SENGKETA TATA USAHA NEGARA 1 Oleh : Irfan Fachruddin
Pengadilan adalah lembaga negara yang berfungsi sebagai penyelesai sengketa yang diajukan kepadanya, baik antara sesama anggota masyarakat, maupun antara masyarakat dengan badan-badan pemerintah atau antar badanbadan kenegaraan. Indikasi keberhasilan lembaga pengadilan adalah apabila dapat menyelesaikan sengketa dengan baik, dalam arti persengketaan atau masalah
selesai
tanpa
menyisakan
masalah
lain
atau
menimbulkan
persengketaan baru. Prinsip supremasi hukum (supremacy of law) atau pemerintah menurut hukum (rechtmatigheid van bestuur)dan ajaran prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) menempatkan badan peradilan sebagai penegak pelaksanaan prinsip tersebut. Tidak salah apabila ada kesan bahwa kekuasaan peradilan (judicial power) dapat mengendalikan kekuasaan pemerintah dan kekuasaan legislasi. Suatu
penelitian
menemukan
“teori
penyelesaian
sengketa”.
Maksudnyaadalah bahwa putusan yang mengandung penyelesaian sengketa yang jelas dan tuntas akan menghasilkan penyelesaian hukum yang baik pula. Sampai Brenninkmeijer tahun 1994 mendorong untuk memberikan wewenang yang lebih luas kepada hakim untuk menyelesaikan atau mengakhiri sengketa yang tidak habis-habisnya. Pemikiran ini mendapat dukungan antara lain dari Hirsch Ballin, van Buuren, Drupsteen, Ten Berge, Widdersnoven, dan Wulffstraat-van Dijk yang berpendapat sama.
2
Adagium yang sudah berurat-berakar dalam teori dan praktek peradilan bahkan dimentahkan kembali demi sebuah penyelesaian sengketa yang menyeluruh. Misalnya, tuntutan untuk memperluas wewenang hakim yang dihadapkan kepada semboyan “dat de rechter niet op de stoel van het bestuur mag gaan zitten” (hakim tidak boleh duduk dikursi pemerintahan). Ada kecenderungan yang berkembang bahwa dalam penyelesaian perkara hakim dapat menggeser wewenang pemerintah untuk mengambil kebijakan sendiri. Dalam rangka penyelesaian sengketa, pemerintah tidak diberi kebebasan memilih untuk melakukan suatu tindakan, mengeluarkan suatu keputusan pengganti atau
1
Disampaikan pada Pelatihan Tematik “Sengketa Tata Usaha Negara” Bagi Hakim di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, Pusdiklat Pancasila dan Konstitusi MK RI, Jalan Puncak Raya, Desa Tugu Selatan, Cisarua, Jawa Barat, 16 Mei 2013. 2
Schueler,B.J., Vernietigen en opnieuw voorzien, W.E.J. Tjeenk Willink Zwolle – Nederlands Instituut voor Sociaal en Economisch Recht (NISER), 1994, hlm. 2.
1
keputusan baru. Wewenang seperti itu dapat memberi peranan kepada Hakim untuk merancang penyelesaian sengketa dengan lebih baik.
I.
SENGKETA PERTANAHAN Sengketa
pertanahan
dipandang
sebagai
sengketa
berkesudahan dan melibatkan berbagai badan peradilan.
3
yang
tidak
Jumlah perkara
menyangkut pertanahan pada badan peradilan umum dan peradilan tata usaha negara menempati peringkat atas. Sebelum terbentuknya badan peradilan tata usaha negara, Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 383K/Sip/1971 Tahun 1971 mengembangkan norma yang menyatakan bahwa peradilan umum tidak berwenang untuk membatalkan
sertipikat
hak
atas
tanah,
karena
wewenang
membatalkannya adalah merupakan wewenang administrasi.
untuk
Jika terdapat
dugaan bahwa sertipikat yang dikeluarkan oleh badan pemerintah yang berwenang tidak sesuai dengan hukum, maka pembatalannya dapat diajukan kepada badan peradilan administrasi. Wewenang pembatalan sertipikat oleh badan peradilan administrasi telah ada sebelum badan peradilan administrasi lahir. Sebelumnya Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 421 K/Sip/1969 tanggal 22 November 1969 sudah berkesimpulan bahwa wewenang peradilan umum hanya dapat menyatakan sertipikat yang haknya digugat tidak mempunyai kekuatan hukum. Pada periode awal bedirinya peradilan tata usaha negara produk kegiatan pendaftaran tanah menjadi objek sengketa pada badan peradilan tata usaha negara. Namun kaidah yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 383K/Sip/1971 Tahun 1971 dan Nomor 421 K/Sip/1969 tanggal 22 November 1969 tetap menjadi acuan. Dalam pelaksanaannya Hakim terbawa untuk menilai hak dari pihak bersengketa dan menggunakanya sebagai pijakan dalam mengambil putusan pokok.Pada beberapa perkara ternyata bahwa dasar putusan dan kepentingan dari penggugat dalam mengajukan gugatan adalah hak. Mengenai hal ini Adriaan Bedner menyatakan bahwa yang menjadi pertimbangan hakim bukan lagi prosedur pengeluaran akan tetapi pada pemilikan. Seperti dikatakan : “the basic was not whether the issuance procedure had been incorrect, but who was the owner”.
4
Hakim peradilan administrasi telah
menetapkan hak-hak perdata dalam putusannya. Karena pada dasarnya 3
Elza Syarief, Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan, KPG, Jakarta, hlm 229
4
Adriaan W. Bedner, Administrative Courts in Indonesia, Disertasi Universiteit Leiden, 2000 , hlm. 199.
2
sengketa itu bertumpu kepada dan didasari oleh hak-hak perdatadan hak-hak perdata
dapat
dilahirkan
dari
pemberian
hak
oleh
pemerintah
melalui
keputusannya. Pada periode berikutnya peradian tata usaha negara tetap melakukan penilaian terhadap produk kegiatan pendaftaran tanah, menghindar untuk menilai terhadap status kepemilikan. Meskipun objek sengketa adalah sertipikat hak atas tanah, dikatakan bahwa keputusan tata usaha negara yang berkaitan dengan masalah kepemilikan tidak termasuk kewenangan peradilan tata usaha negara untuk memeriksa dan mengadilinya, melainkan kewenangan peradilan umum dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan.(Putusan MA No. 22K/TUN/1998). 5 Ada beberapapersoalan dalam penyelesaian sengketa pertanahan : a. Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Pemberian hak atas tanah adalah wewenang administrasi pemerintah sebagai pelaksana tugas negara. Banyak hak yang berjangka waktu dalam hukum tanah nasional. Setelah habis masa berlakunya, tanah kembali menjadi tanah negara, namun bukan berarti tanah tersebut bebas sama sekali. Ada pihakpihak tertentu yang berkedudukan prioritas dalam mendapatkan hak atas tanah. Dalam hal ini kembali yang dinilai adalah penguasaan dan dasar penguasaan serta hak-hak masa lalu. Hak atas tanah lahir pada saat didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat. b. Pendaftaran Hak Tanah yang Sudah Ada Pemerintah melakukan pendaftaran atas tanah hak yang sudah ada, yaitu bekas tanah hak adat dan hak barat melalui proses konversi dan pengakuan hak.Prosesnya melahirkan Buku Tanah dan pemberian bukti hak berupa Sertipikat Hak Atas Tanah. c. Pencatatan Peralihan Hak Untuk mendapatkan bukti atas peralihan hak atas tanah dilakukan pencatatan Peralihan Hak pada Buku Tanah dan Sertipikat hak atas tanah. Peralihan hak sesuai dengan konsepsi hukum adat yaitu pada saat transaksi peralihan hak dilakukan. Pendaftaran sebagai bukti hak yang kuat atas terjadinya peralihan hak tersebut. d Sertpikat Hak Tanggungan Sertipikat Hak Tanggungan adalah salinan dari Buku Tanah Hak Tanggungan dan Salinan Akta Pembebanan Hak Tanggungan. Sertipikat Hak Tanggungan
5
Mahkamah Agung, Himpunan Kaidah Hukum Putusan Perkara Dalam Buku Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, Tahun 1969-2004.
3
merupakan bukti adanya hak tanggungan.Namun demikian Hak Tanggungan lahir terkait dengan pendaftaran hak tanggungan. e. Pencabutan Bukti Hak Pencabutan bukti hak dilakukan oleh pejabat yang berwenang. Bagaimana konsekuensinya terhadap hak yang sudah ada dan pihak ketiga yang beritikadbaik? f.Pembatalan hak atas tanah oleh badan peradilan tata usaha negara atas alasan cacat prosedur, sesuai dengan prinsip penilaian ex tunc, bukti hak yang telah diterbitkan dipandang tidak pernah ada. Bagaimana dengan status haknya yang sudah digunakan selama ini dan perlindungan terhadap pihak ketiga yang beritikad baik? g. Pencabutan Hak Atas Tanah Pencabutan Hak atas Tanah merupakan kewenangan Presiden, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-banda Yang Ada Diatasnya. g. Perintah Menerbitkan oleh Badan Pengadilan Perintah penerbitan sertipikat hak pada umumnya tidak dapat lepas dari substansi hak dan pemegang hak. Badan peradilan tata usaha negara memerintahkan penerbitan bukti hak, sedangkan tidak ada wewenang untuk menetapkan hak, maka hasil kegiatan pendaftaran tanah yang memproduksi sertipikat akan bergerak menjauh dari tujuan pendaftaran tanah dan sertipikat harus diterbitkan atas nama orang yang berhak. Masalah lain adalah bahwa keputusan yang diterbitkan berdasarkan atas perintah badan peradian tidak dapat lagi digugat pada badan peradilan tata usaha negara. Bagaimana kalau terjadi kesalahan mengenai subjek maupun haknya? Pekembangan terakhir Hasil Rapat Pleno Kamar Candra 2012 yang lalu merumuskan bahwa suatu sengketa merupakan sengketa tata usaha negara atau sengketa Perdata (kepemilikan) apabila : a. Yang
menjadi
objek
sengketa(objectum
litis)
tentang
keabsahan
keputusan tata usaha negara, maka merupakan sengketa tata usaha negara. b. Dalam posita gugatan mempermasalahkankewenangan,keabsahan
prosedur
penerbitan objek sengketa, maka termasuk sengketa tata usaha negara; atau c. Satu-satunya
penentu
sengketa
apakah
adalahsubstansi
Hakim
dapat hak
menguji
keabsahanobjek
karena
tentang
haltersebutmenjadikewenanganperadilan perdata; atau d.
Apabila norma (kaidah) hukum tata usaha negara (hukum publik) dapat menyelesaikansengketanya, maka dapat digolongkan sebagai sengketa tata usaha negara. 4
Untuk menentukan manakah di antara badan peradilan yang paling tepat untuk menyelesaikan sengketa sertipikat hak atas tanah, perlu telaah yang lebih mendalam. Sertipikat adalah produk dari kegiatan pendaftaran tanah yang ditugaskan kepada pemerintah, sebagaimana dapat dibaca dari materi muatan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar PokokPokok Agraria yang disebut juga dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1987 tentang Rumah Susun dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Kegiatan pendaftaran tanah yang dibebankan kepada pemerintah, bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian hak.
6
Garis besarnya dikemuka-
kan dalam Penjelasan Umum dan rincian Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 sebagaimana yang diintrodusir Boedi Harsono : (a) untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Kepada pemegang haknya diberikan “sertipikat” sebagai surat tanda buktinya.
7
Sertipikat adalah tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan, yang masingmasing sudah dibukukan dalam buku tanah. Sedang Buku Tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis dan data pisik suatu objek pendaftaran tanah yang sudah ada haknya;
8
(b) untuk memberikan
informasi kepada yang berkepentingan, termasuk Pemerintah, agar dengan mudah
dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mempersiapkan
perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar. (c) untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. 9 Bagaimanapun produk penting dari kegiatan pendaftaran tanah adalah “sertipikat”, bukti hak yang kuat. Pengujian formil terhadap sertipikat masalahnya adalah : “apakah sertipikat yang dikeluarkan telah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan ?”. Sedangkan dalam pengujian materiil, masalahnya adalah : “apakah
6
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960.
7
Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
8
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 1999, hlm. 458. 9
Idem, hlm. 459-460.
5
sertipikat yang dikeluarkan atas nama orang yang berhak atas tanah atau bangunan yang bersangkutan ?”. Sulit untuk disangkal bahwa substansi dari sertipikat adalah hak atas tanah atau bangunan. Menilai hak inilah yang tidak dapat dilakukan oleh badan peradilan administrasi, karena hak berada dalam lingkungan hukum privat, yang menjadi wewenang hakim perdata untuk menilainya. Pemberian hak dan bukti hak oleh pemerintah kepada seseorang atau badan hukum adalah tergolong tindakan administrasi. Mengingat sulitnya memisahkan hak tanah dari sertipikat atau bukti haknya, sampai Philipus M. Hadjon menyebut sengketa sertipikat sebagai sengketa tata usaha negara semu, karena sengketa tata usaha negara tersebut mempunyai aspek hukum perdata yang sangat dominan. 10 Dalam
menghadapi
masalah
di
atas,
suatu
penelitian
pernah
mengemukakan pendapat bahwa penyelesaian sengketa yang baik harus dilakukan oleh badan peradilan yang dapat melakukan uji formil dan uji materiil tanpa menimbulkan masalah legitimasi. Pertama; menyerahkan penyelesaian sengketa tanah ditangani oleh peradilan umum. Hakim perdata dapat melakukan pengujian terhadap hak-hak dan tindakan hukum privat serta menguji keabsahan tindakan
pemerintah
overheidsdaat).
Kedua;
yang
diduga
melawan
hukum
mengadakan peradilan khusus
(onrechtmatige
pertanahan yang
menampung semua jenis perkara yang berkaitan dengan tanah dan benda yang melekat pada tanah, baik dalam lapangan hukum perdata maupun dalam lapangan
hukum
publik. 11Ketiga;
menyerahkan
sepenuhnya
penyelesaian
masalah tanah kepada badan peradilan tata usaha negara disamping wewenang yang sudah ada saat ini.
II.
SENGKETA KEPUTUSAN LELANG Mekanisme penyelesaian sengketa lelang dalam kegiatan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah diatur dalam Pasal 80, Pasal 81 dan Pasal 82Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Setelah Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan menetapkan hasil pemilihan Penyedia Barang/Jasa dan mengumumkan hasil pemilihan Penyedia
10
Philipus M. Hadjon, Makalah Pembanding Penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 (1991 - 2001), Seminar Sehari Sepuluh Tahun Pelaksanaan Peradilan Tata Usaha Negara,Jakarta, 20 Januari 2001, hlm. 2. 11
Bandingkan Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, 2001, hlm. 174 - 175.
6
Barang/Jasa melalui website Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi dan papan pengumuman resmi. Peserta pemilihan yang merasa dirugikan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan peserta lainnya dapat mengajukan “sanggahan” tertulis apabila menemukan : (a)penyimpangan terhadap ketentuan dan prosedur yang diatur dalam Peraturan Presiden ini yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pengadaan Barang/Jasa; dan/atau (b) adanya rekayasa yang mengakibatkan terjadinya persaingan yang tidak sehat; dan/atau (c) adanya penyalahgunaan wewenang oleh Kelompok Kerja ULP dan/atau Pejabat yang berwenang lainnya. Surat sanggahan disampaikan kepada Kelompok Kerja ULP dan ditembuskan kepada PPK, PA/KPA, dan APIP Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi yang bersangkutan paling lambat 3 (tiga) hari kerja untuk Pelelangan/Seleksi Sederhana dan Pemilihan Langsung, sedangkan untuk Pelelangan/Seleksi Umum paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah pengumuman pemenang. Kelompok Kerja ULP wajib memberikan jawaban tertulis atas semua sanggahan paling lambat 3 (tiga) hari kerja untuk Pelelangan/Seleksi Sederhana dan Pemilihan Langsung, sedangkan untuk Pelelangan/Seleksi Umum paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah surat sanggahan diterima. Peserta yang tidak puas dengan jawaban sanggahandari Kelompok Kerja ULP
dapat
mengajukan
sanggahanbanding
kepada
Menteri/Pimpinan
Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Institusi atau kepada Pejabat yang menerima penugasan untuk menjawab sanggahan banding paling lambat 5 (lima) hari kerja untuk Pelelangan Umum/Seleksi Umum/Pelelangan Terbatas, dan paling lambat 3 (tiga) hari kerja untuk Pelelangan Sederhana/Seleksi Sederhana/Pemilihan Langsung setelah diterimanya jawaban sanggahan. Peserta yang mengajukan Sanggahan Banding wajib menyerahkan Jaminan Sanggahan Banding yang ditetapkan sebesar 1% (satu perseratus) dari nilai total HPS dan berlaku 15 (lima belas) hari kerja sejak pengajuan Sanggahan Banding untuk Pelelangan Umum/Seleksi Umum/Pelelangan Terbatas, dan 5 (lima) hari kerja untuk Pelelangan Sederhana/Seleksi Sederhana/ Pemilihan Langsung.Sementara
proses
Sanggahan
Banding
berlangsung,proses
Pelelangan/Seleksi dihentikan. Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Institusi memberikan jawaban atas semua sanggahan banding kepada penyanggah banding paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah surat sanggahan banding diterima untuk Pelelangan Umum/Seleksi Umum/ Pelelangan Terbatas dan 5 (lima) hari kerja untuk Pelelangan Sederhana/Seleksi Sederhana/Pemilihan Langsung. 7
Apabila
sanggahan
banding
dinyatakan
benar,
Menteri/Pimpinan
Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Institusi memerintahkan Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan melakukan evaluasi ulang atau Pengadaan Barang/Jasa ulangdan jaminan Sanggahan Banding dikembalikan kepada penyanggah. Pimpinan Kementerian/Lembaga/Institusi dapat menugaskan Pejabat Eselon I atau Pejabat Eselon II untuk menjawab Sanggahan Banding dan Kepala Daerah dapat menugaskan Sekretaris Daerah atau PA untuk menjawab Sanggahan Banding.Penugasan yang dimaksud tidak berlaku, dalam hal Pejabat tersebut merangkap sebagai PPK atau Kepala ULP untuk paket kegiatan yang disanggah. Apabila
Sanggahan
Banding
dinyatakan
“salah”,
Menteri/Pimpinan
Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Institusi memerintahkan agar Kelompok Kerja ULP melanjutkan proses Pengadaan Barang/Jasa dan jaminan Sanggahan Banding dicairkan dan disetorkan ke kas Negara/Daerah, kecuali jawaban Sanggahan Banding melampaui batas akhir menjawab Sanggahan Banding. Terdapat tiga pendapat pada beberapa putusan peradilan tata usaha negara. Pertama, proses sanggahan banding adalah termasuk dalam upaya administratif,
kelompok
upaya
banding
administratif.
Sedang
pendapat
Kedua,proses sanggahan banding tidak dapat digolongkan kepada upaya banding administratif. Konsekuensi dari kedua pendapat ini menentukan upaya yudisial yang dapat ditempuh apabila jawaban dari sanggahan banding tidak dapat diterima oleh Penyanggah. Pendapat Ketiga, adalah bahwa sengketa ini menjadi kewenangan peradilan perdata berdasarkan teori melebur. Teori melebur dipergunakan apabila jangkauan akhir dari keputusan tata usaha negara diterbitkan (tujuannya) dimaksudkan untuk melahirkan suatu perbuatan hukum perdata. Termasuk didalamnya adalah keputusan yang diterbitkan dalam rangka mempersiapkan atau menyelesaikan suatu perbuatan hukum perdata. Apabila pihak yang menerbitkan objek sengketa akan menjadi subjek atau menjadi pihak dalam perikatan perdata sebagai kelanjutan keputusan objek sengketa. Masalah lain adalah bahwa pada saat putusan badan peradilan tata usaha negara berkekuatan hukum tetap, pekerjaan yang pemilihannya dipersoalkan telah selesai. Penundaan pelaksanaan objek sengketa sulit untuk diambil, karena menyangkut kepentingan umum. Kalaupun ditetapkan, banyak yang tidak dipatuhi oleh pejabat yang bersangkutan. Dengan demikian penyelesaian yang diberikan oleh badan peradilan tata usaha negara tidaklah efektif. Jalan lain yang mungkin ditempuh adalah mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa
8
kepada pejabat yang menerbitkan sanggahan banding untuk mendapatkan ganti rugi. Masalah lain adalah apabila gugatan diajukan ke badan peradilan perdata dengan objek perjanjian, maka akan timbul masalah kepentingan. Dalam proses perdata hanya pemilik dan pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian yang dianggap berkepentingan mengajukan gugatan. Sedang pihak yang sudah tidak terpilih dalam proses lelang tidak lagi manjadi pihak dalam perjanjian.
III. SENGKETA KEPEGAWAIAN Ketentuan Pasal 7 ayat (2), (3) dan (4) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (disingkat PP 53-2010) mengatur tingkat dan jenis hukuman disiplin bagi Pegawai Negeri Sipil, yaitu : (2) Jenis hukuman disiplin ringan terdiri dari: a. teguran lisan; b. teguran tertulis; dan c. pernyataan tidak puas secara tertulis. (3) Jenis hukuman disiplin sedang terdiri dari: a. penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun; b. penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun; dan c. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun. (4) Jenis hukuman disiplin berat terdiri dari: a. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun; b. pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah; c. pembebasan dari jabatan; d. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS; e. pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS. Dalam ketentuan Pasal 32PP 53-2010 dikenal adanya upaya administratif terdiri dari keberatan dan bandingadministratif. Keberatan disampaikan kepada atasan pejabat yang berwenang menghukum(berbeda dengan pengertian keberatan pada Penjelasan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, keberatan diajukan kepada pejabat yang menerbitkan keputusan). Sedangkan banding administratif diajukan kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEG). Hukuman disiplin yang tidak tersedia upaya administratifadalah hukuman disiplin yang dijatuhkan oleh: a. Presiden;
9
b. Pejabat Pembina Kepegawaian untuk jenishukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalamPasal 7 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) huruf a, hurufb, dan huruf c; c. Gubernur selaku wakil pemerintah untuk jenishukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalamPasal 7 ayat (4) huruf b dan huruf c; d. Kepala Perwakilan Republik Indonesia; dan e. Pejabat yang berwenang menghukum untuk jenishukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalamPasal 7 ayat (2),(Pasal 34) Selain itu pemberhetian tidak dengan hormat sebagai PNS berdasarkan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 Tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. Selanjutnya hukuman disiplin yang dapat diajukan keberatanyaitu jenishukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalamPasal 7 ayat (3) huruf a dan huruf b yangdijatuhkan oleh: a. Pejabat struktural eselon I dan pejabat yangsetara ke bawah; b. Sekretaris Daerah/Pejabat struktural eselon IIKabupaten/Kota ke bawah/Pejabat yang setarake bawah; c. Pejabat struktural eselon II ke bawah dilingkungan instansi vertikal dan unit dengansebutan lain yang atasan langsungnya Pejabatstruktural eselon I yang bukan PejabatPembina Kepegawaian; dan d. Pejabat struktural eselon II ke bawah dilingkungan instansi vertikal dan KantorPerwakilan Provinsi dan unit setara dengansebutan lain yang berada di bawah danbertanggung jawab kepada Pejabat PembinaKepegawaian. Hukuman disiplin yang dapat diajukan bandingadministratif adalah hukuman disiplin yang dijatuhkan oleh: a. Pejabat Pembina Kepegawaian untuk jenishukuman disiplin sebagaimana dimaksuddalam Pasal 7 ayat (4) huruf d dan huruf e; dan b. Gubernur selaku wakil pemerintah untuk jenishukuman disiplinsebagaimana dimaksuddalam Pasal 7 ayat (4) huruf d dan huruf e. Prosedur
keberatan
:Keberatan
diajukan
secara
tertulis
kepada
atasanpejabat yang berwenang menghukum denganmemuat alasan keberatan dan
tembusannyadisampaikan
kepada
pejabat
yang
berwenangmenghukum.Tenggang waktu mengajukan keberatan adalah 14 (empat
belas)
hari,terhitung
mulai
tanggal
yang
bersangkutanmenerima
keputusan hukuman disiplin. Pejabat yang berwenang menghukum harusmemberikan tanggapan atas keberatan yangdiajukan oleh PNS yang bersangkutan yang disampaikan secara tertulis kepada atasan Pejabatyang berwenang menghukum, dalam jangka 10
waktu6 (enam) hari kerja terhitung mulai tanggal yangbersangkutan menerima tembusan surat keberatan.Apabila dalam jangka waktu tersebut pejabat yang berwenang menghukumtidak memberikan tanggapan atas keberatan makaatasan pejabat yang berwenang menghukummengambil keputusan berdasarkan data yang ada. Sebelum
mengambil
keputusan,
atasan
pejabat
yang
berwenang
menghukum dapatmemanggil dan/atau meminta keterangan daripejabat yang berwenang menghukum, PNS yangdijatuhi hukuman disiplin, dan/atau pihak lainyang
dianggap
perlu.Atasan
pejabat
yang
berwenang
menghukum
wajibmengambil keputusan dalam jangka waktu21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung mulaitanggal yangbersangkutan menerima suratkeberatan. Atasan
Pejabat
yang
memperingan,
memperberat,
dijatuhkanoleh
pejabat
berwenang
ataumembatalkan
yang
dengankeputusan.Keputusan
menghukum
berwenang
Atasan
Pejabat
dapatmemperkuat,
hukuman
menghukum yang
disiplin
yang
yang
ditetapkan
berwenangmenghukum
bersifat final dan mengikat. Apabila dalam waktu lebih 21 (dua puluh satu) harikerja atasan pejabat yang berwenang menghukumtidak mengambil keputusan atas keberatan makakeputusan pejabat yang berwenang menghukumbatal demi hukum. Ketentuan ini memuat hal baru, yaitu apabila dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari atasan pejabat berwenang tidak mengambil keputusan maka keputusan pengkukuman oleh pejabat yang berwenang menghukum menjadi batal, tentu hukumannya juga menjadi batal dengan segala akibat-akibatnya. Prosedur keberatan yang ditentukan PP 53-2010 dikaitkan dengan Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara, maka perosedur tersebut dapat digolongkan kepada prosedur banding administratif. Prosedur banding administratif :Terhadap PNS yang dijatuhi hukuman disiplin
yang
terbuka
upayabandingadministratif,yang
bersangkutan
mengajukan banding administratif kepada BadanPertimbangan Kepegawaian. (Pasal 38 PP 53-2010) Banding
administratif
diajukan
secara
tertulis
kepada
BAPEK
dantembusannya disampaikan kepada Pejabat PembinaKepegawaian atau Gubernur
selaku
WakilPemerintah
yang
memuat
alasan
dan/atau
buktisanggahan.Banding administratif diajukan paling lama 14 (empat belas) hari,terhitung
sejak
tanggal
surat
keputusan
hukumandisiplin
diterima.Bandingadministratif yang diajukan melebihitenggang waktu tersebut, tidak dapat diterima. (Pasal 7Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Pertimbangan Kepegawaian disingkat PP 24-2011) 11
Pejabat
yang
berwenang
menghukum,
wajib
memberikan
tanggapandan/atau bukti pelanggaran disiplin yangdisampaikan kepada BAPEK paling lama 21 (duapuluh satu) hari kerja sejak tanggal diterimanyatembusan banding administratif.Apabila Pejabat tersebut tidakmemberikan tanggapan dalam waktu
yang
ditentukan,
BAPEK
mengambilkeputusan
terhadap
banding
administratifberdasarkan bukti yang ada. (Pasal 8PP 24-2011) Dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, BAPEKberwenang meminta keterangan tambahan dari PNS yangbersangkutan, Pejabat, atau pihak lain yang dianggapperlu.(Pasal 12). BAPEK wajib mengambil keputusandalam waktu paling lama 180 (seratus delapanpuluh) hari sejak diterimanya banding administratif melalui sidangBAPEK yang harus dihadiri olehKetua, Sekretaris, dan paling sedikit 3 (tiga) orangAnggotadan ditandatangani oleh Ketua danSekretaris. (Pasal 9 & Pasal 10PP 24-2011). Keputusan BAPEK dapat memperkuat,memperberat, memperingan, atau membatalkankeputusan Pejabat yang berwenang menghukum dan mengikat serta wajib dilaksanakan oleh semua pihak yang terkait. Keputusan BAPEK disampaikan kepada PNS yangmengajukan banding administratif, Pejabat yang berwenang menghukum dan Pejabat lain yang terkait.(Pasal 11) Pasal 48 dan 51 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara mengatur bahwa dalam hal suatu badan atau pejabat tata usaha negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa tatausaha negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia. Badan
Pengadilan
baru
berwenang
memeriksa,
memutus,
dan
menyelesaikan sengketatata usaha negara jika seluruh upayaadministratif yang bersangkutan telah digunakan.Apabila penyelesaian dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan, maka prosedur tersebut disebut “banding administratif”. Apabila penyelesaian dilakukan sendiri oleh instansi yang mengeluarkan keputusan, maka prosedurnya disebut “keberatan”.
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang
memeriksa,memutus, dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa tata usaha negarayang telah melalui upaya banding administratif.Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara tersebut dapat diajukan permohonan kasasi.
12
REFERENSI Adriaan W. Bedner, Administrative Courts in Indonesia, Disertasi Universiteit Leiden, 2000. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 1999. Elza Syarief, Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan, KPG, Jakarta, 2012. Mahkamah Agung, Himpunan Kaidah Hukum Putusan Perkara Dalam Buku Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, Tahun 1969-2004. Maria
S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, Implementasi, Kompas, Jakarta, 2001.
Antara
Regulasi
dan
Philipus M. Hadjon, Makalah Pembanding Penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 (1991 - 2001), Seminar Sehari Sepuluh Tahun Pelaksanaan Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta, 20 Januari 2001. Schueler, B.J., Vernietigen en opnieuw voorzien, W.E.J. Tjeenk Willink Zwolle – Nederlands Instituut voor Sociaal en Economisch Recht (NISER), 1994. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-benda Yang Ada Diatasnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1987 tentang Rumah Susun Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 Tentang Pemberhentian Pegawai Negari Sipil. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Pertimbangan Kepegawaian. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 dan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012;
13