METODE PENDIDIKAN KARAKTER YANG TERKANDUNG DALAM SURAT AL-A’RAF AYAT 35-36 Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd)
Oleh: Syifa Fauziah 1112011000008
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438H/2016M
ABSTRAK Syifa Fauziah (NIM: 1112011000008), Metode Pendidikan Karakter Yang Terkandung dalam Surat Al-A’raf ayat 35-36 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui metode pendidikan karakter yang terkandung dalam surat al-A’raf ayat 35-36. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis library research (penelitian kepustakaan) dengan teknik analisis deskriptif kualitatif, dengan cara mengumpulkan data atau bahan-bahan yang berkaitan dengan tema pembahasan dan permasalahannya, yang diambil dari sumber-sumber kepustakaan, kemudian dianalisis dengan metode tahlili, yaitu metode tafsir yang menjelaskan kandungan ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam surat al-A’raf ayat 35-36 terdapat tiga metode pendidikan karakter yang sudah ditafsirkan para ahli tafsir dan dianalisa oleh penulis. Ketiga metode tersebut antara lain: 1. Metode Cerita Islami, 2. Metode Remedial Teaching, 3. Metode Targhib dan Tarhib. Kata kunci: Metode Pendidikan Karakter, Surat al-A’raf ayat 35-36
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang senantiasa mengikuti ajarannya sampai akhir zaman. Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana pendidikan pada program studi pendidikan Agama Islam. penulis menyadari bahwa dalam menyusun skripsi ini masih banyak kekurangan dan hambatan. Hal ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis, namun berkat didorong dan bantuan dari berbagai pihak maka hambatan tersebut dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan moril dan materil, sehingga skripsi ini dapat selesai. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Prof. Dr. H. Dede Rosyada, MA, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dr. Abdul Majid Khon, MA, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam. 4. Ibu Marhamah Shaleh, Lc., MA, Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam. 5. Dosen Penasihat Akademik, Bapak Tanenji, MA. Yang telah banyak memberikan motivasi kepada penulis dalam melakukan penelitian sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai dengan baik. 6. Kedua pembimbing, skripsi Siti Khadijah, MA dan M. Sholeh Hasan, Lc., MA, yang dengan kesabaran, bimbingan, masukan serta mengarahkan penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 7. Kedua orang tua tercinta, Ibu dan ayah yang tiada hentinya mencurahkan kasih sayang, selalu mendoakan, serta memberikan dukungan moril dan materil iii
iv
kepada penulis. Dan adikku Siti Khofifah yang telah memberikan motivasi serta doanya kepada penulis. 8. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah mendidik dan memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis. 9. Pimpinan dan staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan yang telah memberikan
keleluasaan
dalam
peminjaman buku-buku yang dibutuhkan. 10. Terima kasih juga kepada sahabat tercinta satu perjuangan Sri Jayanti, Sayyidah Muflihah dan Dewi Mufidah yang selalu menginspirasi, memberikan motivasi, bimbingan dan bantuan kepada penulis. 11. Terima kasih kepada Teman-teman PAI angkatan 2012, dan khususnya PAI A yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, yang selalu menjaga komitmen untuk terus bersama dan saling membantu dalam proses belajar dikampus UIN Jakarta tercinta.
Semoga Allah membalas semua kebaikan mereka dengan balasan yang berlipat ganda. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis meminta kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulis di masa yang akan datang. Akhir kata semoga skripsi ini dapat berguna bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Jakarta, 20 Desember 2016 Penulis
Syifa Fauziah
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1. Konsonan Tunggal No. 1
Huruf Arab
No. 16
2
Huruf Latin Tidak dilambangka n b
17
ť
3
t
18
‘
19
g
4
Huruf Arab
Huruf Latin ţ
5
j
20
f
6
H
21
q
7
kh
22
k
8
d
23
l
9
24
m
10
ž r
25
n
11
z
26
w
12
s
27
h
13
sy
28
‘
14
Ş
29
y
15
đ
30
h
2. Vokal Tunggal Tanda
Huruf latin A I U
v
vi
3. Vokal Rangkap Tanda dan Huruf
Huruf Latin Ai Au
4. M dd Harakat dan Huruf
Huruf Latin  ΠÛ
5. T ’ Marbuţah T Marbuţah hidup transliterasinya adalah /t/. T Marbuţah mati transliterasinya adalah /h/. Jika pada suatu kaya yang akhir katanya T ’ Marbuţah diikuti oleh kaya sandang al, serta kata kedua itu terpisah maka T ’ Marbuţah itu ditranslitrasikan dengan /h/. Contoh: = hadiqat al-hayaw n t atau hadiqatul hayaw n t = al-madrasat al-ibtid ’iyy h atau al-madrasatul ibtid ’iyy h 6. Syaddah (Tasyd d) Syaddah/tasyd d ditransliterasikan dengan huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah (digandakan). Ditulis
‘allama
Ditulis
yukarriru
vii
7. Kata sandang a. Kata sandang diikuti oleh huruf huruf syamsiyah ditransliterasikan dengan huruf yang mengikuti dan dihubungkan dengan kata sambung/hubung. Contoh: = asy-syamsu b. Kata sandang yang diikuti huruf Qamariyah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya. Contoh: = al-qamaru 8. Penulisan Hamzah a. Bila hamzah terletak di awal kata, maka ia tidak dilambangkan sesuai dan seperti alif. Contoh: = akaltu
= tiya
b. Bila di tengah dan di akhir, ditranliterasikan dengan aprostof. Contoh: = ta’kul na
= syai’un
9. Huruf Kapital Huruf kapital dimulai pada awal nama diri, nama tempat, bukan pada kata sandangnya. Contoh: = al-Qur n = al-Mad natul Munawwarah
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................. i KATA PENGANTAR ........................................................................... ii PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................ iv DAFTAR ISI .......................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ........................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ................................................................... 6 C. Pembatasan Masalah .................................................................. 6 D. Perumusan Masalah ................................................................... 6 E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................... 7
BAB II KAJIAN TEORI A. Acuan Teori 1. Pengertian Metode Pendidikan Karakter ............................. 8 2. Tujuan Metode Pendidikan Karakter .................................. 10 3. Macam-macam Metode ........................................................ 12 4. Pondasi Pendidikan Karakter ............................................... 17 5. Proses Pembentukan Kakarkter ............................................ 21 B. Hasil Penelitian Relevan .......................................................... 26
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Objek dan Waktu Penelitian ....................................................... 29 B. Metode Penelitian ....................................................................... 29 C. Fokus Penelitian ......................................................................... 29 D. Prosedur Penelitian ..................................................................... 30
vii
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kajian Tafsir Surat Al-A’raf Ayat 35-36 1. Teks dan Terjemah Surat Al-A’raf Ayat 35-36 ................... 32 2. Sejarah Surat Al-A’raf ......................................................... 32 3. Kosa Kata pada Surat Al-A’raf Ayat 35-36 ......................... 35 4. Munasabah Ayat ................................................................... 36 5. Tafsir Surat Al-A’raf Ayat 35-36 ......................................... 38 B. Hasil Temuan Metode Pendidikan Karakter Surat Al-A’raf Ayat 35-36 ................................................................................. 41 1. Metode Cerita a. Pengertian Cerita ............................................................ 42 b. Teknik dan Jenis Metode Cerita ..................................... 47 c. Manfaat Metode Cerita .................................................. 49 d. Kelebihan dan Kekurangan Metode Cerita .................... 50 2. Metode Remedial Teaching a. Pengertian Metode Remedial Teaching ......................... 51 b. Fungsi dan Tujuan Metode Remedial Teaching ............ 53 c. Bentuk-bentuk Metode Remedial Teaching .................. 55 3. Metode Targhib dan Tarhib a. Pengertian Metode Targhib dan Tarhib ......................... 57 b. Keutamaan Metode Targhib dan Tarhib ........................ 58 c. Kelebihan dan Kekurangan Metode Targhib dan Tarhib ............................................................................. 58
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................... 59 B. Saran ......................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 61 LAMPIRAN
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Menurut Muhaimin, “Pendidikan merupakan suatu kunci kemajuan, bahwa semakin baik kualitas yang diselenggarakan oleh suatu masyarakat bangsa, semakin baik pula kualitas masyarakat bangsa tersebut, bahkan kita sering mendengar rumus sosial bahwa kalau kita ingin memajukan sebuah bangsa yakni mengutamakan pendidikan, menghargai dan memuliakan guru”.1 Akan tetapi, melihat realita yang ada bahwa seorang anak didik pada zaman sekarang ini terlihat kurangnya dalam mengutamakan pendidikan, menghargai, dan memuliakan gurunya. Seperti tidak mengerjakan pekerjaaan rumah (PR), terlambat datang ke sekolah, mencontek dan lain sebagainya. Menurut Abudin Nata, “Pendidikan adalah sebuah proses mengubah tingkah laku individu. Pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat”.2 Lebih luas lagi menurut Muhammad Jafar Anwar dan Muhammad A, Salam, “Melalui pendidikan ini dapat mendidik manusia yang humanis dengan pengembangan potensi dasar manusia. Potensi dasar tersebut tercermin pada perbuatan dan perkataan seseorang melalui pergaulannya dalam masyarakat”.3 Dalam rangka menghasilkan peserta didik yang unggul dan diharapkan, proses pendidikan juga senantiasa dievaluasi dan diperbaiki. Menurut Akhmad Muhaimin “Salah satu upaya perbaikan kualitas pendidikan adalah munculnya gagasan mengenai pentingnya pendidikan karakter dalam dunia 1
Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), Cet. I, h. 37 2 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), Cet. I, h. 28 3 Muhammad Jafar Anwar dan Muhammad A, Salam, Membumikan Pendidikan Karakter: Implementasi Pendidikan Berbobot Nilai dan Moral, (Jakarta: CV, Suri Tatu’uw, 2015), Cet. I, h. 46
1
2
pendidikan di Indonesia”.4 Dalam mencapai gagasan tersebut dunia pendidikan Indonesia berusaha untuk meraih tujuan pendidikan dengan berbagai cara, diantaranya membenahi kurikulum yang ada, komponenkomponennya, peningkatan kualitas pendidik, sarana dan prasarananya pendidikan serta yang lainnya. Salah satu dari objek pembenahannya ialah penerapan pendidikan karakter. Seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional sebenarnya pendidikan karakter menempati posisi yang penting, hal ini dapat kita lihat dari tujuan pendidikan nasional yang menyatakan bahwa: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, menjadi manusia untuk berkembangnya potensi dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlakul karimah, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.5 Menurut Dharma Kesuma, “Dengan mengamati kondisi yang terjadi saat ini, di mana penghayatan dan pengalaman nilai-nilai agama, etika dan moral yang cenderung merosot sehingga muncul perilaku menyimpang seperti konflik agama dan sosial, perkelahian antar pelajar, antar desa dan antar mahasiswa, perusakan lingkungan, penyalahgunaan narkoba, minuman keras dan penyimpangan seksual serta sebagai kejahatan lainnya”.6 Hal ini mengindikasikan kurangnya kesadaran terhadap campur tangan Allah SWT dalam kehidupan skala yang lebih besar misalnya tindakan korupsi yang dilakukan oleh para pejabat Negara, juga menjadi tanda bahwa selama ini pendidikan kita kurang dapat menginternalisasikan nilai-nilai yang di ajarkan di sekolah, sehingga bahkan orang terpelajar pun melakukan perbuatan yang keji. Dengan situasi dan kondisi karakter bangsa yang sedang memperhatinkan. Hal ini telah mendorong pemerintah untuk mengambil inisiatif untuk
4
Akhmad Muhaimin Azzet, Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia, (Jogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 9 5 Dharma Kesuma, dkk., Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), h. 6 6 Ibid, h. 15
3
memprioritaskan pembangunan karakter bangsa. Pembangunan karakter bangsa menjadi arus utama pembangunan nasional. Dalam dunia pendidikan, pendidikan karakter menjadi alternatif utama untuk mengatasi permasalahan tersebut. Dengan begitu pendidikan karakter menjadi sebuah tema yang urgen pelaksanaannya bagi pembangunan bangsa sebab karakter menjadi tolak ukur keberhasilan suatu bangsa. Pendidikan karakter menjadi program pendidikan yang wajib dilaksanakan oleh bangsa Indonesia. Rahmat Rosyadi menjelakan terkait tentang pembutakan karakter dalam bukunya yakni: Untuk membentuk karakter yang baik dapat dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan sacara terus menerus yang dimulai dalam keluarga. Karena sifat karakter dapat dipengaruhi lingkungannya, maka penanaman nilai-nilai agama, moral dan budi pekerti sangat penting dilakukan sejak dini. Budi pekerti anak merupakan sekumpulan sifat-sifat di mana seseorang menyontoh dan meniru lingkungannya serta sangat mempengaruhi oleh pembinaan sejak usia dini. Sedangkan moral yang berarti tata cara, kebiasaan, dan adat istiadat dapat diartikan sebagai norma yang menata sikap dan perilaku manusia yang sesuai dengan standar sosial.7 Oleh sebab itu, karakter yang berdasarkan nilai-nilai agama sebagai kunci keberhasilan dan kebahagiaan hidup manusia.8 Menurut Husaini, “Pendidikan Karakter tidak diragukan lagi memiliki peran besar dalam kehidupan manusia. Pembinaan karakter di mulai dari individu. Hakikat karakter itu memang individual, meskipun ia dapat berlaku dalam konteks yang tidak individual. Karenanya pembinaan karakter dimulai dari sebuah gerakan individual, yang kemudian diproyeksikan menyebar ke individu-individu lainnya”.9 Terlebih lagi Pendidikan Agama Islam sebagai mata pelajaran agama di sekolah, harus mengusahakan agar nilai-nilai karakter yang diajarkan mampu mengkristal dalam diri anak didik dan menyentuh pengalaman dalam kehidupan nyata. Pendidikan karakter harus mampu mengolah pengalaman 7
H.A. Rahmat Rosyadi, Pendidikan Islam dalam Pembentukan Karakter Anak Usia Dini, (Jakarta: Rajawali, 2013), Cet. I, h. 14 8 Ibid. h. 15 9 Husaini, “Pembinaan Pendidikan Karakter”, TARBIYAH Jurnal Pendidikan dan Keislaman, Vol. XXI, 2014, h. 78
4
anak didik ketika melihat maraknya penyimpangan moral yang terjadi, seperti kasus korupsi, suap-menyuap, bahkan saling membunuh hanya untuk mendapatkan suatu jabatan ataupun harta, padahal dalam Q.S Al-A’raf ayat 3536 ditekankan untuk mematuhi aturan dan berbuat baik.10 Ulil Amri Syafri menjelaskan tenkait tentang pentingnya dalam bukunya, yaitu: Al-Qur`ân berperan besar dalam proses pendidikan yang dilakukan kepada umat manusia, beliau berpendapat bahwa ada dua alasan pokok yang membuktikan hal tersebut. Alasan pertama karena al-Qur`ân banyak menggunakan term-term yang mewakili dunia pendidikan, kemudian alasan yang kedua, al-Qur`ân mendorong umat manusia untuk berfikir dan melakukan analisis pada fenomena yang ada di sekitar kehidupan mereka.11 Mengacu pada pernyataan di atas, dapat penulis katakan bahwa al-Qur`ân sudah memberi anjuran dan aturan dalam pendidikan. Ini berarti bahwa dalam kajian pendidikan, al-Qur`ân sebagai kitab suci umat Islam turut mengatur jalannya pendidikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Erwati Aziz yang menjelaskan bahwa “dalam pendidikan Islam, al-Qur’an merupakan sumber pertama utama. Hal ini dikarenakan al-Qur’an yang diturunkan Allah swt lebih dari 14 abad yang lalu telah memuat prinsip-prinsip dasar yang dibutuhkan manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan di muka bumi ini termasuk pendidikan.”12 Maka sudah seharusnya al-Qur`ân dijadikan acuan pokok dalam melaksanakan pendidikan, karena al-Qur`ân adalah sumber nilai utama dalam kehidupan manusia. Dan tujuan hidup manusia dapat dicapai hanya dengan proses pendidikan. Jika berbicara tentang pendidikan, maka tidak dapat dilewatkan begitu saja mengenai hal-hal yang menyangkut dengan metode pendidikan. Lebih spesifiknya adalah metode pendidikan Islam. Yang dimaksud metode pedidikan Islam menurut Abdullah Nashih Ulwan sebagaimana yang dikutip 10
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an vol 5, (Jakarta: Lentera Hati 2002), Cet. I, h. 87 11 Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h. 59-60 12 Ernawati Azizi, “Keberhasilan Pendidikan Perspektif Al-Qur’an”, Jurnal At-Tarbawi Kajian Kependidikan Islam, Vol.2, 2005, h. 169
5
oleh Aat Syafa’at adalah “jalan atau cara yang dapat ditempuh untuk menyampaikan bahan atau materi pendidikan Islam kepada anak didik agar terwujud kepribadian muslim”.13 Seperti halnya dalam surat Al-A’raf ayat 3536 terdapat sebuah metode yang dapat di aplikasikan dalam proses belajar. Melihat fenomena yang terjadi, nampaknya di zaman sekarang ini aspekaspek pendidikan khususnya pada metode pendidikan dalam perspektif AlQur’an adalah hal yang sangat sulit dipraktikkan dalam dunia pendidikan yang menciptakan pendidikan yang lebih Islami, karena pada umumnya para pendidik hanya menggunakan metode itu-itu saja yang dikembangkan oleh dunia Barat dalam proses pendidikannya. Akan tetapi, tidak sedikit pula para cendikiawan muslim yang sudah menggunakan metode dengan tepat didalam menyampaikan
suatu
pembelajaran
tidak
hanya
dunia
Barat
yan
mengembangkannya dengan munculnya para cendikiawan muslim sekarang ini juga sudah menunjukkan bahwa orang muslimpun tidak tertinggal oleh Barat karena sebenarnya metode pendidikan ini sudah dijelaskan secara terperinci didalam Al-Qur’an, namun para praktiknya seolah-olah orang Islam tidak mempergunakannya dan hanya sebagian kecil pendidik yang menggunakannya. Melihat dari penjelasan di atas, penulis tertarik untuk membahas lebih jauh lagi mengenai hal metode belajar apakah yang terdapat didalamnya dan akan dikaji secara lebih spesifik lagi agar mudah penulis didalam penyampaiannya. Atas pertimbangan inilah penulis mengangkat masalah tersebut yang akan dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “METODE PENDIDIKAN KARAKTER YANG TERKANDUNG DALAM SURAT AL-A’RAF AYAT 35-36”
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan judul yang akan dibahas dalam skripsi ini, di antaranya yaitu: 13
TB Aat Syafa’at, Sohari Sahrani dan Muslih, Peranan Pendidikan Agama Islam Dalam Mencegah Kenakalan Remaja (Juvenile Delinquency), (Jakarta: Rajawali Press, 2008), h. 40
6
1. Masih terdapat
guru yang belum mengkaji metode pendidikan yang
terdapat dalam Al-Qur’an pada proses pembelajaran. 2. Masih adanya guru yang sulit untuk menggunakan metode pendidikan yang Islami yang bersumber dari Al-Qur’an. 3. Adanya beberapa pendidik yang mengabaikan metode-metode pendidikan yang bersumber dari Al-Qur’an.
C. Pembatasan Masalah Untuk memperjelas dan memberi arah yang tepat serta menghindari meluasnya pembahasan dalam penelitian ini, dan dengan adanya identifikasi masalah di atas, penulis akan membatasi beberapa hal yang berkaitan dengan masalah, yaitu: “Metode Pendidikan Karakter yang Terkandung dalam Surat Al-A’raf ayat 35-36.”
D. Perumusan Masalah Dari uraian di atas, ada permasalahan penting yang akan diungkapkan dalam penelitian ini, yaitu: Apa saja metode pembelajaran yang terkandung dalam surat Al-A’raf ayat 35-36?
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui metode pendidikan yang terkandung dalam AlQur’an surat Al-A’raf ayat 35-36. b. Untuk mengetahui bagaimana hasil temuan analisis yang terkandung dalam surat Al-A’raf ayat 35-36 2. Kegunaan penelitian a. Untuk menambah khazanah keilmuan pada bidang tafsir pendidikan dan wawasan bagi penulis. b. Mengetahui bagaimana pandangan Al-Qur’an terhadap metode pendidikan.
7
c. Untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S1) pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
BAB II PEMBAHASAN
A. Acuan Teori 1. Pengertian Metode Pendidikan Karakter Dalam pelakasaan pendidikan sangat dibutuhkan adanya metode yang tepat, efektif, dan efisien dengan tujuan untuk menghantarkan tercapainya suatu tujuan pendidikan yang telah direncanakan dan dicita-citakan. Materi yang baik dan benar saja tidak akan tercover dengan baik jika tidak diimbangi dengan metode yang baik pula. Oleh karena itu, kebaikan suatu materi yang akan disampaikan dalam ranah pendidikan harus ditopang dengan adanya metode pendidikan. Kata metode jika dilihat dari segi bahasa, M. Arifin menjelaskan bahwa metode adalah “suatu jalan yang dilalui untuk mencapai suatu tujuan”. Metode berasal dari dua kata yaitu, “Meta” dan “Hodos”. Meta berarti “melalui” dan Hodos berarti “jalan atau cara”.1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikutip oleh Sri Minarti dalam bukunya, “kata metode diartikan sebagai cara yang teratur digunakan untuk melaksanakan pekerjaan agar tercapai sesuai yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan”.2 Kemudian metode menurut Jamaludin adalah “cara yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan, makin baik metode itu makin efektif pula pencapaian tujuan, dengan demikian, tujuan merupakan faktor utama dalam menetapkan baik tidaknya penggunaan suatu metode”.3
1
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner), (Jakarta: Buna Aksara, 2005), Cet. I, h. 65. 2 Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2013), Cet. I, h. 138 3 Jamaludin, Acep Komarudin, dan Koko Khoerudin, Pembelajaran Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), Cet. I, h. 177
8
9
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan, dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan metode itu adalah suatu jalan atau cara yang ditempuh seseorang demi mencapai suatu tujuan yang telah direncanakan sebelumnya. Selanjutnya beralih ke definisi pendidikan karakter, bila ditelusuri asal karakter berasal dari bahasa latin “karakter”, “kharassein”, “kharax”, dalam bahasa Inggris: character dan Indonesia “karakter”, Yunani character, dari charassein yang berarti membuat tajam, membuat dalam. Dalam kamus Poerwadarminta, “karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain”.4 Sedangkan menurut Doni Koesoema A. yang dikutip oleh Fatchul Mu‟in dalam bukunya, bahwa “karakter adalah sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri, atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, juga bawaan sejak lahir‟.5 Kemudian karakter sebagaimana didefinisikan oleh Ryan dan Bohlin, mengandung tiga unsur pokok, yaitu, mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Dalam pendidikan karakter, kebaikan itu sering kali dirangkum dalam sederet sifat-sifat baik. Dengan demikian, pendidikan karakter adalah sebuah upaya untuk membimbing pelaku manusia menuju standar-standar baku.6 Lebih lanjut dijelaskan oleh Thomas Lickona yang dikutip oleh Heri Gunawan bahwa “pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat
4
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), Cet I, h. 11 5 Fatchul Mu‟in, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoretik & Praktik, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), Cet. I, h. 160 6 Majid. loc. cit.
10
dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan sebagainya”.7 Ramli menjelaskan bahwa “pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga Negara yang baik”.8 Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan, dapat penulis simpulkan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk menanamkan nilai-nilai perilaku peserta didik yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya dan adat istiadat.
2. Tujuan Metode Pendidikan Karakter Metode memiliki tujuan untuk lebih memudahkan proses dan hasil pembelajaran sehingga apa yang telah direncanakan bisa diraih dengan sebaik dan semudah mungkin. Dengan begitu, metode akan mengantarkan sebuah pembelajaran kearah tujuan tertentu yang ideal dengan tepat dan cepat sesuai yang diinginkan. Karenanya terdapat suatu prinsip yang umum dalam memfungsikan metode, yakni Abuddin Nata menjelaskan bahwa fungsi metode secara umum dapat dikemukakan sebagai pemberi jalan atau cara yang sebaik mungkin bagi pelaksanaan operasional dan ilmu pengetahuan tersebut. Sedangkan dalam konteks lain metode dapat merupakan sarana untuk menemukan, menguji, dan menyusun data yang dipelikan bagi pengembangan disiplin suatu ilmu. Dari dua pendekatan ini segera dapat dilihat bahwa pada intinya
7
Heri Gunawan, Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi, (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 23 8 Ibid, h. 24
11
metode berfungsi mengantarkan pada suatu tujuan kepada obyek sasaran tertentu.9 Selain itu, prinsip yang menjadi memfungsikan metode adalah prinsip pembelajaran yang dapat dilaksanakan dalam suasana menyenangkan, mengembirakan, penuh dorongan dan motivasi sehingga materi pembelajaran itu menjadi lebih mudah untuk diterima oleh peserta didik. Selanjutnya beralih ke tujuan pendidikan. Socrates berpendapat bahwa tujuan paling mendasar dalam pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi good and smart. Dalam sejarah Islam, Rasulullah Muhammad SAW, Sang Nabi terakhir dalam ajaran Islam, juga menegaskan bahwa misi utamanya
dalam
mendidik
manusia
adalah
untuk
mengupayakan
pembentukan karakter yang baik (good charcter). Berikutnya, ribuan tahun setelah itu, rumusan tujuan utama pendidikan tetap pada wilayah yang serupa, yakni pembentukan kepribadian manusia yang baik. Tokoh pendidikan Barat yang mendunia seperti Klipatrick, Lickona, Brooks dan Goble seakan menggemakan kembali gaung yang disuarakan Socrates dan Muhammad SAW. bahwa moral, akhlak atau karakter adalah tujuan yang tak terhindarkan dari dunia pendidikan. Begitu juga dengan Marthin Luther King menyetujui pemikiran tersebut dengan mengatakan, “intelligence plus character, that is the true aim of education”. Kecerdasan plus karakter, itulah tujuan yang benar dari pendidikan.10 Kemudian dibahas lebih lanjut oleh Heri Gunawan bahwa “tujuan pendidikan karakter pada intinya untuk membentuk bangsa yang tangguhm kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan pancasila”.11 9
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), Cet. I, h.
145 10
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), Cet I, h. 30 11 Heri Gunawan, Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi, (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 30
12
3. Macam-macam Metode Menurut Ahmad Tafsir, metodenya di antaranya ialah: “1) metode hiwar (percakapan) Qurani dan Nabawi, 2) metode kisah Qurani dan Nabawi, 3) metode amtsal (perumpamaan) Qurani dan Nabawi, 4) metode keteladanan, 5) metode pembiasaan, 6) metode 'ibrah dan mau’izah, 7) metode targhib dan tarhib”.12 a. Merode Hiwar Qurani dan Nabawi Hiwar (dialog) ialah percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih mengenai suatu topik, dan dengan sengaja diarahkan kepada satu tujuan yang dikehendaki (dalam hal ini oleh guru). Dalam percakapan itu bahan pembicaraan tidak dibatasi; dapat digunakan berbagai konsep sains, filsafat, seni, wahyu, dan lain-lain. Dalam jurnal pendidikan Islam yang ditulis oleh Jejen Musfah bahwa “metode ini memiliki kelebihan di banding dari metode lainnya. Kelebihannya adalah pesan disampaikan secara langsung. Bagaimana respon yang bersangkutan dapat diketahui. Karena itu, si pemberi pesan dapat menanyakan dan atau memberi penjelasan yang lebih masuk akal dan lebih sesuai dengan hati lawan bicaranya. (perlu diketahui bahwa metode ini sering digunakan oleh Rasulullah SAW. dalam menyampaikan ajaran Islam)”.13 b. Metode kisah Qurani dan Nabawi Metode kisah adalah mendidik dengan cara menyampaikan kisah agar pendengar dan pembaca meniru yang baik dan meninggalkan yang buruk, serta agar pembaca beriman dan beramal saleh.14 Dalam pendidikan Islam, terutama pendidikan agama Islam (sebagai suatu bidang studi), kisah sebagai metode pendidikan amat penting. Dikatakan amat penting, alasannya antara lain sebagai berikut:
12
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), Cet. I, h. 135-146 13 Jejen Musfah, “Metode Pendidikan dalam Perspektif Islam”, TAHDZIB Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol.3, 2009, h. 112 14 ibid, h. 109
13
1) Kisah selalu memikat karena mengandung pembaca atau pendengar untuk mengikuti peristiwanya, merenungkan maknanya. 2) Kisah Qurani dan Nabawi dapat menyentuh hati menusia karena kisah itu menampilkan tokoh dalam konteksnya yang menyeluruh. 3) Kisah
Qurani
mendidik
perasaan
keimanan
dengan
cara:
membangkitkan berbagai perasaan seperti khauf, rida, dan cinta. c. Metode Amtsal (Perumpamaan) Arti amtsal adalah membuat pemisalan, perumpamaan dan bandingan. Dengan demikian, metode amtsal yaitu memberi perumpamaan dari yang abstrak kepada yang lain yang lebih kongkrit untuk mencapai tujuan dan atau mengambil manfaat dari perumpamaan tersebut.15 Dalam
QS
Al-„Ankabut:
41
bahwa
Allah
mengumpamakan
sesembahan atau tuhan orang kafir dengan sarang laba-laba. Maksud perumpaman disebutkan bahwa orang-orang yang berlindung kepada selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah; padahal rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba.16 Al-Ajami menulis beberapa manfaat metode perumpamaan: a) mengandung
unsur-unsur
yang
menarik
dan
menyenangkan,
b)
memperjelas makna dengan mengaitkan sesuatu yang abstrak dengan sesuatu yang kongkrit, c) mendorong sikap positif, d) meninggalkan sikap negative, e) mempermudah pemahaman materi yang sulit.17 d. Metode Teladan Metode teladan (uswah hasanah) adalah memberikan teladan atau contoh yang baik kepada peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Metode ini merupakan pedoman untuk bertindak dalam merealisasikan tujuan pendidikan baik secara institusional maupun nasional.18
15
Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), Cet. II,
h. 216 16
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), Cet. I, h. 141 17 Musfah, op. cit., h. 107 18 Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam; Fakta Teoritis-Filosofis dan Aplikatif-Normatif, (Jakarta: Amzah, 2013), Cet. I, h. 142
14
Metode keteladanan
sebagai
suatu
metode
digunakan untuk
merealisasikan tujuan pendidikan dengan memberi contoh keteladanan yang baik kepada siswa agar mereka dapat berkembang baik fisik maupun mental dan memiliki akhlak yang baik dan benar. Keteladanan memberikan kostribusi yang sangat besar dalam pendidikan ibadah, akhlak, kesenian dan lain-lain.19 e. Metode Pembiasaan Inti dari metode pembiasaan ini ialah sebagai bentuk pengulangan. Jika guru setiap masuk kelas mengucapkan salam, itu telah dapat diartikan sebagai usaha membiasakan. Bila murid masuk kelas tidak mengucapkan salam, maka guru mengingatkan agar bila masuk ruangan hendaklah mengucapkan salam; ini juga satu cara membiasakan. Pembiasaan dinilai sangat efektif jika dipenerapannya dilakukan terhadap peserta didik yang berusia kecil. Karena memiliki “rekaman” ingatan yang kuat dan kepribadian yang belum matang, sehingga mereka mudah terlarut dengan kebiasaan-kebiasaan yang mereka lakukan seharihari. Oleh karena itu, sebagai awal dalam proses pendidikan, pembiasaan merupakan cara yang sangat efektif dalam menanamkan nilai-nilai moral ke dalam jiwa anak. Nilai-nilai yang tertanam daam dirinya ini kemudian akan termanifestasikan dalam kehidupannya semenjak ia mulai melangkah keusia remaja dan dewasa.20 f. Metode „Ibrah dan Mau’izah Metode „ibrah adalah penyajian bahan pembelajaran yang bertujuan melatih daya nalar pembelajar dalam menangkap makna terselubung dari suatu pernyataan atau kondisi psikis yang menyampaikan manusia kepada intisari sesuatu yang disaksikan. Sementara itu, metode mau’izah adalah pemberian motivasi dengan menggunakan keuntungan dan kerugian dalam melakukan perbuatan.21 19
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), Cet. I, h. 119 20 Ibid, h. 110 21 Sri Minarti, op., cit. h. 143
15
g. Metode Targhib dan Tarhib Targhib ialah janji terhadap kesenangan, kenikmatan akhirat yang disertai bujukan. Tarhib ialah ancaman karena dosa yang dilakukan. Targhib bertujuan agar orang mematuhi aturan Allah. Tarhib demikian juga. Akan tetapi, tekanannya ialah targhib melakukan kebaikan, sedangkan tarhib agar menjauhi kejahatan. Metode ini didasarkan atas fitrah (sifat kejiwaan) manusia, yaitu sifat keinginan kepada kesenangan, keselamatan, dan tidak menginginkan kepedihan, dan kesengsaraan. Penggunaan metode targhib-tarhib didasari pada asumsi bahwa tingkat kesadaran manusia sebagai makhluk Tuhan itu berbeda-beda. Ada yang sadar setelah diberikan kepadanya berbagai nasihat dengan lisan, da nada pula yang harus diberikan ancaman terlebih dahulu baru ia akan sadar. Ayat yang berupa targhib dilihat pada QS Al-Anfal: 29:
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya dia akan memberikan kepadamu furqan dan menghapus kesalahankesalahanmu serta mengampuni dosamu, dan Allah mempunyai karunia yang besar”.22 Al-Thabari menjelaskan bahwa orang-orang yang telah membenarkan Allah dan Rasul-Nya, taat kepada-Nya, menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi kemaksiatan, serta tidak berkhianat kepada Rasul dan amanah yang diberikan kepadanya, Allah akan memberikannya
22
Jejen Musfah, “Metode Pendidikan dalam Perspektif Islam”, TAHDZIB Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol.3, 2009, h. 111
16
furqan, pembeda antara yang hak dan batil, sekaligus menghapus kesalahan yang telah diperbuat.23 Adapun ayat yang mengandung indikasi metode tarhib terdapat dalam QS At-Taubah: 74: “Mereka orang-orang munafik itu bersumpah dengan nama Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam dan mengingini apa yang mereka tidak mencapainya; dan mereka tidak mencela Allah dan Rasul-Nya, kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karuni-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, ittu adalah baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi. Ibnu Jarir Al-Thabari menjelaskan bahwa, ayat ini turun ketika seorang yang bernama Jalas bin Suwaid bin Ash-Shamit berkata: jika apa yang didatangkan oleh Nabi SAW. itu kebenaran, maka sungguh kita itu lebih sesat daripada keledai. Hal ini diadukan kepada Nabi. Kemudian Suwaid bersumpah atas nama Allah, padahal ia telah mengucapkan kalimat kufur. Turunlah ayat ini dan Nabi pun menasihatinya. h. Metode Lainnya Al-Qur‟an sabagai kitab suci tidak pernah habis digali isinya. Demikian juga tentang masalah metode pendidikan ini, masih bisa dikembangkan lebih lanjut. Muzayyin Arifin, misalnya menyebutkan tidak kurang dari 15 metode pendidikan yang dapat diambil dari al-Qur‟an yang di antaranya metode-metode yang telah disebutkan di atas. Sedangkan metode lainnya disebbut metode perintah dan larangan, metode pemberian suasana (situasional), metode mendidik secara kelompok (mutual education), metode instruksi, metode bimbingan dan penyuluhan, metode taubat dan ampunan, dan metode penyajian. Namun, metode-metode yang
23
Ibid, h. 111
17
disebutkan terakhir ini kurang popular, sedangkan yang popular adalah metode-metode yang disebutkan terdahulu.24
4. Pondasi Pendidikan Karakter Ada enam pondasi karakter pada diri manusia yang dapat digunakan untuk mengukur dan menilai watak dan perilakunya dalam hal-hal khusus. Keenam karakter ini dapat dikatakan sebagai pondasi karakter manusia, di antaranya:
Respect
(penghormatan,
Responsibility
(tanggung jawab),
Citizenship-Civic Duty (kesadaran berwarga-negara), Fairness (keadilan dan kejujuran), Caring (kepedulian dan kemauan berbagi), Trustworthiness (kepercayaan).25 a. Respect (Penghormatan) Esensi penghormatan adalah untuk menunjukkan bagaimana sikat kita secara serius dan khidmat pada orang lain dan diri sendiri. Ada unsur kagum dan bangga di sini. Dengan memperlakukan orang lain secara hormat, berarti membiarkan mereka mengetahui bahwa mereka aman, bahagia, dan mereka penting karena posisi dan perannya sebagai manusia di hadapan kita. Sebab, biasanya kita tak hormat pada orang yang tidak berbuat baik. Rasa hormat biasanya ditunjukkan dengan sikap sopan dan juga membalas dengan kebaktian, baik berupa sikap maupun pemberian. Sedangkan, rasa hormat juga bisa berarti bersikap toleran, terbuka, dan menerima perbedaan sekaligus menghormati otonomi orang lain. Respect atau penghoramatan bukanlah sesuatu hal yang diminta, melainkan diberikan. Jadi, jangan pernah mengharap rasa hormat dengan penuh rekayasa atau memaksa, tetapi harus kita mulai untuk menata sikap dan posisi (serta pesan) diri kita agar orang lain memaksa kita. Jangan pernah bertanya, “Kenapa mereka tak menghormati saya?”, tetapi mulailah 24
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), cet. I, h.
160 25
Fatchul Mu‟in, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoretik & Praktik, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), cet. I, h. 211-247
18
dari perubahan sikap yang membuat kita dihargai dan dihormati. Jika kita tak dihormati orang lain, berarti ada yang salah dengan diri kita, atau ada kesalahan, tetapi tetaplah bukanlah kesalahan orang lain itu. Ada beberapa karakteristik yang menunjukkan rasa hormat (respect) sebagai berikut: 1) Tolerance (toleransi): sikap menghormati orang lain yag berbeda dengan kita atau yang kadang seakan menentang kita dan memusuhi kita. 2) Acceptance (penerimaan): menerima orang lain yang datang pada kita, mungkin dengan tujuan tertentu. Kita beri kesempatan ia untuk hadir di depan kita untuk menyuarakan kepentingan dan tujuannya, baru kita bisa mengambil sikap terhadap tujuannya. 3) Outonomy (otonomi, kemandirian ketidaktergantungan): kita masih punya sikap dan prinsip kita sendiri, orang lain pun juga demikian. Otonomi adalah hasil pilihan dan pasti punya alasan, kita tak bisa membuat orang lain tergantung pada kita dan memaksa orang lain seperti kita dalam hal tertentu. 4) Privacy (privasi, urusan pribadi): menghormati orang lain berarti memberi mereka kesempatan untuk melakukan kesibukan dalam kaitannya dengan urusan mereka sendiri. 5) Nonviolance (non-kekerasan): prinsip non-kekerasan ini sangat penting bagi karakter kita untuk menunjukkan rasa hormat pada orang lain. 6) Courteous ini adalah sejenis rasa hormat aktif yang dilakukan dengan melakukan sesuatu, atau rasa hormat yang ditunjukkan dengan sikap yang sengaja. 7) Polite: sikap sopan yang ditunjukkan untuk memberikan rasa hormat. Sopan harus dibedakan dengan takut dan sungkan. 8) Concerned: sikap perhatian atas memberikan perhatian pada hal atau orang yang dihormati.26 b. Responsibility (Tanggung Jawab) Setiap tanggung jawab menunjukkan apakah orang itu punya karakter yang baik atau tidak. Orang yang lari dari tanggung jawab sering tidak disukai dalam artian bahwa karaker orang tersebut buruk. Bertanggung jawab pada sesuatu benda, baik mati atau benda hidup berarti melahirkan sikap dan tindakan atas benda itu, nasib dan arah dari benda itu, tidak membiarkannya. Ketika telah memilih seseorang untuk kita ajak berpasangan, tanggung jawab kita adalah menjaga hubungan 26
Ibid, h. 213
19
dengannya dan tidak mempermainkannya. Istilah orang yang “suka mainmain” identik dengan orang “yang tidak bertanggung jawab,” Berarti di sini unsur tanggung jawab itu adalah keseriusan. Dalam contoh lain seperti anak mulai dididik untuk memenuhi kebutuhan dan kewajiban dirinya sendiri. Misalnya mendidik shalat juga berarti membina masa depannya sendiri. Sebagai konsekuensinya berarti anak dididik untuk menentukan pilihan masa depan, menentukan cita-cita dan sekaligus ditanamkan sistem keyakinan.27 c. Civic Duty-Citizenship (Kesadaran dan Sikap Berwarga Negara) Nilai-nilai sipil (citiv virtues) merupakan nilai-nilai yang harus diajarkan pada individu-individu sebagai warga negara yang memiliki hak sama dengan warga negara lainnya. Nilai-nilai itu harus dijaga agar suatu masyarakat dalam sebuah negara tidak terjadi tindakan yang melanggar hak-hak (terutama hak asasi) warga negara lainnya. Nilai-nilai sipil ini adalah hal yang sangat penting yang harus dimiliki oleh warga negara dalam sebuah negara modern yang diatur oleh kesepakatan konstitusi dan tidak didasarkan pada kehendak segelintir orang. Singkatnya, karakter yang diperlukan untuk membangun kesadaran berwarga Negara ini meliputi berbagai tindakan untuk mewujudkan terciptanya masyarakat sipil yang menghormati hak-hak individu. Hak untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan mendasarnya (makanan, perumahan, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain); hak untuk memeluk agama dan keyakinan masing-masing tanpa paksaan; hak untuk mendapatkan informasi dan mengeluarkan informasi atau menyatakan pendapat dan pikiran; dan hak politik termasuk memilih partai politik, mendirikan organisasi sosial politik tanpa diskriminasi ideologi politik. Selain menjamin adanya hak, kita juga berkewajiban, misalnya menghormati orang lain yang secara suku dan agama dan ideologi berbeda; kewajiban ikut mempertahankan Negara dari seragam musuh; 27
Abdul Majid dan Diah Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), cet. I, h. 25
20
dan lain-lain; Maka, karakter yang diperlukan untuk mendukung terlaksananya itu semua antara lain adalah karakter yang menghasilkan tindakan toleransi dan saling menghormati antar umat beragama; kewajiban untuk menciptakan ketertiban bersama, menjamin tiap-tiap orang bebas untuk berpendapat dan memeluk keyakinan selama ekspresinya tidak melahirkan kekerasan. Nilai-nilai sipil akan berjalan jika tiap warga negara sadar akan hak dan kewajibannya. d. Fairness (Keadilan) Sikap
adil
merupakan
kewajiban
moral.
Kita
diharapkan
memperlakukan semua orang secara adil. Kita harus mendengerkan orang lain dan memahami apa yang mereka rasakan dan pikirkan atau setidaknya yang mereka katakan. Penilaian atau anggapan yang terburu-buru merupakan suatu yang tidak adil. Adil harus dilakukan baik dalam pikiran dan perbuatan. Kata Jean Marais dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, “Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan. Dalam membuat kebijakan dan keputusan, yang dikatakan adil adalah jika ia didasarkan atau mempertimbangkan semua fakta, termasuk pandangan yang menentangnya, yang harus dipertimbangkan sebelum keputusan dibuat. keputusan harus didasarkan pada sesuatu pertimbangan yang
tak
boleh
setengah-setengah
(impartial
decisions),
harus
menggunakan beberapa kriteria, aturan, dan memenuhi standar bagi semua orang. Anggapan-anggapan yang salah dan terburu-buru harus segera dibenarkan atau dikoreksi. e. Caring (Peduli) Setelah anak dididik tentang tanggung jawab diri, maka selanjutnya anak dididik untuk mulaipeduli pada orang lain. Terutama teman-teman sebaya yang setiap hari ia bergaul. Menghargai orang lain (hormat kepada yang lebih tua dan menyayangi kepada orang yang lebih), menghormati hak-hak orang lain, bekerja sama di antara teman-temannya membantu dan
21
menolong orang lain, dan lain-lain merupakan aktivitas yang sangat pendting pada masa ini.28 Istilah lain dengan sifat peduli adalah rasa solidaritas. Ia merupakan integrasi atau tingkat integrasi, yang ditunjukkan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan orang lain. Ia mengacu pada ikatan sosial. Dari mana rasa solidaritas itu muncul? Tentu saja dari perasaan bahwa orang lain atau kelompok lain adalah bagian dari kita dan ketika mereka merasa susah kita merasa harus berbagi dengan mereka. f. Trustworthiness (Kepercayaan) Kepercayaan menyangkut beberapa elemen karakter, antara lain sebagai berikut: 1) Integrasi, integrasi merupakan kepribadian dan sifat yang menyatukan antara apa yang diucapkan dan dilakukan. Integrasi berarti keseluruhan (wholeness), bisa diprediksi, konsisten daam pikiran, kata-kata, dan perbuatan, tidak “berwajah ganda”. 2) Kejujuran: apa yang dikatakan adalah benar sesuai kenyataannya. Orang yang jujur adalah orang yang bisa dipercaya, tidak bohong, dan tidak munafik. 3) Menepati janji: apa yang pernah dikatakan untuk dilakukan, makan akan benar-benar dilakukan. 4) Kesetiaan: sikap yang menjaga hubungan dengan tindakantindakan untuk menunjukkan baiknya hubungan, bukan hanya memberi, melainkan juga menerima hal-hal positif untuk terjalinnya hubungan.29
5. Proses Pembentukan Karakter Proses pembentukan karakter anak merupakan sebuah eksplorasi terhadap nilai-nilai universal yang berlaku di mana, kapan, oeh siapa, warna kulit, paham politik dan agama ynag mengacu kepada tujuan dasar kehidupan. Bahwa nak pada prinsipnya mempunyai hasrat untuk mencapai kedewasaan, menjalin cinta kasih dan memberikan sumbangan yang berarti bagi masyarakat secara lebih luas. Pemenuhan ketiga hasrat tersebut
28
Ibid, h. 27 Ibid, h. 28
29
22
merupakan kepuasaan hidup dan sangat tergantung pada kehidupan yang mengacu pada nilai-nilai tertentu sebagai cerminan karakter yang baik.30 Oleh karena itu, karakter yang baik adalah karakter yang berdasarkan nilai-nilai agama sebagai kunci keberhasilan dan kebahagiaan hidup amnesia. Dengan mengamati kondisi yang terjadi saat ini, di mana penghayatan dan pengalaman nilai-nilai agama, etika dan moral yang cenderung merosot sehingga muncul perilaku menyimpang seperti konflik antara agama dan sosial, perkelahian antar pelajar, antar desa dan antar mahasiswa, perusakan lingkungan, penyalahgunaan narkoba, minuman keras dan penyimpangan seksual serta berbagai kejahatan lainnya. Dalam kehidupan seseorang pasti melalui bermacam-macam pengalaman dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat yang lebih luas. Keseluruhan pengalaman ini termasuk di dalamnya segala bentuk pendidikan yang diterima dan pada akhirnya akan mempengaruhi kesadaran moral serta perkembangan keseluruhan kepribadian anak yang lebih dikenal dengan “karakter”. Para pakar pendidikan dan psikologi berpendapat, bahwa karakter dapat dibentuk melalui pendidikan yang sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian seseorang. Tiga lingkungan pendidikan itu adalah: keluarga, sekolah dan masyarakat. a. Pembentukan Karakter Melalui Keluarga Menurut Jafar, Keluarga merupakan kelompok sosial yang terdiri dari ayah, ibu dan anak (nuclear family) atau keluarga inti. Sedangkan satuan keluarga meliputi lebih dari satu generasi dan satu lingkungan kaum keluarga yang lebih luas disebut keluarga luas atau extended family. Pada hakikatnya keluarga merupakan hubungan seketurunan maupun tambahan (adopsi) yang diatur melalui kehidupan pernikahan. Keluarga sebagai kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat. 31
30
H. A. Rahmat Rosyadi, Pendidikan Islam Dalam Pembentukan Karakter Anak Usia Dini (Konsep dan Praktik PAUD Islami), (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), cet. I, h. 15 31 Muhammad Jafar Anwar dan Muhammad A. Salam, Membumikan Pendidikan Karakter: Implementasi Pendidikan Berbobot Nilai dan Moral, (Jakarta, CV. Suri Tatu‟uw, 2015), cet. I, h. 47
23
Dalam
Undang-undang
Nomor
52
Tahun
2009
tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, disebutkan bahwa “keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya”.32 Kedudukan
keluarga
menjadi
perantara
dalam
kehidupan
masyarakat, alat kontrol sekaligus kekuatan sosial. Dalam konteks sosiologis, keluarga sebagai lembaga sosial dengan mengatur interaksi dan komunikasi dengan anggota keluarga lainnya. Nilai yang tumbuh dalam keluarga terkait dengan hak dan kewajiban setiap anggota keluarga. Usaha membahagiakan dan menyelamatkan keluarga dari kehancuran dan keruntuhan sebagai usaha nyata penyelamatan Negara.33 Keluarga memiliki fungsi ganda, baik eknomi, perlindungan, religi, rekreasi, biologis, kasih sayang dan status. Keluarga dapat menjalin komunikasi dialogis yang baik dengan cinta kasih. Hal ini tumbuh atas dasar pernikahan sehingga lahirlah rasa persaudaraan, kebiasaan, identifikasi, persamaan pandangan tentang nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Melalui pernikahan dapat dan akan menumbuhkan kasih sayang yang berakar, membuahkan kesetiaan, sesakit seseorang, serasa dan serasi, seia sekata, saling asah, saing asih dan saling asuh.34 Dalam
konteks
pendidikan
karakter
menurut
Muslich,
menggambarkan bahwa nilai-nilai dasar yang ditanamkan dalam keluarga antara lain: 1) Nilai kerukunan: Kerukunan merupakan salah satu perwujudan budi pekerti. Orang yang memiliki budi pekerti luruh tentu lebih menghargai kerukunan dan kebersamaan dari perpecahan. 2) Nilai ketakwaan dan keimanan: Ketakwaan dan keimanan merupakan pengendali utama budi pekerti. 3) Nilai toleransi: Toleransi adalah mau memperhatikan sesamanya. Dalam keluarga toleransi ini dapat ditanamkan melalui proses saling memperlihatkan dan saling memahami antar anggota keluarga. 32
Rosyadi, op. cit., h. 16 Jafar dan Salam, op. cit., h. 49 34 ibid, h. 61 33
24
4) Nilai kebiasaan sehat: kebiasaan sehat adalah kebiasaan-kebiasaan hidup yang sehat mengarah pada pembangunan diri lebih baik dari sekarang.35 Jadi dapat penulis simpulkan bahwa Pengalaman-pengalaman dan kebiasaan-kebiasaan yang dialami anak dalam keluarga akan menjadi dasar
bagi
pembinaan
moral
dan
akhlaknya,
sehingga
sangat
mempengaruhi dalam penyesuaian dengan norma-norma lingkungan yang luas di luar rumah. Lingkungan keluarga merupakan penghubung pertama dari nilai-nilai perilaku yang terdapat di lingkungan masyarakat. Untuk mendapatkan hasil seperti yang diharapkan, orangtua sebaiknya memerhatikan cara mendidik dan memerhatikan pula ciri-ciri khas dari setiap perkembangan yang dilalui anak, serta melaksanakan sendiri nilainilai agama dalam kehidupan sehari-hari.
b. Pembentukan Karakter Melalui Sekolah Sekolah merupakan salah satu lingkungan sosial yang dibutuhkan anak. Ia berfungsi memperluas kehidupan sosial anak, tempat anak belajar menyesuaikan diri terhadap bermacam-macam situasi. Mengapa sekolah menjadi penting dalam pembentukan karakter anak? Perkembangan moral dan spiritual seseorang berjalan seiring dengan perkembangan kognitifnya. Oleh karena itu, sekolah sebagai wahana pengembangan kognitif anak sangat penting, artinya dalam pembentukan karakter. Dunia sekolah yang sampai saat ini manis menekankan bentukbentuk hafalan sebenarnya kurang mendukung pembentukan karakter. Belajar untuk menerapkan suatu pelajaran akan lebih membekas dalam diri anak, ketimbang kata-kata dan menghafalnya saja.36 Sekolah juga sebaiknya menyediakan pengasuhan dan kasih sayang bagi pertumbuhan moral anak. Orang dewasa lain dapat berperan sebagai sosok yang dapat diandalkan dalam membentuk karakter anak. Orang dewasa lainnya antara lain adalah guru di sekolah. Karakter gguru sering 35
ibid, h. 63 H. A. Rahmat Rosyadi, Pendidikan Islam Dalam Pembentukan Karakter Anak Usia Dini (Konsep dan Praktik PAUD Islami), (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), cet. I, h. 18 36
25
kali menjadi perhatian murid. Perilaku dan sikap guru dalam menciptakan suasana tertentu di dalam kelas dapat mempengaruhi pertumbuhan moral murid. Guru yang memperlihatkan perhatian personal meninggalkan kesan dalam bagi anak didik.37 Selain guru, lingkungan sekolah juga dapat menjadi pengaruh pada pembentukan karakter anak. Anak belajar menerima dan menjalankan aturan atau norma-norma di sekolah. Biasanya seorang anak akan mengaktualisasikan dirinya di antara teman-teman dan gurunya. Kegiatan yang dilakukannya akan lebih banyak ke arah mencoba-coba untuk mencari jati diri. Dengan demikian, lingkungan sekolah adalah tempat pembentukan karakter seseorang yang sifatnya eksploratif. Guru dan teman-teman sangat mempengaruhi perkembangan tingkah laku anak. Pribadi gurulah yang biasanya menjadi tokoh yang ditiru oleh anak karena pribadi guru merupakan pengganti orangtua. Dengan demikian, guru diharapkan sacara langsung agar dapat membimbing dan mengarahkan tingkah laku anak terhadap hal-hal yang terpuji.
c. Pembentukan Karakter Melalui Masyarakat Masyarakat merupakan lingkungan dan lembaga pendidikan ketiga setelah keluarga dan sekolah. Pendidikan masyarakat dimulai sejak anakanak lepas dari asuhan keluarga dan sekolah. Pendidikan masyarakat dilaksanakan tidak begitu terikat dengan peraturan dan syarat tertentu.38 Masyarakat dapat diartikan pula sebagai komunitas yang amat heterogen dengan berbagai aspeknya. Di dalamnya terdapat kegiatan dalam bidang agama, sosial, ekonomi, politik, seni budaya, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya. Semuanya ini merupakan lingkungan yang dapat digunakan kegiatan pendidikan.39
37
H. A. Rahmat Rosyadi, ibid, h. 18 38 Armai Arief dan Busahdiar, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Wahana Kardofa, 2009), Cet. I, h. 134 39 Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 270
26
Di lingkungan masyarakat, sikap anak langsung mengarah pada aspek praktis. Secara otomatis ia akan mempraktikkan nilai-nilai dan norma-norma yang ditanamkan dalam keluarga dan dipelajari di sekolah. Nilai-nilai dan norma-norma masyarakat sekitarnya tentu saja akan berpengaruh pada pembentukan karakternya, melalui kehidupan di masyarakat, anak senantiasa akan mempraktikkan berbagai aspek nilai dan norma yang berlaku.40 Dengan
demikian,
lingkungan
masyarakat
memiliki
peran
pelaksanaan pendidikan. Karena selain hidup di lingkungan keluarga maupun sekolah, anak juga ikut berpartisipasi dalam masyarakat. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa dalam masyarakat terdapat norma dan tata nilai yang harus dipatuhi. Sehingga norma dan tata nilai inilah yang akan mempengaruhi terhadap perkembangan anak. Masyarakat yang peduli akan pendidikan, maka akan membantu terhadap perkembangan pendidikan karakter anak tersebut, tetapi jika lingkungan masyarakat tidak peduli akan pendidikan justru akan menjerumuskan anak kepada hal yang negatif.
B. Hasil Penelitian Relevan Penelitian yang relevan ini disebut juga sebagai tinjauan pustaka. Tinjauan pustaka berfungsi untuk memberikan paparan tentang penelitian sebelumnya yang telah dilakukan. Dengan tinjauan pustaka ini penelitian seseorang dapat diketahui keasliannya dengan cara mempertegas perbedaan dan persamaan diantara masing-masing judul dan masalah yang akan dibahas oleh penulis. Sepanjang sepengetahuan penulis, skripsi yang membahas tentang metode memang sudah sangat banyak sekali. Akan tetapi, yang membahas tentang metode yang terkandung didalam ayat Al-Qur‟an khususnya surat Al-„A‟raf ayat 35-36 baru penulis saja yang mengkajinya secara khusus. Adapun penulis menemukan skripsi yang hampir sama dengan skripsi yang penulis teliti, sebagai berikut: 40
H. A. Rahmat Rosyadi, op., cit, h. 20
27
1.
“Metode Pendidikan Islam Dalam Perspektif al-Qur’an Kajian Surat an-Nahl 125-127”. disusun oleh: Cindi Pratiwi. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2014. Didalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif analisis melalui pure library
research
(penelitian
kepustakaan).
Adapun
analisisnya
menggunakan metode tafsir tahlili. Hasil penelitiannya ditemukan metode pendidikan Islam dalam surat an-Nahl ayat 125-127 yaitu Al-Hikmah, AlMauizah hasanah, Al-Jiddal, Al-Muhtadin, dan Asshobru.41 2.
“Metode Pembelajaran Dalam Al-Qur’an (Kajian Tafsir Surat al-Kahfi ayat 60-82)”. Disusun oleh Ahmad Sajali Yusuf. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2014. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif analisis melalui pure library
research
(penelitian
kepustakaan),
adapun
analisisnya
menggunakan tafsir tahlili. Hasil penelitiannya ditemukan metode pembelajaran dalam al-Qur‟an di dalam surat al-Kahfi ayat 60-82 yaitu metode hiwar, metode tanya jawab, metode kisah, metode latihan/tajribah, metode pemberian hukuman/punishment dan metode pembiasaan.42 Dari kedua penelitian di atas, dapat diambil persamaan dan perbedaan dalam pembuatan skripsi penulis, sebagai berikut: a. Persamaannya: Pertama, kedua skripsi di atas sama-sama fokus pada metode pembelajaran. Kedua, metode penelitian menggunakan metode kualitatif. Ketiga. Kedua skripsi di atas sama-sama membahas tentang metode pembelajaran dalam al-Qur‟an. Keempat, metode tafsir yang digunakan dalam kedua skripsi di atas menggunakan metode tafsir tahlili.
41
Cindi Pratiwi, “Metode Pendidikan Islam Dalam Perspektif Al-Qur‟an Kajian Surat anNahl ayat 125-127,” Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: UIN Jakarta, 2014), tidak dipublikasikan. 42 Ahmad Sajali Yusuf, “Metode Pembelajaran Dalam al-Qur‟an (Kajian Tafsir Surat AlKahfi ayat 60-82,” Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: UIN Jakarta, 2014), tidak dipublikasikan.
28
b.
Perbedaan skripsi yang pertama fokus meneliti metode pendidikan Islam dalam perspektif al-Qur‟an kajian surat an-Nahl ayat 125-127. Kemudian skripsi yang kedua fokus meneliti metode pembelajaran dalam al-Qur‟an (kajian Tafsir surat al-Kahfi ayat 60-82) yang tujuan penelitian tersebut untuk mengetahui metode belajar yang dipraktikkan oleh Nabi Khidir kepada Nabi Musa. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah fokus meneliti metode pendidikan karakter yang terkandung dalam surat al-A‟raf ayat 35-36. Dengan menggunakan metode tafsir tahlili.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah mengenai kajian tentang tafsir surat Al-„A‟raf ayat 35-36. Adapun waktu penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu selama satu semester terhitung dari bulan Mei 2016.
B. Metode Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriprif analisis yang menggunakan tehnik analisis kajian melalui studi kepustakaan (Library Research). Karena penelitian ini merupakan library research, maka sumber data pada penelitian ini adalah literatur-literatur yang berkaitan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Maman, “sumber data penelitian kualitatif ialah tindakan dan perkataan manusia dalam suatu latar yang bersifat alamiah. Sumber data lainnya ialah bahan-bahan pustaka, seperti: dokumen, arsip, koran, majalah, jurnal ilmiah, buku, laporan tahunan dan lain sebagainya”.1
C. Fokus Penelitian Menurut Sugiyono, “batasan masalah dalam penelitian kualitatif disebut dengan fokus, yang berisi fokus masalah yang masih bersifat umum”.2 Dengan melihat pendapat Sugiyono, maka penulis mencantumkan apa yang ada dalam batasan masalah menjadi fokus penelitian dalam penulisan ini, yaitu mengenai tafsir surat Al-„A‟raf ayat 35-36.
1
U. Maman Kh, dkk., Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktek, (Jakarta: Raja Grafindo Persada Press, 2006), h. 80 2 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mixed Methods), (Bandung: Alfabeta, 2011), h.287
29
30
Jadi, dalam penelitian ini penulis bermaksud mengkaji tentang tafsir surat Al-„A‟raf ayat 35-36 dan mengkaji tentang metode pendidikan karakter yang terdapat dalam ayat tersebut, serta mencari data-data dan sumber yang membahas mengenai ayat tersebut.
D. Prosedur Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengambil data dari beberapa sumber buku yang berhubungan dan erat kaitannya dengan pembahasanan yang akan penulis bahas yang disebut dengan istilah “library research (Penelitian Kepustakaan)” yakni penambilan data dari buku-buku atau karya ilmiah yan berkaitan dengan masalah yang akan dibahas baik berupa tafsir, Al-Qur‟an, pendidikan dan akhlak. Sedangkan dalam pembahasan menggunakan metode deskriptif analisis. Maka prosedur penelitian tafsir surat Al-„A‟raf ayat 35-36 adalah sebagai berikut: 1. Pengumpulan Data Dalam skripsi ini penulis mengumpulkan data dari buku-buku atau sumber, yang terdiri dari sumber primer (Sumber Pokok) dan sumber sekunder (Sumber Pendukung), yaitu dengan sumber primer sebagai berikut: a. Al-Qur‟an dan Terjemahnya b. Kitab-kitab Tafsir, baik karya ulama klasik maupun ulama modern terutama kitab Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab.. Adapun sumber sekunder sebagai berikut: a. Tafsir yang berkaitan dengan pembahasan. b. Buku-buku
yang
berkaitan
dengan
Al-Qur‟an,
metode
pendidikan, dan pendidikan karakter. c. Kamus-kamus yang relevan dengan pembahasan. d. Dan literatur lain yang dianggap relevan dengan pembahasan.
31
2. Analisis Data Dalam skripsi ini penulis menganalisis data dengan menggunakan metode deskriptif analisis yaitu dengan mengumpulkan data secara sistematis
dan
konsisten,
kemudian
menganalisis,
menyeleksi,
menarasikan untuk diambil penarikan kesimpulan. Dan dalam penafsiran ini menggunakan metode tahlili (analisis) yaitu suatu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan ayat-ayat alQur‟an, ayat demi ayat, sesuai dengan urutan dalam mushaf Utsmani.3 Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh oleh seorang mufassir dalam menyusun suatu karya tafsir berdasarkan metode tahlili di antaranya: a. Menguraikan kata-kata dan lafadz. b. Menjelaskan arti yang terkandung dalam ayat tersebut. c. Menguraikan kandungan ayat secara umum dan maksudnya. d. Menjelaskan balaghah dan keindahan susunan kalimat. e. Merumuskan dan menggali hukum-hukum yang terkandung dalam ayat tersebut. f. Serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan sesudahnya.4 3. Penarikan kesimpulan Setelah penulis mengumpulkan bahan-bahan yang berhubungan dengan masalah yang akan di bahas dalam skripsi ini, kemudian penulis menganalisis dan menarasikan untuk diambil kesimpulan.
3
M. Ali. Hasan, Studi Islam: Al-Qur’an dan Sunnah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), Cet. I, h. 215 4 Ibid, h. 216
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kajian Tafsir Surat al-A’raf Ayat 35-36 1. Teks dan Terjemah Surat al-A’raf Ayat 35-36
35. Hai anak-anak Adam, jika datang kepadamu Rasul-rasul daripada kamu yang menceritakan kepadamu ayat-ayat-Ku, Maka Barangsiapa yang bertakwa dan Mengadakan perbaikan, tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. 36. dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, mereka itu penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
2. Sejarah Surat al-A’raf Surah al-A‟raf yang berjumlah 206 ayat termasuk golongan surah Makiyyah, diturunkan sebelum surah al-An‟am dan termasuk golongan surah as-sab‟ut-tiwal (tujuh surah yan panjang). Dinamakan Al-A‟raf karena perkataan al-A‟raf terdapat dalam ayat 46 yang menemukakan tentang keadaan orang-orang yang berada di atas al-A‟raf, yaitu: tempat yang tertinggi di batas surga dan neraka.1 Surah ini juga yang memperkenalkannya dengan nama Alif-Lam-Shad karena ia merupakan ayatnya yang pertama. Meski demikian, kita tidak dapat
1
Ahsin Sakho Muhammad, Sejarah Qur‟an, Jilid III. (Jakarta: PT. Rehal Publika, 2008), Cet. 1,
h. 8
33
34
menganggap huruf-huruf tersebut atau selainnya yang terdapat pada awal sekian surah al-Qur‟an sebagai nama-nama surah itu.2 Tujuan utama surah ini adalah peringatan serta ancaman siksa duniawi dan ukhrawi terhadap yang berpaling dari ajakan para nabi, yakni kepercayaan tauhid, keniscayaan Hari Kiamat, kebajikan dan kesetiaan sebagaimana terinci pada surah sebelumnya, yakni surah al-An‟am.3 Pokok-pokok isinya, sebagai berikut:4 a. Keimanan: mengesakan (tauhid) Allah baik dalam berdoa maupun ketika beribadah hanya Allah sendiri yang mengatur dan menjaga alam, menciptakan undang-undang dan hukum-hukum, mengatur kehidupan manusia di dunia dan di akhirat; Allah bersemayam di atas „Arsy; bantahan terhadap kebenaran syirik; ketauhidan adalah sesuai dengan fitrah manusia; Musa berbicara dengan Allah; tentang melihat Allah; perintah beribadah sambil merendahkan diri kepada Allah; dan al-asma‟ul husna. b. Hukum: larangan mengikuti perbuatan dan adat istiadat yang buruk; kewajiban mengikuti Allah dan Rasul, perintah memakai pakaian yang baik waktu salat; bantahan terhadap orang yang mengharamkan perbuatan yang dikaruniakan Allah; perintah makan-makanan yang halal dan baik dan larangan larangan makan yang sebaliknya. c. Kisah-kisah: kisah Nabi Adam dengan Iblis; kisah Nabi Nuh dan kaumnya; kisah Nabi Saleh dengan kaumnya; kisah Nabi Syu‟aib dengan kaumnya; kisah Nabi Musa dengan Fir‟aun. d. Lain-lain: al-Qur‟an diturunkan kepada Nabi yang terakhir berisi perintah untuk mengikuti petunjuknya; Nabi Muhammad SAW, diutus kepada semua umat manusia; adab-adab orang mukmin; adab mendengarkan al-Qur‟an ketika dibaca dan berzikir; Rasul bertanggung jawab menyampaikan seruan Allah; balasan terhadap orang yang mengikuti Rasul; Dakwah Rasul yang
2
ibid, 405 M. Quraish Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya (Asbabun Nuzul, Makna dan Tujuan Surah, Pedoman Tajwid), (Jakarta: Lentera Hati, 2010), Cet. I, h. 98 4 Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Jilid III. (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), h. 288 3
35
utama dan pertama kali ialah mengesakan Allah; tentang ashabul a‟raf yang berada antara surga dan neraka; Allah pencipta manusia, makhluk terbaik yang mempunyai potensi untuk menjadi baik atau buruk; permusuhan setan terhadap anak cucu Adam; manusia khalifah Allah di bumi; kehancuran suatu kaum adalah karena perbuatan mereka sendiri; tiap-tiap bangsa mempunyai masa jaya dan masa kehancuran; Allah menguji manusia dengan kekayaan dan kemiskinan; Allah menarik orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya dengan berangsur-angsur ke arah kebinasaan. Dengan demikian, Tujuan utama surah ini adalah peringatan serta ancaman siksa duniawi dan adzab ukhrawi terhadap yang berpaling dari ajakan para Nabi, yakni kepercayaan tauhid, keniscayaan Hari Kiamat, kebajikan, dan kesetiaan, sebagaimana terinci pada surah sebelumnya, yakni surah al-An‟am.5 3. Kosa Kata pada Surat al-A’raf Ayat 35-36 terdiri dari in syartiyah (ْ )اِنyang berarti “jika” dan ma zaidah ( )مَاyang berfungsi menguatkan pengandaian itu. Pengandaian ini digunakan karena ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya ditujukan kepada putra-putri Adam as. sejak putra pertama hingga putra terakhir. Tentu saja pada awal masa itu, rasul-rasul belum lagi berdatangan., karena itu sangat wajar ayat ini menggunakan kata ( ) “jika”. Di sisi lain pengandaian ini mengisyaratkan bahwa mengutus rasul-rasul kepada umat manusia adalah anugerah Allah semata-mata. Dia tidak wajib melakukannya.6 Kata (ٌ ) ُرسُمjamak dari (ٌسوْل ُ ) َرyang berarti utusan. ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud “rusulun” pada ayat ini adalah nabi Muhammad saw. Sendiri. Tetapi pendapat tersebut tidak kuat, apalagi kata tersebut berbentuk jamak. Memang, ada yang berpendapat bahwa bentuk jamak itu dipilih sebagai penghormatan kepada beliau selaku rasul terakhir, atau bahwa 5
M. Quraish Shihab, Al-Lubab: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-surah Al-Qur‟an, (Tangerang: Lentera Hati, 2012), h. 406 6 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Vol. 5, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Cet. I, h. 84
36
mengingkari seorang rasul sama dengan mengingkari semuanya dan sebaliknya
percaya
kepada
nabi
Muhammad
saw.
sama
dengan
mempercayai seluruh rasul karena beliau mengajarkan bahwa setiap pengikutnya harus mempercayai semua urusan Allah, tidak membedakan dalam hal kepercayaan seorang rasul dengan yang lain.7 ) “menyombongkan diri” mengisyaratkan bahwa ada
Kata
orang-orang yang menolak ayat-ayat Allah karena tidak mengetahuinya, atau ada dalih yang menghambat pembenarannya. Mereka tidak termasuk dalam kelompok yang diancam dengan kekekalan di neraka. Memang boleh jadi dia disiksa tetapi tidak kekal.8 Maksud dari lafazh ( )ءَايَتِىadalah kewajiban dan hukum yang telah Aku (Allah) tetapkan.9 Kata (ْ“ )مِنْكُمDaripada kamu.” Maksudnya dari kalanganmu sendiri dan dari kabilah-kabilahmu.10 “Dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” Maksudnya yaitu atas apa yang tidak mereka dapatkan dari dunia yang telah mereka tinggalkan dan hawa nafsu yang mereka hindari, karena mengikuti larangan Allah ketika mereka melihat anugerah Allah padanya.11
4. Munasabah Ayat Ayat 35 dan 36 ini masih satu kelompok dengan ayat-ayat sebelumnya. Kelompok ayat ini ditujukan kepada putra-putri Adam as. Dan telah dijelaskan tentang ke mana dan apa yang dihadapi oleh ayah dan ibu seluruh manusia, telah pula dijelaskan penyebab mereka turun ke bumi dan apa yang harus 7
mereka
perbuat
khususnya
menyangkut
penyebab
yang
ibid, h. 84 Ibid, h.011 9 Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, terj. dari Al Jami‟ li Ahkaam Al-Qur‟an oleh Sudi Rosadi, Fathurrahman, Ahmad Hotib, jilid VII, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 481 10 Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Terj. Abdul Somad, jilid. 11 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 51 11 Ibid, h. 51 8
37
mengakibatkan mereka terpaksa turun ke bumi, yaitu mengikuti setan dan membuka aurat. Kini, melalui ayat ini, putra putri Adam as. Diberi nasihat umum: Hai anak-anak Adam, jika satu ketika datang kepada kamu dari Allah swt. rasul-rasul yang dipilih-Nya dari jenis kamu agar mereka lebih akrab dengan kamu dan kamu pun lebih akrab dengan mereka. Mereka itu ditugaskan antara lain untuk mengisahkan, yakni menyampaikan dan menjelaskan dari saat ke saat dalam bentuk berkesinambungan, rasul demi rasul hingga akhir seluruh rasul, masing-masing menyampaikan kepada kamu ayat-ayat-Ku dan tidak berbeda penyampaian mereka dalam bidang prinsip ajaran, maka yakini dan ikutilah mereka, niscaya kamu dinilai bertakwa dan barang siapa yang bertakwa, yakni berupaya menghindar dari siksa Allah dengan percaya kepada mereka dan berbuat baik terhadap diri dan lingkungan mereka dengan meneladani para rasul itu, maka tidaklah ada kekhawatiran atas mereka, yakni yang menyelubungi hati mereka, dan tidak pula mereka akan bersedih hati. Yakni, tidak ada sama sekali bentuk apapun dari ketakutan dan kesedihan yang sanksi dan siksa atas mereka –bukan semua jenis ketakutan- karenatakut adalah naluri manusia. Dan adapun orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, yakni menyombongkan diri terhadapa, mereka itu penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di
dalamnya.12 Lebih luas lagi menurut Ahmad Musthafa Al-Maragi mengatakan bahwa setelah Allah swt. menyebutkan bahwa setiap umat mempunyai ajal yang tak bisa mereka langgar. Maka Dia menceritakan pada ayat-ayat ini prinsip-prinsip agama yang telah Dia katakan dan jelaskan kepada setiap umat melalui rasul mereka. Yaitu prinsip-prinsip agama yang Dia syariatkan untuk memberi petunjuk kepada umat, menyempurnakan fitrah mereka dan memberitahukan bahwa kalau mereka patuh dengan cara bertakwa kepada Allah tentang apa saja yang mereka lakukan, dan mereka meninggalkan kejahatan dan memperbaiki perbuatan-perbuatan mereka, maka di akhirat mereka takkan mengalami ketakutan dan kesedihan. Dan jika mereka 12
M. Quraish Shihab, Op. Cit., h. 98
38
durhaka, bersikap sombong dan mendustakan rasul-rasul, maka akibatnya mereka mendapat neraka sebagai tempat tinggal yang paling buruk.13 5. Tafsir Surat al-A’raf Ayat 35-36 Ayat 35
Hai Bani Adam (manusia), jika datang kepadamu Rasul-rasul dari anak keturunan bangsamu sendiri, yakni dari sesama anak manusia yang menceritakan kepadamu ayat-ayat-Ku yang telah Aku turunkan kepadamu untuk menerangkan amal-amal saleh yang Aku perintahkan kepadamu, dan supaya meninggalkan kemusyrikan, kehinaan dan amal-amal buruk yang Aku larang, maka barangsiapa yang bertakwa di antara kamu terhadap apa yang Aku larang, lalu memperbaiki diri dengan apa yang Aku wajibkan, maka tiadalah ada rasa takut padanya terhadap siksa akhirat, dan mereka pun tidak mengalami kesulitan pada saat diberikan balasan atau atas apa yang pernah mereka lakukan.14 Setelah Allah swt. menyebutkan bahwa setiap umat mempunyai ajal yang tak bisa mereka langgar. Maka Dia menceritakan pada ayat-ayat ini prinsip-psinsip agama yang telah Dia katakan dan jelaskan kepada setiap umat melalui Rasul mereka. Yaitu prinsip-prinsip agama yang Dia syariatkan untuk memberi petunjuk kepada umat, menyempurnakan fitrah mereka dan memberitahukan bahwa kalau mereka patuh dengan cara bertakwa kepada Allah dan memperbaiki perbuatan-perbuatan mereka, maka di akhirat mereka takkan mengalami ketakutan atau kesedihan.15 Adapun hikmah dijadikannya Rasul dari kalangan anak Adam sendiri, karena hal itu lebih tepat dalam menolak alasan mereka, dan lebih nyata 13
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, terj. dari Tafsir Al-Maragi oleh Bahrun Abu Bakar, dkk, jilid 7,8,9, (Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1992), Cet. 2, h. 253 14 Ibid, h. 254 15 Ibid, h. 253
39
dalam mengalahkan dalil mereka. Sebab kenalnya mereka akan tingkah laku Rasul itu menerangkan bahwa mu‟jizat yang tampak pada kedua tangannya, tak lain hanyalah karena kekuasaan Allah, bukan karena kekuasaan dia untuk menciptakan keintiman yang diakibatkan oleh mu;jizat tersebut. Sebab orang yang sejenis akan intim dengan sesamanya, dan cenderung kepadanya. Oleh karena itulah Allah Ta‟ala berfirman: “Dan kalau Kami jadikan Rasul itu seorang malaikat, tentulah Kami jadikan dia berupa seorang laki-laki.” (al-An‟am, 6:9) Sedangkan menurut Abu Ja‟far dalam tafsirnya mengatakan: Allah swt berfirman sebagai pemberitahuan kepada makhluk-makhluk-Nya tentang apa yang telah Dia siapkan untuk golongan-Nya dan Rasul-Nya, dan apa yang telah Dia siapkan untuk golongan syetan berikut pembantupembantunya yang kafir kepada-Nya dan Rasul-Nya.16 “Hai anak-anak Adam, jika kepadamu rasulrasul daripada kamu.” Dia berfirman, “Jika datang kepada kamu rasulrasul-Ku yang Aku utus mereka kepadamu untuk mengajakmu menaati-Ku dan berserah kepada perintah dan larangan-Ku.” “Daripada kamu.” Maksudnya dari kalanganmu sendiri dan dari kabilah-kabilahmu. “Yang menceritakan kepadamu ayat-ayat-ku.” Dia berfirman, “Membacakanmu ayat-ayat dari kitab-Ku dan memberitahumu dalil-dalil serta tanda-tanda kebenaran yang mereka bawa kepadamu dari sisi-Ku, hakikat dari apa yang mereka dakwahkan kepadamu, yaitu pengesaan terhadap-Ku.” “Maka barangsiapa yang bertakwa dan mengadakan perbaikan.”Dia Berfirman, “Seseorang diantaramu yang beriman kepada
16
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Terj. Abdul Somad, jilid. 11 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 50
40
apa yang dibawa oleh rasul-rasul-Ku dari apa yang mereka ceritakan dari ayat-ayat-Ku, dan percaya serta bertakwa kepada Allah, lalu takut kepadaNya dengan mengamalkan apa yang diperintahkan-Nya dan berhenti dari apa yang dilarang-Nya melalui lidah Rasul-Nya. “Dan
mengadakan
perbaikan.”
Dia
berfirman,
“Juga
memperbaiki amal-amalnya yang sebelumnya rusak karena berbuat maksiat kepada Allah dengan cara berhenti dari berbuat maksiat.” “Tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka.” Dia berfirman, “Maka pada Hari Kiamat kelak taka da ketakutan atas mereka terhadap siksaan Allah ketika mereka datang kepada-Nya.” “Dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” Maksudnya yaitu atas apa yang tidak mereka dapatkan dari dunia yang telah mereka tinggalkan dan hawa nafsu yang mereka hindari, karena mengikuti larangan Allah ketika mereka melihat anugerah Allah padanya. Singkatnya ayat ini berisi tentang kedatangan rasul-rasul itu diutus Allah kepada tiap-tiap umat pada masa yang telah ditentukan Allah. Mereka itu adalah manusia-manusia, bukan makhluk lain. Tugas mereka menyampaikan ayat-ayat Allah yang merupakan wahyu, menjelaskan mana yang halal dan mana yang haram, mana yang baik dan mana yang bathil. Disampaikannya kepada manusia, supaya manusia itu jangan sesat jalannya, menyimpang dari jalan yang benar. Dibacakannya ayat-ayat Allah agar jelas mana yang diperintahkan dan mana yang dilarang. Yang diperintahkan untuk dapat dikerjakan dan diamalkan dan yang dilarang untuk dijauhi dan dihindarkan. Maka orang-orang yang patuh dan taat terhadap ajaran yang dibawa Rasul-rasul itu, bertakwa kepada Allah dan senantiasa memperbaiki dirinya serta mengerjakan amal-amal saleh, orang-orang itu akan berbahagia dan gembira. Tidak ada baginya rasa takut dan sedih, baik ketika hidup di dunia ataupun di akhirat kelak. Hidup berbahagia dan gembira adalah
41
merupakan karunia Allah yang sangat berharga. Lebih berharga dari harta dan kekayaan yang bertumpuk-tumpuk.17
Ayat 36 (
)
Al-Istikbaru „an Qobulil Ayati (sombong dari menerima ayat), maksudnya menolak ayat-ayat dengan sikap sombong dank eras kepala terhadap orang yang membawakannya, sebagaimana yang terjadi pada pemimpin Quraisy ketika mereka bersikap sombong dan tak mau menerima kehadiran Muhammad saw. sebagai pemuka mereka. Sebab mereka memandang diri mereka lebih banyak harta dan pengikutnya.18 Maksud ayat di atas, sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami yang telah diturunkan pada salah seorang Rasul Kami, dan mereka bersikap sombong untuk mengikuti orang yang mendatangkan ayatayat itu karena dengki kepadanya atas kepemimpinannya, dan menganggap diri mereka lebih utama dari padanya, mereka itulah para penghuni neraka. Mereka kekal di sana untuk selama-lamanya.19 Abu Ja‟far juga mengatakatan: Allah swt berfirman, “Adapun orang yang mendustakan berita-berita para Rasul yang Aku utus kepada mereka, tidak mau mengesakan Aku serta kafir terhadap apa yang dibawa Rasulrasul-Ku, maka mereka itu,
“Penghuni-penghuni neraka”. Siapa
yang mengatakan hal tersebut maka termasuk penghuni neraka Jahanam yang sebenarnya. Mereka memang pantas menghuninya. “Mereka kekal di dalamnya”. Mereka akan tinggal di dalam neraka jahanam dan tidak akan keluar darinya untuk selama-lamanya.”
17
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1995), h. 407 18 Ahmad Mustafa Al-Maragi, Op Cit., h. 255 19 Ibid, h. 255
42
B. Hasil Temuan Metode Pendidikan Karakter Surat al-A’raf ayat 35-36 Dalam pendidikan metode sangat diperlukan, sebab dapat berpengaruh dalam mencapai keberhasilan pembelajaran. Dengan metode, pembelajaran akan berlangsung dengan mudah dan menyenangkan. Oleh karena itu, disetiap pembelajaran sangat dibutuhkan metode yang tepat, supaya pembelajaran tidak terkesan menjenuhkan dan membosankan.20 Metode sebagaimana yang kita ketahui merupakan suatu cara, jalan, atau sarana dalam membantu kelancaran proses belajar mengajar di kelas, hal ini yang memperkuat penggunaan metode dalam pembeajaran di kelas. Seperti yang terdapat di dalam al-Qur‟an surat alA‟raf ayat 35-36 menjelaskan beberapa metode menarik untuk pengajaran di kelas, yakni metode cerita, metode remedial teaching, dan metode targhib dan tarhib. 1. Metode Cerita a. Pengertian Cerita Terkait metode ini setelah penulis telusuri bahwa pada ayat 35 Surat al-A‟raf terdapat potongan ayat mengandung metode cerita, yaitu . Dalam tafsir ath-Thabari potongan ayat tersebut dijelaskan bahwa Dia berfirman: “Membancakanmu ayat-ayat dari kitab-Ku dan memberitahukanmu dalil-dalil sserta tanda-tanda kebenaran yang mereka bawa kepadamu dari sisi-Ku, hakikat dari apa yang mereka dakwahkan kepadamu, yaitu pengesaan terhadap-Ku”.21 Jadi, Sebagaimana yang diuraikan,
jika
diaplikasikan
pada
pendidikan,
bahwa
ayat
ini
menunjukkan sebuah adanya metode pembelajaran yakni metode cerita. Berikut ini akan penulis paparkan beberapa definisi tentang metode cerita, sebagai berikut: Cerita merupakan salah satu bentuk sastra yang memiliki keindahan dan kenikmatan tersendiri. Akan menyenangkan bagi anak-anak maupun 20
Muhammad Fadhillah, Desain Pembelajaran, (Jogyakarta: Ae-Ruzz media, 2012), h. 61 Abu ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Terj. Abdul Somad, jilid.11, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 51 21
43
orang dewasa, jika pengarang, pendongeng dan menyimaknya sama-sama baik. Cerita salah satu bentuk sastra yang bisa dibaca atau hanya didengar oleh orang yang tidak membaca.22 Metode cerita atau kisah adalah mendidik dengan cara menyampaikan kisah agar pendengar dan pembaca meniru yang baik dan meninggalkan yang buruk, serta agar pembaca beriman dan beramal saleh.23 Lebih lanjut Abuddin Nata menjelaskan bahwa kisah atau cerita sebagai suatu metode pendidikan ternyata mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan. Islam menyadari sifat ilmiah manusia untuk menyenangi cerita itu, dan menyadari pengaruhnya yang besar terhadap perasaan. Oleh karena itu, Islam mengeksploitasikan cerita itu untuk dijadikan salah satu teknik pendidikan.24 Sedangkan menurut Muhammad Utsman Najati menjelaskan bahwa cerita
adalah
sarana
penting
yang
digunakan
al-Qur‟an
untuk
membangkitkan motivasi belajar. Ia mempunyai pengaruh yang bersifat mendidik, karena sejak dulu para pendidik mempergunakannya sebagai sarana untuk mengajarkan akhlak baik, nilai agama, dan etika dengan cara yang ringan dan menyenangkan, sehingga akal dan jiwa bisa mendapatkan hikmah, nasihat, pelajaran serta keteladanan.25 Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa bercerita merupakan penyampaian materi pelajaran dengan cara menceritakan kronologis terjadinya sebuah peristiwa baik benar atau fiktif semata serta memberikan efek positif pada perubahan sikap dan perbaikan niat atau motivasi seseorang. Kisah merupakan sarana yang mudah untuk mendidik manusia. Model ini sangat banyak dijumpai dalam al-Qur‟an. Bahkan kisah-kisah dalam alQur‟an sudah menjadi kisah-kisah popular dalam dunia pendidikan. Kisah 22
Abdul Aziz, Abdul Majid, Mendidik Dengan Cerita, (Bandung: PT Remaja RosdaKarya, 2008), h. 8 23 Departemen Agama RI, Op. cit., h. 109 24 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), Cet. I, h. 149 25 Muhammad Utsman Najati, Psikologi Qurani, (Bandung: MARJA, 2010), h. 155
44
yang diungkapkan dalam al-Qur‟an ini mengiringi berbagai aspek pendidikan yang dibutuhkan manusia. Diantaranya adalah aspek akhlak. Al-Qur‟an menegaskan pentingnya metode kisah ini dalam Surat Yusuf ayat 111, “sesungguhnya pada kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal”. Al-Thabari menafsirkan ayat ini yang berkenaan dengan kisah Nabi Yusuf, bahwa terdapat pelajaran („Ibrah), dalam kisah Nabi Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang mempunyai akal sekaligus sebagai nasihat bagi mereka.26 Ahmad Tafsir, dalam bukunya yang berjudul “Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam” mengatakan bahwa cerita merupakan metode amat penting, alasannya sebagai berikut:27 1) Kisah selalu memikat karena mengandung pembaca atau pendengar untuk mengikuti peristiwanya, merenungkan maknanya. 2) Kisah Qurani dan Nabawi dapat menyentuh hati menusia karena kisah itu menampilkan tokoh dalam konteksnya yang menyeluruh. 3) Kisah
Qurani
mendidik
perasaan
keimanan
dengan
cara:
membangkitkan berbagai perasaan seperti khauf, rida, dan cinta. Metode cerita atau kisah diisyaratkan dalam al-Qur‟an Surat Yusuf ayat 111: “Sesungguhnya di dakam kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur‟an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum beriman”. (QS. Yusuf:111).28 26
Jejen Musfah, “Metode Pendidikan dalam Perspektif Islam”, TAHDZIB Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol.3, 2009, h. 109 27 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), Cet. I, h. 109 28 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), h. 248
45
“Sesungguhnya di dalam kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal”. Qassa al-khabara berarti menyampaikan berita dalam bentuk yang sebenarnya. Kata ini diambil dari perkataan qassa al-asara wa iqtasahu yang berarti menuturkan cerita secara lengkap dan benar-benar mengetahuinya. Dalam kisah Yusuf as beserta kedua orangtua dan saudara-saudaranya, terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal benar dan berpikiran tajam, karena merekalah orang-orang yang oleh pendahulunya. Sedang orang-orang yang terpedaya dan lengah, tidak mempergunakan akalnya untuk mencari dalil-dalil, sehingga nasehat-nasehat tidak berguna bagi mereka. Letak pengambilan pelajaran dari kisah ini ialah: Allah telah kuasa untuk menyelamatkan Yusuf setelah dilemparkan ke dalam sumur, mengangkat kedudukannya setelah dipenjarakan, menjadikannya berkuasa di Mesir setelah dijual dengan harga yang sangat murah, mengokohkan kedudukannya di muka bumi setelah lama ditawan, memenangkannya atas saudara-saudaranya
yang
berbuat
jabat
terhadapnya,
menyatukan
kekuatannya dengan mengumpulkan kedua orang tua dan saudarasaudaranya setelah perpisahan yang sekian lama, dan mendatangkan mereka dari belahan bumi yang sangat jauh. Sesungguhnya Allah yang telah kuasa untuk melakukan itu terhadap Yusuf, kuasa pula untuk menjayakan
Muhammad
saw
meninggikan
kalimat-Nya,
dan
menampakkan agama-Nya. Maka, Dia mengeluarkan dari tengah-tengah kalian, mengokohkannya di dalam negeri, dan menguatkannya dengan bala tentara, dan para pembesar, pengikut serta penolong, meski dia melalui berbagai rintangan dan peristiwa berat.” Kisah-kisah yang disampaikan al-Qur‟an memiliki ciri tersendiri, yaitu diungkapkan dengan bahasa yang indah, fasih penjelasannya dan
46
ringkas ungkapannya sehingga menyentuh perasaan dan emosi serta lebih dekat pada pemuasan akal dan pembenaran hati.29 Adapun kegiatan bercerita merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk
memberikan
pengalaman
belajar
agar
siswa
memperoleh
penguasaan isi cerita yang disampaikan lebih bak. Melalui cerita siswa dapat menyerap pesan-pesan yang dituturkan melalui kegiatan bercerita. Penuturan cerita yang sarat informasi atau nilai-nilai itu dihayati siswa dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.30 Dalam mengaplikasikan metode ini pada proses belajar mengajar, metode kisah merupakan salah satu metode pendidikan yang manshur dan terbaik, sebab kisah itu mampu menyentuh jiwa jika didasari oleh ketulusan hati yang mendalam. Kemashuran dan kebaikan metode ini dapat dilihat dari perkembangan penggunaannya oleh para pujangga India, Persia dan Yunani sejak zaman dulu.31 Metode ini sangat efektif digunakan dalam menyampaikan ajaranajaran tentang karakter atau akhlak dan keimanan. Penggunaan metode kisah sangat penting diajarkan pada peserta didik. Karena kisah-kisah tersebut mempunyai pengaruh yang sangat besar. Misalnya saja tentang kisah Nabi Yusuf as, dari situ bisa diambil tentang sifat-sifat Nabi Yusuf as yang patut diteladani dan dicontoh dalam kehidupan sehari-hari. Metode cerita sangat bermanfaat sekali guna memberikan saran atau ajakan untuk berbuat kebaikan. Metode kisah ini juga mengajarkan peserta didik untuk meneladani dan meniru segara perbuatan terpuji yang dimiliki oleh
tokoh-tokoh
Islami
yang
menjadi
peraturan.
Dengan
mempraktikkannya dan sehingga dapat membina sebuah karakter atau akhlak. Memberikan contoh yang baik kepada peserta didik, bisa juga melalui profil atau sikap dan tingkah laku pendidik yang baik diharapkan 29
Ibid, h. 155 Moeslichatoen, Metode Pengajaran di Taman Kanak-kanak, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), h. 170 31 Armai Arif, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 160 30
47
peserta didik menirunya, tanpa pendidik memberikan contoh pembinaan karakter, maka akan sulit sekali dicapai.
b. Teknik dan Jenis Cerita Teknik yang dilakukan dengan cara bercerita, mengungkapkan peristiwa-peristiwa bersejarah yang mengandung nilai pendidikan moral, rohani dan sosial bagi seluruh umat manusia di segala tempat dan zaman. Baik yang mengenai kisah yang bersifat kebaikan, maupun kezaliman atas juga ketimpangannya jasmani dan rohani, material dan spiritual yang dapat melumpuhkan semangat umat manusia. Teknik ini sangat efektif sekali, terutama untuk materi sejarah (siroh), kultur Islam dan terlebih lagi sasarannya untuk anak didik yang masih dalam perkembangan “fantastis”. Dengan mendengarkan suatu kisah, kepekaan jiwa dan perasaan anak didik dapat tergugah, meniru figur yang baik yang berguna bagi kemashlahatan umat, dan membenci terhadap seseorang yang zalim. Jadi, dengan memberikan stimulasi kepada anak didik dengan cerita itu, secara otomatis mendorong anak didik untuk berbuat kebajiakan dan dapat membentuk karakter atau akhlak yang mulia, serta dapat membina rohani.32 Ada beberapa macam teknik bercerita yang dapat dipergunakan antara lain: 1) 2) 3) 4) 5) 6)
32
Membaca langsung dari buku cerita Bercerita dengan menggunakan ilustrasi gambar dari buku Menceritakan dongeng Bercerita dengan menggunakan papan flanel Bercerita dengan menggunakan boneka Bercerita sambil memainkan jari-jari tangan
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 258
48
Adapun jenis carita menurut materi yang disampaikan kepada siswadapat dikategorikan dalam beberapa macam, di antaranya: a) Cerita para Nabi Materi cerita berisi kisah-kisah 25 Nabi utusan Allah, mulai dari kelahiran, perjuangan dalan tugas, sampai wafatnya. Materi cerita ini hendaknya menjadi materi utama yang disampaikan kepada siswa. Dalam cerita ini, pembawa cerita dapat sekaligus mengajarkan nilainilai akidah dan akhlakul karimah kepada siswa. Misalnya, kisah tentang dua anak Adam yang saling bermusuhan dan mendengki di antara yang dikisahkan dalam Surat al-Maidah, sedang salah seorang dari mereka ada yang berwatak luas dada dan kasih sayang, jelas dimaksudkan dalam contoh teladan tentang perlunya pembinaan akhlak dan mampu hidup bergotong royong dalam masyarakat.33 Firman Allah tentang hal ini adalah sebagai berikut:
“Ceritakanlah kepada mereka tentang kisah kedua putra Adam (Habil dan
Qobil)
menurut
yang
sebenarnya
maka
keduanya
mempersekutukan kurban, maka diterima salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan diterima dari yang lain (Qobil): “Aku pasti akan membunuhmu.” Habil berkata: “Sesungguhnya Allah menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Maidah:27) b) Cerita para sahabat, ulama, dan orang-orang saleh Materi cerita berisi kisah-kisah para sahabat, ulama, dan orangorang saleh yang dapat dijadikan suri tauladan untuk lebih meningkatkan ketakwaan dan keimanan serta akhlakul karimah. Seperti: cerita Khulafaur Rasyidin dan Walisongo. 33
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), Cet. I, h. 72
49
Tertib merupakan prasyarat tercapainya tujuan bercerita. Suasana tertib harus diciptakan sebelum dan selama anak-anak mendengarkan cerita. Tata tertib cerita, sebelum bercerita pendidik menyampaikan atauran selama mendengarkan cerita, misalnya: tidak boleh berjalan-jalan, tidak boleh menebak/komentari cerita, tidak boleh ngobrol dan mengganggu kawannya dengan berteriak dan memukul meja. Hal ini dilakukan untuk mencegah anak-anak agar tidak melakukan aktifitas yang mengganggu jalannya cerita. Teknik dalam penyampaian cerita dengan membacakan secara langsung akan sangat bagus jika guru mempunyai prosa yang sesuai untuk dibacakan, sehingga pesan-pesan yang disampaikan mudah ditangkap oleh peserta didik. Kemudian ilustrasi yang dituturkan sehingga dapat menarik perhatian peserta didik. Sehingga metode kisah atau cerita dapat menjadikan sebuah media dalam pembentukan karakter anak. Dalam hal ini, mendidik dan mengajar siswa dengan memberi contoh, lebih efektif dari pada menasihatinya. Secara tidak langsung metode kisah atau cerita adalah wujud pengajaran yang memberikan contoh nyata kepada siswa melalui tokoh cerita. Tokoh-tokoh dalam cerita dapat memberikan teladan bagi siswa. Siswa-siswi akan dengan mudah memahami sifat-sifat, figur-figur, dan perbuatan-perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan cerita, seorang pendidik dapat memperkenalkan akhlak atau karakter dan figur seorang muslim yang baik dan pantas diteladani. Dengan demikian bercerita dapat berperan dalam proses pembentukan akhlak atau karakter kepada peserta didik.
c. Manfaat Metode Cerita Begitu pentingnya cerita bagi siswa, tidak salah bila metode bercerita ini sebisa mungkin diaplikasikan dalam sebuah proses pembelajaran. Selain untuk memudahkan siswa dalam memahami materi yang diberikan, juga untuk memberikan daya imajinatif dan fantasi, serta menambahkan
50
wawasannya terhadap nilai-nilai kebaikan. Diantara manfaat-manfaat cerita bagi siswa, sebagai berikut: 1) Membangun kontak batin, antara anak dengan anak dengan orang tuanya maupun anak dengan gurunya. 2) Media penyampaian pesan terhadap anak. 3) Pendidikan imajinasi atau fantasi anak. 4) Dapat melatih emosi atau perasaan anak. 5) Membantu proses identifikasi diri (sikap). 6) Dapat sebagai hiburan dan menarik perhatian anak. Dalam hal yang sama, menurut Moeslichatoen bercerita mempunyai arti penting bagi perkembangan anak-anak. Karena melalui cerita kita dapat: a) mengkomunikasikan nilai-nilai budaya, b) mengkomunikasikan nilai-nilai sosial, c) mengkomunikasikan nilai-nilai keagamaan, d) menanamkan etos kerja, etos waktu serta etos alam, e) membantu mengembangkan fantasi anak, f) membantu mengembangkan dimensi kognitif anak, g) membantu mengembangkan dimensi bahasa anak.34 Sesuai dengan manfaat di atas, bercerita mempunyai tujuan untuk memberikan informasi, menanamkan nilai-nilai sosial, nilai keagamaan, pemberian informasi tentang lingkungan fisik dan lingkungan sosial. d. Kelebihan dan Kekurangan Metode Cerita35 Kelebihan metode cerita sebagai berikut: 1) Cerita dapat mengaktifkan dan membangkitkan semangat siswa. Karena setiap siswa akan senantiasa merenungkan makna dan mengikuti berbagai situasi kisah, sehingga anak didik terpengaruh oleh tokoh dan topik kisah tersebut. 2) Mengarahkan semua emosi hnga menyatu pada satu kesimpulan yang menjadi akhir cerita. 34
Moeslichatoen, Metode Pengajaran di Taman Kanak-kanak, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), h. 183 35 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), Cet. I, h. 163
51
3) Cerita selalu memikat, karena mengandung pendengaran untuk mengikuti peristiwanya dan merenungkan maknanya. 4) Dapat mempengaruhi emosi, seperti takut, perasaan diawasi, rela, senang, sungkan, atau dibenci sehingga bergelora dalam lipatan cerita. Kekurangan 1) Pemahaman siswa menjadi sulit ketika kisah itu telah terakumulasi oleh masalah lain. 2) Bersifat menolong dan dapat menjenuhkan siswa. 3) Sering terjadi ketidakselarasan isi cerita dengan konteks yang dimaksud sehingga pencapaian tujuan sulit diwujudkan.
2. Metode Remedial Teaching a. Pengertian Metode Remedial Teaching Terkait metode ini penulis menemukan sebuah metode pembelajaran pada ayat 35 Surat al-A‟raf yakni metode Remedial Teaching. Sebagaimana potongan ayat tersebut berbunyi:
“Mengadakan
perbaikan”. Dalam
tafsir
ath-Thabari
dijelaskan
bahwa
“Dia
berfirman,
“Memperbaiki amal-amalnya yang sebelumnya rusak karena berbuat maksiat kepada Allah dengan cara berhenti dari berbuat maksiat.”36 Dari penjelasan tersebut jika dalam dunia pendidikan, ini menyatakan bahwa seorang siswa jika mempunyai kesalahan maka perbaikilah dan jangan mengulanginya lagi. Berikut ini penulis paparkan beberapa pendapat para ahli pendidikan mengenai pengertian remedial teaching adalah sebagai berikut Dalam Kamus Besar Indonesia remedial teaching berasal dari dua kata yaitu, kata remedial yang berarti bahwa: Pertama, berrhubungan dengan perbaikan, pengajaran ulang bagi siswa yang hasil belajarnya jelek. 36
Abu ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Op. Cit., h. 52
52
Kedua, remedial berarti bersifat menyembuhkan.37 Sedangkan teaching yang berarti: proses perbuatan, cara mengajar atau mengajarkan, perihal mengajar, segala sesuatu mengenai mengajar.38 Menurut Ahmadi dan Supriyono mendefinisikan remedial teaching adalah suatu bentuk pengajaran yang bersifat menyembuhkan atau membetulkan dengan singkat pengajaran yang membuat menjadi baik. Program remedial ini diharapkan dapat membantu siswa yang belum tuntas untuk mencapai ketuntasan hasil belajarnya. Pengajaran remedial juga bisa dikatakan sebagai pengajaran terapis atau penyembuhan artinya disembuhkan dalam pengajaran ini adalah beberapa hambatan atau gangguan kepribadian yang berkaitan dengan kesulitan belajar sehingga dapat timbal balik dalam arti perbaikan belajar juga perbaikan pribadi dan sebagainya.39 Ischak S.W dan Warji R. memberikan pengertian remedial teaching yaitu kegiatan perbaikan dalam proses belajar mengajar adalah salah satu bentuk pemberian bantuan. Yaitu pemberian bantuan dalam proses belajar mengajar yang berupa kegiatan perbaikan terprogram dan disusun secara sistematis.40 remedial teachhing adalah segala usaha yang dilakukan untuk memahami dan menetapkan jenis sifat kesulitan belajar. Faktor-faktor penyebabnya serta cara menetapkan kemungkinan mengatasinya. Baik secara kuratif (penyembuhan) maupun secara preventif (pencegahan) berdasarkan data dan informasi yang seobyektif mungkin. Kemudian menurut Abdurrahman menyatakan bahwa remedial teaching pada hakikatnya merupakan kewajidan bagi semua guru setelah
37
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 831 38 ibid, h. 15 39 Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 145 40 Ibid, h. 146
53
mereka melakukan evaluasi formatif dan menemukan adanya siswa yang belum mencapai tujuan belajar yang ditetapkan.41 Dari beberapa pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa remedial teaching adalah sebagai suatu bentuk pengajaran khusus, yang ditujukan untuk menyembuhkan atau memperbaiki sebagian atau seluruh kesulitan belajar yang dihadapi oleh siswa. Adapun ciri-ciri remedial teaching jika dibandingkan dengan pengajaran biasa adalah sebagai berikut: 1) Dilakukan setelah diketahui kesulitan belajar dan kemudian diberikan pelayanan khusus sesuai dengan jenis, sifat dan latar belakang. 2) Metode yang digunakan bersifat diferensial disesuaikan dengan sifat, jenis dan latar belakang kesulitan belajar. 3) Dilaksanakan melalui kerja sama berbagai pihak, gguru, pembimbing konselor. 4) Pendekatan dan teknik lebih deferensial artinya disesuaikan dengan keadaan siswa. 5) Alat evaluasi yang digunakan sesuai dengan kesulitan belajar yang dihadapi siswa. Pendekatan ini dianggap sebagai salah satu sistem yang efisien dan efektif untuk mencapai tujuan yang optimal dengan melalui satuan pelajaran. Yang dimaksud satuan pelajaran disini adalah kegiatan belajar mengajar guna membahas suatu bahan atau suatu bahasan, dalam rangka pencapaian tujuan yang lebih khusus. Tujuan intruksional khusus ini hendaknya dirumuskan dengan jelas, dapat diukur, serta dlam bentuk tingkah laku siswa.
b. Fungsi dan tujuan Metode Remedial Teaching 1) Fungsi Remedial teaching mempunyai beberapa macam fungsi dalam proses belajar mengajar, diantaranya: 41
Sri Hastuti, Pengajaran Remedial, (Yogyakarta: PT. Mitra Gama Widya, 2000), h. 1
54
a) Fungsi Korektif Maksudnya adalah remedial teaching dapat dijadikan sebagai pembentukan atau perbaikan terhadap beberapa komponen yang perlu diperbaiki. Adapun komponen yang perlu diperbaiki antara lain: 1. Sikap guru terhadap siswanya yang kurang obyektif 2. Pelajaran proses belajar mengajar termasuk strateginya 3. Pilihan materi yang kurang sesuai atau tekadang bisa membuat siswanya jenuh. 4. Cara penyampaian materi 5. Cara pendekatan kepada siswa.42 b) Pemahaman Maksudnya
adalah
pengajaran
remedial
teaching
memungkinkan tumbuhnya pemahaman guru terhadap siswa, sehingga guru dapat menyesuaikan diri dengan siswa yang memiliki perbedaan kemampuan secara individual. c) Penyesuaian Dengan remedial teaching siswa dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya sehingga mendorong siswa untuk belajar secara optimal agar mencapai hasil yang lebih baik. d) Akselerasi Remedial teaching dapat membantu mempercepat penguasaan terhadap materi bagi siswa yang lambat dalam menerima pemahaman materi yang disampaikan oleh guru. e) Terapeutik Remedial teaching dapat menyembuhkan kondisi siswa yang mengalami hambatan atau kesulitan belajar.
42
Sri Hasturi, Pengajaran Remedial, (Yogyakarta: PT. Mitra Gama Widya, 2000), h. 146
55
2) Tujuan remedial teaching Dengan dilaksanakan remedial teaching, hal ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam penguasaan materi serta untuk mencapai hasil belajar siswa secara optimal. Menurut Ischak dan Warji tujuan remedial teaching adalah “kegiatan remedial teaching bertujuan memberikan bantuan baik berupa perlakuan pengajaran maupun berupa bimbingan dalam upaya mengatasi kasus-kasus yang dihadapi siswa”.43 Adapun tujuan remedial teaching secara khusus adalah: 1.
Agar siswa dapat memahami terhadap hasil belajarnya.
2.
Dapat memperbaiki atau mengubah cara belajar ke arah yang lebih baik
3.
Dapat memilih materi dan fasilitas belajar secara tepat.
4.
Dapat
mengembangkan
sikap
dan
kebiasaan
yang
dapat
tercapainya hasil yang lebih baik. 5.
Dapat
melaksanakan
tugas-tugas
belajar
yang
diberikan
kepadanya.44 6.
Memperbaiki kelemahan atau kekurangan murid yang segera ditemukan sendiri oleh siswa berdasarkan evaluasi yang diberikan secara kontinue.45
c. Bentuk-bentuk Metode Remedial Teaching Adapun beberapa macam bentuk kegiatan dalam pelaksanaan remedial teaching antara lain: 1) Mengajarkan kembali (reteaching) Yaitu perbaikan dilakukan dengan jalan mengajar kembali bahan yang telah dipelajari terhadap siswa yang masih belum menguasai pelajaran. Hal ini lebih sering dilakukan oleh guru pada umumnya. 43
Ischak dan Warji, Program Remedial dalam Proses Mengajar, (Jakarta: Griya Pustaka, 2009), h. 34 44 Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, Op. Cit., h. 145 45 S. Nasution, Bebagai Pendekatan dalam PMB, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 207
56
2) Tutorial Yaitu
memberikan
bimbingan
pembelajaran
dalam
bentuk
pemberian bimbingan, bantuan, petunjuk, arahan, dan motivasi agar para siswa belajar secara efektif dan efisien.46 3) Memberikan tugas pekerjaan rumah Dengan pemberian tugas rumah, diharapkan siswa akan membuka kembali catatannya kemudian memperlajarinya untuk menyelesaikan tugas rumah tersebut. Dengan cara ini, siswa akan berusaha lebih memahami pelajaran tersebut, agar bisa mengerjai tugas rumah yang diberikan gurunya. 4) Diskusi kelompok Remedial teaching dapat dilakukan dengan caradiskusi kelompok yaitu dengan membentuk kelompok yang terdiri atas 5-10 anak, untuk mendiskusikan suatu masalah secara bersama-sama, dan diharapkan diskusi tersebut persoalan akan lebih mudah dipecahkan. 5) Penggunaan lembar kerja Penyediaan lembar kerja untuk dikerjakan siswa di rumah, membuat siswa untuk belajar kembali. Dan hal ini membuat siswa lebih memahami materi pelajaran. 6) Penggunaan alat-alat audio visual Remedial teaching dapat dilakukan dengan menggunakan media. Karena dengan media, pelajaran akan lebih menarik dan lebih mudah difahami oleh siswa. Adapun alat-alat audio visual yang dapat digunakan sebagai sumber pelajaran adalah radio, tape, recorder, laboratorium bahasa, film bingkai, OHP (overhead projector) dan lainlain.
46
Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetyo, Strategi Belajar Mengajar, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 169
57
3. Metode Targhib dan Tarhib a. Pengertian Metode Targhib dan Tarhib Kata targhib diambil dari bahasa al-Qur‟an, berasal dari kata kerja ragghaba yang artinya menyenangi, menyukai. Targhib berbentuk isim masdar mengandung arti suatu harapan untuk memperoleh kesenangan dan kebahagiaan.47 Menurut pengertian lain targhib memiliki arti mendorong atau memotivasi diri untuk mencintai kebaikan.48 Sedangkan tarhib diartikan menimbulkan perasaan takut yang hebat kepada orang lain.49 metode targhib adalah pendidikan dengan menyampaikan berita gembira/harapan kepada siswa melalui lisan ataupun tulisan, agar siswa menjadi manusia yang bertakwa. Sedangkan metode tarhib adalah pendidikan dengan menyampaikan berita buruk/ancaman kepada siswa melalui lisan maupun tulisan, agar siswa menjadi manusia yang bertakwa.50 Penggunaan metode targhrib dan tarhib didasari pada asumsi bahwa tingkat kesadaran manusia sebagai makluk Tuhan itu berbeda-beda. Ada yang sadar setelah diberikan kepadanya berbagai nasihat dengan lisan, dan ada pula yang harus diberikan ancaman terlebih dahulu baru ia akan sadar. Ayat yang berupa targhib dapat dilihat QS al-A‟raf ayat 35, “Hai anakanak Adam, jika datang kepadamu Rasul-rasul daripada kamu yang menceritakan kepadamu ayat-ayat-Ku, maka barangsiapa yang bertakwa dan mengadakan perbaikan, tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. Al-Thabari menjelaskan bahwa orang-orang yang telah membenarkan Allah dan Rasul-Nya, taat kepada-Nya, menjelaskan segala yang
47
Jejen Musfah, “Metode Pendidikan dalam Perspektif Islam”, TAHDZIB Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. 3, 2009, h. 111 48 Muhammad Thalib, Pendidikan Islam Metode 30 T, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2000), h. 96 49 Ibid, h. 156 50 Jejen Musfah, Op. Cit., h. 111
58
diperintahkan dan menjauhi kemaksiatan, serta tidak berkhianat kepada rasul dan amanah yang diberikah kepadanya, maka Allah akan memberikan-nya furqon, pembeda antara yang hak dan bathil, sekaligus menghapus kesalahan yang telah diperbuat. Sedangkan ayat yang mengandung tarhib terdapat QS al-A‟raf ayat 36, “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami dan menyombongkan diri terhadapnya, mereka itu penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. Al-Qur‟an menggunakan targhib dan tarhib untuk membangkitkan motivasi agar bertujuan kepada Allah dan rasulnya, mengikuti ajaran Islam. Melaksanakan ibadah wajib, menjauhi maksiat dan hal yang dilarang oleh Allah dan berpegang pada istiqomah dan takwa.51 Metode ini sesuai dengan kejiwaan manusia, bahwa manusia menyukai kesenangan dan kebahagiaan, dan ia membenci kesengsaraan dan kekurangan. Guru harus bisa meyakinkan siswa agar mereka selalu cenderung pada iman dan kebaikan, dan menghindari kekufuran.52 Jadi, targhib dan tarhib berfungsi untuk memotivasi manusia sebagaimana dalam masa awal berdakwah Rasulullah saw beliau memotivasi manusia dengan pahala dalam berakidah tauhid dan memberantas kemusyrikan.
b. Keutamaan Metode Targhib dan Tarhib Targhib dan tarhib dalam khasanah pendidikan Islam, menurut Abdurrahman an-Nahlawi menyatakan bahwa berbeda dari metode ganjaran dan hukuman dalam pendidikan barat. Perbedaan yang paling mendasar adalah targhib dan tarhib adalah ajaran Allah swt yang sudah pasti kebenarannya, sedangkan ganjaran dan hukuman berdasarkan pertimbangan duniawi yang terkadang tidak lepas dari ambisi pribadi.53 51
Muhammad Usman Najati, Belajar EQ dan SQ dari Sunnah Nabi, Terj. Irfan Salim, (Jakarta: Hikmah, 2002), h. 156 52 Jejen Musfah, Op. Cit,. h. 112 53 Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, terj: Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani, 1995), h. 287
59
Targhib dan tarhib dalam pendidikan Islam sangat urgen diberlakukan ada beberapa alasan di antaranya: 1) Bersifat transenden yang mampu mempengaruhi siwa secara fitri. Semua ayat yang mengandung targhib dan tarhib ini mempunyai isyarat kepada keimanan kepada Allah swt hari akhir. 2) Disertai dengan gambaran yang indah tentang kenikmatan surge atau dahsyatnya neraka. 3) Menggugah serta mendidik perasaan Rabbaniyah, seperti khauf, khusyu‟, raja‟ dan perasaan cinta kepada Allah swt. 4) Keseimbangan antara kesan dan perasaan berharap akan ampunan dan rahmat Allah.54 Dapat dimengerti bahwa metode targhib dan tarhib tersebut pada dasarnya berusaha membangkitkan kesadaran akan keterkaitan dan hubungan diri manusia dengan Allah swt. Dengan demikian metode ini sangat cocok untuk dikembangkan untuk membentuk siswa yang sesuai dengan tujuan pendidikan Islam diantaranya membentuk kepribadian yang utuh lahir dan bathin.
c. Kelebihan dan Kekurangan Metode Targhib dan Tarhib Kelebihan dari metode targhib dan tahrib ini adalah untuk membangkitkan motivasi siswa dalam belajar maupun pengalaman materi yang diajarkan dalam kehidupan sehari-hari. Metode ini sangat menunjang pada metode pembiasaan yang tujuannya adalah untuk membiasakan siswa untuk melaksanakan dan mengamalkan materi yang diajarkan. Sedangkan kekurangan dari metode ini adalah metode ini tidak dapat diterapkan pasa semua siswa , karena semakin berkembangnya jiwa siswa maka metode inipun sudah tidak relevan. Kelemahan lain bahwa dalam metode ini siswa hanya dijadikan obyek pengajaran yang pasif sehingga tidak memberi kesempatan siswa untuk mengembangkan pola pikirnya.
54
Ibid, h. 287
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari hasil yang dilakukan penulis mengenai metode pendidikan karakter yang terkandung dalam surat al-A’raf ayat 35-36, terdapat beberapa metode pembelajaran. Dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Metode Cerita Adapun kisah yang terdapat di al-Qur’an, seperti kisah tentang dua anak Adam yang saling bermusuhan dan mendengki di antara mereka yang dikisahkan dalam Surah al-Maidah, sedang salah seorang dari mereka ada yang berwatak luas dada dan kasih sayang, jelas dimaksudkan sebagai contoh teladan tentang perlunya pembinaan akhlak dan mampu hidup bergotong dalam bermasyarakat. 2. Metode Remedial Teaching Seperti halnya dalam QS. An-Nahl ayat 97, dijelaskan bahwa siapa saja yang mengerjakan kebaikan , baik laki-laki maupun perempuan dan ia beriman, maka sesungguhnya akan di berikan baginya kehidupan yang lebih baik. 3. Metode Targhib dan Tarhib Ayat yang berupa targhib terdapat pada ayat 35 surat al-A’raf, ath-Thabari menjelaskan pada ayat ini bahwa orang-orang yang telah membenarkan Allah dan Rasul-Nya, menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi kemaksiatan, serta tidak berkhianat kepada Rasul dan amanah yang diberikan kepadanya, Allah akan memberikannya furqan, pembeda antara hak dan yang bathil, sekaligus menghapus kesalahan yang telah diperbuat. Sedangkan ayat yang berupa tarhib terdapat pada ayat 36, ayat ini berisi tentang sebuah hukuman jika orang tersebut melanggar perintah-Nya maka ada balasan yang akan diterima olehnya.
59
60
B. Saran Sesuai dengan hasil penelitian dan kesimpulan yang didapatkan penulis pada penelitian ini, penulis akan mengemukakan masukan atau saran, antara lain sebagai berikut: 1. Bagi seluruh pendidik baik pendidik formal maupun informal, terutama yang berada dalam lingkungan pendidikan Islam, hendaknya turut mengimplementasikan metode pendidikan Islam yang bersumber dari alQur’an. Adanya metode pendidikan tersebut sungguh erat dengan nilainilai kemanusiaan dan pendidikan, sehingga sangat relevan terhadap kondisi
pendidikan
masa
kini
yang
nampaknya
sudah
jarang
memperhatikan aspek kemanusiaan peserta didiknya. 2. Apa yang sudah penulis lakukan sudah maksimal adanya. Kekurangan penulis dalam penulisan ini, ialah penulis hanya meneliti metode dalam alQur’an Surat al-A’raf ayat 35-36 sebatas dalam variasi metode dan bagaimana pendapat ahli tafsir tentang metode tersebut. Sehingga untuk penulis yang akan meneliti selanjutnya dengan masalah ini, selayaknya berlanjut pada tujuan pendidikan yang hendak dicapai, kesesuaian metode dengan materi dan perkembangan peserta didik, dan berakhir pada evaluasi pendidikan. Agar kemudian penelitian tersebut menghasilkan sesuatu yang komprehensif dan lebih kongkrit.
DAFTAR PUSTAKA
A,
Salam, Muhammad dan Anwar, Muhammad Jafar. Pendidikan Karakter:Implementasi Pendidikan Berbobot Nilai dan Moral. Jakarta: CV, Suri Tatu’uw, 2015.
Al Maragi, Ahmad Mustafa. Terjemah Tafsir Al-Maragi, Terj. Dari Tafsir Al Maragi oleh Bahrum Abu Bakar, dkk, hilid. 7, 8, 9. Semarang: PT Karya Toha Putra Semarang, 1992. Al Qurthubi, Syaikh Imam. Tafsir Al-Qurthubi, Terj. Dari Al-Jami’ li Ahkam Al Qur’an oleh Sudi Rosadi, dkk. Jilid VII. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008. Andayani, Dian dan Majid, Abdul. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011. Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: CiputatPress, 2002. Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam (Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner). Jakarta: Bumi Aksara, 2005. Ath Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir Ath-Thabari, Terj. Abdul Somad, jilid. 11. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008. Azizi, Ernawati. “Keberhasilan Pendidikan Perspektif Al-Qur’an”, Jurnal atTarbawi Kajian Kependidikan Islam, Vol. 2. 2005. Azzet, Akhmad Muhaimin. Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011. Busahdiar dan Arief, Armai. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT Wahana Kardofa, 2009. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1995. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi II. Jakarta: Balai Pustaka, 1991. Fadhillah, Muhammad. Desain Pembelajaran. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.
61
62
Gunawan, Heri. Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi. Bandung: Alfabeta, 2012. Hasan, M. Ali. Studi Islam: AL-Qur’an dan Sunnah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000. Hastuti, Sri. Pengajaran Remedial. Yogyakarta: PT. Mitra Gama Widya, 2000. Husaini. “Pembinaan Pendidikan Karakter”. TARBIYAH Jurnal Pendiikan dan Keislaman, Vol. XXI, 2014. Jamaludin., dkk. Pembelajaran Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015. Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid III. Jakarta: Lentera Abadi, 2010. Kesuma, Dharma. Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011. Minarti, Sri. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah, 2013. Moeslihatoen. Metode Pengajaran di Taman Kanak-kanak. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004. Majid, Abdul dan Aziz, Abdul. Mendidik Dengan Cerita. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008. Muchtar, Heri Jauhari. Fikih Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008. Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011. Muhammad, Ahsin Sakho. Sejarah Qur’an, jilid III. Jakarta: PT Rehal Publika, 2008. Mu’in, Fatchul. Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik & Praktik. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011. Mujib, Abdul dan Muhaimin. Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Trigenda Karya, 1993. Musfah, Jejen. “Metode Pendidikan dalam Perspektif Islam”, TAHDZIB Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. 3, 2009. Najati, Muhammad Utsman. Psikologi Qurani. Bandung: MARJA, 2010.
63
-----. Belajar EQ dan SQ dari Sunnah Nabi, Terj. Irfan Salim. Jakarta: Hikmah, 2002. Nasution, S. Berbagai Pendekatan Dalam PMB. Jakarta: Bumi Aksara, 2000. Nata, Abuddin. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2010. -----. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005. -----. Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005. Prestyo, Joko Tri dan Ahmadi, Abu. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia, 2000. Rosadi, H. A. Rahmat. Pendidikan Islam dalam Pembentukan Karakter Anak Usia Dini (PAUD). Jakarta: Rajawali, 2013. Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 5. Jakarta: Lentera Hati, 2002. -----. Al-Qur’an dan Maknanya, (Asbabun Nuzul, Makna dan Tujuan Surah, Pedoman Tajwid. Jakarta: Lentera Hati, 2010. -----. Al-Lubab: Makna, Tujuan dan Pelajaran dari Surah Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2012. Syafa’at, TB Aat., dkk. Peranan Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Kenakalan Remaja (Juvenile Delinquency). Jakarta: Rajawali Press, 2008. Syafri, Ulil Amri. Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an. Jakarta: Rajawali Press, 2012. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta, 2011. Supriyono, Widodo dan Ahmadi, Abu. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010. Thalib, Muhammad. Pendidikan Islam Metode 30T. Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2000. U. Maman Kh, dkk. Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktek. Jakarta: Raja Grafindo Persada Press, 2006.
64
Warji dan Ischak. Program dalam Proses Mengajar. Jakarta: Griya Pustaka, 2009.
BIODATA PENULIS
Syifa Fauziah, penulis lahir di Tangerang
pada
tanggal, 29 Juni 1994, merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangann Asan Sanuri dan Suhadah yang beralamat di Cipadu, Rt001/06, Kel. Cipadu Kec. Larangan
Kota
Tangerang.Penulis
menyelesaikan
pendidikan Madrasah Ibtidaiyah (MI) pada tahun 2006 kemudian
melanjutkan
pendidikan
Madrasah
Tsanawiyah Negeri 13 Jakarta Selatan lulus pada tahun 2009, setelah itu masuk sekolah Madrasah Aliyah Negeri 19 Jakarta Selatan lulus pada tahun 2012, dan melanjutkan ke Perguruan Tinggi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2012 hingga selesai.