ISBN 978–602–60782 60782–0–9
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA LOKAL UNTUK MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN PANGAN
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PERTANIAN PETERNAKAN TERPADU Purworejo, 12 Maret 2016
PROGRAM STUDI PETERNAKAN PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJO i
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS MUHAMMADDIYAH PURWOREJO
PENGEMBANGAN SUMBER KEMANDIRIAN PANGAN
DAYA
LOKAL
TIM PENYUNTING : Ir. Zulfanita, MP. Dyah Panuntun Utami, S.P., M.Sc. Roisu Eny Mudawarach ch, S.Pt., M.Sc. Istiko Agus Wicaksono, S.P., M.Sc. Isna Windani, S.P., M.Sc. Faruq Iskandar, S.Pt., M.Si. DESAIN LAYOUT : Ir. Didik Widiyantono, M.Agr. Hanung Dhidik A. S.Pt., M M.Si. Riwawidiastuti, S.Pt., M.Si. DESAIN SAMPUL : Uswatun Hasanah, S.P., M.Sc. Jeki Mediantari W.W. S.Pt., M.Eng., M.Si
Hak Cipta @2016, Fakultas Pertanian Cetakan Pertama Juli 2016 Universitas Muhammadiyah Purworejo Jl. K. H. Ahmad Dahlan, No. 3 Purworejo 54111 Telp/Fax. : (0275) 320494 e-mail :
[email protected]
ISBN : 978–602–60782–0–9 Isi dapat disitasi dengan menyeb menyebutkan sumbernya ii
UNTUK
MEWUJUDKAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Kami panjatkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala atas segala berkahNya sehingga Seminar Nasional Pertanian Peternakan Terpadu dapat terlaksana sesuai dengan rencana. Tujuan kegiatan seminar ini adalah menginventaris sumber daya lokal; menghasilkan pemikiran dan karya ilmiah; pengembangan IPTEKS, penelitian dan pengaplikasian hasil penelitian terkait dengan konsep, strategi dan solusi permasalahan kemandirian pangan; menjalin komunikasi dengan pihak yang terkait dengan kemandirian pangan yaitu akademisi, peneliti dan pemangku kebijakan. Kemandirian Pangan merupakan persoalan strategis di Indonesia, sehingga harus dilakukan pengembangan sistem produksi pangan yang berbasis sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal. Sasaran yang ingin dicapai adalah tergalinya potensi pangan lokal dalam meningkatkan ketersedian untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan yang bermutu, beragam dan terjangkau di tingkat rumah tangga. Indonesia kaya keanekaragaman plasma nutfah tanaman dan ternak, potensi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan pangan domestik. Permasalahan off-farm, baik hulu (sub-sistem pengadaan input faktor) maupun hilir (subsistem pengolahan dan pemasaran), sub-sistem budidaya (on-farm) serta sub- sistem penunjang sangat komplek. Teknologi dan industri pengolahan pangan skala rumah tangga dan kecil, diarahkan untuk memberdayakan masyarakat dalam meningkatkan nilai tambah bahan pangan lokal melalui pemanfaatan, penguasaan dan penerapan teknologi budidaya, pengolahan pangan serta mendorong kelembagaan pelayanan dan lembaga swadaya masyarakat untuk mewujudkan industri pengolahan bahan pangan berskala rumah tangga yang kokoh dan mandiri (dari hulu hingga hilir). Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, maka seluruh sektor harus berperan secara aktif dan berkoordinasi secara rapi dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Lembaga Penelitian, Perguruan Tinggi, Pemerintah Desa dan masyarakat untuk meningkatkan strategi demi mewujudkan Kemandirian Pangan Nasional. Purworejo, Maret 2016
Panitia
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................
Halaman i
TIM PENYUNTING ...................................................................................
ii
KATA PENGANTAR .................................................................................
iii
DAFTAR ISI ...............................................................................................
iv
Sub Tema A Teknologi Budidaya Pertanian Peternakan Berbasis Sumber Daya Lokal 1.
Estimasi Output Sapi Pesisir di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan.................................................................................... Aulia Evi Susanti
2.
Analisis Keuntungan dan Risiko Usahatani Sayuran Hidroponik ............ Ekaria, Sutawi dan Istis Baroh
3.
Pengaruh Tingkat Penerapan Panca Usahatani Terhadap Tingkat Produktivitas dan Pendapatan Petani Jagung di Kecamatan Metro Kibang ................................................................................................... Fachira Chairunnisa, Irwan Effendi dan Rio Tedi Prayitno
4.
5.
6.
7.
8.
1 – 12
13 – 26
27 – 38
Financial Feasibility of Kerupuk Jari Processing Business in Pasir Utama Village Rambah Hilir District Rokan Hulu Regency ................... Ikhsan Gunawan
39 – 50
Abortus dan Perubahan Anatomi Uterus Pada Kelinci Bunting Yang DiberiInfusa Daun Bambu (Bambusa vulgaris) ...................................... Joko Daryatmo dan Budi Purwo Widiarso
51 – 62
Analisis Tingkat Kesesuaian Perairan untuk Lokasi Kegiatan Budidaya Laut di Selat Fair Kota Tualpropinsi Maluku......................................... Muhammad Izhar Difinubun, Johannes Hutabarat dan Agus Hartoko
63 – 72
Peat Media Response to the Growth of Stem Stekpennisetum Purpureum ............................................................................................. Sarjana Parman
73 – 78
Tingkat Serangan Penyakit Blas Terhadap Padi Varietas Inpari 7 pada Unit Perbenihan dengan Pendekatan Teknologi PTT di Kutai Kartanegara............................................................................................ Wawan Banu P. dan Muryani P
iv
79 – 86
9.
Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang terhadap Pertumbuhan dan Hasil Bawang Merah (Alliumcepa Ascalonicum L) Varietas Pancasona di Kabupaten Paser .................................................................................... Wawan Banu P. dan Nurbani
10. Jenis dan Dominansi Gulma yang Berpotensi sebagai Hijauan Pakan Ternak pada Lahan Pertanaman Pala ..................................................... Ariance Yeane Kastanja 11. Pemanfaatan Hijauan Pakan Ternak di Lahan Rawa Lebak sebagai Bahan Baku Pembuatan Silase (Studi Kasus : Kebun Percobaan Kayuagung Oki Sumatera Selatan) ......................................................... Masito dan Sidiq Hanapi
87 – 93
94 – 103
104 – 110
12. Potensi Pakan di Rawa Lebak untuk Mendukung Budidaya Itik Pegagan : Studi Kasus di Desa Kota Daro II ......................................................... Aulia Evi Susanti, Agung Prabowo dan Sidiq Hanapi
111 – 116
13. Analisis Struktur Biaya dan Pendapatan Wanita Tani Pembuat Atap Rumbia di Kabupaten Konawe .............................................................. Leni Saleh dan Ulyasniati
117 – 124
14. Kajian Aktivitas Antioksidan dan Kandungan Antosianin Beras Merah Varietas Lokal Banyumas pada Budidaya Organik dan Anorganik ......... Oetami Dwi Hajoeningtijas dan Hamami Alfasani Dewanto
125 – 135
15. Pengaruh Penggunaan Jenis Bahan Organik dan Jumlah Barisan Penanaman pada Guludan terhadap Produktivitas Umbi Ubijalar .......... Suharno
136 – 145
16. Pengaruh Berat Badan dan Pemberian Pakan Berbeda terhadap Kualitas Telur Ayam Ras Periode Awal Bertelur ................................................. Syamsul Mardi, Wempie Pakiding dan Nahariah
146 – 154
17. Permasalahan Usaha Ternak Kerbau di Kabupaten Magelang............... Nuryanto dan Sumaryanto
155 – 161
18. Efisiensi Produksi Padi di Kecamatan Ponjong Kabupaten Gunungkidul Pinjung Nawang Sari. Hani Perwitasari dan Amanda Deby
162 – 168
19. Percepatan Berahi pada Sapi Bali Dara melalui Pemberian Konsentrat dengan Level Protein yang Berbeda ....................................................... Trianta tahir, Herry Sonjaya dan Asmuddin Natsir
169 – 176
Sub Tema B Teknologi Pengolahan Produk Pertanian Peternakan 20. Uji Sensitivitas Tester Kit of Borax pada Bakso Daging Sapi ................ Bambang Kuntoro
v
177 – 189
21. Potensi Beras Merah Inpari 24 Gabusan sebagai Pangan Fungsional untuk Kesehatan: Kajian Pustaka ........................................................... Muhammad Fajri
190 – 196
22. Sifat Fisik dan Daya Terima Cookies Ubi Jalar Kuning yang Disubstitusi Tepung Tempe .................................................................... Rusdin Rauf, Arina Sabila Rohmani dan Pramudya Kurnia
197 – 204
23. Aktivitas Antibakteri Minyak Daging Buah Pala terhadap Pertumbuhan Vibrio parahaemolyticu sdan Salmonella typhimurium .......................... Sophia Grace Sipahelut
205 – 215
24. Uji Kesukaan Konsumen terhadap Donat Labu Kuning Substitusi Tepung Terigu dengan Tepung Mocaf Hingga 75% ............................... Sri Lestari dan Syahrizal Muttakin
216 - 223
25. Sabi-Back : Kemasan Cerdas dengan Berbahan Dasarnanopartikel Perak Termodifikasi sebagai Pendeteksi Kebusukan pada Daging ......... Tri Mayasari, Emas Agus Prastyo Wibowo dan Nuni Widiarti
224 – 232
Sub Tema C Pemasaran dan Konsumsi Produk Pertanian Peternakan 26. Efisiensi Saluran Pemasaran Gabah di Kelurahan Kasupute Kecamatan Wawotobi Kabupaten Konawe ............................................................... Milawati Saranani
233 – 243
27. Preferensi Konsumen terhadap Konsumsi Keripik Keladi sebagai Makanan Ringan Khas Pontianak ........................................................... Shenny Oktoriana, Eva Dolorosa, Imelda dan Anita Suharyani
244 – 253
Sub Tema D Aspek Penunjang (Kelembagaan, Perkreditan, Pendidikan, Sosial, Budaya, Ekonomi dan Peran Media Massa) 28. Strategi Merealisasikan Badan Usaha Milik Petani ................................. Sri Wahyuni, Cut R. Adawiyah dan Syahyuti 29. Respon Petani terhadap Pelayanan Kupra sebagai Pengganti Kur di BRI Putra Rumbia Kabupaten Lampung Tengah ........................................... Aprilia Rahmawati, Sumaryo Gitosaputro dan Begem Viantimala 30. Partisipasi Anggota Kelompok Wanita Tani dalam Pengembangan Tanaman Obat Keluarga di Lingkar Kampus Universitas Nusa Bangsa Bogor ..................................................................................................... Dyah Budibruri Wibaningwati dan Heri Susanto
vi
254 – 269
270 – 280
281 – 297
31. Dampak Program Pengembangan Kawasan Sapi Potong Terhadap Kinerja dan Pendapatan Anggota Kelompok Tani di Kabupaten Lampung Utara ...................................................................................... Endah Kurniasari, Dewangga Nikmatullah dan Rio Tedi Prayitno
298 – 314
32. Kajian Sosial Ekonomi dan Ketahanan Pangan Rumahtangga Tani di Propinsi Riau ......................................................................................... Fahmi Wiryamarta Kifli, Jangkung H Mulyo dan Sugiyarto
315 – 326
33. Karakteristik Agropreneurship Peternak Kemitraan Pola Inti Plasma di Kawasan Sentra Peternakan Ayam Ras Pedaging Kabupaten Klaten ...... K. M. Z. Basriwijaya, V. D. Yunianto B.I dan D. Mardiningsih
327 – 335
34. Analisis Peluang Pengembangan Cengkeh Zangsibar di Sulawesi Utara . Nelson H. Kario dan Rahmi Hayati Putri 35. Potensi Sumberdaya Pedesaan Mendukung Pembangunan Pertanian di Gugusan Wilayah Pantai Selatan Lintas Batas Indonesia – Timor Leste (Studi Kasus Desa Alas Selatan, Kecamatan Kobalima Kabupaten Belu, NTT) ............................................................................................ Nelson H. Kario dan Rahmi Hayati Putri
336 – 349
350 – 358
36. Pendapatan dan Kesejahteraan Petani Jagung di Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan .................................................................. Puji Permata Utami, Sumaryo Gito Saputro, Dewangga Nikmatullah
359 – 370
37. Potensi Kabupaten Bone Sebagai Sentra Produksi Ternak Ruminansia di Sulawesi Selatan ................................................................................ Risman Sudarmaji, Muh. Saudi Mashoer dan, Jasmal A.Syamsu
371 – 377
38. Analisis Kelayakan Ekologi Budidaya Tambak Udang dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan Pangan di Kabupaten Purworejo .................... Sri Suryani
378 – 389
39. Analisis Pendapatan Usahatani Cabe Melalui Penerapan Pengendalian Hama Terpadu di Kabupaten Konawe ................................................... Suharjo
390 – 402
40. Pola Penguatan Kelembagaan Koperasi “Nira Satria” dalam Pemberdayaan Pengrajin Gula Kristal di Perdesaan ................................ Sulistyani Budiningsih dan Tri Septin M
403 – 412
41. Budaya Masyarakat dan Pengaruhnya terhadap Konservasi Cendana .... Rubangi Al Hasan, S. Agung Sri Raharjo dan Abdul Rohman
313 – 421
42. Preferensi Konsumen Lempok Durian di Kota Pontianak ....................... Anita Suharyani, Eva Dolorosa, Imelda dan Shenny Oktoriana
422 – 429
vii
43. Analisis Dampak Pemberdayaan Masyarakat melalui Program Pengembangan Kecamatan terhadap Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten Konawe ................................................................................ Tauwi 44. Analisis Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Pengembangan Kelompok Tani Perempuan dalam Pemanfaatan Lahan Pekarangan Sekitar Rumah di Kabupaten Kediri (Studi Kasus pada Kelompok Tani Perempuan Desa Nambakan, Kecamatan Ringinrejo Kabupaten Kediri .. Tatang Suryadi dan Ratna Dewi Mulyaningtiyas
viii
430 – 437
438 – 461
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Peternakan Terpadu
ISBN 978-602-60782-0-9
ESTIMASI OUTPUT SAPI PESISIR DI KABUPATEN BANYUASIN PROVINSI SUMATERA SELATAN Aulia Evi Susanti1 BPTP Sumatera Selatan 2) Jl. Kol. H. Burlian Km.6 No.83, Palembang e-mail:
[email protected] 1)
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui output sapi Pesisir di Kabupeten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Penelitian dilakukan secara survei di Kecamatan Betung, Talang Kelapa dan Tanjung Lago dengan total responden 855 peternak. Teori pemuliabiakan ternak digunakan untuk estimasi output. Hasil penelitian menunjukkan bahwa output sapi Pesisir yang dapat dikeluarkan tanpa menganggu populasi yang ada sebesar 8.083 ekor (27,03%) yang terdiri atas sisa replacement stock sebesar 4.127 ekor (13,80 %) serta ternak afkir sebesar 3.956 ekor (13,23%). Kaeywords: Sapi Pesisir, Output, Kabupaten Banyuasin
ABSTRACT The research was conducted to investigate an estimation of Pesisir cattle output in Banyuasin Regency, South Sumatra Province. Data was obtained from 855 farmers as respondences in sub district namely: Betung, Talang Kelapa and Tanjung Lago. Breeding theory was used to estimate Pesisir cattle output. The result showed that Pesisir cattle outputcan beremovedwithoutdisturbing theexisting population was 8.083 heads (27,03%) which consist remainder replacement stock was 4.127 heads (13,80%) and culled livestock was 3.956 heads (13,23%). Keywords:Pesisir cattle, Output, Banyuasin regency PENDAHULUAN Kabupaten Banyuasin merupakan salah satu sentra pengembangan sapi potong di Sumatera Selatan. Populasi sapi potong di kabupaten ini pada tahun 2013 sejumlah 31.351 ekor dan merupakan kabupaten dengan jumlah populasi sapi potong tertinggi ke dua setelah kabupaten Ogan Komering Ulu Timur (OKUT) (Anonimus, 2014).Pemeliharaan sapi di kabupaten Banyuasin sebagian besar yang dilakukan oleh petani ternak. Pemeliharaan sapi pada peternakan rakyat Banyuasin sebagian besar berasal dari jenis sapi lokal, salah satunya sapi Pesisir. Sapi Pesisir merupakan salah satu plasma nutfah sapi asli Indonesia yang ditetapkan
dalam
Peraturan
Menteri
Pertanian
(Permentan)
Nomor
48/Permentan/OT.140/9/2011 tentang Perwilayahan Sumber Bibit Ternak. Pada awalnya sapi Pesisir berkembang dikawasan pesisir Sumatera Barat (Hendri, 2013). Saladin (1983) menduga Sapi Pesisir sebagai sisa sapi asli yang pada mulanya berkembang di Kabupaten Pesisir Selatan. Perkembangan sapi Pesisir sebagai salah satu rumpun sapi asli Sumatera
[1]
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Peternakan Terpadu
ISBN 978-602-60782-0-9
saat ini sudah menyebar ke berbagai wilayah Sumatera, salah satunya di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Otsuka et al., (1982) telah menyelidiki asal usul dan hubungan genealogi beberapa sapi asli Asia Timur dan menyimpulkan bahwa sapi Aceh, sapi Padang sapi lokal Sumatera Barat), sapi Thai, dan sapi Cebu (sapi asli Filipina) termasuk dalam kelompok yang sama. Sapi Pesisir merupakan salah satu jenis sapi lokal Indonesia yang berpotensi sebagai penghasil daging. Walaupun ukuran badannya lebih kecil dibanding sapi lokal lainnya, sapi Pesisir memiliki keunggulan yaitu daya adaptasinya tinggi terhadap pakan berkualitas rendah, sistem pemeliharaanya ekstensif tradisional, dan tahan terhadap beberapa penyakit dan parasit (Adrial, 2010). Warna bulu sapi Pesisir memiliki pola tunggal. Warna bulu dikelompokkan menjadi lima warna utama, yaitu merah bata (34,35%), kuning (25,51%), coklat (19,96%), hitam (10,91%), dan putih (9,26%) (Anwar, 2004). Sistem pemeliharaan sapi Pesisir adalah semi intensif dimana pada malam sapi dikandangkan dan siang dilepas dilapangan atau perkebunan. Tata laksana pemeliharaan dan perkawinan umumnya belum diperhatikan dengan baik oleh peternak, sehingga produktivitasnya masih rendah. Produktivitas sapi potong merupakan gabungan sifat produksi dan reproduksi ternak tersebut dalam kurun waktu tertentu, serta dipengaruhi oleh genetik, lingkungan dan interaksi genetik dan lingkungan (Sumadi et al., 2011). Produktivitas sapi potong dari suatu wilayah dapat diketahui berdasarkan jumlah sapi yang dapat dikeluarkan atau output dari wilayah tersebut. Output atau kemampuan suatu wilayah menghasilkan sapi potong, merupakan jumlah sapi muda sisa pengganti ditambah sapi dewasa afkir. Sisa sapi muda merupakan selisih antara natural increase (pertambahan alami) dengan kebutuhan ternak pengganti. Natural increase merupakan selisih antara kelahiran dengan kematian, maka dari itu teori pemuliaan ternak digunakan dalam estimasi output sapi potong dari suatu wilayah berdasarkan sifat produksi dan reproduksinya (Sumadi et al., 2004). Potensi (Output) sapipotong dapat menggambarkan persentase sapi hidup (ekor) dari populasi, berat karkas (Kg), berat daging (kg) dan protein (kg) dari suatu wilayah. Estimasi output penting dilakukan sebagai upaya menghindari pengeluaran yang berlebihan sehingga populasinya tidak terkuras. Data mengenai produktivitas sapi Pesisir di Banyuasin saat ini belum tersedia. Penelitianini bertujuanuntukmengetahui output sapi Pesisir di Kabupaten Banyuasin. Penelitian estimasi output ini memberikan gambaran mengenai produktivitas sapi Pesisir dan dapat dijadikan sebagai titik dasar dalam melakukan perencanaan atau pengembangan peternakan di Kabupaten Banyuasin.
[2]
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Peternakan Terpadu
ISBN 978-602-60782-0-9 978
METODE PENELITIAN Penelitiandilakukan di Kabupaten Banyuasin,, Provinsi Sumatera Selatanselama empatbulan, bulan, dimulaidaribulan dimulaidaribulanSeptembersampaiOktober 2014. Tiga kecamatan yang diambil datanya meliputi Kecamatan Betung, Talang Kelapa dan Tanjung Lago. Ketiga kecamatan dipilih berdasarkan kepadatan populasi sapi potong di Kabupaten Banyuasin. Materi Materi yang digunakan pada penelitian ini adalah seluruh petani peternak yang memiliki sapi Pesisir sebagai responden. Respoden berjumlah 855 peternak dan 66 ekor sapi yang dipotong di Tempat Pemotongan Hewan (TPH). Metode Penelitian ini bersifat deskriptif ana analitis litis dengan metode survei. Data yang diambil meliputi data primer dan sekunder. Data primer diambil denganwawancaralangsung kepada peternak, sedangkan ddatasekunderdiambildariDinasPertaniandanPeternakan atasekunderdiambildariDinasPertaniandanPeternakan di Kabupaten Banyuasin. Data primer meliputi data reproduksi, komposisipopulasi dan persentase karkas. Data reproduksi yang diambil meliputi perkawinan, lama induk dan pejantan yang digunakan dalam pembiakan, umur penyapihan, service per conception,, perkawinan pertama setelah beranak, jarak beranak dan jumla jumlah h kelahiran. Persentase karkas diperoleh dengan menimbang bobot hidup sapi sebelum dipotong dan bobot karkas. Data komposisi populasi meliputi stuktur populasi dan jenis kelamin. Data sekunder yang diambil adalah data populasi sapi dari Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Banyuasin. Analisis data Penampilan reproduksi. Data dianalisa secara deskriptif serta dihitung rata-rata rata dan standar deviasinya. Rata-rata rata pemilikan sapi Pesisir per peternak per tahun, dihitung dengan rumus: N (awal) = N (akhir) + D Di+ G – Bi – E Pt =
Keterangan : N : jumlah populasi, N (awal): jumlah populasi awal (ekor), N (akhir): jumlah populasi akhir (ekor), Di: jumlah kematian terhadap populasi setahun (ekor), G: jumlah pengeluaran selama setahun (ekor), Bi: jumlah Kelahiran pedet terhadap populasi setahun (ekor), (ek E: jumlah pemasukan selama setahun (ekor), Pt : jumlah sampel sapi pesisir setahun (ekor), : pemilikan ternak rata rata-rata rata per peternak responden per tahun (ekor), R: jumlah peternak
[3]
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Peternakan Terpadu Efisiensi
reproduksi
(ER).
ISBN 978-602-60782 60782-0-9 Efisiensi
reproduksi
dihitung ung dengan rumus
(Hardjosubroto, 1994).
Keterangan; ER: efisiensi reproduksi, JB: jarak beranak, JA: jumlah anak, I 1B: induk 1 beranak, I 1K: induk 1 kawin, LB: lama bunting. Natural Increase (NI) per bangsa. NI = persentase kelahiran per tahun – persentase kematian per tahun (Sumadi et al., 2001) Kelahiran pedet (%) =
X 100%
Kematian sapi (%) =
X 100%
Nilai net replacement rate (NRR). Diperolehdarijumlahperbandinganternakmudacalonpenggantidibagidengankebutuhanternak pengganti per tahundikalikan 100% (sumadi (sumadiet al., 2001).Teori Teori pemuliaan ternak digunakan untuk menghitung output sapi potong dari suatu wilayah berdasarkan koefisien teknis sifat si produksi dan reproduksi. HASIL DAN PEMBAHASAN Penampilan Reproduksi. Penampilan reproduksi sapi Pesisir di Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan tahun 2014 tersaji pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa sapi Pesisir jantan dan betina rata-rata ta dikawinkan masing masing-masing masing pada umur
26,75±0,41 bulan dan
24,07±0,50 bulan. Hasil penelitian ini lebih cepat dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wirdahayati dan Bamualim (2007) yang melaporkan bahwa sapi Pesisir di Kabupaten Pesisir Selatan, an, umur bunting pertama kali sekitar 30 bulan dan umur beranak pertama kali sekitar 39 bulan atau 3,3 tahun. Umur pertama kali dikawinkan mempunyai dua kepentingan. Perkawinan pada umur muda dapat memperpendek interval generasi sehingga meningkatkan derajat at respon seleksi terhadap sifat sifat-sifat sifat genetik tertentu. Semakin cepat ternak dikawinkan maka semakin cepat ternak dapat berproduksi sehingga usaha peternakan semakin ekonomis (Lindsay et al., 1982). Lamanya perkawinan pertama di lokasi penelitian disebabkan pula oleh faktor pakan yang menyebabkan pencapaian bobot badan yang ideal agar betina dapat dikawinkan panjang. Dengan makanan dan manajemen yang baik seekor sapi dara dapat dikawinkan pada umur 10 sampai 15 bulan (Toelihere, 1994). Sapi potong dan sapi perah yang kurang baik pertumbuhannya baru dapat dikawinkan sesudah mencapai umur 18 sampai 24 bulan. Hal ini berarti bahwa sapi sudah dapat melahirkan anak pertama kali umur 27 bulan dan sel selambat-lambatnya lambatnya pada umur 33 bulan. [4]
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Peternakan Terpadu
ISBN 978-602-60782-0-9
Tabel 1. Penampilan reproduksi sapi Pesisir di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2014 Kecamatan Kab. Uraian (Pesisir) Talang Banyuasin Betung Tanjung Lago Kelapa Umur kawin 1 (bln) a.Jantan 26,84 26,3 27,1 26,75±0,41 b.Betina 24,00 24,6 23,6 24,07±0,50 Cara Kawin (%) a. IB 3,57 3,38 0 2,32±2,01 b. Alam 86,56 95,78 98,91 93,75±6,42 c. Campuran 9,87 0,84 1,09 3,93±5,14 Lama breeding (bln) a.Jantan 20,50 19,70 20,05±0,41 19,96 b. Betina 79,20 84,60 82,00 81,93±2,70 Umur penyapihan 7 6,7 7,2 6,97±0,25 (bln) Umur 1 beranak (bln) 33,2 33,4 32,8 33,13±0,31 Perkawinan pertama 3,3 4,4 3,9 3,87±0,55 setelah beranak (bulan) S/C (kali) 1,7 1,5 2 1,73±0,25 Jarak beranak (bln) 14,3 15,4 15,1 14,93±0,57 Kelahiran pedet 524 220 60 804 a. Terhadap induk 62,46 60,11 50,85 60,77 (%) b. Terhadap 26,72 26,73 19,48 26,00 populasi Pakan yang kurang jumlah dan kualitasnya akan mempengaruhi kecepatan sapi dara mencapai dewasa tubuh, sehingga saat birahi pertama muncul sapi tersebut belum bisa dikawinkan. Hewan-hewan betina muda tidak boleh dikawinkan sampai pertumbuhan badannya memungkinkan suatu kebuntingan dan kelahiran normal. Sapi-sapi dara sebaiknya dikawinkan menurut ukuran dan bobot badan bukan menurut umur (Toelihere, 1994). Dalam kondisi tertentu, perkawinan betina sengaja ditunda dengan maksud agar ternak tidak beranak terlalu kecil untuk menghindari terjadinya distokia (Lindsay et al., 1982).Sapi Pesisir memiliki postur tubuh yang kecil, sehingga untuk menghindari kejadian distokia sapi Pesisir betina dikawinkan dengan memperhatikan bobot badannya. Perkawinan sebagian besar dilakukan dengan perkawinan alam (93,75 ± 6,42 %). Hal tersebut karena pada lokasi penelitian program inseminasi buatan masih dalam proses inisiasi dan baru mulai diperkenalkan ke peternak. Peternak masih banyak mengawinkan ternaknya dengan cara perkawinan alam, sementara peternak yang menggunakan teknologi IB masih sedikit. Masalah utama dalam perkawinan alam adalah kurangnya pejantan yang [5]
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Peternakan Terpadu
ISBN 978-602-60782-0-9
memenuhi syarat sebagai bibit. Perkawinan yang terjadi dilapangan adalah pasture mating dan inbreeding, dimana perkawinan terjadi secara dilapangan penggembalaan dengan sapi tetangga yang potensinya sama rendahnya atau perkawinan antara bapak dengan anak, anak dengan ibu dan antara saudara-saudaranya. Dalam kedua sistem perkawinan ini tanpa pemilihan pejantan atau betina yang baik. Lama dalam pembiakan rata-rata untuk jantan 20,05 ± 0,41 bulan dan betina 81,93 ± 2,70 bulan. Lama pejantan di dalam pembiakan relatif singkat karena sapi jantan dipelihara dengan tujuan untuk digemukkan, sehingga jika pejantan telah mencapai berat tertentu akan segera dijual. Umur penyapihan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 6,97 ± 0,25 bulan. Pada lokasi penelitian pembatasan lama menyusui pedet belum pernah dilakukan. Pemeliharaan induk dan pedet dilokasi penelitian dilakukan dalam satu kandang atau tidak dipisahkan, sehingga pedet akan menyusu pada induk selama 24 jam. Pedet akan berhenti menyusu induk dengan sendiri apabila induk sudah bunting. Perkawinan pertama setelah beranak rata-rata 3,87 ± 0,55 bulan dengan angka service per conception 1,73 ± 0,25 kali. Birahi dapat terjadi pada 30-70 hari setelah melahirkan.Dengan lambatnya sapi disapih maka ovulasi pun akan lambat muncul sehingga siklus birahi makin panjang (Partodihardjo, 1987). Menyusui menghambat ovulasi pertama setelah melahirkan melalui penekanan fungsi LH dan rangsangan menyusui sedangkan pemerahan meningkatkan kadar prolaktin dalam darah (Carruther dan Hafs, 1980). Munculnya estrus pertama setelah melahirkan juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan termasuk ketersediaan pakan. Jika nutrisi terkonsumsi tidak mencukupi kebutuhan fisiologis ternak, maka penampilan reproduksi menurun yang ditandai dengan penurunan fungsi ovarium, sehingga folikel tidak berkembang dan kadar hormon estrogen menjadi rendah. Sebaliknya pemberian pakan dengan nutrisi yang cukup dan bermutu akan memicu estrus pascapartus dan ovulasi 23 hari lebih awal (Ciccioli dan Wettemann, 2000). Dalam penelitian ini, sebagian besar sapi memperoleh pakan saat dipadang penggembalaan dengan jumlah dan kualitas sesuai dengan ketersediaan di padang penggembalaan sesuai dengan musim. Rumput yang paling banyak tersedia adalah rumput lapangan. Pemberian pakan dikandang hanya di lakukan sekali sehari. Sapi potong di daerah tropis biasanya sangat tergantung pada rumput alami dan kandungan protein kasar pada pakan sering di bawah 7,5% sehingga menyebabkan lamanya periode anestrus pascapartus (Butler et al., 1981). Hal yang sama dilaporkan oleh Bearden dan Fuquay (1992) bahwa level intake energy yang rendah akan menyebabkan lamanya anestrus pascapartus pada sapi potong. Angka S/C dalam penelitian ini cukup baik. Service per conception yang ideal adalah 1, dan dengan manajemen yang baik S/C berkisar 1,3 sampai 1,6 dan dikatakan jelek kalau lebih besar atau sama dengan 2 (Dowell, 1972). Semakin rendah nilai S/C maka semakin tinggi nilai fertilitasnya, sebaliknya semakin tinggi nilai S/C akan semakin rendah tingkat fertilitasnya (Astuti, 2004). Jarak [6]
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Peternakan Terpadu
ISBN 978-602-60782-0-9
beranak atau calving interval rata-rata dalam penelitian ini adalah 14,93 ± 0,57 bulan. Calving interval dalam penelitian ini belum ideal. Jarak waktu beranak (CI) yang ideal adalah 12 bulan, yaitu 9 bulan bunting dan 3 bulan menyusui (Hadi dan Ilham, 2004). Terdapat korelasi antara jarak kelahiran dengan munculnya estrus pascapartus. Sapi yang dikawinkan 60 hari pasca partum dan 90 hari pasca partum dapat memperoleh hasil jarak beranak yang optimal yaitu 12 sampai 13 bulan (Udin, 2007). Tingkat kelahiran pedet pada penelitian ini adalah 60,77 % terhadap induk dan 26 % terhadap populasi. Persentase kelahiran yang diperoleh dalam penelitian ini terhadap populasi rendah. Hafez (1993) menyatakan ukuran efisiensi reproduksi yang baik adalah angka kelahiran sebesar 90% dan angka panen pedet lebih dari 85%. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain jarak beranak yang panjang yaitu 14,93 ± 0,57 bulan dan umur penyapihan yang panjang 6,97±0,25 bulan. Menurut Santosa (2001), salah satu yang menyebabkan rendahnya tingkat kelahiran ternak adalah calving interval yang panjang. Calving interval dipengaruhi oleh jarak waktu perkawinan sampai terjadinya kebuntingan dan lama bunting. Berdasarkan data umur pertama kali kawin, induk pertama kali beranak dan jarak kelahiran maka dapat dihitung nilai efisiensi reproduksi (ER). Nilai ER sapi Pesisir dalam penelitian ini sebesar 99,60%. Nilai ER ini relatif baik karena hampir mencapai ER 100%. Untuk menghasilkan nilai efisiensi reproduksi sebesar 100%. Umur pertama kali beranak sapi potong adalah 27 bulan, selang beranak 16 bulan dan lama bunting 9 bulan (Sumadi et al., 2001). Sedangkan pada penelitian ini umur pertama kali beranak tinggi (33,13 ± 0,31 bulan). Penyebab umur pertama kali beranak tinggi pada lokasi penelitian ini dipengaruhi oleh umur induk pertama kali dikawinkan yaitu 24,07±0,50 bulan. Komposisi dan pemilikan sapi Komposisi dan pemilikan sapi Pesisir dari peternak responden disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi dan pemilikan sapi Pesisir di Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2014 Kab. Kecamatan Komposisi Banyuasin Betung Tanjung lago Talang kelapa Dewasa a. Jantan b. Betina c. Jumlah Muda a. Jantan b. Betina
(ekor) (%) (ekor) (%) (ekor) (%)
183 9,33 839 42,78 1022 52,12
44 14,29 118 38,31 162 52,60
62 7,53 366 44,47 428 52,00
289 9,35 1323 42,79 1612 52,14
(ekor) (%) (ekor) (%)
194 9,89 255 7,80
44 14,29 39 12,66
75 9,11 125 15,19
313 10,12 419 13,55
[7]
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Peternakan Terpadu Betung
Kecamatan Tanjung lago
Talang kelapa
Kab. Banyuasin
(ekor) (UT) (%)
449 269,4 13,74
83 49,8 26,95
200 120 24,30
732 439,2 23,67
(ekor) (%) (ekor) (%) (ekor) (%) (ekor) (%) (ekor) (%) (ekor) (%)
203 10,35 287 3,66 490 6,25 1961 63,42 580 29,58 1381 70,42
24 7,79 39 12,66 63 20,45 308 9,96 112 36,36 196 63,64
97 11,79 98 11,91 195 23,69 823 26,62 234 28,43 589 71,57
324 10,48 424 13,71 748 24,19 3092 100,00 926 29,95 2166 70,05
497
110
248
855
3,95
2,80
3,32
3,62
2,84
2,07
2,41
2,62
Komposisi c. Jumlah
Pedet a. Jantan b. Betina c. Jumlah Total a. Jantan b. Betina
ISBN 978-602-60782-0-9
Jumlah responden Pemilikan/ (ekor) responden (UT)
Natural Increase (NI) dan Net Replacement Rate (NRR) Natural increase diperolehdengan mengurangkantingkat kelahiran dengan tingkat kematian dalam suatu wilayah tertentu dan waktu tertentu yang biasanya diukur dalam waktu satu tahun (Sumadi et al., 2001).Natural increase tertinggi diperoleh jika semua induk dalam populasi melahirkan semua tanpa ada kematian. Gambaran kenaikan produktivitas ternak terlihat dari naiknya nilai NI. Naiknya nilai NI ini disebabkan oleh adanya perbaikan mutu genetik ternak dan penurunan angka kematian (Hardjosubroto et al., 1990). Tabel 3. Pertambahan alami sapi Pesisir di Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2014 Peubah (Variabel) Jumlah (Total) Tingkat kelahiran (%) Terhadap induk 66,01 Terhadap populasi 28,24 Tingkat kematian ternak terhadap populasi (%) 1,16 Natural increase (%) 27,08 Pada Tabel 3 tampak bahwa nilai natural increase untuk sapi Pesisir sebesar 27,08% atau dalam kategori sedang (tinggi 28,53% sampai 42,78%; sedang 14,27% sampai 28,52%; rendah 0 sampai 14,26%).Rendahnya nilai NI ini diduga disebabkan rendahnya [8]
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Peternakan Terpadu
ISBN 978-602-60782-0-9
jumlah kelahiran baik terhadap betina dewasa ataupun populasi. Nilai natural increase ini perlu terus ditingkatkan dengan jalan mengeluarkan betina-betina yang tidak produktif, menekan kematian serta perbaikan manajemen pemeliharaan. Nilai net replacement rate Sapi (NRR) diperoleh dari perbandingan jumlah ternak muda calon pengganti dengan kebutuhan ternak pengganti pertahun dikalikan 100%. Nilai NRR digunakan untuk mengetahui apakah jumlah kelahiran ternak dapat menutupi kebutuhan akan ternak pengganti agar populasi tetap konstan. Jika NRR<100% maka kebutuhan ternak pengganti tidak terpenuhi, sebaliknya bila NRR>100% maka kebutuhan ternak pengganti tercukupi. Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai NRR sapi Pesisir jantan dan betina sebesar 167,37% dan 245,22 % atau surplus 67,37% dan 145,22%.Dari hasil perhitungan NRR dapat disimpulkan bahwa lokasi penelitian dapat dijadikan sebagai sumber bibit atau sapi Pesisir dari lokasi penelitian ini dapat diigunakan untuk pengembangan populasi atau dijual ke daerah lain. Tabel 4. Nilai net replacement rate sapi Pesisir di Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan tahun 2014 Uraian (item) Persen (%) Jantan (male) Ramalan jantan muda yang hidup umur 2 tahun (%) Kebutuhan jantan pengganti (%) Net Replacement Rate (%) Betina (female) Ramalan betina muda yang hidup umur 2 tahun (%) Kebutuhan induk pengganti (%) Net Replacement Rate (%)
11,67 6,97 167,37 15,36 6,26 245,22
Estimasi Output Potensi (output) dihitung berdasarkan koefisien teknis yang diperoleh dari lama ternak digunakan dalam pembiakan (dihitung dari batas umur pemeliharaan-umur pertama kali dikawinkan; nilai natural increase; persentase kematian ternak; persentase ternak dewasa dan nilai net replacement rate. Komposisi output ternak tergantung dari beberapa persen ternak yang harus disingkirkan dan digantikan dengan ternak muda yang dipakai sebagai ternak pengganti (replacement stock) (Hardjosubroto, 1987). Apabila pengeluaran ternak sama dengan NI-nya dalam suatu wilayah maka populasi ternak akan seimbang sehingga dapat dikatakan bahwa output ternak dalam suatu wilayah adalah sama dengan NI-nya. Estimasi output sapi potong di Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2014 seperti pada Tabel 5.
[9]
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Peternakan Terpadu
ISBN 978-602-60782-0-9
Tabel 5. Estimasi output sapi Pesisir di Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan tahun 2014 Uraian (item) Persen (%) Sex rasio kelahiran (jantan: betina) Natural Increase a. Jantan b. Betina Kebutuhan ternak pengganti (%) a. Jantan b. Betina Jumlah sapi pada umur 2 tahun berdasarkan angka kematian ternak muda sebesar 0,19% a. Jantan b. Betina Sisa replacement stock a. Jantan b. Betina Ternak Afkir a. Jantan b. Betina
44,03:55,97 27,08 11,70 15,38 13,23 6,97 6,26 27,03 11,67 15,36 13,80 4,70 9,10 13,23 6,97 6,26
Pada Tabel 5. dapat dilihat bahwa persentase dan komposisi sapi Pesisir yang dapat dikeluarkan atau output sapi Pesisir yang dapat dikeluarkan tanpa menganggu populasi yang ada sebesar 27,03% setara 8.083 ekor yang terdiri atas sisa replacement stock sebesar 13,80 % setara 4.127 ekor yang terdiri jantan 4,70%setara 1.406 ekor dan betina 9,10% setara 2.721 ekor serta ternak afkir sebesar 13,23% setara 3.956 ekor yang terdiri atas ternak jantan 6,97%setara 2.084 ekordan betina 6,26%setara 1.872 ekor. KESIMPULAN output sapi Pesisir yang dapat dikeluarkan tanpa menganggu populasi yangada sebesar 27,03% setara 8.083 ekor yang terdiri atas sisa replacement stock sebesar 13,80 % setara 4.127 ekor yang terdiri jantan 4,70% setara 1.406 ekor dan betina 9,10% setara 2.721 ekor serta ternak afkir sebesar 13,23% setara 3.956 ekor yang terdiri atas ternak jantan 6,97% setara 2.084 ekor dan betina 6,26% setara 1.872 ekor. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu, terutama untuk Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Banyuasin beserta staf serta segenap penyuluh dan petugas lapangan Kecamatan Betung, Tanjung Lago dan Talang Kelapa atas kerjasama serta fasilitas yang diberikan selama kegiatan survei dan pengambilan data di lapangan.
[10]
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Peternakan Terpadu
ISBN 978-602-60782-0-9 DAFTAR PUSTAKA
Adrial. 2010. Potensi Sapi Pesisir dan Upaya Pengembangannya di Sumatera Barat. Jurnal Litbang Pertanian. 29(2):66-72 Anonimus. 2014. Populasi ternak menurut jumlahnya tahun 2013. Data Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. Banyuasin. Anwar, S. 2004. Keragaman Karakter Eksternal dan DNA Mikrosatelit Sapi Pesisir Sumatera Barat. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.Bogor Astuti, J.M. 2004. Potensi dan Keragaman Sumberdaya Genetik Sapi Peranakan Ongole (PO). Prosiding Lokakarya Nasional Sapi Potong. Puslitbangnak. Bogor Bearden, H.J. and J. Fuquay. 1992. Appl. Anim. Reproduct. Reston Publishing Company, Inc. A Prentice-Hall Company Reston. Virginia. Butler, W.R., R.W. Everett, and C.E. Coppock. 1981. The relationships between energy balance, milk production dan ovulation in postpartum Holstein cows. J. Anim. Sci. 53:742-748. Carruther. T.D. ruld H.D. Hafs. 1980. Snekhing and Four Times Daily Milking:. Influence on Ovulation, Estrus dan Serum Luteinizing Hormon, Glucocortkords ruld ProIhctin in Postpartum Holstein. J. Anim. Sci. 50 : 919 - 925. Ciccioli, N.H. and R.P. Wettemann. 2000. Nutritional effects on estrus dan ovarian activity of spring calving first-calf heifers. Anim. Sci. Res. Report:160-163. Crouse, J.D., D.L. Ferrel and L.V. Cundiff.1985. Effect of sex condition, genotype and diet on bovine growth and carcass characteristics. J. Anim. Sci. 60(5):1219-1227. Dedek, S.D. 2007. Perbandingan persentase bobot karkas sapi Pesisir, sapi Peranakan Ongole (PO) dan sapi Bali yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) kota Padang. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Andalas. Padang Dowell, R.E.M. 1972. Improve of Livestock Production in Warm Climete. WH Preeman and Company, San Fransisco. London. Hadi, U dan Ilham, N. 2002. Problem dan Prospek Pengembangan Usaha Pembibitan Sapi Potong di Indonesia. Pusat Penelitian danPengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor HafezESE. 1993. Reproduction in farm animal. 6thEdition.Lea and Febriger.Philadelphia. Hardjosubroto, W. 1987.Metodepenentuan output ternak yang dapat di potongdarisuatuwilayah (DIY). LaporanPenelitianProyekPengembanganIlmudanTeknologi.DirektoratBinlitabnas, DitjenDiktiDepartemenPendidikandanKebudayaan.FakultasPeternakanUniversitasGa djahmada, Yogyakarta. Hardjosubroto, W., P. A. Supriyono, D. Sularsasa, dan Sumadi. 1990. Persentase panen pedet (calf crop) pada sapi potong di Dati II Pati dan Purworejo Jawa Tengah. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
[11]
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Peternakan Terpadu
ISBN 978-602-60782-0-9
Hendri, Y. 2013. Dinamika pengembangan sapi pesisir sebagai sapi lokal Sumatera Barat. J.Litbang Pert. 32(1) : 39-45 Keyartono. 1990. Pengaruh Tingkat Pemberian Ampas Sagu (Metroxylon sp.) Terhadap Efisiensi Penggunaan Ransum Sapi Brahman cross. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kirton, A.H., P.D Foure and K.E. Jury, 1972. Grouth and development of sheep. III. Grouth The Carcass and Non Carcass Component Of Southdown And Romney And Their Cross And Relationship With Copmosition, New Zealand J. Agric. Res. 15 : 214227. Lindsay DR, Enwistle dan A Winantea. 1982. Reproduksi Ternak di Indonesia. Universitas Brawijaya. Malang. Otsuka, J., T. Namikawa, K. Nozawa, and H. Martojo. 1982. Statistical Analysis on the Body Measurements of East Asian Native Cattle and Bantengs: The Origin and Phylogeny of Indonesia Native Livestock (Part III). The Research Group of Overseas Scientific Survey. Partodiharjo, S. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara. Jakarta. Saladin R. 1983. Penampilan Sifat-sifat Produksi dan Reproduksi Sapi Lokal Pesisir Selatan di Provinsi Sumatera Barat. Disertasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Santosa U. 2001. ProspekAgribisnisPenggemukanPedet. Penebar Swadaya. Jakarta. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Edisi ke-7. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta Simatupang, I. 2006. Perbandingan karakteristik karkas sapi Pesisir dan sapi Bali Jantan di Rumah Potong Hewan Lubuk Buaya Padang. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Andalas. Padang Sumadi. 2001. Estimasi dinamika populasi dan out put kambing peranakan ettawah di kabupaten kulon progo. Buletin Peternakan 25 (4). Sumadi, W Hardjosubroto dan N Ngadiyono. 2004. Analisis Potensi Sapi Potong Bakalan di Daerah Istimwa Yogyakarta (Potency Analysis of Feeders Beef Cattle at Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Hal: 130-139. Sumadi, H. Mulyadi, T. Hartatik dan R. D. Mundingsari. 2011. Estimasi potensi pembibitan sapi potong di Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan Hibah Penelitian Tematik Laboratorium. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Toelihere MR. 1994. Fisiologi reproduksi pada ternak. Penerbit Angkasa. Bandung Udin Z. 2007. Pengaruh jarak kawin pertama pascapartum terhadap angka kebuntingan sapi potong di kota padang. J. Peternakan (4) No.1 : 13-19. Wirdahayati R. B dan A. Bamualim. 2007. Produktivitas ternak sapi lokal Pesisir dan daya dukung padang pengembalaan di Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Departemen Pertanian. Bogor. Hal: 122-131 [12]