PENDIDIKAN KEIMANAN (KAJIAN TAFSIR SURAT AL-AN’AM AYAT 74-79) Skripsi Diajukan kepada Fakutas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam (S.Pd.I)
Oleh FIKRI LATIPATUL HUDA NIM : 1110011000077
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H / 2014 M
Pendidikan Keimanan (Kajian Tafsir Surat Al-An’am ayat 74-79) Skripsi Diajukan kepada Fakutas Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Disusun oleh: Fikri Latipatul Huda 1110011000077
DI BAWAH BIMBINGAN
Abdul Ghofur, M.A NIP. 19681208 199703 1 003
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M/1436 H
ABSTRAK Fikri Latipatul Huda (NIM. 1110011000077). Pendidikan Keimanan (Kajian Tafsir Surat Al-An’am Ayat 74-79). Setiap manusia dilahirkan memiliki potensi. Potensi itu berupa fitrah akan pengakuan adanya Allah swt. Pendidikan Keimanan yaitu usaha sadar dalam menanamkan akan dasar-dasar keimanan kepada peserta didik yang berfungsi untuk mengembangkan segala potensi yang telah dimiliki oleh peserta didik agar potensi yang telah dimiliki oleh peserta didik dapat dikembangkan kepada jalan kebenaran. Oleh karena itu seorang pendidik harus mampu membantu mengembangkan potensi yang telah dimiliki oleh peserta didik menuju arah yang baik. Berbicara tentang keimanan, erat kaitannya dengan tauhid. Karena inti dari keimanan itu yaitu beriman kepada Allah swt. Sehingga beriman kepada Allah swt. mengandung implikasi keimanan akan wujud-Nya, ke-Esaan-Nya ketuhananNya dan keimanan akan nama-nama baik-Nya dan sifat-sifat luhur-Nya yang terwujud dalam tauhid ulûhiyyah, tauhid rubûbiyyah dan tauhid asmâ` wa sifat. Dalam Q.S. al-An’am ayat 74-79 ini membahas tentang bagaimana upaya Nabi Ibrâhîm dalam menanamkan keimanan kepada ayah dan kaumnya yang menyembah berhala dan menyembah bintang, bulan dan matahari. Penelitian skripsi ini menggunakan penelitian kualitatif melalui penulusuran data-data kepustakaan atau library research. Library research yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian. Adapun metode yang digunakan dalam pembahasan ayat adalah metode tafsir tahlili yaitu metode tafsir yang digunakan oleh para mufassir dalam menjelaskan kandungan ayat al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana yang tercantum dalam mushaf. Dimulai dengan menyebutkan ayat-ayat yang akan ditafsirkan, menjelaskan makna lafaz yang terdapat di dalamnya, menjelaskan munasabah ayat dan menjelaskan isi kandungan ayat. Sedangkan metode pembahasannya menggunakan metode deskriptif-analisis dengan cara mengumpukan data, analisis data kemudian menarik kesimpulan. Dalam penelitian ini, penulis memperoleh nilai-nilai pendidikan keimanan yang meliputi: Pertama, tauhid ulûhiyyah yang terdiri atas Allah swt. satu-satunya sumber hidayah, penghindaran dari segala bentuk kemusyrikan dan ikhlas dalam beribadah kepada Allah swt. Kedua, tauhid rubûbiyyah yang terdiri atas meyakini Allah swt. sebagai satu-satunya Pencipta dan meyakini bahwa Allah swt. sebagai satu-satunya Pengatur. Ketiga, tauhid asmâ` wa sifat yang terdiri atas meyakini bahwa Allah swt. bersifat wujud, meyakini bahwa Allah swt bersifat qidam dan meyakini bahwa Allah swt bersifat baqâ. Kata Kunci: Pendidikan Keimanan
i
ABSTRACT Fikri Latipatul Huda (NIM. 1110011000077). Faith (Interpretation Study of Chapter Al-An’am Verse 74-79).
Education
Every human is born with the potential which has been given by Allah SWT. That potential is a natural tendency about the confession of the existence of Allah SWT. Faith education is the conscious effort in engrafting the basic faith to students where the function is to evolving every potential which has been had by the students in order to develop it in to right way. Therefore a teacher has to help students in developing the potential which has been had by the students in to the better way. The faith has strong relationship with tauhid (knowledge about the One-God) because the core of faith is belief in Allah SWT. Therefore, belief in Allah SWT contains the faith implication about His existence, His One-God, His divinity, His good names and His supreme attributes which are materialized in tauhid ulûhiyyah, tauhid rubûbiyyah and tauhid asmâ` wa sifat. Holy Koran chapter Al-An’am discusses about how the effort of prophet Ibrahim in engrafting the faith to his father and his community who are paganism, worshiper of the animals, moon and sun. The skripsi uses qualitative method through investigation of data in library or library research. Library research is connected activities which have correlation with library data collection, reading, taking note and analyzing the object of study. The method that is used in this study is tahlili method. It is the interpretation method which is used by the experts of Koran interpretation in explaining the content of verses in Koran from various aspects and observes the verses of holy Koran. The writer starts from mentioning the verses that will be interpreted, explaining the sense of words, explaining the munasabah of verses and explaining the content of verses. Furthermore, the discussion method in this study uses descriptive analysis method by collecting the data, analyzing it and making the conclusion. . In this study, the writer gets the values of faith education which involve: first, tauhid ulûhiyyah which consists of Allah is the only one source of guidance, avoidance from every types of polytheist and sincerity in worshipping to Allah SWT. Second, tauhid rubûbiyyah which consists of believing in Allah SWT as the only one controller. Third, tauhid asmâ` wa sifat which consists of believing in the existence of Allah and Allah is antecedence (qidam) and eternal (baqa’) Key word : Faith Education
.
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’âlamin, segala puji terhatur kepada Dzat Yang Maha Luhur, Dzat Yang Maha Kuasa yang dengan kudrat dan iradat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana program strata satu (S1), jurusan Pendidikan Agama Islam pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014. Untaian shalawat dan salam selalu tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad saw. yang menjadi panutan kita semua, yang telah berjuang untuk melaksanakan tugas kerasulannya dalam mengemban amanah dari Sang Rabbu ‘Izzati untuk mendidik umatnya agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa. Dengan penuh kesadaran dan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan, dukungan, motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis haturkan terima kasih yang sebesarbesarnya khususnya kepada: 1. Ibu Dra. Hj. Nurlena Rifa’i, MA. Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. 2. Bapak Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag selaku Kepala Jurusan Pendidikan Agama Islam. 3. Ibu Hj. Marhamah Saleh, LC. MA selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam. 4. Bapak Abdul Ghofur M.A selaku pembimbing skripsi yang senantiasa membimbing, mengarahkan, dan memberikan motivasi kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 5. Bapak Dr. Khalimi M.Ag selaku Dosen pembimbing akademik yang telah membantu dan memberikan saran kepada penulis. 6. Seluruh Dosen dan Staff jurusan Pendidikan Agama Islam.
iii
7. K.H Bahrudin, S.Ag selaku guru/pengasuh Pondok Pesantren Daar ElHikam Ciputat Tangerang Selatan, yang telah banyak memberikan ilmunya, motivasi, nasihat-nasihatnya serta dengan kesabarannya yang luar biasa yang selalu mendidik hati ini agar selalu berada dalam jalan rida-Nya sehingga penulis tidak pernah putus asa untuk menyelesaikan skripsi ini. 8. Teristimewa untuk ibunda tersayang Hj. Atikah dan Almarhum ayahanda tercinta Ahmad Hujjatul Islam yang selalu memberikan kasih sayang, motivasi dan do’anya kepada penulis. 9. Saudara-saudariku tersayang Moch. Abdul Hadi, Moch. Badru Rifa’i, Endah Rafika Kholilah yang selalu memberikan do’a dan motivasi kepada penulis. 10. Keluarga besar LEMKA (Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an) yang selalu memberikan motivasi dan menghibur penulis dalam penulisan ini. 11. Sahabat-sahabatku seperjuangan Nida Afifah Nur, Wiwin Sutianah, Nurfitriani, Ratu Shodfatul Munifah, Eem Sulaemah, Teti resmiawati, Suprapti dan yang lainnya, yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satupersatu tapi, tidak mengurangi rasa hormat penulis, yang senantiasa mendoakan dan meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam melakukan menyelesaikan skripsi ini. 12. Keluarga besar Pondok Pesantren Daar El-Hikam Ciputat Tangerang Selatan, terima kasih atas kebersamaannya yang selama ini memberikan bimbingan, do’a, dan motivasi kepada penulis. 13. Keluarga besar Jurusan Pendidikan Agama Islam kelas B angkatan akademik 2010 yang selama ini bersama-sama menyelesaikan studi S1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 14. Keluarga besar Kelas Tafsir Hadits Jurusan Pendidikan Agama Islam yang selama ini bersama-sama menyelesaikan studi S1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Akhirnya penulis berharap semoga amal baik semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapatkan balasan dan
iv
pahala dari Allah swt. semoga apa yang telah ditulis dalam skripsi ini dapat bermanfaat untuk semua pihak. Amin Ya Rabbal ‘alamin.
Jakarta, 09 Oktober 2014
Fikri Latipatul Huda
v
DAFTAR ISI COVER LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ABSTRAK ...................................................................................................... i KATA PENGANTAR ................................................................................... iii DAFTAR ISI .................................................................................................. vi PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ........................................ viii BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ............................................................... 10 C. Pembatasan Masalah .............................................................. 10 D. Rumusan Masalah ................................................................... 10 E. Tujuan Penelitian ................................................................... 11 F. Manfaat Penelitian .................................................................. 11
BAB II
KAJIAN TEORI A. Pengertian Pendidikan Keimanan ........................................... 12 B. Materi Pendidikan Keimanan .................................................. 17 C. Metode Pendidikan Keimanan ................................................ 28 D. Faktor Penunjang Pendidikan Keimanan ................................ 40 E. Kajian Relevansi ..................................................................... 45
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN A. Objek dan Waktu Penelitian ................................................... 47 B. Metode Penulisan .................................................................... 47 C. Fokus Penelitian ...................................................................... 47 D. Prosedur Penelitian ................................................................ 47
BAB IV
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Tafsir Surat al-An’am [6] : 74–79 ........................................... 52 1. Teks dan Terjemah Ayat ................................................... 52 2. Tafsir Mufradat Ayat ......................................................... 53 3. Tafsir Surat al-An’am [6] : 74–79 ..................................... 58
vi
B. Pendidikan Keimanan yang terkandung dalam surat al-An’am [6] ayat 74-79 ................................................................................ 67 1. Tauhid Ulûhiyyah ............................................................. 68 a. Allah swt. satu-satunya sumber hidayah ..................... 70 b. Penghindaran dari segala bentuk kemusyrikan ............ 72 c. Ikhlas dalam beribadah kepada Allah swt. .................. 75 2. Tauhid Rubûbiyyah .......................................................... 78 a. Meyakini Allah swt. sebagai satu-satunya Pencipta .... ...................................................................................... 80 b. Meyakini bahwa Allah swt. sebagai satu-satunya Pengatur ...................................................................................... 82 3. Tauhid Asmâ wa sifat ....................................................... 83 a. Meyakini bahwa Allah swt. bersifat wujud ............... 85 b. Meyakini bahwa Allah swt. bersifat Qidam .............. 86 c. Meyakini bahwa Allah swt. bersifat Baqâ ................. 87 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................. 89 B. Saran ........................................................................................ 90
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 91 LAMPIRAN
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
1.
Konsonan
Huruf Arab ا ث ح خ ذ ش ص ض
2.
Huruf Arab
Huruf Latin
Tidak dilambangkan ś h kh ż sy ş đ
ط ظ ع غ ة
ţ ť ‘ g h
Vokal
Tanda ̶َ ̶ِ
3.
Huruf Latin
Huruf Latin
Tanda dan Huruf Latin Huruf
a i u
ْ َى ي ْىو َ
Mâdd (Panjang)
Harakat dan Huruf
Huruf dan Tanda
ىا ْىِي ْىو ُ
â Î û
viii
ai au
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Al-Qur‟an datang dengan membuka lebar-lebar mata manusia agar mereka menyadari jati diri dan hakikat keberadaan mereka di pentas bumi ini. Juga agar mereka tidak terlena dengan kehidupan ini, sehingga mereka tidak menduga bahwa hidup
mereka hanya dimulai dengan kelahiran dan berakhir dengan
kematian. Bisikan hati yang melahirkan keyakinan semacam itu, menjadikan manusia berusaha memahami apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Allah swt., Tuhan Maha Pencipta itu.1 Fungsi utama al-Qur‟an sebagai hidayah (petunjuk) bagi manusia dalam mengelola hidupnya di dunia secara baik dan merupakan rahmat untuk alam semesta, disamping pembeda antara yang hak dan yang batil juga sebagai penjelas terhadap segala sesuatu,
akhlak, moralitas, dan etika-etika yang patut
dipraktekkan manusia dalam kehidupan mereka. Penerapan semua ajaran Tuhan itu akan membawa dampak positif bagi manusia.2 Al-Qur‟an secara garis besar berisi dua prinsip besar yaitu berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut akidah dan yang berhubungan dengan amal yang disebut syari‟ah. 3 Menurut Quraish Shihab, al-Qur‟an mempunyai tiga petunjuk pokok: 1. Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan akan ke-Esaan Tuhan. 2. Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan normanorma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual dan kolektif.
1
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, ( Bandung: Mizan, 1993), Cet. VII, h. 15 2 Rif‟at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur‟ani, (Ciputat: WNI Press, 2009), Cet. I, h. 203 3 Nur Uhbiyati, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2013), Cet. I, h. 26
1
2
3. Petunjuk mengenai syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya.4 Di dalam al-Qur‟an terdapat banyak sekali ayat-ayat yang mengemukakan prinsip-prinsip pendidikan ini. Karena itu umat Islam harus pandai-pandai mengambil ayat tersebut untuk dijadikan landasan pelaksanaan pendidikan bagi anak-anak atau generasi muda.5 Pendidikan Islam mempunyai fungsi yang bermacam-macam antara lain yaitu menumbuhkan dan memelihara keimanan. Sebagaimana telah kita ketahui bersama setiap anak lahir di dunia ini telah dibekali pembawaan “beragama tauhid”. 6 Oleh karena itu, pendidikan keimanan menempati urutan pertama dalam pendidikan Islam. Sebagaimana dalam Q.S. Luqman : 13 “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". Ayat diatas merupakan nasihat pertama kali yang disampaikan oleh Luqman kepada putranya, ini menunjukkan bahwa pendidikan yang pertama kali dilakukan ialah pembentukan keyakinan kepada Allah swt. yaitu pendidikan keimanan sehingga dengan keimanan ini akan berpengaruh terhadap sikap dan kepribadian anak.7 Adapun yang dimaksud dengan pendidikan iman ialah mengikat anak dengan dasar-dasar Iman, rukun Islam dan dasar-dasar Syari‟at, sejak anak mulai mengerti dan dapat memahami sesuatu. Kewajiban para pendidik adalah menumbuhkan anak atas dasar pemahaman dan dasar-dasar pendidikan iman dan ajaran Islam sejak masa pertumbuhannya. Sehingga anak akan terikat dengan Islam, baik akidah maupun ibadah, di samping penerapan metode maupun peraturan. Setelah anak mendapatkan petunjuk dan pendidikan tentang keimanan 4
M. Quraish Shihab, op.cit., h. 40 Nur Uhbiyati, op. cit., h. 27 6 Ibid., h. 22 7 Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), Cet. V, h. 156 5
3
ini, ia hanya akan mengenal Islam sebagai din-nya, al-Qur‟an sebagai Imamnya dan Rasulullah saw. sebagai pemimpin dan keteladanan.8 Iman merupakan fondasi yang digunakan Islam dalam membangun pribadi muslim, sebab iman merupakan unsur paling mendasar yang menjadi penggerak emosinya dan pengarah segala keinginannnya. Seandainya unsur iman benarbenar dominan dalam jiwa manusia, maka pastilah seseorang akan istiqâmah. Ia senantiasa menempuh jalan yang hak, mampu mengendalikan kelakuannya, serta mengetahui mana yang positif dan mana yang negatif. Inilah yang dituntut Islam dari kita.9 Iman juga memberikan api kekuatan yang besar dalam tekad, keberanian, kesabaran, ketabahan dan tawakal. Oleh karena itu orang beriman akan sanggup menghadapi tugas-tugas berat dan meninggalkan kesenangan di dunia ini. Semua itu ia lakukan semata-mata mencari keridaan-Nya.10 Keimanan dalam ajaran Islam merupakan pokok (ushul) yang dari padanya ke luar cabangcabang ajaran Islam. Keimanan akan melahirkan perbuatan yang baik (amalshalih) yang merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.11 Membicarakan keimanan berarti membicarakan persoalan akidah dalam Islam. Pengertian akidah (aqidah dalam bahasa Arab) secara etimologi adalah ikatan dan/atau sangkutan. Akidah dalam pengertian terminologi adalah iman, keyakinan yang menjadi pegangan hidup bagi setiap pemeluk agama Islam. Oleh karena itu, akidah selalu ditautkan dengan rukun iman atau arkân al-iman yang merupakan asas bagi ajaran Islam. Islam adalah agama tauhid. Perkataan tauhid erat hubungannya dengan kata wahid (satu tau esa) dalam bahasa Arab. Sebagai istilah yang dipergunakan dalam membahas ketuhanan (segala sesuatu mengenai
8
Abdullah Naşih „Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, Jilid I, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1981), Cet. III, h. 151 9 Abdurrahman Hasan Habanakah Al-Maidani, Pokok-Pokok Akidah Islam, Terj. dari AlAqidah Al-Islamiyah wa Ususuha oleh A. M. Basalamah, (Jakarta: Gema Insani, 2004), Cet. II, h. 34 10 Sayyid Naimullah, Keajaiban Aqidah; Jalan Terang Menuju Islam Kaffah, (Jakarta: Lintas Pustaka Publisher, 2004), Cet. I, h. 37 11 Hamzah Ya‟qub, Ilmu Ma‟rifah; Sumber Kekuatan dan Ketentraman Bathin, (Jakarta: CV. Atisa, 1988), Cet. III, h. 36
4
Tuhan). Tauhid adalah keyakinan akan keesaan Tuhan yang dalam ajaran Islam disebut Allah. Allah adalah penamaan khusus Islam pada Tuhannya.12 Inti penting dari keimanan itu adalah tauhid kepada Allah swt. Jika diinginkan adanya konsistensi, maka dalam membahas segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan Islam, kita tidak mungkin melakukannya tanpa melihat hubungannya dengan tauhid atau faham Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti diketahui, sebagaimana ungkapan Nurcholish Madjid, bahwa tauhid adalah pondasi atau asas bagi semua bangunan Islam, bahkan seharusnya fondasi bagi semua bangunan kemanusiaan yang benar. Tauhid adalah bagian paling inti ajaran Islam.13 Keimanan yang berlandaskan tauhid ulûhiyyah, rubûbiyyah, maupun tauhid asma‟ dan sifat, dapat memperkokoh diri untuk beramal saleh dan tetap dalam keadaan ketakwaan. Iman dengan pemaknaan tauhid
ulûhiyyah
memberikan pemahaman yang benar terhadap Allah swt. bahwasannya Dia saja yang berhak disembah, ditaati, dan manusia tidak dibenarkan berlaku syirik kepada-Nya. Sesungguhnya Allah swt. tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.14 Dalam kehidupan, kalimat tauhid Lâ ilâha illâllah akan senantiasa memberikan kesan yang kuat kepada umat manusia, seperti yang dikatakan oleh Abdul A‟la Maududi. Abdul A‟la Maududi mengatakan bahwa orang mukmin yang mengimani kalimat tauhid, wawasan pikirannya akan luas karena ia meyakini rubûbiyyah Allah sebagai zat yang menciptakan langit dan bumi sebagai penguasa alam semesta, sebagai pemilik barat dan timur. Bahkan Dialah yang memberi rezeki dan mengatur manusia. Iman kepada kalimat tauhid akan melahirkan rasa percaya pada diri dan kebesaran jiwanya. Ia yakin bahwa tak ada 12
Zainuddin Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011), Cet. IV, h.
2 13
Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Hadits, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), Cet. I, h. 78 14 Khairunnas Rajab, Psikologi Ibadah; Memakmurkan Kerajaan Ilahi di Hati Manusia, (Jakarta: Amzah, 2011), Cet. 1, h.125-126
5
yang dapat mengalanginya, selain Allah swt. Hanya Dialah yang boleh memberi manfaat dan mudarat. Dialah yang mematikan dan menghidupkan dan Dia jugalah pemilik segala hukum, kekuasaan dan kedaulatan. Orang yang mengimani kalimat tauhid akan memahami dengan sepenuh hatinya bahwa jalan menuju keselamatan dan kebahagiaan hanya dapat dicapai dengan kebersihan jiwa dan amal soleh. Ia beranggapan begini karena ia beriman kepada Zat Yang Maha Kaya dan Maha Adil. Hanya Dialah tempat bergantung.15 Dari uraian di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwasannya alQur‟an merupakan pedoman bagi kehidupan manusia yang di dalamnya terdapat ajaran-ajaran yang harus dilaksanakan oleh manusia sebagai hamba Allah swt. Diantara isi dari ajaran al-Qur‟an yang paling utama yaitu masalah keimanan. Keimanan ini penting dimiliki oleh setiap manusia, karena dengan keimanan ini seseorang akan menyadari perannya sebagai hamba Allah swt. dengan meyakini bahwa hanya Allah swt. adalah satu-satunya Tuhan yang wajib disembah dan menyadari bahwa tidak ada Tuhan yang mampu menciptakan alam semesta ini kecuali Allah swt. Sehingga dengan adanya keyakinan itu, menjadikan manusia menjadi hamba yang selalu mendekatkan diri kepada Allah swt sehingga ia akan melaksanakan segala perintah-perintah Allah swt. tanpa sedikitpun adanya keraguan di dalam dirinya. Manusia dilahirkan dengan membawa fitrah-fitrah tertentu. Al-Qur‟an mengisyaratkan bahwa kehadiran Tuhan ada dalam diri setiap insan, dan bahwa hal tersebut merupakan fitrah (bawaan) manusia sejak asal kejadiannya.16 Demikian difahami dari firman-Nya dalam surat Al-Rum (30): 30. “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah
15
Sayyid Naimullah, op. cit., h. 36 M. Qurasih Shihab, Wawasan al-Qur‟an; Tafsir Mauđu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1997), Cet. V, h. 15 16
6
itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. “ Dalam ayat lain dikemukakan, pada Q.S. al-A‟raf : 172 “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" Disamping itu, terdapat beberapa sabda Nabi saw. tentang fitrah dengan beberapa riwayat dari para sahabat yang berbeda pula muatannya. Sebuah sabda Nabi saw. yang populer, yang banyak disitir oleh para ulama antara lain sebagai berikut:
َكمَا تُىْتَجُ البٍَِيمَ ُت،ًِِّجسَاو ِ َ أََْ ُيم،ًِِّصرَاو ِ َ ََيُى،ًِِ فَأَبََُايُ يٍَُُِدَاو،ِطرَة ْ علَى ال ِف َ ُمَا مِهْ مَ ُْلُُدٍ ِإلَا يُُلَذ ًَِطرَةَ الل ْ { ِف:ًُْ ٌَلْ تُحِسُُنَ فِيٍَا مِهْ جَذْعَاءَ» ثُّمَ يَقُُلُ أَبُُ ٌُرَ ْيرَةَ رَضِيَ اللًَُ عَى،َج ْمعَاء َ ًَبٍِيمَت }ُك الذِيهُ القَيِّم َ ِخ ْلقِ اللَ ًِ َرل َ ِس عَلَ ْيٍَا الَ تَبْذِيلَ ل َ ط َر الىَا َ الَتِي َف “Tiada seorang bayi pun melainkan dilahirkan dalam fitrah yang bersih. Maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi sebagaimana binatang melahirkan binatang kesekuruhannya. Apakah kalian mengetahui di dalamnya ada binatang yang rumpung hidungnya? Kemudian Abu Hurairah membaca ayat dari surat ar-Rum: 30 ini. „... (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut futrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus.”(H.R. Bukhari)17 Fitrah yang disebutkan pada dalil-dalil di atas mengandung implikasi kependidikan yang berkonotasi kepada faham nativisme. Oleh karena itu, kata fitrah mengandung makna kejadian yang di dalamnya berisi potensi dasar beragama yang benar dan lurus (ad-din al-qayyim) yaitu Islam.18 Fitrah merupakan modal dasar seorang bayi untuk menerima agama tauhid. Dengan demikian, orang tua dan pendidik berkewajiban melakukan dua langkah berikut : 17
Muhammad bin Isma‟il Abu „Abdullah al-Bukhari, Şahih al-Bukhari, Juz II, (tt.p., Dâr an-Najah, 2001), Cet. I, h. 95 18 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), Cet. IV, h. 42-43
7
Pertama, membiasakan anak untuk mengingat kebesaran dan nikmat Allah. Kedua, membiasakan anak untuk mewaspadai penyimpangan-penyimpangan yang kerap membiasakan dampak negatif terhadap diri anak.19 Dari beberapa dalil di atas dapat kita fahami, bahwa setiap manusia yang dilahirkan memiliki fitrah untuk bertauhid kepada Allah swt., oleh karena itu pendidikan keimanan berfungsi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh peserta yaitu berupa fitrah akan mengakui adanya Allah swt. agar dengan adanya pendidikan keimanan ini dapat tertanam kepada anak didik akan dasar-dasar keimanan, rukun Islam dan dasar-dasar syari‟at. Sehingga dengan tertanamnya akan dasar-dasar keimanan kepada anak didik dapat menempatkan hubungan antara hamba dengan khaliknya menjadi bermakna dan dapat melahirkan pada diri peserta didik keimanan yang kuat. Fitrah ada kalanya tertutup atau hilang oleh sebab-sebab tertentu. Oleh karena itu, fitrah menghendaki pengembangan. Begitu pula dengan keadaan fitrah-fitrah yang lain, seperti dengan fitrah beragama.20 Zaman yang kita hadapi sekarang ini jauh lebih beragam, baik dari segi budaya, fikrahnya, maupun ideologinya. Semua itu akan mengancam kelestarian hidup yang serasi dan sesuai dengan konsep Ilâhiyah. Mempertahankan iman adalah perjuangan, demikian pula dalam bersabar. Semua itu merupakan perjuangan yang panjang dan tak kunjung habis.21 Tidak sedikit ditemukan dalam kehidupan manusia dewasa ini yaitu krisis keimanan dengan sebab yang beraneka ragam yang salah satu diantaranya yaitu sedikitnya orang-orang yang menyerukan agar mentauhidkan Allah swt. dalam melakukan ibadah dan ketaatan-Nya. Padahal telah diberitakan di dalam al-Qur‟an bahwasannya Allah swt. adalah satu-satunya Tuhan yang wajib disembah dan satu-satunya Tuhan yang menciptakan seluruh makhluk yang ada di langit maupun di bumi. Keenganan manusia untuk mengetahui hukum-hukum agama 19
Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 145 20 Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. II, h. 55 21 Sayyid Naimullah, op. cit., h. 91
8
karena kesibukannya dalam mengurusi urusan dunia, mengikuti hawa nafsunya dan merebaknya kebodohan ini dalam mengetahui agama yang benar. Adapun sebab yang paling meresahkan adalah kurangnya pengetahuan yang menimpa manusia khususnya umat islam yang mendorongnya untuk bersikap ekstrem dalam memahami hak Pencipta atas mereka sehingga menjerumuskan mereka ke dalam berbagai pertentangan yang menafikan tauhid ulūhiyyah secara keseluruhan atau menafikan sebagian rincian dari tauhid ini.
Selain itu, tidak sedikit umat
islam yang lebih percaya kepada para paranormal, mereka mendatangi para paranormal itu untuk mengetahui tentang nasibnya, mereka lupa bahwasannya Allah satu-satunya Tuhan yang telah mengatur seluruh alam semesta ini dan Allah telah menentukkan perjalanan hidup makhluknya. Sehingga dengan semua ini dapat mengotori fitrah yang telah Allah swt. berikan kepada makhluknya. Oleh karena itu pendidikan keimanan sangat penting, karena dalam pendidikan keimanan ini seseorang akan dididik akan nila-nilai ketuhanan, sehingga dengan tertanamnya nilai-nilai ketuhanan dalam diri seseorang akan menyadari akan keberadaannya di dunia ini dan menyadari bahwa semua yang terjadi itu tidak terlepas dari kehendak-Nya. Islam datang untuk menghapuskan sesembahan manusia atas manusia, pengabdian yang menyesatkan dan menghapus semua aturan yang berasaskan dari penolakan terhadap prinsip islam. Islam datang untuk menaklukan kesesatan yang dilakukan oleh umat manusia yang mengabdi kepada hawa nafsunya. 22 Al-Qur‟an datang untuk meluruskan keyakinan itu, dengan membawa ajaran tauhid.23 Sebagaimana telah kita ketahui bahwa para Nabi merupakan amanat wahyu, pengemban amanah dan pembela tauhid. Mereka diberi amanat untuk mendidik kaumnya. Salah satu amanat yang paling utama ialah mengajak kaumnya untuk beriman kepada Allah swt. dengan upaya menanamkan keyakinan akan adanya Allah swt. Adapun untuk membuktikan akan adanya Allah swt. dapat
22
Ibid., h. 8 M. Qurasih Shihab, op. cit., h. 14
23
9
dibuktikan dengan beberapa argumentasi; Pertama, Fitrah yang bersih, kedua akal yang sehat dan yang ketiga dengan panca indera.24 Di dalam al-Qur‟an banyak sekali ayat-ayat yang membahas tentang pendidikan keimanan, salah satu ayat yang membahas tentang pendidikan keimanan yaitu surat al-An‟am ayat 74-79. Surat al-An‟am berarti surat yang dinamai “Binatang Ternak”, adalah surat 6 dalam susunan mushaf. Dia diturunkan di Makkah. Abu Ishaq al-Asfaraini berkata: “Sesungguhnya di dalam surat alAn‟am terdapat tiang-tiang pokok Akidah Tauhid.” Dan beliau berkata selanjutnya: “Penyususnan ini dan keletakan surat ditempatnya yang sekarang, sesudah surat al-Maidah adalah tepat benar. Sebab akhir surat dari surat al-Maidah adalah pembatalan kepercayaan Nasrani yang mengatakan bahwa Isa al-Masih anak Allah atau Allah sendiri, yang telah ditegur dengan keras dan dijelaskan bahwa kepercayaan itu kufur adanya dan sangat kacau.25 Di dalam surat ini dijelaskan bagaimana sikap Nabi Ibrâhîm as. dalam mengajarkan akan pendidikan keimanan kepada kaum dan ayahnya yang menyembah berhala. Kemudian Allah swt. memperlihatkan kepada Nabi Ibrâhîm as. akan kekuasaan-Nya Yang Maha Agung segala yang ada di langit dan dibumi, dengan adanya ciptaan Allah swt. tersebut dapat dijadikan pelantara untuk memperteguh keimanannya. Oleh karena itu, di dalam Q.S. al-An‟am ini dijelaskan bagaimana cara Nabi Ibrâhîm as. dalam mengajarkan kepada kaumnya agar bertauhid kepada Allah swt. yang menurut penulis ini sangat penting dijadikan sebagai rujukan dengan mencontoh kepada Nabi Ibrâhîm as. dalam mendidik kaumnya. Mengingat betapa pentingnya pendidikan keimanan yang harus dimiliki oleh setiap muslim khususnya, tentunya yang berlandaskan pada al-Qur‟an, ini sangat penting dan perlu digali lebih dalam untuk dijadikan rujukan dan pedoman bagi kehidupan umat muslim agar memperkokoh keimanan setiap muslim. 24
Khalid bin Ali al-Musyaiqih, Buku Pintar Akidah; Panduan Praktis Memamahami Akidah, Terj. dari Al-Mukhtaşar fiel „Aqidah oleh Ibnu Syarqi, (Klaten: Wafa Press, 2012), Cet. I, h. 97 25 Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1983), h. 106
10
Berdasarkan
pertimbangan
di
atas,
maka
penulis
mengangkat
permasalahan tersebut dan dituangkannya dalam skripsi dengan judul ” Pendidikan Keimanan (Kajian Tafsir Surat Al-An’am ayat 74-79)”. B. Masalah Penelitian 1.
Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengidentifikasi
beberapa masalah yang berkaitan dengan judul yang akan dibahas dalam tulisan ini yaitu: a. Banyak masyarakat muslim yang belum faham akan pendidikan keimanan yang terkandung dalam al-Qur‟an b. Sedikit pengetahuan masyarakat muslim akan pentingnya pendidikan keimanan c. Sedikit masyarakat muslim dalam menerapkan pendidikan keimanan d. Sedikit
rasa tanggung jawab masyarakat dalam menyerukan untuk
bertauhid kepada Allah swt. 2.
Pembatasan Masalah Dari identifikasi masalah di atas, untuk memperjelas dan memberi arah
yang tepat dalam pembahasan skripsi ini, maka penulis batasi pembahasannya pada masalah tentang banyak masyarakat muslim yang belum faham akan pendidikan keimanan yang terkandung dalam al-Qur‟an, yang dibatasi pada: a. Ayat al-Qur‟an yang akan dibahas pada skripsi ini hanya pada Q.S. alAn‟am ayat 74-79 yang membahas pendidikan keimanan. b. Maksud pendidikan keimanan disini adalah keimanan kepada Allah swt. yang inti dari iman ini adalah tauhid. 3.
Perumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka penulis merumuskan
masalah yang berkaitan dengan judul yang akan dibahas dalam tulisan ini, yaitu : a. Bagaimana tafsir Q.S. Al-An‟am ayat 74-79 menurut para mufassir? b. Apa sajakah pendidikan keimanan yang terdapat di dalam Q.S al-An‟am ayat 74-79?
11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.
Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui penafsiran Q.S. Al-An‟am ayat 74-79 menurut para mufassir. b. Untuk mengetahui pendidikan keimanan yang terdapat pada Q.S. AlAn‟am ayat 74-79.
2.
Manfaat Penelitian a. Untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan dan wawasan bagi penulis. b. Dapat mempelajari dan memahami al-Qur‟an sebagai petunjuk dan pedoman hidup manusia agar ajarannya dapat direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. c. Dapat memberikan konstribusi dalam penulisan khususnya dalam dunia pendidikan islam. d. Penelitian ini merupakan langkah awal dan dapat ditindaklanjuti oleh penulis berikutnya.
BAB II TEORI PENDIDIKAN KEIMANAN
A. Pengertian Pendidikan Keimanan Istilah pendidikan berasal dari kata “didik” yang diberi awalan “pe” dan akhiran “kan”, mengandung arti “perbuatan” (hal, cara, dan sebagainya). Istilah pendidikan ini semula berasal dari Bahasa Yunani yaitu “Paedagogie”, yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak.1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pendidikan ialah “Proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang
dalam
usaha
mendewasakan
manusia
melalui
upaya
pengajaran.”2 Sedangkan menurut pendapat para ahli mengenai pengertian pendidikan adalah sebagai berikut: Menurut Ahmad Tafsir “Pendidikan adalah usaha meningkatkan diri dalam segala aspeknya. Definisi ini mencakup kegiatan pendidikan yang melibatkan guru maupun yang tidak melibatkan guru (pendidik); mencakup pendidikan formal, maupun nonformal serta informal. Segi yang dibina oleh pendidikan dalam definisi ini adalah seluruh aspek kepribadian”.3 Pengertian pendidikan menurut Armai Arief yaitu pendidikan merupakan usaha yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak-anak dalam rangka untuk membimbing perkembangan rohani dan jasmaninya menuju ke arah kedewasaan sehingga dengan adanya bimbingan ini dapat menjadikan anak menjadi manusia yang berguna baik untuk dirinya sendiri ataupun untuk hidup dalam masyarakat. 4 Menurut Zuhairin dkk, berpendapat bahwa “Pendidikan dalam pengertian luas adalah “meliputi semua perbuatan atau semua usaha dari generasi tua 1
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 13 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), Cet. III, h. 263 3 Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), Cet. IX, h. 6 4 Armai Arief, Refolmulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Crsd Press, 2005), Cet. I, h. 17 2
12
13
untuk mengalihkan (melimpahkan) pengetahuannya, pengalamannya, kecakapan serta keterampilannya kepada generasi muda, sebagai usaha untuk menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya, baik jasmaniah maupun rohaniah. Di samping itu pendidikan sering juga diartikan sebagai suatu usaha-usaha manusia untuk membimbing anak yang belum dewasa ke tingkat kedewasaan, dalam arti sadar dan mampu memikul tanggub jawab atas segala perbuatannya dan dapat berdiri di atas kaki sendiri.”5 Muzayyin Arifin memandang bahwa “Pendidikan merupakan upaya dalam membina dan mengembangkan pribadi manusia, dari aspek rohani maupun jasmani yang dilakukan secara bertahap.”6 Sementara dalam pendapat A. Fatah Yasin pendidikan merupakan kegiatan yang di dalamnya terdapat: 1). Proses pemberian layanan untuk menuntun perkembangan peserta didik, 2). Proses untuk mengeluarkan atau menumbuhkan potensi yang terpendam dalam diri peserta didik, 3). Proses memberikan sesuatu kepada peserta didik sehingga tumbuh menjadi besar, baik fisik maupun non-fisiknya, 4). Proses penanaman moral atau proses pembentukan sikap, perilaku dan melatih kecerdasan intelektual peserta didik.7 Rois Mahfud mendefinisikan, “Pendidikan merupakan upaya transformasi pengetahuan dalam diri individu agar dia tidak hanya memiliki kreativitas, tetapi juga memiliki kesadaran ketuhanan (Transendental).”8 “Pendidikan, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 20 Tahun 2003 merupakan usaha sadar dan terencana melalui proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya agar memiliki kekuatan spritiual keagamaan, pengendalian diri, kerpibadian, kecerdasan, akhlak mulia dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”9 Adapun definisi pendidikan menurut D. Marimba, yang dikutip oleh Nur Uhbiyati dalam bukunya Dasar-dasar ilmu pendidikan Islam, bahwa: 5
Zuhairini, dkk, op. cit., h. 92 Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010), Cet. V,
6
h. 12 7
A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: UIN-Malang Press, 2008), Cet. I, h. 16 8 Rois Mahfud, Al-Islam; Pendidikan Agama Islam, (Palangka Raya: Erlangga, 2011), h. 144 9 Ibid., h. 148
14
Pendidikan Islam yaitu bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian yang lain sering kali beliau menyatakan kepribadian utama tersebut dengan istilah yaitu kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam, memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.10 Dari beberapa pengertian pendidikan di atas penulis menarik kesimpulan bahwasannya pengertian pendidikan adalah suatu usaha sadar yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam membimbing perkembangan jasmani dan rohani peserta didik agar peserta didik memiliki kesadaran akan Tuhannya. Adapun mengenai istilah keimanan, keimanan berasal dari kata iman yang diberi imbuhan “ke – an” yang memiliki arti keyakinan, ketetapan hati dan keteguhan hati.11 Iman berasal dari Bahasa Arab, yaitu: tentram,
artinya mempercayai,
artinya aman, mempercayai.12
Menurut bahasa iman berarti pembenaran hati. Sedangkan menurut istilah, iman adalah:
“Membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan.”13 Adapun definisi iman menurut para ahli adalah sebagai berikut: M. Saberanity mendefinisikan bahwa iman adalah:
“Yaitu membenarkan segala sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah yang bersumber dari Allah SWT.”14 10
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2013), Cet.
I, h. 16 11
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), Cet. IV, h. 526 12 Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), Cet. XIV, h. 41 13 Tim Ahli Tauhid, Kitab Tauhid, (Jakarta: Darul Haq, 1998), h. 2
15
Sayid Sabiq memberikan pengertian iman sebagai berikut: Pengertian keimanan atau akidah itu tersusun dari enam perkara, yaitu: 1. Makrifah kepada Allah, makrifat dengan nama-nama-Nya yang mulia dan sifat-sifat-Nya yang tinggi. Juga makrifat dengan bukti-bukti wujud atau adaNya serta kenyataan sifat keagungan-Nya dalam alam semesta atau di dunia ini. 2. Makrifat dengan alam yang ada di balik alam semesta ini yakni alam yang tidak dapat dilihat. Demikian pula kekuatan-kekuatan kebaikan yang terkandung di dalamnya yakni yang berbentuk malaikat, juga kekuatankekuatan jahat yang berbentuk iblis dan sekalian tentaranya dari golongan syetan. Selain itu juga makrifat dengan apa yang ada di dalam alam yang lain lagi seperti jin dan ruh. 3. Makrifat dengan kitab-kitab Allah yang diturunkan oleh-Nya kepada para Rasul. Kepentingannya ialah dijadikan sebagai batas untuk mengetahui antara yang hak dan yang batil, baik dan jelek, halal dan haram, juga antara yang bagus dan yang buruk. 4. Makrifat dengan Nabi-Nabi serta Rasul-rasul Allah Ta‟ala yang dipilih olehNya. Untuk menjadi pembimbing kearah petunjuk serta pemimpin seluruh mahluk guna menuju arah yang lebih baik. 5. Makrifat dengan hari akhir dan peristiwa-peristiwa yang terjadi disaat itu seperti hari kebangkitan dari kubur (hidup lagi sesudah mati), memperoleh balasan, pahala atau siksa, surga atau neraka. 6. Makrifat kepada takdir (qađa dan qadar) yang di atas landasan itulah berjalannya peraturan segala yang ada di alam semesta ini, baik dalam penciptaan atau cara mengaturnya.”15 Iman menurut Mawardi Labay yaitu mempercayai akan ke-Esaan Allah swt dengan segala sifat-sifat-Nya yang sempurna, iman bukanlah sekedar percaya saja, melainkan juga harus dibuktikan dengan amal perbuatan nyata. 16 Yusuf Qardhawi dalam bukunya “Iman dan Kehidupan” mengatakan bahwa: “Iman menurut pengertian yang sesungguhnya ialah kepercayaan yang meresap ke dalam hati dengan penuh keyakinan tanpa dicampuri oleh syak dan
14
M. Saberanity, Keimanan Ilmu Tauhid, (Tangerang: Lekdis Nusantara, 2006), Cet. II, h.
2 15
Sayid Sabiq, Aqidah Islam, (Bandung: Diponegoro, 2010), Cet. XVIII, h. 16 Mawardi Labay El-Sulthani, Zikir dan Do‟a; Iman Pengaman Dunia, (Jakarta: AlMawardi Priman, 2000), h. 35 16
16
keraguan, serta memberi pengaruh terhadap pandangan hidup, tingkah laku dan perbuatan sehari-hari.”17 Abdullah Nashih „Ulwan mendefinisikan bahwa iman ialah keyakinan seorang mu‟min akan kekuasaan Allah swt. yang memiliki wewenang terhadap kehidupan dan kematian seseorang, begitu pula meyakini akan kehendak Allah swt. terhadap segala yang terjadi pada diri seorang hamba.18 Menurut Abu Ishaq Ibrâhîm az-Zujaj yang dikutip oleh Moh. Rowi Latif bahwa iman yaitu meyakini dan mempercayai dengan sepenuh hati terhadap syari‟at yang didatangkan oleh Nabi Muhammad saw. yang diwujudkan dalam bentuk ketaatan serta penerimaan segala hal yang didatangkan dari Nabi saw. Selain itu, iman merupakan keyakinan yang tidak dicampuri sedikit pun oleh keraguan dengan melaksanakan segala yang diwajibkan atas dirinya. 19 Begitu pula definisi tentang iman, Imam Ibnu Qayyim berpendapat yang dikutip oleh Abdur Razzaq bin Thahir bin Ahmad Ma‟asy, bahwa hakikat iman adalah sesuatu yang terdiri dari perkataan dan perbuatan. Perkataan ada dua macam: Perkataan hati yaitu keyakinan dan perkataan lisan yaitu menyatakan keislaman. Perbuatan juga ada dua macam: Perbuatan hati yaitu niat dan keikhlasan, dan perbuatan anggota badan. Jika keempat unsur ini hilang, maka hilanglah kesempurnaan iman. Jika hilang pengakuan di dalam hati, maka hilanglah manfaat unsur-unsur yang lainnya.20
17
Yusuf Al Qardhawi, Iman dan Kehidupan, Terj. dari Al-Iman wal Hayat oleh Fachruddin HS, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet. III, h. 3 18 Abdullah Nashih „Ulwan, Saat Mu‟min Merasakan Kelezatan Iman, (Jakarta: Robbani Press, 1992), Cet. I, h. 1 19 Moh. Rowi Latif, Bagaimana Anda Menjadi Orang Mu‟min, (Surabaya: PT. Bungkul Indah, 1995), Cet. I, h. 13 20 Abdur Razzaq bin Thahir bin Ahmad Ma‟asy, Mengupas Kebodohan, Terj. dari Al Jahl bi Masail Al I‟tiqad wa Hukmuhu oleh Asep Saefullah dan Kamaluddi Sa‟diyatul Haramain, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2001), Cet. I, h. 28
17
Sementara menurut Sayyid Nursi iman adalah kekuatan. Manusia yang menggapai iman hakiki bisa menghadapi alam wujud dan membebaskan diri dari himpitan-himpitan peristiwa dengan bersandar pada kekuatan imannya.21 Dari berbagai definisi iman di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwasannya iman adalah keyakinan dengan membenarkan segala yang didatangkan oleh Allah berupa keyakinan kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitabnya, para Rasul, iman kepada hari akhir serta iman kepada qađa dan qadarnya Allah yang dibuktikan dengan perbuatan sehingga keimanan ini dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang yang menjadikannya hamba yang taat kepada Allah swt. dan meyakini akan keberadaan-Nya dengan melaksanakan ibadah secara tulus dan ikhlas kepada Allah swt. Sehingga dapat didefinisikan bahwa pendidikan keimanan merupakan usaha sadar yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didiknya dengan tujuan agar peserta didik memiliki kesadaran akan Tuhannya dengan menanamkan keyakinan akan rukun iman yang enam yaitu beriman kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab, Hari kiamat serta qađa dan qadar-Nya. Selain itu pendidikan keimanan berfungsi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh peserta didik yaitu potensi mengakui akan adanya Allah swt. sehingga dengan tertanamnya keimanan ini menjadikan peserta didik menjadi hamba yang taqwa dan taat kepada Allah swt.
B. Materi Pendidikan Keimanan Untuk bisa mencapai tujuan pendidikan Islam sebagaimana yang diharapkan,
maka
tentu
saja
materi
yang
akan
disajikan
atau
yang
diperbincangkan sebagai bahan kajian adalah materi-materi yang diambil dari
21
Badi‟uzzaman Sa‟id Nursi, Iman Kunci Kesempurnaan, Terj. dari Al-Iman wa Takamulul-Insan oleh Muhammad Misbah, (Jakarta: Robbani Press, 2004), Cet. I, h. 12
18
sumber ajaran Islam.22 Oleh karena itu, materi sangat penting dalam pendidikan Islam karena materi merupakan salah satu komponen dalam pendidikan Islam. Menurut Ahmad Tafsir, materi Pendidikan Islam pada masa Rasulullah adalah menyangkut: Pendidikan keimanan, Ibadah, Akhlak, ekonomi dan dasar politik termasuk musyawarah.23 Sementara menurut Hasan al-Bana yang dikutip oleh A. Fatah Yasin, bahwasannya secara rinci materi pendidikan islam itu meliputi: 1) Akidah; materi ini dianggap sebagai materi utama dalam pendidikan islam, yang dapat menjadi motor penggerak jiwa manusia untuk menjalankan amalan lainnya. 2) Ibadah; materi ini merupakan tema sentral dalam al-Qur‟an dan harus dipelajari untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. 3) Akhlak; materi ini sebagai upaya membentengi manusia/peserta didik dari dekadensi moral manusia dalam kehidupan sehari-hari. 4) Jihad; materi ini diwajibkan sebagai sarana untuk memperjuangkan Islam dalam pengaruh imperialisme Barat, disamping itu jihad dalam arti luas adalah termasuk melawan hawa nafsu dan melawan setan. 5) Jasmani; materi ini untuk menumbuhkan kesehatan badan atau fisik manusia/peserta didik, karena aspek kesehatan fisik sangat berpengaru terhadap jiwa dan akal.24 Dari uraian di atas dapat difahami bahwasannya materi pendidikan Islam mencakup berbagai aspek, baik sifatnya duniawi maupun ukhrawi. Adapun inti materi pendidikan keimanan adalah tauhid, yang dibagi menjadi tauhid ulûhiyyah, tauhid rubûbiyyah dan tauhid asmâ wa sifat. Tauhid berasal dari kata wahhada ( ُ )وَحَّ َدهberarti meng-Esakan atau tidak berbilang. Dalam pengertian secara syar‟i (agama) tauhid adalah meniadakan persamaan terhadap dzat Allah, sifat-sifat, perbuatan, sekutu dan ketuhanan-Nya
22
A. Fatah Yasin, Op. Cit., h. 120 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), Cet. IX, h. 58 24 A. Fatah Yasin, Op. Cit., h. 124 23
19
maupun ibadah-Nya.25 Sebagaimana firman Allah swt. yang menghilangkan persamaan dengan-Nya dalam surat al-Ikhlas ayat 1-4.
1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. 2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. 3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. 4. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." Selain itu, tauhid memiliki makna meyakini ke-Esaan Allah swt. dalam Rubûbiyyah, Ikhlas beribadah kepada-Nya, serta menetapkan bagi-Nya namanama dan sifat-sifat-Nya. Dengan demikian, tauhid
ada tiga macam: Tauhid
Ulûhiyyah, tauhid Rubûbiyyah serta tauhid Asmâ` wa Sifat.26 1. Tauhid Uluhiyyah Makna secara ijmali (global) dari tauhid ini adalah Pengi‟tikadan diri secara bulat-bulat bahwa Allah swt. adalah ilâhul Haqq (yang berhak diibadahi) dan tidak ada ilâhul Haqq selain-Nya.27 Sebagai hambanya kita harus meyakini sesungguhnya hanya Allah swt. adalah Tuhan yang patut untuk disembah dan tidak ada lagi tuhan yang wajib disembah kecuali Allah swt. Tauhid ini adalah inti dari dakwah para rasul saw., karena ia adalah asas dan pondasi tempat dibangunnya seluruh amal.28 Rasul merupakan para utusan Allah swt. yang diberikan amanat kepadanya untuk mengajarkan kaumnya yaitu berupa ajaran untuk bertauhid kepada-Nya merupakan ajaran yang paling utama karena tauhid ini merupakan esensi dari iman kepada Allah swt. Pada hakekatnya jenis tauhid
25
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi , Aqidah Seorang Mukmin, Terj. dari Aqîdatul Mukmin oleh Salim Bazemool, (Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1994), Cet. I, h. 81 26 Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Kitab Tauhid, jilid I Terj. dari At-Tauhid Liş Şaffil Awwal al-Ali oleh Agus Hasan Bashori, (Jakarta: Darul Haq, 2011), Cet. I, h. 19 27 Muhammad Na‟im Yasin, Iman: Rukun, Hakikat dan yang membatalkannya, Terj. dari Al-Iiman, Arkaanuhu, Haqiqatuhu, Nawaqidhuhu oleh Abu Fahmi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992), Cet. V, h. 24 28 Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Op. Cit., h. 53
20
ulûhiyyah ini menghimpun seluruh tauhid jenis lainnya. Menghimpun tauhid rubûbiyyah, begitu juga dengan tauhid asmâ` dan sifat-sifat-Nya.29 Mengimani atau mempercayai ulûhiyah Allah swt. adalah dengan cara meng-Esakan Allah swt. dengan perbuatan para hamba yang dilandasi oleh niat yang ikhlas untuk mendekatkan diri kepada-Nya sesuai dengan apa yang telah disyari‟atkan. Dalam bahasa yang sangat sederhana dapat dikatakan bahwa mengimani ulûhiyah Allah swt. adalah menjadikan Allah swt. sebagai sasaran (tujuan) tunggal dalam menjalankan berbagai aktifitas ubûdiyyah.30 Oleh karena segala bentuk ibadah yang kita lakukan harus dilandasi dengan niat semata-mata karena Allah swt. dan tidak sedikit pun dikotori oleh niat yang lain. Dari uraian di atas dapat difahami bahwasannya tauhid ulûhiyah ini merupakan keyakinan bahwa Allah swt. adalah satu-satunya Tuhan yang wajib disembah dan tidak ada sekutu baginya. Tauhid ulûhiyah ini merupakan inti dari tauhid yang lainnya yaitu tauhid rubûbiyyah serta tauhid asmâ` wa sifat. Adapun yang termasuk pada tauhid ulûhiyah ini adalah iman kepada Allah swt. Iman kepada Allah swt. adalah meyakini dengan akal akan wujud (ada) dan keberadaan-Nya sebagai pencipta, pemelihara dan Tuhan seluruh makhluk ciptaan-Nya.31 2.
Tauhid Rubûbiyyah Ar-Rabb berasal dari kata Arab Rabba-Yurabbi-Rabban atau Tarbiyah
bermakna „mendidik‟.32 Rubûbiyyah adalah kata yang dinisbatkan kepada salah satu nama Allah swt., yaitu „Rabb‟. Nama ini mempunyai beberapa arti, antara lain: al-Murabbi (pemelihara), al-Nâşir (penolong), al-Mâlik (pemilik), al-Muslih (yang memperbaiki), al-Sayyid (tuan) dan al-Wali (wali). Dalam terminologi syari‟at Islam, istilah tauhid rubûbiyyah berarti percaya bahwa hanya Allah swt. satu-satu-Nya Pencipta, Pemilik, Pengendali alam raya yang dengan takdir-Nya Ia
29
Muhammad Na‟im Yasin, Op. Cit., h. 25 Darwis Abu Ubaidah, Panduan Akidah Ahlu Sunnah Wal Jama‟ah, (Jakarta: Pustaka alKausar, 2008), Cet. I, h. 49 31 Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Op. Cit., h. 83 32 Abdurrahman Madjrie, Meluruskan Akidah, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), Cet. I, h. 83 30
21
menghidupkan dan mematikan serta mengendalikan alam dengan sunnah-sunnahNya.33 Tauhid Rubûbiyyah mencakup dimensi-dimensi keimanan berikut ini: a. Beriman kepada perbuatan-perbuatan Allah yang bersifat umum. Misalnya menciptakan, memberi rezeki, menghidupkan, mematikan, menguasai dll. b. Beriman kepada takdir Allah. c. Beriman kepada dzat Allah.34 Mengimani rubûbiyyah Allah swt. maksudnya mengimani sepenuhnya bahwa Dia-lah Rabb satu-satunya, tiada sekutu dan tiada penolong bagi-Nya. Perintah Allah swt. mencakup perintah alam semesta (kauni) dan perintah syara‟ (syar‟i). Dia adalah pengatur alam, sekaligus sebagai pemutus seluruh perkara sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya. Dia juga pemutus peraturan-peraturan ibadah serta hukum-hukum mu‟amalat sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya.35 Demikian jelaslah, bahwsannya tauhid rubûbiyyah ini memiliki makna bahwa Allah swt. merupakan satu-satunya Tuhan yang memiliki wewenang terhadap mahluk-mahluk-Nya yang mengatur seluruh jagad alam raya ini, tidak ada sekutu baginya dalam mengatur seluruh tatanan alam raya ini. Begitu pula Allah swt. yang mengatur perjalanan kehidupan seseorang. Oleh karena itu kita sebagai orang mu‟min, harus mengimani akan tauhid rubûbiyyah Allah. Karena tidak sedikit orang mengaku beriman kepada Allah swt. namun tidak beriman terhadap ketentuannya. Padahal semua yang terjadi dalam kehidupan ini merupakan ketentuannya. Adapun tauhid rubûbiyyah terdiri atas iman kepada malaikat, Rasul-rasul, hari kiamat serta iman kepada qađa dan qadar. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
33
Ibrahim bin Muhammad bin Abdullah Al-Buraikan, Pengantar Studi Aqidah Islam, Terj. dari Almadkhalu Lidirâsatil „Aqidatil Islamiyyah „Ala Madzhabi Ahlisunnah wal Jama‟ah, oleh Muhammad Anis Matta, (Jakarta: Robbani Press, 1998), Cet. I, h. 141 34 Ibid., h. 142 35 Syekh Muhammad bin Shalih al Utsamin, Prinsip-prinsip Keimanan Terj. dari Syarhu Ushulil Iman oleh Ali Makhtum As-Salamy, (Riyadh: Haiatul Ighatsah al Islamiah al Alamiah, 1993), Cet. I, h. 26
22
1) Iman kepada Malaikat Malaikat adalah makhluk ciptaan Allah swt. yang bersumber dari cahaya; ia tidak dapat dilihat atau diindrai dengan panca indra manusia. Namun demikian, ia tetap ada dan melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Allah swt. Malaikat juga adalah makhluk ciptaan Allah swt. yang tidak pernah melanggar perintah Allah swt.36 Beriman terhadap akan keberadaan para malaikat merupakan salah satu diantara sekian syarat untuk dibenarkan iman seseorang. Bagi seorang Muslim, beriman kepada para malaikat, dengan mengimani bahwa para malaikat itu adalah makhluk-makhluk Allah swt. yang sangat mulia.37 Adapun 10 Malaikat yang wajib diketahui oleh setiap pribadi Muslim itu, adalah: a) Jibril. Tugasnya yaitu menjabat kepala/pimpinan Malaikat. Disamping itu, ia mempunyai tugas mulia dari Allah yakni menyampaikan wahyu kepada para Rasul dan Nabi. b) Mikail. Tugasnya mengatur kesejahteraan umat, misalnya mengantarkan hujan, angin, rezeki kepada seluruh makhluk. c) Munkar dan Nakir. Mereka bertugas menanyai manusia setelah mati di dalam kubur. d) Raqib dan Atib. Pekerjaan mereka yaitu mencatat semua kebaikan dan keburukan manusia (amal baik dan amal buruk). e) Israfil . petugas meniup sangkakala (terompet/shur) pada hari kiamat dan hari kebangkitan di padang Mahsyar. f) Ridwan. Bertugas menjaga surga. g) Malik. Tugasnya menjaga neraka jahannam. Malaikat Malik disebut juga Malaikat Zabaniyah.
36
Rois Mahfud, Op. Cit., h. 17 Darwis Abu Ubaidah, Op. Cit., h. 137
37
23
Dengan demikian, beriman kepada Malaikat berarti percaya bahwa Allah swt. telah menciptakan makhluk halus yang dinamakan Malaikat yang sifat serta pekerjaannya berlainan dengan manusia dan hidup di alam yang lain pula (alam ghaib).38 2) Iman kepada Rasul Rasul berarti utusan mengandung makna manusia–manusia pilihan yang menerima wahyu dari Allah swt. dan bertugas untuk menyampaikan isi wahyu (berita gembira dan pemberi peringatan (basyîran wa nażîra) kepada tiap-tiap umatnya. Berbagai ayat dalam al-Qur‟an menjelaskan tentang Rasul, ada yang diceritakan di dalam al-Qur‟an ada juga sebagian yang tidak diceritakan. Rasul yang disebutkan namanya dalam al-Qur‟an
hanyalah sebanyak 25 orang.
Mengenai jumlah Rasul tidak ada yang mengetahui pasti, meskipun ada ulama yang mengatakan jumlah seluruhnya 124.000 (seratus duapuluh empat ribu) orang namun hanya Allah yang mengetahui jumlahnya. Adapun yang diangkat menjadi Rasul 313 orang dan ini pun ada perbedaan pendapat. 39 Para ulama menjelaskan akan perbedaan antara Nabi dan Rasul. Mereka mengatakan bahwa setiap rasul pasti nabi, tetapi tidak setiap Nabi adalah Rasul. Yang membedakan antara keduanya adalah jika Rasul mempunyai kewajiban untuk menyampaikan risalah (wahyu) yang diterimanya kepada umatnya. Sementara Nabi tidak ada kewajiban menyampaikan ajaran yang diterimanya itu kepada umat manusia.40 Adapun firman Allah swt. yang berkaitan dengan para utusatn-Nya serta pengangkatan risalahnya yaitu terdapat dalam Q.S. an-Nahl : 36
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Tâgut",
38
Zainuddin, Ilmu Tauhid lengkap, (Jakarta: PT. Rineka, 1996), Cet. II, h. 91 Ibid., h. 104 40 Darwis Abu Ubaidah, Op. Cit., h. 160 39
24
Seorang muslim berkeyakinan bahwa Allah swt. telah memberi wahyu dan mensucikan para utusan-Nya diantara manusia dengan menugaskannya untuk menyampaikan wahyu tersebut agar tidak ada alasan lagi bagi manusia kelak pada hari kiamat. Allah swt. mengutus mereka dengan dibekali penjelasan-penjelasan dan mukzizat. Mereka adalah manusia yang tak lepas dari kemanusiaannya seperti makan, minum, jatuh sakit, lupa atau ingat dan hidup atau mati. Mereka adalah manusia yang benar-benar paling sempurna tanpa kecuali.41 3) Iman kepada Hari Akhir Hari kiamat disebut juga dengan yaumul akhir (hari akhir), yaumul ba‟ats (hari kebangkitan), yaumul hisâb (hari perhitungan), yaumul jazâ‟i (hari pembalasan), yaitu pembalasan atas segala amal perbuatan manusia selama hidup di dunia. Keyakinan dan kepercayaan akan adanya hari kiamat memberikan satu pelajaran bahwa semua yang bernyawa, terutama manusia akan mengalami kematian dan akan dibangkitkan kembali untuk mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya di dunia. Hari kiamat menandai babak akhir dari sejarah hidup manusia di dunia. Kedatangan hari kiamat tidak dapat diragukan lagi bahkan proses terjadinya pun sangat jelas.42 Bagi seorang muslim wajib mengimani bahwa kehidupan di dunia hanyalah sementara dan tidak akan lama akan dihidupkan dan dihadapkan kepada Allah swt. untuk mempertanggung jawabkan segala perbuatan yang pernah dilakukannya semasa hidup di dunia.43 Sehingga dengan beriman kepada hari akhir akan selalu mengingatkan kepada seseorang agar selalu meningkatkan ibadahnya baik dari segi kualitas maupun kuantitas karena kehidupan di dunia hanyalah kehidupan sementara dan tidak abadi. Adapun kehidupan yang abadi adalah kehidupan akhirat.
41
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Pola Hidup Muslim; Aqidah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1993), Cet. II, h. 53 42 Rois Mahfud, Op. Cit., h. 20 43 Darwis Abu Ubaidah, Op. Cit., h. 170
25
4) Iman kepada Qađa dan Qadar Qađa adalah ketentuan-ketentuan yang ditentukan Allah swt. Sedang Qadar adalah pelaksanaan dari ketentuan tersebut.44 Iman kepada qađa dan qadar memberikan pemahaman bahwa kita wajib meyakini Kemahabesaran dan Kemahakuasaan Allah swt. sebagai satu-satunya Dzat yang memiliki otoritas tunggal dalam menurukan dan menentukan ketentuan apa saja bagi makhluk ciptaan-Nya. Manusia diberi kemampuan (qudrat) dan otonomi untuk menentukan sendiri nasibnya dengan ikhtiar dan do‟anya kepada Allah swt.45 Dengan beriman kepada qađa dan qadar seseorang akan meyakini bahwa segala kejadian yang terjadi dalam kehidpannya itu merupakan ketentuan Allah swt. sehingga dia selalu optimis bahwa apa yang terjadi merupakan ketentuan dari Allah swt. dan dia akan menjalani kehidupan ini dengan tawakkal kepada Allah swt. dengan mengingat dirinya bahwa hanya Allah swt. satu-satunya yang berkuasa akan hidupnya. Namun disamping itu, Allah swt. memerintahkan kepada manusia agar terus berusaha untuk mengerjakan kebaikan. Dengan kata lain, semua yang berlaku dan terjadi adalah menurut qađa dan qadar-Nya.46 Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur‟an Q.S. al-Qamar : 49
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” 3.
Tauhid Asmâ Wa Sifât Iman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah swt. yakni menetapkan
nama-nama dan sifat yang sudah ditetapkan Allah swt. untuk diri-Nya dalam kitab suci-Nya atau sunnah rasul-Nya dengan cara yang sesuai dengan kebesaran-Nya tanpa tahrif (penyelewengan), ta‟ţil (penghapusan), takyif (menanyakan bagaimana?), dan tamśil (menyerupakan).47
44
M. Saberanity, Op. Cit., h. 84 Rois Mahfud, Op. Cit., h. 21 46 M. Saberanity, Op. Cit., h. 85 47 Syekh Muhammad bin Shalih al „Uśaimin, Op. Cit., h. 30 45
26
Takrif secara jelas mengenai tauhid ini adalah, bahwa tauhid asmâ dan sifat berdiri di atas tiga asas yaitu: a. Mensucikan dan meninggikan Allah swt. dari hal yang menserupakan-Nya dengan mahluk, atau dari suatu kekurangan. Maka tauhidullah di dalam sifatNya adalah pengi‟tikadan diri secara bulat-bulat untuk mengakui bahwa Allah swt. memerintahkan agar mensucikan-Nya, Dia bersih dari beristri, bersekutu, tidak ada bandingan kesamaan, tidak ada syafaat (tanpa izin Allah). b. Iman kepada asma dan sifat yang telah ditetapkan dalam Kitabullah dan sunnah rasul, tanpa membatasinya dengan mengurangi-mengurangi atau menambah-menambah,
atau
berpaling
walau
sedikitpun,
atau
mengabaikan/menganggap tidak ada terhadap ketetapan-ketetapan tersebut. c. Membuang khayalan (yang berlebih-lebihan) untuk memvisualisasikan sifatsifat tersebut. Yaitu dituntut bagi Mukmin (hamba) yang mukallaf untuk mengimani sifat-sifat dan asma-asma yang nash-nashnya jelas tertera di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, tanpa perlu membahas atau mempersoalkan visualisasinya. Yang demikian itu disebabkan sifat-sifat Allah sama sekali berbeda dengan sifat-sifat mahluk yang diciptakan-Nya, yang secara lazim memerlukan pembuktian baik secara material maupun visual.48 Tauhid asmâ wa sifat ini merupakan tauhid dalam mensucikan Allah dari hal-hal yang dapat mengotori keimanan seseorang. Karena telah kita yakini bahwasannya Allah yang hanya memiliki sifat kesempurnaan, yang bersih dari sekutu sebagaimana faham-faham yang dianut oleh orang-orang trinitas bahwasannya Allah memiliki anak. Padahal sudah jelas di dalam al-Qur‟an bahwasannya Allah tidak memiliki anak dan tidak pula diperanakkan. Disini dapat difahami bahwasannya Allah swt. satu-satunya Tuhan yang wajib diimani dan disembah, kita sebagai orang mu‟min dituntut untuk mengimani akan ke-Esaan Allah dalam beribadah, kekuasaan Allah dalam
48
Muhammad Na‟im Yasin, Op. Cit., h. 35
27
penciptaan-Nya. Kita hanya diperintahkan untuk memikirkan tentang ciptaan-Nya namun tidak diperintahkan untuk memikirkan bagaimana dzat Allah. Adapun iman terhadap tauhid asmâ` wa sifat termasuk kepada iman kepada kitab Allah karena salah satu sifat wajb bagi Allah yaitu sifat kalam, dan kitab Allah merupakan kalamullah. Selain itu, seorang mu‟min dituntut untuk mengimani sifat-sifat dan asma-asma yang nash-nashnya jelas tertera di dalam Kitabullah. Sedang yang dimaksud dengan beriman kepada kitab-kitab Allah, berarti kita wajib pula meyakini, bahwa sesungguhnya Allah telah menurunkan beberapa kitab kepada para Nabi-Nya. Tujuan Allah menurunkan kitab-kitab itu yaitu agar digunakan sebagai pedoman bagi seluruh manusia menuju jalan hidup yang benar dan diridhai Allah swt. atau dengan kata lain berfungsi sebagai penuntun menuju kebahagiaan dan keselamatan dunia akhirat. Diantara sekian banyak kitab yang telah diturunkan Allah kepada NabiNya, hanya ada empat yang wajib kita ketahui : 1) Taurat diturunkan kepada Nabi Musa as 2) Zabur diturunkan kepada Nabi Daud as 3) Injil diberikan kepada Nabi Isa as 4) Al-Qur‟an diturnkan kepada Nabi penutup, Muhammad SAW.49 Orang Islam adalah orang yang beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah dan diwahyukan kepada para utusan-Nya. Kitab-kitab itu adalah kalam Allah yang diwahyukan oleh Allah kepada para nabi dan rasul-Nya agar mereka menyampaikan syari‟at dan agamaNya. Kitab yang teragung ini ada empat: Pertama,
al-Qur‟an al-Karim yang diwahyukan kepada Muhammad,
kedua, Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa as., ketiga Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud as., keempat, Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa as. Diantara yang empat, al-Qur‟an adalah Kitab yang paling sempurna. Dialah
49
Zainuddin, Op. Cit., h. 95
28
yang menjadi pelengkap syari‟at dan hukum-hukum kitab yang lain.50 Hal ini berdasarkan firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.” C. Metode Pendidikan Keimanan Dalam proses pendidikan, metode mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan, karena ia menjadi sarana yang membermaknakan materi pelajaran yang tersusun dalam kurikulum pendidikan sedemikian rupa sehingga dapat dipahami atau diserap oleh anak didik menjadi pengertian-pengertian yang fungsional terhadap tingkah lakunya. Tanpa metode, suatu materi pelajaran tidak akan dapat berproses secara efektif dan efisien dalam kegiatan belajar mengajar menuju tujuan pendidikan.51 Karena bagaimanapun baik dan sempurnanya suatu kurikulum pendidikan islam, ia tidak akan berarti apa-apa manakala tidak memiliki metode atau cara yang tepat dalam mentransformasikannya kepada peserta didik.52 Metode pendidikan yang tidak tepat guna akan menjadi penghalang kelancaran jalannya proses belajar mengajar sehingga banyak tenaga dan waktu yang terbuang sia-sia. Oleh karena itu, metode yang ditetapkan oleh seorang guru dapat berdaya guna dan berhasil guna jika mampu dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.53
50
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Op. Cit., h. 39 Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007), Cet. 3, h. 163 52 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005), Cet. II, h. 65 53 Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan, Op. Cit., h. 163 51
29
Menurut M. Arifin yang dikutip oleh Toto Suharto bahwa secara bahwa secara bahasa kata metode berasal dari istilah Yunani meta yang berarti melalui, dan hodos yang berarti jalan yang dilalui. Jadi, metode berarti jalan yang dilalui.54 Metode ialah istilah yang digunakan untuk mengungkapkan pengertian “cara yang paling tepat dan cepat dalam melakukan sesuatu.”55 Sedangkan secara terminologi metode adalah segala hal yang mengacu pada cara-cara untuk menyampaikan materi pendidikan oleh pendidik kepada peserta didik, disampaikan dengan efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditentukan. 56 Sehingga metode merupakan salah satu unsur penting dalam proses melaksanakan kegiatan pendidikan yaitu dalam proses belaja mengajar. Dari penjelsan di atas dapat difahami bahwasannya metode merupakan cara yang digunakan dalam melaksanakan pendidikan agar dapat tercapai segala hal yang menjadi tujuan pendidikan. Adapun macam-macam metode yang digunakan dalam pendidikan Islam yaitu: 1.
Metode Ceramah Metode ceramah adalah cara penyajian yang dilakukan guru dengan
penjelasan secara langsung kepada siswa.57 Peran murid dalam metode ini sebagai penerima pesan, mendengarkan, memperhatikan, dan mencatat keteranganketerangan guru bilamana diperlukan.58 2.
Metode Tanya Jawab Metode tanya jawab ialah suatu cara mengajar dimana seorang guru
mengajukan beberapa pertanyaan kepada murid tentang bahan pelajaran yang telah diajarkan atau bacaan yang telah mereka baca sambil memperhatikan proses berfikir diantara murid-murid. 54
Toto Suharto, Filsafat pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), Cet. I, h.
134 55
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Op. Cit., h. 9 Heri Gunawan, Pendidikan Karakter; Konsep dan Implementasi, (Bandung: Alfabeta, 2012), Cet. II, h. 88 56 Armai Arief dan Busahdiar, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Wahana Kardofa, 2009), Cet. I, h. 120 57 Armai Arief dan Busahdiar, Op. Cit., h. 120 58 M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), Cet. I, h. 44 56
30
Guru mengharapkan dari murid-murid jawaban yang tepat dan berdasarkan fakta. Dalam tanya jawab, pertanyaan adakalanya dari pihak murid (dalam hal ini guru atau murid yang menjawab). Apabila murid-murid tidak menjawabnya barulah guru memberikan jawabannya.59 Menurut Hyman Moedjiono yang dikutip oleh Basyiruddin Usman, guru dapat menempuh berbagai teknik yang variasi dalam mengajukan pertanyaan, antara lain: a. The mixed strategy, yakni mengkombinasikan berbagai tipe dan jenis pertanyaan; b. The speaks strategy, yakni mengajukan pertanyaan yang saling bertalian satu sama lain; c. The plateaus strategy, mengajukan pertanyaan yang sama jenisnya terhadap sejumlah siswa sebelum beralih kepada jenis pertanyaan yang lain; d. The inductive strategy, yakni dengan berbagai pertanyaan siswa didorong untuk dapat menarik generalisasi dari hal-hal yang umum, atau dari berbagai fakta menuju hukum-hukum; The deductive strategy, yakni dari suatu generalisasi yang dijadikan sebagai titik tolak, siswa diharapkan dapat menyatakan pendapatnya tentang berbagai kasus atau data yang ditanyakan.60 3.
Metode Demonstrasi Metode demonstrasi adalah cara penyajian bahan pelajaran dengan
memperagakan kepada siswa suatu proses, situasi atau benda tertentu yang sedang dipelajari.61 Misalnya demonstrasi tentang cara memandikan mayat orang muslim/muslimah dengan menggunakan model atau boneka, demonstrasi tentang tata cara tawaf pada saat mnunaikan ibadah haji dan sebagainya.62 4.
Metode Karya Wisata Metode karya wisata yaitu cara penyajian pelajaran dengan membawa
siswa mempelajari sumber-sumber mata pelajaran.63
59
Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), Cet.
II, h. 135
60
M. Basyiruddin Usman, Op. Cit., h. 44 Armai Arief dan Busahdiar, Op. Cit., h. 122 62 M. Basyiruddin Usman, Op. Cit., h. 45 63 Armai Arief dan Busahdiar, Loc. Cit., 61
31
5.
Metode Pemecahan Masalah
Metode pemecahan masalah merupakan cara penyajian bahan pelajaran dengan menjadikan masalah sebagai titik tolak pembahasan atau dianalisis dalam usaha mencari pemecahan atau jawaban siswa.64 6.
Metode Diskusi Kata “diskussi” berasal dari bahasa Latin yaitu: “discussus” yang berarti
“to examine”, “investigate” (memeriksa, menyelidik). “Discuture” berasal dari akar kata dis+cuture. “Dis” artinya terpisah “cuture” artinya menggoncang atau memukul” (to shake atau strike), kalau diartikan maka discuture ialah suatu pukulan yang dapat memisahkan sesuatu. Atau dengan kata lain membuat sesuatu itu jelas dengan cara memecahkan atau menguraikan sesuatu tersebut (to clear away by breaking up or cuturing).65 Metode diskusi ialah suatu cara mempelajari materi pelajaran dengan memperdebatkan masalah yang timbul dan saling mengadu argumentasi secara rasional dan objektif. Cara ini menimbulkan perhatian dan perubahan tingkah laku peserta didik dalam belajar. Metode diskusi juga dimaksudkan untuk dapat merangsang siswa dalam belajar dan berfikir secara kritis dan mengeluarkan pendapatnya secara rasional dan objektif dalam pemecahan suatu masalah.66 Sebagai dasar metode diskusi dapat dilihat al-Qur‟an dan perbuatanperbuatan Nabi sendiri.67 Dalam al-Qur‟an Q.S. an-Nahl ayat 125, Allah swt. berfirman :
64
Ibid., h. 123 Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), Cet.
65
II, h. 141 66
M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), Cet. I, h. 36 67 Ramayulis, Op. Cit., h. 142
32
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” 7.
Metode Simulasi Metode ini pada hakikatnya diangkat dari situasi kehidupan. Simulasi
berasal dari kata simulate yang berarti berpura-pura atau berbuat seolah-olah, atau simulation yang berarti tiruan atau perbuatan yang hanya berpura-pura.68 8.
Metode Eksperimen Metode eksperimen adalah cara penyampaian bahan pelajaran dengan
melakukan percobaan dengan mengalami dan membuktikan sesuatu yang sedang dipelajari. 9.
Metode Unit atau Proyek Metode proyek atau unit adalah penyajian bahan pelajaran yang bertitik
tolak dari suatu masalah, kemudian dibahas dari berbagai segi yang berhubungan sehingga pemecahannya secara keseluruhan dan bermakna. Adapun mengenai metode yang digunakan dalam pendidikan keimanan, sebagai penulis kutip dari pendapat Abdurrahman an Nahlawi, bahwasannya ada beberapa metode yang dapat digunakan guna melaksanakan pendidikan keimanan ialah sebagai berikut:69 1.
Metode Hiwar (percakapan) Qurani dan Nabawi Hiwar (dialog) ialah percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih
mengenai suatu topik, dan dengan sengaja diarahkan kepada satu tujuan yang dikehendaki (dalam hal ini oleh guru). Dalam percakapan itu bahan pembicaraan tidak dibatasi; dapat digunakan berbagai konsep sains, filsafat, seni, wahyu dan lain-lain. Hiwar mempunyai dampak yang dalam bagi pembicara dan juga bagi pendengar pembicaraan itu disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut: 68
Armai Arief dan Busahdiar, Op. Cit., h. 125-127 Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press,1995 ), h. 204 69
33
Pertama, dialog itu berlangsung secara dinamis karena kedua pihak terlibat langsung dalam pembicaraa; tidak membosan. Kedua, pendengar tertarik untuk mengikuti terus pembicaraan karena ia ingin tahu kesimpulannya. Ini biasa diikuti dengan penuh perhatian, tampaknya tidak bosan dan penuh semangat. Ketiga, metode ini dapat membangkitkan perasaan dan menimbulkan kesan dalam jiwa, yang membantu mengarahkan seseorang menemukan sendiri kesimpulannya. Keempat, bila hiwar dilakukan dengan baik, memenuhi akhlak tuntunan Islam, maka cara berdialog, sikap orang yang terlibat, itu akan mempengaruhi peserta sehingga meninggalkan pengaruh berupa pendidikan akhlak, sikap dalam berbicara, menghargai pendapat orang lain, dan sebagainya.70 Menurut Abdurrahman an Nahlawi bentuk dialog yang terdapat dalam alQur‟an dan sunnah sangat variatif. Namun, bentuk yang paling terpenting adalah dialog khitabi (seruan Allah) dan ta‟abbudi (penghambaan terhadap Allah), dialog deskriptif, dialog naratif, dialog argumentatif, serta dialog nabawiyah. Adapun penjelasannya sebagai berikut :71 Dialog Khitabi dan Ta‟abbudi
a.
Al-Qur‟an diturunkan untuk menjadi petunjuk dan sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang bertaqwa. Di dalamnya, pada puluhan tempat, Allah menyeru hamba-hamba yang beriman melalui seruannya “Yâ ayyuhal lażîna âmanû.” Seorang mukmin yang membaca seruan tersebut, niscaya akan segera menjawab: „Yâ Rabbi, aku memenuhi seruan-Mu.” Hubungan antara Allah dan tanggapan seorang mumin itulah melahirkan dialog. b.
Dialog Deskriptif Dialog deskriptif disajikan dengan deskriptif atau orang-orang yang tengah berdialog. Pendeskripsian ini meliputi gambaran kondisi hidup dan psikologis orang-orang yang berdialog sehingga kita dapat 70
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam..., h. 136 Abdurrahman An Nahlawi, Op. Cit., h. 205
71
34
memahami kebaikan dan keburukannya. Selain itu, pendeskripsian itu berpengaruh juga pada mentalitas seseorang sehingga perasaan ketuhanan dan perilaku positif manusia akan berkembang. c.
Dialog Naratif Dialog naratif tampil dalam episode kisah yang bentuk dan alur ceritanya jelas sehingga menjadi bagian dari cara atau unsur cerita dalam al-Qur‟an. Al-Qur‟an tidak menyajikan unsur dramatik walaupun dalam penyajian kisahnya terdapat unsur dialog.
d.
Dialog Argumentatif Di dalam dialog argumentatif, kita akan menemukan diskusi dan perdebatan yang diarahkan kepada pengokohan hujjah atas kaum musyrikin agar mereka mengakui pentingnnya keimanan dan peng-Esaan kepada-Nya, mengakui kerasulan akhir Nabi Muhammad saw., mengakui kebatilan tuhan-tuhan mereka dan mengakui kebenaran seruan Rasulullah saw.
e.
Dialog Nabawiyah Pada dasarnya, Rasulullah saw. telah menjadikan jenis dan bentuk dialog Qur‟ani sebagai pedoman dalam mempraktikkan metode pendidikan dan pengajaran beliau. Hal ini tidak mengherankan karena bagaimanapun akhlak beliau adalah al-Qur‟an. Metode pendidikan dan pengajaran beliau merupakan aplikasi yang dinamis dan manusia dari ayat-ayat Allah swt.
2.
Metode Kisah Qurani dan Nabawi Menurut kamus Ibn Manzur yang dikutip oleh Heri Gunawan bahwa kisah
berasal dari kata qaşşa-yaquşşu-qişşatan, mengandung arti potongan berita yang diikuti dan pelacak jejak.72 Metode kisah yakni metode yang digunakan oleh pendidik dengan cara bercerita suatu kejadian untuk diresapi peserta didik, atau
72
Heri Gunawan, Op. Cit., h. 89
35
peserta didik disuruh bercerita sendiri dengan mengambil tema-tema materi kisah sejarah Islam yang perlu diresapi dan diteladani.73 Kisah atau cerita sebagai suatu metode pendidikan ternyata mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan. Islam menyadari sifat alamiah manusia untuk menyukai cerita itu dan menyadari pengaruhnya yang besar terhadap perasaan. Oleh karena itu, Islam mengeksploitasi cerita itu untuk dijadikan salah satu teknik pendidikan.74 Dalam pendidikan Islam, terutama pendidikan agama Islam (sebagai suatu bidang studi), kisah sebagai metode pendidikan amat penting. Dikatakan amat penting, alasannya antara lain sebagai berikut: b) Kisah selalu memikat karena mengundang pembaca atau pendengar untuk mengikuti peristiwanya, merenungkan maknanya. c) Kisah Qurani dan Nabawi dapat menyentuh hati manusia karena kisah itu menampilkan tokoh dalam konteksnya yang menyeluruh. Karena tokoh cerita ditampilkan dalam konteks yang menyeluruh, atau pendengar dapat ikut menghayati atau merasakan isi kisah itu, seolah-olah ia sendiri yang menjadi tokohnya. d) Kisah Qur‟ani mendidik perasaan keimanan dengan cara: 1) Membangkitkan berbagai perasaan seperti khauf, rida dan cinta; 2) Mengarahkan seluruh perasaan sehingga bertumpuk pada suatu puncak, yaitu kesimpulan kisah; 3) Melibatkan pembaca dan pendengar ke dalam kisah itu sehingga ia terlibat secara emosional.75
3.
Metode Amśal (perumpamaan) Qurani dan Nabawi Metode amśal, yakni metode yang digunakan oleh pendidik dengan cara
mengambil perumpamaan-perumpamaan dalam ayat-ayat al-Qur‟an untuk diketahui dan diresapi peserta didik, sehingga peserta didik dapat mengambil 73
A. Fatah Yasin, Op. Cit., h. 144 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. I,
74
h. 97 75
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam..., h. 140-141
36
pelajaran dari perumpamaan tersebut.76 Adakalanya Tuhan mengajari umat dengan membuat perumpamaan, misalnya dalam surat al-Baqarah : 17: ...
“Perumpamaan orang-orang kafir itu adalah seperti orang yang menyalakan api ....” Cara seperti itu dapat juga digunakan oleh guru dalam mengajar. Pengungkapannya tentu saja sama dengan metode kisah, yaitu dengan berceramah membaca teks. Kebaikan metode ini antara lain ialah seagai berikut: a) Mempermudah siswa memahami konsep yang abstrak; ini terjadi karena perumpamaan itu mengambil benda konkrit seperti kelemahan tuhan orang kafir diumpamakan dengan sarang laba-laba. Sarang laba-laba memang lemah sekali, disentuh dengan lidi pun dapat rusak. b) Perumpamaan dapat merangsang kesan terhadap makna yang tersirat dalam perumpamaan tersebut. c) Merupakan pendidikan agar bila menggunakan perumpamaan haruslah logis,
mudah
difahami.
Jangan
sampai
dengan
menggunakan
perumpamaan malah pengertiannya kabur atau hilang sama sekali. d) Amśal Qur‟ani dan Nabawi memberikan motivasi kepada pendengarnya untuk berbuat amat baik dan menjauhi kejahatan.77
4.
Metode Keteladanan Murid-murid cenderung meneladani pendidiknya; ini diakui oleh semua
ahli pendidikan, baik dari Barat maupun dari Timur. Dasarnya ialah karena secara psikologis anak memang senang meniru, tidak saja yang baik, yang jelek pun ditirunya. Sifat anak didik itu diakui dalam islam. Umat meneladani Nabi, Nabi meneladani al-Qur‟an. „Aisyah pernah berkata bahwa akhlak Rasul Allah itu adalah al-Qur‟an.78 Metode teladan yakni metode yang digunakan pendidik dengan cara memberikan memberikan contoh tauladan atau perilaku yang baik dalam 76
A. Fatah Yasin, Op. Cit., h. 144 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam..., h. 142 78 Ibid., h. 142 77
37
kehidupan sehari-hari, sehingga bisa ditiru oleh peserta didik.79 Pribadi Rasul itu adalah interpretasi al-Qur‟an secara nyata. Tidak hanya caranya beribadah, caranya berkehidupan sehari-hari pun kebanyakan merupakan contoh tentang cara berkehidupan Islami. Ada beberapa konsep dalam metode keteladanan: a) Metode pendidikan Islam berpusat pada keteladanan. Yang memberikan teladan itu adalah guru, kepala sekolah dan semua aparat sekolah. Dalam pendidikan masyarakat, teladan itu adalah para pemimpin masyarakat, para da‟i. Konsep ini jelas diajarkan oleh Rasulullah saw. b) Teladan untuk guru-guru (dan lain-lain) ialah Rasulullah. Guru tidak boleh mengambil tokoh yang diteladani selain Rasul Allah saw. Sebab Rasul itulah teladan yang terbaik. Rasul meneladankan bagaimana kehidupan yang dikehendaki Tuhan karena Rasul itu adalah penafsiran ajaran Tuhan.80
5.
Metode Pembiasaan Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja dilakukan secara berulang-ulang
agar sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan. Metode pembiasaan (habituation) ini berintikan pengalaman. Karena yang dibiasakan itu ialah sesuatu yang diamalkan. Inti pembiasaan adalah pengulangan.81 Dalam pembinaan sikap, metode pembiasaan sebenarnya cukup efektif. Pembiasaan tidak hanya perlu bagi kanakkanak dan sekolah dasar. Diperguruan tinggi pun pembiasaan masih diperlukan. Karena pembiasaan berintikan pengulangan, maka metode pembiasaan juga berguna untuk menguatkan hafalan. Rasulullah berulang-ulang berdo‟a dengan do‟a yang sama. Akibatnya ia hafal benar do‟a itu, dan sahabatnya yang mendengarkan do‟a yang berulang-ulang itu juga hafal do‟a itu.82 Al-Qur‟an menjadikan kebiasaan itu sebagai salah satu teknik atau metode pendidikan. Lalu ia mengubah seluruh sifat-sifat baik menjadi kebiasaan, 79
A. Fatah Yasin, Op. Cit., h. 144 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam..., h. 143 81 Heri Gunawan, Op. Cit., h. 93 82 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam..., h. 144-145 80
38
sehingga jiwa dapat menunaikan kebiasaan itu tanpa terlalu payah, tanpa kehilangan banyak tenaga dan tanpa menemukan banyak kesulitan. Selain itu, alQur‟an juga terus menerus mengingatkan tujuan yang ingin dicapai dengan kebiasaan itu, dan dengan menjalin hubungan yang hidup antara manusia dengan Allah.83
6.
Metode „Ibrah dan Mau‟iťah Al-Nahlawi berpendapat bahwa kata „ibrah dan mau‟iťah memiliki
perbedaan dari segi makna. „Ibrah dan i‟tibar ialah suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia kepada intisari sesuatu yang disaksikan, yang dihadapi, dengan menggunakan nalar yang menyebabkan hati mengakuinya. Adapun mau‟iťah ialah nasihat yang lembut yang diterima oleh hati dengan cara menjelaskan pahala atau ancamannya.84 Penggunaan „ibrah dalam Qur‟an dan sunah ternyata berbeda-beda sesuai dengan objek „ibrah itu sendiri. Pengambilan „ibrah dari kisah hanya akan dapat dicapai oleh orang yang berfikir dengan akal dan hatinya seperti firman Allah swt. dalam Q.S. Yusuf : 11
“Mereka berkata: "Wahai ayah Kami, apa sebabnya kamu tidak mempercayai Kami terhadap Yusuf, Padahal Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang mengingini kebaikan baginya.” Pendidikan Islam memberikan perhatian khusus kepada metode „ibrah agar pelajar dapat mengambil dari kisah-kisah dalam al-Qur‟an, sebab kisah-kisah itu bukan sekadar sejarah, melainkan sengaja diceritakan Tuhan karena ada pelajaran („ibrah) yang penting di dalamnya. Pendidik dalam pendidikan Islam harus memanfaatkan metode ini.
83
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. I,
h. 101
84
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam..., h. 145
39
Aburrahman an Nahlawi membagi jenis „ibrah yang terdapat dalam alQur‟an dan Hadits kepada dua jenis, yaitu „Ibrah melalui Kisah dan „Ibrah melalui Nikmat dan Makhluk Allah swt.85 Rasyid
Ridla,
tatkala
menafsirkan
surat
al-Baqarah
ayat
232,
menyimpulkan bahwa mau‟izah adalah nasihat dengan cara menyentuh kalbu. Kata wa‟z itu dapat berarti macam-macam. Pertama berarti nasihat, yaitu sajian bahasan tentang kebenaran dengan maksud mengajak orang dinasihati untuk mengamalkannya. Nasihat yang baik itu harus bersumber pada Yang Mahabaik, yaitu Allah. Yang menasihati harus lepas dari kepentingan-kepntingan dirinya secara bendawi dan duniawi. Kedua, mau‟izah berarti tadzkir (peringatan). Yang memberi nasihat hendaknya berulang kali mengingatkan agar nasihat itu meninggalkan kesan sehingga orang yang dinasihati tergerak untuk mengikuti nasihat itu. 86
7.
Metode Targib dan Tarhib Targib ialah janji terhadap kesenangan, kenikmatan akhirat yang disertai
bujukan. Tarhib ialah ancaman karena dosa yang dilakukan. Targib bertujuan agar orang mematuhi aturan Allah. Tarhib demikian juga. Akan tetapi tekanannya ialah targib agar melakukan kebaikan, sedangkan tarhib agar menjauhi kejahatan. Metode ini didasarkan atas fitrah (sifat kejiwaan) manusia, yaitu sifat keinginan kepada
kesenangan,
keselamatan
dan
tidak
menginginkan
kepedihan,
kesengsaraan.87 Metode ini digunakan pendidikan dengan cara memberikan targib (janjijanji kesenangan, kenikmatan akhirat yang disertai bujukan) dan tarhib (ancaman karena melakukan perbuatan dosa). Metode ini dimaksudkan agar peserta didik menjauhi
perbuatan
yang
dilarang
dan
melaksanakan
perbuatan
diperintahkan oleh Allah swt.88
85
Abdurrahman An Nahlawi, Op. Cit., h. 280 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam..., h. 145-146 87 Ibid., h. 146 88 A. Fatah Yasin, Op. Cit., h. 146 86
yang
40
D. Faktor Penunjang Pendidikan Keimanan Dalam melaksanakan pendidikan Islam, diperlukan adanya beberapa faktor pendidikan yang ikut menunjang berhasilnya atau tidaknya pendidikan itu. Oleh karena itu dalam melaksanakan pendidikan Islam beberapa fakor pendidikan perlu mendapat perhatian yang sebaik-baiknya.89 Begitu pula dengan pendidikan keimanan, memerlukan beberapa faktor yang dapat menunjang berhasilnya pelaksanaan pendidikan. Menurut konsepsi Islam ada beberapa faktor pendidikan yang menurut penulis dapa juga dijadikan sebagai faktor penunjang pendidikan keimanan yaitu: 1. Lingkungan Menurut Mohammad al-Toumy al-Syaibani yang dikutip oleh Armai Arief mengatakan bahwa lingkungan adalah ruang lingkup yang berinteraksi dengan insan yang menjadi medan dan aneka bentuk kegiatannya.90 Lingkungan (environmet)
sebagai
dasar
pengajaran
adalah
faktor
tradisional
yang
mempengaruhi tingkah laku individu dan merupakan faktor belajar yang penting.91 Di dalam al-Qur‟an terdapat ayat-ayat yang berkaitan dengan perlunya membina rumah tangga yang mawaddah, sakinah dan marhamah, membangun sarana dan prasarana peribadatan seperti masjid, dan perlunya mewujudkan sebuah pemerintahan yang sejahtera, adil dan makmur di bawah kepemimpinan yang bijaksana, jujur, amanah dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan kehidupan manusia.92 Secara tidak langsung bahwa di dalam al-Qur‟an terdapat tiga lingkungan pendidikan, yaitu lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat.
89
Zuhairini, dkk, Op. cit., h. 167 Armai Arief dan Busahdiar, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Wahana Kardofa, 2009), Cet. I, h. 134 91 Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Bumi Aksara, 2009), Cet. X, h. 194 92 Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perpektif al-Qur‟an, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 255 90
41
a.
Lingkungan Keluarga Fatah Yasin mengutip pendapat wahyu tentang definisi keluarga,
bahwasannya keluarga (kawula warga) adalah suatu kesatuan sosial terkecil yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki tempat tinggal dan ditandai oleh kerjasama ekonomi, berkembang, mendidik, melindungi, merawat dan sebagainya. Sedangkan inti dari keluarga itu adalah ayah, ibu dan anak.93 Lingkungan keluarga adalah lingkungan yang pertama dan utama bagi seorang anak. Hal ini terjadi karena seorang anak memiliki ikatan darah/keturunan dengan orang tuanya yang tidak bisa dipisahkan hingga akhir hayat. Jauh sebelum mengenal dunia luar lainnya, seorang anak terlebih dahulu mengenal keluarganya.94 Dengan begitu lingkungan keluarga merupakan lingkungan pertama kali bagi anak dalam memperoleh pendidikan. Karena dalam lingkungan keluarga ini, merupakan proses awal bagi terbentuknya proses sosialisasi dan perkembangan individu. Oleh karena itu, sebagai orang tua sekaligus sebagai pendidik dalam keluarga memiliki tanggung jawab dalam mengarahkan perkembangan anaknya menuju kedewasaan, sehingga anak tersebut dapat hidup mandiri.95 Lingkungan keluarga sungguh-sungguh merupakan pusat pendidikan yang penting dan menentukan, karena itu tugas pendidikan adalah mencari cara, membantu para ibu dalam tiap kelarga agar dapat mendidikan anaknya dengan optimal. Anak-anak yang biasa turut serta mengerjakan segala pekerjaan di dalam keluarganya, dengan sendirinya mengalami dan mempraktekkan bermacammacam kegiatan yang amat berfaedah bagi pendidikan watak dan budi pekerti seperti kejujuran, keberanian, ketenangan dan sebagainya.96
93
A. Fatah Yasin, Op. Cit., h. 202 Abuddin Nata, Op. Cit., h. 256 95 Armai Arief dan Busahdiar, Op. Cit., h. 136 96 Umar Tirtarahadja dan S .L . La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008), Cet. II, h. 170 94
42
b.
Lingkungan Sekolah Lingkungan sekolah adalah lingkungan pendidikan yang bersifat formal.
Sedangkan rumah tangga sebagaimana telah diuraikan di atas, adalah lingkungan pendidikan anak yang bersifat informal.97 Setelah memasuki lingkungan sekolah maka mulailah anak menerima pengetahuan yang bersifat sistematis dan konseptual berupa sejumlah mata mata pelajaran. Di sini anak mulai berinteraksi dengan orang lain, yaitu teman-teman sebayanya dan guru. Karen itu guru harus memiliki kepribadian, agama, akhlak, sikap, penampilan, pakaian dan cara bicara yang baik terhadap anak didik. Di sekolah anak terkadang mencari figur idola yang menurut dia dapat diteladani.98 Sekolah sebagai institusi pendidikan formal ikut memberi pengaruh dalam membantu perkembangan kepribadian anak. Menurut Singgih D. Gunarsa, “pengaruh dalam membantu perkembangan kepribadian anak ini dibagi tiga kelompok, yaitu: 1) kurikulum dan anak; 2) hubungan guru dan murid; dan 3) hubungan antar anak.” Melalui kurikulum yang berisi materi pengajaran, sikap dan keteladanan guru sebagai pendidik sera pergaulan antarteman di sekolah dalam menanamkan kebiasaan yang baik. Pembiasaan yang baik merupakan bagian dari pembentukan moral yang erat kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan seseorang. 99 c.
Lingkungan Masyarakat Masyarakat merupakan lingkungan dan lembaga pendidikan ketiga setelah
keluarga dan sekolah. Pendidikan masyarakat dimulai sejak anak-anak lepas dari asuhan keluarga dan sekolah. Pendidikan masyarakat dilaksanakan tidak begitu terikat dengan peraturan dan syarat tertentu.100 Masyarakat dapat diartikan pula sebagai komunitas yang amat heterogen dengan berbagai aspeknya. Di dalamnya terdapat kegiatan dalam bidang agama, sosial, ekonomi, politik, seni budaya, ilmu
97
Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif al-Qur‟an, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 270 98 Armai Arief dan Busahdiar,Op. Cit., h. 149 99 Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), Cet. I, h. 84 100 Armai Arief dan Busahdiar, Op. Cit., h. 142
43
pengetahuan dan lain sebgainya. Semuanya itu merupakan lingkungan yang dapat digunakan untuk kegiatan pendidikan.101 Sepintas, lingkungan masyarakat bukan merupakan lingkungan yang mengandung unsur tanggung jawab, melainkan hanya merupakan unsur pengaruh belaka, tetapi norma dan tata nilai yang ada terkadang lebih mengikat sifatnya. Bahkan, terkadang pengaruhnya lebih besar dalam perkembangan jiwa keagamaan, baik dalam bentuk posistif maupun negatif.102 Dengan begitu, lingkungan masyarakat memiliki peran dalam pelaksanaan pendidikan. Karena selain hidup di lingkungan sekolah maupun keluarga, anak juga ikut berpasrtisipasi dalam masyarakat. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa dalam masyarakat terdapat norma dan tata nilai, sehingga norma dan tata nilai inilah yang dapat mempengaruhi terhadap perkembangan keagamaan anak. Masyarakat yang peduli akan pendidikan keagamaan akan membantu terhadap perkembangan keagamaan peserta didik sedangkan lingkungan masyarakat yang tidak peduli akan pendidikan keagamaan justru akan menjerumuskan anak kepada hal negatif seperti maraknya kemorosatan moral yang banyak terjadi di masyarakat, hal ini terjadi karena kurangnya pendidikan khususnya keagaman kepada anak.
2.
Media Pembelajaran Kegiatan belajar sebagai unsur utama dari pelaksanaan pendidikan, yang
secara umum diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku baik sikap hidupnya (perilaku afektif), pengetahuannya (perilaku kognitif), maupun keterampilannya (perilaku psikomotorik).103 Menurut Yudhi Munadi, “ada tiga prinsip yang layak diperhatikan dalam masalah pembelajaran. Pertama, proses pembelajaran menghasilkan perubahan perilaku anak didik yang relatif. Kedua, anak didik memiliki potensi, dan kemampuan yang merupakan benih kodrati untuk
101
Abuddin Nata, Op. Cit., h. 277 Bambang Syamsul Arifin, Op. Cit., h. 85 103 Djamaluddin Darwis, Dinamika Pendidikan Islam; Sejarah, Ragam dan Kelembagaan, (Semarang: Rasail, 2006), h. 89 102
44
dikembangkan tanpa henti. Ketiga, perubahan atau pencapaian kualitas ideal itu tidak tumbuh linear sejalan proses kehidupan.”104 Sejalan pemahaman tersebut, guru tidaklah dipahami sebagai satu-satunya sumber belajar, tetapi dengan posisinya sebagai peran penggiat, ia pun harus mampu merencana dan mencipta sumber-sumber belajar lainnya sehingga tercipta lingkungan belajar yang kondusif. Sumber-sumber belajar selain guru inilah yang disebut sebagai penyalur atau penghubung pesan ajar yang diadakan dan/atau diciptakan secara terencana oleh para guru atau pendidik, biasanya dikenal sebagai “Media Pembelajaran”.105 Mengenai pengertian Media, menururt Aziz Fahrurrizi dan Ahmad Dardiri mendefinisikan bahwa media merupakan segala bentuk benda yang digunakan untuk menyalurkan pesan antara guru dan murid dalam rangka merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan peserta didik bisa berupa hard dan berupa soft. Bahkan juga segala hal yang memungkinkan peserta didik memperoleh pengetahuan.106 Selanjutnya, Yudhi Munadi menjelaskan bahwa media dalam proses pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok besar, yakni media audio, media visual, media audio visual dan multimedia. a. Media Audio adalah media yang hanya melibatkan indera pendengaran dan hanya mampu memanipulasi kemampuan suara semata. Dilihat dari pesan yang diterimanya media audio ini menerima pesan verbal dan non verbal. Pesan verbal audio yakni bahasa lisan atau kata-kata, dan pesan non verbal audio adalah seperti bunyi-bunyian dan vokalisasi, seperti gerutuan, gumam, musik dan lain-lain. b. Media Visual adalah media yang hanya melibatkan indera penglihatan. Termasuk dalam jenis media ini adalah media cetak-verbal, media cetak-grafis dan media visual non-cetak. c. Media Audio Visual adalah media yang melibatkan indera pendengaran dan penglihatan sekaligus dalam satu proses. Sifat pesan yang dapat disalurkan melalui media dapat berupa pesan verbal dan non verbal yang terdengar layaknya media audio di atas. Pesan visual terdengar dan terlihat itu dapat disajikan melalui program audio visual seperti dokumenter, film docudokumenter, film drama, dan lain-lain. 104
Yudhi Munadi, Media Pembelajaran, (Jakarta: Gaung Persada (GP), 2012), Cet. IV, h.
4 105
Ibid., h. 4 Aziz Fahrirrizi dan Ahmad Dardiri, Strategi Pembelajaran Bahasa Arab, (Jakarta: t.p., 2012), h. 96 106
45
d. Multimedia yakni media yang melibatkan berbagai indera dalam sebuah proses pembelajaran. Termasuk dalam media ini adalah segala sesuatu yang memberikan pengalaman secara langsung bisa melalui komputer dan internet, bisa juga melalui pengalaman berbuat dan pengalaman terlibat.107 d.
Hasil Penelitian yang Relevan Penulis telah berusaha mencari penelitian yang relevan dengan mencari
tema yang sama pada skripsi-skripsi yang berbentuk penelitian library research. Adapun penelitian yang penulis temukan yaitu: 1. Hasil penelitian Wasikhatun Rizqi yang berjudul “Nilai-nilai Pendidikan Keimanan dalam Kisah Al-Qur‟an (Kajian Q.S.Yusuf as).” Dalam skripsi ini menjelaskan akan nilai-nilai pendidikan keimanan yang terkandung dalam kisah Nabi Yusuf as. yang terdapat dalam Q.S. Yusuf as. Adapun metode yang digunakan dalam pembahasan tafsirnya yaitu menggunakan metode tafsir mauđu‟i yaitu dengan mengklasifikasikan nilai-nilai pendidikan keimanan berdasarkan tema berupa rukun iman yang enam, kemudian dijelaskan nilai-nilai pendidikan keimanan yang terdapat dalam kisah Nabi Yusuf as. dan seterusnya. 2. Hasil penelitian oleh Lukmanul Hakim yang berjudul “Metode Pendidikan Keimanan dalam surat al-Waqi‟ah ayat 57-74.” Sesuai judulnya, dalam skripsi ini penulis lebih fokus pada metode pendidikan keimanan dengan mendeskripsikan serta menganalisa tentang fenomena, peristiwa, aktifitas sosial, kepercayaan dan pemikiran orang secara individual dan kelompok. Sehingga metode pendidikan keimanan yang didapat dalam penelitian ini yaitu metode amśal. Adapun metode penafsiran yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode tafsir tahlili. 3. Hasil penelitian Nuriyah Hakimah yang berjudul “Zikir sebagai upaya Pendidikan Keimanan.” Dalam penelitian ini penulis memaparkan bagaimana upaya zikir terhadap pendidikan keimanan.
107
Yudhi Munadi, Op. Cit., h. 57
46
Dari beberapa judul yang penulis di atas, terdapat perbedaan dalam penulisan ini: 1.
Surat yang dibahas pada penelitian sebelumya yaitu surat Yusuf as. dengan menguraikan tentang nilai-nilai pendidikan keimanan dalam kisah Nabi Yusuf as. yang terdapat di dalam Q.S. Yusuf, sedangkan pada penelitian ini ayat yang di bahas yaitu Q.S. surat al-An‟am ayat 74-79. Selain itu dalam metode penafsirannya, penelitian sebelumnya menggunakan metode tafsir maudhu‟i sedangkan penelitian kali ini menggunakan metode tafsir tahlili.
2.
Sesuai dengan judulnya, yaitu Metode Pendidikan Keimanan. Maka berbeda dengan peneitian ini. Penelitian ini lebih fokus kepada mendeskripsikan nilainilai pendidikan keimanan khususnya yang terkandung dalam Q.S. al-An‟am ayat 74-79.
3. Dalam penelitian yang berjudul “Zikir sebagai upaya Pendidikan Keimanan” ini memaparkan tentang hubungan zikir terhadap pendidikan keimanan. Berbeda dengan penelitian ini, pada penelitian ini lebih fokus kepada pendidikan dengan memaparkan tentang pendidikan keimanan yang terkandung di dalam Q.S. al-An‟am ayat 74-79. Selain itu pembahasannya, penelitian sebelumnya tidak menggunakan metode tafsir.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Objek dan Waktu Penelitian Objek yang dibahas dalam penelitian ini ialah pendidikan keimanan yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an khususnya yang terkandung dalam surat alAn’am ayat 74-79. Sedangkan waktu penelitian terhitung dari bulan Februari sampai dengan bulan Oktober 2014. B. Metode Penulisan Penulisan skripsi ini berpedoman kepada buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013. C. Fokus Penelitian Berdasarkan judul, maka penulis memfokuskan pada kajian pendidikan keimanan yang terkandung dalam surat al-An’am ayat 74-79 yang sifatnya mendeskripsikan dan menganalisa tentang pendidikan keimanan yang terkandung dalam surat al-An’am ayat 74-79. D. Prosedur Penelitian 1.
Jenis Penelitian Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian
kualitatif yaitu penelitian di mana peneliti dalam melakukan penelitiannya menggunakan teknik-teknik observasi, wawancara atau interview, analisis isi, dan metode pengumpulan data lainnya untuk menyajikan respons-respons dan perilaku subjek,1 dengan menelusuri data-data kepustakaan atau library research. Menurut Mestika Zed, studi kepustakaan atau Library research yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca
1
Punaji Setyosari, Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), Cet. II, h. 40
47
48
dan mencatat serta mengolah bahan penelitian.2 Sementara menurut M. Iqbal Hasan studi kepustakaan atau Library research yaitu kegiatan mendalami, mencermati, menelaah dan mengidentifikasi pengetahuan yang ada dalam kepustakaan (sumber bacaan, buku-buku referensi atau hasil penelitian lain) untuk menunjang penelitiannya.3 Secara rinci penelitian ini berusaha untuk menemukan jawaban bagaimana penafsiran Q.S Al-An’am ayat 74-79 menurut para mufassir dan apa saja pendidikan keimanan yang terkandung dalam surat al-An’am ayat 74-79.
2.
Sumber data Menurut Lofland sebagaimana yang dikutip oleh Lexy J. Moleong dalam
bukunya metodologi penelitian kualitatif mengatakan bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lainnya. Berkaitan dengan hal itu, pada bagian ini jenis datanya dibagi ke dalam kata-kata dan tindakan, sumber data tertulis, foto dan statistik.4 Adapun sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah sumber data tertulis dengan menggunakan data informasi yang bersifat literatur kepustakaan, karena metode penelitian yang dipilih adalah library research yang bersumber datanya bersumber dari buku-buku tafsir seperti tafsir al-Maragi, alMisbah, Ibnu Kaśir dan buku pendidikan khususnya yang berhubungan dengan pembahasan.
3.
Teknik Pengumpulan Data Dikarenakan jenis penilitian yang dilakukan adalah library reseach, maka
teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah study literature
(book
survey),
yakni
mengumpulkan
kitab-kitab
tafsir
yang
2
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004),
h. 3 3
M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2002), Cet. I, h. 45 4 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), Cet. XXXI, h. 157
49
pembahasannya berkaitan dengan masalah yang akan dikaji, kemudian mengumpulkan bahan-bahan yang terkait dengan masalah pendidikan keimanan. Adapun langkah-langkah yang akan ditempuh dalam teknik pengumpulan data ini adalah : a.
Mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti, dengan mengambil dari beberapa sumber buku yang saling berhubungan.
b.
Mengklasifikasi data-data dari sumber tersebut, yakni dengan cara mengelompokkan data-data berdasarkan jenisnya, yaitu: 1) Sumber Data Primer a. Al-Qur’an dan Terjemahnya. b. Tiga buku tafsir al-Qur’an: Pertama, Tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab. Kedua, Tafsir Al-Maraghi karya Ahmad Mustafa Al-Maraghi. Ketiga Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. 2) Sumber Data Sekunder a. Buku-buku yang membahas tentang pengetahuan al-Qur’an. b. Kamus-kamus yang berisikan tentang kosa-kata al-Qur’an yang mana isinya berupa petunjuk praktis untuk mengetahui makna pada setiap kosa-kata al-Qur’an. c. Buku-buku pendidikan yang khususnya membahas tentang masalah yang akan dikaji. d. Buku-buku Aqidah yang menunjang dalam penulisan ini.
4.
Teknik Analisis Data Setelah data dikumpulkan, data perlu diolah atau dianalisis. Analisi data
kualitatif menurut Bogdan dan Biklen adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, menggorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.5 Analisis data merupakan pekerjaan yang
5
Ibid., h. 248
50
amat kritis dalam proses penelitian. Adapun analisis data ini terbagi dua yaitu analisis statistik dan nonstatistik.6 Dalam analisis data ini, penulis menggunakan analisis nonstatistik yaitu data yang memiliki sifat verbal berupa ungkapan-ungkapan.7 Dalam proses analisis data, penulis menggunakan metode deskriptif-analisis yaitu memberikan gambaran tentang data yang dianalisis dengan cara mengumpukan data, analisis data kemudian menarik kesimpulan. Adapun metode tafsir yang digunakan dalam pembahasan ayat adalah metode tafsir tahlili (analisis), menurut Hamka Hasan metode tafsir tahlili yaitu suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat alqur’an dari seluruh aspeknya. Penafsir memulai uraiannya dengan menyebutkan arti katakata diikuti dengan penjelasan mengenai arti ayat. Ia juga mengemukakan munasabah (korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain.
8
Menurut Quraish Shihab munasabah yaitu adanya
keserupaan dan kedekatan di antara berbagai ayat, surah dan kalimat yang mengakibatkan adanya hubungan. Hubungan tersebut dapat berbentuk keterkaitan makna antar ayat dan macam-macam hubungan atau kemestian dalam pikiran (nalar).9 Penafsir juga membahas mengenai asbabun nuzul, yaitu sesuatu yang melatar belakangi turunnya satu ayat atau lebih, sebagai jawaban terhadap suatu peristiwa atau menceritakan sesuatu peristiwa, atau menjelaskan hukum yang terdapat dalam peristiwa tersebut.10 Adapun kelebihan dari metode tahlili ini antara lain adanya potensi untuk memperkaya arti kata-kata melalui usaha penafsiran terhadap kosa kata ayat, syair-syair kuno dan kaidah-kaidah ilmu nahwu. Penafsirannya menyangkut segala aspek yang dapat ditemukan oleh mufassir dalam setiap ayat. Analisi ayat dilakukan secara mendalam sejalan dengan keahlian, kemampuan dan kecenderungan mufassir. Sementara kelemahan metode tahlili ini, walaupun 6
Punaji Setyosari, Op. Cit., h. 209 Ibid, h. 209 8 Hamka Hasan, Metodologi Penelitian Tafsir Hadist, (Jakarta: Lembaga Penelitian Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 4 9 Abu Anwar, Ulumul Qur’an; Sebuah Pengantar, (Jakarta: Amzah, 2009), Cet. III, h. 61 10 Dawud Al-Aţţar, Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1994), Cet. I, h. 127 7
51
dinilai luas, namun tidak menyelesaikan pokok bahasan, karena seringkali satu ayat pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutan pada ayat lain.11 Menurut Quraish Shihab yang dikutip oleh Abuddin Nata, prosedur yang ditempuh dalam metode tahlili ini adalah sebagai berikut: a.
Bermula dari kosa-kata yang terdapat pada setiap ayat yang akan ditafsirkan sebagaimana urutan dalam al-Qur’an.
b.
Menjelaskan asbab an-nuzul ayat ini dengan menggunakan keterangan yang diberikan oleh Hadis (bi ar- riwayah).
c.
Menjelaskan munasabah atau hubungan ayat yang ditafsirkan dengan ayat sebelum atau sesudahnya.
d.
Menjelaskan makna yang terkandung pada setiap potongan ayat dengan menggunakan keterangan yang ada pada ayat lain, atau dengan menggunakan Hadis Rasulullah saw. atau dengan menggunakan penalaran rasional atau berbagai disiplin ilmu sebagai sebuah pendekatan.
e.
Menarik kesimpulan dari ayat tersebut yang berkenaan dengan hukum mengenai suatu masalah atau lainnya sesuai dengan kandungan ayat tersebut.12 Dilihat dari segi pendekatannya, metode tafsir tahlili ini ada yang
menggunakan sandaran pada hadis-hadis Rasulullah saw. yang selanjutnya disebut tafsir bi al-Ma’śûr dan ada yang menggunakan sandaran pada penalaran atau pendapat akal yang disebut dengan tafsir bi al-ra’yi.13
11
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), h. 219 Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), Cet.
12
I, h. 169 13
Ibid., h. 169
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Tafsir Surat al-An’am ayat 74-79 1.
Teks dan Terjemah Ayat
“ 74. Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar, "Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata." 75. Dan Demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (kami memperlihatkannya) agar Dia Termasuk orang yang yakin. 76. Ketika malam telah gelap, Dia melihat sebuah bintang (lalu) Dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam Dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam." 77. Kemudian tatkala Dia melihat bulan terbit Dia berkata: "Inilah Tuhanku". tetapi setelah bulan itu terbenam, Dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu, pastilah aku Termasuk orang yang sesat." 78. Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, Dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, Dia berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya aku
52
53
berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. 79. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan.
2.
Tafsir Mufradat Ayat ً اصْب: ashnâm, adalah bentuk jamak dari kata ٌْ( صşanam), yaitu sesuatu
yang dipahat dari kayu, dan dibentuk dari emas atau logam. Disebutkan dalam hadits bahwasannya aşnâm dan şanam yaitu sesuatu yang dijadikan sembahan selain Allah. Begitu pula diriwayatkan oleh Ibnu „Abbas dari Ibn „Arabi bahwasannya ٌْ( صşanam) yaitu gambar yang disembah.1 Dalam bahasa arab, terdapat sinonim kata ٌْ( صşanam) yaitu
ِ( ٗثwaśan) . Kata
ٌْ( صşanam)
diartikan sesuatu yang berwujud atau berbentuk, sedangkan ِ( ٗثwaśan) diartikan sebagai sesuatu yang tidak berbentuk dan tidak berwujud. Sama halnya dengan pendapat Ibnu „Arafah mengartikan ِ( ٗثwaśan) sesuatu yang dijadikan sesembahan yang tidak berbentuk sedangkan ٌْ( صşanam) itu yang berbentuk. Ada juga yang berbeda dalam mengartikan kata ٌْ( صşanam) dan ِ(ٗثwaśan). Kata ِ( ٗثwaśan) diartikan sebagai sesuatu yang berwujud dari kayu, atau batu, atau emas yang dipahat dan disembah, sedangkan ٌْ( صşanam) tidak berbentuk. Terlepas dari perbedaan itu semua, kata yang sering digunakan yaitu kata ٌْ(صşanam). ءاىٖخ: Âlihah yaitu segala sesuatu yang disembah.2 Bahkan ada yang berpendapat Matahari kadang disebut ilâh, karena ia disembah oleh orang-orang musyrik. Demikian pula dengan benda-benda lain yang menjadi ilâh apabila disembah oleh manusia. Âlihah merupakan bentuk jamak dari kata ilâh, menurut Ibnu Atsîr, lafadz ilâh berasal dari kata aliha-ya`lahu.3 Kata ilâh sendiri merupakan bentuk maşdar dari kata kerja alaha yang berarti menyembah atau heran. Walaupun ilah berbentuk maşdar, namun ia mengandung arti ism maf‟ûl,
1
Ibnu Manťûr, Lisânul „Arabi, (Beirut: Dar Sader, 1997), Cet. I, h. 79 Ibrâhîm Muşţafa, Mu‟jam Al-Wasîţ, (Kairo: Dar Ad-Da‟wa, ), h. 25 3 Ibnu Manťûr, Op. Cit., h. 96 2
54
sehingga ilâh diartikan sebagai yang disembah atau yang diherankan. Disebut ilâh karena ia disembah, atau karena ia menimbulkan keheranan pada akal manusia.4 Demikian pula para ulama mengartikan Ilâh dengan yang disembah dengan menegaskan bahwa Ilâh adalah segala sesuatu yang disembah, baik penyembahan itu tidak dibenarkan oleh agama Islam; seperti terhadap matahari, bintang, bulan, manusia, atau berhala; maupun yang dibenarkan dan diperintahkan oleh Islam, yakni Dzat yang wajib wujud-Nya, Allah swt. Karena itu, jika seorang Muslim mengucapka Lâ Ilâha Illâ Allâh maka dia telah menafikan segala tuhan, kecuali Tuhan yang nama-Nya “Allah”.5 Selain diartikan sebagai sembahan, ada juga yang mengartikan bahwa ilâh itu mengherankan atau menakjubkan, karena segala perbuatan ciptaan-Nya menakjubkan atau apabila dibahas hakikat-Nya, akan mengherankan akibat ketidak tahuan makhluk tentang hakikat Dzat Yang Maha Agung itu. Apapun yang terlintas di dalam benak menyangkut Dzat Allah, maka Allah tidak demikian. Itu sebabnya ditemukan riwayat yang menyatakan, “Berpikirlah tentang makhluk-makhluk Allah, dan jangan berpikir tentang Dzat-Nya.” 6 ِ ضاله ٍجي: đalâlim mubîn kata đalâl berasal dari kata đalla - yađillu - đalâl wa đalâlatan ()ضو – يضو – ضاله ٗضالىخ. Kata ini terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf đâ‟ ()ضبء, lâm (ً)ال, dan lâm (ً – )الtasydid huruf lâm – yang menurut bahasa bermakna „kehilangan jalan‟, „bingung‟, atau „tidak mengetahui arah‟. Di dalam konteks immaterial, kata đalla (ّ )ضوdiartikan sebagai „sesat dari jalan kebajikan‟, „meninggalkan jalan kebenara‟, atau „menyimpang dari tuntunan agama‟, atau lawan kata dari kata „petunjuk‟. Mufasir wanita. Aisyah bintu Asy-Syati‟ merumuskan makna kata đalla (ّ )ضوsebagai „setiap tindakan atau ucapan yang tidak menyentuh kepada kebenaran‟.7 Kata đalâl dalam ayat ini disifati dengan kata mubîn, kata mubîn ini merupakan bentuk ism fâ‟il dari abâna – yubînu – Ibânatan ( إثبّخ- ِ)أثبُ – يجي,
4
Ahsin W. al-Hafiż, Kamus Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Amzah, 2006), Cet. II, h. 20 M. Quraish Shihab, dkk, Ensiklopedia Al-Qur‟an; Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 77 6 Ibid., h. 76 7 Ibid., h. 1 5
55
turunan huruf ba‟, ya‟ dan nûn, memiliki dua makna denotasi, yaitu „jarak‟ dan „tersingkap‟. Dari makna yang pertama, „jarak‟, lahir bentuk lain, seperti bain (ِثي – pemisah, antara) karena merupakan batas yang jelas antara dua hal atau tempat. Dari makna yang kedua, „tersingkap‟, berkembang menjadi, antara lain: „menjelaskan‟ karena menyingkap hal sesuatu; „fasih‟ (ucapannya) karena lebih jelas pengungkapannya, sehingga maksud tersingkap dengan jelas pula; bayân (ُ ثيب- penjelasan) karena hal menyingkapkan makna yang masih samar-samar.8 Secara umum, kata mubîn di dalam al-Qur‟an digunakan sebagai sifat keadaan, baik yang menunjukkan sesuatu yang baik maupun sesuatu yang jelek. Dalam ayat ini, kalimat (ِ )ضاله ٍجيmenunjukkan kepada keadaan yang tidak baik, yaitu menjelaskan tentang kesesatan bapak dan kaum Nabi Ibrâhim as. yang menjadikan berhala sebagai tuhan mereka. ِ اىَ٘قْي: al-mûqinîn adalah bentuk jamak dari mûqin, dan kata mûqin itu sendiri merupakan bentuk ism al-fâ‟il ( = اعٌ اىفبعوkata benda yang menunjukkan pelaku) dari kata ayqana – yûqinu – îqânan – mûqin (ِ ٍ٘ق- )ايقِ – ي٘قِ – ايقبّب, dan kata mûqin terambil dari kata yaqîn. Kata yaqîn ini mengandung makna pengetahuan yang tidak disentuh dengan keraguan sedikit pun. Selain itu, yakin itu sendiri memiliki arti sebagai pengetahuan yang mantap tentang suatu dibarengi dengan tersingkirnya apa yang mengeruhkan pengetahuan itu, baik berupa keraguan maupun dalih-dalih yang dikemukakan lawan. Sebelum tiba keyakinannya, seseorang terlebih dahulu disentuh oleh keraguan, namun ketika seseorang itu sampai pada tahap yakin maka keraguan yang tadinya ada akan menjadi sirna. Karena itu, kaum mûqinîn disifati sebagai “orang-orang yang menemukan keyakinannya dalam dirinya, atau menemukan keimanannya dengan segenap indranya”.9 Yaqîn merupakan tingkatan ilmu yang lebih tinggi dari ma‟rifah (pengetahuan) dan dirâyah (pengetahuan). Oleh karena itu dikatakan - bukan ma‟rifatul-yaqîn. Yaqîn ada tiga tingkat: „ilmul-yaqîn, „ainul-yaqîn, dan haqqul-
8
Ibid., h. 1 Ahsin W. al-Hafiż, Op. Cit., h. 200
9
56
yaqîn. Menurut orang-orang sufi, yaqîn ialah penglihatan mata kepala dengan kekuatan iman, tanpa dalil dan keterangan.10 ّٚ سث: Rabbî,
kata ّٚ سثterbentuk dari dua kata yaitu rabb dan ya‟
mutakallim wahdah sehingga kedudukannya menjadi iḍâfat yaitu terdiri dari muḍaf dan muḍaf ilaih. Kata rabb (ّ )سةyang secara etimologis berati pemelihara, pendidik, pengasuh, pengatur yang menumbuhkan. Kata rabb biasa dipakai sebagai salah satu nama Tuhan karena Tuhanlah yang secara hakiki menjadi pemelihara, pendidik, pengasuh, pengatur dan yang menumbuhkan makhluk-Nya. Oleh sebab itu, kata tersebut biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata Tuhan.11 Al-Maragi mengartikan lafadz Rabbi yaitu Pemilikku dan pengatur usahaku.12 حْيف: hanîf biasa diartikan lurus atau cenderung kepada sesuatu. Kebalikan dari hânif adalah az-Zaig, artinya miring dari hak ke arah kebatilan, dari hidâyah kepada đalâlah.13 Dalam kitab tafsir jalalain, kata hanîf diartikan condong kepada agama yang lurus.14Kata ini pada mulanya digunakan untuk menggambarkan telapak kaki dan kemiringannya kepada telapak pasangannya. Yang kanan condong ke arah kiri, dan kiri condong ke arah kanan. Ini menjadikan manusia dapat berjalan lurus. Kelurusan itu, menjadikan si pejalan tidak mencong ke kiri, tidak pula ke kanan. Ajaran Nabi Ibrâhim as. adalah hanîf, tidak bengkok, tidak memihak kepada pandangan hidup yang hanya memenuhi kebutuhan jasmani, tidak juga semata-mata mengarah kepada kebutuhan ruhani.15 Kata hanîf itu sendiri berasal dari akar kata hanafa. Kata tersebut apabila didefiasikan dari kata kerjanya yaitu hanafa – yahnifu – hanîfan, artinya condong atau cenderung dan kata bendanya kecenderungan. Maksud kecenderungan disini yaitu kecenderungan kepada yang benar. 10
M. Quraiş Şihab, dkk, Op. Cit., h. 1102 Ibid., h. 801 12 Ahmad Mustafa al-Maragi, Terjemah Tafsir al-Maragi Terj. dari Tafsir al-Maragi oleh K. Anshori Umar Sitanggal, dkk, (Semarang : PT. Karya Toha Putra, 1992), cet. II, h. 288 13 Ahsin W. al-Hafiż, Op. Cit., h. 95 14 Syaikh Jalâluddin bin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli dan Syaikh Abdul ar-Rahman bin Abi Bakr as-Suyuţi, Tafsir Jalâlain, (tt.p., Haramain: 2007), Cet. VI, h. 120 15 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), Cet. I, h. 517 11
57
M. Dawam Rahardjo mengutip pendapat Hadrat Mirza Nâshir Ahmad yang merujuk kepada beberapa sumber bahwa kata hanîf memiliki beberapa makna: a. Orang yang meninggalkan atau menjauhi kesalahan dan mengarahkan dirinya kepada petunjuk; b. Orang yang secara terus menerus mengikuti kepercayaan yang benar tanpa keinginan untuk berpaling dari padanya; c. Seseorang yang cenderung menata perilakunya secara sempurna menurut Islam dan terus menerus mempertahankannya secara teguh; d. Seseorang yang mengikuti agama Ibrâhim as. ; dan e. Orang yang percaya kepada seluruh nabi-nabi.16 ِ ٍششمي: Musyrikîn, kata musyrikîn merupakan bentuk jamak dari kata musyrik. Dan kata musyrik itu sendiri merupakan bentuk ism al-fâ‟il ( = اعٌ اىفبعو kata benda yang menunjukkan pelaku) dari kata asyraka – yusyriku – isyrâk – musyrik ( )أششك – يششك – إششاك – ٍششك, dan perbuatannya disebut syirk ()ششك. Secara bahasa, Ibnu Manťûr mengartikan kata syirk sebagai persekutuan dan bagian. Sementara al-Aşfahani mengartikan dengan percampuran dua hal atau lebih, baik secara substansi atau secara makna. Karena musyrik merupakan pelaku syirk
maka
secara
bahasa
kata
itu
berarti
orang
yang
melakukan
persekutuan/perserikatan atau membagi bagian tertentu. Adapun secara istilah, syirk berarti menjadikan sesuatu bersama Allah sebagai tuhan untuk bisa disembah. Sesuatu yang dimaksud bisa berbentuk benda hidup seperti binatang, pohon, atau benda mati seperti patung. Dengan kata lain, di dalam bentuk materi seperti matahari, bangunan, maupun immateri, yaitu ruh, jin, dan sebagainya. Dengan demikian, orang musyrik pada hakikatnya adalah orang yang mengingkari ke-Esaan Tuhan, apakah dari segala zat, sifat, maupun perbuatan-Nya. Pengingkaran terhadap tiga segi tersebut konsekuensinya membawa kepada pengingkaran terhadap kemahakuasaan Tuhan sebagai pencipta
16
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur‟an; Tafsir Sosial Berdasarkan KonsepKonsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 2002), Cet. II, h. 62
58
dan pengendali alam semesta; namun, orang musyrik itu tidak mengingkari Allah sebagai Tuhan.17 3.
Tafsir Surat al-An’am [6] : 74 - 79
“Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Azar, "Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata." Menurut Quraish Shihab bahwa Azar adalah ( )اةab/bapak Nabi Ibrâhîm as. dengan kata orang tua alasan beliau merujuk kepada Q.S. Yûsuf ayat 4 yang berbunyi : (ٔ )إرقبه ي٘عف ألثيidz qâla Yûsufu li abîhi. Para ulama berbeda pendapat menyangkut Azar, apakah dia ayah kandung Nabi Ibrahim as. atau pamannya, sebagaimana mereka berbeda pendapat tentang kata itu apakah dia nama atau gelar serta maknanya dan mengapa dia dinamai demikian.18 Nabi Ibrâhîm as. menasihati bapaknya yang menyembah berhala dan melarangnya berbuat demikian. Namun, sang ayah tidak menggubrisnya. 19 Dalam surat al-An‟am ini merupakan ucapan Nabi Ibrâhîm setelah berkali-kali beliau menyampaikan kepada orang tuanya tentang kesesatan mempersekutukan Tuhan.20 Kesesatan dalam ayat ini yaitu tersesat dan tidak memiliki petunjuk kemana seharusnya mereka berjalan. Bahkan, mereka berada dalam kebingungan dan ketidak tahuan
21
dikarenakan ayah Nabi Ibrâhîm dan kaumnya menyembah
berhala. Menurut al-Maraghi maksud berhala-berhala ini adalah patung-patung yang dipahat dari batu, dibuat dari kayu, atau dari logam. Tidak layak bagi orang 17
M. Quraiş Şihab, dkk, Op. Cit., h. 664 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an..., h.506 19 Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, Kemudahan dari Allah; Ringkasan tafsir Ibnu Katsir, Terj. dari Taisiru al-Aliyyul Qadir Li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir oleh Syihabuddin, (Jakarta: Gema Insani, 2005), Cet. VIII, h. 235 20 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an..., h. 508 21 Muhammad Nasib ar-Rifa‟i, Op. Cit., h. 235 18
59
yang berakal untuk menyembah apa yang sebanding dengannya dalam penciptaan, tidak pula apa yang berada di dalam kekuasaan Al-Khaliq, butuh kepada Allah Yang Maha Kaya lagi Maha Kuasa, tidak kuasa untuk mendatangkan manfaat maupun kemudaratan, tidak pula dapat memberi dan menahan pemberian.22 Sehingga dalam ayat ini dijelaskan bahwa orang-orang yang menyembah berhala mereka dalam kesesatan yang nyata. Disifatinya kesesatan dengan nyata untuk menjelaskan apa yang telah terjadi pada diri mereka. Dari penjelasan para mufassir di atas akan Q.S. al-An‟am ini dapat disimpulkan bahwa Ayat ini menjelaskan tentang kisah Nabi Ibrâhîm as. dalam menghadapi kaumnya yang menjadikan patung-patung sebagai tuhan mereka. Tidak hanya kaumnya saja, namun ayah Nabi Ibrâhîm as. sendiri yaitu yang disebutkan dalam ayat ini bernama azar juga menyembah berhala. Di sini Nabi Ibrâhîm as. tidak mempercayai akan tuhan-tuhan yang mereka sembah. Bahkan Nabi Ibrâhîm as. membantah akan keyakinan mereka itu dengan menjelaskan akan kesesatan dan kemusyrikan mereka.
“Dan Demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (kami memperlihatkannya) agar Dia Termasuk orang yang yakin.” Setelah Allah swt. memperlihatkan kebenaran kepada Nabi Ibrâhîm yaitu dengan menjelaskan akan kesesatan ayah dan kaumnya, maka pada ayat ini Allah memperlihatkan kepada Nabi Ibrâhîm akan kerajaan langit dan bumi. Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat ini, dalam tafsir athTabari dijelaskan ada empat perbedaan pendapat para ulama dalam menafsirkan lafaz ( ٍين٘دmalakût) pada ayat ini. Pertama, sebagian ulama berpendapat bahwa maknanya adalah “Kami perlihatkan kepadanya penciptaan langit dan bumi.”Kedua, berpendapat bahwa lafaz al malakût artinya kerajaan. Ketiga, berpendapat bahwa maksudnya adalah ayat-ayat langit dan bumi. Dan keempat, 22
Ahmad Mustafa al-Maragi, Op. Ci., h. 290
60
berpendapat bahwa maksudnya adalah Allah memperlihatkan bintang, bulan dan matahari.23 Lafadz ( )ٍين٘د اىغَ٘اد ٗاالسضdiartikan pula oleh Quraish Shihab sebagai Kepemilikan Allah terhadap langit dan bumi, yakni seluruh alam raya, mengandung juga makna kekuasaan dan wewenang penuh dalam mengaturnya serta tidak dapat dialihkan atau dicabut oleh pihak lain sebagaimana kepemilikan makhluk.24Selanjutnya al-Maraghi menjelaskan bahwa ()ٍين٘د اىغَ٘اد ٗاالسض kerajaan langit dan bumi; Yakni diciptakan keduanya dengan segala isinya, berupa aturan-aturan yang indah dan buatan yang mengagumkan. Kemudian Allah perlihatkan padanya bintang-bintang yang beredar pada orbitnya di atas jalur yang tetap. Dan diperlihatkan pula padanya bumi dan yang ada di dalam berbagai lapisannya, berupa barang-barang tambang yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Selain itu, Allah tampakan padanya perkara bumi itu, baik yang bersifat batin maupun lahir. 25 Adapun tujuan Allah swt. diperlihatkannya kerajaan langit dan bumi yaitu agar dia mengetahui sunnah Kami terhadap makhluk, kebijaksanaan Allah di dalam mengatur kerajaan, dan ayat-ayat yang menunjukkan Rubûbiyyah-Nya. Supaya dengan itu, dia dapat menegakkan hujjah terhadap orang-orang musyrik yang sesat, dan supaya dia sendiri termasuk orang-orang yang benar-benar yakin sampai ke tingkat „ainul- yaqin.26 Selain itu, untuk menetapkan tauhid kepada Allah swt., agar ia mengetahui hakikat hidayah yang diberikan kepadanya, dan mengetahui kesesatan kaumnya yang menyembah berhala.27 Allah swt. menjadikan Nabi Ibrâhîm as. masuk dalam kelompok alMûqinîn, yakni orang-orang yang telah teguh keyakinannya. Salah satu ciri anggota kelompok ini adalah terbukanya bagi mereka sebagian tabir metafisika 23
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Terj. dari Jami‟ Al Bayan an Ta‟wil Ayi Al Qur‟an oleh Akhmad Affandi, dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), Cet. I, h. 154 24 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an..., h. 510 25 Ahmad Mustafa al-Maragi, Op. Cit., h. 291 26 Ibid., h. 291 27 Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Op. Cit., h. 163
61
sesuai dengan kehendak Ilahi.28 Hamka menjelaskan dalam tafsirnya bahwa Nabi Ibrâhîm as. memperoleh ilmu Ladunni.29 Kemudian Allah memperinci akan kerajaan langit dan bumi yang sebagaimana dalam ayat selanjutnya:
“Ketika malam telah gelap, Dia melihat sebuah bintang (lalu) Dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam Dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam.” Proses pemikiran atau cara membungkam para penyembah benda-benda langit itu bermula atau dimulai Ketika malam telah menutupinya menjadi sangat gelap sehingga meliputi seluruh totalitasnya bahkan sekelilingnya. Tenggelamnya bintang adalah salah satu bukti ketidakwajarannya untuk dipertuhankan.30 Ketika Allah Ta‟ala mulai memperlihatkan kerajaan langit dan bumi kepadanya, dilihatnya sebuah bintang besar yang menonjol dari bintang Jupiter yang merupakan tuhan terbesar bagi sebagian penyembah bintang dari bangsa Yunani dan Romawi Kuno.31 Ketika melihat itu, Ibrâhîm as. berkata: قَبهَ َٕزَا سَثِي “Inilah Tuhanku”. Perkataan ini dikemukakannya di dalam forum perdebatan dan adu argumentasi dengan kaumnya, sebagai
permulaan
pengingkarannya terhadap mereka. Pertama-tama, dia mengemukakan perkataan mereka sendiri guna menarik perhatian mereka supaya mau mendengarkan hujjah atas kebatilan sembahan terhadap bintang itu. Pertama-tama dia mengaburkan pandangan mereka, sehingga mereka menduga bahwa dia menyetujui pandangan 28
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an..., h. 511 Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1983), h.
29
252 30
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an..., h. 512 Ahmad Mustafa al-Maragi, Op. Cit., h. 291
31
62
mereka. Kemudian, dia menyampaikan kritiknya, yang dalilnya didasarkan atas indra dan akal. Namun, tatkala bintang itu terbenam dan menghilang, dia berkata, “Sesungguhnya aku tidak menyukai apa yang terbenam dan menghilang”. Menurut Syekh Muhammad Nawawi dalam tafsir munîr menjelaskan maksudnya adalah tidak suka menyembah tuhan-tuhan yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, dan yang berubah dari satu keadaan kepada keadaan lain yang terhalang oleh tutup-tutup.32 Perkataan ini disampaikan karena orang yang sehat fitrahnya tidak akan menyukai sesuatu yang hilang dari padanya, dan tidak pula merasa kesepian karena kehilangannya.33 Tenggelamnya bintang adalah salah satu bukti ketidak wajarannya untuk dipertuhankan. Gerak menunjukkan perubahan pada tempat dan ini menunjukkan bahwa ia baru, selanjutnya ini menunjukkan bahwa wujudnya tidak wajib dalam arti boleh ada dan boleh tidak ada (mumkin al-wujud) dan yang demikian – bila wujud – pasti ada yang mewujudkan sehingga ia tidak mungkin Tuhan.34 Dengan demikian pernyataan Nabi Ibrâhîm a.s tersebut mengenai wujud Allah di atas mengisyaratkan bahwa sesuatu yang disembah seharusnya dikagumi dan dicintai sehingga yang tidak mencintai sesuatu tidaklah wajar mengabdi kepadanya. Memang, bisa saja seseorang menyembah sesuatu karena takut kepada-Nya, tetapi yang demikian itu tidak merupakan puncak pengabdian atau bahkan tidak wajar dinamai ibadah. Ibadah yang sebenarnya adalah yang berpangkal dari rasa kagum dan cinta kepada Tuhan.35
32
Syekh Muhammad Nawawi, Tafsir Munir; Juz I, (Semarang: Thaha Putra, t.t ), h. 247 Ahmad Mustafa al-Maragi, Op. Cit., h. 292 34 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an..., h. 513 35 Ibid., h. 513 33
63
“Kemudian tatkala Dia melihat bulan terbit Dia berkata: "Inilah Tuhanku". tetapi setelah bulan itu terbenam, Dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu, pastilah aku Termasuk orang yang sesat." Setelah terbukti bahwa bintang tidak pantas dijadikan sebagai tuhan karena ia tenggelam, maka beralihlah kepada bulan yang cahayanya tampak lebih besar dibandingkan dengan bintang. Ketika melihat permulaan terbitnya bulan di balik ufuk, Nabi Ibrâhîm as. bekata, “Inilah Tuhanku.” Penggunaan kata ( )ٕزاhâdzâ pada Q.S. al-An‟am ayat 77 di atas, juga sebelum dan sesudahnya bukan saja menunjuk sesuatu yang tertentu, tetapi juga mengandung makna bahwa yang ditunjuk itu adalah sesuatu yang sebelumnya telah dicari, lalu kini ditemukan.36 Ketika bulan itu tenggelam sebagaimana halnya bintang, maka Nabi Ibrâhîm as. berkata sambil mendengarkannya kepada orang-orang sekitarnya, “Sekiranya Tuhanku tidak memberiku petunjuk dan taufik untuk mencapai kebenaran dalam mentauhidkan-Nya, tentulah aku sudah termasuk kaum zalim yang tidak mencapai kebenaran dalam hal itu. Sehingga, mereka tidak mendapat petunjuk, menyembah selain Allah, mengikuti hawa nafsunya, dan tidak mengamalkan apa yang diridai oleh Allah Ta‟ala”.37 Ucapan Nabi Ibrâhîm as. tersebut behubungan dengan penolakannya yang telah dikemukakan ketika melihat bintang yang tenggelam bahkan semua yang tenggelam dan yang di sini bulan pun demikian. Dengan tenggelamnya bulan, terbukti bahwa jika beliau mempertuhankannya, beliau pasti sesat dan karena itu beliau lanjutkan dengan berkata pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat. Di sini terdapat sindiran yang lebih pantas dikatakan terdapat keterusterangan kesesatan kaumnya, dan isyarat kepada bergantungkannya hidayah Ad-Din pada wahyu Ilahi. Di sini sindiran meningkat karena hujjah lawan bicara setelah terpojok dengan pembuktian pertama, sehingga keyakinan 36
Ibid., h. 515 Ahmad Mustafa al-Maragi, Op. Cit., h. 294
37
64
mereka ternodai. Dalam langkah ketiga, ia beralih dari sindiran kepada terus terang, menyatakan kebebasannya dari mereka, dan bahwa mereka benar-benar berada dalam kemusyrikan yang nyata.38 Setelah jelas bahwa Hal ini setelah kebenaran benar-benar tampak, sebagaimana ayat selanjutnya :
“Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, Dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, Dia berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” Sambil menunjuk matahari, Nabi Ibrâhîm as. berkata, “Yang aku lihat sekarang, inilah Tuhanku”. َُٕزَا اَمْجَش “Ia lebih besar dari bintang dan bulan.” Tampak dari sini, bahwa Ibrâhîm memperpanjang
argumentasinya
untuk
menyudutkan
mereka.
Dalam
pembicaraannya ini pula terdapat pendahuluan untuk menegakkan hujjah atas mereka, dan tahapan untuk memancing perhatian mereka agar mau mendengarkan pembicaraan sesudah sindiran yang di khawatirkan akan mereka sangkal. Setelah matahari itu terbenam, sebagaimana yang lainnya menghilang, lalu tertutuplah cahayanya, dan kesunyian melebihi kesunyian karena tenggelamnya bintang dan bulan. Maka, Nabi Ibrâhîm as. membeberkan sejelas-jelasnya, apa yang dia kehendaki setelah sindiran itu, sambil melepaskan diri dari kemusyrikan kaum karena keburukannya dengan memutar balik dan mengulur-ulur pembicaraan dengan penuh kelembutan hingga sampai kepada apa yang dia kehendaki dengan cara yang terbaik dan terhalus, sambil membebaskan diri dari
38
Ibid., h. 294
65
sembahan-sembahan yang mereka jadikan Tuhan dan tuhan-tuhan selain Allah itu.39 Dalam tafsir ath-Thabari dijelaskan, bahwa berita dari Allah swt. tentang ucapan Nabi Ibrâhîm as. ( ) َٕزَا سَثِيketika melihat bintang, bulan dan matahari, sama sekali bukan karena ketidaktahuan beliau bahwa semua itu bukan tuhan namun sebaliknya, ungkapan tersebut merupakan pengingkaran bahwa semuanya bukan tuhan. Juga dalam rangka melecehkan kaumnya yang menyembah berhala. Maksudnya, bintang, bulan dan matahari saja tidak pantas dijadikan tuhan, maka apalagi berhala yang mereka sembah, padahal semuanya lebih bercahaya dari pada berhala, sementara berhala lebih kecil. Itu hanyalah ungkapan debat yang diungkapkan kepada kaumnya, seperti yang biasa dilakukan oleh ahli debat yang membantah lawan dan menjelaskan kebatilan pendapatnya.40 Begitu pula Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya mengenai cara Nabi Ibrâhîm as. pada Q.S. al-An‟am ayat 74-78 dalam mengungkapkan akan kasesatan ayah dan kaumnya yaitu pada tataran pertama berupa dialog dengan ayahnya, Nabi Ibrâhîm as. hendak menjelaskan kesalahan mereka dalam menyembah berhala-berhala arđi yang bersosok malaikat samawi agar berhala-berhala itu memintakan syafa‟at untuk mereka kepada Pencipta Yang Maha Agung. Mereka berpandangan bahwa terlalu hina bila menyembah-Nya secara langsung. Sebenarnya mereka hanya menjadikan patung-patung malaikat itu sebagai perantara untuk memintakan pertolongan, rezeki, dan semacamnya kepada Yang Maha Pencipta. Dalam tataran kedua, Ibrahim menjelaskan kesalahan dan kesesatan mereka karena menyembah patung-patung yang melambangkan tujuh buah tata surya, yaitu bulan, Merkurius, Venus, matahari, Mars, Yupiter dan Saturnus. Menurut mereka, planet yang kuat cahayanya dan paling mulia ialah matahari, kemudian bulan dan Venus. Mula-mula Nabi Ibrâhîm as. menjelaskan bahwa planet Venus tidak layak mendapat predikat tuhan, sebab planet ditaklukkan dan 39
Ibid., h. 295 Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Op. Cit., h. 153
40
66
ditetapkan dalam peredaran tertentu, tidak menyimpang ke kiri maupun ke kanan, dan tidak memiliki kehendak untuk mengatur dirinya sendiri. Namun Venus merupakan salah satu benda yang diciptakan bercahaya karena ia memiliki hikmah yang besar. Demikian pula halnya dengan matahari dan bulan dijelaskan oleh Nabi Ibrâhîm as. satu demi satu. Setelah Nabi Ibrâhîm as. meniadakan unsur ketuhanan dari ketiga planet yang bercahaya menurut pandangan mata dan membuktikan kebatilannya dengan argumentasi yang qaţ‟i maka “ia berkata, „Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian sekutukan.” Yakni, aku terlepas diri dari penyembahan planet itu dan dari menjadikannya sebagai penolong.41 Setelah membebaskan diri dari kemusyrikan mereka itu, dia menutup dengan menjelaskan akidahnya: akidah tauhid yang murni. Dia berkata :
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan”. “Aku menghadapkan wajahku dalam keadaan hanîfan cenderung kepada agama
yang
benar,
dan
aku
bukanlah
termasuk
orang-orang
yang
mempersekutukan Tuhan”, yakni bukan menganut apa yang dianut oleh kaumnya bahkan oleh siapa pun yang mengakui dalam hati, atau ucapan, atau perbuatannya bahwa ada penguasa atau pemberi pengaruh terhadap sesuatu selain Allah swt. atau kecuali atas izin-Nya”.42 Hanîf di sini juga diartikan cenderung dari kemusyrikan kepada tauhid.43
41
Muhammad Nasib ar-Rifa‟i,Op. Cit., h. 237 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an..., h. 516 43 Muhammad Nasib ar-Rifa‟i, Op. Cit., h. 237 42
67
Menyerahkan muka kepada Allah Ta‟ala adalah menghadapkan hati kepada-Nya. Diungkapkan demikian karena wajah adalah manifestasi terbesar bagi apa yang tersimpan di dalam jiwa, berupa menerima, berpaling, senang, duka cita dan sebagainya. Mengarahkan wajah kepada-Nya berarti mengarahkannya hanya kepada-Nya di dalam memohon kebutuhan dan ikhlas beribadah, karena Dialah yang berhak diibadahi, yang kuasa memberikan balasan dan pahala.44 B.
Pendidikan Keimanan yang Terkandung di dalam Surat al-An’am Ayat 74-79 Pendidikan merupakan hal yang penting bagi kehidupan manusia. Secara
kodrati manusia membutuhkan pendidikan. Salah satu pendidikan yang paling dasar ditanamkan adalah pendidikan keimanan dalam bentuk pendidikan Tauhid, karena pada dasarnya manusia memiliki fitrah berupa keimanan kepada Allah yang dilahirkan dengan dibekali fitrah untu beragama tauhid. Begitu pula para rasul dalam menyampaikan risalahnya untuk menanamkan tauhid ke dalam jiwa umatnya, mengajak mereka supaya beriman kepada Allah, menyembah, mengabdi, dan berbakti kepada-Nya dengan melarang berbuat musyrik kepadaNya. Adapun aspek tauhid ini adalah: Aspek pandangan yang mengakui bahwa manusia adalah makhluk yang berketuhanan. Adapun kemampuan dasar yang menyebabkan manusia menjadi makhluk berketuhananan atau agama adalah didalam jiwa manusia terdapat insting yang disebut insting religius atau garizah diniyah (insting percaya pada agama). Itulah sebabnya tanpa proses pendidikan insting tersebut tidak akan mungkin berkembang secara wajar. Dengan demikian pendidikan keagamaan mutlak diperlukan untuk mengembangkan insting religius atau gazirah diniyah tersebut.45 Dari uraian di atas dapat difahami bahwa pendidikan keimanan itu merupakan pendidikan yang paling utama yang harus ditanamkan dalam diri setiap muslim yang ditanamkan sejak dini. Karena pendidikan keimanan ini merupakan pendidikan dalam upaya untuk mengajak anak didik untuk meyakini kepada rukun-rukun iman yang enam, yang pokok utamanya ialah iman kepada Allah swt. dalam bentuk tauhid, karena inti dari keimanan adalah tauhid. Sehingga
44
Ahmad Muşţafa al-Maragi, Op. Cit., h. 296 Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan, Op. Cit., h.117
45
68
dengan adanya pendidikan tauhid ini, dapat mengembangkan fitrahnya sebagai manusia yang telah dibekali dengan fitrah ketauhidan dengan bertujuan adanya pendidikan tauhid ini dapat menjaga kesucian fitrah manusia yang telah Allah swt. anugerahkan agar menjadi hamba yang berbakti kepada Allah swt. Dengan begitu yang dimaksud dengan pendidikan tauhid adalah pemberian bimbingan kepada anak didik agar ia menjadi jiwa tauhid yang kuat dan mantap dan memiliki tauhid yang baik dan benar. Bimbingan itu dilakukan tidak hanya dengan lisan dan tulisan tetapi juga – bahkan kini yang terpenting – dengan sikap, tingkah laku dan perbuatan. Sedangkan yang dimaksud pendidikan dan pengajaran tauhid ialah pemberian pengertian tentang ketauhidan, baik sebagai akidah yang wajib diyakini maupun sebagai filsafat hidup yang membawa kepada kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi.46 Adapun mengenai pembahasan tauhid dalam ayat ini mencakup pada tauhid ulûhiyyah, tauhid rubûbiyyah dan tauhid asmâ wa sifât. 1.
Tauhid Ulûhiyyah Tauhid Ulûhiyyah adalah meng-Esakan Allah Ta‟ala dan beribadah
kepada-Nya sesuai dengan syari‟at yang telah ditetapkan. Sehingga manusia akan menyerahkan atau menggantungkan dirinya kepada Allah agar mendapatkan rahmat dari-Nya.47 Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-An‟am : 162-163
“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (162) Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)". (163) Adapun pendidikan tauhid yang terdapat pada Q.S. al-An‟am ayat 74 yaitu tauhid ulûhiyyah, pada ayat ini dijelaskan bagaimana cara Nabi Ibrâhîm as.
46
Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), cet. III, h. 41 Syaikh Abu Bakar Jabir al-jazairi, Op. Cit., h. 99
47
69
dalam meluruskan ajaran-ajaran ayah dan kaumnya yang menyembah berhala. Ayah Nabi Ibrâhîm as. percaya bahwa berhala-berhala itu dapat memberi manfaat kepada mereka dan dapat mendatangkan mađarat. Padahal tuhan yang disembah oleh ayahnya itu tidak lain hanya patung yang tidak dapat membawa manfaat dan mendatangkan mađarat. Oleh karena itu
Nabi Ibrâhîm as. mengajak kepada
ayahnya agar menyembah kepada Tuhan yang sebenarnya dan yang pantas untuk disembah. Dalam dakwahnya Nabi Ibrâhîm as. mengajak ayahnya agar meninggalkan kepercayaan ayahnya yaitu sebagai penyembah berhala, bahkan profesi ayahnya itu sebagai pembuat dan yang memperjual belikan berhala-berhala itu. Nabi Ibrâhîm as. tidak memulai dakwah kepada ayahnya dengan mencela dan mencacimaki apa yang disembahnya atau merendahkan tuhannya. Nabi Ibrâhîm as. memulai pembicaraan bersama ayahnya dengan memanggilnya, “Wahai ayah”, supaya dapat mempengaruhi perasaannya dan dapat menyentuh relung hatinya. Kemudian Nabi Ibrâhîm as. bertanya kepadanya tentang apa yang membuatnya tunduk beribadah kepada berhala meskipun berhala tersebut tidak mendengarkan do‟a dan pujiannya, tidak melihat ketudukkan dan kekhusyu‟annya dan tidak dapat menolak bencana ketika berhala diminta untuk menghilangkan bencana tersebut atau memberikan suatu hadiah ketika ia diminta.48 Dapat difahami bahwasannya cara Nabi Ibrâhîm as. mengajak ayahnya agar bertauhid kepada Allah swt. dengan cara mengajak ayahnya berdialog antara Nabi Ibrâhîm as. dengan kaumnya yaitu dengan ungkapannya kepada ayah “Pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan?”49 Adapun nilai pendidikan yang terkandung dalam tauhid ulûhiyyah ini yaitu:
48
Ali Muhammad al-Bajawi, Muhammad Ahmad Jad al-Maula dan Muhammad Abu alFadhl Ibrahim, Untaian Kisah dalam al-Qur‟an, (Jakarta: Darul Haq, 2007), h. 49 49 Muhammad Ali Ash-Shabuni, An-Nubuwah wal Anbiya,(Jakarta: Gema Insani Press, 1992), Cet. I, h. 67
70
a.
Allah satu-satunya sumber hidayah Dalam Q.S. al-An‟am ayat 77 Nabi Ibrâhîm memohon hidayah kepada
Allah swt. agar diberikan petunjuk kepada ajaran yang benar karena kesesatan kaumnya yang menyembah berhala. Dan Nabi Ibrâhîm as. yakin bahwa hanya Allah satu-satunya yang memberi hidayah. Hidayah atau petunjuk adalah perkara yang dibutuhkan oleh setiap orang. Karena demikian pentingnya hal ini, bahkan Rasulullah saw mengajarkan kepada kita untuk meminta petunjuk kepada Allah swt minimal 17 kali dalam sehari semalam, disetiap shalat yang kita kerjakan yaitu dengan do‟a yang terdapat dalam surat al-fatihah50 yang berbunyi:
“Tunjukilah Kami jalan yang lurus” Menurut Ibnu Qayyim dalam kitab Al-Fawa`id, mengatakan bahwa: “Ayat di atas mengandung penjelasan bahwa sesungguhnya hamba tidak akan mendapatkan jalan untuk menggapai kebahagiaannya kecuali dengan tetap istiqamah di atas jalan yang lurus. Dan tidak ada jalan untuk meraih keistiqamahan baginya kecuali dengan hidayah dari Rabbnya kepada dirinya. Sebagaimana tidak ada jalan baginya untuk beribadah kepada-Nya kecuali dengan pertolongan-Nya, maka demikian pula tidak ada jalan baginya untuk bisa istiqamah di atas jalan tersebut dengan hidayah dariNya.” 51 Para ulama membagi hudâ (ٙ )ٕذatau hidayah menjadi empat macam: Pertama, hidayah yang secara umum diberikan kepada manusia berakal, berupa kemampuan nalar, kecerdasan dan ilmu pengetahuan, seperti di ungkap di dalam Q.S. Thâha : 50
“Musa berkata: "Tuhan Kami ialah (tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.” 50
Tim Baitu Kilmah Jogjakarta, Ensiklopedi Pengetahuan al-Qur‟an dan Hadits, (Jakarta: Kamil Pustaka, 2013), Cet. II, h. 75 51 Ibid., h. 75
71
Kedua, hidayah yang diberikan kepada manusia melalui pelantara para nabi, berupa ajaran agama. Hidayah ini lebih tinggi tingkatannya dari yang pertama. Ini dikemukakan antara lain pada Q.S. al-Anbiyâ : 73
“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah.” Ketiga, hidayah berupa taufik yang khusus diberikan kepada orang tertentu. Jenis hidayah ini antara lain terdapat dalam Q.S. al-Baqarah : 213
“Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendakNya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” Keempat, hidayah yang akan diberikan di akhirat berupa kenikmatan surgawi. Inilah hidayah yang paling tinggi tingkatannya, seperti yang di sebut di daam Q.S. al-A‟raf: 43
“Dan Kami cabut segala macam dendam yang berada di dalam dada mereka; mengalir di bawah mereka sungai-sungai dan mereka berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki Kami kepada (surga) ini. dan Kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi Kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang Rasul-rasul Tuhan Kami, membawa kebenaran." dan diserukan kepada mereka: "ltulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan."
72
b. Penghindaran dari segala bentuk kemusyrikan Pada Q.S. al-An‟am ayat 78 ini Nabi Ibrâhîm as. menjelaskan akan kesesatan kaumnya yang menyembah bintang, bulan dan matahari. Setelah menyaksikan bahwa bintang, bulan dan matahai itu tidak pantas untuk disembah maka Nabi Ibrâhîm as. membebaskan diri dari segala bentuk kemusyrikan kaumnya. Syirik merupakan satu-satunya dosa besar yang tidak akan diampuni oleh Allah selama pelakunya tidak bertaubat. Oleh karena itu, syirik merupakan perbuatan yag harus dihindari karena syirik ini dapat mengahancurkan keimanan seseorang. Adapun definisi syirik yaitu menyamakan selain Allah swt. dengan Allah swt. dalam hal-hal yang merupakan kekhususan bagi Allah swt, seperti berdo‟a kepada selain Allah swt disamping berdo‟a kepada Allah swt, atau memalingkan suatu bentuk ibadah seperti menyembelih (kurban), bernadzar, berdo‟a dan sebagainya kepada selainNya.52 Mensyarikatkan Allah dalam beribadah kepada-Nya, baik dalam kepercayaan, kepatuhan, permohonan atau do‟a, maupun dalam bentuk pemujaan dan pengorbanan, semuanya itu pada hakikatnya adalah suatu penyelewengan dan sekaligus pembangkangan terhadap hak-hak Allah yang berdaulat penuh dijagat raya ini. Rasulullah dalam haditsnya menjelaskan tentang bahaya syirik, diantaranya sabdanya53 yaitu: ِٚجوٌ ف ُ َ رُثَبةٍ َٗدَخَوَ اىَْبسَ سِٚجوٌ ف ُ َ قَبهَ دَخَوَ اىْجََْخَ س.ٌ اهلل عيئ ٗعيٚه اهللِ صي ُ ْ٘ع ُ َعَِْ طَبسِقِ ثِِْ شَِٖبةٍ أََُ س يُقَشِةَ ىَ ُٔ شَيْئًبَٚجْ٘ ُص ُٓ اَحَذٌ حَّت ُ َ قًٍَْ٘ ىَ ٌُْٖ صٌٌََْ ىَبيَٚجيَبُِ عَي ُ َ ٍَشَ س: َعْ٘هَ اهللِ؟ قَبه ُ َ مَيْفَ رَاىِلَ يَبس:ُرثَبةٍ قَبىُْ٘ا .َ قَبىُْ٘اىَ ُٔ قَشِةْ َٗىَْ٘ ُرثَبثًب فَقَشَةَ ُرثَبثًب فَخَيُْ٘ا عَجِيْيَ ُٔ فَذَخَوَ اىَْبس.ة ُ ِ ٍَبأُقَشِٙ ىَيْظَ عِ ْذ:َ قَبه.ْفَقَبىُْ٘ا ىِؤَحَذََِِٕب قَشِة ) (سٗآ احَذ.َ فَضَشَ ُث٘ا عُ ُْقَ ُٔ فَذَخَوَ اىْجََْخ.َذ ىُِبقَشِةَ ىِبَحَذٍ شَيْئًب دَُُْٗ اهللِ عَضََٗجَو ُ ْ ُ ٍَبم:ََٗقَبىُْ٘ا ىِيْآخِشَحِ قَشِةْ فَقَبه “Hadits dari Thariq bin Syihab menyatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Ada seorang masuk surga sebab seekor lalat dan ada seorang masuk neraka karena seekor lalat pula”. Mereka bertanya, “Bagaimana demikian ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Dua orang berjalan melewati 52
Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Kitab Tauhid, jilid III, Terj. dari At-Tauhid Lish-Shaffits Tsalits al-„Ali oleh Ainul Haris Arifin, (Jakarta: Darul Haq, 1999), h. 6 53 Mansur Said, Bahaya Syirik dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996), h. 11
73
kaum yang mempunyai berhala. Tak seorang pun diperkenankan melewati berhala itu sebelum memberikan (mengorbankan) sesuatu (sajian). Lalu kaum itu berkata kepada salah seorang dari dua lelaki tadi, “(Kalau anda mau lewat) berikanlah sajian kepada berhala itu”. Dia menjawab, “Aku tidak mempunyai apa-apa untuk bersaji”. Mereka berkata kepadanya, “Berikanlah sajian sekalipun dengan seekor lalat”. Kemudian dengan seekor lalat ia bersaji, dan oleh mereka ia dibiarkan (diperkenankan) meneruskan perjalannanya. Karena perbuatannya itu ia masuk neraka. Kemudian mereka berkata kepada seorang lagi, “Bersajilah!” Orang yang kedua ini menjawab, “Aku tidak akan bersaji (berkurban) sedikitpun kepada selain Allah „Azza Wajalla”. Lalu kaum itu marah dan memenggal batang lehernya. Namun (selanjutnya Nabi mengatakan), ia pasti bakal masuk surga”. (H.R. Ahmad). Dari hadiś di atas dapat difahami, bahwasannya syirik merupakan suatu perbuatan yang harus dijauhi karena akibat dari perbuatan syirik itu dapat menjerumuskan kepada pelakunya masuk ke dalam neraka meskipun perbuatan syirik itu terlihat kecil. Untuk menghindari segala bentuk kemusyrikan, seseorang perlu mengetahui segala bentuk kemusyrikan. Syirik ada dua jenis yaitu syirik besar dan syirik kecil. 1) Syirik Besar Syirik besar bisa mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menjadikannya kekal di dalam neraka, jika ia dunia dan belum bertaubat dari padanya.54 Menurut Imam Hâfiť Syamsuddin aż-Zahabi bahwa syirik ini yaitu menjadikan Allah sekutu dan beribadah kepada selain-Nya baik berupa batu, pohon, matahari, bulan, nabi, syaikh atau bintang dan selainnya.55 Syirik besar ada empat macam, yaitu: Syirik Dakwah (Do‟a), Syirik Niat, Keinginan dan Tujuan, Syirik Ketaatan dan Syirik Kecintaan
54
Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Op. Cit., h. 8 Imam Hâfiť Syamsuddin aż-Zahabi, Al-Kabâ`ir, (Beirut: Dâr Al-Fikr, t.t), h. 9
55
74
2) Syirik Kecil Syirik kecil tidak menyebabkan pelakunya dari agama Islam, tetapi ia mengurangi tauhid dan merupakan perantara (wasilah) kepada syirik besar. Syirik kecil ada dua macam: a) Syirik Nyata (ťahir) : yaitu syirik dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Dalam bentuk ucapan misalnya bersumpah dengan nama selain Allah saw. Rasulullah saw. bersabda: ٍََِْ حَيَفَ ثِغَيْشِاهللِ فَقَذْ مَفَشَ اَْٗ اَشْشَك “Barang siapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah berbuat kufur atau syirik.”(H.R. at-Tirmiżi)56 b) Syirik Tersembunyi (Khafi): Yaitu syirik dalam hal keinginan dan niat, seperti ingin dipuji orang (riya`) dan ingin didengar (sum‟ah). Jika riya` itu mencampuri (niat) suatu amal, maka amal itu menjadi tertolak. Karena itu, ikhlas dalam beramal adalah suatu keharusan. Allah swt berfirman:
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". Sebagaimana telah kita ketahui bahwasannya syirik itu merupakan suatu penurunan martabat yang merusak fitrah manusia yang telah Allah anugerahkan kepadanya. Menurut Syaikh Muhammad Quthb menjelaskan bahwa ada beberapa hal penyebab syirik diantaranya yaitu: 1.
Al-I‟jab (mengagumi sesuatu) dan ta‟ťim (mengagungkan sesuatu)
2.
Cenderung mempercayai sesuatu yang bisa dijangkau indera (fisik) saja dan lalai dari sesuatu yang tidak terjangkau indra (metafisik/gaib)
3.
Mengikuti Hawa Nafsu dan Syahwat
4.
Takabbur dalam beribadah kepada Allah
56
Muhammad bin „Isa at-Tirmiżi, Sunan at-Tirmiżi, (Kairo: Dâr Ibn al-Jauzi, 2011), Cet.
I, h. 296
75
5.
Adanya ţagut-ţagut yang ingin disembah manusia dan menolak untuk berhukum dengan apa yang Allah turunkan.57
c.
Ikhlas dalam beribadah kepada Allah swt. Setelah Nabi Ibrâhîm membebaskan dari dari kemusyrikan yang dilakukan
oleh kaumnya maka pada Q.S. al-An‟am ayat 79 Nabi Ibrâhîm menghadapkan muka kepada Allah dalam arti mengarahkan kepada Allah dalam memohon dan ikhlas dalam beribadah kepada-Nya. Orang yang bertauhid ulûhiyyah beribadah semata-mata karena Allah dan tidak menyembah yang lain, hanya takut kepada Allah dan hanya kepada Allah tempat bersandar dan berharap.58 Tujuan Allah menciptakan makhluk-Nya yaitu untuk beriman kepada-Nya salah satunya dengan beribadah kepada-Nya. sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. Aż-Zâriyât: 56
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” Adapun makna ibadah dalam bahasa arab berarti kehinaan dan ketundukkan. Sedangkan secara istilah arti ibadah yaitu nama yang merangkum segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan, perbuatan yang tampak dan yang tidak tampak, dengan kecintaan, kepasrahan dan ketundukkan yang sempurna, serta membebaskan diri dari segala yang bertentangan dan menyalahinya.59 Ibadah memiliki dua rukun: Pertama, kesempurnaan cinta yang merupakan tujuan akhirnya itu merupakan hak Allah semata, karena hanya Allah yang dicintai secara sempurna semata karena Zat-Nya. Sedang segala sesuatu selain Allah dicintai karena sebab-
57
Syaikh Muhammad Quthb, Melawan Syirik & Ilhad, (Jakarta: Harakah, 2002), Cet. I, h.
10 58
Muhammad Said al-Qahthani, Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad Qutb, Memurnikan Lâ Ilâha Illallah, Terj. Abu Fahmi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Cet. I, h. 19 59 Ibrahim Muhammad bin Abdullah al-Buraikan, Op. Cit., h. 196
76
sebab tertentu di luar dirinya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah: 165
“... Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah. .” Rasulullah saw. bersabda: َال َٗح َح َ َالثٌ ٍَِْ مَُِ فِئِ َٗجَذ َ " َث:َ اهللُ عَيَئِْ َٗعَيٌََ قَبهَٚ عَِِ اىَْجِيِ صَي،ُْٔ َعَِْ أَ َّظِ ثِِْ ٍَبِىلٍ سَضِيَ اىئَُ ع َ َٗأَُْ يَنْ َشَٓ أَُْ يَعُ٘د،َِٔحتَ اىََ ْشءَ الَ يُحِجُُٔ إِىَب ىِي ِ ُ َٗأَُْ ي،عَ٘إََُب ِ حتَ إِىَئِْ ٍََِب َ َ أَُْ يَنَُُ٘ اىئَُ َٗ َسعُ٘ىُُٔ أ:ُِاإلِيََب " ِفِي اىنُفْشِ مَََب يَنْ َشُٓ أَُْ يُقْزَفَ فِي اىَْبس “Dari Anas bin Malik ra., dari Nabi saw. bersabda: Ada tiga hal yang bila terdapat dalam diri seseorang, niscaya ia akan mendapatkan manisnya iman; yaitu bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada segala sesuatu selain keduanya, dan bahwa ia tidak mencintai seseorang melainkan hanya semata karena Allah, dan bahwa ia benci kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci untuk dilempar ke dalam neraka.”(H.R. Bukhari)60 Kedua, puncak ketundukkan dan kepasrahan. Ini merupakan hak Allah semata. Bagian ini mengandung makna bahwa ia harus mendahlukan syari‟at Allah atas yang lainnya, dan bila kehendak Allah dan Rasul-Nya bertentangan dengan hawa nafsunya dan kemauannya, maka ia senantiasa mendahulukan kehendak Allah dan Rasul-Nya.61 Allah berfirman dalam Q.S. an-Nisa: 65
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” 60
Muhammad bin Isma‟il Abu „Abdullah al-Bukhari, Şahih al-Bukhari, Juz I, (tt.p., Dâr an-Najah, 2001), Cet. I, h. 15 61 Ibrahim Muhammad bin Abdullah al-Buraikan, Op. Cit., h. 891
77
Menurut Abdul Majid az-Zindani, bahwasannya tidak ada ibadah yang “shahihah” (ibadah yang diterima oleh Allah Ta‟ala) itu melainkan ibadah yang ikhlas karena Allah Ta‟ala yaitu ibadah yang di dalamnya terdapat kepatuhan bagi Allah serta menyempurnakan kasih-sayang kepada Allah Ta‟ala dan melakukan ibadah ini diniatkan untuk mendapatkan keridaan dari Allah semata, sehingga ikhlas beribadah ini menjadi syarat dalam ibadah.62 Adapun hubungan antara tauhid dengan ikhlas yaitu kalimat tauhid disebut sebagai kalimat ikhlash. Karena kalimat ikhlas ini mengandung arti segala perbuatan yang murni dikerjakan karena Allah.63 Syekh Muhammad Nawawi menjelaskan, bahwa ikhlas ada tiga tingkatan: 1) Ikhlas beribadah kepada Allah atau mengerjakan sesuatu dengan tidak mengharapkan pahala dan bukan karena takut akan siksa-Nya, tetapi ibadah ini merupakan bentuk pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya. Dan ini merupakan tingkat ikhlas yang tinggi. 2) Beribadah kepada Allah atau beramal dengan ta‟at kepada Allah karena mengharapkan pahala dan takut akan siksa-Nya, atau mengharapkan syurga Allah dan takut akan neraka. 3) Beribadah kepada Allah karena mengharapkan kemuliaan dengan ibadahnya itu, seperti ingin disebut sebagai ahli ibadah dan sholeh. Atau beramal untuk urusan dunia seperti membaca surat al-Waqi‟ah dengan tujuan ingin menjadi kaya. Dan ini merupakan tingkatan ikhlas yang paling rendah.64 Adapun yang dimaksud dengan ikhlas untuk beribadah kepada Allah yaitu menempatkan cintanya kepada Allah di atas segala-galanya. Namun bukan berarti harus suci menyampingkan kecintaan terhadap materi, orang tua dan anakanaknya, harta benda dan lain-lain materi duniawi. Akan tetapi menempatkan kecintaanya kepada terhadap materi duniawi dibawah kecintaannya kepada Allah.65 62
Abdul Majid Az-Zindani, Al-Iman, (Kuala Lumpur: Al-Hidayah, 1996), Cet. I, h. 158 Imam Fakhruddin Ar-Razi, Tafsir Kalimat Tauhid, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2007), Cet. I, h. 85 64 Syaikh Muhammad Nawawi, Nurul Ať-ťalam, (Jedah : Haramain, t.t.,), h. 44 65 Muhammad Na‟im Yasin, Op. Cit., h. 29 63
78
2.
Tauhid Rubûbiyyah Tauhid Rubûbiyyah yang dimaksud adalah mengesakan Allah sebagai
satu-satunya yang menciptakan segala yang ada dan yang akan ada. Dan meyakini bahwasannya Allah yang Maha Kuasa dan Maha Pengatur seluruh mekanisme gerak dan segala hajat makhluknya.66 Nilai pendidikan tauhid rubûbiyyah yang terdapat dalam Q.S. al-An‟am : 75 adalah memahami rubûbiyyah Allah yang artinya : “ Dan Demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (kami memperlihatkannya) agar Dia Termasuk orang yang yakin.” Dalam Q.S al-An‟am ayat 75 ini dapat difahami bahwasannya Allah swt. mendidik Nabi Ibrâhîm as. dengan memperlihatkan kepadanya kekuasaan melalui alam semesta. Dengan melihat akan ciptaan dan kekuasaan Allah swt. yang ada di seluruh alam semesta ini menunjukkan bahwasannya adanya seluruh alam semesta ini berarti adanya Sang Pencipta dan Allah adalah satu-satunya pencipta yang menciptakan seluruh alam semesta ini. Ini merupakan salah satu cara Allah dalam mendidik rasulnya dalam mengajarkan tauhid dengan tujuan agar semakin mantap keimanan Nabi Ibrâhîm as. Menurut Arifin sebagaimana yang dikutip oleh Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan bahwa dalam al-Qur‟an dan Sunah nabi dapat ditemukan metodemetode untuk pendidikan agama antara lain: a.
Perintah/Larangan
b.
Cerita
c.
Peragaan
d.
Intruksional (bersifat pengajaran)
e.
Acquistion (self education = mendidik diri sendiri)
f.
Mutual Education (mengajar dalam kelompok)
g.
Exposition (dengan menyajikan yang didahului dengan motivasion (menimbulkan minat) 66
Muhammad Said al-Qahthani, Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad Qutb, Op. Cit., h. 14
79
h.
Function (pelajaran dihidupkan dengan praktek)
i.
Explanation (memberikan penjelasan tentang hal-hal yang kurang jelas) Dari sembilan metode di atas, metode yang terdapat dalam ayat ini adalah
metode peragaan, yaitu Allah swt. mengajarkan kepada Nabi Ibrâhîm as. tentang tauhid dengan menampakkan kerajaan yang ada dilangit dan di bumi. Dengan metode ini, Allah memerintahkan kepada makhluk-Nya agar melihat akan ciptaan dan seluruh gejala yang terjadi di alam semesta ini. Peragaan ialah suatu cara yang dilakukan oleh guru dengan maksud memberikan kejelasan secara realita terhadap pesan yang disampaikan sehingga dapat dimengerti dan dipahami oleh para siswa. Dengan peragaan, diharapkan proses pengajaran terhindar dari verbalisme, yaitu siswa hanya tau kata-kata yang diucapkan oleh guru tetapi tidak dimengerti oleh maksudnya. Untuk itu sangat diperlukan peragaan dalam pengajaran terhadap siswa di tingkat dasar.67 Nabi Ibrâhîm as. hidup di lingkungan para penyembah bintang, bulan dan matahari. Beliau mengajarkan kaumnya agar mentauhidkan Allah dengan cara beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan tingkat pemahaman dan pengetahuan mereka. Kemudian beliau menggiring kaumnya menuju i‟tiqad (aqidah) yang benar setahap demi setahap, setapak demi setapak. Karena itulah, beliau mengatakan: “Ini Tuhanku”, ketika melihat bintang, kemudian mengatakan yang demikian pula terhadap bulan dan matahari.68 Ungkapan ini Nabi Ibrâhîm as. diungkapkan dalam forum perdebatan dan adu argumentasi dengan kaumnya dengan tujuan untuk mematahkan aqidah mereka yang sesat dan untuk mengajak kaumnya untuk berfikir menggunakan logika yang sehat dan dengan argumentasi serta keterangan yang jelas. Debat merupakan cara yang Nabi Ibrâhîm as. gunakan untuk mengajak kaumnya agar bertauhid kepada Allah swt. Debat merupakan metode yang penting dan efektif untuk mengasah otak, latihan mengeluarkan pendapat, mengalahkan lawan, menumbuhkan kepercayaan dalam diri sendiri bahkan mampu membina kecakapan berbicara tanpa teks.
67
M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), Cet. I, h. 7 68 Muhammad Ali Aş-Şabuni, Op. Cit., h. 67
80
Menurut Ibnu Khaldun diskusi dibidang masalah-masalah ilmiah membantu untuk memahami ilmu itu dalam kemampuan untuk menguraikannya. Salah satu sajak berbunyi: اىعِيْ ٌُ ثِبْىفٌَِْٖ َٗثِبىْ َُزَامَشَحِ َٗاىذَسْطِ َٗاىْفِنْشَحِ َٗىِيْ ََُْبظَشَح “Ilmu adalah dengan pengertian dan mudzakarah, dengan studi, berfikir dan berdebat”. 69 Selain itu, dalam mengajarkan tauhid rubûbiyyah pada Q.S. al-An‟am ayat 76-78 ini, Nabi Ibrâhîm as. menjadikan bintang, bulan dan matahari ini sebagai media untuk mengenalkan kepada kaumnya bahwa bintang, bulan dan matahari merupakan makhluk yang Allah swt. ciptakan bukan tuhan seperti yang mereka yakini. Dengan ini menunjukkan bahwa benda-benda itu ada penciptanya yaitu Allah yang mana Allah swt. sebagai satu-satunya pencipta. Kemudian dengan pergerakannya benda-benda itu seperti matahari terbit pada siang hari dan bulan bintang muncul pada malam hari itu menunjukkan bahwa itu semua tidak akan berjalan kecuali ada pengaturnya. Disini menunjukkan bahwa Allah sebagai satusatunya Tuhan yang mengatur seluruh perjalanan alam semesta ini. Dengan adanya ciptaan Allah seperti dalam ayat ini berupa bintang, bulan dan matahari seharusnya dijadikan sebagai pelantara untuk meningkatkan keimanan kita kepada Allah karena Dia-lah yang telah menciptakan alam semesta ini dan telah mengatur perjalan alam semesta ini, namun kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik yaitu menjadikan ciptaan Allah ini sebagai tuhan mereka. Nilai pendidikan yang terkandung dalam tauhid rubûbiyyah ini adalah: a. Meyakini ke-Esaan Allah swt. sebagai Pencipta Mentauhidkan Allah swt. sebagai Pencipta yaitu seseorang meyakini bahwasannya tidak ada Pencipta kecuali Allah.70 Adapun ayat yang menetapkan bahwa adanya pencipta selain Allah swt yaitu sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S. Al-Mu‟minûn: 14 69
Nur Uhbiyati, Op. Cit., h. 194 Muhammad bin Şâlih Al-„Uśaimin, Kitab At-Tauhid, (Riyađ: Daar Ibn Al-Jauzi, 1999),
70
h. 9
81
“Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.” Dan seperti sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Muslim dari „Aisyah ra dalam hal para pelukis yang dikatakan kepada mereka: ٌْأَحْ ُيْ٘ا ٍَبا خَيَقْ ُّت “Hidupkan apa yang kalian buat itu”(H.R. Muslim)71 Maka penciptaan yang dimaksud pada hadis di atas bukanlah penciptaan yang sebenarnya (arti hakiki) dan bukan pula penciptaan setelah ketiadaan, tetapi maksudnya adalah merubah sesuatu dari satu keadaan kepada keadaan yang lain, ditambah pula proses merubah di sini tidak mencakup kepada seluruh perubahan, tapi dibatasi pada sesuatu yang bisa dilakukan seseorang dan dibatasi pada daerah yang sempit sehingga tidak bertentangan dengan keyakinan kita dalam mentauhidkan Allah swt. dalam Penciptaan. Selain itu al-Khalq yakni bahwa Allah swt. adalah Pencipta segala sesuatu sedangkan selain-Nya adalah makhluk. Sebagaimana firman Allah swt. dalam Q.S. Aż-Zumar ayat 62
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa „menciptakan‟ dalam pengertian yang mutlak (universal) adalah kekhususan bagi
Allah swt.
Adapun
„menciptakan‟ dalam pengertian yang terbatas seperti menciptakan baju, pena atau semacamnya boleh dinisbatkan kepada makhuk. Yakni „mencipta‟ maka manusia tidak boleh membuat atau menciptakan sesuatu yang dilarang oleh Allah swt.72
71
Muslim bin al-Hajjaj Abu Hasan, Şahih Muslim, (Beirut: Dâr Ihyâ Al-„Arabi, t.t.,), h.
1669 72
Khalid bin Ali al-Musyaiqih, Op. Cit., h. 104
82
b. Meyakini ke-Esaan Allah swt. sebagai Pengatur Mentauhidkan Allah sebagai Pengatur yaitu seseorang meyakini bahwa tidak ada pengatur selain Allah swt.73 Sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S. Yunus: 31-32
“Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka Katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?" (31) Maka (Zat yang demikian) Itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya; Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka Bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)? (32).” Adapun yang dimaksud manusia sebagai pengatur, itu terbatas di bawah kekuasaannya dan terbatas pada izin secara syara‟. Bagian tauhid rubûbiyyah ini merupakan bagian tauhid yang orang-orang musyrik tidak menentangnya, bahkan mereka meyakininya. Sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S. Az-Zukhruf: 9
“Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka akan menjawab: "Semuanya diciptakan oleh yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui".” Pada tahap rubûbiyyah ini, seorang muslim harus percaya bahwa perkembangan benda, dan hubungan antara makhluk dengan sesama makhluk,
73
Muhammad bin Şâlih, Op. Cit., h. 9
83
efek yang dibuatnya dan efek yang dilakukan terhadapnya adalah semuanya di bawah pengaturan dan perintah Allah swt.74 Dari penjelasan di atas dapat difahami bahwa Allah swt. merupakan satusatunya Tuhan yang mengatur seluruh pergerakan alam semesta ini, begitu pula dengan peredaran bulan dan matahari, dan munculnya siang dan malam itu semua merupakan aturan Allah swt. 3.
Tauhid Asmâ wa sifat Tauhid ini maknanya adalah mengimani nama-nama baik dan sifat-sifat
luhur yang disebutkan Allah swt. untuk dirinya-Nya dalam kitab-Nya dan disebutkan oleh Rasulullah saw. dalam sunnahnya tanpa merubah lafal atau makna-maknanya (tahrif), tanpa diabaikan dengan cara dinafikan atau dinafikan sebagiannya dari-Nya (ta‟thil), tanpa disesuaikan dengan membatasi esensinya atau menyebut tata cara tertentu (takyif), dan tanpa menyerupakan dengan sifatsifat makhuk (tasybih).75 Nabi Ibrâhîm as. adalah orang yang berhati cerdas, mempunyai pendapat yang benar dan pemikiran yang tajam. Dia ingin menggabungkan kecerdasan pandangan kaumnya dengan kecerdasan ayah dan kaumnya, menggabungkan perasaan dengan hati ayah dan kaumnya, agar mereka memahami akidah yang dibawanya dan mengetahui akan kebenaran dakwahnya.76 Nabi Ibrâhîm as. dalam mendidik kaumnya untuk bertauhid asmâ wa śifat dengan cara mengajak kaumnya untuk berpikir secara kritis dan logis agar membuka fikiran mereka bahwasannya benda-benda yang mereka dijadikan sebagai tuhan itu sebenarnya tidak layak untuk disembah. Seperti dalam kisah Nabi Ibrâhîm as., dalam menghancurkan berhalaberhala yang disembah oleh kaumnya. Ketika kaumnya sedang mengadakan acara maka Nabi Ibrâhîm as. tidak ikut dalam acara itu dengan alasan sakit. Ternyata 74
Muhammad Taqi Misbah, Monotoisme: Sistem Akidah dan Nilai Islam, (Jakarta: PT. Lentera Basritama), Cet. I, h. 54 75 Ali Muhammad Ash-Shallabi, Iman Kepada Allah Terj. dari Al-imanu Billahi oleh Umar Mujtahid, (Jakarta: Ummul Qura), Cet. I, h. 107 76 Ali Muhammad al-Bajawi, Muhammad Ahmad Jad al-Maula dan Muhammad Abu alFadhl Ibrahim, Op. Cit., h. 52
84
ketika kaumnya sedang ikut dalam perayan suatu acara, maka Nabi Ibrâhîm as. gunakan kesempatan itu unntuk mengahancurkan berhala-berhala yang disembah oleh kaumnya hingga berhala-berhala itu menjadi kepingan-kepingan kecuali terhadap berhala yang paling besar, Nabi Ibrâhîm as. tidak menghancurkan berhala paling besar itu. Setelah kembali dari perayaan itu, kaumnya merasa kaget melihat berhalaberhala yang mereka telah hancur. Ketika itu mereka memanggil Nabi Ibrâhîm as. untuk meminta kesaksiannya karena pada saat itu, Nabi Ibrâhîm as. tidak ikut dalam acara perayaan mereka dan mereka tahu bahwa Nabi Ibrâhîm as. tidak mempercayai akan tuhan-tuhan mereka. Akhirnya ketika Nabi Ibrâhîm as. ditanya oleh kaumnnya siapa yang menghancurkan berhala-berhala itu, maka Nabi Ibrâhîm as. menjawab bahwa patung yang paling besar itulah yang telah menghancurkan patung-patung yang lainnya. Dari sini kaumnya berfikir karena bagaimana mungkin berhala itu dapat menghancurkan berhala-berhala yang lain dan tidak pula bisa menjawab pertanyaan yang mereka. Kemudian kaumnya berkata”Wahai Ibrahim, kamu sudah tahu bahwa berhala ini tidak dapat menjawab pertanyaan” dan di sinilah tampak akan kesesatan mereka bahwa tuhan yang mereka sembah ternyata tidak bisa berbuat apa-apa.77 Seperti halnya terhadap tuhan-tuhan yang mereka sembah berupa bintang, bulan dan matahari yang mereka sembah yang keadaannya kadang ada dan mengilang itu menunjukkan bahwa benda-benda yang mereka jadikan sebagai tuhan mereka itu tidak mungkin bisa dijadikan sebagai tuhan, karena bagaimana kita bisa menyembah mereka sedangkan keadaan benda-benda itu terkadang ada dan menghilang, dan bagaimana kita bisa memohon kepada benda-benda itu karena ketika kita membutuhkannya benda-benda itu menghilang. Dengan demikian dapat difahami bahwa berubahnya keadaan bintang, bulan dan matahari itu menunjukkan bahwa bintang, bulan dan matahari merupakan makhluk Allah swt. yang berifat baru dan ini bertentangan dengan sifat qidam Allah swt.
77
Ibid., h. 60
85
Hal yang Nabi Ibrâhîm lakukan ini, merupakan asas-asas dalam menanamkan pendidikan terutama dalam menanamkan pendidikan keimanan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhammad Sayid Ramadhan al-Buwythi dalam bukunya yang berjudul “Al-Manhajut Tarbawi Faried al-Qur‟an. Beliau mengungkapkan bahwa ada tiga macam asas/ dasar yang dipakai oleh al-Qur‟an dalam menanamkan pendidikan. Pertama; Muhakamah Aqliyah, kedua; al-Qishah wa Tarikh dan ketiga Al-Itsmah Al-wijadniyah.78 Adapun nilai pendidikan yang terkandung dalam tauhid asmâ wa şifat yaitu: a. Meyakini bahwa Allah swt. bersifat Wujud Sebagaimana yang telah disinggung pada Q.S. al-An‟am ayat 75 bahwa Allah swt. yang menciptakan seluruh alam semesta ini, dengan adanya alam semesta menunjukkan bahwa adanya Pencipta yaitu Allah swt. Dalam al-Qur‟an telah ditegaskan bahwa Allah itu ada, diantaranya seperti dalam Q.S. al-Baqarah: 28
“Mengapa kamu kafir kepada Allah, Padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?” Dalam ayat di atas Allah menegaskan, tidaklah pantas bagi manusia itu mengingkari akan adanya Allah Yang Maha Kuasa, karena Allah swt. itu telah menjadikan manusia itu dalam dua kali mati (berada di alam barzakh pertama dalam perut ibu, dan di alam barzakh yang kedua dalam kubur) dan menjadikannya dua kali hidup (hidup di dunia dan hidup di akhirat).79 Adapun arti wujud yaitu ada, mustahil adam (tidak ada). Bukti dari pada sifat wujud Allah swt. yaitu adanya alam yang kita saksikan ini dengan segala isi dan kandungannya adalah barang baru. Dan setiap yang baru itu pasti ada yang 78
Nur Uhbiyati, Op. Cit., 170 Abd Kadir M.Z, An Nurul Bahir Ilal Imanil Kamil, (Jakarta: PT. Serajaya Santra, 1985), Cet. I, h. 19 79
86
mengadakan. Oleh karena itu menunjukkan bahwa alam itu ada yang menciptakan yaitu Allah swt.80 b. Meyakini bahwa Allah swt. bersifat Qidam Qidam berarti terdahulu. Allah swt bersifat Qidam berarti keberadaan-Nya itu terdahulu, tidak ada awal dan akhirnya. Dia tidak didahului oleh wujud yang lain. Oleh karena itu, Allah swt. mustahil bersifat huduś (baru).81 Al-Halimi r.a. berkata dalam mengartikan qadimnya Allah swt. yaitu: Sesungguhnya Dia Allah zat yang ada yang tidak ada permulaan bagi wujudnya, dan dzat yang ada yang tidak ada henti-hentinya (terus menerus ada). Maka dikatakanlah Allah swt. itu Qadîm dengan arti bahwa Allah mendahului seluruh yang ada dan apabila Allah seperti itu (mendahului segala yang ada) maka tidak boleh adanya permulaan bagi wujud-Nya, karena seandainya adanya permulaan bagi wujud-Nya Allah niscaya hal itu menuntut adanya selain Allah yang menciptakan-Nya dan niscaya selain Allah itu wajib ada sebelum Allah. Maka ketika itu, Allah tidak sah mendahului segala yang ada. Jelaslah bahwa ketika kita mensifati Allah bahwasannya Dia mendahului segala yang ada maka mewajibkan bagi kita bahwa adanya Allah tanpa permulaan.82 Dalil bahwa Allah swt. bersifat qidam (terdahulu) adalah keberadaan alam semesta. Sebagai khaliq (Pencipta), keberadaan Allah swt tentu lebih dahulu dari pada alam yang menjadi makhluk-Nya. Di dalam al-Qur‟an dijelaskan:
“Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin; dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” Adapun yang dimaksud dengan qidam pada hak Allah Ta‟ala adalah qidam zati yaitu tidak adanya awal bagi wujud. Adapun qidam pada hak manusia yaitu qidam zamani maksudnya panjangnya masa yang ditetapkan dengan tahun, begitu
80
Sayyid Husein Afandy A-Jisr Ath Tharabilisiy, Memperkokoh Akidah Islamiyah Dalam perspektif Ahlusunnah waljama‟ah Terj. dari Al-Hushuunul Hamidiyyah Lil Muhâfađah „Alal „Aqqa`id Al-Islamiyyah oleh Abdullah Zakiy Al-Kaaf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet. I, h. 20 81 M. Saberanity, Op. Cit., h. 20 82 Baihaqi, Al-Asmâ` wa al-Şifât, ( Beirut: Daar Kutb, t.t), h. 23
87
pula dengan qidam iḍafi yaitu seperti qidamnya bapak disnisbahkan pada anak. Dengan demikian qidam itu ada tiga yakni Zati, Zamani dan Iđafi.83 c.
Meyakini bahwa Allah swt. bersifat Baqâ Baqa‟ artinya kekal. Allah swt. bersifat Baqa‟ berarti wajib kekal, ada
selama-lamanya, tetap dan tidak berubah. Mustahil Allah swt bersifat fana‟ (binasa).84 Dalam ilmu tauhid, baqâ` ada tiga makna: a. Baqâ` Nisbi, yaitu kekal atau abadinya itu karena disandarkan kepada yang lain. b. Baqâ` Zamani, yaitu abadi yang tidak ada akhir tapi ada permulaannya dan terikat zaman. c. Baqâ` Haqiqi, yaitu kekalnya sesuatu yang tidak ada permulaan, tidak ada akhir, tidak terikat zaman, dan tidak disandarkan kepada yang lain.85 Choer Affandy membedakan antara Baqâ` Haqiqi dan Baqâ` Zamani, perhatikan firman Allah swt dalam Q.S. ar-Rahman: 27
“Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” Perhatikan pula pada Q.S. al-Mu`minûn: 11
.... “ .... Mereka kekal di dalamnya.” Kata yang digunakan dalam Q.S. ar-Rahman ayat 27 untuk Allah swt. dengan kata ٚ يجق, dalam Q.S. al-Mu`minûn ayat 11 dengan kata ُٗخبىذ, artinya sama kekal abadi, hanya kekalnya Allah swt. itu wajibul wujud sedangkan kekalnya Mu`minin di surga adalam mumkinul wujud, karena ada dan kekalnya diciptakan Allah swt.86 83
Syekh Ibrahim al-Laqqoni, Permata Ilmu tauhid; Satu Pendalaman Iktikad Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1997), h. 104 84 M. Saberanity, Op. Cit., h. 21 85 Choer Affandy, „Aqidah Islamiyyah, (Tasik Malaya: t.p, 1991), h. 37 86 Ibid., h. 37
88
Begitu pula pendapat Abu sulaiman al-Khathabi bahwa baqâ dan dawamnya Allah swt. itu tidak sama dengan dengan baqâ dan dawamnya syurga. Hal itu karena baqanya Allah swt. selamanya dan tanpa awal. Sementara kekalnya syurga dan neraka abadi tapi tidak azali. Sifat azali adalah sesuatu yang terus menerus pada masa lalu sementara sifat abadi sesuatu yang terus menerus pada masa sekarang dan akan datang. Sementara surga dan nerakan itu diciptakan dan ada setelah keduanya tidak ada. Ini perbedaan antara baqânya Allah swt. dengan baqânya surga dan neraka.87
87
Baihaqi, Op.Cit., h. 26
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Al-Qur’an merupakan pedoman hidup umat islam termasukdalam hal pendidikan. Di dalam al-Qur’an terdapat banyak nilai-nilai pendidikan. Diantaranya yaitu terdapat dalam Q.S. al-An’am ayat 74-79 mengenai pendidikan keimanan. Keimanan merupakan unsur yang terpenting di dalam agama Islam, karena dengan adanya keimanan ini akan megantarkan seseorang kepada jalan kebenaran. Inti keimanan adalah tauhid. Tauhid yaitu meyakini bahwa Allah swt satu-satuNya Tuhan alam semesta ini yang wajib disembah. Adapun pendidikan keimanan yang penulis temukan dalam Q.S. alAn’am ayat 74-79 yaitu 1.
Tauhid Ulûhiyyah Nabi Ibrâhîm a.s mengajak kaum dan ayahnya untuk beribadah kepada
Allah lalu menjelaskan akan kesesatan kaum dan ayahnya karena menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan. Dalam mendidik ayahnya, Nabi Ibrâhîm a.s menggunakan metode hiwar atau dialog dengan bahasa yang sopan santun. Adapun pendidikan keimanan yang terdapat pada tauhid ulûhiyyah yaitu: Allah satu-satunya sumber hidayah, penghindaran dari segaa bentuk kemusyrikan dan ikhlas dalam beribadah kepada Allah swt. 2.
Tauhid Rubûbiyyah Pendidikan keimanan yang terkandung dalam tauhid rubûbiyyah yaitu
Allah swt memperlihatkan akan kerajaan langit dan bumi sebagai pelantara untuk meningkatkan keimanan kepada Allah sebagai satu-satunya pencipta alam semesta ini. Selain itu, Nabi Ibrâhîm a.s dalam mengajarkan tauhid kepada kaumnya dengan mengajak kaumnya untuk berdebat dan menjadikan bintang, bulan dan matahari sebagai media untuk mematahkan argumen mereka bahwa bintang, bulan dan matahari tidak pantas pantas dijadikan sebagai tuhan. Nilai
89
90
pendidikan keimanan yang terdapat dalam tauhid rubûbiyyah yaitu meyakini Allah swt. sebagai satu-satunya Pencipta dan meyakini bahwa Allah swt. sebagai satu-satunya Pengatur alam semesta ini. 3.
Tauhid Asmâ wa şifat Dalam mengajarkan kaumnya untuk bertahuid asmâ wa şifat, Nabi
Ibrâhîm a.s mengajak kepada kaumnya untuk berfikir secara kritis dan logis bahwa tuhan-tuhan yang mereka sembah itu berupa berhala, bintang, bulan dan matahari hanyalah makhluk Allah swt. yang tidak pantas untuk disembah. Adapun nilai pendidikan keimanan yang terdapat pada tauhid asmâ wa şifat yaitu meyakini akan sifat wujud Allah, meyakini bahwa Allah swt bersifat qidam dan meyakini bahwa Allah swt bersifat baqa`. B. Saran Dari kesimpulan di atas, penulis memberikan beberapa saran yang diharapkan dapat menjadi salah satu upaya dalam mengembangkan konsep pendidikan di Indonesi khususnya pada pendidikan Islam. Pertama, al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagi umat Islam. Begitu pula di dalam dunia pendidikan, al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pendidikan khususnya dalam pendidikan Islam agar tidak terlepas dari al-Qur’an. Kedua, Sebagai seorang pendidik guru harus menerapkan akan dasardasar keimanan kepada peserta didiknya, karena keimanan merupakan fondasi dari bangunan Islam. Adapun dalam kegiatan pendidikan guru harus mampu menentukkan metode yang tepat dalam menerapkan materi pada setiap pembelajaran karena salah satu kunci tercapainya tujuan pendidikan yaitu dapat menentukkan metode yang tepat dan sesuai dengan materi. Selain itu, seorang guru harus mengetahui tingkat pemahaman siswa karena dengan mengetahui tingkat pemahaman siswa guru mampu menyesuaikan dalam penyampaian materi kepada siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Affandy, Choer . Aqidah Islamiyyah. Tasik Malaya: t.p. : 1991. Ali, Zainuddin. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara, Cet. IV, 2011. Alim, Muhammad. Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. II, 2011. Amrullah, Abdul Malik Karim. Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1983. Anwar, Abu. Ulumul Qur’an; Sebuah Pengantar. Jakarta: Amzah, Cet. III, 2009. Arief, Armai dan Busahdiar, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Wahana Kardofa, Cet. I, 2009. Arief, Armai. Refolmulasi Pendidikan Islam. Jakarta: Crsd Press, Cet. I, 2005. Arifin, Bambang Syamsul. Psikologi Agama. Bandung: Pustaka Setia, Cet. I, 2008. Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam; Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: PT. Bumi Aksara, Cet. IV, 2009. Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara, Cet. V, 2010. Asmuni, Yusran. Ilmu Tauhid. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Cet. III, 1996. Al Aţţar, Dawud. Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Hidayah, Cet. I, 1994. Baihaqi. Al-Asmâ` wa Al-Şifât. Beirut: Daar Al-Kutb, t.t. Al Bajawi, Ali Muhammad., dkk,. Untaian Kisah dalam Al-Qur’an. Jakarta: Darul Haq, 2007. Al Bukhari, Muhammad bin Isma’il Abu ‘Abdullah. Şahih al-Bukhari. tt.p. : Dâr an-Najah, Cet. I, 2001. Al Buraikan, Ibrahim bin Muhammad bin Abdullah. Pengantar Studi Aqidah Islam, Terj. Dari Almadkhalu Lidiraasatil ‘Aqidatil Islamiyyah ‘ala Madzhabi Ahlisunnah wal Jama’ah, oleh Muhammad Anis Matta. Jakarta: Robbani Press, Cet. I, 1998. Darwis, Djamaluddin. Dinamika Pendidikan Islam; Sejarah, Ragam dan Kelembagaan. Semarang: Rasail, 2006.
91
92
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet. IV, 2008. Fahrirrizi, Aziz dan Ahmad Dardiri. Strategi Pembelajaran Bahasa Arab. Jakarta: t.p., 2012. Al Fauzan, Shalih bin Fauzan bin Abdullah. Kitab Tauhid, jilid III, Terj. dari AtTauhid Lish-Shaffits Tsalits al-‘Ali oleh Ainul Haris Arifin, (Jakarta: Darul Haq, 1999. Gunawan, Heri. Pendidikan Karakter; Konsep dan Implementasi. Bandung: Alfabeta, Cet. II, 2012. Al Hafiż, Ahsin W. Kamus Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Amzah, Cet. II, 2006. Hamalik, Oemar. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Bumi Aksara, Cet. X, 2009. Hasan, Hamka. Metodologi Penelitian Tafsir Hadist. Jakarta: Lembaga penelitian Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Hasan, M. Iqbal. Pokok-Pokok Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Bogor: Ghalia Indonesia, Cet. I, 2002. Hasan, Muslim bin al-Hajjaj Abu Hasan. Şahih Muslim. Beirut: Dâr Ihyâ Al‘Arabi. t.t., Ihsan, Hamdani dan A. Fuad Ihsan. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia, Cet. II, 2001. Al Jazairi, Syaikh Abu Bakar Jabir.
Aqidah Seorang Mukmin, Terj.
Dari
Aqiidatul Mukmin oleh Salim Bazemool. Solo: CV. Pustaka Mantiq, Cet. I, 1994. ________. Pola Hidup Muslim; Aqidah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. II, 1993. Al Laqqoni, Syekh Ibrahim. Permata Ilmu tauhid; Satu Pendalaman Iktikad Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Terj. Mujiburrahman. Surabaya: Mutiara Ilmu, 1997. Latif, Moh. Rowi. Bagaimana Anda Menjadi Orang Mu’min. Surabaya: PT. Bungkul Indah, Cet. I, 1995.
93
Ma’asy, Abdur Razzaq bin Thahir bin Ahmad. Mengupas Kebodohan, Terj. Dari Al Jahl bi Masail Al I’tiqad wa Hukmuhu oleh Asep Saefullah dan Kamaluddi Sa’diyatul Haramain. Jakarta: Pustaka Azzam, Cet. I, 2001. Madjrie, Abdurrahman. Meluruskan Akidah. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, Cet. I, 1997. Mahfud, Rois. Al-Islam; Pendidikan Agama Islam. Palangka Raya: Erlangga, 2011. Al Maidani, Abdurrahman Hasan Habanakah. Pokok-Pokok Akidah Islam, Terj. dari Al-Aqidah Al-Islamiyah wa Ususuha oleh A. M. Basalamah. Jakarta: Gema Insani, Cet. II, 2004. Manťûr, Ibnu. Lisânul ‘Arab. Beirut: Dar Sader, Cet. I, 1997. Al Maragi, Ahmad Mustafa. Terjemah Tafsir Al-Maragi Terj. dari Tafsir AlMaragi oleh K. Anshori Umar Sitanggal, dkk. Semarang : PT. Karya Toha Putra, Cet. II, 1992. Misbah, Muhammad Taqi. Monotoisme: Sistem Akidah dan Nilai Islam, (Jakarta: PT. Lentera Basritama, Cet. I, 1996. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. XXXI, 2013. Munadi, Yudhi. Media Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persada (GP), Cet. IV, 2012. Munawwir, Ahmad Warson. Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif, Cet. XIV. 1997. Muşţafa, Ibrâhîm. Mu’jam Al-Wasîţ. Kairo: Dar Ad-Da’wa, Cet. V, 2011. Al Musyaiqih, Khalid bin Ali. Buku Pintar Akidah; Panduan Praktis Memamahami Akidah, Terj. dari Al-Mukhtaşar Fiel ‘Aqidah oleh Ibnu Syarqi, (Klaten: Wafa Press, Cet. I, 2012 MZ, Abd Kadir. An Nurul Bahir Ilal Imanil Kamil, Jakarta: PT. Serajaya Santra, Cet. I, 1985. Al Nahlawi, Abdurrahman. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat. Jakarta: Gema Insani Press. 1995.
94
Naimullah, Sayyid.
Keajaiban Aqidah; Jalan Terang Menuju Islam Kaffah.
Jakarta: Lintas Pustaka Publisher, Cet. I, 2004. Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. I, 1997. ________. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 1998. ________. Pendidikan dalam Perpektif Al-Qur’an. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005. ________. Pendidikan dalam Perspektif Hadits. Jakarta: UIN Jakarta Press, Cet. I, 2005. ________. Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Prenada Media Group, Cet. I, 2011. Nawawi, Rif’at Syauqi. Kepribadian Qur’ani. Ciputat: WNI Press, Cet. I, 2009. Nawawi, Syaikh Muhammad. Nurul Ať-ťalam. Jedah : Haramain, t.t. ________. Tafsir Munir; Juz I. Semarang: Thaha Putra, t.t. Nursi, Badi’uzzaman Sa’id. Iman Kunci Kesempurnaan, Ter. Dari Al-Iman wa Takamulul-Insan oleh Muhammad Misbah. Jakarta: Robbani Press, Cet. I, 2004. Al Qahthani, Muhammad Said. Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad Qutb, Memurnikan Lâ Ilâha Illallah, Terj. Abu Fahmi, (Jakarta: Gema Insani Press, Cet. X, 1996. Al Qardhawi, Yusuf. Iman dan Kehidupan judul Terj. dari Al-Iman wal Hayat oleh Fachruddin HS. Jakarta: Bulan Bintang, Cet. III, 1993. Quthb, Syaikh Muhammad. Melawan Syirik & Ilhad. Jakarta: Harakah, Cet. I, 2002. Rahardjo, M. Dawam. Ensiklopedi Al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsepkonsep Kunci. Jakarta: Paramadina, Cet. II, 2002. Rajab, Khairunnas. Psikologi Ibadah; Memakmurkan Kerajaan Ilahi di Hati Manusia. Jakarta: Amzah, Cet. I, 2011. Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2002. ________. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia, Cet. II, 1994.
95
Al Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Ciputat: PT. Ciputat Press, Cet. II, 2005. Al Razi, Imam Fakhruddin. Tafsir Kalimat Tauhid. Bandung: Pustaka Hidayah, Cet. I, 2007. Al Rifa’i, Muhammad Nasib. Kemudahan dari Allah; Ringkasan tafsir Ibnu Katsir, jilid II, Terj. dari Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir oleh Syihabuddin. Jakarta: Gema Insani, Cet. VIII, 2005. Saberanity, M. Keimanan Ilmu Tauhid. Jakarta: Mitra fajar Indonesia, Cet. II, 2006. Sabiq, Sayid. Aqidah Islam. Bandung: Diponegoro, Cet. XVIII, 2010. Said, Mansur. Bahaya Syirik dalam Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996. Setyosari, Punaji. Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. II, 2012. Al Shabuni, Muhammad Ali. An-Nubuwah wal Anbiya. Jakarta: Gema Insani Press, Cet. I, 1992. Al Shallabi, Ali Muhammad. Iman Kepada Allah Terj. dari Al-imanu Billahi oleh Umar Mujtahid. Jakarta: Ummul Qura, Cet. I, 2014. Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an;Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, Cet. VII, 1993. ________. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, Cet. I, 2009. ________. Wawasan al-Qur’an; Tafsir Mauđu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan. Cet. V, 1997. Shihab, M. Quraish., dkk., Ensiklopedia Al-Qur’an; Kajian Kosakata. Jakarta: Lentera Hati, 2007. Suharto, Toto. Filsafat pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, Cet. I, 2011 Al Sulthani, Mawardi Labay. Zikir dan Do’a; Iman Pengaman Dunia, Jakarta: AlMawardi Priman, 2000..
96
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Kitab Tauhid, jilid I, Terj. dari At-Tauhid liş Şaffil Awwal Al-Ali oleh Agus Hasan Bashori. Jakarta: Darul Haq, Cet. I, 2011. Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. IX, 2010. ________. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. IX, 2007. Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir Ath-Thabari, Terj. dari Jami’ Al Bayan an Ta’wil Ayi Al Qur’an oleh Akhmad Affandi, dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, Cet. I, 2008. Tharabilisiy, Sayyid Husein Afandy A-Jisr. Memperkokoh Akidah Islamiyah Dalam perspektif Ahlusunnah waljama’ah Terj. dari Al-Hushuunul Hamidiyyah Lil Muhâfađah ‘Alal ‘Aqqa`id Al-Islamiyyah oleh Abdullah Zakiy Al-Kaaf. Bandung: CV. Pustaka Setia,Cet. I, 1999. Tim Ahli Tauhid. Kitab Tauhid. Jakarta: Darul Haq, 1998. Tim Baitu Kilmah Jogjakarta, Ensiklopedi Pengetahuan al-Qur’an dan Hadits. Jakarta: Kamil Pustaka, Cet. II, 2013. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2007. Tirmiżi, Muhammad bin ‘Isa. Sunan at-Tirmiżi. Kairo: Dâr Ibn al-Jauzi, Cet. I, 2011. Tirtarahadja, Umar dan S .L . La Sulo. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta, Cet. II, 2008. Ubaidah, Darwis Abu. Panduan Akidah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Jakarta: Pustaka al-Kausar, Cet. I, 2008. Uhbiyati, Nur. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, Cet. 1, 2013. Ulwan, Abdullah Nashih. Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, Jilid I. Semarang: CV. Asy-Syifa, Cet. III, 1981
97
‘Ulwan, Abdullah Nashih. Saat Mu’min Merasakan Kelezatan Iman. Jakarta: Robbani Press, Cet. I, 1992. Uśaimin, Syekh Muhammad bin Shalih. Kitab At-Tauhid. Riyađ: Dâr Ibn AlJauzi, Cet. III, 1999. ________. Prinsip-prinsip Keimanan, Terj. dari Syarhu Ushulil Iman oleh Ali Makhtum Assalamy. Riyađ: Haiatul Ighatsah al Islamiah, Cet. I, 1993. Usman, M. Basyiruddin. Metodologi Pembelajaran Agama Islam. Jakarta: Ciputat Pers, Cet. I, 2002. Ya’qub, Hamzah. Ilmu Ma’rifah; Sumber Kekuatan dan Ketentraman Bathin. Jakarta: CV. Atisa, Cet. III, 1988. Yasin, A. Fatah. Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. Yogyakarta: UIN-Malang Press, Cet. I, 2008. Yasin, Muhammad Na’im. Iman: Rukun, Hakikat dan yang membatalkannya, Ter. Dari Al-Iiman, Arkaanuhu, Haqiqatuhu, Nawaqidhuhu, Abu Fahmi. Jakarta: Gema Insani Press, Cet. V, 1992. Al Zahabi, Imam Hâfiť Syamsuddin. Al-Kabâ`ir. Beirut: Dâr Al-Fikr, t.t. Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2004. Al Zindani, Abdul Majid. Al-Iman. Kuala Lumpur: Al-Hidayah, Cet. I, 1996. Zuhairini., dkk., Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. V, 2009.