perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MEMBANGUN KONSTRUKSI PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA
DISERTASI Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Hukum
SOEHARTONO NIM.T310908008
PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM PASCA SARJANA FALKUTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 commit to user
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MEMBANGUN KONSTRUKSI PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA
SOEHARTONO NIM.T310908008 Surakarta,
September 2012
Telah disetujui oleh Tim Promotor
Co. Promotor
Co. Promotor
Prof. Dr. Yos Johan Utama, SH.,M.Hum NIP. 196211101987031004
Dr. I. Gusti Ayu KRH,SH.,MM NIP. 197210082005012001
Mengetahui, Ketua Program Doktor Ilmu Hukum
Promotor
Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH.,MH Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH.,MH NIP.196302091988031003 NIP.196302091988031003 commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lembar Pengesahan Disertasi MEMBANGUN KONSTRUKSI PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA
Soehartono NIM. T. 310908008 Surakarta, September 2012 Telah Disetujui oleh Tim Penguji Ketua
: Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS
__________________
Sekretaris
: Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS
__________________
Anggota
:
1. Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH., MH 196302091988031003 2. Prof. Dr. Yos Johan Utama, SH., M Hum 196211101987031004 3. Dr. I.G. Ayu Ketut Rachmi H, SH., MM 197210082005012001 4. Prof. Dr. H. Setiono SH., MS 196011071986011001 5. Prof. Dr. Jamal Wiwoho, SH., M Hum 196111081987021001 6. Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH., MHum 195702031985032001 7. Prof. Dr. R. Benny Riyanto, SH.,MH.,CN
__________________ __________________ __________________ __________________ __________________ __________________ __________________
Mengetahui : Ketua Program Doktor Ilmu Hukum
Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH., MH to user NIP.commit 196302091988031003
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama
: Soehartono
NIM
: T310908008
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa disertasi dengan judul : “MEMBANGUN KONSTRUKSI PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA” adalah betul-betul karya saya sendiri. Hal yang bukan karya saya, dalam disertasi tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan disertasi dan gelar yang saya peroleh dari disertasi tersebut. Selanjutnya untuk menunjukkan keaslian disertasi saya, dengan ini saya bersedia disertasi ini di upload atau dipublikasikan pada website Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hkum UNS.
Surakarta,
September 2012
Yang Membuat Pernyataan
Soehartono T310908008 commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Barang siapa menempuh suatu cara yang memudahkan orang untuk memperoleh ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan masuk surga (HR. Muslim) Pelajarilah ilmu pengetahuan, sesungguhnya belajar ilmu karena Allah adalah takwa, menuntut ilmu adalah ibadah, mengingatnya adalah tasbih, mencarinya adalah jihad, mengajarkannya kepada orang yang tidak tahu adalah sedekah. (HR. Ibn. Abdil Barr An Namiry)
Disertasi ini kupersembahkan untuk : 1. 2. 3. 4. 5.
Bapak dan ibu (alm, almh) Bapak dan ibu mertua Istriku dan ketiga anaku tercinta Adik-adiku, keponakan Almamater FH UNS
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan rasa syukur yang mendalam, penulis panjatkan ke hadiran Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, bahwa dengan limpahan rachmad, taufik dan hidayah-Nya, penulis telah dapat menyelesaikan penulisan disertasi dengan judul : Membangun Konstruksi Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara. Tujuan penulisan disertasi adalah didasarkan kepada pengamatan penulis yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya dan pada proses berhukum di pengadilan khususnya telah terjadi krisis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengadilan atau sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Keterpurukan lembaga pengadilan sebagai penegak hukum dan keadilan, ditandai dengan kritikan, kecaman yang semakin memojokkan keberadaan lembaga pengadilan dalam masyarakat. Hal tersebut dapat terjadi karena cara berhukum hakim sangat dipengaruhi dominasi positivisme hukum, bahkan dibelenggu oleh terali besi kekuatan yang mengedepankan bentuk formalnya atau aturan normatif. Berdasarkan cara berhukum yang demikian, maka produknya dapat ditebak atau diramalkan akan menghasilkan keadilan yang prosedural atau formal, bukan keadilan substansial atau material yang diharapkan masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, agar lembaga pengadilan tidak mendapatkan kritik, kecaman atau paling tidak dapat mengeliminir atau mengurangi, maka terdapat kewajiban hakim dalam menyelesaikan sengketa tidak hanya berdasarkan pada undang-undang. Undang-undang tidak lengkap dan tidak mungkin sempurna, hakim harus melengkapi dan menyempurnakan, dengan melalui interpretasi, konstruksi dan hermenutika hukum. Hakim harus aktif, kreatif dan dalam menyelesaikan sengketa dengan menggunakan hati-nurani, empati, perasaan, berpikir secara holistik dan melihat realita masyarakat, tidak hanya mengandalkan atau mengedepankan aturan dan pengolahan dengan logika. Penulis menyadari bahwa kemampuan dan keterbatasan pengetahuan dalam penulisan disertasi, oleh karena itu bantuan berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung telah memberikan motivasi yang luar biasa dan tidak dapat dinilai dengan apapun bagi penulis. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada : Pertama, Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS, selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS Kedua, Prof. Dr. Ahmad Yunus, MS, selaku Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS Ketiga, Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH., MH, selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang telah memberi ijin dan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi pada Program Doktor Ilmu Hukum Pasca Sarjana Fakultas Hukum UNS commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keempat, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH., MH, selaku promotor dalan penulisan disertasi dan juga selaku Ketua Program Doktor Ilmu Hukum, yang dengan ketulusan hati dan penuh tanggung jawab berkenan untuk membimbing penulis sebagai promotor. Dengan penuh kesabaran, ketulusan, kecermatan dan tanggung jawab telah memberikan masukan, koreksi sejak dari awal penulisan usulan penelitian, hasil penelitian yang bersifat membangun demi kebaikan disertasi penulis. Dengan tidak mengenal lelah dan capai, beliau tetap memberikan bimbingan-bimbingan, di luar jam kerja beliau tetap mau menerima bimbingan dan hal yang sangat berkenan selalu memberikan motivasi kepada penulis. Sosok promotor yang patut dan pantas untuk disegani, dengan kerendahan hatinya selalu siap untuk dimintai konsultasinya. Kelima, penulis menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalam kepada Prof., Dr., Yos Johan Utama, SH., M Hum, di tengah-tengah kesibukannya (sebagai Dekan Fak. Hukum Undip) masih bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi Co promotor dalam penulisan disertasi ini. Ketepatan waktu yang beliau sediakan setiap promovendus berkonsultasi dan keramahtamahan, sikap santun yang beliau tunjukkan pada setiap konsultasi, selalu memberikan motivasi yang dapat membantu penulis untuk mengemukakan pendapatnya. Dengan penuh kesabaran, ketelitian, dan tanggungjawab, beliau memberikan masukan-masukan baik pada proposal maupun pada hasil peneltian yang dapat membuka pandangan penulis untuk lebih sempurnanya dalam penulisan disertasi. Keenam, terima kasih saya sampaikan kepada Dr. I. Gusti Ayu KRH., SH., MM, yang telah bersedia meluangkan waktunya sebagai Co promotor dalam penulisan disertasi ini. Dengan sangat ramah, murah senyum, penuh kesabaran, ketelitian, kecermatan, beliau memberikan masukan-masukan yang bersifat memperbaiki, memberikan banyak bekal dan bahan-bahan untuk lebih sempurnanya penulisan disertasi ini. Di tengah-tengah kesibukannya (sebagai Pembantu Dekan II Fak. Hukum UNS), masih dapat menyempatkan waktunya untuk memberikan koreksi, arahan, sejak dari makalah kualifikasi, pembuatan usulan penelitian, hasil penelitian, sehingga dapat membuka pandangan penulis untuk menyempurnakan penulisan disertasi. Kesedian beliau untuk menerima konsultasi di luar jam kerja, memberikan motivasi tersendiri dan dapat menggugah penulis untuk menyelesaikan penulisan disertasinya. Ketujuh, Prof. Dr. Setiono, SH., MS., pertama sebagai mantan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Pasca Sarjana Fakultas Hukum UNS dan kedua, selaku penguji yang telah memberikan masukan yang tiada nilai harganya dalam disertasi, memberikan motivasi hingga penulis dapat menyelesaikan disertasinya. Kedelapan, Prof. Dr. Muchsin SH, (almarhum) selaku dosen pembimbing dalam mata kuliah penunjang yang telah banyak memberikan masukan, arahan dalam penyusunan proposal, dengan ikhlas memberikan bahan referensi kepada penulis, semoga kebaikan Prof. Muchsin dibalas oleh Allah, diampuni semua dosa-dosanya, amien. Kesembilan, Prof. Dr. Okid Parama Astirin, MS, selaku Ketua Tim Penguji yang telah memberikan masukan dan arahan, saran yang sangat berharga commit to user pada waktu ujian tertutup
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kesepuluh, Prof. Dr. Jamal Wiwoho, SH., M Hum, pertama selaku mantan Sekretaris Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS yang memberi kesempatan pada penulis untuk mengikuti studi pada Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS, kedua selaku penguji yang telah banyak memberikan masukan dan arahan, saran pada ujian tertutup Kesebelas, Prof. Dr. Supanto, SH., MH., pertama selaku Sekretaris Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti studi pada Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS, kedua selaku penguji yang telah banyak memberikan masukan, saran, kritik yang membangun dan memberikan motivasi agar dapat menyelesaikan studinya Keduabelas, Edy Herdiyanto, SH, Mhum., selaku Ketua Bagian Hukum Acara yang telah memberikan ijin bagi penulis untuk studi pada Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS, dan memberikan semangat agar penulis selalu bangkit dan menjaga kesehatan Ketigabelas, Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, MPA, selaku penguji yang sangat banyak memberikan masukan-masukan, arahan dan saran kepada penulis. Masukan dan saran beliau memberikan pencerahan dan memberikan jalan yang lebih jelas dan terang. Penjelasan beliau yang sangat mendasar dan signifikan mulai dari ujian hasil penelitian, kelayakan dan ujian tertutup merupakan bekal bagi penulis dalam menyelesaikan disertasinya. Rekomendasi beberapa buku literatur menambah dan melengkapi teori dalam kajian analisis. Keempatbelas, Ketua PTUN Semarang, dan Maftuh Effendi, Teguh Satya Bhakti, selaku hakim PTUN Semarang dan Ketua PTUN Yogyakarta, Agus Budi Susilo, Retno Nawangsih, Roni Erry Saputro, selaku hakim PTUN Yogyakarta yang telah banyak membantu penulis untuk memberikan data terutama dalam kaitannya dengan sengketa yang telah mereka putus. Mereka dengan ikhlas dan tulus hati, sabar memberikan keterangan yang penulis perlukan, mereka semua mempunyai dedikasi yang tinggi dalam tugasnya dan pandangan ke depan sebagaimana diharapkan masyarakat. Kelimabelas, terima kasih yang tidak terhingga kepada ayahnda dan ibunda, almarhum Soekarno dan almarhumah Soekinem, yang telah mengasuh, mendidik dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran, keikhlasan, ketulusan hati. Dimasa hdupnya yang selalu berdoa untuk kesuksesan anakanaknya. Kesan yang tidak dapat terlupakan adalah kegigihan dan ketabahan, kesabaran yang beliau contohkan dalam menghadapi segala permasalahan. Terima kasih ayah dan ibu semoga alloh menerima disisi-Nya diampuni semua dosadosanya. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada ayahnda dan ibunda mertua, Mawardi dan Sumirah, yang selalu mendoakan kepada anak-anaknya agar selalu mendapatkan kelancaran, kemudah-mudahan dalam segala upaya dan usahanya. Keenambelas, terima kasih yang tulus kepada istriku tercinta, Sri Sumardiyanti, yang dengan penuh kesabaran, ketulusan, selalu berdoa untuk kelancaran dan kemudahan penulis dalam segala upaya dan dalam menyelesaikan studinya. Terima kasih kepada anak-anaku Sandhi Prakoso, Ratna Nurhidayanti commit to user Hapsari, Wahyu Rachmaditya Imanulloh, yang dengan penuh kesabaran rela
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mendoakan ayahnya dalam menyelesaikan studinya dan adik-adiku (Bambang P, Kusmiati IR, Nugroho, Sri Wahyuni BN, Teguh JS, Cipto) Suharsono, Jatiningsih (almarhum, almarhumah, semoga diampuni dosa-dosanya) dan kakaku semua, keponakan yang tidak dapat disebut satu persatu, yang selalu berdoa dan memberi semangat untuk selesainya disertasi ini, terima kasih semua. Ketujuhbelas, terima kasih teman-teman Program Doktor Ilmu Hukum UNS angkatan kedua dan semua angkatan, semoga kita semua sukses. Temanteman fakultas hukum UNS semua, mas Wisnu (bag. kerjasama) terima kasih atas partisipasi dan doanya, bapak Lego Karjoko, bapak Rafik, mas mulyono, M. Badrun, semua teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuan dan doanya, sehingga dapat menyelesaikan penulisan disertasi. Akhirnya, tiada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa penulisan disertasi ini masih banyak kekurangan, karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis, namun penulis juga masih berharap semoga ada manfaatnya. Dengan tangan terbuka, kritik dan saran yang besifat lebih membangun diharapkan demi kebaikan penulisan disertasi ini, terima kasih.
Surakarta, September 2012 Penulis,
Soehartono
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Membangun Konstruksi Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara, disertasi : Soehartono, 2012, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penulisan disertasi ini bertujuan untuk mengetahui penerapan undang-undang oleh hakim dalam penyelesaian sengketa, yaitu masih terikat oleh dominasi ketentuanketentuan yang bersifat normatif semata atau undang-undang dalam bentuknya yang tertulis atau telah mengalami pergerakan pemikiran oleh hakim untuk keluar dari undang-undang dengan melihat realita dalam masyarakat. Hakim dalam menyelesaikan sengketa tidak hanya mengedepankan aturan dan logika belaka, namun lebih mengandalkan kepada hati-nurani, perasaan, empati, keaktifan hakim dan kreasinya. Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan penelitian hukum doktrinal dan non-doktrinal. Penelitian hukum doktrinal dimaksudkan untuk mendapatkan data sekunder, yaitu diperoleh melalui inventarisasi undang-undang, mengkaji literatur yang terkait dengan materi atau permasalahannya, putusan hakim, kemudian setelah terkumpul dianalisis melalui metode deduktif. Penelitian hukum non-doktrinal dilakukan untuk mendapatkan data primer, yaitu diperoleh melalui metode wawancara dan pengamatan atau observasi, kemudian datanya dianalisis dengan metode induktif dengan model interaktif. Berdasarkan analisis data dapat disimpulkan, pertama hakim dalam memutus, menyelesaikan sengketa atau pengujian terhadap keabsahan beschikking tidak selalu berdasarkan kepada undang-undang, dan undang-undang tidak dianggap sebagai pedoman yang bersifat absolut. Undang-undang hanya dianggap sebagai pedoman belaka dan dapat disimpangi dalam menyelesaikan sengketa. Kedua, bahwa undang-undang tidak lengkap, tidak sempurna, tidak atau kurang jelas, undang-undang tidak dapat mengakomodasi semua kebutuhan manusia dalam masyarakat yang semakin kompleks dan berkembang, oleh karena itu hakim dalam tugasnya berupaya melengkapi, menjelaskan undang-undang agar dapat diterapkan kepada peristiwanya dengan melalui penafsiran atau interpretasi, konstruksi dan hermeneutika hukum. Terjadi pergerakan pemikiran oleh hakim dalam menyelesaikan sengketa, yaitu tidak hanya mendasarkan kepada undang-undang dan logika, namun hakim dalam menyelesaikan sengketa dengan menggunakan perasaan, hati-nurani, empati, hakim aktif dan kreatif, menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Ketiga, dalam menyelesaikan sengketa hakim dengan sungguh-sungguh melakukan upaya-upaya untuk meninggalkan cara berpikir hukum yang lama atau tradisional. Upaya-upaya membangun kontruksi penemuan hukum dilakukan dengan membuka pandangan jauh ke depan terhadap undangundang sebagai sistem terbuka, pandangan tentang nilai keadilan tidak lagi bersifat prosedural atau formal, melainkan lebih cenderung bersifat substansial atau material sebagaimana diharapkan pencari keadilan dalam masyarakat, pandangan terhadap hukum yang bersifat holistik, dengan melihat hukum dalam kehidupan masyarakat sebagai dasar dan cermin tumbuh dan berkembangnya commit to userdapat mewujudkan dasar filosofis hukum. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tujuan dibentuknya pengadilan tata usaha negara, yaitu memberikan keadilan kepada masyarakat. Kata kunci : membangun konstruksi, penemuan hukum, sengketa tata usaha negara.
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Develop Construction of Legal Finding by Judge In the State Administrative Dispute Resolution, dissertation: Soehartono, 2012, the Doctoral Program of Law, Faculty of Law, Sebelas Maret University This dissertation aims to determine the application of law by judges in dispute settlement are still bound by the provisions of the dominance of normative law alone or in written form or have experienced a shift in thinking by the judge to get out of the law by looking at the reality in the community. Thus, judges in resolving disputes not only promote the rules and logic alone, but rather rely on the conscience, feelings, empathy, active judges and the creation. To achieve these objectives, used the doctrinal legal research and non-doctrinal. Doctrinal legal research is intended to obtain secondary data, which is derived through an inventory of legislation, reviewing the literature related to the material or matter, the judge, then having collected were analyzed through a deductive method. Nondoctrinal legal research carried out to obtain the primary data, which is obtained through interviews and observations, then the data were analyzed with inductive methods with interactive models. Based on the data analysis can be concluded, firstly judge in deciding, resolve disputes, or test the validity of beschikking not always based on the statute, and statute are not regarded as an absolute guideline. The statute is considered as mere guidelines and can be deviated in resolving the dispute. Secondly, that the statute is incomplete, imperfect, or no less clear, the statute can not accommodate all the needs of human beings in a society that increasingly complex and evolving, therefore the judge in trying to complete the task, explaining the act to be applied to the event by means of interpretation, construction and legal hermeneutics. Movement of thought by judges in resolving disputes, which is not only the base to the act and logic, but judges in resolving disputes with feelings, conscience, empathy, active and creative judges, explore the values of law and justice in society . Thirdly, judges in resolving disputes with earnest efforts to abandon the old ways of thinking or traditional law. Construction efforts to build legal discovery done by opening the foresight of the statute as an open system, the notion of justice is no longer the procedural or formal, but more likely to be substantial, as expected the search for justice in society, a view of the law which is holistic, with a view of law in public life as the basis and mirrors the growth and development law. Based on such consideration, it can realize the aim of the philosophical basis of administrative courts, which give justice to the community.
Keywords: develop of construction, legal finding, administrative dispute
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
RINGKASAN Kegagalan paradigma negara “legal state” yang berprinsip “staatsonthouding” atau pembatasan peran negara dan pemerintah dalam bidang politik, telah menyebabkan peralihan paradigma negara, dari paradigma negara “penjaga malam” (nachtwakerstaat) kepada paradigma negara kesejahteraan (welfare state). Paradigma negara kesejahteraan menempatkan warga negara atau orang-perorang menjadi subyek hukum, yang harus dilindungi dan disejahterakan, menempatkan warga negara sebagai subyek (alinea 4 UUD 1945) dan tidak lagi menempatkan warga negara sebagai obyek. Negara mempunyai kewajiban untuk masuk ke dalam wilayah kehidupan warganya, dalam rangka menjalankan fungsinya melayani dan mengupayakan kesejahteraan (bestuurszorg) Dalam negara hukum yang mempunyai konsep negara kesejahteraan, maka peran pemerintah cq negara semakin besar dalam kehidupan warganya, karena tugas atau fungsi pemerintah tidak hanya berfokus atau berurusan pada bidang penyelenggaraan pemerintahan semata, melainkan pemerintah juga bertanggungjawab kepada kesejahteraan warga masyarakatnya. Dengan berbagai alasan, untuk kepentingan rakyat, kepentingan orang banyak atau masyarakat, pemerintah melakukan segala upaya untuk menyejahterakan warganya. Peran pemerintah yang semakin besar tersebut, ternyata dapat menimbulkan benturan kepentingan antara warga masyarakat dengan pemerintah dan hal tersebut perlu adanya suatu lembaga yang dapat menyelesaikan sengketa yang timbul, yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara. Dasar filosofi tujuan dibentuknya pengadilan tersebut adalah untuk memberikan keadilan kepada masyarakat. Eksistensi PTUN dalam suatu negara hukum merupakan pilar untuk menegakan hukum dan keadilan dalam masyarakat, di samping itu dapat melakukan kontrol terhadap tindakan pemerintah, yaitu melalui pengujian keabsahan keputusan tata usaha negara dan diwujudkan dalam bentuk putusan hakim. Dalam tugasnya untuk melakukan pengujian terhadap keabsahan beschikking yang dikeluarkan oleh pemerintah, pengujian tersebut harus berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB). Undang-undang sebagai dasar hukum pengujian Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) tidak selalu lengkap, sempurna, tidak atau kurang jelas, kabur, oleh karena itu hakim harus melengkapi, menjelaskan agar undang-undang tersebut dapat diterapkan kepada peristiwanya. Hal tersebut dapat dilakukan oleh hakim melalui penafsiran atau interpretasi hukum, konstruksi hukum dan hermeneutika hukum. Hakim dalam tugasnya dilarang untuk menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan hukum kurang atau tidak jelas, melainkan hakim wajib untuk memahami, memperhatikan dan menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Hal tersebut diamanahkan dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang sebagai hasil legislatif ternyata belum atau tidak dapat mengakomodasi semua kepentingan manusia, bahkan kepentingan atau kebutuhan manusia semakin hari semakin kompleks dan terus berkembang. Ketua user undang-undang yang dihasilkan Mahkamah Konstitusi mengeluhcommit kualitasto dari
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DPR dan Presiden. Keluhan tersebut diucapkan pada saat pembacaan judicial review atas Pasal 30 ayat (2) sampai ayat (5) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Tanpa perancangan yang baik, suatu pasal bisa menimbulkan multitafsir di kalangan masyarakat. Moh. Mahfud. MD, mengemukakan meskipun reformasi sudah dijalankan, namun pembangunan tertib hukum belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Masih adanya peraturan perundang-undangan yang bermasalah baik secara vertikal maupun horizontal. Di sisi lain, ada kesan bahwa pembentukan hukum kurang terkoordinasi dengan baik, menyangkut materi muatan maupun teknis prosedural pembentukkannya. Sejauh ini, ada beberapa problem yang teridentifikasi berkontribusi terhadap cengkarutnya bidang legislasi. Pertama, undang-undang sebagai produk legislasi belum memadai secara kualitas, sehingga kurang memberikan manfaat langsung bagi masyarakat. kedua, belum terpenuhinya target jumlah penyelesaian Rancangan Undang-undang yang telah ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Ketiga, proses pembahasan Rancangan Undang-undang dianggap kurang transparan, sehingga sulit diakses oleh publik. Keempat, masih lemahnya tingkat koordinasi di antara alat kelengkapan DPR dalam penyusunan dan pembahasan suatu Rancangan Undang-undang. Problem-problem tersebut kemudian menumbuhkan kesan bahwa pembentukan hukum kurang dipersiapkan dengan baik, sehingga banyak undang-undang yang tidak memenuhi asas-asas pembentukan undang-undang atau tidak layak sebagai undang-undang. Akibatnya, banyak undang-undang yang bukannya mengatasi masalah, tetapi justru menimbulkan problem baru di lapangan. Entah karena tidak dapat diimplementasikan atau karena tumpang tindih Berdasarkan hal-hal tersebut, hakim dalam tugasnya tidak hanya menerapkan undang-undang semata atau membunyikan undang-undang, walaupun suatu undang-undang sudah jelas, hakim juga harus melihat validitas undang-undang tersebut, hakim juga harus melihat realitas dalam masyarakat, bahwa undang-undang yang baik harus dapat mencerminkan kehidupan masyarakatnya. Hakim dalam tugasnya tidak boleh terbelenggu oleh aturan-aturan yang bersifat normatif atau lebih mengedepankan undang-undang dalam bentuknya yang tertulis, hakim berdasarkan kemampuan yang dimilikinya harus berusaha melayani masyarakat dengan baik, yaitu harus berani keluar dari belenggu undang-undang yang dogmatif-normatif. Hukum dalam masyarakat terus berkembang, hal demikian membawa konsekuensi pada tugas hakim dalam berhukum tidak hanya berkutat kepada cara-cara tradisional, tetapi hakim harus berani keluar dan meninggalkan cara tradisional tersebut. Hakim dituntut untuk lebih kreatif, aktif, mempunyai pandangan jauh ke depan dan hakim harus berani melakukan penemuan hukum melalui metode penafsiran, konstruksi dan hermeneutika hukum. Membangun konstruksi penemuan hukum oleh hakim dimaksudkan untuk dapat memperbaiki, menggeser, merubah, pergerakan pemikiran hakim dalam berhukum di pengadilan. Hakim tidak hanya memutus, tetapi terjadi pergeseran fungsi menjadi hakim menyelesaikan. Hakim dalam menyelesaikan sengketa tidak hanya berdasarkan pada undang-undang semata, melainkan lebih commit to user hakim aktif, kreatif dan memiliki mendasarkan pada hati-nurani, empati, perasaan,
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pandangan jauh ke depan dengan melihat realita dalam masyarakat. Pergerakan pemikiran dimulai pada hakim dari normatif positivisme menuju ke pemikiran sosiologis dengan terwadahi oleh keyakinan hakim dan prinsip kebenaran material. Satjipto Rahardjo mengemukakan, pelajaran hidup bernegara hukum selama berpuluh-puluh tahun adalah terlalu mahal untuk tidak membuat berani melakukan pemikiran ulang terhadap cara-cara memahami hukum, undangundang dan negara hukum. Hal itu menyebabkan diajukan gagasan agar kita berani melakukan dekonstruksi terhadap cara-cara berpikir mengenai hukum. Intisari pikiran mendekonstruksi hukum adalah kredo (jawa) yang diajukan berbunyi kita tidak boleh menjadi tawanan undang-undang, itulah esensi dekonstruksi yang meliputi aspek kognitif maupun afektif. Filsafat yang mengilhami adalah hukum untuk manusia, dan tidak sebaliknya. Metode penemuan hukum yang dapat digunakan hakim dalam kaitannya dengan penerapan undang-undang, seperti interpretasi hukum, yang meliputi interpretasi gramatikal (menurut bahasa), interpretasi teleologis atau sosiologis, interpretasi sistematis, interpretasi historis, interpretasi komparatif, interpretasi futuristis atau antisipasi, interpretasi restriktif, interpretasi ekstensif, interpretasi otentik atau secara resmi, interpretasi interdisipliner, interpretasi multidisilpiner. Metode kontruksi hukum meliputi, argumentum per analogiam (analogi), metode argumentum a contrario, rechtsverfijning (penyempitan atau pengkonkritan hukum), fiksi hukum. Dari beberapa metode penemuan hukum tersebut, hakim tidak terikat kepada salah satu metode, hakim bebas untuk memilih atau mengunakannya berdasarkan permasalahan yang dihadapi hakim. Dalam sejarah telah tercatat bahwa selama berabad-abad hubungan antara perundang-undangan dengan putusan hakim telah menimbulkan polemik yang tak putus-putusnya dan melahirkan berbagai aliran pemikiran dalam ilmu hukum. mula-mula dikenal aliran legis, yang cenderung memandang hakim hanya sekedar terompet undang-undang (bouche de la loi). Kemudian muncul aliran penemuan hukum oleh hakim yang memandang bahwa hakim dapat mengisi kekosongan perundang-undangan dengan jalan konstruksi hukum atau interpretasi hukum. terakhir, muncul aliran realis di Amerika Serikat dan Skandinavia yang pada pokoknya memandang hakim tidak sekedar menemukan hukum, melainkan juga membentuk hukum melalui putusannya. Bagi aliran realis, kaidah-kaidah hukum yang berlaku memang ada pengaruhnya terhadap putusan hakim, tetapi hanya sebagai salah satu unsur pertimbangan. Selain unsur kaidah hukum itu, putusan hakim juga dipengaruhi oleh prasangka politik, ekonomi atau moral, bahkan perasaan simpati dan pribadi turut mempengaruhi putusan hakim. Penerapan undang-undang oleh hakim dalam proses peradilan telah mengalami perkembangan sejak jaman kuno (klasik), sehingga melahirkan ajaran/paham/teori tentang praktek hukum di pengadilan, seperti ajaran ideenjurisprudenz (legisme), begriffjurisprudenz, ajaran interessjurisprudenz (freirechtsschule), ajaran soziologische rechtsschule, ajaran Paul Scholten, penemuan hukum heteronom dan otonom. Dengan demikian, sesuai dengan perkembangan hukum dalam masyarakat yang terus-menerus mengalamai perubahan dan perkembangan, hakim dalam menyelesaikan sengketa dituntut user masyarakat. Hakim tidak boleh untuk mengikuti perkembangan commit hukum to dalam
xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memandang undang-undang sebagai satu-satunya sumber hukum dan digunakan sebagai pedoman yang absolut dalam memutus dan menyelesaikan sengketa, hakim bukan lagi sebagai corong undang-undang, mengandalkan aturan formal dan dibimbing oleh logika belaka, namun harus mempunyai peranan yang mandiri dalam penemuan dan pembentukan hukum dengan menyesuaikan dengan kebtuhan-kebutuhan hukum dalam masyarakat. Dalam menjatuhkan putusan, hakim dibimbing oleh pemikirannya sendiri dan mempunyai sifat otonom, pengalaman, hati-nurani, perasaan, kemampuan hakim ikut andil dalam putusannya. Achmad Ali, meminjam pendapat Carbonnier, mengemukakan les choses out toujours du se passer ainsi, des millenaires gu‟ily a dsejuges, et gui pensent (demikian senantiasa telah terjadi bahwa selama ribuan tahun, dituntut adanya hakim yang berpikir). Proses peradilan dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan. Dari abad 19-20 dapat disaksikan terjadi perubahan secara pela-pelan, dari pengadilan sebagai institusi hukum yang sempit dan terisolasi menjadi pengadilan untuk rakyat. Menjelang dan memasuki abad 20 kata kuncinya rakyat. Para penegak hukum yang berjihad untuk memunculkan kekuatan hukum akan senantiasa memeras dan mengeluarkan makna teks dalam undang-undang. Blumer mengemukakan tindakan manusia berdasarkan berbagai pertimbangan sebelum mengambil putusan. Hukum dan penegakan hukum perlu memasuki ranah psikologi, berarti hukum tidak hanya berurusan dengan peraturan, melainkan juga perilaku. Perilaku yang dibutuhkan untuk memunculkan kekuatan hukum adalah apa yang dalam bahasa jawa disebut “mesu budi”, yaitu mengerahkan kekuatan spiritual. Pekerjaan hukum adalah lebih dari hanya logis-rasional, tetapi sesuatu yang menurut kreativitas dari pelakunya. Satjipto Rahardjo mengemukakan, dalam pengadilan memerlukan dekonstruksi, yaitu membuang cara kerja pengadilan yang lama, dekonstruksi bermula dari sikap para hakim terhadap pekerjaannya dan cara berpikir hakim. Gerakan arus pemikiran postmodernis, terutama gerakan studi hukum kritis menentang dominasi legisme yang sudah mapan. Hakim dituntut untuk tidak hanya berpikir dengan menggunakan logika, tetapi cara berhukum harus juga menggunakan perasaan. Dalam praktik di PTUN hakim telah berusaha untuk berhukum tidak hanya mengedepankan aturan dan logika, melainkan juga telah melihat realita dalam masyarakat, hakim dalam memutus sengketa telah menggunakan perasaan, empati dan hati-nurani. Hakim tidak hanya berpikir secara sederhana yang mirip dengan mesin dan dapat disimbolkan dengan IQ (intellectual qoutient), oleh Zohar dan Marshall, model berpikir tersebut disebut serial thinking atau simplistic model of thinking, yaitu berpikir secara lurus, logis tanpa melibatkan emosi. Penggunaan IQ tersebut tidak salah, namun belum mewakili atau menggambarkan cara berpikir manusia seluruhnya dan untuk melengkapinya kemudian muncul EQ (emotional qoutient), yaitu berpikir asosiatif atau berpikir dengan hati dan badan. Terakhir adalah SQ (spiritual qoutient), yaitu berpikir kreatif, penuh wawasan (insighful) dan intuitif. Membangun konstruksi penemuan hukum oleh hakim dalam menyelesaikan sengketa tata usaha negara, dimulai dengan berpikir secara luas, to user mempunyai pandangan bahwacommit hukum sebagai sistem terbuka, dengan
xvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memperhatikan realita dalam masyarakat, bukan melihat hukum sebagai sistem hukum yang tertutup dan terisolir dalam masyarakat. Keadilan yang dikedepankan hakim sebagaimana nilai keadilan yang dicari masyarakat, yaitu keadilan substansial, bukan keadilan prosedural aatau formal. Hakim dapat mengelaborasi gagasan dan cara berhukum yang selama ini berkutat kepada undang-undang dan tanpa adanya variasi, yaitu berpikir secara secara holistik. Hakim berani membuka kekuatan makna teks dalam undang-undang sebagai materi yang telah masuk kepada pembaca atau hakim, sehingga hakim mempunyai kewenangan untuk melakukan interpretasi hukum, konstruksi hukum dan hermeneutika hukum untuk menemukan hukum. Hukum tersebut tidak akan berjalan tanpa adanya aksi dari hakim yang mempunyai kemampuan dan pilihan untuk melakukan penafsiran, setiap norma membutuhkan penafsiran atau interpretasi.
commit to user
xvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN .............................................................
ii
HALAMAN LEMBAR PENGESAHAN ............................................
iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN .................................
iv
KATA PENGANTAR ...........................................................................
v
ABSTRAK.............................................................................................
viii
ABSTRACT ...........................................................................................
x
RINGKASAN ........................................................................................
xiii
DAFTAR ISI .......................................................................................... xviii BAB I PENDAHULUAN ......................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................
1
B. Perumusan Masalah..............................................................
28
C. Tujuan Peneitian ...................................................................
30
D. Manfaat Penelitian................................................................
31
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................. 33 A. Kerangka Teori .....................................................................
33
1. Kekuasaan Kehakiman ....................................................
33
2. Putusan Pengadilan ..........................................................
51
3. Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara ...........................................
64
3.1. Pengertian Penemuan Hukum ..................................
64
3.2. Sejarah Penemuan Hukum .......................................
69
3.3. Aliran dan Metode Penemuan Hukum .....................
77
3.4. Kewenangan PTUN ..................................................
95
3.5. Perbandingan Sistem PTUN ..................................... 132 a. Sistem PTUN di Belanda ..................................... 133 b. Sistem PTUN di Perancis commit to user.................................... 140
xviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Sistem PTUN di Jerman ...................................... 148 d. Sistem PTUN di Indonesia .................................. 150 3.6. Teori Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pemikiran Hakim 160 B. Kerangka Pemikiran ............................................................. 170
BAB III METODE PENELITIAN .................................................... 184 A. Metode Pendekatan ............................................................. 184 B. Lokasi Penelitian ................................................................. 188 C. Jenis dan Sumber Data ........................................................ 189 D. Teknik Pengumpulan Data .................................................. 191 E. Teknik Analisis Data ........................................................... 194 F. Definisi Operasional Variabel Penelitian........................... . 197
BAB IV PENGUJIAN
KEABSAHAN
KEPUTUSAN
TATA
USAHA NEGARA OLEH HAKIM PENGADILAN TATA USAHA NEGARA ................................................... 203 A. Penerapan Undang-undang Oleh Hakim .......................... 203 B. Positivisme Hukum Dalam Proses Peradilan .................... 209
BAB V
PEMIKIRAN SENGKETA
HAKIM YANG
DALAM
BELUM
MENGHADAPI
DIATUR
UNDANG-UNDANG
ATAU
TELAH
NAMUN
ATAU
KURANG
TIDAK
DALAM DIATUR, JELAS
MENGATURNYA ............................................................... 289 A. Hakim dan Penafsiran Undang-undang ............................ 289 B. Hati-nurani dalam Putusan Hakim...... ............................... 320
BAB VI MEMBANGUN KONSTRUKSI PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM UNTUK MEWUJUDKAN TUJUAN HUKUM ............................................................................... 331 commit to user Hukum .................... 353 A. Membangun Konstruksi Penemuan
xix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Hukum Sebagai Sistem Terbuka ................................ 392 2. Pandangan Keadilan Substansial ................................ 405 B. Pendekatan Pemikiran yang Holistik............................... 424
BAB VII PENUTUP.............................................................................. 443 A.
Simpulan ............................................................................ 443 1. Pengujian Keabsahan KTUN oleh hakim PTUN .......... 443 2. Pemikiran Hakim Dalam Menghadapi Sengketa yang Belum Diatur Dalam Undang-undang Atau Telah diatur, Tetapi Tidak Atau Kurang Jelas Mengatunya .................. 445 3. Membangun Konstruksi Penemuan Hukum Oleh Hakim Untuk Mewujudkan Tujuan Hukum ................. 448
B.
Implikasi.............................................................................. 453
C.
Saran ................................................................................. 457
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 461
commit to user
xx
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Mengkaji penemuan hukum oleh hakim, maka pembahasannya tidak dapat terlepas dari apa yang disebut dengan negara hukum. Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Dalam penjelasan Undangundang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsmen, menjelaskan yang dimaksud negara hukum adalah negara yang dalam segala aspek kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara, termasuk dalam penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang baik yang bertujuan meningkatkan kehidupan demokratis yang sejahtera, berkeadilan dan bertanggung-jawab. Filosofi bernegara suatu masyarakat diletakkan pada konstitusinya. Pada umumnya, negara-negara dibentuk oleh masyarakat sebagai reaksi dari tekanan-tekanan yang membawa mereka untuk mandiri dan mempunyai dasar dalam melakukan perhubungan kemasyarakatan, yang kemudian dikenal dengan nama negara dan landasan filosofinya tercantum pada konstitusinya. Konstitusi suatu negara berisikan nilai-nilai yang telah menjadi pegangan hidup suatu masyarakat atau kekuatan-kekuatan yang dianggapnya dapat melanggengkan mereka hidup bermasyarakat1. Perkembangan konsep negara hukum yang dianut UUD 1945 mengalami pergeseran karena pengaruh globalisasi di segala bidang2. Konsep negara hukum berasal dari negara-negara Anglo Saxon yang dikenal negara 1
H.A. Muin Fahmal, 2006, Peran-peran Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, Yogyakarta : UII Press., hlm., 74 2 UUD 1945 secara tegas mendasarkan rechtstaat sebagai konsep negara hukum. Dengan diubahnya UUD 1945, tidak sertamerta mengubah konsep negara hukum, namun demikian tidak menutup kemungkinan masuk konsep negara hukum yang lain, seperti the rule of law atau common law, sistem yang dianut negara-negara Anglo Saxon. Ciri rechtstaat tetap nampak, yaitu adanya pembagian lingkungan peradilan secara absolut salah satunya Peradilan Tata Usaha Negara. Ciri the rule of law, yaitu adanya equality before the law, dissenting opinion dan oposisi commit to user Hukum Putusan Pengadilan, Sidoarjo dalam bidang politik, dalam Abdullah, 2008, Pertimbangan : Program Pascasarjana Univ. Sunan Giri, hlm., 1
1
perpustakaan.uns.ac.id
2 digilib.uns.ac.id
hukum dalam arti the rule of law. Menurut W. Friedmann negara hukum dalam arti rechtstaat tidak selalu sama dengan the rule of law. Negara hukum dalam arti rechtstaat lazim digunakan ahli hukum Eropa Barat, seperti Immanuel Kant dan Frederich Stahl. Rechtstaat mengandung pengertian adanya pembatasan kekuasaan negara oleh hukum3. Negara hukum menghendaki segala tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas ada legalitasnya, baik berdasarkan hukum tertulis maupun berdasarkan hukum tidak tertulis. Suatu negara yang berdasarkan atas hukum harus menjamin persamaan (equality) setiap individu, termasuk kemerdekaan individu untuk menggunakan hak asasinya. Hal ini merupakan conditio sine quanon, mengingat bahwa negara hukum sebagai akhir perjuangan. Individu untuk melepaskan dirinya dari keterikatan serta tindakan sewenang-wenang penguasa. Atas dasar itulah, penguasa tidak boleh bertindak sewenang-wenang terhadap individu dan kekuasaannyapun harus dibatasi4. Negara hukum pada dasarnya terutama bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat. Sehubungan dengan hal tersebut, Philipus M.Hadjon, berpendapat bahwa perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintahan dilandasi oleh dua prinsip, yaitu prinsip hak asasi manusia dan prinsip negara hukum. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan dari negara hukum. Sebaliknya dalam negara totaliter tidak ada tempat bagi hak asasi manusia5. Dalam negara hukum yang pokok adalah adanya pembatasan oleh hukum, dalam arti bahwa segala sikap, tingkah laku dan perbuatan, baik yang dilakukan oleh penguasa negara maupun oleh para warga negaranya berdasarkan hukum positif, sehingga terutama warga negaranya terbebas dari tindakan sewenang-wenang penguasa negara. Pembatasan kekuasaan
3
W. Friedmann, 1960, legal theory, London : Steven & Son Limited, hlm., 456, dalam Abdullah, 2008, hlm., 1 4 Sudargo Gautama, 1983, Pengertian tentang Negara Hukum, Bandung : Alumni, hlm., 3. 5 commit user Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukumto bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya : Bina Ilmu, hlm., 71
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pemerintah juga harus tunduk pada kehendak rakyat (demokrasi) dan haruslah dibatasi dengan aturan-aturan hukum yang pada tingkatan tertinggi disebut konstitusi. Salah satu ciri dan prinsip pokok dari negara hukum dan demokrasi adalah adanya lembaga peradilan yang bebas dari kekuasaan lain dan tidak memihak6. Hukum pada dirinya mengandung aspek-aspek idiil bilamana dikaitkan dengan fungsi dan tujuan hukum secara filosofis normatif. Isi hukum ditentukan oleh faktor-faktor idiil dan faktor-faktor kemasyarakatan. Faktor idiil adalah pedoman-pedoman yang tetap tentang keadilan yang harus ditaati oleh pembentuk undang-undang atau lembaga-lembaga pembentuk hukum lainnya di dalam menjalankan tugas-tugasnya. Faktor idiil mengandung arti sangat penting mengingat bahwa hal inilah yang merupakan tujuan langsung dari peraturan-peraturan hukum. Tujuan langsung ini tunduk kepada tujuan akhir dari hukum yakni kesejahteraan umum. Faktor-faktor kemasyarakatan yang langsung membentuk hukum berasal dari keadaan aktual di dalam lingkungan masyarakat7. Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, mengemukakan kajian terhadap eksistensi dan fungsi hukum tampaknya sarat dengan hal-hal yang berbau idealistis, tetapi yang lebih urgen adalah mempertanyakan ketika hukum sungguh-sungguh harus eksis dalam menangani masalah-masalah aktual. Setidaknya, satu hal yang perlu disepakati bahwa karena adanya salah satu fungsi yang implisit pada hukum sebagai
pengendali, hukum
adalah faktor
terpenting dalam upaya
mewujudkan tujuan welfare state8. Kegagalan paradigma negara “legal state” yang berprinsip “staatsonthouding” atau pembatasan peran negara dan pemerintah dalam bidang politik, telah menyebabkan peralihan paradigma negara, dari paradigma negara “penjaga malam” (nachtwakerstaat) kepada paradigma negara kesejahteraan (welfare state). Paradigma negara kesejahteraan, menempatkan warga negara ataupun orang-perorang menjadi subyek hukum, 6
Moh. Mahfud MD, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta : Liberty, hlm., 5 7 Amir Hamzah, 1988, Pengantar Ilmu Hukum, Malang : Universitas Brawijaya, hlm., 106 8 commit to user Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, 1996, Peradilan Tata Usaha Negara Sebagai Salah Satu Fungsi Kontrol Pemerintah, Yogyakarta : Universitas Atmajaya, hlm., 12
perpustakaan.uns.ac.id
4 digilib.uns.ac.id
yang harus dilindungi dan disejahterakan dalam segala aspek kehidupannya. Negara dalam paradigma negara kesejahteraan, menempatkan warga negara sebagai subyek (alinea 4 UUD 1945) dan tidak lagi menempatkan warga negara sebagai obyek. Negara mempunyai kewajiban untuk masuk ke dalam wilayah kehidupan warganya, dalam rangka menjalankan fungsinya, melayani dan mengupayakan kesejahteraan (bestuurszorg)9. Berbagai alasan dikemukakan untuk memberikan alasan legitimasi dari tindakan pemerintah dalam campur tangan dengan kepentingan warga masyarakat, seperti alasan kepentingan umum dan alasan kepentingan orang banyak untuk meningkatkan kesejahteraan warga masyarakatnya. Berkaitan dengan hal tersebut, sudah barang tentu tugas pemerintah tidak hanya tertuju pada bidang pemerintahan saja, melainkan lebih luas lagi. Sebagaimana dikemukakan oleh Sjachran Basah, pertumbuhan dan perkembangan hukum adminsitrasi negara yang sangat pesat itu, karena tugas pemerintah tidak semata-mata di bidang pemerintahan saja, melainkan juga harus melaksanakan kesejahteraan sosial dalam rangka mencapai tujuan negara yang dijalankan melalui pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang bersifat multi-kompleks membawa akibat, bahwa pemerintah harus banyak turut campur tangan dalam kehidupan rakyat yang mendalam di semua sektor. Campur tangan tersebut tertuang dalam ketentuan perundangundangan, baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan pelaksana lainnya yang dilaksanakan oleh administrasi negara, selaku alat perlengkapan negara yang berarti, dalam mengemban tugas tersebut secara aktif administrasi negara harus dapat menjaga dan menjamin, bahwa tindakantindakannya tidak melanggar hak dan kewajiban asasi manusia, juga perlu dicari keseimbangan antara kepentingan negara atau yang mewakili kepentingan umum dan kepentingan rakyat atau perorangan10.
9
Yos Johan Utama, 2010, Membangun Peradilan Tata Usaha Negara yang Berwibawa, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, hlm., 4 10 user Sikap Tindak Administrasi Negara, Sjachran Basah, 1992, Perlindungancommit Hukum to Terhadap Bandung : Alumni, hlm., 2-3
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam negara hukum yang mempunyai konsep negara kesejahteraan (welfare state), peran pemerintah cq negara terhadap kehidupan warga negaranya menjadi semakin besar, karena tugas pemerintah tidak hanya berurusan dengan penyelenggaraan pemerintahan saja, melainkan pemerintah ikut
bertanggung-jawab
terhadap
kesejahteraan
warga
negaranya.
Sebagaimana dikemukakan oleh Edi Suharto : Konsep kesejahteraan negara tidak hanya mencakup deskripsi mengenai sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan sosial (social services). melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang menekankan bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya. Kesejahteraan negara juga merupakan anak kandung pergumulan ideologi dan teori, khususnya yang bermatra sayap kiri (left wing view), seperti marxisme, sosialisme dan sosial demokratik11. Menyadari sepenuhnya peran aktif pemerintah dalam kehidupan masyarakat,
maka pemerintah perlu mempersiapkan langkah untuk
menghadapi timbulnya perbenturan atau perselisihan kepentingan atau sengketa di bidang tata usaha negara antara pemerintah (Badan atau Pejabat TUN) dengan warga negaranya. Untuk menghadapi sengketa tersebut, dari segi hukum perlu dibentuk Peradilan Tata Usaha Negara (disebut PTUN) sebagaimana ditetapkan oleh MPR RI Nomor IV/MPR/1978, yang dihubungkan dengan Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/1983 tentang GBHN. Eksistensi PTUN dikaitkan dengan sistem negara menurut UUD 1945 menampakkan urgensinya dengan tetap menyadari bahwa masih cukup perlu waktu untuk mengembangkan hukum administrasi materiil di Indonesia dalam rangka mewujudkan clean governance. Salah satu fungsi yang penting dari PTUN adalah sebagai alat kontrol terhadap tindakan hukum tata usaha negara yang menimbulkan akibat hukum bagi individu atau badan hukum perdata12. PTUN yang eksistensinya merupakan implementasi ketentuan Pasal 18 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
11
Edi Suharto, dalam W. Riawan Tjandra, 2009, Peradilan Tata Usaha Negara Mendorong Terwujudnya Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa, Yogyakarta : Universitas Atmajaya, commit to user hlm., 2 12 Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, Op. cit., hlm., 44
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kehakiman, sebagai perubahan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dimaksudkan sebagai atau dapat memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat dari tindakan hukum Badan atau Pejabat TUN. Eksistensi PTUN memang sangat dibutuhkan, mengingat dominasi pemerintah untuk mewujudkan tujuan negara tidak dapat lepas dari pergesekan atau benturan-benturan dengan kepentingan warga masyarakat yang perlu diberi pengayoman atau perlindungan hukum. Mengenai campur tangan pemerintah yang lebih besar dalam kehidupan masyarakat, sebenarnya merupakan gejala umum di negara-negara yang sedang berkembang. Di negara-negara berkembang yang menjunjung tinggi prinsip negara hukum, dirasakan perlu untuk mencari solusi atau caracara yang disatu pihak dapat menjamin kewenangan bertindak dan mengatur dari pemerintah, sedangkan dipihak lain dapat menjamin kewenangan bertindak dan mengatur yang bertambah itu tidak melanggar hak-hak asasi warga
negara13.
Berkaitan
dengan
hal
terssebut,
Sjachran
Basah,
mengemukakan, di sinilah peranan hukum dan Peradilan Administrasi Negara cukup besar. Hal ini karena inti atau hakikat hukum administrasi negara bersifat ganda, yaitu pertama, memungkinkan administrasi negara untuk menjalankan fungsinya, kedua, melindungi warga negara terhadap sikap tindak administrasi itu sendiri14. Selanjutnya Wicipto mengemukakan, dalam negara hukum harus ada suatu lembaga yang diberi tugas dan kewenangan untuk menyatakan dengan suatu putusan, apakah tindakan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah itu berlandaskan atas hukum atau tidak. Perwujudan PTUN diharapkan tidak sekedar hiasan bagi terpenuhinya unsur formal suatu negara hukum, tetapi justru demi tegaknya keadilan, kepastian hukum, persamaan di depan hukum, perlindungan terhadap harkat kemanusiaan sebagai makhluk Alloh swt yang
13
Wicipto Setiadi, 1994, Hukum Acara Peradilan Tatta Usaha Negara Suatu Perbandingan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm., 16. 14 Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara, Orasi to user Ilmiah, Dies Natalis XXIX Universitas commit Padjadjaran, tanggal 24 September 1986, hlm., 4, dalam Wicipto Setiadi, Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id
7 digilib.uns.ac.id
sama hak dan kewajiban asasinya. Selain itu juga diharapkan benar-benar menjadi lembaga penyaluran dan pengayoman keresahan dan penderitaan rakyat, yang diakibatkan oleh kebijakan yang dikeluarkan Badan atau Pejabat TUN. Yos Johan Utama, mengemukakan bahwa PTUN sebagai suatu akses keadilan yang melayani manusia, tentunya bukan sekedar mesin hukum yang dibentuk oleh ketentuan hukum normatif saja. Lembaga peradilan merupakan satu institusi yang nampak sebagai suatu organisasi yang mempunyai sifat interdependensi dengan banyak faktor kehidupan hukum dan sosial. Peradilan merupakan kesatuan dan konsep-konsep serta elemen, meliputi budaya hukumnya, norma-normanya, serta gerak pelaksanaan dari lembaga peradilan itu sendiri, maupun faktor-faktor sosial lainnya15. Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan tersebut, maka eksistensi PTUN sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman untuk meyelesaikan sengketa di bidang tata usaha negara menjadi sangat penting, pertama, karena Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut KTUN) yang disebut ketetapan (beschkking) yang dikeluarkan atau dibuat oleh Badan atau Pejabat TUN sebagai implementasi dari tindakan TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik perlu mendapatkan penilaian atau pengujian dari PTUN tentang keabsahannya. Kedua, dengan telah dilakukannya pengujian (toetsing) tentang keabsahan suatu ketetapan (beschikking) oleh PTUN, berarti PTUN telah dapat melakukan fungsi kontrol terhadap tindakan pemerintah di bidang TUN. Ketiga, PTUN yang merupakan lembaga pelaksana kekuasaan kahakiman dapat memberikan pengayoman dan perlindungan hukum terhadap pelanggaran kepentingan atau hak-hak warga negara dari sikap tindak pemerintah. Hal tersebut sesuai dengan dasar filosofis pembentukan peradilan tata usaha negara atau peradilan administrasi, sebagaimana dikemukakan Paulus E. Lotulung, juka diruntut ke belakang dan berpegang kepada penjelasan resmi pemerintah pada waktu mengantarkan rancangan undang-undang commit to user 15
Yos Johan Utama, Op. cit., hlm., 10.
perpustakaan.uns.ac.id
8 digilib.uns.ac.id
tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada tanggal 29 April 1986, nampak jelas bahwa filosofi pembentukan undang-undangnya adalah dalam rangka menyelesaikan sengketa yang timbul antara pemerintah dengan warga negaranya akibat dari tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak warga negara dengan tujaun untuk memberikan pelindungan hukum terhadap rakyat, baik perlindungan hukum terhadap hak-hak perorangan/individu maupun hak-hak masyarakat16. Dalam hal ide semula yang digulirkan oleh pemerintah pada waktu itu tidak melenceng dari hakikat atau substansi filosofi pembentukannya atau jika benar-benar dapat diwujudkan, maka Peradilan Tata Usaha Negara lebih dapat melakukan kontrol hukum terhadap penggunaan wewenang pemerintahan atau terhadap tindakan-tindakan pemerintahan yang melanggar hak-hak (merugikan) warga negara dalam arti yang seluas-luasnya. Dengan cara tersebut, perlindungan hukum terhadap rakyat dari akibat tindakan pemerintahan yang merugikan dapat benar-benar diberkan oleh suatu badan peradilan administrasi yang secara khusus telah diakui eksistensinya oleh Undang-Undang Dasar (vide Pasal 24 ayat (1) amandemen ke tiga UUD‟45). Suatu hal yang amat penting dalam negara yang berdasarkan hukum, bahwa tindakan pemerintah yang seharusnya berdasarkan pada undangundang. Sebagaimana dikemukakan Siti Sundari Rangkuti, undang-undang merupakan landasan hukum yang menjadi dasar pelaksanaan dari seluruh kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah17. Hal yang memprihatinkan pada kenyataannya tidak semua undang-undang yang menjadi dasar bertindak atau berbuat dari pemerintah baik dan dapat juga terjadi pemerintah yang tidak mengindahkan ketentuan undang-undang sebagai dasar pijakannya. Yuliandri, mengemukakan bahwa berkaitan dengan proses pembentukan undang-undang, baik sebelum dan pasca amandemen UUD 1945, serta sebelum maupun sesudah ditetapkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 16
Paulus E. Lotulung, 1993, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah, Bandung : Citra Aditya Bhakti, hlm., 135. 17 to user Siti Sundari Rangkuti, 2005, Hukumcommit Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Surabaya : Airlangga University Press, hlm., 12.
perpustakaan.uns.ac.id
9 digilib.uns.ac.id
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, senyatanya masih dihadapkan pada pelbagai problematik, baik secara substansial, teknis yuridis penyusunannya, maupun pelaksanaan dari penegakan hukumnya18. Selanjutnya dikatakan ketidakmampuan untuk melaksanakan program legislasi yang sudah disusun bersama antara DPR dengan pemerintah juga menimbulkan problematik. Misalnya untuk tahun 2005-2009, penyelesaian RUU yang pembahasannya dilakukan DPR, kenyataannya jauh dari yang direncanakan19. Dalam rentang waktu tahun 2005-2009 disusun sebanyak 284 buah RUU, tahun 2006 ditargetkan 55 buah RUU, namun hanya 12 undangundang yang disahkan. Dicontohkan permasalahan dalam undang-undang, yaitu pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 (kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004) tentang Pemerintah Daerah. Pada awal berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, mendapat kritik, karena timbulnya permasalahan yuridis dalam penerapannya. Prinsip otonomi daerah yang seluas-luasnya telah dimaknai secara berlebihan oleh daerah, sehingga menimbulkan implikasi yang luas20 Dalam perkembangan berikutnya, terjadi kecenderungan orang dan/atau badan hukum yang merasa hak-hak konstitusionalnya dilanggar oleh terbentuknya undang-undang, beramai-ramai mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD kepada Mahkamah Konstitusi (disebut MK), sehingga terkesan Mahkamah Konstitusi merupakan tempat untuk menampung pelbagai kelemahan yang dimiliki undang-undang. Ketua MK mengeluhkan kualitas dari undang-undang yang dihasilkan DPR dan Presiden. Keluhan tersebut diucapkan pada saat pembacaan judicial review atas Pasal 30 ayat (2) sampai ayat (5) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Tanpa perancangan yang baik, suatu pasal bisa menimbulkan multitafsir di kalangan masyarakat. Jumlah
18
Yuliandri, 2009, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik Gagasan Pembentukan Undang-undang Berkelanjutan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm., 3-4. 19 http//www.hukumonline.com, diakses tanggal 28 Desember 2005, dalam Yuliandri 2009, hlm., commit to user 6. 20 Ibid.,hlm., 8.
perpustakaan.uns.ac.id
10 digilib.uns.ac.id
perkara pengujian undang-undang sejak tahun 2003-2006 yang diajukan ke MK 91 buah21. Moh. Mahfud. MD, mengemukakan, meskipun reformasi sudah dijalankan, pembangunan tertib hukum belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Masih adanya peraturan perundang-undangan yang bermasalah baik secara vertikal maupun horizontal. Di sisi lain, ada kesan bahwa pembentukan hukum kurang terkoordinasi dengan baik, menyangkut materi muatan maupun teknis prosedural pembentukannya. Sejauh ini, ada beberapa problem yang teridentifikasi berkontribusi terhadap cengkarutnya bidang legislasi. Pertama, undang-undang sebagai produk legislasi belum memadai secara kualitas, sehingga kurang memberikan manfaat langsung bagi masyarakat. Kedua, belum terpenuhinya target jumlah penyelesaian RUU yang telah ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Ketiga, proses pembahasan RUU dianggap kurang transparan, sehingga sulit diakses oleh publik. Keempat, masih lemahnya tingkat koordinasi di antara alat kelengkapan DPR dalam penyusunan dan pembahasan suatu RUU. Problem-problem itu kemudian menumbuhkan kesan bahwa pembentukan hukum kurang dipersiapkan dengan baik, sehingga banyak undang-undang yang tidak memenuhi asasasas pembentukan undang-undang atau tidak layak sebagai undangundang. Akibatnya, banyak undang-undang yang bukannya mengatasi masalah, tetapi justru menimbulkan problem baru di lapangan. Entah karena tidak dapat diimplementasikan atau tumpang tindih22. Antonius Sudirman, mengemukakan tidak dapat disangkal bahwa tidak ada undang-undang yang sempurna atau lengkap. Pasti saja ada kekurangan atau kelemahannya. Secara umum dapat dikemukakan bahwa ada dua kelemahan pokok yang potensial terdapat dalam perundang-undangan. Pertama, dari segi perumusannya terkadang kurang lengkap, jelas dan konkret. Kedua, dari aspek muatan materinya terkadang tidak relevan (lagi) dengan realitas sosial23. Pendapat yang sama dikemukakan Van Apeldorn, sesuai dengan keyakinan umum bahwa undang-undang tidak pernah lengkap,
21
Ibid., hlm., 10. Moh. Mahfud. MD, Mengawal Arah Politik Hukum dari Prolegnas Sampai Judicial Review, Makalah pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Program Doktor Ilmu Hukum, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, di Hotel Sunan, Solo, Sabtu, 20 Februari 2010. 23 Antonius Sudirman, 2007, Hati Nurani Hakim dan Putusannya Suatu Pendekatan dari commit to user Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus HakimBismar Siregar, Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm., 57. 22
perpustakaan.uns.ac.id
11 digilib.uns.ac.id
jelas dan tuntas mengatur kehidupan masyarakat24. Menurut Ch. J. Enschede, bahwa undang-undang bukan merupakan endapan sistem nilai yang koheren. Seluruh perundang-undangan tidak pernah merupakan satu keseluruhan. Undang-undang berasal dari kurun waktu kebudayaan yang berbeda dan merupakan endapan pendapat, perbedaan, dan kompromi politik yang acapkali berhubungan jauh dengan problematis kini dan nanti. Materi yang sama dalam kurun waktu setengah abad atau satu abad tunduk pada peraturan yang bertumpu atas titik tolak yang berlawanan secara diametral25 Eksistensi PTUN dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara hanya sebatas melakukan pengujian terhadap KTUN
yang disengketakan para pihak dari segi
hukumnya
saja
(rechtsmatigheid). Sehubungan dengan hal tersebut, Y.Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, mengemukakan sebagai ciri utama Pengadilan Administrasi Negara (juga disebut PTUN) salah satunya adalah wewenang hakim administrasi terbatas hanya penilaian dan pertimbangan (jugdment, beoordelling) tentang yuridiktas (rechtsmatigheid, kesesuaian dengan hukum) dari tindak hukum administrasi negara yang ditentang26. Pengujian dari segi hukum dilakukan dengan menilai apakah keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN tersebut bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku (in strijd met de wet) dan asas-asas umum pemerintahan yang baik27. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, jika : a. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang bersifat prosedural/formal b. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang bersifat material/substansial 24
J.L.J. Van Apeldorn, 1993, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta , Pradnya Paramita, hlm., 112. W. Van Geven, 1990, Kebijaksanaan Hakim, Terjemahan Hartini Tranggono, Jakarta : Airlangga, hlm., 108. 26 Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, Op. cit., hlm., 21. 27 to user Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, Lihat Pasal 53 ayat (2) huruf a, b, commit Undang-undang sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN. 25
perpustakaan.uns.ac.id
12 digilib.uns.ac.id
c. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang tidak berwenang28.
Keputusan Tata Usaha Negara (disebut KTUN) yang dikeluarkan Badan atau Pejabat TUN yang tidak berwenang (onvoegdheid) disebut keputusan yang cacat mengenai kewenangan (bevoegdheidgebreken) yang meliputi : a.
Onbevoegdheid ratione materiae, yaitu apabila suatu keputusan tidak ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan atau apabila keputusan itu dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang tidak berwenang mengeluarkannya
b.
Onbevoegdheid ratione loci, yaitu keputusan yang diambil oleh Badan atau Pejabat TUN tersebut menyangkut hal yang berada di luar batas wilayahnya (geografis)
c.
Onbevoegdheid ratione temporis, yaitu Badan atau Pejabat TUN belum berwenang atau tidak berwenang lagi untuk mengeluarkan KTUN, misalnya karena jangka waktunya sudah lampau atau menerapkan peraturan lain sementara itu sudah berlaku peraturan baru.
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat, di samping bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku juga bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dalam penjelasan Undangundang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah meliputi asas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Tugas hakim PTUN adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara, terutama dalam pengujian terhadap KTUN atau commit to user 28
Lihat penjelasan Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN.
perpustakaan.uns.ac.id
13 digilib.uns.ac.id
ketatapan (beschikking) yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asasasas umum pemerintahan yang baik atau tidak. Pengujian yang dilakukan oleh hakim PTUN adalah sebatas penerapan hukum yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sengketa tata usaha negara. Kewenangan hakim PTUN hanya sebatas menguji keabsahan keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN dari segi penerapan hukum saja (rechtmatigheid). Jazim hamidi, mengemukakan bahwa urgensi keberadaan Asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang layak (disebut AAUPPL), di samping sebagai ”pedoman” bagi administrasi negara dalam menjalankan service public, ia merupakan ”alat uji” yang dapat digunakan oleh hakim administrasi negara29. W. Riawan Tjandra, mengemukakan, penjelasan Pasal 53 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 sebelum direvisi menyebutkan pengadilan dalam menguji dari segi hukum KTUN (beschikking, administrative act) yang menjadi obyek sengketa (kompetensi absolut PTUN) akan melakukan : a. Melihat fakta yang relevan yang telah dikumpulkan b. Mencocokkannya dengan rumusan dalam peraturan dasarnya Penjelasan tersebut mempersempit dasar pengujian KTUN yang terkesan hanya dapat mempergunakan dasar pengujian berdasarkan norma hukum tertulis. Hal itu disebabkan istilah hukum dipersempit menjadi rumusan dalam peraturan dasarnya yang konotasinya hanya menyangkut norma hukum tertulis. Hal itu menimbulkan kesan bahwa pengujian hakim berdasarkan AAUPB tidak diberikan ruang gerak yang memadai karena adanya penyempitan makna hukum dalam penjelasan Pasal 53 ayat (2) UU No 5 Tahun 1986 sebelum revisi30. Berkaitan dengan hal tersebut, Muchsan, mengemukakan sekarang ini AAUPB (ABBB) telah ditempatkan sebagai norma hukum dalam penjelasan Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999, sehingga hal itu justru membatasi hakim. Seharusnya, AAUPB tetap sebagai etika, tidak perlu 29
Jazim Hamidi, 1999, Penerapan Asas-asas Umum Penyelengaraan Pemerintahan yang Layak commit to user Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm., 11 (AAUPPL) di Lingkungan Peradilan Administrasi Negara, 30 W. Riawan Tjandra, Op., cit., hlm., 140.
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dimasukkan dalam undang-undang, sehingga bisa menjadi ruang diskresi bagi hakim dalam menguji KTUN31. W.Riawan Tjandra, sependapat dengan Muchsan, yaitu AAUPB lebih baik tetap tumbuh dan berkembang dalam bentuk norma hukum tak tertulis sebagai code of ethics dari Badan atau Pejabat TUN. Hal itu akan memberikan ruang leluasa bagi hakim dan praktek PTUN untuk menggali dan menemukan AAUPB yang lebih sesuai dengan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat. Di samping itu, melalui putusannya hakim dapat memberikan AAUPB sebagai norma hukum yang mempunyai
kekuatan
mengikat
secara
yurisprudensial32.Muchsan
sehubungan dengan eksistensi AAUPB dalam sistem pengujian terhadap KTUN, mengemukakan mengenai perlunya mengacu pada AAUPB yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, tidak harus sepenuhnya mengacu pada AAUPB yang bersumber dari budaya bangsa lain. Contoh asas menghormati pandangan hidup di Belanda, yaitu samen leven dihormati sebagai bagian dari pandangan hidup, padahal tidak dapat diterapkan untuk budaya bangsa Indonesia33 Sebagaimana telah dikemukakan bahwa Undang-undang sebagai landasan untuk bertindak dari pemerintah masih banyak menimbulkan problematik.
Sehubungan
dengan
hal
tersebut
E.
Utrecht,
pernah
mengemukakan, Indonesia sampai sekarang masih banyak ditemukan praktik Badan atau Pejabat TUN mengesampingkan (opzij zetten) peraturan perundang-undangan berasal dari jaman kolonial tidak sesuai dengan keadaan sosial sekarang34. Pengesampingan peraturan perundang-undangan pada masa yang akan datang pasti masih akan berlanjut, mengingat Mahkamah Agung Republik Indonesia telah membuka peluang untuk melakukan pengujian (toetsingrecht) terhadap KTUN yang disengketakan35.Pendapat Marshall,
31
Muchsan, dalam W. Riawan Tjandra, Op., cit., hlm., 142. W. Riawan Tjandra, Op., cit., hlm., 142. 33 Muchsan, dalam W.Riawan Tjandra, Op., cit., hlm., 146. 34 E. Utrecht, 1957, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Jakarta : Balai Buku commit to user Indonesia, hlm., 47. 35 Lihat pada Juklak M.A. Nomor 052/Td. TUN/III/1992, 24 Maret 1992. 32
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sehubungan pengujian hakim, sebagaimana dikutip Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, mengemukakan : ”it is one of the porpuses of written constitution to define end limit the powers of legislature. The legeslature can not be permitted to pass statutes contrary to constitution, if the later is to prevail as superior law. A court avoid choosing betwwen the constitution and a conflicting statute when both are relevant to a case which the court is ask to decide. Since the constitution is paramount law, judges have to choice but to prefer it to refuse to give effect to teh later” Menurut Marshall, hakim dapat menguji peraturan perundangundangan yang ada dan menyatakan bahwa undang-undang negara bagian sebagai undang-undang yang tidak sah dan bertentangan dengan konstitusi Amerika Serikat. Hal itu dilakukan demi tegaknya hukum dan keadilan dalam menangani kasus konkret yang dihadapi hakim36. Pengujian yang dilakukan oleh hakim PTUN terhadap keabsahan KTUN yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN didasarkan pada peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku
dan
asas-asas
umum
pemerintahan yang baik, diatur dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN dan telah diubah dengan Undangundang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, sebagai perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Pengujian hakim PTUN yang didasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik, Indroharto mengemukakan, berkaitan dengan pengajuan gugatan dalam Pasa 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 sebelum direvisi, bahwa rumusan Pasal 53 tersebut lebih luas daripada rumusan dasar gugatan dalam artikel 8 Wet AROB. Hal tersebut, karena kesulitan untuk menentukan kedudukan hukum dari asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) atau yang dikenal dalam bahasa Belanda sebagai Algemene beginselen van behoorlijke bestuur atau dalam bahasa Inggris The Principles of good administration, Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tersebut pada akhirnya direvisi melalui Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004. commit to2005, userAspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Kehakiman Indonesia, Yogyakarta : UII Press, hlm., 110. 36
perpustakaan.uns.ac.id
16 digilib.uns.ac.id
Sehubungan dengan kedudukan hukum dari AAUPB dalam sistem hukum acara PTUN sebelum dilakukan amandemen atas Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, Indroharto menyatakan bahwa AAUPB harus dianggap secara diam-diam telah terkandung pada Pasal 53 ayat (2) huruf a dengan nama KTUN bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Praktik PTUN selama ini menunjukkan bahwa beberapa macam AAUPB yang merupakan asas-asas hukum tak tertulis yang bersumber dari doktrin ilmu hukum administrasi negara tersebut telah diberikan kedudukan hukum melalui yurisprudensi, antara lain asas persamaan, asas kepastian hukum dan asas fair play37. Selanjutnya W. Riawan Tjandra mengemukakan, Pasa 53 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 telah menempatkan AAUPB secara yuridis normatif sebagai dasar gugatan di PTUN. Penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 menentukan jenis-jenis AAUPB yang dapat digunakan sebagai dasar gugatan di PTUN yang menunjuk pada asas-asas umum penyelenggaraan negara (AAUPN) yang diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Penempatan AAUPB sebagai landasan normatif pengajuan gugatan di PTUN tersebut, bisa dinilai sebagai suatu upaya untuk mengubah asas-asas yang semula tak tertulis menjadi norma hukum positif yang bersifat tertulis. AAUPB yang dikenal dalam ilmu hukum administrasi negara sebenarnya menjadi pedoman bagi penggunaan wewenang jabatan termasuk diskresi Badan atau Pejabat TUN, sehingga sifatnya tak tertulis dan selalu berkembang secara dinamis. Kebebasan hakim dalam menguji keabsahan KTUN tidak perlu dibatasi oleh rincian secara ketat jenis-jenis AAUPB, sehingga hakim dapat melakukan penemuan hukum untuk mengembangkan norma-norma hukum pengawasan bagi Badan atau Pejabat TUN dalam menggunakan wewenang tata usaha negaranya38. 37 38
to user Indroharto, dalam W. Riawan Tjandra,commit Op.cit., hlm., 7-8. W. Riawan Tjandra, Op. cit., hlm., 8-9.
perpustakaan.uns.ac.id
17 digilib.uns.ac.id
Asas-asas umum pemerintahan yang baik yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tersebut pada awalnya ditujukan untuk para penyelenggaran negara secara keseluruhan, berbeda dengan asasasas dalam AAUPL yang sejak semula hanya ditujukan pada pemerintah dalam arti sempit, sesuai dengan istilah ”bestuur” pada algemeen beginselen van behoorlijke bestuur , bukan regering atau overheid, yang mengandung arti pemerintah dalam arti luas. Seiring dengan perjalanan waktu, asas-asas dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tersebut diakui dan diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan dalam proses peradilan di PTUN, yaitu setelah adanya Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN39. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999, mengatur asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik dengan dimasukkannya sebagian unsur-unsur asas-asas umum pemerintahan yang layak menjadi kaidah normatif. Selanjutnya Undangundang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, sebagai perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, juga mereduksi asasasas umum pemerintahan yang layak sebagai dasar pengujian KTUN40. Penegasan pengaturan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, sebagai dasar pengujian bagi hakim PTUN terhadap keabsahan KTUN yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN, berarti memberikan batas ruang gerak bagi hakim PTUN, karena AAUPB sudah merupakan suatu norma yang harus dipatuhi oleh hakim. Pengujian oleh hakim hanya sebatas yang telah ditentukan dalam penjelasan Pasal 53 ayat (2). Keadaan tersebut menimbulkan kontradiksi dalam kaitannya dengan tugas hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat, serta hakim dilarang untuk menolak perkara yang diajukan para pihak dengan dalih hukum kurang atau tidak jelas, melainkan hakim wajib untuk memeriksa dan mengadilinya, seperti diamanatkan dalam undang 39 40
commit user : Raja Grafindo Persada, hlm., 255. Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara,toJakarta H.A. Muin Fahmal, Op.cit., hlm., 8.
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kekuasaan kehakiman. Hakim bukan hanya sekedar pelaksana dari ketentuan undang-undang. Bagir Manan, mengemukakan bahwa pelaksanaan hukum tidak sekedar mulut undang-undang, tetapi juga harus menggunakan asas dan kaidah undang-undang sebagai dasar untuk menjamin penerapan hukum yang sesuai dengan cita-cita dan dasar suatu negara yang berdaulat. Hakim harus selalu sungguh-sungguh mempertimbangkan faktor-faktor kultural yang hidup nyata dalam masyarakat. Hakim dapat mengesampingkan kaidahkaidah hukum yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat atau negara41. Menurutnya, ketentuan hukum sejauh mungkin akomodatif dengan budaya hukum masyarakat dan para pelaksana hukum harus pula berdasar pada rasa keadilan masyarakat. Pada dasarnya, sebuah keputusan hukum yang tidak berdasar pada rasa keadilan masyarakat akan melahirkan ketidakpercayaan masyarakat pada pelaksanaan hukum. Hakim
dalam
menjalankan
tugas
yudikatifnya
tidak
hanya
menjalankan atau menerapkan ketentuan dalam undang-undang saja, atau lebih dikenal dengan hakim hanya sebagai corong undang-undang. Munir Fuady, berpendapat, mengingat adanya disparitas penerapan hukuman dan hal-hal lain yang bermuara pada penggunaan kebebasan hakim yang meskipun diakui oleh undang-undang dan memang nyatanya diperlukan, tetapi seringkali dipergunakan secara kebablasan, maka para hakim dan penegak hukum lainnya sangat diharapkan untuk berlaku arif, sambil mencari dan menggali hukum yang hidup dalam masyarakat dan hukum yang modern. Dalam memutus hukum, mereka diminta untuk tidak hanya melakukan pekerjaan rutin belaka, sebab rutinitas tersebut dapat menghambat kreatifitas42. Barda Nawawi Arief, berpendapat bahwa kebiasaan menerima, memahami dan menerapkan sesuatu (norma dan pengetahuan hukum) yang bersifat ”statis” dan ”rutin” inilah, terlebih apabila diterima sebagai suatu
41
Bagir Manan, 2003, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta, FH. UII Press, hlm., 264. commit to user Ketidakberdayaan Hukum), Bandung : Munir Fuady, 2003, Aliran Hukum Kritis (Paradigma Citra Aditya Bakti, hlm., 49-50. 42
perpustakaan.uns.ac.id
19 digilib.uns.ac.id
”dogma” yang dapat menjadi salah satu faktor penghambat upaya pengembangan dan pembaharuan hukum pidana43. Mochtar Kusumaatmadja, mengemukakan bahwa hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, bebas dari campur tangan masyarakat, eksekutif maupun legislatif. Dengan kebebasan yang dimilikinya itu, diharapkan hakim dapat mengambil putusan berdasarkan hukum yang berlaku dan juga berdasarkan keyakinannya yang seadil-adilnya serta memberikan manfaat bagi masyarakat. Demikian, hukum dan badan-badan pengadilan akan dapat berfungsi sebagai penggerak masyarakat dalam pembangunan hukum dan pembinaan tertib hukum44. Dalam praktik tidak jarang dijumpai ada peristiwa yang belum diatur dalam hukum atau perundang-undangan atau meskipun sudah diatur tetapi tidak lengkap dan tidak jelas. Memang tidak ada hukum atau perundangundangan yang sangat lengkap atau sejelas-jelasnya. Fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dengan cara mengatur kegiatan manusia, sedangkan kepentingan manusia sangatlah banyak dan tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Di samping itu kepentingan manusia akan terus berkembang sepenjang masa, oleh karena itu peraturan hukum yang tidak jelas harus dijelaskan, yang kurang lengkap harus dilengkapi dengan jalanmenemukan hukumnya agar aturan hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya. Pada hakikatnya semua perkara membutuhkan metode penemuan hukum agar aturan hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya, sehingga dapat diwujudkan putusan hukum yang diidamidamkan, yaitu yang mengandung aspek keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan45. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, mengemukakan bahwa sudah barang tentu hakim harus mempelajari berbagai cara menemukan hukum yang
43
Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa aspek kebijakan Penegakkan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm., 104. 44 Mochtar Kusumaatmadja, dalam Bambang Sutiyoso, 2006, Metode Penemuan Hukum Upaya commit to user : UII Press, hlm., 320. Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta 45 Bambang Sutiyoso, 2009., Ibid., hlm., 28.
perpustakaan.uns.ac.id
20 digilib.uns.ac.id
memang sudah disediakan oleh ilmu hukum, karena merupakan suatu kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap hakim dalam mengemban tugas luhurnya itu. Cara menemukan itu dikenal dengan metode penafsiran hukum dan konstruksi hukum, sehingga penemuan hukum ini merupakan kewajiban hukum bagi hakim. Selanjutnya ia, mengemukakan tugas penting dari hakim adalah menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal yang nyata di masyarakat, apabila undang-undang tidak dapat dijalankan menurut arti katanya, hakim harus menafsirkannya. Dengan perkataan lain, apabila undang-undang tidak jelas, hakim wajib menafsirkannya, sehingga ia dapat membuat suatu putusan yang adil dan sesuai dengan maksud hukum, yaitu mencapai kepastian hukum46, karena itu, orang dapat mengatakan bahwa menafsirkan undang-undang adalah kewajiban hukum dari hakim47. Dalam konteks negara hukum, para pelaksana hukum diingatkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya agar mengikuti dan memahami nilainilai hukum yang hidup dalam masyarakat48, bahkan hakim sebagai penegak hukum dianggap sebagai perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu, ia harus terjun di tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Menyadari akan kekurangan dari Undang-undang, John Rawis, mengemukakan bahwa ”like wise laws and institutions no matter how efficientand well-arranged must be reformed or abolished of they are unjust” (undang-undang dan institusi betapapun efisien dan diatur dengan amat baik harus direformasi atau dihapus apabila tidak adil)49. Dalam arti jika undang-undang yang ada tidak mampu menangkap rasa keadilan masyarakat, hakim tidak boleh menjadi tawanan undang-undang (istilah Satjipto Rahardjo) dengan bertindak sebagai terompet undang-undang semata (let‟terknechten der wet), tetapi hakim perlu secara kreatif melakukan 46
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Bandung : Alumni., hlm., 1-2. 47 Utrecht, dalam Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Ibid., hlm., 8. 48 Achmad Ali, Harapan untuk Mahkamah Agung RI di Era Reformasi, Makalah Seminar commit user Nasional, Makasar, 24 Februari 2001, dalam H.A. to Muin Fahmal, 2006, hlm., 15 49 John Rawis, dalam Antonius Sudirman, Op.cit., hlm., 62.
perpustakaan.uns.ac.id
21 digilib.uns.ac.id
terobosan hukum lewat penciptaan hukum melalui putusan-putusannya (judge made law). Meskipun dengan mengorbankan kepastian hukum yang merupakan salah satu asas yang fundamental dalam hukum pidana50. Berkaitan dengan penemuan hukum, Laica mengingatkan bahwa para hakim seyogyanya menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai sosial budaya hukum masyarakat, utamanya yang terpaut dengan perilaku administrasi yang mendukung budaya hukum setempat. Penggalian hukum tersebut, diharapkan bakal dapat menemukan dan mengembangkan asas-asas pemerintahan yang layak. Hal ini juga dimaksudkan sebagai pendorong diberlakukannya asas-asas umum pemerintahan yang layak selaku salah satu alasan pengujian (toetsing) keabsahan KTUN (pemerintah)51. Van Eikema Hommes, mengemukakan bahwa penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkret. Ini merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret52. Sudikno Mertokusumo, berkaitan dengan penemuan hukum mengatakan bahwa sejak kurang lebih 1850 orang condong pada peranan yang mandiri dalam pembentukan hukum oleh hakim. Hakim bukan lagi corong undang-undang, tetapi pembentukan hukum yang memberi bentuk pada isi undang-undang dan menyesuaikannya dengan kebutuhankebutuhan hukum. Hakim dalam menjatuhkan putusan dibimbing oleh pandangan-pandangan atau pikiranya sendiri. Dalam penemuan hukum yang otonom ini hakim memutus menurut apresiasi sendiri. Hakim menjalankan tugas yang mandiri dalam penerapan undang-undang terhadap peristiwa hukum konkret. Pandangan baru ini yang oleh Van Eikema Hommes disebut
50
Antonius Sudirman, Kontra Peninjauan Kembali dalam Kasus Ruislag Bulog-Goro:Antara Keadilan dan Kepastian Hukum, Jurnal Ilmu Hukum Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung, Pro Justitia, No. 2 Tahun ke- 20, April 2002, hlm., 68. 51 Laica, Jurnal Meritokrasi, Volume 1 Nomor 1, Agustus, Tahun 2002, Otonomi Daerah dan commit toMuin userFahmal, 2006, hlm., 15. Implementasinya Bagi PTUN, hlm., 23, dalam H.A. 52 Van Eikema Hommes, dalam Sudikno Mertokusumo, 1993, hlm., 4.
perpustakaan.uns.ac.id
22 digilib.uns.ac.id
pandangan yang materiil yuridis, di Jerman dipertahankan oleh Oskar Bullow dan Eugen Erlich53. Dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan-perubahan dalam masyarakat yang begitu pesat dan kebutuhan manusia yang semakin kompleks, sehingga tak dapat terakomodasi oleh hukum sebagai pengendali dan pengaturnya. Hukum sebagai sub sistem dalam masyarakat tidak dapat terlepas dari perubahan tersebut. Sebagaimana dikemukakan Adi Sulistiyono, memasuki abad teknologi informasi, kemajuan ilmu dan teknologi, maka perubahan-perubahan dalam masyarakat akan terjadi dengan sangat cepat dan kompleks, bahkan perubahan-perubahan tersebut sering terjadi tanpa kita rencanakan lebih dahulu atau tidak dapat diramalkan sebelumnya (unpredictable). Demikian hukum sebagai salah satu sub sistem dalam masyarakat akan terkena imbas perubahan tersebut54. Hukum tidak bisa dilepaskan dari sejarah manusia, oleh karena itu sudah sangat jelas perkembangan dan perubahan hukum tidak lepas dari dinamika sosial dengan segala kepentingan yang sesungguhnya berada di belakang hukum. Hukum itu sendiri tidak bisa dielakkan selalu berkembang, dan perkembangannya tidak dapat dipastikan berkembang kepada arah-arah tertentu, tetapi yang jelas pada akhirnya, juga membawa perubahan setelah bersenyawa dengan bertarungnya berbagai kepentingan yang berada di belakang hukum itu sendiri, hukum berseerat dengan masyarakat, dan apabila masyarakat berubah hukum juga harus berubah. Masyarakat Indonesia sudah merdeka dari bangsa jajahan, maka hukumnya juga harus berjalan dengan perubahan itu55. Dalam kaitan tersebut, maka tugas hakim menjadi semakin berat dan oleh karena itu hakim tidak hanya sekedar penerap undang-undang dalam menyelesaikan permasalahan yang semakin kompleks dalam masyarakat. Hakim diharapkan untuk lebih aktif dalam tugasnya, kreatif dan 53
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm., 7-8. 54 Adi Sulistiyono, 2004, Menggugat Dominasi Positivisme dalam Ilmu Hukum, Surakarta :Sebelas Maret University Press, hlm., 51. 55 commit to Responsif, user Sabian Utsman, 2008, Menuju Penegakan Hukum Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hlm., 3-4.
perpustakaan.uns.ac.id
23 digilib.uns.ac.id
inovatif, agar peristiwa konkret yang telah diatur (kurang atau tidak jelas) hakim dapat menemukan hukumnya. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat, karena pengaruh berbagai kemajuan dan perkembangan ilmu dan teknologi, mengharuskan hakim mengambil langkah untuk mengadakan lompatan dalam penerapan undang-undang terhadap peristiwa konkret, yaitu dengan penemuan hukum56. Sebagaimana dikemukakan Sudikno Mertokusumo, kalaupun undang-undang itu jelas, tidak mungkin undang-undang itu lengkap dan tuntas. Tidak mungkin undang-undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara lengkap dan tuntas, karena kegiatan kehidupan manusia itu tidak terbilang banyaknya. Kecuali itu undang-undang adalah hasil karya manusia yang sangat terbatas kemampuannya. Ketentuan undang-undang tidak dapat diterapkan begitu secara langsung pada peristiwanya. Untuk dapat menerapkan ketentuan undang-undang yang berlaku umum dan abstrak sifatnya itu pada peristiwanya konkret dan khusus sifatnya, ketentuan undang-undang itu harus diberi arti, dijelaskan atau ditafsirkan dan diarahkan atau disesuaikan dengan peristiwanya untuk kemudian baru diterapkan pada peristiwanya. Peristiwa hukumnya harus dicari lebih dahulu dari peristiwa konkretnya (peristiwa hukum harus dikonstruksi), kemudian undang-undangnya ditafsirkan untuk dapat diterapkan. Boleh dikatakan bahwa setiap ketentuan undang-undang perlu dijelaskan, ditafsirkan lebih dahulu untuk dapat diterapkan pada peristiwanya57. Penemuan hukum oleh hakim dalam menerapkan undang-undang terhadap peristiwa konkret, hakim tidak perlu ragu-ragu, tetapi hakim harus mempunyai keberanian, aktif, kreatif dan inovatif, agar putusannya dapat mencerminkan kepastian hukum, memenuhi rasa keadilan dan bermanfaat bagi masyarakat. Penemuan hukum yang dilakukan hakim didasarkan pada Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1), yaitu hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan 56
Penemuan hukum, lihat juga Achmad Ali, Harapan untuk MARI di Era Reformasi, Makalah Seminar Nasional, Makasar, 24 Februari 2001, Laica, Jurnal Meritokrasi, Volume 1, Nomor 1, Agustus Tahun 2002, Otonomi dan Implementasinya bagi PTUN, HLM., 23. Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, hlm., 153. Johnny Ibrahim, 2006, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, hlm., 216-217. Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, 2005, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, hlm., 125. Adi Sulistiyono, 2002, Menggugat Dominasi Positivisme dalam Ilmu Hukum, hlm., 20.Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum, hlm., 195-224. commit to user 57 Sudikno Mertokusumo, dan A. Pitlo 1993, Op.cit., hlm., 12.
perpustakaan.uns.ac.id
24 digilib.uns.ac.id
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Pasal 10 ayat (1) yang berbunyi pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Dalam membangun konstruksi penemuan hukum, hakim harus berani keluar dari terali besi undang-undang yang membatasinya dalam pengertian sebagai kajian hukum tertulis produk legislatif, yang mengedepankan aturan dengan analisis logikanya, bersifat mekanistik, deterministik, linear thinking, yang hasilnya dapat diprediksi berupa keadilan yang bersifat formal atau prosedural. Peradilan yang bersifat tradisional tersebut tidak membuat adanya niat atau memberi motivasi pencari keadilan untuk menyelesaikan sengketanya melalui peradilan, bahkan dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengadilan. I.S. Susanto, mengemukakan bahwa pengadilan tidak mampu mengangkat isu keadilan seperti yang diharapkan masyarakat. Para hakim hanya memproses sebuah perkara secara formalitas saja, putusanya hanya formal, padahal yang diinginkan masyarakat adalah hal yang sangat substansial, bukan sekedar aturan formal58. Adi Sulistiyono mengemukakan, dalam hal hakim mampu menjalankan tugasnya dengan baik, maka kepercayaan masyarakat akan terpelihara. Sebaliknya, apabila hakim melakukan „perbuatan kotor‟ pada saat menyelesaikan sengketa, akan merusak kepercayaan (disrust) pihak-pihak yang bersengketa pada pengadilan. Kalau hal tersebut berlangsung terusmenerus akan menyebabkan „krisis‟ yang mengganggu rutinitas praktikpraktik penyelesaian sengketa yang terjadi di pengadilan59. Krisis pengadilan yang parah tersebut menyebabkan masyarakat tidak lagi mempercayai kredibilitasnya60 58
I.S. Susanto, dalam Anthon F Susanto, 2004, Wajah Peradilan Kita Konstruksi Sosial tentang Penyimpangan, Mekanisme Konrol & Akuntabilitas Peradilan Pidana, Bandung : Refika Aditama, hlm., 4. 59 Adi Sulistiyono, 2006, Krisis Lembaga Peradilan di Indonesia, Surakarta : LPP dan UPT UNS commit to user (UNS Press), hlm., 6. 60 Ibid., hlm., 19.
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pendapat lain dikemukakan, Anis Ibrahim, jika dicermati, setidaktidaknya ada dua faktor utama mengapa kehidupan hukum di Indonesia terpuruk. Pertama, disebabkan oleh perilaku bangsa dan aparat penegak hukum (professional jurist) yang koruptif. Kedua, cara bekerja dan berpikir para jurist Indonesia yang masih terkungkung oleh arus utama pikiran yang legalistik-posivistik61. Dalam pandangan tersebut, hukum dikonsepkan sebagai aturan dan logika, undang-undang mempunyai peranan sentral sebagai pedoman untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang timbul dalam masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, hakim dalam membangun kontruksi penemuan hukum harus melakukan perubahan-perubahan yang signifikan. Membangun dalam arti mampu memperbaiki atau menggeser cara-cara berpikir berhukum yang lama, yang mengandalkan undang-undang sebagai produk legislatif. Memperbaiki atau menggeser cara berpikir dalam penemuan hukum yang mengandalkan logika deduktif semata dengan caracara menyelesaikan sengketa mengedepankan hati-nurani, empati dan perasaan. Hakim turut merasakan penderitaan penggugat, hakim aktif dan kreatif. Hakim berupaya membiasakan dan membudayakan cara berpikir yang lebih mengedepankan hati nurani, empati dan perasaan, serta berpandangan ke depan. Hal tersebut dimaksudkan agar pengadilan dapat berfungsi sebagaimana mestinya, menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada lembaga
pengadilan
sebagai
instansi
yang
dapat
menyelesaikan
permasalahan. Membangun konstruksi penemuan hukum oleh hakim melalui putusan-putusannya yang dituangkan dalam argumentasi penalaran hukum atau racio decidendi, dengan tidak hanya mengeja atau berkutat pada teks undang-undang, melainkan dengan melihat realitas dalam masyarakat agar putusannya dapat menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat kepada pengadilan.
commitIlmu to user Anis Ibrahim, 2007, Merekontruksi Keilmuan Hukum dan Hukum di Milinium ketiga, Malang : In-TRANS, hlm., 32-33. 61
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam menggagas berhukum di Indonesia, maka harus berangkat dari keberanian hakim secara individual atau sebagai kelompok minoritas dan kebersamaan untuk membentuk suatu konstruksi dalam mencapai tujuannya. Interpretasi, konstruksi dan hermeneutika hukum sebagai alat atau metode bagi hakim untuk melakukan konstruksi dalam penemuan hukum harus lebih didayagunakan. Hakim tidak boleh terikat pada teks undang-undang. Dalam pandangan Ricouer, sebuah teks pada dasarnya bersifat otonom untuk dilakukan
“dekontekstualisasi”
dan
“rekontekstualisasi”.
Kegiatan
(dekontekstualisasi) memiliki arti bahwa materi teks „melepaskan diri‟ dari konteks pengarang untuk masuk ke konteks pembaca yang lebih luas lagi (rekontekstualisasi)62. Membangun konstruksi penemuan hukum oleh hakim, dimulai dari pemikiran hakim dalam proses di pengadilan untuk mampu memperbaiki atau dapat menggeser pemikiran hakim yang berkutat pada undang-undang semata untuk berijtihad keluar dari teks undang-undang, sehingga undang-undang mempunyai makna yang hakiki dalam realitas komunitas masyarakatnya. Memperbaiki atau mampu menggeser pemikiran hakim dalam melakukan interpretasi, konstruksi dan hermeneutika hukum untuk menemukan hukum tidak sekedar hakim mampu melengkapi, menjelaskan undang-undang yang kabur, kurang jelas, namun hakim harus mampu melakukan kostruksi dengan menggali dan melihat kultur hukum dalam realita masyarakat. Hukum adalah merupakan budaya masyarakat yang tumbuh dan berkembang sebagai cermin dalam masyarakat. Membangun konstruksi penemuan hukum oleh hakim dimaksudkan agar hakim mampu merubah pemikiran hukum dalam proses peradilan atau dalam menyelesaikan sengketa tidak hanya mendasarkan pada ketentuan dalam undang-undang yang lebih mengedepankan aturan-aturan dengan pengolahan logika deduktif semata. Hakim tidak harus terbelenggu atau terikat oleh undang-undang dalam bentuknya yang formal, dan terulis sebagai dihasilkan oleh pembuat undang-undang. Dalam kenyataannya undangcommit to user 62
E. Sumaryono, 1993, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta : Kanisius, hlm., 101.
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
undang tidak sempurna, tidak lengkap, tidak atau kurang jelas, ketinggalan jaman, sehingga tidak dapat menyelesaikan sengketa secara tuntas. Sehubungan dengan hal tersebut, hakim harus mampu merubah pandangan atau memperluas pandangan dengan melihat ke depan dengan menggali, memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam komunitas masyarakat sebagai kearifan lokal. Perkembangan pemikiran kritis tentang hukum di Indonesia cukup menggembirakan terutama dikalangan aktivis dan akademisi, meskipun tantangan untuk dapat memberi pengaruh pada perombakan sistem hukum nasional masih merupakan pekerjaan berat dan jangka panjang. Tantangan terbesar yang dihadapi oleh para peminat pemikiran kritis tentang hukum adalah kemampuannya untuk mendekonstruksi pemikiran hukum dominan di Indonesia yang pondasi teoritiknya berbasiskan pemikiran legal positivisme. Dekontruksi yang dimaksud tidak berarti menegasikan pentingnya pemikiran legal positivisme, tetapi bagaimana agar sistem hukum nasional Indonesia lebih mengejar perwujudan nilai keadilan dan kemanfaatan untuk rakyat, ketimbang hanya bersikukuh mengutamakan nilai kepastian hukum. aspek kepastian hukum merupakan isu utama dalam pemikiran legal positivisme, sementara itu tantangan yang lebih operasional dan konkret adalah bagaimana membumikan pemikiran kritis tentang hukum ke dalam bahasa sederhana yang mudah diterima dan dimengerti masyarakat. dengen begitu, diharapkan muncul kesadaran baru yang lebih kritis dikalangan rakyat banyak, bahwa hukum
bukan
selalu
merupakan
ancaman,
tetapi
juga
merupakan
perlindungan, karena adanya nilai keadilan dan kemanfaatan yang dikandungnya63 Soetandyo Wignjosoebroto mengemukakan dekonstruksi harus bekerja untuk segera menampilkan pihak yang selama ini kepentingannya tidak ditampilkan dan karena itu juga tidak dibicarakan. Dekonstruksi melalui penafsiran ulang isi kandungan sebuah norma hukum yang ada dilakukan berdasarkan ide the free play of the text. Dikatakan bahwa suatu teks undang-undang atau teks amar putusan itu begitu selesai dirumuskan commit to user 63
Donny Donardono, 2007, Wacana Pembabaruan Hukum di Indonesia, Jakarta : Huma, hlm., iii.
perpustakaan.uns.ac.id
28 digilib.uns.ac.id
akan begitu terbebas dari maksud perumusannya yang semula64. Dikemukakan bahwa setiap generasi akan mengubah isi teks itu kembali lewat berbagai kesempatan berijtihad, sedangkan generasi terdahulu penciptanya tidak lagi ada daya untuk mencegahnya. Satjipto Rahardjo mengemukakan, pelajaran hidup bernegara hukum selama berpuluh tahun terlalu mahal untuk membuat berani melakukan pemikiran ulang terhadap cara-cara memahami hukum, undang-undang dan negara hukum. Hal tersebut menyebabkan diajukan gagasan agar berani melakukan dekonstruksi terhadap cara-cara berpikir mengenai hukum. Intisari pikiran mendekonstruksi hukum, kredo (jawa) yang diajukan adalah tidak boleh menjadi tawanan undang-undang, itulah esensi dekonstruksi yang meliputi aspek kognitif maupun afektif. Lebih dalam lagi, maka filsafat yang mengilhami adalah hukum itu untuk manusia dan tidak sebaliknya65 B. PERUMUSAN MASALAH Kajian utama atau fokus utama dalam penelitian yang hendak dilakukan adalah faktor hakim sebagai aktor atau manusia dalam mengambil suatu putusan terhadap sengketa yang diperiksanya. Suatu pemikiran hakim dalam menghadapi berbagai alternatif atau pilihan, kemudian hakim menentukan pilihannya atas dasar pertimbangan yang berkeadilan dan mempunyai nilai manfaat bagi kehidupan masyarakat dengan tidak meninggalkan unsur kepastian hukumnya. Tugas utama hakim adalah memeriksa, memutus dan mengadili perkara yang diajukan para pihak di muka sidang pengadilan. Berkaitan dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang semakin pesat dan perkembangan masyarakat yang semakin intensif, telah menyebabkan terjadinya pergeseran nilai-nilai keberlakuan dalam masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, dibutuhkan pemahaman baru dan pandangan, pemikiran yang lebih luas terhadap sesuatu hal, agar tidak terjadi kepincangankepincangan terhadap sesuatu yang baru tersebut. Perkembangan masyarakat dunia telah memasuki era globalisasi yang membutuhkan kematangan dan kerja keras dalam semua aspek. Demikian juga dalam kaitannya dengan 64
Soetandyo Wignjosoebroto, 2002, Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, commit to user Jakarta : Elsam-Huma, hlm., 80-81. 65 Satjipto Rahardjo, 2006, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta : Kompas, hlm., 120
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hukum yang pada umumnya dipergunakan sebagai pedoman atau landasan berperilaku bagi semua unsur yang terdapat di dalamnya, agar segalanya dapat berjalan di atas rel, sehingga tercipta suasana tertib, damai, aman dan sejahtera. Hukum atau undang-undang dalam kenyataannya tidak dapat mewadahi atau mengakomodasi semua aspek kehidupan manusia yang terus berkembang dan tidak terbilang jumlahnya. Kepentingan-kepentingan manusia yang semakin hari semakin bertambah, membutuhkan wadah dalam bentuk hukum yang lebih representatif, supaya tidak menimbulkan permasalahan-permasalahan yang dapat meresahkan kehidupan masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, maka hakim sebagai salah satu unsur penegak hukum, dapat bertindak untuk menghasilkan atau memberi putusan yang dapat diterima semua pihak. Hakim dalam memutus perkara tidak hanya menyuarakan hati nurani penguasa, sebagai robot dan terbelenggu oleh keangkuhan undang-undang yang tertulis, hakim sebagai corong undangundang dan menerapkan undang-undang tanpa ada suatu kreasi baru atau keberanian untuk manafsirkan undang-undang yang bersifat kaku dan ketinggalan jaman. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menemukan hukum terhadap peristiwa konkrit, agar putusannya dapat memberikan solusi yang lebih baik dan tidak menimbulkan permasalahan baru yang lebih rumit. Hakim mempunyai kewajiban untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim diharapkan mampu melakukan lompatan, meninggalkan cara kerja dan pemikiran yang lama untuk menemukan hukum melalui penafsiran hukum dan konstruksi hukum, karena berbagai kegiatan kehidupan manusia yang semakin kompleks dan lepas dari pengaturan perundang-undangan atau hukum
atau
tidak
terakomodasi
dalam
undang-undang
atau
telah
terakomodasi tetapi kurang jelas atau ketinggalan jaman. Berdasarkan hal tersebut, kiranya menarik untuk diangkat sebagai permasalahan dalam penelitian ini, yaitu : commit to user
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1. Apakah di dalam melakukan pengujian terhadap keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan di muka sidang PTUN, hakim memutus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku atau asas-asas umum pemerintahan yang baik, sebagai kaidah normatif atau menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat ? 2. Bagaimanakah pemikiran hakim dalam menghadapi suatu sengketa atau peristiwa yang belum diatur dalam undang-undang atau telah diatur, namun tidak atau kurang jelas mengaturnya ? 3. Bagaimanakah proses membangun konstruksi yang dilakukan oleh hakim dalam tugasnya untuk menemukan hukum terhadap peristiwa konkret, agar putusan yang dijatuhkan memenuhi tujuan hukum yang baik, yaitu tercapainya
kepastian
hukum,
terpenuhinya rasa keadilan
warga
masyarakat dan terdapat unsur kemanfaatan dari putusan hakim tersebut ?
C. TUJUAN PENELITIAN Di dalam suatu penelitian perlu ditetapkan adanya tujuan dari penelitian, dengan maksud agar tidak terjadi bias atau penelitian yang dilakukan akan menyimpang dari permasalahan yang telah dikemukakan. Di samping itu, tujuan penelitian perlu ditetapkan , yaitu untuk menetapkan langkah-langkah yang hendak dilakukan, sehingga penelitian yang dilakukan akan lebih terarah, efektif dan efisien. Berdasarkan permasalahan yang telah ditetapkan tersebut, maka penelitian ini bertujuan : 1. Untuk meneliti dan menganalisis putusan-putusan PTUN terhadap keabsahan KTUN yang disengketakan para pihak di muka sidang berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asasasas umum pemerintahan yang baik atau nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. 2. Untuk mengetahui pemikiran hakim dalam menghadapi suatu sengketa atau peristiwa yang belum diatur atau telah diatur, tetapi kurang atau tidak jelas mengaturnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
31 digilib.uns.ac.id
3. Mengetahui secara mendalam tugas hakim dalam proses membangun konstruksi yang dilakukan untuk menemukan hukumnya terhadap peristiwa konkret, sehingga putusan hakim dapat mencapai tujuan hukum yang baik, seperti kepastian hukum, rasa keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat.
D. MANFAAT PENELITIAN Manfaat teoritis hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan pikiran alternatif terutama bagi hakim dalam kaitannya dengan penyelesaian sengketa tata usaha negara agar tidak hanya berpedoman pada undang-undang dalam arti produk legislatif. Di samping itu diharapkan bagi kalangan akademik agar mampu menangkap makna teks dalam undang-undang yang dikembangkan melalui proses belajar mengajar tidak bersifat absolut yang dipahami sebagai bentuknya yang tertulis. Hasil penelitian ini diharapkan mampu atau dapat memberi masukan yang signifikan kepada pemerintah (Badan/Pejabat TUN) agar dalam menerbitkan Keputusan Tata Usaha negara tidak hanya berdasarkan pada undang-undang, namun juga memperhatikan atau mencerminkan realita dalam masyarakat (hukum tidak tertulis, kearifan lokal) agar keputusan yang diterbitkan tidak menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat. Penemuan hukum sebagai hasil penelitian diharapkan mampu menerobos dominasi positivisme hukum yang selama ini sangat berpengaruh dalam praktik di pengadilan, eksekutif dan legilatif. Manfaat praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menemukan bangunan konstruksi pergerakan pemikiran hakim dalam menyelesaikan sengketa tata usaha negara tidak hanya mengedepankan undang-undang, namun hakim dapat melakukan penafsiran hukum sebagaimana diamanahkan undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Manfaat yang lain diharapakan, hakim dapat melakukan pengawasan terhadap tindak atau perbuatan pemerintah melalui putusan yang dijatuhkan, yaitu agar lebih memperhatikan kepentingan sesuai dengan dasar filosofis commitmasyarakat to user
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dibentuknya pengadilana tata usaha negara. Dapat digunakan sebagai acuan hakim yang lain, terutama yang berkaitan dengan keberanian hakim untuk melakukan penafsiran hukum yang bermanfaat untuk waktu yang akan datang, karena hukum tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan hukum untuk kepentingan manusia, hakim mampu menangkap makna perubahan dalam masyarakat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Kekuasaan Kehakiman Mengkaji kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, maka tidak dapat terlepas dari apa yang disebut dengan negara hukum. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Penjelasan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008, menjelaskan yang dimaksud "negara hukum" adalah negara yang dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, termasuk dalam penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang baik yang bertujuan meningkatkan kehidupan demokratis yang sejahtera, berkeadilan, dan bertanggung jawab. Negara hukum menghendaki segala tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas ada legalitasnya, baik berdasarkan hukum tertulis maupun berdasarkan hukum tidak tertulis. Keabsahan negara memerintahkan ada yang mengatakan karena negara merupakan lembaga yang netral, tidak berpihak, berdiri di atas semua golongan masyarakat, dan mengabdi pada kepentingan umum66. Dalam negara hukum yang pokok adalah adanya pembatasan oleh hukum, dalam arti bahwa segala sikap, tingkah laku dan perbuatan, baik yang dilakukan oleh para penguasa negara maupun oleh para warga negaranya berdasarkan hukum positif, sehingga terutama warga negaranya terbebas dari tindakan sewenang-wenang dari para penguasa negara67. Untuk membatasi kekuasaan pemerintah, seluruh kekuasaan di dalam negara haruslah dipisah dan dibagi ke dalam kekuasaan yang mengenai bidang tertentu. Pembatasan kekuasaan pemerintah juga harus tunduk pada
66
Arief Budiman, 1996, Teori Negara, Negara, Kekuasaan dan Idiologi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 1. 67 commitKesatuan to userRI Berdasarkan Pancasila dan UUD Soehino, 1985, Hukum Tata Negara: Negara 1945 adalah Negara Hukum, Yogyakarta: Liberty, hlm., 34
33
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kehendak rakyat (demokrasi) dan haruslah dibatasi dengan aturan-aturan hukum yang pada tingkatan tertinggi disebut konstitusi. Salah satu ciri dan prinsip pokok dari negara hukum dan demokrasi adalah adanya lembaga peradilan yang bebas dari kekuasaan lain dan tidak memihak68. Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan pilar dari negara hukum69. Kekuasaan yang bebas tidak memihak tidak hanya diartikan bebas dari pengaruh eksekutif, tetapi juga bebas dari gangguan dalam melaksanakan tugasnya, termasuk pers dan lembaga di luar kekuasaan kehakiman70. UndangUndang Dasar 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam rangka memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum telah dilakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, kemudian diadakan perubahan lagi dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Perubahan UndangUndang
Dasar
1945
telah
membawa
perubahan
dalam
kehidupan
ketatanegaraan, khususunya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.71. 68
Mob. Mahfud M.D. Op., cit., Hlm., 24 Ismail Suny, 1982, Mencari Keadilan Sebuah Otobiografi, Jakarta : Ghalia Indonesia, hlm., 262 70 Sri Sumatri, dalam Abdullah, Op., cit.,commit hlm., 4 to user 71 Penjelasan Undang-undang nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, alinia 1,2, 5. 69
perpustakaan.uns.ac.id
35 digilib.uns.ac.id
Salah satu prinsip negara hukum, yakni adanya peradilan yang independen (terbebas dari pengaruh kekuasaan lain), di samping pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) dan legalitas dalam arti hukum dengan segala bentuknya. Peradilan yang independen atau mandiri dapat terwujud secara penuh mengambil putusan atas suatu perkara yang ditanganinya, meskipun Indonesia sejak UUD 1945 dijadikan landasan konstitusional kehidupan bernegara dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman serta kebebasan hakim menjadi salah satu asas dalam tata hukum Indonesia, tidak sepenuhnya demikian itu terjadi dalam praktik-praktik penegakan hukum. Sejarah membuktikan bahwa kondisi hukum represif mengakibatkan kebebasan hakim mengalami distorsi sebagai akibat tersubordinasinya hukum pada kekuasaan politik, terutama eksekutif. Putusan-putusan pengadilan yang seyogyanya sebagai perwujudan sikap profesional yang bebas atau mandiri, akhirnya dalam banyak kejadiannya menampilkan tidak steril dari pengaruh kekuasaan eksekutif atau politik. Kondisi tersebut juga didukung oleh Undang-undang kekuasaan kehakiman yang berlaku saat itu (Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999) yang menempatkan hakim disatu sisi berada di bawah Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi, namun dipihak lain juga berada di bawah kekuasaan eksekutif, terutama yang menyangkut organisasi, administrasi dan keuangan (finansial)72 Asas kemerdekaan kekuasaan kehakiman, merupakan asas yang penting atau sentral dalam kehidupan peradilan. Terdapat beberapa sendi filosofis dalam kegiatan upaya penegakan hukum yang diperankan oleh Badan-badan peradilan, yaitu: a. Kekuasaan kehakiman (judicial power) dalam melaksanakan fungsi peradilan adalah "alat kekuasaan negara" yang lazim disebut kekuasaan "yudikatif”
72
Benny Riyanto, Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara Perdata di Pengadilan Negeri, commit to user Yustisia, Edisi 74, Mei - Agustus 2008, Tahun XVIII, hlm., 51.
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Tujuan memberikan kemerdekaan bagi kekuasaan kehakiman dalam menyelenggarakan fungsi peradilan: 1. Agar hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dapat ditegakkan 2. Agar
benar-benar
dapat
diselenggarakan
kehidupan
bernegara
berdasarkan hukum, karena memang negara Republik Indonesia adalah negara hukum73. Hanya peradilan yang bebas dan merdeka yang dapat diperkirakan menegakkan hukum dan keadilan yang hakiki dan hanya kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka yang dapat menjamin tegaknya "negara hukum" . Hakim dan kekuasaan kehakiman yang tidak merdeka, diperkirakan tidak dapat berfungsi menegakkan hukum dan keadilan hakiki. Mereka terjerat dan bertekuk lutut di bawah kendali alat kekuasaan yang lain. Apabila kekuasaan kehakiman sudah dijerat dan beradan di bawah kendali apapun, akan hancur sendi negara hukum Republik Indonesia, karena jalannya penegakan hukum dan keadilan hanya sekedar sandiwara memperuntut keinginan dan kehendak pihak yang mengendalikan74 Lebih lanjut berkaitan dengan kebebasan hakim, Yahya Harahap mengatakan bahwa bukan kebebasan yang merajalela dan membabi buta, tetapi terbatas dan bermakna: 1. Bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya. Peradilan dan hakim dalam melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman tidak boleh dicampuri oleh badan kekuasaan pemerintahan yang lain. Pihak eksekutif, legislatif atau badan kekuasaan lainnya yang manapun tidak boleh mencampuri jalannya peradilan. Dengan demikian kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan fungsi peradilan benar-benar murni berdiri sendiri, tidak berada di bawah subordinasi atau di bawah pengaruh dan kendali badan eksekutif, legeslatif atau badan kekuasaan lainnya. 2. Bebas dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak extra judicial. Maksudnya, hakim dalam melaksanakan fungsi peradilan tidak boleh dipaksa harus mengambil putusan yang dikehendaki pihak yang memaksa. Paksaan yang datang dari siapapun dan dalam bentuk yang bagaimanapun, tidak dibenarkan. Begitu pula pengarahan dan rekomendasi yang datang dari luar lingkungan kekuasaan peradilan tidak dibenarkan. 73
M. Yahya Harahap, 1993, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Undangcommit to user vndang Nomor 7 Tahtm 1989) Jakarta: Pustaka Kartini., hlm. 41. 74 Ibid., hlm., 41.
perpustakaan.uns.ac.id
37 digilib.uns.ac.id
Hakim harus memiliki keberanian nurani yang tangguh melaksanakan fungsi dan kewenangan peradilan berdasarkan the rule of law 3. Kebebasan melaksanakan wewenang judicial (peradilan), sifat kebebasan "tidak mutlak", tetapi kebebasan hakim terbatas : a. Menerapkan hukum yang bersumber dari peraturan perundangundangan yang tepat dan benar dalam menyelesaikan kasus perkara yang sedang diperiksanya b. Menafsirkan hukum yang tepat melalui cara-cara pendekatan penafsiran yang dibenarkan c. Kebebasan untuk mencari dan menemukan hukum (rechts vinding), dasar-dasar dan asas-asas hukum melalui doktrin ilmu hukum, norma hukum yang tidak tertulis (hukum adat), yurisprudensi maupun melalui pendekatan "realisme", yakni mencari dan menemukan hukum yang terdapat pada nilai ekonomi, moral, agama, kepatutan dan kelaziman75. Konsep negara hukum dan negara demokrasi sebagai saudara kembar menyusul zaman Renaissance di Eropa telah membawa prinsip pemisahan atau pembagian kekuasaan ke dalam organ-organ tersendiri, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pembagian kekuasaan ke dalam tiga poros yang kemudian dikenal sebagai Trias Politika itu dimaksudkan untuk mendobrak absolutisme atau sistem pemerintahan yang otoriter76. Berdasarkan doktrin pemisahan kekuasaan tersebut, fungsi dari kekuasaan kehakiman adalah melakukan kontrol terhadap kekuasaan negara guna mencegah terjadinya proses instrumentasi yang menempatkan hukum menjadi bagian dari kekuasaan77. Berdasarkan ajaran pemisahan kekuasaan tersebut, tampak bahwa dalam setiap kekuasaan negara yang menyebut dirinya sebagai negara hukum, maka di dalamnya pasti terdapat kekuasaan kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman tersebut harusiah merupakan kekuasaan yang mandiri dan bebas dari intervensi pihak manapun78 Berkaitan dengan independensi pengadilan, Adi Sulistiyono, dengan meminjam pendapat Budiono Kusumohamidjojo, mengemukakan bahwa komitmen terhadap kekuasaan kehakiman yang merdeka sangat penting
75
M. Yahya Harahap, Ibid., hlm. 43. Moh. Mahfud M.D. Op., cit., hlm., 283. 77 KRHN & Lelp, 1999, dalam Fatkhurohman, Dian Aminudin, Sirajuddin, 2004, Memahami commitBandung to user : Citra Aditya Bakti, hlm., 14 Keberadaan Mahkakah Konstitusi di Indonesia, 78 Ibid., hlm., 25. 76
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
maknanya bagi realisasi konsep negara hukum, dimana peradilan yang bebas akan memberi warganegara untuk kepastian hukum79 dan keadilan hukum80. Peradilan bebas hanya dapat terwujud melalui jaminan tidak adanya intervensi negara81 terhadap proses peradilan, namun hal yang lebih mendasar lagi adalah tidak adanya campur tangan pemerintah dalam hal administrasi dan organisasi kekuasaan kehakiman itu sendiri. Dua hal tersebut menjadi ujian sampai seberapa jauh para pejabat pelaksana kekuasaan kehakiman dapat berjalan, fungsi peradilan secara adil, jujur dan tidak memihak82 Sebagai pilar negara hukum, independensi pengadilan dimaksudkan sebagai tidak adanya campur tangan lembaga-lembaga di luar pengadilan, terutama kekuasaan eksekutif dan legislatif terhadap fungsi pengadilan, namun demikian koridor hukum berupa pengaturan undang-undang bagi pelaksanaan fungsi pengadilan perlu dilakukan agar dapat dicegah pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang absolut. Cerminan pengaturan kompetensi pengadilan dan wilayah
yurisdiksi
pengadilan,
yang
dilakukan
untuk
kepentingan
perlindungan hak-hak terdakwa atau pencari keadilan. Dengan demikian, sesungguhnya pengadilan tidak pernah mempunyai posisi independen yang sempurna83
79
Kepastian hukum sering dikaitkan dengan penyelenggaraan hukum secara konsisten dalam suatu proses sosial , sehingga diperoleh patokan perilaku dan dengan demikian kehidupan masyarakat bisa berlangsung dengan tertib , damai dan adil. Agar fungsi kepastian hukum itu dapat berjalan, maka ia harus memiliki kewibawaaan formal (prosedurnya harus benar) dan kewibawaan material (substansinya harus benar) Periksa Budiono Kusumohamidjojo, hlm., 206-207. 80 Menurut Zippelius, ada tiga partenensi keadilan, yaitu (1) keadilan pidana (Strafgerchttigkeif) yang terutama ditentukan oleh dasar serta tujuan dari pengenaan hukum pidana. Pertimbangan itu tunduk pada asas nulia poena sine praevia, (2) keadilan hukum acara (VerfahrensgenechtigkeifK Keadilan hukum acara ditentukan terutama oleh dua syarat, yaitu kesempatan yang sama bagi semua pihak yang berperkara untuk menentukan posisinya serta hakim yang tidak berat sebelah, dan (3) keadilan konstitusional (Verfassauingsgerechtigkeif) yang mengemukan dalam hal penentuan syarat-syarat untuk pemangkuan jabatan kenegaraan, yang terutama dalam demokrasi modern ditentukan melalui pemilihan umum. Periksa Budiono Kusumohamidjojo, hlm., 192-193. 81 Menurut Hans Kelsen, negara juga merupakan subyek hukum. Dalam perkembangannya tidak hanya sebagai subyek hukum yang hanya mengemban hak dan kewajiban hukum, melainkan juga memilki kekuasaan kenegaraan (Staatsgewalt, constiutioncd power). Pandangan yang mendudukkan negara sebagai subyek hukum belum memberikan jaminan bahwa ia juga merupakan negara hukum. Periksa Budiono Kusumohamidjojo, hlm 156-157. 82 A. Muhammad Asrun, dalam Adi Sulistiyono, 2006.Op., cit., hlm., 59.
commit to user
83
A-V. Dicey, dalam Adi Sulistiyono, 2006, Op., cit., hlm., 62.
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam kaitannya dengan pengkajian kebebasan hakim, maka pendapat Sudikno Mertokusumo, tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Beliau berpendapat bahwa kekuasaan kehakiman pada hakekatnya adalah bebas. Tugas pokok kekuasaan kehakiman yaitu menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan. Dalam mengadili dan menyelesaikan setiap perkara kekuasaan kehakiman harus bebas, bebas untuk mengadili dan bebas dari pengaruh apa atau siapapun. Sudah menjadi sifat pembawaan kekuasaan kehakiman bahwa kekuasaan kehakiman itu bebas. Baik di Amerika Serikat, Uni Soviet, Negeri Belanda maupun Indonesia kekuasaan kehakimannya pada dasarnya adalah bebas, tetapi kebebasan kekuasaan kehakiman itu tidaklah mutlak sifatnya. Kebebasan kekuasaan kehakiman itu dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, sistem politik, sistem ekonomi dan sebagainya. Di Indonesia tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang jadi landasannya, melalui perkara-peikara
yang
dihadapkan
kepadanya,
sehingga
putusan
itu
mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia,84 Penting dipahami bahwa konsep kemandirian pengadilan harus juga diartikan dengan kemandirian dalam makna sistem sosial yang sifatnya tidak mutlak.85. Kemandirian pengadilan harus dikaitkan dengan empat atribut hukum yang membedakannya dengan norma-norma kemasyarakatan lainnya. Dengan mengutip pendapat Leopold Pospisil, Achmad Ali86 mengemukakan empat atribut hukum, yaitu: 1. Hukum merupakan putusan dari pihak-pihak yang berkuasa dalam masyarakat, putusan-putusan mana ditujukan untuk mengatasi keteganganketegangan yang terjadi di dalam masyarakat (attribute of authority), 2. Putusan-putusan yang mempunyai daya jangkau yang panjang untuk masa mendatang (attribute of intention of universal application) 84
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, hlm., 135-136. 85 commit user Achmad Ali, dalam Adi Sulistiyono, 2006, Op.,tocit., hlm., 63. 86 Achmad Ali, dalam Adi Sulistiyono, 2006, Op., cit., hlm., 64.
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Putusan-putusan pengawasan yang harus berisi kewajiban-kewajiban pihak pertama terhadap pihak kedua dan sebaliknya (attribute of obligation) 4. Putusan-putusan dari pihak yang berkuasa harus dikuatkan dengan sanksi yang didasarkan kepada kekuasaan masyarakat yang nyata (attribute of sanction). Kemandirian pengadilan adalah adanya kemampuan pengadilan untuk mewujudkan keempat atribut hukum itu dalam kenyataannya. Kemandirian pengadilan
akhirnya
harus
dipahami
bahwa
pengadilan
merupakan
seperangkat pranata-pranata yang diikat bersama atas dasar asas-asas yang sama dan rasionalitas di mana hukum mempunyai sumner-sumber integritas dan pengembangan yang membuat hukum berbeda dengan pranata sosial yang lainnya. Disebabkan oleh watak yang demikian itu, pranata-pranata pengadilan dan orang-orang yang berpraktik hukum dapat bertindak dengan cara-cara yang khas dan meminimalkan tekanan-tekanan sosial lainnya. Kemandirian pengadilan, dengan demikian berarti, bahwa pengadilan memahami dirinya sendiri dan juga memahami masyarakat dengan cara-cara yang memungkinkan pengadilan itu mereproduksi diri sendiri. Pengadilam mampu utnuk mempertahankan dirinya sendiri sebagai suatu sistem yang independen dari sistem-sistem lain yang disebabkan adanya pola-pola khusus dalam komunikasi yang dimiliki oleh pengadilan dan juga disebabkan oleh perspektif hukum yang normatif.87. Kemandirian kekuasaan kehakiman merupakan prasyarat penting dalam melakukan kegiatan penemuan hukum oleh hakim di pengadilan. Kemandirian atau kebebasan kekuasaan kehakiman berarti tidak adanya intervensi dari pihak-pihak extra judicial lainnya, sehingga dapat mendukung terciptanya kondisi yang kondusif bagi hakim dalam menjalankan tugastugasnya di bidang yudisial, yaitu dalam memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan sengketa yang diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara.
87
Lebih lanjut kondisi tersebut diharapkan dapat menciptakan putusan hakim commit to user Adi Sulistiyono, 2006. Op., cit., hlm., 64-65.
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang berkualitas, yaitu mengandung unsur keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan88 Gagasan independensi pengadilan merupakan cita-cita universal sebagaimana ditegaskan dalam Basic Principles on the independence of the Judiciary (1985) yang telah merupakan keputusan Konggres Perserikatan Bangsa-bangsa tentang the Prevention of Vrime and Treatment of Offenders yang diajukan oleh Majelis Umum sebagai Resolusi 40/32 (29 Desember 1985) dan 40/146 tanggal 13 Desember 1985. Resolusi tersebut menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas, merdeka dan mandiri merupakan suatu proses peradilan yang bebas dari setiap pembatasan pengaruh yang tidak proporsional, hasutan, tekanan, ancaman atau campur tangan secara langsung atau tidak langsung dari masyarakat atau dengan alasan apapun. Di dalam Resolusi PBB tersebut juga dimasukkan ketentuan tentang kebebasan menyampaikan pendapat dan berkumpul, seleksi dan pelatihan, persyaratan pelayanan dan gaji, rahasia profesi dan kekebalan, disiplin penangguhan serta pemutasian.89. Selanjutnya dikemukakan kemandirian kekuasaan kehakiman harus disertai integritas moral, keluhuran dan kehormatan martabat hakim, karena kalau tidak manipulasi dan mafia peradilan bisa saja berlindung di bawah independensi peradilan, sehingga para hakim yang menyalahgunakan jabatannya menjadi sulit tersentuh hukum. Praktik mafia peradilan terutama judicial corruption menjadi semakin sulit untuk diberatas, jika tindakan para “hakim nakal” berlindung pada asas kemandirian atau independensi kekuasaan kehakiman yang diletakkan tidak pada tempatnya. Mengenai kebebasan peradilan juga disebutkan dalam Pasal 10 Piagam Semesta Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa,: "Ereryone is intetled in full equality to a fair and public hearing by an independent and impartial tribunal in the determinationof his right and obligations and of any criminal charge against him”. Pada intinya, kedua instrument hukum internasional
88 89
commit to Bambang Sutiyoso, 2009, Op., cit., hlm., 5 Adi Sulistiyono, 2006. Op.,cit., hlm., 65.
user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tersebut memuat independency judiciary dalam arti luas karena meliputi halhal sebagai berikut90 : 1. Pengadilan memiliki yurisdiksi yang tidak terbatas terhadap seluruh isu-isu yang menyangkut peradilan dan haras memiliki wewenang untuk menetapkan apakah isu-isu yang dihadapkan dalam lingkup wewenangnya sebagai diperintahkan oleh undang-undang 2. Pengadilan harus menjamin bahwa proses peradilan dilaksanakan secara jujur dan hak-hak para pihak yang berperkara dihormati dan dilindungi 3. Perlindungan dan hak asasi hakim dalam melaksanakan tugasnya terutama dalam menghadapi setiap tuduhan-tuduhan dalam rangka melaksanakan tugasnya 4. Persoalan recruitment, seleksi, mutasi, pelatihan dan promosi 5. Penegakkan disiplin hakim dan penggajian. Kebebasan hakim atau kekuasaan kehakiman dalam rangka memeriksa dan memutus perkara/sengketa memang sangat dibutuhkan, hal tersebut dimaksud untuk mewujudkan atau terciptanya peradilan yang adil, obyektif dan tidak memihak. Di samping adanya ketentuan yang secara normatif yang memberikan kebebasan hakim, namun untuk mewujudkan peradilan yang adil, obyektif dan tidak memihak hal tersebut kiranya belum cukup untuk mewujudkan tujuan tersebut. Hakim sendiri harus mempunyai keberanian nurani, jujur, berpandangan luas atau mempunyai kemampuan (ability), keimanan yang teguh dan kuat. Penerapan undang-undang oleh hakim dalam proses peradilan telah mengalami perkembangan sejak jaman kuno (klasik), sehingga melahirkan ajaran/faham/teori tentang praktik hukum di pengadilan. Pada jaman Yunani kuno (jaman klasik), Aristoteles telah mempersepsi/meramalkan munculnya kesulitan-kesulitan dalam menerapkan kaedah-kaedah hukum pada perkaraperkara konkret, maka untuk bertindak adil seorang hakim harus menyelami sungguh-sungguh perkara-perkara konkret, seolah-olah ia melihat sendiri, selanjutnya hakim harus menggunakan "Epikeia" , yaitu harus mempunyai rasa tenang apa yang adil, apa yang tidak adil, dalam hal ini adalah yang pantas. Dalam hukum Romawi dikenal dengan sebutan "lex dura, tametsi sunt commit to user 90
Romli Atmasasmita, dalam Adi Sulistiyono, 2006, Op., cit., hlm., 65-66.
perpustakaan.uns.ac.id
43 digilib.uns.ac.id
scripta" (peraturan memang kejam, akan tetapi itulah yang tertulis dan dianggap berlaku), dan "Summun ius, summa iniuria" (hukum yang paling sesuai dengan peraturan, paling tidak adil). Menurut Thomas Aquinas, "epikeia" bukanlah hukum melainkan tafsiran hukum yang bijaksana tentang perkara-perkara hukum91 Pada abad ke sembilan belas (ke-19) munculah pandangan legisme atau legalitas yang menganggap bahwa hukum adalah undang-undang. Undang-undang dianggap keramat, sebagai peraturan yang dikukuhkan Alloh sendiri atau sebagai sistem logis yang berlaku bagi semua perkara karena bersifat rasional yang disebut teori rasionalitas atau teori ideenjurisprudenz92 Perkembangan selanjutnya, muncul teori ajaran hukum bebas (Frei Rechtslehre atau Free Law Theory) yang merupakan antitese terhadap teori "ideenjurisprudenz" . Ajaran ini merupakan suatu ajaran sosiologis radika, yang dikemukakan oleh mazhab realisme hukum Amerika. Akhirnya muncul idealisme yuridis baru atau new legal idealism 93. Pada hakikatnya kemandirian kekuasaan kehakiman atau independensi peradilan itu bermaksud untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan oleh badan negara. Sebagaimana dikemukakan oleh Frans Magnis Suseno94, dengan adanya kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman dari cabang kekuasaan negara lainnya, maka diharapkan bahwa badan yudikatif dapat melakukan kontrol segi hukum terhadap kekuasaan negara di samping untuk mencegah dan mengurangi kecenderungan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan. Tidak adanya kemandirian kekuasaan kehakiman, terutama dari pengaruh kekuasaan pemerintah akan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian hak asasi manusia oleh penguasa karena kekuasaan kehakiman yang secara konstitusional memiliki
91
Theo Huijbers, dalam Prasetyo Hadi Purwandoko, Majalah FH UNS Yustisia, Nomor 35 Tahun X Maret-Mei 1996, hlm., 39. 92 Pospisil, dalam Prasetyo Hadi Purwandoko, Ibid., hlm., 40. 93 M. Friedman, dalam Prasetyo Hadi Purwandoko, Ibid., hlm., 40. 94 commit to user Moral Dasar Kenegaraan Modern, Frans Magnis Suseno, 1991, Etika Politik: Prinsip-prinsip Jakarta: Gramedia, hlm., 298.
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
wewenang untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan pemerintah sulk menjalankan fungsi tersebut. Antonius Sudirman, mengemukakan bahwa pada jaman orde lama (orla) setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 - 11 Maret 1966, pemerintah telah mengeluarkan dua undang-undang organik sebagai peleksanaan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 (sebelum diamandemen). Kedua undang-undang tersebut adalah Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung.
Kedua
undang-undang
tersebut
tidak
memberikan
jaminan
kemandirian hakim, sebaliknya justra secara eksplisit mengibiri kebebasan hakim. Hal tersebut tercermin dalam ketentuan Pasal 19 Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964, yaitu demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa, atau kepentingan masyarakat mendesak, presiden dapat turun atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan95 Dalam penjelesannya ditegaskan : Pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat undang-undang. Sandaran yang utama bagi pengadilan sebagai alat revolusi adalah Pancasila dan manipol/usdek. Segala sesuatu yang merupakan persoalan hukum berbentuk perkara-perkara yang diajukan, wajib diputus dengan sandaran itu dengan mengingat fungsi hukum sebagai pengayoman. Adakalanya bahwa presiden/pemimpin besar revolusi harus dapat turun atau campur tangan, baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana. Hal ini disebabkan karena adanya kepentingan-kepentingan negara dan bangsa yang lebih besar. Tidak diadilinya seseorang atau cara-cara maupun susunan pengadilannya mungkin dapat ditentukan oleh presiden dalam hal itu, keadaan ini adalah keadaan perkecualian yang istimewa. Syaratnya adalah apabila kehormatan negara dan bangsa yang sangat mendesak, memerlukan turun atau campur tangan Presiden. Memang jalan biasa dapat ditempuh, Presiden dapat menanti hingga perkara selesai diadili dan diputuskan dan baru kemudian memberi commit to user 95
Antonius Sudirman, Op., cit., hlm., 82.
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
grasi, tetapi mungkin jalan ini terlalu panjang dan lama. Itulah sebabnya bahwa dalam keadaan yang sangat mendesak, presiden/pemimpin besar revolusi diberi wewenang turun atau campur tangan. Pemerintahan
Orde
Baru
ditandai
dengan
runtuhnya
rezim
pemerintahan Orde Lama di bawah kepemimpinan Soekarno. Pemerintahan Orde Baru lahir 11 Maret 1966. Isu sentral yang digelindingkan atau dikemukakan oleh pemerintahan Orde Baru, yaitu perlu terciptanya kehidupan kenegaraan yang konstitusional. Dalam rangka itu, pemerintah melakukan koreksi total terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Lama yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Salah satu langkah yang ditempuh pemerintah orde baru pada waktu itu adalah pencabutan terhadap semua peraturan perundang-undangan yang inkonstitusional, termasuk Undangundang Nomor 19 Tahun 1964 dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965. Sebagai tindak lanjut, pemerintah menetapkan beberapa peraturan perundangundangan baru yang dirasakan dapat menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman, seperti96: 1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999, kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, diubah dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004. 3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, kemudian diubah dengan Nomor 8 Tahun 2004, dan diubah lagi dengan Undangundang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum. 4. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama,
commit to user Antonius Sudirman, Op., cit., hlm., 85. Bandingkan dengan Abdullah, 2008, Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan, hlm., 5-8. 96
perpustakaan.uns.ac.id
46 digilib.uns.ac.id
kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama 5. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. 6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan diubah dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disingkat PTUN). Dalam beberapa pasal dari undang-undang tersebut mencantumkan tentang kebebasan kekuasaan kehakiman, antara Pasal 14 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Pasal 1, Pasal 3 ayat (3) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 dan Pasal 2 Undangundang Nomor 14 Tahun 1985. Dalam hal ini tidak semua isi pasal yang mengatur tentang kebebasan kekuasaan kehakiman tidak disebutkan, sebagai gambaran hanya disebutkan sebagian saja, seperti Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, Kekuasan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Penjelasan Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, Kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam ketentuan perundang-undangan tersebut memiliki pengertian sebagai kekuasan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 2 Undangundang Nomor 4 Tahun 2004, Penyelenggaraan kekuasan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan sebuah Mahkamah Konstitusi Dalam rangka usaha untuk memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum telah commit to user dilakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970,
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Di dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 inilah mulai diletakkan suatu kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial maupun mengenai urusan organisasi administrasi dan finansial akan dialihkan di bawah satu atap, yaitu di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Dengan peletakkan kebijakan itu diharapkan tidak ada lagi dualisme pengaturan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang ditangani dua lembaga, yaitu eksekutif dan yudikatif. Keadaan yang demikian sering mendapat sorotan buruk dari masyarakat, sehingga muncul penyebutan sebagai "kepala dan perut hakim" yang menggambarkan seorang hakim itu memiliki dua pembina. Hal yang menyangkut teknis yudisial atau kepala hakim di bawah pembinaan Mahkamah Agung, sedangkan yang menyangkut urusan kepangkatan gaji dan sebagainya atau perut hakim di bawah pembinaan Departemen Kehakiman dan HAM. Kebijakan satu atap ini menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999,
harus
sudah
dilaksanakan
paling
lambat
lima
tahun
sejak
diundangkannya undang-undang tersebut (Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999). Dengan telah diundangkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, pada tanggal 15 Januari 2004, sebagai perubahan atas Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999, maka realisasi dari kekuasaan kehakiman diatur dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 46 Undangundang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman97. Reformasi memandang, independensi kekuasaan kehakiman sebagai salah satu obyek yang sangat mendasar yang perlu dipulihkan atau ditegakkan kembali. Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu pilar untuk memulihkan demokrasi dan negara berdasarkan hukum. Secara konseptual hal tersebut akan tercapai dengan cara melepaskan keikutsertaan pemerintah mengelola unsur-unsur keorganisasian, administrasi dan finansial kekuasaan kehakiman. Segala wewenang mengelola urusan keorganisasian, commitKekuasan to user Kehakiman di bawah Satu Atap Edi Herdyanto, "Kebijakan Penyelenggaraan Makamah Agung", Yustisia, Edisi 68 Tahun XVII, Januari-Maret 2005, hlm. 13-14. 97
perpustakaan.uns.ac.id
48 digilib.uns.ac.id
administrasi dan finansial hendaknya disatukan dan dimasukkan menjadi wewenang Mahkamah Agung (pengadilan). Hal ini kemudian dikenal sebagai politik atau kebijakan satu atap (one roof system) . Didahului oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap. MPR. Nomor X Tahun 1998), kebijakan satu atap kemudian diatur dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang perubahan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 (Undangundang Nomor 14 Tahun 1970 dan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999, telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Segala kebijakan mengenai satu atap diatur dalam Undangundang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman)98 Kecenderungan membebaskan pemerintah dari wewenang mengelola urusan administrasi kekuasaan kehakiman didapati juga di negara lain, seperti Thailand dan Negeri Belanda. Di Negeri Belanda, pelaksanaannya tidak dilakukan dengan memindahkan wewenang tersebut ke pengadilan, melainkan dibentuk sebuah badan khusus yang dinamakan "road voor de rechtspraak", yaitu badan semacam komisi yudisial di Indonesia. Komisi yudisial di Belanda adalah sebuah badan independen yang bertanggungjawab atas aspekaspek administrasi, keuangan dan organisasi pengadilan termasuk menilai kerja hakim (yang akan terkait dengan hak-hak keuangan dan lain-lain). Untuk sementara, komisi ini hanya mengelola urusan keorganisasian, administrasi dan keuangan pengadilan tingkat pertama dan banding, Mahkamah Agung (Hoogerraad) tetap mengelola sendiri hal-hal yang berkaitan dengan organisasi, administrasi, dan keuangannya. Sistem Belanda ini dikembangkan dengan dua tujuan : Pertama, melepaskan hubungan keorganisasian, administrasi dan keuangan pengadilan dengan pemerintah. Kedua, pengalihan itu tidak boleh memberati pengadilan di luar urusan-urusan atau fungsi peradilan (fungsi yudisial)99 Dalam suatu tatanan negara yang demokratik dan menjunjung tinggi prinsip rule of law, keikutsetaan pemerintah mengelola urusan-urusan 98
Bagir Manan, 2005, Sistim Peradilan Berwibawa (suatu pencarian), Yogyakarta: FH. UII. commit to user Press, hlm., 124. 99 Bagir Manan, 2005, Ibid, hlm., 126.
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
administratif kekuasaan kehakiman, tidak banyak bahkan tidak ada pengaruh terhadap pelaksanaan fungsi yudisial (baik terhadap hakim maupun terhadap kekuasaan kehakiman pada ummnnya). Kalaupun ada pengaruh, adalah pengaruh tidak langsung dan kadang-kadang lebih bersifat psikologis100. Lebih lanjut, Bagir Manan mengatakan, baik berdasarkan pola pikir reformasi maupun yang perilaku secara umum, betapa erat hubungan antara demokrasi dan negara berdasarkan atas hukum dengan kebebasan hakim atau kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Hubungan itu tidak boleh hanya "one side", yaitu kekuasaan kehakiman yang merdeka, hakim yang bebas merupakan pilar demokrasi dan negara berdasar atas hukum, perlu kesadaran yang sebaliknya. Kekuasaan kehakiman yang merdeka, hakim yang bebas hanya akan ada dan terjamin dalam negara yang menjalankan demokrasi dan berdasarkan atas hukum. Jadi, ada hubungan timbal balik antara kekuasaan kehakiman yang merdeka, hakim yang bebas dengan demokrasi dan negara berdasarkan atas hukum, yang satu merupakan fungsi yang lain, bahkan dapat dikatakan sebagai two side of one coin101. Kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap sengketa yang diperiksanya di muka sidang, yaitu sesuai dengan perintah undang-undang yang mewajibkan kepada hakim sebagai penegak hukum dan keadilan untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Perintah yang wajib dilaksanakan hakim yang lain adalah tidak boleh untuk nenolak suatu perkara yang diajukan ke muka pengadilan dengan alasan hukum kurang atau tidak jelas, melainkan hakim wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Berkaitan dengan kebebasan yang diberikan pada hakim dalam pelaksanaan tugasnya, bukan berarti hakim bebas sama sekali tanpa kendali, hal tersebut sesuai dengan konsep negara hukum yang memberikan batasan terhadap semua tindakan atau perilaku warga negaranya, termasuk hakim dalam menjalankan tugasnya. Kebebasan yang sangat luas diberikan kepada hakim dalam penemuan hukum adalah sesuai 100 101
Bagir Manan, 2005, Ibid, hlm., 126 Bagir Manan, 2005, Ibid., hlm., 127.
commit to user
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan
aliran
interssenjurisprudence
(freirechtsschule).
Aliran
ini
memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada hakim untuk melakukan penemuan hukum, dan aliran tersebut menganggap undang-undang tidak lengkap, undang-undang bukan satu-satunya diperbolehkan
menyimpang
dari
sumber hukum.
undang-undang
demi
hakim
kemanfaatan
masyarakat, untuk mencapai keadilan yang setinggi-tingginya dan hakim mempunyai freis ermessen. Kebebasan yang seluas-luasnya sangat membahayakan ketertiban dan kedamaian dalam masyarakat, karena putusan hakim jika sudah mempunyai kekuatan hukum tetap harus dilaksanakan, walaupun mungkin putusan hakim tersebut salah. Sehubungan dengan tersebut, perlu adanya pembatasan kekuasaan kehakiman, agar hakim tidak menyalahgunakan kekuasaannya dan perbuatan sewenang-wenang. Bagir Manan, mengemukakan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang tersebut, maka harus diciptakan batasan-batasan tanpa mengorbankan prinsip kebebasan sebagai hakikat kekuasaan kehakiman, dan pembatasan tersebut berlaku dalam bentuk-bentuk sebagai berikut102 : 1. Hakim hanya memutus berdasarkan hukum Setiap putusan hakim harus dapat menunjukkan secara tegas ketentuan hukum yang diterapkan dalam suatu perkara konkrit. Hal ini sejalan dengan asas legalitas bahwa suatu tindakan haruslah berdasarkan aturan hukum. Asas yang menuntut suatu kepastian hukum bahwa seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan suatu perbuatan yang didakwakan kepadanya, memang telah ada sebelumnya suatu ketentuan perundang-undangan yang mengatur perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang dilarang dilakukan orang, sehingga segala putusan hakim selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau menjadi sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. commit to user Bagir Manan, 1995, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Bandung : Pusat Penerbitan Universitas, LPPM UNISBA, hlm., 12 102
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Hakim memutus semata-mata untuk keadilan. Untuk
mewujudkan
keadilan,
hakim
dimungkinkan
untuk
menafsirkan, melakukan konstruksi hukum, bahkan tidak menerapkan atau mengesampingkan suatu ketentuan yang berlaku. Dalam hal hakim tidak dapat menerapkan hukum yang berlaku, maka hakim wajib menemukan hukum demi terwujudnya suatu putusan yang adil, karena penafsiran, konstruksi, tidak menerapkan hukum atau menemukan hukum tersebut semata-mata untuk mewujudkan keadilan, tidak dapat dilaksanakan secara sewenang-wenang103. Undang-undang telah menggariskan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, memahami, mengikuti nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat. Masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis dan berada dalam masa pergolakan dan peralihan, hakim merupakan pemutus dan penggali nilainilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu, hakim harus turun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Dengan demikian, hakim dapat memberi putusan yang sesuai dngan hukum dan rasa keadilan104 3. Dalam melakukan penafsiran, konstruksi hukum, hakim harus tetap berpegang teguh pada asas-asas umum hukum (general princile of law) dan asas keadilan umum (the general principle of natural justice).
2. Putusan Pengadilan. Putusan pengadilan merupakan hal penting yang ditunggu-tunggu oleh pihak-pihak yang bersengketa di muka pengadilan, namun sebelum hakim menjatuhkan putusan, hakim harus membuktikan lebih dahulu benar tidaknya sengketa yang diperiksanya tersebut berdasarkan alat bukti dan keyakinan hakim. Suatu hal yang menjadi ciri atau kekhususan dalam Peradilan Tata
103
Bagir Manan, dalam Pontang Moerad, 2005, Pembentukan Hukum Melalui Putsan Pengadilan commit to user dalam Perkara Pidana, Bandung : Alumni, hlm., 104 104 Pontang Moerad, Ibid., hlm., 105.
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Usaha Negara (disingkat PTUN) adalah sebelum pokok perkara tersebut diperiksa oleh hakim di muka sidang, maka ada beberapa tahap yang harus dilewati
oleh
pihak
penggugat,
yaitu
proses
dismisal
atau
rapat
permusyawaratan dan pemeriksaan persiapan. Tahap pertama, sebagai tahap pemeriksaan administrasi oleh panitera, yaitu pemeriksaan kesesuaian dengan bentuk (form) dan isi gugatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 56 Undang-undang
Nomor
51
Tahun
2009
tentang
PTUN.
Rapat
pemusyawaratan merupakan prosedur dismisal, yaitu rapat untuk memutuskan apakaha gugatan yang diajukan oleh penggugat diterima atau tidak. Di samping rapat permusyawaratan, maka kekhususan dalam acara PTUN adalah acara pemeriksaan pemeriksaan, yaitu bertujuan untuk melengkapi gugatan yang masih kurang. Hakim dalam hal ini berperan aktif, yaitu diwajibkan untuk memberikan nasihat kepada penggugat agar gugatan dilengkapi dan diperbaiki. Setelah gugatan dilengkapi dan diperbaiki sesuai dengan syaratsyarat yang ditentukan, antara lain bentuk dan isi, maka gugatan diperiksa dengan acara biasa. Pemeriksaan sengketa di muka sidang pengadilan oleh hakim PTUN, dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum dan setelah acara pemeriksaan sengketa selesai, dan kedua belah pihak telah diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya yang berupa kesimpulan, serta tidak ada hal-hal yang dikemukakan lagi, maka hakim setelah mengadakan musyawarah dapat menjatuhkan putusan. Sudikno Mertokusumo, mengemukakan putusan merupakan suatu pernyataan hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk menyelesaikan suatu perkara antara para pihak105. Produk pengadilan untuk menyelesaikan perkara dibedakan menjadi dua, yaitu putusan dan penetapan. Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius). Permohonan adalah pernyataan hakim yang to user Sudikno mertokusumo, 1993, Hukumcommit Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, hlm., 167 105
perpustakaan.uns.ac.id
53 digilib.uns.ac.id
dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair)106. Persidangan dan putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari asas fair trial107. Dalam hal sidang tidak dilaksanakan secara terbuka untuk umum, maka mengakibatkan putusan putusan pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Adapun tujuan sidang terbuka untuk umum agar masyarakat luas dapat mengetahui dengan pasti permasalahan yang sebenarnya, hakim tidak menyalahgunakan kewenangan yang diberikan padanya. Abdullah mengemukakan bahwa prinsip sidang terbuka untuk umum dimaksudkan untuk menjamin obyektivitas proses persidangan, menciptakan suasana kondusif bagi semua pihak, menunjukkan tindakan yang tidak diskriminatif, mempublikasikan proses persidangan sampai dengan proses persidangan secara langsung, memberikan perhatian kepada hakim agar lebih berhati-hati dalam menyidangkan perkara dan tidak melakukan kesalahan-kesalahan dan mencegah saksi untuk mengucapkan sumpah palsu karena sumpahnya didengar orang lain atau masyarakat108. Putusan hakim merupakan mahkota bagi hakim, karena di dalam putusan tersebut terdapat pertimbangan hukum dari putusan yang dijatuhkan hakim. Pertimbangan hukum dalam putusan hakim sangat penting, karena di dalam pertimbangan tersebut terdapat penalaran hukum yang yang berisi argumentasi hakim tentang alasan-alasan yang digunakan hakim sampai pada pengambilan putusan. Keberanian hakim untuk melakukan penafsiran atau konstruksi hukum terhadap ketentuan perundang-undangan dituangkan dalam pertimbangan hukum dengan maksud agar undang-undang dapat ditrapkan pada peristiwanya. Semua pemikiran hakim dituangkan dalam pertimbangan hukum sebagai upaya atau wujud untuk menguji keabsahan Keputusan Tata 106
Mukti Arto, 1996, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hlm., 245. 107 commit to user M. Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, hlm., 33. 108 Abdullah, Op., cit., hlm., 49.
perpustakaan.uns.ac.id
54 digilib.uns.ac.id
Usaha Negara (disingkat KTUN) yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik atau tidak. Peter Mahmud Marzuki109, mengemukakan di dalam hukum Indonesia yang menganut civil law system, ratio decidendi tersebut dapat dilihat pada konsiderans “menimbang” pada “pokok perkara”. Tidak dapat disangkal bahwa hakim tindakan hakim untuk memberikan alasan-alasan yang mengarah pada putusan merupakan tindakan yang kreatif. Ratio tersebut bukan tidak mungkin merupakan pilihan dari berbagai kemungkinan yang ada. Ratio dapat diketemukan dengan memperhatikan fakta materiil dan putusan yang didasarkan atas fakta itu. Fakta materiil menjadi rujukan, karena para pihak berpangkal dari fakta materiil itulah dalam membangun argumentasi guna meneguhkan posisi masing-masing. Di dalam sistem civil law, dalam mengajukan argumentasi sekaligus disertai ketentuan-ketentuan yang menlandasi argumentasi masing-masing pihak. Dengan perkataan lain, para pihak akan mencari ketentuan-ketentuan hukum yang menguatkan posisi masing-masing untuk fakta materiil itu. Dalam hal ini, hakim akan menilai masing-masing argumentasi dan ketentuan-ketentuan hukum yang menopang argumentasi tersebut. Selanjutnya dikemukakan bahwa kegunaan pendekatan kasus bukan saja karena ratio decidendi –nya adalah penafsiran atau penghalusan hukum, melainkan juga dalam hal undang-undang tidak mengaturnya. Ratio decidendi atau reasoning adalah pertimbangan hukum alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai pada putusannya. Menurut Goodheart110, ratio decidendi dapat diketemukan dengan memperhatikan fakta materiil. Fakta-fakta materiil tersebut berupa orang, tempat, waktu dan segala hal yang menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya. Perlunya fakta materiil tersebut diperhatikan, karena baik hakim maupun para pihak akan mencari aturan hukum yang tepat untuk dapat diterapkan pada fakta tersebut. Dalam kaitannya dengan pentingnya penalaran hukum dalam pertimbangan hukum, Abdullah mengemukakan esensi penalaran hukum dalam pertimbangan hukum putusan merupakan alat untuk menyusun argumen-argumen yang dapat membimbing pencari keadilan untuk memahami logika pemikiran dan pendapat hakim dalam memutus perkara. Dengan 109 110
commit to user Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana, hlm., 119. Goodheart, dalam Peter Mahmud Marzuki, Ibid., hlm., 119.
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menerapkan penalaran hukum, maka suatu pertimbangan hukum putusan dapat diketahui alur pikir yang dibangun oleh hakim, konstruksi yuridis baik berupa penafsiran maupun argumentasi sebagai dasar dan menuntun kearah amar putusan111 Dengan penalaran yang sistematis dan benar, maka suatu pertimbangan hukum putusan dapat diketahui logika berpikir yang digunakan hakim untuk membuktikan sah atau tidaknya KTUN yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN atau bertentangan atau tidak KTUN dengan peraturan perundang-undang yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yang disengketakan di muka sidang PTUN. Esensi pertimbangan hukum putusan merupakan pertanggungjawaban hakim terhadap putusannya. Secara substansial pertimbangan hukum putusan memuat berbagai pengujian dan penilaian, berbagai alat bukti dengan peraturan perundang-undangan serta mendasarkan pada berbagai teori hukum, teori kebenaran dan teori keadilan. Perbedaan pendapat atau dissenting opinion yang termuat dalam putusan merupakan pertanggungjawaban secara pribadi
kepada
masyarakat
pencari
keadilan.
Secara
normatif
pertanggungjawaban hakim terhadap putusannya dilakukan secara langsung dalam persidangan yang terbuka untuk umum kepada masyarakat112. Di samping dalam pertimbangan hukum putusan hakim dipertanggungjawabkan kepada pencari keadilan, sebenarnya pertanggungjawaban yang lebih berat dari putusan hakim adalah kepada Tuhan Y.M.E. Hal tersebut dapat dilihat dalam kepala putusan yang mencantumkan kalimat : Demi keadilan berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa. Putusan
pengadilan
merupakan
keseluruhan
rangkaian
proses
pemeriksaan persidangan sampai pada sikap hakim untuk mengakiri perkara yang disidangkan. Putusan pengadilan tidak dapat dipahami hanya dengan membaca amar putusan, melainkan harus secara keseluruhan. Semua yang terurai dalam putusan merupakan satu kesatuan dan saling terkait serta tidak dapat dipisahkan. Formalitas putusan terdiri dari empat bagian, kepala 111 112
Abdullah, Op., cit., hlm., xiii. Ibid., hlm., xiv.
commit to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
putusan, identitas para pihak, pertimbangan hukum (konsiderans) dan amar putusan113. Selanjutnya dikemukakan bahwa pertimbangan hukum dibedakan menjadi dua bagian, yaitu bagian yang memuat pertimbangan tentang duduk perkara atau peristiwa dan bagian perimbangan tentang hukumnya. Pertimbangan duduk perkara atau peristiwanya memuat fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan. Esensi pertimbangan tentang fakta, yaitu menguraikan hasil pembuktian, sehingga diperoleh petunjuk dan membimbing pada pembentukan keyakinan hakim. Pertimbangan hukum memuat alasanalasan atau argumentasi hukum dan penalaran hukum yang dilakukan oleh hakim. Penalaran hukum (legal reasoning) digunakan dalam dua arti, pertama dalam arti luas, legal reasoning bekaitan dengan proses psikologi yang dilakukan
hakim
untuk
sampai
pada
putusan
kasus/sengketa
yang
dihadapinya. Legal reasoning dalam arti sempit berkaitan dengan argumentasi yang melandasi suatu putusan114. Legal reasoning dalam arti sempit menyangkut kajian logika suatu putusan, jadi berkaitan dengan jenis argumentasi, hubungan antara reason atau pertimbangan, alasan dan putusan, serta ketepatan alasan atau pertimbangan yang mendukung putusan 115. Secara teoritis pertimbangan hukum mempunyai nilai obyektif, dan subyektivitas atau keberpihakan.
Subyektivitas
diartikan
keberpihakan
pada
nilai-nilai
kebenaran, kejujuran dan keadilan sesuai dengan peraturan perundangundangan, bukan berpihak pada yang berperkara. Faktor lain yang mempengaruhi kualitas pertimbangan hukum putusan, yaitu kualitas keahlian hakim dalam menangani perkara sebelumnya116. Johnny Ibrahim mengemukakan bahwa stadi tentang penalaran hukum pada dasarnya mempelajari pertanggungjawaban ilmiah dari segi ilmu hukum terhadap proses pembuatan suatu keputusan hukum (judicial decision making)
113
Sudikno Mertokusumo, 1993, Op., cit., hlm., 168. Philipus M Hadjon, dan Tatiek Sri Djatniati, Argumentasi Hukum, Yogyakarta : Gadjah Mada Press, hlm., 19. dalam Abdullah, hlm., 12 115 commitIbid., to user Philipus M Hadjon, dan Tatiek Sri Djatniati, hlm., 19. 116 Abdullah, Op., cit., hlm., 13. 114
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang meliputi argumentasi dan alasan-alasan logis sebagai alasan pembenaran (justifications) terhadap keputusan hukum yang dibuat. Hal ini tentu melibatkan penjelasan hubungan antara alasan-alasan yang dikemukakan dan keputusan yang dibuat terkait dengan pertimbangan hakim untuk mendukung keputusan yang dibuatnya. Untuk itu diperlukan logika hukum yang mengontrol proses pembenaran (proces of justification) setiap keputusan hukum. sebuah keputusan yang tepat adalah keputusan yang menggunakan logika dan argumentasi hukum yang tepat dan disandarkan pada bahan-bahan hukum yang otoritatif (authoritative sources of the law)117. Dengan kata lain penalaran hukum menjadi batu uji kritis dari segi ilimu hukum untuk mengkaji semua kegiatan yuridis dan produk yang dihasilkan para pengemban hukum. Oliver Wendell Holmes, seorang hakim dan salah satu peletak dasar aliran American Realism, mengemukakan bahwa ia tidak mengesampingkan logika hukum dalam memutus satu perkara, namun ia melihat hubungan antara logika dan pertimbangan hakim dalam apa yang disebut sebagai „inarticulate‟ dalam menginterprestasikan aturan hukum terhadap permasalahan hukum yang konkret. Pada akhirnya, suatu keputusan hukum tetap akan disandarkan pada hukum
logika,
sehingga
pemahaman
terhadap
logika
hukum
akan
menghasilkan suatu argumentasi intelektual. Hal itu merupakan bagian dari upaya intelektual yang menghasilkan keputusan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah118. Penalaran hukum dalam perimbangan hukum sangat penting agar putusan yang dijatuhkan hakim mempunyai nilai kualitas ilmiah yang berbobot. Menurut Djokosoetono, putusan hakim yang baik harus dapat memenuhi dua persyaratan, yaitu kebutuhan teoritis dan praktis119. Kebutuhan teoritis menilik kepada isi beserta pertimbangannya. Putusan tersebut dapat dipertanggungjawabkan dari segi ilmu hukum atau harus juridisch en 117
Martin P. Golding, 1984, Legal Reasoning, New York : Altred A. Knopf, hlm., 4, dalam Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang : Bayumedia Publishing., hlm., 240. 118 Johhny Ibrahim, Ibid., hlm., 242 119 commit to 1994, user Tugas Hakim Indonesia, Jakarta : Bina Djokosoetono, dalam Purwoto S. Gandasubrata, Yustisia Litbang MARI, hlm., 17.
perpustakaan.uns.ac.id
58 digilib.uns.ac.id
filosofisch verantwoord. Kebutuhan praktis dengan putusan diharapkan dapat menyelesaikan sengketa hukum yang ada dan dapat diterima para pihak, maupun masyarakat karena dirasakan adil, benar dan berdasarkan hukum atau dapat diterima secara sosiologis. Putusan pengadilan mengandung hal-hal yang prinsipal, yaitu mendasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik hukum formil maupun material, mengandung nilai moral, memberikan rasa adil serta dapat dilaksanakan atau eksekusi demi kepastian hukum120. Berkaitan dengan putusan hakim, maka menarik untuk dikemukakan pendapat Ahmad Rifai, dalam menjatuhkan putusan tersebut, hakim harus memperhatikan dan mengusahakan semaksimal mungkin agar jangan sampai putusan tersebut memungkinkan timbulnya perkara baru (sedapat mungkin para pihak dalam perkara tidak mengajukan banding atau upaya hukum lainnya). Selain itu, hakim dalam setiap perkara yang diajukan kepadanya harus membantu justitiabelen dengan berusaha melaksanakan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, sehingga akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada pengadilan, yang berakibat semakin berwibawanya lembaga peradilan121. Dikemukakan bahwa putusan hakim merupakan mahkota dan puncak dari suatu perkara yang sedang diperiksa oleh hakim tersebut. Oleh karena itu, tentu saja hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sedikit mungkin ketidakcematan, baik yang bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya. Jika hal-hal yang bersifat negatif tersebut dapat dihindari, tentu saja diharapkan dalam diri hakim hendaknya lahir, tumbuh dan berkembang adanya sikap atau sifat kepuasan moral, bilamana putusannya kemudian dapat menjadi tolok ukur untuk perkara yang sama atau menjadi bahan referensi bagi kalangan teoritisi maupun praktisi hukum serta kepuasan nurani sendiri, jika putusan yang dibuatnya dikuatkan 120
Abdullah, Op., cit., hlm., 24. commit to user Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta : Sinar Grafika, hlm., 52 121
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan tidak dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi 122. Selanjutnya dikemukakan kalau seorang hakim akan menjatuhkan putusan, maka ia akan selalu berusaha agar putusannya nanti sedapat mungkin dapat diterima masyarakat, setidak-tidaknya berusaha agar lingkungan orang yang terkena putusan dapat menerima putusannya. Hakim akan merasa lebih lega manakala putusannya dapat memberikan kepuasan pada semua pihak yang berperkara, dengan memberikan alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan yang sesuai dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Hakim memang harus ektra hati-hati sebelum putusan dijatuhkan, perlu adanya kematangan dalam berpikir, tidak mudah emosi, mempunyai wawasan yang luas, mempunyai kualitas atau kemampuan yang memadai terutama dalam kaitannya dengan pertimbangan hukum yang digunakan sebagai dasar untuk menjatuhkan putusannya. Putusan yang dijatuhkan sedapat mungkin memberikan rasa keadilan bagi semua pihak, kepastian hukum dan manfaat bagi yang berperkara, hal tersebut juga tidak mudah, karena hakim memperhatikan kepastian hukum, maka keadilan menjadi korbannya. Sudikno Mertokusumo berpendapat tidak jarang terjadi konflik antara ketiga nilai tersebut dalam putusan hakim. Dalam hal yang diutamakan salah satu faktor, maka faktor yang lain akan dikorbankan, misal faktor kepastian hukum yang diperhatikan, maka faktor keadilan yang dikorbankan. Dalam hal terjadi konflik tersebut, beliau lebih condong untuk memperhatikan nilai keadilan. Alasan beliau bahwa hakikat keadilan adalah penilaian trehadap suatu perlakuan atau tindakan dengan mengkajinya pada suatu norma yang menurut
pandangan
subyektif,
yaitu
subyektif
untuk
kepentingan
kelompoknya, golongannya dan sebagainya melebihi norma-norma lain123. Hakim dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa atau perkara di muka sidang pengadilan tidak dapat lepas atau luput dari pengaruh yang ada disekitarnya, karena hakim sebagai manusia selalu bergaul dan atau selalu berhubungan dengan manusia yang ada dengan lingkungan sekitarnya. 122 123
commit Lilik Mulyadi, dalam Ahmad Rifai, Ibid, hlm.,to 94.user Sudikno Mertokusumo, dalam W. Riawan Tjandra, Op., cit., hlm., 119.
60 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hal-hal yang berpengaruh tersebut dapat datang dari luar maupun dalam diri hakim sendiri. Indrijanto Seno Adji mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam menjatuhkan putusan : a. Raw in-put, yaitu faktor-faktor yang berhubungan dengan suku, agama, pendidikan informal dan sebagainya. b. Instrumental in-put, yaitu faktor yang berhubungan dengan pekerjaan dan pendidikan formal c. Environtment in-put, yaitu faktor lingkungan, sosial budaya yang mempunyai pengaruh dalam kehidupan seorang hakim, umpamanya lingkungan organisasi124. Yahya Harahap, mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi hakim dalam menjatuhkan putusannya, yaitu : Faktor subyektif, a. Sikap perilaku yang apriori Adanya sikap seorang hakim yang sejak semula sudah menganggap bahwa terdakwa yang diperiksa dan diadili adalah orang yang memang telah bersalah, sehingga harus dipidana. b. Sikap perilaku emosional Putusan pengadilan akan dipengaruhi perangai seorang hakim. Hakim yang mempunyai perangai mudah tersinggung akan berbeda dengan perangai seorang hakim yang tidak mudah tersinggung. Hakim yang mudah marah berbeda dengan putusan hakim yang sabar. c. Sikap arrogence power. Sikap lain yang mempengaruhi suatu putusan adalah kecongkaan kekuasaan. Hakim merasa dirinya berkuasa dan pintar, melebihi orang lain (jaksa, pembela apalagi terdakwa) d. Moral Amat berpengaruh adalah moral seorang hakim, karena bagaimanapun juga pribadi seorang hakim diliputi oleh tingkah laku yang didasari oleh moral pribadi hakim tersebut terlebih dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara. Faktor obyektif. 1. Latar belakang budaya Kebudayaan, agama, pendidikan seorang hakim tentu ikut mempengaruhi suatu putusan hakim, meskipun latar belakang hidup budaya tidak bersifat commit to user 124
Indrijanto Seno Adji, dalam Pontang Moerad, Op., cit., hlm., 114.
perpustakaan.uns.ac.id
61 digilib.uns.ac.id
determinis, faktor ini setidak-tidaknya ikut mempengaruhi hakim dalam mengambil suatu putusan. 2. Profesionalisme Kecerdasan dan profesionalis seorang hakim ikut mempengaruhi keputusannya. Perbedaan putusan pengadilan sering dipengaruhi oleh profesionalis hakim tersebut125. Sehubungan hal-hal tersebut, hakim dalam pemeriksaan sengketa sampai dengan pengambilan putusan harus tetap menjaga kenetralan antara para pihak atau hakim harus bertindak obyektif dan sedapat mungkin menghilangkan subyektifitas untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan pada suatu peristiwanya yang sedang diperiksanya. Hakim harus memperlakukan para pihak sama di depan sidang pengadilan, walaupun satu pihak dalam sengketa TUN adalah Badan atau Pejabat TUN. Sejauh mungkin hakim menjaga jangan melakukan perbuatan tercela dalam kaitannya dengan sengketa yang diperiksanya, karena perbuatan tersebut akan menjatuhkan martabat hakim dan menimbulkan ketidakpercayaan pencari keadilan atau masyarakat terhadap lembaga peradilan. Hakim harus dapat menunjukkan kemampuannya pada masyarakat bahwa sengketa yang diperiksanya ditangani sesuai dengan profesinalistasnya sebagai hakim. Nilai keadilan pada era perkembangan atau dinamika masyarakat sekarang nampak dituntut oleh masyarakat, walaupun undang-undangnya secara tegas telah mengaturnya. Tugas tersebut memang berat dan rasanya tidak mudah untuk dilaksanakan, karena hakim telah berjanji dan sesuai dengan keahliannya, maka hakim harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meningkatkan kualitas putusannya. Putusan hakim yang sifatnya untuk mengakhiri sengketa atau disebut dengan putusan akhir dibedakan menjadi : a. Kondemnatoir, yaitu putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk berbuat atau tidak berbuat, atau untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, untuk memenihi prestasi. Misal ada kewajiban
commit to user Yahya Harahap, 1989, Putusan Pengadilan Sebagai Upaya Penegakan Keadilan, Surabaya : Fakultas Hukum UNAIR, hlm., 8 125
perpustakaan.uns.ac.id
62 digilib.uns.ac.id
dari tergugat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, b, c Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN. b. Diklaratoir, yaitu putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai suatu keadaan yang resmi menurut hukum atau menegaskan suatu keadaan hukum yang sah. Misal penetapan dismisal dalam Pasal 62, gugatan diterima atau ditolak. c. Konstitutif, yaitu putusan yang bersifat menciptakan atau menimbulkan keadaan hukum baru yang berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya atau putusan yang melenyapkan atau menciptakan keadaan hukum baru. Misal tergugat dibebani kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 97 ayat (9) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN. Dalam sengketa TUN, maka pihak penggugat dapat minta kepada PTUN agar KTUN yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan / atau rehabilitasi. Penggunaan terminologi batal atau tidak sah tersebut dinilai kurang tepat, karena ada kesan menyamakan istilah batal dengan tidak sah. Istilah batal berdasarkan teori hukum administrasi negara merupakan salah satu konsekuensi hukum terhadap kondisi tidak sahnya suatu KTUN karena tidak memenuhi syarat-syarat sahnya KTUN baik berdasarkan peraturan perundangundangan maupun berdasarkan doktrin ilmu hukum administrasi negara. Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha mengatur pelaksanaan rumusan Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, yaitu dengan mengeluarkan Surat EdaranNomor 2 Tahun 1991, angka VII tentang Pembakuan Amar Putusan, merumuskan : sehubungan dengan maksud ketentuan Pasal 53 ayat (1) tentang petitum gugatan dan Pasal 97 tentang Putusan Pengadilan, maka untuk keseragaman bunyi amar putusan adalah sebagai berikut : 1. Mengabulkan gugatan penggugat 2. Menyatakan batal Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan yang dikeluarkan oleh (nama instansi atau nama Badan atau Pejabat Tata Usaha commit to user Negara, tanggal....., Nomor......perihal....) atau menyatakan tidak sah
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan yang dikeluarkan oleh (nama
instansi
atau
nama
Badan/Pejabat
Tata
Usaha
Negara,
tanggal.....Nomor......perihal....)126.
Selanjutnya dikemukakan bahwa dalam Juklak MARI Nomor 222/Td.TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993 pada angka VI. 2 Perihal Diktum Putusan pengadilan dinyatakan dalam diktum putusan harus dipilih antara terminologi dinyatakan batal atau dinyatakan tidak sah, sehingga tidak dibenarkan untuk memakai terminologi dinyatakan batal atau dinyatakan tidak sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986. Hal ini disebabkan kedua pengertian tersebut secara teoritis terdapat perbedaan yang prinsipiil. Hal tersebut kiranya dapat dipergunakan sebagai masukan berdasarkan praktik peradilan untuk menyempurnakan ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN untuk masa mendatang. Ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tersebut, ternyata mengundang perbedaan pendapat di antara para ahli, seperti Fachruddin yang mengikuti pendapat
Bagir
Manan,
memilih
menggunakan
terminologi
batal.
Argumentasi hukum yang dipergunakan adalah : Peraturan perundang-undangan atau perbuatan administrasi negara dipandang sebagai sesuatu yang sah sampai saat dinyatakan batal (dibatalkan). Istilah tidak sah digunakan dalam konteks putusan retroaktif atau bersifat ex tunc. Putusan yang menyatakan tidak sah suatu peraturan perundang-undangan atau perbuatan administrasi negara dianggap tidak pernah ada dan tidak pernah merupakan suatu tindakan administrasi yang sah. Putusan ini bersifat deklaratur, bukan konstitutif127. Suparto Wijojo (W. Riawan T, 2009 : 117),
justru memilih
menggunakan istilah atau terminologi dapat dibatalkan, bukan batal atau batal demi hukum. alasan yang ia kemukakan dengan memilih istilah dapat dibatalkan adalah apabila amar putusan berbunyi batal, maka terhadap KTUN 126 127
commit W. Riawan Tjandra, 2009, Op., cit., hlm., 116 to W. Riawan Tjandra, 2009, Op., cit., hlm., 117.
user
perpustakaan.uns.ac.id
64 digilib.uns.ac.id
yang dibatalkan itu pihak tergugat sebenarnya tidak perlu lagi dibebani kewajiban sebagaimana ditetapkan oleh Pasal 97 ayat (9) sub a dan b. Kewajiban termaksud baru berlaku bagi tergugat jikalau diktum putusan berbunyi tidak sah. Di lain pihak isi Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN yang menyangkut petitum gugatan belum mencakup apa yang ditetapkan Pasal 97 ayat (9) sub c, atas gugatan yang didasarkan pada Pasal 3, karena penerbitan KTUN itu harus diminta.
3.
Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Sengketa TUN 3.1. Pengertian Penemuan Hukum Sebagaimana dikemukakan bahwa undang-undang itu masih bersifat abstrak, tidak lengkap dan kurang jelas, bahkan dimungkinkan undangundang tersebut ketinggalan jaman atau tidak semua peristiwa, kehidupan, kegiatan dan kepentingan manusia diatur oleh hukum secara lengkap. Sehubungan dengan hal tersebut, sesuai dengan fungsi hukum sebagai perlindungan hukum terhadap kepentingan manusia, maka hukum yang kurang lengkap, kurang jelas perlu dijelaskan, perlu dilengkapi dengan jalan menemukan hukum oleh hakim terhadap peristiwa konkret melalui metode interpretasi atau penafsiran hukum dan konstruksi hukum, hermeneutika hukum. Hakim sesuai dengan tugasnya sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib mengupayakan penemuan hukum terhadap peristiwa tertentu yang belum diatur dalam undang-undang atau telah diatur dalam undang-undang, namun kurang jelas atau kabur, bahkan ketinggalan jaman. Beberapa pengertian penemuan hukum dikemukakan oleh para ahli, seperti : Sudikno Metokusumo, mengemukakan bahwa penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberikan tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkret. Hal ini merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit. Selanjutnya dikatakan, penemuan hukum commit user terutama dilakukan oleh hakim dalamtomemeriksa dan memutus suatu perkara.
perpustakaan.uns.ac.id
65 digilib.uns.ac.id
Penemuan hukum bukan semata-mata hanya penerapan peraturan-peraturan hukum terhadap peristiwa konkret, tetapi sekaligus juga penciptaan dan pembentukan hukum128. Dikemukakan, penemuan hukum terutama dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara atau sengketa. Penemuan hukum oleh hakim dianggap yang mempunyai wibawa. Ilmuwan hukumpun mengadakan penemuan hukum, hanya kalau penemuan hukum oleh hakim itu adalah hukum, maka hasil penemuan hukum oleh ilmuwan hukum bukanlah hukum, melainkan ilmu atau doktrin. Sekalipun yang dihasilkan itu bukanlah hukum, namun istilah yang digunakan juga penemuan hukum, oleh karena doktrinkalau diikuti dan diambil alih oleh hakim dalam putusannya, menjadi hukum. Doktrin bukanlah hukum, melainkan sumber hukum. N.E. Algra dan van Duyvendijk, penemuan hukum sebagai menemukan hukum untuk suatu kejadian konkrit, dalam konteks ini hakim atau seorang pemutus yuridis harus dapat memberi penyelesaian yuridis. Penemuan hukum sebagai kegiatan hakim untuk mempegunakan berbagai macam teknik penafsiran, dan cara menguraikan dengan mempergunakan berbagai macam alasan yang tidak terdapat di dalam aturan hukum yang ada pada kejadian yang disampaikan kepadanya. Ia juga tidak hanya membuat hukum untuk persoalan yang ada di depannya, tetapi juga untuk kejadian yang sama yang akan datang. Selanjutnya beliau kemukakan bahwa penemuan hukum berbeda dengan penerapan peraturan-peraturan yang telah ada pada fakta yang ada. Selalu terjadi bahwa suatu ketentuan harus ditemukan entah melalui interpretasi,analogi atau penghalusan hukum. jadi penemuan hukum terjadi karena penerapan ketentuan pada fakta dan ketentuan tersebut kadangkala harus dibentuk, karena tidak selalu ditemukan dalam undang-undang yang ada129. Muhammad Busyro Muqoddas, berpendapat bahwa penemuan hukum dalam hal dilakukan oleh hakim ada dua macam, pertama, penemuan hukum dalam arti penerapan suatu peraturan pada suatu peristiwa konkrit, untuk peristiwa tersebut telah tersedia peraturannya secara jelas. Hal ini menunjukkan suatu metode yang bersifat sederhana, dalama rti bahwa hakim hanya terbatas pada menerapkan suatu aturan hukum (undang-undang). 128
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Op., cit., hlm., 8 commit to user John Z. Loudoe, 1985, Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta, Jakarta : Bina Aksara, hlm., 69. 129
perpustakaan.uns.ac.id
66 digilib.uns.ac.id
Kedua, penemuan hukum dalam arti pembentukan hukum, di mana untuk suatu peristiwa konkret tidak tersedia peraturannya yang jelas atau lengkap untuk diterapkan. Dalam hal ini hakim tidak menemukan aturan hukumnya (undang-undangnya) yang sesuai dengan fakta atau peritiwa konkretnya, sehingga ia harus membentuknya melalui suatu metode tertentu130. Beberapa peristilahan yang sering dikaitkan dengan penemuan hukum131 : 1. Rechtsvorming, (pembentukan hukum), yaitu merumuskan peraturanperaturan yang berlaku secara umum bagi setiap orang. Lazimnya dilakukan oleh pembentuk undang-undang . hakim juga dimungkinkan sebagai pembentuk hukum (judge made law) kalau putusannya menjadi yurisprudensi tetap (vaste jurisprudence) yang diikuti oleh para hakim dan merupakan pedoman bagi kalangan hukum pada umumnya. 2. Rechtstoepassing (penerapan hukum), yaitu menerapkan peraturan hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwanya. Untuk itu peristiwa konkrit harus dijadikan peristiwa hukum lebih dahulu agar peraturan hukumnya dapat diterapkan. 3. Rechtshandeling (pelaksanaan hukum), dapat berarti menjalankan hukum baik ada sengketa atau pelanggaran maupun tanpa sengketa. 4. Rechtschepping (penciptaan hukum), berarti bahwa hukumnya sama sekali tidak ada, kemudian diciptakan, yaitu dari tidak ada menjadi ada. 5. Rechtsvinding (penemuan hukum atau law making- Inggris), dalam arti bahwa bukan hukumnya tidak ada, hukumnya sudah ada, tetapi masih perlu digali dan diketemukan. Hukum tidak selalu berupa kaidah (das sollen) baik tertulis atau tidak, tetapi dapat juga berupa perilaku atau peristiwa (das sein). Berdasarkan perilaku itu sebenarnya dapat diketemukan hukumnya (Pasal 5 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
130
Muhammad Busyro Muqoddas, 1995, Praktik Penemuan Hukum Oleh Hakim Mengenai Sengketa Perjanjian Jual-Beli Dengan Hak Membeli Kembali pada Pengadilan-pengadilan Negeri di DIY. Thesis pada Pascasarjana UGM Yogyakarta, hlm., 42. 131 commit to user Sudikno Mertokusumo, dalam Bambang Sutiyoso, 2006, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta : UII Press., hlm., 30-31.
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tentang Kekuasaan Kehakiman). Di dalam perilaku tersebut terdapat hukumnya, oleh karena itu istilah penemuan hukum dirasakan lebih tepat. Istilah (rechtsvinding) penemuan hukum dengan (rechtsvorming) pembentukan hukum dapat memunculkan polemik dalam penggunaannya, meskipun demikian keduanya mempunyai perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Istilah rechtsvinding dalam arti bahwa bukan hukumnya tidak ada, hukumnya sudah ada, namun masih perlu digali, dicari dan diketemukan. Istilah rechtsvorming, dalam arti hukumnya tidak ada, oleh karena itu perlu ada pembentukan hukum, sehingga di dalamnya terdapat penciptaan hukum juga. Penemuan hukum itu selalu berkonotasi hukumnya sudah ada, jadi hakim atau petugas hukum lainnya tinggal menerapkan dalam peristiwa konkrit. Pembentukan hukum berkonotasi hukumnya belum ada, sehingga hakim berkewajiban untuk membentuk hukum yang dibutuhkan masyarakat itu, supaya tidak terjadi kekosongan hukum (rechts vacuum). Penciptaan hukum berkonotasi hukumnya tidak ada atau sekalipun hukumnya sudah ada, tetapi tidak jelas atau kurang lengkap, sehingga hakim harus menciptakan hukum yang baru sebagai penyempurna dan/atau pengganti hukum yang sudah ada. Argumentasi dari ketiga perbuatan hukum tersebut adalah karena ada asas ius curia novit bahwa hakim tidak boleh menolak pekara yang diajukan ke pengadilan, karena hukumnya tidak ada atau kurang jelas (hakim dianggap tahu tentang hukumnya). Hakim dapat menggali, mengikuti dan memahami hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, dengan mengacu pada Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman132. N. E. Algra dan K. Van Duyvendijk, lebih setuju menggunakan istilah pembentukan hukum, namun beliau tetap menggunakan istilah penemuan hukum, karena istilah ini telah lazim digunakan oleh hakim, sedangkan istilah
commit to user 132
Bambang Sutiyoso, 2006, Op., cit., hlm., 31
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pembentukan hukum biasanya ditujukan bagi penciptaan hukum oleh pembuat undang-undang133. Jazim Hamidi, berpendapat bahwa berdasarkan adanya perbedaan pendapat tentang penemuan hukum, pembentukan hukum, penciptaan hukum dan penerapan hukum tersebut, dapat ditarik benang merahnya sebagai berikut: 1. Dalam praktik hukum di pengadilan, terdapat tiga istilah yang sering digunakan
oleh
hakim,
yaitu
penemuan
hukum,
pembentukan
hukum/penciptaan hukum dan penerapan hukum 2. Istilah penemuan hukum lebih sering digunakan oleh para hakim, dan pembentukan hukum digunakan oleh pembentuk undang-undang, namun dalam perkembangannya penggunaan istilah tersebut saling membaur antara keduanya. Kedua istilah tersebut sama-sama menujuk pada suatu kondisi belum terdapat peraturan umum yang mendasarinya atau sudah ada tetapi peraturannya itu kurang jelas, sehingga perlu pembentukan hukum/penciptaan hukum baru. Berbeda dengan penerapan hukum, bahwa peraturan hukumnya sudah ada dan hakim tinggal menerapkan pada peristiwa konkrit yang dihadapinya134. Penerapan undang-undang oleh hakim dalam proses peradilan telah mengalami perkembangan sejak jaman kuno (klasik), sehingga melahirkan ajaran/faham/teori tentang praktik hukum di pengadilan. Pada jaman Yunani kuno (jaman klasik), Aristoteles telah mempersepsi atau meramalkan munculnya kesulitan-kesulitan dalam menerapkan kaedah-kaedah hukum pada perkara-perkara konkrit, maka untuk bertindak adil seorang hakim harus menyelami sungguh-sungguh perkara-perkara konkrit, seolah-olah ia melihat sendiri. Selanjutnya hakim harus menggunakan “epikeia”, yaitu harus mempunyai rasa tenang apa yang adil, apa yang tidak adil dalam hal ini adalah yang pantas. Dalam hukum Romawi dikenal dengan sebutan “lex dura, tametsi sunt scripta” (peraturan memang kejam, akan tetapi itulah yang 133
N.E. Algra dan K. Van Duyvendijk, 1983, Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan J.C.T. commit Bandung to user : Bina Cipta, hlm., 368. Simorangkir dan Boerhanuddin Soetan Batoeah, 134 Jazim Hamidi, 1999, Op., cit., hlm., 87.
perpustakaan.uns.ac.id
69 digilib.uns.ac.id
tertulis dan dianggap berlaku), dan “summun ius, summa iniuria” (hukum yang paling sesuai dengan peraturan, paling tidak adik). Menurut Thomas Aquinas, “epikeia”, bukanlah hukum melainkan tafsiran hukum yang bijaksana tentang perkara-perkara hukum135.
3.2. Sejarah Penemuan Hukum. Sebagaimana diketahui bahwa sistem hukum di Indonesia berasal dari Belanda, sebagai negara yang pernah menjajah Indonesia selama kurang lebih 350 tahun. Sebagai negara penjajah, maka segala hal di dalam negara jajahannya diperlakukan sama, termasuk sistem hukum Belanda diterapkan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi. Ciri pokok yang nampak adalah adanya kodifikasi hukum atau lebih mengutamakan hukum tertulis dibandingkan dengan hukum tidak tertulis. Demikian juga kinerja hakim dalam lingkungan sistem hukum Eropa Kontinental (civil law), yang lebih mengutamakan atau mendahulukan perundang-undangan sebagai dasar atau pedoman untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa yang diajukan di muka sidang pengadilan. Istilah hukum sipil yang merupakan terjemahan dari civil law merupakan istilah yang diambil dari sumber hukum sipil itu sendiri pada jaman Kaisar Justinianus yang bernama corpos juris civilis yang terdiri dari empat bagian. Pengertian civil law dapat dipaparkan sebagai berikut : Civil law may be defined as the legal tradition which has its origin in Roman Law, as codified in the corpus juris civilis of justinian, and subsequently in the Continental Europe and around the world. Civil law eventually divided into two streams : The codified Roman Law (French Code 1804 and its progeny and imitators-continental Europe, Quebec and lousiana) and uncodified Roman Law (Scotland and South Africa). Civil law in highly systematized and structured and relies on declarations of board, general priciples, often ignoring details136.
135
Theo Huijbers, dalam Prasetyo Hadi Purwandoko, Majalah Fakultas Hukum Yustisia, Nomor 35 Tahun X Maret-Mei 1996, hlm., 39. 136 William Tetley, OC. Coomon law versus Civil Law (codified and uncodified), Law Department commit user of Columbian College, 29 November 1999, dalamto Ade Maman Suherman, 2008, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm., 57.
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hukum sipil dapat didefinisikan sebagai suatu tradisi hukum yang berasal dari hukum Roma yang terkodifikasikan dalam corpus juris civilis justinian dan tersebar ke seluruh benua Eropa dan seluruh dunia. Kode sipil terbagi ke dalam dua cabang, yaitu : 1. Hukum Romawi yang terkodifikasi (kode sipil Perancis 1804) dan daerah lainnya di benua Eropa yang mengabdosinya, Quebec dan Lousiana. 2. Hukum Romawi yang tidak terkodifikasi (Skotlandia dan Afrika Selatan). Hukum kode sipil sangat sistematis, terstruktur yang berdasarkan deklarasi para dewan, prinsip-prinsip umum dan sering menghindari hal-hal yang detail. Sistem hukum kontinental mengutamakan hukum tertulis, yaitu peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama sistem hukumnya. Karena itu, negara-negara yang berada dalam sistem hukum kontinental, selalu berusaha untuk menyusun hukum-hukumnya dalam bentuk tertulis, bahkan dalam satu sistematika yang diupayakan selengkap mungkin dalam sebuah kitab undang-undang. Penyusunan semacam itu disebut kodifikasi, karena itu sistem hukum kontinental sering pula disebut sistem hukum kodifikasi (codified law). Pemikiran kodifikasi tersebut dipengaruhi konsepsi negara hukum abad ke 18 dan 19, yaitu untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan tindak sewenang-wenang dan demi kepastian hukum, kaidahkaidah hukum harus tertulis dalam bentuk undang-undang137. Selanjutnya dikemukakan bahwa berdasarkan pandangan ini, pemerintah dan hakim tidak lebih dari sebuah mesin yang bertugas menerapkan undang-undang (mereka bekerja secara mekanis). Dalam perkembangan, sifat berlaku umum (algemeenheid) tidak hanya terbatas pada undang-undang. Berbagai keputusan administrasi negara yang bersifat mengatur, seperti peraturan pemerintah, keputusan menteri, keputusan presiden juga berlaku secara umum. Begitu pula, pengertian berlaku umum dari suatu undang-undang tidak lagi selalu berarti untuk semua orang, berlaku setiap saat, semua tempat dan dalam segala fakta (rechtsfeit). commit to user 137
Bagir Manan, 1992, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta : Ind-Hill-Co,hlm., 6.
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Zairin Harahap, mengemukakan, karateristik civil law adalah administratif. Karateristik ini dilatarbelakangi keuasaan raja. Pada jaman Romawi, kekuasaan yang menonjol dari raja adalah membuat peraturan melaui dekrit. Kekuasaan ini kemudian didelegasikan kepada pejabat-pejabat administratif,
sehingga
pejabat-pejabat
administratif
yang
membuat
pengarahan-pengarahan tertulis bagi hakim bagaimana memutus suatu sengketa. Begitu besarnya peranan adminstrasi negara, sehingga tidaklah mengherankan kalau dalam sistem kontinentalah mula pertama muncul cabang hukum baru yang disebut droit administratif dan inti dari droit administratif adalah hubungan antara administrasi negara dengan rakyat. Dalam perkembangannya peranan administrasi negara ini bertambah besar. Berdasarkan latar belakang tersebut dipikirkan langkah-langkah untuk membatasi kekuasaan administrasi negara138. Pengenalan hukum Romawi di Belanda hampir sama dengan penerimaan reception di wilayah Jerman. Penyikapan dibrikan oleh ahli hukum Belanda yang dikenal dengan the founder of modern public international law, Hugo Grotius (1583-1645). Beliau mengakui dan respek pada kualitas dan keunggulan hukum Romawi yang dikodifikasikan oleh Justinian. Beliau mengemukakan, apabila tidak ada hukum umumyang tertulis, dan tidak ditemukan hukum kebiasaan dalam menangani perkara, hakim dari jaman old admonish (peradilan sistem lama dalam mengadili perkara) berdasarkan sumpah mengikuti alur logika menurut ilmu pengetahuan dan diskresi. Sejak hukum Romawi, khususnya sebagai hukum terkodifikasi oleh Justinian dapat dipertimbangkan oleh semua orang untuk memperoleh kebijaksaan dan keadilan secara sempurna dan diterima sebagai pola kebijaksanaan dan keadilan dalam periode kebiasaan sebagai hukum139. Romli Atmasasmita, mengemukakan sejarah pembentukan hukum yang dimulai di negara-negara daratan Eropa, yang imbasnya terasa dalam hukum Indonesia 138
Zairin Harahap, 2005, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm., 16. 139 commit to user Sistem Hukum Civil Law, Common Ade Maman Suherman, 2004, Pengantar Perbandingan Law, Hukum Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm., 61.
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang menganut sistem Eropa Kontinental, bertujuan sama, yaitu menghendaki adanya suatu hukum nasional atau unifikasi. Perbedaannya terletak dalam cara mencapai cita-cita pembentukan hukum tersebut. Cara mencapai cita-cita pembentukan
hukum
nasional
di
daratan
Eropa
dilakukan
melalui
pembentukan kodifikasi, sedangkan di negara Inggris (common lawSystem), tujuan mencapai satu hukum nasional dilakukan melalui pembentukan hukum kebiasaan (common-law)140. Selanjutnya dikemukakan bahwa di negara-negara Eropa Kontinental pengadilan tidak mampu menciptakan atau membentuk unifikasi hukum. Hal ini terjadi karena di negara-negara Eropa Kontinental timbul pertentangan antara kaum agama dan ahli pikir (filosof) di satu pihak dan antara kaum bangsawan dan rakyat jelata di daerah-daerah di lain pihak. Keadaan demikian merupakan
karateristik
pertengahan.
Dalam
negara-negara keadaan
Eropa
ketiadaan
Kontinental
putusan
pada
abad
pengadilan
yang
berwibawa,maka para ahli hukum dan hakim berpaling kepada sumber hukum yang berlaku, yaitu hukum Romawi, di samping hukum gereja. Selain daripada itu juga putusan raja pada masa itu yang bersifat tertulis dan dianggap
sebagai
undang-undang,
merupakan
sumber
hukum
yang
dipergunakan oleh para ahli hukum dan hakim. Dominasi hukum Romawi di negara-negara Eropa daratan berlangsung sejak akhir abad pertengahan dan berakhir pada akhir abad 18. Selama periode tersebut, pengadilan di negara-negara Eropa daratan tidak dapat berperan sebagai pembaharu dan pembentuk (kesatuan) hukum nasional, bahkan dengan dilakukannya prosedur yang bersifat kanonistik serta kegagalan pengadilan dalam menampilkan upaya-upaya hukum untuk menghadapi penindasan penguasa/raja, maka pengadilan telah kehilangan waibawa dan popularitasnya di hadapan rakyat. Keadaan perbeda dengan yang berlaku di Inggris, unifikasi hukum dilaksanakan dan diselesaikan oleh Bench dan Bar dari pengadilan. Bench dan Bar ini sangat dihormati oleh rakyat Inggris karena mereka mampu mewakili perasaan keadilan masyarakat sekalipun commit to user 140
Romli Atmasasmita, dalam Pontang Moerad, Op., cit., hlm., 26.
perpustakaan.uns.ac.id
73 digilib.uns.ac.id
keduanya merupakan pegawai pemerintah. Ditambah lagi dengan adanya sistem juri dan aturan mengenai “star decisis”, perkara-perkara yang dihadapi pengadilan dapat diselesaikan tanpa mengabaikan pendapat dan perasaan keadilan masyarakat Inggris. Selama periode revolusi industri, para hakim dan penasehat hukum telah berhasil mempertahankan kewibawaan hukum terhadap kekuasaan raja Stuart. Hukum merupakan penjabaran dari “hebeas corpus”, “certiorati” dan “mandamus” tetap tidak memihak selama masa revolusi dan hukum yang dibentuk pengadilan justru mendukung kekuatankekuatan sosial-politik yang menghendaki perubahan dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Di Inggris pada masa revolusi, lembaga-lembaga hukum tetap berada ditangan pengadilan yang berwibawa. Mengenai cara pembentukan hukum nasional dalam common-law system dapat dilihat dari segi waktu, yaitu berkembang secara perlahan-lahan sejak raja William (willian the concueror), 1066 sampai sekarang, oleh karena itu common law menampakan ciri yang berbeda-beda. Sebaliknya, di negara-negara Eropa daratan (civil-law system) pembentukan hukum nasional dilakukan secara serentak dan dalam satu kali kejadian melalui suatu kodifikasi. Sebagai konsekuensinya, tiap undangundang mencerminkan jiwa dan semangat abad tertentu ketika undang-undang itu dilahirkan141. Karateristik sistem hukum civil law yang lebih mengutamakan undangundang dalam bentuk tertulis dalam wujud kodifikasi dan dalam kodifikasi tersebut disusun sebanyak mungkin ketentuan-ketentuan hukum secara sistematik untuk mengatur suatu peristiwa. Hukum menurut pandangan yang mengedepankan kodifikasi dianggapnya sudah lengkap, jelas, oleh karena hakim tidak diberikan ruang gerak untuk menafsirkan undang-undang yang digunakan sebagai dasar penyelesaian sengketa, hakim hanya menerapkan undang-undang, membunyikan undang-undang dan harus mengadili sesuai dengan undang-undang. Hakim dalam menerapkan undang-undang menurut pandangan sistem hukum civil law hanya menjalankan peranya sebagai corong commit to user 141
Pontang Moerad, Op., cit., hlm., 78.
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
undang-undang, hakim tidak menjalankan peranya secara mandiri. Dengan demikian, peran hakim dalam menerapkan undang-undang dibatasi, mereka tidak diperkenankan untuk menerapkan undang-undang sesuai dengan kehendak masyarakat yang lebih mengedepankan nilai keadilan. Berkaitan dengan hal tersebut, model silogisme merupakan metode yang digunakan dalam menerapkan undang-undang secara logis, disebut dengan subsumptie logis atau deduksi, artinya adalah anggapan, tidak lain adalah menyimpulkan dari premis mayor (hal yang umum) dengan premis monor (hal yang khusus). Teori ini disebut legisme atau positivisme undangundang, yang merupakan pandangan typis logicistic, yang mendasarkan pada aspek logis analitis. Penemuan hukum dalam hal ini dianggap sebagai kejadian yang teknis dan kognitif, yang mengutamakan undang-undang dan tidak memberi tempat pada pengakuan subyektivitas atau penilaian. Wiarda menyebutnya
sebagai
penemuan
hukum
heteronom,
karena
hakim
mendasarkan pada peraturan-peraturan di luar dirinya, jadi hakim tidak mandiri karena harus tunduk pada undang-undang142. Penemuan hukum typis logicistic atau heteronom dalam perkembangan tidak dapat dipertahnakan lagi. Hakim tidak lagi dipandang sebagai corong undang-undang, tetapi sebagai pembentuk hukum yang secara mandiri memberi bentuk kepada isi undangundang dan menyesuaikannya dengan kebutuhan-kebutuhan. Hakim dalam menjatuhkan putusan dimbimbing oleh pandangan-pandangan atau pikiranpikirannya sendiri atau hakim dapat mengapresiasikan pribadinya dalam menjatuhkan putusan. Pandangan ini disebut sebagai pandangan materiil yuridis atau otonom (Wiarda). Tokoh pandangan ini antara lain Oskar Bullow, Eugen Ehrlich, Francois Geny, Oliver Wendell Holmes, Jerome Frank dan Paul Scholten. Sudikno Mertokusumo, mengemukakan sebagai prototype penemuan hukum heteronom terdapat dalam sistem pradilan negara-negara Eropa Kontinental termasuk Indonesia. Hakim bebas, tidak terikat pada putusan commit to Yogyakarta user Sudikno Mertokusumo, 2010, Penemuan Hukum, : Universitas Atma Jaya, hlm., 54. 142
perpustakaan.uns.ac.id
75 digilib.uns.ac.id
hakim lain yang pernah dijatuhkan mengenai perkara yang sejenis. Hakim berpikir deduktif dari bunyi undang-undang (umum) menuju ke peristiwa khusus dan akhirnya sampai pada putusan. Dalam penemuan hukum yang typis logicistis atau heteronom hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara mendasarkan pada faktor-faktor di luar dirinya. Prototype penemuan hukum otonom terdapat dalam sistem peradilan Anglo Saxon yang menganut asas the binding force of precedent atau stare decisis et quita non movere. Hakim terikat pada putusan hakim yang telah dijatuhkan mengenai perkara sejenis dengan perkara yang akan diputus hakim yang bersangkutan. Dalam hal ini putusan hakim terdahulu yang mengikatnya, sehingga merupaka faktor di luar diri hakim yang akan memutuskan, tetapi hakim yang akan memutuskan itu menyatu dengan hakim terdahulu yang telah menjatuhkan putusan mengenai perkara yang sejenis dan dengan demikian putusan hakim yang terdahulu dianggapnya sebagai putusannya sendiri, dan bukan merupakan faktor di luar dirinya. Hakim Anglo Saxon berpikir secara induktif, yaitu berpikir dari peristiwa khusus yang satu (putusan hakim terdahulu) ke peristiwa khusus yang lain (peristiwa konkrit yang dihadapinya) akhirnya sampai pada peristiwa khusus yang lain (putusan). Dalam hal ini hakim mengadakan reasoning by analogy. Pada penemuan hukumyang mareriil yuridis atau otonom, hakim memeriksa dan memutus perkara menurut apresiasi pribadinya. Ia dibimbing oleh pandangan-pandangan atau pikirannya sendiri143. Selanjutnya dikemukakana bahwa dalam perkembangannya dua sistem penemuan hukum tersebut saling mempengaruhi, sehingga penemuan hukum tidak lagi murni otonom dan murni heteronom, namun ada kecenderungan bergeser ke arahpenemuan hukum otonom. Terjadi pergeseran dari “hakim terikat” ke arah “hakim bebas”, dari “normgerechtigkeit” (keadilan menurut undang-undang) ke arah “einzelfallgerechtigkeit” (keadilan menurut hakim seperti yang tertuang dalam putusannya) dari “systemdenken” (berpikir dengan mengacu kepada sistem : system oriented) ke arah commit to user 143
Ibid., hlm., 58
76 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“probleemdenken” (berpikir dengan mengacu kepada masalahnya : problem oriented). Hakin di Indonesia mengenal penemuan hukum heteronom sepanjang hakim terikat pada undang-undang, tetapi penemuan hukum tersebut tetap mempunyai unsur-unsur otonom yang kuat, karena hakim seringkali harus menjelaskan atau melengkapi undang-undang menurut pandangannya sendiri144. Sebagaimana perlindungan
kepada
telah
dikemukakan
manusia,
maka
bahwa
untuk
undang-undang
memberikan
tersebut
harus
dilaksanakan atau ditegakkan. Undang-undang masih bersifat abstrak atau umum, oleh karena itu agar dapat diterapkan pada peristiwanya, undangundang tersebut harus dilengkapi dengan penjelasan. Dalam perkembangan masyarakat yang semakin kompleks, perkembangan ilmu dan teknologi, informasi, undang-undang semakin berada dibelakang dinamika atau ketinggalan dengan dinamika masyarakat. Undang-undang tidak dapat mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan hidup warga negaranya, karena undang memang tidak lengkap dan tidak sempurna. Oliver Wendell Holmes dan Jerome Frank, menentang pendapat bahwa hukum yang ada itu lengkap dan apat diajdikan sumber bagi hukum untuk memutuskan dalam peristiwa yang knkrit.
Pelaksanaan
undang-undang oleh
hakim
bukan
semata-mata
merupakan persoalan logika dan penggunaan pikiran yang tepat saja, tetapi lebih merupakan pemberian bentuk yuridis kepada asas-asas hukum materiil yang menurut sifatnya tidak logis dan lebih mendasarkan pada pengalaman dan penilaian yuridis daripada mendasarkan pada akal yang abstrak145. Hakim dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa harus berdasarkan pada undang-undang, namun dalam menginventarisasi undangundang dapat dijumpai undang-undang tersebut tidak lengkap, tidak jelas, tidak sempurna, maka terdapat kewajiban hakim untuk menemukan hukum melalui metode interpretasi atau penafsiran hukum dan konstruksi hukum. Hakim tidak perlu ragu-ragu dalam melakukan penemuan hukum, karena 144
Ibid., hlm., 59 commit to user Penyebab dan Solusinya, Bogor : Achmad Ali, 2005, Keterpurukan Hukum di Indonesia, Ghalia Indonesia, hlm.,154 145
perpustakaan.uns.ac.id
77 digilib.uns.ac.id
terdapat pijakan atau dasar hukum sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman : hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut hakim dilarang menolak untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
3.3. Aliran dan Metode Penemuan Hukum. Sebagaimana dikemukakan bahwa penerapan undang-undang dalam proses peradilan telah mengalami perkembangan, sehingga melahirkan ajaran atau aliran tentang praktik di pengadilan. Pada abad ke 19 muncullah pandangan legisme atau legalitas yang menganggap bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang dalam arti yang tertulis, undang-undang merupakan harga mati yang tidak boleh ditafsirkan, karena undang-undang dikeramatkan sebagai peraturan yang dikukuhkan Tuhan sendiri. Munculnya beberapa ajaran dalam kaitannya dengan praktik penerapan hukum di pengadilan, dikemukakan oleh para ahli, seperti Muchsin146. Beliau mengemukakan beberapa aliran penemuan hukum oleh hakim dalam kaitannya antara tugas hakim dalam menerapkan undang-undang, yaitu : 1. Ajaran ideenjurisprudenz (legisme). Dalam ajaran ini undang-undang dianggap keramat sebagai oleh Tuhan. Praktik kehakiman dipandang sebagai penerapan undang-undang pada perkara-perkara konkrit secara rasional belaka. Ajaran ini banyak dianut oleh pemikir dari aliran positivis yang mengutamakan undang-undang sebagai tempat satu-satunya bagi hukum. 2. Ajaran freirechtslehre ( free law theory) Ajaran ini membela kebebasan yang besar bagi hakim, di mana seorang hakim dapat menentukan putusanya dengan tidak terikat pada undangundang. Suatu undang-undang kehilangan keistimewaannya dalam praktik hukum. Ajaran ini banyak dianut para pemikir dari aliran sosiologis yang radikal (mazhab realisme hukum Amerika) yang berpendapat bahwa the
commit to userdan Kebijakan Asasi, Jakarta : STIHMuchsin, 2004, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka IBLAM, hlm., 1 146
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
decision of the law courts is the centre of the law. Tokoh-tokohnya seperti Oliver Wendel Holmes, Jerome Frank, B. Cordoso, Roscoe Pound. 3. Ajaran interessenjurisprudenz. Ajaran ini merupakan sintesa antara ideenjurisprudenz dengan freirechtslehre.Hakim mencari dan menemukan keadilan dalam batas kaidah-kaidah yang telah ditentukan, dengan menerapkannya secara kreatif pada tiap-tiap perkara konkrit. Teori ini dikulifikasikan sebagai penemuan hukum (rechtsvinding). Tokoh dalam ajaran ini adalah Rudolf Von Jhering. Di samping itu, Achmad Ali147, mengemukakan pendapatnya dalam hubungan antara tugas hakim untuk menerapkan undang-undang, yaitu : a. Aliran legisme Aliran ini berpandangan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang, sedangkan peradilan berarti semata-mata penerapan undang-undang pada peristiwa konkrit. Hakim hanyalah subsumtie automaat. Aliran ini sangat mengagung-agungkan undang-undang, hakim tidak lain hanya sebagai corong undang-undang dan tidak boleh mengubah teks undang-undang. Hakim tidak boleh berbuat selain dari menerapkan undang-undang secara tegas. Undang-undang dianggap sudah lengkap dan jelas dalam mengatur segala persoalan yang ada pada jamannya. Pandangan legisme semakin lama semakin ditinggalkan orang, karena semakin lama semakin disadari bahwa undang-undang tidak pernah lengkap dan tidak selamanya jelas. Sifat undang-undang yang abstrak atau umum itu menimbulkan kesulitan dalam penerapannya secara incorcreto, oleh para hakim di pengadilan. Tidak mungkin hakim mampu menyelesaikan persengketaan, jika hakim hanya berfungsi sebagai “terompet undang-undang” belaka. Hakim masih harus melakukan kreasi tertentu, hal tersebut kemudian melahirkan pandangan tentang bolehnya hakim melakukan penemuan hukum melalui putusannya. b. Aliran Penemuan Hukum oleh Hakim Ketika dirasakan betapa aliran legisme tidak lagi mampu memecahkan problem-problem hukum yang muncul, maka pemikiran legis ini mulai commit to user 147
Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum, Bogor Selatan : Ghalia Indonesia, hlm., 104-111.
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ditinggalakn. Di saat itu kalangan hukum berpendapat bahwa melakukan penemuan hukum oleh hakim adalah merupakan sesuatu yang wajar. Menurut Paul Scholten, penemuan hukum adalah sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya. Kadangkadang, bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi ataupun rechtvervijning. Dengan menyitir pendapat Sudikno Mertokusumo, Achmad Ali mengemukakan, penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwaperistiwa hukum yang konkrit. Hal ini merupakan doktrinisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa
konkrit.
Sementara
orang
lebih
suka
menggunakan
“pembentukan hukum” daripada “penemuan hukum”, karena istilah penemuan hukum memberi sugesti seakan-akan hukumnya sudaha ada. Selanjutnya
Sudikno
Mertokusumo
mengkhususkan
pada
penemuan hukum oleh hakim : “penemuan hukum terutama dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara. Penemuan hukum oleh hakim ini dianggap yang mempunyai wibawa. Ilmuwan hukumpun mengadakan penemuan hukum, hanya kalau hasil penemuan hukum oleh hakim itu adalah hukum, sedangkan hasil penemuan hukum oleh ilmuwan hukum bukanlah hukum, melainkan ilmu atau doktrin. Sekalipun yang dihasilkan tersebut bukan hukum, tetapi digunakan istilah penemuan hukum, karena doktrin kalau diikuti dan diambil alih oleh hakim dalam putusannya menjadi hukum. Doktrin bukanlah hukum, melainkan sumber hukum”. penemuan hukum bagaimanapun selalu dilakukan oleh hakim dalam setiap putusannya. Tidak ada teks yang jelas, tidak ada teks yang tanpa sifat ambiguitas. Hal tersebut sudah sifat setiap bahasa. Dengan mengutip pendapat Denning, Achmad Ali mengemukakan : “If must be remembered that is not with in human powers to foresee the commit to user
80 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
manifold sets of facts which may arise, and even, if it were, it is not posible to provide for them in terms free ambiguity”. c. Aliran begriffsjurisprudenz. Aliran ini mengajarkan bahwa hakim boleh melakukan penemuan hukum. Sekalipun bahwa undang-undang itu tidak lengkap, tetapi undang-undang itu masih dapat menutupi kekurangan-kekuranganya sendiri, karena undang-undang mempunyai daya meluas. Penggunaan hukum logika yang disebut silogisme menjadi dasar utama aliran begriffsjurisprudenz ini, dan cara berpikir silogisme dijelaskan oleh Sudikno Mertokusumo,, yaitu hakim mengambil kesimpulan dari adanya premis mayor (peraturan) hukum dan premis minor (peristiwanya). Siapa mencuri dihukum, si A terbukti mencuri, A harus dihukum. d. Aliran interessenjurisprudenz (freirechtsschule) Menurut aliran ini, undang-undang tidak jelas dan tidak lengkap. Undangundang bukan satu-satunya sumber hukum, sedangkan hakim dan pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk melakukan penemuan hukum. Dalam arti kata, bukan sekedar penerapan undangundang oleh hakim, tetapi juga memperluas dan membentuk peraturan dalam putusan hakim. Untuk mencapai keadilan yang setinggi-tingginya, hakim boleh menyimpang dari undang-undang demi kemanfaatan masyarakat. Menurut Sudikno Mertokusumo (1993 : 45), aliran ini sangat berlebih-lebihan, karena hakim tidak hanya boleh mengisi kekosongan undang-undang saja, tetapi boleh menyimpang. e. Aliran soziologische rechtsschule. Reaksi
terhadap
aliran
freirechtsschule
ini
memunculkan
aliran
soziologische rechtsschule, yang pada pokoknya hendak menahan kemungkinan munculnya kesewenang-wenangan hakim berkaitan dengan diberikanya hakim freies ermessen. Aliran ini tidak setuju jika hakim diberi freies ermessen. Namun demikian, aliran ini tetap mengakui bahwa hakim tidak hanya sekedar “terompet undang-undang”, melainkan hakim to user juga harus memperhatikancommit kenyataan-kenyataan masyarakat, perasaan dan
perpustakaan.uns.ac.id
81 digilib.uns.ac.id
kebutuhan hukum warga masyarakat serta kesadaran hukum warga masyarakat. f. Ajaran Paul Scholten Hukum merupakan satu sistem yang berarti semua aturan saling berkaitan, dapat disusun secara mantik, dan untuk yang bersifat khusus dapat dicarikan aturan-aturan umumnya, sehingga tiba pada asas-asasnya. Namun, tidak berarti hakim hanya bekerja secara mantik semata. Hakim juga harus bekerja atas dasar penilaian, di mana hasil dari penilaian itu menciptakan sesuatu yang baru. Sistem hukum itu logis, tidak tertutup, disebut sebagai open system van het recht. Sistem hukum itu tidak statis, karena sistem hukum itu membutuhkan putusan-putusan atau penetapanpenetapan yang senantiasa menambah luasnya sistem hukum tersebut. Sistem hukum itu sifatnya terbuka. Paul Scholten melihat bahwa penilaian hakim itu dilakukan dalam wujud interpretasi dan konstruksi. Undangundang mempunyai kebebasan yang lebih primer, sedangkan hakim mempunyai “keadaan terikat” pada yang lebih primer itu. g. Penemuan Hukum Heteronom dan Otonom. Sudikno Mertokusumo148, dengan mengacu pandangan Knottenbelt ( Inleiding in het Nederlancdse Recht) mengemukakan bahwa penemuan hukum heteronom adalah jika dalam penemuan hukum, hakim sepenuhnya tunduk pada undang-undang. Penemuan hukum ini terjadi berdasarkan peraturan-peraturan di luar diri hakim. Pembentuk undang-undang membuat peraturan pada umumnya, hakim hanya mengkonstatir bahwa undang-undang dapat diterapkan pada peristiwanya, kemudian hakim menerapkannya menurut bunyi undang-undang. Penemuan hukum heteronom merupakan penerapan undang-undang yang terjadi secara logis dan terpaksa sebagai silogisme, sedangkan penemuan hukum otonom adalah jika hakim dalam menjatuhkan putusannya dibimbing oleh pandangan-pandangan atau pikirannya sendiri, hakim memutus menurut apresiasi pribadi, hakim menjalankan fungsi yang mandiri dalam commit to user 148
Sudikno Mertokusumo, dalam Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum, Op., cit., hlm., 111
82 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menerapkan
undang-undang
terhadap
peristiwa
hukum
konkrit.
Sebenarnya antara kedua penemuan hukum tersebut, penemuan hukum heteronom dan penemuan hukum otonom tidak ada batas yang tajam, karena kenyataan dalam
praktik penemuan
hukum
oleh hakim
mengandung kedua unsur tersebut. Pandangan baru ini (penemuan hukum otonom), oleh Van Eikerna Hommes disebut pandangan yang materiil yuridis, di Jerman dipertahankan oleh Oskar Bullow dan Eugen Ehrlich, di Perancis dikembangkan oleh Francois Geny. Francois Geny menentang penyalahgunaan cara berpikir yang abstrak logis dalam pelaksanaan hukum dan terhadap fiksi bahwa undang-undang berisi hukum yang berlaku. Di Amerika Serikat, Oliver Wendell Holmes dan Jerome Frank, menentang pendapat bahwa hukum yang ada itu lengkap yang dapat dijadian sumber bagi hakim untuk memutus peristiwa yang konkret. Menurut pendapatnya, pelaksanaan undang-undang oleh hakim bukanlah semata-mata merupakan persoalan logika dan penggunaan pikiran yang tepat, tetapi hanya merupakan pemberian bentuk yuridis kepada asas-asas hukum material yang menurut sifatnya tidak logis dan lebih mendasarkan pada pengalaman dan penilaian yuridis daripada akal yang abstrak. Menurutnya undang-undang tidak mungkin lengkap, undang-undang hanya merupakan satu tahap dalam proses pembentukan hukum dan terpaksa mencari kelengkapannya dalam praktik hukum dan hakim. Berkaitan dengan beberapa aliran tentang penerapan hukum oleh hakim dalam tugasnya, maka terdapat aliran yang tidak membolehkan hakim untuk menerobos undang-undang, tetapi dipihak lain hakim diharuskan untuk melakukan terobosan terhadap undang-undang. Dalam praktik, hakim dalam menjalankan tugasnya, yaitu memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa atau perkara yang diajukan di muka sidang pengadilan, di samping harus berpedoman kepada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, hakim juga diperbolehkan untuk menerobos peraturan perundang-undangan
yang
menjadi pedoman tersebut, sebagaimana commitNomor to user48 Tahun 209 tentang Kekuasaan diamanatkan dalam Undang-undang
perpustakaan.uns.ac.id
83 digilib.uns.ac.id
Kehakiman. Hakim diperbolehkan untuk menemukan hukum, melalui beberapa metode yang dikemukakan pada ahli. Penemuan hukum oleh hakim dapat dilakukan melalui beberapa cara149, : 1. Interpretasi Hukum Menurut Sudikno Mertokusumo, interpretasi atau penafsiran hukum merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan gamblang tentang teks undang-undang, agar ruang lingkup kaidah dalam undang-undang tersebut dapat diterapkan pada peristiwa hukum tertentu. Tujuan akhir penjelasan atau penafsiran aturan tersebut adalah untuk merealisasikan fungsi agar hukum positif itu berlaku. Dalam praktik hukum, menafsirkan undang-undang untuk menemukan hukumnya tidak hanya dilakukan oleh hakim, tetapi juga oleh ilmuwan hukum, pengacara atau pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dengan pengadilan150. Dengan demikian, arti penafsiran sebagai suatu kesimpulan dalam usaha memberikan penjelasan atau pengertian atas suatu kata atau istilah yang kurang jelas maksudnya, sehingga orang lain dapat memahaminya atau mengandung arti pemecahan atau penguraian atas suatu makna ganda, norma yang kabur (vage normen), antinomi hukum (konflik norma hukum), dan ketidakpastian dari suatu peraturan
149
Johnny Ibrahim, 2006, hlm., 219, bandingkan dengan pendapat Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, membedakan menajdi tiga, yaitu interpretasi, argumentasi dan eksposisi (konstruksi hukum). interpretasi atau penafsiran hukum digunakan dalam hal peraturan perundang-undangannya ada, tetapi tidak atau kurang jelas. Metode argumentasi digunakan dalam hal perturan perundang-undangannya tidak lengkap atau tidak ada. Konstruksi hukum atau eksposisi digunaka untuk peristiwa-peristiwa yang tidak dijumpai peraturan perundang-undangannya, yaitu dengan membentuk pengertian-pengertian hukum. Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum, Bogor Selatan : Ghalia Indonesia, hlm., 122, membedakan penemuan hukum oleh hakim menjadi dua, yaitu interpretasi hukum dan konstruksi hukum. Interpretasi hukum, yaitu penafsiran terhadap teks undang-undang yang masih tetap berpegang pada bunyi teks. Konstruksi hukum, yaitu hakim menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, hakim tidak lagi berpegang pada bunyi teks undang-undang, tetapi dengan syarat hakim tidak boleh mengabaikan hukum sebagai suatu sistem. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Bandung : Alumni. Membedakan penemuan menjadi dua, yaitu penafsiran hukum dan konstruksi hukum. Bambang Sutiyoso, 2009, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta : UII Press, hlm., 81, membedakan metode penemuan hukum menjadi commit to user tiga, yaitu metode interpretasi, argumnentasi dan eksposisi. 150 Sudikno Mertokusumo, dalam Johnny Ibrahim, 2006, Op., cit., hlm., 220
84 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perundang-undangan.
Tujuannya
tidak
lain
adalah
mencari
menemukan sesuatu hal yang menjadi maksud para pembuatnya
151
dan
.
Agar menjadi lebih jelas atau tidak terjadi kebingungan, perlu dikemukakan lebih dahulu tentang interpretasi atau hermeneutika. Kata hermeneutitics berasal dari turunan kata benda “hermeneia” (bahasa Yunani), yang secara harfiah dapat diartikan sebagai „penefsiran‟ atau „interpretasi‟. Dalam kosa-kata kerja, ditemukan istilah “hermeneuodan/atau “hermeneuein”. Hermeneuo, artinya mengungkapkan pikiranpikiran
seseorang
dalam
kata-kata
dan
hermeneuein
bermakna
mengartikan, menaksirkan atau menterjemahkan dan juga „bertindak sebagai penaksir‟152. Dikemukakan bahwa salah satu tujuan hermeneutika hukum, menurut James Robinson, adalah untuk : “bringing the unclear into clarity” (memperjelas „sesuatu‟ yang tidak jelas supaya lebih jelas). Menurut Leyh, tujuan hermeneutika hukum adalah untuk menempatkan perdebatan kontemporer tentang interpretasi hukum di dalam kerangka hermeneutika pada umumnya. Upaya mengkontekstualisasikan teori hukum dengan cara ini dan mengasumsikan bahwa hermeneutika memiliki korelasi pemeikiran dengan ilmu hukum atau yurisprudensi153. Urgensi kajian hermeneutika hukum, dimaksudkan tidak hanya akan membebaskan kajian-kajian hukum dari otoritarianisme para yuris positif yang elitis (pada masa lalu telah mengklaim dirinya sebagai satusatunya pusat yang berkewenangan akademis dan profesional untuk menginterpretasi dan memberikan makna kepada hukum), tetapi juga dari kajian-kajian hukum kaum struturalis atau behavioralis yang terlalu empirik sifatnya. Kajian hermenutika hukum juga telah membuka kesempatan kepada para pengkaji hukum untuk tidak hanya berkutat demi kepentingan profesi yang eksklusif semata menggunakan paradigma positivisme dan metode logis formal saja. Selain dari itu, hermeneutika 151
Ahmad Rifai, Op., cit., hlm., 62. Muzairi, dalam Jazim Hamidi, 2005, Hermeneutika Hukum Teori Penemuan Hukum Baru commit to user dengan Interpretasi Teks, hlm., 20 153 James M Robinson, dalam Jazi m Hamidi, 2005, Ibid., hlm., 45. 152
85 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hukum juga menganjurkan agar para pengkaji hukum menggali dan meneliti makna-makna hukum yang perspektif para pengguna dan/atau para pencari keadilan, sebagaimana dikatakan oleh Sarat, :”...as an alternative or oddition to (the study of legal) behavior”154. Kajian hermeneutika hukum itu mempunyai dua makna sekaligus, pertama,
hermeneutika
hukum
dapat
dipahami
sebagai
“metode
interpretasi atas teks-teks hukum” atau “metode memahami terhadap suatu naskah normatif”. Interpretasi yang benar terhadap teks hukum itu harus selalu berhubungan dengan isi (kaidah hukumnya), baik yang tersurat maupun yang tersirat, atau antara bunyi hukum dan semangat hukum. Menurut Gadamer, ada tiga persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang penafsir/interprener, yaitu memenuhi subtilitas intelligendi (ketepatan pemahaman), subtilitas explicandi (ketepatan penjabaran) subtilitas applicandi (ketepatan penerapan)155, hermeneutika merupakan suatu alternatif yang tepat dan praktis untuk memahami naskah normatif156. Kedua, hermeneutika hukum juga mempunyai pengaruh besar atau relevansi dengan “teori penemuan hukum”. Hal ini ditampilkan dalam kerangka pemahaman „lingkaran spiral hermenutika (cyrcel hermeneutics), yaitu berupa proses timbal balik antara kaidah-kaidah danfakta-fakta, karena dalil hermeneutika menjelaskan bahwa orang harus mengkualikasi fakta-fakta dalam cahaya kaidah-kaidah dan menginterpretasi kaidahkaidah dalam cahaya fakta-fakta, termasuk dalam paradigma dari teori penemuan hukum modern dewasa ini157. Pendekatan hermeneutika hukum yang digunakan oleh hakim (khususnya)
tidak
menganggap
atau
menyingkirkan
pendekatan-
pendekatan lain yang digunakan hakim untuk menemukan hukum terhadap peristiwa 154
tertentu.
Sebagaimana
dikemukakan
oleh
Soetandyo
Pendapat Sarat dikutif oleh Sutandyo Wignjosoebroto, 2002, Hukum, Paradigma Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta : Elsam Huma, hlm., 105. 155 E. Sumaryono, 1999, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta : Kanisius, hlm., 29 156 Anton Bakker dan Achmad Charis, dalam Jazim Hamidi, 2005, Op., cit., hlm., 48. 157 commit to userit de rechtstheorie, diterjemahkan oleh J.J. H. Bruggink, Rechts Reflecties, Groundberrippen Bernard Arief Sidharta, 1996, Refleksi tentang Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm., 209.
perpustakaan.uns.ac.id
86 digilib.uns.ac.id
Wignjosoebroto, bahwa pendekatan hermeneutika itu tidak hendak mengkalim dirinya sebagai satu-satunya pendekatan yang sah dalam kajian-kajian sosial dan ilmu hukum, sebagaimana halnya pendekatan kaumpositivis-baik yang berkhidmat di lingkungan jurisprodence maupun yang berkhidmat di lingkungan legal studies yang sekali-kali tidak pernah dapat mengklaim paradigma dan metode serta teknik penelitiannya sebagai satu-satunya yang sah untuk mempelajari hukum. Bukanlah pendekatan hermeneutika (hermeneutika hukum) ini tidak memiliki kekurangan juga, antara lain seperti dikatakan oleh Fish, bahwasannya pendekatan hermeneutika itu akan mengharuskan orang untuk selalu mengkaji fakta sosial dan fakta hukum melalui interpretasi, padahal “the only thing to know about interpretation is that is has to be done every time” (satu hal yang diketahui tentang penafsiran adalah penafsiran tiu akan terjadi atau dilakukan setiap waktu). Sementara itu, bukanlah hukum itu “wisher to have a formal existence” (suatu keinginan untuk mendapatkan pengakuan secara formal)158. Penemuan hukum melalui metode interpretasi atau penafsiran hukum dapat dibedakan menjadi159 : a. Interpretasi subsumptif. Metode subsumptif adalah penerapan suatu teks perundang-undangan terhadap kasus in concreto dengan belum memasuki taraf penggunaan penalaran dan penafsiran yang lebih rumit, tetapi sekedar menerapkan silogisme. Silogisme adalah bentuk berpikir logis dengan mengambil kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum (premis mayor atau peraturan perundang-undangan) dan hal-hal yang bersifat khusus (premis minor atau peristiwanya). b. Interpretasi gramatikal (menurut bahasa)
158
Soetandyo Wignjosoebroto, 2002, Op., cit., hlm., 105. Lihat Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Pnemuan Hukum. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum. Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum..., commitUpaya to user Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Mewujdukan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan. Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum. 159
87 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bahasa merupakan sarana yang penting bagi hukum, oleh karena itu hukum terikat pada bahasa. Penafsiran undang-undang itu pada dasarnya selalu akan merupakan penjelasan dari segi bahasa. Titik tolak penafsiran adalah pada bahasa sehari-hari, makna ketentuan undang-undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum. Interpretasi gramatikal adalah menafsirkan kata-kata atau istilah dalam perundang-undangan sesuai kaidah hukum tata bahasa yang berlaku. Bagi A. Pitlo, interpretasi gramatikal berarti kita mencoba menangkap arti sesuatu teks/peraturan menurut bunyi kata-katanya. Hal ini dapat terbatas pada sesuatu yang otomatis, yang tidak disadari, yang selalu kita lakukan pada saat kita membaca, dan hasil interpretasinya bisa lebih mendalam dari teks aslinya. Sebuah kata dapat mempunyai beberapa berbagai arti, misal dalam bahasa hukum dapat berarti lain jika dibandingkan dengan bahasa pergaulan. Bahasa merupakan sarana penting bagi hukum, karena merupakan alat satu-satunya yang dipakai pembuat
undang-undang
penjelasannya.
Metode
dalam penafsiran
merumuskan
pasal-pasal
dan
gramatikal
merupakan
cara
penafsiran yang paling sederhana untuk mengetahui makna yang terkandung di dalam pasal-pasal tersebut. Pengungkapan maknanya pun, di samping harus memenuhi standar logis, harus juga mengacu pada kelaziman bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat. Contoh, menggelapkan Pasal 41 K U H Pidana, ada kalanya ditafsirkan sebagai menghilangkan. c. Interpretasi teleologis atau sosiologis Hakim menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan pembentuk undang-undang atau apabila makna undang-undang ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Melalui interpretasi sosiologis, hakim dapat menyelesaikan adanya perbedaan antara kesenjangan antara sifat positif dari hukum (rechtspositiviteit) dengan kenyataan hukum (rechtswerkelijkheid), sehingga jenis interpretasi sosiologis user Sebuah undang-undang masih atau teleologis menjadicommit sangattopenting.
88 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berlaku, tetapi sebenarnya jiwanya sudah usang dan tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan jaman, kemudian berdasarkan interpretasi sosiologis, undang-undang tersebut kenyataannya masih diterapkan terhadap peristiwa atau kasus masa kini. Peraturan perundang-undangan tersebut disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan undang-undang yang sudah tidak sesuai lagi dilihat sebagai alat untuk memecahkan atau menyelesaikan sengketa dalam kehidupan bersama waktu sekarang. Peraturan hukum yang lama itu disesuaikan dengan keadaan yang baru, peraturan yang lama dibuat aktual. Contoh Pasal 110 K U H Perdata, istri yang tunduk pada hukum BW, dinyatakan tidak cakap untuk berbuat hukum tanpa ijin suaminya. d. Interpretasi sistematis. Interpretasi sistematis adalah metode yang menafsirkan praturan perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan hukum (undang-undang lain) atau dengan keseluruhan sistem hukum. Hukum dilihat sebagai satu kesatuan atau sebagai sistem peraturan. Satu peraturan tidak dapat dilihat sebagai peraturan yang berdiri sendiri, tetapi sebagai bagian dari satu sistem. Artinya harus selalu dipahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan yang lainnya. Contohnya untuk menentukan apakah mayat manusia merupakan obyek pemilikan. Dalam sistem hukum perdata mayat manusia bukan merupakan obyek pemilikan, sehingga tidak ada yang punya (Pasal 499K U H Perdata). Dalam sistem hukum pidana, mayat manusia adalah milik ahli warisnya, sehingga kalau ada orang yang mengambil secara melawan hukum, berarti mengambil (mencuri) mayat dari pemiliknya atau ahli warisnya. e. Interpretasi historis. Setiap
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
mempunyai
sejarahnya sendiri, karena itu bagi hakim yang bermaksud mengetahui commitdalam to usersuatu undang-undang, dia harus makna kata atau kalimat
89 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menafsirkan dengan jalan meneliti sejarah kelahiran pasal tertentu itu dirumuskan. Ada dua macam penafsiran historis, pertama, yaitu interpretasi menurut sejarah pengaturannya atau sejarah undangundangnya (wetshistorisch) adalah mencari maksud dari perundangundangan itu seperti apa, dalam hal ini dilihat dari pembuat undangundangnya. Kehendak pembuat undang-undang tersebut sangat menentukan. Kedua, yaitu interpretasi menurut sejarah kelembagaan hukumnya atau sejarah hukumnya (rechtshistorisch) adalah metode interpretasi yang ingin memahami undang-undang dalam konteks seluruh
sejarah
hukumnya,
khususnya
yang
terkait
dengan
kelembagaan hukumnya. f. Interpretasi komparatif. Interpretasi komparatif dimaksudkan sebagai metode penafsiran dengan jalan membandingkan antara berbagai sistem hukum. interpretasi komparatif digunakan untuk mencari kejelasan mengenai suatu ketentuan perundang-undangan dengan jalan membandingkan undang-undang yang satu dengan undang-undang yang lain dalam satu sistem hukum atau hukum asing lainnya. g. Interpretasi antisipatif atau futuristis Interpretasi antisipatif atau metode penemuan hukum futuristis adalah penjelasan ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum, seperti RUU yang masih dalam proses pembahasan di DPR, tetapi hakim mempunyai keyakinan bahwa RUU tersebut akan diundangkan h. Interpretasi restriktif Metode interpretasi yang sifatnya membatasi. Misalnya interpretasi gramatikal kata “tetangga” dalam Pasal 666 K U H Perdata, dapat diartikan setiap tetangga itu termasuk seorang penyewa dari pekarangan di sebelahnya, tetapi kalau dibatasi menjadi tidak termasuk tetangga penyewa, berarti hakim telah melakukan interpretasi restriktif. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
90 digilib.uns.ac.id
i. Interpretasi ekstensif. Metode penafsiran yang membuat interpretasi melebihi batas-batas hasil interpretasi gramatikal, misalnya perkataan menjual Pasal 1576 K U H Perdata oleh hakim ditafsirkan secara luas, yaitu bukan sematamata hanya berarti jual-beli, tetapi juga menyangkut peralihan hak. Pasal 1576 K U H Perdata, jual-beli tidak menghapuskan hubungan sewa-menyewa, dalam hal ini yang diperluas adalah peralihan hak, yaitu diperluas tidak saja jual-beli, tetapi juga tukar-menukar, hibah dan pewarisan. j. Interpretasi otentik atau secara resmi Dalam hal ini, hakim tidak diperkenankan atau tidak diperbolehkan melakukan penafsiran dengan cara lain, selain apa yang telah ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang itu sendiri. k. Interpretasi interdisipliner. Intepretasi jenis ini dapat dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum, yaitu digunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum. contoh interpretasi tentang kejahatan korupsi, hakim dapat menafsirkan ketentuan pasal korupsi dari berbagai sudut pandang, yaitu hukum pidana, perdata dan administrasi negara. l. Interpretasi multidisipliner Dalam interpretasi multidisipliner, maka hakim harus mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu lain di luar ilmu hukum. Hakim dalam hal ini membutuhkan verifikasi dan bantuan dari lain-lain disiplin ilmu. Kemungkinan ke depan, interpretasi ini akan sering terjadi, mengingat luas kasus-kasus kejahatan di era global sekarang ini mulai beragam dan bermunculan, seperti kejahatan cyber crime, white colar crime, terorism. Metode penemuan hukum yang kedua adalah konstruksi hukum. metode konstruksi hukum dilakukan apabila peraturan perundangcommit to user undangannya tidak ada. Jadi dalam hal ini terdapat kekososngan hukum
91 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(rechts vacuum) atau kekosongan undang-undang (wet vacuum). Achmad Ali160, memisahkan secara tegas antara interpretasi atau penafsiran hukum dengan konstruksi hukum. Hal ini dibutuhkan bukan saja dalam kepentingan sistematika ilmu hukum, tetapi juga dalam dunia praktik hukum di pengadilan. Menurut beliau, interpretasi hukum dilakukan dalam hal peraturannya ada, namun peraturan tersebut tidak jelas untuk diterapkan pada peristiwa konkrit. Dalam interpretasi ini, penafsiran terhadap teks undang-undang masih tetap berpegang pada bunyi teks undang-undang.
Dalam
konstruksi
hukum,
dilakukan
dalam
hal
peraturannya memang tidak ada atau terdapat kekosongan hukum (rechts vacuum) atau kekosongan undang-undang (wet vacuum). Hakim menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, hakim tidak lagi berpegang pada bunyi teks undang-undang, tetapi dengan syarat tidak boleh mengabaikan hukum sebagai suatu sistem. Selanjutnya dikemukakan, ada perbedaan pandangan tentang metode atau cara penemuan hukum oleh hakim menurut yuris dari Eropa Kontinental dengan yuris yang berasal dari sistem hukum Anglo Saxon. Pada umumnya, yuris Eropa Kontinental tidak memisahkan secara tegas antara metode interpretasi hukum dengan metode konstruksi hukum. Hal tersebut dapat dilihat dalam buku karangan Paul Scholten, A. Pitlo maupun Sudikno Mertokusumo. Sebaliknya banyak pengarang dari sistem hukum Anglo Saxon, seperti L.B. Curzon, membuat pemisahan secara tegas antara metode interpretasi hukum dengan konstruksi hukum. Achmad Ali sendiri mengikuti pembedaan yang memisahkab secara tegas antara metode interpretasi hukum dengan konstruksi hukum. Perbedaan pandangan antara metode interpretasi hukum dengan konstruksi hukum tersebut, menurut Achmad Ali, didasarkan pada hasil simpulan setelah membandingkan beberapa pendapat dari pakar tenatng penemuan hukum. Seperti, L.B. Curzon, mengemukakan :”the proces of interpreting a statute commit to user 160
Achmad Ali, 2008, OP., cit., hlm., 121
92 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
from that of constructing a statute. Interpretation refers to the resolving of ambiguiities and uncertainties in statute”. Curzon cenderung melihat interpretasi hanya menentukan arti kata-kata dalam suatu undang-undang, sedangkan konstruksi mengandung arti pemecahan makna ganda, kekaburan dan ketidakpastian dari perundang-undangan161. Konstruksi hukum162, sebagai metode penemuan hukum dibedakan menjadi : a. Argumentum per analogiam (analogi) Ada kalanya peraturan perundang-undangan terlalu sempit ruang lingkupnya, sehingga untuk dapat menerapkan undang-undang pada peristiwanya, hakim akan mempeluasnya dengan metode argumentum per analogiam atau analogi. Dengan menggunakan analogi, maka peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip dengan yang diatur dalam undang-undang diperlakukan sama. Pada analogi, suatu peraturan khusus dalam undang-undang dijadikan umum yang tidak tertulis dalam undang-undang, kemudian digali alas yang terdapat di dalamnya dan disimpulkan dari ketentuan yang umum itu peristiwa yang khusus. Peraturan umum yang tidak tertulis dalam undang-undang itu diterapkan terhadap peristiwa tertentu yang tidak diatur dalam undangundang tersebut, tetapi mirip atau serupa dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Hakim bersikap seperti pembentuk undangundang
yang
mengetahui
adanya
kekosongan
hukum,
akan
melengkapinya dengan peraturan-peraturan yang serupa seperti yang dibuatnya untuk peristiwa-peristiwa yang telah ada peraturannya. Hakim akan mencari pemecahan untuk peristiwa yang tidak diatur, dengan penerapan peraturan untuk peristiwa-peristiwa yang telah diatur yang sesuai secara analog. Jazim Hamidi, mengemukakan
161
Achmad Ali, 2008, Op., cit., hlm., 122. Macam-macam kostruksi hukum, lihat dalam Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum, hlm., 139-147, Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, hlm., 177-182. user Sudikno Mertokusumo, 2010, Penemuancommit Hukum, to hlm., 86-96. Jazim Hamidi, 2005, Hermeneutika Hukum, hlm., 59-63. Bambang Sutiyoso, 2009, Metode Penemuan Hukum..., hlm., 106-113. 162
93 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
analog merupakan metode penemuan hukum, di mana hakim mencari esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum atau perbuatan hukum, baik yang telah diatur dalam undang-undang maupun yang belum ada peraturannya163. b. Metode Argumentum a Contrario. Ada kalanya suatu peristiwa tidak secara khusus diatur oleh undangundang, tetapi kebalikan dari peristiwa tersebut diatur oleh undangundang. Bagaimanakah menemukan hukumnya ? Cara menemukan hukumnya adalah dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, maka peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan untuk peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya. Hal ini merupakan metode a contrario, yaitu merupakan cara penafsiran atau penjelasan undang-undang yang didasarkan pada pengertian sebaliknya dari peristiwa konkrit yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur.dalam undang-undang. Dalam hal suatu peristiwa tertentu diatur, tetapi peristiwa lainnya yang mirip tidak diatur, maka untuk yang terakhir ini berlaku hal yang sebaliknya. Pada
a
contrario
titik
berat
diletakan
pada
ketidaksamaan
peristiwanya. Dalam hal ini, peraturan yang disediakan untuk peristiwa yang hendak dicarikan hukumnya tidak ada, yang ada adalah peraturan yang khusus disediakan untuk peristiwa lain yang tidak sama, tetapi ada unsur kemiripannya dengan peristiwa yang hendak dicarikan hukumnya. Berkaitan dengan metode argumentum a contrario, Achmad Ali, mengemukakan bahwa metode a contrario selaras dengan metode berpikir hakim Eropa Kontinental. Di dalam sistem hukum Anglo Saxon, para hakim cenderung berpikir secara induktif, berpikir dari yang khusus ke yang umum (species ke general). Hakim mencari dan menemukan peraturan sebagai dasar putusannya melalui sederetan putusan-putusan sebelumnya. Jadi bersifat “reasoning from case to commit to user 163
Jazim Hamidi, 2005, Op., cit., hlm., 59.
94 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
case” dan “reasoning by analogy”, sedangkan di dalam sistem hukum Eropa Kontinental, hakim cenderung berpikir secara deduktif, yaitu dari yang umum (generaly) ke yang khusus (species), yaitu mengikat hakim dengan undang-undang yang merupakan peraturan umum agar sekelompok peristiwa tertentu yang serupa dapat diputus pula. Di dalam sistem hukum Eropa Kontinental ini, hakim mengadakan konkritisasi peraturan yang mengabstraksikan peristiwanya. Dengan demikian
cara
berpikir
hakim
Eropa
Kontinental
cenderung
menggunakan ciri “subsumptie” dan “sillogistis”164. c. Rechtsverfijning (penyempitan atau pengkonkretan hukum). Peneyempitan hukum adalah terjemahan dari kata dalam bahasa Belanda “rechtsverfijning”,. Fijn, berarti halus. Penyempitan hukum bukan merupakan argumnentasi untuk membenarkan rumusan peraturan perundang-undangan. Rumusan ini terdiri dari rumusan pengecualian terhadap peraturan perundang-undangan karena kalau tidak, maka dirumuskan terlalu luas. Kadang-kadang peraturan perundang-undangan itu ruang lingkupnya terlalu luas atau umum, maka perlu disempitkan untuk dapat diterapkan terhadap peristiwa konkret tertentu. Dengan demikian, metode penyempitan atau pengkonkretan hukum aturan hukum yang sifatnya umum atau abstrak, agar dapat diterapkan pada peristiwa konkrit tertentu. d. Fiksi hukum Menurut Paton sebagaimana dikutip Achmad Ali165, mengemukakan bahwa metode penemuan hukum melalui fiksi hukum ini bersumber pada fase perkembangan hukum dalam periode menengah, yaitu setelah berakhirnya periode hukum positif. Metode fiksi sebagai metode penemuan hukum sebenarnya berlandaskan pada asas in dubio pro reo, yaitu asas bahwa setiap orang dianggap mengetahui undangundang. Dengan mengutip pendapat Satjipto Rahardjo, selanjutnya 164 165
Achmad Ali, 2008, Op.,cit., hlm., 144commit to Ibid., hlm., 145.
user
95 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dikemukakan
fiksi
adalah
metode
penemuan
hukum
yang
mengemukakan fak-fakta baru kepada kita, sehingga tampil suatu personifikasi baru di hadapan kita. Bagaimanapun fiksi adalah sesuatu yang bukan kenyataan. Oleh karena itu, cara yang sebaik-baiknya untuk menerimanya sebagai sarana pengembangan hukum adalah tetap memperlakukanya secara demikian itu. Fiksi memang bermanfaat untuk memajukan hukum, yaitu untuk mengatasi benturan antara tuntutan baru dan sistem yang ada. Fiksi harus tetap diperlakukan sebagai bukan kenyataan. Dalam hal fiksi telah diterima dalam kehidupan hukum, misalnya melalui putusan hakim, maka fiksi tersebut sudah berubah menjadi bagian dari hukum positif dan tidak boleh disebut sebagai fiksi, pada detik itu sudah tidak ada fiksi lagi. Fungsi dari fiksi hukum, di samping untuk memenuhi hasrat menciptakan stabilitas hukum, juga utamanya untuk mengisi kekurangan undang-undang. Fiksi hukum bermaksud untuk mengatasi konflik antara tuntutan-tuntutan baru dengan sistem hukum yang ada. Hal tersebut selaras dengan pandangan Maine yang mengemukakan bahwa :”...and there after law is brought into harmony with society by there intrumentalities, legal fictions, equity and legislation...”
3.4. Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara. Kewenangan pengujian keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara (disingkat KTUN) oleh hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (disingkat PTUN) adalah berdasarkan pada Pasal 47 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN. Pasal 47 menyebutkan pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara (disingkat Sengketa TUN). Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa TUN tersebut timbul sebagai akibat dikeluarkannya KTUN oleh Badan atau Pejabat TUN. Suatu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak semua KTUN langsung menjadi commit to user hakim PTUN, artinya terdapat wewenang PTUN atau langsung diperiksa
perpustakaan.uns.ac.id
96 digilib.uns.ac.id
ketentuan yang mewajibkan kepada seseorang atau badan hukum perdata untuk menyelesaikan lebih dahulu sengketanya melalui lembaga atau instansi yang ditunjuk dalam peraturan dasarnya atau peraturan yang menjadi dasar dikeluarkannya KTUN. Ketentuan tersebut dapat dilihat pada Pasal 48 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, yaitu : (1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat TUN diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa TUN tertentu, maka sengketa TUN tersebut harus diselesaikan melalui upaya administrasi yang tersedia. (2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa TUN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan. Adapun upaya administratif yang dimaksud dalam Pasal 48 Undangundang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN tersebut adalah : a. Keberatan Dalam hal ini, peratuaran yang menjadi dasar dikeluarkannya KTUN mengatur bahwa jika seseorang yang terkena KTUN dapat menyelesaikan sengketanya kepada instansi yang mengeluarkan KTUN. b. Banding administratif. Dalam hal ini upaya penyelesaian sengketa TUN harus diselesaikan melalui atau oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan. Perbedaan penyelesaian sengketa melalui upaya administratif dan peradilan tata usaha negara adalah bahwa penyelesaian melalui upaya administratif dilakukan penilaian secara lengkap terhadap KTUN yang disengketakan, baik terhadap segi penerapan hukumnya maupun terhadap kebijaksanaan yang diterapkan oleh instansi yang mengeluarkan KTUN tersebut. Sedangkan pemeriksaan di PTUN hanya melakukan pengujian terhadap keabsahan KTUN dan dalam hal ini terbatas pada segi penerapan hukumnya saja, yaitu KTUN tersebut bertentangan dengan peraturan commitdan to user perundang-undangan yang berlaku asas-asas umum pemerintahan yang
97 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
baik. Tujuan adanya upaya administratif adalah memberi kesempatan kepada seseorang atau badan hukum perdata yang terkena KTUN yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN dapat menyelesaikan secara kekeluargaan lebih dahulu. Hal tersebut akan berbeda jika penyelesaian sengketa langsung melalui pengadilan, karena lembaga tersebut merupakan peradilan murni. Eksistensi PTUN dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara hanya sebatas melakukan pengujian terhadap KTUN
yang
disengketakan
para
pihak
dari
segi
hukumnya
saja
(rechtsmatigheid). Sehubungan dengan hal tersebut Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, mengemukakan sebagai ciri utama Pengadilan Administrasi Negara (disebut PTUN) salah satunya adalah wewenang hakim administrasi
terbatas
hanya
penilaian
dan
pertimbangan
(jugdment,
beoordelling) tentang yuridiktas (rechtsmatigheid, kesesuaian dengan hukum) dari tindak hukum administrasi negara yang ditentang
166
. Pengujian dari segi
hukum dilakukan dengan menilai apakah keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN tersebut bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku (in strijd met de wet) dan asas-asas umum pemerintahan yang baik167 Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, jika : a. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang bersifat prosedural/formal b. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundanganundangan yang bersifat material/substansial c. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat yang tidak berwenang168 Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang tidak berwenang (onvoegdheid) disebut keputusan yang cacad mengenai kewenangan (bevoegdheidgebreken) yang meliputi : 166
Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, Loc. cit. Hlm. 21. Lihat Pasal 53 ayat (2) huruf, a,b Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, commit to 51 user sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor Tahun 2009 tentang PTUN. 168 Penjelasan Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN. 167
98 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Onbevoegdheid ratione materiae, yaitu apabila suatu keputusan tidak ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan atau apabila keputusan itu dikeluarkan
oleh
Badan
atau
Pejabat
yang
tidak
berwenang
mengeluarkannya (kompetensi absolut) b. Onbevoegdheid ratione loci, yaitu keputusan yang diambil oleh Badan atau Pejabat TUN tersebut menyangkut hal yang berada di luar batas wilayahnya (kompetensi relatif) c. Onbevoegdheid ratione temporis, yaitu Badan atau Pejabat TUN belum berwenang atau tidak berwenang lagi untuk mengeluarkan KTUN, misalnya jangka waktunya sudah lampau atau menerapkan peraturan lain sementara itu sudah berlaku peraturan baru (ketidakwenangan dari segi waktu) Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, kemudian diubah dengan Undangundang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, bahwa KTUN yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asasasas umum pemerintahan yang baik. Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah meliputi asas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi dan Nepotisme. Penggunaan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai dasar pengujian hakim terhadap keabsahan KTUN, sebelum Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN direvisi, banyak menimbulkan pertanyaan. Seperti dikemukakan oleh Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, menanyakan apakah dengan demikian asas-asas umum pemerintahan yang baik dapat diterapkan untuk menguji KTUN hanya terbatas pada dua hal commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
99 digilib.uns.ac.id
tersebut169 Sehubungan dengan adanya keraguan dalam menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai dasar untuk menguji keabsahan KTUN yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN oleh hakim PTUN, maka dikeluarkanlah petunjuk pelaksanaan (juklak) oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 052/Td.TUN/III/1992, yang isinya : Di dalam hal hakim mempertimbangkan adanya asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai alasan pembatalan penetapan, maka hal tersebut tidak perlu dimasukkan dalam diktum putusannya, melainkan cukup dalam pertimbangan putusan dengan menyebutkan asas mana dari asas-asas umum pemerintahan yang baik yang dilangar dan akhirnya harus mengacu pada Pasal 53 ayat (2). Juklak tersebut dinilai membatasi hakim PTUN dalam penggunaan sebagai dasar untuk menguji keabsahan KTUN. Y Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra mengemukakan, hal yang sangat menarik dari isi juklak M.A tersebut adalah apakah dapat ditafsirkan bahwa asas-asas umum pemerintahan yang baik yang bisa digunakan oleh hakim PTUN dalam memutus sengketa TUN hanya yang tercantum dalam Pasal 53 ayat (2). Dengan demikian hanya ada dua asas yang dipakai. Kalau demikian halnya lalu KTUN yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN, yang tidak terikat oleh hukum tertulis dan sekaligus tidak dapat diuji dengan kedua asas tersebut. Berarti hakim PTUN tidak mempunyai kesempatan untuk menggali asas-asas umum pemerintahan yang baik lainnya mengingat menurut juklak M.A. tersebut yang mengacu pada Pasal 53 ayat (2) nampaknya menutup kesempatan untuk itu170. Pandangan tentang penggunaan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai dasar pengujian keabsahan KTUN oleh hakim PTUN, berbeda dengan setelah diubahnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Perubahan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, karena dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan 169
Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, Op. cit. hlm. 97. Y. Sri Pudyatmoko dan W.Riawan Tjandra, Op. cit., hlm. 98.Lihat juga dalam W. Riawan commitPemerintahan to user Tjandra, 2009, PTUN Mendorong Terwujudnya yang Bersih dan Berwibawa, Yogyakarta, Universitas Atma Jaya, hlm, 140. 170
100 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut UUD 1945. H.A. Muin Faisal, mengemukakan, berlakunya Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, menjadikan asas-asas pemerintahan yang layak (ABBB) sebagai alasan
bagi
pembatalan
atau
tidak
sahnya
suatu
KTUN.
Tidak
dicantumkannya lagi alasan penyalahgunaan wewenang („deournement de pouvoir) dan perbuatan sewenang-wenang ( „daad van willekeur) pada Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2009 dapat dipandang bahwasannya kedua alasan dimaksud di-absorb dalam alasan pengujian atas dasar asas-asas pemerintahan yang layak (ABBB) yang kini dijadikan toetsingsgronden bagi KTUN171. Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 telah menempatkan AAUPB secara yuridis normatif sebagai dasar gugatan di PTUN dan juga sebagai dasar pengujian keabsahan KTUN bagi hakim PTUN. Di dalam penjelasan pasal tersebut ditentukan jenis-jenis AAUPB yang dapat digunakan sebagai dasar gugatan di PTUN dan dasar pengujian keabsahan KTUN oleh hakim PTUN, yang diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Penegasan pengaturan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, sebagai dasar pengujian bagi hakim PTUN terhadap keabsahan KTUN yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN, berarti memberikan batas ruang gerak bagi hakim PTUN, karena AAUPB sudah merupakan norma yang harus dipatuhi oleh hakim, pengujian oleh hakim hanya sebatas yang telah ditentukan dalam penjelasan Pasal 53 ayat (2). Keadaan tersebut menimbulkan kontradiksi dalam kaitannya dengan tugas hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat, dan larangan hakim untuk menolak perkara yang diajukan para pihak dengan dalih hukum kurang atau tidak jelas, melainkan hakim wajib untuk memeriksa dan mengadilinya, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 48 commit to user 171
H.A. Muin Fahmal, Op.cit., hlm. xi
101 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hal juga berkaitan dengan asas ius curia novit dan asas hakim aktif dalam PTUN. Sebagaimana dikemukakan bahwa pengujian KTUN keabsahan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN oleh hakim PTUN, dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Berkaitan dengan pengujian keabsahan KTUN yang disengketakan,
maka
hakim
bertugas
untuk
mengumpulkan
atau
mengidentifikasi peraturan yang menjadi dasar dikeluarkannya KTUN. Di dalam mengidentifikasi peraturan perundangan-undangan atau mengumpulkan fakta, sering menjumpai kekosongan hukum (leemten in het recht), hukumnya ada, namun kurang atau tidak jelas, ketinggalan jaman atau usang, normanya kabur, dan juga adanya konflik norma hukum (antinomi hukum). Demikian juga asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999, yang digunakan sebagai dasar untuk menguji keabsahan KTUN, tidak sepenuhnya muncul dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dalam kaitannya dengan penerapan hukum untuk menyelesaikan kasus atau peristiwa, Gr.Van der Brught dan J.D.C. Winkelman, menyebutkan tujuh langkah yang harus dilakukan seorang hakim, yaitu : a. Meletakan kasus dalam sebuah peta (memetakan kasus) atau memaparkan kasus dalam sebuah ikhtiar (peta), artinya memaparkan secara singkat duduk perkaranya dari sebuah kasus (menskematisasi) b. Menerjemahkan kasus itu ke dalam peristiwa yuridis (mengkualifikasi, pengkualifikasian) c. Menyeleksi aturan-aturan yang relevan d. Menganalisis dan menafsirkan (interpretasi) terhadap aturan-aturan hukum itu e. Menerapkan aturan-aturan hukum pada kasus f. Mengevaluasi dan menimbang (mengkaji) argumen-argumen dan penyelesaian g. Merumuskan formulasi penyelesaian172
172
Gr. Van der Brught dan J.D.C. Winkelman, dalam Sidharta, 2004, Karateristik Penalaran commit :toDisertasi user Program Ilmu Hukum Parahyangan, Hukum Dalam Konteks ke Indonesiaan, Bandung hlm. 177.
perpustakaan.uns.ac.id
102 digilib.uns.ac.id
H. Ph. Visser‟t Hooft, mengemukakan bahwa hakim dalam menerapkan hukum harus berorientasi pada tiga acuan dasar yang bekerja dalam setiap tata hukum yang bekerja pada waktu yang bersamaan, yaitu : A. Positivitas. Dalam pengacuan pada hukum, sebagai putusan lembaga peradilan, hakim memiliki otoritas untuk menemukan argumen-argumen yang secara historis menjadi kehendak pembentuk undang-undang dalam membentuk hukum positif. B. Koherensi. Dalam menjalankan fungsinya untuk menerapkan hukum, hakim memiliki otoritas tidak saja terhadap adanya saling bertautan di antara aturan-aturan, tetapi juga adanya koherensi di antara aturan-aturan hukum. C. Keadilan Dalam menjalankan fungsinya untuk menerapkan hukum, putusan hakim dapat dikatakan adil, manakala dapat diterima dalam perspektif keyakinan-keyakinan masyarakat kontemporer. Putusan hakim dapat diterima secara adil dalam masyarakat, karena putusannya tidak bertentangan dengan akal sehat (common sense) dan para anggota masyarakat dapat menerima serta mengerti sebagai putusan yang rasional173 Gambaran tugas yang dilakukan hakim dalam menerapkan ketentuan undang-undang terhadap peristiwa konkret di PTUN yang dikemukakan dalam wawancara dengan Teguh Satya Bhakti, yaitu : Pertama, tahap pengumpulan fakta. Sebelum memasuki tahap pemeriksaan perkara, di lingkungan peradilan administrasi atau PTUN, terlebih dahulu dilakukan suatu proses administratif, yaitu penelitian administratif oleh staf kepaniteraan, diikuti proses dismissal dan pemeriksaan persiapan. Setelah proses tersebut selesai, dilanjutkan dengan pemeriksaan sidang biasa dengan majelis hakim atau hakim tunggal. Tahap ini disebut sebagai tahap pengumpulan fakta. Tugas hakim adalah melalukan seleksi terhadap keseluruhan peristiwa dan melakukan pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah, guna “memastikan kebenarannya”, Tahap tersebut penting, karena hakim dituntut untuk sungguh-sungguh dapat meyakini bahwa peristiwa yang sudah dikonstatir tersebut obyektif, benar berdasarkan atau commit to userdalam terjemahan B. Arief Sidharta, H. Ph. Visser‟t Hooft, Filosofie de Rechtswetenschap, 2003, Filsafat Ilmu Hukum, Bandung : L.H. FH. Universitas Katolik Parahyangan, 173
perpustakaan.uns.ac.id
103 digilib.uns.ac.id
sesuai dengan fakta yang ada dan berdasarkan alat bukti yang sah, kemudian putusan hakim dijatuhkan berdasarkan fakta dan alat bukti. Dalam hukum acara perdata tahap ini disebut tahap mengkonstatir. Kedua, tahap mengidentifikasi hukum Pada tahap ini hakim administrasi melakukan suatu penilaian/pengujian terhadap fakta hukum atau peristiwa hukum yang sudah dikonstatir, kemudian hakim mengkualifisir masuk pada hubungan hukum yang mana atau hukum apa. Berarti hakim sudah masuk pada tahap penerapan hukum (termasuk penerapan AAUPB), atau secara metodologis memasuki langkah deduktif. Langkah awalnya hakim melakukan identifikasi aturan hukum dan melakukan interpretasi terhadap aturan hukum yang sekiranya dapat diterapkan dalam peristiwa konkret. Di samping menerapkan norma hukum tertulis, hakim dapat menerapkan juga norma hukum tidak tertulis (berupa AAUPB) untuk menguji keabsahan keputusan Badan atau Pejabat TUN. Hasil identifikasi hukum yang ditindaklanjuti dengan penerapan hukum, biasanya dirumuskan dalam pertimbangan hukum oleh hakim. Ketiga, tahap merumuskan putusan. Pada tahap ini, hakim PTUN telah mengetahui pokok sengketanya, juga sudah memberikan pertimbangan hukum mengenai penerapan hukum tertulis dan/atau hukum tidak tertulis (berupa AAUPB). Dengan demikian, keputusan Badan atau Pejabat TUN yang disengketakan dinilai oleh hakim PTUN bertentangan dengan hukum tertulis dan/atau AAUPB. Kemudian hakim menetapkan hukumnya terhadap sengketa yang telah dikualifisir dalam bentuk putusan, dan tahap perumusan serta penentuan putusan disebut dengan tahap konstitutir174 Penerapan hukum oleh hakim terhadap suatu peristiwa atau untuk memberikan putusan terhadap suatu perkara yang diajukan di muka sidang dalam praktik tidak semudah orang membalikan tangan. Hal tersebut terutama berkaitan dengan keberadaan peraturan perundang-undanganya sendiri, seperti 174
Lihat juga Sudikno Mertokusumo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : to user Liberty, hlm., 169, juga Adi Sulistiyono,commit 2006, Krisis Lembaga Peradilan di Indonesia, Surakarta : LPP UNS dan UNS Press, hlm., 74-75.
104 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terhadap suatu peristiwa tidak diatur secara jelas atau kabur, diatur tetapi sudah ketinggalan jaman, kurang atau tidak lengkap. Bambang Sutiyoso mengemukakan, dalam praktik tidak jarang dijumpai ada peristiwa yang belum diatur dalam hukum atau perundang-undangan, atau meskipun telah diatur tetapi tidak lengkap dan tidak jelas. Memang tidak ada hukum atau perundang-undangan yang sangat lengkap atau jelas-sejelasnya. Fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dengan cara mengatur kegiatan manusia, sedangkan kepentingan manusia sangatlah banyak dan kompleks serta tidak terhitung jumlahnya dan jenisnya. Di samping itu kepentingan manusia akan terus berkembang sepanjang masa. Oleh karena itu peraturan hukum yang tidak jelas harus dijelaskan, yang kurang lengkap harus dilengkapi dengan jalan menemukan hukumnya agar aturan hukumnya dapat diterapkan
terhadap
peristiwanya.
Pada
hakikatnya
semua
perkara
membutuhkan metode penemuan hukum agar aturan hukumnya dapat diterapkan secara tepat terhadap peristiwanya, sehingga dapat diwujudkan putusan hukum yang diidam-idamkan, yaitu sesuai dengan tujuan hukum atau mengandung aspek keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan175 Hal senada dikemukkan oleh Philipus M. Hadjon, permasalahan dari segi aspek penerapan hukum antara lain meliputi interpretasi hukum (menafsirkan makna hukum positif) dan kekosongan hukum (leemten in het recht) atau sering disebut rechtsvacuum, kekosongan undang-undang (wet recht), antinomi (konflik norma hukum) dan norma yang kabur (varge normen)176.Dikatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang nyaris tidak memberikan peluang diskresi bagi hakim (optiman esse legem, quae minimum reliquit arbitrio judicis, it guod certitude ejus praestat), dalam praktiknya banyak ditemukan bahwa undang-undang ternyata tidak lengkap atau tidak jelas, meskipun dalam penjelasan undang-undang sudah disebutkan secara jelas. Oleh karena itu, sang hakim harus mencari dan menemukan hukumnya (rechtsvinding), karena setiap aturan hukum perlu dijelaskan dan 175 176
Bambang Sutiyoso, Loc. cit., hlm. 28 commit to user Philipus M. Hadjon, dalam Johnny Ibrahim, Op., cit, hlm., 215.
105 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memerlukan penafsiran sebelum dapat diterapkan pada peristiwa hukum tertentu177 Sehubungan dengan adanya norma yang kabur atau kurang jelas, Sudikno Mertokusumo178, mengemukakan undang-undang itu tidak sempurna. Memang tidak mungkin undang-undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada kalanya undang-undang itu tidak lengkap dan ada kalanya undang-undang itu tidak jelas, meskipun tidak lengkap dan tidak jelas undang-undang harus dijalankan. Dalam hal terjadi pelanggaran undang-undang, hakim harus melaksanakan atau menegakkan undang-undang. Hakim tidak dapat menangguhkan pelaksanaan atau penegakkan undang-undang yang telah dilanggar. Hakim tidak dapat dan tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas. Ia dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih tidak sempurnanya undang-undang atau tidak ada hukumnya. Mau tidak mau ia harus menjatuhkan putusan (Pasal 22 AB, Pasal 14 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, Pasal 10 Undangundang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai perubahan ketiga dari Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970). Selanjutnya beliau mengemukakan, oleh karena undang-undangnya tidak lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari hukumnya, harus menemukan hukumnya.
Ia
harus
melakukan
penemuan
hukum
(rechtsvinding).
Penegakkan dan pelaksanaan hukum sering merupakan penemuan hukum dan tidak sekedar penerapan hukum. Dalam tugasnya melaksanakan atau menerapkan undang-undang sebagai upaya menyelesaikan sengketa yang diajukan pihak penggugat, hakim seluruhnya tunduk pada ketentuan dalam undang-undang atau hakim tidak tunduk pada ketentuan dalam undang-undang. Dalam hal ini, Sudikno Mertokusumo mengemukakan, dalam penemuan hukum hakim dapat sepenuhnya tunduk pada undang-undang. Penemuan hukum ini terjadi 177
Johnny Ibrahim, Op., cit., hlm., 215. to Lihat user juga Sudikno Mertokusumo dan Mr. A. Sudikno Mertokusumo, 2005, Op., cit,commit hlm., 162. Pitlo, 1993, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm., 3. 178
perpustakaan.uns.ac.id
106 digilib.uns.ac.id
berdasarkan peraturan-peraturan di luar diri hakim. Pembentuk undangundang membuat peraturan umumnya, sedangkan hakim hanya mengkonstatir bahwa undang-undang dapat diterapkan pada peristiwanya, kemudian hakim menerapkannya menurut undang-undang. Dengan demikian, maka penemuan hukum tidak lain merupakan penerapan undang-undang yang secara logis terpaksa sebagai silogisme179. Dalam hal ini, hakim tidak menjalankan fungsi yang mandiri dalam penerapan undang-undang terhadap peristiwa hukum yang konkrit. Hakim hanyalah corong dari undang-undang yang tidak dapat mengubah atau menambah undang-undang. Wiarda menyebut jenis penemuan hukum tersebut bersifat heteronom, karena hakim mendasarkan pada peraturan peraturan di luar dirinya, hakim tidak mandiri, karena harus tunduk pada undang-undang. Sejak kurang lebih 1850 orang condong pada peranan yang mandiri dalam pembentukan hukum oleh hakim. Hakim bukan lagi corong dari undang-undang, tetapi pembentuk hukum yang memberi bentuk pada isi undang-undang dan menyesuaikannya dengan kebutuhan-kebutuhan hukum. Hakim dalam menjatuhkan putusanya dimbimbing oleh pandangan-pandangan atau pikiranya sendiri. Dalam penemuan hukum yang otonom ini hakim memutus menurut apresiasi pribadi. Hakim menjalankan fungsi yang mandiri dalam penerapan undang-undang terhadap peristiwa hukum yang konkrit. Pelaksanaan undang-undang oleh hakim bukanlah semata-mata merupakan persoalan logika dan penggunaan pikiran yang tepat saja, tetapi lebih merupakan pemberian bentuk yuridis kepada asas-asas hukum materiil yang menurut sifatnya tidak logis dan lebih mendasarkan pada pengalaman dan penilaian yuridis daripada mendasarkan pada akal yang abstrak. Undangundang tidak mungkin lengkap, undang-undang hanya merupakan satu tahap dalam proses pembentukan hukum dan terpaksa mencari kelengkapannya dalam praktek hukum dari hakim180.
179
Knottenbetl, Inleiding in het Nederlandse recht, hlm., 98. Dalam Sudikno Mertokusumo, 2005, commit to user Op., cit., hlm., 164. 180 Sudikno Mertokusumo, Op., cit., hlm., 165.
107 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Ahcmad Ali181, mengambil pendapat Carbonnier, mengemukakan les choses out toujours du se passer ainsi, des millenaires gu‟ily a dsejuges, et gui pensent (demikianlah senantiasa telah terjadi bahwa selama ribuan tahun, dituntut adanya para hakim yang berpikir). Kemudian kaitannya antara tugas hakim dengan eksistensi undang-undang, beliau mengemukakan : 1. Bagi kaum dogmatik, hukum adalah peraturan (tertulis), yaitu undangundang. Dalam hal ini tugas hakim adalah menghubungkan antara fakta konkret yang diperiksanya dengan ketentuan undang-undang. Kaum dogmatik melihat adanya dua kemungkinan, adanya suatu proses di antara dua elemen tadi (peraturan dan fakta). a. Proses penerapan hukum oleh hakim. Di sini hakim hakim hanya menggunakan hukum-hukum logis, yaitu silogisme. b. Proses pembentukan hukum oleh hakim Di sini, hakim tidak lagi sekedar mengunakan hukum-hukum logika, melainkan sudah memberikan penilaian, yang disebut dengan interpretasi dan konstruksi dan oleh kaum legis hal ini tidak dibolehkan. 2. Bagi kaum nondogmatik yang melihat hukum tidak hanya sekedar kaidah, tetapi juga kenyataan dalam masyarakat, maka undang-undang bukan satusatunya hukum. Bagi kaum nondogmatik, undang-undang bukan satusatunya sumber hukum, tetapi masih ada sumber hukum lain, yaitu kebiasaan, traktat, yurisprudensi, doktrin, kaidah agama, bahkan nilai-nilai kepatutan yang hidup di dalam masyarakat. Dalam
pandangan
kaum
dogmatik,
tugas
hakim
adalah
menghubungkan antara sumber hukum (bukan hukum) dengan fakta konkrit yang diperiksanya. Dalam penghubungan antara sumber hukum dan fakta konkret itu, hakim melakukan penilaian, yang disebut (Achmad Ali) sebagai penemuan hukum. Beliau mengemukakan bahwa orang yang mengatakan yang berlaku adalah aturan perundang-undangan, misalnya tentu akan sulit menjawab pertanyaan :” mengapa dari pasal undang-undang yang sama, berbeda dalam kenyataan penerapannya di pengadilan? Jawabnya tidak lain, karena memang bukan aturan peundang-undangan itu yang berlaku. Aturan perundang-undangan hanya merupakan sumber dari putusan pengadilan. Putusan pengadilan itulah yang merupakan hukum dalam perkara tersebut. Senada dengan pendapat Achmad Ali, yaitu Sudikno Mertokusumo, beliau mengemukakan bahwa ketentuan undang-undang tidak dapat diterapkan commit to user 181
Achmad Ali, 2008, Op., cit., hlm., 102.
108 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
begitu saja secara langsung pada peristiwanya. Untuk dapat menerapkan ketentuan undang-undang yang berlaku umum atau abstrak sifatnya itu pada peristiwanya yang konkrit dan khusus sifatnya, maka ketentuan undangundang tersebut harus diberi arti, dijelaskan atau ditafsirkan dan diarahkan atau disesuaikan dengan peristiwanya untuk kemudian baru diterapkan pada peristiwanya. Peristiwa hukumnya harus dicari lebih dahulu dari peristiwa konkritnya, kemudian undang-undangnya ditafsirkan untuk dapat diterapkan. Setiap peraturan hukum tersebut abstrak dan pasib, abstrak karena umum sifatnya dan pasib karena tidak akan menimbulkan akibat hukum kalau tidak terjadi peristiwa konkret. Peraturan hukum yang abstrak itu memerlukan rangsangan agar dapat aktif, agar dapat diterapkan pada peristiwa yang cocok182. Dikemukakan boleh dikatakan bahwa setiap ketentuan undangundang perlu dijelaskan, dan perlu ditafsirkan lebih dahulu untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Achmad Ali, mengemukakan selama berabad-abad, hubungan antara perundang-undangan dengan putusan hakim menimbulkan polemik yang tak putus-putusnya dan melahirkan berbagai aliran pemikiran dalam ilmu hukum. mula-mula dikenal aliran legis, yang cenderung memandang hakim hanya sekedar terompet undang-undang (bouche de la loi). Kemudian muncul aliran penemuan hukum oleh hakim yang memandang bahwa hakim dapat mengisi kekosongan perundang-undang dengan jalan konstruksi hukum atau interpretasi hukum. terakhir muncul aliran realis di Amerika Serikat dan Skandinavia yang pada pokoknya memandang hakim tidak sekedar “menemukan hukum”, melainkan “membentuk hukum” melalui putusannya. Bagi aliran realis, kaidah-kaidah hukum yang berlaku memang ada pengaruhnya terhadap putusan hakim, tetapi hanya sebagai salah satu unsur pertimbangan dalam putusannya. Selain unsur kaidah hukum itu, putusan hakim juga dipengaruhi oleh prasangka politik, ekonomi ataupun moral, bahkan perasaan simpati dan pribadi turut mempengaruhi putusan hakim183. 182 183
Sudikno Mertokusumo, 1993, Op.,cit.,commit hlm., 13to Achmad Ali, 2008, Op., cit., hlm., 104
user
109 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kewenangan
PTUN,
sebagaimana
disebutkan
adalah
untuk
memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa TUN yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN. Kewenangan tersebut dilaksanakan untuk menegakkan norma yang diwujudkan dalam pengujian keabsahan KTUN yang bersifat ex tunc. Peradilan TUN melalui pengujian ex tunc menilai suatu perbuatan pemerintah dengan memperhitungkan semua fakta dan keadaan pada saat perbuatan itu dilakukan. Hal itu berarti atas suatu surat keputusan, fakta dan keadaan yang dinilai adalah fakta dan keadaan pada saat dikeluarkannya surat keputusan tersebut184. Pengujian yang dilakukan oleh hakim di peradilan TUN bersifat ex tunc, artinya hakim pada waktu melakukan pengujian tersebut, tidak perlu memperhatikan perubahanperubahan yang terjadi setelah keputusan yang digugat itu dikeluarkan sampai saat dilakukannya pengujian tersebut185. Selanjutnya dikemukakan, peradilan TUN mempunyai karakter terbatas, artinya kewenangan dalam melakukan pengujian terhadap perbuatan maladministrasi yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN dibatasi oleh kompetensi absolut yang ditentukan dalam undangundang. Pengujian keabsahan KTUN tersebut dibatasi hanya dalam wujud KTUN (beschikking). Pengujian yang dilakukan oleh hakim PTUN terhadap keabsahan KTUN hanya sebatas penerapan hukumnya saja. Pengujian dari segi hukum yang dilakukan oleh hakim peradilan tata usaha negara terhadap keabsahan KTUN, sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) Undangundang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, terbatas pada : a) melihat pada fakta yang relevan yang telah dikumpulkan, b) mencocokan dengan rumusan dalam peraturan menjadi dasar dikeluarkannya keputusan. Proses pemeriksaan untuk menguji keabsahan (rechtsmatigheid) suatu KTUN acapkali dijumpai beberapa keadaan aturan hukum yang memerlukan metode tertentu untuk mengatasinya. Tabel berikut ini memperlihatkan kemungkinan keadaan aturan hukum dan metode untuk mengatasinya.
184 185
commit toOp., usercit., hlm., 20. Philipus M. Hadjon, dalam W. Riawan Tjandra, Indroharto, dalam W. Riawan Tjandra, Op., cit., hlm., 21.
110 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar. 1. Keadaan aturan hukum dan metode mengatasinya186 No. 1
2
3
Keadaan aturan hukum metode mengatasi kekosongan hukum (leemten Rechtsvinding in het Recht) a. Interpretasi undang-undang b. konstruksi hukum Antinomi hukum (Konflik Asas-asas penyelesaian konflik : Antar norma hukum lex posterior derogat legi priori Lex specialis derogat legi generali Lex superior derogat legi inferiori Langkah-langkah : Disavowal (penafsiran kembali) Invalidation (pembatalan) Remedy (pembetulan) Norma hukum yang kabur Penemuan hukum bebas (vage norm) Pengingkaran (disavowal) adalah metode untuk mengatasi terjadinya
antinomi/konflik antar norma hukum yang dilakukan dengan cara tidak diterapkannya suatu ketentuan yang bersifat umum, karena diterapkannya ketentuan yang bersifat khusus berdasarkan prinsip lex specialis. Berkaitan dengan metode pengingkaran tersenut, Malt, sebagaimana dikutip oleh Pranjoto, menyatakan bahwa Through disavowal, the court may avoid the feeling of doing politics, and may aid in keeping conflics, also of values alive. But what is does is also in a away to close its eyes to the problem. A variant of the lex specialis principle will often be involved in the argumentation. Melalui pengingkaran,
pengadilan
dapat
membantu
dalam
mempertahankan
pertentangan, juga terhadap nilai-nilai, tetapi apa yang dilakukan juga berada
commit to user 186
Tjandra, 2005, dalam W. Riawan Tjandra, Op., cit., hlm., 105-107
111 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dalam suatu cara untuk menghindari permasalahan. Berbagai prinsip lex specialis akan sering terlihat dalam argumentasi. Penafsiran kembali (reinterpretation) adalah langkah untuk mengatasi terjadinya antinomi/konflik antar norma dengan cara hakim menafsirkan kembali suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar penetapan suatu KTUN untuk memberikan solusi hukum atas terjadinya sengketa tata usaha negara. Sehubungan dengan penafsiran kembali (reinterpretation)
tersebut,
Malt,sebagaimana
dikutip
oleh
Pranjoto,
mengemukakan this possibility has already been mentioned several times before. A (hard) conflict, both logical and a pragmatical one, established after primary interpretation of the conflicting rules, can aften be solved through a reinterpretation of the conflicting rules. Sebuah konflik terbentuk setelah menafsirkan aturan-aturan utama yang berkonflik sering dapat dipecahkan melalui penafsiran kembali aturan-aturan itu. Maknanya pembatalan yang dipilih secara positif karena paling praktis sebagai suatu akibat penerapan prinsip lex superior. Berdasarkan prinsip pembatalan tersebut, hakim tata usaha negara dapat membatalkan berlakunya suatu KTUN, karena dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pembatalan atas KTUN yang diuji di peadilan TUN tersebut dimaksudkan agar KTUN tersebut dapat disinkronisasikan
dengan
peraturan
perundang-undangan
yang secara
hierarkhis lebih tinggi oleh Badan atau Pejabat TUN yang membuat KTUN itu187. Selanjutnya dikemukakan, metode yang ketiga untuk mengatasi adanya konflik antar norma hukum adalah pembetulan (remedy), merupakan solusi pilihan antara penafsiran kembali dan pembatalan norma hukum. remedy juga merupakan
pembatalan
kembali,
yaitu
pembatalan,
perubahan
atau
pembentukan yang baru penerapan norma-norma sekunder yang berkaitan dengan aturan-aturan konflik. Norma hukum yang tidak diterapkan tidak dikesampingkan, namun dapat dipilih sebagai suatu solusi konflik ketika norma primer dipandang lemah. commit to user 187
Pranjoto, dalam W. Riawan Tjandra, Op., cit., hlm., 107.
112 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a dan b, bahwa keputusan tata usaha negara yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan keputusan tata usaha negara yang digugat bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Sebagai konsekuensi dari konsep negara hukum bahwa pemerintah dalam menjalankan tugasnya harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku
dan
juga
memperhatikan
eksistensi
asas-asas
umum
pemerintahan yang baik. H. A. Muin Fahmal, mengemukakan konsekuensi negara hukum, maka para pelaku administrasi dituntut peranannya untuk terlibat dalam segala aspek kehidupan bernegara demi kesejahteraan masyarakat. Bersamaan dengan tuntutan tersebut, justru ketentuan perundangundangan tidak cukup mengakomodasi nilai-nilai budaya hukum masyarakat. Dalam kondisi tersebut diperlukan asas-asas umum pemerintahan yang layak. Asas-asas umum pemerintahan yang layak tersebut dimaksudkan sebagai sarana mewujudkan suatu negara hukum yang diukur dari cara-cara bertindaknya
penyelenggara
negara.
Ukuran
yang
dapat
digunakan
administrasi negara penggunaan wewenang mewujudkan suatu negara hukum adalah asas-asas umum pemerintahan yang layak188. Dikemukakan bahwa asas-asas umum pemerintahan yang layak, sesungguhnya merupakan ramburambu bagi penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya. Ramburambu tersebut diperlukan agar tindakan-tindakannya tetap sesuai dengan tujuan hukum yang sesungguhnya. Dengan mengutip pendapat Attamini, selanjutnya dikemukakan mengingatkan pentingnya penggunaan asas-asas umum pemerintahan yang layak, karena dewasa ini makin banyak ketentuan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah cenderung keluar dari aturan dasarnya. Dalam bidang hukum administrasi dikembangkan asas-asas hukum umum bagi penyelenggara pemerintahan yang layak untuk mencari cara yang sesuai hukum terhadap tindakan pemerintahan. Asas-asas tersebut akan bertambah penting apabila dalam memenuhi tuntutan terselenggaranya kesejahteraan commit to user 188
H.A. Muin Fahmal, Op., cit., hlm., 43-44
113 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
rakyat. Untuk itu diperlukan banyak peraturan perundang-undangan yang memberikan keleluasaan (kebebasan) yang besar kepada aparat pemerintahan. Pembentukan
ketentuan
perundang-undangan
termasuk
bagian
dari
penyelenggaraan pemerintahan, maka dapat dimengerti jika asas-asas umum pemerintahan yang layak, termasuk asas umum pemerintahan yang harus diperhatikan dalam meletakkan hukum peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, harus pula tetap mengingat bahwa Burkhardt Kremes, berpendapat bahwa asas pembuatan ketentuan perundang-undangan meliputi empat hal : 1) Isi peraturan (inhalt der regelung), 2) Bentuk dan susunan peraturan (form der regelung), 3) Metode pembentukan peraturan (methode der ausor beitung der regelung) 4) Prosedur dan proses pembentukan peraturan (verforen der ausor beitung der regelung). Dikemukakan bahwa luasnya wewenang pejabat administrasi dalam memenuhi fungsinya, maka administrasi (bestuur) sebagai pelaksana pemerintahan diberi wewenang bebas (vrije bestuur). Hal ini bertujuan untuk mengambil tindakan cepat dan tepat serta berfaedah, meskipun begitu tindakan tersebut tetap harus dalam bingkai hukum dan tidak bertentangan dengan hukum. seringkali, dalam praktik ketatanegaraan para administrasi menggunakan hak bebas tersebut. Asas-asas umum pemerintahan yang layak, dipandang sebagai norma tidak tertulis yang senantiasa harus diperhatikan dan ditaati oleh pemerintah. Pada keadaan tertentu dapat ditarik aturan hukum yang dapat diterapkan selaku aturan, atau peraturan hukum yang tidak tertulis. Artinya asas-asas umum pemerintahan yang layak tersebut, dipersamakan dengan norma tertulis, sehingga dapat digunakan oleh hakim untuk membatalkan keputusan tata usaha negara. Sejak dianutnya konsep welfare state, yang menempatkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan umum warga negara dan untuk mewujudkan kesejahteraan ini pemerintah diberi wewenang untuk campur tangan dalam segala lapangan kehidupan masyarakat, yang commit user dalam campur tangan ini tidak saja to berdasarkan pada peraturan perundang-
perpustakaan.uns.ac.id
114 digilib.uns.ac.id
undangan, tetapi dalam keadaan tertentu dapat bertindak tanpa bersandar pada peraturan perundang-undangan dan berdasarkan pada insiatifnya sendiri memalui freies ermessen. Dalam penggunaan freies ermessen, ternyata menimbulkan kekhawatiran di kalangan warga negara, karena dengan freies ermessen muncul peluang terjadnya benturan kepentingan antara pemerintah dengan rakyat, baik dalam bentuk onrechtmatig overheidsdaad, deternement de pouvoir, maupun dalam bentuk willekeur, yang merupakan bentuk-bentuk penyimpangan tindakan pemerintahan yang mengakibatkan terampasnya hak asasi warga negara. Guna menghindari atau meminimalisasi terjadinya benturan tersebut, pada tahun 1946 pemerintah Belanda membentuk komisi yang dipimpin oleh de Monchy yang bertugas memikirkan dan meneiliti beberapa alternatif tentang verhoogde rechtsbescherming atau peningkatan perlindungan hukum bagi rakyat dari tindakan administrasi negara yang menyimpang. Pada tahun 1950 komisi de Monchy kemudian melaporkan hasil penelitiannya tentang verhoogde rechtsbescherming dalam bentuk “algemene beginselen van behoorlijk bestuur” atau asas-asas umum pemerintahan yang baik189. Dikemukakan, ketika mengawali pembahasan tentang AAUPPL, H.D. van Wijk /Willem Konijnenbelt, menulis sebagai berikut :”bestuurorganenzijn aangenomen dat ze bevoegd zijn een bepaald handeling te verrichten-bij hun handelen niet allen gebonden aan wettelijke regels, aan het geschreven recht, daarnaast moeten zij het ongeschreven recht in acht nemen. Het ongeschreven recht, dat wil zeggen vooral de algemene begiselen van behoorlijk bestuur”190. (Organ-organ pemerintah-yang menerima wewenang untuk melakukan tindakan tertentu-menjalankan tindakannya tidak hanya terikat pada peraturan perundang-undangan, hukum tertulis, di samping itu organ-organ pemerintahan harus memperhatikan hukum tidak tertulis, yaitu asas-asas umum pemerintahan yang baik).
189
H.D. VAN Wijk/Willem Konijnenbelt, dalam Ridwan HR.2006, Hukum Administrasi Negara, commit to user Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm., 243. 190 Ridwan HR, Ibid., hlm., 248.
115 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keberadaan AAUPB mempunyai arti yang penting, baik di dalam kaitannya dengan tindakan pemerintah maupun dalam pengujian di peradiran tata usaha negara. De‟ Monchy berpendapat, untuk menjamin perlindungan hukum dari para warga dan demi terlaksananya pemerintahan yang bersih, maka penyelenggara tidak cukup dengan hanya berpegang pada norma undang-undang saja, tetapi harus juga berpedoman pada asas-asas umum pemerintahan yang layak191 Sehubungan dengan tersebut, Indroharto mengemukakan,
pada
awal
mulanya,
AAUPPL
(AAUPB,
peneliti
menggunakan istilah tersebut sesuai dengan yang digunakan dalam Undangundang tentang PTUN) itu lahir dalam suasana orang mencari sarana pengawasan dari segi hukum (rechtmatigheidscontrole) terhadap tindakan administrasi negara, namun dalam perkembangannya, keberadaan AAUPPL mempunyai makna yang lebih penting dari sekedar sebagai akibat sarana kontrol. Arti penting tersebut disebabkan, pertama, karena AAUPPL dianggap merupakan bagian dari hukum positif yang berlaku. Kedua, karena AAUPPL merupakan norma bagi perbuatan-perbuatan administrasi negara, di samping norma-norma di dalam hukum tertulis dan tidak tertulis. Ketiga, karena AAUPPL dapat dijadikan alasan untuk gugatan dan akhirnya dapat dijadikan “alat uji” oleh hakim administrasi untuk menilai sah tidaknya atau batal tidaknya keputusan administrasi negara192 . Selanjutnya dikemukakan sebagai norma hukum, paling tidak AAUPPL mempunyai pengaruh pada tiga bidang : a. Pada bidang penafsiran dan penerapan dari ketentuan peraturan perundang-undangan b. Pada bidang pembentukan beleid pemerintah di mana organ pemerintah diberi kebebasan kebijaksanaan oleh peraturan perundang-undangan atau tidak
terdapat
ketentuan-ketentuan
yang
kebijaksanaan yang akan dilakukan itu c. Pada waktu pelaksanaan kebijaksanaan.
191 192
commit user De‟ Monchy, dalam , H.A. Muin Fahmal., Op.,to cit., hlm., 72. Indroharto, dalam Jazim Hamidi, 1999, Op., cit., hlm., 25.
membatasi
kebebasan
perpustakaan.uns.ac.id
116 digilib.uns.ac.id
Pembagian ke dalam tiga bidang tersebut, oleh Indroharto diberi nama “tiga aspek penemuan hukum”. dalam praktik penerapannya, ketiga aspek tersebut berinteraksi saling membaur. a. AAUPPL dan penafsiran undang-undang Untuk memperoleh hasil yang memuaskan suatu rumusan undangundang, sebenarnya tidak dapat diterapkan secara mekanis silogistis begitu saja kepada suatu keadaan konkrit yang ada. Sebab visi atau pandangan penafsir atas suatu ketentuan undang-undang itu juga ikut berperan pada apresiasi (penilaian) mengenai keadaan konkrit itu. Sebaliknya apresiasi (penilaian) mengenai keadaan konkret itu juga penting artinya pada penafsiran yang dilakukan terhadap suatu ketentuan undang-undang. Dalam kondisi seperti ini, bisa terjadi dua konfrontasi atau kondisi antinomi, yaitu ketentuan undang-undang terhadap keadaan yang konkrit dan keadaan yang konkrit terhadap ketentuan undang-undangnya. Pada keadaan antinomi semacam ini, AAUPPL berperan. Premis tersebut, menurut Jazim Hamidi berlaku juga di kalangan hakim, sebab menurut Bismar Siregar193, dalam era hukum modern dewasa ini, paham lama yang menempatkan hukum ciptaan para hakim berada di atas segala-galanya sudah ditinggalkan. Kini melalui upaya penafsiran terhadap undangundang, hakim berwenang membuat hukum, sehingga tercipta keadilan materiil. Hakim tidak semata-mata menegakkan aturan formal, tetapi juga menemukan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. b. AAUPPL dan pembentukan kebijakan (beleid). Esensi dari negara hukum adalah terselenggaranya mekanisme kehidupan perorangan, masyarakat dan negara diatur oleh hukum (tertulis maupun tidak tertulis). Jadi masyarakat maupun pemerintah wajib mematuhi norma-norma hukum itu. Salah satu contoh asas persamaan, jika seorang penguasa hendak menentukan kebijakannya, maka ia harus memperlakukan kasus-kasus yang serupa dengan perlakuan yang sama, commit to user Bismar Siregar, Hakim wajib Menafsirkan Undang-undang, Varia Peradilan Tahun X Nomor 120, Sepetember 1995, hlm., 88, dalam Jazim Hamidi, Op., cit, hlm., 26. 193
117 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tidak boleh pilih kasih. Karena sikap mengindahkan asas persamaan, hakikatnya akan dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya tindakan penyalahgunaan wewnang dan tindakan tidak sewenang-wenang oleh pemerintah. Pemerintah dalammenjalankan kebijakan dilekati dengan asas nach freis ermessen, namun kebebasan tersebut tidak boleh dijalankan secara berlebihan, bertindak tanpa dasar atau dengan dasar yang kurang jelas. Dalam hal ini, ada suatu pegangan yang harus ditaati oleh penjabat administrasi negara, yaitu ketaatan dan penghormatan terhadap AAUPPL. Sebaliknya hakim administrasi dalam melakukan penilaian terhadap kebijakan pemerintah dalam bentuk beschikking, hakim harus berpegang pada AAUPPL sebagai salah satu dasar pengujiannya. c. AAUPPL dan pelaksanaan kebijakan Salah satu wujud dari “tri-fungsi” sikap tindak administrasi negara adalah menjalankan pemerintahan dalam kehidupan bernegara sesuai dengan tujuan yang digariskan. Realisasi dari fungsi tersebut, tentu penjabat administrasi negara akan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendukungnya. Pada saat pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut, tidak menutup kemungkinan terjadinya perselisihan, benturan kepentingan dan sengketa administrasi negara antara pembentuk kebijakan (penjabat administrasi negara dengan warga masyarakat). Di sinilah letak pentingnya keberadaan AAUPPL sebagai salah satu dasar atau pegangan bagi penjabat administrasi negara dalam mewujudkan kebijakan–kebijakan yang berdimensikan nilai-nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum194. Pada mulanya keberadaan AAUPPL ini di Indonesia belum diakui secara yuridis formal, sehingga belum memiliki kekuatan hukum formal. Ketika pembahasan RUU Nomor 5 Tahun 1986 di DPR, fraksi ABRI mengusulkan agar asas-asas tersebut dimasukkan sebagai salah satu alasan gugatan terhadap keputusan Badan atau Pejabat tata usaha negara, tetapi usulan tersebut tidak dapat diterima oleh pemerintah dengan alasan yang commit to user 194
Jazim Hamidi, 1999, Op., cit., hlm., 28.
perpustakaan.uns.ac.id
118 digilib.uns.ac.id
dikemukakan oleh Ismail Saleh, selaku Menteri Kehakiman yang mewakili pemerintah. Alasan pemerintah sebagai berikut : “menurut hemat kami, dalam praktik ketatanegaraan maupun dalam hukum tata usaha negara yang berlaku di Indonesia, belum mempunyai kriteria tentang „algemene beginselen van behoorlijk bestuur‟ tersebut yang berasal dari negara Belanda. Pada waktu ini kita belum mempunyai tradisi administrasi yang kuat mengakar seperti halnya di negara-negara Kontinental tersebut. Tradisi demkian bisa dikembangkan melalui yurisprudensi yang kemudian akan menimbulkan norma-norma. Secara umum prinsip dari hukum tata usaha negara kita dikaitkan dengan aparatur pemerintahan yang bersih dan berwibawa yang konkretisasi normanya maupun pengertiannya masih sangat luas sekali dan perlu dijabarkan melalui kasus-kasus yang konkrit”. Tidak dicantumkannya AAUPB dalam Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara (karena pada waktu itu Indonesia belum mempunyai Undang-undang PTUN), bukan berarti eksistensinya tidak diakui sama sekali. Walaupun AAUPB tidak terakomodasi dalam Undang-undang PTUN, sebenarnya asas-asas ini dapat digunakan dalam praktik peradilan di Indonesia, karena memiliki sandaran dalam Pasal 14 ayat (1) Undangundang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana diubah terakhir dengan Undangundang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1). Berdasarkan pada ketentuan tersebut, maka AAUPB mempunyai peluang untuk digunakan dalam proses peradilan di Indonesia. Seiring dengan perjalanan waktu dan adanya perubahan politik di Indonesia, maka pada tanggal 29 Desember 1986 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN disahkan, namun eksistensi AAUPB belum mendapatkan kedudukan secara yuridis formal, sehingga dalam praktik di peradilan hakim dapat menggunakannya sebagai dasar pertimbangan dalam memutus sengketa yang diperiksanya. AAUPB mendapat tempat secara yuridis formal setelah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 commit Undang-undang to user tentang PTUN, diubah dengan Nomor 9 Tahun 2004
119 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tentang PTUN. Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah meliputi asas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Berbagai pendapat dikemukakan berkaitan dengan eksistensi AAUPB setelah mendapatkan pengakuan secara yuridis formal dalam hukum tertulis, seperti Muchsan, yang mengemukakan sebaiknya AAUPB tetap diposisikan sebagai etika, tidak perlu dimasukkan dalam undangundang. Hal tersebut dimaksudkan agar tetap terbuka ruang diskresi bagi hakim dalam menguji perbuatan tata usaha negara, sesuai dengan nilainilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat mengenai hubungan yang selaras antara pemerintah sebagai pelaksana kekuasaan negara di bidang bestuur dengan rakyat195. Berkaitan dengan pengaturan AAUPB dalam undang-undang, W. Riawan Tjandra, mengemukakan pengaturan AAUPB dalam suatu undang-undang mengesankan masih kuatnya pandangan wetmatigheid van het bestuur yang dahulu pernah dipraktikkan pada masa negara hukum formal. Pandangan tersebut melihat bahwa titik tolak dari penyelenggaraan pemerintahan haruslah berdasarkan suatu undang-undang semata-mata. Pengaturan AAUPB dalam suatu undang-undang kiranya hanya akan memberikan ikatan yang sangat ketat kepada hakim. Kesalahan dalam memahami pengaturan semacam itu dapat berakibat tidak adanya lagi ruang diskresi bagi hakim dalam menggali AAUPB yang lebih sesuai dengan perkembangan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
AAUPB
meskipun
sekarang
sudah
terlanjur
dimasukkan dalam undang-undang dengan pola pengaturan yang hampir sama dengan dimasukkannya AAUPB dalam Wet AROB, namun W. commit to user 195
Muchsan, dalam W. Riawan Tjandra, Op., cit., hlm., 401.
120 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Riawan mengusulkan agar sekurang-kurangnya hal tersebut tidak membatasi ruang diskresi bagi hakim untuk melakukan penemuan hukum, dalam upaya menemukan AAUPB yang sungguh-sungguh bersumber dari dan selaras dengan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat setempat196. Pendapat yang berbeda dalam kaitannya dengan pengaturan AAUPB dalam undang-undang, dikemukakan H.A.Muin Fahmal, bahwa kandungan makna pada asas-asas umum pemerintahan yang layak, bukan regering atau overheid, yang mengandung arti pemerintah dalam arti luas. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan proses peadilan, asas-asas yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, tidak memiliki konsekuensi hukum yang sama dengan asasasas umum pemerintahan yang layak, yang secara aktual telah dijadikan sebagai salah satu dasar penilaian oleh para hakim. Asas-asas yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 lebih merupakan etika dalam penyelenggaraan kenegaraan, bukan sebagai kaidah hukum197. dikemukakan bahwa pengawasan pada badan peradilan khususnya peradilan administrasi dalam hal pembahasan tindakan administrasi, keputusan-keputusan administrasi dapat dikendalikan, dibatalkan bukan saja bilamana ada konflik dengan peraturan tertulis, tetapi juga bilamana keputusan itu bertentangan dengan salah satu dari asas-asas umum pemerintahan yang layak. Dengan kata lain bahwa asas-asas umum pemerintahan yang layak, meskipun merupakan asas, tetapi dapat menjadi alasan untuk membatalkan tindakan administrasi atau sebagai dasar pengujian yang dipandang sebagai norma. Suatu hal yang sangat mengejutkan tentang pendapat dan pemahaman responden (sebagian besar hakim) tentang eksistensi asas-asas umum pemerintahan yang baik. Hasil penelitian dari H.A. Muin Fahmal 196 197
commit to W. Riawan Tjandra. Op., cit., hlm., 402. H.A. Muin Fahmal, Op., cit., hlm., 155
user
121 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menunjukkan bahwa para hakim bervariasi pendapatnya tentang penggunaan asas-asas umum pemerintahan yang layak. Demikian pula perihal perlunya penggunaan beberapa asas sebagaimana yang selama ini dikenal dalam literatur atau yang selama ini berkembang dalam beberapa seminar baik yang dilaksanakan Perguruan Tinggi, pemerintah bahkan Mahkamah Agung. Pemahaman hakim tentang perlunya asas-asas umum pemerintahan yang layak digunakan dalam mengadili suatu sengketa. Berdasarkan jumlah responden, yaitu 46 orang, yang terdiri dari hakim tinggi, hakim pengadilan agama, hakim pengadilan negeri dan hakim peradilan tata usaha negara pada tahun 2003-2004, maka 10 orang atau 21,74% responden yang mengetahui perlunya memperhatikan asasasas umum pemerintahan yang layak dijadikan atau digunakan sebagai dasar dalam mengambil putusan, sedangkan 32,61% mempunyai pemahaman yang kurang, bahkan yang sangat kurang memahami penggunaan asas-asas umum pemerintahan yang layak sebagai dasar untuk mengambil putusan sama dengan mereka yang mempunyai pemahaman yang kurang, yaitu 32, 61% dan 13,04% justru sama sekali tidak memahami tentang asas-asas umum pemerintahan yang layak. Demikian juga para responden yang sama, mereka tidak mempunyai keseragaman pemahaman terhadap asas-asas umum pemerintahan yang layak. Berdasarkan jumlah responden 46 orang, terdapat 47,83% para hakim tidak seragam pemehamannya terhadap asas-asas umum pemerintahan yang layak dan 19,57% menyatakan hakim seragam tentang eksistensi asas-asas umum pemerintahan yang layak198. Dalam kaitannya dengan putusan yang adil, berdasarkan jumlah responden yang sama, maka 47,83% menyatakan putusan yang adil. Keadilan adalah kepastian hukum yang diperoleh dengan menerapkan hukum positif, sedangka 43,48% menyatakan keadilan adalah sesuai dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. commit to user 198
H.A. Muin Fahmal, Op., cit., hlm., 197.
perpustakaan.uns.ac.id
122 digilib.uns.ac.id
Mengingat asas-asas umum pemerintahan yang layak merupakan nilai-nilai etik yang hidup dan berkembang dalam pergaulan masyarakat (living law), maka wajar kalau di antara para ahli hukum beragam dalam menentukan macam dan pengelompokan asas-asas tersebut. A.M. Donner dan Wiarda sebagai perintis di bidang ini, memerinci AAUPPL ke dalam lima macam asas, yaitu : a.
Asas kejujuran (fair play)
b. Asas kecermatan (zorgvuldigheid) c. Asas kemurnian dalam tujuan (zuiverheid van oogmerk) d. Asas keseimbangan (evenwichtigheid) e. Asas kepastian hukum (rechts zekerheid)
A.D. Belinfante, membagi AAUPPL menjadi lima, yaitu : a. Asas larangan bertindak tidak sewenang-wenang b. Asas larangan deturnement de pouvoir. c. Asas kepastian hukum d. Asas kesaksamaan e. Asas persamaan. J. In‟t Veld dan N.S.J. Koeman, membagi menjadi delapan, yaitu : a. Asas larangan detournement de pouvoir b. Asas larangan bertindak tidak sewenang-wenang (willekeur) c. Asas persamaan (het gelijkheids beginsel) d. Asas kepastian hukum (rechtszekerheid) e. Asas harapan-harapan yang ditumbuhkan (gewekte verwachtingen) f. Asas kejujuran (fair play) g. Asas kecermatan (zorgvuldigheid) h. Asas pemberian dasar pertimbangan (motivering)
Kedelapan asas tersebut dalam praktik peradilan administrasi to user Belanda telah diterapkan commit oleh para hakim administrasi melalui putusan-
123 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
putusannya (yurisprudensi) dan sudah menjadi bagian dari hukum positifnya199. Berkaitan dengan AAUPPL, maka pakar hukum Crince Le Roy200, mendeskripsikan hasil temuannya ke dalam 11 asas, yaitu : a. Asas kepastian hukum b. Asas keseimbangan c. Asas bertindak cermat d. Asas motivasi untuk keputusan pejabat adminstrasi e. Asas tidak boleh mencampuradukan kewenangan. f. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan. g. Asas permainan yang layak h. Asas keadilan atau kewajaran i. Asas menanggapi pengharapan yang wajar j. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal k. Asas perlindungan atas pandangan hidup (cara hidup) pribadi Terhadap ke 11 asas tersebut, Kuncoro Purbopranoto menambahkan dua asas, yaitu : a. Asas kebijaksanaan. b. Asas penyelenggaraan kepentingan umum. Di Belanda mengenai asas-asas umum pemerintahan yang baik (Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur) diakomodasi melalui yurisprudensi
Administrative
Rechtspraak
Overheids
Beschikking
(AROB)201 , yaitu : a. Asas pertimbangan (motiveringsbeginsel) b. Asas kecermatan (zorgvuldigheidsbeginsel) c. Asas kepastian hukum (rechtszekerhedsbeginsel) d. Asas kepercayaan atau asas menanggapi harapan yang telah ditimbulkan
(vertrowens-beginsel
of
beginsel
van
opgewekte
verwachtingen) 199
J. In‟t Veld dan N.S.J. Koeman, dalam Jazim Hamidi, 1999, Op., cit., hlm., 32. Ateng Syafrudin, dalam Jazim Hamidi, Op., cit., hlm., 32. 201 commit to Administrasi user Paulus E. Lotulung, 1994, Perbandingan Hukum Negara Himpunan Makalah Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, Bandung : Aditya Citra Bakti, hlm., 106. 200
124 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
e. Asas persamaan (gelijkheidbeginsel) f. Asas keseimbangan (evenredigheidbeginsel) g. Asas kewenangan (bevoegheidsbeginsel) h. Asas fair play (beginsel van fair play) i. Larangan Detournement de Pouvoir (het verbod detournement de Pouvoir) j. Larangan bertindak sewenang-wenang (het vebod van willekeur).
Sebagaimana dikemukakan bahwa penjelasan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, menunjuk asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yaitu : 1. Asas kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum
yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara. 2. Asas tertib penyelenggaraan negara, yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan,
keserasian
dan
keseimbangan
dalam
pengendalian
penyelenggara negara. 3.
Asas kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
4. Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatkan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara. 5. Asas proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara. 6. Asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 7. Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan commit penyelenggara to user hasil akhir dari kegiatan negara harus dapat
125 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dipetanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Di samping asas-asas umum pemerintahan yang baik, dapat ditemui dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN yang menunjuk pada Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999, maka dalam Rancangan Undang-undang terdapat usulan penempatan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu dalam Pasal 3 RUU tentang Administrasi Pemerintahan draft bulan November 2007, menyatakan bahwa Badan atau Pejabat Pemerintahan dalam menjalankan hak, wawenang, kewajiban dan tanggungjawabnya wajib melaksanakan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Jenis dan difinisi AAUPB selanjutnya dirumuskan pada Pasa 3 ayat (2) beserta penjelasannya, sebagai berikut : 1. Asas kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum
yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan 2. Asas keseimbangan, yaitu asas yang mewajibkan Badan atau Pejabat Pemerintahan untuk menjaga, menjamin, paling tidak mengupayakan keseimbangan antara : a) kepentingan antar individu yang satu dengan kepentingan individu yang lain, b) keseimbangan antar individu dengan masyarakat, c) antar kepentingan warga negara dan masyarakat asing, d) antar kepentingan kelompok masyarakat yang satu dan kepentingan kelompok masyarakat yang lain, e) keseimbangan kepentingan antara pemerintah dengan warga negara, f) keseimbangan antara kepentingan generasi yang sekarang dan kepentingan generasi mendatang, g) keseimbangan antara manusia dan ekosistemnya, h) antara kepentingan pria dan wanita. 3. Asas ketidakberpihakan, yaitu asas yang mewajibkan Badan atau Pejabat Pemerintahan
dalam
mengambil
keputusan
mempertimbangkan
kepentingan para pihak secara keseluruhan dan tidak diskriminatif. commit to user
126 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. Asas kecermatan, yaitu asas yang mengandung arti bahwa suatu keputusan harus didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap untuk mendukung legalitas pengambilan keputusan, sehingga keputusan yang bersangkutan dipersiapkan dengan cermat sebelum keputusan itu diambil atau diucapkan. 5. Asas
tidak
melampaui,
tidak
menyalahgunakan
dan/atau
mencampuradukkan kewenangan, yaitu asas yang mewajibkan setiap Pejabat Administrasi Pemerintahan atau Badan tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut. 6. Asas keterbukaan, yaitu asas
yang melayani masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan dengan tetap memeperhatikan perlindungan atas hak asasi, pribadi, golongan dan rahasia negara. 7. Asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang sesuai dengan tugas dan kode etik yang berlaku bagi Badan atau Pejabat Pemerintahan
yang
mengeluarkan
keputusan
pemerintahan
yang
bersangkutan. 8. Asas kepentingan umum, yautu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, selektif dan tidak diskriminatif202 . Tugas yang pokok hakim PTUN adalah menguji keabsahan KTUN yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN, yaitu bertentangan atau tidak dengan
peraturan
perundang-undangan
yang
dan
asas-asas
umum
pemerintahan yang baik. Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN adalah sebagai wajud atau manifestasi dalam menjalankan tugasnya dan sudah barang tentu keputusan yang dibuatnya atau dikeluarkan tersebut harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku
dan
asas-asas
umum
pemerintahan yang baik, sebagai pedoman yang digariskan dalam negara commit to user 202
Sumber RUU Administrasi Pemerintahan draft bulan November 2007.
127 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hukum. Pemerintah dalam suatu negara kesejahteraan banyak melakukan perbuatan-perbuatan pemerintahan (bestuurshandelingen) yang ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi warga negaranya, dan tindakantindakan pemerintah tersebut juga tidak lepas dari timbulnya benturanbenturan dengan kepentingan warga negaranya. Dalam menjalankan tugas pemerintahan tersebut, dibutuhkan adanya suatu kewenangan. Sebagaimana dikemukakan Ridwan HR203, seiring dengan pilar utama negara hukum, yaitu asas legalitas (legaliteitbeginsel atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur), berdasarkan prinsip tersebut tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundangundangan. Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara, yaitu atribusi, delegasi dan mandat. Dengan
mengambil
pendapat
Indroharto,
selanjutnya
Ridwan
mengemukakan, pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru. Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau jabatan tata usaha negara yang telah memperoleh wewenang pemerintah secara atributif kepada badan atau jabatan tata usaha negara lainnya. Jadi suatu delegasi
selalu didahului
oleh adanya suatu
atribusi
wewenang204.
Dkemukakan bahwa pada mandat tidak terjadi pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari badan atau jabatan tata usaha negara yang satu kepada badan atau jabatan tata usaha negara yang lainnya dan tidak terjadi perubahan apa-apa mengenai distribusi wewenang yang telah ada sebelumnya. Dalam mandat yang ada hanya hubungan interen dan wewenang pemerintahan tersebut dilaksanakan oleh mandataris atas nama dan tanggung jawab mandans. 203 204
commit to Ridwan HR, Op., cit., hlm., 103. Indroharto, dalam Ridwan, Op., cit., hlm., 104.
user
perpustakaan.uns.ac.id
128 digilib.uns.ac.id
Dalam negara hukum yang menggunakan konsep negara kesejahteraan (welfare state), pemerintah diberi wewenang untuk melakukan perbuatan tata usaha negara yang dapat dikelimpokkan ke dalam tiga macam perbuatan, yaitu: 1. Mengeluarkan keputusan (beschikking) 2. Mengeluarkan peraturan (regeling) 3. Melakukan perbuatan materiil (materiele daad) Berdasakan ke tiga perbuatan pemerintah tersebut, maka yang menjadi kompetensi PTUN terbatas mengenai perbuatan mengeluarkan keputusan (beschikking), artinya keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN dapat dinilai oleh hakim PTUN205. Ketetapan tata usaha negara pertama kali diperkenalkan oleh seorang sarjana Jerman, Otto Meyer dengan istilah verwaltungsakt. Istilah tersebut diperkenalkan di negeri Belanda dengan nama beschikking oleh van Vollen Hoven dan C.W. van der Pot, yang oleh beberapa penulis, seperti AM. Donner, H.D. van Wijk/Willen Konijnenbelt, dianggap sebagai “de varder van het moderne beschikkingsbegrip” (bapak dari konsep beschikking yang modern)206. Dalam Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN disebutkan KTUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Dalam penjelasan disebutkan bahwa istilah “penetapan tertulis” terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya. Persyaratan tertulis ini diharuskan untuk kemudahan segi pembuktian. Oleh karena itu, 205
Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, Op., cit., hlm., 49. commit user B.V., „s-Gravenhage, 1987, dalam F.C.M.A.Michiels, De Arob-Beschikking, VugatoUitgeverij Ridwan HR, Op., cit., hlm., 144. 206
129 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan merupaka suatu Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini, apabila jelas : a. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mama yang mengeluarkannya. b. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu. c. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya. Bersifat konkret, artinya obyek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak bersifat abstrak, tetapi yang berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, umpamanya keputusan mengenai rumah si A, ijin usaha bagi si B, pemberhentian si A, sebagai pegawai negeri. Bersifat individual, artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupunhal yang dituju, kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama yang terkena keputusan itu disebutkan. Umpamanya keputusan tentang perbuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran yang menyebutkan nama-nama orang yang terkena keputusan tersebut. Bersifat final, artinya sudah difinitif atau karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. keputusan yang masih minta persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final, karenanya dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan. Umpamanya, keputusan pengangkatan seorang pegawai negeri memerlukan persetujuan dari Badan Administrasi Kepegawaian Negara. Perbuatan ketetapan tata usaha negara harus memperhatikan beberapa persyaratan (rechtsgeldig)
agar dan
keputusan
tersebut
memiliki
kekuatan
menjadi hukum
sah
menurut
(rechtskrach)
hukum untuk
dilaksanakan. Syarat-sysrat yang harus diperhatikan dalam pembuatan ketetapan ini mencakup syarat material dan syarat formal207, : Syarat-syarat material terdiri dari : a. Organ pemerintahan yang membuat ketetapan harus berwenang
commit user Disaripatikan dari Kuntjoro Purbopranoto, hlm.,to48, S.F. Marbun, hlm., 132-135, E. Utrecht., hlm., 181, Soehino, hlm., 122, dalam Ridwan HR, Op., cit., hlm., 169. 207
130 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Karena ketetapan suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring), ketetapan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan yuridis (geen juridische gebreken in de wilsvorming), seperti penipuan (bedrog), paksaan (dwang), atau suap (omkoping), kesesatan (dwaling) c. Ketetapan harus berdasarkan suatu keadaan (situasi) tertentu d. Ketetapan harus dapat dilaksanakan dan tanpa melanggar peraturanperaturan lain, isi dan tujuan ketetapan itu harus dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya. Syaray-syarat formil terdiri dari : a. Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan pesiapan dibuatnya ketetapan dan berhubung dengan cara dibuatnya ketetapan harus dipenuhi b. Ketetapan harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya ketetapan itu c. Syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan ketetapan itu harus dipenuhi d. Jangka
waktu
harus
ditentukan
antara
timbulnya
hal-hal
yang
menyebabkan dibuatnya atau diumumkannya ketetapan itu harus diperhatikan.
Philipus M. Hadjon, mengemukakan syarat-syarat sahnya keputusan tata usaha negara, meliputi : a. Kewenangan (bevoegdheid) organ administrasi b. Rechtsmatigheid keputusan administrasi c. Tidak ada kekurangan dalam wilsvorming (pembentukan kehendak) organ administrasi negara d. Doelmatigheid dari keputusan pemerintah e. Prosedur pembuatan keputusan f. Penuangan keputusan dalam bentuk yang tepat208. Syarat-syarat dalam kaitannya dengan pembuatan tersebut harus diperhatikan, karena apabila terdapat salah satu atau beberapa persyaratan tersebut tidak dipenuhi, ketetapan tersebut mengandung kekurangan dan commit to user Philipus M. Hadjon, 1988, Pengertian-pengertian Dasar tentang Tindak Pemerintahan (bestuurshandeling) , Surabaya : jumali, hlm., 10 208
perpustakaan.uns.ac.id
131 digilib.uns.ac.id
menjadi tidak sah. Van der Wel209, menyebutkan enam macam akibat suatu ketetapan yang mengandung kekurangan, yaitu : a. Ketetapan tersebut menjadi batal karena hukum b. Kekurangan tersebut menjadi sebab atau menimbulkan kewajiban untuk membatalkan ketetapan itu untuk sebagian atau seluruhnya c. Kekurangan itu menyebabkan bahwa alat pemerintah yang lebih tinggi dan yang berkompeten untuk menyetujui atau meneguhkannya, tidak sanggup memberi persetujuan atau peneguhan itu d. Kekurangan itu tidak memengaruhi berlakunya ketetapan e. Karena kekurangan itu, ketetapan yang bersangkutan dikonversi ke dalam ketetapan lain f. Hakim sipil (biasa) menganggap ketetapan yang bersangkutan tidak mengikat. Ketetapan yang sah dan telah dapat berlaku dengan sendirinya akan memiliki kekuatan hukum formal (formeel rechtskracht) dan kekuatan hukum materiil (materiele rechtskracht). Suatu ketetapan mempunyai kekuatan hukum formal, apabila ketetapan tersebut tidak lagi dapat dibantah oleh suatu alat hukum (rechtsmiddel)210 atau tidak dapat dibantah baik oleh pihak yang berkepentingan, oleh hakim, organ pemerintah yang lebih tinggi maupun organ yang membuat ketetapan itu sendiri. Suatu ketetapan memperoleh kekuatan hukum materiil adalah pengaruh yang dapat diadakan oleh karena isi atau materi dari ketetapan tersebut. E. Utrecht, menyebutkan bahwa suatu ketetapan mempunyai kekuatan hukum formil apabila ketetapan itu tidak lagi dapat ditiadakan oleh alat negara yang membuatnya, kecuali peraturan perundang-undangan memberikan kemungkinan kepada pemerintah atau administrasi negara untuk meniadakan ketetapan tersebut211. Di samping mempunyai kekuatan hukum formal dan hukum material terhadap ketetapan yang telah sah dan sudah dinyatakan berlaku, maka dalam negara hukum ketetapan tersebut melahirkan prinsip praduga rechtmatig, artinya setiap tindakan pemerintah selalu harus dianggap sah atau rechtmatig sampai ada pembatalan dari pengadilan. Asas 209
E. Utrecht, dalam Ridwan, Op., cit., hlm., 171. W.F. Prins dan R. Kosim Adisapoetra, 1983, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, commit to user Jakarta : Pradnya Paramita, hlm., 69 211 E. Utrecht, dalam Ridwan HR., Op., cit., hlm., 174. 210
132 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
praduga rechtmatig adalah merupakan salah satu asas dalam beracara di PTUN dan ciri kekhususan dalam beracara di PTUN.Pasal 67 ayat (1) undangundang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN menyebutkan, gugatan yang diajukan pihak penggugat tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan tata usaha negara yang digugat, namun kemungkinan penundaan tersebut diatur dalam Pasal 67 ayat (2) dan dengan alasan yang diatur dalam Pasal 67 ayat (4) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN.
3.5. Perbandingan Sistem Peradilan Tata Usaha Negara Peradilan Tata Usaha Negara sebagai pranata khusus pada umumnya dianut di negara-negara yang menganut sistem civil law (Eropa Kontinental), dengan sebutan yang berbeda-beda, seperti : Tribunal Administratif di Perancis
dan
di
Italia,
Administartief
Bunderverwaltungsgericht, di Jerman
212
Rechtspraak
di
Nederland,
. Di negara-negara yang menganut
sistem hukum common law (Anglo Saxon), seperti Inggris, Amerika Serikat, Australia tidak mengenal Peradilan Tata Usaha Negara sebagai pranata sendiri, tetapi penyelesaian sengketanya tersebar di berbagai kuas pengadilan, yang juga pada umumnya disebut administratavi tribunal (administrative court) Sejak awal abad pertengahan sampai pertengahan abad XII, hukum Inggris dan hukum Eropa Kontinental masuk ke dalam bilangan sistem hukum yang sama, yaitu hukum Jerman. Hukum tersebut bersifat feodal baik substansi maupun prosedurnya213 Satu abad kemudian terjadi perubahan situasi, hukum Romawi yang merupakan hukum materiil dan hukum kanonik214 yang merupakan hukum acara telah mengubah kehidupan di Eropa Kontinental, sedangkan di Inggris luput dari pengaruh tersebut. Di negeri 212
Kumpulan kasus-kasus administrasi dari berbagai negara anggota “Association International de Hautes Juridictions Administratives (A.I.H.J.A) “, yang diajukan dalam rapat pendahuluan konverensi PTUN sedunia di Roma Tahun 1994, Avriel 1994, dalam Lintong O. Siahaan, 2005, Prospek PTUN Sebagai Pranata Penyelesaian Sengketa Administrasi di Indonesia, Jakarta : Perum Perctakan Negara RI, hlm., 28 213 R.C. van Caenegem, 1987, judges, legislations and Professors, dalam Peter Mahmud Marzuki, commitPrenada to userMedia Group, hlm., 261. 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Kencana 214 Hukum kanonik merupakan hukum acara atau prosedur yang ditetapkan oleh gereja.
133 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tersebut masih berlaku hukum asli rakyat Inggris. Saat dikotomi itu terjadi dapat ditentukan secara tepat, yaitu pada masa pemerintahan Raja Henry II215. Sistem yang dianut oleh negara-negara Eropa Kontinental yang didasarkan atas hukum Romawi disebut sebagai sistem civil law, disebut demikian karena hukum Romawi pada mulanya bersumber karya agung Kaisar Justinianus Corpus Iuris Civilis, sedangkan sistem yang dikembangkan di Inggris karena didasarkan atas hukum asli rakyat Inggris disebut common law. Sistem civil law dianut oleh negara-negara Eropa Kontinental, sehingga kerap disebut juga sistem Kontinental. Sebaliknya, common law dianut oleh suku-suku Anglika dan Saka yang mendiami sebagian besar Ingris, sehingga disebut juga sistem Anglo-Saxon. Suku-suku Scott yang mendiami Scotlandia tidak menganut sistem itu, meskipun berada di tanah Inggris mereka menganut sistem civil law.Negara-negara bekas jajahan negara-negara Eropa Kontinental juga menganut sistem civil law, sama halnya negara-negara berbahasa Inggris yang merupakan bekas jajahan Inggris menganut common law. Amerika Serikat sebagai bekas jajahan Inggris mengembangkan sistem yang berbeda dari yang berlaku di Inggris, meskipun masih dalam kerangka sistem common law. Di lain pihak, perkembangan politik, ekonomi dan teknologi yang terjadi di Amerika Serikat lebih pesat daripada yang terjadi di Inggris216
a. Sistem Peradilan TUN Belanda. Sistem peradilan administrasi yang berlaku di Belanda menunjukkan ciriciri yang kompleks. Dikatakan kompleks, karena sengketa-sengketa antara rakyat atau warga negara dengan administrasi negara (pemerintah) diperiksa dan diputus oleh bermacam-macam badan yang masing-masing hanya berwenang di bidangnya sebagaimana telah ditemukan oleh undangundang.
Bermacam-macam
badan
atau
lembaga
peradilan
yang
menyelesaikan sengketa administrasi di Belanda, dikelompokkan dalam :
215 216
commit to user R.C. van Caenegem, dalam Peter Mahmud Marzuki, Ibid., hlm., 261. Peter Mahmud Marzuki, 2008, Op.,cit., hlm., 262.
134 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1. Pemutusan sengketa yang dilakukan oleh badan yang termasuk intern pemerintah sendiri, baik struktur organisasi maupun wewenangnya. Prosedur
semacam
ini
disebut
pemutusan
sengketa
secara
administratief beroep (upaya banding adminstrasi) 2. Pemutusan sengketa oleh badan yang termasuk kategori peadilan adminsitarsi, tetapi pengertian peradilan administrasi dalam ini bukanlah suatu peradilan administrasi yang mempunyai wewenang yurisdiksi secara umum (algemene administrative rechtspraak), seperti yang berlaku di Perancis (Tribunal Administratif dan Conseil d‟Etat), melainkan hanya merupakan peradilan administrasi yang bersifat khusus dan mempunyai kewenangan terhadap sengketa tertentu. Contoh : Centrale Raad van Beroep (Dewan Pusat Banding) yang memeriksa banding terhadap keputusan yang berkaitan dengan bermacam-macam jenis jaminan sosial. College van Beroep voor het Bedriftsleven (Dewan Banding terhadap beschikking tentang badan usaha publik). Afdeling Rechtspraak van de Raad van State (Dewan Pertimbangan Agung bagian peradilan) yang berwenang khusus berdasarkan wet AROB 1976. 3. Pemutusan sengketa oleh Peradilan Umum atau Perdata217. Dalam kaitannya dengan eksistensi PTUN di Belanda, menarik dkemukakan pendapat W. Riawan Tjandra218, untuk melengkapi keberadaan PTUN di Belanda, beliau mengemukakan bahwa sistem peradilan TUN di Belanda berbeda dengan sistem yang berlaku di Perancis yang menempatkan peradilan TUN sebagai lembaga yang berdiri sendiri dan terpisah dari badan peradilan umum. Sengketa tata usaha negara di Belanda diselesaikan oleh bermacam-macam badan/organ yang hanya berwenang di bidangnya masing-masing, yang telah ditentukan secara khusus oleh undang-undang. Pola pemutusan sengketa tata usaha negara di Belanda dikelompokkan menjadi : 217 218
commit to Jazim Hamidi, 1999, Op.,cit., hlm., 57. W. Riawan Tjandra, Op.,cit., hlm., 46-48
user
135 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1. Pemeriksaan dan pemutusan sengketa tata usaha negara oleh badan/organ yang secara administratif dan organisatoris termasuk dalam lingkungan kekuasaan eksekutif sendiri (administratief beroep). Pada prinsipnya setiap instansi pemerintah diberikan wewenang untuk menyelesaikan
sengketa
tata
usaha
negara
melalui
prosedur
administratief beroep. Instansi-instansi pemerintah yang mempunyai wewenang untuk menyelesaikan sengketa tata usaha negara melalui prosedur administratief beroep di bawah ini : a. Raja atau Ratu (Kroon/mahkota). Pasal 20 Hinderwet atau Undang-undang Gangguan sebagai contoh mengatur
mengenai
wewenang
Kroon
untuk
melakukan
pemeriksaan kembali (beroep) terhadap penetapan beschkking atau penolakannya yang menyangkut ijin usaha. b. Dewan Propinsi (gedeputeerde Staten) Wewenang untuk memeriksa di tingkat banding beschikkingbeschikking yang dikeluarkan oleh Dewan Kotapraja tentang pernyataan tidak ditempatinya rumah tempat tinggal. c. Komisaris Ratu (commissaris des Konings) Wewenang memeriksa permohonan banding yang menyangkut beberapa beschikking yang dikeluarkan oleh Walikota mengenai ijin mengadakan pertemuan/rapat. d. Menteri (minister) Wewenang Menteri Kehakiman untuk memeriksa dan memutus upaya banding mengenai suatu beschikking yang ditetapkan berdasarkan
undang-undang
tentang
orang
asing,
yaitu
vreemdelingenwet tanggal 13 Januari 1965 e. Dewan Kotapraja (gemeenteraad) Wewenang untuk memeriksa dan memutus upaya banding terhadap beschikking tentang ijin bangunan yang telah ditolak oleh Dinas Pekerjaan Umum. commit to user
136 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Pemeriksaan dan pemutusan sengketa tata usaha negara yang memiliki wewenang
secara
khusus/spesifik
di
bidangnya
masing-masing,
sebagaimana ditentukan oleh undang-undang (bijzondere administrative rechtspraak). Badan-badan ini memiliki wewenang khusus sesuai dengan undang-undang yang membentuknya. Undang-undang dapat membentuk badan-badan
tertentu
yang
diberikan
wewenang
khusus
untuk
menyelesaikan sengketa tata usaha negara menyangkut bidang tertentu. Contohnya : a. Dewan Pusat Banding (Centrale Raad van Beroep) Wewenang yang dimiliki adalah memeriksa dan memutus upaya banding terhadap beschikking tentang bermacam-macam jaminan sosial dan putusan dari Peradilan Kepegawaian (ambtenarengerecht) serta masalah pensiun. b. Dewan Banding terhadap beschikking mengenai badan usaha publik (College van Beroep voor het Bedrijsleven) c. Dewan Pertimbangan Agung Bagian Peradilan (Afdeling Rechtsspraak van de Raad van State) Lembaga
ini
memiliki
wewenang
berdasarkan
Wet
AROB
(Administratieve Rechtsspraak Overheids Beschikkingen) 1976 untuk menampung gugatan-gugatan dalam sengketa tata usaha negara yang belum diatur dalam suatu undang-undang khusus menyangkut masalah beroep-nya. Lembaga ini sebelumnya menjadi saluran administratieve beroep, tetapi lembaga tersebut tidak memberikan putusan, hanya memberikan advis kepada Kroon. Wewnangnya sejak 1976 diperluas, sehingga dapat bertindak sbagai hakim tata usaha negara dalam rangka adanya beroep terhadap overheidsbeschikkingen219. Hal ini berarti lembaga ini menjalankan fungsi pelengkap (anvullend) dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara, apabila suatu prosedur beroep belum diatur dalam suatu undang-undang khusus. d. Komisi harga (tariefcommisie) commit to user 219
Zauveplance, 1981, dalam W.Riawan Tjandra, Op., cit., hlm., 47
137 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
e. Hakim peradilan umum yang bertindak sebagai hakim administrasi 3. Pemeriksaan
dan
pemutusan
sengketa
oleh
lembaga
peradilan
umum/perdata terhadap perbuatan melanggar hukum pemerintah yang menimbulkan kerugian kepada perorangan. Perbedaan wewenang hakim peradilan perdata dalam klasifikasi ke-3 dengan klasifikasi 2.e. adalah bahwa hakim perdata dalam klasifikasi ke-3 ini bukan bertindak dalam kedudukannya sebagai hakim tata usaha negara seperti dalam klasifikasi 2.e, karena pokok perkaranya bukan didasarkan atas gugatan yang menyangkut pembatalan suatu beschikking. Hakim perdata di sini mengadili gugatan yang ditujukan kepada badan hukum publiknya, yaitu kotapraja, provinsi atau negara, yang dimungkinkan karena adanya interpretasi secara luas terhadap makna Pasal 1401 BW dikaitkan dengan Pasal 2 RO atau Wet op de Rechtterlijke organisatie. Dasar untuk mengajukan gugatan dan sekaligus bagi hakim PTUN sebagai dasar untuk menguji keabsahan penetapan beschikking adalah : a. Bertentangan dengan undang-undang (Strijd met de Wet) Pengertian undang-undang harus diartikan secara luas yang mencakup undang-undang produk legislatif (wet) maupun peraturan-peraturan pemerintah pada umumnya (algemene maatregelen van bestuur/amvb), peraturan menteri, peraturan daerah provinsi dan Kotapraja yang memiliki kekuatan umum/abstrak. Kriteria bertentangan dengan undang-undang, meliputi : 1. Tanpa wewenang atau tidak ada kompetensi Beschikking yang ditetapkan oleh pejabat yang tidak memiliki wewenang/kompetensi
berdasarkan
undang-undang
untuk
menetapkannya. Ketidakwenangan meliputi : ketidakwenangan dari
segi
materi
(onbevoegdheid
ratione
materiae),
ketidakwenangan dari segi wilayah/yuridiksi (onbevoegdheid ratione loci), ketidakwenangan dari segi waktu (onbevoegdheid ratione temporis) commit to user
138 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Adanya cacat dalam bentuk (vormsgebreken) atau terdapat kekeliruan
dalam
prosedur
penetapan
beschikking
yang
bersangkutan. Beschikking yang ditetapkan dengan melanggar syarat-syarat bentuk, misalnya menyangkut keharusan adanya tanda tangan, pencantuman dasar pertimbangan, penyebutan pasal-pasal tertentu dari praturan dasarnya, maupun melanggar syarat prosedur, misalnya
menyangkut
saran/pertimbangan
keharusan
sebelum
untuk
ditetapkan,
memperoleh
proses
hearing,
kesempatan untuk membela diri/mengajukan keberatan. b. Isi/materi beschikking mengandung cacat (inhoudsgebreken) Penilaian terhadap isi/materi beschikking itu menyangkut penilaian pula terhadap cacat mengenai pernyataan kehendak dalam penetapan (wilsgebreken) yang disbabkan oleh paksaan (dwang), kekeliruan (dwaling), penipuan (bedrog) terhadap isi yang ditetapkan. Caca yang menyangkut isi/materi beschikking, meliputi : a. Beschikking yang substansinya berentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi b. Beschikking
yang
mengandung
penyelahgunaan
wewenang
(misbruik van het recht) atau melampaui batas wewenang (exces de pouvoir) c. Beschikking tidak didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang rasional atau layak (onredelijk) ditinjau dari segi pihak-pihak yang dituju oleh suatu beschikking tersebut d. Beschikking
yang
bertentangan
dengan
asas-asas
umum
pemerintahan yang baik (Algemen Beginselen van Behoorlijk Bestuur). Asas-asas yang sering dipergunakan sebagai dasar pengujian di AROB dalam yurisprudensi di Belanda meliputi : asas persamaan, asas kepercayaan, asas kepastian hukum, asas kecermatan,
asas pemberian alasan commit to user
(motivasi),
larangan
139 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir), larangan bertindak sewenang-wenang220. Menurut
Sunaryati
Hartono221,
profil
lembaga
peradilan
administrasi yang berlaku di Belanda tersebut, pada hakikatnya bukan merupakan
sistem
peradilan
administrasi
yang
sesungguhnya,
melainkan lebih bersifat lembaga pengawasan yang ada dalam lingkungan pemerintah sendiri. Dengan demikian pelaksanaan pemerintahan diharapkan dapat benar-benar dijalankan berdasarkan hukum, berdasarkan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang layak (algemene beginselen van behoorlijk bestuur) dan berdasarkan kepentingan umum. Muchsan mengemukakan, asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur) tersebut secara setahap demi setahap mulai diterapkan oleh hakim administrasi untuk menguji sah-tidaknya keputusan administrasi negara (beschikking). Setelah dunia peradilan di Belanda melalui yurisprudensi berkali-kali menerimanya, maka pembuat undangundang akhirnya memasukkan asas tersebut ke dalam beberapa undang-undang222.Asas-asas umum pemerintahan yang baik sudah merupakan bagian dari nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat (living law) di samping itu, sebagian dari asas-asas umum pemerintahan
yang
baik
telah
diterapkan
oleh
hakim-hakim
administrasi melalui beberapa yurisprudensi, bahkan secara formal telah menjadi bagian dari hukum positif di negara Belanda. Philipus M. Hadjon, mengemukakan perkembangan yurisprudensi di Belanda belakangan ini menunjukkan adanya beberapa asas baru yang diterapkan , yaitu “asas keterbukaan” , di pihak lain, “asas fair play” justru tidak digunakan lagi, karena sejak 1 Mei 1980 Belanda telah memiliki 220
undang-undang
keterbukaan
pemerintah
(Wet
Hadjon, dalam W. Riawan Tjandra, Op., cit., hlm., 48-50. Sunaryati Hartono, 1976, Beberapa Pikiran mengenai Peradilan Administrasi Negara di Indonesia, Bandung : Binacipta, hlm., 7.commit to user 222 Muchsan, dalam Jazim Hamidi, 1999, Op., cit., hlm., 58. 221
van
140 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
openbaarheid van bestuur). Asas keterbukaan diangkat dari asas demokrasi dalam pelaksanaan pemerintahan dan asas demokrasi ternyata tidak saja dilaksanakan melalui Badan Perwakilan Rakyat, tetapi oleh setiap warga masyarakat sehubungan dengan sikap tindak administrasi negara berupa keputusan223. b. Sistem PTUN di Perancis Ada dua kata dalam bahasa Inggris yang berarti „court‟ (pengadilan), yaitu „court‟ sebagai istilah umum, dan „tribunal‟ sebagai istilah yang lebih sempit, yang merujuk pada panel-panel dan lembaga yang menjalankan funsi-fungsi administratif atau (yang lebih biasa) fungsi-fungsi yudisial, mengingat bahwa para hakim Perancis tidak diharuskan melaksanakan pembentukan hukum sebagai akibat dari doktrin kekuasaan terpisah antara legislator, eksekutif dan yudikatif. Pengadilan Perancis diorganisasikan berdasarkan yuridiksi umum dan terbats. Weston membuat beberapa poin linguistik dalam masalah komparatif berkenaan dengan pemahaman tentang pengadilan di dalam hukum Perancis dan hukum Inggris. Pengadilan yang lebih tinggi sering disebut cours, dan semuanya mengeluarkan arret (keputusan pengadilan), sedangkan yang lebih rendah disebut terbunaux dan semuanya mengeluarkan jugements. Istilah yang ketiga dalam hukum Perancis, yaitu jurisdiction, yang merupakan superordinat bagi dua yang lainnya. Setiap cour atau tribunal (atau seorang hakim individual) bisa digambarkan sebagai jurisdiction,sementara
sebagian
jurisdiction
adalah
cours
dan
terbunaux lainnya. Pengadilan Perancis memiliki dua sistem pengadilan, yaitu pengadilan ordiner (ordre judiciaire) dan pengadilan administratif (ordre administratif). Pengadilan ordiner, yang terbagi ke dalam yurisdiksi perdata dan pidana. Pengadilan administratif benarbenar menjadi bagian dari kewenangan eksekutif negara dan commit to user Philipus M. Hadjon, dalam Paulus Effendie Lotulung , 1994, Himpunan Makalah Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm., 107. 223
141 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dipandang sebagai bagian dari mesin administratif. Dengan demikian dalam pemikiran hukum Perancis, hanya pengadilan ordiner sajalah yng menjadi bagian dari yudikatif (appellation autorite judiciairekekuasaan yudisial)224. Selanjutnya dikemukakan sebagai akibat dari pemisahan kekuasaan, badan eksekutif di Perancis tidak berada di bawah yurisdiksi pengadilan ordiner, tetapi berada di dalam kontrol organ sentral dari badan eksekutif, yaitu Consei‟l d‟etat, yang didirikan pada 1799 oleh Napoleon, yang dalam kapasitas ini menjalankan sebuah fungsi yang mirif dengan pengadilan, sehingga badan eksekutif hanya bisa dikontrol oleh sebuah pengadilan yang merupaka bagian dari sistem eksekutif itu sendiri. Consei‟l d‟etat (secara harfiah Dewan Negara) dilengkapi dengan sejumlah pengadilan administratif yang lebih rendah dan juga memiliki tiga tingkatan. Consei‟l d‟etat adalah pengadlan administratif tertinggi yang berada pada puncak hirarki. Tingkatan terendah dari struktur pengadilan administratif
terdiri
atas
tribunaux
administratifs
(pengadilan
administratif), yang merupakan pengadilan daerah, berjumlah 26 unit dan terdapat di kota-kota metropolitan Perancis, sejak tahun 1989 bedasarkan sebuah ketetapan yang dikeluarkan pada 31 Desember 1987, sekarang ada sebuah tingkatan menengah dari pengadilan administratif dengan kewenangan banding, yakni cour administrative d‟appel (pengadilan banding administratif). Sistem ini memiliki ruang lingkup regional, dengan lima pengadilan didirikan di Paris, Bordeaux, Lyon, Nantes dan Nancy. Dari kelima pengadilan ini banding disampaikan kepada Consei‟l d‟etat dalam bentuk recours en cassation (banding yang berdasarkan pertimbangan pokok hukum). pengadilan administratif memiliki dua macam yurisdiksi, yaitu :
commit to user Peter de Cruz, 2010, Perbandingan Sistem Hukum Civil Law, Common Law dan Socialist Law, Bandung : Nusa Media, hlm., 102 224
142 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Menjalankan
yurisdiksi
review,
yang
disebut
„annulment
jurisdiction‟ yang dengan yurisdiksi ini undang-undang sekalipun tidak selalu imun, di mana sejak tahun 1975 Cour de Cassation memutuskan bahwa sebuah perjanjian bisa menjadi preseden terhadap ketetapan Parlemen selanjutnya b. Menjalankan
yurisdiksi
pleine
(yurisdiksi
penuh)
yang
memungkinkannya untuk menentukan ganti rugi terhadap para pihak yang mengalami cedera atau kerugian sebagai akibat dari tindakan salah yang dilakukan aparat pemerintah yang sedang menjalankan tugasnya. Yurisdiksi memberi kewenangan kepada peradilan tersebut untuk mengubah keputusan administratif yang dipermasalahkan. Dua katagori tindakan administratif yang tidak bisa direview oleh pengadilan administratif adalah : a. Tindakan yang berhubungan secara langsung dengan atau menjadi bagian dari proses legislatif dan prosedur parlementer b. Tindakan yang berkaitan dengan hubungan pemerintah dengan negara asing atau dengan organisasi internasional225. Berkaitan dengan sistem PTUN di Perancis, maka menarik untuk dikemukakan pandangan Jazim Hamidi, dimaksudkan untuk melengkapi kajian sistem peradilan tata usaha negara sebelumnya. Dikemukakan bahwa di negara Perancis, perkembangan peradilan administrasi mempunyai ciri yang khas, sebagai akibat dari sistem ketatanegaraannya yang mendasarkan pada teori pembagian kekuasaan atau separation de pouvoir. Letak ciri khas sistem peradilan dimaksudkan adalah peradilan administrasi diselenggarakan oleh badan yang berdiri sendiri dan terpisah dari peradilan umum atau dengan kata lain, di Perancis menganut sistem dualisme (duality of yurisdiction) atau lembaga peradilan yang masing-
commit to user 225
Watson, 1991, dalam Peter de Cruz, Ibid., hlm., 110-111
perpustakaan.uns.ac.id
143 digilib.uns.ac.id
masing bebas dan otonom226. Pertama, peradilan umum (Les Tribunaux de I‟ordre judiciaire) yang berpuncak dan berada sepenuhnya di bawah pengawasan Mahkamah Agung (La Cour de Cassation). Peradilan ini memeriksa dan mengadili semua jenis perkara individu dan menetapkan ketentuan perundang-undangan hukum perdata, hukum perburuhan, dan semua perkara pelanggaran atau kejahatan dalam bidang hukum publik dengan memakai hukum pidana (Code Penal). Kedua, pengadilan administrasi (Les juridictions de I‟ordre Administratif) yang berpuncak dan berada sepenuhnya di bawah pengawasan Le Consei‟l d‟etat (semacam Dewan Pertimbangan Agung di Indonesia, tetapi dengan fungsi, tugas, wewenang dan tanggung jawab yang jauh lebih luas). Di samping lembaga Consei‟l d‟etat sebagai puncaknya, pada tingkat daerah dikenal juga adanya Tribunal Administratif, yaitu lembaga peradilan administrasi yang memeriksa dan memutus perkara pada tingkat pertama. Terhadap putusan-putusan Tribunal Administratif ini dapat diajukan permohonan pemeriksaan tingkat banding (appel) kepada Consei‟l d‟etat. Antara Consei‟l d‟etat dan Tribunal Administratif, keduanya mempunyai fungsi atau peranan ganda, yaitu sebagai lembaga penasihat pemerintah dan sebagai lembaga peradilan administrasi. Dalam sejarahnya Consei‟l d‟etat dibentuk pada masa setelah adanya revolusi Perancis meletus tahun 1789, yaitu penghapusan dari Conseil du Roi. Berkat jasa Napoleon Bonapartie (waktu itu sebagai konsul pertama dari dua konsul lainnya), ia membentuk kembali lembaga yang pernah ada dengan nama Le Consei‟l d‟etat pada tahun 1799 dan pada umumnya orang menganggap bahwa tahun tersebut sebagai peristiwa lahirnya Consei‟l d‟etat. Adapun tugas Consei‟l d‟etat adalah : a. Merancang undang-undang atas nama pemerintah (dalam hal ini konsul pertama)
commit to user Chairani S. Wani, Dualisme Peradilan di Perancis, dalam Jazim Hamidi, 1999, Op., cit., hlm., 48-49. 226
144 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Memberikan nasihat dan pandangan kepada konsul pertama dalam pembuatan peraturan pemerintah berikut peraturan pelaksanaannya yang harus dikeluarkan di berbagai sektor c. Menangani dan menyelesaikan segala permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi peradilan, yang menjadi wewenang konsul pertama berdasarkan Undang-Undang Dasar, khususnya mengenai melaksanakan peraturan-peraturan itu. Berdasarkan
tugas-tugas
tersebut,
Consei‟l
d‟etat
belum
mempunyai wewenang tersendiri, karena putusan-putusannya masih atas nama konsul pertama, tetapi khusus mengenai tugas dan wewenang yang menyangkut pada butir (c), dapatlah dilihat adanya dasar (cikal bakalbahasa jawa) peradilan administrasi. Terbukti berdasarkan undang-undang tanggal 24 Mei 1872, secara tegas dinyatakan Consei‟l d‟etat sebagai peradilan yang dilimpahi wewenang untuk menjatuhkan putusan bukan atas nama konsul pertama, melainkan atas nama rakyat Perancis. Dengan demikian, sejak saat itulah Consei‟l d‟etat ditetapkan sebagai suatu peradilan administrasi yang sesungguhnya227. Secara umum, wewenang yang melekat pada Consei‟l d‟etat adalah : 1. Wewenang administrasi a. Peraturan Perundang-undangan Semua
Rancangan
Undang-undang,
Rancangan
Peraturan
Pemerintah (pouvoir reglementaire), dan Peraturan Pelaksanaan (delegated legislation) lainnya harus terlebih dahulu disampaikan kepada Conseil d‟Etat untuk memperoleh pertimbangannya. Pertimbangan tersebut sifatnya tidak mengikat, tetapi apabila peraturan pemerintah tidak sesuai dengan teks asli atau asal-usul yang diajukan, Consei‟l d‟etat mempunyai wewenang untuk membatalkan. b. Nasihat Hukum commit to120, userSunaryati Hartono, Beberapa Periksa dalam Sjachran Basah, Eksistensi....hlm. Pemikiran....hlm., 4, Djenal Hoesen Koesoemahatmadja, Pokok-pokok...hlm., 222-226. 227
145 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Consei‟l d‟etat memberikan nasihat-nasihat hukum kepada pemerintah dan kepada masing-masing menteri c. Pengawasan terhadap Pemerintah Daerah. 2. Wewenang Yudisial Consei‟l d‟etat yang berkedudukan sebagai puncak peradilan administrasi, mempunyai tiga macam wewenang yudisial sebagai berikut : a. Sebagai badan peradilan tingkat pertama dan terakhir. Menangani
perkara-perkara
yang
tidak
masuk
wewenang
Tribunaux administratifs. b. Sebagai badan peradilan tingkat banding. Menangani perkara-perkara yang telah diputus pada tingkat pertama oleh Tribunaux Administratifs c. Sebagai badan peradilan tingkat kasasi. Menangani perkara-perkara yang telah diputus oleh badan-badan peradilan administrasi selain dari Tribunaux administratifs (peradilan administrasi untuk bidang-bidang tertentu) Dengan diundangkannya undang-undang tertanggal 31 Desember 1987 tentang Reformasi Peradilan Administrasi yang efektif berlaku 1 Januari 1989, maka Perancis mempunyai 33 Peradilan Administrasi (Tribunal Administratif), lima Pengadilan Tinggi (Cour Administrative d‟Appel) dan semuanya berpuncak pada Consei‟l d‟etat228. Menurut cacatan sejarah229, peran Consei‟l d‟etat sebagai peradilan administrasi mempunyai pengaruh yang cukup luas baik pada negara-negara lama maupun baru, Indonesia termasuk salah satu negara yang mendapat pengaruh melalui Belanda, Inggris dan Jerman, hal tersebut tampak dalam beberapa kodifikasi. Proses beracara di Peradilan TUN Perancis secara prinsip tidak didasarkan atas suatu hukum acara yang dikodifikasikan dalam suatu kitab 228
Paulus Effendie Lotulung, 1993, Op., cit., hlm., 21. commit to userPeradilan Tata Usaha Negara, Jakarta : Baharuddin Lopa dan Andi Hamzah, 1993, Mengenal Sinar Grafika, hlm., 25 229
146 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
undang-undang hukum acara, seperti halnya untuk perkara perdata dan pidana. Hukum materiil yang diterapkan juga tidak didasarkan atas hukum administrasi negara yang dikodifikasikan seperti di Belanda. Hal tersebut berimplikasi terhadap kuatnya peranan dan pengaruh yurisprudensi dalam sistem peradilan TUN di Perancis. Dasar pengajuan gugatan ke peradillan TUN Perancis pada umumnya dibedakan atas dua macam sifat gugatan, yaitu : a. Gugatan yang dimaksudkan untuk memohonkan pembatalan suatu KTUN (akta administratif), yang disebut sebagai gugatan pembatalan (recours en exces de pouvoir) b. Gugatan yang di samping memohon pembatalan atas suatu produk KTUN, juga menuntut pembayaran ganti rugi kepada pemerintah atas tindakan hukum pemerintah yang menimbulkan kerugian, yang disebut sebagai gugatan ganti rugi (recours en plein contentiuex)230.
Sehubungan dengan wewenang mengadili gugatan ganti rugi yang berkaitan dengan pertanggungjawaban negara untuk membayar ganti rugi, hal tersebut sebagian besar merupakan hasil perkembangan dari yurisprudensi Consei‟l d‟etat dan sebagian kecil dikembangkan melalui undang-undang.
Guna
menilai
pertanggungjawaban
negara
untuk
membayar ganti rugi, yurisprudensi di Perancis telah mengembangkan teori kesalahan yang pada prinsipnya membedakan antara kesalahan dinas (faute de service) dan kesalahan pribadi pejabat (faute personelle) dan dilakukan juga klasifikasi atas kesalahan berat (faute fourde) dan kesalahan
ringan
(faute
legere).
Demikian
juga
tentang
pertanggungjawaban pemerintah untuk membayar ganti rugi telah melalui perluasan melalui putusan Consei‟l d‟etat, yang disebut dengan teori pertanggungjawaban
tanpa
kesalahan
(responsibilite
sans
faute).
Pemerintah dapat pula dibebani dengan kewajiban untuk membayar ganti rugi kepada rakyat/warga negara yang menjadi korban pelaksanaan tugas commit to user 230
W. Riawan Tjandra, Op., cit., hlm., 35.
147 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
administratif berdasarkan teori tersebut, meskipuntidak terdapat unsur kesalahan/kelalaian pada pihak pemerintah/negara231. Di samping perkembangan-perkembangan tersebut, Consei‟l d‟etat juga
banyak
berperan
dalam
mengembangkan
asas-asas
umum
pemerintahan yang baik melalui putusan-putusannya. Perancis dikenal sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi prinsip “Etat de Droit”, yaitu pemerintahan yang berdasarkan atas hukum (asas legalitas). Konsekuensinya, setiap tindakan atau keputusan administrasi negara (pemerintah) harus sesuai dengan asas legalitas, apabila tidak sesuai, maka tindakan atau keputusan tersebut dapat dibatalkan (annuled) oleh badan peradilan administrasi (Consei‟l d‟etat). Ketentuanketentuan hukum yang terkandung dalam asas legalitas, selain berupa peraturan perundangundangan juga berupa asas-asas hukum yang umum (les principes generaux du droit). Dalam praktik peradilan administrasi di Perancis, sebagian dari asas yang terkandung pada “les principes generaux du droit” telah ditranfer menjadi “les principes generaux du droit contumier public” atau asas-asas umum hukum publik (asas-asas umum pemerintahan yang baiknya Perancis)232. Selanjutnya dikemukakan bahwa, Les principes generaux du droit contumier public, menjadi lebih populer di kalangan masyarakat luas, setelah dijatuhkannya putusan Consei‟l d‟etat dalam perkara Madamme-Gravir tertanggal 5 Mei 1911. Isi putusan membatalkan suatu keputusan administrasi berdasarkan “le vice de from”, yaitu untuk ketetapan administrasi yang menarik kembali hak atau ijin untuk menguasai kios penjualan koran (milik negara), bahwa pencabutan ijin tersebut dikeluarkan tanpa melakukan peringatan-peringatan terlebih dahulu kepada yang bersangkutan233. Peranan Consei‟l d.etat dalam mengembangkan dan memasyakatkan “les pricipes generaux du droit contumier publique” ( atau asas-asas umum pemerintahan yang baik) 231
W. Riawan Tjandra, Op., cit., hlm., 39. commit to user Bagir Manan, dalam Jazim Hamidi, 1999, Op.,cit., hlm., 54. 233 Lintong O. Siahaan, dalam Jazim Hamidi, Op., cit., hlm., 55 232
148 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
melalui putusannya begitu besar. Consei‟l d‟etat yang merupakan cikal bakal dari peradilan administrasi di Perancis adalah yang mula pertama mensosialisasikan les principes generaux du droit contumier public, kemudian dikembangkan di Belanda dan Indonesia.
c. Sistem PTUN di Jerman Ada lima macam pengadilan di Jerman, selain dari Mahkamah Konstitusional Federal, ada pengadilan untuk yurisdiksi ordiner (hukum perdata/pidana), pengadilan tenaga kerja, pengadilan adminstratif, pengadilan perlindungan sosial, dan pengadilan pajak. Masing-masing pengadilan biasanya terdiri atas tiga tingkatan,yaitu pengadilan tingkat pertama, tingkat banding
dan
pengadilan
tertinggi
federal234.
W.
Riawan
Tjandra,
mengemukakan bahwa sistem peradilan di Jerman cukup unik, karena tidak termasuk sistem peradilan yang mengikuti konsep unity of jurisdiction, seperti dalam pola negara-negara Anglo Saxon, tetapi juga tidak menganut sepenuhnya model duality of jurisdiction, seperti di Perancis yang membedakan antara struktur peradilan umum dan struktur peradilan tata usaha negara. Sistem peradilan di Jerman menggunakan sistem pluralitas peradilan, yaitu bermacam-macam struktur organisasi peradilan yang berada di bawah satu kekuasaan kehakiman (judicial power). Dikenal adanya badan-badan peradilan umum, peradilan perburuhan, peradilan tata usaha negara, peradilan pajak dan peradilan untuk masalah-masalah sosial di Jerman. Selanjutnya dikemukakan, masing-masing badan peradilan tersebut mempunyai
strukturnya
sendiri-sendiri
dan
masing-masing
memiliki
kekuasaan tertingginya sendiri, yaitu : a. Bundesgerichtshof sebagai kekuasaan tertinggi dari peradilan umum b. Bundesverwaltungsgericht sebagai kekuasaan tertinggi dari PTUN c. Bundesfinanzhof sebagai kekuasaan tertinggi dari peradilan pajak d. Bundesarbeitsgericht
sebagai
kekuasaan
perburuhan commit to user 234
Peter de Cruz, Op., cit., hlm., 121.
tertinggi
dari
peradilan
149 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
e. Bundessozialgericht sebagai kekuasaan tertinggi dari peradilan sosial.
Struktur organisasi peradilan tata usaha negara di Jerman telah diatur melalui undang-undang sejak tahun 1952 dan 1960. Setiap negara bagian memiliki
peradilan
TUN
tingkat
pertama
yang
disebut
dengan
verwaltungsgericht. Guna memeriksa di tingkat banding putusan-putusan dari verwaltungsgericht
tersebut,
di
setiap
negara
bagian
terdapat
oberverwaltungsgericht atau ada yang menyebut verwaltungsgerichtshof sesuai dengan penyebutan yang berlaku di setiap negara bagian (lander). Kekuasaan
tertinggi
dari
peradilan
tata
usaha
negara
ada
pada
bundesverwaltungsgericht yang berkedudukan di tingkat federal. Sistem peradilan tata usaha negara di Jerman memiliki perbedaan dengan sistem peradilan tata usaha negara di Perancis, bahwa PTUN di jeman tidak mempunyai wewenang atau peranan untuk menjalankan fungsi penasihatan kepada pemerintah pusat maupun daerah, yaitu negara bagian, tetapi hanya berfungsi sebagai lembaga peadilan saja. Kompetensi badan PTUN di Jerman hanya meliputi wewenang pengujian terhadap KTUN (verwaltungsakt) yang bersifat individual saja, yaitu hanya ditujukan kepada orang-perorangan atau sekelompok orang saja, sehingga tidak dapat menguji verwaltungsakt yang bersifat reglementer atau peraturan yang mengikat secara umum. Sengketa yang menyangkut ganti rugi terhadap perbuatan pemerintah yang merugikan warga masyarakat tidak menjadi wewenang dari PTUN, tetapi menjadi wewenang dari peradilan umum. Dasar pengajuan gugatan untuk membatalkan suatu produk tata usaha negara berupa verwaltungsakt dalam sistem PTUN di jerman dapat diklasifikasikan atas dasar illegalitas ekstern dan illegalitas intern, seperti di Perancis, yaitu : Klasifikasi illegalitas ekstern meliputi : a. Tanpa kewenangan atau kompetensi b. Kekeliruan bentuk dan kekeliruan prosedur commit: to user Klasifikasi illegalitas intern meliputi
perpustakaan.uns.ac.id
150 digilib.uns.ac.id
a. Kekeliruan di dalam penerapan hukum, dibedakan menjadi : 1. Penilaian mengenai fakta-fakta yang dikemukakan 2. Penilaian mengenai ketepatan kaidah hukum yang diterapakan dalam kasus yang bersangkutan 3. Penilaian mengenai kualifikasi yuridis dari fakta-fakta yang ada b. Adanya penyalahgunaan kekuasaan (detournement de pouvoir) c. Prinsip proporsionalitas, yaitu penilaian mengenai keseimbangan antara kepentingan untuk menetapkan verwalstungsakt tersebut dan tujuan yang hendak dicapai melalui verwaltungsakt tersebut.
d. Sistem PTUN di Indonesia. Sistem hukum Indonesia yang cenderung mengikuti sistem hukum Civil law system, hal yang tersebut tidak dapat dipungkiri, karena Indonesia bekas jajahan Belanda yang sistem hukumnya menganut sistem hukum civil law, yang kebanyakan diikuti oleh negara-negara Eropa Kontinental. Sebagaimana diketahui bahwa PTUN di Indonesia merupakan salah satu dari empat cabang kekuasaan kehakiman. PTUN di Indonesia, hampir sama dengan PTUN di Perancis, yaitu merupakan peradilan yang terpisah dengan peradilan umum (dual system of courts), cabang peradilan di Indonesia yang sederajat dengan PTUN meliputi, peradilan agama, peradilan umum/negeri dan peradilan milter. W. Riawan Tjndra235, mengemukakan peradilan TUN di Indonesia memiliki kompetensi untuk menyelesaikan semua jenis sengketa tata usaha negara sebagai akibat dikeluarkannya atau tidak dikeluarkannya keputusan tata usaha negara termasuk sengketa kepegawaian, berbeda dengan sistem peradilan TUN di Belanda yang menganut pluralitas penyelesaian sengketa tata usaha negara. Wewenang penyelesaian sengketa tata usaha negara di Belanda dilakukan oleh badan-badan khusus yang dibentuk dan diberikan wewenang untuk menyelesaikan sengketa tertentu sebagaimana ditentukan dalam undang-undang (wet). Walaupun dalam sengketa kepegawaian di commit to user 235
W. Riawan Tjandra, Op., cit., hlm., 53-54.
perpustakaan.uns.ac.id
151 digilib.uns.ac.id
Indonesia juga dikenal prosedur penyelesaian sengketa melalui upaya administratif, namun hal tersebut berbeda dengan wewenang yang dimiliki oleh badan-badan khusus di Belanda. Peradilan TUN di Indonesia memiliki wewenang untuk menguji legalitas suatu keputusan tata usaha negara yang telah melewati upaya administrasi. Selanjutnya dikemukakan mengingat negara Republik Indoensia merupakan negara kesatuan, meskipun juga melaksanakan desentralisasi kekuasaan untuk membentuk daerah-daerah otonom, sistem penyelesaian sengketa tata usaha negaranya juga memiliki perbedaan dengan sistem penyelesaian sengketa tata usaha negara di Jerman yang sistem pemerintahannya federal. Pengaturan mengenai struktur dan luas wewenang tiap-tiap organisasi peradilan di berbagai negara bagian di Jerman tidak selalu sama. Hal ini berbeda dengan struktur dan luas wewenang lembaga peradilan tata usaha negara di Indonesia, yang sama di seluruh daerah dan berpuncak di Mahkamah Agung. Perbedaan tersebut kiranya juga disebabkan oleh belum dilaksanakannya desentralisasi kekuasaan peradilan tata usaha negara seperti yang diterapkan dalam sistem peradilan tata usaha negara di Jerman. Alasan pengajuan gugatan di peradilan tata usaha negara Indonesia, diatur dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a dan b, Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, sebagai perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Adapun alasan-alasan tersebut adalah : a. Keputusan tata usaha negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undang yang berlaku. b. Keputusan tata usaha negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB). Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah meliputi asas kepastian hukum, tertib penyelengaraan commit to user negara, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas dan akuntabilitas
152 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Berkaitan dengan alasan-alasan dasar pengajuan gugatan tersebut, W. Riawan Tjandra mengemukakan, jika dibandingkan dengan dasar gugatan di Perancis, terdapat perbedaan yang menyangkut penempatan dari asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) sebagai dasar gugatan. AAUPB di Perancis berkembang melalui yurisprudensi, sedangkan Indonesia hampir memliki kesamaan dengan Belanda. AAUPB Belanda semula
dikembangkan
melalui
yurisprudensi,
namun
dalam
perkembangannya, AAUPB yang sering dipergunakan sebagai dasar pengujian beschikking atau keputusan tata usaha negara dimasukkan sebagai materi muatan artikel 8 Wet AROB, Substansi AAUPB dalam penjelasan Undangundang 53 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, kebanyakan berbeda dengan AAUPB yang dikembangkan di Perancis maupun di Belanda. AAUPB yang dikembangkan di Indonesia dengan merujuk pada Undangundang Nomor 28 Tahun 1999 lebih banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur good governance, yang semula dipelopori oleh studi World Bank dan kiranya lebih ditekankan pada tata kelola perekonomian daripada penerapannya sebagai sistem tata kelola pemerintahan secara umum dalam hukum administrasi negara. Cukup banyak temuan yang menunjukkan bahwa yurisprudensi peradilan TUN di Indonesia tetap mengembangkan AAUPB yang semula diperkenalkan melalui doktrin hukum administrasi negara baik di Perancis, Jerman dan Belanda maupun Indonesia, walaupun secara normatif tetap menggunakan payung hukum Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN. Hal itu kiranya dapat diterima secara yuridis, mengingat doktrin juga merupakan sumber hukum administrasi negara. Yurisprudensi peradilan TUN tetap dapat menggunakan AAUPB yang berkembang dalam doktrin ilmu hukum administrasi negara sebagai dasar pengujian tak tertulis terhadap keputusan tata usaha negara (KTUN). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
153 digilib.uns.ac.id
Dikemukakan bahwa keberadaan peradilan tata usaha negara sebagai suatu institusi yang mandiri dalam struktur kekuasaan kehakiman, merupakan salah satu ciri dari negara hukum bertradisi Eropa Kontinental. Sistem peradilan tata usaha negara di Indonesia lebih mendekati sistem peradilan tata usaha negara di Perancis, walaupun terdapat perbedaan, yaitu : pertama, sistem peradilan tata usaha negara di Perancis berpuncak pada Conseil d‟Etat (semacam DPA Indonesia pada masa UUD 1945 sebelum amandemen), bukan pada Cour de Cassation (semacam Mahkamah Agung di Indonesia). Kedua, baik dalam sistem hukum di Perancis maupun di Belanda terdapat pengkhususan/spesialisasi peradilan tata usaha negara yang menyelesaikan jenis sengketa-sengketa tata usaha negara tertentu sesuai dengan kompetensi khusus lembaga-lembaga peradilan tata usaha negara khusus yang dibentuk. PTUN di Indonesia semula didesain dengan memiliki sistem umum, yaitu kompetensi absolutnya mencakup semua jenis sengketa tata usaha negara. Walaupun terdapat penyelesaian sengketa khusus di bidang kepegawaian, namun setelah melewati upaya adminsitrasi dan pihak penggugat belum bisa menerima keputusan melalui upaya adminsitarsi tersebut, ia berhak mengajukan gugatan ke PTTUN. Ketiga, baik Consei‟l d‟etat maupun Tribunal Administratif di Perancis memiliki fungsi pengawsan preventif (penasihatan) maupun represif (pengujian akta administratif). Fungsi pengawasan PTUN di Indonesia hanya bersifat represif (pengujian atas keputusan tata usaha negara), tidak/belum diatur adanya fungsi penasihatan dari PTUN di Indonesia melalui pengawasan preventif, kecuali penasihatan dalam rangka persiapan persidangan di peradilan tata Usaha negara dalam rangka pemeriksaan persiapan (preliminary examination)236. Perbandingan sistem peradilan tata usaha negara antara sistem peradilan tata usaha negara di Perancis, Jerman, Belanda, dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas di antara sistem peradilan tata usaha negara dari masing-masing negara, terutama dalam kaitannya dengan penerapan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai pengujian commit to user 236
W. Riawan Tjandra, Op., cit., hlm., 58.
154 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terhadap keputusan tata usaha negara. Berdasarkan perbandingan tersebut, ingin diperoleh fakta yang lebih konkret tentang penggunaan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai dasar untuk menguji keabsahan keputusan tata usaha negara, dipertahankan atau dibatasi atau dikembangkan dengan menggali nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat. Di dalam sistem hukum civil law, perkembangan peradilan administrasi berbeda dengan sistem hukum common law. Pada umumnya, meskipun tidak seluruhnya, negaranegara penganut sistem hukum civil law mempunyai peradilan administrasi sebagai pranata tersendiri237. Perancis adalah salah satu negara yang menggunakan pranata khusus peradilan administrasi dengan sebutan Tribunal Administratif. Mereka berdasarkan
pada
hukum
administrasi
(droit
administratif).
Sejarah
perkembangannya di negara tersebut sudah sangat lama, yaitu mulai dari lembaga penasehat kerajaan sebelum menjadi republik yang disebut consei‟l d‟etat atau semacam DPA (Indonesia sebelum amandemen). Salah satu fungsi lembaga tersebut adalah mengawasi aparat-aparat kerajaan yang berbuat sewenang-wenang kepada rakyat (citoyen), kemudian lembaga tersebut berkembang menjadi Tribunal Administratif, yang berpuncak pada consei‟l d‟etat sebagai peradilan biasa238. Di antara negara-negara bersistem hukum Eropa Kontinental, maka Perancis dapat dikatakan sebagai pola atau model dari peradilan administrasi pada umumnya, sedangkan variasinya terdapat di beberapa negara lainnya, seperti Nederland, Jerman, Spanyol. Pemisahan yang benar-benar tegas antara peradilan umum dan peradilan administrasi dapat dikatakan tampak sekali di Perancis, di mana struktur/organisasi maupun teknis peradilan administrasi berpuncak kepada consei‟l d‟etat (Dewan
237
Semua negara-negara yang tegabung di dalam organisasi Associations International des Hautes Juridictions Administratif (A.I.H.J.A), pada umumnya mempunyai peradilan administrasi sebagai pranata sendiri. Mereka berkonggres sekurang-kurangnya tiga tahun sekali yang diselenggarakan di negara-negara yang berbeda (bergantian) sebagai tuan rumah. Recueil De Decisions De Juridictions Membre De L‟A.I.H.J.A, April 1994, hlm., 1, dalam Lintong O Siahaan, Op., cit., commit to user hlm., 51. 238 Philipus M. Hadjon, 1987, dalam Lintong O Siahaan, Op., cit., hlm., 51
perpustakaan.uns.ac.id
155 digilib.uns.ac.id
Penasehat Negara atau semacam DPA kita), sedangkan peradilan umum berpuncak ke Cour de Cassation (Mahkamah Agung). Di Nederland tampak bervariasi dengan adanya berbagai macam peradilan administrasi yang khusus, di mana juga peradilan umum (perdata) masih tetap berwenang dan mempunyai kompetensi untuk mengadili gugatan ganti rugi terhadap pemerintah atau dasar perbuatan melawan hukum menurut Pasal 1401 B.W. atau Pasal 1365 KUHPerdata239. Selanjutnya dikemukakan di Nederland, Administratif Rechtspraak berpuncak pada Raad van Staat, di Italia berpuncak pada consei‟l d‟etat, yang kesemuanya adalah peradilan kasasi khusus untuk sengketa-sengketa administrasi. Jadi di negara-negara tersebut peradilan kasasi untuk sengketa-sengketa administrasi, adalah berbeda dengan peradilan kasasi untuk sengketa-sengketa peradilan umum (duality of jurisdiction). Perkembangan terakhir di Nederland agak berbeda, yaitu adanya pembentukan AWB sebagai penyempurnaan dari wet AROB, pada setiap peradilan umum (peradilan tingkat pertama) Rechtbank dibentuk suatu kamar khusus yang menangani/mengadili sengketa-sengketa tata usaha negara, di samping kamar-kamar lainnya, seperti kamar perdata,kamar pidana. Apabila ada beschikking yang digugat, mereka pertama-tama mengajukan gugatan kepada kamar khusus tersebut, baru banding (banding administrasi) ke Raad van State menangani hal-hal yang umum, seperti sah/tidaknya suatu beschikking (KTUN),sedangkanCentral Raad van Beroep menangani hal-hal yang khusus yang menyangkut uang, seperti masalah pensiunan, sumbangan sosial, subsidi240. Perbedaan yang lain adalah mengenai hukum materiil yang diterapkan oleh hakim dalam menilai atau menguji keputusan administrasi atau keputusan tata usaha negara. Dalam sistem hukum di Indonesia, ketentuan tentang penerapan hukum materiil berdasarkan Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, sebagaimana diubah dengan Pasal 53 ayat (2) huruf a dan b. Kriterium yang dijadikan dasar untuk menguji 239
Eddy Djunaedi, Edi Rohaedi, Kadar Slamet, 2003, Mengkaji Kembali Pokok-pokok Pikiran commit to user Jakarta : LPP-HAN, hlm., 54-55. Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, 240 Khaerani A. Wani, dalam Lintong O Siahaan, Op., cit., hlm., 52.
perpustakaan.uns.ac.id
156 digilib.uns.ac.id
keputusan tata usaha negara oleh hakim PTUN tersebut sama dengan dasar pengujian di Nederland, khususnya di peradilan AROB, yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Wet AROB , sedangkan dalam sistem hukum di Perancis, pada dasarnya tolok ukurnya sama, namun tidak dicantumkan dalam undangundang, melainkan dikembangkan melalui doktrin dan yurisprudensi dalam consei‟l d‟etat. Di samping terdapat perbedaan-perbedaan, maka dalam perbadingan terdapat persamaan-persamaan, yaitu : 1. Peranan yang aktif dari hakim di dalam memeriksa dan mengadili perkara (sifat dominus litis dari hakim) yang berbeda dengan sikap dan peranan hakim dalam pemeriksaan perkara perdata di peradilan umum, di mana inisiatif banyak diberikan kepada para pihak yang berperkara (partij autonomie) 2. Adanya tenggang waktu untuk mengajukan gugatan, yaitu bervariasi dua bulan di Perancis dan Nederland, dan tiga bulan (sembilan puluh hari) di Indonesia. Pembatasan waktu untuk kesempatan menggugat ini adalah perlu untuk menjalin adanya kepastian hukum bagi berlakunya keputusan administratif (KTUN) yang digugat tersebut. 3. Diakuinya prinsip bahwa suatu gugatan pada asasnya tidak bersifat menunda pelaksanaan isi keputusan administrasi (KTUN) yang digugat, kecuali ada permohonan dari penggugat yang bersangkutan dan dikabulkan oleh hakim. Prinsip tersebut berdasar pada doktrin bahwa selama tidak dibuktikan sebaliknya, maka suatu keputusan administratif (beschikking) itu selalu dianggap sah adanya (asas praesumtio justae causa atau doktrin Perancis le privilege d‟executon prealable de la puissance publique, atau di Belanda vermoden van rechtmatigheid). Karena itulah dalam sistem hukum acara di peradilan administrasi Perancis dikenal adanya permohonan penundaan eksekusi (la sursis d‟execution ties actes administratifs) atau di Belanda disebut schorsing, dan di Indonesia disebut commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
157 digilib.uns.ac.id
permohonan penundaan pelaksanaan keputusan tata usaha negara (vide Pasal 67 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN). 4. Adanya prosedur-prosedur khusus tentang proses pemeriksaan perkara, pemeriksaan dengan acara cepat (di Indonesia, Pasal 98) yang mirip dengan prosedur refere dalam sistem hukum Perancis, atau dalam sistem hukum Belanda disebut versnelde procedure. Di samping itu dikenal adanya proses dalam sistem AROB di Nederland disebut verrenvoudiade bellandeling, dan di Indonesia disebut dismisal proses (Pasal 62). Di Indonesia dikenal adanya proses pemriksaan persiapan (Pasal 63), di Belanda pada umumnya dikenal dalam berbagai macam hukum acara di badan-badan peradilan administrasi dengan sebutan voorbereidend onderzoek, tetapi dalam wet raad van state justru tidak dikenal. Dalam sistem hukum di Perancis, prosedur ini diwujudkan dalam bentuk seance d‟instruction yang dipimpin oleh seorang Rapporteteur-Conseiller. 5. Mengenai sistem pembuktian dalam persidangan , pada umumnya di Perancis maupun di Belanda dianut sistem pembuktian bebas (vrij bewijsleer), yaitu kepada hakim diserahkan kebebasan sepenuhnya untuk menentukan alat-alat bukti dan memberikan penilaian tentang kekuatan pembuktiannya, dengan tidak diikat oleh perincian secara limitatif tentang alat-alat bukti241 Banyak sistem hukum di dunia ini, termasuk sistem hukum Indonesia, yang mengharuskan hakim untuk menggali, menemukan dan menerapkan hukum yang hidup dalam masyarakat. Kapan suatu prinsip hukum sudah dapat dianggap sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga hakim harus menerapkan dalam putusan yang dibuatnya. Jelas, tidak semua prinsip yang kelihatan diperbincangkan oleh masyarakat dapat dianggap sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam teori hukum, justifikasi agar prinsip dalam masyarakat dapat dianggap sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat adalah apakah prinsip tersebut sudah memenuhi salah satu atau lebih dari persyaratan sebagai berikut : commit to user 241
Eddy Djuanedi, Edi Rohaedi, Kadar Slamet, Op., cit., hlm., 59-60.
158 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Prinsip tersebut sudah menjadi yurisprudensi, yaitu sudah pernah dipertimbangkan oleh putusan-putusan pengadilan sebelumnya. b. Prinsip tersebut sudah masuk ke dalam aturan hukum aturan administrasi yang tidak mendapat kecaman yang terus menerus dari masyarakat. c. Prinsip tersebut banyak mendapat bahasan dan diterima di kalangan akademis atau di kalangan para ahli. d. Prinsip tersebut tidak bersifat partisan, yaitu tidak hanya merupakan prinsip yang dianut oleh sebagian kecil masyarakat atau oleh sekelompok tertentu masyarakat saja. e. Prinsip tersebut sudah merupakan prinsip umum yang sudah menjadi konsensus nasional atau menjadi kesadaran nasional, atau sudah diterima secara universal atau sudah merupakan praktik yang umum secara nasional atau secara universal. f. Prinsip tersebut, walaupun belum banyak diterima orang, tetapi mempunyai alasan yang sangat kuat, sangat cerah dan sangat futuristic. Prinsip seperti ini tidak terlihat dengan jelas di dalam masyarakat dan hanya ditemukan oleh hakim-hakim pencerahan yang sangat kreatif, dengan naluri yang luar biasa tajam dan dengan jangkauan pikiran yang jauh ke depan242 Dalam hal ini dapat dicontohkan beberapa asas-asas pemerintahan yang baik diterapkan untuk menguji keputusan tata usaha negara oleh hakim peradilan tata usaha negara243 : a. Putusan Nomor 33/G/PTUN/BDG/1993, tertanggal 15 Juli 1993. Dalam perkara antara Tanih bin Omat (Penggugat) melawan Bupati Kepala
Daerah
Tk.II
Karawang
(Tergugat
I)
dan
Sekretaris
Wilayah/Daerah Pemerintah Kab. Dati II Karawang (Tergugat II). Pengadilan tata usaha negara berpendapat bahwa dilihat dari bentuknya, keputusan itu masih mengandung cacat, yaitu motivasi yang tidak jelas. Sehubungan dengan hal tersebut, pengadilan berpendapat tergugat dalam 242 243
commitBogor to user Munir Fuady, 2007, Dinamika Teori Hukum, : Ghalia Indonesia, hlm., 157. Jazim Hamidi, Op., cit., hlm., 97-99
159 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memberikan atau menerbitkan keputusan kurang melaksanakan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu asas motivasi. b. Putusan Nomor 19/G/PTUN/BDG/1994 Dalam perkara antara Ny. Euis Rohanah (Penggugat) melawan Kepala Kantor pertanahan Kota Madya Bandung (Tergugat). Penggugat adalah ahli waris satu-satunya dari almarhum Oejo, berdasarkan surat keterangan ahli waris Pemda Tk.II Bandung. Sebidang tanah semula digunakan untuk kuburan, karena kuburan telah dipindahkan, maka penggugat hendak mensertifikatkan tanahnya. Hal tersebut ditolak, karena di atas tanah tersebut sudah diterbitkan sertifikat hak milki atas nama Ny. Titi S.A. Peradilan tata usaha negara memutuskan bahwa keputusan tata usaha negara melanggar peaturan perundang-undangan yang berlaku dan asasasas umum pemerintahan yang baik, khususnya asas kecermatan formal. Asas kesetaraan dipergunakan sebagai dasar pengujian keputusan tata usaha negara yang digugat dalam sengketa antara Lindawati melawan Bupati Gianjar (putusan Nomor 10K/TUN/1992. Penggugat dalam perkara ini membangun restoran tanpa menunggu penerbitan IMB, dan setelah permintaan IMB- nya ditolak, menerima perintah pembongkaran. Setelah di tingkat pertama dan banding, ia menang dalam kasasi, Mahkamah Agung memenangkan gugatannya, karena berkas perkara menunjukkan adanya beberapa bangunan lain didaerah itu yang tidak mempunyai IMB. Bangunan-bangunan tersebut dibiarkan saja, dan itu berarti bahwa peruntah yang digugat diumumkan tanpa menghargai prinsip/asas kesetaraan244. Contoh lain Putusan Nomor 54/G/PTUN/BDG/19993. Sebuah prinsip yang menimbulkan masalah adalah prinsip atau asas fair play, yang didefinisikan Indroharto sebagai berikut : “pejebat yang mengeluarkan atau menerbitkan keputusan tidak akan berusaha untuk mencegah
kemungkinan
mendapatkan keputusan
seseorang
yang
berkepentingan
untuk
yang menguntungkannya. Dalam perkara
to user Kompas, 6 Mei 1992, Forum Keadilan,commit 10 Desember 1992, Jayakarta, 3 November 1992, dalam Andriaan W. Bedner, 2010, PTUN di Indonesia, Jakarta : HuMa., hlm. 131 244
160 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Nur‟aeni melawan Kepala Kantor Cabang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
PTUN
Bandung
mengubah
penafsirannya
menjadi
mewajibkan bahwa semua kemungkinan yang terbuka bagi warga negara untuk melindungi kepentingannya tidak akan dihalangi oleh tindakantindakan formal sesuai hukum yang disusun oleh penguasa. Hal ini memiliki arti pelarangan total bahkan terhadap tindakan-tindakan yang sah yang dilakukan penguasa. Putusan PTUN Medan No. 70G/1992/PTUN-MDN, tertanggal 5 Januari 1993, mengenai gugatan para penggugat terhadap surat pembebasan
tugas
oleh
Kepala
Kantor
Urusan
Agama.
Dalam
fundamentum petendinya penggugat menyatakan : “bahwa tergugat tidak meneliti secara seksama tentang rekayasa pengaduan jemaah masjid B dan tidak meneliti tentang hasil pengaduan tersebut”. Penggugat menyatakan perbuatan sewenang-wenang yang mengakibatkan kerugian orang lain bertentangan dengan asas-asas umum yang baik. Putusan PTUN Medan menyatakan ada beberapa faktor yang dilupakan tergugat, yaitu adanya ganti rugi yang telah disepakati. PTUN Medan, menyimpulkan tergugat menyimpang tergugat melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, khususnya asas kecermatan, PTUN membatalkan surat Kepala KUA. Putusan PTUN Medan No. 01/G/1993/PTUN-MDN. Tertanggal 1 September 1993, yang mengabulkan gugatan Penggugat terhadap Kepala KUP dengan dasar bahwa Tergugat telah membatalkan SIP Penggugat dan memerintahkan supaya Penggugat mengosongkan ruko yang telah disewanya. Pertimbangan PTUN adalah bahwa Tergugat telah melampaui kewenangannya
dan
tergugat
telah
melanggar
asas-asas
umum
pemerintahan yang baik, yaitu fair play.
3.6. Teori Ilmu Hukum sebagai Landasan Pemikiran Hakim. Dimensi kekuatan hukum masih belum menajdi masalah substansial dalam kajian dan pembelajaran hukum selama ini. Peranan teks hukum atau commit to user sehingga belajar hukum hampir perundang-undanganmasih sangat diutamakan,
perpustakaan.uns.ac.id
161 digilib.uns.ac.id
identik dengan belajar teks perundang-undangan. Ilmu pengetahuan selalu diharapkan dapat memberi panduan pada saat masayarakat dan bangsa dalam menghadapi persoalan, apalagi persoalan besar. Ilmu pengetahuan hukum juga akan selalu dicari masyarakat sebagai sumber yang mampu memberi panduan, pemecahan dan jalan keluar di saat menghadapi persoalan besar maupun kecil245. Kajian mengenai pemikiran hakim terutama dalam kaitannya dengan tugas hakim untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu sengketa di muka sidang pengadilan, tidaklah dapat terlepas dari perilaku nyata hakim di muka sidang yang dipengaruhi oleh faktor-faktor intern maupun ekstern dalam mengambil putusan. Eksistensi hukum sebagai pedoman perilaku manusia sangat penting, karena perilaku manusia tanpa pedoman akan menimbulkan benturan-benturan kepentingan antara yang satu dengan lainnya dalam kehidupan bersama mereka, keberadaan hukumpun tidak menjamin ketiadaan sengketa di antara para warga, namun paling tidak dapat meminimalisasi sengketa-sengketa yang timbul. Philip. C. Jessup, mengatakan law is indeed a human necessity246, tanpa hukum sebagai pengendalian sosial yang efektif, potensi-potensi manusia dapat mengarah kepada perilaku yang dapat membawa kehancuran bagi manusia, karena seperti dikatakan oleh Lon Fuller, : “human is the only species that chooses its own kind as its preferred prey”247. Selanjutnya dikemukakan, hukum sebagai salah satu kebutuhan riil manusia, dalam kenyataannya tidak selalu memberikan kepuasan atau hukum senantiasa tidak bisa memenuhi kebutuhan manusia, maka sudah sejak lama hukum itu menarik perhatian para pemikir. Perkembangan pemikiran dari para ahli hukum tersebut menghasilkan pelbagai aliran teori hukum248, yang mempengaruhi pemikiran dan penerapan hukum dalam kehidupan manusia. 245
Satjipto Rahardjo, 2009, Lapisan-lapaisan dalam Studi Hukum, Malang : Bayumedia Publishing, hlm., 41. 246 Philip.C. Jessup, A Modern Law of Nations, 1959, dalam Adi Sulistiyono, 2004, Op.,cit, hlm., 1 247 Fuller, Anatomy of the law, pelican Book, 1971, dalam Adi Sulistiyono, 2004, Op., cit., hlm., 1 248 commit to user Menurut Hart, perkembangan teori hukum memang banyak membantu manusia untuk memahami esensi hukum, tetapi bersamaan dengan itu teori hukum juga telah mengaburkan
162 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam kajian tentang pengujian keabsahan keputusan tata usaha negara oleh hakim, maka sebagai grand teori yang digunakan sebagai pendekatan adalah sociological jurisprudence. Pendekatan tersebut lebih cenderung untuk melihat kenyataan hukum dalam masyarakat dibandingkan pandangan hukum sebagai norma dalam undang-undang. Antonius Sudirman menyatakan, hukum harus digarap dengan baik atau matang agar sesuai dengan kenyataankenyataan dalam masyarakat dan dalam pencapainnya, hakim harus mempertimbangkan dengan cermat realitas-realitas dalam masyarakat249. Pendekatan sociological jurisprudence juga memperhatikan keberadaan undang-undang, namun hakim tidak boleh terbelenggu olehnya dan hakim bukan hanya sebagai terompet undang-undang. Dalam pendekatan tersebut, hakim mempunyai kebebasan untuk menafsirkan undang-undang agar dapat diterapkan pada sengketanya dengan melihat realita dalam masyarakat. Hakim dalam proses peradilan mempunyai kewajiban menegakkan hukum dan keadilan, kemudian hakim menafsirkan undang-undang sesuai dengan realita masyarakat. Hukum tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, sebagai cermin dari masyarakatnya, hukum adalah untuk memberikan perlindungan kepada manusia. Berdasarkan hal tersebut, maka sebagai middle theory dalam kajian ini adalah teori
hukum progresif, sedangkan sebagai
applied digunakan teori interaksi simbolis. Dalam kajian pemikiran hukum oleh hakim di muka sidang, maka menarik untuk dikemukakan pendapat Antonius Sudirman, secara sederhana dapat dikatakan bahwa studi ilmu hukum perilaku (behavioral jurisprudence) adalah studi yang mempelajari tingkah laku aktual hakim dalam proses peradilan. Tingkah laku tersebut dipelajari dalam interaksi dan interelasinya antara orang-orang yang terlibat dalam tahap-tahap pengambilan putusan satu sama lain. Pusat perhatiannya bukan pada hukum tertulis dan putusan hakim
makna keseluruhan dari hukum itu. Lihat Hart, The Concept of Law, Oxford University Press, 1961, h.2, “...they throw a light which makes as see much in law that lay hidden, but the light is so bright that it blids us to the remainder and so leaves us still wathout a clear view of the whole”, dalam Adi Sulistiyono, 2004, hlm. 1. commit to user 249 Antonius Sudirman, Op., cit., hlm., 29.
perpustakaan.uns.ac.id
163 digilib.uns.ac.id
yang bersifat formal, melainkan pada pribadi hakim dan orang-orang yang terlibat dalam peranan-peranan sosial tertentu dalam pengambilan putusan hukum250. Selanjutnya dikemukakan bahwa fokus utama dalam pendekatan ilmu hukum perilaku adalah perilaku hakim dalam proses peradilan, namun sikap individual yang melekat pada pribadi hakim, sebab sikap-sikap tersebut sangat menentukan perilakunya atau tindakan atau putusannya. Pemikiran hakim dalam proses di pengadilan untuk menjatuhkan putusan terhadap sengketa yang diperiksanya sangat dipengaruhi oleh aliran legisme, positivisme hukum251, pengaruh aliran tersebut menimbulkan aliran ideenjurisprudenz, yaitu hakim dilarang menafsirkan undang-undang. Aliran tersebut dalam praktik banyak mendapat kritik, kecaman, kemudian lahir aliran penemuan hukum. Berkaitan dengan hal tersebut, kajian dekonstruksi yaitu gerakan pemikiran postmodernis, seperti critical legal studies (gerakan studi hukum kritis) menarik dikemukakan dalam kajian pembahasan. Anthon F Susanto252, dekonstruksi dalam hukum sebagaimana dijelaskan aliran studi hukum kritis adalah strategi pembalikan untuk membantu melihat makna yang tersembunyi yang terkadang diistimewakan melalui sejarah. Dekonstruksi bertujuan menolak rezim semantik yang menguasai peristilahan hukum dan mengumpulkan kembali hal-hal yang terlupakan dan tercecer dalam setiap penafsiran hukum. Gerakan studi hukum kritis, bertujuan melawan pemikiran yang sudah mapan khususnya mengenai norma-norma dan standar yang sudah bult-in dalam teori dan praktik hukum yang cenderung untuk diterima apa adanya (taken for granted), yaitu norma-norma dan standar hukum yang didasarkan pada premis ajaran liberal legal justice253. Kritik terhadap hukum modern dikemukakan Satjipto Rahardjo, memasuki abad 20 dan awal abad 21, nampak perubahan yang cukup penting, yaitu dimulainya perlawanan terhadap 250
Ibid., hlm., 32. Lihat dalam Pontang Morad, hlm., 77, 81, 83, 86, 122,123 dan Achmad Ali, hlm., 124. 252 Anthon F Susanto, 2010, Ilmu Hukum Non Sistematik Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu HukumIndonesia, Yogyakarta : Genta Publishing, hlm., 271-272 253 commit to user Anthon F Susanto, 2005, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali), Bandung : Refika Aditama, hlm., 125. 251
164 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dominasi atau kekuasaan tersebut. Pandangan ini muncul dan diusung oleh para pemikir postmodernis, sehingga sifat hegemonial dari negara perlahanlahan dibatasi, dan mulai muncul pluralisme dalam masyarakat, negara tidak lagi absolut kekuasaanya. Muncul kearifan lokal254 Glendon Schubert255, sehubungan dengan hal tersebut mengemukakan, hakim itu setuju atau tidak setuju terhadap suatu keputusan, bukan karena mereka melakukan penalaran yang sama atau berlainan, melainkan karena mereka mempunyai sikap-sikap yang sama atau berlainan. Para hakim berbedabeda dalam sikap-sikapnya oleh karena masing-masing pada akhirnya memiliki beberapa hal untuk dipercayainya dan menolak yang lain sebagai hasil dari pengalaman hidupnya. Apa yang dipercaya oleh seorang hakim tergantung dari afiliasi-afiliasi politik, agama dan etnisnya, baik formal maupun bukan, kariernya di bidang hukum sebelum menjadi hakim. Afiliasi-afiliasi yang berhubungan dengan perkawinan, status sosial ekonomi, pendidikan dan kariernya, pada gilirannya untuk bagian terbesar dipengaruhi oleh tempat ia dilahirkan, dari orang tua siapa dan kapan. Dalam menerima pengaruh atau rangsangan dari luar, baik dari lingkungan sosial maupun budaya, hakim tidak akan bertindak sebagai robot, dalam arti tindakan yang diambil semata-mata sebagai tindakan atas rangsangan atau stimulus sosial, tetapi tindakan tersebut dilakukan sebagai hasil dari proses interpretasi atau penafsiran terhadap stimulus sosial tersebut. Blumer256,
salah
seorang
tokoh
aliran
interaksionisme
simbolik
mengemukakan bahwa tindakan manusia terdiri dari petimbangan atas berbagai hal yang diketahuinya dan melahirkan serangkaian kelakuan atas dasar bagaimana mereka menafsirkan hal tersebut. Hal yang dipertimbangkan mencakup masalah, seperti keinginan dan kemauan, tujuan dan sarana yang tersedia untuk mencapainya, serta tindakan yang diharapkan dari orang lain.
254
Lihat dalam Anthon F Susanto, Teori Hukum, hlm., 147 Glendon Schubert, dalam Antonius Sudirman, Op., cit., hlm., 34. 256 to user Blumer, dalam Margaret M. Poloma, commit 1994, Sosiologi Kontemporer, Tim penerjemah Yosogama, Jakarta : Grafindo Pesada., hlm., 268. 255
perpustakaan.uns.ac.id
165 digilib.uns.ac.id
Menurut Mead257, manusia mempunyai sejumlah kemungkinan tindakan dalam pemikirannya sebelum ia memulai tindakan yang sebenarnya. Sebelum melakukan tindakan yang sebenarnya, seseorang mencobakan terlebih dahulu berbagai alternatif tindakan itu secara mental melalui pertimbangan pemikirannya. Karena itu sebenarnya dalam proses tindakan manusia itu terdapat suatu proses mental yang tertutup yang mendahului proses tindakan yang sebenarnya dalam bentuk tingkahlaku yang sebenarnya atau yang kelihatan. Berpikir menurut Mead, adalah suatu proses di mana individu berinteaksi dengan dirinya sendiri dengan mempergunakan simbol-simbol yang bermakna. Melalui proses interaksi dengan dirinya sendiri itu, individu memilih yang mana di antara stimulus yang tertuju kepadanya itu yang akan ditanggapinya. Individu dengan demikain tidak secara langsung menanggapi stimulus, tetapi terlebih dahulu memilih dan kemudian memutuskan stimulus mana yang akan ditanggapinya. Sesudah stimulus dipilih, individu mencobakan berbagai tanggapan dalam pikiran sebelum tanggapan yang sesungguhnya diberikan. Aktor melihat ke depan dan memastikan akibat atau hasil dari berbagai tindakan yang dipilihnya itu. Tindakan itu merupakan hasil dari proses interpretasi terhadap stimulus. Jadi merupakan hasil proses belajar, dalam arti memahami simbol-simbol dan saling menyesuaikan makna dari simbol-simbol itu, meskipun norma-norma, nilai-nilai sosial dan makna dari simbol-simbol itu memberikan pembatasan terhadap tindakannya, bahwa dengan kemampuan berpikir yang dimilikinya manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan tindakan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya. Teori yang lain dalam menjelaskan perilaku hukum dikemukakan oleh Donald Balck, menurut Donald Black258, dari sudut pandang sosiologis, hukum bukanlah apa yang oleh para pakar hukum dipandang sebagai aturan-aturan yang mengikat dan wajib dilaksanakan, tetapi sebagai contohnya hukum lebih merupakan kecenderungan-kecenderungan yang dapat diamati dari perilaku 257
George Ritzer, Sociology, A Multiple Paradigma Science, penerjemah Alimandan, 1992, Sosilogi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta : Raja Grafindo, hlm., 67-68. 258 commit to theory) user dan teori Peradilan (judicial Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (legal prudence) termasuk Interpretasi Undang-undang (legis prudence), Jakarta : Kencana, hlm., 152.
perpustakaan.uns.ac.id
166 digilib.uns.ac.id
hakim, polisi, pengacara, jaksa penuntut umum atau pejabat administratif. Dari sudut pandang seperti ini, hukum seperti fenomena perilaku lainnya, dapat menerima metode ilmiah seperti aspek realitas lain. Tidak ada aturan intelektual yang khusus, yang dibutuhkan untuk studi tersebut. Pada waktu yang bersamaan, justru ilmu sosial tentang hukum yang terkait pada positivisme, yaitu teori ilmu yang konvensional, tidak dapat terlepas dari batasan-batasan yang melekat pada pemikiran ilmiah itu sendiri. Sehubungan dengan hal tersebut, Satjipto Rahardjo259, dalam kolomnya hukum perilaku dan keluarga mengemukakan, untuk meyakinkan tentang betapa mendasarnya peranan perilaku hukum, barangkali kita bisa melacak ke belakang sampai kepada asal-usul perkembangan hukum. Dilihat, bahwa hukum tidak mulai dengan perundang-undangan atau lain bentuk peraturan, melainkan perilaku. Hukum muncul dari interaksi antar anggota masyarakat sendiri. Hukum tidak ditentukan dari atas seperti model sekarang, kaidahkaidah muncul dan dibentuk oleh interaksi antara sesama anggota masyarakat sendiri. Model yang demikian itu, dapat berjalan oleh karena wilayah atau ruang lingkup yang masih kecil dan jumlah penduduknya yang masih sedikit pula. Di samping itu perlu ditambahkan, bahwa persoalan-persoalan yang timbul juga masih sangat sederhana, sehingga pengatutan yang terperinci dan sistematis belum diperlukan. Berkaitan dengan hal tersebut, Eugen Ehrlich dalam karyanya tentang Fundamental Principles of the Sosiology of Law 1912, mengemukakan : At the present as well as at any other time, the centre of gravity of legal development lies not in legislation, nor in juristic science, nor in judicial decision, but in society it self. Baik dewasa ini maupun kapan saja, pusat perkembangan hukum, tidak terletak pada perundang-undangan, juga tidak terletak pada ilmu hukum dan juga tidak pada putusan pengadilan, melainkan terletak di dalam masyarakat sendiri260. Dalam kaitannya dengan pengkajian perilaku hukum,
259 260
to user Satjipto Rahardjo, dalam Achmad Ali,commit 2009, Ibid., hlm., 161. Achmad Ali, 2009, Ibid., hlm., 162.
perpustakaan.uns.ac.id
167 digilib.uns.ac.id
Achmad Ali dengan mengutip pendapat Lawrence M. Friedman261, dalam bukunya yang berjudul : American Law an Introduction, 1988, mengemukakan bahwa istilah legal behavior (perilaku hukum) adalah perilaku yang dipengaruhi oleh aturan, keputusan, perintah atau undang-undang yang dikeluarkan oleh pejabat dengan wewenang hukum. jika saya berperilaku secara khusus atau mengubah perilaku saya secara khusus, karena diperintahkan hukum atau karena tindakan pemerintah atau amanat atau perintah dari pemerintah atau dari sistem hukum atau dari pejabat di dalamnya, inilah perilaku hukum. jika saya berkendaraan disepanjang jalan dan melihat rambu batas kecepatan (atau melihat polisi) dan memperlambat kendaraan, ini adalah perilaku hukum. Juga termasuk prilaku hukum, tetapi agak lain, yaitu jika saya melihat polisi, kemudian saya memacu mobil dengan kecepaatn seratus mil per jam untuk menghindarinya. Dalam hal ini, I am reacting to something, going on in the legal system (saya bereaksi terhadap sesuatu yang sedang terjadi dalam sistem hukum). kesimpulannya adalah bahwa yang dimaksud dengan perilaku hukum bukan hanya perilaku taat hukum, tetapi semua perilaku yang merupakan reacting to something, going on in legal system. Reaksi tersebut dapat merupakan reaksi ketaatan terhadap hukum, tetapi juga termasuk reaksi yang bersifat ketidaktaatan terhadap hukum, bahkan termasuk juga reaksi „use‟ (menggunakan) atau „not use‟ (tidak menggunakan) suatu aturan hukum. Teori lain yang dipergunakan dalam pembahasan pemikiran hakim dalam proses di muka peradilan adalah teori yang dikemukakan oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, yang mengemukakan bahwa cara berpikir manusia yang paling sederhana memang mirip dengan mesin, yang biasa disimbolkan dalam IQ (intellectual quotient). Untuk waktu yang lama, cara berpikir seperti itu mewakili kemampuan berpikir manusia, sehingga semua ingin diukur dengan standar IQ, model berpikir tersebut sebagai serial thinking, juga disebut simplistic model of thinking, yaitu berpikir secara lurus, logis dan tanpa melibatkan emosi. Hal ini tidak salah, tetapi IQ saja belum menggambarkan commit to user 261
Ibid., ,hlm.,144.
perpustakaan.uns.ac.id
168 digilib.uns.ac.id
atau mewakili cara berpikir manusia seluruhnya dan untuk melengkapi muncul EQ (emotional quotient), yaitu berpikir asosiatif atau berpikir dengan hati dan badan. Terakhir adalah SQ (spiritual quotient), yang oleh Zohar dan Masrhall dinobatkan sebagai intelegensi yang paling sempurna. Berbeda dengan IQ, maka SQ disebut unitive thinking yang melahirkan kecerdasan spiritual, yaitu kecerdasan yang bermakna (meaning-giving), berpikir dalam konteks dan melompat keluar dari ikatan (transformative). Pensifatan lain untuk SQ adalah berpikir kreatif, penuh wawasan (insightful) , dan intuitif262. Selanjutnya dikemukakan, mutatis mutandis, cara-cara berpikir tersebut juga ditemukan dalam dunia hukum. IQ boleh mewakili ilmu hukum analitis, yang bermodal praturan-peraturan dan mengolahnya dengan bantuan logika. Inilah cara berhukum yang umum dijumpai, termasuk dinegeri kita. Kredo yang dipakai adalah “peraturan dan logika”. Seperti pada kecerdasan rasional, maka cara berhukum atau menjalankan hukum mengikuti deret hitung, setapak demi setapak secara rasonal. Dalam hal ini orang lebih melihat ke dalam hukum atau bangunan peraturan sendiri daripada keluar. Tidak ada pikiran asosiatif yang mengaitkan hukum kepada masyarakat. Puncak cara berhukum adalah manakala kita berani untuk lepas dari belenggu perundang-undangan dan menemukan hal-hal baru yang progresif. Dalam hal ini tidak lagi berpikir matematis menurut deret hitung mengeja pasal-pasal undang-undang, melainkan bertindak kreatif dan melompat. Melompat dalam arti tidak mengikuti atau terikat pada kebiasaan-kebiasaan yang lalu atau biasa disebut yurisprudensi atau stare decisis, melainkan keluar dengan putusan-putusan baru sama sekali. Cara berhukum yang legalistik, positif-analitis disebut sebagai rule making, pemikiran kreatif dan intuitif tersebut disebut rule breaking263. Diserahkan kepada manusia, berarti membiarkan hukum untuk bisa membuat putusan-putusan yang penuh dengan pilihan-pilihan. Dalam keadaan sekarang, manusialah yang mampu menyelesaikan pekerjaan yang penuh dengan pilihan 262
Danah Zohar dan Ian Marshall, dalam Satjipto Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir commit to userJakarta : Buku Kompas, hlm., 93. Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, 263 Satjipto Rahardjo, 2007, Ibid., hlm., 94.
perpustakaan.uns.ac.id
169 digilib.uns.ac.id
tersebut. Hal ini didukung oleh pendapat Zohar dan Marshall, bahwa manusia memiliki kemampuan berpikir yang tidak hanya logis, masinal dan serial, melainkan kreatif dan rule-breaking, dan mesin belum bisa melakukan yang terakhir atau kreatif dan rule-breaking. Hukum tidak pernah bisa melayani manusia, apabila ia tidak juga bekerja dengan penuh perasaan dan kepedulian (compassionate). Untuk dapat melayani manusia dengan baik, maka hukum tidak bisa hanya menghitung dan mengeja pasal-pasal undang-undang, melainkan juga bekerja dengan modal empati dan keberanian (dare) dan itu belum mampu dilakukan mesin. Di bagian lain disebut nama Oliver Wendell Holmes, seorang scholar dan sekaligus hakim agung yang terkenal dii Amerika Serikat. Diktum Holmes yang terkenal adalah :The life of the law has not been logic, but experience”. Hukum tidak bertolak dari kredo “peraturan dan logika”, melainkan juga pengalaman. Pengalaman bukan teks, hukum tidak berangkat dari pembacaan tentang apa yang tertulis dalam peraturan. Peraturan memberikan suatu kerangka, tetapi di dalamnya manusialah yang main. Ia berhadapan dengan sekian banyak pilihan dan tuntutan serta keinginan yang dilontarkan dalam masyarakat. Radbruch menyebitnya keadilan dan kemanfaatan bagi kehidupan (utility, reasonableness). Logika menjadi simbol peraturan dan penggarapannya secara rasional, sedang pengalaman adalah bagaimana manusia (hakim) memberi isi sosial dan kemanusiaan. Dalam sejarah Amerika Serikat, munculnya Supreme Court sebagai kekuatan baru, yang semula sama sekali tidak diperhitungkan, juga tidak bisa dilepaskan dari peran seorang manusia yang bernama John Marshall, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat (1801-1836). Dalam masa kepimpinannya, Marshall telah melakukan sesuatu yang besar, sehingga Supreme Court yang sebelum itu disebut sebagai bagian yang paling lemah dalam kenegaraan, dibanding eksekutif dan legislatif, muncul sebagai kekuatan di samping keduanya. Di tengah suasana Amerika yang demikian itu (anggapan pengadilan hanya memeriksa perkara dancommit tidak to adauser kekuatan dan kemauan, rendahnya
170 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengakuan akan pentingnya mahkamah dalam sistem federal), bagaikan halilintar di siang hari bolong, pada tahun 1803, Ketua Mahkamah Agung John Marshall
menyatakan,
bahwa
Mahkamah
memiliki
kekuasaan
untuk
menyatakan undang-undang (act of congress) sebagai tidak konstitusional. Di samping Marshall, juga Earl Warren, sebagai transformator menuju Amerika baru, yaitu dengan menerima tugasnya bukan hanya sebagai hakim, tetapi legislator, ia banyak mengubah corpus hukum konstitusi Amerika Serikat264. Satjipto Rahardjo, mencotohkan hakim Indonesia, yaitu Bismar Siregar. Hakim yang selalu mendahulukan putusan hati-nurani dan yang lain, seperti Adi Andojo Soetjipto, Baharudin Lopa, Hoegeng, Kusumah Atmadja adalah manusia yang berpotensi untuk membelokkan jalanya hukum, sehingga memenuhi harapan masyarakat, mereka adalah sosok yang penuh integritas.
B. Kerangka Pemikiran. Dalam suatu negara hukum yang mengkonsepkan sebagai negara kesejahteraan (welfare state), maka campur tangan pemerintah terhadap kepentingan atau kebutuhan warga negaranya menjadi semakin dominan. Tugas pemerintah semakin besar, yaitu tidak hanya yang berkaitan dengan menjalankanfungsi pemerintahan saja, melainkan juga tugas dan kewajibankewajiban untuk mewujudkan kesejahteraan pada warga negaranya. Pemikiran tentang perlindungan hukum dan mewujudkan kesejahteraan bagi warga negaranya tidak boleh terlupakan dalam setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah (Badan atau Pejabat TUN). Paham negara kesejahteraan, meskipun telah memberikan kekuasaan yang besar kepada negara dalam menjalankan fungsinya, tidak dimaksudkan tanpa adanya pembatasan oleh undang-undang atau hukum, sebagai wujud atau realisasi dari asas legalitas dalam negara hukum. Pemberian kekuasaan kepada negara dimaksudkan agar kekuasaan tersebut dilaksanakan sedemikian rupa, tidak terjadi perebutan kekuasaan dan dengan tujuan agar negara dapat memberikan perlindungan hukum dan kemakmuran atau kesejahteraan kepada warga negaranya. commit to user 264
Satjipto Rahardjo, 2007, Ibid., hlm., 101.
171 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Meningkatnya
kualitas
dan
kuantitas
tugas-tugas
yang
harus
diselenggarakan oleh pemerintah, berkonsekuensi terhadap diperlukannya pengawasan atau kontrol yang lebih efektif dan intensif untuk mengoreksi terjadinya praktik-praktik maladministarsi, yang dilakukan oleh oknum Badan atau Pejabat TUN dalam menggunakan atau melaksanakan kewenangannya dan Peradilan TUN merupakan salah satu subsistem dari sistem pengawasan yang dilakukan terhadap Badan atau Pejabat TUN265. Negara mempunyai kewajiban untuk masuk dalam wilayah kehidupan warga negaranya dalam rangka menjalankan fungsinya, melayani dan mengupayakan kemakmuran atau kesejahteraan bagi warga negaranya. Philipus M. Hadjon, mengemukakan bahwa konsepsi negara kesejahteraan (welfare state) memberi pembenaran maksimalisasi aktor negara (staat) dengan argumen untuk keberhasilan realisasi ide menyejahterakan masyarakat (burger), walaupun ukuran kualitaitf pengertian kesejahteraan itu sendiri masih terus diperdebatkan. Model pembangunan
yang diwarnai
ide
welfare
state dengan karateristik
memaksimalisasi negara cq. Pemerintah (eksekutif) akan lebih efektif untuk mewujudkan tujuannya, jika peran pemerintah (sebagai personofikasi negara) tetap memberikan peluang partisipasi masyarakat266. Landasan kewenangan pada pejabat administrasi atau Badan atau Pejabat TUN Bersumber dari tiga hal, pertama landasan kewenangan atas dasar atributit, yaitu wewenang yang ada pada pejabat administrasi sifatnya melekat, tidak dapat dialihkan dan tidak dapat dibagi-bagi. Kedua, kewenangan atas dasar delegasi, yaitu terjadi pelimpahan wewenang dari pejabat administrasi kepada subyek hukum lain untuk bertindak atas nama sendiri dan atas tanggung jawab sendiri. Pelimpahan wewenang tersebut dilakukan kepada pejabat lain yang bersifat horizontal. Ketiga, kewenangan atas dasar mandat, yaitu wewenang tersebut atas dasar pelimpahan dari pejabat kepada subyek hukum lain untuk melakukan tindakan atas nama pemberi
265
W. Riawan Tjandra, Op., cit., hlm., 5. commit to user Philipus M. Hadjon, et.al, 1994, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesia Administrative Law, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, hlm., 28. 266
172 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mandat dan tanggung jawab pemberi mandat267. Selanjutnya dikemukakan, luasnya wewenang pejabat administarsi dalam memenuhi fungsinya, maka administrasi (bestuur) sebagai pelaksana pemerintahan diberi wewenang bebas (vrije Bestuur). Hal ini bertujuan untuk mengambil tindakan cepat dan tepat serta berfaedah, meskipun begitu tindakan tersebut harus tetap dalam bingkai hukum dan tidak bertentangan dengan hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Wewenang yang begitu luas yang diberikan kepada pemerintah, memberi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah atau penguasa, hal yang demikian adalah wajar terjadi, karena juga kurangnya pengawasan terhadap pelaksanaan tugas oleh pemerintah. Berbagai hal dikemukakan untuk memberikan alasan legitimasi dari tindakan pemerintah dalam campur tangan dengan wilayah kehidupan dan kepentingan warga negaranya, seperti alasan untuk kepentingan umum, untuk kepentingan orang banyak, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang semuanya sulit untuk diukur. Berkaitan dengan hal tersebut, sudah barang tentu tugas pemerintah tidak hanya tertuju pada bidang pemerintahan saja, melainkan lebih luas lagi. Meningkatnya campur tangan pemerintah dalam kehidupan warga negaranya
atau lebih aktifnya pemerintah dalam
menjalankan fungsinya dan dengan berbagai alasan pembenar yang dikemukakan, maka berpotensi untuk timbulnya maladministrasi yang dapat merugikan kepentingan rakyat atau warga negaranya. Kepada rakyat atau warga negara yang kepentingannya atau hak-haknya dirugikan sebagai akibat dari tindakan pemerintaha, maka diperlukan lembaga yang dapat menjebadani atau menyelesaikan benturan-benturan kepentingan tersebut, yaitu Peradilan Tata Usaha Negara (disingkat PTUN). Eksistensi PTUN dalam negara hukum sangat dibutuhkan, karena di samping berfungsi sebagai alat kontrol terhadap tindakan pemerintah dalam menjalankan fungsinya atau aktifitasnya sehari-hari terutama dalam bidang tata usaha negara, juga eksistensi PTUN sangat penting dalam rangka userRidwan HR, 2006, Hukum Administrasi H.A. Muin Fahmal, Op.,cit.,hlm., 71. commit Lihat jugatodalam Negara, Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm., 103. 267
173 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memberikan perlindungan hukum kepada warga negara dari tindakan pemerintah yang menimbulkan akibat hukum kepada warga negara atau badan hukum perdata. Y. Sri Pudyamoko dan W. Riawan Tjandra, mengemukakan, PTUN merupakan institusi untuk menyelesaikan timbulnya sengketa TUN antara Badan atau Pejabat TUN dengan seseorang atau badan hukum perdata sebagai akibat timbulnya keputusan tata usaha negara. Melalui kontrol yudisial yang dijalankan oleh PTUN, maka secara tidak langsung juga dilakukan pembinaan kepada aparatur negara sebagai pelaku birokrasi. Aparatur negara (Badan atau Pejabat TUN) akan bertindak lebih cermat dan seksama sesuai dengan legalitas kewenangan yang dimilikinya dalam mengeluarkan setiap bentuk keputusan (beschikking) yang mempunyai dampak langsung (akibat langsung) terhadap warga masyarakat. Efektif fungsi birokrasi akan dapat ditingkatkan dengan dukungan pengawasan dari PTUN. Dalam sebuah tulisan di Kompas tanggal 20 Desember 1991 disebutkan bahwa PTUN boleh jadi semacam harapan baru bagi masyarakat untuk mendapatkan perlakuan yang wajar dari para pejabat, aparat pemerintah. PTUN memang sebuah institusi yang bisa diharapkan oleh masyarakat agar ia tidak „dilempar‟ ke sana kemari atau dipingpong dari meja yang satu ke meja yang lain268. Penyelesaian sengketa hukum oleh suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka (hakim yang bebas), merupakan dasar bagi befungsinya sistem hukum dengan baik. Dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, setiap orang akan mendapatkan jaminan bahwa pemerintah akan bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku atau peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik dan dengan berdasarkan peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku
dan
asas-asas
umum
pemerintahan yang baik tersebut kekuasaan kehakiman akan menyelesaikan sengketa tanpa campur tangan pihak lain. Fungsi kontrol peradilan tata usaha negara terhadap tindakan pemerintah dapat diwujudkan dalam pengujian keabsahan keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan oleh pemerintah atau commit to user 268
Y. Sri Pudyatmoko dan W.Riawan Tjandra, Op., cit., hlm., 72.
174 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Badan atau Pejabat TUN yang disengketakan di muka sidang peradilan TUN, yaitu apakah keputusan tata usaha negara yang disengketakan tersebut bertentangan dengan peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Tugas PTUN adalah menguji keabsahan keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik atau tidak, dan penilaian atau pengujian (toetsing) tersebut terbatas pada segi hukumnya saja, yaitu penerapan hukum yang dipergunakan sebagai dasar dikeluarkannya keputusan tata usaha negara. Dengan demikian, apabila keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan Badan atau Pejabat TUN tersebut menyimpang atau tidak berdasarkan pada peraturan perundangundang yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, maka peradilan tata usaha negara dapat menyatakan keputusan tata usaha negara tersebut batal atau tidak sah. Hal tersebut bermakna Badan atau Pejabat TUN dalam menjalankan fungsinya atau tugasnya harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dalam negara hukum sebagaimana telah dikemukakan bahwa tindakan Badan atau Pejabat TUN harus didasarkan pada hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, hal tersebut dimaksudkan agar tindakan Badan atau Pejabat TUN berada dalam wilayah hukum atau undang-undang, sehingga dapat terwujud pemerintahan yang bersih dan berwibawa (clean and stable government). Suatu kenyataan, seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi, trasformasi
dan
komunikasi,
maka
tidak
semua
bidang
kehidupan
manusiadapat terakomodasi dalam suatu undang-undang atau walaupun telah diatur dalam undang-undang, namun kurang jelas atau tidak jelas, ketinggalan jaman. Di pihak lain dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state) peran negara cq. pemerintah dalam wilayah kehidupan warga negaranya semakin commityang to user besar, dan dengan berbagai alasan diajukan, pemerintah berkeinginan
175 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menyejahterakan warga negaranya. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri dan ternyata berpotensi menimbulkan benturan atau perselisihan kepentingan antara pemerintah dengan warga negaranya dan berujung pada timbulnya sengketa, karena undang-undang yang dijadikan sebagai dasar pijakan atau pedoman mengeluarkan keputusan tata usaha negara tidak relevan dengan perkembangan masyarakat yang semakin maju dan kompleks. Tugas hakim adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa atau menguji keabsahan keputusan tata usaha negara dan kemudian sampai pada pengambilanputusan. Berkaitan dengan tugas hakim tersebut, hakim mempunyai
kebebasan
atau
kekuasaan
yang
merdeka
sebagaimana
diamanatkan dalam undang-undang tentang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut sangat penting eksistesinya, karena agar putusan hakim yang dijatuhkan sebagai upaya menyelesaikan sengketa di antara para pihak dapat adil, jujur dan tidak memihak juga lepas dari pengaruh kekuasaan yang lain. Tidak adanya kemandirian kekuasaan kehakiman, terutama yang datang atau dari pengaruh eksekutif akan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran-pelanggaran oleh penguasa terhadap kepentingan-kepentingan warga negaranya. Reformasi memandang, independensi kekuasaan kehakiman sebagai salah satu obyek yang sangat mendasar perlu dikembalikan atau ditegakkan kembali. Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu pilar untuk memulihkan demokrasi dan negara berdasarkan hukum. Hakim dan pemikirannya dalam proses peradilan, yaitu hakim memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa yang diajukan para pihak kepadanya, menurut Sudikno Mertokusumo, tugas tersebut dapat dibedakan berupa mengkonstatir, mengkualifisir dan mengkonstituir269. Berkaitan dengan pemikiran hakim dalam proses peradilan, hal tersebut tidak dapat lepas dari sikap pribadi yang melekatnya dan hal tersebut sangat menentukan tindakan atau perilaku dalam bentuk putusan yang dijatuhkannya. Banyak faktor yang commit to user Sudikno Mertokusumo, 1993, Op., cit., hlm., 167, Adi Sulistiyono, 2006, Krisis Lembaga Peradilan di Indonesia, Surakarta : LPP. UNS dan UNS Press, hlm., 74-75. 269
176 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mempengaruhi tindakan hakim dalam menerapkan undang-undang terhadap peristiwanya untuk sampai pada pengambilan putusan, baik faktor yang datang dari lingkungan hakim sendiri maupun dari luar diri hakim. Hakim sebagi aktor dalam berproses di pengadilan, berdasarkan pertimbanganpertimbangan kemampuannya dapat menentukan pilihan-pilihannya dari berbagai alternatif yang tersedia. Hakim dapat saja tidak terikat oleh undangundang yang menjadi pedoman atau dasar untuk mengambil putusan, dapat menyimpang dari ketentuan undang-undang dengan berbagai alasan yang mendukungnya untuk
melakukan penemuan hukum melalui metode
interpretasi atau penafsiran hukum dan konstruksi hukum. Pendekatan teori interaksionisme simbolik digunakan sebagai pisau analisis perilaku dan pemikiran hakim dalam mengambil atau menjatuhkan putusan. Menurut Mead, manusia mempunyai kepribadian sendiri dan karena itu mempunyai kemampuan untuk menciptakan sasaran tindakan-tindakannya sendiri. Manusia mampu melakukan tindakan terhadap dirinya sendiri, seperti ia
bertindak
terhadap
sasaran
di
luar
dirinya.
Mead
selanjutnya
mengemukakan, manusia mempunyai sejumlah kemungkinan tindakan dalam pemikirannya sebelum ia memulai tindakan yang sebenarnya. Sebelum melakukan tindakan yang sebenarnya, seseorang mencobakan terlebih dahulu berbagai alternatif tindakan itu secara mental melalui pertimbangan pemikirannya, karena itu sebenarnya dalam proses tindakan manusia itu terdapat suatu proses mental yang tertutup yang mendahului proses tindakan yang sebenarnya dalam bentuk perilaku atau tingkahlaku yang sebenarnya atau yang kelihatan. Berpikir menurut Mead adalah suatu proses di mana individu berinteraksi dengan dirinya sendiri dengan mempergunakan simbol-simbol yang bermakna. Melalui proses interaksi dengan dirinya sendiri itu, individu memilih yang mana di antara stimulus yang tertuju kepadanya itu yang akan ditanggapinya. Individu tidak secara langsung menanggapi stimulus, tetapi terlebih dahulu memilih dan kemudian memutuskan stimulus mana yang akan commitdipilih, to user individu mencobakan berbagai ditanggapinya. Sesudah stimulus
perpustakaan.uns.ac.id
177 digilib.uns.ac.id
tanggapan dalam pikiran sebelum tanggapan yang sesungguhnya diberikan. Aktor melihat ke depan dan memastikan akibat atau hasil dari berbagai tindakan yang dipilihnya itu270. Kesimpulan dari teori interaksionisme simbolik adalah tindakan seseorang dalam proses interaksi itu bukan semata-mata merupakan suau tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus yang datang dari lingkungannya atau dari luar dirinya, tetapi tindakan itu merupakan hasil dari proses interpretasi terhadap stimulus. Jadi merupakan hasi proses belajar, dalam arti memahami simbol-simbol dan saling menyesuaikan makna dari simbol-simbol itu. Norma-norma,nilai-nilai sosial dan makna dari simbolsimbol itu memberikan pembatasan terhadap tindakannya, namun dengan kemampuan berpikir yang dimilikinya manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan tindakan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya. Sementara Blumer memperinci kepribadian manusia itu sebagai berikut: tiap individu dapat marah, mengasari, berbicara dan mendukung keteguhan hatinya, menata tujuan-tujuannya, membuat kompromi serta merencanakan sesuatu yang akan dilakukan bagi dirinya sendiri. Kesemuanya itu merupakan kemampuan yang bertumpu pada kepribadian individu yang memberikan sejumlah kebebasan terhadap manusia dalam kehidupan sosialnya271. Teori behavioral jurisprudence dalam kajian ini menarik untuk digunakan sebagai analisis pemikiran hakim dalam proses di muka peradilan. Antonius Sudirman mengemukakan, secara sederhana dapat dikatakan bahwa studi ilmu hukum perilaku (behavioral jurisprudence) adalah studi yang mempelajari tingkah laku aktual hakim dalam proses peradilan. Tingkah laku tersebut, dipelajari dalam interaksi dan interelasinya antara orang-orang yang terlibat dalam tahap-tahap pengambilan putusan tersebut satu sama lain. Pusat perhatian bukan pada hukum tertulis dan putusan hakim yang bersifat formal, melainkan pada pribadi hakim dan orang-orang yang terlibat dalam perananperanan sosial tertentu dalam pengambilan putusan hukum272.
270
George Ritzer, dalam Alimandan, Op., cit., hlm., 67. commit to user Alimandan, Op., cit., hlm., 66. 272 Antonius Sudirman, Op., cit., hlm., 32. 271
perpustakaan.uns.ac.id
178 digilib.uns.ac.id
Dikatakan bahwa fokus utama dalam pendekatan ilmu hukum perilaku adalah perilaku hakim dalam proses peradilan, namun mempelajari perilaku hakim tersebut tidak dapat dilepas-pisahkan dari sikap-sikap individual yang melekat pada pribadi hakim, sebab skap-sikap tersebut sangat menentukan perilaku atau tindakan/putusannya. Glendon Schubert, yaitu hakim itu setuju atau tidak setuju terhadap suatu keputusan, bukan karena mereka melakukan penalaran yang sama atau berlainan, melainkan karena mereka mempunyai sikap-sikap yang sama atau berlainan. Schubert selanjutnya mengemukakan, para hakim berbeda-beda dalam sikap-sikapnya, oleh karena masing-masing pada akhirnya memiliki beberapa hal untuk dipercayainya dan menolak yang lain sebagai hasil dari pengalaman hidupnya. Apa yang dipercaya oleh seorang hakim tergantung dari afiliasi-afiliasi politik, agama dan etnisnya, baik formal maupun bukan, kariernya di bidang hukum sebelum menjadi hakim. Afiliasiafiliasi yang berhubungan dengan perkawinan, status sosial ekonomi, pendidikan dan kariernya, pada gilirannya untuk bagian terbesar dipengaruhi oleh tempat ia dilahirkan, dari orang tua siapa dan kapan. Dalam menerima pengaruh atau rangsangan dari luar, baik dari lingkungan sosial maupun budaya, hakim tidak akan bertindak sebagai robot, dalam arti tindakan yang diambil semata-mata sbagai tindakan atas rangsangan atau stimulus sosial, tetapi tindakan tersebut dilakukan sebagai hasil dari proses interpretasi terhadap stimulus sosial tersebut. Teori perilaku hukum dikemukakan oleh Donald Black, menjelaskan dari sudut pandang sosiologis, hukum bukanlah apa yang oleh pakar hukum dipandang sebagai aturan-aturan yang mengkat dan wajib dilaksanakan, tetapi sebagai contohnya hukum lebih merupakan kecenderungan-kecenderungan yang dapat diamati dari perilaku hakim, polisi, pengacara, jaksa penuntut umum atau pejabat administratif. Dari sudut pandang seperti ini, hukum seperti fenomena perilaku lainnya, dapat menerima metode ilmiah seperti aspek realitas lain. Tidak ada aturan intelektual yang khusus, yang dibutuhkan untuk studi hukum tersebut. Pada waktu yang bersamaan, justru ilmu sosial commit user tentang hukum yang terkait padatopositivisme, yaitu teori ilmu yang
perpustakaan.uns.ac.id
179 digilib.uns.ac.id
konvensional, tidak dapat terlepas dari batasan-batasan yang melekat pada pemikiran ilmiah itu sendiri273. Lawrence M. Friedman274, mengemukakan istilah legal behavior (perilaku hukum) adalah perilaku yang dipengaruhi oleh aturan, keputusan, perintah atau undang-undang yang dikeluarkan oleh pejabat dengan wewenang hukum. Perilaku hukum bukan hanya perilaku yang taat hukum, tetapi semua perilaku yang merupakan reaksi terhadap sesuatu yang sedang terjadi dalam sistem hukum. Reaksi dapat berupa ketaatan atau ketidaktaatan terhadap hukum, reaksi menggunakan atau tidak menggunakan suatu aturan hukum. Danah zohar dan Ian Marshall275, berkaitan dengan hukum dan perilaku hukum dalam proses peradilan mengemukakan, cara berpikir manusia yang paling sederhana memang mirip dengan mesin, yang bisa disimbolkan dalam IQ (intellectual quotient). Untuk waktu yang lama, cara berpikir seperti itu mewakili kemampuan berpikir manusia, sehingga semua ingin diukur dengan standar IQ, dan cara berpikir itu disebut sebagai serial thinking, juga disebut simplictic model of thinking, yaitu berpikir secara lurus, logis dan tanpa melibatkan emosi. Hal tersebut tidak salah menurut mereka, tetapi IQ saja belum menggambarkan atau mewakili cara berpikir manusia seluruhnya. Sehubungan dengan hal tersebut untuk melengkapi IQ, kemudian muncul EQ (emotional quotient), yaitu berpikir asosiatif atau berpikir dengan hati dan badan. Terakhir adalah SQ (spiritual quotient) yang oleh Zohar dan Marshall dinobatkan sebagai intelegensi yang paling sempurna (ultimate intelligence). Berbeda dengan IQ, maka SQ oleh Zohar danMarshall disebut unitive thinking yang melahirkan kecerdasan spiritual, yaitu kecerdasan yang bermakna (meaning-giving), berpikir dalam konteks dan melompat keluar dari ikatan (transformative). Pensifatan lain untuk SQ adalah berpikir kreatif, penuh wawasan (insightful) dan intuitif.
273
Achmad Ali, 2009, Op., cit., hlm., 152. commit to user Lawrence M. Friedman, dalam Achmad Ali, 2009, Op., cit., hlm., 144. 275 Danah Zohar dan Ian Marshall, dalam Satjipto Rahardjo, 2007, Op., cit., hlm., 92-93. 274
perpustakaan.uns.ac.id
180 digilib.uns.ac.id
Mutatis mutandis, cara-cara berpikir tersebut juga ditemukan dalam dunia hukum. IQ boleh mewakili ilmu hukum analitis, yang bermodal peraturan-peraturan dan mengolahnya dengan bantuan logika. Hal inilah cara berhukum yang umum dijumpai, termasuk di negeri kita. Kredo yang dipakai di sini adalah “peraturan dan logika”. Seperti pada kecerdasan rasional, maka cara berhukum atau menjalankan hukum mengikuti deret hitung, setapak demi setapak secara rasional. Di sini orang lebih melihat ke dalam hukum atau bangunan peraturan sendiri daripada keluar, tidak ada pikiran asosiatif yang mengaitkan hukum kepada masyarakat. Puncak cara berhukum adalah manakala kita berani untuk lepas dari belenggu perundang-undangan dan menemukan hal-hal baru yang progresif. Di sini kita tidak lagi berpikir matematis menurut deret hitung atau mengeja pasal-pasal undang-undang, melainkan bertindak kreatif dan melompat. Melompat dalam arti tidak mengikuti atau terikat pada kebiasaan-kebiasaan yang lalu atau biasa disebut yurisprudensi atau stare decisis, melainkankeluar dengan putusan-putusan baru sama sekali. Kalau cara berhukum yang legalistik, positif-analitis, disebut sebagai rule making, pemikiran kreatif dan intuitif tersebut disebut sebagai rule breaking. Contoh dalam sejarah yang sangat terkenal mengenai berpikir kreatifintuitif dan rule breaking adalah putusan (arest) yang dibuat oleh Hooge Raad (HR) Belanda pada tanggal 31 Januari 1919. Sedemikian lompatan atau pendobrakan (rule breaking) dari putusan mahkamah Agung Belanda tersebut, sehingga dinamakan “Revolusi di Bulan Januari”. Sampai dengan bulan Januari 1919, yang disebut perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), hanyalah yang jelas-jelas melanggar pasal dalam undang-undang. Sengketa yang akhirnya menuai putusan yang luar biasa itu dimulai dengan pengaduan Lindenbaum, pengusaha percetakan, terhadap Cohen juga pengusaha percetakan. Lindenbaum merasa sangat dirugikan oleh perbuatan Cohen, yang membujuk pegawainya dengan janji-janji dan hadiah agar membocorkan rahasia perusahaan Lindenbaum. Putusan HR pada 31 Januari 1919 atas commit to user sengketa tersebut tidak mengikuti tradisi putusan sebelumnya (jurisprudence),
181 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
melainkan membuat putusan baru. HR berbuat kreatif dengan melakukan rule breaking. Sejak saat itu, perbuatan melawan hukum, tidak hanya melanggar kewajiban hukum seseorang atau hak orang, melainkan juga melanggar kesusilaan atau kehati-hatian (zorgvuldigheid) terhadap orang lain atau barang orang lain, sebagaimana dituntut dalam lalu-lintas sosial276. Dikemukakan bahwa putusan hukum tersebut tidak hanya didasarkan pada tradisi yang bejalan, melainkan sewaktu-waktu bisa melompat. Berpikir dan bertindak ,melompat ini adalah membuat tradisi baru dan keluar dari yang lama.
Hakim
tidak
melakukan
serial
thinking,
melainkan
berpikir
transformatif. Hal tersebut dibenarkan Glendon Schubert, peneliti aliran behavioralisme (telah dikemukakan sebelumnya), sikap menjadi berbeda disebabkan oleh pilihan-pilihan terhadap hal-hal yang diyakini dan menepiskan yang lain, pilihan tersebut didasarkan pada pengalaman hidupnya. Dengan mengambil pendapat Julius Stone, Satjipto Rahardjo, mengemukakan, masalah hukum tidak bisa dimasuk-masukan atau dikotakkan ke dalam skema atau formula standar, hukum memiliki keunikan-keunikan, maka urusan hukum diserahkan pada manusia. Dalam hal ini berarti membiarkan hukum untuk bisa membuat putusan-putusan yang penuh dengan pilihan-pilihan dan manusilah yang mampu meyelesaikan pekerjaan dengan penuh pilihan. Hal ini didukung pendapat Zohar dan Marshall, manusia memiliki kemampuan kemampuan berpikir yang tidak hanya logis, masinal dan serial, melainkan kreatif dan rule-breaking, mesin belum bisa melakukan yang terakhir. Dalam sejarah Amerika Serikat, munculnya Supreme Court sebagai kekuatan baru, yang semula sama sekali tidak diperhitungkan, adalan peran John Marshall, Ketua MA Amerika Serikat (1801-1836). Marshall telah melakukan sesuatu yang besar, sehingga Supreme Court yang sebelum itu disebut sebagai bagian yang paling lemah dalam kenegaraan, dibanding eksekuitf dan legislatif, muncul sebagai kekuatan di samping keduanya. Di tengah Amerika Serikat, kehilangan kepercayaan dan tidak adanya kemampuan dan kemauan dari pengadilan, bagaikan halilintar di siang hari commit to user 276
Satjipto Rahardjo, 2007, Op.,cit., hlm., 95.
182 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bolong, pada tahun 1803, Ketua Mahkamah Agung John Marshall, menyatakan bahwa Mahkamah memiliki kekuatan untuk menyatakan undangundang (act of Congress) sebagai tidak konstitusional. Di pihak lain peran Hakim Agung Earl Warren sangat kreatif dalam perubahan sosial di Amerika Serikat, ia tampil sebagai transformator menuju Amerika baru, yaitu dengan menerima tugasnya bukan hanya sebagai hakim, tetapi legislator. Hakim Indonesia tampil sebagai hakim yang mempunyai keberanian, seperti Bismar Siregar, Adi Andojo Soetjipto, Baharuddin Lopa, Kusumah Atmaja, Hoegeng (kepolisian), beliau memeriksa perkara bertanya pada hati-nuraninya terlebih dahulu dan kemudian baru mencari pasal-pasal dalam undang-undang untuk memberi legitimasi277.
commit to user 277
Satjipto Rahardjo, 2007, Op., cit., hlm., 102.
183 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kerangka Pemikiran
NEGARA HUKUM
NEGARA KESEJAHTERAAN (WELFARE STATE)
MALAADMINISTRASI
PTUN
PENGAWASAN PEMERINTAH
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI RAKYAT
UU dan AAUPB
UU TIDAK LENGKAP, KURANG ATAU TIDAK JELAS
METODE PENEMUAN HUKUM
MEMBANGUN KONSTRUKSI PENEMUAN HUKUM
TEORI
PENEMUAN HUKUM
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan Penelitian yang hendak dilakukan adalah penelitian hukum empiris atau sosiologis, karena dalam penelitian ini yang hendak dikaji adalah tentang pemikiran hakim dalam proses persidangan sampai dengan pengambilan putusan. Walaupun jenis penelitiannya empiris atau sosislogis, namun juga tidak meninggalkan penelitian hukum normatif, karena dalam penelitian sosiologis juga membutuhkan data sekunder sebagai data awal penelitian yang kemudian dilanjutkan dengan penelitian data primer. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal278. Soetandyo Wignjosoebroto, mengemukakan penelitian hukum doktrinal adalah penelitian-peneltian atas hukum yang dikonsepkan atau dikembangkan atas
dasar
doktrin
yang
dianut
sang
pengkonsep
dan/atau
sang
pengembangannya279. Berdasarkan jenis doktrin dalam penelitian hukum doktrinal tersebut, maka dalam kajian ini dipilih aliran hukum positivis, karena berkaitan dengan pembahasan permasalah yang pertama dalam penelitian ini. Dalam penelitian ilmu hukum normatif yang dikaji adalah bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif. Bahan hukum tersebut terdiri bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder280. Di dalam penelitian hukum normatif, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach) dan pendekatan
278
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm., 118. hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. 279 Soetandyo Wignjosoebroto, 2002, Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakata : Elsam-Huma, hlm., 147. 280 commit to user Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung : Mandar Maju, hlm., 86.
184
185 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
komparatif (comparative approach) serta pendekatan konseptual (conceptual approach)281. Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undangundang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Kajian pokok dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning, yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan. Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu
yang dihadapi. Pendekatan
komparatif dilakukan dengan membandingkan undang-undang suatu negara dengan undang-undang satu atau lebih negara lain mengenai hal yang sama, di samping undang-undang dapat juga putusan pengadilan, yaitu dimaksudkan untuk mendapatkan persamaan dan perbedaan di antara undang-undang atau putusan pengadilan. Pendekatan konseptual beranjak dari pandanganpandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum, hal ini dimaksudkan untuk menemukan ide-ide yang melahirkan pengertianpengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi282. Pendekatan
perundang-undangan
bukan
menelaah
bentuk
dari
perundang-undangannya, tetapi lebih ditekankan pada substansi atau materi muatan perundang-undangan. Hukum bukan sekedar gejala atau fenomena sosial, tetapi juga dalam kajian fenomena budaya. Sebagai suatu fenomena budaya, hukum harus dipandang sebagai konsep budaya, yaitu suatu konsep realitas yang dikaitkan dengan nilai-nilai (keadilan) yang justru harus ditampung oleh undang-undang dan bukan sekedar produk tawar-menawar politik283 Berkaitan dengan kenyataan bahwa undang-undang tidak selamanya lengkap, jelas, maka dalam kajian tersebut hakim dapat melakukan interpretasi 281
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Op., cit., hlm., 93. commit to user Ibid., hlm., 93-95. 283 Ibid., hlm., 104. 282
perpustakaan.uns.ac.id
186 digilib.uns.ac.id
sebagaimana yang tersedia dalam kajian ilmu hukum. Dalam pendekatan kasus, maka yang perlu dipahami oleh peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya. Ratio decidendi dapat dilihat pada konsiderans ”menimbang” pada ”pokok perkara”. Tidak dapat disangkal bahwa tindakan hakim untuk memberikan alasan-alasan yang mengarah kepada putusan merupakan tindakan yang kreatif. Ratio decidendi tersebut bukan tidak mungkin merupakan pilihan dari berbagai kemungkinan yang ada. Ratio decidendi dapat diketemukan dengan memperhatikan fakta materiil dan putusan yang didasarkan atas fakta itu. Fakta materiil diperlukan sebagai rujukan, karena di dalam membangun argumentasi guna meneguhkan posisinya para pihak berpangkal dari fakta materiil tersebut. Para pihak akan mencari ketentuanketentuan hukum yang menguatkan posisi masing-masing untuk fakta materiil itu. Dalam hal ini, hakim akan menilai masing-masing argumentasi dan ketentuan hukum yang menopang argumnetasi tersebut284 Studi perbandingan hukum merupakan kegiatan untuk membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain atau hukum dari suatu waktu tertentu dengan hukum dari waktu yang lain285. Di samping itu juga membandingkan suatu putusan pengadilan yang satu dengan putusan pengadilan yang lainnya untuk masalah yang sama286. Dari pertimbanganpertimbangan yang melandasi putusan peradilan di berbagai negara itulah dapat ditemukan pemikiran filosofis dan doktrin-doktrin tentang ketentuanketentuan hukum. Dalam kajian ini peneliti perlu membandingkan dengan PTUN dari Perancis dan Belanda, hal ini didasarkan kesamaan sistem yang dianut dan Perancis merupakan negara yang pertama kali memperkenalkan PTUN dalam sistem hukumnya. Kemudian Belanda mempunyai kemiripan dengan Indonesia, terutama dasar pengujian hakim yang didasarkan pada asasasas umum pemerintahan yang baik. 284
Peter Mahmud Marzuki, Op., cit., hlm., 119-121. Paton G.W. 1972. A.Texbook of Jurisprudence, English Language Book Society, London : commit to userMarzuki, hlm., 132. Oxford Univeresity Press, hlm., 42. dalam Peter Mahmud 286 Peter Mahmud Marzuki, Op. cit., hlm., 135. 285
perpustakaan.uns.ac.id
187 digilib.uns.ac.id
Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada. Hal itu dilakukan karena memang belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang dihadapi. Dalam membangun konsep, peneliti harus beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum, meskipun tidak secara eksplisit, konsep hukum dapat juga diketemukan di dalam undang-undang. Hanya saja dalam mengidentifikasi prinsip tersebut, peneliti terlebih dahulu memahami konsep tersebut melalui pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang ada. Di samping dalam perundang-undangan, konsep hukum dapat juga diketemukan di dalam putusan-putusan pengadilan, kalau peneliti telah memahami lewat doktrin-doktrin dan pandangan-pandangan para sarjana287. Di dalam perundang-undangan, seperti Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, sebagai diubah dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, tidak secara tegas menyebukan konsep penemuan hukum yang harus dilakukan hakim dalam menyelesaikan sengketa TUN, maka konsep tentang penemuan hukum dapat dikaji lebih dahulu dengan memperhatikan doktrin-doktrin dan pandangan para sarjana. Seperti aliran penemuan hukum, asas ius curia novit, amanat undang-undang kekuasaan kehakiman Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa penelitian yang hendak dilakukan mengambil konsep hukum sebagai putusan yang diciptakan oleh hakim (in crocreto) dalam proses-proses peradilan sebagai bagian dari upaya hakim untuk menyelesaikan kasus atau perkara, dan mempunyai kemungkinan sebagai precedent bagi kasus atau perkara-perkara berikutnya. Sejauh studistudi itu berkaitan erat dengan soal opini-opini (hakim) tentang substansi hukum perundang-undangan dan/atau keputusan-keputusan para hakim terdahulu yang berkekuatan sebagai preseden-preseden, tidaklah ada salahnya kalau studi-studi tersebut tetap dikategorikan sebagai studi-studi doktrinal, commit to user 287
Peter Mahmud Marzuki, Op. cit., hlm., 137-139.
perpustakaan.uns.ac.id
188 digilib.uns.ac.id
tetapi, studi-studi tentang perilaku hukum di ruangan-ruangan pengadilan sulitlah kalau diktegorikan sebagai studi tentang doktrin-doktrin hukum. Variabel-variabel yang extra-legal itu jelaslah kalau eksis keluar ranah doktrinal, dan penelitian-penelitian serta studi-studinya tak ayal lagi sudah terbilang ke dalam kategori non doktrinal, dengan menggunakan metodemetode dan idiom-idiom yang non doktrinal pula288.
B. Lokasi Penelitian Sesuai dengan data yang dgunakan dalam peneltian ini, maka lokasi penelitian ditentukan di PTUN Yogyakarta dan PTUN Semarang, dan Surabaya. Di PTUN tingkat pertama ini pemeriksaan secara lengkap terhadap fakta-fakta yang diajukan para pihak di muka sidang atau judex facti, di tingkat banding juga dilakukan judex facti, namun karena tidak setiap sengketa diajukan banding. Di samping penelitian dilakukan di PTUN Yogyakarta dan Semarang, maka peneltian dilakukan di kepustakaan Fakultas Hukum UNS dan kepustakaan pusat UNS, yaitu untuk diperoleh data sekunder yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder sebagai data pendukung penelitian hukum empiris. Peneltian data sekunder yang berupa bahan hukum primer, yaitu dalam bentuk putusan pengadilan. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan metode purposive, yaitu sesuai dengan tujuan penelitian. Adapun yang menjadi alasan pemilihan lokasi penelitian adalah pertama, terdapat isu yang sangat menarik bahwa sengketa tata usaha negara yang diselesaikan melalui putusan pengadilan tersebut mendapat tanggapan, sorotan, dari berbagai mass media, pakar hukum. Hal tersebut menggugah penulis untuk melakukan penelitian. Kedua, PTUN merupakan suatu lembaga yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, yaitu sebagai salah satu unsur penegak hukum, sudah barang aturan hukum ditegakkan melalui putusanputusannya. Putusan hakim merupakan mahkota yang mencerminkan nilainilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini dimaksudkan bahwa hakim dalam memutus dan menyelesaikan sengketa, tidak hanya commit to user 288
Soetandyo Wignjosoebroto, 2002, Op., cit., hlm., 160.
189 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi juga harus
memperhatikan
dan
memahami
kearifan
lokal
yang
sedang
berkembangan dalam masyarakat. Ketiga, PTUN sebagai salah satu fungsi kontrol terhadap tindakan pemerintah, bahwa melalui putusannya, yaitu dalam menguji keabsahan KTUN yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN dapat diketahui apakah tindakan Badan atau Pejabat TUN tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik atau berjalan di atas rel hukum, sebagaimana diamanatkan konsep negara hukum bahwa semua tindakan pemerintah dan warga negara harus didasarkan pada hukum. Keempat, untuk mewujudkan perlindungan hukum bagi warga negara dari sikap tindak atau tindakan Badan atau Pejabat TUN yang seharusnya memberikan perlidungan hukum bagi warga negara sebagai konsekuensi konsep negara kesejahteraan (welfare state), karena peran aktif atau campur tangan pemerintah lebih dominan dalam segala bidang kehidupan. Ke empat, putusan hakim antara lain memuat pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusannya dan dalam pertimbangan hukum tersebut terdapat penalaran hukum yang merupakan argumentasi alasan-alasan yang dikemukakan hakim untuk mengambil putusan atau sampai pada putusan. Sehubungan dengan hal tersebut dapat diketahui alasas-alasan yang dikemukakan hakim dalam menerapkan aturan hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (memperhatikan kearifan lokal) terhadap peristiwanya
C. Jenis dan Sumber Data Berdasarkan dengan jenis penelitian yang dilakukan, maka jenis data yang diperlukan dalam peneltian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya atau diperoleh secara langsung dari masyarakat (mengenai perilakunya ; data empiris). Data primer diperoleh langsung dari informan, yaitu hakim pengadilan tata usaha negara Yogyakarta dan hakim pengadilan tata usaha negara Semarang. Jenis commit to user atau informasi secara langsung data ini memberikan memberikan keterangan
perpustakaan.uns.ac.id
190 digilib.uns.ac.id
terutama yang berkaitan dengan obyek penelitian. Pemikiran-pemikiran hakim dalam menyelesaikan sengketa dituangkan dalam pertimbangan hukum yang mengemukakan alasan-alasan dan merupakan penalaran hukum sebagai dasar putusannya. Data primer diperoleh melalui wawancara secara mendalam (indeepth interview), dalam bentuk wawancara tak berstruktur dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya telah disusun atau disiapkan lebih dahulu oleh interviewer. Data sekunder dalam peneltian diperoleh dari bahan pustaka289, hal ini dimaksudkan untuk menelusuri tentang berbagai masalah yang berhubungan dengan peraturan perundang-undangan peradilan tata usaha negara, buku-buku teks dalam kaitannya dengan masalah obyek penelitian. Di samping itu, penelitian kepustakaan dimaksudkan untuk memahami teori-teori, doktrin dan asas yang diharapkan dapat menghasilkan pengertian hukum dalam arti in abstracto. Data sekunder yang bersumber dari bahan pustaka, meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer dalam penelitian ini terdiri dari peraturan perundangundang, (Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN dan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, sebagai perubahan kedua dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, Undangundang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, putusan hakim, (yurisprudensi), semua dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum dari bahan hukum yang diteliti, berupa surat keputusan Badan atau Pejabat TUN (KTUN atau beschikking). Bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku teks, jurnal hukum, kamus hukum, laporan atas hasil penelitian, komentar atas putusan pengadilan, bahan seminar dan lokakarya.
289
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, hlm., 51. lihat juga Lexy J. Moleong, 1998, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya Offsets, hlm., 112, data primer adalah data yang berasal dari sumber data utama, yang berwujud pandangan to user dan hubungan-hubungan hokum dan pemikiran, aspirasi, tindakan-tindakan, commit peristiwa-peristiwa kata-kata.
perpustakaan.uns.ac.id
191 digilib.uns.ac.id
D. Teknik Pengumpulan Data Sesuai dengan jenis data dalam peneltian ini, maka data yang dikumpulkan dapat dilakukan melalui, studi kepustakaan, wawancara dan observasi. a. Studi kepustakaan Tujuan studi kepustakaan dimaksudkan untuk menemukan teoriteori, doktrin-doktrin, asas-asas dan ketentuan hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang diajukan. Dari studi kepustakaan dapat diperoleh pengertian hukum dalam arti in abstracto, sedangkan dari penelitian terhadap putusan hakim akan diperoleh pengertian hukum dalam arti in concreto290. Hakim di mana-mana tidak akan mungkin dan juga memang tidak akan diharapkan untuk cuma sekedar menemukan lafal-lafal hukum in abstrakto, untuk kemudian secara logis (berdasarkan silogisme deduktif) menjabarkan lafal-lafal yang in abstrakto tersebut menjadi lafal-lafal yang in croncreto, sine ira, di mana-mana hakim itu selalu mengimbuhkan suatu pertimbangan pribadi yang ekstra legal sifatnya, dengan cita-cita bahwa putusan yang dibuat itu akan lebih fungsional bagi kehidupan291. Melalui studi literatur yang cukup mendalam dan luas, akan mempermudah seorang peneliti menyusun landasan teori berupa kerangka teori dan kerangka konsep yang kerap kali disebut juga penelaahan kepustakaan atau studi pustaka. Kerangka teori disusun sebagai landasan berpikir yang menunjukkan dari sudut mana masalah yang telah dipilih akan disoroti, sedangkan kerangka konsep disusun sebagai perkiraan teoritis dari hasil yang akan dicapai setelah dianalisa secara kritis berdasarkan bahan appersepsi yang dimiliki292. Melalui kajian pustaka dimaksudkan untuk meneliti normanorma dan asas-asas dan prinsip yang terdapat dalam peraturan perundang-
290
R.W.M. Dias, 1994, Jurisprudence, New Delhi : Aditya Books Private Limited, hlm., 451. Burhan Ashsofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rineka Cipta, hlm., 44. 292 commit to Sosial, user Yogyakarta : Gadjah Mada University Hadari Nawawi, 1987, Metode Penelitian Bidang Press, hlm., 43. 291
192 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
undangan tentang peradilan tata usaha negara dan dipergunakan sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan putusan. b. Wawancara Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu, dan bertujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia serta mereka293.
pendapat-pendapat
Sesuai
dengan
data
yang
ingin
dikumpulkan, yaitu dalam kaitan dengan putusan hakim PTUN terhadap pengujian
keabsahan
keputusan
(beschikking
atau
KTUN)
yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN, pengujian yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, maka peneliti melakukan wawancara dengan para hakim di PTUN Yogyakarta dan Semarang. Wawancara dengan Maftuh Effendi, Teguh Satya Bhakti, dari PTUN Semarang dan Agus Budi Susilo, Retno Nawangsih, Roni Erry Saputro dari PTUN Yogyakarta. Wawancara dalam penelitian empiris ini penting dilakukan, karena dari wawancara akan diperoleh sikap intervievee atau pemberi informasi (informan atau responden) terhadap permasalahan yang dihadapi. Wawancara dilakukan secara langsung dimaksudkan untuk memperoleh keterangan yang benar dan akurat, oleh karena itu sebelum wawancara dilakukan pewancara atau interviewer mempersiapkan pertanyaanpertanyaan lebih dahulu secara sistematik. Dalam hal ini peneliti ingin memperoleh informasi dari hakim terutama dalam kaitannya dengan alasan-alasan yang dikemukakan dalam pertimbangan hukumnya atau ratio decidendi, untuk kemudian hakim menjatuhkan putusan. Soerjono Soekanto, mengemukakan metode wawancara digunakan oleh peneliti dengan
tujuan,
memperoleh
data
mengenai
persepsi
manusia,
mendapatkan data mengenai kepercayaan manusia, mengumpulkan data mengenai
perasaan
dan
motivasi
seseorang/kelompok
manusia,
memperoleh data mengenai ansipasi atau orientasi ke masa depan dari commit to user 293
Burhan Ashshofa, Op.cit., hlm., 95.
193 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
manusia, memperoleh informasi mengenai perilaku manusia pada masa lampu dan mendapatkan data mengenai perilaku yang sifatnya sangat pribadi atau sensitif294.
c. Observasi atau pengamatan Observasi yang digunakan untuk mengungkap data dalam penelitian ini adalah observasi nonpartisipatif, yaitu peneliti atau pengamat berusaha untuk mengamati sikap dan perilaku dari observee dalam proses di muka sidang, namun tanpa ikut terlibat langsung. Hal ini dimaksudkan agar observee tidak akan terpengaruh dengan hadirnya pengamat dalam tindakannya untuk mengambil suatu keputusan. Soerjono Soekanto, sehubungan dengan penggunaan metode observasi, mengemukakan, apabila tujuan penelitian hukum tersebut adalah mencatat perilaku (hukum) sebagaimana terjadi di dalam kenyataan dan peneliti akan memperoleh data yang dikehendakinya secara langsung pada saat itu juga. Tujuan pengamatan terutama untuk membuat catatan atau deskripsi mengenai perilaku dalam kenyataan295. Perilaku yang dimaksud adalah suatu proses yang dilakukan hakim dimulai dari penerimaan sengketa, memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sampai dengan pengambilan putusan, yang didasarkan pada alasan-alasan hukum yang dituangkan dalam pertimbangan hukumnya melalui penalaran hukum. Hakim sebagai aktor mempunyai banyak pilihan dari alternatif yang tersedia, dan berdasarkan kemampuan yang dimilikinya, hakim akan mengambil putusan sesuai dengan tujuannya. Hakim dapat saja mengambil putusan dengan berpikir secara linear, mekanis, berdasarkan peraturan dan logikanya, tetapi dapat juga menggunakan hati nurani, perasaan dan putusannya bersifat membumi.
294 295
commit to Soerjono Soekanto, Op., cit., hlm., 67 Soerjono Soekanto, Op., cit., hlm., 66.
user
194 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
E.
Teknik Analisis Data Sesuai dengan data yang digunakan dalam penelitian dan jenis peneltian yang dilakukan, maka teknik analisis data adalah deskriptif kualitatif. Soerjono Soekanto, mengemukakan pendekatan kualitatif sebenarnya merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. Dengan kata lain, seorang peneliti yang mempergunakan metode kualitatif, tidaklah semata-mata bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran belaka, akan tetapi juga memahami kebenaran tersebut296. Untuk mengetahui latar belakang itu semua, perlu dijelaskan tiga macam pengertian, yaitu fenomenologi, interaksi simbolis, dan etnometodologi. Seorang fenomenoloog akan mengamati perilaku manusia sebagai hasil dari penafsirannya terhadap dunia pergaulan hidupnya. Tugasnya adalah untuk dapat menangkap seluruh proses penafsiran tersebut, dengan mempergunakan metode kualitatif. Oleh karena itu, maka seorang fenomenoloog akan mencoba untuk memahami gejala-gejala atas dasar pendapat pribadi dari orang tersebut. Aliran interaksi simbolis, sebagaimana dikemukakan Herbert Mead, bahwa setiap manusia mempunyai penafsiran dan definisi mengenai segala sesuatu yang dihadapinya, dan atas dasar itulah dia melakukan perbuatan-perbuatan tertentu (atau malahan tidak melakukan perbuatan tertentu). Etnometodologi sebenarnya tidak membicarakan masalah metodologi secara khusus, akan tetapi pusat perhatian diarahkan pada hal atau gejala yang diteliti tersebut, yaitu bagaimana manusia menafsirkan keadaan-keadaan yang dihadapinya297. Penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan fenomenologi cenderung menggunakan pendekatan logika induktif dalam strategi analisis datanya. Sebagai pendekatan induktif penelitian kualitatif menyarankan untuk diawal penelitian memperoleh data sebanyak-banyaknya di lapangan.
296 297
commit to Soerjono Soekanto, Op., cit., hlm., 250. Soerjono Soekanto, Op., cit.,, hlm., 250-251.
user
195 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Penelitian kualitatif sebagai metode penelitian interaktif dalam pengumpulan data merujuk pada strategi analisis komponen-komponen yang terkandung di dalamnya, yaitu reduksi data collection, data reduction, data display dan drawing and verifying conclusions298. Dalam penelitian kualitatif, maka salah satu teknik analisis yang digunakan adalah metode content analysis. Metode content analysis dapat digunakan untuk melakukan penelitian terhadap teks peraturan
perundang-undangan
memperoleh kekuatan hukum tetap
dan 299
putusan
pengadilan
yang telah
.
Analisis hasil penelitian berisi uraian tentang cara-cara analisis yang menggambarkan bagaimana suatu data dianalisis dan apa manfaat data yang terkumpul untuk dipergunakan dalan memecahkan masalah penelitian. Dalam penelitian atau pengkajian ilmu hukum empiris adalah bagaimana peneliti atau pengkaji membangun teorinya dengan menganalisis fakta-fakta sosial dengan menjelaskannya melalui bantuan hukum atau sebaliknya hukum itu dijelaskan melalui bantuan fakta-fakta sosial yang ada dan berkembang di tengah masyarakat. Teknik analisis pada dasarnya adalah analisis deskriptif, yaitu diawali dengan mengelompokkan data dan informasi yang sama menurut sub-aspek dan selanjutnya melakukan interpretasi untuk memberi makna terhadap tiap sub-aspek dan hubungannya satu sama lain. Kemudian setelah itu dilakukan analisis atau interprestasi keseluruhan aspek untuk memahami makna hubungan antara aspek yang satu dengan lainnya dan dengan keseluruhan aspek yang menjadi pokok permasalahan penelitian yang dilakukan secara induktif, sehingga memberikan gambaran hasil secara utuh300. Dalam penelitian yang mendasarkan pada pendekatan doktrinal, maka analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis normatif kualitatif. Peneliti melakukan inventarisasi hukum dan berbagai norma hukum, aturan-
298
Miles B. Mattew & Huberman, qualitative Data Analysis. Diterjemahkan oleh Tjepjep Rohendi Rohidi, 1992, Analisis Data Kualitatif, Jakarta : UI Press, hlm., 20. 299 Cik Hasan Bisri, 2004, Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta : Raja commit to user Grafindo Persada, hlm., 288. 300 Bahder Johan Nasution, Op.cit, hlm., 174.
196 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
aturan hukum, yaitu menggambarakan hukum dengan logika hukum analisis kualitatif menggunakan metode logika deduktif301. Dalam hal ini logika deduktif digunakan oleh hakim pada tahap akan menerapkan aturan hukum terhadap sengketa atau perkara yang diperiksanya untuk sampai pada pengambilan putusan. Pada penelitian yang mendasarkan pada pendekatan sosiologis atau empiris, analisis data dilakukan dengan menggunakan model analisis interaktif (interaktif model of analisis). Model analisis interaktif, yaitu data yang telah dikumpulkan akan dianalisis melalui tiga tahap, mereduksi data, menyajikan data dan menarik kesimpulan. Model analisis ini dilakukan suatu proses siklus antar tahap-tahap, sehingga data yang terkumpul akan berhubungan satu sama lain dan benar-benar data yang mendukung penyusunan laporan penelitian302. Tiga tahap tersebut adalah, a. Reduksi
data,
yaitu
kegiatan
yang
bertujuan
mempertegas,
memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting yang muncul dari cacatan dan pengumpulan data. Proses ini berlangsung terus-menerus sampai laporan akhir penelitian selesai. b. Penyajian data, yaitu sekumpulan informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat dilaksanakan yang meliputi berbagai jenis matrik, gambar dan tabel. c. Menarik kesimpulan, yaitu upaya menarik kesimpulan dari semua hal yang terdapat dalam reduksi data dan sajian data, di mana sebelumnya data diuji likuiditasnya agar kesimpulannya menjadi lebih kuat. Hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut303.
301
Hari Purwadi, 2009, “Penalaran dalam Hukum dan Argumentasi Hukum”, Makalah, disampaikan pada Pelatihan Penulisan Hukum tentang Argumentasi Hukum dan Spsialisasi SK Dekan Nomor 22/H.27.I.II/PP/2009, tanggal 19 November 2009, hlm., 4. 302 commit to user HB. Sutopo, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Surakarta : UNS Press, hlm., 37. 303 HB. Sutopo, Ibid., hlm., 96.
197 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 2 . Model Analisis Interaktif. Pengumpulan data
Reduksi data
Penyajian data Penarikan Kesimpulan/verfiikasi
Keterangan : Model analisis tersebut saling berputar dan saling melengkapi antara masing-masing komponen analisis atau dengan kata lain mengalami proses siklus. Dalam hal ini ketika peneliti mulai melakukan pengumpulan data, maka data yang sudah terkumpul akan langsung dilakukan analisis guna memperoleh reduksi data dan sajian data sementara. Kemudian pada saat pengumpulan data peneliti mulai berusaha untuk menarik kesimpulan berdasarkan semua hal bersama-sama dalam reduksi data dan sajian datanya tersebut. Apabila hasilnya kurang memuaskan karena masih adanya data yang belum tercakup dalam reduksi maupun sajian datanya, maka peneliti akan berusaha menggali kembali data yang sudah terkumpul dari buku catatan khusus yang meralat tentang data yang terkumpul dari lapangan.
F. Definisi Operasional Variabel Penelitian. Variabel merupakan abstraksi dari gejala atau fenomena yang akan diteliti304. Dalam penelitian ini yang merupakan perlu dijelaskan sebagai berikut : membangun305, adalah (bersifat) memperbaiki, kritik yang sangat diharapkan. Berasal dari kata dasar bangun, yaitu bangkit, berdiri. Konstruksi adalah 1) susunan (model, tata letak) suatu bangunan. 2) susunan dan
304
Rianto Adi, 2005, Metode Peneltian Sosial dan Hukum, Jakarta : Granit, hlm., 27. to user Pendidikan Nasional Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusatcommit Bahasa Departemen Jakarta : 2002, hlm., 103. 305
198 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hubungan kata dalam kalimat atau kelompok kata : makna suatu kata ditentukan dalam kalimat atau kelompok kata306. Dalam bahasa Inggris construction, pembuatan, bangunan, tafsiran, susunan/bentuk. Construct : gagasan, konsepsi. Construction : 1) ketetapan pemikiran/pemikiran. 2) intrepretasi dari hukum atau peraturan, mengenai masalah-masalah khusus307. Dalam pemahaman peneliti, membangun kontruksi dalam kaitannya dengan penemuan hukum adalah usaha untuk memperbaiki sesuatu yang sudah ada menjadi lebih baik atau sempurna dari sebelumnya atau membuat sesuatu hal yang baru. Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkret. Ini merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat
umum
dengan
mengingat
peristiwa
konkret308.
Selanjutnya
dikemukakan bahwa oleh karena undang-undangnya tidak lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari hukumnya, harus menemukan hukumnya. Ia harus melakukan penemuan hukum
(rechtsvinding). Penegakan
dan
pelaksanaan hukum sering merupakan penemuan hukum dan tidak sekedar penerapan hukum. B. Arief Sidharta mengemukakan, hakim dituntut untuk memilih aturan hukum yang akan diterapkan , kemudian menafsirkannya untuk menentukan/menemukan suatu bentuk perilaku yang tercantum dalam aturan itu serta menemukan pula kandungan maknanya guna menetapkan penerapannya dan menafsirkan fakta-fakta yang ditemukan untuk menentukan apakah fakta-fakta tersebut termasuk ke dalam makna penerapan aturan hukum tersebut. Dengan demikian, melalui penyelesaian perkara konkret
306
Ibid., hlm., 590. I.P.M. Ranuhandoko, 2003, Terminologi Hukum Inggris-Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, commit to user hlm., 163. 308 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Op., cit., hlm., 4. 307
perpustakaan.uns.ac.id
199 digilib.uns.ac.id
dalam proses peradilan dapat terjadi juga penemuan hukum309. Menurut Utrecht, apabila terjadi suatu peraturan perundang-undangan belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus bertindak berdasar inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dalam hal ini hakim harus berperan untuk menentukan apa yang merupakan hukum, sekalipun peraturan perundangundangan tidak dapat membantunya. Tindakam hakim inilah yang dinamakan dengan penemuan hukum310. Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, hakim adalah hakim pada pengadilan tata usaha negara dan hakim pada pengadilan tinggi tata usaha negara. Sesuai dengan permasalahan yang diajukan, maka dalam kajian penelitian ini adalah hakim pada pengadilan tata usaha negara. Pengertian Sengketa Tata Usaha Negara adalah dengan melihat ketentuan dalam Pasal 1 ayat (10) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, yaitu sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, maka kajian dalam penulisan disertasi ini berangkat dari asumsi bahwa karena adanya pengaruh atau dominasi yang kuat dari aliran positivisme hukum dalam proses penerapan undang-undang oleh hakim dalam menyelesaikan hanya berkutat kepada peraturan perundang-undangan yang tertulis saja, hakim terbelenggu oleh aturan yang sifatnya normatif, lebih mengedepankan aturan-aturan formal dan mengolahnya melalui logika, cara berhukum yang sifatnya subsumtif, serial thinking, hakim terjebak oleh kekakuan perundang-undangan, hakim hanya membunyikan ketentuan dalam undang-undang, hakim tidak keluar dari 309
B. Arief Sidharta, Peranan Praktisi Hukum dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Pusat Penelitian Perkembangan Hukum Lembaga Penelitian Unpad, Nomor 1 Tahun 1999, Bandung, commit to user hlm. 15-17, dalam Ahmad Rifai, Op., cit., hlm., 23. 310 Utrecht, Op., cit., hlm., 248.
perpustakaan.uns.ac.id
200 digilib.uns.ac.id
makna undang-undang yang mengkredilkan pemikirannya, mematikan kreatif dan keaktifan hakim. Dengan demikian, penyelesaian sengketa yang dilakukan hakim tidak banyak memperhatikan keadilan yang diharapkan dalam masyarakat, yaitu nilai keadilan yang bersifat material atau substansial, tetapi lebih cenderung menghasilan keadilan prosedural atau formal. Hasil putusan hakim tersebut, ternyata tidak menyelesaikan permasalahan hukum sampai ke akar-akarnya, belum bersifat menyeluruh. Hakim masih sangat kental terhadap eksistensi undang-undang dan mereka nampak belum banyak melakukan penafsiran dan konstruksi hukum, hermneutika hukum sebagai upaya melakukan penemuan hukum untuk menjembatani atau sebagai solusi pemecahan masalahnya. Hal demikian tersebut, akhirnya banyak mengundang sinisme terhadap pengadilan, ketidak percayaan masyarakat terhadap peradilan dan tidak dapat dihindari justru caci maki dan kritik yang terus mengalir kepada pengadilan atau hakimnya. Keadaan tersebut sangat memprihatinkan dalam dunia hukum dan peradilan, karena sebenarnya dengan tugasnya yang disebut sebagai misi suci sebagai penegak hukum dan keadilan, justru akan tercoreng dan kehilangan makna yang hakiki. Sehubungan dengan tersebut, Satjipto Rahardjo mengemukakan, perlu diadakan dekonstruksi. Dekonstruksi di sini adalah membuang cara kerja pengadilan yang lama, sebaiknya bermula dari sikap para hakim terhadap pekerjaannya dan pemikiran hakim, dan beliau lebih cenderung untuk perilaku pemikiran hakim lebih dahulu daripada merubah hukum terutama untuk mengembalikan lembaga pengadilan dan Mahkamah Agung menjadi “credibel” dan “reliable” sekarang ini, lebih diperlukan “perubahan manusia” daripada “perubahan hukum311. Pandangan yang serupa dikemukakan Lili Rasjidi, permasalahan hukum yang dihadapi oleh bangsa Indonesia telah diupayakan untuk dicarikan jalan keluarnya dengan memperbaiki perundang-undangan yang dinilai memiliki kelemahan atau tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat (tidak aspiratif), dengan membuat undang-undang baru untuk dapat mengganti 311
Satjipto Rahardjo, Rekonstruksi pembangunan Hukum Menuju Pembangunan Pengadilan yang commit to user Independen dan Berwibawa, Makalah seminar diselenggarkan oleh Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, 28 Maret 2000, hlm., 3-4, dalam Anthon F. Susanto, 2004, hlm., 15.
perpustakaan.uns.ac.id
201 digilib.uns.ac.id
perundang-undangan yang dinilai banyak memiliki kelemahan atau tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat (tidak aspiratif), dengan melakukan penelitian-penelitian mendalam oleh kalangan ilmuwan dan akademisi terhadap perundang-undangan yang dinilai bermasalah, dengan penemuan hukum (rechtsvinding) oleh para hakim sebagai penegak hukum312. Proses pengadilan dari waktu ke waktu selalu berubah. Hal ini tentu saja berpengaruh pada peran hakim sebagai orang yang berwenang memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan ke pengadilan. Dari abad 19-20 dapat disaksikan secara pelan-pelan terjadinya perubahan dari peran pengadilan sebagai institusi hukum yang sempit dan terisolasi menjadi pengadilan (untuk) rakyat. Pengadilan yang terisolasi diungkapkan dengan ungkapan pengadilan sebagai corong undang-undang, tidak lebih dan tidak kurang. Selanjutnya dikemukakan, sementara itu dinamika masyarakat menampilkan pengorganisasian baru, seperti perkembangan demokrasi dan bangkitnya kekuatan-kekuatan baru dalam masyarakat, buruh yang mengubah peta sosial politik secara mendalam. Kalau hukum liberal abad ke-19 banyak dikaitkan pada golongan borjuis, maka menjelang dan memasuki abd ke-20 kata kuncinya adalah rakyat. Naiknya peran dan partisipasi rakyat ini tidak dengan mudah diakomodasikan oleh institusi hukum, termasuk pengadilan. Sementara pengadilan juga mengubah perannya dari semata-mata menjadi corong undang-undang, kepada pengadilan yang mewakili dan mendengarkan, bahkan ada ajaran bahwa pengadilan hendaknya mampu menyuarakan mereka atau golongan-golongan yang unreppresented dan underrepresented313. Berdasarkan hal-tersebut, maka sesuai dengan permasalahan yang telah diajukan, kajian dalam disertasi ini lebih berfokus kepada perubahan pemikiran hakim PTUN dalam kaitannya dengan pengujian keabsahan keputusan tata usaha negara, sesuai dengan peran hakim sesudah memasuki abad ke-20 atau dapat dikatakan peran hakim dalam kaitan dengan kemajuan 312
Lili Rasjidi, 2009, Kapita Selekta Tinjauan Kritis Atas Situasi Dan Kondisi Hukum di Indonesia, SeiringPerkembangan Masyarakat Nasional & Internasional, Bandung : Widya commit to user Padjadjaran, hlm., 7-8. 313 Satjipto Rahardjo, 2008, Membedah Hukum Progresif, Jakarta : Buku Kompas, hlm., 38.
202 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan perkembangan masyarakat yang semakin pesat. Dalam perkembangan masyarakat yang demikian maju dan kompleks, pemikiran-pemikiran hakim akan mengikuti dan menyesuaikan dengan keadaan masyarakatnya. Demikian juga penemuan hukum oleh hakim yang hanya berkutat kepada ketentuan perundang-undangan yang tertulis sebagaimana dipengaruhi oleh ajaran positivisme hukum, mereka akan melakukan perubahan pemikiran yang bersifat holistik dengan melihat dan menengok kepada realitas dalam masyarakat. Danah Zohar dan John Marshall mengembangkan pemikiran hakim yang tidak hanya menggunakan cara berpikir dengan IQ (intellectual quotient), tetapi juga dilengkapi dengan berpikir secara EQ (emotional quotient), yaitu dengan hati-nurani, perasaan, dan dilengkapi dengan berpikir secara SQ (spiritual quotient), yaitu hakim harus kreatif dan secara holistik314.
commit to user 314
Satjipto Rahardjo, 2006, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, Jakarta : UKI Press, hlm., 16.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENGUJIAN KEABSAHAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA OLEH HAKIM PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
A. Penerapan Undang-undang oleh Hakim Kewenangan pengujian keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara (disingkat KTUN) oleh hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (disingkat PTUN) adalah berdasarkan pada Pasal 47 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN. Pasal 47 tersebut berbunyi : Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara (disingkat sengketa TUN). Kompetensi PTUN memeriksa, memutus dan
menyelesaikan
sengketa
TUN
tersebut
timbul
sebagai
akibat
dikeluarkannya KTUN oleh Badan atau Pejabat TUN antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN dalam bidang tata usaha negara. Pengertian Sengketa TUN adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya KTUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku315. Pengertian KTUN316 adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
315 316
commit Lihat Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomorto 51user Tahun 2009 Lihat Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 203
204 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Skema kompetensi absolut PTUN
Pasal 47---sengketa TUN
Pasal 1. 9--- sengketa timbul berdasarkan KTUN
Termasuk KTUN adalah : Pasal (1.9 + Pasal 3) – (Pasal 2 + Pasal 49).
Suatu hal yang perlu mendapat perhatian bahwa tidak semua KTUN langsung diperiksa oleh hakim PTUN, artinya terdapat ketentuan yang mewajibkan kepada orang atau badan hukum perdata untuk menyelesaikan lebih dahulu melalui lembaga atau instansi yang ditunjuk. Ketentuan tersebut dapat dilihat pada Pasal 48, yaitu : 1. Dalam hal suatu Badan atau Pejabat TUN diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa TUN tertentu, maka sengketa TUN tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia. 2. Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa TUN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administatif yang bersangkutan telah digunakan.
Upaya administratif dalam penyelesaian sengketa TUN dibedakan menjadi : a. Keberatan, adalah prosedur penyelesaian sengketa tata usaha negara secara administratif yang dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat tata usaha to user negara yang mengeluarkancommit keputusan tersebut.
205 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Banding administratif, yaitu prosedur penyelesaian sengketa tata usaha negara secara administratif yang dilakukan oleh instansi atau atasan lain dari yang mengeluarkan keputusan tata usaha negara. Terlepas dari kajian penyelesaian sengketa TUN yang langsung ke PTUN maupun tidak langsung ke PTUN, maka kajian dalam penelitian disertasi ini dititik beratkan pada sengketa TUN yang diselesaikan di PTUN. Sebagaimana dikemukakan bahwa PTUN mempunyai kewenangan untuk menguji keabsahan KTUN yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN dan pengujian tersebut berdasarkan pada Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, sebagai perubahan kedua dari Undangundang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Eksistensi PTUN dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara hanya sebatas melakukan pengujian terhadap KTUN yang disengketakan para pihak dari segipenerapan hukumnya saja (rechtsmatigheid). Sehubungan dengan hal tersebut Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, mengemukakan sebagai ciri utama Pengadilan Administrasi Negara (disebut PTUN) salah satunya adalah wewenang hakim administrasi terbatas hanya penilaian dan pertimbangan (jugdment, beoordelling) tentang yuridiktas (rechtsmatigheid, kesesuaian dengan hukum) dari tindak hukum administrasi negara yang ditentang
317
. Pengujian dari segi hukum dilakukan dengan
menilai apakah keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (in strijd met de wet) dan asas-asas umum pemerintahan yang baik318 Keputusan Tata Usaha Negara atau obyek sengketa yang dikeluarkan tergugat atau beschhiking bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, jika : a. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang bersifat prosedural/formal
317
Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, Loc. cit. Hlm. 21. commit to Nomor user 9 Tahun 2004 tentang PTUN, Lihat Pasal 53 ayat (2) huruf, a,b Undang-undang sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN. 318
206 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundanganundangan yang bersifat material/substansial c. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat yang tidak berwenang319
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang tidak berwenang (onvoegdheid) disebut keputusan yang cacad mengenai kewenangan (bevoegdheidgebreken) yang meliputi : a. Onbevoegdheid ratione materiae, yaitu apabila suatu keputusan tidak ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan atau apabila keputusan itu dikeluarkan
oleh
Badan
atau
Pejabat
yang
tidak
berwenang
mengeluarkannya (kompetensi absolut) b. Onbevoegdheid ratione loci, yaitu keputusan yang diambil oleh Badan atau Pejabat TUN tersebut menyangkut hal yang berada di luar batas wilayahnya (kompetensi relatif) c. Onbevoegdheid ratione temporis, yaitu Badan atau Pejabat TUN belum berwenang atau tidak berwenang lagi untuk mengeluarkan KTUN, misalnya jangka waktunya sudah lampau atau menerapkan peraturan lain sementara itu sudah berlaku peraturan baru (ketidakwenangan dari segi waktu) Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, kemudian diubah dengan Undangundang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, bahwa KTUN yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asasasas umum pemerintahan yang baik. Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah meliputi asas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi dan Nepotisme. commit to user 319
Penjelasan Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN.
207 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Penggunaan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai dasar pengujian hakim terhadap keabsahan KTUN, sebelum Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN direvisi, banyak menimbulkan pertanyaan. Seperti dikemukakan oleh Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, menanyakan apakah dengan demikian asas-asas umum pemerintahan yang baik dapat diterapkan untuk menguji KTUN hanya terbatas pada dua hal tersebut320. Sehubungan dengan adanya keraguan dalam menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai dasar untuk menguji keabsahan KTUN yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN oleh hakim PTUN, maka dikeluarkanlah petunjuk pelaksanaan (juklak) oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, Nomor 052/Td.TUN/III/1992, yang isinya : Di dalam hal hakim mempertimbangkan adanya asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai alasan pembatalan penetapan, maka hal tersebut tidak perlu dimasukkan dalam diktum putusannya, melainkan cukup dalam pertimbangan putusan dengan menyebutkan asas mana dari asas-asas umum pemerintahan yang baik yang dilangar dan akhirnya harus mengacu pada Pasal 53 ayat (2). Juklak tersebut dinilai membatasi hakim PTUN dalam penggunaan sebagai dasar untuk menguji keabsahan KTUN. Seperti dikemukakan Y Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, hal yang sangat menarik dari isi juklak M.A tersebut adalah apakah dapat ditafsirkan bahwa asas-asas umum pemerintahan yang baik yang bisa digunakan oleh hakim PTUN dalam memutus sengketa TUN hanya yang tercantum dalam Pasal 53 ayat (2). Dengan demikian hanya ada dua asas yang dipakai. Kalau demikian halnya lalu KTUN yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN, yang tidak terikat oleh hukum tertulis dan sekaligus tidak dapat diuji dengan kedua asas tersebut. Berarti hakim PTUN tidak mempunyai kesempatan untuk menggali asas-asas umum pemerintahan yang baik lainnya mengingat menurut juklak M.A.
commit to user 320
Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, Op. Cit. hlm. 97.
208 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tersebut yang mengacu pada Pasal 53 ayat (2) nampaknya menutup kesempatan untuk itu321. Pandangan tentang penggunaan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai dasar pengujian keabsahan KTUN oleh hakim PTUN, berbeda dengan setelah diubahnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Perubahan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, karena dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut UUD 1945. H.A. Muin Faisal, mengemukakan, berlakunya Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, menjadikan asas-asas pemerintahan yang layak (ABBB) sebagai alasan
bagi
pembatalan
atau
tidak
sahnya
suatu
KTUN.
Tidak
dicantumkannya lagi alasan penyalahgunaan wewenang („deournement de pouvoir) dan perbuatan sewenang-wenang ( „daad van willekeur) pada Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2009 dapat dipandang bahwasannya kedua alasan dimaksud di-absorb dalam alasan pengujian atas dasar asas-asas pemerintahan yang layak (ABBB) yang kini dijadikan toetsingsgronden bagi KTUN322. Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 telah menempatkan AAUPB secara yuridis normatif sebagai dasar gugatan di PTUN dan juga sebagai dasar pengujian keabsahan KTUN bagi hakim PTUN. Di dalam penjelasan pasal tersebut ditentukan jenis-jenis AAUPB yang dapat digunakan sebagai dasar gugatan di PTUN dan dasar pengujian keabsahan KTUN oleh hakim PTUN, yang diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Penegasan pengaturan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, 321
Y. Sri Pudyatmoko dan W.Riawan Tjandra, Op. Cit., hlm. 98.Lihat juga dalam W. Riawan Tjandra, 2009, PTUN Mendorong Terwujudnya Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa, to user Yogyakarta, Universitas Atma Jaya, hlm,commit 140. 322 H.A. Muin Fahmal, Loc., cit., hlm. xi
209 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sebagai dasar pengujian bagi hakim PTUN terhadap keabsahan KTUN yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN, berarti memberikan batas ruang gerak bagi hakim PTUN, karena AAUPB sudah merupakan norma yang harus dipatuhi oleh hakim, pengujian oleh hakim hanya sebatas yang telah ditentukan dalam penjelasan Pasal 53 ayat (2). Keadaan tersebut menimbulkan kontradiksi dalam kaitannya dengan tugas hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat, dan larangan hakim untuk menolak perkara yang diajukan para pihak dengan dalih hukum kurang atau tidak jelas, melainkan hakim wajib untuk memeriksa dan mengadilinya, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, juga berkaitan dengan asas ius curia novit dan asas hakim aktif dalam PTUN. Sebagaimana dikemukakan bahwa pengujian KTUN keabsahan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN oleh hakim PTUN, dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Berkaitan dengan pengujian keabsahan KTUN yang disengketakan,
maka
hakim
bertugas
untuk
mengumpulkan
atau
mengidentifikasi peraturan yang menjadi dasar dikeluarkannya KTUN. Di dalam mengidentifikasi peraturan perundangan-undangan atau mengumpulkan fakta, sering menjumpai kekosongan hukum (leemten in het recht), hukumnya ada, namun kurang atau tidak jelas, ketinggalan jaman atau usang, normanya kabur, dan juga adanya konflik norma hukum (antinomi hukum). Demikian juga asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999, yang digunakan sebagai dasar untuk menguji keabsahan KTUN, tidak sepenuhnya muncul dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
B. Positivisme Hukum Dalam Proses Peradilan Dalam kaitannya dengan penerapan hukum untuk menyelesaikan kasus atau peristiwa, Gr.Van der Brught dan J.D.C. Winkelman, menyebutkan tujuh user yaitu : langkah yang harus dilakukan commit seorangtohakim,
perpustakaan.uns.ac.id
210 digilib.uns.ac.id
a. Meletakan kasus dalam sebuah peta (memetakan kasus) atau memaparkan kasus dalam sebuah ikhtiar (peta), artinya memaparkan secara singkat duduk perkaranya dari sebuah kasus (menskematisasi) b. Menerjemahkan kasus itu ke dalam peristilah yuridis mengkualifikasi, pengkualifikasian) c. Menyeleksi aturan-aturan yang relevan d. Menganalisis dan menafsirkan (interpretasi) terhadap aturan-aturan hukum itu e. Menerapkan aturan-aturan hukum pada kasus f. Mengevaluasi dan menimbang (mengkaji) argumen-argumen dan penyelesaian g. Merumuskan formulasi penyelesaian323 H. Ph. Visser‟t Hooft, mengemukakan bahwa hakim dalam menerapkan hukum harus berorientasi pada tiga acuan dasar yang bekerja dalam setiap tata hukum yang bekerja pada waktu yang bersamaan, yaitu : 1. Positivitas. Dalam pengacuan pada hukum, sebagai putusan lembaga peradilan, hakim memiliki otoritas untuk menemukan argumen-argumen yang secara historis menjadi kehendak pembentuk undang-undang dalam membentuk hukum positif. 2. Koherensi. Dalam menjalankan fungsinya untuk menerapkan hukum, hakim memiliki otoritas tidak saja terhadap adanya saling bertautan di antara aturan-aturan, tetapi juga adanya koherensi di antara aturan-aturan hukum. 3. Keadilan Dalam menjalankan fungsinya untuk menerapkan hukum, putusan hakim dapat dikatakan adil, manakala dapat diterima dalam pespektif keyakinankeyakinan kemasyarakatan kontemporer. Putusan hakim dapat diterima secara adil dalam masyarakat, karena putusannya tidak bertentangan
323
Gr. Van der Brught dan J.D.C. Winkelman, dalam Sidharta, 2004, Karateristik Penalaran commit :toDisertasi user Program Ilmu Hukum Parahyangan, Hukum Dalam Konteks ke Indonesiaan, Bandung hlm. 177.
perpustakaan.uns.ac.id
211 digilib.uns.ac.id
dengan akal sehat (common sense) dan para anggota masyarakat dapat menerima serta mengerti sebagai putusan yang rasional324 Berkaitan dengan tugas hakim, Achmad Ali325 menegaskan bahwa pertama kali yang mengemukakan adanya tiga tahap tugas hakim adalah Sudikno Mertokusumo, yaitu : 1. Tahap konstatir (mengkonstatir), yaitu hakim mengkonstatir benar tidaknya peristiwa yang diajukan 2. Tahap kualifikasi, yaitu hakim mengkualifisir termasuk tindakan hukum apakah seseorang. 3. Tahap konstituir, yaitu hakim menetapakan hukumnya yang bersangkutan. Proses penemuan hukumoleh hakim dimulai pada tahap kualifikasi dan berakhir pada tahap konstituir. Proses penerapan hukum (AAUPB) dalam penyelesaian sengketa di pengadilan administrasi (dari pemeriksaan perkara sampai pada pengambilan putusan) paling tidak melalui tiga tahapan seperti di bawah ini326: 324
H. Ph. Visser‟t Hooft, Filosofie de Rechtswetenschap, dalam terjemahana, B. Arief Sidharta, 2003, Filsafat Ilmu Hukum, Bandung : LH FH, Univ. Katolik Parahyangan. 325 . Achmad Ali, 2008, Op., cit., hlm., 120. 326 Jazim Hamidi, 1999, Op. Cit., hlm., 90. Lihat juga Adi Sulistiyono, 2002, disertasi Progarm Doktor Ilmu Hukum UNDIP, hlm., 186, secara normatif, pertama kali setelah menerima perkara, hakim haruslah mengkonstatir benar tidaknya peristiwa yang diajukan itu. Mengkonstatir berarti melihat, mengakui atau membenarkannya telah terjadi peristiwa yang diajukan tersebut, tetapi untuk sampai pada konstatering demikian itu, ia harus mempunyai kepastian. Hakim harus pasti akan konstateringnya itu, ia harus pasti akan kebenaran peristiwa yang dikonstatirnya, sehingga konstateringnya itu tidak sekedar dugaan atau kesimpulan yang dangkal atau gegabah saja tentang adanya peristiwa yang bersangkuta. Oleh karena itu, hakim harus menggunakan sarana-saranaatau alat-alat untuk memastikan dirinya tentang kebenaran peristiwa yang bersangkutan. Hakim harus melakukan pembuktian dengan alat bukti yang sah menurut hukum untuk mendapatkan kepastian terhadap peristiwa yang diajukan kepadanya. Jadi mengkonstatir peristiwa berarti sekaligus juga membuktikan atau menganggap telah terbuktinya peristiwa yang bersangkutan. Tahap kedua, hakim mengkualifisir peristiwa itu. Mengkualifisir menilai peristiwa yang telah dianggap benarbenar terjadi itu termasuk hubungan hukum apa atau yang mana, atau dengan kata lain menemukan hukumnya bagi peristiwa yang telah dikonstatir. Untuk menemukan hukumnya, hakim sering melakukan penerapan hukum terhadap peristiwanya. Dicarikan dari peraturan yang ada, ketentuan-ketentuan yang dapat diterapkan pada peristiwa yang bersangkutan. Kalau peristiwanya sudah tersbukti dan peraturan hukumnya jelas dan tegas, maka penerapan hukumnya pada umumnya merupakan pekerjaan yang dikatakan mudah. Jadi mengkualifisir pada umumnya berarti menemukan hukumnya dengan jalan menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwa, suatu kegiatan yang pada umumnya bersifat logis, tetapi dalam kenyataannya menemukan hukum tidak sekedar menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwa sja. Lebih-lebih kalau peraturan to userhal ini hakim tidak harus menemukan hukumnya tidak tegas dan tidak jelas,commit maka dalam hukumnya, melainkan menciptakan sendiri. Dalam hal ini menurut Cardozo, mantan hakim
perpustakaan.uns.ac.id
212 digilib.uns.ac.id
1. Tahap pengumpulan data. Sebelum memasuki tahap (pemeriksaan pokok perkara di muka sidang), di lingkungan peradilan administrasi terlebih dahulu dilakukan suatu proses administratif, yaitu dengan penelitian administratif oleh kepaniteraan, diikuti oleh proses dismissal, dan pemeriksaan persiapan. Setelah proses ini selesai, dilanjutkan dengan pemeriksaan sidang biasa dengan hakim majelis atau hakim tunggal. Tahap ini disebut tahap pengumpulan fakta. Tugas hakim adalah melakukan seleksi terhadap keseluruhan peristiwa dan melakukan pembuktian dengan alat-alat bukti yang tersedia, guna memastikan kebenarannya. Tahap ini penting, karena pada tahap ini hakim dituntut untuk sungguh-sungguh dapat meyakini bahwa peristiwa yang sudah dikonstatirnya itu obyektif, sesuai dengan fakta-fakta yang ada, dan pada tahap ini pula putusan hakim harus disandarkan. Dalam hukum acara
Amerika Serikat, menyebutkan : The law which .......the resulting product is not found but made. The process in its highest reaches is not discovery, but creation. Mengkualifisir peristiwa mengandung unsur kreatif, sehingga daya cipta hakim besar sekali peranannya, ia harus berani menciptakan hukum yang tidak bertentangan dengan keseluruhan sistem perundang-undangan dan memenuhi pandangan masyarakat serta kebutuhan zaman. Tahap ketiga, hakim harus mengkonstituir atau memberi konstitusinya. Hal ini berarti hakim menetapkan hukumnya kepada peristiwa yang bersangkutan, memberi keadilan. Dalam hal ini hakim mengambil kesimpulan dari adanya premise mayor, yaitu (peraturan) hukum , dan premise minor. Sekalipun ini merupakan silogisme, tetapi bukan semata-mata hanya logika saja yang menjadi dasar kesimpulannya. Keadilan yang diputuskan hakim bukanlah produk dari intelek hakim, but of his spirit, kata Sir Afferd Denning. Dalam kaitannya dengan penemuan hukum, Adi Sulistiyono, mengemukakan, 1. Aliran legisme, aliran yang berpendapat bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undangundang, sehingga hakim terikat pada perundang-undangan, sedangkan peradilan berarti sematamata penerapan undang-undang pada peristiwa yang konkrit. Hakim hanyalah subsumptie automaat, sedangkan metode yang digunakan adalah geometri yuridis. Kebiasan hanya mempunyai kekuatan hukum apabila ditunjuk oleh undang-undang. Hukum dan unadng-undang adalah identik, yang penting di sini adalah kepastian hkum. 2. Begriffsjurisprudenz. Aliran ini melihat hukum sebagai suatu sistem atau kesatuan tertutup yang menguasai semua tingkah sosial. Dasar dari hukum adalah suatu sistem asas-asas hukum serta pengertian dasar yang menyediakan kaidah yang sudah pasti untuk peristiwa konkret. Hakim memang bebas dari ikatan undangundang, tetapi harus bekerja dalam sistem hukum yang tertutup. Menurut aliran ini, pengertian hukum tidaklah sebagai sarana, tetapi sebagai tujuan, sehingga ajaran hukum menjadi ajaran tentang pengertian (begriffsjurisprudenz) suatu permainan tentang pengertian . Begriffsjurisprudenz ini mengkultuskan ratio dan logika, pekerjaan hakim semata-mata bersifat logis ilmiah. 3. Aliran yang berlaku sekarang, yang berpendapat bahwa sumber hukum tidak hanya undang-undang atau peradilan saja. Undang-undang yang merupakan peraturan umum yang diciptakan oleh pembentuk undang-undang itu tidak lengkap, karena tidak mungkin mencakup commit to user segala kegiatan manusia. Ketidaklengkapan tersebut diisi oleh peradilan, di samping undangundang dan peradilan masih terdapat hukum yang tumbuh di dalam masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id
213 digilib.uns.ac.id
perdata, tahap ini disebut “tahap mengkonstatir”, atau secara metodologis termasuk dalam kerangka pendekatan induktif. 2. Mengidentifikasi hukum. Pada tahap ini, hakim administrasi melakukan suatu penilaian atau pengujian terhadap fakta hukum atau peristiwa hukum yang sudah dikonstatirnya, kemudian dikualifisir masuk pada hubungan hukum mana. Berarti hakim sudah masuk pada tahap penerapan hukum (termasuk penerapan AAUPPL atau AAUPB) atau secara metodologis memasuki langkah deduktif. Langkah awalnya, hakim melakukan identifikasi aturan hukum dan melakukan interpretasi atau penafsiran terhadap aturan hukum yang sekiranya dapat diterapkan dalam peristiwa konkrit. Di samping menerapkan norma hukum yang tertulis, hakim dapat menerapkan juga kaidah hukum tidak tertulis (berupa AAUPPL atau AAUPB) untuk menguji keabsahan keputusan administrasi negara. Hasil identifikasi hukum yang ditindaklanjuti oleh penerapan hukum, biasanya dirumuskan dalam pertimbangan hukum sang hakim. 3. Merumuskan AAUPPL atau AAUPB. Pada tahap ini, hakim administrasi telah mengetahui pokok sengketanya, juga sudah memberikan pertimbangan hukum mengenai penerapan AAUPPL atau AAUPB-nya. Dengan demikian hakim administrasi tinggal menentukan apakah keputusan administrasi negara yang disengketakan itu bertentangan dengan AAUPPL atau AAUPB atau tidak, kemudian menentukan keabsahan keputusan administrasi negara melalui putusannya dan tahap ini disebut mengkonstituir. Penerapan hukum oleh hakim terhadap suatu peristiwa atau untuk memberikan putusan terhadap suatu perkara yang diajukan di muka sidang dalam praktik tidak semudah orang membalikan tangan. Hal tersebut terutama berkaitan dengan keberadaan peraturan perundang-undanganya sendiri, seperti terhadap suatu peristiwa tidak diatur secara jelas atau kabur, diatur tetapi sudah ketinggalan jaman, kurang atau tidak lengkap. Bambang Sutiyoso commit user dijumpai ada peristiwa yang mengemukakan, dalam praktik tidakto jarang
perpustakaan.uns.ac.id
214 digilib.uns.ac.id
belum diatur dalam hukum atau perundang-undangan, atau meskipun telah diatur tetapi tidak lengkap dan tidak jelas. Memang tidak ada hukum atau perundang-undangan yang sangat lengkap atau jelas-sejelasnya. Fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dengan cara mengatur kegiatan manusia, sedangkan kepentingan manusia sangatlah banyak dan kompleks serta tidak terhitung jumlahnya dan jenisnya. Di samping itu kepentingan manusia akan terus berkembang sepanjang masa. Oleh karena itu peraturan hukum yang tidak jelas harus dijelaskan, yang kurang lengkap harus dilengkapi dengan jalan menemukan hukumnya agar aturan hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya. Dengan demikian, pada hakikatnya semua perkara membutuhkan metode penemuan hukum agar aturan hukumnya dapat diterapkan secara tepat terhadap peristiwanya, sehingga dapat diwujudkan putusan hukum yang diidam-idamkan, yaitu sesuai dengan tujuan hukum atau mengandung aspek keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan327 Hal senada dikemukkan oleh Philipus M. Hadjon, permasalahan dari segi aspek penerapan hukum antara lain meliputi interpretasi hukum (menafsirkan makna hukum positif) dan kekosongan hukum (leemten in het recht) atau sering disebut rechtsvacuum, kekosongan undang-undang (wet recht), antinomi (konflik norma hukum) dan norma yang kabur (varge normen)328.Dikatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang nyaris tidak memberikan peluang diskresi bagi hakim (optiman esse legem, quae minimum reliquit arbitrio judicis, it guod certitude ejus praestat), dalam praktiknya banyak ditemukan bahwa undang-undang ternyata tidak lengkap atau tidak jelas, meskipun dalam penjelasan undang-undang sudah disebutkan secara jelas. Oleh karena itu, sang hakim harus mencari dan menemukan hukumnya (rechtsvinding), karena setiap aturan hukum perlu dijelaskan dan memerlukan penafsiran sebelum dapat diterapkan pada peristiwa hukum tertentu329
327
Bambang Sutiyoso, 2009, Op., cit., hlm. 28 commit to cit., userhlm., 215. Philipus M. Hadjon, dalam Johnny Ibrahim, Op., 329 Johnny Ibrahim, Op., cit., hlm., 215. 328
215 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sehubungan dengan adanya norma yang kabur atau kurang jelas, Sudikno Mertokusumo330, mengemukakan undang-undang itu tidak sempurna. Memang tidak mungkin undang-undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada kalanya undang-undang itu tidak lengkap dan ada kalanya undang-undang itu tidak jelas, meskipun tidak lengkap dan tidak jelas undang-undang harus dijalankan. Dalam hal terjadi pelanggaran undang-undang, hakim harus melaksanakan atau menegakkan undang-undang. Hakim tidak dapat menangguhkan pelaksanaan atau penegakkan undang-undang yang telah dilanggar. Hakim tidak dapat dan tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas. Ia dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih tidak sempurnanya undang-undang atau tidak ada hukumnya. Mau tidak mau ia harus menjatuhkan putusan (Pasal 22 AB, Pasal 14 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, Pasal 10 Undangundang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai perubahan ketiga dari Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970). Selanjutnya beliau mengemukakan, oleh karena undang-undangnya tidak lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari hukumnya, harus menemukan hukumnya.
Ia
harus
melakukan
penemuan
hukum
(rechtsvinding).
Penegakkan dan pelaksanaan hukum sering merupakan penemuan hukum dan tidak sekedar penerapan hukum. Dalam tugasnya melaksanakan atau menerapkan undang-undang sebagai upaya menyelesaikan sengketa yang diajukan pihak penggugat, hakim seluruhnya tunduk pada ketentuan dalam undang-undang atau hakim tidak tunduk pada ketentuan dalam undang-undang. Dalam hal ini, Sudikno Mertokusumo, mengemuakan, dalam penemuan hukum hakim dapat sepenuhnya tunduk pada undang-undang. Penemuan hukum ini terjadi berdasarkan peraturan-peraturan di luar diri hakim. Pembentuk undangundang membuat peraturan umumnya, sedangkan hakim hanya mengkonstatir tojuga userSudikno Mertokusumo dan Mr. A. Pitlo, Sudikno Mertokusumo, 2005, Op.,cit,commit 162. Lihat 1993, Op., cit., hlm., 3. 330
perpustakaan.uns.ac.id
216 digilib.uns.ac.id
bahwa undang-undang dapat diterapkan pada peristiwanya, kemudian hakim menerapkannya menurut undang-undang. Dengan demikian, maka penemuan hukum tidak lain merupakan penerapan undang-undang yang secara logis terpaksa sebagai silogisme331. Dalam hal ini, hakim tidak menjalankan fungsi yang mandiri dalam penerapan undang-undang terhadap peristiwa hukum yang konkrit. Hakim hanyalah corong dari undang-undang yang tidak dapat mengubah atau menambah undang-undang. Wiarda menyebut jenis penemuan hukum tersebut bersifat heteronom, karena hakim mendasarkan pada peraturan peraturan di luar dirinya, hakim tidak mandiri, karena harus tunduk pada undang-undang. Sejak kurang lebih 1850 orang condong pada peranan yang mandiri dalam pembentukan hukum oleh hakim. Hakim bukan lagi corong dari undang-undang, tetapi pembentuk hukum yang memberi bentuk pada isi undang-undang dan menyesuaikannya dengan kebutuhan-kebutuhan hukum. Hakim dalam menjatuhkan putusanya dimbimbing oleh pandangan-pandangan atau pikiranya sendiri. Dalam penemuan hukum yang otonom ini hakim memutus menurut apresiasi pribadi. Hakim menjalankan fungsi yang mandiri dalam penerapan undang-undang terhadap peristiwa hukum yang konkrit. Pelaksanaan undang-undang oleh hakim bukanlah semata-mata merupakan persoalan logika dan penggunaan pikiran yang tepat saja, tetapi lebih merupakan pemberian bentuk yuridis kepada asas-asas hukum materiil yang menurut sifatnya tidak logis dan lebih mendasarkan pada pengalaman dan penilaian yuridis daripada mendasarkan pada akal yang abstrak. Undangundang tidak mungkin lengkap, undang-undang hanya merupakan satu tahap dalam proses pembentukan hukum dan terpaksa mencari kelengkapannya dalam praktek hukum dari hakim332 Achmad Ali333, mengambil pendapat Carbonnier, mengemukakan les choses out toujours du se passer ainsi, des millenaires gu‟ily a dsejuges, et gui 331
Knottenbetl, Inleiding in het Nederlandse recht, hlm., 98. Dalam Sudikno Mertokusumo, 2005, Op., cit., hlm., 164. 332 commit to user Sudikno Mertokusumo,2005., Op., cit., hlm., 165. 333 Achmad Ali, 2008, Op., cit., hlm., 102.
perpustakaan.uns.ac.id
217 digilib.uns.ac.id
pensent (demikianlah senantiasa telah terjadi bahwa selama ribuan tahun, dituntut adanya para hakim yang berpikir). Kemudian kaitannya antara tugas hakim dengan eksistensi undang-undang, beliau mengemukakan : 1. Bagi kaum dogmatik, hukum adalah peraturan (tertulis), yaitu undangundang. Dalam hal ini tugas hakim adalah menghubungkan antara fakta konkrit yang diperiksanya dengan ketentuan undang-undang. Kaum dogmatik melihat adanya dua kemungkinan, adanya suatu proses di antara dua elemen tadi (peraturan dan fakta). a. Proses penerapan hukum oleh hakim. Di sini hakim hakim hanya menggunakan hukum-hukum logis, yaitu silogisme. b. Proses pembentukan hukum oleh hakim Di sini, hakim tidak lagi sekedar mengunakan hukum-hukum logika, melainkan sudah memberikan penilaian, yang disebut dengan interpretasi dan konstruksi dan oleh kaum legis hal ini tidak dibolehkan. 2. Bagi kaum nondogmatik yang melihat hukum tidak hanya sekedar kaidah, tetapi juga kenyataan dalam masyarakat, maka undang-undang bukan satusatunya hukum. Bagi kaum nondogmatik, undang-undang bukan satusatunya sumber hukum, tetapi masih ada sumber hukum lain, yaitu kebiasaan, traktat, yurisprudensi, doktrin, kaidah agama, bahkan nilai-nilai kepatutan yang hidup di dalam masyarakat. Dalam pandangan kaum dogmatik, tugas hakim adalah menghubungkan antara sumber hukum (bukan hukum) dengan fakta konkeit yang diperiksanya. Dalam penghubungan antara sumber hukum dan fakta konkrit itu, hakim melakukan penilaian, yang disebut (Achmad Ali) sebagai penemuan hukum. Selanjutnya beliau mengemukakan orang yang mengatakan bahwa yang berlaku adalah aturan perundang-undangan, misalnya, tentu akan sulit menjawab pertanyaan :”mengapa dari pasal undang-undang yang sama, commit to user berbeda dalam kenyataan penerapannya di pengadilan?”. Jawabanya tidak
218 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lain, karena memang bukan aturan perundang-undangan itu yang berlaku. Aturan perundang-undangan hanya merupakan sumber dari putusan pengadilan. Putusan pengadilan itulah yang merupakan hukum dalam perkara tersebut. Senada dengan pendapat Achmad Ali, yaitu Sudikno Mertokusumo, beliau mengemukakan
bahwa ketentuan undang-undang tidak dapat
diterapkan begitu saja secara langsung pada peristiwanya. Untuk dapat menerapkan ketentuan undang-undang yang berlaku umum dan abstrak sifatnya itu pada peristiwanya yang konkrit dan khusus sifatnya, ketentuan undang-undang itu harus diberi arti, dijelaskan atau ditafsirkan dan diarahkan atau disesuaikan dengan peristiwanya untuk kemudian baru diterapkan pada peristiwanya. Peristiwa hukumnya harus dicari lebih dahulu dari peristiwa konkritnya, kemudian undang-undangnya ditafsirkan untuk dapat diterapkan. Setiap peraturan hukum itu bersifat abstrak dan pasif. Abstrak karena umum sifatnya dan pasif karena tidak akan menimbulkan akibat hukum kalau tidak terjadi peristiwa konkrit. Peraturan hukum yang abstrak itu memerlukan rangsangan agar dapat aktif, agar dapat diterapkan pada peristiwa yang cocok334. Selanjutnya dikemukakan boleh dikatakan bahwa setiap ketentuan undang-undang perlu dijelaskan, perlu ditafsirkan lebih dahulu untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Achmad Ali335, mengemukakan selama berabad-abad, hubungan antara perudang-undangan dengan putusan hakim menimbulkan polemik yang tak putus-putusnya dan melahirkan berbagai aliran pememikiran dalam ilmu hukum. Mula-mula dikenal aliran legis, yang cenderung memandang hakim hanya sekedar terompet undang-undang (bouche de la loi). Kemudian muncul aliran penemuan hukum oleh hakim yang memandang bahwa hakim dapat mengisi kekosongan perundang-undangan dengan jalan konstruksi hukum atau interpretasi hukum. Terakhir, muncul aliran realis di Amerika Serikat dan Skandinavia yang pada pokoknya memandang hakim tidak sekadar 334 335
commit to user Sudikno Mertokusumo, 1993, Op., cit., hlm., 12-13. Achmad Ali, 2008, Op., cit., hlm., 104.
perpustakaan.uns.ac.id
219 digilib.uns.ac.id
“menemukan hukum”, melainkan “membentuk hukum” melalui putusanya. Bagi aliran realis, kaidah-kaidah hukum yang berlaku memang ada pengaruhnya terhadap putusan hakim, tetapi hanya sebagai salah satu unsur pertimbangan. Selain unsur kaidah hukum itu, putusan hakim juga dipengaruhi oleh prasangka politik, ekonomi ataupun moral, bahkan perasaan simpati dan pribadi turut mempengaruhi putusan hakim. Pada abad ke-19 munculah pandangan legisme atau legalitas yang menganggap bahwa hukum adalah undang-undang. Undang-undang dianggap keramat, sebagai peraturan yang dikukuhkan Alloh sendiri atau sebagai sistem logis yang berlaku bagi semua perkara karena bersifat rasional yang disebut teori rasionalitas atau teori indeenjurisprudenz336. Perkembangan selanjutnya, muncul teori ajaran hukum bebas (Frei Rechtslehre atau Free Law Theory) yang merupakan antitese terhadap teori “ideenjurisprudenz”. Ajaran ini merupakan suatu ajaran sosiologis radika, yang dikemukakan oleh mazhab realisme hukum Amerika. Akhirnya muncul idealisme yuridis baru atau new legal idealism337. Pembahasan dalam kaitannya dengan permasalahan yang pertama, maka digunakan teori legal positivisme. Teori legas positivisme berkembang pada era kodifikasi sampai pada abad ke-19, dalam konsepsi ini dikembangkan dari ecole de l‟exegese sampai ke Jerman rechtwissenschaft, hukum dikemas sempurna dengan positive order yang berasal dari kegiatan legislatif suatu negara. Paham ini disebut kelompok imperativist, coercivist, legalist conception yang ditegakkan melalui hukum yang literal (tertulis), interpretasi norma tertulis secara mekanis oleh penerjemah, khususnya hakim338. Pada abad ke-19 kepercayaan pada ajaran hukum alam yang rasionalistis hampir ditinggalkan orang sama sekali, karena pengaruh aliran cultur historisch school. Dengan ditinggalkan aliran tersebut, maka semakin kuat aliran yang menggantikannya, yaitu aliran positivisme hukum (rechts 336
L. Pospisil, dalam Prasetyo Hadi Purwandoko, Ibid., hlm., 40. commit to Ibid., userhlm., 40. M. Friedman, dalam Prasetyo Hadi Purwandoko, 338 Ade Maman Suherman, 2004, Op., cit, hlm., 37 337
perpustakaan.uns.ac.id
220 digilib.uns.ac.id
positivisme), yang disebut juga dengan legitimisme339. Aliran legitimisme sangat mengagungkan hukum tertulis, sehingga aliran ini beranggapan tidak ada norma hukum di luar hukum positif, semua persoalan di dalam masyarakat diatur dalam hukum tertulis. Pandangan yang sangat mengagung-agungkan hukum tertulis pada positivisme hukum ini, pada hakikatnya merupakan penghargaan yang berlebihan terhadap kekuasaan yang menciptakan hukum tetulis itu, sehingga dianggap kekuasaan itu adalah sumber hukum dan kekuasaan itu adalah hukum340. Positivisme hukum dikenal sebagai suatu teori hukum yang menganggap bahwa pemisahan antara hukum dan moral, merupakan hal yang teramat penting. Positivisme membedakan secara tajam antara :”what it is for a norm to exist as a valid law standard” dengan :”what it is for a norm to exist as a valid moral standard” (Roger A. Shine, dalam Denins Patterson, 1999). Jadi positivisme secara tegas membedakan apa yang membuat suatu norma menjadi eksis sebagai suatu standar hukum yang valid dan apa yang membuat suatu norma menjadi eksis sebagai suatu standar moral yang valid. Bagi kaum positivis, norma-norma hukum yang yang tergolong bengispun, dapat diterima sebagai hukum, asalkan memenuhi kriteria formal yang ada tentang hukum. sesuatu itu hukum atau bukan hukum, sama sekali tidak ditentukan oleh apakah sesuatu itu adil atau tidak adil. Positivisme menerima kemungkinan adanya hukum yang tidak adil atau yang dirasakan tidak adil, tetapi ia tidak berhenti menjadi hukum hanya karena ia dirasakan tidak adil. John Austin (1970-1859) ditempatkan sebagai “the founding father of legal positivism”, dikenal sebagai pakar hukum paling terkemuka di awal abad ke-19. Menurut eksponen utama positivisme hukum, John Austin adalah :”Law is a command set, either directly or circuitously, by a sovereign individual or body, to a member or members of some independent political society in which his authority is supreme”. Hukum adalah seperangkat perintah, baik langsung maupun tidak langsung, dari pihak yang berkuasa 339
Utrecht, dalam H. Riduan Syahrani, 2008, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung : Citra commit to user Aditya Bakti, hlm. 43. 340 Amin , dalam H. Riduan Syahrani, Ibid., hlm., 44.
perpustakaan.uns.ac.id
221 digilib.uns.ac.id
kepada warga masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen, di mana otoritasnya (pihak yang berkuasa) merupakan otoritas tertinggi341. Di samping John Austin, pengikut positivisme yang lain adalah Hart, mengemukakan berbagai arti dari positivisme adalah : a. Hukum adalah perintah b. Analisis terhadap konsep-konsep hukum berbeda dengan studi sosiologis, historis dan penilaian kritis c. Keputusan-keputusan dapat dideduksi secara logis dari peraturanperaturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu menunjuk pada tujuantujuan sosial, kebijaksanaan dan moralitas d. Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian. e. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan342. Sebelum lahirnya aliran positivisme, telah berkembang suatu pemikiran dalam ilmu hukum dikenal sebagai legisme. Pemikiran hukum ini berkembang semenjak abad pertengahan dan telah banyak berpengaruh diberbagai negara, tidak terkecuali Indonesia. Aliran ini mengidentikan hukum dengan undang-undang, tidak ada hukum di luar undang-undang. Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. Di Jerman pandangan ini banyak dianut dan dipertahankan oleh misalnya, Paul Laband, Jellinek, Rudolf von Jehring, Hans Kelsen. Di Inggris berkembang dalam bentuk yang agak lain dengan positivisme hukum dari John Austin dengan analitytical jurisprudence atau positivismenya. Agak berlainan oleh karena hukum yang berlaku di negara Inggris adalah common law tidak tertulis. Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical
341 342
Achmad Ali, 2009, Op., cit., hlm. 56. commit to user Satjipto Rahardjo, dalam H. Riduan Syahrani, Op., cit., hlm., 45.
perpustakaan.uns.ac.id
222 digilib.uns.ac.id
system), hukum secara tegas dipisahkan dari keadilan tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk343 Positivisme hukum mendapat penekanan fundamentalnya dari dua tokoh terkemuka pada bidang itu, yaitu John Austin dan Hans Kelsen. Menurut John Austin, pertama, hukum merupakan perintah penguasa (law is a command of the law giver), hukum dipandang sebagai perintah dari pihak pemegang kekuasaan tertinggi (kedaulatan), hukum merupakan perintah yang dibebankan untuk mengatur makhluk berpikir, perintah itu diberikan oleh makhluk yang berpikir yang memegang kekkuasaan. Kedua, hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup (closed logical system), pandangan ini jelas mendapat pengaruh ketat dari cara berpikir sains modern. Ilmu dianggap sebagai bidang penyelidikan mandiri yang obyeknya harus dipisahkan dari nilai. Obyek sains apapun itu, dianggap sekedar sebagai benda. Ketiga, hukum positif harus memenuhi beberapa unsur, yaitu adanya unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Di luar itu bukanlah hukum, melainkan moral positif (positive morality). Penegasan lain mengenai sistem logika tertutup, diberikan oleh Hans Kelsen. Menurut Kelsen, hukum haruslah dibersihkan dari anasir-anasir bukan hukum, seperti anasir etika, sosiologi, politik dan sebagainya. Hukum harus dibebaskan dari unsur moral sebagaimanadiajarkan oleh aliran hukum alam (unsur etika) , juga dari persepsi hukum kebiasaan (sosiologis), dan konsepsikonsepsi keadilan politis (unsur politis)344. Selanjutnya dikemukakan, menurut Kelsen, hukum termasuk dalam sollen-skatagori (hukum sebagai keharusan), bukan seinskatagori (hukum sebagai kenyataan). Orang mentaati hukum karena memang mereka harus mentaati hukum sebagai perintah negara. Pelalaian terhadap perintah akan mengakibatkan orang itu berurusan dengan akibat-akibat kelalaiannya (sanksi). Ajaran lain Kelsen adalah tentang stufentheorie-nya, sistem hukum hakikatnya merupakan sistem hierarkis yang tersusun dari peringkat terendah hingga peringkat tertinggi. Hukum yang lebih 343
Lili Rasjidi, 1996, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm., 59. commit to Sebagai user Suatu Sistem, Bandung : Mandar Lili Rasyidi, dan I.B. Wyasa Putra, 2003, Hukum Maju, hlm., 120. 344
perpustakaan.uns.ac.id
223 digilib.uns.ac.id
rendah harus berdasar, bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Sifat bertentangan dari hukum yang lebih rendah mengakibatkan batalnya daya laku hukum itu. Sebaliknya, hukum yang lebih tinggi merupakan dasar dan sumber dari hukum yang lebih rendah. Semakin tinggi kedudukan hukum dalam peringkatnya, semakin abstrak dan umum sifat norma yang dikandungnya, dan semakin rendah peringkatnya, semakin nyata dan operasional sifat norma yang dikandungnya. Berdasarkan teori hukum positif yang dikemukakan tersebut, kiranya tidak dapat disalahkan begitu saja apabila para hakim dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa yang diajukan kepadanya di muka sidang peradilan, menggunakan sebagai dasar atau pedoman untuk memutus sengketanya. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan adalah sebagai manusia yang mempunyai kemampuan dan dalam menjalankan tugasnya, kemudian untuk sampai mengambil putusan mempunyai alasan-alasan sendiri yang sulit diketahuinya. Demi alasan untuk aman dan kemudahan dalam tugasnya, ia lebih cenderung menerapkan pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan terhadap peristiwanya, ia lebih cenderung untuk berpikir logis, mekanis, linear dan sekedar membunyikan undang-undang, ia lebih menitik beratkan pada kepastian hukum dibandingkan dengan rasa keadilan yang diinginkan masyarakat. Pilihan-pilihan tersebut tidak dapat begitu saja menjadikan hakim dikerdilkan dari pergaulan dalam tugasnya, karena ia juga menjalankan tugasnya berpedoman pada undang-undang yang berlaku dan sistem, cara tersebut juga tidak dilarang, dalam arti jika hakim tidak mentaati akan dikenakan sanksi atau hukuman, misalnya diturunkan pangkatnya atau dicopot sebagai hakim. Dipihak lain tugas hakim sebagai penegak hukum dan keadilan dituntut untuk mempunyai pandangan dan wawasan yang luas yang mengedepan, hakim tidak hanya memeriksa, memutus dan menyelesaikan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku saja,
melainkan ia sebagai hakim atau aktor yang mempunyai kemampuan untuk to user dapat memilih dari beberapacommit alternatif pilihan yang tersedia yang dapat
perpustakaan.uns.ac.id
224 digilib.uns.ac.id
memberikan perlindungan dan kesejahteraan sesuai perkembangan dalam masyarakat. Hakim tidak hanya dituntut untuk berpikir secara sederhana mungkin yang membiarkan tujuan hukum tidak tercapai, tetapi ia berpikir tidak saja secara linear, subsumptif automat, menerapkan pasal-pasal ketentuan peraturan perundang-undangan, hakim dituntut untuk berpikir dengan menggunakan ema pati, perasaan, hati nurani, kreatif, aktif dan transformatif sesuai dengan tuntutan yang berkembang dalam masyarakat. Alangkah lebih baik apabila hakim tidak hanya memutus sengketa untuk tercapainya kepastian hukum, putusan hakim harus dapat mencerminkan nilainilai hukum dan rasa keadilan, walaupun tidak mudah untuk tercapainya putusan berdasarkan kepastian hukum dan keadilan. Suatu hal yang perlu diperhatikan hakim adalah bahwa putusannya dapat memberikan rasa aman, tenteram dan kebahagian, tercapainya kepastian hukum dan rasa keadilan, sehingga tugas yang dijalankan tidak membebani dalam hidupnya. Tugas hakim PTUN, yaitu untuk menguji keabsahan KTUN yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN, khususnya pengujian dari sudut penerapan hukumnya. Pengujian keabsahan KTUN tersebut, yaitu berdasarkan Pasal 53 ayat (2) huruf a, b, Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, bahwa KTUN yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Berkaitan dengan proses pemeriksaan sengketa tata usaha negara yang dilakukan oleh hakim peradilan tata usaha negara tersebut, peneliti telah mengadakan penelitian di PTUN Semarang dan PTUN Yogyakarta, dan PTUN Surabaya. Wawancara dilakukan di PTUN Semarang dan PTUN Yogaykarta, sedangkan untuk analisis putusan diambil dari ke tiga PTUN. Berkaitan dengan pertanyaan yang diajukan oleh peneliti, yaitu apakah di dalam melakukan pengujian terhadap keabsahan KTUN yang dikemukakan di muka sidang PTUN, hakim selalu memutus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang commit menggali to user nilai-nilai yang hidup dalam baik atau hakim memutus dengan
225 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
masyarakat. Pertanyaan ini diajukan sesuai dengan permasalahan yang pertama dalam disertasi. Dalam penyajian hasil penelitian, maka disajikan secara bersama-sama antara hasil penelitian yang diperoleh dari PTUN Yogyakarta maupun dari PTUN Semarang. Jawaban yang dikemukakan hakim PTUN Yogyakarta, bapak Agus (sekarang sedang studi S3 di Pasca Sarjana UGM) bahwa dalam pengujian KTUN yang dilakukan oleh hakim (Agus Budi Susilo, sekarang hakim PTUN Yogyakarta, dahulu di Semarang) tidak selalu didasarkan pada undang-undang sebagai pedoman yang kaku atau harus diikuti oleh hakim. Pandangan beliau terhadap tugas hakim yang selama ini hanya dipandang sebagai terompet undang-undang atau hakim hanya membunyikan undang-undang, beliau tolak dengan memberikan jawaban dan hal tersebut dibuktikan dengan putusannya pada waktu beliau tugas di PTUN Semarang,
bersama
dengan
Maftuh
Effendi,
(putusan
Nomor
04/G/2009/PTUN.SMG). Pandangan dan wawasan beliau sangat luas, bahwa tugas hakim tidak hanya memutus sengketa berdasarkan undang-undang yang ada, menurut beliau undang-undang hanya dipergunakan sebagai pedoman saja. Dalam arti, hakim dapat menyimpang dari undang-undang, jika ternyata undang-undang tidak sesuai dengan rasa keadilan dan kemanfaatan di dalam masyarakat345. Putusan PTUN Semarang, Nomor 04/G/2009/PTUN.SMG. 1. Subyek atau pihak-pihak yang bersengketa. Pihak-pihak yang bersengketa adalah yayasan wahana lingkungan hidup Indonesia (WALHI), yang diwakili oleh Berry Nahdian Forqan dkk. Masing-masing sebagai ketua, sekretaris dan anggota yayasan WALHI, memberi kuasa kepada Siti Rakhmah Mary Herwati dkk, sebagai penggugat melawan 1. Kepala kantor Pelayanan perijinan Terpadu Kabupaten Pati, diwakili oleh kuasa hukumnya bernama St. Hery Haryadi, sebagai tergugat I. 2. Ir. Suharto, (untuk atas nama PT. Semen Gresik Tbk. Memberi kuasa kepada Fredrik J. Pinakunary dkk, sebagai tergugat II. commit to userKamis, 13 Oktober 2011, jam 09.00Wawancara, dengan Agus, hakim PTUN Yogyakarta, 13.00 345
226 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Obyek Sengketa. Obyek sengketa adalah Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Nomor. 540/052/2008, tertanggal 5 November 2008, yang dikeluarkan oleh tergugat, tentang Perubahan atas Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Nomor 540/040/2008, tentang Ijin Pertambangan Daerah Eksplorasi Bahan Galian Golongan C Batu Kapur atas nama Ir. Muhammad Helmi Yusron, alamat : Komplek Pondok Jati AM-6 Sidoarjo Jawa Timur. Bertindak untuk dan atas nama PT. Semen Gresik (Persero) Tbk.di desa Gadudero, desa Kedumulyo, desa Tempegunung, desa Sukolilo, desa Sumbersoko, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati Jawa Tengah. 3. Permasalahan dalam kasus. Hal yang digugat oleh penggugat adalah Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Nomor 40/052/2008, tentang Perubahan atas Keputusan
Kepala
Kantor
Pelayanan
Perijinan
Terpadu
Nomor
540/040/2008 tentang Ijin Pertambangan Daerah Eksplorasi Bahan Galian Golongan C Batu Kapur atas nama Ir. Muhammad Helmi Yusron, alamat Komplek Pondok Jati AM-6 Sidoarjo Jawa Timur. Dalam kaitannya dengan kegiatan pertambangan daerah eksplorasi, terdapat ketentuan yang mengaturnya, yaitu Pasal 18 ayat (1) undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyebutkan, setiap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL, untuk memperoleh ijin melakukan usaha dan/atau kegiatan. Pasal 15 menyebutkan, setiap rencana usaha dan atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki AMDAL. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 Pasal 3 ayat (1), menyebutkan, usaha dan atau kegiatan yang keungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi, a. Perubahan bentuk lahan dan bentang alam, b. eksplorasi to user maupun yang tak terbaharui. sumber daya alam baik commit yang terbaharui
perpustakaan.uns.ac.id
227 digilib.uns.ac.id
Peraturan Menteri Negara LH Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi AMDAL, dalam lampiran G Bidang Perindustrian menyebukan bahwa industri semen termasuk salah satu jenis usaha dan atau kegiatan yang harus dilengkapi dengan dokumen AMDAL. 4. Pertimbangan hukum dan putusan PTUN Tindakan tergugat dalam menerbitkan obyek sengketa (KTUN), secara formal dan substansi dalam beberapa telah sesuai ketentuan dan sah, namun masih kurang dilengkapi dengan AMDAL (Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997. Tidak memperhatikan aspirasi masyarakat setempat, yaitu masyarakat adat atau samin atau sedulur sikep, dengan demikian bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu asas keterbukaan, asas kebijaksanaan, asas perlindungan atau pandangan hidup. Tergugat juga tidak mendengarkan pendapat masyarakat ketika obyek sengketa belum diterbitkan (ijin lingkungan). Masih adanya pro dan kontra dalam kaitannya dengan obyek sengketa, berarti terdapat indikasi kurang adanya keterbukaan dan komunikasi yang intensif antara masyarakat dengan tergugat. Hakim diamanatkan dalam undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, maka keputusan penerbitan ijin eksplorasi yang dikeluarkan tergugat mengandung cacat hukum dengan demikian tuntutan penggugat agar Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Pati Nomor 540/052/2008, tanggal 5 November 2008, tentang Perubahan atas Keputusan Kepala kantor Pelayanan Perijijnan Terpadu Nomor 540/040/2008 tentang Ijin Pertambangan Eksplorasi atas nama Ir. Muhammad Helmi Yusron, dibatalkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a dan b Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tenatng PTUN, sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, karena penerbitan keputusan pemberian commit to user ijin Kepala kantor Pelayanan Perijinan terpadu telah terbukti. Oleh karena
perpustakaan.uns.ac.id
228 digilib.uns.ac.id
itu tuntutan penggugat dikabulkan dan mewajibkan tergugat untuk mencabut keputusan tersebut. 5. Analisis putusan hakim. Pertimbangan hukum
yang digunakan sebagai dasar untuk
menjatuhkan putusan hakim pada kasus (obyek sengketa), yaitu Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Pati Nomor 540/052/2008 tentang Perubahan atas Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Nomor 540/040/2008 tentang Ijin Pertambangan Daerah Eksplorasi Bahan Galian Golongan C Batu Kaput atas nama Ir. Muhammad Helmi Yusron, alamat Komplek Pondok Jati AM-6 Sidoarjo Jawa Timur bertindak untuk atas nama PT. Semen Gresik (persero) Tbk. Di desa Gadudero, desa Kedumulyo, desa Tompegunung, desa Sukolilo, desa Sumbersoko, Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati Jawa Tengah. Pertama, Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu tersebut dinilai ada beberapa hal yang sesuai dengan atau keputusan tersebut dikeluarkan sesuai dengan prosedur/formal dan substansi dalam peraturan perundang-undang yang berlaku. Memang agar suatu keputusan atau beschikking yang dikeluarkan oleh Badan atau pejabat TUN tersebut tidak digugat harus dipenuhi tentang cara dan syarat-syarat beschikking tersebut dibuat. Dalam pengamatan peneliti, hal tersebut terutama kaitannya dengan keputusan yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu atau Badan atau Pejabat TUN, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku berdasarkan atau secara substansi atau jika dikaitkan dengan tindakan adminstrasi negara atau Badan atau Pejabat TUN, maka tindakan Kepala Kantor tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara substansi, karena pemberian ijin eksplorasi pertambangan sebagai perubahan ijin yang mendahuluinya atau yang telah dikeluarkan sebelumnya, usaha atau kegiatan tersebut tidak dilengkapi dengan AMDAL. Kewajiban untuk melengkapi AMDAL, bagi suatu usaha atau commit to user kegiatan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Pasal
229 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
15 ayat (1) menyebutkan setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL. Ketentuan yang mewajibkan adanya AMDAL bagi setiap rencana usaha dan/atau kegiatan diatur juga dalam Peraturan pemerintah Nomor 27 Tahun 1999, Peraturan menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006, Pertimbangan hukum lain yang digunakan sebagai dasar untuk memutus adalah keputusan yang dikeluarkan tidak atau kurang memperhatikan atau mendengar aspirasi masyarakat (ijin lingkungan). Majelis hakim menilai bahwa tindakan tergugat dalam menerbitkan keputusan dikatagorikan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, padahal dalam suatu negara hukum semua warga negara termasuk pemerintah dalam berperilaku (menjalankan tugasnya) harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Menurut majelis hakim, asas-asas umum pemerintahan yang baik yang tidak
diperhatikan
adalah
asas
keterbukaan,
asas
kebijaksanaan,
perlindungan hukum dan pandangan hidup, padahal asas tersebut tidak termuat dalam hukum positif yang berlaku dan dipegunakan oleh hakim sebagai dasar untuk memutus sengketa yang diajukan. Pertimbangan hukum dengan menggunakan asas yang tidak dimuat dalam hukum positif, menunjukkan bukti bahwa dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa, hakim tidak hanya mendasarkan pada undang-undang yang bentuknya tertulis. Mereka menilai bahwa peraturan perundang-undangan atau undang-undang dalam bentuknya yang tertulis, hanya dipergunakan sebagai pedoman atau dasar dan sebagai pedoman dapat tidak ditaati346. Mereka tidak terpengaruh oleh aliran hukum positif yang memandang atau mengidentikan hukum sama dengan undang-undang, hakim tidak 346
Wawancara, dengan Maftuh E. Dan Teguh Satya Bakti, hakim PTUN Semarang dan Agus Budi Saputro, dan Retno N, Roni Erry S. PTUN Yogyakarta, hari Senin, 10 Oktober 2011 dan commit to user Kamis, 24 Oktober 2011.
230 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dipebolehkan untuk melakukan interpretasi atau penafsiran hukum, karena hakim dalam aliran hukum positif cenderung berpikir linear, subsumptie automat, mekanis dan mengandalkan logika. Berdasarkan logika dalam pertimbangan hukum yang dipergunakan sebagai dasar untuk memutus, maka putusan hakim PTUN Semarang dalam sengketa tersebut lebih mencerminkan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, mereka sangat memperhatikan kearifan lokal, karena dengan beroperasinya pabrik semen dikawasan atau daerah Sukolilo akan merugikan kepentingan warga masyarakat terutama dalam kaitannya dengan sumber mata air yang dipergunakan sebagai irigasi bagi petani. Pertanian di daerah tersebut merupakan mata pencaharian pokok. Pertimbangan hukum dengan mendasarkan pada asas keterbukaan, asas kebijaksanaan,
asas
perlindungan
hukum
dan
pandangan
hidup,
merupakan kearifan lokal yang diperhatikan. Dalam kehidupan masyarakat di Jawa Tengah, terhadap segala permasalahan yang menyangkut kepentingan orang banyak perlu adanya pembicaraan yang bersifat terbuka, dimusyawarahkan lebih dahulu agar tidak menimbulkan permasalahan yang lebih besar. Hal tersebut sudah merupakan kebiasaan yang telah lama hidup dan eksistensinya dijaga, dipertahankan dan dilestarikan, namun tidak terakomodasi dalam hukum positif atau perundang-undangan, seperti Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 Pasal 53 ayat (2). Hakim memperhatikan, menggali, memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat adalah sebagai wujud amanat undang-undang kekuasaan kehakiman. Dengan demikian, pemikiran hakim yang dituangkan dalam pertimbangan hukum tersebut, maka hakim di samping berpikir dengan IQ, juga sudah menggunakan SQ atau mungkin sudah sampai pada penggunaan EQ, sebagaimana dikemukakan Danar Zohar dan John Marshall. Dalam hal ini teori aksi yang dikemukakan Tallcot Parsons, sebagai pengikut utama Weber, menjadi sangat penting untuk digunakan commitatau to user oleh hakim dalam menguji menganalisis permasalahan yang
231 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dikemukakan dalam sengketa tersebut. Hakim sebagai aktor mempunyai kemampun untuk memilih tujuan yang lebih baik sesuai dengan amanat yang diberikan undang-undang keuasaan kehakiman, yaitu menggali, memahami, mengikuti nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, nilai keadilan ditonjolkan oleh hakim dalam pertimbangan hukum sebagai dasar putusan yang diambilnya. Nilai keadilan tersebut diinterpretasikan dari keadaan suatu masyarakat desa yang lemah, dan mata air merupakan sumber penghidupan yang utama untuk dipergunakan sebagai irigasi dalam pertanian.
Putusan Nomor 16/G/2010/PTUN/Smg. 1. Subyek Sengketa. Pramono, wiraswasta, desa Wolo RT.08/RW. III, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Grobogan, Ika Fitri Mashabi, wiraswasta, desa Wolo, RT. 08/ RW.
III,
Kecamatan
Penawangan,
Kabupaten
Grobogan.
dkk.,
memberikan kuasa khusus kepada, 1. Khairul Anwar, 2. R. Agoeng Oetoyo, 3. Akhmad Zaenal Abidin, 4. Ani Triwati, kewargaan Indonesia, pekerjaan advokat, beralamat di kantor Anwar Agoeng & Associates, advocates & legal consultans, alamat, Jl. Jatingaleh 1 Nomor 242 A Semarang. untuk selanjutnya disebut penggugat, melawan Kepala Desa Wolo, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Grobogan, Jl. Pahlawan Nomor 11 Desa Wolo, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Gorbogan. Selanjutnya disebut tergugat. 2. Obyek Sengkteta. Keputusan Kepala Desa Wolo, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Grobogan, Nomor 141.3/05/xii/2009, tanggal 22 Desember 2009 tentang Penetapan Kepala Urusan Pembangunan dan Perekonomian Desa Wolo, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Gorbogan atas nama Zamroni Makhsun. Desa Wolo, RT. 02/RW. 03, Kecamatan penawangan, Kabupaten Grobogan. commit to user
232 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Duduk Perkara Penggugat adalah sebagai calon perangkat Desa lainnya Desa Wolo, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Grobogan yang dinyatakan telah memenuhi syarat adminstrasi untuk mengikuti ujian penyaringan perangkat desa lainnya untuk formasi Kepala Urusan pembangunan dan Perekonomian sesuai Keputusan Kepala Desa Wolo, Kecamatan penawangan, Kabupaten Grobogan, Nomor 141/04/XI/2009 tanggal 4 November 2009 tentang Penetapan Calon Perangkat Desa Lainnya Desa Wolo, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Grobogan. Peserta ujian ada sembilan orang. Dalam rangka pelaksanaan pengisian kekosongan perangkat tersebut, Kepala Desa dengan pesetujuan BPD telah mengajukan permohonan persetujuan kepada Bupati dan berdasarkan Keputusan Kepala Desa Nomor 141/02/IX/2009 tanggal 11 September 2009, panitia telah dibentuk. Dalam pelaksanaan penyaringan/ujian menurut pengggugat ada indikasi kecurangan (dilakukan oleh Zamroni Makhsun, mendapat nilai 80). Tergugat tidak memperhatikan laporan adan kecurangan, tetapi justru menerbitkan Keputusan Nomor 141.3/03/XI/2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang Penetapan Kepala Urusan Pembangunan dan Perekonomian
Desa
Grobogan, atas nama
Wolo,
Kecamatan
Penawangan,
Zamroni Makhsun
Kabupaten
dan selanjutnya
yang
bersangkutan dilantik. Berdasarkan adanya keputusan tersebut, penggugat mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara Semarang, karena atau dengan alasan kepentingan para penggugat merasa dirugikan atau hak-hak para penggugat telah dilanggar dengan terbitnya keputusan Kepala Desa Wolo. 4. Pertimbangan hukum sebagai dasar putusan hakim. Sebenarnya
dalam
sengketa
tersebut
ada
tiga
hal
yang
dipertimbangkan oleh majelis hakim, namun dua pertimbangan tidak dikatagorikan
sebagai
dasar untuk menjatuhkan putusan. Dua commit to user pertimbangan tersebut adalah, pertama bahwa dalam pembentukan panitia
perpustakaan.uns.ac.id
233 digilib.uns.ac.id
ujian dibentuk panitia pembantu, hal tersebut dipergunakan sebagai alasan pengajuan gugatan oleh penggugat, namun ditolak oleh majelis hakim. Kedua, adalah panitia tidak memotong lembar jawaban peserta ujian dan berdasarkan Surat Bupati Grobogan Nomor 141.3/3117/II/ tanggal 16 Juli 2009, pada huruf C angka 1, disebutkan bahwa lembar jawaban ujian dipotong pada Nomor dan nama peserta ujian serta diberi kode tertentu. Alasan tergugat tidak memotong karena tidak tahu dan baru tahu dalam persidangan ini. Hal tersebut dikuatkan oleh keterangan saksi Rasyidi sebagai ketua panitia dan saksi Caecilia Susilowati Sumardi sebagai Sekretaris desa, yaitu tidak pernah menerima surat Bupati tersebut. Berdasarkan keterangan saksi Munawar SIP, ada kelemahan dalam surat-menyurat di Kecamatan Penawangan, yaitu tidak ada petugas yang mengantar dan hanya diberikan atau dimasukkan dalam kotak yang ada di Kecamatan, sehingg dapat saja diambil petugas lain (mungkin di seluruh Jawa Tengah, demikian juga di Dik Nas). Gugatan penggugat yang kedua ditolak. Ketiga, apakah ada pelangaran hukum berupa kecurangan yang dilakukan oleh peserta ujian pengisian perangkat desa, khususnya oleh pemegang surat keputusan yang digugat atau tidak. Berdasarkan alat bukti P-7 dan bukti T-24 mengenai lembar jawaban saksi Zumroni Makhsun bahwa sebagai Kepala Urusan pembangunan dan Perekonomian terpilih, dibandingkan dengan bukti P-4 dan P-6, masing-masing berupa lembar jawaban saksi Sri Siti Ambarwati dan Mastur sebagai kepala Urusan Umum terpilih dan Kepala Urusan Pemerintahan terpilih, maka Majelis hakim memperoleh fakta hukum bahwa jawaban ketiga saksi tersebut sama persis satu sama lain mulai dari jawaban Nomor 1 sampai dengan jawaban Nomor 100. Sehubungan jawaban ketiga orang saksi tersebut sama persis, maka sudah pasti jawaban yang benar ataupun salah serta nilai ketiganya sama persis, yaitu 80 (delapan puluh). Di samping itu, dari ketiga lembar jawaban para saksi tersebut, majelis hakim juga memperoleh fakta hukum commit to DACBCABD user adanya jawaban yang berpola, yaitu yang diulang-ulang dari
perpustakaan.uns.ac.id
234 digilib.uns.ac.id
jawaban Nomor 1 sampai dengan jawaban Nomor 100. Pada saat pemeriksaan di persidangan, saksi Zamroni Makhsun memberi keterangan tidak mengenal Sri Ambarwati dan Mastur, dan membantah tidak mendapat bocoran jawaban soal ujian, tidak saling mencontek dan duduknya pada waktu ujian saling berjauhan. Berdasarkan fakta hukum mengenai jawaban ketiga orang saksi tersebut yang sama persis, sehingga jawaban yang benar atau salah serta nilai ketiganya juga sama persis yaitu 80, meskipun pada waktu pelaksanaan ujian posisi duduk ketiganya saling berjauhan serta adanya jawaban yang berpola DACBCABD yang diulang-ulang dari jawaban Nomor 1 sampai dengan Nomor 100 menjadi bukti surat juga merupakan bukti petunjuk bagi hakim. Hal tersebut menimbulkan kayakinan pada diri hakim bahwa saksi Sri Ambarawati, Mastur dan Zamroni Makhsun telah melakukan kecurangan di dalam pelaksanaan ujian pengisian perangkat Desa Wolo yang dilaksanakan pada tanggal 7 Desember 2009, sebab tidak mungkin ketiga jawaban saksi tersebut sama persis jika pengerjaannnya dilakukan secara jujur. Oleh karena keterangan ketiga saksi yang membantah atau menyangkal adanya rekayasa jawaban ujian pengisian perangkat Desa Wolo tidak berdasar fakta hukum yang sesungguhnya dan menurut majelis hakim harus dikesampingkan. Berkaitan adanya kecurangan dalam pelaksanaan ujian pengisian perangkat Desa Wolo, maka berdasarkan Pasal 22 ayat (1) dan (2) huruf c dan Peraturan Daerah Kabupaten Grobogan Nomor 9 Tahun 2006 (bukti P-12 = T-4) menyebutkan bahwa dalam hal terdapat kebocoran materi ujian atau terdapat kecurangan lainnya sebelum, pada saat atau setelah pelaksanaan ujian, Kepala Desa membatalkan pelaksanaan dan/atau hasil ujian penyaringan. Menurut majelis hakim tergugat mengetahui adanya kebocoran dan seharusnya membatalkan ujian penyaringan tersebut, ternyata tidak dilakukan, maka majelis hakim berpendapat tindakan tergugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya Pasal 22 ayat commit (1) dan to (2)user huruf c Peraturan Bupati Grobogan
235 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Nomor 10 Tahun 2009 dan Nomor 9 Tahun 2006 dan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, khususnya asas kepastian hukum, asas profesionalisme, karena tergugat bertindak tidak profesional dengan membiarkan adanya indikasi kecurangan yang dilakukan oleh peserta ujian pengisian perangkat Desa Wolo. Berdasarkan rangkaian pertimbangan tersebut, yaitu tindakan tergugat di dalam menerbitkan keputusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, maka majelis hakim mengabulkan gugatan penggugat dan menyatakan batal surat keputusan yang menjadi obyek sengketa. 5. Analisis pertimbangan hukum Pertimbangan hukum yang digunakan sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan oleh majelis hakim dalam sengketa tersebut adalah karena adanya kecurangan yang dilakukan oleh peserta pada saat ujian penyaringan dilaksanakan, tergugat tidak membatalkan ujian tersebut, tetapi justru menerbitkan Surat Keputusan penetapan atau pengangkatan Zamroni
Makhsun
sebagai
Kepala
Urusan
Pembangunan
dan
Perekonomian. Berdasarkan fakta tersebut, majelis hakim menilai bahwa tindakan tergugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang belaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, khususnya asas kepastian hukum dan asas profesionalitas, majelis menyatakan obyek sengketa batal. Menurut analisa peneliti mengenai kecurangan yang dilakukan peserta ujian pada saat dilaksanakan ujian penyaringan tidak seluruhnya argumentasi majelis hakim dapat diterima. Pertama, karena pada saat pelaksanaan ujian penyaringan duduknya antara ketiga peserta ujian yang dijadikan saksi sangat berjauhan. Hal yang demikian sulit untuk mencurigai adanya kerjasama di antara ketiga peserta ujian tersebut dan lagi pula pada saat ujian berlangsung ada pengawasnya. Majelis hakim seharusnya juga mendatangkan pengawas untuk dimintai keterangan commit to userdan juga tidak disebutkan dalam sehubungan dengan pelaksanaan ujian
236 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berita acara adanya kecurangan yang dilakukan peserta ujian, jika ada kecurangan sudah semestinya ditulis dalam berita acara dan hal tersebut harsus diperhatikan dan ditindaklanjuti atau ada penanganan yang serius, karena berdasarkan surat Bupati apabila dalam pelaksanaan ujian ada kecurangan, hasil ujian harus dibatalkan. Dalam surat tersebut juga ditegaskan, apabila terjadi kecurangan baik sebelum, pada saat dan sesudah pelaksanaan ujian, harus diadakan ujian ulangan dan peserta yang terbukti melakukan kecurangan tidak diperbolehkan mengikuti ujian ulangan. Kedua, nilai yang sama adalah dimungkinkan, demikian juga pekerjaan yang sama, karena alternatif jawaban yang tersedia sifatnya pasti, jadi peserta tidak mungkin memberikan jawaban yang lain jika sudah pasti jawabannya dianggap pasti dan benar. Lagi pula apabila kecurangan itu dicurigai terjadi sebelum ujian dilaksanakan dengan memberikan kunci jawaban oleh panitia, maka sulit untuk diterima karena daya ingat manusia sangat terbatas, sehingga untuk menghapalkan kunci jawaban dari Nomor 1 sampai dengan 100 adalah suatu hal yang tidak mudah.
Putusan Nomor 81/G/2009/PTUN. Smr. 1. Subyek Sengketa Agus Riyanto, kewargaan Indonesia, bertempat tinggal di desa Klaling Rt. 06. Rw. V. Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, Pekerjaan Perangkat Desa, Jabatan Kepala Dusun III, Desa Klaling, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus. Memberi kuasa khusus kepada Seno Wibowo, disebut penggugat, melawan Kepala Desa Klaling, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus Memberi kuasa khusus kepada Suprayitno Widodo, dkk. Beralamat Canggrang Rt. 04/ Rw. 03, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, disebut tergugat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
237 digilib.uns.ac.id
2. Obyek Sengketa. Surat Keputusan Nomor 141/9/2009, tanggal 4 November 2009 tentang tidak dengan hormat Sdr. Agus Riyanto (jabatan Kepala Dusun III) sebagai perangkat desa Klaling, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus. 3. Duduk Perkara. Setelah dinyatakan lulus seleksi ujian perangkat desa, Agus Riyanto berdasarkan Surat Keputusan Kepala Desa Klaling Nomor 141/05/X/2003, tanggal 25 Oktober 2003 diangkat sebagai Perangkat Desa Klaling, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus. Kepada desanya Haryadi. Berdasarkan Surat Keputusan Nomor 141/9/2009, tanggal 4 November 2009, Sdr. Agus Riyanto diberhentikan dari Jabatan Kepada Dusun III, dengan Kepala Desa, yaitu Sutrimo. Alasan pemberhentian, yaitu melanggar Pasal 38 ayat (2) huruf b Perda. Kabupaten Kudus Nomor 20 Tahun 2006 jo. Pasal 58 ayat (2) huruf b Peraturan Bupati Kudus Nomor 1 Tahun 2008. 3. Dasar Pertimbangan Hukum Putusan PTUN. Berdasarkan alat bukti yang diajukan, majelis hakim berpendapat bahwa penggugat masih mempunyai itikad baik untuk bekerja dan melaksanakan tugas sesuai dengan fungsinya sebagai perangkat Desa sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) Perda Kabupaten kudus Nomor 13 Tahun 2006. Penerapan Pasal 38 ayat (2) huruf b Perda Kabupaten Kudus Nomor 20 Tahun 2006 jo. Pasal 58 ayat (2) huruf b, Peraturan Bupati Kudus Nomor 1 Tahun 2008, oleh tergugat sebagai dasar pemberhentian penggugat adalah kurang tepat dan tidak memadai. Alasan ketidakaktifan penggugat, seharusnya tergugat memanggil sejak awak memangku jabatan, dengan memberi peringatan atau teguran. Obyek sengketa menurut majelis hakim bertentangan dengan ketentuan Pasal 38 ayat (2) huruf b Perda Kabupaten Kudus jo. Pasal 58 ayat (2) huruf b Peraturan Bupati Kudus Nomor 1 Tahun 2008, maka obyek sengketa harus dibatalkan. Penggugat tidak terbukti selama dua tahun enam bulan tidak masuk untuk melaksanakan commityang to user pekerjaannya. Obyek sengketa dikeluarkan tergugat bertentangan
perpustakaan.uns.ac.id
238 digilib.uns.ac.id
dengan asas keterbukaan dan asas proporsionalitas, sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b, yang menunjuk pada Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999. Sehubungan dengan obyek sengketa dibatalkan, tergugat wajib mencabut Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi sengketa dan merehabilitasi penggugat dalam jabatan semula. 4. Analisis Putusan Hakim. Putusan hakim dalam sengketa tersebut masih didasarkan kepada ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yaitu ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf b tentang asas-asas umum pemerintahan yang baik, khususnya asas keterbukaan dan asas proporsionalitas. Asas keterbukaan yang dipergunakan sebagai dasar pertimbangan hukum berkaitan dengan tidak adanya keterbukaan penggugat untuk memperoleh informasi dan perlakuan yang diskriminatif dalam pelaksanaan tugas, ada perbedaan disebabkan pada waktu pemilihan Kepala Desa dan berlanjut pada hubungan tugas. Asas proporsionalitas, karena dalam hubungan tugas tersebut sudah tidak terjadi keharmonisan yang berbuntut pada pekerjaaan. Dalam penilaian majelis hakim, bahwa obyek sengketa bertentangan dengan peraturan dasar dikeluarkannya keputusan tata usaha negara oleh tergugat, karena dalam kenyataannya dan didukung dengan pembuktian yang sah, penggugat adalah aktif menjalankan tugasnya.
Putusan Nomor 03/G.TUN/2000/PTUN/YK. 1. Subyek Sengketa Sumardiyono, yang memberikan kuasa khusus tertanggal 15 Februari 2000, kepada Joko Pitono dan Purwoko, disebut penggugat melawan Bupati Kepala Daerah Tk. II. Bantul, yang memberi kuasa khusus kepada Siti Asfijah (Kepala Bagian Hukum Sekda Bantul), A. Diah Satiawati (Kepala Sub. Bagian Perundang-undangan pada Bagian Hukum Sekda Bantul), Umaryati Purwaningsih (Kepala Sub. Bagian Bantuan Hukum pada Bagian Hukum Sekda Bantul), disebut sebagai tergugat. commit to user
239 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Obyek Sengketa. Surat keputusan tergugat Nomor 17/Kep/Swn/1999, tanggal 20 Desember 1999 tentang Pemberhentian sdr, Sumardiyono dari Jabatan Kepala Urusan Pemerintahan Desa Bangunharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Daerah Tingkat II Bantul. 3. Duduk Perkara Penggugat
semula
adalah
kepala
bagian
keamanan
desa
Bangunharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Dati. II Bantul, diangkat menjadi Kepala Urusan Pemerintahan desa Bangunharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Dati. II Bantul, sebagaimana tercantum dalam kutipan dari daftar Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tk. II Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Nomor 201/A/Kep/Bt/1987, tanggal 21 Agustus 1987. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kepada Dati Tk. II Bantul, Nomor 17/KEP/Swn/1999, tanggal 20 Desember 1999, diberhentikan sebagai KAUR Pemerintahan desa Bangunharjo, karena perbuatan penggugat telah dinyatakan bersalah melanggar Pasal 303 KUHP tentang perjudian dengan pidana penjara tiga bulan 15 hari. Surat tersebut diterbitkan, karena penggugat telah melanggar Pasal 7 ayat (3) Keputusan Bupati Kepada Dati. II Bantul Nomor 585/A/Kep/Bt./1996 tanggal 15 Oktober 1996, yang menyatakan bahwa Sekretaris desa, Kepala Urusan dan Kepala Dusun yang diberhentikan sementara sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dapat diberhentikan apabila yang bersangkutan telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara atas putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 48/Pid/98/PTY. Tanggal 19 Desember 1998, menyatakan sdr Sumardiyono secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, tanpa hak dengan sengaja memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk melakukan permainan judi. Memidana terdakwa dengan pidana penjara selama tiga bulan 15 hari. Berdasarkan surat keputusan tergugat Nomor 17/Kep/Swn/1999 tersebut commitketoPTUN user Yogyakarta, karena kepentingan penggugat mengajukan gugatan
240 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tergugat merasa dirugikan dengan diterbitkannya keputusan tersebut. Pengajuan gugatan penggugat tersebut sesuai dengan ketentuan psal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, namun seharusnya penggugat menggunakan upaya administrasi yang berupa keberatan lebih dahulu. 4. Dasar Pertimbangan hukum putusan PTUN. Pertimbangan hukum majelis hakim untuk sampai pada putusan, yaitu
tindakan
tergugat
menerbitkan
Surat
Keputusan
tentang
pemberhentian sdr. Sumardiyono tanpa mempertimbangkan kepentingankepentingan yang tersangkut (menurut nalar) dan fakta-fakta yang relevan yang mana fakta-fakta tersebut mempunyai kedudukan atau arti penting yang harus dipertimbangkan dalam atau sebelum keputusan yang dikeluarkan. Perbuatan tergugat tersebut dapat dikatagorikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu asas kecermatan formal. Fakta-fakta tersebut apabila dipertimbangkan oleh tergugat pada waktu akan mengambil keputusan , maka hakim mempunyai pandangan bahwa tergugat tidak akan sampai mengeluarkan keputusan yang isinya memberhentikan penggugat. Pertimbangan hukum lain yang dipegunakan sebagai dasar untuk mengambil putusan adalah tergugat di dalam menerbitkan surat keputusan di samping melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu asas kecermatan formal, tergugat juga telah secara sewenang-wenang menerapkan sanksi yang tidak diperhitungkan keseimbangannya antara bobot pelanggaran yang telah dilakukan dengan hukuman yang dijatuhkan kepada penggugat, dengan demikian tergugat telah melanggar asas keseimbangan. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, majelis hakim memutuskan keputusan tergugat tersebut dibatalkan. 5. Analisis putusan hakim. Pertimbangan hukum yang digunakan sebagai dasar untuk mengambil putusan hakim adalah tindakan tergugat melanggar asas-asas commit user asas kecermatan formal. Asas umum pemerintahan yang baik,toyaitu
241 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kecermatan formal yang dimaksud oleh majelis hakim seperti ancaman hukuman atas diri penggugat tidak maksimal lima tahun, hanya tiga bulan 15 hari adalah waktu yang relatif pendek, sehingga yang bersangkutan masih dapat melaksanakan tugasnya setelah keluar dari hukuman. Perjudian yang dilakukan penggugat baru sekali dan itupun sebagai iseng ( jagak lek), bukan merupakan perbuatan sebagai mata pencaharian yang dilakukan setiap hari. Perbuatan yang dilakukan sebenarnya ada tujuan lain yang hendak dicapai, yaitu sebagai mata-mata untuk mencari informasi sehubungan di daerah tersebut ada kasus pembunuhan, sehingga tidak adil jika penggugat diberhentikan dari jabatannya sebagai Kaur desa Bangunharjo, Kecamatan Sewon. Pertimbangan hukum lain sebagai dasar putusan bahwa tergugat melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu asas keseimbangan. Hal ini dapat diketahui dari sanksi yang dijatuhkan tergugat berupa pemberhentian penggugat sebagai Kepala Urusan desa Bangunharjo, bobot yang pelanggaran yang dilakukan penggugat tidak seimbang dengan sanksi yang dijatuhkan tergugat. Perbuatan tergugat yang menerbitkan keputusan tentang pemberhentian penggugat sebagai Kepala Urusan desa Bangunharjo, di dasarkan pada Keputusan
Bupati
Kepala
Daerah
Tingkat
II
Bantul
Nomor
587/A/Kep/Bt/1996, adalah termasuk surat keputusan yang bebas, sehingga tergugat dalam hal ini mempunyai keleluasan untuk menerbitkan atau
tidak
menerbitkan
surat
keputusan
tersebut
(keputusan
pemberhentian). Perbuatan tergugat adalah perbuatan sewenang-wenang, sebagai perbuatan kebijaksanaan atau yang didasarkan freies ermessen, seharusnya memberikan manfaat kepada pengugat bukan yang terjadi sebaliknya. Berkaitan dengan pertimbangan hukum tersebut, sebenarnya asas kecermatan formal dan asas keseimbangan tidak diatur dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a dan b undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 commit toUndang-undang user tentang PTUN. Dalam penjelasan Nomor 9 Tahun 2004,
242 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik menujuk pada Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, kepastian hukum, tertib penyelenggara negara, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas dan akuntabilitas. Dengan demikian pertimbangan hukum yang dipergunakan sebagai dasar pengambilan putusan hakim tersebut, digali, dipahami oleh hakim dalam kehidupan masyarakat yang dalam kesehariannya dipelihara, dipertahankan dan dilestarikan
dalam
menghadapi
permasalahan.
Asas
kesimbangan
dimaksudkan untuk mendapatkan keadilan atau paling tidak dapat memberikan kepuasan para pihak yang bersengketa dan hal ini yang diharapkan dalam penyelesaian sengketa. Asas kecermatan dimaksudkan agar para pihak tidak gegabah, tidak ceroboh, tetapi diharapkan untuk sangat hati-hati, berkepala dingin sebelum mengambil atau keputusan, kemudian setelah terdapat kesepakatan berdasarkan musyawarah para pihak, keputusan dapat diambil atau dijatuhkan. Keputusan tergugat dalam menerbitkan Surat Keputusan tentang pemberhentian penggugat sebagai Kepala Urusan desa Bangunharjo, adalah secara prosedural atau formal telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Surat keputusan yang diterbitkan tergugat yang berisi pemberhentian penggugat sebagai Kepala Urusan Pemerintahan mengacu atau berdasarkan kepada peraturan dasar yang mengaturnya, yaitu : Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1981 tentang Pesyaratan, Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris Desa, Kepala Urusan dan Kepala Dusun. Perda Kabupaten Dati II Bantul Nomor 7 Tahun 1984 tentang Persyaratan, Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris Desa, Kepala Urusan dan Kepala Dusun. Keputusan Bupati Kepala Daerah Tk II Bantul Nomor 587/A/Kep/Bt/1996, tanggal 15 Oktober 1996 tentang Tata Cara Pengangkatan, Pemberhentian Sementara, dan Pemberhentian Sekretaris commitDusun. to user Desa, Kepala Urusan dan Kepala
perpustakaan.uns.ac.id
243 digilib.uns.ac.id
Majelis hakim dalam pemeriksaan sengketa tersebut, kurang memperhatikan adanya upaya banding yang harus ditempuh oleh penggugat terlebih dahulu, karena tidak semua sengketa tata usaha negara dapat langsung diselesaikan di pengadilan tata usaha negara. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 48 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN dan diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, menyebutkan pengadilan tata usaha negara baru berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara, jika seluruh prosedur dan kesempatan tersebut (upaya administratif) telah ditempuh, dan pihak yang bersangkutan masih tetap belum merasa puas, barulan persoalannya dapat digugat dan diajukan ke pengadilan. Berdasarkan ketentuan tersebut, sengketa tata usaha negara antara Sumardiyono dengan Bupati Kepala Daerah Tk II Bantul seharusnya ditempuh melalui upaya administratif lebih dahulu. Dalam pertimbangan hukum yang digunakan sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan hakim, tidak mengemukakan alasan bahwa tindakan tergugat yang menerbitkan Surat Keputusan tentang pemberhentian penggugat sebagai Kepala Urusan desa Bangunharjo bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik secara prosedural atau formal, secara substansi atau materiil dan kewenangan. Majelis hakim mendasarkan pada alasan bahwa tindakan tergugat melanggar atau bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu asas kecermatan formal dan asas keseimbangan, berarti majelis hakim sangat memperhatikan, menggali,memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyasrakat. Hakim dalam menyelesaikan sengketa tersebut, mempunyai pandangan yang luas dan sangat memperhatikan rasa keadilan, berarti hakim dalam menjatuhkan putusan tidak hanya berpikir secara formal saja, tidak hanya menggunakan logika silogisme, mengikuti cara-cara yang lama sebagaimana diajarkan oleh aliran hukum positif dan commit to user aliran legisme, hakim sudah berpikir dengan menggunakan hati nurani,
perpustakaan.uns.ac.id
244 digilib.uns.ac.id
empaty dan putusan hakim sudah meninggalkan cara-cara tradisional. Putusan hakim yang mendasarkan pada penggunaan berpikir hati nurani, empaty dan berpikir aktif dan kreatif adalah cara berpikir yang dikemukakan Zohar dan Marshall, sehingga putusan hakim akan membumi dan dapat diterima masyarakat. Putusan hakim PTUN Yogyakarta dan PTUN Semarang tersebut nampaknya sudah mengikuti Zohar dan Marshall, juga teori aksi yang dikemukakan oleh Tallcot Parsons, hakim dalam menghadapi rangsangan atau stimulus tidak langsung ditanggapi dalam bentuk tindakan, tetapi hakim sebagai aktor mempunyai kemampuan untuk memilih cara dan alat untuk mencapai tujuan dari berbagai alternatif yang tersedia. Putusan Nomor 10/G.TUN/2004/PTUN. Yk. 1. Subyek sengketa. Musein Madhal, dosen Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sebagai penggugat, melawan Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang memberi kuasa khusus kepada Sudijono, Kepala Biro Administrasi Keuangan dan Umum IAIN Sunan Kalijaga Yogayakarta, Muchtar Jamil, Kabag Kepegawaian Biro Administrasi Keuangan dan umum IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Oom Komarudin Maskar, Kabag Perencanaan dan Sistem Informasi IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, selanjutnya disebut tergugat. 2. Obyek sengketa. Surat Keputusan Rektor IAIN Sunan Kalijaga, tanggal 22 April 2004, Nomor 115/Ba.O/A/2004 tentang Pengangkatan Dekan Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kaljaga periode 2004-2008. 3. Duduk perkara Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta melaksanakan pemilihan calon Dekan Fakultas Dakwah periode 2004-2008 dengan tahapan sebagai berikut, a. Tanggal 16 Desember 2003, rapat senat Fakultas Dakwah membentuk commit user Tim Penyusun Tata Tertib danto membentuk Panitia Pemilihan Dekan
245 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Tanggal 14 Januari 2004, rapat senat Fakultas Dakwah mengesahkan Tata Tertib Pemilihan Dekan c. Tanggal 31 Januari 2004, Panitia melaksanakan penjaringan terhadap bakal Calon Dekan termasuk penggugat, yang diikuti oleh unsur dosen dan mahasiswa semester V ke atas d. Tanggal 5 Februari 2004, rapat senat menetapkan Calon Dekan yang berhak untuk dipilih e. Tanggal 14 Februari 2004, penyampaian visi, misi dan program Calon Dekan Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga Pada tanggal 19 Februari 2004, panitia melaksanakan pemilihan calon Dekan diikuti dosen dan perwakilan mahasiswa dengan hasil : No 1 2 3 4 5
Nama Afif Rifai Kholiti Akhmad Rifai M.Musein Madhal Nasrudin Harahap
Jumlah Suara 28 suara mengundurkan diri 0 27 suara 1 suara
Berkaitan dengan diterbitkannya surat keputusan Rektor IAIN Nomor 115/Ba.O/A/2004, tentang Pengangkatan Afif Rifai sebagai Dekan Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga periode 2004-2008 tersebut, maka penggugat mengajukan gugatan ke PTUN Yogyakarta. Adapun alasan pengajuan gugata tersebut adalah bahwa Panitia Pemilihan Calon Dekan telah melakukan pelanggaran terhadap statuta khususnya Pasal 127 ayat (2) huruf e, Juncto Pasal 167 ayat (1), yaitu dalam menetapkan hak suaru perwakilan mahasiswa sebanyak lima orang, padahal seharusnya dua orang. Pasal 127 ayat (2) huruf e, menyebutkan panitia melaksanakan pemilihan langsung yang diikuti oleh semua dosen tetap dan wakil mahasiswa (masing-masing) satu orang dari badan eksekutif dan legislatif kemahasiswaan atas bakal calon dekan yang ditetapkan senat fakultas. Pasal 167 ayat (1) menyebutkan, perubahan tersebut hanya dapat dilakukan oleh senat institut dan baru berlaku setelah ditetapkan oleh commit to user Menteri Agama, padahal perubahan tersebut belum dimintakan
perpustakaan.uns.ac.id
246 digilib.uns.ac.id
persetujuan Menteri Agama. Penetapan lima orang mahasiswa yang seharusnya dua orang bertentangan dengan Keputusan Rektor IAIN Sunan Kalijaga Nomor 151/1999 tentang Anggaran Dasar Keluarga Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga, Pasal 13 huruf f dan h, yaitu BEMJ adalah lembaga eksekutif di tingkat jurusan dan Presma Fakultas adalah Lembaga Eksekutif Kemahasiswaan di tingkat fakultas. Jadi penafsiran Badan Eksekutif pada Pasal 127 ayat (2) huruf e adalah Lembaga Presma Fakultas, bukan Lembaga BEMJ. Pemilihan Calon Dekan adalah di tingkat fakultas, bukan di tingkat jurusan, maka yang berhak memilih adalah Lembaga Eksekuitf dari Presma Fakultas, bukan dari Lembaga Eksekutif BEMJ. Pemilihan juga bertentangan dengan SK Dekan Fakultas Dakwah IAIN Nomor 5/KPTS/DD/2004, Pasal 7 ayat (1), pencoblosan di rumah sakit, padahal menurut kesepakan rapat senat hak pilih harus hadir, jika tidak hadir suaranya dinyatakan gugur. 4. Pertimbangan hukum putusan PTUN Berdasarkan statuta IAIN Sunan Kalijaga Pasal 127 ayat (2) e, bahwa hak perwakilan mahasiswa adalah satu dari badan eksekutif dan satu dari legislatif kemahasiswaan, dan aturan itu bersifat imperatif, artinya perubahan hak suara perwakilan mahasiswa dari dua menjadi lima adalah merupakan wewenang senat institut dan baru berlaku setelah mendapat persetujuan dari Menteri Agama. Majelis berpendapat senat fakultas tidak berwenang merubah apa yang telah diatur secara tegas dalam statuta, keputusan senat fakultas yang telah menetapkan perwakilan mahsiswa menjadi lima orang adalah keputusan yang telah melampaui wewenang yang ada padanya dan keputusan tersebut adalah tidak ada. Keputusan yang diterbitkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat prosedural/formal, karena diterbitkan berdasarkan alas hukum yang tidak sah, maka keputusan Rektor dinyatakan batal. 5. Analisis kasus. Pertimbangan hukum yang dipergunakan sebagai dasar untuk menjatuhkan commit user tidak berwenang merubah apa putusan hakim adalah bahwa senattofakultas
247 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang telah tegas diatur dalam statuta, berarti majelis hakim dalam mengambil putusan mengikuti cara-cara lama atau yang masih tradisional, tidak memberikan penafsiran terhadap undang-undang, pemikiran hakim masih mengikuti ajaran hukum positif, bersifat linear, logis analitis, karena penafsiran
senat
Fakultas
dinilai
bertentangan
dengan
peraturan
perundang-undangan yang bersifat prosedural/formal. Pertimbangan hukum yang dikemukakan majelis hakim tersebut juga diperbolehkan, namun sebenarnya terdapat kekurang telitian atau ketidakjelian hakim dalam memeriksa sengketa tata usaha negara tersebut. Penafsiran yang dilakukan senat fakultas adalah bahwa statuta telah memberi wewenang kepada senat fakultas untuk menjabarkan kebijakan dan peraturan IAIN untuk fakultas yang bersangkutan, yaitu berdasarkan Pasal 68 statuta dan dalam konteks ini fakultas Dakwah. Penafsiran senat fakultas terhadap statuta, yaitu menetapkan perwakilan mahasiswa dua menjadi lima berdasarkan Keputusan Rektor Nomor 84 Tahun 2000, yang merupakan pembetulan SK Rektor Nomor 151 Tahun 1999 tentang Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga keluarga Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Keluarga Mahasiswa, yang antara lain menyatakan Presma adalah Presidium Eksekutif Mahasiswa Fakultas dan BEMJ adalah Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan. Berdasarkan hal tersebut, senat fakultas menafsirkan bahwa ketentuan Pasal 127 ayat (2) e statuta yang menyebut satu orang dari Badan Eksekutif Mahasiswa adalah dari BEMJ dan karena jurusan di fakultas Dakwah ada empat jurusan, maka Badan Eksekutif Mahasiswa diwakili empat orang. Tergugat mendalilkan bahwa ketentuan yang memberi hak suara menjadi lima orang kepada mahasiswa adalah berdasarkan keputusan Senat Fakultas Dakwah Nomor 05/KPTS/DD/2004 tanggal 14 Januari 2004 yang juga ditandatangani penggugat selaku sekretaris senat. Penfsiran perwakilan suara mahasiswa dari dua orang menjadi lima orang commit to userfakultas lain di lingkungan IAIN mahasiswa juga dibandingkan dengan
248 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sunan Kalijaga, yaitu Fakultas Adab dan fakultas Ushuluddin dan hal tersebut tidak ada permasalahan. Dengan demikian penilaian majelis hakim yang dituangkan dalam pertimbangan hukum tentang penafsiran senat fakultas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu secara prosedural atau formal, pelu ditinjau kembali atau mendapat kajian yang lebih seksama. Menurut pengamatan penelti bahwa keputusan senat yang memberikan hak suara kepada perwakilan mahasiswa yang lebih banyak dalam pemilihan dekan, merupakan pengembangan demokrasi dalam pemilihan dekan, karena dengan semakin banyak suara yang memilih berarti dekan terpilih diharapkan mempunyai kualitas dan kemampuan untuk memajukan fakultas tersebut. Pertimbangan hukum yang lain adalah bahwa senat fakultas telah melampaui batas wewenang yang diberikan padanya, sehingga hakim menjatuhkan putusan mengabulkan gugatan penggugat. Majelis juga tidak dapat disalahkan begitu saja, karena pandangan mereka yang masih mengikuti cara yang diberikan oleh ajaran hukum positif. Menurut hemat peneliti, senat fakultas sebagai pihak eksekutif juga diberikan ruang lingkup untuk bergerak, seperti freies ermessen, sehingga senat fakultas dapat mengambil kebijakan yang dipandang perlu dan penting dengan tujuan yang lebih baik dan lebih bermanfaat. Penafsiran terhadap statuta yang sudah tegas mengatur tentang pemilihan calon dekan juga dilakukan oleh fakultas lain dalam lingkungan IAIN Sunan Kalijaga, yaitu fakultas Adab dan fakultas ushuluddin dan ternyata tidak menimbulkan
permasalahan
belum
atau
tidak
diangkat
dalam
pertimbangan hukum sebagai dasar putusan. Hal tersebut sangat menarik, karena dalam satu lingkungan dapat berlaku yang berbeda terhadap permasalahan yang sama, yaitu pemilihan calon dekan. Hal yang perlu mendapat perhatian dalam sengketa tata usaha negara tersebut adalah upaya administratif yang seharusnya ditempuh oleh penggugat lebih to user baru setelah seluruh upaya dahulu kepada instansi commit yang ditunjuk,
249 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
adminstratif ditempuh dan penggugat tidak puas, maka sengketa dapat diajukan ke pengadilan tata usaha negara. Putusan PTUN Nomor 10 /G.TUN/2004/PTUN/Yk. dimenangkan penggugat tersebut, karena tergugat tidak puas terhadap putusan PTUN tersebut, tergugat mengajukan banding ke PTTUN Surabaya, kedudukan tergugat dalam hal ini sebagai pembanding dan penggugat sebagai terbanding. Tergugat/pembanding mengajukan memori banding tertanggal 17 Desember 2004 dan diterima oleh Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta tanggal 8 Januari 2005 dan telah diberitahukan kepada pihak penggugat/terbanding sesuai dengan surat pemberitahuan dan penyerahan memori banding tertanggal 10 Januari 2005 Nomor 10/G.TUN/2004/PTUN/Yk. Pihak penggugat/terbanding telah mengajukan kontra memori banding tertanggal 10 Januari 2005 dan diterima oleh Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta tertanggal 12 Januari 2005 dan telah diberitahukan kepada tergugat/pembanding sesuai dengan surat pemberitahuan dan penyerahan kontra memori banding tertanggal 12 Januari 2005 Nomor 10/G.TUN/2004/PTUN/Yk. Duduk perkara dan pertimbangan hukumnya, tergugat/pembanding mengajukan memori banding yang pada pokoknya menyatakan keberatan atas putusan PTUN Yogyakarta dan mohon agar PTTUN Surabaya menjatuhkan putusan membatalkan putusan PTUN Yogyakarta tanggal 3 November
2004
Nomor
10/G.TUN/2004/PTUN/Yk.
Terhadap
permohonan banding tersebut, maka PTTUN Surabaya, sebelum mengambil putusan mengambil langkah-langkah sebagai berikut, Menimbang bahwa setelah Majelis Tingkat Banding memeriksa dan meneliti secara seksama terhadap sengketa ini dan berkas perkaranya yang terdiri dari salinan resmi putusan PTUN Yogyakarta Nomor 10/G.TUN.2004/PTUN/Yk tanggal 3 November 2004 yang dimohonkan banding, berita acara persidangan dan alat bukti dari kedua belah pihak serta memori banding dan kontra memori banding mempertimbangkan to user sebagai berikut, bahwa commit penggugat/terbanding dalam gugatannya pada
250 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pokonya mendalilkan bahwa Panitia Pemilihan Calon Dekan Fakultas Dakwah periode 2004-2008 telah melakukan pelanggaran terhadap statuta khususnya Pasal 127 ayat (2) huruf e jo. Pasal 167 ayat (1), karena dalam hal menetapkan hak suara perwakilan mahasiswa sebanyak lima orang yang seharusnya dua orang, demikian juga terhadap perubahan tersebut hanya dapat dilakukan oleh senat institut dan baru berlaku setelah ditetapkan oleh Menteri Agama. Penggugat/terbanding mendalilkan bahwa pelaksanaan pemilihan calon dekan tersebut cacat hukum, karena dilaksanakan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan untuk menguatkan dalilnya, penggugat/terbanding telah mengajukan bukti-bukti surat dan tiga orang saksi. Di pihak tergugat/pembanding dalam jawabannya menyatakan bahwa penerbitan surat keputusan (obyek sengketa) tidak betentangan dengan undang-undang maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik dan guna mengukuhkan sangkalannya tersebut, tergugat/pembanding telah mengajukan bukti-bukti surat dan dua orang saksi.
Majelis
hakim
tingkat
pertama
mengabulkan
gugatan
penggugat/terbanding
dalam
dengan
putusannya pertimbangan
hukumnya bahwa statuta IAIN Sunan Kalijaga Pasal 127 ayat (2) huruf e, bukti P.2 = T.1 telah ditentukan, untuk pemilihan calon dekan hak suara mahasiswa dua orang, yaitu satu orang dari badan eksekutif dan satu orang dari badan legislatif kemahasiswaan, aturan tersebut bersifat imperatif dan jika ada perubahan hak suara dua menjadi lima orang adalah merupakan wewenang senat institut dan perubahan tersebut baru berlaku setelah mendapat persetujuan dari Menteri Agama, senat fakultas tidak berwenang menambah/mengatur apa yang sudah diatur secara tegas dalam statuta. Keputusan senat fakultas yang menetapkan perwakilan mahasiswa menjadi lima orang adalah melampaui wewenang yang ada padanya, oleh karena itu tidak sah. Berdasarkan fakta dan dihubungkan dengan alat bukti, bahwa penggugat/terbanding sendiri telah ikut sebagai calon dekan, majelis hakim tingkat banding berpendapat bahwa penggugat/terbanding telah commitpemilihan to user calon dekan fakultas dakwah menyetujui seluruh persyaratan
251 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
IAIN Sunan Kalijaga, sehingga dengan demikian penggugat/terbanding tidak dapat lagi dan tidak berkualitas lagi untuk mempersoalkan tentang keabsahan pesyaratan pencalonan tersebut. Majelis hakim tingkat banding berpendapat
bahwa
putusan
PTUN
Yogyakarta
Nomor
10/G.TUN.2004/PTUN/Yk tanggal 3 November 2004 haruslah dibatalkan dan menyatakan gugatan penggugat/terbanding tidak dapat diterima. Analisis terhadap putusan majelis hakim tingkat banding yang membatalkan
putusan
Nomor
10/G.TUN/2004/PTUN/Yk
dengan
pertimbangan hukum bahwa pengggugat/terbanding adalah sebagai pihak yang ikut menyetujui tentang persyaratan pencalonan dekan fakultas dakwah IAIN Sunan kalijaga Yogyakarta, sehingga penggugat/terbanding tidak mempunyai kualitas sebagaai penggugat. Pertimbangan hukum yang demikian itu adalah masuk akal dan kiranya dapat diterima, karena sebagaiman yang berlaku dalam lalu lintas hukum dan khususnya dalam hukum perjanjian, bahwa kesepakan yang diberikan dalam perjanjian berlaku sebagai undangundang dan sudah semestinya harus ditaati serta dilaksanakan oleh para pihak yang membuatnya. Suatu hal yang kurang patut untuk dikemukakan bahwa sebenarnya perubahan perwakilan mahasiswa dari dua orang menjadi lima orang tersebut pertama kali yang mengusulkan menurut keterangan saksi yang hadir (berarti saksi melihat, mendengar dan mengetahui sendiri, bukan dari orang lain) adalah pihak penggugat/terbanding. Analisis terhadap pertimbangan hukum yang dipergunakan sebagai dasar untuk mengambil putusan antara majelis hakim peradilan tata usaha negara tingkat pertama, yaitu PTUN Yogyakarta dengan majelis hakim peradilan tingkat banding, yaitu PTTUN Surabaya terdapat perbedaan. Peradilan tata usaha negara tingkat pertama, pertimbangan hukum yang dipergunakan sebagai dasar untuk memutus sengketa tata usaha negara adalah bahwa surat keputusan yang dikeluarkan oleh tergugat atau Badan atau Pejabat TUN, yaitu Rektor IAIN Sunan Kalijaga bertentangan dengan peraturan perundang-undang yang berlaku secara prosedural atau formal. commit to bahwa user tergugat tidak berwenang atau Pertimbangan hukum yang lain adalah
252 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
senat fakultas tidak mempunyai kewenangan untuk mengadakan perubahan, karena yang berwenang mengadakan perubahan adalah senat institut dan perubahan tersebut baru berlaku setelah mendapat persetujuan dari Menteri Agama. Pertimbangan hukum yang dipergunakan sebagai dasar untuk mengambil putusan majelis hakim tingkat banding, yaitu PTTUN Surabaya adalah bahwa penggugat/terbanding tidak mempunyai kualitas sebagai penggugat, penggugat/terbanding sebagai pihak yang ikut memberikan persetujuan atau kesepakatan tentang persyaratan pemilihan calon dekan, pihak penggugat/terbanding bukan merupakan pihak yang kepentingannya dirugikan atau hak-hak dilanggar oleh tergugat/pembanding. Hal tersebut juga tidak dibantah oleh pihak penggugat/terbanding bahwa ia memberikan persetujuan tentang adanya persyaratan pemilihan calon dekan fakultas dakwah IAIN Sunan Kalijaga periode 2004-2008 dan menurut keterangan saksi, penggugat/terbanding yang mempunyai idea yang pertama atau pendapat pertama yang mengusulkan adanya perubahan perwakilan suara mahasiswa dari dua orang menjadi lima orang. Majelis hakim tingkat banding berpendapat
bahwa
penggugat/terbanding
telah
menyetujui
seluruh
persyaratan pemilihan calon dekan fakultas dakwah IAIN Sunan Kalijaga, sehingga penggugat/terbanding tidak dapat lagi dan tidak berkualitas untuk mempersoalkan tentang keabsahan persyaratan tersebut, seperti yang dilakukannya dengan mengajukan gugatan. Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Surabaya Nomor 29/B/TUN/2005/PT. TUN. SBY,
yang memenangkan pihak
tergugat/pembanding dan berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara tersebut penggugat/pembanding mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada kedua belah pihak pada tanggal 11 April 2005, kemudian oleh penggugat/terbanding diajukan permohonan kasasi di kepaniteraan pengadilan tata usaha negara Yogyakarta pada tanggal 27 April 2005, sedangkan pemberitahuan isi putusan yang dimohonkan kasasi, yaitu putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara commit to user Surabaya Nomor 29/B.TUN/2005/PT.TUN.SBY, tanggal 1 Maret 2005 telah
253 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terjadi pada 11 April 2005, dengan demikian permohanan kasasi tersebut telah melampaui tenggang waktu yang ditetapkan dalam Pasal 46 ayat (1) Undangundang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 5 Tahun 2004, oleh karena itu permohonan kasasi tersebut dinyatakan tidak dapat diterima. Dengan demkian putusan kasasi tersebut dimenangkan tergugat/pembanding, tanpa adanya pemeriksaan terhadap sengketa tata usaha negara, karena permohonan kasasi penggugat/terbanding telah melampaui tenggang waktu yang ditetapkan dalam undang-undang. Suatu hal yang menarik dalam putusan yang dijatuhkan terhadap sengketa tata usaha negara yang diajukan oleh Husein Madhal, sebagai penggugat melawan Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sebagai tergugat. Sebagaimana diketahui bahwa dalam putusan sengketa tersebut, pertimbangan hukum yang digunakan sebagai dasar untuk menjatuhkan berbeda atau tidak sama, padahal yang diajukan dalam materi yang sama. Pertimbangan hukum majelis hakim PTUN Yogyakarta adalah surat keputusan yang dikeluarkan oleh tergugat bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan dari sudut prosedural atau secara formal dan tindakan tergugat dengan mengadakan perubahan suara perwakilan mahasiswa dinlai oleh majelis hakim PTUN Yogyakarta sebagai tindakan yang melampaui
batas
kewenangan
yang
diberikan
padanya.
Kemudian
pertimbangan hukum yang dikemukakan oleh majelis hakim tingkat banding, yaitu PTTUN, penggugat tidak mempunyai kualitas sebagai penggugat, karena ikut memberikan persetujuan tentang persyaratan pemilihan calon dekan fakultas dakwah IAIN Sunan Kalijaga periode 2004-2008, ia justru mempermasalahkan adanya cacat dan sebagainya. Berdasarkan perbedaan pandangan atau pendapat tentang pertimbangan hukum tersebut, maka terhadap sengketa yang sama diputus berbeda, dalam waktu yang relatif singkat. Peradilan tata usaha negara Yogyakarta, memenangkan pihak penggugat, sedangkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya, memenangkan pihak tergugat. Dalam kaitannya dengan perbedaan tersebut, commit to user untuk berbeda pendapat, hal ini sebenarnya hakim memang tidak dilarang
perpustakaan.uns.ac.id
254 digilib.uns.ac.id
sesuai dengan apa yang dikemukakan Glendon Schubert, hakim itu setuju atau tidak setuju terhadap suatu putusan, bukan karena mereka melakukan penalaran yang sama atau berlainan, melainkan karena mereka mempunyai sikap-sikap yang sama atau berlainan. Para hakim berbeda-beda dalam sikapnya, oleh karena masing-masing pada akhirnya memiliki beberapa hal untuk dipercayainya dan menolak yang lain sebagai hasil dari pengalaman hidupnya.
Putusan Nomor 11/G/2010/PTUN/Yk. 1. Subyek sengketa Dwi Sukamto, pekerjaan petani, alamat Dusun Karangasem RT. 05/RW. 03, Desa Kedungsari, Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, memberi kuasa khusus kepada 1. A. Muslim Murjiyanto, 2. Widodo Priyanta, keduanya advokad beralamat di yogyakarta, selanjutnya disebut sebagai penggugat, melawan Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Kedungsari, selanjutnya disebut sebagai tergugat. 2. Obyek sengketa Obyek sengketa dalam kasus ini adalah Surat Keputusan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Kedungsari Nomor 04/KEP/BPD/2010 tentang Penolakan Permintaan Persetujuan Penetapan Dwi Sukamto Sebagai Staf Desa Kedungsari, Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, tertanggal 24 Juni 2010. 3. Duduk perkara Di Desa Kedungsari, Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dibutuhkan seorang staf, maka sesuai dengan Perda Kabupaten Kulon Progo Nomor 9 Tahun 2007 tertanggal 26 Maret 2007 tentang Pengisian Perangkat Desa lainnya, dan penggugat merupakan salah satu bakal calon staf yang mendaftarkan diri untuk ikut seleksi. Penggugat telah memenuhi dan commit to user melengkapi semua persyaratan administrasi, bersama dengan yang
255 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lain,
semuanya
berjumlah
sembilan
orang/peserta.dan
berhak
mengikuti ujian tertulis. Pada hari Jum‟at 28 Mei 2010, jam 19.30 WIB, semua peserta mendapat penjelasan tentang persiapan ujian tertulis dan berdasarkan undian, maka penggugat memperoleh nomor dua. Pada hari minggu, 30 Mei 2010, diadakan ujian tertulis di Balai Desa kedungsari, diawasi empat orang, setelah selesai semua pekerjaan kertas harus dibalik dan peserta menunggu hasilnya. Pada jam 12.30 WIB, (korektor dan peserta tidak dapat diketahui, rahasia) dan hasilnya penggugat dinyatakan sebagai calon yang lulus serta memperoleh nilai tertinggi. Berdasarkan Perda Nomor 9 Tahun 2007, Pasal 12 ayat (1) Kepala Desa Kedungsari menyampaikan permintaan persetujuan penetapan staf kepada BPD dengan dilampiri berita acara, namun ternyata BPD menolak permintaan persetujuan tersebut dengan Keputusan Nomor 04/KEP/BPD/2010 tentang Penolakan Permintaan Persetujuan Penetapan Dwi Sukamto sebagai staf Desa kedungsari, tertanggal 24 Juni 2010. Berdasarkan penetapan tersebut, Dwi Sukamto,
memberikan
kuasa
khusus
kepada
advokad
untuk
mengajukan gugatan ke PTUN Yogyakarta. 4. Pertimbangan hukum dalam putusan. Pertimbangan hukum yang digunakan oleh majelis hakim PTUN adalah tindakan tergugat di dalam menerbitkan obyek sengketa atau keputusan bertentangan dengan asas-asas pemerintahan yang baik, yaitu asas fair play, dan tindakan tergugat dinilai oleh majelis hakim merupakan tindakan sewenang-wenang. Hal dapat diketahui bahwa tergugat
di
dalam menerbitkan keputusan
tentang penolakan
persetujuan penetapan Dwi Sukamto sebagai staf desa Kedungsari di dasarkan pada rumor, dugaan ataupun indikasi, tanpa adanya pembuktian yang bedasarkan hukum, kecurigaan tentang nilai yang diperoleh Dwi sukamto (nilai 97 dan di bawahnya 66) berdasarkan pengaduan peserta lain tanpa dibuktikan lebih dahulu, ujian tidak commit todan userada indikasi tindakan aparat yang dilaksanakan secara transparan
256 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menguntungkan penggugat. BPD menolak memberikan persetujuan penetapan, karena Kepala Desa tidak meminta pendapat, saran dan pertimbangan terlebih dahulu dan koordinasi dengan BPD. 5. Analisis kasus Pertimbangan hukum yang dikemukakan oleh majelis hakim terhadap keputusan tergugat adalah bahwa tindakan tergugat dalam menerbitkan keputusan tentang penolakan pemberian persetujuan penetapan Dwi Sukamto, melanggar atau bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu asas fair play dan tndakan sewenangwenang. Dalam hukum positif, yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, dan diubah lagi dengan Undangundang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, kedua asas tersebut tidak diatur secara tegas atau tidak mendapat kedudukan secara yuridis normatif. Dalam kaitan dengan hal tersebut, berarti hakim tidak hanya bepikir secara logis, mekanis, serial thinking, subsumptie automat, dengan mengikuti cara-cara yang lama, tetapi hakim sudah meninggalkan cara berpikir tradisional, melaksanakan apa yang diamanatkan oleh undang-undang kekuasaan kehakiman, yaitu menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim sudah berani tampil dengan hal-hal yang baru atau berbeda dengan temannya, hakim tidak hanya menggunakan IQ saja, tetapi sudah merangkak dengan sedikit menggunakan EQ, yaitu hakim yang kreatif, aktif, sebagaimana dikembangkan oleh Danah Zohar dan John Marshall. Penggunaan asas-asas yang tidak diatur dalam hukum positif, berarti hakim telah melangkah untuk
menggunakan asas-asas
yang hidup
dalam
masyarakat sebagai dasar untuk menguji keabsahan keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan oleh administrasi negara atau Badan atau Pejabat TUN. Hakim diharuskan untuk menggali, menemukan commit user dalam masyarakat, kapan suatu dan menerapkan hukum yangtohidup
257 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
prinsip hukum sudah dapat dianggap sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga hakim harus menerapkan dalam putusan yang dibuatnya. Penemuan suatu prinsip sebagai dasar untuk menguji keabsahan beschikking tidak sekedar menempelkan atau mencomot begitu saja sesuai dengan kehendak hakim, tetapi suatu prinsip tersebut harus memenuhi salah satu atau beberapa syarat sebagaimana dikemukakan Munir Fuady. Seperti sudah menjadi yurisprudensi, yaitu sudah pernah dipertimbangkan oleh putusan pengadilan sebelumnya, sudah masuk aturan hukum, atau aturan administrasi yang tidak mendapat kecaman terus menerus dari masyarakat, banyak mendapat bahasan dan diterima di kalangan akademis atau di kalangan ahli, tidak bersifat partisan, yaitu tidak hanya dianut oleh masyarakat kecil atau sekelompok tertentu, sudah merupakan prinsip umum yang sudah menjadi konsensus nasoinal atau menjadi kesadaran nasional atau diterima secara universal, sudah merupakan praktik yang umum secara nasional atau uinversal, meskipun belum banyak diterima orang, tetapi mempunyai alasan yang kuat, cerah dan futuristic. Prinsip tersebut tidak terlihat dengan jelas dalam masyarakat dan hanya ditemukan oleh hakim pencerahan yang kreatif, dengan naluri yang tajam dan dengan jangkauan yang jauh ke depan.
Putusan Nomor 10/G/2010/PTUN.Yk. 1. Subyek Sengketa. Drs. Hasan Zubaidi, kewargaan Indonesia, PNS pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sleman, Bertempat tinggal di Desa Taskumbang,
Kecamatan
Manisrenggo,
Kabupaten
Klaten
dan
memberikan kuasa khusus kepada Moelyadi, Boma Aryo Nugroho, pekerjaan Advokad/Konsultan Hukum pada Kantor Advokad/Konsultan Hukum Moelyadi & Partner beralamat Kantor di Jl. Taman Siswa, Tohpat, Nyutran MG. II/1752 D. Yogyakarta, disebut penggugat. Melawan Kepala commitAgama to userpropinsi DIY, Berkedudukan di Kantor Wilayah Kementerian
258 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Jalan Sukonandi Nomor 8 Yogyakarta, memberi kuasa khusus kepada Maskul Haji dkk, pekerjaaan PNS pada Kantor Wilayah Kementerian Agama Propinsi DIY, di Jalan Sukonandi Nomor 8 Yogyakarta, di sebut tergugat. 2. Obyek Sengketa. Surat Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama DIY Nomor Kw. 12.1/2/KP.07.5/1724/2010, perihal jawaban permohonan Mutasi menjadi Guru atas nama Drs. Hasan Zubaidi, bertanggal 19 Juni 2010. 3. Duduk Perkara. Penggugat mengajukan gugatan berdasarkan obyek sengketa yang dikeluarkan oleh tergugat, yaitu Surat Kepla Kantor Wilayah Kementerian Agama DIY Nomor Kw. 12.1/Kp. 07.5/1724/2010, perihal jawaban permohonan mutasi menjadi Guru atas nama penggugat. Dalam pengajuan permohonan tersebut, semua syarat telah dipenuhi penggugat, namun permohonan tersebut ditolak tergugat dengan alasan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 84 Tahun 1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. 4. Pertimbangan Hukum dalam Putusan PTUN. Berdasarkan
pemeriksaan
sengketa
di
depan
sidang
dan
pembuktiannya, majelis hakim memutuskan bahwa Keputusan MENPAN Nomor 84 Tahun 1993 yang digunakan sebagai dasar dikeluarkannya obyek sengketa (obyek sengketa keluar tanggal 19 Juni 2010) telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, yaitu karena telah berlaku Peraturan MENPAN dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009, mulai berlaku pada tanggal 10 November 2009. Seharusnya obyek sengketa dikeluarkan berdasarkan Peraturan MENPAN dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009. Obyek sengketa secara prosedural maupun material sudah tepat, namun dari segi bentuk formal (vorm) keputusan obyek sengketa khususnya mengenai dasar hukum kaitannya dengan materi syarat-syarat to user pengangkatan PNS daricommit jabatan lain ke dalam fungsional guru
perpustakaan.uns.ac.id
259 digilib.uns.ac.id
bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Asas yang dilanggar adalah asas kecermatan dan motivasi yang menghendaki suatu keputusan harus mempunyai alasan yang cukup jelas, pasti, tegas dan benar sebagai dasar keputusan. Penerbitan obyek sengketa mengandung cacat yuridis dari segi bentuk formal. 5. Analisis Putusan PTUN. Hakim dalam memutus dan menyelesaikan sengketa tidak hanya terbelenggu atau berkutat pada aturan-aturan yang bersifat formal semata, menerapkan undang-undang dalam pandangan yang tertulis sebagai produk legislatif, tetapi hakim mempunyai kebebasan untuk menafsirkan dasar hukum yang bentuknya tertulis seperti undang-undang. Hakim telah keluar dari undang-undang yang dipergunakan sebagai pedoman untuk menguji keabsahan obyek sengketa atau beschikking. Hakim dalam menjatuhkan putusan tidak hanya mengandalkan atau mengedepankan aturan dan dengan pengolahan logika, namun mereka dengan pandangan jauh ke depan, dengan hati-nurani dan empati, hakim bersifat aktif dan kreatif mampu mengajukan dasar pertimbangan hukum yang digunakan untuk menjatuhkan putusannya. Asas kecermatan dan asas motivasi sebagai salah satu dasar yang dipergunakan untuk membatalkan obyek sengketa tidak diatur secara yuridis formal dalam peraturan perundangundangan yang berlaku, namun hakim dengan berbagai pertimbangan dan argumentasi menggunakan sebagai dasar putusan.
Putusan Nomor 07/G.TUN/2005/PTUN/Yk. 1. Subyek sengketa Dika Harvika Yenata, wiraswasta/penanggung jawab organisasi new regent, alamat Yogyakarta. Hindarto Tanu Wijaya, wiraswasta /penanggung jawab mataram pusat lipuran, Yogyakarta. Selanjutnya memberi kuasa khusus kepada Eko Widiyanto, H, Advokat, berkantor di jalan KH. Wahid Hasyim Nomor 39 Yogyakarta, disebut penggugat, commitDaerah to user (KAPOLDA) Daerah Istimewa melawan Kepala Kepolisian
260 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Yogyakarta, alamat Jalan Lingkar Utara Condong Catur, Depok, Sleman, DIY, memberi kuasa khusus kepada Komisaris Polisi Marpaung, dkk, selanjutnya disebut sebagai tergugat. 2. Obyek sengketa. Surat Perintah Nomor Pol. B/1274/V/2005/Dit Reskrim tanggal 10 Mei
2005
tentang
Perusahaan/Organisasi,
Penutupan
Permainan
Ketangkasan
Terhadap
yang sebelumnya telah menerbitkan Surat
Pemberitahuan dari tergugat dengan Surat Nomor B/1175IV/2005/Dit. Reskrim tanggal 3 April 2005 tentang Penutupan Permainan Ketangkasan di Yogyakarta. 3. Duduk Perkara Para penggugat adalah pimpinan/penanggung jawab ketangkasan yang telah memperoleh ijin untuk menjalankan usahanya dari instansi yang berwenang dan pengusaha berhak/berwenang mengoperasikan usahanya sesuai dengan ketentuan perijinan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Prinsip dasar ijin adalah memperbolehkan sesuatu yang dilarang dan bagi pemegang ijin berhak mendapat perlindungan hukum. Berdasarkan opini masyarakat bahwa usaha ketangkasan ada indikasi penyalahgunaan/melanggar ketentuan hukum yang berlaku, maka tergugat menerbitkan Surat Perintah Nomor Pol. B/1274/V/2005/Dit. tanggal 10 Mei 2005 tentang Penutupan Permainan Ketangkasan Terhadap Perusahaan/Organisasi. Surat keputusan tersebut dirasa menimbulkan kerugian bagi penggugat, maka berdasarkan surat keputusan tersebut penggugat mengajukan gugatan ke PTUN Yogyakarta. 4. Pertimbangan hukum dalam putusan PTUN. Penerbitan surat perintah sebagai obyek sengketa oleh tergugat didasarkan pada ketentuan Pasal 7 huruf J KUHAP, yang berbunyi mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Menurut majelis hakim, ketentuan tersebut merupakan ketentuan yang memberikan kewenangan untuk melakukan kebebasan bertindak kepada user tergugat, hal tersebut dicommit dalamto hukum administrasi disebut dengan
perpustakaan.uns.ac.id
261 digilib.uns.ac.id
kewenangan yang bersifat diskresi (freies ermessen). Kewenangan yang begitu luas tidak lepas dari batasan-batasan yang diberikan oleh norma, kaidah, asas dan hak-hak dasar dalam melaksanakan fungsi kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Tindakan tergugat yang menafsirkan pelaksanaan ketentuan Pasal 7 huruf J KUHAP yang menjadi obyek sengketa, yang secara substansi adalah berisi tindakan berupa sanksi administrasi, yaitu perintah untuk menutup usaha ketangkasan milik para penggugat yang telah mempunyai ijin dari pejabat yang berwenang, merupakan tindakan tergugat yang kurang cermat atau kurang teliti dalam mempertimbangkan aspek wewenang dari instansi-instansi lain yang terkait, selain itu dalam penerbitan surat perintah penutupan usaha tersebut tidak didukung oleh fakta dan tidak relevan karena tidak terbukti adanya tindak pidana perjudian dalam usaha ketangkasan dari para penggugat serta penggugat tidak terbukti melakukan pelanggaran terhadap ijin yang diberikan tersebut. Sanksi administrasi lazimnya dilakukan langsung oleh pejabat administrasi yang berwenang (pemerintah kota Yogyakarta), yaitu sesuai dengan Pasal 18 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 6 Tahun 1999, yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan ijin adalah wewenang Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk. Pertimbangan hukum lain yang dipergunakan sebagai untuk menjatuhkan putusan oleh majelis hakim adalah bahwa berkas sengketa yang diperoleh berdasarkan penyidikan yang dilakukan oleh tergugat, dikembalikan kepada tergugat, karena usaha permainan ketangkasan dari para penggugat tidak terdapat adanya unsur perjudian. Menurut majelis hakim, dasar gugatan dalam menerbitkan obyek sengketa dengan mengkaitkan pada ketentuan hukum acara pidana dan hukum pidana adalah tidak beralasan menurut hukum administrasi. Menurut majelis commit to user milik para penggugat tersebut hakim jika usaha permainan ketangkasan
262 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
akan dilakukan penutupan, seharusnya terlebih dahulu dilakukan pencabutan ijin dari instansi yang berwenang memberikan ijin berdasarkan adanya bukti bahwa para penggugat melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku. Berdasarkan pertimbangan hukum
tersebut,
majelis
hakim
berpendapat tergugat dalam menerbitkan obyek sengketa telah melanggar asas kepastian hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, sehingga beralasan hukum bahwa majelis hakim menyatakan batal obyek sengketa yang diterbitkan oleh tergugat dan sekaligus memerintahkan kepada tergugat untuk mencabutnya. 5. Analsis kasus. Pertimbangan hukum yang dikemukakan majelis hakim dalam sengketa tata usaha negara tersebut sangat teliti, hakim menilai bahwa pencabutan ijin bukan kewenangan dari tergugat, namun menjadi kewenangan dari pemberi ijin, yaitu Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk. Dalam hal tersebut dinilai oleh majelis hakim agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam kaitannya dengan pencabutan ijin yang berakibat pada penutupan usaha ketangkasan dari para penggugat. Dalam kaitan tersebut, masih ada yang perlu dikemukakan dalam pertimbangan hukum yang dipergunakan oleh majelis hakim untuk menjatuhkan putusan terhadap sengketa yang diperiksanya. Tergugat menerbitkan surat keputusan tentang penutupan usaha ketangkasan dari para penggugat atau menerbitkan obyek sengketa berdasarkan KUHAP dan hukum pidana (lihat dalam menimbang, yaitu Pasal 7 huruf J KUHAP, juga dalam jawaban tergugat angka 1, menyatakan namun dalam pelaksanaannya usaha tersebut bertentangan dengan Undang-undang, yaitu ketentuan Pasal 303 ayat (3) KUHP dan tindakan tergugat sesuai dengan ketentuan Pasal 7 hurf J KUHAP. Menurut analisa peneliti, tindakan tergugat menerbitkan obyek sengketa commit userayat (3) KHUP dan tindakannya dengan mendasarkan pada Pasal to303
perpustakaan.uns.ac.id
263 digilib.uns.ac.id
sesuai dengan Pasal 7 huruf J KUHAP, adalah bukan termasuk dalam pengertian keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, sebagai perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Pengertian keputusan tata usaha negara adalah Pasal 1 angka 9 + Pasal 3 – Pasal 2 + Pasal 49. Penerbitan obyek sengketa oleh tergugat yang didasarkan pada Pasal 303 ayat (3) KHUP dan Pasal 7 huruf J KUHAP adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 2 huruf d Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN,dan terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, yang berbunyi: tidak termasuk dalam pengertian keputusan tata usaha negara menurut undang-undang ini adalah keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana. Dengan demikian, sengekata tersebut sebanarnya dapat ditolak oleh pengadilan tata usaha negara sejak awal atau sejak sengketa tersebut diajukan, dengan alasan bukan merupakan kewenangan absolut dari pengadilan tata usaha negara. Penolakan sejak awal akan banyak keuntungan yang diperoleh dari para pihak yang bersangkutan, termasuk dari majelis hakim, seperti menghemat waktu, biaya dan tenaga.
Putusan Nomor 25/G/2009/PTUN.Sby. 1. Subyek sengketa Subyek sengketa dalam kasus ini adalah antara Sutomo, kewargaan Indonesia, pekerjaan Notaris/PPAT, alamat Jl. Puspowarno Nomor 28 RT. 02/ RW. 01, Kelurahan Mangkujayan, Kecamatan Ponorogo, Kabupaten Ponorogo, yang dalam hal ini diwakili oeh kuasa khususnya, 1. Achmad to user Drajat, advokat, alamat commit Jl. Mawar IV Nomor 3 Lowok Waru, Kota
264 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Malang. 2. M.NG. Soedartono, advokat, alamat Jl. Mawar IV Nomor 3 Lowok Waru, Kota Malang. 3. Sukriyanto, advokat, alamat, Jl. Margatama Blok A. Nomor 10 Perum Margatama Asri Madiun. Selanjutnya disebut penggugat, melawan Ketua Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Madiun, alamat JL. Jend. Sudirman Nomor 15 Kota Madiun, memberikan kuasa khusus kepada Mas Sri Mulyono, advokat, alamat Jl. Jatijajar Nomor 30 Taman-Kota Madiun, selanjutnya disebut tergugat. 2. Obyek sengketa Berdasarkan kewenangan yang dimiliki tergugat sebagaimana dimaksud dalam Pasa 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris,
tergugat
telah
mengeluarkan
Surat
Nomor
8/MPNNM/II/2009, tanggal 18 Februari 2009 tentang Pemanggilan Notaris berdasarkan permohonan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia cq. Kapolwil Madiun selaku penyidik Nomor POL : B/13/II/2009/Reskrim, tertanggal 13 Februari 2009. 3. Duduk perkara Penggugat adalah Notaris /PPAT. Kabupaten Ponorogo. Penggugat dalam menjalankan tugasnya diatur pada Pasal 15-17 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Penggugat dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai pejabat umum di bawah pengawasan Menkumham RI. Pelaksanaan pengawasan dilakukan oleh Majelis Pengawas, yang terdiri dari : 1. Majelis Pengawas Daerah, 2. Majelis pengawas Wilayah, 3. Majelis Pengawas Pusat. Kewenangan Menkumham RI di bidang pengawasan terhadap Notaris sesuai dengan Pasal 67 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, didelegasikan pada Majelis Pengawas selaku delegatoris. Majelis Pengawas sebagai delegatoris dari Menkumham RI mempunyai wewenang untuk mengawasi notaris sepenuhnya, tanpa perlu mengembalikan wewenangnya kepada Menkumham RI selaku delegans. Ketua Majelis Pengawas Daerah Kota Madiun (tergugat) sebagai Badan atau Pejabat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
265 digilib.uns.ac.id
TUN berdasarkan Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris mempunyai kewenangan: a. Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum atau hakim dengan prsetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang : 1. Mengambil fotokopi minuta akta dan surat-surat yang dilekatkan pada akta minuta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris 2. Memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanan notaris. b. Pengambilan fotokopi minuta akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan. Berdasarkan kewenangan yang dimiliki tergugat tersebut, tergugat telah mengeluarkan Surat Nomor 8/MPDNM/II/2009, tanggal 18 Februari 2009 tentang Pemanggilan Notaris berdasarkan permohonan dari Kepolisian Negara RI cq. Kapolwil Madiun selaku penyidik Nomor Pol. B/13/II/2009/Reskrim, tanggal 13 Februari 2009. Penerbitan surat keputusan tersebut menimbulkan akibat hukum bagi penggugat, ada kepentingan yang dirugikan dengan diterbitkannya obyek sengketa tersebut, berdasarkan obyek sengketa yang menimbulkan akibat hukum, maka penggugat mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara. 4. Pertimbangan hukum putusan PTUN Menurut majelis hakim, obyek sengketa yang berupa surat Nomor : 8/MPDNM/II/2009 tanggal 18 Februari 2009 perihal pemanggilan notaris yang diterbitkan tergugat adalah merupakan keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN jo. Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN dan tidak tidak termasuk sebagai keputusan tata usaha negara yang dimaksud oleh Pasal 2 huruf d Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN. commit to user
266 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan ketentuan Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, tergugat berwenang untuk menerbitkan obyek sengketa (menurut majelis hakim). Prosedur pemberian persetujuan oleh Majelis Pengawas Daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, tidak diatur secara jelas baik di dalam undang-undang tersebut maupun dalam peraturan dasar lainnya, sehingga menurut majelis hakim menimbulkan kewenangan diskresi pada tergugat dalam menerbitkan obyek sengketa. Sehubungan obyek sengketa yang diterbitkan oleh tergugat berdasarkan kewenangan diskresi, maka hakim akan mengujinya apakah obyek sengketa telah sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Berdasarkan fakta di persidangan terbukti bahwa sebelum tergugat menerbitkan obyek sengketa, tergugat tidak pernah melakukan klarifikasi dengan memanggil penggugat untuk didengar keterangannya terlebih dahulu sebelum persetujuan pemanggilan terhadap diri penggugat dikeluarkan tergugat. Seharusnya sebelum persetujuan ijin (obyek sengketa) dikeluarkan tergugat, maka pihak penggugat dipanggil terlebih dahulu untuk dimintai keterangannya. Sehubungan dengan hal tersebut, majelis hakim berpendapat, bahwa tergugat dalam menerbitkan obyek sengketa bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik khususnya asas audi et alteram parterm. Dengan demikian cukup beralasan untuk menyatakan obyek sengketa yang diterbitkan tergugat batal. 5. Analisis kasus. Pertimbangan hukum yang dipergunakan oleh majelis hakim untuk menjatuhkan putusan adalah bahwa obyek sengketa yang ditebitkan oleh tergugat bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik khususnya asas audi et alteram parterm. Asas tersebut tidak secara tegas diatur dalam undang-undang atau tidak terdapat dalam hukum positif, seperti
dalam
Undang-undang tentang PTUN, namun hakim commit to user mengemukakan dalam pertimbangan hukumnya sebagai dasar putusannya.
267 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berarti hakim melaksanakan apa yang diamanatkan dalam undang-undang kekuasaan kehakiman, yaitu hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim tidak lagi berpikir secara logis belaka, linear, dan tidak lagi terpengaruh oleh aliran hukum positif atau aliran legisme yang mengidentikan hukum sama dengan undang-undang, undang-undang menurutnya merupakan pedoman dan hal tersebut dapat tidak ditaati. Cara berpikir hakim pengadilan tata usaha negara Surabaya dalam mengemukakan pertimbangan hukum yang dipergunakan sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan, sama dengan majelis hakim pengadilan tata usaha negara Semarang dan Yogyakarta, yaitu menganggap undangundang hanya sebagai pedoman saja dan sebagai pedoman tidak dilarang untuk tidak taat atau tidak menggunakannya sebagai dasar untuk menguji keabsahan keputusan tata usaha negara atau obyek sengketa yang diterbitkan oleh tergugat347. Penggunaan asas-asas yang belum atau tidak diatur dalam peraturan perundang-undang, berarti hakim telah menemukan asas hukum yang digali, diikuti dan dipahami dari nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Suatu hal yang menimbulkan pertanyaan adalah mengapa hakim membolehkan notaris yang sebenarnya adalah berkedudukan atau berkualitas sebagai Badan atau pejabat tata usaha negara dapat beracara di pengadilan tata usaha negara. Sebagaimana diketahui bahwa yang dapat menjadi subyek dalam sengketa tata usaha negara, berdasarkan Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Thaun 2004 tentang PTUN, kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, adalah seseorang dan badan hukum perdata (sebagai penggugat) dan Badan atau Pejabat tata usaha negara (sebagai tergugat). Dalam hal ini apa merupakan penyimpangan atau commit to user 347
Wawancara, Semarang, Senin 3 Oktober 2011, dan Yogyakarta, Senin 24 Oktober 2011.
perpustakaan.uns.ac.id
268 digilib.uns.ac.id
terobosan, dalam obyek sengketa yang dituju adalah jabatan, jadi bukan pribadi Sutomo.
Putusan Nomor :19/G/2008/PTUN, Sby. 1. Subyek Sengketa. Ny. Semiaji, pekerjaan swasta, tempat tinggal Jl. Cemara No. 184, Karangsari, Kecamatan Sukorejo, Blitar, disebut sebagai penggugat I. Husein Setio, swasta, tempat tinggal, Jl. Cemara No. 184, Karangsari, Kecamatan Sukorejo, Blitar, disebut penggugat II. Selanjutnya memberi kuasa khusus kepada Soehartono Soemarto, RA. Zestiena Coda Asrini, Slamet Supriyadi, pekerjaan Advokat yang berkantor di Graha 18 Lantai 1, Jl. Tidar Sakti No. 18 Malang, selanjutnya disebut para penggugat. Melawan Kepala Kantor Pertanahan Kota Blitar, berkedudukan di Jl. S. Spriyadi No. 15 Blitar, memberi kuasa khusus kepada Supranto Retno Widodo, Kepala Seksi Sengketa, Konflik dan Perkara, M. Saiful Hartawan, Kepala Sub. Seksi Perkara, selanjutnya disebut tergugat. 2. Obyek Sengketa Obyek sengketa adalah Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) Nomor 21/SKPT/XII/2007, tertanggal 14 Desember 2007 yang diterbitkan tergugat atas permohonan penggugat II terhadap SHM. Nomor 258 Kelurahan Karangsari, dalam catatan bahwa telah diletakkan sita jaminan sesuai Berita Acara Penyitaan Jaminan (conservatoir Beslaag), tanggal 8 Mei 2002, Nomor 34/Pdt. G/2002/PN, Blitar. Tercatat bahwa surat dari Lncy Helena Maria Wisudha, tanggal 8 Mei 2002, perihal pemberitahuan untuk tidak menerbitkan atau mengalihkan kepemilikan dan telah terdaftar di PN Blitar Nomor 34/Pdt. G/2002/PN. Blt. 3. Duduk perkara Pada tahun 2002, penggugat I bersengketa dengan seseorang yang bernama Lancy Helena Maria Wisudha di Pengadilan Negeri Blitar. Dengan adanya sengketa tersebut, tanah bangunan yang terletak di jalan user Cemara Nomor 184 Blitarcommit milik to para penggugat diletakkan sita jaminan
269 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
oleh Pengadilan Negeri atas permintaan Sdr. Lancy Helena Maria Wisudha, dalam perkara perdata Nomor 34/Pdt. G/2002/PN. Blt. Kemudian pada awal tahun 2007, penggugat II berkehendak untuk menjual sebidang tanah lain (yang tidak tersangkut dalam sengketa) pada orang lain, yaitu sebidang tanah sebagaimana Sertifikat Hak Milik Nomor 258 Kelurahan Karangsari luas 644 M. Pada saat transaksi akan berlangsung, terdapat hambatan yang menyebutkan tanah sebagaimana Sertifikat Hak Milik Nomor 258 Kelurahan Karangsari tersebut tidak dapat dipindah tangankan, karena telah diletakkan sita jaminan. Berdasarkan kenyataan tersebut, pada tanggal 30 Oktober 2007, penggugat II mengajukan permohonan penerbitan SKPT untk tanah yang sebagian milik penggugat II, sebagaimana hak milik Nomor 258 Kelurahan Karangsari. Kemudian tergugat menerbitkan SKPT Nomor 21/SKPT/XII/2007 tertanggal 14 Desember 2007, dengan dasar warkah tanah yang ada pada tergugat, ternyata di dalam SKPT tersebut terdapat catatan bahwa atas tanah yang dimohonkan SKPT, yaitu :”...Hak Milik Nomor 258 Keluarahan Karangsari, luas 644 M, tercatat atas nama Ny. Semiaji dan Husein Setio telah diletakan sita jaminan sesuai berita acara penyitaan jaminan
(conservatoir
beslaag)
tanggal
8
Mei
2002
Nomor
34/Pdt.G/2002/PN. Blt”. 4. Pertimbangan Hukum Putusan PTUN. Sehubungan dengan telah terbukti bahwa dalam pencatatan sita jaminan
oleh
Pengadilan
Negeri
Blitar
dalam
perkara
Nomor
34/Pdt.G/2002/PN. Blitar, tidak terkait dengan tanah yang termuat dalam sertifikat Hak Milik Nomor 258 Keluarahan Karangsari, tetapi penyitaan tersebut dimaksudkan terhadap tanah dan bangunan di jalan Cemara Nomor 184 Blitar sebagaimana yang termuat dalam sertifikat Hak Milik Nomor 47 Keluarahan Karangsari, sehingga tindakan tergugat tersebut bertentangan dengan asas profesionalisme. Berdasarkan hal tersebut, majelis hakim berpendapat bahwa tindakan tergugat yang menerbitkan commit to user SKPT Nomor 21/SKPT/XII/2007 tanggal 14 Desember 2007, yang
270 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memuat adanya catatan berupa telah diletakkan sita jaminan sebagaimana dalam Berita Acara Penyitaan Jaminan (conservation beslaag) tertanggal 8 Mei 2002 Nomor 34/Pdt.G/2002/PN. Blt adalah mengandung cacat yuridis, sehingga beralasan hukum pula majelis hakim menyatakan batal SKPT yang diterbitkan tergugat. 5. Analisis Kasus. Putusan PTUN Surabaya yang membatalkan obyek sengketa yang dikeluarkan oleh tergugat, yaitu SKPT Nomor 21/SKPT/XII/2007 tanggal 14 Desember 2007, didasarkan atas pertimbangan hukum bahwa fakta hukum yang digunakan oleh Pengadilan Negeri Blitar dalam melakukan penyitaan jaminan dalam Nomor Perkara 34/Pdt.G/2002/PN. Blt tidaklah menunjuk sertifikat tertentu, tetapi hanya menunjuk alamat dan batas-batas tanah dan bangunan. Di samping itu, pertimbangan hukum lain yang digunakan sebagai dasar pertimbangan hukum untuk menjatuhkan putusan adalah berdasarkan keterangan kuasa hukum tergugat (BPN) di persidangan
menjelaskan
bahwa tindakan
tergugat
(BPN)
untuk
melakukan pencatatan dalam warkah buku tanah Hak Milik Nomor 258/Karangsari atas nama para penggugat semata-mata mendasarkan pada surat dari Lancy Helena Maria Wisudha sebagai pihak penggugat dalam Nomor Perkara 34/Pdt. G/2002/PN. Blitar, yang menyatakan bahwa tanah dan bangunan yang terletak di jalan Cemara 184 Blitar tersebut adalah sebagaimana termuat dalam sertifikat Hak Milik Nomor 258/Karangsari telah dilakukan sita jaminan oleh Pengadilan Negeri Blitar, meskipun dalam penyitaan jaminan dari Pengadilan Negeri Blitar sama sekali tidak menunjuk nomor sertifikat tertentu. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, maka analisis terhadap putusan majelis hakim adalah bahwa sebenarnya dalam sengketa tersebut terdapat perbedaan penafsiran dari majelis hakim PTUN dengan pihak tergugat (BPN). Tergugat berdasarkan permohonan penggugat menerbitkan obyek sengketa, yaitu SKPT Nomor 21/SKPT/XII/2007, padahal tanah yang commit to user sita jaminan oleh Pengadilan dimohonkan SKPT tersebut diletakkan
271 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Negeri Blitar atas permintaan Lancy Helena Maria Wisudha dalam perkara perdata Nomor 34/Pdt.G/2002/PN. Blitar. Kemudian SKTP tersebut dibatalkan oleh majelis hakim PTUN Surabaya, dengan penafsiran penyitaan didasarkan atas surat dari Lancy Helena Maria Wisudha tidak kuat dan dinilai kurang hati-hati dan kurang cermat, di samping adanya keterangan dari kuasa hukum tergugat yang menyatakan tidak ada kesesuaian mengenai batas-batas antara sertifikat Nomor 258/Karangsari dengan batas-batas tanah di jalan Cemara 184 Blitar yang termuat dalam Berita Acara Penyitaan Jaminan dari Pengadilan Negeri Blitar. Penafsiran
yang
dilakukan
oleh
majelis
hakim
lebih
memperhatikan dengan kenyataan dari obyeknya, majelis hakim melihat kebenaran berdasarkan apa yang diketahui dan ternyata ada kekeliruan atau ketidakjelasan pada obyek sengketa yang dimintakan oleh Lancy Helena Maria Wisudha dan sertifikat Hak Milik Nomor 258/Karangsari tidak dilakukan penyitaan jaminan oleh Pengadilan Negeri Blitar. Tindakan tergugat (BPN) menerbitkan SKPT Nomor 21/SKPT/XII/2007 tanggal 14 Desember 2007 tersebut ada unsur kurang hati-hati, sehingga obyek sengketa yang diterbitkan tergugat dibtalkan oleh majelis hakim adalah merupakan putusan yang tidak mendasarkan pada hukum dalam bentuknya yang tertulis, tetapi juga memperhatikan berlakunya hukum dalam masyarakat atau kenyataan dalam masyarakat. Bentuk formal dari undang-undang hanya akan mengedepankan keadilan yang bersifat formal juga atau keadilan prosedural, sedangkan hukum yang tidak tertulis lebih mencerminkan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat dan akan menghasilkan keadilan yang substansial atau keadilan material yang diharapkan dalam masyarakat. Keberanian hakim PTUN Yogyakarta dalam memutus sengketa dengan menyimpang dari ketentuan undang-undang dapat dicontohkan pada Putusan 03/G.TUN/2000/PTUN Yogyakarta. Obyek sengketa Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bantul Propinsi DIY, Nomor commit to user 1999 tentang Pemberhentian 17/Kep/Swn/1999, tanggal 20 Desember
272 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sumardiyono dari jabatan KAUR Pemerintahan Desa Bangunharjo, Kec. Sewon, Bantul. Penggugat semula adalah Kepala Bagian Keamanan Desa Bangunharjo, Kecamatan Sewon, kemudian berdasarkan Keputusan Bupati Kepala Daearah Tingkat II Bantul Propinsi DIY, Nomor 201/A/Kep/Bt/1987, tangggal 21 Agustus 1987, diangkat menjadi Kepala Urusan Pemerintahan Desa Bangunharjo, Kecamatan Sewon. Penggugat diberhentikan dari jabatanya, karena ia berjudi dan perkaranya telah diputus oleh Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 48/Pid/98/PTY, tanggal 19 Desember 1998, ia dijatuhi pidana penjara selama tiga bulan, 15 hari. Oleh karena penggugat telah memenuhi ketentuan Pasal 7 ayat (3) Keputusan
Bupati
Kepala
Daerah
Tingkat
II
Bantul
Nomor
587A/Kep/Bt/1996, yang berbunyi bahwa Sekretaris Desa, Kepala Urusan dan Kepala Dusun yang diberhentikan sementara sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dapat diberhentikan apabila yang bersangkutan telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana hukuman penjara atas keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum pasti. Hakim PTUN Yogyakarta dalam memeriksa sengketa tersebut, mempunyai pandangan yang luas dan bahkan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Betul bahwa perbuatan yang dilakukan penggugat merupakan perbuatan yang tidak terpuji, karena penggugat adalah pamong desa yang seharusnya memberikan suri tauladan kepada anggota masyarakatat, di samping itu perbuatan penggugat adalah dilarang oleh agama. Berdasarkan beberapa alat bukti dan beberapa saksi yang diajukan para pihak di muka sidang, hakim PTUN Yogyakarta mempunyai wawasan yang luas untuk ke depan (visioner) dan sangat matang dalam menjatuhkan putusanya, bahkan majelis hakim melakukan contra legem, yaitu mengambil putusan yang bertentangan dengan peraturan perundangperundangan yang berlaku. Majelis Hakim juga memperhatikan fakta-fakta yang terjadi di lapangan yang mengawali terbitnya surat Keputusan Bupati Bantul. commit to user Perbuatan penggugat yang dijerat dengan Pasal 303 KUHP, adalah
273 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dilakukan baru sekali dan hanya sebagai “cagak lek”, bukan merupakan perbuatan monoton atau routine untuk mendapatkan kemenangan dan dapat dipergunakan sebagai mata pencaharian. Hakim berpendapat bahwa perbuatan penggugat merupakan perbuatan iseng saja dan merupakan kealpaan bagi seorang manusia, di samping itu perbuatan yang dilakukan penggugat sebagai mata-mata untuk mencari data atau fakta dalam kaitannya dengan adanya peristiwa pembunuhan yang terjadi di daerahnya. Hakim berpendapat bahwa Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bantul yang memberhentikan penggugat berdasarkan perbuatan judi yang hanya sekali dilakukan adalah merupakan sesuatu yang tidak adil dan keputusan tersebut melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu asas kecermatan formal dan hakim menilai perbuatan tergugat telah
secara
sewenang-wenang
menerapkan
sanksi
yang
tidak
dipertimbangkan keseimbangannya antara bobot pelanggaran yang telah dilakukan dangan hukuman yang dijatuhkan kepada pengggugat, dengan demikian
tergugat
telah
melanggar
asas
keseimbangan.
Hakim
mengabulkan gugatan penggugat dan menyatakan batal Surat Keputusan tergugat Nomor 17/Kep/Swn/1999, tanggal 20 Desember 1999 tentang pemberhentian Penggugat dari jabatan Kepala Urusan Pemerintahan Desa Bangunharjo. Putusan PTUN Yogyakarta yang dapat dikategorikan sebagai penemuan hukum atau sebagai upaya menjalan amanat Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, khususnya Pasal 5 ayat (1) adalah putusan Nomor 10/G.TUN/2004/PTUN.Yk. Obyek sengketa, yaitu Surat Keputusan Rektor Nomor 115/Ba.O/A/2004, tanggal 22 April 2004 tentang Pengangkatan Alif Rifai sebagai dekan fakultas dakwah IAIN Sunan Kalijaga periode 2004-2008. Menurut penggugat panitia pemilihan dekan telah melakukan pelanggaran terhadap statuta khususnya Pasal 127 ayat (2) huruf e Jucnto Pasal 167 ayat (1), karena dalam hal menetapkan hak suara perwakilan mahasiswa sebanyak lima commit to user orang yang seharusnya dua orang. Hal tersebut bertentangan dengan
perpustakaan.uns.ac.id
274 digilib.uns.ac.id
ketentuan Pasal 127 ayat (2) huruf e, yang menyebutkan bahwa panitia melaksanakan pemilihan langsung yang diikuti oleh semua dosen tetap dan wakil mahasiswa (masing-masing satu orang dari badan eksekutif dan legislatif kemahasiswaan) atas bakal calon dekan yang ditetapkan oleh senat fakultas. Selanjutunya Pasal 167 ayat (1) menyebutkan bahwa perubahan tersebut hanya dapat dilakukan oleh senat institut dan baru berlaku setelah ditetapkan oleh Menteri Agama, padahal perubahan tersebut belum dimintakan persetujuan Menteri Agama. Pemilihan dekan juga bertentangan dengan keputusan dekan/ketua senat fakultas dakwah IAIN Kalijaga Nomor 05/KPTS/DD/2004 tentang tata cara pemilihan calon dekan fakultas dakwah IAIN Kalijaga, Pasal 7 ayat (1), yaitu panitia menyelenggarakan pemungutan suara secara langsung, bebas dan rahasia yang diikuti oleh dosen tetap yang mengajar pada fakultas dakwah IAIN Sunan Kalijaga dan wakil mahasiswa dalam waktu satu hari yang berlangsung sejak pukul 08.00-14.00 WIB serta kesepakatan rapat senat fakultas yang mengharuskan pemilih hadir di tempat pemilihan secara langsung, kecuali terhadap dosen yang belajar ke luar negeri. Panitia mendatangi sdr sulisyanto, salah satu dosen yang berada di rumah sakit untuk melalkukan pencoblosan, padahal dalam rapat senat tanggal 14 Januari 2004, atas usulan salah satu calon telah disepakati bahwa jika ada dosen yang memiliki hak suara untuk memilih itu sakit dan berhalangan hadir di tempat, maka hak suaranya dinyatakan gugur. Berdasarkan berbagai pertimbangan yang telah dikemukakan di muka sidang, hakim berpendapat bahwa statuta IAIN Klijaga khususnya Pasal 127 ayat (2) huruf e, hak suara perwakilan mahasiswa adalah satu dari badan eksekutif dan satu dari badan legislatif kemahasiswaan dan itu aturan yang bersifat imperatif, artinya perubahan hak suara perwakilan mahasiswa dari dua menjadi lima suara adalah merupakan wewenang senat institut yang baru berlaku setelah mendapat persetujuan dari Menteri commit to user Agama sebagaimana dimaksud Pasal 167 ayat (1) statuta, oleh karena itu
275 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
majelis hakim berpendapat bahwa senat fakultas tidak berwenang untuk merubah/mengatur apa yang telah diatur secara tegas dalam statuta dan keputusan senat fakultas yang telah menetapkan perwakilan mahasiswa menjadi lima orang adalah keputusan yang telah melampaui wewenang yang ada padanya dan oleh karenanya keputusan tersebut adalah tidak sah. Hakim berkesimpulan bahwa terbitnya KTUN yang menjadi obyek sengketa bertentangan dengan ketentuan yang bersifat prosedural/formal, karena diterbitkan berdasarkan keputusan/alas hukum yang tidak sah, oleh karena itu KTUN yang menjadi obyek sengketa in litis harus dinyatakan batal dan mewajibkan tergugat untuk mencabut obyek sengketa. Menurut beliau (pak Agus) jika ketentuan undang-undang kabur, maka hakim harus berani menerobos undang-undang tersebut, dicontohkan putusan PTUN Semarang (waktu beliau tugas di Semarang), yaitu putusan Nomor 08/G/2009/PTUN.SMG.
Demikian
juga
dalam
kaitannya
dengan
keberadaan AAUPB sebagai dasar pengujian keabsahan KTUN yang disengketakan, hakim tidak terikat, hakim diperbolehkan untuk menggali, mengikuti dan memahami eksistensi AAUPB sebagai hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan yang lebih mencerminkan rasa keadilan348. Berkaitan dengan pertanyaan yang diajukan, yaitu apakah di dalam memeriksa, mengadili sengketa TUN selalu berdasarkan pada undangundang yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, peneliti memperoleh jawaban dalam bentuk tertulis yang disampaikan oleh Maftuh Effendi349 (hakim PTUN Semarang), yaitu secara normatif berdasarkan ketentuan Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1989 tentang PTUN, bahwa dasar pengujian (toetsingsgroden, grodens for review) bagi hakim administrasi meliputi :a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang348 349
commit to user2011, jam 09.00 – 12.00 Wawancara, di PTUN Yogyakarta , Senin, 10 Oktober Wawancara, di PTUN Semarang, Senin 3 Oktober 2011, jam 09.00-12.00
276 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
undangan yang berlaku,
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang
digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dilihat dari aspek prosedur, substansi dan wewenang. Selanjutnya bertentangan dengan aspek wewenang dapat dilihat dari ketidakwenangan dari materi (onbevoegheid ratione materiae), ketidakwenangan dari segi waktu (onbevoegheid ratione temporis), ketidakwenangan dari segi tempat (onbevoegheid ratione loci). Hakim peradilan admintrasi (PTUN) dalam memutus suatu sengketa yang dihadapi tidak sekedar membunyikan pasal dari undangundang, karena kadang-kadang suatu undang-undang tidak secara otomatis dapat mengikuti perubahan perkembangan masyarakat, sehingga sering dijumpai: 1. Undang-undang yang mengatur suatu norma tertentu tidak jelas (vage normen), 2. Normanya jelas dan tidak usang, tetapi tidak tepat diterapakan dalam suatu peristiwa konkrit, jika dipaksa diterapkan akan menciderai prinsip-prinsip keadilan, 3. Undang-undangnya sudah usang atau ketinggalan jaman (contra legem) atau bahkan 4. Suatu peristiwa konkrit tersebut sama sekali belum diatur dalam undang-undang atau dalam hukum (wet vacuum/rechts vacuum). Dalam keadaan demikian, hakim administrasi/PTUN dalam memutus suatu sengketa dengan berpedoman pada Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim dan hakim konstitusi wajib mengali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Berarti dalam menghadapi sengketa yang demikian, hakim akan menafsirkan suatu ketentuan undang-undang berdasarkan kaidah-kaidah ilmu hukum agar ketentuan tersebut dapat diterapkan pada suatu peristiwa konkret tertentu. Dicontohkan 4/G/2009/PTUN.SMG.
dalam Dalam
penyelesaian sengketa
sengketa tersebut
antara
Nomor lain
mempersoalkan apakah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang user berlaku ijin pertambangancommit daerahtoeksplorasi bahan galian C batu kapur
perpustakaan.uns.ac.id
277 digilib.uns.ac.id
wajib dilengkapi dengan AMDAL ?. ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undangundang Nomor 23 Tahun 1997, hanya menyatakan setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki AMDAL. Menurut Mahtuf Effendi, ketentuan tersebut tidak jelas apakah yang dimaksud usaha dan/atau kegiatan itu juga termasuk eksplorasi atau tidak untuk menentukan wajib tidaknya eksplorasi tersebut dengan AMDAL. Berdasarkan pertimbangan yang saya kutip dari putusan perkara tersebut (Nomor.04/G/2009/PTUN.SMG), majelis hakim menafsirkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997, dengan mengkaitkan seluruh aturan hukum dan bukti-bukti/alat bukti di persidangan PTUN, sampai pada kesimpulan bahwa “secara yuridis ijin pertambangan daerah eksplorasi bahan galian golongan C batu kapur yang luasnya kurang lebih 700 ha, meskipun belum jelas masuk atau tidaknya dikawasan lindung kars (kawasan sekitar mata air), tetapi sudah dipastikan lokasinya berbatasan langsung dengan kawasan lindung kars wajib dilengkapi dengan AMDAL”. (lihat putusan PTTUN Surabaya Nomor 138/B/2009/PT.TUN.Sby. dan putusan kasasi Nomor 103.K/TUN/2010). Demikian pula perkara Nomor 08/G/2009/PTUN.SMG, meskipun dalam ketentuan Pasal 55 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, Jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, disebutkan gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabatan Tata Usaha negara. Ketentuan pasal tersebut secara normatif masih berlaku, namun apabila ketentuan tersebut diterapkan dalam kasus yang diajukan pihak penggugat akan mencederai nilai keadilan. Oleh karena itu, majelis hakim mengesampingkan ketentuan Pasal 55 tersebut (teori penyimpangan) dan selajutnya memeriksa perkara. Pertimbangan majelis hakim mengesampingkan ketentuan Pasal 55, antara lain, 1. Sengketa tersebut telah diajukan ke pengadilan umum dan commit to user pengadilan menyatakan pengadilan umum tidak berwenang memeriksa
perpustakaan.uns.ac.id
278 digilib.uns.ac.id
dan memutus sengketa tersebut. 2. Dalam persidangan terungkap fakta hukum bahwa akta nikah yang menjadi dasar penerbitan akta kelahiran (obyek sengketa) ada indikasi kuat terdapat pemalsuan. Berdasarkan hal tersebut, untuk menelusuri supremasi nilai substansinya berupa keadilan, maka penegakkan hukum itu bukan sekedar menuruti kata-kata atau kalimat yang kaku dalam suatu peraturan (according to the letter), melainkan harus juga menelusuri, memahami semangat dan makna yang lebih dalam dari peraturan tersebut (to the very meaning). Di samping pendapat Maftuh Effendi yang mengemukakan bahwa hakim (PTUN) tidak terikat oleh bunyi ketentuan dalam undang-undang, sebagaimana diajarkan aliran legisme yang menyatakan satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. Pendapat tersebut dikuatkan oleh Teguh Satya Bhakti350, (hakim PTUN Smr), beliau mengemukakan bahwa ketentuan dalam undang-undang tidak membatasi hakim untuk terus merumuskan dan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat (jawaban tertulis). Selanjutnya dikemukakan, hakim harus terjun ke tengah-tengah kehidupan masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Beliau juga tidak mau dikatakan hakim hanya sebagai corong undang-undang atau hanya membunyikan ketentuan dalam undang-undang, bahwa undang-undang menurut beliau hanya sebagai pedoman dan hal tersebut hakim diperbolehkan untuk menyimpang dari ketentuan dalam undang-undang dalam kaitannya dengan memutus sengketa yang diajukan para pihak di muka sidang. Teguh Satya Bhakti mengemukakan, hakim dalam memutus perkara selalu didasarkan pada fakta atau peristiwa, bukan hanya menurut undang-undang. Menurut peneliti, apa yang dikemukakan Teguh Satya Bhakti tersebut bahwa hakim lebih menitik beratkan pada kebenaran commit to user 350
Wawancara, di PTUN Semarang, Senin, 3 Oktober 2011, jam 09.00-12.00.
perpustakaan.uns.ac.id
279 digilib.uns.ac.id
terjadinya suatu peristiwa yang didasarkan pada alat bukti yang diajukan di muka sidang, jawaban-jawaban yang dikemukakan para pihak di muka sidang, sehingga dapat diketemukan kebenaran yang didasarkan pada fakta. Selanjutnya beliau mengemukakan, apabila ternyata ditemukan bahwa undang-undang/hukum/norma yang menurut hakim tidak mampu menyelesaikan perkara yang diajukan di muka sidang berupa pemenuhan rasa keadilan kepada semua pihak, hakim dapat menyimpangi ketentuan dalam undang-undang tersebut, sepanjang pertimbangan hakim berorientasi kepada nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan bagi kedua pihak yang berperkara. Beliau menolak aliran legisme yang lebih menekankan pada hukum tertulis saja atau ketentuan dalam undang-undang saja sebagai satu-satunya yang harus dipedomani oleh hakim. Hakim dalam melaksanakan tugasnya sejatinya atau yang paling utama bukan menegakkan hukum, melainkan menegakkan keadilan yang berdasarkan hukum. Hukum yang dimaksud tidak hanya diartikan sebagai undangundang atau aturan tertulis saja, melainkan juga meliputi hukum tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat351. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Retno (hakim PTUN Yogyakarta), bahwa dalam memeriksa, memutus dan mnyelesaikan sengketa TUN yang diajukan para pihak di muka sidang, beliau lebih condong untuk memperhatikan, memahami, dan menggali nilai-nilai hukum dan keadilan di dalam masyarakat. Alasan yang beliau kemukakan, bahwa undang-undang itu bersifat abstrak atau umum, sehingga untuk diterapkan terhadap peristiwa konkret tertentu, undang-undang tersebut masih harus dikonkretkan melalui penafsiran hukum. Beliau lebih mengedepankan nilai-nilai keadilan yang dikehendaki oleh pencari keadilan dibandingkan dengan kepastian hukum yang kurang melihat sisi keadilan352. Hal senada dikemukakan oleh Maftuh Effendi, dan Teguh Satya Bhakti, dasar pertimbangan hakim memutus sengketa harus tetap mengacu pada ketentuan Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, namun menurut beliau landasan yuridis tersebut hanya merupakan alat untuk menuju inti penegakan hukum berupa keadilan. Karena keadilan tersebut pada hakikatnya merupakan wujud pencapaian yang tertinggi dalam suatu penegakkan hukum. 351 352
commit to user Wawancara, Senin, 3 Oktober 2011, jam 09.00-12.00 Wawancara, di PTUN Yogyakarta, Senin, 24 Oktober 2011, jam 11.00-13.00.
perpustakaan.uns.ac.id
280 digilib.uns.ac.id
Hakim melaksanakan amanat Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat, dibuktikan dengan Putusan PTUN Yogyakarta, Nomor 11/G/2010/PTUN.Yogyakarta. adapun yang menjadi obyek sengketa adalah keputusan Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Kedungsari Nomor : 04/KEP/BPD/2010 tentang Penolakan Permintaan Persetujuan Penetapan Dwi Sukamto sebagai Staf Desa Kedungsari, Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, tanggal 24 Juni 2010. Di desa tersebut dibutuhkan seorang staf dan sesuai dengan Perda Kabupaten Kulon Progo Nomor 9 Tahun 2007 tertanggal 26 Maret 2007 tentang Pengisian Perangkat Desa Lainnya, Pasal 6 ayat (1) penggugat telah memenuhi dan melengkapi semua persyaratan administrasi yang diwajibkan untuk mengikuti pendaftaran menjadi bakal calon staf. Pada tanggal 28 Mei 2010 jam 19.30 WIB, semua calon staf (9 orang) memperoleh undangan dari panitia peneliti dan penguji di Balai Desa Kedungsari untuk diberi penjelasan persiapan ujian tertulis. Pada hari Minggu tanggal 30 Mei 2010 jam 09.00 WIB, semua bakal calon staf mengikuti ujian tertulis, dan hasilnya penggugat dinyatakan sebagai calon yang lulus serta memperoleh nilai tertinggi. Berdasarkan Perda Nomor 9 Tahun 2007, Pasal 12 ayat (1), Kepala Desa Kedungsari menyampaikan permintaan persetujuan penetapan staf kepada BPD dengan dilampiri berita acara, namun ternyata BPD Kedungsari menolak permintaan persetujuan penetapan staf tersebut dengan keputusan Nomor : 04/KEP/BPD/2010 (obyek sengketa). Alasan penolakan BPD adalah sejak pembentukan panitia peneliti dan penguji muncul rumor dan kekhawatiran masyarakat bahwa terdapat indikasi dan dugaan panitia akan melakukan tindakan yang menguntungkan calon atas nama penggugat (rumor muncul dari calon yang nilainya di bawah penggugat dan tidak dibuktikan berdasarkan hukum oleh BPD). Berdasarkan hal-hal yang telah user (termasuk pembuktian), maka dikemukakan para pihak commit di mukato sidang
281 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
majelis hakim berpendapat bahwa tindakan tergugat di dalam menerbitkan obyek sengketa in litis selain bertentangan dengan asas fair paly, tergugat dinilai telah melakukan tindakan sewenang-wenang. Putusan majelis hakim yang mendasarkan pada pertimbangan asas fair flay tersebut tidak diatur dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a dan b, berarti majelis hakim mendasarkan putusannya dengan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Asas fair flay digunakan sebagai pedoman dalam memutus sengketa TUN yang obyek sengketanya berupa penolakan Dwi Sukamto (penggugat) yang diusulkan oleh kepala desa untuk minta persetujuan BPD. Penggugat sebagai calon staf mempunyai kualitas dan kemampuan untuk bekerja, hal tersebut dibuktikan dengan perolehan nilai 97 dan calon lain di bawah penggugat memperoleh nilai 66. Penemuan hukum yang dilakukan oleh majelis hakim dengan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat, di samping sebagai upaya memberikan perlindungan hukum dan memenuhi rasa keadilan masyarakat juga dimaksudkan sebagai kontrol terhadap tindakan Badan atau Pejabat TUN yang
bertindak
sewenang-wenang.
Putusan
majelis
hakim
yang
menyatakan batal keputusan Badan atau Pejabat TUN, yaitu Badan Permusyawaratan Desa Kedungsari, merupakan hak patut mendapat perhatian atau dapat dicontoh oleh hakim lain, karena dasar pertimbangan yang digunakan untuk memutus obyek sengketa dengan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang tidak diatur dalam undang-undang. Putusan yang demikian untuk sementara menolak suara masyarakat yang mengatakan hakim sebagai corong undang-undang (la bouche de la loi ) atau hakim hanya membunyikan ketentuan dalam undang-undang. Pada era globaliasi dan tuntutan masyarakat terhadap nilai-nilai keadilan yang bergema dalam kehidupan sehari-hari, maka dalam tugas to user yang demikian diperlukancommit dan dibutuhkan hakim yang kreatif, inovatif,
282 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kritis dan ada keberanian karena memperjuangkan kebenaran berdasarkan keadilan. Keberanian hakim untuk menggali,mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat, kiranya tidak boleh dipandang sebelah mata, karena di samping hakim tersebut mempunyai kualitas dan kemampuan membaca permasalahannya, ia dipandang sebagai pahlawan yang memperjuangkan kebenaran dan hal tersebut harus didukung oleh mental yang kuat dan baik. Dalam menjalankan tugasnya, untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa atau perkara, tidak sedikit variabel atau faktor yang datang untuk mempengaruhi putusannya, maka dibutuhkan iman yang kuat, moral yang baik, kejujuran yang obyektif dan wawasan yang luas. Putusan Nomor 25/G/2009/PTUN.SBY. Subyek hukum dalam sengketa tersebut adalah Sutomo, pekerjaan notaris/PPAT, sebagai penggugat melawan Ketua Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Madiun,
sebagai
tergugat.
Obyek
gugatan
Surat
Nomor
8/MPDNM/II/2009, tanggal 18 Februari 2009 perihal pemanggilan notaris berdasarkan permohonan dari Kepolisian Negara RI Cq. Kapolwil Madiun selaku penyidik Nomor Pol. : B/13/II/2009/Reskrim, tanggal 13 Februari 2009. Ketua Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Madiun (tergugat) sebagai Badan atau Pejabat TUN berdasarkan Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 mempunyai kewenangan : 1. Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang : a. Mengambil fotokopi minuta akta dan atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris b. Memanggil notaris unutk hadir dalam pemeriksaan yang bekaitan dengan akta yang dibuatnya atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanan notaris 2. Pengambilan fotokopi minuta akta atau surat-surat sebagaimana user berita acara penyerahan. dimaksud pada ayat (1)commit huruf a,todibuat
283 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Surat tersebut dibuat oleh tergugat untuk menjawab surat permohonan Kapolwil Madiun selaku penyidik, yaitu tentang pemanggilan notaris (penggugat/sutomo) untuk diminta keterangannya sebagai saksi. Pendapat hakim berdasarkan perimbangan hukumnya, bahwa obyek sengketa tersebut adalah KTUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undangundang Nomor 5 Tahun 1986 jo, Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan tidak termasuk KTUN sebagaimana dimaksud oleh Pasal 2 huruf d Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, yaitu KTUN yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP dan KUHAP atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana. KTUN yang dikeluarkan oleh Ketua Majelis Pengawas Daerah Notaris, menurut pendapat hakimbertentangan dengan AAUPB terutama audi et alteram partern, karena KTUN tersebut dibuat, penggugat belum pernah dipanggil untuk diklarifikasi atau diminta keterangan terlebih dahulu. Asas tersebut tidak diatur dalam Undang-undang tentang PTUN, berarti hakim menggali, memahami dan mengikuti nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Jawaban hakim PTUN sebagaimana dikemukakan tersebut, menurut peneliti merupakan jawaban hakim berpandangan dan berwawasan luas dan mendalam
(membumi),
karena
dalam
memeriksa,
memutus
dan
menyelesaikan sengketa tidak hanya mendasarkan pada ketentuan undangundang saja. Hakim PTUN tersebut, berarti mereka mampu menggali, memahami dan mengikuti apa yang diamanatkan dalam Pasal 5 Undangundang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Mereka telah berani menerobos pagar yang dibangun oleh aliran legisme dan positivisme, yang mengganggap undang-undang sebagai satu-satunya sumber hukum. Algra dan van Duyvendijk353, aliran positivisme hukum telah memperkuat pelajaran legisme, yaitu suatu pelajaran yang menyatakan tidak hukum di luar undang-undang. Undang-undang menjadi sumber hukum satu-satunya. Undang-undang dan hukum diidentikan. Amin354, mengatakan ajaran 353 354
to userOp., cit., hlm., 45 Algra dan van Duyvendijk, dalam H. commit Riduan Syahrani, Amin, dalam H Riduan Syahrani, Op., cit., hlm., 44
284 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
legitimisme sangat mengagungkan hukum tertulis, sehingga aliran ini beranggapan tidak ada norma hukum di luar hukum positf, semua persoalan dalam masyarakat diatur dalam hukum tertulis. Pandangan yang sangat mengagung-agungkan hukum tertulis pada positivisme hukum ini, pada hakikatnya merupakan penghargaan yang berlebihan terhadap kekuasaan yang menciptakan hukum tertulis itu, sehingga dianggap kekuasaan itu adalah sumber hukum dan kekuasaan adalah hukum. Anis Ibrahim355, mengemukakan bahwa aliran hukum positif yang menggunakan sarana analytical jurisprudence yang bertolak dari premis peraturan dan logika. Bagi ilmu hukum positif (dogmatik), kebenaran terletak dalam tubuh peraturan. Selanjutnya Anis Ibrahim, mengemukakan, pandangan ini melihat sebagai suatu institusi yang sederhana, linier, mekanistik dan deterministik, terutama untuk kepentingan profesi. Kebiasaan yang dominan adalah melihat dan memahami hukum sebagai sesuatu yang rasional-logis, yang penuh kerapian dan keteraturan rasional. Tegasnya hukum adalah sebuah order – sebuah perintah, sebuah keteraturan yang diterapkan terhadap dan karenanya manusia harus tunduk kepadanya. Pengikut aliran ini (John Austin) mengemukakan hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara dan Hans Kelsen yang mengetengahkan teori hukum murni, beliau mengemukakan ilmu hukum adalah ilmu normatif. Hukum semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Ciri hakiki dari norma adalah sifatnya yang hipotetis. Hukum lahir bukan karena proses alami, melainkan karena kemauan dan akal manusia yang dibingkai dalam format-format tertentu. Terobosan yang dilakukan oleh beberapa hakim PTUN tersebut, sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Sabian Ustman, bahwa tidak cocok apabila aparat pembuat undang-undang dan penegak hukum hanya berkiblat kepada
aliran
legisme
atau
legal
positivism356.
Sabian
Ustman,
mengemukakan begitu menyedihkannya supremasi hukum kita dengan 355
Anis Ibrahim, 2007, Merekonstruksi Keilmuan Ilmu Hukum dan Hukum Milenium Ketiga, commit to user Malang, In-TRANS, hlm., 20 356 Sabian Utsman, Op., cit., hlm., 25.
285 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
konsep-konsep yang melangit dalam tatanan law in the books yang berkutat pada
paradigma
positivistik,
maka
terjadilah
institusi
pengadilan
(mekansitik) berfungsi sebagai tempat orang-orang korup dan pendosa untuk mencari perlindungan yang aman (safe haven). Untuk menggagas bagaimana Indonesia berhukum, maka haruslah berangkat dari perspektif kolektif dalam struktur sistem peradilan, sehingga membentuk konstruksi sebagai satu kesatuan yang searah kepada sasaran tertentu, yaitu tidak melenceng dari pembukaan UUD 1945 (sebelum revisi). Kekeliruan yang paling mendasar, terutama ketika praktisi dan teoritisi hukum khususnya di Indonesia memahami hukum hanya secara “harfiah”. Untuk diketahui, bahwa kajian ilmu hukum, sistem hukum Belanda (yang merupakan sebagian besar acuan hukum Indonesia) adalah tergolong pengikut mazhab roman law sistem (pinjam istilah pak Tjip dan pak Tandyo Wignjosoebroto adalah sistem hukum Romawi-Jerman) dibentuk di benua Eropa (abad 12 dan 13) yang mendasarkan bahwa hakim tidak boleh membuat putusan yang berbeda dengan undang-undang dan undang-undang sebagai sumber utamanya dan dikuatkan lagi ketika Napoleon mengundangkan Civil Code-nya, maka berkembanglah anggapan bahwa undang-undang adalah hukum itu sendiri (Civil-Code dianggap sempurna dan menghasilkan kepastian serta kesatuan hukum)357 Terobosan yang telah dilakukan oleh beberapa hakim PTUN tersebut, rupanya dapat menjawab sedikit permasalahan praktik hukum oleh hakim yang selama ini cenderung mendapat kritik yang pedas, karena kurang atau tidak mencerminkan aspirasi kebenaran yang berkeadilan. Hal tersebut kiranya dapat mengobati dunia peradilan yang setiap hari dan waktu mendapatkan kecaman, kritikan dan ketidak percayaan masyarakat. Sabian Usman, mengemukakan dalam rangka upaya alternatif mengatasi masalah peradilan, di samping harus di mulai dari dalam diri aparat pembuat dan penegak hukum dengan tidak kaku hanya pada aliran legal positivism, namun dapat juga meramunya dari berbagai aliran yang memungkinkan dan commit to user 357
Sabian Utsman, Op., cit., hlm., 8-9.
286 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
untuk bangsa Indonesia, semisal tentang peran hakim, antara lain, (1) aliran legisme atau legal positivism, yaitu hakim berperan hanya melakukan pelaksanaan
undang-undang
rechtsbewegung,
yaitu
hakim
(wetstoepassing), bertugas
untuk
(2)
aliran
menciptakan
freie hukum
(rechtsschepping) yang tidak terikat dengan undang-undang, (3) aliran rechtsvinding, hakim mempunyai kebebasan yang terikat (gebondenvrijheid) atau bisa diartikan keterikatan yang bebas (vrije-gebondenheid), (4) mencari alternatif lain yang sesuai dengan karateristik bangsa Indonesia sendiri, yaitu harus ada kontrol sosial dari lembaga non pemerintahan, memperbanyak advokasi dalam mendapingi permasalahan yang berkembang di masyarakat (yang menujukkan public accountability), serta pemerintah mempertebal tekad political will-nya358. Memang sudah waktunya di era globalisasi ini, di mana masyarakat menuntut adanya keterbukaan, tanggung jawab dari tugas suci dalam praktik hukum di Indonesia, hakim dimohon untuk meninggalkan mekanisme normatif-dogmatis yang selama ini mengukungnya, kemudian untuk bangun dan bangkit membangun peradilan yang jujur dan berwibawa melalui putusan-putusannya. Bernard L Tanya, mengemukakan dalam disertasinya, memasuki abad 21, ilmu hukum tidaklah memadai jika hanya berkubang dalam paradigma normatif-dogmatis saja. Sebab jika hanya berkisar pada aspek normatif saja, maka tidaklah akan dapat menangkap hakikat hukum sebagai upaya manusia untuk menertbkan diri dan masyarakat berikut kemungkinan berfungsi atau tidaknya hukum tersebut dalam masyarakat. Selanjutnya dikatakan ilmu hukum dogmatik hanya melihat ke dalam hukum dan menyibukan diri dengan membicarakan dan melakukan analisis ke dalam, khususnya hukum sebagai suatu bangunan peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis. Jadi, kegunaan dari ilmu hukum dogmatik ini tidak lebih hanya menelaah bangunan logis-rasional dari deretan pasal-pasal peraturan. Oleh karenanya, ilmu hukum dogmatik seperti ini sering disebut commit to user 358
Sabian Utsman, Op., cit., hlm., 20
perpustakaan.uns.ac.id
287 digilib.uns.ac.id
dengan analytical jurisprudence359, yang dalam praktik sangat bertumpu pada dimensi bentuk formal dan prosedural dalam berolah hukum untuk mencapai (aksiologi) kepastian. Hal tersebut berbeda dengan ilmu hukum non-dogmatik, yaitu tidak berhenti kepada menyibukkan diri dengan bangunan logis-rasional dari sebuah peraturan. Tujuan (aksiologi) yang ingin dicapai oleh ilmu hukum non-dogmatik adalah untuk mencari dan mencapai kebenaran hukum sebagai institusi kemanusiaan dan kemasyarakatan. Kebenaran hukum yang demikian itu jelas tidak dapat diperoleh jika hanya bertumpu pada peraturan hukum semata-mata. Hukum adalah untuk manusia. Melihat hukum sebagaimana suatu kenyataan yang berlaku di dalam masyarakat, bukan hanya sebagai norma dalam undang-undang yang bersifat kaku adalah sesuai dengan aliran hukum realis pragmatis. Adi Sulistiyono, dalam bukunya yang berjudul menggugat dominasi positivisme dalam ilmu hukum, mengemukakan, filsafat pragmatisme merupakan aliran filsafat yang menerapkan orientasi perhatian terhadap kenyataan. Dalam bidang filsafat hukum, hal ini telah mengakibatkan bergeraknya dari dunia teori sebagaimana mendominasi pemikiran filsafat sebelumnya ke arah dunia praktis. Pada peralihan abad ke 19-20, pemikiran hukum dipengaruhi oleh suatu aliran filsafat yang sangat dominan pada saat itu, yaitu aliran filsafat pragmatis. Para pemikir hukum realis pragmatis (pragmatic legal realism), yaitu aliran pemikiran yang memberatkan perhatiannya terhadap penerapan hukum dalam kehidupan bermasyarakat (bernegara). Hal terpenting bagi mereka adalah bagaimana hukum itu diterapkan dalam kenyataan dan mereka berkata, bahwa hukum yang sebenarnya adalah hukum yang dijalankan itu. Hukum bukanlah apa yang tertulis dengan indah dalam undang-undang, melainkan adalah apa yang dilakukan oleh aparat penyelenggara hukum, polisi, jaksa, hakim atau siapa saja yang melakukan fungsi pelaksanaan hukum360 359 360
commit to hlm., user 13 Satjipto Rahardjo, dalam Anis Ibrahim, Op., cit., Adi Sulistiyono, 2004, Op., cit., hlm., 18
perpustakaan.uns.ac.id
288 digilib.uns.ac.id
Selanjutnya dikemukakan, Oliver Wendell Holmes (1841-1935) sebagai tokoh pencetus pertama aliran ini dengan buku karangannya yang terkemuka The Path of Law, dikatakan seorang ahli hukum harus menghadapi gejala kehidupan sebagai suatu kenyataan yang realistis. Mereka harus tahu bahwa yang menentukan nasib pelaku kejahatan bukan rumusan sanksi dalam undang-undang, melainkan pertanyaan-pertanyaaan dan keputusan hakim361. Berkaitan dengan hal tersebut, Riduan Syahrani, mengemukakan bahwa aliran pemikir hukum realis pragmatis (pragmatic legal realism), menitikberatkan perhatian terhadap “penerapan hukum” dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal terpenting bagi mereka adalah bagaimana hukum itu diterapkan dalam kenyataan dan mereka berkata : hukum yang sebenarnya adalah hukum yang dijalankan itu. Hukum bukanlah apa yang tertulis dengan indah dalam undang-undang, melainkan apa yang dilakukan aparat penyelenggara hukum (polisi, jaksa, hakim dan siapa saja yang melakukan fungsi pelaksanaan hukum)362
361 362
user19 Theo Huijbers, dalam Adi Sulistiyono,commit Op., cit.,tohlm., Riduan Syahrani, Op., cit., hlm., 53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V PEMIKIRAN HAKIM DALAM MENGHADAPI SENGKATA YANG BELUM DIATUR DALAM UNDANG-UNDANG ATAU TELAH DIATUR DALAM UNDANG-UNDANG, NAMUN KURANG ATAU TIDAK JELAS MENGATURNYA.
A. Hakim dan Penafsiran Undang-undang Secara ideal hukum seharusnya dapat menampung semua kepentingan seluruh anggota masyarakat, namun dalam kenyataannya tidak semua kepentingan warga masyarakat tersebut dapat tertampung secara sistematis dalam wadah bentuknya undang-undang yang tertulis. Perkembangan ilmu dan teknologi, tarnsformasi dan komunikasi merupakan pengaruh yang besar, hukum tidak akomodatif untuk mewadahi permasalahan dalam masyarakat. Soetandyo Wignjosoebroto, mengemukakan, di dalam kehidupan yang mulai banyak mengalami perubahan-perubahan transformatif yang amat cepat, terkesan kuat bahwa hukum undang-undang tak dapat berfungsi efektif untuk menata kehidupan. Dikesan bahwa hukum bahkan selalu tertinggal dibelakang segala perubahan dan perkembangan itu. Tanpa ayal lagi, berbagai cabang ilmu sosial khsusnya sosiologi yang akhir-akhir ini mulai banyak mengkaji dan meneliti ihwal perubahan sosial “dipanggil” untuk ikut menyelesaikan berbagai masalah pokok dan perubahan sosial yang amat relevan dengan permasalahan hidup hukum363. Sehubungan dengan hal tersebut, Satjipto Rahadjo mengemukakan, globalisasi telah menimbulkan dampak diberbagai bidang, ada kecenderungan munculnya negara tanpa batas (the ends of nation state). Kondisi semacam ini tidak dapat dibiarkan berjalan tanpa norma dan rule of law. Globalisasi menuntut perubahan ilegal sistem, karena melibatkan segala aspek kehidupan, berupa ekonomi, politik, sosial-budaya, termasuk di
commitPemikiran to user dalam Hukum, Memperingati 70 Soetandyo Wignjosoebroto, 2008, Butir-butir Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH., Bandung : Refika Aditama, hlm., 57. 363
289
290 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dalamnya
aspek
perkembangan
kejahatan364
masyarakat
yang
Endang
Sutrisno
semakin
intensif
mengemukakan, seiring
dengan
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menyebabkan terjadinya
pergeseran
dalam
nilai-nilai
keberlakuan
di
masyarakat.
Dibutuhkan pemahaman baru manakala dihadapkan pada kondisi yang sedang mengalami
pergeseran tatanan nilai.
Selanjutnya dikatakan,
perkembangan dalam masyarakat akibat globalisasi telah mempengaruhi perkembangan dalam tatanan hukum nasional bangsa-bangsa. Pada akhirna norma hukum yang ada harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahanperubahan yang terjadi, bukan berarti harus menanggalkan nilai-nlai yang dianutnya. Hukum tetap harus mampu memadukan implikasi yang timbul akibat dari arus globalisasi dengan nilai dasar yang dikandung dalam Pancasila365. Hukum tidak dapat dilepas dari sejarah manusia, maka sudah sangat jelas bahwa perkembangan dan perubahan hukum tidak lepas dari dinamika sosial dengan segala kepentingan yang sesungguhnya berada di belakang hukum. Hukum itu sendiri tidak bisa dielakkan selalu berkembang, namun perkembangannya tidak bisa dipastikan berkembang kepada arah-arah tertentu, tetapi yang jelas pada akhirnya, juga membawa perubahan setelah bersenyawa dengan bertarung dengan berbagai kepentngan yang berada di belakang hukum itu sendiri. Hukum berseerat dengan masyarakat, masyarakat berubah, hukum juga harus berubah, jika masyarakat Indonesia sudah merdeka dari bangsa jajahan, maka hukumnya juga harus berjalan dengan perubahan itu366. Kajian hukum dalam bentuk undang-undang sebagai produk dari para legislatif, memang undang-undang tidak selalu jelas, dan jelas dalam mengatur kepentingan warga masyarakat yang semakin maju dan berkembang, karena sifatnya yang abstrak atau diberlakukan untuk umum, bahkan kadang-kadang undang-undang ketinggalan jaman atau usang. 364
Satjipto Rahardjo, dalam Endang Sutrisno, 2007, Bunga Rampai Hukum & Globalisasi, Yogyakarta : Genta Press, hlm., 90. 365 commit to user Endang Sutrisno, Ibid., hlm., 91 366 Sabian Utsman, Op., cit., hlm., 3-4.
perpustakaan.uns.ac.id
291 digilib.uns.ac.id
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo mengemukakan, undang-undang itu tidak sempurna, memang tidak mungkin undang-undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada kalanya undang-undang itu tidak lengkap dan ada kalanya undang-undang itu tidak jelas, meskipun tidak lengkap dan tidak jelas undang-undang harus dilaksanakan. Dalam hal terjadi pelanggaran undang-undang, hakim harus melaksanakan atau menegakkan undang-undang. Hakim tidak dapat menangguhkan pelaksanaan atau penegakkan undang-undang yang telah dilanggar. Hakim tidak dapat dan tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan, karena hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas atau dengan dalih tidak sempurnanya undang-undang367. Selajutnya dikemukakan, undangundang tidak mungkin lengkap. Undang-undang hanya merupakan satu tahap dalam proses pembentukan hukum dan terpaksa mencari kelengkapannya dalam praktik hukum dan hakim368. Dengan diadakannya kodifikasi di Jerman pada tahun 1900 timbulah pendapat bahwa tidak terdapat kekosongan-kekosongan atau kekurangan-kekurangan dalam undang-undang, tetapi kemudian timbul pendapat bahwa undang-undang itu tidak sempurna, banyak kekurangan-kekurangannya yang harus dilengkapi atau diisi oleh hakim. Dengan makin melepaskan diri dari sistem timbullah pandangan bahwa putusan-putusan itu tidak begitu saja berasal dari undang-undang maupun dari sistem asas-asas hukum atau pengertian hukum, melainkan ada unsur penilaian memegang peranan (freirechtbewegung)369. Lili Rasyidi370, mengemukakan pada hari ini, kerangka hukum di dunia berhadapan dengan masalah-masalah yang lebih rumit seperti penyusunan, kebangkitan kembali, pembangunan, kelahiran dan bentuk potensial dari tata tertib hukum. Situasi dan kondisi hukum yang disebut antara lain hukum itu edan, hukum itu amburadul, hukum itu gonjang-ganjing dan hukum itu kacau
367
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Op., cit., hlm., 3-4 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op., cit., hlm., 8 369 commit to user Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op., cit., hlm., 11 370 Lili Rasyidi, 2009, Kapita, Op., cit., hlm., 1 368
292 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
balau. Berbagai upaya telah dicoba oleh berbagai pihak untuk mencari jalan keluar dari permasalahan-permasalahan hukum, yaitu : 1. Dengan memperbaiki perundang-undangan yang dinilai banyak memiliki kelemahan atau tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat (tidak aspiratif) 2. Dengan membuat undang-undang baru untuk dapat mengganti perundangundangan yang dinilai banyak memiliki kelemahan atau tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat (tidak aspiratif) 3. Dengan melakukan penelitian-penelitian mendalam oleh kalangan ilmuwan dan akademisi terhadap perundang-undangan yang dinilai bermasalah 4. Dengan penemuan hukum (rechtsvinding) oleh para hakim sebagai penegak hukum.
Upaya-upaya yang telah dialkukan dimaksud merupakan hal yang didasari oleh pendekatan aliran atau ilmu hukum positif. Pendekatan aliran hukum positif dalam menyelesaikan permasalahan hukum merupakan suatu kondisi logis terhadap peraturan perundang-undangan yang “bermasalah” sebagai hukum positif. Hukum positif (ius constitutum) dapat dipahami sebagai kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia371. Pada kenyataannya pendekatan aliran hukum positif tidak sepenuhnya menyelesaikan permasalahan. Penyelesaian permasalahan yang berorientasi kepada peraturan perundang-undangan atau hukum positif hanya akan menyentuh
gejala
permasalahan,
namun
belum
sampai
pada
akar
permasalahannya. Untuk dapat melakukan peneyelesaian permasalahan secara tuntas, maka perlu digunakan pendekatan teoretis. Pendekatan teoretis dimaksudkan untuk mencari jawaban atas pertanyaan apakah kemungkinan permasalahan itu timbul oleh karena mazhab atau teori atau perspektif atau commit(Suatu to user Bagir Manan, 2004, Hukum Positif Indonesia Kajian Teoritik), Yogyakarta : FH UII Press, hlm., 1 371
perpustakaan.uns.ac.id
293 digilib.uns.ac.id
paradigma yang menjadi landasan teoretis dari suatu perundang-undangan sudah tidak cocok lagi untuk digunakan (kadaluwarso)372. Pemikiran hakim dalam kajian penelitian ini adalah dalam kaitannya dengan tugas hakim, yaitu memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa yang diajukan para pihak di muka sidang. Hakim dalam arti menerima perkara yang kemudian memberikan putusannya. Sebagaimana dikemukakan oleh Maftuh Effendi373, hakim PTUN Semarang, bahwa hakim PTUN dalam memutus sengketa yang dihadapi tidak sekedar membunyikan pasal dari undang-undang, karena kadang-kadang suatu undang-undang tidak secara otomatis dapat mengikuti perubahan perkembangan masyarakat. Di samping sifat kaku dari undang-undang sendiri juga karena undang-undang tersebut dibuat dalam waktu yang lama, sehingga sesuatu hal yang diatur 15 tahun yang lalu akan berbeda dengan keadaan sekarang. Demikian jawaban yang dikemukakan Teguh Satya Bhakti374, hakim PTUN Semarang, beliau mengemukakan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan dilarang menolak untuk memeriksa dan mengadili sengketa yang diajukan para pihak di muka sidang, dengan dalih hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Hal tersebut didasarkan pada asas ius curia novit, dan ketentuan Pasal 5, Pasal 10 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Lebih lanjut dikemukakan, undang-undang kekuasaan kehakiman mengisyaratkan bahwa seorang hakim harus memiliki kemampuan dan keaktifan untuk menemukan hukum (rechtsvinding) dan hasil penemuan hukum tersebut menjadi dasar pertimbangan untuk mengambil putusan375. Hakim seharusnya melakukan interpretasi, agar undang-undang yang sifatnya abstrak dapat diterapkan terhadap peristiwa konkrit tertentu. Undang-undang yang kurang jelas, kabur, dapat dijelaskan untuk dapat diterapkan. Pandangan
372
Lili Rasyidi, 2009, Op., cit., hlm., 2 Wawancara, Senin, 10 Oktober 2011, jam 09.00-12.00 di PTUN Semarang 374 to user di Ptun Semarang Wawancara, Senin, 10 Oktober 2011,commit jam 09.00-12.00 375 Wawancara, Senin, 10 Oktober 2011, jam 09.00-12.00. di PTUN Semarang. 373
perpustakaan.uns.ac.id
294 digilib.uns.ac.id
Agus376, hakim PTUN Yogyakarata, tidak jauh berbeda dengan hakim PTUN Semarang, apabila menghadapi sengketa TUN yang ternyata hukumnya kurang jelas, kabur, usang, maka beliau dalam memutus dan menyelesaikan sengketa lebih mentikberatkan untuk menggali, memahami dan mengikuti nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat dengan dengan melakukan penafsiran dan konstruksi hukum. Pendapatnya tersebut dikuatkan oleh temannya Retno dan Reni377, bahwa sebagai hakim tidak hanya berpedoman pada ketentuan tertulis dalam undang-undang saja sebagai pedoman untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa TUN yang diperiksanya, karena undang-undang sifatnya kaku dan tidak mengatur segala kepentingan manusia secara sistematis, melainkan juga harus memperhatikan hal-hal di luar undang-undang untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat378 Berkaitan dengan keberadaan Pasal 27 ayat (1) sebelum diubah dan sekarang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, terutama dalam Pasal 5, Satjipto Rahardjo, berpendapat ketentuan pasal tersebut dapat ditafsirkan sebagai pemberian kekuasaan kepada pengadilan untuk menentukan sendiri apa yang menurut pendapatnya layak diterima sebagai hukum di negeri ini Konsekuensi penerimaan terhadap tafsiran yang demikian itu adalah bahwa pengadilan dapat menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya dikemukakan bahwa apabila peranan pengadilan yang demikian itu dapat diterima, maka sumbangan lembaga hukum ini terhadap perubahan sosial yang terjadi di negeri ini akan besar sekali. Pendapat ini didasarkan kepada keadaan yang sudah menjadi klasik, yaitu bahwa pembuat undangundang ditakdirkan untuk tertinggal di belakang, apalagi jika masyarakat
376
Wawancara, Kamis, 13 Oktober 2011, jam 09.00-12.00, di PTUN Yogyakarta Wawancara, Senin, 24 Oktober 2011, jam 09.00-13.00, di PTUN Yogyakarta 378 commit to user Wawancara , Kamis, 13 Oktober 2011, dan Senin, 24 Oktober 2011, jam 09.00-12.00, di PTUN Yogyakarta. 377
perpustakaan.uns.ac.id
295 digilib.uns.ac.id
yang bersangkutan sedang mengalami perubahan sosial yang besar seperti Indonesia379. Kajian mengenai pemikiran hakim, maka menarik untuk dikemukaan pendapat Antonius Sudirman, secara sederhana dapat dikatakan bahwa studi ilmu hukum perilaku (behavioral jurisprudence) adalah studi yang mempelajari tingkah laku aktual hakim dalam proses peradilan. Tingkah laku tersebut dipelajari dalam interaksi dan interelasinya antara orang-orang yang terlibat dalam tahap-tahap dalam pengambilan keputusan tersebut satu sama lain. Dengan demikian, pusat perhatian bukan pada hukum tertulis dan putusan hakim yang bersifat formal, melainkan pada pribadi hakim dan orang-orang yang terlibat dalam peranan-peranan sosial tertentu dalam pengambilan keputusan hukum380. Selanjutnya dikatakan bahwa fokus utama dalam pendekatan ilmu hukum perilaku adalah perilaku hakim dalam proses peradilan, namun mempelajari perilaku hakim tersebut tidak bisa dilepas-pisahkan dari sikapsikap individual yang melekat pada pribadi hakim, sebab sikap-sikap tersebut sangat menentukan perilaku atau tindakan/putusannya. Sehubungan dengan hal tersebut, Glendon Schubert381, mengemukakan hakim itu setuju atau tidak setuju terhadap suatu keputusan, bukan karena mereka melakukan penalaran yang sama atau berlainan, melainkan karena mereka mempunyai sikap-sikap yang sama atau berlaian. Schubert, selanjutnya mengemukakan, para hakim berbeda-beda dalam sikap-sikapnya oleh karena masing-masing pada akhirnya memiliki beberapa hal untuk dipercayainya dan menolak yang lain sebagai hasil dari pengalaman hidupnya. Apa yang dipercaya oleh seorang hakim tergantung dari afiliasi-afiliasi politik, agama dan etnisnya, baik formal maupun bukan, kariernya di bidang hukum sebelum menjadi hakim. Afiliasiafiliasi yang berhubungan dengan perkawinan, status sosial ekonomi, pendidikan dan kariernya, pada gilirannya untuk bagian terbesar dipengaruhi 379
Satjipto Rahardjo, 1983, Hukum dan Perubahan Sosial Suatu Tinjauan Teoretis srta Pengalaman-pengalaman di Indonesia, Bandung : Alumni, hlm., 184 380 Antonius Sudirman, Op., cit., hlm., 32commit to user 381 Antonius Sudirman, dalam Satjipto Rahardjo,2006, Hukum dalam..., Op., cit., hlm., 157
perpustakaan.uns.ac.id
296 digilib.uns.ac.id
oleh tempat ia dilahirkan, dari orang tua siapa dan kapan. Dalam menerima pengaruh atau rangsangan dari luar, baik dari lingkungan sosial maupun budaya, hakim tidak akan bertindak sebagai robot, dalam arti tindakan yang diambil semata-mata sebagai tindakan atas rangsangan atau stimulus sosial, tetapi tindakan tersebut dilakukan sebagai hasil dari proses interpretasi terhadap stimulus sosial tersebut. Blumer382, salah seorang tokoh aliran interaksionisme simbolik mengemukakan bahwa tindakan manusia terdiri dari pertimbangan atas berbagai hal yang diketahuinya dan melahirkan serangkaian kelakuan atas dasar bagaimana mereka manafsirkan hal tersebut. Hal yang dipertimbangkan mencakup berbagai masalah, seperti keinginan dan kemauan, tujuan dan sarana yang tersedia untuk mencapainya, serta tindakan yang diharapkan dari orang lain. Menurut Mead383, manusia mempunyai sejumlah kemungkinan tindakan dalam pemikirannya sebelum ia memulai tindakan yang sebenarnya. Sebelum melakukan tindakan yang sebenarnya, seseorang mencobakan terlebih dahulu berbagai alternatif tindakan itu secara mental melalui pertimbangan pemikirannya. Karena itu sebenarnya dalam proses tindakan manusia itu terdapat suatu proses mental yang tertutup yang mendahului proses tindakan yang sebenarnya dalam bentuk tingkahlaku yang sebenarnya atau yang kelihatan. Berpikir menurut Mead adalah suatu proses di mana individu berinteraksi dengan dirinya dengan mempergunakan simbol-simbol yang bermakna. Melalui proses interaksi dengan dirinya sendiri itu, individu memilih yang mana di antara stimulus yang tertuju kepadanya itu yang akan ditangapinya. Individu dengan demikian tidak secara langsung menanggapi stimulus, tetapi terlebih dahulu memilih dan kemudian memutuskan stimulus mana yang akan ditanggapinya. Sesudah stimulus dipilih, individu mencobakan berbagai tanggapan dalam pikiran sebelum tanggapan yang sesungguhnya diberikan. Jadi aktor melihat ke depan dan memastikan akibat 382
Blumer, dalam Margaret M. Poloma, 1994, Sosiologi Kontemporer, terjemahan Tim Penerjemah Yosogama, Jakarta : Grafindo Persada, hlm., 268. 383 to user George Ritzer, Sociology : A Multiplecommit Paradigma Science, penerjemah, Alimandan, 1992, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta : Raja Grafindo, hlm., 67-68
perpustakaan.uns.ac.id
297 digilib.uns.ac.id
atau hasil dari berbagai tindakan yang dipilihnya itu. Tindakan itu merupakan hasil dari proses interprestasi terhadap stimulus. Jadi merupakan hasil proses belajar, dalam arti memahami simbol-simbol dan saling menyesuaikan makna dari simbol-simbol itu, meskipun norma-norma, nilai-nilai sosial dan makna dari simbol-simbol itu memberikan pembatasan terhadap tindakannya, bahwa dengan kemampuan berpikir yang dimilikinya manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan tindakan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya384. Kajian tentang tindakan hakim dalam pengambilan putusan terhadap sengketa yang diajukan di muka sidang, maka teori yang dapat menjelaskan adalah teori aksi yang dikembangkan Talcott Parsons385, sebagai pengikut Weber386 yang utama, aktor mengejar tujuan dalam situasi di mana normanorma mengarahkannya dalam memilih alternatif cara dan alat untuk mencapai tujuan. Norma-norma itu tidak menetapkan pilihannya terhadap cara atau alat, tetapi ditentukan oleh kemampuan aktor untuk memilih. Kemampuan inilah yang disebut Parsons sebagai voluntarism. Singkatnya voluntarisme adalah kemampuan individu melakukan tindakan dalam arti menetapkan cara atau alat dari sejumlah alternatif yang tersedia dalam rangka mencapai tujuannya. Aktor menurut konsep voluntaris adalah pelaku aktif dan kreatif serta mempunyai kemampuan menilai dan memilih dari alternatif tindakan. Walaupun aktor tidak mempunyai kebebasan total, namun ia mempunyai kemauan bebas dalam memilih berbagai alternatif tindakan. Berbagai tujuan yang hendak dicapai, kondisi dan norma serta situasi penting lainnya, kesemuanya membatasi kebebasan aktor, tetapi di sebelah itu aktor adalah manusia yang aktif, kreatif dan evaluatif.
384
Alimandan, Ibid., hlm., 69 Alimandan, Ibid., hlm., 57 386 Alimandan, Ibid.,hlm., 52, teori ini sepenuhnya mengikuti karya Weber. Teori aksi dewasa ini tidak banyak mengalami perkembangan melebihi apa yang sudah dicapai tokoh utamanya Weber. Malahan teori ini sebenarnya telah mengalami semacam jalan buntu. Arti pentingnya justru commit kedua to user terletak pada peranannya dalam mengembangkan teori berikutnya, yaitu symbolic interactionsm dan phenomenology. 385
perpustakaan.uns.ac.id
298 digilib.uns.ac.id
Teori yang lebih khusus dalam menjelaskan perilaku hukum dikemukakan Donald Black. Menurut Donald Black, dari sudut pandang sosiologis, hukum bukanlah apa yang oleh para pakar hukum dipandang sebagai aturan-aturan yang mengikat dan wajib dilaksanakan, tetapi sebagai contohnya lebih merupakan kecenderungan-kecenderungan yang dapat diamati dari perilaku hakim, polisi, pengacara, jaksa penuntut umum atau pejabat administratif. Dari sudut pandang seperti ini, hukum seperti fenomema perilaku lainnya, dapat menerima metode ilmiah seperti aspek realitas lain. Tidak ada aturan intelektual yang khusus, yang dibutuhkan untuk studi hukum tersebut. Pada waktu yang bersamaan, justru ilmu sosial tentang hukum yang terkait pada positivisme, yaitu teori ilmu yang konvensional, tidak dapat terlepas dari batasan-batasan yang melekat pada pemikiran ilmiah itu sendiri387. Satjipto Rahardjo388, dalam kolomnya hukum perilaku hukum dan keluarga, Suara Karya, Senin 12 September 1994, mengemukakan untuk meyakinkan tentang betapa mendasarnya peranan perilaku hukum, barangkali kita bisa melacak ke belakang sampai kepada asal-usul perkembangan hukum. Di sini kita lihat, bahwa hukum tidak mulai dengan perundangundangan atau lain bentuk peraturan, melainkan perilaku. Dikatakan, hukum muncul dari interaksi antar anggota masyarakat sendiri. Hukum tidak ditentukan dari atas seperti model sekarang. Kaidahkaidah muncul dan dibentuk oleh interaksi antara sesama anggota masyarakat sendiri. Barang tentu kita perlu segera menambahkan bahwa model yang demikian itu, dapat berjalan oleh karena wilayah atau ruang lingkup yang masih kecil dan jumlah penduduknya yang sedikit pula. Di samping itu perlu ditambahkan, bahwa persoalan-persoalan yang timbul juga masih sangat sederhana, sehingga pengaturan yang terperinci dan sistematis belum diperlukan. Berkaitan dengan hal tersebut Eugen Ehrlich, dalam karyanya Fundamental Principles of the Sociology of Law, 1912, mengemukakan At 387 388
commit to user Achmad Ali, 2009, Menguak Teori, Op., cit., hlm., 152 Satjipto Rahardjo, dalam Achmad Ali, 2009, Op., cit., hlm., 161
299 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
the present as well as at any other time, the centre of gravity of legal development lies not in legislation, nor in juristic science, nor in judicial decision, but in society itself. Baik dewasa ini, maupun kapan saja, pusat perkembangan hukum, tidak terletak pada perundang-undangan, juga tidak terletak pada ilmu hukum, dan juga tidak pada putusan pengadilan, melainkan terletak di dalam masyarakat sendiri389. Dalam kaitannya dengan pengkajian perilaku hukum, Achmad Ali mengutip pendapat Lawrence M. Friedman390, dalam bukunya yang berjudul : American Law An Introduction. Istilah legal behavior (perilaku hukum) adalah perilaku yang dipengaruhi oleh aturan, keputusan, perintah atau undang-undang yang dikeluarkan oleh pejabat dengan wewenang hukum. Jika saya berperilaku secara khusus atau mengubah perilaku saya secara khusus, karena diperintahkan hukum, atau karena tindakan pemerintah, atau amanat atau perintah dari pemerintah atau dari sistem hukum atau dari pejabat di dalamnya, inilah perilaku hukum. Jika saya berkendaraan disepanjang jalan dan melihat rambu batas kecepatan (atau melihat polisi) dan memperlambat kendaraan, ini adalah perilaku hukum. Juga termasuk perilaku hukum, meskipun agak lain, yaitu jika saya melihat polisi, kemudian saya memacu mobil dengan kecepatan seratus mil per jam untuk menghindarinya. Dalam hal ini, I am reacting to something,going on in the legal system, (saya bereaksi terhadap sesuatu yang sedang terjadi dalam sistem hukum). Kesimpulannya adalah bahwa yang dimaksud perilaku hukum bukan hanya perilaku taat hukum, tetapi semua perilaku yang merupakan reacting to something, going on in legal system (reaksi terhadap sesuatu yang sedang terjadi dalam sistem hukum). Reaksi tersebut dapat merupakan reaksi ketaatan terhadap hukum, tetapi juga termasuk reaksi yang bersifat ketidaktaatan terhadap hukum, bahkan termasuk juga reaksi „use‟ (menggunakan) atau „not use‟ (tidak menggunakan) suatu aturan hukum.
389 390
Achmad Ali, 2009, Op., cit., hlm., 162commit to Achmad Ali, 2009, Op., cit., hlm., 144.
user
300 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dimata Oliver Wendell Holmes391, aturan hukum hanya menjadi salah satu faktor yang patut dipertimbangkan dalam keputusan yang „berbobot‟. Faktor moral, soal kemanfaatan, dan keutamaan kepentingan sosial, misalnya menjadi faktor yang tidak kalah penting dalam mengambil keputusan „yang berisi‟. Jadi bukan sebuah pantangan, jika demi putusan yang fungsional dan konstektual,
aturan
resmi
terpaksa
disingkirkan
(lebih-lebih
jika
menggunakan aturan itu justru lebih buruk). Holmes menjadi monumen dari a creative lawyer : in accordance with justice and equity. Dengan kapasitas seperti ini, para hakim memiliki kompetensi merubah undang-undang, apabila hal itu perlu392. Mengikuti jejak Holmes, Jerome Frank memiliki pandangan yang sama. Menurut beliau, kebenaran tidak dapat disamakan dengan suatu aturan hukum. Boleh saja aturan mengandaikan putusan-putusan hakim dapat diturunkan secara otomatis sesuai aturan. Boleh saja mengandaikan bahwa isi aturan selalu benar dan baik, sehingga otomatis menjamin kepastian, keamanan dan harmoni dalam hidup bersama, tetapi hal tersebut tidak berlaku bagi seorang yang berpikiran modern. Boleh jadi, itu hanya ilusi, karena faktanya, seorang hakim dapat mengambil keputusan lain di luar skenario aturan, yang dari sisi keutamaan jauh lebih terpuji dari yang ada dalam aturan. Memang kaidah-kaidah hukum yang berlaku, mempengaruhi putusan seorang hakim, tetapi itu hanya sebagai salah satu unsur pertimbangan saja. Di samping itu, prasangka politik, ekonomi dan moral ikut pula menentukan putusan hakim, bahkan simpati dan antipati pribadi berperan dalam putusan tersebut393. Tugas hakim adalah mulia, namun hal tersebut berat dan tidak mudah untuk mewujudkan, karena terdapat dua pihak yang bersengketa semua menginginkan kemenangan. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan 391
Oliver Wendell Holmes, dalam Surya Prakash Sinha, dikutip oleh Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, 2010, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta : Genta Publishing, hlm., 167 392 Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta : Kanisius, dalam commit to user Bernard L. Tanya dkk, hlm., 167 393 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Op., cit., hlm., 168
301 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dituntut untuk dapat memenuhi semua keinginan pihak-pihak yang bersengketa, jika suatu peristiwa tersebut telah diatur secara tegas, jelas, kiranya tidak menjadi beban bagi hakim atau paling tidak dapat mengurangi beban bagi
hakim, walaupun tidak seluruhnya benar. Abdullah394
mengemukakan, Putusan pengadilan merupakan mahkota hakim dan inti mahkota terletak pada pertimbangan hukumnya. Esensi pertimbangan hukum atau konsideran putusan merupakan bagian paling penting dalam putusan, karena merupakan pertanggungjawaban hakim terhadap putusannya. Dalam pertimbangan hukum memuat hukum penalaran dan penalaran hukum. Berbagai konstruksi dan penafsiran hukum digunakan sebagai dasar argumentasi dalam menilai dan menguji alat bukti yang diajukan dalam persidangan. Aturan dalil-dalil atau dasar hukum dilakukan uji verifikasi dengan fakta hukum yang terungkap dipersidangan, dengan menerapkan teori kebenaran dan keadilan. Dalam menjalankan tugasnya, yaitu memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu sengketa atau peristiwa yang diajukan para pihak di muka sidang, di samping harus berpedoman kepada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, hakim diperbolehkan untuk menerobos ketentuan tersebut, sebagaimana diamanatkan dalam Undangundang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hakim diperbolehkan untuk menemukan hukum. Berkaitan dengan penemuan hukum, Muchsin395 mengemukakan beberapa aliran yang berkaitan dengan penemuan hukum, yaitu : 1. Aliran ideenjurisprudenz (legisme), dalam ajaran ini undang-undang dianggap keramat sebagai peraturan yang dikukuhkan oleh Tuhan. Praktik kehakiman dipandang sebagai penerapan undang-undang pada perkaraperkara konkrit secara rasional belaka. Ajaran ini banyak dianut oleh pemikir dari aliran positivis yang mengutamakan undang-undang sebagai tempat satu-satunya bagi hukum. 394
Abdullah, Op., cit., hlm., ix commit to user(independence judiciary), Surabaya : Muchsin, 2010, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka Untag Press, hlm., 1 395
302 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Aliran freirechtslehre (free law theory), ajaran ini membela kebebasan yang besar bagi hakim, di mana seorang hakim dapat menentukan putusannya dengan tidak terikat pada undang-undang. Suatu undangundang kehilangan keistemewaannya dalam praktik hukum. Ajaran ini banyak dianut oleh para pemikir aliran sosiologis yang radikal (mazhab realisme hukum Amerika) yang berpendapat bahwa the decision of the law courts in the centre of the law. Tokoh-tokohnya adalah Oliver Wendel Holmes, Jerome Frank, B. Cordoso, Roscoe Pound. 3. Aliran interessanjurisprudenz, ajaran ini merupakan sintesa antara ideenjurisprudenz dengan freirechtslehre. Hakim mencari dan menemukan keadilan dalam batas kaidah-kaidah yang telah ditentukan, dengan menerapkannya secara kreatif pada tiap-tiap perkara konkrit. Teori ini dikualifisikan sebagai penemuan hukum (rechtsvinding). Tokoh dalam aliran ini adalah Rudolf Von Jhering. Di samping beberapa aliran penemuan hukum tersebut, maka sebagai perbandingan dikemukakan pendapat Achmad Ali396, yaitu : 1. Aliran legisme. Aliran ini berpandangan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang, sedangkan peradilan berarti semata-mata penerapan undang-undang pada peistiwa konkrit. Hakim hanyalah subsumptie automaat. Aliran ini sangat mengagung-agungkan undang-undang. Hakim tidak lain hanya sebagai corong undang-undang, dan tidak boleh mengubah teks undang-undang. Hakim tidak boleh berbat selain dari menerapkan undang-undang secara tegas. Undang-undang dianggap sudah lengkap dan jelas dalam mengatur segala persoalan yang ada pada jamanya. Pandangan legisme semakin lama semakin ditinggalkan orang, karena semakin lama semakin disadari bahwa undang-undang tidak pernah lengkap dan tidak selamanya jelas. Sifat undang-undang yang abstrak atau umum
itu
menimbulkan
kesulitan
dalam
penerapannya
secara
“incorcreto” oleh para hakim di pengadilan. Tidak mungkin hakim commit to user 396
Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum, Op., cit., hlm., 104-111
303 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mampu menyelesaikan persengketaan, jika hakim hanya berfungsi sebagai “terompet undang-undang” belaka. Hakim masih harus melakukan kreasi tertentu. Hal tersebut kemudian melahirkan pandangan tentang bolehnya hakim melakukan penemuan hukum melalui putusannya. 2. Aliran Penemuan Hukum oleh Hakim. Ketika dirasakan betapa aliran legis tidak lagi mampu memecahkan problem-problem hukum yang muncul, maka pemikiran legis ini mulai ditinggalkan. Di saat itu, kalangan hukum berpendapat bahwa melakukan penemuan hukum oleh hakim adalah merupakan sesuatu yang wajar. Menurut Paul Scholten, penemuan hukum adalah sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya. Kadangkadang, bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi ataupun rechtvervijning. Dengan menyitir pendapat Sudikno Mertokusumo, Achmad Ali, mengemukakan penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Ini merupakan proses doktrinisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret. Sementara orang lebih suka menggunakan “pembentukan hukum” daripada “penemuan hukum”, karena istilah penemuan hukum memberi sugesti
seakan-akan
hukumnya
sudah
ada.
Selanjutnya
Sudikno
mengkhususkan pada penemuan hukum oleh hakim : “penemuan hukum terutama dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara. Penemuan hukum oleh hakim ini dianggap yang mempunyai wibawa. Ilmuwan hukum pun mengadakan penemuan hukum, hanya kalau hasil penemuan hukum oleh hakim itu adalah hukum, sedangkan hasil penemuan hukum oleh ilmuwan hukum bukanlah hukum, melainkan ilmu atau doktrin. Sekalipun yang dihasilkan tersebut bukan hukum, tetapi commit to user digunakan istilah penemuan hukum, karena doktrin tersebut kalau diikuti
304 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan diambil-alih oleh hakim dalam putusannya, menjadi hukum. Doktrin bukanlah hukum, melainkan sumber hukum”. Penemuan hukum bagaimanpun selalu dilakukan oleh hakim dalam setiap putsannya. Tidak ada teks yang jelas, tidak ada teks yang tanpa sifat ambiguitas. Hal tersebut sudah sifat setiap bahasa. Dengan mengutip pendapat Denning, Achmad Ali mengemukakan : “It must be remembered that is is not with in human powers to foresee the manifold sets of facts which may arise, and, even, if it were, it is not posible to provide for them in terms free from ambiguity” a. Aliran Begriffsjurisprudenz. Aliran ini mengajarkan bahwa hakim boleh melakukan penemuan hukum. Sekalipun bahwa undang-undang itu tidak lengkap, tetapi undang-undang masih dapat menutupi kekurang-kekurangnya sendiri, karena undang-undang mempunyai daya meluas. Penggunaan hukum logika
yang dinamai
silogisme menjadi
dasar utama
aliran
begriffsjurisprudenz ini. b. Aliran Interessenjurisprudenz (freirechtsschule). Menurut aliran ini, jelas undang-undang tidak lengkap. Undangundang bukan satu-satunya sumber hukum, sedangkan hakim dan pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk melakukan penemuan hukum. Dalam arti kata, bukan sekedar penerapan undang-undang oleh hakim, tetapi juga memperluas dan membentuk peraturan dalam putusan hakim. Untuk mencapai keadilan yang setinggi-tingginya, hakim boleh menyimpang dari undangundang demi kemanfaatan masyarakat. c. Aliran Soziologische Rechtsschule. Reaksi terhadap aliran freirechtsschule ini memunculkan aliran soziologische rechtsshule, yang pada pokoknya hendak menahan kemungkinan munculnya kesewenang-wenangan hakim berkaitan dengan diberikannya hakim freies ermessen. Aliran ini tidak setuju jika to user hakim diberi freies commit ermessen. Namun demikian, aliran ini tetap
305 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengakui bahwa hakim tidak hanya sekedar “terompet undangundang”, melainkan hakim juga harus memperhatikan kenyataankenyataan dalam masyarakat, perasaan dan kebutuhan hukum warga masyarakat serta kesadaran hukum warga masyarakat. d. Ajaran Paul Scholten. Hukum merupakan satu sistem, yang berarti semua aturan saling berkaitan, dapat disusun secara mantik, dan untuk yang bersifat khusus dapat dicarikan aturan-aturan umumnya, sehingga tiba pada asasasasnya. Namun, tidak berarti hakim hakim hanya bekerja secara mantik semata. Hakim juga harus bekerja atas dasar penilaian, di mana hasil dari penilaian itu menciptakan sesuatu yang baru. Sistem hukum itu logis, tidak tertutup, disebut sebagai open system van het recht. Sistem hukum itu tidak statis, karena sistem hukum itu membutuhkan putusan-putusan atau penetapan-penetapan yang senantiasa menambah luasnya sistem hukum tersebut. Sistem hukum tersebut sifatnya terbuka. Paul Scholten melihat bahwa penilaian hakim itu dilakukan dalam wujud interpretasi dan konstruksi. Undang-undang mempunyai kebebasan yang lebih primer, sedangkan hakim mempunyai “keadaan terikat” pada yang lebih primer itu. d. Penemuan Hukum Heteronom dan Otonom. Sudikno Mertokusumo397, dengan mengacu pandangan Knottenbelt ((Inleiding in het Nederlandse Recht), mengemukakan bahwa penemuan hukum heteronom adalah jika dalam penemuan hukum, hakim sepenuhnya tunduk pada undang-undang. Penemuan hukum ini terjadi berdasarkan peraturan-peraturan di luar diri hakim. Pembentuk undang-undang membuat peraturan pada umumnya, hakim hanya mengkonstatir
bahwa
undang-undang
dapat
diterapkan
pada
peristiwanya, kemudian hakim menerapkannya menurut bunyi undangundang. Penemuan hukum heteronom merupakan penerapan undangundang yang terjadi secara logis dan terpaksa sebagai silogisme, commit to user 397
Sudikno Mertokusumo, dalam Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum, Op., cit., hlm., 111
perpustakaan.uns.ac.id
306 digilib.uns.ac.id
sedangkan penemuan hukum otonom adalah jika hakim dalam menjatuhkan putusannya dibimbing oleh pandangan-pandangan atau pikiranya sendiri, hakim memutus menurut apresiasi pribadi, hakim menjalankan fungsi yang mandiri dalam penerapan undang-undang terhadap peristiwa hukum konkrit. Tidak ada batas yang tajam antara penemuan hukum yang heteronom dengan otonom, kenyataannya dalam praktik, penemuan hukum oleh hakim mengandung kedua unsur tersebut. Pandangan baru ini (penemuan hukum otonom), oleh Van Eikerna Hommes disebut pandangan yang materiil yuridis, di Jerman dipertahankan oleh Oskar Bullow dan Eugen Ehrlich, di Perancis dikembangkan oleh Francois Geny. Geny menentang penyalahgunaan cara berpikir yang abstrak logis dalam pelaksanaan hukum dan terhadap fiksi bahwa undang-undang berisi hukum yang berlaku. Di Amerika Serikat, Oliver Wendel Holmes dan Jerome Frank, menentang pendapat bahwa hukum yang ada itu lengkap yang dapat dijadikan sumber bagi hakim untuk memutus peristiwa yang konkrit. Menurut pendapatnya, pelaksanaan undang-undang oleh hakim bukanlah semata-mata merupakan persoalan logika dan penggunaan pikiran yang tepat, tetapi hanya merupakan pemberian bentuk yuridis kepada asas-asas hukum materiil yang menurut sifatnya tidak logis dan lebih mendasarkan pada pengalaman dan penilaian yuridis daripada akal yang abstrak. Undang-undang tidak mungkin lengkap, undangundang hanya merupakan satu tahap dalam proses pembentukan hukum dan terpaksa mencari kelengkapannya dalam praktik hukum dan hakim. Kajian tentang penemuan hukum oleh hakim, maka ada beberapa metode penemuan hukum yang dikemukakan oleh para ahli. Dalam praktek, penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim dibedakan melalui tiga cara, yaitu interpretasi, konstruksi dan penghalusan hukum398, commit to user juga dengan penemuan hukum oleh Johnny Ibrahim, 2006, Op., cit., hlm., 219. Bandingkan Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Bandung : Citra 398
307 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1. Interpretasi Hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo, interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan gamblang tentang teks undang-undang, agar ruang lingkup kaidah dalam undang-undang tersebut dapat diterapkan pada peristiwa hukum tertentu. Tujuan akhir penjelasan dan penafsiran aturan tersebut untuk merealisasikan fungsi agar hukum positif itu berlaku. Dalam paktik hukum, menafsirkan undang-undang untuk menemukan hukumnya tidak hanya dilakukan oleh hakim, tetapi juga oleh ilmuwan hukum, pengacara atau para pihak yang mempunyai kepentingan dengan pengadilan399. Dengan demikian, arti penafsiran sebagai suatu kesimpulan dalam usaha memberikan penjelasan atau pengertian atas suatu kata atau istilah yang kurang jelas maksudnya, sehingga orang lain dapat memahaminya atau mengandung arti pemecahan atau penguraian atas suatu makna ganda, norma yang kabur (vage normen), antinomi hukum (konflik norma hukum), dan ketidakpastian dari suatu peraturan perundang-undangan. Tujuannya tidak lain adalah mencari serta
menemukan
pembuatnya
400
sesuatu
hal
yang
menjadi
maksud
para
.
Aditya Bakti, membedakan menjadi tiga, yaitu : interpretasi, argumentasi dan eksposisi (konstruksi hukum). Interpretasi atau penafsiran digunakan dalam hal peraturan perundangundangannya ada, tetapi tidak atau kurang jelas. Metode argumentasi digunakan dalam hal aturan perundang-undangannya tidak lengkap atau tidak ada. Konstruksi atau eksposisi digunakan untuk peristiwa-peristiwa yang tidak dijumpai aturan perundang-undangannya, yaitu dengan membentuk pengertian-pengertian hkum. Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum, Bogor Selatan : ghalia Indonesia, hlm., 122, membedakan penemuan hukum oleh hakim menjadidua, yaitu interpretasi dan konstruksi hukum. Interpretasi adalah penafsiran terhadap teks undang-undang yang masih tetap berpegang pada bunyi teks. Konstruksi hukum, yaitu hakim menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, hakim tidak lagi berpegang pada bunyi teks undang-undang, tetapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Bandung : Alumni, membedakan metode penemuan hukum menjadi dua, yaitu penafsiran hukum dan konstruksi hukum. Demikian juga Bambang Sutiyoso, 2006, Metode Penemuan Hukum..., Yogyakarta : UII Press, hlm., 81.membagi metode penemuan hukum menjadi tiga, yaitu metode interpretsi, argumentasi dan eksposisi 399 Sudikno Mertokusumo, dalam Johnny Ibrahim, Op., cit., hlm., 120 400 commit to user Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta : Sinar Grafika, hlm., 61-62
308 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pada proses penemuan hukum (yang lazimnya dilakukan oleh para hakim), dibedakan dua hal, yaitu : tahap sebelum pengambilan putusan (ex ante) dan tahap sesudah pengambilan putusan (ex post). Dalam perspektif teori penemuan hukum modern, yang terjadi sebelum pengambilan putusan disebut „heuristika‟, yaitu proses mencari dan berpikir yang mendahului tindakan pengambilan putusan hukum. Pada tahap ini berbagai pro-kontra terhadap suatu putusan tertentu ditimbang-timbang antara yang satu dengan yang lain, kemudian ditemukan mana yang tepat. Penemuan hukum yang terjadi sesudah putusan disebut „legitimasi‟. Dan legitimasi selalu berkenaan dengan pembenaran dari putusan yang sudah diambil. Pada tahap ini putusan diberi motivasi (pertimbangan) dan argumentasi secara substansial, dengan cara menyusun suatu penalaran yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan. Apabila suatu putusan hukum tidak dapat diterima oleh forum hukum, maka berarti putusan tersebut tidak memperoleh legitimasi. Konsekuensinya, premis-premis yang baru harus diajukan, dengan tetap berpegang pada penalaran ex ante, untuk meyakinkan forum hukum tersebut agar putusan tersebut dapat diterima401. Secara umum, metode interpretasi (penafsiran) hukum dapat dikelompokkan ke dalam 11 macam, yaitu interpretasi gramatikal (menurut bahasa), interpretasi historis, sistematis, sosiologis atau teologis, komparatif, futuristik, restriktif, ekstensif, otentik atau secara resmi, interdisipliner, multidisipliner402. a. Interpretasi gramatikal (menurut bahasa) Bahasa merupakan sarana yang penting bagi hukum, oleh karena itu hukum terikat pada bahasa. Penafsiran undang-undang itu pada
401
Jazim Hamidi, 2005, Hermenutika Hukum Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks, Yogyakarta : UII Press, 49 402 Lihat juga Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Sudikno commit to user Mertokusumo dan A. Pitlo , Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum..., Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum.
309 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dasarnya selalu akan merupakan penjelasan dari segi bahasa. Titik tolak penafsiran adalah pada bahasa sehari-hari, makna ketentuan undang-undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum. b. Interpretasi teleologis atau sosiologis Makna undang-undang tersebut ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dengan interpretasi sosiologis ini undang-undang yang masih berlaku, tetapi sudah usang atau sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak perduli apakah hal ini semuanya pada waktu diundangkannya undang-undang tersebut dikenal atau tidak. Peraturan
perundang-undangan
tersebut
disesuaikan
dengan
hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan undang-undang yang sudah tidak sesuai lagi dilihat sebagai alat untuk memecahkan atau menyelesaikan sengketa dalam kehidupan bersama waktu sekarang. Peraturan hukum yang lama itu disesuaikan dengan keadaan yang baru, peraturan lama dibuat aktual. c. Interpretasi sistematis. Terjadinya suatu undang-undang selalu berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang lain, dan tidak ada undang-undang yang berdiri sendiri lepas sama sekali dari keseluruhan perundangundangan.
Setiap
undang-undang
merupakan
bagian
dari
keseluruhan sistem perundang-undangan. Menafsirkan undangundang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundangundangan dengan jalan menghubungkannya dengan undangundang yang lain, disebut interpretasi sistematis atau logis. Menafsirkan undang-undang tidak boleh menyimpang atau ke luar dari sistem perundang-undangan. d. Interpretasi historis. Makna undang-undang dapat dijelaskan atau ditafsirkan dengan jalan meneliti sejarah terjadinya. Penafsiran historis merupakan to user penjelasan menurutcommit terjadinya undang-undang. Penafsiran historis
310 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dibedakan menjadi dua, yaitu penafsiran menurut terjadinya undang-undang dan penafsiran menurut sejarah hukum. e. Interpretasi komparatif. Interpretasi komparatif atau dengan jalan membandingkan adalah penjelasan berdasarkan perbandingan hukum. Dengan jalan membandingkan hendak dicari kejelasan mengenai suatu ketentuan undang-undang. Dimaksudkan sebagai metode penafsiran dengan jalan membandingkan antara berbagai sistem hukum. f. Interpretasi futuristis/antisipasi. Penjelasan ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum, misal rancangan undang-undang yang masih dalam proses pembahasan di dewan, tetapi ada keyakinan bahwa rancangan tersebut akan diundangkan. g. Interpretasi Restriktif. Interpretasi restriktif adalah penjelasan atau penafsiran yang bersifat membatasi. Untuk menjelaskan suatu ketentuan undangundang ruang lingkup ketentuan itu dibatasi. h. Interpretasi ekstensif. Metode interpretasi yang membuat interpretasi melebihi batasbatas hasil interpretasi gramatikal i. Interpretasi otentik atau secara resmi. Otentik berasal dari kata asing authentiek, yang dalam bahasa Belanda dijelakan sebagai volledig bewijs opleverend, maksudnya memberikan keterangan atau pembuktian yang sempurna, yang sah atau resmi. Dalam interpretasi ini, hakim tidak diperkenankan melakukan penafsiran dengan cara lain selain apa yang telah ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang itu sendiri403.
commit to user 403
Bambang Sutiyoso, 2009, Op., cit., hlm., 92-94
311 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
j. Interpretasi interdisipliner. Interpretasi jenis ini dapat dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum. Digunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum. Contoh interpretasi atas pasal kejahatan korupsi, hakim dapat menafsirkan ketentuan pasal tersebut dalam berbagai sudut pandang, yaitu dalam hukum pidana, administrasi negara, dan hukum perdata404. k. Interpretasi multidisipliner. Dalam interpretasi ini, seorang hakim harus juga mempelajri suatu atau beberapa disiplin ilmu lain di luar ilmu hukum. Dengan kata lain, hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari lain-lain disiplin ilmu. Kemungkinan ke depan, interpretasi mulitidisipliner ini akan sering terjadi, mengingat kasus-kasus kejahatan di era global sekarang ini mulai beragam dan bermunculan, seperti kejahatan cyber crime, wait color crime,terorism dan lain-lain sebagainya405. Metode penemuan hukum yang kedua adalah konstruksi hukum. Metode konstruksi hukum dilakukan apabila peraturan perundang-undanganya tidak ada, jadi terdapat kekosongan hukum (rechts vacuum) atau kekosongan undang-undang (wet vacuum). Achmad Ali406, memisahkan secara tegas antara interpretasi atau penafsiran hukum dengan konstruksi hukum, hal ini dibutuhkan bukan saja dalam sistematika ilmu hukum, tetapi juga dalam dunia praktik hukum di pengadilan. Menurutnya, interpretasi hukum dilakukan dalam hal peraturannya ada, namun peraturan tersebut tidak jelas untuk diterapkan pada peristiwa konkrit, dan dalam intepretasi ini, penafsiran terhadap teks undang-undang masih tetap berpegang pada bunyi teks undang-undang. Dalam konstruksi hukum, dilakukan dalam hal 404
Jazim Hamidi, 2005, Op., cit., hlm., 57 Jazim Hamidi, 2005, Ibid., hlm., 57, lihat juga dalam Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran commit to user dan Konstruksi Hukum, hlm., 11-12. 406 Achmad Ali, 2008., Op., cit., hlm., 121 405
312 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
peraturannya memang tidak ada, atau terdapat kekosongan hukum (rechts vacuum) atau kekosongan undang-undang (wet vacuum). Hakim menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, hakim tidak lagi berpegang pada bunyi teks undang-undang, tetapi dengan syarat tidak boleh mengabaikan hukum sebagai suatu sistem. Selanjutnya dikemukakan, ada perbedaan pandangan tentangmetode atau cara penemuan hukum oleh hakim menurut yuris dari Eropa Kontinental dengan yuris yang berasal dari sistem hukum Anglo Saxon. Pada umumnya, yuiris Eropa Kontinental tidak memisahkan secara tegas antara metode interpretasi dengan metode konstruksi. Hal tersebut dapat dilihat pada buku-buku karangan Paul Scholten, A. Pitlo, maupun Sudikno Mertokusumo. Sebaliknya banyak pengarang dari sistem hukum Anglo Saxon, misalnya L. B. Curzon, membuat pemisahan secara tegas antara metode interpretasi dengan metode konstruksi. Achmad Ali sendiri mengikuti pembedaan yang memisahkan secara tegas antara metode interpretasi dengan metode konstruksi407. Perbedaan pandangan antara metode interpretasi dengan metode konstruksi tersebut, menurut Achmad Ali, didasarkan pada hasil simpulan setelah membandingkan beberapa pendapat dari pakar tentang penemuan hukum. Seperti L. B. Curzon, yang mengemukakan : ”The proces of interpreting a statute from that of constructing a statute. Interpretation refers generally to the assigning of meaning to words in a statute construction refers to the resolving of ambiguiities and uncertainties in statute”. Curzon, cenderung melihat interpretasi hanya menentukan arti kata-kata dalam suatu
undang-undang,
pemecahan
atau
sedangkan
penguraian
konstruksi
makna
ketidakpastian dari perundang-undangan408.
407 408
Achmad Ali, 2008, Ibid., hlm., 113. Achmad Ali, 2008, ibid., hlm., 122
commit to user
ganda,
mengandung
arti
kekaburan,
dan
313 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Konstruksi hukum409, sebagai metode penumuan hukum dibedakan menjadi : a. Argumentum per analogiam (analogi) Ada kalanya peraturan perundang-undangan terlalu sempit ruang lingkupnya, sehingga untuk dapat menerapkan undang-undang pada peristwanya, hakim akan memperluasnya dengan metode argumentum per analogiam atau analogi. Dengan analogi, maka peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip dengan yang diatur dalam undang-undang diperlakukan sama. Pada analogi, sustu peraturan khusus dalam undang-undang dijadikan umum yang tidak tertulis dalam undang-undang, kemudian digali alas yang terdapat di dalamnya dan disimpulkan dari ketentuan yang umum itu peristiwa yang khusus. Peraturan umum yang tidak tertulis dalam undangundang itu diterapkan terhadap peristiwa tertentu yang tidak diatur dalam undang-undang tersebut, tetapi mirip atau serupa dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Hakim bersikap seperti pembentuk undang-undang yang mengetahui adanya kekosongan hukum, akan melengkapinya dengan peraturanperaturan yang serupa seperti yang dibuatnya untuk peristiwaperistiwa yang telah ada peraturanya. Hakim akan mencari pemecahan untuk peristiwa yang tidak diatur, dengan penerapan peraturan untuk peristiwa-peristiwa yang telah diatur yang sesuai secara analog. Jazim Hamidi, mengemukakan analogi merupakan metode penemuan hukum, di mana hakim mencari esensi yang lebih umum dari sebuah peistiwa hukum atau perbuatan hukum, baik yang telah diatur dalam undang-undang maupun yang belum ada peraturanya410. 409
Macam-macam konstruksi hukum lihat juga dalam Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum, hlm., 139-147, Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, hlm., 177-182, Sudikno Mertokusumo, 2010, Penemuan Hukum..., hlm., 86-96, Jazim Hamidi, 2005, Hermeneutika Hukum..., hlm., 59-63, Bambang Sutiyoso, 2006, Metode Penemuan Hukum, hlm., commit to user 106-113 410 Jazim Hamidi, 2005, Op., cit., hlm., 59.
perpustakaan.uns.ac.id
314 digilib.uns.ac.id
b. Metode Argumentum a Contrario. Ada kalanya suatu peristiwa tidak secara khusus diatur oleh undang-undang, tetapi kebalikan dari peristiwa tersebut diatur oleh undang-undang. Bagaimanakah menemukan hukumnya? Cara menemukan hukumnya ialah dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, maka peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan untuk peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya. Hal ini merupakan metode a contrario, yaitu merupakan cara penafsiran atau penjelasan undang-undang yang didasarkan pada pengertian sebaliknya dari peristiwa konkrit yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Suatu peristiwa tertentu diatur, tetapi peristiwa lainnya yang mirip tidak diatur, maka untuk yang terakhir ini berlaku hal yang sebaliknya. Pada a contrario titik berat diletakkan pada ketidaksamaan peristiwanya. Dalam hal ini, peraturan yang disediakan untuk peistiwa yang hendak dicarikan hukumnya tidak ada, yang ada adalah peraturan yang khusus disediakan untuk peristiwa lain yang tidak sama, tetapi ada unsur kemiripannya dengan peristiwa yang hendak dicarikan hukumnya. Berkaitan dengan metode argumnetum a contrario, Achmad Ali, mengemukakan bahwa metode ini selaras dengan metode berpikir hakim Eropa Kontinental. Di dalam sistem hukum Anglo Saxon, para hakim cenderung berpikir secara induktif, berpikir dari yang khusus ke yang umum (species ke general). Hakim mencari dan menemukan peraturan sebagai dasar putusannya melalui sederetan putusan-putusan sebelumnya. Jadi bersifat “reasoning from case to case” dan “reasoning by analogy”, sedangkan di dalam sistem Eropa Kontinental, hakim cenderung berpikir secara deduktif, dari yang umum (generaly) ke yang khusus (species), yaitu mengikat hakim dengan undang-undang yang merupakan peraturan umum to user agar sekelompok commit peristiwa tertentu yang serupa dapat diputus
315 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
serupa pula. Di dalam sistem hukum Eropa Kontinental ini, hakim mengadakan
konkritisasi
peraturan
yang
mengabstraksikan
peristiwanya. Dengan demikian cara berpikir hakim Eropa Kontinental cenderung menggunakan ciri “subsumtie” dan “sillogistis”411 sebagai dasar. c. Rechtsverfijning (penyempitan/pengkonkritan hukum) Penyempitan hukum adalah terjemahan dari kata dalam bahasa Belanda “rechtsverfijning”. Fijn, berarti halus. Penyempitan hukum bukan merupakan argumentasi untuk membenarkan rumusan peraturan perundang-undangan. Rumusan ini terdiri dari rumusan pengecualian terhadap peraturan perundang-undangan karena kalau tidak, maka dirumuskan terlalu luas. Kadang-kadang peraturan perundang-undangan itu ruang lingkupnya terlalu umum atau luas, maka perlu disempitkan untuk dapat diterapkan terhadap peristiwa
konkrit
tertentu.
Dengan
demikian,
metode
penyempitan/pengkonkritan hukum aturan hukum yang sifatnya umum atau abstrak, agar dapat diterapkan pada peristiwa konkrit tertentu. d. Fiksi hukum Menurut Paton, sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali412, mengemukakan bahwa metode penemuan hukum melalui fiksi hukum ini bersumber pada fase perkembangan hukum dalam periode menengah, yaitu setelah berakhirnya periode hukum primitif. Metode fiksi sebagai penemuan hukum sebenarnya berlandaskan pada asas in dubio pro reo, yaitu asas bahwa setiap orang dianggap mengetahui undang-undang. Dengan mengutip pendapat Satjipto Rahardjo, selanjutnya dikemukakan fiksi adalah metode penemuan hukum yang mengemukakan fakta-fakta baru, sehingga tampil suatu personifikasi baru. Bagaimanapun fiksi 411 412
Achmad Ali, 2008, Op., cit., hlm., 144commit to Achmad Ali, 2008, Op., cit., hlm., 145
user
perpustakaan.uns.ac.id
316 digilib.uns.ac.id
adalah sesuatu yang bukan kenyataan. Oleh karena itu, cara yang sebaik-baiknya untuk menerimanya sebagai sarana pengembangan hukum adalah tetap memperlakukanya secara demikian itu. Fiksi memang bermanfaat untuk memajukan hukum, yaitu untuk mengatasi benturan antara tuntutan baru dan sistem yang ada. Fiksi harus tetap diperlakukan sebagai bukan kenyataan.dalam hal fiksi telah diterima dalam kehidupan hukum, misalnya melalui putusan hakim, maka ia pun sudah berubah menjadi bagian dari hukum positif dan tidak boleh disebut sebagai fiksi, pada detik itu sudah tidak ada fiksi lagi. Fungsi dari fiksi hukum, di samping untuk memenuhi hasrat menciptakan stabilitas hukum, juga utamanya untuk mengisi kekurangan undang-undang. Fiksi hukum bermaksud untuk mengatasi konflik antara tuntutan-tuntutan baru dengan sistem hukum yang ada. Hal tersebut selaras dengan pandangan Maine bahwa “...and there after law is brought into harmony with society by three instrumentalities, legal fictions, equity and legislation...”. Sebagaimana diketahui bahwa dalam pandangan hukum positif undang-undang selalu lengkap dan jelas dan hukum identik dengan undang-undang, hakim tidak perlu menafsirkan undang-undang, namun pandangan tersebut tidak dapat diterima oleh aliran realisme hukum yang mempunyai pandangan berbeda dengan aliran hukum positif, yaitu undang-undang tersebut tidak lengkap dan jelas. Dalam pandangan kaum realism, studi tentang hukum berarti hukum sebagai sesuatu yang benarbenar dalam kenyataan atau hukum untuk dilaksanakan, ketimbang sekadar hukum sebagai serentetan aturan yang termuat dalam perundangundangan. Juris-juris yang beraliran realisme membayangkan suatu ilmu hukum yang sebenarnya, sebagau suatu yang dibangun di atas studi tentang “law in action” (hukum dalam tindakan). Hukum adalah commit to user sebagaimana yang dilakukan hukum. hukum adalah apa yang dilakukan
317 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
oleh para pejabat, yaitu hakim413. Dalam hal undang-undang tersebut sudah jelas, ada kemungkinan undang-undang tersebut tidak lengkap dan tuntas mengatur semua bidang kehidupan manusia, karena undang-undang tersebut dibuat oleh manusia dan kemampuan manusia terbatas. Di samping itu kebutuhan manusia semakin hari semakin kompleks, sehingga undang-undang tidak mudah untuk menyesuaikan dengan perkembangan, dan undang-undang sifatnya abstrak atau umum. Sehubungan dengan hal tersebut, keberadaan undang-undang perlu dijelaskan dan ditafsirkan, agar dapat diterapkan pada peristiwanya. Berkaitan dengan keberadaan undang-undang yang tidak lengkap, kurang jelas atau kabur, Maftuh Effendi414, mengemukakan hakim peradilan administarsi atau PTUN dalam memutus sengketa yang dihadapi tidak sekedar membunyikan pasal dari undang-undang, karena kadangkadang suatu undang-undang tidak secara otomatis dapat mengikuti perubahan perkembangan masyarakat, sehingga sering dijumpai : 1) undang-undang yang mengatur suatu norma tertentu tetapi tidak jelas (vage normen), 2) normanya jelas dan tidak usang, tetapi tidak tepat diterapkan dalam suatu peristiwa konkret, karena apabila ketentuan tersebut diterapkan akan menciderai prinsip-prinsip keadilan, 3) undangundang sudah usang/ ketinggalan jaman (contra legem) atau bahkan 4) suatu peritiwa konkret itu sama sekali belum ditaur dalam undang-undang (wet vacuum) atau dalam hukum (rechts vacuum). Dalam keadaan yang demikian itu, hakim peradilan administrasi atau PTUN dalam memutus sengketa tata usaha negara dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
yaitu
menafsirkan
suatu
ketentuan
undang-undang
berdasarkan kaidah-kaidah ilmu hukum agar ketentuan tersebut dapat diterapkan dalam suatu peristiwa konkret.
413 414
commitOp.,cit., to userhlm., 91 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum..., Wawancara, Senin, 3 Oktober 2011, jam 09.00 – 12.00 WIB. di PTUN Semarang.
318 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam menyelesaikan sengketa yang hukum atau undang-undangnya sebagaimana dikemukakan oleh Maftuh Effendi tersebut, diberikan contoh atau dibuktikan dengan Putusan Nomor 04/G/2009/PTUN/SMG, yaitu beliau sebagai hakim yang memeriksa, memutus dan menyelesaikannya dan telah dibahas oleh peneliti pada halaman sebelumnya secara panjang lebar. Pendapat atau pandangan tersebut didukung oleh hakim yang lainnya, yaitu Teguh Satya Bhakti (hakim PTUN Semarang). Pendapat beliau, yaitu dalam hal undang-undang usang atau ketinggalan jaman, maka berdasarkan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1), undang-undang tersebut mewajibkan kepada hakim untuk menggali, memahami dan mengikuti nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Pasal 10 ayat (1) pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Dikemukakan bahwa undang-undang kekuasaan kehakiman mengisyaratkan seorang hakim harus memiliki kemampuan dan keaktifan untuk menemukan hukum (rechts vinding) dan rechts vinding adalah proses pembentukan hukum oleh hakim dalam penerapan peraturan umum terhadap peristiwa hukum yang konkret, dan hasil penemuan hukum menjadi dasar baginya untuk menjatuhkan putusan. Dalam hal undangundang kabur atau kurang jelas, hakim sejatinya akan melakukan interpretasi
atau
penafsiran
terhadap
undang-undang
tersebut.
Sebagaimana diketahui interpretasi atau penafsiran adalah salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup keadah/norma/undang-undang tersebut dapat diterapkan pada peritiwanya415. Berkaitan dengan hal tersebut, Agus dan Retno416 dari PTUN Yogyakarta, mengemukakan bahwa pengujian keabsahan keputusan tata usaha negara yang disengketakan para pihak 415 416
commit user WIB, di PTUN Semarang. Wawancara, senin, 3 Oktober 2011, jam 09.00to – 12.00 Wawancara, senin, 10 Oktober 2011, jam 09.00 – 12.00 WIB, di PTUN Yogyakarta.
319 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, namun ketentuan tersebut hanya sebagai pedoman saja dan hakim dapat menyimpang dari ketentuan tersebut. Dalam hal ketentuannya kabur atau kurang jelas, hakim dapat menerobos, artinya hakim akan menggali, mengikuti dan memahami hukum yang tidak tertulis, berupa nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim harus menggali atau menafsirkan dari ketentuan yang kabur atau kurang jelas tersebut. Berdasarkan pendapat dari hakim PTUN Semarang dan PTUN Yogyakarta tersebut, maka dapat diketahui bahwa pengaruh aliran hukum positif yang di dalam penyelesaian sengketa di muka sidang peradilan, hakim tidak diperbolehkan untuk menafsirkan undang-undang, sudah ditepis oleh pandangan atau pendapat tersebut. Aliran hukum positif yang mengidentikan hukum sama dengan undang-undang, dalam menyelesaikan sengketa atau peristiwa yang timbul lebih cenderung untuk menggunakan logika
deduktif,
automaat
subsupmtif,
mekanis,
sehingga
tidak
menyelesaikan sengketa sampai keakar-akarnya. Aliran legisme juga tidak berpengaruh pada pendapat hakim PTUN baik di Semarang maupun di PTUN Yogyakarta, dan hal tersebut dibuktikan dengan putusannya yang lebih cenderung untuk berpikir dengan menggunakan hati nurani dan perasaan, mereka berpikir dengan menggunakan teori yang dikemukakan Zohar dan Marshall, yaitu EQ dan SQ, yaitu hakim lebih aktif, kreatif dan transformatif. Mereka dalam menjatuhkan putusan terhadap sengketa yang diperiksanya lebih menitik beratkan pada nilai-nilai keadilan, hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat, mereka memperhatikan dan memahami kearifan lokal dan mereka berani menggunakan penemuan asas-asasnya yang tidak diatur secara yuridis formal dalam pertimbangan hukumnya untuk kemudian dipergunakan sebagai dasar putusannya. Mereka berani meninggalkan cara-cara tradisional, mereka menganggap ketentuan dalam undang-undang sebagai pedoman dan dalam memutus commit to user
320 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sengketa hakim lebih mendasarkan pada fakta bukan menurut undangundang.
B. Hati-nurani Hakim dalam Putusan Bernard
L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage,
mengemukakan legalisme adalah cara berpikir yang mendasarkan diri pada aturan, prinsip, atau norma obyektif yang dianggap harus berlaku dalam situasi dan kondisi apapun. Menaati aturan berarti benar, melanggar aturan berarti salah, tidak ada kompromi. Legalisme, karenanya berbicara tentang apa yang benar dan apa yang salah secara hitam putih. Memang, cara berpikir seperti itu tentu banyak keuntungannya, ia memberi pegangan keputusan yang tegas dan jelas. Orang tidak perlu bingung tentang apa yang benar dan apa yang salah, asal saja hukumnya jelas. Dalam hal yang terakhir tersebut akan menghadapi kesulitan. Kehidupan manusia tersebut begitu kompleks dan begitu dinamis, sehingga hampir mustahil mempunyai hukum yang jelas bagi setiap kemungkinan. Selanjutnya dikemukakan, dalam legalisme, hakim hanya menjadi corong wet, hakim hanya boleh menerapak undang-undang secara mekanis. Legalisme, menyebabkan aturan menjadi berhala, kehidupan menjadi kaku, kenyataan yang kaya nuansa dilihat pakai kacamata kuda, kebenaran dan keadilan hanya menjadi persoalan legal tidak legal, kearifan dan akal sehat cenderung terdorong ke belakang, itulah legalisme. Sebuah semangat yang coute que coute, menentukan peraturan. Akibatnya, kepekaan, empati, dan dedikasi menghadirkan keadilan dan kebenaran menjadikan redup dan sayup-sayup di pojok yang paling jauh. Prinsip epikeia Aristoteles, ataupun equti-nya Plato yang fungsinya menjembatani gap antara kepastian dan keadilan, dianggap haram dalam legalisme. Kebekuan inilah yang diterobos oleh Holmes dan Frank417. Berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1), maka semakin jelas pijakan hakim dalam upaya memeriksa, commit to user 417
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Op., cit., hlm., 170.
321 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara yang dijukan kepadanya, tidak saja hakim harus berdasarkan pada ketentuan dalam undangundang sebagai dasar pertimbangan hukumnya untuk menjatuhkan putusan, melainkan dapat melakukan penemuan hukum dengan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang tersebut. Hakim dapat mengangkat dan menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal yang memang diharapkan oleh masyarakat dalam penyelesaian sengketanya. Dicontohkan hakim-hakim yang jujur, mempunyai keberanian, memutus berdasarkan hati nurani, empati dan perasaan, mereka berani menemukan hukum di luar ketentuan undang-undang atau berani melakukan lompatan (sebagaimana dikemukakan Paul Scholten), dengan mengorbankan kedudukan atau jabatan sebagai taruhannya untuk membela kebenaran masyarakat atau membela keadilan berdasarkan kebenaran. Beliau adalah Birmar Siregar, Adi Andojo Soetjipto, Benyamin Mangkoedilaga, Asikin Kusuma Atmadja. Di tengah-tengah muramnya dunia kekuasaan kehakiman di Indonesia418, ternyata di sepanjang tahun 1995, muncul beberapa hakim yang mulai berani tampil beda. Mereka telah berupaya untuk mencoba berjuang menjadi hakim dalam arti yang sebenar-benarnya. Seorang hakim yang berani untuk menyatakan yang benar itu benar, dan yang salah itu salah. Adi Andojo Soetjipto, membuat putusan yang “berani” ketika ia bersama hakim anggota lainnya, yaitu Tommy Bustomi dan Karlina Palmini AS, membebaskan sembilan terdakwa kasus pembunuhan buruh wanita Marsinah. Pada tingkat pertama dan tingkat banding para terdakwa dihukum tujuh bulan hingga 17 tahun penjara. Argumentasi Adi cukup jelas, yaitu diterapkan sistem “saksi mahkota” dalam kasus pembunuhan Marsinah. Dalam keadaan demikian, karena terikat sumpah, hak mangkir menjadi hilang. “Itu tergolong penemuan hukum dari pak Adi”, komentar Luhut MP.
commit to user 418
http://www, hamline.edu/apakabar/basisdata/1996.
perpustakaan.uns.ac.id
322 digilib.uns.ac.id
Integritas Adi419 kembali ditunjukkan ketika dia menyatakan Ketua Umum SBSI Muchtar Pakpahan tokoh yang selalu mendapat kritik tajam dari aparat, dibebaskan. Sekalipun ada keberatan kasasi tersebut, majelis hakim kasasi memeriksa pemohonan kasasi Muchtar Pakpahan dan kuasa hukumnya, dengan pertimbangan hukum sendiri. Dalam putusanya, Mahkamah Agung berpendapat bahwa bahwa putusan judex factie dinilai sebagai putusan yang salah menasirkan unsur menghasut yang tidak banyak berubah faham, ketika Undang-undang Hukum Pidana dibuat 85 tahun yang lalu. Majelis hakim kasasi membatalkan putusan majelis hakim pada Pengadilan Negeri Medan dan Pengadilan Tinggi Medan. Majelis hakim kasasi berpendapat hakim seharusnya menerapkan undang-undang sekaligus menciptakan hukum yang merupakan gabungan antara keputusan yang berpola pikir pada masalah sosial yang konkret yang harus diputus dan ketentuan undang-undang yang baku. Dalam menafsirkan undang-undang, seharusnya hakim tidak mencari hasil deduksi dengan menggunakan logika dan undang-undang yang bersifat umum dan abstrak, tetapi resultante dari perbuatan menimbulkan semua kepentingan dari nilai-nilai dalam sengketa, di mana pada asasnya masalah sosial menjadi pusat perhatian dan ditempatkan terdepan. Menurut majelis hakim, apakah ucapan atau tindakan terdakwa bersifat menghasut atau tidak harus dilihat dari segi pertimbangan atas semua kepentingan dan masalah sosial yang menjadi sentral penilaian. Dengan demikian, tindakan terdakwa tidak dapat dikatakan menghasut. Ekses unjuk rasa tanggal 14 April 1994 di Medan juga di luar tanggung jawab terdakwa. Berdasarkan pertimbangan tersebut, majelis hakim menyatakan terdakwa Muchtar Pakpahan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan sebagaimana didakwakan kepadanya, karena itu hakim membebaskan terdakwa serta memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. Berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung tersbut, pihak kejaksaan tidak dapat menerima putusan commit Mahkamah to user Agung di Bawah Soeharto, Jakarta : A. Muhammad Asrun, 2004, Krisis Peradilan ELSAM, hlm., 180-182. 419
perpustakaan.uns.ac.id
323 digilib.uns.ac.id
kasasi Mahkamah Agung dan mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Sekalipun di luar ketentuan KUHAP, kejaksaan mengajukan peninjauan kembali, karena tidak puas atas putusan kasasi Mahkamah Agung tersebut. Ada tiga alasan yuridis yang dikemukakan kejaksaan dalam permohonan pemeriksaan peninjauan kembali, yaitu : pertama, dalam kapasitasnya sebagai pihak yang mewakili negara dan kepentingan umum. Kedua, kepentingan umum menurut Pasal 49 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat dan/atau kepentingan pembangunan. Ketiga, dalam KUHAP belum ada aturan yang tegas yang mengatur hak jaksa untuk mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Permohonan ini untuk memperjelas dapat tidaknya jaksa mengajukan pemeriksaan peninjauan kembali yang belum diatur dalam KUHAP. Berdasarkan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali tersebut, maka majelis hakim peninjauan kembali membatalkan putusan kasasi dan menghukum Muchtar Pakpahan empat tahun penjara. Analisis terhadap putusan tersebut, yaitu putusan Pengadilan Negeri Medan, putusan Pengadilan Tinggi Medan dan putusan majelis hakim peninjauan kembali adalah masih menggunakan cara-cara yang lama, tradisional, mengandalkan aturan perundangan-undangan dan logika dan konstruksi cara berpikir legalformalistik. Majelis hakim mengabaikan substansi dan konteks ucapan dan tindakan Muchtar Pakpahan. Majelis hakim seharusnnya membuka diri untuk memahami bahwa ucapan dan tindakan terdakwa dalam rangka memperbaiki kondisi perburuhan, yang ditandai dengan upah yang tidak seimbang dengan kebutuhan hidup layak, tidak adanya kebebasan beorganisasi dan tekanan aparat militer dan pemerintahan terhadap aktivis buruh. Keberanian hakim untuk berpikir secara kreatif, dengan hati nurani, dan memahami, menggali nila-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat adalah dicontohkan hakim Benyamin Mangkoedilaga. Sengketa tersebut bermula dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Penerangan committanggal to user21 Juni 1994 tentang Pembatalan Nomor : 123/KEP/MENPEN/1994,
perpustakaan.uns.ac.id
324 digilib.uns.ac.id
SIUPP Tempo. Berdasarkan keputasan menteri tersebut, Goenawan Mohamad mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara pada tanggal 29 Agustus 1994, dan pemeriksaan sengketa dimulai pada tanggal 17 Oktober 1994. Beberapa alasan diajukan oleh penggugat, namun hal dari beberapa alasan tersebut dikemukakan hal yang pokok, yaitu tindakan tergugat membatalkan SIUUP Tempo dengan alasan sesuai dengan ketentuan Pasal 33 huruf (h) Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01/PER/MENPEN/1984 adalah perbuatan melawan hukum dan atau melanggar/bertentangan dengan Undang-undang Pokok Pers yang berlaku, karena alasan-alasan sebagai berikut : a. Pasal 4 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 menegaskan terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembreidelan b. Istilah/terminologi pembatalan SIUUP dalam Pasal 33 Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01/PER/MENPEN/1984 pada hakikatnya mengandung arti dan berakibat sama dengan pembreidelan c. Undang-undang Pers mempunyai kedudukan/hierarki yang jauh lebih tinggi dari Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01/PER/MENPEN/1984, asas umum yang berlaku tidak membenarkan produk hukum yang lebih rendah bertentangan/melanggar produk hukum yang lebih tinggi. Setelah melalui beberapa kali pesidangan, majelis hakim pengadilan tata usaha negara pada tanggal 3 Mei 1995 menjatuhkan putusan mengabulkan seluruh gugatan pemimpin redaksi Tempo Goenawan Mohamad dan berdasarkan putusan tersebut pengadilan memerintahkan pencabutan Surat Keputusan Menteri Penerangan Nomor 123/PER/MENPEN/1994 tentang Pembatalan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers Tempo. Adapun pertimbangan hukum yang dipergunakan oleh majelis hakim dalam menjatuhkan putusan adalah pembatalan SIUUP Tempo cacat hukum baik dari segi formal maupun substansial/material. Keputusan Menteri penerangan tersebut bertentangan dengan hukum yang berlaku, yaitu jiwa dan semangat Undang-undang Pokok Pers sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 11 user Tahun 1966 yang diperbarui commit dengan toUndang-undang Nomor 4 Tahun 1967
325 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan Undang-undang Pokok Pers Nomor 21 Tahun 1982. Tindakan menteri penerangan juga bertentangan dengan empat rekomendasi yang disampaikan oleh dewan pers dalam rapat tanggal 14 Juni 1994, yaitu supaya pers mawas diri, masyarakat pers harus melakukan pembinaan, memberi kesempatan kepada beberapa penerbitan kalau perlu dengan peringatan keras terakhir, dan jika memang terpaksa mengganti pemimpin redaksinya. Pertimbangan hukum lain yang dikemukakan majelis hakim adalah bahwa pembatalan SIUUP sama dan identik dengan prembedeilan. Tergugat tidak puas terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, kemudian mengajukan banding ke PTTUNdan setelah majelis hakim memeriksa materi banding, mejelis hakim PTTUN yang diketuai oleh Charis Soebijanto, menguatkan putusan PTUN Jakarta420. Sengketa tata usaha negara tersebut akhirnya dimenangkan oleh tergugat pada tingkat kasasi dan penggugat (Goenawan Mohamad) tidak mengajukan upaya peninjauan kembali. Hal yang menarik dalam sengketa tersebut adalah keberanian majelis hakim yang diketuai oleh Benyamin Mangkoedilaga, dan kemudian dikuatkan di PTTUN adalah putusan pengadilan yang jujur, tetapi sekaligus keputusan politik yang berani. Pertimbangan hukum majelis hakim (PTUN dan PTTUN) jelas memperlihatkan putusan hakim yang sesuai dengan logika hukum, karena Keputusan Menteri Penerangan RI yang membatalkan SIUUP Tempo bertentangan dengan Undang-undang Pokok Pers Nomor 21 Tahun 1982, yaitu tidak mengenal pembredeilan pers. Pengaruh baik pembredeilan pres melalui pencabutan surat ijin terbit maupun pembatalan SIUUP akan samasama mengakibatkan matinya suatu media421. Menurut analisis peneliti tehadap putusan yang dikeluarkan atau dijatuhkan majelis hakim baik di PTUN maupun di PTTUN adalah putusan hakim yang betul-betul berani, karena pada waktu itu kekuasaan yang dipegang oleh Soeharto sangat kuat dan dominan sekali, sehingga siapapun yang tidak memberikan dukungan terhadap eksistensi kekuasaannya akan 420 421
commit A. Muhammad Asrun, Ibid., hlm., 209 – 210. to Ibid., hlm,. 212.
user
perpustakaan.uns.ac.id
326 digilib.uns.ac.id
menerima risiko yang berat. Putusan majelis hakim PTUN dan PTUN Jakarta tersebut membuka mata bagi para hakim yang masih berpandangan atau terpengaruh oleh aliran hukum positif atau legisme, yaitu hakim hanya sebagai corong undang atau membunyikan ketentuan dalam undang-undang, untuk dapat dipergunakan contoh dalam menyelesaikan sengketa tata usaha negara yang diperiksanya. Keberanian majelis hakim yang diketuai oleh Benyamin Mangkeodilaga pada tingkat pertama dan dikuatkan oleh PTTUN adalah dapat memberikan motivasi agar dalam penyelesaian sengketa, hakim tidak terkungkung atau berkutat pada atau dalam paradigma oleh aturan-aturan yang bersifat formal dan kaku saja. Hakim harus berani keluar dari kungkungan legal-formal, dengan berbekal tugas hakim demi masyarakat, modal dedikasi yang tinggi terhadap nilai-nilai keadilan di atas kebenaran, apa yang benar dikatakan benar, hakim sebagai aktor mempunyai banyak pilihan dengan mendasarkan pada kemampuan yang dimilikinya. Pilihan-pilihan yang ditetapkan berdasarkan tujuan yang hendak dicapai, dengan menetapkan cara dan alat yang dapat membimbing ke arah pencapaian tujuan hukum tentang keadilan dengan mendasarkan pada kebenaran. Dalam tingkat yang masih sederhana, hakim diperbolehkan untuk berpikir dengan menggunakan IQ sebagaimana dikemukakan Zohar dan Marshall, namun untuk mencapai pada tingkat yang lebih luas, hakim harus menambah cara berpikirnya, yaitu hakim harus aktif, kreatif dan tranformatif, dan menggunakan pemikiran yang lebih menitik beratkan pada hati nurani, empati atau Zohar dan Marshall memberikan nama dengan menggunakan EQ dan SQ. Putusan majelis hakim yang diketuai oleh Benyamin Mangkoedilaga dalam sengketa tata usaha negara yang memenangkan pihak penggugat, yaitu Goenawan Mohamad dan memerintahkan kepada Menteri Penerangan (Harmoko) untuk mencabut obyek sengketa atau Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri Penerangan, menurut Satjipto Rahardjo, merupakan putusan tergolong the right decision on the right time. Ia merintis suatu tradisi commitawal to user dan merupakan salah satu langkah untuk menegakkan kembali wibawa
perpustakaan.uns.ac.id
327 digilib.uns.ac.id
hukum yang beberapa waktu terakhir mengalami gangguan. Benyamin mengkoreksi Kaditsolpol DKI melanggar asas berpemerintahan yang baik karena mencabut rekomendasi lembaga di luar dirinya. Putusan majelis hakim peradilan tata usaha negara tingkat pertama tersebut, kemudian dikuatkan oleh pengadilan banding (PTTUN Jakarta) yang diketuai oleh Charis, dengan hakim anggota Amarullah Salim dan Jenny Ratulangi, Poppy Yayati, Aisyah. Berkaitan dengan penemuan hukum tersebut, Utrecht, mengemukakan bahwa hukum itu dinamis, artinya terus-mnerus dalam proses pekembangan. Hal tersebut akan membawa konsekuensi bahwa hakim dapat, bahkan harus memenuhi ruang kosong yang ada dalam sistem hukum422. hakim atau pengadilan merupakan unsur yang penting dalam penemuan hukum. Jelas bahwa pengadilan mempunyai kedudukan penting dalam sistem hukum, karena ia melakukan fungsi yang pada hakikatnya melengkapi ketentuanketentuan hukum tertulis melalui pembentukan hukum (rechtvorming) dan penemuan hukum (rechtvinding). Dengan kata lain, hakim atau pengadilan dalam sistem hukum di Indonesia, yang pada dasarnya tertulis, mempunyai fungsi membuat hukum baru (creation of new law). Karena itu, walaupun sistem hukum Indonesia merupakan sistem hukum tertulis, tetapi merupakan sistem terbuka (open system). Fungsi membentuk hukum (baru) oleh pengadilan atau hakim harus dilakukan olehnya untuk mengisi kekosongan dalam hukum dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara karena hukum (tertulis) tidak jelas atau tidak ada423 . Di dalam proses pemeriksaan untuk menguji keabsahan (rechtsmatigheid) suatu keputusan tata usaha negara, acapkali dijumpai beberapa keadaan aturan hukum yang memerlukan metode tertentu untuk mengatasinya424. Di dalam masyarakat terdapat kekosongan hukum (leemten in het recht), maka hakim dapat melakukan penemuan hukum dengan menggunakan metode interpretasi hukum dan konstruksi hukum, sedangkan apabila terdapat antinomi hukum (konflik antar 422
Utrecht, dalam Pontang Moerad, Op., cit., hlm., 15. Mochtar Kusumaatmadja & B. Arief Sidharta, 2000, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan commit user : Alumni, hlm., 99. Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum,to Bandung 424 Pranjoto, dalam W. Riawan Tjandra, Op.,cit., hlm., 106 423
perpustakaan.uns.ac.id
328 digilib.uns.ac.id
norma hukum), metode untuk mengatasinya dapat digunakan asas-asas penyelesaian konflik seperti lex posterior derogat legi priori, lex specialis derogat legi generali, lex superior derogat legi inferiori. Adapun langkahlangkah metode untuk mengatasinya adalah pertama, pengingkaran (disavowal), yaitu metode untuk mengatasi terjadinya antinomi atau konflik antar norma hukum yang dilakukan dengan cara tidak diterapkannya suatu ketentuan yang bersifat umum, tetapi diterapkannya ketentuan yang bersifat khusus berdasarkan prinsip lex specialis. Kedua, penafsiran (reinterpretation) adalah langkah untuk mengatasi terjadinya antinomi atau konflik antar norma hukum dengan cara hakim menafsirkan kembali suatu ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang menjadi dasar penetapan suatu keputusan tata usaha negara untuk memberikan solusi hukum atas terjadinya sengketa tata usaha negara. Langkahlangkah yang ketiga adalah pembatalan (invalidation) bahwa hakim tata usaha negara dapat membatalkan berlakunya suatu keputusan tata usaha negara, karena dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pembatalan atas keputusan tata usaha negara yang diuji di peradilan tata usaha negara tersebut dimaksudkan agar keputusan tata usaha negara yang disengketakan atau dibatalkan oleh hakim peradilan tata usaha negara dapat disinkronkan dengan peraturan perundang-undangan yang secara hierarkhis lebih tinggi oleh Badan atau Pejabat tata usaha negara yang membuat keputusan tata usaha negara. Pembatalan keputusan tata usaha negara oleh hakim peradilan tata usaha negara dapat dicontohkan sengketa yang terjadi antara Goenawan Mohamad yang mewakili Tempo melawan Menteri Penerangan (menerbitkan Surat Keputusan Nomor 123/KEP/MENPEN/1994, tanggal 21 Juni 1994 tentang Pembatalan SIUUP Tempo) sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Pertimbangan hukum yang dikemukakan majelis hakim peradilan tata usaha negara (diketuai oleh Benyamin Mangkoedilaga, bersama anggotanya Soemaryono dan Tengku Abdurrachman) yang dipergunakan sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan, antara lain dasar hukum yang dipergunakan untuk menerbitkan atau to useroleh tergugat bertentangan dengan mengeluarkan keputusan tata commit usaha negara
329 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dasar hukum yang dipergunakan oleh tergugat atau Menteri Penerangan untuk mengeluarkan keputusan adalah Keputusan Menteri Penerangan Nomor 01/PER/MENPEN/1984 bertentangan dengan Undang-undang Pokok Pers Nomor 21 Tahun 1982 dan memerintahkan kepada Menteri Penerangan untuk mencabut surat keputusan yang telah dikeluarkan atau yang menjadi obyek sengketa. Metode keempat sebagai langkah untuk mengatasi terjadinya konflik antar norma hukum atau antinomi adalah metode pembetulan (remedy). Metode pembetulan merupakan solusi pilihan antara penfsiran kembali dengan pembatalan norma hukum. Remedy juga merupakan
pertimbangan
kembali,
yaitu
pembatalan,
perubahan
atau
pembentukan yang baru penerapan norma-norma sekunder yang berkaitan dengan aturan-aturan konflik. Norma hukum yang tidak diterapkan tidak dikesampingkan, namun dapat dipilih sebagai suatu solusi konflik ketika norma primer dipandang lemah. Bismar
Siregar
pernah
melakukan
terobosan
hukum
dengan
menganalogikan kemaluan wanita sebagai barang, namun sayang terobosan yang dilakukan oleh Bismar Siregar harus berhenti pada putusan Mahkamah Agung, yaitu putusan Bismar Siregar dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Dalam kasus Bismar Siregar, yang perlu mendapat perhatian adalah keberanian Bismar dalam menegakkan keadilan yang diharapkan oleh masyarakat, walaupun ketentuan dalam perundang-undangannya tidak mengaturnya secara jelas. Dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim, Bismar Siregar terinspirasi apa yang diamanatkan undang-undang kekuasaan kehakiman, bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dapat juga Bismar terilhami oleh penderitaan kaum wanita yang begitu mendalam dirasakan setelah ditinggalkan begitu saja oleh calon suaminya, sehingga hati nurani, dan empati Bismar bangkit ikut dalam pertimbangan hukum yang dijadikan dasar untuk memutus perkaranya, yaitu mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Keaktifan, kreatif dan keikutsertaan hati nurani, perasaan dalam suatu pertimbangan hukum, menunjukkan pemikiran atau commit to user kualitas dan kemampuan yang logika penalaran hukumnya yang mempunyai
perpustakaan.uns.ac.id
330 digilib.uns.ac.id
melebihi dibandingkan dengan hakim yang hanya menggunakan pemikiran secara logis-dogmatis saja. Keberanian hakim mengadakan lompatan dalam menjatuhkan putusan (hakim yang aktif, kreatif, menggunakan hati nurani, empati) sudah barang tentu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Berkaitan dengan hal tersebut, Aloysius Wisnusubroto, mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam mempertimbangkan putusannya, yaitu faktor subyektif dan faktor obyektif. Faktor subyektif adalah meliputi sikap perilaku hakim yang apriori, emosional, sikap arogance power, dan moral, sedangkan faktor obyektif meliputi latar belakang sosial, budaya, ekonomi dan profesionalisme hakim425 Berkaitan dengan hal tersebut, K. Kwancik Saleh426, mengemukakan salah satu tugas utama hakim adalah menegakkan keadilan (gerech‟tigdheid), bukan kepastian hukum (rechts ze‟kerheid). Antonius Sudirman, mengemukakan keadilan adalah bukan keadilan menurut bunyi perkataan undang-undang semata (let‟terknechten der wet), menurut versi penguasa atau berdasarkan selera kaum powerfull, melainkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menyadari bahwa keadilan yang diperjuangkan oleh hakim adalah keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka dalam setiap putusannya, sang hakim tidak boleh hanya bersandar pada undang-undang, melainkan juga harus sesuai dengan hati nuraninya yang tulus. Dengan kata lain, dalam setiap putusannya, hakim tidak boleh mengabaikan suara hati nuraninya demi mencari keuntungan materiil bagi diri sendiri, memberikan kepuasan bagi penguasa, menguntungkan kaum powerfull (secara politik dan ekonomi) atau demi menjaga kepastian semata. Suara hati-nurani yang dimaksud adalah suara hati-nurani untuk kepentingan masyarakat banyak. Hakim harus mampu menciptakan hukum sendiri melalui putusan-putusannya yang biasa disebut judge made law (hukum yang dibuat oleh hakim)427.
425
Aloysius Wisnusubroto, 1997, Hukum dan Pengadilan di Indonesia, Yogyakarta : Unika AtmaJaya, hlm., 91 426 to user K. Kwancik Saleh, 1977, Kehakiman commit dan Peradilan, Jakarta : Ghalia Indonesia, hlm., 39. 427 Antonius Sudirman, Op.,cit., hlm., 51.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB VI
MEMBANGUN KONSTRUKSI PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM PENGADILAN TATA USAHA NEGARA UNTUK MEWUJUDKAN TUJUAN HUKUM
Manusia terus menerus membangun dunia, membentuk pemahaman mengenai keberadaan diri dalam perubahan yang terus berlangsung. Bergerak melalui apa yang disebut sebagai proses konstruksi besar-besaran. Manusia berusaha melakukan interpretasi terhadap kondisi lingkungan terus berubah, mereka bertindak dan berjuang keras untuk “mengubah dunia”, yaitu alam sekitarnya dan masyarakat, atau berusaha memeliharanya agar tetap pada kondisi yang telah ada. Arah kehendak untuk mengubah atau mempertahankan adalah arah model yang menghasilkan kompleks pemikiran yang memberi petunjuk bagi munculnya permasalahan, konsep-konsep dan bentuk-bentuk pemikiran mereka. Sesuai dengan konteks kegiatan kolektif tertentu yang mereka lihati, manusia cenderung melihat secara berbeda-beda dunia sekitarnya428. Berkaitan dengan hal tersebut, Esmi Warassih, mengemukakan dalam setiap usaha untuk merealisasikan tujuan pembangunan, maka sistem hukum itu dapat memainkan peranan sebagai pendukung dan penunjangnya. Suatu sistem hukum yang tidak efektif tentunya akan menghambat terealisasinya tujuan yang ingin dicapai itu. Sistem hukum dapat dikatakan efektif, apabila perilaku-perilaku manusia di dalam masyarakat sesuai dengan apa yang telah ditentukan di dalam aturanaturan hukum yang berlaku. Dalam hubungan ini persyaratan yang diajukan oleh Fuller, perlu diperhatikan429. Selanjutnya dikemukakan, bahwa hampir setiap 428
Anthon F. Susanto, 2004, Wajah Peradilan Kita Konstruksi Sosial tentang Penyimpangan Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, Bandung : Refika Aditama, hlm., 25. 429 Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis,Semarang : Suryanaru Utama, hlm., 95. Lon L. Fuller, berpendapat bahwa untuk mengenal hukum sebagai suatu sistem, maka harus dicermati apakah ia memenuhi 8 asas atau principle of legality, berikut ini : 1. Sistem hukum harus mengandungperaturan-peraturan, artinya ia tidak boleh mengandung sekadar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc. 2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus commit to4.user diumumkan. 3. Peraturan tidak boleh berlaku surut. Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti. 5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang
331
332 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bidang kehidupan sekarang ini diatur oleh peraturan-peraturan hukum. Melalui penormaan terhadap tingkah laku manusia ini hukum menelusuri hampir semua bidang kehidupan manusia. Campur tangan hukum yang semakin meluas ke dalam bidang kehidupan masyarakat menyebabkan masalah efektivitas penerapan hukum menjadi semakin penting untuk diperhitungkan, artinya hukum harus bisa menjadi institusi yang bekerja secara efektif di dalam masyarakat430. Dalam kehidupan sekarang ini, hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat kontrol terhadap tindakan pemerintah saja, melainkan hukum harus mampu mengendalikan permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam masyarakat yang semakin kompleks. Hukum harus mampu memberikan perlindungan terhadap masyarakat, kesejahteraan dalam masyarakat dan terwujudnya keadilan dan kebagaiaan dalam masyarakat. Menurut Beccaria sebagaimana dikutip oleh Rostov (1971), bahwa hukum itu pada dasarnya bertujuan untuk memberikan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungki orang (to provide the greatest happiness devided among the greatest number)431. Hukum merupakan salah satu proses (produksi) manusia (sebagai aktor) dalam membangun dunianya yang dapat dicermati dan ditelaah melalui inteaksi yang berlangsung di dalam masyarakat. Fenomena ini mampu menampilkan hukum lebih mengedepankan persoalan-persoalan yang berkembang di dalam masyarakat. Aktivitas masyarakat terus menerus dalam kehidupan sehari-hari memberikan makna penting bagi pembentukan hukum432. Sabian Ustman433, mengemukakan dalam berhukum bagi Indonesia, karena masih bepandangan bahwa hukum adalah undang-undang (tanpa memperhatikan gejolak masyarakat), sehingga tidak ada komitmen dan moralitas untuk membangun hukum yang ideal berkeadilan, di samping berkepastian yang profesional bukan transaksional sebagai sarana memperkaya diri sendiri atau bertentangan satu sama lain. 6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan. 7. Peraturan tidak boleh sering diubah-ubah. 8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanannya sehari-hari. 430
Esmi Warassih, Ibid., hlm., 91 Esmi Warassih, Ibid., hlm., 66 432 commit Anthon F. Susanto,2004, Op., cit., hlm., 36 to 433 Sabian Utsman, Op., cit., hlm.,6 431
user
333 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
golongan, saya melihat sudah begitu parahnya di negeri ini. Begitu menyedihkannya supremasi hukum kita dengan konsep-konsep yang melangit dalam tatanan law in the books yang berkutat pada paradigma positivistik, maka terjadilah institusi pengadilan (mekanistik) berfungsi sebagai tempat orang-orang korup dan pendosa untuk mencari perlindungan yang aman (safe haven). Sebagaimana diungkapkan Satjipto Rahardjo : “... sistem lama, yang notabene adalah liberal itu, telah menimbulkan “penyakit-penyakit” sendiri, seperti juga telah banyak dikritik di Amerika Serikat di Indonesia, dalam konteks pemberantasan korupsi, sering dikatakan bahwa pengadilan telah menjadi tempat perlindungan yang aman (safe haven) bagi para koruptor434. Selanjutnya Sabian Utsman mengemukakan, untuk menggagas bagaimana Indonesia berhukum, maka harus berangkat dari perspektif kolektif dalam struktur sistem peradilan, sehingga membentuk konstruksi sebagai satu kesatuan yang searah kepada sasaran tertentu. Lembaga peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, dipandang oleh masyarakat sebagai lembaga yang dapat menyelesaikan semua permasalahan yang timbul dalam kehidupan mereka. Pandangan ini tidak berlebihan, karena lembaga tersebut dihuni oleh orang-orang yang mempunyai pemahaman terhadap hukum, kualitas dan profesi yang berbeda dengan warga masyarakat. Kepercayaaan masyarakat untuk menyerahkan permasalahan ke lembaga tersebut masih cukup banyak, walapun lembaga tersebut setiap hari diguncang kritik dan hujatan. Adi Sulistiyono, mengemukakan sampai sekarang pengadilan masih dipercaya masyarakat sebagai lembaga untuk menyelesaikan sengketa, bahkan sebagian masyarakat pernah memberikan cap sebagai “benteng Keadilan”435. Selanjutnya, dengan mengambil pendapat Satjipto Rahardjo, dikemukakan bahwa secara teori keberadaan pengadilan merupakan suatu lembaga yang berfungsi
untuk
mengkoordinasi
sengketa-sengketa
yang
terjadi
dalam
masyarakat, dan merupakan „rumah pengayom‟ bagi masyarakat pencari keadilan, yang mempercayai jalur litigasi serta dianggap sebagai „perusahaan keadilan‟ yang mampu mengelola sengketa dan mengeluarkan produk keadilan yang bisa 434 435
commit to user Satjipto Rahardjo, dalam Sabian Utsman, Op., cit., hlm., 7 Adi Sulistiyono, 2006, Krisis...., Op., cit., hlm., 2-3
334 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diterima oleh semua masyarakat. Berkaiatn dengan hal tersebut, Sabian Utsman mengemukakan, harus dingat bahwa berbibara hukum itu adalah berbibara dinamika, yaitu berbicara dalam konteks tantangan dan disisi lain jawaban dalam suatu persoalan (challenge and response) dan hukum itu sendiri memang seharusnya dirancang berdasarkan asumsi-asumsi tertentu, keadaan-keadaan tertentu,
teritorial-teritorial
tertentu,
prinsip-prinsip
tertentu
dan
dalam
normalisasi-normalisasi tertentu serta pada susunan tertentu pula436. Satjipto Rahardjo, mengemukakan, dinamika hukum itu mengikuti pola “tantangan dan jawaban” (challenge and response). Hukum itu dirancang berdasarkan asumsiasumsi tetentu, yang kita sebut sebagai keadaan normal. Normalisasi itulah yang dipakai sebagai bahan untuk menyusun sekalian kelengkapan suatu bangsa dalam berhukum, seperti susunan institut-institut hukum, kewenangan, prosedur. Dalam keadaan norma itu tidak lagi ada, hukum tidak lagi dapat bertahan lebih lama dengan cara berhukum yang lama437 . Hukum berfungsi sebagai perlindungan bagi kepentingan manusia atau masyarakat, masyarakat selalu berkembang, maka kepentingan manusia pun berkembang secara makro maupun mikro. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum, oleh karena itu hukum harus ditegakkan dan melalui penegakkan itulah hukum menjadi kenyataan. Dalam penegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit)438. Sebagaimana dikemukakan oleh Radbruch439, dalam proses konstruksi mengandung tuntutan akan tiga hal yang oleh Radbruch, disebut dengan “nilai-nilai dasar dari hukum, yaitu keadilan, kegunaan dan kepastian hukum440.Ketiga unsur tersebut dipergunakan sebagai penopang cita hukum (idee des rechts). Cita hukum tersebut akan membimbing manusia dalam kehidupan
436
Sabian Utsman, Loc., cit. Hlm., 6 Satjipto Rahardjo, dalam Sabian Utsman, Loc., cit.,., hlm., 6 438 Sudikono Mertokusumo dan A. Pitlo, Op., cit., hlm., 1 439 commit to user Georges Gurvich, 1963, Sosiologi Hukum, Jakarta : Bhatara, hlm., 182 440 Radbruch, dalam Anthon F. Susanto, 2004, Op., cit., hlm., 46 437
335 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berhukum dan ketiga nilai dasar tersebut harus ada secara seimbang, namun seringkali ketiga nilai dasar tersebut tidak selalu berada dalam hubungan yang harmonis, melainkan satu sama lain saling berhadapan, bertentangan, ketegangan (spannunggsverhaltnis). Dalam hal tejadi pertentangan demikian, yang mestinya dikedepankan adalah keadilan. Ketiga nilai dasar tersebut juga menjadi landasan bagi penegakan hukum441. Proses peradilan dari waktu ke waktu selalu berubah. Hal ini tentu saja berpengaruh pada peran hakim sebagai orang yang berwenang memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan ke pengadilan. Dari abad 19-20 dapat disaksikan secara pelan-pelan terjadinya perubahan dari peran pengadilan sebagai institusi hukum yang sempit dan terisolasi menjadi pengadilan (untuk) rakyat. Pengadilan yang terisolasi ini juga dinyatakan dalam ungkapan pengadilan sebagai corong undang-undang, tidak lebih dan tidak kurang. Memang semangat liberal dan legalisme positivistik yang sangat luas pada abad 19 itu memberikan landasan teori bagi munculnya pengadilan yang terisolasi dari dinamika masyarakat di mana pengadilan berada. Isolasi tersebut juga mengundang asosiasi ke arah kediktatoran pengadilan (judicial dictatorship). Hakim dalam memutus perkara semata-mata dengan mengingat apa yang menurut tafsiranya dikehendaki oleh hukum tanpa harus melibatkan ke dalam atau mendengarkan dinamika masyarakat tersebut. Oleh karena itu menjadikan pengadilan terisolasi dari keseluruhan kehidupan masyarakat dan menjadi benda asing dalam tubuh masyarakat tersebut442. Dikemukakan bahwa sementara itu dinamika masyarakat menampilkan pengorganisasian baru, seperti perkembangan demokrasi dan bangkitnya kekuatan-kekuatan baru dalam masyarakat, seperti buruh yang mengubah peta sosial politik secara mendalam. Kalau hukum liberal abad ke 19 banyak dikaitkan pada golongan borjuis, maka menjelang da memasuki abad ke 20 kata kincinya adalah rakyat. Naiknya peran dan partisipasi rakyat ini tidak dengan mudah diakomodasikan 441 442
oleh
institusi
hukum,
termasuk
Bambang Sutiyoso, Op., cit., hlm., 12commit to user Satjipto Rahardjo, 2008, Membedah...., Loc., cit., hlm. 38
pengadilan.
Sementara
perpustakaan.uns.ac.id
336 digilib.uns.ac.id
pengadilan juga mengubah peranya dari semata-mata menjadi corong undangundang, kepada pengadilan yang mewakili dan mendengarkan, bahkan ada ajaran, bahwa pengadilan hendaknya mampu menyuarakan mereka atau golongangolongan yang unreppresented dan under-represented443 . Satjipto Rahardjo444, para penegak hukum yang berjihad untuk memunculkan kekuatan hukum akan senantiasa memeras dan mendorong katakata dari teks hukum sampai ke titik paling jauh (ultimate), sehingga kekuatan hukum keluar dari persembunyiannya. Pengadilan tidak lagi semata-mata menjadi tempat untuk menerapkan undang-undang. Hakim bukan lagi les bouches, qui prononcent les paroles de la loi (mulut yang mengucapkan kata-kata undangundang), melainkan seorang vigilante atau mujtahid. Dalam hal hakim memutus perkara dengan menggali nilai-nilai yang ada dalam kehidupan masyarakat, maka akan lebih dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, karena pada prinsipnya hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya manusia untuk hukum. Dengan demikian ketika masyarakat berubah, maka hakim dalam penegakan hukum juga harus mengikuti perkembangan yang terjadi dalam dinamika kehidupan masyarakat. Pengadilan bukanlah institusi hukum yang steril, yang hanya berurusan dengan pengkonkritan undang-undang, melainkan memiliki jangkauan yang lebih luas. Pengadilan sudah menjadi institusi sosial yang peka terhadap dinamika perkembangan masyarakat. Pengadilan sarat dengan pikiran keadilan, pembelaan rakyat dan nasib bangsanya. Ternyata pengadilan juga berhati nurani (concience of the court). Hakim sebagai penegak hukum di pengadilan harus benar-benar memperhatikan dinamika masyarakat. Hakim berhati nurani dalam memutus perkara, sehingga benar-benar bisa memberikan keadilan bagi masyarakat. Menurut Roscoe Pound445, ada tiga langkah yang dilakukan hakim dalam mengadili suatu perkara :
443
Satjipto Rahardjo, 2008, Loc., cit., hlm., 38 Satjipto Rahardjo, 2009, Op., cit., hlm., 56 445 to user Roscoe Pound, An Introduction to Thecommit Philosophy of Law, diterjemahkan oleh Mohamad Radjab, 1972, Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta : Bhatara, hlm., 62 444
perpustakaan.uns.ac.id
337 digilib.uns.ac.id
1. Menemukan hukum, menetapkan kaidah mana dari sekian banyak kaidah di dalam sistem hukum yang akan diterapkan, atau jika tidak ada yang dapat diterapkan (yang mungkin atau tidak mungkin dipakai sebagai satu kaidah untuk perkara lain sesudahnya berdasarkan bahan yang sudah ada menurut suatu cara yang ditunjukkan oleh sistem hukum. 2. Menafsirkan kaidah yang dipilih atau ditetapkan secara demikian, yaitu menentukan maknanya sebagaimana pada saat kaidah itu dibentuk dan berkenaan dengan keluasannya yang dimaksud 3. Menerapkan pada perkaranya yang sedang dihadapi kaidah yang ditemukan dan ditafsirkan demikian Achmad Ali, mengemukakan dalam keadaan yang mendesak, perundangundangan memang harus disesuaikan dengan perubahan masyarakat, tetapi tidak mesti demikian, sebab sebenarnya hukum tertulis atau perundang-undangan mempunyai “senjata ampuh” untuk mengatasi sementara terhadap kesenjangan tersebut. Senjata ampuh tersebut adalah penemuan hukum oleh hakim, dalam praktiknya hakim dapat melakukan konstruksi hukum dan atau penafsiran hukum, jika melihat kenyataan bahwa peraturan perundang-undang yang ada belum mengatur peristiwa tetentu atau belum jelas446. Undang-undang pada hakikatnya memang dimaksudkan untuk melindungi baik individu maupun masyarakat, tetapi pembentuk undang-undang kiranya mustahil untuk dapat memperhitungkan, memperhatikan dan menuangkan segala ragam bentuk kehidupan masyarakat dalam membuat suatu ketentuan yang bersifat umum. Oleh karena itu tidak mungkin mengatur segala-galanya secara terperinci, sehingga perlu sebagian tugasnya itu diserahkan kepada hakim447. Tugas hakim sebagaimana diamatkan dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan di muka sidang. Tujuan para pihak untuk menyelesaikan sengketa atau perkaranya di pengadilan adalah untuk mendapatkan putusan yang benar dan adil, sehingga bermanfaat dalam kehidupannya. Putusan pengadilan atau hakim terdiri dari tiga bagian, yaitu kepala putusan, pertimbangan atau konsideran dan amar atau diktum putusan. 446
Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta : commit to user Gunung Agung, hlm., 192 447 Sudikno Mertokusumo, 1984, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Yogyakarta : Liberty, hlm., 23
perpustakaan.uns.ac.id
338 digilib.uns.ac.id
Dalam pertimbangan tersebut dapat diketahui logika hukum yang dibangun oleh hakim. Abdullah, mengemukakan bahwa esensi penalaran hukum dalam pertimbangan hukum putusan merupakan alat untuk menyusun argumen-argumen yang dapat membimbing pencari keadilan untuk memahami logika pemikiran dan pendapat hakim dalam memutus perkara. Dengan menerapkan penalaran hukum, maka suatu pertimbangan hukum putusan dapat diketahui alur pikir yang dibangun oleh hakim, konstruksi yuridis, baik berupa penafsiran hukum maupun argumentasi sebagai dasar dan menuntun kearah amar putusan. Dengan penalaran yang benar, maka suatu pertimbangan hukum putusan dapat diketahui logika berpikir yang digunakan hakim untuk membuktikan bersalah tidaknya tidaknya perbuatan terdakwa menurut hukum448. Dalam perimbangan hukum memuat uraian tentang korelasi antara fakta hukum yang terungkap di persidangan dengan aturan hukum yang dijadikan dasar pengujian KTUN yang disengketakan. Berkaitan dengan hal tersebut, hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap sengketa yang diajukan para pihak tidak boleh ceroboh, gegabah, emosi dan berat sebelah, sehingga putusannya akan menimbulkan permasalahan baru. Menurut Djokosoetono, hakim harus berpikir secara yuridis, sistematis dan teratur atau geordendenken, sehingga setiap persoalan hukum dapat dipecahkan secara baik dan benar dan putusannya dapat diterima secara yuridis, sosiologis dan filosofis449. Dalam putusan hakim yang paling penting adalah bahwa putusan tersebut dapat diterima oleh pencari keadilan dalam masyarakat secara ikhlas dan legowo, oleh karena itu dalam pertimbangan hukum yang memuat penalaran hukum yang dipergunakan sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan hakim harus diperhatikan benar oleh hakim. Hakim di samping memperhatikan ketentuan dalam peraturan peundang-undang juga tidak boleh mengesampingkan atau meninggalkan begitu saja nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Penalaran hukum menjadi lebih urgen dalam mengambil putusannya. Sebagaimana dikemukakan Abdullah, masyarakat menjadi mengerti dan memahami makna dan 448
Abdullah, Op.,cit., hlm., xiii commit to user Jakarta : Bina Yustisia Litbang Purwoto S. Gandasubrata, 1994, Tugas Hakim Indonesia, MARI, hlm., 17 449
339 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
fungsi penalaran hukum dalam pertimbangan hukum putusan pengadilan. Dengan menerapkan penalaran hukum dalam perimbangan hukum, maka menunjukkan kualitas putusan, profesionalisme dan integritas moral hakim. Dalam menemukan esensi pertimbangan hukum putusan pengadilan, dapat dilakukan melalui penerapan teori kebenaran dan keadialn. Ada 3 teori kebenaran yang dapat diterapkan dalam pertimbangan hukum, yaitu teori koherensi, koresponden dan pragmatis. Dalam mengadili perkara, hakim tidak terlepas dari maksud dan tujuan pencari keadilan melimpahkan perkaranya melalui pengadilan, yaitu untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan, baik secara yuridis, sosiologis dan filosofis450. Selanjutnya dikemukakan, putusan pengadilan sebagai putusan hukum memuat beberapa hal antara lain, penalaran hukum yang di dalamnya memuat teori-teori sebagai landasan argumentasi hukum. Pengujian tahap pertama dalam persidangan menggunakan teori kebenaran koresponden dan koheren. Pengujian ini tidak hanya dilakukan oleh majelis sendiri, melainkan juga oleh para pihak. Teori ini sangat penting untuk menguji kebenaran alat bukti yang diajukan dan terungkap dipersidangan. Kebenaran koresponden dapat digunakan untuk menguji korelasi antara alat bukti yang satu dengan yang lain, apabila ada korelasi antara dalil-dalil dengan alat bukti, maka secara korespondensi adalah benar. Pengujian ini memperoleh kebenaran empiris dan menggunakan pola pikir induktif. Kebenaran koherensi dapat digunakan untuk melakukan sinkronisasi antara dalildalil dengan peraturan perundang-undangan atau yurisprudensi yang pernah ada. Mendasarkan yurisprudensi bukan berarti mendasarkan pada asas preseden. Kebenaran pragmatis menyangkut manfaat dari putusan, karena sifatnya futuristik. Manfaat putusan pengadilan dapat diketahui setelah putusan berkekuatan hukum tetap dan putusan tersebut baru memenuhi kebenaran pragmatis, apabila dapat dilaksanakan atau eksekusi451. Sebagaimana dikemukakan bahwa tugas hakim adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara atau sengketa yang diajukan para pihak di 450 451
Abdullah, Op., cit., hlm., 25 Abdullah, Op., cit., hlm., 30
commit to user
340 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
muka sidang, seperti yang diamanatkan dalam undang-undang Nomor 48 Tahun2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Tugas tersebut, sebagaimana dikemukakan Sudikno Mertokusumo : Tahap pertama, kalau diajukan kepadanya suatu perkara, hakim haruslah mengkontatir benar tidaknya peristiwa yang diajukan itu. Mengkonstatir berarti melihat, mengakui atau membenarkan telah terjadinya suatu peristiwa yang diajukan tersebut dan untuk sampai pada konstatering, hakim harus mempunyai kepastian. Hakim harus pasti akan konstateringnya itu, ia harus pasti akan kebenaran peristiwa yang dikonstatirnya, sehingga konstateringnya itu tidak sekedar dugaan atau kesimpulan yang dangkal atau gegabah tentang adanya peristiwa yang bersangkutan. Dalam hal tersebut, hakim harus menggunakan sarana-sarana atau alat-alat untuk memastikan dirinya tentang kebenaran peristiwa yang bersangkutan. Hakim harus melakukan pembuktian dengan alat-alat tersebut untuk mendapatkan kepastian tentang peritiwa yang diajukan kepadanya. Jadi mengkonstatir peristiwa berarti sekaligus juga membuktikan atau menganggap telah terbuktinya peristiwa yang bersangkutan. Tahap kedua, hakim mengkualifisir peristiwa itu. Mengkualifisir berarti menilai peristiwa yang telah dianggap benar-benar terjadi itu termasuk hubungan apa atau yang mana, dengan perkataan lain menemukan hukumnya bagi peristiwa yang telah dikonstatir. Untuk menemukan hukumnya hakim sering melakukan penerapan hukum terhadap peristiwanya. Dicarikan dari peraturan hukum yang ada,
ketentuan-ketentuan
yang
dapat
diterapkan
pada
peristiwa
yang
bersangkutan. Kalau peristiwanya sudah terbukti dan peraturan hukumnya jelas dan tegas, maka penerapan hukumnya pada umumnya merupakan pekerjaan yang boleh dikatakan mudah. Jadi mengkualifisir pada umumnya berarti menemukan hukumnya dengan jalan menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwa, suatu kegiatan yang pada umumnya bersifat logis. Dalam kenyataannya menemukan hukum tidak sekedar menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwanya saja. Lebih-lebih kalau peaturan hukumnya tidak tegas dan tidak jelas, maka dalam hal ini hakim tidak lagi harus menemukan hukumnya, melainkan menciptakan sendiri. commit to user Dalam kaitan dengan hal ini menurut Cardozo, seorang hakim terkenal dari
perpustakaan.uns.ac.id
341 digilib.uns.ac.id
Amerika, menyebutkan :”The law which is the resulting product is not found but made. The process in its bighest reaches is not discovery, but creation”. Mengkualifisir peristiwa mengandung unsur kreatif, sehingga daya cipta hakim besar sekali peranannya. Ia harus berani menciptakan hukum yang tidak bertentangan dengan keseluruhan sistem perundang-undangan dan memenuhi pandangan masyarakat serta kebutuhan jaman. Tahap ketiga, hakim harus mengkonstitur atau memberi konstitusinya. Hal ini berarti hakim menetapkan hukumnya terhadap peristiwa yang bersangkutan, memberi keadilan. Hakim mengambil kesimpulan dari adanya premise mayor, yaitu (peraturan) hukum dan premise minor, yaitu peristiwanya. Sekalipun ini merupakan silogisme, tetapi bukan semata-mata hanya logika saja yang menjadi dasar kesimpulannya. Keadilan yang diputuskan oleh hakim bukanlah produk dari intelek hakim, “but of his spirit”, kata Sir Alferd Denning, seorang hakim terkenal di Inggris452. Achmad Ali, mengemukakan bahwa proses penemuan hukum dimulai pada tahap kualifikasi dan berakhir pada tahap konstutir453. Berkaitan dengan penemuan hukum oleh hakim, bahwa menurut pandangan klasik yang dikemukakan oleh Montesquieu dan Kant, hakim dalam menerapkan undangundang terhadap peristiwa hukum sesungguhnya tidak menjalankan peranannya secara mandiri. Hakim hanyalah penyambung lidah atau corong undang-undang (bouche la loi), sehingga tidak dapat mengubah kekuatan hukum undang-undang, tidak dapat menambah dan tidak pula dapat menguranginya. Menurut Montesquieu, undang-undang adalah satu-satunya sumber hukum positif, oleh karena itu demi kepastian hukum, kesatuan hukum dan kebebasan warga negara yang terancam kebebasan hakim, maka hakim harus berada di bawah undangundang. Peradilan tidak lain hanyalah bentuk silogisme454. Menurut pandangan klasik semua hukum terdapat lengkap dan sistematis dalam undang-undang dan tugas hakim adalah mengadili sesuai atau menurut bunyi undang-undang, disebut 452
Sudikno Mertokusumo, dalam Adi Sulistiyono, 2006, Op., cit., hlm., 75-76, lihat juga dalam Bambang Sutiyoso, 2006, hlm., 17-18 453 commit to user Achmad Ali, 2008, Op., cit., hlm., 120 454 Sudikno Mertokusumo, 2010, Op., cit., hlm., 53
perpustakaan.uns.ac.id
342 digilib.uns.ac.id
dengan penemuan hukum heteronom. Ternyata pandangan typis logicistis atau heteronom tersebut tidak dapat dipertahankan, karena sejak kurang lebih tahun 1850 perhatian ditujukan kepada peran penemuan hukum yang mandiri. Hakim tidak lagi dipandang sebagai corong undang-undang, tetapi sebagai pembentuk hukum yang secara mandiri memberi bentuk kepada isi undang-undang dan menyesuaikannya dengan kebutuahn-kebutuhan. Pandangan ini dikenal sebagai pandangan materiil yuridis atau otonom dan tokohnya antara lain Oscar Bullow, Eugen Ehrlich, Francois Geny, Oliver Wendell Holmes, Jerome Frank dan Paul Scholten455. Berkaitan dengan hal penemuan hukum oleh hakim, khususnya penemuan hukum oleh hakim PTUN, maka timbul pertanyaan bagaimana hakim PTUN membangun konstruksi penemuan hukum dalam memeriksa, memutus dan mengadili sengketa TUN yang diajukan pihak penggugat di muka sidang?. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa tugas hakim dalam menyelesaikan perkara atau sengketa hanya sekedar menerapkan undang-undang terhadap peristiwanya (heteronom) dan hakim menjelaskan atau melengkapi undangundang untuk diterapkan pada peristiwanya (otonom). Dalam hukum positif, terdapat ketentuan tentang kebebasan hakim dalam kaitan dengan penerapan undang terhadap peristiwa yang dihadapinya, seperti pada Pasal 1 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka hakim dalam menerapkan undang-undang terhadap peristiwa tertentu tidak perlu ragu-ragu lagi untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Pijakan hakim untuk menemukan hukum kiranya sudah jelas, maka harus ada keberanian dari hakim, karena dalam mengambil putusan kreativitas hakim sangat dibutuhkan. Berdasarkan hal tersebut, maka hakim sebagai penegak hukum dan keadilan harus berpandangan luas dan mendalam, mempunyai kemampuan dan kreativitas dalam tugasnya sebagai penerap undang-undang, hakim dapat menyelesaikan sengketa yang diajukan di muka sidang karena ia diangap tahu commit to user 455
Sudikno Mertokusumo, 2010, Op., cit., hlm., 55
perpustakaan.uns.ac.id
343 digilib.uns.ac.id
hukum, hakim harus berani menjatuhkan putusan dengan melakukan terobosan hukum, sekalipun undang-undang telah mengaturnya terhadap suatu peristiwa, karena ketentuan dalam undang-undang tersebut telah usang atau ketinggalan jaman. Tugas hakim PTUN adalah menguji (toetsings) keabsahan KTUN yang disengketakan para pihak di muka sidang, pengujian KTUN tersebut didasarkan pada undang-undang yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, pengujian tersebut khususnya terhadap penerapan hukum dari KTUN yang disengketakan. Ketentuan pengujian tersebut diatur dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a, b Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN, sebagai perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, adalah sebagai pedoman atau dasar untuk menguji (teotsingsgronden, grounds for review) keabsahan KTUN. Terdapat keberanian dari hakim PTUN untuk melakukan terobosan dari ketentuan dalam Pasal 53 ayat (2) yang sebenarnya dipergunakan sebagai pedoman atau dasar untuk menguji keabsahan KTUN, ia melakukan penyimpangan demi rasa keadilan masyarakat. Seperti putusan PTUN Semarang, Nomor 08/G/2009/PTUN, SMG. Putusan tersebut mengabulkan gugatan karena jangka waktu gugatan telah habis atau lewat 90 hari, sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN. Putusan Nomor 04G/2009/PTUN/SMG, lebih menitik beratkan pada nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Putusan Nomor 03/G/TUN/2000/PTUN/Yk, hakim cenderung memperhatikan keadilan penggugat, karena hanya berjudi satu kali dan sebenarnya perjudian yang dilakukan untuk mencari informasi tentang pembunuhan, Sumardiyono harus diberhentikan dari jabatannya. Hakim PTUN, seperti Teguh Satya Bhakti, Maftuh Effendi, Retno dan Agus, pada dasarnya mempunyai pendapat yang sama bahwa ketentuan di dalam undang-undang tersebut pada prinsip sebagai pedoman saja, karena sebagai pedoman, maka dapat disimpangi atau tidak selalu dipedomani, demi keadilan masyarakat. Solusi membangun konstruksi penemuan hukum oleh hakim, ditawarkan oleh Paul Scholten, masa keemasan hakim memperlakukan hukum seperti commit to user pekerjaan matematis yang memproses undang-undang seperti memproses angka-
344 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
angka secara logis (hanteren van logische figuren) sudah lewat. Pekerjaan hukum itu lebih dari sekedar silogisme. Putusan hukum tidak dibuat semata-mata menurut jalur logika, melainkan melompat (in de beslissing zit altijd ten slotte een sprong). Satu hal yang diangkat oleh Scholten, mengajukan gagasan mengenai “logische expansiekracht van het recht”, (kekuatan hukum untuk mengembangkan diri). Menurut beliau hukum bukan merupakan bangunan logis yang tetutup (logische geslotenheid), ada kekuatan yang tersembunyi dalam hukum456. Membangun kontruksi dalam kaitannya dengan penemuan hukum oleh hakim dalam menyelesaikan sengketa tata usaha negara dapat dilakukan dengan memperbaiki pemikiran hakim, bahwa hakim dalam menyelesaiakn sengketa tidak harus mendasarkan pada ketentuan dalam undang-undang yang bersifat normatif semata, hakim tidak hanya berkutat dengan aturan-aturan yang mengedepankan bentuk formalnya sebagai produk legeslatif, yang bersifat mekanistik, deterministik dan lebih cenderung untuk menghasilkan keadilan yang bersifat prosedural atau formal. Membangun dalam arti mampu menggeser pemikiranpemikiran hakim yang didominasi ajaran positivisme hukum atau legisme yang menganggap hukum sebagai satu-satunya sumber hukum, dan anggapan bahwa di luar
undang-undang
bukan
merupakan
hukum.
Membangun
konstruksi
dimaksudkan sebagai solusi untuk mengadakan perubahan penafsiran atau interpretasi, konstruksi hukum dan hermeneutika hukum dalam proses peradilan, hakim tidak harus terbelenggu atau terikat dengan aturan-aturan formal dan pengolahan logika. Membangun kontruksi penemuan hukum oleh hakim dimaksudkan hakim berani melakukan penafsiran untuk keluar dari makna teks undang-undang agar dapat berfungsi mewujudkan dan memberikan perlindungan bagi komunitas masyarakat pencari keadilan, namun dalam kenyataan banyak tantangan. Sebagaimana dikemukakan, perkembangan pemikiran kritis tentang hukum di Indonesia cukup menggembirakan terutama di kalangan aktivis dan akademisi, meskipun tantangan untuk dapat memberi pengaruh pada perombakan sistem hukum nasional masih merupakan pekerjaan berat dan jangka panjang. Tantangan commit to user 456
Paul Scholten, dalam Satjipto Rahardjo,2009, Lapisan...Op., cit., hlm., 57
perpustakaan.uns.ac.id
345 digilib.uns.ac.id
terbesar para peminat pemikiran kritis tentang hukum adalah kemampuannya untuk mendekonstruksi pemikiran hukum dominan di Inodnesia yang pondasi teoritiknya berbasiskan pemikiran legal positivisme457.Soetandyo Wignjosoebroto mengemukakan, hukum perundang-undangan nasional, berikut konkretisasinya dalam bentuk amar-amar putusan pengadilan, dicitakan selalu terbuka terhadap berbagai kajian dan kritik dekonstruktif yang dilakukan lewat berbagai gerakan sosial peduli hukum, agar hukum nasional dapat berfungsi sebagai salah satu kekuatan penggalang kehidupan masyarakat Indonesia baru mampu bertindak responsif untuk kepentingan publik458 Satjipto Rahardjo, mengemukakan gagasan hukum progresif yang sejak 2002 dicoba untuk dikembangkan merupakan lahan persemaian yang bagus bagi pengembangan kekuatan yang tersimpan dalam hukum. Hukum progresif menolak cara berhukum yang menyebabkan hilangnya dinamika hukum. Hukum menjadi statis dan stagnan manakala tidak berusaha untuk menyiangi dan menyingkirkan hambatan-hambatan yang menyebabkan hukum menjadi stagnan. Salah satu hal yang akan terhambat adalah tidak munculnya kekuatan yang sebenarnya ada secara inheren dalam hukum. Kekuatan yang tersimpan itu menjadi tidak muncul, karena para penegak hukum sendiri yang menyebabkannya. Penghambatnya adalah caracara berhukum yang hanya dengan mengeja teks undang-undang. Tidak dimunculkannya kekuatan yang ada di dalam hukum itu menyebabkan hukum yang seharusnya mampu atau tajam menjadi tumpul dan tidak mampu menyelesaikan pesoalan yang dihadapinya. Hukum dan penegakkan hukum perlu memasuki ranah psikologi, berarti hukum tidak hanya berurusan dengan peraturan melainkan juga perilaku. Perilaku yang dibutuhkan untuk memunculkan kekuatan hukum adalah apa yang dalam bahasa jawa disebut sebagai “mesu budi”, yaitu mengerahkan kekuatan spiritual. Pekerjaan hukum adalah lebih dari hanya logisrasional, melainkan sesuatu yang menurut kreativitas dari para pelakunya. Di sinilah pekerjaan memunculkan kekuatan hukum itu memperoleh tempatnya459. 457
Huma, Loc., cit., hlm., iii. Soetandyo Wignjosoebroto, 2007, Pembaruan Hukum Masyarakat Indonesia Baru, Jakarta : commit to user Huma, hlm, 98. 459 Satjipto Rahardjo,2009, Lapisan, Op., cit., hlm., 57-58 458
perpustakaan.uns.ac.id
346 digilib.uns.ac.id
Dalam kesempatan lain, Satjipto Rahardjo mengemukakan, apakah pengadilan membutuhkan suatu rekonstruksi besar-besaran? Sangat mungkin memang itu yang dibutuhkan . Barangkali bukan hanya rekonstruksi, tetapi sebelumnya itu rupa-rupanya kita perlu melakukan dekonstruksi terhadap pengadilan kita lebih dahulu. Dekonstruksi di sini adalah membuang cara kerja pengadilan yang lama, dekonstruksi sebaiknya bermula dari sikap para hakim terhadap pekerjaannya dan cara berpikir mereka. Berdasarkan pertanyaan tersebut saya lebih condong kepada pengubahan perilaku dan pikiran hakim daripada merubah hukum, terutama untuk mengembalikan lembaga pengadilan dan Mahkamah Agung menjadi “credible” dan “reliable” sekarang ini, lebih diperlukan “perubahan manusia” daripada “perubahan hukum”460. Dekonstruksi yang dianjurkan dan dikerjakan di sini berlangsung berdasarkan kebijakan “pembalikan hierarki” dan upaya metode penemuan metode baru untuk menafsir ulang maksud yang terkandung dalam norma hukum. Mengenai kebijakan yang disebut the reserval of hierarchies yang dalam bahasa aslinya norma hukum mengandung dua nilai kepentingan, yaitu suatu dominan yang lebih diutamakan dan lainnya tidak diutamakan yang tidak perlu ditampilkan. Dekonstruksi harus bekerja untuk segera menampilkan pihak yang selama ini kepentingannya tidak ditampilkan dan karena itu tidak dibicarakan. Dekonstruksi melalui penafsiran ulang isi kandungan sebuah norma hukum yang ada dilakukan berdasarkan ide the free play of the text. Suatu teks undang-undang atau teks amar putusan hakim itu begitu selesai dirumuskan akan begitu terbebas dari maksud perumusannya yang semula. Setiap teks mempunyai riwayat hidupnya sendiri. Setiap generasi akan mengubah isi teks itu kembali lewat berbagai kesempatan berijtihad, sedangkan generasi terdahulu penciptanya tidak lagi ada dayanya untuk mencegahnya461. Selanjutnya dikemukakan bahwa mendekonstruksikan teks harus bermodal kesediaan untuk memaknakan isi teks
460
Satjipto Rahardjo, Rekonstruksi Pembangunan Hukum Menuju Pembangunan Pengadilan yang Independen dan Berwibawa, Makalah seminar diselenggarkan oleh Universitas Ahmad Dahlan , Yogyakata, 28 Maret 2000, hlm., 3-4. Dalam Anthon F. Susanto, 2004, hlm., 15 461 commit to userMetode dan Dinamika Masalahnya, Soetandyo Wignjosoebroto, 2002, Hukum Paradigma, Jakarta : Elsam, Huma, hlm., 80.
347 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
secara berbeda menurut konteks yang nyatanya telah berbeda pula. Mengartikan suatu isi teks berdasarkan makna aslinya adalah pekerjaan sia-sia dan tidak perlu. Kerja rekonstruksi harus tetap menjadi bagian dari strategi kerja-kerja dekonstruksi. Pelajaran hidup bernegara selama berpuluh tahun adalah terlalu mahal untuk tidak membuat kita menjadi berani melakukan pemikiran ulang terhadap cara-cara memahami hukum, undang-undang, dan negara hukum. Hal tersebut yang menyebabkan diajukan gagasan berani melakukan dekonstruksi terhadap cara-cara berpikir mengenai hukum. Intisari dari pikiran mendekonstruksi hukum, kredo (jawa) yang dijukan berbunyi tidak boleh menjadi tawanan undang-undang, itulah esensi dekonstruksi yang meliputi aspek kognitif dan afektif. Lebih dalam lagi, maka falsafah yang mengilhami adalah hukum itu untuk manusia dan tidak sebaliknya462 John Marshall, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat, telah melakukan sesuatu yang besar, sehingga Supreme Court yang sebelum itu disebut sebagai bagian yang paling lemah dalam kenegaraan dibanding dengan eksekutif dan legislatif, muncul sebagai kekuatan di samping keduanya. John Marshall menyatakan, bahwa Mahkamah Agung memiliki kekuatan untuk menyatakan undang-undang (act of conggres) sebagai tidak konstitusional463. Hakim Agung Earl Warren sangat kreatif pada waktu dihadapkan kepada tuntutan irama perubahan sosial yang besar di Amerika Serikat menghadapi abad ke-20. Warren menempatkan diri sebagai transformator menuju Amerika baru, yaitu dengan menerima tugasnya bukan hanya sebagai hakim, tetapi legislator. Dalam tugasnya tersebut, ia banyak mengubah corpus hukum konstitusi Amerika Serikat464 Perubahan perilaku yang dimaksud, diharapkan mampu memberikan pemahaman holistik terhadap persoalan peradilan menyangkut struktur, kultur dan model aturan, bahkan apabila mungkin dapat diharapkan membangun kecerdasan peradilan menuju era pencerahan. Aparatur hukum tidak hanya bekerja mengikuti aturan, berpikir logis dan rasional atau hanya berdasarkan emosi untuk mengenali 462
Satjipto Rahardjo, 2006, Loc., cit., hlm., 120. to Satjipto Rahardj, 2007, Op., cit., hlm.,commit 100. 464 Ibid., hlm., 102. 463
user
perpustakaan.uns.ac.id
348 digilib.uns.ac.id
pola, dan membentuk kebiasaan, namun mereka harus mampu menangkap secara utuh mengenai realitas yang mereka hadapi, inilah sebuah cita menuju pemahamahan yang utuh dan holistik, yaitu menuju “konteks makna”. Dikemukakan bahwa peradilan tidak dapat (dan memang bukan saatnya) bermainmain dengan dunianya sendiri, namun harus mendengarkan kepentingan lebih luas, karena beban yang ditanggung semakin berat mengingat harapan pencari keadilan, fungsi kontrol harus menyentuh dimensi mendasar daripada sekedar menggantungkan harapan kepada aturan hukum atau membuat aturan-aturan baru. Hal ini karena aturan cenderung otoriter dan sering memberikan pemahaman rumit serta berbelit-belit daripada menjelaskan tujuan sebenarnya465. Oleh karena itu kontrol yang dibangun melalui perilaku dan di dalamnya menunjuk kepada peran kedirian (proses dialektika dalam diri) aparatur hukum diharapkan dapat mendorong terciptanya kinerja bertanggung jawab dan kualitas kelembagaan yang secara otomatis memberikan penegasan akan pentingnya penerapan aturan. Penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim dapat melalui metode penafsiran atau interpretasi dan konstruksi hukum. Metode interpretasi dilakukan dalam hal peraturannya ada, tetapi tidak jelas/kurang jelas untuk diterapkan pada peristiwa konkret, sedangkan metode konstruksi hukum dilakukan memang peraturannya tidak ada terhadap peristiwa konkret, sehingga terjadi kekosongan hukum atau kekosongan undang-undang. Menurut Anthon F. Susanto, menafsirkan atau melakukan pembacaan bukan hanya merupakan analisis, tetapi juga sebuah upaya penghancuran, bukan hanya membagi keutuhan ke dalam uraian parsial, tetapi juga menyimpulkan bagian-bagian ke dalam suatu pandangan global. Dengan kata lain, menafsirkan adalah mencari hakekat sesuatu. Menafsirkan adalah menemukan sesuatu yang baru antara hukum dengan realitas466. Pada suatu saat para penegak hukum (hakim) mendapat permasalahan terutama berkaitan dengan teks yang tersusun statis dan kaku, hakim harus berani 465
Nonet & Selznick, menjelaskan “The rule of law” in modern society in no less authoritarian than the rule of men in pre modern society; it enforces the maldistribution of wealth and power as of old, but it does this in such complicated and indirect ways as to leave the observer bewidered”, dalam law and society in transsition, hlm., 5, dalam Anthon F. Susanto, hlm., 16. 466 commit user Teks dan Model Pembacaan, Anthon F.Susanto, 2010, Dekonstruksi Hukum to Eksplorasi Yogyakarta : GentaPublishing, hlm., 49
349 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengambil langkah melakukan terobosan. Sebagaimana dikemukakan, faisal467, ketika muncul persoalan dalam peradilan (Asrori), semestinya penegak hukum tidak dapat terkungkung oleh dimensi teks hukum secara statis, justru dengan menggunakan instrumen penafsiran produktif, pencarian makna keadilan lebih tepat dirasa untuk dilakukan, ketimbang wacana tuturan harus berbanding lurus dengan wacana tertulis yang mana hal itu mengakibatkan penafsiran yang bermakna keadilan sulit untuk diwujudkan. Faisal lebih cenderung mengambil hermeneutika Paul Ricouer, sebagai metode yang mampu mendamaikan dan memberikan horizon baru bagi pemaknaan relasi antara pengarang, teks dan pembaca. Dalam pandangan Ricouer, wacana tuturan yang telah menjadi wacana tuklisan (teks) dapat bersifat otonom untuk dilakukana “dekontekstualisasi” dan “rekontekstualisasi”. Kegiatan (dekontekstualisasi) mempunyai arti bahwa materi teks „melepaskan diri‟ dari konteks pengarang, untuk masuk ke konteks pembaca yang lebih luas lagi (rekontekstualisasi)468. Faisal dalam menginterpretasi teks adalah sejalan dengan semangat hermeneutika teks Ricouer, ia tidak menginginkan teks hukum harus ditafsir secara mekanistik. Disebabkan oleh proses (distansiasi), maka teks hukum menjadi teks terbuka untuk ditafsirkan469. Demikian pernyataan Machteld Boot, bahwa setiap norma hukum membutuhkan interpretasi470. Senada dengan Boot adalan Van Bemmelen dan Van Hattum, yang secara tegas menyatakan : “elke geschreven wetgeving behoefl interpretatie”,
(setiap
aturan
perundang-undangan
tertulis
membutuhkan
interpretasi)471. Satjipto Rahardjo, mengemukakan hukum tidak akan berjalan tanpa penafsiran, oleh karena itu hukum membutuhkan pemaknaan lebih lanjut agar menjadi lebih adil dan membumi. Membuat hukum (legislation) adalah satu hal dan menafsirkan hukum yang sudah dibuat itu merupakan keharusan 467
Faisal, 2010, Menerobos Positivisme Hukum, Yogyakarta : Rangkang Education, hlm., 138 Secara normatif “dekontekstualisasi” berarti proses „pembebasan‟ dari konteks, sedangkan “rekontekstualisasi” bermakna sebagai proses masuk kembali ke dalam konteks, Fauzi Fashri, dalam Faisal, hlm., 138. 469 Faisal, Ibid., hlm., 139. 470 Machteld Boot, dalam, Eddy O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam to user Hukum Pidana, Jakarta : Erlangga, hlm.,commit 65 471 Van Bemmelen En Van Hattum, dalam Eddy O.S. Hiariej, Ibid., hlm., 65 468
perpustakaan.uns.ac.id
350 digilib.uns.ac.id
berikutnya472. Aturan (model aturan perundang-undangan) tidak begitu saja jatuh dari langit, namun merupakan produk manusia, atau paling tidak ada peran serta manusia di dalam prosesnya, bahkan dalam banyak hal, aturan dapat mengikat masyarakat bukan karena aturan tersebut seharusnya mengikat, tetapi karena faktor yang di luar aturan (hukum) yaitu para pembuatnya. Aturan perlu interpretasi, sehingga mampu menjawab realitas, bahkan seharusnya realitas itu mewujudkan dalam aturan, sehingga dapat diaktualisasikan melalui (kinerja) aparatur hukum. Aturan selalu berkait dengan apa yang disebut sebagai wacana simbol, yang pada akhirnya akan memunculkan tafsiran-tafsiran yang bersifat pluralis dan perpektif, ketimbang keseragaman dan obyektif473. Berkaitan dengan penemuan hukum oleh hakim PTUN, yaitu dalam membangun konstruksi penemuan hukum dalam pengujian keabsahan KTUN yang disengketakan di muka sidang, maka hakim PTUN dapat melakukan dengan metode penafsiran atau interpretasi hukum dan konstruksi hukum. Hakim PTUN tidak boleh terjebak atau terkungkung oleh aliran positivisme, yang mengajarkan bahwa undang-undang sebagai satu-satunya sumber hukum, sebagai hakim yang hanya membunyikan undang-undang atau terompet undang-undang, dalam memutus perkara semata-mata menuruti apa yang menurut tafsirannya dikehendaki oleh hukum atau undang-undang. Hakim PTUN dalam menguji keabsahan KTUN tidak boleh terjebak oleh rutinitas atau formalitas saja, melainkan harus berani melakukan terobosan hukum, karena berbicara hukum berarti bicara tentang dinamika. Satjipto Rahardjo, mengemukakan bahwa hukum untuk manusia dan bukan sebaliknya, hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai yang berlaku atau hidup dalam masyarakat dan hukum yang baik adalah muncul dari nilai-nilai hukum dalam masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, sudah waktunya penemuan hukum yang dilakukan hakim PTUN meninggalkan cara kerja yang lama (hakim tidak boleh menafsirkan undang-undang ), hakim harus berani membangun konstruksi penemuan hukum yang dilakukan melalui metode 472
Satjipto Rahardjo, dalam Anthon F. Susanto, 2005, Semiotika Hukum dari Dekonstruksi Teks to user hlm., 6 Menuju Progresivitas Makna, Bandung :commit Refika Aditama., 473 Anthon F. Susanto, 2004, Op., cit., hlm., 20-21
perpustakaan.uns.ac.id
351 digilib.uns.ac.id
penafsiran atau interpreasi dan konstruksi hukum, hakim tidak boleh terkungkung oleh bingkai peraturan yang tidak dapat keluar dari lingkaran, hakim tidak boleh terbelenggu pada kebenaran formal dan prosedural, mekanistik saja. Hakim PTUN dalam tugasnya harus berani melakukan dekonstruksi terhadap pengadilan yang ditawarkan Satjipto Rahardjo. Dekonstruksi adalah membuang cara kerja yang lama yang bermula dari sikap hakim terhadap pekerjaannya dan cara berpikir mereka dan beliau lebih condong kepada perubahan terhadap perilaku dan pikiran hakim daripada merubah hukum. Perilaku dan berpikir hakim dalam melaksanakan tugasnya, yaitu menerapkan undang terhadap peristiwanya, hakim harus mampu untuk merubah rutinitas penerapan hukum yang mendasarkan pada logika deduktif saja, mereka harus berani melepaskan ajaran legisme yang selama ini menghantuinya. Putusan hakim sebagai upaya mewujudkan kebenaran dan keadilan dapat diterima oleh masyarakat, karena sesuai dengan prinsip-prinsip sebagaimana telah dikemukakan Gustav Radbruch, yaitu kepastian hukum (rechtssicherhiet), keadilan (gerechtigkeit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit). Hakim dalam menyelesaikan sengketa tata usaha negara, yaitu menguji atau menilai keabsahan ketetapan/beschikking seharusnya tidak lagi terbelenggu pada aturan-aturan normatif belaka, hakim harus berani meninggalkan cara-cara lama atau tradisional yang dipengaruhi oleh aliran hukum positif atau legisme, tidak diperbolehkan menafsirkan ketentuan dalam undang-undang, meninggalkan cara berpikir dengan menggunakan logika deduktif yang lebih cenderung menerapkan pasal-pasal tanpa dibarengi dengan keaktifan, kreatifan hakim, tidak hanya terbelenggu pada pemikiran yang linear dan tidak menyelesaikan permasalahan hukum yang timbul sampai keakar-akarnya. Dalam dinamika masyarakat yang semakin kompleks, hukum dituntut untuk dapat mengikuti perkembangan tersebut, karena hukum untuk manusia sebagaimana dikemukakan Satjipto Rahardjo. Hakim sebagai unsur penegak hukum dan keadilan, sudah barang tentu dalam kaitannya dengan tugasnya dalam peradilan yang produknya melalui putusannya berupa hukum, harus dapat diterima oleh masyarakat atau putusan yang membumi. Hakim sebagai aktor mempunyai kemampuan untuk commit user mengadakan pilihan-pilihan sesuai yangto dengan tujuan yang hendak dicapai
perpustakaan.uns.ac.id
352 digilib.uns.ac.id
dengan melakukan perubahan-perubahan terhadap cara menggunakan alat dan caranya. Satjipto Rahardjo mengemukakan, hakim harus berani melakukan perubahan terhadap perilaku berpikir yang lama (dekonstruksi) daripada merubah undang-undangnya. Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan, yaitu berbagai pendapat atau pandangan dari para ahli atau doktrin, dan aliran-aliran hukum yang telah diakui keberadaannya sebagai upaya untuk melakukan konstruksi penemuan hukum oleh hakim dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara, maka usaha konstruksi penemuan hukum terutama dalam kitannya dengan pemikiran hakim tersebut meliputi : pemikiran positivism hukum, mengaplikasikan kebebasan hakim. Berkaitan dengan rekonstruksi, Roberto Unger merupakan penulis yang visioner. Unger menuliskan agenda rekonstruksinya dalam bentuk ajakan untuk melakukan gerakan menuju ke apa yang ia namakan emporewed democracy dan keterkembangkannya transformative politics. Unger berangkat dari asumsi bahwa pada dasarnya struktur kekuasaan dalam masyarakat itu merupakan suatu bangunan hierarkis yang amat kaku dan tak gampang responsif pada tuntutan publik. Suatu gerakan harus dilancarkan untuk membikin struktur tersebut dapat berubah lebih responsif, demokratis, peka pada permasalahan manusia, dan kemudian bersedia untuk dimintai pertanggung-jawaban474 Sebagaimana diketahui bahwa dalam banyak literatur dikemukakan hakim dalam menerapkan undang-undang hanya membunyikan bunyi ketentuan dalam undang-undang, hakim hanya sebagai corong undang-undang (la bouche de la loi), hakim hanya menerapkan undang-undang dan tidak diperbolehkan untuk menafsirkan undang-undang, berpikir secara logika dan lebih mengandalkan pada rasio, mekanistik dan serial thinking yang belum menyelesaikan permasalahan hukum sampai keakar-akarnya. Cara berpikir hakim yang demikian itu, tak lepas dari pengertian-pengertian dasar yang mereka peroleh, juga karena adanya tauladan yang diberikan oleh hakim yang terdahulu, modal dasar yang mereka dalam waktu penggemblengan calon hakim dan tiadanya petunjuk atau nasihat cara kerja yang dibutuhkan pasar atau masyarakat pencari keadilan, tidak ada commit to user 474
Soetandyo Wignjosoebroto, Op., cit., hlm., 81
perpustakaan.uns.ac.id
353 digilib.uns.ac.id
teguran terhadap cara kerja yang dilakukan berdasarkan ketentuan dalam undangundang. Dalam arti apa yang dikerjakan hakim dengan berdasarkan pada norma hukum tertulis saja, tanpa memperhatikan kearifan lokal dan hukum tak tertulis atau nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat adalah sahsah saja. Paradigma hukum positif banyak berpengaruh terhadap cara pemikiran manusia, sebagaimana dikemukakan Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra475.
A. Membangun Konstruksi Penemuan Hukum. Sebagaimana diketahui bahwa tugas hakim adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa yang diajukan kepadanya di muka sidang. Tugas tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah, namun sangat luhur, karena berkaitan dengan kepentingan nasib manusia. Dalam hal pelaksanaan tugas tersebut, tidak sedikit variabel yang mempengaruhinya, baik yang datang dari dirinya sendiri mampun datang dari luar pribadi hakim. Sehubungan hal tersebut, seorang hakim harus mempunyai dedikasi yang tinggi, jujur, keimanan yang baik, kemampuan dan kualitas, kecerdasan dan berpandangan jauh ke depan, agar dalam menjalankan tugasnya yang luhur tersebut tidak banyak terganggu. Hakim harus mempunyai kecerdasan yang tinggi terutama dalam membaca dan melihat realitas dalam masyarakat, hati-nurani, empati, kreatif dan aktif, sehingga putusan yang dijatuhkan mempunyai dasar pertimbangan hukum yang dapat diterima masyarakat. Tugas hakim dalam menerapkan undang-undang juga sangat dipengaruhi oleh aliran-aliran atau ajaran yang berkembang dalam masyarakat, hal tersebut sulit kiranya untuk menghindar, namun karena hakim sebagai aktor dalam proses di pengadilan yang berdasarkan kemampuannya dapat melakukan pilihan-pilihan, rupanya hakim tidak akan terjebak, terbelenggu dan hanya berkutat kepada aliran tertentu yang tidak mewakili keadilan dalam masyarakat.
475
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung : Mandar commit 2004, to user Maju, hlm., 119-121. Lihat juga Adi Sulistiyono, Menggugat Dominasi Positivisme dalam Ilmu Hukum, Surakarta : Sebelas Maret University Press, hlm., 6 -22.
perpustakaan.uns.ac.id
354 digilib.uns.ac.id
Prinsip-prinsip dasar positivisme hukum adalah, pertama, suatu tata hukum negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial (menurut Comte dan Spencer), bukan juga karena bersumber pada jiwa bangsa (menurut Savigny), dan juga bukan karena dasar-dasar hukum alam, melainkan karena mendapat bentuk positifnya suatu instansi yang berwenang. Kedua, hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk formalnya, bentuk formal dipisahkan dari bentuk hukum material. Ketiga, isi hukum (material) diakui ada, tetapi bukan bahan ilmu hukum karena dapat merusak kebenaran ilmiah ilmu hukum. Tokoh positivisme hukum yang terkemukan antara lain John Austin. Ia mengemukakan, pertama, hukum merupakan perintah penguasa (law is command of the law giver), hukum dipandang sebagai perintah dari pihak pemegang kekuasaan tertinggi (kedaulatan), hukum merupakan perintah yang dibebankan untuk mengatur makhluk berpikir, perintah itu diberikan oleh makhluk berpikir yang memegang kekuasaan. Kedua, hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup (closed logical system), pandangan ini jelas mendapat pengaruh ketat dari cara berpikir sains modern. Ilmu dianggap sebagai bidang penyelidikan mandiri yang obyeknya harus dipisahkan dari nilai. Obyek sains, apapun itu, dianggap sekedar benda. Ketiga, hukum positif harus memenuhi beberapa unsur, yaitu adanya unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Di luar itu bukanlah hukum, melainkan moral positif (positive morality). Penegasan lain mengenai sistem logika tertutup, diberikan Hans Kelsen, yaitu bahwa hukum haruslah dibersihkan dari anasir-anasir bukan hukum, seperti anasir etika, sosiologi, politik. Hukum harus dibebankan dari unsur moral sebagaimana diajarkan oleh hukum alam (unsur etika), juga dari persepsi hukum kebiasaan (sosiologis), dan konsepsi-konsepsi keadilan politis (unsur politis)476. Selanjutnya dikemukakan bahwa menurut Kelsen, ada tiga penegasan penting tentang hukum, pertama tentang hukum sebagai sistem tertutup atau sistem hukum murni, yaitu sistem norma hukum yang harus dipisahkan dari commit to user 476
Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra, Op., cit., hlm., 120.
perpustakaan.uns.ac.id
355 digilib.uns.ac.id
anasir-anasir lain bukan hukum. Kedua, hukum sebagai atau termasuk dalam sollen skatagori, yaitu hukum sebagai keharusan. Ketiga, hukum sebagai kesatuan sistem peringkat (stufentheorie) yang sistematis menurut keharusan tertentu.. Aliran ini mendapat pengaruh kuat dari aliran pemikiran hukum pendahulunya, yaitu legisme, yang menyamakan hukum dengan undangundang, dan berpandangan di luar itu, dianggap tidak ada hukum. Penegasan dalam aliran ini adalah bentuk hukum (undang-undang), isi hukum (perintah penguasa), ciri hukum (sanksi, perintah, kewajiban,kedaulatan), dan sistematisasi norma hukum (hierarki norma hukumKelsen). Positivisme hukum dikenal sebagai suatu teori hukum yang menganggap bahwa pemisahanan antara hukum dan moral, merupakan hal yang amat penting. Positivisme membedalan secara tajam antara : “what it is for a norm to exist as a valid law standard” dengan “what it is for a norm to exist as a valid moral standard”. Jadi positivisme secara membedakan “apa yang membuat suatu norma menjadi eksis sebagai suatu standar hukum yang valid” dan “apa yang membuat suatu norma menjadi eksis sebagai suatu standar moral yang valid”477. John Austin, eksponen terbaik dalam aliran ini, mendefinisikan hukum sebagai perintah dari otoritas yang berdaulat di dalam masyarakat. Suatu perintah yang merupakan ungkapan dari keinginan yang diarahkan oleh otoritas yang berdaulat, yang mengharuskan orang atau orangorang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal. Perintah itu bersandar karena adanya ancaman kejahatan, yang akan dipaksakan berlakunya jika perintah itu tidak ditaati. Hart, menguraikan tentang ciri-ciri pengertian positivisme pada ilmu hukum dewasa ini, yaitu pengertian bahwa hukum adalah perintah dari manusia (command of human being), tidak ada hubungan mutlak/penting antara hukum (law) dan moral, atau hukum sebagaimana yang berlaku/ada dan hukum yang seharusnya, pengertian bahwa analisis konsepsi hukum adalah 1. mempunyai arti penting, 2. harus dibedakan dari penyelidikan, historis mengenai sebab-musabab dan sumber-sumber hukum dan sosiologis commit to user 477
Achmad Ali, 2009, Op., cit., hlm., 55.
perpustakaan.uns.ac.id
356 digilib.uns.ac.id
mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya, penyelidikan hukum secara kritis atau penilain, baik yang didasarkan moral, tujuan sosial, fungsi hukum, pengertian bahwa sistem hukum adalah sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup dan keputusan-keputusan hukum yang benar/tepat biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik dan ukuran-ukuran moral, pengertian bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau dipertahankan sebagai pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan dengan argumentasi-argumentasi rasional, pembuktian atau percobaan478. Herbert Lionel Adolphus (H.L.A) Hart yang diakui sebagai “the most influential modern positivist in the English speaking world”479, memberikan makna yang tegas apa yang dimaksud dengan istilah positivisme. Ia membangun tesisnya tentang positivisme dengan memisahkan secara tegas keterkaitan antara hukum dan moral, suatu sikap yang tentu berlawanan dengan pandangan aliran hukum alam yang menegaskan bahwa hukum dan moral tidak dapat dipisahkan. Pengaruh Comte terhadap pemikiran Hart tampak pada waktu ia menguraikan gagasan tentang hukum murni yang terpisahkan dari aspek moral. Sama seperti Austin, Hart berpendapat bahwa undang-undang merupakan perintah manusia yang mempunyai kuasa, karena itu wajib dituruti. Hart mengatakan bahwa hukum itu merupakan fakta, esensi hukum terletak pada adanya unsur paksaan480. Selanjutnya dikemukakan, dominasi pemikiran aliran positivisme dalam hukum mencapai puncaknya pada paruh pertama abad ke-19, karena munculnya berbagai pengaturan dalam bentuk hukum yang menuntut kepatuhan dan memberi ancaman sanksi, agar tercipta masyarakat yang teratur. Struktur masyarakat yang semakin kompleks, kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang semakin berkembang, serta semakin pesatnya perdagangan antar bangsa, membutuhkan 478
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2007, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm., 57-58. 479 commit to hlm., user 87. Kent Greenwalt, dalam Johnny Ibrahim, Op., cit., 480 Johnny Ibrahim, Op., cit., hlm. 88.
perpustakaan.uns.ac.id
357 digilib.uns.ac.id
para juris profesional untuk menangani permasalahan hukum. Para juris yang mendasarkan karyanya hukum positivis-analitis membangun pemikiran rasional dalam memandang hukum sebagai sebuah sistem yang utuh dan tertutup. Dampak lain pemikiran aliran positivisme dalam hukum, yaitu berkembangnya ilmu hukum dengan menggunakan format ilmu sosial dalam paradigma ilmu empiris. Para ilmuwan hukum merasa lebih percaya diri apabila menggunakan format ilmu sosial yang empiris penjelajahan ilmu hukum akan lebih ilmiah karena dapat dikuantifikasi dan memungkinkan digunakannya rumus-rumus ilmu pasti (ilmu eksakta) untuk menjamin pembuktian ilmiah dari segi empiris. Jelas bahwa pemikiran Auguste Comte menginginkan apa yang bersifat sosial dalam masyarakat dapat diredusir ke dalam dalil-dalil yang pasti, sehingga lebih bersifat ilmiah sesuai dengan hukum tiga tahap (the law of three stages) yang dikembangkannya, juga mendapatkan tempat dalam hukum481. Pemikiran H.L.A. Hart tentang hukum sangat berpengaruh bagi perkembangan positivisme hukum modern saat ini. Inti pemikirannya terletak pada apa yang dijelaskan oleh Hart sebagai primary rules dan secundary rules. Penyatuan tentang apa yang disebutnya sebagai primary rules dan secundary rules, merupakan pusat dari sistem hukum482, dan keduanya harus ada dalam sistem hukum. Primary rules lebih menekankan kepada kewajiban manusia untuk bertindak atau tidak bertindak. Hal ini akan ditentukan dalam seluruh bentuk dari hukum (form of law)483. Sebagaimana dikemukakan Adi Sulistiyono, positivisme hukum mendapat dasar-dasar filsafatnya pada aliran positif (positivism). Paham filsafat ini berkembang di Prancis pada dua warsa pertama abad 19, dalam suasana pertentangan antara kaum royalis melawan kaum republikan. Auguste Comte, seorang matematikawan yang terkenal pada waktu itu, merupakan 481
Moch. Koesnoe, dalam Johnny Ibrahim, Op., cit., hlm., 89 Lihat Hart, dalam Adi Sulistiyono, 2004, Op., cit., hlm., 27. 483 commit user Otje Salman dan Anton F. Susanto, 2004, TeoritoHukum-Mengingat Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Bandung : Refika Aditama, hlm., 90. 482
perpustakaan.uns.ac.id
358 digilib.uns.ac.id
salah satu eksponen yang terkenal484, di samping saint (Prancis) dan Herbert Spencer (Inggris)485. Comte adalah orang yang kali pertama menguraikan secara sistematis dan konsisten dalam suatu kerangka filsafat. Apa yang dinamakan filsafat positivisme itu. Melalui tulisan tersebut, Comte memperkenalkan hukum tiga tahap (the law of three stages) yang ingin menjelaskan bagaimana sejarah manusia dan jiwa manusia, baik secara individual dan secara kesluruhan, berkembang menurut hukum tiga tahap, yaitu tahap teologi atau fiktif, tahap metafisika atau abstrak, dan tahan positif atai riil486. Pada tatanan teologi atau fiktif, menurut Comte, manusia selalu berusaha untuk mencari dan menemukan sebab yang pertama dan tujuan akhir segala sesuatu yang ada. Manusia selalu beusaha mempertanyakan hal-hal yang paling sukar berkaitan dengan berbagai gejala dan fenomena yang menarik perhatiannya. Bagi Comte, tahap teologi atau fiktif ini tidaklah muncul begitu saja, karena manusia dalam memahami juga secara bertahap melalui alam pikiran fetisysme yang beranggapan bahwa segala sesuatu yang berada disekeliling manusia adalah mempunyai suasana kehidupan yang sama seperti manusia sendiri. Karena segala yang berada di sekeliling manusia itu juga mempengaruhi kehidupan manusia, maka manusia harus menyesuaikan diri dengannya. Dalam tahap ini digambar melalui tahap politeisme dan kemudian pada monoteisme. Tahap metafisik atau abstrak, menurut Comte dimulai dari saat manusia meninggalkan pandangan monoteisme. Pada tahap ini manusia mulai mencari dan menemukan jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan gejala-gejala alam yang dilihatnya. Dogma agama mulai ditinggalkan dan kemampuan akal budi mulai dikembangkan, dan hal ini terjadi pada jaman Renaissance. Dalam tahap metafisik, pemikiran manusia sebagai subyek tidak lagi diarahkan pada bahwa barang sesuatu itu ada, melainkan diarahkan pada apanya sesuatu barang. Manusia tidak lagi menyandarkan dirinya pada 484
Liek Wilardjo, 1990, Realita dan Desiderate, Yogyakarta : Duta Wacana, hlm., 183. Theo Huijbers, Op., cit., hlm., 122 486 commitMenurut to userFilsafat Positivisme Comte, Yogyakarta : Koento Wibisono, 1983, Arti Perkembangan Gajah Mada University Press, hlm., 10. Dalam Johnny Ibrahim, Op., cit., hlm., 76. 485
perpustakaan.uns.ac.id
359 digilib.uns.ac.id
kekuatan magis dan mulai beralih pada kemampuan analisis dan logika untuk menemukan hakikat dari yang „ada‟ sekaligus menentukan yang ‟ada‟ secara natural dan yang „ada‟ secara supernatural487. Pada tahap positif atau riil, manusia mendapati dirinya tidak lagi puas dengan apa yang abstrak, tidak lagi merasa berkepentingan dengan sebab pertama dan tujuan akhir, manusia merasa lebih dekat dengan gejala-gejala alam yang dapat diterangkan melalui pengamatan di atas hukum-hukum umum yang deskriptif, seperti hukum gravitasi. Tahapan positif merupakan tahap di mana jiwa manusia sampai pada pengetahuan yang tidak lagi abstrak, tetapi jelas, pasti dan bermanfaat. Hal yang dicari dan dibutuhkan ialah pengetahuan yang riil yang dapat dicapai melalui pengamatan, percobaan, perbandingan di atas hukum yang umum. Pemikiran filsafat positivisme Comte membawa dampak yang sangat besar, bahkan masih terasa sampai hari ini. Karya-karya pemikir besar sesudah Comte, seperti John Stuart Mill, Herbert Spencer dan Sir Edward Burnet Taylor, sangat dipengaruhi oleh doktrin sosiologinya488. Aliran positivisme dalam ilmu hukum mendekonstruksi konsep-konsep hukum aliran hukum alam, dari konsepnya yang semula metafisik (ialah hukum sebagai ius atau asas-asas keadilan yang abstrak) ke konsepnya yang kemudian lebih positif (ialah hukum sebagai lege atau aturan perundangundangan yang oleh sebab itu selalu harus dirumuskan secara jelas dan pasti) . ada atau tidak ada proses dekonstruksi, ius atau lege itu kedua-duanya tetaplah konstruksi-konstruksi normatif, yang dengan demikian tidak akan sebentarpun pernah memungkinkan „terseberangkannya‟ ilmu hukum ke ranah yang empirik sebagai ilmu yang berparadigma fakta sosial489 Pemikiran aliran hukum positif dalam kehidupan masyarakat tidak dapat dilepaskan begitu saja, apalagi dalam dunia peradilan yang setiap hari bergumul dengan permasalahan hukum. Faisal mengemukakan, masyarakat dapat menyaksikan bahwa perilaku sosial yang terjadi di dalam peradilan terkadang berjalan dengan benturan-benturan serta ketegangan-ketegangan, 487
Koento Wibisono, Ibid., hlm., 13-15. Johnny Ibrahim, Op., cit., hlm., 81. commit to user 489 Soetandyo Wignjosoebroto, dalam Adi Sulistiyono, 2004, Op., cit., hlm., 25. 488
perpustakaan.uns.ac.id
360 digilib.uns.ac.id
dikarenakan karakteristik perilaku sosial dominan berorientasi pada tujuan kepastian hukum. Dalam hal ini, karakteristik itu didasarkan pada harapan dan minat terhadap pencapaian keadilan prosedural. Orientasi yang demikian membuat perilaku penegak hukum tidak mendasarkan diri pada pengertian hubungan sosial yang diharapkan oleh pihak-pihak lain. Pihak lain tersebut adalah representasi yang mengharapkan perilaku sosial penegak hukum dapat berorientasi pada nilai keadilan, yaitu keadilan substantif490. Bekerjanya hukum di dalam lembaga peradilan tidak telepas dari karakteristik penegak hukum yang menggunakan cara-cara konvensional491, dapat dilihat dari kerja penegak hukum yang menggunakan cara-cara formalistik-konvensional terkesan memaksakan peraturan dalam penerapan, maka seyogyanya hukum bekerja dengan cara-cara yang lebih progresif untuk meraih keadilan yang substatif. Perilaku penegak hukum yang konvensional, tentu tidak bisa melepaskan diri atas keterpengaruhannya terhadap dominasi positivisme terhadap ilmu hukum modern, maka seiring dengan kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat pada era modern yang ditata dengan hukum positif ini, kehidupan dengan segala aspeknya dipaksa harus rasional492. Sebagaimana ilustrasi yang dipaparkan oleh Beliau, hukum bukanlah detergent yang bisa mencuci sendiri, hukum hanyalah konsep jka dijalankan, oleh karena itu hukum sebetulnya hanya macan kertas bila manusia tidak turun tangan menggerakkannya493. Positivisme adalah suatu aliran paham filsafat yang berkembang di Eropa Kontinental, khususnya di Prancis dengan dua ekponennya yang terkenal, Henri Saint Simon (1760-1825) dan Auguste Comte (1798-1857). 490
Faisal, Op., cit., hlm., 12 Dalam tulisannya Satjipto Rhardjo, menggunakan istilah “konvensional” untuk memberikan penjelasan tentang studi hukum, seperti dicontohkan : “baik Pound, Nonet, Selznick dan juga gerakan „critical legal studies‟ menurut penulis sebetulnya terlalu sibuk terjebak di dalam mematahkan pagar-pagar pembatas hukum konvensional untuk menuju konsep tatanan sosial yang lebih luas selanjutnya disebut orde, maka harus diyakini bahwa studi hukum tidak lagi membicarakan dalam batas-batas ranah peundang-undangan (positivisme), melainkan dalam ranah orde yang lebih luas”. Satjipto Rahardjo, Pendekatan Holistik Terhadap Hukum, Jurnal Hukum Progresif, Volume 1/No. 2/Oktober 2005, hlm., 10, dalam Faisal, hlm., 13. 492 Satjipto Rahardjo, dalam Faisal, Op., commit cit., hlm,.to 14.user 493 Satjipto Rahardjo, dalam Faisal, Loc., cit., hlm., 14. 491
361 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menurut Gordon, positivisme adalah suatu paham yang menuntut agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis, sbagai suau obyek, yang harus dilepas dari sembarang macam prakonsepsi metafisis yang subyektif sifatnya. Diaplikasikan ke dalam pemikiran tentang hukum, positivisme menghendaki
dilepaskannya
pemikiran
metayuridis
mengenai
hukum
sebagaimana dianut oleh para eksponen aliran hukum kodrat. Karena itu, setiap norma hukum haruslah eksis dalam alamnya yang obyektif sebagai norma-norma yang positif, ditegaskan sebagai wujud kesepakatan kontraktual yang konkrit antara warga masyarakat (atau wakil-wakilnya). Hukum tidak lagi mesti dikonsepsi sebagai asas-asas moral metayuridis yang niskala (abstrak) tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian mengenai “apa yang terbilang hukum” dan “apa pula yang sekalipun normatif harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum”494. Paham positivisme dan pengaruhnya dalam kehidupan bernegara untuk segera mengupayakan positivisasi norma-norma keadilan (ialah hukum yang dikonsepkan sebagai ius) agar segera menjadi norma perundang-undangan (ialah hukum yang dikonsepkan sebagai lege) sesungguhnya fungsional untuk mempercepat terwujudnya negara bangsa yang diidealkan punya struktur yang terintegrasi kukuh secara sentral dan berotoritas sentral yang tak pula banyak dicabar. Tak pelak lagi, dalam pengalaman, positivisasi hukum selalu memperoleh prioritas utama dalam setiap upaya pembangunan hukum di negara-negara yang tengah tumbuh modern dan menghendaki kesatuan dan/atau penyatuan, tak cuma yang menuju ke nation state, melainkan juga yang dahulu menuju ke colonial state. Tak ayal pula positivisasi hukum selalu berhakikat sebagai proses nasionalisasi dan etatisasi hukum, dalam rangka penyempurnaan kemampuan negara dan pemerintah (sebagai pengemban kekuasaan negara) untuk memonopoli kontrol sosial yang formal lewat commit to user 494
Soetandyo Wignjosoebroto, 2002, Op., cit., hlm., 96.
perpustakaan.uns.ac.id
362 digilib.uns.ac.id
pendayagunaan hukum positif (notabene hukum perundang-undangan)495. Sampai sekarang ini aliran positivisme hukum mendominasi pemikiran masyarakat, yang dipelopori oleh para yuris atau lebih tepat lagi para profesional hukum. Hukum yang mereka konsepkan disebut lawyer‟s law : bacalah undang-undang, pakailah logika hukum, hanya undang-undang yang akan menertibkan masyarakat496, bahkan dalam rangka fungsi modernnya, bentuk positif dari hukum itu merupakan kebutuhan yang tidak dapat dihindari. Keadaan inilah yang menjadi salah satu sebab dominasinya aliran ini. Hal tersebut berimbas juga pada ilmu hukum yang berkembang di Indonesia saat ini, cenderung menjadi ilmu praktis. Hukum bekerja dengan hanya dengan melihat teks-teks normatif yang disebut hukum positif dalam penerapannya. Tidak mampu melihat hukum dari realitas yang utuh. Pola kerja tradisi ilmu hukum Eropa-sentris yang menjadi rahim dari ilmu hukum modern. Dengan karateristik yang tersusun secara sistematik, mekanistik, linier dan deterministik, maka pemahaman dan pengalaman ilmu hukum di Indonesia pun cenderung positivistik. Dengan logika terbatas, mereka yang awam ilmu hukum berani menuduh bahwa segala ketidakadilan itu bersumber dari tiadanya lagi kemampuan hukum formal yang dibangun berdasarkan falsafah dan teori-teori kolonialisme Belanda, untuk memfasilitasi dan memenuhi fungsinya sebagai sarana kontrol dalam kehidupan bermasyarakat yang telah kian tumbuh dan berkembang ke bentuk struktural organisatorisnya yang kian komplek, majemuk dan heterogen497. Dengan demikian, bahwa bekerjanya hukum dalam lembaga peradilan yang tadinya dapat menjamin kepastian dan rasional, ternyata dalam hal ini tidak mampu menjawab ketegangan dan benturan-benturan yang terjadi dalam realitas hukum masyarakat yang disebut dengan hukum yang disorder, hukum dalam tatanan empirik adalah sebagai tatanan yang tidak teratur. 495
Sutandyo Wignjosoebroto, 2002, Op., cit., hlm., 97. Satjipto Rahardjo, “Konstitusional, Dari Dua Sudut Pandang”, Kompas, 7 September 1998, commit to user dalam Adi Sulistiyono, hlm., 34. 497 Soetandyo Wignjosoebroto, dalam Faisal, Op., cit., hlm., 15. 496
perpustakaan.uns.ac.id
363 digilib.uns.ac.id
Dari alur sejarah dapat ditarik pengertian, bahwa mazhab positivisme hukum lahir sebagai respon penolakan terhadap ajaran hukum alam498. Penolakan mazhab positivisme terhadap hukum alam diimplementasikan dengan mengedepankan rasio, mazhab positivisme hukum menilai bahwa ajaran hukum alam terlalu idealis dan moralis, tidak memiliki dasar dan bentuk dari penalaran yang palsu. Selanjutnya dikemukakan bahwa dengan dasar konsep filsafat positivisme yang dipengaruhi oleh paradigma Cartesian-Newtonian, mazhab positivisme hukum merumuskan sejumlah premis dan postulat mengenai hukum yang menghasilkan dasar konseptual mazhab positivisme hukum, bahwa : 1. Tata hukum suatu negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial, maupun dalam jiwa bangsa, dan juga bukan berdasarkan hukum alam, namun mendapat bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang. Hukum dibuat dan dijalankan atas dasar perintah penguasa, artinya pendapat ini mewakili paham determinisme dan reduksionisme dari paradigma Cartesian-Newtonian 2. Hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk formalnya, dengan demikian harus dipisahkan dengan bentuk materiilnya, artinya pendapat ini mewakili paham dualisme dan mekanistik dari paradigma CartesianNewtonian 3. Sistem hukum haruslah sistem yang logis, tatap dan bersifat tertutup yang diperoleh atas dasar logika, tanpa mempertimbangkan aspek sosial, politik, moral maupun etik, artinya pendapat ini mewakili paham materialismesaintisisme dari paradigma Cartesian-Newtonian 4. Hukum harus bersifat netral dan memenuhi kebutuhan obyektif, artinya pendapat ini mewakili paham instrumentalisme dan obyektivisme dari paradigma Cartesian-Newtonian499. Pernyataan tersebut mencerminkan adanya penetrasi pemikiran positivisme ke dalam ilmu hukum secara masif. Pemikiran positivisme dalam ilmu hukum telah menimbulkan semacam pelembagaan cara pandang dengan bentuk keteraturan yang bersifat pasti. Secara kasuistik, ketika hakim 498
Salah satu pemikiran hukum alam yang khas adalah tidak dipisahkannya secara tegas antara hukum dan moral. Pada umumnya penganut hukum alam memandang hukum dan moral sebagai pencerminan dan pengaturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia dan perhubungannya sesama manusia, lihat Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum, Jakarta : commit to user Chandra Pratama, hlm., 274. 499 Satjipto Rahardjo, dalam Faisal, Op., cit., hlm., 60-61.
364 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menangani suatu perkara, hakim akan mengidentifikasikan prinsip-prinsip hukum yang relevan dengan penerapan secara deduktif, sehingga ketentuan hukum tersebut akan menuntun penyelesaian perkara atau sengketa menurut prinsip asas kepastian hukum. Soetandyo Wignjosoebroto mengemukakan, tidak hanya ada satu aliran atau mazhab dalam ilmu hukum. sekalipun di negeri-negeri AngloSaxon berkembang positivisasi hukum lewat keputusan-keputusan pengadilan in concreto, yang menyebabkan tradisi hukum di negeri-negeri ini lebih dikelola dan didinamisasi secara pragmatis oleh para professional lawyers (yang memungkinkan terkembangnya berbagai variasi aliran pemikiran hukum lain yang kemudian diaplikasikan dalam praktik, seperti aliran legal realism dan sociological atau functional jurisprudence), namun di Eropa Kontinental pemikiran hukum yang dikontrol oleh para academic jurist tidak banyak
bergeming
mengkonsepsikan
ilmu
dari
ajaran
hukum
jurisprudence
sebagai
ajaran
positivism
yang murni
yang tentang
penyelengaraan hukum, sedangkan yang dimaksud hukum adalah hukum yang positif (lege atau constitutum) yang merupakan produk positivisasi500. Produk positivisasi yang disebut hukum positif itu sekalipun terbilang positif dalam arti obyektivitasnya di “ya” kan dengan tegas pada hakikatnya adalah tetap merupakan sesuatu yang terbilang fenomena normatif. Proses positivisasi pada hakikatnya adalah suatu proses obyektivisasi sejumlah norma metayuridis menjadi sejumlah norma yang positif. Prosesnya tetap saja berlangsung dalam ranah normatif, sehingga ilmu hukum yang terbangun daripadanya adalah tetap saja berdasarkan logika normologi, dan tidak berlogika nomologis yang induktif, untuk menemukan berjumlah-jumlah nomos yang eksis sebagai fenomena empiris yang signifikan dalam kehidupan sosial dan kultural. Bagaimanapun juga hubungan kausal antara fakta-fakta (fakta hukum) dan akibat (akibat hukum) dalam ilmu hukum aliran positivisme ini adalah hasil
commit to user 500
Soetandyo Wignjosoebroto, 2002, Op., cit., hlm., 97.
365 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
normative judgements, bukan hasil observasi-observasi yang mendayagunakan metode sains guna menjamin obyektivitas dan realibilitas (Gordon)501. Berdasarkan kajian tersebut, dapat diketahui begitu dominannya ideide yang diajarkan oleh penganut aliran positivisme hukum dalam masyarakat pada waktu itu, begitu kuatnya ide-ide dasarnya yang ditanamkan dalam masyarakat, maka pengaruhnya sampai sekarang sulit atau tidak mudah untuk dilepaskan atau ditinggalkan begitu saja. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya oleh Soetandyo Wignjosoebroto, bahwa paham positivisme dan pengaruhnya dalam kehidupan bernegara untuk segera mengupayakan positivisasi norma-norma keadilan (ialah hukum yang dikonsepkan sebagai ius) agar segera menjadi norma perundang-undangan (ialah hukum yang dikonsepsikan sebagai lege) sesungguhnya fungsional untuk mempercepat terwujudnya negara bangsa yang diidealkan punya struktur yang berintergrasi kukuh dan tak pula dicabarkan. Berkaitan dengan eksistensi demikian kuatnya atau dominannya pengaruh positivisme, Adi Sulistiyono dengan mengambil pendapat Satjipto Rahardjo mengemukakan, sampai sekarang ini aliran positivisme hukum mendominasi pikiran masyarakat, yang dipelopori oleh para yuris atau lebih tepat lagi para profesional hukum. Hukum yang mereka konsepkan disebut lawyer‟s law : bacalah undang-undang, pakailah logika hukum, hanya undang-undang yang akan menertibkan masyarakat502. Aliran positivisme dapat diterima dalam kehidupan bernegara, karena ideide yang diajarkan mendasarkan pada rasio, yang dalam sejarahnya dipergunakan untuk menolak aliran hukum alam yang lebih mengandalkan atau mengedepankan idealis dan moralis menurut aliran positivisme hukum. Dalam perjalanan waktu suatu paham atau aliran memang mendapat dukungan dan tempat yang begitu dominan, karena situasi atau keadaan lingkungan sangat membutuhkan kehadirannya. Sebagaimana ide tentang negara hukum (rechtsstat), mulai populer pada abad ke-17 sebagai akibat dari situasi sosial politik di Eropa didominir oleh absolutisme. Golongan yang pandai dan kaya 501 502
Soetandyo Wignjosoebroto, Op., cit., commit hlm., 97. to Adi Sulistiyono, 2004, Op., cit., hlm., 34.
user
366 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
atau “menschen von besitz und bildung ditindas oleh kaum bangsawan dan gereja” yang menumbuhkan konsep etatisme (I‟etat cest moi) menginginkan suatu perombakan struktur sosial politik yang tidak menguntungkan itu, karena itu mereka mendambakan suatu negara hukum yang liberal agar setiap orang dapat dengan aman dan bebas mencari penghidupan dan kehidupan masing-masing503. Pemikiran kodifikasi (Eropa Kontinental) dipengaruhi konsepsi negara hukum abad ke-18 dan 19, yaitu untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan tindak sewenang-wenang dan demi kepastian hukum, kaidah-kaidah hukum harus tertulis dalam bentuk undang-undang504. Berdasarkan keadaan tersebut, dalam hal ini ditawarkan solusi upayaupaya yang seyogyanya dapat dilakukan agar hakim sebagai salah satu unsur penegak hukum mampu untuk dapat setidak-tidaknya melepaskan dari belenggu aliran positivisme hukum atau dapat meninggalkan kungkungan pemikiran aliran positivisme hukum, untuk kemudian dalam proses di peradilan mereka (hakim) dapat menggunakan pemikiran yang ditawarkan oleh para ahli agar tidak terjerat dalam pemikiran aliran positivisme hukum. Penawaran yang terakhir tersebut, dalam perkembangan atau dinamika masyarakat sekarang ini mendapat posisi yang lebih baik, dibandingkan dengan aliran positivisme hukum yang selalu mendapat kritik dan kecaman, karena sudak tidak sesuai dengan keadaan dalam masyarakat sekarang ini. Perubahan tersebut diawali oleh hakim dalam proses dipersidangan, dengan menggunakan konsep pemikiran yang ditawarkan oleh Satjipto Rahardjo, disebut dengan dekonstruksi, yaitu membuang cara kerja lama yang bermula dari sikap hakim terhadap pekerjaannya dan cara berpikir hakim dan beliau lebih menitik beratkan dalam pemikran hakim dibandingkan dengan perubahan undang-undangnya. Sebagaimana diketahui bahwa tugas hakim adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa atau perkara di muka sidang pengadilan. Ahmad Rifai mengemukakan, tugas dan kewenangan tersebut 503 504
commit to Zairin harahap, Op., cit., hlm., 7. Bagir Manan, 1992, Op., cit., hlm., 6.
user
367 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dilakukan oleh hakim dalam rangka untuk mewujudkan atau menegakkan kebenaran dan keadilan dengan tetap bepegang atau berpedoman pada hukum, undang-undang dan nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat. Dalam diri hakim diemban amanah agar peraturan perundang-undangan diterapkan secara benar dan adil, dan apabila penerapan peraturan perundang-undangan akan menimbulkan ketidakadilan, maka hakim wajib berpihak pada keadilan (moral justice) dan mengesampingkan hukum atau peraturan perundangundangan (legal justice). Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law) yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (social justice). Keadilan yang dimaksud adalah bukanlah keadilan prosedural atau formal, melainkan keadilan substantif atau material, yang sesuai dengan hati nurani hakim505. Selama ini banyak pihak menuntut hakimhakim di Indonesia lebih berpihak kepada perwujudan keadilan substantif atau material daripada keadilan prosedural atau formal semata, namun tuntutan itu memang bisa diterima secara teoritis daripada praktis, karena membawa problem yang rumit. Keadilan prosedural atau formal adalah keadilan yang mengacu kepada bunyi undang-undang an-sich. Sepanjang bunyi undangundang terwujud, tercapailah keadilan secara formal. Apakah secara material, keadilan itu benar-benar dirasakan adil secara moral dan kebajukan (virtue) bagi
banyak
pihak,
para
penegak
keadilan
prosedural
tidak
memperdulikannya. Mereka para penegak keadilan prosedural itu, biasanya tergolong kaum positivistik506. Berkaitan dengan perwujudan keadilan dalam proses peradilan, Mahkamah Agung sebagai badan tertinggi pelaksana kekuasaan kehakiman telah menentukan bahwa putusan hakim harus mempertimbangkan segala aspek yang bersifat yuridis, filosofis dan sosiologis, sehingga keadilan yang ingin dicapai, diwujudkan dan dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim adalah keadilan yang berorientasi pada keadilan hukum (legal justice), 505 506
commit to user Ahmad Rifai, Op., cit., hlm., 128. Pria Djatmiko, dalam Ahmad Rifai, Op., cit., hlm., 128.
perpustakaan.uns.ac.id
368 digilib.uns.ac.id
keadilan moral (moral justice) dan keadilan masyarakat (social justice)507. Aspek yuridis merupakan aspek yang pertama dan utama dengan berpatokan pada undang-undang yang berlaku. Hakim sebagai aplikator undang-undang, harus memahami undang-undang dengan mencari undang-undang yang berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapi. Hakim harus melihat apakah undang-undang tersebut adil, ada kemanfaatannya atau memberikan kepastian hukum jika ditegakkan, sebab salah satu tujuan hukum itu unsurnya adalah menciptakan keadilan. Aspek filosofis, merupakan aspek yang berintikan pada kebenaran dan keadilan, sedangkan aspek sosiologis, mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup dalam masyarakat. Aspek filosofis dan sosiologis, penerapannya sangat memerlukan pengalaman dan pengetahuan yang sangat luas dan kebijaksanaan yang mampu mengikuti nilai-nilai dalam masyarakat yang terabaikan. Jelas penerapannya sangat sulit sebab tidak mengikuti asas legalitas dan tidak terikat pada sistem. Pencantuman ketiga unsur tersebut tidak lain agar putusan hakim dianggap adil dan diterima masyarakat508. Dalam praktek proses peradilan, perwujudan ketiga asas tersebut tidak mudah untuk dilaksanakan atau diwujudkan oleh hakim, sebab jika hakim mewujudkan kepastian hukum, maka putusan tersebut akan jauh dari asas keadilan dalam masyarakat. Sebaliknya apabila hakim lebih condong kepada nilai keadilan, ia akan meninggalkan asas kepastian hukum. Dalam hal tersebut bagi seorang hakim harus mempunyai pandangan yang bijaksana, mempunyai pandangan yang luas dan ke depan, mempunyai pengalaman dan hati nurani, sehingga dalam menerapkan undang-undang dapat melihat atau mencermati atau tentang undang-undangnya atau hukumnya, yaitu apakah undang-undang tersebut mengandung nilai keadilan. Penekanan pada asas kepastian hukum, maka tugas hakim tersebut lebih cenderung untuk mempertahankan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, lebih cenderung untuk mewujudkan norma-norma hukum tertulis sebagaimana diajarkan pada diajarkan oleh aliran positivisme hukum. Pemikiran hakim 507
MARI, Pedoma Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan, Pusdiklat MARI, Jakarta, 2006, hlm., 2. commit to user 508 Ahmad Rifai, Op., cit., hlm., 126.
perpustakaan.uns.ac.id
369 digilib.uns.ac.id
yang lebih cenderung untuk mempertahankan peraturan perundang-undangan, berarti hakim dalam menyelesaikan sengketa untuk kemudian mengambil putusan akan mengidentifikasi sebanyak mungkin ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau norma hukum tertulis. Cara pemikiran untuk menyelesaikan sengketa yang lebih mengandalkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut bagi hakim akan mengalami kesulitan, karena di samping nilai keadilan yang diharapkan masyarakat tidak terwujud, maka undang-undang tidak selamanya lengkap, jelas. Sehubungan dengan hal tersebut, maka tugas hakim harus melengkapi undang-undang yang tidak lengkap, tidak jelas, dengan cara melakukan penemuan hukum melalui metode interpretasi dan konstruksi hukum atau dapat juga menggunakan metode hermeneutika hukum. Prosedur penemuan hukum, sebagaimana dikemukakan Sudikno Mertokusumo, dan A.Pitlo, yaitu diawali dengan pengajuan gugatan oleh penggugat atau dalam sengketa tata usaha negara diawali dengan pengajuan permohonan gugatan. Kemudian pihak tergugat mengajukan peristiwa konkret sebagai jawaban terhadap gugatan penggugat yang sama dengan peristiwa konkret yang diajukan oleh penggugat, kemungkinan kedua bahwa peristiwa yang diajukan tergugat tidak sama dengan peristiwa dari penggugat, ketiga bahwa peristiwa yang diajukan tergugat ada yang sama dan tidak sama. Kemudian dibuka kesempatan untuk saling jawab-menjawab dengan tujuan agar hakim mendapatkan kepastian tentang peristiwa konkret yang disengketakan para pihak. Berdasarkan pengamatan dari jawab-menjawab tersebut hakim akan dapat menyimpulkan peristiwa konkret apakah yang disengketakan tersebut, hakim harus pasti akan terjadinya peristiwa konkret yang disengketakan, hakim harus mengkonstatir peritiwa konkret yang disengketakan. Mengkonstatir berarti menyatakan benar terjadinya suatu peristiwa konkret. Untuk dapat mengkonstatir peristiwa tersebut, peristiwa konkret itu harus dibuktikan lebih dahulu. Tanpa adanya pembuktian lebih dahulu, hakim tidak boleh mengkonstatir atau menyatakan suatu peristiwa usersetelah peristiwa konkret tersebut konkret tersebut benar-benar commit terjadi. to Baru
perpustakaan.uns.ac.id
370 digilib.uns.ac.id
dibuktikan, maka dapatlah dikonstatir adanya atau terjadinya. Kemudian setelah peristiwa konkret dibuktikan dan dikonstatir, maka harus dicari hukumnya dan disinilah mulai dengan penemuan hukum (rechtsvinding). Selanjutnya dikemukakan, penemuan hukum tidak merupakan suatu kegiatan yang berdiri sendiri, tetapi merupakan kegiatan yang runtut dan berkesinambungan dengan kegiatan pembuktian. Menemukan atau mencari hukumnya tidak sekedar mencari undang-undangnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkret yang dicarikan hukumnya. Kegiatan ini tidak semudah yang dibayangkan. Untuk mencari atau menemukan hukumnya atau undangundangnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkret, maka peristiwa konkret tersebut harus diarahkan kepada undang-undangnya, sebaliknya undang-undangnya harus disesuaikan dengan peristiwanya yang konkret509. Mencermati apa yang dikemukakan Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo tersebut, bahwa penemuan hukum tidak semudah yang dibayangkan adalah dapat dilihat dari kalimat undang-undang harus disesuaikan dengan peristiwa konkretnya, kata harus disesuaikan tersebutlah mengandung makna adanya penemuan hukum yang harus dilakukan oleh hakim dalam menyelesaikan sengketa yang dihadapinya, dengan melakukan penafsiran atau interpretasi hukum, konstruksi hukum dan hermeneutika hukum. Dalam hubungannya dengan penemuan hukum, maka metode penemuan hukum yang dapat digunakan adalah oleh hakim adalah metode interpretasi atau penafsiran hukum, konstruksi hukum dan hermeneutika hukum510. Metode Interpretasi atau penafsiran hukum adalah salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat
509
Sudikno Mertokusumo, dan A. Pitlo, Op., cit., hlm., 34. Lihat hermeneutika hukum dalam Adi Sulistiyono, 2004, Menggugat Dominasi Positivisme Hukum dalam Ilmu Hukum, hlm, 21-22, Jazim Hamidi, 2005, Hermeneutika Hukum Teori commit user Wignjosoebroto, Hukum, Penemuan Hukum Baru Dengan Interpretasi Teks,toSoetandyo Paradigma Metode dan Dinamika Masalahnya, hlm., 103-104. 510
perpustakaan.uns.ac.id
371 digilib.uns.ac.id
mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkret. Metode interpretasi ini adalah sarana untuk mengetahui makna undang-undang. Pembenarannya terletak pada kegunaannya untuk melaksanakan ketentuan yang konkret dan bukan untuk kepentingan metode itu sendiri. Oleh karena itu harus dikaji dengan hasil yang diperoleh511. Metode interpretasi hukum dilakukan dalam hal peraturannya sudah ada, tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkret, atau mengandung arti pemecahan atau penguraian akan suatu makna ganda, norma yang kabur (vage normen), konflik antar norma hukum (antinomy normen) dan ketidakpastian dari suatu peraturan perundang-undangan. Interpretasi terhadap teks peraturan perundang-undangannya pun masih tetap berpegang pada bunyi teks tersebut. Tujuannya tidak lain adalah untuk mencari dan menemukan sesuatu hal yang menjadi maksud para pembuatnya. Metode konstruksi hukum dilakukan apabila tidak diketemukan ketentuan undangundang yang secara langsung dapat diterapkan pada masalah hukum yang dihadapi, atau dalam hal peraturannya memang tidak ada, jadi terdapat kekosongan hukum (recht vacuum) atau kekosongan undang-undang (wet vacuum). Untuk mengisi kekosongan hukum atau undang-undang inilah, biasanya hakim menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, di mana hakim tidak lagi berpegang pada bunyi teks tersebut512. Adi Sulistiyono, mengemukakan, hermeneutik mempunyai pengaruh besar terutama pada teori penemuan hukum dalam tahun 70 an, khususnya oleh teoretikus Jerman Jozef Esser dan Karl Larenz. Di Belanda hermeneutik dari H.G Gadamer diintroduksi ke dalam teori penemuan hukum oleh J.B.M. Vranken. Pendekatan dalam paradigma ini sering disebut dengan paradigma interpretatif mencoba membebaskan kajian-kajian hukum dari otoritarianisme para yuris positif yang elitis, yang di masa lalu selalu mengklaim dirinya sebagai satu-satunya pusat yang berkewenangan akademis dan profesional 511 512
commit to user Sudikno Mertokusumo, 2005, Op., cit., hlm., 169. Sudikno Mertokusumo, 2010, Op., cit., hlm., 52.
perpustakaan.uns.ac.id
372 digilib.uns.ac.id
untuk menginterpretasi dan memberikan makna kepada hukum, tetapi juga dari kajian-kajian hukum kaum strukturalis atau behavioralis yang terlalu empiris sifatnya. Paradigma hermeneutik secara tegas menolak paham uinversalisme dalam ilmu hukum, khususnya ilmu yang berseluk beluk dengan obyek manusia berikut masyarakat, gantinya relativisme itulah yang diakui. Paradigma ini membuka kesempatan kepada para pengkaji hukum untuk tidak hanya berkutat demi kepentingan profesi yang eksklusif semata. Pendekatan ini dengan strategi metodologisnya menganjurkan to lern from people, mengajak para pengkaji hukum agar menggali dan meneliti maknamakna hukum dari perspektif para pengguna atau pencari keadilan513. Jazim Hamidi, mengemukakan, hermeneutika dibedakan menjadi dua, yaitu, pertama, sebagai sebuah metode interpretasi (penafsiran), hermeneutika tidak hanya mengadung teks dan berusaha menyelami kandungan makna literalnya. Lebih dari itu, hermeneutika berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horison/cakrawala yang melingkupi teks tersebut. Horison yang dimaksud tersebut adalah teks, horison pengarang, dan horison pembaca514. Dengan memperhatikan ketiga horison tersebut, diharapkan suatu upaya pemahaman ataupun penfsiran menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna teks, di samping melacak bagaimana suatu teks itu dilahirkan oleh pengarangnya dan muatan apa yang masuk atau ingin dimasukkan oleh pengarang ke dalam teks yang dibuatnya. Selain dari itu, seorang penaksir senantiasa berusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks tersebut dibaca atau dipahami. Simpulan yang dapat diambil adalah sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika harus selalu memperhatikan tiga komponen, yaitu teks, konteks, kemudian melakukan upaya kontekstualisasi515. Selanjutnya dikemukakan, kedua, sebagai landasan kefilsafatan ilmu hukum, filsafat hermeneutik adalah filsafat tentang hal mengerti atau memahami (verstehen) sesuatu, yakni 513
Adi Sulistiyono, 2004, Op., cit., hlm., 21-22. commit to user Fakhruddin Faiz, dalam Jazim Hamidi, 2005, Op., cit., hlm., 29. 515 Jazim Hamidi, 2005, Op., cit., hlm., 29. 514
373 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
refleksi kefilsafatan yang menganalisis syarat-syarat kemungkinan bagi semua pengalaman dan pergaulan manusiawi dengan kenyataan, termasuk peristiwa mengerti dan/atau interpretasi. Hal atau kegiatan mengerti sesuatu itu pada intinya adalah sama dengan kegiatan menginterpretasi. Jadi memahami sesuatu
adalah
menginterpretasi
sesuatu,
dan
sebaliknya
dengan
menginterpretasi sesuatu tercapai pemahaman tentang sesuatu itu. Hal memahami atau menginterpretasi itu adalah aspek hakiki dalam keberadaan manusia yang membedakannya dari hewan, tanaman, dan benda-benda lain. Artinya, keberadaan manusia dan kegiatan menjalankan kehidupannya berlangsung berlandaskan atau dipengaruhi proses dan produk pemahaman atau interpretasinya. Zygmunt Bauman, mengemukakan hermeneutika berasal dari kata Yunani „hermeneutikos‟ berkait erat dengan “upaya menjelaskan atau menelusuri” pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, samar, remang-remang dan penuh kontradiksi, sehingga dapat menimbulkan kebimbangan bagi para pendengar atau pembaca516. Artinya makna dari sebuah teks dapat dipahami dengan beragam oleh pembaca yang kemudian melahirkan penjelasan yang berbeda pula. Hal ini menandakan juga bahwa teks hukum, sangat mngkin dipahami secara beragam oleh penegak hukum dan masyarakat. Bagaimana para penegak hukum dan masyarakat dapat menangkap pesan dari sebuah teks hukum, sangat tergantung pada upayanya dalam mengatasi kesenjangan jarak, bahasa, kultur serta maksud pencipta teks hukum tersebut517 Salah satu fungsi dan tujuan hermeneutika (hukum) menurut James Robinson adalah untuk “bringing the unclear into clarity” (memperjelas „sesuatu‟ yang tidak jelas supaya lebih jelas). Menurut Leyh, tujuan dari “hermeneutika hukum” adalah untuk menempatkan perdebatan kontemporer tentang interpretasi hukum di dalam kerangka hermeneutika pada umumnya. Upaya mengkontekstualisasikan teori hukum dengan cara ini serta 516
Fauzi Fashri, 2007, Penyikapan Kuasa Simbol,Apropriasi Reflektif Pierre Bourdieu, commit to user Yogyakarta : Juxtapose, hlm., 19. 517 Faisal, Op., cit., hlm., 137.
perpustakaan.uns.ac.id
374 digilib.uns.ac.id
mengasumsikan bahwa hermeneutika memiliki korelasi pemikiran dengan ilmu hukum atau yurisprudensi518. Hermeneutika filosofis (Gadamer) tujuannya bukan untuk mengembangkan sekumpulan aturan atau prosedur untuk interpretasi teks. Jadi sasarannya adalah filosofis, yaitu untuk mengidentifikasi “bukan apa yang kita lakukan atau apa yang wajb kita lakukan (dalam interpretasi), tetapi pada apa yang terjadi pada kita di atas dan di bawah keinginan dan tindakan kita”. Dengan demikian hermeneutika filosofis mempunyai tugas ontologis, yaitu menggambarkan hubungan yang tidak dapat dihindari antara teks dan pembaca, masa lalu dan sekarang, yang memungkinkan untuk memahami kejadian yang pertama kali (genuin). Terdapat juga dimensi demistifikasi terhadap hermeneutika hukum. Hukum intinya adalah aktivitas pembentukan aturan (rule-governed), kadang-kadang dikatakan bahwa aturan formal dan doktrin hukum menyajikan kepastian dan stabilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat sipil. Hemeneutika mencari cara untuk menggantikan pandangan hukum formalistis ini, walaupun tidak secara total519. Hermeneutika hukum memang perlu atau sangat dibutuhkan, agar hakim tidak terjebak ajaran-ajaran positivisme hukum yang lebh legal formal untuk mendapatkan kepastian hukum dan menghasilkan keadilan prosedural. Berkaitan dengan proses peradilan yang masih mengandalkan pada cara-cara formal yang kaku, sulit untuk mengikuti dinamika perkembangan kehidupan masyarakat, Faisal mengemukakan, perlu adanya penafsiran produktif yang tidak membelenggu perilaku penegak hukum dalam menafsirkan teks hukum yang dikontekstualisasikan dengan realitas peradilan Asrori. Penafsiran produktif itu dalam hal ini disebut dengan penafsiran hermeneutik. Hermeneutika dapat diartikan sebagai teori analisis dan praktik penafsiran terhadap teks. Sebagai kajian filsafat yang memiliki perbedaan dengan cara kerja epistemologi pada umumnya yang menitikberatkan ukuran kebenaran pada rasionalitas ilmiah. Hermeneutika mengandung kemahiran untuk 518 519
commit user Gregory Leyh, dalam Jazim Hamidi, 2005, Op.,tocit., hlm., 45. Jazim Hamidi, 2005, Op., cit., hlm., 48.
perpustakaan.uns.ac.id
375 digilib.uns.ac.id
memahami teks-teks yang berada pada ruang relativitas kultural dan historis dari setiap wacana manusia. Proses kegiatan reflektif terhadap pengetahuan dan karya manusia dalam hermeneutika, selalu terkait dengan persoalan, waktu, tempat, pencipta teks dan subyek penafsir520. Pada proses penemuan hukum (yang lazimnya dilakukan oleh para hakim), perlu dibedakan dalam dua hal, yaitu mengenai tahap sebelum pengambilan putusan (ex ante) dan tahap sesudah pengambilan putusan (ex post). Dalam perspektif teori penemuan hukum modern, yang terjadi sebelum pengambilan putusan disebut “heuristika”, yaitu proses mencari dan berpikir yang mendahului tindakan pengambilan putusan hukum. Pada tahap ini berbagai argumen pro-kontra terhadap suatu putusan tertentu ditimbangtimbang antara yang satu dengan yang lain, kemudian ditemukan mana yang paling tepat. Penemuan hukum yang terjadi sesudah putusan disebut “legitimasi”, dan legitimasi selalu berkenaan dengan pembenaran dari putusan yang sudah diambil. Pada tahap ini putusan diberi motivasi (pertimbangan) dan argumentasi secara substansial, dengan cara menyusun suatu penelaran yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan. Suatu putusan hukum tidak bisa diterima oleh forum hukum, maka berarti putusan itu tidak memperoleh legitimasi. Konsekuensinya, premis-premis yang baru harus diajukan, dengan tetap berpegang pada penalaran ex ante, untuk meyakinkan forum hukum tersebut agar putusannya dapat diterima521. Selanjutnya dikemukakan bahwa terdapat kelebihan dari hermeneutika sebagai metode interpretasi teks hukum tidak semata-mata melihat teksnya semata, tetapi juga konteks hukum itu dilahirkan dan bagaimana konstektualisasi atau penerapan hukumnya di masa kini dan mendatang. Pertimbangan hukum para hakim akan menjadi lengkap, jika menggunakan metode hermeneutika hukum dalam upaya penemuan hukum, penerapan hukum, menciptakan hukum dan dalam pembentukan hukum. Sebab salah satu kelebihan dari metode hermeneutika hukum adalah terletak pada cara dan 520 521
commit to user Fauzi Fashri, 2007, Op., cit., hlm., 19. Samuel Jaya kusuma, dalam Jazim Hamidi, 2005, Op., cit., hlm., 49.
376 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lingkup interpretasinya yang tajam, mendalam dan holistik dalam bingkai satu kesatuan antara teks, konteks dan kontekstualisasinya. Dalam hal ini, peristiwa hukum
maupun
peraturan
perundang-undangan
tidak
semata-mata
dilihat/ditafsirkan dari aspek legalitas formal berdasarkan bunyi teks-nya semata, melainkan juga harus dilihat dari faktor-faktor yang melatar belakangi peristiwa/sengketa tersebut muncul, apa akar masalahnya, adakah intervensi politik yang membidani dikeluarkanya putusan itu, serta sudahkah dampak dari putusan itu dipikirkan bagi proses penegakkan hukum dan keadilan (aspek sosio-politik-kulturalnya) dikemudian hari522. Demikian kuatnya atau dominannya pengaruhnya aliran positivisme hukum dalam kehidupan di masyarakat, dan demikian juga para penegak hukum terutama hakim dalam menjalankan tugasnya tidak dapat terlepas dari pengaruh paradigma positivisme hukum yang logis dan tertutup, hakim tidak diperbolehkan menafsirkan undang-undang, menitik beratkan pada keadilan prosedural, linear mekanistik, dan lebih berfokus pada kepastian hukum dibandingkan nilai keadilan yang diharapkan masyarakat. Dalam kaitan tersebut, perlu diupayakan adanya perubahan-perubahan pemikiran yang bersifat membangun terutama dari para hakim sebagai salah satu unsur penegak hukum dan keadilan, karena hakim mempunyai posisi sentral dalam kaitannya dengan tugas-tugas yang diembannya. Aliran positivisme hukum yang mencapai jaman kejayaannya pada abad 19, dan sekarang sudah berbeda pada masa kejayaan aliran tersebut. Dinamika masyarakat telah berkembang dengan pesatnya, perkembangan ilmu dan teknologi demikian cepatnya, demikian juga perkembangan trasformasi dan komunikasi, sehingga hukum harus mengikuti perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, terutama dalam pemikiran-pemikiran para aktornya. Keberanian dari pemegang aktor yang menduduki posisi sentral sudah waktunya diwujudkan dalam era yang sudah jauh berbeda dengan kedaan dan situasi se abad yang lalu, pemikiran-pemikiran yang mempunyai wawasan jauh ke depan, pandangan-pandangan hakim terhadap permasalahan hukum commit to user 522
Jazim Hamidi, 2005, Op., cit., hlm., 71.
377 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
harus dapat diselesaikan dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat sekarang ini. Keberanian para hakim dapat dibuktikan dari putusan yang dijatuhkan pada waktu ia menyelesaikan sengketanya dan hal tersebut sudah mulai dirintis atau dimulai oleh hakim pengadilan tata usaha negara baik di Semarang
maupun
Yogyakarta.
Misalnya
putusan
Nomor
04/G/2009/PTUN/SMG. Dalam sengketa tersebut dipersoalkan (dari pihak tergugat) apakah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tentang ijin pertambangan daerah eksplorasi bahan galian C batu kapur wajib dilengkapi dengan AMDAL. Sehubungan dengan hal tersebut, ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997, menyatakan setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki AMDAL. Menurut Mahtuf Effendi (hakim PTUN Semarang), bahwa ketentuan tersebut tidak jelas apakah yang dimaksud dengan setiap rencana usaha dan/atau kegiatan itu termasuk juga eksplorasi atau tidak, sehingga diwajibkan untuk dilengkapi dengan AMDAL. Mahtuf (PTUN Semarang) dalam putusannya menolak ijin pertambangan daerah eksplorasi bahan galian C batu kapur, karena dalam permohonan ijin tersebut tidak dilengkapi dengan AMDAL. Majelis hakim menafsirkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undangundang Nomor 23 Tahun 1977, dengan mengkaitkan seluruh aturan hukum dan alat bukti di dalam persidangan (hukum tak tertulis, yaitu AAUPB, seperti nilai keadilan), sampai pada kesimpulan bahwa secara yuridis ijin pertambangan daerah eksplorasi bahan galian golongan C batu kapur yang luasnya kurang lebih 700 ha, meskipun belum jelas masuk atau tidaknya dikawasan lindung kars (kawasan sekitar mata air), tetapi sudah dapat dipastikan lokasinya berbatasan langsung dengan kawasan lindung kars wajib dilengkapi dengan AMDAL. Putusan majelis hakim PTUN Semarang tersebut, sebagai salah satu contoh yang menunjukkan adanya keberanian menafsirkan ketentuan dalam to userpenjelasan secara langsung atau undang-undang yang tidak commit memberikan
perpustakaan.uns.ac.id
378 digilib.uns.ac.id
menujuk suatu rencana usaha dan/kegiatan yang wajib dilengkapi dengan AMDAL Penafsiran atau interpretasi yang sesuai dengan macamnya termasuk dalam penafsiran sosiologis, karena majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya mengajukan alasan keberadaan masyarakat lingkungan yang akan terkena dampak sebagai akibat berdirinya atau beroperasinya pabrik semen. Kawasan kars yang lebih diutamakan atau dalam pemikiran majelis hakim yang harus mendapatkan perlindungan, karena apabila pabrik semen telah berdiri dan beroperasi, kawasan kars yang dipergunakan sebagai sarana pertanian dan kebutuhan sehari-hari dalam kehidupan rumah tangga akan habis. Dampak yang membawa keuntungan pada warga masyarakat hanya sedikit dan tidak berlangsung lama, sedangkan di pihak lain masyarakat akan kehilangan modal utamanya berupa tanah sawah yang kering yang airnya dihisap oleh penggunaan pabrik semen, sehingga mata pencaharian sebagai petani tidak dapat mengerjakan sawahnya. Putusan majelis hakim tersebut, sebagai bukti penolakan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan hanya terbelenggu oleh aturan normatif, lebih menekakan pada nilai keadilan prosedural, legalis formalistik sebagai diajarkan aliran positivisme hukum. Keberanian majelis hakim dengan memberikan interpretasi pada undangundang, tidak hanya berani tanpa adanya alasan-alasan yang mendukungnya dan sudah barang tentu dibarengi dengan alasan-alasan yang dapat diterima dengan akal sehat dan dapat dipertanggungjawabkan. Modal utama adanya keberanian paling tidak hakim mempunyai wawasan ke depan yang lebih luas, mempunyai kualitas atau kemampuan yang memadai, jujur dan mempunyai dedikasi yang tinggi, serta mempunyai hati nurani yang dalam sesuai dengan perkembangan masyarakat sekarang, bukan yang lampau. Putusan majelis hakim dengan menggunakan pertimbangan hukum sebagai dasar putsannya, yaitu adanya kewajiban bagi setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak yang besar dan penting, merupakan penfsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang belum atau kurang jelas, commit sehinggato user majelis hakim melengkapi dengan
perpustakaan.uns.ac.id
379 digilib.uns.ac.id
penjelasan yang dituangkan dalam pertimbangan hukumnya. Penafsiran terhadap ketentuan perundang-undangan tersebut sebagai jawaban yang selama ini membelenggu hakim bahwa hakim sebagai tawanan undangundang, hanya mengupayakan keadilan prosedural atau formal, tidak berani menasirkan undang-undang demi aman tugasnya, sebagaimana pengaruh dari positivisme hukum yang sudah mendarah daging di dalam masyarakat. Putusan 03/G.TUN/2000/PTUN/Yk. Obyek sengketa adalah Surat Keputusan Bupati Bantul yang memberhentikan Sumardiyono sebagai Kepala Urusan Pemerintahan Desa Bangunharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul. Penggugat (Sumardiyono) diberhentikan dari jabatannya, karena memang terbukti telah melakukan tindak pidana perjudian yang dijerat dengan Pasal 303 KUHP, dan telah diputus oleh Pengadilan Tinggi (karena banding), yaitu dijatuhi pidana penjara selama tiga bulan, 15 hari. Perbuatan penggugat tersebut telah memenuhi unsur atau ketentuan Pasal 7 ayat (3) Keputusan Bupati Kepada Daerah Tingkat II Bantul Nomor 587 A/Kep/Bt./1996, yang berbunyi bahwa sekretaris desa, kepala urusan dan kepala dusun yang diberhentikan sementara sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dapat diberhentikan apabila yang bersangkutan telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi sanksi pidana penjara atas putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap/pasti. Berdasarkan obyek sengketa yang dikeluarkan oleh Bupati Bantul tersebut, Sumardiyono mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta. Pandangan majelis hakim terhadap sengketa tata usaha negara tersebut, membenarkan adanya perbuatan yang dilakukan Sumardiyono merupakan perbuatan pidana yang diancam dengan Pasal 303 KHUP. Perbuatan tersebut sebenarnya tidak boleh dilakukan oleh penggugat, karena perbuatan tersebut dilihat dalam masyarakat tidak baik, merupakan perbuatan yang tak perpuji dan dilarang baik oleh agama maupun negara. Di samping itu penggugat sebagai Kepala Urusan Pemerintahan Desa (pamong desa), seharusnya memberikan teladan yang baik kepada warga masyarakatnya, dan commit to user pekerjaannya. Hal yang perlu perbuatan yang dilakukan dapat mengganggu
380 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mendapatkan
perhatian
adalah
bahwa
ternyata
gugatan
penggugat,
Sumardiyono dikabulkan, artinya obyek sengketa yang dikeluarkan oleh tergugat
tentang
pemberhentian
penggugat
sebagai
Kepala
Urusan
Pemerintahan Desa Bangunharjo dibatalkan. Pertimbangan majelis hakim yang dipergunakan sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan adalah bahwa perbuatan tergugat dalam menerbitkan keputusan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu asas kecermatan formal dan merupakan perbuatan sewenang-wenang menerapkan sanksi hukuman yang tidak seimbang dengan bobot pelanggaran yang dilakukan oleh penggugat. Berarti majelis hakim telah melakukan amanat undang-undang kekuasaan kehakiman, yaitu dengan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat, karena asas-asas yang dituangkan dalam pertimbangan hukum tersebut yang kemudian dipergunakan sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan tidak diatur secara tegas dalam undang-undang. Asas kecematan formal tersebut, menurut analisa peneliti bahwa perbuatan yang dilakukan penggugat baru sekali saja, perbuatan judi tersebut tidak dilakukan setiap hari atau rutinitas sebagai hobi dan dipergunakan sebagai mata pencaharian. Perbuatan tersebut dilakukan hanya sebagai iseng dan menahan tidur (jagak lek- bahasa jawa) sebagai upaya mencari informasi dalam kaitannya dengan peristiwa pembunuhan di desanya. Tergugat sebelum mengeluarkan obyek sengketa atau keputusan, menurut penilain hakim tidak memperhatikan jasa yang dilakukan oleh penggugat dibandingkan dengan judi yang
dilakukan
hanya
sekali.
Putusan
majelis
hakim
berdasarkan
pertimbangan hukum dengan menuangkan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu asas kecermatan formal dan asas sewenang-wenang, adalah merupakan hukum yang tak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan yang harus diperhatikan oleh Badan atau Pejabat pada waktu sebelum mengeluarkan atau menerbitkan keputusan atau juga merupakan dasar bertindak dari pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Asas kecermatan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
381 digilib.uns.ac.id
perlu diperhatikan agar pemerintah lebih berhati-hati dalam bertindak, sehingga tindakannya tidak merugikan kepada rakyat. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka ada semacam pencerahan dalam kegelapan hukum di Indonesia, artinya dalam suasana muramnya kehidupan hukum yang ditandai dengan dominannya pengaruh aliran positivisme hukum, masih nampak sinar kehidupan yang memungkinkan dapat memberikan motivasi, bahkan sebagai contoh sosok yang andil untuk mengadakan perubahan atau pergeseran dalam berhukum. Konstruksi penemuan hukum dapat dimulai oleh hakim yang mempunyai pandangan bahwa peraturan perundang-undangan bukan digunakan sebagai pedoman yang mutlak atau absolut untuk diaati hakim dalam menyelesaikan sengketa. Hakim mempunyai pandangan hukum bukan satu-satunya sumber hukum dan hukum tak tertulis, yaitu asas-asas umum pemerintahan yang baik dapat dipergunakan sebagai dasar untuk pengujian sengketa tata usaha negara. Hukum bukan merupakan suatu sistem yang tertutup sebagaimana diajarkan oleh aliran hukum positif, yang selalu membelenggu hakim dalam menjalankan tugasnya. Hakim yang mempunyai pemikiran-pemikiran yang demikian luas dan ke depan, perlu mendapat perhatian terutama dukungan moral agar tidak lagi terpendam oleh pengaruh positivisme hukum yang sewaktu-waktu merasuki diri hakim yang bersangkutan. Berdasarkan putusan hakim tersebut, dapat dikatakan telah terjadi sedikit terobati sakit yang lama tidak sembuh karena cengkeraman yang begitu kuat positivisme hukum, hati menjadi lega karena tidak setiap insan penegak hukum terkena virus sebagai seorang yang malas untuk menghindar atau bangkit dari belenggu norma yang kaku dan selalu tertutup, terhindar dari malas untuk aktif dan berkreatif. Pemikiran-pemikiran yang malas atau hanya berkutat pada hukum dengan perlengkapan “peraturan dan logika” sebagai penegasan aliran positivisme hukum, menurut Danah Zohar dan Marshall perlu disikapi dalam arti tidak dibenarkan dalam memandang hukum dari sudut pikiran yang datar (linear). Satjipto Rahardjo mengemukakan, dalam ilmu-ilmu kemasyarakatan commit to user juga semakin disadari bahwa betapa kompleknya masyarakat. Untuk itu,
perpustakaan.uns.ac.id
382 digilib.uns.ac.id
menurut Zohar dan Marshall tidak boleh meyikapi hanya dari sudut pikiran yang datar (linear). Dalam konteks itu, pikiran datar, yaitu melihat hukum hanya dengan perlengkapan “peraturan dan logika” (rules and logic) semata. Sebaiknya, pikiran dalam melihat kehidupan dibalik skema-skema peraturan itu. Paham ini berkeyakinan bahwa masih ada kehidupan lain di belakang peraturan yang tidak dapat direnggut dari kesatuannya dengan dunia peraturan. Apabila hal ini terjadi, maka hukum akan menjadi skema-skema yang kosong, sbuah skeloton belaka, tanpa darah dan daging523. Menjelang peralihan abad ke-20 telah terjadi perubahan besar dalam masyarakat, antara disebabkan oleh industri. Struktur masyarakat industri sangat berbeda dari masyarakat sebelumnya. Sebagian orang (Beus & Doorn), mengatakan bahwa masyarakat yang tadinya lebih alami berubah menjadi masyarakat yang sangat dikonstruksikan (geconstrueerde maatschappij). Kendati masyarakat berubah besar, namun tidak demikian hukum. Hukum sebagai skema-skema yang final (finite) sangat kaku, sehingga berubah. Oleh karena itu, dijumpai keadaan yang sangat menarik. Pada saat itu, substansi berubah tetapi hukum yang mengaturnya tetap. Keadaan seperti itu dibahas oleh Karl Renner dengan sangat menarik. Dalam era industri, konsep hak milik yang semula merupakan hak manusia atas barang telah berubah. Dalam era industri buruh tidak lagi hadir sebagai manusia yang penuh, tetapi telah direduksi menjadi barang atau unsur produksi, seperti tanah, bangunan dan mesin, meskipun demikian konsep hukum mengenai pemilikan tidak berubah. Pada saat itu sulit untuk mempercayai bahwa hukum memang mencerminkan realitas dalam masyarakat. Lebih-lebih jika terjadi pada bangsa-bangsa yang mempunyai civil law countries, termasuk Indonesia. Hukum di negara-negara tersebut sangat ditentukan oleh produk legalitasnya, hal ini berbeda dari common law countries yang pada dasarnya hukumnya berlandaskan tradisi. Hukum modern memang penuh dengan fiksi, konstruksi, definisi dan konseptualisasi yang semakin menjauhkan dan mengasingkan hukum dari realitas kehidupan sehari-hari. Hukum menjadi dunia esoterik. Tragisnya, commit to user 523
Satjipto Rahardjo, 2009, Op., cit., hlm., 118.
perpustakaan.uns.ac.id
383 digilib.uns.ac.id
hukum menjadi bukan monopoli para ahli hukum (lawyers) dan hanya berlaku serta digunakan dalam kalangan mereka. Hukum juga digunakan dan menjadi milik masyarakat luas dan rakyat biasa yang tak tahu kerumitan teknis hukum. lebih parah lagi, dalam doktrin tersebut dikatakan bahwa “semua orang dianggap mengetahui Undang-undang”. Hukum yang esoterik itu tidak dapat mempertahankan keistimewaannya lebih lama berhadapan dengan serbuan masyarakat yang berubah524. Abad ke-19 dapat dikatakan sebagai jaman keemasan ilmu hukum. pada saat itu, bidang-bidang berkembang pesat sesuai dengan perkembangan perekonomian dan kehidupan sosial pada umumnya. Bidang-bidang hukum baru yang muncul menyebabkan masa perundang-undangan juga kian menumpuk, sehingga mendorong dilakukannya kodifikasi. Pada abad tersebut, para ilmuwan hukum merasa yakin akan masa keemasan tersebut. Dengan keyakinan itu, ilmuwan berani meramalkan bahwa ilmu hukum sudah mencapai puncak perkembangannya dan untuk masa mendatang tidak akan ada lagi perkembangan baru. Hukum semakin menjadi suatu tipe penataan masyarakat yang sangat khas (distinct), terutama sejak kelahiran sistem hukum modern di dunia. Oleh karena kekhasan tersebut, Roberto Mangabeira Unger menyebut sistem hukum modern itu sebagai “the legal system”. Artinya, tidak ada sistem hukum lain yang layak disebut „legal system‟, kecuali sistem hukum modern tersebut, namun seperti dikatakan Paul Scholten, masa kepastian abad ke-19 sudah lewat. Waktu sudah lewat bagi orang untuk meyakini bahwa hakim hanyalah “mulut yang menyuarakan undang-undang”. Sekarang orang tidak hanya berbicara mengenai penerapan hukum (rechtstoepassing) yang mekanistis, melainkan penemuan hukum (rechtsvinding) yang lebih kreatif525. Paul Scholten, membedakan antara penemuan hukum dengan penerapan hukum, karena dalam penemuan hukum ditemukan sesuatu yang baru. Ia mengatakan bahwa penemuan hukum bisa dilakukan baik lewat 524 525
commit to user Satjipto Rahardjo, 2009, Op., cit., hlm., 119 - 120. Disaripatikan dari Satjipto Rahardjo, 2009, Op., cit., hlm., 94-98.
perpustakaan.uns.ac.id
384 digilib.uns.ac.id
penafsiran, atau analogi maupun penghalusan hukum (rechtsverfijning). Penegakan hukum tidak hanya dilakukan dengan logika penerapan hukum yang mengandalkan penggunaan logika (een hanteren van lgische figuren), melainkan melibatkan penilaian, memasuki ranah pemberian makna. Melalui silogisme dan kesimpulan logis, tidak akan menemukan sesuatu yang baru, seperti dikehendaki oleh penemuan hukum526. Pada kenyataannya, perkiraan tersebut tidak berjalan lama, perkiraan tersebut meleset sejak memasuki abad ke-20. Paul Scholten mengatakan, bahwa “Van de rustige verzekerdbheid van velen in de 19 de eeuw..., is niet zo heel veel vergebleven” (masa-masa penuh kepastian abad ke-19 tidak banyak lagi tersisa). Abad ke-20 mengalami perubahan besar. Paul Scholten, raksasa pemikir hukum Belanda, melihat adanya perubahan dalam cara orang menjalankan hukum (rechtsbeoefening) dan dalam cara berpikirnya (Scholten 1954). Dalam abad ke-19, orang berpikir dengan penuh kepastian. Dalam keadaan yang demikian, maka penalaran hukum berupa “hanteran van logische figuren”, yaitu memproses hukum seperti orang mengerjakan tugas matematik. Bahan yang diproses dengan berpikir matematis atau logis merupakan konsep, pengertian, doktrin, asas, fiksi yang sudah dibuat oleh hukum sendiri . Hukum bermain dalam medan dan entitas yang diciptakan sendiri, semua itu dilakukan semata-mata dengan bantuan logika. Oliver Wendell Holmes, mengatakan sebagai membuat putusan hukum berdasarkan silogisme (syllogism in detemining the rules by which men should be governed ). Paul Scholten memberikan tempat yang sangat terhormat pada penilaian (waardeering) dalam berhukum. Hal ini berarti bahwa kita tidak boleh hanya menggunakan logika dalam berhukum, tetapi masih ada cara berhukum yang dilakukan dengan perasaan (gefuehlsmaessig). Scholten mengatakan bahwa setiap putusan hukum adalah suatu “lompatan” (een sprong). Pendapat tersebut juga dekat dengan pendapat Ronald Dworkin tentang membaca teks hukum sebaagi suatu „moral reading‟. Dalam kaitan dengan pembacaan dan pemahaman terhadap Konstitusi commit to user 526
Anthon Freddy Susanto, 2005, Op., cit., hlm., 11
perpustakaan.uns.ac.id
385 digilib.uns.ac.id
Amerika Serikat, Dworkin mengatakan “We must try to find language of our own that best captures, in term we find clear, the content of what the „framers‟ intended to say”. Sejak hukum itu tampil dalam rumusan tertulis atau teks dan teks tersebut dipakai untuk menghukumi kejadian nyata dalam masyarakat, maka menjadi penting untuk mencocokkan teks tersebut dengan fakta di masyarakat. Pada dasarnya, membuat putusan hukum adalah melakukan pekerjaan seperti itu. Berkaitan dengan hal tersebut, Paul Scholten mengatakan bahwa apa yang terjadi tidak sesederhana itu. Makna yang dimuat dalam teks sering masih membuka perdebatan atau selisih pendapat , sehingga pekerjaan “mencocokkan” tidak sesederhana seperti yang diperkirakan orang. Pekerjaan menghukumi suatu kejadian bukan hanya didasarkan pada bunyi teks, karena orang juga dapat mengartikan teks itu dengan lebih halus. Hal inilah yang disebut sebagai metode penghalusan hukum (rechtsverfijning). Melalui penghalusan hukum itu muncul makna lain dari teks asli, sehingga terhadap fakta itu tidak dapat begitu saja diterapkan bunyi teks yang lama527. Perubahan fundamental telah terjadi dalam masyarakat saat ini, berbagai persoalan muncul merupakan implikasi dari berbagai proses sosial yang terjadi sejalan dengan perubahan konteks masyarakat (sangat cepat) yang orientasi globalnya telah memunculkan tatanan nilai dan sosial baru, sebagaimana dijelaskan Irwan Abdullah, yaitu menyangkut hilangnya instink komunitas secara meluas, dari hilangnya rasa memiliki sekelompok orang terhadap sebuah negara bangsa, hilangnya ikatan atau solidaritas komunal, hingga hilangnya ketaatan pada sistem sosial dan normatif yang berlaku528. Tindakan kekerasan menjadi ciri khas, instituti kehakiman diambil alih oleh masyarakat dengan cara menghukum sendiri pelaku, yang dilakukan melalui berbagai bentuk seperti aksi brutal. Dapat dijelaskan bahwa persoalan itu berkait erat dengan ketidakpuasan masyarakat terhadap cara institusi hukum menegakkan keadilan. Institusi hukum telah lama lebih mengedepankan 527 528
commit to user Satjipto Rahardjo, 2009, Op., cit., hlm., 99. Irwan Abdullah, dalam Anthon Freddy Susanto, 2005, Op., cit., hlm., 111.
perpustakaan.uns.ac.id
386 digilib.uns.ac.id
tindakan represif, yang menurut Nonet dan Selznick merupakan wujud bahwa selama ini hukum telah terisolasi dari realita sosial dan dari tujuan keadilan itu sendiri. Dalam ilmu pengetahuan munculnya paradigma baru khususnya paradigma post-modern atau paradigma kontemporer memicu lahirnya pemikiran-pemikiran baru yang telah membawa pengaruh dan konsekuensi tertentu baik ontologis, epistemologis dan axiologis terhadap ilmu hukum, yaitu semacam tuntutan untuk segera melakukan pembaharuan, karena perubahan yang sangat cepat dan melindas apa saja yang dilaluinya. Tidak ada waktu untuk menolak, mereka tidak dapat ditolak dan tentu saja tidak mungkin untuk menolak. Paradigma baru harus memandang arena global sebagai jalan menuju terciptanya penegakkan keadilan bagi masyarakat529. Selanjutnya dikemukakan bahwa apa yang selama ini diterima sebagai sesuatu yang benar, harus mulai dipertanyakan kembali, teori hukum, asas hukum, atau ajaran-ajaran yang selalu mengedepankan ide keteraturan, jelas, pasti yang selama ini menghuni alam pikiran liberal atau positivisi hukum, mulai digugat karena ternyata ide tersebut tidak mampu memberikan penjelasan yang terjadi selama ini sepenjang perjalanan hukum Indonesia yang terus dilanadai krisis. Dalam bukunya berjudul “Critical Legal Studies”, Andrew Altman mengemukakan berbagai kritik yang dilontarkan oleh Gerakan Studi Hukum Kritis terhadap doktrin hukum liberal (rule of law), doktrin ini tidak mampu menjelaskan persoalan karena kontradiksi satu sama lain dan juga tidak konsisten (Contradiction and inconsistencies). Hukum ternyata telah terasing (alienasi) dari realitas sosial (politik, sosial, budaya), hukum hanya menjelma dalam bentuk peraturan-peraturan dan memberikan keadilan formal. Munculnya pandangan yang lebih kritis dan realitas, di akhir penutup abad ke-20 telah kembali menghidupkan semangat yang hampir padam, bahwa hukum masih dapat dibaca dalam konteks yang sebagaimana rumitnya. Doktrin hukum liberal (rule of law/positivist) hanya bisa digunakan dalam suatu tatanan yang teratur, keteraturan, segala hal yang pasti, ini jelas tidak commit to user 529
Anthon Freddy Susanto, 2005, Op., cit., hlm., 111.
387 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
realistis mengingat masyarakat justru dipenuhi oleh ketidakteraturan, atau menurut Satjipto Rahardjo, dengan menggambarkan kondisi Indonesia saat ini yang tengah mengalami “keberantakan” (disintegration, disorganization) yang besar, baik sosial, ekonomi, politik maupun kultutal530. Pemikiran atau model pendekatan positivistik dalam dunia pendidikan hukum begitu mendominasi dan hal tersebut disebut dengan model pendidikan hukum modern, yaitu pendidikan hukum yang lebih mengarahkan lulusannya untuk mengutamakan bahkan memandang bahwa nalar dan logika adalah satusatunya alat yang dapat dipercaya untuk mengungkap kebenaran. Selanjutnya dikemukakan bahwa sudah sejak lama disadari nalar lebih merupakan fasilitator daripada inisiator, memakai nalar untuk mendapatkan apa yang ingin dicapai dan apa yang dikehendaki, namum nalar tidak dapat menentukan apa yang dikehendaki. Calne mengakui bahwa nalar merupakan piranti yang hebat, tetapi sayangnya tidak dapat menentukan tujuan. Oleh karena itu nalar tidak dapat berdiri sendiri, dia harus bersatu dengan lainnya untuk dapat membentuk kemampuan manusia yang utuh. Sebagaimana dikatakan oleh F. Scoot Fizgerald, bahwa ukuran paling tepat untuk menguji kecerdasan tingkat tinggi adalah kemampuan menyimpan dua gagasan berlawanan dalam pikiran yang bersamaan, namun masih mempunyai kemampuan untuk berfungsi. Sesungguhnya ini masih dapat disederhanakan, kecerdasan tingkat tinggi memadukan EQ dan IQ dan tidak hanya mempertahankan kemampuan berfungsi, tetapi menjadikannya lebih hebat (Cooper & Sawat) yang menurut Zohar
dan
Marshall,
kedua
kecerdasan
tersebut
akan
meningkat
kemampuannya apabila dipandu melalui SQ531. Dialektika mengenai perkembangan kecerdasan, diuraikan oleh Anthon F. Susanto, dengan mengemukakan pendapat Danah Zohar dan Ian Marshall, sebagai berikut, bahwa kecerdasan dapat disimbolkan melalui apa yang terdapat dalam diri manusia secara utuh. Pada bagian awal abad ke-20, IQ pernah menjadi isu besar. Kecerdasan intelektual atau rasional adalah 530 531
commit to user Anthon Freddy Susanto, 2005, Op., cit., hlm., 122. Ibid., hlm., 135-137.
perpustakaan.uns.ac.id
388 digilib.uns.ac.id
kecerdasan yang digunakan memecahkan masalah logika maupun strategis. Semakin tinggi IQ seseorang semakin tinggi pula kecerdasannya. Pada pertengahan 1990-an Daniel Goleman mempopulerkan penelitian dari banyak neurolog dan psikolog bahwa ada kecerdasan lain, yaitu EQ, kecerdasan emosional yang sama dengan pentingnya dengan kecerdasan intelektual. EQ memberikan rasa empati, cinta, motivasi dan kemampuan untuk menanggapi kesedihan atau kegembiraan secara tepat. Pada akhir abad ke-20, serangkaian data ilmiah terbaru yang sejauh ini belum banyak dibahas menujukkan adanya Q jenis ketiga. Gambaran utuh kecerdasan manusia dapat dilengkapi dengan perbincangan mengenai kecerdasan spiritual, disingkat SQ. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif, bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi532 Berdasarkan hal-hal tersebut, maka sebenarnya sudah terdapat upaya atau usaha yang dilakukan oleh para ahli hukum sebagai penolakan terhadap eksistensi dominasi aliran positivisme hukum dalam masyarakat, karena para ahli tidak setuju dengan ide-idenya yang dinilainya bukan untuk kepentingan di dalam masyarakat atau sudah tidak dapat lagi memberikan perlindungan kepada warga masyarakat. Ide-idenya dinilai sudah usang dan justru banyak menimbulkan kekacauan atau ketidakteraturan dalam masyarakat. Ide-ide aliran positivisme hukum yang mengalami jaman keemasan pada abad ke-19 (menurut Paul Scholten), sekarang ini sudah mulai ditinggalkan oleh karena adanya pergantian generasi yang tidak cocok atau tidak sesuai dengan ide-ide yang lama, di samping itu karena adanya perkembangan di dalam masyarakat yang begitu pesat dalam bidang ilmu dan teknologi, komunikasi dan trasformasi. Nilai-nilai keadilan yang diusung oleh aliran positivisme yang lebih mengedepankan keadilan prosedural atau formal sudah tidak mendapatkan tempat dihati masyarakat, dan sekarang lebih menginginkan nilai keadilan substantif yang sesuai dengan kehidupan masyarakat. Bentuk-bentuk yang commitdalam to user Lihat juga tentang perkembangan kecerdasan Satjipto Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir....hlm., 92-97. 532
perpustakaan.uns.ac.id
389 digilib.uns.ac.id
mengandalkan logika dan aturan semata, linear dan acara-acara formalitas, mekanistik, serial thinking sebagai andalan kaum positivis yang lebih cenderung untuk mendapatkan kepastian hukum, sudah banyak mendapatkan kritik yang tajam, karena bentuk tersebut hanya akan membelenggu para penegak hukum untuk berkutat pada ketentuan perundang-undangan saja atau normatif saja. Keadaan tersebut akan mematikan kreatifitas, keaktifan para penegak hukum (hakim), memasung wawasan atau pandangan hakim yang sebenarnya mempunyai jangkauan ke depan. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan mempunyai tugas yang berat dalam perkembangan masyarakat yang begitu komplek, karena tidak semua kebutuhan masyarakat dapat terakomodasi dalam undang-undang yang sebenarnya dipergunakan untuk mewadahi kepentingan-kepentingan warga masyarakat. Undang-undang dalam bentuknya yang tertulis sebagaimana dikeluarkan oleh yang mempunyai kompetensi dan diajarkan oleh aliran positivisme hukum, tidak selalu lengkap dan jelas, bahkan terhadap sesuatu peristiwa belum diatur. Hal yang demikian dimungkin terjadi, walaupun pernyataan tersebut ditolak oleh aliran positivisme hukum yang menganggap hukum selalu lengkap dan jelas. Dalam hal hukum atau undang-undangnya tidak lengkap, kurang jelas dan terjadinya kekosongan hukum atau undangundang adalah menjadi tugas hakim untuk melengkapi, menjelaskan dan mengisi kekosongan hukum atau undang-undang tersebut. Usaha-usaha untuk melengkapi, menjelaskan dan mengisi kekosongan hukum atau undangundang, dapat dilakukan dengan menggunakan metode penemuan hukum yang ditawarkan dalam ilmu hukum seperti interpretasi atau penafsiran hukum, konstruksi hukum dan hermeneutika hukum. Hakim sebagai unsur penegak hukum dan keadilan adalah sebagai aktor yang dapat memberikan pertimbangan sebelum melakukan tindakan yang sebenarnya. Menurut Blumer, salah seorang tokoh aliran interaksionisme simbolik mengemukakan bahwa tindakan manusia terdiri dari pertimbangan atas berbagai hal yang diketahuinya dan melahirkan serangkaian kelakuan atas commit tohal user dasar bagaimana mereka menafsirkan tersebut, hal yang dipertimbangkan
390 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mencakup berbagai masalah, seperti keinginan dan kemauan, tujuan dan sarana yang tersedia untuk mencapainya, serta tindakan yang diharapkan dari orang lain. Manusia mempunyai sejumlah kemungkinan tindakan dalam pemikirannya sebelum ia memulai tindakan yang sebenarnya. Sehubungan dengan hal tersebut, sebagai hakim dalam menghadapi permasalahan hukum dapat melakukan konstruksi yang bersifat membangun untuk mewujudkan tujuan hukum sebagaimana dikemukakan oleh Gustav Radbruch, yaitu kepastian
hukum
(rechtsze‟kerheid),
keadilan
(gerech‟tigdheid)
dan
kemanfaatan (zwechtmassigkeit). Membangun konstruksi penemuan hukum dalam arti bahwa selama ini hakim dalam menyelesaikan tugas-tugasnya masih terkesan terbelenggu oleh aliran positivisme hukum yang sangat dominan pengaruhnya pada masyarakat terutama kalangan profesi hukum sendiri. Para profesionalis hukum sulit sekali atau berat sekali untuk meninggalkan cara-cara lama yang sudah mendarah daging dalam hatinya, sehingga dengan alasan atau motivasi apapun rupanya masih senang untuk menggeluguti atau mempertahankannya. Suatu hal yang perlu mendapat perhatian bagi para hakim adalah bahwa tugas yang diembannya tersebut bukan untuk kepentingan diri sendiri, atau untuk menguatkan pesan dari penguasa yang memberikan kewenangan, tugas yang dimandatkan kepadanya merupakan misi suci yang lebih besar untuk kepentingan masyarakat. Memang tidak mudah atau memang sulit untuk mendudukan pada proporsi yang seimbang atau sama antara kepastian hukum dan keadilan, namun yang jelas ada kehendak atau niat yang luhur dari hakim dalam menjalankan tugasnya. Pertanggungjawaban hakim tidak saja pada pemberi kuasa dan pencari keadilan, namun ada tanggungjawab yang lebih besar atas putusan yang dijatuhkan, yaitu kepada Tuhan. Hakim
sebagai
penegakan
keadilan,
bukan
berarti
keadilan
sebagaimana yang dimaksud dengan undang-undang atau sesuai dengan undang-undang atau menurut bunyi perkataan undang-undang semata (let‟terknechten der wet) menurut versi penguasa atau berdasarkan selera commit to user kaum powerfull, melainkan keadilan berdasarkan Ketuhana Yang Maha Esa,
perpustakaan.uns.ac.id
391 digilib.uns.ac.id
sesuai dengan amanat dalam undang-undang kekuasaan kehakiman. Berarti keadilan yang keluar dari hati nurani sang hakim, yaitu hati nurani yang diinginkan masyarakat, karena yang berperkara warga masyarakat, bukan keadilan yang besifat subyektif bagi hakim. Hakim sebagai penegak hukum, pada hakikatnya bahwa tugas hakim dalam penegakan hukum, khususnya dalam menegakkan kembali peraturan perundang-undangan yang telah dilanggar para pihak dapat berjalan dengan baik dan lancar apabila jiwa dari peraturan perundang-undangan yang telah dilanggar itu mencerminkan rasa keadilan dalam masyarakat atau tugas hakim dalam menegakkan hukum tidak akan menemui hambatan yang berarti apabila peraturan perundang-undangan yang ada sesuai dengan perasaan hukum dan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Sebaliknya, jika peraturan perundangundangan yang telah dilanggar itu tidak relevan (lagi) dengan realitas dalam masyarakat, hakim akan menemui kesulitan dalam menegakkan hukum tersebut dan jika dipaksakan besar kemungkinan akan tercipta ketidakadilan. Berlaku adagium summun ius summa iniura (undang-undang yang diterapkan secara rigid akan menyebabkan timbulnya ketidakadilan)533. Dalam menerapkan undang-undang terhadap peristiwanya, maka hakim di samping harus penuh hati-hati, karena menyangkut kepentingan manusia, maka hakim wajib untuk memperhatikan dan menyelami jiwa dibalik undang-undang tersebut. Sehubungan dengan tersebut, hakim harus mempunyai pandangan yang luas, mempunyai kemampuan yang tinggi dan menghayati apa yang menjadi tugasnya sebagai hakim. Harus ada keberanian yang dilakukan oleh hakim sebagai aktor yang mempunyai posisi sentral untuk menegakkan hukum dan keadilan dan di atas pundaknya akan terwujud kedamaian dalam masyarakat. Hakim harus kreatif, intuitif, aktif dan menurut Paul Scholten harus berani melompat, dalam arti tidak mengikuti atau tidak terikat oleh kebiasaan-kebiasaan yang lalu dan berani melakukan rule breaking, sebagaimana disarankan Satjipto Rahardjo. Hakim harus berani melakukan perubahan-perubahan terhadap cara pandang dan pemikirancommit to user 533
Antonius Sudirman, Op., cit., hlm., 52-54.
392 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pemikiran terhadap prinsip-prinsip atau asas-asas yang telah ditanamkan oleh aliran positivisme hukum dalam masyarakat, terutama dalam kaitan dengan proses peradilan, dan lebih khusus lagi dalam kaitannya dengan proses penemuan hukum oleh hakim. Sebagaimana dilakukan oleh hakim PTUN Yogyakarta
dan
Semarang,
Surabaya,
sebagai
upaya
hakim
untuk
mewujudkan keadilan yang dikehendaki dalam masyarakat, hakim berani menjatuhkan putusan berdasarkan pertimbangan hukum digali dalam masyarakat dan yang sebenarnya pihak penggugat telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan keberanian yang dilakukan oleh hakim dalam merubah cara pemikiran tersebut, maka diharapkan dalam masa kegelapan hukum muncul cahaya yang dapa tmenerangi kegelapan hukum dan memerangi keangkuhan dominasi aliran positivisme hukum yang telah mengakar begitu kuatnya dalam masyarakat. Keberanian dalam merubah cara pemikiran telah dilakukan beberapa hakim seniornya lebih dahulu seperti Bismar Siregar, Adi Andojo Soetjipto, Benyamin Mangkodilaga dan yang lainnya, semoga dapat memberikan motivasi pada hakim di masa mendatang untuk membangun konstruksi penemuan hukum yang lebih dan bermanfaat bagi kepentingan masyarakat. Secara garis besar perubahan pemikiran dalam proses membangun konstruksi penemuan hukum oleh hakim dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara dapat dilakukan dengan :
1. Hukum Sebagai Sistem Terbuka. Sebagaimana diketahui bahwa pemikiran hukum yang berkembang semenjak abad pertengahan (legisme) dan telah banyak berpengaruh di berbagai negara, termasuk Indonesia. Aliran tersebut mengidentikkan hukum dengan undang-undang, tidak ada hukum di luar undang-undang dan berpandangan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undangundang. John Austin sebagai tokoh positivisme hukum yang analisis commit to user mengemukan hukum sebagai sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup
perpustakaan.uns.ac.id
393 digilib.uns.ac.id
(closed logical sistem), bahwa keputusan-keputusan hukum yang benar/tepat biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik dan ukuran-ukuran moral, hukum secara tegas dipisahkan dari keadilan dan tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk534 Positivisme hukum dapat juga dirumuskan sebagai sebuah teori yang menyatakan bahwa hukum juga dirumuskan sebagai sebuah teori yang menyatakan, hukum hanya valid jika berbentuk norma-norma yang dapat dipaksakan berlakunya dan ditetapkan oleh sebuah “instrument” di dalam sebuah negara. Positivisme hukum mencoba menghapus spekulasi tentang aspek metafisik dari hukum, aliran pemikiran ini hendak menjadikan hukum sepenuhnya otonom dan menyusun sebuah ilmu pengetahuan hukum yang lengkap dan didasarkan atas semua sistem normatif yang berlaku di dalam masyarakat pada umumnya. Sistem normatif yang berlku umum ini dimanifestasikan di dalam kekuasaan negara untuk memberlakukan hukum dengan sarana kelengkapan pemberlakuannya, yaitu sanksi535. Berdasarkan hal tersebut hukum tidak lagi muncul dari proses interaksi sosial antara anggota masyarakat, melainkan merupakan seuatu yang artifisial karena dibuat secara sengaja oleh lembaga yang khusus diberi wewenang khusus oleh negara untuk itu. Sejak saat itulah negara dalam mengoperasikan hukum berdasarkan logika dan rasionalitas, sehingga hukum tidak lagi semata-mata tempat untuk mencari keadilan, melainkan penerapan peraturan hukum bedasarkan prinsip kepastian hukum. Dapat dikatakan bahwa saintifikasi hukum modern sangat dipengaruhi oleh kemunculan paradigma positivisme di dalam ilmu pengetahuan modern. Watak liberal hukum modern yang mengajarkan
534
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2007, Dasar-dasar..., Op., cit., hlm., 56-58. commit Teori to user E. Sumaryono, 2002, Etika Hukum, Relevansi Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Yogyakarta : Pustaka Filsafat, hlm., 183. 535
394 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
untuk menerapkan hukum secara rasional536. Tidak mengherankan kemudian paradigma positivisme menjadi bagian dari hadirnya hukum modern tersebut, sehingga hukum modern beserta implikasinya dapat menimbulkan kekakuan dalam pencariankebenaran dan keadilan, akan menjadi tidak tercapai karena terhalang oleh tembok-tembok prosedural537. Achmad Ali, mengemukakan bahwa aliran ini bersumber dari pemikiran positivistis di dunia hukum yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom dan mandiri karena hukum tak lain hanya kumpulan aturan dan hanya menjamin terwujudnya kepastian hukum538. Penegasan mengenai sistem logika tertutup, diberikan oleh Hans Kelsen, yaitu hukum haruslah dibersihkan dari anasir-anasir bukan hukum, seperti anasir-anasir etika, sosiologi, politik539. Pendapat yang sama, pada bagian kedua dari abad ke-19 banyak di antaranya Brinz540, beranggapan bahwa hukum itu merupakan suatu kesatuan yang tertutup (suatu kesatuan bulat lengkap). Tata tertib hukum itu merupakan suatu “logische geschlossenkeit”. Anggapan ini timbul sebagai akibat diterimanya aliran legisme yang berpandangan bahwa di luar undang-undang tidak ada hukum. Hakim tidak boleh menjalankan kaidah yang disebut dalam peraturan perundangundangan. Kajian terhadap hukum yang diformalkan secara garis besar (ditemukan dalam banyak literatur) ada dua kajian yang dapat dibedakan, pertama
kajian
akademik,
yaitu
kajian
yang
bertujuan
untuk
mengembangkan bahwa hukum positif merupakan teks yang terbuka. Kedua, kajian profesional, umumnya kajian yang melihat hukum positif sebagai teks tertutup. Sebagai teks yang terbuka, hukum positif tidak hanya dilihat/diterima/dimaknai sebagai dogma yang kebenarannya tidak diragukan lagi, tetapi dipandang sebagai sesuatu yang senantiasa dapat 536
Adji Samekto, 2008, Justice not for all, Kritik Terhadap Hukum Modern Dalam Perspektif Studi Hukum Kritis, Yogyakarta : Genta Press, 33 537 Adji Samekto, 2008, Ibid. 538 Achmad Ali, 2008, Menguak..., Op.,cit., hlm., 67. 539 commit to user Lili Rasjidi, dan I. B. Wyasa Putra, Op., cit., hlm., 120. 540 Utrecht, dalam Pontang Moerad, B,M, Op., cit., hlm., 98.
perpustakaan.uns.ac.id
395 digilib.uns.ac.id
diragukan dan dipertanyakan kebenarannya. Sudut pandang ini melihat bahwa hukum positif merupakan tatanan yang terbuka. Terbuka karena hukum positif dapat dikaji dari beragam aspek, tidak terbatas hanya kepada kajian ilmu hukum yang dogmatis juga mengandung makna dapat dikritisi secara radikal (sampai keakar-akarnya). Pada kajian terbuka ini, siapa saja (umumnya ilmuwan) memiliki hak yang sama untuk membolakbalik makna hukum positif tersebut atau setiap orang bebas. Sebagai teks yang tertutup, hukum positif dipandang/dipahami sebagai teks yang berlaku mengikat secara formal, dan harus dipatuhi atau ditaati sebagaimana layaknya dogma. Sudut pandang ini bersifat profesional juga eksklusif, karena hanya orang-orang tertentu saja yang dperkenankan untuk membolak-balik makna dalam hukum positif itu. Wilayah ini lebih menekankan kepada pedoman, aturan baku yang berlaku dan mengikat para profesional untuk menafsirkan teks hukum positif tersebut. Dalam domain profesional setiap orang adalah pelaku dan menjadi bagian dari sistem (hukum) yang berlaku dan berada pada hegemoni negara sebagai kekuatan utama541 Sejak hukum membuat tradisi untuk dituliskan (written law), maka pembacaan terhadap teks hukum menjadi masalah yang penting sekali. Sejak pembacaan teks menjadi penting, maka penafsiran terhadap teks hukum tak dapat dihindarkan, bahkan tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa penafsiran hukum itu merupakan jantung hukum. hampir tidak mungkin hukum itu bisa dijalankan tanpa membuka pintu bagi penafsiran. Penafsiran hukum merupakan aktivitas yang mutlak terbuka untuk dilakukan, sejak hukum berbentuk tertulis. diajukan sebuah adagium “membaca hukum adalah menafsirkan hukum”. Pekerjaan penafsiran tersebut melibatkan penilaian dan yang melakukan penilaian adalah manusia, maka sebetulnya tidak bisa melihat penafsiran sebagai pekerjaan mesin. Pekerjaan manusia penuh dengan pilihan-pilihan dan dengan demikian juga subyektivitas. Penafsiran berbeda dengan melakukan commit to user 541
Anthon F. Susanto, 2007, Hukum Dari Consilience...., Op., cit., hlm., 125.
396 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
subsumsi terhadap mesin. Penafsiran juga merupakan pekerjaan yang kreatif, inovatif, progresif, bahkan terkadang merupakan lompatan. Lompatan berarti penafsiran tidak lagi „rule-rebound‟, melainkan keluar dari logika peraturan (logic of the rule). Masyarakat membutuhkan ketertiban dan keteraturan, oleh karena itu membutuhkan hukum, namun masyarakat pasti menolak untuk diatur oleh hukum yang cacat. Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan cara-cara untuk lebih mengadilkan, membenarkan, meluruskan dan membumikan hukum menjadi pekerjaan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Membuat hukum (legislation) adalah satu hal dan menafsirkan hukum yang sudah dibuat itu merupakan keharusan berikutnya. Memasuki ranah penafsiran hukum adalah memasuki suatu dunia yang sangat luas dan di dalamnya penuh dengan tebaran pemikiran serta aliran-aliran yang menarik542 Hakim sebagai salah satu unsur dalam menegakkan hukum dan keadilan harus dapat merubah pandangan-pandangan ide-ide, prinsipprinsip lama yang telah mengakar begitu kuat dalam masyarakat bahwa hukum sebagai sistem tertutup dari anasir lain harus ditinggalkan dan memunculkan paham undang-undang sebagai sistem terbuka dengan pembuktian
putusan
yang
dijatuhkan
dalam
kaitannya
dengan
penyelesaian sengketa yang diperiksanya. Hakim sebagai aktor yang mempunyai peranan penting dalam proses peradilan harus mampu meninggalkan cara berhukum yang legal formal, yang akan menghasilkan atau mengedepankan keadilan prosedural atau formal dan hal tersebut kurang mendapat
respon
dari
masyarakat.
Hakim
harus
berani
meninggalkan tentang anggapan dari aliran positivisme hukum bahwa hukum identik dengan undang-undang dan hukum merupakan satu-satunya sumber hukum, sehingga hakim tidak hanya terbelenggu atau terkungkung oleh ketentuan-ketentuan yang bersifat legal formal, mengandalkan rasio dan aturan. Undang-undang tidak harus diartikan sebagai bentuknya yang tertulis 542
atau dikeluarkan oleh mereka commit to user
Anthon F. Susanto, 2005, Semiotika...., Op., cit., hlm., 1-6
yang diberi kewenangan
perpustakaan.uns.ac.id
397 digilib.uns.ac.id
membuatnya, sebagaimana diajarkan kaum positivisme, hakim harus berpandangan bahwa undang-undang tidak hanya dalam wujudnya yang tertulis, di luar bentuk tersebut juga harus dianggap sebagai hukum, sehingga hakim dalam memutus sengketa tidak terikat oleh undangundang semata. Perubahan pemikiran-pemikiran atau cara pandang yang demikian itu merupakan tuntutan dalam masyarakat, karena perkembangan masyarakat yang demikian pesatya. Bentuk-bentuk lama, cara-cara yang lama sudah tidak layak untuk disuguhkan dalam kehidupan sekarang dan masyarakat menghendaki bentuk-bentuk yang baru yang sesuai dengan kondisi yang dialami sekarang. Perubahan pemikiran dalam proses peradilan, sebenarnya sudah lama dikemukakan oleh para ahli yang berkompeten dan mereka sangat berkomitmen dalam bidangnya, namun sampai sekarang bentuk perubahan pemikiran para hakim tersebut belum begitu terasa atau nampak. Dengan tidak mengecilkan upaya-upaya yang dilakukan para hakim, dengan jujur diakui ada keberanian hakim yang melakukan perubahan pemikiran dan menentang prinsip-prinsip aliran positivisme hukum, namun yang patut disayangkan keberanian dari sang hakim tersebut tidak diberikan motivasi apalagi mendapat dukungan, justru dimatikan sendiri oleh rekan seprofesinya dengan jalan putusannya dibatalkan. Putusan tidak mendapat dukungan dari teman sejawatnya adalah bukan masalah yang urgen, karena pandangan mereka dengan mengadakan perubahan-perubahan pemikiran terhadap cara pandang yang sudah usang, ternyata dicatat dan ditulis dengan tinta yang tebal dihati masyarakat bahwa tugas yang dilaksanakan benar-benar dilandasai hati nurani, empati, dengan penuh kreatif dan aktif sebagaimana dikemukakan dalam teorinya Danah Zohar dan John Marshall. Berkaitan dengan perubahan pemikiran yang harus dilakukan hakim tersebut terhadap undang-undang, Paul Scholten mengemukakan, masa keemasan abad ke-19 sudah lewat. Sekarang orang tidak hanya berbicara mengenai penerapan hukum (rechtstoepassing) yang mekanistis, commit to user melainkan penemuan hukum (rechtsvinding) yang lebuh kreatif. Paul
398 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Scholten, raksasa pemikir hukum Belanda, melihat adanya perubahan dalam cara orang menjalankan hukum (rechtsbeoefening)543. Memasuki abad ke-20, bermunculan aktor-aktor baru dalam hukum. Dengan munculnya aktor-aktor baru tersebut mengguncang (ketenangan) dan kepastian abad sebelumnya. Di samping itu, Sudikno Mertokusumo, mengatakan setiap peraturan hukum itu bersifat abstrak dan pasif. Abstrak karena umum sifatnya dan pasif karena tidak akan menimbulkan akibat hukum kalau tidak terjadi peristiwa konkret. Peraturan hukum yang abstrak itu memerlukan rangsangan agar dapat aktif, agar dapat diterapkan pada peristiwa yang cocok. Dengan kata lain, sebenarnya putusan hakim itulah hukum dalam arti yang sebenarnya dalam perkara konkret yang diperiksa hakim. Undang-undang, kebiasaan dan seterusnya hanya “pedoman dan bahan inspirasi” bagi hakim untuk membentuk hukumnya sendiri. Hal ini selaras dengan apa yang pernah dikemukakan hakim Amerika Serikat, Cardozo, dalam bukunya The nature of judicial process, yaitu : The law which is the resulting product is not found but made. The process in its highest reaches is not discovery but creation544. Munir Fuady, mengemukakan bahwa di abad ke-20, banyak kitab undang-undang dari berbagi negara di dunia ini yang mulai memberikan kepada hakim kewenangan yang lebih besar, untuk mengubah sikap hakim sebelumnya yang bertindak seolah-olah sebagai seorang wasit yang pasif saja. Dengan kenetuan baru tersebut, hakim harus lebih aktif, proaktif, mengakui
alat
bukti
baru,
menyederhanakan
prosedur,
bahkan
mempercepat proses pemeriksaan jika diperlukan. Beberapa negara tersebut, Costa Rika (1937), Meksiko (1934), Brazil (1939), Santa Fe Argentina (1940), Buenos Aires Argentina (1953)545. Selanjutnya dikemukakan, tugas hakim untuk membuat hukum bukan sekedar menemukan hukum, tetapi harus melihat dengan jelas urgensinya karena 543
Satjipto Rahardjo, 2009, Lapisan..., Op., cit., hlm., 94-95. user Achmad Ali, 2008, Menguak...., Op., commit cit., hlm.,to 103. 545 Munir Fuady, 2007, Dinamika,...Op., cit., hlm., 153. 544
perpustakaan.uns.ac.id
399 digilib.uns.ac.id
dalam menerapkan hukum hakim bukan saja harus memperhatikan dengan seksama tentang cara dan proses penerapan hukum (means), hakim juga harus memperhatikan hasil yang akan dicapai (ends). Sebenarnya, ide-ide untuk melakukan pembaharuan peradilan di abad ke-20 sangat nyaring bunyinya, yaitu Roscoe Pound telah menyerukan ide-ide perubahan terhadap suatu proses peradilan546. Paul Sholten mengemukakan, hukum itu merupakan sistem terbuka. Pandangan ini membawa konsekuensi bahwa hakim diundang, bahkan diperintahkan menambah hukum atau menambah undang-undang, namun juga ada batas-batasnya. Pandangan bahwa hukum merupakan suatu sistem terbuka juga dapat dipahami hukum itu bersifat dinamis, yang terus menerus dalam suatu proses pekembangan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa hakim dapat, bahkan harus memenuhi ruang kosong yang terdapat dalam sistem hukum547. di samping itu, ada beberapa faktor yang menjadi landasan atas keharusan yang menempatkan hakim sebagai pembentuk undang-undang, yaitu pertama, peraturan perundang-undangan bersifat konservatif. Kedua, tidak pernah dijumpai undang-undang yang sempurna. Ketiga, tanggung jawab penegakan kebenaran dan keadilan berada dipundak hakim. keempat, kebebasan hakim dalam proses pemeriksaan perkara548. Tuntutan untuk melakukan reformasi memang tepat dimulai dari puncak peradilan di Indonesia, yaitu Mahkamah Agung, hal yang sama seperti prnah dilakukan para hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat (Holmes, Cardozo, Llewellyn, Frank, Gray) ketika mereka melakukan reformasi peradilan di era tahun 1950-an. Harus diluruskan bahwa reformasi peradilan, sangatlah tidak cukup jika hanya sekadar reformasi undang-undang belaka, melainkan yang teramat penting adalah reformasi paradigma. Patut disyukuri, karena langkah-langkah awal reformasi paradigma sudah mulai berani dilakukan leh sebagian hakim agung, 546
Munir Fuady, 2007, Dinamika,...Op., cit., hlm., 154. commit to user Pontang Moerad, Op., cit., 98. 548 Yahya harahap, dalam Pontang Moerad, Op., cit., hlm., 99-102. 547
400 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
melalui putusan-putusannya yang bersifat terobosan terhadap kekakuan dan ketertinggalan dunia peradilan indonesia, Mahkamah Agung di bawah Ketua Harifin A. Tumpa. Hakim hanya sebagai terompet undang-undang empat abad yang lalu, tampaknya oleh banyak kalangan, termasuk sebagian kalangan hakim sendiri di abad ke-21 masih dianggap berlaku dan bahkan ada kalimat yang lebih ekstrem legalistik dari Montesquieu “tidak dituntut hakim yang berpikir”. Paradigma “hakim sekedar terompet undang-undang” ini yang harus dihapuskan dari praktek peradilan di Indonesia, jika menginginkan lahirnya putusan-putusan hakim yang lebih „responsif‟ meminjam istilah Nonet & Selznick yang dipopulerkan Satjipto Rahardjo549. Selanjutnya dikemukakan bahwa hal yang merupakan “desiderata” (kebutuhan utama) untuk melakukan reformasi di dunia peradilan, adalah mengubah paradigma legalistik menjadi paradigma yang lebih memihak pada “social justice”, tepatlah Oliver Wendell Holmes mantan hakim agung Amerika Serikat, yang mengatakan : “ the life of law has not been logic, but it has been experience”. Sebenarnya Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 5 ayat (1) mengatakan hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Untuk mampu mengimplemnetasikan pasal tersebut, sangat tepat imbauan Carbonnier :”demikianlah senantiasa telah terjadi bahwa selama ribuan tahun dituntut adanya para hakim yang berpikir”. Teddy Asmara, mengemukakan makna normatif atas otoritas kebebasan yudisial yang melekat pada jabatan hakim, pada dasarnya merupakan suatu kewajiban bagi hakim untuk bersikap mandiri dalam menangani perkara dan tidak memihak dalam mengambil putusan. Dalam rangka memberikan keadilan yang sesuai
commit to user 549
Achmad Ali, 2009, Menguak..., Op., cit., hlm., 478.
401 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan harapan masyarakat, hakim wajib berijtihad dengan menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang eksis di dalam masyarakat550 Dengan adanya perubahan pemikiran yang dilakukan oleh hakim, yaitu pandangan bahwa undang-undang sebagai sistem terbuka, sebagai jawaban dari ajaran positivisme hukum yang memandang hukum sebagai sistem tertutup (closed logical system) sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen dan Hart, maka hukum tidak akan terisolasi dan tertutup dari kajian-kajian ilmu pengetahuan yang lain, seperti ekonomi, politik, etika dalam kesehariannya dalam upayanya untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam masyarakat. Satjipto Rahardjo551, hukum progresif tidak memahami hukum sebagai institusi yang mutlak dan final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Dalam konteks pemikiran yang demikian itu, hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi. Hukum adalah institusi yang secara terusmenerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan bisa diverifikasi ke dalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Beginilah hakikat “hukum yang selalu dalam proses menjadi” (law as a process, law in the making). Dalam konteks yang demikian itu, hukum akan tampak selalu bergerak, berubah mengikuti dinamika kehidupan manusia. Akibatnya hal ini akan mempengaruhi pada cara berhukum yang tidak akan sekedar terjebak dalam ritme “kepastian hukum”, status quo, dan hukum sebagai skema yang final, melainkan suatu kehidupan hukum yang selalu mengalir dan dinamis baik itu melalui perubahan undang-undang maupun pada kultur hukumnya. Anthon F.Susanto mengemukakan, masyarakat itu dinamis dan menjadi lebih dinamis sejak abad ke-20 dengan kemajuan dalam sains dan teknologi. Dalam hal dinamika tersebut harus dikekang oleh kediktatoran legislatif, 550
hukum
tidak
lagi
bisa
diandalkan
untuk
melayani
Teddy Asmara, 2011, Budaya Ekonomi Hukum Hakim, Semarang : Fasindo Fakultas Sastra commit to user Universitas Diponegoro, hlm., 1. 551 Satjipto Rahardjo, dalam Faisal, Op., cit., hlm., 72.
402 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
masyarakatnya552. Dalam pandangan sistem hukum yang tertutup para hakim lebih cenderung untuk menjalankan hukum dalam kajian yang logis formalistik, mereka lebih
mempertahankan
undang-undang dalam
wujudnya yang tertulis, sehingga keadilan yang ditegakkan tidak dapat memenuhi harapan masyarakat. Pendapat Achmad Ali sehubungan penerapan hukum-hukum lokal, sebagai elaborasi terhadap pandangan undang-undang dalam bentuknya yang tertulis yang diajarkan oleh aliran positivisme hukum, yaitu hal berikut yang perlu diluruskan bahwa bagi orang Belanda yang telah mencekoki dengan paradigma legalistik-positivisme itu, hukum hanya undang-undang. Hal tersebut dapat saja cocok untuk suatu bangsa yang sangat kecil dan tidak kompleks seperti Belanda, tetapi mustahil diadopsi bagi bangsa Indonesia yang merupakan bangsa dengan jumlah penduduk yang sangat besar dan sangat kompleks, terpisah oleh ribuan pulau dan kota, terdiri dari macam-macam suku bangsa dan segala keberagamannya. Beliau berpendapat, kalau Indonesia mau menjalin kerja sama di bidang hukum, apalagi pendidikan hukum, mestinya dengan negara yang memiliki banyak kemiripan kompleksitas seperti Indonesia, yaitu Amerika Serikat contohnya. Di Indonesia merupakan realitas adanya „hukum-hukum lokal‟, dan itu sangat identik dengan keberadaan „common law, customary law‟ dan „state local law‟ di Amerika Serikat. Lebih rasional mengadopsi banyak hal dari kultur hukum Jepang yang sama-sama adalah kultur hukum timur. Dalam hal ini tepat himbauan sesepuh hukum Indonesia, Satjipto Rahardjo (meminjam konsep Nonet & Selznicks) kiranya „hukum responsiflah‟ yang lebih didominankan di Indonesia di era reformasi ini. Hukum yang sifatnya bottom-up (dari rakyat), daripada hukum yang sifatnya top-down (dari penguasa ke rakyat). Sejak awal abad ke-20, dunia hukum Amerika Serikat menganut paradigma realisme, yang memandang undang-undang bukan hukum, hanya sebagai sumber hukum, dan baru commit to user 552
Anhton F. Susanto, 2005, Op., cit., hlm., 7.
perpustakaan.uns.ac.id
403 digilib.uns.ac.id
menjadi hukum ketika pengadilan telah memutuskannya. Achmad Ali sangat pesimis bahwa hukum di Indonesia dapat dioptimalkan perannya untuk kesejahteraan rakyat, jika paradigma legalistik-positivisme warisan Belanda masih dianut, bahkan ingin dikembangkan553. Achmad Ali, mengemukakan pendapat Thomas A. Wartowski, pakar hukum Amerika Serikat, agar dapat efektif, suatu hukum harus mempunyai dukungan dari masyarakat atau rakyat, dan untuk mendapat dukungan rakyat, aturan hukum tersebut harus sesuai dengan nilai-nilai dan kultur hukum rakyat banyak. Bagi peneliti apa yang dikemukakan Achmad Ali dengan membandingkan antara Indonesia dengan Amerika Serikat tentang anggapan undang-undang dengan hukum-hukum lokal perlu mendapat perhatian, karena ada perbedaan prinsip pandangan hidup dan budaya yang tidak sama. Pemikiran lebih lanjut dikemukakan Satjipto Rahardjo, perubahan dan optik baru tersebut, ternyata memberikan dampak pula terhadap pendidikan dan pembelajaran hukum dan lebih jauh lagi kepada para pengajarnya . pembelajaran hukum dan para pengajar hukum memerlukan pencerahan mengenai konsep baru tersebut, sebelum mereka mampu meneruskan kepada para mahasiswanya. Hal itu disebabkan perubahan menuju pada teori hukum yang mengalami kepekaan baru, yaitu pluralitysensitive, culture-specific, locality-coloured, globality-conscious legal education. Suatu generasi baru ahli hukum dan pemikir hukum yang sadar akan konsep kemajemukan ini perlu dilahirkan lebih dahulu. Di Indonesia, perubahan tersebut dapat dirumuskan sebagai suatu perubahan dari „hukum yang berbasis negara‟ menjadi „hukum yang berbasis masyarakat‟. Ilmu hukum baru yang muncul adalah suatu “general jurisprudence of law and society”. Untuk masuk ke dalam ranah pemikiran yang demikian itu, para pembelajar hukum perlu menanggalkan nalar pemikiran (mindset) yang positivistik, kolonial, dan menggantikannya dengan yang majemuk. Selanjutnya dikemukakan pada waktu hukum mulai dituangkan dalam commit to user 553
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori..., Op., cit., hlm., 497.
perpustakaan.uns.ac.id
404 digilib.uns.ac.id
bentuk tertulis dan digunakan secara sengaja untuk mengatur kehidupan manusia, maka hukum mulai memasuki suatu “full scale legislation”. Hal ini terjadi ketika peradaban hukum memasuki (apa yang disebut oleh Roberto Mangabeira Unger, sebagai era “the legal system”, dan menurut Unger hanya sistem hukum modernlah yang boleh menyandang sebutan sistem hukum yang sebenarnya. Satjipto Rahardjo, berpendapat meskipun demikian, tidak semua penataan hukum di dunia sudah benar-benar dilakukan sebagai bagian dari “full fledged legislation” tersebut, yang juga dapat dinamakan peraturan yang dibuat oleh negara (state based legislation). Di luar produk legislasi formal masih terdapat dan diterapkan peraturan yang dibuat secara bebas oleh para anggota masyarakat 554. Berdasarkan kajian tersebut, hakim dalam menjalankan tugasnya tidak boleh hanya terpaku pada ketentuan peratutan perundang-undangan yang wujudnya tertulis, hakim harus berani menanggalkan pandangan yang menitik beratkan pada undang-undang yang dikeluarkan pihak yang diberi kewenangan membuat undang-undang, hakim harus berani menanggalkan pakaian formalitas sebagai warisan positivisme hukum yang selama ini membelenggu dalam pikirannya, dan mulai berorientasi ke depan, merubah cara berpikir yang kaku dan terpaku pada undang-undang dalam arti tertulis. Validitas hukum tidak harus dilihat dalam bentuknya, namun juga dapat diteropong dengan variabel-variabel yang lain, bahwa hukum adalah diperuntukan bagi manusia dan manusia tersebut hidup dalam masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat tersebut selalu dalam keadaan berubah, karena perkembangan ilmu dan teknologi yang semakin pesat, maka hakim harus juga mengalami perubahan dalam pemikirannya. Hakim memandang undang-undang dalam arti yang terbuka, dalam arti untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapi, hakim tidak boleh hanya mengandalkan pada ketentuan dalam perundangundangan saja yang bentuknya tertulis atau hukum dalam arti tertulis. Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang commit to user 554
Satjipto Rahardjo, 2009, Lapisan..., Op., cit., hlm., 112-114.
405 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kekuasaan Kehakiman, hakim diberi amanat untuk menggali, mengikuti, memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan tersebut mengisyaratkan, bahwa hakim dalam menyelesaikan sengketa diperbolehkan untuk merujuk pada hukum yang hidup dan berkembang pada masyarakat.
2. Pandangan Keadilan Substansial. Dalam proses peradilan, tugas hakim adalah menerapkan undangundang yang sifatnya abstrak tersebut pada peristiwa yang konkret. Pada masa lampau atau mungkin juga sekarang masih ada, hakim di dalam menerapkan undang-undang sering disebut sebagai corong undang-undang (la bouche de la loi), sungguh merupakan sebutan yang kurang enak untuk didengar ditelinga, karena ada konotasi yang negatif terhadap penilain tugas hakim tersebut. Penilain lain dapat juga diartikan bahwa hakim dalam menjalankan tugasnya hanya mendasarkan pada rutinitas untuk menerapkan ketentuan-ketentuan dalam undang-unang pada peristiwanya, dan nampak tidak usaha-usaha hakim selain berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang dipergunakan sebagai pedomannya. Hakim dalam tugasnya tersebut terpesona, terbelenggu dan terkungkung oleh aturan-aturan yang sifatnya formal dan dalam bentuknya yang tertulis, sehingga hasilnya mudah ditebak oleh masyarakat yang awam terhadap hukum. Hakim terjerat oleh terali besi yang begitu kuat dan terasa berat, sulit untuk melepaskan jeretan tersebut, karena sudah lama mengenalnya atau mungkin baru mengenalnya. Keadaan tersebut memang tidak dapat dipungkiri atau dihindari oleh hakim dalam menjalankan tugasnya untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa di muka pengadilan, karena pengaruh aliran positivisme hukum yang berkembang pesat pada abad ke-19 dan sampai saat ini para ahli mengakui keberadaan pengaruh tersebut. Sebagaimana dikemukakan Adi commit to user
406 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sulistiyono555, sampai sekarang ini aliran positivisme hukum mendominasi pikiran masyarakat, yang dipelopori oleh para yuris atau lebih tepat lagi para profesional hukum. Pengaruhnya yang demikian kuatnya dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, khusunya dalam proses peradilan yang mengakibatkan hakim dalam menjalankan tugasnya untuk menyelesaikan sengketa tidak dibenarkan dan tidak diperbolehkan untuk melampaui batas-batas yang dikenalkan
dalam
undang-undang.
Anthon
Freddy
Susanto,
mengemukakan penafsiran hukum (oleh hakim) tidak boleh memlampaui batas-batas yang sudah dibuat oleh legislatif (Belanda : binnen het kader van
de
wet).
dalam
kaitan
tersebut
muncul
aliran
seperti
begriffsjurisprudenz bersama yang lain, seperti „dogmatik hukum‟, „normatif hukum‟ dan „legal ositivism‟, yang menganggap teks hukum sebagai sesuatu yang memiliki otonomi mutlak. Penegakkan hukum adalah ibarat mesin otomat yang tinggal melakukan subsumsi saja. Tidak boleh ada yang baru sama sekali, oleh karena menciptakan sesuatu yang baru adalah monopoli oleh legislatif. Pikiran tersebut membangun dinding tebal yang memisahkan antara hukum dan masyarakatnya atau menciptakan jurang yang menganga antara keduanya. Masyarakat di sini merupakan simbol dari perubahan dan dinamika sosial. Hukum benar-benar telah menjadi dunia yang esoterik. Kekakuan (rigidity) dan menjauhkan hukum dari keadilan dan dari kebutuhan masyarakatnya. Hukum bisa jadi menjadi semacam asesori yang kurang bermanfaat bagi masyarakat556. Hukum akan menjadi statis dan stanan manakala tidak ada usaha menyiangi dan menyingkirkan hambatan-hambatan yang menyebabkan hukum menjadi stagnan. Salah satu hal yang akan terhambat adalah tidak munculnya kekuatan yang sebenarnya ada secara inheren dalam hukum. Kekuatan yang tersimpan itu menjadi tidak muncul karena para penegak 555 556
user Adi Sulistiyono, 2004, Menggugat....,commit Op., cit.,to hlm., 34. Anthon F. Susanto, 2005, Semiotika..., Op., cit., hlm., 7.
perpustakaan.uns.ac.id
407 digilib.uns.ac.id
hukum sendiri yang menyebabkannya. Penghambatnya adalah cara berhukum yang hanya mengeja teks undang-undang557. Pengaruh aliran positivisme hukum yang demikian mengakar pada hati masyarakat, khususnya masyarakat yang menggeluti profesi hukum dalam proses peradilan, maka tugas hakim akan terbelenggu oleh aturan-aturan yang formal atau mengandalkan logika dan aturan dan hasilnya sudah barang tentu lebih mengedepankan keadilan yang formal juga atau prosedural. Produk keadilan prosedural atau formal tersebut tidak sesuai dengan harapan para pencari keadilan (justiciabellen), karena para pencari keadilan lebih menghendaki diwujudkannya keadilan yang sesuai dengan kehidupan masyarakat. Trio filsof Athena (Socrates, Palto, dan Aristoteles), menekankan aspek keadilan. Hakikat hukum adalah keadilan. Hukum befungsi melayani kebutuhan keadilan dalam masyarakat. Hukum menunjuk pada suatu aturan hidup yang sesuai dengan cita-cita tentang hidup bersama, yaitu keadilan. Isi kaidah hukum harusnya adil, tanpa keadilan, hukum hanya merupakan kekerasan yang diformalkan. Hukum dirasakan penting ketika kita dihadapkan pada ketidakadilan. Orang menuntut ke pengadilan, sebenarnya untuk meminta keadilan. Jadi sebenarnya, pengadilan untuk keadilan. Oleh karena itu, ius sebenarnya tidak sama dengan lege atau lex. Lege menunjuk pada suatu aturan-aturan hukum yang faktual ditetapkan, tanpa mempersoalkan mutunya. Ius menunjuk pada cita hukum yang harus tercermin dalam hukum sebagai hukum, yaitu keadilan. Karena itu, ius tidak selalu bisa ditemukan dalam segala aturan hukum ( lege/lex). Das volk des recht ist nicht das volk des gesetzes (bangsa hukum, bukan bangsa undang-undang), demikian salah satu adagium Romawi558. Selepas abad ke-19, hukum kembali dikaitkan lagi dengan mosaik sosial dan kemanusiaan. Melalui Radbruch, hukum kembali dikaitkan dengan keadilan. Melalui Marx, Holmes, Rawls dan lainnya, hukum 557
Satjipto Rahardjo, dalam Siti Malikhatun Badriyah, 2010, Penemuan Hukum Dalam Konteks commit to userhlm., 63. Pencarian Keadilan, Semarang : Universitas Diponegoro, 558 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Op., cit.,hlm., 219-220.
408 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dikaitkan dengan upaya mewujudkan keadilan sosial. Hukum merupakan bagian dari perjuangan mewujudkan keadilan sosial. Oleh karena itu, muncul kehendak meninggalkan tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek yang hanya melihat ke dalam hukum dan menyibukkan diri dengan membicarakan dan melakukan analisis ke dalam, khususnya hukum sebagai suatu bangunan peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis. Dunia di luar, seperti manusia, masyarakat dan kesejahteraan (yang ditepis oleh analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek), dirangkul kembali dalam pemikiran hukum. dalam hal ini muncul gagasan frei rechtslehre, sociological jurisprudence, realistic jurisprudence, critical legal theory, hukum responsif dan juga hukum progresif. Kiranya jelas, rechtsdogmatiek yang masih dianut kuat dalam dunia hukum di Indonesia, merupakan salah satu tipe saja dari sekian ragam pemikiran tentang hukum sepanjang peradaban manusia559. Keadilan merupakan salah satu tujuan dari setiap sistem hukum, dan menurut Plato, keadilan merupakan nilai kebajikan yang paling tinggi (justice is the supreme virtue which harmonize all other virtues560. Orang yang adil adalah the self dicliplined man whose pasions are controlled by reason atau orang yang mengendalikan diri yang perasaan hatinya dikendalikan oleh akal. Menurut Aristoteles, keadilan yaitu kelayakan dalam tindakan manusia atau fairness in human action. Aristoteles membagi keadilan menjadi keadilan komutatif dan distributif. Menurut Thomas Hobbes, tidak ada keadilan alamiah yang lebih tinggi daripada hukum positif. Menurut Immanuel Kant, keadilan merupakan kebebasan ekstrim dari setiap orang yang dibatasi oleh kebebasan dari semua orang lainnya. Keadilan merupakan sintesa dari kebebasan dan persamaan561. Gustav Radbruch mengemukakan, dalam perkembangannya, hukum mencari idealnya, yaitu terwujudnya tiga ide dasar dalam berhukum, 559
yaitu
kepastian
hukum
Ibid., hlm., 221. commit to Munir Fuady, 2003, Op., cit., hlm., 52. 561 Abdullah, Op., cit., hlm., xi 560
user
(rechtssicherheit),
keadilan
perpustakaan.uns.ac.id
409 digilib.uns.ac.id
(gerechtigkeit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit). Peribahasa latin yang cukup terkenal mengenai urgensi keadilan, berbunyi : fiat justisia et pereat mundus (ruat coelum), yang artinya hukum yang keadilan harus dilaksanakan sekalipun dunia harus kiamat (sekalipun juga langit runtuh karenanya)562. Peribahasa tersebut menyiratkan suatu komitmen yang sangat tinggi untuk mewujudkan keadilan di dalam kehidupan bersama dalam masyarakat. Satjipto Rahardjo mengemukakan, hukum dan keadilan adalah dua hal yang berjalan beriringan dan tidak dapat dipisahkan. Hukum dibuat dan ditetapkan adalah agar orang yang berada di bawah naungan hukum tersebut menikmati dan merasakan keadilan. Hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya563. Keadilan merupakan salah satu tujuan dari hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis dan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatankekuatan yang bertarung dalam kerangkan umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya564. Keadilan sesungguhnya merupakan konsep yang relatif565. Karena konsep keadilan sangat beragam dari suatu negara ke negara yang lain dan masing-masing didefenisikan serta ditetapkan oleh masyarakat sesuai dengan tatanan sosial masyarakat yang bersangkutan566. Dengan demikian konsepsi mengenai keadilan sesuatu hal yang masih abstrak, yang ketika ingin diknkretkan harus melalui penafsiran atau interpretasi yang tidak 562
Abdul Ghofur Anshori dan Sobirin Malian, 2008, Membangun Hukum Indonesia, Yogyakarta : Kreasi Total Media, hlm., 87. 563 Satjipto Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Krisis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Jakarta : Buku Kompas, hlm., 47. 564 Carl Joachim Friendrich, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung : Nuansa dan Nusamedia, hlm., 239. 565 Pada sisi lain, keadilan merupakan hasil interaksi antara harapan dan kenyataan yang ada, yang perumusannya dapat menjadi pedoman dalam kehidupan individu maupun kelompok. Dari aspek etimologis kebahasaan, kata adil dari bahasa arab adala yang mengandung makna tengah atau pertengahan. Dari makna ini, kata adala disinonimkan dengan wasth yang menurunkan kata wasith, yang berarti penengah atau orang yang berdiri di tengah yang mengisyaraktkan sifat yang adil. Lihat dalam Muhmutarom HR, 2008, Teori Keadilan & Implementasi Dalam Perlindungan Korban Tindak Pidana, Kajian dari Perspektif Sejarah Hukum, Semarang : Wahid Hasyim commit to user University Press, hlm. 7. 566 Majid Khadduri, 1999, Teologi Keadilan Perspektif Islam, Surabaya : Risalah Gusti, hlm., 1.
410 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mudah567. Berkaitan dengan hal tersebut, Esmi Warassih mengemukakan, persolan keadilan tidak akan pernah selesai secara tuntas dibicarakan orang, bahkan persoalan keadilan semakin mencuat seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri karena tuntutan dan kepentingan yang berbeda atau bertentangan satu dengan yang lain. Persoalan keadilan yang terjadi di dalam masyarakat tradisional akan berbeda dengan masyarakat yang sedang berkembang maupun di masyarakat yang telah maju, karena setiap masyarakat dengan sistem sosial tertentu memiliki tolok ukur ataupun
pedoman dalam menentukan keadilan bagi
masyarakatnya. Oleh sebab itu sulit sekali untuk menemukan rumusan nilai keadilan yang berlaku secara universal568. Perkembangan pemikiran tentang keadilan terus berlanjut sesuai dengan perkembangan pemikiran tentang hukum di sepanjang masa. Misalnya, kaum hedonisme (Jeremy Bentham) percaya bahwa keadilan baru ada jika membawa manfaat/kesenangan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin manusia. Kaum positivisme (John Austin) menyakini bahwa keadilan adalah apa yang diputuskan oleh penguasa, yang menurut Hans Kelsen baru benar adil jika diterapkan sesuai dengan konstitusi (grund norm). Selanjutnya, pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, keadilan diyakini berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya, jadi tidak ada keadilan yang universal, sebagaimana yang dianut oleh Roscoe Pound. Di samping itu, di abad ke-20 sudah mulai ditinggalkan pemberian arti kepada keadilan sebagai pelindungan kebebasan individu (individual liberty), dengan lebih memberikan tempat kepada masyarakat. Hal ini mirip dengan paham yang pernah dikembangkan oleh Grotius, Leibniz dan lain-lain. Dalam hal ini, kepentingan individu disintesiskan dengan kepentingan sosial, sehingga paham-paham seperti ini di abad ke-20
567
Antonius Cahyadi dan Donny Danardono, 2009, Sosiologi Hukum dalamPerubahan, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, hlm., 290. 568 Esmi Warassih, “Pemberdayaan Masyarakat dalam Mewujudkan Tujuan Hukum, Proses commit to user Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan”, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 14 April 2001.
411 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
disebut dengan paham filsafat hukum kemasyarakatan dengan berbagai sektenya, yaitu neo hegelianisme dan neo scholatisme atau neo thomisme. Kaum neo hegelians menganggap keadilan baru ada jika dapat dipertahankan suatu peradapan, sedangkan kaum neo scholatisme atau neo thomisme, yang merupakan kebangkitan kembali dari ajaran hukum alam, mengajarkan suatu teori yang menyatakan bahwa melaksanakan tujuan hukum hanya dapat dilakukan dengan jalan mendeduksi secara logis dari wahyu Tuhan atau penggunaan logika dan akal569. Di akhir abad ke-20 dan memasuki abad ke 21, keadilan diyakini hanya sebagai mitos belaka. Tidak ada yang namanya keadilan, apa yang disebut keadilan itu tidak pernah obyektif yang selalu dipengaruhi oleh kepentingan,
perasaan,
kepercayaan
politik,
agama,
aliran,
dan
kemampuan berpikir dari pembentuk dan penerap hukum. Misalnya, yang dianut oleh aliran hukum yang disebut dengan critical legal studies. Sejarah pekembangan keadilan di dunia ini dimulai dari mitos dan diakhiri oleh mitos. Semula di zaman Yunani kuno, keadilan dikaitkan dengan mitos, yaitu dengan mitologi dewa-dewi, kemudian di akhir abad ke-20 dan memasuki abad ke-21, keadilan juga dianggap sebagai mitos, dalam arti hanya merupakan suatu keyakinan manusia yang sebenarnya tidak pernah ada dan memang tidak mungkin pernah ada. Oleh karena itu, benarlah bahwa keadilan tidak lain dari sebuah fatamorgana, seperti orang melihat
langit
seolah-olah
kelihatan,
tetapi
tidak
pernah
dapat
menjangkaunya, bahkan juga tidak mungkin dapat mendekatinya. Seperti pungguk
merindukan
bulan,
mendambakan suatu keadilan itu
seperti 570
itulah
nasib
manusia
yang
.
Secara analisis, keadilan menurut konsep Daniel S. Lev, menggunakan istilah prosedural dan substantif, sedangkan Schuyt menggunakan istilah keadilan formal dan material. Keadilan prosedural atau formal, komponennya berhubungan dengan gaya suatu sistem hukum, 569 570
commit to Munir Fuady, 2007, Op., cit., hlm., 89. Ibid., hlm., 89.
user
412 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
seperti rule of law atau negara hukum rechtsstaat. Adapun komponen keadilan substantif atau material menyangkut apa yang dewasa ini dinamakan hak-hak sosial serta menandai penataan politik, ekonomi dalam masyarakat. Konsepsi keadilan berakar dari kondisi masyarakat yang diinginkan. Konsep keadilan yang pada hakikatnya masih berupa gagasangagasan yang abstrak yang lebih sulit untuk dipahami, akan lebih mudah memahami adanya ketidakadilan dalam masyarakat. Keadilan prosedural atau formal, diartikan suatu keadilan yang didapatkan dari suatu putusanputusan lembaga resmi yang dibentuk menurut undang-undang negara, termasuk putusan pengadilan571. Selama ini banyak pihak yang menuntut kepada hakim-hakim di Indonesia lebih berpihak kepada perwujudan keadilan substantif (material) daripada keadilan prosedural (formal) semata. Tuntutan tersebut memang bisa diterima secara teoretis daripada praktis, karena membawa problem yang rumit. Keadilan prosedural (formal) adalah keadilan yang mengacu pada bunyi undang-undang an-sich. Sepanjang bunyi undang-undang terwujud, tercapailah keadilan secara formal. Apakah secara material, keadilan tersebut benar-benar dirasakan adil secara moral dan kebajikan (vertue) bagi pihak-pihak, para penegak keadilan prosedural (formal) tidak memperdulikan. Mereka para penegak keadilan prosedural (formal) itu, biasanya
tergolong kaum
positivistik572.
Bagi
kaum
positivistik,
keputusan-keputusan hukum dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebajikan dan moralitas. Betapapun tidak adil dan terbatasnya bunyi undang-undang yang ada. Hukum adalah perintah undang-undang, dan berdasarkan undangundang tersebut kepastian hukum bisa ditegakkan. Pandangan positivistik tersebut ditentang oleh kalangan yang berpandangan bahwa prinsip 571
Mulyana W. Kusumah, 1981, Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia, Suatu Pemahaman Kritis, Bandung : Alumni, hlm., 53. 572 user Harian Jawa Pos, Rabu, 10 Priyo Djatmiko, Problem Menegakancommit Keadilanto Substantif, Desember 2008, hlm., 4, dalam Ahmad Rifai, Op., cit., hlm., 128.
413 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kebajikan dan moralitas mesti harus dipertimbangkan pula dalam mengukur validitas hukum. Penganut hukum moralitas itu berprinsip bahwa hukum itu harus mencerminkan moralitas. Hukum yang meninggalkan prinsip-prinsip moralitas, bahkan bertentangan dengan moralitas, boleh atau bisa tidak ditaati berdasar suatu hak moral (moral right). Indonesia adalah negara hukum yang menganut sistem hukum sipil (civil law system), yang mendasarkan bangunan sistem hukumnya pada undang-undang. Alhasil para hakim ialah pelaksana undang-undang, bukan pembuat undang-undang (hukum), sebagaimana dilakukan para hakim di Inggris yang menganut sistem common law (kebiasaan)573. Pengadilan tidak mampu mengangkat isu keadilan seperti yang diharapkan masyarakat. Para hakim hanya memproses sebuah perkara secara formalitas saja, sehingga putusannyapun hanya bersifat formal, padahal yang diinginkan masyarakat adalah hal yang sangat substansial, bukan sekedar aturan formal574. Sehubungan dengan hal tersebut, menarik untuk dikemukakan pandangan Satjipto Rahardjo, praksis hukum selama ini mengikuti cara “menegakkan hukum menurut banyi teks” (black-letter law) yang hanya menurut kata-kata dan kalimat dalam teks. Demikian, praksis abad ke-19 masih menguasai pemikiran dan praksis hukum sampai hari ini. Sekarang, cara berhukum diproyeksikan terhadap gagasan atau pemahaman yang baru, yaitu menukik sampai pada kedalaman makna hukum, pertama, para penegak hukum di mana pun posisi mereka, mengidentifikasi diri mereka sebagai kaum vigilantes, orang-orang yang berjihad dalam hukum. Mereka tidak hanya membaca undang-undang, tetapi diresapi dengan semangat untuk
meluapkan
keluar
makna
undang-undang
yang
ingin
menyejahterakan rakyat. Mereka bukanlah tipe orang-orang yang “mengangkat pundaknya” seraya mengatakan, “apa boleh buat, hukumnya memang begitu”. Diperlukan predisposisi progresif dari para penegak 573 574
commit to user Priyo Dajtmiko, Ibid. I.S. Susanto, dalam Anthon F. Susanto, 2004, Wajah..., Op., cit., hlm., 4.
perpustakaan.uns.ac.id
414 digilib.uns.ac.id
hukum. Kedua, kesadaran dan keyakinan bahwa hukum menginginkan yang baik terjadi pada rakyat dan masyarakat. Hukum bukan semata-mata berupa sederetan kata-kata dan kalimat. Hukum adalah pesan (message) yang membutuhkan realisasi. Hukum sebagai „kalimat‟ dan sebagai „pesan‟ adalah dua hal yang sangat berbeda dan yang pada akhirnya akan menentukan hasil putusan. Di sini memasuki ranah kekuatan hukum yang menjadi pokok dari risalah ini. Hukum adalah kekuatan dan kekuatan itu terkandung di dalam teks, yaitu kata-kata dan kalimat yang digunakan sebagai tanda yang dapat ditangkap. Kekuatan itu tidak dapat muncul dengan serta merta, yang muncul serta merta hanya teks. Oleh karena itu, yang dapat dipastikan adalah adanya „kepastian peraturan‟. Kekuatan hukum yang terpendam tersebut perlu digali dan dimunculkan dan hal ini disebut sebagai berjihad dalam hukum575. Selanjutnya dikemukakan bahwa para penegak hukum yang berjihad untuk memunculkan kekuatan hukum akan senantiasa memeras dan mendorong kata-kata dari teks hukum itu sampai ke titik paling jauh (ultimate), sehingga kekuatan hukum keluar dari „persembunyiannya‟. Pengadilan tidak lagi semata-mata menjadi tempat untuk menerapkan undang-undang, melainkan menjadi tempat untuk menguji “sampai sejauh mana kekuatan kalimat undang-undang” itu. Hakim bukan lagi “les bouches, qui prononcent les paroles de la loi” , (mulut yang mengucapkan kata-kata undang-undang), melainkan seorang vigilante dan mujtahid. Scholten dalam kaitan tersebut mengemukakan, pekerjaan hukum itu lebih dari pekerjaan silogisme. Putusan hukum tidak dibuat semata-mata menurut jalur logika, melainkan melompat (in de beslissing zit altijd ten slotte een sprong). Berdasarkan hal-hal tersebut, maka upaya-upaya yang dilakukan hakim peradilan tata usaha negara Yogyakarta, sebagaimana dapat dilihat dalam putusan 03/G.TUN/2000/PTUN/Yk, yaitu keputusan Bupati Bantul yang memberhentikan Sumardiyono dari jabatannya sebagai Kepala commit to user 575
Satjipto Rahardjo, 2009, Lapisan...., Op., cit., hlm., 54.
perpustakaan.uns.ac.id
415 digilib.uns.ac.id
Urusan Pemerintahan Desa Bangunharjo, dapat dikatakan sebagai putusan hakim yang tidak hanya mulut yang mengucapkan kata-kata undangundang, melainkan ia seorang vigilante dan mujtahid. Mereka telah menjatuhkan putusan dengan pertimbangan hukum yang dilandasi oleh nilai keadilan bagi seorang Sumardiyono yang melakukan perbuatan judi semalam harus menanggung beban yang begitu berat, yaitu diberhentikan dari jabatannya. Perbuatan yang dilakukan Sumardiyono terbukti melanggar ketentuan dalam undang-undang dan berdasarkan putusan hakim pengadilan Tinggi, ia dijatuhi pidana penjara, namun yang diperhatikan hakim PTUN Yogyakarta bahwa perbuatan itu bukan merupakan rutinitas dan dilakukan untuk mendapatkan informasi dalam kaitannya dengan peristiwa pembunuhan di wilayahnya. Keputusan Bupati Bantul dengan memperhentikan tersebut dinilai tidak adil dibandingkan dengan jasa dilakukan Sumardiyono sebagai Kepala Urusan Pemerintahan. Putusan hakim tersebut tidak hanya menggunakan jalur logika dan aturan yang menjadi pedomannya, karena dengan menggunakan jalur tersebut putusan yang dijatuhkan akan menghasilkan keadilan prosedural atau formal yang lebih berpihak pada pesan penguasa, padahal keadilan yang diharapkan dan didambakan masyarakat adalah keadilan substansial atau material. Putusan hakim tersebut, lebih memperhatikan undang-undang dalam wujudnya yang tidak tertulis, sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat dan hal tersebut diamanatkan oleh undang-undang kekuasaan kehakiman juga undangundang peradilan tata usaha negara sendiri. Hakim dalam menjatuhkan putusan lebih mengedepankan hati nurani, empati, dan hakim telah melakukan perubahan cara pemikiran yang dilandasi keberanian mengambil putusan, mereka memandang hukum bukan merupakan satu-satunya sumber hakum. Di samping hukum, masih ada sumber hukum yang lain yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dan hal tersebut perlu atau bahkan wajib diperhatikan oleh commit tosehingga user putusan yang dijatuhkan akan hakim dalam mengambil putusan,
416 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengedepankan keadilan substansial atau keadilan yang material seperti yang didambakan masyarakat. Para hakim tersebut, meskipun ada hukum yang jelas dan tegas mengaturnya, mereka ternyata tidak menjadikan pedoman sebagai dasar untuk menjatuhkan putusannya, mereka mencari, menggali dan memahami hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat. Keadilan substansial atau keadilan yang diinginkan masyarakat, rupanya menjadi pertimbangan hukum yang demikian diperhatikan atau menjadi titik tolak untuk mengabulkan gugatanya. Dalam kategori tersebut, putusan majelis hakim PTUN Yogyakarta, dapat dinilai sebagai putusan yang mempunyai visi pemikiran ke depan (visioner) dan majelis hakim mempunyai keberanian moral untuk melalukan teroboson hukum (rule breaking), karena perbuatan penggugat sebenarnya dan telah terbukti melakukan perbuatan yang melanggar undang-undang. Majelis hakim tidak mau terjebak atau terbelenggu ketentuan-ketentuan yang sifatnya kaku, mekanistik dan dirasa kurang memperhatikan keadilan masyarakat. Demikian juga putusan 04/G.TUN/2009/PTUN/SMG. Hakim dalam putusan tersebut sangat memperhatikan nilai-nilai keadilan yang dialami warga masyarakat, karena dengan berdirinya pabrik semen yang berada disekitar kawasan hutan lindung dan kawasan sekitar sumber air, hakim menilai (berdasarkan keterangan ahli) dalam jangka panjang daerah tersebut akan menjadi daerah yang tandus, kering kerontang yang airnya banyak diserap oleh keberadaan pabrik semen. Ijin yang yang dimohonkan adalah eksplorasi, namun setelah ijin tersebut dikabulkan sebagai tindak lanjutnya akan didirikan pabrik semen. Hakim
mewajibkan
kepada
pemohon
untuk
melampirkan
AMDAL, yaitu dengan menafsirkan dari ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997, setiap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analsis mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal) untuk commit to user usaha dan/atau kegiatan. Hakim memperoleh ijin melakukan melakukan
417 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menjatuhkan putusan dengan memperhatikan jauh ke depan nasib masyarakat yang akan terkena dampak sebagai akibat beroperasinya pabrik semen, dengan mendasarkan pada hati nurani, pemikiran yang luas, mereka mengeluarkan kekuatan hukum yang tersembuyi dibalik teks dari kata-kata dalam undang-undang. Dalam menyelesaikan sengketa tidak hanya berpikir secara logika dengan mendasarkan formalitas undang-undang atau undang-undang dalam bentuknya yang tertulis. Sudah barang tentu hasil dari putusan tidak dapat diramalkan dengan mudah seperti menghasilkan keadilan yang bersifat formal atau bersifat prosedural, namun karena hakim sebagai aktor mempunyai banyak pilihan dari berbagai alternatif yang tersedia dan sudah barang tentu pilihan yang dijatuhkan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapainya, yaitu hasilnya lebih mengedepankan pada keadilan yang bersifat substansial atau material. Hakim sudah membuka jendela hatinya untuk
menyelesaikan
sengketa
yang
dihadapinya,
tidak
selalu
mendasarkan pada undang-undang yang tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan, validitas undang-undang tidak dapat diperhatikan pada wujudnya yang tertulis dan para pembuatnya yang diberi kewenangan oleh negara sebagaimana diajarkan aliran positivisme hukum. Para hakim sudah berani dan sudah saatnya untuk menanggalkan baju kebesaran positivisme yang ternyata
ajarannya
pemikirannya
dalam
tersebut
membuat
menyelesaikan
kerdil
atau
permasalahan
mengkerdilkan hukum
dalam
masyarakat. Perubahan pemikiran yang dilakukan oleh beberapa hakim tersebut, rupanya dapat memberikan jawaban yang mencerahkan masyarakat, karena mereka sudah tidak terbelenggu atau terjebak oleh ajaran-ajaran positivisme hukum dan keberanian mereka melakukan perubahan tersebut diwujudkan atau dibuktikan dalam bentuk putusanputusan yang di dalam terpendam nilai-nilai keadilan yang memang diharapkan
oleh
masyarakat. Sebagaimana dikemukakan Gustav commit useryang penting dalam hukum, di Radbruch, bahwa terdapat tiga to unsur
perpustakaan.uns.ac.id
418 digilib.uns.ac.id
antaranya adalah keadilan. Penafsiran majelis hakim terhadap ketentuan undang-undang dapat dinilai sebagai penafsiran yang lebih memperhatikan kepada kepentingan masyarakat dibandingkan dengan kepentingan secara individual. Dengan demikian putusan majelis hakim yang mewajibkan AMDAL bagi suatu kegiatan atau rencana usaha, bahwa majelis hakim tersebut mempunyai pemikiran jauh ke depan (visioner), mereka berani keluar dari mainstream pemikiran absolutisme hukum dan belenggu undang-undang yang serba formal prosedural. Majelis hakim dalam menjatuhkan putusan sudah mempunyai keberanian moral, karena dalam hal tersebut yang dipertaruhkan juga kedudukan. Mereka menjatuhkan putusan dengan mempertimbangkan hati-nurani, empati, karena keadilan merupakan dasar utama sebagai argumentasi pertimbangan hukumnya. Hakim dalam menjalankan tugasnya memang dituntut untuk dapat berbuat dengan jujur, moral, kualitas dan kemampuan yang tinggi, karena tugas mereka berkaitan langsung dengan nasib seseorang dalam kehidupan di masyarakat. Dalam menjalankan tugasnya dapat saja ditemui sikapsikap hakim yang lurus (idealistis), hakim rakus (materialistis), dan hakim toleran (idealis-realistis) sebagaimana dikemukakan oleh Teddy Asmara dari hasil penelitiannya576. Hakim lurus577 (idealistis) bahwa sepanjang tugasnya masih berada dalam koridor hukum dan demi kemlasahatan masyarakat, mereka menjelaskan makna keadilan dan sangat peka terhadap rasa keadilan masyarakat, hakim sebagai pengawal moral bangsa, keterbatasan asas legalitas, dampak sosial video porno, menggali living law, putusan yang melanggar asas legalitas dan telah siap menanggung risiko. Dalam pertimbangan hukumnya ia sangat mengedepankan moral, hukum, kebenaran, keadilan dalam kehidupan sehari-hari, cara berhukum yang tidak terbelenggu dengan bunyi peraturan hukum formal dan berusaha menafakuri keadilan dalam maknanya yang esensial, bisa dipadankan dengan hakim Bismar Siregar. 576
Teddy Asmara, 2011, Op., cit., hlm. 188-192. commit to user Kadang dijuluki ustad, karena sering menyempatkan sholat dhuha, berpuasa senin dan kamis. Dia tidak menjaga dalam berkomunikasi, baik dengan partisipan maupun dengan wartawan. 577
perpustakaan.uns.ac.id
419 digilib.uns.ac.id
Dalam persidangan sering menganjurkan permintaan maaf di antara mereka dan dijelaskan tentang hakikat perbuatan memaafkan. Pemberontakan pemikiran mereka (hakim lurus) terhadap diktum asas legalitas dengan argumen bahwa moral, hukum, kebenaran dan keadilan harus dikedepankan dalam kehidupan sehari-hari dan penalaran hukum yang demikian ini oleh Satjipto Rahardjo disebut sebagai cara pandang yang progresif khususnya dalam konteks making the law578. Suatu perbuatan yang sekalipun tidak diatur oleh undang-undang, tetapi menurut masyarakat dianggap tercela, merusak moral dan bertentangan dengan nilai agama dan keyakinan yang telah disepakati, menurut hakim yang (lurus) tidak sepatutnya dibiarkan tanpa suatu telaah yang seksama. Praksisnya, bahwa mimbar persidangan seyogyanya diberi kesempatan untuk membuat hukum yang didasarkan pada perspektif nilai dan perasaan keadilan yang eksis dan diyakini oleh masyarakat. Hakim rakus (materialistis), yaitu hakim yang oleh komunitas pengadilan diberi label hakim „buser‟ (butuh uang segera) dan hakim „KKO‟ (kanan kiri oke), karena tindakannya dalam berhukum seperti tidak mau atau tidak mampu membendung angan dan pikirannya yang berorientasi pada keuntungan materi. Watak qarum atau keserakahannya telah mendorong melakukan tindakan yang mengiyakan keinginan dua pihak yang berseteru dan memenangkan pembayar yang tinggi. Kebenaran itu lurus, yang bengkok adalah hakimnya. Dalam berperkara di pengadilan ibarat main judi, kalah dan menang sulit diprediksi. Pegangannya bukan bukti-bukti yang kuat, bukan dalil-dalil hukum yang benar dan yang harus dipegang kuat adalah hakimnya, jangan takut kepada hukum, tetapi takutlah kepada hakim579. Tipe yang ketiga adalah hakim toleran (idealisrealistis), ialah hakim yang mau menerima imbalan apabila setelah 578
Satjipto Rahardjo menciptakan konsep hukum progesif, karena dalam kenyataannya bahwa manusialah sebagai dinamisator hukum, baik dalam hal menciptakan dan menjalankan (making the law), maupun mematahkan dan merobohkannya (breaking the law). Paradigma dalam hukum progresif adalah hukum untuk manusia, bukan sebaliknya, menolak mempertahankan status quo commit to user dalam berhukum. 579 Teddy Asmara, Op., cit., hlm., 203.
420 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menjatuhkan putusan atau hakim yang sesungguhnya termasuk idealistis, tetapi pada saat didesak oleh kebutuhan ekonomi yang tidak dapat ditangguhkan, akhirnya menerima juga imbalan secara langsung dari partisipan. Di samping itu, adakalanya ia melakukan praktik negosiasi yang samar-samar, yaitu bersikap pasif dalam arti hanya mendengar permintaan dari partisipan dan tidak menyinggung masalah besaran imbalan dan putusan. Imbalan yang diterima dari partisipan setelah menjatuhkan putusan, kadang membuat hatinya
gundah, apabila
penerimaan itu pada suatu situasi ia memang membutuhkan. Berkaitan dengan unsur keadilan yang harus diperhatikan dalam pembentukan hukum, maka menarik untuk dikemukakan pendapat Luypen580, pembentukan hukum perlu dipandu keadilan. Keadilan merupakan dasar dan norma kritis dalam hukum. Hal ini mutlak, karena kalau tidak, hidup bersama yang adil tidak mungkin terjamin. Jadi hukum tidak sekedar sebuah aturan sebagai aturan seperti dipahami kaum legalis. Tidak juga sekedar suatu kenyataan yang bebas nilai seperti konsepsi kaum reine rechtslehre. Sebaliknya, dalam hukum sebagai hukum, terdapat segi lain yang merupakan makna segala hukum, yaitu keadilan. Dari keadilan itulah, muncul hukum yang mewajibkan. Selanjutnya dikatakan, adanya kandungan keadilan dalam suatu aturan, menyebabkan muncul sifat mewajibkan dari peraturan tersebut. Tanpa sifat mewajibkan ini, maka tidak ada suatu aturan pun yang pantas disebut hukum. Mereka mengemukakan bahwa hanya hukum yang menurut norma-norma keadilan saja yang sungguh-sungguh mewajibkan, maka salah besar para penganut aliran positivisme yuridis yang menganggap hukum hanya sekedar „kenyataan legal‟ belaka. Mereka telah melalaikan sesuatu yang hakiki dalam hukum, yaitu keinsyafan keadilan yang hidup dalam hati manusia. Luypen menuntut supaya norma-norma keadilan diindahkan dalam pembentukan hukum, apabila tidak, berarti hukum yang sebenarnya tidak ada. commit to user 580
Luypen, dalam Bernard L.Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Op., cit., hlm., 192.
421 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menurut Satjipto Rahardjo, pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya, yaitu hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya, dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia581 Dengan filosofi tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu hukum,
ditentukan
oleh
kemampuannya
untuk
mengabdi
pada
kesejahteraan manusia. Hal tersebut menyebabkan hukum progresif menganut „ideologi‟ hukum yang pro-keadilan dan hukum yang prorakyat. Berdasarkan ideologi tersebut, dedikasi para pelaku hukum mendapat tempat yang utama untuk melakukan pemulihan. Para pelaku hukum dituntut mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam penegakan hukum. Mereka harus memiliki empati dan kepedulian pada penderitaan yang dialami rakyat dan bangsa ini. Kepentingan rakyat (kesejahteraan dan kebahagiannya),
harus
menjadi
titik
orientasi
dan
tujuan
akhir
penyelenggaraan hukum. Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan setiap kali. Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tetapi pada kreatifitas pelaku hukum mengaktualisasi hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing of law). Peraturan yang buruk, tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadirkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interpretasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan582. Dikemukakan bahwa isolasi sistem hukum dari berbagai institusi sosial di sekitarnya, justru berdampak buruk dari sisi kebutuhan 581 582
user188. Satjipto Rahardjo, 2008, Membedah...,commit Op., cit.,tohlm., Bernard L.Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Op., cit., hlm., 212-213.
422 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
manusia itu sendiri. Hukum, dengan mudah berubah menjadi institusi yang melayani diri sendiri, bukan lagi melayani manusia. Hukum tidak lagi bisa diandalkan sebagai alat perubahan dan sebagai alat untuk mencapai keadilan substantif. Akibatnya jelas, legitimasi sosial dari hukum itu merosot tajam. Tanda bahaya tentang terkikisnya otoritas tersebut dan macetnya keadilan substantif, telah menjadi fokus kritik terhadap hukum. Sebagaimana diajarkan aliran realisme bahwa hukum yang baik dan dapat berlaku secara efektif adalah hukum yang sesuai dengan nilainilai yang hidup dalam masyarakat, dan begitu pentingnya keberadaan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengamanatkan kepada para hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Demikian juga para ahli, seperti Brian Z. Tamanaha, sangat menaruh perhatian terhadap eksistensi hukum yang hidup dalam masyarakat. Tamanaha mengemukakan, hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu583. Hakim tidak saja dituntut untuk memahami hukum yang telah dipositifkan, tetapi lebih dari sekedar itu hakim harus pula memahami makna yang terkandung di balik hukum yang telah dipositifkan tersebut (asas, nilai-nilai dan lain-lain). Seorang hakim harus sadar akan ideologi dan
subyektivitasnya
sendiri,
sehingga
keduanya
tidak
akan
mengintervensi proses interpretasi. Untuk mengungkap makna teks sebuah aturan tertentu, hakim harus mulai dengan pembacaan awal, yang kemudian dilanjutkan dengan pembacaan analistis, agar kunci dan gagasan-gagasan sentral teks dapat dibuka. Melalui gagasan-gagasan to user Brian Z. Tamanaha, 2006, A General commit jurisprudence of law and society, New York : Oxford University Press, hlm., 1-2. 583
423 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sentral ini, hakim diharapkan dapat menemukan makna yang tersembunyi dan
mengembangkan
makna-makna
baru.
Penjelasan
tersebut
mengarahkan kepada usaha yang harus dilakukan seorang hakim, yaitu membaca secara konstektual, artinya hakim harus memiliki kreativitas untuk membaca realita faktual dan realita simbolis. Karena harus diakui bahwa proses interpretasi juga sebagai sebuah proses dekoding yang tiada henti, di mana penafsir harus mempertimbangkan atau memperhatikan makna sosio-kultural kontekstual, dengan menggunakan kritik historis. Seorang hakim juga harus memperhatikan bahwa level makna yang dapat dicapai memiliki tingkatan-tingkatan tertentu, ada level permukaan, ada level metafor dan ada level yang hakiki, untuk mengungkap ketiga makna tersebut hakim harus mencoba untuk berpikir transenden, kritis, dan progresif. Transenden berarti optimalisasi nurani dalam melakukan penafsiran, kritis adalah penggunaan nalar, namun tidak bersifat „take for granted‟, progresif adalah upaya untuk terus menemukan makna-makna baru dan tidak terbelenggu oleh makna absolut. Ketiganya kemungkinan saja dipertentangkan dalam banyak hal, namun dicoba untuk dipadukan, sehingga diperoleh penafsiran yang kreatif dan sekaligus holistik. Undangundang bagi seorang hakim hanyalah teks yang belum selesai dan bukan sebuah teks yang sudah final584. Di tengah rangkaian kritik atas realitas otoritas hukum tersebut, Nonet Selznick mengajukan model hukum responsif585. Perubahan sosial dan keadilan sosial membutuhkan tatanan yang responsif. Keburukan ini, sesungguhnya telah menjadi tema utama dari semua ahli yang sepaham dengan
semangat
fungsional,
pragmatis,
dan
semangat
purposif
(berorientasikan tujuan), seperti halnya Roscoe Pound, para penganut paham realisme hukum, dan kritikus-kritikus kontemporer. The model of 584
Anthon F. Susanto, 2005, Semiotika..., Op.,cit., hlm., 152. Dalam membahas hukum responsif, Nonet dan Selznick memberi perhatian khusus pada variabel-variabel yang berkaitan dengan hukum, yaitu peranan paksa dalam hukum, hubungan antara hukum dengan politik, negara, tatanan moral, tempat diskresi, peranan tujuan dalam to dan user keputusan-keputusan hukum, partisipasi,commit legitimasi, kondisi-kondisi kepatuhan terhadap hukum. 585
perpustakaan.uns.ac.id
424 digilib.uns.ac.id
rules yang diajukan oleh Dworkin, tidak bisa diandalkan menangani dinamika kebutuhan-kebutuhan sosial di tengah perubahan yang tiada bertepi dewasa ini. Nonet dan Selznich lewat hukum responsif, menempatkan hukum sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahanperubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik586. Selanjutnya dikemukakan bahwa menghadapi kondisi transisional di mana persoalan saling berhimpitan, serba darurat, dan penuh komplikasi, maka aparat penegak hukum dituntut melakukan langkahlangkah terobosan dalam menjalankan hukum, tidak sekedar menerapkan peraturan secara hitam-putih. Hal ini penting dilakukan karena banyak peraturan yang sudah ketinggalan jaman, terdampar begitu banyak kenyataan dan persoalan kekinian yang secara redaksional sulit ditemukan dalam teks-teks aturan yang ada. Jika pun ada aturannya, banyak yang tidak mutu karena saling kontradiktif dan tumpang-tindih. Karena itu, kehadiran pelaku hukum yang arif, visioner, dan kreatif mutlak perlu “memandu” pemaknaan yang kreatif terhadap aturan-aturan tersebut. Aparat penegak hukum entah polisi, jaksa maupun hakim dituntut mencari dan menemukan keadilan-kebenaran dalam batas dan di tengah keterbatasan kaidah-kaidah hukum yang ada.
B. Pendekatan Pemikiran yang Holistik. Pada abad ke-19 kepercayaan pada ajaran hukum alam yang rasionalistis hampir ditinggalkan orang sama sekali, antara karena pengaruh ailran cultuur historisch school. Dengan ditinggalkannya aliran hukum alam yang rasionalistis tersebut mengakibatkan semakin kuatnya aliran lain yang menggantikannya, yaitu aliran positivisme hukum (rechts positivisme). Aliran ini sering disebut legitimisme587. Sebagaimana diketahui ajaran ini sangat 586 587
commit to Y. user Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Hage, Op., cit., hlm., 205. Utrecht, 1957, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta : Ikhtiar, hlm., 152.
perpustakaan.uns.ac.id
425 digilib.uns.ac.id
mengagung-agungkan hukum tertulis dan beranggapan bahwa tidak ada norma hukum di luar hukum tertulis, semua persoalan dalam masyarakat diatur dalam hukum tertulis. pandangan yang sangat mengagung-agungkan hukum tertulis pada positivisme hukum ini, pada hakikatnya merupakan penghargaan yang berlebihan terhadap kekuasaan yang menciptakan hukum tertulis itu, sehingga dianggap kekuasaan itu adalah sumber hukum dan kekuasaan adalah hukum588. Prinsip-prinsip dasar positivisme hukum yang sangat berpengaruh pada proses peradilan yang sampai sekarang ini masih mendominasi adalah pertama, suatu tata hukum negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial (menurut Comte dan Spencer), bukan juga karena bersumber pada jiwa bangsa (menurut Savigny), dan juga bukan karena dasardasar hukum alam, melainkan karena mendapatkan bentuk positifnya suatu instansi yang berwenang. Kedua, hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk formalnya, bentuk hukum formal dipisahkan dari bentuk hukum material. Ketiga, isi hukum (material) diakui ada, tetapi bukan bahan ilmu hukum karena dapat merusak kebenaran ilmiah ilmu hukum589. Ilmu hukum sekarang tidak puas hanya dengan pikiran Kelsenian yang melihat proses hukum secara mekanistik. Di abad ke-19, yaitu pada era hukum mekanistik berlangsung, hakim hanyalah mulut undang-undang (la bouche qui prononcent les paroles de la loi). Bangunan hukum Kelsenian sama dengan pikiran Newtonian yang melihat alam sebagai bangunan besar yang disusun dari blok ke blok secara mekanistik. Orang sekarang sudah melihat masyarakat sebagai sesuatu yang kompleks, relatif, dan tidak dapat dipahami secara matematis. Sehubungan dengan keadaan tersebut, Oliver Wendell Holmes mempunyai cara sendiri untuk berkomentar,
yaitu dengan
mengatakan, “the law embodies the story of a nation‟s delelopment through many centuries, and it can not be dealt with as if it contained only the axioms and corollaries of a book of mathematics. Rupanya ilmu hukum sekarang tidak puas hanya menjadi „ilmu hukum‟ (jurisprudence), melainkan lebih 588 589
commit to 43. user Amin, dalam H. Riduan Syahrani, Op., cit., hlm., Lili Rasjidi, I.B. Wyasa Putra, Op., cit., hlm., 119.
426 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
daripada itu. Keinginan tersebut, misalnya tercermin pada buku tulisan Brian Z. Tamanaha yang berjudul, “A general jurisprudence of law and society. Ilmu hukum tidak berhenti pada studi mengenai teks dan dokumen, melainkan „hukum dalam konteks masyarakat‟. Di sini perkembangan ilmu hukum sudah menjawab tantangan garis depan sains yang pahamnya sudah bergeser “mekanistik ke holistik”. Ilmu hukum mengatakan sebagai pergeseran “dari konteks ke sosial”590. Berpikir hukum memiliki basis kultural sendiri. Hal tersebut perlu diberi pengakuan dan pengesahan. Berpikir hukum yang linear, yang didasarkan pada konsep, definisi, pengertian-pengertian hukum yang telah dibuat adalah abstrak karena tercabut dari basis budayanya. Dalam sains mutakhir cara-cara seperti itu sudah ditinggalkan dan digantikan dengan metode holistis dan ekologis. Sehubungan dengan hal tersebut, sebaiknya cara berpikir hukum juga mulai memutar haluan. Hal itu semata-mata karena garis depan sains memang sudah berubah, tetapi demi kepentingan hukum itu sendiri. Hukum yang sudah dipersonifikasikan melalui konsep-konsep abstrak sulit untuk menjadi fasilitator bagi proses dalam masyarakat yang memiliki akar budaya sendiri. Untuk Indonesia, hal itu menjadi lebih penting dan mendesak karena struktur majemuk masyarakatnya yang membutuhkan sistem hukum yang berwatak “plurality-conscious” dan “plurality-sensitive”. Selanjutnya
dikemukakan,
sebaiknya
mulai
berpikir
untuk
mengembangkan cara berpikir hukum yang lebih holistis-ekologis daripada hanya asyik bermain-main dengan hukum seperti di abad ke-19 yang berdasarkan pada konsep artifisial dan logika semata. Seharusnya, hukum sudah tidak lagi dilihat sebagai bangunan yang disting, ranah yang esoterik, melainkan lebih sebagai bangunan sosial-kultural. Pada jaman Romawi hukum itu memasuki masyarakat dengan menciptakan suatu dunia konsep artifisial abstrak, maka sejak dekade terakhir abad ke-20 masyarakatlah yang memasuki hukum (vermaatschappelijking van het recht, sociological movement in law). Mengikuti isyarat perkembangan tersebut, ilmu hukumpun commit to user 590
Satjipto Rahardjo, 2009, Lapisan..., Op., cit., hlm., 126.
perpustakaan.uns.ac.id
427 digilib.uns.ac.id
sudah meninggalkan “kepompong undang-undangnya” dan memperkaya diri dengan dimensi kemasyarakatan. Dengan mengemukakan pendapat Brian Z. Tamanaha, selanjutnya Satjipto Rahardjo mengajukan tesis Tamanaha yang dinamakan “mirror thesis”. Pada tesis tersebut, hukum bukan sesuatu yang artifisial, melainkan sekadar pencerminan dari masyarakatnya. Tamanaha menolak ilmu hukum klasik yang mengejar ciri-ciri universal, sehingga melahirkan sebuah “ilmu hukum dunia” (the quest of a universal jurisprudence), sebuah “social institution found in all societies and exhibiting a core similar features”. Dewasa ini, orang lebih melihat adanya relativisme kultural dan pasca modernisme yang “privilege the local, suggesting that nothing is universal, and suggest that nothing is universal, and challege the very ability to contruct generally applicable standart”. Sangat menarik untuk dikaji sinyalemen Tamanaha yang menyatakan bahwa dunia mulai menolak penggunaan satu standart tunggal dalam hukum. Dengan sinyalemen tersebut, tentu akan berimbas pula pada cara berpikir hukum591. Kegagalan paham positivisme hukum dalam memandu kehidupan manusia, disebabkan oleh modus berpikirnya yang secara konsisten Gmempertahankan pengaruh reduksionisme, determinisme, dan objektivisme dalam ilmu hukum. Dengan menampilkan hukum sebagai institusi sosial, merupakan keinginan untuk menangkap dan memahami ilmu hukum secara lebih utuh. Berawal dari itu, muncul sebuah tawaran paradigma holistik yang secara bersamaan menjadi bagian dari gagasan hukum progresif. Karena positivisme telah gagal untuk menyajikan gambar hukum yang lebih benar. Hal ini dibuktikan dengan kemunculan dari berbagai disiplin yang mengisyaratkan, bahwa obyek studi hukum itu tidaklah sesempit seperti dipahami oleh para ilmuan hukum di abad ke-19592. Di samping pandangan Menski, pandangan lain yang sama dikemukakan oleh Fritjoff Capra, adanya pemahaman yang menyeluruh terhadap berbagai 591 592
commit to user Satjipto Rahardjo, 2009, Lapisan....Op., cit., hlm., 35-37. Satjipto Rahardjo, 2006, Hukum dalam Jagat..., dalam Faisal, Op., cit., hlm., 64.
428 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
aspek kehidupan dan Indonesia yang memilki struktur masyarakat yang plural, dapat dilakukan dengan pendekatan yang dikemukakan oleh Capra, melalui teorinya kompleksivitas (complexity Theory). Dengan bukunya the web of life, ia mengemukakan perkembangan pemikiran yang semula bekotak-kotak (fragmented) ke arah pemikiran yang menyeluruh atau holistik (from logos to holos).
Dalam
memunculkan
bukunya teori
the
hidden
kompleksitas
ke
connection, dalam
Fritjoff
ranah
sosial,
Capra593, dengan
mengintegrasikan dimensi biologis, kognitif, dan sosial dengan tujuan bukan hanya untuk memberikan pandangan yang utuh atas kehidupan, pikiran dan masyarakat, melainkan juga mengembangkan suatu pendekatan koheren yang sistematis pada berbagai permasalahan kritis yang muncul saat ini. Pemahaman yang lengkap atas fenomena sosial harus melibatkan integrasi empat perspektif, yaitu bentuk, materi, proses, dan makna. Mempelajari sistem kehidupan dari perspektif bentuk, maka dapat ditemukan bahwa pola organisasi sistem tersebut adalah suatu jaringan yang membentuk diri sendiri. Dalam perspektif materi, struktur material suatu sistem hidup adalah struktur disipatif, yaitu suatu sistem terbuka yang beroperasi jauh dari kesetimbangan. Dari perspektif proses, sistem kehidupan adalah kognitif, yang dalam hal ini proses kognisi terkait erat dengan pola autopoesi. Dalam kehidupan sosial yang berisi berbagai konsep, gagasan, citra, lambang adalah suatu dimensi kritis realitas sosial, yang membentuk apa yang disebut John Searle sebagai ciri mental dari fenomena sosial (the mental caracter of social phenomena). Para ahli sosial sering menyebutnya sebagai hermeneutik untuk menyatakan pandangan bahwa manusia melibatkan komunikasi makna sebagai pusatnya karena memiliki hakikat simbolis, dan bahwa tindakan manusia mengalir dari makna yang dihubungkan dengan lingkungan. Integrasi keempat perspektif tersebut menunjukkan hubungan saling ketergantungan secara sistemik sebagai suatu realitas sosial. Capra menunjukkan adanya saling berhubungan antara perspektif materi, bentuk, proses dan makna. Ketiga 593
perspektif
pertama membentuk commit to user
segitiga,
Fritjoff Capra, dalam Siti Malikhatun Badriyah, Op., cit. Hlm., 28-30.
perspektif
makna
perpustakaan.uns.ac.id
429 digilib.uns.ac.id
digambarkan berada di luar bidang segitiga tersebut untuk menunjukkan bahwa ia membuka suatu dimensi dalam baru, sehingga keseluruhan struktur konseptualnya membentuk limas segitiga (tetrahedron). Mengingat adanya kompleksitas yang ada di dalam masyarakat tersebut, maka hukum harus dilihat dengan pendekatan baru sebagaimana dikemukakan oleh Werner Menski yang disebut sebagai triangular concept of legal pluralism594. Berdasarkan pendekatan yang diberikan Menski, dapat dikemukakan bahwa dunia hukum mencakup suatu pluralitas yang besar sekali dari segitiga dalam ruang dan waktu. Hukum adalah sungguh begitu plural yang tidak mungkin diserap dalam keseluruhan teoretis, dengan sendirinya menjadi konfigurasi dalam model yang sederhana. Legal pluralism merupakan integrasi sempurna untuk memahami dan menegakkan hukum dalam masyarakat majemuk (plural). Pendekatan legal pluralism mengandalkan adanya pertautan antara state law (positive law), aspek kemasyarakatan (socio legal approach), dan natural law (moral/ethic/religion). Demikian konsep pluralisme hukum dari Werner Menski tersebut dihubungkan dengan konsep yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman595, mengenai tiga unsur sistem hukum, maka pluralisme hukum mencakup pluralisme dalam substansi, struktur, dan kultur hukum. Menurut Friedman setiap sistem hukum terdapat tiga unsur, yaitu substansi, struktur dan kultur hukum. struktur adalah keseluruhan institusi hukum beserta aparatnya, misalnya struktur sistem yudisial, maka di dalamnya termasuk hakim, yuridiksi pengadilan, bagaimana pengadilan yang lebih tinggi berada di atas pengadilan yang lebih rendah. Substansi tersusun dari peraturanperaturan dan ketentuan-ketentuan mengenai bagaimana institusi ini harus berperilaku. Kultur hukum adalah kekuatan-kekuatan sosial (social force) terus-menerus menggerakkan hukum, merusak, memperbarui, menghidupkan, mematikan menggantikan, perubahan-perubahan apa yang akan terjadi secara 594
Werner Menski, 2006, Comparative Law in A Global Context, The Legal Systems of Asia and Afrika, United Kingdom : CambridgeUniversity Press, dalam, Siti Malikhatn Badriyah, hlm, 30. 595 commit to user Lawrence M. Friedman, The Legal System A Social Science Perspective,diterjemahkan oleh M. Khosim, 2009, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial , Bandung : Nusa Media, hlm., 12-15.
430 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terbuka atau diam-diam. Dapat dikatakan sebagian dari kekuatan-kekuatan tersebut sebagai kultur hukum (the legal culture). Kultur hukum adalah elemen sikap dan nilai sosial. Istilah kekuatankekuatan sosial itu sendiri merupakan suatu abstraksi, namun kekuatankekuatan demikian tidak secara langsung menggerakkan sistem hukum. orang di dalam masyarakat memilki kebutuhan dan membuat tuntutan-tuntutan, semua ini kadang menimbulkan, kadang tidak menimbulkan proses hukum tergantung pada kulturnya. Nilai-nilai dan sikap-sikap dipertahankan oleh para pemimpin dan warga masyarakat adalah di antara faktor-faktor tersebut, karena perilaku mereka bergantung pada penilaian mereka mengenai pilihan mana yang dipandang tepat. Dengan demikian, kultur hukum mengacu pada bagian-bagian yang ada pada kultur umum, adat, kebiasaan, opini, cara bertindak dan berpikir yang mengarahkan kekuatan-kekuatan sosial menuju atau menjauhi hukum dan dengan cara-cara tertentu. Legal pluralism sebagaimana dikemukakan oleh Werner Menski merupakan strategi baru yang harus dikuasai oleh penegak hukum termasuk hakim agar benar-benar dapat memberikan keadilan bagi para pencari keadilan (justisiabellen) atau masyarakat pada umumnya dengan melakukan suatu lompatan dengan cara berhukum yang tidak hanya terkungkung pada legalitas formal (legal formalism), tetapi juga dengan pertimbangan living law dan natural law. Dengan menggali dan menemukan hukum, baik living law, natural law, state law, maka hakim tidak lagi menggunakan cara-cara berhukum
dengan pendekatan positivistik
saja, tetapi
juga dengan
mempertimbangkan aspek moral/religion ataupun ethic dan socio legal. Dengan demikian hakim akan menyelesaikan perkara dalam peradilan dengan landasan nilai-nilai keadilan yang berkembang di dalam masyarakat, dan akan menghasilkan putusan yang benar-benar memberikan keadilan sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat, bukan semata-mata keadilan formal atau prosedural, tetapi hakim lebih mengutamakan keadilan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
431 digilib.uns.ac.id
material atau substantif596. Satjipto Rahardjo mengemukakan, hukum adalah suatu konstruksi manusia dan sebaiknya para calon doktor memahaminya sebagai hal yang demikian. Ilmu hukum yang harus mengawal hukum terus mengalami perkembangan dan perubahan sampai dengan hari ini. Dalam kaitan tersebut tampak sekali bahwa hukum itu tidak otonom, seperti halnya bebatuan dan pohon dalam alam, yang alami adalah hasrat manusia untuk hidup dalam dunia yang penuh suasana ketertiban. Hukum adalah bagian dari pranata untuk tertib. Hukum adalah untuk manusia. Oleh karena itu, setiap kali manusia menghendaki dan membutuhkan hukum akan berubah, hukum menjadi tunduk pada kehidupan sosial manusia yang jauh lebih luas597. Pada abad ke-21 nampak panorama yang berbeda dari masyarakat dunia dengan abad ke-19. Selama dua abad tersebut, dunia telah berubah dengan sangat intensif. Seluruh perlengkapan sosial yang digunakan, asumsi-asumsi yang dipakai, idiom-idiom yang ada menjadi tertinggal oleh perubahan. Alvin Toffler, telah membuat suatu trilogis bagus yang merangkum dan menggambarkan perubahan di dunia dan bagaimana akibatnya. Capra juga membuat simpulan yang sangat bagus pada waktu menulis “The Turning Point”. Menurut Capra, sejak awal abad ke-20 dunia mengalami krisis hebat yang sudah merambah masuk ke ranah intelektual, moral dan spiritual. Untuk itu, semua membutuhkan suatu penyesuaian kreatif yang baru, paradigma lama tidak dapat dipakai lagi. Dikemukakan, kompleksitas dalam masyarakat sekarang ini sulit untuk diwadahi dan diselesaikan melalui konstruksi perbedaan posisi yang hierarkis antara penguasa dan warga negara. Mempertahankan penguasa di satu pihak berhadapan dengan warga negara di lain pihak secara diametral merupakan apa yang mereka namakan “berpikir hukum secara tertutup” (gesloten rechtsdenken). Pendapat dalam komunitas Erasmus menghendaki diakhirinya berpikir dalam kerangka suatu teori hukum (rechtstheoretisch) yang menerima 596 597
commit Siti Malikhatun Badriyah, Op., cit., hlm., 32. to user Satjipto Rahardjo, 2009, Lapisan...., Op., cit., hlm., 74.
432 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kemutlakan kedaulatan subyek hukum, apakah itu di pihak penguasa atau warga negara. Penolakan terhadap pemisahan secara katagoris tersebut dapat menciptakan suatu prasyarat teoretis maupun metodologis untuk dapat melihat pikiran dan tindakan dalam kerangka ketegantungan yang kompleks antara kepentingan umum dan individual, antara penguasa dan warga negara, antara negara dan masyarakat. Para pemikir di Erasmus, barangkali menunjukkan pendapatnya pada batas-batas yang semakin tipis antara negara dan masyarakat dalam konteks masyarakat merdeka (civil society)598. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Suteki, dominasi paham positivistik dengan ciri kodifikasi dan unfikasi hukum di Inonesia masih sangat kental. Seharusnya cara berhukum yang dilaksanakan di Indonesia sebagai
negara
yang pluralis
adalah dengan
memfasilitasi
tumbuh
berkembangnya the living law pada masyarakat dan mensinergikannya dengan kepentingan nasional melalui upaya yang dikenal harmonisasi hukum. Secara kontroversial, kenyataan yang berkembang justru sebaliknya. Hukum adat yang dinyatakan sebagai sumber utama dalam pembentukan hukum nasional ternyata semakin lama tidak jelas kedudukannya dan fungsinya dalam pembentukan hukum nasional, bahkan terkesan adanya upaya secara sistematis untuk menegasikan keberadaan hukum adat599. Keadaan keberadaan hukum adat di tengah-tengah kehidupan masyarakat sekarang ini, oleh Satjipto Rahardjo, fenomena tersebut digambarkan dengan istilah memasukkan kambing (hukum adat) ke dalam kandang macan (hukum negara/hukum nasional atau hukum modern), sebagai akibat tindakan ahli hukum yang merumuskan berbagai peraturan perundang-undangan terlalu normative, tanpa kesadaran antropologis dan sosiologis yang cukup, yang tinggal menunggu saatnya kambing (hukum adat) tersebut dimakan oleh macan (hukum negara)600. Kondisi Indonesia yang demikian, merupakan suatu 598
Satjipto Rahardjo, 2009, Lapisan...., Op., cit., hlm., 85. Suteki, 2007, Integrasi Hukum dan Masyarakat, Semarang : Undip, hlm., 105. 600 Satjipto Rahardjo, 2005, Hukum Adat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (perspektif sosiologi hukum), Makalah, pada lokakarya hukum adat diselenggarakan oleh Mahkamah toSatjipto user Rahardjo, 2008, Membedah Hukum Konstitusi, 4-6 Juni 2005, hlm., 5. Lihat commit juga dalam Progresif, hlm., 174-175. 599
433 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ironi apabila dbandingkan dengan negara-negara seperti Jepang yang mempertahankan ke-Jepangannya/nasionalitasnnya di tengah serbuan hukum modern
melalui
Japanenensse
Twist-nya
atau
Inggris
yang
tetap
mempertahankan Common Law System dengan tetap konsekuen pada pola pembentukan hukum melalui Judge made law-nya. Ternyata dengan tetap mempertahankan nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakatnya kedua negara tersebut dapat mencapai kedudukan sebagai negara modern. Dapat ditarik suatu pengertian bahwa masih ada cara-cara berhukum lainnya yang dapat menghantarkan suatu masyarakat menjadi modern, bahkan dapat dikatakan besar kemungkinan akan terjadi penolakan oleh suatu masyarakat, apabila suatu sistem hukum asing (termasuk hukum modern) dipaksakan (impossed) berlakunya pada masyarakat/bangsa yang lain, karena hukum yang dipaksakan berlaku tersebut kemungkinan besar bertentangan dengan peculiar form of social life dari masyarakat yang bersangkutan. Kondisi demikian lebih dikenal dengan istilah law of non tranferability of law601. Sehubungan dengan hal tersebut, Satjipto Rahardjo mengemukakan walaupun hukum nasional/ hukum negara berupaya untuk melenyapkan hukum adat melalui tindakan artifisial melalui konstruksi hukumnya, namun the living law termasuk hukum adat tidak mati, tetap tersimpan atau terpendam/laten dalam sanubari kesadaran hukum masyarakat dan menunggu saat yang tepat untuk muncul kembali ke permukaan. Soetandyo Wignjosoebroto, menyatakan bahwa di Indonesia seruan untuk melakukan reformasi amat kuat dan terlalu sering dikemukakan, namun hasil akhirnya tetap tak terlihat. Hal ini disebabkan apa yang dikerjakan dalam upaya pembaharuan hanya berlangsung pada tataran norma perundang-undangan yang positif berlaku. Pembaharuan yang dilakukan tidak pernah menukik ke upaya untuk mendekonstruksi dan merekonstruksi seluruh sistem hukum nasional berdasarkan paradigma-paradigma baru yang nonpositivis dan commit to user Robert B. Seidman dalam Ronny Hanitijo Soemitro, 1998, The law of Nontransferability of law, Semarang : Universitas Diponegoro, hlm., 123. 601
434 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
nondoktrinal yang harus diawali dengan gerakan sosial politik guna melakukan konstruksi-dekonstruksi602. Dalam melaksanakan dekonstruksi, maka rakyat harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk ikut berpartisipasi dalam proses pembentukan hukum. Dekonstruksi terhadap hukum urgen dilakukan juga atas dasar pertimbangan bahwa, pada dasarnya struktur kekuasaan dalam masyarakat, termasuk pemerintahan merupakan bangunan hirarchie yang amat kaku dan tak gampang responsif pada tuntutan publik. Oleh karena itu, suatu gerakan harus dilancarkan untuk membuat struktur tersebut berubah lebih responsif, demokratis,
peka
permasalahan
manusia,
dan
dapat
dimintai
pertanggungjawaban603. Meluasnya ide-ide substantif mengenai peran kelembagaan dengan muatan demokratisasi dan peningkatan peran masyarakat, merupakan bagian yang tidak bisa ditahan dalam sebuah proses perubahan604. Gambaran demikian menjelaskan terjadinya dekonstruksi besar-besaran, tidak hanya aspek kelembagaan (struktur), namun sekaligus dekonstruksi pemikiran. Berbagai noise yang silang menyilang di atas tubuh bangsa ini adalah suatu upaya kolektif untuk membongkar struktur-struktur parasit ekonomi, politik, hukum dan budaya warisan rezim yang telah keropos. Parasit kekuasaan tersebut adalah parasit yang feodalistis, monopolitis, kolutif, nepotis, represif, sentralis dan eksklusif. Semuanya ingin dibersihkan, dihabiskan dan diganti dengan aransemen, komposisi atau pola-pola yang lebih sesuai dengan “zeigeist” reformasi dan globalisasi. Semua suara parau, jeritan melengking dan teriakan lantang para pendukung reformasi yang menyertai proses penghancuran parasit tersebut, disadari atau tidak sebetulnya merupakan suatu cara bertindak kolektif yang sama-sama dilandasi oleh suatu model berpikir atau strategi intelektual, yang disebut dekonstruksi, semacam strategi peleburan struktur, semacam strategi penghancuran parasit605. 602
Soetandyo Wignjosoebroto, 2002, Op., cit., hlm., 245. Satjipto Rahardjo, 2008, Membedah..., Op., cit., hlm., 191-192. 604 commit to user Anthon F. Susanto, 2004, Wajah..., Op., cit., hlm. 37. 605 Yasir Amir Pilang, dalam Anthon F. Susanto, 2004, hlm., 37. 603
435 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dekonstruksi dalam kajian ini lebih cenderung mengikuti pendapat Satjipto Rahardjo, yaitu apakah pengadilan membutuhkan suatu rekonstruksi besar-besaran, hal tersebut sangat mungkin memang itu yang dibutuhkan. Barangkali bukan hanya rekonstruksi, tetapi sebelumnya itu rupa-rupanya perlu
melakukan
dekonstruksi
terhadap
pengadilan
terlebih
dahulu.
Dikonstruksi dalam hal ini adalah membuang cara kerja pengadilan yang lama. Dekonstruksi sebaiknya bermula dari sikap para hakim terhadap pekerjaannya dan cara berpikir mereka. Dari pernyataan tersebut, Satjipto Rahardjo lebih condong kepada pengubahan perikaku dan pemikiran hakim daripada merubah hukum. Terutama untuk mengembalikan lembaga pengadilan dan Mahkamah Agung menjadi “credible” dan “reliable” sekarang ini, lebih diperlukan perubahan manusia daripada hukum606. Perubahan
perilaku
yang
dimaksud,
diharapkan
mampu
memberikan pemahaman holistik terhadap persoalan peradilan (pidana, tata usaha negara) menyangkut struktur, kultur dan model aturan, bahkan apabila mungkin dapat diharapkan membangun kecerdasan peradilan menuju era pencerahan. Aparatur hukum tidak hanya bekerja mengikuti aturan, berpikir logis dan rasional atau hanya berdasarkan emosi untuk mengenali pola, dan membentuk kebiasaan, namun mereka harus mampu menangkap secara utuh mengenai realitas yang mereka hadapi, inilah sebuah cita menuju pemahaman yang utuh dan holistik, yaitu menuju “konstek makna”607. Peradilan tidak dapat bermain-main dengan dunianya sendiri, namun harus mendengar kepentingan komunitas masyarakat yang lebih luas, karena beban yang ditanggung semakin berat mengingat harapan pencari keadilan. Berdasarkan pemikiran tersebut, hakim diharapkan dapat menangkap realita yang terjadi dan berkembang dalam kehidupan masyarakat, hakim seharusnya memperhatikan perkembangan pemikiran ilmu hukum yang telah
606
Satjipto Rahardjo, dalam Anthon F. Susanto, Loc., cit., hlm., 15. Penjelasan yang demikian akan ditemukan dalam kerangka berpikir holistik, seperti yang dikemukakan Danah Zohar dan Ian Marhall, dalam bukunya SQ, Spiritual Intelligence, The commit to user Ultimate Intellegence, London : Bloomsbury Publishing Plc, 38 Soho Square, hlm 12, dalam Anthon F. Susanto, 2004, Wajah..., Op., cit., hlm. 15. 607
436 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mulai bergeser ke arah pemikiran yang bersifat holistik dan ekologis sebagaimana dikemukakan Satjipto Rahardjo. Pijakan hakim untuk menengok ke dalam atau terjun ke dalam masyarakat sudah sangat jelas dan tegas diamanatkan dalam undang-undang kekuasaan kehakiman, bahwa hakim wajib menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, maka hakim sudah seharusnya rela meninggalkan cara-cara pemikiran yang lama yang bersifat mekanistik, mengedepankan cara-cara yang bersifat formal, sehingga hanya akan menghasilkan keadilan formal atau prosedural, menghasilkan keadilan dari pemegang kekuasaan. Hakim harus dapat melihat lebih ke dalam lagi dalam memberi makna hukum, bahwa hukum adalah untuk kepentingan manusia yang menghedaki dihadirkannya keadilan material sesuai dengan keadaan masyarakat, hakim sudah sepantasnya tidak berkutak-kutik dengan logika hukum yang hasilnya dapat ditebak, hakim dalam menjatuhkan putusan harus mendasarkan
pada
hati
nurani,
perasaan,
menggunakan
pemikiran
sebagaimana dianjurkan dalam teorinya Danah Zohar dan John Marshall. Dengan keberanian dalam menjatuhkah putusan terhadap sengketa yang diperiksanya seperti dianjurkan tersebut, maka keadilan substansial dapat diwujudkan. Berdasarkan penguatan dalam pemikiran-pemikiran yang terus-menerus terjadi dan berkembang dalam kehidupan masyarakat terutama dalam kaitannya dengan praktik-praktik dalam proses persidangan, maka keberadaan aliran positivisme hukum sebagai suatu ajaran yang telah mengakar dan mendominasi pemikiran-pemikiran kaum intelektual dan pengemban profesi hukum, semakin hari semakin kabur, semakin tenggelam, karena tidak dapat menjawab tantangan permasalahan atau persolan yang semakin hari semakin rumit, di samping mendapat kritik yang pedas dari hadirnya aliran berikutnya. Sampford melakukan kritik terhadap pemikiran teori sistem dalam hukum, khususnya menjelaskan tentang gagalnya teori sistem yang mendasari positivisme dalam menjelaskan banyak persoalan. Teori hukum muncul dan commit user dibangun dari sesuatu keadaan atauto kondisi masyarakat yang disebutnya
437 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sebagai “mellee”. Menurut Sampford, masyarakat sesungguhnya (realitanya) selalu berada dalam kondisi atau situasi keos, bahwa masyarakat selalu berada pada jalinan hubungan-hubungan yang tidak dapat diprediksi dan tidak sistematis. Masyarakat terus-menerus bergerak secara dinamis, hal yang demikian itu terjadi karena dalam masyarakat banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, misalnya kekuatan-kekuatan (kekuasaan) dan saling tarikmenarik serta berbenturan di dalamnya. Oleh karena itu bagaimana mungkin situasi yang demikian itu dikategorikan sebagai situasi yang serba tertib dan teratur. Pandangan yang demikian itu hanya akan mereduksi realitas yang sesungguhnya dari masyarakat. Pemikiran Sampford jelas merupakan penolakan terhadap teori sistem dalam hukum, yang menganggap bahwa masyarakat selalu dalam keadaan tertib dan teratur (sebagaimana konsep sistem). Teori Sampford bertolak dari basis sosial hukum yang penuh dengan hubungan asimetris. Hal tersebut merupakan ciri khas dari hubungan sosial, hubungan sosial itu dipersepsikan secara berbeda oleh para pihak, dengan demikian apa yang di permukaan tampak sebagai tertib dan teratur, jelas dan pasti, sebenarnya penuh ketidakpastian608. Satjipto Rahardjo, mengatakan salah satu masalah yang muncul ketika terjadi miscarriage of justice dalam lembaga peradilan. Hukum akan kehilangan legitimasi di masyarakat. Mungkin dengan cara lain untuk keluar dari belenggu persoalan ini, sudah saatnya harus berpikir obyektif bahwa cara berhukum yang menyandarkan diri pada paradigma positivisme sudah saatnya untuk ditinjau kembali. Menurut beliau, hukum bukan detergent yang bisa mencuci sendiri, hukum hanyalah konsep jika tidak dijalankan, oleh karena itu hukum sebetulnya hanya macan kertas bila manusia tidak turun tangan menggerakkannya609.
Achmad
Ali,
mengemukakan
kritik
terhadap
pelaksanaan hukum di Indonesia, bahwa dewasa ini cara berhukum bangsa ini sangat memprihatinkan, karena akibat penggunaan kacamata positivistik yang kaku dalam menginterpretasikan berbagai undang-undang, maka berbagai 608 609
commit user Satjipto Rahardjo, dalam Adi Sulistiyono, 2004,toMenggugat..., Op., cit., hlm., 42-43. Satjipto Rahardjo, dalam Faisal, Op., cit., hlm., 7
perpustakaan.uns.ac.id
438 digilib.uns.ac.id
kebijakan penegak hukum maupun putusan hukum gagal untuk menghasilkan suatu keadilan yang substansial, melainkan hanya sekedar keadilan yang prosedural610 Sebagaimana telah dikemukakan bahwa kegagalan paham positivisme hukum dalam memandu kehidupan manusia, disebabkan oleh modus berpikirnya yang secara konsisten mempertahankan pengaruh reduksionisme, determinisme, dan objektivisme dalam ilmu hukum. dengan menampilkan hukum sebagai institusi sosial, merupakan keinginan untuk menangkap dan memahami ilmu hukum secara lebih utuh. Berawal dari itu, muncul sebuah tawaran paradigma holistik yang secara bersamaan menjadi bagian dari gagasan hukum progresif. Karena positivisme hukum telah gagal untuk menyajikan gambar hukum yang lebih benar. Hal ini dibuktikan dengan kemunculan dari berbagai disiplin yang mengisyaratkan, bahwa obyek studi hukum itu tidaklah sesempit seperti yang dipahami oleh para ilmuan hukum di abad ke-19611. Berdasarkan ruang lingkup pergerakan ilmu pengetahuan selama ini, dapat disimpulkan bahwa positivisme telah gagal dalam memandu kehidupan manusia. Sekalipun demikian dapat diakui, bahwa tanpa kegagalan positivisme tidak akan merasakan lebih jauh perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum. Perkembangan ilmu sekarang yang bergerak menuju suatu pendekatan yang bersifat holistik dibuktikan dari salah satu karya Edward O. Wilson melalui bukunya yang berjudul Consilience the Unity Knowledge612. Wilson mengusulkan dan mengembangkan wawasan baru dalam ilmu pengetahuan, yaitu tentang penyatuan atau “pandangan holistik
610
Adji Samekto, 2008, Justice Not For All, “Kritik Terhadap Hukum Modern dalam Perspektif Studi Hukum Kritis”, Yogyakarta : Genta Press, hlm., 34 611 Satjpto Rahardjo, 2006, Hukum dalam Jagad Ketertiban, Jakarta : UKI Press, dalam Faisal, Loc., cit, hlm., 64-69. 612 Edward O. Wilson, seorang ahli biologi molekuler yang sangat terpandang dan kompeten di bidangnya. Bagi Wilson ilmu biologi merupakan pusat dari seluruh upaya yang mengantarkannya to userAnthon F.Susanto, 2007, Hukum dari dalam menemukan model penyatuan.commit Lihat dalam Consilience...., hlm., 35
439 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tentang
pengetahuan”,
yang
disebut
dengan
istilah
consillience613.
Dikemukakan bahwa consillience pada dasarnya merupakan konsep yang luas, sebagaimana diperlukan upaya menarik benang merah untuk melihat hubungan-hubungannya dalam ilmu pengetahuan. Paradigma holistik Wilson terletak pada model consillience yang mengandung nilai model penyatuan dan tersatukan. Kedua model tersebut seakan terlihat sama, namun pada dasarnya memiliki perbedaan pengertian satu sama lainnya. Model penyatuan, menempatkan manusia sebagai aktor yang dominan terhadap realitas. Manusia pada posisi ini melakukan berbagai upaya yang bersifat aktif untuk mengintegrasikan dirinya terhadap realitas kehidupannya, tugas ini meliputi usaha untuk menghilangkan aspek-aspek yang dapat mengganggu usaha penyatuan tersebut. Model penyatuan berpusat pada optimalisasi peran manusia dalam melakukan konstruksi-realitas dalam menjaga stabilitas kehidupan secara utuh, dapat ditarik ke dalam dasar pemikiran hukum progresif “hukum untuk manusia, dan bukan sebaiknya”. 613
Bagi hukum gagasan tentang consilience bisa saja mengundang sebuah paradoks, atau dalam terminologi lain sama sekali tidak dapat diterima, bahkan dipandang tidak lazim (absurd). Namun demikian sebagai sebuah wacana kilmuan yang didasarkan keberanian untuk membuka wawasan alternatif, penjelasan di dalamnya sedikit banyak (cukup) layak untuk diperbincangkan sebagai usaha pencarian belantara ilmu yang labil. Sedikit catatan tentang consilience, bahwa hendaknya consilience dalam hal ini tidak dipahami sama persis (identik) dengan gagasan Wilson, sekalipun dari buku yang ditulisnya. Consilience yang ditawarkan Wilson terlalu besar dan sangat rumit, gagasan kemeryatuannya meliputi pengetahuan-pengetahuan besar, dengan mengedepankan biologi yang menjadi pusat consiliencenya. Dalam kajian ini consilience bersifat lebih sederhana dan sampel, serta tidak ada maksud untuk menjadikan hukum sebagai pusat, bahkan secara ektrim tawaran ini mencoba menghilangkan pusat itu sendiri, meskipun titik tolak dimulai dari hukum sebagai bidang (ilmu) yang saya (Athon F. Susanto) tekuni. Hal tersebut dilakukan dengan dua pertimbangan, pertama , sebagai wilayah yang di dalamnya terkait berbagai hal, hukum dapat bergerak secara fleksibel, baik dalam ranah ilmu sosial, humaniora, moral dan politik, bahkan seni sekalipun. Dengan demikian upaya consilience menjadilebih masuk akal. Kedua, consilience ini mencoba memberikan alternatif berpikir dari dominasi paradigma atau mainstream berpikir dalam hukum yang ada pada saat ini. Oleh karena itu, sangat logis apabila hukum akan dikaji sebagai bidang utama, sehingga selaras dengan tema, yaitu sebuah tawaran consilience hukum. Namun demikian, consilience hukum tidak berarti menempatkan hukum lebih tinggi dari pengetahuan lainnya, sebagai sebuah titik beranjak, maka pengetahuan lain dapat memilih sesuai dengan bidang yang ditekuninya, karena consilience pada dasarnya merupakan konsep yang luas, tinggal menarik benang merahnya untuk melihat hubungan-hubungan dalam berbagai pengetahuan. Pandangan itu memiliki keuntungan bahwa hukum akan terhindar dari “egoisme” atau pandangan sempit tentang ilmu dan sekaligus membuka ruang gerak hukum lebih bebas ke dalam berbagai wilayah. Hal ini semakin menegaskan posisi bahwa consilience bukan konsep tunggal tetapi plural, setiap ilmuwan dapat menempatkan titik beranjak tertentu. Dalam Anthon F. Susanto, 2007, Hukum dari commit to user Consilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif, Bandung : Rekika Aditama, hlm., 36-38.
440 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Selanjutnya, model tersatukan merupakan upaya untuk lepas dari kungkungan pengetahuan modern (paham positivisme), yang sangat dipengaruhi oleh paradigma cartesian-newtonian dengan model berpikir reduksionisme, determinisme, objektivisme. Wilson menolak cara kerja sains cartesian-newtonian yang menempatkan adanya keterpilahan yang dikotomis terhadap obyeknya sebagai konsekuensi alamiah dari prinsip kebenaran dan universal, yaitu prinsip (pasti) dan (terpilah). Hal ini dikatakan oleh Wilson bukan kebenaran, melainkan hanya bangunan artifisial614. Berkaitan dengan hal tersebut Tamanaha mengajukan tesis yang dinamakan “mirror thesis”, pada tesis tersebut, hukum bukan sesuatu yang artifisial, melainkan sekedar pencerminan dari masyarakat. Paradigma holistik jauh berbeda dengan paradigma cartesian-newtonian. Berpikir holistik berarti tidak terisolasi, tidak tertutup dan tidak terkurung, melainkan berinterkoneksi dengan subyek-subyek lain di alam raya615. Dengan kata lain, paradigma holistik “model tersatukan” Wilson mempunyai karateristik, pertama interkoneksitas sebagai antitesa dari reduksionisme-mekanistik,
kedua,
probabilisme
sebagai
jawaban
dari
kelumpuhan determinisme, dan ketiga, kontekstualisme sebagai antitesa dari objektivisme pada paradigma cartesian-newtonian616 yang menjadi landasan berpikir paham positivisme hukum. Selanjutnya dikemukakan bahwa konsep “model tersatukan” Wilson dengan karakteristik interkoneksitas memberikan legitimasi pada gagasan hukum progresif, bahwa hukum bukan institusi yang mutlak dan final, melainkan dalam proses untuk terus menjadi (law a process, law inthe making). Dengan demikian, bahwa hukum bukanlah institusi yang absolut, otonom dan selesai, melainkan merupakan realitas dinamis yang teurs bergerak, berubah, membangun diri, seiring dengan perubahan kehidupan manusia.
614
Satjipto Rahardjo, 2006, Hukum dalam Jagat..., Op., cit., hlm., 13. Husein Heriyanto, 2003, Paradigma Holistik, Dialog Filsafat, Sains dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead, Jakarta : Teraju. commit to user 616 A. Mappadjantji Amien, dalam Faisal, Op., cit., hlm., 67. 615
perpustakaan.uns.ac.id
441 digilib.uns.ac.id
Keberadaan karateristik probabilisme menegaskan bahwa alam semesta tidak diatur oleh hukum-hukum yang bersifat deterministik sebagaimana yang diajarkan oleh paradigma cartesian-newtonian. Secara konsisten paham determinisme selalu ingin melihat hukum bergerak secara pasti dan teratur (keteraturan). Keterbatasan paham ini hanya tertuju kepada hukum sebagai suatu sistem positif dan rasional, tanpa melihat bekerjanya hukum yang digerakkan oleh perilaku sosial penegak hukum dan masyarakatnya, sehingga paham determinisme dalam hukum tidak begitu memperhatikan kompleksitas hubungan-hubungan masyarakat yang bersifat cair (fluid). Pemahaman holistik “model tersatukan” Wilson melihat probabilitas masyarakat dalam segala kompleksitasnya memberikan sedekah yang sangat berharga bagi “maksim” gagasan hukum progresif, bahwa orientasi hukum progresif bertumpu pada aspek peraturan dan perilaku (rules and behaviour), yaitu hukum ditempatkan sebagai aspek perilaku sekaligus sebagai aspek peraturan. Dimaksudkan bahwa peraturan (rules) dapat membangun suatu sistem hukum yang logis, rasional dan hukum dapat hadir untuk mendatangkan kebahagiaan bagi masyarakat, sedangkan aspek perilaku (behaviour) dimaksudkan bahwa manusia akan menggerakkan peraturan dan sistem yang terbangun. Karateristik kontekstualisme menyatakan bahwa “kebenaran” tidaklah bersifat obyektif. Kebenaran sangat tergantung kepada pengamat dan cara mengamatinya. Artinya bersifat kontekstual bahwa tidak ada kebenaran yang bersifat absolut karena semuanya tergantung kepada cara pandang atau paradigma yang dianut. Paradigma holistik “model tersatukan” Wilson dengan karateristik kontekstualisme, dalam hal ini memiliki korelasi yang positif terhadap gagasan hukum progresif yang mengatakan bahwa terdapat cara berhukum yang menggunakan paradigma pembebasan. Hukum progresif menempatkan diri sebagai kekuatan pembebasan, yaitu membebaskan diri dari tipe berpikir legal-positivis. Paradigma pembebasan harus mampu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penegak hukum untuk tidak sekedar menjadi tawanan commit to user undang-undang. Paradigma pembebasan ini menekankan peran kreatif para
442 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penegak hukum dalam mengkonstruksikan kebenaran tidak hanya berada pada alur kebenaran tunggal (objektivisme), tetapi juga dapat menemukan kebenaran subyektif pelaku yang dikontekstualisasikan secara dinamis dengan kehidupan masyarakatnya, demi mencapai kebenaran dan keadilan yang sebenar-benarnya. Dengan begitu gagasan hukum progresif dapat dipahami telah mewakili pekembangan ilmu hukum yang terus berubah menuju pandangan yang holistik617
commit to user 617
Faisal, Op., cit., hlm 70.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB VII PENUTUP
A. Simpulan. 1. Pengujian keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara oleh hakim dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara. Tugas hakim PTUN pada dasarnya adalah menguji keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan di muka pengadilan, dan pengujian oleh hakim tersebut dilakukan berdasarkan pada peraturan perundangundangan yang dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) sebagaimana ditentukan pada Pasal 53 ayat (2) huruf (a), (b) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang PTUN. Ketentuan tersebut memberikan makna, bahwa penerapan undang-undang oleh hakim dalam menyelesaikan sengketa sangat dipengaruhi oleh positivisme hukum yang menganggap undang-undang sebagai satu-satunya sumber hukum, undang-undang sangat mendominasi terhadap cara berhukum di pengadilan, sehingga dalam proses di pengadilan hakim dibimbing oleh atau untuk tunduk pada undang-undang. Hakim terikat pada keberadaan undang-undang dalam menyelesaikan sengketa atau sebagai dasar pengujian keabsahan keputusan tata usaha negara. Dalam praktik di pengadilan bahwa hakim dalam melakukan pengujian terhadap keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) tidak selalu mendasarkan kepada undang-undang dalam bentuk yang tertulis sebagaimana produk legislatif dan tidak menganggap undang-undang sebagai satu-satunya sumber hukum. Undang-undang dalam bentuk yang tertulis dianggap bukan sebagai pedoman satu-satunya atau pedoman yang mutlak sebagai dasar untuk menyelesaikan sengketa. Dalam menyelesaikan sengketa mereka lebih mendasarkan pada fakta, dengan menggali dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Di samping undang-undang, hakim juga melihat pada realita masyarakat, yaitu nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat yang tumbuh dan commit user berkembang sebagai kearifan lokal.to Undang-undang semata tidak dapat
443
444 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengakomodasi semua kepentingan masyarakat yang terus berkembang dan kurang dapat mewujudkan keadilan sebagaimana diharapkan komunitas pencari keadilan. Hakim dalam menjatuhkan putusannya dalam pertimbangan hukumnya tidak selalu berpedoman pada undang-undang, karena undangundang sebagai argumentasi dalam pertimbangan hukum, karena kurang atau tidak dapat mewakili rasa keadilan substansial dan lebih mengedepankan keadilan prosedural yang tidak diharapkan masyarakat. Hakim dalam menjatuhkan putusan berani melakukan contra legem, yaitu menjatuhkan putusan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian juga dalam hubungannya dengan pengujian keabsahan beschikking yang didasarkan pada asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB), hakim tidak terikat dengan asas-asas tersebut, walaupun asas-asas tersebut telah mendapatkan kedudukan secara yuridis formal dalam undangundang. Asas-asas umum pemerintahan yang baik sifatnya sangat terbatas, belum mewakili kepentingan dalam masyarakat, sehingga hakim dalam memutuskan sengketa
dalam pertimbangan
hukumnya
tidak
mutlak
menggunakan asas-asas sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang. Hakim sebagai aktor dalam proses peradilan mempunyai kebebasan untuk memahami, memperhatikan, dan menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam
masyarakat
sebagai
kearifan
lokal
yang
perlu
dipertahankan, dipelihara dan ditumbuh-kembangkan dalam menyelesaikan sengketa untuk memenuhi nilai keadilan yang bersifat substansial atau material yang diharapkan oleh komunitas masyarakat. Dalam pengujian keabsahan keputusan tata usaha negara (beschikking), hakim telah melakukan pergerakan pemikiran mulai dari normatif positivisme ke pemikiran sosiologis atau menanggalkan cara berhukum yang selalu dibelenggu oleh ketentuan-ketentuan dalam undang-undang yang lebih mengedepankan bentuk formalnya, aturan-aturan yang bersifat normatif, karena undang-undang tidak selalu lengkap, tidak sempurna, kurang atau tidak user cenderung untuk memahami, jelas, usang atau ketinggalancommit jaman.to Hakim
perpustakaan.uns.ac.id
445 digilib.uns.ac.id
memperhatikan dan menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, karena dinilai lebih mencerminkan keadilan yang substansial atau material dan dimaksudkan untuk memelihara tumbuh berkembangnya hukum sebagai cermin dalam masyarakat.
2. Pemikiran Hakim Dalam Menghadapi Sengketa Tata Usaha Negara yang Belum Diatur Dalam Undang-undang atau Telah Diatur, Tetapi Tidak Atau Kurang Jelas Mengaturnya. Undang-undang yang dijumpai dalam masyarakat tidak selalu lengkap, sempurna, undang-undang kabur, tidak atau kurang jelas, dapat dijumpai suatu masalah atau sengketa tidak atau belum diatur, atau telah diatur dalam undang-undang, tetapi kurang atau tidak jelas atau belum diatur. Dalam menghadapi hal yang demikian, maka diperlukan kemampuan pemikiran dari hakim untuk menyelesaikan masalahnya. Hakim tidak hanya mengedepankan atau mendasarkan kepada undang-undang semata dalam menyelesaikan sengketa yang diperiksanya, hakim harus melakukan upaya untuk melengkapi, menjelaskan keberadaan undang-undang tersebut. Dalam menghadapi suatu peristiwa atau sengketa tata usaha negara yang belum diatur dalam undang-undang, hakim melakukan konstruksi hukum untuk menemukan hukum agar dapat diterapkan pada peristiwanya atau untuk mendapatkan solusi terhadap sengketanya. Konstruksi yang dilakukan hakim terhadap undang-undang tidak hanya bersifat melengkapi, menyempurnakan dan menjelaskan, tetapi hakim dapat mengisi kekosongan hukum atau undangundang dengan melakukan abstraksi atau mengabtraksika prinsip suatu ketentuan untuk kemudian diterapkan dengan cara memperluas berlakunya prinsip tersebut pada suatu peristiwa yang belum diatur dalam undang-undang, memberlakukan dengan cara berlawanan terhadap peristiwa yang belum diatur. Hakim melakukan konstruksi hukum dengan tujuan untuk mengisi kekosongan hukum atau undang-undang, karena hakim atau pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara userada atau kurang jelas, melainkan yang diajukan dengan dalih commit hukum to tidak
446 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Hakim menggali, memahami dan memperhatikan serta dengan terjun ke dalam masyarakat untuk menemukan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Konstruksi hukum dilakukan hakim di samping untuk mengisi kekosongan hukum juga agar terwujud keadilan substansial sebagaimana diharapkan oleh komunitas masyarakat marginal. Demikian juga terhadap peristiwa atau sengketa tata usaha negara yang telah diatur, namun kurang atau tidak jelas pengaturannya dalam undangundang, hakim melakukan interpretasi atau penafsiran hukum untuk melengkapi, menjelaskan dan menyempurnakan undang-undang yang belum lengkap, belum jelas dan masih kabur, agar undang-undang dapat diterapkan pada peristiwanya. Di samping hukum dalam bentuknya yang tertulis, hakim juga memperhatikan hukum yang tidak tertulis dalam realita kehidupan masyarakat. Interpretasi atau penafsiran yang dilakukan hakim tidak hanya bersifat melengkapi dan menjelaskan, namun juga menafsirkan kultur hukumnya sebagai cermin dan budaya dalam masyarakat. Dalam menjatuhkan putusan tidak hanya didasarkan pada undang-undang sebagai pedoman semata yang dituangkan dalam pertimbangan hukumnya, hakim juga menggunakan perasaan, hati-nurani dan empati. Perubahan
atau
adanya
pergerakan
pemikiran
hakim
tersebut
menunjukkan atau membuktikan dominasi hukum yang bersifat normatif tidak lagi mengikat atau membelenggu pemikirannya. Hakim sudah mulai lebih aktif, kreatif, dan visioner, tidak hanya mengandalkan logika saja dalam menyelesaikan menjatuhkan
sengketa putusan
yang
terhadap
diajukan sengketa
kepadanya, yang
mereka
dalam
diperiksanya
dalam
pertimbangan hukumnya sudah menampakan adanya atau menggunakan empati, perasaan, dan hati-nuraninya. Hakim juga berani melakukan contra legem, yaitu mengambil putusan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hakim dalam memutus sengketa selalu didasarkan pada fakta bukan commit to user menurut undang-undang. Dalam hal ditemukan bahwa undang-undang yang
447 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menurut hakim tidak mampu menyelesaikan sengketa yang mengedepankan keadilan semua pihak, hakim dapat menyimpang dari aturan tersebut sepanjang pertimbangan hakim berorientasi kepada nilai-nilai kebaikan dan kemanfaatan dari kedua belah pihak yang bersengketa. Penempatkan AAUPB sebagai norma hukum yang secara yuridis formal yang diatur dalam Undangundang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, tidak membatasi atau mengikat hakim untuk terus merumuskan dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu, hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim memiliki kebebasan untuk mendapatkan kebenaran, bahkan hakim wajib menggali nilainilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Dalam menyelesaikan sengketa memang harus berpedoman atau berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, namun hakim harus lebih hati-hati terhadap kevalidan undang-undang tersebut, kesesuain undang-undang dengan kehidupan
dalam
masyarakat,
pencerminan
undang-undang
terhadap
eksistensi kehidupan masyarakat yang selalu tumbuh dan berkembang. Undang-undang tidak secara otomatis dapat mengikuti perubahan perkembangan masyarakat, sering dijumpai undang-undang yang mengatur sesuatu tidak jelas, normanya jelas dan tidak usang, tetapi tidak tepat untuk diterapkan dalam suatu peristiwa konkret, karena apabila diterapkan akan mencederai prinsip-prinsip keadilan dalam masyarakat. Dalam menghadapi keadaan undang-undang yang demikian itu, hakim peradilan administrasi dalam memutus, menyelesaikan sengketa dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 5 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu menggali, memahami dan memperhatikan nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat. Pemikiran hakim yang dituangkan dalam pertimbangan hukum adalah wujud argumentasi penalaran hukumnya untuk sampai pada penjatuhan putusan. Hal tersebut sudah barang tentu hakim harus mempunyai modal commityang to user kemampuan dan kualitas intelektual tinggi, wawasan yang jauh ke depan
448 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(visioner), mempunyai rasa pengabdian yang mendalam dengan tugasnya, mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan, pintar, hakim yang jujur, profesional, berwibawa dan progresif, bukan saja dikenal pintar, tetapi mampu mempertahankan independensi, profesional, yaitu aktif, kreatif, hakim tidak boleh membawa logika hukum terlalu jauh, sehingga menjadi tawanan undang-undang, hakim tidak sekedar memeriksa masalah yang dihadapi. Hakim berkewajiban untuk mengetahui keadaan sekitar masalah yang bersangkutan, hakim dalam memutus harus secara profesional memperhatikan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, hakim mempunyai pandangan ke depan, memutus dan memeriksa, menyelesaikan sengketa dengan hati-nurani, empati.
3. Membangun Konstruksi Penemuan Hukum oleh Hakim untuk Mewujudkan Tujuan Hukum. Manusia terus-menerus berusaha untuk membangun lingkungannya, ingin mengetahui mengenai keberadaan diri dalam perubahan yang terus terjadi dalam masyarakat, bergerak terus menerus melalui proses konstruksi besar-besaran. Manusia berusaha menanggapi permasalahan yang terjadi dalam lingkungannya yang terus-menerus berubah melalui upaya interpretasi. Sesuai dengan konteks kegiatan kolektif tertentu yang mereka lihat, manusia cenderung melihat secara berbeda-beda dunia sekitarnya. Sebelum melakukan tindakan yang sebenarnya, seseorang terlebih dahulu menimbang berbagai alternatif yang ada melalui pertimbangan pemikirannya. Melalui proses interaksi dengan dirinya sendiri itu, individu memilih yang mana di antara stimulus yang tertuju kepadanya itu yang akan ditanggapi. Hakim
sebagai
aktor
dalam
proses
persidangan
mempunyai
kemampuan untuk mengadakan pilihan-pilihan yang lebih baik sebagaimana diharapkan masyarakat. Aktor ingin mencapai tujuan dalam situasi di mana norma atau varibel-varibel saling mempengaruhi dalam memilih alternatif cara dan alat untuk mencapai tujuan yang lebih atau membawa kemanfaatan, commit to kemampuan user pilihan-pilihan tersebut ditentukan oleh aktor atau hakim. Hakim
449 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tidak mudah untuk menentukan pilihan, maka diperlukan kemampuan dan kualitas hakim yang lebih mumpuni dalam menjalankan tugasnya. Pemikiran hakim dalam kaitan dengan pelaksanaan tugasnya, yaitu penerapan undang-undang untuk menyelesaikan permasalahan hukum sangat dipengaruhi oleh hukum atau ajaran yang berlaku pada saat situasi dan kondisi peristiwa tersebut muncul atau cara berhukum sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi lingkungan masyarakatnya. Hakim masih mengedepankan ketentuan perundang-undangan yang bersifat normatif-dogmatif, pemikiran hakim masih bersifat linear thinking, mereka masih terbelenggu atau berkutat pada pemikiran yang mekanistik, subsumtif, sehingga yang dihasilkan keadilan yang bersifat prosedural atau formal. Hakim dilarang untuk melakukan penafsiran terhadap ketentuan undang-undang, hakim hanya menjalankan undang-undang yang dibuat oleh penguasa. Pemikiran-pemikiran yang bersifat perbaikan, menggeser atau memperluas pandangan terhadap undang-undang sebagai satu-satunya sumber hukum bermunculan dan untuk melakukan kritik. Pada kenyataannya pendekatan undang-undang tidak sepenuhnya menyelesaikan permasalahan. Penyelesaian permasalahan yang berorientasi kepada peraturan perundang-undangan atau hukum positif hanya akan menyentuh gejala permasalahan, belum pada akar permasalahan. Untuk dapat melakukan penyelesaian permasalahan secara tuntas, maka perlu digunakan pendekatan secara realitas, karena undangundang tidak dapat mengakomodasi kepentingan dalam masyarakat. Hakim berani melakukan pergerakan perubahan pemikiran atau pergeseran pemikiran dari cara berhukum yang
berkutat pada ketentuan undang-undang yang
formal, atau dalam bentuknya tertulis yang dibuat oleh pihak yang memiliki kewenangan dalam suatu negara untuk keluar dari belenggu atau pengaruh aliran positivisme hukum. Hakim mempunyai keberanian keluar dari belenggu undang-undang, mereka menjatuhkan putusan dengan menggunakan hati-nuraninya, empati, berwawasan ke depan dan lebih mengedepankan nilai-nilai keadilan yang commit to berani user membangun sebuah pemikiran diharapkan masyarakat. Mereka mulai
450 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang muncul dari komunitas profesional minoritas, dan yang perlu dukungan atau motivasi agar dapat tumbuh subur dalam masyarakat, tidak kemudian dimatikan dengan dipangkas oleh tingkatan pengadilan yang lebih tinggi atau yang lainnya. Membangun konstruksi penemuan hukum oleh hakim PTUN, yaitu dilakukan dengan dekonstruksi yang dimulai dari sikap para hakim terhadap pekerjaannya dan cara berpikir hakim. Pergerakan perubahan perilaku dan pemikiran hakim meliputi, membangun konstruksi penemuan hukum, pertama pendekatan hukum bersifat terbuka dan kedua melalui pendekatan keadilan substansial, sedangkan perubahan pemikiran yang lain melalui pendekatan holistik. Pendekatan hukum bersifat terbuka, lebih menekankan kajian-kajian hukum untuk kepentingan manusia, hukum dalam keadaan yang terusmenerus selalu berubah, terbuka dari kajian ilmu pengetahuan yang lain, seperti politik, ekonomi, etika. Dalam melakukan interpretasi, hakim tidak hanya melengkapi, menyempurnakan dan menjelaskan kekuranglengkapan, ketidakjelasan undang-undang, tetapi harus berani melakukan penafsiran pada kultur hukumnya. Pandangan bahwa hukum merupakan suatu sistem yang bersifat terbuka dan bersifat dinamis, yang terus-menerus dalam suatu proses perkembangan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa hakim dapat, bahkan harus mengisi kekosongan
hukum
atau
undang-undang.
Masyarakat
terus-menerus
berkembang atau dinamis dan menjadi lebih dinamis dengan kemajuan dalam sains dan teknologi, hakim sebagai penegak hukum dan keadilan harus meninggalkan ranah pemikiran yang lama atau menanggalkan pemikiran yang positivistik, pemikiran yang tunggal dan menggantikannya dengan pemikiran yang bersifat majemuk. Pemikiran hakim melalui pendekatan keadilan substansial. Dalam perkembangan masyarakat, hakim dituntut untuk lebih memperhatikan atau mengedepankan keadilan substansial dan keadilan tersebut sangat diharapkan oleh pencari keadilan. Sehubungan dengan hal tersebut, hakim tidak boleh commit userbersifat kaku, hakim tidak boleh terbelenggu oleh aturan dalam teks to yang
451 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terjebak dalam lingkaran hukum positif yang lebih mengedepankan logika dan peraturan dalam menyelesaikan sengketa yang dihadapinya. Pemikiran positivisme dalam ilmu hukum telah menimbulkan dan menumbuhkan cara pandang hakim (terutama) yang penuh dengan kepastian atau keteraturan yang sifatnya pasti. Hakim dalam menyelesaikan sengketa, terjebak untuk mengidentifikasikan prinsip-prinsip hukum yang relevan dengan peristiwanya dan akan menerapkan pasal-pasalnya secara mekanistik, atau menggunakan metode deduksi, sehingga dihasilkan penyelesaian sengketa yang sesuai dengan asas kepastian hukum. Pemahaman tunggal oleh hakim tersebut, akan menumbuhsuburkan atau melanggengkan kehidupan positivisme hukum terhadap teks perundang-undangan yang selama ini mendominasi cara berhukum yang melarang upaya penafsiran oleh hakim dan seakan memiliki makna kebenaran tunggal yang tidak dapat digugurkan atau diterobos oleh perubahan jaman. Untuk mewujudkan keadilan substansial dalam menyelesaikan sengketa, hakim perlu mengedepankan pemikiran yang lebih membawa kemanfaatan, yaitu penafsiran terhadap realita yang tidak membelenggu tugas hakim dalam menerapkan
undang-undang
atau
hakim
perlu
menafsirkan
atau
menginterpretasi teks undang-undang yang dikontekstualisasikan dengan realita dalam masyarakat. Teks dalam undang-undang dapat bersifat otonom untuk
dilakukan
dekontekstualisasi
dan
rekontekstualisasi.
Kegiatan
(dekontekstualisasi) adalah proses pembebasan dari teks atau memiliki arti bahwa materi teks melepaskan diri dari konteks pengarang, untuk masuk ke konteks pembaca yang mempunyai makna lebih luas lagi (rekontekstualisasi). Dalam kajian ini hakim mempunyai kebebasan untuk masuk dan kemudian memberi penafsiran terhadap teks undang-undang yang telah lepas dari pembuatnya, agar dapat berfungsi secara efektif dalam masyarakat terutama menyangkut nilai keadilan. Hakim utamanya harus betul-betul mengabdi dan berjuang demi kebenaran sebagai orang-orang yang berjihad dalam hukum, mereka tidak hanya membaca teks undang-undang dan menerapkan pasalcommit to user pasalnya, tetapi harus dihayati, diresapi dengan penuh semangat untuk keluar
452 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dari makna teks undang-undang yang ingin memberikan kemanfaatan lebih banyak kepada masyarakat. Cara berhukum yang ideal adalah ketika hakim berani untuk lepas dari belenggu perundang-undangan dan menentukan hal-hal yang dibutuhkan dalam masyarakat. Hakim tidak lagi berpikir membunyikan pasal-pasal undang-undang, melainkan bertindak aktif, kreatif dan melompat atau menerobos. Melompat dalam arti hakim berani menembus benteng ketentuan undang-undang atau tidak terikat pada kebiasaan-kebiasaan yang lama, melainkan hakim keluar dengan putusan-putusan baru sama sekali. Pemikiran yang bersifat holistik sebagai upaya membangun konstruksi penemuan hukum dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara. Sebaiknya mulai
berpikir
untuk
memperbaiki,
menggeser,
memperluas
dan
mengembangkan cara berpikir hukum yang lebih holistik-ekologis yang sesuai dengan
tuntutan
perkembangan
masyarakat
yang
semakin
dinamis
dibandingkan dengan hanya berkutat atau terbelengggu dengan hukum yang berdasarkan pada konsep artifisial dan pengolahan logika semata. Hukum harus dipandang sebagai sistem terbuka dan tidak dipandang sebagai bangunan yang disting, ranah yang esoterik. Hukum bukan sesuatu yang artifisial yang tertulis dan kaku sifatnya, melainkan hukum merupakan pencerminan dari masyarakatnya. Hakim melihat adanya relativisme kultural dalam hukum yang begitu kental, dan mulai menolak penggunaan satu standar tunggal dalam hukum, tentunya berimbas pada cara berpikir hukum oleh hakim. Mengikuti cara berpikir dalam psikologi yang telah berkembang, maka berpikir dalam hukum juga menjadi variatif dan sesungguhnya orang sudah meninggalkan berpikir logis tertutup.
B. Implikasi 1. Hukum itu berawal dan berakhir ada putusan pengadilan, artinya keberadaan hukum baru terasa jika ada sengketa. Melalui proses argumentasi dalam pertimbangan hukum yang begitu panjang, akhirnya commit to user muncul putusan hakim yang disebut hukum. Penerapan undang-undang
453 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
oleh hakim dalam tugasnya mengalami perkembangan yang masih lambat terutama dalam menyelesaikan sengketa yang berkaitan dengan nilai keadilan sebagaimana diharapkan dalam masyarakat. Hakim semakin hari semakin dituntut untuk meningkatkan profesional dan kemampuannya dalam menyelesaikan sengketa diajukan kepadanya, hal tersebut sebagai konsekuensi semakin peka dan kritisnya masyarakat terhadap eksistensi hukum
dalam
kehidupan
sehari-hari
serta
semakin
maju
dan
berkembangnya masyarakat dalam segala aspek kehidupan. Hakim dituntut untuk berpikir yang berwawasan ke depan, dituntut adanya para hakim yang berpikir. Berpikir hakim harus mengikuti perkembangan hukum di dalam masyarakat, oleh karena itu cara berpikir hakim harus bergeser atau berubah dari belenggu undang-undang yang tertulis atau normatif ke pemikiran yang bersifat holistik dengan memperhatikan realita masyarakat. Dominasi
positivisme
hukum
yang
mengalami
puncak
keemasannya atau kejayaannya pada abad ke-19, telah membawa kehidupan masyarakat terbuai dan terbelenggu oleh ajaranya yang sebelumnya telah banyak dipengaruhi oleh ajaran legisme, begitu kental dalam kehidupan masyarakat baik dalam lingkungan kaum profesi hukum sendiri maupun dalam masyarakat pada umumnya. Implikasi yang sangat nyata adalah diperankannya atau dipraktikannya ajaran tersebut dalam proses di pengadilan, termasuk di Indonesia, karena Indonesia sebagai bekas jajahan Belanda yang menganut ajaran positivisme hukum. Dalam ajaran tersebut, hakim dalam menerapkan undang-undang sangat dipengaruhi oleh keangkuhan dan kewibawaan ajaran positivisme hukum yang mengajarkan hukum sebagai norma tertulis dan tertutup dari anasiranasir yang lain, lebih mengedepankan aturan-aturan yang formal dan logika serta hasilnya dapat dipastikan, yaitu cenderung mengandalkan keadilan yang besifat formal atau prosedural. Dalam perjalanan waktu, ternyata ajaran positivisme hukum tidak commit to user semulus dan selancar pada masa sebelumnya, banyak rintangan dan
454 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hambatan yang harus dilalui, banyak kritik yang diajukan kepada ajaran positivisme hukum, seperti aliran sociological jurisprudence, realisme, critical legal studies, sehingga ajaran positivisme hukum semakin hari semakin terpojok, terjepit, terpinggirkan di makan jaman. Teori hukum tidak terlepas dari lingkungan jaman di mana teori tersebut lahir karena dia harus
menjawab
permasalahan
hukum
yang
dihadapi
atau
mempermasalahkan suatu pendapat/pikiran tentang hukum yang dominan pada saat itu. Hukum terikat pada waktu, tempat dan kultur jika ingin memenuhi funginya. Hukum merupakan ungkapan dari suatu pola kultur tertentu, gambaran manusia dan masyarakat tertentu. Dalam perkembangannya beberapa aliran yang berhubungan dengan penerapan undang-undang oleh hakim banyak bermunculan, seperti
aliran
begriffsjurisprudenz,
interessenjurisprudenz
(freirechtsschule), penemuan hukum heteronom dan otonom. Beberapa aliran tersebut sebagian besar membolehkan hakim untuk melakukan penafsiran atau interpretasi dan konstruksi hukum, hermeneutika hukum, karena undang-undang dipandang tidak sempurna, kurang atau tidak jelas, sehingga
undang-undang
tersebut
tidak
dapat
diterapakan
pada
peristiwanya. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan dituntut aktif, kreatif dan mempunyai wawasan ke depan (visioner), dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan tidak hanya mendasarkan pada undang-undang, tetapi juga dengan hati-nurani, empati dan perasaan, hakim diharapkan berani melalukan rule breaking atau terobosan tidak hanya rule making. Hakim dalam menyelesaikan sengketa tidak hanya menggunakan cara-cara tradisional dengan menerapkan undang-undang tanpa adanya peran emosi, hati-nurani dan pemikiran yang kreatif, karena mereka merasa terikat oleh kediktatoran legislatif yang sifatnya kaku dan mematikan kreativitas hakim. 2. Cara berhukum hakim PTUN dalam menyelesaikan sengketa atau pengujian terhadap keabsahan beschikking dengan telah keluar dari commit user tidak semua hakim terbelenggu undang-undang merupakan titik to terang
455 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
atau hanya berkutat pada undang-undang dalam bentuk tertulis, mereka lebih mengedepankan keadilan substansial sebagaimana yang diharapkan dalam masyarakat. Mereka telah menjalankan amanat dalam undangundang kekuasaan kehakiman untuk menggali, memahami dan mengikuti nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat, mereka telah melihat atau menengok pada realitas dalam masyarakat, berpikir secara holistik. Cara-cara berhukum yang demikian tidak hanya menggunakan cara berpikir yang mengandalkan logika, tetapi juga menggunakan hati-nurani, perasaan, dan empati. Keberanian hakim untuk melakukan penafsiran, konstruksi hukum dan hermeneutika hukum yang mempunyai pandangan jauh ke depan, perlu mendapat dukungan moral, motivasi dalam segala bidang, agar mereka mampu mengembangkan kemampuan dan kualitas keprofesionalnya yang ada padanya, sehingga mampu menghadirkan tidak hanya kepastian hukum, tetapi juga nilai keadilan yang bersifat substansial dan hal tersebut sangat bermanfaat dalam masyarakat. Keberanian hakim untuk bergerak keluar dari belenggu undangundang tidak boleh dipukul dan akhirnya mati oleh teman seprofesinya juga atasanya, karena putusan yang dijatuhkan dibatalkan. Kemunculan segelintir hakim dalam kemelut mendung atau kabut hitam hukum, merupakan bintang yang menyinarkan cahanya dan dapat memberikan penerangan atau pencerahan dalam dunia hukum. Mereka lebih berani menengok kepada kearifan lokal, realita dalam masyarakat dan akhirnya muncul hakim yang lurus atau idealis mempunyai kewajiban menggali living law. Hakim dalam menyelesaikan sengketa hendaknya bertanya lebih dahulu kepada hatinya, dan ikut merasakan dalam peristiwa yang diderita para pihak. Kreasi hakim bisa melewati dari pikiran-pikiran yang telah dibakukan oleh kekuasaan legislatif, namun hakikatnya mendekati pemikiran ideal yang umumnya diterima oleh akal sehat, perasaan dan hati-nurani. commit to user
456 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Dalam perkembangan masyarakat yang begitu kompleks, dibutuhkan hakim yang kreatif, mempunyai kualitas dan kemampuan yang tinggi, berwawasan jauh ke depan, memiliki hati-nurani dalam memutus dan menyelesaikan
sengketa,
keberanian
untuk
menafsirkan
atau
menginterpretasi undang-undang, melakukan terobosan dan keluar dari undang-undang. Hakim dalam pengujian sengketa tata usaha negara berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi undang-undang tersebut perlu dipahami, diperhatikan keberadaannya benar-benar tumbuh dari kehidupan masyarakatnya, mengakomodasi kepentingan-kepentingan masyarakat yang semakin kompleks. Hakim diharapkan mampu menjawab permasalahan hukum yang timbul dalam masyarakat secara tuntas, memberi solusi yang baik dan tidak menimbulkan permasalahan yang baru.
C. Saran 1. Dasar filosofis keberadaan Pengadilan Tata Usaha Negara adalah untuk memberikan keadilan kepada masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, hakim PTUN sebagai salah satu unsur penegak hukum dan keadilan, wajib melaksanakan hukum sesuai dengan harapan masyarakat. Hukum harus dilaksanakan dan ditegakan untuk memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat. Hukum harus diartikan dan dipahami bukan dalam bentuknya yang tertulis semata sebagai produk legislatif. Hukum harus diartikan dan dipahami dalam makna yang lebih luas dalam bentuknya yang tidak tertulis sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), yang tumbuh dan berkembang sebagai cermin kehidupan masyarakat, sebagai hukum yang baik dan diidealkan dan tidak boleh dipaksakan berlakunya. Sehubungan dengan hal tersebut, hakim di dalam tugasnya untuk menerapkan undang-undang mempunyai kewajiban lebih mengedepankan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat atau yang sering commit to user disebut dengan keadilan substansial. Hakim dalam menerapkan undang-
457 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
undang tidak hanya mengeja atau membunyikan undang-undang, atau cenderung
mengandalkan
kepada
aturan
hukum
normatif
dan
mengolahnya dengan logika, tetapi hakim harus berani keluar dari undangundang. Hakim harus lebih teliti, hati-hati dalam mencermati keberadaan undang-undang tersebut, yaitu kevalidan dari undang-undang dan apakah undang-undang telah mencerminkan kehidupan masyarakat. Undangundang yang dibuat oleh legislatif, eksistensinya sangat dipengaruhi oleh banyak variabel yang berkepentingan. Hukum dan masyarakat merupakan suatu fenomena yang tidak dapat dipisahkan. Masyarakat tempat berlindung manusia selalu berubah dan berkembang, demikian hukum yang diperuntukan manusia juga harus mengikuti perkembangan tersebut dan tidak boleh tertinggal di belakang. Berkaitan dengan hal tersebut, cara-cara berhukum harus mengikuti perubahan dan perkembangan, yaitu hakim harus berani meninggalkan tradisi-tradisi lama dalam berhukum yang hanya mengandalkan atau menerapkan undang-undang dengan menggunakan metode atau penalaran deduktif. Hakim harus berani tampil dengan kacamata atau bangunan pemikiran yang baru, mampu membangun konstruksi baru, melakukan pergerakan pemikiran yang dapat menumbuhkan dan memberikan kepercayaan masyarakat kepada lembaga pengadilan atau hakim. 2. Dalam hal undang-undang tidak atau kurang jelas, ketinggalan jaman atau usang dan ada kemungkinan suatu peristiwa belum diatur dalam undangundang, hakim diharapkan dapat melakukan penafsiran atau interpretasi hukum, konstruksi hukum dan hermeneutika hukum, agar peraturan perundang-undangan yang sifatnya abstrak dapat diterapkan kepada peristiwanya, hakim berani berjihad untuk mengeluarkan makna atau kekuatan hukum yang terkandung di dalam undang-undang. Suatu aturan yang berlakunya dipaksakan kepada warga masyarakat dan tidak mencerminkan kearifan lokal dalam masyarakat, maka aturan undangundang tesebut tidak akan dapat berlaku secara efektif. Pentingnya atau commit to user urgennya penemuan hukum oleh hakim melalui metode interpretasi,
perpustakaan.uns.ac.id
458 digilib.uns.ac.id
konstruksi dan hermeneutika hukum, dengan melihat realitas dalam masyarakat, berarti terdapat upaya hakim untuk mengangkat atau menghidupkan nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat. Hakim sebagai aktor dalam proses di pengadilan, mempunyai peranan yang begitu besar dan kedudukan yang sangat penting. Hakim dalam persidangan mempunyai banyak alternatif pilihan dan karena kemampunya tersebut dapat melakukan pilihan-pilihan yang tepat dan baik. Dalam menjatuhkan putusan, dasar pertimbangan undang-undang tidak dapat ditinggalkan, namun hakim tidak boleh terbelenggu atau terikat atau terjebak sedemikian rupa oleh keangkuhan dominasi positivisme hukum yang berpengaruh sangat kuat dalam berhukum. Di samping undangundang, hakim dalam menjatuhkan putusan juga dapat mendasarkan kepada hati-nurani, perasaan dan empati, dan melihat realitas, sehingga putusan yang dijatuhkan sesuai dengan harapan masyarakat tentang keadilan substansial. Hakim harus berani melakukan pergesesan, memperbaiki, memperluas, pemikiran berhukum dari sekedar memutus sengketa menjadi menyelesaikan sengketa sampai ke akar-akarnya, untuk dapat mewujudkan dasar filosofis dibentuknya peradilan tata usaha negara, yaitu memberikan keadilan kepada masyarakat. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan diharapkan mampu melakukan pergerakan pemikiran dari mulai normatif positivisme untuk menuju ke pemikiran yang sosiologis, melihat realita masyarakat, mampu menggali, memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Keberanian untuk keluar dari keterikatan undang-undang harus mendapat motivasi dan dukungan dari hakim lainnya dan terutama dari pengadilan yang di atasnya, tidak dimatikan kreatifnya dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh akal sehat dan tujuan hukum dalam masyarakat. Pemerintah lebih meningkatkan kualitas dan kemampuan hakim melalui pendidikan dan pelatihan yang lebih intensif. 3. Hakim harus berani membangun konstruksi penemuan hukum dengan commit to hakim user yang dipengaruhi oleh ajaran melakukan dekontruksi pemikiran
459 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
legisme dengan melihat hukum sebagai kenyataan di dalam masyarakat. Melakukan pergerakan pemikiran, yaitu memperbaiki, menggeser, merubah dan memperluas pemikiran dalam berhukum dengan keluar dan berijtihad dari belenggu undang-undang. Pertimbangan hukum sebagai wadah argumnentasi penalaran hukum dalam memutus dan menyelesaikan sengketa tidak hanya didasarkan pada undang-undang, tetapi harus menggunakan hati-nurani, perasaan, empati, hakim aktif, kreatif dengan lebih mengedepankan nilai-nilai keadilan (sosial) dalam masyarakat. Berdasarkan kemampuan dan keahliannya dalam proses di pengadilan, hakim sebagai aktor utama dapat mempertimbangkan berbagai alternatif pilihan yang tersedia untuk mencapai tujuan yang dikehendaki dalam masyarakat. Hakim dalam menerapkan undang-undang mempunyai kebebasan, maka tidak boleh terpengaruh oleh kekuatan eksekutif dan legislatif.
commit to user