Pengadaan Obat di Era JKN Kurangnya stok obat di fasilitas layanan kesehatan menjadi salah satu kendala yang sering dikeluhkan dalam pelayanan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hal ini berakibat pada pasien yang tidak mendapat obat yang memadai, sehingga pasien peserta JKN diharuskan membeli sebagian obat yang tidak tersedia di fasilitas kesehatan yang telah dikontrak. Banyak pasien yang berobat tidak mendapat obat secara penuh atau pasien harus berulang kali datang ke fasilitas kesehatan untuk mendapat obat periode / minggu berikutnya atau pasien diminta kembali lagi. Peraturan presiden (Perpres) No. 157 tahun 2014 (sebelumnya Perpes No. 106 tahun 2007) membentuk Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) yang mengatur pengadaan barang/jasa pemerintah agar lebih efisien, efektif dan transparan. Sistem ini bertujuan menjamin ketersediaan dan pemerataan obat yang aman bermutu dan berkhasiat untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan. Sistem e-catalogue merupakan salah satu inti dari sistem manajemen obat di fasilitas kesehatan milik pemerintah yang mengaitkan antara proses seleksi, pengadaan, distribusi dan penggunaan obat. Dengan sistem e-catalogue ini diharapkan ketersediaan obat akan cepat dan dengan harga standar sehingga pengadaan obat tidak tergantung proses tender sendiri yang lama di semua unit palayanan kesehatan. obat tidak tergantung proses tender sendiri yang lama di semua unit palayanan kesehatan. Namun kenyataannya banyak pasien yang berobat tidak mendapat obat secara penuh. Maka dari itu untuk mendapatkan fakta dan meningkatkan pemahaman bersama dan mencari solusi dirasa perlu diadakan diskusi publik untuk membahas tentang proses dan fakta pengadaan obat dalam era JKN.
DISKUSI PUBLIK Pada Kamis, 10 Desember 2015, kami telah melaksanakan diskusi publik dengan tema “Transparansi Dalam Konsep Pengadaan Obat di Era JKN” di Hotel JS Luwansa, Kuningan, Jakarta Selatan. Acara tersebut dibuka dengan paparan dari para ahli seperti Dra. Engko Sosialine M. Apt.M.Biomed. (Direktur Bina Obat Publik dan Perbekalan Farmasi), Prof dr. Hasbullah Thabrany, MPH DrPH (Guru Besar Ekonomi Kesehatan FKMUI), Prof. Dr. Iwan DwiPrahasto, M.MedSci,PhD (Guru besar Universitas Gajah Mada), dr. Luthfi Mardiansyah (Ketua IPMG), dan Drs. Dwi Satrianto (Kasubdit Pengelolaan Katalog, LKPP). Acara dilanjutkan dengan Forum Group Discussion (FGD) oleh para peserta. Peserta yang hadir berasal dari berbagai macam latar belakang, yaitu: pejabat rumah sakit, industri obat, dinas kesehatan kabupaten/kota, Badan POM dan akademisi
1
PERMASALAHAN DALAM PENGADAAN OBAT DI ERA JKN -
Lelang Obat
-
Harga Perkiraan Sendiri (HPS)
Sebelum daftar obat masuk dalam e-
Harga Perkiraan Sendiri (HPS) menjadi
catalogue, obat akan diseleksi terlebih dahulu
salah satu acuan dalam proses seleksi obat dalam e-
melalui proses Formularium Nasional. Setelah obat
catalogue. Lelang dan negosiasi yang dilakukan
masuk dalam Formularium Nasional, obat akan
menggunakan batas harga termahal sebagai acuan,
dikategorisasi terlebih dahulu untuk menentukan
sehingga
proses listing di e-catalogue, Proses lelang
dibawah HPS. Namun hal tersebut masih menjadi
dikategorisasi, memisahkan antara kelompok obat
masalah dalam proses pengadaan obat, yaitu:
generik
-
dan
non-generik,
mengacu
pada
penyedia
Harga
harus
perkiraan
sendiri
(HPS)
membatasi
HK.02.02/MENKES/068/I/2010
tentang
sehingga beberapa penyedia obat tidak dapat
Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas
ikut dalam proses lelang dikarenakan harga
Pelayanan Kesehatan Pemerintah. Hal ini dirasa
HPS terlalu murah bagi penyedia obat. Hal ini
membatasi peluang kompetisi yang adil untuk
menyebabkan banyak molekul obat gagal
mendapatkan obat yang terbaik untuk pasien.
ditenderkan karena harga terlalu tinggi.
provinsi,
sehingga
negosiasi,
Temuan dilapangan menyebutkan bahwa HPS
terjadi
yang terlalu murah kerap kali menyebabkan
Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat
industri/ pabrikan membanting harga, namun
Daerah/Institusi
memiliki
di kemudian hari menolak untuk supply karena
alternatif lain di dalam e-catalogue yang
murahnya harga tidak sesuai dengan biaya
membuat satkes harus melakukan pembelian
yang dikeluarkan.
(K/D/L/I)
sering
-
dan
dirasa
Nomor
Hasil lelang membatasi 1 penyedia untuk 1
lelang
harga
Permenkes
proses
menawarkan
tidak
obat secara manual tanpa melalui e-catalogue.
-
Banyak industri belum memahami proses perhitungan HPS. HPS yang diberikan selama ini tidak pernah disertai dengan penjelasan dan transparansi
tentang
bagaimana
proses
perhitungannya untuk mendapatkan harga tersebut.
2
-
disusun
Rancangan Kebutuhan Obat (RKO)
berdasarkan
pelaporan
dari
K/L/D/I lalu diteruskan ke Sudinkes
Dalam pelaksanaan lelang dan negosiasi dalam seleksi e-catalogue, LKPP menggunakan
Kabupaten/Kota.
Rancangan Kebutuhan Obat (RKO) sebagai
Kabupaten/Kota direkap, divalidasi dan
acuan
dilaporkan kepada Dinkes Provinsi dan
jumlah
yang
diinginkan.
Namun
Oleh
Dinkes
dikumpul kepada Binfar Kemenkes.
kenyataan masih ditemukan hal yang menjadi masalah yaitu:
RKO dirasa belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Hal ini
-
Pengadaan
melaporkan
Komitmen
Penggunaan e-catalogue
disebabkan banyak K/L/D/I yang belum berkontribusi
dan
Setiap pengadaan obat seharusnya
kebutuhan
melalui e-catalogue, namun kenyataannya
obatnya. Hal ini menyebabkan angka
banyak pihak yang masih tidak berkomitmen
realisasi pengadaan berbeda jauh dengan
untuk
RKO dan penyedia tidak dapat menjadikan
memilih untuk melakukan pembelian secara
RKO sebagai acuan rencana produksi yang
manual. Hal ini disebabkan oleh beberapa
meyebabkan Supply Shortage
masalah yaitu:
Nama Obat Parasetamol tab 500 mg Klorfeniramin tab 4 mg Amoksisilin tab 500 mg Vitamin B kompleks Deksametason tab 0,5 mg Antasida Tablet : Al(OH)3 200 mg + Mg(OH)2 200 mg Asam askorbat (vitamin C) tab 50 mg Tiamin (vitamin B1) tab 50 mg Asam mefenamat kaps 500 mg Piridoksin (vitamin B6) tab 10 mg Kalsium laktat (kalk) tab 500 mg Prednison tab 5 mg Kombinasi : ferro sulfat 200 mg+ as. Folat 0,25 mg Kaptopril tab 25 mg Kotrimoksazol (DWS) : S.Metoksazol 400 mg+ TMP 80 mg Dietilkarbamazin tab 100 mg Ranitidin tab 150 mg Sianokobalamin (vitamin B12) tab 50 mcg Siprofloksasin tab scored 500 mg Ibuprofen tab 400 mg Ferro sulfat tab salut 300 mg Kaptopril tab 12,5 mg Metformin tab 500 mg Triheksifenidil tab 2 mg Ringer Laktat Larutan
RKO 2015 (Juta) 809,09 648,86 618,49 433,55 392,92 378,73 363,43 318,36 295,53 279,39 231,67 209,59 158,30 142,96 138,75 138,55 136,60 119,06 107,23 105,56 94,95 90,24 82,15 75,69 75,14
Realisasi 2015 (Juta) 349,65 144,56 154,93 138,83 129,84 132,25 92,96 3,71 28,16 34,49 80,39 55,84 169,54 54,89 45,31 18,53 66,46 38,79 1,50 54,73 0,00 29,53 33,68 0,00 9,38
Real/RKO (%) 43,22 22,28 25,05 32,02 33,05 34,92 25,58 1,17 9,53 12,34 34,7 26,64 107,1 38,4 32,65 13,37 48,65 32,58 1,4 51,85 0 32,73 41 0 12,49
menggunakan
e-catalogue
dan
Stok obat yang diinginkan tidak tersedia di e-catalogue. Penyebab hal ini bisa terjadi karena penyedia tidak dapat menyediakan obat yang dipesan dimana penyedia pemenang untuk satu provinsi hanya satu penyedia sehingga K/L/D/I tidak memiliki alternatif lain selain membeli obat secara manual, atau obat yang diinginkan oleh K/L/D/I tidak berhasil
masuk
dalam
e-catalogue
dikarenakan gagal lelang atau negosiasi.
Sistem pencatatan dan monitoring yang berjalan di e-catalogue hanya mencatat
Tabel 1 Realisasi Kebutuhan Obat di RKO
sampai kontrak ditandatangani, tidak
Kontribusi K/L/D/I belum maksimal
sampai dengan memastikan obat sampai
dalam melaporkan RKO serta tidak
di pemesan.
adanya validasi RKO. RKO seharusnya
3
Belanja Obat JKN melalui e-katalog
ini menunjukkan belum maksimalnya
baru mencapai sekitar Rp 4 Trilyun
pelaksanaan
(data LKPP 2015), atau sekitar 11% dari
manfaat
total belanja obat etikal di pasaran. Hal
dirasakan
e-purchasing
JKN
belum
sehingga sepenuhnya
oleh
pasien
REKOMENDASI Rekomendasi berikut merupakan serangkaian upaya yang harus dijalankan simultan untuk mengurangi permasalahan diatas, dan meningkatkan efektifitas pengadaan obat di era JKN.
1. Usulan Pemenang Tender Lebih Dari
Criteria
Decision
Satu dengan Metode Seleksi yang Jelas,
menjadi
pilihan
Terukur dan Proses yang Transparan
pemilihan obat.
Untuk menghindari permasalahan gagal supply
yang
menyebabkan
Seleksi
Analysis untuk
tanpa
dapat seleksi
kategorisasi
generik
ketidaktersediaan obat, maka sebaiknya
Seleksi obat yang akan masuk dalam
pemenang tender dibuat lebih dari satu.
e-katalog seharusnya dilakukan tanpa
Dengan adanya alternatif penyedia, resiko
terpisah sehingga persaingan sempurna
tersebut dapat terhindarkan dan pasien –
untuk mendapatkan obat yang terbaik
yang menjadi tujuan utama dari pelayanan
untuk
JKN tetap terlayani dengan baik.
Kebijakan penggunaan obat generik,
Seleksi dengan berbagai kriteria
yang diterapkan sebelum e-katalog,
Seleksi obat yang dilakukan harus
dimaksudkan
menilai tidak hanya dari harga yang
praktik kolusi dalam pemilihan obat
terendah, namun juga kriteria lain
yang akan digunakan untuk pasien.
seperti, komitmen penyedia di tahun
Namun
sebelumnya, kualitas obat, dll sehingga
segala praktik kolusi sudah dapat
dapat menghasilkan penyedia yang
dicegah.
juga
dilakukan obat
berkualitas.
Penyedia
yang
peserta
dengan
dapat
untuk
mengurangi
adanya
Sehingga
tercapai.
e-katalog,
seleksi
yang
tidak perlu lagi
menang lelang dengan harga terendah
menggunakan kategorisasi generik dan
kadang
non generik.
menjadi
berdebatan.
Pengunaan penilaian (Scoring System) dengan multi kriteria seperti Multi-
4
3. Monitoring evaluasi pengadaan dan
2. Pelibatan pihak industri farmasi Dalam penentuan HPS dan RKO Industri
transaksi melalui e-catalogue
Farmasi dapat memberikan pendapat dari
Untuk
sudut pandang penyedia. Agar terjadi
catalogue dalam pengadaan obat, sudah
persaingan sempurna dalam seleksi obat,
seharusnya dilakukan monitoring dalam
HPS yang ditentukan harus sesuai dengan
komitmen setiap K/L/D/I dan industri
harga pasar, sehingga perwakilan dari
farmasi. Dengan peningkatan monitoring
asosiasi pabrikan seperti IPMG dan GP
dan evaluasi kegiatan transaksi yang terjadi
Farmasi
dalam
di e-catalogue, kita dapat lebih memastikan
dengan
pengadaan obat di K/L/D/I. Monitoring saat
penentuan RKO, pihak industri farmasi bisa
ini baru sampai pada transaksi e-purchasing
dilibatkan untuk menilai ketersediaan yang
pada e-catalogue saja, belum sampai dengan
ada sehingga tidak ada lagi perbedaan yang
realisasi
sangat
K/L/D/I.
dapat
penentuan
HPS.
signifikan
diikutsertakan Begitu
antara
juga
RKO
dan
memaksimalkan
supply
penggunaan
obat
e-
sampaikepada
realisasinya terutama yang disebabkan oleh
Selain itu, perlu juga adanya peningkatan
obat yang sudah tidak diproduksi.
kapabilitas
dari
K/L/D/I
untuk
menggunakan system e-purchasing agar K/L/D/I
terbiasa
menggunakan
system
berbasis teknologi dan tidak lagi melakukan manual order.
5