DEGRADASI SUMBER DAYA ALAM: ANCAMAN BAGI KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL Effendi Pasandaran, Mahyuddin Syam, dan Irsal Las
Degradasi sumber daya alam (SDA) bukan merupakan masalah yang sekadar muncul akhir-akhir ini, tetapi telah melalui perjalanan panjang dari suatu peradaban manusia. Masalah SDA erat kaitannya dengan perilaku manusia yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti budaya, perkembangan ekonomi, dan politik. Salah satu contohnya adalah persepsi tentang SDA Indonesia. Di kalangan masyarakat muncul pandangan yang didengungkan sejak lama bahwa kekayaan alam Indonesia berlimpah. Pandangan tersebut, baik secara sadar maupun tidak, telah mendorong manusia terjerat dalam proses pemanfaatan SDA yang cenderung eksploitatif untuk memperoleh keuntungan dalam jangka pendek dengan mengabaikan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan. Akibat dari proses degradasi adalah munculnya berbagai bencana ekologis yang pada gilirannya dapat menyebabkan krisis ketersediaan pangan. Demikian pula ketersediaan SDA untuk kehidupan manusia semakin lama semakin menipis, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan cara pemanfaatan yang mengabaikan kaidah-kaidah kelestarian lingkungan. Apabila tidak ada perubahan cara pandang, kemauan politik, dan perilaku masyarakat, degradasi sumber daya akan berlanjut terus, dan akan terjadi krisis yang semakin meluas. BAPPENAS (2004) memperkirakan bahwa kalau tidak ada usaha serius, dalam kurun waktu dua dasawarsa ke depan akan terjadi krisis pangan, air, dan energi. Tulisan ini mengungkapkan bahwa gejala munculnya krisis sebenarnya telah berlangsung sehingga upaya-upaya membalikkan kecenderungannya harus dilakukan mulai sekarang. Optimisme dalam membalik kecenderungan perlu ditumbuhkan mengingat bangsa Indonesia mempunyai ragam budaya yang dapat dipakai sebagai modal untuk membangun ketangguhan bangsa walaupun dalam praktiknya modal sosial yang telah lama ada sering diabaikan. Nilai budaya seperti kearifan lokal sering tidak diperhitungkan karena dianggap tidak relevan dalam menghadapi permasahan SDA yang semakin lama menjadi semakin kompleks. Bencana alam seperti banjir dan tanah longsor, terjadi di berbagai tempat dengan frekuensi yang semakin meningkat (Sunaryo et al. 2006). Walaupun tidak ada data yang menunjukkan besarnya kerugian secara menyeluruh, tetapi ada indikasi bahwa areal persawahan yang tanamannya rusak karena banjir semakin meluas dari tahun ke tahun.
DEGRADASI SUMBER DAYA ALAM: ANCAMAN BAGI KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL
Pada umumnya, frekuensi curah hujan yang deras di daerah aliran sungai (DAS) dan lahan-lahan yang mengalami proses degradasi dan sistem drainase buruk menyebabkan dominannya masalah banjir. Di daerah perkotaan, yakni di bagian hilir DAS, masalah drainase yang buruk merupakan penyebab utama terjadinya banjir. Morfometri sungai, danau, dan waduk mengalami perubahan yang relatif cepat karena proses sedimentasi yang dipicu oleh erosi yang semakin meningkat. Sedimentasi juga terjadi di waduk-waduk di Pulau Jawa. Sebagai contoh, waduk Gajah Mungkur di Kabupaten Wonogiri mengalami proses sedimentasi secara cepat karena erosi di bagian hulu, sehingga daya tampung air waduk tersebut cepat merosot. Ada berbagai faktor yang terkait satu sama lain dalam hubungan sebab akibat yang ikut menyumbang proses degradasi SDA. Degradasi SDA dapat menyebabkan perubahan iklim, seperti deforestasi, namun pada gilirannya perubahan iklim sendiri akan memengaruhi ketersediaan dan distribusi SDA melalui pengaruhnya terhadap perubahan siklus hidrologi. Ciri-ciri lain proses degradasi SDA adalah berkurangnya keragaman sumber daya biologi, khususnya agrobiologi, terjadinya kelangkaan dan penurunan kualitas air serta penurunan kesuburan tanah. Degradasi SDA terjadi mulai dari bagian hulu DAS sampai daerah pesisir. Sumber daya maritim juga ikut rusak dan berkurang populasinya, baik yang terjadi karena pencemaran maupun karena penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing). Indonesia memiliki hutan mangrove terluas yang meliputi sekitar 25% dari total hutan mangrove dunia. Dalam beberapa dasawarsa terakhir, pembangunan daerah pesisir sepanjang 57.000 km pantai Indonesia telah mengakibatkan deforestasi sekitar 70% dari lima juta ha hutan mangrove. Total lahan basah (wetland) Indonesia, termasuk hutan mangrove, telah berkurang dari 42,5 juta ha pada tahun 1987 menjadi 33,6 juta ha pada tahun 1992 karena konversi ke pengusahaan tambak ikan dan udang. Suatu observasi oleh International Aerospace Survey and Earth Science menunjukkan bahwa antara tahun 1992 dan 1996 telah terjadi konversi hutan mangrove seluas 17.400 ha di kawasan sungai Mahakam (World Rainforest Movement 2002). Degradasi lahan gambut terjadi secara berkelanjutan (DFID 2007) dan setiap tahun rata-rata sekitar 600 Mt CO2 terlepas ke udara dari pembusukan gambut kering. Sebanyak 1.400 Mt CO2e lainnya terlepas dari kebakaran hutan gambut yang bisa berlangsung berbulan-bulan. Degradasi SDA tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi merupakan masalah global. Sekitar 40% lahan pertanian telah mengalami degradasi yang menyebabkan berkurangnya produktivitas lahan secara signifikan dan sekitar 9% lahan telah mengalami degradasi yang tidak dapat lagi dipulihkan jika hanya melalui upaya perbaikan di tingkat usaha tani. Degradasi lahan pertanian yang parah terjadi di Afrika, sekitar 68% dari lahan pertaniannya tergolong rusak, diikuti oleh Amerika Latin (51%) dan Asia (38%). Di sisi lain, degradasi hutan yang paling parah terjadi di Asia yaitu 27%, disusul oleh Afrika 35
ANCAMAN TERHADAP KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL
dan Amerika Latin masing-masing 19% dan 14% (Bossio et al. 2009). Dengan demikian, upaya membalikkan kecenderungan degradasi hendaknya merupakan suatu komitmen global mengingat ancaman krisis pangan yang muncul, baik melalui perubahan iklim maupun secara langsung melalui berkurangnya ketersediaan pangan.
Faktor faktor yang Memengaruhi Degradasi Sumber Daya Alam Ada beberapa faktor yang terkait satu dengan lainnya, yang memengaruhi terjadinya proses degradasi SDA. Faktor pertama adalah politik pengelolaan, termasuk sumber daya lahan dan air, yang baik secara tersendiri maupun secara terpadu semakin mendapat perhatian luas untuk dipelajari. Melalui politik, kepentingan kelompok maupun individu mengalami proses mediasi. Manufer politik diperlukan untuk memperoleh akses terhadap SDA, khususnya lahan dan air. Penguasaan lahan antara lain dilakukan melalui penetapan undang-undang dan peraturan yang memungkinkan pihak yang berkepentingan memperoleh kewenangan untuk mengelola SDA. Terjadinya krisis air sering dikaitkan dengan crisis of governance yang menunjukan bahwa masalah air tidak semata masalah pengelolaan sumber daya air atau masalah operasi dan pemeliharaan infrastruktur sumber daya air, tetapi masalah yang terkait dengan struktur sosial politik. Faktor kedua yang memengaruhi terjadinya degradasi SDA adalah peningkatan populasi penduduk yang menyebabkan meningkatnya tekanan pemanfaatan lahan. Di Pulau Jawa, hal tersebut sudah mulai dirasakan sejak akhir abad 19, terutama akibat ekspansi masyarakat membuka lahan kering di lereng- lereng pegunungan. Demikian pula mengenai rusaknya lingkungan sudah diperingatkan pada tahun 1930-an (Thijse 1982). Eksploitasi SDA pada masa kolonial dianggap sebagai salah satu instrumen politik untuk menunjang kepentingan perdagangan pemerintah kolonial. Faktor ketiga adalah konspirasi antara pengusaha dan penguasa. Proses penjarahan hutan secara sistematik di pulau Jawa dimulai oleh Perusahaan Dagang Hindia Belanda (VOC) pada tahun 1611 ketika mereka memperoleh izin dari raja Mataram untuk menebang pohon bagi keperluan usaha. Di samping melakukan penebangan hutan sendiri lewat penguasaan kawasan hutan, VOC juga membeli kayu dari rakyat melalui pedagang lokal. Praktik penebangan yang ceroboh dan pemberian upah yang rendah telah menyebabkan degradasi hutan yang berat di areal bekas tebangan hutan dan memiskinkan rakyat di sekitarnya (Nababan 2003). Di luar Pulau Jawa, pada periode yang sama, keadaan hutan masih relatif utuh dan dikuasai oleh lembaga adat, baik masyarakat setempat maupun kesultanan. Jangkauan pemerintah kolonial di Pulau Sumatera hanya terbatas pada konversi hutan untuk keperluan perkebunan, terutama di bagian timur Sumatera Utara. Politik konversi hutan untuk perkebunan, diperkuat oleh terbitnya Undang-Undang Agraria 1870 yang memperkokoh praktik eksploitasi dan merupakan kelanjutan kebijakan Raffles dalam sewa tanah, yang bertujuan untuk investasi swasta di sektor perkebunan. Dengan 36
DEGRADASI SUMBER DAYA ALAM: ANCAMAN BAGI KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL
adanya undang-undang ini, semua tanah yang tidak digarap masyarakat dianggap tanah tidak terpakai dan menjadi milik pemerintah. Konspirasi antara pengusaha dan penguasa yang paling menonjol adalah pada era Orde Baru, yang menyebabkan rusaknya hutan Indonesia dan dampaknya dirasakan sampai saat ini. Faktor keempat adalah kebijakan yang dihasilkan, yang juga merefleksikan kepentingan politik dan birokrasi. Tidak semua produk kebijakan bersifat eksploitatif terhadap SDA. Kebijakan pemerintah pada era Orde Lama yang menonjol adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang cakupannya memerhatikan prinsip-prinsip yang dipakai dalam pengelolaan SDA secara berlanjut. Walaupun pelaksanaan undang-undang ini dianggap tidak efektif, dinamika politik yang menekankan pada nation building pada kurun pemerintahan Orde Lama telah mengendurkan tekanan terhadap penjarahan hutan. Keterkaitan antara lahan dan air terefleksi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Pasal 47 menyebutkan secara eksplisit tentang Hak Guna Air yaitu hak mengenai air yang tidak berada di atas tanah miliknya. Jika mengenai air yang berada di atas tanah miliknya, hal itu sudah termasuk dalam isi dari hak milik atas tanah. Sebaliknya UU Nomor 11 Tahun 1974 yang dalam banyak hal mewarisi Algemene Water Reglement tahun 1936, tidak menyebut istilah Hak Guna Air (HGA). Penyebutan HGA baru muncul pada Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 yang menyatakan bahwa hak atas air adalah hak guna air walaupun peraturan tersebut tidak mengatur bagaimana hak guna air dilaksanakan. UU Nomor 7 Tahun 2004 menetapkan perlunya HGA yang dewasa ini sedang ditindaklanjuti melalui peraturan pemerintah (PP). Dari perspektif politik, dapat dikatakan bahwa UU Nomor 5 Tahun 1960 telah bersikap progresif dengan membedakan antara air yang ada di atas tanah, yang melekat pada kepemilikan tanah dan air yang berada di luar usaha tani yang perlu diatur penggunaannya. Dari segi politik sehari-hari, air yang berada pada lahan usaha tani menjadi kewenangan petani untuk mengaturnya, sedangkan air yang dari luar usaha tani perlu diatur hak penggunaannya. Dalam kehidupan politik sehari-hari, air juga diatur secara kolektif oleh kelompok tani, baik di dalam desa maupun antar-desa. Di samping kebijakan, perlu pula diperhatikan kepentingan birokrasi. Kedua faktor tersebut saling memengaruhi dan memerlukan proses negosiasi dalam perumusannya. Dalam proses perumusan kebijakan yang melibatkan berbagai pihak, seperti halnya perumusan kebijakan tentang irigasi, dapat terjadi bahwa politik kebijakan yang dihasilkan melalui proses negosiasi bertentangan dengan kepentingan birokrasi tertentu atau politik birokrasi suatu lembaga pemerintahan yang mempunyai mandat untuk melaksanakan kebijakan. Hal tersebut menyebabkan pelaksanaan kebijakan menjadi tidak efektif dan memunculkan manuver politik lebih lanjut untuk menyelaraskan rumusan kebijakan dengan kepentingan birokrasi. 37
ANCAMAN TERHADAP KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL
Sebagai contoh, kebijakan tentang penyerahan pengelolaan irigasi kepada masyarakat tani yang dituangkan dalam PP Nomor 77 Tahun 2001, dianggap tidak sesuai dengan politik birokrasi yang menghendaki pengelolaan irigasi tetap berada dalam birokrasi pemerintah. UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air, mencerminkan kepentingan birokrasi dalam pengelolaan irigasi dan sumber daya air pada umumnya, yang cenderung sentralistik walaupun dipengaruhi oleh politik internasional yang memberi warna pada pendekatan keterpaduan. Politik kebijakan yang berganti-ganti boleh jadi merupakan salah satu sebab terbengkalainya pemeliharaan jaringan irigasi, di samping politik birokrasi yang cenderung bersifat rent seeking melalui pendekatan proyek yang menyebabkan merosotnya kualitas bangunan dan pendeknya siklus rehabilitasi irigasi (Suhardiman 2008; Pasandaran 2008). Pada era Orde Baru, politik ekonomi yang mementingkan pertumbuhan ekonomi secara cepat merupakan salah satu alasan eksploitasi SDA dalam skala besar. Perambahan hutan, misalnya, dilandasi oleh produk hukum, yaitu UU Pokok Kehutanan Tahun 1967. UU ini memungkinkan pemberian hak konsesi penguasaan hutan (HPH) di Indonesia, baik kepada BUMN di bidang kehutanan, perusahaan swasta nasional, maupun asing. Pada tahun 1995, misalnya, tercatat 586 konsesi HPH dengan luas 63 juta ha atau lebih dari separuh luas hutan tetap (Nababan 2004). Dengan posisi politik yang kuat dari para pemegang HPH, sering terjadi penyalahgunaan aturan teknis seperti penebangan di luar blok tebangan atau di luar areal konsesi. Praktik-praktik penebangan ilegal sudah menjadi kelaziman dan tidak hanya mengancam fungsi ekologi dan sosial hutan produksi, tetapi juga mengancam keberlanjutan produksi perusahaan-perusahaan tersebut. Di era Reformasi, desentralisasi ikut memacu proses degradasi SDA. Penambahan wewenang kepada pemerintah daerah terjadi dalam pemberian izin baru pada skala kecil untuk eksploitasi hutan, sementara kapasitas pengawasan aparatnya masih terbatas. Dalam beberapa tahun terakhir, praktik-praktik penebangan hutan yang melanggar hukum nasional dan hukum adat semakin tumbuh. Penjarahan hutan seperti ini menjadi lebih berbahaya, tidak saja bagi ekosistem tetapi juga bagi keselamatan masyarakat adat. Di samping itu, terjadi pula konflik mengenai pengusaan lahan hutan yang terus meningkat, yang mengakibatkan terjadinya pengurangan keragaman hayati dan perluasan degradasi hutan (Rhee et al. 2004). Pada tahun 2003, misalnya, luas deforestasi di Indonesia menjadi terbesar di dunia, yaitu mencapai 2,4 juta ha per tahun. Hal itu terjadi karena kapasitas pengolahan kayu yang jauh melebihi kemampuan yang resmi diizinkan (6,3 juta m3 untuk tahun 2003). Banyak perusahan pengolahan kayu resmi tetapi tidak mempunyai izin atas konsesi wilayah tebangan. Kebijakan konversi hutan ke lahan pertanian juga merupakan faktor penyebab yang mengakibatkan berkurangnya luas hutan dan mengakibatkan kebakaran hutan. Terjadinya euforia sebagai akibat kejatuhan pemerintah Orde Baru, telah direfleksikan 38
DEGRADASI SUMBER DAYA ALAM: ANCAMAN BAGI KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL
antara lain melalui penyerobotan hutan milik Perum Perhutani di berbagai daerah oleh petani yang lapar lahan. Areal tersebut pada umumnya ditanami tanaman semusim tanpa memerhatikan kaidah-kaidah konservasi. Faktor kelima yang perlu diperhatikan adalah tekanan kemiskinan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Tekanan kemiskinan yang semakin meningkat merupakan penyebab utama terjadinya ekspansi usaha tani tanaman semusim di kawasan berlereng di bagian hulu DAS. Praktik seperti ini mempercepat proses degradasi lahan (Pranaji 2004).
Efek Domino Degradasi Sumber Daya Alam: Gejala Java Syndrome Pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa salah satu penyebab utama terjadinya degradasi SDA adalah pergeseran penggunaan lahan yang didorong oleh peningkatan permintaan terhadap pangan dan berbagai keperluan pembangunan. Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, permintaan terhadap lahan pertanian juga meningkat. Pada waktu Undang-Undang Agraria diberlakukan pada tahun 1870, baru sekitar 18% areal Pulau Jawa yang dimanfaatkan untuk pertanian, baik untuk lahan persawahan maupun untuk lahan kering. Pada tahun 1920, diperkirakan sekitar 50% areal Pulau Jawa telah dibuka untuk pertanian. Salah satu sumber daya lahan yang menonjol perkembangannya adalah lahan sawah beririgasi. Pada permulaan abad 20, pemerintah kolonial Belanda mendeklarasikan tiga kebijakan yang disebut sebagai etika politik, yaitu irigasi, edukasi, dan migrasi. Irigasi dimaksudkan untuk membantu mengatasi masalah kemiskinan di pedesaan dan migrasi atau transmigrasi dimaksudkan untuk mengurangi tekanan penduduk di Pulau Jawa. Areal irigasi berkembang cepat pada paruh abad 20. Tatkala politik etika mulai diberlakukan, luas sawah irigasi di Pulau Jawa baru sekitar 1,2 juta ha. Pada tahun 1928, yaitu dua tahun sebelum depresi ekonomi, luas sawah irigasi sudah menjadi 2,8 juta ha. Areal pertanian lahan kering juga meluas dengan tingkat kecepatan lebih tinggi daripada areal sawah beririgasi. Pada tahun 1950, areal sawah irigasi di Indonesia menjadi 3,5 juta ha dan lebih dari 80% berada di pulau Jawa. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Pulau Jawa merupakan lumbung pangan Indonesia. Perkembangan selanjutnya adalah terbengkalainya pengelolaan irigasi selama kurang lebih dua dasawarsa yang menyebabkan sistem irigasi yang ada menjadi cepat rusak, di samping umurnya menjadi semakin tua. Revolusi hijau yang mulai meluas di Indonesia pada penghujung tahun 1960-an, menjadi pemicu upaya rehabilitasi sistem irigasi yang ada dan memperluas areal irigasi ke luar Pulau Jawa. Namun, tekanan penduduk yang semakin tinggi dan proses aglomerasi industri di Pulau Jawa yang semakin meluas karena perkembangan infrastruktur yang semakin baik telah mendorong peningkatan permintaan terhadap lahan. Lahan pertanian 39
ANCAMAN TERHADAP KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL
yang berlokasi di peri-urban, baik persawahan maupun lahan kering, segera dikonversi menjadi lahan untuk perumahan dan industri. Demikian pula halnya dengan perambahan hutan yang terjadi di lereng DAS untuk keperluan pertanian dan sektor lainnya. Walaupun menurut klasifikasi World Bank (2008) Indonesia termasuk dalam kelompok transforming countries dengan PDB sektor pertanian yang semakin menurun, namun Pulau Jawa sendiri telah mengalami proses transformasi yang lebih cepat dibandingkan dengan pulau lainnya di Indonesia. Pulau Jawa mengalami proses urbanisasi dan industrialisasi, sehingga lahan beririgasi dan lahan pertanian lainnya dikonversi untuk mengatasi kelangkaan lahan bagi perumahan dan industri. Perubahan penggunaan lahan berlangsung cepat yang dicirikan oleh cenderung menurunnya areal hutan akibat perambahan dan lebih cepatnya degradasi hutan di Pulau Jawa karena proses penjarahan yang telah berlangsung sejak permulaan abad ke-17. Data pada Tabel 1 memberikan gambaran tentang kecenderungan penggunaan lahan yang terjadi di Indonesia. Oleh karena sulitnya memperoleh data tentang penggunaan lahan dalam kurun waktu yang panjang, secara sengaja dipilih wilayah DAS tertentu untuk menggambarkan fase perkembangan yang terjadi. DAS Batanghari dipilih untuk menggambarkan fase awal perkembangan pembukaan areal persawahan. Pada fase ini, luas areal persawahan baru sekitar 3,8% dari luas wilayah DAS. Luas areal perkebunan dan lahan kering lainnya cukup dominan yang menunjukkan bahwa sudah ada perluasan untuk pembangunan pertanian. Sebagian besar kawasan DAS masih berupa hutan, yaitu 56,3% dari luas wilayah DAS. Walaupun deforestasi yang berkelanjutan mungkin terjadi, namun dari segi perkembangan DAS, dapat dikatakan bahwa pada tahun 2000 DAS Batanghari masih berada pada tahap awal perkembangan DAS. Tabel 1. Penggunaan lahan menurut fase perkembangan Penggunaan lahan
Batanghari (Fase 1) 000 ha %
Jratunseluna (Fase 2) 000 ha %
Hutan
2.397,4
56,3
237,0
21,7
5,0
13,3
161,4 591,5 798,6
3,8 13,8 18,6
355,6 19,2 282,1
32,6 1,8 25,9
3,0 2,7 9,2
7,9 7,3 23,5
163,0
3,8
166,5
15,3
15,0
39,4
173,7
4,1
30,8
2,8
3,3
8,7
Sawah Perkebunan Lahan kering Perumahan dan industri Lain lain Sumber: Bappenas (2003)
40
Ciliwung (Fase 3) 000 ha %
DEGRADASI SUMBER DAYA ALAM: ANCAMAN BAGI KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL
Wilayah sungai Jratunseluna di Jawa Tengah menggambarkan perkembangan lebih lanjut perluasan pertanian pangan, khususnya areal persawahan. Areal sawah mencapai 32,6%, sedangkan lahan kering 25,9%. Pada tahap ini, areal hutan hanya sedikit di atas 2%, sedangkan areal perumahan dan industri sudah mulai meluas, yaitu 15,3% dari wilayah DAS. Walaupun areal persawahan masih luas, namun proses konversi lahan mulai berlangsung mengingat banyak areal persawahan yang terletak di bagian hilir DAS yang berdekatan dengan perkotaan. Pada fase perkembangan yang lebih jauh, areal hutan sudah menjadi sangat kecil yaitu hanya 13,3%, seperti yang terdapat pada DAS Ciliwung. Sebagian besar lahan (39,4%) digunakan untuk perumahan dan industri. Areal sawah menjadi kecil akibat proses konversi, yaitu sebesar 7,9%. Kondisi DAS Ciliwung menjadi sangat kritis. Tata penggunaan lahan yang demikian mendorong terjadinya erosi, tanah longsor, dan banjir di musim hujan serta kekeringan di musim kemarau yang disebabkan semakin berkurangnya kemampuam ekosistem untuk menyimpan air tanah. Berdasarkan data antara 1919 dan 2001 di berbagai DAS di Pulau Jawa, banjir besar lebih sering terjadi pada kurun waktu antara tahun 1970 dan 2000 dibandingkan dengan periode sebelumnya (Putuhena et al. 2002). Ada dua faktor penyebab perubahan tersebut, yaitu perubahan iklim dan pergeseran penggunaan lahan. Periode antara 1970 dan 2000 adalah masa pembangunan di segala bidang, sehingga permintaan terhadap lahan meningkat lebih cepat dibandingkan dengan periode sebelumnya. Data akibat banjir dan kekeringan yang dikumpulkan Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dalam kurun waktu sekitar satu dasawarsa antara 1995–2006 menunjukkan bahwa areal yang mengalami puso sebagai akibat banjir terus meningkat (Gambar 1). Pada tahun 1996, misalnya, areal yang mengalami puso karena banjir hanya sekitar 14.000 ha, namun pada tahun 2006 angka tersebut meningkat hampir sepuluh kali lipat menjadi 136.000 ha. Walaupun fluktuatif, areal yang mengalami puso karena kekeringan cenderung meningkat. Ada dua titik puncak kekeringan yang terjadi yaitu pada 1997 tatkala terjadi ElNino yang bersamaan dengan permulaan krisis ekonomi dan pada tahun 2003. Areal padi yang mengalami puso pada tahun 1997 diperkirakan seluas 87.000 ha dan pada tahun 2003 seluas 118.000 ha. Pada tahun 2003, daerah irigasi yang biasanya mengalami cukup air, seperti Kabupaten Karawang yang memperoleh air dari waduk Jatiluhur, juga mengalami kekeringan seluas 28.000 ha. Akibatnya, muncul konflik antarpetani dan antarsektor penggunaan. Petani Kabupaten Karawang menyampaikan protes kepada pemerintah daerah dengan mempertanyakan mengapa air di saluran Tarum Barat yang menuju ke Jakarta masih penuh, sementara areal persawahan mereka mengalami kekeringan (Surono 2003). Kecuali pada dua titik puncak tersebut, areal yang mengalami puso karena banjir pada umumnya lebih luas daripada areal yang mengalami puso karena kekeringan. 41
ANCAMAN TERHADAP KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa sejak lebih dari satu dasawarsa terakhir, banjir besar dan kekeringan semakin sering terjadi. Kondisi ini dipandang sebagai ancaman serius, baik melalui pengaruhnya yang bersifat destruktif terhadap kehidupan, maupun pengaruhnya terhadap proses produksi, khususnya produksi pangan.
Gambar 1. Areal sawah yang mengalami puso karena banjir dan kekeringan Sumber: Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan (2007)
Kecenderungan-kecenderungan di atas menunjukkan telah terjadinya perubahan penggunaan lahan dalam jangka panjang yang memuat dampak yang bersifat positif dan negatif. Tabel 2 menggambarkan fase-fase perkembangan yang menggambarkan ciri-ciri kualitatif perubahan yang terjadi. Tabel 2. Fase-fase perkembangan sumber daya lahan dan air (SDLA) Fase 1 Perluasan lahan kering, tadah hujan, dan sawah irigasi Monokultur Lahan dan air berlebihan
42
Fase 2 Menurunnya pertumbuhan lahan tadah hujan dan irigasi Diversifikasi tanaman Perbaikan efisiensi sumber daya air
Fase 3 Bekurangnya secara cepat lahan sawah tadah hujan dan irigasi Diversifikasi usaha tani Transfer SDLA ke sektor penggunaan yang bernilai ekonomi lebih tinggi
DEGRADASI SUMBER DAYA ALAM: ANCAMAN BAGI KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL
Tabel 2. Fase-fase perkembangan sumber daya lahan dan air (SDLA) (lanjutan) Fase 1 Nilai air dan lahan rendah
Fase 2 Nilai air dan lahan meningkat
Fase 3 Nilai lahan dan air tinggi
Konflik pemanfaatan rendah
Konflik lokal mulai muncul
Konflik lokal dan antarsektor meluas
Sumber: Pasandaran et al. (2006)
Pelajaran yang dapat dipetik dari perkembangan penggunaan SDLA adalah bahwa ada fase-fase perkembangan yang terjadi sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan proses pembangunan yang menyebabkan terjadinya pergeseran penggunaan lahan. Pergeseran tersebut pada gilirannya memengaruhi performa jasa lingkungan atau jasa ekosistem seperti perubahan kecenderungan siklus hidrologi yang refleksinya adalah banjir dan kekeringan yang semakin meluas. Selain itu, frekuensi tanah longsor nya semakin meningkat dan erosi yang menyebabkan proses sedimentasi semakin cepat pada infrastruktur sumber daya air seperti waduk dan jaringan irigasi. Merosotnya performa jasa lingkungan juga kemungkinan disebabkan oleh pengaruh hubungan interaktif antara perubahan penggunaan lahan dengan perubahan iklim. Hutan
70
Sawah
Permukiman
Areal DAS (%)
60 50
40 30 20 1 10 0
Fase I
Fase II
Fase III (Java Syndrome)
Gambar 2. Fase-fase Perkembangan DAS dan Kecenderungan Java Syndrome Sumber: Pasandaran (2008)
Secara menyeluruh, banjir dan kekeringan terjadi di berbagai pulau di Indonesia. Namun, Pulau Jawa merupakan wilayah yang dewasa ini mengalami dampak yang paling besar karena tekanan penduduk yang tinggi dan masih terus meningkat yang menyebabkan 43
ANCAMAN TERHADAP KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL
proses urbanisasi berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya. Seperti telah dibahas sebelumnya, berdasarkan data pada Tabel 1, hampir 40% lahan untuk DAS Ciliwung digunakan untuk perumahan dan industri, namun kepincangan penggunaan lahan yang terjadi dapat meluas ke berbagai DAS lainnya. Gejala tersebut dapat disebut sebagai Sindroma Jawa atau Java Syndrome (Pasandaran 2008). Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2, fase yang paling kritis adalah fase ketiga, yaitu kecenderungan terus berkurangnya areal persawahan dan hutan serta meningkatnya areal perumahan dan industri secara cepat. Dalam hubungan dengan kecenderungan tersebut, pertanyaan pertama yang perlu dikaji adalah apakah kita dapat menemukan batas-batas yang dapat diandalkan untuk menggambarkan bahwa perubahan penggunaan sumber daya lahan masih berada dalam koridor yang dapat dipertanggungjawabkan ataukah kecenderungan yang terjadi telah berada pada wilayah penggunaan lahan yang tidak berlanjut. Kecenderungan yang terus berlanjut dapat menyebabkan bencana ekologis yang pada gilirannya akan mengakibatkan terjadinya bencana pangan. Gambar 2 mengilustrasikan kecenderungan yang terjadi menurut fase-fase perkembangan. Walaupun politik pengelolaan SDA sejak awal bersifat eksplotatif, namun kemungkinan besar fase pertama maupun awal fase kedua masih dalam keadaan yang dapat ditanggulangi melalui ketangguhan sosial masyarakat tani setempat. Ketangguhan tersebut memunculkan keseimbangan-keseimbangan baru dalam memanfaatkan perubahan ketersediaan sumber daya lahan dan air dalam suatu kawasan DAS. Dalam hubungan ini, perlu dipelajari indikator-indikator yang ada pada masyarakat untuk merefleksikan perubahan yang terjadi untuk menjawab berbagai pertanyaan terkait. Misalnya, apakah indikator-indikator dan kearifan lokal yang ada masih mampu mengantisipasi perubahanperubahan yang terjadi dan mampu melakukan penyesuaian secara efektif dan efisien? Pertanyaan kedua yang perlu dijawab adalah apakah fenomena Java Syndrome dapat menyebar atau mempunyai efek domino ke luar Jawa, misalnya ke Pulau Sumatera yang dewasa ini juga sedang mengalami proses transformasi dalam perkembangan ekonomi? Walaupun karakter politik pengelolaan SDA sama di berbagai pulau ataupun wilayah administrasi di Indonesia, wilayah-wilayah DAS mengalami fase perkembangan yang berbeda. Demikian pula faktor-faktor pemicu degradasi SDA pada wilayah DAS yang dianggap kritis. Oleh karena itu, degradasi SDA di Pulau Sumatera dan Kalimantan dapat terjadi sejak fase pertama, yaitu tatkala penebangan hutan yang bersifat permisif terjadi dalam skala besar. Dengan kata lain, walaupun SDA di Sumatera dan Kalimantan mengalami degradasi, tetapi faktor pemicunya berbeda dengan Java Syndrome. Kondisi ini menunjukkan bahwa sedang terjadi efek domino dalam perusakan SDA, karena ada kecenderungan kebijakan yang sifatnya permisif walaupun dengan faktor pemicu yang berbeda.
44
DEGRADASI SUMBER DAYA ALAM: ANCAMAN BAGI KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL
Membalik Kecenderungan: Strategi ke Depan Bertolak dari pemikiran di atas, degradasi SDA adalah masalah semua pihak pada berbagai jenjang pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan, mulai dari tingkat lokal sampai pada tingkat global. Keputusan yang terjadi pada tingkat lokal, walaupun bersifat operasional perlu dipikirkan oleh semua pihak, baik dalam dimensi wilayah atau ruang, maupun dalam dimensi kelembagaan. Terjadinya gejala Java syndrome dan efek domino ke luar Jawa disebabkan oleh keputusan yang diambil secara sepihak mengenai pemanfaatan SDA, termasuk lahan dan air. Keputusan yang diambil dan kegiatan operasional yang dilakukan pada tingkat lokal secara bersama-sama dalam suatu wilayah akan memengaruhi performa pengelolaan SDA wilayah tersebut. Dengan kata lain, diperlukan pendekatan ekoregional dalam pengelolaan SDA pada suatu kawasan, seperti DAS. Ada keterkaitan keputusan dan kegiatan operasional pada suatu jenjang, demikian pula antarjenjang, yang menyebabkan pengelolaan SDA menjadi semakin kompleks. Kompleksitas pengelolaan SDA juga ditentukan oleh perubahan faktor-faktor strategis yaitu faktor yang memengaruhi pengelolaan pada keseluruhan jenjang. Misalnya, peningkatan jumlah penduduk yang menyebabkan rasio antara orang dan lahan yang tersedia semakin berkurang. Di Indonesia, rasio antara orang dan lahan berkurang separuh antara tahun 1970 sampai 2000 (Mundlak et al. 2002). Hal tersebut mengakibatkan munculnya praktik pengusahaan lahan yang ekstraktif, yang dalam jangka panjang menyebabkan terjadinya degradasi sumber daya lahan. Faktor strategis lainnya adalah kecenderungan meningkatnya harga minyak bumi yang menyebabkan pergeseran-pergeseran komoditas dalam suatu ekosistem pertanian. Pemanasan global merupakan faktor strategis yang menyebabkan terjadinya komplikasi dalam pengelolaan SDA yang memerlukan upayaupaya khusus untuk melakukan antisipasi, mitigasi, dan adaptasi. Demikian pula pergeseran paradigma administrasi pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik. Saat ini, masih diperlukan peningkatan kemampuan dan pemahaman pemerintah daerah dalam pengelolaan lingkungan dan SDA. Fase-fase perkembangan suatu wilayah merupakan konteks yang memberi arah dan kebijakan yang sesuai pada setiap wilayah. Misalnya, Pulau Jawa yang mengalami proses urbanisasi dengan tekanan penduduk yang tinggi memerlukan kebijakan dan instrumen kebijakan yang berbeda dengan pulau-pulau lainnya seperti Kalimantan dan Sulawesi. Selain jenjang-jenjang pengelolaan, ada dua dimensi pengelolaan yang perlu dipertimbangkan. Pertama, dimensi kebijakan dan langkah-langkah operasional yang digali dari pemahaman permasalahan, konteks permasalahan, dan perkembangan faktorfaktor strategis. Kedua, dimensi kelembagaan yang memfasilitasi langkah kebijakan pada tingkat makro dan langkah-langkah operasional pada tingkat mikro. 45
ANCAMAN TERHADAP KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL
Gambar 3 menunjukkan kerangka pemahaman pengelolaan SDA, yang menggambarkan hubungan keterkaitan elemen-elemen pengelolaan pada kedua dimensi pengelolaan dan pada dua tatanan atau jenjang, yaitu makro dan mikro. Kerangka ini merefleksikan penyederhanaan wawasan mengingat tatanan pengelolaan lingkungan pertanian memiliki banyak jenjang. Meskipun dua dimensi pengelolaan yang dikemukakan merupakan dimensi dominan, dimensi yang menunjukan konteks pengelolaan tidak terefleksi dalam gambar tersebut. Makro 1. 2. 3.
Enforcement undang-undang dan peraturan Membangun forum keterpaduan antarsektor pemerintahan Membangun forum kemitraan pemerintah, swasta, petani dan lembaga swadaya masyarakat
Strategi kebijakan 1. Kebijakan yang bersifat pencegahan (precautionary) 2. Kebijakan yang memperkuat kemampuan prediksi dan antisipasi 3. Program rekonstruksi dan mitigasi
Kelembagaan
Kebijakan langkah operasional i
1. 2. 3.
Memperkuat kemampuan organisasi lokal Memperkuat efektivitas sekolah lapangan Memberdayakan kapital sosial
Praktik pengelolaan berkelanjutan 1. 2. 3. 4.
Keseimbangan dan keselarasan Pemanfaatan ketrampilan individu dan kemampuan kolektif Ko-inovasi Praktik pengelolaan adaptif
Mikro
Gambar 3. Kerangka dasar pemahaman pengelolaan sumber daya alam Kerangka di atas juga menunjukkan adanya keterkaitan antara dua dimensi pada tatanan makro dan mikro. Pada tingkat mikro, prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan berkelanjutan diusulkan untuk diterapkan, yaitu praktik yang memerhatikan keseimbangan dan keselarasan berbagai kategori jasa ekosistem, praktik yang memanfaatkan keterampilan dan kemampuan kolektif petani, praktik inovatif yang dihasilkan bersama, dan praktik pengelolaan adaptif. Praktik yang terakhir terutama ditujukan untuk menanggapi dampak pemanasan global. Dari perspektf pengembangan kelembagaan pada tingkat mikro, diperlukan upaya memperkuat kemampuan organisasi lokal, upaya mengefektifkan sekolah lapangan sebagai instrumen untuk mempraktikkan prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan, dan upaya memberdayakan kapital sosial secara terpadu.
46
DEGRADASI SUMBER DAYA ALAM: ANCAMAN BAGI KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL
Pada tingkat makro, perlu dibangun kebijakan-kebijakan yang sifatnya penangkalan terhadap kecenderungan terjadinya degradasi jasa ekosistem, peningkatan kemampuan prediksi dan antisipasi, baik yang menyangkut perubahan iklim maupun dampak dari kecenderungan degradasi SDA, dan kebijakan yang mendorong perbaikan ekosistem dari dampak negatif. Kebijakan-kebijakan tersebut perlu didukung oleh pendekatan kelembagaan, baik melalui undang-undang dan peraturan-peraturan pemerintah maupun pendekatan keterpaduan antara berbagai sektor pemerintah yang terkait dengan pengelolaan lingkungan. Pendekatan-pendekatan yang bersifat kemitraan juga perlu dibangun antara pelaku-pelaku pengelolaan lingkungan, misalnya antara pemerintah, petani, sektor swasta, dan penggerak-penggerak pembangunan seperti lembaga swadaya masyarakat. Untuk merefleksikan konteks yang memengaruhi perkembangan pembangunan dan pengelolaan SDA, maka kerangka pemahaman tersebut dapat dipraktikkan di wilayah-wilayah yang mempunyai arti penting terhadap perkembangan ekonomi dan lingkungan, misalnya di DAS Brantas, Bengawan Solo, Citarum, dan Cimanuk. Kerangka pemahaman pengelolaan SDA pada Gambar 1 bersifat statis karena tidak menggambarkan kecenderungan-kecenderungan yang terjadi, misalnya kecenderungan yang menuju kepada praktik-praktik yang tidak berlanjut atau yang mendorong terjadinya degradasi SDA dan lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan suatu fondasi kelembagaan yang kuat di tingkat masyarakat untuk mengantisipasi kecenderungan yang terjadi. Praktik-praktik yang sifatnya eksploitatif terhadap SDA harus segera ditinggalkan. Sebaliknya, praktik yang mengandung fungsi pemeliharaan dan fungsi keadilan sosial dalam pengelolaan SDA perlu direvitalisasi. Hubungan interaktif yang harmonis dan kuat dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan antara fungsi yang mendukung efisiensi dan pertumbuhan ekonomi dengan fungsi-fungsi yang mendukung keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan (environmental sustainability). Untuk mendukung maksud tersebut, kemampuan adaptif yang ada sekarang, yang direfleksikan oleh berbagai kearifan lokal, perlu diidentifikasi dengan baik. Dengan beragamnya ekosistem dan terjadinya perkembangan pengelolaan, dapat dijumpai keragaman dalam kemampuan adaptif. Demikian pula variabilitas iklim yang sudah terjadi selama ini turut memengaruhi keragaman kemampuan adaptif. Ada kasus yang menunjukkan bahwa antisipasi tidak selalu dapat dilakukan dengan baik. Bencana seperti banjir atau kekeringan dapat terjadi di luar kemampuan antisipasi masyarakat lokal. Oleh karena itu, kelompok petani setempat melakukan penyesuaian kembali terhadap situasi yang baru dihadapi, misalnya dengan mengganti tanaman atau memperbaiki jaringan irigasi yang rusak. Dengan demikian, ada kemampuan adaptif yang sifatnya reaktif. Jika kemampuan ini di luar kemampuan masyarakat lokal dalam, penanganannya memerlukan bantuan eksternal untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Pengalaman yang dihadapi masyarakat lokal secara berulang-ulang dapat 47
ANCAMAN TERHADAP KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL
memperkuat kepekaan antisipasi. Dengan demikian, kemampuan antisipasi yang efektif dapat mengurangi biaya sosial sebagai akibat kesalahan antisipasi. Kemampuan antisipasi yang efektif, misalnya, ditunjukkan oleh perubahan pola tanam di Kabupaten Blora yang memperluas areal tanam jagung untuk menghadapi kemarau, serta kearifan lokal dan pranata mangsa masyarakat di Lombok Timur dan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Seperti telah dikemukakan sebelumnya,ada kearifan lokal yang dapat dipakai sebagai dasar dalam membangun ketangguhan sosial dan ekologi menghadapi goncangan tersebut. Kearifan lokal dibangun melalui suatu proses yang berulang, bahkan mungkin dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Ketangguhan ekosistem melalui pendekatan yang bersifat adaptif tidak saja diperlukan untuk mencapai kestabilan ekologis, tetapi juga diharapkan dapat menghasilkan aturan-aturan kelembagaan yang lebih lentur dalam mengelola SDA. Kelenturan aturan antara lain ditunjukkan oleh kemampuan melakukan adaptasi dalam suatu kawasan dan waktu, baik yang dihasilkan melalui pengalaman dalam melaksanakan pengelolaan, maupun berdasarkan masukan yang berasal dari luar. Kearifan lokal itu sendiri tidak terisolasi dan selalu dapat berinteraksi dengan perubahan alam maupun pengaruh dari luar. Oleh karena itu, praktik dan kelembagaan yang ada perlu dikaji, diuji, dan diaktualisasikan secara terus-menerus terhadap kondisi ekosistem dan sosial ekonomi masyarakat yang berkembang. Praktik yang kurang cocok dapat diperbaiki dan yang sudah baik dapat diperkuat untuk kemaslahatan masyarakat lokal. Proses pembelajaran yang berulang, baik yang berasal dari dalam komunitas ataupun antarkomunitas, sebagaimana halnya dengan pihak lainnya, diharapkan akan menghasilkan suatu masyarakat belajar atau learning society dalam skala luas. Dalam jangka panjang, masyarakat dapat secara efektif melakukan antisipasi, adaptasi, dan mitigasi dari proses perubahan yang terjadi (Gambar 4). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa upaya memperkuat ketangguhan sosial dan ekologi juga dimaksudkan untuk menghadapi keragaman dan perubahan iklim dalam lingkup yang luas. Hal ini termasuk upaya konsolidasi dan memperkuat jejaring sosial dalam hubungannya dengan jejaring ekosistem pada berbagai jenjang, mulai dari suatu lokalita, wilayah, nasional, hingga global. Penerimaan sosial terhadap berbagai strategi adaptasi menjadi sangat penting dan strategi tersebut diharapkan bersifat responsif terhadap perubahan yang terjadi, baik di dalam ekosistem maupun masyarakat. Kemampuan melakukan respons menurut aturan pembagian tugas ataupun praktik di lapangan yang bersifat adaptif ataupun mitigatif tidaklah menjadi penting, karena suatu kearifan lokal dapat bersifat multifungsi, yaitu mengandung kedua ciri tersebut. Sebagai contoh, praktik usaha tani yang menghemat air di musim kemarau bersifat adaptif, namun apabila dikombinasikan dengan pembenaman bahan organik sekaligus akan bersifat mitigatif.
48
DEGRADASI SUMBER DAYA ALAM: ANCAMAN BAGI KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL
Antipasi
Proses berulang
Adaptasi
Ketangguhan Sosial
Ketangguhan Ekologi Gambar 4. Kearifan lokal sebagai landasan membangun ketangguhan sosial dan ekologi Dalam konteks ini, pendekatan yang dilakukan hendaknya bersifat holistik yang memuat opsi perangkat pilihan secara penuh, walaupun ada keterbatasan kemampuan yang dihadapi baik sebagai individu, kelompok, ataupun sebagai bangsa dalam melaksanakan strategi adaptasi dan mitigasi. Kemampuan tersebut, antara lain dibatasi oleh struktur kelembagaan, perilaku kehidupan, baik sebagai individu ataupun kelompok, dan kondisi makroekonomi. Degradasi SDA dalam hubungan dengan perubahan iklim merupakan masalah global dan masalah bangsa Indonesia, langkah pertama yang perlu ditempuh adalah identifikasi berbagai opsi yang akan ditempuh yang diperoleh dari pengetahuan dan pengalaman selama ini. Selanjutnya, sosialisasi opsi tersebut dilakukan kepada masyarakat lokal. Integrasi pengalaman lokal diharapkan dapat mewujudkan tindakan-tindakan dalam kawasan yang luas. Opsi-opsi yang diterima masyarakat dalam interaksi dengan kearifan lokal diharapkan akan memperkuat ketangguhan sosial dan ekologi. Ketangguhan yang dimaksud adalah kemampuan menahan goncangan ataupun kemampuan memulihkan goncangan lingkungan secara cepat untuk kembali ke keseimbangan awal atau ke keseimbangan baru yang mencerminkan kemampuan adaptasi terhadap kecenderungan yang terjadi (Tompkins and Adger 2004). Dengan demikian, konsep ketangguhan dalam menghadapi perubahan SDA dan lingkungan bersifat dinamis dan multikeseimbangan (multiple equilibria). Masyarakat yang mempunyai ketangguhan sosial yang tinggi diharapkan mampu menopang ketangguhan ekologi. Pada hakikatnya, ketangguhan sosial tidak saja ditujukan untuk menghadapi goncangan lingkungan ataupun iklim, tetapi juga dalam menghadapi 49
ANCAMAN TERHADAP KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL
pengaruh dari pihak luar, baik yang bersifat politik ataupun penetrasi pola kehidupan yang dapat mengganggu ketangguhan ekologi dan kehidupan masyarakat setempat. Ada pengaruh positif yang perlu diintegrasikan, namun ada juga pengaruh negatif yang perlu ditolak. Sebagai pengguna terbesar dari ekosistem, masyarakat tani perlu ditempatkan menjadi aktor penting dalam menghadapi degradasi SDA dan perubahan iklim. Oleh karena itu, dibutuhkan perubahan pola pikir dalam pendekatan pembangunan selama ini yang sering mengabaikan posisi petani dalam membuat keputusan tentang pengelolaan SDA dan lingkungan usaha tani. Pola pikir yang baru adalah yang menempatkan masyarakat tani sebagai arus utama proses pengambilan keputusan dalam upaya pemulihan SDA yang mengalami degradasi dan dalam pengelolaan SDA lebih lanjut (Tabel 3). Kearifan lokal dengan segera digantikan oleh pengetahuan dan teknologi yang berasal dari luar, sementara kebijakan yang permisif dan eksploitatif telah terbukti mempercepat degradasi SDA. Keadaan ini akan diperparah oleh kecenderungan perubahan iklim. Tabel 3. Perubahan pola pikir pengelolaan SDA Dimensi Peran
Pola Pikir Lama Peran masyarakat tani sekunder.
Pola Pikir Baru Masyarakat tani sebagai arus utama.
Prinsip
Potensi petani tidak dimanfaatkan sepenuhnya. Mengutamakan fungsi penyediaan jasa ekosistem untuk mendukung pertumbuhan tinggi dalam jangka pendek.
Pemanfaatan penuh potensi masyarakat tani termasuk kearifan lokal. Mengutamakan keseimbangan dan keselarasan berbagai jasa ekosistem untuk mendukung keberlanjutan pembangunan dan keadilan sosial dalam jangka panjang Mengintegrasikan semua pihak yang terkait dalam forum kemitraan dengan peran dan prinsip yang sesuai.
Pendekatan
Mengutamakan pendekatan sektoral dan birokrasi.
Tabel 3 menunjukkan bahwa ada tiga dimensi pola pikir yang perlu berubah. Pertama, yang menyangkut peran petani. Konsekuensi upaya membangun ketangguhan sosial dan ekologi adalah menempatkan masyarakat tani sebagai arus utama dalam proses pengambilan keputusan, termasuk pelaksanaan pengelolaan SDA. Untuk maksud tersebut, potensi yang ada pada masyarakat tani, termasuk kearifan lokal yang mereka miliki, perlu diberdayakan sepenuhnya. Kedua, prinsip pengelolaan perlu berubah dari yang hanya menekankan fungsi penyediaan SDA bagi sebesar-besarnya pertumbuhan ekonomi menuju prinsip yang mengutamakan keseimbangan dan keselarasan antara berbagai elemen jasa ekosistem untuk menopang keberlanjutan lingkungan dalam mendukung keberlanjutan pembangunan dan keadilan sosial. Prinsip ini pada hakikatnya sesuai dengan jiwa UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3.
50
DEGRADASI SUMBER DAYA ALAM: ANCAMAN BAGI KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL
Dari perspektif pendekatan keberlanjutan lingkungan, Pretty (2008) mengemukakan empat prinsip dalam pembangunan pertanian, yaitu: a. Integrasikan proses biologi dan ekologi seperti siklus hara, fiksasi nitrogen, regenerasi tanah (soil regeneration), alelopati, kompetisi, pemangsaan (predation), dan parasitisme dalam proses produksi pangan. b. Minimumkan penggunaan masukan (input) yang tidak dapat diperbarui yang membahayakan lingkungan atau yang membahayakan kesehatan petani dan konsumen. c. Manfaatkan pengetahuan dan keterampilan petani secara produktif untuk meningkatkan kemandirian petani. d. Kendalikan masalah pertanian dan SDA seperti masalah hama, masalah pengelolaan DAS, irigasi, padang penggembalaan, dan hutan. Keempat prinsip tersebut memperjelas keterkaitan antara ketangguhan sosial dan ketangguhan ekologi. Dua prinsip pertama diperlukan untuk mendukung ketangguhan ekologi, sedangkan dua prinsip yang terakhir untuk ketangguhan sosial. Pendekatan sektoral dan birokrasi sudah dianggap tidak memadai lagi sebagai pola pikir dalam pengelolaan SDA dan perlu diganti dengan pendekatan yang lebih terintegrasi. Berbagai forum kemitraan yang dibangun dewasa ini, yang berkiprah pada lingkup nasional belum mempunyai dampak signifikan dalam pemulihan degradasi SDA karena yang dibangun hanya gagasan-gagasan yang masih memerlukan pendalaman pemikiran lebih lanjut untuk dapat diterapkan secara efektif di lapangan. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang mendalam tentang permasalahan lokal. Kemampuan adaptif dan mungkin juga mitigatif yang ada pada masyarakat belum teridentifikasi dengan baik. Kemampuan tersebut yang juga mencerminkan ketangguhan sosial sangat beragam sesuai dengan keragaman ekosistem dan tekanan demografis. Kemampuan-kemampuan tersebut yang mencerminkan kearifan lokal juga merupakan bagian integral nilai budaya masyarakat setempat (Abas et al. 2006 dan Kasryno et al. 2005) Oleh karena itu, perlu segera dilakukan inventarisasi dan pemetaan kearifan lokal di seluruh Indonesia. Selanjutnya, langkah-langkah strategis ditetapkan guna memperkuat ketangguhan sosial dan ekologi untuk memulihkan SDA Indonesia yang masih cenderung mengalami degradasi. Langkah-langkah strategis juga ditetapkan untuk menghadapi perubahan iklim. Kearifan lokal perlu dilengkapi dengan pengetahuan lainnya yang juga diintroduksi melalui berbagai pendekatan, termasuk sekolah lapangan (Thorburn 2009 dan Kuswara, et al. 2009). Hal ini dimaksudkan agar terjadi pendekatan yang bersifat holistik dan yang dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien. Sekolah-sekolah lapangan
51
ANCAMAN TERHADAP KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL
yang ada dewasa ini pada umumnya terkait dengan sumber daya alam sehingga diperlukan suatu pendekatan terpadu. Untuk maksud tersebut, perlu dibangun pendekatan kolaboratif dengan membangun dukungan ilmiah terhadap kearifan lokal yang sudah ada. Selanjutnya pendekatan kelembagaan diperlukan untuk memanfaatkan potensi penuh yang ada pada masyarakat tani dalam melaksanakan proses adaptasi dan mitigasi.
Daftar Pustaka Abbas S, R Wiratmadja, dan E Pasandaran. 2006. Sekolah Lapangan sebagai Instrumen Penyuluhan Pertanian, dalam Kasryno,F, E. Pasandaran, dan A.M. Fagi (penyunting). Membalik Arus Menuai Kemandirian Petani. Yayasan Padi Indonesia. Bappenas. 2004. Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Indonsia: Antara Krisis dan Peluang. Jakarta: Diterbitkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Bappenas. 2003. Kajian Kerangka Kerja Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu. Diterbitkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.Jakarta. Bossio D, A Noble, J Pretty, Frtis Penning de Vries. 2004. Reversing Land and Water Degradation: Trends and ’Bright Spot’ Opportunities. International Water Management Institute. Stockholm Sweden. DFID. 2007. DFID Annual Report 2007: Development on the Record. London: Stationery Office. Kasryno F, E Pasandaran, dan AM Fagi (2005). Peranan Hak Ulayat dalam Pembangunan Pertanian yang Adil dan Berkelanjutan. Yayasan Padi Indonesia. Bogor. Kuswara E, L Isfandri, RK Wijaya, TP Adi, N Wienarto, and AR Bertuso. 2009. Farmers Rice Breeding and Community Seed System: An approach to develop a community seed registry by the Karya Peduli Tani Famers Group. Field Indonesia. Mundlak Y, DF Larson, and Butze Rita, 2002. Determinants of Agricultural Growth in Indonesia, the Phillipines, and Thailand.World Bank, p 1-73. Nababan A. 2003. Sejarah Penjarahan Hutan Nasional, Bagian 1, Intip-Hutan, MeiJuli,2003. Nababan A. 2004.Sejarah Penjarahan Hutan Nasional, Bagian 2, Intip – Hutan, Februari, 2004. Pasandaran E. 2008. Irigasi Masa Depan: Memperjuangkan Kesejahteraan Petani dan Ketahanan Pangan. JKI – Indonesia.
52
DEGRADASI SUMBER DAYA ALAM: ANCAMAN BAGI KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL
Pasandaran E, P Simatupang, AM Fagi. 2006. Perspective of Rice Production in Indonesia. In: Sumarno, Suparyono, AM Fagi, Made Oka Adnyana (eds.). Rice Industry, Culture, and Environment. Indonesian Agency for Agricultural Research and Development, and International Rice Research Institute. Pretty J. 2008. Agroecological Approaches to Agricultural Development. Background Paper for the World Development Report,2008. the World Bank, Washington D.C. Putuhena WM, WK Adidarma, SM Yuningsih. 2002. Karakteristin Banjir Puncak pada Sungai-sungai di Pulau Jawa. The Characteristic of Peak Flood of Rivers in Java Island. Puslitbang Sumberdaya Air. Bandung. Rhee S, D Kitchener, T Brown, R Merrill, R Diltz, S Tighe. 2004.Reports on Biodiversity and Tropical Forest in Indonesia. USAID /Indonesia – Jakarta. Suhardiman D. 2008. Bureaucratic Designd: The Paradox of Irrigation Management Transfer in Indonesia. Wageningen UR. Sunaryo TM, J Lubis, H Purwanto, dan H Pawitan, 2006. Pengelolaan Bencana Alam, Prosiding Forum Air Indonesia III, Hari Air Dunia,2006. Surono, Indro. 2003. Krisis Air, Petani Dikorbankan: Laporan Khusus Kabupaten Karawang. Indonesian Forum on Globalization (Infog). Thijsse JP. 1982. Apakah Jawa Akan Menjadi Padang Pasir? dalam Sajogyo (ed): Ekologi Pedesaan, Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: C.V. Rajawali. Tri P. 2004. Model Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan dalam Pengelolaan Agroekosistem Lahan Kering. Studi Penguatan Social Capital pada desa-desa (hulu DAS) ex Proyek Bangun Desa, Kabupaten Gunung Kidul dan Proyek Pertanian Lahan Kering Kabupayen Boyolali. Bogor: IPB. Thorburn C. 2009. Yes We Can: Field Schools for Watershed Resilience and Health, Environment Services Program. Tompkins EL and WN Adger. 2004. Does Adaptive Management of Natural Resources Enhance Recilience to Climate Change. Ecology and Society 9 (2):10 http://www. ecologyandsociety.org/vol 9/iss 2/art 10/ World Bank. 2008. World Development Report, 2008. Agriculture for Development. Washington, D. C. World Rainforest Movement. 2002. Mangroves: Local livelihoods vs. corporate profits. WRM Bulletin Nº 65, December 2002 World Rainforest Movement Maldonado 1858 - 11200 Montevideo – Uruguay
[email protected]
53