TAFSIR KEPEMIMPINAN KELUARGA TERHADAP SURAT AN NISA‘ AYAT 34 Oleh: Taufik Rokhman Abstract: The Rijal word is a symbol of leadership (alqowwam) for Nisa’. Rijal top leadership Nisa ‘is based on the primacy (alfadholah) and financial support (nafaqoh). The use of the word Rijal and Nisa ‘in this paragraph is not emphasize of semantically the biological significance of the reference to sex, but the leadership of a person’s character and social function. Semiotic elements in the lexicon Rijal, qowwamun and the masculine pronoun hum demonstrate leadership character (alqowwam) is generally more dominant in the self-contained men from the women. It is by no means a necessity leadership of men over women in the family. Kata Kunci: rijal, nisa’, keutamaan, kepemimpinan dan leksikon.
Pendahuluan Surat an Nisa‘ ayat 34 berbunyi:
"...ú~¥Ćû¥ þû ¥Ćðìÿ¥ ¦ną Öä© Ĉøã úĄØä© 7¥ öØë ¦n ¦ÌĀ÷¥ Ĉøã ýĆû¥Ćï õ¦·Æ÷¥" Ayat ini secara literal berarti, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka.... (Surat An Nisa`: 34) Penerjemahan Alquran secara literal merupakan suatu penafsiran tekstual yang hanya melihat makna alquran dari satu sudut pandang yang sempit. Penerjemahan Alquran menghilangkan banyak keistimewaan Alquran yang memiliki kehalusan unsur-unsur semantik yang ditemukan pada pemilihan leksikon, struktur gramatikal, serta kompeleksitas gaya bahasa. Pemilihan leksikon dan struktur bahasa Alquran yang kompleks ini merupakan õ¦·Æ÷¥ paradigma tersendiri ¦ÌĀ÷bagi ¥ ahli tafsir dalam membaca dan memahami Alquran, yang dapat mempengaruhi pemahaman terhadap doktrin teologi dan hukum agama.1 Ayat ini membahas tentang qowwamah yang sering diartikan sebagai kepemimpinan rijal atas nisa’ yang disebabkan karena kelebihan atau keutamaan yang dimiliki golongan pertama atas golongan kedua. Pemahaman ini merupakan interpretasi klasik yang masih melihat makna secara tekstual. Namun studi yang mendalam terhadap ayat ini dapat mengantarkan kepada kemungkinan adanya makna konotasi lain dari leksikon yang sama. Analisis tekstual merupakan langkah pertama menuju sebuah penafsiran yang lebih komprehensif yang tidak hanya melihat bahasa dari satu dimensi. Selanjutnya diperlukan suatu kajian diskursif semiotik dan hermeunetik untuk mendapatkan suatu bentuk penafsiran yang lebih relevan dengan konteks saat ini. Pembahasan A. Aspek Historis Aspek sejarah suatu ayat alquran tidak bisa dilepaskan dari asbab an nuzul. Asbab an nuzul adalah peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat Alquran. Dalam kitab Ahkam al Quran karya Ibnu 1. Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an Towards a Contemporary Approach (New York: Taylor & Francis Group, 2006), hlm. 112-113. Tafsir Kepemimpinan Keluarga Terhadap Surat An Nisa‘ Ayat 34 (Taufik Rokhman)
87
Araby, dijelaskan bahwa ayat ini turun disebabkan oleh peristiwa seorang perempuan yang datang kepada Nabi melaporkan suaminya yang menampar wajahnya dan dia menginginkan keadilan. Nabi mengatakan bahwa dia memiliki qishos untuk membalas pukulan suaminya. Kemudian turun ayat yang berbunyi
"ĂČ»ą òČ÷¥ ĈØðċ ý¥ öªï þû ýÆð÷¦© ö¸ä¯ ēą"
(Q. S. Thoha: 114) yang membuat Nabi menahan wanita
tersebut untuk tidak membalas pukulan suaminya hingga akhirnya turun ayat ini.2 Dalam kitab Ruh al Ma’ani juga disebutkan bahwa ayat ini turun karena peristiwa seorang pembesar Anshor yang bernama Sa’ad bin Robi’ bin ‘Amru telah menampar istrinya yang bernama Habibah binti Zaid bin Abi Zuhair õ¦·Æ÷¥karena berani malawan ¦ÌĀ÷¥ suaminya. Dengan ditemani bapaknya wanita tersebut menemui Rasulullah untuk melaporkan kejadian tersebut. Nabi memerintahkannya untuk membalasnya, tetapi tidak lama kemudian ketika dia akan berangkat menemui Saad, Nabi memintanya untuk kembali lalu bersabda, “Ini Jibril telah datang kepadaku dengan membawakan sebuah wahyu Allah”. Maka Rasul pun membacakan ayat ini kemudian berkata, “Kita menginginkan sesuatu tetapi Allah menginginkan yang lain dan kehendak Allah itu lebih baik”.3 Selain kedua riwayat ini terdapat riwayat lain yang memiliki alur kejadian yang mirip walaupun terdapat perbedaan pada nama-nama sahabat yang terlibat dalam peristiwa tersebut.4 Perbedaan namanama sahabat tidak perlu diperdebatkan karena persamaan alur peristiwa sudah cukup menjelaskan latar belakang turunnya ayat ini. Peristiwa asbab an nuzul tersebut merupakan gambaran konteks sosial masyarakat Arab ketika ayat ini diturunkan yang dibangun di atas sistem patriarkhi. Hal yang demikian ini perlu dipahami karena konteks sosial saat itu berbeda dengan saat ini, sedangkan bentuk teks ayat tersebut masih sama. Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam suatu ayat, diperlukan kajian terhadap kondisi sosial bangsa Arab menjelang dan ketika ayat itu diturunkan. Dengan begitu misi Alquran dari ayat ini dapat dipahami secara utuh.5 B. Analisis Bahasa Terdapat beberapa leksikon utama pada ayat ini yang perlu dianalisa untuk menemukan kemungkinan adanya makna lain. Ini dilakukan terlebih dahulu supaya dapat mengembangkan suatu bentuk interpretasi yang sesuai dengan konteks saat ini, tanpa meninggalkan unsur-unsur linguistik yang terdapat pada ayat ini. 1.
¦ÌĀ÷ Makna Rijalõ¦·Æ÷ ( õ¦·Æ÷ ¥ ¥ ) dan Nisa‘ ( ¦ÌĀ÷ ¥)¥
Kata rijal dalam berbagai tafsir diartikan sebagai laki-laki, atau lebih tepatnya orang yang berkelamin laki-laki. Dalam terminologi Alquran selain kata rijal yang digunakan untuk menunjukkan makna lakilaki, juga terdapat kata dzakar yang berkonotasi dengan untsa. Mengartikan rijal dengan laki-laki dan menyamakannya dengan dzakar merupakan suatu bentuk penerjemahan yang naif, karena hal tersebut akan menghilangkan unsur-unsur semantik yang terdapat pada kata rijal yang tidak dimiliki oleh kata dzakar. Secara semantik rijal adalah kata jama’ (plural) dari kata rojul. Kata ini berantonim dengan kata nisa’ yang biasa diartikan dengan perempuan.6
2. Ibnu Araby, Ahkam al Qur‘an, Vol. I (Beirut: Dar al Kitab al Ilmiyah, t.th.), hlm. 530. 3. Syihabuddin Sayyid Mahmud Alusy, Ruh al Ma’any fi Tafsir al Quran al ‘Adzim wa as Sab’u al Matsany, Juz: V (Beirut: Idaroh at Thoba’ah al Muniriyah, t.th.), hlm. 23. 4. Lihat Muhammad bin Jarir Thobary, Tafsir At Thobary Jami’ al Bayan ‘an Ta’wil Ayat al Quran, Jilid: VIII (Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, t.th.), hlm. 291 dan Muhammad Razy, Tafsir al Fakhru al Razy, Juz: X, (t.t. Dar al Fikr, 1981), hlm. 90. 5. Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 116. 6. Abdurrahman dkk., Al Qur’an & Isu-isu Kontemporer (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2011), hlm. 340.
88
MUWÂZÂH , Vol. 5, No. 2, Desember 2013
Terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara kata rijal dengan dzakar. Kata rijal yang digunakan dalam ayat ini memiliki cakupan makna yang lebih luas dari pada dzakar yang digunakan dalam ayat lainnya. Kata dzakar menekankan makna biologis yang menunjukkan kepada jenis kelamin. Dzakar adalah manusia yang berkelamin laki-laki.7 Berbeda dengan dzakar, kata rijal memiliki imbuhan-imbuhan makna yang tidak hanya menunjukkan kepada arti biologis saja, tetapi memiliki cakupan makna semantik yang lebih luas. Dalam kamus Al Muhith, seseorang laki-laki dapat dikatakan sebagai rojul jika dia telah melewati usia baligh, yaitu setelah dia mimpi basah dan dapat dikatakan sebagai orang dewasa. Seorang dapat dikatakan sebagai rojul jika dia telah memiliki sifat rojuliah (kedewasaan).8 Hal yang senada juga disampaikan dalam kamus Lisan al Arab. Disebutkan dalam Lisan al Arab rojul merupakan kata sifat dan tidak harus melulu menunjuk kepada laki-laki. Orang Arab zaman dulu sering menggunakan kata rojulani untuk menunjukkan kepada dua orang suami istri, seolah yang dimaksud adalah rojul dan rojulah. Kata rojul juga dapat disandingkan pada perempuan seperti al untsa rojulah, meskipun mayoritas pemakaiannya merujuk kepada laki-laki. Seorang perempuan dapat dikatakan sebagai rojulah jika dia memiliki kelebihan dan dapat menyamai laki-laki dalam ilmu pengetahuan dan keahlian lainnya. Sayyidah Aisyah disebut dengan rojulah ar ra’yi karena memiliki kepandaian, kecerdasan dan pengetahuan luas yang melebihi umumnya laki-laki.9 Karena itulah rojul dapat diartikan sebagai suatu sifat yang melekat pada diri seseorang sehingga orang yang memiliki sifat tersebut dijuluki dengan kata itu.10 Kata rijal juga dapat berasal dari kata rijl yang berarti kaki, yang dari sini kata rijal dapat diartikan dengan orang yang berjalan. Kata ar rujlah yang juga pecahan dari kata tersebut berarti kuat berjalan kaki, begitu juga kata rijal berarti sholb, orang yang tahan banting.11 Berbagai pengertian di atas membawa kita kepada pengetahuan bahwa kata rijal tidak harus berarti laki-laki, dan kalaupun diartikan laki-laki maka tidak sembarangan laki-laki. Setidaknya secara bahasa laki-laki dapat dikatakan rijal jika sudah mencapai usia dewasa dan telah melewati masa remajanya. Dengan begitu orang tersebut telah memiliki sifat-sifat kedewasaan (rajuliyah) serta kemampuan intelektual dan penalaran yang matang, sehingga lebih bijak dalam menimbang setiap keputusan yang diambil. Pengartian rijal dengan makna ini sejalan dengan kata qowwamun yang terletak setelah kata rijal pada ayat ini yang berarti pemimpin, yang mana sifat rajuliah (kedewasaan) merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Lawan kata rijal adalah nisa’ yang juga disebutkan dalam ayat ini. Kata nisa’ merupakan kata jamak dari niswah, bisa juga jamak dari kata mar‘ah yang tidak selafal dengannya. Nisa’ dapat berarti perempuan, merupakan antonim dari kata rijal. Kata niswah yang merupakan bentuk tunggal dari nisa’ dapat diasalkan dari kata nasiya yang berarti lupa. Kata nasiya tersebut memiliki beberapa bentuk mashdar (bentuk makna asli) yaitu nisyun, nisyanun, niswah, nisawah dan nasawah. Penisbatan kata nisa’ dengan kata niswy dan naswah menunjukkan kepada orang yang meninggalkan pekerjaan.12 Dari analisa leksikon ini kita dapat melihat kata rijal dan nisa’ dari dimensi sosiologi fungsional. Dari dimensi ini makna rijal merujuk kepada usaha dan aktivitas seseorang di ruang publik. Seorang yang lebih aktif di luar rumah dapat disebut sebagai rijal secara sosiologis meskipun biologisnya adalah wanita. Begitu juga sebaliknya seorang laki-laki yang memilih pekerjaan rumah, secara sosiologis dapat dikategorikan sebagai nisa’ walaupun secara biologis dia seorang laki-laki. Dilihat dari dimensi ini kata rijal dan nisa’ tidak hanya merujuk kepada makna biologis semata. Dari segi struktur kalimat, kata rijal 7. Ibid. 8. Muhammad bin Ya’qub Fayruzabady, Al Qomus al Muhith, Juz: IV (Kairo: Al Haiah al Mishriyah al ‘Ammah li al Kitab, 1980), hlm. 369. 9. Ibnu Mandzur, Lisan al ‘Arab, Vol. III (Kairo: Dar al Ma’arif, t.th.), hlm.1596. 10. Ibid., hlm. 1597. 11. Ibid., hlm. 1989. 12. Ibnu Mandzur, Lisan al ‘Arab, Vol. VI (Kairo: Dar al Ma’arif, t.th.), hlm. 4415-4417. Tafsir Kepemimpinan Keluarga Terhadap Surat An Nisa‘ Ayat 34 (Taufik Rokhman)
89
õ¦·Æ÷¥
¦ÌĀ÷¥
dan nisa‘ keduanya berbentuk ma’rifah dengan tambahan nõ¥ yang dalam gramatikal bahasa Arab disebut alif lam ma’rifah. Alif lam ma’rifah ini berfungsi menunjukkan bahwa kata tersebut sudah dikenal dan diketahui. Dengan demikian dapat diketahui dari konteks turunnya ayat dan kandungan keseluruhan struktur kalimat bahwa rijal merujuk pada suami dan Nisa‘ merujuk pada istri.13 Perlu diperhatikan juga bahwa penggunaan kata rijal dan nisa‘ dan tidak digunakannya kata zauj dan zaujah yang secara langsung dapat merujuk kepada pasangan suami istri, mengisyaratkan suatu makna semiotika tertentu. Kata rijal yang secara dominan merujuk kepada laki-laki ini memang secara tidak langsung mengarah kepada makna zauj. Begitu juga kata nisa’ yang maknanya didominasi perempuan juga mengarah kepada istri. Tetapi dipilihnya kata rijal dan nisa‘ menunjukkan adanya makna implisit yang ingin disampaikan lewat kedua kata ini. Makna ini akan kelihatan lebih jelas bila kedua kata tersebut dibaca secara komprehensif dengan keseluruhan struktur ayat. Analisa bahasa terhadap kata rijal dan nisa‘ ini menunjukkan bahwa penerjemahan kata rijal sebagai kaum laki-laki dan nisa‘ sebagai kaum wanita tanpa memandang makna fungsionalnya sangat kurang tepat. Ini akan menghilangkan unsur-unsur semantik lain yang juga terkandung di dalam kata tersebut. Dipilihnya kata rijal dan nisa‘ dan tidak digunakannya kata dzakar dan untsa ataupun zauj dan zaujah merupakan salah satu rahasia pemilihan leksikon dalam Alquran yang menunjukkan keluasan makna yang terkandung di dalamnya. Makna Qowwamun Qowwamun merupakan bentuk jamak (plural) yang bentuk tunggalnya adalah qowwam, dapat dikatakan juga qoyyim, yaitu pada wazan fa’’al dan fai’il dari kata qoma. Secara bahasa qoyyim berarti sayyid atau tuan, sais al amr atau yang berkuasa mengurusi perkara. Qoyyim al qoum adalah orang yang memimpin dan mengurusi perkara mereka. Adapun qoyyim al mar’ah adalah zaujuha atau suaminya, karena dia memiliki hak mengaturnya dan memenuhi kebutuhannya. Qoyyim juga dapat diartikan lurus seperti al millah al qoyyimah atau agama yang lurus (benar).14 Ibnu Arabi menafsirkan qowwam pada ayat ini dengan amin alaiha yang dapat diartikan orang yang dipasrahi, yang menjaganya dan memberinya rasa aman, mengurusi segala kebutuhannya serta memperbaiki keadaannya.15 Ibnu Katsir menafsirkan kata qowwam di ayat ini dengan pemimpin, pembesar, penguasa dan pendidik yang senantiasa mengurusi dan membimbingnya. Dia juga menafsirkan kata qowwam dengan umara’ (penguasa kota atau daerah) yang harus ditaati selama dalam ketaatan kepada Allah.16 Thobary menafsirkan kata qowwam dengan ahlu qiyam yang dapat diartikan sebagai penanggung jawab, yaitu bertanggung jawab mengurus istrinya, bertanggung jawab membimbingnya dan menanggung segala kebutuhannya.17 Ar Razi menambahkan bahwa kepemimpinan suami atas istrinya mencakup kekuasaannya mengatur, membimbing serta menjamin perlindungan dan keamanannya.18 Sedangkan menurut Alusy kepemimpinan suami atas istrinya layaknya kepemimpinan para penguasa atas rakyatnya yang memiliki hak penuh untuk memerintah dan melarang.19 Penafsiran klasik di atas ini menunjukkan adanya bias gender dan dominasi kaum laki-laki atas perempuan. Di sini terlihat sekali pengaruh kultur sosial saat itu yang didominasi oleh kaum laki-laki. Meskipun begitu dari beberapa penafsiran klasik tersebut dapat disimpulkan bahwa kata qowwam menunjukkan kepada beberapa makna yang hampir berdekatan, yaitu pemimpin, pelindung, pengayom, 2.
13. Abdurrahman dkk., Al Qur’an & Isu-isu Kontemporer, hlm. 341. 14. Ibnu Mandzur, Lisan al ‘Arab, Vol. I (Kairo: Dar al Ma’arif, t.th.), hlm. 174-175. 15. Ibnu Araby, Ahkam al Qur‘an, hlm. 530. 16. Ismail bin Katsir, Tafsir al Qur‘an al ‘Adzim, Juz: IV (Giza: Maktabah Aulad al Syeikh li at Turots, 2000), hlm. 20. 17. Muhammad bin Jarir Thobary, Tafsir At Thobary, hlm. 290. 18. Muhammad Razy, Tafsir al Fakhru al Razy, hal. 90-91. 19. Ibid., hlm. 91 dan Syihabuddin Sayyid Mahmud Alusy, Ruh al Ma’any, hlm. 23.
90
MUWÂZÂH , Vol. 5, No. 2, Desember 2013
¦·Æ÷¥
pembimbing dan juga tuan dan penguasa. Tetapi perlu diingat bahwa kata qowwam yang berasal dari kata kerja qoma yang berarti berdiri tidak mengisyaratkan suatu makna kekuasaan deposit yang semenamena. Sebaliknya kata tersebut merujuk pada seseorang yang berdiri untuk orang lain dengan cara melindungi, membimbing dan mengasihi. Jika yang dimaksud adalah peran otokrasi atau penguasaan yang semena-mena bagi suami atas istrinya maka terdapat kata lain yang lebih tepat seperti kata musaithirun dan muhaiminun.20 Pemilihan kata qowwam ini menunjukkan bahwa pemimpin yang diinginkan oleh Alquran adalah kepemimpinan yang bersifat membimbing, melindungi, mengayomi, memperhatikan kebutuhan yang dipimpinnya, dan bukan sebagai penguasa dengan otoritas penuh yang dapat memaksa dengan semena-mena.
¦ÌĀ÷¥
õ¦·Æ÷¥ ¦ÌĀ÷¥ õ¦·Æ÷¥ 3. Makna Alfadholah ¦ÌĀ÷¥ (keutamaan) Ungkapan yang menunjukkan makna alfadholah tersebut lebih lengkapnya berbunyi, i,"ú~¥Ćû¥
þû ¥Ćðìÿ¥ ¦ną Öä© Ĉøã úĄØä© 7¥ öØë ¦n"
yang secara literal berarti, “Oleh karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka”. Ungkapan tersebut terdiri dari dua prasa, yaitu
tu "Öä© Ĉøã úĄØä© 7¥ öØë ¦n" dan "ú~¥Ćû¥ þû ¥Ćðìÿ¥ ¦n"
yang disambungkan dengan kata sambung ą (dan).
Fungsi hurufuf§ yang terletak pada awal ungkapan ini adalah sebagai sababiyah, yaitu berfungsi menerangkan sebab atau alasan pada ungkapan sebelumnya. Kedua prasa ini adalah keterangan yang menjelaskan sebab pada ungkapan sebelumnya yaitu kepemimpinan rijal atas nisa’.21 Menurut Razi kedua prasa tersebut merupakan alasan kepemimpinan rijal atas nisa‘, yaitu keutamaan yang diberikan oleh Allah kepadanya dan harta yang diberikan kepada nisa‘. Razi mengartikan prasa yang kedua secara semantik merupakan bagian dari prasa pertama. Prasa yang kedua menerangkan prasa yang pertama, karena makna yang terkandung dalam prasa kedua terdapat pada prasa pertama yang merupakan salah satu unsur yang menyusun maknanya secara keseluruhan. Pada penafsiran ini harta yang diberikan pihak suami kepada istrinya, baik yang berupa mahar maupun nafaqoh merupakan salah satu kelebihan yang dimiliki oleh laki-laki.22 Para ahli tafsir klasik maupun kontemporer masih banyak yang memandang ungkapan ini sebagai petunjuk keutamaan dan keunggulan kaum laki-laki atas perempuan. Dalam ayat ini tidak disebutkan secara jelas kelebihan rijal atas nisa’ menyebabkan para penafsir memberikan penjelasan yang berbedabeda sesuai dengan prespektifnya masing-masing. Sebagian dari mereka menganggap kelebihan tersebut bersifat fisik, mental, intelektual, peran agama atau kesemuanya sekaligus. Ini seperti pendapat Ibnu Arabi, laki-laki memiliki kelebihan atas perempuan dalam tiga hal yaitu, kesempurnaan akal, kesempurnaan dalam ibadah dan ketaatan, serta pengorbanan harta yang berupa mahar dan nafaqoh yang diberikan kepada istrinya.23 Menurut Thobari kelebihan suami karena mahar dan nafaqoh yang mereka berikan untuk memenuhi kebutuhan istrinya. 24 Muhammad Abduh membagi kelebihan laki-laki atas perempuan menjadi dua yaitu fithri dan kasbi. Kelebihan fithri ini dapat dilihat dalam penciptaan laki-laki yang diciptakan lebih kuat, lebih indah dan lebih sempurna. Kesempurnaan fisik ini diikuti oleh kesempurnaan akal. Dengan kesempurnaan akal dan kekuatan fisik yang dimiliki oleh laki-laki membuatnya lebih mampu mencari nafkah, berkarya dan 20. Lamya’ Al-Faruqy, ‘Ailah Masa Depan Kaum Wanita, Terj. Masyhur Abadi (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 108. 21. Syihabuddin Sayyid Mahmud Alusy, Ruh al Ma’any, hlm. 23. 22. Muhammad Razy, Tafsir al Fakhru al Razy, hlm. 91. 23. Ibnu Araby, Ahkam al Qur‘an, hlm. 531. 24. Muhammad bin Jarir Thobary, Tafsir At Thobary, hlm. 290. Hal yang senada juga diutarakan olehIbnu Katsir, lihat Ismail bin Katsir, Tafsir al Qur‘an al ‘Adzim, hlm. 22. Tafsir Kepemimpinan Keluarga Terhadap Surat An Nisa‘ Ayat 34 (Taufik Rokhman)
91
õ¦·Æ
õ¦·Æ÷¥
¦ÌĀ÷¥
bertindak dalam berbagai hal. Kelebihan dalam kemampuan mencari nafkah tersebut disebut dengan kelebihan kasbi, yang mana karena kelebihan kasbi inilah kaum laki-laki diberi kewajiban menanggung nafkah wanita, melindungi dan memimpin mereka.25 õ¦·Æ÷¥ ¦ÌĀ÷¥ Alquran tidak menyebut keutamaan rijal atas nisa’ secara eksplisit sehingga menimbulkan berbagai ¥ yang kesemuanya¦ÌĀ÷ ¥ Penafsiran ini berkisar kelebihan fisik, intelektual danõ¦·Æ÷ agama dianggap õ¦·Æ÷¥ ragam penafsiran.¦ÌĀ÷ ¥ merujuk pada kelebihan õ¦·Æ÷¥ laki-laki. Uraian ¦ÌĀ÷para ¥ mufassir tentang keutamaan ini tampaknya telah memperluas pembicaraan seputar laki-laki sebagai jenis kelamin dan bukan dalam konteks laki-laki õ¦·Æ÷¥¥ yang dikemukakan ¦ÌĀ÷tidak õ¦·Æ÷¥ ¦ÌĀ÷ ¥ õ¦·Æ÷ ¥¥ punya¦ÌĀ÷ sebagai suami. Karena itulah sebagian keutamaan-keutamaan relevansinya õ¦·Æ÷¥ dengan posisi laki-laki ¦ÌĀ÷¥ sebagai pemimpin rumah tangga.26 Pembacaan yang teliti terhadap ungkapan
"ú~¥Ćû¥ þû ¥Ćðìÿ¥ ¦ną Öä© Ĉøã úĄØä© 7¥ öØë ¦n" an
membawa kepada tanda-tanda semantik lain dalam ayat tersebut. Ungkapan tersebut terdiri dari dua proposisi yang disambungkan dengan kata sambung ą yang dalam bahasa Arab berfungsi sebagai ‘athof (kata sambung). Setiap proposisi dalam ungkapan tersebut juga diawali dengan hurufuf§ yang berfungsi sebagai sababiyah atau menerangkan sebab atau alasan pada ungkapan sebelumnya.27 Keberadaan huruf ‘ athof yang menyambungkan dua proposisi tersebut dan adanya huruf yang mengawali kedua proposisi itu menunjukkan bahwa kedua proposisi tersebut memiliki makna yang independen, yang terlepas dari yang lainnya. Dengan kata lain bahwa proposisi yang bertama bukan proposisi yang kedua, begitu juga sebaliknya. Dalam ayat ini alasan rijal dijadikan pemimpin atas nisa’ karena dua sebab, yaitu keutamaan (afdholiah) yang Allah berikan kepada rijal dan nafkah yang mereka berikan terhadap nisa’. 4.
Dhomir
úă
Kata
ganti
orang
(dhomir)
"ú~¥Ćû¥ þû ¥Ćðìÿ¥ ¦ną Öä© Ĉøã úĄØä© 7¥ öØë ¦n" an
úă
(mereka
laki-laki)
pada
ungkapan
muncul dua kali, yaitu yang melekat pada kata ba’dh
yang pertama dan pada kata amwal. Keberadaan dhomir muzakkar (maskulis) pada ayat ini menunjukkan bahwa kaum laki-laki secara umum lebih dominan memiliki sifat-sifat kepemimpinan dan lebih mampu mencari nafkah. Meskipun demikian hal ini tidak menutup kemungkinan perempuan dapat memiliki sifat-sifat tersebut. Ini dapat dilihat tidak munculnya dhomir r þă (kata ganti mereka perempuan) pada kata ba’dh yang kedua. Sekiranya Allah hanya memberikan keutamaan dan kemampuan menafkahi untuk golongan laki-laki saja, niscaya bunyi ayatnya tidak demikian, melainkan dapat berbunyi,
i,"..ú~¥Ćû¥ þû ¥Ćðìÿ¥ ¦ną þĄØä© Ĉøã úĄØä© 7¥ öØë ¦n " secara tegas menyebut kata rijal dan Nisa` `"¦ÌĀ÷¥
dengan memunculkan dhomir hinna, atau dengan
Ĉøã õ¦·Æ÷¥ 7¥ öØë ¦n" .
Hal ini menunjukkan kepemimpinan laki-laki di dalam keluarga tidaklah mutlak dan permanen, dimana perempuan juga memiliki potensi yang sama untuk memimpin. Meskipun demikian pemilihan leksikon dan bentuk gramatikal bahasa yang maskulin dapat ditafsirkan juga sebagai isyarat bahwa lakilaki memiliki sifat-sifat dan potensi kepemimpinan yang lebih dominan dari pada kaum hawa.
25. Yunahar Ilyas, Konstruksi Pemikiran Gender Dalam Pemikiran Mifassir (Jakarta: Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005), hlm. 181. 26. Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan (Yogyakarta: LkiS, 2003), hlm. 273. 27. Syihabuddin Sayyid Mahmud Alusy, Ruh al Ma’any, hlm.23.
92
MUWÂZÂH , Vol. 5, No. 2, Desember 2013
C. Dominasi kepemimpinan laki-laki dalam keluarga Dominasi kepemimpinan laki-laki terlihat jelas pada kehidupan dan pranata sosial sehari-hari yang merupakan suatu sistem patriarkhi yang telah diwariskan dari zaman ke zaman, bahkan mungkin dari pertama kali manusia diciptakan. Kontinuitas ini dengan sendirinya telah mengarahkan jalan pikiran manusia dan memelihara pertautan konteks kultural sekarang dengan konteks masa lalu.28 Hal yang demikian ini membuat ayat ini sering ditafsirkan sebagai pengesahan sistem patriarkhi dalam keluarga. Ayat ini dianggap sebagai ayat normatif kepemimpinan laki-laki yang tidak hanya sekedar kabar atau berita, tetapi telah bersifat menjadi perintah.29 Dengan menjadikan ayat ini sebagai ayat normatif yang menjamin kepemimpinan laki-laki dalam keluarga, maka tertutuplah kemungkinan perempuan untuk berperan sebagai kepala keluarga. Padahal dalam beberapa situasi dan kondisi tertentu perempuan memiliki õ¦·Æ÷¥ ¦ÌĀ÷¥ kelebihan atas suaminya sehingga lebih mampu memimpin keluarganya. Menurut Ilyas mengutip dari Asghar Ali Engineer kepemimpinan laki-laki dalam keluarga bersifat kontekstual dan bukan normatif. Kepemimpinan keluarga dapat berubah mengikuti perubahan konteks sosial. Menganggap ayat ini sebagai pernyataan normatif hanya akan mengikat perempuan untuk mengakui kepemimpinan laki-laki pada semua zaman dan keadaan, padahal zaman dan keadaan selalu berubah. Dalam beberapa peristiwa, suami tidak memiliki integritas pribadi maupun kemampuan finansial seperti yang disyaratkan Alquran.30 Kedua hal tersebut adalah sebab kepemimpinan laki-laki atas perempuan di dalam keluarga seperti
m"ú~¥Ćû¥ diterangkan dalam
þû ¥Ćðìÿ¥ ¦ną Öä© Ĉøã úĄØä© 7¥ öØë ¦n".
Awalan hurufuf§ yang berfungsi
sebagai sababiyah menerangkan sebab atau alasan ungkapan sebelumnya.31 Ini berarti karakteristik prasa sebelum kata bi yaitu
¦ÌĀ÷¥ Ĉøã ýĆû¥Ćï õ¦·Æ÷¥
ditentukan berdasarkan apa-apa yang diuraikan setelah
kata bi. Dengan kata lain rijal menjadi pemimpin bagi nisa’ jika disertai dua keadaan yang diuraikan berikutnya yaitu kesanggupan membuktikan kelebihannya dan dukungan finansial. Jika kedua kondisi ini tidak dipenuhi maka laki-laki bukanlah pemimpin bagi wanitanya.32 Karena itulah Nurjannah Ismail berpandangan jika pasangan suami istri memiliki kemampuan yang setara dapat menerapkan kepemimpinan secara kolektif dalam keluarga. Meskipun hal ini dapat menimbulkan problematika apabila tidak tercapai kata sepakat dan musyawarah mengalami kebuntuan. Jika ini terjadi maka secara umum kepemimpinan tertinggi dalam keluarga sebaiknya dipegang oleh suami karena berbagai alasan yang bersifat material maupun immaterial.33 Menurut Nashruddin Baidan sifat-sifat kepemimpinan tampak lebih dominan pada diri laki-laki dari pada perempuan. Ini dapat dilihat dari segi kemampuan fisik, intelektual, emosional maupun dalan ketentuan agama. Secara fisik laki-laki lebih kuat, berani, lebih tahan dan tabah menghadapi tantangan, serta memiliki beberapa keahlian. Dengan keunggulan fisik tersebut laki-laki lebih mampu mencari nafkah untuk membiayai kehidupan keluarga. Ini sesuai dengan ketentuan mahar pernikahan dan nafaqoh keluarga dalam islam yang dibebankan kepada laki-laki. Walaupun sebenarnya wanita memiliki kemampuan untuk mencari nafkah, tetapi apa yang mereka upayakan menjadi hak milik mereka sendiri dan tidak diwajibkan ikut menanggung kebutuhan keluarga.34 Kelebihan laki-laki secara fisik juga berperan
28. Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan, hlm. 33. 29. Yunahar Ilyas, Konstruksi Pemikiran Gender, hlm. 286. 30. Ibid., hlm. 277. 31. Syihabuddin Sayyid Mahmud Alusy, Ruh al Ma’any, hlm. 23. 32. Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam Alquran, Terj. Yaziar Radianti (Bandung: Pustaka, 1994), hlm. 93. 33. Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan, hlm. 276. 34. Nashruddin Baidan, Tafsir bi Al-Ra’yi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 23-24.
Tafsir Kepemimpinan Keluarga Terhadap Surat An Nisa‘ Ayat 34 (Taufik Rokhman)
93
dalam pemenuhan kebutuhan rasa aman dan tentram sebagai pelindung dan pengayom seluruh anggota keluarga.35 Hal ini berbeda dengan fisik perempuan yang tampak lebih lemah dan lembut. Secara psikologi laki-laki memiliki tabiat yang berbeda dengan wanita. Laki-laki lebih mengedepankan nalar dan kekuatan intelektual, sedangkan perempuan lebih mengedepankan emosional yang dibangun atas sifat kelembutan dan kehalusannya. Hal ini tidak menunjukkan bahwa laki-laki memiliki kemampuan intelektual yang lebih baik dari pada wanita, tetapi bila terjadi benturan antara nalar dan rasa, laki-laki lebih mendahulukan nalar dari pada rasa. Sebaliknya perempuan lebih mendahulukan rasa dari pada nalar. Sebenarnya keduanya memiliki kemampuan kognitif yang setara, yaitu sama-sama berpotensi untuk berkembang tergantung pendidikan dan lingkungan masing-masing. Bahkan ada sebagian wanita yang memiliki kecerdasan melebihi umumnya laki-laki. Tetapi pada umumnya perempuan lebih emosional dibandingkan dengan laki-laki, sehingga pada saat yang bersamaan emosionalnya dapat mengalahkan kekuatan intelektuallitasnya.36 Perbedaan fisik, intelektual dan emosional ini berpengaruh pada ketetapan dan norma-norma agama islam di dalam pernikahan. Laki-laki memiliki hak mentalak sedangkan wanita tidak. Laki-laki dapat melakukan poligami dengan syarat-syarat yang ketat. Dalam prosesi pernikahan laki-laki adalah subyek yang dapat menikahkan dirinya sedangkan wanita adalah obyek pernikahan yang harus disertai walinya. Pembayaran mahar dan nafaqoh keluarga juga diwajibkan bagi laki-laki dan lain sebagainya.37 Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut tidak heran jika kepemimpinan di dalam keluarga lebih didominasi oleh kaum adam. Dominasi kepemimpinan keluarga oleh kaum adam diisyaratkan pada ayat ini lewat penggunaan leksikon dan struktur gramatikal bahasa yang maskulin. Hal tersebut dapat dilihat pada penggunaan kata rijal, qowwamun dan kata ganti hum yang semuanya maskulin. Struktur gramatikal bahasa juga ditujukan untuk menerangkan keutamaan (alfadholah) rijal (kata maskulin) atas nisa’ (kata feminim). Leksikon dan struktur gramatikal yang maskulin ini dibarengi keluasan dan kelonggaran makna yang memungkinkan dilakukannya penafsiran dari berbagai dimensi, sehingga kata-kata tersebut tidak dilihat dari sudut pandang biologis semata tetapi lebih dari fungsi sosialnya. Hal yang demikian ini membantah penafsiran ayat ini sebagai pengesahan sistem patriarkhi yang mutlak dan permanen di dalam keluarga. Penutup Teks Alquran tetap sama sedangkan konteks selalu berubah, akan tetapi keluasan makna Alquran memperlihatkan bahwa dirinya tetap relevan dengan berbagai konteks tersebut. Secara tidak langsung Alquran menunjukkan realitas-realitas yang tidak dapat dipungkiri, tetapi pada saat yang sama menunjukkan kemungkinan terjadinya perubahan atau munculnya realitas lain. Dalam ayat ini Alquran menggambarkan realitas saat itu, menggariskan aturan-aturannya, tetapi secara kasat mata menunjukkan realita lain yang kemungkinan muncul di lain waktu. Surat An Nisa‘ ayat 34 dalam penafsiran klasik dianggap sebagai ayat normatif yang melegalkan sistem patriarkhi dalam keluarga secara mutlak dan permanen. Akan tetapi unsur-unsur semantik pada teks ayat ini yang ditandai dengan pemilihan leksikon dan struktur gramatikal yang sangat teliti membantah hal tersebut. Penggunaan leksikon dan bentuk gramatikal yang maskulin pada salah satu sisi menggambarkan pranata sosial pratriarkhal saat itu. Pada sisi yang lain hal ini menunjukkan potensi dan dominasi sifat-sifat kepemimpinan kaum adam dari pada kaum hawa. Kolonggaran makna teks membuat ayat ini selalu dapat diinterpretasikan sesuai dengan perkembangan konteks yang melingkupinya, tanpa harus 35. Ini sejalan dengan arti qowwamah yang menurut ar Razy berkonotasi dengan pemimpin, pelindung, pengayom, pembimbing, lihat Muhammad Razy, Tafsir al Fakhru al Razy, hal. 90-91. 36. Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan, hlm. 274. 37. Mansour Fakih (et al.), Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 172-173.
94
MUWÂZÂH , Vol. 5, No. 2, Desember 2013
menyalahi kode-kode linguistik. Ini dapat dilihat pada kata-kata rijal, nisa’ ataupun qowwamun yang memiliki cakupan makna yang lebih luas dari pada kata-kata lain yang bersinonim dengannya. Alquran tidak melarang sistem patriarkhi yang berlangsung saat ayat ini turun tetapi menggariskan aturan-aturannya. Pada saat yang sama alquran juga menunjukkan kemungkinan kepemimpinan wanita dalam konteks-konteks tertentu. Laki-laki lebih dominan dalam kepemimpinan karena pembawaannya tetapi tidak tertutup kemungkinan kepemimpinan wanita. Pemilihan leksikon dengan makna yang longgar tidak secara langsung menunjuk kepada jenis kelamin, tetapi mencakup makna-makna lain yang menunjukkan karakter dan fungsi sosial. Hal ini mengisyaratkan bahwa ayat kepemimpinan tersebut tidak bersifat normatif, yang secara sepihak menutup kemungkinan kepemimpinan wanita. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman dkk., Al Qur’an & Isu-isu Kontemporer,Yogyakarta: eLSAQ Press, 2011. Al-Faruqy, Lamya’, ‘Ailah Masa Depan Kaum Wanita, Terj. Masyhur Abadi, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997. Alusy, Syihabuddin Sayyid Mahmud, Ruh al Ma’any fi Tafsir al Quran al ‘Adzim wa as Sab’u al Matsany, Juz: V, Beirut: Idaroh at Thoba’ah al Muniriyah, t.th. Araby, Ibnu, Ahkam al Qur‘an, Vol. I, Beirut: Dar al Kitab al Ilmiyah, t.th. Baidan, Nashruddin, Tafsir bi Al-Ra’yi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Fakih, Mansour, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1996. Fayruzabady, Muhammad bin Ya’qub, Al Qomus al Muhith, Juz: IV, Kairo: Al Haiah al Mishriyah al ‘Ammah li al Kitab, 1980.. Ilyas, Yunahar, Konstruksi Pemikiran Gender Dalam Pemikiran Mifassir, Jakarta: Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005. Ismail, Nurjannah, Perempuan dalam Pasungan, Yogyakarta: LkiS, 2003.Katsir, Ismail bin, Tafsir al Qur‘an al ‘Adzim, Juz: IV,Giza: Maktabah Aulad al Syeikh li at Turots, 2000. Mandzur, Ibnu, Lisan al ‘Arab, Vol. III, Kairo: Dar al Ma’arif, t.th. __________, Lisan al ‘Arab, Vol. VI, Kairo: Dar al Ma’arif, t.th. __________, Lisan al ‘Arab, Vol. I, Kairo: Dar al Ma’arif, t.th. Muhsin, Amina Wadud, Wanita di dalam Alquran, Terj. Yaziar Radianti, Bandung: Pustaka, 1994. Kualitas Pelayanan Publik, Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005. Razy, Muhammad, Tafsir al Fakhru al Razy, Juz: X, t.t. Dar al Fikr, 1981. Saeed, Abdullah, Interpreting the Qur’an Towards a Contemporary Approach, New York: Taylor & Francis Group, 2006. Thobary, Muhammad bin Jarir, Tafsir At Thobary Jami’ al Bayan ‘an Ta’wil Ayat al Quran, Jilid: VIII, Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, t.th.
Tafsir Kepemimpinan Keluarga Terhadap Surat An Nisa‘ Ayat 34 (Taufik Rokhman)
95