Peran Inovasi Teknologi Pertanian Berbasis Sumber Daya Lokal untuk Mendukung Kemandirian Pangan
PERAN INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL UNTUK MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN The Role of Agricultural Technology Innovation Based on Local Natural Resources to Support Food Sovereignty Haryono Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jl. Ragunan 29, Pasar Minggu Jakarta Selatan E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Agricultural technology innovation in the forms of products, know-how, and agricultural equipments and machineries is a prime-mover in national agricultural development. In recent times, where the gap between food supply and food demand still exists, the agricultural technology innovation is directed specifically to lessen or avoid yield losses. To support for food sovereignty in a wider scale, the role of agricultural innovation comes in seven innovation subsystems as part of national agricultural system that deserves implementation by all working units under Indonesia’s Agency for Agricultural Research and Development/IAARD. These subsystems are: (1) innovation of land, water and agroclimate management, (2) innovation on sustainable production, (3) innovation on logistic and distribution, (4) innovation on post-harvest and processing, (5) innovation on environmental management and agricultural resources conservation, (6) innovation on product marketing and trade, and (7) innovation on co-ordination and integration with agricultural related crosssector. Keywords : innovation, agricultural equipments and machineries, agroclimate, marketing
ABSTRAK Inovasi teknologi pertanian berupa produk, pengetahuan, maupun alat dan mesin pertanian merupakan salah satu penggerak utama dalam pembangunan pertanian nasional. Pada keadaan kasus saat ini misalnya, di mana kesenjangan antara penawaran pangan dengan permintaan pangan masih terjadi, maka inovasi teknologi pertanian diupayakan berperan untuk mengurangi atau menghindari kehilangan hasil. Dalam mendukung kemandirian pangan yang lebih luas, peran teknologi pertanian dimanifestasikan dalam tujuh sub sistem inovasi sebagai bagian dari sistem pertanian nasional yang perlu digarap bersama oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian/Badan Litbang Pertanian, adalah: (1) inovasi pengelolaan lahan, air dan agroklimat, (2) inovasi produksi berkelanjutan, (3) inovasi logistik dan distribusi, (4) inovasi pasca panen dan pengolahan, (5) inovasi pengendalian lingkungan dan konservasi sumber daya pertanian, (6) inovasi pemasaran hasil dan perdagangan, dan (7) inovasi koordinasi dan integrasi lintas sektor terkait pertanian. Kata kunci : inovasi, alat dan mesin pertanian, agroklimat, pemasaran
3
Haryono
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki basis ekonomi di bidang pertanian dan kelautan. Oleh karena itu, inovasi teknologi pertanian berupa produk, pengetahuan, maupun alat dan mesin pertanian merupakan salah satu penggerak utama dalam pembangunan pertanian nasional. Sebagaimana diketahui bahwa sektor pertanian memegang peranan yang penting karena merupakan sektor yang menghidupi mayoritas penduduk yaitu penduduk yang ada di perdesaan dengan profesi sebagai petani”. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan ekonomi dan pengembangan industri mestinya juga difokuskan pada aktivitas yang memiliki keterkaitan dengan kepentingan mayoritas tersebut. Isu strategis pembangunan pertanian di Indonesia terkait dengan upaya Indonesia untuk terus meningkatkan indeks harapan hidup atau human development index (HDI) yang pada tahun 2012 telah mencapai 0,68 dan diharapkan pada tahun 2013 ini Indonesia sudah masuk dalam kategori 15 negara yang ekonominya terbesar di dunia dengan meningkatkan angka harapan hidup, pendapatan, dan pendidikan. Pada masa tersebut, Indonesia perlu menyediakan pangan untuk dunia yang sudah memasuki era golongan menengah yang menuntut kualitas, keamanan, dan kontinuitas suplai untuk pangan (food), serat (fibre), energi-minyak (fuel), dan pakan (feed). Saat ini Indonesia sudah berada pada masa transisi 1-2 dari tahapan factor driven ke efficiency driven dan mulai menuju transisi 2-3 yang mengarah pada innovation driven yang dicirikan dengan semakin meluasnya jaring laba-laba yang menunjukkan aspek indikator penciri tahapan perkembangan suatu negara. Guna mengimbangi masa transisi tersebut, implikasinya adalah penguatan R & D. Komoditas unggulan pertanian selain diharapkan dapat mendukung ketahanan pangan nasional berkelanjutan, juga sebagai sumber devisa dan tenaga kerja, mendukung swasembada pangan, dan meningkatkan daya saing dalam kerangka feed the world. Oleh karena itu, grand strategy pembangunan sektor pertanian menuju swasembada pangan yang kompetitif dan berkelanjutan serta mendorong produk-produk unggulan menjadi primadona dunia dapat dilakukan melalui: perbaikan perencanaan, pembiayaan, peningkatan produktivitas, peningkatan nilai tambah dan pemasaran. Di samping itu juga perlu harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan, roadmap, dan manajemen data yang akurat dan mutakhir. Agar suatu inovasi pertanian dapat diterapkan dan mencapai hasil yang ditargetkan, diperlukan berbagai prasyarat terkait dengan pihak yang membawa inovasi, jenis inovasi, saluran yang digunakan, kesiapan penerima dan proses dari diseminasi itu sendiri. Inovasi pertanian yang diharapkan dapat diadopsi oleh masyarakat haruslah jelas spesifikasinya, dalam arti dapat diukur dampak dari inovasi yang disosialisasikan. Inovasi teknologi pertanian berbasis sumber daya lokal merupakan salah satu aspek penting untuk mendukung kemandirian pangan.
4
Peran Inovasi Teknologi Pertanian Berbasis Sumber Daya Lokal untuk Mendukung Kemandirian Pangan
VISI PEMBANGUNAN PERTANIAN KE DEPAN MENUJU KEMANDIRIAN PANGAN
Visi pembangunan pertanian dalam kerangka Masterplan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) tahun 2025 (Perpres, 2011) adalah mengangkat Indonesia menjadi negara maju dan merupakan kekuatan 12 besar dunia di tahun 2013 melalui pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif dan berkelanjutan. Pembangunan pertanian merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), khususnya RPJMN tahun 2010-2014, dimana ditargetkan bahwa pada tahun 2014 pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 6,3-6,8 persen per tahun dengan rata-rata tumbuh 7 persen sebelum tahun 2014 dan tahun 2014 tumbuh antara 7-7,7 persen. Selanjutnya pada tahun 2014-2025 pertumbuhan ekonomi mencapai 8-9 persen per tahun (Gambar 1).
Gambar 1. Visi Pembangunan Nasional dalam Kerangka MP3EI.
Pembangunan pertanian ditujukan salah satunya untuk mendukung ketahanan pangan yang dicirikan di antaranya dengan mudahnya masyarakat mengakses pangan secara tepat jumlah dan waktu serta harga terjangkau secara berkelanjutan. Pembangunan pertanian ke depan Oleh karena itu, Sistem Logistik mendukung Pertanian Nasional menjadi penting. Senada dalam konsep MP3EI, enam koridor ekonomi yang merupakan satu kesatuan luasan wilayah tanpa membedakan unsur daratan dan lautan merupakan basis dalam pengembangan
5
Haryono
sistem logistik nasional. Mengingat Indonesia adalah negara kepulauan, maka terdapat beberapa jalur yang saling terhubungkan dalam konsep sistem logistik nasional. Dalam konsep MP3EI, program konektivitas nasional sangat mendukung sistem logistik nasional termasuk dalam mendukung kegiatan ekonomi di pusatpusat pertumbuhan termasuk dalam mendukung pembangunan kawasan kegiatan ekonomi sektor pertanian sekaligus dalam mekanisme distribusi input dan output. Kerangka kerja konektivitas nasional dalam mendukung pembangunan pertanian terkait dengan empat aspek, yaitu sistem logistik nasional, ICT atau teknologi informasi dan komunikasi, pengembangan wilayah, serta sistem transportasi nasional-lintas koridor yang terintegrasi pula dengan sistem global. Sistem Informasi dalam Konteks Konektivitas Pencapaian Ketahanan Pangan dapat pula dikembangkan dengan sistem aplikasi berbasis Web-GIS dengan substansi seperti: ketersediaan pangan, kerawanan pangan, distribusi pangan, penyediaan cadangan pangan, penganekaragaman konsumsi pangan, penanganan keamanan pangan, dan manajemen ketahanan pangan. Kemandirian pangan perlu didukung oleh ketersediaan lahan yang cukup untuk produksi pangan sebagai jaminan muatan aspek distribusi pangan. Dibandingkan dengan rasio lahan (lahan kering dan lahan sawah)-penduduk untuk tanaman pangan di beberapa negara (Brazil, Bangladesh, Vietnam, Thailand, India, dan Australia), Indonesia memiliki rasio lahan per kapita yang paling rendah 2 yaitu hanya 558 m /orang (Tabel 1). Berdasarkan fenomena tingginya risiko gejolak harga dan pasokan pangan di pasar internasional, maka adalah tidak bijaksana jika Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang lebih dari 244 juta jiwa, harus menyandarkan pasokan pangan pokoknya, pada pasar internasional. Sebagai negara agraris dan maritim yang besar, sudah selayaknya jika Indonesia mempunyai kemandirian dalam penyediaan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduknya. Oleh karena itulah, maka kemandirian pangan, terutama bagi lima komoditas pangan pokok strategis, yaitu padi, jagung, kedelai, gula dan daging sapi tetap menjadi prioritas dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Tabel 1. Rasio Lahan (Lahan Kering dan Lahan Sawah) Penduduk untuk Tanaman Pangan di Beberapa Negara
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
6
Negara Indonesia Vietnam Thailand India China Bangladesh Australia Brazilia
Luas lahan (ribu ha) 13.386 7.500 31.839 161.750 143.625 8.085 50.304 58.865
Jumlah Penduduk (ribu) 240.000 78.137 60.925 1.016.938 1.282.172 123.406 19.153 171.796
Lahan per kapita (m2/orang) 558 960 5.230 1.290 1.120 655 26.100 3.430
Peran Inovasi Teknologi Pertanian Berbasis Sumber Daya Lokal untuk Mendukung Kemandirian Pangan
Namun demikian, pencapaian target ketahanan pangan dan energi dibayangi-bayangi oleh beberapa ancaman dan kendala biofisik yang harus diantisipasi dan ditanggulangi. Selain alih fungsi lahan sawah produktif, perubahan iklim sebagai derivasi dari pemanasan global, ancaman serius lain yang dihadapi adalah degradasi sumberdaya lahan, air dan lingkungan (erosi, longsor, pencemaran), serta meluasnya lahan terdegradasi dan terlantar. Saat ini, lahan sawah yang luasnya sekitar 8,1 juta hektar cenderung menciut akibat konversi, bahkan dalam 10 tahun terakhir, terjadi juga alih fungsi lahan sawah menjadi lahan perkebunan sawit. Sekitar 3,1 juta ha atau 42 persen lahan sawah juga dibayangbayangi oleh ancaman alih fungsi, terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RT-RW) Kabupaten/Kota seluruh Indonesia. Padahal, karena keterbatasan anggaran, serta berbagai faktor sosial ekonomi, aspek kepemilikan lahan dan kendala lainnya di lapang, kemampuan pemerintah dalam pencetakan sawah hanya sekitar 30-40 ribu hektar per tahun. Pembangunan pertanian ke depan diarahkan pada pengembangan konsep untuk pembangunan pertanian yang berkelanjutan sebagai bagian dari alam (sustainable agriculture). Berdasarkan tren kebutuhan pangan nasional terutama padi, jagung, dan kedelai, maka hingga tahun 2025 dibutuhkan 4,7 juta lahan bukaan baru. Untuk menjamin produksi beras hingga tahun 2025, dibutuhkan perluasan areal sawah sekitar 1,4 juta ha, sedangkan untuk kedelai sekitar 2 juta ha dan untuk tanam jagung sekitar 1,3 juta ha. Apalagi hingga tahun 2050, diperlukan tambahan lahan sekitar 14,9 juta ha yang terdiri atas 5 juta ha lahan sawah, 8,7 juta ha lahan kering, dan 1,2 juta ha lahan rawa. Di sisi lain, selain hutan primer pada umumnya lahan yang tersedia adalah lahan sub optimal termasuk lahan yang sudah terdegradasi atau terlantar. Oleh sebab itu, opsi utama yang harus ditempuh untuk memenuhi kebutuhan pangan dan energi serta komoditas lainnya di masa yang akan datang, adalah pengembangan dan optimalisasi lahan sub optimal dan terdegradasi. Lahan sub optimal adalah lahan yang secara alamiah mempunyai produktivitas rendah (karena faktor internal seperti sifat fisik, kimia & biologi tanah, dan /atau faktor eksternal seperti iklim, lingkungan) dan lahan terdegradasi akibat pengelolaan yang tidak tepat, termasuk lahan terlantar di lahan kering & lahan rawa. Kategori lahan yang termasuk lahan LSO, di antaranya adalah: a) Lahan kering masam (contoh:pH <5, CH >2000 mm), b) Lahan kering iklim kering (contoh: CH <2000 mm), c) Lahan rawa pasang surut (contoh: sulfat dan salinitas), d) Lahan rawa lebak (genangan >4 bulan), dan e) Lahan gambut. Saat ini, terdapat sekitar 157 juta ha lahan LSO dan 91,9 juta ha di antaranya memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Saat ini, sebagian besar (70%) LSO sudah mulai dimanfaatkan (Tabel 2). Pengembangan dan optimalisasi lahan sub optimal disasarkan pada beberapa aspek, yaitu: produktivitas, efisiensi produksi, kelestarian sumberdaya dan lingkungan serta kesejahteraan petani. Keempat sasaran tersebut dapat diwujudkan melalui dukungan inovasi teknologi dan kelembagaan. Optimalisasi lahan sub optimal dapat ditempuh melalui dua pendekatan, yaitu: 1) Optimalisasi pemanfaatan lahan sub optimal eksisting (baik lahan sawah maupun lahan kering), agar lebih produktif dan lestari, melalui intensifikasi dengan dukungan inovasi.
7
Haryono
Sasaran utamanya adalah peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam/ indeks pertanaman (IP), 2) Ekstensifikasi atau perluasan areal pertanian baru dengan memanfaatkan lahan sub optimal yang potensial dengan skala prioritas tertentu. Terkait dengan misi dari Inpres No.06/2013 tentang Jeda Pemberian Izin atau Pembukaan Hutan dan Lahan Gambut, maka prioritas utama perluasan areal adalah memanfaatkan lahan sub optimal terdegradasi atau terlantar (abondance land). Optimalisasi sumberdaya lahan pertanian, khususnya lahan sub optimal dibutuhkan strategi yang didukung oleh kebijakan terpadu dan sinergi antar sektorsektor pembangunan terkait, antara lain Kehutanan, BPN, PU, Transmigrasi dan Dalam Negeri, serta Pemerintah Daerah dan Swasta/BUMN. Tabel 2. Potensi LSO di Indonesia Berdasarkan Agroekosistem. Agroekosistem LK masam LKIK Rawa ps surut Rawa Lebak Gambut Total
LSO (ha) 108.775.830 13.272.094 11.031.956 9.261.110 14.905.575 157.246.565
Potensi LSO untuk Pertanian (ha) 62.647.199 7.762.543 9.319.675 7.499.975 4.675.250 91.904.643
TUGAS BADAN LITBANG PERTANIAN DALAM MENGEMBANGKAN INOVASI PERTANIAN MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN Tugas utama Badan Litbang Pertanian dalam mengembangkan inovasi pertanian mendukung kemandirian pangan, adalah: a) Penciptaan Varietas Unggul Baru (VUB) pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan, b) Penciptaan inovasi teknologi, dan c) Diseminasi inovasi teknologi. Sedangkan fokus pengembangan teknologi dalam pembangunan pertanian dilaksanakan pada penciptaan tenologi, yang terdiri atas: a) Benih/bibit, Pupuk dan pestisida, Alsintan dan Teknologi pengolahan untuk peningkatan produksi, produktifitas dan nilai tambah yang berdaya saing, b) Mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, c) Optimalisasi pemanfaatan dan konservasi sumber daya pertanian, dan d) Pengembangan bio-energy berbasis bahan baku lokal (produk dan limbah) terbarukan untuk memenuhi kebutuhan energi masyarakat khususnya di perdesaan dan mensubstitusi BBM. Saat ini, masih terdapat kesenjangan antara supplai pangan dengan permintaan pangan. Dalam kondisi bussiness as usual, supplai pangan jauh di bawah permintaan pangan. Peran inovasi teknologi pertanian diupayakan untuk mengurangi atau menghindari kehilangan hasil. Namun demikian, melalui inovasi untuk peningkatan produktivitas diharapkan dapat meningkatkan supplai pangan. Suplai pangan akan jauh meningkat apabila permintaan pangan dapat ditekan dan produksi dapat ditingkatkan melalui pemanfaatan optimalisasi LSO dan aplikasi teknologi tinggi melalui biotechnology, iradiasi, biodiversity, dan precision farming (Gambar 2).
8
Peran Inovasi Teknologi Pertanian Berbasis Sumber Daya Lokal untuk Mendukung Kemandirian Pangan
Gambar 2. Sub Sistem Inovasi sebagai Bagian dari Sistem Pertanian Nasional Peran teknologi pertanian dalam mendukung kemandirian pangan dimanifestasikan dalam tujuh sub sistem inovasi sebagai bagian dari sistem pertanian nasional yang perlu digarap bersama oleh Badan Litbang Pertanian, adalah sebagai berikut: 1. Inovasi pengelolaan lahan, air dan agroklimat 2. Inovasi produksi berkelanjutan 3. Inovasi logistik dan distribusi 4. Inovasi pasca panen dan pengolahan 5. Inovasi pengendalian lingkungan dan konservasi sumber daya pertanian 6. Inovasi pemasaran hasil dan perdagangan 7. Inovasi koordinasi dan integrasi lintas sektor terkait pertanian Ketujuh inovasi tersebut diperlukan karena Kementerian Pertanian merupakan bagian kecil dari pelaku pembangunan pertanian secara keseluruhan (nasional). Beberapa contoh varietas tanaman pangan unggul inovasi Badan Litbang yang telah operasional mendukung kemandirian pangan adalah sebagai berikut. 1.
Kontribusi Varietas Unggul (padi) dengan jenis varietas daya hasil tinggi sebanyak 210 varietas (inbrida dan hibrida) dengan nama varietas yang populer di antaranya adalah Ciherang, Cibogo, Cigeulis, IR64, Mekongga, Way Apo Buru, Sintanur, Cimelati, HiPa 5 Ceva, HiPa 6 Jete, Maro, Rokan, Aek Sibundong, Inpari, Inpara, dan Inpago. Areal panen yang ada saat ini sekitar 12,0 juta ha dengan proporsi adopsi varietas 90,0 persen dan
9
Haryono
peningkatan hasil sebanyak 0,5-1 t/ha dengan nilai tambah sebesar Rp 22,68 – Rp 43,30 T. 2.
Varietas jagung dengan daya hasil tinggi selama tahun 2005–2009 adalah sebanyak: 6 varietas (hibrida dan komposit) dan tahun 2010–2012 sebanyak: 9 varietas (hibrida dan komposit). Varietas yang populer pada tahun 20052009 di antaranya adalah Bima 2-6; tahun 2010-2012 di antaranya adalah: Bima 12-16, Provit A1 dan Provit A2, Bima Putih 1 dan 2. Areal panen jagung seluas 4 juta ha dengan proporsi adopsi varietas sebesar 65,00 persen dan peningkatan hasil sebesar 1,0 ton/ha, dengan nilai tambah Rp 3,9 T.
3.
Varietas kedelai berdaya hasil tinggi selama 2005-2009 sebanyak: 7 varietas dan tahun 2010-2012 sebanyak 2 varietas. Varietas yang popular di masyarakat untuk 2005-2009 di antaranya: Anjasmoro, Grobogan, Gepak Ijo, Gepak kuning, Detam 1 dan 2, Merapi dan Cikuray. Sedangkan varietas yang populer pada tahun 2010-2012 adalah Gema dan Dering 1. Areal panen yang ada saat ini adalah sebesar 0,7 juta ha dengan proporsi adopsi varietas sebesar 73,47 persen dan peningkatan hasil sebesar 0,5 ton/ha dengan nilai tambah sebesar Rp 1,8 T.
SISTEM LITKAJIBANGDIKLATLUHRAP DALAM SISTEM INOVASI PERTANIAN MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL
Sebagai respon terhadap kebijakan Kementerian Pertanian dalam meningkatkan produktivitas dan produksi pertanian, Badan Litbang Pertanian menginisiasi sistem inovasi dan diseminasi hasil litbang dalam konteks manajemen korporasi diseminasi, yang dilandasi spirit “Litkajibangdiklatluhrap”, yakni sistem penelitian pengkajian, pengembangan, pendidikan dan latihan, penyuluhan, serta penerapan inovasi teknologi pertanian. Sistem inovasi dan diseminasi berbasis corporate dissemination juga dilandasi tag line Badan Litbang Pertanian: Science, Innovation, Networks. Sistem diseminasi dalam kerangka litkajibangdiklatluhrap meliputi pengelolaan seluruh elemen hasil kegiatan penelitian dan pengembangan di lingkup Badan Litbang Pertanian yang secara cepat mesti didiseminasikan kepada kelompok sasaran (Pengambil keputusan nasional/daerah, Penyuluh, Gapoktan/ Poktan/Petani, Pengusaha/swasta/industri, Peneliti/ Ilmuwan) melalui berbagai sarana mediasi yang dilakukan oleh seluruh UK/UPT secara simultan dan terkoordinisasi sesuai dengan masing-masing tupoksinya. Dengan demikian, manajemen korporasi diseminasi merupakan bagian pendukung pencapaian misi dan visi Badan Litbang Pertanian terutama terkait dengan upaya penciptaan inovasi pertanian (teknologi, kelembagaan dan kebijakan) yang progresif dan strategis, yang lebih lanjut mengadaptasikannya menjadi tepat guna dan spesifik lokasi mendukung pertanian produktif. Secara fungsional, mekanisme penciptaan dan pengelolaan inovasi serta strategi diseminasi inovasi teknologi pertanian disinergikan dengan kegiatan dari berbagai institusi pemerintah maupun non
10
Peran Inovasi Teknologi Pertanian Berbasis Sumber Daya Lokal untuk Mendukung Kemandirian Pangan
pemerintah, media informasi lainnya, dan aktivitas kelembagaan potensial daerah yang terlibat mendukung pembangunan pertanian (Gambar 3).
Gambar 3. Korporasi diseminasi aset dan inovasi pertanian. Pada perspektif sistem inovasi pertanian nasional, tugas pokok Badan Litbang Pertanian termasuk pada subsistem penciptaan dan pengadaan inovasi (generating subsystem) dan subsistem penyampaian (delivery subsystem), serta pada subsistem penerimaan (receiving subsystem) berupa penjaringan umpan balik guna perbaikan dan pengembangan ke depan atas inovasi yang dihasilkannya. Sub-sub sistem itu terdiri dari back stage dan front stage. Tugastugas manajemen Badan Litbang Pertanian di Pusat/Puslitbang/Balit/Lolit yang bersinergi dengan lembaga penelitian perguruan tinggi, LPNK, dan stakeholder litbang lebih berperan sebagai back stage sistem inovasi dan diseminasi. Sedangkan peran BBP2TP, BPTP, BPATP lebih dominan dalam mendiseminasikan serta menangkap umpan balik (feed back) dari stakeholders dan beneficieries. Penyampaian hasil inovasi teknologi Badan Litbang Pertanian tersebut tentu berbeda strategi dan cara pelaksanaannya untuk masing-masing kelompok sasaran. Meskipun tugas diseminasi antar UK/UPT terdeliniasi secara jelas sesuai dengan bidang dan tupoksinya, namun secara keseluruhan bersinergi dalam spektrum dan channel yang digunakannya. Dalam kerangka operasional, manajemen korporasi diseminasi inovasi pertanian diimplementasikan dengan pendekatan sistem diseminasi multi channel
11
Haryono
(SDMC). SDMC bertujuan memperluas jangkauan diseminasi hasil inovasi teknologi Badan Litbang Pertanian untuk dapat diakses dan diadopsi oleh masyarakat luas. Secara khusus tujuan SDMC adalah untuk mempercepat, meningkatkan dan memperluas prevalensi adopsi teknologi inovatif yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian, serta menjaring umpan balik untuk referensi penyempurnaan dan pengembangan ke depan. Adapun keluaran umum yang diharapkan adalah terjadi perluasan jangkauan penyebaran informasi inovasi teknologi hasil Badan Litbang Pertanian kepada para pengguna. Secara rinci keluaran yang diharapkan menurut kelompok sasarannya adalah sebagai berikut: (i) Model kelembagaan dan usaha agribisnis berbasis inovasi teknologi dan pemanfaatan sumberdaya lokal untuk kelompok sasaran Penyuluh, Gapoktan dan Petani; (ii) Model penyediaan informasi dan konsultasi strategi pengembangan pertanian bagi kelompok sasaran pengambil keputusan (nasional/daerah); (iii) Model penyediaan informasi inovasi promotif (antara lain: varietas, teknologi budidaya, prototipe alat/mesin pertanian, usaha pasca panen skala komersial) untuk kelompok sasaran swasta/industri; dan (iv) Model penyediaan informasi ilmiah untuk pengembangan Iptek nasional bagi kelompok sasaran Peneliti/Ilmuan dalam dan luar negeri.
Gambar 4. Tahapan Litkajibangrap sebagai Tugas Utama Badan Litbang Pertanian
Implementasi manajemen korporasi diseminasi perlu mencermati empat komponen utama dalam pelaksanaan diseminasi yakni 1) jenis dan substansi yang akan didiseminasikan, 2) target sasaran diseminasi, 3) media dan saluran komunikasi yang digunakan, 4) Kemudahan akses terhadap informasi dan inovasi hasil litbang. Dari aspek substansi, hasil kegiatan Badan Litbang Pertanian meliputi informasi scientific (berasal dari setiap Puslit/BB), rumusan alternatif kebijakan (dari Puslit/BB dan khususnya PSEKP), inovasi teknologi berbasis pengembangan
12
Peran Inovasi Teknologi Pertanian Berbasis Sumber Daya Lokal untuk Mendukung Kemandirian Pangan
industri (khususnya dari BB Pasca Panen dan BB Mektan), inovasi teknologi terapan spesifik lokasi (dari seluruh Puslit/BB, khususnya BBP2TP dan BPTP), materi teknologi yang siap dimassalkan dari seluruh Puslit/BB seperti varietas unggul, prototipe alat mesin pertanian, pupuk, dan kesesuain lahan atau yang lebih komprehensif AGRIMAP INFO, dan public awareness kebijakan dan teknologi yang terbaru dan juga yang lama tetapi masih relevan dengan issu yang berkembang, serta informasi scientific/scholar/ilmiah (Sekretariat,Pusat/Puslit/ Balai Besar). Tahapan litkajibangrap teknologi pertanian yang menjadi tugas utama Badan Litbang Pertanian sebagaimana disampaikan Haryono (2011), terdiri atas empat tahapan, yaitu: tahap penelitian, tahap pengkajian teknologi, tahap pengembangan teknologi, dan tahap penerapan dan umpan balik. Pada setiap tahapan litkajibangrap, proses kegiatan dilaksanakan dengan memperhatikan umpan balik dari stakeholders yang dapat dihimpun untuk mendukung learning organization menuju pada kesesuaian litkajibangrap yang dilaksanakan Badan Litbang Pertanian dengan kebutuhan pengguna. KESIMPULAN Saat ini, masih terdapat kesenjangan antara supplai pangan dengan permintaan pangan. Dalam kondisi bussiness as usual, supplai pangan jauh di bawah permintaan pangan. Peran inovasi teknologi pertanian diupayakan untuk mengurangi atau menghindari kehilangan hasil. Namun demikian, melalui inovasi untuk peningkatan produktivitas diharapkan dapat meningkatkan supplai pangan. Suplai pangan akan jauh meningkat apabila permintaan pangan dapat ditekan dan produksi dapat ditingkatkan melalui pemanfaatan optimalisasi LSO dan aplikasi teknologi tinggi melalui biotechnology, iradiasi, biodiversity, dan precision farming. Peran teknologi pertanian dalam mendukung kemandirian pangan dimanifestasikan dalam tujuh sub sistem inovasi sebagai bagian dari sistem pertanian nasional yang perlu digarap bersama oleh Badan Litbang Pertanian, adalah: a) Inovasi pengelolaan lahan, air dan agroklimat, b) Inovasi Produksi berkelanjutan, c) Inovasi logistik dan Distribusi, d) Inovasi Pasca panen dan pengolahan, e) Inovasi pengendalian lingkungan dan konservasi sumber daya pertanian, f) Inovasi pemasaran hasil dan perdagangan, dan g) Inovasi koordinasi dan integrasi lintas sektor terkait pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
Haryono. 2012. Peran dan Strategi Litbang Pertanian dalam Peningkatan dan Produktivitas Pangan. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Perpres Republik Indonesia. 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia.
13