BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Pemerintahan sentralistis yang dijalankan sebelum masa reformasi telah
melahirkan berbagai masalah di daerah. Hasil dari sumber daya alam yang berlimpah di daerah banyak dialokasikan ke pusat tetapi sangat sedikit di alokasikan untuk daerah sehingga menimbulkan berbagai masalah seperti kurangnya pembangunan di daerah, kemiskinan dan konflik disintegrasi. Konflik disintegrasi yang menuntut lepasnya daerah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terjadi di beberapa daerah, seperti pemberontakan Organisasi Papua Merdeka, Gerakan Aceh Merdeka, dan lepasnya Timor Timur dari NKRI. Konflik disintegrasi yang terjadi diakibatkan karena permasalahan ketidakadilan pusat terhadap daerah. Berkaca dari permasalahan tersebut maka pemerintah daerah yang desentralistis menjadi suatu solusi yang tepat yaitu dengan diberlakukannya Otonomi Daerah yang ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan kemudian direvisi dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pemberlakuan undang-undang tersebut diharapkan daerah lebih mandiri dalam mengelola pemerintahan, penyaluran aspirasi, perimbangan keuangan yang lebih merata, dan kebebasan mengatur sumber-sumber keuangan.
1
2
Otonomi daerah berlaku secara umum di Indonesia kecuali Papua, Papua Barat, dan Aceh yang diberlakukan otonomi khusus atau dapat dikategorikan sebagai desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralization). Desentralisasi ini merupakan pemberlakuan kewenangan khusus pada wilayah-wilayah tertentu dalam suatu negara, yang dianggap sebagai alternatif untuk menyelesaikan berbagai permasalahan hubungan pusat dan daerah. Hannum (2001) menyebutkan bahwa setidaknya terdapat dua manfaat yang dapat diperoleh dari pemberlakuan desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralization). Pertama, sebagai solusi terhadap kemungkinan terjadinya konflik etnis, atau konflik-konflik fisis lainnya. Kedua, sebagai respon demokratis dan damai terhadap keluhan/masalah yang dihadapi kelompok kaum minoritas yang hak-haknya selama ini cenderung dilanggar atau kurang diperhatikan. Terkait dengan permasalahan di Aceh, Pemerintah telah merespon dengan memberlakukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh dimana menyatakan bahwa beberapa hal yang mendasari pertimbangan diberlakukannya otonomi khusus bagi Provinsi Aceh, adalah; a. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang; b. bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi; c.
3
bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik; e. bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah selain memberikan otonomi khusus untuk Aceh juga mengalokasikan dana otonomi khusus untuk mendukung Daerah Otonomi Khusus Aceh sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Pasal 179 ayat (1) Penerimaan Aceh dan kabupaten/kota terdiri atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan. Ayat (2) Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari: a. Pendapatan Asli Daerah; b. Dana Perimbangan; c. Dana Otonomi Khusus; dan d. lain-lain pendapatan yang sah. Pasal 183 ayat (1) Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (2) huruf c, merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk membiayai pembangunan
terutama
pembangunan
dan
pemeliharaan
infrastruktur,
4
pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Ayat (2) dana otonomi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun kelima belas yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) plafon dana alokasi umum Nasional dan untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh yang besarnya setara dengan 1% (satu persen) plafon dana alokasi umum Nasional. Pada awal diterima dana otsus pada tahun 2008 adalah sebesar Rp3.590.142.897.000 dan terus meningkat setiap tahunnya sesuai perkembangan DAU Nasional. Total dana otsus yang sudah diterima Aceh sampai tahun 2012 adalah sebesar Rp21.155.176.997.500. Perkembangan dana otonomi khusus Aceh dapat dilihat pada gambar 1.1 5.476.288.764.000 4.510.656.496.500 3.849.806.840.000 3.590,.42.897.000 3.728.282.000.000
2008
2009
2010
2011
Sumber: LKPJ Gubernur Aceh Tahun 2012 Gambar 1.1 Grafik Dana Otonomi Khusus Aceh 2008-2012
2012
5
Jumlah dana otsus yang sudah diterima merupakan jumlah yang sangat besar untuk bisa dimanfaatkan untuk pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh. Salah satu contohnya adalah dalam rangka pengentasan kemiskinan. Hal ini sesuai pernyataan Gubernur Aceh: “Didasarkan data BPS Aceh, angka kemiskinan di Aceh saat ini sebesar 19,72 persen dan dengan dana yang dimiliki Aceh, serta program dan kegiatan yang akan dijalankan tahun ini, pemerintah optimis akan terjadi penurunan kemiskinan sebesar 2 (dua) persen” (www.bisnisaceh.com, 2013). Penurunan tingkat kemiskinan dilakukan melalui anggaran yang bersifat pro-poor. Anggaran pro-poor adalah anggaran yang lebih ditunjuk untuk memenuhi hak dasar rakyat terutama penduduk miskin. Hak dasar bagi rakyat adalah: hak atas pangan; kesehatan; pendidikan; pekerjaan; perumahan; air bersih; tanah; SDA dan lingkungan hidup; rasa aman; dan partisipasi (Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan, 2009). Pemerintah berusaha memenuhi hak tersebut untuk menjalankan perannya yang berkaitan dengan investasi barang publik, dan memberikan pelayanan kepada masyarakat (Overseas Development Institute, 2008). Dalam memenuhi hak tersebut pemerintah Kabupaten/Kota di Aceh diharapkan tidak hanya terpaku pada dana transfer dari pusat seperti DAK, DAU, maupun dana otsus, tapi juga harus berusaha menggali sumber-sumber melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kabupaten/kota yang memiliki tingkat pertumbuhan PAD yang positif mempunyai kemungkinan untuk memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, yang salah satu indikatornya terjadi penurunan kemiskinan. Sesuai dengan hasil penelitian Siregar (2007) bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap penurunan kemiskinan. PAD merupakan salah satu sumber
6
belanja daerah, Abdullah dan Halim (2004) menemukan bahwa sumber pendapatan daerah berupa PAD berpengaruh terhadap belanja daerah secara keseluruhan. Jadi dengan bertambahnya sumber pendapatan daerah dari PAD akan lebih membantu daerah dalam melaksanakan anggaran yang berpihak pada penduduk miskin (propoor budgeting).
Dalam membangun kembali Aceh pasca konflik dan tsunami diperlukan banyak investasi (belanja modal) di berbagai sektor. Diharapkan dengan investasi tersebut selain dapat meningkatkan kesejahteraan juga dapat membantu daerah dalam meningkatkan penerimaan daerah guna membiayai pembangunan. Menurut Halim (2001) tuntutan untuk mengubah struktur belanja semakin menjadi kuat, khususnya bagi daerah-daerah yang mengalami kapasitas fiskal rendah. Dengan alokasi belanja modal yang besar diharapkan akan mendorong peningkatan penerimaan daerah, dalam arti bahwa dengan terbangunnya berbagai fasilitas publik seperti jalan, pelabuhan, lapangan terbang, pengairan, penerangan, dan fasilitas publik lainnya maka akan menarik minat investor untuk datang menanamkan modalnya di daerah sehingga dampak langsung yang dapat dirasakan daerah adalah terserapnya tenaga kerja pada berbagai usaha yang dilakukan investor di daerah sehingga masyarakat memiliki pendapatan dan kehidupan yang layak, daerah juga memperoleh pendapatan melalui pajak dan retribusi dari berbagai usaha yang dilakukan oleh investor. Permasalahan belanja modal sampai saat ini belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah baik di pusat maupun di daerah sehingga ke depan hendaknya lebih intensif diperhatikan dan diprioritaskan, karena pada kenyataannya selama ini anggaran pemerintah baik APBN maupun APBD lebih
7
besar porsinya untuk belanja pegawai daripada belanja modal. Hal tersebut mengakibatkan pembangunan di daerah belum terlihat berdampak signifikan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan masih minimnya kualitas pelayanan publik. Pembangunan yang memihak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dilakukan pemerintah perlu ditingkatkan terutama untuk penduduk miskin, karena salah satu indikator kesejahteraan masyarakat dalam suatu negara atau daerah dilihat dari upaya pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan yang tercermin dari anggaran pemerintah yang berpihak kepada penduduk miskin (propoor budgeting). Belanja yang lebih berpihak kepada penduduk miskin dianggap sebagai investasi untuk menurunkan tingkat kemiskinan sekaligus menyiapkan kualitas sumber daya manusia dari kelompok yang rawan berada di bawah garis kemiskinan (Howell, 2001). Beberapa penelitian mengenai pengalokasian anggaran pemerintah terhadap kemiskinan antara lain studi yang dilakukan oleh Ravallion dan Datt (1999); Fan et al. (2000); Agrawal (2007); Hong dan Ahmed (2009); Jung et al. (2009); Darmantyo (2012); Puspitasari (2012); dan Susiati (2012). Penelitian tersebut dijelaskan berikut ini. Ravallion dan Datt (1999) menganalisis kondisi pertumbuhan ekonomi yang mengurangi tingkat kemiskinan. Penelitian tersebut menemukan belanja pemerintah untuk pembangunan mengurangi tingkat kemiskinan. Fan et al. (2000) mengestimasi dampak langsung dan tidak langsung dari belanja pemerintah terhadap kemiskinan desa di India. Hasil penelitian menemukan tiga jenis belanja
8
pemerintah mengalami pengaruh paling besar terhadap penurunan tingkat kemiskinan: belanja bidang pertanian, pendidikan, dan pembangunan jalan. Dilihat dari pengaruh variabel paling besar, belanja bidang pertanian menempati urutan pertama. Hong dan Ahmed (2009) meneliti pengaruh pengalokasian belanja pemerintah pada barang publik terhadap pertumbuhan GDP dan penurunan kemiskinan. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa belanja pemerintah untuk barang publik yaitu pendidikan, kesehatan, dan perumahan sangat besar pengaruhnya dalam mengurangi tingkat kemiskinan. Penelitian yang dilakukan oleh Susiati (2012) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi DIY. Hasil penelitian menunjukkan belanja publik berpengaruh terhadap penurunan tingkat kemiskinan. Demikian juga Puspitasari (2012) menganalisis tingkat kemiskinan di Kabupaten Kulon Progo. Hasil penelitian menunjukkan belanja publik kebutuhan dasar, belanja publik infrastuktur, dan dana program nasional pembangunan masyarakat
(PNPM)
mandiri
berpengaruh
terhadap
penurunan
tingkat
kemiskinan. Akan tetapi, terdapat penelitian yang menunjukkan hasil berlawanan. Penelitian Darmantyo (2012) mengenai pengaruh alokasi anggaran APBD kabupaten/kota terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Hasil Penelitian menemukan alokasi anggaran APBD kabupaten/Kota tidak bersifat pro-poor. Semua penelitian di atas menunjukkan bahwa belanja publik berpengaruh terhadap penurunan tingkat kemiskinan hanya penelitian yang dilakukan
9
Darmantyo (2012) menunjukkan kebalikkan hasilnya. Berdasarkan Penelitian Darmantyo (2012); Susiati (2012); dan Puspitasari (2012), peneliti berasumsi bahwa rata-rata kabupaten/kota di Indonesia anggarannya tidak bersifat pro-poor namun masih ada anggaran kabupaten/kota yang bersifat pro-poor. Penelitian ini masih pada lingkup akuntansi sektor publik. Menurut Mardiasmo (2009) bahwa akuntansi sektor publik memiliki kaitan erat dengan penerapan dan perlakuan akuntansi pada domain publik yang memiliki wilayah lebih luas dan kompleks dibandingkan sektor swasta. Keluasan sektor publik tidak hanya disebabkan keluasan jenis dan bentuk organisasi yang berada di dalamnya, akan tetapi juga kompleksitas lingkungan yang mempengaruhi lembaga-lembaga publik tersebut. Salah satu komponen lingkungan yang mempengaruhi sektor publik adalah faktor ekonomi, faktor ekonomi yang mempengaruhi organisasi sektor publik tersebut adalah pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, perubahan pendapatan perkapita (GNP/GDP), struktur produksi, tenaga kerja, arus modal dalam negeri, cadangan devisa, nilai tukar mata uang, utang dan bantuan luar negeri, infrastruktur, teknologi, kemiskinan dan kesenjangan ekonomi dan sektor informal. Akuntansi adalah suatu proses yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu informasi yang dapat digunkan dalam rangka mengambil keputusan ekonomi. Menurut Mardiasmo (2009) informasi akuntansi bermanfaat untuk pengambilan keputusan, terutama untuk membantu manajer dalam melakukan alokasi sumber daya, jadi dalam penelitian ini akan menggunakan laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) berupa laporan realisasi anggaran (LRA)
10
dana otonomi khusus, PAD, dan belanja modal dalam pengambilan keputusan ekonomik, dimana kedepannya agar kabupaten/kota dalam pengalokasian anggaran agar lebih bersifat pro-poor. Penelitian ini akan menganalisis pengaruh dana otonomi khusus, pendapatan asli daerah, dan belanja modal tahun berjalan terhadap perubahan persentase kemiskinan pada tahun sesudahnya (∆K(Kt-Kt+1)) dalam rentang waktu tahun 2008-2012. Hal ini sering kali dikarenakan pengaruhnya belum diketahui dalam jangka pendek.
1.2
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka pertanyaan penelitian
ini dirumuskan sebagai berikut: 1.
Apakah dana otonomi khusus berpengaruh terhadap kemiskinan pada kabupaten/kota di Provinsi Aceh?
2.
Apakah pendapatan asli daerah berpengaruh terhadap kemiskinan pada kabupaten/kota di Provinsi Aceh?
3.
Apakah belanja modal berpengaruh terhadap kemiskinan pada kabupaten/kota di Provinsi Aceh?
1.3
Tujuan Penelitian Sesuai dengan pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah untuk menganalisis dan memberikan bukti empiris pada:
11
1. Pengaruh
dana
otonomi
khusus
terhadap
kemiskinan
pada
terhadap
kemiskinan
pada
kabupaten/kota di Provinsi Aceh. 2. Pengaruh
pendapatan
asli
daerah
kabupaten/kota di Provinsi Aceh. 3. Pengaruh belanja modal terhadap kemiskinan pada kabupaten/kota di Provinsi Aceh.
1.4
Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sebagai masukan bagi kabupaten/kota di Provinsi Aceh dalam rangka mengelola APBD khususnya dana otonomi khusus, PAD, dan belanja modal agar lebih bersifat pro-poor. 2. Sebagai bahan referensi bagi penelitian berikutnya. 3. Sebagai bahan evaluasi, selama lima tahun berlakunya dana otonomi khusus. 4. Selain melihat dampak penurunan kemiskinan dari sisi belanja pemerintah yaitu belanja modal, juga melihat dari sisi pendapatan yaitu DOK dan PAD.
1.5
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini disajikan dalam 5 (lima) bab
sebagai berikut:
12
BAB I: PENDAHULUAN. Bab I berisi latar belakang, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. BAB II: TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Bab II menguraikan landasan teori yang berkaitan dengan penelitian serta pengembangan hipotesis penelitian BAB III: METODA PENELITIAN Bab III menguraikan tentang populasi dan sampel penelitian, jenis dan sumber data, metoda pengumpulan data, definisi
operasional
variabel
hipotesis, model penelitian,dan teknik analisis data BAB IV: ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Bab IV menguraikan hasil analisis data dan pembahasannya. BAB V: KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN REKOMENDASI. Bab terakhir yaitu bab V merupakan kesimpulan umum yang bisa diambil dari penelitian, keterbatasan penelitian serta rekomendasi.