BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sub sektor perkebunan termasuk bagian dari sektor pertanian yang merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Usaha perkebunan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan nasional, terutama dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, penerimaan devisa negara, penyediaan lapangan kerja, perolehan nilai tambah dan daya saing, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahkan bahan baku industri dalam negeri.1 Perkebunan adalah segala kegiatan pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia, sarana produksi, alat dan mesin, budi daya, panen, pengolahan, dan pemasaran terkait tanaman perkebunan.2 Tujuan utama dari penyelenggaraan perkebunan adalah untuk mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani.3 Hal ini sebagaimana induk dari pengaturan mengenai ruang lingkup agraria yakni Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “bumi, dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat”. Namun, pada kenyataannya semangat yang semestinya menjadi ruh dalam setiap peraturan perundang-undangan perkebunan yang menjadi dasar pelaksanaan perkebunan, seringkali menjadi sumber permasalahan dengan konteks pelaksanaanya. 1
Teguh, et al., 2013, Hukum dan Undang-Undang Perkebunan, Nusa Media, Bandung, hlm. 58. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. 3 Tujuan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 2
1
Permasalahan yang ditimbulkan oleh ketidakjelasan peraturan perundangundangan perkebunan adalah terjadinya sengketa perkebunan (plantationdispute) antara perusahaan perkebunan dengan pekebun maupun dengan masyarakat pemilik tanah yang berhubungan dengan penguasaan dan pemilikan tanah perkebunan.4 Tidak dapat dipungkiri bahwa tanah adalah faktor produksi utama dalam usaha perkebunan karena tanah adalah tempat tumbuh komoditaskomoditas perkebunan.5 Beberapa pasal yang menyudutkan posisi pekebun dan masyarakat dalam penguasaan dan pemilikan tanah perkebunan di dalam undangundang perkebunan antara lain Pasal 12 ayat (1) terkait dengan penggunaan tanah hak ulayat untuk keperluan usaha perkebunan. Ketentuan melakukan musyawarah bagi pelaku usaha perkebunan dengan pemegang hak ulayat untuk memperoleh “pesetujuan” mengenai penyerahan tanah dan “imbalannya”. Beberapa kata dalam Pasal 12 ayat (1) mengandung makna paksaan. Pertama, kata “persetujuan” memaksa pemegang hak ulayat untuk setuju tanahnya digunakan untuk keperluan usaha perkebunan. Padahal dalam kenyataanya, belum tentu pemegang hak ulayat setuju dengan hal tersebut. Kata persetujuan dalam Pasal 12 ayat (1) tersebut merupakan pemaksaan dalam ketentuan musyawarah yang harus mencapai persetujuan. Padahal dalam melakukan musyawarah seharusnya diperoleh kata sepakat6 yang dalam hal ini bisa sepakat untuk menyerahkan tanah atau tidak menyerahkan tanah tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak. Kedua, kata
4
Teguh. et al., Op.cit., hlm. 127. Mubyarto, et al., 1992, Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan, Aditya Media, Yogyakarta, hlm. 29. 6 Menurut KBBI, sepakat adalah semufakat, sependapat. 5
2
“imbalan”7 yang digunakan dalam Pasal 12 ayat (1) merendahkan posisi pemegang hak ulayat karena kata imbalan identik dengan pemberian upah setelah melakukan suatu pekerjaan. Penggunaan kata imbalan merendahkan posisi pemegang hak ulayat, padahal perusahaan perkebunanlah yang membutuhkan tanah. Kata kompensasi8 seharusnya bisa lebih pantas digunakan untuk mengganti kata “inbalan”. Pasal 12 ayat (2) mengenai ketentuan musyawarah yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Ketentuan ini juga membatasi ruang gerak masyarakat hukum adat yang memiliki cara-cara tersendiri dalam melakukan musyawarah. Ketiga, Pasal 55 huruf a, huruf c, dan huruf d yang berkaitan dengan Pasal 107 huruf a, huruf c, dan huruf d yang menghidupkan kembali sanksi pidana setelah dilakukan pembatalan oleh Mahkamah Konstitusi terhadap pasal yang serupa. Sanksi pidana ini berpotensi disalahgunakan untuk mengkriminalisasi9 masyarakat sekitar perkebunan yang sangat rentan mengalami permasalahan dengan perusahaan perkebunan.10 Sengketa perkebunan yang melibatkan perusahaan perkebunan, pekebun hingga masyarakat bukan merupakan perkara baru dalam ranah penguasaan dan pemilikan tanah perkebunan di Indonesia. Pada masa Hindia Belanda
7 Menurut KBBI, imbalan adalah upah sebagai pembalas jasa atau honorarium, baik berupa uang ataupun bukan uang (natura) yang diberikan kepada karyawan dalam perusahaan. 8 Menurut KBBI, kompensasi adalah ganti rugi, pemberesan piutang dengan memberikan barangbarang yang seharga dengan utangnya. 9 Menurut KBBI, kriminalisasi adalah proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat. 10 Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Rakyat Perkebunan, UU Perkebunan Kembali Hidupkan Represi Negara Terhadap Perjuangan Petani, www.kpa.or.id/news/blog/uu-perkebunan-kembalihidupkan-represi-negara-terhadap-perjuangan-petani/, diakses 10 April 2016
3
permasalahan serupa sudah sering terjadi.11 Untuk mengatasi permasalahan tersebut pemerintah Hindia Belanda menetapkan sebuah peraturan yang berisi tentang kewajiban bagi para pemegang hak erpacht untuk mengajukan tuntutan pengusiran terhadap rakyat yang menduduki tanah perkebunannya.12 Namun setelah kemerdekaan, penggunaan aturan tersebut dinilai tidak pantas dilakukan oleh pemerintah Indonesia.13 Seperti mengulang sejarah, dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan kembali diatur pasal-pasal yang dapat mengkriminalisasi pekebun dan masyarakat, terkait dengan penguasaan dan pemilikan tanah perkebunan yakni Pasal 55 dan Pasal 107. Munculnya sengketa perkebunan sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari pemahaman masyarakat tentang kepemilikan dan penguasaan tanah perkebunan yang dipersepsikan berbeda dengan kepemilikan dan penguasaan tanah perkebunan oleh perusahaan swasta perkebunan. Masyarakat berpegang pada kepemilikan
dan
penguasaan
tanah perkebunan
berdasarkan
fakta-fakta
kepemilikan dan penguasaan tanah secara turun-temurun14. Berbeda dengan perusahaan swasta perkebunan yang berpedoman pada kepemilikan tanah dengan dasar kepemilikan sertifikat Hak Guna Usaha.15 Pemahaman masyarakat atas kepemilikan hak atas tanah perkebunan tersebut merupakan dampak atas 11
Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, Djambatan, Jakarta, hlm. 112 12 Ordonnantie Tahun 1937 yang dimuat dalam S. 1937 no. 560 yang berisi dapat dilakukannya tuntutan perdata dan Ordonnantie Tahun 1948 yang dimuat dalam S. 1948 no. 110 yang berisi dapat dilakukannya tuntutan pidana yang dapat diajukan oleh pemegang hak erfpacht untuk mengatasi persoalan pendudukan tanah perkebunan secara ilegal. . 13 Ibid 14 Masyarakat berpandangan meskipun tidak memiliki sertifikat hak atas tanah, namun ketika telah memiliki dan menguasai tanah-tanah perkebunan selama turun-temurun maka tanah tersebut adalah hak miliknya. Hak milik tersebut terjadi menurut hukum adat. 15 Teguh. et al., Op.cit., hlm. 137.
4
kesewenang-wenangan penguasaan tanah perkebunan sejak masa Hindia Belanda yang diawali dengan penggunaan dalil “Domein Verklaring”16 untuk melegitimasi semua tanah di Indonesia merupakan milik pemerintah Hindia Belanda. Dalil inilah yang menjadi pemicu dari permasalahan penguasaan dan pemilikan tanah perkebunan sejak masa Hindia Belanda hingga sekarang. Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki tanah yang subur yang sangat mendukung berkembangnya usaha perkebunan maupun pertanian pada umumnya. Faktor tanah yang subur inilah yang dahulu menarik kaum penjajah untuk menguasai tanah di Indonesia. Pada masa penjajahan, hampir semua peraturan yang diadakan kaum penjajah terfokus pada soal tanah. Perundang-undangan di bidang agraria (pertanahan) dibuat sedemikian rupa sehingga mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi negeri penjajah. Sebaliknya rakyat Indonesia sangat dirugikan dan menderita.17 Sejarah perkembangan perkebunan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan kolonialisme, kapitalisme dan modernisasi. Sistem perkebunan yang dibawa oleh pemerintah kolonial atau yang didirikan oleh korporasi kapitalis asing itu pada dasarnya adalah sistem perkebunan Eropa (European plantation), yang berbeda dengan sistem kebun (garden system) yang telah lama berlaku di Indonesia pada masa pra-kolonial.18 Sebelum pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan sistem tanam paksa (1830-1870) di Jawa dengan beberapa variasinya di Sumatera Barat, Vereenigde 16
Menurut Keputusan Agraria S. 1870 no.118 menyatakan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan oleh orang lain bahwa diatasnya ada hak eigendom adalah milik (domein) dari negara. 17 Mubyarto. et al., Op.cit., hlm. 29. 18 Sartono Kartodirdjo. Djoko Suryo, 1991, Sejarah Perkebunan di Indonesia Kajian Sosial Ekonomi, Aditya Media, Yogyakarta, hlm. 3.
5
OostIndische Compagnie (VOC) selama 200 tahun telah “membeli paksa” berbagai hasil rempah-rempah Indonesia Timur dan gula serta kopi di Jawa. Sesudah dihapuskannya sistem tanam paksa dan diundangkannya Agrarische Wet tahun 1870, dimulailah perkembangan sistem perkebunan swasta. Perolehan tanah-tanah yang luas oleh perkebunan swasta dimungkinkan oleh aturan-aturan di dalam Undang-Undang Agraria 1870.19 Pada awal kemerdekaan, nasib perkebunan masih tak menentu. Hal ini terjadi akibat pada awal kemerdekaan keadaaan perekonomian Indonesia masih sangat kacau disebabkan oleh inflasi dan kesulitan ekonomi karena blokade Angkatan Laut Belanda, yang mengakibatkan pintu perdagangan luar negeri tertutup, sehingga barang-barang hasil pertanian dan perkebunan tidak dapat diekspor.20 Demi menghilangkan anggapan negatif terhadap kondisi perkebunan yang erat dengan kolonial Belanda, diterbitkanlah Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang mengatur tentang reforma agraria dengan tujuan agar buruh tani mendapat lahan garapan, sekaligus mengatur redistribusi lahan perkebunan. Namun, banyak lahan-lahan yang diperoleh masyarakat tidak didukung oleh bukti-bukti otentik, sehingga menyebabkan ketika Orde Lama tumbang pada tahun 1965 yang kemudian digantikan oleh Orde Baru, banyak lahan-lahan masyarakat yang menimbulkan sengketa.21 Pada periode Orde Baru pola feodalisme yang dilakukan kolonial Belanda dalam kegiatan perkebunan kembali dilanggengkan. Pemerintah melakukan 19
Mubyarto. et al., Op.cit., hlm. 2. Renville Siagian, 2013, 182 Tahun Perkebunan di Indonesia (1830-2012), Yayasan Cempaka Kencana, Yogyakarta, hlm. 270. 21 Ibid, hlm. 271. 20
6
intensifikasi di bidang perkebunan dengan melakukan perluasan lahan-lahan perkebunan dan membuka pintu bagi pengusaha-pengusaha swasta lokal maupun asing. Sayangnya penerapan kebijakan pintu terbuka ini dilakukan tanpa pengawasan. Amanat UUPA tidak dijalankan, pemerintah Orde Baru membuat sejumlah undang-undang tandingan yang lebih pro terhadap pengusaha dan pemodal besar. Konflik petani versus perusahaan perkebunan sering terjadi, praktek premanisme diterapkan pengelola perkebunan.22 Selain permasalahan pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah perkebunan yang menyebabkan terjadinya sengketa perkebunan, undang-undang perkebunan juga cenderung memfasilitasi dan memberi kemudahan pada perusahaan perkebunan yang berskala besar untuk mengembangkan usahanya. Sedangkan, pengaturan mengenai nilai tukar pekebun23 seperti hak dan kewajiban pekebun dalam menyelenggarakan usaha perkebunan, serta perlindungan bagi pekebun untuk mewujudkan kesejahteraan pekebun belum banyak diatur secara jelas. Padahal
penyelenggaraan
perkebunan
semata-mata
untuk
mewujudkan
kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan, terutama bagi rakyat tani, yaitu pekebun. Perkebunan rakyat selama masa Hindia Belanda telah mengalami masa-masa sulit. Kebangkitan perkebunan rakyat saat ini ditandai dengan meningkatnya luas lahan perkebunan rakyat hingga tahun 2012 mencapai 3.773.526 ha.24 Namun tidak sedikit masalah yang harus di hadapi oleh pekebun dalam melakukan 22
Ibid, hlm. 320. Secara konsepsional Nilai Tukar Petani (termasuk di dalamnya pekebun) adalah pengukur kemampuan tukar barang-barang (produk) pertanian yang dihasilkan oleh petani dengan barang atau jasa yang diperlukan untuk konsumsi rumah tangga dan keperluan dalam memproduksi pertanian. 24 Ibid, hlm 386. 23
7
usahanya seperti kekurangan modal, akses mendapatkan pupuk yang sulit, kurangnya tenaga kerja dan alat produksi, ancaman gagal panen, dan pengelolaan pasca panen.25 Petani kecil yang termasuk didalamnya adalah pekebun saat ini sedang menjadi perhatian PBB dengan disusunnya Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dalam Human Right Of Peasent And Other People Working in Rural Areas sebagai upaya untuk menjawab persoalan krisis pangan, kemiskinan dan marjinalisasi pedesaan. Kajian yang dilakukan oleh IAASTD yang merupakan panel bentukan FAO yaitu Assesment of Agricultural Knowledge, Science and Technology for Development menyimpulkan bahwa model pertanian ekpor industrial monokultur bukan resep ajaib untuk mengatasi kemiskinan dan kelaparan. Model itu menghancurkan lingkungan (air dan tanah), mengerosi keanekaragaman hayati dan kearifan lokal (pola tanam, waktu tanam, olah tanah, dan pengendalian hama) dan menyebabkan kerentanan. Hasil riset menunjukan bahwa pertanian kecil jauh lebih produktif dari pertanian industrial karena mengonsumsi sedikit input terutama bahan bakar minyak. Pertanian kecil juga lebih mampu beradaptasi dengan kearifan lokal, dan keragaman hayati, termasuk untuk menghadapi perubahan iklim.26 Melihat kajian tersebut, dapat disimpulkan bahwa peran pekebun sebagai bagian dari pertanian kecil dinilai lebih ampuh untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan, dan krisis pangan. Namun, melihat pula berbagai permasalahan yang 25
Muhammad Zainul Asror, Balai Tani : Alternatif Jaminan Sosial untuk Peningkatan Kesejahteraan Petani, www.lpdpnotb.com/2016/03/balai-tani-alternatif-jaminan-sosial.html?m=1, diakses 10 April 2016 26 Syahyuti, Pemahaman Terhadap Petani Kecil Sebagai Landasan Kebijakan Pembangunan Pertanian, Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Volume 31 No. 1, Juli 2013.
8
harus dihadapi oleh pekebun dalam menyelenggarakan usahanya, perlu didukung oleh pemerintah dengan menerbitkan berbagai peraturan perundang-undangan yang dapat memfasilitasi pekebun. Oleh karena itu, menarik untuk melihat pengaturan nilai tukar pekebun yang berisi hak dan kewajiban pekebun serta pelindungan bagi pekebun dalam menyelenggarakan usaha perkebunannya dan mengkajinya sejak masa Hindia Belanda untuk melihat perkembangannya hingga sekarang. Penulis tertarik untuk membahas kedua hal tersebut, yaitu peraturan perundang-undangan penguasaan tanah perkebunan dan pengaturan nilai tukar pekebun sejak masa Hindia Belanda hingga sekarang. Maka Penulis mengangkat penulisan hukum dengan judul “Dinamika Pengaturan Penguasaan Tanah Perkebunan Di Indonesia”.
9