PENDIDIKAN SOSIAL YANG TERKANDUNG DALAM AL-QURAN SURAT ALI IMRAN AYAT 159
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh Putri Kasih Handriyani NIM 109011000042
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
Skripsi berjudul Pendidikan Sosial Yang Terkandung Dalam Al-Quran Surat Ali Imran Ayat 159 disusun oleh Putri Kasih Handriyani. NIM 109011000042. Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya Ilmiah yang berhak untuk diujikan pada siding munaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh Fakultas.
Jakarta,
Januari 2014
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul Pendidikan Sosial Yang Terkandung Dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 159 disusun oleh PUTRI KASIH HANDRIYANI NIM 109011000042, diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah pada tanggal 25 Maret 2014 di hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana S1 (S.Pd.I) dalam bidang Pendidikan Agama Islam.
Jakarta,
April 2014
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Putri Kasih Handriyani
Tempat/Tgl.Lahir
: Jakarta, 26 Mei 1991
NIM
: 109011000042
Jurusan/Prodi
: Pendidikan Agama Islam
Judul
: Pendidikan Sosial Yang Terkandung Dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 159
MENYATAKAN DENGAN SESUNGGUHNYA Bahwa skripsi yang berjudul Pendidikan Sosial Yang Terkandung Dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 159 adalah benar hasil karya sendiri di bawah bimbingan dosen : Nama Pembimbing
: Abdul Ghafur, MA
NIP
: 196812081997031003
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya siap menerima segala konsekuensi apabila terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya sendiri.
ABSTRAK Kata Kunci: Pendidikan Sosial, Lemah lembut, Memaafkan, Musyawarah Latar belakang penelitian ini dilandasi oleh adanya kegelisahan tentang merosotnya nilai-nilai luhur perilaku sosial, kepekaan dan kepedulian sosial di kalangan masyarakat yang tidak berbasis pada ajaran agama. Menyadari sangat vital dan pentingnya kedudukan dan fungsi al-Qur’an bagi umat Islam, maka pengaplikasiannya menjadi urgen dan wajib mendapat kepedulian bersama, sehingga nilai-nilai pendidikan sosial yang tercakup di dalamnya menjadi terwujudkan dalam kehidupan sosial sehari-hari. Bermula dari keadaan inilah penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam nilai-nilai pendidikan sosial yang tertuang dalam QS. Ali Imran ayat 159. Penelitian ini bertujuan, Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan sosial yang terkandung dalam QS. Ali Imran ayat 159. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research). Sumber data primer adalah kitab-kitab tafsir QS. Ali Imran ayat 159. Sedangkan data sekundernya berupa buku-buku pendidikan, artikel, atau tulisan yang menjelaskan tentang pendidikan. Adapun dalam pembahasannya penulis menggunakan metode deskriptif analitis karena data yang dikumpulkan berupa kata-kata dan bukan angka-angka. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memaparkan masalah-masalah sebagaimana adanya, disertai argumen-argumen dan menggambarkan apa adanya tentang sesuatu variabel, gejala atau keadaan. Selain itu semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang diteliti. Dengan demikian laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut mungkin berasal dari naskah atau dokumen lainnya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa, nilai-nilai pendidikan sosial yang dapat digali dari nilai pendidikan sosial dalam dalam QS. Ali Imran ayat 159 adalah sikap sosial lemah lembut, pemaaf atau memaafkan, dan bermusyawarah. Relevansinya dengan pendidikan sosial adalah adanya usaha, pengorbanan, kemanusiaan untuk memiliki sikap empati, menghormati, menghargai orang lain sehingga memiliki rasa tenggang rasa dan kepedulian, toleran dan solidaritas sosial yang tinggi. Ini sifat yang melatih seseorang untuk menunjukkan eksistensi dirinya dalam bermasyarakat. Inilah nilai pendidikan sosial yang terdapat dalam QS. Ali Imran 159.
i
ABSTRACT
Keywords: Social Education, Gentle, Forgiveness, Deliberation The background of this research is based on the presence of anxiety about the decline of the great value of social behavior, sensitivity and social awareness in the community that are not based on the teachings of agama.Menyadari very vital and important position and function of the Koran for Muslims, then its application become urgent and must obtain a common concern, so that the values of social education are covered in it becomes manifest in everyday social life. Starting from this situation the authors are interested in digging deeper into the social values of education as stipulated in the QS. Ali Imran verse 159. Study aims, to determine the values of social education contained in QS. Ali Imran verse 159. This study is a library (library research). The primary data source is the books of tafsir QS. Ali Imran verse 159. While secondary data in the form of educational books, articles, or writing which describes in his discussion pendidikan.Adapun writer uses descriptive analytical method for the data collected in the form of words rather than numbers. Descriptive research is intended to describe the problems as they are, with the arguments and describe what it is about something variable, symptoms or circumstances. Moreover collected all likely to be the key to what is observed. Thus the research report will contain excerpts of data to illustrate the presentation of the report. The data may come from manuscripts or other documents. The results of this study indicate that, the values of social education that can be extracted from the value of social education in the QS. Ali Imran verse 159 is the social attitude of gentleness, forgiveness or pardon, and deliberation. Relevance to the social education is the effort, sacrifice, humanity to have empathy, respect, respect for others that have a sense of tolerance and caring, tolerant and high social solidarity. It's the nature of the train someone to demonstrate his existence in society. This is the social value of education contained in QS. Ali Imran 159.
KATA PENGANTAR
Bismillahi walhamdulillah. Assalamu’alaikum Wr.Wb. Kiranya
tiada kata
yang lebih pantas untuk diucapkan
selain
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah, sebagai manifestasi rasa syukur kita kehadirat Illahi Rabbi yang telah menghadiahkan anugerah yang begitu mahal harganya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat salam semoga senantiasa tercurah bagi baginda Nabi Muhammad saw, orang yang begitu mencintai kita sehingga diakhir hayatnya yang beliau sebut dan kenang hanyalah kita umatnya. Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis sangat berterima kasih dan memberikan penghargaan yang setinggitingginya atas bantuan, dorongan dan bimbingan dari beberapa pihak. Ucapan terima kasih dan penghargaan tersebut diajukan kepada: 1.
Ibu Dra. Nurlena Rifa’i, Ph.D, MA selaku Dekan FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Bapak Dr. H. Abdul Majid Khon, M,Ag Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga kebijakan yang dibuat selalu mengarah pada kontinuitas eksistensi mahasiswanya.
3.
Ibu Marhamah Saleh, Lc, MA selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Jakarta. Terima kasih atas waktu luang yang telah diberikan untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada kami selaku mahasiswa.
4.
Bapak Abdul Ghafur, MA yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan yang tulus kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
ii
5.
Bapak dan Ibu Dosen Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama perkuliahan.
6.
Pimpinan dan staf Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah yang telah memberikan pelayanan dan kesempatan yang seluas-luasnya kepada penulis untuk menelaah dan meminjam buku-buku yang diperlukan dalam rangka penyusunan skripsi ini.
7.
Orang Tua penulis, Ayahanda M. Yusuf Effendi (Alm), Wawan Winata dan Ibunda Hj. Siti Zubaidah tercinta yang dengan tulus ikhlas merawat dan mendidik penuh rasa kasih sayang, memberikan pengorbanan yang tidak terhitung nilainya dan senantiasa mendoakan penulis dalam menempuh perjalanan hidup ini.
8.
Kakak dan Adik-adikku tersayang, Iin Setiawati berserta buah hatinya Tamammun Khoirun Nisa, Nazwa Khusnul Khotimah, Miya Damayanti semoga selalu menjadi anak-anak yang membanggakan kedua orang tua kita. Amin..
9.
Nur Ahmad Soim, S.Fil,I suami pelipur lara dikala suka dan duka, yang selalu setia mendampingi perjuanganku sampai detik ini, yang tak pernah henti memberikan
dorongan
dan
motivasi
kepada
penulis
untuk
cepat
menyelesaikan skripsi ini, serta senantiasa memberikan pengajaran yang berharga dalam kehidupan ini, dan buah hati kita berdua Niyaz Najiha Ahmad yang akan menghiasi kebahagian kita sebagai seorang ayah dan bunda. 10. Teman seperjuangan dalam menuntut ilmu, semua teman kelas PAI A angkatan 2009 khususnya Nuy, Rahma, Acha, Wardah, Ira, Suherni dan Salimah yang sama-sama menempuh pendidikan program S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Wassalamu’alaikum Wr.Wb Jakarta, 25 Maret 2014
Penulis iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................... i KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah
dan Perumusan Masalah .......................................................... 8 C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 9 D. Manfaat Penelitian ........................................................................... 9
BAB II KAJIAN TEORI PENDIDIKAN SOSIAL A. Pengertian Pendidikan Sosial ........................................................... 10 B. Obyek Pendidikan Sosial ................................................................. 15 C. Tujuan Pendidikan Sosial ................................................................. 20 D. Unsur-Unsur Pendidikan Sosial ........................................................ 21 E. Metode dan Strategi Pendidikan Sosial ............................................. 28 F. Hasil Penelitian yang Relevan .......................................................... 34
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Objek dan Waktu Penelitian ............................................................. 36 B. Metodologi Penelitian ...................................................................... 36 C. Fokus Penelitian ............................................................................... 37 D. Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 38
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Teks dan Terjemah QS. Ali ‘Imran Ayat 159 ............................. 39 B. Makna Kosa Kata Inti ................................................................... 39 C. Asbabun Nuzul .............................................................................. 41 D. Tafsir Surat Ali Imran Ayat 159 .............................................. 42 E. Pendidikan Sosial yang Terkandung
dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran 159 ...................................... 53
iv
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................................... 68 B. Saran ............................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 70
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Agama Islam, agama yang kita anut dan dianut oleh ratusan juta kaum muslim di seluruh dunia, merupakan way of life yang menjamin kebahagiaan hidup pemeluknya di dunia dan akhirat kelak. Ia mempunyai satu sendi utama yang esensial: berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya. Allah berfirman, sesungguhnya Al-Quran ini memberi petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya (QS 17:9). Al-Quran memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah satu di antaranya adalah bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah, dan ia adalah kitab yang selalu dipelihara. Allah berfirman, sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Quran dan kamilah pemelihara-pemelihara-Nya. (QS. 15:9) Demikianlah Allah menjamin kemurnian dan keaslian Al-Quran, jaminan yang diberikan atas dasar kemahakuasaan dan kemahatahuan-Nya, serta berkat upaya-upaya yang dilakukan oleh makhluk-makhluk-Nya, terutama oleh manusia. Dengan jaminan ayat di atas, setiap muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan didengarnya sebagai Al-Quran tidak berbeda sedikitpun dengan apa yang pernah dibaca dan diajarkan oleh Rasulullah Saw., dan yang didengar serta dibaca oleh para sahabat Nabi Saw.
1
2
Menurut seorang ulama besar syiah kontemporer, Muhammad Husain al-Thabathaba’iy sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab di dalam buku Membumikan Al-Quran,1 menyatakan bahwa sejarah Al-Quran demikian jelas dan terbuka, sejak turunnya sampai masa kini. Ia telah dibaca oleh kaum muslimin sejak dahulu sampai sekarang, sehingga pada hakikatnya Al-Quran tidak membutuhkan sejarah untuk membuktikan keotentikannya. Kitab suci tersebut lanjut Thabathaba’iy memperkenalkan dirinya sebagai firman-firman Allah dan membuktikan hal tersebut dengan menantang siapa pun untuk menyusun seperti keadaanya. Ini sudah cukup bukti, walaupun tanpa buktibukti kesejarahan. Al-Qur'an adalah sumber utama ajaran Islam dan merupakan pedoman hidup bagi setiap Muslim. Al-Qur'an bukan sekedar memuat petunjuk tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (hablum min Allâh wa hablum min al-nâs), bahkan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Al-Quran adalah kitabullah yang memuat banyak ajaran luhur didalamnya. Kandungan dan rahasia yang tertuang di balik ayat-ayat Al-Quran, sungguh tidak akan pernah tertandingi. Dengan Al-Quran, tidak akan pernah ada kemaksiatan dan kejahatan, karena ajaran yang di bawa oleh Al-Quran sudah jelas: sebagai rahmat bagi semua alam. Membaca dan mengajarkan serta mengamalkan Al-Quran merupakan tugas ideal seorang muslim, yang telah mendapatkan warisan dari Rasulullah Saw. Al-Quran telah diwariskan kepada kita umat Islam untuk dibaca, dikaji, diamalkan dan disebarkan, sehingga ajaran ideal Al-Quran dapat terus membumi. Al-Qur'an sebagaimana diketahui, diturunkan dalam bahasa Arab, baik lafal maupun uslubnya. Suatu bahasa yang kaya kosakata dan sarat kandungannya. Kendati Al-Quran berbahasa Arab, tidak berarti bahwa semua
1
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, 2003), cet. 17, h. 21.
3
orang Arab atau orang yang mahir dalam bahasa Arab, dapat memahami AlQuran secara rinci.2 Menurut Abdullah Darraz, dalam Al-Naba’ Al-‘Azhim, sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab, mengatakan bahwa: Apabila anda membaca AlQuran, maknanya akan jelas di hadapan Anda. Tetapi bila Anda membacanya sekali lagi, akan Anda temukan pula makna-makna lain yang berbeda dengan makna-makna sebelumnya. Demikian seterusnya, sampai-sampai Anda (dapat) menemukan kalimat atau kata yang mempunyai arti bermacammacam, semuanya benar atau mungkin benar. (ayat- ayat Al-Quran) bagaikan intan: setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain. Dan tidak mustahil, jika Anda mempersilakan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak ketimbang apa yang Anda lihat.3 Al-Quran adalah peninggalan Nabi yang sangat penting, Al-Quran adalah akhlak Nabi, sehingga dengan Al-Quran kita dapat memahami ajaran Nabi terlebih yang terkait dengan akhlak Nabi. Dalam pandangan Islam, akhlak dapat dilihat sebagai sebuah intuisi yang bersemayam di hati tempat munculnya tindakan-tindakan sukarela, tindakan yang benar atau salah. Sehingga menurut tabi'atnya, intuisi tersebut siap menerima pengaruh pembinaan yang baik, atau pembinaan salah kepadanya. Jika intuisi tersebut dibina untuk memilih keutamaan, kebenaran, maka itu menjadi trade marknya dan perbuatan baik muncul dari padanya dengan mudah. Itulah akhlak yang baik, misalnya akhlak lemah lembut, sabar, pemaaf, adil dan sebagainya. Dan sebaliknya, jika intuisi tersebut disia-siakan, tidak dibina dengan pembinaan yang proporsional, bibit-bibit kebaikan di dalamnya tidak dikembangkan, dan dibina dengan pembinaan yang buruk hingga keburukan menjadi sesuatu yang dicintainya, kebaikan menjadi sesuatu yang dibencinya, dan perbuatan serta perkataan buruk keluar daripadanya dengan mudah maka
2
Abdul Halim (ed), Al-qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), cet. 1, h. 3. 3 Shihab, Membumikan Al-Quran,... h. 16.
4
dikatakan akhlak yang buruk, misalnya berkhianat, pemarah, dengki dan sebagainya. Oleh karena itu, Islam memuji akhlak yang baik menyerukan kaum muslim membinanya dan mengembangkan di hati mereka. Islam menegaskan bahwa bukti keimanan ialah jiwa yang baik, dan bukti keislaman ialah akhlak yang baik. Allah memuji Nabi Muhammad Saw., karena akhlaknya yang baik. Akhlak yang baik merupakan tingkah laku yang harus dilakukan seperti Rasulullah Saw.4 Sebagaimana dalam hadis Rasulullah Saw bersabda:
( ) ﺭﻭﻩ ﺍﲪﺪ.ﻼﹶﻕﹺ ﺍﻟﹾﺎﹶﺧﻜﺎﺭﹺﻡّﻢ ﻣﻤﺎﹸﺗ ﻟﺜﹾﺖﻌﺎ ﺑﻤﻧ ﺍ: ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ “Rasulullah Saw bersabda; Bahwasanya aku diutus sebagai Rasul untuk menyempurnakan akhlak mulia.” (HR. Ahmad)5 Orang Muslim tidak melihat akhlak berbuat baik sebagai akhlak mulia yang layak dimiliki, namun ia melihatnya sebagai bagian dari akidah dan keislamannya, karena agama Islam dibangun di atas tiga pilar yaitu iman, Islam, dan ihsan. Rasulullah menanamkan iman, Islam, dan ihsan sebagai pilar agama. Menurut Nurcholis Madjid ketiga pilar ini semuanya menunjukkan berbagai kualitas pribadi seseorang yang beriman kepada Allah, lebih lanjut Cak Nur (panggilan sapaan Madjid) mengatakan bahwa kualitaskualitas itu membentuk simpul-simpul keagamaan pribadi, sebab semuanya terletak dalam inti kedirian seseorang dan berpangkal pada batin dan lubuk hatinya.6 Allah memerintahkan kaum Muslim untuk berbuat baik dalam banyak firman-Nya, misalnya dalam firman Q.S. Al-Baqarah ayat 195:
ﺐﺤ ﻳﻮﺍ ﺇﹺﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪﺴِﻨﺃﹶﺣﺔ ﻭ ﻠﹸﻜﹶﻬ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺍﻟﺘﻳﻜﹸﻢﺪﻠﹾﻘﹸﻮﺍ ﺑﹺﺄﹶﻳﻟﹶﺎ ﺗ ﻭﺒﹺﻴﻞﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪﻲ ﺳﻘﹸﻮﺍ ﻓﻔﺃﹶﻧﻭ
(195 : )ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ.ﺴِﻨﹺﲔﺤﺍﻟﹾﻤ
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
4
Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, Ensiklopedi Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2000), cet. 1, h.
217. 5
Muhyiddin Abdusshomad, Etika Bergaul, (Surabaya: Khalista, 2007), h. 6. Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000), cet. 4 h.
6
41.
5
karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al-Baqarah[1]: 195) Menurut Zakiah Daradjat, Ajaran-ajaran yang berkenaan dengan iman tidak banyak dibicarakan dalam Al-Quran, tidak sebanyak ajaran yang berkenaan dengan amal perbuatan. Ini menunjukkan bahwa amal itulah yang paling banyak dilaksanakan, sebab semua amal perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan manusia sesamanya (masyarakat), dengan alam dan lingkungannya, dengan makhluk lainnya, termasuk dalam ruang lingkup amal saleh. Lebih lanjut Daradjat mengatakan bahwa pendidikan karena termasuk ke dalam usaha atau tindakan untuk membentuk manusia, termasuk ke dalam ruang lingkup mu’amalah. Pendidikan sangat penting karena ia ikut menentukkan corak dan bentuk amal dan kehidupan manusia, baik pribadi maupun masyarakat. 7 Di dalam Al-Quran terdapat banyak ajaran yang berisi prinsip-prinsip berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan. Sebagai contoh dapat dibaca kisah lukman mengajari anaknya dalam surat Lukman ayat 12 s/d 19. Cerita itu menggariskan prinsip materi pendidikan yang terdiri dari masalah iman, akhlak ibadat, sosial dan ilmu pengetahuan. Ayat lain menceritakan tujuan hidup dan tentang nilai sesuatu kegiatan dan amal saleh. Itu berarti bahwa kegiatan pendidikan harus mendukung tujuan hidup tersebut. Oleh karena itu pendidikan Islam harus menggunakan Al-Quran sebagai sumber utama dalam merumuskan berbagai teori tentang pendidikan Islam. Mewacanakan
tentang
pendidikan,
maka
tidak
akan
mungkin
melepaskannya dari dinamika kehidupan sosial manusia yang senantiasa berkembang. Perkembangan sosial itulah yang pada akhirnya memperkaya konsep-konsep dalam usaha pengembangan dan perbaikan pendidikan. Sudah menjadi pendapat umum (common sense) bahwa pendidikan adalah rancangan kegiatan yang paling banyak berpengaruh terhadap perilaku
7
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), cet. 10, h. 20.
6
seseorang dan masyarakat.8 Dengan demikian, dinamika sebuah peradaban sosial, mau tidak mau melibatkan peranan pendidikan, sungguhpun dalam format dan kapasitas yang sederhana. Di dalam Islam sangat dianjurkan untuk memiliki sifat kepedulian dengan orang lain atau dalam istilah lain dikatakan dengan kesalehan sosial. Akhir-akhir ini kita temukan dimasyarakat, sekolah atau bahkan kampus munculnya fenomena kekerasan serta permusuhan yang sifatnya turun temurun seperti tawuran pelajar, mahasiswa, permusuhan antar kampung (desa) dsb. Di masyarakat kita sepertinya sudah tidak ditemukan naluri manusia yang hakiki, justru yang muncul belakangan ini adalah budaya kekerasan dan permusuhan. Minimnya jiwa yang siap berkorban, lebih sering mendahulukan kepentingan pribadi dari pada orang banyak, egoisme serta emosional. Ini sangat mengerikan bagi tumbuh kembangnya peradaban. Masyarakat kita harus segera berubah menjadi lebih baik. Masyarakat harus di didik untuk memiliki nilai-nilai kebaikan dan kesalehan antar sesama manusia dan lingkungan. Berbuat baik kepada manusia secara umum ialah dengan berkata lembut kepada mereka, mempergauli mereka dengan pergaulan yang baik setelah sebelumnya menyuruh mereka kepada kebaikan, melarang mereka dari kemungkaran, memberi petunjuk kepada orang yang tersesat di antara mereka, mengajari orang bodoh di antara mereka, mengakui hak-hak mereka, tidak menggangu mereka dengan mengerjakan tindakan yang membahayakan mereka, memaafkan segala kesalahan dan lain sebagainya.9 Nilai-nilai kebaikan ini merupakan bagian penting dari pendidikan, lebih tepatnya pendidikan yang mengarahkan pada kepedulian sosial atau dalam istilah pendidikan sering disebut dengan pendidikan sosial. Menurut pendapat St. Vembriarto yang dikutip oleh Soelaeman Joesoef dalam bukunya Pengantar Pendidikan Sosial, menyatakan bahwa: “Pendidikan sosial adalah usaha mempengaruhi dan mengembangkan sikap sosial 8
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), h.
133. 9
Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, Ensiklopedi Muslim,... h. 240-24.
7
seseorang.”10
S.
Hamidjoyo,
memperjelas bahwa
pendidikan sosial
merupakan suatu proses yang diusahakan dengan sengaja di dalam masyarakat untuk mendidik (atau membina, membimbing, membangun) individu dalam lingkungan sosial dan alamnya supaya secara bebas dan bertanggung jawab menjadi pendorong ke arah perubahan dan kemajuan. 11 Berdasarkan pengertian tentang pendidikan sosial di atas, dapat dipahami bahwa pengertian pendidikan sosial adalah esensi yang melekat pada suatu kegiatan pendidikan yang mana pendidikan tersebut dilaksanakan dalam rangka membantu proses perkembangan sosial untuk mencapai kedewasaan seseorang. Di dalam Al-Quran terdapat nilai-nilai pendidikan sosial yang cukup untuk mengatakan bahwa Islampun mengajarkan tentang pendidikan sosial, sikap lemah lembut, pemaaf dan bermusyawarah, merupakan inti dari pendidikan sosial, di dalam kehidupan ini sikap lemah lembut merupakan awalan seseorang untuk membuka dirinya dengan orang lain, dengan sikap lemah lembut ini seseorang dituntut untuk menghormati, menghargai, dan berpartisipasi, toleransi dan solidaritas sosial akan segera terjalin manakala sikap lemah lembut ini dimiliki bersama. Sementara sifat memaafkan adalah langkah berikutnya dimana rasa pengorbanan dalam bermasyarakat dibuktikan. Memaafkan memerlukan jiwa yang besar, yaitu jiwa yang penuh kepasrahan pada tuhannya. Ketika perasaan sudah dikembalikan pada sang pencipta maka secara lambat laun perilaku dan kepribadiaan seorang pemaaf akan diangkat derajatnya oleh sang pencipta, setelah itu secara otomatis makhluknya dengan sadar akan memuliakannya. Sehingga terjalinlah harmonisasi kehidupan karena saling memaafkan dan memuliakan. Dan yang terakhir adalah sikap suka bermusyawarah. Sikap yang mulia, karena merasakan ada orang lain selain dirinya, sikap ini mengajarkan di dalam hidup bermasyarakat, sifat egois, menang sendiri harus disingkirkan serta memprioritaskan kepada kepentingan bersama dan kepedulian sosial. 10
Soelaeman Joesoef dan Slamet Santoso, Pengantar Pendidikan Sosial, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), h. 17. 11 Soelaeman Joesoef, Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 100.
8
cita-cita untuk membangun masyarakat yang damai dan sejahtera segera akan terwujud manakala dalam bermasyarakat antar warga suka bermusyawarah. Inilah nilai-nilai pendidikan sosial yang diajarkan oleh Nabi kepada kita. Pakar pendidikan Islam, Abdullah Nashih Ulwan pernah merumuskan bahwa pendidikan sosial dalam Islam, adalah pendidikan anak sejak kecil agar terbiasa menjalankan adab sosial yang baik dengan dasar-dasar psikis yang mulia serta bersumber pada aqidah Islamiyah yang abadi dengan diiringi perasaan keimanan yang mendalam agar di dalam masyarakat nanti ia terbiasa dengan pergaulan dan adab yang baik, keseimbangan akal yang matang serta tindakan yang bijaksana.12 Berdasarkan penjelasan di atas penulis tertarik untuk mengkaji serta menganalisa konsep pendidikan sosial yang ada dalam Al-Qur'an, untuk itu penulis
mengambil
judul,
“PENDIDIKAN
SOSIAL
YANG
TERKANDUNG DALAM AL-QURAN SURAT ALI IMRAN AYAT 159.”
B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Adapun identifikasi masalah
dalam skripsi ini adalah sebagai
berikut: a. Masih banyak manusia (peserta didik) yang tidak mampu menahan dirinya dari sikap egois dan lebih cenderung emosional b. Begitu banyak manusia yang tidak mampu untuk mengelola emosinya c. Menyelesaikan masalah dengan tidak menggunakan pendekatan musyawarah untuk mencari kesepakatan
12 Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam, (Arab Saudi: Darus Salam, 1997), h. 273.
9
2. Pembatasan Masalah Dengan adanya identifikasi di atas, penulis membatasi masalah yaitu, “pendidikan sosial yang terkandung dalam tafsir Q.S. Ali Imran ayat 159”
3. Perumusan Masalah Adapun rumusan masalahnya “Bagaimana nilai-nilai pendidikan sosial dalam Q.S. Ali Imran ayat 159?”
C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan sosial dalam Q.S. Ali Imran ayat 159.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Akademik Dapat memotivasi bagi pengembangan khazanah keilmuan di bidang tafsir pendidikan sosial, membuka kemungkinan penelitian lebih lanjut dan peninjauan kembali hasil pengkajian ini.
2. Bagi Masyarakat Dapat mengetahui dan diaplikasikan pendidikan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
3. Bagi penulis Untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
BAB II KAJIAN TEORI PENDIDIKAN SOSIAL
A. Pengertian Pendidikan Sosial Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,1 pendidikan berasal dari kata “didik,” lalu diberikan awalan kata “me-” sehingga menjadi “mendidik” yang artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pemikiran. Pengertian pendidikan menurut Undang-undang Sisdiknas No.20 Th. 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi
dirinya
untuk
memiliki
kekuatan
spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 2 Sedangkan pengertian pendidikan menurut para ahli mengemukakan pendapatnya tentang pengertian pendidikan sebagai berikut: Menurut Umar Tirtarahardja dan S.L. La Sulo, pendidikan diartikan sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada
1
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), h. 232. 2 Undang-Undang Sisdiknas UU RI No.20 Th.2003, (Jakarta: Sinar Grafika,2009), cet.2, h. 3.
10
11
terbentuknya kepribadian peserta didik. 3 M. Ngalim Purwanto mendefinisikan, pendidikan ialah segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan, lebih lanjut Purwanto menambahkan pendidikan ialah pimpinan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak, dalam pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri sendiri dan bagi masyarakat.4 Selanjutnya, menurut Poerbakawatja dan Harahap sebagaimana dikutip oleh Muhibbin Syah, pendidikan adalah usaha secara sengaja dari orang dewasa untuk dengan pengaruhnya meningkatkan si anak ke kedewasaan yang selalu diartikan mampu menimbulkan tanggung jawab moril dari segala perbuatannya, orang dewasa itu adalah orang tua si anak atau orang tua yang atas dasar tugas dan kedudukannya mempunyai kewajiban untuk mendidik mislanya guru sekolah, pendeta atau kiyai dalam lingkungan keagamaan, kepala-kepala asrama dan sebagainya. 5 Menurut Kingsley Price sebagaimana dikutip oleh Hery Noer Aly, mengatakan bahwa pendidikan ialah proses di mana kekayaan budaya non fisik dipelihara atau dikembangkan dalam mengasuh anak-anak atau mengajar orang-orang dewasa. 6 Pendidikan dalam konteks Islam, mengacu pada tiga unsur yaitu: altarbiyah, al-ta’lim, dan al-ta’dib. Dari ketiga istilah tersebut, al-tarbiyah yang terpopuler digunakan dalam praktek pendidikan Islam. Sedangkan term alta’lim dan al-ta’dib jarang di gunakan. 7 Penggunaan istilah al-tarbiyah berasal dari kata rabb. Walaupun kata ini memiliki banyak arti, akan tetapi pengertian dasarnya menunjukkan makna tumbuh, berkembang, memelihara, mengatur dan menjaga kelestarian atau eksistensinya. Memang kata tarbiyah dengan 3
Umar Tirtarahardja dan S.L.La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), cet. 2, h. 34. 4 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Rosda, 2007), cet. 18, h. 10. 5 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), Cet. 18, h. 11. 6 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Ciputat, Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 3. 7 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat, (Yogyakarta: LKiS, 2009), h. 14.
12
kata kerja “rabba” merupakan kata umum, kata yang digunakan adalah kata “pengajaran” dalam bahasa arabnya adalah ta’lim, dengan kata kerjanya “allama.” Pendidikan dan pengajaran dalam bahasa Arab berarti “tarbiyah wa ta’lim”. Kata kerja Rabba (mendidik), sudah digunakan pada zaman Nabi Muhammad Saw. Dalam kata benda “rabba” ini digunakan juga untuk “Tuhan,” mungkin karena Tuhan yang bersifat mendidik, mengasuh, memelihara, malah menciptakan. Kata lain yang berarti pendidikan itu ialah ‘addaba’ kata ta’lim dengan kata kerjanya ‘allama’ juga sudah di gunakan pada zaman Nabi.8 Sebagai langkah awal untuk mengerti konsep, definisi kiranya dapat digunakan. Namun, untuk mengerti konsep sebagaimana mestinya, definisi selalu tidak representatif. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan bahasa dan kemampuan intelektual untuk merumuskan definisi, disamping subyektivitas si perumus itu sendiri. Akan tetapi sebagai bahan tambahan rumusan pendidikan, didalam pendidikan Islam terdapat konsep-konsep dasar yang membentuknya. (1) usaha. Pendidikan adalah usaha, yaitu suatu aktivitas mengerahkan kemampuan dalam mengatasi hambatan-hambatan untuk mencapai suatu tujuan. Pendidikan bukan penetapan yang didalamnya hanya terdapat saat memberi dan menerima tanpa hambatan. Sebagai usaha, pendidikan mesti berhubungan dengan tujuan. Sulit dibayangkan ada usaha yang tidak bertujuan, terutama karena pendidikan adalah usaha yang dilakukan manusia dan terhadap manusia. Suatu hal yang membedakan tindakan manusia dari tindakan binatang ialah sifatnya yang teologis (mengarah kepada tujuan). (2). Kemanusiaan. Pendidikan merupakan sesuatu yang khas bagi manusia, dan karenanya tidak diterapkan pada binatang ataupun tumbuh-tumbuhan. Ini sesuai tabiat risalah Islam yang memang diperuntukkan untuk umat manusia. Atas dasar itu, pengembangan sumber daya manusia bisa merupakan aktivitas pendidikan, tetapi pengembangan sumber daya alam tidak akan pernah dipandang sebagai aktivitas pendidikan, kecuali apabila dilaksanakan dalam rangka yang pertama. (3) perkembangan. 8
Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 25-26.
13
Yang diperbuat pendidikan terhadap manusia ialah mengembangkannya untuk menjadi pribadinya, bukan menjadi yang berada diluar pribadinya. Proses “mau jadi dokter, mau jadi pramugari, bahkan mau jadi presiden “bukanlah pendidikan, kecuali apabila semua ke-mau-an itu merupakan sesuatu yang membedakan pribadinya dari yang lain. 9 Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar oleh orang dewasa terhadap perkembangan jasmani dan rohani, untuk menumbuhkan dan membentuk personalitas yang utuh dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab di masyarakat. Adapun
pengertian
sosial,
menurut
Kamus
Sosiologi
dan
Kependudukan, ialah hubungan seorang individu dengan yang lainnya dari jenis yang sama; atau pada sejumlah individu yang yang membentuk lebih banyak atau lebih sedikit kelompok-kelompok yang terorganisir, juga tentang kecenderungan-kecenderungan dan impuls-impuls yang berhubungan dengan yang lainnya. 10 Dari beberapa pendapat di atas di simpulkan bahwa pendidikan sosial adalah usaha sadar oleh seseorang pendidik terhadap anak untuk mempengaruhi dan mengarahkan pada proses sosial. Kesimpulan tersebut, selaras dengan pendapat para ahli pendidikan dalam menafsirkan pendidikan sosial, di antaranya menurut H.A.R. Tilaar dan Sardin Pabbadja, pendidikan sosial adalah sebagai proses sosialisasi anak, yang berarti akan mengarahkan kegiatannya pada sosialisasi anak dalam lingkungan sosial. Menurut Santoso S. Hamidjojo sebagaimana dikutip St. Vembriarto, mengatakan bahwa pendidikan sosial adalah suatu proses yang diusahakan dengan sengaja di dalam masyarakat untuk mendidik (atau membina, membimbing, membangun) individu dalam lingkungan sosial dan alamnya supaya secara bebas dan bertanggungjawab menjadi pendorong ke arah perubahan dan kemajuan. 11
9
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam,... h. 11. G. Kartasapoetra dan Hartini, Kamus Sosiologi dan Kependudukan (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), cet. 2, h. 382. 11 St. Vembriarto, Pendidikan Sosial, (Yogyakarta: Paramita, 1981), h. 7. 10
14
Sedangkan M. Ngalim Purwanto berpendapat bahwa pendidikan sosial adalah pengaruh yang disengaja yang datang dari pendidik-pendidik (seperti nenek, paman dan bibi, ayah dan ibu, dan guru-guru), dan pengaruh itu berguna untuk: 1) Menjadikan anak itu anggota yang baik dalam golongannya, 2) Mengajar anak itu supaya dengan sabar berbuat sosial dalam masyarakat, seperti dalam rapat-rapat, di jalan, dalam kereta api, di pasar, di dalam gedung bioskop, di Kantor Pos, di warung koperasi, dan sebagainya. Pendeknya, di mana dan bilamana saja ia berhubungan dengan orang-orang lain.12 Definisi pendidikan sosial yang lebih luas diberikan oleh Abdullah Nasih Ulwan. Ia menjelaskan bahwa pendidikan sosial adalah:
ﺍﺏﹺﺍﻡﹺ ﺍﹶﺩﺰﻟﹾﺘ ﺍﻠﻰ ﻋﻩﺬﹸ ﻧﻌﻮﻣﺔ ﺍﹶﻇﹾﻔﹶﺎﺭﻨ ﻣﻟﹶﺪﺐﹺ ﺍﻟﹾﻮﻳﺎﹾﺩ ﺗﺔﻴﺎﻋﻤﺘ ﺍﻟﹾﺎﺟﺔﺑﹺﻴﺮ ﺑﹺﺎﺗﺩﻮﻘﹾﺼﺍﹶﻟﹾﻤ
ﺭﹺﻮﻌﺍﻟﺸ ﻭﺓﺪ ﺍﳋﹶﺎﻟﺔﻴﻼﹶﻣﺎﺳ ﺍﻟﹾﺓﺪﻴﻘ ﺍﻟﻌﻦ ﻣﻊﺒﻨﻠﹶﺔﹲ ﺗ ﻧﺒﹺﻴﺔﻔﹾﺴِﻴﻝﹸ ﻧﻮﺍﹸﺻ ﻭﻠﹶﺔ ﻓﹶﺎﺿﺔﻴﺎﻋﻤﺘﺟﺍ ﻞﹺﺎﻣﻌﻦﹺ ﺍﻟﺘﺴ ﺣﻦ ﻣ ﺑﹺﻪﺮﻈﹾﻬﺎ ﻳﺮﹺ ﻣﻴ ﺧﻠﻰﻊﹺ ﻋﻤﺘﻰ ﺍﳌﹸﺠ ﻓﻟﹶﺪ ﺍﻟﻮﻈﹾﻬﹺﺮﻴﻖﹺ ﻟﻴﻤﺎﻧﹺﻲ ﺍﻟﻌﻤﻳﺍﻻ
.ﻢﹺﻴ ﺍﳊﹶﻜﻑﺮﺼﺍﻟﺘﺞﹺ ﻭﺎﺿﻘﹾﻞﹺ ﺍﻟﻨﺍﻟﻌ ﻭﺍﻥﺰﺗﺍﻻﺏﹺ ﻭﺍﻻﹶﺩﻭ
“Pendidikan sosial adalah pendidikan anak sejak kecil agar terbiasa menjalankan adab sosial yang baik dan dasar-dasar psikis yang mulia dan bersumber pada aqidah islamiyah yang abadi dan perasaan keimanan yang mendalam agar di dalam masyarakat nanti ia terbiasa dengan pergaulan dan adab yang baik, keseimbangan akal yang matang dan tindakan yang bijaksana.”13 Berdasarkan pendapat para ahli tersebut di atas, dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan sosial adalah usaha mempengaruhi yang dilakukan dengan sadar, sengaja dan sistematis agar individu dapat membiasakan diri dalam mengembangkan dan mengamalkan sikap-sikap dan perilaku sosial dengan baik dan mulia dalam lingkungan masyarakat sesuai dengan hak dan kewajibannya sebagai anggota masyarakat dan sebagai warga negara.
12
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis,... h. 171-172. Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam, (Arab Saudi: Darus Salam, 1997), 273. 13
15
Atau dalam kesimpulan lain pendidikan sosial di atas, dapat penulis simpulkan bahwa pengertian pendidikan sosial adalah esensi yang melekat pada suatu kegiatan pendidikan yang mana pendidikan tersebut dilaksanakan dalam rangka membantu proses perkembangan sosial sehingga anak didik akan memilih dan melaksanakan adab sosial yang baik agar dapat hidup rukun ditengah-tengah masyarakatnya.
B. Obyek Pendidikan Sosial Pembahasan tentang pendidikan tidak mungkin terlepas dari obyek yang menjadi sasarannya, yaitu manusia. Manusia diciptakan Tuhan dengan kedudukan yang mulia, bentuk fisik yang bagus dan seimbang. Untuk mempertahankan kedudukannya yang mulia dan bentuk pribadi yang bagus itu, Allah melengkapinya dengan akal dan perasaan yang memungkinkannya menerima dan mengembangkan ilmu pengetahuan, dan membudayakan ilmu yang dimilikinya. Ini berarti bahwa kedudukan manusia sebagai makhluk yang mulia itu karena (1) akal dan perasaan, (2) ilmu pengetahuan dan (3) kebudayaan, yang seluruhnya dikaitkan kepada pengabdian pada sang pencipta, Allah Swt.14 Obyek dari pendidikan sosial yang ingin penulis capai adalah, manusia (peserta didik) setidaknya memiliki minimal tiga sikap dibawah ini: 1. Sikap Berserah Diri Kepada Tuhan. Menurut Nurcholis Madjid, Sikap berserah diri kepada Tuhan (berislam) itu secara inheren mengandung berbagai konsekuensi. Pertama, konsekuensi dalam bentuk pengakuan yang tulus bahwa Tuhanlah satusatunya sumber otoritas yang serba mutlak. Karena itu Tuhan bukan untuk diketahui, sebab “mengetahui Tuhan” adalah mustahil. Dalam keadaan tidak mungkin mengetahui, yang harus dilakukan manusia ialah usaha terus menerus dan penuh kesungguhan untuk mendekatkan diri kepadaNya. Ini diwujudkan dengan merentangkan garis lurus itu merentang sejajar secara berhimpitan dengan hati nurani. Berada di lubuk yang paling 14
Zakiah Daradjat dkk, Ilmu Pendidikan Islam,... h. 4.
16
dalam pada hati nurani itu ialah kerinduan kepada kebenaran, yang dalam bentuk tertingginya ialah hasrat bertemu Tuhan itu dalam semangat berserah diri kepada-Nya. Inilah alam, tabiat atau fitrah manusia. Alam manusia ini merupakan wujud perjanjian primordial antara Tuhan dan manusia. Maka sikap berserah diri kepada Tuhan itulah jalan lurus menuju kepada-Nya. Karena sikap itu berada dalam lubuk hati yang paling dalam pada diri manusia sendiri, menerima jalan lurus itu bagi manusia adalah sikap yang paling fitri, alami dan wajar. Jadi sikap berserah diri kepada Tuhan ber-islam bagi manusia adalah sesuatu yang alami dan wajar. Ber-islam menghasilkan bentuk hubungan yang serasi antara manusia dan alam sekitar, karena alam sekitar ini semuanya telah berserah diri serta tunduk patuh kepada Tuhan secara alami pula. Sebaliknya, tidak berserah diri kepada Tuhan bagi manusia adalah tindakan yang tidak alami. Manusia harus mencari kemuliaan hanya pada Tuhan, dan bukannya pada yang lain. Ber-islam sebagai jalan mendekati Tuhan itu ialah dengan berbuat baik kepada sesama manusia, disertai sikap menunggalkan tujuan hidup kepada-Nya tanpa kepada yang lain apa pun juga.15 Lebih lanjut Cak Nur (panggilan Nurcholis Madjid) menyatakan bahwa salah satu kelanjutan logis prinsip ketuhanan itu ialah paham persamaan manusia. Yakni bahwa seluruh umat manusia, dari segi harkat dan martabatnya asasinya, adalah sama. Tidak seorangpun dari sesama manusia berhak merendahkan atau menguasai harkat dan martabat manusia
lainnya,
misalnya
dengan
memaksakan
kehendak
dan
pandangannya kepada orang lain. Manusia tidak mungkin mengetahui kebenaran mutlak, pengetahuan manusia itu, betapa pun tingginya, tetap terbatas. Karena itu setiap manusia dituntut untuk bersikap rendah diri guna bisa mengakui adanya kemungkinan orang lain yang mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi. Dia harus selalu menginsafi dan 15
2-3.
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2000), cet. 4 h.
17
memastikan bahwa senantiasa ada Dia Yang Maha tahu. Maka manusia dituntut untuk bisa saling mendengar sesamannya, dan mengikuti mana saja dari banyak pandangan manusia itu paling baik.16
2. Sikap Toleransi Toleransi adalah sikap bersedia menerima keanekaragaman dan kebebasan agama yang dianut dan kepercayaan yang dihayati oleh pihak atau golongan lain. Hal ini dapat terjadi karena keberadaan atau eksistensi suatu golongan, agama, atau kepercayaan diakui dan dihormati oleh pihak lain. Pengakuan tersebut tidak terbatas pada persamaan derajat, baik dalam tatanan kenegaraan, tatanan kemasyarakatan, maupun dihadapan Tuhan tetapi juga perbedaan-perbedaan dalam cara-cara penghayatan dan peribadatannya yang sesuai dengan dasar kemanusian dan beradab. Menurut Umar Hasyim, toleransi diartikan sebagai pemberian kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya, atau mengatur hidupnya, dan menentukan nasibnya masing-masing selama tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat asas terciptanya ketertiban dan keamanan dalam masyarakat. Berdasarkan pemahaman ini, pada dasarnya bentuk sikap toleransi, lebih-lebih di suatu kawasan yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan egalitarianisme, sangat terkait erat dengan suatu pandangan yang mengakui the right of self determination, yaitu suatu hak menentukan sendiri
nasib
pribadi
masing-masing
umat
dalam
menentukan
keyakinannya untuk memilih suatu agama. Selanjutnya untuk lebih memperjelas aplikasi terminologi toleransi di atas dalam kehidupan umat beragama, ada baiknya diperhatikan segi-segi atau elemen-elemen dalam toleransi, yang dalam hal ini setidak-tidaknya dijumpai 5 hal,17 yaitu:
16
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,... h. 4-5. Haris Muchit (eds), Sarung dan Demokrasi dari NU untuk Peradaban Keindonesiaan, (Surabaya: Khalista, 2008), h. 256. 17
18
a. Mengakui hak setiap orang. Artinya suatu sikap mental dari kalangan umat beragama yang mengakui hak setiap orang di dalam menentukan pilihannya dalam beragama. b. Menghormati keyakinan orang lain. Arah dari elemen yang kedua ini adalah tidak dibenarkan seseorang memaksakan apa yang diyakininya untuk juga diyakini oleh orang atau golongan lain. Karena bagaimanapun soal keyakinan dalam hal ini agama adalah urusan pribadi yang bersifat transendental. c. Agree in disagreement, yakni setuju dalam perbedaan. Fokus elemen ini adalah perbedaan itu tidak harus melahirkan permusuhan, karena ia selalu ada di dunia ini kapanpun dan dimanapun. Untuk itu, fenomena perbedaan agama tidak semestinya memunculkan pertentangan. d. Saling pengertian di antara umat beragama. Artinya, bila hal ini tidak dimiliki oleh masing-masing pemeluk agama maka yang terjadi adalah saling membenci, saling berebut pengaruh dalam rangka memonopoli kebenaran. Dan ujung-ujungnya adalah konflik di antara umat beragama akan terjadi. e. Kesadaran dan kejujuran. Dalam hal ini dapat diilustrasikan, di sebuah kendaraan bus umum terdapat seorang ibu dengan anaknya yang masih kecil menangis dengan keras. Orang-orang yang ada disekitarnya bila tidak toleran, tentunya mereka akan menggerutu atau bahkan mengumpat ibu itu karena dirasakan sangat menganggu. Sementara yang berjiwa toleran, tentunya mereka akan menekan perasaannya, atau justru merasa kasihan kepada si ibu tadi. Dari ilustrasi tadi dapat disimpulkan, bahwa toleransi itu menyangkut sikap jiwa dan kesadaran batin seseorang. Kesadaran jiwa menimbulkan kejujuran dalam sikap dan tingkah laku.18
18
Haris Muchit (eds), Sarung dan Demokrasi dari NU,.... h. 257.
19
3. Solidaritas Sosial Manusia adalah makhluk sosial. Kebersamaan antara beberapa individu dalam wilayah membentuk masyarakat yang walaupun berbeda sifatnya dengan individu-individu tersebut, namun tidak dapat dipisahkan darinya. Manusia tidak dapat hidup tanpa masyarakatnya, sekian banyak pengetahuan diperolehnya melalui masyarakatnya seperti bahasa, adat istiadat, sopan santun dan lain-lain. Demikan juga dalam bidang material. Betapapun seseorang memiliki kepandaian, namun hasil-hasil material yang diperolehnya adalah berkat bantuan pihak-pihak lain, baik secara langsung dan disadari, maupun tidak. Seseorang bisa berhasil itu tidak mungkin dengan sendirinya dan diwujudkannya dengan mandiri. Manusia itu mengelola, tetapi Allah yang menciptakan dan memilikinya. Dengan demikian wajar jika Allah memerintahkan untuk mengeluarkan sebagian kecil dari harta yang diamanatkan kepada seseorang itu demi kepentingan orang lain.19 Menurut Said Aqil Siroj, lahirnya persaudaraan (ukhuwah) diilhami oleh eksistensi manusia sebagai makhluk sosial. Ia lahir dari lembaga institusi terkecil dalam komunitas sosial yang dinamakan keluarga. Beberapa keluarga kemudian membentuk RT, RW, desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten, propinsi, hingga terwujud sebuah bangunan negara. Semakin melebar dan membesarnya institusi-institusi di atas keluarga, tentu tidak dimaksudkan untuk memudarkan nilai-nilai persaudaraan, namun justru harus semakin merekatkan suatu bangunan keluarga besar. Segenap individu yang berada dalam suatu wadah negara, dengan demikian, mutlak memerlukan adanya rasa saling memilki, mencintai serta menyayangi antara satu dengan lainnya sebagai manifestasi kehidupan “keluarga besar” tersebut.20
19
M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2000), h. 324. Said Aqil Siroj, Tasawuf sebagai kritik sosial, (Jakarta: LTN PBNU, 2012), h. 282.
20
20
C. Tujuan Pendidikan Sosial Pendidikan adalah suatu kegiatan yang sadar akan tujuan. Dengan demikian tujuan merupakan salah satu hal yang penting dalam kegiatan pendidikan. Menurut undang-undang SISDIKNAS RI tahun 2003 tujuan pendidikan adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.21 Secara umum tujuan pendidikan dapat dikatakan membawa anak didik agar dapat berdiri sendiri (mandiri) di dalam hidupnya di tengah-tengah masyarakat.22 Menurut Jalaluddin, karena pendidikan berdimensi sosial, maka tujuan pendidikan diarahkan kepada pembentukan manusia yang memiliki kesadaran akan kewajiban, hak dan tanggung jawab sosial, serta sikap toleran, agar keharmonisan hubungan antar sesama manusia dapat berjalan dengan harmonis. Lebih lanjut Jalaluddin, menyatakan dalam kaitan dengan kehidupan bermasyarakat tujuan pendidikan diarahkan pada pembentukan manusia sosial yang memiliki sifat takwa sebagai dasar sikap dan perilaku.23 Sementara tujuan pendidikan sosial sebagaimana dijelaskan oleh M. Ngalim Purwanto MP adalah: 1. Mengajar anak-anak yang hanya mempunyai hak saja, menjadi manusia yang tahu dan menginsafi tugas dan kewajibannya terhadap bermacammacam golongan dalam masyarakat. 2. Membiasakan anak-anak berbuat mematuhi dan memenuhi tugas kewajiban sebagai anggota masyarakat dan sebagai warga negar. 24 Dari pengertian di atas, pendidikan sosial bertujuan agar individu dapat mengimplementasikan
hak
dan
kewajibannya
dalam
kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 21
Undang-Undang SISDIKNAS UU RI Nomor 20 Tahun 2003, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 7. 22 B. Suryosubroto, Beberapa Aspek Dasar-dasar Kependidikan (Jakarta: Rineka cipta, 2010), h. 9. 23 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, ( Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), cet. 2 h. 97. 24 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis,.... h. 171.
21
D. Unsur-Unsur Pendidikan Sosial Unsur-unsur pendidikan sosial adalah hal yang memungkinkan terselenggaranya proses pendidikan, unsur tersebut memiliki hubungan yang erat antara satu unsur dengan unsur yang lainnya. Dalam pendidikan sosial tidak dijelaskan secara khusus tentang unsur-unsur pendidikan sosial, melainkan merupakan penjabaran atas unsur-unsur pendidikan secara umum kemudian diarahkan kepada pendidikan sosial. Di dalam buku pengantar pendidikan, dijelaskan beberapa unsur pokok pendidikan yaitu: Subjek yang dibimbing (peserta didik), orang yang membimbing (pendidik), interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif), Ke arah mana bimbingan ditujukkan (tujuan pendidikan), pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan), cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode).25 Berdasarkan pendidikan tersebut di atas maka unsur-unsur yang harus ada dalam pendidikan sosial adalah: 1. Subjek Yang Di Bimbing (Peserta Didik) Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Pandangan modern cenderung menyebut demikian oleh karena peserta didik (tanpa pandang usia) adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya. Selaku pribadi yang memiliki ciri khas dan otonomi, ia ingin mengembangkan diri (mendidik diri) secara terus-menerus guna memecahkan masalah-masalah hidup yang dijumpai sepanjang hidupnya. Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik, yaitu: a. Individu Yang Memiliki Potensi Fisik Dan Psikis Yang Khas, Sehingga Menjadi Insan Yang Unik. Anak sejak lahir telah memiliki potensi-potensi yang ingin dikembangkan dan diaktualisasikan. Unuk mengaktualisasikannya membutuhkan bantuan dan bimbingan.
25
Umar Tirtarahardja dan S.L.La Sulo, Pengantar Pendidikan,.... h. 51-52.
22
b. Individu Yang Sedang Berkembang Yang dimaksud dengan perkembangan disini ialah perubahan yang terjadi dalam diri peserta didik secara wajar, baik ditujukan kepada diri sendiri maupun ke arah penyesuaian dengan lingkungan. c. Individu Yang Membutuhkan Bimbingan Individual Dan Perlakuan Manusiawi. Dalam proses perkembangannya peserta didik membutuhkan bantuan dan bimbingan. Bayi yang baru lahir secara badani dan hayati tidak terlepas dari ibunya, seharusnya setelah ia tumbuh berkembang menjadi dewasa ia sudah dapat hidup sendiri. Tetapi kenyataannya untuk kebutuhan perkembangan hidupnya, ia masih menggantungkan diri sepenuhnya kepada orang dewasa, sepanjang ia belum dewasa. Hal ini menunjukkan bahwa pada diri peserta didik ada dua hal yang menggejala, yaitu: 1) Keadaannya yang tidak berdaya menyebabkan ia membutuhkan bantuan. Hal ini menimbulkan kewajiban orang tua untuk membantunya. 2) Adanya kemampuan untuk mengembangkan dirinya, hal ini membutuhkan
bimbingan.
Orang
tua
berkewajiban
untuk
membimbingnya. Agar bantuan dan bimbingan itu mencapai hasil maka harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak. d. Individu Yang Memiliki Kemampuan Untuk Mandiri Dalam perkembangan peserta didik ia mempunyai kemampuan untuk berkembang ke arah kedewasaan. Pada diri anak ada kecenderungan untuk memerdekakan diri. Hal ini menimbulkan kewajiban pendidik dan orang tua (si pendidik) untuk setapak demi setapak memberikan kebebasan dan pada akhirnya mengundurkan diri. Jadi, pendidik tidak boleh memaksakan agar peserta didik berbuat menurut pola yang dikehendaki pendidik. Ini dimaksud agar peserta didik memperoleh kesempatan memerdekakan diri dan bertanggung
23
jawab sesuai dengan kepribadiannya sendiri. Pada saat ini si anak telah dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab sendiri. 26 Menurut M. Ngalim Purwanto, mengapa mendidik itu dikatakan memimpin perkembangan anak, dan bukan membentuk anak? Memang, kata “memimpin” di sini tepat. Anak bukanlah seumpama segumpal tanah liat yang dapat di remas-remas dan dibentuk dijadikan sesuatu menurut kehendak si pendidik. Jika sekiranya betul demikian, sudah tentu kita dapat mengharapkan bahwa nanti manusia itu akan menjadi “baik” semua. Sebab menurut kenyataan hampir semua manusia diusahakan dididik, baik oleh orang tuanya maupun oleh masyarakat dan negara. Sehingga akhirnya mungkin pemerintah atau negara tidak perlu lagi mengadakan polisi dan penjara. Pendidikan disebut pimpinan karena dengan perkataan ini tersimpul arti bahwa si anak aktif sendiri, memperkembangkan diri, tumbuh sendiri, tetapi di dalam keaktifannya itu harus dibantu dan di pimpin.27
2. Orang Yang Membimbing (Pendidik) Yang
dimaksud
dengan
pendidik
adalah
orang
yang
bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya dalam tiga lingkungan yaitu,
lingkungan keluarga,
lingkungan sekolah, dan
lingkungan masyarakat. Oleh sebab itu yang bertanggungjawab terhadap pendidikan ialah orang tua, guru dan masyarakat. Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena dari merekalah anak mula-mula menerima pendidikan. Dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga. Pada umumnya pendidikan dalam rumah tangga itu 26
Umar Tirtarahardja dan S.L.La Sulo, Pengantar Pendidikan,.... h. 52-53. M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis,.... h. 15.
27
24
bukan berpangkal tolak dari kesadaran dan pengertian yang lahir dari pengetahuan mendidik, melainkan karena secara kodrati suasana dan strukturnya
memberikan
kemungkinan
alami
membangun
situasi
pendidikan. Situasi pendidikan itu terwujud berkat adanya pergaulan dan hubungan pengaruh mempengaruhi secara timbal balik antara orang tua dan anak.28 Sementara tugas sebagai guru harus didukung oleh suatu perasaan bangga akan tugas yang dipercayakan kepadanya untuk mempersiapkan generasi kualitas masa depan bangsa. Walaupun berat tantangan dan rintangan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugasnya harus tetap tegar dalam melaksanakan tugas sebagai seorang guru. Pendidikan adalah proses yang direncanakan agar semua berkembang melalui proses pembelajaran. Guru sebagai pendidik harus dapat mempengaruhi ke arah proses itu sesuai dengan tata nilai yang dianggap baik dan berlaku dalam masyarakat. Tata nilai termasuk norma, moral, estetika, dan ilmu pengetahuan, mempengaruhi perilaku etik siswa sebagai pribadi dan sebagai anggota masyarakat. Penerapan disiplin yang baik dalam proses pendidikan akan menghasilkan sikap mental, watak, dan kepribadian siswa yang kuat. Guru dituntut
harus
mampu
membelajarkan
kepada
siswanya
tentang
kedisiplinan diri, belajar membaca, mencintai buku, menghargai waktu, belajar bagaimana cara belajar, mematuhi aturan/tata tertib dan belajar bagaimana harus berbuat. Semuanya itu akan berhasil apabila guru juga disiplin dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.29 Sedangkan tanggungjawab masyarakat, besar pengaruhnya dalam memberi arah terhadap pendidikan anak, terutama para pemimpin mayarakat atau penguasa yang ada didalamnya. Pemimpin masyarakat agamis tentu saja menghendaki agar setiap anak didik menjadi anggota yang taat dan patuh menjalankan agamanya, baik dalam lingkungan keluarganya, anggota 28
Zakiah Darajat dkk, Ilmu Pendidikan Islam,.... h. 35. Rusman, Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 55. 29
25
sepermainannya, kelompok kelasnya dan sekolahnya. Bila anak telah besar diharapkan menjadi anggota yang baik pula sebagai warga desa, warga kota dan warga negara. 30 Dengan demikian,
dipundak mereka terpikul keikutsertaan
membimbing pertumbuhan dan perkembangan anak. Ini berarti bahwa orang
tua,
guru, dan
bertanggungjawab
pemimpin/penguasa
terhadap
penyelenggaraan
dari masyarakat pendidikan.
ikut Sebab
tanggungjawab pendidikan pada hakikatnya merupakan tanggungjawab moral dari setiap orang dewasa baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok sosial.
3. Interaksi Antara Peserta Didik Dengan Pendidik (Interaksi Edukatif) Interaksi edukatif pada dasarnya adalah komunikasi timbal balik antar peserta didik dan pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan secara optimal ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif dengan memanipulasi isi, metode serta alat-alat pendidikan.
4. Pengaruh Yang Diberikan Dalam Bimbingan (Materi Pendidikan) Dalam sistem pendidikan persekolahan, materi telah disiapkan dalam kurikulum yang akan disajikan sebagai sarana pencapaian tujuan. Materi ini meliputi materi inti maupun muatan lokal. Materi ini bersifat nasional yang mengandung misi pengendalian dan persatuan bangsa. Sedangkan muatan lokal misinya adalah mengembangkan kebhinekaan kekayaan budaya sesuai dengan kondisi lingkungan. Dengan demikian jiwa dan semangat bhineka tunggal ika dapat di tumbuh kembangkan.
5. Cara Yang Digunakan Dalam Bimbingan (Alat Dan Metode) Alat dan metode pendidikan merupakan dua sisi dari satu mata uang. Alat 30
melihat
jenisnya
sedangkan
metode melihat
Zakiah Darajat dkk, Ilmu Pendidikan Islam,..... h. 45.
efisiensi dan
26
efektivitasnya. Alat dan metode diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan ataupun diadakan dengan sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat pendidikan dibedakan atas yang preventif dan yang kuratif. a. Yang bersifat preventif, yaitu yang bermaksud mencegah terjadinya hal-hal yang tidak dikehendaki misalnya larangan, pembatasan, peringatan bahkan juga hukuman. b. Yang bersifat kuratif, yaitu yang bermaksud memperbaiki, misalnya ajakan, contoh, nasihat, dorongan, pemberian kepercayaan, saran, penjelasan, bahkan juga hukuman. Untuk memilih dan menggunakan alat pendidikan yang efektif ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu : 1) Kesesuaian denggan tujuan yang ingin dicapai 2) Kesesuaian dengan peserta didik 3) Kesesuaian dengan pendidik 4) Kesesuaian dengan situasi dan kondisi saat digunakannya alat tersebut. Persyaratan tersebut perlu diperhatikan agar jangan sampai salah. Sebab kesalahan pemakaian alat dan metode menjadikan peserta didik frustasi. Salah satu alat pendidikan yang sangat istimewa dan bersifat khusus yaitu hukuman. Sebab karena hukuman menimbulkan penderitaan, sehingga penggunaan hukuman harus dipertimbangkan dengan seksama, baru boleh digunakan manakala sudah tidak ada alat lain yang berkhasiat. Itu pun harus diperhitungkan sedemikian rupa sehingga hukuman dapat menimbulkan efek jera sesuai dengan kemampuan si pelaku untuk memikulnya. Inilah yang dimaksud dengan hukuman yang pedagogis. Hanya hukuman yang demikian bersifat memperbaiki yaitu menjadikan si pelaku menyadari kesalahannya, menyesali perbuatannya, dan memperbaiki dirinya. 31 Sebagai alat pendidikan, hukuman hendaklah: senantiasa merupakan jawaban atas suatu pelanggaran, sedikit-banyaknya selalu bersifat tidak 31
Umar Tirtarahardja dan S.L.La Sulo, Pengantar Pendidikan,.... h. 52-56.
27
menyenangkan, selalu bertujuan ke arah perbaikan; hukuman itu hendaklah diberikan untuk kepentingan anak itu sendiri, Ngalim Purwanto menyatakan bahwa maksud orang memberi hukuman itu bermacam-macam. Hal ini sangat bertalian erat dengan pendapat orang tentang teori-teori hukuman.
1. Teori Pembalasan Teori inilah yang tertua. Menurut teori ini, hukuman diadakan sebagai pembalasan dendam terhadap kelainan dan pelanggaran yang telah dilakukan seseorang. Tentu saja teori ini tidak boleh dipakai dalam pendidikan di sekolah.
2. Teori Perbaikan Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk membasmi kejahatan. Jadi, maksud hukuman itu ialah untuk memperbaiki si pelanggar agar jangan berbuat kesalahan semaacam itu lagi. Teori inilah yang lebih bersifat pedagogis karena bermaksud memperbaiki si pelanggar, baik lahiriah maupun batiniahnya.
3. Teori Perlindungan Menurut teori ini hukuman diadakan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang tidak wajar. Dengan adanya hukuman ini, masyarakat dapat dilindungi dari kejahatan yang telah dilakukan oleh si pelanggar.
4. Teori Ganti Rugi Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk mengganti kerugian yang telah diderita akibat dari kejahatan atau pelanggaran itu. Hukuman ini banyak dilakukan dalam masyarakat atau pemerintahan. Dalam proses pendidikan, teori ini masih belum cukup. Sebab dengan hukuman semacam itu anak mungkin menjadi tidak merasa bersalah atau berdosa karena kesalahannya itu telah terbayar dengan hukuman.
28
5. Teori Menakut-nakuti Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk menimbulkan perasaan takut kepada si pelanggar akan akibat perbuatannya yang melannggar itu sehingga ia akan selalu takut melakukan perbuatan itu dan mau meninggalkannya. Teori ini masih membutuhkan teori perbaikan. Sebab dengan teori ini besar kemungkinan anak meninggalkan suatu perbuatan itu hanya karena takut, bukan keinsafan bahwa perbuatannya memang sesat atau memang buruk. Dalam hal ini anak tidak terbentuk kata hatinya.32
E. Metode dan Strategi Pendidikan Sosial Pemilihan strategi pembelajaran (pendidikan) yang tepat sangatlah penting. Artinya, bagaimana guru dapat memilih kegiatan pembelajaran yang paling efektif dan efisien untuk menciptakan pengalaman belajar yang baik, yaitu yang dapat memberikan fasilitas kepada peserta didik mencapai tujuan pembelajaran. Namun perlu diingat bahwa tidak satu pun strategi pembelajaran yang paling sesuai untuk semua situasi dan kondisi yang berbeda, walaupun tujuan pembelajaran yang ingin dicapai sama. Artinya dibutuhkan
kreativitas
dan
keterampilan
guru
dalam
memilih
dan
menggunakan strategi pembelajaran, yaitu yang disusun berdasarkan karakteristik peserta didik dan sesuai kondisi yang diharapkan. Strategi pembelajaran pada dasarnya adalah suatu rencana untuk mencapai tujuan. Terdiri dari metode, teknik, dan prosedur yang mampu menjamin peserta didik benar-benar akan dapat mencapai tujuan akhir kegiataan pembelajaran (pendidikan).33 Terkait dengan strategi pendidikan sosial penyusun berupaya menggabungkan dengan metode pendidikan sosial, hal ini dikarenakan karena metode adalah bagian dari strategi pendidikan.
32
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis,.... h.187-188. Hamzah B. Uno, Nurdin Mohamad, Belajar dengan Pendekatan PAILKEM (Jakarta: Bumi Aksara 2011), h. 6. 33
29
Menurut Abdullah Nashih Ulwan, metode pendidikan sosial ini berkisar pada hal-hal berikut ini: 1. Penanaman Dasar-dasar Psikis yang mulia Islam telah menegaskan dasar-dasar pendidikan yang utama di dalam jiwa individu-individu, baik kecil maupun besar, laki-laki maupun wanita, orang tua maupun pemuda, di atas dasar-dasar kejiwaan yang mulia dan mapan. Untuk menanamkan dasar-dasar psikhis di dalam diri individu dan kelompok, Islam telah menetapkan arahan-arahan yang sangat berharga, demi tercapainya kesempurnaan pendidikan sosial, dari segi makna maupun tujuannya. Berikut ini beberapa dasar psikis terpenting yang diutamakan Islam untuk ditanamkan antara lain: a. Takwa Takwa ialah membersihkan hati dari kotoran dan membersihkan badan dari dosa, baik dosa tangan, kaki, kemaluan, mulut, mata, hidung, maupun telinga. Takwa ialah waspada dan berhati-hati dari penyimpangan apa pun. Orang tanpa dosa itulah orang yang benarbenar bertakwa.34 Takwa merupakan suatu nilai akhir dan hasil alami dari perasaan keimanan secara mendalam yang berhubungan dengan ingat kepada Allah, takut kepada murka dan siksa-Nya serta harapan akan ampunan dan pahala-Nya. Menurut definisi para ulama, takwa adalah Allah tidak melihatmu di dalam apa saja yang diperintahkanNya kepadamu. Menurut sebagian ulama lain, takwa adalah menghindarkan adzab Allah Swt, dengan jalan melaksanakan amal saleh, dan takut kepada Allah, baik dalam keadaan sembunyisembunyi maupun terang-terangan.35 Di samping dapat menguasai hati orang mu’min dengan ketakutan kepada Allah dan selalu mengingat-Nya, takwa juga merupakan sumber,
keutamaan
sosial,
bahkan
satu-satunya
jalan
untuk
menghindar berbagai kerusakan, kejahatan, dosa dan duri. Bahkan ia 34
Muchlis M. Hanafi (ed), Spiritualitas dan Akhlak, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran, 2010), h. 78. 35 Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam,.... h. 274.
30
merupakan sarana pertama yang mewujudkan kesadarannya di dalam diri individu secara sempurna terhadap masyarakat dan seluruh makhluk hidup yang ditemuinya.
b. Persaudaraan Persaudaraan adalah ikatan kejiwaan yang mewarisi perasaan mendalam tentang kasih sayang, kecintaan dan pengorbanan terhadap setiap orang yang diikat oleh perjanjian-perjanjian akidah islamiyah, keimanan dan ketakwaan. Perasaan persaudaraan yang benar ini melahirkan perasaan-perasaan mulia di dalam jiwa muslim untuk membentuk sikap-sikap positif, seperti saling tolong menolong, mengutamakan orang lain, kasih sayang, dan pemberian maaf serta menjauhi sikap-sikap negatif, seperti menjauhi setiap hal yang membahayakan manusia di dalam diri, harta dan kehormatan mereka. Islam telah menganjurkan persaudaraan ini di jalan Allah, dan telah menjelaskan segala permasalahan dan kelazimannya di dalam banyak ayat Al-Qur’an dan hadits.36 Sebagai hasil dari persaudaraan dan percintaan dijalan Allah ini mereka saling kasih mengasihi, saling mengutamakan kepentingan orang lain, saling tolong menolong dan saling memberi jaminan.
c. Kasih Sayang Kasih sayang adalah suatu kelembutan di dalam hati, perasaan halus di dalam hati nurani, dan suatu ketajaman perasaan yang mengarah pada perlakuan lemah lembut terhadap orang lain, keturutsertaan di dalam merasakan kepedihan, belas kasih terhadap mereka dan upaya menghapus air mata kesedihan dan penderitaan. Ia merupakan suatu perasaan yang menyerukan orang mu’min untuk lari dari penderitaan,
36
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam,... h. 276.
31
menjauhi kejahatan menjadi suatu sumber kebaikan, kebajikan dan keselamatan bagi seluruh umat manusia 37
d. Mengutamakan Orang Lain Masalah ini merupakan suatu perasaan psikologis yang lebih mengutamakan orang lain dibanding dirinya sendiri dalam berbagai kebaikan dan kepentingan pribadi yang bermanfaat. Mengutamakan orang lain merupakan suatu perangai mulia yang apabila dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah, ia akan menjadi salah satu dasar kejiwaan berdasarkan kebenaran iman, ketulusan niat dan kesucian diri. Pada waktu yang bersamaan, ia merupakan salah satu sendi yang kuat bagi jaminan sosial dan perwujudan kebaikan bagi umat manusia.38
e. Pemberian Maaf Pemberian maaf merupakan suatu kemuliaan perasaan psikologis yang meliputi rasa toleransi penyerahan hak, sekalipun orang yang memusuhi itu adalah orang zalim. Dengan syarat, bahwa orang teraniaya itu mampu membalas dendam bukan terhadap kehormatan ad-din dan kesucian Islam. Jika tidak demikian, maka pemberian maaf disini bermakna suatu kehinaan, penyerahan diri dan sikap tunduk. Maaf dengan makna dan persyaratan ini merupakan tabiat akhlak secara murni yang menunjukkan dalamnya keimanan dan ketinggian adab Islami. 39
f. Keberanian Keberanian merupakan suatu kekuatan psikologis yang diserap oleh orang mu’min dari keimanan terhadap Tuhan yang diyakini sebagai kebenaran yang ia peluk, keabadian yang ia yakini, qadar yang ia 37
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam,... h. 278. Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam,.... h. 280. 39 Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam,.... h. 282. 38
32
serahkan dirinya kepadanya, tanggungjawab yang ia sadari dan pendidikan yang menumbuhkannya. Kadar kekuatan keberanian dan mengatakan kalimat yang haq yang dimiliki oleh seorang mu’min sesuai dengan kadar keimanannya kepada Allah yang tiada terkalahkan, kebenaran yang tiada terabaikan, qadar yang tidak berubah, tanggungjawab yang tiada pernah lelah dan pendidikan yang tiada membosankan.40
2. Memelihara Hak-hak Orang-orang Lain Hak-hak sosial terpenting yang harus disampaikan sebagai upaya pendidikan kepada anak agar ia dapat melaksanakannya secara baik adalah: hak terhadap kedua orang tua, hak terhadap saudara-saudara, hak terhadap guru, hak terhadap teman, hak terhadap orang besar. Tugas pendidik hendaknya mengajarkan dan menanamkan semua itu kepada anak-anak didik. Sehingga setahap demi setahap anak dapat menghormati orang yang lebih tua dan orang tua. Di samping itu, sejak kecilnya ia sudah dapat memahami hak orang yang usianya lebih tua dibanding dirinya, serta berlaku sopan terhadap orang-orang yang mempunyai kelebihan di dalam ilmu, keutamaan dan kedudukan. Jika pendidik meletakkan dasar-dasar kesopanan dan berbuat baik kepada anak-anak, maka tidak diragukan lagi mereka akan menghormati orang-orang yang mempunyai keutamaan, terutama orang tua. Untuk ini kita sangat membutuhkan para pendidik dan guru yang memahami hakekat-hakekat pendidikan dalam Islam, di samping gigih di dalam menanamkan sistem ini, maka umat Islam akan dapat mencapai akhlak sosial dan adab islami yang tinggi. Dan ketika itu seluruh kaum mu’minin akan merasa gembira dengan terciptanya generasi yang tumbuh, masyarakat yang mulia dan ketenteraman yang diharapkan. 41 40
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam,.... h. 285. Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam,.... h. 290.
41
33
3. Melaksanakan Adab-adab Sosial Adab-adab sosial berkait erat dengan penanaman dasar-dasar psikhis. Pelaksanaan adab-adab sosial secara umum berpijak pada landasan akidah iman dan takwa, persaudaraan, kasih sayang, lebih mengutamakan orang lain dan sopan santun, sehingga pendidikan sosial akan mencapai tujuannya yang paling tinggi. Bahkan ia akan tampil di masyarakat dengan perangai, akhlak dan interaksi yang sangat baik sebagai insan yang lurus, cerdas, bijak dan harmonis. Contoh dari adab-adab sosial adalah adab makan dan minum, adab memberi salam, adab meminta izin, adab di dalam majelis, adab berbicara, adab bergurau, adab mengucapkan selamat, adab menjenguk orang sakit, adab bertakziyah, adab bersin dan menguap.42
4. Pengawasan Dan Kritik Sosial Di antara dasar sosial terpenting di dalam membentuk perangai dan mendidik kehidupan sosial anak, adalah membiasakan anak sejak kecil untuk mengadakan pengawasan dan kritik sosial, membina setiap individu yang dipergauli, diikuti atau mengikuti, dan memberikan nasehat kepada setiap individu yang tampaknya menyimpang dan menyeleweng43. Ringkasnya, membiasakan anak sejak masa pertumbuhannya untuk melaksanakan
kewajiban memerintahkan
kebaikan dan mencegah
kemungkaran, yang merupakan salah satu dasar Islam yang fundamental di dalam
memelihara
pendapat
umum,
memerangi
kerusakan
dan
penyimpangan serta memelihara nilai, keteladanan dan akhlak umat Islam. Kata kunci dalam pengawasan dan kritik sosial adalah introspeksi dan menerima kritikan orang lain. Menurut Khalil al-Musawi Introspeksi adalah salah satu bentuk penghitungan diri, dan merupakan alat penting bagi manusia dalam memperbaiki kesalahan-kesalahannya. Bila orang tidak mempunyai penasehat dari dalam dirinya, maka nasihat apapun tidak 42
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam,.... h.300. Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam,.... h.310.
43
34
bermanfaat baginya. Bila orang tidak mau menerima kritikan dari nuraninya sendiri, maka ia tidak akan dapat menerimanya dari orang lain. Lebih lanjut Khalil menyatakan, disamping melakukan introspeksi diri, seseorang juga harus mau menerima kritikan yang dilontarkan orang lain. Orang yang mau menerima kritikan orang lain adalah orang yang memiliki jiwa positif dan konstruktif. Mau menerima kritikan orang lain adalah pertanda kelapangan dada, kesabaran, kemampuan mengendalikan diri, kedalaman akal dan hikmah. 44
F. Hasil Penelitian yang Relevan Adapun hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut: 1. Ninik Chamidah, dengan tema “Konsep Zakat dalam Islam dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Sosial.” Karya ini menjelaskan pengaruh zakat dalam pendidikan sosial mempunyai arti dan peran penting yang berkaitan dengan kesejahteraan dan pemerataan pengembangan ekonomi masyarakat miskin melalui jalan memperkecil jurang dan jarak antara si kaya dan si miskin dan akan menumbuhkan rasa kasih sayang dan persaudaraan dalam persatuan Islam di dalam masyarakat yang bersangkutan.45 Ajaran Islam menjadikan Ibadah yang mempunyai aspek sosial sebagai landasan membangun satu sistem yang mewujudkan kesejahteraan dunia dan akhirat. Dengan mengintegrasikannya dalam Ibadah berarti memberikan peranan penting pada keyakinan keimanan yang mengendalikan seorang mukmin dalam hidupnya. Namun demikian, zakat bukanlah satu-satunya gambaran dari sistem yang ditampilkan oleh ajaran Islam dalam mewujudkan keejahteraan umum bagi masyarakat. Namun juga harus diakui bahwa zakat sangat penting arti dan kedudukannya karena merupakan titik sentral dari sistem tersebut.
44
Khalil al-Musawi, Terapi Akhlak, (Jakarta: Zaytuna, 2011), h. 102-103. Ninik Chamidah, Konsep Zakat dalam Islam dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Sosial (Semarang: UIN Sunan Kalijaga Press, 2006). 45
35
2. Aunur Rofiq, dengan karya ilmiah berjudul “Konsep Metode Pendidikan Sosial Anak Perspektif Abdullah Nashih Ulwan (Studi Dalam Manusiab Tarbiyatul Awlad Fil Islam).46 Karya ini menjelaskan bahwa metode pendidikan sosial anak ialah jalan/cara untuk menanamkan pengetahuan sosial pada diri seseorang anak sehingga terlihat dalam pribadi obyek sasaran yaitu pribadi yang mempunyai kecakapan sosial. Adapun Macammacam Metode Pendidikan sosial anak menurut Nashih Ulwan meliputi 4 hal yakni metode penanaman dasar-dasar kejiwaan yang mulia, metode memelihara hak orang lain, metode disiplin etika sosial, dan metode kontrol dan kritik sosial. Sementara macam-macam metode pendidikan sosial konvensional Islam, antara lain: Metode Keteladanan, Metode Pembiasaan, Metode Hukuman dan Ganjaran, Metode kisah Qur'ani, Metode Ibrah dan Mauidzah, Metode tarhib wa targhib. 3. Suyadi, dengan tema “Konsep Fiqih Sosial dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam (Telaah Pemikiran KH. Sahal Mahfudh).” Karya ini berpijak pada kerangka epistemologi Fiqih sosial KH. MA. Sahal Mahfudh. Fiqih sosial, perbincangan antara fiqih dengan realitas yang ada, berkembang. Menempatkan fiqih tidak hanya sebagai mengenai ritual agama (hubungan vertikal). Tapi lebih pada prinsip mencari kemaslahatan bersama (ibadah sosial). Dengan dalil, yaitu mempertahankan hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik. Kemudian manusia cari
implikasi
pemikiran
di
atas
terhadap
Pendidikan
Islam.
Karenanya secara konteksnya, antara fiqih dengan pendidikan Islam mempunyai kesamaan. Penulis merujuk pada buku babon fikih sosialnya Sahal Mahfudh untuk kemudian dibandingkan dengan Tafsir al-Qur'an Tematik (Sosial).47
46
Aunur Rofiq, Konsep Metode Pendidikan Sosial Anak Perspektif Abdullah Nashih Ulwan (Studi Dalam Kitab Tarbiyatul Awlad Fil Islam) (Surabaya: UIN-Sunan Ampel Press, 2010). 47 Suyadi, Konsep Fiqih Sosial dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam (Telaah Pemikiran KH. Sahal Mahfudh) , (Solo: Tiga Serangkai, 2006).
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Objek dan Waktu Penelitian 1. Objek penelitian Objek dalam penelitian ini adalah mengenai pendidikan sosial yang terkandung dalam surat Ali Imran ayat 159. 2. Waktu penelitian Adapun waktu yang dilalui penulis dalam penelitian ini adalah mulai tanggal 19 februari 2013 sampai tanggal 15 Januari 2014.
B. Metode Penulisan 1. Pendekatan Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan data penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analisis dengan menggunakan teknik analisis kajian melalui studi kepustakaan (Library Reseach). 2. Sumber Data Sumber data pada penelitian ini berasal dari literatur-literatur yang berkaitan dengan tema dalam penelitian ini. Sumber-sumber tersebut terdiri dari data primer, yaitu kitab suci al-Qur’an dan kitab-kitab tafsir alQur’an yang menjelaskan ayat 159 surat Ali Imran, di antaranya: kitab Al-Qur’an dan Tafsirnya, Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish Shihab, Tafsir Nurul Qur’an karya Alamah Kamal Faqih Imani, Tafsir Al-
36
37
Qurthubi dan Tafsir Al-Azhar karya Hamka. Dan data sekunder, yaitu dari buku-buku yang membahas mengenai pendidikan sosial. 3. Analisis Data Adapun analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan analisis metode tafsir tahlili. Dalam metode ini biasanya mufasir menguraikan makna yang dikandung oleh Al-Qur’an ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutannya di dalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian, kosa kata, konotasi, kalimatnya, latar belakang turun ayat, kaitannya dengan ayat lain, baik sebelum maupun sesudahnya (munasabat), dan tidak ketinggalan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut; baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat maupun para tabi’in dan ahli tafsir lainnya.1
C. Fokus Penelitian Menurut Sugiyono, “batasan masalah dalam penelitian kualitatif disebut fokus, yang berisi pokok masalah yang masih bersifat umum”.2 Dengan melihat pendapat Sugiyono, maka penulis mencantumkan apa yang terdapat dalam batasan masalah menjadi fokus penelitian dalam penulisan ini. Adapun fokus penelitian tersebut adalah mengenai pendidikan sosial yang terdapat dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 159. Jadi dalam penelitian ini penulis bermaksud mencari nilai-nilai nilai-nilai pendidikan sosial yang terkandung dalam ayat tersebut, dengan mencari data-data dan sumbersumber yang membahas mengenai ayat 159 dalam surat Ali Imran.
1 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung, Mizan: 1996), h. xi-xii. 2 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitataif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008), cet. IV, h. 285-286.
38
D. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan. Oleh karena itu teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah pengumpulan data literer yaitu bahan-bahan pustaka yang koheren dengan objek pembahasan yang dimaksud.3 Data yang ada dalam kepustakaan tersebut dikumpulkan dan diolah dengan cara: 1. Editing yaitu pemeriksaan kembali data yang diperoleh terutama dari segi kelengkapan, kejelasan makna, dan keselarasan makna antara yang satu dengan yang lain. 2. Organizing, yaitu mengorganisir data-data yang diperoleh dengan kerangka yang sudah diperlukan. 3. Penemuan hasil penelitian yaitu melakukan analisis lanjutan terhadap hasil pengorganisasian data dengan menggunakan kaidah-kaidah, teori dan metode yang telah ditentukan sehingga diperoleh kesimpulan tertentu yang merupakan hasil jawaban dari rumusan masalah.
3
Suharsimi Arikunto, Prosedur Peneltian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 24.
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Teks dan Terjemah QS. Ali ‘Imran Ayat 159
ﻚﻟﻮ ﺣﻦﻮﺍ ﻣﻔﹶﻀﻴﻆﹶ ﺍﻟﹾﻘﹶﻠﹾﺐﹺ ﻟﹶﺎﻧﺎ ﻏﹶﻠ ﻓﹶﻈﺖ ﻛﹸﻨﻟﹶﻮ ﻭﻢ ﻟﹶﻬﺖﻨ ﻟ ﺍﻟﻠﱠﻪﻦ ﻣﺔﻤﺣﺎ ﺭﻓﹶﺒﹺﻤ ﺐﺤ ﻳ ﺇﹺﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪﻠﹶﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪﻛﱠﻞﹾ ﻋﻮ ﻓﹶﺘﺖﻣﺰﺮﹺ ﻓﹶﺈﹺﺫﹶﺍ ﻋﻲ ﺍﻟﹾﺄﹶﻣ ﻓﻢﻫﺎﻭﹺﺭﺷ ﻭﻢ ﻟﹶﻬﺮﻔﻐﺘﺍﺳ ﻭﻢﻬﻨ ﻋﻒﻓﹶﺎﻋ (159 : )ﺳﻮﺭﺓ ﺁﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ.ﲔﻛﱢﻠﻮﺘﺍﻟﹾﻤ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran[3]: 159) B. Makna Kosa Kata Inti Secara etimologis, linta (ﺖﻨ )ﻟterambil dari akar kata al-lin (ﲔ )ﻟyang berarti “lemah lembut”, lawan al-khusyunah atau kasar. Pada asalnya kata lin (ﺔﹰﻨﻴﻟﺎ ﻭﺎﻧﻟﹶﻴﻨﺎﹰ ﻭﻴ )ﻻﹶﻥﹶ – ﻟbermakna lunak atau lemas, ﻪﻨ ﻟﹶﺎﹶﻳﻦ ﻟﹶﻴbersikap halus, ﻦﻠﹶﻴﺗ
ﻪﻼﹶﻧﺘﺳﺍ
menjadi sangat lembut, menganggap lembut, ﺔﹸﻧﻮﺍﻟﻠﱡﻴ ﻭﻦ ﺍﻟﱢﻴyang lunak,
lembek, ﻴﻦﺍﻟ ﱠﻠ ﻭﻦ ﺍﻟ ﱠﻠﻴkelembutan, kelunakkan, kelembekan, ( )ﺝ ﺍﹶﻻﹶﻳﹺﻦﻦ ﺍﻻﹶﻟﹾﻴyang
39
40
lunak, halus, kelemahlembutan.1 Dengan demikian, makna Linta berarti kamu lemah lembut. Dalam kalimat selanjutnya disebutkan sebagai fa’fu anhum (ﻢﻬﻨ ﻋﻒ)ﻓﹶﺎﻋ (maafkan mereka). Kata ﺍﻔﹾﻮﻋ-ﻔﹸﻮﻌﻳ-ﻔﹶﺎ ﻋberarti memaafkan, mengampuni dosanya, ﻔﹶﻰﺃﹶﻋ, menyembuhkan, membiarkan, ﺎﻓﹶﻰﻌ ﺗberarti sembuh dan afiat. Kata ﻔﹶﺎﻩﻌﺘﺳﺍ, meminta ma’af kepadanya, ﻔﹶﺎﺀﻋ-ﻔﹾﻮﻋ, hapus, ﺍﻔﹾﻮ ﻋdengan kemauan sendiri atau maafkanlah saya. Kata ﻒﺘﻌﻣ-ﺎﻑﻋ, yang hapus. Sedangkan kata,
ﻔﹶﺎﺀﺘﺳ ﺍbermakna meminta maaf.2 M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kosa kata afwun bermakna memberi
maaf
dan
membuka
lembaran
baru.
Memaafkan
adalah
menghapuskan bekas luka dihati akibat perilaku pihak lain yang tidak wajar.3 Kalimat
selanjutnya
ﻢﻫﺎﻭﹺﺭﺷ“ ﻭmaka bermusyawarahlah.” Kata
musyawarah berasal dari ﺍﺭﻮﺷ-ﺭﻮﺸﻳ-ﺎﺭ ﺷbermakna mengeluarkan mengambil madu dari sarang lebah. Kata ﺎﺭﺃﹶﺷ-ﺭﻮﺷ, berarti mengisyaratkan, menunjukkan, kata ﺓﹰﺭﺎﻭﺸﻣ-ﻩﺭﺎﻭﺷ, mengandung arti bermusyawarah atau meminta nasehat kepadanya. Sedangkan kata ﻩﺭﻮﺸ ﺍﹶﻟﹾﻤ- ﻯﺭﻮﺍﻟﺸ, bermakna permusyawaratan atau hal bermusyawarah.4 Menurut M. Quraish Shihab kata musyawarah dari akar kata (ﺭﻮ)ﺷ yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat 1
AW. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Prograssif, 1997), h. 1302-1303. 2 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), h. 272-273. 3 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2011), h. 313. 4 Yunus, Kamus Arab-Indonesia,.... h. 207.
41
diambil/dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Kata musyawarah, pada dasarnya, hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasar di atas5Musyawarah dimaksud adalah salaing bertukar pandangan untuk menemukan penyelesaian terbaik dalam menghadapi suatu masalah.
C. Asbabun Nuzul Asbabun Nuzul ayat ini adalah, Pada waktu kaum muslimin mendapatkan kemenangan dalam peperangan Badar, banyak orang-orang musyrikin yang menjadi tawanan perang. Untuk menyelesaikan masalah itu Rasulullah Saw mengadakan musyawarah dengan Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Khattab. Rasulullah meminta pendapat Abu Bakar tentang tawanan perang itu, menurut Abu Bakar sebaiknya dikembalikan kepada keluarganya dengan membayar tebusan. Hal ini sebagaimana sebagai bukti bahwa Islam itu lunak, apalagi kehadirannya baru saja. Kepada Umar bin Khattab juga dimintai pendapatnya. Dia mengemukakan, bahwa tawanan perang itu dibunuh saja. Yang diperintah membunuh adalah keluarganya. Hal ini sebagaimana dimaksudkan agar di belakang hari mereka tidak berani lagi menghina dan mencaci Islam. Sebab bagaimanapun Islam perlu menunjukkan kekuatannya di hadapan mereka. Dari dua pendapat yang bertolak belakang ini Rasulullah sangat kesulitan untuk mengambil kesimpulan. Akhirnya Allah menurunkan surat Ali Imran ayat ke 159 yang menegaskan agar Rasulullah Saw., berbuat lemah lembut. Kalau berkeras hati, tentu mereka tidak akan menarik simpati sehingga mereka akan lari dari ajaran Islam. Alhasil ayat ini diturunkan sebagai dukungan atas pendapat Abu Bakar As-Shiddiq. Di sisi lain memberi peringatan kepada Umar bin Khattab, apabila dalam permusyawarahan pendapatnya tidak diterima hendaklah bertawakkal kepada Allah swt. Sebab Allah sangat mencintai orang-orang yang bertawakkal. Dengan turunnya ayat
5
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah,.... h. 312.
42
ini maka tawanan perang dilepaskan sebagaimana saran Abu Bakar AsShiddiq. ( HR. Kalabi dari Abi Shalih dari Ibnu Abbas ).6
D. Tafsir Surat Ali Imran Ayat 159
ﻢ ﻟﹶﻬﺖﻨ ﺍﷲِ ﻟﻦ ﻣﺔﻤﺣﺎ ﺭﻓﹶﺒﹺﻤ ُ ﺍﷲﻦ ﻣﺔﻤﺣﺎ ﺭ( ﻓﹶﺒﹺﻤmaka disebabkan rahmat dari Allah-lah) adalah tambahan untuk penegasan. Demikian yang dikatakan oleh Sibawaih dan lainnya. Ibnu Kaisan mengatakan, “Kata ini nakirah pada posisi jar karena pengaruh huruf ba’, sementara rahmah sebagai badal darinya.” Pendapat pertama lebih sesuai dengan kaidah bahasa Arab, ini seperti firman-Nya : “maka kami lakukan terhadap mereka beberapa tindakan”, disebabkan mereka melanggar perjanjian itu.”(QS. An-Nnisaa’ ayat 155). Jar dan majrur-nya terkait dengan kalimat “kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka” yang pengungkapannya didahulukan untuk maksud membatasi, dan tanwin pada kata ﺭﲪﺔuntuk menunjukkan betapa besarnya. Maknanya: Bahwa sikap lemah lembut terhadap mereka hanyalah karena disebabkan rahmat yang besar dari Allah. Ada juga yang mengatakan, bahwa kata ﻣﺎdi sini adalah partikel tanya, maknanya: maka dengan rahmat Allah yang mana kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka ? Di sini terkandung makna takjub. Namun pendapat ini jauh dari tepat, karena jika demikian, tentulah alif-nya pada kata ﻣﺎdibuang. Ada juga yang mengatakan, bahwa maknanya adalah: Maka disebabkan rahmat dari Allah. 7 Di dalam kitab Tajut Tafsir kata ( ﻟﻨﺖ ﻟﮭﻢkamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka)
diartikan
bersikap
lembut
kepada
mereka
dan
memperlakukan mereka dengan kasih sayang serta berakhlak mulia yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadamu, dan yang kamu akui sendiri melalui 6 A. Mujab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman al-Qur'an (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), cet. 1, h. 184. 7 Imam Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir 2, (Jakarta: Buku Islsm Rahmatan, 2008), h. 568.
43
sabdamu yang mengatakan “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia.”8 Di dalam kitab Tarikhnya Imam Bukhari sebagaimana dikutip oleh AlImam Muhammad ‘Usman ‘Abdullah Al-Mirgani disebutkan bahwa Rasulullah telah bersabda : “Sesungguhnya aku diutus hanyalah membawa rahmat dan aku diutus bukan untuk membawa azab (Allah).”9 Menurut penulis, ini adalah seruan untuk bertutur kata dengan lembut dan baik. Ini adalah salah satu sifat orang mukmin. Salah satu sifat Nabi adalah lemah lembut dalam bertutur kata. Sifat ini sangat tepat untuk menyatukan manusia, sikap yang mampu membawa toleransi dalam beragama atau bermasyarakat.
ﻚﻟﻮ ﺣﻦﻮﺍﹾ ﻣﻔﻀﻴﻆﹶ ﺍﻟﹾﻘﹶﻠﹾﺐﹺ ﻻﹶ ﻧﺎ ﻏﹶﻠ ﻓﹶﻈﺖ ﻛﹸﻨﻟﹶﻮﻭ Menurut Al-Sa’di, penggalan ﺎ ﻓﹶﻈﺖ ﻛﹸﻨﻟﹶﻮﻭ, “.... sekiranya kamu bersikap keras....,” artinya berakhlak buruk, kemudian lagi ﻆﹶ ﺍﻟﹾﻘﹶﻠﹾﺐﹺﻴ“ ﻏﹶﻠlagi berhati keras,” artinya, berhati kasar, ﻚﻟﻮ ﺣﻦﺍ ﻣﻮﻔﹶﻀ ﻻﹶ ﻧ, “tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu,” karena sikap seperti ini membuat mereka lari dan mereka benci orang yang memiliki akhlak jelek. Akhlak yang baik merupakan ajaran pokok dalam agama yang menarik manusia kepada agama Allah dan membuat mereka senang kepadanya. Sebaliknya, akhlak yang buruk merupakan masalah paling pokok dalam agama yang menjauhkan manusia dari agama Allah dan membuat mereka benci kepadanya disamping apa yang diperoleh oleh pelakunya berupa celaan dan hukuman yang setimpal.10 Sementara menurut M. Quraish Shihab Firman-Nya: sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar...., mengandung makna bahwa engkau Muhammad, bukanlah seseorang yang berhati keras. Ini dipahami dari kata (ْ )ﻟَﻮyang diterjemahkan sekiranya. Kata ini digunakan untuk menggambarkan 8
Al-Imam Muhammad ‘Usman ‘Abdullah al-Mirgani, Mahkota Tafsir, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009), cet. 1, h. 482. 9 Al-Imam Muhammad ‘Usman ‘Abdullah al-Mirgani, Mahkota Tafsir,... h. 483. 10 Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Tafsir As-Sa’di (terj.), Muhammad Iqbal et.al, (Jakarta: Darul Haq, 2006), h. 574.
44
sesuatu yang bersyarat, tetapi syarat tersebut tidak dapat wujud. Lebih lanjut Quraish mencontohkan dengan ilustrasi sebagai berikut “sekiranya ayah saya hidup, saya akan menamatkan kuliah.” Karena ayahnya telah wafat, kehidupan yang diandaikannya pada hakikatnya tidak ada dan dengan demikian, tamat yang diharapkannya pun tidak mungkin wujud. Jika demikian, ketika ayat ini menyatakan sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati keras, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, tidak akan pernah terjadi.11 Masih menurut
Quraish
firman-Nya:
berlaku
keras
lagi
berhati
keras
menggambarkan sisi dalam dan sisi luar manusia, berlaku keras menunjukkan sisi luar manusia dan berhati kasar, menunjukkan sisi dalamnya. Kedua hal itu dinafikan dari Rasul saw. Memang keduanya perlu dinafikan secara bersamaan karena boleh jadi ada yang berlaku keras tapi hatinya lembut atau hatinya lembut tapi tidak mengetehui sopan santun. Karena yang terbaik adalah yang menggabung keindahan sisi luar dalam perilaku yang sopan, katakata yang indah, sekaligus hati yang luhur. Penuh kasih sayang.12 Dalam tafsir Nurul Quran dijelaskan bahwa orang yang berhati keras dan kaku tidak bisa beramah tamah dengan orang lain.13 Menurut penulis sikap ramah dan lembutnya nabi merupakan magnet tersendiri didalam dakwah Islam saat itu, kekerasan jangan dilawan dengan kekerasan, maka sungguh tepat nabi mengajarkan akan sikap lembut dalam mensyiarkan agama Allah.
ﻢ ﻟﹶﻬﺮﻔﻐﺘﺍﺳ ﻭﻢﻬﻨ ﻋﻒﻓﹶﺎﻋ ﻢﻬﻨ ﻋﻒ“ ﻓﹶﺎﻋmaka maafkanlah mereka,” mohon maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka. 14 Diperbolehkan memaafkan atas perlakuan zalim kepadamu, dan atas dosa yang mereka perbuat, yang berkaitan dengan Allah. Mohonkanlah ampun bagi mereka kepada Allah, dan 11
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah,.... h. 311. M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah,.... h. 311-312. 13 Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Quran, (Jakarta: Al-Huda, 2003), cet. 1, h.
12
370. 14
Muhammad Nasib Ar-Rifai, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (terj) Syihabuddin, (Jakarta: Gema Insan Press, 1999), h. 608.
45
awasilah mereka dengan bermusyawarah dengan mereka dalam urusan-urusan politik dan sosial.15Allah swt memerintahkan kepada Nabi-Nya dengan perintah-perintah secara berangsur-angsur. Artinya, Allah swt memerintahkan kepada beliau untuk memaafkan mereka atas kesalahan mereka terhadap beliau karena telah meninggalkan tanggung jawab yang diberikan beliau. Setelah mereka mendapatkan maaf, Allah swt memerintahkan beliau untuk memintakan ampun atas kesalahan mereka terhadap Allah swt. Setelah mereka mendapatkan hal ini, maka mereka pantas untuk diajak bermusyawarah dalam segala perkara.16 Menurut Quraish ayat ini terkait dengan sikap dalam bermusyawarah. Di dalam bermusyawarah seseorang harus menyiapkan mentalnya untuk selalu bersedia memberi maaf karena boleh jadi, ketika melakukan musyawarah, terjadi perbedaan pendapat atau keluar dari pihak lain kalimat atau pendapat yang menyinggung, dan bila mampir ke hati akan mengeruhkan pikiran, bahkan boleh jadi mengubah musyawarah menjadi pertengkaran. Kemudian, yang melakukan musyawarah harus menyadari bahwa kecerahan pikiran atau ketajaman analisis saja belum cukup.17 Untuk mencapai yang terbaik dari hasil musyawarah hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis, itu sebabnya hal yang harus mengiringi musyawarah adalah permohonan maghfirah dan ampunan Ilahi, sebagaimana ditegaskan oleh pesan Q.S. Ali Imran [3]: 159 di atas, wa istighfir lahum18 Menurut penulis Sikap memaafkan merupakan sikap yang mulia, yang harus dimiliki oleh seseorang yang ingin menebar perdamaian, toleransi dan kemanusiaan. Allah Swt berfirman “Pemberian maafmu itu lebih dekat kepada takwa”. Seorang hakim berkata, “salah satu keutamaan dari akhlak adalah dimaafkannya dosa”19
15
Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Quran,... h. 370. Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi 4, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), cet.1,
16
h. 622. 17
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah,.... h. 313. M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah,.... h. 314. 19 Lukman Hakim Arifin, dkk, Kumpulan Kata Mutiara dan Falsafah Hidup, (Jakarta: Turos, 2013), h. 209. 18
46
ﺮﹺﻰ ﺍﻷَﻣ ﻓﻢ ﻫﺎﻭﹺﺭﺷﻭ “ ﻭﺷﺎﻭﺭ ﻫﻢ ﰱ ﺍﻻﻣﺮDan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” menunjukkan kebolehan ijtihad dalam semua perkara dan menentukkan perkiraan bersama yang didasari dengan wahyu. Sebab Allah mengizinkan hal ini kepada Rasul-Nya. Para ta’wil berpendapat tentang makna perintah Allah swt itu, sebagaimana ditulis oleh Imam al-Qurthubi di dalam kitab tafsirnya, Tafsir al-Qurthubi, pendapat sekelompok ulama berkata, bahwa musyawarah yang dimaksud adalah dalam hal taktik perang dan ketika berhadapan dengan musuh untuk menenangkan hati mereka, meninggikan derajat mereka dan menumbuhkan rasa cinta kepada agama mereka, sekalipun Allah swt telah mencukupkan beliau dengan wahyu-Nya dari pendapat mereka” Kelompok lain berkata, “Musyawarah yang dimaksud adalah dalam hal yang tidak ada wahyu tentangnya.” Pendapat ini diriwayatkan dari Hasan al-Bashri dan Dhahhak. Mereka berkata, “Allah swt tidak memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk bermusyawarah karena Dia membutuhlkan pendapat mereka, akan tetapi Dia hanya ingin memberitahukan keutamaan yang ada di dalam
musyawarah
kepada
mereka
dan
bin
Nashir
agar
umat
beliau
dapat
as-Sa’di,
tafsir
“Dan
menauladaninya. 20 Menurut
Abdurrahman
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” yaitu perkara-perkara yang membutuhkan musyawarah, tukar pikiran dan pendapat. Karena bermusyawarah memiliki faedah yang banyak dalam mashlahat agama maupun dunia yang tidak mungkin dibatasi.21 Di dalam kitab Mu’jamal Ausat, Imam Tabrani sebagaimana dikutip oleh Al-Imam Muhammad Usman Abdullah al-Mirgani, mengatakan bahwa Rasulullah saw. Pernah bersabda: “Tidak akan merugi orang yang beristikharah, dan tidak akan menyesal orang yang bermusyawarah, serta tidak akan jatuh miskin orang yang berhemat.” 20
Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi,.... h. 623-624. Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Tafsir As-sa’di, (terj) Muhammad Iqbal dkk, (Jakarta: Pustaka Sahifa, 2007), h. 574-575. 21
47
Lebih lanjut al-Mirgani mengatakan bahwa sehubungan dengan etika musyawarah Rasulullah Saw telah bersabda: “Orang yang dimintai pendapat adalah orang yang dipercaya.”22 Di dalam tafsir al-Qurthubi dikatakan bahwa kriteria orang yang diajak musyawah adalah orang yang memiliki ilmu dan mengamalkan ajaran agama, memilki akal, pengalaman dan santun kepada orang yang mengajak bermusyawarah.23 Bermusyawarah dengan orang yang memiliki pengalaman, akan memberikan pendapatnya kepadamu berdasarkan pengalaman berharga yang pernah dialaminya. Menurut Sayyid Quthb, Urgensi bermusyawarah ialah membolakbalikkan pemikiran dan memilih pandangan yang diajukan. Apabila sudah sampai pada batas ini, maka selesailah putaran syura (bermusyawarah) dan tibalah tahap pelaksanaan dengan penuh tekad dan semangat, dengan bertawakal kepada Allah, menghubungkan urusan kepada kadar-Nya, dan menyerahkan kepada kehendak-Nya, bagaimanapun hasilnya nanti.24 Rasul saw, tidak meletakkan petunjuk tegas yang terperinci tentang cara dan pola syura karena, jika beliau sendiri yang meletakkannya, ini bertentangan dengan prinsip syura yang diperintahkan al-Quran, sedang bila beliau bersama yang lain yang menetapkannya, itu pun hanya berlaku untuk masa beliau saja. Tidak berlaku perincian itu untuk masa sesudahnya. Sungguh tepat keterangan pakar tafsir Muhammad Rasyid Ridha sebagaimana dinukil
oleh
Quraish
Shihab,
menyatakan
bahawa
“Allah
telah
menganugerahkan kepada kita kemerdekaan penuh dan kebebasan yang sempurna dalam urusan dunia dan kepentingan masyarakat dengan jalan memberi petunjuk untuk melakukan musyawarah, yakni yang dilakukan oleh orang-orang yang cakap dan terpandang yang kita percayai, guna menetapkan bagi kita (masyarakat) pada setiap periode hal-hal-yang bermanfaat dan membahagiakan masyarakat.
22
Al-Imam Muhammad ‘Usman ‘Abdullah al-Mirgani, Mahkota Tafsir,.... h. 483. Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi,.... h. 625-626. 24 Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, (terj). As’ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 195. 23
48
Kita sering kali mengikat diri kita sendiri dengan berbagai ikatan (syarat) yang kita ciptakan, kemudian kita namakan syarat itu sebagai ajaran agama, tetapi pada akhirnya syarat-syarat itu membelenggu diri kita sendiri.25Dalam bermusyawarah pasti ada perbedaan. Maka orang yang bermusyawarah harus memperhatikan perbedaan itu dan memperhatikan pendapat yang paling dekat dengan kitabullah dan Sunnah. Di dalam kitab Tafsir Imam Syafii karya Syaikh Ahmad Musthafa alFarran, tafsir “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” Imam Syafii menyatakan sebenarnya Nabi tidak membutuhkan musyawarah dengan mereka, hanya saja Allah berkehendak agar beliau memberikan tauladan kepada para pemimpin setelahnya.26 Menurut penulis, Allah mengajarkan melalui Nabinya bahwa musyawarah adalah mengambil manfaat dari sekumpulan pendapat yang ada tentang suatu masalah, dengan mengambil pendapat yang paling benar. Cara yang demikian akan menjauhkan manusia dari kesalahan dan kegagalan.
ِﻠﹶﻰ ﺍﷲﻛﱠﻞﹾ ﻋﻮ ﻓﹶﺘﺖﻣﺰﺫﹶﺍ ﻋﻓﹶﺄ “ ﻓﺎ ﺫﺍ ﻋﺰﻣﺖ ﻓﺘﻮﻛﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﷲKemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah.” Qatadah berkata, “Allah swt memerintahkan kepada Nabi-Nya apabila telah membulatkan tekad atas suatu perkara agar melaksanakannya sambil bertawakal kepada Allah, bukan tawakal kepada musyawarah mereka. ﺍﻟﻌﺰﻡadalah perkara yang diputuskan dengan hati-hati lagi teliti. Sedangkan mengambil pendapat tanpa kehatihatian bukan disebut ﻡﺰﻋ. Naqqasy berkata, ﺍﻟﻌﺰﻡdan ﺍﳊﺰﻡbermakna sama. Huruf ha’ adalah pengganti huruf ‘ain.” Ibnu ‘Athiyah berkata, “Ini adalah keliru. Sebab ﺍﳊﺰﻡadalah betul-betul waspada dari terjadinya kesalahan di dalamnya. Sedangkan ﺍﻟﻌﺰﻡadalah bertekad untuk melakukan. Allah swt 25
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah,.... h. 317-318. Ahmad Musthafa al-Farran, Tafsir Imam Syafii, (Jakarta: Almahira, 2007), h. 577.
26
49
berfirman“ﻭﺷﺎﻭﺭﻫﻢ ﰱ ﺍﻻﻣﺮDan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. ﻓﺎﺫﺍ ﻋﺰﻣﺖKemudian apabila kamu telah membulatkan tekad.” Maksudnya musyawarah atau yang semakna dengannnya disebut ﺍﳊﺰﻡ.Orang Arab berkata, “ ﻗﺪ ﺍﺣﺰﻡ ﻟﻮ ﺍﻋﺰﻡSungguh sudah kupikirkan betul-betul seandainya aku sudah bertekad untuk melakukannya.” Ja’far Ash-Shadiq dan Jabir bin Zaid membaca “ ﻓﺎﺫﺍ ﻋﺰﻣﺖApabila aku membulatkan tekad,” yaitu dengan huruf ta” berharakat dhamamah. Disandarkan kebulatan tekad kepada Allah, karena hal itu adalah dengan sebab hidayah dan taufik-Nya. Sama seperti firman Allah ﻭﻣﺎ ﺭﻣﻴﺖ ﺍﺫ ﺭﻣﻴﺖ ﻭﻟﻜﻦ
“اﷲ ﺭﻣﻰDan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar.” Jadi maknanya Aku telah membulatkan tekad untukmu, memberi taufik kepadamu dan menunjukimu. “ ﻓﺘﻮﻛﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﷲmaka bertawakallah kepada Allah.” Sementara ahli qiraat lainnya membaca dengan huruf ta’ berharakat fathah.27 Sementara menurut As-Sa’di, ﻓﺈﺫﺍ ﻋﺰﻣﺖ, “kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,” yaitu atas suatu perkara setelah bermusyawarah padanya, apabila membutuhkan kepada musyawarah, “ ﻓﺘﻮﻛﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﷲMaka bertawakal kepada Allah,” maksudnya bersandarlah kepada upaya Allah dan kekuatan-Nya dan berlepas diri dari kemampuan dan kekuatan dirimu.28 Menurut penulis dari penjelasan di atas dapat di pahami bahwa menghasilkan tekad bulat itu melalui proses, sehingga menghasilkan keputusan yang baik, prosesnya berwujud musyawarah, karena dengan cara musyawarah maka akan mendapatkan hasil yang maksimal dan bisa memperkecil dampak perpecahan dalam sebuah keputusan. 27
Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi,.... h. 628. Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Tafsir As-sa’di,.... h. 576.
28
50
ﻦﻴّﻠﻛﻮﺘ ﺍﻟﹾﻤﺐﺤﻥﱠ ﺍﷲَ ﻳ ﺍﷲِ ﺍﻠﻰﻛﱠﻞﹾ ﻋﻮﻓﹶﺘ ﺍﻟﺘﻮﻛﻞartinya berpegang teguh kepada Allah sembari menampakkan kelemahan. Bentuk isimnya adalah ﺍﻟﺘﻜﻼ ﻥﹸ. Dikatakan, ( ﺍﺗﻜﻠﺖ ﻋﻠﻴﻪ ﰱ ﺍﻣﺮﻱaku berpegang kepadanya pada perkaraku). Asalnya adalah ﺍﻭﺗﻜﻠﺖ, lalu huruf waw diganti dengan huruf ya’ karena sebelumnya berharakat kasrah, kemudian huruf ya’ itu diganti dengan huruf ta’, lalu diidghamkan (dimasukkan) pada huruf ta’ pola ﺍﻓﺘﻌﺎﻝ. Para ulama berbeda pendapat tentang tawakal. Suatu kelompok sufi berkata, “Tidak akan dapat melakukannya kecuali orang yang hatinya tidak dicampuri oleh takut kepada selain Allah, baik takut kepada binatang buas atau lainnya dan hingga dia meninggalkan usaha mencari rezeki karena yakin dengan jaminan Allah. Mayoritas ahli fikih mengatakan seperti apa yang telah dipaparkan pada penjelasan firman Allah “ﻭﻋﻠﻰ ﺍﷲ ﻓﻠﻴﺘﻮﻛﻞ ﺍﳌﺆﻣﻨﻮﻥKarena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal,” dan inilah yang benar sebagaimana yang telah kami terangkan.29 Menurut Quraish Shihab, tawakal adalah kesadaran akan kelemahan diri di hadapan Allah dan habisnya upaya disertai kesadaran bahwa Allah adalah penyebab yang menentukkan keberhasilan dan kegagalan manusia. Dengan demikian, upaya dan tawakal adalah gabungan sebab dan penyebab. Allah mensyaratkan melalui sunatullah bahwa penyebab baru akan turun tangan jika sebab telah dilaksanakan. Karena itu, perintah bertawakal dalam Al-Qur’an selalu didahului oleh perintah berupaya sekuat kemampuan.30 Menurut Hamka dalam ilmu tasawuf, tawakal selalu diiringi dengan syukur dan sabar. Syukur jika apa yang dikehendaki tercapai, sabar jika hasil
29
Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi,.... h. 631. M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah,.... h.318.
30
51
yang didapat masih mengecewakan, dan ikhlas menyerahkan diri kepada Allah, sehingga hidayahNya selalu turun dan kita tidak kehilangan akal.31 Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa tawakal adalah pengakuan seorang hamba pada sang pencipta akan keterbatasan hamba, sehingga berharap akan bantuan dan arahan dari sang pencipta, biarkan Tuhan yang mengarahkan kita, jangan kita yang menginginkan, kalau tuhan yang mengarahkan pasti itu yang terbaik buat hambanya. Para pakar tafsir sangat beragam ketika menafsirkan Tafsir surat Ali Imran ayat 159, Menurut Allamah Kamal Faqih Imani, Surat Ali Imran ayat 159 ini bisa diterapkan sebagai perintah umum tertentu, namun sebab turunnya ayat ini adalah tentang perang uhud. Umat Islam yang melarikan diri dari Perang Uhud dan kalah., dilanda penyesalan yang dalam, rasa bersalah, dan penderitaan. Mereka berkumpul di sekeliling Nabi saw dan memohon maaf. Lantas, Tuhan memberikan perintah untuk memberikan maaf secara umum bagi mereka, melalui ayat ini. 32 Sementara Menurut Hamka, dalam ayat ini bertemulah pujian yang tinggi dari Allah terhadap Rasul-Nya, karena sikapnya yang lemah lembut, tidak lekas marah kepada umatNya yang tengah dituntun dan dididiknya iman mereka lebih sempurna. Sudah demikian kesalah beberapa orang yang meninggalkan tugasnya, karena laba akan harta itu, namun Rasulullah tidaklah terus marah-marah saja. Melainkan dengan jiwa besar mereka dipimpin. Dalam ayat ini Allah menegaskan, sebagai pujian kepada Rasul, bahwasanya sikap yang lemah lembut itu, ialah karena ke dalam dirinya telah dimasukkan oleh Allah rahmatNya. Rasa rahmat, belas kasihan, cinta kasih itu telah ditanamkan Allah ke dalam diri beliau, sehingga rahmat itu pulalah yang mempengaruhi sikap beliau dalam memimpin.33 Sementara Sayyid Quthb berpendapat bahawa ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw. Untuk menenangkan dan menyenangkan hati beliau, dan ditujukan kepada kaum muslimin untuk menyadarkan mereka terhadap nikmat Allah atas mereka. Diingatkan-Nya kepada beliau dan kepada mereka 31
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987), cet 1, h. 137. Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Quran,..., h. 369. 33 Hamka, Tafsir Al-Azhar,.... h. 129.
32
52
akan rahmat Allah yang terlukis di dalam akhlak beliau yang mulia dan penyayang, yang menjadi tambatan hati para pengikut beliau. Hal itu dimaksudkan untuk memfokuskan perhatian kepada rahmat yang tersimpan di dalam hati beliau sehingga bekas-bekasnya dapat mengungguli tindakan mereka terhadap beliau dan mereka dapat merasakan hakikat nikmat Ilahi yang berupa nabi yang penyayang ini. Kemudian diserunya mereka, dimaafkannya kesalahan mereka, dan dimintakannya ampunan kepada Allah bagi mereka. Diajaknya mereka bermusyawarah dalam menghadapi urusan ini, sebagaimana beliau bisa bermusyawarah dengan mereka, dengan tidak terpengaruh emosinya terhadap hasil-hasil musyawarah itu yang dapat membatalkan prinsip yang asasi dalam kehidupan Islami. 34 M. Quraish Shihab, di dalam Tafsirnya al-Misbah menyatakan bahwa ayat ini diberikan Allah kepada Nabi Muhammad saw untuk menuntun dan membimbingnya, sambil menyebutkan sikap lemah lembut Nabi kepada kaum muslimin, khususnya mereka yang telah melakukan pelanggaran dan kesalahan dalam perang uhud itu. Sebenarnya cukup banyak hal dalam peristiwa Perang Uhud yang dapat mengandung emosi manusia untuk marah, namun demikian, cukup banyak pula bukti yang menunjukan kelemah lembutan Nabi saw. Beliau bermusyawarah dengan mereka sebelum memutuskan perang, beliau menerima masukan mayoritas mereka, walau beliau kurang berkenan, beliau tidak memaki dan mempersalahkan para pemanah yang meninggalkan markas mereka, tetapi hanya menegurnya dengan halus, dan lain lain.35 Meskipun para ahli tafsir berbeda namun mereka tetap sepakat bahwa rahmat yang diberikan oleh Allah untuk kekasih itu merupakan kehendak Allah yang mutlak, sementara sifat terpuji yang dimiliki oleh Rasul adalah bagian penting dari alat atau media yang harus dimiliki dalam rangka syiar agama Allah, Tanpa sifat mulia maka agama tidak akan berkembang. Musyawarah adalah pembuktian bahwa agama Islam sangat menjunjung 34
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, juz 2 (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 192. M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah,.... h. 309.
35
53
tinggi akan peranan akal, tanpa akal tidak mungkin akan terjadi musyawarah, maka tidak berlebihan jika mengatakan bahwa musyawarah adalah ladang berijtihad dalam memutuskan sebuah permasalahan keduniaan.
E. Pendidikan Sosial yang Terkandung dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran 159 Dari berbagai aspek yang terkandung dalam surat Ali Imran Ayat 159, hasil penelitian yang penulis temukan tentang nilai-nilai pendidikan sosial yang terkandung dalam surat Ali Imran ayat 159 adalah sebagai berikut: 1. Lemah-Lembut Nilai pendidikan sosial yang terdapat dalam Surat Ali Imran ayat 159 yang pertama ialah sifat lemah lembut, sifat lemah lembut selalu dicontohkan Nabi, Kepribadian beliau dibentuk sehingga bukan hanya pengetahuan yang Allah limpahkan kepada beliau melalui wahyu-wahyu al-Qur’an, tetapi juga qalbu beliau disinari, bahkan totalitas wujud beliau merupakan rahmat bagi seluruh alam.36ini dapat menjadi salah satu bukti bahwa Allah sendiri yang mendidik dan membentuk kepribadian Nabi Muhammad saw, sebagaimana sabda Beliau: “Aku di didik oleh TuhanKu, maka sungguh baik hasil pendidikan-Nya.” Inilah salah satu sifat yang dicintai Allah dan disukai oleh manusia. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Disebutkan bahwa Rasulullah bersabda kepada Mundzir bin’Aidz ra. “Sesungguhnya pada dirimu terdapat dua sifat yang disukai Allah Swt: lemah lembut dan sabar.” (HR. Muslim)37 Kasih sayang adalah suatu kelembutan di dalam hati, perasaan halus di dalam hati nurani, dan suatu ketajaman perasaan yang mengarah pada perlakuan lemah lembut terhadap orang lain. Rasulallah Saw telah menjadikan kasih sayang manusia sesama mereka sebagai jalan untuk 36 Al-Imam Abu al-Fida Ismail Ibnu Katsir al-Dimasqi, Tafsir Ibnu Katsir Juz 4: Surat Ali Imran 92 s.d An-Nisa 23, (terj.) Syihabuddin, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2000), h. 244. 37 Mahran Mahir Utsman, Serba Tiga Dari Nabi Muhammad Saw, (terj) Abdullah Abbas & Arif Rahman (Ciputat: Lentera Hati, 2011 ), h. 312.
54
mendapatkan kasih sayang dari Allah kepada mereka. At-Tirmidzi, Abu Daud dan Ahmad meriwayatkan bahwa Rasulullah saw, bersabda: “Orang-orang yang mengasihi akan dikasihi oleh Yang Maha Pengasih. Kasihilah oleh kalian siapa yang ada di bumi, niscaya kalian akan dikasihi oleh siapa yang ada di langit”38 Islam mengajarkan agar kita senantiasa menebarkan kebaikan. Penetrasi kebaikan seseorang bisa dilihat dari sikap, perbuatan dan tutur katanya yang selalu membawa kesejukan. Nabi Muhammad Saw bersabda: “Sebagian dari akhlak orang yanag beriman adalah baik tutur katanya ketika berbicara, mendengarrkan dengan baik apabila diajak bicara, manis muka ketika bertemu dan menepati janji manakala berjanji” (HR. Ad-Dailami). Hadist di atas menegaskan betapa perilaku seseorang mempunyai keterkaitan erat dengan keimanan yang dimiliki. Lidah orang yang beriman akan senantiasa mengeluarkan tutur kata yang lemah lembut dan baik. Sebab apa yang keluar dari lidah adalah merupakan cerminan apa yang ada di dalam qolbu. Apabila qolbu dilumuri dengan berbagai macam kotoran dan dosa, maka ia hanya akan merekam kesalahan dan kekeliruan orang lain.
Disamping hasud
dan dengki enggan untuk pergi
meninggalkannya, yang pada gilirannya lidah mengeluarkan caci maki, fitnah, dan semacamnya sembari menganggap dirinya paling suci. Namun sebaliknya, apabila qolbu dihiasi berbagai sifat terpuji, maka tentu kata-kata indah akan selalu menghiasi ucapannya. Yakni untaian perkataan yang penuh hikmah dan membawa kesejukan, kedamaian serta kebahagiaan bagi siapa saja yang mendengarnya. Sehingga orang lain menaruh hormat dan segan. Namun, orang bijak tidak hanya bisa bertutur kata yanga baik. Perlu diingat, orang tidak hanya ingin mendengarkan kata-kata kita, tapi mereka juga ingin didengarkan pembicaraannya. Bermuka manis adalah bagian dari yang dianjurkan Nabi 38
Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam, (Jakarta: Asy-Syifa),
h. 400.
55
Saw. Wajah yang cerah, berseri-seri adalah ekspresi dari kegembiraan dalam menyongsong lawan bicara. Hal ini akan memberi kesejukan kepada orang yanag kita hadapai. Tanpa bicarapun, mereka sudah tau, kita senang dan terbuka. Tauladan Rasulullah Saw., di dalam kelembutan dan kehalusan itu, tampak dalam contoh berikut ini: Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. “Seorang Badawi kencing di dalam masjid. Kemudian, orangorang berdiri menghampirinya untuk menghantamnya. Maka Nabi Saw. Bersabda, ‘Tinggalkan dia dan siramkanlah seember air di tempat air kencingnya. Karena sesungguhnya kalian itu di utus untuk menjadi orangorang yang memudahkan dan tidak diutus untuk menjadi orang-orang yang menyukarkan”.39 Sikap lemah lembut sebenarnya tidak hanya dianjurkan kepada saudara seiman saja tapi juga kepada semua orang termasuk juga pemeluk agama lain dan orang-orang yang telah berbuat jelek kepada kita. Selain secara tekstual Islam mengajarkan tentang sikap lemah lembut, Islam juga memberikan contoh konkrit melalui sikap dan perilaku nabi Muhammad saw, ketika beliau disakiti dan mendapatkan berbagai macam perlakuan jelek dari kaum kafir Quraish saat awal-awal beliau mensyiarkan Islam. Rasulullah bersabda: “Tidaklah kalian akan beriman sebelum kalian mengasihi.” Mereka berkata, “Wahai Rasullullah, masing-masing kami adalah orang yang mengasihi.” Beliau bersabda, “Kasih sayang itu bukanlah kasih sayang seseorang di antara kamu kepada sahabatnya (yang mu’min) saja, tetapi kasih sayang yang menyeluruh (kepada seluruh umat manusia).” Berbuat baik kepada manusia secara umum ialah dengan berkata lemah lembut kepada mereka, mempergauli mereka dengan pergaulan yang baik setelah sebelumnya menyuruh mereka kepada kebaikan, melarang mereka dari kemungkaran, memberi pertunjuk kepada orang yang tersesat di antara mereka, mengajari orang bodoh diantara mereka, 39
Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan,.... h. 555.
56
mempergauli hak-hak mereka, tidak mengganggu mereka dengan mengerjakan tindakan yang membahayakan mereka, dan sebagainya. 40 Individu memiliki kemampuan emosional tertentu untuk menghadapi orang lain, hal ini sering dianggap sebagai inteligensi emosional. Sebagai contoh, sebagian orang mampu berempati, toleran sementara yang lain tak acuh. Psikolog Daniel Goleman sebagaimana dikutip oleh Howard S. Friedman dan Miriam W. Schustack mengemukakan bahwa inteligensi emosional terdiri dari 5 komponen: mampu menyadari diri sendiri, mampu mengontrol amarah dan kecemasan, tekun dan optimis dalam menghadapi hambatan, mampu berempati, dan mampu berinteraksi dengan baik dengan orang lain.41 Kemampuan untuk mengambil sudut pandang orang lain dan untuk menempatkan dirinya ke dalam posisi orang lain merupakan sumber kesadaran akan persamaan derajat dan timbal balik yang berdasarkan keadilan. Karena kebanyakan persoalan yang terjadi di masyarakat disebabkan oleh ketidakmampuan untuk membayangkan aspek batiniah dari kehidupan orang lain. Untuk itu pengelolaan pembelajaran moral yang bertujuan
meningkatkan
empati
siswa
perlu
ditingkatkan
dan
dikembangkan. Kegiatan-kegiatan diskusi kelompok dalam bentuk sharing,. Permainan peran, penyelesaian tugas-tugas secara kelompok, dan keterlibatan dalam kegiatan sosial dimasyarakat yang dirancang sesuai dengan kemampuan siswa akan meningkatkan empatinya. Untuk meningkatkan empati dan
peran
sosial.
Goleman,
sebagaimana ditulis C. Asri Budiningsih, menyarankan agar dalam pembelajaran moral kegiatan bermain peran dan partisipasi aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan ditingkatkan. Kegiatan-kegiatan tersebut akan mendukung perkembangan moral, sebab kematangan moral didukung
40
Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Ensiklopedi Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2000), cet. 1, h.
242. 41
Howard S. Friedman dan Miriam W. Schustack, Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern, (terj) Fransiska Dian Ikarini, (Jakarta: Erlangga, 2008), h. 268.
57
dan berkembang sejajar dengan perkembangan empati dan peran sosial. 42 Menurut Bertens moral selain dikaji secara kognitif juga menyangkut sikap batin seseorang, dan norma-norma moral kitu sifatnya subyektif. Hukum hanya dapat melarang perbuatan-perbuatan manusia secara lahiriah, sedangkan dalam konteks moralitas sikap batin sangat dipentingkan. Satu-satunya sanksi di bidang moralitas adalah hati nurani yang tidak tenang karena menuduh si pelaku akan perbuatannya yang tidak baik. Hati nurani juga memainkan peranan, baik yang menyangkut perasaan, kehendak, maupun rasio. Hati nurani akan berkembang sejalan dengan perkembangan seluruh pribadi manusia. 43 Manusia
yang
mempunyai hati nurani biasanya memiliki hati yang lembut sehingga punya sikap lemah lembut juga, sikap batiniah akan memancarkan ke sifat lahiriah. Di hal lain, Sikap lemah-lembut memberikan pengaruh timbal balik dalam hubungan antara guru dan murid. Ketika seseorang guru, misalnya, tidak mencintai anak didiknya maka bagaimana mungkin ia mampu mengarahkan dan membimbingnya. Karena itu, sikap lemah lembut memiliki peran penting dalam dunia pendidikan, dan ia bisa dikategorikan sebagai salah satu faktor utama dalam pendidikan dan dalam membangun hubungan/interaksi yang harmonis antara pendidik dan peserta didiknya. Secara psikologis peserta didik membutuhkan dalam pergaulan dan persahabatan dengan sikap kasih sayang, sikap lemah lembut, dan perhatian. Orang tua sebagai pembimbing awal peserta didik harus memperhatikan apakah sikap lemah lembut sudah terpenuhi dengan baik pada mereka, karena kasih sayang dengan sikap lemah lembut merupakan pilar dan pondasi dalam pendidikan. Ketika kasih sayang terpenuhi dengan baik maka akan terwujud ketenangan jiwa, perasaan aman, percaya diri, dan timbulnya kepercayaan kepada orang tua. Bahkan sejatinya kasih 42
C. Asri budiningsih, Pembelajaran Moral, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 89. C. Asri budiningsih, Pembelajaran Moral,.... h. 69.
43
58
sayang yang didapatkan seorang anak secara proporsional akan berpengaruh pada keselamatan jasmani peserta didik tersebut. Betapa besarnya kemauan kita kepada para pendidik yang mengetahui sistem Islam di dalam pendidikan psikis dan metode rasulullah di dalam mengadakan perbaikan supaya mereka dapat menjalankan kewajiban dan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya, dan agar kita mendapatkan generasi berkepribadian sempurna, baik gerak langkanya, luhur budinya dan selamat dari bahaya psikologis, jika para pendidik berusaha keras dalam melaksanakan tanggung jawab mereka, maka tidak sulit bagi pendidik untuk mewujudkan nilai-nilai sosial dalam dunia pendidikan.
2. Pemaaf Nilai pendidikan sosial yang terdapat dalam Surat Ali Imran ayat 159 yang kedua ialah sifat pemaaf, memaafkan kesalahan yang dilakukan orang lain, artinya memaafkan menghapus bekas-bekas luka di hatinya. Bukanlah memaafkan namanya, apabila masih ada tersisa bekas luka itu di dalam hati, bila masih ada dendam yang membara. Boleh jadi, ketika itu, apa yang dilakukan baru sampai pada tahap “menahan amarah”. Usahakan untuk menghilangkan segala noda itu, sebab dengan begitu baru bisa dikatakan memaafkan orang lain. Ayat ini menurut Quraish Shihab sekali lagi bukanlah kewajiban. Ini karena membalas merupakan salah satu yang menyertai setiap jiwa sehingga sangat sulit jika hal itu diwajibkan. Allah menganjurkan agar seseorang dapat meningkat pada tingkat terpuji dengan meneladani sifatsifat Allah. Di dalam QS.Al Imran ayat 134 Allah mengemukakan adanya tiga tingkatan manusia dalam jenjang sikapnya. Pertama, yang mampu menahan amarahnya, yakni seseorang berusaha menahan dirinya untuk tidak membalas dengang perbuatan negatif. Kedua adalah tingkatan yang lebih tinggi yakni yang memaafkan. Kata maaf di sini juga bisa diartikan
59
menghapus. Seseorang yang telah memaafkan orang lain berarti ia menghapus bekas luka hatinya akibat kesalahan yang dilakukan orang lain. Ketiga, adalah berbuat baik kepada orang yang telah pernah melakukan kesalahan sebab Allah sangat menyukai sikap tersebut.Demikianlah penjelasan Quraish Shihab mengenai ayat ini.44 Orang yang bermurah hati seperti itulah yang dijanjikan oleh Allah SWT pahala (kebaikan dunia dan akhirat).
ﺐﺤ ﻟﹶﺎ ﻳﻪ ﺇﹺﻧﻠﹶﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﻋﻩﺮ ﻓﹶﺄﹶﺟﻠﹶﺢﺃﹶﺻﻔﹶﺎ ﻭ ﻋﻦﺎ ﻓﹶﻤﺜﹾﻠﹸﻬﺌﹶﺔﹲ ﻣﻴ ﺳﺌﹶﺔﻴﺍﺀُ ﺳﺰﺟﻭ
(40 : )ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﺸﻮﺭﻯ.ﲔﻤﺍﻟﻈﱠﺎﻟ
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan serupa.Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya (menjadi tanggungan) Allah. Sungguh Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim.” (QS. Asy-Syura [42]: 40).
Ath-Thabrani meriwayatkan bahwa Ubadah bin Shamit berkata: Rasulallah Saw bersabda, “Bolehkah aku memberitahukan kepada kalian apa yang dapat meninggikan bangunan dan mengangkat derajat?” Mereka berkata, “Ya, wahai Rasulallah!. Beliau bersabda, “Berlemah lembutlah terhadap orang yang berlaku bodoh kepadamu, berilah maaf kepada orang yang berbuat aniaya kepadamu, berilah orang yang kikir kepadamu dan bersilaturahmilah dengan orang memutuskannya darimu”.45 Keluhuran akhlak seseorang dan kemampuannya mengenali amarah tidak begitu mencolok dengan sifatnya memaafkan orang lain pada saat tidak berkuasa. Kemampuannya menahan amarah akan sangat mencolok manakala dia memaafkan orang lain dikala berkuasa. Memberikan maaf tatkala mampu dan berkuasa adalah salah satu sifat menonjol dari Rasulullah Saw, shiddiqin, para orang-orang saleh. Dikisahkan bahwa Rasulullah Saw, usai melakukan salah satu peperangan, duduk dikaki sebuah bukit. 44
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah,.... h. 265. Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan,.... h. 411.
45
Lalu
seorang musyrik
60
mendatanginya, mengambil pedangnya dan menghunuskannya kepada Rasulullah
Saw,
seraya
berkata,”sekarang
siapa
yang
akan
membebaskanmu dari ku, wahai Muhammad”. Tatkala itu, batu tempat orang musyrik itu berdiri bergerak, dan iapun jatuh ke bumi, sementara pedangnya terlepas dari tangannya. Rasulullah Saw menggunakan kesempatan tersebut dengan mengambil pedangnya, kemudian berkata, “sekarang, siapa yang akan membebaskanmu dari ku”. Orang musyrik itu berkata, “ampunanmu, wahai Rasulallah, “Mendengar itu, Rasulullah pun mengampuninya, padahal dia mampu membunuhnya dan mengirimnya ke neraka. Imam Ali AS berkata, “sesuatu yang paling durhaka adalah berbuat lalim tatkala kuasa”. 46 Berdasarkan teks-teks keagamaan para pakar hukum menuntut dari seseorang yang memohon maaf dari orang lain agar terlebih dahulu menyesali perbuatannya, bertekad untuk tidak akan melakukannya lagi, serta memohon maaf sambil mengembalikan hak yang pernah diambilnya itu. Kalau berupa materi, maka materinya itu dijelaskan kepada yang dimohonkan maafnya. Dari segi praktis, mungkin hal itu akan sangat sulit dilakukan oleh seseorang yang telah berbuat kesalahan. Apalagi dengan menyampaikan kesalahan yang telah dilakukan terhadap orang lain-mungkin bukanya maaf yang akan diterima, tetapi justru kemarahan dan putus hubungan. 47 Dalam hal ini, Rasul mengajarkan sebuah doa: “Ya Allah, sesungguhnya aku memiliki dosa padaMu dan dosa yang kulakukan pada makhlukMu. Aku bermohon ya Allah, agar Engkau mengampuni dosa yang kulakukkan padaMu, serta mengambil alih dan menanggung dosa yang kulakukan pada makhlukMu.” Dengan demikian, diharapkan dosadosa yang dilakukan terhadap orang lain, yang telah dimohonkan maaf kepada yang bersangkutan akan diambil alih oleh Allah, walaupun yang bersangkutan tidak memaafkannya. Pengambilalihan tersebut antara lain 46
Khalil al-Musawi, Terapi Akhlak, (terj) Ahmad Subandi, (Jakarta: Zaytuna, 2011), h.
161. 47
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Jakarta: Mizan, 2003), h. 322.
61
dengan jalan memberikan kepada yang bersangkutan ganti rugi berupa imbalan kebaikan atau pengampunan dosa-dosanya. Memaafkan bukan berarti menafikan penegakan hukum dan keadilan, melainkan mengedepankan moral kemanusiaan. Mereka yang terbukti bersalah secara hukum harus ditindak tegas. Jika hukuman sudah dijalani dan yang bersangkutan sudah menyadari kesalahannya, maka dosa sosial dan moralnya perlu dimaafkan. Jadi, kita semua perlu terus belajar menjadi arif, agar kita tidak mudah terjebak dalam kemarahan permanen. Dalam dunia pendidikan, nilai memaafkan sangat penting diterapkan oleh civitas akademika pendidikan, terutama guru. Guru sebagai pendidik ataupun pengajar merupakan faktor penentu kesuksesan setiap usaha pendidikan. Tentunya suatu cobaan bagi seorang guru apabila anak didiknya berperilaku yang tidak baik. Entah itu bertutur kata kotor, melawan guru atau hal-hal yang mencerminkan perilaku tercela. Akan tetapi justru disitulah sikap seorang guru dituntut agar mampu mengubahnya. Bertolak pada pemikiran KH. Hasyim Asy’ari bahwa Penyiaran Islam itu untuk memperbaiki manusia, jika manusia sudah baik maka apalagi yang harus diperbaiki.48Dari pernyataan tersebut kita tahu bahwa pendidikan itu berusaha agar manusia berperilaku selayaknya manusia, bukan didasari pada hawa nafsu. Meskipun belum tentu pendidikan itu mampu mengubah karakter manusia secara total, tetapi setidaknya ada upaya bagi kita selaku pendidik untuk mengupayakannya. Karena sejatinya manusia tidak senang pada keburukan atau kemungkaran, maka tidaklah salah jika ada pernyataan bahwa pendidikan itu berusaha mengubah manusia agar memiliki budi pekerti yang baik. Seseorang yang berakhlak mulia, pemaaf dan toleran, berarti ia akan menjadi teladan yang diikuti dalam kelembutannya, ketinggian akhlak, dan kebaikan pergaulannya. Bahkan ia akan menjadi seperti 48
Rohinah M.Noor, MA, KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU & Pendidikan Islam, (Jakarta Selatan: Grafindo Khazanah Ilmu, 2010), Cet. II, h. 15.
62
malaikat yang berjalan di muka bumi dalam kemulian, kesucian dan ketulusannya, inilah yang dimaksud dengan sifat pemaaf adalah bagian penting dari awal sifat sesorang menjadi sosial, sehingga tepat kalau dikatakan bahwa pemaaf adalah sifat yang mengandung nilai-nilai pendidikan sosial.
3. Musyawarah Nilai pendidikan sosial yang terdapat dalam Surat Ali Imran ayat 159 yang ketiga adalah musyawarah, Islam memandang musyawarah sebagai salah satu hal yang amat penting bagi kehidupan insani, bukan saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan dalam kehidupan berumah tangga dan lain-lainnya. Ini terbukti dari perhatian al-Qur’an dan Hadis yang memerintahkan atau menganjurkan umat pemeluknya supaya bermusyawarah dalam memecah berbagai persoalan yang mereka hadapi. Dari al-Qur’an, ditemukan dua ayat lain yang menggunakan akar kata musyawarah, yang dapat diangkat di sini, guna memahami lapangan musyawarah. Pertama Q.S. al-Baqarah [2]: 223.
ﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪﺍﺗ ﻭﻔﹸﺴِﻜﹸﻢﺄﹶﻧﻮﺍ ﻟﻣﻗﹶﺪ ﻭﻢﺌﹾﺘﻰ ﺷ ﺃﹶﻧﺛﹶﻜﹸﻢﺮﻮﺍ ﺣ ﻓﹶﺄﹾﺗﺙﹲ ﻟﹶﻜﹸﻢﺮ ﺣﻛﹸﻢﺎﺅﻧﹺﺴ
(223 : )ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ.ﻨﹺﲔﻣﺆﺮﹺ ﺍﻟﹾﻤﺸﺑ ﻭﻠﹶﺎﻗﹸﻮﻩ ﻣﻜﹸﻢﻮﺍ ﺃﹶﻧﻠﹶﻤﺍﻋﻭ
Ayat ini membicarakan bagaimana seharusnya hubungan suamiistri dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti soal menyapih anak. Di sana, Allah memberi petunjuk agar persoalan itu (dan juga persoalan-persoalan rumah tangga lainnya) dimusyawarahkan antara suami-istri. Ayat kedua, adalah QS. Asy-Syura ayat 38.
ﻢﺎﻫﻗﹾﻨﺯﺎ ﺭﻤﻣ ﻭﻢﻬﻨﻴﻯ ﺑﻮﺭ ﺷﻢﻫﺮﺃﹶﻣﻠﹶﺎﺓﹶ ﻭﻮﺍ ﺍﻟﺼﺃﹶﻗﹶﺎﻣ ﻭﻬﹺﻢﺑﺮﻮﺍ ﻟﺎﺑﺠﺘ ﺍﺳﻳﻦﺍﻟﱠﺬﻭ
(38 : )ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﺸﻮﺭﻯ.ﻘﹸﻮﻥﹶﻔﻨﻳ
Ayat yang menjanjikan bagi orang mukmin ganjaran yang lebih baik dan kekal di sisi Allah. Orang-orang mukmin dimaksud memiliki
63
sifat-sifat, antara lain adalah urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antar-mereka. Dalam soal amr atau urusan, dari Al-Qur’an ditemukan adanya urusan yang hanya menjadi wewenang Allah semata-mata, bukan wewenang manusia betapa pun agungnya. Ia antara lain, terlihat dalam jawaban Allah tentang ruh. Demikian juga soal taubat, serta ketentuan syariat agama, dan lain-lain. Dalam konteks ketetapan Allah dan ketetapan Rasul yang bersumber dari wahyu, secara tegas al-qur’an menyatakan bahwa: “Tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh, dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab ayat 36)49Jika demikian,
lapangan
musyawarah
adalah
persoalan-persoalan
kemasyarakatan, seperti yang dipahami dari Q.S. Asy-Syura diatas. Musyawarah itu di pandang penting, antara lain karena musyawarah merupakan salah satu alat yang mampu mempersekutukan sekelompok orang atau umat di samping sebagai salah satu sarana untuk menghimpun atau mencari pendapat yang lebih dan baik. Adapun bagaimana sistem permusyawaratan itu harus dilakukan, baik Al-Qur’an maupun Hadis tidak memberikan penjelasan secara tegas. Oleh karena itu soal sistem permusyawaratan diserahkan sepenuhnya kepada umat sesuai dengan cara yang mereka anggap baik. Tertera dalam tulisan Abu Daud, dari Abu Hurairah ra. Dia berkata. “Rasulullah Saw, bersabda, yang artinya: “Orang yang diajak bermusyawarah adalah orang yang dapat dipercaya”. Para ulama berkata, “Kriteria orang yang layak untuk diajak musyawarah dalam masalah hukum adalah memiliki ilmu dan mengamalkan ajaran agama. Dan kriteria ini jarang sekali ada kecuali pada orang yang berakal.” Hasan berkata,
49
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah,.... h. 312.
64
“Tidaklah sempurna agama seseorang selama akalnya belum sempurna.”50 Maka apabila orang yang memenuhi kriteria di atas diajak untuk bermusyawarah dan dia bersungguh-sungguh dalam memberikan pendapat namun pendapat yang disampaikannya keliru maka tidak ada ganti rugi atasnya. Demikian yang dikatakan oleh Al Khaththabi dan lainnya. Musyawarah menjadi keharusan karena manusia mempunyai kekuatan dan kelemahan yang tidak sama dari individu ke individu yang lain. Kekuatan dan kelemahan dalam bidang yang berbeda-beda membuat individu-individu manusia berlebih dan berkurang. Adanya kelebihan dan kekurangan itu tidak mengganggu kesamaan manusia dalam hal harkat dan martabat. Tetapi ia melahirkan keharusan adanya penyusunan masyarakat melalui organisasi (pendidikan), dengan kejelasan pembagian kerja antara para anggotanya. Sebagian
orang
berpendapat
bahwa
musyawarah
akan
memperlemah keberanian mengambil keputusan pada diri manusia. Pendapat tersebut salah! Justru, musyawarah adalah penolong bagi keteguhan dan keberanian dalam mengambil keputusan. Musyawarah tidak terbatas pada orang-orang awam saja. Setiap manusia, sebanyak apa pun ilmu dan keahlian yang dimilikinya, dari bangsa mana pun dia, dan seberapa besar pun sifat-sifat kepemimpinan yang ada pada dirinya, tetap memerlukan musyawarah. Dalam dunia pendidikan, metode musyawarah dalam memecahkan masalah kerap digunakan untuk melatih peserta didik dalam memutuskan masalah secara sistematis dan dengan cara-cara yang logis. Bila peserta didik terbiasa terlatih dengan pemecahan semacam ini, kelak mereka akan mudah mengenal permasalahan yang dihadapi. Metode musyawarah ini akan dapat menghilangkan sikap-sikap emosional, yang hanya akan merugikan perkembangan intelektual dan mental seseorang. Dalam
membiasakan
peserta
didik
bermusyawarah
dalam
memecahkan permasalahan mereka, hendaklah orang tua bersedia 50
Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi,.... h. 625.
65
mendengarkan keluhan anak, atau menanyakan problem yang dihadapi anak dan meluangkan waktu yang cukup membantu anak-anak memecahkan problemnya. Orang tua harus dapat menunjukkan cara pemecahan masalah dari yang mudah sampai yang sulit, dengan metode sederhana sampai yang rumit. Selain itu, dalam menghadapi problem dirinya orang tua juga membiasakan musyawarah dengan ibu atau ayah anak-anaknya. Seorang bapak jangan sampai memberikan kesan kepada anak-anaknya bahwa kalau mereka memecahkan masaah, mereka menyelesaikannya secara emosional saja. Karena hal semacam ini tidak akan memberikan contoh yang baik kepada mereka. Dengan praktek sehari-hari yang dilakukan orang tua bersama anak-anaknya atau sesama orang tua yaitu bapak dan ibu, insya Allah kelak menempuh cara-cara yang benar dan diridhai oleh Allah. Memecahkan masalah secara benar dan diridhai oleh Allah adalah bagian dari amal saleh. 51 Dalam menerapkan pendidikan sosial, sikap sosial bermusyawarah seringkali digunakan untuk melatih peserta didik, menurut Ramayulis, dikenal pula dalam metode pembelajaran dengan sistem diskusi. Metode "diskusi" berasal dari bahasa latin yaitu "discussus" yang berarti "to examine", atau "investigate" yang berarti memeriksa, menyelidiki. Dalam pengertian yang umum diskusi ialah "suatu proses yang melibatkan dua atau lebih individu yang berintegrasi secara verbal dan saling berhadapan muka mengenai tujuan atau sasaran yang sudah tertentu melalui cara tukar-menukar
informasi
(information
pendapat (self maintenance),
sharing),
mempertahankan
atau pemecahan masalah (problem
52
solving).”
Zakiah Darajat mengatakan bahwa, “metode diskusi bukanlah hanya percakapan atau debat biasa saja, tapi diskusi timbul karena ada masalah yang memerlukan jawaban atau pendapat yang bermacam51 Muhammad Thalib, 50 Pedoman Mendidik Anak Menjadi Shalih, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1996), cet. 10, h. 179. 52 Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), h. 127.
66
macam”.53 Maka peran guru dalam pelaksanaan metode diskusi ini adalah sebagai fasilitator, yaitu yang memfasilitasi, memantau, mengarahkan murid-muridnya dalam melaksanakan metode diskusi ini. Zakiah Darajat juga menerangkan peran guru menggunakan metode diskusi ini, di antaranya; pertama, Guru atau pemimpin diskusi harus berusaha dengan semaksimal mungkin agar semua murid turut aktif dan berperan dalam diskusi tersebut. kedua, Guru atau pemimpin diskusi sebagai pengatur lalu lintas pembicaraan, harus bijaksana dalam mengarahkan diskusi, sehingga diskusi tersebut berjalan dengan lancar dan aman. ketiga, Membimbing diskusi agar sampai kepada suatu kesimpulan. 54 Metode diskusi yang terkandung dalam ayat ini adalah contoh dari kegiatan active learning yang merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan dalam proses belajar mengajar dalam acuan kurikulum 2013. Ini membuktikan bahwa, jauh sebelum para pakar pendidikan merancang mengenai kegiatan active learning ini al-Qur’an telah lebih dahulu menjelaskan mengenai kegiatan pendidikan yang menjadikan murid sebagai center-nya. Bagi seorang pendidik yang mempunyai tanggung jawab yang besar untuk mendidik untuk bisa mengarahkan peserta didiknya sebagaimana dijelaskan di atas, hal ini sesuai dengan fitrah yang telah diberikan Allah kepada mereka. Manusia harus berbuat fitri kepada yang lain. Salah satu sikap fitri itu ialah mendahulukan baik sangka kepada sesama. Sebaliknya, sebagian dari prasangka sendiri adalah kejahatan (dosa), karena tidak sejalan dengan asas kemanusiaan yang fitri. Lagi pula prasangka tidak akan membawa seseorang kepada kebenaran. Karena itu setiap orang harus mampu menilai sesamanya secara adil. Rasa keadilan adalah sikap jiwa yang paling diridhai Tuhan, karena rasa keadilan itu paling mendekati realisasi pandangan hidup yang bertaqwa kepada-Nya. Sikap fitri manusia inilah yang diajarkan Nabi melalui firman Tuhannya. 53
Zakiah Darajat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,2008), cet. IV, h. 292. 54 Zakiah Darajat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam,.... h. 292-293.
67
Mengamalkan akhlak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengamalan Ajaran Islam. Sikap lemah lembut, pemaaf dan bermusyawarah,
sebenarnya
merupakan
inti
dari
kehidupan
bermasyarakat, di dalam kehidupan ini sikap lemah lembut merupakan awalan seseorang untuk membuka dirinya dengan orang lain, dengan sikap lemah lembut ini seseorang dituntut untuk menghormati, menghargai, dan berpartisipasi, toleransi dan solidaritas sosial akan segera terjalin manakala sikap lemah lembut ini dimiliki bersama. Sementara sifat memaafkan adalah langkah berikutnya dimana rasa pengorbanan dalam bermasyarakat dibuktikan. Memaafkan memerlukan jiwa yang besar, yaitu jiwa yang penuh kepasrahan pada tuhannya. Ketika perasaan sudah dikembalikan pada sang pencipta maka secara lambat laun perilaku dan kepribadiaan seorang pemaaf akan diangkat derajatnya oleh sang pencipta, setelah itu secara otomatis makhluknya dengan sadar akan memuliakannya. Sehingga terjalinlah harmonisasi kehidupan karena saling memaafkan dan memuliakan. Dan yang terakhir adalah sikap suka bermusyawarah. Sikap yang mulia, karena merasakan ada orang lain selain dirinya, sikap ini mengajarkan di dalam hidup bermasyarakat, sifat egois, menang sendiri harus disingkirkan serta memprioritaskan kepada kepentingan bersama dan kepedulian sosial. cita-cita untuk membangun masyarakat yang damai dan sejahtera segera akan terwujud manakala dalam bermasyarakat antar warga suka bermusyawarah. Inilah nilai-nilai pendidikan social yang diajarkan oleh Nabi kepada kita. Bersikap dengan hal yang telah dijelaskan di atas berarti telah melaksanakan perintah Allah dan Rasulnya. Dan itulah yang kelak akan menjadi salah satu perantara yang dapat mengantarkan seorang muslim menuju ketenangan dan kesuksesan hidup di dunia. Sekaligus menggapai bahagia di kehidupan akhirat yang kekal dan abadi.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari rumusan masalah diatas maka dapat di tarik kesimpulan bahwa nilai-nilai pendidikan sosial dalam Q.S Ali Imran ayat 159, yaitu: Pertama, sifat lembut merupakan nilai pendidikan sosial yang terdapat dalam QS. Ali Imran 159, sifat ini mempunyai nilai pendidikan sosial karena terkait dengan adanya usaha untuk menjadi orang yang bisa menghargai orang lain, kepedulian dan toleran. Sifat lemah lembut bisa dipelajari dan dilatih sehingga terdapat nilai pendidikan yang terdapat didalam nya. Kedua, Pemaaf atau memaafkan adalah sifat yang mengandung nilai kemanusian dan pengorbanan yang tinggi didalam pendikan sosial sangat terkait sekali dengan pertimbangan kemanusian. Ketiga, Musyawarah. Sifat ini adalah merupakan perkembangan sikap yang dituntun seseorang didalam bermasyarakat untuk menjadikan dirinya memiliki eksistensi hidup didalam bermasyarakat.
Yang
diperbuat
pendidikan
terhadap
manusia
ialah
mengembangkannya untuk menjadi pribadinya, bukan menjadi yang berada diluar pribadinya. Inilah nilai-nilai pendidikan sosial terdapat dalam QS Ali Imran 159.
68
69
B. Saran Dunia pendidikan di Indonesia sangat urgen untuk sesegera mungkin membumikan nilai-nilai pendidikan sosial sebagaimana yang terkandung dalam QS. Ali Imran ayat 159. Begitu penting peran kasih sayang dalam pengembangan ruh dan keseimbangan jiwa anak-anak.Teguh tidaknya pendirian dan kebaikan perilaku seseorang bergantung banyak sejauh mana kasih sayang yang diterimanya selama masa pendidikan. Kondisi keluarga yang penuh dengan kasih sayang menyebabkan kelembutan sikap anak-anak. Anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang penuh kasih sayang dan perhatian akan memiliki kepribadian yang mulia, suka mencintai orang lain dan berperilaku baik dalam masyarakat. Kehangatan cinta dan kasih saying yang diterima anak-anak akan menjadikan kehidupan mereka bermakna, membangkitkan semangat, melejitkan potensi dan bakat yang terpendam, serta mendorong untuk bekerja/berusaha secara kreatif.
70
DAFTAR PUSTAKA
Abdusshomad, Muhyiddin, Etika Bergaul, Surabaya : Khalista, 2007, Cet. 1 Al-Dimasqi Al-Imam Abu al-Fida Ismail Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Juz 4: Surat Ali Imran 92 s.d An-Nisa 23 (terj.) Syihabuddin, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2000 Al-Farran, Ahmad Musthafa, Tafsir Imam Syafii, Jakarta: Almahira, 2007 Al-Jazairi, Abu Bakr Jabir, Ensiklopedi Muslim, Jakarta: Darul Falah, 2000, Cet. 1 Al-Mirgani, Al-Imam Muhammad ‘Usman ‘Abdullah, Mahkota Tafsir, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009, Cet. 1 Al-Musawi, Khalil, Terapi Akhlak, Jakarta: Zaytuna, 2011 Aly, Hery Noer, Ilmu Pendidikan Islam, Ciputat, Logos Wacana Ilmu, 1999 Arifin, Lukman Hakim, dkk, Kumpulan Kata Mutiara dan Falsafah Hidup, Jakarta: Turos, 2013 Ar-Rifai, Muhammad Nasib, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (terj) Syihabuddin, Jakarta: Gema Insan Press, 1999
As-Sa’di, Syaikh Abdurrahman bin Nashir, Tafsir As-Sa’di (terj.), Muhammad Iqbal et.al, Jakarta: Darul Haq, 2006 Asy-Syaukani, Imam Tafsir Fathul Qadir 2, Jakarta : Buku Islsm Rahmatan, 2008 Arikunto, Suharsimi Prosedur Peneltian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1990 Chamidah, Ninik, Konsep Zakat dalam Islam dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Sosial Semarang: UIN Sunan Kalijaga Press, 2006 Budiningsih, C. Asri, Pembelajaran Moral, Jakarta: Rineka Cipta, 2008
Daradjat, Zakiah dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996 Daradjat, Zakiah, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,2008), cet. IV
71
Friedman, Howard S. dan Schustack, Miriam W., Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern, (terj) Fransiska Dian Ikarini, Jakarta: Erlangga, 2008 Halim, Abdul, Al-qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Pers, 2002, Cet. 1 Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987, Cet 1 Hanafi, Muchlis M.(ed), Spiritualitas dan Akhlak, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran, 2010 Haris, Muchit (eds), Sarung dan Demokrasi dari NU untuk Peradaban Keindonesiaan, (ed) Tim LTN-NU Jawa Timur, Surabaya: Khalista, 2008 Imani, Allamah Kamal Faqih, Tafsir Nurul Quran, Jakarta: Al-Huda, 2003, Cet. 1 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002, Cet. 2 Joesoef, Soelaman dan Slamet Santoso, Pengantar Pendidikan Sosial, Surabaya: Usaha Nasional, 1981 Joesoef, Soelaman , Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992).
Kartasapoetra, G. dan Hartini, Kamus Sosiologi dan Kependudukan Jakarta: Bumi Aksara, 2007 Madjid, Nurcholis, Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000, Cet. 4 Mahali, A. Mujab, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. 1 Mahran, Mahir Utsman, Serba Tiga Dari Nabi Muhammad Saw, (terj) Abdullah Abbas & Arif Rahman, Ciputat: Lentera Hati, 2011 Mohamad, Hamzah B. Uno, Nurdin Belajar dengan Pendekatan PAILKEM, Jakarta: Bumi Aksara 2011 Munawwir, AW. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Prograssif, 1997
72
Noor, Rohinah M., MA, KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU & Pendidikan Islam, Jakarta Selatan : Grafindo Khazanah Ilmu, 2010, Cet. II Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1985 Purwanto, M. Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000 Qurthubi, Imam, Tafsir al-Qurthubi, (terj). Dudi Rosyadi, dkk, Jakarta: Azzam, 2008 Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Juz 2, Jakarta: Gema Insani, 2001 Rahardjo, Mudjia, Penelitian Manajemen Pendidikan Islam: (Sebuah Pencarian Metodologik), diakses pada 14 April 2012 05:47 Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 1994 Rofiq, Ainur, Konsep Metode Pendidikan Sosial Anak Perspektif Abdullah Nashih Ulwan (Studi Dalam Kitab Tarbiyatul Awlad Fil Islam) Surabaya: UIN-Sunan Ampel Press, 2010. Roqib, Moh. Ilmu Pendidikan Islam; Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat , Yogyakarta: LKIS, 2009. Rusman, Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru,, Jakarta: Rajawali Pers, 2011 Shihab, M. Quraish Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an Vol. 2, Jakarta: Lentera Hati, 2011 Shihab, M. Quraish Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung, Mizan: 1996 Shihab, Quraisy Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2000 Siroj, Said Aqil, Tasawuf sebagai kritik sosial, Jakarta: LTN PBNU, 2012 Suryosubroto, B. Beberapa Aspek Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2010 Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013, Cet. 18 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitataif dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2008, cet. IV
73
Suyadi, Konsep Fiqih Sosial dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam (Telaah Pemikiran KH. Sahal Mahfudh) ,Solo: Tiga Serangkai, 2006. Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam Jakarta: Rajawali Pers, 2002 Thalib, Muhammad, 50 Pedoman Mendidik Anak Menjadi Shalih, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1996, Cet. 10 Ulwan, Abdullah Nashih Tarbiyatul Aulad Fi al-Islam, Arab Saudi: Darus Salam, 1997 Umar Tirtarahardja dan S.L.La Sulo, Pengantar Pendidikan, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2005, Cet. 2 Undang-Undang Sisdiknas UU RI No.20 Th.2003, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, Cet.2 Vembriarto, St. Pendidikan sosial, Yogyakarta: Paramita, 1981 Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1989