1
Penyelesaian Sengketa Konstruksi Dalam Bidang Investasi Infrastruktur A. PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat memiliki tujuan dan cita-cita untuk mengisi kemerdekaanya, cita-cita negara Indonesia termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 yang menyatakan bahwa “ Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”. Melihat daripada rumusan pembukaan UUD 1945 tersebut maka Negara Indonesia memiliki 4 cita-cita utama yakni Melindungi seluruh rakyat Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan rakyat Indonesia dan berperan aktif untuk mewujudkan perdamaian dan ketertiban dunia. Dalam rangka memajukan kesejahteraan umum tentu dibutuhkan suatu pertumbuhan ekonomi yang baik yang dapat memberikan pendapatan layak bagi rakyat Indonesia sehingga kebutuhan hidupnya dapat tercukupi. Pertumbuhan ekonomi tidak dapat kita lepaskan dengan melakukan pembangunan-pembangunan infrastruktur karena dengan adanya infrastruktur yang memadai akan membuka peluang terciptanya suatu lapangan kerja yang merupakan bagian daripada penggerak ekonomi. Pembangunan berbagai 2
infrastruktur tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit oleh karena itu dibutuhkan peranan berbagai pihak untuk dapat bersama-sama mengambil andil dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Perkiraan kebutuhan pendanaan untuk penyediaan infrastruktur yang ditetapkan dalam MP3EI dalam RPJMN 2010-2014 adalah sebesar Rp.1.923,7 Triliun. Angka kebutuhan ini cukup besar namun harus diupayakan agar dapat tercapai sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai 7%. Dari jumlah Rp. 1.923,7 Triliun tersebut kemampuan pemerintah hanya sekitar Rp. 559, 54 Triliun sedangkan potensi pendanaan dari yang bersumber dari Non APBN (BUMN, Swasta, dan APBD) sekitar Rp. 1.040, 59 Triliun. Apabila ditambah antara kesanggupan APBN dan non APBN tersebut diatas maka jumlahnya Rp. 1.600, 13 Triliun artinya masih ada gap (kekurangan) untuk membiaya pembangunan infrastruktur sebagaimana yang telah ditargetkan pemerintah yakni sebesar Rp. 323, 67 Triliun.1 Kekurangan pendanaan untuk membangun infrastruktur itu diharapkan dapat diisi dengan adanya investasi dari luar negeri atau Penanaman Modal Asing agar dapat menutupi kekurangan dimaksud sehingga pembangunan infrastruktur sebagaimana yang ditargetkan pemerintah dapat tercapai.
1
Terms Of Reference Pada Seminar Nasional Kebijakan Penyelesaian Sengketa Investasi Infrastrktur yang dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di Jakarta Pada Tanggal 7 September 2015.
3
Investasi dari luar negeri memang dapat menjadi suatu harapan dalam mengisi kekurangan pembiayaan pembangunan infrastruktur di Indonesia, akan tetapi hal ini bukanlah perkara yang mudah mengingat investor dari luar negeri memiliki beberapa pertimbangan sebelum menginvestasikan modalnya di suatu negara. Sedikitnya ada 3 faktor penghambat masuknya investai luar negeri yakni: Pertama faktor politik, faktor politik dalam negeri sangat memberikan pengaruh kepada niat investor asing dalam melakukan penanaman modal. Faktor politik ini terkait dengan faktor keamanan dalam hal ini pemerintah harus dapat memberikan jaminan bahwa kondisi keamanan di negaranya kondusif dan tidak ada kerusuhan sosial yang dapat merugikan investor. Faktor politik terkait juga dengan kebijakan pemerintah artinya kebijakan pemerintah harus konsisten untuk memberikan jaminan kepada investor bahwa kebijakan yang diambil pemerintah dapat memberikan keuntungan bagi para investor. Kedua faktor ekonomi, faktor ekonomi berkaitan dengan sarana, pra sarana, tekhnologi, dan sumber daya manusia. Hal demikian sangat berpengaruh terhadap keinginan investor asing untuk dapat menanamkan modalnya di suatu negara tertentu, karena jika investor asing yang ingin menanamkan modalnya pasti memperhatikan sarana dan pra sarana yang ada agar investasi yang sesuai dengan bidang yang ingin diinvestasikan dapat terealisasi begitu pun dengan tekhnologi dan sumber daya manusia merupakan faktor yang menjadi perhatian investor mengingat jika investor yang berencana menanamkan modalnya namun negara yang 4
dituju belum memiliki tekhnologi dan sumber daya manusia yang dapat mengoperasikannya maka investasi yang ingin dilakukan oleh investor akan terhambat. Ketiga faktor hukum, faktor hukum merupakan faktor yang sangat penting dan menjadi perhatian bagi investor sebelum melakukan penanaman modal di suatu negara. Ketidakpastian hukum akan mengakibatkan investor tidak ingin menanamkan modalnya di suatu negara. Ketidakpastian hukum tersebut seringkali terkait dengan peraturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih satu sama lain misalnya adanya perbedaan pengaturan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau terkait dengan suatu pemahaman hukum misalnya dalam pemahaman universal suatu sengketa merupakan sengketa di bidang keperdataan namun dengan alasan tertentu ditarik menjadi permasalahan pidana. Hal-hal yang demikian memunculkan suatu ketidakpastian hukum yang tentunya dapat menghambat investasi di Indonesia, dan dengan terhambatnya investasi tersebut maka pembangunan infrastruktur juga dapat terhambat. Pembangunan infrastruktur dapat dilakukan dengan beberapa cara yakni bisa dengan government to government atau government dengan pihak swasta. Tentu di dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur tidak jarang terjadi sengketa (dispute) antara pengguna jasa konstruksi dengan pelaksana jasa konstruksi. Sengketa demikian merupakan hal yang biasa-biasa saja dan merupakan suatu hal yang sudah sering terjadi, namun yang perlu dicermati adalah bahwa dispute tersebut harus dapat diselesaikan secara adil 5
bagi seluruh pihak. Penyelesaian sengketa pembangunan infrastruktur ini dapat diselesaikan melalui jalur pengadilan, namun juga dapat diselesaikan melalui jalur alternatif penyelesaian sengketa (Badan Arbitrase). Pada saat ini arbitrase telah berkembang menjadi salah satu metode penyelesaian sengketa yang diminati oleh para pelaku usaha karena karakteristik penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase dipandang cukup friendly bagi dunia usaha. B. Kontrak Kerja Konstruksi Sebagai Landasan Hukum Pembangunan Infrastruktur Pembangunan infrastruktur erat kaitannya dengan pengerjaan jasa konstruksi karena pembangunan infrastruktur selalu diikuti dengan pengerjaan dibidang konstruksi. Pekerjaan di bidang jasa konstruksi minimal melibatkan dua pihak dalam pengerjaannya yakni pengguna jasa konstruksi dan pelaksana jasa konstruksi, pengguna jasa konstruksi ini bisa berasal dari pihak pemerintah dengan mengunakan anggaran APBN atau APBD, perusahaan swasta, BUMN, BUMD dll, atau dari investor asing yang ingin menanamkan modalnya di bidang pembangunan infrastruktur di Indonesia. Di dalam melaksanakan pekerjaan jasa konstruksi dibutuhkan suatu hal yang dapat menjelaskan hak dan kewajiban pengguna jasa konstruksi maupun pelaksana jasa konstruksi. Hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pengguna jasa konstruksi maupun pelaksana jasa konstruksi tersebut dituangkan dalam kontrak/perjanjian. Perlunya dituangkan terkait dengan hak dan kewajiban pengguna jasa konstruksi 6
dan pelaksana jasa konstruksi ke dalam kontrak/perjanjian agar ada acuan dan kepastian hukum di dalam mengerjakan pekerjaan jasa konstruksi. Kontrak/perjanjian bersumber dari suatu perikatan sebagaimana yang dijelaskan dalam Buku III KUHPerdata (mengenai kekayaan harta benda) dalam Pasal 1313 yang menyatakan bahwa perikatan adalah suatu hubungan antara dua orang yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang-orang yang lainnya diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Melihat definisi dari perikatan sebagaimana Pasal 1313 KUHPerdata maka dapat dinyatakan bahwa kontrak/perjanjian merupakan suatu hubungan hukum karena itu setiap kontrak/perjanjian wajib hukumnya untuk dilaksanakan apabila tidak dilaksanakan tentu memiliki konsekuensi hukum. Saat ini istilah kontrak atau perjanjian seringkali masih dipahami secara kurang tepat dalam praktik bisnis. Pelaku bisnis banyak yang memahami kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang berbeda. Padahal secara dogmatic, KUHPerdara sebagai produk hukum kontrak warisan kolonial Belanda menggunakan istilah “overenkomst” dan “contract” untuk pengertian yang sama, sebagaimana dapat dicermati dari judul Buku III titel kedua tentang perikatan-perikatan yang lahir dari kontrak atau perjanjian yang dalam Bahasa Belanda sebagai bahasa aslinya yakni “Van verbantenissen die uit contract of overeenkomst geboren worden”. Selain itu secara teoritik, 7
banyak juga ahli hukum kontrak yang berpandangan bahwa istilah kontrak dan perjanjian mempunyai pengertian yang sama yaitu antara lain Nieuwehuis, Mariam Darul Badrulzaman, J. Satrio, dan Purwahid Patrik.2 Pemahaman berbeda tentang istilah kontrak dengan perjanjian ditegaskan oleh R. Subekti. Ia menyatakan bahwa istilah kontrak mempunyai pengertian yang lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang dibuat secara tertulis.3 Jadi dalam pemahaman R. Subekti, suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis saja yang dapat disebut sebagai kontrak sedangakan perjanjian yang dibuat secara tidak tertulis (lisan) tidak dapat disebut dengan istilah kontrak, melainkan perjanjian atau persetujuan. Perbedaan pandangan ahli hukum terkait dengan pengertian kontrak dan perjanjian hanya sebatas pada tertulis atau tidaknya suatu persetujuan diantara kedua belah pihak, akan tetapi tertulis atau tidaknya persetujuan tersebut tidak mengurangi esensi dari hubugan hukum antara kedua belah pihak karena baik tertulis atau tidak sama-sama merupakan hubungan hukum yang mengikat dalam suatu perikatan. Selain itu syarat sahnya suatu perjanjian atau kontrak diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang memberikan 4 syarat sahnya suatu perjanjian yakni: 2
Muhammad Syaifudin, Hukum Kontrak Memahami Kontrak Dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), CV. Mandar Maju, Bandung, 2012, hlm. 15. 3 R. Subekti Hukum Perjanjian, Intermesa, Jakarta, 1996, hlm. 1.
8
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (de toestemming van degen die zich verbinden); 2. Cakap untuk membuat suatu kontrak (de bekwaamheid om eene verbintenis aan te gaan) 3. Objek atau pokok persoalan tertentu atau dapat ditentukan (eene bepald onderwerp objekt) 4. Sebab atau cause yang tidak dilarang (eene geoorloofde oorzak). Suatu kontrak yang tidak memenuhi syarat sahnya suatu perikatan sebagaimana yang dinyatakan diatas maka akan mempunyai akibat terhadap sahnya suatu kontrak/perjanjian. Akibat tersebut yakni: jika syarat sepakat dan kecakapan (syarat subjektif) tidak dipenuhi maka akan mengakibatkan kontrak/perjanjian tersebut dapat dibatalkan sehingga tidak berlaku lagi. Pembatalan karena tidak terpenuhinya syarat subjektif dimaksud harus dimintakan pembatalannya ke Pengadilan. Sedangkan apabila syarat objek dan sebab yang tidak terlarang tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut akan batal demi hukum artinya tanpa melalui proses pembatalan, kontrak tersebut sudah batal atau dengan kata lain kontrak tersebut dianggap tidak pernah ada. Namun apabila kontrak/perjanjian telah memenuhi rumusan Pasal 1320 KUHPerdata yang merupakan syarat sahnya suatu kontrak/perjanjian maka kontrak/perjanjian tersebut akan mengikat bagi para pihak yang telah mengikatkan dirinya pada kontrak/perjanjian yang telah dibuat tersebut. Asas kekuatan mengikat kontrak mengharuskan para pihak untuk memenuhi apa yang telah 9
mereka rumuskan kedalam kontrak. Mengikatnya suatu kontrak/pejanjian bagi para pihak yang membuatnya diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua kontrak yang dibuat sesuai dengan undangundang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Mengikatnya suatu kontrak layaknya undang-undang bagi para pihak yang membuatnya merupakan suatu asas hukum yang berlaku universal yakni asas pacta sun servanda. Rumusan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata jelas mengatakan bahwa kontrak itu mengikat bagi para pihak yang membuatnya, hal ini memiliki arti bahwa yang bertangung jawab penuh terhadap pelaksanaan suatu kontrak yang telah dibuat adalah para pihak yang membuatnya maka pihak-pihak yang tidak terikat dalam kontrak/perjanjian tidak dapat menuntut terhadap pelaksanaan suatu kontrak/perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak. Mengingat Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa kontrak itu memiliki kekuatan mengikat sehingga apabila kontrak itu diingkari oleh salah satu pihak maka pelaksanaan terhadap kontrak dimaksud bisa dipaksakan melalui pranata hukum yang telah diatur dalam undang-undang yakni bisa melalui Pengadilan atau pun dengan cara Alternatif Penyelesaian Sengketa. Hal ini sejalan dengan pendapat Herlien Budiono yang menyatakan bahwa adagium pacta sun servanda (yang terkandung dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata) diakui sebagai aturan yang menetapkan bahwa semua kontrak yang dibuat manusia satu sama lain, dengan mengingat 10
kekuatan hukum yang terkandung di dalamnya, dimaksudkan untuk dilaksanakan dan pada akhirnya dapat dipaksakan penataannya.4 Asas mengikatnya suatu kontrak sangat berkaitan dengan asas kebebasan berkontrak mengingat apabila di dalam menjalankan asas kebebasan berkontrak terdapat unsur-unsur yang melanggar ketentuan undang-undang maka asas kekuatan mengikatnya suatu kontrak dapat dikesampingkan sehingga kontrak yang dibuat menjadi tidak mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Pada dasarnya asas kebebasan membuat kontrak memberikan kebebasan bagi para pihak untuk menentukan apa saja yang ingin mereka perjanjikan sekaligus menentukan apa saja yang tidak dikehendakinya untuk dicantumkan dalam kontrak. Namun, asas kebebasan membuat kontrak tidak berarti bebas tanpa batas karena ada peran negara mengintervensi hal ini untuk melindungi pihak yang lemah secara sosial dan ekonomi atau untuk melindungi ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan.5 Hal ini sejalan dengan Pasal 1337 KUHPerdata yang melarang kontrak dengan substansi isinya bertentangan dengan undangundang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pelaksanaan pekerjaan jasa konstruksi untuk melakukan pembangunan infrastruktur dilakukan berdasarkan kontrak 4
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia; Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 117. 5 Muhammad Syaifuddin, op.cit. hlm. 89.
11
kerja konstruksi antara pengguna jasa konstruksi dan pelaksana jasa konstruksi. Kontrak kerja konstruksi sama dengan prinsip kontrak secara umum baik itu terkait dengan syarat sahnya kontak/perjanjian atau prinsip mengikatnya suatu kontrak/perjanjian bagi para pihak. Di dalam UndangUndang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi pada Pasal 1 angka 8 menyatakan bahwa kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen kontrak yang mengatur hubungan hukum antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Selanjutnya di dalam Pasal 47 Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang jasa konstruksi mengatur mengenai persyaratan isi dalam suatu kontrak kerja konstruksi yakni kontrak jasa konstruksi paling sedikit harus mencakup sebagai berikut: Kontrak Kerja Konstruksi paling sedikit harus mencakup uraian mengenai: 1. Para pihak, memuat secara jelas identitas para pihak; 2. Rumusan pekerjaan, memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan, harga satuan, lumsum, dan batasan waktu pelaksanaan; 3. Masa pertanggungan, memuat tentang jangka waktu pelaksanaan dan pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab Penyedia Jasa; 4. Hak dan kewajiban yang setara, memuat hak Pengguna Jasa untuk memperoleh hasil Jasa Konstruksi dan kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang diperjanjikan, serta hak Penyedia Jasa untuk memperoleh informasi dan imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan layanan Jasa Konstruksi; 12
5. Penggunaan tenaga kerja konstruksi, memuat kewajiban mempekerjakan tenaga kerja konstruksi bersertifikat; 6. Cara pembayaran, memuat ketentuan tentang kewajiban Pengguna Jasa dalam melakukan pembayaran hasil layanan Jasa Konstruksi, termasuk di dalamnya jaminan atas pembayaran; 7. Wanprestasi, memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan; 8. Penyelesaian perselisihan, memuat ketentuan tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan; 9. Pemutusan Kontrak Kerja Konstruksi, memuat ketentuan tentang pemutusan Kontrak Kerja Konstruksi yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak; 10. Keadaan memaksa, memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak; 11. Kegagalan Bangunan, memuat ketentuan tentang kewajiban Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa atas Kegagalan Bangunan dan jangka waktu pertanggungjawaban Kegagalan Bangunan; 12. Pelindungan pekerja, memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial; 13. Pelindungan terhadap pihak ketiga selain para pihak dan pekerja, memuat kewajiban para pihak dalam hal terjadi suatu peristiwa yang menimbulkan kerugian atau menyebabkan kecelakaan dan/atau kematian; 13
14. Aspek lingkungan, memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan ketentuan tentang lingkungan; 15. Jaminan atas risiko yang timbul dan tanggung jawab hukum kepada pihak lain dalam pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi atau akibat dari Kegagalan Bangunan; dan 16. Pilihan penyelesaian sengketa konstruksi. Selain dari ke 16 syarat tersebut jika terkait dengan perencanaan jasa konstruksi maka harus memuat tentang ketentuan Hak Atas Kekayaan Intektual (Pasal 48). Merujuk pada Pasal 1 angka 8 jo Pasal 47 Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi maka pekerjaan jasa konstruksi merupakan suatu hubungan hukum yang dituangkan dalam bentuk kontrak dengan memiliki syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Oleh karena itu kontrak kerja konstruksi yang dibuat sesuai dengan undang-undang yang berlaku baik itu KUHPerdata (1320 KUHPerdata) maupun Undang-Undang Jasa Konstruksi akan mengikat layaknya undang-undang bagi para pihak yang telah menyepakati/mengikatkan diri dalam kontrak dimaksud (1338 KUHPerdata). Di dalam KUHPerdata juga mengenal adanya bentukbentuk perjanjian untuk melakukan pekerjaan yaitu terdiri dari:6 1. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu 2. Perjanjian kerja/buruh 3. Perjanjian pemborongan pekerjaan 6
R. Subekti, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm. 57.
14
Dalam perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu suatu pihak menghendaki dari pihak yang lain untuk melakukan suatu pekerjaan dimana untuk mencapai suatu tujuan tersebut ia bersedia membayar upah/jasa sedangkan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut dan biasanya juga sudah ditentukan tarif jasanya.7 Pasal 1601 KUHPerdata menyatakan bahwa selain persetujuan-persetujuan untuk melakukan sementara jasajasa yang diatur oleh ketentuan-ketentuan yang khusus untuk itu dan syarat-syarat yang diperjanjikan dan jika itu tidak ada oleh kebiasaan, maka adalah dua macam persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk melakukan pekerjaan bagi pihak yang lainnya untuk menerima upah, persetujuan perburuhan dan pemborongan pekerjaan”. Berdasarkan ketentuan dalam KUHPerdata dan bentuk-bentuk perjanjian yang ada di KUHPerdata maka kontrak kerja konstruksi dapat digolongkan sebagai perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu. Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa kontrak kerja konstruksi sebagai landasan pengerjaan pembangunan infrastruktur merupakan suatu hubungan hukum yang bersifat keperdataan bagi para pihak yang secara sepakat telah mengikatkan dirinya dalam suatu kontrak kerja konstruksi. Oleh karena itu apabila terjadi sengketa terkait dengan pelaksanaan kontrak kerja konstruksi baik itu karena didasari adanya suatu wanprestasi 7
Ibid. hlm. 58.
15
maupun perbuatan melawan hukum (onrechmatigdaad) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata maka penyelesaian sengketa dimaksud melalui jalur hukum perdata yang sengketanya dapat diselesaikan melalui Pengadilan atau melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa. C.
Berbagai Permasalahan Hukum yang Menghambat Pembangunan Infrastruktur Pembangunan infrastruktur pada negara berkembang seperti Indonesia merupakan suatu hal penting karena semakin cepat dilakukan suatu pembangunan infrastruktur maka juga akan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi yang kemudian akan berdampak pada kesejahteraan rakyat. Di dalam melakukan pembangunan infrastruktur dibutuhkan suatu anggaran yang cukup besar, anggaran tersebut bisa berasal dari APBN, APBD, dana dari BUMN, BUMD atau melalui pihak swasta dengan penanaman modal dalam negeri maupun dengan penanaman modal asing. Namun untuk melaksanakan pembangunan infrastruktur yang dananya bersumber dari dana tersebut diatas seringkali terkendala dengan beberapa aspek diantaranya yang paling sering menghambat ialah terkait dengan aspek hukum. Setidaknya belakangan ini ada 3 hal terkait dengan aspek hukum yang menghambat pelaksanaan pembangunan infrastruktur yaitu Pertama Kriminalisasi terhadap kebijakan pejabat pemerintah sehingga membuat penyerapan anggaran menjadi minim. Kedua Kriminlisasi terhadap kontrak kerja konstruksi sehingga banyak pekerjaan konstruksi menjadi terbengkalai. Ketiga masih 16
tumpang tindihnya kebijakan/peraturan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sehingga tidak memberikan kepastian hukum bagi para investor. Untuk lebih jelasnya maka dibawah ini akan diuraikan lebih rinci dan komprehensif. 1. Kriminalisasi Kebijakan Pejabat Pemerintah Belakangan ini kita sering mendengar di media elektronik maupun melihat dalam media cetak bahwa pemerintah pusat akan segera mengeluarkan statement berkali kali bahwa jangan pernah melakukan kriminalisasi terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Langkah ini diambil oleh pemerintah agar pejabat publik tidak takut untuk melakukan kebijakan agar penyerapan anggaran dapat lebih dioptimalkan mengingat bahwa pada Semester I Tahun 2016 penyerapan Anggaran masih sangat minim berdasarkan catatan dari Kementerian Keuangan rata-rata kementerian dan lembaga negara penyerapannya masih dibawah 30%. Melihat dari data tersebut diatas maka pada semester awal ini penyerapan anggaran belum optimal, hal ini tentu akan berdampak pada pembangunan infrastruktur mengingat pembangunan infrastruktur salah satu pendanaanya ialah melalui APBN. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah apakah suatu kebijakan dapat di kriminalisasi? Pertanyaan ini menjadi pertanyaan yang cukup penting untuk dijawab karena apabila suatu kebijakan memang dapat dikriminalisasi maka hal ini tentu akan berdampak buruk 17
bagi proses pembangunan infrastruktur maupun pembangunan nasional secara umum mengingat jika dapat dikriminalisasi maka setiap pejabat publik akan takut melakukan kebijakan padahal kebijakan merupakan salah satu cara untuk mempercepat pembangunan nasional. Kebijakan adalah berasal dari kata bijak yang menurut Kamus Besar Bahsa Indonesia artinya selalu menggunakan akal budi, pandai atau mahir, sedangkan kebijakan itu sendiri adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan atau cara bertindak dari pemerintah atau organisasi dalam menghadapi atau menangani suatu masalah atau dapat juga diartikan sebagai pernyataan cita-cita, tujuan atau prinsip atau maksud sebagai garis pedoman dalam usaha mencapai sasaran.8 Kebijakan seringkali juga disebut sebagai diskresi atau dalam Bahasa Inggris sering disebut dengan discression. David L. Sills mengartikan kebijakan/diskresi sebagai suatu perencanaan atau program mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problem tertentu dan cara bagaimana melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan.9 Thomas J. Aroon mendefiniskan kebijakan atau diskresi yaitu “discretion is power authority conferred by law to action on the basic of judgement of conscience, and it 8
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1990. 9 Barda Nawai Arief, Kebijakan Legisatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit UNDIP, 1994, hlm. 63.
18
use is more than idea of morals than law”. (diskresi adalah suatu kekuasaan atau wewenang yang dilakukan berdasarkan hukum atas pertimbangan dan keyakinan serta lebih menekankan pertimbangan-pertimbangan moral dari pertimbangan hukum).10 Paul B Weston juga memberikan definisi terkait dengan diskresi yaitu a decision making has been termed the selection of the best, the most protocol or factory in action”. (diskresi adalah suatu cara yang bijaksana dalam menghimpun tugasnya berdasarkan pendekatan moral ketimbang ketentuan-ketentuan formal.11 Melihat dari definisi-definisi kebijakan/diskresi maka dapat dikatakan bahwa kebijakan/diskresi adalah cara untuk melakukan sesuatu untuk mencapai suatu tujuan yang telah disepakati dengan proses pelaksanaannya lebih pada pendekatan moral ketimbang pendekatan aturan-aturan hukum. Pertimbangan untuk tidak terlalu menitikberatkan pada aturan hukum dikarenakan peraturan hukum belum tentu mengatur segala sesuatu yang harus dilakukan oleh pejabat pemerintah terhadap persoalan konkret yang sedang dihadapi, selain itu aturan hukum cenderung kaku sehingga apabila merujuk pada aturan hukum yang kaku atau belum jelas tersebut dikhawatirkan tujuan yang ingin dicapai malah justru tidak tercapai. Secara yuridis pengertian mengenai diksresi telah 10
M. Faal, Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Pradya Paramita, Jakarta, 1991, hlm. 16. 11 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 15.
19
diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Administrasi Pemerintahan Pada Pasal 1 angka 9 menyatakan bahwa “Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnansi pemerintahan.” Diskresi merupakan wewenang dari pejabat pemerintahan sebagaimana yang telah diberikan oleh undang-undang. Penggunaan diskresi ini harus sesuai dengan tujuannya dan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta tidak boleh melakukan penyalahgunaan wewenang di dalam menggunkaan diskresi. Dalam melakukan diskresi pejabat pemerintah harus memenuhi syarat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 UU No. 30 Tahun 2014 yakni: 1. sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) yakni; - Melancarkan penyelenggaraan pemerintah - Mengisi kekosongan hukum - Memberikan kepastian hukum - Mengatasi stagnansi pemerintah dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. 2. tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 3. sesuai dengan AUPB; 4. berdasarkan alasan-alasan yang objektif; 20
5. tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan 6. dilakukan dengan iktikad baik. Apabila pejabat pemerintah dalam melaksanakan diskresinya sudah sesuai dengan persyaratan sebagaimana dalam Pasal 24 tersebut namun terdapat suatu kesalahan administrasi yang merugikan keuangan negara ataupun tidak merugikan keuangan negara maka penyelesaiaanya dilakukan melalui mekanisme penyempurnaan 12 administrasi. Oleh karena itu sesuai dengan UU No. 30 Tahun 2004 tentang Administrasi Pemerintahan jelas bahwa diskresi yang dilakukan secara benar oleh pejabat pemerintah tidak dapat dilakukan proses pidana atau dilakukan kriminalisasi. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Indriyanto Seno Adji yang mengatakan bahwa discretionary power atau freies ermessen merupakan kebijakan yang dapat dibagi kedalam dua bagian yaitu kebijakan terikat dan kebijakan aktif. Dari sisi yuridis akademis, suatu kebijakan (beleid) itu, baik sebagai kebijakan (discretioner) yang terikat maupun kebijakan (disretioner) yang aktif bukan merupakan ranah penilaian hukum pidana.13 Kebijakan yang dilakukan oleh Pejabat pemerintah dapat dilakukan tindakan pidana apabila dalam melakukan kebijakan/diskresi menyimpang dari Pasal 22 UU No. 30 12
Liat Pasal 18 UU No.30 Tahun 2004 Indriyanto Seno Adji, dalam Marwan Effendy, Diskresi, Penemuan Hukum, Korporasi & Tax Amnesty Dalam Penegakan Hukum, Referensi, Jakarta, 2012, hlm. 8. 13
21
Tahun 2014, dan di dalam mengambil kebijakan/diskresi mengandung unsur penyalahgunaan wewenang atau dibalik penetapan kebijakan/diskresi yang ditetapkannya itu pejabat tersebut memperoleh keuntungan sendiri atau orang lain yang akibat dari tindakan dimaksud dapat menimbulkan kerugian negara.14 Berdasarkan uraian tersebut diatas maka pada dasarnya kebijakan/diskresi tidak dapat dipidana atau dikriminalisasi sepanjang di dalam melaksanakan diskresi dimaksud sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan dilandasi dengan itikad baik, namun apabila dalam mengambil suatu kebijakan/diskresi merupakan suatu tindakan penyalahgunaan wewenang dan memiliki niat jahat untuk memberikan keuntungan bagi diri pribadi atau orang lain sehingga dapat merugikan keuangan negara maka tindakan tersebut tidak lagi dapat dikatakan sebagai tindakan kebijakan/diskresi karena itu perbuatannya dapat dijerat dengan ancaman pidana. 2. Kriminalisasi Kontrak Kerja Konstruksi Pembangunan infrastruktur sangat erat kaitannya dengan proses pelaksanaan jasa konstruksi karena pembangunan infrastruktur selalu akan melibatkan pihak jasa konstruksi untuk melakukan pembangunan. Pekerjaan jasa konstruksi sebagaimana yang telah diuraikan diatas selalu melandaskan pekerjaannya melalui kontrak kerja
14
Marwan Effendy, Kapita Selekta Hukum Pidana, Referensi ,Jakarta, 2011, hlm. 123.
22
konstruksi antara pengguna jasa konstruksi dan pelaksana jasa konstruksi, hal tersebut sesuai dengan yang diamanahkan dalam UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Kontrak kerja konstruksi tersebut sangat penting sebagai acuan dalam mengerjakan pekerjaan konstruksi sehinga apabila ada yang tidak sesuai dengan kontrak yang disepakati maka hal tersebut dapat diselesaikan baik secara musyawarah maupun melalui pranata hukum yang ada. Kontrak kerja konstruksi merupakan hubungan hukum yang bersifat keperdataan antara pihak pengguna jasa konstruksi dengan pelaksana jasa konstruksi, hubungan hukum tersebut secara umum diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata tentang Perikatan, Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya kontrak/perjanjian dan Pasal 1338 KUHPerdata tentang mengikatnya suatu kontrak bagi para pihak yang membuatnya, sedangkan secara khusus persyaratan isi kontrak dijelaskan dalam Pasal 47 UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Oleh karena itu pihak-pihak yang telah membuat kontrak jasa konstruksi harus mematuhi kontrak yang telah disepakati karena kontrak tersebut mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Terhadap pelaksanaan suatu kontrak secara umum ada 3 macam hal yang dapat dimintakan pelaksanaannya/prestasinya yakni:15 a. Menyerahkan suatu barang 15
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermesa, Jakarta, 1984, hlm. 122
23
b. Melakukan suatu perbuatan c. Tidak melakukan suatu perbuatan Ketiga jenis permintaan pelaksanaan/prestasi tersebut dapat dilihat dari isi kontrak kerja konstruksi yang telah dibuat dan disepakati. Kesepakatan dalam kontrak kerja tersebut wajib dilaksanakan karena apabila tidak dilaksanakan maka akan ada konsekuensi hukumnya secara keperdataan. Menurut R. Subketi ada 4 cara yang dapat dituntut apabila salah satu pihak yang telah menyepakatkan dirinya tidak melaksanakan kewajiban/prestasinya yakni:16 a. Meminta kepada pihak yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk melaksanakan kewajibannya sesuai dengan kontrak/perjanjian yang disepakati b. Meminta penggantian kerugian saja kepada pihak yang tidak melaksanakan kewajibannya yaitu kerugian yang dideritanya, karena perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan, atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya. c. Meminta kepada pihak yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang telah diperjanjikan disertai dengan permintaan penggantian kerugian sebagai akibat terlambatnya pelaksanaan perjanjian d. Dalam hal suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal balik, kelalaian satu pihak 16
Ibid. hlm. 147-148.
24
memberikan hak kepada pihak yang lain untuk meminta kepada hakim supaya perjanjian dibatalkan, disertai dengan permintaan penggantian kerugian. Keempat hal tersebut dapat dilakukan penuntutannya ke pranata hukum yang telah disediakan oleh undang-undang dan tergantung dari pihak yang membuat kontrak. Apabila di dalam kontrak disepakati jika terjadi sengketa, penyelesaiannya melalui pengadilan maka proses penyelesaiaannya akan dilaksanakan melalui pengadilan akan tetapi jika di dalam kontrak disepakati bahwa proses penyelesaiaannya melalui badan arbitrase maka proses penyelesaiannya akan dilakukan melalui Badan Arbitrase. Dari penjelasan tersebut diatas jelas bahwa sengketa kerja konstruksi merupakan ranah hukum perdata, hal tersebut tercermin dari segala pengaturannya mulai dari pembuatan kontrak hinggga proses penyelesaian apabila kontrak tidak dilaksanakan diatur dalam KUHPerdata. Oleh karena itu sengketa terkait dengan kontrak adalah murni ranah perdata dan bukan ranah pidana. Selanjutnya yang sering menjadi pertanyaan apakah kontrak kerja konstruksi dapat dikenakan sanksi pidana? Pertanyaan ini cukup penting mengingat seringkali terjadi dalam pengerjaan pembangunan infrastruktur melalui pekerjaan jasa konstruksi dikenakan sanksi tindak pidana korupsi. Dalam tulisan ini akan dibahas proses pelaksanaan pekerjaan jasa konstruksi yang seperti apa yang dapat dijerat dengan tindak pidana korupsi. Pekerjaan jasa konstruksi yang seringkali masuk ke 25
ranah tindak pidana korupsi adalah pada saat proses tender yaitu proses sebelum pelaksanaan pekerjaan jasa konstuksi akan tetapi dalam beberapa kasus ada juga terkait dengan kontrak jasa konstruksi yang masuk ke wilayah tindak pidana korupsi pada saat pelaksanaan pekerjaan jasa konstruksi. Marwan Effendy membagi kedalam 6 tindakan yang sering mengarah kepada tindak pidana korupsi dalam proses tender pengadaaan barang/ jasa (termasuk pengadaan jasa konstruksi) yakni:17 a. Pembentukan panitia lelang, yang menjadi problem dalam hal ini biasanya terkait dengan integritas yakni apabila dalam kepanitiaan terdapat salah seorang oknum yang biasa melakukan KKN, maka dapat mendorong kedekatan dengan rekanan. b. Perkualifikasi Perusahaan, hal ini terkait dengan meloloskan perusahaan yang tidak memenuhi syarat, baik administratif maupun teknis (biasanya syarat administrative sering diabaikan dengan alasan bisa menyusul, tetapi setelah ditetapkan sebagai pemenang, syarat tersebut tidak terpenuhi. c. Mekanisme Penunjukan dan Pengadaan Langsung, hal ini berkaitan dengan seringkali suatu proyek tidak boleh dengan penunjukan langsung melainkan harus melalui mekanisme 17
Marwan Effendy, Kapita Selekta….., op.cit. hlm. 99.
26
lelang akan tetapi dengan alasan tertentu dilakukan penunjukan langsung padahal hal demikian tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. d. Penentuan harga perkiraan sendiri (HPS), hal ini sering dijadikan celah bagi oknum-oknum tertentu untuk melakukan mark-up harga, penggelembungan anggaran, telah melibatkan rekanan calon pemenang dengan penawaran harga yang sudah dilakukan penggelembungan. e. Indikasi mark-up dan kecurangan dalam proses tender, dalam hal ini serinngkali dilakukan mark-up anggaran atau bentuk kecurangan lain seperti menerima suap, penggelapan serta pengadaan barang dan jasa fiktif. Selain itu di daerah tertentu seringkali pemerintah daerah melakukan praktek tender “bergilir” yang diberikan oleh pemerintah daerah secara bergiliran kepada pengusaha yang merupakan rekanannya. f. Turut serta dalam pemborongan, Di dalam praktek seringkali ditemukan adanya arahan dari pejabat-pejabat tertentu di suatu lembaga departemen atau non departemen atau kepala daerah atau kepala satuan kerja baik langsung maupun tidak langsung memerintahkan untuk memenangkan perusahaan-perusahaan tertentu. Apabila hal demikian yang terjadi sebagaimana yang 27
dinyatakan diatas dalam proses tender pengadaan jasa konstruksi maka menurut hemat penulis penyelesaiannya dapat dilakukan melalui ranah hukum pidana karena sudah terpenuhi prinsip actus reus dan mens rea yaitu sudah ada tindakan yang melawan hukum dengan diikuti suatu tindakan yang salah serta sudah terdapat niat jahat yang mendasari perbuatannya sehingga perbuatanya tersebut dapat dipertanggung jawabkan secara pidana Selain daripada proses sebelum pelaksanaan pengerjaan jasa konstruksi untuk melakukan pembangunan infrastruktur, seringkali juga dilakukan upaya hukum pidana khususnya tindak pidana korupsi dalam hal terjadi tindakan yang menyalahi kontrak kerja konstruksi. Sebagai contoh apabila ada proyek pembangunan gedung yang mana dipersyaratkan dalam kontrak kerja konstruksi bahwa pembangunan tersebut harus menggunakan Batu Bata Jenis A akan tetapi dalam proses pelaksanaanya pelaksana jasa konstruksi menggunakan Batu Bata Jenis B yang notabene harganya lebih murah. Akibat dari tindakan tersebut tentu merugikan keuangan negara, akan tetapi tindakan dimaksud tidak dapat dimasukkan ke ranah hukum pidana mengingat pekerjaan yang dilakukan oleh pelaksana jasa konstruksi berdasarkan pada kontrak kerja konstruksi. Apabila terjadi perbuatan yang tidak sesuai dengan kesepakatan kontrak kerja konstruksi tindakan tersebut merupakan tindakan wanprestasi yang merupakan ranah hukum perdata dan untuk mengembalikan kerugian keuangan negara akibat dari tindakan wanprestasi maka dapat ditempuh melalui jalur hukum perdata yakni melalui pengadilan atau melalui Badan 28
Arbitrase. Namun apabila tindakan tersebut didasarkan pada suatu tindakan kecurangan, manipulatif, suap dll maka hal tersebut barulah dapat ditarik ke ranah hukum pidana (tindak pidana korupsi) Penyelesaian sengketa kontrak memang sudah seharusnya menjadi ranah hukum perdata dan bukan merupakan ranah hukum pidana. Hal ini sejalan dengan Pasal 11 ICCPR yang menegaskan “No one shall be imprisioned merely on the ground of inability to fulfill a contractual obligation”. Selain itu hukum pidana memiliki sifat sebagai ultimum remedium (sarana terakhir) karena itu setiap permasalahan yang berbasis pada kontraktual meskipun di dalam pelaksanaan kontrak tersebut ada kesalahan yang mengakibatkan kerugian negara maka prosedurnya tetap harus melalui hukum perdata. 3. Tumpang tindih kebijakan/peraturan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sehingga tidak memberikan kepastian hukum Salah satu Penghambat pembangunan infrastruktur di Indonesia yakni terkait dengan kebijakan/peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Seringkali dikeluhkan oleh banyak investor bahwa kebijakan pemerintah di daerah dan pusat selain sering bertentangan juga selalu berubah-ubah. Tumpang tindihnya peraturan yang diikuti dengan kebijakan/peraturan yang berubah membawa suatu ketidakpastian hukum sehingga menyulitkan bagi para investor untuk melakukan investasi. 29
Selain itu rumitnya proses perizinan karena harus meminta persetujuan dari beberapa instansi terkait dan seringkali diikuti dengan praktek pungli (pungutan liar) menyebabkan sulitnya para investor untuk mengukur berapa biaya yang dia harus keluarkan untuk melakukan investasi di wilayah dan di bidang tertentu. Ketidakpastian hukum yang seperti ini harus dapat segera dibenahi agar investor dapat dengan mudah menginvestasikan dananya dalam proyek pembangunan infrastruktur di berbagai bidang. D. Penyelesaian Sengketa di Bidang Jasa Konstruksi Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya bahwa sengketa terkait dengan pekerjaan di bidang jasa konstruksi adalah merupakan sengketa keperdataan. Hal tersebut didasari karena suatu pengerjaan jasa konstruksi didasarkan pada kontrak kerja konstruksi yang mana apabila terjadi sengketa terhadap kontrak kerja konstruksi upaya yang dapat dilakukan adalah melalui gugatan keperdataan. Terkait dengan proses penyelesaian apabila terjadi sengketa di bidang jasa konstruksi, Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang jasa konstruksi dan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagaimana telah diubah dalam Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2010 telah mengatur proses penyelesaian sengketa di bidang jasa konstruksi yakni sebagai berikut:
30
Berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi BAB XI Penyelesaian Sengketa Pasal 88 1) Sengketa yang terjadi dalam Kontrak Kerja Konstruksi diselesaikan dengan prinsip dasar musyawarah untuk mencapai kemufakatan. 2) Dalam hal musyawarah para pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat mencapai suatu kemufakatan, para pihak menempuh tahapan upaya penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi. 3) Dalam hal upaya penyelesaian sengketa tidak tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), para pihak yang bersengketa membuat suatu persetujuan tertulis mengenai tata cara penyelesaian sengketa yang akan dipilih. 4) Tahapan upaya penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a. mediasi; b. konsiliasi; dan c. arbitrase.
31
5) Selain upaya penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan huruf b, para pihak dapat membentuk dewan sengketa. 6) Dalam hal upaya penyelesaian sengketa dilakukan dengan membentuk dewan sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (5), pemilihan keanggotaan dewan sengketa dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalitas dan tidak menjadi bagian dari salah satu pihak. Yang dimaksud dengan “dewan sengketa” dalam ayat (5) adalah tim yang dibentuk berdasarkan kesepakatan para pihak sejak pengikatan Jasa Konstruksi untuk mencegah dan menengahi sengketa yang terjadi di dalam pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi.
Berdasarakan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagaimana telah diubah dalam Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2010 BAB VI : PENYELESAIAN SENGKETA Pasal 49 (1) Penyelesaian sengketa dalam penyelenggaraan jasa konstruksi di luar pengadilan dapat dilakukan dengan cara : a. melalui pihak ketiga yaitu : 32
1) mediasi (yang ditunjuk oleh para pihak atau oleh Lembaga Arbitrase dan Lembaga AlternatifPenyelesaian Sengketa); 2) konsiliasi; atau b. arbitrase melalui Lembaga Arbitrase atau Arbitrase Ad Hoc. (2) Penyelesaian sengketa secara mediasi atau konsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dapat dibantu penilai ahli untuk memberikan pertimbangan profesional aspek tertentu sesuai kebutuhan. Merujuk pada aturan-aturan tersebut diatas yang mengatur terkait dengan tata cara penyelesaian sengketa apabila terjadi sengketa dalam bidang jasa konstruksi secara garis besar ada dua cara dalam menyelesaikan sengketa yakni melalui proses peradilan atau dengan cara alternatif penyelesaian sengketa yaitu dengan mediasi, konsiliasi, negosiasi, konsultasi atau melalui arbitrase. Proses penyelesaian sengketa dengan menggunakan metode alternative penyelesaian sengketa (diluar pengadilan) tata cara telah diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang 33
dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”, Pasal 1 ayat (10) “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.” Pasal 34 ayat (1) “Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak.” Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata diluar dari peradilan umum (alternatif penyelesaian sengketa) yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Artinya adalah apabila para pihak ingin menyelesaikan perselisihannya dengan menggunakan Arbitrase maka harus disepakati terlebih dahulu untuk menggunakan Arbitrase apabila tidak disepakati maka proses penyelesaiannya dilakukan melalui Pengadilan. V PENUTUP Berdasarkan uraian-uraian diatas dapat di tarik suatu konklusi bahwa pembangunan infrastruktur disuatu negara merupakan suatu keharusan agar pertumbuhan ekonomi dapat meningkat yang kemudian dengan besarnya pertumbuhan ekonomi tersebut akan memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Namun untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur harus dilakukan berbagai pembenahan di bidang hukum yakni terkait dengan seringnya terjadi kriminalisasi terhadap kebijakan, 34
kriminalisasi terhadap kontrak kerja konstruksi, dan masih banyaknya aturan yang tumpang tindih antara peraturan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan dilakukannya pembenahan seperti hal dimaksud maka besar harapan penyerapan anggaran akan semakin baik, dan minat investor untuk berinvestasi juga akan semakin baik sehingga dengan demikian diharapakan pertumbuhan pembangunan infrastruktur akan semakin membaik. Dalam melakukan suatu pembangunan infrastruktur tentu tidak mugkin untuk menihilkan terjadinya sengketa akan tetapi sengketa tersebut harus diselesaikan sebaik dan seadil mungkin sehingga pihak-pihak yang bersegketa tetap dapat memperoleh keadilan dan kepastian hukum. Selain itu seringkali pihak perusahaan apabila terjadi perselisihan terhadap perselisihannya tersebut mereka tidak ingin diketahui oleh publik dan dalam penyelesaian sengketa dapat memberikan penyelesaian yang bersifat win win solution, serta dalam proses penyelesaiannya dapat diproses secara cepat, terkait dengan hal tersebut maka penyelesaian sengketanya dapat diselesaikan melalui badan arbitrase yang pengaturan dan prosedurnya sudah di tetapkan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
35
DAFTAR PUSTAKA Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Legisatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit UNDIP, 1994. Budiono, Herlien, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia; Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006. Effendy, Marwan, Diskresi, Penemuan Hukum, Korporasi & Tax Amnesty Dalam Penegakan Hukum, Referensi, Jakarta, 2012. , Kapita Selekta Hukum Pidana, Referensi ,Jakarta, 2011. Faal, M. , Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Pradya Paramita, Jakarta, 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1990. Soekanto, Soerjono, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. Subekti, R., Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermesa, Jakarta, 1984. 36
, Hukum Perjanjian, Intermesa, Jakarta, 1996. , Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995. Syaifudin, Muhammad, Hukum Kontrak Memahami Kontrak Dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), CV. Mandar Maju, Bandung, 2012.
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/15/07/02/nq v52c-menkeu-pemerintah-berhasil-kendalikan-inflasi-saatramadhan diakses pada tanggal 31 Agustus 2015.
37
38