Karya Tulis
ANALISIS DAN REKOMENDASI SUMBER-SUMBER PENERIMAAN DAERAH DARI BAGI HASIL SUB SEKTOR PERKEBUNAN
Murbanto Sinaga
DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2006
Murbanto Sinaga : Analisis dan Rekomendasi Sumber-Sumber Penerimaan Daerah dr Bagi Hasil…, 2006
USU Repository © 2006
DAFTAR ISI
I.
PENDAHULUAN .........................................................................
2
II.
PORSI DANA BAGI HASIL DARI PAJAK .............................
2
III.
PORSI DANA BAGI HASIL DARI SUMBERDAYA ALAM ............................................................................................
3
PORSI BAGI HASIL KEUNTUNGAN PTPN DAN COMMUNITY DEVELOPMENT..............................................
5
PENUTUP......................................................................................
7
IV.
V.
LAMPIRAN
1 Murbanto Sinaga : Analisis dan Rekomendasi Sumber-Sumber Penerimaan Daerah daril…, 2006
USU Repository © 2006
ANALISIS DAN REKOMENDASI SUMBER-SUMBER PENERIMAAN DAERAH DARI BAGI HASIL SUB SEKTOR PERKEBUNAN
I.
PENDAHULUAN Pemerintah daerah yang wilayahnya terdapat perkebunan-perkebunan besar
khususnya perkebunan besar negara, telah lama menuntut kepada pemerintah pusat agar memperoleh sebagian porsi penerimaan pemerintah pusat dari sub sektor perkebunan ini. Sayangnya, gaung tuntutan ini masih sebatas gema suara karena sampai sekarang belum juga direspon oleh pemerintah pusat, terbukti dalam UU No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah belum diatur dana bagi hasil dari sub sektor perkebunan. Dana bagi hasil (DBH) menurut UU No.33 tahun 2004 hanya bersumber dari pajak dan sumberdaya alam.
II.
PORSI DANA BAGI HASIL DARI PAJAK Sumber dana bagi hasil (DBH) dari pajak terdiri atas PBB, BPHTB, PPh
WPOPDN dan PPh pasal 21. Berkaitan dengan sub sektor perkebunan, kontribusinya terhadap empat jenis pajak ini telah mereka penuhi sebagaimana lazimnya dengan obyek pajak di luar sub sektor perkebunan. Persentase pembagiannya antara pemerintah pusat dan daerah dengan jelas telah pula diatur dalam UU tersebut. Dengan demikian pemerintah daerah sebenarnya telah menerima DBH dari sub sektor perkebunan melalui pembagian empat jenis pajak tersebut. Masalahnya adalah daerah yang di wilayahnya terdapat perkebunan-perkebunan besar ingin memperoleh porsi yang lebih besar lagi. Bahkan ada usulan agar PBB khusus untuk lahan perkebunan
2 Murbanto Sinaga : Analisis dan Rekomendasi Sumber-Sumber Penerimaan Daerah daril…, 2006
USU Repository © 2006
diklasifikasikan atas 3 bagian yaitu lahan yang tanamannya belum menghasilkan, tanaman menghasilkan dan tanaman tua. Apakah tuntutan atas porsi lebih DBH dari pajak ini dapat terealisasi? Jawabannya “ya” tapi prosesnya pastilah berliku-liku dan memerlukan proses waktu yang relatip sangat lama. Alasannya sederhana, untuk merubah DBH dari pajak harus dirubah pula minimal 4 (empat) undang-undang yang terkait yaitu UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, UU No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, UU tentang pajak dan UU No. 18 tahun 2004 tentang perkebunan. Bagi daerah, tentulah memerlukan kesabaran ekstra menunggu proses dan waktu perubahan undang-undang dimaksud. Perlu waktu bertahun-tahun, bahkan bisa saja rezim telah berganti, namun perubahan UU dimaksud belum kunjung terealisasi.
III.
PORSI DANA BAGI HASIL DARI SUMBERDAYA ALAM Sumber DBH dari SDA menurut UU No.33 tahun 2004 terdiri atas 6
(sumber) yaitu kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi dan pertambangan panas bumi. Sumber dari perkebunan tidak dikategorikan sebagai SDA tetapi masih dianggp sebagai sumberdaya buatan. Pro dan kontra pendapat tentang kategori ini antara pemerintah daerah penghasil perkebunan dengan pemerintah pusat sampai sekarang masih menjadi polemik. Ditahun 2004 yang lalu, ketika bertindak sebagai koordinator survey KPPOD untuk peringkat daya tarik investasi daerah di Sumatera Utara, penulis pernah mengadakan “in-depth interview” dengan Sudarwanto, BSc, ketika sebagai pimpinan salah satu komisi di DPRD Kabupaten Labuhan Batu. Kabupaten ini merupakan kabupaten dengan lahan perkebunan sawit terbesar di Sumatera Utara. Sudarwanto, yang kini menjadi wakil bupati di kabupaten tersebut secara tegas
3 Murbanto Sinaga : Analisis dan Rekomendasi Sumber-Sumber Penerimaan Daerah daril…, 2006
USU Repository © 2006
menolak pendapat yang menganggap sub sektor perkebunan sebagai sumberdaya buatan. “Kalau benar sumberdaya buatan”, menurutnya “Mengapa harus berkebun sawit di Labuhan Batu, mengapa tidak kabupaten lain?”. Argumentasinya “investor perkebunan sawit memilih suatu wilayah tertentu untuk membuka lahan perkebunan, tak lain karena wilayah tersebut memiliki tanah dengan unsur-unsur khusus yang tidak dimililki wilayah lain” ujarnya. Kekhususan unsur lahan/tanah inilah yang dianggapnya sebagai sumberdaya alam (SDA).
Terlepas dari polemik tersebut, penulis mencoba memberikan alasan yang lebih sederhana. Umumnya lahan perkebunan merupakan konversi dari lahan yang semula adalah hutan. Apabila lahan hutan tidak dikonversi menjadi lahan perkebunan, tentunya daerah dimana lahan tersebut berlokasi akan menerima DBH dari kehutanan. Mengapa setelah lahan dikonversi menjadi perkebunan, sumber pendapatan daerah dari DBH kehutanan menjadi hilang? Kondisi ini membuat daerah tidak bergairah. Biarkan saja lahan tetap menjadi hutan, agar pemerintah daerah kebagian penerimaan dari DBH kehutanan. Toh, apabila dikonversi menjadi perkebunan tidak akan menambah penerimaan, bahkan akan mengurangi penerimaan dan menambah pengeluaran untuk membangun sarana dan prasarana seperti jalan, jembatan, sekolah, klinik, jaringan listrik, air dan sebagainya.
Argumentasi ini mungkin perlu disampaikan ke pemerintah pusat agar pemerintah daerah tetap menerima porsi DBH kehutanan meskipun lahan hutan telah dikonversi menjadi perkebunan. Bisa saja persentase penerimaan DBH kehutanan untuk lahan yang dikonversi menjadi perkebunan dikurangi sedikit sebab daerah tersebut akhirnya menerima PBB dari lahan perkebunan. Namun, sama halnya dengan DBH dari pajak, usulan perubahan DBH kehutanan juga memerlukan proses dan
4 Murbanto Sinaga : Analisis dan Rekomendasi Sumber-Sumber Penerimaan Daerah daril…, 2006
USU Repository © 2006
waktu yang relatip panjang sebab beberapa undang-undang yang mengaturnya harus direvisi terlebih dahulu. Persoalannya, sampai kapan harus menunggu?
IV.
PORSI BAGI HASIL KEUNTUNGAN PTPN DAN COMMUNITY DEVELOPMENT Dari paparan sebelumnya, jelas bahwa usulan perubahan DBH yang
bersumber dari pajak dan SDA bukan sesuatu yang mustahil namun memerlukan proses dan waktu yang berliku dan relatif panjang. Porsi bagi hasil yang dapat terealisasi lebih cepat adalah dengan cara mengusulkan perubahan bagi hasil keuntungan yang diperoleh pemerintah pusat dari perkebunan negara. Usulan berikutnya adalah perubahan persentase yang lebih besar dana community development (comdev) yang disalurkan oleh seluruh perkebunan besar di wilayah pemerintah daerah. Perkebunan dimaksud mencakup PTP, perkebunan swasta dalam negeri dan perkebunan swasta milik asing.
Bagi daerah yang wilayahnya merupakan lokasi perkebunan negara (PTPN) sangatlah wajar memperoleh porsi bagian keuntungan PTPN. Bagi daerah, kondisi sekarang tentulah dirasakan sangat tidak adil sebab keuntungan PTPN bulat-bulat ditelan oleh pemerintah pusat. Pemda yang wilayahnya tempat dimana PTPN berlokasi terbatas hanya bertindak sebagai penonton budiman meskipun telah banyak berkorban,
misalnya
menyediakan
infrastruktur,
harus
pula
menyesuaikan
RUTW/RUTRnya agar sesuai dengan areal PTPN bahkan terpaksa harus turun tangan mengatasi berbagai sengketa, apakah sengketa buruh maupun sengketa tanah serta pengorbanan lainnya. Pemerintah pusat dengan bijaksana harus membagi kepemilikan saham PTPN kepada pemerintah daerah sebagai saham goodwill agar daerah memperoleh porsi bagi hasil keuntungan. Seberapa besar bagian keuntungan yang diperoleh Pemda tergantung seberapa besar kepemililkan saham goodwill.
5 Murbanto Sinaga : Analisis dan Rekomendasi Sumber-Sumber Penerimaan Daerah daril…, 2006
USU Repository © 2006
Perhitungannya disesuaikan dengan luas lahan PTPN yang berlokasi di wilayah daerah tersebut. Penerimaan bagi hasil keuntungan PTPN ini akan masuk ke kas daerah dan didistribusikan melalui APBD masing-masing daerah.
Selanjutnya usulan perubahan penambahan persentase “comdev” juga akan memberikan pertambahan penerimaan yang cukup signifikan bagi daerah minimal bagi penduduk yang berdomisili di wilayah dimana perkebunan berlokasi. Pembagian dana “comdev” ini berlaku bagi seluruh perkebunan besar. Untuk kasus Sumatera Utara mekanisme penyaluran ‘comdev” dapat mencontoh model yang diterapkan oleh PT. Toba Pulp Lestari (TPL) yang berlokasi di Kabupaten Toba Samosir.
Persoalannya, apakah dana “comdev” yang diperoleh daerah dari perkebunan harus juga masuk ke kas daerah terlebih dahulu sebelum disalurkan ke masyarakat? Sebab apabila mengikuti pola penyaluaran dana “comdev” yang sedang berlangsung, dana ini langsung diserahkan oleh pihak perkebunan besar kepada kelompokkelompok masyarakat penerima dalam berbagai bentuk bantuan, seperti bantuan untuk rumah ibadah, beasiswa, untuk modal usaha kecil, berbagai bentuk pelatihan dan lain sebagainya. Ironisnya pemda tak mengetahui berapa jumlah dana yang disalurkan dan kepada siapa-siapa dana “comdev” tersebut disalurkan. Apakah ada indikasi KKN dalam penyalurannya, pemda tidak akan pernah mengetahuinya. Oleh karena itu, apabila usulan pertambahan persentase dana “comdev” diakomodasi oleh pemerintah pusat, pemda mutlak harus terlibat dalam mekanisme penyalurannya.
6 Murbanto Sinaga : Analisis dan Rekomendasi Sumber-Sumber Penerimaan Daerah daril…, 2006
USU Repository © 2006
V.
PENUTUP Sangatlah wajar apabila pemda yang di wilayahnya terdapat perkebunan-
perkebunan besar menuntut bagian dari hasil sub sektor perkebunan. Namun beberapa hal penting yang perlu dipertimbangkan terlebih dahulu oleh pemda sebelum mengajukan usulannya adalah:
1. Proses dan waktu realisasi jenis DBH yang diusulkan ke pusat, tidak memakan waktu terlalu lama dan berlarut-larut. 2. Tidak akan menambah beban pajak bagi pihak perusahaan perkebunan. 3. Memprioritaskan perubahan usulan DBH yang dapat segera terealisasi berdasarkan SK Menteri terkait, tanpa perlu terlebih dahulu merevisi UU. Usulan DBH dimaksud adalah pembagian porsi keuntungan PTPN untuk Pemda dan perubahan pertambahan persentase dana “comdev” bagi seluruh perkebunanperkebunan besar. 4. Apabila usulan pada poin 3 terkabul, langkah berikutnya mengusulkan perubahan DBH perkebunan yang terealisasi berdasarkan perubahan UU seperti DBH dari pajak dan DBH dari sumberdaya alam. Dengan demikian, DBH perkebunan yang diusulkan oleh Pemda dapat dikategorikan atas dua usulan yaitu: DBH yang dapat segera terealisasi dan DBH yang realisasinya perlu proses dan waktu yang relatip lama.
7 Murbanto Sinaga : Analisis dan Rekomendasi Sumber-Sumber Penerimaan Daerah daril…, 2006
USU Repository © 2006