Penerimaan Daerah Dari Bagi Hasil Sumber Daya Alam (bagian akhir dari dua tulisan) Tim Gabungan dari LPEM-FE UI, Bappenas, NRM, dan BPPT
*)
Tulisan ini merupakan bagian kedua dari tulisan dengan judul yang sama yang dimuat di majalah ini. Pada bagian kedua ini akan dibahas beberapa metoda yang berkembang dalam mengestimasi penerimaan Bagi Hasil Sumber Daya Alam. Di akhir dari bagian kedua ini akan diuraikan kesimpulan dari seluruh tulisan ini (bagian I dan II). 4. Metode Estimasi Perhitungan Sumber Daya Alam Kendala yang sangat besar dalam perhitungan penerimaan Bagi Hasil Sumber Daya Alam adalah data. Data yang diperlukan dalam perhitungan bagi hasil yang sesuai dengan peraturan pemerintah masih belum tersedia sampai saat ini. Karenanya pekerjaan ini lebih diarahkan pada menjelaskan beberapa metode estimasi penerimaan Bagi Hasil Sumber Daya Alam, bukan pada hasil perhitungannya. Perhitungan dipekerjaan ini tetap dilakukan, tapi hanya untuk contoh perhitungan. Harapannya pembaca dapat mengumpulkan data yang lebih lengkap dan melakukan perhitungan untuk provinsi/kabupaten/kota yang menjadi perhatiannya. Dua metode estimasi yang diuraikan dibagian ini adalah metode estimasi penerimaan Bagi Hasil Sumber Daya Alam yang dikembangkan oleh LPEM-FEUI dan NRM.1 4.1. Metode LPEM-FEUI Metode ini akan diterapkan untuk menghitung bagi hasil sumber daya alam migas dan pertambangan, sedangkan untuk perikanan dan kehutanan belum dapat dilakukan karena sulitnya menemukan proksi data yang cocok untuk kedua sumber daya tersebut. Dalam perhitungannya metode LPEM-FEUI dapat menghitung penerimaan bagi hasil minyak dan gas sampai tingkatan kabupaten/kota. *)
1
Tim terdiri dari Raksasa Mahi (LPEM-FE UI), Anton Hendranata (LPEM-FE UI), Vid Adrison (LPEM-FE UI), Riatu Mariatul Qibthiyyah (LPEM-FE UI), Budy Resosudarmo (BPPT), Timothy Brown (NRM), Virza Sasmitawidjaja (NRM), Vivi Yulaswati Hadi (Bappenas), dan Mas Wedar H. Adji (Bappenas)-red.
Pencarian data dan perhitungan untuk tulisan ini dilakukan dari sekitar Februari 2000 sampai dengan sekitar Juli 2000. Karenanya nama kementerian/departemen dalam tulisan ini masih menggunakan nama kementerian/departemen pada perioda tersebut. Pembaca diminta menyesuaikan sendiri namanama ini dengan nama kementerian/departement saat ini.
1
4.1.1. Minyak Bumi dan Gas Alam Perhitungan untuk minyak bumi dan gas alam di bawah ini mencoba mengaplikasikan peraturan pemerintah seperti yang disajikan Diagram 1 pada pembahasan sebelumnya. Seperti yang telah diuraikan dalam Bab 3, sebagai dasar perhitungan jumlah uang yang akan dibagikan antara pemerintah dan kontraktor digunakan net operating income (NOI), yaitu penerimaan bersih setelah dikurangi berbagai pembiayaan operasional. Data NOI umumnya sulit didapat. Data ekonomi yang dapat dipergunakan untuk memperkirakan besarnya NOI dari sumber daya alam minyak bumi dan gas alam di suatu provinsi adalah Tabel Input-Output Provinsi/Kabupaten/Kota. Dengan menggunakan data Input-Output, akan diperoleh besaran nilai sisa hasil usaha (SHU), yaitu besarnya keuntungan bersih kegiatan sector minyak bumi dan gas alam setelah penerimaan dikurangi berbagai biaya operasional. SHU ini merupakan proksi besaran NOI dalam rumusan perhitungan bagi hasil SDA minyak bumi dan gas alam. Namun demikian, tidak setiap provinsi/kabupaten/kota memiliki Tabel Input-Output, karenanya untuk mengestimasi besar NOI di tingkat provinsi digunakan Tabel Input-Output Nasional dan data PDRB Provinsi/Kabupaten/Kota menurut sektor ekonomi.2 Dari Tabel Input-Output Nasional diperoleh rasio SHU nasional untuk minyak bumi dan gas alam terhadap value-added nasional (atau total output nasional) untuk minyak bumi dan gas alam. Rasio tersebut dipergunakan untuk melakukan estimasi penerimaan SDA bersangkutan di suatu provinsi yaitu dengan cara mengalikan rasio tersebut dengan PDRB Provinsi/Kabupaten/Kota untuk sektor minyak bumi dan gas alam. Rumusan yang dihasilkan adalah sebagai berikut: NOI migas provinsi/kabupaten/kota i = (SHUmigas nasional/VA migas nasional) x PDRB migas provinsi/kabupaten/kota i
Mengeluarkan komponen pajak (PPN, PBB, pajak daerah, retribusi, PPs + PPh dan retensi pertamina) dilakukan dengan mengalikan hasil perhitungan NOI 53.40% dan 26.81% berturut-turut untuk minyak bumi dan gas alam (persentase komponen bukan pajak yang akan dibagikan ke pemerintah pusat dan daerah). Setelah diperoleh nilai yang akan dibagikan antara pemerintah pusat dan daerah baru diterapkan UU No. 25/1999 untuk mendistribusikannya ke masing-masing daerah. Mengingat bahwa besarnya bagi hasil untuk minyak bumi dan gas alam harus diestimasi secara sendiri-sendiri, maka untuk lebih lengkapnya, berikut ini dipaparkan 2
Jika yang dimiliki adalah PDRB tingkat kabupaten/kota, maka estimasi NOI dapat dilakukan hingga tingkat kabupaten/kota. Pada tulisan ini hanya digunakan PDRB tingkat provinsi, karenanya estimasi NOI dilakukan di tingkat provinsi.
2
tahapan-tahapan estimasi untuk minyak bumi dan gas alam menurut pendekatan LPEM FEUI. 4.1.1.1. Minyak Bumi Tahap-tahap perhitungan bagi hasil sumber daya alam minyak bumi yaitu (lihat Gambar 1): •
Tahap 1: mengumpulkan data PDRB minyak bumi dan gas alam menurut provinsi/kabupaten/kota penghasil.
•
Tahap 2: menghitung net operating income (NOI = pendapatan kotor – biaya produksi) dengan rumus: PDRB(provinsi/kabupaten/kota)migas x SHU(nasional)migas / VA(nasional)migas. Sisa hasil usaha (SHU) dan nilai tambah (VA) migas diperoleh dari Tabel Input-Output nasional yang diaplikasikan ke seluruh daerah.
•
Tahap 3: menghitung berapa total penerimaan minyak bumi yang akan diperoleh oleh pemerintah dan kontraktor dengan rumus: hasil Tahap 2 dikalikan dengan proporsi lifting minyak bumi terhadap total lifting minyak bumi dan gas alam menurut provinsi/kabupaten/kota penghasil. Data lifting minyak dan gas menurut provinsi/kabupaten/kota bersumber dari Deptamben.3
•
Tahap 4: menghitung total bagi hasil sumber daya alam minyak bumi yang akan dibagikan ke pemerintah pusat dan daerah dengan rumus: hasil Tahap 3 dikalikan dengan 0,5340. Angka 0,5340 merupakan penerimaan pemerintah komponen bukan pajak bersumber dari minyak bumi (lihat Diagram 1).
•
Tahap 5: menghitung penerimaan bagi hasil sumber daya alam minyak bumi antara pemerintah pusat dan daerah dengan menggunakan UU No. 25/1999. Berikut ini adalah perhitungan penerimaan daerah di suatu provinsi dimana di dalamnya ada satu atau lebih kabupaten/kota yang melakukan kegiatan penambangan minyak bumi: •
Daerah Provinsi Penghasil:
BAGIANPROPINSI = [PDRB(provinsi/kabupaten/kota ke i)migas SHU(nasional)migas / VA(nasional)migas] x (proporsi minyak bumi provinsi/kabupaten/kota penghasil ke i x 0.5340 x 0.03) •
Daerah kabupaten/kota: •
3
x di
Kabupaten/Kota Penghasil:
Tabel Input-Output dan data PDRB yang relatif mudah didapat tidak memisahkan sektor minyak bumi dan gas alam; dengan kata lain, minyak bumi dan gas alam merupakan satu sektor. Jika data PDRB dan Tabel Input-Output memisahkan minyak bumi dan gas alam menjadi dua sektor maka Tahap 3 ini tidak perlu dilakukan dan rumus di Tahap 2 menjadi: NOIminyak = PDRBminyak x SHUminyak/VAminyak.
3
BAGIANKAB/KOTAi = [PDRB(provinsi/kabupaten/kota ke i)migas x SHU(nasional)migas / VA(nasional)migas] x (proporsi minyak bumi di provinsi/kabupaten/kota penghasil ke i x 0.5340 x 0.06) •
Kabupaten/Kota bukan penghasil di Provinsi penghasil: BAGIANKAB/KOTAni = [PDRB(provinsi/kabupaten/kota ke i)migas x SHU(nasional)migas / VA(nasional)migas] x (proporsi minyak bumi di provinsi/kabupaten/kota penghasil ke i x 0.5340 x 0.06)/(n-1)
Keterangan: ◊ SHU = sisa hasil usaha ◊ VA = nilai tambah ◊ i = kabupaten/kota penghasil ke-i ◊ ni = kabupaten/kota bukan penghasil kabupaten ke-ni ◊ n = jumlah kabupaten plus kota di provinsi penghasil ◊ 0.5340 = proporsi komponen penerimaan pemerintah bukan pajak untuk minyak bumi dari NOI ◊ 0.03 dan 0.06 = proporsi bagi hasil menurut UU No. 25/1999 4.1.1.2. Gas Alam Tahap-tahap perhitungan bagi hasil sumber daya alam gas, yaitu (lihat juga Gambar 2): •
Tahap 1: mengumpulkan data PDRB minyak bumi dan gas alam menurut provinsi/kabupaten/kota.
•
Tahap 2: menghitung net operating income (NOI = pendapatan kotor – biaya produksi) dengan rumus: PDRB(provinsi/kabupaten/kota)migas x SHU(nasional)migas / VA(nasional)migas. Sisa hasil usaha (SHU) dan nilai tambah (VA) migas diperoleh dari Tabel Input-Output nasional yang diaplikasikan ke seluruh daerah.
•
Tahap 3: menghitung berapa total penerimaan gas alam yang akan diperoleh oleh pemerintah dan kontraktor dengan rumus: hasil Tahap 2 dikalikan dengan proporsi lifting gas alam terhadap total lifting minyak bumi dan gas alam menurut provinsi/kabupaten/kota penghasil. Data lifting minyak dan gas menurut provinsi/kabupaten/kota bersumber dari Deptamben.
•
Tahap 4: menghitung total bagi hasil sumber daya alam minyak bumi yang akan dibagikan ke pemerintah pusat dan daerah dengan rumus: hasil Tahap 3 dikalikan dengan 0.2681. Angka 0.2681 merupakan penerimaan pemerintah komponen bukan pajak bersumber dari gas alam (lihat Diagram 2).
4
•
Tahap 5: menghitung penerimaan bagi hasil sumber daya alam gas alam antara pemerintah pusat dan daerah dengan menggunakan UU No. 25/1999. Berikut ini adalah perhitungan penerimaan daerah di suatu provinsi dimana di dalamnya ada satu atau lebih kabupaten/kota yang melakukan kegiatan penambangan gas alam: •
Daerah Provinsi Penghasil:
BAGIANPROPINSI = [PDRB(provinsi/kabupaten/kota SHU(nasional)migas / VA(nasional)migas] x (proporsi provinsi/kabupaten/kota penghasil ke i x 0.2681 x 0.06) •
ke gas
i)migas alam
x di
Daerah kabupaten/kota: •
Kabupaten/Kota Penghasil: BAGIANKAB/KOTAi = [PDRB(provinsi/kabupaten/kota ke i)migas x SHU(nasional)migas / VA(nasional)migas] x (proporsi gas alam di provinsi/kabupaten/kota penghasil ke i x 0.2681 x 0.12)
•
Kabupaten/Kota bukan penghasil di Provinsi penghasil: BAGIANKAB/KOTAni = [PDRB(provinsi/kabupaten/kota ke i)migas x SHU(nasional)migas / VA(nasional)migas] x (proporsi gas alam di provinsi/kabupaten/kota penghasil ke i x 0.2681 x 0.12)/(n-1)
Keterangan: ◊ SHU = sisa hasil usaha ◊ VA = nilai tambah ◊ i = kabupaten/kota penghasil ke-i ◊ ni = kabupaten/kota bukan penghasil kabupaten ke-ni ◊ n = jumlah kabupaten plus kota di provinsi penghasil ◊ 0.2681 = proporsi komponen penerimaan pemerintah bukan pajak untuk gas alam dari NOI ◊ 0.06 dan 0.12 = proporsi bagi hasil menurut UU No. 25/1999
5
Gambar 1. Bagi Hasil Sumber Daya Alam Minyak Metode LPEM-FEUI
Tahap 1: PDRB migas
PDRB Minyak dan Gas Propinsi/Kabupaten/Kota
Tahap 2: PDRB migas x SHU migas/ VA migas
Proporsi SHU (nasional) migas/ VA (nasional) migas
Hasil Dibagi
Tahap 3: PDRB migas x SHU migas/ VA migas x proporsi minyak propinsi ke - i
Tahap 4: PDRB migas x SHU migas/ VA migas x proporsi minyak propinsi ke - i x 0.5340
Hasil Minyak Dibagi
Proporsi Minyak
( dikali 53.40%)
Yang Dibagi Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Tahap 5: Hasil tahap 4, dibagikan menurut UU No. 25/1999
UU No. 25/1999
Pemerintah Pusat (85%)
Pemerintah Daerah (15%)
Kabupaten/Kota (12 %)
Propinsi (3%)
Daerah Penghasil (6%)
Daerah Bukan Penghasil di Propinsi Penghasil ( 6%)
6
Gambar 2. Bagi Hasil Sumber Daya Alam Gas Metode LPEM-FEUI
Tahap 1: PDRB migas
PDRB Minyak dan Gas Propinsi/Kabupaten/Kota
Tahap 2: PDRB migas x SHU migas/VA migas
Proporsi SHU (nasional)migas/ VA (nasional) migas
Hasil Dibagi
Tahap 3: PDRB migas x SHU migas/VA migas x proporsi gas
Tahap 4: PDRB migas x SHU migas/VA migas x proporsi gas x 0.2681
Hasil Gas Dibagi
Proporsi Gas
( dikali 26.81%)
Yang Dibagi Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Tahap 5: Hasil tahap 4, dibagikan menurut UU No. 25/1999
UU No. 25/1999
Pemerintah Pusat (70%)
Pemerintah Daerah (30%)
Kabupaten/Kota (24%)
Propinsi (6%)
Daerah Penghasil (12%)
Daerah Bukan Penghasil di Propinsi Penghasil ( 12%)
7
4.1.2. Pertambangan Umum Untuk sumber daya ini, metode LPEM-FEUI hanya dapat menghitung royalti sektor pertambangan. Kendala yang dihadapi adalah data produksi sumber daya pertambangan (sumber: Indikator Ekonomi, BPS) tidak selengkap PP No. 13/2000 (lihat Tabel 7). Untuk bijih nikel dan batubara digunakan tarif rata-rata dari berbagai jenis bijih nikel di PP No. 13/2000. Sedangkan tarif sumber daya yang lain menggunakan tarif yang tertera dalam PP No. 13/2000. Tabel 7. Tarif Sumber Daya Pertambangan Menurut Jenisnya Data ProduksiYang Tersedia
Menurut PP NO. 13/2000
Dasar Perhitungan
TARIF
Konsentrat timah
Timah
Logam
3.00
Konsentrat bijih tembaga
Tembaga
Logam
4.00
Bijih nikel
Bijih nikel (garnieritik)
Logam
5.00
Bijih nikel (limonitik)
Logam
4.00
Bijih
3.75
Rata-rata Bauksit
Bauksit
Batubara
Batubara (Oopen pil)
Batubara (underground)
4.50 < 5100
3.00
5100-6100
5.00
>6100
7.00
< 5100
2.00
5100-6100
4.00
>6100
6.00
Rata-rata
4.50
Konsentrat pasir besi
Pasir besi
Konsentrat
3.75
Emas
Emas
Logam
3.75
Perak
Perak
Logam
3.25
Sumber: Deptamben
Tahap-tahap perhitungan bagi hasil sumber daya alam tambang yaitu (lihat juga Gambar 3): •
Tahap 1: mengumpulkan data PDRB tambang menurut provinsi/kabupaten/kota.
•
Tahap 2: menghitung PDRB tambang jenis-k menurut provinsi/kabupaten/kota dengan rumus: PDRB(provinsi/kabupaten/kota) tambang x proporsi produksi tambang jenis-k secara nasional. Proporsi produksi tambang jenis-k secara nasional, bersumber dari Indikator Ekonomi – BPS, adalah produksi tambang jenis-k dibagi dengan total produksi tambang umum.
•
Tahap 3: menghitung pungutan sumber daya alam tambang jenis-k yang diterima pemerintah dengan rumus: hasil Tahap 2 x tarif tambang jenis-k.
•
Tahap 4: menghitung penerimaan bagi hasil sumber daya tambang umum antara pemerintah pusat dan daerah dengan menggunakan UU No. 25/1999. Di bawah ini 8
adalah perhitungan penerimaan daerah dimana satu atau lebih kabupaten/kotanya memiliki kegiatan pertambangan umum: •
Daerah Provinsi Penghasil:
BAGIANPROPINSI = PDRB(provinsi/kabupaten/kota penghasil ke-i)tambang x PROPORSI tambang ke-k x TARIFk x 0.16 •
Daerah Kabupaten/Kota: •
Kabupaten/Kota Penghasil: BAGIANKAB/KOTAi = PDRB(provinsi/kabupaten/kota penghasil kei)tambang x PROPORSI tambang ke-k x TARIFk x 0.32
•
Daerah bukan penghasil di provinsi penghasil: BAGIANKAB/KOTAni = PDRB(provinsi/kabupaten/kota penghasil kei)tambang x PROPORSI tambang ke-k x TARIFk /(n-1)
Keterangan: ◊ i = provinsi/kabupaten/kota penghasil ke-i ◊ ni = provinsi/kabupaten/kota bukan penghasil ke-ni ◊ k = jenis tambang ke-k ◊ n = jumlah kabupaten plus kota di provinsi penghasil ◊ 0.16 dan 0.32 = proporsi bagi hasil menurut UU No. 25/1999.
9
Gambar 3. Bagi Hasil Sumber Daya Alam Tambang Metode LPEM-FEUI
Tahap 1: PDRB tambang
PDRB Tambang Propinsi/Kabupaten/Kota
Tahap 2: PDRB tambang x proporsi tambang ke-k
PDRB Tambang ke-k Propinsi/Kabupaten/Kota
Tahap 3: PDRB tambang x proporsi tambang ke-k x tarif tambang ke-k
Proporsi Produksi Tambang ke-k
Tarif Tambang ke-k
Yang Dibagi Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Tambang ke-k
Tahap 4: Hasil tahap 3, dibagikan menurut UU No. 25/1999
UU No. 25/1999
Pemerintah Pusat (20%)
Pemerintah Daerah (80%)
Kabupaten/Kota (64%)
Propinsi (16%)
Daerah Penghasil (32%)
Daerah Bukan Penghasil di Propinsi Penghasil ( 32%)
10
4.2. Metode NRM Pada prinsipnya metode estimasi NRM menggunakan tarif pajak efektif. Tarif pajak efektif (TPE) diestimasi cara membagi data total penerimaan suatu sektor di sumber daya alam dengan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor sumber daya alam tersebut di tingkat nasional. Data total penerimaan dari suatu sumber daya alam dan PDB sektor sumber daya alam diperoleh dari Depkeu. TPE sektor s = total penerimaan dari sektor s / PDB sektor s
Secara ringkas langkah-langkah estimasi penerimaan Bagi Hasil Sumber Daya Alam metode NRM adalah sebagai berikut (lihat juga Gambar 4): •
Tahap 1: Kumpulkan data PDRB sektor sumber daya provinsi/kabupaten/kota penghasil yang menjadi perhatiannya.
•
Tahap 2: Hitung tarif pajak efektif (effective tax rate) untuk setiap sektor sumber daya alam dengan menggunakan data total penerimaan dan PDB dari sektor sumber daya alam tersebut.
•
Tahap 3: Mengestimasi penerimaan pemerintah dengan cara mengalikan tarif pajak efektif dengan PDRB sektor sumber daya alamnya menurut provinsi/kabupaten/kota penghasil.
•
Tahap 4: Menghitung pembagian penerimaan pusat dan daerah dengan menggunakan aturan pada UU No. 25/1999 (lihat penjelasan di subbagian 4.1.1. dan 4.1.2.).
alam
menurut
11
Gambar 4. Perhitungan Bagi Hasil Sumber Daya Alam Metode NRM
PDRB Sektor SDA TAHAP 1: Masukkan Data PDRB dari sektor Sumber Daya Alam
TAHAP 2: Kalikan dengan Tarif Pajak Efektif (TPE) TPEs = Penerimaan Subsektor SDA s / PDRB Subsektor SDA s
Effective Tax Rate (diperoleh dari Depkeu dan Departemen Teknis)
Total Estimasi Penerimaan Dari Sumber Daya Alam
TAHAP 3: Kalikan dengan persentase bagian daerah yang tertera di dalam UU No 25 untuk Bagi Hasil Sumber Daya Alam Sektor Kehutanan = 80 persen Sektor Perikanan = 80 Persen Sektor Pertambangan Migas = 15 persen Sektor Pertambangan Umum = 80 persen
UU NO 25/99
Penerimaan Bagi Hasil yang Diterima Daerah
4.2.1. Minyak dan Gas Berikut ini akan diuraikan cara perhitungan tarif pajak efektif sektor migas secara singkat:
12
Tarif pajak efektif migas = penerimaan sektor minyak dan gas/PDB sektor minyak dan gas.
Penerimaan migas disini dihitung berdasarkan penerimaan dari sektor penambangan migas (nilai mentah) dan dari sektor pengolahan migas (nilai proses). Adapun, PDB sektor migas terdiri dari PDB sektor produksi migas dan sektor pengolahan migas. 4.2.2. Kehutanan Cara perhitungan tarif pajak efektif sektor kehutanan adalah sebagai berikut : Tarif pajak efektif kehutanan = penerimaan sektor kehutanan/PDB sektor kehutanan.
Penerimaan kehutanan terdiri atas: royalti produk hutan, IHH dan dana reboisasi (DR), dengan rincian sebagai berikut. •
Penerimaan royalti produk hutan, terdiri dari: (a) Penerimaan royalti dari sektor kehutanan (b) Penerimaan royalti dari industri pengolahan kayu.
•
Penerimaan Iuran Hasil Hutan dari sektor kehutanan.
•
Penerimaan Dana Reboisasi dari sektor kehutanan
PDB sektor kehutanan terdiri dari PDB sektor produk kehutanan dan PDB industri pengolahan kayu. Catatan, perhitungan tarif pajak efektif untuk sektor pertambangan umum dan perikanan, kurang lebih, sama dengan cara perhitungan tarif pajak efektif di sektor migas dan kehutanan. 4.3. Hasil Perhitungan Tulisan ini menerapkan metode LPEM-FEUI dan NRM untuk sektor minyak bumi, gas alam, pertambangan umum dan kehutan di tingkat provinsi seluruh Indonesia. Ditingkat provinsi maksudnya total penerimaan provinsi plus kabupaten dan kota yang ada di dalam dari sumber daya alam minyak bumi, gas alam, pertambangan umum dan kehutanan. Hasilnya dapat dilihat di Tabel Lampiran 11, 12, 13 dan 14. Dari Tabel Lampiran 11, 12, 13 dan 14 terlihat bahwa di banyak provinsi hasil estimasi menggunakan metode LPEM-FEUI dan NRM berbeda cukup jauh. Untuk itu perlu jabarkan keunggulan metode satu dan lainnya:
13
•
Keunggulan Metode LPEM-FEUI: (a) Metode LPEM-FEUI memiliki keunggulan karena dalam menghitung penerimaan bagi hasil digunakan nilai tarif yang sebenarnya (yang tertulis dalam peraturan-peraturan yang terkait). Sedangkan metode NRM menggunakan nilai proksi yang dihitung secara nasional. (b) Untuk minyak bumi dan gas alam, metode LPEM-FEUI mengestimasi secara detail besarnya NOI dan penerimaan pemerintah, sedangkan metoda NRM melakukannya estimasi dengan cara yang relatif tidak detail.
•
Keunggulan Metode NRM: (a) Metoda NRM hanya membutuhkan data-data dari Depkeu dan BPS, sedangkan metode LPEM-FEUI juga membutuhkan data dari berbagai departemen teknis terkait. Data di Depkeu dan BPS, selain lebih mudah didapat, memiliki validitas dan realibilitas yang lebih baik dari data yang ada di departemen teknis.4 Datadata yang kualitasnya rendah yang ada di departemen teknis dapat menyebabkan kesalahan perhitungan pada metode LPEM-FEUI. (b) Metode NRM relatif lebih mudah daripada metode LPEM-FEUI.
4.4. Data Pembanding Sebagai uji validasi hasil estimasi perhitungan sumber daya alam metode LPEMFEUI dan NRM seharusnya digunakan data realisasi bagi hasil tahun 1995-1997. Namun demikian terdapat beberapa masalah: (1) Beberapa sumber daya alam tidak pernah dibagihasilkan. Dalam hal ini minyak bumi dan gas alam tidak pernah dibagihasilkan sebelumnya. Karenanya, informasi yang ada hanyalah data penerimaan pemerintah pusat. Kesulitan utama dari data ini adalah menelusuri dari provinsi/kabupaten/kota mana penerimaan itu berasal. Di Deptamben ada data mengenai besarnya produksi dari berbagai kontraktor yang beroperasi di berbagai wilayah Indonesia. Walaupun kelengkapan dan akurasi data tersebut relatif susah dipertanggungjawabkan, data yang ada di Deptamben ini yang akan digunakan sebagai data pembanding hasil perhitungan metode LPEM-FEUI dan NRM.
4
Untuk kepentingan yang relatif netral, Depkeu dan BPS telah terbiasa melakukan penyesuaian terhadap data-data yang dimilikinya sehingga data-data tersebut relatif lebih sesuai dengan kenyataan di lapangan.
14
(2) Beberapa sumber daya alam sudah pernah dibagihasilkan. Dalam hal ini pertambangan, kehutanan dan perikanan sudah dibagihasilkan walaupun cara pembagihasilkan tidak sama dengan aturan yang ada di UU No. 25/1999. Untuk membandingkannya dengan hasil estimasi metode LPEM-FEUI dan NRM, penerimaan pemerintah dari sumber daya alam ini harus diredistribusikan sesuai dengan UU No. 25/1999. Untuk sektor pertambangan umum, tim penulis berhasil mendapatkan data mengenai besarnya penerimaan dari sumber daya ini yang diterima daerah. Dengan demikian, dapat diketahui dari daerah mana saja penerimaan pemerintah sumber daya alam tambang umum ini berasal dan peredistribusian penerimaan pemerintah berdasarkan UU No. 25/1999 relatif mudah. Untuk kehutanan dan perikanan, tim penulis tidak berhasil mendapatkan data penerimaan daerah. Tarif pajak efektif yang diperoleh dari metode NRM akan dipergunakan untuk menghitung penerimaan daerah paska UU No. 25/1999. 4.4.1. Data Pembanding Migas Perhitungan data pembanding bagi hasil sumber daya alam migas menggunakan data dan informasi menghitung yang bersumber dari Deptamben. Dari Deptamben didapat data lifting minyak bumi dan gas alam yang menjadi bagian pemerintah dari tiap kontraktor yang telah berproduksi. Tahapan perhitungan selanjutnya yang dilakukan adalah sebagai berikut: •
Tahap 1: Menghitung nilai equity share pemerintah.
•
Tahap 2: Menghitung seluruh komponen pajak dari lifting (lihat Diagram 1 dan 2)
•
Tahap 3: Menghitung penerimaan migas pemerintah (net of tax) yang siap dibagihasilkan dengan cara mengurangi hasil Tahap 1 dengan hasil Tahap 2.
•
Tahap 4: Menjumlahkan hasil Tahap 3 berdasarkan lokasi kerja kontraktor (lihat Tabel 8). Dalam hal ini kontraktor yang wilayah kerjanya masuk kategori lepas pantai (off-shore) tidak ikut dijumlahkan penerimaan migas yang dibagihasilkan antara pemerintah pusah dan daerah, kecuali untuk kasus ARII, YPF Maxus (Jabar) dan ARBNI, JDA Kodeco (Jatim). Keempat kontraktor ini ikut dijumlahkan karena wilayah kerja lepas pantainya sudah jelas (kurang dari 4 mil).5
•
Tahap 5: Menetapkan bagian daerah sesuai dengan UU No.25/1999. Total penerimaan provinsi dan kabupaten/kota dari minyak bumi adalah 15% dari bagian pemerintah (net of tax) dan untuk gas alam sebesar 30%nya. Perhitungannya:
5
Sumber daya migas lepas pantai yang dibagikan ke daerah adalah yang terletak kurang dari 4 mil (batas kabupaten) dan antara 4 mil sampai dengan 12 mil (batas provinsi). Sedangkan penerimaan sumber daya alam migas dari lokasi lepas pantai diatas 12 mil tidak dibagikan ke daerah.
15
•
Total penerimaan minyak bumi (provinsi+kabupaten+kota) = 0.15 x total penerimaan pemerintah dari minyak bumi di provinsi yang bersangkutan.
•
Total penerimaan gas alam (provinsi+kabupaten+kota) = 0.3 x total penerimaan pemerintah dari gas alam di provinsi yang bersangkutan. Tabel 8. Kontraktor Minyak Bumi dan Gas Alam Berdasarkan Provinsi Provinsi Riau Kaltim
Kontraktor CPI (Rokan), C&T (CPP), C&T (MFK), C&T (Siak) VICO (Sanga-Sanga), Total Indonesie (Mahakam), JOB Total Indonesie (Tengah), INPEX (Mahakam), EXSPAN Kalimantan (Tarakan), EXSPAN Kalimantan (Sanga-Sanga)/TAC Aceh Mobil Oil (Block B), Mobil Oil (Pase), Gulf Resources NS (Block A) Irian Jaya Santa Fe (Salawati), JOB Santa Fe (Kepala Burung) Sumut JOB JAPEX NS (Gebang) Jambi Santa Fe (Jabung), EXSPAN Sumatera (Rimau), JOB YPF/SAGA (Jambi Merang) Jabar ARII, YPF Maxus Jatim JOB Santa Fe (Tuban), LAPINDO (Brantas), GFB Resources (Bawean), ARBNI (Kangean), JOA Kodeco (W. Madura) Sulsel Energy Equity (Sengkang) Maluku Karlrez Petroleum (Bula Seram) Sumsel EXSPAN Sumatera (SNC), Gulf Resources (Grissik) Coridor PSC, Gulf Resources (Ramba) Coridor TAC, JOB Golden Spike (Raja Pendopo), JOB Talisman (OK), Amerada Hess (Lematang) Sumber: Ditjen Migas, Deptamben.
4.4.2. Data Pembanding Non Migas Untuk pertambangan umum diperolah data total penerimaan pemerintah dan data penerimaan setiap provinsi. Dengan demikian asal dari total penerimaan pemerintah dapat diketahui dari komposisi penerimaan setiap provinsi. Dengan diketahuinya daerah asal dari penerimaan pemerintah sektor pertambangan umum dapat dilakukan perhitungan penerimaan provinsi yang sesuai dengan UU No. 25/1999. Untuk kehutanan, tim penulis hanya mendapatkan data total penerimaan pemerintah dan tidak berhasil mendapatkan data penerimaan provinsi dari sektor ini. Karenanya perlu digunakan angka estimasi untuk mendistribusikan total penerimaan pemerintah ke berbagai provinsi. Tulisan ini menggunakan tarif pajak efektif yang dikembangkan dalam metode NRM untuk mengetahui asal dari penerimaan pemerintah sektor kehutanan. Selanjutnya penerimaan provinsi dapat dihitung sesuai dengan aturan di UU No. 25/1999.
16
Catatan: Pembagian ke provinsi dari iuran hasil hutan yang selama ini dilakukan oleh Dephutbun adalah sebagai berikut: •
Untuk setiap provinsi dengan: ◊
PAD<100 milyar rupiah, provinsi tersebut (jatah pemerintahan provinsi plus kabupaten dan kota di dalamnya) mendapat 1% dari total penerimaan iuran hutan (IHH dan IHPH);
◊
PAD 100-200 milyar rupiah, provinsi tersebut mendapat 0.5% dari total iuran hutan;
◊
PAD>200 milyar rupiah, provinsi tersebut mendapat 0.25% dari total penerimaan iuran hutan.
•
Untuk provinsi yang memiliki sumber daya alam hutan, maka provinsi tersebut (jatah pemerintahan provinsi plus kabupaten dan kota di dalamnya) akan mendapatkan tambahan penyaluran sebesar: (porsi daerah setelah dikurangi pembagian berdasarkan PAD) x (penerimaan iuran hutan dari provinsi tsb/total penerimaan yang terkumpul di pusat).
•
Bagian provinsi untuk IHPH adalah 70% dari total IHPH (SK Menhut No.94/KptsIV/1993), sedangkan untuk PSDH sebesar 45% dari total PSDH.
4.4.3. Hasil Perhitungan Data Pembanding Hasil perhitungan data pembanding dapat dilihat di Tabel Lampiran 15, 16, 17 dan 18. Dalam menghitung data pendamping terdapat beberapa masalah. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa: (1) Untuk kasus minyak bumi dan gas alam: Cara perolehan data dan prosedur yang dilakukan dalam menghitung data pembanding di tulisan ini kemungkinan besar akan digunakan menjadi cara perolehan data dan prosedur yang akan diterapkan dalam menghitung bagi hasil sumber daya alam minyak bumi dan gas alam antara pemerintah pusat dan daerah. Perhitungan data pembanding di sektor ini memiliki sedikit kelamahan, yaitu masih ada beberapa kontraktor, diperkirakan tidak banyak, yang tidak tercakup dalam perhitungan data pembanding. (2) Untuk kasus pertambangan umum: Data yang diperoleh relatif lengkap. Namun kelemahan dalam menghitung data pembanding di sektor ini adalah penerimaan 17
daerah selama ini dihitung berdasarkan lokasi kantor wilayah pertambangan (kanwil) yang menangani kegiatan pertambangan di suatu tempat. Ada beberapa kasus dimana lokasi kanwil dan kegiatan berbeda, serta kualitas pencatatan tiap kanwil berbeda-beda. (3) Untuk kasus kehutanan: Dalam melakukan redistribusi ke daerah digunakan tarif pajak efektif ala metode NRM. Dengan demikian struktur pembagian antar provinsi dari data pembanding akan memiliki pola yang sama dengan metode NRM, hanya saja besarannya yang berbeda. Mengamati ketiga poin di atas, maka data pembanding minyak bumi dan gas alam yang relatif valid untuk menjadi acuan hasil perhitungan metode LPEM-FEUI dan NRM. Tabel Lampiran 19 dan 20 mempresentasikan selisih antara perhitungan dengan metode LPEM-FEUI dengan data pembanding dan selisih antara perhitungan dengan metode NRM dengan data pembanding untuk kasus minyak bumi dan gas alam. Dari Tabel Lampiran 19 dan 20 terlihat bahwa jumlah absolut selisih antara hasil perhitungan metode LPEM-FEUI dengan data pembanding, untuk setiap tahun kasus minyak bumi dan gas alam, lebih kecil dari pada jumlah absolut selisih antara hasil perhitungan metoda NRM dengan data pembanding. Hal ini mengindikasikan bahwa hasil estimasi metode LPEM-FEUI, kemungkinan besar, lebih tepat dari hasil estimasi metode NRM. Namun demikian, sulit untuk mengatakan bahwa metode LPEM-FEUI merupakan metode yang akurat untuk mengestimasi penerimaan Bagi Hasil Sumber Daya Alam, mengingat rata-rata kesalahan per provinsi dengan metode ini antara 24% hingga 47% (lihat kolom Rata-rata Kesalahan di Tabel Lampiran 19 dan 20). 5.
Penutup
Tulisan ini telah berhasil mendokumentasikan secara rinci mengenai seluruh aturan Bagi Hasil Sumber Daya Alam yang ada hingga saat tulisan ini dibuat; dan secara umum mengenai aturan bagi hasil lainnya. Tulisan ini juga menjelaskan dengan rinci seluruh aturan Bagi Hasil Sumber Daya Alam tersebut. Dengan demikian, pembaca tulisan ini diharapkan dapat mengerti dan mengetahui dengan pasti mengenai cara perhitungan Bagi Hasil Sumber Daya Alam. Di kemudian hari, pembaca dapat pula menghitung besarnya Bagi Hasil Sumber Daya Alam yang seharusnya diterima oleh suatu pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota, yang menjadi perhatiannya. Berikut ini akan diuraikan beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai aturan yang berkaitan dengan bagi hasil dan metode estimasi yang dikembangkan tulisan ini.
18
5.1. Migas Sekurangnya ada dua hal kelemahan pembagian berdasarkan NOI yang perlu diperhatikan. Pertama, pada dua operasi penambangan yang berbeda, operasi penambangan yang menghasilkan produksi lebih banyak belum tentu menghasilkan NOI yang lebih besar, karena tergantung dari besarnya biaya produksi di kedua operasi penambangan tersebut. Kedua, ada kemungkinan untuk suatu penambangan (walaupun sudah berproduksi), besarnya NOI sama dengan nol untuk suatu tahun. Hal ini dapat terjadi pada operasi penambangan yang relatif baru atau pada operasi penambangan yang nilai ekonomisnya rendah. Lebih jauh lagi, dalam pelaksanaan perhitungannya diperkirakan akan muncul beberapa persoalan, antara lain: 1. Penentuan suatu lokasi penambangan migas masuk wilayah kabupaten/kota mana kadang kala sulit ditentukan. Misalnya untuk kasus penambangan lepas pantai (offshore) dengan jarak 12 mil dari pantai, hingga saat ini, belum semuanya jelas masuk dalam wilayah kabupatan/kota mana. 2. Penentuan suatu kegiatan penambangan migas masuk dalam wilayah suatu kabupaten/kota tertentu tergantung dari tempat diekspoitasinya migas tersebut, walaupun asal dari migas ini berada juga di bawah beberapa wilayah kabupaten/kota lainnya. Kalau kabupaten/kota, yang migas di wilayahnya di eksploitasi di kabupaten/kota lain, ternyata berada di luar provinsi kabupaten pengeksploitasi, maka kabupaten/kota yang migasnya di eksploitasi oleh kabupaten/kota lain tidak mendapat bagian bagi hasil sedikit pun. Hal ini akan menimbulkan masalah. 3. Standar biaya operasi penambangan migas belum jelas. Akan timbul perdebatan apakah suatu kegiatan dapat dikategorikan sebagai biaya operasi dan apakah besarnya biaya relatif bisa diterima. Dengan sistem pembagian berdasarkan NOI, kontraktor tidak punya banyak insentif untuk menekan biaya produksi seminimum mungkin. 5.2. Non Migas Dalam kasus pertambangan umum ini, hal yang perlu diamati dengan baik adalah, pertama, jenis dan kualitas hasil tambang yang dihasilkan. Kontraktor punya insentif untuk mengkategorikan produksinya pada jenis hasil tambang dengan kualitas dimana besarnya tarif royalti relatif rendah. Kedua, mengenai penambangan yang daerah tambangnya meliputi beberapa kabupaten, sementara kantor operasi produksinya berada di satu kabupaten tertentu. Dalam hal ini perlu dijelaskan bagaimana penentuan kabupaten/kota penghasilnya. Perlu diperhatikan, kombinasi royalti dan iuran sewa tanah pada penambangan
19
umum ini memiliki kelebihan dibandingkan dengan sistem bagi hasil pada migas. Satu, kontraktor pertambangan umum akan punya insentif yang besar untuk menekan biaya produksi seminimum mungkin. Dua, walaupun belum berproduksi, negara sudah menerima pendapatan dari suatu kegiatan penambangan. Begitu suatu operasi penambangan mulai berproduksi, maka penerimaan negara akan naik sesuai dengan naiknya tingkat produksi (untuk harga yang relatif tetap). Namun dilain pihak, jika usaha kontraktor dalam meminimisasi biaya produksi berlebihan, maka perlindungan terhadap kualitas lingkungan sebagai dampak dari kegiatan penambangannya, yang seharusnya dilakukan oleh kontraktor, bisa terabaikan. Persoalan penting dari iuran di sektor kehutanan ini adalah sangat beragamnya besaran dan satuan tarif, serta luasnya daerah operasi. Kontrol terhadap apa dan berapa yang diproduksi sangat sulit dilakukan. Dan yang lebih parah lagi adalah persoalan penebangan hutan liar yang marak dilakukan di berbagai wilayah Indonesia. Tidak ada kontrol sama sekali terhadap apa dan berapa yang ditebang dan penerimaan negara sama sekali tidak ada. Selain itu, seperti halnya dalam kasus pertambangan umum, pengusaha hutan punya insentif yang besar untuk meminimumkan biaya produksi, tapi usaha perlindungan lingkungan hutan yang seharusnya dilakukan dapat terabaikan. Pada perikanan, mengingat transaksi penjualan dapat dilakukan di atas kapal, efektivitas penarikan iuran PHP merupakan sebuah persoalan. Ditambah lagi dengan banyaknya pencurian ikan, terkurasnya sumber daya ikan akan tidak sebanding dengan penerimaan negara di sektor ini. 5.3. Aturan Bagi Hasil Secara Umum Selain beberapa masalah yang telah diuraikan sebelumnya, secara umum, ada beberapa masalah yang perlu diperhatikan sehubungan dengan penerimaan negara bukan pajak dari sumber daya alam, yang tentunya punya implikasi terhadap penerimaan pemerintah daerah: 1. Cara penarikan pungutan/bagi hasil. Misalnya di sektor migas, cara penarikan bagi hasil berdasarkan NOI tidak memberikan banyak insentif bagi kontraktor untuk menekan biaya produksi. 2. Macam pungutan/bagi hasil. Perlu dipertimbangkan untuk menarik pungutan untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan. Tentunya dalam hal ini bisa juga dilakukan dalam bentuk pajak daerah. Tapi bukan dalam bentuk pajak nasional, karena tidak dibagi-hasilkan ke daerah. Adanya sifat kompensasi bagi yang terkena kerusakan amat penting dalam hal ini.
20
3. Besaran pungutan/bagi hasil. Dapat dilihat bahwa besarnya penerimaan negara dan daerah relatif sangat kecil dibandingkan dengan nilai produksi sumber daya alam yang dieksploitasi. Perlu dipertanyakan apakah besaran tarif pungutan dan persentasi bagi hasil yang diterapkan pada kontraktor/pengusaha sekarang ini merupakan besaran maksimum yang mungkin dicapai. Catatan, penerimaan daerah (dan juga negara) dari pajak sehubungan dengan kegiatan sumber daya alam pun relatif kecil dibandingkan dengan nilai produksi sumber daya alam yang dieksploitasi. Studi banding dengan keadaan di negara lain perlu diperlihatkan secara transparan. 4. Kontrol akan berapa dan apa yang diproduksi. Areal operasi dari berbagai usaha eksploitasi ini sulit diawasi. Karenanya, kontrol terhadap apa dan berapa yang diproduksi oleh para kontraktor dan pengusaha akan sulit dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, kolusi antara pengusaha dan penguasa lokal juga perlu diawasi. Jika lebih murah, pengusaha akan membayar penguasa lokal untuk dapat menghindari iuran sumber daya alam pemerintah. 5. Persentasi Bagi Hasil Pemerintah Pusat dan Daerah. Dari waktu ke waktu akan ada pertanyaan mengapa persentasi pola bagi hasil yang ada adalah seperti sekarang ini. Apakah persentasi ini merupakan yang terbaik bagi masyarakat di daerah penghasil khususnya dan Indonesia pada umumnya? Pengalaman negara-negara lain perlu diperhatikan dan didiskusikan secara terbuka. 6. Transparansi penerimaan negara bukan pajak dari sumber daya alam. Pemerintah daerah menerima bagi hasil ini setelah dana ini dikumpulkan di pemerintah pusat dan melibatkan beberapa instansi. Transparansi dari proses penarikan dana dan penyalurannya harus transparan. Tanpa menyelesaikan masalah-masalah ini, pada akhirnya, sumber daya alam daerah terkuras habis tanpa ada peningkatan kesejahteraan didaerah tersebut yang sesuai dengan nilai sumber daya alam yang terkuras. 5.4. Metode Estimasi Kedua metode yang dikembangkan tulisan ini tidak berhasil dibuktikan sebagai metode estimasi yang akurat. Walaupun demikian, dapat dilihat bahwa metoda LPEMFEUI kemungkinan besar memberikan hasil yang lebih baik dari metode NRM. Secara lebih rinci keunggulan metoda satu terhadap yang lain dapat di lihat kembali pada bagian 4.3 dari tulisan ini.
21
Tabel Lampiran 11. Estimasi Bagi Hasil Minyak Bumi Menurut Provinsi dan Metode Estimasi (dalam juta rupiah) Kod Provinsi e 11 D.I. ACEH 12 SUM-UT 13 SUM-BAR 14 R I A U 15 J A M B I 16 SUM-SEL 17 BENGKULU 18 LAMPUNG 31 DKI JAKARTA 32 JAWA BARAT 33 JAWA TENGAH 34 D.I.YOGYA 35 JAWA TIMUR 51 B A L I 52 N T B 53 N T T 61 KALBAR 62 KALTENG 63 KALSEL 64 KALTIM 71 SULUT 72 SULTENG 73 SULSEL 74 SULTRA 81 M A L U K U 82 IRIAN JAYA Total
1995 NRM LPEM
1996 NRM LPEM
1997 NRM LPEM
72840
60164
83085
59421
56622
57544
20434
18000
21162
17103
6815
8304
0
0
0
0
0
0
1054524
860806
1298679
944073
1034125
1050864
7268
6145
11711
8385
10900
11065
94384
76390
128343
93282
112095
111494
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
238774
193972
280747
236891
233719
243274
2810
2145
4329
2248
3613
0
0
0
0
0
0
0
1952
1589
5036
3661
12580
11470
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2365
1926
3252
1704
3233
3613
171535
129608
174294
139110
128163
159801
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1331
1084
1888
1373
1541
1566
24468
19851
27872
20257
23825
24395
1692685
1371680
2040396
1527508
1627231
1683390
22
Tabel Lampiran 12. Estimasi Bagi Hasil Gas Alam Menurut Provinsi dan Metode Estimasi (dalam juta rupiah) Kode
Provinsi
11 D.I. ACEH 12 SUM-UT 13 SUM-BAR 14 R I A U 15 J A M B I 16 SUM-SEL 17 BENGKULU 18 LAMPUNG 31 DKI JAKARTA 32 JAWA BARAT 33 JAWA TENGAH 34 D.I.YOGYA 35 JAWA TIMUR 51 B A L I 52 N T B 53 N T T 61 KALBAR 62 KALTENG 63 KALSEL 64 KALTIM 71 SULUT 72 SULTENG 73 SULSEL 74 SULTRA 81 M A L U K U 82 IRIAN JAYA Total
1995 NRM LPEM 248441 202249 24055 21218 0 0 0 0 0 0 18657 15711 0 0 0 0 0 0 36916 29104 793 607 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 667 545 376190 289670 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 412 406 706131 559510
1996 NRM LPEM 288430 208833 21182 17174 0 0 0 0 0 0 22589 16530 0 0 0 0 0 0 51537 45308 1221 636 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 917 483 440504 359185 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 560 415 826940 648564
1997 NRM LPEM 257971 263221 9739 11999 0 0 0 0 0 0 19337 19756 0 0 0 0 0 0 43678 46529 1019 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 912 1024 334217 412610 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 801 758 667674 755897
23
Tabel Lampiran 13. Estimasi Bagi Hasil Pertambangan Umum Menurut Provinsi dan Metode Estimasi (dalam juta rupiah) Kode
Provinsi 11 D.I. ACEH 12 SUM-UT 13 SUM-BAR 14 R I A U 15 J A M B I 16 SUM-SEL 17 BENGKULU 18 LAMPUNG 31 DKI JAKARTA 32 JAWA BARAT 33 JAWA TENGAH 34 D.I.YOGYA 35 JAWA TIMUR 51 B A L I 52 N T B 53 N T T 61 KALBAR 62 KALTENG 63 KALSEL 64 KALTIM 71 SULUT 72 SULTENG 73 SULSEL 74 SULTRA 81 M A L U K U 82 IRIAN JAYA Total
1995 LPEM 0 0 0 0 2627 5548 1711 3614 0 0 8757 19164 695 2084 9 19 0 0 45 91 100 0 0 0 310 209 0 0 0 0 0 0 400 947 1422 2522 6966 14021 20182 44843 9 1256 0 0 5949 12563 405 855 2149 4539 58133 122768 109870 235043
NRM
1996 LPEM 0 0 0 0 2206 5105 1790 4217 0 0 10019 24322 582 2046 8 20 0 0 57 120 122 0 0 0 319 98 0 0 0 0 0 0 453 975 1879 4115 9783 20416 21185 62576 975 3509 0 0 5809 13683 764 1801 2467 5812 61753 145465 120173 294280
NRM
1997 LPEM 0 0 0 0 1868.3066 5598 1607.254 4690 0 0 12684.646 30878 461.53556 0 4.283563 12 0 0 57.974966 169 120.98006 0 0 0 208.91549 101 0 0 0 0 0 0 401.63911 1137 1823.1946 5874 8773.2511 33377 22573.276 63887 1023.1596 5472 0 0 3729.0129 10881 545.26085 1591 1529.7215 4463 52771.354 153991 110184 322121 NRM
24
Tabel Lampiran 14. Estimasi Bagi Hasil Sumber Daya Kehutanan Metode NRM Terinci Menurut Provinsi Provinsi Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi SumSel Beng Lamp DKI Jak Jabar Jateng Yogya Jatim Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Maluku Irian Total
1995 62706 48420 26306 57744 24829 50622 7779 3969 0 16163 109960 107 47902 78 5729 2172 80624 142790 21625 147099 13531 13867 3425 4215 31512 64004 987178
Nilai 1996 66901 50409 27724 60072 28452 53865 7618 4975 0 17874 112836 119 51925 84 6509 2650 90777 168301 23662 148721 17033 18586 4133 6560 31699 74441 1075924
1997 72930 61785 35461 70069 36340 62919 8943 5344 0 21208 113171 147 60624 101 8516 2372 118023 183495 25862 177870 23896 22698 5433 7926 35814 44644 1205592
1995 6.35 4.90 2.66 5.85 2.52 5.13 0.79 0.40 0.00 1.64 11.14 0.01 4.85 0.01 0.58 0.22 8.17 14.46 2.19 14.90 1.37 1.40 0.35 0.43 3.19 6.48 100
Struktur 1996 6.22 4.69 2.58 5.58 2.64 5.01 0.71 0.46 0.00 1.66 10.49 0.01 4.83 0.01 0.60 0.25 8.44 15.64 2.20 13.82 1.58 1.73 0.38 0.61 2.95 6.92 100
1997 6.05 5.12 2.94 5.81 3.01 5.22 0.74 0.44 0.00 1.76 9.39 0.01 5.03 0.01 0.71 0.20 9.79 15.22 2.15 14.75 1.98 1.88 0.45 0.66 2.97 3.70 100
25
Tabel Lampiran 15. Data Pembanding Bagi Hasil Minyak Bumi (dalam juta rupiah) Kode Provinsi 11 D.I. ACEH 12 SUM-UT 13 SUM-BAR 14 R I A U 15 J A M B I 16 SUM-SEL 17 BENGKULU 18 LAMPUNG 31 DKI JAKARTA 32 JAWA BARAT 33 JAWA TENGAH 34 D.I.YOGYA 35 JAWA TIMUR 51 B A L I 52 N T B 53 N T T 61 KALBAR 62 KALTENG 63 KALSEL 64 KALTIM 71 SULUT 72 SULTENG 73 SULSEL 74 SULTRA 81 M A L U K U 82 IRIAN JAYA Total
1995 77155 189 0 667392 1018 21395 0 0 0 159884 0 0 286 0 0 0 0 0 0 109611 0 0 0 0 0 5272 1042202
1996 90101 173 0 835209 333 27322 0 0 0 208893 0 0 611 0 0 0 0 0 0 139842 0 0 0 0 71 7345 1309899
1997 129228 241 0 1485870 6749 47902 0 0 0 345093 0 0 634 0 0 0 0 0 0 262266 0 0 0 0 187 12235 2290405
26
Tabel Lampiran 16. Data Pembanding Bagi Hasil Gas Alam (dalam juta rupiah) Kode Provinsi 11 D.I. ACEH 12 SUM-UT 13 SUM-BAR 14 R I A U 15 J A M B I 16 SUM-SEL 17 BENGKULU 18 LAMPUNG 31 DKI JAKARTA 32 JAWA BARAT 33 JAWA TENGAH 34 D.I.YOGYA 35 JAWA TIMUR 51 B A L I 52 N T B 53 N T T 61 KALBAR 62 KALTENG 63 KALSEL 64 KALTIM 71 SULUT 72 SULTENG 73 SULSEL 74 SULTRA 81 M A L U K U 82 IRIAN JAYA Total
1995 67007 273 0 0 0 3708 0 0 0 24817 0 0 0 0 0 0 0 0 0 239358 0 0 0 0 0 20 335183
1996 79643 212 0 0 0 4304 0 0 0 38498 0 0 0 0 0 0 0 0 0 507425 0 0 0 0 0 33 630116
1997 149915 422 0 0 0 7411 0 0 0 64747 0 0 0 0 0 0 0 0 0 681376 0 0 63 0 0 92 904024
27
Tabel Lampiran 17. Data Pembanding Bagi Hasil Pertambangan Umum (dalam juta rupiah) Kode
Provinsi 11 D.I. ACEH 12 SUM-UT 13 SUM-BAR 14 R I A U 15 J A M B I 16 SUM-SEL 17 BENGKULU 18 LAMPUNG 31 DKI JAKARTA 32 JAWA BARAT 33 JAWA TENGAH 34 D.I.YOGYA 35 JAWA TIMUR 51 B A L I 52 N T B 53 N T T 61 KALBAR 62 KALTENG 63 KALSEL 64 KALTIM 71 SULUT 72 SULTENG 73 SULSEL 74 SULTRA 81 M A L U K U 82 IRIAN JAYA Total
1995 36 4 2948 1705 5 20272 1395 67 0 578 208 0 24 0 40 58 442 1474 36369 18621 282 11 4670 2273 4369 67283 163137
1996 36 3 6602 2519 12 19635 611 30 0 929 314 0 25 2 120 21 519 2698 29941 27665 1747 11 5331 2886 6537 64224 172417
1997 675 1 4612 3879 12 23675 3907 5 0 5505 460 0 20 1 522 1 332 3267 15807 20187 3215 128 8221 2226 7918 65572 170148
28
Tabel Lampiran 18. Data Pembanding Bagi Hasil Sumber Daya Kehutanan 1997 Provinsi D.I. ACEH SUM-UT SUM-BAR RIAU JAMBI SUM-SEL BENGKULU LAMPUNG DKI JAKARTA JAWA BARAT JAWA TENGAH D.I.YOGYA JAWA TIMUR BALI NTB NTT KALBAR KALTENG KALSEL KALTIM SULUT SULTENG SULSEL SULTRA MALUKU IRIAN JAYA Total
Juta rupiah 5619 9480 3838 11575 7414 4977 2859 2008 673 1402 3332 2154 2244 1607 2509 2423 12613 40455 4458 35492 5517 6757 6748 6392 9060 12247 203852
Persentasi 2.76 4.65 1.88 5.68 3.64 2.44 1.40 0.99 0.33 0.69 1.63 1.06 1.10 0.79 1.23 1.19 6.19 19.85 2.19 17.41 2.71 3.31 3.31 3.14 4.44 6.01 100
29
Tabel Lampiran 19. Selisih Estimasi Bagi Hasil Minyak Bumi Metode NRM dan LPEM-FEUI dengan Data Pembanding (dalam juta rupiah) Kode
Provinsi
1995 dNRM dLPEM
1996 dNRM dLPEM
-4314.90 -16990.90 -7016.04 -30680.19 11 D.I. ACEH 20245.11 17810.69 20988.17 16929.65 12 SUM-UT 0 0 0 0 13 SUM-BAR 387132.21 193413.81 463470.35 108864.23 14 R I A U 6250.59 5127.31 11378.02 8052.16 15 J A M B I 72988.83 54995.17 101020.83 65960.31 16 SUM-SEL 0 0 0 0 17 BENGKULU 0 0 0 0 18 LAMPUNG 0 0 0 0 31 DKI JAKARTA 78889.39 34087.62 71853.93 27998.24 32 JAWA BARAT 2810.20 2145.00 4328.76 2248.00 33 JAWA TENGAH 0 0 0 0 34 D.I.YOGYA 1665.70 1302.82 4425.11 3050.39 35 JAWA TIMUR 0 0 0 0 51 B A L I 0 0 0 0 52 N T B 0 0 0 0 53 N T T 0 0 0 0 61 KALBAR 0 0 0 0 62 KALTENG 2365.07 1926.00 3252.14 1704.00 63 KALSEL 61924.15 19997.33 34451.61 -732.16 64 KALTIM 0 0 0 0 71 SULUT 0 0 0 0 72 SULTENG 0 0 0 0 73 SULSEL 0 0 0 0 74 SULTRA 1330.58 1084.00 1817.77 1302.32 81 M A L U K U 19196.59 14579.38 20526.35 12911.68 82 IRIAN JAYA 650484 329478 730497 217609 Total 659113 363460 744529 280433 Jumlah Absolut 63 % 35 % 57 % 21 % Rata-rata Kesalahan Keterangan:
1997 DNRM DLPEM -72605.92 -71683.82 6573.92
8063.10
0
0
-451744.96 -435005.95 4150.40
4315.90
64193.26
63591.85
0
0
0
0
0
0
-111374.63 -101819.22 3613.35
0.00
0
0
11945.89
10836.12
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3232.80
3613.00
-134102.62 -102464.93 0
0
0
0
0
0
0
0
1354.74
1379.47
11590.21
12159.79
-663174
-607015
876483
814933
38 %
36 %
dNRM = NRM – data pembanding dLPEM = LPEM – data pembanding Jumlah absolut = jumlah absolut dari dNRM atau dLPEM semua provinsi Rata-rata kesalahan = Jumlah absolut/Jumlah data pendamping provinsi
30
Tabel Lampiran 20. Selisih Estimasi Bagi Hasil Gas Alam Metode NRM dan LPEM-FEUI dengan Data Pembanding (dalam juta rupiah) Kode
Provinsi
11 D.I. ACEH 12 SUM-UT 13 SUM-BAR 14 R I A U 15 J A M B I 16 SUM-SEL 17 BENGKULU 18 LAMPUNG 31 DKI JAKARTA 32 JAWA BARAT 33 JAWA TENGAH 34 D.I.YOGYA 35 JAWA TIMUR 51 B A L I 52 N T B 53 N T T 61 KALBAR 62 KALTENG 63 KALSEL 64 KALTIM 71 SULUT 72 SULTENG 73 SULSEL 74 SULTRA 81 M A L U K U 82 IRIAN JAYA Total Jumlah Absolut Rata-rata Kesalahan Keterangan:
1995 dNRM DLPEM
1996 dNRM dLPEM
1997 dNRM DLPEM
181434.54 135242.18 208786.74 129189.74 108056.34 113306.45 23782.07
20945.14
20969.53
16961.54
9317.03
11577.49
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0.00
0.00
0
0
0
0
0
0
14949.54
12003.18
18285.70
12226.40
11926.42
12345.03
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
12099.04
4286.54
13038.26
6809.70
-21069.40
-18218.12
792.62
607.00
1220.93
636.00
1019.15
0.00
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
667.07
545.00
917.27
483.00
911.82
1024.00
136831.83
50312.20
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
-62.61
-62.61
0
0
0
0
0
0
0.00
0.00
0
0
0
0
391.83
386.16
527.20
382.03
709.42
666.13
370949
224327
196824
18448
-236350
-148127
370949
224327
330667
314929
500231
425965
111 %
67 %
52 %
50 %
55 %
47 %
-66921.39 -148240.32 -347158.45 -268765.58
dNRM = NRM – Data Pembanding dLPEM = LPEM – Data Pembanding Jumlah absolut = jumlah absolut dari dNRM atau dLPEM semua provinsi Rata-rata kesalahan = Jumlah absolut/Jumlah data pendamping provinsi
31