PENERAPAN PIDANA TERHADAP PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Klas I B Pariaman, Perkara Nomor: 160/PID.SUS/2013/PN.PRM ) INDAH PERMATA SARI, 1010005600026, Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa Padang, 2013 ABSTRAK Perkembangan Penyalahgunaan Narkotika seiring waktu menunjukkan peningkatan. Ini dapat dilihat dari dengan meningkatnya jumlah kasus setiap tahunnya. Terdapat suatu pandangan para pakar, bahwa Pengguna Narkotika dianggap sebagai korban kejahatan (victim). Dalam sudut pengobatan (terapi) pandangan tersebut dapat dibenarkan, tapi dalam sudut kriminal para Pengguna Narkotika atau yang disebut dengan Penyalahguna Narkotika karena tidak sah dianggap sebagai pelaku kejahatan. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut penulis tertarik untuk mengangkat hal ini dalam sebuah skripsi yang berjudul Penerapan Pidana Terhadap Penyalahgunaan Narkotika Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Kelas I B Pariaman, Perkara Nomor: 160/PID.SUS/2013/PN.PRM). Adapun yang penulis jadikan rumusan masalah dalam penulisan ini adalah penerapan ancaman pidana terhadap pelaku tindak pidana Penyalahgunaan Narkotika, pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan prosesnya. Dalam penulisan skiripsi ini, penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif yaitu cara penelitian yang menggambarkan secara lengkap dan jelas tentang persoalan yang diteliti dengan pendekatan normatif terhadap penerapan hukum dilapangan oleh penegak hukum yaitu hakim. Bertujuan untuk memperoleh data primer dan data sekunder. Hasil penelitian ini, didapat kesimpulan bahwa penerapan ancaman pidana oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika berbentuk putusan pemidanaan yang memberikan sanksi pidana yang bersifat kumulatif secara minimal dan pertimbangan hakim terhadap pengguna, diantaranya hal-hal yang meringankan.
I. PENDAHULUAN Adanya kemajuan budaya dan iptek, perilaku manusia di dalam hidup bermasyarakat
dan
bernegara
justru
semakin
kompleks
dan
bahkan
multikompleks. Perilaku demikian apabila ditinjau dari segi hukum tentunya ada perilaku yang dapat dikategorikan sesuai dengan norma. Terhadap perilaku yang sesuai norma(hukum) yang berlaku, tidak menjadi masalah, namun terhadap perilaku yang tidak sesuai norma biasanya dapat menimbulkan permasalahan di bidang hukum dan merugikan masyarakat. 1 Bagaimanapun Penyalahgunaan Narkotika, berbahaya dan akibat sosialnya akan lebih besar dibandingkan dengan bahaya yang bersifat pribadi, karena menyangkut kepentingan bangsa dan negara di masa yang akan datang, bahaya sosial terhadap masyarakat antara lain : a. Kemerosotan moral b. Meningkatnya kecelakaan c. Meningkatnya kriminalitas d. Pertumbuhan dan perkembangan generasi terhenti e. Menyebabkan timbulnya kekerasan baik terhadap perorangan atau antar kelompok f. Timbulnya usaha-usaha yang bersifat illegal dalam masyarakat, misalnya pasar gelap narkotika dan sebagainya. Ganja(genus cannabis) dan sabu-sabu(metamfetamina), merupakan Narkotika yang paling populer disalahgunakan dan meskipun terus diberantas, namun jaringan pembuat dan pengedar Narkotika semakin menjadi-jadi. Selain melibatkan orang dalam negeri sendiri. Terdapat suatu pandangan para pakar, bahwa para penyalahguna narkotika dianggap sebagai
korban
kejahatan(pengguna
narkotika).
Dalam
sudut
pengobatan(terapi) pandangan tersebut dapat dibenarkan, tapi dalam sudut kriminal para pengguna narkotika yang tidak sah adalah dianggap sebagai
1
Bambang Waluyo, 2004, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 1
pelaku-pelaku kejahatan, meskipun dalam pelaksanaan nantinya korban penggunaan narkotika diwajibkan untuk dilakukan perawatan oleh dokter. 2 Hal ini juga didukung dengan perumusan dalam undang-undang yang merumuskan dengan jelas bahwa kepada orang yang memiliki, menyimpan, dan atau membawa, apakah yang bersangkutan sebagai pengguna atau bukan, tidak dianggap sebagai korban kejahatan (victim). 3 Peranan
penegak
hukum
salah
satunya
ialah
bagaimana
mengaktualisasikan secara nyata, aturan-aturan hukum bisa terwujud dalam kaidah-kaidah sosial masyarakat. Sebagai suatu sarana untuk menegakkan hukum diantaranya ialah dengan penerapan sanksi pidana. Perumusan
norma-norma
pidana
telah
diatur
dalam
Undang-Undang Narkotika berikut dengan konsep penetapan sanksi pidana. Dalam Undang-Undang tersebut, untuk menentukan ketegorisasi sanksi pidana lebih ditentukan oleh jenis-jenis Penggolongan Narkotika yang dilanggar yaitu pada BAB XV Ketentuan Pidana dari Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Hakim
dalam
memiliki
pertimbangan
tersendiri
mengenai
fakta-fakta yang terungkap di pengadilan. Tuntutan Penuntut Umum, pembelaan dari penasehat hukum terdakwa, keterangan terdakwa maupun saksi serta bukti-bukti dan tak kalah pentingnya adalah keyakinan hakim mengenai hal tersebut. Dengan memperhatikan sifat baik dan jahat dari terdakwa, baik yang berdasar pada undang-undang sebagai ketentuan tertulis maupun segala ketentuan hukum yang hidup dalam masyarakat yang sebagian besar tidak tertulis seperti hukum adat dan hukum kebiasaan. Hal ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan, sebab putusan hakim adalah faktor yang paling menentukan bagi
2
Siswantoro Sunarso, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum,Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, hlm 144 3 Ibid
penegakkan hukum4,oleh karena itu hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sehubungan dengan latar belakang masalah sebagaimana yang diutarakan diatas, maka penulis dapat merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah
penerapan
pidana
terhadap
Penyalahgunaan
Narkotika oleh hakim menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika? 2. Apakah
yang
menjadi
dasar
pertimbangan
hakim
dalam
penerapkan pidana terhadap Penyalahgunaan Narkotika di Pengadilan Negeri Kelas I B Pariaman? II. KAJIAN PUSTAKA Penelitian ini merupakan Penelitian Hukum Normatif. Metode pendekatan. Metode penelitian ini mengenai implementasi ketentuan hukum normatif (undang-undang) dalam pelaksanaannya pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat dan penelitian ini termasuk dalam kategori Judicial case study ini merupakan pendekatan studi kasus hukum karena konflik sehingga akan melibatkan campur tangan dengan pengadilan untuk memberikan keputusan penyelesaian atau yurisprudensi.
5
Hal ini dengan maksud untuk memperoleh
gambaran yang jelas mengenai bagaimana penerapan pidana terhadap penyalahgunaan Narkotika, dasar pertimbangan hakim dalam penerapan pidana terhadap Penyalahgunaan Narkotika dan prosesnya. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan(library research) yang terdiri dari : a. Bahan Hukum Primer yaitu kasus yang dikumpulkan oleh lembaga atau
badan
yang
terkait
yaitu
Putusan
kasus
Nomor
160/PID.SUS/2013/PN.PRM, bahan hukum perundang-undangan, dalam hal ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 4
Roeslan Saleh,1983, Hukum Pidana Sebagai Konfrontasi Manusia Dan Manusia,Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm 15 5 http://idtesis.com/metode-penelitian-hukum-empiris-dan-normatif/ diakses Rabu 22 Januari Jam 10.00 Wib
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 Tentang
Kekuasaan
Kehakiman, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. b. Bahan Hukum Sekunder yaitu karya ilmiah yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer seperti buku, dokumen atau serta bahan-bahan yang diperoleh dari tulisan-tulisan yang erat kaitannya dengan masalah yang diteliti seperti buku, koran, makalah dan internet. c. Bahan Hukum Tertier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder contohnya adalah kamus hukum. Setelah data terkumpul maka penulis akan memeriksa data dan melakukan perbaikan atas kelengkapan data-data yang akan memberikan gambaran secara sistematis tentang penerapan pidana terhadap pengguna Narkotika dengan beberapa tahap : a. Editing Data b. Coding Data a. Ini dapat dalam bentuk pemberian tanda pada data yang Setelah data-data selesai proses editing atau perbaikan maka penulis akan menganalisis secara kualitatif. Yakni proses proses secara sistematis mencari dan mengolah berbagai data yang bersumber dari kajian dokumen dan berkas putusan kasus untuk menghasilkan suatu laporan penelitian. 6 III.
PEMBAHASAN TINJAUAN
UMUM
PENERAPAN
PENYALAHGUNAAN
PIDANA
TERHADAP
NARKOTIKA
MENURUT
UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 (Studi Kasus di Pengadilan
Klas
I
B
Pariaman,
Perkara
Nomor:
160/PID.SUS/2013/PN.PRM)
8 http://www.academia.edu.1422518/ : Analisi_dan_Interpretasi_Data_Kualitatif_Serta_Pemeriksaan_Keabsahan_Data, Rabu, 22 Januari 2014 jam 10.00 wib
Istilah pidana sering diartikan sama dengan istilah hukuman. Tapi sebenarnya kedua istilah ini tidaklah sama karena hukuman adalah suatu pengertian umum sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Sedangkan pidana merupakan suatu pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana. Istilah hukuman barasal dari kata straf yang merupakan istilah yang sering digunakan sebagai sinonim dari istilah pidana. Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Oleh karena pidana merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas. Pidana merupakan karakteristik hukum pidana yang membedakannya dengan hukum perdata. Jadi untuk menyebut hukuman dalam lapangan hukum pidana, maka sebaiknya dan lebih tepat digunakan istilah pidana daripada hukuman, seperti pidana mati, pidana penjara, pidana denda dan sebagainya. Demikian pula halnya dengan penyebutan penjatuhan sanksi dalam perkara pidana lebih tepat disebut pemidanaan daripada penghukuman. Menurut Sudarto Pidana adalah nestapa yang diberikan oleh negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.7 Prof Simons menyatakan pidana atau straf adalah suatu penderitaan yang oleh Undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.8
7 Niniek Suparni,2007, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana Dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 15, mengutip Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni Bandung, hlm 109-110. 8 Ibid.
Roeslan Saleh juga memberikan rumusan tentang pidana sebagai reaksi atas delik yang berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.9 Akan tetapi tidak semua Sarjana menyetujui pendapat bahwa hakikat pidana adalah pemberian nestapa, hal ini antara lain diungkapkan oleh Hulsman sebagaimana dikutip oleh Muladi yang menyatakan bahwa ”Pidana adalah menyerukan untuk tertib ; pidana pada hakikatnya mempunyai dua tujuan utama yakni untuk mempengaruhi tingkah laku dan untuk menyelesaikan konflik”.10 Dengan kata lain, sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan seseorang melalui pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera. Fokus sanksi tindakan lebih terarah pada upaya memberi pertolongan pada pelaku agar ia berubah.11 Muladi membuat kesimpulan tentang unsur-unsur atau ciri-ciri yang terkandung di dalam pidana yaitu :12 1. Pidana
itu
pada
hakikatnya
merupakan
suatu
pengenaan
penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; 2. Penderitaan itu bersifat khusus yang diberikan penguasa yang berwenang atas nama negara; 3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. Dikaitkan dengan Narkotika maka pidana dapat diartikan sebagai suatu penderitaan bagi pelanggar Undang-Undang Narkotika yang dterapkan oleh negara atau penguasa yang dalam hal ini adalah hakim pada pengadilan.
9
Roeslan Saleh,1978, Stelsel Pidana Indonesia,Jakarta, Aksara Baru, hlm 5 Niniek Suparni, Op.Cit, hlm 12 11 Sholehuddin, 2007, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System &Implementasinya, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, hlm 17 12 Elwi Danil dan Nelwitis, 2002,Diktat Hukum Penitensier,Padang, Fakultas Hukum Universitas Andalas, hlm 14 10
Bagian penting dalam penerapan pidana adalah menetapkan suatu sanksi. Keberadaannya akan memberikan arah dan pertimbangan mengenai apa yang seharusnya dijadikan sanksi dalam suatu tindak pidana untuk menegakkan berlakunya norma. Disisi lain penerapan pidana itu sendiri merupakan proses paling kompleks dalam sistem peradilan pidana karena melibatkan banyak orang dan institusi yang berbeda. 13 Jadi dalam hal ini penerapan pidana yang dimaksud adalah penjatuhan pidana oleh hakim terhadap Penyalahgunaan Narkotika. Pengguna Narkotika yang dapat dikenakan pemidanaan disini adalah mereka yang terkait dengan Penyalahgunaan Narkotika yaitu pemakaian Narkotika diluar medik, tanpa petunjuk/resep dokter, pemakaian sendiri secara relatif teratur atau berkala sekurang-kurangnya selama satu bulan, terbukti menyimpan, menggunakan dan memiliki Narkotika tidak sah. Menurut Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Pokok-Pokok Kekuasaan kehakiman menyatakan bahwa dalam
pelaksanaan putusan pengadilan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan, hakim wajib memperhatikan pula sifat baik dan sifat jahat dari terdakwa. Keharusan hakim untuk mempertimbangkan sifat baik dan jahat dari terdakwa mendapat penegasan lebih lanjut dalam Pasal 197 (1) huruf f Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa surat putusan pemidananaan memuat pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam menjatuhkan pidana, kiranya rumusan Pasal 51 Konsep Rancangan KUHP Baru dapat dijadikan referensi. Disebutkan bahwa dalam penjatuhan pidana wajib dipertimbangkan hal-hal berikut :14 1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan : a. kesalahan pembuat tindak pidana ; 13 14
Sholehuddin, Op.Cit,hlm 114 Elwi Danil dan Nelwitis, Loc.cit, hlm 40-41
b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana ; c. cara melakukan tindak pidana ; d. sikap batin pembuat tindak pidana ; e. riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana ; f. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana ; g. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana; h. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan ; i. pengaruh tindak pidana terhadap korban dan keluarga korban dan atau; j. apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana. 2) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Hakim di dalam mempertimbangkan serta memutus perkara dan menyusun surat keputusan dengan menggunakan surat dakwaan sebagai dasar, senantiasa bertitik tolak antara lain sebagai berikut :15 a. Perbuatan apakah yang telah dapat dibuktikan karena pemeriksaan di depan pengadilan b. Apakah telah dapat dibuktikan bahwa tindak pidana yang telah terbukti itu, dilakukan oleh terdakwa yaitu si terdakwa yang telah diperiksa itu c. Tindak pidana apakah yang telah terbukti dilakukan oleh si terdakwa itu d. Hukuman apakah yang sepantasnya dijatuhkan terhadap si tertuduh tersebut Dari beberapa pernyataan tersebut adalah penting untuk dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan suatu putusan pemidanaan terhadap suatu tindak pidana tidak terkecuali untuk tindak pidana narkotika.
15
Yulmayeti dkk, 2002, Diktat Hukum Acara Pidana, Padang, Fakultas Hukum Universitas Andalas, hlm 116
Hukum Pidana Indonesia mengenal 2 (dua) jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yakni : a. Pidana Pokok : 1. Pidana mati 2. Pidana penjara 3. Pidana kurungan 4. Pidana denda b. Pidana Tambahan : 1. Pencabutan hak-hak tertentu 2. Perampasan barang-barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim Adapun mengenai kualifikasi urut-urutan dari jenis-jenis pidana tersebut adalah didasarkan pada berat ringannya pidana yang diaturnya, yang terberat adalah yang disebutkan terlebih dahulu. Keberadaan pidana tambahan adalah sebagai tambahan terhadap pidana-pidana pokok , dan biasanya bersifat fakultatif (artinya dapat dijatuhkan ataupun tidak). Hal ini terkecuali bagi kejahatan-kejahatan sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis, 261 dan Pasal 275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau keharusan. A. Teori Tentang Pemidanaan dan Tujuan Pemidanaan Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana : 1.
Teori Absolut atau Teori Pembalasan(vergeidingstheorien) Teori absolut atau teori pembalasan mengatakan bahwa di dalam
kejahatan itu sendiri terletak pembenaran dari pemidanaan, terlepas dari manfaat yang hendak dicapai. Jadi disamping pidana adalah merupakan alat untuk mencapai tujuan pembalasan tersebut, pidana juga menuntut adanya keadilan. Sehingga dengan pidana itu dimaksudkan agar masyarakat dapat merasakan keadilan, karena yang jahat harus dihukum. 2.
Teori Relatif atau Teori Tujuan(doeltheorien) Menurut teori relatif dasar hukuman adalah pertahanan tata tertib
masyarakat. Oleh sebab itu tujuan dari hukuman adalah menghindarkan (prevensi) dilakukannya suatu pelanggaran hukum. Teori-teori yang termasuk
golongan
teori
tujuan
membenarkan
(rechtsvaardigen)
pemidanaan
berdasarkan atau tergantung kepada tujuan pemidanaan, yaitu: untuk perlindungan masyarakat atau pencegahan terjadinya kejahatan (ne peccetur) 3.
Teori Gabungan(verenigingstheorien) Aliran
ini
didasarkan
pada
tujuan
pembalasan
dan
mempertahankan ketertiban masyarakat yang diterapkan secara terpadu atau yang diterangkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada salah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang ada. Penganut teori ini antara lain adalah Banding. Tujuan pemidanaan yang berkembang dari dahulu sampai sekarang telah menjurus kearah yang lebih nasional dan yang paling tua ialah pembalasan (revenge) atau tujuan yang memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau korban kejahatan. Hal ini bersifat primitif akan tetapi kadangkala masih terasa pengaruhnya pada zaman modern ini. Rancangan KUHP Nasional telah menetapkan tujuan pemidanaan pada Buku Kesatu Ketentuan Umum dalam Bab III dengan judul : Pemidanaan, Pidana dan tindakan. Rancangan KUHP Nasional dalam Pasal 50 ayat (1) telah menetapkan empat tujuan pemidanaan.16 Romli Atmasasmita menegaskan bahwa perumusan empat tujuan pemidanaan dalam Rancangan KUHP Nasional tersimpul pandangan perlindungan masyarakat (social defence), pandangan rehabilitasi dan resosialisasi terpidana, pandangan hukum adat dan tujuan yang bersifat spiritual berlandaskan Pancasila. Menurutnya pemidanaan tersebut dipertegas kembali dengan mencantumkannya pada Pasal 50 ayat 2 yang menyebutkan: “pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia”. A.
Tinjauan Umum Tentang Narkotika dan Penyalahgunaannya
Pengertian Narkotika dan Penggolongannya Narkotika merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik secara sintetis maupun semisintetis, yang dapat 16
Sholehuddin, Op.Cit hlm 127
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan terdapat dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang berbunyi : “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik
secara
sintetis
maupun
semisintetis,
yang
dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dapat dibedakan ke dalam golongan-golongan”. Pengaturan Narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, bertujuan untuk menjamin ketersediaan guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah Penyalahgunaan Narkotika, serta pemberantasan peredaran gelap narkotika. Narkotika di satu sisi, merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, di sisi lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama. 17 Perkembangan
Penyalahgunaan
Narkotika
dalam
kenyataan
semakin meningkat, mendorong pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Peredaran Narkotika di Indonesia terutama, di Kota Pariaman, dilihat dari aspek yuridis adalah sah kebenarannya. Peraturan ini hanya melarang terhadap penggunaan Narkotika tanpa izin oleh undang-undang. Keadaan inilah dalam kenyataan empiris, pemakaiannya sering disalahgunakan, dan tidak untuk kepentingan kesehatan, tapi lebih jauh daripada itu, yakni dijadikan sebagai objek bisnis(ekonomi) dan berdampak pada kegiatan merusak mental, baik fisik maupun psikis generasi muda.
17
Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, 2011, Penerbit Mahardika, Yogyakarta, hlm 3
C. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Narkotika dan Bentuk Penerapan Pidana Terhadap Penyalahgunaan Narkotika Bentuk tindak Pidana Narkotika yang umum dikenal antara lain sebagai berikut: 18 1. Penyalahgunaan atau melebihi dosis 2. Pengedaran Narkotika 3. Jual Beli Narkotika Seorang hakim diberi kebebasan untuk mengambil keputusan berdasarkan bukti-bukti dan keyakinannya, sesuai menurut sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara pidana kita. Kebebasan hakim dalam mengambil keputusan tersebut dapat dikatakan sebagai hak prerogatif hakim. Menurut KUHAP Pasal 1 butir 11 putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hokum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Dalam hal menjatuhkan putusan ada hal-hal yang harus diperhatikan oleh seorang hakim, yaitu: 1. Hakim harus selalu memperhatikan segala hal yang berhubungan dengan si pelaku Tindak Pidana Narkotika tersebut, lingkungan tempat sipelaku bergaul, pendidikan, dan lain-lain. Dari hal-hal tersebut diatas dapat menjadi acuan bagi hakim untuk memberikan putusan atau pidana yang sesuai dengan si pelaku Tindak Pidana Narkotika. 2. Dalam pemeriksaan dipersidangan, hakim juga harus melihat apakah si pelaku mendapatkan pendidikan yang formal atau tidak. Karena pendidikan juga menjadi salah satu faktor penyebab seseorang melakukan tindak pidana seperti Penyalahgunaan Narkotika. Hal-hal lain yang juga perlu dipertimbangkan hakim dalam penererapan pidana dan prosesnya adalah : 1. Psikologis atau kejiwaan 18
Moh. Taufik Makarao, Suhasril Dan Moh Zakky A,S, 2003, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm 21
2. Attitude atau kesopanan dan juga dilihat dari wajah tersangka. 3. Hakim harus memperhatikan segala hal yang berhubungan dengan sipelaku Tindak Pidana Narkotika tersebut. 4. Dalam pemeriksaan persidangan, hakim juga harus melihat apakah sipelaku mendapatkan pendidikan yang formal atau tidak. Maka ini merupakan aspek pendidikan. Berdasarkan keterangan yang didapatkan dari hasil wawancara, berikut adalah beberapa hal penetapan pidana yang diambil oleh hakim terhadap Penyalahgunaan Narkotika dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dan SEMA Nomor 03 Tahun 2011 dan Nomor 04 Tahun 2010 Tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Untuk rehabilitasi medis dan atau sosial yang diterapkan oleh hakim terhadap
Penyalahgunaan
Narkotika
dilakukan
apabila
telah
memenuhi
syarat-syarat tertentu : 1. Memiliki riwayat ketergantungan. 2. Jumlahnya mempengaruhi Penerapan pidana yang terapkan oleh hakim terhadap penyalahgunaan narkotika berbeda-beda, karena dipengaruhi oleh berbagai aspek. Dalam perilakunya terjadi 4(empat) penerapan pidana yang diterapkan oleh hakim yaitu tinggi, rendah, pidana dan rehabilitasi. Dalam kasus pidana dengan Perkara Nomor : 160/PID.SUS/2013/PN.PRM terdakwa melakukan dua tindak pidana berbeda pada saat penyidik melakukan penggeledahan. Selain terdakwa sebagai Penyalahguna Narkotika terdakwa juga memiliki senjata api dan senjata tajam di kediamannya. Maka ini menjadi pertimbangan hakim untuk menerapkan pidana terhadap terdakwa Danil. Penyalahguna Narkotika juga dikatakan korban. Padahal kita harus lebih memahami apa yang dimaksud dengan korban. Seseorang tidak dapat dikatakan korban apabila dia menyadari apa yang dilakukannya dan dalam kasus penyalahgunaan narkotika ini jika pelaku dalam keadaan sadar dan memiliki keinginan untuk mengkonsumsinya maka ini tidak dapat dikatakan korban.
Apabila seseorang telah terkait dengan narkotika baik itu menyimpan, mengkonsumsi, menawarkan, menjual dan aktifitas lainnya maka ini telah termasuk kedalam Peredaran Narkotika. Penerapan pidana yang diterapkan oleh hakim, berupa putusan yang diantaranya : a. Putusan yang tidak terbukti Pelaku yang disangkakan dalam tindak pidana narkotika tersebut terbebas dari segala macam tuntutan karena tidak terbukti bersalah, sehingga pelaku yang disangkakan tersebut dinyatakan bebas. b. Putusan yang terbukti Pelaku yang disangkakan dalam Tindak Pidana Narkotika terbukti bersalah atau terbukti menjadi pelaku dalam tindak pidana tersebut, maka akan
dijatuhkan
hukuman
sebagaimana
yang
terdapat
didalam
Undang-Undang Narkotika. D. Pertimbangan Hakim Dalam Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Penyalahguna Narkotika Faktor-faktor yang menjadi bahan pertimbangan yang diambil oleh hakim untuk memutuskan suatu perkara antara lain: a.
Kesalahan pembuat tindak pidana,
b.
Motif dan tujuan melakukan tindak pidana,
c.
Cara melakukan tindak pidana dan sebagainya.
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Berdasarkan Pasal 50 tersebut, maka dalam membuat suatu keputusan, hakim harus mempunyai alasan dan dasar putusan serta juga harus memuat pasal peraturan perundnag-undnagan yang bersangkutan atau sumber hukum yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Untuk mengambil suatu alasan dan dasar suatu putusan, hakim terlebih dahulu harus mempunyai dasar-dasar pertimbangan yang berhubungan dengan terdakwa. IV.
KESIMPULAN
1. Bentuk penerapan pidana terhadap penyalahguna narkotika adalah putusan yang tidak terbukti dan putusan yang terbukti. Putusan yang terbukti ini terdiri atas 2(dua) yaitu pertama penjatuhan hukuman pidana biasa berupa pidana penjara. Kedua penjatuhan hukuman dengan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. 2. Adapun pertimbangan yang dilakukan oleh hakim dlam menjatuhkan putusan terhadap penyalahguna yaitu dengan memperhatikan hukum yang berlaku dari undang-undang narkotika dan dengan mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan. Selain itu hakim juga harus melihat dari berbagai macam faktor. 3. Sebelum hakim mengambil keputusan, maka masih banyak aspek yang diperhatikan oleh hakim baik dari aspek pendidikan, psikologis dan lainnya. Oleh karena hal itu, terjadi perbedaan dalam penerapan pidana namun tidak keluar dari ketentuan dan ketetapan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA A.
BUKU-BUKU
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta,1994 Aprina Wardhani, 2008, Penerapan Pidana Oleh Hakim Terhadap Pelaku Tindak Pidana Menggunakan Psikotropika Golongan I Secara Illegal Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2004 Elwi Danil dan Nelwitis, Diktat Hukum Penitensier, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, 2002 E.Y Kanter dan S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHM-PTHM, Jakarta,1982 Moh. Taufik Makarao, Suhasril Dan Moh Zakky A,S, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana Dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm 12-15, mengutip Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni Bandung, 1981 O.C.Kaligis & Associates,2002 Perundangan Dan Peradilannya Di Indonesia Reformasi Hukum Pidana Melalui Perundangan Dan Peradilan, Dikutip Dari Harian Kompas, , PT.Alumni Bandung, 27 Agustus 1999 Roeslan Saleh , Hukum Pidana Sebagai Konfrontasi Manusia Dan Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (CRIMINAL JUSTICE SYSTEM) Perspektif Eksistensialisme Dan Abolisionisme, Bina Cipta, Jakarta, hal 23, Mengutip Herbert Packer, The Limiits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, 1986 Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System &Implementasinya, PT RajaGrafindo Persada,Jakarta, 2007 Sunarso Siswantoro, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 2004
Yulmayeti dkk, Diktat Hukum Acara Pidana, Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa, Padang, 2002 B.
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana