PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TAFSIR AL-QUR’AN SURAT ALI IMRAN AYAT 133 -136 SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh: Ahmad Mudasir NIM: 11112162
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2017
i
ii
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TAFSIR AL-QUR’AN SURAT ALI IMRAN AYAT 133 -136 SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh: Ahmad Mudasir NIM: 11112162
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2017
i
ii
iii
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
سضب هللا فٓ سضب اٌُاٌذٔه َ عخظ هللا فٓ عخظ اٌُاٌذٔه “Keridhaan Allah terletak pada keridhaan kedua orangtua dan kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan keduanya.”
Persembahan Untuk Bapak dan Ibuku (Bapak Nurfauzi dan Ibu Asrifah) Mas, mbak, adik dan keponakan (Mas Muharrom, Mas Khamim, adek mudhofir, Anindita, Feri Kurniawan, Khakim Lutfil) Untuk sahabat-sahabatku dan teman spesialku (Muhammad Kholik, Khamidun, Ali, Kang tarmo, Adhikara, Intan, Hasan cilikan, Camplung, Kasibok) Untuk teman-teman seperjuangan PAI E dan teman-teman angkatan 2012
v
KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan yang Maha Rahman dan Rahim yang dengan rahmat, taufik, dan hifdayah-Nya skripsi dengan judul Pendidikan Karakter dalam Tafsir Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 133-136 bisa diselesaikan. Skripsi ini tidak akan selesai tanpa motivasi, dukungan dan bantuan dari berbagai piak terkait sehingga kebahagiaan yang tiada tara penulis rasakan setelah skripsi ini selesai. Oleh karena itu penulis ucapkan banyak terima kasih setulusnya kepada: 1.
Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga.
2.
Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan.
3.
Bapak H. Ahmad Agus Suaidi, MA. selaku Dosen Pembimbing yang telah membimbing dan membantu dalam penyelesaian skripsi.
4.
Ibu Siti Rukhayati, M. Ag selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN Salatiga.
5.
Bapak Winarno, M, Pd selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih kurang dari sempurna.Oleh
karena itu penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan tugas-tugas penulis selanjutnya. Amin Ya Robbal ’Alamin Salatiga, 5 Maret 2017 Penulis
vi
ABSTRAK Mudasir, Ahmad. 2017. Pendidikan Karakter dalam Tafsir Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 133 sampai 136 . Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing H. Agus Ahmad Suaidi, MA. Kata kunci: Pendidikan, Karakter Penelitian ini membahas tentang pendidikan karakter yang terkandung dalam tafsir al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133 sampai 136. Fokus penelitian ini meliputi: 1) Bagaimanakah konsep pendidikan karakter menurut al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133-136? 2) Bagaimanakah aktualisasi pendidikan karakter dalam kehidupan sehari-hari menurut al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133-136? Penelitian yang digunakan oleh peneliti ini termasuk dalam jenis penelitian literatur, atau penelitian kepustakaan/library research, baik berupa buku, catatan maupun laporan hasil penelitian dari peneliti terdahulu. Dalam hal ini penulis mengumpulkan data skripsi ini dengan mengacu pada sumbersumber kepustakaan seperti buku, majalah, artikel dan jurnal. Dalam penelitian literatur ini, penulis mengacu beberapa sumber yang sesuai dengan topik yang bersangkutan, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primernya yaitu Al-Qur‟an dan Hadist Nabi yang berkaitan dengan pendidikan karakter. Sedangkan sumber sekundernya yaitu tafsir Al-Qur‟an yang berkaitan dengan pendidikan karakter dan buku para ahli yang berkaitan dengannya. Teknik pengumpulan datanya menggunakan metode dokumentasi, sedangkan analisis datanya menggunakan metode diskriptif analisis dan metode induktif. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa konsep pendidikan karakter dalam tafsir al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133 sampai 136 adalah pendidikan karakter yang ditanamkan kepada peserta didik dalam membentuk kepribadian yang baik bagi mereka dan menyempurnakan diri peserta didik secara terus-menerus dengan selalu bergegas dalam kebaikan. Dan aktualisasi pendidikan karakter mengenai tafsir surat Ali Imran ayat 133-136 dalam kehidupan sehari-hari peserta didik antara lain: 1) Pendidik menanamkan kepada peserta didik agar membiasakan menginfakkan hartanya dan harus didasari lillahi ta‟ala. 2) Peserta didik dapat memanage emosi, dan pendidik senantiasa menumbuhkan rasionalitas kepada peserta didik untuk mengalahkan emosi. 3) Pendidik menanamkan toleransi kepada peserta didik agar memaafkan kesalahan orang lain dan memiliki kemuliaan jiwa. 4) Peserta didik memiliki kesadaran untuk cepat mengkoreksi diri dan cepat memperbaiki diri 5) Peserta didik dapat membiasakan diri berbuat kebaikan yang berlebih seperti yang disebutkan di atas.
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................
ii
PENGESAHAN KELULUSAN .....................................................................
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .......................................................
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...................................................................
v
KATA PENGANTAR ....................................................................................
vi
ABSTRAK ......................................................................................................
vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................
viii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..........................................................
1
B. Rumusan Masalah ....................................................................
4
C. Tujuan Pembahasan ..................................................................
4
D. Manfaat Hasil Penelitian ..........................................................
5
E. Definisi Operasional .................................................................
6
F. Metode Penelitian ....................................................................
8
G. Sistematika Penulisan Skripsi ..................................................
10
KAJIAN PUSTAKA A. Pendidikan Karakter .................................................................
11
1. Pengertian Pendidikan Karakter .........................................
11
2. Aliran-Aliran Pendidikan ...................................................
16
3. Tujuan Pendidikan ..............................................................
19
4. Tujuan Pendidikan Karakter ...............................................
21
5. Urgensi Pendidikan Karakter .............................................
23
B. Karakter atau Akhlak dalam Al-Qur‟an ...................................
25
1. Karakter dan Akhlak ..........................................................
25
2. Al-Qur‟an Sebagai Rujukan Karakter ................................
27
viii
BAB III TAFSIR SURAT ALI IMRAN AYAT 133 SAMPAI 136 A. Surat Ali Imran ayat 133 sampai 136 .......................................
31
B. Tafsir Surat Ali Imran Ayat 133-136 menurut Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Quraisy Shihab .............................................
33
C. Tafsir Surat Ali Imran ayat 133-136 menurut Tafsir AlMaraghi dan Tafsir An-Nur ......................................................
43
BAB IV PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TAFSIR SURAT ALI IMRAN AYAT 133 SAMPAI 136 A. Konsep Pendidikan Karakter Menurut Al-Qur‟an Surat Ali Imran Ayat 133-136 .................................................................
52
B. Aktualisasi Pendidikan Karakter Dalam Kehidupan SehariHari Menurut Al-Qur‟an Surat Ali Imran Ayat 133-136 .........
BAB V
54
PENUTUP A. Kesimpulan ..............................................................................
62
B. Saran ........................................................................................
63
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
64
LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran 1
Penunjukan Pembimbing Skripsi
Lampiran 2
SKK
Lampiran 3
Lembar Konsultasi
Lampiran 4
Riwayat Hidup Penulis
ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah salah satu cara untuk menciptakan generasi penerus bangsa yang bermartabat. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang selanjutnya memunculkan kehidupan sosial yang bermoral (Muhammad, 2003: 5). Tetapi walaupun institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan fasilitas yang memadai, namun institusi-institusi tersebut masih belum mencetak individu-individu yang beradab. Sehingga, tujuan pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab terabaikan. Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan nilai-nilai kebaikan, spiritual dan moralitas seperti terabaikan. Justru yang terjadi adalah kondisi yang sebaliknya. Pendidikan di dunia Islam saat ini mengalami krisis yang menyebabkan kemunduran. Para pemerhati pendidikan telah menganalisis beberapa sebab terjadinya kemunduran itu, di antaranya karena ketidaklengkapan aspek materi, terjadinya krisis sosial masyarakat dan krisis budaya, serta hilangnya qudwah hasanah (teladan yang baik), akidah shahihah, dan nilai-nilai islami. (Syafri, 2012: 1). Budaya barat juga sangat berpengaruh pada kehidupan manusia yang menjadikan mereka seperti tidak membutuhkan pendidikan agama, sehingga bisa merusak moral dan perilaku seseorang. 1
Melihat beberapa kasus pelanggaran moral dan akhlak yang terjadi pada peserta didik, tampak jelas tidak tertanamnya dengan baik mana akhlak yang mesti dijadikan karakter dan mana akhlak yang terlarang. Jika pendidikan akhlak dibangun berdasarkan worldview yang benar, metode yang tepat, dan praktik yang integral pada setiap proses pendidikannya, maka bangunan karakter anak didik akan mudah terbentuk (Syafri, 2012: 7). Jadi, dapat dikatakan bahwa untuk memperbaiki nilai-nilai moral dan akhlak seseorang, perlu adanya pendidikan karakter yang ditanamkan kepada para peserta didik. Dalam pengertian yang sederhana pendidikan karakter adalah hal positif apa saja yang dilakukan guru dan berpengaruh kepada karakter siswa yang diajarnya. Menurut Winton, pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilainilai kepada para siswanya (dalam Samani dan Hariyanto, 2011: 43). Dalam makna yang sempit, pendidikan karakter dimaknai sebagai sejenis pelatihan
moral
yang
merefleksikan
nilai
tertentu,
misalnya
diaktualisasikan dalam bentuk sedekah, memaafkan kesalahan orang lain, menahan amarah, bertaubat dan sebagainya. Salah satu pemikir pendidikan karakter kontemporer, Thomas Lickona misalnya, memiliki pandangan bahwa pendidikan karakter dan pendidikan agama semestinya dipisahkan dan tidak dicampuradukkan. Nilai-nilai seperti kebijaksanaan, penghormatan terhadap yang lain, tanggung jawab
pribadi,
perasaan senasib
2
sependeritaan
(public
copassion), pemecah konflik secara damai, merupakan nilai-nilai yang semestinya diutamakan dalam pendidikan karakter. (Majid dan Andayani, 2011: 61). Persoalan kehancuran moral bangsa tidak dapat diatasi dengan berdoa atau hanya dengan membaca kitab suci. Oleh karena itu, gagasan Lincona yang masih relevan bagi kita adalah bahwa dalam melaksanakan pendidikan karakter, terlebih berkaitan dengan pendidikan agama, kita tidak boleh berhenti pada pengembangan nilai keagamaan yang sifatnya ritual (Majid dan Andayani, 2011: 64). Manusia dengan potensinya juga diberi kesempatan memilih. Manusia bukan robot yang bisa dibentuk, tetapi makhluk yang bisa dipengaruhi, diarahkan, dan dididik. Namun, manusia sering salah memilih karena kesalahan pembinaan manusia itu sendiri (Syafri, 2012: 33). Apabila sejak dini peserta didik mulai diberikan arahan-arahan yang baik, dididik agar memiliki karakter yang baik, pasti mereka akan terbiasa dengan perilaku yang baik. Untuk itu, proses pendidikan ditempatkan sebagai misi utama dalam Al-Qur‟an untuk mengenalkan tugas dan fungsi manusia itu sendiri. Al-Qur‟an meskipun bukan tergolong ilmu pengetahuan, namun seluruh ayatnya memuat prinsip-prinsip pendidikan sebagai pegangan manusia untuk dipelajari.
)2( ْب ِف ْٕ ًِ ٌُذًِ ٌٍِّْ ُمخَّمِٕ َْه َ ٌِ ) َر1(اٌم َ ٔه ْاٌ ِىخَبُ الَ َس “Alif laam miim. Kitab (Al-Qur‟an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 1-2)
3
Menurut Syaikh Abdurrahman Nashir As-Sa‟adi, Al-Qur‟an memiliki dua macam petunjuk; Pertama, berupa perintah, larangan, dan informasi tentang perbuatan yang baik menurut syari‟at atau ‘urf (kebiasaan) yang berdasarkan akal, syari‟at dan tradisi.
Kedua,
menganjurkan manusia memanfaatkan daya nalarnya untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat. Ayat-ayat Al-Qur‟an sangat membangun karakter atau akhlak. Beberapa di antaranya adalah pengarahan agar umat manusia berakhlakul karimah, bisa dilihat pada beberapa surah dan ayat berikut; QS An-Nur: 30-32, QS Al-Ahzab:33, QS Al-Isra‟: 23, QS AtTaubah: 119, QS Ali Imran: 133-134 yang mengungkapkan hal-hal yang berkenaan dengan perilaku, penjagaan diri, sifat pemaaf, dan kejujuran. (Syafri , 2012: 64). Oleh karena itu, kedudukan akhlak al-Qur‟an sangat penting, sebab melalui ayat-ayat-Nya al-Qur‟an berupaya membimbing dan mengajak umat manusia untuk berakhlakul karimah. Melalui pendidikan karakter ini manusia dimuliakan Allah dengan akal, sehingga manusia dapat mengemban tugas kekhalifahan dengan akhlak yang benar. Berdasarkan hal-hal tersebut maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang pendidikan karakter dan semua yang berkaitan dengan hal tersebut, maka penulis memutuskan untuk mengambil judul : “Pendidikan Karakter Dalam Tafsir Al-Qur‟an Surat Ali Imran Ayat 133-136”
4
B. Rumusan Masalah Untuk menyusun skripsi ini, penulis terlebih dahulu merumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini sebagai berikut : 1.
Bagaimana konsep pendidikan karakter dalam tafsir Al-Qur‟an Surat Ali Imran ayat 133-136?
2.
Bagaimana aktualisasi pendidikan karakter dalam kehidupan seharihari menurut Al-Qur‟an Surat Ali Imran ayat 133-136?
C. Tujuan Pembahasan 1. Memahami dan menganalisis konsep pendidikan karakter dalam tafsir Al-Qur‟an QS Ali Imran ayat 133-136. 2. Memahami dan menganalisis aktualisasi pendidikan karakter dalam kehidupan sehari-hari menurut Al-Qur‟an Surat Ali Imran ayat 133136. D. Manfaat Hasil Penelitian 1. Manfaat teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan tentang pendidikan karakter baik menurut Al Qur‟an ataupun menurut ilmu pendidikan Islam lainnya. Hasil penelitian ini diharapkan memberi sumbangan ilmu sebagai sarana memperluas khazanah pengetahuan peneliti khususnya dan orang yang berinteraksi langsung dengan pendidikan pada umumnya tentang pendidikan karakter dalam tafsir al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133-136.
5
2. Manfaat praktis Mengetahui
tentang
konsep
pendidikan
karakter
dan
aktualisasinya dalam kehidupan sehari-hari serta sebagai bahan referensi bagi pihak atau instansi yang membutuhkan penelitian ini, serta dapat menumbuhkan semangat untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. E. Definisi Operasional Untuk menghindari kesalahfahaman dalam mengartikan pembahasan dalam skripsi ini, maka penulis akan menjelaskan istilah-istilah dalam skripsi ini sebagai berikut: 1. Pendidikan Karakter Menurut Noeng Muhajir sebagaimana dikutip oleh Suwarno (2006: 19), pendidikan adalah terjemahan dari bahasa Yunani, Paedagogy, yang mengandung makna seorang anak pergi dan pulang sekolah diantar seorang pelayan. Dalam bahasa Romawi, pendidikan diistilahkan dengan educate yang berarti mengeluarkan sesuatu yang berada di dalam. Dalam bahasa Inggris, pendidikan diistilahkan to educate yang berarti memperbaiki moral dan melatih intelektual. Sedangkan karakter berasal dari bahasa Latin “kharakter”, “kharassein”, “kharax”, dalam bahasa Inggris: character dan Indonesia “karakter”, Yunani character, dari charassein yang berarti membuat tajam, membuat dalam (Majid dan Andayani, 2011: 11).
6
Jadi, pendidikan karakter atau oleh para pendidik sering disebutnya sebagai pendidikan watak, adalah sebuah proses pembelajaran untuk menanamkan nilai-nilai luhur, budi pekerti, atau akhlak mulia yang berakar pada ajaran agama, adat istiadat dan nilai-nilai ke-Indonesiaan, dalam rangka mengembangkan kepribadian peserta didik supaya menjadi manusia yang bermartabat, menjadi warga bangsa yang berkarakter sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa dan agama (Zuchdi, 2009: 76). 2. Tafsir Tafsir berasal dari kata “fassara” yang bermana menjelaskan, menerangkan. Menurut istilah, pengertian tafsir adalah ilmu yang mempelajari kandungan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi. Sebagian ahli tafsir mengemukakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang al-Qur‟an al-Karim dari segi pengertiannya terhadap
maksud
Allah
sesuai
dengan
kemampuan
manusia
(https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tafsir). 3. Al-Qur‟an Al-Qur‟an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan perantara malaikat Jibril, untuk dibaca, dipahami, dan diamalkan, sebagai petunjuk atau pedoman hidup umat manusia, kitab suci umat islam (Rajak, 1993: 24).
7
F. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian Penelitian yang digunakan oleh peneliti ini termasuk dalam penelitian literatur, atau penelitian kepustakaan/library research, yaitu penelitian
yang
dilaksanakan
dengan
menggunakan
literatur
(kepustakaan) baik berupa buku, catatan maupun laporan hasil penelitian dan peneliti terdahulu (Hasan, 2006: 5). Dalam hal ini penulis mengumpulkan data skripsi ini dengan mengacu pada sumbersumber kepustakaan seperti buku, majalah, artikel dan jurnal. 2. Sumber Data Dalam penelitian literatur ini, penulis mengacu beberapa sumber yang sesuai dengan topik yang bersangkutan, yakni dibagi dalam dua bentuk sumber yaitu: a. Sumber Primer Sumber primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari objek penelitian perorangan, kelompok, dan organisasi (Ruslan, 2010: 29). Dalam hal ini peneliti mengacu sumber primernya diantaranya adalah Al-Qur‟an dan Hadist Nabi yang berkaitan tentang pendidikan karakter. b. Sumber Sekunder Yaitu sumber yang mendukung dan melengkapi sumber data primer. Adapun sumber data sekunder dalam penulisan
8
skripsi ini adalah tafsir Al-Qur‟an yang berkaitan dengan pendidikan karakter dan buku para ahli yang berkaitan dengannya.
3. Teknik Pengumpulan Data Untuk pengumpulan data dalam penelitian ini, digunakan metode dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, leger, agenda dan sebagainya (Arikunto, 2010: 274). Metode dokumentasi adalah cara untuk mendapatkan data mengenai hal-hal atau variabel dengan membuka kembali catatan, daftar riwayat hidup, transkrip dan lain-lainnya disebut dokumen. Pada penelitian ini penulis menggunakan buku dalam menemukan data. Objek penelitian ini adalah pendidikan karakter. Penulis memfokuskan kajian ini pada pendidikan karakter yang termaktub dalam Al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133-136. 4. Analisis Data Dijelaskan oleh Lexy J. Moleong analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja. Di dalam analisis, data yang muncul berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka (Miles dan Huberman, 1992:15).
9
Dalam menganalisis penelitian tentang pendidikan karakter penulis menggunakan beberapa metode, diantaranya metode diskriptif analisis dan metode induktif. Sedangkan pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif analisis, yaitu penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai dari suatu variabel, dalam hal ini variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variabel lain. (Hasan, 2006:7) Metode Induktif adalah metode yang berangkat dari fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang kongkret, kemudian dari faktafakta atau peristiwa-peristiwa yang kongkret itu ditarik generalisasigeneralisasi yang mempunyai sifat umum (Hadi, 1993:42). Berdasarkan pengertian tersebut penulis akan menguraikan makna yang terkandung dalam Al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133136, kemudian penulis menarik kesimpulan tentang permasalahan tersebut. G. Sistematika Penulisan Skripsi Untuk mempermudah pembahasan dan pemahaman isi skripsi ini, penulis akan menyusun skripsi ini dalam lima bab dengan sistematika sebagai berikut: BAB I, bab ini berisi tentang pendahuluan yang mencakup tentang latar belakang penelitian, rumusan dan tujuan penelitian. Selain itu di dalamnya juga dibahas tentang manfaat penelitian, definisi operasional, metode
10
penelitian diteruskan dengan sistematika penulisan skripsi agar lebih terstruktur dalam memahami. BAB II, sebagai kelanjutan dari bab sebelumnya, maka pada bab ini penulis memaparkan landasan teori yang di dalamnya terdapat teori-teori tentang pendidikan, teori-teori tentang pendidikan karakter, dan teori-teori tentang kandungan surat Ali Imran ayat 133-136. BAB III, pada bab ini penulis akan membahas tentang ayat-ayat alqur‟an dan hadis pendukung, serta tafsir surat Ali Imran ayat 133-136. BAB IV, pada bab ini, penulis memfokuskan pembahasan mengenai surat Ali Imran ayat 133-136 tentang pendidikan karakter dan aktualisasinya dalam kehidupan sehari-hari. BAB V, memaparkan tentang kesimpulan yang telah dibahas dan diuraikan dalam penelitian ini serta dilanjutkan dengan penutup.
11
BAB II LANDASAN TEORI A. Pendidikan 1. Pengertian Pendidikan Pendidikan adalah salah satu hal yang dibutuhkan oleh manusia oleh karena itu tidak heran jika banyak orang yang berbondong-bondong mengenyam pendidikan dari yang formal sampai yang informal. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991: 232), Pendidikan berasal dari kata “didik”, lalu kata ini mendapat awalan me sehingga menjadi “mendidik”, yang memiliki arti memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntunan, dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Menurut Noeng Muhajir sebagaimana dikutip oleh Suwarno (2006: 19), pendidikan adalah terjemahan dari bahasa Yunani, Paedagogy, yang mengandung makna seorang anak pergi dan pulang sekolah diantar seorang pelayan. Dalam bahasa Romawi, pendidikan diistilahkan dengan educate yang berarti mengeluarkan sesuatu yang berada di dalam. Dalam bahasa Inggris, pendidikan diistilahkan to educate yang berarti memperbaiki moral dan melatih intelektual. Secara terminologi pedidikan telah diumuskan oleh para pakar pendidikan maupun ulama. Di antaranya yang dikemukakan oleh al-Qodli Baidlowi yang dinukil oleh Miqdad Yaljan sebagai berikut:
اٌخَّشْ ِبَّٕت ٌِ َٓ حَ ْبٍِ ْٕ ُغ اٌ َّش ْٓ ٍء اٌَّ َو َم ٍِ ًِ َشْٕئًب فَ َش ْٕئًب 12
“Pendidikan adalah usaha perlahan-lahan untuk mengembangkan sesuatu menuju kesempurnaannya”. Jadi kalau kita perhatikan ta‟rif tersebut, maka pengertian pendidikan berlaku sangat umum (Huda, 2009: 19). Dalam pengertian yang sederhana dan umum, pendidikan merupakan
sebagai
usaha
manusia
untuk
menumbuhkan
dan
mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan. Atau dengan kata lain bahwa pendidikan dapat diartikan sebagai suatu hasil peradaban bangsa yang dikembangkan atas dasar pandangan hidup bangsa itu sendiri (Indar, 1994: 16). Sementara pendidikan dalam arti luas merupakan usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya, yang berlangsung sepanjang hayat (Sadulloh, 2009: 54). Di dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tercantum pengertian pendidikan yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Suwarno, 2006: 21). Pendidikan adalah usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan
13
(Ikhsan, 2003: 2). Selain itu, pendidikan juga merupakan salah satu sarana terpenting dalam usaha pembangunan sumber daya manusia dan penanaman
nilai-nilai
kemanusiaan,
yang
pada
gilirannya
akan
menciptakan suasana dan tatanan kehidupan masyarakat yang beradab dan berperadaban (Naquib Al-Attas, 2003: 23). Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi diinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. 2. Aliran-aliran pendidikan Terdapat empat aliran pendidikan yang mana keempat aliran tersebut mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang pendidikan: a.
Aliran empirisme Aliran empirisme dikemukakan oleh John Locke (1704-1932) seorang filsuf Inggris. Empirisme juga berasal dari bahasa latin, dengan kata asal emiricus yang berarti pengalaman. Aliran ini juga dinamakan aliran “Tabularasa” yang berarti seseorang dilahirkan seperti kertas kosong yang belum ditulisi apapun, maka pendidikanlah yang akan menulisnya (Idris, 1992: 5). Jadi John Locke berpendapat bahwa anak dilahirkan ke dunia ini tanpa pembawaan. Menurut teori
14
empirisme, pendidikan adalah maha kuasa dalam membentuk anak didik menjadi apa yang diinginkannya (Jumali dkk, 2008: 126). Teori empirisme ini menganggap bahwa pendidikan hanya dapat diperolah dari lingkungan yang ada disekitar. Yang dimaksud dengan lingkungan yaitu lingkungan hidup maupun lingkungan tak hidup yang berpengaruh besar terhadap pendidikan dan perkembangan anak. b. Aliran nativisme Nativisme berasal dari bahasa latin yaitu natives yang berarti terlahir. Seseorang berkembang berdasarkan apa yang dibawanya dari lahir.
Pendidikan
tidak
berpengaruh
sama
sekali
terhadap
perkembangan seseorang. Pelopor dari aliran Nativisme ini adalah Schopenhauwer Menurutnya
(1788-1880)
mendidik
ialah
yang
berkebangsaan
membiarkan
seseorang
Jerman. tumbuh
berdasarkan pembawaannya (Idris, 1992: 6). Aliran ini berpendapat bahwa perkembangan manusia itu telah ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa manusia sejak lahir, pembawaan yang telah terdapat pada waktu dilahirkan itulah yang menentukan hasil perkembangannya (Purwanto, 2006: 59). Dalam hubungannya dengan pendidikan, aliran ini berpendapat bahwa hasil akhir pendidikan dan perkembangan ditentukan oleh pembawaan yang diperolehnya sejak kelahirannya. Lingkungan tidak berpengaruh sama sekali terhadap pendidikan dan perkembangan anak
15
itu. Aliran ini juga berpendapat bahwa pendidikan tidak dapat menghasilkan tujuan yang diharapkan dengan perkembangan anak didik. Dengan kata lain aliran nativisme merupakan aliran pesimisme dalam pendidikan. Berhasil tidaknya perkembangan anak tergantung pada tinggi rendahnya dan jenis pembawaan yang dimiliki oleh anak didik (Jumali dkk, 2008: 126). c.
Aliran naturalisme Naturalisme berasal dari bahasa latin yaitu nature yang berarti alami, tabiat, dan pembawaan. Aliran ini hampir sama dengan nativisme yang berpendapat bahwa pada hakikatnya semua anak sejak dilahirkan adalah baik. Teori yang dikemukakan oleh J. J Rousseau (1712-1778) berpendapat bahwa semua anak yang baru lahir mempunyai pembawaan yang baik, tidak ada seorangpun anak yang lahir dengan pembawaan buruk(Jumali dkk, 2008: 127).
d. Aliran konvergensi Konvergensi berasal dari kata Convergative yang berarti penyatuan hasil atau kerjasama untuk mencapai suatu hasil. Hukum ini berasal dari ahli ilmu jiwa Jerman, bernama William Stern (18711939). Ia berpendapat bahwa faktor pembawaan dan lingkungan kedua-duanya menentukan perkembangan manusia, sehingga aliran ini
merupakan
kombinasi
(Purwanto, 2006: 60).
16
dari
nativisme
dengan
empirisme
Menurutnya, teori empirisme dan nativisme masing-masing terlalu berat sebelah. Kedua-duanya mendukung kebenaran dan juga ketidak benaran. Menurut teori konvergensi baik pembawaan maupun lingkungan kedua-duanya mempunyai pengaruh terhadap hasil perkembangan anak didik. Hasil perkembangan dan pendidikan bergabung pada kecilnya pembawaan serta situasi lingkungan (Jumali dkk, 2008: 128). Jadi, menurut teori konvergensi perkembangan manusia bukan karena hasil dari pembawaan saja melainkan juga lingkungan yang menentukan hasil pendidikan tersebut. Selain itu kemampuan atau aktivitas seseorang itu sendiri juga menentukan hasil dari pendidikan dan perkembangan manusia. Dengan begitu teori konvergensi menggabungkan antara pembawaan dan lingkungan serta aktivitas manusia itu sendiri. 3.
Tujuan Pendidikan Menurut UUSPN No. 20 Tahun 2003 bab 2 pasal 3 mengenai fungsi dan tujuan pendidikan nasional adalah pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beraklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
17
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Kesuma, 2011: 6) M Athiyah al-Abrasy (2003: 35), mengemukakan bahwa tujuan Pendidikan dan pengajaran adalah sebagai berikut : a. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. b. Pendidikan dan pengajaran bukanlah sekedar memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui, tetapi mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanamkan rasa fadhilah (keutamaan), c. Membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya, ikhlas, dan jujur. d. Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat. Jaminan UUD 1945 pasal 29, UU SISDIKNAS RI bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mencita-citakan lahirnya anak Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mayoritas jumlah penduduk Indonesia beragama Islam, tumbuhnya kegairahan para pemikir dan pengelola lembaga pendidikan Islam untuk memperbaiki, meningkatkan dan memperbaharui mutu pendidikan, munculnya metode belajar membaca al-Qur‟an (Mansur, 2005, 145). Pembentukan karater merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal 1 UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa diantara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah yang
18
terkandung dalam UU di atas bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter. Sehingga akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafaskan nilai-nilai luhur bangsa serta agama (Asmani, 2012: 29). B. Karakter 1.
Pengertian Karakter Secara bahasa, karakter berasal dari bahasa Yunani, charassein, yang artinya „mengukir‟. Sifat utama ukiran adalah melekat kuat di atas benda yang diukir. Tidak mudah usang tertelan waktu atau aus terkena gesekan. Menghilangkan ukiran sama saja dengan menghilangkan benda yang diukir itu. sebab, ukiran melekat dan menyatu dengan bendanya (Munir, 2010:2). Kata karakter menurut Kamus Bahasa Indonesia (2008) berarti; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Sedangkan karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas memiliki makna; bawaan hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak (Syafri, 2012: 7). Sementara dalam kamus psikologi dinyatakan bahwa karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang; biasanya mempunyai kaitan dengan sfat-sifat yang relatif tetap (Dali Gulo dalam Furqon Hidayatullah, 2010: 12). Karakter berasal dari kata character yang berarti watak, karakter atau sifat (Echols, 1996: 107). Suyanto mendefinisikan karakter sebagai
19
cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan beerja sama, baik dalam lingkup keluarga, sekolah, masyarakat, bangsa, dan negara (Zuchdi, 2011: 27). Secara koheren karakter memancar dari hasil olah pikir, olah rasa dan karsa, serta olah raga yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan (Budimansyah, 2010: 23). Dan secara psikologis karakter individu dimaknai sebagai hasil keterpaduan empat bagian, yakni olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olah raga sehingga menghasilkan enam karater utama dalam seorang individu, yaitu jujur, tanggung jawab, cerdas, bersih, sehat, peduli, dan kreatif (Majiid dan Andayani, 2011: 164). Karakter memiliki batasan yang berada di dalam dua wilayah. Ia diyakini ada sebagai sifat fitri manusia, sementara pada sisi lain ia diyakini harus dibentuk melalui model pendidikan tertentu. Aristoteles meyakini bahwa individu tidak lahir dengan kemampuan untuk mengerti dan menerapkan standar-standar moral, dibutuhkan pelatihan yang berkesinambungan agar individu menampakkan kebaikan moral. Sementara Socrates meyakini bahwa ada bayi moral dalam diri manusia yang meminta untuk dilahikan , tugas pendidikan adalah untuk membantu melahirkannya (Anees, 2009: 120). 2. Karakter atau Akhlak dalam Al-Qur‟an Dilihat dari sudut pengertian, ternyata karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai
20
suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran karena sudah tertanam dalam pikiran, dan dengan kata lain, keduanya dapat disebut kebiasaan (Majiid dan Andayani, 2011: 12). Al-Qur‟an adalah sebagai rujukan akhlak yang berfungsi menyampaikan risalah hidayah untuk menata sikap dan perilaku yang harus dilakukan manusia. Ayat-ayat al-Qur‟an sangat membangun karakter akhlak. Beberapa diantaranya adalah pengarahan agar umat manusia berakhlakul karimah, bisa dilihat pada beberapa surat dan ayat berikut yang mengungkapkan hal-hal yang berkenaan dengan perilaku, penjagaan diri, sifat pemaaf, dan kejujuran (Syafri, 2012: 63): a. QS. An-Nur ayat 30-31
ه أَ ْص َوّ ٌٍَُ ْم ِا َّن َ ٌِ بس ٌِ ْم َََٔحْ فَظُُا فُشَُ َجٍُ ْم َر َ لًُْ ٌِ ٍْ ُم ْئ ِم ِى َ ٕه َٔ ُغضُّ ُا ِم ْه أَب ِ ْص َّ (30)ُُن َ هللاَ َخبِٕ ٌش بِ َمب َٔصْ ىَع ْ َبس ٌِ َّه َََٔحْ ف ٔه َ ظ َه فُشَُ َجٍ َُّه ََ َال ٔ ُ ْب ِذ َ ث َٔ ْغضُضْ َه ِم ْه أَ ْب ِ ََلًُْ ٌٍِْ ُم ْئ ِمىَب ِ ص ٔه َ ِصٔىَخٍَ َُّه اِ َّال َمب ظٍََ َش ِم ْىٍَب ََ ٌَْٕضْ ِشب َْه ِب ُخ ُم ِش ٌِ َّه َعٍَّ ُجُُٕبِ ٍِ َّه ََ َال ُٔ ْب ِذ ِصٔىَخٍَ َُّه اِ َّال ٌِبُعٌَُُخِ ٍِ َّه أَ َْ آَبَب ِئ ٍِ َّه أَ َْ آَبَب ِء بُعٌَُُ ِخ ٍِ َّه أَ َْ أَ ْبىَبئِ ٍِ َّه أَ َْ أَبْىَب ِء بُعٌَُُخِ ٍِ َّه أَ َْ ِا ْخ َُا ِو ٍِ َّه أَ َْ بَ ِىٓ ِا ْخ َُاوِ ٍِ َّه أَ َْ بَىِٓ أَ َخ َُاحِ ٍِ َّه أَ َْ ِو َغب ِئ ٍِ َّه أَ َْ َمب ْ َمٍَ َى ٔه ٌَ ْم َ بي أَ َِ اٌطِّفْ ًِ اٌ َّ ِز َ ج أَْٔ َمبوٍُ َُّه أَ َِ اٌخَّببِ ِع ِ اْلسْ بَ ِت ِم َه اٌشِّ َج ِ ْ ٌَُِٕٓه َغٕ ِْش أ ْ َٔ ٕه ِم ْه َ ِبء ََ َال َٔضْ ِشب َْه ِبؤَسْ ُجٍِ ٍِ َّه ٌِٕ ُ ْعٍَ َم َمب ٔ ُْخف ِ ث اٌىِّ َغ ِ ظٍَشَُا َعٍَّ َع ُْ َسا 31( ُُن َ ُن ٌَ َعٍ َّ ُى ْم حُفٍِْح َ ُ هللا َج ِمٕعًب أٍََُّٔب اٌْ ُم ْئ ِمى ِ َّ ٌَِّصٔىَخِ ٍِ َّه ََحُُبُُا ِا 21
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat (30)."Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya,
dan
kemaluannya,
dan
janganlah
mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) Nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanitawanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayanpelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”(31) b. QS. Al-Ahzab ayat 33
22
َََلَشْ َن ِفٓ بُُُٕحِ ُى َّه ََال حَبَشَّجْ َه حَبَشُّ َج ْاٌ َجب ٌِ ٍِٕ َّ ِت األٌََّ ََأَ ِل ْم َه اٌصَّالة َّ هللاَ ََ َسعًٌَُُُ اِوَّ َمب ٔ ُِشٔ ُذ َّ ٕه اٌ َّض َوبةَ ََأَ ِطع َْه ظ َ َِآح َ ْب َع ْى ُى ُم اٌ ِّشج َ ٌِ هللاُ ٌِٕ ُْز ْ ج ََُٔطٍَ َِّش ُو ْم ح َط ٍِٕشًا ِ ْٕ َأَ ٌْ ًَ ْاٌب "Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias, dan bertingkah-laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan
Rasul-Nya.
Sesungguhnya
Allah
bermaksud
hendak
menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlulbait, dan membersihkan (dosa) kamu sebersih-bersihnya." – (QS.33:33) c. QS. Al-Isra‟ ayat 23
ن َ ض ّٰ َسب َُّه أَ َّال حَ ْعبُ ُذَا اِ َّال أَِّبيُ ََ ِب ْبٌ َُا ٌِ َذٔ ِْه ِاحْ َغبوًب ۚ ِا َّمب َٔ ْبٍُغ ََّه ِع ْى َذ َ َََل ٍّ ُْاٌ ِىبَ َش أَ َح ُذٌُ َمب أَ َْ ِو َالٌ ُ َمب فَ َال حَمًُْ ٌٍَُ َمب أ ف ََ َال حَ ْىٍَشْ ٌ ُ َمب ََلًُْ ٌٍَُ َمب لَ ُْ ًال َو ِشٔ ًمب “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya
kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
23
d. QS. At-Taubah ayat 119 ﴾11١﴿
ْ ُهللاَ ََ ُوُو ّ ُا ْ ُُا احَّم ْ ُٔه آ َمى ٕه َ ُا َم َع اٌصَّب ِد ِل َ َٔب أٍََُّٔب اٌَّ ِز
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (199). e. QS. Ali Imran ayat 133-134
ُ س َم َاو ض ُ األر ْ ات َو َّ ض َها ال ُ ار ُعوا إِ َلى َم ْغف َِر ٍة مِنْ َر ِّب ُك ْم َو َج َّن ٍة َع ْر ِ َو َس اء ِ ض َّر ِ س َّر َّ اء َوال َّ ) الَّذِينَ ُي ْنفِقُونَ فِي ال٣١١( َأُعِ دَّ ْت لِ ْل ُم َّتقِين َّ اس َو ٣١١( َِب ا ْل ُم ْحسِ نِين ُّ َّللاُ ُيح ِ ) َوا ْل َكاظِ مِينَ ا ْل َغ ْي َظ َوا ْل َعافِينَ َع ِن ال َّن “Bersegeralah
kamu
mencari
ampunan
dari
Tuhanmu
dan
mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (133). (yaitu) orangorang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema‟afkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (134) Al-Qur‟an sendiri melakukan proses pendidikan melalui latihanlatihan, baik formal ataupun nonformal. Pendidikan akhlak ini merupakan sebuah proses mendidik, memelihara, membentuk, dan memberikan latihan mengenai akhlak dan kecerdasan berpikir yang baik. Selain AlQur‟an, sumber akhlak lainnya adalah sunnah Nabi Muhammad Saw. pandangan ini berdalil pada pendapat Aisyah ra. Ketika menafsirkan akhlak Rasul yang tergambar dalam “al-khuluq al-azhim”, yaitu Al-
24
Qur‟an. Seperti dalam firman Allah,
ك َع ِظٕ ِْم َ َّ“ ََ ِاوDan ٍ ٍُه ٌَ َعٍَّ ُخ
sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (QS. AlQalam: 4). (Syafri , 2014: 65) Akhlak merupakan fondasi dasar sebuah karakter diri. Sehingga pribadi yang berakhlak baik nantinya akan menjadi bagian dari masyarakat yang baik pula dan sebaliknya. Akhlaklah yang membedakan karakter manusia dengan makhluk lainnya. Tanpa akhlak, manusia akan kehilangan derajat sebagai hamba Allah paling terhormat. Sebagaimana firman –Nya,
) ِا َّال5( ٕه َ ٍِ ) ثُ َّم َس َد ْدوَبيُ أَ ْعفَ ًَ َعب ِف4( بن ِفٓ أَحْ َغ ِه حَ ْم ُِ ٍٔم َ اْل ْو َغ ِ ْ ٌَمَ ْذ َخٍَ ْمىَب 6( ُن َ )اٌَّ ِز ِ ٔه آَ َمىُُا ََ َع ِمٍُُا اٌصَّبٌِ َحب ٍ ُث فٍٍََُ ْم أَجْ ٌش َغ ْٕ ُش َم ْمى “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya(Neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putusputusnya” (QS At-Tin: 4-6) C. Pendidikan Karakter 1. Pengertian Pendidikan Karakter Pendidikan menurut Ratna Megawangi (2004: 95), “Sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.” Definisi lainnya dikemukakan oleh Fakry Gaffar (2010: 1), “sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan
25
dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu”. (Kesuma, 2011: 5) Pendidikan karakter atau oleh para pendidik sering disebutnya sebagai pendidikan watak, adalah sebuah proses pembelajaran untuk menanamkan nilai-nilai luhur, budi pekerti, atau akhlak mulia yang berakar pada ajaran agama, adat istiadat dan nilai-nilai ke-Indonesiaan, dalam rangka mengembangkan kepribadian peserta didik supaya menjadi manusia yang bermartabat, menjadi warga bangsa yang berkarakter sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa dan agama (Zuchdi, 2009: 76). Pengembangan karakter terpuji/akhlak mulia/budi pekerti luhur memerlukan pengembangan ketajaman berpikir/bernalar, pemberian teladan, dan pembiasaan secara terus menerus. Semua cara tersebut perlu dilandasi pengembangan kecerdasan religius karena hal ini telah banyak diakui sebagai kondisi yang dapat membuat pendidikan karakter dapat dikelola dengan lebih mudah, dengan hasil yang relatif lebih baik (Zuchdi, 2009: 52). Mantan
Presiden
RI
pertama
Soekarno
berulang-ulang
menegaskan: “Agama adalah unsur mutlak dalam National an Character building” (Sumahamijaya dkk, 2003: 45). Hal ini diperkuat dengan pendapat Simahamijaya itu sendiri yang mengatakan bahwa karakter harus mempunyai landasan yang kokoh dan jelas. Tanpa landasan yang jelas, karakter kemandirian tidak punya arah, mengambang, keropos sehingga tidak berarti apa-apa. Oleh karenanya, fundamen atau landasan dari pendidikan karakter itu tidak lain haruslah agama (Majiid dan Andayani, 2011: 61).
26
Sesungguhnya pendidikan karakter sudah ada dalam UU Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003. Meskipun kata “karakter” tidak disebutkan secara langsung, namun penjelasan dari rumusan tersebut mengarah pada definisi dan arti karakter yang telah disebutkan sebelumnya. Misalnya pada tujuan pendidikan nasional yang menekankan “keimanan dan ketakwaan”. Juga pada bahasan kurikulum yang memperhatikan aspek peningkatan iman dan takwa, peningkatan akhlak mulia dan wajibnya pendidikan agama dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi (Syafri , 2014: 12). Dalam Majiid dan Andayani (2011: 61), pendidikan karakter menuju terbentuknya akhlak mulia dalam diri setiap orang ada tiga tahapan yang harus dilalui, diantaranya: a. Moral Knowing/Learning to know Tahapan ini merupakan langkah pertama dalam pendidikan karakter. Pada tahapan ini, tujuam diorientasikan pada penguasaan pengetahuan tentang nilai-nilai. b. Moral Loving/Moral feeling Tahapan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta dan rasa butuh terhadap nilai-nilai ahlak mulia. c. Moral Doing/Learning to do Pada tahapan ini seseorang mempraktikkan nilai-nilai akhlak mulia itu dalam
perilakunya
sehari-hari.
pembiasaana dan pemotivasian.
27
Tindakan
selanjutnya
adalah
Pendidikan
karakter
yang
bersifat
langsung
adalah
yang
disampaikan melalui program pembelajaran dan pelatihan tertentu. Dan tujuan jangka panjang yang hendak dicapai adalah terbangunnya kehidupan masyarakat, yang aman dan damai, yang bahagia lahir dan batin. Guna mencapai tujuan ini perlu pengembangan kultur yang bercirikan pengawasan oleh Tuhan Yang Maha Esa, teladan oleh pimpinan, dan feedback dari teman (Zuchdi, 2009: 15). Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan karakter adalah
upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk
mengarahkan peserta didik pada pengembangan perilaku anak secara utuh yang didasarkan pada nilai-nilai keluhuran (Zuchdi, 2011: 27). 2. Tujuan pendidikan karakter Socrates berpendapat bahwa tujuan paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi good and smart. Dalam sejarah Islam, Rasulullah Muhammad Saw, Sang Nabi terakhir dalam ajaran Islam, juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam mendidik manusia adalah untuk mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good character). Berikutnya, ribuan tahun setelah itu, rumusan tujuan utama pendidikan tetap pada wilayah serupa, yakni pembentukan kepribadian manusia yang baik. Tokoh pendidikan Barat yang mendunia seperti Klipatrick, Lickona, Brooks dan Goble seakan menggemakan kembali gaung yang disuarakan Socrates dan Muhammad Saw. bahwa akhlak atau karakter adalah tujuan yang tak terhindarkan
28
dari dunia pendidikan. Begitu juga dengan Martin Luther King menyetujui pemikiran tersebut dengan mengatakan, “Intelligence plus character, that is the true aim of education”. Kecerdasan plus karakter, itulah tujuan yang benar dari pendidikan (Majiid dan Andayani, 2011: 30). Pemaparan pandangan tokoh-tokoh di atas menunjukkan bahwa pendidikan sebagai nilai universal kehidupan memiliki tujuan pokok yang disepakati di setip zaman, pada setiap kawasan, dan dalam semua pemikiran. Dengan bahasa sederhana, tujuan yang disepakati itu adalah merubah manusia menjadi lebih baik dalam pengetahuan sikap dan keterampilan (Majiid dan Andayani, 2011: 30). Untuk mencapai tujuan pendidikan karater kepada taraf yang baik, dalam artian terjadi keseimbangan antara ilmu dan amal., maka AlQur‟an juga memberikan model pembiasaan dan praktik keilmuan. AlQur‟an sangat banyak memberikan dorongan agar manusia selalu melakukan kebaikan. Ayat-ayat dalam Al-Qur‟an yang menekankan pentingnya pembiasaan bisa terlihat pada term “amilus shalihat”. Term ini diungkap Al-Qur‟an sebanyak 73 kali. Bisa diterjemahkan dengan kalimat “mereka selalu melakukan amal kebaikan”, atau “membiasakan beramal saleh”. Jumlah term tersebut memperlihatkan pentingnya pembiasaan suatu amal kebaikan dalam proses pembinaan dan pendidikan karakter dalam Islam (Syafri , 2014: 137).
29
Pendidikan Karakter merupakan bentuk kegiatan manusia yang di dalamnya terdapat suatu tindakan yang mendidik diperuntukkan bagi generasi selanjutnya. Tujuan pendidikan karakter adalah untuk membentuk penyempurnaan
diri
individu
secara
terus-menerus
dan
melatih
kemampuan diri demi menuju kearah hidup yang lebih baik. Karakteristik yang paling menonjol dalam organisasi tujuan-tujuan yang diwujudkan dalam pendidikan karakter, bersifat developmental, kompetensi-kompetensi itu tidak dapat dikembangkan dalam waktu secara lingkungan belajar yang sangat terbatas. Mengembangkan kemampuan dasar/nilai-nilai dalam kehidupan untuk menjadi manusia muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt., hanya mungkin dikembangkan secara kontinu dalam kehidupan sehari-hari (Majiid dan Andayani, 2011: 153). .
30
BAB III TAFSIR SURAT ALI IMRAN AYAT 133 SAMPAI 136
A. Surat Ali Imran ayat 133 sampai 136
ْض أُ ِعدَّت ْ س َمب َواتُ َو َّ ض َهب ال ُ األز ُ سب ِزعُىا ِإلَى َم ْغ ِف َس ٍة ِمهْ َزثِّ ُك ْم َو َجىَّ ٍة َع ْس َ َو ٍَه ا ْل َغ ٍْظ َ بظ ِم َ ٌُه ٌُ ْى ِفق َ ) الَّ ِر٣١١( ٍه َ ِل ْل ُمتَّ ِق َّ س َّسا ِء َوال َّ ىن ِفً ال ِ اء َوا ْل َك ِ ض َّس ًشة َّ س َو َ بح َ ) َوالَّ ِر٣١١( ٍه َ َِّللاُ ٌُ ِح ُّت ا ْل ُم ْح ِسى َ َِوا ْل َعبف ِ ٌَه إِ َذا فَ َعلُىا ف ِ ٍه َع ِه الىَّب ُّ ستَ ْغفَ ُسوا لِ ُروُىثِ ِه ْم َو َمهْ ٌَ ْغفِ ُس َّ ىة إِال َّ سهُ ْم َذ َك ُسوا ْ َّللاَ فَب َ ُالرو َ ُأَ ْو ظَلَ ُمىا أَ ْوف َُّللا ْ)أُولَئِ َك َجزَا ُؤهُ ْم َم ْغفِ َسةٌ ِمه٣١١( ىن َ ص ُّسوا َعلَى َمب فَ َعلُىا َوهُ ْم ٌَ ْعلَ ُم ِ ٌُ َولَ ْم ٍه َ ٌه ِفٍ َهب َو ِو ْع َم أَ ْج ُس ا ْل َعب ِم ِل َ َزثِّ ِه ْم َو َجىَّبتٌ ت َْج ِسي ِمهْ ت َْح ِت َهب األ ْو َهب ُز َخب ِل ِد ٣١١( Artinya: “Bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema‟afkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, segera mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa-dosanya selain Allah? Mereka pun tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui. Balasan bagi mereka ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang beramal.” (Ali Imran: 133-136) 1. Tafsir Surat Ali Imran Surah Ali Imran dinamai demikian karena di dalamnya dikemukakan kisah keluarga Imran dengan terperinci, yaitu: Isa, Yahya, Maryam dan ibu
31
beliau. Sedangkan Imran adalah ayah dari ibu Nabi Isa, yaitu Maryam as. Nama surah ini banyak, antara lain surah al-amanu (keamanan), al-kanz, thibah, tetapi yang populer adalah Ali Imran. Tujuan utama surah Ali Imran (keluarga Imran) adalah pembuktian tentang tauhid, keesaan dan kekuasaan Allah swt., serta penegasan bahwa dunia, kekuasaan, harta, dan anak-anak yang terlepas dari nilai-nilai Ilahiyah, tidak akan bermanfaat di akhirat kelak. Tujuan ini sungguh pada tempatnya karena al-Fatihah yang merupakan surat pertama merangkum seluruh ajaran Islam secara singkat, dan Al-Baqarah menjelaskan secara lebih terperinci tuntunan-tuntunan agama. Nah, surah Ali Imran datang untuk menekankan seseutau yang menjadi dasar dan sendi utama tuntunan tersebut, yakni tauhid. Tanpa kehadiran tauhid, pengamalan lainnya tidak bernilai di sisi-Nya (Shihab, 2009: 3). 2. Asbabun Nuzul surat Ali Imran ayat 133-136 Sifat atau ciri-ciri yang disebutkan di sini berkaitan erat dengan peristiwa perang Uhud. Dan karena malapetaka yang terjadi adalah akibat keinginan memperoleh harta rampasan perang yang belum pada waktunya diambil (Shihab, 2009: 264 ). Ayat ini memberi pengertian bahwa Nabi saw. memaafkan para pemanah yang meninggalkan pos pertahanan dalam perang Uhud,
sehingga
akhirnya
menyebabkan pasukan muslim
mengalami kekalahan. Nabi pun tidak melakukan pembalasan terhadap para musyrik yang berlaku kejam kepada Hamzah, paman Nabi, yang gugur dalam medan perang (As-Shiddieqy, 2000: 690). Yang dimaksud
32
perbuatan keji (fakhisyah) pada ayat 134 ialah dosa besar yang akibatnya tidak hanya menimpa diri sendiri, tetapi juga orang lain, seperti zina, riba dan lain-lain. Menzhalimi diri sendiri ialah melakukan dosa yang akibatnya hanya menimpa diri sendiri (Kementrian Agama RI, 2010: 67) B. Tafsir Surat Ali Imran Ayat 133-136 menurut Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Quraisy Shihab Dalam Tafsir Ibnu Katsir, surat Ali Imran ayat 133-136 ini menjelaskan tentang sifat orang-orang yang bertakwa, segera bertobat, menyesali dosa dan bahwa balasan untuknya adalah diampuni dosa dan masuk surga. Dalam Ibnu Katsir (2006: 581), Allah menganjurkan kepada mereka supaya bergegas dalam kebaikan dan bersegera untuk meraih kedekatan dengan Allah. Firman Allah,
ض ْ س َمب َواتُ َو َّ ض َهب ال ُ األز ُ سب ِزعُىا ِإلَى َم ْغ ِف َس ٍة ِمهْ َزثِّ ُك ْم َو َجىَّ ٍة َع ْس َ َو ٍه َ أُ ِعدَّتْ ِل ْل ُمتَّ ِق “Dan bergegaslah kamu menuju ampunan Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa”. Maksudnya, sebagaimana neraka disediakan bagi orang-orang kafir. Al-Bazzar meriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah Saw. kemudian bertanya, “Bagaimana pendapatmu mengenai firman Allah, „Surga yang luasnya seluas langit dan bumi,‟ lalu di manakah neraka?‟, Nabi bersabda, „Bagaimana menurutmu apabila malam datang dan merambahi segala pekara, maka di manakah siang?‟ „Di tempat-
33
tempat yang dikehendaki Allah.‟ Nabi bersabda, „Demikian pula dengan neraka. Ia berada pada tempat yang dikehendaki Allah Ta‟ala.‟ “Yakni, demikianlah bila kita tidak menyaksikan malam ketika siang datang, maka hal itu tidak memastikan tidak beradanya malam ada suatu tempat, meskipun kita tidak tahu di mana malam itu berada. Demikin pula dengan neraka. Ia berada pada tempat yang dikehendaki Allah Ta‟ala. Ini terlihat jelas dalam hadis Abu Hurairah dari Al-Bazzar .
ض ُ َْع ِببمُ ُْا اٌَِّ َم ْغفِ َش ٍة ِم ُه َسبِّ ُى ْم ََ َجىَّ ٍت َعش ِ ْض اٌ َّغ َمب ِء ََ ْاألَس ِ ْضٍَب َو َعش “Berlomba-lombalah kalian kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhan kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi.” (QS Al-Hadid: 21) Dalam Shihab (2009: 263), ketaatan yang diperintahkan oleh ayat yang lalu dapat terlaksana tanpa upaya sunggguh-sungguh, misalnya sekedar melaksanakan yang wajib dan mengabaikan yang sunnah atau anjuran. Atau cukup menghindari yang haram, tetapi melaksanakan yang makruh. Sekedar memohon ampun atas kesalahan dan dosa besar dan tidak mengingat lagi dosa kecil atau hal-hal yang kurang pantas. Ayat ini menganjurkan peningkatan upaya dan melukiskan upaya itu bagaikan satu perlombaan dan kompetisi yang memang merupakan salah satu cara peningkatan kualitas. Karena itu, bersegeralah kamu bagaikan ketergesaan seorang yang ingin mendahului yang lain menuju ampunan dari Tuhanmu dengan menyadari kesalahan dan berlombalah mencapai surga yang sangat agung yang lebarnya, yakni luasnya selebar seluas langit dan bumi yang disediakan
34
untuk al-muttaqin, yakni orang-orang yang telah mantap ketakwaannya, yang taat melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya . Yang dimaksud lebar surga di sini adalah luasnya, dan luas yang dimaksud adalah perumamaan. Ia tidak harus dipahami dalam arti harfiahnya. Dalam benak kita, manusia, tidak ada sesuatu yang dapat menggambarkan keluasan, melebihi luasnya langit dan bumi. Maka untuk menggambarkan betapa luasnya surga, Allah memilih kata-kata “selebar langit dan bumi”. Di sisi lain, sedemikian luasnya sehingga ketika mendengar bahwa lebarnya itu sudah demikian, bagaimana pula panjangnya. Perumpamaan yang diberikan oleh Al-Qur‟an ini mengundang kaum muslimin agar tidak mempersempit surga dan merasa bahwa hanya diri atau kelompoknya saja yang akan memasukinya yang sedemikian luas sehingga siapa pun yang berserah diri kepada-Nya, akan mendapat tempat yang luas di sana (Shihab, 2009: 264). Kemudian Allah Ta‟ala menceritakan sifat ahli surga. Dia berfirman, “Orang-orang yang menginfakkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit.” Yakni pada saat sulit dan lapang, saat giat dan malas, saat sehat dan sakit, dan dalam segala hal dan keadaan. Allah Ta‟ala berfirman, “Orangorang yang menginfakkan hartanya pada malam dan siang hari, secara rahasia maupun terang-terangan.” Maksud ayat ialah bahwa mereka tidak dilalaikan oleh perkara apa pun untuk menaati Allah Ta‟ala dan berinfak untuk memperoleh ridho-Nya. Firman Allah, “Yang menahan marah dan yang memaafkan manusia.” Yakni, bila mereka marah, maka mereka menahannya, dalam arti menyembunyikannya sehingga orang lain tidak
35
mengetahuinya. Di samping itu, apabila orang lain berbuat buruk kepadanya, maka dia memaafkannya (Ibnu katsir, 2006: 582). Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a dari Nabi Saw., beliau bersabda (560):
ُ ٍِ ٌَََ ِى ُّه اٌ َّش ِذ ْٔ َذ اٌَّ ِزْْ َٔ ْم،ْظ اٌ َّش ِذ ْٔ ُذ ِبب اٌصُّ َش َع ِت ب َ ه وَ ْف َغًُ ِع ْى َذ ْاٌغ َ ٌَٕ ِ َض Artinya: “Orang yang kuat pemberani bukanlah yang dapat menaklukan musuh dalam gulat, namun orang yang dapat mengendalikan nafsunya ketika dia marah.” (HR. Ahmad). Imam Ahmad meriwayatkan dari Athiyah bin Sa‟ad As-Sa‟di, dia pernah bersama Nabi, dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda (562), “Sesungguhnya kemarahan itu dari setan dan setan itu diciptakan dari api. Sesungguhnya api itu hanya dapat dipadamkan dengan air. Jadi jika salah seorang di antara kamu marah, maka berwudlulah.” Demikian pula keterangan yang diriwayatkan oleh Abu Daud (Ibnu Katsir, 2006: 583). Imam Ahmad mengatakan dari Abdullah bin Yazid bahwa Rasulullah saw. bersabda,
َط ْاٌ َخال ِ َْ َد َعب يُ هللاُ َعٍَّ ُس ُإ,ا َم ْه َوظَ َم َغْٕظًب ٌََُ َُ لَب ِد ٌس َعٍَّ أَ ْن ٔ ُ ْى ِف َزي ْ ْاٌح ُُْ ِس َشب َء ِّ َ َحخَّّ ُٔ َخِّٕ َشيُ ِم ْه أ,ك ِ ِئ “Barang
siapa
menahan
amarah,
sedangkan
ia
mampu
utnuk
melaksanakannya, maka Allah kelak akan memanggilnya di mata semua makhluk hingga Allah menyuruhnya memilih bidadari manakah yang disukainya”. Firman Allah Ta‟ala, “Yang memaafkan manusia”, yakni
36
mereka memaafkan orang yang menzaliminya sehingga di dalam dirinya tiada niatnya untuk membalas dendam pada seorang pun. Ini merupakan perilaku yang paling utama. Oleh karena itu, Allah berfirman, “Allah mencintai orangorang yang berbuat kebaikan.” (Ibnu Katsir, 2006: 583). Al Hakim meriwayatkan dalam mustadraknya, sebuah hadis dari Musa bin Uqbah dengan sanadnya dari Ubadah bin Shamit, dari Ubai bin Ka‟ab, bahwa Rasulullah bersabda,
ُ بن ََحُشْ فَ ُع ًٌَُ اٌ َّذ َس َج ُ بث فَ ٍَْٕع ُ َٕف ًٌَُ اٌُب ُ ْى ًُْف َع َّم ْه ظٍََ َم َ َم ْه َع َّشيُ أَ ْن ُٔ ْش َش ْ ًْص ُ ًمه لَطَ َع ِ َََٔ ًُْظ َم ْه َح َش َم ِ ََُٔع “Barang siapa yang berambisi untuk memiliki kepribadian yang mulia dan derajat yang tinggi, maka hendaklah dia memaafkan orang yang menzaliminya, memberi kepada orang yang tidak suka memberi kepadanya, dan menghubungkan tali silaturrahmi kepada orang yang memutuskan hubungan dengannya.” Kemudian Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih karena mengikuti syarat syikhani, meskipun keduanya keduanya tida meriwayatkan hadis itu (Ibnu Katsir, 2006: 584). Setelah dalam ayat yang lalu telah digambarkan sekelumit tentang surga, ayat ini menggambarkan sekelumit tentang sifat-sifat mereka yang wajar menghuninya. Sifat atau ciri-ciri yang disebutkan di sini berkaitan erat dengan peristiwa perang Uhud. Dan karena malapetaka yang terjadi adalah akibat keinginan memperoleh harta rampasan perang yang belum pada waktunya diambil, nasihat pertama adalah tentang berinfak dengan menyatakan bahwa ciri orang bertakwa adalah mereka yang kebiasaannya
37
atau secara terus menerus menginfakan hartanya di jalan Allah baik di waktu dia lapang, yakni memiliki kelebihan dari kebutuhannya maupun di waktu dia sempit tidak memiliki kelebihan dari kebutuhannya (Shihab, 2009: 264). Dalam
konteks menghadapi
kesalahan orang lain, ayat
ini
menunjukkan tiga kelas manusia atau jenjang sikapnya. Pertama, yang mampu menahan amarah. Kata al-kadhimin mengandung makna penuh dan menutupnya dengan rapat, seperti wadah yang penuh air lalu ditutup rapat agar tidak tumpah. Ini mengisyaratkan bahwa perasaan tidak bersahabat masih memenuhi hati yang bersangkutan, pikirannya masih menuntut balas, tetapi dia tidak memperturutkan ajakan hati dan pikiran itu, dia menahan amarah. Di atas tingkat ini, adalah yang memaafkan. Kata al-‘afin terambil dari kata al-afni yang biasa diterjemahkan dengan kata maaf. Kata ini antara lain berarti menghapus. Seseorang yang memaafkan orang lain adalah yang menghapus bekas luka hatinya akibat kesalahan yang dilakukan orang lain terhadapnya. Kalau dalam peringkat pertama di atas, yang bersangkutan baru sampai pada tahap menahan amarah, kendati bekas-bekas luka itu masih memenuhi hatinya, pada tahapan ini yang bersangkutan telah menghapus bekas-bekas luka itu. kini seakan-akan tidak pernah terjadi satu kesalahan atau suatu apapun. Namun, karena pada tahap ini seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu, boleh jadi juga tidak terjalin hubungan. Untuk mencapai tingkat ketiga Allah mengingatkan bahwa yang disukai-Nya adalah orangorang yang berbuat kebaikan, yakni bukan yang sekedar menahan amarah
38
atau memaafkan, tetapi justru berbuat baik kepada orang yang pernah melakukan kesalahan. Firman Allah Swt,
َّ س ُه ْم َذ َك ُسوا ستَ ْغفَ ُسوا ِل ُروُى ِث ِه ْم َ بح َ َوالَّ ِر ْ َّللاَ فَب َ ُشةً أَ ْو ظَلَ ُمىا أَ ْوف ِ ٌَه ِإ َذا فَ َعلُىا ف “Dan orang-orang yang apabila mereka melakukan perbuatan keji atau mereka menzalimi diri sendiri, maka mereka ingat kepada Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosanya.” Yakni apabila dia melakukan sebuah dosa, maka perbuatannya itu diiringi dengan tobat dan istighfar (Ibnu katsir, 2006: 584). Tatkala melakukan tobat sangat dianjurkan untuk berwudlu dan shalat dua rekaat.
ِا َّن هللاَ ٔ ُِحبُّ اٌخ َّ َُّا ِبٕ َْه ََ ٔ ُِحبُّ اٌ ُمخَطٍَ ِِّشٔ َْه “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orangorang yang menyucikan diri.” (Al-Baqarah:222) Firman Allah, “Tiada yang dapat mengampuni dosa kecuali Allah.” Yakni, tidak ada seorang pun yang mengampuni dosa kecuali Dia. Sebagaimana
Imam
Ahmad
meriwayatkan
dari
Aswad
bin
Sari‟,
“Sesungguhnya Nabi datang dengan membawa seorang tawanan. Dia berkata, „Ya Allah, sesungguhnya aku bertobat kepada-Mu bukan bertobat pada Muhammad.‟ Maka Nabi Saw. bersabda, „Dia mengenal hak itu bagi bagi yang seharusnya menerimanya.‟” Firman Allah Swt., “Dan mereka tidak terus menerus berada dalam kemaksiatan dan menekuninya. Jika dia mengulangi dosa, maka dia bertobat lagi darinya. (Ibnu Katsir, 2006: 586).
39
Firman Allah Swt., “Sedang mereka tidak mengetahui.” Yakni barang siapa yang bertobat, maka Allah akan menerima tobatnya. Ini senada dengan firman Allah, ”Apakah mereka tidak mengetahui bahwa Allah akan menerima tobat dari hamba-hamba-Nya.” Firman Allah Swt., “Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhannya,” yakni balasan bagi mereka yang memiliki sifat-sifat seperti itu adalah “ampunan dan surga yang mengalir sungaisungai di bawahnya. “ dari berbagai jenis minuman,” sedang mereka kekal di dalamnya,” yakni mereka menetap di sana. “Dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.” Di sini Allah memuji kebaikan surga. (Ibnu Katsir, 2006: 586) Setelah menjelaskan sikap dan perilaku mereka yang disebut di atas dalam menghadapi orang lain, kini melalui ayat ini dijelaskan sikap mereka menghadapi diri sendiri. Atau, setelah menyebut peringakat tinggi dari penghuni surga, kini disebutkan peringkat yang di bawah mereka, yaitu mereka yang apabila mengerjakan dengan sengaja atau tidak sadar perbuatan keji, yakni dosa besar, seperti membunuh, berzina, korupsi, mencuri atau menganiaya diri sendiri dengan dosa atau pelanggaran apa pun, mereka ingat Allah sehingga mereka malu atau takut lalu mereka menyesali perbuatan merek, bertekad untuk tidak mengulanginya dan memohon ampun atas dosadosa mereka. Ketika itu, Allah mengampuni mereka karena Dia Maha Pengampun dan tiada selain-Nya yang dapat memberi ampun. Siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Tentu saja tidak ada! Selanjutnya, setelah bertaubat mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya
40
itu, sedang mereka tidak mengetahui bahwa perbuatan tersebut terlarang. Mereka yang kedudukannya tinggi sebagaimana diisyaratkan oleh kata itulah yang akan memperoleh balasan dari Allah. Balasannya ialah mendapat ampunan dari Tuhan Pemelihara mereka atas kesalahan dan dosa mereka, baik yang besar mapupun yang kecil, dan di samping itu mereka juga dianugerahi surga-surga, masing-masing sesuai dengan kedudukan mereka di sisi Allah, yakni surga itu yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sedang mereka kekal di dalamnya dan sungguh baik pahala orang-orang yang beramal (Shihab, 2009: 266). Di atas Anda baca fahisyah yang diterjemahkan dengan perbuatan keji diartikan sebagai dosa besar, sedang menganiaya diri diartikan sebagai dosa atau pelanggaran secara umum termasuk di dalamnya dosa besar. Ada juga yang
membalik
pengertiannya.
Pendapat
ketiga
dikemukakan
oleh
Muhammad Sayyid Thantawi bahwa perbuatan keji dan menganiaya diri merupakan dosa dari setiap kedurhakaan. Setiap perbuatan keji yang dilakukan seseorang berakibat penganiayaan atas dirinya, demikian pula sebaliknya. Atas dasar itu, sementara ulama menegaskan bahwa kata atau sebelum kata menganiaya diri sendiri pada ayat di atas berarti dan. (Shihab, 2009: 267). Kalau diamati sifat-sifat para penghuni surga atau orang-orang bertakwa di atas, ditemukan bahwa maksiat dan kedurhakaan yang dilakukan seseorang, selama ia segera menyadarinya, tidak mencabut identitas ketakwaannya. Ini dipahami dari penjelasan ayat 135 di atas. Hal ini juga
41
membuktikan betapa realitinya ajaran al-Qur‟an. Allah tidak menutup pintu, dan mengharuskan semua orang sebersih kain putih, sehalus sutra. Dia menerima hamba-hamba-Nya yang berlumuran dosa dan memasukkan dalam kelompok orang bertakwa selama mereka menyadari keslahannya. Namun, tentu peringkat ketakwaannya belum mencapai peringkat yang tinggi (Shihab, 2009: 267). Firman Allah, a) mereka ingat Allah, lalu memohon ampun, b) tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, c) mereka mengetahui. Ketiganya telah mencakup makna taubat, yang menurut Imam Ghazali mencakup, a) pengetahuan, b) kondisi kejiwaan, c) perbuatan. Yang pertama pengetahuan seseorang bahaya dan dampak buruk dosa yang menjadi penghalang kedekatan seseorang dengan Allah. Apabila ini dipahami dan dihayati, akan timbul kesadaran, bahkan rasa pedih karena kehilangan peluang untuk mendekati-Nya, dan ini menimbulkan penyesalan, selanjutnya mendorong kepada upaya dan aktivitas yang berkaitan dengan masa kini, lalu, dan akan datang. Aktivitas masa kini adalah meninggalkan dosa itu. Aktivitas masa datang adalah tekad untuk tidak mengulanginya lagi. Sedang aktivitas masa lalu adalah menghindari apa yang telah berlalu. Firman-Nya: mengingat Allah isyarat kepada penyesalan, sedang tidak meneruskan isyarat kepada meninggalkan serta tekad untuk tidak mengulangi dosa, sedang mereka mengetaui isyarat kepada pengetuan yang menimbulkan kesadaran itu (Shihab, 2009: 267).
42
C. Tafsir Surat Ali Imran ayat 133-136 menurut Tafsir Al-Maraghi dan Tafsir An-Nur
ض ْ بواتُ َو َّ ض َهب ال ُ األز ُ سب ِزعُىا ِإلَى َم ْغ ِف َس ٍة ِمهْ َزثِّ ُك ْم َو َجىَّ ٍة َع ْس َ َو َ س َم Bersegeralah melakukan amal yang dapat menyampaikan kepada ampunan Tuhan atas dosa-dosa kalian, yang dapat memasukkan kalian ke surga yang luanya disediakan oleh Allah untuk orang yang mau bertakwa, melaksanakan perintah-perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya. Untuk itu beramal baiklah dan bertaubatlah dari perbuatan dosa, dan bersedekahlah kepada orang sengsara yang membutuhkan pertolongan (AlMaraghi, 1986: 115). Sementara dalam tafsir An-Nur, Kata Abu Muslim: “Yang dimaksud dengan „ardh’ di sini adalah harga.” Jelasnya, kalau surga dijual, maka harganya sama dengan atau senilai dengan harga langit dan bumi. Yang dikehendaki dengan luasnya di sini adalah besarnya, tinggi nilainya dan tiada tertandingi oleh siapapun (As-Shiddieqy, 2000: 689).
ٍه َ أُ ِعدَّتْ ِل ْل ُمتَّ ِق Inilah surga yang disediakan bagi orang-orang muttaqin (yang bertakwa), yang memelihara diri dari adzab Allah, dengan melakukan banyak amal shaleh. Ayat ini menjadi dalil bahwa surga telah ada sekarang, dan surga berada di luar alam, karena lebih besar dari alam (As-Shiddieqy, 2000: 689).
ض َّسا ِء َ ٌُه ٌُ ْى ِفق َ الَّ ِر َّ س َّسا ِء َوال َّ ىن ِفً ال
43
Dalam tafsir Al-Maraghi, sifat orang yang bertakwa adalah orangorang yang mau berinfak, baik dalam keadaan mudah atau sulit, mereka pantang mundur terus beramal sesuai dengan kondisi kemampuan mereka, dan sama sekali tidak pernah melalaikan infak (beramal). Melakukan infak dalam dua kondisi, yaitu ketika mudah dan sempit, menunjukkan ketakwaan. Sebab harta itu amat disayang. Untuk menginfakkannya ke jalan kebaikan dan maslahat yang diridhai Allah terasa amat berat. Sedang dianjurkannya berinfak dalam keadaan senang dan mudah, guna menghapus rasa takabbur, cinta harta, dan memendam berbagai keinginan karena kekayaan dan kegembiraan yang diakibatkan olehnya. Di samping itu dianjurkannya dalam keadaan susah, karena manusia lebih cenderung meminta dari pada memberi namun sekalipun dalam keadaan susah, ia pun masih mempunyai sisa untuk diinfakkan ke jalan Allah, sekalipun sedikit (Al-Maraghi, 1986: 117). Oleh karena itu Allah SWT. mengajarkan manusia agar berinfak di jalan kebaikan sekalipun sedikit, melalui firman-Nya,
ُ ٌٍُِِّٕ ْىفِ ْك ُر َْ َع َع ٍت ِّم ْه َع َعخِ ًِ ََ َم ْه لُ ِذ َس َعٍَ ْٕ ًِ ِس ْصلًُُ فَ ٍُْٕ ْىفِ ْك ِم َّمب آحًُِ هللاُ الَ ُٔ َى ُف هللا ْش ُّٔغْشًا ٍ وَ ْفغًب ِاالَّ َمآ آحٍََب َعَٕ ُج َع ًُ هللاُ بَ ْع َذ ُعغ “Hendaknya
orang
yang
mampu
memberi
nafkah
menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak akan memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesuda kesempitan.” (At-Talaq, 65: 7)
44
Berdasarkan pengertian ini, dapat dilihat bahwa Allah SWT. menjadikan alamat takwa yang terpenting ialah menginfakkan harta. Allah juga menjadikan sifat kikir sebagai alamat tidak bertakwa. Takwa merupakan jalan menuju surga (Al-Maraghi, 1986: 118). Petunjuk agama telah memberikan arah dan bimbingan kepada kita, bahwa jiwa manusia itu hendaknya mempunyai rasa dermawan yang tumbuh berdasarkan kesadaran, sekalipun ia sedang dilanda kemiskinan. Hendaknya ia membiasakan diri berbuat kebajikan, sesuai dengan kekuatannya agar merasa enggan melakukan perbuatan-perbuatan rendah yang dapat menyeret dirinya lantaran terdesak kebutuhan (Al-Maraghi, 1986: 117). Para
muttaqin
adalah
orang-orang
yang
membelanjakan
(menyedekahkan) hartanya, baik pada waktu lapang (memperoleh rezeki banyak) ataupun di waktu sempit (usaha tersendat-sendat jalannya), sesuai dengan kemampuannya dan keadaan. Diriwayatkan dari Aisyah bahwa beliau pernah sedekah hanya dengan sebiji buah anggur. (As-Shiddieqy, 2000: 689). Diriwayatkan pula oleh sebagian salaf, bahwa ada seseorang dari mereka yang sedekah dengan sebiji bawang merah. Dalam sebuah hadis disebutkan (Al-Maraghi, 1986: 116):
ِّ بس ٌَََ ُْ بِ ِش ق ٍ ٍْ َِي ٌَََ ُْ بِ ِظ، ك حَ ْم َش ٍة ََ ُس ُّدَا اٌغَّب َ َّاحَّمُُا اٌى ٍ ف ُمحْ َش “Takutlah kalian terhadap neraka, sekalipun hanya dengan sepotong buah kurma dan berikanlah kepada orang-orang yang minta sekalipun itu adalah dengki yang dibakar.”
ٍَه ا ْل َغ ٍْظ َ بظ ِم ِ َوا ْل َك 45
Maksudnya,
semua
orang
yang
mampu
menyembunyikan
kemarahannya, mampu mengendalikan diri sewaktu marah atau mampu mengendalikan emosinya, serta tidak menganiaya orang lain sewaktu berkuasa
atau
mempunyai
kekuatan.
Menyembunyikan
kemarahan
merupakan perbuatan taqwa (As-Shiddieqy, 2000: 689). Orang-orang yang menahan dan mengekang perasaan amarahnya, tidak mau melampiaskannya, sekalipun hal itu bisa saja ia lakukan. Barang siapa menuruti nafsu amarah, kemudian bertekad untuk dendam, berarti ia tidak stabil lagi dan tidak mau berpegang teguh pada kebenaran. Bahkan terkadang ia bisa melampaui batas. Oleh karena itu, dikatakan bahwa menahan amarah termasuk takwa kepada Alla SWT. (Al-Maraghi, 1986: 119). Rasulullah saw. pernah bersabda (Al-Maraghi, 1986: 122):
َم ْه َوظُ َم َغ ْٕظًب ٌََ ُ َُ َٔ ْم ِذ ُس َعٍَّ ِا ْوفَب ِر ِي َمالَأَهللُ لَ ٍْبًَُ اَ ْمىًب ََاِ ْٔ َمبوًب “Barang siapa menekan rasa amarahnya sedang ia mampu melampiaskannya, maka Allah akan memenuhi hatinya dengan rasa ketenangan dan keimanan.” Kesimpulannya adalah mereka yang kuasa menekan perasaan marah dan tidak melampiaskannya bahkan menelannya adalah sama dengan yng diungkapkan oleh firman Allah SWT (Al-Maraghi, 1986: 120):
َضب ُُْا ٌُ ْم َٔ ْغفِش َُْ َن ِ ََاِ َرا َمب غ “....dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.” (As-Syura, 42:37)
46
س َ َِوا ْل َعبف ِ ٍه َع ِه الىَّب Orang-orang yang suka memberi maaf kesalahan orang lain dan membiarkan mereka,
tidak
menghukum,
sekalipun
mereka
mampu
melakukan, hal itu merupakan tingkatan penguasaan diri dan pengendalian jiwa yang jarang bisa dilakukan oleh setiap orang. Tingkatan ini lebih tinggi dibanding tingkatan mereka yang menahan rasa marah tadi, karena terkadang seseorang menekan amarahnya disebabkan sifat dengki. At-Tabrani mengetengahkan sebuah hadis Ubay bin Ka‟ab bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda (Al-Maraghi, 1986: 120):
ُ بن َُ حُشْ فَ ُع ًٌَُ اٌ َّذ َس َج ُ بث فَ ٍَْٕع ُ َٕف ًٌَُ ْاٌب ُ ْى ََ ًُْف َع َّم ْه ظٍَُ َم َ َم ْه َع َّشيُ اَ ْن ُٔ ْش َش ًُص ًُ َم ْه لَطَ َع ِ َََٔ ًُْظ َم ْه َح َش َم ِ ُٔع “Barang siapa suka bangunan rumahnya (di surga) didirikan dan derajatnya diangkat, hendaknya ia suka memberi maaf terhadap orang yang berbuat aniaya terhadap dirinya, memberi kepada misin dan menyambung silaturrahmi dengan orang yang memutuskannya.”
ََ َج َضآ ُء َعِّٕئَ ٍت ّعِّٕئَتٌ ِم ْثٍٍَُب فَ َم ْه َعفَب ََأَصْ ٍَ َح فَؤَجْ ُشيُ َعٍَّ هللاِ اِوًَُّ الَ ٔ ُِحبُّ اٌظَّبٌِ ِمٕ َْه “Dan balasan kejelekan itu adalah kejelekan pula, namun siapa yang memaafkan dan memperbaiki (hubungannya), maka pahala baginya di sisi Allah. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orng yang dzalim.” (As-Syura: 40) Mereka tidak melakukan pembalasan terhadap orang yang berbuat salah, menganiaya dirinya atau menyakiti hatinya, meskipun mereka memiliki
47
kemampuan untuk melakukan pembalasan. Sebaliknya, mereka lebih menyukai memberi maaf kepada manusia yang berbuat aniaya kepada dirinya, semau perlakuan negatif atas dirinya diterima dengan ikhlas dan sabar. Ayat ini memberi pengertian bahwa Nabi saw. memaafkan para pemanah yang meninggalkan pos pertahanan dalam perang Uhud, sehingga akhirnya menyebabkan pasukan muslim mengalami kekalahan. Nabi pun tidak melakukan pembalasan terhadap para musyrik yang berlaku kejam kepada Hamzah, paman Nabi, yang gugur dalam medan perang (AsShiddieqy, 2000: 690).
َّ َو ٍه َ َِّللاُ ٌُ ِح ُّت ا ْل ُم ْح ِسى Allah mengasihani hamba-hamba-Nya yang berbuat ihsan (kebaikan yanng berlebih) kepada orang-orang yang sangat membutuhkan bantuan, dengan memberikan sebagian nikmat Allah yang diterimanya sebagai tanda kesyukuran. Berbuat ihsan kepada orang lain adakalanya dengan memberikan suatu kemanfaatan. Termasuk dalam ihsan ini adalah memberi petunjuk kepada orang yang tersesat, mengeluarkan harta untuk jalan-jalan kebajikan dan ibadat. Adakalanya ihsan dilakukan dengan jalan menolak kemudaratan dari seseorang, tidak membalas keburukan dengan keburukan. Oleh karena itu, ayat ini dipandang sebagai ayat yang mengumpulkan berbagai macam sifat ihsan kepada orang lain (As-Shiddieqy, 2000: 690). Mengingat hal itu, maka ayat ini mencakup semua segi kebajikan terhadap orang lain. Allah SWT. telah menuturkan balasan kepada orang yang suka berbuat kebaikan melalui firman-Nya Wallahu yuhibbul muhsinin.
48
Perlu diperhatikan, bahwa kecintaan Allah terhadap hamba-hamba-Nya merupakan derajat pahala yang paling agung (Al-Maraghi, 1986: 122)
َّ س ُه ْم َذ َك ُسوا ستَ ْغفَ ُسوا ِل ُروُى ِث ِه ْم َ بح َ َوالَّ ِر ْ َّللاَ فَب َ ُشةً أَ ْو ظَلَ ُمىا أَ ْوف ِ ٌَه ِإ َذا فَ َعلُىا ف Semua
orang
yang
apabila
mengerjakan
dosa
besar
yang
kemudharatannya menyangkut orang lain, seperti zina, riba, mencuri, menipu, korupsi, mengumpat, atau mengerjakan dosa kecil yang kemudharatannya tidak mengganggu orang lain, mereka segera mengingat siksa Allah, ancaman dan janji-Nya, lalu bertobat. Atau mereka segera mengingat kebesaran Allah, keindahan-Nya, keutamaan-Nya, lalu memandang diri sendiri yang hina-dina lantaran telah melakukan sesuatu yang tidak diridhai Allah. Yang demikian segera mendorong jiwa mereka untuk tidak mengulangi kesalahan dan kemaksiatan tersebut, sebaliknya, mereka bertobat (As-Shiddieqy, 2000: 691).
ُّ َو َمهْ ٌَ ْغفِ ُس َّ ىة إِال َ ُالرو َُّللا Ayat ini adalah jumlah mu‟taridah, antara ayat yang sebelum dan sesudahnya, sebagai uacapan salut terhadap orang-orang yaang mau bertaubat, penghibur hati bagi mereka, berita gembira bagi mereka lantaran mendapat rahmat Allah yang luas dan ampunan-Nya sudah dekat, dan meluhurkan kedudukan mereka karena telah mengetahui bahwa tidak ada jalan lain bagi orang-orang yang berdosa kecuali hanya kepada kemurahan dan kemuliaan Allah. Dan salah satu di antara kemurahan Allah ialah orang yang bertaubat dari dosa, bagai orang yang tiada berdosa bagi Allah (AlMaraghi, 1986: 123). Tidak seorang pun yang mampu menghapus dosa-dosa
49
seseorang ataupun memberikan pembalasan terhadap perbuatan dosa, kecuali Allah, Tuhan yang Maha Tinggi (As-Shiddieqy, 2000: 691). Seorang hamba jika berlindung kepada Allah, kemudian bertaubat dengan
segala
kemampuannya,
maka
Allah
memberi
maaf
dan
mengampuninya, betapapun besar dosanya. Sebab, ampunan dari Allah itu lebih agung, dan kemurahan-Nya lebih besar. Sebagaimana dalam ayat ini juga terkandung anjuran kepada hamba-hamba-Nya agar bertaubat kepadaNya dan peringatan bagi mereka agar jangan berputus asa (Al-Maraghi, 1986: 123).
ىن َ ص ُّسوا َعلَى َمب فَ َعلُىا َوهُ ْم ٌَ ْعلَ ُم ِ ٌُ َولَ ْم Mereka tidak terus menerus terjerumus dalam perbuatan dosa, tanpa beristighfar
(meminta
ampun).
Mereka
segera
menyadari
bahwa
perbuatannya itu buruk dan keji. Mereka begitu mengingat Allah, segera meminta ampun dan bertobat, dengan tidak mengulangi perbuatan dosanya itu. ringkasnya, ayat ini memberi pengertian bahwa muttaqin yang telah disediakan surga untuk mereka, tidak mau terus menerus berbuat kesalahan, dosa dan maksiat, baik kecil ataupun besar. Perlu ditegaskan, istigfar yang dimaksudkan di sini bukan membaca istighfar secara lisan, tetapi dalam bentuk bertobat nasuha (berotbat secara sungguh-sungguh) (As-Shiddieqy, 2000: 691). Firman Allah wahum ya’lamuna, artinya mereka menyadari kejelekan yang dilakukannya, larangan melakukannya dan ancaman mengenai hal itu. tujuan disebutkannya hal itu merupakan penjelasan bahwa bila pelakunya
50
tidak mengetahui kejelekan perbuatannya itu dapat diberi ampunan lantaran ketidaktahuannya itu (Al-Maraghi, 1986: 124).
ٌه ِفٍ َهب َ أُولَ ِئكَ َجزَا ُؤهُ ْم َم ْغ ِف َسةٌ ِمهْ َزثِّ ِه ْم َو َجىَّبتٌ ت َْج ِسي ِمهْ ت َْح ِت َهب األ ْو َهب ُز َخب ِل ِد Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa digambarkan dengan sifatsifat yang telah disebutkan tadi, bagi mereka adalah keselamatan dari siksaan, dan pahala yang agung di sisi Tuhan, yaitu di surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai (Al-Maraghi, 1986: 125) Semua orang yang memiliki lima sifat seperti telah diterangkan itulah, yang mencapai derajat kesempurnaan ruh dan memperoleh taufik Ilahi. Mereka memperoleh pembalasan yang sangat bernilai, yaitu ampunan dari Allah, pahala besar, dan kekal dalam nikmat yang abadi di dalam surga (AsShiddieqy, 2000: 691).
ٍه َ َِووِ ْع َم أَ ْج ُس ا ْل َعب ِمل Pembalasan yang telah disebutkan, yang diberikan kepada perbuatanperbuatan yang bermanfaat bagi masyarakat luas adalah, sebaik-baik pahala amal dan sebaik-baik pembalasan kepada semua orang yang beramal untuk diri sendiri ataupun untuk orang lain (As-Shiddieqy, 2000: 692). Kesimpulannya sebaik-baik balasan yang telah disebutkan tadi, yaitu maghfirah dan surga, merupakan pahala bagi orang yang mengerjakan amalamal tersebut, baik berupa materi, seperti menginfakkan harta atau jiwa, seperti tidak menimbulkan bahaya terhadap orang lain. Dalam hal ini berbeda-beda tingkatan pahalanya sesuai dengan amal kebaikannya (AlMaraghi, 1986: 125).
51
BAB IV PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TAFSIR SURAT ALI IMRAN AYAT 133 SAMPAI 136 Surat Ali Imran merupakan surat yang ke-3 dari 114 surat dalam alQur‟an. Di dalamnya banyak mengandung ajaran tauhid yang dikisahkan dari keluarga Imran. Tetapi pada ayat 133 sampai 136 ini banyak mengandung pendidikan karakter, antara lain dermawan dengan menginfakkan hartanya di kala lapang maupun sempit, menahan amarah saat kemarahan menguasai diri, memaafkan kesalahan orang lain, serta segera bertaubat saat melakukan dosa. Jika seseorang telah memiliki semua sifat-sifat itu maka ia telah sampai pada derajat kesempurnaan takwa. Namun, untuk bisa memiliki sifat-sifat tersebut bukanlah hal yang mudah, untuk itu Allah akan memberi balasan surga bagi yang bisa bersifat demikian. Oleh sebab itu, mengingat pentingnya pendidikan karakter dalam kehidupan manusia, maka peneliti bermaksud mengadakan pengkajian terhadap pendidikan karakter sebagaimana termaktub dalam al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133 sampai 136. A. Konsep Pendidikan Karakter Menurut Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 133-136 Telah disebutkan bahwa pendidikan karakter adalah sebuah proses pembelajaran untuk menanamkan nilai-nilai luhur, budi pekerti, atau akhlak mulia yang berakar pada ajaran agama, adat istiadat dan nilai-nilai keIndonesiaan, dalam rangka mengembangkan kepribadian seseorang supaya
52
menjadi manusia yang bermartabat, menjadi warga bangsa yang berkarakter sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa dan agama (Zuchdi, 2009: 76). Pendidikan karakter bertujuan untuk membentuk kepribadian manusia yang baik, menyempurnakan diri individu secara terus-menerus dan melatih kemampuan diri demi menuju ke arah hidup yang lebih baik. Tentunya agar dapat mencapai kehidupan yang baik di dunia maupun di akhirat. Namun,pembentukan karakter pada diri seseorang tidak serta merta dapat tertanam begitu saja. Perlu usaha terus menerus untuk melatihnya agar dapat terbiasa dengan perilaku yang baik tersebut. Setelah mengetahui dan memahami penafsiran surat Ali Imran ayat 133 sampai 136 yang telah dikemukakan oleh para ahli tafsir serta aspekaspek pendidikan karakter yang ada di dalamnya, maka konsep pendidikan karakter menurut al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133 sampai 136 adalah bergegas dalam kebaikan. Yang dimaksud di sini adalah bergegas untuk melakukan infak, menahan amarah, memaafkan, segera dalam bertaubat serta berbuat ihsan. Karena orang yang memiliki karakter tersebut berarti ia telah mencaai derajat ketakwaan, maka dari itu balasannya adalah ampunan dari Allah dan surga-surga yang telah disediakan bagi mereka. Pada ayat tersebut mengajarkan dan mendidik seseorang bagaimana agar dapat memiliki karakter mulia yang diajarkan oleh Rasulullah. Allah mengetahui bahwa untuk membiasakan perilaku seperti menginfakkan harta di kala lapang maupun sempit, memaafkan kesalahan orang lain dan melupakannya, menahan diri saat amarah menguasai hati dan
53
pikiran, bukanlah suatu perkara yang mudah. Maka secara ringkas dalam surat Ali Imran ayat 133-136 ini, Allah akan menganugrahi nikmat yang besar pada hamba-Nya yang mampu membiasakan atau berkarakter secara demikian, yaitu ampunan dari Allah dan surga-surga yang telah disediakan untuk mereka. B. Aktualisasi Pendidikan Karakter Dalam Kehidupan Sehari-Hari Menurut Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 133-136 Karakter berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti seseorang. Orang yang berkarakter berarti ia berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat dan berwatak. Jadi, dapat dikatakan bahwa individu yang berkarakter baik adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Allah SWT (Syafri, 2014: 7). Setiap orang memiliki karakter atau sifat yang berbeda-beda, karena karakter merupakan perilaku, watak, budi pekerti, akhlak yang membedakan seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Ada banyak ayat Al-Qur‟an yang menerangkan tentang pendidikan karakter atau akhlak, beberapa diantara ayat tersebut adalah ayat yang terdapat dalam QS Ali Imran ayat 133 sampai dengan ayat 136. Di dalam ayat-ayat tersebut terkandung pendidikan karakter yang berhubungan dengan perilaku sehari-hari, diantaranya yaitu: 1. Menginfakkan harta pada saat lapang maupun sempit Petunjuk agama telah memberikan arah dan bimbingan kepada kita, bahwa jiwa manusia itu hendaknya mempunyai rasa dermawan yang tumbuh berdasarkan kesadaran, sekalipun ia sedang dilanda kemiskinan.
54
Hendaknya ia membiasakan diri berbuat kebajikan, sesuai dengan kekuatannya agar merasa enggan melakukan perbuatan-perbuatan rendah yang daat menyeret dirinya lantaran terdesak kebutuhan. Hendaknya ia menjauh dengan segala kemampuannya dari meminta-minta atau menadahkan tangan kepada orang utnuk meminta kebaikan. Hal itu merupakan perbuatan nista yang tidak layak dilakukan seorang muslim/mukmin yang mempercayai bahwa rezki berada pada genggaman Allah Swt. Hanya Dia-lah yang memberi dan mencegah rezki (Al Maraghi, 1974: 117). Bersedekah tidak harus menunggu kaya, tidak harus saat memiliki uang yang banyak, tetapi di saat miskin pun tidak menghalangi seseorang untuk menginfakkan hartanya di jalan Allah walaupun hanya sedikit. Allah akan menambah nikmat orang yang mau berbagi dengan orang lain. Seperti telah kita tahu, rumus sedekah adalah mengeluarkan 10 akan kembali 100. Saat kita mengeluarkan uang untuk diberikan kepada orang yang lebih membutuhkan, maka sebenarnya uang kita tidak berkurang, tetapi justru akan bertambah. Karena Allah lah yang akan menambah dengan 10 kali lipatnya, dengan memberi rejeki melalui jalan yang lain. Allah telah mengatur rejeki setiap hamba-Nya. Jika seseorang meyakini bahwa yang memberi dan menahan rejeki adalah Allah, maka ia tidak akan gentar untuk teta berinfak walaupun sedang dilanda kemiskinan. Dengan begitu, orang tersebut tidak akan terjerumus ke dalam jalan yang hina dengan meminta-minta kepada orang lain tetapi yakin
55
bahwa Allah lah yang akan memberinya. Orang yang kaya pun tidak boleh terlena dengan hartanya, karena sesungguhnya harta itu adalah titipan dari Allah. Maka dari itu, harus dikembalikan kepada Allah dengan jalan menginfakkan hartanya ke jalan yang benar. Tidak harus berinfak dengan harta yang banyak, tetapi semampunya, tidak harus dengan uang tetapi bisa dengan makanan atau benda. Tetapi memang tidak semua orang mudah melakukannya, karena pada kenyataannya masih banyak orang miskin yang menderita, anak jalanan yang terlantar, dan orang meminta-minta yang semakin bertambah banyak. Hal itu karena kurangnya kesadaran dan sedikitnya orang-orang yang berkarakter seperti yang telah disebutkan di atas. Maka dari itu, pendidik harus menanamkan kepada peserta didik agar membiasakan menginfakkan hartanya di kala lapang maupun sempit, sehingga dapat meminimalisir keadaan tersebut. Pendidik harus mengajarkan kepada mereka bahwa berinfak harus didasari lillahi ta‟ala dan sekaligus menanamkan keyakinan agar peserta didik tidak tunduk kepada hukum ekonomi saja. Seandainya orang-orang Islam dermawan gemar menginfakkan harta bendanya tatkala dibutuhkan, maka pasti keadaan kita sekarang berbeda dengan apa yang ada sekarang di tengah para pemeluk agama lain dan niscaya keadaan kita akan dihormati dan disegani. Akan tetapi, keadaan kita seperti yang dilihat sekarang. Mudah-mudahan Allah mengubah jiwa kaum muslimin dan membimbing mereka kepada hal-hal yang maslahat
56
untuk diri mereka, agar mereka mau mengikuti perintah-perintah kitab dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Sebab dalam hal-hal tersebut terkandung kebahagiaan dunia akhirat (Al Maraghi, 1974: 119). 2. Menahan amarah Seseorang yang dapat menahan diri ketika amarah telah menguasai hati dan pikirannya termasuk dalam orang yang bertakwa. Karena ia dapat menahan nafsu amarah dan tidak melampiaskannya, ia juga tidak bertekad untuk dendam. Perilaku tersebut sangat sulit untuk dipraktekkan, tetapi jika seseorang memiliki karakter tersebut berarti ia bertakwa kepada Allah. Karena Allah sangat menyukai orang yang dapat mengekang amarahnya, seperti terdapat dalam hadis yang sering kita dengar:
ُ ه ْاٌ َجىَّت َ ٌَ ََ ْضب َ الَ حَ ْغ “Janganlah kamu marah, bagimu surga.” Allah akan memberi balasan surga bagi orang yang dapat mengendalikan amarahnya dan tidak melampiaskannya kepada orang yang telah mendholiminya, karena ia bertakwa kepada Allah. Dalam dunia pendidikan, peserta didik dilatih untuk memanage emosi, dan pendidik harus menumbuhkan rasionalitas kepada peserta didik sekuat mungkin, sehingga kekuatan itu akan menjadi panglima dalam diri mereka untuk mengalahkan emosi. 3. Memaafkan kesalahan orang lain Dalam surat Ali Imran ayat 134 mengandung isyarat tentang baiknya pemaafan Nabi saw. terhadap pasukan pemanah, bahwa beliau tidak
57
menghukum mereka atas pelanggaran perintahnya. Ayat ini juga mengandung petunjuk Nabi saw. agar membiarkan kaum musyrikin tidak membalas atas perlakuan meeka terhadap sang paman Hamzah ra. yang pada waktu itu beliau melihatnya dalam keadaan menyedihkan (Al Maraghi, 1974: 121). Nabi Muhammad langsung memaafkan para pasukan pemanah yang melanggar
perintah beliau
yang mengakibatkan
kaum
muslimin
mengalami kekalahan dalam perang Uhud. Begitu mudahnya Nabi saw. memaafkan mereka yang telah membuat kesalahan yang fatal karena keserakahan mereka. Nabi saw. pun tidak membalas perbuatan orangorang kafir yang telah membunuh pamannya, Hamzah dengan kejam. Walaupun Nabi saw. bisa saja melakukan pembalasan, tetapi beliau tidak melakukannya dan membiarkan mereka. Pendidikan karakter dalam memaafkan orang lain ini dicontohkan secara langsung oleh Rasulullah walaupun dalam keadaan yang berat. Bukan hanya harus memaafkan saja, tetapi justru berbuat baik kepada orang yang pernah melakukan kesalahan, itulah perilaku yang disukai Allah. Seperti kisan Rasulullah yang diejek dan selalu dicaci maki orang tua buta yang kafir, tetapi Rasulullah membalasnya dengan memberinya makanan bahkan selalu menyuapinya tanpa sepengetahuan orang tua buta itu, hingga akhirnya ketika Rasulullah wafat, dan ia baru mengetahuinya akhirnya ia masuk Islam.
58
َعٍَْٕ ُى ْم ِبب ٌْ َع ْف ُِ فَبِ َّن ْاٌ َعفْ َُ الَ َٔ ِض ْٔ ُذ ْاٌ َع ْب َذ اِالَّ ِعضَ ا:ًِ ٌِ َصٍَّّ هللاُ َعٍَ ْٕ ًِ ََا َ ًَُع ْى ُفَخَ َعبفَ ُْا ٔ ُِع َّض ُو ُم هللا Rasulullah saw.: “Hendaknya engkau memaafkan, karena tindakan memaafkan itu akan menambahkan kemuliaan seorang hamba. Salinglah memaafkan sehingga kalian mendapatkan kemuliaan dari Allah.” (Muhammad, 2001: 249) Pendidik harus menanamkan toleransi kepada peserta didik agar memaafkan kesalahan orang lain dengan tidak membalas perbuatan yg mereka lakukan. Dengan begitu peserta didik akan terbiasa memiliki jiwa yang mulia. Dalam pendidikan harus dimulai dari kemuliaan jiwa karena orang yg ikhlas itu hanyalah orang yang mulia jiwanya. 4. Segera bertaubat Seorang hamba, jika berlindung kepada Allah, kemudian bertaubat dengan segala kemampuannya, maka Allah memberi maaf dan mengampuninya, betapapun besar dosanya. Sebab, ampunan dari Allah itu lebih agung, dan kemurahan-Nya lebih besar. Sebagaimana dalam ayat ini juga terkandung anjuran kepada hamba-hamba-Nya agar bertaubat kepadaNya dan peringatan bagi mereka agar jangan berputus asa (Al Maraghi, 1974: 123). Seseorang yang apabila melakukan dosa dan segera memohon ampun kepada Allah dan tidak mengulangi perbuatan dosanya itu, maka ia telah bertobat kepada Allah. Jika seseorang itu benar-benar menyesal dan bertobat dengan segala kemampuannya maka Allah akan mengampuninya
59
karena Allah Maha Pengampun. Dan tidak ada yang dapat mengampuni dosa seorang hamba kecuali Allah SWT. Dengan selalu mengingat Allah, maka seseorang akan terhindar dari perbuatan dosa, karena ia mengetahui bahwa Allah selalu mengawasinya dan ia takut bahwa azab dari Allah sangat pedih. Orang mukmin yang bertakwa tidak akan melakukan dosa secara terus menerus, sedang ia mengetahui larangan Allah tentang itu, dan ancaman Allah bagi pelakunya. Dengan demikian, ia mengetahui bahwa perbuatan dosa itu merupakan perbuatan fasik, dan keluar dari tatanan syari‟at. Pada ayat yang telah disebutkan menunjukkan bahwa orang-orang yang bertakwa yang telah disediakan surga oleh Allah untuk mereka adalah orang-orang yang tidak terus menerus melakukan perbuatan dosa, baik kecil maupun besar. Sebab, ingatnya mereka kepada Allah dapat mencegah perbuatan dosa, karena terus-menerus melakukan dosa kecil akan menjadi dosa besar (Al Maraghi, 1974: 124).
اس َ ََ بس ِ ْ ص ِغ ْٕ َشةَ َم َع ِ ْ الَ َوبِ ْٕ َشةَ َم َع ِ االع َْش ِ َاال ْعخِ ْغف “Tidak ada dosa besar yang disertai istighfar dan tidak ada dosa kecil yang selalu dibarengi dengan keberlangsungan.” Dalam pendidikan, seorang pendidik harus mengajarkan ilmu pengetahuan tentang taubat. Agar jika peserta didik melakukan suatu dosa, ia segera memohon ampun ketika dan tidak mengulanginya lagi, walaupun itu dosa kecil. Karena dosa kecil yang dilakukan secara terus menerus akan menjadi dosa besar yang dapat mengakibatkan seseorang masuk ke
60
neraka. Dan saat peserta didik berbuat dosa, mereka segera beristighfar memohon ampunan Allah, namun bukan sekedar membaca istighfar secara lisan, tetapi bertaubat dengan sungguh-sungguh dan tidak mengulanginya serta mengiringinya dengan perbuatan yang baik. 5. Berbuat Ihsan/baik Yang dimaksud berbuat ihsan di sini adalah berbuat kebaikan yang berlebih. Seperti menolong orang yang sedang membutuhkan, memberi petunjuk jalan yang benar kepada orang yang tersesat, menginfakkan harta di jalan Allah sebagai tanda kesyukuran, serta berbuat baik kepada orang yang telah melakukan kesalahan kepada kita atau menyakiti hati kita, bukan membalasnya dengan keburukan. Karena Allah sangat menyukai orang-orang yang berbuat ihsan.
ج حَجْ ِشْْ ِم ْه حَحْ خٍَِب َّ ٌََبَ ِّش ِش اٌَّ ِزٔ َْه َءا َمىُ ُْا ََ َع ِمٍُُا ا ٍ َّج أَ َّن ٌٍَُ ْم َجى ِ ص ٍِ َح ْاألَوٍَْب ُس “Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 25) Setiap pendidik pasti mengajarkan peserta didiknya untuk selalu berbuat kebaikan. Namun, mengacu pada pendidikan karakter ini, peserta didik diharapkan dapat berbuat kebaikan yang berlebih seperti yang telah disebutan di atas, agar mereka dapat meraih derajat ketakwaan dan memperoleh balasan surga.
61
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan-pembahasan dan analisis pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan antara lain: 1.
Konsep pendidikan karakter menurut al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 133 sampai 136 adalah: a. Pendidikan karakter yang ditanamkan kepada peserta didik adalah membentuk
kepribadian
yang
baik
bagi
mereka
dan
menyempurnakan diri peserta didik secara terus-menerus dengan selalu bergegas dalam kebaikan. b. Balasan berupa surga yang disebutkan Allah dalam surat tersebut mengisyaratkan bahwa seyogyanya pendidikan karakter dimaksudkan pendidik untuk menguatkan iman peserta didik. c. Pendidikan karakter dalam surat Ali Imran ayat 133-136 menyatakan bahwa berbuat kebaikan itu harus dijadikan kebiasaan. Karena dalam pandangan Allah yang dinilai bukan hanya kebaikan itu sendiri tetapi juga istiqomahnya kebaikan. Dalam melakukan kebaikan sedikit tetapi konsisten itu lebih baik dibandingkan melakukan banyak kebaikan tetapi tidak istiqomah. 2.
Aktualisasi pendidikan karakter mengenai tafsir surat Ali Imran ayat 133136 dalam kehidupan sehari-hari antara lain:
62
a. Pendidik memberikan penanaman akhlak kepada peserta didik agar membiasakan menginfakkan hartanya dan harus didasari lillahi ta‟ala. b. Peserta didik dapat memanage emosi, dan pendidik senantiasa menumbuhkan rasionalitas kepada peserta didik untuk mengalahkan emosi. c. Pendidik menanamkan toleransi kepada peserta didik agar memaafkan kesalahan orang lain dan memiliki kemuliaan jiwa. d. Peserta didik memiliki kesadaran untuk cepat mengkoreksi diri dan cepat memperbaiki diri e. Peserta didik dapat membiasakan diri berbuat kebaikan yang berlebih seperti yang disebutkan di atas.
B. Saran Penelitian yang dilakukan peneliti dalam bab pendidikan karakter ini merupakan suatu ajakan kepada para pembaca khususnya penulis untuk menanamkan karakter untuk bersegera dalam kebaikan seperti yang telah disebutkan di atas dalam diri masing-masing. Karena orang yang memiliki karakter tersebut akan mencapai kehidupan yang baik di dunia dan akhirat.
63
Daftar Pustaka Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 2010. Islam dan Sekularisme. Alih bahasa oleh Khalif Muammar, dkk. Bandung: Institut Pemikiran Islam dan Pengembangan Insan (PIMPIN). Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktik). Jakarta: PT. Rineka Cipta Asmani, Jamal Makmur. 2011. Tuntunan Lengkap Metodologi Praktis Penelitian Pendidikan. Jogjakarta: DIVA Press As-Shiddieqy, Teuku Muhammad Hasby. 2000. Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nur. Semarang: Pustaka Rizki Putra. Athiyyah, Muhammad. 2003. Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia Hadi, Sutrisno. 1993. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Offset Hasan, Iqbal. 2004. Analisis Data Penelitian dengan Statistik. Jakarta: PT. Bumi Aksara Hidayatullah, M Furqon. 2010. Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa. Surakarta: Yuma Pressindo. Huda, Miftahul. 2009. Idealitas Pendidikan Anak. Malang: Malang Press https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tafsir Ikhsan, Fuad. 2003. Dasar-Dasar Pendidikan. Jakarta: PT Asdi Mahasatya Indar, Djumberansyah. 1994. Filsafat Pendidikan. Surabaya: Karya Abditam. Jumali dan Surtikanti. 2008. Landasan Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah Univercity Press Katsir, Ibnu. 2006. Tafsir Ibnu Katsir. Bogor: Pustaka Imam Syafi‟i Majid, Abdul dan Dian Andayani. 2011. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Miles, Mathew B. dan Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Munir, Abdullah. 2010. Pendidikan Karakter: Membangun Karakter Anak Sejak Dari Rumah. Yogyakarta: PT Bintang Pustaka Abadi Purwanto, Ngalim. 2006. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosda Karya. Rajak, Nasruddin. 1993. Dienul Islam. Bandung: Al-Qur‟an Ma‟arif Reysyahri, Muhammad M. 2001. Mizanul Hikmah. Jakarta: Nur Al-Huda Ruslan, Rosady. 2010. Metode Penelitian: Public Relation & Komunikasi. Jakarta: Rajawali Pers
Sadulloh, Uyoh. 2009. Pengantar Filsafat Pendidikan. Cet. VI. Bandung: Alfabeta Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Kesesuaian Alqur’an. Jakarta: Lentera Hati Suwarno, Wiji. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jogjakarta: Ar ruzz. Syafri, Ulil Amri. 2012. Pendidikan Karater Berbasis Al-Qur’an. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada Zuchdi, Darmiyati. 2009. Pendidikan Karakter grand Design dan Nilai-Nilai Target. Yogyakarta: UNY Press
DAFTAR NILAI SKK
Nama
: AHMAD MUDASIR
NIM
: 111-12-162
PA
: Dr. Winarno, S. Si, M. Pd
Jurusan
: PAI
No
Jenis kegiatan Orientasi Pengenalan Akademik dan Kemahasiswaan (OPAK) 1 “progresifitas Kaum muda, kunci perubahan Indonesia”
2
3
4
5
6
7
8
9
Orientasi dasar keislaman “membangun karakter keislaman bertaraf internasional di era globalisasi bahasa” Seminar “explore your entrepreneurship talent” Achievment motivation training “dengan AMT, bangun karakter, raih prestasi” Library user education (pendidikan pemakai perpustakaan) Seminar regional oleh Resimen Mahasiswa Sat. 953 “KALIMOSODO” “Indonesia Satu” Bedah buku “24 Cara Mendongkrak IPK” Pendidikan dasar perkoperasian “Mencetak Kader KOPMA Fatawa Yang Berjiwa Koperasi dan Enterpreneur dalam Rangka Menghadapi Perekonomian Global” Seminar Nasional “Ahlusunnah waljamaah dalam perspektif Islam Indonesia”
Pelaksanaan
Jabatan
Nilai
05-07 September 2012
Peserta
3
10 September 2012
Peserta
2
11 September 2012
Peserta
2
12 September 2012
Peserta
2
13 September 2012
Peserta
2
29 Oktober 2012
Peserta
4
5 Desember 2012
Peserta
2
12-14 Februari 2013
Peserta
2
26 Maret 2013
Peserta
8
10
11
12
14
15
16
17
18
19
20
21
Seminar Nasional “How to develop the best generation” Public hearing “STAIN menuju IAIN dari mahasiswa oleh mahasiswa untuk mahasiswa” Seminar Nasional “Mengawal pengendalian BBM bersubsidi, kebijakan BLSM yang tepat sasaran serta pengendalian inflasi dalam negeri sebagai dampak kenaikan harga BBM bersubsidi” Surat Keterangan TPQ ARRAHMAN Mushala ARRAHMAN Kridanggo Salatiga Ibtida‟ lembaga dakwah kampus (LDK) Darul Amal STAIN Salatiga Gebyar seni qur‟anyy umum ke-IV se-Jawa Tengah “Aktualisasi makna dan Syi‟ar Al-Qur‟an sebagai Sumber Inspirasi” Seminar Nasional “Perbaikan mutu pendidikan melalui profesionalitas pendidikan” Pendidikan Anggota Dasar (PAD) AL-KHIDMAH Kampus Kota Salatiga Seminar Regional “Membangun Karakter Kepemimpinan KSEI dalam Akselerasi Pembumian Ajaran Islam di Bidang Ekonomi” International Seminar on the Inaguration of IAIN Salatiga “ASEAN Economic Community 2015;Prospects and Challenges for Islamic Higher Education” Ngabuburit dan dialog lintas agama Salatiga Bhinneka Tunggal Ika Bedah buku “Muda 7 Warna” oleh HMJ PAI IAIN Salatiga
1 Juni 2013
Peserta
8
10 Juni 2013
Peserta
2
08 Juli 2013
Peserta
8
08 Februari 2014
Pengajar
21
12-13 April 2014
Peserta
2
05 November 014
Peserta
4
13 November 2014
Peserta
8
06-07 Desember 2014
Peserta
2
13 Desember 2014
Peserta
4
28 Februari 2015
Peserta
8
30 Juni 2015
Peserta
2
23 September 2015
Peserta
2