PENENTUAN JENIS KOMODITAS EKSPOR INDONESIA KE CHINA: PEMANFAATAN HUBUNGAN PERDAGANGAN INDONESIA-CHINA Koesmawan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Ahmad Dahlan Jakarta
ABSTRAK Perubahan Kebijakan politik luar negeri Republik Rakyat China dari sistem politik tirai bambu ke sistem politik yang lebih terbuka telah terbukti mendukung suksesnya negeri yang berpenduduk terbesar di dunia ini dalam memasuki pasar dunia. Perubahan dimaksud juga berdampak terhadap hubungan diplomatiknya dengan Indonesia. Bagaimana perubahan kebijakan politik tersebut mempengaruhi hubungan perdanganan antara China dan Indonesia dan bagaimana pihak Indonesia dapat memanfaatkan hubungan tersebut dalam menentukan komoditas ekspor ke China, dibahas dalam makalah ini. Dari bahasan tersebut diperoleh informasi bahwa komoditas ekspor yang cukup potensial untuk direalisasikan meliputi minyak goreng (cooking oil); kayu dan olahannya (woods and woods products), alat elektronik (electrical appliances), dan rempah (spices). Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa komoditas-komoditas tersebut bisa diproduksi oleh negara Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Ini berarti bahwa dalam merealisasikan ekspor komoditas-komoditas di atas, Indonesia harus siap bersaing dengan negara-negara tersebut. Kata kunci: RRC, potensial, kebijakan, politik luar negeri, pasar dunia.
PENDAHULUAN China dikenal sebagai sebuah negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia. Menurut data terakhir penduduknya adalah 1.360.429.000 jiwa, dengan pertumbuhan penduduk rata-rata minimal 9.53%. Daerah-daerah Hachen, Guitho, Qunghai, Hujiang dan Nugxia termasuk daerah yang cukup padat pertumbuhan penduduknya (di atas 12%). Sementara daerah Jianpu, Hunan, Guangdong, Sidivan termasuk daerah yang relatif banyak penduduknya, yakni di atas 70 juta jiwa (Dinas Kependudukan China). Hal ini terus bergulir hingga merambah Asia tenggara, “tanpa kehadiran jaringan bisnis China yang sangat kuat ini, kawas-an Asia, khususnya Asia Tenggara tidak akan semaju sekarang
(Prasentyantoko, 2001). Bagi mereka yang pernah menin-jau negeri China, memang dirasakan se-buah kesan bahwa negeri ini sedang menyiapkan sesuatu yang besar dalam berbagai hal sebab jumlah orang yang harus dilayani juga besar. Perkembangan ekonomi China begitu signifikan, sehing-ga banyak kalangan ketakutan, sampai-sampai untuk masuk WTO (World Trade Organization) yakni organisasi yang mengatur lalu-lintas perdagangan, ternyata China dihambat begitu rupa hingga harus menunggu bertahun-tahun. Pada tahun 1998 ekspor dan impor China mencapai 323,93 milyar US$, dengan perincian impor 140.17 milyar $ dan ekspor 183,76 milyar $. Kenaikan pertahun rata-rata 43,59 milyar $. Jumlah ini
menjadikan China menempati posisi no 11 pada urutan total ekspor-impor negara maju di dunia. Pada tahun 1998 itu total volume ekspor-impor dengan 10 terbesar mitra dagang China (antara lain Jepang 57,9 milyar $ dan USA 54,94 $) sebesar 287,22 milyar, yang berarti 88,7% dari keseluruhan ekspor-impor China (CCPIT, 2000: 38).
Perubahan Perilaku Elit Politik Suasana batin, sebutlah demikian, daripara elite politik di China belum dapat “dilepas” dari bayang-bayang ide mendiang Mao Zedong dan Deng Xiaoping. Prinsip-prinsip pokok pedoman ideologi China adalah kepemimpinan Partai Komunis China, ajaran Marxisme-Leninisme dan pemikiran Mao Zedong masih mendominasi sistem poltik di China maupun sikap kepribadian umumnya warga China. Pada masa kepemimpinan Deng Xioping dilakukan interpretasi ulang terhadap ketiga prinsip pokok tersebut, selain dikaitkan dengan perkembangan dunia dan upaya modernisasi China (Chong Chor Lau, 1999). Pemikiran Deng Xioping ini yang dikenal dengan Den Xioping Theory kemudian dinyatakan sebagai “Sosialisasi dengan Karakteristik China”. Konsepsi ini terus dipertahankan hingga kini dalam kepemimpinan Jiang Zemin (Kustia, 2000). Kalau Mao Zedong mempunyai teori “Socialist Revolution”, Deng Xioping mempunyai teori “Chinese Socialisme”. Untuk memperkuat kedudukannya sebagai pimpinan China generasi ketiga, Jiang Zemin mengenalkan teori untuk menghadapi abad XXI yang dikenal dengan teori 3 kepeloporan (three representative) yaitu : “Conception patriotism, the communist parties role and building of a socialist market economy in China”. Posisi Jiang Zemin kini makin mantap sebagai pemimpin ideologi pengganti 2 2002
Deng Xiaoping, yang mampu mengantarkan China menuju kemajuan abad 21. Kegagalan kedua pendahulunya yaitu Hu Yaobang (1987) dan Zhao Ziyang (1989) yang dipecat dari kedudukannya sebagai Sekjen PKC karena, “genggaman atas peradaban materi terlalu ketat, sedangkan peradaban spiritual terlepas”. Kata-katanya di depan Asosiasi Pengarang China “Janganlah menyebutnyebut lagi tentang pemberantasan polusi spiritual maupun liberalisasi borjuis”. Dalam memperhatikan sosialisme seba-gai ideologi, terdapat dua kelompok be-sar yang mempunyai pendekatan yang berbeda (Kustia, 2001) Golongan konservatif senantiasa berusaha agar sosialisme tidak memudar sebagai akibat kemajuan yang dicapai oleh kebijakan keterbukaan dan reformasi. Di lain pihak golongan reformis dengan gigih berusaha untuk mengembangkan sosialisme modern agar proses reformasi dapat berkelanjutan. Golongan reformis menekankan kepada kekuatan sistem hukum untuk menjamin ketahanan ideologi rakyat serta hukum pula yang mengatur pembagian kewenangan di antara lembaga Partai Komunis China dan pemerintahan (Yuang Hay, 1998). Pada peringatan Partai Komunis China (PKC) ke 80 pada Tanggal 1 Juli 2001 Presiden Jiang Zemin selaku Sekretaris Jenderal PKC memberikan sambutan yang pada pokoknya memuat 3 hal, yakni keberhasilan dan pengalaman PKC, penjelasan teori 3 kepeloporan (three representative) dan himbauan kepada para kader partai untuk berjuang mewujudkan tujuan historis pada abad baru ini yang meliputi (CCPIT, 2000): a. Meneruskan upaya modernisasi; b. Mewujudkan reunifikasi; c. Mempertahankan perdamaian dunia; d. Memajukan pembangunan bersama. Penekanan terbesar pada masalah teori 3 kepeloporan ini adalah untuk
JURNAL EKONOMI & BISNIS No. 2 Jilid 7, Tahun
memberi trade mark kepada Jiang Zemin dalam sejarah perjalanan partai. Teori tiga kepeloporan mengajak para kader partai untuk merepresentasikan (Wang Menkui, 2000) hal-hal berikut: a. Pembangunan kekuatan produktif yang canggih; b. Orientasi kebudayaan yang canggih; c. Kepentingan mendasar rakyat China.
Perkembangan Mutakhir Politik di China Warna politik China sepeninggal Deng Xioping ditentukan oleh tokoh-tokoh konservatif Li Peng, tokoh reformasi Zhu Rongji, Qiao Shi dan Rong Yiren dan tokoh jalan tengah Jiang Zemin. Penokohan Jiang Zemin, loyalis Deng Xioping, menyebabkan kelompok garis keras Partai Komunis China tidak dapat merombak arus reformasi yang sedang berlangsung pesat di China (Wang Mengkui, 2000). Kekhawatiran terjadinya keretakan dalam kepemimpinan China sepeninggal Deng Xioping ternyata tidak terjadi. Keadaan ini menciptakan politik dalam negeri China sampai saat ini nampak aman dan stabil (Kustia, 2000). Faktor penting lain yang menentukan stabilitas politik China adalah adanya dukungan militer baik dari kalangan Komisi Militer Pusat maupun tokoh-tokoh pimpinan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA). Kesepakatan penting untuk menghindari terjadinya perpecahan antara kelompok moderat dengan kelompok radikal dikalangan pimpinan PKC, adalah: a. Mempertahankan sistem kepemimpinan kolektif, meskipun satu orang ditunjuk sebagai “inti” nya; dan b. Pimpinan inti dipercayakan kepada Jiang Zemin, untuk memelihara keseimbangan antara kekuatan reformis dengan kekuatan konservatif. Namun demikian, pada tahun 1999 kelompok konservatif sempat mendapat angin, untuk menyerang kebijakan-kebi-
jakan keterbukaan dan reformasi, dengan memburuknya hubungan ChinaAmerika menyusul peristiwa pemboman Kedutaan Besar China di Beograd oleh NATO. Dalam sidang pleno ke 4 Komite Sentral PKC ke 15 pada Tanggal 19-22 September 1999, telah menetapkan wakil Hu Jintao sebagai wakil komisi Militer Pusat. Dalam tradisi politik China, Wakil Komisi Milter nerupakan lembaga yang memiliki nilai strategis sebagai batu loncatan ke posisi puncak. Dengan demikian, jika tidak ada hal-hal baru, Hu Jintao tampaknya telah mulai dipersiapkan sebagai pemegang tampuk kekuasaan berikutnya, setelah Jiang Zemin berakhir masa jabatannya pada tahun 2003. Namun para pendukung Jiang Zemin menghendaki jabatan Jiang Zemin diperpanjang dengan alasan bahwa Deng Xioping justru mencetuskan ide-ide cemerlang pada usia 80-an. Pesaing kuat Hu Jintao datang dari Rising Star Zeng Qinghong, ketua Departemen Organisasi dari Sentral Komite Partai (Lihat juga Chong Chor Lau, 2000, tentang Chronology of 1998). Beberapa pengamat menduga kesempatan Zeng Qinghong lebih baik, dengan alasan basis pendukung Hu Jintao tidak cukup kuat untuk menandingi Zeng Qinghong. Suasana penokohan Hu Jintao begitu derasnya ketika berlangsungnya sidang Partai Komunis China menjelang akhir tahun 2001. Reformasi struktur politik RRC nampaknya dilakukan dengan sangat hatihati, meskipun keinginan untuk mempercepat reformasi struktur politik China telah dinyatakan untuk pertama kalinya oleh Presiden Jiang Zemin pada kesempatan peringatan ke 80 PKC. Presiden Jiang Zemin menyatakan bahwa reformasi politik tetap harus memiliki “Karakteristik China” dan dilakukan secara bertahap. Pandangan ini berdasarkan kepada beberapa hal, yaitu: Pertama, para pemimpin China melihat rak-
yat belum siap untuk menerima dan melakukan reformasi politik dan kedua, pengalaman menunjukkan bahwa kekacauan selalu terjadi pada tiap tingkat sosial masyarakat China, setiap kali China melakukan reformasi politik Jiang Zemin nampaknya belajar dari pendahulunya yang gagal, yang ingin menerapkan perubahan politik kearah politik model Barat. Jiang Zemin nampaknya cenderung memilih model politik elitis yang mampu mempertahankan stabilitas politik, berbeda dengan Indonesia dan Philipina yang harus melalui “periode instabilitas”. Dalam kaitannya dengan Hongkong, pelaksanaan prinsip “Satu negara dua sistem” pada umumnya berjalan dengan baik. Demikian juga penyerahan Macao telah berjalan dengan lancar. Di bidang luar negeri, China tetap melaksanakan politik luar negeri yang independen atas dasar prinsip hidup berdampingan, sesuai dengan kebijakan “Peacefull Coexistance”, yaitu: a. Menghormati kedaulatan negara lain; b. Tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain; c. Semua negara memiliki derajat yang sama dan saling menghormati dalam hubungan ingernasional; d. Penyelesaian sengketa dalam hubungan internasional diselesaikan me-lalui konsultasi secara bersahabat e. Tidak melakukan agresi terhadap negara lain. Keaktifan diplomasi China tidak terlepas dari perkembangan dalam negerinya yang memerlukan situasi dan kondisi lingkungan yang kondusif bagi kelangsungan reformasi dan pembangunan nasionalnya. Hubungan luar negeri China menunjukkan peningkatan yang signifikan seperti ditunjukkan oleh tingginya frekuensi pertukaran kunjungan antar Pejabat Tinggi dengan berbagai negara, baik negara besar maupun kecil. China nampak 4 2002
terus berusaha menyeimbangkan hubungannya dengan negara-negara berbagai kawasan. Ini juga dimaksudkan oleh keinginan China untuk mewujudkan dan mempertahankan hubungan internasional yang bersifat multipolar, dengan demikian percaturan hubungan internasional tidak didominasi oleh Amerika Serikat. Padahal sementara ini, Amerika Serikat menyibukan diri dengan apa yang disebut agenda “memberantas terorisme internasional tanpa batas waktu”. Keadaan ini bisa mempengaruhi perekonomian dunia, China kemungkinan besar akan diuntungkan oleh keadaan ini.
Konstelasi Perekonomian China Hampir dua dekade sejak pucuk pimpinan China Deng Xioping mengenalkan ekonomi pasar, China telah menunjukkan kemajuan yang sangat berarti. Gambaran ini menurut State Statistical Bureau, dilihat dari pertumbuhan ekonomi China sebesar 7, 8% pada tahun 1998, 7, 1% pada tahun 1999, 8% pada tahun 2000 dan 7, 6% untuk periode Januari – September 2001. Prediksi untuk tahun 2002 sebesar 7% (Xinhua, Vol 5, No 22, 2001). Nilai GDP tahun 1998 sebesar US$ 960, 8 milyar (7.974,8 milyard Yuan), sedangkan pada tahun 1999 mencapai US$ 988, 6 milyar dan pada tahun 2000 mencapai US$ 1,078 trilyun. Untuk tahun 2001 dari Januari-September mencapai US$ 810 milyar. Prediksi untuk tahun 2002 mencapai US$ 1,51 trilyun. Pencapaian ini melebihi negara-negara lainnya di Asia. Kenaikan GDP sebesar 7, 1% pada tahun 1999 melebihi perkiraan sebelumnya, sebesar 6,6%. Pada tahun 2000, GDP mencapai kenaikan 8%, melebihi perkiraan sebelumnya yaitu 7,5%. Untuk meningkatkan pertumbuhan, China menerapkan strategi garpu bermata tiga (a three pronged strategy), yaitu: Pertama, Kebijakan Moneter. Tingkat bunga telah diturunkan sebanyak 7 kali
JURNAL EKONOMI & BISNIS No. 2 Jilid 7, Tahun
sejak tahun 1996, dengan tujuan mendorong permintaan barang konsumsi dan menyelesaikan utang-utang BUMN dan perbankan. Tingkat suku bunga belum mengalami perubahan sejak bulan September 1999. Dewasa ini, Pemerintah RRC mendapatkan tekanan yang cukup besar untuk menurunkan tingkat suku bunga. Tekanan ini didasari oleh kekhawatiran pertumbuhan ekonomi dari 7, 9% pada kuartal kedua menjadi 7, 6% pada kuartal ketiga tahun 2001. Bahkan hingga penutup tahun 2001 pertumbuhan ekonomi RRC diramalkan oleh ADB sebesar 7, 3%. Menurut Pejabat State Information Center RRC, disarankan penurunan suku bunga sebesar 0, 5% point untuk pinjaman dan deposito. Penurunan ini akan membantu merevitalisasi permintaan domestik dengan mendorong tabungan dan investasi pribadi. Hal ini diharapkan dapat mengamankan pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun ini dan tahun depan. Tingkat suku bungan RRC relatif masih lebih tinggi dibandingkan tingkat suku bunga di Amerika Serikat atau negara-negara lain, untuk itu penurunan tingkat suku bunga amat dimungkinkan. Di samping itu, penurunan tingkat suku bunga akan berdampak “psikologis” dengan memberikan signal bahwa kebijakan moneter RRC akan beralih dari “prudent” menjadi “active” (Kustia : 2001, lihat Juga Atase Perindag, 2000). China juga membuat perubahan yang mendasar tentang harga melalui apa yang disebut “Price Reform”. Tidak tanggung-tanggung ini adalah sebuah wujud pelaksanaan keputusan Rapat Partai Komunis Tanggal 20 Oktober 1984 yang mengamanatkan adanya perubahan dalam cara penetapan harga. Reformasi harga adalah syarat mutlak untuk reformasi struktur ekonomi dan itu merupakan kunci utama. Intinya harga itu ditentukan oleh pasar (Wan Mengkui, 2000).
Kedua, Pengeluaran Pemerintah. Pengeluaran pemerintah meningkat tajam, terutama karena peningkatan investasi pada infrastruktur serta investasi oleh BUMN-BUMN kunci. Untuk membiayai pengeluaran ini, pada tahun 1998 pemerintah China mengeluarkan 133, 3 milyar dollar AS, tahun 1999 sebelum 162, 8 milyar dollar AS, tahun 2000 sebesar 19, 6 milyar dollar AS dan tahun 2001 hingga bulan September sebesar 141, 7 milyar dollar AS. Kebijakan ini telah meningkatkan pertumbuhan pertahun sebesar 2%. Ketiga, Kemajuan dalam ekspor. Subsidi ekspor langsung sejak tahun 1980-an sudah tidak memungkinkan, karena pembatasan ekspor oleh mitra dagang utama China. Dalam upaya China untuk bergabung dengan WTO, China telah menghapuskan kebijakan-kebijakan yang dapat menggagalkannya. Chinapun tidak melakukan devaluasi sejak tahun 1994. Hal ini dilakukan untuk menunjukan keinginan China untuk tidak ikut meningkatkan instabilitas nilai tukar dikawasan. : Selain ini devaluasi akan meningkatkan biaya ekspor, karena barang ekspor China masih mengandung isian yang di impor (import content). Faktor lain adalan untuk tetap mempertahankan dollar Hongkong terhadap dollar Amerika Serikat, juga agar tidak mengganggu investasi asing di China. Volume ekspor China pada tahun 1998 mencapai US$ 194, 93 milyar, menunjukkan kenaikan dibanding tahun 1998 yang mencapai US$ 182 milyar. Pada tahun 2000 mencapai US$ 249,21 milyar, sedangkan untuk tahun 2001 hingga bulan September, mencapai US$ 195,37 milyar, naik sebesar 7, 17% dibandingkan tahun sebelumnya, pada tahun yang sama (Chong Chox Lau, 1999). Pada tahun 1997, sebagai akibat dari gejolak keuangan pertumbuhan ekspor China menurun dan pada tahun 1998 mengalami pertumbuhan ekspor nol bahkan pertumbuhan negatif. Namun China
mengambil langkah-langkah seperti dijelaskan di atas dengan meningkatkan permintaan didalam negeri, khususnya kebiakan fiskal aktif (active fiscal policy). Loan khusus sebesar 100 milyar yuan dari bank komersil digunakan terutama untuk investasi di konservasi air minum, jalan kereta api, jalan raya, telekomunikasi, jaringan pembangkit tenaga listrik serta infrastruktur lainya. Investasi ini telah mampu mengembangkan pasar. Tingkat pertumbuhan ekonomi mulai nampak pada kwartal ketiga dan meningkat lebih cepat pada kwartal keempat. China diperkirakan dalam 20 tahun mendatang akan mengalami pertumbuhan ekonomi tujuh kali lipat apabila dapat mempertahankan pertumbuhan rata-rata 6,5%. World Bank memperkirakan bahwa pada tahun 2020, akan menjadi negara pengekspor terbesar kedua setelah Amerika Serikat. Namun demikian kira-kira setengah dari 300.000 BUMN mengalami kerugian, sehingga diperkirakan akumulasi hutang mencapai seratus milyar dollar Amerika Serikat. Untuk mengatasi masalah ini China telah melakukan langkah-langkah melanjutkan reformasi struktural dilingkungan BUMN dan sektor manufaktur, China berhasil mengatasi dengan baik meskipun belum tuntas, yang semula dikhawatirkan menyulut gejolak sosial yaitu pengangguran massal akibat pemutusan hubungan kerja dan kegoncangan finansial.
Arah Reformasi Kepemilikan Perlu pula ditambahkan disini ialah bagaimana China melakukan suatu perubahan masalah kepemilikan. Contoh perubahan kebijakan pertanahan di China. Sebenarnya sejak tahun 1953-1954 telah ada suatu kerjasama saling membantu suatu kelompok produksi dengan kepemilikan swasta dan secara bertahap terus berubah hingga setelah tahun 1978. Setelah tahun 1978 muncul kebijakan sistem tanggung jawab berproduksi dan 6 2002
secara bertahap menghilangkan sistem pemilikan komunal (Lihat Wang Mengkui, 2000, hal 67-145). Nilai perdagangan negeri China tahun 2000 mencapai 474, 30 milyar dollar Amerika Serikat, naik sebesar 13, 12% dibandingkan tahun sebelumnya. Impor China pada tahun 2000 mencapai US$ 225,09 milyar naik sebesar 13,57% dibandingkan sebelumnya yaitu US$ 165,72 milyar. Kent E. Calder (1996, hal 10) menunjukkan bahwa China adalah “importir minyak baru yang sangat kuat”. Sehingga tak dapat dipungkiri kalau ekspor minyak dari Indonesia ke China sangat signifikan. Dengan demikian perdagangan tahun 2000 tetap memberikan surplus bagi China dengan nilai US$ 24,12 milyar, meskipun sebetulnya menurun 17,3% dibandingkan dengan surplus tahun 1999 sebesar US$ 29,21 milyar. Kenaikan ekspor tersebut diakibatkan oleh dua faktor utama yaitu secara eksternal oleh cepatnya pemulihan situasi perekonomian di Asia dan secara internal oleh efektifnya kebijaksanaan menaikkan tingkat pengembalian pajak (export tax rebate). Perekonomian China tahun 2002 diperkirakan akan tetap baik meskipun tingkat pertumbuhan relatif menurun yaitu 7% dengan tingkat inflasi rendah. Yuan Wang (1998, hal 16) bahkan menyebutkan angka 9% pertahun selama dua dasa warsa, berarti ada sedikit penurunan. Pertumbuhan itu dicapai dengan kebijakan fiskal aktif dan lebih mendayagunakan moneter sebagai alat kebijakan, antara lain dengan menarik investasi pada sektor-sektor yang diprioritaskan bagi pembangunan infrastruktur, proyek-proyek lingkungan hidup dan pembangunan industri teknologi tinggi. Meskipun banyak mengalami kemajuan China masih menghadapi berbagai kendala seperti daya beli konsumen yang masih rendah, sehingga permintaan produk-produk dipasaran tidak meningkat. Selain itu struktur ekonomi pasar yang dibangun masih belum di-
JURNAL EKONOMI & BISNIS No. 2 Jilid 7, Tahun
laksanakan secara rasional karena distorsi yang dialami sebagai akibat dari pengawasan pemerintah yang cukup ketat. Persoalan lain adalah kesenjangan pendapatan penduduk antar wilayah di China makin melebar sebagai akibat pembangunan yang cepat, terutama sangat terasa atara wilayah pantai timur China yang semakin maju dengan wilayah pedalaman (Barat dan Tengah) yang masih tertinggal. Untuk mengatasi ini, pada sidang ke-3 National People Conggres (NPC) bulan Maret tahun 2000, China menetapkan kebijakan untuk melaksanakan strategi perkembangan wilayah-wilayah bagian Barat dalam skala besar guna mendorong keseimbangan pertumbuhan ekonomi regional yang terkoordinasi antara wilayah-wilayah di pantai Timur dengan wilayah Tengah dan Barat China, meningkatkan daya beli masyarakat pedesaan dan terus meningkatkan iklim investasi, antara lain melalui usaha untuk menurunkan tarif produk-produk industri hingga 10% pada tahun 2005. Untuk pengembangan wilayah Barat, ditetapkan 10 proyek besar dan segera bisa berintegrasi dengan wilayah lain yang lebih makmur dan maju di wilayah Timur.
Perubahan Indonesia
Kebijakan
terhadap
Menurut Kustia (2001), hubungan diplomatik Indonesia-China dimulai pada tahun 1950. Hubungan awal ini belum memberikan hubungan yang produktif, karena situasi dalam negeri Indonesia dan China yang sedang disibukkan oleh proses rekontruksi dalam suasana revolusi. Hubungan diplomatik Indonesia-China dibekukan pada Oktober tahun 1967 setelah peristiwa G30S/PKI, disebabkan peran China dalam membantu PKI saat itu. Upaya-upaya China untuk membuka kembali hubungan diplomatik dengan Indonesia nampak pada tahun 1985-1988. Indonesia saat itu tidak segera memberikan tanggapan, karena peristiwa G30S/
PKI meninggalkan keraguan politik bagi Indonesia untuk normalisasi hubungan Indonesia-China. Dipulihkanya kembali hubungan diplomatik Indonesia-China ditandai oleh kunjungan resmi Perdana Menteri China ke Indonesia pada Tanggal 6-10 Agustus 1990 dengan ditandatanganinya naskah memorandum of understanding mengenai pemulihan hubungan diplomatik, juga dengan dilakukannya penandatanganan naskah persetujuan hubungan kerja sama dibidang ekonomi dan perdagangan antara kedua negara (Kustia, 2001). Hubungan bilateral Indonesia-China dalam bidang ekonomi, perdagangan dan kerjasama tehnik selama periode 1999/ 2000 secara umum semakin meningkat. Dalam rangka Kerjasama Teknik antarNegara Berkembang (KTNB) selama periode tahun 1999/2000, Indonesia telah menawarkan kepada China sebanyak 8 buah, yang meliputi bidang telekomunikasi, peran media dan televisi, perumahan, dan irigasi. China telah memanfaatkan program pelatihan ini dan mengirim 8 orang peserta, sebaliknya China juga menawarkan program pelatihan teknologi kepada pihak Indonesia. Jika dikaitkan dengan perkembangan alih teknologi, sulit ditemukan suatu bukti empirik apakah ada pengaruh China dalam kemajuan teknologi Indonesia. Menjelang akhir kejatuhan Ir Sukarno presiden pertama Indonesia, hubungan kerjasama mencapai puncaknya hingga dikenal Poros Jakarta-Peking. Nilai perdagangan Indonesia-China pada tahun 1999 mengalami pertumbuhan yang pesat, yaitu naik sebesar 33,1% dibandingkan dengan nilai perdagangan tahun 1998. Menurut catatan CBS ekspor China ke Indonesia tahun 2000 sebesar 3,06 milyar dollar AS, naik sebesar 60% dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 906 juta dollar AS. Untuk tahun 2001 sampai bulan September sebesar 2, 12 milyar dollar AS turun 6, 19%, dibanding-
kan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 2, 18 milyar dollar AS. Neraca perdagangan Indonesia-China selama ini menunjukan surplus untuk Indonesia, yang pada tahun 2000 mencapai nilai sebesar 1,34 milyar dollar AS. Dalam tahun 2000, Indonesia merupakan negara urutan ke 14 sebagai negara tujuan ekspor China, dan urutan ke 13 sebagai negara sumber impor China (Atase Perindag, 2000). Dalam bidang pariwisata diharapkan meningkat terutama dari China ke Indonesia. Setelah dilakukan kemudahankemudahan dalam prosedur keimigrasian dan setelah Indonesia oleh China ditetapkan sebagai approved destination status pada bulan Oktober 2000. Menteri pariwisata dan seni, memperkirakan sebanyak 1,3 juta turis China akan masuk ke Indonesia. Penandatanganan kerjasama pariwisata telah dilakukan di Jakarta pada Tanggal 8 Nopember 2001. Investasi China di Indonesia sampai bulan Juli 2000, menurut catatan BKPM mencapai 362,8 juta dollar AS untuk 81 proyek, merupakan peringkat ke-28 dengan nilai 0,16% dari total investasi. (Kustia, 2001, Lihat juga laporan Atase Indag KBRI Beijing, 2001).
Pemilihan Komoditas Ekspor Kemajuan Perekonomian RRC yang demikian pesat, sementara keadaan Indonesia yang belum pulih dari krisis multi dimensi, berakibat kepada perubahan perkembangan perdagangan antara kedua negara tersebut. Dari data-data yang dikemukakan di bawah ini akan kita cari komoditas mana yang dapat dioptimalkan. Sebab klau kita tidak berdagang secara maksimal, tahun demi tahun persaingan perdaganagn ke China akan semakin berat. Inilah butir-butir penemuan yang relevan dengan optimalisasi komoditas ekspor ke China yang dimaksud oleh penelitian ini. Dalam per8 2002
kembangan ekonomi terbuka China kurun waktu 1978-1998 benar-benar China mengalami kenaikan yang sangat dramatis (Wang Menkui, 2000: 346), sehingga bila Indonesia dapat tepat memaksimalkan komoditasnya, akan benar-benar membawa devisa yang cukup signifikan. Berikut ini dikemukakan analisa atas data dan informasi yang diperoleh dari Biro Statistik RRC dan Atase Perindag KBRI Beijing (2001). Secara umum total perdagangan RRC dengan Indonesia menurun hingga –6% dari 5.416,68 juta $ menjadi 5,081 juta $. Jumlah ini hanya 1,37% saja dari perdagangan dengan dunia. Sementara itu neraca perdagangan dengan Indonesia bagi RRC mengalami perbaikan yakni menurun dari 1.037,65 juta $ menjadi -838,38 juta $. Ini berarti bagi Indonesia secara umum terjadi kemunduran dan bagi RRC telah ada perbaikan pada neraca perdagangannya dengan Indonesia. Nilai ekspor RRC ke Indonesia terdiri atas Migas dan Non Migas. Untuk migas ternyata mengalami kenaikan pesat 189,21% yakni dari 95,55 juta $ menjadi 276,35 juta $. Hal ini terjadi kemungkinan besar karena terjadinya kelangkaan bahan bakar di Indonesia pada awal hingga pertengahan tahun 2001. Akan tetapi nilai ekspor non-migas turun sebesar -11%, walaupun demikian secara absolut, nilai ekspor non migas dari RRC ke Indonesia tetap lebih besar dari ekspor migasnya. Walaupun demikian, secara total, nilai ekspor ke Indonesia mengalami penurunan sebesar 3,10% dibandingkan dengan ekspor RRC ke dunia, ini hanya 1,20% saja. Sementara itu nilai ekspor Indonesia ke RRC dari sisi non migas tetap lebih besar dari migas namun hanya mengalami kenaikan tipis sebesar 0, 77% dari 2.421,59 Juta $ menjadi 2.440,35 juta $. Sedangkan ekspor migas
JURNAL EKONOMI & BISNIS No. 2 Jilid 7, Tahun
mengalami penurunan sebesar 35% dari 805,58 juta $ menjadi 519,65 juta $, sesuai dengan penjelasan di atas hal ini disebabkan karena kebutuhan dalam negeri Indonesia yang bertambah. Secara umum, seperti juga RRC ke Indonesia, maka ekspor Indonesia ke RRC juga menurun sebesar 8,28%. Ini perlu dicermati sebab total impor dunia ke RRC mengalami kenaikan sebesar 11,22%, ini berarti kemampuan ekspor Indonesia ke RRC menurun sementara dunia sedang menaik. Dalam keadaan pertumbuhan yang kurang baik ini, tercatat bahwa dari sembilan belas komoditas yang dikategorikan berdasar SITC. Ternyata ada sembilan komoditas mengalami kenaikan pesat bahkan lima diantaranya lebih dari 30% kendatipun pangsa pasarnya dibandingkan dunia masih kecil. Kesembilan komoditas itu adalah : Karet mentah, sintetis dan pugaran 97,23%. Alat telekomunikasi 106,57% Kayu dan Gabus 31,63% Barang mineral bukan logam 44,45% Besi dan Baja 135% Sepatu dan peralatan kaki lainnya 21,27% Ikan, kerang-kerang, moluska, olahannya 9,15% Kendaraan bermotor jalan raya 25% Serat tekstil dan sisanya 18,89%. Untuk semua komoditas yang disebutkan di atas perlu dipikirkan cara peningkatannya karena pangsa pasarnya rata-rata masih di bawah 2% saja. Walaupun demikian, keadaan perdagangan yang sudah relatip lancar harus ditingkatkan, sebab jika perdagangan dengan China ini mengalami stagnasi, maka kesempatan emas untuk meningkatkan perdagangan dengan China akan tersaingi oleh pesaing yang ada terutama, Singapura, Malaysia dan Thailand.
Ada enam komoditas ekspor Indonesia yang perlu dipertahankan karena pangsa pasarnya di RRC di atas 10% antara lain yaitu : • Olahan minyak dan lemak nabati 38,38% • Barang-barang kayu dan Gabus 28,05% • Minyak dan lemak nabati 25% • Kopi teh dan rempah-rempah 21,04% • Kayu Gabus dan impornya 18,34% • Pulp kertas 16,79% Jika dibandingkan dengan negaranegara ASEAN, ekspor Indonesia ke China sangat unggul dalam komoditas berikut ini : • Barang kayu dan gabus • Sepatu dan peralatan kaki lainnya • Pakaian • Benang Tenun.kain tekstil dan hasilnya. • Ikan dan kerang-kerangan • Biji logam dan sisa-sisa logam • Kopi-Teh-Coklat dan rempah-rempah • Olahan minyak • Pulp dan kertas • Kertas karton dan olahannya. Jika data perbandingan dengan negara ASEAN ini terus dicermati, ternyata bahwa Malaysia menjadi saingan yang cukup berat bagi Indonesia. Hampir semua komoditas yang dapat diekspor Indonesia dapat pula disediakan oleh Malaysia. Negara ASEAN lainnya, hanya pada satu atau dua komoditas saja yang bisa menyaingi Indonesia.
PENUTUP Perkembangan situasi perdagangan antara Indonesia dan RRC harus terus dicermati, sebab walaupun secara umum perkembangan bagi RRC mengalami kenaikan ternyata bagi Indonesia mengalami penurunan. Kendatipun demikian, dapat diperkirakan bahwa pertumbuhan perekonomian RRC akan terus berkembang
pesat. Adapun menurunnya atau melemahnya perekonomian Indonesia tidak ada keterkaitannya dengan keadaan kerangka hubungannya dengan China, sebab hal ini bisa diterangkan dalam kerangka yang lain. Masalah bahan bakar di tanah air yang terjadi tahun 2001, relatif sudah terselesaikan, dengan demikian pertumbuhan ekspor migas dengan RRC dapat dikembangkan lagi. Dengan catatan, bahwa volumenya tetap harus berada di bawah ekspor non migas. Komoditas yang mengalami kenaikan ekspor pesat perlu terus digalakkan dan bila mungkin dibantu. Bantuan bisa berupa kredit ekspor dengan bunga yang layak. Jenis komoditas itu antara lain Olahan minyak dan lemak nabati, Barang-barang kayu dan Gabus, Minyak dan lemak nabati, Kopi, teh, dan rempah-rempah, Kayu Gabus dan Pulp kertas. Komoditas yang sudah memiliki pangsa pasar tinggi perlu juga mendapat perhatian dengan menjaga terus agar jangan sampai terkalahkan oleh para pesaing antara lain dengan mempertahankan kualitas dan kuantitas yang baik serta pelayanan yang juga memuaskan konsumen. Dari antara negara ASEAN, hanya Malaysia perlu dicermati sebab hampir semua komoditas Indonesia bisa disediakan Malaysia. Ada 10 jenis komoditas Indonesia yang tetap unggul, yaitu Barang kayu dan gabus, Sepatu dan peralatan kaki lainnya, Pakaian, Benang Tenun, kain tekstil dan hasilnya.Ikan dan kerang-kerangan, Biji logam dan sisasisa logam, Kopi, teh, coklat dan rempahrempah, Olahan minyak, Pulp dan kertas, Kertas karton dan olahannya. Melihat keadaan perekonomian RRC yang terus berkembang dengan pesat, memberikan secercah harapan bagi peningkatan ekspor Indonesia ke RRC. Hal lain yang menarik untuk dikemukakan di sini ialah pendapat James Riady 10 2002
dari grup Lippo yang mengatakan bahwa analisa para pakar ekonomi kita terlalu pesimistik melihat pertumbuhan ekonomi bangsa (Koesmawan, 2001). Dengan melihat kenyataan pertumbuhan perdagangan antara Republik Indonesia dengan Republik Rakyat China akhirakhir ini mungkin pendapat James Riady itu ada benarnya. Artinya, kita tak perlu pesimistik akan masa depan ekonomi bangsa kita dan China adalah sebuah alternatif yang menjanjikan, kalau kita mau mencermatinya dan mencari nilainilai optimal dari hubungan perdagangan Indonesia dengan China yakni dengan memilih komoditas perdagangan yang tepat. Wallohualam.
DAFTAR PUSTAKA Atase Perdagangan Republik Indonesia 2001, Tinjauan Perdagangan China-Indonesia 2000. KBRI Beijing, 2001. Calder, Kent E. 1996. Asia’s Deadly Triangle. PT Prenhallindo, Jakarta. China Council for The Promotion of International Trade (CCPIT). 2000. China Business Guide 2000, Beijing. Koesmawan 2002. Perkembangan Ideologi dan Ekonomi China serta Hubungan dengan Indonesia, Majalah Warta STIEAD, No 31, tahun 11, 2002. Kustia, A. 2001. Hubungan Indonesia dan Republik Rakyat China. Laporan KBRI-Beijing, Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. Lau, Chong Chor and Geng Hia. 2000. China Review 1999, Beijing. Prasentyantoko, A. 2001. Ekonomi Global. Elex Media Computindo, Gramedia, Jakarta. Wang Mengkui. 2000. China’s Economic Transformation Over 20 Years, Beijing. Xinhua News Agency. 2001. China Facts & Figures Vol 5, No 22, November 16-30, 2001. Beijing.
JURNAL EKONOMI & BISNIS No. 2 Jilid 7, Tahun
Yuian Wang. 1998. Business Culture in China. BH Asia, Singapore.