NILAI-NILAI PENDIDIKAN YANG TERKANDUNG DALAM SURAT AL-ANKABUT AYAT 16-24
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Oleh KAREN SOLIHIN NIM: 109011000243
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016 / 1437 H
i
ii
iii
ABSTRAK Karen Solihin, 109011000243, “ Nilai-nilai Pendidikan Dalam Surat AlAnkabut ayat 16-24.” Skripsi, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam surat al-Ankabut ayat 16-24, dan metode penelitian yang digunakan adalah library research yaitu dengan cara menelaah, menganalisis, meneliti dari sumber rujukan atau literatur yang dapat dipertanggung jawabkan tentang masalah yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini, dimana sumber pokoknya adalah, Al-Qur’an, beberapa buku tafsir Al-Qur’an : Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, karya M. Quraish Shihab, Tafsir alAzhar, karya H. Abdullah Malik Karim. Sehingga penulis mendapatkan beberapa kesimpulan dari penelitian ini yaitu: pertama Ibadah, adalah suatu wujud perbuatan yang dilandasi rasa pengabdian kepada Allah swt, yang merupakan kewajiban agama Islam yang tidak bisa dipisahkan dari aspek keimanan, kedua Sabar adalah dapat menahan diri dari halhal yang bertentangan dengan hukum Islam, baik dalam keadaan lapang maupun sulit, mampu mengendalikan nafsu yang dapat mengguncang iman, demi mencapai sesuatu yang baik atau lebih baik, ketiga Syukur adalah proses kejiwaan dan ungkapan batin atas apa yang diperolehnya, sifat syukur ditunjukan dalam meningkatkan amal ibadah dan ikhtiar yang semuanya dilakukan karena Allah dan untuk Allah, keempat Iman kepada Allah, yaitu mempercayai segala macam yang Allah ciptakan baik yang ghaib maupun yang dzahir sehingga dapat meningkatkan kualitas keimanan seseorang kepada Rabbnya.
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji hanya bagi Allah SWT. Sang kholiq yang menciptakan bumi beserta isinya, yang maha berkuasa dan berkendak, pemilik nikmat dan kebahagiaan dan yang selalu menyayangi setiap umat yang dekat denganNya. Shalawat dan Salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan umatnya sampai akhir zaman. Selama penulisan skripsi yang berjudul Nilai- Nilai Pendidikan Dalam Surat Al- Ankabut ayat 16-24, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang dialami. Namun berkat kerjas keras, doa dan kesungguhan hati serta dukungan dari berbagai pihak untuk menyelesaikan skripsi ini, semua dapat teratasi. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dede Rosayada., Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dr. H. Abdul Majid Khon, M. Ag., Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam, dan Hj. Marhamah Saleh Lc, MA, Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam beserta segenap dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan serta bimbingan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan, semoga Allah SWT membalas semua jasa-jasa beliau dan ilmu yang telah beliau berikan mendapatkan keberkahan dari Allah SWT. 4. Abdul Ghofur, MA., Pembimbing Skripsi yang penuh keikhlasan dan kebesaran hati dalam membagi waktu, tenaga dan pikiran beliau dalam upaya memberikan bimbingan, petunjuk, serta mengarahkan penulis dalam proses mengerjakan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. 5. Ayahanda dan ibunda tercinta, yang menjadi penyemangat utama penulis, yang tak pernah lelah mendoakan dan memberikan dukungan secara moril dan materil serta selalu menyanyangi penulis dari kecil hingga dewasa ini.
v
Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang tidak dapat terhitung dan kasih sayang yang tak pernah putus yang diberikan untuk penulis. 6. Kakak dan adikku tersayang yang selalu memberikan doa dan menjadi obat pelipur laraku. 7. Istriku tercinta Neneng Wasilah S.Pdi dan putri kecilku Calista Athifa Fatawa yang selalu mendoa’kan dan menemani dalam suka dan duka penulis. 8. Sahabat-sahabat seperjuangan jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan 2009 khususnya kelas PAI F. Terima kasih atas bantuan, dukungan dan kenangan terindah yang kita lalui bersama di kampus tercinta. 9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan yang bermanfaat bagi penulis demi terselesaikannya skripsi ini.
Tiada ucapan yang dapat penulis haturkan kecuali ucapan terima kasih yang seluas-luasnya. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan kalian dan menjadikannya kendaraan menuju surga Allah SWT. Penulis mengharapkan masukan berupa saran dan kritik yang konstruktif dari pembaca demi memperbaiki karya tulis ini, semoga dapat membawa manfaat bagi para pengkaji/pembaca dan bagi penulis sendiri. Amin Ya Robbal ‘Alamin.
Jakarta, 19 Juli 2016
Penulis
vi
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ...............................................
i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN KARYA ILMIAH ...........................................
iii
ABSTRAK ......................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................
v
DAFTAR ISI...................................................................................................
vii
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...........................................................
1
B. Identifikasi Masalah .................................................................
6
C. Pembatasan Masalah ................................................................
6
D. Rumusan Masalah ....................................................................
7
E. Tujuan Penelitian .....................................................................
7
F. Manfaat Penelitian ...................................................................
7
KAJIAN TEORI A. Nilai-Nilai Pendidikan ............................................................
8
1. Pengertian Nilai..................................................................
8
2. Macam- Macam Nilai .......................................................
9
3. Pengertian Pendidikan .......................................................
11
B. Akhlak .....................................................................................
14
1. Pengertian Akhlak .............................................................
14
2. Macam- Macam Akhlak .....................................................
15
3. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak ..................................
17
4. Hasil Penelitian yang Relevan ..........................................
22
METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................
24
B. Metode Penelitian.....................................................................
24
C. Fokus Penelitian .......................................................................
26
vii
BAB IV
HASIL PENELITIAN A. Tafsir Surat Al-Ankabut Ayat 16-24 ......................................
27
B. Nilai-nilai Pendidikan Yang Terkandung Dalam Al-Qur’an Surat Al-Ankabut Ayat 16-24............................................................
BAB V
49
PENUTUP A. Kesimpulan ..............................................................................
65
B. Saran .........................................................................................
66
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
68
LEMBAR UJI REFERENSI LAMPIRAN
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Al-Qur‟an merupakan sumber utama dan yang pertama dalam ajaran Islam. Ia menjadi petunjuk bagi kehidupan manusia. Al-Qur‟an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan Allah swt kepada umat manusia yang isinya mencangkup segala pokok-pokok syari‟at yang terdapat dalam kitab-kitab suci yang diturunkan sebelumnya. Kehadiran Al-Qur‟an memberi pengaruh yang luar biasa bagi lahirnya berbagai konsep yang diperlukan manusia dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam rangka memahami isinya, kaum muslimin sendiri telah melahirkan banyak kitab tafsir yang berupaya mengungkap dan menjelaskan makna pesannya.1 Quraisy Syihab dalam bukunya wawasan Al-Qur‟an mengemukakan bahwa di antara tujuan diturunkannya Al-Qur‟an adalah: 1. Untuk membersihkan akal dan mensucikan jiwa dari segala bentuk syirik serta memantapkan keyakinan tentang ke-Esaan yang sempurna bagi Tuhan seru sekalian alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai konsep teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan umat manusia. 2. Untuk mengajarkan kepada kemanusiaan yang adil dan beradab. Yakni bahwa manusia merupakan suatu umat yang wajib bekerja sama dalam pendidikan kepada Allah swt dan pelaksanaan tugas sebagai khalifah di bumi. Selain itu juga bertujuan untuk menjelaskan peranan ilmu dan teknologi, guna menciptakan suatu peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia, dengan panduan Nur Illahi. 3. Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja antar suku atau bangsa, tetapi kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dunia dan akhirat. 4. Untuk mengajak manusia berpikir dan bekerja sama dalam bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui musyawarah dan mufakat yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan.
1
Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur`an Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), Cet. Ke-1, h. Viii.
1
2
5. Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan, penyakit, penderitaan hidup, serta pemerasan manusia dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan agama.2 Demikian sebagian tujuan kehadiran Al-Qur‟an, tujuan yang terpadu dan menyeluruh bukan sekedar mewajibkan pendekatan yang religius yang bersifat ritual atau mistik yang dapat menimbulkan formalitas dan kegersangan. Al-Qur‟an adalah petunjuk-Nya yang bila dipelajari akan membantu kita menemukan nilainilai yang dapat dijadikan bagi penyelesaian berbagai problem hidup. Apabila dihayati dan diamalkan akan menjadikan pikirian, rasa, dan karsa kita mengarah kepada realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan ketentraman hidup pribadi dan masyarakat. Rasulullah saw adalah manusia teragung sepanjang sejarah yang telah berhasil mengubah peradaban dunia, dari rusaknya akhlak menuju mulianya akhlak, tentunya itu menjadikan suri tauladan bagi seluruh manusia yang menginginkan sifat yang mulia. Beliau adalah gurunya para guru, dan sekaligus sebagai penabur rahmat bagi seluruh alam. Manusia adalah makhluk yang memiliki dua potensi. Pertama potensi yang mengarah kepada kebaikan, kedua mengarah kepada keburukan. Manusia yang diciptakan oleh Allah swt memiliki fitrah atau karakter dasar sebagai makhluk yang cenderung berbuat baik, memiliki perasaan kasih sayang serta bertingkah laku dengan baik atau dalam bahasa agama sering disebut berakhlakul karimah. Pesan akhlak begitu agung dalam Al-Qur‟an sehingga Fazlur Rahman mengatakan; “Al-Qur‟an ibarat puncak sebuah gunung es yang terapung, sembilah persepuluh darinya terendam di bawah air sejarah dan hanya sepersepuluh darinya yang tampak di permukaan”.3 Sungguh, tidak akan ada yang mampu mengenalnya dan menggali secara mendalam konsep akhlak dalam AlQur‟an secara komprehensif, kecuali mereka yang tenggelam di dalamnya. Begitu dalam kandungan ayat-ayat suci Al-Qur‟an sehingga untuk memahaminya dibutuhkan sebuah teori yang tidak hanya mampu memahami Al2 3
173.
M. Quraish Syihab, Wawasan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 2000), Cet. 10. h. 12. Rosihun Anwar, Samudera Al-Qu‟ran, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), Cet ke- I, h.
3
Qur‟an secara integral, tetapi juga mampu menghasilkan penafsiran-penafsiran yang dapat menyelesaikan problem-problem kekinian. Al-Qur‟an sebagai kitab suci terbesar telah menyedot perhatian banyak orang. Selanjutnya dapat dipahami bahwa manusia yang dilahirkan secara fitrah/suci memiliki dimensi kasih sayang dan rasa-perasaan lemah lembut terhadap siapapun, oleh karenanya pendidikan yang hingga saat ini menjadi garda depan pembentukan manusia seutuhnya menjadi sebuah keharusan untuk mengintegrasikan intelektualitas dengan akhlakul karimah yang ada, seperti halnya apa yang disampaikan oleh guru besar pendidikan agama Islam Ahmad Tafsir, meyakini “Selama dari atas belum memberi keteladanan kepada bawahannya sulit untuk mengharapkan perbaikan akhlak peserta didik melalui pendekatan keteladanan”4. Ini artinya akhlak memiliki porsi atau domain dan sangat vital dalam proses pendidikan yang ada saat ini, dan ini artinya sebagai penegasan aspek akhlak tidak boleh dikesampingkan dalam pendidikan yang ada, karena kecenderungan pendidikan yang ada lebih menekankan faktor kognitif semata. Sudah menjadi konsesus di kalangan ahli pendidikan bahwa proses pendidikan berlangsung seumur hidup. Oleh karena itu tidak ada batasan umur tertentu dalam pendidikan. Namun ada level-level pendidikan yang disusun sesuai dengan keadaan perkembangan manusia sebagai makhluk individu maupun sosial yang hidup dalam keberadaan suatu bangsa dan negara. Dalam kehidupan suatu bangsa, pendidikan memiliki peran yang sangat penting dan strategis untuk menjamin kelangsungan dan perkembangan kehidupan bangsa. Dalam hal ini, pendidikan harus dapat menyiapkan warga negara untuk menghadapi masa depannya. Dengan demikian tidak salah apabila orang berpendapat bahwa cerah tidaknya masa depan suatu negara sangat ditentukan oleh pendidikan saat ini. Pendidikan harus mampu menciptakan manusia-manusia yang siap dan eksis untuk hidup ditengah-tengah perubahan zaman yang ada. Bukan 4
Ahmad Tafsir, “Pendidikan Agama Islam di Sekolah Salah Paradigma”Media Indonesia (Jum‟at, 03 Desember 2004), h. 3.
4
terpengaruhi tetapi mempengaruhi, tetapi tidak juga bisa menolak perubahan, karena perubahan adalah sebuah keniscayaan. Sehingga manusia tidak ikut lebur dalam arus menerpanya, melainkan mampu mengendalikan arus perubahan, mampu memilah dan sekaligus memilih kemana kehidupan sebuah masyarakat akan dikendalikan dan diciptakan sesuai dengan tujuan pendidikan akhlak dalam hal ini adalah pendidikan Islam. Bagaimana pun pendidikan merupakan salah satu kunci yang sangat esensial dalam kehidupan manusia. Baik buruknya sumber daya manusia tergantung dari pendidikan yang diperolehnya. Pendidikan adalah sebuah investasi sumber daya manusia. Jika pendidikan yang diperoleh seseorang memiliki kualitas yang mumpuni, maka baik juga sumber daya manusia yang dimilikinya. Karena itu, desain pendidikan selayaknya dipersiapkan secara matang sehingga hasil yang dicapai pun memuaskan.5 Karena proses pendidikan merupakan suatu proses yang bertujuan. Meskipun tujuannya bukan merupakan tujuan yang tertutup (eksklusif) tetapi tujuan yang secara terus-menerus harus terarah kepada pemerdekaan manusia.6 Gagalnya pendidikan untuk menanamkan nilai akhlak terlihat dengan menempatkan Indonesia termasuk ke dalam negara yang korup, banyak sekolahsekolah yang khusus bagi para pemodal, orang kaya. Orang miskin tidak mendapatkannya, sekolah seolah menjadi pemicu marjinalisasi terhadap mereka yang tidak bisa mengenyam pendidikan yang layak. Hal ini semakin menutup nilai akhlak dalam pendidikan, masih maraknya budaya tawuran, angka kriminal yang tinggi, korupsi, kolusi dan nepotisme dari orang-orang yang berpendidikan meyakinkan bahwa ada yang salah dalam pendidikan saat ini. Problem yang muncul di tengah masyarakat adalah tingginya angka kriminal di kalangan remaja, semua meremehkan nilai moral atau akhlak, pendidikan seolah-olah hanya bersifat parsial tidak bersifat holistik, tidak merambah wilayah pembangunan karakter, penenaman nilai, sehingga yang 5
A. Syafi‟f Ma‟rif et.al, Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991), h 15. 6 H.A.R Tilaar, Manifesto Pendidikan Nasional, Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), h 119.
5
terjadi adalah orang berpendidikan juga bisa melakukan tindakan kriminal yang lebih kejam dibanding dengan orang yang tidak mengenyam pendidikan, kasus korupsi misalnya yang telah merugikan banyak orang. Sebuah prinsip yang harus dipegang dalam pendidikan khususnya pendidikan Islam adalah pengembangan belajar sebagai muslim baik bagi terdidik maupun pendidik. Setiap rangkaian belajar mengajar seharusnya ditempatkan sebagai pengkayaan pengalaman kebertuhanan. Pendidikan bukanlah sosialisasi atau internalisasi pengetahuan dan keberagaman pendidik, tetapi bagaimana peserta
didik
mengalami
sendiri
keber-Tuhanan-nya.
Ketaqwaan
dan
keshalehannya bukanlah sikap dan perilaku yang datang secara mendadak, tetapi melalui sebuah tahap penyadaran yang harus dilakukan sepanjang hayat. Karena itu, pendidikan tidak lain sebagai proses penyadaran diri dan realitas universum.7 Pandangan terhadap fenomena pendidikan di atas memberikan inspirasi pada penulis untuk lebih jauh mengungkap kembali ayat-ayat Al-Qur‟an yang membawa pada perbaikan akhlak manusia dan pikiran-pikiran para praktisi pendidikan yang dituangkannya dalam beberapa buku dan artikel yang banyak menyorot berbagai persoalan moralitas atau akhlakul karimah yang dilandaskan pada kerangka kemanusiaan atau pemuliaan manusia yang didasarkan kepada potensi yang dimilikinya, serta bagaimana cara menyikapi sebuah bentuk pluralitas sebagai sebuah keniscayaan yang ada dalam masyarakat, diakui ataupun tidak. Karenanya, penulis ingin meneliti lebih jauh tentang konsep pendidikan akhlak yang mengembalikan kesadaran akan dirinya sebagai “khalifatu filardh.” Jika kembali kepada pembahasan mendasar tentang sumber Pendidikan Agama Islam maka sumbernya adalah mengacu kepada sumber Islam itu sendiri, yaitu Al-Qur‟an8 dan Al-Hadits. Oleh karena Islam sebagai sistem kehidupan kaum muslimin dan Al-Qur‟an merupakan pedoman hidup sehari-hari maka AlQur‟an tidak pernah berhenti dari pengkajian akan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, selalu ada upaya untuk menggali makna yang terkandung di dalamnya 7
Abdul Munir Mulkhan, Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren; Religiusitas IPTEK (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h.111-112. 8 M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: eLSAQ, 2005), h. 1.
6
dari berbagai sudut pandang. Dan ternyata Al-Qur‟an memang bisa didekati dari berbagai sudut pandang yang berbeda, termasuk dari sisi kependidikan dan kemanusiaan. Berangkat dari sinilah, jika hendak berpikir ulang tentang pendidikan Islam maka harus kembali mengacu kepada landasan yang telah diberikan AlQur‟an. Dalam hal ini pembaharuan dalam pendidikan Islam harus dilakukan sesuai dengan problematikanya, maka penulis memfokuskan kepada sisi akhlak dan pendidikan Islam, atau dengan kata lain penulis berusaha menemukan konsep akhlak pendidikan yang termuat dalam Al-Qur‟an. Terbangunnya kembali konsep pendidikan yang berakhlakul karimah di tengah sistem pendidikan nasional yang belum dapat sepenuhnya menunjukan pendidikan yang berbasis pada akhlak serta pendidikan yang bercirikan pada sosial planning dan setelah itu teraplikasi dalam praktek kehidupan yang bahagia di dunia dan di akhirat, sehingga besar harapan langkah ini bisa memperbaiki mutu pendidikan yang ada. Dengan adanya latar belakang di atas, penulis mengambil judul pembahasan ini dengan: “Nilai-Nilai Pendidikan Yang Terkandung Dalam Surat Al-Ankabut Ayat 16-24.”
B. Identifikasi Masalah Berangkat dari uraian dan permasalahan tersebut di atas, penelitian ini difokuskan dalam tiga topik permasalahan, yang dapat diasumsikan sebagai problem akademik dan kemudian dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Banyaknya kejadian atau tindakan penyimpangan terhadap masyarakat berpendidikan karena minimnya pemahaman mereka tentang akhlak. 2. Pendidikan sekarang ini lebih memfokuskan pada kecerdasan kognitif semata, kurang menyentuh masalah moralitas.
C. Pembatasan Masalah Agar pembahasan skripsi ini terfokus, maka penulis membatasi kajian skripsi ini pada pembahasan tentang Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam surat Al-Ankabut 16-24.
7
D. Rumusan Masalah Untuk memudahkan dalam perumusan masalah penulisan skripsi ini, penulis bertitik tolak dari identifikasi masalah di atas. Maka penulis dapat merumuskan masalah yaitu: “Nilai-nilai pendidikan apa saja yang terkandung dalam surat Al-Ankabut ayat 16-24.”
E. Tujuan Penelitian Dalam penelitian ini, yang menjadi tujuan penulis pada wacana pendidikan yang terkandung dalam surat Al-Ankabut adalah sebagai berikut: Untuk mengetahui konsep nilai-nilai pendidikan yang terdapat pada surat Al-Ankabut ayat 16-24.
F. Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis kepada berbagai pihak. Misalnya: 1. Bagi guru Mengembangkan khazanah pengetahuan keislaman di lingkungan institusi pendidikan tinggi Islam. 2. Bagi sekolah Memberi sumbangsih pemikiran tentang konsep dan teoritis tentang pendidikan dalam Al-Qur‟an, serta menambah khazanah kepustakaan dalam meneliti dan memahami Al-Qur‟an sebagai petunjuk umat. 3. Bagi mahasiswa dan pembaca Mengetahui
bagaimana
pandangan
Al-Qur‟an
pendidikan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari.
terhadap
nilai
8
BAB II KAJIAN TEORI A. Nilai-Nilai Pendidikan 1. Pengertian Nilai Nilai adalah sesuatu yang abstrak sehingga sulit untuk dirumuskan ke dalam suatu pengertian yang memuaskan. Nilai adalah substansi, esensi atau sifatsifat yang melekat pada sebuah hakikat atau objek. Nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki. Dan nilai juga merupakan sifat yang melekat pada sesuatu (sistem kepercayaan) yang telah berhubungan dengan subjek yang memberi arti (manusia yang meyakini).9 Nilai artinya sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.10 Maksudnya kualitas yang memang membangkitkan respon penghargaan.11 Nilai itu praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara obyektif di dalam masyarakat.12 Jadi nilai adalah sesuatu yang bermanfaat dan berguna bagi manusia sebagai acuan tingkah laku. Nilai bukan semata-mata untuk memenuhi dorongan intelek dan keinginan manusia, nilai justru berfungsi untuk membimbing dan membina manusia agar menjadi lebih mulia, lebih matang sesuai dengan martabat human dignity dalam arti tujuan dan cita-cita manusia. Dari uraian di atas maka nilai dapat diartikan sebagai sesuatu yang dianggap baik, berguna atau penting, dijadikan sebagai acuan dan melambangkan kualitas yang kemudian diberi bobot baik oleh individu maupun kelompok
9
HM. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 61. 10 W.JS. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1999) , h. 677. 11 H. Titus, M.S, et al, Persoalan-persoalan Filsafat, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984), h. 122. 12 Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya,1993), h. 61.
8
9
Pendidikan Islam merupakan pendidikan universal yang diperuntukan untuk seluruh umat manusia. Pendidikan Islam memiliki nilai-nilai luhur yang agung dan mampu menentukan posisi dan fungsi di dalam masyarakat Indonesia. Maka pendidikan Islam berperan dalam penyusunan suatu sistem pendidikan nasional yang baru, nilai-nilai luhur yang disandang oleh pendidikan Islam adalah: a. Nilai historis, pendidikan Islam telah menyumbangkan nilai-nilai yang sangat besar dalam kesinambungan hidup bangsa, di dalam kehidupan bermasyarakat, di dalam perjuangan bangsa Indonesia, pada saat terdapat invasi dari negara barat pendidikan Islam survive sampai saat ini b. Nilai religius, pendidikan Islam dalam perkembangannya tentu telah memelihara dan mengembangkan nilai-nilai Islam sebagai salah satu nilai religius masyarakat Indonesia; dan c. Nilai moral, pendidikan Islam tidak dapat diragukan sebagai pusat pemelihara dan pengembangan nilai-nilai moral yang berdasarkan agama Islam, sebagai contoh sekolah madrasah, pesantren, merupakan pusat pendidikan dan juga merupakan benteng bagi moral bagi mayoritas bangsa Indonesia.13
2. Macam-macam Nilai Substansi nilai merupakan suatu hal yang komplek dan beragam, nilai berdasarkan sumbernya dapat diklasifikasikan menjadi dua macam.14yaitu: a. Nilai Ilahiyah (nash) yaitu nilai yang lahir dalam keyakinan (belief), berupa petunjuk dari supernatural atau Tuhan.15Nilai yang diwahyukan melalui rasul yang berbentuk iman, takwa, adil yang diabadikan dalam Al-Qur‟an. Nilai ini merupakan nilai yang pertama dan paling utama bagi para penganutnya dan akhirnya nilai tersebut dapat diaplikasikan 13
Chabib Thoha, dkk Kapita Selekta Pendidikan Islam, (yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), cet.1, h. 78. 14 Muhaimin dan Abdul Muji, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 111. 15 Mansur Isna, Diskursus Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2001), h. 98.
10
dalam kehidupan sehari-hari, nilai ini bersifat statis dan kebenarannya mutlak.16 Nilai-nilai ilahiyah selamanya tidak mengalami perubahan. Nilai ilahiyah ini mengandung kemutlakan bagi kehidupan manusia selaku pribadi dan selaku anggota masyarakat, serta tidak berkecendrungan untuk berubah mengikuti selera hawa nafsu manusia dan berubah-ubah sesuai dengan tuntutan perubahan sosial dan tuntutan individu. b. Nilai Insaniyah (produk budaya yakni yang lahir dari kebudayaan masyarakat baik secara individu maupun kelompok).17Nilai ini tumbuh atas kesepakatan manusia serta berkembang dan hidup dari peradaban manusia. Nilai insani ini kemudian melembaga menjadi tradisi-tradisi yang diwariskan turun-temurun mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Disini peran manusia dalam melakukan kehidupan di dunia berperan untuk melakukan perubahan kearah nilai yang lebih baik. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 53:
Artinya: yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekalikali tidak akan merubah suatu nikmat yang telah dianugrahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. Al-Anfal: 53) Kemudian dalam analisis teori nilai dapat dibedakan menjadi dua jenis nilai pendidikan yaitu: 1. Nilai Instrumental yaitu nilai yang dianggap baik karena bernilai untuk sesuatu yang lain.
16
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 111. 17 Mansur Isna, Diskursus Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2001), h. 99.
11
2. Nilai Intrinsik ialah nilai yang dianggap baik, tidak untuk sesuatu yang lain melainkan di dalam dan dirinya sendiri.18 Nilai instrumental dapat juga dikatagorikan sebagai nilai yang bersifat relatif dan subjektif, dan nilai intrinsik keduanya lebih tinggi dari pada nilai instrumental. Sedangkan nilai dilihat dari segi sifat nilai itu dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu: a) Nilai subjektif adalah nilai yang merupakan reaksi subjek dan objek. Hal ini sangat tergantung kepada masing-masing pengalaman subjek tersebut. b) Nilai subjektif rasional (logis) yakni nilai-nilai yang merupakan esensi dari objek secara logis yang dapat diketahui melalui akal sehat, seperti nilai kemerdekaan, nilai kesehatan, nilai keselamatan, badan dan jiwa, nilai perdamaian dan sebagainya. c) Nilai yang bersifat objektif metafisik yaitu nilai yang ternyata mampu menyusun kenyataan objektif seperti nilai-nilai agama.19
Paparan di atas dapat disimpulkan bahwa masing-masing nilai mempunyai keterkaitan dengan nilai yang satu dengan lainnya. Misalkan nilai ilahiyah mempunyai relasi dengan nilai insani, nilai ilahi (hidup etis religius) mempunyai kedudukan vertikal lebih tinggi dari pada nilai hidup lainnya. Di samping secara hierariki lebih tinggi, nilai keagamaan mempunyai konsekuensi pada nilai lainnya dan sebaliknya nilai lainnya mempunyai nilai konsultasi pada nilai etis religius.
3. Pengertian Pendidikan Konsep pendidikan dan pembelajaran baik secara umum maupun khusus telah dibicarakan, dibahas dan didalogkan dalam berbagai buku-buku ilmiah, maupun kegiatan-kegiatan tertentu seperti seminar, loka karya dan sebagainya oleh para ahli yang berskala nasional maupun internasional. Dalam pembicaraan itu tetap saja hadir berbagai konsep dan pemikiran mendasar dari mereka tentang 18
Mohammad Nor Syam, Pendidikan Filsafat dan Dasar Filasafat Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), h. 137. 19 Ibid, h. 137.
12
apa sesungguhnya pengertian pendidikan itu. Namun, sangat sulit untuk memperoleh suatu rumusan yang signifikan yang disepakati oleh mereka. Menyadari perbedaan-perbedaan pijakan pemikiran para ahli tersebut, tentunya dilatarbelakangi oleh sudut pandang masing-masing diakibatkan oleh berbagai faktor misalnya kondisi geografis di antara mereka, kondisi sosio kultural dari mereka, keahlian yang ditekuni, pendekatan yang digunakan serta keinginan yang mengilhami sasaran dan tujuan yang ditetapkan, disamping komprehensif dan sangat pekanya manusia yang menjadi objek kerja pendidikan. Keseluruhan perbedaan-perbedaan ini memiliki suatu nuansa positif dan perspektif dimana dengannya dapat disimak seberapa dalam dan luas masalah pendidikan, sehingga dapat dihayati bahwa masalah pendidikan tidak akan tuntas dibahas, namun tetap menjadi kebutuhan dasar (basic need) dari manusia yang menuntut adanya perenungan yang komprehensif dan sistematis atas dinamika pendidikan itu sekaligus berkaitan erat dengan dinamika perkembangan masyarakat dan tuntunan zaman yang terus mengalami perubahan. Selanjutnya kata pendidikan berasal dari raba‟-yarbu‟, artinya tumbuh dan berkembang. Dalam kamus dijelaskan ; yurabbi al-walad artinya memberinya makan dan membuatnya tumbuh dan berkembang. Arti lainnya adalah menyucikan diri. Dalam buku al-Munjid dijelaskan; yurabbi al-walad berarti membina dan membuatnya suci dan bersih. Sementara sebagian lain mengatakan, kata tarbiyah berakar kata dari raba-yarbu‟ yang artinya semakin tumbuh dan bertambah. 20 Secara etimologis, sebagian cendikiawan mengartikan tarbiyah sebagai perubahan berbagai potensi menjadi kemuliaan.21Pendidikan merupakan proses perubahan atau pengembangan diri anak didik dalam segala aspek kehidupan sehingga terbentuklah suatu kepribadian yang utuh (insan kamil) baik sebagai makhluk sosial, maupun makhluk individu, sehingga dapat beradaptasi dan hidup
20
Rasyid Majid Pur, Membenahi Akhlaq Mewarisi Kasih Sayang, (Bogor: Cahaya, 2003),
Cet. I, h. 1. 21
Ibid, h.2.
13
dalam masyarakat luas dengan baik. Termasuk bertanggung jawab kepada diri sendiri, orang lain, dan Tuhannya.22 Dalam kerangka pendidikan, istilah ta‟dib mengandung arti ilmu, pengajaran dan penguasaan yang baik. Tidak ditemui unsur penguasaan atau pemilikan terhadap objek atau anak didik, di samping tidak pula menimbulkan interpretasi mendidik makhluk selain manusia, misalnya binatang dan tumbuhtumbuhan. Karena menurut konsep Islam yang bisa bahkan harus didik hanyalah makhluk manusia. Dan akhirnya, Al-Attas menekankan pentingnya pembinaan tata krama, sopan santun, adab dan semacamnya atau secara tegas “akhlak yang terpuji” yang terdapat hanya dalam istilah ta‟dib. Dengan tidak dipakainya konsep ta‟dib untuk menunjukkan kegiatan pendidikan, telah berakibat hilangnya adab sehingga melunturkan citra keadilan dan kesucian. Menurut Al-Attas, keadaan semacam itu bisa membingungkan kaum muslimin, sampai-sampai tak terasa pikiran dan cara hidup sekuler telah menggeser berbagai konsep Islam di berbagai segi kehidupan termasuk pendidikan. Sedangkan menurut Ahmad D. Marimba “pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh sipendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani siterdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama atau insan kamil”23. Dengan demikian penulis dapat menyimpulkan dari berbagai pandangan yang telah dikemukakan bahwa pendidikan mempunyai pengertian sebagai upaya yang sistematis, terarah, dan terukur dalam membimbing dan mengarahkan anak didik agar dapat memahami dan mengajarkan ajaran Islam serta menjadikannya sebagai pedoman hidup sehari-hari dalam bertindak, bersikap dan berfikir. Disamping itu juga pendidikan merupakan aspek penting yang harus dilakukan oleh individu, keluarga, masyarakat, dan pemerintah agar segala usaha yang dilakukan itu dapat menjadi penggerak, pengendali serta pembimbing dalam kehidupan anak-anak didik sehingga terbentuklah manusia yang sempurna (insan kamil). 22
Hasan Hafidz, Dasar-dasar Pendidikan dan Ilmu Jiwa, (Solo: Ramadhani, 1989), h. 12. Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: PT Al-Ma‟rif, 1989), h. cet,VIII, h. 19. 23
14
B. Akhlak 1. Pengertian Akhlak Pendidikan akhlak ialah penanaman, pengembangan dan pembentukan akhlak yang mulia dalam diri anak didik. Pendidikan akhlak tidak harus merupakan suatu program atau pelajaran khusus, akan tetapi lebih merupakan suatu dimensi dari seluruh usaha pendidikan.24 Perkataan akhlak berasal dari bahasa Arab, jama‟ dari khuluqun yang berarti (sifat atau keadaan) dari perilaku yang konstan (tetap) dan meresap dalam jiwa, dari padanya tumbuh perbuatan-perbuatan dengan mudah dan wajar tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan.25 Berakar dari kata khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan kata Khaliq (Pencipta), makhluq (yang diciptakan) dan khalaq (penciptaan). Kesamaan akar kata di atas mengisyaratkan bahwa dalam akhlak tercangkup pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak Khaliq (Tuhan) dengan perilaku makhluq (manusia). Atau dengan kata lain, tata perilaku seseorang terhadap orang lain dan lingkungannya baru mengandung nilai akhlak yang hakiki manakala tindakan atau perilaku tersebut didasarkan kepada kehendak khaliq (Tuhan). Dari pengertian etimologis seperti ini, akhlak bukan saja merupakan tata aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan antar sesama manusia, tetapi juga norma yang mengatur hubungan antar manusia dengan Tuhan dan bahkan dengan alam semesta sekalipun. Menurut Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih akhlak adalah suatu keadaan atau bentuk gerakan jiwa yang tetap (konstan) yang melahirkan sikap atau perbuatan-perbuatan secara wajar tanpa didahului oleh proses berfikir atau rekayasa. Pengertian akhlak tersebut tidak memasukkan norma-norma/nilai-nilai yang belum meresap kedalam jiwa sehingga dapat membentuk perilaku tanpa ada status rekayasa. Sehingga apabila seseorang bertindak karena paksaan dari luar
24
M Sastraprtedja, Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, (Jakarta: Gramedia, 1993),
h. 3. 25
Abdul Kholiq et.al, Pemikiran Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999),
h. 87.
15
dan belum meresap kedalam jiwa seseorang, seperti karena terpaksa dalam berbuat, maka hal ini belum bisa dikatakan akhlaknya sudah terbentuk. Selanjutnya Abudin Nata dalam bukunya bahwa ada lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak: Pertama, perbuatan akhlak tersebut sudah menjadi keperibadian yang tertanam kuat dalam jiwa seseorang. Kedua, perbuatan akhlak merupakan perbuatan yang dilakukan dengan acceptable dan tanpa pemikiran (unthouhgt). Ketiga, perbuatan akhlak merupakan perbuatan tanpa paksaan. Keempat, perbuatan dilakukan dengan sebenarnya tanpa ada unsur sandiwara. Kelima, perbuatan akhlak dilakukan untuk menegakkan kalimat Allah.26 Akhlak merupakan pondasi (dasar) yang utama dalam pembentukan pribadi manusia yang seutuhnya, maka pendidikan yang mengarah terbentuknya pribadi yang berakhlak, merupakan hal yang pertama yang harus dilakukan, sebab akan melandasi kestabilan kepribadian manusia secara keseluruhan.
2. Macam-macam Akhlak a. Akhlak Mahmudah/Fadilah Akhlak mahmudah adalah segala macam sikap dan tingkah laku yang baik (yang terpuji). Secara garis besar akhlak mahmudah dibagi menjadi tiga, yaitu: 1) Akhlak terhadap Allah, 2) Akhlak terhadap diri sendiri, 3) Akhlak terhadap sesama.27 Adapun akhlak atau sifat-sifat mahmudah sebagaimana yang dikemukakan para ahli akhlak, antara lain: 1) Al-Amanah (setia, jujur, dapat dipercaya) 2) Al-Sidqu (benar, jujur) 3) Al-Adl (adil) 4) Al-Afwu (pemaaf) 5) Al-Wafa‟ (menepati janji) 6) Al-Ifafah (memelihara diri) 7) Al-Haya‟ (malu) 26
Abudin Nata dan Fauzan, Pendidikan dalam Persepektif Hadist, (Jakarta: UIN Jakarta press, 2005), h. 274. 27 A. Mustafa, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Pustaka Setia, 1999), h. 197.
16
8) As-Syajaah (berani) 9) Al-Quwwah (kuat) 10) As-Sabru (sabar) 11) Ar-Rahmah (kasih sayang) 12) As-Sakha‟u (murah hati) 13) At-Ta‟awun (penolong/tolong menolong) 14) Al-Islah (damai) 15) Al-Ikha‟ (persaudaraan), dan lain sebagainya yang menunjukan kepada sifat terpuji.28 Jadi
manusia
menyaksikan
dan
menyadari
bahwa
Allah
telah
mengaruniakan kepadanya keutamaan yang tidak dapat terbilang dan karunia nikmat yang tidak bisa dihitung banyaknya, semua itu perlu disyukuri dengan berupa berzikir dengan hatinya. Sebaiknya dalam kehidupannya senantiasa berlaku hidup sopan santun menjaga jiwanya agar selalu bersih, dapat terhindar dari perbuatan dosa, maksiat, sebab jiwa adalah yang terpenting dan pertama yang harus dijaga dan dipelihara dari hal-hal yang dapat mengotori dan merusaknya. Karena manusia adalah makhluk sosial maka ia perlu menciptakan suasana yang baik, satu dengan yang lainnya saling berakhlak yang baik. b. Akhlak Mazmumah/Qabihah Akhlak mazmumah (akhlak tercela) adalah sebagai lawan atau kebalikan dari akhlak yang baik sebagaimana tersebut di atas. Dalam ajaran Islam tetap membicarakan secara terperinci dengan tujuan agar dapat dipahami dengan benar, dan dapat diketahui cara-cara menjauhinya. Berdasarkan petunjuk ajaran Islam dijumpai berbagai macam akhlak yang tercela, di antaranya: 1) Ananiah (egois) 2) Al-Bagyu (lacur) 3) Al-Bukhl (pelit) 4) Al-Buhtan (dusta) 5) Al-Khmar (peminum khmar) 6) Al-Khianah (khianat) 28
Ibid, h. 198
17
7) Al-Jumu (aniaya) 8) Al-Gasysyu (curang) 9) Al-Fawahisy (dosa besar) 10) Al-Ghaddab (marah) 11) Al-Ghibah (mengumpat) 12) Al-Namumah (adu domba) 13) Al-Guyur (menipu, memperdaya) 14) Al-Hasad (dengki) 15) Al-Istikbar (sombong), dan lain sebagainya yang menunjukan sifatsifat yang tercela.29 Sebagaimana yang diuraikan di atas maka akhlak dalam wujud pengamalannya dibedakan menjadi dua: akhlak terpuji dan akhlak tercela. Jika sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya yang kemudian melahirkan perbuatan yang baik, maka itulah yang dinamakan akhlak yang terpuji, sedangkan jika ia sesuai dengan apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya dan melahirkan perbuatan-perbuatan yang buruk, maka itulah yang dinamakan akhlak yang tercela. Namun di sini penulis hanya menitik beratkan kepada nilai-nilai akhlak terpuji sebagai kajian yang perlu diamati dan didalami.
3. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak Pendidikan akhlak adalah pendidikan mengenai dasar-dasar moral dan keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak masa analisa hingga menjadi seorang mukallaf, seseorang yang telah siap mengarungi lautan kehidupan. Adapun secara umum akhlak dapat dibagi kepada tiga ruang lingkup yaitu akhlak kepada Allah swt, akhlak kepada manusia dan akhlak kepada lingkungan. a. Akhlak Kepada Allah swt Akhlak kepada Allah swt dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan taat yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk 29
Ibid, h. 200.
18
kepada Tuhan sebagai sang khalik. Karena pada dasarnya manusia hidup mempunyai beberapa kewajiban makhluk kepada khalik sesuai dengan tujuan yang ditegaskan dalam firman Allah swt., Surat Adz-Zariyat ayat 56:
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku”30 (Q.S. Adz-Zariyat: 56). Ada beberapa alasan yang meyebabkan manusia harus berakhlak kepada Allah swt antara lain: 1) Karena Allah swt yang menciptakan manusia Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur‟an surat Ath-Thaariq ayat 5-7 yang berbunyi:
Artinya: “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apa yang diciptakan? Dia diciptakan dari air yang terpancar yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada”31. (Q.S. Ath-Thaariq: ayat 5-7). 2) Karena Allah yang telah memberikan perlengkapan panca indra berupa pendengaran, penglihatan, akal pikiran dan hati sanubari, di samping anggota badan yang kokoh dan sempurna kepada manusia. Sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah swt dalam surat An-Nahl ayat 78:
Artinya:” Dan Allah swt mengeluarkan kamu dari perut ibummu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu
30 31
Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Termahnya, op. cit., h. 862. Ibid, h. 473 .
19
pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur”.32 (Q.S. AnNahl: ayat 78). 3) Karena Allah swt yang menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan bagi kelangsungan hidupa manusia seperti: bahan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang-binatang ternak dan sebagainya. Firman Allah swt dalam surat Al-Jaatsiyah ayat 12-13 yang berbunyi:
Artinya: “Allah swt yang telah menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya, dan supaya kamu dapat mencari sebahagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur. Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari pada-Nya. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar tanda-tanda (kekuasaan Allah swt) bagi kaum yang berfikir”.33 (Q.S. Al-Jaatsiyah: ayat 12-13) 4) Karena Allah yang telah memuliakan manusia dengan memberinya kemampuan menguasai daratan dan lautan. Hal ini ditegaskan oleh Allah swt dalam surat Al-Isra ayat 70:
Artinya:”Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang 32 33
Ibid, h. 473 Ibid, h. 399
20
baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan”.34 (Q.S. Al-Isra‟: ayat 70). Apabila manusia tidak ingin melaksanakan kewajiban sebagai makhluk berarti telah menentang kepada fitrahnya sendiri, sebab pada dasarnya manusia mempunyai kecendrungan untuk mengabdi kepada Tuhannya yang telah menciptakannya. Tujuan pengabdian manusia pada dasarnya hanyalah mengharapkan akan adanya kebahagiaan lahir dan batin, dunia dan akhirat serta terhindar dari murka-Nya yang akan mengakibatkan kesengsaraan diri sepanjang masa.35 Dalam berhubungan dengan khaliknya, manusia mesti memiliki akhlak yang baik kepada Allah swt yaitu: a) Tidak menyekutukan-Nya b) Taqwa kepada-Nya c) Mencintai-Nya d) Ridha dan Ikhlas terhadap segala sesuatu keputusan-Nya dan bertaubat e) Mensyukuri nikmat-Nya f) Selalu berdoa kepada-Nya g) Beribadah h) Selalu berusaha mencari keridhoan-Nya36 b. Akhlak Terhadap Sesama Manusia Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan manusia lain, orang kaya membutuhkan pertolongan orang miskin begitu juga sebaliknya, bagaimana pun tingginya pangkat seseorang sudah pasti membutuhkan rakyat jelata begitu juga dengan rakyat jelata, hidupnya akan terkatung-katung jika tidak ada orang yang membantunya.
34 35
Ibid, h. 231. A. Mudjab Mahli, Pembinaan Moral di Mata Al-Ghzali, (Yoghyakarta: BFE, 1984), h.
257. 36
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 148.
21
Adanya saling membutuhkan ini menyebabkan manusia sering mengadakan hubungan satu sama lain, jalinan hubungan ini sudah tentu mempunyai pengaruh dalam kehidupan bermasyarakat. Maka dari itu, setiap orang seharusnya melakukan perbuatan dengan baik dan wajar, seperti halnya: tidak masuk kerumah orang lain tanpa izin, mengeluarkan ucapan baik dan benar, jangan mengucilkan orang lain, berhusnudzon terhadap orang lain, memanggil dengan sebutan yang baik dan bagus. Kesadaran untuk berbuat baik sebanyak mungkin kepada orang lain, melahirkan sikap dasar untuk mewujudkan keselarasan, dan keseimbangan dalam hubungan manusia secara pribadi maupun dengan masyrakat lingkungannya. Adapun kewajiban setiap orang untuk menciptakan lingkungan yang baik adalah bermula dari diri sendiri. Jika tiap pribadi mau bertingkah laku mulia maka terciptalah masyarakat yang aman dan bahagia. Sebagai individu manusia tidak dapat bisa memisahkan diri dari masyarakat, dia senantiasa membutuhkan dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Agar tercipta hubungan yang baik dan harmonis dengan masyarakat tersebut setiap pribadi harus memiliki sifat terpuji dan mampu menempatkan dirinya secara positif ditengah-tengah masyarakat. Pada hakikatnya orang yang berbuat baik atau berbuat jahat/tercela terhadap orang lain adalah untuk dirinya sendiri. Orang lain akan senang berbuat baik kepada seseorang jika orang tersebut sering berbuat baik kepada orang itu. Ketinggian budi pekerti seseorang menjadikannya dapat melaksanakan kewajiban dan pekerjaan dengan baik dan sempurna sehingga menjadikan orang itu dapat hidup bahagia. c. Akhlak Terhadap Lingkungan Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan maupun benda-benda yang tak bernyawa. Manusia sebagai khlifah dipermukaan bumi ini menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam yang
22
mengandung pemeliharaan dan bimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya. Sehingga manusia mampu bertanggung jawab dan tidak melakukan kerusakan terhadap lingkungannya serta terbiasa melakukan yang baik, indah, mulia, terpuji untuk menghindari hal-hal yang tercela. Dengan demikian terciptalah masyarakat yang aman dan sejahtera. Pada dasarnya faktor bimbingan pendidikan agama terhadap anak yang dilakukan oleh orang tua di rumah, dan guru di sekolah akan dapat berpengaruh terhadap pembentukan akidah, ibadah, dan akhlak anak yang baik.
4. Hasil Penelitian yang Relevan Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menemukan beberapa penelitian yang relevan yaitu dari hasil penulis sebelumnya. Kajian yang relevan tersebut antara lain adalah: a.
Penelitian yang dilakukan oleh Luqman Hakim yang berjudul “Nilainilai Pendidikan pada Karakter Guru Profesional Dalam Persepektif Al-Qur`an (Telaah Surah Luqman ayat 12-19)”. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan metode yang digunakannya adalah metode library reseach. Dan hasil dari penelitian tersebut adalah bahwa peran akhlak dalam pendidikan agama Islam secara keseluruhan dari tiga dimensi yaitu mendidik, mengajar dan memberi contoh yang baik.
b.
Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Suryadi yang berjudul “NilaiNilai Pendidikan dalam Surat Al-ikhlas (kajian akhlak)”. Penelitian tersebut menggunakan metode deskriptif kualitatif. Dan dari hasil penelitian tersebut adalah melalui analisa fenomena di lapangan dengan wawancara yang dilakukan dan pengamatan pada objek penelitian, ditemukan bahwa upaya guru untuk membina akhlak yang baik pada muridnya dengan beberapa cara, yaitu, bercerita, memutar video, memberikan reward. Dan memberikan buku harian prestasi
23
yang beretujuan untuk meningkatkan ibadah dan akhlak yang baik. Dan beberapa pesan komunikasi yang diberikan guru kepada murid dalam upaya meningkatkan akhlak yang baik adalah dengan beberapa cara yaitu, melalui pesan komunikasi verbal dan pesan komunikasi non verbal
24
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian Dalam menyusun skripsi ini penulis mengambil tempat penelitian diperpustakaan Iman Jama‟, serta didukung dengan koleksi buku-buku di perpustakaan, baik di perpustakaan Utama maupun Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Karena penelitian ini adalah bersifat kajian pustaka, maka yang menjadi objek penelitian pada skripsi ini adalah bukubuku referensi dan literatur yang dapat dipertanggung jawabkan yang terkait dengan pembahasan skripsi dengan judul “Nilai-nilai Pendidikan yang Terkadung dalam Surat Al-Ankabut ayat 16-24”. Penelitian ini berlangsung selama empat semester.
B. Metode Penelitian Dalam
upaya
mengungkap
permasalahan
yang
dibahas,
penulis
menggunakan pendekatan secara kualitatif, yaitu Penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang mendalam berupa kata-kata tertulis.37 Untuk memperoleh data yang representatif, dalam pembahasan skripsi ini digunakan metode penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan cara menelaah, menganalisis, meneliti dari sumber rujukan atau literatur yang dapat di pertanggung jawabkan tentang masalah yang berkaitan dengan pembahasaan skripsi ini. Dimana sumber pokoknya (primer) adalah: 1. Al-Qur'an. 2. Empat buku Tafsir Al-Qur'an : Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian AlQur'an, karya M. Quraish Shihab. Tafsir al-Azhar, karya H. Abdullah Malik Karim
37
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam Dengan Pendekatan Multidisipliner, (Jakarta, 2010), Cet. Ke- 2, h. 352.
24
25
Amarullah (Hamka), Tafsir Al-Maraghi, karya Ahmad Mustafa Al-Maraghi, dan Shahih Tafsir Ibnu Katsir, karya Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri. 3. Hadits-hadits Nabi SAW. Disamping hal tersebut, juga merujuk pada buku-buku pendukung (sekunder) baik yang ada hubungan langsung maupun tidak langsung. Sumbersumber pendukung ini antara lain adalah: 1. Buku-buku Tafsir yang dianggap memadai dan mewakili. 2. Buku-buku yang berisikan ilmu-ilmu tentang Al-Qur`an, atau yang dikenal dengan „Ulum Al-Qur‟an. 3. Kamus-kamus yang memuat daftar kata-kata Al-Qur`an, yang mana isinya merupakan petunjuk praktis untuk menemukan ayat-ayat. Dan dipakai pula kamus-kamus lain yang relevan dengan pembahasan. 4. Sumber-sumber lain yang relevan dengan pembahasan. Adapun metode yang digunakan dalam menafsirkan ayat yang dibahas dalam skripsi ini, peneliti menggunakan
metode tafsir Tahlili yaitu dengan
berupaya mengkaji ayat-ayat Al-Qur‟an dari segala berbagai macam aspek pengetahuan dan maknanya atau (dalam hal ini QS. Al-Ankabut 16-24) dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan khusus atau tema sentral surah tersebut,
Tahapan-tahapan yang akan dilalui dalam penelitian tentang nilai-nilai pendidikan dalam surah Al-Ankabut ayat 16-24 dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Menetapkan ayat yang akan diteliti sebagai obyek bahasan. 2. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. 3. Diperlukan pengetahuan tentang latar belakang diturunkannya ayat/asbab an-nuzul, yang dimaksudkan untuk mempermudah memahami pengertianpengertian ayat. 4. Diteliti juga munasabah bagian-bagian ayat dengan ayat atau dengan ayatayat lain dan berbagai bentuk hubungan lain. Tampaknya hal ini dapat
26
disejajarkan dengan memperhatikan kontek pembicaraan yang mengitari ayat. 5. Jika diperlukan maka akan diperkaya dengan berbagai hadits Nabi Saw, yang ada hubungannya dengan pembahasan. Karena hadits dapat menjelaskan dan membantu mendapatkan pengertian makna yang terkandung dalam Al-Qur`an. 6. Memperhatikan penafsiran-penafsiran para mufasir khususnya dalam kitab-kitab
tafsir
yang
menjadi
rujukan
utama
dengan
tidak
mengesampingkan referensi lain yang dapat membantu dalam memahami tentang makna nilai pendidikan dalam surat tersebut. 7. Langkah berikutnya adalah pemeriksaan Tahlili, yakni usaha menafsirkan ayat-ayat yang dijadikan obyek pembahasan. Dalam hal ini terbagi dalam beberapa tahapan.Pertama,memilih, menentukan dan menjelaskan kata kunci yang dapat membantu untuk memahami konsep nilai pendidikan apa sajakah yang terkandung dalam ayat-ayat yang sedang dibahas, kedua menafsirkan ayat-ayat yang menjadi obyek pembahasan dengan menggunakan huruf bercetak tegak sebagai pembeda terjemahan ayat yang dicetak dengan huruf italic (miring), ketiga menjelaskan konsep nilai pendidikan yang ada dalam ayat yang menjadi obyek pembahasan. Sedangkan teknik penulisan, penulis berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi” yang telah distandarkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
C.
Fokus Penelitian Dalam membahas skripsi ini, penulis hanya fokus menelusuri kandungan
surah Al-Ankabut: 16-24, dengan melihat penafsirannya serta menganalisa dengan merujuk kepada penafsiran para ulama untuk kemudian dijadikan sebagai referensi dalam penelitian dan penulisan skripsi ini. Pemilihan ayat yang terkandung dalam surat Al-Ankabut: 16-24 ini.
27
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Tafsir Surat Al-Ankabut Ayat 16-24 Surat Al-Ankabut yang berarti rumah laba-laba adalah nama surah yang ke-29 di antara surah-surah di dalam Al-qur‟an, terdiri dari 69 ayat dan termasuk dalam golongan surah-surah makiyyah. Nama surat ini diambil dari perkataan alankabut yang terdapat pada ayat 41 surah ini. “Dinamakan demikian karena dalam surah ini Allah swt mengumpamakan orang-orang yang menyembah berhala itu seperti rumah laba-laba yang percaya kepada kekuatan rumahnya sebagai tempat dia berlindung dan sebagai tempat ia menangkap mangsanya. Padahal apabila ditiup angin atau ditimpa oleh suatu barang yang kecil saja, rumah itu akan hancur. Begitu pula dengan kaum musyrikin yang percaya dengan kekuatan sembahan-sembahan yang tidak mampu sedikitpun menolong mereka dari azab Allah swt di dunia. Apalagi menghadapi azab Allah swt di akhirat nanti‟‟.38 Al-BIqa‟I berpendapat bahwa tujuan utama surah ini adalah perintah untuk bersungguh-sungguh melaksanakan amr ma‟ruf dan nahi‟ munkar serta ajakan menuju jalan Allah dan pujian atas-Nya tanpa jemu, sedangkan menurut Thabathaba‟I berkesimpulan bahwa tujuannya adalah menjelaskan bahwa Allah swt, menghendaki dari keimanan bukan sekedar mengucapkan: “Kami telah beriman kepada Allah”, tetapi yang dikehendakinya adalah hakikat iman yang tercermin pada keteguhan menghadapi gelombang fitnah dan penganiayaan, tidak tergoyahkan oleh perubahan keadaan dan situasi, tetapi terus-menerus teguh bertahan kendati penganiayaan silih berganti.39 Jika memperhatikan paparan atau penjelasan para ahli di atas bahwa salah satu tujuan sentral dan yang paling utama diturunkannya surat ini yaitu menjelaskan keteguhan hakikat iman meski berbagai macam ujian dan cobaan yang dihadapi, tanpa ada perubahan sedikitpun dari keimanan tersebut 38
Ahsin w, Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Hamzah, 2006), Cet.2, h. 25-26. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah pesan, kesan, dan keserasian Al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 4. 39
27
28
1. Tafsir Ayat Al-Ankabut Ayat 16
ۡ لَكُمۡ إِن كُىتُمٞخيۡش َ ۡوَإِبۡشٌَِٰيمَ ِإرۡ قَالَ لِقَوۡمًِِ ٱعۡ ُبذُواْ ٱلّلًََ وَٱّتَقُويُۖ رَٰلِ ُكم ٦١ َّتَعّۡلَمُون Artinya: Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya: "Sembahlah olehmu Allah dan bertakwalah kepada-Nya. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (QS. Al-Ankabut ayat 16). Allah ta‟ala memberitahukan tentang hamba, Rasul, dan kekasih-Nya, Ibrahim as sebagai pemimpin umat yang hanif bahwa dia mengajak kaumnya untuk menyembah Allah yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, serta memurnikan ketakwaan dan permintaan rezeki hanya kepada-Nya semata tanpa sekutu bagiNya. Nabi Ibrahim as mengajak mereka dengan dakwah yang sederhana dan jelas, tak kompleks dan misterius. Dakwah itu disampaikan secara teratur dengan cermat, sehingga sangat baik jika diteladani oleh pembawa dakwah. Ia memulai dengan menjelaskan hakikat dakwah dan mengajak mereka kepada-Nya, “Sembahlah olehmu Allah swt dan bertakwalah kepada-Nya. Kata ta‟lamun terambil dari kata alima- ya‟lamu yang mempunyai arti mengetahui, mempelajari. Dan dari ayat tersebut terdapat dorongan bagi mereka untuk menghilangkan kebodohan dari diri mereka sendiri dan memilih kebaikan bagi mereka.. Musthafa Al-Maraghi menafsirkan: “ingatkanlah kepada kaummu kisah Ibrahim as setelah akalnya sempurna, mampu mengadakan penelitian, meningkat martabatnya dari martabat kesempurnaan ke martabat memberi petunjuk kepada manusia, dan melaksanakan dakwah kejalan yang haq, maka ia menyeru kaumnya untuk menyembah Allah swt semata, yang tidak mempunyai sekutu, memurnikan ibadah kepada-Nya, baik dalam keadaan sembunyi-sembunyi maupun dalam keadaan terang-terangan, dan menjauhi kemurkaan-Nya dengan melaksanakan segala kewajiban-Nya dan menjauhi kemaksitan.”40
40
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, h. 218.
29
Allah swt memerintahkan nabi Muhammad saw agar menceritakan kepada kaumnya kisah nabi Ibrahim as. Setelah dewasa dan sempurna pertumbuhan akalnya, sanggup untuk berpikir dan menganalisa sesuatu dengan objektif serta telah memungkinkan untuk mencapai derajat kenabiaan yang sempurna, maka Ibrahim as mulai mencurahkan perhatiaanya menyeru manusia untuk menerima kebenaran yang dibawanya. Ia mengajak mereka untuk mengEsakan Allah swt dalam ibadah dan membersihkan diri dari segala bentuk kemusyrikan. Ia juga menyerukan agar mereka ikhlas mengabdi kepada Allah swt baik ketika seorang diri atau dihadapan orang banyak, serta menjauhi murka Allah swt dengan melaksanakan segala tugas dan kewajiban yang diperintahkan-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya Maka penulis berkesimpulan dari uraian di atas bahwa untuk mencegah diri dari segala kemusyrikan yang ada yaitu dengan cara mendekatkan diri kepada Allah dengan sebenar-benarnya tanpa ada penyelewengan sedikitpun yang mengenai tentang akidah, dan berilmulah karena dengan ilmu seseorang bisa mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk.
Al-Ankabut Ayat 17
َ ا وَّتَخّۡلُقُونَ إِفۡ ًكاۚ إِنَ ٱَلزِيهَ ّتَعۡ ُبذُوٞإِوَمَا ّتَعۡ ُبذُونَ مِه دُونِ ٱلّلًَِ أَوۡثَٰه ن َا فَٲبۡتَغُواْ عِىذَ ٱلّلًَِ ٱلشِصۡقٞمِه دُونِ ٱلّلًَِ لَا َيمّۡلِكُونَ لَ ُكمۡ سِصۡق ٦١ َوَٱعۡ ُبذُويُ وَٱشۡكُشُواْ لَ ًُۥٓۖ إِلَيًِۡ ّتُشۡجَعُون Artinya: Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat dusta. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezki kepadamu; Maka mintalah rezki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. hanya kepada- Nyalah kamu akan dikembalikan. (QS. Al-Ankabut ayat 17). Kata autsanan adalah bentuk jamak dari kata watsan, yaitu berhala yang berupa batu atau dari kayu dan memiliki bentuk seperti manusia atau hewan
30
yang mereka pilih atau buat untuk disembah. Kata ini lebih khusus dari pada kata ashnam, karena yang ini adalah berhala yang disembah walau hanya batu yang tidak berbentuk.41 Kata autsanan dalam ayat ini berbentuk nakirah sehingga mengisyratkan bahwa kepercayaan tentang ketuhanan berhala-berhala itu adalah kepercayaan sesat yang tidak berdasar serta berupa kebohongan dan pemutar balikan fakta karena
berhala-berhala
penyembahnya.
itu
tidak
mampu
memberikan
manfaat
kepada
42
Ahmad Mushtafa al-Maraghi menegaskan bahwa pada ayat ini “Allah swt memberitahukan kepada orang kafir bahwa apa yang mereka sembah selain Allah swt itu tidak lain hanyalah berhala-berhala yang mereka buat dengan tangan mereka sendiri, dan mereka berdusta ketika menamakannya sebagai Tuhan serta mengakuinya dapat memberikan syafaat bagi mereka di sisi Tuhan”.43 Dalam tafsir Fi Zhilal al-Qur‟an, dijelaskan bahwa nabi Ibrahim menjelaskan kepada mereka kerusakan kepercayaan mereka selama ini ditinjau dari beberapa segi. Pertama, mereka menyembah berhala-berhala selain Allah swt, dan itu adalah penyembahan yang amat bodoh. Apalagi jika mereka menghindar untuk menyembah Allah swt. Kedua, dengan penyembahan itu mereka tidak bersandar pada dalil. Berhala itu hanyalah buatan mereka dengan penuh misi dusta dan kebatilan mereka menciptakannya sebagai suatu ciptaan yang tak ada cerita sebelumnya, karena mereka membuat sesuai dengan dorongan diri mereka tanpa ada dasar dan kaidah yang menjadi pijakan mereka. Ketiga, berhala-berhala ini tidak memberikan manfaat bagi mereka sedikitpun.44 Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang mereka sembah ini hanyalah berhala. Berhala itu adalah buatan tangan mereka sendiri, lalu mereka beriman. Padahal berhala mereka terbuat dari batu atau dari kayu. 41
M. Quraish Syihab, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 461. 42 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an Dan Tafsirannya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2007), Cet I, h. 377. 43 Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: Toha Putra. 1989), h. 218. 44 Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur‟an Di Bawah Naungan Al-Qur‟an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 95.
31
Mereka membuatnya sendiri lalu kemudian mereka sembah dan mereka muliakan dan mereka beri nama dan mereka Tuhankan, perbuatan mereka sudah nyata dusta. Kata rizqan terambil dari asal kata razaqa yarzuqu rizqon yang artinya “tiap-tiap rizki yang memberi manfaat”. Penulis menarik kesimpulan bahwa rizki itu adalah sesuatu hal yang dapat memberikan asas manfaat terhadap orang lain yang datangnya langsung dari Allah swt melalui perantara. Oleh karena itu dianjurkan kepada manusia agar sekiranya terus meningkatkan ibadahnya dan meminta rizki kepada Allah, karena Allahlah sang maha pemberi rizki dan memberikan kepada orang yang Ia kehendaki-Nya. Selanjutnya kata fabtaghu terambil dari kata bagha yang antara lain berarti meminta atau menuntut sesuatu melebihi batas moderasi, baik dalam kuantitas maupun kualitas. Ahmad mustafa al-maraghi menjelaskan, maka carilah rizki dari Allah swt bukan dari berhala-berhala kalian, niscaya kalian akan memperoleh apa yang kalian cari itu dan beribadah kepada-Nya semata dan bersyukurlah atas segala nikmat yang dilimpahkan-Nya kepada kalian seraya memohon tambahan dan karunia-Nya. Rizki itu menjadi pikiran utama banyak orang, terutama jiwa yang tak dipenuhi dengan keimanan. Namun mencari rizki dari Allah swt adalah hakikat yang bukan sekedar untuk mendorong kecendrungan yang tersimpan dalam jiwa.
Al-Ankabut Ayat 18
32
.
Artinya: dan jika kamu (orang kafir) mendustakan, Maka umat yang
sebelum kamu juga telah mendustakan. dan kewajiban Rasul itu, tidak lain hanyalah menyampaikan (agama Allah) dengan seterang-terangnya." (QS. AlAnkabut ayat 18). Ayat 18 di atas merupakan lanjutan nasihat nabi Ibrahim as kepada kaumnya, setelah beliau melihat tanda-tanda penolakan mereka atau nasihat tersebut beliau sampaikan sebelum beliau telah menyampaikan nasihat lalu mereka menolak. Bisa juga ayat di atas adalah komentar sekaligus teguran dari Allah swt kepada kaum musyrikin untuk memberikan penegasan bahwa tugas Rasul hanyalah menyampaikan ajaran agama Allah dan mengajak kepada kebeneran. Ayat di atas dapat juga merupakan penjelasan tentang pendustaan dan akibatnya yang akan dialami oleh mitra bicara yang menolak kehadiran rasul. Seakan-akan menyatakan kepada kaum musyirikin bahwa keadaan kamu dalam menolak ajaran rasul, serupa dengan keadaan umat-umat yang lalu. Mereka juga mendustakan Rasulnya, sikap itu mengundang jatuhnya siksa Allah swt, mereka tidak mampu menolaknya dan tidak juga ada yang menolong mereka. Di dalam tafsir Fakhr al-Razi dikatakan dalam ayat ini terdapat dua khitab. Pertama, menceritakan tentang kaum nabi Ibrahim as. Sebagaimana ibrahim berkata kepada kaumnya “jika kamu mendustakan, maka umat-umat sebelum kamu telah mendustakan”. Kedua, bahwasannya khitab itu adalah khitab terhadap kaum nabi Muhammad dan penjelasannya, bahwasannya hikayat-hikayat yang banyak itu untuk tujuan-tujuan tertentu. Tetapi hikayat itu merupakan hikayat yang baik, oleh karena itu banyak sekali penghikayat mengatakan untuk apa aku kehilangan hikayat ini. Nabi Muhamammad bermaksud memberi peringatan kepada kaumnya mengenai umat-umat terdahulu, sehingga mereka mencegah dirinya dari berbohong dan mereka menggigil karena takut siksaan, lalu Nabi Muhammad bersabda pada pertengahan hikayatnya “hai kaumku, jika kamu
33
mendustakan aku maka aku takut akan datang sesuatu (siksaan) yang datang kepada umat-umat sebelum kamu”.45 Menurut Quraish Shihab ayat tersebut di atas merupakan bentuk pendustaan kaum Nabi Ibrahim as dan akibat dari pendustaan tersebut, yang menyatakan: Wahai kaum musyrikin dan pendurhaka, siapapun kamu membenarkan tuntunan Allah swt maka itu adalah untuk keuntungan kamu dalam kehidupan dunia dan akhirat, dan jika kamu terus menerus mendustakan ajaran Allah swt yang disampaikan oleh para rasul, maka kamu merugikan diri kamu sendiri. Dan cukuplah kamu ketahui bahwa umat-umat yang sebelum kamu seperti umat Nabi Nuh as, Ad dan Tsamud telah mendustakan para rasul mereka, lalu Allah swt membinasakan yang durhaka dan menyelamatkan yang taat. Demikian mereka merugikan diri sendiri dan tidak sedikitpun merugikan Allah swt atau para rasulNya.46 Nabi Ibrahim as kembali memperingatkan kaumnya bahwa jika mereka membenarkan apa yang telah disampaikan kepada mereka, pasti mereka akan bahagia. Sebaliknya, mereka akan mendapat mudarat dan kesengsaraan jika tetap mendustakan seruan Nabi seperti yang dialami orang-orang sebelum mereka yang mendustakan para utusan Allah swt. Seperti yang telah dialami umat Nabi Nuh, Nabi Hud, dan Nabi Saleh. Mereka semua telah disiksa oleh Allah swt akibat kedurhakaannya. Di sisi lain, Allah swt menyelamatkan orang-orang yang beriman beserta para rasulnya.47 Al-Maraghi
menjelaskan,
“Jika
kalian
membenarkan
aku,
maka
sesungguhnya kalian telah beruntung memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Maka sesungguhnya kalian tidak akan mendatangkan kemudharatan pendustaan kalian itu, karena umat-umat sebelum kalian pernah mendustakan para rasulnya, seperti kaum Nabi Idris, Nabi Nuh, Nabi Hud, dan Nabi Saleh. Lalu
45 46
Muhammad al-Razi Fakhruddin, Tafsir Fakhru al-Razi, … h. 46. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, h. 462-
463. 47
Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Tafsirannya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2007), Cet. 1, h. 378.
34
berlakulah apa yang telah menjadi sunah Allah swt pada makhluknya, yaitu keselamatan orang-orang yang membenarkan para rasulnya”. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tugas rasul hanya menyampaikan dakwah mengesakan Allah. Bila seseorang tidak mau beriman dan tetap mendurhakai rasul, tidak akan mendatangkan kerugian kepada rasul itu, tetapi justru menimbulkan kecelakaan bagi orang itu sendiri.
Al- Ankabut Ayat 19-20
Artinya: Dan Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia)
dari
permulaannya,
kemudian
mengulanginya
(kembali).
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Ankabut ayat 1920). Kata yarau terambil dari kata “ra‟a yang dapat berarti melihat atau memandang.48 Thaba‟thaba‟I sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab memahami kata tersebut dalam arti melihat dengan mata hati atau memikirkan bukan melihat dengan mata kepala, sedangkan Thahir Ibn Asyur memahami kata tersebut dalam
48
Muhammad Idris Abdul Rauf al-Marbawi, Kamus Arab Melayu, h. 222.
35
kedua makna di atas, yaitu melihat dengan mata kepala dan melihat dengan mata hati. Sebagian ulama memandang ayat ini ditunjukan kepada penduduk Mekkah yang tidak mau beriman kepada Rasulullah. Tetapi Jumhur mufassir berpendapat bahwa ayat ini masih merupakan rangkaian dari peringatan Nabi Ibrahim kepada kaumnya. Menurut Sayyid Quthb, “ini adalah khitab yang ditujukan kepada orangorang yang mengingkari Allah dan pertemuan dengan-Nya. Khitab melalui cara Al-Qur‟an dalam menjadikan seluruhnya sebagai media pemaparan ayat-ayat keimanan dan petunjuk-Nya dan lembaran yang terbuka bagi indra dan hati, yang mencari ayat-ayat Allah di dalamnya, dan melihat bukti-bukti wujud-Nya dan wihdaniyah-Nya. Maha benar janji dan ancamannya.”49 Di sini Allah menegaskan bila mana orang-orang kafir tetap tidak juga percaya kepada Allah Yang Maha Esa seperti apa yang disampaikan oleh para rasul-Nya, maka mereka diajak untuk melihat dan memikirkan tentang proses kejadian dari mereka sendiri sejak dari permulaan sampai akhir. Allah menciptakan manusia mulai dari proses di rahim ibu selama enam atau sembilan bulan atau lebih. Setelah lahir manusia dilengkapi dengan kemampuan pendengaran, penglihatan, dan akal pikiran. Untuk menjamin kehidupannya, Allah memudahkan sumber-sumber rizki guna menunjang kelestarian hidupnya. Apabila telah datang takdir, Allah mewafatkannya melalui malaikat yang ditugaskan. Bagi Allah membangkitkan manusia adalah mudah seperti mudahnya menciptakan mereka.50 Kata yubdi‟u terambil dari kata bada‟a berkisar maknanya pada memulai sesuatu. Dalam al-munjid kata bada‟a diartikan “iftahuhu qoddamuhu fil amal atau memulai, mendahulukan dalam perbuatan”.51
49
Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur‟an Di Bawah Naungan Al-Qur‟an, h. 96. Departemen Agama RI, Al-Qur‟an Dan Tafsirannya, h. 380 51 Luis Ma‟luf, Al-Munjid, (Beirut, Dar el-Machreq, 1986), h. 28 50
36
Maksudnya, Allah yang memulai penciptaan dipahami dalam arti “Dia yang menciptakan segala sesuatu pertama kali dan tanpa contoh sebelumnya”. Ini mengandung arti bahwa Allah ada sebelum adanya sesuatu. Dia menciptakan yang tidak ada maka menjadi ada segala sesuatu yang dikehendaki-Nya.52 Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini: “Allah memberitahukan tentang alKhalil as bahwasannya ia menegaskan hari kiamat kepada kaumnya yang mengingkarinya. Penegasan itu melalui hasil penciptaan Allah yang dapat mereka liat pada diri mereka sendiri, setelah sebelumnya mereka bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa, hingga datang suatu masa pengembalian pada asalnya, dan itu mudah bagi Allah swt. Penegasan itu juga dilakukan dengan mengambil pelajaran dari penciptaan langit dan bumi, makhluk-makhluk yang ada pada keduanya, dan benda-benda yang ada diantara keduanya yang menunjukan kepada adanya pembuat sebagai Pencipta Yang Mutlak, yang mengatakan pada sesuatu “jadilah” maka ia pun menjadi”.53 Karena Allah berfirman yang artinya: “Dan Dialah yang memulai penciptaan, kemudian mengulangnya kembali, dan itu lebih mudah bagi-Nya. Dia memiliki sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi. Dan Dialah yang Maha perkasa Maha Bijaksana”. Tegasnya ayat ini memperingatkan bahwa manusia seharusnya dapat memahami betapa mudahnya bagi Allah menciptakan manusia, akan tetapi mengapa mereka tidak mempercayai akan adanya hari kebangkitan pada hal itu justru lebih mudah bagi Allah. Sementara ulama membatasi kata ( ) al-khalq pada ayat ini dalam pengertian manusia.”ini karena mereka memahami kata “yu‟iduhu” yakni mengembalikan manusia hidup kembali di akhirat setelah kematiannya di dunia ini”.54
52
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, h. 464. Muhammad Nasib al-Rifa‟I, Kemudahan Dari Allah: Riangkasan Tafsir Ibn Katsir, Terj, Syihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), cet ke-1, h. 723. 54 M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan dan Kesan Keserasian al-Qur‟an, h. 465. 53
37
Kata () an-nasy‟ah terambil dari kata nasya‟a yaitu menjadikan
kejadian, pada ayat ini maksudnya Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk mengatakan kepada orang-orang musyrik, jika mereka belum juga mempercayai keterangan-keterangan di atas antara lain yang disampaikan oleh leluhur mereka dan bapak para Nabi yakni Nabi Ibrahim, Allah menganjurkan agar mereka berjalan mengunjungi tempat-tempat lain seraya memperhatikan dan memikirkan betapa Allah kuasa menciptakan makhluk-Nya. Al-Maraghi menafsirkan ayat ini “Berjalanlah dimuka bumi ini dan saksikanlah langit-langit dengan segala bintangnya yang terang, baik bintang yang tetap maupun yang beredar, saksikanlah pula bumi dengan segala isinya, seperti gunung, tanah rata, gurun pasir dan padang tandus, pepohonan dan buah-buahan, serta sungai-sungai dan lautan. Semua itu menjadi saksi atas kebaruannya sendiri dan atas adanya pembuatan yang apabila berkata kepada sesuatu “jadilah”, maka terjadilah ia”.55 Perintah berjalan kemudian dirangkai dengan perintah melihat seperti firman-Nya (siiru fii al-ardhi fandhuru) ditemukan dalam al-Qur‟an sebanyak tujuh kali, ini mengisyratkan perlunya melakukan apa yang diistilahkan dengan wisata ziarah. Dengan perjalanan itu manusia dapat memperoleh suatu pelajaran dan pengetahuan dalam jiwanya yang menjadikannya menjadi manusia terdidik dan terbina, seperti dia menemui orang-orang terkemuka sehingga dapat memperoleh manfaat dari pertemuannya dan yang lebih terpenting lagi ia dapat menyaksikan aneka ragam ciptaan Allah.56 Dengan melakukan perjalanan di bumi seperti yang telah diperintahkan dalam ayat ini, seseorang akan menemukan banyak pelajaran yang berharga baik melalui ciptaan Allah yang terhampar dan beraneka ragam maupun dari peninggalan-peninggalan lama yang masih tersisa puing-puingya. Ayat di atas adalah pengarahan Allah untuk melakukan riset tentang asal usul kehidupan lalu kemudian menjadikannya bukti. Sebagai tambahan 55 56
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, h. 222. M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan dan Kesan Keserasian al-Qur‟an, h. 468.
38
perjuangan mencari ilmu pengetahuan merupakan tugas atau kewajiban bagi setiap muslim baik bagi laki-laki maupun wanita. Menurut Nabi tinta para pelajar nilainya setara dengan darah para syuhada‟ pada hari pembalasan. Dengan demikian para pelaku dalam proses belajar mengajar, yaitu guru dan murid dipandang sebagai “orang-orang terpilih” dalam masyarakat yang telah termotivasi secara kuat oleh agama untuk mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan mereka, hal ini sejalan dengan ayat Al-Qur‟an surat At-Taubah ayat 122 yang berbunyi:
Artinya: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.(QS. At-Taubah ayat 122). Sungguh dalam Islam mereka yang tekun mencari ilmu lebih dihargai dari pada mereka yang beribadah sepanjang masa. Kelebihan ahli ilmu dari pada ahli ibadah adalah seperti kelebihan Muhammad saw atas orang Islam seluruhnya. Dikalangan kaum muslimin hadist ini sangat populer sehingga mereka memandang bahwa mencari ilmu merupakan bagian integral dari ibadah. Dalam Islam nilai keutamaan dari pengetahuan keagamaan berikut penyebarannya tidak pernah diragukan lagi. Nabi menjamin bahwa orang yang berjuang dalam rangka menuntut ilmu akan diberikan banyak kemudahan oleh Tuhan menuju surga. Para pengikut atau murid Nabi telah berhasil meneruskan dan menerapkan ajaran tentang semangat menuntut ilmu. Motivasi religius ini juga bisa ditemukan dalam tradisi Rihla. Suatu tradisi ulama yang disebut al-rihla fi talab al-„ilm. Suatu perjalanan dalam rangka mencari ilmu adalah bukti sedemikian besarnya rasa keingintahuan dikalangan para ulama.
39
Rihla tidak hanya merupakan tradisi ulama, tapi juga merupakan kebutuhan untuk menuntut ilmu dan mencari ilmu yang didorong oleh nilai-nilai religius. Hadist-hadist Nabi membuktikan suatu hubungan tertentu: “seseorang yang pergi mencari ilmu dijalan Allah hingga ia kembali, ia memperoleh pahala seperti orang yang berperang menegakan agama. Para malaikat membentangkan sayap kepadanya dan semua makhluk berdoa untuknya termasuk ikan”. Islam secara mutlak mendorong para pengikutnya untuk menuntut ilmu sejauh mungkin, bahkan sampai ke negri Cina. Nabi menyatakan bahwa “Jauhnya letak suatu Negara tidaklah menjadi masalah, sebagai ilustrasi unik terhadap kemuliaan nilai ilmu pengetahuan”57. Siapapun sepakat hadist Nabi yang berbunyi Utlub al-„ilm walau kana bi al-shin, menekankan betapa pentingnya mencari ilmu terutama ilmu agama yang dikategorikan Imam Ghazali sebagai fardlu „ain.
Al-Ankabut Ayat 21
Artinya: Allah mengazab siapa yang dikehendaki-Nya, dan memberi rahmat kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan hanya kepada-Nya-lah kamu akan dikembalikan. (QS. Al-Ankabut ayat 21). Ayat di atas menyebutkan hal yang terpenting dalam kehidupan dihari kemudian (kiamat) kata “” terambil dari kata “qalaba-yaqlibu-qolban yang berarti membalik”. Hati manusia dinamai qolb karena ia sering kali berbolak balik, al-Maraghi menafsirkan kata tuqlabun yaitu kalian dihidupkan kembali setelah mati, maksudnya ialah sekalipun pengembalian itu ditangguhkan, namun kalian jangan mengira bahwa Dia akan luput dari kalian.
57
Abdurrahman Mas‟ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h.24-27.
40
Didahulukannya kata
ilaihi
atas
tuqlabun
untuk
mengisyaratkan
kekhususan Allah dalam hal pengembalian itu. Yakni hanya kepada-Nya, tidak kepada siapapun selain-Nya. Ketika itu amat jelas kekuasaan Allah, tidak ada satupun yang terlihat memiliki walau sekecil apapun tanda-tanda kekuasaan. Ketika faktor-faktor yang dapat memberi manfaat dan menampik mudharat yang pernah diketahui dalam kehidupan dunia, semuanya hilang sirna dan punah karena memang penentu dan pemberi manfaat dan mudharat, rahmat dan siksa hanyalah Allah semata. Dengan demikian berdasarkan pengertian yang telah disebutkan dari para ahli tafsir diatas. Maka hemat penulis bahwa yang dimaksud tuqlabun ialah akan ada suatu masa dimana manusia itu akan kembali pada sang Penciptanya. Allah tidak pernah menjauhkan diri-Nya kepada makhluk-Nya justru terkadang manusia itu sendiri yang menjauhkan diri-Nya terhadap Penciptanya. Dan jangan pernah beranggapan bahwa Allah lupa dengan segala apa yang diperbuat atau yang dilakukan oleh hamba-hambanya, Allah akan memperhitungkan semua amal perbuatan manusia dan Dia pula yang menentukan pahala atau azab sebagai imbalannya. Menurut Quraish Shihab, ayat di atas menyebut hal yang terpenting dalam kehidupan dihari kemudian, yaitu bahwa: “Dia menyiksa dengan sangat adil dan setimpal siapa yang Dia kehendaki untuk disiksa setelah terlebih dahulu menetapkan dan memaparkan dengan sangat jelas hukum-hukum yang berlaku umum sehingga diketahui oleh semua pihak dan merahmati serta melimpahkan aneka kebahagian berdasar anugrah-Nya semata siapa yang Dia kehendaki untuk dirahmati di antara hamba-hamba-Nya, yaitu yang taat dan patuh melaksanakan tuntunan-Nya dan hanya kepada-Nyalah setelah kematian kamu akan dikembalikan untuk disiksa atau dirahmati.58 Potongan ayat ini menjelaskan kekuasaan mutlak Allah, Dia akan mengazab siapa yang dikehendaki-Nya di antara orang-orang yang tidak mau beriman dan orang yang beriman yang mengerjakan dosa. Azab tersebut tidak hanya terbatas di akhirat saja, tetapi juga di dunia. Sebaliknya Allah akan memberi rahmat kepada siapa yang dikehendaki dengan nikmat dan keutamaanNya. Allah yang menetapkan sesuatu menurut apa yang diinginkan-Nya. Allah 58
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan dan Kesan Keserasian al-Qur‟an, h. 470.
41
tidak bertanggung jawab kepada manusia tetapi manusia yang wajib bertanggung jawabkan perbuatannya kepada Allah. Kemudian Ibn Katsir lebih lanjut mengatakan bahwa “Allah mengazab siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi rahmat kepada siapa yang dikehendakiNya. Dia tidak berkehendak kecuali berdasarkan keadilan. Maka Dia tidak berbuat zalim seberat dzarrah pun, karena kezaliman itu diharamkan atas diri-Nya sendiri juga dalam pergaulan di antara kita. Dan hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan pada hari kiamat”.59 Azab dan rahmat mengikuti kehendak Allah. Karena dia telah menjelaskan jalan petunjuk dan jalan kesesatan, serta menciptakan kesiapan dalam diri manusia untuk memilih. Allah juga memudahkan baginya untuk memilih salah satu dari dua jalan, dan manusia setelah itu menanggung konsekuensi atas apa yang dia pilih. Namun, jika ia memilih jalan kepada Allah untuk berharap dan mendapatkan petunjuk-Nya, maka kedua hal itu akan mengantarkannya kepada pertolongan Allah baginya. Sementara itu, “jika ia berpaling dari dalil-dalil petunjuk dan menghalangi orang dari petunjuk-Nya, niscaya perbuatannya itu akan mengantarkannya kepada keterputusan dan kesesatan. Dan dari situlah ditentukan apakah ia mendapatkan rahmat atau azab.”60 Dari beberapa penjelasan sebegaimana yang telah dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa Allah menciptakan permulaan hidup dalam segala sesuatu adalah semata-mata atas kekuasaan-Nya, niscaya Allah pun akan menjatuhkan azab dan siksaan-Nya terhadap orang yang Dia kehendaki-Nya. Demikian pula ketika Dia menurunkan rahmat-Nya kepada orang yang Dia kehendaki. Dia terletak di antara dua jalan, yaitu jalan yang diberi petunjuk dan jalan yang tersesat. Manusia diberi alat buat menempuh jalan itu, yaitu akal dan pikirannya. Hingga jalan mana yang akan ia tempuh, akan tetapi Allah selalu menganjurkan, memanggil dan membujuk agar jalan yang ia tempuh ialah jalan yang benar-benar di ridhoi Allah, dan Allah berjanji akan menolongnya. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-An‟am ayat 12 : 59
Muhammad Nasib al-Rifa‟I, Kemudahan Dari Allah: Riangkasan Tafsir Ibn Katsir, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), Cet. 1, h. 723. 60 Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur‟an DI Bawah Naungan Al-Qur‟an, h. 98.
42
Artinya: Katakanlah: "Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi." Katakanlah: "Kepunyaan Allah." Dia telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang. Dia sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya. orang-orang yang meragukan dirinya mereka itu tidak beriman. (QS. Al-An’am ayat 12). Akhir ayat ini menyebutkan bahwa semua manusia akan dikembalikan kepada Allah. Maksudnya sekalipun pengembalian itu ditangguhkan, namun kalian jangan mengira bahwa Dia akan luput dari kalian, karena hanya kepadaNyalah kalian kembali, Dialah yang menghisab kalian dan pada-Nyalah tersimpan pahala serta siksaan kalian.
Al-Ankabut Ayat 22
Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak dapat melepaskan diri (dari azab Allah) di bumi dan tidak (pula) di langit dan sekali-kali Tiadalah bagimu pelindung dan penolong selain Allah. (QS. Al-Ankabut ayat 22). Kata Mu‟jizin terambil dari kata ajaza-ya‟jizu-ajzan yang berarti lemah, dalam kamus al-Qur‟an kata Mu‟jizin diartikan: yang melepaskan
43
atau yang terlepas, sedangkan al-Maraghi menafsirkan kata tersebut dengan tafsiran menjadikan Allah lemah. Berdasarkan definisi di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud Mu‟jizin yaitu “sesungguhnya Allah tidak dapat dilemahkan oleh seorang pun di antara para penghuni langit dan bumi-Nya, justru Dia-lah yang maha perkasa di atas seluruh hamba-Nya, karena segala sesuatu butuh kepada-Nya”.61 Tidak ada yang mengalahkan dan menandingi kekuasaan Allah, Allah berkuasa atas sekalian hamba-Nya. Semua makhluk membutuhkan-Nya, andaikata seseorang pergi mencari tempat pelarian ke langit yang tinggi, atau bersembunyi dalam perut ikan di laut, ia tak akan dapat melepaskan diri dari genggaman kekuasaan Allah. Oleh karena itu tidak ada seorang pun di antara manusia yang dapat mencari seseorang penolong yang akan melepaskannya dari azab dan siksaan Allah, baik itu di langit maupun di bumi. Kemudian Sayyid Quthb menyatakan tentang inti dari potongan ayat di atas, “kemana lagi kalian mencari perlindungan dan penolong selain Allah? Ataukah, kepada malaikat dan jin? Sementara semuanya adalah para hamba ciptaan Allah yang tak dapat memberikan manfaat atau mudharat kepada diri mereka, apalagi untuk orang lain.62 Kemudian Ibn Katsir lebih lanjut menyatakan bahwa „‟dan kamu sekalikali tidak dapat melepaskan diri dari azab di bumi dan tidak pula di langit, “tidak ada seorang pun, baik di langit maupun di bumi, yang dapat melemahkan-Nya. Dia tidak membutuhkan perkara selain-Nya”. Dan sekali-kali tiada pelindung dan penolong selain Allah. Dari beberapa penjelasan sebagaimana telah dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa Allah tidak dapat dilemahkan oleh apa pun dan siapapun, karena Allah maha berkuasa tidak ada yang mengalahkan dan menandingi kekuasaan Allah, matahari yang begitu besar, tunduk tidak sanggup melawan peraturanperaturan yang telah Allah tetapkan, kononlah engkau, hai manusia! “dan tidak ada bagi kamu selain Allah sebagai pelindung yang akan melindungi kamu jika 61 62
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, h. 223. Sayyid Quthb, Tafsir Zilalil Qur‟an, h.99.
44
diancam oleh sesuatu bahaya. Tidak seorang pun di antara manusia yang dapat mencari seorang penolong yang akan melepaskannya dari azab dan siksaan Allah, baik di langit maupun di bumi. Penyebutan kata fi as-samaa‟I atau di langit pada ayat di atas
untuk mengisyratkan kemungkinan dugaan sementara pendurhaka bahawa ia dapat berlindung ke langit seperti Fir‟aun yang berusaha membuat bangunan tinggi menuju ke langit untuk melihat Tuhan Nabi Musa atau bahwa arwah seseorang akan berada di langit. Ibn „Asyur berpendapat bahwa penyebutan kata langit bertujuan memupuskan sama sekali harapan mereka untuk memperoleh keselamatan, walaupun sebenarnya mereka juga sadar tentang ketidak mampuan mereka berada di langit. Sedangkan Thaba‟thaba‟I memahami kata di langit sebagai tempat dimana jin dapat berada. Karena itu, ulama tersebut memahami ayat-ayat di atas sejalan maknanya dengan firman Allah yang artinya: “Hai jama‟ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan”. (QS. Ar-Rahman ayat 21).
Al-Ankabut Ayat 23
Artinya: Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah dan Pertemuan dengan Dia, mereka putus asa dari rahmat-Ku, dan mereka itu mendapat azab yang pedih. (QS. Al-Ankabut ayat 23).
45
Kata artinya mereka putus asa dari rahmatku (Allah). Terambil dari kata “al-ya‟su yang bermakna ketiadaan ambisi atau putus asa”.63 Sedangkan menurut Quraish Shihab kata “() dipahami dalam arti surga”. Dalam al-Qur‟an sering kali kata rahmat digunakan untuk menunjuk surga Seperti dalam QS. Al-Jatsiah: 45 dan QS. AL-Insan: 31. Penamaannya demikian sangat wajar, karena memang surga adalah tempat memperoleh ganjaran Ilahi sekaligus rahmat-Nya sebagaimana neraka tempat penyiksaan dan siksa-Nya. Di sisi lain keputus asaan mereka itu dapat dipahami dalam arti “mereka mengingkari keniscayaan kiamat” atas dasar pada hari kiamat akan ada surga dan ada juga neraka, siapa yang tidak mempercayai adanya kiamat, maka dia pada hakikatnya tidak percaya dan telah memutuskan harapannya untuk memperoleh surga. Bisa juga penggalan ayat itu dipahami sebagai ketetapan Allah atas mereka, yakni mereka tidak akan masuk surga, dan dengan adanya ketetapan tersebut, mereka menjadi orang-orang yang berputus asa. Ayat yang lalu memupuskan harapan kaum musyrikin untuk memperoleh dan perlindungan dari siksa Allah. Kini melalui ayat di atas dipupuskan pula harapan mereka untuk memperoleh surga. Al-Marghi menafsirkan ayat tersebut: “Dan orang-orang yang kafir kepada bukti-bukti yang telah ditegakan Allah pada alam ini sebagai dalil atas ketauhidan-Nya dan bukti-bukti yang diturunkan-Nya kepada para rasul-Nya yang menunjuk kepada keesaan-Nya itu, serta mengingkari pertemuaan dengan-Nya dan kembali kepada-Nya pada hari kiamat, maka mereka itu adalah orang-orang yang tidak mengharapkan rahmatNya, karena mereka tidak takut kepada siksa-Nya, tidak pula mengharapkan pahala-Nya dan mereka tidak akan menerima azab yang pedih di dunia dan di akhirat.”64 63 64
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirannya, h. 379 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, h. 224
46
Menurut Quraish Shihab potongan ayat ini mengandung pengertian bahwa, “ Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah yakni mengingkari buktibukti yang terbentang di alam raya dan mengabaikan tuntunan-tuntunan-Nya yang terdengar dibaca dari kitab suci serta mengingkari pula pertemuan dengan-Nya, yakni hari kebangkitan, mereka itu yang sungguh jauh dari peringkat kemanusiaan bahkan binatang, telah berputus asa dari rahmat-Ku, yakni berputus asa untuk Kuperlakukan dengan perlakuan seorang yang kasih sehingga Ku-masukkan ke surga dan sekali lagi mereka itulah yang sungguh jauh dari segala macam kebajikan yang memperoleh secara wajar dan adil siksa yang pedih. Lebih lanjut Quraish Shihab menyatakan bahwa, sebagaimana pada ayat 20 yang lalu, Nabi Muhammad SAW. Diperintahkan untuk menyampaikan kandungan ayat 20 hingga ayat 22. Adapun ayat ini, maka ia tidak termasuk apa yang diperintahkan untuk disampaikan oleh beliau, tetapi Allah yang langsung berdialog dengan Nabi Muhammad SAW. Dan menyampaikan kepada beliau melalui malaikat Jibril. Itu sebabnya pada ayat 23 ini, Allah menunjukan surga dan menisbatkannya langsung kepada diri-Nya dengan menyatakan (rahmat-Ku) serta mengulangi kata () ulaa‟ika yang menggunakan bentuk tunggal,
yakni kepada Nabi Muhammad SAW sendiri, bukan bentuk jamak seperti ulaa‟ikum. Pernyataan Allah secara langsung dengan menyebutkan kata rahmatKu mengisyaratkan bahwa surga adalah hak prerogratif Allah SWT. Dia sendiri yang berwenang menentukan siapa yang wajar mendapatkannya, sekaligus mengisyaratkan bahwa penganugerahannya semata-mata adalah berkat rahmat Allah, bukan hak yang dapat dituntut oleh hamba-hamba Allah seberapa banyakpun amal salehnya. Kemudian Hamka lebih lanjut menyatakan bahwa dan orang-orang yang kafir dengan ayat-ayat Allah, ialah yang telah bertemu dengan tanda-tanda dan bukti adanya Allah itu, namun dia masih saja tidak mau percaya bahwa Allah ada atau diakuinya bahwa Allah ada, tetapi dia tidak mau percaya bahwa Allah Maha Kuasa sendiri-Nya, tiada bersekutu yang lain dengan Dia. Dan dari hal yang akan
47
bertemu dengan Dia”, artinya dia tidak percaya akan hari kiamat; “Itulah orang yang telah berputus asa dari RahmatKu. “artinya tidak ada harapan lagi baginya dengan mendapat rahmat Ilahi yang Dia telah mewajibkan atas diri-Nya akan memberikan itu. Barulah keputusan itu akan hilang, jika orang itu mengubah pendirian, “dan orang-orang itu, bagi mereka adalah azab yang pedih.”65 Kemudian Ibn Katsir menafsirkan potongan ayat di atas yaitu, dan orangorang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan-Nya, yakni ingkar terhadap ayat-ayat Allah dan kafir terhadap hari kiamat, mereka putus asa dari rahmat-Ku, mereka tidak memperoleh bagian dari rahmat itu, dan mereka itu mendapat azab yang pedih. Ditujukan ayat ini langsung kepada nabi Muhammad saw. Bertujuan untuk mengukuhkan hati beliau serta untuk menghindarkan para pendurhaka mendengar langsung firman ini karena mereka adalah orang-orang yang tidak beriman, demikian tulis Thaba‟thaba‟i. Kesimpulan yang dapat penulis ambil dari berbagai penjelasan di atas ialah Allah mengancam orang kafir yang tidak mau membenarkan keteranganketerangan-Nya di atas bahwa mereka tidak akan mendapat rahmat Allah, sehingga mereka berputus asa. Karena mengingkari keesaan Allah, mendustakan para rasul yang diutus untuk mereka, serta tidak percaya akan adanya hari kebangkitan. Berarti mereka tidak takut akan ancaman azab Allah dan tidak mengharapkan balasan yang baik dari sisi-Nya. Oleh karena itu, wajar jika mereka diancam dengan azab yang pedih di dunia maupun di akhirat. Hal itu karena seseorang manusia tak merasa putus asa dari rahmat Allah kecuali ketika hatinya kafir, dan terputus antara dirinya dan Rabnya. Demikian juga ia tak kafir kecuali ketika ia telah berputus asa dari tersambungnya hatinya dengan Allah, dan telah kering hatinya itu, sehingga tak lagi mempunyai jalan menuju rahmat Allah. Dan akibat yang diterimanya yaitu “mereka itu mendapat azab yang pedih.
65
Hamka, Tafsri Al-Azhar, (Jakarta: PT Pustaka Panji Mas, 1982) Juzz XX, h. 168.
48
Al-Ankabut Ayat 24
Artinya: Maka tidak adalah jawaban kaum Ibrahim, selain mengatakan: "Bunuhlah atau bakarlah dia", lalu Allah menyelamatkannya dari api. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang beriman. (QS. Al-Ankabut ayat 24). Kata adalah kata perintah dari kata “haraqa-yaharriqu-tahriqon”. Asal kata ini dari “hariqa-yahriqu-harqan yang berarti terbakar”, tambahan tasydid di sini untuk memberi makna “banyak”, oleh karena itu makna haraqa adalah membakar dengan api yang sangat banyak. Kata ini memiliki makna lain yaitu “menguliti dengan kikir sehingga sakitnya terasa panas” akan tetapi yang dimaksud di sini adalah membakar dengan api yang besar.66 Quraish Shihab menafsirkan ayat di atas yaitu, mendengar nasihat itu, maka tidak ada jawaban kaumnya yang sebenarnya sangat dikasihi oleh Nabi Ibrahim as itu selain mengatakan dengan sangat kasar serta penuh kebencian. Bunuhlah dia dengan pedang dan semacamnya atau bakarlah dia sampai mati, akhirnya mereka sepakat memilih untuk membakar beliau. Mereka kemudian mengumpulkan bahan bakar lalu menyulutnya dengan api sehingga lahir kobaran api yang sangat besar dan yang panasnya menyengat siapapun yang berada meskipun itu jauh jaraknya, karena itu mereka melempar Nabi Ibrahim as dengan ketapel besar sehingga beliau terjatuh di tonggakan api yang menyala itu, lalu dengan cepat dan tanpa berangsur Allah Yang Maha Kuasa, penolong dan pelindung satu-satunya menyelamatkan Nabi Ibrahim dari api yang sangat panas itu. 66
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirannya, h. 383
49
Lebih lanjut Quraish Shihab mengatakan, firman-Nya mengabadikan ucapan Nabi Ibrahim as: “Bunuhlah atau bakarlah dia”, dapat dipahami bahwa kaum Nabi Ibrahim as ketika ingin membunuh Nabi ibrahim dengan dua cara yaitu membunuhnya dengan pedang atau dengan dilemparkannya ke dalam api yang sangat panas, akan tetapi disini kaumnya lebih memilih untuk membunuhnya dengan kobaran api agar tak tersisa sedikitpun jasad Nabi Ibrahim as, akan tetapi Allah berkehendak lain Nabi Ibrahim diselamatkan dengan mu‟jizatnya yang tak bisa terbakar oleh panasnya api neraka. Sedangkan Ibn Katsir menafsirkan ayat ini, Allah ta‟ala memberitahukan ihwal kaum Ibrahim bahwa setelah Ibrahim as menyampaikan nasihat yang meliputi pentujuk dan penjelasan, maka jawaban mereka hanyalah, bunuh atau bakarlah dia. Hal itu karena mereka kalah dalam berdebat, lalu mereka beralih kepada penggunaan kekuatan raja, kemudian mereka mengumpulkan kayu bakar hingga terkumpul banyak dan kemudian membakarnya hingga terbuatlah api yang sangat besar. Ibrahim tak memiliki kekuatan dan kekuasaan sehingga ikut campurlah kekuasaan Allah dalam bentuknya yang jelas yaitu dengan mukjizatNya yang mana Nabi Ibrahim tak dapat dibakar dengan api. Terselamatkannya Ibarahim as dari api dengan cara supranatural yang menjadi kekuasaan Allah bagi orang yang hatinya siap untuk beriman, namun kaum Nabi Ibrahim tetap saja tak beriman, meskipun mereka telah melihat tanda kekuasaan
Allah.
Kenyataan
ini
menunjukan
bahwa
kejadian-kejadian
supranatural tak memberi petunjuk kepada hati. Akan tetapi kesiapan untuk menerima petunjuk dan keimanan itulah yang mengantar seseorang kepada keimanan.
B. Nilai-Nilai Pendidikan Yang Terkandung Dalam Al-Qur’an Surat Al-Ankabut Ayat 16-24. Al-Qur‟an sebagai landasan pokok serta pedoman hidup umat Islam, telah banyak memberikan pelajaran tentang nilai-nilai serta norma-norma dalam segala segi kehidupan. Salah satunya adalah dalam bidang pendidikan yang merupakan faktor fundamental serta menjadi kebutuhan yang penting, dan telah menjadi hak
50
semua manusia untuk menempatkan pembinaan, pemeliharaan, serta pendidikan yang layak dalam menempuh kesuksesan hidup. Baik itu kebutuhan hidup di dunia maupun keselamatan hidup di akhirat. Al-Qur‟an surat Al-Ankabut ayat 16-24 merupakan beberapa ayat dari sekian banyak ayat dalam Al-Qur‟an yang membahas masalah pendidikan. Dalam hal ini ayat tersebut menunjukan akan adanya nilai-nilai pendidikan yang penting untuk dibahas, seperti halnya nilai pendidikan ibadah dalam surat ini. Tentunya para ulama sepakat bahwa hal yang membedakan orang yang beriman dengan orang yang kafir dari segi ibadahya. Dalam surat Al-Ankabut ayat 16 merupakan seruan Nabi Ibrahim kepada kaumnya untuk beribadah kepada Allah, perjuangan khalilullah (kekasih) Allah yaitu Nabi Ibrahim as yang mengajak kaumnya untuk mengesakan Allah dalam ibadah dan membersihkan diri dari segala bentuk kemusyrikan, karena selama ini mereka menyembah berhala yang tidak lain adalah hasil buatan tangan mereka sendiri. Berdasarkan isi kandungan surat Al-Ankabut ayat 16-24 penulis mengambil beberapa nilai pendidikan sebagai intisari yang akan menjadi pembahasan dalam bab ini. Adapun nilai-nilai pendidikan tersebut meliputi: pendidikan ibadah, nilai pendidikan iman kepada hari kebangkitan, nilai pendidikan kewajiban belajar mengajar, nilai pendidikan mensyukuri, dan nilai pendidikan sabar yang akan penulis jabarkan sebagai berikut:
1. Pendidikan ibadah Terambil dari kata u‟buduu dari ayat yang akan diteliti, yang berasal dari kata abada-ya‟budu yang artinya menyembah, bahwasannya ibadah merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena dengan ibadah seseorang berinteraksi langsung dengan Tuhannya dan karena dengan ibadah pula seseorang mendapatkan langsung martabat kesempurnaan di hadapan Tuhannya. Ibadah adalah suatu wujud perbuatan yang dilandasi rasa pengabdian kepada Allah swt.67 Ibadah juga merupakan kewajiban agama Islam yang tidak 67
Aswil Rony, dkk, Alat Ibadah Muslim Koleksi Museum Adhityawarman, (Padang: Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Sumatera Barat, 1999), h.18
51
bisa dipisahkan, dari aspek keimanan, keimanan merupakan pundamen, sedangkan ibadah merupakan manifestasi dari keimanan tersebut. Ibadah dalam pengertian yang lebih luas mencangkup keseluruhan kegiatan manusia dalam hidup di dunia ini, termasuk kegiatan duniawi sehari-hari, jika kegiatan itu dilakukan dengan sikap batin serta niat pengabdian dan penghambaan diri kepada Tuhan, yakni sebagai tindakan bermoral.68 Dapat dipahami bahwa ibadah merupakan ajaran Islam yang tidak dapat dipisahkan dari keimanan, karena ibadah merupakan bentuk perwujudan dari keimanan. Dengan demikian kuat atau lemahnya ibadah seseorang ditentukan oleh kualitas imannya. Semakin tinggi nilai ibadah yang dimiliki akan semakin tinggi pula keimanan seseorang. Jadi ibadah adalah cermin atau bukti nyata dari aqidah. Dalam pembinaan ibadah ini, firman Allah swt dalam surat Taha ayat 132:
artinya : “Dan perintahakanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, kamilah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertaqwa”69 (Q.S. Thaha: 132).
Seluruh tugas manusia dalam kehidupan ini berakumulasi pada tanggung jawabnya untuk beribadah kepada Allah swt. Pada usia anak 6 sampai 12 tahun bukanlah masa pembebanan atau pemberian kewajiban, tetapi merupakan masa persiapan latihan dan pembiasaan, sehingga ketika anak memasuki usia dewasa, pada saat mereka mendapatkan kewajiban dalam beribadah, segala jenis ibadah yang Allah swt wajibkan dapat mereka lakukan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan, sebab sebelumnya ia terbiasa dalam melaksanakan ibadah tersebut. a. Macam-macam Ibadah 68 69
Ibid, h. 60 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirannya, h.492
52
Jika ditinjau lebih lanjut ibadah pada dasarnya terdiri dari dua macam yaitu: pertama ; Ibadah „Am yaitu seluruh perbuatan yang dilakukan oleh setiap muslim dilandasi dengan niat karena Allah swt ta‟ala. Kedua; Ibadah Khas yaitu suatu perbuatan yang dilakukan berdasarkan perintah dari Allah swt dan rasulNya. Contoh dari ibadah ini adalah: 1. Mengucap dua kalimat syahadat Dua kalimat syahadat terdiri daru dua kalimat yaitu kalimat pertama merupakan hubungan vertikal kepada Allah swt. Sedangkan kalimat kedua merupakan hubungan horizontal antar setiap manusia. 2. Mendirikan Shalat Shalat adalah komunikasi langsung dengan Allah swt, sesuai dengan cara yang telah ditetapkan dan dengan syarat-syarat tertentu. 3. Puasa Ramadhan Puasa adalah menahan diri dari segala yang dapat membukakan atau melepaskannya satu hari lamanya, mulai dari subuh sampai terbenam matahari. 4. Membayar zakat Zakat adalah bagian harta kekayaan yang diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan beberapa syarat. 5. Naik haji ke Baitullah Ibadah haji adalah ibadah yang dilakukan sesuai dengan rukun Islam ke 5 yaitu dengan mengunjungi Baitullah di Mekkah, dan ibadah ini hanya dilakukan bagi orang yang mampu.70 Kelima ibadah khas di atas adalah bentuk pengabdian hamba terhadap Tuhannya secara langsung berdasarkan aturan-aturan, ketetapan dan syaratsyaratnya. Setiap guru atau pendidik di sekolah mestilah menanamkan nilai-nilai ibadah tersebut kepada anak didiknya agar anak didik tersebut dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
70
Aswil Rony, dkk, Alat Ibadah Muslim Koleksi Museum Adhityawarman, (Padang: Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Sumatera Barat, 1999), h. 26-31
53
Ibadah tersebut memiliki pengaruh yang luar biasa dalam diri anak, pada saat anak melakukan salah satu ibadah, secara tidak langsung akan ada dorongan kekuatan yang terjadi dalam jiwa anak tersebut. Jika anak tersebut tidak melakukan ibadah seperti biasa yang ia lakukan maka dia merasa ada suatu kekurangan yang terjadi dalam jiwa anak tersebut, hal ini dilatar belakangi oleh kebiasaan yang dilakukan anak. Untuk itu setiap orang tua di rumah harus mengusahakan dan membiasakan agar anaknya dapat melaksanakan ibadah shalat atau ibadah lainnya setiap hari.
2.
Nilai Pendidikan Sabar Sabar diartikan tabah, yaitu dapat menahan diri dari hal-hal yang
bertentangan dengan hukum Islam, baik dalam keadaan lapang maupun sulit, mampu mengendalikan nafsu yang dapat mengguncang iman.71 Menurut M. Quraish Shihab, sabar adalah menahan kehendak nafsu demi mencapai sesuatu yang baik atau lebih baik. Secara umum, kesabaran dapat dibagi dalam dua bagian pokok: yaitu sabar jasmani dan sabar ruhani. Yang pertama adalah kesabaran dalam menerima dan melaksanakan perintah-perintah keagamaan yang melibatkan anggota tubuh, seperti sabar dalam melaksanakan ibadah haji yang mengakibatkan keletihan atau sabar dalam menerima cobaan-cobaan yang menimpa jasmani, seperti penyakit, penganiayaan dan semacamnya. Sedangkan sabar ruhani menyangkut kemampuan menahan kehendak nafsu seksual yang bukan pada tempatnya.72 Kata sabar الصبش, dari segi bahasa berarti mencegah dan menahan. Yaitu kedudukan tinggi yang tidak akan diraih kecuali oleh orang-orang yang memiliki semangat tinggi dan jiwa yang suci. Dalam firman-Nya Qs-Luqman: 17
71
Ahsin, op. cit., h. 257. M. Quraish Shihab, op. cit., h. 593.
72
54
“Hai
anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”.(Qs. AlLuqman [31]: 17)
Kata( )washbir `ala maa ashaa bak, yaitu “Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu.Selanjutnya, Rif`at Syauqi Nawawi mengutip pendapat Imam Ghazali mengenai lingkup wilayah aplikasi sabar, yaitu meliputi tiga wilayah, yaitu a. Ash-Shabr fi ath-tha`ah (terus-menerus sabar menjalankan ketaatan ). b. Ash-shabr `an al-ma`shiyyah (sabar dalam rangka menghindarkan diri dari maksiat), dan c. Ash-Shabr`alaal-mushibah (tegar dan sabar dalam menghadapi musibah).73 Dari paparan Imam Al-Ghazali tersebut dapat ditegaskan bahwa kesabaran yang dimiliki manusia seharusnya menghasilkan sikap aktif dalam beberapa hal, yaitu terus menerus menjunjung sikap taat kepada Allah, terus menerus berusaha menghindarkan diri dan tindakan-tindakan maksiat kepada Allah, dan tetap tegar dan optimis serta tabah dalam menghadapi hal-hal yang secara lahiriah tidak menyenangkan, seperti bersabar dalam menghadapi berbagai keadaan yang tidak sesuai dengan keinginannya. Namun, sabar juga memiliki cakupan yang lebih luas daripada itu, antara lain”.74 1. Sabar dalam menuntut ilmu Diperlukan kesabaran bagi siapa saja yang menuntut ilmu. Betapa banyak gangguan yang harus dihadapinya. Misalnya, dia harus bersabar menahan lapar, kekurangan harta, jauh dari keluarga dan tanah airnya. Dia harus bersabar dalam upaya menimba ilmu dengan cara menghadiri kuliah/kelas, mencatat dan memperhatikan penjelasan serta mengulang-ulang pelajaran dan sebagainya.
73
Rif`at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur`ani, (Jakarta: Amzah, 2011), Cet. I, h. 74. M. Imam Pamungkas, Akhlak Muslim Modern Membangun Karakter Generasi Muda, (Bandung: Marja, 2012), Cet. I, h. 74. 74
55
Yahya bin Abi Katsir pernah berkata,”Ilmu tidak akan pernah didapat dengan banyak mengistirahatkan badan.” Seseorang yang menuntut ilmu seringkali mendapatkan gangguan dan halangan, baik yang berasal dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya. Maka diperlukan kesabaran dan ketegaran dalam menuntut ilmu agar tidak mogok ditengah jalan.
2. Sabar dalam mengamalkan ilmu Demikian pula orang berilmu yang hendak mengamalkan ilmunya, gangguan dari luar dan dari dalam dirinya seringkali menghadang. Seperti, perasaan malu dan rendah diri atau tidak adanya kesempatan atau tidak adanya penghargaan. Hal-hal seperti ini meski dihadapi dan dilalui dengan kesabaran, sehingga ilmu yang dimiliki dapat diamalkan untuk kebaikan. Dengan demikian, ilmu itu tidak menjadi beban yang akan diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak.
3. Sabar dalam berdakwah Terlebih dalam berdakwah, rintangan dan godaannya lebih besar. Orang yang berdakwah dan ingin mengajak orang lain ke arah kebenaran dan kebaikan selalu dihadapkan pada tantangan. Oleh karena itu kesabaran merupakan kunci utama untuk meraih keberhasilan dakwah tersebut. Sabar merupakan pilar kebahagiaan seorang muslim. Dengan kesabaran, seorang muslim akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten dalam menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan. Sifat sabar akan membantunya untuk lebih tegar, mampu menahan amarah, tidak merugikan orang lain, bersikap lemah-lembut, dan tidak tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu. Ali bin Abi Thalib Ra berkata”sabar bagi keimanan laksana kepala terhadap tubuh apabila kesabaran telah lenyap maka lenyap pulalah keimanan”.75 Sabar adalah kompas yang mengarahkan kita pada jalan yang lurus. Tanpa sabar, iman seorang menjadi lemah dan pemahaman tauhidnya menjadi kacau. Lebih dari itu, sabar merupakan indra keenam yang kita miliki. Melalui kesabaran 75
Ibid.,h. 73.
56
ini, kita akan mampu menyingkap pusparagam misteri yang selama ini belum terpecahkan. Seringkali kita putus asa, malas, cemas, dan ragu-ragu. Pada titik ini, kita jelas membutuhkan sifat dan karakter diri yang mampu meneguhkan diri agar mampu menjadi manusia berkarakter sempurna dan paripurna. Hal ini pula yang harus dimiliki seorang guru. Sebabnya, tidak lain karena para anak didik memiliki karakter dan kepribadian masing-masing. Tidak semua anak didik adalah pribadi yang rajin, tekun, dan memperhatikan pelajaran. Tidak sedikit yang justru kerap kali menampilkan aksi-aksi negatif, semisal mengganggu temannya, usil dalam proses belajar-mengajar, tidak memperhatikan pelajaran guru, dan malas belajar.76 Disamping itu, guru juga menghadapi akal yang bervariasi dalam hal daya paham, cara pandang, penerimaan materi dan lain sebagainya. Atau bisa jadi guru dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan “iseng” atau yang bukan pada tempatnya serta dikejutkan ditengah-tengah penyampaianya bahwa salah seorang siswanya tidur atau tersenyum sendiri dan seterusnya.77 Menyikapi keadaan ini, tentu kesabaran menjadi sebuah pelita, sebuah cahaya yang tidak akan pernah redup, apalagi padam. Kesabaran akan membingkai semua tutur kata dan jalinan sikap seorang guru agar selalu dalam kebajikan. Kesabaran menjadi obat dalam pusparagam “kenakalan” yang ditampilkan anak-anak didik.78 Karena dengan kesabaran tersebut, ia akan senantiasa terbimbing oleh sang maha pembimbing yang sempurna yaitu, Allah Swt.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.(Qs Al-Baqarah [2]: 153) Di dalam kata “kesabaran” terdapat isyarat adanya proses yang harus dihadapi seseorang. Kesabaran juga mengindikasikan kesiapan menerima 76
Asef Umar Fakhruddin, op. cit., h. 100. Fu`ad bin Abdul Aziz asy-Syalhub, op. cit., h .41. 78 Asef Umar Fakhruddin, op. cit., h. 101. 77
57
tahapan-tahapan proses itu hingga sampai kepuncaknya. Mereka yang sabar menjadikan proses itu sebagai bagian dari komitmen profesional. Orang-orang profesioanal sangat memerlukan kesabaran, Karena hanya dengan kesabaran mereka bisa mencapai puncak prestasi.79 Menahan emosi dan menundukannya merupakan indikasi kuatnya seorang guru, bukan indikasi kelemahanya. Sehingga dengan karakter kesabaranya itulah faktor kesuksesan seorang guru.
Pendidikan Mensyukuri
3.
Terambil dari ayat di atas yang bertujuan untuk diteliti yaitu kata “wasykuru” yang berasal dari kata syakara-yaskuru yang bermakna “membuka”. Kata ini dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai rasa terima kasih kepada Allah dan untunglah (menyatakan lega, senang dan sebagainya). Ini berarti bersyukur adalah menampakkan nikmat yang Allah Swt berikan kepada kita, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Dalam kamus Al-Qur`an, syukur menurut bahasa adalah berterima kasih. Adapun menurut istilah adalah merasa gembira dan puas serta berterima kasih atas segala nikmat dan anugerah Allah yang dilimpahkan kepadanya. Oleh karena itu syukur merupakan cara hamba untuk mendekatkan dirinya kepada Sang Khaliq, berapapun yang didapat, bagaimanapun hasilnya itu merupakan sebuah anugrah yang mesti dan patut disyukuri sebagai makhluk Allah. Allah menciptakan segala sesuatu dengan tujuan tertentu, seperti anugrah-Nya. Setiap anugrah ini, keimanan, kesehatan, dan segala bentuk ciptaanNya merupakan anugrah untuk manusia agar mensyukuri karuni-Nya. Begitu juga halnya dengan seorang guru pertama-tama harus bersyukur kepada Allah Swt, Tuhan yang Maha Esa, atas semua nikmat yang telah Dia anugerahkan. Posisi, jabatan dan status sosialnya di masyarakat sebagai guru merupakan karunia Allah yang sangat besar. Ini mengingat jarang sekali ada orang yang secara sadar ingin mengabdikan diri kepada Allah melalui profesi guru. Allah telah menunjuk dan mempercayakan peran itu kepadanya, oleh karena itu dia wajib mensyukurinya. 79
Hamka Abdul Aziz, op. cit., h.101.
58
Rasa bersyukur merupakan ibadah dan juga cara untuk melindungi kita dari “penyimpangan”. Tidak bersyukur berarti melangkah menuju kerusakan dan kejahatan, merupakan kelemahan-kelemahan, dan menjadi takbabur ketika mereka semakin kaya dan berkuasa. Mereka yang menunjukan rasa syukurnya kepada Allah swt disertai ilmu bahwa semua yang mereka capai adalah pemberian dari Allah, berarti mereka mengetahui bahwasannya mereka bertanggung jawab menggunakan semua rahmat ini dijalan Allah seperti kehendak-Nya. Itulah rasa syukur kepada Allah yang didasari kerendahan hati dan kedewasaan para Rasul. Ar-Raghib Al-Asfahani salah seorang yang dikenal sebagai pakar bahasa Al-Qur‟an menulis dalam al-mufradat fi gharib Al-Qur‟an, bahwa kata “syukur” mengandung arti “gambaran dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya kepermukaan”. Syukur dapat dikualifikasikan menjadi tiga macam: a. Syukur dengan hati, yaitu dengan merenungkan nikmat sendiri. b. Syukur melalui lisan, yaitu dengan memuji dan menyanjung sang pemberi nikmat. c. Syukur dengan anggota badan, yaitu dengan membalas nikmat (karunia) yang diterimanya sesuai dengan kemampuan dan etika bersyukur. Jika ditelisik lebih dalam tentang makna syukur dari sudut pandang komunikasi dua arah antara yang bersyukur dengan yang disyukuri, maka katagori syukur dibedakan menjadi tiga macam. “Pertama, syukur seseorang kepada atasannya (yang keduanya lebih tinggi) notabene Allah dengan cara berbakti, memuji dan berbakti kepadanya. Kedua, syukur seseorang kepada sesamanya (yang sepadan) dengan cara membalas kembali pemberiannya sesuai dengan kondisi dan kemampuan yang ada pada dirinya. Ketiga, syukur seseorang kepada orang yang kedudukannya lebih rendah dari padanya, yaitu berupa pemberian imbalan yang sepantasnya”80
80
Abdullah bin Jarullah, Fenomena Syukur, Berzikir dan Berfikir, h. 41-42
59
4. Nilai Pendidikan Iman Kepada Hari kebangkitan Yang dimaksud dengan hari akhir adalah saat Allah membangkitkan kembali manusia untuk hidup kembali, setelah habisnya waktu yang ditentukan ketika hidup di dunia. Hidup pada hari akhir dimaksudkan untuk memberi balasan kepada setiap insan atas amal dan perbuatan yang telah diperbuatnya ketika hidup di dunia. Banyak orang yang berfikir bahwa kehidupan setelah mati tidak masuk di akal dan bertanya bagaimana akan dibangkitkan sedang mereka telah menjadi tulang dan debu. Tidaklah mereka pikir bahwa mereka diciptakan dari sesuatu yang tidak ada sebelumnya, yang diawali dan diciptakan dari ribuan bahkan jutaan air mani, kemudian menjadi segumpal darah, kemudian dari segumpal daging, sebagian ada yang jadi dan sebagian ada yang tidak jadi, lalu tersimpan di dalam rahim sampai waktu tertentu, kemudian lahir sebagai bayi dan kemudian dipelihara samapa pada umur tertentu sampai ia mempunyai kekuatan, hendaknya mereka merenungkan betapa bumi itu tandus dan tidak tumbuh, tapi jika Allah menurunkan hujan, maka segar dan mekarlah ia, dan tumbuhlah bermacammacam tumbuhan yang indah. “Ketahuilah bahwa Dia yang telah menciptakan langit dan bumi, mampu menghidupkan yang telah mati karena Dia maha Kuasa atas segalanya”.81
81
Abdul A‟la AL-Maududi, Esensi Al-Qur‟an, Filsafat Politik Ekonomi Etika, (Jakarta: Mizan), h. 20.
60
Artinya: Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. Kemudian, sesudah itu, Sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, Sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat. (QS. Al-Mu’minun ayat 12-16).
Beriman kepada hidup sesudah mati adalah ajaran pokok agama Islam yang terkahir. Perkataan yang biasa digunakan oleh al-Qur‟an untuk menyatakan hidup sesudah mati ialah al-akhirat, kata akhir adalah lawan kata awal (permulaan). Jadi kata akhir adalah bermakna kesudahan. Selain kata al-akhirat, digunakan pula kata yaumul akhir artinya hari akhir, kadang-kadang digunakan pula darul akhirah artinya tempat tinggal terakhir.
Artinya: Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian," pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (QS. Al-Baqarah ayat 8). Demikian terlihat bahwa keimanan kepada Allah berkaitan erat dengan keimanan kepada hari kemudian. Memang keimanan kepada Allah tidak sempurna kecuali dengan keimanan kepada hari akhir. Hal ini disebabkan keimanan kepada Allah menuntut amal perbuatan, sedangkan amal perbuatan sempurna motivasinya dengan keyakinan tentang adanya hari kemudian. Karena kesempurnaan ganjaran dan balasannnya hanya ditemukan dihari kemudian nanti.
61
Jika masih ada orang yang ragu tentang berulangnya kehidupan manusia sesudah mati, hendaklah ia meneliti periode-periode dalam hidupnya. Dia pasti akan melihat gejala-gejala kekuasaan Ilahi yang Maha Kuasa dan pencipta segala sesuatu yang sangat menakjubkan. Dan pastilah pula keindahan ciptaan Allah di atas bumi yang luas terhampar.82 Banyak redaksi yang digunakan Al-Qur‟an untuk menguraikan hari akhir, misalnya yaum al-ba‟ts s (hari kebangkitan), yaum al-qiamah (hari kiamat), yaum al-fashl (hari pemisah antara pelaku kebaikan dan kejahatan). Al-Qur‟an menguraikan masalah kebangkitan secara panjang lebar, kata al-yaum al-akhir saja terulang sebanyak 24 kali, di samping kata akhirat yang terulang sebanyak 115 kali. Ini menunjukan betapa besar perhatian Al-Qur‟an dan betapa penting permasalahan ini. Banyak juga sisi dari “hari” tersebut yang diuraikan Al-Qur‟an, dan uraian itu yang tidak jarang berbeda informasinya; bahkan berlawanan diletakkan dalam berbagai surat. Seakan-akan Al-Qur‟an bermaksud untuk memantapkan keyakinan tersebut bagian demi bagian serta fasal demi fasal dalam jiwa pemeluknya. Di sisi lain, banyak pula cara yang ditempuh Al-Qur‟an ketika menguraikna masalah tersebut serta banyak pula pembuktiannya.83 Allah telah berfirman (Q.S Al-Haqqah :13-16)
Artinya : Maka apabila sangkakala ditiup sekali tiup dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya sekali bentur. Maka
82
Anshori Umar Sitanggal, Islam Membina Masyarakat Adil Makmur, (tt: Pustaka Dian, 1984), cet. I, h, 88 83 Qurais Shihab, wawasan Al-Qur‟an Tafsir Maudhi‟I atas Pelbagai Permasalahan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), cet II, h. 81
62
pada hari itu terjadilah hari kiamat, dan terbelahlah langit, karena pada hari itu langit menjadi lemah. Maksudnya: ialah tiupan yang pertama yang pada waktu itu alam semesta menjadi hancur. Banyak sekali ayat Al-Qur‟an yang berbicara tentang kehancuran alam raya, matahari digulung, bulan terbelah, bintang-bintang pudar cahanyanya, gunung dihancurkan sehingga menjadi debu yang beterbangan bagaikan kapas dan sebagainya, itu semua merupakan kehancuran total, bukan sebagian tertentu saja dalam raya ini.
5. Nilai Pendidikan Belajar Mengajar Manusia diciptakan Allah dengan berbagai potensi yang dimilikinya, tentu dengan alasan yang sangat tepat potensi itu harus ada pada diri manusia, sebagaimana yang telah diketahui manusia diciptakan untuk menjadi khalifatullah fil ardh. Potensi yang dimiliki manusia tidak ada artinya jika bukan karena bimbingan dan hidayah Allah. Namun manusia tidak pula begitu saja mampu menelan secara mentah-mentah apa yang dilihatnya tetapi dengan cara mengamati dan belajar memahami tentang semua ciptaan alam semesta ini yang diciptakan oleh Allah, dan tidak hanya berhenti disitu, manusia seletah mengetahui tentang sesuatu, itu wajib diajarkan atau diamalkan ilmunya agar fungsi kekhilafahan manusia tidak terhenti pada satu masa saja. Dan semua itu sudah di atur oleh Allah swt. Menuntut ilmu merupakan kewajiban dan kebutuhan manusia. tanpa ilmu manusia akan tersesat dari jalan kebenaran. Tanpa ilmu manusia tidak akan mampu merubah suatu peradaban. Bahkan tanpa ilmu pun manusia tidak akan merubahnya menjadi lebih baik. Karena menuntut ilmu merupakan sesuatu yang sangat penting dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim, sangat tepat wahyu pertama turun kepada Nabi saw mengisyaratkan tentang perintah membaca (menuntut ilmu).
63
Kata iqra‟ terambil dari kata qara‟a yang pada mulanya berarti menghimpun. Apa bila kita merangkai huruf kemudian mengucapkan rangkaian tersebut maka kita sudah menghimpunnya yakni membacanya.84 Dengan demikian, realisasi perintah tersebut tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis sebagai objek bacaan, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain. Karena dalam kamus-kamus ditemukan aneka ragam arti dari kata tersebut. Antara lain: menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu dan lain sebagainya. Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa ketika Nabi saw diperintahkan untuk membaca iqra‟ oleh malaikat Jibril, Nabi saw bertanya ma Aqra‟? tetapi malaikat Jibril tidak menjawabnya. Ada yang berpendapat pertanyaan itu tidak dijawab, karena Allah menghendaki agar beliau dan umatnya membaca apa saja, selama bacaan tersebut Bismi Rabbika, dalam arti bermanfaat untuk manusia dan dirinya dunia dan akhirat. Demikian Allah memberikan stimulus kepada manusia, agar senantiasa mengerahkan segala daya dan upayanya dalam menuntut ilmu. Syekh Abdul Halim Mahmud sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab beliau menulis dalam bukunya al-Qur‟an Fi Syahr al-Qur‟an: “dengan kalimat iqra‟ bismi Rabbika, al-Qur‟an tidak hanya sekedar menyuruh membaca, tetapi membaca adalah lambang dari segala apa yang dilakukan oleh manusia, baik yang sifatnya aktif maupun pasif. Kalimat tersebut dalam pengertian dan semangatnya ingin menyatakan “bacalah demi Tuhanmu, bergeraklah demi Tuhanmu, bekerjalah demi Tuhanmu”. Demikian juga ketika kita berhenti melakukan aktifitas hendaklah didasari pada bismi Rabbikai sehingga akhirnya ayat itu berarti “jadilah seluruh kehidupanmu, wujudmu, dalam cara dan tujuanmu, kesemuanya demi karena Allah semata”. Segala potensi yang dimiliki manusia sebagai jalan untuk mengetahui sesuatu baik berupa isyarat yang jelas (tampak) maupun yang tersembunyi yang hanya mampu ditangkap dengan indra yang abstrak merupakan cara Allah mendidik manusia. 84
M. Quraish Shihab, Tafisr Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 392.
64
Quraish Shihab mengatakan ,”Al-Qur‟an sejak dini memadukan usaha dan pertolongan Allah, akal dan Qolbu, pikir dan zikir, iman dan ilmu. Akal tanpa qalbu menjadikan manusia seperti setan. Iman tanpa ilmu sema dengan pelita ditanya bayi, sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan pelita ditangan pencuri.
65
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan Untuk mengakhiri uraian dari bab-bab sebelumnya dalam pembahasan
skiripsi ini, maka pada bab penutup ini dapat penulis simpulkan hal-hal sebagai berikut: Nilai pendidikan yang diajarkan dalam surat Al-Ankabut ayat 16 sampai ayat 24 adalah: 1.
Ibadah: adalah suatu wujud perbuatan yang dilandasi rasa pengabdian kepada Allah swt, yang juga merupakan kewajiban agama Islam yang tidak bisa dipisahkan dari aspek keimanan. Keimanan merupakan pundamen, sedangkan ibadah merupakan manifestasi dari keimanan tersebut.
2.
Sabar: adalah dapat menahan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam, baik dalam keadaan lapang maupun sulit, mampu mengendalikan nafsu yang dapat mengguncang iman, demi mencapai sesuatu yang baik atau lebih baik, dengan sabar akan menjadikan orang memiliki sikap tawadlu, rendah hati, tidak sombong dan selalu bersyukur atas cobaan yang menimpanya.
3.
Syukur adalah proses kejiwaan dan ungkapan batin atas apa yang diperolehnya. Sikap dan sifat syukur ditunjukan dalam meningkatkan amal ibadah dan ikhtiar yang semuanya itu dilakukan karena Allah dan untuk Allah, yang disertai dengan kesungguhan untuk terus memperbaiki segala amalnya.
4.
Keimanan kepada Allah berkaitan erat dengan keimanan kepada hari kemudian (kehidupan setelah mati), keimanan kepada Allah tidak sempurna kecuali dengan keimanan kepada hari akhir, dengan beriman kepada hari akhir manusia akan sadar bahwa ada kehidupan setelah kematian, yang di dalamnya terdapat balasan ketika manusia hidup di dunia. 65
66
5.
Belajar mengajar adalah suatu keharusan dilakukan oleh seseorang muslim dalam rangka memanfaatkan potensi akal yang diberikan Allah swt. Dan orang yang menuntut ilmu lalu mengajarkannya memiliki kedudukan yang sama dengan kebaikan orang yang berjihad di medan perang melawan orang kafir.
B. Saran Berdasarkan pada kesimpulan sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka penulis memberikan saran-saran berikut: 1. Orang tua sebagai pendidik utama dalam keluarga serta pendidik pada umumnya berkewajiban menanamkan nilai-nilai pendidikan agama yang bersumber pada Al-Quran dan Hadis, sebagai upaya untuk membentuk kepribadian muslim yang diharapkan. 2. Orang tua hendaknya mengajarkan ibadah sebagai pendidikan yang paling utama kepada anak, karena pada dasarnya pendidikan ibadah merupakan hal yang paling sentral dalam membentuk kepribadiaanya yang lebih baik. 3. Orang tua hendaknya menanamkan pendidikan sabar kepada anak, yang bertujuan agar tertanam di dalam diri anak sifat tersebut yang dapat membawa dampak positif terhadap perkembangan anak itu sendiri. 4. Orang tua hendaknya menanamkan pendidikan syukur, karena bersyukur atas nikmat dan karunia Allah akan membantu jiwa, mendekatkan kepada Tuhannya dan mendorongnya untuk menggunakan nikmat-nikmat itu sebaik-baiknya sesuai dengan pedoman Allah dan Rasulnya. 5. Orang tua hendaknya menanamkan pendidikan iman kepada hari kebangkitan, agar anak ingat akan adanya kehidupan sesudah mati dan balasannya, dengan adanya keimanan kepada hari kebangkitan dan adanya hari pembalasan di akhirat atas perbuatan yang pernah dilakukan seseorang di dunia sesuai dengan kelakuan masing-masing, akan memelihara anak dari kejahatan dan akan mengarahkannya untuk berbuat baik.
67
6. Orang tua hendaknya memberikan motivasi kepada anak untuk menuntut ilmu, menuntut ilmu merupakan kewajiban dan kebutuhan manusia. Tanpa ilmu manusia akan tersesat dari jalan kebenaran. Tanpa ilmu manusia tidak akan mampu merubah suatu peradaban, bahkan dirinya pun tidak bisa menjadi lebih baik. Dan mengajarkan ilmu kepada orang lain. Menuntut ilmu dan mengajarkannya sama pahalanya di sisi Allah dengan jihad. Barang siapa yang memberi contoh kebaikan, kemudian kebaikan itu dicontoh oleh orang lain, maka dia akan mendapat kebaikan yang sama dengan orang yang melakukan tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang melakukannya, begitu juga sebaliknya.
68
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Jarullah, Fenomena Syukur, Berzikir dan Berfikir. Abidu, Yunus Hasan. Tafsir Al-Qur`an Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir, Jakarta: GayaMedia Pratama, 2007. al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, , Semarang: Toha Putra. 1989. al-Marbawi, Muhammad Idris Abdul Rauf, Kamus Arab Melayu. AL-Maududi , Abdul A‟la, Esensi Al-Qur‟an, Filsafat Politik Ekonomi Etika, Jakarta: Mizan. al-Rifa‟I, Muhammad Nasib, Kemudahan Dari Allah: Riangkasan Tafsir Ibn Katsir, Terj, Syihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, 1999. Anwar, Rosihun. Samudera Al-Qu‟ran, Bandung: Pustaka Setia, 2001. Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Terjemahnya. Fakhruddin, Muhammad al-Razi, Tafsir Fakhru al-Razi. Hafidz, Hasan, Dasar-dasar Pendidikan dan Ilmu Jiwa, Solo: Ramadhani, 1989. Hamka, Tafsri Al-Azhar, Jakarta: PT Pustaka Panji Mas, 1982. Isna, Mansur, Diskursus Pendidikan Islam, Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2001. Kholiq ,Abdul et.al, Pemikiran Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. M.S , H. Titus, , et al, Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang, 1984. Ma‟luf, Luis, Al-Munjid, Beirut, Dar el-Machreq, 1986. Ma‟rif, A. Syafi‟f et.al, Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991. Mahli , A. Mudjab, Pembinaan Moral di Mata Al-Ghzali, Yoghyakarta: BFE, 1984.
69
Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: PT Al-Ma‟rif, 1989. Mas‟ud,
Abdurrahman, Menggagas Format Yogyakarta: Gama Media, 2002.
Pendidikan
Nondikotomik,
Mujib, Abdul dan Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Trigenda Karya,1993, Mujib,Abdul dan Muhaimin, , Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung: Trigenda Karya. Mulkhan, Abdul Munir, Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren; Religiusitas IPTEK, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Mustafa, A., Akhlak Tasawuf, Jakarta: Pustaka Setia, 1999. Nata , Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996. Nata, Abuddin, Ilmu Pendidikan Islam Dengan Pendekatan Multidisipliner, Jakarta, 2010. Nata, Abudin dan Fauzan, Pendidikan dalam Persepektif Hadist, Jakarta: UIN Jakarta press, 2005. Nawawi, Rif`at Syauqi, Kepribadian Qur`ani, Jakarta: Amzah, 2011. Pamungkas, M. Imam, Akhlak Muslim Modern Membangun Karakter Generasi Muda, Bandung: Marja, 2012. Pur, Rasyid Majid, Membenahi Akhlaq Mewarisi Kasih Sayang, Bogor: Cahaya, 2003. Purwadarminta, W.JS., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1999. Quthb, Sayyid, Fi Zhilalil Qur‟an Di Bawah Naungan Al-Qur‟an, Jakarta: Gema Insani Press, 2004. Rony, Aswil, dkk, Alat Ibadah Muslim Koleksi Museum Adhityawarman, Padang: Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Sumatera Barat, 1999. Sastraprtedja, M, Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, Jakarta: Gramedia, 1993.
70
Setiawan, M. Nur Kholis, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar ,Yogyakarta: eLSAQ, 2005. Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah pesan, kesan, dan keserasian Al-Qur‟an, Jakarta: Lentera Hati, 2002. Shihab,
Qurais, wawasan Al-Qur‟an Tafsir Maudhi‟I Permasalahan Umat, Bandung: Mizan, 1996.
atas
Pelbagai
Sitanggal, Anshori Umar, Islam Membina Masyarakat Adil Makmur, tt: Pustaka Dian, 1984. Syam,Mohammad Nor, Pendidikan Filsafat dan Dasar Filasafat Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional, 1986. Syihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur‟an, Bandung: Mizan, 2000. Tafsir. “Pendidikan Agama Islam di Sekolah Salah Paradigma”Media Indonesia Jum‟at, 03 Desember 2004. Thoha , HM. Chabib, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Tilaar, H.A.R, Manifesto Pendidikan Nasional, Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005. W, Ahsin, Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur‟an, Jakarta: Hamzah, 2006.
LEMBAR UJI REFERDNSI
Nama NIM
:Karen Solihin
JudulSkripsi
:
:109011000243
Nilai-NilaiPendidikan Yang TerkandungDalam Surat Al-
Ankabut Ayat 16-24.
Referensi
No
Nomor
I{alaman
Para{Dosen
Footnote
Skripsi
Pembimbing
BAB I PENDAHULUAN
2.
-t
Yunus Hasan Abi&t, Tafsir Al-Qur'an Sejarah Tafsir dan Metode Para Mtfasir, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), Cet. Ke-1, h. Viii. M. QuraishSyihab, Wawasan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan,2000), Cet. 10. h. 12.
Rosihun Anwar, Samudera AI-Qu'ran, (Bandung: PustakaSetia, 2001), Cetke-
I,
1
1
2
2
3
2
4
3< 4
h.
173. 4.
Ahmad Tafsir, "Pendidikan Agama Islam di Sekolah Salah Paradigma"Media Indonesia (Jum'at, 03 Desember 2004), h. 3.
A. Syafi'fMa'rif
5.
et.al, Pendidikan Islam di Indonesia antaraCitadanFakta (Yogyakarta PT. Tiara Wacana, l99l), h 15.
5
6.
H.A.R Tilaar, Manifesto
P endi dikanNas ional,
6
4
7
5
Ti nj au a n dc r i P e rsp
+
+ >
d e rn is me dan S tu d PenerbitBukuKompas,
ektifP o s tmo
iKulhtral (Jakarta: 20os), h 119. 7.
Abdul Reko
n
st rul<s
MunirMulkhan, i P en di dikan d anTr a di s i P es ant ren ;
Religiusiras IPTEK
<_
(YogYakarta:
PustakaPelajar, 2000), h. 1 1 1 -1 12. 8.
M. NurKholisSetiaw
an,
Al-Qur' an Kitabsastra
8
5
(
!
'--b----.-.
Terbesar (Y ogyakarta: eLSAQ, 2005), h.
1.
BAB II KAJIAN TEORETIK DAN PENGAJUAN KONSEPTUAL INTERVENSI
s b)
TINDAKAN 9.
HM.
ChabibThoha, KapitaSelektaPendidikan Islam, (Yogyakarta: PustakaPelajar,l996), h.
1
61. 10.
W.JS. Purwadarminta, KamusUmum Bahasa Indonesia, (Jakarta :BalaiPustaka, 1999) , h.
2
+--
9
e<
677.
1l
H. Titus, M.S, et dl,
Persoalan-
9
persoalanFilsafat, (Jakarta :BulanBintang, 1984),h. 122.
12.
Muhaimindan Abdul PemilciranPendidikan Islam,
Mujib,
4
9
5
10
6
t0
l
i0
8
11
9
11
10
12
(Bandung:
TrisendaKarya.l993), h. 61. 13.
ChabibThoha, dldcKapitaSelektaPendidikan Islam, (yogyakarta :PustakaPelajar, 1996),
--
>.\
(
r-
cet.l. h. 78.
14.
Muhaimindan Abdul PemikiranPendidikan K aj i an F i lo s ofi s dan K e r an gkaD
asa r
Muji, Islam'. Op
e ra s i o
ntt
I
nya, (Bandung: TrigendaKarya, 1993), h. 111. 15.
Mansur Isna, DiskursusPendidikan Islam,
I
<--
(Yogyakarta: Global PustakaUtama, 2001), h. 98.
16.
Muhaimindan Abdul PemikiranPendidikan
i
lvtftjlb, Islam:
K ai i anFi I o s ofi s danKer angkaD as ar Op e r as i o n a I n
17.
ya. (Bandung: TrigendaKarya, 1993),h. 111.
Mansur Isna, DiskursusPendidikan Islam,
(Yogyakarta: Global PustakaUtama, 2001), h: 99. NorSyam, 18. Mohammad P endi dikan F i I s afa t d an D as a r F i I a s afat Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), h. t37. NorSyam, 19. Mohammad a ar F i I a s afa t P endi dikanF i ls afa t d an D s Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), h. 137.
{ ) 11
t2
--.--.--{_---
--t
v)
20.
21.
Rasyid Pw,lfiembenahi Akhl aq M ew ari s i Kas (Bosor: Cahaya 2003), Cet. I, h. 1. Rasyid Pr;r.,l4 emb e nahiAkh I aq Mew
a
Majid
12
13
13
14
14
t4
15
14
16
15
i h Say an g,
Majid
Hasan
Hafrdz,
Dasar-
dasarPendidikandanllmuJiwa,
(Solo:
Ramadhani, 1989), h. 12.
23.
24.
D. Marimba, Ahmad PengantarFilsafatPendidikan, (Bandung: PT Al-Ma'rif, 1989), h. cet,VIII, h. 19. M
Sastraprtedja, PendidikanNilaiMemasukiTahun 2000,
(Jakarta: Cramedia, 1993). h.
/\
Abdul Kholiq et.al,
27.
28.
Abudin
PemikiranPendidikan
17
1s<
danFauzan, PendidikandalamPersepektifiIadisr, (Jakarta: UIN Jakarla pres s.2005), h.27 4. Mustafa, AkhlakTasawuf, (Jakarta: Pustakasetia, 1999), h. 197. Mustafa, AkhlakTasawuf, (Jakarta:
18
16
A.
19
16!
A.
20
17
(Jakarta:
2t
17
30.
danTerntahnya,
22
1,9
31.
danTermahnya,
23
20
32.
danTermahnya,
24
20
13.
danTermahnya,
25
21
14.
danTermahnya,
26
2t
A. Mustafa,
\AJ
AkhlakTasaywf,
PustakaSetia, 1999), h. 200. Departemen Agama, Al-Qur'an oo. cit., h. 862. Departemen Agama, Al-Qur'an op. cit., h.473. Departemen Agama, Al-Qur'an op. cit., h. 473. Departemen Agamq Al-Qur'an op. cit., h. 399. Departemen Agamq Al-Qur'an op. cit., h.231.
\a---> I
Nata
PustakaSetia, 1999), h. 198.
29.
-S --t-
l.
h I am, (Y ogy akarta: PustakaPel ajar, 1.999), h. zo.
S_2
ri s i Kas i hSay ang,
(Bogor: Cahaya. 2003), Cet. I, h. 2. 22.
/---t------\ -.....-
35.
A. MudjabMahli, Pembinaan Moral di
Mata
2'7
22
36.
Al-Ghzali, (Yoshyakarta: BFE, 1984), h. 257. Abudin Nata, AkhlakTasawuf, (Jakarta: PT. Raia GrafindoPersada, 1996), h. 148.
28
22
'T=
rF F F-F + .F P .u -----\:)
::-\*
BAB IIIMETODOLOGI PENELITIAN
Abuddin Nata,
lstam
Ilmupendidikai
DenganPendekatanMultidisipliner, (Jakarta, 2010), Cet.Ke- 2, h. 352.
BAB IV HASIL PENELITIAN
Ahsin w, Al-Hafidz, Komutlt*i-Al-dtrrii, Jakarta: Hamzah,2006), Cet.2. h. 25-26. QuraishShih ab, Ta.fsir Al-Mirbahpes"",
M.
kesan, dankeserasian Al-eur'an, (Jikarta: LenteraHati, 2002). h. 4
Ahmad Mustafa al-Maraghi, T"ri"mohTa,fri Al-Maraehi,h. 218.
M.
QuraishSyihab, Tafsir
Af
MisbahPesanKesandanKeserasian Al-eur,an, (Jakarta: LenteraHati, Z00Z). h. 461.
Depademen Agama
RI, ,,ll-err'r,,
Dn,
Tctfsirannya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2007). Cet I. h. 377 .
Ahrnad Mustafa Al-Maraghi, Tui"mohTnfsi, Al-Maraghi, (Semarang: Toha putra. l9g9), h.
SatyidQuthb, Fi
Zhitatil A*h"
DiBawahNaungan Al-Qur'an,
(Jakarta:
Cemalnsani Press, 2004). h.95.
Muhammad Idris Abdul Ra.,f ul-M*ba,r| Kan.rus Arab Melatu, ( Darullhva ). h. Muhammad al-RaziFak}ruddin. TafsiiFakhn al-Razi. .. . h. 46.
M.
QuraishShihab, Tafsir
MisbahP
es
af
anKesandanKeserasian Al-ettr' an,
h.462-463.
Departemen Agama, danTa,fs
Al-eurh"
irannya, (Jakarta: Depart"-"n Agorru Cet. l. h. 378.
Muhammad Idris Abdul Rurl Kamus Arab Melaw, h. 222.
SayyidQuthb,
Fi
ul-M-b*i,
Zhilatll
aurhn
,
trto,,.orn Al-Our'an- h- 96 51.
Departemen Agama ,t
^t^:-^---,-rup^.,,^t 52.
R'I, Al-Qur'an
Dan
Luis Ma'luf, Al-Munjid, (tserrut, Dar
el-
35
M.
t
QuraishShihab, IdJstr
r.,,"--Li L
16
35
t7
36
18
JO
Tafsir
yE,
l9 20
17
Abdurrahman Mas'ud, Menggagas ! ormat PendidikanNondikotomik, (Yogyakarta: Gama
21
39
AtTaJsir M.QuraishShihab, M is b ah P e s an danKe s a nKe s er as i an al-Qur'an,
22
M.QuraishShihab,
Al-
al-Qur'an,
r:- /rr\.\a\ L 1,4 17 IVIg(jr4r zwuz,r,
Muhammad Nasib al-Rii'a'I, Kemudahan Dart Allah: RiangkasanTafsirlbnKatsir' (Jakafla: ^ --r-^^-: rr-^-- IOOO\ ia+ t h 7)1
Qur an Dt 98' I BawahNaungan Al-Qur'an.h' at' OZ. I en*ua Mustafa al-Maraghi, Ierjemahla|str I Marashi,h.223. 63. I SayyidQuthb' TafsirZilalil Qur-an' h'9e' D' Y ,.. 64. I)epartemen Agallra
6TTSayyidQuthb.
1 d .r-:------^-.- 1.11O agnlulttt utttly.t, Ahmad Mustafa al-Maraghi, Teriemahla|str atn
66
Fi Zhilalil
r^-^-L; h ,)
40
23
4t
24
41
PustakaPanji Mas, 1982) Juzz XX, h' 168'
-
1-
--....-
\s,_>
!.\z
r-
{-\-.-
--+J
I
25
---\--\--, :
26
43
27
45
28
45
29
47
/-
n^rtk^. f"ftrl Al-Azhar' (Jakarta: PT
--, \-
h.470.
65
<=U) \-
r,
60.
u l-
'a
1'.>1
Mis b ah P e s on d anK e s an Ke s er a s i a n h. 468
59.
__ \a_, I
dt56. Ahmad Mustafa al-illatag)'tt,'1'erjemah I alstr
58.
15
=F
r\,r^^L-6a IOCK\ h ,R
h. 465.
57.
35
I 'L9/l
AtMisbahPesanKesandanKeserasian al-Qur'an, h.464. 54. Muhammad Nasib al-Rifa'I, Kemudahan l)art Allah: RiangkasanTafsirlbnKatsir, Terj' Syihabuddin, (Jakarta: Gemalnsani Press' l ooo\ ^Ar v^-1 h 1)1 AlTafsir 55. M.QuraishShihab, M is b ah P e s an d an K e s a n Ke s er 0s i an al-Qur'an,
53.
t4
.:s
i:------J
\
S> b\
I
67.
Departemen Agama
RI,
Al-Qur'an
30
48
31
50
danTafs irannya, h. 383. 68.
AswiiRony, dkk" Alatlbadah Muslim Koleksi
Museum Aclhityawarman, (Padang: B agianProyekPembinaan?ermuseuman Sumatera Barat, 1999), h.18. 69. AswilRony, dkke Alatlbadah Muslim Kolel<si Mus eum Ad h i tyaw a rman, (Padang: B agianProyekPembinaanPermuseuman Sumatera Barat, 1999), h.
70.
Departemen Agama F.I, Al-Qu r' an danTafsirannya, h.492
71.
AswilRony, dkk, Alatlbadah Muslim Koleksi Mus eum Adhityaw arman, (Padang:
G- \(>
32
51
------
--q2\------
33 52
BagianProyekPembinaanPermuseuman Sumatera Barat, 1999), h. 26-31 72.
M. QuraishShihab, op. cit., h. 593.
36
Rilat
37
Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur'oni,
53
: --f--:i-D
(Jakarta: Amzah, 201 1), Cet.1,h. 74. 74.
M. Imam Pamungkas, Akhlak Muslim Modern Membangun Karakter Generasi Muda, (Banduns: Maria, 2012), Cet. I, h. 74. M. Imam Pamun gkas, Akhlak Muslim Modern Membangun Karakter Generasi Muda, (Bandung: Maria, 2012), Cet. I, h. 73. AsefUmar Fakhruddin, op. cil., h. 100.
'-=-\b-
54
,\ - \
-H
_
\7---'
39
55
40
56
41
56
18.
Fu'ad bin Abdul Aziz asy-Syalhub, op. cit., h .41. Asefumar Fakhruddin, ap. cil., h. 101.
79.
HamkaAbdul Aziz, op. cit., h.101.
43
57
Abdullah bin Jarullah, FenomenaSyukur, erzikirdanBerlikir, h. 4 I -42 Abdul A'la Al-Maududi, Esensi Al-Qur'an, F ilsafatPolitikEkonomi Etika, (Jakarta: Mizan),
44
59
45
59
+_
46
61
--.-14)_
75.
76. 77.
80.
56<
B
81.
h.20. 82. Anshori Umar Sitarggal, Islam
F_t>
Anshori Umar Sitarggal, Islam M emb in a Masy ar akotA d ilM akmur, (tt: Pustaka QuraisShihab, wcw as an Al-Qur' an
ir M au dhi' I a t as P e I b a ga i P e rm a s a I ah anUma 1996). cet II. h. 81 M. QuraishShihab, TaJisr Al-Misbah: Pesan, KesandanKeserasian Al-Qur'an, (Jakarta: LenteraHati. 2002\. h. 392. Tafs
Menyetujui,
'
Abdul Ghofur, MA
NrP. 19681208199703r003
DEPARTEMEN AGAMA UIN JAKARTA FITK Jl. k. H. .lr.n
6
No. Tgl.
FoRM (FR)
No-
Cip,lal 15412 lndonesia
: Terbit :
Dokumen
FITK-FR-AKD-081 5 Januari 2009
Revisi: :
00
1t'l
Hal
SURAT BIMBINGAN SKRIPSI Nomor
Un.0l/}- 1/KM.01 .31........1........
:
Jakarra,2iT
llii
2016
Lamp. :,..............
Hal
:
Bimbingan Skipsi
Kepada Yth.
Bpk Abdul Ghofur, MA Pembimbing Shipsi Fakultas Ilmu Tar.biyah dan Keguruan
IJIN Syarif Hitlayatullah Jakarta-
Assal amu' ala ikum wr. wb.
Dengan
ini
tliharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi pembimbing Vtr
(materVteknis) penulisan skripsi mahasiswa:
Nama NIM Jurusan
:
Karen Solihin
:109011000243
Semester Judul Skipsi
:
Pendidikan Agama Islam
:
XW @mpat Belas)
:
Nilai-Nilai Pendidikan Yang Terkandung Dalam Surat Al-
Ankabut Ayat l6-24. Judul tersebut telah disetujui oleh Jurusan yang bersangkutan pada tanggal 15 Februari 2013 , abstaksi/o utline tt:ilunpir. Saudara dapat melakukan perubahan redaksional pada judul tersebut. Apabila perutahan substansial diaoggap perlu, mohon pembimbing menghubungi Jurusan terlebih dahulu.
Bimbingaa skripsi
ini
diharapkan selesai dalam waktu
6
(enam) bulan, dan dapat
diperpanjang selama 6 (enam) bulan berikutnya tanpa surat petpanjangan. Atas perhatian Was s alatnu'
a I
drt
kerja sama Saudara, kami ucapkan terima kasih.
aikum w'-wb. a.n. Dekan
Sekjur
Hj. MarhamatrSaleh, Il, M
r, t'l..rp. Tembusan:
l. 2.
Dekan FITK Mahasiswa ybs.
t
gzzo3 t :2oo8o I 20 I o