahap think dengan langkah yang tersaji pada LKS. Biasanya tahap ini dari pertanyaan mengapa? Atau berikan alasannya dan pada akhir tahap ini siswa diminta membandingkan antara jawaban yang dibuatnya pada tahap think dengan explore. Pada tahap ini kemampuan siswa yang dikembangkan adalah kemampuan memberikan alasan dan kemampuan menghubungkan fakta dengan konsep. Pada tahap explore ini juga, siswa dibimbing menemukan kembali rumus sehingga tahap ini juga mengembangkan kemampuan membuat kesimpulan (generalisasi). Setelah siswa dibimbing untuk menemukan materi yang menjadi tujuan pembelajaran, siswa mengerjakan tahap Extend untuk menerapkan hasil dari kesimpulan yang dibuatnya kedalam soal. Dibutuhkan kemampuan siswa dalam membuat strategi penyelesaian berdasarkan kesimpulan yang sudah dibuat sebelumnya. dan yang terakhir siswa diminta membuat kesimpulan akhir pada tahap reflection. Hasil dari lima tahapan tersebut terlihat dari perbedaan persentase indikator-indikator berpikir kritis yang telah diujikan. Dari lima indikator yang diujikan persentase tertinggi baik kelas eksperimen maupun kelas kontrol adalah indikator Elementary clarification (memberikan penjelasan sederhana). Tetapi pada indikator ini kelas kontrol memiliki persentase yang lebih tinggi dibandingkan kelas eksperimen. Pada kelas eksperimen kemampuan mengkomunikasikan dilakukan dengan mengisi sendiri data yang mereka
219, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
butuhkan dengan panduan tabel yang diberikan oleh guru. Siswa secara mandiri belajar mengkomunikasikan model matematika. Berbeda dengan kelas eksperimen, pada kelas kontrol pembelajaran yang diterapkan adalah metode konvensional, dimana guru memiliki peran aktif dalam pembelajaran. Guru mencontohkan cara mengerjakan soal, siswa memperhatikan bagaimana cara guru menyelesaikan soal tersebut. Siswa akan menghafal bagaimana cara guru melihat masalah dan akan meniru seperti yang dilakukan guru dalam memecahkan masalah yang serupa dengan yang pernah dicontohkan. Dengan mencontohkan kepada siswa, secara tidak langsung guru mengajarkan bagaimana mengkomunikasikan model matematika. Hal ini yang membuat kemampuan mengkomunikasikan ke dalam model matematika pada kelas kontrol lebih tinggi dibanding kelas eksperimen. Sehingga untuk indikator memberikan penjelasan sederhana yang diukur dengan mengkomunikasikan pernyataan dalam model matematika metode konvensional lebih baik diterapkan dari pada metode penemuan dengan strategi heuristik. Pada kelas eksperimen persentase terendah adalah indikator Advance Clarification . Indikator ini menuntut siswa untuk mencapai kemampuan pemahaman terhadap konsep secara lebih mendalam.Inilah kemampuan yang paling sulit dalam kemampuan berpikir tingkat tinggi ini. Kemampuan ini merupakan kelanjutan dari men-generalisasi. Setelah didapatkan hasil generalisasi, siswa harus mengerti apa yang ia dapatkan tersebut. Bagaimana hasilnya didapat?, mengapa demikian?, apa contohnya?, jika seperti ini benar atau salah? Jika salah, maka yang benar seperti apa?. Pertanyaan ini yang sering ditanyakan setelah men-generalisasi tetapi kebanyakan siswa sulit menjawabnya. Untuk mencapai kemampuan ini dibutuhkan nalar
yang lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan berpikir kritis lainnya. Pada kelas kontrol persentase terendah adalah indikator Strategy and Tactics yang mengukur bagaimana menentukan strategi dan taktik penyelesaian masalah. Untuk permasalahan baru yang belum pernah dicontohkan oleh guru, siswa pada kelas kontrol akan kesulitan dalam menjawab. Ini dikarenakan pembelajaran bukan bersifat memahami tetapi hanya menghafal saja. Sedangkan siswa pada kelas eksperimen lebih tanggap dalam menyelesaikan masalah yang belum pernah diberikan oleh guru sebelumnya. Langkah penyelesaian dilakukan secara bertahap mulai dari menentukan informasi yang ada pada soal, menentukan yang ditanyakan dan menentukan penyelesaian dari masalah tersebut. Indikator-indikator kemampuan berpikir kritis matematis yang telah diukur dalam penelitian ini menunjukan bahwa kelas eksperimen cenderung memiliki persentase lebih tinggi dibanding kelas kontrol. ini membuktikan terdapat pengaruh metode penemuan dengan strategi heuristik terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, maka dalam penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1. Kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang menggunakan metode penemuan strategi heuristik lebih tinggi dari pada kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang menggunakan metode konvensional. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata hasil tes kemampuan berpikir kritis matematis kelas eksperimen 65,14 dan rata-rata hasil tes kemampuan berpikir kritis matematis kelas kontrol 42,50. Perbe-
Kurniawati dan Utami, Pengaruh Metode Penemuan, 220
daan ini dapat terjadi karena adanya perbedaan pengaruh perlakuan selama proses pembelajaran. Dengan demikian penggunaan metode penemuan dengan strategi heuristik memberikan pengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa. 2. Kemampuan berpikir kritis matematis yang diajarkan dengan metode penemuan dengan strategi heuristik lebih baik dari pada kemampuan berpikir kritis matematis yang diajarkan dengan metode konvensional. Hal ini dapat dilihat dari persentase setiap indicator berpikir kritis matematis, pada kelas eksperimen diperoleh Elementary clarification 73,25%, Basic Support 71,50%, Inference 61,75%, Advance clarification 51,38%, Strategy and tactics 72,75%. Sedangkan untuk kelas kontrol diperoleh Elementary clarification 74,63%, Basic Support 67,25%, Inference 23,60%, Advance clarification 22,25%, Strategy and tactics 11,75%. Dengan demikian sebagian besar
persentase indikator berpikir kritis matematis untuk kelas eksperimen lebih tinggi dibanding kelas kontrol. Adapun rekomendasi berdasarkan penelitian ini adalah 1) Berdasarkan hasil penelitian bahwa pembelajaran matematika dengan metode penemuan strategi heuristik mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa, sehingga pembelajaran tersebut dapat menjadi salah satu variasi pembelajaran matematika yang dapat diterapkan oleh guru. 2) Penelitian berikutnya diharapkan lebih mampu meningkatkan indikator Advance Clarivication dengan optimal. 3) Penelitian ini dilakukan pada pokok bahasan Relasi fungsi dan Persamaan garis lurus, untuk penelitian selanjutnya disarankan dilakukan juga pada pokok bahasan lain. 4) Alokasi waktu sebaiknya diperhatikan lebih baik lagi, agar tidak menjadi kendala pada penelitian berikutnya.
DAFTAR RUJUKAN Amri,Sofan dan Ahmadi. 2010. Iif Khoiru .Proses Pembelajaran Inovatifdan Kreatif. Jakarta: Prestasi Pustaka. Desmita. 2010. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Cet.II. Donald Orlich,dkk.. 2010. Teaching Strategies A guide to Effective Instruction. Boston: Wadsworth. Fachrurazi, Penerapan pembelajaran berbasis masalah untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan komunikasi matematis siswa. Dalam http://jurnal.upi.edu/file/8
Fachrurazi.pdf, 29 Oktober 2011 10:28 WIB Fisher. Critical Thinking. New York: Cambridge University Press, 2001. Lambertus. Pentingnya Melatih Kemampuan Berpikir kritis di SD. dalam http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jur nal/28208136142_0215-9392.pdf , 3 April 2012 20:02 WIB Lidinillah, Didin Abdul Muiz. Heuristik dalam Pemecahan Masalah Matematika dan Pelajarannyadi Sekolah Dasar http://abdulmuizlidinillah.files.wordpress.com/200 9/03/heuristik-pemecahan-
221, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
masalah.pdf.9 September 2012 9:04 WIB Machmud, Tedy. Pembelajaran Matematika Dengan Metode Penemuan, (http://journal.ung.ac.id/filejurnal/ MSVol3No2/MSVol3No2_10.pdf . 10 Juni 2012 20:00 WIB Markaban. Model Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Penemuan Terbimbing. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional Pusat Pengembangan dan Penataran Guru Matematika, 2006. Mayadiana, Dina. Kemampuan berpikir kritis matematika. Jakarta: Cakrawala Maha Karya, 2009 Novak , Joseph dan Growin, Bob. Learning how to learn. Newyork: Cambrigde university press, 1984. Rochmaniah, Sutji. Penggunaan Metode Penemuan untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Mahasiswa Keguruan. Dalam
http://www.scribd.com/doc/50713 700/07-Sutji-RochaminahPenggunaan-Metode-Penemuanuntuk-meningkatkan-kemampuan . 10 Juni 2012 19:31 WIB Romanycia, March dan Pelletier, Francis Jeffry. What is heuristic. http://www.sfu.ca/~jeffpell/papers/ RomanyciaPelletierHeuristics85.p df . 27 Desember 2012 11:55 WIB Suherman, Erman dkk.Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICAUPI, 2003. Suwangsih, Erna danTiurlina.Model PembelajaranMatematika. Bandung: UPI Press, 2006. Wardani ,Sri dan Rumiati. Instrumen Penilaian Hasil Belajar Matematika SMP: Belajar Dari Pisa dan TIMSS. Yogyakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika. 2011