BAB III Anotasi Dan Analisis Problematika Hukum Terhadap Eksekusi Putusan Hakim Peradilan Tata Usaha Negara A. Hasil Penelitian 1. Anotasi
Problematika
Hukum
Dalam
Eksekusi
Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara. Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (recht staat) tentunya tindakan dari pemerintah tersebut harus berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Dibutuhkan suatu pengujian yuridis terhadap tindakan pemerintah dan pengujian yang dilakukan terhadap tindakan pemerintah itu harus dapat menghasilkan perlindungan bagi kepentingan rakyat. Apabila tindakan tersebut bertentangan dengan kepentingan rakyat, maka kepentingan rakyat tidak sewenangwenang dapat dikorbankan begitu saja. Demikian juga semangat prinsip dari Peradilan Tata Usaha Negara tersebut harus diterapkan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dengan kewenangan yang besar dan luas menimbulkan potensi penyelewenangan seperti “abuse of power” dan “excessive power” sehingga dibutuhkan pengawasan yang serius dalam hal ini.
76
Salah satu yang menyebabkan lemahnya pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara adalah karena tidak terdapatnya suatu kekuatan eksekutorial atau memaksa dalam pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara sehingga pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tergantung dari kesadaran dan inisiatif dari Pejabat Tata Usaha Negara. Peraturan Perundang-Undangan Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara sudah mengatur mengenai putusan Pengadilan namun akan sia-sia jika putusan tersebut tidak dieksekusi oleh Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam Pasal 116 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 telah mengatur sanksi kepada Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak mau mengeksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, namun pertanyaanya yaitu sejauh mana implementasi sanksi kepada Pejabat tersebut dilakukan dan sanksi keras seperti apa jika ada pejabat yang tidak mau mengeksekusi putusan tersebut. Dengan peneguran sistem hirarki seperti diatur dalam UndangUndang No. 5 Tahun 1986 terbukti tidak efektif dalam pelaksaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
77
Negara, Pasal 116 ayat (4) dan ayat (5) yaitu adanya penjatuhan sanksi bagi pejabat Tata Usaha Negara yang tidak melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap berupa pembayaran uang paksa (dwangsom) dan atau sanksi administratif serta publikasi di media cetak. Dalam perkembang selanjutnya dilakukan perubahan kedua terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, dengan UndangUndang No. 51 Tahun 2009 dimana di dalam Pasal 116 ayat (6) di samping diatur upaya-upaya sebagaimana diatur dalam UndangUndang sebelumnya, diatur pula mengenai pelaporan ketidaktaatan Pejabat Tata Usaha Negara untuk melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut kepada Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi serta kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan. Namun demikian masih banyak kendala dalam pelaksanaan upaya-upaya pemaksa tersebut baik pelaksanaan dwangsom/uang paksa maupun sanksi admistratif. Dalam proses hukum acara Tata Usaha Negara tidak dikenal pelaksanaan serta merta dari suatu putusan akhir pengadilan. Hanya keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan. Putusan Pengadilan yang telah mempunyai hukum tetap adalah:
78
1. Putusan pengadilan tingkat pertama yang sudah tidak dapat dilawan atau dimintakan pemeriksaan banding lagi. 2. Putusan pengadilan tinggi yang sudah tidak dimintakan pemeriksaan kasasi lagi. 3. Putusan MA dalam tingkat kasasi. Pelaksanaan Putusan Tata Usaha Negara dilakukan melalui surat tercatat, yang dikirim oleh panitera Pengadilan Tata Usaha Negara setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadili pada tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja. Setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan tersebut dikirim dan tergugat tidak secara suka rela melaksanakan isi putusan maka keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Sifat paksaan seperti penghukuman denda paksa kepada Pejabat Tata Usaha Negara tidak dikenal dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara, oleh karenanya pelaksanaaan paksaan terhadap Pejabat Tata Usaha Negara untuk melaksanakan putusan Tata Usaha Negara merupakan
kesukarelaan
Pejabat
Tata
Usaha
Negara
yang
bersangkutan. Apabila paksaan ini dimungkinkan harus diingat bahwa:
79
1. Harta benda yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat diletakan dalam sitaan eksekusi. 2. Memperoleh kuasa untuk melaksanakan sendiri atas beban pemerintah (pihak tereksekusi) akan merupakan hal yang bertentangan dengan asas legalitas yang mengatakan bahwa berbuat sesuatu atau memutuskan sesuatu berdasarkan hukum publik itu semata-mata hanya dapat dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang diberi kewenangan atau berdasar ketentuan Undang-Undang. 3. Merampas kebebasan orang-orang yang sedang memangku jabatan pemerintahan sebagai sarana paksaan akan berakibat pantulan yang hebat terhadap jalannya pemerintahan. 4. Pemerintah itu selalu dianggap dapat dan mampu membayar (solvabel). Menurut sifatnya Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat berupa putusan deklaratoir yaitu yang bersifat menerangkan saja. Putusan konstitutif yaitu yang bersifat meniadakan atau menimbulkan keadaan hukum yang baru dan putusan condemnatoir yaitu bersifat penghukuman atau berisi kewajiban untuk melakukan tindakan tertentu terhadap yang kalah. Menurut ketentuan Pasal 97 ayat (7) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
80
Negara, putusan Peradilan Tata Usaha Negara dapat berupa: Gugatan ditolak, Gugatan dikabulkan, Gugatan tidak diterima dan Gugatan gugur. Dari macam isi dan sifat putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut tidak semua putusan dapat dikenakan Upaya Paksa melainkan hanya putusan-putusan yang memenuhi syarat saja, antara lain: 1. Putusan yang menyatakan gugatan dikabulkan, yaitu apabila dari hasil pemeriksaan di persidangan ternyata dalil-dalil dari posita gugatan Penggugat telah terbukti secara formal maupun materiil dan telah dapat mendukung petitum yang dikemukakan Penggugat. 2. Putusan bersifat condemnatoir, yaitu putusan yang sifatnya memberikan beban atau kewajiban untuk melakukan tindakan tertentu kepada Badan/Pejabat Tata Usaha Negara seperti: a. Kewajiban mencabut Keputusan Tata Usaha Negara yang dinyatakan batal/tidak sah. b. Kewajiban menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara badan/pengganti. c. Kewajiban mencabut dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru.
81
d. Kewajiban membayar ganti rugi. e. Kewajiban melaksanakan rehabilitasi dalam sengketa kepegawaian. 3. Putusan
yang
telah
memperoleh
kekuatan
hukum
tetap (inkracht Van Gewijsde), yaitu putusan pengadilan yang tidak dapat diterapkan upaya hukum lagi terhadap putusan tersebut. Pelaksanaan suatu putusan pengadilan dalam kehidupan bernegara khususnya negara hukum sangat penting demi menjamin kepastian hukum. Suatu keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap tidak dapat diganggu gugat lagi, maksudnya dapat dilaksanakan dan harus ditaati oleh siapa pun juga termasuk Pemerintah. Hanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewisde) yang dapat dilaksanakan. Jangka waktu penghitungan suatu putusan yang telah dibacakan sampai dengan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap dalam pengadilan Tata Usaha Negara mempunyai karakteristik yang berbeda dengan hukum acara Perdata, yang akhirnya akan bermuara pada eksekusi dari putusan tersebut. Yang dimaksud dengan eksekusi sendiri adalah pelaksanaan putusan pengadilan (executie).
82
Tabel 1. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Kupang Nomor : 20/G/2013/PTUN-KPG No. Putusan PTUN Kupang
Penggugat
Nomor : 20/G/2013/PT UN-KPG
Silvester Wangur, S.Pd
Tergugat
1. Bupati Rote Ndao 2. Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Rote Ndao
Isi Gugatan
1.
Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya
2.
Penggugat memohon kepada Majelis Hakim agar menyatakan batal atau tidak sah Surat Keterangan Penghentian Pembayaran Gaji No. KU.900/87/IV/2009
3. Memerintahkan Tergugat untuk menerbitkan Surat Keputusan tentang membayar gaji selama 75 bulan mulai dari bulan Februari 2003 sampai dengan bulan April 2009. 4. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini
83
Putusan
1. Mengabulkan Gugatan Penggugat sebagian 2. Menyatakan batal sikap diam Tergugat I dan Tergugat II yang disamakan dengan keputusan penolakan Tergugat I dan Tergugat II terhadap surat permohonan penggugat no :13/SW/V/2003 tertanggal 20 Mei 2013, perihal : Mohon pembayaran gaji 3. Mewajibkan Tergugat untuk memproses permohonan Penggugat dan menerbitkan Surat Keputusan Tata Usaha Negara tentang pembayaran gaji Penggugat terhitung bulan Oktober 2004 sampai dengan Januari 2009. 4. Menghukan Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng untuk membayar biaya perkara sebesar RP 141.000,- (Seratus Empat Puluh Satu Ribu Rupiah)
Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas hari). Tenggang waktu 14 (empat belas) hari di atas, dihitung sejak saat putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Pasal 116 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan tata Usaha Negara menyatakan sebagai berikut: 1. Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari. 2. Dalam hal empat bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
84
3. Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut. 4. Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. 5. Pejabat
yang
tidak
melaksanakan
putusan
pengadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Dalam hal putusan Pengadilan berupa pengabulan gugatan (Pasal 97 ayat (7) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986), maka kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara meliputi:
85
a. Pencabutan
Keputusan
Tata
Usaha
Negara
yang
bersangkutan dan menerbitkan keputusan yang baru b. Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3. c. Membayar ganti rugi. d. Melakukan rehabilitasi. Pasal 97 mengatur mengenai macam-macam bentuk putusan yaitu sebagai berikut: (7) Putusan Pengadilan dapat berupa: a. gugatan ditolak b. gugatan dikabulkan c. gugatan tidak diterima d. gugatan gugur (8) Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan Pengadilan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara. (9) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) berupa: a. Pencabutan
Keputusan
bersangkutan; atau
86
Tata
Usaha
Negara
yang
b. Pencabutan
Keputusan
Tata
Usaha
Negara
yang
bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau c. Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3. (10) Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) menyangkut kepegawaian, maka di samping kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dan ayat (10), dapat disertai pemberian rehabilitasi. Jika dalam tenggang waktu 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan
yang
telah
memperoleh
kekuatan
hukum
tetap
dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajiban untuk melakukan pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Dalam
hal
tergugat
ditetapkan
harus
melaksanakan
kewajibannya yang berupa: a. Pencabutan
Keputusan
Tata
Usaha
Negara
yang
bersangkutan dan menerbitkan keputusan yang baru. b. Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara yang sebelumnya tidak ada (gugatan atas dasar Pasal 3).
87
Kemudian setelah tenggang waktu 3 bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, maka tindakan yang dapat dilakukan oleh penggugat ialah mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (tingkat pertama) agar Pengadilan memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Jika tergugat masih tetap tidak mau melaksanakan kewajiban tersebut, Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan. Instansi atasan yang bersangkutan dalam waktu 2 (dua) bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat (tergugat) tersebut melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 119 dapat diketahui bahwa yang diberikan kewajiban untuk mengawasi eksekusi putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap adalah Ketua Pengadilan. Ketua pengadilan yang dimaksud di sini adalah Ketua Pengadilan yang mengadili Sengketa Tata Usaha Negara pada tingkat pertama. oleh karena itu, dapat dimengerti jika Ketua Pengadilan diberikan beberapa wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (4), ayat (5), ayat (6) ayat (7),dan Pasal 117 ayat (4).
88
B. Analisis 1. Problematika Hukum Banyaknya kasus putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang tidak dapat dieksekusi telah membuktikan adanya suatu kesalahan dalam
sistem
peradilan
administrasi.
Kondisi
ini
sangatlah
memprihatinkan, karena keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara diharapkan dapat memberi keadilan sepenuhnya bagi masyarakat dalam lingkup administratif pemerintahan. Pasal 115 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa “Hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dieksekusi”. Putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap tidak memiliki kekuatan eksekusi atau dengan kata lain putusan pengadilan yang masih mempunyai upaya hukum tidak dapat dimintakan eksekusinya. Namun dalam kenyataannya, meskipun putusan pengadilan Tata Usaha Negara telah memiliki kekuatan hukum tetap, bukan berarti keputusannya akan dapat dilaksanakan semudah itu. Beberapa problematika dalam eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara : 1.
Tidak adanya suatu kekuatan eksekutorial khusus yang memaksa untuk melaksanakan putusan. Komisi Aparatur
89
Sipil Negara hanya sebatas mengawasi norma dasar tapi belum ada suatu kekuatan kekuatan hukum yang memaksa, sehingga harus memberikan tugas tambahan Komisi ASN untuk melaksanakan semua putusan Tata Usaha Negara yang dimenangkan oleh penggugat. Seperti menerbitkan SK baru dan membatalkan SK lama yang telah dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara. 2.
Rendahnya tingkat kesadaran Pejabat Tata Usaha Negara dalam menaati putusan pengadilan Tata Usaha Negara. Pejabat Tata Usaha Negara seringkali tidak menaati hukum, karena biasanya seseorang mematuhi hukum dikarenakan ia takut sanksi yang akan dikenakan apabila ia melanggar hukum atau karena ia merasa hukum yang berlaku sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam dirinya. Dalam hal ini, pihak yang kalah dalam sengketa tentunya akan merasa bahwa kepentingannya tidak terjamin bila ia menaati putusan pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga ia lebih memilih untuk tidak mematuhi putusan pengadilan tersebut. Tidak adanya sanksi juga membuat pejabat Tata Usaha Negara tidak merasa takut apabila ia tidak menjalankan putusan pengadilan itu.
90
3.
Tidak adanya pengaturan yang lebih tegas mengenai pelaksanaan putusan PTUN. Ketentuan mengenai eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara telah dimuat dalam pasal 116 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 ayat (6) yang menyebutkan bahwa pengadilan dapat meminta atasan pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan atau bahkan Presiden untuk ‘memaksa’ tergugat melaksanakan putusan pengadilan. Hal ini tentu saja tidak dibolehkan terjadi terlalu sering karena apabila Presiden terlalu sering campur tangan dalam urusan pemaksaan pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara maka dikhawatirkan Presiden akan kehilangan wibawa sebagai kepala Pemerintahan.
Selanjutnya perlu dicatat dan diperhatikan adanya suatu prinsip, bahwa putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap pada dasarnya merupakan keputusan hukum yang bersifat hukum publik dan karena itu berlaku juga bagi pihak-pihak luar yang bersengketa sehingga keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang tidak dieksekusi oleh Pejabat Tata Usaha
91
Negara bertentangan dengan asas erga omnes yaitu putusan pengadilan Tata Usaha Negara yang berlaku untuk umum. Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa pada dasarnya eksekusi di Pengadilan Tata Usaha Negara menekankan pada asas self respect dan kesadaran hukum dari Pejabat Tata Usaha Negara terhadap isi putusan hakim untuk melaksanakannya dengan sukarela tanpa adanya upaya pemaksaan yang langsung dapat dirasakan dan dikenakan oleh pihak pengadilan terhadap Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan. Pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tidak dapat dipaksakan, karena tidak mempunyai alat pemaksa. Sehingga banyak putusan Pengadilan Tata Usaha Negara hanya menjadi putusan di atas kertas tanpa dapat diwujudkan dalam kenyataan. Meskipun dikatakan bahwa proses eksekusi yang ditempuh menurut cara tersebut diatas merupakan original buah pikiran pembuat Undang-Undang di Indonesia, sebab sistem seperti itu tidak dikenal di luar negeri. Namun ketentuan tersebut sekaligus merupakan suatu kekurangan, kalau tidak boleh dikatakan justru sebagai suatu kesalahan. Karena, normativisasi hukum tidak cukup hanya sekedar memuat perintah dan larangan.
92
Dibalik larangan terutamanya harus ada ketentuan sanksi atas ketidakpatuhan. Sanksi hukum sampai saat ini masih merupakan alat yang paling ampuh untuk menjaga wibawa hukum atau dengan kata lain agar setiap orang patuh terhadap hukum. Ketidakpatuhan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara untuk melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara sedikit banyak dapat mempengaruhi kewibawaan Pengadilan, pelecehan terhadap Peradilan, dan bukan mustahil jika ketidakpatuhan itu terjadi berulang-ulang maka masyarakat semakin tidak percaya kepada Pengadilan Namun demikian, pada masa-masa mendatang kiranya perlu tetap dilakukan upaya antisipasi dalam menjaga kemungkinan pihak tergugat tetap bersikeras untuk tidak mematuhi putusan Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan demikian apabila hal ini terjadi maka sudah tidak ada upaya lain yang dapat digunakan untuk memaksakan pihak tergugat. Padahal cara pemberitahuan pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara secara berjenjang sampai tingkat paling atas yaitu Presiden, secara ideal cukup memadai tetapi aplikasinya sangat tergantung pada kesadaran hukum para tergugat yang kalah dalam sengketa Tata Usaha Negara. Ikut sertanya Presiden untuk memaksakan ditaatinya putusan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan suatu keistimewaan
93
dalam penegakan hukum administrasi di Indonesia. Keistimewaan itu karena Presiden diberi kesempatan ikut campur dalam memaksakan pelaksanaan putusan Pengadilan. Namun didalam penerapan Pasal 116 ayat (6) masih terdapat kendala antara lain kewibaan Presiden yang akan dipertaruhkan apabila Presiden sering melakukan perintah-perintah ini, karena masih sangat sulit masyarakat untuk membedakan antara peran Presiden sebagai Kepala Negara atau sebagai kepala Pemerintahan. Selain itu, dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara tidak ditegaskan adanya keharusan Presiden untuk mentaati pemberitahuan dari pengadilan tersebut. Oleh karena itu ada kemungkinan tergugat tidak mau melaksanakan putusan tersebut. Oleh karena itu, pihak penggugat harus tetap diberikan kesempatan untuk menempuh upaya hukum yang lain yaitu menuntut dilaksanakannya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara melalui Peradilan Umum. Agar putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dijalankan, Ketua Pengadilan Lembaga keadilan yang satu ini diberikan kewenangan untuk terus mengawasi pelaksanaan putusan hakim. Dengan berpatokan pada keharusan-keharusan yang dibebankan kepada pihak tergugat berdasarkan Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara,
94
maka hal ini menunjukan bahwa pengaturannya sudah jelas dan tegas. Dengan demikian secara hukum sebetulnya menyangkut pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara oleh pihak tergugat sudah tidak ada masalah mengingat semua kewajiban telah diatur secara formal. Patut dicatat bahwa secara yuridis formal pengaturan masalah pelaksanaan putusan oleh tergugat sudah memadai. Akan tetapi seandainya putusan tersebut tetap tidak dijalankan meski berbagai upaya sudah dilakukan maka hal ini mengakibatkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara itu mengambang. Sekiranya terjadi keadaan demikian, maka upaya lain yang bisa ditempuh pihak penggugat yaitu menempuh cara menggugat kembali Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak menjalankan putusan itu di pengadilan negeri. Cara ini merupakan sarana hukum yang terakhir bagi penggugat
guna
memaksakan
dijalankannya
putusan
hakim
Pengadilan Tata Usaha Negara. Dengan demikian maka perbuatan Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak menjalankan putusan kemungkinan dapat dikatagorikan sebagai perbuatan melanggar hukum oleh penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad).
95
Terkendalanya pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang tidak dapat dilakukan dengan cara paksa, sehingga timbul pendapat untuk melakukan dengan paksa dengan cara mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri. Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak menjalankan putusan Hakim dalam hubungan ini memungkinkan untuk dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum oleh penguasa.
Dengan
demikian, kiranya di Indonesia perbuatan melanggar hukum oleh penguasa mencakup pula tindakan tidak mematuhi putusan Pengadilan oleh Pejabat Tata Usaha Negara dalam suatu sengketa Tata Usaha Negara. Hal tersebut menunjukkan bahwa siapapun yang karena perbuatan menimbulkan kerugian bagi orang lain diharuskan menurut hukum untuk mengganti kerugian itu. Dengan berpatokan pada interpretasi tadi, maka perbuatan Pejabat Tata Usaha Negara dapat digolongkan sebagai perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian bagi pihak penggugat. Seperti contoh kasus yang terjadi pada pada putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Kupang Nomor : 20/G/2013/PTUN-KPG dimana Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut tidak dieksekusi oleh Pejabat Tata Usaha Negara dalam hal ini Bupati Rote Ndao 96
padahal keputusan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap. Dalam contoh kasus tersebut dapat ditemui permasalahan, yaitu tidak dieksekusi oleh tergugat dalam hal ini Pejabat Tata Usaha Negara sebagai eksekutor dari putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, padahal putusan tersebut sudah inkracht atau telah berkekuatan hukum tetap karena tidak ada lagi upaya hukum lainnya dari pihak Tergugat, seperti upaya banding. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Tata
Usaha
Negara
telah
dijelaskan
“Permohonan
pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khususnya dikuasakan untuk itu kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang mengajukan putusan tersebut dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan Pengadilan itu diberitahukan kepadanya secara sah.” Ini berarti setelah 14 (empat belas) hari setelah Panitera Pengadilan memberikan salinan putusan tersebut, tergugat dalam hal ini Bupati Rote Ndao tidak melakukan upaya hukum apa-apa sehingga Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara itu menjadi inkrach. Dengan bertitik tolak bahwa suatu perbuatan dianggap melanggar hukum apabila bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, maka perbuatan pihak tergugat tidak mematuhi dan 97
menjalankan kewajibannya sesuai putusan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Kupang kiranya memenuhi syarat atau dapat digolongkan
kedalam
perbuatan
melanggar
hukum
oleh
penguasa(Onrechtmatige Overheidsdaad). Upaya lainnya yaitu memperkuat tugas dan wewenang Komisi Aparatur Sipil Negara sebagai lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik untuk menciptakan pegawai aparatur sipil negara yang profesional. Komisi Aparatur Sipil Negara selama ini hanya berfungsi mengawasi pelaksanaan norma dasar kode etik maka perlu adanya tugas tambahan yaitu melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, yaitu ketika keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara dinyatakan inkrah atau berkekuatan hukum tetap dan tidak dieksekusi oleh Pejabat Tata Usaha Negara, maka Ketua Pengadilan memerintahkan Komisi Aparatur Sipil Negara untuk mengeksekusi putusan yang tidak dieksekusi oleh Pejabat Tata Usaha Negara. Eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Komisi Aparatur Sipil Negara hanya boleh dengan cara membuat SK baru mengenai pengembalian jabatan atau jabatan setingkat dengan jabatan semula serta pengembalian hak-hak dari tergugat sebagaimana hakhaknya semula.
98