PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA Anik Dwi Hastuti Mahasiswa Pasca Sarjana (S2) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Email :
[email protected] Abstract Modern constitional state bears the principles of existence State Administrative Court which is authorized to decide and judge the State Administration disputes on the basis of ius curia novit (the principle of considered out). The judges are obliged to explore the values existing in the community as to solve
Keywords: Constitutional State, Judge of State Administrative Court, Legal Discovery Abstrak Negara hukum modern mengandung prinsip adanya Peradilan Tata Usaha Negara yang berwenang memutus dan mengadili sengketa Tata Usaha Negara dengan berdasarkan asas ius curia novit(asas hakim dianggap tahu). Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat guna memecahkan kasus konkret yang dihadapinya dengan metode penemuan hukum dan berlandaskan teori hukum agar dalam Putusan Hakim mencerminkan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Kata Kunci : Negara Hukum, Hakim Peradilan Tata Usaha Negara, Penemuan Hukum.
A. Pendahuluan Pemikiran Negara berdasarkan Konstitusi (hukum) mengilhami munculnya konsep Negara Hukum (Rechtstaat) yang dipelopori oleh Immanuel Kant yang menempatkan recht pada staat sebagai alat bagi perlindungan hak-hak asasi individual dan pengaturan kekuasaan negara secara pasif, yakni hanya sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat sedangkan mengenai kemakmuran rakyat negara tidak boleh campur tangan. Tuntutan perkembangan masyarakat menghendaki turut campurnya negara dalam kesejahteraan rakyat menurut undang-undang yang dipelopori Frederich Julius Stahl. Menurut F. J. Stahl unsur utama dalam negara hukum : 1. Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia 2. Kekuasaan berdasar pada Trias Politika 3. Setiap tindakan pemerintah harus didasarkan atas undang-undang 4. Adanya Peradilan Administrasi yang berdiri sendiri 1.
Konsep negara hukum menurut F. J. Stahl menunjukkan bahwa negara hukum bertujuan melindungi hak-hak asasi warga negaranya dengan cara-cara membatasi dan mengawasi kekuasaan negara dengan undang-undang.1 Indonesia adalah salah satu penganut negara hukum (recthstaat) yang secara tegas dicantumkan di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang secara tekstual berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Negara hukum Indonesia yang menganut sistem presidensiil dengan pemisahan kekuasaan dalam sistem presidensiil badan legislatif menentukan agendanya sendiri dalam membahas dan menyetujui undangundang. Lembaga legislatif mengusulkan dan menformulasikan dan bekerjasama dengan lembaga eksekutif dalam merumuskan legislasi, meskipun kekuasaan membentuk undang-undang berada pada lembaga legislatif, eksekutif dapat pula mengusulkan rancangan undang-undang kepada lembaga legislatif, berdasarkan data Inter Parliementary Union dalam Parliament
Moh. Mahfud. MD, Demokrasi dan Konstitusi Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 27
78 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Penemuan Hukum Oleh Hakim...
of the word1992 tingkat kesuksesan beberapa negara sangat baik apabila rancangan undangundang di ajukan oleh eksekuti f, seperti Irlandia, Portugal, Belgia, Luxemburg, 2 sistem presidensiil menghendaki suatu penyelenggaraan pemerintahan yang stabil, eksekutif harus mendapat kontrol dan dukungan dari legislatif, eksekutif bisa jatuh apabila tidak mendapat dukungan legislatif (the chief executif power must be supported by a majority in the legislature, can ).3 Menurut Jimly Asshidiqie 4 salah satu ciri negara hukum modern adalah adanya Peradilan Tata Usaha Negara (Constitusional Law) dan dalam : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara 2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (perubahan pertama) 3. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (perubahan kedua) Pengadilan Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 47 juncto Pasal 50 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai kompetensi absolut memeriksa dan mengadili sengketa Tata Usaha Negara, sedangkan sengketa Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah “Sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat maupun daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Sesuai Asas ius curia novit, Hakim Peradilan Tata Usaha tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukumnya tidak ada atau hukumnya tidak jelas, melainkan harus memeriksa dan mengadilinya, mewajibkan seorang Hakim untuk mencari dan menemukan hukum suatu peristiwa konkret yang diajukan kepada Hakim. Seorang Hakim yang menerima suatu kasus konkret yang tidak ada hukumnya haruslah mencari, menggali dan mengkaji hukumnya dengan jalan melakukan penemuan hukum (rechtvinding) yang diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh Hakim diberi kewenangan menerapkan hukum (das sollen) terhadap peristiwa yang konkret ( das sein).5 Metode-metode penemuan hukum terdiri atas penafsiran hukum (penafsiran, gramatikal, penafsiran historis, penafsiran sistematis dan penafsiran teleologis) dan konstruksi Hukum (analogi, argumentum a contrario, penghalusan hukum).6 Menurut Philipus M. Hadjon, selain penafsiran hukum dan konstruksi hukum ada penemuan hukum berkaitan dengan persoalan apabila terdapat pertentangan antara norma hukum dalam undangundang dengan penyelesaian konflik norma dengan asas preferensi hukum, yang meliputi asas lex superior, asas lex specialis dan asas lex posterior, melalui metode pengingkaran (diavowal), Reinterpretasi, Pembatalan (invalidation) dan Pemulihan (remedy)7. Kewenangan Hakim untuk menemukan hukum mempunyai dasar legalitas di dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.8 Hakim dalam menemukan hukum juga harus memperhatikan berbagai teori hukum yang berkembang, mengingat dinamika kehidupan mengalami perubahan terus menerus, perubahan
Adam Przeworzki dan Sebastian M. Saigh, “Goverment Coalitations and Legislative Succes Under Presidentialism and Parliamentarism”, British Journal of Political Science, No. 34, 2004, hlm. 58 Alfred Stepan and Cindy Skach, “Constitusional Framework and Democratic Consolidation : Parliamentarianism and Presidentialism”, Journal of World Politics, Vol. 46, No. 1, 2002, hlm. 3 Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara, FH UI, Jakarta, 2004, hlm. 124-129 Ahmad Zaenal Fanani, “Hermeneutika Hukum sebagai Metode Penemuan Hukum Dalam Putusan Hakim”, Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXV No. 297, Agustus 2010, hlm. 55 Sugijanto Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum Dalam Ilmu dan Filsafat, Mandar maju, Bandung, 2012, hlm. 67 Philipus M. Hadjon, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 31 Elisabeth Nurhaini Butar-Butar, “Arti pentingnya Pembuktian Dalam Proses Penemuan Hukum di Peradilan Perdata”, Jurnal Mimbar Hukum Volume 22 Nomor 2, 2014, hlm. 347
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Penemuan Hukum Oleh Hakim...
79
terus terjadi sehingga tidak ada sesuatu yang abadi. Perubahan terkadang tampak sebagai perubahan yang linier, namun terkadang juga menampakkan diri sebagai pengulangan dari apa yang sebelumnya. Dalam arus keilmuan terjadi pula perubahan pemikiran/ paradigma, seperti pergeseran teori, pergeseran asumsi, pergeseran cara pandang. Sebuah pemikiran yang suatu saat dipandang sebagai sebuah kebenaran pada saat yang lain bisa dipandang sebagai yang salah, apa yang suatu saat dianggap baik atau bernilai bisa sebaliknya disaat yang lain,9In Het wetenshap niemand heeft een laatste woord (tiada kata akhir dalam ilmu), demikian pula Hakim melalui putusanputusannya dengan melakukan penemuan hukum, penafsiran-penafsiran suatu pasal yang menjadi dasar pengujiannya sebagai bentuk ijtihad. Berdasarkan paparan tersebut, sengketa Tata Usaha Negara yang menarik untuk dianalisis dalam kaitannya dengan teori hukum adalah Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda Nomor : 26/G/2009/PTUN-SMD dalam sengketa antara PT. Sawit Kaltim Lestari sebagai Penggugat, Bupati Kutai Kartanegara sebagai Tergugat dan PT. Swara Kaltim Abadi sebagai Tergugat II Intervensi, dengan obyek sengketa berupa Keputusan Tergugat Bupati Kutai Kartanegara Nomor : 540/130/KP-Er/DPE-IV/IX/2008 tanggal 19 September 2008 Tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Eksplorasi (KW.KTN 2008 130 Er) atas nama PT Swara Kaltim Abadi. Untuk itu dalam artikel ini hendak dikaji teori hukum apakah yang diterapkan Hakim dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda Nomor : 26/G/2009/ PTUN-SMD?”
1.
Sebuah teori adalah seperangkat proposisi yang terdiri dari konstruk-konstruk yang
2.
Teori menyusun antar hubungan seperangkat variabel dengan demikian merupakan suatu pandangan sistematis mengenai fenomenafenomena yang diskripsikan oleh variabelvariabel itu Sua t u t eo ri m e nje la skan fe nome na . Penjelasan dan prediksi dapat dicakup secara ringkas dalam teori.
3.
Menurut Hans Kelsen Hukum ada 3 (tiga) Teori Hukum Utama, yaitu: 1. Teori Hukum Murni (Reine Rechtslehre) Menurut Hans Kelsen Hukum itu harus dibebaskan dan dibersihkan dari anasir-anasir yang sifatnya non hukum, seperti sejarah, moral, sosiologis, politis. Keadilan bukan pembahasan ilmu hukum, keadilan adalah masalah ideologi yang idea rasional, hukum adalah peraturan-peraturan yang dibuat dan diakui oleh negara. Teori Hans Kelsen dirumuskan sebagai suatu analisis tentang struktur hukum positif yang dilakukan seeksak mungkin, suatu analistis yang bebas dari semua pendapat etis atau politis mengenai nilai, menghilangkan dari semua unsur-unsur yang tidak penting dan memisahkan ilmu hukum dari ilmu pengetahuan sosial. 2.
B. Teori Hukum Hans Kelsen Pengertian Teori dalam ilmu sosial menurut Fred N. Kerlinger dalam The Foundations of Behavioral Research, Third Edition, 1986, by Hold, Renihart and Winston Inc diterjemahkan oleh Khusdzaifah Dimyati10 adalah seperangkat konstruk (konsep), batasan dan proporsi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan antar variabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi gejala itu. Pengertian tersebut mengandung 3 (tiga) hal sebagai berikut:
Teori Hukum Grundnorm Menurut Hans Kelsen bertitik tolak pada pengakuan hanya undang-undang sebagai hukum, maka ada terdapat Grundnorm yang merupakan induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem hukum. Suatu peraturan tidak boleh bertentangan dengan peraturanperaturan yang lebih tinggi yang berpuncak pada Grundnorm (Norma Dasar). Grudnorm pada tata hukum A tidak mesti sama dengan Grundnorm pada tata hukum B. Grundnorm dasar mengapa hukum itu ditaati dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan hukum.
9.
Maftuh Effendi, “Dekontruksi Sebagai Penafsiran Hukum Alternatif”, Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXIX No. 34, April 2014, hlm. 83 10. Khusdzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum : Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945-1990, Genta Publising, Yogyakarta, 2010, hlm. 41
80 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Penemuan Hukum Oleh Hakim...
3.
Teori Hukum Stufenbau Theorie Menurut Stufenbau Theorie (Teori Jenjang Norma) Hans Kelsen, Peraturan hukum secara keseluruhan diturunkan dari norma dasar (Grundnorm yang bersifat abstrak), yang secara berurutan diuraikan dari atas ke bawah sebagai berikut : Basic norm (Grundnorm) – Enabling act (Secondary norm expressing primary norm) – Byelaw (Secondary norm expressing primary primary norm).11 Menurut Hans Kelsen dalam stufenbau teori sumber utama hukum obyektif adalah norma dasar (grundnorm). Grundnorm merupakan sarat transendental logis bagi berlakunya seluruh tatanan hukum. Seluruh tatanan hukum harus berpedoman secara hirarki pada groundnorm. Dengan Stufenbau Teori Hans Kelsen mengkontruksi pemikiran tertib yuridis dengan menentukan jenjang peraturan perundang-undangan, dengan sumber utama groundnorm.12
C. Analisis Putusan Pengadilan Tata Usaha PTUN-SMD dari aspek Teori Hukum13 Pengujian (toetsing) terhadap keputusan tata usaha negara (beschikking) secara das sollenberpedoman pada Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara meliputi : a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Menurut Soehartono 14 pengujian yang dilakukan oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara secara das sollen adalah sebatas yang ditentukan dalam Pasal 53 ayat (2) mengenai penerapan hukum yang dilakukan oleh pemerintah dalam melakukan tindakan hukum Tata Usaha Negara. Kewenangan Hakim Pengadilan Tata
Usaha Negara hanya sebatas menguji keabsahan keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dari segi penerapan hukum saja (rechtmatigheid), namun dalam praktik (das sein) tidak jarang dijumpai ada peristiwa yang belum diatur dalam hukum atau perundangundangan atau meskipun sudah diatur tetapi tidak lengkap atau tidak jelas. Memang tidak ada hukum atau perundang-undangan yang sangat lengkap atau sejelas-jelasnya, disamping itu kepentingan manusia sangatlah banyak dan tidak terhitung jumlah dan jenisnya dan akan terus berkembang sepanjang masa, oleh karena itu peraturan hukum yang tidak jelas harus dijelaskan, yang kurang lengkap harus dilengkapi dengan jalan menemukan hukum. Se ng ket a Tat a U sah a Ne ga ra pa da Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda Nomor : 26/G/2009/PTUN-SMD diawali adanya gugatan PT. Sawit Kaltim Lestari tanggal 2 September 2009 terhadap Bupati Kutai Kartanegara yang telah menerbitkan Keputusan Nomor : 540/130/ KP-Er/DPE-IV/IX/2008 tanggal 19 September 2008 Tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Eksplorasi (KW.KTN 2008 130 Er) atas nama PT Swara Kaltim Abadi yang terletak di Kecamatan Muarakaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, Propinsi Kalimantan Timur, Seluas 2. 980 ha (Dua Ribu Sembilan Ratus Delapan Puluh Hektar), sehingga kemudian PT. Swara Kaltim Abadi berdasarkan ketentuan Pasal 83 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara ditetapkan sebagai Tergugat II Intervensi. Perti mb angan hukum Maj elis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda dalam Putusan Nomor: 26/G/2009/PTUN-SMD pada pokoknya sebagai berikut: “Menimbang, bahwa mengenai inti pokok persengketaan: Apakah benar Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara obyek sengketa berupa Keputusan Bupati Kutai Kartanegara Nomor : 540/130/KP-Er/DPE-IV/IX/2008 tanggal 19 September 2008 Tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Eksplorasi (KW.KTN 2008 130 Er) atas nama PT Swara Kaltim Abadi yang terletak di Kecamatan Muarakaman, Kabupaten
11. Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan, Kencana Perdana Media Group, Jakarta, 2009, hlm. 60-62 12. Bernard L. Tanya dkk, Teori Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hlm. 114-115 13. Putusan Pengadilan TUN Samarinda Nomor : 26/G/2009/PTUN-SMD 14. Soehartono, Membangun Konstruksi Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Penemuan Hukum Oleh Hakim... 81
Kutai Kartanegara, Propinsi Kalimantan Timur, Seluas 2. 980 ha (Dua Ribu Sembilan Ratus Delapan Puluh Hektar) telah mengandung cacat hukum : Dikeluarkan bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku (vide ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf a UndangUndang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara), Majelis Hakim akan mempertimbangkan dan menilainya sebagai berikut” :
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat
Menimbang, bahwa Majelis Hakim terlebih dahulu akan menentukan peraturan perundangundangan yang berlaku yang dijadikan tolak ukur/ aturan dasar untuk menguji keabsahan obyek sengketa a quo seperti dalam pertimbangan hukum berikut ini:
Republik Indonesia Nomor 2831) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”;
“Menimbang, bahwa menurut ketentuan Pasal Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berbunyi : Ayat (1) “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden Peraturan Daerah” Ayat (4) “Jenis Peraturan Perundang-Undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi” Ayat (5) “Kekuatan hukum Peraturan PerundangUndangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”; ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan berbunyi : Jenis peraturan perundangundangan selain dalam ketentuan ini, antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Menteri, Kepala Bidang, Lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Gubernur,
(1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara berbunyi : “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara berbunyi : “Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan”; Menimbang, bahwa Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara diundangkan pada tanggal 12 Januari 2009; Menimbang, bahwa ketentuan Pasal 68 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Pertambangan berbunyi : “Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah ini akan ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri”;
2001 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun Pertambangan berbunyi : “Semua Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan UndangKetentuan Pokok Pertambangan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini“: Menimbang, bahwa ketentuan Pasal 32 Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Nomor 2 Tahun 2001 Tentang Ijin Usaha Pertambangan Umum Daerah berbunyi : “Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya, akan diatur dan ditetapkan dengan Keputusan Bupati”; Menim bang, bahwa berdas ark an pertimbangan di atas Majelis Hakim berpendapat: 1. Bahwa oleh karena menjadi obyek sengketa dalam perkara ini adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh
82 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Penemuan Hukum Oleh Hakim...
2.
Tergugat Bupati Kutai Kartanegara Nomor: 540/130/KP-Er/DPE-IV/IX/2008 tanggal 19 September 2008 Tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Eksplorasi (KW.KTN 2008 130 Er) atas nama PT Swara Kaltim Abadi yang terletak di Kecamatan Muarakaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, Propinsi Kalimantan Timur, Seluas 2. 980 ha (Dua Ribu Sembilan Ratus Delapan Puluh Hektar), maka peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dijadikan tolak ukur/aturan dasar untuk menguji keabsahan obyek sengketa a quo adalah Peraturan Perundangan undangan yang berlaku dalam bidang pertambangan; Bahwa mempedomani sifat ex-tunc dalam pengujian dan penilaian Keputusan Tata Usaha Negara obyek sengketa, oleh karena obyek sengketa a quo diterbitkan pada tanggal 19 September 2008 dan saat proses perkara ini sedang berjalan telah terjadi perubahan atas Undang-Undang
Setempat, Surat Menteri Pertambangan
Ketentuan Pokok Pertambangan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara yang baru diundangkan pada tanggal 12 Januari 2009, maka pengujian dan penilaian Keputusan Tata Usaha Negara obyek sengketa tetap berpedoman pada Undang-
Pokok Pertambangan yang dalam ilmu perundang-undangan dikenal dengan istilah delegated legislation artinya peraturan yang lahir karena adanya perintah dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi in casu Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan bukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara;
Ketentuan Pokok Pertambangan dan selain itu substansinya tidak bertentangan dengan
ayat (1) dan ayat (4) beserta penjelasannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, ketentuan Pasal 68 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Pokok Pertambangan dan ketentuan Pasal Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan UndangKetentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, maka Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor : 1453 K/29/ MEM/2000 tanggal 3 November 2000 Tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan Di Bidang Pertambangan Umum, Surat Edaran Menteri Pertambangan Nomor 004/S. E. M/Pertamb/69 tanggal 16 Januari 1969 Perihal Pengumuman Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Setempat, walaupun tidak terdapat dalam hirarki Peraturan Perundang-undangan tetap diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor : 1453 K/29/MEM/2000 tanggal 3 November 2000 Tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan Di Bidang Pertambangan Umum, Surat Edaran Menteri Pertambangan Nomor 004/S. E. M/Pertamb/69 tanggal 16 Januari 1969 Perihal Pengumuman Setempat, Surat Menteri Pertambangan dan Energi Nomor : Perihal Pengumuman Setempat merupakan pelaksanaan perintah dari ketentuan Pasal 68 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 4.
Pokok Pertambangan Bahwa berpedoman pada ketentuan Pasal Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, ketentuan Pasal 32 Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Nomor 2 Tahun 2001 Tentang Ijin Usaha Pertambangan Umum Daerah, maka Surat Keputusan Bupati Kutai Nomor : 180. 188/HK-251/2001 tanggal 26 April 2001 Tentang Pelaksanaan Dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pertambangan Umum Dalam Wilayah Kabupaten Kutai walaupun tidak terdapat dalam hirarki Peraturan Perundang-undangan tetap diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena Surat Keputusan Bupati Kutai Nomor : 180. 188/ HK-251/2001 tanggal 26 April 2001 Tentang Pelaksanaan Dan Tata Cara Pemberian Izin Penemuan Hukum Oleh Hakim...
83
Usaha Pertambangan Umum Dalam Wilayah Kabupaten Kutai merupakan pelaksanaan perintah dari ketentuan Pasal 32 Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Nomor 2 Tahun 2001 Tentang Ijin Usaha Pertambangan Umum Daerah yang dalam ilmu perundangundangan dikenal dengan istilah delegated legislation artinya peraturan yang lahir karena adanya perintah dari peraturan perundangundangan yang lebih tinggi in casu Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Nomor 2 Tahun 2001 Tentang Ijin Usaha Pertambangan Umum Daerah ayat (1) dan ayat (4) beserta penjelasannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, maka Instruksi Presiden RI Pelaksanaan Tugas Bidang Keagrariaan Dengan Bidang Kehutanan, Pertambangan, Transmigrasi Dan Pekerjan Umum, karena tidak terdapat dalam hirarki Peraturan Perundang-undangan dan bukan merupakan pelaksanaan perintah (tidak ada delegated legislation) dari peraturan perundangundangan yang lebih tinggi yang termasuk dalam hirarki Peraturan Perundang-undangan, maka tidak diakui keberadaannya dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sebab tidak ditemukan dasar legalitas terbitnya Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun Tugas Bidang Keagrariaan Dengan Bidang Kehutanan, Pertambangan, Transmigrasi Dan Pekerjan Umum tersebut dalam UndangKetentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Ketentuan Pokok Pertambangan dan Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Pokok Pertambangan, dengan demikian Majelis Hakim mengesampingkan daya berlaku Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun Tugas Bidang Keagrariaan Dengan Bidang Kehutanan, Pertambangan, Transmigrasi Dan Pekerjan Umum tersebut dalam pemeriksaan perkara ini;
Menim bang, bahwa berdas ark an pertimbangan di atas, menurut Majelis Hakim peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dijadikan tolak ukur/aturan dasar untuk menguji keabsahan obyek sengketa a quo adalah sebagai berikut : Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 -
-
-
Pokok Pertambangan Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Nomor 2 Tahun 2001 Tentang Ijin Usaha Pertambangan Umum Daerah Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor : 1453 K/29/MEM/2000 tanggal 3 November 2000 Tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan Di Bidang Pertambangan Umum Keputusan Bupati Kutai Nomor : 180. 188/ HK-251/2001 tanggal 26 April 2001 Tentang Pelaksanaan Dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pertambangan Umum Dalam Wilayah Kabupaten Kutai Surat Edaran Menteri Pertambangan Nomor : 004/S. E. M/Pertamb/69 tanggal 16 Januari 1969 Perihal Pengumuman Setempat Surat Menteri Pertambangan dan Energi
Menimbang, bahwa ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor Pokok Pertambangan (salah satu pasal yang tidak diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Pertambangan) berbunyi : Ayat (2) “Luas wilayah yang dapat diberikan untuk satu kuasa pertambangan eksplorasi tidak boleh melebihi 2000 (dua ribu) hektar”. Menimbang, bahwa ketentuan Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
84 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Penemuan Hukum Oleh Hakim...
1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan berbunyi : “Untuk mendapatkan satu kuasa pertambangan yang luas wilayahnya melebihi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pemohon kuasa pertambangan harus terlebih dahulu mendapat izin khusus dari Menteri, Gubernur, Bupati/ Walikota sesuai kewenangannya”. Menimbang, bahwa ketentuan Pasal 8 Keputusan Bupati Kutai Nomor : 180. 188/ HK-251/2001 tanggal 26 April 2001 Tentang Pelaksanaan Dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pertambangan Umum Dalam Wilayah Kabupaten Kutai berbunyi : Ayat (1) ”Ketentuan luas wilayah Izin Usaha Pertambangan yang dapat diberikan k epada pemohon Izin Usaha Pertambangan sebagai berikut : a. Tahap Penyelidikan Umum dan Eksplorasi Untuk KP maksimum 5000 ha (jumlah luas wilayah beberapa KP maksimum 15. 000 ha”. Menimbang, bahwa mencermati bunyi ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dengan Pasal 8 Keputusan Bupati Kutai Nomor : 180. 188/HK-251/2001 tanggal 26 April 2001 Tentang Pelaksanaan Dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pertambangan Umum Dalam Wilayah Kabupaten Kutai seperti dikutib diatas, Majelis Hakim dihadapkan pada persoalan ada terdapatnya Antinomi hukum antara Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dengan Pasal 8 Keputusan Bupati Kutai Nomor : 180. 188/HK-251/2001 tanggal 26 April 2001 Tentang Pelaksanaan Dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pertambangan Umum Dalam Wilayah Kabupaten Kutai, yang mana Keputusan Bupati Kutai Nomor : 180. 188/
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
HK-251/2001 tanggal 26 April 2001 Tentang Pelaksanaan Dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pertambangan Umum Dalam Wilayah Kabupaten Kutai adalah pelaksanaan perintah dari ketentuan Pasal 32 Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Nomor 2 Tahun 2001 Tentang Ijin Usaha Pertambangan Umum Daerah yang berbunyi : Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya, akan diatur dan ditetapkan dengan Keputusan Bupati; Menimbang, bahwa m enghadapi ada norma hukum yang terjadi dalam perkara ini, maka majelis Hakim mempedomani asas ilmu hukum yang berlaku universal di seluruh sistem hukum dunia, memecahkanya dengan berpatokan pada apa yang dikenal dengan istilah asas preferensi hukum; Menimbang, bahwa asas preferensi hukum yang berlaku universal dan dikenal di seluruh sistem hukum dunia adalah: asas Lex Posterior Derogat Legi Priori, yang berarti Peraturan perundang-undangan yang baru membatalkan peraturan perundangundangan yang lama asas Lex Specialis Derogat Legi Generali, yang berarti Peraturan Perundang-undangan yang khusus mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang umum asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori, yang berarti Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; Menimbang, bahwa dalam mempergunakan asas preferensi hukum dalam memecahkan persoalan antinomi hukum atau konflik antar norma hukum Hakim dapat memilih secara alternatif terhadap asas preferensi hukum tersebut yang dipandang paling tepat untuk memecahkan norma hukum dalam perkara yang dihadapi; Menimbang, bahwa menurut Majelis Hakim antar norma hukum antara Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun Pertambangan, Pasal 20 Peraturan Pemerintah Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor Pokok Pertambangan dengan Pasal 8 Keputusan Penemuan Hukum Oleh Hakim... 85
Bupati Kutai Nomor : 180. 188/HK-251/2001 tanggal 26 April 2001 Tentang Pelaksanaan Dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pertambangan Umum Dalam Wilayah Kabupaten Kutai, yang mana Keputusan Bupati Kutai Nomor : 180. 188/ HK-251/2001 tanggal 26 April 2001 Tentang Pelaksanaan Dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pertambangan Umum Dalam Wilayah Kabupaten Kutai adalah pelaksanaan perintah dari ketentuan Pasal 32 Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Nomor 2 Tahun 2001 Tentang Ijin Usaha Pertambangan Umum Daerah, yang paling tepat adalah dengan mempergunakan asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori, yang berarti Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; Menimbang, bahwa menurut ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berbunyi: Ayat (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden Peraturan Daerah Ayat (4)”Jenis Peraturan Perundang-Undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan PerundangUndangan yang lebih tinggi” Ayat (5)”Kekuatan hukum Peraturan PerundangUndangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”; ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan berbunyi : Jenis peraturan perundangundangan selain dalam ketentuan ini, antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Menteri, Kepala Bidang, Lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Gubernur,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat Menimbang, bahwa berpedoman pada penjelasannya, ayat (5) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan seperti disitir di atas, maka menurut asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori yang diberlakukan dan dipedomani untuk menguji keabsahan obyek sengketa a quo Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor Pokok Pertambangan, Pasal 20 Peraturan Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dengan Pasal 8 Keputusan Bupati Kutai Nomor : 180. 188/HK-251/2001 tanggal 26 April 2001 Tentang Pelaksanaan Dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pertambangan Umum Dalam Wilayah Kabupaten Kutai, yang mana Keputusan Bupati Kutai Nomor : 180. 188/HK-251/2001 tanggal 26 April 2001 Tentang Pelaksanaan Dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pertambangan Umum Dalam Wilayah Kabupaten Kutai adalah pelaksanaan perintah dari ketentuan Pasal 32 Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Nomor 2 Tahun 2001 Tentang Ijin Usaha Pertambangan Umum Daerah adalah ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Pertambangan, Pasal 20 Peraturan Pemerintah Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor Pokok Pertambangan, sebab Peraturan Daerah Kabupaten menurut hirarkhi peraturan perundangundangan lebih rendah daripada Peraturan Pemerintah, sedangkan keputusan Bupati merupakan pelaksanaan perintah Peraturan Daerah dan khusus untuk Pasal 8 Keputusan Bupati Kutai Nomor : 180. 188/HK-251/2001 tanggal 26 April 2001 Tentang Pelaksanaan Dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pertambangan Umum Dalam Wilayah Kabupaten Kutai haruslah dikesampingkan; Menimbang, bahwa dari Surat Keputusan Bupati Kutai Kartanegara Nomor : 540/130/
86 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Penemuan Hukum Oleh Hakim...
KP-Er/DPE-IV/IX/2008 tanggal 19 September 2008 Tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Eksplorasi (KW.KTN 2008 130 Er) atas nama PT Swara Kaltim Abadi yang terletak di Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, Propinsi Kalimantan Timur, Seluas 2. 980 Ha (Dua Ribu Sembilan Ratus Delapan Puluh Hektar) (vide bukti T. 1 idem bukti T II Intervensi 04 idem bukti P.1) pada bagian Memutuskan : Menetapkan : Pertama : Memberikan Kuasa Pertambangan Eksplorasi untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun kepada Nama Perusahaan : PT Swara Kaltim Abadi wilayah tertanda KW. KTN 2008 130 Er terletak di Kecamatan Muara Kaman Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur luas 2. 980 Hektar dan dari alat-alat bukti yang disampaikan para pihak di persidangan Majelis Hakim tidak menemukan bukti berupa surat ijin khusus Bupati Kutai Kartanegara seperti dikehendaki ketentuan Pasal 20 Peraturan Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, dengan demikian Surat Keputusan Bupati Kutai Kartanegara Nomor : 540/130/KP-Er/DPE-IV/ IX/2008 tanggal 19 September 2008 Tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Eksplorasi (KW.KTN 2008 130 Er) atas nama PT Swara Kaltim Abadi yang terletak di Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, Propinsi Kalimantan Timur, Seluas 2. 980 Ha (Dua Ribu Sembilan Ratus Delapan Puluh Hektar) (obyek sengketa) bertentangan dengan ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Pertambangan, Pasal 20 Peraturan Pemerintah Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Pertambangan. Sehingga dapat dikategorikan bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, hal ini berarti ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara telah terpenuhi. Berda sarkan paparan di atas, maka dapat diketemukan suatu jawaban terhadap permasalahan bahwa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda Nomor : 26/G/2009/ PTUN-SMD menerapkan Stufenbau Theorie dari Hans Kelsen pada pokoknya menyebutkan : Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Menurut Stufenbau Theori (Teori Jenjang Norma) Hans Kelsen, Peraturan hukum secara keseluruhan diturunkan dari norma dasar (Grundnorm yang bersifat abstrak), yang secara berurutan diuraikan dari atas ke bawah sebagai berikut: Basic norm (Grundnorm)–Enabling act (Secondary norm expressing primary norm)– Byelaw (Secondary norm expressing primary norm).Hukum adalah seperangkat peraturan perundang-undangan yang mengandung semacam kesatuan atau daya pengikat yang dipahami sebagai suatu sistem. Hukum positif tersusun dalam tatanan mulai dari hukum dasar sampai pada hukum yang paling konkret dan individual, harus bersumber pada tata nilai dasar yang mengandung penilaian-penilaian etis. Setiap norma hukum yang lebih tinggi adalah sumber hukum bagi norma hukum yang lebih rendah yang berpuncak pada norma dasar (Grundnorm). D. Penutup Berdasarkan analisis di atas, penulis berkesimpulan : 1. Asas ius curia novit berarti asas hakim dianggap tahu konsekwensinya Hakim Peradilan Tata Usaha Negara tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukumnya tidak ada atau hukumnya tidak jelas, melainkan harus memeriksa dan mengadilinya dan seorang Hakim wajib mencari dan menemukan hukum suatu peristiwa konkret yang diajukan kepada Hakim. Seorang Hakim yang menerima suatu kasus konkret yang tidak ada hukumnya haruslah mencari, menggali dan mengkaji h uku mn ya d e ng an j al a n me la ku ka n penemuan hukum (rechtvinding) yang diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh Hakim diberi kewenangan menerapkan hukum (das sollen) terhadap peristiwa yang konkret (das sein). Hakim dalam menemukan hukum juga harus memperhatikan berbagai teori hukum yang berkembang, mengingat dinamika kehidupan mengalami perubahan terus menerus, perubahan terus terjadi, sehingga tidak ada sesuatu yang abadi. In Het wetenshap niemand heeft een laatste woord (tiada kata akhir dalam ilmu), demikian pula Hakim melalui putusan-putusannya dengan melakukan penemuan hukum, penafsiranpenafsiran suatu pasal yang menjadi dasar pengujiannya sebagai bentuk ijtihad. 2. Hakim dalam Putusan Nomor : 26/G/2009/ PT UN-SM D t ela h men era pka n asa s preferensi hukum dalam memecahkan
Penemuan Hukum Oleh Hakim...
87
norma hukum mempergunakan asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori, yang berarti Peraturan Perundang-undangan yang lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan berlandaskan pada Stufenbau Theori.
Daftar Pustaka Achmad Ali.2009.Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan. Jakarta : Kencana Perdana Media Group. Adam Przeworzki dan Sebastian M. Saigh. 2004. “Goverment Coalitations and Legislative Succes Under Presidentialism and Parliamentarism”, British Journal of Political Science. No. 34, 2004. Ahmad Zaenal Fanani. 2010.“Hermeneutika Hukum sebagai Metode Penemuan Hukum Dalam Putusan Hakim”.Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXV No. 297, Agustus 2010. Alfred Stepan and Cindy Skach.2002. “Constitusional Framework and Democratic Consolidation : Parliamentarianism and Presidentialism”.Journal of World Politics, Vol. 46, No. 1, 2002. Bernard L. Tanya dkk. 2013.Teori Hukum. Yogyakarta : Genta Publishing. Elisabeth Nurhaini Butar-Butar. 2014.“Arti pentingnya Pembuktian Dalam Proses Penemuan Hukum di Peradilana Perdara”.Jurnal Mimbar Hukum Volume 22, Nomor 2. Edi Hudiata.2014. “Jaminan UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Bagi Hakim Dalam Melakukan Penemuan Hukum untuk Menghasilkan Putusan yang ideal”.Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXIX, No. 344, Juli 2014. Jimly Asshidiqie. 2004.Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta : Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI. Johnny Ibrahim.2012. Teori dan Metodologi Hukum Normatif. Malang :Bayu Media Publising. Khusdzaifah Dimyati. 2010.Teorisasi Hukum : Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945-1990. Yogyakarta : Genta Publising. Moh. Mahfud. MD. 2000.Demokrasi dan Konstitusi Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta. Maftuh Effendi.2005. “Dekontruksi Sebagai Penafsiran Hukum Alternatif”.Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXIX No. 34, April 2014. Philipus M. Hadjon. 2005.Argumentasi Hukum.Yogyakarta :Gajah Mada University Press. Sudikno Mertokusumo. 2009.Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta : Liberty. Soehartono. 2012. Membangun Konstruksi Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara. Disertasi. Surakarta : Universitas Sebelas Maret Sugijanto Darmadi.2012.Kedudukan Ilmu Hukum Dalam Ilmu dan Filsafat. Bandung : Mandar Maju.
88 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Edisi 5 Jan-Juni 2015
Penemuan Hukum Oleh Hakim...