KONSEP KECERDASAN RUHANI GURU DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER PESERTA DIDIK MENURUT KAJIAN TAFSIR QS. 3/ALI-‘IMRAN: 159 Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Oleh: ABUBAKAR SAHBUDIN NIM: 18100110000067
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M/1436 H
ABSTRAKSI
Konsep Kecerdasan Ruhani Guru dalam Pembentukan Karakter Peserta Didik Menurut Kajian Tafsir QS. Ali-‘Imran: 159 Kata Kunci: Kecerdasan Ruhani, Guru, Karakter, Peserta Didik Kecerdasan ruhani adalah identitas sejati dalam diri manusia, dan merupakan kecerdasan tertinggi tentang kearifan dan kebenaran serta pengetahuan yang bersumber dari Allah. Kepribadian yang dilandasi keimanan dan melahirkan perilaku akhlak mulia, adalah manifestasi dari kecerdasan ruhani. Bahwa guru sebagai pengajar, memikul tanggung jawab berat dan besar jasanya, dalam mengembangkan pendidikan, oleh karenanya posisi guru menjadi penting (orang penting), maka ia harus tampil baik sekali (prima), sehingga ia menduduki derajat terhormat dalam masyarakat. Tujuan penelitian ini difokuskan untuk mengungkapkan konsep kecerdasan ruhani guru dalam pembentukan karakter peserta didik menurut kajian tafsir QS. Ali-‘Imran: 159. Metode yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan pendekatan secara kualitatif, yakni menelaah dan menganalisis pemikiran-pemikiran dalam berbagai sumber data yang relevan, agar memperoleh pemahaman yang mendalam atas tema pokok. Terdapat lima kitab tafsir sebagai sumber data primer, yaitu: Tafsir Jalalain, karya Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir al-Mishbah, karya M. Quraish Shihab, Tafsir Ibnu Katsir (Lubābu at-Tafsir min ibn Katsīr) Karya Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Aal asySyeikh, Tafsir Fi Zilalil Qur’an, karya Sayyid Quthb, dan Tafsir Al-Maragi, Karya Ahmad Mustafa al-Maragi. Terkait metode tafsirnya, dalam penelitian ini digunakan metode muqāran (komparasi), yaitu membandingkan kelima tafsir tersebut sehingga diketahui kecenderungan para penafsir dalam objek kajiannya, dimana membahas topik yang sama tetapi dengan redaksi yang berbeda. Bahwa terdapat lima konsep perilaku yang mencerminkan kecerdasan ruhani yaitu: lemah lembut terhadap peserta didik (linta lahum), menjadi guru pemaaf (‘aafiina ‘aninnaas), selalu mendoakan dan memohon ampunan Allah bagi peserta didiknya (wastaghfirlahum), dan bermusyawarah dengan mereka (wasyaawirhum), serta bertawakkal kepada Allah (tawakkal ‘alallah). Dengan demikian, keberhasilan proses pendidikan yang berorientasi pada pembentukan karakter peserta didik, sesungguhnya ada di tangan para guru yang memiliki kecerdasan ruhani, di samping memiliki berbagai kompetensi yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillāhirrahmānirrahīm, penulis memulai penyusunan skripsi ini dengan menyebut Nama Dzat-Nya yang Mahamulia, dengan pengharapan semoga mengalir keberkahan-Nya sehingga ilmu dan wawasan yang diperoleh membawa manfaat setelah menyelesaikan program perkuliahan. Al-Hamdulillāhirabbi al-‘ālamīn, seraya mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam, atas anugerah berbagai nikmat, kesehatan, dan kesempatan untuk menjalani aktifitas perkuliahan sampai tuntas, dengan penuh semangat yang disertai pengalaman suka dan dukanya. Shalawat dan Salam yang sempurna semoga Allah sampaikan kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat beliau, juga para pengikut yang setia, semoga kita semua memperoleh syafaat beliau di hari pembalasan kelak. Āmīn Yā Rabba al’ālamīn. Menyadari sepenuhnya, bahwa tanpa bantuan dan kontribusi dari semua pihak, rasanya mustahil bagi penulis untuk mampu menyelesaikan proses perkuliahan sampai pada tahap akhir. Teringat sebuah hadits Nabi SAW:
َم ْن ََلْ يَ ْش ُك ِر النَّاس ََلْ يَ ْش ُك ِر اهلل
Siapa yang belum berterimakasih kepada sesama (mengindikasikan) ia belum bersyukur kepada Allah.
manusia,
Untuk itu secara tulus, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya atas jasa-jasa budi baik, kepada: 1.
Ibunda tercinta Siti Maimunah Komaruddin (Emma Bita), serta Mama Ummiyati Ja’far Kansong Songge, dan Aba H. Kahruddin Kansong Songge serta Mama Hj. Sonia Azahrah Kahruddin, dan Pamanda Ale Komaruddin (Aba Ale), atas doa dan cinta kasih mereka yang tulus untuk ananda (penulis).
2.
Ust. Agus Sholeh, atas dorongan semangat dari beliau, sehingga penulis berkesempatan mengikuti program perkuliahan.
vii
3.
Bapak Rektor UIN Jakarta beserta bapak ibu staf rektorat dan Dekan FITK UIN Jakarta Ibu Nurlena Rifa’i, MA, Ph.D, beserta bapak ibu staf dekanat.
4.
Bapak-bapak dan Ibu-ibu Dosen:
NO
NAMA DOSEN
MENGAMPU MATA KULIAH
1 2 3
Dr. Syamsul Arifin, M.Pd Drs. E. Kusnadi Zaharil Anasi, M.Hum
4
Drs. Safiuddin Sidik, MA
5 6
Drs. Jais Prasojo Sudirman Tamin, MA
7
Zainal Muttaqin, MA
8
Dr. Yayah Nurmaliah, MA
9
Dra. Elo Al-Bugis, MA
10
Zikri Neni Iska, M.Psi
11
Nuraini Ahmad, M.Hum
12 13 14
Cut Dien Noerwahida, MA A. Irfan Mufid, MA Zaharil Anasi, M.Hum
15
Dra. Sofiah, MA
16 17 18 19
Prof. Dr. Armai Arief dan Busahdiar MA (Asisten Dosen) Syaifuddin, MA Prof. Dr. Aziz Fachrurozi, MA
20
Dra. Eny Rosda Syarbaini, M.Pd
21
Drs. Faridal Arkam, M.Pd
22
Dr. Zubair Ahmad, MA
23
Prof. Dr. Salman Harun viii
Bahasa Arab 1 Bahasa Indonesia Bahasa Inggris 1 1. Fiqh 1 (Ibadah) 2. Ushul Fiqh 2 Pendidikan Kewarganegaraan Pengantar Studi Islam 1. Qawaid al-Lughah 2. Bahasa Arab 2 1. Pengantar Ilmu Pendidikan 2. Pengembangan Kurikulum PAI 1. Ulumul Qur'an 1 2. Ulumul Qur'an 2 Perkembangan Peserta Didik (PPD) 1. Filsafat Umum 2. Filsafat Ilmu Sosiologi Pendidikan Sejarah Peradaban Islam Bahasa Inggris 2 1. Ulumul Hadits 1 2. Hadits 1 3. Hadis Tarbawi 1. Sejarah Pendidikan Islam 1 2. Sejarah Pendidikan Islam 2 Ilmu Kalam 1 Pengembangan Profesi Keguruan 1. Bimbingan Konseling (BK) 2. Kesehatan Mental Metode Penelitian Kependidikan 1. Ushul Fiqh 1 2. Masail Fiqhiyah 1 Tafsir 1
24
Prof. Dr. Abuddin Nata, MA
25
Dra. Djunaidatul Munawaroh, MA
26
Azharuddin Latif, M.Pd
27
Eva Fitriyati, M.Pd
28
Abdul Rauf, MA
29
31 32
Nuraida, M.Si Prof. Dr. Rif'at Syauqi Nawawi, MA Drs. Rasiin, MA Dr. Dimyati, MA
33
Prof. Dr. Muardi Chotib
34
Dr. Sururin, MA
35
Dr. Ahmad Shodiq, MA
36 37
Drs. Achmad Gholib, MA Abdul Ghofur, MA
38
Drs. Rusdi Jamil, MA
39 40
Drs. Muarif SAM, M.Pd Prof. Dr Abd. Rahman Ghozaly
41
Dr. Ansori LAL
42 43 44 45 46 47 48 49 50 51
Dr. Dardiri Dra. Manerah Syamsul Aripin, MA Dr. Abdul Majid Khon Dindin Sobiruddin, M.Kom Dr. Sita Ratnaningsih, MA Marhamah Saleh, Lc. Firdausi, S.Si, M.Pd Dr. A. Basuni, MA Dr. Ulfah Fajarini
30
5.
Filsafat Pendidikan Islam 1. Ilmu Pendidikan Islam (IPI) 2. Perencanaan Pembelajaran 3. Telaah Kurikulum Fiqh 2 (Munakahat) 1. Media Pembelajaran PAI 2. Materi Khusus (MK) PAI Ulumul Hadits 2 (Takhrijul Hadits) Psikologi Pendidikan Tafsir Tarbawy ( Studi Naskah ) Ilmu Kalam 2 Logika/Mantik 1. Fiqh 3 (Mawaris) 2. Masail Fiqhiyah 2 Psikologi Agama 1. Akhlak Tasawuf 1 2. Akhlak Tasawuf 2 PPMDI 1 Qiroatul Quthub 1 1. Fiqh 4 (Mu'amalah) 2. Fiqh Siyasah Adm. & Supervisi Pendidikan Qawaid Fiqhiyah 1. Filsafat Islam 2. Tafsir Maudhu'i Qira-atul Kutub II (Tarjamah) Evaluasi Pembelajaran PPMDI II Tarikh Tasyri' Statistik Pendidikan 1 Kapika Selekta Pendidikan Perbadingan Mazhab Statistik Pendidikan 2 Studi Agama-Agama Pengantar Ilmu Sosial
Ibu Dr. Sururin, MA, selaku Dosen Pembimbing penulisan skripsi.
ix
6.
Bapak Ibu Pegawai Akademik Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7.
Bapak Ibu Pegawai Perpustakaan FITK dan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
8.
Bapak Kamaluddin Taher Parasong, M.Si, dan terutama isteri beliau Ibu Dwi Indah Wahyuningsih, M.Si, selaku Kepala SMP Wawasan Nusantara Cengkareng Jakarta Barat, yang telah memberikan rekomendasi Surat Keterangan Mengajar kepada penulis sebagai persyaratan mengikuti perkuliahan.
9.
Istriku tercinta Ikay Rokayah, S.Ag, dengan setianya selalu sibuk setelah shalat subuh untuk menyiapkan sarapan pagi setiap kali suaminya ini (penulis) hendak berangkat kuliah pukul 06.30 WIB.
10. Ust. Muhammad Ahmad RAM, dan Ka’ Ummi Mudzakiratin, atas dukungan doa serta bantuan moril maupun materil. 11. Kakakku dan adik-adikku serta semua keluarga besar yang secara tulus memberikan dukungan doa dan bantuan moril maupun materil, khususnya adikku Saiful Sahbudin, yang telah memberikan laptopnya, sehingga sangat membantu kelancaran penyusunan skripsi ini. Bisa dibayangkan, andaikan tanpa adanya laptop, pasti penulis akan menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan dalam proses penulisan (pengetikan) skripsi. Termasuk adikku Aminullah Magun Ja’far yang memberikan bantuan dana guna pendaftaran wisuda. 12. Bapak Mertua H. As’ad Zaeni dan keluarga besar di Garut, atas dukungan doa serta bantuan moril maupun materil. 13. Bapak H. M. Syarifin Maloko, SH, Bapak H. Tuan TS, Bapak H. Dr. Muhammad Ali Taher Parasong, dan Bapak H. M. Udrus Maloko, serta Keluarga Besar PKLS (Persatuan Keluarga Lamakera Solor) di Jabodetabek dan sekitarnya. 14. Bapak M. Harun Shikka Songge dan Bapak Hasan M. Noer, yang banyak membantu secara moril maupun materil, terlebih lagi meminjamkan beberapa buku guna referensi penulisan skripsi.
x
15. Bapak H. Lukman Sangadji, yang juga banyak membantu secara moril maupun materil. 16. Sahabatku Pak Prayitno, juga banyak membantu di saat penulis kesulitan keuangan yang sekedar buat transportasi (uang bensin) ke kampus, terlebih ketika penulis menumpang di rumahnya untuk mencetak (ngeprint) naskah skripsi ini. 17. Sahabatku Arwanto (Bos Pa’e) pengusaha sukses jasa foto copy di Cikini Jakarta Pusat, yang juga sering membantu ketika penulis kesulitan keuangan, terutama sumbangannya 2 rim kertas ukuran A4, guna penggandaan naskah skripsi ini. 18. Ust. Muhiddin dan Kakanda Syukur Mukin di Kupang NTT. Dari kakanda Syukur inilah, penulis memperoleh cerita tentang “go anak jawab kurang to’u saja mo ma’ar we?, yang penulis masukkan dalam latar belakang masalah pada bab 1 skripsi ini. Lantaran gaya cerita Ka Syukur yang lucu, sehingga yang mendengar cerita tersebut, semuanya tertawa terpingkalpingkal termasuk Ust. Muhiddin. 19. Rekan-rekan sesama mahasiswa dan mahasiswi Kelas A dan Kelas B. 20. Semua pihak yang penulis tidak sebutkan nama mereka dalam pengantar ini, namun telah memberikan bantuannya secara langsung maupun tak langsung. Semoga Allah SWT, memberikan balasan dengan ganjaran kebaikan yang berlipat ganda dan ampunan serta rahmat-Nya kepada semua pihak, yang telah berjasa, sehingga penulis mampu menyelesaikan program perkuliahan dan merampungkan penyusunan skripsi ini. Akhirnya, meskipun sudah berupaya semaksimal mungkin, namun disadari, karya ini masih terdapat kelemahan dan kekurangannya, serta jauh dari tarap sempurna sebagai sebuah karya ilmiah. Jakarta, November 2014/Shafar 1436 H Hormat Penulis
ABUBAKAR SAHBUDIN NIM: 18100110000067 xi
DAFTAR ISI
SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH LEMBAR PERSETUJUAN BIMBINGAN SKRIPSI LEMBARAN PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI LEMBARAN PENGESAHAN PENGUJI SKRIPSI ABSTRAKSI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I
BAB II
ii iii iv v vi vii xii
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Identifikasi Masalah C. Pembatasan Masalah D. Perumusan Masalah E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1 6 7 7 8
: KAJIAN TEORITIK A. Acuan Teori 1. Dimensi Kecerdasan Manusia 2. Rūh Menurut Al-Qur’an 3. Makna Kecerdasan Ruhani 4. Dinamika Ruhani dan Jiwa yang Tenang 5. Pengertian dan Fungsi Guru 6. Hubungan Guru dan Peserta Didik 7. Definisi dan Hakikat Karakter 8. Landasan Hukum Pendidikan Karakter 9. Tentang Tafsir dan Surat Ali-‘Imran a. Definisi dan Keutamaan Tafsir d. Tentang Surat Ali-‘Imrān B. Hasil Penelitian yang Relevan
9 9 10 12 15 20 21 22 23 24 24 25 26
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN A. Objek dan Waktu Penelitian B. Metode Penelitian C. Fokus Penelitian D. Prosedur Penelitian
xii
27 28 29 29
BAB IV : KECERDASAN RUHANI PERSPEKTIF QUR’ANI A. Tafsir QS. 3/Ali-‘Imran: 159 B. Analisis Komparatif Tafsir QS. 3/Ali-‘Imran: 159 C. Analisis Kandungan QS. 3/Ali-‘Imran: 159 1. Lemah Lembut dan Tidak Berlaku Keras… 2. Memaafkan 3. Memohon Ampunan Allah bagi Mereka 4. Bermusyawarah 5. Tekad yang Bulat Disertai Tawakkal D. Aspek-aspek Kecerdasan Ruhani Guru 1. Lemah Lembut terhadap Mereka (Linta lahum) 2. Jadilah Sosok Guru Pemaaf (‘aafiina ‘aninnaas) 3. Mendoakan Mereka (wastaghfir lahum) 4. Bermusyawarah dengan Mereka (wa syāwirhum) 5. Bertawakkal Kepada Allah BAB V
: KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Implikasi C. Saran
DAFTAR PUSTAKA
31 35 48 48 50 56 57 58 60 60 63 65 67 75
77 79 79 81
LEMBAR UJI REFERENSI
xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Guru atau pengajar dalam bahasa Arab disebut mu‟allim. Kata almu‟allimu sebagai isim fā‟il (kata yang menunjukkan pelaku) berarti pengajar, asalnya dari fi‟il (kata kerja):„allama-yu‟allimu artinya mengajarkan ilmu. Jadi, al-mu‟allimu adalah orang yang mengajarkan ilmu.1 Untuk sampai pada tingkat mu‟allim seseorang haruslah melalui proses yang cukup panjang. Proses itu dimulai dari ta‟allama-yata‟allamu artinya belajar (menuntut ilmu secara terus menerus). Dengan ta‟allam (belajar), seseorang dapat Sedangkan
„ilmu
mencapai tingkat „alima-ya‟lamu artinya mengetahui. artinya
pengetahuan.
Orang
yang
memiliki
ilmu/berpengetahuan disebut „ālim (pandai/pintar). Tanpa ada proses ta‟allam (belajar) seseorang tidaklah sampai pada tingkat „ālim. Sebagaimana ungkapan kata mutiara dalam pepatah/pribahasa Arab:
ِ وعلْ ٍم َكمن هو ج ِ ولَيس اَخ,تَعلَّم فَلَيس اْملرء ي ولَ ُد عالِما اهل ُ َ ْ َ ً َ ْ ُ ُ َْ َ ْ ْ َ َ َُ ْ َ
Belajarlah! Karena tidak ada seorang pun yang dilahirkan langsung pandai, dan seorang yang tidak berilmu, dia seperti orang bodoh.2
Kata „ālim jamaknya (bentuk plural) adalah „ulamā‟ artinya: kumpulan orang-orang pandai. Setelah menjadi „ālim (pandai) seseorang dituntut untuk mengajarkan ilmunya („allama) kepada orang lain, sehinga sampailah ia pada tingkat mu‟allim (sebagai pengajar). Bahkan antara ta‟allama (belajar) dan „allama (mengajar) adalah sebuah proses untuk menjadi “sebaik-baik manusia”, sebagaimana ungkapan sebuah hadis Nabi Muhammad SAW: 1
Ahmad Warson Munawir. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Pesantren Al-Munawwir Krapyak. 1984). h. 1038 2 Tim Redaksi. Mahfudhat: Kumpulan Kata Mutiara dan Pribahasa Arab-Indonesia. (Jakarta: Turos Pustaka. 2014) h. 73
1
2
ََخْي ُرُك ْم َم ْن تَ َعلَّ ََم الْ َق ْرآ َن َو َعلَّ َمه
“Sebaik-baiknya kalian adalah orang yang belajar al-Qur‟an dan mengajarkannya”. (H.R. Bukhari)3 Betapa
mulianya
derajat
mu‟allim,
karena
ia
seorang
yang
berpengetahuan („ālim/‟ulamā‟), bahkan dikatakan bahwa ulama merupakan pewaris para nabi. Maknanya adalah menjadi pewaris berarti ia harus menjaga warisan dengan sebaik-baiknya, bukan menjual atau menggadaikan warisan itu untuk kepentingan pribadinya sendiri. Cita-cita menjadi guru adalah panggilan jiwa. Guru laksana cahaya penerang di kegelapan malam pada setiap lintasan sejarah peradaban umat manusia. Dunia berhutang budi kepada guru. Namun tidak semua orang yang pandai itu mampu mengajarkan pengetahuannya dengan baik kepada orang lain. Hal ini disebabkan ia tidak memiliki kompetensi sebagai pengajar (guru). Kompetensi (competency) dapat diartikan dengan kemampuan, kecakapan atau wewenang.4 Makna lain kompetensi adalah seperangkat tindakan intelegen penuh tanggung jawab yang harus dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu melaksanakan tugas-tugas dalam bidang pekerjaan tertentu. Dengan kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru, akan terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai guru. Artinya guru bukan saja harus pintar tetapi juga pandai mentrasfer (mengajarkan) ilmunya kepada peserta didik.5 Sejak belajar di bangku sekolah dasar hingga tingkat menengah, telah muncul istilah “guru galak” (guru killer). Bahkan sampai di perguruan tinggi pun terdengar pula istilah “dosen galak”. Konsekuensinya dapat dipahami, bahwa guru galak dibenci oleh peserta didik. Akibatnya, mata pelajaran yang 3
Mannâ Khalil Al-Qaţţân, Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an, Terj. Oleh Mudzakir AS. Cet. 13. (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2010).h. 275 4 Fachruddin Saudagar dan Ali Udrus, Pengembangan Profesionalitas Guru, (Jakarta: Gaung Persada-GP Press, 2011), Cet. III, h. 29. 5 Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), Cet. IX, h. 5-6
3
diajarkan oleh guru galak, juga menjadi sasaran kebencian, sehingga mata pelajaran tersebut tak dapat dipahami/diserap dengan baik oleh siswa. Guru yang memiliki perangai kasar/galak, tidak jarang menjadikan peserta didiknya sebagai sasaran kemarahannya, bahkan hingga melakukan kekerasan fisik. Penamparan, tendangan, pemukulan dengan penggaris, kayu atau rotan adalah bentuk kemarahan yang seringkali diperagakan oleh guru galak terhadap peserta didiknya. Perilaku guru kasar, terkadang memunculkan reaksi dari para orang tua siswa. Dahulu pada dekade 1980an di kampung penulis, ada cerita menarik. Seorang murid SD ditampar gurunya lantaran tidak bisa menjawab pertanyaan pelajaran Matematika. Sang guru bertanya, 2 + 5, lalu si murid menjawab 6. Jawaban yang benar tentunya 7. Maka tak pelak lagi, si murid menerima hadiah berupa tamparan di pipi. Dengan memendam rasa takut, maka si murid membolos pulang ke rumah. Ayahnya yang bekerja di pelabuhan, kembali ke rumah untuk makan siang, mendapatkan anaknya sudah ada di rumah sebelum waktu pulang sekolah. Setelah memperoleh penjelasan anaknya, sang ayah pun bergegas menuju ke sekolah untuk menemui sang guru yang telah menampar anaknya. Di sana bertemulah dengan sang guru itu, dan keduanya terlibat pertengkaran yang hebat (baku adu mulut) dengan dialek khas bahasa kampung, sang ayah bertanya: “pa guru, kenapa anak saya dipukul?”. Sang Guru menjawab: “Ya karena tadi saya bertanya 2 + 5, anak Bapa menjawab 6, lalu saya tampar dia to?”. Sang ayah pun kembali merespon dengan dialek kampung: “beh moe pa guru, go anak jawab kurang to‟u saja mo ma‟ar we?”6 (“ah kamu Pa Guru, anak saya menjawab kurang 1 saja kamu pukul kah?). Kelanjutan dari pernyataan sang ayah, kiri-kira maknanya begini: “bagaimana kalau anak saya menjawab kurang 2 atau kurang 3, bisa-bisa anak saya mati dibunuh”. Tampil menjadi guru tidak hanya di lembaga pendidikan formal, karena setiap orang adalah guru. Bapak-Ibu selaku orang tua adalah guru pertama 6
Bahasa Lamaholot, merupakan bahasa daerah masyarakat gugusan kepulauan Solor yang terdiri dari tiga pulau yaitu Pulau Adonara, Pulau Lembata (Lomblen) dan Pulau Solor, yang terletak di wilayah Kabupaten Flores Timur - NTT.
4
bagi anak-anak dalam keluarga. Seorang kakak menjadi guru yang baik dengan keteladanannya, haruslah bersikap jujur dan amanah agar dapat dihormati oleh adik-adiknya. Bahkan para pemimpin negara mestinya dapat tampil sebagai guru-guru bangsa yang mencerahkan. Demikian sekelumit problematika guru, baik guru di masyarakat maupun guru di lembaga pendidikan formal. Ternyata menjadi guru, tidaklah cukup memiliki kompetensi kognitif, dan berwawasan intelektualitas semata. Fachruddin Saudagar dan Ali Udrus menjelaskan bahwa kompetensi guru meliputi: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Pertama, kompetensi pedagogik adalah sejumlah kemampuan guru yang berkaitan dengan ilmu dan seni mengajar. Prof. Dr. J. Hoogeveld (Belanda) menjelaskan pedagogik adalah imu yang mempelajari masalah membimbing anak ke arah tujuan tertentu, supaya kelak ia mampu secara mandiri menyelesaikan tugas hidupnya. Para ahli/pakar pendidikan telah mengembangkan teori pedagogik, maka terdapat dua teori pedagogik yang cukup berpengaruh dalam dunia pendidikan yaitu pedagogi behaviorism dan pedagogi konstruktivism. Kemudian
pedagogi
behaviorism
mendapat
kritik
sebagai
pedagogi
penindasan, karena menghambat kreativitas dan pengembangan potensi siswa. Maka muncullah teori pedagogi konstruktivisme yang berbasis humanisme seiring dengan berkembangnya pendidikan demokratis, pendidikan humanis, dan pedagogi yang menghargai potensi, aktivitas dan kemampuan belajar para pembelajar.7 Kedua, kompetensi kepribadian yang dimiliki oleh guru adalah nilainilai kebajikan yang bersumber pada ajaran agama sesuai dengan keyakinannya. Pemahaman, penghayatan dan pengamalan atas nilai-nilai kebajikan tersebut, seorang guru akan tampil sebagai pribadi yang berakhlak 7
Dede Rosyada. “Pembelajaran PAIS antara Behaviorisme dan Constructivisme. dalam Marwan Saridjo (Penyunting). Mereka Bicara Pendidikan Islam: Sebuah Bunga Rampai. (Jakarta: DPP GUPPI bekerja sama dengan RajaGrafindo Persada dan Yayasan Ngali Aksara. 2009). h. 130-152.
5
mulia, berwibawa, sehingga ia dapat menjadi teladan bagi peserta didik. Jadi yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang berkaitan dengan tingkah laku pribadi guru, yang kelak harus memiliki nilainilai luhur sehingga terpantul dalam perilaku sehari-hari. Ketiga, yang dimaksud dengan komptensi profesional adalah, seorang guru harus memiliki kemampuan yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pengajaran, yang meliputi: pengetahuan, sikap, dan keterampilan profesional, baik yang bersifat pribadi, sosial, maupun akademis. Keempat, kompetensi sosial, menurut ungkapan Ahmad Sanusi adalah: mencakup kemampuan untuk menyesuaikan diri pada tuntutan kerja dan lingkungan sekitar, pada waktu melaksanakan tugasnya sebagai guru. 8 Imam Al-Ghazali menjelaskan gambaran terbaik bagi seorang pengajar yang mursyid adalah orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya, orang inilah yang disebut orang besar di kalangan para malaikat di langit. Dan tidak layak bagi seorang pengajar bersikap seperti jarum yang menjahit pakaian untuk yang lain sedang dia sendiri telanjang, atau seperti sumbu pelita yang memberikan penerangan kepada yang lain, sedang dia sendiri terbakar.9 Selanjutnya Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa menjadi pengajar, hendaklah ia memelihara etika dan tugasnya sebagai berikut: 1. Menyayangi orang yang belajar kepadanya dan memperlakukannya sebagai anaknya. 2. Mengikuti jejak Rasul. 3. Janganlah ia menyimpan suatu nasihat untuk keesokan harinya, seperti larangannya mengemukakan tingkat yang lebih tinggi sebelum berhak diterima oleh muridnya, dan larangan menyelami ilmu yang samar sebelum ilmu yang terang dikuasainya. 4. Memberi nasehat kepada murid dan melarangnya dari akhlak-akhlak tercela, melalui kata-kata sindiran, tidak secara terang-terangan. 8
Fachruddin Saudagar dan Ali Udrus, Pengembangan Profesionalitas Guru, (Jakarta: Gaung Persada-GP Press, 2011), Cet. III, h. 31 - 63 9 Imam Al-Ghazali, Ringkasan Ihya‟ „Ulumuddin, Terj.oleh Bahrun Abu Bakar. L.C. cet. I (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009), h. 32.
6
Karena sesungguhnya ungkapan secara terang-terangan itu merusak wibawa yang menghijabi diri gurunya. 10 Berbagai usaha terus dilakukan agar tindak kekerasan dalam pendidikan seperti yang terjadi pada tahun-tahun silam atau pun terkadang masih kerap terjadi hingga saat ini, dapat diminimalisir bahkan sedapat mungkin dihapus dari dunia pendidikan. Kini secara nasional sedang diupayakan untuk mendesain sekolah ramah anak, yang secara konseptual bertujuan untuk mendidik dan melindungi anak-anak dengan memiliki prinsip-prinsip yang dapat diintegrasikan ke dalam bidang-bidang implementasi, meliputi: tanpa kekerasan, tanpa diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak dan hak untuk tumbuh, serta penghargaan terhadap anak.11 Guna mewujudkan usaha-usaha tersebut, maka guru berada pada garda terdepan merupakan sosok yang dapat mengambil peran penting sebagai posisi strategis dalam menyelenggarakan pendidikan. Guru tidak hanya memiliki kemampuan intelektual dalam mengemban tugasnya sebagai pendidik. Aspek lain seperti kecerdasan emosional dan spiritual semestinya juga harus dimiliki oleh seorang guru dalam membentuk karakter peserta didik sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Dengan demikian, skripsi ini mencoba mengungkapkan aspek kecerdasan ruhani bagi setiap guru dalam mendidik, guna membentuk karakter peserta didik berdasarkan petunjuk Al-Qur‟an.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan sekelumit permasalahan sebagaimana uraian pada latar belakang masalah, maka penulis melanjutkan dengan mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
10 11
h.5
Ibid., 32-33 “Sekolah Ranah Anak Menuju Pendidikan Ramah Anak”. Warta KPAI. Edisi III, 2013.
7
1. Dalam mengajar, sebagian guru membekali dirinya, dengan lebih mengutamakan kecerdasan intelektual, sehingga mengabaikan sisi lain dari kecerdasan yaitu kecerdasan ruhani. 2. Sebagian guru mengenal murid-muridnya dalam batas lahiriah saja, bahkan ada guru yang tidak mengetahui nama muridnya sendiri, sehingga antara guru dan murid tidak memiliki hubungan/ikatan batin yang kuat. Apalagi guru hampir tidak pernah menyertakan murid-muridnya bagian dari lantunan doanya. Dengan kata lain, guru tidak mendoakan murid-muridnya agar mereka mendapatkan ampunan Allah dan kekuatan lahir batin dalam menjalani proses pendidikan serta sukses meraih cita-cita. 3. Sebagian guru masih memfokuskan diri sekedar mentrasfer pengetahuan kepada muridnya, dan belum secara maksimal berorientasi pada pembentukkan karakter.
C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan, maka penulisan skripsi ini akan dibatasi pada pembahasan teori kecerdasan ruhani serta makna dan hakikat karakter menurut beberapa sumber data yang relevan dengan tema utama yaitu: Konsep Kecerdasan Ruhani Guru dalam Pembentukan Karakter Peserta Didik Menurut Kajian Tafsir QS. 3/Ali-„Imran: 159.
D. Perumusan Masalah Dengan memahami hal-hal yang telah diuraikan, maka penulis mengajukan rumasan masalahnya, yaitu: bagaimana konsep kecerdasan ruhani guru dalam pembentukan karakter peserta didik menurut kajian tafsir QS. 3/Ali-„Imran: 159?
8
E. Tujuan dan Manfaat Hasil Penelitian Berdasarkan perumusan masalahnya, maka penelitian ini bertujuan untuk memahami konsep kecerdasan ruhani guru dalam pembentukan karakter peserta didik menurut kajian tafsir QS. 3/Ali-„Imran: 159. Dengan tujuan tersebut, kiranya penelitian ini juga memperoleh manfaat yaitu: 1. Untuk menambah khazanah pengetahuan khususnya bagi penulis, umumya bagi praktisi pendidikan, bapak-ibu guru dan para calon guru yang bercita-cita untuk mengabdikan dirinya dalam dunia pendidikan. 2. Menjadi perhatian para pemangku kebijakan pendidikan nasional, bahwa kajian ini sebagai kontribusi kecil dalam mendukung tujuan pendidikan, yang berorientasi pada pembentukan karakter. 3. Dapat digunakan oleh siapa saja sebagai rujukan untuk melakukan penelitian lebih lanjut secara mendalam dan komprehensif.
BAB II KAJIAN TEORITIK
A. Acuan Teori 1. Dimensi Kecerdasan Manusia Dalam kamus bahasa Indonesia, kecerdasan berarti kesempurnaan perkembangan akal budi.1 Kecerdasan adalah anugerah Tuhan. Para ahli mengemukakan, bahwa terdapat beberapa kecerdasan dalam dimensi kemanusiaan. Wahyuni Nafis yang mengutip Robert Frager, mengungkapkan, manusia memiliki empat kecerdasan yaitu: kecerdasan jasmani, kecerdasan pribadi, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual. Adapun kecerdasan spiritual berarti manusia telah dibekali aspek ruhaniah.2 Pendapat lain tentang kecerdasan manusia, ialah: kecerdasan intelektual (Intelektual Quotient – IQ), kecerdasan emosi (Emotional Quotient – EQ), dan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient – SQ). Menurut Toto Tasmara bahwa kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan ruhani, kecerdasan jiwa yang bertumpu pada ajaran cinta (mahabbah).3 Manusia tercipta dari unsur tanah, kemudian hidup dengan ruh ilahi. Adanya unsur tanah, maka manusia dipengaruhi oleh kebutuhan yang sama dengan makhluk lainnya. Sedangkan unsur ruhani yang membedakan manusia dengan makhluk lain yang sekedar memenuhi kebutuhan jasmani (makan, minum) dan kebutuhan biologis.4
1
W. J. S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: PN Balai Pustaka. 1976) h. 201 2 Sururin, Perempuan dalam Dunia Tarekat: Studi tentang Pengalaman Beragama Perempuan Anggota Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, (Jakarta: Kementerian Agama RI Direktorat Jendral Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2012). h. 251-259 3 M. Furqon Hidayatullah,. Guru Sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat & Cerdas. Cet. Ke-3. (Surakarta: Yuma Pustaka. 2010). h. 209 4 Abdul Majid & Dian Andayani. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Cet. III. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2013). h. 75-79
9
10
Menurut Al-Ghazali (1058-1111), manusia terdiri dari dua bagian, yaitu badan dan jiwa. Badan adalah materi gelap yang kasar, tersusun, bersifat tanah, tidak sempurna, tercipta dari alam khalq. Sedangkan jiwa tidak bisa diukur/ditakar, karena itu ia tidak bisa dibagi. Antara badan dan jiwa terdapat hakikat manusia, maka hakikat manusia adalah ruhani, yang tercipta dari alam „amr.5
2. Rūh Menurut Al-Qur’an Pertanyaan mendasar: “apakah ruh itu?”. Al-Qur‟an berbicara tentang ruh: Berikut ini akan ditampilkan beberapa ayat al-Qur‟an tentang ruh:
ﯮ ﯯ ﯰﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ ﯹ ﯺ ﯻ ﯼ Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah “ruh itu termasuk urusan Tuhan-Ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (QS. 17/Al-Israa’: 85) Ayat ini menjelaskan bahwa hakikat ruh tidak dapat diketahui oleh manusia, kecuali sedikit ilmu yang diberikan oleh Allah untuk menyingkap fenomena ruh. Kalimat “ruh itu termasuk urusan Tuhan-Ku” berkemungkinan bahwa ia dalah sinonim dengan sesuatu. Maka ruh adalah bagian dari hal-hal yang besar, dan hanya diketahui oleh Allah SWT. Sedangkan penyandaran kata “amr” (urusan) adalah perkara yang pengetahuan tentangnya hanya dimiliki oleh Allah SWT.6
ﯟﯠﯡﯢﯣﯤﯥﯦ ﯧﯨﯩﯪﯫﯬ ﯭﯮﯯﯰ ﯱﯲﯳﯴﯵ
5
Akhmad Sodiq, MA. “Transformasi Ruhani dalam Perspektif Al-Ghazali”. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2008/1429. h. 31 6 Ali Abdul Halim Mahmud. Pendidikan Ruhani. Terjemahan dari at-Tarbiyatu alRūhiyyah oleh Abdul Hayyie al-Kattani dkk. (Jakarta: Gema Insani Press. 2000). h. 67..
11
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.7 (QS. 15/Al-Hijr: 28-29)
ﮛﮜﮝ ﮞﮟ ﮠﮡﮢﮣﮤﮥﮦﮧﮨ ﮩﮪ ﮫﮬﮭﮮ (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya. (QS. 38/Shaad: 71-72) Dua ayat dari surat al-Hijir: 28-29, dan surat Shaad: 71-72, menjelaskan tentang unsur terpenting dari penciptaan manusia pertama yaitu Nabi Adam as. bahwa, ia tercipta dari unsur tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk, kemudian Allah meniupkan ruh ciptaannya ke dalam tubuh yang telah dibentuk. Setelah penciptaan, para malaikat diperintahkan oleh Allah untuk bersujud kepada Adam (manusia pertama) yang telah Dia Ciptakan.
ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨﮩ ﮪ ﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﮲ ﮳ ﮴ ﮵ ﮶ ﮷ ﮸ ﮹ ﮺ ﮻ ﮼ ﮽ ﮾﮿ ﯀ ﯁ ﯂ Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah.
7
Dimaksud dengan sujud di sini bukan menyembah, tetapi sebagai penghormatan. Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahannya, terbitan Khadim al-Haramain asy-Syarifain (Pelayan kedua Tanah Suci) Raja Fahd ibn „Abd al‟Aziz, dan telah mendapatkan Tanda Tashih dari Departemen Agama RI pada 3 Sya‟ban 1410 H/28 Februari 1990. h. 393
12
Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, pengelihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (QS. 32/As-Sajdah: 7-9)
ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ Pada hari ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucap kata-kata yang benar. (QS. 78/An-Naba’: 38) Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang maksud “ruh” dalam ayat tersebut. Ada yang mengatakan “Jibril” ada yang mengatakan “tentara Allah” dan ada yang mengatakan “ruh manusia”8
3. Makna Kecerdasan Ruhani Kecerdasan ruhani adalah identitas sejati dalam diri manusia, dan merupakan kecerdasan tertinggi tentang kearifan dan kebenaran serta pengetahuan yang bersumber dari Allah. Ruh adalah suatu kekuatan yang tidak terlihat, abstrak, rumit, namun ia ada, yang dapat menghubungkan manusia dengan sesuatu yang tidak diketahui, dan tidak mungkin dijangkau oleh indra. Ia adalah alat untuk mengadakan kontak dengan Allah. Maka ruhani adalah pusat eksistensi manusia, dan landasan tempat sandaran eksistensi itu, sehingga seluruh alam ini saling berhubungan. Ruhani merupakan pemeliharaan kehidupan manusia, dan penuntun kepada kebenaran ilahi. Oleh karenanya, Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap pembinaan ruhani, ia merupakan suatu agama fitrah9
8
Ibid.., h. 1016 Muhammad Quthb. Sistem Pendidikan Islam. Terj. dari ManhājTarbiyatul Islamiyah. oleh Salman Harun. (Bandung: PT. Al-Ma‟arif. ). h.53-59 9
13
Dengan demikian ruhani adalah sifat-sifat ruh atau hal-hal yang berkaitan dengan ruh, yang diberikan tugas untuk membimbing manusia agar selalu berada di jalan Tuhan. Ruhani inilah sebagai sumber jiwa rabbani yang terdapat dalam diri manusia. Hanya jiwa rabbanilah yang mampu berkomunikasi dengan Tuhan dan mengapresiasi realitas gaib yang tidak sanggup dijangkau oleh jiwa insani. Demikian menurut Prof. Dr. Komaruddin Hidayat.10 Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, bahwa kata “rūh” pada QS. 17/Al-Israa‟: 85, dipahami oleh banyak ulama adalah dalam arti potensi pada diri makhluk yang menjadikannya dapat hidup. Thabāthabā‟i menjelaskan kata “rūh” berarti sumber hidup yang dengannya hewan (manusia
dan
binatang)
dapat
merasa
dan
memiliki
gerak
yang
dikehendakinya, juga digunakan untuk menunjuk hal-hal yang berdampak baik lagi diinginkan, seperti ilmu yang dinilai sebagai kehidupan jiwa. Firman-Nya: Ruh itu termasuk urusan Tuhan-Ku, dipahami oleh Thabāthabā‟i dalam arti ketetapan Allah secara langsung, tanpa melalui hukum-hukum alam yang ditetapkan-Nya, tidak memerlukan pentahapan, waktu, dan tempat. Lanjutan Firman-Nya: dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit, menunjukkan keterbatasan manusia untuk mengetahui hakikat ruh. Atas dasar itu, boleh jadi dengan perkembangan ilmu pengetahuan, manusia terus berupaya memahami hakikat ruh secara umum.11 Tentang ruh bahwa tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit, hal ini menarik untuk mengetengahkan ungkapan Bapak Dr. Akhmad Sodik, MA., beliau adalah dosen penulis yang mengampu mata kuliah Akhlak Tasauf, bahwa: قَل ْي ٌل ِع ْندَهللا َو َكثِ ْي ٌر ِع ْن َد النَّاس/(qalīlun „indallāh wa katsīrun „inda annās)/sedikit di sisi Allah namun banyak bagi manusia. Maka hemat penulis sebagaimana anugerah lainnya, bahwa sedikit dalam pandangan Allah, namun terasa banyak dalam pandangan manusia. 10
Komaruddin Hidayat. “Eksistensi Jiwa Rabbani” dalam Kolom Rektor UIN Jakarta. Jumat, 03 Agustus 2012. 11 M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an. Vol. 7. Cet. II. (Jakarta: Lentera Hati. 2002). h. 181-184
14
Lebih lanjut, ketika menafsirkan QS. 32/As-Sajdah: 9, Quraish Shihab menjelaskan kata ( ) ِم ْن رُوْ ِحه/min rūhihi, secara harfiah berarti dari rūh-Nya (dari rūh Allah), bukan berarti ada “bagian” Ilahi yang dianugerahkan kepada manusia, karena Allah tidak terbagi, tidak juga terdiri dari unsur-unsur. Jadi ruh itu adalah ciptaan-Nya. Penisbahan ruh itu kepada Allah adalah penisbahan pemuliaan dan penghormatan. Jika dipahami, ayat ini bagaikan berkata:
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam
(tubuh)nya ruh (yang mulia dan terhormat dari ciptaan-Nya).12 Dengan ruh, ia mengikat dari dimensi kebutuhan tanah itu – walau ia tidak dapat bahkan tidak boleh melepaskannya. Ruh pun memiliki kebutuhankebutuhan agar dapat terus menghiasi manusia. Dengan ruh, manusia diantar menuju tujuan non materi yang tidak dapat diukur di laboratorium, tidak juga dikenal di alam materi. Dimensi spiritual ini yang mengantar manusia untuk cenderung kepada keindahan, pengorbanan, kesetiaan, pemujaan (pengabdian kepada sang Pencipta) dan lain-lain. Demikian menurut Quraish Shihab. Jadi, dalam diri manusia terdapat ruh yang mulia dan terhormat dari ciptaan Allah sebagai sumber kehidupan. Derajat kemulian manusia terletak pada seberapa besar mengoptimalisasikan ruh ilahi guna mengaplikasikan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan. Lanjutan QS. 32/As-Sajdah: 9: dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, pengelihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. Ayat ini menggunakan kata ( َ ) ال َّس ْمعas-sam‟a/pendengaran dengan bentuk tunggal dan menempatkan sebelum kata ( ) األبصارal-abshār/pengelihatanpengelihatan yang berbentuk jamak serta (َ ) َاألفئدةal-af‟idah/aneka hati yang juga berbentuk jamak.13 Untuk memahaminya dengan merujuk kepada QS. 16/al-Nahl: 78, Quraish Shihab menguraikan tafsirnya: dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, pengelihatan-pengelihatan dan aneka hati sebagai bekal dan alat-alat untuk meraih pengetahuan agar kamu bersyukur dengan
12 13
Ibid., Vol. 10. h. 368-369 Ibid., h. 369
15
menggunakan
alat-alat
tersebut
menganugerahkannya kepada kamu.
sesuai
dengan
tujuan
Allah
14
Untuk memahami kata tasykurun ( ) تشكرونdengan merujuk ke QS. 30/Ar-Rūm: 46. Quraish Shihab menguraikan tafsirnya: kata itu terambil dari kata syukur ( ) شكرyang inti maknanya adalah memfungsikan anugerah Allah sesuai dengan tujuan penciptaannya. Sebanyak manfaat yang Anda dapat raih sebanyak itu pula pertanda kesyukuran Anda, selama Anda rasakan dan sadari bahwa semua yang Anda raih itu bersumber dari Allah dan berkat rahmatNya.15 Rujukan selanjutnya dari penjelasan tentang kata syukur adalah QS. 31/Luqman: 12, Quraish Shihab menguraikan tafsirnya, bahwa syukur maknanya berkisar antara lain pada pujian atas kebaikan serta penuhnya sesuatu. Manusia bersyukur kepada Allah dimulai dengan menyadari dari lubuk hatinya yang terdalam akan anugerah-Nya disertai dengan ketundukan dan kekaguman sehingga melahirkan rasa cinta kepada-Nya serta dorongan untuk memuji-Nya dengan ucapan sambil melaksanakan apa yang Dia kehendaki dari penganugerahan itu.16 Dengan demikian, di antara indikasi seseorang memiliki kecerdasan ruhani adalah menyadari segala anugerah Allah dengan penuh rasa syukur dan melaksanakan apa yang dikehendaki-Nya dengan penuh rasa tanggung jawab.
4. Dinamika Ruhani dan Jiwa yang Tenang Ketika memulai mata kuliah Akhlak Tasauf, Bapak Dosen Dr. Akhmad Sodik, MA.,
menjelaskan tentang proses pembentukan akhlak.
Dimulai dari niat, prilaku, kebiasaan, sehingga terbentuklah akhlak. Niat adalah hasil dari perdebatan batin yang mempertimbangkan masukan berupa ilham dan was-was. Prilaku adalah ekspresi niat dengan kesadaran dan
14
Ibid., Vol. 6. h. 672 Ibid., Vol. 10. h. 245 16 Ibid., h. 292-293 15
16
pemikiran, biasanya masih ada rasa keterpaksaan. Kebiasaan berarti setelah prilaku dibiasakan, maka ia menjadi ringan untuk dilakukan, tidak ada rasa berat dalam melakukan itu. Puncaknya adalah akhlak, menunjukkan bahwa jika kebiasaan itu diinternalisasikan hingga terbentuklah perbuatan yang muncul tanpa pemikiran dan pertimbangan lagi. Pada level ini pelaku akan selalu merasakan kenikmatan melakukan akhlak terkait. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh dinamika ruhani, sehingga melahirkan dua jenis akhlak yang saling bertentangan, yakni akhlak mahmudah (akhlak terpuji/perilaku positif) dan akhlak madzmumah (akhlak tercela/perilaku negatif). Masing-masing akan merasakan kenikmatannya. Bagi yang memahami dan menghayati nilai-nilai ruhani, maka dia mencapai kebahagiaan karena telah mampu mewujudkan sikap dan prilaku dengan akhlak terpuji, namun bersedih hati bila terjerumus dalam dosa. Sedangkan bagi yang mengotori jiwa dengan gejolak nafsu dan mengabaikan nilai-nilai kebenaran bahkan menentangnya, dia pun berpuas diri penuh bangga bila terus bermaksiat tanpa memikirkan akibatnya. Bahwa dalam diri manusia terdapat al-qalb (hati), al-„aql (rasio/akal) dan an-nafs (nafsu). Hati adalah tempat bersemayam malaikat untuk membimbing manusia, dan nafsu adalah tempat bercokol syetan untuk menjerumuskan manusia. Sedangkan akal laksana medan pertempuran antara malaikat dan syetan untuk menguasai perilaku manusia. Malaikat dengan kelembutannya membisikkan nilai-nilai ketuhanan dalam hati manusia. Adapun syetan dengan menggebu-gebu membisikkan angkara murka dalam nafsu. Sebuah ilustrasi tentang daya-daya ruhani yang dikutip oleh Dr. Akhmad Sodiq, MA dari Kimiya al-Sa‟adah karya Imam Al-Ghazali: “Jiwa itu laksana sebuah negeri. Ladangnya adalah dua tangan, dua kaki, dan seluruh anggota tubuh lainnya. Tuan tanahnya adalah nafsu seksual (syahwat), sedangkan nafsu agresi (ghadhab) adalah penjaganya. Al-Qalb adalah rajanya dan al-„aql adalah perdana menterinya. Wajib bagi sang raja tersebut bermusyawarah dengan perdana menteri guna menjadikan tuan tanah itu tunduk di bawah kendali perintah perdana menteri demi kelanggengan kerajaan dan
17
kemakmuran negeri. Demikianlah kondisi al-qalb yang selalu bermusyawarah dengan al-„aql guna menjadikan nafsu syahwat dan ghadhab di bawah kendali perintahnya. Dengan demikian situasi jiwa benar-benar tenteram sehingga mampu mencapai sebab kebahagiaan ma‟rifat terhadap realitas transendental (al-hadhrah al-ilāhiyyah). Akan tetapi jika akal berada di bawah al-ghadhab dan syahwat maka hancurlah jiwa itu dan jadilah al-qalb sebagai yang celaka di akhirat.17 Berikut ini adalah skema dinamika ruhani yang telah disajikan oleh Dr. Akhmad Sodik, MA, ketika menyampaikan materi mata kuliah Akhlak Tasauf dalam bentuk power point:
Syetan secara menggebu-gebu telah menguasai nafsu kemudian berhasil memperdaya rasio, dan ia dengan arogansinya menolak apa pun dari rasio, padahal rasio telah menerima pencerahan hati yang bersumber dari bimbingan malaikat. Oleh karena pertarungan telah dimenangkan oleh syetan, maka melahirkan perilaku negatif. Gejolak syahwat adalah konsumsi nafsu untuk meraih apa yang diinginkan tanpa memperdulikan batas-batas moral. (na‟udzu billahi min dzālik). 17
Akhmad Sodiq, MA. “Transformasi Ruhani dalam Perspektif Al-Ghazali”. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2008/1429. h. 88.
18
Malaikat membisikkan dengan lembut (tidak menggebu-gebu) ke dalam hati, kemudian membimbing kepada rasio (akal), selanjutnya dengan kekuatan yang mencerahkan, akal dapat menundukkan nafsu, sehingga nafsu mampu menolak hasutan syetan, maka akan melahirkan perilaku positif. Adalah dzikrullah sebagai konsumsi jiwa yang tenang (nafsulmutmainnah) karena telah mendapat bimbingan malaikat sehingga mampu menundukkan gejolak syahwat. Jiwa yang tenang ini akan memperoleh panggilan mesra dari Tuhan. Allah berfirman:
ﰈ ﰉ ﰊ ﰋ ﰌ ﰍﰎ ﰏ ﰐ ﰑ ﰒ ﰓ (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allahlah hati menjadi tenteram. (QS. 13/Ar-Ra‟du: 28)
ﭡﭢﭣﭤﭥ ﭦ ﭧﭨﭩﭪﭫﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰﭱ
19
Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama‟ah hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku. (QS. 89/AlFajr: 27-30) Jiwa yang tenang adalah jiwa yang dikecualikan dari jiwa yang memerintah kepada keburukan, yakni jiwa yang dirahmati Tuhan:
ﭒ ﭓ ﭔﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ (Yusuf berkata:) dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. (QS. 12/Yusuf: 53) Mengutip Prof. Dr. Rif‟at Syauqi Nawawi, MA, beliau adalah dosen penulis yang mengampu mata kuliah Tafsir Tarbawi. Menurutnya, bahwa manusia yang memiliki jiwa yang tenang (nafsul muthmainnah) dalam rangkaian QS. 89/Al-Fajr: 27-30, diindikasikan memiliki karakter sebagai berikut: a. Cenderung ingin kembali dan ingin dekat kepada Tuhan atau ingin sesuai dengan yang digariskan Tuhan, dalam menempuh kehidupan. Hal tersebut seperti dapat dipahami dari frase: irji‟ī ila rabbiki = kembalilah kepada Tuhan/Rabbmu. Kecenderungannya ialah pada bagaimana hidup ini diselaraskan dengan apa yang dikehendaki Tuhan, rabbnya. Agaknya jiwa kategori ini dapat disebut dengan al-nafs al-rabbaniyyah (jiwa rabbani) yang segala sesuatu yang dikerjakannya cenderung disesuaikan dengan nilainilai ketuhanan. b. Menerima dengan rela dan puas segala apa yang digariskan Allah kepadanya, dan menjalankan semuanya dengan perasaan puas pula. Hal tersebut dapat dipahami dari radhiyatan, ayat 28. (QS. 89/AlFajr: 28) c. Batinnya tidak cemas dan tidak bersedih, karena merasa optimis untuk memperolah rahmat Tuhan. Inilah maksud kata “mardhiyyah” di akhir ayat 28 (QS. 89/Al-Fajr: 28). Perasaan demikian timbul karena iman yang mantap kepada Allah, amal-
20
amal salih yang nyata dan ikhlas, serta keyakinan yang kuat bahwa Tuhan akan membalasnya pada hari akhir nanti. d. Kecenderungannya bergabung dengan hamba-hamba Allah yang salih, untuk mencari kebaikan-kebaikan dan mencontoh keteladanan mereka. Ini dapat ditangkap dari frase: fadkhuli fi ibadi = masuklah dalam (golongan) hamba-hamba-Ku, ayat yang ke 29 ((QS. 89/Al-Fajr: 29). e. Merasa mantap, atas dasar iman yang benar, amal-amal salih yang nyata dan atas keyakinan bahwa ia pasti dibalasi oleh Tuhan di akhirat, dialah orangnya yang bakal masuk surga-Nya. Makna ini diambil dari frase: wadkhuli jannati (masuklah engkau ke dalam syurga-Ku), pada ayat 30 (QS. 89/Al-Fajr: 30).18 Jadi, jiwa yang tenang bukan berarti seseorang telah kehilangan (mati) hasratnya, akan tetapi gejolak hasratnya telah ditundukkan dan dikendalikan oleh pencerahan akal budi dalam bimbingan jiwa rabbani dan kecerdasan ruhani yang diarahkan menuju keridhaan Tuhan. Jiwa-jiwa inilah yang berhak masuk dalam kenikmatan surgawi nan abadi.
5. Pengertian dan Fungsi Guru Dalam Bahasa Indonesia, “guru” diartikan sebagai “pengajar”, berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti” berat, besar, penting, baik sekali, terhormat, dan pengajar. Demikian menurut Ir. Poedjawijatna yang mengutip dari J. E. C. Gericke dan T. Roorda.19. Dapatlah dirangkum dalam sebuah redaksi, bahwa “guru sebagai pengajar, memikul tanggung jawab berat dan besar jasanya, dalam mengembangkan pendidikan, oleh karenanya posisi guru menjadi penting (orang penting), maka ia harus tampil baik sekali (prima), sehingga ia menduduki derajat terhormat dalam masyarakat” Demikian hemat penulis. Dalam bahasa Arab, terdapat banyak kata yang mengacu pada pengertian guru, di antaranya, mu‟allim (yang mengajarkan ilmu), mudarris 18
59.
19
Rif‟at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur‟ani, Cet. I. (Jakarta: WNI Press. 2009) h. 58-
Aris Shoimin. Guru Berkarakter untuk Implementasi Pendidikan Karakter. Cet. 1. (Yogyakarta: Gava Media. 2014). h. 8
21
(yang mengajarkan pelajaran), muaddib (guru khusus di istana), ustadz (penceramah),
mudzakir
(pemberi
peringatan),
mudzakki
(yang
membersihkan hati), ar-rasihuna fi al-ilm (memahami pesan-pesan al-Qur‟an berdasarkan ta‟wil), dan murabbi. Kata terakhir ini: “murabbi”20 yang akar katanya “rabb” yang bermakna “Tuhan”, sebagai akar kata dari “tarbiyah” yang oleh banyak ahli digunakan sebagai kata yang bermakna “pendidikan” 21 Sebagaimana kata “rabbal „alamin” yang berarti “mendidik, mengatur, memelihara alam semesta”, maka guru yang memiliki kecerdasan ruhani, dan jiwa rabbani, adalah perpanjangan tangan Tuhan di bumi yang berfungsi sebagai pendidik, pemelihara, dan pengatur umat manusia melalui “proyek besar” sepanjang sejarah yang bernama “pendidikan”.
6. Hubungan Guru dan Peserta Didik. Seorang ibu mempunyai naluri untuk selalu dekat dengan anakanaknya begitu pun sebaliknya, hal ini dikarenakan antara ibu dan anak memiliki ikatan batin yang kuat. Kondisi batin yang kuat karena dilandasi jiwa yang jernih bersandarkan pada kekuatan ruhani. Dengan kemampuan ruhani itulah, antara orang tua dengan anak-anaknya senantiasa hidup berkasih sayang, saling mencintai dan saling mendoakan dalam bimbingan nilai-nilai ketuhanan. Walau secara jasmani hidup berjauhan jarak, namun secara batin, terasa dekat dalam jiwa dan saling merindukan. Maka, kemampuan ruhani itulah sebagai perekat ikatan batin antara anak dengan orang tuanya. Demikian analogi tentang ikatan batin. Saling mendoakan, hidup berkasih sayang adalah modal utama dalam ikatan cinta dan tidak hanya berlaku dalam keluarga; antara suami-istri selaku orang tua dengan anak-anaknya. Hubungan/ikatan batin dapat terjalin dalam perspektif yang lebih luas. Misalnya guru dapat bertindak sebagai pengganti orang tua bagi peserta didik di lembaga sekolah. Guru
adalah subyek
pendidikan (pendidik) juga sebagai media pertama sumber pengetahuan. 20
Di kalangan pesantren, kata “murabbi” juga dapat digunakan sebagai sebutan “kyai” Lihat Abuddin Nata. Perspektif Islam tantang Pola Hubungan Guru-Murid: Studi Pemikiran Tasawuf Al-ghazali. Cet.1. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2001). h. 41-49 21
22
Sedangkan
peserta didik sebagai obyek pendidikan yang siap menerima
pelajaran. Maka fungsi lain dari kecerdasan ruhani yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah sebagai perekat ikatan batin dengan peserta didik. Untuk mempererat ikatan batin dengan peserta didik, Imam al-Ghazali menekankan, agar guru memiliki delapan etika: bersikap lemah lembut, tidak meminta imbalan, tidak menyembunyikan ilmu, menjauhi akhlak yang buruk, tidak
mewajibkan
murid
untuk
mengikuti
guru/mazhab
tertentu,
memperlakukan murid sesuai dengan kemampuannya, kerja sama dengan para pelajar dalam membahas dan menjelaskan, serta mengamalkan ilmunya.22 Kemampuan guru untuk mempererat hubungan batin dengan setiap peserta didik, dapat membantu guru untuk memahami psikologi anak didiknya. Hal ini akan memudahkan bagi guru dalam membentuk karakter sesuai dengan bakat bawaan masing-masing peserta didik.
7. Definisi dan Hakikat Karakter Secara etimologi, karakter berasal dari kata character (Bahasa Belanda dan Inggris), caractėre (Bahasa Perancis), kharakter (Bahasa Latin dan Yunani), yang berarti: tanda, materei, watak/kepribadian, tokoh dalam cerita, film, drama dan sebagainya.23 Kata karakter yang digunakan dalam tujuan pendidikan adalah bermakna pembentukan watak/kepribadian peserta didik berdasarkan nilainilai yang dianut dalam suatu masyarakat/bangsa. Karakter mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Demikian ungkapan Ryan dan Robing. Maka,
22
Ibid., 98-101 Surawan Martinus. Kamus Kata Serapan. Cet. 2. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2008). h. 282 23
23
pendidikan karaker adalah upaya untuk membimbing perilaku manusia menuju standar-standar baku.24 Standar-standar baku itu adalah nilai-nilai kebaikan, yang hanya bisa diperoleh dalam pengetahuan agama. Tidak ada sumber lain untuk memperoleh nilai-nilai kebaikan kecuali melalui agama. Inilah makna dari kehadiran agama di muka bumi untuk menebar kebaikan dan mencegah manusia dari kehancuran nilai. Dalam konteks ini, pendidikan karakter dapat dibentuk bila berdasarkan pada nilai-nilai kebajikan yang tidak lain adalah bersumber dari agama. Inilah hakikat pendidikan karakter.
8. Landasan Hukum Pendidikan Karakter Seolah-olah, “pendidikan” sudah menjadi “kata sakti” dalam pergulatan sejarah umat manusia dari dulu hingga sekarang. Kemajuan suatu bangsa, akan sangat ditentukan oleh kemajuan dalam memantapkan dasar, mengembangkan proses dan menetapkan arah tujuan pendidikan. Setiap orang bebas memahami dan memiliki pandangan tentang arti dari kata “pendidikan”. Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 Pasal 1 butir 1, pendidikan adalah: “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.25 UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Pasal 3, mengamanatkan: Pendidikan Nasional bertujuan: “Untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang 24
Abdul Majid dan Dian Andayani. Pendidikan Karakter Perspeektif Islam. Cet. 3. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2013). h. 11. 25 Anas Salahudin dan Irwanto Alkrienciehie. Pendidikan Karakter: Pendidikan Berbasis Agama & Budaya Bangsa. Cet. 1. (Bandung: Pustaka Setia. 2013). h. 41.
24
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam hal ini, pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak,
yang
bertujuan
mengembangkan
kemampuan
siswa
untuk
memberikan keputusan baik-buruk, memelihara kebaikan, mewujudkan dan menebar kebaikan dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.26
9. Tentang Tafsir dan Surat Ali-‘Imran a. Definisi dan Keutamaan Tafsir Kata “tafsir” dapat ditemukan dalam Al-Qur‟an:
ﭑﭒﭓ ﭔ ﭕﭖﭗﭘ Tidaklah mereka (orang-orang kafir itu) datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. (QS. 25/Al-Furqan: 33) Secara bahasa, kata tafsir mengikuti wazan “taf‟il” berasal dari kata al-fasr ( ) الفسرyang berarti: menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan
makna yang abstrak. Sedangkan
tafsir berarti menyingkapkan maksud suatu lafadz yang musykil/pelik. Secara istilah, tafsir ialah: ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz Qur‟an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya. 27 Tafsir adalah ilmu syariat paling agung dan paling tinggi kedudukannya. Ia juga merupakan ilmu yang paling mulia objek pembahasan dan tujuannya serta dibutuhkan. Inilah keutamaan tafsir.28 26
Ibid.,. h. 42 Mannâ‟ Khalil Al-Qaţţân, Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an, Terj. Oleh Mudzakir AS. Cet. 13. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2010. h. 456 28 Ibid., h. 461 27
25
b. Tentang Surat Ali-„Imrān Surat Ali-„Imran berjumlah 200 ayat adalah surat madaniyyah dan merupakan surat ke-3 dalam urutan mushaf Al-Qur‟an setelah alFatihah dan al-Baqarah. “Keluarga „Imran”, demikian makna dari nama surat Ali-„Imran. Siapakah „Imran dan siapa saja keluarganya? Imran adalah ayah Siti Maryam (ibunda dari Nabi Isa as). Termasuk dalam keluarga „Imran adalah: Istri „Imran (Ibu Maryam), Siti Maryam, Nabi Isa as, Nabi Yahya as. Nama lain dari surat ini adalah: ( ) األمانal-amān (keamanan), ( ) الكنزal-Kanz, ( ) طيبةthībah.29 Kisah keluarga Imran dimulai dengan menjelaskan beberapa orang hamba-Nya yang dipilih-Nya untuk mengembangkan sebuah risalah dan sebuah agama sejak diciptakannya makhluk.30 Ayat pertama sampai ayat 83 dalam surat Ali-„Imrān diturunkan berkenaan dengan utusan Najran yang datang kepada Nabi pada tahun IX H. Demikian yang terdapat dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir.31 Diketengahkan oleh Ibnu Hatim dari Rabi‟ bahwa orang-orang Nasrani datang kepada Nabi SAW, lalu membantahnya tentang Nabi Isa. Maka Allah menurunkan ayat pertama sampai delapan puluh ayat dari surat Ali-„Imran. Begitu pula kata Ibnu Ishaq yang mendapat cerita dari Muhammad bin Sahl bin Umamah, bahwa ketika datang warga Najran kepada Rasulullah SAW, mereka menanyakan kepada beliau tentang Isa bin Maryam, maka Allah menurunkan firman-Nya mengenai mereka dari awal surat Ali-„Imran hingga ayat kedelapan
29
M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an. Vol. 2. Cet. II. (Jakarta: Lentera Hati. 2002). h. 3 30 Sayyid Quthb. Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an: Di Bawah Naungan Al-Qur‟an. Terj. As‟ad Yasin, Abul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah. Jilid 2. Cet. 1. (Jakarta: Gema Insani Press. 2011). h. 63 31 Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Aal asy-Seikh. Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir. Jilid 2. Terj. Abdul Ghaffar. Cet. 1 (Bogor: Pustaka Imam Syafi‟i. 2001) h. 1
26
puluh. Hadis ini diketengahkan oleh Imam Baihaqi dalam kitab AdDala‟il.32
B. Hasil Penelitian yang Relevan Setelah mencari di Perpustakaan Fakultas Tarbiyah dan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan dibantu oleh petugas perpustakaan, ditemukanlah 2 karya skripsi yang penulis anggap cukup relevan dengan tema pembahasan skripsi ini. Yaitu: Aspek-aspek Kecerdasan Spiritual (Telaah ayat 12-19 QS. Luqman), karya Muhammad Hasan, Jurusan PGMI FITK UIN Jakarta, tahun 2013 dan Pengembangan Kecerdasan Spiritual Siswa Melalui Pendidikan Agama Islam, karya Agung Ismail, Jurusan PAI FITK UIN Jakarta, tahun 2013. Relevansi kedua karya tersebut hanya pada tema awal tentang “kecerdasan spiritual”, namun sangat berbeda pada substansi tema penulisan skripsi ini. Perbedaan itu dapat dilihat, bahwa kedua karya tersebut masingmasing membahas kecerdasan spiritual bagi siswa dan aspek kecerdasan spiritual berdasarkan QS. Luqman: 12-19. Sedangkan tema skripsi ini, memfokuskan pada pembahasan kecerdasan ruhani bagi guru berdasarkan kajian tafsir QS. 3/Ali-„Imran: 159. Secara definisi, boleh jadi, “kecerdasan spiritual” dan “kecerdasan ruhani”, tampaknya memiliki kesamaan makna, namun bisa saja secara substansi, “kecerdasan ruhani” memiliki makna yang lebih dekat dengan makna kandungan al-Qur‟an. Inilah perbedaan lain antara kedua karya terdahulu yang berjudul “Kecerdasan Spiritual” tersebut dengan penelitian dan penyusunan skripsi yang ada di hadapan pembaca ini yang mencantumkan judul “Kecerdasan Ruhani”.
32
Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuţi, Terjemahan Tafsir Jalalain: Berikut Asbâbun Nuzûl,Terj. Bahrun Abubakar, LC,(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004), Jilid 1, Cet. II, h. 291-292
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian Objek penelitian dalam skripsi ini adalah karya-karya literatur yang memiliki relevansi dengan tema pokoknya. Terdapat dua sumber data sebagai objek penelitian, yakni sumber data primer dan sumber data sekunder. 1. Sumber data primer sebagai berikut: a. Kitab tafsir: 1) Tafsir Jalalain
karya, Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam
Jalaluddin As-Suyuţi, 2) Tafsir Al-Mishbah karya Prof. Dr. M. Quraish Shihab. 3) Tafsir Ibnu Katsir (Lubābu at-tafsīr min Ibn Katsīr) karya Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Aal asy-Seikh, 4) Tafsir Fi Zilalil Qur’an karya Sayyid Quthb, 5) Tafsir Al-Maragi karya Ahmad Mustofa al-Maragi. b. Karya-karya ilmiah: 1) Pendidikan Karakter: Pendidikan Berbasis Agama & Budaya Bangsa. Karya Anas Salahudin dan Irwanto Alkrienciehie. 2) Pendidikan Karakter Perspektif Islam karya Abdul Majid & Dian Andayani. 3) Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik & Praktik, karya Fatchul Mu’in,. 4) Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, karya Doni Koesoema A, 5) Disertasi: “Transformasi Ruhani dalam Perspektif Al-Ghazali, karya Akhmad Sodiq, MA.
27
28
2. Sedangkan sumber data sekunder sebagai penunjang/tambahan yang terkait dengan tema skripsi, kesemuanya tercantum dalam daftar pustaka. Adapun waktu penelitian, secara kronologis dimulai dengan pengajuan tiga alternatif judul skripsi pada 15-16 Maret 2014. Selain judul skripsi ini yang telah disetujui, dua judul lain yang penulis ajukan adalah: a Subjek, Objek, dan Materi Pendidikan. Kajian Tafsir Tarbawi QS. 18/Al-Kahfi: 60-82. Kisah Nabi Khaidir As. dan Nabi Musa As. b Pembinaan Kemampuan Siswa Menghafal dan Membaca AlQur’an Secara Tartil. Sebuah Penelitian Tindakan Kelas Pada SMP Asy-Syafi’iyyah Pondok Gede Bekasi. Setelah itu pada 29 Maret 2014 diadakan acara seminar skripsi, dan dalam acara itu, kami mahasiswa/i masing-masing mendapatkan persetujuan judul skripsi dari Kepala Jurusan FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada Sabtu 5 April 2014, penulis memulai mengumpulkan bahanbahan/buku-buku referensi dan literatur, dalam bentuk salinan (copy) dari Perpustakaan FITK dan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selanjutnya secara bertahap penulis melakukan penelitian dengan mengumpulkan data-data dari berbagai sumber sebagai data tambahan untuk melengkapi data yang sebagian kecil penulis telah dapatkan dari Perpustakaan FITK dan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tahap selanjutnya, adalah proses penulisan skripsi ini berlangsung di bawah bimbingan dosen pembimbing hingga rampung dan memperoleh pengesahannya sebagai karya ilmiah.
B. Metode Penelitian Metode penelitiannya adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan pendekatan secara kualitatif, yakni menelaah, dan menganalisis pemikiran-pemikiran yang terdapat dalam berbagai sumber data yang relevan
29
agar memperoleh pemahaman mendalam atas tema pokok pembahasan skripsi ini. Terkait metode tafsir, dalam penelitian ini digunakan metode muqāran (komparasi), yaitu membandingkan kelima kitab tafsir sebagai sumber data primer. Melalui cara ini, dapat diketahui kecenderungan para penafsir dalam objek kajiannya, dimana membahas topik yang sama tetapi dengan redaksi yang berbeda.1
C. Fokus Penelitian Penelitian ini difokuskan pada penjelasan tafsir QS. 3/Ali-Imran: 159, yang terdapat dalam 5 karya tafsir sebagai sumber data primer, guna menemukan penjelasan terkait dengan konsep kecerdasan ruhani.
D. Prosedur Penelitian. Langkah-langkah penelitian yang ditempuh sebagai prosedur penelitan, melalui beberapa tahapan: 1. Identifikasi dan pengumpulan data. Menelusuri ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai surat yang berbicara tentang ruh, termasuk ayat-ayat yang mendukung penjelasan aspek-aspek kecerdasan ruhani berdasarkan kajian tafsir QS. 3/Ali-Imran: 159. Selanjutnya menelusuri beberapa karya dari berbagai sumber yang ada, guna menjelaskan definisi tentang dimensi kecerdasan manusia, khususnya kecerdasan ruhani. Selain itu, data-data yang akan dikumpulkan juga berkaitan dengan pengertian karakter dalam proses pendidikan. 2. Klasifikasi Dari berbagai kitab tafsir yang ada, maka diklasifikasikan kitab tafsir sebagai rujukan utama dan rujukan pembanding. Data yang telah
1
M. Alfatih Suryadilaga, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Cet. I. (Sleman Yogyakarta: Teras. 2005) h. 46-47
30
dikumpulkan juga diklasifikasi guna menemukan pembahasan yang relevan dengan tema pokok penelitian ini. 3. Analisis Deskripsi Komparatif Setelah data-data tersebut dikumpulkan dan dibaca secara objektif, maka akan dilakukan analisis kemudian dielaborasi menurut redaksi peneliti sendiri, dengan memperhatikan kaidah penulisan ilmiah. Uraian tafsirnya dideskripsikan secara komparatif antara karya tafsir yang ada sebagai sumber data primer dan pembanding serta berbagai pemikiran dalam karya lainnya sebagai sumber data sekunder. 4. Kesimpulan Melalui prosedur penelitian inilah, dimungkinkan dapat ditemukan formula baru mengenai aspek kecerdasaan ruhani berbasis Qur’ani, setidaknya dapat menambah atau memperdalam pemahaman tentang uraian kecerdasan spiritual yang telah diungkapkan oleh berbagai kalangan ahli. Adapun teknis penulisan dari hasil penelitian dalam skripsi ini, mengacu pada buku Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
BAB IV KECERDASAN RUHANI PERSPEKTIF QUR’ANI
A. Tafsir QS. 3/Ali’Imran: 159
ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺﭻ Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.1 kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
( فَ ِث َماMaka) mā merupakan tambahan – َ( َرحْ َم ٍة ِم َه هللاِ ِل ْىتrahmat dari Allah kamu menjadi lemah lembut) hai Muhammad – ( لَهُ ْمkepada mereka)
sehingga kamu hadapi pelanggaran mereka terhadap perintahmu itu dengan sikap lunak – ( َولَ ْى ُك ْىتَ فَظًاdan sekiranya kamu bersikap keras) artinya akhlakmu jelek tidak terpuji – ة ِ ( َغلِ ْيظَ ْالقَ ْلdan berhati kasar) hingga kamu ُ ك فَا ْع mengambil tindakan keras terhadap mereka – ع ْىه ُ ْم َ ف َ ِالَ ْوفَض ُّْى ِم ْه َح ْىل (tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu, maka maafkanlah ْ ( َواdan mintakanlah mereka) atas kesalahan yang mereka perbuat – ستَ ْغ ِفرْ لَهُم ampun bagi mereka) atas kesalahan-kesalahan itu hingga Ku-ampuni – اورْ هُ ْم ِ ( َو َشserta berundinglah dengan mereka) artinya mintalah pendapat atau buah pikiran mereka – ر ِ ( فًِ ْاالَ ْمmengenai urusan itu) yakni urusan peperangan dan lain-lain demi mengambil hati mereka, dan agar umat meniru 1
Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya. Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahannya, terbitan Khadim al-Haramain asy-Syarifain (Pelayan kedua Tanah Suci) Raja Fahd ibn „Abd al‟Aziz, dan telah mendapatkan Tanda Tashih dari Departemen Agama RI pada 3 Sya‟ban 1410 H/28 Februari 1990. h. 103. Dalam hal ini termasuk urusan pendidikan.
31
32
sunnah dan jejak langkahmu, maka Rasulullah Saw., banyak bermusyawarah dengan mereka. – َع َز ْمت َ ( فَاِ َذاKemudian apabila kamu telah berketetapan hati) untuk melaksanakan apa yang kamu kehendaki setelah bermusyawarah itu, – ِع َل هللا َ ْ( فَتَ َى َّكلmaka bertawakkallah kepada Allah) artinya percayalah kepada-Nya – حةُّ ْال ُمتَ َى ِّكلِي َْه ِ ُ( اِ َّن هللاَ يSesungguhnya Allah menyukai orangorang yang bertawakkal) kepada-Nya.2 Demikian Tafsir Jalalain yang tampak sederhana, sehingga penulis mengutipnya secara utuh. Secara ringkas dapat dibaca sebagai berikut: Maka rahmat dari Allah kamu menjadi lemah lembut kepada mereka hai Muhammad, sehingga kamu hadapi pelanggaran mereka terhadap perintahmu itu dengan sikap lunak, dan sekiranya kamu bersikap keras, artinya akhlakmu jelek tidak terpuji dan berhati kasar, hingga kamu mengambil tindakan keras terhadap mereka, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu, maka maafkanlah mereka atas kesalahan yang mereka perbuat dan mintakanlah ampun bagi mereka atas kesalahankesalahan itu hingga Ku-ampuni, serta berundinglah dengan mereka, artinya mintalah pendapat atau buah pikiran mereka, mengenai urusan itu, yakni urusan peperangan dan lain-lain demi mengambil hati mereka, dan agar umat meniru sunnah dan jejak langkahmu, maka Rasulullah Saw., banyak bermusyawarah dengan mereka. Kemudian apabila kamu telah berketetapan hati, untuk melaksanakan apa yang kamu kehendaki setelah bermusyawarah itu, maka bertawakkallah kepada Allah, artinya percayalah kepada-Nya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. Bahwa ayat ini diturunkan khusus untuk Nabi Muhammad Saw, berkenaan dengan peristiwa perang Uhud, namun menjadi pelajaran bagi seluruh umat. Dikisahkan, bahwa sebelum perang Uhud, Rasulullah Saw., mengungkapkan dalam majelis permusyawaratan dengan menyampaikan mimpinya kepada para sahabatnya: “Demi Allah. Sungguh aku telah
2
Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuţi. Tafsir Jalalain: Berikut Asbâbun Nuzûl,Terj. Bahrun Abubakar, LC,(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004), Jilid 1, Cet. II, h. 272-273
33
bermimpi baik. Aku bermimpi melihat sapi disembelih, mata pedangku sumbing, dan aku memasukkan tanganku dalam baju besi.:” Rasulullah menakwilkan mimpinya tersebut: sapi disembelih, bermakna sekelompok sahabatnya yang terbunuh; dan mata pedangku sumbing bermakna seorang dari ahli baitnya terluka; sedangkan memasukkan tangan dalam baju bermakna kota madinah. Dengan takwil mimpi ini, beliau mengusulkan pendapatnya kepada para sahabat agar tidak keluar dari kota Madinah.3 Namun sebagian sahabat yang tidak ikut ketika perang Badr, mengusulkan untuk keluar dan mendesak agar menghadapi musuh di luar kota Madinah, sampai akhirnya Rasulullah menyetujuinya. Rasulullah pun masuk ke rumahnya kemudian keluar dengan mengenakan baju perang dan membawa
senjata.
Melihat
keadaan
Rasulullah
itu,
sahabat
yang
mengusulkan hal tersebut, menyesali diri karena merasa telah memaksa Rasulullah, kemudian mengatakan: “Ya Rasulullah, kami telah mendesak Anda untuk keluar padahal tidak selayaknya kami berbuat demikian. Karena itu jika Anda suka, maka sebaiknya duduklah saja dan mengurungkan niat untuk menghadapi musuh di luar Madinah”. Maka Rasulullah pun menjawab: “Tidak pantas bagi seorang Nabi apabila telah memakai pakaian perangnya untuk meletakkannya kembali sebelum berperang”.4 Tidak jauh berbeda dengan kisah tersebut, dalam Tafsir Al-Maragi dapat dibaca: Ayat itu turun seusai perang Uhud. Ketika itu sebagian sahabat ada yang melanggar perintah Nabi saw. Akibat pelanggaran itu, akhirnya menyeret kaum muslimin ke dalam kegagalan sehingga kaum musyrikin dapat mengalahkan mereka (kaum muslimin), dan Rasulullah saw. mengalami luka-luka. Namun Nabi saw. tetap bersabar, tahan uji, dan bersikap lemah lembut, tidak mencela kesalahan para sahabat. Sikap Rasulullah itu adalah menuruti kitabullah. Sebab dalam peristiwa itu, banyak sekali ayat-ayat yang diturunkan. Di situ dibahas kelemahan yang dialami sebagian kaum 3
Syaikh Shafiyur-Rahman Al-Mubarakfury. Sejarah Hidup Muhammad. Terj. Rahmat dari Sirah Nabawiyah Cet. 3. (Jakarta: Robbani Press. 2002) h. 347 4 Muhammad Sa‟id Ramadhan Al-Buthy. Sirah Nabawiyah: Analisis Ilmiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah SAW. Terj. Ainur Rafiq Shaleh Tahmid, Lc. dari Fiqhus Sirah: Dirasat Minhajiah „Ilmiah li Siratil Musthafa „Alaihi Shalatu wa-Salam. Cet. 3 (Jakarta: Robbani Press. 2000) h. 217
34
muslimin, dan pelanggaran mereka terhadap perintah, serta kesembronoan yang mereka lakukan. Bahkan disebutkan pula mengenai prasangka-prasangka dan bisikan-bisikan hati yang jelek. Tetapi celaan yang Dia tuturkan itu disertai penuturan tentang ampunan dan janji pertolongan di samping keseluruhan kalimah-Nya.5 Dalam Tafsir al-Mishbah, Quraish Shihab menjelaskan: Setelah dalam ayat-ayat yang lalu Allah membimbing dan menuntun kaum mslimin, kini tuntunan diarahkan kepada Nabi Muhammad saw. sambil menyebut sikap lemah lembut Nabi kepada kaum muslim khususnya mereka yang telah melakukan kesalahan dan pelanggaran dalam perang Uhud. Sebenarnya cukup banyak hal dalam peristiwa perang Uhud yang dapat mengundang emosi manusia untuk marah. Namun demikian, cukup banyak pula bukti yang menunjukkan kelemahlembutan Nabi saw. Beliau bermusyawarah dengan mereka sebelum memutuskan berperang, beliau menerima usulan mayoritas mereka, walau beliau sendiri kurang berkenan, beliau tidak memaki dan mempersalahkan para pemanah yang meninggalkan markas mereka, tetapi hanya menegurnya dengan halus dan lain-lain. Jika demikian maka disebabkan rahmat yang besar dari Allah-lah, sebagaimana dipahami dari bentuk infinitif (nakirah) dari kalimat rahmat. Bukan oleh satu sebab yang lain, sebagaimana dipahami dari huruf ( )ماmā yang digunakan di sini dalam konteks penetapan rahmatNya – disebabkan rahmat Alllah itu – engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu berlaku keras, buruk perangai, kata kasar lagi berhati kasar, tidak peka terhadap keadaan orang lain, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, disebabkan antipati terhadapmu. Karena perangaimu tidak seperti itu, maka ma'afkanlah kesalahan-kesalahan mereka yang kali ini mereka lakukan, mohonkanlah ampun kepada Allah bagi mereka, atas dosadosa yang mereka lakukan, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu, yakni dalam urusan peperangan dan urusan dunia, bukan urusan syariat atau agama. Kemudian apabila engkau telah melakukan hal di atas dan telah membulatkan tekad, melaksanakan musyawarah kamu, maka laksanakan sambil bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya dan dengan demikian, Dia akan membantu dan membimbing mereka ke arah apa yang mereka harapkan.6
5
Ahmad Mustafa al-Maragi. Tafsir Al-Maragi. Cet. 2. Juz. IV. Terj. oleh Bahrun Abubakar, Lc. Dan Hery Noer Aly. (Semarang: CVToha Putra. 1993) h. 193 6 M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an. Cet. III. Vol. 2. (Jakarta: Lentera Hati. 2010). h. 309-310
35
Dari penjelasan tafsir al-mishbah, bahwa ayat dalam QS. 3/Ali‟Imran: 159 ini menjadi bukti kelemahlembutan Nabi Muhammad Saw. karena sanggup memaafkan kesalahan para sahabatnya yang menyebabkan penderitaan dan kekalahan pasukan Islam dalam peristiwa perang Uhud. Sebuah pelajaran penting, bahwa sebesar apa pun kesalahan yang dilakukan, maka sebagai sesama muslim, hendaklah senantiasa saling memaafkan dan saling mendoakan.
B. Analisis Komparatif Tafsir QS. 3/Ali’Imran: 159 Membandingkan 5 (lima) kitab tafsir sebagai sumber data primer dalam penelitian ini, masing-masing memiliki corak uraian yang berbeda. Tafsir Jalalain, penjelasannya singkat yaitu menjelaskan makna per kata atau kalimat, dan menghubungkan antara kata atau kalimat dengan menambahkan penjelasan singkat, sehingga secara global pembaca dapat menangkap maksud dari kandungan ayat 159 Surat Ali-„Imran. Maka Tafsir Jalalain ini dapat digolongkan ke dalam tafsir yang menggunakan metode ijmali (global).7 Tafsir Ibnu Katsir (Lubābu at-tafsīr min Ibn Katsīr), Tafsir Fi Zilalil Qur‟an, dan Tafsir Al-Maragi, yang merupakan sumber data primer dalam penelitian ini, adalah kitab tafsir yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari kitab aslinya yang berbahasa Arab. Dengan membaca terjemahan ketiga tafsir tersebut, ditemukan penjelasan secara luas sesuai dengan konteks makna ayatnya dengan mengartikan kosa kata, dan berdasarkan asbabun nuzul ayat, namun beberapa bagian tidak dibahas secara luas. Misalnya dalam QS. 3/Ali-„Imran: 159 ini, pada bagian ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ (karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka), tidak ditemukan uraiannya. Maka ketiga tafsir tersebut, dapat digolongkan ke dalam tafsir dengan metode tahlili.
7
M. Alfatih Suryadilaga, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Cet. I. (Sleman Yogyakarta: Teras. 2005). h. 43
36
Metode tahlili, Baqir Al-Shadr menyebutnya metode tajzi‟iy adalah “metode yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat AlQur‟an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat alQur‟an sebagaimana tercantum di dalam mushaf”. Uraiannya bermula dari arti kosa kata, asbab al-nuzul, munasabah, dan lain-lain. Walau pun sifatnya luas, namun tidak menyelesaikan satu pokok bahasan.8 Perbedaan bagian penjelasan ketiga tafsir tersebut, dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tafsir
Bagian Penjelasan 1.
Ibnu Katsir
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka.
2. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. 3. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. 4. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. 9 1. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Fi Zilalil Qur‟an
2. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. 3. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
8
M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Cet. VI. (Bandung: Mizan. 1994) . h. 86 9 Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Aal asy-Seikh. Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir. Jilid 2. Terj. Abdul Ghaffar. Cet. 1 (Bogor: Pustaka Imam Syafi‟i. 2001) h. 173175
37
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.10 1. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Tafsir Al-Maragi
2. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. 3. dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. 4. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. 5. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.11
Berbeda dengan bagian penjelasan ketiga tafsir tersebut, maka peneliti mengklasifikasi QS. 3/Ali-„Imran: 159, menjadi lima bagian penjelasan: Bagaian pertama
ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧﭨ Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Dalam Tafsir al-Mishbah, Quraish Shihab menguraikan kandungan bagian ayat ini: Firman-Nya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka dapat menjadi salah satu bukti bahwa Allah swt. sendiri yang mendidik dan membentuk kepribadian Nabi Muhammad saw., sebagaimana sabda beliau: “Aku dididik oleh Tuhanku, maka sungguh baik hasil pendidikan-Nya.” Kepribadian beliau dibentuk sehingga bukan hanya pengetahuan yang Allah limpahkan kepada beliau melalui wahyu-wahyu al-Qur‟an, tetapi juga kalbu beliau disinari, bahkan totalitas wujud beliau merupakan rahmat 10
Sayyid Quthb. Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an: Di Bawah Naungan Al-Qur‟an. Terj. As‟ad Yasin, Abul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah. Jilid 2. Cet. 1. (Jakarta: Gema Insani Press. 2011). h. 191-196 11 al-Maragi. Op.cit. h. 193-204
38
bagi seluruh alam. Firman-Nya: Sekiranya kamu berlaku keras lagi berhati kasar..., mengandung makna bahwa engkau Muhammad, bukanlah seorang yang berhati keras. Ini dipahami dari kata ( لىlauw) yang diterjemahkan sekiranya. Kata ini digunakan menggambarkan sesuatu yang bersyarat, tetapi syarat tersebut tidak dapat terwujud. Seperti jika seorang yang ayahnya telah meninggal kemudian berkata “Sekiranya ayah saya hidup, saya akan menamatkan kuliah”. Karena ayahnya telah wafat, kehidupan yang diandaikannya pada hakikatnya tidak ada dan tidak demikian, tamat yang diharapkannya pun tidak mungkin terwujud. Jika demikian, ketika ayat ini menyatakan sekiranya engkau berlaku keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, itu berarti sikap keras lagi berhati kasar tidak ada wujudnya, dan karena itu tidak ada wujudnya, maka tentu saja, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, tidak pernah akan terjadi.12 Dalam Tafsir Ibnu Katsir dapat dibaca: Firman-Nya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Artinya, dan tidak sesuatu yang menjadikan kamu bersikap lemah lembut kepada mereka kalau bukan rahmat Allah yang diberikan kepadamu dan kepada mereka. Qatadah mengatakan, “Karena Rahmat Allah engkau (Muhammad) bersikap lemah lembut kepada mereka. Huruf “ “ َماmerupakan shilah (penghubung). Dan bangsa Arab biasa menghubungkannya dengan isim ma‟rifat.13 Lanjutan Firman Allah Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Yang dimaksud dengan “ ُّ “ الفَظdan “ ُ “ ال َغلِ ْيظdi sini adalah ucapan kasar. Hal ini sesuai dengan firman-Nya ﭽ ﭣﭤﭼ “berhati keras”. Artinya, jika kamu mengeluarkan kata-kata buruk dan berhati keras kepada mereka, niscaya mereka akan menjauh dan meninggalkanmu, tetapi Allah menyatukan mereka semua kepadamu. Dan Allah menjadikan sikapmu lembut kepada mereka dimaksudkan untuk menarik hati mereka, sebagaimana yang dikatakan Abdullah bin Amr, “Aku melihat sifat Rasulullah SAW dalam kitab-kitab terdahulu seperti itu, dimana beliau tidak bertutur kata kasar dan tidak juga berhati keras, tidak juga berteriak-teriak di pasar, tidak pernah 12
M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an. Cet. III. Vol. 2. (Jakarta: Lentera Hati. 2010). h.310-311 13 Isim ma‟rifat ialah isim (kata benda) yang menunjukkan sesuatu yang jelas seperti „Umar (nama orang), Makkah (nama kota/tempat), Engkau (kata ganti). Kebalikannya adalah isim nakirah yaitu: isim (kata) yang menunjukkan sesuatu yang tidak jelas, seperti seorang laki-laki, kota (suatu kota).
39
membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi beliau itu senantiasa memberikan maaf.”14 Inilah gambaran, betapa agung akhlak Rasulullah Saw. mampu menunjukkan sikap kelembutan terhadap umatnya, padahal secara logika, kesalahan yang mereka perbuat, pantas mendapatkan hukuman, karena mereka sudah memaksakan kehendak kepada Rasulullah untuk keluar menghadapi musuh di luar kota Madinah. Akibatnya, Rasulullah menanggung penderitaan dan kekalahan dalam perang Uhud. Nampaknya mereka tidak lagi menghargai pendapat Rasulullah yang bersumber dari wahyu melalui mimpi beliau. Oleh karenanya, penggalan (bagian pertama) ayat 159 Surat Ali„Imran, menegaskan keagungan akhlak Rasulullah Saw. Tafsir al-Mishbah dan Tafsir Ibnu Katsir, menyelaraskan penggalan (bagian pertama) ayat tersebut sesuai dengan firman-Nya dalam ayat yang lain:
ﮬﮭﮮﮯﮰﮱ ﮲﮳﮴﮵ ﮶﮷ ﮸﮹ Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS. 9/At-Taubah: 128). Selanjutnya, terhadap penggalan (bagian pertama) ayat 159 Surat Ali„Imran, dapat dibaca pula dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an: Inilah rahmat Allah yang meliputi Rasulullah dan meliputi mereka, yang menjadikan beliau SAW., begitu penyayang dan lemah lembut kepada mereka. Seandainya beliau bersikap keras dan berhati kasar, niscaya hati orang-orang di sekitar beliau tidak akan tertarik kepada beliau, dan perasaan mereka tidak akan tertambat pada beliau. Manusia itu senantiasa memerlukan naungan yang penuh kasih sayang, pemeliharaan yang optimal, wajah yang ceria dan peramah, cinta dan kasih sayang, dan jiwa kepenyantunan yang tidak menjadi sempit karena kebodohan, kelemahan dan kekurangan mereka. Mereka memerlukan hati yang agung, yang suka memberi kepada 14
Aal asy-Syeikh. op. cit., h. 173-174
40
mereka dan tidak membutuhkan pemberian dari mereka; yang mau memikul duka derita mereka dan tidak menginginkan duka derita mereka dipikul mereka; dan yang senantiasa mereka dapatkan padanya kepedulian, perhatian, pemeliharaan, kelemahlembutan, kelapangan dada, cinta kasih dan kerelaan.15 Antara Tafsir al-Mishbah, Tafsir Ibnu Katsir, dan Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an, walaupun menggunakan redaksi yang berbeda dalam menguraikan kandungan ayat tersebut, namun secara substansi memiliki pandangan yang sama tentang keagungan akhlak Rasulullah Saw., dimana beliau senantiasa bersikap lemah lembut terhadap sebagian umatnya yang telah melakukan kesalahan. Inilah kepribadian yang agung, semata-mata merupakan rahmat dari Allah. Al-Maragi menguraikan tafsirnya terhadap penggalan ini (bagian pertama) dari ayat 159 Surat Ali-„Imran: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sesungguhnya memang telah ada di antara para sahabatmu orang-orang yang berhak mendapatkan celaan dan perlakuan keras, ditinjau dari karakter manusia. Sebab mereka telah melakukan kesalahan yang berakibat kekalahan, sedangkan peperangan itu dilakukan oleh semuanya. Tetapi sekalipun demikian, engkau (Muhammad) tetap bersikap lemah lembut terhadap mereka, dan engkau perlakukan mereka dengan baik. Semua itu berkat rahmat yang diturunkan Allah ke dalam hatimu, dan Allah mengkhususkan hal itu hanya untukmu. Karena Allah telah membekalimu dengan akhlak-akhlak Al-Qur‟an, yang luhur, di samping hikmah-hikmahNya yang agung. Dengan demikian, musibah-musibah yang engkau alami sangat mudah dan enteng dirasakan. 16 Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu Andaikata engkau (Muhammad) bersikap kasar dan galak dalam muamalah dengan mereka (kaum muslimin), niscaya mereka akan bercerai (bubar) meninggalkan engkau dan tidak menyenangimu. Sehingga engkau tidak bisa menyampaikan hidayah dan bimbingan kepada mereka ke jalan yang lurus. Hal itu karena maksud dan tujuan utama diutusnya para rasul ialah untuk menyampaikan syariat-syariat Allah kepada umat manusia. Hal itu jelas tidak akan tercapai selain mereka 15 16
Quthb. op. cit., h. 193 al-Maragi. op. cit., h. 193-194
41
bersimpati kepada para rasul, dan jiwa mereka merasa tenang dengan para rasul. Semua itu akan terwujud jika sang rasul bersikap pemurah dan mulia, melupakan semua dosa yang dilakukan oleh seseorang, serta memaafkan kesalahan-kesalahannya. Rasul haruslah bersifat lemah lembut terhadap orang yang berbuat dosa, membimbingnya ke arah kebaikan, bersikap belas kasih, lantaran ia sangat membutuhkan bimbingan dan hidayah.17 Selain QS. 9/At-Taubah: 128, sebagaimana yang dinyatakan dalam Tafsir al-Mishbah dan Tafsir Ibnu Katsir tentang keagungan akhlak Rasulullah, al-Maragi memandang penggalan (bagian pertama) ayat 159 Surat Ali-„Imran, sesuai dengan Firman-Nya dalam ayat yang lain:
ﮛﮜ ﮝﮞ dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (QS. 68/Al-Qalam: 4) Bagian Kedua
ﭩﭪ karena itu ma'afkanlah mereka, Berkat rahmat Allah, Nabi Muhammad Saw. bersikap lemah lembut, maka beliau diperintahkan oleh Allah untuk memaafkan sebagian sahabat karena kesalahan mereka yang telah memaksa Nabi keluar dari kota Madinah untuk menghadapi musuh, dan hasil yang diperoleh adalah kekalahan, sehingga Rasulullah menanggung penderitaan fisik. Oleh karenanya, memaafkan kesalahan orang lain tidak akan terwujud, jika masih berperangai kasar dan berhati keras. Quraish Shihab mengungkapkan, bahwa “maaf” secara harfiah berarti “menghapus”. Jadi memaafkan adalah menghapus bekas luka hati akibat perlakuan orang lain yang dinilai tidak wajar.18 Terkait dengan kelanjutan bagian kedua dari ayat 159 Surat Ali„Imran, al-Maragi menjelaskan: 17 18
Ibid., h. 195 Shihab, op. cit., h. 313
42
Hal itu jelas tidak akan tercapai selain mereka bersimpati kepada para rasul, dan jiwa mereka merasa tenang dengan para rasul. Semua itu akan terwujud jika sang rasul bersikap pemurah dan mulia, melupakan semua dosa yang dilakukan oleh seseorang, serta memaafkan kesalahan-kesalahannya. Rasul haruslah bersifat lemah lembut terhadap orang yang berbuat dosa, membimbingnya ke arah kebaikan, bersikap belas kasih, lantaran ia sangat membutuhkan bimbingan dan hidayah.19 Berbeda dengan Tafsir al-Mishbah dan Tafsir al-Maragi, penjelasan untuk bagian kedua ini tentang “karena itu ma'afkanlah mereka”, peneliti tidak menemukan urainnya dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an, padahal uraiannya panjang-lebar dan bertele-tela, termasuk dalam Tafsir Ibnu Katsir yang penjelasannya juga cukup panjang. Bagian ketiga
ﭫﭬ Dan mohonkanlah ampunan bagi mereka, Berdoa, memohon ampunan Allah bagi mereka yang bersalah, merupakan bukti nyata bagi hati yang lembut dan telah memaafkan kesalahan orang lain. Pada bagian ketiga ini, juga tidak ditemukan penjelasannya di dalam kitab tafsir sebagai sumber data primer, kecuali penjelasan singkat yang ada kaitannya dengan musyawarah dalam Tafsir al-Mishbah: Quraish Shihab menjelaskan: kalau demikian untuk mencapai yang terbaik dari hasil musyawarah, hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis, itu sebabnya hal ketiga yang harus mengiringi musyawarah adalah permohonan maghfirah dan ampunan Ilahi, sebagaimana ditegaskan oleh pesan ayat di atas (yang sedang ditafsirkan ini: QS. 3/Ali-„Imran: 159), ( )واستغفرلهمwa istaghfir lahum.20
19 20
al-Maragi, op.cit., h. 195 Shihab, op. cit., h. 314
43
Bagian keempat
ﭭ ﭮ ﭯﭰ Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Pada bagian ini, Quriash Shihab menjelaskan dalam Tafsir alMishbah: Salah satu yang menjadi penekanan pokok ayat ini (QS. 3/Ali„Imran: 159) adalah perintah melakukan musyawarah. Ini penting karena petaka yang terjadi di Uhud didahului oleh musyawarah serta disetujui oleh mayoritas. Kendati demikian, hasilnya telah diketahui, adalah kegagalan. Hasil ini boleh jadi mengantar seseorang untuk berkesimpulan bahwa musyawarah tidak perlu diadakan. Apalagi bagi Rasul Saw. Nah, karena itu, ayat ini dipahami sebagai pesan untuk melakukan musyawarah. Kesalahan yang dilakukan setelah musyawarah tidak sebesar kesalahan yang dilakukan tanpa musyawarah, dan kebenaran yang diraih sendirian, tidak sebaik kebenaran yang diraih bersama.21 Makna musyawarah menurut Quraish Shihab: Kata musyawarah terambil dari kata ( شىرsyawara) yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil/dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Kata musyawarah, pada dasarnya, hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasar di atas.22 Terkait فِى األمر/fi al-amr (dalam urusan itu) dalam QS. 3/Ali-„Imran: 159, para ulama berbeda pendapat tentang hal apa saja yang harus dimusyawarahkan. Sebagian ulama berpendapat, berdasarkan asbab al-nuzul, bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan peristiwa perang Uhud, maka wilayah yang dimusyawarahkan adalah sebatas urusan perang. Dalam hal ini menurut Quraish Shihab, bahwa pandangan ini tidak didukung praktik Nabi Saw., bahkan tidak sejalan dengan sekian ayat al-Qur‟an. Terdapat dua ayat
21 22
Ibid.., h. 312 Ibid.
44
lain yang menggunakan akar kata musyawarah, yaitu QS. 2/Al-Baqarah: 233,23 dan QS. 42/Asy-Syūrā: 3824. QS. 2/Al-Baqarah: 233 membicarakan bagaimana seharusnya suamiistri dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti soal menyapih anak. Di sana, Allah memberi petunjuk agar persoalan itu (dan juga persoalan-persoalan rumah tangga lainnya) dimusyawarahkan antara suami-istri.25 QS. 42/Asy-Syūrā: 38 menjanjikan bagi orang mukmin ganjaran yang lebih baik dan kekal di sisi Allah. Orang-orang mukmin dimaksud memiliki sifat-sifat,
antara
lain
adalah
(تيىهم
شىري
)أمرهم
amruhum
syūrā
bainahum/urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antar mereka.26 Dengan demikian, Quraish Shihab menyimpulkan: Lapangan musyawarah adalah: persoalan-persoalan kemasyarakatan, seperti dipahami dari (QS. 42/Asy-Syūrā: 38) di atas. Para sahabat Nabi saw. menyadari benar hal ini hingga mereka tidak mengajukan saran menyangkut hal-hal yang telah mereka ketahui adanya petunjuk Ilahi. Ketika Nabi saw. memilih satu lokasi, untuk pasukan kaum muslimin dalam perang Badar, sahabat beliau, alKhubbab Ibn al-Mundzir, terlebih dahulu bertanya: “Apakah ini tempat yang diperintahkan Allah kepadamu untuk engkau tempati atau pilihan ini adalah pilihanmu berdasarkan strategi perang dan tipu muslihat?” Ketika Nabi menjawab bahwa pilihan itu adalah pilihan berdasarkan pertimbangan beliau, barulah al-Khubbab menyarankan lokasi lain, yang ternyata disetujui oleh Nabi saw. Sebaliknya, dalam perundingan Hudaibiyah, beberapa syarat yang disetujui Nabi tidak berkenan di hati banyak sahabat beliau. „Umar Ibn Khaththab menggerutu dan menolak, “Mengapa kita harus menerima syaratsyarat ini yang merendahkan agama kita.” Demikian lebih kurang ucap „Umar, tetapi begitu Nabi saw. menyampaikan bahwa: “Aku adalah Rasul Allah.” „Umar ra. dan sahabat-sahabat lainnya terdiam 23
... apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain... (Qs. Al-Baqarah [2]: 233) 24 dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; ... (QS. 42/AsySyūrā: 38) 25 Shihab. op. cit., h. 315 26 Ibid.
45
dan menerima putusan Rasul saw. itu. Dari sini dapat disimpulkan bahwa persoalan-persoalan yang telah ada petunjuknya dari Allah swt. secara tegas dan jelas, baik langsung maupun melalui Rasul saw., persoalan itu tidak termasuk lagi yang dapat dimusyawarahkan. Musyawarah hanya dilakukan dalam hal-hal yang belum ditentukan petunjuknya serta soal-soal kehidupan duniawi, baik yang petunjuknya bersifat global maupun yang tanpa petunjuk dan yang mengalami perubahan.27 Para fuqaha (ahli fiqih) berbeda pendapat, apakah musyawarah itu suatu hal yang wajib bagi Nabi Muhammad, atau sunnah dalam rangka menarik hati para sahabat? Dalam hal ini terdapat hadis Nabi dari Abu Hurairah bahwa beliau pernah bersabda: “( ال ُم ْس ْت ْى َشا ُر ُم ْؤتَ َمهOrang yang diajak bermusyawarah itu adalah orang yang dapat dipercaya). Demikian munurut Tafsir Ibnu Katsir.28 Dalam Tafsir Fi Zilalil Qur‟an, dinyatakan: Dengan nash yang tegas ini, “dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” (QS. 3/Ali-„Imran: 159), Islam menetapkan prinsip ini dalam sistem pemerintahan, hingga Muhammad Rasulullah SAW. sendiri melakukannya. Ini adalah nash yang pasti dan tidak meninggalkan keraguan dalam hati umat Islam bahwa syura merupakan mabda‟ asasi „prinsip dasar‟ dimana nizham Islam tidak ditegakkan di atas prinsip lain. Adapun bentuk syura beserta implementasinya, adalah persoalan teknis yang dapat berkembang sesuai dengan aturan yang berlaku di kalangan umat dan kondisi yang melingkupi kehidupannya. Maka semua bentuk dan cara yang dapat merealisasikan syura, bukan sekadar simbol lahiriahnya saja, adalah dari Islam.29 “Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu” dalam Tafsir Al-Maragi, uraiannya tidak jauh berbeda dengan Tafsir al-Mishbah, Tafsir Ibnu Katsir (Lubābu at-tafsīr min Ibn Katsīr), dan Tafsir Fi Zilalil Qur‟an. Point yang dapat diangkat di sini adalah musyawarah mengandung banyak sekali manfaat, di antaranya:
27
Ibid., h. 315-316 Aal asy-Syeikh, op. cit., h. 175 29 Quthb, op. cit., h. 193 28
46
1. Melalui musywarah dapat diketahui kadar akal, pemahaman, kadar kecintaan dan keikhlasan terhadap kemaslahatan umum. 2. Kemampuan akal manusia itu bertingkat-tingkat, dan jalan pikirannya pun berbeda-beda. Sebab kemungkinan ada di antara mereka mempunyai suatu kelebihan yang tidak dimiliki orang lain, (termasuk) para pembesar sekalipun. 3. Semua pendapat di dalam musyawarah, diuji kemampuannya. Setelah itu diuji pendapat yang paling baik. 4. Di dalam musyawarah akan tampak bertautnya hati untuk menyukseskan suatu upaya dan kesepakatan hati. Dalam hal itu memang sangat diperlukan untuk suksesnya masalah yang sedang dihadapi. Oleh sebab itu berjamaah lebih afdal di dalam salat-salat fardu. Salat berjamaah lebih afdal dari pada salat sendirian, dengan perbedaan dua puluh tujuh derajat. Telah dinyatakan oleh Al-Hasan ra. bahwa Allah SWT, sebenarnya telah mengetahui bahwa Nabi saw. sendiri tidak membutuhkan mereka (para sahabat dalam masalah ini). Tetapi beliau bermaksud membuat suatu sunnah untuk orang-orang sesudah beliau.30 Bagian kelima
ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang bertawakkal kepada-Nya. Pesan terakhir Ilahi dalam konteks musyawarah adalah setelah musyawarah usai, yaitu ( ) فإذاعزمت فتى ّكل علً هللاfa idzā „azamta fatawakkal „alā Allah (apabila telah bulat tekad, [laksanakanlah] dan berserah dirilah kepada Allah). Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berserah diri kepada-Nya. Inilah uraian singkat Quraish Shihab dalam tafsirnya.31 Bagian akhir dari QS.3/Ali-Imran: 159, menurut Tafsir Ibnu Katsir, bermakna, jika kamu telah mengajak mereka bermusyawarah mengenai suatu masalah, lalu kamu telah benar-benar bulat terhadap keputusan yang dihasilkan, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. 32 30
al-Maragi, op. cit., h. 197 Shihab, op. cit., h. 314 32 Aal asy-Syeikh, op. cit., h. 175 31
47
Dalam Tafsir Fi Zilalil Qur‟an dinyatakan: Ketika ada kesempatan, Rasulullah SAW. tidak tergerak hatinya untuk surut kembali. Karena beliau ingin memberikan pelajaran secara tuntas kepada mereka, pelajaran tentang syura (musyawarah), kemudian tekad dan pelaksanaan, disertai dengan tawakkal dan menyerah kepada kadar-Nya. Juga hendak mengajarkan kepada mereka bahwa syura itu ada waktunya, dan sesudah itu tidak boleh ada keragu-raguan dan kebimbangan, untuk menimbang-nimbang dan mengkaji ulang, serta membolak-balik pikiran. Karena semua itu cenderung membawa kepada kelumpuhan, kepastian, dan kegoyahan yang tidak ada kesudahannya. Yang ada hanyalah pemikiran dan bermusyawarah, tekad dan pelaksanaan, serta tawakkal kepada Allah, suatu sikap yang dicintai oleh Allah. Dengan demikian, tawakkal kepada Allah dan mengembalikan segala urusan kepada-Nya pada akhirnya, adalah garis perimbangan terakhir dalam tashawur islami dan dalam kehidupan islami. Ini adalah hubungan dengan hakikat yang besar, yaitu hakikat bahwa kembali segala urusan adalah kepada Allah dan bahwa Allah berbuat terhadap apa yang dikehendaki-Nya.33 Bahwa perlu ada batasan waktu dalam melakukan musyawarah, dan jika sudah menjadi kesepakatan bersama, maka tidak boleh satu pihak pun yang meragukannya, apalagi menebarkan kebimbangan kepada peserta musyawarah. Agar kesepakatan itu menjadi tanggung jawab bersama, maka dengan kebulatan tekad, segala hal diserahkan kepada Allah. Apapun dampak yang timbul dari kesepakatan itu, harus diterima sebagai bentuk tawakkal kepada Allah. Demikian makna dari uraian Tafsir Fi Zilalil Qur‟an. Tafsir Al-Maragi memaknai bagian akhir dari QS. 3/Ali-„Imran: 159, bahwa: Jangan sekali-kali kalian mengandalkan kemampuan dan kekuasaan sendiri. Juga jangan terlalu yakin dengan pendapat dan perlengkapan/sarana yang cukup memadai. Karena semua itu tidak cukup untuk menunjang keberhasilan usaha. Selagi tidak dibarengi pertolongan dan taufiq Allah. Sebab hambatan-hambatan dan rintangan-rintangan yang menjegal jalan menuju keberhasilan sangatlah banyak dan tidak bisa diduga datangnya. Tak ada yang bisa 33
Quthb, op. cit., h. 195-196
48
meliputinya selain Zat Yang Maha Tahu mengenai masalah-masalah gaib. Untuk itu bertawakkal merupakan suatu keharusan, dan wajib pula menyandarkan diri pada kekuatan dan kemampuan-Nya.34 Manusia hanya bisa berusaha dengan segenap kemampuannya. Namun demikian, tidak boleh melupakan keterbatasan diri, untuk senantiasa memohon pertolongan Allah. Ikhtiar dan memohon pertolongan kepada Allah, keduanya harus seiring-sejalan. Inilah hakikat bertawakkal kepadaNya.
C. Analisis Kandungan QS. 3/Ali-‘Imran: 159 Guna pendalaman pemahaman sikap Nabi Muhammad Saw. sebagai tauladan bagi umatnya, maka akan diuraikan lima sikap perilaku berdasarkan telaah tafsir QS. 3/Ali-„Imran: 159, sebagai berikut: 1. Lemah Lembut dan Tidak berlaku keras lagi berhati kasar
ِ Kata ﭝ/engkau berlaku lemah lembut, asalnya dari kata ,ْي ُالَ َن – يَل ن ( لِني نًا َولَيَانًا َولِني نَ ًةlāna-yalīnu, līnan walayānan walīnatan) yang berarti lunak, lemas.35 Pada ayat yang lain terdapat kata لَيِّ نًاsebagaimana Allah berfirman:
ﮢﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧﮨﮩ ﮪﮫ ﮬﮭ ﮮ ﮯﮰ
(Wahai Musa dan Harun)“Pergilah kamu berdua kepada Fir‟aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudahmudahan ia ingat dan takut.” (QS. 20/Thaha: 43-44) Terdapat kata lain yang memiliki makna kelembutan, yaitu al-hilm ()الحلم, al-anah ()األناة, dan al-rifq ()الرفق. Ketiga kata ini dapat ditemukan dalam hadis Nabi Saw.:
ِ ِ َشج َ صلَّى اهللُ َعلَني ِو َو َسلَّ َم أل َ قَ َال َر ُس نو ُل اهلل: قَ َال,َو َع نن ابن ِن َعبَّاس َرض َي اهللُ َعن ُه َما ِ ِ ِ صلَتَ ن ) انحلِلن ُم َوانألَنَاةُ (رواه مسلم:ْي ُُِيبُّ ُه َما اهلل َ إِ َّن فين:َعنبد الن َقنيس ك َخ ن
34
al-Maragi, op. cit., h. 198 Ahmad Warson Munawir. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Pesantren Al-Munawwir Krapyak. 1984). h. 1396 35
49
Dari Ibnu „Abbas ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda kepada Asyaj hambanya Qais: “Sesungguhnya di dalam dirimu ada dua sifat yang disukai oleh Allah, yaitu: santun (al-hilm) dan sabar (al-anāh) (HR. Muslim)36
ِ ِ ُ قَ َال رس:وعن عائِشةَ ر ِضي اهلل عن ها قَالَت ن َ ََن َ ول اهلل ََُ َ َ َ إِ َّن اهلل: صلَّى اهللُ َعلَنيو َو َسلَّ َم َُ )الرفن َق ِِف انأل نَم ِر ُكلُّوُ (متفق عليو ُّ َرفِني ٌق ُُِي ِّ ب
Dari Aisyah ra., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah itu lunak (rafīqun) dan menyukai kelunakan (al-rifq) pada segala hal (HR. Muttafaqun „alaih)37 Dapatlah dipahami bahwa, lunak atau lemah lembut menjadi sikap para Nabi dan Rasul yang mendapat tugas untuk membimbing dan mengajarkan umat manusia berdasarkan petunjuk Allah. Artinya kelembutan merupakan bagian dari metode dakwah. Secara logika, Fir‟aun yang dosadosanya telah melampaui batas, hingga mengaku dirinya Tuhan, mestinya seketika dengan mudah Allah hancurkan dan binasakan sebagaimana Allah membinasakan dosa-dosa umat terdahulu. Namun Allah perintahkan kepada Musa dan Harun agar berbicara dengan perkataan yang lemah lembut ketika menghadapi Fir‟aun. Kelembutan sikap yang ditunjukkan oleh Musa dan Harun ketika berhadapan dengan Fir‟aun, terkandung beberapa hikmah, di antaranya: pertama, sebagaimana ayat tersebut, mudah-mudahan Fir‟aun dapat mengingat dan takut akan peringatan Tuhan, jika di hatinya masih melihat adanya kebenaran untuk memperoleh hidayah Allah. Kedua, Tugas para Nabi dan Rasul hanyalah menyampaikan berita gembira dan peringatan sebagaimana Firamn Allah:
ﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﰃﰄ ﰅ ﰆ ﰇ ﰈ ﰉ Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran, sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, 36
Mushlich Shabir. Terjemah Riyadhus Shalihin. Jilid 1.( Semarang: Karya Toha Putra Semarang. 2004) h. 327 37 Ibid.
50
dan kamu tidak akan dimintai (pertanggungan jawab) tentang penghuni-penghuni neraka. (QS. 2/Al-Baqarah: 119) Ketiga, kelembutan sikap harus menjadi modal utama bagi setiap orang yang menyampaikan kebenaran, karena kebenaran tidak bisa ditegakkan dengan prilaku kasar dan berhati keras dalam tindakan atau pun ucapan. Maka hal ini membuktikan bahwa Islam tidak boleh disebarkan dengan paksaan apalagi tindakan anarkis. Keempat, jika Fir‟aun tidak menyadarinya juga, padahal ia sudah dingatkan secara baik-baik dengan sikap lemah lembut, maka inilah alasan bagi Tuhan untuk menimpakan azab kepadanya. Kelima, hanya Tuhanlah yang memiliki hak prerogatif untuk menghukum/menimpakan adzab, dan hukuman Tuhan seperti bencana/malapetaka di bumi, tidak akan ditimpakan kepada seseorang atau suatu kaum, kecuali telah datang kepada mereka peringatan yang disampaikan dengan lemah lembut. Untuk itu manusia tidak memiliki kewenangan untuk menghukum, sekalipun seorang Nabi yang mendapatkan wahyu Tuhan. Dengan kelembutan, mencegah seseorang untuk berperilaku keras lagi berhati kasar, sehingga timbul pada dirinya pancaran aura kewibawaan yang memunculkan rasa simpati dari orang lain. Dengan begitu, orang lain rela mendengarkan dan menerima saran darinya. 2. Memaafkan. Perilaku keras dan berhati kasar adalah penyakit hati walau pun jasmani tampak sehat walafiat. Perangai ini sebagai penghalang seseorang untuk melihat kebenaran. Maka memaafkan itulah obat penyakit hati. Dengan memaafkan, pelampiasan kemarahan dapat terhindarkan untuk memperoleh kembali hati yang lembut sehingga dapat melihat cahaya kebenaran di balik setiap peristiwa. Ketahuilah bahwa surga adalah balasan yang setimpal bagi setiap hati yang senantiasa memaafkan. Firman Allah:
51
ﭒﭓﭔﭕﭖﭗﭘ ﭙﭚﭛ ﭠﭡﭢﭣﭤ
ﭜﭝﭞﭟ
ﭥ ﭦ ﭧﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. 3/Ali-„Imran: 133-134) Boleh jadi seseorang sanggup tidak menampakkan kemarahannya di depan umum, akan tetapi tidak menutup kemungkinan baginya untuk masih menyisakan kemarahan di hati yang berpotensi pada perasaan dendam. Lagilagi memaafkan itulah akan menghapus rasa dendam. Hilangnya rasa dendam, akan tercipta perdamaian. Inilah tangga kebajikan menuju pengharapan kasih sayang Tuhan . Terkait menahan marah, dapat dijumpai pada ayat lain dalam AlQur‟an tentang kisah Nabiyallah Ya‟qub as. yang kehilangan putra terkasihnya, Nabiyallah Yusuf as. Allah berfirman:
ﯞﯟﯠﯡﯢ ﯣﯤ ﯥﯦﯧﯨﯩ Dan (Ya'qub) berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: "Aduhai duka citaku terhadap Yusuf", dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya). (QS. 12/Yusuf: 84) Betapa pentingnya Allah mengajarkan kepada umat manusia melalui Rasul-Nya agar senantiasa menahan marah dan sanggup memaafkan, sekalipun terhadap pengkhianatan yang dilakukan oleh orang-orang yang
52
berlaku dzalim, karena kesanggupan memaafkan guna memperbaiki hubungan sosial adalah kebajikan yang dicintai Allah.
ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰﮱ ﮲ ﮳ ﮴ ﮵ ﮶﮷ ﮸ ﮹ ﮺ ﮻ ﮼ ﮽ ﮾ ﮿ ﯀﯁ ﯂ (tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu, mereka suka merobah Perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya,38 dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS. 5/Al-Maidah: 13) Kalau pun ada hak manusia untuk menghukum, itu semata-mata melaksanakan perintah Tuhan, seperti hukuman qishash39 oleh lembaga yang diberikan wewenang, bukan dilakukan oleh setiap individu yang dipengaruhi oleh kepentingan pribadi karena rasa dendam di hati. Bahkan, masih ada peluang untuk memaafkan dari pihak korban, bila hendak memenuhi anjuran Tuhan. Sebagaimana firman Allah:
38
Maksudnya: merobah arti kata-kata, tempat atau menambah dan mengurangi. Lihat AlQur‟an dan Terjemahannya terbitan Khadim al-Haramain asy-Syarifain (Pelayan kedua Tanah Suci) Raja Fahd ibn „Abd al‟Aziz, dan telah mendapatkan Tanda Tashih dari Departemen Agama RI pada 3 Sya‟ban 1410 H/28 Februari 1990. h. 160 39 Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. Qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh, yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. Pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. Sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, bila ahli waris si korban, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat (karena balas dendam), maka terhadapnya di dunia diberlakukan qishaash dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih. Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahannya, ... h. 43
53
ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐﮑ ﮒ ﮓ ﮔ ﮕ ﮖ ﮗﮘ ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ ﮠ ﮡ ﮢ ﮣﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩﮪ ﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka siapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. (QS. 2/Al-Baqarah: 178)
ﮬ ﮭ ﮮ ﮯﮰ ﮱ ﮲ ﮳ ﮴ ﮵ ﮶﮷ ﮸ ﮹ ﮺ ﮻ Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, oleh karena itu siapa memaafkan dan berbuat baik40, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. (QS. 42/Asy-Syuura: 40) Syarat pemberlakuan hukum qishaash adalah bila telah menjadi hukum positif dalam masyarakat yang sudah disepakati bersama. Dengan kata lain, jika belum ada kesepakatan bersama, maka hukum qishaas tidak dapat diterapkan. Hikmah dari hukuman qishaash ini adalah guna menegakkan keadilan serta menjamin keberlangsungan hidup hak asasi manusia.
ﯔﯕﯖﯗ ﯘﯙﯚﯛ Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal41, supaya kamu bertakwa. (QS. 2/AlBaqarah: 178) 40
Yang dimaksud berbuat baik di sini ialah berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat kepadanya. Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahannya… h. 789 41 Mungkin maknanya adalah, hanya orang-orang yang tidak berakal sajalah yang menolak penerapan hukum qishaash dalam sebuah tatanan masyarakat. Wallahu a‟lam []
54
Perintah untuk memaafkan mengandung hikmah bagi manusia, bahwa bagaimana mungkin seseorang yang ingin mendapatkan ampunan Tuhan, bila hatinya tidak memaafkan sesama? Begitu pula bagaimana mungkin ia meminta maaf atas kesalahannya kepada sahabatnya, tetapi pada saat yang sama, ia tidak sanggup memaafkan saudaranya yang bersalah padanya? Tidak ada cara lain kecuali, jadilah pemaaf. Firman Allah:
ﭵﭶ ﭷ ﭸﭹﭺﭻ Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. (QS. 7/Al-A‟raf: 199)
ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆﮇ ﮈ ﮉﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐﮑ ﮒ ﮓﮔ Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 24/An-Nūr: 22)42
ﮎﮏﮐ ﮑ ﮒﮓﮔ ﮕﮖﮗ Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. (QS. 42/Asy-Syuura: 37)
42
Ayat ini berhubungan dengan sumpah Abu Bakar Shiddiq ra. bahwa dia tidak akan memberi apa-apa kepada kerabatnya ataupun orang lain yang terlibat dalam menyiarkan berita bohong tentang diri 'Aisyah. Maka turunlah ayat ini melarang beliau melaksanakan sumpahnya itu dan menyuruh mema'afkan dan berlapang dada terhadap mereka sesudah mendapat hukuman atas perbuatan mereka itu. Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahannya, ... h. 547
55
Rasulullah Saw., bersabda:
ِ ِ ِ : ال َ َصلَّى اهللُ َعلَني ِو َو َسلَّ َم ق َ َع نن اَِِب ُىَرين َرَة َرض َي اهللُ َعنوُ َع نن َر ُس نول اهلل ِ وما تَواضع أَح ٌد,مانَ َقصت ص َدقَةٌ ِمن م ٍال وما زاد اهلل عب ًدا بِع نف ٍو اِالَّ ِعِّزا هلل َ ن َ َ َ َ َ ُ َن َ َ َ ن َ َ َ َ ََ )اِالَّ َرفَ َعوُ اهللُ (رواه مسلم
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., dari Rasulullah Saw.: Beliau bersabda: “Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, Allah akan menambahkan kemuliaan kepada orang yang bersifat pemaaf, dan Allah akan menaikkan derajat orang yang bersifat tawadhu (rendah hati). (8: 21-SM)43
ِ صلَّى اهللُ َعلَني ِو َ َ ق:ال َ ََعن َعنب ِد اهللِ بن ِن َم نس ُع نوٍد َر ِض َي اهللُ َعنوُ ق َ ال َر ُس نو ُل اهلل ِ ك َ َ ق,ُ اَلَّ ِذ ني الَ يُ نولَ ُد لَو:ب فِني ُك نم؟ قُ نلنَا َّ َماتَ ُعد نُّو َن:َو َسلَّ َم َ س َذال َ الرقُ نو َ لَني:ال ِ ِ و,ب ِ َّ ِب فَ َما تَ ُعد نُّو َن:ال َ َ ق,ِّم ِم نن َولَ ِدهِ َشينئًا َّ ُلكنَّو الر ُج ُل الَّذ ني ََلن يُ َقد ن َ الرقُ نو ِ ِ لَي:ال ِ اَلَّ ِذي الَ يصرعو ا ِّلر:الصرعةَ فِي ُكم؟ قُلننا ِ و,ك لك َّن ق . ال ج َ ُ َ َ ُّ ن َ ن ن ن ُُ َن َ ن َ َ س ب َذال َ ِ ِ ِ ِض ) (رواه مسلم.ب ُ الَّذي َيَنل َ َك نَ نف َسوُ عن َد النغ
Dari Abdullah bin Mas‟ud ra.. Rasulullah Saw. bersabda, “Apakah yang kamu sebut raqūb (seorang yang ditinggal mati anaknya)?” Jawab kami, “orang yang tidak mempunyai anak”. Sabda beliau: “Bukan itu maksud raqūb, akan tetapi raqūb ialah orang yang tidak suka anaknya mati lebih dahulu”. Sabda beliau: “Apakah yang kamu sebut shur‟ah (seorang jagoan)?” Jawab kami, “Orang yang dapat merobohkan lawannya”. Sabda beliau: “Bukan itu seorang jagoan, tetapi jagoan ialah seseorang yang mampu menguasai dirinya ketika dia sedang marah” (8: 30 – SM).44 Memaafkan adalah upaya mengimplementasikan Sifat Tuhan Yang
Maha Pengampun, serta menabur Kasih-sayang-Nya bagi alam semesta. Demikianlah hikmah terbesar bagi manusia yang memiliki hati memaafkan, sebagai khalifah dan perwujudan Tuhan (dalam Sifat-Nya) di muka bumi. 43
Al-Hāfizh Zakī Al-Dīn „Abd Al-„Azhīm Al-Mundzirī, Ringkasan Shahīh Muslim. Terjemahan dari Mukhtasha Shahīh Muslim oleh Syinqithy Djamaluddin dan H.M Muchtar Zoerni. Cet. 1. (Bandung: Mizan. 2008). h. 1036. 44 Ibid.
56
3. Memohon Ampunan Allah bagi Mereka Karena tidak berlaku keras lagi berhati kasar, lalu menahan kemarahan, kemudian memaafkan, adalah kebajikan yang belum sempurna, bila tidak diikuti dengan memohonkan ampunan Allah bagi mereka yang bersalah. Menahan marah, memaafkan, dan memohon ampunan Allah, laksana trimurti kebajikan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Sedangkan induk dari trimuti kebajikan ini adalah sifat kelembutan, manifesati dari hati yang ikhlas kepada Allah. Kebajikan memohon ampunan Allah, hanya ditujukan kepada sesama orang-orang beriman. Allah melarang untuk memintakan ampunan bagi kaum musyrikin. Firman Allah:
ﭣﭤ ﭥﭦﭧﭨ ﭩﭪﭫ ﭬﭭ ﭮﭯﭰ ﭱﭲﭳﭴﭵﭶ Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum Kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. (QS. 9/At-Taubah: 113)
ﭸﭹ ﭺﭻ ﭼﭽ ﭾﭿﮀﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. (QS. 9/At-Taubah: 113)
57
4. Bermusyawarah Peradaban manusia tercipta karena kesepakatan yang terlahir dari hasil musyawarah. Sehingga Indonesia yang merdeka pun menjadikan musyawarah sebagai dasar negara dalam Pancasila, sila ke-4: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”. Menurut Nurcholish Madjid (Cak Nur) ketika menguraikan makna Pancasila pada sila ke-4, bahwa dinamika tarik menarik antara hak dan kewajiban yang tidak dapat dipisahkan, melahirkan mekanisme musyawarah (dari bahasa Arab, musyawarah) yang berarti “saling memberi isyarat”, yaitu isyarat tentang yang baik dan benar.45 Mengutip Quraish Shihab:: “Kata musyawarah terambil dari akar kata sy, w, r, yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya. Madu bukan saja manis, melainkan juga obat untuk banyak penyakit, sekaligus sumber kesehatan dan kekuatan. Itu sebabnya madu dicari di mana pun dan oleh siapa pun. Madu dihasilkan oleh lebah. Jika demikian, yang bermusyawarah mesti bagaikan lebah, makhluk yang sangat berdisiplin, kerja samanya sangat mengagumkan, makanannya sari kembang, dan hasilnya madu. Di mana pun hinggap, lebah tak pernah merusak. Ia takkan mengganggu kecuali diganggu. Bahkan sengatannya pun dapat menjadi obat. Seperti itulah makna permusyawaratan, dan demikian pula sifat yang melakukannya. Tak heran jika Nabi Saw. menyamakan seorang mukmin dengan lebah.”46
45
Nurcholish Madjid. Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, Cet. II, 2008). h. 244 46 M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet. X. (Bandung: Mizan, 2000). h.469
58
5. Tekad yang Bulat Disertai Tawakkal Tawakkal asal katanya dari: يَُوكِ ُل-( َوَك َلwakala-yuwakili) yang berarti: menyerahkan, mempercayakan. Kemudian terdapat penambahan huruf ( تta) di awal kata wakala, dan tanda ّّ (tasydid) pada huruf (kaf) sehingga menjadi 47 ( تَ َوَّكلtawakkal) yang berarti ًص َار َوكِنيل َ (shāra wakīlan) artinya menjadi wakil. Karena rahmat Allah, ia bersikap lemah lembut, sehingga tidak
berlaku keras lagi berhati kasar, kemudian sanggup memaafkan, bahkan mendoakan dan memohonkan ampunan Allah serta bersedia melakukan musyawarah, setelah itu semua, maka dengan penuh kebulatan tekad, ia pun menyerahkan/mempercayakan kepada Allah segala akibatnya; baik maupun buruk. Inilah makna dari tawakkal, dengan ungkapan wakafaa billahi wakīlan artinya Cukuplah Allah sebagai Wakil. Selain ayat yang menjadi kajian tafsir pada skripsi ini, masih banyak ayat Al-Qur‟an tentang tawakkal, kesemuanya itu tidak dapat penuliskan tampilkan, tetapi hanya beberapa ayat yang dapat penulis tampilkan sebagai berikut:
ﯭ ﯮﯯﯰﯱ ﯲ ﯳﯴﯵ ﯶﯷﯸ ﯹ ﯺ ﯻﯼ ﯽ ﯾ ﯿ ﰀ ﰁ ﰂ Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: "Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, Maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman". (QS. 5/Al-Maidah: 23)
ﭧﭨﭩﭪﭫﭬﭭ ﭮﭯﭰﭱﭲ ﭳﭴ ﭵﭶ ﭷ Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan 47
Ahmad Warson Munawir. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Pesantren Al-Munawwir Krapyak. 1984). h. 1687
59
ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (QS. 8/Al-Anfal: 2)
ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤﮥ ﮦ ﮧ ﮨﮩﮪﮫﮬ ﮭ (ingatlah), ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya berkata: "Mereka itu (orang-orang mukmin) ditipu oleh agamanya". (Allah berfirman): "Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS. 8/Al-Anfaal: 49)
ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup (kekal) yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. dan cukuplah Dia Maha mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya. (QS. 25/Al-Furqan: 58) Rasulullas Saw. bersabda:
ِ ِ َ َعن عمر ر ِضي اهلل عنو ق :صلَّى اهللُ َعلَني ِو َو َسلَّ َم يَ ُق نو ُل ُ ََس نع:ال ُ َ ُ َ َ ََ ُ َ ن َ ت َر ُس نو َل اهلل تَ نغ ُد نو,"لَ نو اَنَّ ُك نم تَتَ َوَّكلُ نو َن َعلَى اهللِ َح َّق تَ َوُّكلِ ِو لََرَزقَ ُك نم َك َما يَ نرُز ُق الطَّين َر ِ ) (رواه الرتمذي."اصا َوتَ ُرنوهُ بِطَانًا ً َِخ
Dari Umar ra. berkata: “Saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda”: “Seandainya kamu sekalian benar-benar tawakkal kepada Allah niscaya Allah akan memberi rezeki kepadamu sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung, dimana burung itu keluar pada waktu pagi dengan perut kosong (lapar) dan pada waktu sore ia kembali dengan perut kenyang”. (HR. At-Turmudzi)48 Abu „Abdullah Al-Qurasyi pernah ditanya tentang makna tawakkal, lalu ia menjawab bahwa “tawakkal ialah bergantung kepada Allah dalam segala keadaan.” Lalu si penanya berkata: “Jelaskanlah kepadaku”. Abu 48
Mushlich Shabir. Terjemah Riyadhus Shalihin. Jilid 1.( Semarang: Karya Toha Putra Semarang. 2004) h. 59
60
„Abdullah Al-Qurasyi menjawab: “Meninggalkan semua penyebab yang tidak dapat menyampaikan kepada Allah Swt.49 Dengan
demikian,
lemah
lembut,
memaafkan,
mendoakan,
musyawarah, dan tawakkal, adalah lima asas kepribadian untuk mencapai tingkat kebajikan tertinggi, sehingga memperoleh kasih sayang Tuhan.
D. Aspek-aspek Kecerdasan Ruhani Guru Untuk memahami kecerdasan ruhani sebagai anugerah Allah berdasarkan QS. 3/Ali-„Imran: 159, adalah sangat jelas terbaca pada ayat ini yang diawali dengan redaksi, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah...”. Rahmat Allah tersebut telah menghiasi kepribadian Rasulullah yang agung, sebagai tauladan bagi segenap manusia yang beriman kepada Allah. Kepribadian yang dilandasi keimanan dan melahirkan perilaku akhlak mulia, adalah manifestasi dari kecerdasan ruhani. Jadi kecerdasan ruhani inilah yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam mendidik. Adapun aspek-aspek kecerdasan ruhani berdasarkan tafsir QS. 3/Ali-„Imran: 159, adalah sebagai berikut: 1. Lemah Lembut terhadap Mereka (linta lahum) Al-Qur‟an adalah petunjuk bagi segenap umat manusia. Mengambil pelajaran dari kisah Musa dan Harun, serta Muhammad Saw. yang diperintahkan oleh Allah untuk bersikap lemah lembut, maka sikap ini menjadi contoh yang baik (uswatun hasanah) bagi setiap guru dalam memperlakukan peserta didiknya. Kelembutan merupakan manifestasi dari kecerdasan jiwa yang terpancar oleh cahaya kecerdasan ruhani. Jiwa yang cerdas adalah manusia yang menjadi inspirator lahirnya tindakan-tindakan yang tepat untuk menyayangi dan mengasihi serta menghindari impuls 50 yang meledak-ledak.
49
Imam Al-Ghazali, Ringkasan Ihya‟ „Ulumuddin, Terj. oleh Bahrun Abu Bakar. L.C. cet. I (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009), h. 464 50 Impuls bermakna: Rangsangan atau gejolak hati yang timbul dengan tiba-tiba untuk melakukan sesuatu tanpa pertimbangan dorongan hati.
61
Tindakan dan sikap itu muncul dari dorongan jiwa yang sangat peka dan sensitif pada lingkungan. 51 Ketiadaan kelembutan, akan melahirkan perilaku kasar yang muncul dari hati yang keras. Jika guru berlaku kasar dan bertindak dengan hati keras dalam mendidik, maka sebagaimana kelanjutan ayat yang ditafsirkan ini, tentulah mereka peserta didik akan menjauhkan diri dari guru yang kasar. Hati dan jiwa peserta didik masih muda dan relatif masih suci, dalam proses perkembangannya untuk menuju tahap pendewasaan diri, sangatlah penting untuk dibimbing dengan pola asuh kelembutan, bukan dengan kekerasan. Mereka masih muda dan belumlah terkontaminasi dengan perilaku-perilaku yang mengakibatkan dosa besar. Karena itu apa alasan yang tepat untuk memperlakukan dengan kasar bahkan memperagakan kekerasan kepada peserta didik secara fisik mau pun secara kejiwaan? Padahal Musa dan Harun diperintahkan oleh Allah untuk berbicara dengan ucapan yang lemah lembut kepada Fir‟aun. Dengan kata lain, Fir‟aun yang mungkin sejak zaman Nabi Musa hingga kini, tidak ada seorang pun yang menandingi dosanya bahkan Fir‟aun mengaku dirinya tuhan, hal itu saja, ia masih diperlakukan lemah lembut, maka mengapa para guru selalu bersikap kasar kepada peserta didik yang masih relatif bersih dari dosa besar? Begitu pula sebenarnya cukup banyak hal dalam peristiwa perang Uhud yang dapat mengundang emosi manusia untuk marah. Namun demikian, cukup banyak pula bukti yang menunjukkan kelemahlembutan Nabi Saw. Perangai guru kasar akan membentuk perilaku negatif siswa secara lahiriah dan kejiwaan. Secara lahiriah, murid enggan mengikuti pelajaran yang diajarkan oleh guru yang berperangai kasar, dengan cara selalu membolos. Sedangkan secara kejiwaan, mesikipun secara fisik selalu mengikuti pelajaran (tidak membolos), namun dalam kondisi jiwa yang tertekan, murid tidak bebas bersikap dalam hal bertanya atau latihan menyampaikan pikiran, karena takut salah yang hanya memancing kemarahan
51
Rif‟at Syauqi Nawawi. Kepribadian Qur‟ani, Cet. I, (Jakarta: WNI Press, 2009). h. 98
62
guru. Konsekuensinya, peserta didik tidak memahami dengan baik (menguasai) pelajaran yang diajarkan oleh guru yang berperangai kasar. Kelembutan dalam mendidik melahirkan kehangatan yang dirasakan oleh setiap peserta didik. Dalam perspektif psikologi pendidikan, jika seorang guru tidak memiliki kehangatan dan kontrol sebagai pola asuhnya, guru tersebut adalah seorang yang lalai (negligent). Akibatnya peserta didik menjadi nakal, tidak patuh, cepat frustasi, dan tidak mampu mengendalikan diri.52 Guru yang berperilaku keras dan berhati kasar, telah menjadikan lembaga pendidikan laksana penjara di zaman penjajahan bahkan seperti di neraka, sebagai tempat penyiksaan seolah-olah peserta didik sebagai terdakwa kriminal atau sebagai pendosa besar yang tak dapat diampuni. Kondisi seperti ini pastinya membuat peserta didik enggan ke sekolah dikarenakan takut dan gelisah jika mendapatkan perangai guru seperti itu. Inilah menurut Kurt Singer (2000), sebagai schwarze paedagogik (pedagogi hitam).53 Bahwa guru berada pada garda terdepan dalam dunia pendidikan. Sehebat apa pun kurikulum yang dirumuskan oleh para pakar, tentulah dibutuhkan guru yang memiliki kecerdasan ruhani, dengan pola asuh kelembutan penuh kasih sayang dalam mendidik. Sudah saatnya untuk menciptakan lembaga pendidikan yang ramah lingkungan bagi peserta didik, guna menghasilkan kader-kader bangsa terbaik dengan sosok pribadi yang mumpuni yakni taat beragama yang dilandasi kekuatan iman dan takwa, serta pribadi yang santun berkarakter. Sosok guru dengan pola asuh kelembutan, dapat diharapkan untuk menjadikan sekolah sebagai surga bagi peserta didik, tempat mereka menemukan kegembiraan dan kebahagiaan dalam proses penggemblengan bakat serta menemukan jati diri. 52
Ahmad Baedowi. “Pendidikan Agama, Budaya Sekolah dan Isu Terorisme (Mengkritisi Peran Departemen Agama dalam Pengelolaan Pendidikan” dalam Marwan Saridjo (Penyunting). Mereka Bicara Pendidikan Islam: Sebuah Bunga Rampai. (Jakarta: DPP GUPPI bekerja sama dengan RajaGrafindo Persada dan Yayasan Ngali Aksara. 2009). h. 74 53 Rumadi. Sekolah: Surga atau Neraka. Inovasi Kurikulum: Menakar Kurikulum Berbasis Kompetensi. 01. 2003. h. 5
63
Dengan demikian, mendidik adalah tugas yang mesti dilakukan dengan kasih, mengapa harus dengan kekerasan? 2. Jadilah Sosok Guru Pemaaf (‘aafiina ‘aninnaas) Guru yang berhati lembut, dan tidak berperangai kasar lagi berhati keras, memandang setiap kesalahan yang dilakukan oleh peserta didik adalah sebuah kewajaran dalam proses pembelajaran untuk menuju perkembangan kualitas diri. Dalam konteks pendidikan, teringatlah sebuah ungakapan bijak: “siapa yang takut salah, maka ia berada dalam suatu kesalahan”. Artinya, takut salah, maka takut berbuat. Misalnya, dalam pelajaran membaca alQur‟an yang membutuhkan praktek, mau tidak mau, setiap peserta didik diharuskan untuk berlatih membaca. Jika mereka takut berlatih karena takut salah, alasannya mungkin malu kepada teman-temannya atau takut dimarahi oleh gurunya, maka sampai kapan ia mampu membaca Al-Qur‟an dengan baik? Justru dari kesalahan itulah, seseorang akan mengetahui cara memperbaiki agar melakukan hal yang lebih baik tanpa mengulangi lagi kesalahan yang pernah ia lakukan. “Cobalah dan perhatikan! niscaya engkau mengetahui”, begitulah pepatah bijak.54 Namun tidak dipungkiri, emosi guru sering kali terpancing oleh kenakalan peserta didik yang dinilai telah melampau batas. Lalu secara sadar atau tanpa sadar, ekspresi kemarahan terlihat pada raut wajah. Pada tingkat ini masih dipandang suatu kewajaran yang bersifat manusiawi. Di sinilah dibutuhkan pengendalian diri, untuk tidak meneruskan hal manusiawi tersebut yang akan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan yang berdimensi ruhani. Jangan sampai emosi menguasai jiwa, maka dengan sikap pemaaflah yang akan menundukkan gejolak amarah dalam dada. Memaafkan laksana air yang memadamkan api kemarahan. Sehingga tidak ada cara lain, kecuali jadilah sosok guru pemaaf. Walau pun memang berat untuk menjadi seorang pemaaf. Pepatah; ئ ِ َ“ َم ْه َخىْ فَ ِفً ْال َخطَ ِئ ِفً ْال َخطsiapa yang takut salah, maka ia berada dalam ْ ال ِح َ “ َجرِّ بْ َوcobalah dan perhatikan niscaya engkau mengetahui” suatu kesalahan”, dan َار ًفا ِ ط َت ُك ْه ع tidak berlaku untuk suatu perbuatan yang benar-benar salah menurut etika umum. 54
64
Memaafkan bukanlah berarti membiarkan kesalahan yang dilakukan secara berulang-ulang. Ini yang disebut, “memaafkan yang tidak bertanggung jawab”. Hal yang dikhawatirkan adalah jika peserta didik secara sengaja melakukan kesalahan tanpa beban, karena mengetahui gurunya seorang sosok pemaaf, maka dibutuhkan seni dan kiat untuk mengatasinya. Lagi-lagi hanya mereka yang memiliki kecerdasan ruhanilah yang mampu menemukan seni atau kiat untuk memaafkan dengan penuh kearifan dan bertanggung jawab. Untuk mengatasi hal tersebut, setidaknya terdapat beberap cara untuk memaafkan kesalahan peserta didik secara arif dan bijaksana serta penuh tanggug jawab, adalah: a. Menasihatinya dengan kelembutan penuh kasih sayang. Memilih kata-kata yang tepat berupa sindiran, tidak secara terang-terangan sehingga tidak menyinggung perasaan. Karena ungkapan secara terang-terangan justru merusak wibawa yang menghijabi diri gurunya.55
Ungkapan
secara
terang-terangan
saja
tidak
diperbolehkan, apalagi kata-kata yang mengiringi kemarahan dan bentakan yang menciutkan hati serta melemahkan mental peserta didik, haruslah dihindari. Misalnya kata-kata yang menyinggung perasaan: “kamu anak kampung, anak miskin, tidak tau diri sudah disekolahkan gratis, tapi masih saja membandel, mau jadi apa kamu hah?”. b. Jangan perlakukan peserta didik seperti para penjahat dengan menghukum mereka walau pun bertujuan untuk menimbulkan efek jera. Jangan ada hukuman mengandung kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan guru sekalipun untuk tujuan pendisiplinan.56 c. Bagaimana kalau sudah dilakukan berbagai cara tanpa adanya kekerasan, tetapi peserta didik belum juga menyadari dan tetap membandel? Maka jawabannya adalah mendoakan mereka. 55 56
h.5
Al-Ghazali, op. cit., h.. 33 “Sekolah Ranah Anak Menuju Pendidikan Ramah Anak”. Warta KPAI. Edisi III, 2013.
65
3. Mendoakan Mereka (wastaghfir lahum) Sesungguhnya mendoakan mereka (peserta didik), adalah bentuk pola asuh yang sudah mentradisi di lembaga pendidikan pesantren. Kiai sebagai figur pengasuh dan pimpinan pesantren senantiasa mendoakan santri sebagai peserta didiknya. Dengan demikian antara kiai dan santri memiliki hubungan yang erat secara batiniah. Jadi sesungguhnya doa adalah perekat ikatan batin antara guru dengan peserta didik. Bahkan hubungan ini, terus terjalin meskipun para santrinya sudah menamatkan pendidikannya menjadi alumni pesantren. Suatu saat para santrinya masih mengunjungi (sowan) kepada kiainya untuk meminta nasehat atau pun doa. Adapun memohon ampunan Allah bagi mereka (wastaghfirlahum), merupakan bagian dari doa. Bisa saja doa dilakukan secara umum atau secara khusus. Secara umum, berarti dilakukan di dalam ruang kelas di hadapan semua peserta didik, dimana guru selalu mendoakan peserta didiknya secara keseluruhan, setiap kali mengakhiri kegiatan belajar mengajar. Atau doa secara umum yang dilakukan pada acara-acara yang menyertakan kehadiran orang tua/wali murid, misalnya; acara pembagian raport, acara peringatan hari besar keagamaan, dan lain sebagainya. Alangkah indahnya guru memanjatkan doa, kemudian peserta didik mengamininya. Terlebih lagi dalam acara yang dihadiri oleh para orang tua/wali murid yang ikut mengamininya. Redaksi doanya pun sederhana tetapi memilki makna yang mendalam: “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami, dosa kedua ibu bapak kami, dosa keluarga kami serta dosa semua saudara-saudara kami kaum muslimin dan muslimat. Ya Allah jadikanlah anak-anak didik kami ini, sebagai anak-anak yang shaleh dan shalehah yang senantiasa berbakti kepada ibu bapak mereka, berkasih sayang dengan keluarga mereka, dan kelak jadikanlah mereka sebagai anak-anak yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa serta sukses meraih cita-cita. Ya Allah kabulkanlah doa kami. Amiin”. Tentunya tidak mengabaikan etika doa, yakni doa yang diawali dengan memuji Allah dan bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw. beserta
66
keluarganya, kemudian diakhiri pula dengan doa “sapu jagat”: rabbanā ātinā fiddun-ya hasanah wa fil ākhirati hasanah waqinā „adzābannār, lalu tak lupa bershalawat dan memuji Allah lagi sebagai penutup doa. Dapat dibayangkan bahwa sebagian orang tua/wali murid yang hadir dalam acara tersebut, bisa jadi akan meneteskan air mata keridhaan penuh kebahagiaan, dan ikut mengamini doa tersebut secara tulus demi kesuksesan putra-putri mereka di masa depan. Adapun doa secara khusus adalah doa yang dipanjatkan secara tulus oleh guru di tengah keheningan malam untuk peserta didik secara keseluruhan, maupun untuk peserta didik yang memiliki masalah pribadi, seperti kenakalan yang dinilai telah melampaui batas dan belum dapat dihentikan. Atau ada kiat lain secara khusus, misalnya dengan perantara (washilah) air yang telah dibacakan doa-doa, kemudian diminumkan kepada peserta didik yang memiliki masalah pribadi tersebut. Sehingga mudahmudahan kenakalannya yang melampaui batas itu, dapat dihentikan berkat doa yang tulus dari gurunya yang berhati lembut. Melalui doa inilah, seorang guru akan mengetahui peserta didiknya tidak hanya sebatas mengenal nama, namun akan mengenal keperibadian dan bakat mereka masing-masing. Guru yang senantiasa mendoakan peserta didiknya, berarti ia melibatkan Allah dalam pendidikan, mengindikasikan bahwa ia telah memiliki kecerdasan ruhani. Sosok guru seperi inilah yang akan selalu terkenang oleh peserta didiknya sepanjang hayat mereka. Maka secara ruhani pula dengan kedekatan ikatan batin, tidak menutup kemungkinan bahwa Allah akan memberikan petunjuk kepada peserta didik dengan cara menghadirkan sosok guru melalui mimpi dalam tidur. Karena murid berjumpa gurunya dalam mimpi, itu pertanda baik, sebagaimana umat bermimpi bertemu dengan Nabinya. Wallahu a‟lam bilhuda
67
4. Bermusyawarah dengan Mereka (wa syāwirhum) Sebagaimana menurut Nurcholish Madjid, bahwa makna musyawarah adalah saling memberi isyarat tentang hal yang baik dan benar. Bahasa awamnya, musyawarah adalah saling rembug atau saling berbicara guna menyatukan keinginan yang berbeda sehingga mendapatkan kesepakatan bersama. Pada tataran akademis, musyawarah adalah dialog dan saling berkomunikasi. Dalam bahasa hukum yang berlandaskan Pancasila adalah musyawarah untuk mufakat. Musyawarah dapat dilakukan oleh dua pihak atau lebih, dan secara perorangan atau pun kelompok. Dalam dunia pendidikan, misalnya secara perorangan, antara guru dengan peserta didik sangat diperlukan musyawarah (saling memberi isyarat) untuk menentukan tujuan dan arah pendidikan yang hendak dicapai. Guru harus mengetahui kehendak muridnya dalam menimba ilmu darinya, begitu juga murid juga harus mengetahui syarat-syarat yang ditentukan oleh gurunya dalam proses pembelajaran. Sebuah pelajaran menarik yang dapat dimaknai musyawarah antara murid dan guru adalah dalam kisah Nabi Musa mencari ilmu kepada Nabi Khaidir. Dalam hal ini posisi Nabi Khaidir sebagai subyek pendidikan atau media sumber ilmu, dan Nabi Musa sebagai obyek pendidikan yang akan menerima ilmu dengan syarat yang telah ditentukan oleh Nabi Khaidir. Kisah ini dapat dibaca dalam Al-Qur‟an sebagai berikut:
ﯫﯬﯭﯮﯯﯰﯱ ﯲﯳﯴﯵ ﯶ ﯷﯸﯹﯺ ﯻﯼ ﯽﯾﯿﰀﰁﰂ ﰃﰄ ﭑﭒﭓﭔﭕﭖﭗﭘﭙﭚ ﭛﭜﭝﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸﭹ ﭺ ﭻ ﭼ
68
ﭽﭾﭿﮀﮁﮂ ﮃﮄﮅ ﮆﮇﮈﮉ ﮊﮋ 60. Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya:57 "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun". 61. Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. 62. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini". 63. Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak ada yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali". 64. Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. 65. lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hambahamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.58 (QS. 18/Al-Kahfi: 60-65) Kemauan kuat dari Nabi Musa yang bersungguh-sungguh untuk mencari guru, dengan perjuangan sekuat daya walaupun merasakan keletihan menelusuri jalan, bahkan syetan pun berupaya untuk menghalau. Jika harus berjalan selama bertahun-tahun, maka tidak akan menghentikan semangat untuk menuntut ilmu sesuai harapannya. hingga ia dapat bertemu seorang guru. Bertemulah Nabi Musa dengan Nabi Khaidir. 57
Menurut ahli tafsir, murid Nabi Musa a.s. itu ialah Yusya 'bin Nun. Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahannya, ... h. 453 58 Menurut ahli tafsir: hamba di sini ialah Nabi Khaidir, dan yang dimaksud dengan rahmat di sini ialah wahyu dan kenabian. Sedang yang dimaksud dengan ilmu ialah ilmu tentang yang ghaib seperti yang akan diterangkan dengan ayat-ayat berikut. Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahannya, ... h. 454. Hemat penulis, Nabi Khaidir adalah subyek pendidikan (sebagai guru/pendidik), dan sebagai media sumber ilmu. Sedangkan Nabi Musa sebagai obyek pendidikan yang siap menerima ilmu dari gurunya, Adapun sumber ilmu adalah Allah Pemilik segala Pengetahuan.
69
ﮌﮍﮎﮏﮐ ﮑﮒﮓﮔﮕﮖﮗﮘﮙ ﮚ ﮛ ﮜﮝﮞﮟﮠ ﮡ ﮢﮣ ﮤﮥ ﮦﮧﮨ ﮩ ﮪ ﮫﮬﮭﮮﮯﮰﮱ﮲﮳ ﮴ﯖﯗﯘﯙ ﯚﯛﯜﯝﯞﯟ ﯠ 66. Musa berkata (kepada Khaidir): "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" 67. Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. 68. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" 69. Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun". 70. Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu". (QS. 18/Al-Kahfi: 66-70) Nabi Musa memenuhi permintaan Nabi Khaidir dengan dua syarat yang teramat berat yaitu sabar dan jangan bertanya sesuatu sebelum ada penjelasan secara tuntas. Hal ini dapat dimaknai bahwa, jika tanpa adanya kemauan yang kuat, maka menerima persyaratan tersebut adalah sebuah keterpaksaan. Namun karena didorong oleh kesungguhan dan kebulatan tekad, maka hanya kepatuhanlah menjadi pedoman bagi seorang murid untuk memenuhi persyaratan dari gurunya, dan dengan kerendahan hati pula seraya memohon kekuatan Allah, Nabi Musa pun memenuhi dua syarat itu dengan jawaban “Insya Allah menjadi orang yang sabar”. Keduanya melanjutkan perjalanan.
ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯﯰ ﯱﯲﯳﯴﯵ ﯶﯷﯸﯹﯺﯻﯼﯽﯾ
70
ﯿﰀ ﰁﰂﰃﰄﰅﰆﰇﰈﰉﰊﰋ ﰌﰍ ﰎﰏﰐ ﰑﰒﰓﰔﰕﰖ ﭒﭓﭔﭕﭖﭗﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪﭫﭬﭭ ﭮﭯﭰﭱﭲﭳ ﭴﭵﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ 71. Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khaidir melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu, akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. 72. Dia (Khaidir) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku". 73. Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku". 74. Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, Maka Khaidir membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar". 75. Khaidir berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?" 76. Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku". 77. Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khaidir menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu". (QS. 18/Al-Kahfi: 71-77)
71
Bahwa setelah adanya kesepakatan antara guru dan murid, maka dapat dimulai proses pembelajaran. Dalam perjalanannya adalah lumrah bahwa watak seorang murid selalu ingin mengetahui (penasaran) tentang hal-hal yang belum saatnya untuk dijelaskan. Menunjukkan sikap kritis adalah hal yang wajar, selama dalam etika sopan santun penuh tanggung jawab, dan yang terpenting tetap hormat serta patuh kepada guru. Nabi Musa mempertanyakan sikap dan perbuatan gurunya yang ia anggap suatu kesalahan, suatu yang mungkar, dan sia-sia jika tidak meminta upah/bayaran. Tetapi dengan kearifan yang tinggi, Nabi Khaidir berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku". Inilah bentuk peringatan yang halus, lembut penuh kasih sayang, bukan dengan melarang-larang secara kasar yang hanya akan melemahkan semangat dan motivasi muridnya untuk belajar. Tetapi cukup dengan mengingatkan kesepakatan yang telah dibuat pada permulaan sebelum dimulai proses pembelajaran. Kemudian secara tulus, Nabi Musa pun menyadari kesalahannya, dan memohon kepada Nabi Khaidir untuk tidak menghukum agar masih ada kesempatan untuk melanjutkan aktivitas belajar, sebagai bentuk permohonan maaf. Kemudian Nabi Musa berkomitmen, jika masih melakukan kesalahan yang sama (sampai batas 3 kali kesalahan), maka ia rela berhenti atau diberhentikan sebagai murid.
ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐ ﮑ ﮒ ﮓ ﮔﮕﮖﮗﮘﮙ ﮚﮛﮜ ﮝﮞﮟﮠ ﮡ ﮢﮣﮤﮥﮦ ﮧﮨﮩﮪﮫﮬ ﮭﮮ ﮯﮰﮱ﮲﮳﮴﮵ﯗﯘﯙ ﯚ ﯛﯜ ﯝﯞﯟ ﯠﯡﯢ ﯣﯤﯥﯦ ﯧﯨﯩﯪﯫﯬ ﯭﯮﯯ ﯰﯱ ﯲﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷﯸ ﯹ ﯺ ﯻ ﯼ ﯽ ﯾ ﯿ ﰀ
72
78. Khaidir berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatanperbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. 79. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. 80. Dan adapun anak muda itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. 81. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). 82. Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya". (QS. 18/Al-Kafi: 78-82) Sudah saatnya Nabi Khaidir menjelaskan perkara-perkara yang membuat Nabi Musa memperlihatkan ketidaksabarannya. Hal ini merupakan bentuk pertanggungjawaban seorang guru untuk memenuhi harapan muridnya akan ilmu yang benar dengan segala hikmahnya, meskipun muridnya telah melakukan kesalahan. Betapa arif dan bijaksana Nabi Khaidir sebagai guru. Suatu pedoman penting, bahwa sebagai guru, Nabi Khaidir melakukan semua itu bukan karena atas kemauannya sendiri, sehingga dapat dipahami, bahwa Nabi Khaidir bukanlah seorang guru yang semena-mena/otoriter dalam mendidik. Sedangkan sebagai murid, Nabi Musa pun konsisten akan komitmennya untuk berpisah dengan Nabi Khaidir akibat ketidaksabaran yang selalu mengkritisi gurunya tanpa mengindahkan syarat yang telah menjadi kesepakatan bersama.
73
Dengan demikian, bermusyawarah adalah komitmen terhadap syaratsyarat yang telah ditentukan, untuk itu haruslah dipatuhi agar tujuan bersama dapat terwujud. Dalam konteks kekinian, seandainya semua guru seperti Nabi Khaidir, dan semua peserta didik seperti Nabi Musa, sungguh betapa idealnya sebuah aktifitas pendidikan. Hal ini bukanlah utopis belaka, jika mampu memaknai secara seksama kemudian melaksanakannya, meskipun tidak bisa mencapai
kesempurnaan
secara
mutlak.
Setidak-tidaknya
substansi
musyawarah itulah, sekiranya dapat menjadi bagian dari pola asuh dan menjadi teori pedagogik yang mencerahkan dalam proses pendidikan dewasa ini. Boleh jadi pola musyawarah dapat mendamaikan perbedaan teori pedagogik yang sudah berkembang, misalnya; antara pedagogi behaviorism dengan pedagogi konstruktivisme. Menurut pengkritik pedagogi behaviorism, bahwa pedagogi ini dapat menimbulkan penindasan terhadap peserta didik, maka mereka menganjurkan teori pedagogi konstruktivisme sebagai pedagogi humanis, yang dapat menciptakan kebebasan bagi peserta didik untuk mengembangkan proses pembelajaran dan menyimpulkan sendiri hasil belajarnya. Jika dianggap pedagogi humanis sebagai pedagogi yang ideal, maka apa yang bisa dibayangkan, dengan menyerahkan sepenuhnya kebebasan kepada peserta didik untuk mengembangkan proses pembelajaran dan menyimpulkan sendiri hasil belajarnya tanpa kendali? Maka pola musyawarah sebagai pengendali agar guru tidak bersikap otoriter dalam mendidik yang akan memasung kebebasan peserta didik, serta kebebasan peserta didik dapat terkontrol dengan baik. Selanjutnya, tidak hanya kepada peserta didik, tetapi guru juga harus bermusyawarah dengan orang tua/wali murid guna membicarkan hal-hal yang berkenaan dengan perkembangan proses pembelajaran. Karena selaku pemangku kepentingan
(stacke holder), para orang tua/wali murid pun
berhak memperoleh informasi tentang sejauh mana keberhasilan yang telah dicapai oleh putera-puteri mereka.
74
Diperlukan adanya interaksi antara guru dengan orang tua, melalui buku penghubung kepada orang tua yang berisi tentang perubahan perilaku siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. Namun selayaknya interaksi dapat dilakukan dengan berkomunikasi secara langsung yakni dengan bersilaturahim ke rumah orang tua/wali murid, atau mengundang mereka ke sekolah untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan putra-putri mereka sebagai peserta didik, yang masa depan para tunas bangsa adalah bagian dari tanggung jawab penting bagi setiap guru. Dalam kasus tertentu, mengenai priliku negatif peserta didik yang telah melampaui batas, perlu dicarikan faktor-faktor penyebabnya. Bila telah dilakukan berbagai upaya namun belum juga ada kesadarannya, maka bersilaturahim guna bermusyawarah dengan orang tua/wali muridnya merupakan bagian dari jalan keluar untuk mengatasinya. Bisa jadi perilaku peserta didik tersebut disebabkan oleh faktor ketidakharmonisan dalam keluarganya. Namun dalam hal ini, guru harus berhati-hati untuk berkomunikasi agar tidak menyinggung perasaan keluarganya. Tanpa harus menginterogasi
atau
mengungkit
ketidakharmonisan
keluarga
ketika
berkomunikasi, hendaknya guru menginformasikan kondisi peserta didik secara wajar. Pada pertemuan pertama, jika tidak ada respon yang baik dari keluarganya, maka sekedar berbasa-basi sejenak, selanjutnya segera berpamitan dalam suasana kehangatan dan diupayakan seakrab mungkin. Jangan menyerah sampai di sini, diaturlah jeda waktu kira-kira 5-10 hari kemudian, dapat berkunjung kembali. Pada pertemuan kali kedua, diharapkan tercipta suasana keakraban, sehingga pembicaraan dapat berlangsung dalam suasana saling pengertian antara semua pihak. Inilah fungsi dari musyawarah yang sederhana. Muncul pertanyaan skeptis dan pesimis, bagaimana jika melalui musyawarah pun, kondisinya belum membaik? Jalan satu-satunya, bersandar pada kekuatan ruhani, maka berserah dirilah kepada kekuasaan Allah. Bukankah ini disebut tawakkal?
75
5. Bertawakkal kepada Allah Pada umumnya tawakkal dipahami sebagai perilaku kepasrahan yang merupakan jalan terakhir setelah melalui berbagai usaha untuk mendapatkan hasil yang diharapkan. Keberhasilan adalah anugerah yang mesti disyukuri. Kegagalan, dihadapi dengan kesabaran. Sehingga, keberhasilan tidak melahirkan keangkuhan, dan kegagalan tidak membuat seseorang berputus asa. Jika menyadari hal ini, maka tawakkal hendaknya ditempatkan pada permulaan, dan di tengah-tengah, serta akhir dari setiap ikhtiar. Inilah makna dari bismillahirrahmanirrahim ketika memulai suatu pekerjaan, dan senantiasa berzikr dalam suasana kerja, serta mengakhirinya dengan alhamdulillahirabbil‟alamin jika memperoleh hasil. Kalau pun gagal, maka hanya kesabaranlah dengan penuh keyakinan akan kehendak Sang Mahakuasa, dan mengucapkan, laa haula walaa quwwata illaa billaah. Penyebab kegagalan, paling tidak terjadi karena dua faktor utama. Pertama, ketidakmampuan menelusuri jalan perjuangan sesuai dengan berbagai persyaratan yang telah ditentukan. Kedua, sudah menjadi takdir Tuhan, karena bisa jadi, di balik kegagalannya mengandung hikmah. Sebuah analogi, laksana sebuah pabrik yang menghasilkan suatu produk, terkadang ia menghasilkan produk unggulan, dan tidak menutup kemungkinan mengalami gagal produksi, atau pun hasilnya tidak berkualitas. Demikian pula dalam dunia pendidikan, tetapi ada perbedaan mendasar antara pendidikan dan sebuah pabrik. Pendidikan mencetak kepribadian manusia yang berjiwa, adapun pabrik hanya menghasilkan barang. Tentunya jauh lebih kompleks antara menciptakan pribadi-pribadi yang unggul, daripada memproduksi barang. Terkait pertanyaan sebelumnya, bagaimana jika setelah melalui berbagai upaya termasuk dengan kemampuan ruhani guru, namun kondisi seorang peserta didik yang memiliki problem pribadi belum juga dapat teratasi, sehingga tidak mengalami perbaikan yang diharapkan? Sebagai jawaban sederhana adalah kembalikan ia kepada keluarganya!
76
Mengembalikan peserta didik kepada keluarganya merupakan upaya terakhir setelah dilakukan berbagai upaya. Di samping itu langkah ini sebagai upaya untuk melindungi peserta didik yang lain dari dampak/pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh peserta didik bersangkutan. Hal ini sesuai dengan kaidah; mencegah keburukan yang timbul, lebih utama daripada mencari kebaikan. Hal yang terpenting adalah, mengembalikan peserta didik kepada keluarganya didasari oleh hati tawakkal kepada Allah, dengan harapan ia akan memperoleh perbaikan diri dan kesuksesan dalam pengawasan keluarganya, atau menemukan lembaga pendidikan yang cocok sesuai pilihannya. Karena bisa jadi, ia bersekolah pada sekolah Anda semata-mata atas paksaan orang tuanya, bukan atas kemauannya sendiri. Jadi bertawakkal ketika menghadapi problematika peserta didik seperti ini, bukanlah mempertahankan dia, dengan alasan hanya untuk menjaga nama baik (image) sekolah. Dengan demikian sejatinya mengembalikan peserta didik kepada keluarganya adalah menyerahkan nasib hidupnya di masa depan kepada Allah sesuai dengan rencana dan takdir-Nya, ketika para guru sudah tidak mampu lagi membimbing dan mengarahkannya untuk menjadi lebih baik. Inilah makna dari apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. Demikianlah...! Wallahu A‟lam []
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Indikasi seseorang memiliki kecerdasan ruhani adalah menyadari segala anugerah Allah dengan penuh rasa syukur dan melaksanakan apa yang dikehendaki-Nya dengan penuh rasa tanggung jawab. Untuk itu, betapa pentingnya kecerdasan ruhani dimiliki oleh setiap guru di samping dimensi kecerdasan lainnya. Berdasarkan perumusan masalah, maka konsep kecerdasan ruhani guru dalam pembentukan karakter peserta didik menurut kajian tafsir QS. 3/Ali‘Imran: 159 dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Konsep kecerdasan ruhani yang harus dimiliki oleh seorang guru, berdasarkan kajian tafsir QS. 3/Ali-Imran: 159 adalah: a. Bersikap lemah lembut terhadap peserta didik (linta lahum), agar mereka selalu merasa dekat dengan gurunya. Jika guru bersikap kasar, dan berhati keras, maka peserta didik mengambil sikap menjauh, karena dalam hati mereka tertanam perasaan segan bahkan ketakutan terhadap gurunya. b. Memaafkan kesalahan yang diperbuat oleh peserta didik (fa’fu ‘anhum), sehingga menghindarkan guru untuk bersikap dendam atas sikap-sikap mereka
yang
mungkin
menyakitkan
hati.
Menasihati
dengan
kelembutan hati agar tidak mengulangi kesalahan yang telah mereka lakukan, adalah indikasi dari sikap memaafkan yang bertanggung jawab. c. Selalu mendoakan dan memohon ampunan Allah bagi peserta didiknya (wastaghfirlahum). Hal ini sebagaimana tradisi lembaga pendidikan pesantren, dimana Kiai sebagai pengasuh selalu mendoakan para santrinya.
77
78
d. Hal-hal yang berkaitan dengan upaya perkembangan dalam proses pendidikan, seorang guru tidak sepantasnya bersikap otoriter, tetapi hendaklah menunjukkan sikap demokratis dengan mengedepankan pola bermusyawarah dengan mereka (wa syāwirhum). Cara yang sederhana adalah mendengarkan dan menghargai setiap aspirasi dari peserta didik, kemudian memberikan jawaban dan pemahaman secara bijaksana. e. Segala upaya yang telah dilakukan dalam proses pendidikan adalah semata-mata bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik, sehingga sukses meraih cita-cita di masa depan dalam perjalanan hidup mereka selanjutnya. Bahwa manusia hanya bisa berusaha, namun segala keputusan
ditentukan
oleh
Allah
dalam
takdir-Nya.
Setelah
menyelesaikan pendidikan, maka hal yang tidak boleh dilupakan bagi setiap guru adalah bertawakkal, dengan menyerahkan sepenuhnya nasib hidup peserta didik kepada Allah, dengan harapan semoga mereka senantiasa dalam pertolongan dan perlindungan Allah. 2. Konsep pembentukkan karakter, berkaitan erat dengan tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Pengembangan karakter bermakna pembentukan watak/kepribadian berdasarkan nilai-nilai yang dianut dalam suatu masyarakat/bangsa. Bagi bangsa Indonesia, nilainilai tersebut telah terkandung dalam falsafah Pancasila sebagai dasar negara serta kearifan lokal pada setiap budaya di wilayah nusantara, yang tidak lain adalah bersumber dari pengetahuan kebajikan dalam ajaran agama. Maka lima konsep kecerdasan ruhani itulah yang berdasarkan kajian tafsir QS. 3/Ali-Imran: 159, dapat menjadi landasan moral dan spiritual dalam pembentukan karakter. Dengan pola keteladanan yang baik dari setiap guru yang memiliki kecerdasan ruhani, kemudian dicontoh dan diikuti oleh para peserta didik, maka kelak di lingkungan manapun berada, mereka diharapkan dapat tampil menjadi manusia yang berkarakter lemah lembut (linta lahum), pemaaf (‘aafiina ‘aninnaas), senantiasa mendoakan
79
dan memohon ampunan Allah bagi sesama (wastaghfirlahum), terutama untuk kedua orang tua dan guru-guru mereka yang telah berjasa membentuk ketaatan beribadah, serta mengembangkan pola-pola demokrasi dengan mengedepankan proses musyawarah (wa syāwirhum), serta bertawakkal kepada Allah (tawakkal ‘alallah) setelah belajar dan berusaha dengan giat. Inilah hakikat pembentukan karakter peserta didik.
B. Implikasi Guru yang memiliki kecerdasan ruhani: lemah lembut terhadap peserta didik (linta lahum), menjadi guru pemaaf (‘aafiina ‘aninnaas), selalu mendoakan
dan
memohon
ampunan
Allah
bagi
peserta
didiknya
(wastaghfirlahum), dan bermusyawarah dengan mereka (wa syāwirhum), serta bertawakkal kepada Allah (tawakkal ‘alallah), sungguh dapat mempengaruhi perkembangan proses pendidikan ke arah model pendidikan humanis dengan landasan prinsip nilai-nilai ketuhanan. Dengan demikian, keberhasilan proses pendidikan yang berorientasi pada pengembangan pendidikan berkarakter, sesungguhnya ada di tangan para guru yang memiliki kecerdasan ruhani.
C. Saran. 1. Kepada yang terhormat pemegang kebijakan pendidikan nasional, bahwa guru sebagai pengajar, memikul tanggung jawab berat dan besar jasanya, dalam mengembangkan pendidikan, oleh karenanya posisi guru menjadi penting (orang penting), maka ia harus tampil baik sekali (prima), sehingga ia menduduki derajat terhormat dalam masyarakat. Bahwa guru sebagai pahlawan mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka, memperhatikan dan meningkatkan kesejahteraan hidup guru, pada semua satuan pendidikan termasuk para guru di lembaga pendidikan Islam khususnya pesantren, adalah sebuah kebijakan nasional yang senantiasa menjadi harapan untuk dapat terwujud.
80
2. Kepada para praktisi pendidikan; kepala sekolah atau pimpinan lembaga pendidikan, serta para guru, hendaklah senantiasa mengasah kecerdasan ruhani, dengan pendekatan konsep tasauf melalui prilaku mujahadah dan riyadhah, agar memperoleh kebeningan hati, ketenangan jiwa dan pencerahan pemikiran dalam pelaksanaan tugas mulia sebagai guru dan pewaris para Nabi. 3. Bagi para akademisi dan ilmuwan muslim, agar mengembangkan lebih lanjut konsep pemikiran dengan menggali pesan-pesan Al-Qur’an guna memperkaya khazanah teori pedagogik dan konsep pendidikan berbasis qur’ani. 4. Bagi kalangan umum atau siapa saja yang berperan sebagai guru di masyarakat, agar menampilkan pribadi yang lemah lembut dalam menyampaikan pesan-pesan takwa. Bahwa penyampaian pesan dengan suara yang lantang berapi-api hingga menegangkan urat saraf adalah sudah ketinggalan zaman. 5. Bagi semua keluarga muslim Indonesia, dalam membina dan menjalin hubungan kekeluargaan dan kekerabatan, agar memiliki lima asas prilaku: lemah lembut kepada saudara-saudaranya (linta lahum), menjadi sosok pemaaf (‘aafiina ‘aninnaas), selalu mendoakan dan memohon ampunan Allah bagi saudara-saudaranya (wastaghfirlahum) dan bermusyawarah dengan mereka (wa syāwirhum), serta bertawakkal kepada Allah, dalam menyelesaikan masalah-masalah perselisihan yang timbul, sehingga tercipta kedamaian dan kerukunan sesama anak bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid & Dian Andayani. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Cet. III. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2013). h. al-Aqqad, Abbas Mahmud. Filsafat Al-Qur’an. Terj. Tim Pustaka Firdaus. (Jakarta: Pustaka Firdaus. 1986). h. Ardani, Moh, Akhlak – Tasawuf: Nilai-nilai Akhlak/Budipekerti dalam Ibadat & Tasawuf, Jakarta: CV. Karya Mulia, Edisi Kedua, 2005. Asyarie, Sukmadjaja & Rosy Yusuf. Index Al-Qur’an. Cet. V. Bandung: Pustaka. 2003 Azzet, Akhmad Muhaimin. Mengembangkan Kecerdasan Spiritual bagi Anak. Jogjakarta: Katahati. 2010 al-Buthy, Muhammad Sa‟id Ramadhan. Sirah Nabawiyah: Analisis Ilmiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah SAW. Terj. Ainur Rafiq Shaleh Tahmid, Lc. dari Fiqhus Sirah: Dirasat Minhajiah ‘Ilmiah li Siratil Musthafa ‘Alaihi Shalatu wa-Salam. Cet. 3 (Jakarta: Robbani Press. 2000) h. 217 al-Dihlawi, Syah Waliyullah. Argumen Puncak Allah: Kearifan dan Dimensi Batin Syariat Terj. dari Hujjjah Allah al-Bālighah oleh Nuruddin Hidayat & Romli Bihar Anwar. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. 2005 Fahrudin, Lukman. “Karakter Guru Profesional dalam Perspektif Al-Qur‟an: Telaah Surah Luqman Ayat 12-10” Skripsi pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014M/1435 H, tidak dipublikasikan al-Ghazali, Imam, Ringkasan Ihya’ ‘Ulumuddin, Terj.oleh Bahrun Abu Bakar. L.C. Cet. 1. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009 Hamidin, Asep syaiful. Betapa Dahsyatnya Energi Maaf, Tolong & Terima Kasih. Cet. II. Jogjakarta: Diva Press. 2013
81
82
Hasan, Muhammad. “Aspek-aspek Kecerdasan Spiritual: Telaah Ayat 12-19 QS. Luqman. Skripsi. pada Program Dual Mode Program Studi Guru Madrasah Ibtidaiyah Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan
UIN
Syarif
Hidayatullah
Jakarta,
2013.
tidak
dipublikasikan Hidayatullah, M. Furqon. Guru Sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat & Cerdas. Cet. Ke-3. Surakarta: Yuma Pustaka. 2010 Koesoema A, Doni. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Cet.3. Jakarta: PT. Grasindo. 2011. Madjid, Nurcholish, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, Jakarta: Paramadina, Cet. II, 2008. Mahalli, Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddin As-Suyuţi, Terjemahan Tafsir Jalalain: Berikut Asbābun Nuzûl, Terj. Bahrun Abubakar, LC, Jilid 1, Cet. 2. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004 Mahmud, Ali Abdul Halim. Pendidikan Ruhani. Terjemahan dari at-Tarbiyatu alRūhiyyah oleh Abdul Hayyie al-Kattani dkk. Jakarta: Gema Insani Press. 2000 Majid, Abdul, Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. IX, 2012 al-Maragi, Ahmad Mustofa, Tafsir Al-Maragi. Terj. Oleh Bahrun Abu Bakar, Lc dan Hery Noer Aly. Cet. II. Semarang: CV. Toha Putra. 1993 Martinus, Surawan. Kamus Kata Serapan. Cet. II Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2008 Mu‟in, Fatchul. Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik & Praktik. Cet.1. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2011 al-Mubarakfury, Syaikh Shafiyur-Rahman. Sejarah Hidup Muhammad. Terj. Rahmat dari Sirah Nabawiyah Cet. 3.(Jakarta: Robbani Press. 2002 al-Mundzirī, Al-Hāfizh Zakī Al-Dīn „Abd Al-„Azhīm. Ringkasan Shahīh Muslim. Terjemahan dari Mukhtasha Shahīh Muslim oleh Syinqithy Djamaluddin dan H.M Muchtar Zoerni. Cet. 1. Bandung: Mizan. 2008
83
Munawir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Pesantren Al-Munawwir Krapyak. 1984 Nata, Abuddin. Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid: Studi Pemikiran Tasawuf Al-ghazali. Cet.1. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2001) Nawawi, Rif‟at Syauqi, Kepribadian Qur’ani, Jakarta: WNI Press, Cet. I, 2009. Nuraida dan Zahara, Psikologi Pendidikan: Untuk Guru PAI, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, Cet. I, 2011. Poerwadarminta, W. J. S.. Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: PN Balai Pustaka. 1976) h. 201 al-Qaţţān, Mannā‟ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Terj. Oleh Mudzakir AS. Cet. 13. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2010. Quthb, Muhammad. Sistem Pendidikan Islam. Terj. dari ManhājTarbiyatul Islamiyah. Oleh Salman Harun. Bandung: PT. Al-Ma‟arif. Quthb, Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an: Di Bawah Naungan Al-Qur’an. Terj. As‟ad Yasin, Abul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah. Jilid 2. Cet. 1. Jakarta: Gema Insani Press. 2011 Rahman, Masykur Arif. Rahasia Kecerdasan Ali bin Abi Thalib Si Super Genius. Cet. II. Jakarta: Diva Press. 2013. Salahudin, Anas dan Irwanto Alkrienciehie. Pendidikan Karakter: Pendidikan Berbasis Agama & Budaya Bangsa. Cet. 1. Bandung: Pustaka Setia. 2013 Saridjo, Marwan (Penyunting). Mereka Bicara Pendidikan Islam: Sebuah Bunga Rampai. (Jakarta: DPP GUPPI bekerja sama dengan RajaGrafindo Persada dan Yayasan Ngali Aksara. 2009). asy-Syeikh, Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Aal. Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir. Jilid 2. Terj. Abdul Ghaffar. Cet. 1. Bogor: Pustaka Imam Syafi‟i. 2001 Saudagar,
Fachruddin
dan
Ali
Udrus,
Pengembangan
Guru,Jakarta: Gaung Persada-GP Press, Cet. III, 2011.
Profesionalitas
84
as-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Terj. Tim Pustaka Firdaus. Cet. Keenam. (Jakarta: Pustaka Firdaus. 1996). h. Shabir, Mushlich. Terjemah Riyadhus Shalihin. Jilid 1. Semarang: Karya Toha Putra Semarang. 2004. Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet. X. Bandung: Mizan, 2000 ------- Membumikan Al-Qur’an: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Cet. VI. Bandung: Mizan. 1994). ------- Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Cet. 3. Jakarta: Lentera Hati. 2002 Shoimin, Aris. Guru Berkarakter untuk Implementasi Pendidikan Karakter. Cet. 1. Yogyakarta: Gava Media. 2014 Sodiq, Akhmad. “Transformasi Ruhani dalam Perspektif Al-Ghazali”. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2008, tidak dipublikasikan. Subhan. “Penafsiran Sayyid Quthb Mengenal Ayat-ayat yang Berkaitan Dengan Politik: Suatu Kajian Tematik dalam Tafsir FiZhilā al-Qur‟an” Tesis pada Program Studi Tafsir Hadis Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2002, tidak dipublikasikan. Sururin, Perempuan dalam Dunia Tarekat: Studi tentang Pengalaman Beragama Perempuan Anggota Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, Jakarta: Kementerian Agama RI Direktorat Jendral Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2012 Suryadilaga, M. Alfatih. Dkk, Metodologi Ilmu Tafsir. Cet. 1. Sleman Yogyakarta: Teras. 2005 Tebba, Sudiman. Kecerdasan Sufistik: Jembatan Menuju Makrifat. Edisi pertama. Jakarta: Prenada Media. 2004 Laporan Utama. “Sekolah Ranah Anak Menuju Pendidikan Ramah Anak”. Warta KPAI. Edisi III, 2013. Rumadi. “Sekolah: Surga atau Neraka” Inovasi Kurikulum: Menakar Kurikulum Berbasis Kompetensi. 01. 2003.