BAB II PERANAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA
A. Landasan Hukum Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia sudah sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan Negara Hukum akan tetapi masih dalam anti formal. Agar dapat menjadi Negara Hukum dalam arti material maka haruslah diisi dengan jalan membentuk dan menyempurnakan Badan Peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman (judikatif). Pembentukan Badan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman telah diatur dalam pasal 24 dan 25 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai landasan Konstitusionilnya. Ketentuan pasal 24 UUD 1945 berbunyi : 1. Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lainlain badan kehakiman menurut Undang-Undang. 2. Susunan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman itu diatur dengan UndangUndang. Pasal 25 UUD 1945 berbunyi : "Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai Hakim ditetapkan dengan Undang-Undang". Selanjutnya di dalam penjelasannya ditegaskan bahwa kekuasaan
Universitas Sumatera Utara
kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan Undangundang tentang kedudukan para Hakim. Dari ketentuan dalam Undang-Undnag Dasar 1945 ternyata tidak ada disebutkan secara tegas
tentang Peradilan Tata Usaha Negera atau Peradilan
Administrasi Negara. Meskipun demikian tidak berarti bahwa UUD 1945 tersebut tidak menghendaki eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara ini. Dengan terdapatnya istilah “Kekuasaan Kehakiman” dalam bunyi Pasal 24 UUD1945 tersebut dapat ditafsirkan luas dan segala macam Hakim dapat masuk di dalamnya termasuk Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 tentu sekali melakukan berbagai kekuasaan kehakiman tersebut antara lain dengan cara mengeluarkan
peraturan
perundang-undangan
dan
mendirikan
Lembaga
Pengadilan/Badan Peradilan yang dipandang perlu sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sebagai manifestasi peraturan pelaksanaan dari ketentuan pasal 24 UUD 1945, telah dikeluarkan dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan : a. Peradilan Umum b. Peradilan Agama c. Peradilan Militer
Universitas Sumatera Utara
d. Peradilan Tata Usaha Negara.
Menurut pendapat Prof. Dr. B. Lopa, SH dan Dr. A. Hamzah, SH : bahwa di dalam UU No. 14 tahun 1970, dijelaskan bahwa dasar hukum dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia merupakan salah satu aspek pelaksana deklarasi Hak-Hak Azasi Manusia yang telah dicetuskan PBB. 4 Sedangkan Razali Abdullah, SH berpendapat bahwa dari bunyi pasal 24 UUD 1945 dan pasal 10 UU No. 14 tahun 1970 tersebut di atas jelaslah bagi kita bahwa dasar hukum pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara yang bebas dan mandiri ternyata cukup kuat, sama dengan halnya pembentukan ketiga Peradilan lainnya yang sudah lama ada yaitu : Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer. 5 Selanjutnya untuk mewujudkan kehendak pembentukan Peradilan Tata Usaha
Negara
diamanatkan
Permusyawaratan Rakyat
dan
dirumuskan
Nomor : IV/MPR/1978
dalam
ketetapan
tentang
GBHN
Majelis yang
memerintahkan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara. Mengenai kronologis pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara, Martiman Prodjomidjo, SH mengemukakan sebagai berikut : “Akhirnya Pemerintah menyampaikan RUU tentang Peraturan yang disempurnakan kepada DPR RI periode 1982-1987, dengan amanat Presiden 4
B. Lopa dan A. Hamzah, Mengenal Pradilan Tata Usaha Negara, Penerbit, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hal. 2 5 Razali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi I, Cetakan 2, Rajawali Pers, Jakarta, 1992, hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
RI No. R.04/PU/IV/1986 tanggal 16 April 1986, dan setelah diadakan pembahasan di DPR RI melalui empat tingkat pembicaraan, dan pada tanggal 20 Desember 1986 DPR RI mengambil keputusan menyetujui RUU Peraturan untuk disyahkan menjadi undang-undang. Presiden RI pada tanggal 29 Desember 1986, mengesahkan RUU Peradilan Tata Usaha Negara menjadi Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 “Peradilan Tata Usaha Negara” (Lembaran Negara RI No. 77 Tahun 1986 dan Tambahan Lembaran Negara No. 3344). 6 Ditentukannya empat macam lingkungan peradilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970 yang disebutkan di atas, dapat diartikan bahwa Negara Indonesia yang menganut prinsip Negara Hukum dalam sistem peradilannya menggunakan multi jurisdiction systeem (sistem peradilan ganda), dimana salah satu diantaranya adalah peradilan Tata Usaha Negara yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1986. Dengan demikian jelaslah bahwa Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu pelaksana kekuasaan Kehakiman yang ditugasi untuk memeriksa, memutar dan menyelesaikan sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara. Oleh karenaitu,
tujuan Peradilan Tata Usaha Negara sebenarnya tidak semata-mata
memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan, tetapi sekaligus juga melindungi hak-hak masyarakat.
B. Ciri dan Sifat Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Ciri-ciri sifat Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara menurut hemat
6
Martiman Prodjohamidjo, Hukum Peradilan Tata Usaha Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1996, hal. 15
Universitas Sumatera Utara
penulis penting disajikan dalam skripsi ini dengan maksud agar menambah pemahaman kita mengenai proses dan mekanisme yang diatur Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
Indroharto, SH7 secara global mengetengahkan beberapa ciri-ciri/sifat
dasar
dari Hukum Acara Peradilan TUN, yaitu : 1. Dalam proses TUN itu selalu tersangkut dua kepentingan yaitu kepentingan umum dan individu. Dalam proses peradilan TUN yang selalu menjadi inti permasalahan adalah mengenai syah tidaknya pengunaan wewenang pemerintah oleh Badan atau Pejabat TUN menurut Hukum TUN publik. Dalam konkretnya yang disengketakan itu selalu berupa salah satu bentuk tindakan Hukum TUN yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berupa suatu Beschiking menurut pengertian Pasal 1 Butir 3 UU No. 5 tahun 1966. 2. Dalam kenyataannya, unsur pokok yang akan berinteraksi dalam proses peradilan TUN itu adalah : -
Para hakim dan staf kepaniteraannya
- Para pencari keadilan yang akan mengajukan gugatan kepentingan TUN (seseorang atau badan hukum perdata) - Para Badan atau pejabat TUN yang selalu berkedudukan sebagai tergugat. -
Mereka baik yang berkedudukan sebagai suatu instansi resmi maupun
7
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Tentang PTUN, Buku II Beracara di Pengadilan TUN, Edisi Baru, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hal. 25-29.
Universitas Sumatera Utara
sebagai warga masyarakat biasa, pada suatu saat mungkin memegang kunci penentu jalannya proses suatu perkara karena kejelasan-kejelasan maupun alat-alat bukti berada di tangannya. 3. Tujuan dari gugatan di Peradilan TUN adalah selalu untuk memperoleh putusan hakim yang menyatakan keputusan TUN digugat itu tidak syah atau batal (Pasal 53 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1986). Dalam proses Hukum Acara Peradilan TUN tidak dikenal gugatan rekonpensi maupun pembarengan beberaa gugatan bersama-sama (samenloop van Vorderingen). 4. Dalam proses peradilan TUN terdapat keseragaman dan kesederhanaan dalam arti hukum acaranya hanya terdiri acara biasa dan acara khusus berupa : penyelesaian perkara dengan acara cepat (pasal 98), penyelesaian perkara dengan acara singkat (pasal 69). Baik yang berbentuk proses dismassal maupun proses perlawanan (Pasal 62 dan 118), acara penundaan pelaksanaan keputusan yang digugat (Pasal 67) dan acar permohonan untuk bersengketa dengan cuma-cuma (Pasal 60 UU No. 5/1986). 5. Pemeriksaan yang dilakukan selama proses berjalan adalah bersifat contradictoir dengan unsur-unsur yang bersifat ingusitoir. Proses Peradilan Tata Usaha Negara bersifat contradictoir maksudnya bahwa pemeriksaan sengketa sedapat mungkin dilakukan agar para pihak itu sama-sama memperoleh kesempatan untuk mempertahankan pendiriannya dan mengadakan reaksi terhadap pendapat lawan apabila dianggap perlu. Sedangkan sifat inguisatoirnya tampak pada kewenangan hakim untuk melakukan pemeriksaan sendiri tentang
Universitas Sumatera Utara
fakta-fakta yang diserahkan kepada pengujian tentang kebenaran pembentukan keputusan administratif yang bersifat konkrit, individual dan final yang disengketakan, dengan demikian Hakim Peradilan Tata Usaha Negara adalah dominus litis, ia mengadministrasikan serta mempertimbangkan tentang jalannya proses. Dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara ini dapat dikatakan tidak berlaku otonomi pihak yang bersengketa. Hakim Tata Usaha Negara ini tidak bersifat lijdelijk seperti pada hakim perdata. Sekalipun Hakim Tata Usaha Negara pasif dalam arti yang memulai proses adalah selalu penggugat, akan tetapi Hakim Tata Usaha Negaralah yang memimpin dan menentukan arah jalannya proses dan ia pula menentukan segala keputusan yang harus terjadi dalam proses yang bersangkutan. 6. Dalam Hukum Tata Usaha Negara berlaku suatu asas, bahwa selama suatu Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak digugat, maka ia selalu dianggap syah menurut hukum. Keputusan Tata Usaha Negara semacam itu berlaku syah dan memperoleh kekuatan hukum tetap kalau tenggang waktu untuk menggugat telah lewat tanpa adanya suatu gugatan yang diajukan terhadapnya. 7. Dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara berlaku asas pembuktian bebas yang terbatas, artinya dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara telah ditentukan secara limitatif alat-alat bukti (Pasal 100) dan di dalam melakukan penilaian hasil pembuktian Hakim dibatasi kebebasannya dengan ketentuan Pasal 107 yang mengatakan bahwa untuk syahnya pembuktian diperlukan
Universitas Sumatera Utara
sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim. Selain ciri-ciri dan sifat dasar yang diutarakan Indroharto, SH tersebut, penulis menambahkan lagi beberapa ciri Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan observasi dan analisis penulis yaitu : a. Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara tidak dikenal adanya gugatan rekonpensi dan putusan propisionil.
b. Putusan Peradilan Tata Usah Negara mempunyai daya kerja seperti suatu keputusan hukum publik yang bersifat umum yang berlaku terhadap siapapun (erga omnes). c. Hak untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara dibatasi dengan tenggang waktu yang bersifat imperatif (Pasal 55). d. Gugatan pada prinsipnya berisi tuntutan pokok agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak syah, di samping tuntutan tambahan lainnya (Pasal 53 ayat 1 jo Pasal 97 ayat 9, 10, 11). e. Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dikenal fase proses dismisal dan proses pemeriksaan persiapan (Pasal 62 dan 63). f. Dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara diberikan kemudahan bagi warga masyarakat pencari keadilan, antara lain : 1) Mereka yang tidak pandai membaca dan menulis dibantu oleh Panitera pengadilan untuk merumuskan gugatan.
Universitas Sumatera Utara
2) Warga pencari keadilan dari golongan yang tidak mampu diberi kesempatan untuk perkara secara cuma-cuma (Pasal 60) 3) Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak atas permohonan penggugat, pelaksanaan keputusan Tata Usaha Negara dapat ditangguhkan, dan pemeriksaan dapat dilakukan dengan secara cepat oleh Hakim tunggal (Pasal 67 dan 98). 4) Penggugat dapat mengajukan gugatannya kepada Peradilan Tata Usaha Negara yang paling dekat dengan tempat kediamannya untuk kemudian diteruskan ke Peradilan Tata Usaha Negara yang berwenang mengadilinya (Pasal 54). 5) Dalam hal tertentu gugatan dimungkinkan untuk diadili oleh Peradilan Tata Usaha Negara yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat. 6) Badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang dipanggil sebagai saksi diwajibkan untuk datang sendiri (Pasal 93). g. Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan telah ditentukan secara limitatif menurut Pasal 53 ayat 2, huruf : 1) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (onrechtmatige, onwetmatige) 2) Penyalah gunaan wewenang untuk tujuan lain (detournement de pouvoir, abus de droit) 3) Bertindak sewenang-wenang (willekeur)
Universitas Sumatera Utara
Alasan lainnya yang lazim dipergunakan dalam praktek adalah mengabaikan asas-asas umum pemerintah yang baik, yang berkembang dala praktek penyelenggaraan tugas, fungsi dan urusan pemerintah. h. Dalam melakukan eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha Negara yan telah berkekuatan hukum tetap (inkrecht van gewijsde) tidak terdapat pelaksanaan serta merta (executie bij voorraad) dan tidak dikenal eksekusi secara riel. Yang mengeksekusi putusan Peradilan Tata Usaha Negara adalah tergugat itu sendiri tanpa bantuan juru sita atau alat negara. Demikianlah beberapa ciri khas Peradilan Tata Usaha Negara. Seluruh ciri tersebut terkandung dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara itu sendiri. Dari ciri-ciri yang dibeberkan di atas, diharapkan dapat memperdalam pemahaman dan pengenalan kita mengenai Peradilan Tata Usaha Negara yang dirasakn masih asing tersebut.
C. Subjek dan Objek Sengketa Tata Usaha Negara Ketentuan Pasal 1 butir 4 UU No. 5 Tahun 1986, berbunyi : “Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul di dalam Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di dalam penjelasan UU tersebut dikonfirmasikan bahwa istilah “sengketa” tersebut mengandung arti khusus sesuai dengan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara
Universitas Sumatera Utara
yaitu menilai perbedaan pendapat mengenai penerapan hukum. Badan atau Pejabat Tata Usaha dalam mengambil keputusan pada dasarnya mengemban kepentingan umum dan masyarakat, tetapi dalam hal atau kasus tertentu dapat saja keputusan itu dirasakan mengakibatkan kerugian bagi orang atau badan hukum perdata tertentu, maka menurut azas hukum Tata Usaha Negara kepada yang bersangkutan harus diberikan kesempatan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. Bertumpu pada rumusan/definisi di atas, Muchsan, SH mengemukakan unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk adanya suatu sengketa Tata Usaha Negara yaitu :
a.
b. c.
d.
Harus ada perbedaan pendapat tentang suatu hak ataupun kewajiban sebagai akibat dari penerapan hukum tertentu. Ini bahwa sengketa itu timbul karena terlebih dahulu ada penerapan hukum yang dilakukan oleh pejabat Tata Usaha Neara. Sengketa itu terletak dalam bidang Tata Usaha Negara. Subjek yang bersengketa adalah individu/badan hukum perdata atau sebagai pihak penggugat dan badan atau pejabat Tata Usaha Negara sebagai pihak tergugat semua berhak tampil sebagai penggugat dalam mepertahankan hakhaknya. Sengketa tersebut timbul karena berlakunya keputusan Tata Usaha Negara. Ini berarti bahwa keputusan Tata Usaha Negara merupakan causa prima bagi timbulnya sengketa Tata Usaha Negara. 8 Sedangkan Prof. Dr. B. Lopa, SH dan Dr. A. Hamzah, SH berpendapat bahwa
unsur sengketa Tata Usaha Negara adalah : 1. Subjeknya atau pihak yang bersengketa orang atau badan hukum privat di satu pihak dan badan atau pejabat Tata Usaha Negara di lain pihak.
8
Muchsan, Op.Cit, hal 58-59
Universitas Sumatera Utara
2. Objek sengketa ialah keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara. 9 Dengan demikian jelaslah bahwa dalam proses singkatan Tata Usaha Negara terdapat dua subjek sengketa para pihak yang bersengketa di muka Peradilan Tata Usaha Negara yaitu lazim disebut sebagai pihak penggugat dan pihak tergugat. Mengenai siapa mempunyai hak menggugat atau penggugat berdasarkan ketentuan pasal 53 ayat (1) UU No. 57/1986 adalah mereka yang kepentingan dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara. Sesuai dengan ketentuan pasal 1 butir 4 di atas, maka hanya orang atau Badan Hukum Perdata sajalah yang berkedudukan sebagai subjek yang dapat mengajukan gugatan. Orang atau Badan Hukum Perdata yang dapat tampil sebagai penggugat adalah hanya orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya terkena langsung oleh akibat hukum Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh badan atau pjabata Tata Usaha Negara. Mucshan, SH memberikan kesimpulannya, bahwa untuk dapat berperan sebagai penggugat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1. Berbentuk individu atau badan hukum perdata, berarti suatu perkumpulan atau organisasi yang tidak berbadan hukum dengan akte authenik tidak dapat tampil sebagai penggugat 2. Terkena langsung oleh akibat hukum yang timbul dari berlakunya suatu keputusan Tata Usaha Negara. 3. Menderita kerugian yang konkrit, artinya kerugian yang dapat dinilai dengan uang (geld waarde). 10 9
B. Lopa dan A. Hamzah, Op.Cit, hal. 47 Mucshan, Op.Cit, hal. 63
10
Universitas Sumatera Utara
Seseorang yang belum dewasa tidak mempunyai kecakapan (onbekwaam) melakukan perbuatan hukum atau menghadap di muka pengadilan, sehingga tidak dapat sebagai penggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara. Badan hukum perdata yang dapat mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara adalah badan atau perkumpulan atau organisasi atau koperasi dan sebagainya yang didirikan menurut ketentuan-ketentuan BW (KUH Perdata) atau peraturan lainnya, yang telah merupakan Badan Hukum (rechsperson). Martiman Prodjohamidjojo, SH mengemukakan bahwa untuk adanya perkumpulan yang dianggap sebagai badan hukum perdata dan berhak menggugat di Peradilan Tata Usaha Negara diperlukan 3 syarat yakni : a. Adanya lapisan anggota terlihat dari administrasinya b. Merupakan organisasi dengan tujuan tertentu, sering diadakan rapat periodik pemilihan pengurus, adanya kerjasama antara anggota dengan tujuan fungsional c. Ikut dalam pergaulan lalu lintas hukum sebagai kesatuan Bila kelompok atau perkumpulan itu memenuhi ketiga persyaratan tersebut dapat mengajukan gugatan menurut Pasal 53 ayat 1 UU 5/1986. Mengenai siapa yang berkedudukan sebagai tergugat telah dirumuskan di dalam pasal 1 butir 6 UU No. 5/1986 yaitu : Tergugat adalah badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan
Universitas Sumatera Utara
kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Tergugat itu dapat berbentuk tunggal dan dapat juga berbentuk jamak. Kemudian mengenai apa yang menjadi objek sengketa TUN secara jelas dapat diketahui dari definisi/rumusan yang tercantum dalam Pasal 1 butir 4 UU No. 5/1986 yang dikutip di atas. Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa yang menjadi objek sengketa TUN dirumuskan peradilan TUN adalah keputusan TUN, sehingga sengketa TUN tersebut selalu berkaitan dengan dikeluarkannya suatu keputusan TUN. Keputuan TUN yang dapat dijadikan sebagai objek sengketa harus memenuhi unsur-unsur penetapan tertulis sebagaimana yang dirumuskan dan disyaratkan dalam pasal 1 butir 3 yang berbunyi : “Keputuan TUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang beerisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual dan final, menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”. Indroharto, SH berpendapat bahwa ketentuan pasal 1 butir 3 UU No. 5 Tahun 1986 tersebut merupakan penetapan tertulis (beschikking) yang unsurunsurnya dibedakan atas 6 butir yaitu : a. Bentuk penetapan itu harus tertulis b. Penetapan itu dikeluarkan oleh badan atau jabatan Tata Usaha Negara c. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara d. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku e. Bersifat konkret, individual dan final
Universitas Sumatera Utara
f.
Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. 11
Jika salah satu unsur-unsur tersebut tidak dipenuhi, maka keputusan yang demikian tidaklah merupakan objek sengketa atau objek gugatan. Selain itu meskipun keputusan TUN ini pada dasarnya merupakan causa prima timbulnya sengketa TUN akan tetapi terhadap prinsip inipun masih ada batasan-batasannya. Maksudnya ada bentuk Keputusan TUN (tidak dapat digugat) meskipun telah memenuhi unsur-unsur penetapan tertulis di atas. Keputusan TUN yang demikian yaitu merupakan jenis yang dikecualikan dari kewenangan lingkungan peradilan TUN. Adapun
keputusan-keputuan
TUN
yang
dikecualikan
atua
yang
dinyatakan tidak termasuk dalam pengertian beschiking atau yang mempersempit kompetensi peradilan TUN, sehingga tidak dapat digugat ke Peradilan TUN, adalah : 1. Keputusan-keputusan TUN yang ditentukan dalam pasal No. 5 Tahun 1986 meliputi : a. Keputusan Tata Usaha Negar yang merupakan perbuatan perdata b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan
11
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Edisi Baru, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hal. 163.
Universitas Sumatera Utara
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP atau KUHAP atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan-peraturan perundangundangan yang berlaku f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha ABRI g. Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum. 2. Keputusan-keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan pasal 49 UU No. 5/1986, yang menyatakan bahwa Peradilan Tata Usaha Negara tidak berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan : a. Dalam waktu perang atau dalam keadaan berbahaya, keadaan bencana alam atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku 3. Keputusan-keputusan TUN yang telah melampaui tenggang waktu 40 hari sejak tanggal/saat diterimanya atau diumumkannya atau diketahuinya keputusan TUN dimaksud sesuai denan pasal 55 UU No. 5/1986. Dengan kat
Universitas Sumatera Utara
lain apabila telah melampaui tenggang waktu tersebut, maka keputusan TUN itu tidak lagi diajukan atau digugat ke pengadilan TUN. Di samping ketentuan yang mempersempit kompetensi TUN sebagaimana yang dijelaskan di atas, ternyata ada juga ketentuan yang memperluas kompetensi PTUN, yaitau pasal 3 UU No. 5 Tahun 1996 yang menyatakan : 1) Apabila badan atau pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan, sedang hal itu merupakan kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan keputusan TUN. 2) Jika badan atau pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan TUN yang dimohon, sedang jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka badan atu pejabat TUN tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan dimaksud. 3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan juga waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat juga waktu 4 bulan sejak diterimanya permohonan badan atau pejabat TUN yang bersangkutan penolakan atau disebut keputusan TUN negatif fiktif.
Timbulnya sengketa TUN tersebut berkenaan dengan masalah syah atau tidaknya suatu keputusan TUN, sehingga pengajuan gugat balik atau rekonpensi tidak dikenal dalam Hukum Acara Peradilan TUN. Di atas sudah dijelaskan bahwa keputusan TUN merupakan causa prima bagi
Universitas Sumatera Utara
timbulnya sengketa TUN. Dengan demikian tanpa adanya keputusan TUN, maka tidak mungkin timbul sengketa TUN sebab objek yang dipersengketakan tidak ada. Meskipun ada keputusan TUN, akan tetapi tidak memenuhi salah satu unsur dari pasal 1 butir 3, atau termasuk yang dikecualikan, maka keputusan TUN yang demikian tidak dapat menjadikan sebagai objek sengketa atau objek gugatan di peradilan TUN. Karena itu dapatlah disimpulkan bahwa yang sebenarnya dipersengketakan dalam suatu proses di pengadilan TUN itu adalah pelaksanan dari suatu wewenang pemerintahan menurut hukum publik yang diharapkan oleh badan atau pejabat TUN, dengan kata lain yang disengketakan itu selalu merupakan salah satu bentuk tindakan hukum pemerintahan yang dilakukan oleh pejabat atau badan TUN yang mengatakan badan atau pejabat TUN adalah badan atau pejabat yang melaksanakan
urusan
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
D. Tahap Proses Pemeriksaan Suatu Sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara Setelah surat gugatan terdaftar di Kepaniteraan dan dicatat dalam Buku Induk Register Perkara yang disediakan, maka PTUN akan melakukan proses pemeriksaan terhadap sengketa/gugatan tersebut.
Menurut Hukum Acara Peradilan TUN yang diatur dan ditentukan dalam Bab IV Pasal 53 s/d 132 UU No. 5 Tahun 1986 dapat diketahui bahwa proses pemeriksaan suatu perkara/sengketa di PTUN mempunyai sifat khusus karena harus dilakukan
Universitas Sumatera Utara
sesuai dengan tahapan-tahapannya. Sebelum pemeriksaan dilakukan dengan acara biasa, harus terlebih dahulu diawali dengan proses rapat permusyarawatan (proses dismissal) yang dilanjutkan dengan proses pemeriksaan persiapan, baik rapat permusyawaratan oleh Ketua TUN maupun pemeriksaan persiapan oleh Majelis Hakim yang bersangkutan, termasuk bagian dari fungsi peradilan (justiele functie). Dari ketentuan yang mengatur tentang hukum acara peradilan TUN tersebut, dapat diketahui bahwa proses pemeriksaan suatu sengketa PTUN ternyata mengenal beberapa tahapan, yaitu : a. Tahap rapat permusyawaratan (proses dismissal) b. Tahap proses pemeriksaan persiapan c. Tahap proses persidangan d. Tahap pengucapan keputusan Tahapan-tahapan proses pemeriksaan sengketa ini perlu dijabarkan secara terperinci agar mudah perlu dijabarkan secara terperinci agar mudah dimengerti dan dibandingkan dalam pembicaraan selanjutnya tentang materi pokok skripsi ini, sebagaimana diuraikan dalam Bab IV berikut : a. Tahap proses dismissal (pasal 62 UU No. 5/1986) Setiap gugatan telah masuk di PTUN selalu pada permulaannya akan ditangani/diperiksa dari segi ketatausahaan (administrasi) lebih dahulu oleh staf Kepaniteraan yang lazim disebut dengan istilah penelitian administratif yaitu penelitian pendahuluan yang bersifat formal ketatausahaan peradilan. Setelah itu baru dilakukan proses dismissal oleh Ketua TUN terhadap gugatan
Universitas Sumatera Utara
dimaksud, guna untuk menentukan apakah gugatan yang diajukan itu dapat diterima
atau
tidak,
apakah
gugatan
telah
memenuhi
syarat-syarat
sebagaimana ditentukan dalam pasal 56 UU No. 5 Tahun 1986 dan apakah memang termasuk wewenang TUN yang bersangkutan untuk mengadilinya. Pendeknya apakah gugatan tersebut dinyatakan lolos dismissal atau tidak. Menyangkut tentang penelitian administratif oleh staf Kepaniteraan ini, SEMA No. 2 tanggal 9 Juli 1991 memberikan petunjuk-petunjuk sebagai berikut : 1. Setelah surat gugatan tercatat dan terdaftar di kepaniteraan atau telah mempunyai administratif
nomor
perkara,
maka
haruslah
dilakukan
penelitian
hendaknya dilakukan dari segi-segi formalnya saja yang
mengenai bentuk maupun isi gugatan sesuai dengan maksud pasal 56 UU No. 5 Tahun 1986 dan jangan sampai menyangkut segi materi gugatan (pokok perkara). 2. Panitera harus memberikan petunjuk-petunjuk seperlunya kepada pihak penggugat dan dapat meminta kepada pihak penggugat untuk memperbaiki gugatan yang dipandang perlu sebelum gugatan diteruskan kepada Ketua. Panitera tidak berhak menolak pendaftaran perkara yang bersangkutan dengan dalih apapun juga yang berkaitan dengan materi gugatan. 3. Untuk memudahkan pemeriksaan perkara pada tahap selanjutnya maka setelah suatu gugatan didaftar dan memperoleh nomor perkara, oleh staf Kepaniteraan Bidang Perkara perlu dibuatkan resume gugatan terlebih
Universitas Sumatera Utara
dahulu sebelum diajukan kepada Ketua TUN dengan bentuk formal yang isinya pada pokoknya sebagai berikut : 1) Siapa-siapa subjeknya (identitas para pihak) dan apakah penggugat sebagai pihak sendiri ataukah diwakili oleh kuasanya yang sya. Bila diwakili kuasa, apakah surat kuasa khusus sudah terlampir atau belum dalam surat gugatan tersebut 2) Apakah
yang
menjadi objek gugatan dan menjelaskan
jenis
perkaranya. Apakah objek gugatan itu sepintas masuk dalam pengertian Keputusan TUN/Penetapan Tertulis (beschiking) menurut pasal 1 butir 3 UU No. 5/86. 3) Ringkasan dari alasan gugatan diteliti apakah posita gugatan memenuhi ketentuan pasal 53 ayat 2 huruf a, b, c UU No. 5/1986 atau mengemukakan
alasan
pelanggaran
terhadap
asas-asas
umum
pemerintahan yang baik. 4) Apakah yang menjadi tuntutan (petitum) gugatan tersebut hanya berisi tuntutan pokok ataukah disertai dengan tuntutan tambahan berupa pembebanan salah satu kewajiban sebagaimana ditentukan pasal 97 ayat 9, 10, dan 11 UU No. 5 Tahun 1986. 5) Apakah di dalam/beserta surat gugatan terdapat permohonan prodeo (pasal 60), acara cepat (pasal 98), penangguhan/penundaan pelaksanaan keputusan TUN yang digugat tersebut (pasal 67), sebab apabila terdapat permohonan demikian haruslah sesegera mungkin dilakukan terlebih
Universitas Sumatera Utara
dahulu
dipertimbangkan
oleh
Ketua
TUN
sebelum
ditetapkan
penunjukan Majelis Hakimnya yang memeriksa dan memutus pokok sengketanya. 4. Apabila Kepaniteraan di dalam melakukan penelitian administratif dimaksud menemui kekurangan-kekurangan yang sifatnya tidak prinsipil, maka penggugat dapat dianjurkan agar memperbaiki dan menyempurnakan gugatannya atas kekurangan yang diteliti tersebut. Hasil penelitian administratif tersebut harus dilaporkan kepada Ketua PTUN untuk bahan pertimbangan dalam proses dismissal. Dismissal process ini merupakan tahap penyaringan atau filter yang dilakukan Ketua PTUN dengan penanganan yang bersifat inguisitoir belaka terhadap gugatan yang diajukan tidak ada proses antara pihak-pihak, tidak ada acara tukar menukar jawaban dan dokumen serta tidak ada pembuktian. Dalam proses dismissal ini, para pihak yang berperkara belum dihadirkan. Dalam tahap ini ada dua alternatif keputusan yang dapat diambil Ketua PTUN, yaitu : 1. Ketua PTUN menyatakan gugatan dapat diterima, yang berarti dapat dilanjutkan pemeriksaannya (lolos dismissal) sehingga ditetapkanlah Majelis Hakim yang akan memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Dalam hal ini tidak perlu dibuatkan suatu penetapan lolos dismissal yang dibuatkan adalah penetapan penunjukan Majelis Hakimnya. 2. Ketua PTUN dengan sengketa segala pertimbangannya memutuskan dengan suatu penetapan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima atau didak
Universitas Sumatera Utara
berdasar. Alternatif ini diambil apabila : a.
Pokok gugatan nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang PTUN.
b. Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 tidak dipenuhi pengguat, sekalipun ia telah diberitahu/diperingatkan c.
Gugatan tersebut didasarkan pada alasan-alasan yang tidak layak
d. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah dipenuhi oleh keputusan TUN yang digugat e.
Gugatan diajukan sebelum waktunya (prematur) atau telah lewat waktnya (daluarsa) Meskipun dalam proses dismissal tersebut para pihak berperkara belum hadir,
akan tetapi penetapan dismissal tersebut harus diucapkan di hadapan para pihak yang berperkara.
Oleh
karena
itu
kedua
belah
pihak
harus
dipanggil
untuk
mendengarkannya. Pemanggilan kedua belah pihak dilakukan dengan surat tercatat oleh Panitera atas perintah Ketua. Apabila penggugat keberatan atas penetapan dismissal tersebut maka ia dapat mengajukan verzet (perlawanan) dalam tenggang waktu 14 hari setelah mengucapkan penetapan, apabila hadir atau sejak diterimanya salinan penetapan yang dikirimkan oleh Panitera dengan surat tercatat jika penggugat tidak menghadiri pengucapan penetapan dismissal itu. Perlawanan tersebut diajukan harus pula memenuhi syarat-syarat seperti gugatan biasa menurut pasal 56 UU No. 5 Tahun 1986. Gugatan perlawanan ini diperiksa dalam acara singkat oleh Majelis Hakim yang ditunjuk oleh Ketua, dengan
Universitas Sumatera Utara
dibantu oleh seorang Panitera Pengganti yang ditunjuk oleh Panitera.
Majelis Hakim yang ditunjuk untuk memeriksa dan memutus gugatan perlawanan, terdapat dua kemungkinan mengenai keputusan yang akan diambil, yakni : 1. Membenarkan perlawanan yang diajukan oleh Pelawan Apabila alternatif ini yang diambil yaitu menyatakan pelawan adalah sebagai pelawan yang benar, maka penetapan dismissal yang dikeluarkan Ketua PTUN tersebut menjadi gugur demi hukum, dan selanjutnya pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa. 2. Gugatan perlawanan ditolak, atau pelawan dinyatakan sebagai pelawan yang tidak benar. Terhadap penolakan ini, konsekwensi juridis yang timbul tergantung pada alasan yang digunakan dalam penolakan tersebut. Apabila alasannya gugatan cacat, maka penggugat dapat mengajukan gugatan tersebut setelah gugatan direvisi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Akan tetapi apabila penolakan tersebut yang berlaku. Akan tetapi apabila penolakan tersebut dengan alasan lain, maka gugatan tidak dapat diajukan kembali. Hal ini tidak menutup kemungkinan untuk mengajukan gugatan tersebut kepada lembaga pengadilan yang lain. Terhadap putusan mengenai perlawanan ini tidak dapat digunakan upaya hukum apapun, sehingga putusan terhadap penolakan gugatan perlawanan itu diangap sebagai putusan tingkat pertama dan terakhir dan telah berkekuatan hukum tetap.
Universitas Sumatera Utara
Perlu dikonfirmasikan, bahwa apabila Ketua PTUN berhalangan maka kewenangan proses dismissal ini dilakukan oleh Wakil Ketua. Selain itu perlu pula diketahui, adanya tahap proses dismissal ini justru sangat memberi manfaat dan keuntungan bagi penggugat, sebab kalau semua gugatan yang masuk diteruskan ke proses persidangan tanpa melalui dismissal process dikuatirkan akan banyak waktu, tenaga, pikiran dan biaya yang terbuang percuma untuk pemeriksaan perkara yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam UU No. 5 Tahun 1986 yang pada akhirnya gugatan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima atau tidak berdasar, Setelah Ketua melakukan dismissal proses dan gugatan dinyatakan lolos dismisal maka berkas perkara diserahkan kepada Majelis Hakim yang telah ditunjuk oleh Ketua PTUN untuk selanjutnya melakukan tahapan pemeriksaan persiapan, persidangan dan pengucapan putusan. b. Tahap proses pemeriksaan persiapan (pasal 63 UU No. 5/1986) Sejak masuknya gugatan sampai dimulainya pemeriksaan di muka persidangan, belaku suatu masa waktu (fase) mematangkan perkara yang bersangkutan (fase sud iu dice), yaitu suatu masa periode penelitian dan pemeriksaan dimana suatu gugatan yang masuk dimatangkan lebih dahulu untuk dapat diperiksa atau disidangkan di muda sidang yang terbuka untuk umum. Langkah-langkah yang dilakukan dalam fase sun tudice tersebut antara lain : -
Penelitian yang bersifat administratif oleh Kepaniteraan yang merupakan penelitian pendahuluan, sebelum berkas diserahkan kepada Ketua.
-
Proses dismissal yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan/Wakil Ketua apabila
Universitas Sumatera Utara
Ketua berhalangan -
Proses pemeriksaan persiapan yang dilakukan oleh Majelis Hakim Setelah penelitian pendahuluan yang berupa penelitian administratif yang
dilaksanakan Kepaniteraan Bidang
Perkara yang diteruskan denan proses
dismissal oleh Ketua telah selesai dilakukan, maka untuuk selanjutnya pemeriksaan dengan acara maka untuk selanjutnya pemeriksaan dengan acara biasa atas suatu gugatan dinyatakan telah lolos dissmisal tersebut akan dilangsungkan tahapan pemeriksaan persiapan menurut pasal 63 UU No. 5 Tahun 1986. Dengan kata lain, selain tahap proses dismissal sebagaimana telah diuraikan di atas. Dalam hukum acara Peradilan TUN dikenal tehapan proses pemeriksaan persiapan yaitu suatu tahap pemeriksaan sebelum pokok gugatan dimulai pemeriksaannya guna untuk mematangkan perkara agar laik disidangkan dalam tahap proses persidangan. Pemeriksaan persidangan diadakan mengingat penggugat di PTUN adalah warga masyarakat yang mempunyai kedudukan yang lemah dibandingkan dengan tergugat sebagai pejabat TUN. Dalam posisi yang lemah tersebut, sulit bagi penggugat untuk mendapatkan informasi dan data yang diperlukan dari Badan atau Pejabat TUN yang digugat. Dalam pemeriksaan persiapan ini, Hakim diharapkan akan berperan aktif dalam memeriksa sengketa, antara lain dengan meminta penggugat untuk melengkapi alat-alat bukti pajabat TUN yang bersangkutan untuk memberikan informasi dan data yang diperlukan oleh PTUN. Indroharto, SH berpendapat bahwa wewenang Hakim tersebut dimaksudkan
Universitas Sumatera Utara
untuk mengimbangi dan mengatasi kesulitan seseorang sebagai Penggugat dalam mendapatkan informasi atau data yang diperlukan dari Badan atau Pejabat TUN mengingat bahwa Penggugat dan Badan atau Pejabat TUN itu kedudukan/status sosialnya tidak sama.
Pemberian kesempatan kepada Penggugat untuk melengkapi/memperbaiki gugatannya itu harus dilakukan dalam jangka waktu 30 hari, terhitng sejak Hakim memberikan nasehat kepada penggugat. Nasehat Hakim tersebut harus dituangkan dalam bentuk penetapan yang dimuat dalam Berita Acara Pemeriksaan Persiapan sehingga ada pegangan bagi Hakim dan Penggugat. Kesempatan dimaksud sebaiknya diberikan cukup sampai dua kali. Apabila
kesempatan
itu
disia-siakan
yaitu
penggugat
belum
menyempurnakan, melengkapi atau memperbaiki gugatannya, maka Hakim menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima. Terhadap putusan hakim tersebut tidak dapat digunakan upaya hukum artinya tidak ada banding atau kasasi tetapi penggugat masih diperbolehkan untuk mengajukan gugatan baru, sesuai dengan syarat-syarat pasal 56 dan harus membayar uang muka biaya perkara agar diperoleh Nomor Perkaranya yang baru. Pemeriksaan persiapan itu harus dilakukan tidak di muka sidang yang terbuka untuk umum, melainkan harus tertutup artinya pihak umum tidak diperkenankan menghadiri permeriksaan persiapan tersebut. Majelis Hakim yang menangani suatu perkara berwenang sepenuhnya untuk
Universitas Sumatera Utara
menyatakan gugatan tidak dapat diterima seluruhnya atau sebagian, meskipun perkara itu telah lolos dari dismissal proses. Segala sesuatu yang dilakukan dalam tahap pemeriksaan persiapan diserahkan kepada kearifan dan kebijaksanaan Ketua Majelis. Untuk lebih jelasnya, penulis mengetengahkan pendapat Bapak Indroharto, SH mengenai tujuan pemeriksaan persiapan yaitu : “Tujuan diadakanya pemeriksaan persiapan ini adalah untuk dapat meletakkan sengketanya dalam peta, baik mengenai objeknya serta fakta-faktanya maupun mengenai problema hukumnya yang harus dijawab nanti”. 12 Kegunaan adanya proses pemeriksaan persiapan adalah agar pemeriksaan mengenai pokok perkara di muka sidang dalam proses selanjutnya dapat berjalan lancar, sebab pada akhir pemeriksaan persiapan itu tentu Hakim telah memperoleh gambaran yang jelas mengenai aspek-aspek yang berkaitan dengan objek perselisihan,
fakta-fakta problema hukum dalam sengketa yang
bersangkutan. Sehingga pada saat dimulainya pemeriksaan yang akan dilaskanakan. Setelah pemeriksaan persiapan dianggap selesai dan Majelis sudah mempunyai gambaran sementara mengenai aspek yang berkaitan dengan objek sengketanya, fakta-faktanya merupakan problema-problema hukum yang harus diputuskannya, maka Ketua Majelis menetapkan hari sidang dengan suatu penetapan hari sidang memerintahkan Panitera Pengganti agar memanggil kedua 12
Ibid, hal. 90
Universitas Sumatera Utara
belah pihak atau para pihak yang berperkara dengan surat tercatat agar hadir pada hari yang telah ditetapkan di muka persidangan. c. Tahap proses persidangan Setelah pemeriksaan persiapan dianggap selesai, maka sebelum Majelis menentukan hari dan tempat sidang, Majelis sebaiknya menyusun penilaian sementara mengenai perkara yang akan disidangkan. Penilaian intern sementara itu berupa : 1) Memilah-milahkan fakta-fakta dengan mengingat problema hukum yang harus dijawab. 2) Penyusunan secara mendetail mengenai problema hukum yang harus dijawab 3) Penyusunan jawaban sementara atas problema hukum tersebut. 4) Penyusunan
instruksi-instruksi
sementara
yang
dilaksanakan
selama
pemeriksaan di muka sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum nanti kepada para pihak, saksi-saksi atau saksi ahli, dan sebagainya. 5) Mungkin juga sudah ada keperluan untuk merencanakan tentang putusan yang akan diucapkan. Apabila Majelis Hakim setelah melakukan pemeriksaan menganggap bahwa gugatan telah sempurna dan sudah laik disidangkan maka Hakim Ketua menentukan hari sidang dengan suatu penetapan hari sidang. Dalam penentuan hari sidan gini, Hakim harus mempertimbangkan jarak tempat tinggal para pihak dari tempat persidangan (pengadilan). Jangka waktu antara panggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari 6 hari kecuali dalam hal sengketa tersebut diperiksa dengan acara cepat
Universitas Sumatera Utara
(pasal 64 UU No. 5/86). Panggilan terhadap pihak yang dianggap syah apabila masing-masing telah menerima panggilan yang dikirimkan dengan surat tercatat oleh Panitera Pengganti. Jika pada hari sidang pertama ternyata penggugat atau kuasanya tidak hadir maka dipanggil lagi. Setelah panggilan dilakukan secara patut, ternyata pihak penggugat tetap tidak hadir tiga kali berturut-turut, maka gugatan dinyatakan gugur, maka penggugat harus membayar biaya perkara. Sesudah gugatan dinyatakan gugur, maka penggugat masih dapat memasukkan gugatannya sekali lagi dengan membayar uang muka biaya perkara asalkan tenggang waktu pengajuan gugatan belum dilewati. Apabila pada hari sidang pertama tergugat atau kuasanya tidak hadir, maka akan dipanggil lagi untuk kedua kalinya dengan tembusan panggilan kedua itu dikirimkan kepada atasan tergugat. Apabila tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir walaupun telah dipanggil secara patut atau tergugat/kuasanya tidak menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka Hakim Ketua dengan surat penetapan meminta atasan tergugat untuk memerintahkan tergugat agar hadir dan menanggapi gugatan. Berarti surat panggilan ketiga dikirimkan kepada atasan tergugat yang dilampiri dengan penetapan Hakim Ketua tersebut. Setelah lewat dua bulan ternyata tidak ada berita, baik dari tergugat ataupun dari atasan tergugat, maka Hakim Ketua menetapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan perkara dilanjutkan menurut acara biasa tanpa hadirnya tergugat (in absentia). Dalam persidangan tanpa hadirnya tergugat ini, putusan terhadap pokok gugatan dapat dijatuhkan setelah pemeriksaan mengenai segi pembuktiannya dilakukan secra tuntas.
Universitas Sumatera Utara
Setelah sidang dibuka oleh Hakim Keetua sidang, pemeriksaan sengketa dimulai
dengan
membacakan
pemeriksaan
sengketa
dimulai
dengan
membacakan gugatan dan jawaban. Selanjutnya Hakim Ketua sidang memberi kesempatan kepada para pihak untuk menjelaskan seperlunya hal yang diajukan masing-masing pihak. Dalam persidangan sengketa TUN, Hakim harus berperan aktif, guna memperoleh kebenaran materiil. Hal ini terbukti adanya kesewenangan Hakim dalam hal-hal sebagai berikut : 1. Hakim Ketua sidang berhak di dalam persidangan memberikan petunjuk kepada para pihak yang bersengketa mengenai upaya hukum dan alat bukti yang dapat digunakan oleh mereka dalam sengketa. 2. Dengan izin ketua PTUN, penggugat, tergugat dan penasehat hukum dapat mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersengketa dengan perkara tersebut di Kepaniteraan PTUN, bahkan dapat membuat kutipan apabila hal tersebut dianggap perlu. 3. Para pihak yang berperkara dapat membuat atau menyuruh membuat salinan atau petikan segala surat pemeriksaan perkaranya, dengan biaya sendiri, setelah memperoleh izin dari Ketua PTUN yang bersangkutan. Hakim Ketua sidang berkewajiban untuk menjaga agar tata tertib persidangan ditaati setiap orang Hakim Ketua berkewajiban untuk memberikan teguran atau peringatan kepada setiap orang yang menunjukkan sikap, perbuatan, tingkah laku dan ucapan-ucapan yang merendahkan derajat, wibawa, martabat dan
Universitas Sumatera Utara
kehormatan Pengadilan. Apabila orang tidak mentaati tata tertib persidangan, maka atas perintah Hakim Ketua, ia dikeluarkan dari ruang sidang. Tindakan Hakim Ketua terhadap pelanggaran tata tertib persidangan, tidak menutup kemungkinan dilakukan penuntutan jika pelanggaran itu merupakan tindak pidana. Persidangan dipimpin dan dibuka oleh Hakim Ketua sidang dan harus dinyatakan terbuka unttuk umum. Pernyataan dibuka untuk umum itu sangat penting,
karena jika
mengakibatkan
hal
itu
tidak
batalnya putusan
dipenuhi,
demi
hukum.
maka persidangan dapat Apabila
Majelis
Hakim
memandang bahwa sengketa yang disidangkan menyangkut kepentingan umum atau keselamatan negara, maka persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum (pasal 70 UU No. 5/1986). Dalam proses persidangan secara berurutan akan dilangsungkan pengajuan jawaban dari tergugat, pengajuan replik oleh penggugat, pengajuan duplik oleh tergugat, pengajuan alat-alat bukti dari penggugat dan tergugat, pemeriksaan saksisaksi yang diajukan penggugat dan tergugat dan diakhiri dengan pengajuan konklusi/kesimpulan dari masing-masing pihak. Jadi suatu proses pemeriksaan sengketa TUN tidak mungkin dapat diselesaikan dalam satu kali persidangan, sehingga persidangan terpaksa dilanjutkan pada hari persidangan berikutnya untuk acara yang telah ditentukan. Hari persidangan berikutnya ini diberitahukan kepada kedua belah pihak dan pemberitahuan ini dianggap sama dengan panggilan, karena itu haruslah dicatat dalam berita acara
Universitas Sumatera Utara
persidangan oleh panitera pengganti yang bersangkutan mengenai pengunduran persidangan tersebut. Kalau sekiranya pada hari persidangan kedua atau salah satu hari persidangan berikutnya ada pihak yang tidak hadir pada hal pada waktu persidangan pertama atau sebelumnya yang bersangkutan hadir, maka Hakim Ketua penyeruh memberitahukan kepada pihak tersebut pada hari dan tanggal persidangan berikutnya. Apabila pada hari sidang yang sudah ditentukan itu, pihak yang bersangkutan tidak hadir tanya alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, padahal ia sudah diberitahu secara patut, maka pemeriksaan dapat dilanjutkan tanpa kehadirannya. Pihak tergugat berhak mengajukan eksepsi terhadap gugatan yang diajukan penggugat. Eksepsi ini hanya diperkenankan sejauh mengenai kewenangan baik pengadilan kompetensi yang bersipat absolut maupun yang relatif, ataupun kewenangan khusus lainnya. Eksepsi mengenai kemenangan absolut pengadilan dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan berlangsung. Bahkan hakim karena jawabnya, apabila mengetahui yakin bahwa PTUN tidak berwenang mengadili gugatan tersebut. Sedangkan eksepsi tentang kewenangan relatif, diajukan sebelum jawaban atas pokok sengketa, dan eksepsi ini harus diperiksa dan diputus sebelum pokok sengketa diperiksa. Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan pengadilan hanya dapat diputus bersama dengan pokok sengketa dalam putusan akhir. Seperti telah dijelaskan sebelumnya Hakim dalam persidangan di PTUN harus aktif di dalam menemukan kebenaran. Sehubungan dengan hal ini demi kelancaran pemeriksaan suatu sengketa, Hakim Ketua Sidang berhak di dalam sidang
Universitas Sumatera Utara
memberikan petunjuk kepada pihak yang bersengketa mengenai upaya hukum dan alat bukti yang dapat digunakan. Dengan demikian UU No. 5/1986 mengarah pada ajaran pembuktian bebas. Dalam hal ini para pihak dapat mengajukan alat bukti sebanyak mungkin guna mendukung dalil-dalil yang diajukan dalam acara pembuktian. Pasal 100 UU No. 5/1986 menentukan bahwa alat bukti yang dapat dipergunakan dalam persidangan sengketa TUN adalah : 1. Surat atau tulisan : yang terdiri dari 3 jenis, yaitu : a. Akta otentik yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya. b. Akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihakpihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya. c. Surat-surat lainnya yang bukan akta 2. Keterangan ahli : adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan
tentang
hal
yang
ia
ketahui
menurut
pengalaman
dan
pengetahuannya. Keterangan ahli ini dapat diajukan baik atas permintaan para pihak yang berperkara maupun atas prakarsa Hakim karena jabatannya. Yang penting keterangan tersebut dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuannya/pengalamannya.
Universitas Sumatera Utara
3. Keterangan saksi ; dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat atau didengar oleh saksi sendiri. Saksi ini dapat diajukan atas permintaan salah satu pihak dalam perkara. Hakim Ketua sidang dapat juga memerintahkan sesorang saksi untuk didengar keterangannya dalam persidangan. Apabila saksi tidak datang tanpa alasan yang syah meskipun telah dipanggil dengan patut dan hakim cukup mempunyai alasan untuk menduga bahwa saksi sengaja tidak datang, Hakim Ketua dapat memberi perintah supaya saksi dibawa oleh polisi secara paksa ke persidangan. Sebelum saksi memberikan keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya. 4. Pengakuan para pihak ; ini merupakan salah satu alat bukti juga. Pengakuan yang diberikan oleh para pihak yang berperkara tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan-alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Hakim. 5. Pengetahuan Hakim ; adalah hal-hal yang oleh hakim diketahui dan diyakini kebenarannya. Dengan perkataan lain, pengetahuan ini harus diperoleh hakim dalam dan selama persidangan. Untuk menambah pengetahuan Hakim lazimnya dilakukan pemeriksaan setempat/peninjauan lokasi atau sidang lapangan. Perlu dijelaskan, hal apa yang harus dibuktikan, beban pembukt ian beserta penilaian pembuktian merupakan kewenangan untuk menetapkannya. Untuk syahnya pembuktian
sekurang-kurangnya
diperlukan
dua
alat
bukti
yang
diyakini
kebenarannya oleh Hakim.
Universitas Sumatera Utara
Setelah semua proses pemeriksaan sengketa selesai, kedua belah pihak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat-pendapat yang terakhir, berupa konklusi/kesimpulan masing-masing pihak. Sebenarnya pengajuan kesimpulan tersebut tidak diwajibkan. Kesimpulan diajukan bilamana dianggap perlu atau dianggap penting oleh pihak-pihak yang bersengketa. Selanjutnya Hakim Ketua menyatakan sidang ditunda, untuk memberikan kesempatan kepada majelis Hakim bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna merumuskan putusan terhadap sengketa tersebut. d. Tahap Pengucapan Putusan Pengadilan memeriksa dan memutus sengketa TUN dengan acara biasa dilakukan oleh suatu Majelis Hakim yang ditunjuk Ketua, yang terdiri dari seorang Hakim Ketua sidang dan dua orang lainnya sebagai Hakim Anggota, dengan dibantu oleh seorang Panitera Pengganti. Apabila pemeriksaan tahap persidangan telah selesai dilakukan, yaitu kedua belah pihak sudah mengajukan kesimpulannya dan kedua belah pihak menyatakan tidak ada lagi hal-hal yang perlu dikemukakan serta memohon putusan, maka Hakim Ketua sidang akan menunda persidangan guna mengadakan musyawarah. Memang putusan pengadilan dapat dijatuhkan/diucapkan pada hari itu juga (setelah Majelis Hakim bermusyarawah dengan enschor sidang), namun umumnya pengucapkan putusan dimaksud ditunda pada hari lainnya yang harus diberitahukan kepada para pihak yang bersengketa.
Universitas Sumatera Utara
Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu putusan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua sidang, salinan putusan atau amar putusan diberitahukan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan. Asas musyawarah Hakim itu diperlihatkan dengan susunan Majelis Peraddilan terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang Hakim, yang menunjukkan kolegial, yang asasnya dirumuskan dalam pasal 15 UU No. 14 tahun 1970. Putusan dalam musyawarah Majelis diusahakan untuk memperoleh hasil permufakatan bulat. Apabila hal itu setelah diupayakan dengan sungguh-sungguh berikut : a. Putusan diambil dengan suara terbanyak b. Apabila ketentuan (a) tersebut tidak juga dihasilkan putusan, maka musyawarah ditunda sampai musyawarah berikutnya. c. Apabila dalam musyawarah berikutnya tidak dapat diambil putusan dengan suara terbanyak, maka suara terakhir, diletakkan pada Hakim Ketua Majelis yang menentukkan. Putusan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, dengan pemberitahuan agar kedua belah pihak hadir untuk mendengarkannya. Sebelum suatu putusan akhir itu diucapkan dimuka sidang yang terbuka untuk umum, biasanya diperlukan masa-masa waktu tertentu, antara lain : 1. Tenggang waktu yaang diperlukan untuk mengambil putusan akhir setelah sidang terakhir ditutup, artinya masa waktu antara penutupan sidang terakhir dengan saat mulainya
rapat
permusyawaratan
Majelis
(Raadkamer
Majelis)
untuk
Universitas Sumatera Utara
memutuskan putusan akhir dari sengketa yang diperiksa Majelis yang bersangkutan. 2. Masa waktu untuk menyusun konsep putusan, khususnya mengenai pertimbangan Hukumnya. Dalam masa ini diperlukan waktu yang cukup untuk menyiapkan putusan dalam bentuk konsep serta meralat seperlunya. 3. Masa waktu yang diperlukan untuk pengucapan Putusan. Pengucapan putusan dilakukan dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum dengan cara membacakan putusan yang sudah dikonsep secara tertulis tersebut. 4. Setelah putusan diucapkan, maka masih diperlukan masa waktu untuk menyiapkan Putusan lengkapnya dalam bentuk naskah tertulis (minutasi) dan setelah itu harus ditandatangani. Bagi yang tidak hadir dikirimkan amar putusan yang sudah dibacakan tersebut, agar para pihak yang tidak hadir itu dapat segera mengetahui putusan pokok mengenai sengketanya, terutama pihak yang tidak hadir itu adalah pihak yang dikalahkan pengiriman amar putusan harus segera dilakukan agar dapat mengambil sikap apakah mengajukan banding atau tidak (pasal 122 dan 123 UU No. 5 tahun 1986). Pasal 97 ayat 7 UU No. 5 tahun 1986 memberikan pedoman tentang kemungkinan amar/diktum putusan, sebagai berikut : a. Gugatan Penggugat dinyatakan tidak diterima (niet Onvankelijk Verlaard); Diktum ini sebenarnya bersifat deklaratoir yang tidak membawa perubahan apaapa dalam hubungan hukum yang ada antara Penggugat dan hubungan hukum yang ada antara Penggugat dan Tergugat.
Universitas Sumatera Utara
b. Gugatan penggugat dinyatakan ditolak, berarti penggugat tidak berhasil untuk membuktikan kebenaran dalil-dalilnya. Diktum seperti ini sudah mengandung isi yang lebih memberikan kepastian hukumnya. c. Gugatan Penggugat dikabulkan (seluruhnya atau sebagian); berarti dari pemeriksaan pengadilan, ternyata Penggugat telah berhasil membuktikan dalildalilnya dan apa yang dituntut itu berdasar untuk dikabulkan. d. Gugatan Penggugat dinyatakan gugur; mungkin karena penggugat telah melanggar hukum acara yaitu tidak hadir tiga kali berturut-turut meskipun dipanggil dengan patut, atau dalam hal penggugat telah meninggal dunia.
Universitas Sumatera Utara