KONSEP PENDIDIKAN TAUHID YANG TERKANDUNG DALAM SURAT AL-AN’AM AYAT 74-83 SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I)
Oleh
Yohanna Makatangin NIM 1111011000073 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/2015
ABSTRAK NAMA: YOHANNA MAKATANGIN, NIM: 1111011000073, KONSEP PENDIDIKAN TAUHID YANG TERKANDUNG DALAM SURAT ALAN`AM AYAT 74-83 Tujuan penelitian ini adalah untuk menguraikan bagaimana konsep pendidikan tauhid yang terkandung dalam surat al-An’am ayat 74-83 yang meliputi : Definisi pendidikan tauhid, urgensi pendidikan tauhid, materi pendidikan tauhid, asas pendidikan tauhid, tujuan pendidikan tauhid, dan metode pendidikan tauhid berdasarkan kajian tafsir ayat tersebut. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan teknik analisis kajian melalui studi kepustakaan (Library research). Sumber data yang digunakan adalah al-Qur’an beserta terjemahannya dan beberapa literatur yang berkaitan dengan tema yang kemudian diuraikan dengan menggunakan metode tafsir tahlili. Adapun hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :Pendidikan tauhid adalah segala macam usaha yang baik bagi diri sendiri atau orang lain yang bertujuan untuk menyadarkan manusia sebagai hamba Allah dengan mensucikan diri dari segala bentuk kesyirikan, Urgensi pendidikan tauhid ialah agar manusia tidak tersesat dalam kedzaliman, manusia senantiasa berjalan pada jalan lurus yang akan mengantarkannya pada tujuan hidupnya yang sesungguhnya yaitu beriman, dan bertaqwa kepada Allah.Tujuan pendidikan tauhid adalah membantu manusia untuk menjadi orang-orang yang yakin, mendapat keamanan serta petunjuk dari Allah, dan mendapat derajat yang layak di sisi Allah, iman, islam, dan ihsan.Tiga materi pendidikan tauhid yang terkandung dalam ayat-ayat ini adalah sebagai berikut: pertama : Ma’rifat Dzat Allah sebagai Satu-Satu-Nya Tuhan yang harus disembah, kedua : Pembuktian keEsa-an Allah melalui perenungan terhadap alam semesta, dan ketiga : Penanaman rasa takut pada Allah serta ketaqwaan kepadaNya yaitu dengan cara menjalankan segala perintahNya saja dan menjauhi segala larangan-Nya.Dalam memperoleh hakikat akan Allah, manusia dapat menempuhnya melalui jalur rakyu atau akal berikut dengan hati nurani. Setelah al-Qur’an dan hadist akal juga dapat dijadikan dasar dalam merujuk proses pelaksanaan pendidikan tauhid. Beberapa metode pendidikan tauhid yang dilakukan nabi Ibrahim dalam kisah ini adalah sebagai berikut : menegur, membimbing, mencari sendiri ( dengan melihat, mengumpamakan, merenungkan, mengeksplorasi, mengevaluasi, membuat kesimpulan), menjadi suri tauladan, berargumentasi, dan mengancam. Semua metode tersebut diterapkan dengan sikap yang berani dan tegas. Kata Kunci: Konsep Pendidikan, Pendidikan Tauhid.
i
ABSTRACT NAME: YOHANNA MAKATANGIN, NIM: 1111011000073, THE CONCEPT OF MONOTHEISM’S EDUCATION WHICH IMPLIED IN SURAH
AL-
AN’AM VERSE 74-83 The purpose of this research is to describe the concept of monotheism’s education which implied in surah al-an’am verse 74-83. Those are: Definition of monotheims’s education, urgency of monotheims’s education, content of monotheism’s education, principle of monotheims’s education, purpose of monotheims’s education, and the last is methode of monotheism’s education based on exclamanation of that verse talked about.. The kind of this research is qualitative’s research with analysis technique. Alqur’an with the translation and another literature which related to topic used to be data’s source so that will be described with tahlili exclamanation methode. The results of this research are : 1, Monotheism’s education means making people realize that they are servant of Allah, so they must sanctify their self from every polytheism with every single effort but also in a good way. 2, urgency of monotheim’s education is to get people in the right side of way, so they can devout and pious to Allah as the truth’s purpose of their life. 3, the purpose of monotheism’s education is to help people to be faithful, then they will feel safety because of guidance from Allah, beside, Allah will place them on top level. 4, there are 3 substance of monotheism’s education, they are : knowing Allah as the only One God deserve to worship, verificating that Allah is the only One God by contemplation the entire world., and establishing the feeling of afraid and loyal to Allah by doing Allah’s order, and avoiding Allah’s prohibition. 5, to get the essence of Allah, human should take intellect way along with heart, after alQur’an and hadist, mind can be used to be basis to rever implementation of monotheim’s education. 6, some methode of Ibrahim’s monotheism education which implied in ibrahim’s story are : warning, guidance, searching by own self, being a good model, casing, threaten. Those methodes applied with a courageous and clear. Keywords : Education’s Concept, Monotheism’s Education.
ii
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرّحمن الرّحيم Assalamu’alaikum Warahmatullâhi Wabarakâtuh Kiranya tiada kalimat yang pantas diucapkan selain Alhamdulillâh, yang merupakan kalimat terindah yang dapat penulis sampaikan. Segala puji hanya bagi Allah, merupakan manifestasi rasa syukur terhadap kehadirat Ilâhi Rabbi dengan rahmat dan hidâyahnya telah menghadiahkan anugerah yang begitu mahal nilainya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Şalawat dan salâm semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad Saw, orang yang begitu mencintai kita sehingga diakhir hayatnya yang beliau sebut dan kenang hanyalah kita umatnya. Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Menyadari bahwa suksesnya penulis dalam menyelesaikan skripsi ini bukan semata-mata karena usaha penulis sendiri, melainkan tidak lepas dari bantuan beberapa pihak, baik batuan moril ataupun materil. Oleh karena itu sudah menjadi kepatutan untuk penulis sampaikan penghargaan yang tulus dan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Orang tua tercinta, yaitu: Bunda Rosidah dan ayahanda Makatangin Gustin (Alm) yang telah merawat, mendidik putra-putrinya dengan tulus ikhlas, dan mencukupi kebutuhan moril dan materil serta membimbing, memotivasi dan memohonkan kemudahan bagi penulis dalam setiap doanya. Sungguh merupakan pengorbanan yang tak terhitung nilainya dan tak terbalas bagi penulis. Semoga ibunda dan
iii
ayahanda senantiasa selalu dalam perlindungan, keridhoan, dan keberkahan Yang Maha Kuasa. 2. Bapak Prof. Dr. H. Dede Rosyada, MA. selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.Ag selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK). 4. Bapak H. Dr. Abdul Majid Khon, M.Ag. Dan ibu Hj. Marhamah Saleh, Lc. MA selaku ketua dan sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam. Semoga kebijakan yang telah dilakukan selalu mengarah kepada kontinuitas eksistensi mahasiswanya. 5. Bapak Prof. Dr. Salman Harun, MA. selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan perhatian, bimbingan, nasehat, kritik dan saran, serta motivasi yang besar dalam proses penulisan skripsi ini. 6. Bapak Fauzan, MA selaku dosen pebimbing akademik yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan pelayanan konsultasi bagi penulis. 7. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan ilmunya sehingga penulis dapat memahami berbagai materi perkuliahan. 8. Staf Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyediakan berbagai referensi yang menunjang dalam penulisan skripsi ini. 9. Nenekku, Ma inah yang selalu mendoakan senantiasa mendukung cucuknya untuk terus berusaha dalam menggapai apa yang dicitacitakan penulis. Terima kasih emma, Allah menyayangimu. 10. Adikku tersayang, Andhika Yogaswara Makatangin yang selalu memberikan semangat begitu juga doa kepada penulis, semoga kita selalu menjadi anak-anak yang bisa membanggakan kedua orang tua kita.
iv
11. Ebeku tersayang, Tante Marlina yang tiada henti memberikan dukungan dan doa kepada penulis, semoga kebahagiaan, kesehatan dan kesuksesan selalu menyertaimu be. 12. Senior terkece, Njur dan Titi yang secara sukarela memberikan arahan dan bimbingan bagi penulis. Jasa kalian tak terbalaskan. Semoga Allah juga senantiasa mempermudah urusan kalian. 13. Kepada sahabat yang selalu sedia untuk memberikan nasehat, arahan, serta semangatnya untuk penulis, yaitu: Gita Diana, Faturrohmah Aviciena, Anisya Ulfah, Elok Durrotul, Isnin Nadra, Haifa Khairunnisa, Nur Baiti, Tiarani Rimawaddah, Putik Giri, Fauziah Suparman, Ainun Novita, Gita Handayani, dan Yolla Diatry Marlian. Assallah yuwaffiquna, yunajjihuna, wa yuqowwina. 14. Teman-teman sejawat jurusan PAI angkatan 2011, khususnya sahabat TWO PAI (PAI B) yang selalu ada untuk menemani membimbing dan terus memberikan semangat kepada penulis, dan juga ketua kelas yang sangat bertanggung jawab terhadap anggotanya Faisal Zamzami semoga semua kerja kerasmu mendapat balasan setimpal dari Allah. 15. Semua pihak yang tidak penulis sebutkan satu persatu yang telah berjasa membatu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dari semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapat balasan pahala dan rahmat Allah SWT. Dan semoga apa yang telah ditulis dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Âmîn Yâ Robbal `Âlâmîn.
Jakarta, 09-10- 2015
Yohanna Makatangin
v
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB – LATIN Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
1. Konsonan Tunggal No.
Huruf Arab
Huruf Latin
No.
Huruf Arab
Huruf Latin
1
ا
Tidak
16
ط
ţ
dilambangkan
2
ب
b
17
ظ
ť
3
ت
t
18
ع
‘
4
خ
ś
19
غ
ġ
5
ج
j
20
ف
f
6
ح
h
21
ق
q
7
خ
kh
22
ك
k
8
د
d
23
ل
l
9
ذ
ż
24
م
m
10
ر
r
25
ن
n
11
ز
z
26
و
w
12
س
s
27
ه
h
13
ش
sy
28
ء
`
14
ص
ş
29
ي
y
15
ض
đ
30
ة
h
2. Vokal Tunggal Tanda
Huruf Latin
َـ
a
ِـ
i ُـ
u
vi
vii
3. Vokal Rangkap Tanda dan Huruf
Huruf Latin
ْـَي
ai
ْـَـو
au
4. Mâdd Harakat dan Huruf
Huruf Latin
َــا
â
ْــِي
Î
ْـُـو
ȗ
5. Tâ’ Marbuţah Tâ’ Marbuţah hidup translitrasiya adalah /t/. Tâ’ Marbuţah mati transliterasinya adalah /h/. Jika pada suatu kata yang akhir katanya adalah Tâ’ Marbuţah diikuti oleh kaya sandang al, serta kata kedua itu terpisah maka Tâ’ Marbuţah itu ditransliterasikan dengan /h/. Contoh: = حديقة الحيواناتhadîqat al-hayawânât atau hadîqatul hayawânât = المدرسة اإلبحدائيّة
al-madrasat
al-ibtidâ`iyyâh
atau
al-madrasatul
ibtidâ`iyyâh
6.
Syaddah (Tasydîd) Syaddah/tasydid ditransliterasikan dengan huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah (digandakan). َعَّلَم
Ditulis
‘allama
ُيُكَّرِر
Ditulis
yukarriru
7. Kata Sandang a. Kata sandang diikuti oleh huruf Syamsiyah ditransliterasikan dengan huruf yang mengikuti dan dihubungkan dengan kata sambung/hubung.
viii
Contoh: ُّصالَة َ = الaş-şalâtu b. Kata sadang diikuti dengan hufuf Qamariyah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya. Contoh: ُ = الفََّلكal-falaqu
8. Penulisan Hamzah a. Bila hamzah terletak di awal kata, maka ia tidak dilambangkan dan ia seperti alif, contoh: ُ = أكَ ّْلثakaltu
َ = ُأوْجِيȗtiya
b. Bila di tengah dan di akhir, ditransliterasikan dengan aprostof, contoh: = جَأكّلونta’kulȗna
ٌ = شَيْئsyai`un
9. Huruf Kapital Huruf kapital dimulai pada awal nama diri, nama tempat, bukan pada kata sandangnya. Contoh: = القّرآنal-Qur`ân = المدينة المنوّرةal-Madînatul Munawwarah
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK ................................................................................................................ i KATA PENGANTAR .............................................................................................. iii PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................. vi DAFTAR ISI ............................................................................................................ ix BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ....................................................................................... 9 C. Pembatasan Penelitian ....................................................................................10 D. Perumusan Masalah .......................................................................................10 E. Tujuan Penelitian ..........................................................................................10 F. Manfaat Penelitian .........................................................................................10 BAB II : KAJIAN TEORITIK A. Acuan Teori ....................................................................................................11 1. Pendidikan ................................................................................................11 2. Tauhid ......................................................................................................16 3. Pendidikan Tauhid ...................................................................................19 4. Pendidikan Tauhid di Sekolah .................................................................38 B. Hasil Penelitian Yang Relevan .......................................................................40 BAB III : METODOLOGI PENELITIAN A. Objek dan Waktu Penelitian ...........................................................................42 B. Fokus Penelitian .............................................................................................42 C. Pendekatan Penelitian ....................................................................................42 D. Sumber Data ...................................................................................................43
ix
x
E. Metode Penelitian ...........................................................................................43 F. Metode Penulisan ...........................................................................................45 BAB IV: TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Sekilas Mengenai Surat al-An’am ................................................................ 46 B. Tafsir dan Temuan Konsep Pendidikan Tauhid Surat al-An’am ayat 74-83 . 46 C. Tabel Temuan Konsep Pendidikan Tauhid Q.S. al-An`am 74-83 ................. 69 D. Analisis Konsep Pendidikan Tauhid ............................................................. 71 BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................................... 88 B. Saran ............................................................................................................... 89 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 92 LAMPIRAN ..............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Umat manusia dicipta dalam pluralitas di berbagai aspek kehidupan, mulai dari sosial, budaya, ekonomi sampai agama. Mereka tersebar di seantero jagad raya. Terpisah di berbagai pulau dan benua. Terhimpun oleh berbagai macam faktor. Diantaranya ras, budaya, bahasa, warna kulit, sejarah dan lain sebagainya. Dari berbagai macam ras, budaya, bahasa tersebut terbentuklah komunitas manusia yang masing-masing memiliki peradaban sendiri. Ada yang sama, hampir sama atau bahkan berbeda sama sekali. Entah kelompok itu terbentuk dengan nama bangsa, negara, suku, masyarakat, atau yang lainnya. Terlepas dari perbedaan makna antara istilah bangsa, negara, suku, masyarakat atau komunitas, semua itu diatur oleh suatu sistem norma sosial. Dalam wikipedia dikatakan bahwa: “norma sosial berarti sistem nilai atau prinsip yang menjadi patokan perilaku suatu masyarakat agar hubungan di antara manusia dalam masyarakat dapat berlangsung tertib sebagaimana yang diharapkan”1 Berbagai ummat menganut bermacam-macam aturan hukum, adat istiadat dan juga melakukan berbagai macam cara beribadat sesuai dengan keadaan yang berbeda-beda pula, namun keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Tauhid) merupakan unsur kebenaran yang tidak pernah mengalami perubahan. Tuhan bukanlah monopoli suatu bangsa atau agama tertentu. Semua penjuru adalah milik-Nya. Semua agama pada hakikatnya adalah satu, karena Tuhan dari agama itu satu, dan agama yang satu itu menurut khalifah Abdul Hakim adalah fitrah yang diberikan kepada manusia”.2
1
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Norma_sosial, diakses pada hari kamis 6 Agustus 2015, pukul 17,06 WIB 2 Khalifah Abdul Hakim, Hidup yang Islami Menyeharikan Pemikiran Transendental Akidah dan Ubudiyah, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), cet ke-1, h. 92
1
2
Namun, arah wajah kita di saat melakukan peribadatan ataupun disaat lainnnya relatif bersifat abstrak. Allah berfirman :
“Timur dan barat adalah milik Allah, oleh karena itu ke arah manapun engkau menghadapkan mukamu, disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui”. (Q.S Al-Baqoroh : 115 ) Islam adalah agama monoteis (tauhid) dan agama penyembahan kepada Tuhan
Yang Esa. Islam dengan tauhid sebagai landasannya,
memiliki sistem tata sosial yang bersumber dari tauhid. Tauhid merupakan inti dan segalanya dalam islam. Kandungan ayat-ayat al Quran berkisar tentang tauhid. Segala aturan, hukum, perintah dan manhaj bersumber dari tauhid. Dengan berdasarkan kesaksian ayat-ayat al-Quran , dakwah terhadap tauhid bukanlah golongan agama Islam, tapi seluruh nabi-nabi Tuhan mengundang dan mengajak manusia pada pengesaan Tuhan dan tauhid. Seluruh agama-agama Ilahi dulunya merupakan agama tauhid. Al-Qur'an mengungkapkan secara jelas hakikat sejarah ini dengan firman-Nya:
"Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama (untuk) kamu semua; agama yang satu, dan Aku adalah Rabb-mu, maka sembahlah Aku." – (Q.S.Al-anbiya: 92) Begitu pula tidak ada satu ummat pun yang terdahulu maupun yang belakangan, kecuali Allah telah mengutus dalam ummat tersebut seorang Rasul. Dan seluruh Rasul itu sepakat dalam menyerukan dakwah dan agama yang satu, yaitu beribadah kepada Allah saja sebagaimana dalam firman-Nya:
3
. “Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).”(Q.S An-Nahl : 36) Dalam ayat lain disebutkan pula:
"Dan Kami tidak mengutus seorang rasul, sebelum kamu (Muhammad), melainkan Kami wahyukan (pula) kepadanya: 'Bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak), melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku'." – (Q.S. Al-Anbiya : 25) Setiap kali terjadi kesyirikan pada suatu ummat , Allah utus seorang Nabi untuk mengembalikan manusia kepada aqidah Tauhid dan beriman kepadaNya semata, tidak menyekutukan-Nya serta menyingkirkan kesyirikan dan penyimpangan yang ada pada mereka. Mereka semua membawa ajaran yang prinsip-prinsipnya sama. Mereka semua, sejak Rasul pertama sampai dengan Rasul terakhir datang membawa ajaran Islam, agama yang satu sumbernya dan satu dalam prinsip-prinsip ajarannya. Karena itu hendaknya manusia harus menjaga keutuhan agama ini serta memelihara persatuan ummat manusia dengan tidak saling bertentangan dan berpecah belah. Menurut Hamka “Pada dasarnya fitrah manusia merasai adanya Maha kuasa”.3 percaya bahwa Allah lah Sang Pencipta, Pemberi Rizki, Menghidupkan dan Mematikan, hanya Dialah yang berkah disembah, hakikat 3
Hamka, Filsafat Ketuhanan, ( Surabaya: Karunia 1985), h. 29
4
kepercayaan tentang adanya Tuhan tersemat dalam sanubari manusia, Allah berfirman :
“fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.( Q.S. Ar-Ruum : 30) Selama manusia mengikuti fitrahnya berati ia berjalan pada jalan yang lurus. Tetapi dia tidak tahu jalan. Akhirnya manusia menyembah apa yang ditakutinya atau dipandangnya berpengaruh. Kemudian muncul orang-orang sakti, manusia berkata merekalah yang sanggup dan kuasa berhubungan dengan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, merekalah yang menentukan ibadat dan pemujaan, sehingga kepercayaan fitrah yang suci itu telah dikotori oleh sesama manusia sendiri. Oleh sebab itu, dengan sendirinya timbullah pemerintahan yang sewenang-wenang. Kehormatan diri pribadi manusia, harta bendanya, tujuan hidupnya, ditentukan dan dikekang oleh kehendak orang-orang sakti tadi, seperti dalam firmanNya:
"Dan mereka telah memotong-motong urusan (agama) mereka di antara mereka. Kepada Kami-lah masing-masing golongan itu akan kembali." – (Q.S. Al-Anbiya : 93) Bapak Quraish Shihab menjelaskan ayat tersebut dalam bukunya Tafsir al-Mishbah: Meskipun peringatan dan nasihat telah berulang disampaikan namun banyak manusia yang mengikuti hawa nafsunya dan bertikai, mereka telah memotong-motong urusan agama mereka di antara mereka sehingga lahir banyak firqah, yakni kelompok yang saling berselisih dan bertengkar, atau
5
menjadikan ajaran agama yang utuh berkeping-keping, masing –masing mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain. Kelak mereka akan mengetahui akibat perbuatan mereka, karena semua kelompok itu, apapun keadaanya hanya kepada kami saja akan kembali untuk kami adili lalu masing-masing dari mereka akan menerima sanksi dan ganjaran atas usaha mereka.4 Dari apa yang dikatakan oleh bapak Quraisy Shihab di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa jika urusan agama telah terpotong-potong maka peradaban manusia akan mundur, surut ke belakang dan hiduplah manusia dalam kegelapan. Sejarah penyebaran syirik terulang pada umat ini disebabkan para penyeru kesesatan. Sebab lain yang tak kalah penting adalah pembangunan kuburankuburan dalam rangka pengagungan terhadap para wali dan orang-orang shalih secara berlebihan. Dengan demikian maka kuburan menjadi tempat pengagungan lantas menjadi berhala yang disembah selain Allah. Berbagai amalan diperuntukkan bagi kuburan baik berupa doa, penyembelihan, nadzar dan yang selainnya. Itulah fenomena sejarah perjalanan agama umat manusia sampai zaman ini. Hari-hari belakangan ini kesyirikan telah sedemikian dahsyat melanda kaum muslimin. Sedikit sekali di antara mereka orang yang mengerti tentang tauhid dan bersih dari syirik. Namun, dengan ajaran Tiada Tuhan selain Allah, akan membebaskan setiap manusia dari beribadah kepada sesama makhluk menjadi ibadah hanya kepada Allah. Manusia tidak berserikat satu dengan yang lainnya, manusia tidak akan berkelompok-kelompok dan berselisih akan kebenaran yang haq, manusia terbebas dari belenggu perbudakan sesama manusia, pada sisi lain ia pun terbebas dari rasa lebih tinggi dari manusia lainnya, dari dalam dirinya tumbuh kesadaran bahwa ia sama dengan manusia lainnya. Sesama manusia tidak ada terkuat atau terlemah. Semua makhluk adalah hamba Allah, baik secara individual maupun kelompok, komunitas atau bangsa.
4
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan-Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta :Lentera Hati 2002), Vol. 8, h. 504
6
Itulah yang dinamai Tauhid.yaitu menyatukan kepercayaan. Tidak terpecah-pecah kepada yang lain. Alam seluruhnya ini diatur oleh satu pengatur, menurut satu aturan. Segala yang ada ini takluk kepada hukumhukum yang satu. Hanya Allah semata-mata yang menjadi pusat tujuan hidup.
"Sekiranya ada di langit dan di bumi ilah-ilah selain Allah, tentulah keduanya (langit dan bumi) itu sudah rusak (dan) binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy (kedudukan yang sangat tinggi dan mulia), daripada apa yang mereka sifatkan." – (Q.S. Al-Anbiya : 22) Umat manusia itu pun satu adanya. Sama-sama makhluk yang diberi oleh Allah akal dan pikiran. Tidak ada kelebihan seseorang daripada seseorang yang lain, melainkan dengan teguh kepercayaannya dan taqwanya kepada Allah Yang Maha Esa itu. Sesungguhnya Allah menyebut tauhid sebagai ruh dan cahaya, sebagai pedoman bagi kehidupan hakiki, karena tauhid menerangi jalan bagi pengikutnya mengeluarkan mereka dari kegelapan syirik kepada cahaya iman, sebagaimana firman Allah ta’ala:
(Dialah) yang Maha Tinggi derajat-Nya, yang mempunyai 'Arsy, yang mengutus Jibril dengan (membawa) perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, supaya Dia memperingatkan (manusia) tentang hari Pertemuan (hari kiamat). (Q.S alMu’min ; 15) Kehidupan tauhid berarti kehidupan yang diwarnai dengan penyerahan diri dari sesuatu yang kurang jelas kepada yang lebih jelas, penyerahan keinginan –keinginan pribadi yang tak bernilai kepada yang bernilai,
7
penyerahan segala yang fana kepada yang abadi, serta penyerahan segala yang bersifat khusus kepada yang bersifat universal. Seluruh aspek kehidupan orang yang bertauhid senantiasa terbimbing dan terbentuk oleh pemahaman itu. Penyerahan diri dalam pengertian inilah yang merupakan satu-satunya sarana untuk melestarikan dan memelihara kehidupan. Keyakinan dan sikap hidup inilah yang merupakan makna yang dimaksud dari kata tauhid. Semua makna yang berlawanan dengannya bukan saja menafikan tetapi sekaligus mengahancurkan keberadaannya. Tauhid mempunyai peran besar terhadap hidup manusia, karena dengan tauhid lah manusia dapat memahami arti dan tujuan hidup mereka. Marilah kita lihat di dalam kehidupan kita pada zaman yang katanya modern ini, banyak manusia yang hidup tanpa tujuan yang jelas, mereka bekerja siang malam banting tulang hanya untuk mendapatkan harta yang banyak, dengan harta itulah mereka berusaha memuaskan hawa nafsunya yang tak kunjung puas dengan apa yang telah mereka lakukan, padahal Allah telah berfirman dalam ayat-Nya,
”Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk beribadah kepadaku”. (Q.S. Adz- Zariyat ; 56) Kita mendapatkan perkara tauhid sebagai barang langka di kehidupan sebagian masyarakat muslimin sekarang ini. Tidak dengan mudah kita menemuinya walaupun mereka mengaku sebagai muslimin. Maka perlu untuk membangkitkan kembali semangat bertauhid di tengah umat ini. Karena tauhid adalah hak Allah yang paling wajib untuk ditunaikan oleh manusia. Oleh karena itu, tauhid adalah pegangan pokok dan suatu hal yg sangat menentukan bagi kehidupan manusia. Dia merupakan landasan bagi setiap amal yang dilakukan oleh seorang hamba. Menurut tuntunan islam, hanya tauhid lah yang akan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang baik dan kebahagiaan yang hakiki di alam akhirat nanti.
8
Dengan dasar bahwa tauhid amat penting bagi kehidupan manusia, perlulah kita sebagai ummat muslimin mengkaji kembali makna tauhid sesungguhnya, untuk kemudian diinterpretasikan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu Nabi dan Rasul yang mendapat amanah dalam mengembang risalah Alllah tersebut adalah nabi Ibrahim as. Metode yang dipakai Nabi Ibrahim as dalam upaya memurnikan akidah umat manusia pada zamannya diabadikan dalam al-Qur’an yang sekaligus sebagai simbol kepada manusia yang hidup dan hadir pada zaman sekarang ini, bahwa cara yang dilakukan Nabi mulia tersebut perlu dikaji secara mendalam dan direkonstruksi ulang sehingga pendekatan yang cermat dan brilian itu dapat bermakna di jaman yang sekarang ini, dimana manusia tidak lagi menyembah berhala tapi beralih kepada penyembahan pekerjaan, harta dan wanita. Dimana kebahagiaan dan waktunya dihabiskan hanya untuk mendapatkan perhiasan tersebut. Menurut tafsir al-Mishbah kandungan singkat surat al-An’am ayat 74-83 merupakan ayat-ayat yang menuntun Nabi Muhammad saw dan ummat Islam, bagaimana bersikap terhadap orang-orang musyrik yang mempersekutukan Allah SWT seperti dicontohkan oleh pengalaman Nabi Ibrahim as ketika menghadapi persoalan yang sama agar dapat diteladani.
5
Sedikit ulasan
singkat tentang isi kisah dalam QS. al-An’am ayat 74-83 yaitu, bahwa Nabi Ibrahim as mengingatkan pada ayahnya atau lebih tepat disebut orang tua yang pada ayat tersebut bernama Azar dan kaumnya tentang kesesatan menyembah berhala. Serta hujjah yang digunakan dalam menghadapi kaumnya yang tidak mempercayai Allah SWT sebagai Tuhan semesta alam. Hal tersebut merupakan contoh dalam menegakkan kallamullah dengan mengajarkan tauhid pada manusia secara tegas berdasarkan konsep yang telah dituliskan dalam al-Qur’an oleh Allah SWT melalui utusan-Nya. Oleh karena itu skripsi ini akan mencoba mengkaji, menganalisis, dan melihat
kembali
pendekatan
yang diterapkan
Nabi
Ibrahim
dalam
mengabdikan pesan-pesan Tuhannya di muka bumi, sehingga dapat dipahami 5
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an vol 4, (Jakarta : Lentera Hati, 2001), h. 154
9
dan di amalkan manusia yang hadir dan hidup di jaman sekarang ini. Karenanya, pembahasan pokok pada skrpsi ini adalah bagaimana metode pendidikan Tauhid Nabi Ibrahim as. Di dalam al-Qur’an ? oleh karena itu, untuk lebih fokus pada pembahasan dalam skripsi, penulis mengambil judul “Konsep Pendidikan Tauhid yang Terkandung dalam surat Al-An’am Ayat 74-83”
B. Identifikasi Masalah Adapun masalah-masalah yang penulis temukan dalam karya ilmiah ini adalah sebagai berikut ; 1. Adanya perselisihan manusia disebabkan oleh kesyirikan 2. Terdapat banyak pelencengan akan tauhid 3. Perlunya tauhid murni bagi kehidupan manusia
C. Pembatasan Masalah Untuk menghindari melebarnya pembahasan dalam tulisan ini, maka penulis perlu memberikan batasan permasalahan sebagai berikut : 1. Tafsir ayat al-Qur’an surat QS. al-An’am ayat 74-83. 2. Konsep pendidikan tauhid yang terkandung dalam QS. al-An’am ayat 74-83 D. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dari pembahasan ini adalah : “ Bagaimana konsep pendidikan tauhid berdasarkan kajian tafsir surat al-An’am ayat 74-83 yang meliputi : definisi pendidikan tauhid, urgensi pendidikan tauhid, materi pendidikan tauhid, asas pendidikan tauhid, tujuan pendidikan tauhid, dan metode pendidikan tauhid ?. E. Tujuan Penelitian Adapaun
tujuan
diadakannya
penelitian
ini
adalah
:
Untuk
mendeskripsikan konsep pendidikan tauhid berdasarkan tafsir QS. al-An’am ayat 74-83.
10
F. Manfaat penelitian a. Secara Teoritik Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dalam konsep pendidikan tauhid, serta memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan khususnya dalam pendidikan Agama Islam. b. Secara Praktis Penelitian ini dapat memberikan masukan bagi para pendidik, orang tua, serta umat islam agar senantiasa mengajarkan tauhid pada anak-anak, keluarga,
dan
masyarakat
agar
mereka
dapat
mengetahui
mempraktekkan ajaran tauhid yang sesuai dengan ajaran yang benar.
dan
BAB II KAJIAN TEOROTIK A. Acuan Teori 1. Pendidikan a. Pengertian Pendidikan Pendidikan merupakan hal yang penting bagi kehidupan manusia. Dengan pendidikan itulah manusia dapat maju dan berkembang dengan baik, melahirkan kebudayaan dan peradaban positif yang membawa kebahagiaan dan kesejahteraan hidup mereka, hal ini menyebabkan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin tinggi pula tingkat kebudayaan dan peradabannya. Menurut Muhibin Syah, “kata pendidikan berasal dari kata dasar didik atau mendidik, yang secara harfiah berarti memelihara dan memberi latihan”.1 Di dalam kamus al-Munawwir, “kata pendidikan juga berasal dari kata rabba-yurabbi-tarbiyatan, berarti mendidik, mengasuh, dan memelihara”.2 Dalam bahasa Arab, pendidikan juga sering diartikan dari kata „Allama‟ dan „Addaba‟. Kata allama berarti mengajar (menyampaikan pengetahuan), memberitahu, mendidik. Sedang kata addaba lebih menekankan pada melatih,
memperbaiki, menyempurnakan akhlak
(Sopan santun) dan berbudi baik.3 Namun kedua kata tersebut jarang digunakan untuk diterapkan sebagai wakil dari kata pendidikan, sebab pendidikan itu harus mencakup keseluruhan, baik aspek intelektual, moralitas atau psikomotorik dan afektif. Dengan demikian, ada tiga istilah pendidikan dalam konteks Islam yang digunakan untuk mewakili kata pendidikan, yaitu tarbiyah, ta‟lim, dan ta‟dib. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, kata tarbiyah 1
Muhibin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru , (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2003) , cet-8 , h. 32 2 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: PP. al-Mmunawwir, 1989), h. 504 3 Ibid, h. 461 dan 1526
11
12
dipandang paling tepat untuk mewakili kata pendidikan, karena kata tarbiyah mengandung arti tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga eksistensinya, kesemuanya ini telah mewakili makna „pendidikan‟ secara keseluruhan. Kata pendidikan juga berpadan dengan „education‟ yang berarti membimbing : sebagaimana pendapat John dewey, “the word education means just a process of leading or bringing up”.4 Kata tersebut kemudian diartikan ke dalam bahasa Indonesia yang berarti pendidikan ialah membimbing kemampuan, potensi dan fitrah yang tersimpan dalam diri anak untuk mencapai kedewasaan. Dalam ensiklopedia pendidikan, pendidikan dalam arti yang universal adalah “perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamanya, kecakapnnya serta keterampilannya kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah.”5 Dalam kitab at Tarbiyah wa Thariq at Tadris dijelaskan bahwa :
فالتبية اذن.إ ّن التبية ىي املؤثرات املختلفة الىت توجو و تسيطر على حياة الفرد 6 توجيو للحياة او تشكيل لطريقة معيشتنا Pendidikan adalah berbagai macam pengaruh guna menghadapi hidup seseorang. Jadi pendidikan berarti menyongsong kehidupan atau pembentukan pola hidup kita. Adapun pendidikan menurut rumusannya al-Ghazali yaitu: Pendidikan yang benar merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
4
Pendidikan juga dapat mengantarkan manusia
John Dewey, Democracy and Education, (New York : The Masmillan company, 1964), h. 10 Soganda Poerbakawatja dan Harahap, Ensiklopedia Pendidikan, (Jakarta : Gunung Agung 1981), cet-2, h. 257 6 Shaleh Abdul Aziz, at Tarbiyah wa Thuruq Tadris, (Mesir : Darul Ma‟arif), h. 13 5
13
untuk menggapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Pendidikan juga sarana untuk menebar keutamaan7 Pengertian pendidikan dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional Bab 1, pasal 1 ayat 1, dijelaskan bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.8 Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa pada hakikatnya pendidikan adalah ikhtiar manusia untuk membantu dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan fitrah (kemampuan dasar) atau potensi manusia agar berkembang sampai titik maksimal sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan. b. Tujuan Pendidikan Suatu usaha atau kegiatan dapat terarah dan mencapai sasaran sesuai dengan yang diharapkan maka harus ada tujuannya, demikian pula dengan pendidikan. Suatu usaha apabila tidak mempunyai tujuan tentu usaha tersebut dapat dikatakan sia-sia belaka. Dengan kata lain tujuan adalah sesuatu yang ingin dicapai setelah usaha atau kegiatan itu selesai. Apabila pendidikan dipandang sebagai suatu usaha melalui proses yang bertahap dan bertingkat maka usaha atau proses itu akan berakhir manakala tujuan akhir pendidikan sudah tercapai. Namun demikian, tujuan pendidikan bukanlah sesuatu yang berbentuk tetap dan statis, tetapi ia merupakan suatu keseluruhan dari kepribadian seseorang, berkenaan dengan seluruh aspek kehidupannya.
7
Asrorun Niam Sholeh, Reorientasi Pendidikan Islam Mengurai Relevansi Konsep al-Ghazali dalam Konteks Kekinian, (Jakarta : eLsas 2006), h. 57 8 Anas Salahudin dan Irwanto Alkrienciehie, Pendidikan Karakter Pendidikan berbasis Agama & Budaya Bangsa, (Bandung : Pustaka Setia 2013), cet. Ke-1, h. 80
14
Tujuan pendidikan menurut pendapat Oemar Hamalik adalah “seperangkat hasil pendidikan yang tercapai oleh peserta didik setelah diselenggarakannya kegiatan pendidikan. Seluruh kegiatan pendidikan, yakni bimbingan pengajaran, dan/ atau latihan diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan”.9 Pendapat ini bila dianalisis, pada dasarnya
tujuan
pendidikan
adalah
maksud
belajar
yang
dikomunikasikan secara jelas, meliputi tingkah laku dan kondisikondisi tertentu yang diharapkan muncul di dalamnya setelah dilaksanakannya proses belajar mengajar. Sedangkan tujuan pendidikan menurut UU Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 pasal 3 “untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, manidir, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab “. 10 Tujuan pendidikan menurut pendapat Al-Ghazali, sebagaimana yang dikutip oleh Asrorun Niam “ dua hal penting sebagai orientasi pendidikan pertama, mencapai kesempurnaan manusia untuk secara kualitatif mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kedua, mencapai kesempurnaan manusia untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat”.11 Sedang menurut Abdul Fattah Jalal, tujuan pendidikan ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Oleh karena itu pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia (sekali lagi seluruh manusia) untuk menjadi manusia yang menghambakan diri kepada Allah, yang dimaksudkan dengan menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah. 12
9
Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta : Bumi Aksara, 2013),cet-13 h. 3 Anas Salahudin dan Irwanto Alkrienciehie, op.cit., h. 41 11 Asrorun Niam Sholeh, op.cit., h. 78 12 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 2007), h. 46 10
15
Tujuan pendidikan menurut kedua pendapat di atas, pada dasarnya adalah tujuan yang berkaitan dengan pendidikan yang bercorak Islam. Dalam hal ini Islam menghendaki agar manusia didik mampu merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang digariskan oleh Allah. Tujuan hidup manusia dalam Islam ialah beribadah.
c.
Lembaga pendidikan Lembaga pendidikan atau bisa kita sebut dengan lingkungan pendidikan adalah tempat seseorang memperoleh pendidikan secara langsung atau tidak langsung. Bila kita perhatikan secara seksama, lembaga pendidikan atau wadah berlangsungnya proses pendidikan yang ada di sekitar kita ada tiga, yaitu : keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ki hajar Dewantara bahwasannya ketiga lembaga tersebut sebagai tri pusat pendidikan.13 1.
Keluarga Keluarga merupakan unit pertama dan institusi pertama dalam masyarakat. Anak dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga, lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama, karena dalam keluarga inilah anak pertama-tama mendapatkan didikan dan bimbingan melalui ayah dan ibunya. Sebagian besar dari kehidupan anak berada di dalam keluarga, dalam asuhan orang tuanya, oleh karenanya lingkungan keluarga bukan hanya lembaga pendidikan pertama namun juga yang paling utama. Dengan demikian jelaslah bahwa orang yang pertama dan utama bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup dan pendidikan anak adalah orang tua.
13
Hasbullah, Dasar-Dasar Pendidikan (edisi revisi), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada 2013), h. 37
16
2. Sekolah Sekolah sengaja disediakan atau dibangun khusus untuk tempat pendidikan, sekolah merupakan lembaga pendidikan utama yang kedua atau “lanjutan setelah keluarga”14. Pendidikan di sekolah biasanya disebut pendidikan formal karena ia adalah pendidikan yang mempunyai dasar, tujuan, isi, metode, alat-alatnya disusun secara jelas, sistematis, dan distandarisasikan. Sebagai lembaga pendidikan formal, sekolah yang lahir dan berkembang secara efektif dan efisien dari dan oleh serta untuk masyarakat, merupakan perangkat yang berkewajiban memberikan pelayanan kepada masyrakat dalam mendidik warga negara. Sekolah dikelola secara formal yang berpegang pada falsafah dan tujuan pendidikan 3. Masyarakat Dalam buku „Dasar-Dasar
ilmu Pendidikan‟, masyarakat
diartikan sebagai “satu bentuk tata kehidupan sosial dengan tatanilai dan tata-budaya sendiri”.15 Dalam arti sederhana, masyarakat berarti lingkungan sosial yang berada di sekitar keluarga : kampung, desa, marga, suku, pulau, dan sebagainya. Dalam konteks pendidikan, masyarakat merupakan lingkungan ketiga setelah keluarga dan sekolah. Pendidikan yang dialami dalam masyrakat ini, telah mulai ketika anak-anak untuk beberapa waktu setelah lepas dari asuhan keluarga dan berada di luar dari pendidikan sekolah. Dengan demikian, berarti pengaruh pendidikan tersebut tampaknya lebih luas.
2. Tauhid a. Pengertian Tauhid Kata tauhid berasal dari kata kerja wahhada, yang berarti “mengesakan, menyatakan atau mengakui Yang Maha Esa”. 14
Ibid., h. 36 Ibid., h. 55 16 Munawwir, op. cit., h. 1542 15
16
17
maksudnya ialah keyakinan atau pengakuan terhadap keesaan Allah, Zat Yang Maha Mutlak. Menurut Muhammad bin Abdul Wahab secara istilah pengertian Tauhid : Tauhid adalah meyakini keesaaan Tuhan, menganggap hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah Rabbul alamin. Tidak ada yang disebut Tuhan. Atau dianggap sebagai Tuhan, atau dinobatkan sebagai Tuhan, selain Allah SWT. Jadi semua yang ada di alam semesta ini, adalah makhluk belaka. Lain tidak. Tidak boleh ada kepercayaan yang menyelinap dalam hati, bahwa selain-Nya ada yang pantas atau patut buat dipertuhan. Pula nama Tuhan selain Allah, wajib tidak ada. Jika masih ada sedikit saja kepercayaan selain-Nya, harus segera dikikis habis. Inilah yang disebut kepercayaan monoteisme. Yakni hanya percaya pada “satu Tuhan.17 Dari kedua definisi tauhid di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tauhid ialah Keyakinan tentang satu atau Esanya Zat Allah, tidak hanya percaya bahwa Allah ada, yang menciptakan seluruh alam semesta beserta pengaturannya, tetapi haruslah percaya kepada Allah dengan segala ketentuan tentang Allah meliputi sifat, asma` dan af`al-Nya. Dengan demikian, tauhid adalah suatu bentuk pengakuan dan penegasan bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, Zat Yang Maha Suci yang meliputi sifat, asma`dan af`al-Nya. b. Macam-macam Tauhid Dalam buku ensiklopedia Islam yang disusun oleh tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah menyebutkan para ulama membagi tauhid kepada “dua kategori yaitu : tauhid rububiyah dan tauhid ubudiyah”.18 Sedangkan menurut
Muhammad bin Abdul Wahab menyebutkan
bahwa tauhid dibagi pada “dua bagian yaitu pertama Tauhid Uluhiyah dan kedua Tauhid Rububiyah”.19 Maka penulis menyimpulkan bahwa tauhid dibagi kepada 3 macam yaitu : Tauhid uluhiyah, tauhid rububiyah, dan tauhid ubudiyah. 17
Moehammad Thahir Badrie, Syarah Kitab al-Tauhid Muhammad bin Abdul Wahab, (Jakarta : PT Pustaka Panjimas 1984), h.24 - 25 18 Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan 1992), h. 934 19 Moehammad Thahir Badrie, op.cit., h. 25
18
Menurut Muhammad bin Abdul Wahab Tauhid uluhiyah ialah: Kepercayaan untuk menetapkan bahwa sifat ketuhanan itu hanyalah milik Allah belaka dengan penyaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah yang dilahirkan dengan mengucapkan kalimat thayibah “Laa ilaaha illallah”. Selain itu ia hanya berbakti kepadaNya saja. Jika ia mendapat musibah, ia lari, mengadu dan berserah diri Cuma kepada-Nya jua. Kalau mengerjakan suatu amalan, maka tujuan utamanya hanyalah Dia semata. Singaktnya, adalah “kepercayaan bahwa Tuhan yang mencipta alam ini adalah Allah dan hanya berbakti kepada-Nya saja.”20 Secara singkat definisi tauhid uluhiyah adalah “mengesakan Allah SWT sebagai Tuhan yang wajib disembah dan ditakuti”.21 Dalam kamus Istilah Islam, tauhid Rububiyah diartikan sebagai “mengesakan Allah sebagai pencipta segala makhluk dan yang melimpahkan segala karunia yang tak terhingga”.22 Tauhid Rububiyah ialah keyakinan dan pengakuan bahwa hanya ada satu Tuhan yang menciptakan dan memelihara segenap alam ini. Semua aktivitas alam semesta ini tidak terlepas dari kebesaran dan kekuasaan Allah sebagai Rabb . Allah tidak membutuhkan bantuan siapapun untuk mengurus alam ini. Dan yang terakhir yaitu tauhid ubudiyah atau yang juga dapat disebut dengan tauhid ibadah menurut
Moh. E. Hasim adalah
“mengesakan Allah dalam penyembahan: iyyaka na‟budu wa iyyaaka nasta‟iin = hanya kepada-Mu saja kami menyembah dan hanya kepada-Mu saja kami mohon pertolongan”.23 Maka tauhid ubudiyah adalah kelanjutan dari tauhid uluhiyah dan rububiyah. ketauhidan itu tidak hanya pengakuan bahwa Allah Satusatunya Pencipta, namun ketauhidan tersebut harus sejalan dengan semua aktivitas seorang hamba. Keyakinan tersebut harus diwujudkan melalui ibadah, amal saleh yang langsung ditujukan kepada Allah
20
Ibid. Moh. E. Hasim, Kamus Istilah Islam, (Bandung : Penerbit Pustaka 1987), h. 159 22 Ibid. 23 Ibid., h. 158-159 21
19
SWT tanpa perantara, serta hanya untuk Dia lah segala bentuk penyembahan dan pengabdian.
3. Pendidikan Tauhid a. Pengertian Pendidikan Tauhid Setelah terlebih dahulu dijabarkan tentang tauhid beserta lingkupannya maka akan diungkapkan pula pengertian tentang pendidikan tauhid. Pendidikan tauhid merupakan cabang dari pendidikan Islam. Pendidikan tauhid lebih menekankan pada pengenalan Allah sebagai Tuhan semesta alam. Sedangkan pendidikan Islam memiliki ruang lingkup yang lebih luas dan lebih mendalam dibandingkan pendidikan tauhid. Pendidikan islam di sekolah terdiri dari beberapa macam pembelajaran, diantaranya yaitu: tafsir al-Qur‟an, akidah, hadist, fiqih, akhlak, serta sejarah kebudayaan Islam. Oleh karenanya di sekolah, pendidikan tauhid dimasukkan ke dalam satu kategori, yaitu pendidikan Islam. Sebagaimana yang dikatakan oleh Maka pendidikan tauhid dapat juga kita sebut dengan pendidikan Islam. Secara sederhana pendidikan tauhid atau pendidikan Islam mempunyai arti suatu proses bimbingan untuk mengembangkan dan memantapkan kemampuan manusia dalam mengenal keesaan Allah. Menurut Armai Arief pendidikan Islam adalah : Sebuah proses dalam membentuk manusia-manusia muslim yang mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk mewujudkan dan merealisasikan tugas dan fungsinya sebagai khalifah Allah SWT., baik kepada Tuhannya, sesama manusia dan sesame makhluk lainnya. Pendidikan yang dimaksud selalu berdasarkan kepada ajaran al-Qur‟an dan al-Hadist.24 Pendidikan menggunakan
24
yang serta
dimaksud
ialah
memanfaatkan
agar
manusia
dapat
instrumen-instrumen
yang
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta : Ciputat Pers 2002), h. 40
20
dipinjamkan Allah kepadanya. Yaitu akal pikiran, hati, dan tubuh secara bersama-sama menjalankan apa yang dikehendaki Penciptanya, dan menjauhi apa yang dilarang-Nya. Pendidikan
tauhid
yang
berarti
membimbing
atau
mengembangkan potensi (fitrah) manusia dalam mengenal Allah ini, menurut pendapat Yusran Asmuni, “akan menanamkan keikhlasan pada
diri
seseorang
pengabdiannya”.
25
dalam
setiap
tindakan
atau
perbuatan
Sehingga , manusia akan senantiasa berserah diri
hanya kepada Allah atas segala karunia baik ataupun buruk yang menimpanya dalam hidup. Dengan pendidikan tauhid ini, manusia akan menjadi manusia hamba, bukan menjadi manusia yang dehumanis, kemudian timbul rasa saling mengasihi, tolong menolong, memberikan hartanya yang lebih kepada mereka yang membutuhkan, selalu waspada terhadap tipu daya dunia dan manusia zalim, dapat berlaku sederhana (zuhud) dan hati yang wara` serta sebagainya. Dengan deimikian pendidikan tauhid mempunyai makna yang dapat kita pahami sebagai upaya untuk menampakkan atau mengaktualisasikan potensi yang dimiliki oleh setiap manusia, yang dalam bahasa islamnya potensi ini disebut dengan fitrah. Salah satu fitrah manusia adalah fitrah beragama, maka dari itu pendidikan tauhid lebih diarahkan pada pengembangan fitrah keberagamaan seseorang sebagai manusia tauhid. Dengan kata lain, pendidikan tauhid adalah usaha mengubah tingkah laku manusia berdasarkan ajaran tauhid dalam kehidupan melalui bimbingan, pengajaran, dan pelatihan dengan dilandasi oleh keyakinan kepada Allah semata. Hal ini sesuai dengan karakterisik ajaran Islam sendiri yaitu, mengesakan Allah dan menyerahkan diri kepada-Nya. Allah lah yang
25
M. Yusran Asmuni, ilmu Tauhid , (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993), h. 42
21
mengatur hidup dan kehidupan umat manusia dan seluruh alam. Dialah yang berhak dan dimintai pertolongan-Nya.
b. Pentingnya Pendidikan Tauhid Tauhid merupakan masalah yang paling mendasar dan utama dalam Islam. Namun demikian, masih banyak dari kalangan awam yang belum mengerti, memahami, dan menghayati sebenarnya akan makna dan hakikat dari tauhid yang dikehendaki Islam, sehingga tidak sedikit dari mereka secara tidak sadar telah terjerumus ke dalam pemahaman kepada keyakinan yang keliru atau salah diartikan. Ummat Islam harus memahami dan mengerti risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw. Tauhid merupakan dasar peradaban Islam, sebab esensi peradaban Islam adalah agama Islam. Sementara esensi ajaran Islam itu sendiri adalah tauhid, yaitu suatu afirmasi atau pengakuan bahwa Allah adalah Maha Esa, Raja, Pencipta yang Mutlak , dan Penguasa alam semesta. Tauhid memliki implikasi yang sangat penting dalam sitem dan struktur amal dalam Islam. Dengan tauhid, seorang muslim akan menjadikan Allah sebagai tujuan awal dan akhir, dimana seluruh rangkaian apa yang diperbuat di kehidupannya, semata mata karena Allah dan untuk Allah. Menurut pendapat Amin Rais: Pandangan dunia tauhid itu bukan saja mengesakan Allah seperti yang diyakini oleh kaum monoteis , melainkan juga mengakui kesatuan penciptaan (unity of creation), kesatuan kemanusiaan (unity of mankind), kesatuan tuntunan hidup (unity of guidance), dan kesatuan tujuan hidup (unity of purpose of life), yang semua itu merupakan derivasi dari kesatuan ketuhanan (unity of godhead)”. 26 Ungkapan kalimat tauhid adalah kalimat thayyibah Laa ilaaha illallah, yang berarti tiada Tuhan selain Allah. Dengan mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah ini, manusia tahu dan memutlakan Allah 26
18
M. Amin Rais , Cakrawala Islam antara Cita da Fakta, (Bandung ; Mizan, 1987), cet-1, h.
22
Yang Maha Esa sebagai khalik dan menafikan selain-Nya sebagai ciptaan-Nya (makhluk). Dengan dasar ini maka pendidikan tauhid menjadi sesuatu yang vital dalam kehidupan manusia, sebab dengan dibekali dasar tauhid manusia akan selalu ingat kepada Allah. Orang yang berpaling dari pengetahuan tentang tauhid akan tersesat karena akan selalu mengikuti pikiran-pikiran yang salah yang akan menjerumuskan kelembah kemusyrikan. Pendidikan tauhid sangatlah penting, karena mempunyai relevansi dengan konsep tauhid itu sendiri. Menurut Jalaluddin rahmat, pengajaran tauhid menjadi penting karena beberapa hal : (a) Tauhid mendasari seluruh pemikiran kita tentang dunia, tauhid adalah welthanschaung kita. (b) Secara otomatis, konseptualisasi tauhid menyiratkan konseptualisasi syirik yang mempunyai implikasi-implikasi sosial. (c) Tauhid adalah konsepsi Islam yang dapat dipertentangkan dengan sekularisme, humanisme, atau eksistensialisme. 27 Awal munculnya manusia sampai sekarang, ajaran tauhid masih tetap komitmen untuk membebaskan manusia dari keterikatan yang membelenggu kehidupan menuju kemerdekaan yang hakiki dan tinggi, yang semua itu akan berorientasi pada pengakuan akan keesaan Allah. Jadi, pendidikan tauhid menjadi sangat penting, hal ini disebabkan: a. Tauhid akan mengantarkan manusia kepada derajat yang mulia, dan kesempurnaan (insan kaa`mil) b. Dengan muculnya berbagai fenomena kesyirikan dewasa ini, kesyirikan dapat melunturkan fitrah manusia yang tidak menutup kemungkinan dapat hilang sama sekali, sehingga manusia akan kehilangan jati dirinya.
27
Jalaluddin Rahmat, Islam alternative Ceramah-Ceramah di Kampus, (Bandung : Mizan, 1986), h. 178
23
Manusia yang kehilangan pegangan hidup akan merana secara mental dan spiritual. Mereka akan mudah melakukakan hal-hal yang tidak mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan. Apabila hal ini dibiarkan berlanjut terus-menerus maka pada akhirnya akan mengahancurkan peradaban ummat manusia. Dengan demikian pendidikan tauhid begitu penting
bagi
keberlangsungan hidup manusia, sebagaimana pentingnya kedudukan dan fungsi tauhid itu sendiri dalam Islam. Begitu besarnya pengaruh tauhid atas kehidupan manusia. Orang yang menolak tauhid akan hidup sengsara di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, pendidikan tauhid hendaknya dilakukan sedini mungkin, setiap manusia sudah memiliki fitrah bertuhan sejak ia lahir di dunia, maka hendaknya kita perlu melestarikan dan menjaganya. Fitrah manusia (Tauhid) ini perlu dibina hingga ketauhidannya semakin sempurna agar ia menjadi manusia tauhid yang benar-benar mencintai Allah di atas segalanya. c. Materi Pendidikan Tauhid Islam mengajarkan bahwa proses pendidikan ketauhidan dimulai sejak anak itu lahir ke dunia. Ketika seorang anak dilahirkan, islam mengajarkan agar orangtuanya mendengungkan azan ke telinga anak tersebut, dengungan azan ini menunujukan bahwa pendidikan tauhid sudah dimulai sebab azan berisi ajaran ketauhidan. Dengan kata lain, islam mengajarkan agar suara pertama yang disengarkan anak begitu ia lahir ke dunia adalah suara yang mengandung pendidikan ketauhidan. Ajaran seperti ini dipraktekan langsung oleh Nabi muhammad SAW. Dalam sebuah hadist diriwayatkan :
رأيت رسول هللا صلّى هللا عليو و سلّم أذّن ىف: عن عبيدهللا ابن أيب رافع عن ابيو قال
علي حني ولدتو فاطمة ٍّّ أذن احلسن بن
24
Dari Ubaidillah bin Abi Rafi‟ dari ayahnya, ia berkata, “saya melihat Rasulullah SAW mendengungkan azan shalat di telinga Hasan bin Ali ketika ia dilahirkan fatimah. (HR.Tirmuzi) 28 Ajaran tauhid bukanlah monopoli ajaran Nabi Muhammad, akan tetapi ajaran tauhid ini merupakan prinsip dasar dari semua agama samawi. Para nabi dan rasul diutus oleh Allah untuk menyeru kepada pengesaan Allah dan meninggalkan dalam penyembahan selain Allah. Walaupun semua nabi dan rasul membawa ajaran tauhid, namun ada perbedaan dalam hal pemaparan tentang prinsip-prinsip tauhid. Hal ini dikarenakan tingkat kedewasaan berfikir masing-masing umat berbeda sehingga, “Allah menyesuaikan tuntunan yang dianugerahkan kepada para nabi-Nya sesuai dengan tingkat kedewasaan berpikir umat mereka”.29 Pemaparan tauhid mencapai puncaknya ketika Nabi Muhammad diutus untuk melanjutkan perjuangan nabi sebelumnya. Pada masa itu uraian al-Qur`an tentang Tuhan dimulai dengan pengenalan perbuatan dan sifat Tuhan yang terlihat dari wahyu pertama turun,30 yaitu yang diawali dengan kata iqra` (Bacalah).
1. bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, 4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam 5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S al-Alaq, ayat 1-5) 28
Yusran Asmuni. Op.cit., h. 43 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`an Tafsir Maudhu`i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung : Mizan, 1996), h. 19 30 Ibid., h. 23 29
25
Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai tauhid dalam pendidikan model
Islam
merupakan
masalah
pertama
dan
utama
yang
dikedepankan sehingga semua orientasi proses pendidikan akhirnya akan bermuara pada pengakuan akan kebesaran Allah SWT. Adapun materi pendidikan tauhid yaitu : 1.
Adanya Wujud Allah Bila kita perhatikan alam ini maka kita akan mendapatkan adanya persesuaian dengan kehidupan manusia dan makhluk lain. Persesuaian ini bukanlah suatu yang kebetulan melainkan menunjukkan adanya penciptaan yang rapi dan teratur yang berdasarkan ilmu dan kebijaksanaan. Sebagaimana siang dan malam, matahari dan bulan, empat musim, hewan dan tumbuhan serta hujan. Hal ini menampakkan kebijaksanaan Tuhan Dengan memperhatikan penciptaan manusia, hewan, dan lainnya, menunjukkan bahwa makhluk-makhluk tersebut tidak mungkin lahir dalam wujud dengan sendirinya. Gejala hidup pada beberapa makhluk juga berbeda-beda. Misalnya
tumbuh-
tumbuhan hidup, berkembang, dan berubah. Hewan juga hidup dengan mempunyai insting, dapat bergerak, berkembang, makan dan mengeluarkan keturunan. Manusia pun demikian, akan tetapi manusia mempunyai kelebihan yaitu dapat berfikir. Hal ini menunjukkan adanya penciptaan yang mengehendaki supaya sebagian makhluk-Nya lebih tinggi daripada sebagian yang lain. Selain itu, seseorang bisa mengetahui keberadaan sesuatu tanpa harus melihatnya secara materi. Dalam kehidupan seharihari ini seseorang bisa mengakui bahwa untuk mengetahui adanya angin dapat dengan cara merasakannya dan melihat bekasbekasnya. Seseorang mengakui adanya nyawa tanpa melihatnya , sehingga hal ini cukup menguatkan asumsi bahwa untuk
26
membuktikan adanya Tuhan tidak harus dengan pembuktian material. Dari beberapa uraian di atas dapat dipahami, bahwa untuk meyakinkan adanya Tuhan (wujud Allah), akal pikiran hendaknya diarahkan pada fenomena alam, namun mata hati manusia jauh lebih tajam dan dapat lebih meyakinkan daripada pandangan kasat mata, karena dalam jiwa manusia sudah tertanam fitrah untuk mengakui adanya Tuhan. Dengan demikian segala sesuatu itu pasti ada yang menciptakan, yaitu Allah Zat Yang Maha Pencipta. 2.
Keesaan Allah Dalam bukunya „Ilmu Tauhid‟ Yusran Asmuni mengutip perkataan Sayyid Sabiq yang menjelaskan tentang maksud keEsaan Allah : Keesaan Allah SWT tidak hanya keesaan pada zat-Nya, tapi juga esa pada sifat dan af`al (Perbuatan)-Nya. Yang dimaksud dengan esa pada Zat ialah Zat Allah itu tidak tersusun dari beberapa bagian dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Esa pada sifat berarti sifat Allah tidak sama dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh makhluk-Nya. Esa pada af`al berarti tidak seorang pun yang memiliki perbuatan sebagaiman perbuatan Allah. Ia Maha Esa dan menyendiri dalam hal menciptakan, membuat, mewujudkan, dan membentuk sesuatu..31 Keesaan Zat Allah menurut Murtadha Muttahari adalah Dia tidak memiliiki padanan dan sesuatu yang serupa dengan-Nya; tidak ada suatu apapun yang berada pada tingkat Zat Allah SWT.32 Sementara menurut Quraish Shihab yang manganalisa kata ahad (Esa), ia menggolongkan keesaan Allah menjadi empat yaitu : keesaaan zat, keesaaan sifat, keesaan perbuatan dan keesaan dalam beribadah kepada-Nya.33
31
M. Yusran Asmuni, op.cit., h.17 Murtadha Muttahari , Keadilan Ilahi Asas Pandangan Dunia Islam, Terj. Dari Al-Adl Al Ilahi, ( Bandung: Mizan 1995), h. 27 33 M. Quraish Shihab, op cit., h. 33 32
27
Dengan demikian dapat dipahami bahwa yang dinamakan Esa dalam ajaran Islam adalah tidak atau bukan terdiri dari oknum ganda baik pada nama, sifat, maupun zat-Nya. Allah adalah Maha Esa, Zat Yang Maha Suci, tiada Tuhan selain Allah.
3.
Hikmah Mengenal Allah Seseorang yang mengenal sesuatu yang telah memberikan manfaat pada dirinya maka ia akan mempunyai kesan atau hikmah terhadap sesuatu itu. Demikian juga apabila seseorang mengenal Tuhan melalui akal dan hatinya maka ia akan merasakan buah kenikmatan dan keindahan yang tercermin dalam dirinya. Mengenal (ma`rifat) kepada Allah adalah ma`rifat yang paling agung. Ma‟rifat inilah yang merupakan fundamen tempat tegaknya segala kehidupan kerohanian.
Hamzah Yaqub
mengatakan: “Ma`rifah melahirkan keyakinan yang sebulatbulatnya tanpa dapat digoncangkan lagi., misalnya ma‟rifah tentang 2 + 2 = 4. Keyakinan ini tidak akan luntur selama fikiran tetap normal, keyakinan yang demikian itu juga melahirkan kepuasan, ketenangan, dan ketentraman.”34 Pengalaman ketauhidan yang tercermin pada diri manusia disebabkan seseorang telah mengetahui dan menginsafi kebenaran kedudukan Allah, ia menyadari akan keagungan dan kebesaranNya sehingga dari sini segala apa yang dilakukan akan mengarahkan tujuan pandangannya ke arah yang baik dan benar. Buah mengenal (ma`rifat) akan adanya Allah ini, diantaranya akan tersimpul dalam bentuk sikap sebagai berikut: (1)Kemerdekaan jiwa dari kekuasaan orang lain (2) iman dapat membangkitkan keberanian di dalam jiwa dan keinginan untuk terus maju, menganggap enteng kematian dan menggandrungi 34
Hamzah Yaqub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin (Tashawwuf dan Taqarrub), (Jakarta : CV Atisa, t.t.), h. 177
28
mati syahid demi membela kebenaran(3) iman menetapkkan keyakinan bahwa Allah lah yang Maha Pemberi Rizqi dan bahwasannya rezeki tidak dapat dipercepat karena kerasukan orang yang rakus, dan tidak pula dapat ditolak oleh kebencian orang yang benci (4) Adanya ketenangan dan ketentraman hati (5) Keimanan dapat meningkatkan kekuatan maknawiyah manusia dan menghubungkan dirinya dengan conttoh tauladan tertinggi, yaitu Allah yang menjadi sumber kebaikan, kebajikan, dan kesempurnaan. 35 Dengan demikian seorang yang yakin akan keesaan Allah, mempunyai
sikap
hidup
optimis
yang jauh
lebih
kuat
dibandingkan dengan orang kafir yang menyekutukan Allah sebagai satu-satunya Rabb, pencipta alam semesta beserta isinya ini. Keimanan dapat mengubah manusia yang asalnya lemah menjadi
kuat,
menumbuhkan
kebaikan
dalam
bersikap,
meningkatkan kemauan, serta memberikan pengharapan yang dapat direalisasikan dan dibuktikan dalam perbuatan nyata.
d. Dasar Pendidikan Tauhid Dasar merupakan fundamental dari suatu bangunan atau bagian yang menjadi sumber kekuatan. Ibarat pohon, dasarnya adalah akar. Maksud dari dasar pendidikan di sini ialah pandangan yang mendasari seluruh aspek aktivitas pendidikan, karena pendidikan merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan. Dasar pendidikan yang dimaksud di sini adalah nilai-nilai tertinggi yang dijadikan pandangan oleh suatu masyarakat itu berlaku sehingga dapat diketahui betapa penting keberadaan dasar pendidikan sebagai tempat pijakan. Dengan demikian setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang disengaja untuk mencapai suatu tujuan harus mempunyai landasan tempat berpijak yang baik dan mapan. Mohammad Ali Daud mengatakan dalam bukunya Pendidikan Agama 35
Sayyid Sabiq, Aqidah Islam, terj Ali Mahmudi dan Aunur Rafiq Shaleh, (Jakarta : Robbani Press 2006), h. 128-133
29
Islam, “bahwa pendidikan Islam / tauhid memiliki dua sumber utama dalam pengajarannya, yaitu al-Qur‟an dan Hadist, tetapi untuk ajaran Islam ada sumber tambahan atau sumber pengembangan yaitu rakyu/akal”36.
Pendidikan tauhid sebagai suatu usaha membentuk
insan kamil harus mempunyai landasan ke mana semua kegiatan pendidikan dikaitkan dan diorientasikan. Dasar pendidikan tauhid juga merupakan dasar pendidikan Islam, karena pendidikan tauhid merupakan salah satu bagian dari pendidikan Islam, sehingga dasar dari pendidikan ini tidak lain adalah pandangan hidup yang islami, yang pada hakikatnya merupakan nila-nilai luhur yang bersifat transendental dan universal yaitu al-Qur`an dan Hadist. Adapun uraian dasar pendidikan tauhid adalah sebagai berikut: 1.
al-Qur‟an Di dalam al-Qur`an terdapat banyak ajaran yang berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan tauhid. Misalnya dalam surat luqman ayat 13, menerangkan kisah luqman yang mengajari anaknya tentang tauhid,
“dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah
kamu
mempersekutukan
Allah,
Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (Q.S. Luqman : 13) Pengajaran
yang disampaikan Luqman kepada anaknya,
merupakan dasar pendidikan tauhid yang melarang berbuat syirik, karena pada hakikatnya pendidikan tauhid adalah pendidikan yang 36
Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : Rajawali Prers, 2008), h. 90
30
berhubungan dengan kepercayaan aakan adanya Allah dengan keesaan-Nya, sehingga timbul ketetapan dalam hati untuk tidak mempercayai selain Allah. Kepercayaan itu dianut karena kebutuhan (fitrah) dan harus merupakan kebenaran yang ditetapkan dalam hati sanubarinya. Pemberian pengajaran tauhid pada diri manusia, pada hakikatnya
adalah
menumbuhkan
dan
mengembangkan
pengetahuan manusia dalam memahami tauhid tersebut sebab, setiap
manusia
sudah
dibekali
fitrah
tauhid
oleh
Allah.
Sebagaimana firman-Nya :
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Q.S. ar-Ruum : 30) Ayat di atas menegaskan bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan dibekali fitrah tauhid, yaitu fitrah untuk selalu mengakui dan meyakini bahwa Allah itu Maha Esa, yang menciptakan alam semesta beserta pengaturannya dan wajib untuk disembah. Oleh karena itu, untuk menjadikan fitrah ini tetap ada dan kuat, maka diperlukan suatu upaya untuk selalu menumbuh kembangkandalam kehidupan pemiliknya dengan melalui pendidikan tauhid, agar manusia selalu ingat dan dekat kepada Tuhannnya.
31
2. Hadist Hadist merupakan dasar kedua setelah al-Qur`an. Hadist beisi petunjuk untuk kemaslahatan hidup manusia dan untuk membina umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang bertaqwa. Inilah tujuan pendidikan yang dicanangkan dalam Islam. Dalam sejarah pendidikan Islam, Nabi Muhammad telah memberikan pendidikan secara menyeluruh di rumah-rumah dan di masjid-masjid. Salah satu rumah sahabat yang dijadikan tempat berlangsungnya pendidikan yang pertama adalah rumahnya Arkam di Mekkah, sedang masjid yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran adalah masjid Nabawi di Madinah. Adanya kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dan dilanjutkan oleh pengikutnya, merupakan realisasi sunnah Nabi Muhammad sendiri. Adapun hadist yang berkaitan dengan pendidikan tauhid ialah
عن أىب ىريرة أنّو كان يقول قال رسول هللا صلى هللا عليو و سلّم ما من مولود إال رواه مسلم.يولد على الفطرة فأبواه يهود انّو و ينصر انّو و ميجسانو Dari Abu Huraira, ia berkata : Rasulullah saw. Bersabda tidak ada seorang anak pun kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), maka orang taunyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan majusi. (Muttafaq alaih).37 3. Rakyu / Akal Manusia adalah makhluk paling sempurna bila dibandingkan dengan makhluk lainnya di muka bumi ini. Meskipun sama sifatnya sebagai makhluk, namun ada hal yang membedakan
manusia
dengan makhluk lainnya, hal yang dimiliki manusia sehingga membedakannya dengan yang lain ini adalah akal. Akal merupakan karunia Allah terbesar bagi manusia, dengan akal 37
manusia
mempunyai
kesempatan
untuk
menentukan
Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi : Hadis-Hadis Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2014), Cet-2, h. 235
32
kehidupannya di masa yang akan datang. Karena dengan akal manusia dapat membedakan yang benar dan yang salah, yang baik dan juga yang buruk. Akal merupakan bahasa serapan dari bahasa arab yang berarti aql. Menurut M. Daud Ali “akal dalam bahasa asalnya dipergunakan juga untuk menerangkan sesuatu yang mengikat manusia dengan Tuhan, akar kata aql mengandung makna ikatan”38. Di dalam kepustakaan dasar ketiga ini sering disebut dengan kata “ra‟yu dan ijtihad”39 Adapun kata ijtihad menurut M. Daud Ali adalah: usaha yang sungguh-sungguh yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dan pengalaman tertentu yang memenuhi syarat untuk mencari, menemukan, dan menetapkan, nilai, dan norma yang tidak jelas atau tidak terdapat patokannya di dalam al-Qur‟an dan alHadist.40 Hasil dari ijtihad itu disebut dengan ijma‟. Ijma tersebut itulah yang dijadikan sandaran yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang dalam menentukan hukum-hukum Islam. e. Tujuan Pendidikan Tauhid Pendidikan tauhid sebagai salah satu aspek pendidikan Islam mempunyai andil yang sangat penting dalam mencapai tujuan pendidikan Islam. Menurut Zakiah daradjat yang dikutip oleh Nur Uhbiyati dalam buku Ilmu pendidikan Islam bahwa tujuan pendidikan Islam atau yang juga bisa disebut dengan pendidikan tauhid adalah: tujuan dari hasil pendidikan Islam secara keseluruhan adalah yang kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi insan kamil dengan pola taqwa, insan kamil artinya manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena takwanya kepada AllahSWT, sehingga dapat menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakatnya, serta 38
Muhammad Daud Ali, op.cit., h. 120-121 Ibid., h. 121 40 Ibid. 39
33
senang dan gemar mengamalkan dan mengembangkan ajaran islam untuk kepentingan hidupnya di dunia dan akhirat.41 Dengan
demikian,
tujuan
dari
pendidikan
tauhid
adalah
tertanamnya akidah tauhid dalam jiwa manusia secara kuat, sehingga nantinya dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan ajaran Islam. Dengan kata lain, tujuan dari pendidikan tauhid pada hakikatnya adalah untuk membentuk manusia tauhid. Manusia tauhid diartikan sebagai manusia yang memiliki jiwa tauhid yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari melalui prilaku yang sesuai dengan realitas kemanusiaaanya dan realitas alam semesta, atau manusia yang dapat mengaktualisasikan nilai-nilai Ilahiyah. f. Metode Pendidikan tauhid 1. Pengertian Metode Pendidikan Tauhid Armai Arief menyebutkan bahwa “metode berasal dari dua suku kata yaitu meta yang artinya melalui atau melewati dan hodos yang artinya jalan atau cara. Jadi metode artinya suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan.42 Dalam bahasa Arab kata metode diungkapkan dalam berbagai kata. Terkadang digunakan kata atthariqah, manhaj, dan alwashilah. Thariqah berarti jalan, manhaj berarti sistem, dan washilah berarti perantara atau mediator.43 Oleh karena itu, yang dimaksud dengan metodologi adalah “ilmu tentang jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan”.44 Dalam penggunaan metode pendidikan islam (Tauhid) yang perlu dipahami adalah bagaimana seseorang pendidik dapat memahami hakikat metode dalam relevansinya dengan tujuan utama pendidikan Islam yaitu terbentuknya pribadi yang beriman yang senantiasa siap sedia mengabdi kepada Allah swt. Tujuan 41
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), cet-2, h. 41 Armai Arief, op.cit., h. 40 43 Munawwir, op.cit., h. 848, 1468, 1559 44 Nur Uhbiyati, op.cit., h. 99 42
34
diadakan metode adalah menjadikan proses dan hasil belajar mengajar ajaran Islam lebih berguna dan berhasil untuk menimbulkan kesadaran peserta didik untuk mengamalkan ketentuan ajaran Islam melalui teknik motivasi yang menimbulkan gairah belajar peserta didik secara mantab. Uraian itu menunjukkan bahwa fungsi metode pandidikan Islam adalah mengarahkan keberhasilan belajar, memberi kemudahan kepada peserta didik untuk belajar berdasarkan minat, serta mendorong usaha kerja sama dalam kegiatan belajar mengajar antara pendidik dengan peserta didik. 2. Macam-Macam Metode Pendidikan Tauhid Dalam bukunya „pendidikan Islam di rumah, sekolah, dan masyarakat‟ Abdurrahman an-Nahlawi mengatakan bahwa: Pada dasarnya metode pendidikan Islam sangat efektif dalam membina kepribadian anak didik dan memotivasi mereka sehingga aplikasi metode ini memungkinkan puluhan ribu kaum mukminin dapat membuka hati manusia untuk menerima petunjuk Ilahi dan konsep-konsep peradaban Islam. Selain itu, metode pendidikan Islam akan mampu menempatkan manusia diatas luasnya permukaan bumi dan dalam masa yang tidak diberikan kepada penghuni bumi lainnya.45 Menurut A. Fatah Yasin dalam bukunya Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam ada 7 macam metode pendidikan Islam, diantaranya adalah : “Metode hiwar, metode Qishah, metode amtsal, metode teladan, metode mau‟izdah, metode pembiasaan, dan metode targhib dan tarhib”46.
45
Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat (Jakarta : Gema Insani, 1995), 204 46 A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Malang : UIN Malang Press, 2008) Cet1, h. 144-145
35
a. Metode Hiwar Adalah pendidikan yang dilakukan dengan cara berdiskusi “Bertanya dan lalu menjawab”47sebagaimana yang digunakan oleh Al Qur‟an dan hadits-hadits nabi. Dialog inipun terbagi dalam 3 macam, yakni : dialog khitabi dan ta‟abudi (bertanya dan lalu menjawab) dialog deskriftif dan dialog naratif (menggambarkan
lalu
mencermati),
dialog
argumentatif
(berdiskusi lalu mengemukakan alasan), dan dialog nabawi (menanamkan rasa percaya diri, lalu beriman). Untuk yang terkhir ini, dialog Nabawi sering dipraktekkan oleh sahabat ketika mereka bertanya sesuatu kepada Rosulullah. b. Metode Kisah Metode kisah disebut juga metode cerita yakni cara mendidik dengan mengandalkan bahasa, baik lisan maupun tertulis dengan menyampaikan pesan dari sumber pokok sejarah Islam, yakin Al-qur‟an dan Hadits. Pentingnya
metode
kisah
diterapkan
dalam
dunia
pendidikan karena dengan metode ini, akan memberikan kekuatan psikologis kepada peserta didik, dalam artian bahwa dengan mengemukakan kisah-kisah nabi kepada peserta didik, mereka secara psikologis terdorong untuk menjadikan nabi-nabi tersebut sebagai uswah (suri tauladan). Kisah-kisah dalam Al-qur‟an dan Hadits, secara umum bertujuan untuk memberikan pengajaran terutama kepada orang-orang yang mau menggunakan akalnya. Relevansi antara cerita Qur‟ani dengan metode penyampaian cerita dalam lingkungan pendidikan ini sangat tinggi. Metode ini merupakan suatu bentuk teknik penyampaian informasi dan instruksi yang amat bernilai, dan seorang pendidik harus dapat memanfaatkan
47
Ibid.
36
potensi kisah bagi pembentukan sikap yang merupakan bagian terpenting dalam pendidikan Qur‟ani dan Nabawi. c. Metode Perumpamaan Metode ini, disebut pula metode “amsal” yakni cara mendidik dengan “memberikan perumpamaan-perumpamaan yang diungkapkan Al-qur‟an untuk diketahui dan diresapi peserta didik”48 sehingga mudah
dalam memahami suatu
konsep. Metode ini memiliki tujuan psikologi edukatif, yang ditunjukkan oleh kedalaman makna dan ketinggian maksudnya. d. Metode Keteladanan Metode ini, disebut juga metode meniru yakni suatu metode pendidikan dan pengajaran dengan cara pendidik memberikan contoh teladan yang baik kepada anak didik. Dalam Al-qur‟an, kata teladan dimaknai dengan kata uswah yang kemudian diberikan kata sifat dibelakangnya seperti sifat hasanah yang berarti teladan yang baik. Metode keteladanan adalah suatu metode pendidikan dan pengajaran dengan cara pendidik memberikan contoh teladanan yang baik kepada anak didik agar ditiru dan dilaksanakan. Dengan demikian metode keteladanan ini bertujuan untuk menciptakan akhlak almahmudah kepada peserta didik. Seperti pada Surah Q.S AlAhzab ayat 21:
“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” 48
Ibid.
37
e. Metode Ibrah dan Mau‟izhah Metode ini disebut juga metode “nasehat”49 yakni suatu metode pendidikan dan pengajaran dengan cara pendidik memberi motivasi. Metode Ibrah atau mau‟izhah (nasehat) sangat efektif dalam pembentukan anak didik terhadap hakekat sesuatu, serta memotivasinya untuk bersikap luhur, berakhlak mulia dan membekalinya dengan prinsip-prinsip Islam. Menurut Al-qur‟an, metode nasehat hanya diberikan kepada mereka yang melanggar peraturan dalam arti ketika suatu kebenaran telah sampai kepadanya, mereka seolah-olah tidak mau tau kebenaran tersebut terlebih melaksanakannnya. Pernyataan ini menunjukkan adanya dasar psikologis yang kuat, karena orang pada umumnya kurang senang dinasehati, terlebih jika ditunjukkan kepada pribadi tertentu. f. Metode Pembiasaan Ialah “metode yang digunakan pendidik dengan cara memberikan pengalaman yang baik yang dialami para tokoh untuk ditiru dan dibiasakan”50metode pembiasaan merupakan metode yang paling sering digunakan di sekolah. Metode ini biasanya terangkum dalam peraturan tata tertib sekolah, seperti membiasakan anak didik untuk datang tepat waktu, memakai pakaian yang syar‟i dan rapih, dan berbagai macam hal positif lainnya. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik dapat terbiasa menjalankan disiplin dimanapun ia berada sebagaimana ia menjalankan disiplin tersebut di sekolah. Metode pembiasaan selalu diiringi dan bergandengan dengan pemberian ganjaran dan hukuman. Apabila peserta didik melanggar peraturan pembiasaan tersebut maka ia akan dikenai hukuman. Kecendrungan manusia apabila melakukan 49
Ibid. Ibid.
50
38
kesalahan
kemudian dibiarkan begitu saja (tidak ada yang
meng-Islah) atau tidak ada yang menegurnya, maka ia akan terbiasa melakukan kesalahan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ganjaran dan hukuman berfungsi sebagai pengingat bagi peserta didik yang melakukan kesalahan agar ia tidak membiasakan hal buruk dalam kesehariannya. g. Metode Targhib dan Tarhib Metode ini, disebut pula metode “ancaman”
dan atau
“intimidasi” yakni suatu metode pendidikan dan pengajaran dengan cara pendidik memberikan hukuman atas kesalahan yang dilakukan peserta didik. Istilah targhib dan tarhib dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah berarti ancaman atau intimidasi melalui hukuman yang disebabkan oleh suatu dosa kepada Allah dan Rosulnya.
4. Pendidikan Tauhid di Sekolah Pendidikan tauhid di sekolah umum seringkali dimasukkan dalam satu mata pelajaran yang disebut pendidikan agama. Pendidikan agama tersebut merupakan kumpulan dari ilmu-ilmu keislaman seperti : Aqidah, akhlak, fiqih, sejarah kebudayaan Islam, serta Qur‟an dan hadist. Oleh karenanya pendidikan tauhid juga bisa kita sebut dengan pendidikan agama. Sekolah merupakan institusi khusus yang menyelenggarakan suatu pendidikan. Melalui sekolah anak mengenal dunia yang lebih luas. Kalau dalam lingkungan anak mengenal ayah, ibu, adik dan kakak serta familinya, maka dalam sekolah kini anak mengenal sosok guru mereka, bermain bersama teman-teman dari berbagai kelompok masyarakat. Di sekolah suasana pendidikan tetap diciptakan dengan sengaja, sehingga lebih khusus dan terarah.
39
Sekolah sebagai institusi sosial, yang berfungsi sebagai lembaga pelimpahan tanggung jawab mengenai anak. Sebab tidaklah mungkin setiap orang tua dapat memberikan pendidikan pada anak secara optimal dan menyeluruh hanya dengan mengandalkan pendidikan keluarga. Bagaimanapun kemampuan manusia (orang tua) terbatas. Mungkin mereka memiliki pengetahuan serta keterampilan yang cukup untuk mendidik anaknya, tetapi mereka tidak banyak memiliki waktu. Untuk itulah para orang tua mempercayakan pelimpahan sekaligus tugas dan tanggung jawabnya kepada pihak sekolah. dan termasuk dalam hal ini adalah pelimpahan tanggung jawab pendidikan, tauhid. Atas dasar itulah sekolah dengan seluruh perangkatnya harus dapat menciptakan suasana yang mendorong terbentuknya nuansa tauhid pada diri anak didik. Melalui pendidikan tauhid di sekolah, anak diharapkan dapat lebih mengenal dan memahami konsep-konsep keimanan secara teoritis, serta mampu menerapkannya secara praktis dalam kehidupan nyata. Guru sebagai orang yang terlibat langsung dalam praktik pendidikan sekolah, harus dapat memiliki abilitinya yang cukup mapan dalam pengetahuan dan ketrampilan atas apa yang ia ajarkan. Jika seorang guru mengajarkan keimanan, menyuruh anak untuk menjalankan shalat dan lain-lain, akan tetapi ia tidak pernah melakukan shalat maka jangan pernah berharap anak didik mau untuk melaksanakan salat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Zakiah Daradjat: Guru masuk ke dalam kelas, membawa seluruh unsur kepribadiannya, agamanya, akhlaknya, pemikirannya, sikapnya, dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Penampilan guru, pakaiannya, caranya berbicara, bergaul dan memperlakukan anak, bahkan emosi dan keadaaan kejiwaan yang sedang dialaminya, ideologi dan paham yang dianutnya pun terbawa tanpa disengaja ketika ia berhadapan dengan anak didiknya. Seluruhnya itu akan terserap oleh si anak tanpa disadari oleh guru dan orang tua.51 51
h. 77
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta : Ruhama 1993),
40
Di lain sisi ada pula sebagian anak yang sama sekali tidak mendapatkan pendidikan agama dari kedua orang tuanya disebabkan orang tua mereka pun tidak menjalankan aturan agama di rumahnya. Hal ini menyebabkan mereka pun acuh terhadap agama. Dalam kasus ini guru agama mendapat tugas yang cukup berat dalam meninformasikan nilai – nilai agama kepada peserta didik. Ketertarikan peserta didik terhadap pelajaran agama tergantung kepada guru agama itu sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Zakiah Daradjat : Jika guru agama mempunyai kepribadian yang menarik, serta mampu membawakan pendidikan agama sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak dapat pula menyajikan pelajaran agama sedemikian rupa, sehingga menarik minat anak , maka anak tadi akan tertarik kepada agama. Dan demikianlah sebaliknya dengan guru yang tidak memenuhi syarat.52 Maka dari itu, pendidikan agama akan berjalan lancar dan sukses mencapai tujuannya, jika suasana sekolah secara keseluruhan membantu. Semua guru dalam semua mata pelajaran, perhatian kepala sekolah, jangan sampai bertentangan dengan tujuan pendidikan agama, dalam membina jiwa agama pada anak didik. Tentunya pendidikan agama itu dilakukan secara khusus oleh guru agama yang memenuhi syarat-syarat kepribadian, teknis, dan ilmiah di atas.
B. Hasil Penelitian yang Relevan Berdasarkan penelusuran penulis terhadap karya ilmiah skripsi/disertasi di perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bahwa yang membahas tentang Konsep Pendidikan Tauhid yang terkandung dalam surat al-An‟am ayat 74-83 belum penulis temukan secara khusus. Namun yang menggunakan istilah pendidikan tauhid, terdapat sebuah skripsi milik Nurul Utami Bahri (2013), Fakultas Tarbiyah, Jurusan Pendidikan Agama Islam, yang berjudul “Nilai- Nilai Pendidikan Tauhid Dalam Kisah Nabi Ibrahim (Kajian Tafsir 52
Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental , h. 97-98
41
Surat Ash-Shaffat Ayat 100-110). Dalam skripsinya, Saudari Nurul menguraikan pendidikan tauhid yang lebih difokuskan pada anak . menurutnya, orang tua yang dapat memberikan pendidikan tauhid kepada anaknya akan dapat membentuk karakter anak menjadi anak yang taat kepada Allah SWt, dan juga pada orang tuanya. Skripsi saudara Muhammad Nizar (2006), Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Jurusan Tafsir Hadist, yang berjudul “Wasiat Nabi Ibrahim dan Nabi Ya‟kub terhadap Anak-anaknya dalam al-Qur`an (Analisa atas Penafsiran Sayyid Quthb dalam Surat al-Baqoroh ayat 132-133”. Dia menjelaskan sedikit tentang tauhid, kemudian dia menyatakan bahwa orang tua adalah faktor yang paling penting dalam pembentukan tauhid anak. Nabi Ibrahim dan Nabi Ya‟kub yang merupakan satu silsilah keturunan memerankan adegan wasiat aqidah kepada anaknya karena orang tua memiliki tanggung jawab untuk terus memelihara kelangsungan dan keutuhan akidah anak sampai akhir hayat. Kemudian skripsi berjudul “Tauhid dan Nilai-Nilai Kemanusiaan dalam Pandangan Nurkholis Majid” yang ditulis oleh Anwar Sodik (2008), Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Jurusan Aqidah Filsafat. Sedikit menyinggung tentang tauhid dan nilai-nilai kemanusiaan, disebutkan bahwa tauhid dan nilai yang dimaksud adalah pendapat Nurkholis Majid, ia beranggapan bahwa seseorang tidaklah dikatakan bertauhid kecuali jika disertai dengan sikap pasrah dan keimanan yang murni. Namun penelitian pada tulisan tetap memiliki perbedaan dengan skripsiskripsi di atas secara teori, dan objek, penelitian pada tulisan ini difokuskan untuk mencari konsep pendidikan tauhid yang diambil dari kisah Nabi Ibrahim beserta paman dan kaumnya.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Objek dan Waktu Penelitian Objek yang dibahas pada penelitian ini adalah pendidikan tauhid yang terkandung ayat-ayat al-Qur’an khususnya dalam surat al-An’am ayat 7483. Adapun waktu penelitian dilakukan selama satu semester terhitung dari tanggal 1 April 2015. B. Fokus Penelitian Berdasarkan judul, maka penulis memfokuskan pada konsep pendidikan tauhid yang terkandung dalam surat al-An’am ayat 74-83 yang sifatnya mendeskripsikan dan menganalisa tentang pendidikan tauhid dalam surat al-An’am ayat 74-83. C. Pendekatan Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan data penelitian kualitatif dengan menggunakan metode konten analisis dengan menggunakan teknik analisis kajian melalui studi kepustakaan (Library Research) Karena penelitian ini merupakan library research, maka sumber data pada penelitian ini adalah literatur-literatur yang berkaitan. Sebagaimana yang dikatakan oleh H.M Sayuthi, “Sumber data penelitian kualitatif ialah tindakan dan perkataan manusia dalam latar yang bersifat alamiah. Sumber data lainnya ialah bahan-bahan pustaka, seperti : dokumen, arsip, koran, majalah, jurnal ilmiah, buku, laporan tahunan dan lain sebagainya.”1
1
H.M. Sayuthi Ali., Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktek, (Jakarta : Raja Grafindo Persada Press, 2002), h. 63
42
43
D. Sumber Data Sumber data pada penelitian ini berasal dari literatur-literatur yang berkaitan dengan tema dalam penelitian ini. Sumber-sumber tersebut terdiri dari data primer, yaitu kitab suci dan kitab-kitab tafsir al-Qur’ȃn yang menjelaskan pengertian surat al-An’am ayat 74-83, diantaranya: 1. Al-Qur’an dan Terjemahannya 2. Tafsir Al-Mishbah (M. Quraish Shihab) 3. Tafsir al-Lubab (M.Quraish Shihab) 4. Shafwatut Tafasir (M. Ali ash-Shabuni) 5. Tafsir Nurul Qur’an (Allamah Kamal Faqih) Dan data sekunder, yaitu dari buku-buku yang membahas mengenai tauhid, diantaranya : 1. Kamus Munawwir 2. Membumikan al-Qur’an (M.Quraish Shihab) 3. Ilmu Tauhid (Yusran Asmuni) 4. Ensiklopedia Islam 5. Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam (A. Fatah Yasin)
E. Metode Penelitian Adapun analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan analisis metode tafsir tahlili, yaitu metode penafsiran ayatayat al-Qur’an
yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan uraian-
uraian makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an
dengan
mengikuti tertib susunan/urutan surat-surat dan ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri dengan sedikit banyak melakukan analisis di dalamnya. Menurut M. Alfatih Suryadilaga metode tafsir tahlili menafsirkan ayat secara runtut dengan uruatan mushaf, untuk itu ia mengurakan kosakata dan lafaz,
44
menjelaskan arti yang dikehendaki, juga unsur-unsur i’jaz dan balaghah, serta kandungannya dalam berbagai aspek pengeathuan dan hukum.2 Metode tahlili merupakan metode paling tua, metode ini paling banyak dipakai para muffasir klasik, namun di masa sekarang pun tafsir model ini masih dominan. Tafsir tahlili menonjolkan pengertian dan kandungan lafadz, hubungan ayat dengan ayat, sebab-sebab nuzulnya, hadist-hadist nabi, aqwal sahabat atau tabi’in, dan pendapat mufassirin lainnya yang ada kaitannya dengan ayat-ayat yang akan diterangkan artinya tersebut. Lebih rinci lagi, Abd al-Hayy al-Farmawy mengatakan bahwa tafsir tahlili adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsirnya, penafsir mengikuti urutan ayat, membahas mengenai asbabun nuzul dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, sahabat atau tabi’in yang kadang-kadang bercampur baur dengan pendapat penafsir sendiri dan diwarnai oleh latar belakang pendidikannya. 3 Dalam melakukan penafsiran, muffasir memberikan perhatian sepenuhnya atas semua aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian ayat. Berbagai aspek yang dianggap perlu oleh seorang muffasir tajzi’iy/yahlily diuraikan, yang tahapan kerjanya yaitu dimulai dari : 1. Bermula dari kosakata yang terdapat pada setiap ayat yang akan ditafsirkan sebagaimana urutan dalam al-Qur’an , mulai dari surat al-Fatihah dan surah an-Nass. 2. Menjelaskan makna yang tekandung pada setiap potongan ayat dengan menggunakan keterangan yang ada pada ayat lain, atau dengan menggunakan hadist Rasulullah SAW atau dengan
2
M. Alfatih Suryadilaga,dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta : Teras, 2005), cet-1, h. 42 Didin Saefuddin Buchori, Pedoman Memahami Kandungan al-Qur’an , (Bogor : Granada Sarana Pustaka, 2005) h. 208 3
45
menggunakan penalaran rasional atau berbagai disiplin ilmu sebagai sebuah pendekatan. 3. Menarik kesimpulan dari ayat tersebut yang berkenaan dengan hukum mengenai suatu masalah, atau lainnya sesuai dengan kandungan ayat tersebut. Ada beberapa macam pendekatan dalam metode tafsir tahlili, diantaranya adalah tafsir bi al ma’tsur, tafsir bi al-ra’y, tafisr al-sufi, tafsir al-fiqhi, tafsir al-falasafi, tafisr al- ilmi dan tafsir al- adabi al ijtima’i 4. Dilihat dari cara penafsirannya, penulis menggunakan pendekatan tafsir bi al-ra’y yaitu tafsir penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad dan penalaran5 dalam mengurai dan menjelaskan makna perkata secara runtut ayat-per ayat. Analisis metode tahlili yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini, yang membahas surat al-An’am ayat 74-83 yang berkaitan dengan tauhid, maka penulis menganlisis penjelasan mengenai pendidikan tauhid yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut dengan mencari sumber-sumber yang dapat menjelaskan makna dan penafsiran dari surat al-An’am ayat 74-83. F. Metode Penulisan Secara teknis penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku Pedoman Akademik Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4 5
M. Alfatih Suryadilaga,dkk, loc.cit. Ibid., h 43
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Sekilas mengenai Surat al-An’am Surat al-An‟am merupakan “surat ke 6, terdiri dari 165 ayat yang berarti binatang ternak, surat ini merupakan kelompok surat makiyyah”.1menurut alQurthubi, pendapat “mayoritas ulama mengatakan bahwa surat ini surat makiyyah, sedangkan ibnu Abbas dan Qatadah berpendapat surat ini seluruhnya surat makiyyah kecuali dua ayat, yaitu : ayat 91,dan ayat 141”.2 Dalam mustadrak yang dikutip oleh jalaluddin as-Suyuthi dikatakan bahwa “al hakim menyebutkan hadist yang ia nyatakan shahih ; Abdullah bin Mas‟ud meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda, “surah al-An‟am diturunkan dengan diiringi 70.000 malaikat.”3 Dalam surat al-An‟am dapat dijumpai pembahasan yang berkisah seputar pokok-pokok dakwah Islam seperti permasalahan akidah, dan ketuhanan. Sebagaimana yang dikatakan M. Ali ash- Shabuny bahwa “surat ini (alAn‟am) mengandung berbagai masalah besar tentang dasar-dasar akidah, masalah uluhiyah, risalah, wahyu, kebangkitan dan pembalasan”. 4 Maka tidak mengherankan jika surat ini diturunkan di mekkah, di tengah orang-orang musyrik yang masih menyembah berhala dan mengingkari Allah.
B. Tafsir dan Temuan Konsep Pendidikan Tauhid Surat alAn’am 74-83 per Ayat 1. Ayat 74
1
Jalaluddin as-Suyuthi, Lubaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul, diterjemahkan oleh Tim Abdul Hayyie, Sebab Turunnya ayat al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani 2008), h. 229 2 Al Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2008), cet-1, h. 908 3 Jalaluddin as-Suyuthi, loc.cit. 4 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatut Tafasir, diterjemahkan oleh Yasin, Tafsir-Tafsir Pilihan jilid 2 Al-Maa’idah-Yusuf, (Jakarta : Pustak al-Kautsar, 2011), Cet-1, h.129
46
47
“dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar, "Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata." Dalam bukunya Tafisr al-Mishbah, Quraish Syihab menjelaskan bahwa: “kata ab‟ yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah ayahnya, melainkan bisa jadi menunjuk pada pamannya”.5 Sementara itu Allamah Kamal Faqih mengatakan bahwa “beberapa hadist Islam menyebutkan bahwa ayah dan leluhur Rasulullah saw. Hingga hadrat Adam as. seluruhnya adalah penganut ajaran tauhid”.6 Maka kata ab di atas bukan berarti ayah, “tercatat dalam kitab-kitab sejarah bahwa ayah nabi Ibrahim bernama Tarukh, bukan Azar”.7 Kemudian Quraish Syihab menyatakan bahwa : Ia tidak sependapat dengan mereka yang memahami kata Azar sebagai makian, karena hal ini bertentangan dengan sifat ajaran Islam yang selalu mengajak berdakwah dengan hikmah dan peringatan yang menyentuh serta diskusi yang sebaik-baiknya. Bahwa kalimatnya tegas adalah wajar, dan dibenarkan karna ini adalah masalah akidah, yang merupakan persoalan prinsip.8 Para ulama berbeda pendapat dalam memahami kata ab‟ pada ayat ini, maka Azar bisa berarti ayah, atau paman dari Nabi Ibrahim as. Apabila kita fahami dengan gamblang ayat di atas, agaknya kita akan setuju bahwa perkataan nabi Ibrahim kepada pamannya merupakan perkataan sindiran. Nabi Ibrahim bertanya sembari menyindir pamannya yang dengan bodohnya menyembah sesuatu yang mustahil dapat mendatangkan kebaikan, keburukan
kepadanya. Penulis mengatakan
mustahil mendatangkan kebaikan dan keburukan karena sejatinya berhalaberhala yang paman dan kaumnya sembah adalah benda yang mereka buat sendiri dengan tanganya. Hal ini menandakan bahwa berhala-berhala 5
M. Quraish Syihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur‟an Vol 4, (Jakarta : Lentera Hati ), cet-1, h. 155 & 157. 6 Allamah Kamal Faqih dan tim ulama, Nur al-Qur’an: An Enlightening Commentary into the Light of the Holy Qur’an, diterjemahkan oleh Sri Dwi Hastuti dan Rudy Mulyono, Tafsir Nurul Quran: Sebuha Tafsir Sederhana Menuju Cahaya al-Qur’an jilid 5, (Jakarta : Al-Huda, 2004), cet1, h. 208 7 Ibid. 8 M. Quraish Syihab, loc.cit.
48
tersebut lemah, tidak kuasa, dan tidak mampu dibandingkan manusia yang menciptakannya itu. Lalu bagaimana bisa sesuatu yang lebih lemah, dan lebih tidak kuasa itu bisa disebut sebagai Tuhan ?. Tuhan semestinya menciptakan bukan diciptakan. Tuhan semestinya lebih Kuat, lebih Kuasa, lebih Mampu, lebih Pintar, lebih Besar, dan melebihi segala-galanya dalam hal apapun dibanding manusia itu sendiri. Maka jelas bahwa paman nabi Ibrahim beserta kaumnya telah melakukan kesalahan dengan menyembah berhala yang derajatnya bahkan lebih rendah dari manusia. Meskipun perkataan tersebut adalah perkataan sindiran, bukan berarti nabi Ibrahim telah berbuat tidak sopan atau tidak baik kepada orang tuanya. Namun nabi Ibrahim telah berbuat benar dengan memberitahukan pamanny bahwa ia telah berjalan di jalan yang salah. Maka menjadi wajar dan wajib bagi nabi Ibrahim berkata dengan tegas kepada pamannya untuk meninggalkan jalan tersebut sebagai tanda kasih sayang anak kepada orang tuanya yang tidak ingin pamannya berjalan di jalan yang salah. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Allamah Kamal Faqih bahwa: “dalam menghadapi dan berhubungan dengan orang lain, patokannya adalah kebenaran, bukan usia, pengalaman, maupun banyaknya orang”9. Hal ini merupakan pesan kepada seluruh ummat manusia bahwa orang yang melakukan kesalahan haruslah diingatkan, dan dibenarkan, terlebih dalam masalah akidah. Kewajiban bagi kita untuk berani mengingatkan orang yang berbuat salah, meskipun orang itu adalah teman, keluarga bahkan orang tua kita sendiri. Sejatinya, berdakwah haruslah kepada kerabat-kerabat terdekat terlebih dahulu, maka apabila kita mengabaikan kesalahan mereka tersebut, menandakan bahwa kita ikut menjerumuskan mereka ke jalan yang salah. Temuan Konsep:
9
Allamah Kamal Faqih, loc.cit.
49
Perkataan nabi Ibrahim kepada orang tuanya “apakah kamu menjadikan berhala sebagai tuhan-tuhan” menjadikan berhala sebagai Tuhan adalah perbuatan yang salah (tidak sejalan dengan tauhid), maka dari itu, nabi Ibrahim mengingatkan pamannya yang telah berbuat salah yang menganggap berhala sebagai Tuhan. Mengingatkan orang yang berbuat salah (dalam berkeyakinan) adalah bentuk dari pendidikan tauhid. Kemudian pada kata
sesungguhnya aku
melihat engkau dan kaummu berada dalam kesesatan yang nyata. Upaya nabi Ibrahim dalam mengingatkan pamannya tersebut disampaikan dengan cara teguran, beliau memberi penjelasan bahwa hal yang dilakukan pamannya beserta kaumnya merupakan kesesatan.
2. Ayat 75
“dan Demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (kami memperlihatkannya) agar Dia Termasuk orang yang yakin”. Menurut Allamah Kamal “istilah malakut dalam al-Qur‟an merupakan turunan dari kata mulk dimana terdapat dua kata sandang ditambahkan sebagai penekanan dan pelebihan”10. Sedang menurut M. Ali ash-Shabuni “malakuut, malak, wawu, dan ta‟ berfungsi mubalaghah (membesar-
10
Ibid., h.210
50
besarkan) dalam menyifati”11 Maka maksud dari kata malakut pada ayat ini adalah “pemilik sebenarnya dan absolut dari langit dan bumi”12 Quraish Shihab melanjutkan penjelasannya : Apa yang disampaikan nabi Ibrahim, dan apa yang terdapat dalam jiwa dan pikirannya menghasilkan keyakinan yang sedemikian kukuh merupakan hasil bimbingan Allah yang telah memperlihatkan pada nabi Ibrahim kepemilikan-Nya di langit dan di bumi. Kepemilikan-Nya yang amat sempurna dan kukuh tersebut mengarahkan jiwa nabi Ibrahim ke arah yang mengantar beliau menyadari seluruh wujud bersumber dari Allah SWT.13 Perkataan
nabi
Ibrahim
kepada
pamannya
merupakan
buah
kepercayaannya kepada Allah yang telah didapatkannya melalui arahan atau petunjuk Allah kepadanya. Petunjuk tersebut adalah segala wujud yang ada di langit dan di bumi beserta segala keteraturan dan ketetapan yang berlaku di dalamnya. Seperti beberapa penciptaan yang dibuat berpasang-pasangan, pria dan wanita, siang dan malam, terang dan gelap, panas dan dingin, dan berbagai hal lainnya yang menandakan bahwa penciptaan yang dicipta oleh Pencipta ini amat rapih, tidak berdiri sendiri, melengkapi satu dengan yang lainnya, saling berkaitan, dan bekerja sesuai dengan tugasnya masing-masing. Lalu kemudian petunjuk-petunjuk tersebut diperlihatkan kepada nabi Ibrahim agar dia termasuk orang-orang yang yakin. Quraish Shihab menjelaskan “kalaupun ketika itu beliau telah yakin, maka itu baru sampai pada tingkat ilmul yaqin, belum ainul yaqin, apalagi haqqul yaqin”.14 Itu berarti, ketika nabi Ibrahim berkata kepada pamannya ia pun belum memiliki kepercayaan yang penuh, kemudian Allah membantunya untuk mengukuhkan kepercayaannya tersebut dengan membuat nabi Ibrahim melihat kepada penciptaan-Nya yang amat indah dan sempurna. Sehingga nabi Ibrahim dapat percaya dengan sepenuh hatinya. Sebagaimana yang dikatakan Quraish Shihab “Allah SWT menjadikan Nabi Ibrahim as. 11
Muhammad Ali Ash-Shabuni, op.cit., h.190 Ibid. 13 Quraish Shihab, op.cit., h 158-159 14 Ibid. 12
51
Masuk dalam kelompok almuqinin, yakni orang-orang yang telah sangat mantap keyakinannya”.15 Temuan Konsep: Pada kata memperlihatkan terdapat metode pendidikan tauhid yaitu dengan cara diperlihatkan atau ditunjukkan. Kemudian pada kata tanda-tanda keagungan (kami yang terdapat) di langit dan bumi adalah bahan ajar atau objek yang dijadikan nabi Ibrahim sebagai pelajaran dalam mendidik kaumnya, tandatanda keagungan tersebut yang akan menunjukkan pada kekuasaaan Allah, sehingga, kepemilikan yang ada di langit dan di bumi ini dapat dijadikan sebagai salah satu materi pendidikan tauhid. Dan pada kata agar Dia Termasuk orang yang yakin merupakan tujuan dari pendidikan tauhid tersebut. Agar manusia dapat beriman dan bertaqwa hanya kepada Allah sesuai dengan tujuan pendidikan tauhid, maka manusia harus percaya dan yakin terlebih dahulu kepada Allah SWT dengan seyakin-yakinnya kepercayaan, sehingga manusia dapat dengan sebenar-benarnya beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.
3. Ayat 76
“ketika malam telah gelap, Dia melihat sebuah bintang (lalu) Dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam Dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam." 15
Ibid., h. 160
52
Menurut al-Wahidi makna janna yang dikutip oleh M. Ali
ash-
Shabuni adalah : “malam telah gelap dan malam telah menjadi gelap, dan dikatakan segala sesuatu dalam bahasa Arab adalah janna dan ajanna dari janna terdapat lafazh jannah, jin, junun, dan janin, semua lafazh ini kembali kepada makna aslinya yaitu tertutup”16 Menurut Quraish Shihab “proses bimbingan Allah tersebut bermula pada malam hari”.17 ketika malam menutupi bumi dan sekitarnya, nabi Ibrahim melihat ke atas (ke langit) didapatinya satu bintang yang paling benderang, yaitu bintang kejora. Sebagaimana yang dikatakan Quraish Shihab “ karena kaumnya (nabi Ibrahim) adalah kaum shabiah, agaknya beliau saat itu menunjuk ke bintang kejora atau venus yang disembah kaumnya itu”.18 Namun kemudian bintang itupun tenggelam seiring terbitnya matahari, yang berarti bintang itu dapat menghilang pada waktunya. Quraish Shihab melanjutkan penjelasannya “tenggelam dan hilangnya dari pandangan bintang tersebut lebih menunjukkan kelemahan serta ketiaadaan kekuasaannya”.19 Menurut Allamah Kamal Faqih “sesuatu yang timbul dan tenggelam adalah objek yang mengikuti beberapa aturan, dan posisinya pun tergantung kepada yang mengatur mereka, maka sesuatu yang bergerak adalah yang bisa dicipta, dan sesuatu yang dapat dicipta itu pasti bukanah Tuhan”20. Dengan demikian, sangat jelas bahwa bintang yang mereka sembah bukanlah Tuhan Yang sesungguhnya. Tuhan pastilah selalu Ada dalam keadaan dan situasi apapun, selalu Hadir dalam setiap waktu kapanpun itu. Ia akan selalu melihat, mengawasi, dan menjaga makhluknya siang dan malam, Ia akan Ada bersama makhluk-Nya kapanpun dan dimanapun makhluk-Nya berada.
16
Muhammad Ali Ash-Shabuni, loc.cit. Quraish Shihab, loc.cit. 18 Ibid., h. 161 19 Ibid. 20 Allamah Kamal Faqih, op.cit., h. 212 17
53
Quraish Shihab lebih lanjut lagi menjelaskan bahwa “pernyataan nabi Ibrahim laa uhibbul aafilin mengisyaratkan bahwa sesuatu yang disembah seharusnya dikagumi dan dicintai, sehingga yang tidak mencintai sesuatu tidaklah wajar mengabdi kepadanya”.21 Bintang adalah benda yang dapat tenggelam atau menghilang pada waktu tertentu, jika demikian, maka ia tidak tetap, tidak stabil, dan sesutu yang tidak stabil maka ia tidak abadi. Nabi Ibrahim tidak menyukai akan hal itu, seolah-olah ia berkata: bagaimana mungkin kita tunduk, menyembah, dan mengabdi kepada sesuatu yang bahkan kita sendiri pun tidak menyukainya, serta tidak mencintainya. Menurut Allamah Kamal Faqih sesuatu yang dapat dicintai adalah “ Dia yang tidak tertawan pada tempat, waktu, dan keragaman dan juga tidak terikat pada kesementaraan, keterbatasan, dan jumlah yang banyak”22Kata-kata nabi Ibrahim tersebut merupakan penolakan untuk tidak bersama-sama mengikuti kaumnya yang menyembah bintang. Temuan Konsep: Pada kata Dia melihat sebuah bintang (lalu) Dia berkata: "Inilah Tuhanku". Hal ini menunjukkan bahwa cara memperoleh pendidikan tauhid tidak selalu harus disediakan, namun juga dapat dicari sendiri, dengan cara melihat dan memperhatikan alam semesta. Penisbatan nabi Ibrahim akan Allah terhadap benda-benda langit merupakan salah satu metode amtsal. Pada kata Saya tidak suka kepada yang tenggelam. Merupakan pernyataan bahwa kebenaran sejatinya dapat dirasa, ditimbang dengan hati, akal dan hati dapat membedakan yang benar dan yang salah.
21 22
Quraish Shihab, op.cit., h.162 Allamah Kamal Faqih, op.cit, h. 213
54
4. Ayat 77
“kemudian tatkala Dia melihat bulan terbit Dia berkata: "Inilah Tuhanku". tetapi setelah bulan itu terbenam, Dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku Termasuk orang yang sesat." M. Ali ash-Shabuni mengutip perkataan al-Azhari akan makna bazighon yang berkata bahwa : “seakan-akan lafazh ini diambil dari البزغ yaitu terbelah, karena bulan dengan sinarnya dapat memecahkan kegelapan”23. sedangkan makna أفل
menurut M. Ali Shabuni adalah
“menghilang”24 Quraish Shihab melanjutkan penjelasannya : Setelah terbukti bahwa bintang yang cahayanya sangat kecil dalam mata telanjang manusia di bumi tidak wajar dipertuhan, nabi Ibrahim as. mengalihkan pandangan kepada yang cahayanya terlihat lebih terang, maka tatkala dia melihat bulan terbit pada awal terbitnya, bagaikan sesuatu yang membelah kegelapan malam dia berkata “inilah dia Tuhanku yang kucari”. Tetapi setelah bulan itu terbenam, diapun tidak puas dan menilai bulan tidak wajar dipertuhankan dengan alasan yang sama.25 Dengan alasan bahwa kaum nabi Ibrahim menyembah sesuatu yang bercahaya di langit, maka untuk mengingkari kepercayaan mereka tersebut nabi Ibrahim harus menggunakan perumpamaan yang semisal dengan apa yang mereka sembah, maka nabi Ibrahim menunjuk bulan, sesuatu yang lebih besar dan lebih terang dibandingkan bintang.
Apabila menurut
mereka tuhan adalah sesuatu yang bercahaya di langit, maka bulan lebih layak dan lebih tepat disebut sebagai tuhan dibandingkan dengan bintang yang bentuknya lebih kecil dan cahayanya lebih redup daripada bulan. Menurut Quraish Shihab : 23
Muhmmad Ali ash-Shabuni, loc.cit. Ibid. 25 Quraish Shihab, op.cit., h 162-163 24
55
kata hadza pada ayat ini, ayat lalu, dan yang akan datang bukan saja untuk menunjuk sesuatu tertentu, tetapi juga mengandung makna bahwa yang ditunjuk itu adalah sesuatu yang sebelumnya telah dicari, lalu kini telah ditemukan. Ini serupa dengan ucapan seseorang apabila mencari sesuatu –katakanlah buku tertentu-kemudian menemukannya maka ketika itu dia akan berkata „ini dia buku saya” yakni yang saya cari.26 Namun ternyata, bulan yang lebih besar dan lebih terang itupun sama saja seperti bintang, ia menghilang ketika waktunya telah habis. Nabi Ibrahim kembali tidak puas karena tidak kunjung menemukan jawabannya akan Tuhan. Akhirnya nabi Ibrahim pun berkata “sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”. Maksud dari
perkataannya ini adalah “isyarat penolakan
penyembahan bintang-bintang yang lebih dari ucapan yang lalu. Kalau dalam ayat yang lalu beliau hanya menyatakan ketidaksukaan, disini beliau telah menetapkan kesesatan bagi yang menyembah bulan apalagi bintangbintang.27 Temuan konsep : Pada kata
dia melihat bulan terbt dia
berkata: "Inilah Tuhanku". Sama seperti ayat sebelumnya, kalimat ini merupakan cara nabi Ibrahim dalam memperoleh jawaban akan hakikat Allah dengan terus mencari jawaban yang benar. Pada tingkat ini nabi Ibrahim bukan hanya saja memperhatikan namun juga mengoreksi dan mengevaluasi pencariannya tersebut. Pada kata memberi petunjuk kepada, merupakan kata kerja yang berarti mendapat hidayah (melalui akal) yang berarti pendidikan tauhid
26 27
Ibid., h 163 Ibid.
56
juga bisa berasaskan pada akal. Dengan kata lain akal merupakan asas dalam pendidikan tauhid. Kemudian pada kata adalah letak
pentingnya pendidikan tauhid, yaitu agar tidak “Termasuk orang yang sesat”.
5. Ayat 78
“kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, Dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, Dia berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan”. Para ulama berbeda pendapat mengapa nabi Ibrahim menggunakan kata hadza untuk menunjuk matahari. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa matahari (syams) adalah kelompok kata muannats. Maka kata yang tepat untuk menyebut “ini” pada ayat di atas adalah dengan menggunakan kata hadzihi. Menurut Quraish Shihab ada yang berpendapat bahwa ini disebabkan oleh “bahasa masyarakat nabi Ibrahim as. Yang tidak mengenal bentuk mudzakar atau maskulin dan muannats atau feminin”.28 Setelah bintang dan bulan kini nabi Ibrahim beralih kepada matahari yang bentuknya jauh lebih besar dan cahayanya jauh lebih terang dari keduanya. Ia menunjuknya sambil berkata seolah-olah jawabannya kali ini adalah jawaban yang paling benar. Namun ternyata jawaban yang ketiganya ini pun masih salah, faktanya matahari yang paling besar pun sama seperti bintang dan bulan, ia hanya terbit di pagi hari dan tenggelam di sore hari. 28
Ibid., h. 165
57
Maka nabi Ibrahim menutup kesimpulannya dengan berkata: “hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari penyembahan bintang, bulan, matahari, dan apa saja yang kamu persekutukan dengan Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yang sesungguhnya”.29 Inilah akhir kesimpulan nabi Ibrahim terhadap pencariannya akan Tuhan Yang sesungguhnya. Bahwa ia tidak sepakat dengan kaumnya yang menyatakan bahwa Tuhan adalah benda bercahaya di langit. Karena benda-benda tersebut hanya mumkinul wujud. Hal ini bertolak belakang dengan sifat ketuhanan yang sifatnya wajibul wujud. Maka kesimpulan nabi Ibrahim adalah Tuhan bukanlah sesuatu yang ada di langit dan bercahaya. Temuan konsep : Pada kata dia melihat maathari teribt dia berkata: "Inilah Tuhanku". Setelah nabi Ibrahim terus mencari dengan cara mengamati dan memperhatikan, kemudian beliau merenungkan hingga akhirnya ia menyimpulkan bahwa Tuhan bukanlah sesuatu yang ada di langit. Pada kata
Sesungguhnya aku berlepas diri dari
apa yang kamu persekutukan. Perkataan nabi Ibrahim kepada kaumnya tersebut merupakan pernyataan bahwa ia menolak ikut serta dengan kaumnya
untuk
berbuat
syirik.
Penolakan
nabi
Ibrahim
untuk
menyekutukan Allah adalah metode dalam menyampaikan pendidikan tauhid, yaitu dengan cara memberikan contoh yang baik (suri tauladan) bagi kaumnya.
Ayat 79
29
Ibid., h. 164
58
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan”. Menurut Quraish Shihab kata حنيفbiasa diartikan dengan “lurus” atau cenderung kepada sesuatu”30 sedang menurut al-Biqa‟i kata hanif berarti “kecenderungan kepada fitrah atas dasar dalil dan dengan mudah lagi lemah lembut, bukan atas dasar taqlid”31. Dan menurut Allamah Kamal Faqih: “hanif, lurus atau teguh, berasal dari kata hanafa yang artinya sungguh-sungguh dan tanpa sedikitpun menyimpang”32 Sedangkan istilah fathara menurut Allamah adalah : Mencipta, bermakna awal membebaskan. Arti ini juga merujuk pada beberapa makna yang ditemukan di dalam ilmu pengetahuan modern. Sebagaimana pandangan yang sering dikutip, pada awalnya alam semesta berbentuk satu massa (single mass). Setelah itu, massa tersebut terpencar menjadi beberapa bagian dan muncullah bintang-bintang dan planet-planet satu persatu33 Secara singkat Quraish Shihab menjelaskan ayat ini : Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku yakni seluruh jiwa, raga dan totalitasku kepada yang menciptakan langit dan bumi dengan isinya, termasuk semua benda-benda angkasa seperti matahari, bintang, dan bulan. Aku menghadapkan wajahku cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, yakni bukan menganut apa yang dianut oleh kaumnya bahkan oleh siapapun yang mengakui dalam hati, atau ucapan atau perbuatannya bahwa ada penguasa atau pemberi pengaruh terhadap sesuatu selain Allah SWT..34 Kemudian nabi Ibrahim berkata bahwasannya ia telah haqqul yaqin (menetapkan kepercayaannya), akan meninggalkan apa yang menjadi 30
Ibid. Ibid., h. 165 32 Allamah Kamal Faqih, op.cit., h. 216 33 Ibid. 34 Quraish Shihab., op.cit., h. 164 31
59
kepercayaan kaumnya dalam penyembahan kepada sesuatu yang bukan semestinya dari berhala dan seluruh benda-benda di langit. Ia amat yakin bahwa Tuhan Yang sesungguhnya bukanlah seperti apa yang kaumnya sembah. Quraish Shihab menambahkan bahwa pada saat itulah nabi Ibrahim menemukan Allah SWT”35 Maksudnya yaitu, akhirnya ia menemukan jawaban yang benar mengenai Tuhan Yang sesungguhnya. Kepercayaan yang kuat inilah yang akhirnya nabi Ibrahim dapatkan setelah bimbingan dari Allah SWT. Pada akhirnya, nabi Ibrahim berada pada jalannya yang benar. Yaitu jalan untuk bertauhid, jalan yang diridhoi Allah, jalan yang selama ini ia cari, jalan yang akan menuntunnya kepada keselamatan dunia dan akhirat. Maka nabi Ibrahim menyatakan dirinya bukanlah lagi bagian dari mereka yang telah menyekutukan Allah Sang Maha Pencipta. Ia telah menemukan jalan yang benar, maka sekarang ia akan berjalan di jalan yang benar itu, dan meninggalkan jalan salah yang selama ini ia ketahui. Temuan Konsep : Pernyataan nabi Ibrahim Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar juga merupakan bentuk dalam mengamalkan ajaran tauhid, yaitu berserah diri hanya kepada Allah SWT. Selain itu, dalam pernyataannya tersebut terkandung metode dalam proses pendidikan tauhid, yaitu dengan memberi contoh/ arahan kepada jalan yang lurus, yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Setelah nabi Ibrahim menolak ajakan perbuatan syirik, kemudian beliau memberikan arahan pada kaumnya untuk berjalan pada jalan yang benar yaitu dengan berserah diri dan beribadah kepada Allah SWT.
6. Ayat 80
35
M. Quraish Shihab, Al-Lubab makna, tujuan, dan pelajaran dari surah-surah al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2012), cet-1, h. 350
60
“dan Dia dibantah oleh kaumnya. Dia berkata: "Apakah kamu hendak membantah tentang Allah, Padahal Sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku". dan aku tidak takut kepada (malapetaka dari) sembahan-sembahan yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali di kala Tuhanku menghendaki sesuatu (dari malapetaka) itu. pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu. Maka Apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) ?" Dengan pertanyaan nabi Ibrahim yang tegas tersebut tentunya telah menyinggung perasaan kaumnya. Mereka merasa bahwa merekalah yang benar akan penyembahan kepada tuhan mereka. Mereka merasa Nabi Ibrahim lah yang telah melenceng dari jalan yang lurus, maka mereka pun tidak tinggal diam, mereka membantah nabi Ibrahim serta mengancamnya akan malapetaka yang akan menimpanya apabila ia bersikeras dengan pendapatnya tersebut. Quraish Shihab berpendapat bahwa kata “wahajahu qaumuhu menunjukkan adanya dua pihak yang saling berargumentasi untuk menguatkan pandangannya dan mematahkan pandangan lawannya”.36 Disinilah tejadi perdebatan pandangan antara nabi Ibrahim dan kaumnya. Setelah kaumnya mengancam nabi Ibrahim akan perkataannya itu, nabi Ibrahim kembali melanjutkan bantahannya dengan berkata “apakah kamu membantahku tentang Allah, padalah sesungguhnya Ia telah memberi petunjuk kepadaku” menurut Quraish Shihab “kata wa qod hadaani merupakan argumentasi tersendiri ; seakan-akan Nabi Ibrahim as. berkata : “Allah telah menganugerahkan aneka petunjuk kepadaku berupa bukti-bukti bahwa Dia Maha Esa”.37 36
Quraish Shihab, op.cit., h. 167 Ibid., h.168
37
61
Penulis mengartikan penjelasan Quraish Shihab tersebut seolah-oleh nabi Ibrahim berkata : apakah kalian akan tetap mengelak dari kebenaran yang telah aku sampaikan, kebenaran yang datang melalui cahaya logika serta bukti-bukti yang amat jelas, bukti yang aku dapatkan melalui berbagai macam petunjuk yang telah diberikan Allah kepadaku ? Allah Tuhanku, Tuhan kita semua ? petunjuk ini pastinya datang dari-Nya karena hanya Dia yang Kuasa untuk memberiku petunjuk itu. Dialah Allah Tuhan Yang Maha Esa. Inilah kebenaran yang kita cari-cari itu. Maka aku tidak akan takut dengan apa yang kalian sembah, apa yang kalian persekutukan dengan Allah, kecuali jika Tuhanku menghendaki. Pada kata illa yang terdapat pada ayat di atas menurut Quraish Shihab: “merupakan salah satu unsur penting dalam keberagamaan, yakni bahwa seorang beragama tidak boleh menetapkan sesuatu yang berkaitan dengan masa depan kecuali dengan mengaitkannya kepada Allah SWT”.38 Orang mukmin yang sesungguhnya tidak akan berkata mengenai sesuatu di masa depan yang tidak ia ketahui. Cukuplah pengetahuan itu hanya Allah Yang Tahu. Karena hanya Ia-lah yang Maha Mengetahui dan Maha Berkehendak. Dia dapat menghendaki sesuatu yang tidak dapat dikehendaki oleh makhluknya. Dengan demikian, nabi ibrahim telah menyatakan bahwa ia tidak takut akan suatu hal apapun itu, kecuali kehendak Tuhannya. Bahwa bisa saja di kemudian hari ada malapetaka yang mengenainya akibat dari perbuatannya tersebut, namun perkara itu bukan datang dari tuhan yang kaumnya sembah, melainkan datang atas kehendak Allah SWT Yang Maha Berkehendak. Kemudian nabi Ibrahim berkata “afala tatadzakkaruun? Apakah kamu tidak mengingatnya ? maksud dari mengingat disini adalah mengingat fitrah manusia untuk beragama atau berkepercayaan. Seolah-olah nabi Ibrahim berkata: Kalian telah memilikinya di dalam diri kalian, maka mengapa kalian tidak mengingatnya?. 38
Ibid.
Sebagaimana Quraish Shihab
62
katakan bahwa “persoalan-persoalan aqidah bersumber dari fitrah manusia, keterlibatan nafsu dan aneka syahwat itulah yang mengaburkan fungsi fitrah itu sehingga membelokkan mereka dari aqidah murni dan melupakannya”39. Temuan Konsep : Pada kata yang bermakna apakah kamu mendebatku ?. Debat merupakan metode dalam pelaksanaan pendidikan tauhid dengan cara berargumentasi. Pada kata yang bermakna memberikan hidayah kepadaku.
hidayah yang diberikan Allah kepada nabi Ibrahim datangnya melalui akal sehingga nabi Ibrahim dapat menyimpulkan pencariannya akan Tuhan. kemudian pada kata
yang bermakna dan aku
tidak takut terhadap apa yang kamu persekutukan merupakan materi dari pendidikan tauhid, materi tersebut tergambarkan pada isi pesan nabi Ibrahim yang tersirat dalam ayat ini, yaitu bahwa yang berhak dan layak ditakuti itu hanya Allah SWT. kecuali di kala Tuhanku menghendaki sesuatu (dari malapetaka) itu. Setelah takut, hamba-Nya senantiasa berserah diri atas segala keputusan apapun yang Allah kehendahi untuknya. Dan pada yang bermakna apakah kamu tidak
mengingatnya ? mengingat adalah kata kerja yang juga menggunakan akal dalam prosesnya. kata tanya atau pertanyaan yang terdapat dalam kalimat diatas dapat dijadikan metode dalam pendidikan tauhid itu sendiri. Maka 39
Ibid., h. 169
63
dapat disimpulkan bahwa akal dapat dijadikan metode dan juga asas dalam merujuk pada konsep pendidikan tauhid.
7. Ayat 81
“bagaimana aku takut kepada sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah), Padahal kamu tidak takut mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukanNya. Maka manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak memperoleh keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui? Bagaimana mungkin aku takut kepada berhala yang kalian sembah itu ? ia bukanlah Tuhan yang akan mendatangkan keburukan kepadaku. Maka untuk apa aku takut kepadanya ? justru kalian lah yang harus merasa takut, karena sesungguhnya kalian yang telah menyekutukan Allah. Hanya Allah yang dapat mendatangkan kebaikan dan keburukan, tetapi kalian malah melakukan hal yang bahkan Allah pun tidak memerintahkannya. Kalian lah yang terancam akan siksa-Nya. Dan jika seperti ini, beritahu kepadaku siapa di antara kita yang lebih berhak mendapatkan perlindungan dari Allah ? manakah di antara kita yang lebih berhak atas keamanan dan ketenangan ?. Quraish Shihab menjelaskan bahwa “sikap dan perbuatan mereka menunjukkan bahwa mereka pada hakikatnya tidak mengetahui, maka langsung saja nabi Ibrahim melanjutkan dengan menjawab pertanyaannya itu pada ayat selanjutnya”40 Temuan Konsep :
40
Ibid., h. 171
64
Pada kata bagaimana aku takut kepada sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah. Adalah bentuk keberanian nabi Ibrahim menyangkal dan melawan ancaman kaumnya. Sehingga nabi Ibrahim mengancam balik pada kaumnya (menakuti) dengan mengatakan bahawa yang akan mendapatkan malapetaka adalah mereka sendiri.
Keberanian nabi Ibrahim tersebut
dapat dijadikan contoh dalam menyampaikan ajaran tauhid, yaitu dengan tegas, dan berani. Pada kata yang bermakna padahal kamu tidak takut, merupakan bagian dari cara nabi Ibrahim dalam mendidik kaumnya dengan cara menakuti mereka akan malapetaka yang akan menimpanya akibat kesyrikan yang mereka perbuat. Pada kata
tidak menurunkan hujjah
kepadamu untuk mempersekutukanNya. Keberanian nabi Ibrahim untuk melawan kesyirikan dan kebathilan didasari dengan imannya yang kuat kepada Allah. Kalimat diatas merupakan sifat yang iimani atau diyakini oleh nabi Ibrahim, yaitu hanya meyakini dan menjalankan apa yang diperintahkan Allah. Sifat yang diimani nabi Ibrahim merupakan materi dari pendidikan tauhid. Pada kata yang bermakna lebih berhak atas perasaaan aman menunjukkan tujuan pendidikan tauhid bagi kaum nabi Ibrahim saat itu, tujuan pendidikan tersebut disampaikan dengan “metode bertanya” langsung kepada kaumnya agar mereka berfikir sendiri sehingga mereka mendapat jawaban dengan sendirinya pula.
65
Kemudian pada kata adalah kata kerja yang juga menggunakan akal dalam prosesnya, setelah nabi Ibrahim menyebutkan kesalahan kaumnya kemudian menunjukkan jalan yang benar, beliau memerintahkan kaumnya untuk berfikir matang-matang, mencermati, siapa sebenarnya di antara nabi Ibrahim dan kaumnya yang telah menyimpang dari jalan yang lurus. Maka penulis menyimpulkan akal memang dapat dijadikan asas bagi pendidikan tauhid.
8. Ayat 82
“orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. Menurut pendapat beberapa ahli tafsir dan juga beberapa hadist dan riwayat yang dikutip oleh Allamah Kamal Faqih menyebutkan bahwa “makna zulmun pada ayat ini berarti kezaliman. Buktinya terdapat pada surat luqman:31, …sesungguhnya kemusyrikan adalah kezaliman yang sangat besar”41 Menurut Quraish Shihab kata lam yalbasu pada ayat di atas mengandung makna “melakukan dua hal yang serupa tetapi tidak sama dalam satu waktu. Yang pertama mengakui ketuhanan Allah SWT, serta kewajarannya untuk disembah, dan kedua mengakui kewajaran selain-Nya untuk disembah”.42Artinya ialah, mengakui adanya Allah dan meyakini bahwa Ia-lah yang patut untuk disembah namun disisi yang lain juga mempercayai ada hal lain yang dapat dipintai pertolongannya, atau 41
Allamah Kamal Faqih, op.cit., h. 222 Quraish Shihab, op.cit., h. 172
42
66
meyakini akan sesuatu yang dapat membawa malapetaka darinya maka sama saja demikian itu telah mencampur adukan iman. Sebagaimana pada kasus
kaum
nabi
Ibrahim
ini
menurut
Sulaiman
at-Tharawana
menyebutkan “pengulangan kisah kaum nabi Ibrahim yang kita jumpai di al-Qur‟an selalu menyebutkan bahwa kaum nabi Ibrahim sebenarnya tidak mengingkari Allah. Tapi mereka menyekutukan Allah dengan „tuhan-tuhan‟ mereka yang terdiri dari patung, bintang dan setan”.43 Sebagai contoh fenomena yang ada pada hari belakangan ini, seorang yang mengaku muslim namun melakukan ziarah kubur pada makam orang besar dengan tujuan untuk mendapatkan keberkahan. Bukankah itu sama saja dengan mencampur adukan iman dengan syirik seperti yang disebutkan pada ayat ini ?. Sejatinya hanya Allah satu-satu Nya yang dapat memberikan segala sesuatu dan mendatangkan segala sesuatu, jika manusia menginginkan sesuatu, maka yang perlu ia lakukan adalah meminta kepada Allah, karena Dia Maha Mendengar lagi Maha Memberi. Lebih lanjut lagi Quraish Shihab menjelaskan makna ulaika lahumul amnu: Mengandung makna bahwa mereka sangat wajar mendapat rasa aman yang sifatnya istimewa hanya khusus bagi mereka. Seakan-akan segala keamanan dalam segala aspeknya akan mereka peroleh. Karena itu pakar bahasa menyatakan bahwa redaksi semacam ini juah lebih dalam dan mantap maknanya dari pada seandainya ayat ini menyatakan ulaikal lahumul aaminun mereka itulah orang-orang yang aman.44 Hanya bagi orang-orang yang percaya kepada Allah saja lah yang akan mendapatkan kemanan serta hidayat “(petunjuk jalan menuju arah yang benar dan baik)”45 Yaitu orang-orang beriman yang meminta segala sesuatunya hanya kepada Allah, dan ia pun hanya takut kepada Allah. Tidak ada di dunia ini yang layak ditakuti dan layak dimintai pertolongan kecuali Allah SWT. 43
Sulaiman ath-Tharawana, Dirosah Adabiyah fil Qishshah al-Qur’aniyah, diterjemahkan oleh Agus Faishal Kariem & Anis Maftukhin dalam Rahasia Pilihan Kata dalam al-Qur’an, (Jakarta: Qisthi Press, 2004), Cet ke-1, h. 100 44 Quraish Shihab, loc.cit. 45 Ibid., h. 173
67
Temuan Konsep : Pada
kata
mencampuradukkan
iman
mereka
yang
dengan
bermakna
kezaliman
tidak (syirik),
mengisyaratkan bahwa orang beriman pun bisa saja melakukan kesyirikan, maka pendidikan tauhid juga diperuntukan bagi orang-orang yang beriman namun mereka telah menyimpang dengan mencampuradukkan iman mereka dengan kesyirikan. Pada kata yang bermakna bagi merekalah keselamatan dan mereka itulah yang mendapat petunjuk .juga merupakan penegasan bahwa tujuan pendidikan tauhid adalah untuk memperoleh perasaan aman dan petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Yaitu Allah SWT.
9. Ayat 83
“dan Itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui”. Pada akhir ayat ini Quraish Shihab menjelaskan : Pertama : tilka yakni itu ucapan dan penjelasan yang dikemukakan nabi Ibrahim dalam rangkaian ayat ini dan selainnya adalah hujjah dalil dan penjelasan yang amat kokoh lagi sangat tinggi kedudunkannya. Kedua : Hujjah yakni bukti yang sangat jelas yang dianugerahkan Allah SWT kepada nabi Ibrahim as. menjadikan beliau mampu membungkam lawan-lawan beliau dengan argumentasi yang jelas. Seluruh bukti-bukti yang dikemukakan nabi Ibrahim itulah yang menjadi alasan bagi nabi Ibrahim untuk tidak lagi mengikuti kaumnya
68
dalam menyekutukan Allah. Bukti-bukti tersebut datang dari Yang Maha Kuasa. Allah lah Yang telah mengarahkan nabi Ibrahim dalam berfikir sehingga ia dapat berdebat dengan tegas, lugas, dan tanpa keraguan ketika melawan dan mengalahkan kaumnya. Karena bukti-bukti tersebut datang dari Yang Maha Benar. Tidak akan ada seorang pun yang dapat melawan dan menandingi kebenaran Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Maka dengan ini, atas kebijakan dan kekuasan Allah, Ia telah meninggingakan derajat nabi Ibrahim, Allah meninggikan kemuliaannya karena Ia menghendakinya. Ia akan menghendaki bagi siapa saja yang Ia inginkan. Dan nabi Ibrahim lah orang yang terpilih itu. Tuhanmu (Tuhan kita semua) itu adalah Tuhan yang Maha Bijkasana lagi Maha Mengetahui Menurut Qurish Shihab penggunaan kata Rabb dalam kata Rabbaka “biasanya dapat menyentuh yang taat dan yang durhaka, yang mukmin dan yang kafir”.46 Dengan ini Allamah Kamal Faqih menyimpulkan bahwa : “orang orang beriman yang zalim tidak akan diberi petunjuk. Demikian pula orang-orang yang adil yang tidak beriman”47 Maka orang mukmin tidaklah cukup hidup dengan imannya saja, namun ia juga harus berbuat adil dan tidak berbuat zalim karena iman tanpa adil adalah kosong, dan adil tanpa beriman adalah bohong. Temuan Konsep : Pada kata
yang bermakna hujjah kami merupakan argumen
yang kuat yang datangnya dari Allah. Seluruh rangkaian argumen yang dibawakan oleh nabi Ibrahim tersebut besertakan dengan metode, materi, dan tujuan yang terkandung di dalamnya adalah konsep pendidikan tauhid yang terkandung dalam ayat-ayat ini.
46
Ibid., 174 Allamah Kamal Faqih, op.cit., h. 224
47
69
Pada kata yang berarti Kami berikan kepada
Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Merupakan penegasan bahwa semua apa yang telah disampaikan nabi Ibrahim kepada kaumnya mengenai Allah yaitu „hujjah‟ atau kekuatan argumen yang terdapat pada ayat-ayat sebelumnya , adalah proses pendidikan tauhid nabi Ibrahim yang diperuntukkan bagi paman, dan kaumnya yang datangnya dari Allah SWT. Pada kata yang bermakna Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Adalah tujuan dari pendidikan tauhid. Karena nabi Ibrahim telah mengamalkan ajaran tauhid, maka Allah tinggikan derajat baginya. Allah akan meninggikan derajat siapa saja yang Ia kehendaki selama ia mengamalkan ajaran tauhid.
C. Tabel Temuan Konsep Pendidikan Tauhid Q.S. al-An’am 7483 Ayat
74
Pengertian
Urgensi
Materi
Asas
Tujuan Metode
Menegur
Sesembahan (yang disembah)
Mengingatkan orang yang berbuat salah (dalam berkeyakinan)
75
Memperlihatkan / membimbing
Tanda-tanda keagungan Allah di
Menjadi orang yang sapenuh
Menunjukkan
70
langit dan di bumi
76
78
Mencari sendiri, melihat, (amtsal) memperhatikan dan merasakan Terus mencari, merenungkan, (eksplorasi dan evaluasi)
Mencari kebenaran
Perasaan
Agar tidak menjadi orang yang sesat
77
nya percaya
Hidayah
memberi contoh untuk tidak berbuat syirik. menjadikan diri sebagai (suri tauladan) Memberikan arahan/ petunjuk pada jalan yang benar.
Menolak perbuatan syirik
79
Menemukan sendiri kebenaran setelah pengalaman yang salah
80
Mempertahankan pendapat, menunjukkan kebenaran dengan melawan dan menafikkan kesyrikkan
81
82
,
Beragumentasi, dan bertanya
Hidayah, dan Takut hanya menging at kepada Allah, kemudian berserah diri kepadaNya Menjalanka n perintah Mengeta Allah hui
Menakuti musyrikin akan siksa Allah. (ancaman) Mendap
71
at rasa aman & petunjuk dari Allah
83
Datangnya dari Allah
Ditinggi kan derajatn ya oleh Allah
D. Analisis Konsep Pendidikan Tauhid dalam Surat al-An’am 7483 Sebagaimana yang telah penulis temukan pada tiap-tiap ayat di atas, yaitu kata-kata yang mencerminkan konsep pendidikan yang terdiri dari definisi pendidikan tauhid, pentingnya pendidikan tauhid, materi pendidikan tauhid, asas pendidikan tauhid, tujuan pendidikan tauhid, dan metode pendidikan tauhid, maka pada bab ini penulis akan mengulas satu-persatu temuan konsep tersebut secara mendalam. 1. Definisi Pendidikan Tauhid Menurut al-Ghazali empat rukun yang mendasari pembinaan iman yaitu “ makrifat kepada Dzat-Nya, Sifat-Sifat-Nya, af‟al-Nya, dan mengenai Syariat”48 dari keseluruhan makna yang terkandung dalam kisah nabi ibrahim ini adalah proses mengenali dan mengetahui akan Dzat Allah, Sifat-Sifat-Nya begitu juga dengan af‟al-Nya. 3 hal diantaranya, penulis temukan pada beberapa ayat yang penulis rangkum di bawah ini. Apabila kita merujuk pada surat al-An‟am pada ayat 74, ketika nabi Ibrahim berusaha meluruskan sudut pandang pamannya dengan menegur,
48
Hamdani Ihsan & A. Fuad Hasan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1998), h. 237
72
bahwa ia melihat pamannya telah salah dalam mengenal Tuhan, teguran nabi Ibrahim dalam memperingatkan pamannya yang berbuat salah tersebut merupakan aktualisasi dari definisi pendidikan tauhid. Usaha nabi Ibrahim dalam membimbing dan mengajak pamannya untuk meninggalkan berhala dan menyembah kepada Allah adalah hal yang telah dilakukannya untuk kesekian kalinya. Hal ini dapat dilihat pada Surat Maryam ayat 4245, ketika nabi Ibrahim dengan lembutnya berkata pada pamannya untuk meninggalkan berhala. Maka perkataan nabi Ibrahim yang kesekian kalinya itu adalah wujud dari usahanya untuk merubah tingkah laku pamannya yang berbuat syirik, dan usahanya tersebut merupakan maksud dari pendidikan tauhid. Jika Allah tidak menunjukkan kepada nabi Ibrahim arahan atau bimbingan-Nya agar ia mendekati kebenaran, pastinya nabi Ibrahim bersama-sama
paman
dan
kaumnya
terus
melakukan
kesyirikan
(kesalahan). Oleh karena itu Allah membimbing nabi Ibrahim agar ia mencari kebenaran tersebut dengan melihat kekuasaan Allah di langit dan di bumi. Sama seperti layaknya pendidikan, pendidikan haruslah dimunculkan, ditunjukkan dan disebarkan, sehingga manusia dapat mengetahui yang benar dan yang salah, dari pendidikan mereka dapat menentukkan jalan benar mana yang akan mereka pilih untuk ditempuh agar mereka sampai pada kehidupan yang layak di dunia dan di akhirat. Pada ayat selanjutnya, nabi Ibrahim berkata kepada kaumnya mengenai keraguannya pada benda-benda yang dianggap oleh kaumnya sebagai tuhan. keraguannya tersebut dijelaskannya dengan menyertakan argumen kuat di dalamnya. Keraguan nabi Ibrahim di mulai dengan pencariannya akan konsep Tuhan pada benda –benda langit, yaitu pertama pada bintang yang tergambar pada ayat 76 “dia melihat pada bintang”. Pencariannya akan Tuhan adalah bentuk proses pencarian kebenaran yang sekaligus merupakan pendidikan bagi dirinya sendiri dan juga bagi kaumnya.
73
Kemudian pada ayat-78 ketika nabi Ibrahim berkata pada kaumnya “sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan” juga merupakan bentuk dari definisi pendidikan tauhid, yaitu dengan cara penolakan (dalam berbuat syirik) setelah ia terus mencari, memperhatikan dan merenungkan, mengevaluasi kesalahan, sampailah ia pada jawaban yang benar, pengalamnnya yang salah menghantarkannya pada jawaban yang selama ini dicarinya. Kesimpulan nabi Ibrahim akan konsep Tuhan yang disampaikan pada kaumnya adalah bentuk dari pendidikan tauhid. Selanjutnya pada ayat-79 ketika nabi Ibrahim berkata Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar adalah bentuk dari pembenaran , setelah nabi Ibrahim menolak perbuatan syirik, maka nabi Ibrahim menunjukkan jalan yang benar. Kedua hal tersebut merupakan „hujjah‟ (Argumen kuat) yang dimaksudkan pada ayat-83. Argumen tersebut disampaikan kepada kaumnya dalam rangka menyeru yang bathil kepada yang haqq, maka seruan tersebut adalah bagian dari pendidikan tauhid. Dan terakhir pada ayat 80 ketika nabi Ibrahim mendebat kaumnya dengan tegas dan berani menunjukkan perlawanannya yang sunguhsungguh kepada kaumnya atas perbuatan syirik. seluruh apa yang disampaikan nabi Ibrahim kepada kaumnya, sebenarnya dimaksudkan agar mereka sadar atas kesalahan mereka. Maka perlawanan dan penafikkan nabi Ibrahim pada kesyrikkan juga merupakan bagian dari pendidikan tauhid. Keberanian nabi Ibrahim tersebut dapat dijadikan contoh bagi orang tua dan guru-guru dalam proses pendidikan tauhid sekarang ini. Bila kita bandingkan definisi pendidikan tauhid pada zaman dahulu dan zaman sekarang ini, maka kita akan mendapatkan perbedaan dalam objek pelaksanaan pendidikan tauhid. Pendidikan tauhid nabi ibrahim diperuntukkan bagi kaumnya yang sejak awal telah turun menurun menyembah berhala. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang ia didik adalah orang yang awam akan tauhid sejak awalnya. Sedangkan
74
pendidikan tauhid di zaman ini condong diperuntukkan bagi kaum muslimin yang sedari kecil telah meraba dan mengeyam pendidikan tauhid di lingkungan sekitarnya, namun dikarenakan kurangnya pemahaman mereka akan definisi “tauhid”, kaum muslimin pun melakukan penyimpangan dari tauhid. Sejatinya pendidikan tauhid diperuntukkan bagi siapa saja ummat manusia di muka bumi ini yang telah menyimpang dari fitrahnya untuk bertauhid, dan juga bagi yang telah bertauhid agar tauhidnya semakin sempurna. Disamping terdapat perbedaan dalam objek, terdapat pula perbedaan dalam subjek. Pada umumnya pendidikan disampaikan oleh orang yang lebih tua secara umur, atau lebih matang secara pengalaman dan lebih banyak pengetahuannya dibandingkan dengan orang yang dididiknya (objek). Pada kisah ini justru nabi Ibrahim lah yang telah menyampaikan pendidikan tauhid kepada ayahnya. Maka jelas bahwa nabi Ibrahim tidak mungkin lebih tua dan lebih banyak pengalamannya dibandingkan ayahnya. Meskipun demikian nabi Ibrahim lebih banyak pengetahuannya karena ia mendapatkan hidayah (pendidikan tauhid) tersebut dari Allah SWT. Sekarang ini, seringkali pendidikan tauhid dapat dilihat dan dirasakan hanya pada tempat-tempat tertentu, seperti sekolah atau majelis (pengajian) saja. Bahkan pada umumnya, orang tua yang sekalipun sepenuhnya
betanggung
jawab
atas
kemurnian
akidah
anaknya,
menyerahkan tanggung jawabnya tersebut pada lembaga pendidikan. Di lain hal, jarang sekali ditemukan pendidikan tauhid yang diselenggarakan bagi kaum non muslim, padahal merupakan kewajiban bagi kita semua (ummat muslim khususnya) untuk menyeru dan mendakwah pada kebenaran. kisah nabi Ibrahim ini menginsprasi kita ummat manusia pada zaman sekarang, bahwa pendidikan tauhid dapat dilakukan dimana saja (tidak terbatas tempat), kepada siapa saja (tidak terbatas usia dan agama), dan oleh siapa saja selama ia memegang teguh pada kemurnian tauhid. Setiap
75
insan di dunia bertanggung jawab dalam menyeru dan mengamalkan tauhid bagi dirinya sendiri, dan orang-orang sekitarnya. Pendidikan tauhid bukan saja sesuatu yang disuguhkan atau diselenggarakan dari pihak tertentu, usaha yang kita lakukan bagi diri sendiri dan orang lain agar berubah menjadi lebih baik juga merupakan bagian dari pendidikan. Pendidikan tersebut dapat kita cari sendiri dengan memanfaatkan instrumen-instrumen yang telah Allah pinjamkan kepada kita. Kita dapat mencarinya dengan cara mengamati, berfikir, dan merenungkan alam sekitar kita, perenungan tersebut akan membawa kita pada hakikat kebenaran, karena sejatinya, instrumen yang kita gunakan merupakan karunia dari Yang Maha Benar.
2. Pentingnya Pendidikan Tauhid Urgensi pendidikan tauhid ini tergambar pada ayat 77 yang berbunyi “agar tidak termasuk orang-orang sesat”. Pada ayat itu dijelaskan bahwa hidayah yang diberikan Allah kepada nabi Ibrahim merupakan jalan agar ia tidak termasuk orang-orang sesat, orang yang berjalan pada jalan yang sesat pastinya tidak akan pernah sampai pada tujuannya karena mereka salah jalan. Sesat yang disebutkan pada ayat ini adalah perumpamaan bagi orang-orang yang berbuat syirik dalam peribadatan dan penyembahan. Peribadatan dan penyembahan kepada Allah adalah jalan benar untuk menggapai ridho-Nya. Hanya keridhoan Allah yang akan membawa manusia pada keselamatan di dunia dan di akhirat. Maka orang-orang yang tidak berjalan pada jalan yang benar akan berada pada kesesatan, dan orang yang sesat tidak akan selamat. Dalam kisah ini, sesungguhnya nabi Ibrahim mengajak kaumnya agar mereka mau mengamalkan tauhid dan meninggalkan segala bentuk penyembahan yang menyekutkan Allah, agar mereka pun mendapatkan keselamatan, ketenangan dan petunjuk oleh Allah. Jika mereka mendapat perlindungan Allah niscaya mereka akan melakukan hal bodoh dengan menyembah berhala. Hal itu disebabkan oleh akal mereka yang rusak, akal
76
rusak melahirkan perilaku yang
rusak pula, dan perilaku rusak akan
menjerumuskan manusia pada kegelapan. Maka Nabi Ibrahim diutus kepada mereka dengan tujuan untuk mengajarkan tauhid, beliau mencoba untuk meluruskan kembali jalan salah yang telah ditempuh kaumnya. Disinilah letak pentingnya pendidikan bagi kehidupan. Sebagaimana yang dikatakan Yusran Asmuni “tauhid tidak hanya sekedar memberikan ketentraman batin dan menyelamatkan manusia dari kesesatan dan kemusyrikan, tetapi juga berpengaruh besar terhadap pembentukan sikap dan perilaku keseharian seseorang. Ia tidak hanya berfungsi sebagai akidah, tetapi berfungsi pula sebagai falsafah hidup”.49 Apabila kita meninjau kisah di atas, maka terlihat adanya perbedaan antara urgensi pendidikan tauhid pada zaman dahulu dan zaman sekarang ini. Urgensi tauhid pada zaman dahulu ialah untuk menunjukkan ummat manusia pada jalan yang benar. Meski manusia memiliki fitrah atau naluri untuk bertuhan, namun mereka tidak tahu jalan yang harus ditempuhnya. Maka Ajaran tauhid yang di bawa para rasul merupakan bekal, pondasi bagi ummat manusia dalam mengawali hidup keberagamaannya. Berbeda pada zaman modern ini, pendidikan tauhid berorientasi untuk meluruskan kembali pemahaman manusia akan makna tauhid yang hakiki. Melihat fenomena sekarang ini, masih banyak dijumpai orang yang percaya akan kekuatan batu, pohon pohon besar, makam orang soleh dan sebagainya, hal ini menandakan bahwa manusia telah mengulang kembali kesalahan ummat terdahulu. Setelah apa yang telah dicontohkan oleh para Rasul beribu tahun yang lalu, tentunya ada beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh ummat muslim khususnya dalam pengamalan „Tauhid‟ di kesehariannya. Maka terlihat jelas bahwa benar pendidikan tauhid teramat penting bagi keberlangsungan hidup manusia di kemudian hari. Andai saja Allah tidak mengutus para Nabi dan Rasul untuk menyeru ummat manusia 49
Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta : PT Raja Grafindo,1996), cet-3, h. 7
77
kepada jalannya yang lurus, mengembalikan manusia kepada fitrahnya yang hakiki untuk menyembah Allah, maka kita (ummat muslim) tidak dapat menikmati nikmatnya Iman dan Islam sekarang ini. Jika manusia pada zaman itu terus dalam kebiasaannya menyembah apa yang tidak semestinya mereka sembah maka kemungkinan kita ummat manusia pun masih melakukan hal yang sama pada zaman ini sebagai warisan kebiasaan dari pada leluhur terdahulu. Pendidikan tauhid yang dibawa oleh Nabi Ibrahim kepada kaumnya merubah pola pikir, menjelaskan bahwa ajaran tauhid adalah kebenaran yang dapat ditimbang kebenarannya dengan akal yang logis. Maka kebenaran haruslah diungkap, disuarakan sehingga mereka mau berfikir bahwa mereka telah melakukan hal salah dengan menyembah berhala, dan menyekutukan Allah sebagai akibat dari buah pikir mereka yang salah itu. Oleh karenanya kesalahan ini tidak boleh berlanjut, tidak boleh berulang oleh generasi ummat manusia nantinya. Pendidikan tauhid Nabi Ibrahim bertujuan untuk membawa perubahan dan pembenaran yang baik bagi kaumnya, kita dan anak cucu kita kelak Maka pentingnya pendidikan tauhid ini seharusnya menjadi pertimbangan untuk didahulukan daripada pendidikan disiplin ilmu yang lain. Selain itu pendidikan tauhid juga harus menjadi dasar pendidikan ilmu pasti, ilmu sosial dan politik, sains dan teknologi, ilmu ekonomi, biologi, olahraga, dan sebagainya. Sehingga segala jenis pendidikan yang dipraktekkan manusia tersebut mempunyai tujuan luhur yang sifatnya tidak hanya duniawi tapi juga ukhrowi 3. Materi Pendidikan Tauhid Penulis menemukan tiga materi yang dibahas dalam proses pendidikan tauhid nabi Ibrahim yang terdapat dalam ayat-ayat diatas. Pertama yaitu Allah yang patut disembah pada ayat-74, kedua kepemilikan Allah atas alam semesta (seluruh apa yang di langit dan di bumi beserta isinya) yang tersirat pada ayat-75 yang berbunyi tanda-tanda
78
keagungan (kami yang terdapat) di langit dan bumi. Dan ketiga yaitu menjalankan perintah Allah yang terkandung pada ayat-81 yang berbunyi Allah
sendiri
tidak
menurunkan
hujjah
kepadamu
untuk
mempersekutukanNya. Ketiga hal tersebut dapat dijadikan materi tambahan dalam pendidikan tauhid selain tiga materi yang sudah penulis sebutkan pada bab sebelumnya yaitu : meyakini adanya wujud Allah, meyakini keesaan Allah, dan hikmah mengenal Allah. Pada ayat-74, nabi Ibrahim menegur pamannya yang menyembah berhala. Berhala adalah sesuatu yang di buat dan diadakan oleh manusia, maka tidak mungkin berhala tersebut dipertuhankan, sama halnya pada jaman sekarang, patung-patung dewa, binatang yang dianggap dewa, pohon pohon keramat, makam orang sholeh, ataupun orang-orang sakti bukanlah hal yang dapat dimintai apapun daripadanya, karena mereka bukan Tuhan. Hal yang menjadi penting dan paling utama untuk dibahas dalam pendidikan tauhid adalah siapakan Tuhan yang benar dan layak untuk disembah itu?. Sipakah Tuhan yang dapat dimintai pertolongan, Yang dapat mendatangkan malapetaka? Jawabannya tidak lain adalah Allah SWT. Kedua, mengenai kepemilikan Allah atas alam semesta yaitu kita melihat dan memperhatikan lebih dalam alam semesta ini, merenungkan segala keteraturan dan ketetapan yang berlaku di dalamnya maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa pemilik jagad raya ini amat Hebat, yaitu Allah SWT. Terlebih kita akan semakin bersyukur karena seluruh yang ada di langit dan di bumi adalah karuni yang Allah sediakan untuk kita ummat manusia. Dengan pengetahuan ini maka akan membawa manusia pada penyerahan diri dan penyembahan hanya pada Yang Maha Kuasa. Ketiga, menjalankan perintah Allah, yaitu kelanjutan dari keyakinan yang pada Maha kuasa atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tidak cukup dengan hanya mengimani, mempercayai adanya Allah dan meyakini kekuasaan-Nya saja, tapi juga harus diiringi sesudahnya dengan
79
menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Hal ini yang akan menjadikan manusia menjadi insan kamil atau manusia sempurna. Maka manusia cukup dengan melakukan semua yang Allah kehendaki, dan tidak sedikitpun melakukan apa yang tidak Ia kehendaki manusia akan mendapatkan kesempurnaan dalam hidup di dunia dan di akhirat. Seluruh perkataan nabi Ibrahim yang disampaikan kepada Azar dan kaumnya tidak lain hanya membahas tentang proses mengetahui Tuhan Yang sesungguhnya. Permasalahan yang mereka perdebatkan adalah kesimpangsiuran akan Tuhan mana yang layak dan harusnya
mereka
sembah. Apabila kita mengulas kembali pada kisah-kisah rasul, tentunya kita tahu bahwa seluruh
misi dan visi rasul-rasul Allah adalah untuk
menegakkan „Tauhid‟, mengenalkan Allah, dan memberitahukan ummat manusia bahwa Ada Yang telah menciptakan dan menghidupkan kita, sehingga kita wajib untuk menyembah-Nya. Melihat adanya kesamaan tugas tersebut, maka pastinya ada keseragaman ajaran, isi, dan materi yang di bawa oleh para rasul dalam mengemban tugasnya untuk mewujudkan misi tersebut namun dalam cara, waktu, dan kondisi yang berbeda-beda.
4. Asas Pendidikan Tauhid Sebagaimana yang kita ketahui bahwa asas pendidikan tauhid atau yang kita kenal dengan pendidikan Islam ada dua yakni : al-Qur‟an dan as-Sunnah. Meski demikian Islam tidak mengesampingkan akal sebagai karunia terbesar Allah bagi ummat manusia. Akal tidak disebut secara eksplisit sebagai asas bagi pendidikan tauhid. Namun, dalam memahami konteks al-Qur‟an dan as-Sunnah, akal berperan penting dalam mengartikan perintah dan larangan yang Allah maksudkan di dalamnya. Abuddin Nata mengutip perkataan imam al-Syathibi dalam bukunya Pendidikan dalam Perspektif Islam yang mengatakan bahwa “salah satu
80
tujuan kehadiran agama adalah melindungi hak manusia untuk berfikir (al-aql)”50
“dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gununggunung dan sungai-sungai padanya. dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (Q. S. Ar‟Ra‟ad : 3 ) Melalui surat al-An‟am ayat 74-83 dipahami bahwa Nabi Ibrahim as mengalami proses pencarian Tuhan dengan memaksimalkan logika. Hal ini tergambar pada ayat-77 yang berbunyi Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku Termasuk orang yang sesat. Kemudian pada ayat-80 yang berbunyi Maka Apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya). Kedua kata : petunjuk (yahdinii) dan mengambil pelajaran atau mengingat (tatadzakkaruun) merupakan kata kerja yang menggunakan akal dalam prosesnya. Di samping itu penulis menemukan landasan lain yang terkandung dalam kisah nabi Ibrahim ini yaitu perasaan yang digambarkan pada ayat 76 yang berbunyi : Saya tidak suka kepada yang tenggelam. Perkataan nabi Ibrahim tersebut menggambarkan ketidaksukaannya terhadap benda langit (yang dianggap kaumnya sebagai tuhan) karena ia meredup atau menghilang. Ketidaksukaannya ini merupakan buah hasil pikir yang kemudian ditimbang dengan hati dan dimunculkan melalui perasaan. Hal ini menunjukkan bahwasannya perasaan (akal dan hati) yang tidak 50
Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif al-Qur`an, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2005), cet-1, h. 22
81
dicampur adukkan dengan nafsu dapat melahirkan kebenaran, dengan kebenaran inilah manusia dapat berpegang kepadanya. Meskipun demikian, proses pencarian tersebut adalah hidayah yang diberikan Allah kepadanya. Beliau merenungkan dan memikirkan tentang keadaaan, peristiwa serta objek benda yang dia lihat, sehingga dia berkesimpulan bahwa semua yang dilihatnya itu adalah ciptaan yang diciptakan Pencipta Yang Maha Hebat Yang mengadakan semua itu. Dialah Tuhan Yang Menciptakan manusia dan alam raya ini secara keseluruhan , dan Dia adalah Tuhan Yang tidak ada samanya, tidak terjangkau dan tersembunyi tapi dirasakan kehadiran dan kasih sayang pada diri setiap makhluk. Metode yang dilakukakan Ibrahim as dalam menemukan dan meyakini Tuhan yang sebenarnya menjadi pesan kepada generasi yang sesudahnya untuk mengoptimalkan penggunaan akal dalam menemukan Tuhan. Melalui pembacaan terhadap alam raya secara seksama dan mendalam akan ditemukan betapa hebat dan mengagumkannya Allah SWT sebagai sebab dari semua yang ada. Hal ini pula dapat menjadi contoh terhadap pendidik untuk mengarahkan pengoptimalan potensi akal manusia. Mereka perlu diarahkan untuk senantiasa merenungkan dan memikirkan seluruh dogma agama yang diterimanya tidak hanya menerimanya dengan mentah-mentah tanpa olah pikir sebelumnya. Menemukan Tuhan dengan olah pikir sebelumnya akan menimbulkan kesan yang luar biasa pada diri orang tersebut mengenai Tuhannya karena penemuannya melalui proses dan dia mengalami sendiri. 5. Tujuan Pendidikan Tauhid Terdapat tiga tujuan pendidikan tauhid yang penulis temukan pada ayat-ayat di atas, yaitu pada ayat-75 yang berbunyi agar Dia Termasuk orang yang yakin, kemudian pada ayat-82 yang berbunyi mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk, dan terakhir pada ayat-83 yang berbunyi Kami
82
tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Tiga tujuan pendidikan tauhid tersebut adalah : agar menjadi orang-orang yang yakin, agar mendapat keamanan dan petunjuk, dan terakhir yaitu agar ditinggikan derajatnya oleh Allah SWT. Untuk mendapatkan keyakinan yang teguh pada Allah SWT, manusia harus terlebih dahulu mengenal dan mengetahui siapa Tuhannya, dengan mengenal dan mengetahui siapa Tuhannya maka manusia dengan sendirinya percaya akan kebesaran dan kekuasaan Allah atas dirinya. Maka pendidikan tauhid bertujuan untuk menggiring manusia pada keyakinan tersebut, bagi mereka yang tidak percaya menjadi percaya, dan bagi mereka yang sudah percaya akan semakin percaya, sehingga bertambahlah imannya dan ketaqwaannya pada Allah, Tuhan semesta alam. Sebagaimana yang telah penulis bahas sebelumnya mengenai pentingnya pendidikan tauhid yang terkandung dalam ayat 82, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. maka tujuan pendidikan tauhid juga memiliki kesinambungan dengan hal tersebut. Apabila manusia tidak mendapat perlindungan dan petunjuk baik dalam hidupnya, maka ia akan hidup dalam ketidaktenangan, ia akan selalu waswas, ketakutan, maka hidupnya pun akan berujung pada ketidak bahagiaan. Dengan demikian akan muncul perilaku yang tidak baik dari dirinya (akhlak sayyi’ah) yang disebabkan oleh ketidak tenangan hatinya tersebut. Ia pun tidak tahu jalan mana yang harus ditempuhnya dalam hidup, dikarenakan Allah tidak memberinya petunjuk. Disinilah tujuan pendidikan tauhid bagi manusia. Pendidikan tauhid akan mengarahkan manusia untuk senantiasa bertawakkal kepada Allah, menyerahkan segala perkara hanya kepada Allah, sehingga ia akan lebih ikhlas menjalani hidup meskipun ia didera dengan banyak macam ujian dan cobaaan, dengan keihklasan tersebutlah manusia akan merasa tenang, ia merasa tenang karena ia memiliki Allah dalam hidupnya.
83
Terakhir, setelah manusia menjadi orang-orang yang yakin dengan keyakinan penuh kepada Allah, maka ia akan mendapatkan ketenangan dan petunjuk dari-Nya. Disinilah Allah akan meninggikan derajat orangorang tersebut. Manusia akan sampai pada titik di mana ia akan merasa bahwa sungguh besar karunia yang Allah berikan kepadanya. Kesyukuran manusia yang amat dalam ini meninggikan derajatnya di mata Allah. Karena dengan kesyukuran inilah manusia akan berperilaku sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk yang paling sempurna dan istimewa. Muhammad Zen mengatakan “kepribadian muslim ini akhirnya tidak akan terlepas dari tiga aspek yaitu : Iman, Islam, dan Ihsan.”51 Maka pendidikan tauhid berorientasi untuk membantu ummat manusia menggapai ketiga hal tersebut. Pendidikan tauhid menyentuh segala aspek kehidupan manusia, baik itu pada aspek kognisinya, afeksinya dan juga psikomotoriknya. Pendidikan tauhid sebagai landasan bagi pendidikan Islam juga mempunyai tujuan yang lebih luas, yaitu bahwa pendidikan Islam harus mencakup segala kebutuhan hidup manusia yang tentunya didasari nilainilai ketauhidan. Sehingga pendidikan Islam dituntut untuk melahirkan insan-insan yang senantiasa berbuat dan bersikap dalam kebaikan pada dirinya, pada tuhannya, pada sesama makhluk dan pada lingkungan sebagai wujud konkret sebagai insan yang beriman. Dengan tujuan pendidikan tauhid yang mulia ini menjadikan pendidikan tauhid bukan lagi sebagai kebutuhan, melainkan kewajiban yang harus ditempuh dan didapat oleh setiap insan di dunia. Sebagaimana yang dikatakan Yusran Asmuni : Orang yang bertauhid berarti orang yang memiliki pegangan hidup yang jelas, dan dengan tauhid, sebenarnya, terpenuhi salah satu kebutuhan rohaniah manusia, yang dapat membawanya kepada kebahagiaan hidup dunia dan ukhrawi. Jadi, mempercayai adanya Allah Yang Maha Esa merupakan kunci untuk memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.52 51
Hamdani Ihsan & A. Fuad Hasan, op.cit., h. 70 Yusran Asmuni, op.cit., h. 41
52
84
Disamping hal di atas, penulis juga menemukan tujuan pendidikan tauhid lain yang terkandung pada kisah nabi Ibrahim ini, yaitu untuk menyatukan pemahaman, keyakinan, prinsip, dan pola hidup. Pendidikan tauhid yang di bawa oleh Nabi Ibrahim tentunya agar mempersatu kaumnya pada saat itu agar tidak terpecah belah dalam hal peribadatan. Ketidakseragaman dalam hal keyakinan akan memicu banyak perdebatan. Ummat manusia akan selalu berselisih untuk membenarkan keyakinan yang dimilikinya masing-masing. Lain halnya apabila ummat manusia hanya memiliki satu aturan, satu prinsip, satu keyakinan maka segala macam perselisihan dan perdebatan niscaya tidak akan terjadi. Karena mereka tidak akan berselisih dalam memperdebatkan kebenaran. Mereka sepakat bahwa kebenaran mutlak milik Allah SWT.
6. Metode Pendidikan Tauhid Metode pendidikan pada kisah nabi Ibrahim ini langsung dapat terlihat pada ayat pertama kajian skripsi ini, yaitu pada ayat-74 ketika nabi Ibrahim menegur pamannya yang telah menyekutukan Allah. Biasanya pendidikan dilakukan dengan metode pemberitahuan pada arahan baik yang selayaknya dilaksanakan, namun pada kisah ini pendidikan juga bermakna pemberitahuan pada kesalahan yang harus dibenarkan. Sebagaimana yang telah penulis bahas pada bab sebelumnya bahwa salah satu metode pendidikan Islam / pendidikan tauhid ialah dengan metode amtsal . Setelah penulis telaah kisah nabi Ibrahim pada ayat-ayat di atas, penulis menyimpulkan bahwa nabi Ibrahim menggunakan metode amtsal dalam memperjelas kesalahan kaumnya. Hal ini tergambar jelas pada ayat-76,77,dan 78 yang menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim menggunakan benda-benda langit dalam perumpamaaanya menjelaskan dan menerangkan definisi Allah. Di samping itu nabi Ibrahim melakukan dengan sendirinya proses pendidikan
tauhid
tersebut,
beliau
mencari
,
memperhatikan,
85
merenungkan, mengevaluasi prosesnya itu, dan terakhir ia berkesmipulan pada jawaban yang menurutnya benar. Tidak sampai di situ, proses pencariannya itupun disampaikan kepada kaumnya dengan harapan kaumnya dapat mengikuti dirinya / meniru untuk bersama-sama meninggalkan kesyrikan. Meniru adalah fitrah manusiawi, kebanyakan orang mudah terpengaruh dengan orang lain sesuai apa yang dikatakan. Selain itu bahasa tubuh lebih cepat masuk dan diterima dibandingkan dengan bahasa lisan. Maka
nabi Ibrahim menjadikan dirinya sebagai
contoh (suri tauladan) bagi paman dan kaumnya untuk kembali pada jalan yang lurus. Pada awalnya nabi Ibrahim menyamakan objek yang dijadikan kaumnya sebagai tuhan. Ia menyetarakan dirinya dengan kaumnya tersebut sebagai penyembah benda-benda langit, seolah ia menerima terhadap penisbatan benda-benda langit sebagai Tuhan. Hal ini bertujuan agar nabi Ibrahim dapat dengan mudah menyangkal hujjah kaumnya itu. Pada umumnya manusia hanya akan percaya kepada penjelasan orang lain yang sejenis, sepemikiran, atau sepemahaman dengannya. Dan nabi Ibrahim melakukan hal itu. Alasan seperti ini merupakan salah satu metode yang baik dalam berdakwah, metode ini dapat membangunkan fitrah manusia, serta menggerakkan akal dan pikiran. Kemudian penulis menemukan adanya metode dialog dalam kisah ini dikarenakan terdapat komunikasi dua arah di dalamnya, hal ini tergambar dalam ayat 80 yang berbunyi : wa haaj juhu , yang berarti dibantahnya Nabi Ibrahim oleh kaumnya. Terjadi perdebatan antara kedua belah pihak, menandakan bahwa keduanya sama-sama berargumen dalam menguatkan pandangannya dan mematahkan pandangan lawannya. Perdebatan yang terjadi antara nabi Ibrahim dan pamannya pun bukan semata mata terjadi begitu saja. Namun nabi Ibrahim telah menyampaikan pesan berkali-kali dengan halus kepada orang tuanya (Azar) agar mau meninggalkan apa yang disembahnya. Meski ditolak namun nabi Ibrahim tetap menjawab dengan halus kepada pamannya itu.
86
“berkata bapaknya: "Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, Hai Ibrahim? jika kamu tidak berhenti, Maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama". berkata Ibrahim: "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku”. (Q.S. Maryam 36-37) Pada kalimat Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan yang terdapat pada ayat -78 dan dilanjutkan dengan kalimat Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar yang terdapat pada ayat-79 menyiratkan bahwasannya penyeru (Nabi Ibrahim) dalam mendidik kaumnya juga adalah sebagai pelaku bagi dirinya sendiri. Seorang guru tidak dapat menjadi pendidik bagi muridnya jika ia tidak dapat mendidik dirinya sendiri. Menurut H. M. Arifin “metode pemberian contoh dan teladan adalah metode yang cukup besar pengaruhnya dalam mendidik anak”.53 Dan terakhir pada ayat 81, pada kalimat Maka manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak memperoleh keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui? Seolah nabi Ibrahim sedang menakuti / mengancam kaumnya akan malapetaka yang akan menimpa mereka karena kesyrikan yang mereka lakukan. dilihat dari caranya, penulis menyimpulkan bahwa nabi Ibrahim menggunakan metode targhib wa tarhib yaitu metode mengancam akan siksa Allah atas dosa yang 53
H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan interdisipliner, (Jakarta : Bumi Aksara, 2003), cet-1. h. 74
87
dilakukakan. Dalam pendidikan sekarang ini dapat dilakukan dengan cara memberikan hukuman atas kesalahan yang dilakukan peserta didik, sehingga mereka dapat jera dan senantiasa tidak melakukannya dan mengulangi kesalahannya lagi di kemudian. Pada dasaranya seluruh
metode yang dilakukan nabi Ibrahim ini
sesuai dengan apa yang telah Allah perintahkan dalam surat an-Nahl ayat 125 yaitu : menyeru kepada jalan yang lurus, dan membantah dengan bantahan yang baik. Ayat tersebut berbunyi:
“serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk..
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan pada analisis penulis pada bab sebelumnya, maka penulis menyimpulkan bahwa konsep pendidikan tauhid yang tekandung dalam surat al-An’am ayat 74-83 adalah sebagai berikut : Dari poin-poin di atas, penulis menarik kesimpulan secara menyeluruh yaitu : 1. Pendidikan tauhid adalah segala macam usaha yang baik bagi diri sendiri atau orang lain yang bertujuan untuk menyadarkan manusia sebagai hamba Allah dengan mensucikan diri dari segala bentuk kesyirikan 2. Urgensi pendidikan tauhid ialah agar manusia tidak tersesat dalam kedzaliman, manusia senantiasa berjalan pada jalan lurus yang akan mengantarkannya pada tujuan hidupnya yang sesungguhnya yaitu beriman, dan bertaqwa kepada Allah. 3. Tujuan pendidikan tauhid adalah membantu manusia untuk menjadi orang-orang yang yakin, mendapat keamanan serta petunjuk dari Allah, dan mendapat derajat yang layak di sisi Allah, iman, islam, dan ihsan. 4. Tiga materi pendidikan tauhid yang terkandung dalam ayat-ayat ini adalah sebagai berikut: pertama : Ma’rifat Dzat Allah sebagai Satu-Satu-Nya Tuhan yang harus disembah, kedua : Pembuktian keEsa-an Allah melalui perenungan terhadap alam semesta, dan ketiga : Penanaman rasa takut pada Allah serta ketaqwaan kepada-Nya yaitu dengan cara menjalankan segala perintahNya saja dan menjauhi segala larangan-Nya. 5. Dalam memperoleh hakikat akan Allah, manusia dapat menempuhnya melalui jalur rakyu atau akal berikut dengan hati nurani. Setelah al-Qur’an dan hadist akal
juga dapat dijadikan dasar dalam merujuk proses
pelaksanaan pendidikan tauhid. 6. Beberapa metode pendidikan tauhid yang dilakukan nabi Ibrahim dalam kisah ini adalah sebagai berikut : menegur, membimbing, mencari sendiri
88
89
( dengan melihat, mengumpamakan, merenungkan, mengeksplorasi, mengevaluasi,
membuat
kesimpulan),
menjadi
suri
tauladan,
berargumentasi, dan mengancam. Semua metode tersebut diterapkan dengan sikap yang berani dan tegas. 7. Secara spesifik al-An`am 74-83 menyebutkan dua metode pendidikan tauhid yaitu mengajak ( ) دعوةdan diskusi ( )جمادلة. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat an-Nahl : 125 “serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”
B. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah penulis paparkan, maka ada dua hal yang ingin penulis sampaikan sebagai bahan masukan dan saran dalam upaya meningkatkan pendidikan Islam khususnya. Adapun saran tersebut adalah : Pertama, pendidikan pertama yang harus anak dapati sedari kecil tidak lain adalah pendidikan tauhid, hal pertama yang harus disampaikan dan diketahui anak adalah semua tentang Allah. Dengan pendidikan tauhid anak akan mengetahui tujuan hidupnya, sehingga ia senantiasa berada dalam kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Kedua, pendidikan tidak terfokus bagi ummat muslim saja, namun pendidikan tauhid juga diperuntukkan bagi seluruh ummat manusia di muka bumi. Menjadi kewajiban bagi kita, ummat muslim untuk menyeru mereka yang telah menyekutukan Allah dalam peribadatan. Karena hanya Allah SWT yang patut dan layak disembah.
DAFTAR PUSTAKA Aziz, Abdul Shaleh.at Tarbiyah wa Thuruq Tadris. Mesir : Darul Ma’arif Al Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi,Jakarta : Pustaka Azzam, 2008. cet-1 Ali, H.M. Sayuthi.Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktek, Jakarta : Raja Grafindo Persada Press, 2002. Ali, Mohammad Daud. Pendidikan Agama Islam, Jakarta : Rajawali Prers, 2008. An Nahlawi, Abdurrahman.Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat Jakarta : Gema Insani, 1995. Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta : Ciputat Pers, 2002. Arifin, H.M. Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta : Bumi Aksara, cet-1 Ash-Shabuni, Muhammad Ali.Shafwatut Tafasir, diterjemahkan oleh Yasin, Tafsir-Tafsir Pilihan jilid 2 Al-Maa’idah-Yusuf. Jakarta : Pustak al-Kautsar, 2011, Cet-1. Ash-Shabuny, M. Ali. Qabas min Nurul Qur’an Dirasah Tahliliyah Muwassa’ah bi Ahdaaf wa Maqaashid As-Suwar Al-Karimah, diterjehmahkan oleh Kathur Suhardi, Cahaya al-Qur’an Tafsir Tematik Surat al-Baqarah-alAn’am. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000, cet-1, h. 303 Asmuni, M. Yusran.ilmu Tauhid.Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993. as-Suyuthi, Jalaluddin. Lubaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul, diterjemahkan oleh Tim Abdul Hayyie, Sebab Turunnya ayat al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2008. ath-Tharawana,Sulaiman.Dirosah Adabiyah fil Qishshah al-Qur’aniyah, diterjemahkan oleh Agus Faishal Kariem & Anis Maftukhin dalam Rahasia Pilihan Kata dalam al-Qur’an. Jakarta: Qisthi Press, 2004, Cet ke-1. Badrie, Moehammad Thahir.Syarah Kitab al-Tauhid Muhammad bin Abdul Wahab. Jakarta : PT Pustaka Panjimas 1984. Buchoni, Didin Saefuddin. Pedoman Memahami Kandungan al-Qur’an. Bogor : Granada Sarana Pustaka, 2005. Daradjat, Dzakiah. Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental. t.t.
92
93
Daradjat, Zakiah. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah.Jakarta : Ruhama, 1993. Dewey, John.Democracy and Education.New York : The Masmillan company, 1964. E. Hasim, Moh. Kamus Istilah Islam. Bandung : Penerbit Pustaka, 1987. Faqih, Allamah Kamal. dan tim ulama, Nur al-Qur’an: An Enlightening Commentary into the Light of the Holy Qur’an, diterjemahkan oleh Sri Dwi Hastuti dan Rudy Mulyono.Tafsir Nurul Quran: Sebuha Tafsir Sederhana Menuju Cahaya al-Qur’an jilid 5. Jakarta : Al-Huda, 2004, cet-1. Hakim, Abdul Khalifah.Hidup yang Islami Menyeharikan Pemikiran Transendental Akidah dan Ubudiyah. Jakarta: CV. Rajawali, 1986, cet-1 Hamalik, Oemar. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara, 2013,cet13 Hamka.Filsafat Ketuhanan. Surabaya: Karunia, 1985 Hasbullah.Dasar-Dasar Pendidikan (edisi revisi).Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2013. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Norma_sosial, Ihsan, Hamdani. Dan Ihsan, Fuad. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung : Pustaka Setia, 1998, cet-1 Khon, Abdul Majid Khon. Hadis Tarbawi : Hadis-Hadis Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2014, Cet-2. Munawwir, Ahmad Warson.Kamus Mmunawwir, 1989.
al-Munawwir.Yogyakarta:
PP.
al-
Muttahari, Murtadha. Keadilan Ilahi Asas Pandangan Dunia Islam. Terj. Dari AlAdl Al Ilahi, Bandung: Mizan, 1995. Nata, Abuddin. Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur`an. Jakarta :UIN Jakarta Press, 2005, Cet-1 Poerbakawatja, Soganda dan Harahap.Ensiklopedia Pendidikan. Jakarta : Gunung Agung 1981, cet-2. Rahmat, Jalaluddin. Islam alternative Ceramah-Ceramah di Kampus.Bandung : Mizan, 1986.
94
Rais, M. Amin. Cakrawala Islam antara Cita da Fakta. Bandung ; Mizan, 1987, cet-1. Sabiq, Sayyid. Aqidah Islam, terj Ali Mahmudi dan Aunur Rafiq Shaleh, Jakarta : Robbani Press, 2006. Salahudin, Anas. dan Alkrienciehie, Irwanto.Pendidikan Karakter Pendidikan berbasis Agama & Budaya Bangsa.Bandung : Pustaka Setia, 2013, cet-1. Shihab, M. Quraish. Al-Lubab makna, tujuan, dan pelajaran dari surah-surah alQur’an. Tangerang: Lentera Hati, 2012, cet-1. Shihab, M. Quraish.Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian AlQur’an.Jakarta: Lentera Hati, 2001, Vol. 4 Shihab, M. Quraish.Tafsir al-Mishbah Pesan-Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta:Lentera Hati, 2002, Vol. 8 Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur`an Tafsir Maudhu`i Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung : Mizan, 1996. Sholeh, Asrorun Niam.Reorientasi Pendidikan Islam Mengurai Relevansi Konsep al-Ghazali dalam Konteks Kekinian.Jakarta : eLsas, 2006. Suryadilaga, M. Alfatih. Dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta : Teras, 2005, cet-1. Syah, Muhibin.Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003 , cet-8. Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 2007. Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah.Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992. Uhbiyati, Nur.Ilmu Pendidikan Islam. Bandung : CV Pustaka Setia, 1999,cet-2. Yaqub, Hamzah Yaqub.Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin (Tashawwuf dan Taqarrub).Jakarta : CV Atisa, t.t. Yasin, A. Fatah. Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. Malang : UIN Malang Press, 2008, Cet-1.