TAFSIR SURAT IBRÂHÎM AYAT 18, SURAT ALBAQARAH AYAT 68, DAN SURAT YÛSUF AYAT 41 (Kajian Tentang Metode Amśâl dalam Pembelajaran Agama Islam) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I)
Oleh
Fathurrohmah Aviciena NIM 1111011000059 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/2015
ABSTRAK
Fathurrohmah Aviciena (1111011000059). TAFSIR SURAT IBRÂHÎM AYAT 18, SURAT AL-BAQARAH AYAT 68, dan SURAT YÛSUF AYAT 41: Kajian Tentang Metode Amśâl dalam Pembelajaran Agama Islam. Perumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini yaitu mengenai apa kandungan dari surat Ibrâhîm ayat 18, surat al-Baqarah ayat 68, dan surat Yȗsuf ayat 41, serta bagaimana analisis metode pembelajaran amśâl yang terkandung di dalamya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui isi kandungan surat Ibrâhîm ayat 18, surat al-Baqarah ayat 68, dan surat Yȗsuf ayat 41, mengenai kajian metode amśâl dalam pembelajaran Agama Islam. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis library research (penelitian kepustakaan) dengan tehnik analisis deskriptif kualitatif, dengan cara mengumpulkan data atau bahan-bahan yang berkaitan dengan tema pembahasan dan permasalahannya, yang diambil dari sumber-sumber kepustakaan, kemudian dianalisis dengan metode tahlilî, yaitu metode tafsir yang menjelaskan kandungan ayat al-Qur`ân dari seluruh aspeknya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam surat Ibrâhîm ayat 18, surat alBaqarah ayat 68, dan surat Yȗsuf ayat 41 terkandung pendekatan pembelajaran amśâl, yang pada masing-masing surat mengandung jenis amśâl yang berbeda. Dalam surat Ibrâhîm ayat 18, metode amśâl yang terkandung adalah amśâl muşarrahah, yaitu jenis perumpamaan yang jelas terlihat pada teks atau ucapannya. Dalam surat al-Baqarah ayat 68, jenis amśâl yang terkandung adalah amśâl kâminah, yaitu jenis perumpamaan yang tersembunyi yang tidak nampak pada lafadz atau teksnya, namun memiliki persamaan arti dengan ungkapanungkapan Arab, atau peribahasa yang berlaku. Dan dalam surat Yȗsuf ayat 41, jenis amśâl yang terkandung adalah amśâl mursalah, yaitu jenis perumpamaan yang tidak tampak dari teksnya dan tidak ada persamaan dengan ungkapanungkapan atau peribahasa yang berlaku, namun tetap dihukumi sebagai amśâl/perumpamaan.
i
KATA PENGANTAR
الرحيم ّ الرحمن ّ بسم هللا Assalamu’alaikum Warahmatullâhi Wabarakâtuh Kiranya tiada kalimat yang pantas diucapkan selain Alhamdulillâh, yang merupakan kalimat terindah yang dapat penulis sampaikan. Segala puji hanya bagi Allah, merupakan manifestasi rasa syukur terhadap kehadirat Ilâhi Rabbi dengan rahmat dan hidâyahnya telah menghadiahkan anugerah yang begitu mahal nilainya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Şalawat dan salâm semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad Saw, orang yang begitu mencintai kita sehingga di akhir hayatnya yang beliau sebut dan kenang hanyalah kita umatnya. Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Menyadari bahwa suksesnya penulis dalam menyelesaikan skripsi ini bukan semata-mata karena usaha penulis sendiri, melainkan tidak lepas dari bantuan beberapa pihak, baik batuan moril ataupun materil. Oleh karena itu sudah menjadi kepatutan untuk penulis sampaikan penghargaan yang tulus dan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Orang tua penulis, yaitu: Bapak. H. Sangidun, M.A dan Ibunda Amah yang telah merawat, mendidik putra-putrinya dengan tulus ikhlas, dan mencukupi kebutuhan moril dan materil serta membimbing, memotivasi dan mendo’akan penulis dalam menempuh langkah hidup di dunia yang sementara ini. Tak lupa juga kepada Bapak Misbahuddin dan Ibu Salamah (almh) yang telah memberikan pengorbanan yang tak terhitung nilainya dan tak terbalas bagi penulis. 2. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta
ii
3. Bapak Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK). 4. Bapak H. Dr. Abdul Majid Khon, M.Ag. Dan ibu Hj. Marhamah Saleh, Lc. MA selaku ketua dan sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam. Semoga kebijakan yang telah dilakukan selalu mengarah kepada kontinuitas eksistensi mahasiswanya. 5. Bapak Abdul Ghafur, MA selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan perhatian, bimbingan, nasehat, kritik dan saran, serta motivasi yang besar dalam proses penulisan skripsi ini. 6. Ibu Hj. Marhamah Saleh, Lc, MA selaku dosen pembimbing akademik yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan pelayanan konsultasi bagi penulis. 7. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan ilmunya sehingga penulis dapat memahami berbagai materi perkuliahan. 8. Staf Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyediakan berbagai referensi yang menunjang dalam penulisan skripsi ini. 9. Bapak Prof. Dr. H. D. Hidayat, MA selaku direktur Pesantren Luhur Sabilussam serta jajaran pengurus Pesantren Luhur Sabilussalam yang senantiasa membimbing penulis sebagai mahasantriawati. 10. Bapak Dr. H Muslih Idris, Lc, MA dan ibu Dra. Djunaidatul Munawwaroh, MA selaku pemilik asrama putri Pesantren Luhur Sabilussalam yang selama kurang lebih empat tahun terakhir ini tak pernah lelah memberikan bimbingan, nasehat, kritik dan saran serta motivasinya bagi penulis. 11. Kakak dan Adikku tersayang, Mas Randhu Ahimsa Asa dan dede Nahaary Fortuna Averoes yang selalu memberikan semangat kepada penulis,
semoga
kita
selalu
menjadi
membanggakan kedua orang tua kita.
iii
anak-anak
yang
bisa
12. Teman-teman “S-11” Pesantren Luhur Sabilussalam angkatan 2011 yang selalu memberikan contoh dan motivasi, sekaligus sebagai keluarga bagi penulis. 13. Teman-teman sejawat jurusan PAI angkatan 2011, khususnya sahabat TWO PAI (PAI B) yang selalu ada untuk menemani membimbing dan terus memberikan semangat kepada penulis. 14. Kepada keluarga “al-Barkah” yaitu: Ka Nafisah beserta suami dan buah hatinya, Ka Masmuhah Oecha, Feni Syarifaeni Fahdiah, dan Ulfah Zakiyah, mereka adalah keluarga yang selalu memberikan semangat, nasehat, inspirasi, dan motivasi penulis dari awal kami menempuh pendidikan S1 di kampus UIN Jakarta ini. 15. Kepada sahabat yang selalu sedia untuk memberikan nasehat, arahan, serta semangatnya untuk penulis, yaitu: Anisya Ulfah, Eka Maharani, Marsita Eka Yuliani, Nailah Alfiani, Nuni Nuraini, Ummu Hanifah, Yohanna Makatangin, dan Yolla Diatry Marlian yang sama-sama menepuh studi pada jurusan PAI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 16. Semua pihak yang tidak penulis sebutkan satu persatu yang telah berjasa membatu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dari semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapat balasan pahala dan rahmat Allah SWT. Dan semoga apa yang telah ditulis dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Âmîn Yâ Rabbal ‘Âlamîn.
Jakarta, 15 Juni 2015
Fathurrohmah Aviciena
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB–LATIN Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
1. Konsonan Tunggal No.
Huruf Arab
Huruf Latin
No.
Huruf Arab
Huruf Latin
1
ا
Tidak
16
ط
ţ
dilambangkan
2
ب
b
17
ظ
ť
3
ت
t
18
ع
‘
4
خ
ś
19
غ
ġ
5
ج
j
20
ف
f
6
ح
h
21
ق
q
7
خ
kh
22
ك
k
8
د
d
23
ل
l
9
ذ
ż
24
م
m
10
ر
r
25
ن
n
11
ز
z
26
و
w
12
س
s
27
ه
h
13
ش
sy
28
ء
`
14
ص
ş
29
ي
y
15
ض
đ
30
ة
h
2. Vokal Tunggal Tanda
Huruf Latin
َـ
a
َـ
i َـ
u
v
vi
3. Vokal Rangkap Tanda dan Huruf
Huruf Latin
ْـَي
ai
ْــَو
Au
4. Mâdd Harakat dan Huruf
Huruf Latin
َ ــْا
â
ْــِي
î
ْــُو
ȗ
5. Tâ’ Marbuţah Tâ’ Marbuţah hidup translitrasiya adalah /t/. Tâ’ Marbuţah mati transliterasinya adalah /h/. Jika pada suatu kata yang akhir katanya adalah Tâ’ Marbuţah diikuti oleh kaya sandang al, serta kata kedua itu terpisah maka Tâ’ Marbuţah itu ditransliterasikan dengan /h/. Contoh: = حَدَيقَةََالحَيَوَاناتhadîqat al-hayawânât atau hadîqatul hayawânât = المَدَرَسَةََالَبَحَدَائَيّة
al-madrasat
al-ibtidâ`iyyâh
atau
al-madrasatul
ibtidâ`iyyâh
6.
Syaddah (Tasydîd) Syaddah/tasydid ditransliterasikan dengan huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah (digandakan). َعلَّن
Ditulis
‘allama
َيك ّرر
Ditulis
yukarriru
7. Kata Sandang a. Kata sandang diikuti oleh huruf Syamsiyah ditransliterasikan dengan huruf yang mengikuti dan dihubungkan dengan kata sambung/hubung.
vii
Contoh: َصالة َّ = الaş-şalâtu b. Kata sadang diikuti dengan hufuf Qamariyah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya. Contoh: َ =َالفلكal-falaqu
8. Penulisan Hamzah a. Bila hamzah terletak di awal kata, maka ia tidak dilambangkan dan ia seperti alif, contoh: َ =َأكلثakaltu
َ = أوجيȗtiya
b. Bila di tengah dan di akhir, ditransliterasikan dengan aprostof, contoh: = جأكلونta’kulȗna
َ = شيئsyai`un
9. Huruf Kapital Huruf kapital dimulai pada awal nama diri, nama tempat, bukan pada kata sandangnya. Contoh: القرآن
= al-Qur`ân
المدينةَالمنورة ّ
= al-Madînatul Munawwarah
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI ABSTRAK ................................................................................................................ i KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................. v DAFTAR ISI ............................................................................................................. viii BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1 B. Identifikasi Masalah ....................................................................................... 11 C. Pembatasan Penelitian .................................................................................... 11 D. Perumusan Masalah ....................................................................................... 11 E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................................. 11 BAB II : KAJIAN TEORITIK METODE AMŚÂL A. Acuan Teori .................................................................................................... 13 1. Pengertian Metode Pembelajaran Amśâl .................................................. 13 2. Kedudukan Amśâl dalam Pembelajaran ................................................... 20 3. Macam-Macam Istilah Metode Amśâl .................................................... 24 4. Syarat-Syarat Metode Amśâl .................................................................... 28 5. Tujuan Metode Amśâl .............................................................................. 30 B. Hasil Penelitian Yang Relevan ....................................................................... 32 BAB III : METODOLOGI PENELITIAN A. Objek dan Waktu Penelitian ........................................................................... 33 B. Metode Penelitian ........................................................................................... 33 C. Fokus Penelitian ............................................................................................. 34 D. Prosedur Penelitian ......................................................................................... 35
viii
ix
BAB IV: TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Tafsir Surat Ibrâhîm Ayat 18, Surat Al-Baqarah Ayat 68 dan Surat Yȗsuf Ayat 41 ................................................................................................ 38 1. Tafsir Surat Ibrâhîm Ayat 18 a) Teks Ayat dan Terjemah Surat Ibrâhîm Ayat 18 ............................... 38 b) Makna Kosa Kata Inti ........................................................................ 38 c) Tafsir Surat Ibrâhîm Ayat 18 ............................................................. 41 2. Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 68 .............................................................. 46 a) Teks Ayat dan Terjemah Surat al-Baqarah Ayat 68 ........................... 46 b) Makna Kosa Kata Inti ......................................................................... 46 c) Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 68 ......................................................... 49 3. Tafsir Surat Yȗsuf Ayat 41 ...................................................................... 54 a) Teks Ayat dan Terjemah Surat Yȗsuf Ayat 41 .................................. 54 b) Makna Kosa Kata Inti ......................................................................... 54 c) Tafsir Surat Yȗsuf Ayat 41................................................................. 56 B. Analisis Metode Amśâl dalam Surat Ibrâhîm Ayat 18,Surat al-Baqarah Ayat 68 dan Surat Yȗsuf Ayat 41 .................................................................. 60 1.
Analisis Metode Amśâl dalam Surat Ibrâhîm Ayat 18 ............................ 60
2.
Analisis Metode Amśâl dalam Surat al-Baqarah Ayat 68 ....................... 65
3.
Analisis Metode Amśâl dalam Surat Yȗsuf Ayat 41 ............................... 69
BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................................... 72 B. Implikasi ......................................................................................................... 73 C. Saran ............................................................................................................... 73 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 75 LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dari sejak awal kehadiran Islam di muka bumi, ia telah memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan, sehingga mampu mengubah pusat kebudayaan dan peradaban yang semula ada di Cina, India, Romawi, Persia dan lainnya berpindah ke dunia Islam, sebagaimana terlihat di Baghdad, Mesir dan lainnya.1 Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan. Karena pendidikanlah yang akan mengembangkan potensi manusia. Berkaitan dengan hal ini, pendapat Muhammad Amin yang dikutip oleh Abudin Nata menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha untuk mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan
individual
sehingga
potensi-potensi
tersebut
dapat
diaktualisasikan secara sempurna. Potensi-potensi itu sesungguhnya merupakan kekayaan manusia yang amat berharga.2 Oleh karena pentingnya peranan pendidikan, maka sebagai umat Islam dalam menjalankan sebuah pendidikan hendaknya pendidikan tersebut dilandasi dengan nilai-nilai keislaman. Al-Qur`ân sebagai kitab suci sekaligus pedoman hidup umat Islam, banyak membicarakan dan menjelaskan tentang seluk beluk dan hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan. Ia juga mendorong umat manusia untuk mencari ilmu dan mendudukannya sebagai sesuatu yang utama dan mulia. Sebagaimana dalam Surat al-Qalam/68 ayat 1
ن َوالْ َقلَ ِم َوَما يَ ْسطُُرْو َن
1 2
Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), h. 207 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h. 103
1
2
Nun. Demi pena dan apa saja yang mereka tuliskan.3 Musthafa Husni Assiba’i menjelaskan bahwa yang dimaksud pada Surat al-Qalam ayat pertama yaitu Allah telah menjadikan alat menulis (pena) untuk bahan bersumpah, sebagaimana juga yang ditafsirkan oleh jumhȗr ahli al-Qur`ân. Barang siapa yang suka menyelidiki Kitabullah yang Mulia, maka ia pasti mengetahui bahwa Allah bersumpah dengan makhluk-Nya adalah untuk menyatakan betapa sangat pentingnya apa yang disumpahkan itu, juga untuk menarik perhatian seluruh manusia kepadanya.4 Menurut Quraish Shihab, al-Qur`ân secara harfiah berarti “bacaan yang mencapai puncak kesempurnaan”.5 Kemudian beliau juga menuturkan bahwa “al-Qur’an memperkenalkan dirinya hu-dan li al-nas (petunjuk untuk seluruh manusia). Inilah fungsi utama kehadirannya”.6 Al-Qur`ân merupakan salah satu sumber hukum agama Islam, di dalamnya banyak terdapat aturan hukum bagi kehidupan manusia yang akan menjamin kebahagiaan pemeluknya di dunia dan akhirat nanti. Dan para ulama juga sepakat bahwa dalam penggunaan sumber hukum Islam, al-Qur`ân lah yang menjadi prioritas utama dibandingkan sumber hukum Islam lainnya.7 Karena al-Qur`ân mempunyai fungsi untuk memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Isrâ` ayat 9,
. . . إِ َّن ه َذا الْ ُق ْرَءا َن يَ ْه ِدى لِلَّ ِِت ِه َي أَق َْو ُم
Sesungguhnya al-Qur`ân ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang paling lurus … 8 Menurut ulama besar kontemporer, Muhammad Husein AthThabathaba’iy sebagaimana yang dikutip oleh guru besar kita Quraish 3
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Syamil Al-Qur’an, 2007), h. 564 4 Musthafa Husni Assiba’i, Kehidupan Sosial Menurut Islam, (Bandung: Diponegoro, 1993), Cet III, h. 112 5 M.Quraish Shihab, Lentera Al-Qur’an, (Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2008), Cet. II, h.21 6 Ibid, h. 26 7 Sapiuddin Shiddiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: KENCANA, 2011), h. 25 8 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op Cit.,h. 283
3
Shihab menyatakan bahwa “sejarah al-Qur`ân demikian jelas dan terbuka, sejak turunnya hingga masa kini. Al-Qur`ân sudah dibaca oleh kaum muslimin sejak dulu hingga sekarang, sehingga dengan demikian al-Qur`ân
tidak
membutuhkan
sejarah
untuk
membutikan
keotentikannya”.9 Dengan semua bukti-bukti keistimewaan al-Qur`ân, maka sudah sepatutnya sebagai manusia harus menjadikan al-Qur`ân sebagai dasar, landasan serta hukum dalam setiap langkah kehidupannya. Semua urusan manusia secara menyeluruh telah diatur sebaik-baiknya dalam al-Qur`ân. Hal ini juga menjadi salah satu prinsip yang terkandung dalam tujuan pendidikan Islam, sebagaimana yang dijelaskan oleh Prof. Abudin Nata bahwa, “agama Islam yang menjadi dasar pendidikan islami itu bersifat menyeluruh dalam pandangan terhadap agama, manusia, masyarakat, dan kehidupan”.10 Menurut Syafri, al-Qur`ân berperan besar dalam proses pendidikan yang dilakukan kepada umat manusia, beliau berpendapat bahwa ada dua alasan pokok yang membuktikan hal tersebut. Alasan pertama karena alQur`ân
banyak
menggunakan
term-term
yang
mewakili
dunia
pendidikan, kemudian alasan yang kedua, al-Qur`ân mendorong umat manusia untuk berfikir dan melakukan analisis pada fenomena yang ada di sekitar kehidupan mereka.11 Mengacu pada pernyataan di atas, dapat penulis katakan bahwa alQur`ân sudah memberi anjuran dan aturan dalam pendidikan. Ini berarti bahwa dalam kajian pendidikan, al-Qur`ân sebagai kitab suci umat Islam turut mengatur jalannya pendidikan. Hal ini senada dengan pendapat Erwati Aziz yang menjelaskan bahwa “dalam pendidikan Islam, alQur’an merupakan sumber pertama utama. Hal ini dikarenakan al-Qur’an yang diturunkan Allah swt lebih dari 14 abad yang lalu telah memuat 9
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2003), cet. IV, h. 21 Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 2012), cet. III, h. 12 11 Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h. 59-60 10
4
prinsip-prinsip dasar yang dibutuhkan manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan di muka bumi ini termasuk pendidikan.”12 Maka sudah seharusnya al-Qur`ân dijadikan acuan pokok dalam melaksanakan pendidikan, karena al-Qur`ân adalah sumber nilai utama dalam kehidupan manusia. Dan tujuan hidup manusia dapat dicapai hanya dengan proses pendidikan. Dalam hal pendidikan, banyak para ahli mendefinisikan arti dari pendidikan tersebut, diantaranya adalah Ara Hidayat dan Imam Machali, menurut mereka “pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual
keagamaan,
pengendalian
diri,
kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”.13 Alisuf Sabri menyimpulkan definisi pendidikan dari beberapa ahli pendidikan bahwa, “pendidikan itu adalah usaha sadar dari orang dewasa untuk membantu atau membimbing pertumbuhan dan perkembangan anak/peserta didik secara teratur dan sistematis ke arah kedewasaan”.14 Sementara itu, Hasan Langgulung menjelaskan definisi pendidikan sebagaimana yang dikutip oleh Abudin Nata, bahwa pendidikan adalah “suatu proses yang mempunyai tujuan yang biasanya diusahakan untuk menciptakan pola-pola tingkah laku tertentu pada kanak-kanak atau orang yang sedang dididik.”15 Kemudian Ara Hidayat dan Imam Machali menjelaskan kembali tentang pendidikan lebih spesifik dari perspektif Islam bahwa: Dalam perspektif Islam, kata pendidikan merujuk pada beberapa istilah yaitu “al-tarbiyah”, “al-ta`dib”, dan “al-ta’lim” ( التربية – التأديب 12
Ernawati Azizi, “Keberhasilan Pendidikan Perspektif Al-Qur’an”, Jurnal At-Tarbawi Kajian Kependidikan Islam, Vol.2, 2005, h. 169 13 Ara Hidayat dan Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan: Konsep, Prinsip, dan Aplikasi dalam Mengelola Sekolah dan Madrasah, (Yogyakarta: Kaukaba, 2012), h. 29 14 Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta PRESS, 2005), h. 7 15 Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), Cet. II, h. 28
5
التعليم-). Dari ketiga istilah tersebut, yang paling popular digunakan dalam menyebutkan praktik pendidikan Islam adalah terminologi “altarbiyah” seperti penggunaan istilah “at-Tarbiyah alIslamiyah”/( )التربية اإلسالميةyang berarti pendidikan Islam. Syed Muhammad Al-Nuqaib Al-Atas -seorang tokoh pemikiran pendidikan Islam- berpendapat bahwa sesungguhnya istilah yang paling tepat untuk pendidikan Islam adalah “ta`dib”, sebab struktur konsep ta`dib sudah mencakup unsur-unsur ilmu intruksi (ta’lim) dan pembinaan yang baik (tarbiyah).16 Kemudian banyak para ahli yang mendefinisikan pendidikan Islam merupakan pendidikan yang berbasis al-Qur`ân, sebagaimana menurut Hasan Bashri, “ilmu pendidikan Islam adalah seperangkat pengetahuan yang berbasis pada al-Qur’an dan as-Sunnah yang dijadikan landasan untuk pembelajaran dalam kehidupan”.17 Muhammad Hamid An-Nashir dan Kaulah Abd al-Qadir Darwis mendefinisikan pendidikan Islam sebagaimana yang telah dikutip oleh Moh. Roqib sebagai “proses pengarahan perkembangan manusia (ri’ayah) pada sisi jasmani, akal, bahasa, tingkah laku, dan kehidupan sosial dan keagamaan
yang diarahkan pada kebaikan menuju
kesempurnaan.”18 Sejalan dengan definisi di atas, M. Arifin menjelaskan bahwa, “pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa muslim yang bertaqwa secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan fiţrah (kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya”.19 Lebih luas lagi Ramayulis menjelaskan bahwa,” pendidikan agama Islam adalah upaya sadar terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertaqwa, berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam, dari sumber 16
Ara Hidayat dan Imam Machali, Op Cit., h. 30 Hasan Bashri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009) h. 14 18 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat, (Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang, 2011), h. 17 19 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h. 22 17
6
utamanya kitab suci al-Qur`ân dan al-Hadiś melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman”.20 Kemudian Abudin Nata menjelaskan tentang perbedaan pendidikan Islam dengan pendidikan lainnya bahwa, ”perbedaan pendidikan Islam dengan pendidikan lainnya ditentukan oleh adanya dasar ajaran Islam tersebut. Jika pendidikan lainnya didasarkan pemikiran rasional sekuler dan impristik semata, maka pendidikan Islam selain menggunakan pertimbangan rasional dan data empiris juga berdasarkan pada al-Qur’an, al-Sunnah, pendapat para ulama dan sejarah tersebut”.21 Jika berbicara tentang pendidikan, maka tidak dapat dilewatkan begitu saja mengenai hal-hal yang menyangkut dengan metode pendidikan. Lebih spesifiknya adalah metode pendidikan Islam. Yang dimaksud metode pedidikan Islam menurut Abdullah Nashih Ulwan sebagaimana yang dikutip oleh Aat Syafa’at adalah “jalan atau cara yang dapat ditempuh untuk menyampaikan bahan atau materi pendidikan Islam kepada anak didik agar terwujud kepribadian muslim”.22 Metodologi pendidikan Islam merupakan jalan untuk memudahkan pendidikan dalam membentuk pribadi muslim yang berkepribadian Islam dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang digariskan oleh al-Qur’an dan Hadith. Oleh karena itu penggunaan metode dalam pendidikan tidak harus terfokus pada satu bentuk metode, tetapi dapat memilih diantara metode-metode yang ada sesuai dengan situasi dan kondisi, sehingga dapat memudahkan sipendidik dalam mencapai tujuan yang diinginkan.23 Melanjutkan penjelasannya, Abdulah Nashih Ulwan menyatakan bahwa tehnik atau metode pendidikan Islam itu ada lima macam, yaitu: 1) Pendidikan dengan keteladanan, 2) Pendidikan dengan adat kebiasaan, 20
Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), Cet. IV, h. 21 21 Abudin Nata, Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: UIN Jakarta PRESS, 2005), h. 15 22 TB Aat Syafa’at, Sohari Sahrani dan Muslih, Peranan Pendidikan Agama Islam Dalam Mencegah Kenakalan Remaja (Juvenile Delinquency), (Jakarta: Rajawali Press, 2008), h. 40 23 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002) , h. 22
7
3) Pendidikan dengan nasehat, 4) Pendidikan dengan memberi perhatian, 5) Pendidikan dengan memberi hukuman24 Selanjutnya Moh. Roqib mengatakan bahwa, “metode pendidikan Islam adalah prosedur umum dalam menyampaikan materi untuk penyampaian tujuan pendidikan yang didasarkan pada asumsi tertentu tentang hakikat Islam sebagai supra sistem”.25 Lebih lanjut Abdurrahman An-Nahlawi menjelaskan terkait metode pendidikan Islam, bahwa: Metode pendidikan Islam sangat efektif dalam membina kepribadian anak didik, dan memotifasi mereka sehingga aplikasi metode ini memungkinkan puluhan ribu kaum mukminin dapat membuka hati manusia untuk menerima petunjuk Ilahi dan konsep-konsep peradaban Islam. Selain itu, metode pendidikan Islam akan mampu menempatkan manusia di atas luasnya permukaan bumi dan dalam lamanya masa yang tidak diberikan kepada penghuni bumi lainnya.26 Sementara itu M. Arifin berasumsi tentang metode pendidikan yang baik yaitu apabila, “memiliki watak dan relevansi yang senada dengan tujuan pendidikan Islam”.27 Kemudian, beberapa metode yang dianggap penting dan paling menonjol menurut Abdurrahman An-Nahlawi antara lain: 1) Metode dialog Qur`ani dan Nabawi, 2) Mendidik melalui kisah Qur’ani dan Nabawi, 3) Mendidik melalui perumpamaan Qur’ani dan Nabawi, 4) Mendidik
melalui
keteladanan,
5)
Mendidik
melalui
aplikasi
pengalaman, 6) Mendidik melalui ibrah dan nasihat, 7) Mendidik melalui tarġîb dan tarhîb28 Sejalan dengan pendapat an-Nahlawi di atas, Jejen juga berpendapat bahwa metode pendidikan dalam perspektif Islam mencakup tujuh metode, antara lain: Metode Perumpamaan (Amśâl), Metode Kisah, Metode Tarġîb-Tarhîb, Metode Dialog (Hiwâr), Metode Teladan (Uswah 24
Ibid, h. 40-47 Moh. Roqib, Op, Cit., h. 9 26 Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, terj: Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani, 1995), h. 204 27 M. Arifin, Op Cit., h. 144 28 Abdurrahman An-Nahlawi, Loc Cit. 25
8
Hasanah), Metode Latihan dan Praktik (Tajrîbah), dan Metode Nasehat.29 Pada penelitian ini, penulis akan mengedepankan salah satu metode pendidikan Islam, yaitu metode amśâl atau perumpamaan. Al-Qur`ân dalam menyampaikan pesan-pesan di dalamnya banyak menggunakan amśâl, seperti dalam Surat ar-Ra’d ayat 17:
ِ الس َّ ب ماء َّ رعها ِِف ٌ ِش َج َرةٍ طَيِّبَ ٍة أَصلُها اثب َ اَّللُ َمثَ اًل َكلِ َمةا طَيِّبَةا َك َ أَََل تَ َر َك َ يف ُ َت َوف َ ض َر ِ ٍ تُؤتى أُ ُكلَها ُك َّل ح ِ َّمثال لِلن َّ ب اس ل ََعلَّ ُهم يَتَ َذ َّكرو َن َ اَّللُ األ ُ ني ِبِِذن َرِِّبا ۗ َويَض ِر Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit. (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat. Ayat 24-25 Surat Ibrahim di atas menjelaskan bahwa kalimat yang baik itu seperti pohon yang baik yang menghasilkan buah di setiap musimnya, dan bermanfaat untuk orang lain. Masih banyak contoh contoh perumpamaan yang disebutkan dalam al-Qur`ân, seperti Surat alHasyr ayat 21:
َِّ لَو أَنزلْنا ه َذا ٱلْ ُقرءا َن علَى جب ٍل لَّرأَي تهۥ َخ ِشعا ُّمتص ِّدعا ِمن َخ ْشي ِة ٱ ض ِربُ َها ْ َْك ٱ ْأل َْمثَ ُل ن َ َّلل ۚ َوتِل َ ََ ْ َ ْ ّ ْ َ َ َ َ َ َْ ُ ا َ َ ا ِ لِلن َّاس ل ََعلَّ ُه ْم يَتَ َف َّك ُرو َن Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.
Surat al-Hasyr di atas menjelaskan bahwa seandainya al-Qur`ân dibuat untuk gunung, niscaya gunung tersebut akan tunduk dan patuh terhadap perintah dan ajaran dalam al-Qur`ân. Dengan adanya metode pendidikan Islam, maka diharapkan terwujudnya tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri. Tujuan pendidikan Islam menurut Imam Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Prof. Armai
29
Jejen Musfah, “Metode Pendidikan dalam Pendidikan Agama Islam, Vol.3, 2009, h. 107
Perspektif Islam”, TAHDZIB Jurnal
9
Arief, yaitu “untuk membentuk insan purna yang pada akhirnya dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt. dan membentuk insan purna untuk memperoleh kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat”.30 Sejalan dengan pendapat di atas, tokoh pemikiran pendidikan Syeid Naquib al-Atas sebagaimana yang dikutip oleh Moh. Roqib menyatakan bahwa, “pendidikan yang penting harus diambil dari pandangan (philosophy of life). Jika pandangan hidup itu Islam maka tujuannya adalah membentuk manusia sempurna (insân kâmil) menurut Islam”.31 Sementara itu Ramayulis juga berpendapat bahwa tujuan dari pendidikan
agama
Islam
ini
untuk
“meningkatkan
keimanan,
pemahaman, penghayatan, dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.32 Namun, Abdurrahman An-Nahlawi merumuskan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut: Pendidikan harus mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan penciptaan manusia. Bagaimana pun, pendidikan Islam sarat dengan pengembangan nalar dan penataan perilaku serta emosi manusia dengan landasan dînul Islam. Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam adalah merealisasikan penghambaan kepada Allah dalam kehidupan manusia, baik secara individual maupun secara sosial.33 Kemudian Abudin Nata menguraikan tujuan pendidikan Islam secara universal sebagaimana yang dirujuk pada hasil kongres sedunia tentang pendidikan Islam, yaitu sebagai berikut: Education should aim at the balanced growth of total personality of man through the training of man’s spirit, intellect the rational self, feeling and bodily sense. Education should therefore cater for the growth of man in all it’s aspects, spiritual, intellectual, imaginative, physical, scientific, linguistic, both individual and collectivally, and motivate all thes aspect toward goodness and attainment of perfection 30
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002) , h. 22 31 Moh. Roqib, Loc Cit., h. 27 32 Ramayulis, Op Cit., h. 22 33 Abdurrahman An-Nahawi, Op Cit., h. 117
10
. The ultimate aim of education lies in the realization of complete submission to Allah on the level individual, the community and humanity at large. 34 Dari pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa pendidikan harus ditujukan untuk menciptakan keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia secara menyeluruh, dengan cara melatih jiwa, akal pikiran, perasaan, serta
fisik manusia. Dengan demikian pendidikan harus
mengupayakan tumbuhnya seluruh potensi manusia, baik bersifat spiritual, intelektual, daya khayal, fisik, ilmu pengetahuan maupun bahasa, baik secara perorangan maupun kelompok, dan mendorong tumbuhnya seluruh aspek tersebut agar mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan terletak pada terlaksananya pengabdian yang penuh kepada Allah, baik pada tingkat perseorangan, kelompok, maupun kemanusiaan dalam arti yang seluas-luasnya.35 Untuk itu, dalam proses pendidikan terutama pendidikan Islam, salah satu hal yang tak kalah penting adalah metode. Karena dengan metode pembelajaran yang tepat guna, akan mengantarkan peserta didik mencapai inti dari pendidikan yaitu tujuan pendidikan Islam itu sendiri. Setelah mengkaji pentingnya pendidikan yang berbasis Islam, dengan berbagai macam metode untuk mencapai tujuannya, maka hendaknya sebagai pelaku pendidikan, diharapkan dapat menjalankan dengan sebaik-baiknya. Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terkait kajian tentang metode pendidikan yang terdapat dalam al-Qur`ân, yaitu metode amśâl. Untuk itu penulis mengambil judul “TAFSIR SURAT IBRÂHÎM AYAT 18, SURAT AL-BAQARAH AYAT 68, DAN SURAT YÛSUF AYAT 41 (Kajian Tentang Metode Amśâl dalam Pembelajaran Agama Islam).
34
Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, Op Cit., h. 61 Ibid.
35
11
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan
latar
belakang
masalah
diatas,
maka
penulis
mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan judul yang akan dibahas dalam skripsi ini, diantaranya yaitu: 1. Masih banyak guru yang belum mengimplementasikan metode amśâl dalam pembelajaran, terutama pembelajaran Agama Islam masa kini. 2. Kurangnya pengetahuan tentang kegunaan metode amśâl dalam pembelajaran Agama Islam. 3. Tumbuhnya pendidikan yang mengadopsi budaya sekuler tanpa melihat nilai-nilai yang bersumber dari al-Qur`ân.
C. Pembatasan Masalah Untuk memperjelas dan memberi arah yang tepat serta menghindari meluasnya pembahasan dalam penelitian ini, dan dengan adanya identifikasi masalah di atas, penulis akan membatasi beberapa hal yang berkatian dengan masalah, yaitu: “Kandungan Surat Ibrâhîm ayat 18, Surat al-Baqarah ayat 68, dan Surat Yȗsuf ayat 41 mengenai metode amśâl”.
D. Perumusan Masalah Adapun rumusan masalah pada penelitian ini antara lain: 1. Apa saja kandungan surat Ibrâhîm ayat 18, surat al-Baqarah ayat 68, dan surat Yȗsuf ayat 41? 2. Bagaimana analisis metode amśâl yang terkandung dalam
surat
Ibrâhîm ayat 18, surat Al-Baqarah ayat 68, dan surat Yȗsuf ayat 41?
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui isi kandungan surat Ibrâhîm ayat 18, surat al-Baqarah ayat 68, dan surat Yȗsuf ayat 41.
12
2. Kegunaan dari penelitian ini antara lain untuk: a. Menambah khazanah keilmuan pada bidang tafsir pendidikan, serta membuka kemungkinan adanya penelitian lebih lanjut dan peninjauan kembali dari hasil penelitian ini. b. Memberi sumbangsih pemikiran terkait konsep dan teori tentang pendidikan dalam al-Qur`ân, serta menambah khazanah kepustakaan dalam meneliti dan memahami al-Qur’an sebagai petunjuk. c. Mengetahui bagaimana pandangan al-Qur`ân terhadap metode pendidikan. d. Untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
BAB II KAJIAN TEORI METODE PEMBELAJARAN AMŚÂL
A. Acuan Teori 1. Pengertian Metode Amśâl Dalam pelakasaan pendidikan Islam sangat dibutuhkan adanya metode yang tepat, efektif, dan efisien dengan tujuan untuk menghantarkan tercapainya suatu tujuan pendidikan yang telah direncanakan dan dicitacitakan. Materi yang baik dan benar saja tidak akan tercover dengan baik jika tidak diimbangi dengan metode yang baik pula. Oleh karena itu, kebaikan suatu materi yang akan disampaikan dalam ranah pendidikan harus ditopang dengan adanya metode pendidikan. Istilah metode pembelajaran terdiri dari dua kata yaitu “metode” dan “pembelajaran”. Untuk itu, agar bisa memahami lebih dalam maka penulis akan sampaikan uraian arti dari masing-masing kata tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata metode berarti “cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki, cara kerja yang besistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan”.1 Kata metode jika dilihat dari segi bahasa, M. Arifin menjelaskan “suatu jalan yang dilalui untuk mencapai suatu tujuan”. Metode berasal dari dua kata yaitu, “Meta” dan “Hodos”. Meta berarti “melalui” dan Hodos berarti “jalan atau cara”.2 Sejalan dengan pendapat di atas, Nur Uhbiyati juga menjelaskan tentang pengertian metode, menurutnya “metoda berasal dari dua perkataan yaitu meta yang artinya melalui dan hodos yang artinya jalan
1
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Keempat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008) h. 910 2 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner), (Jakarta: Buna Aksara, 2005) Cet. I, h. 65.
13
14
atau cara. Jadi metoda artinya suatu jalan yang dilalui untuk mencapai suatu tujuan”.3 Aat Syafaat juga mengatakan bahwa “dalam bahasa Arab metode disebut thariqah artinya jalan, cara, sistem, atau ketertiban dalam mengerjakan sesuatu. Menurut istilah, metode ialah suatu sistem atau cara yang mengatur suatu cita-cita”.4 Kemudian Abdul Majid menuturkan pendapatnya tentang definisi metode, menurutnya “metode adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal”.5 Prof. Abudin Nata berpendapat bahwa “metode dapat berarti cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Metode lebih memperlihatkan sebagai alat untuk mengolah dan mengembangkan suatu gagasan sehingga menghasilkan suatu teori atau temuan.6 Pada literatur lain beliau juga menjelaskan bahwa, “metode dapat diartikan sebagai cara-cara atau langkah-langkah yang digunakan dalam menyampaikan sesuatu gagasan, pemikiran, atau wawasan yang disusun secara sistematik dan terencana serta didasarkan pada teori, konsep dan prinsip tertentu yang terdapat dalam berbagai disiplin ilmu terkait, terutama ilmu psikologi, manajemen, dan sosiologi”.7 Zakiyah Daradjat menjelaskan bahwa, “metode berarti suatu jalan kerja yang sistematik dan umum, seperti cara kerja ilmu pengetahuan”. 8 Sementara itu Moh. Roqib menjelaskan bahwa metode “secara bahasa berarti cara yang telah teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai suatu maksud. Metode juga dapat diartikan sebagai cara yang dipakai oleh 3
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam II, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), Cet. II, h. 99 TB Aat Syafa‟at,Sohari Sahrani dan Muslih, Peranan Pendidikan Agama Islam Dalam Mencegah Kenakalan Remaja (Juvenile Delinquency), (Jakarta: Rajawali Press, 2008), h. 39 5 Abdul Majid, Strategi Pembelajaran, (Bandung: Rosda Karya, 2013), h. 193 6 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005) h, 143 7 Abudin Nata, Prespektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 176 8 Zakiyah Daradjat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995) h. 1 4
15
pendidik dalam menyampaikan materi dengan menggunakan bentuk tertentu, seperti ceramah, diskusi (halaqah), penugasan, dan cara-cara lainnya”.9 Sedikit berbeda Ahmad Tafsir mendefinisikan istilah metode sebagai “cara yang paling tepat dan cepat dalam melakukan sesuatu”. 10 Sementara itu, Kadar M. Yusuf menjelaskan pengertian metode secara spesifik dari segi pendidikan, yaitu: Metode merupakan cara yang dapat digunakan oleh guru dalam menyampaikan materi pelajaran kepada peserta didik. Dalam bahasa Arab metode disebut juga dengan al-ţarîqah. Kata ini selain diartikan kepada metode, ia juga diartikan kepada jalan. Dengan demikian, metode dapat pula diartikan kepada suatu jalan yang dapat ditempuh dalam menyampaikan materi pelajaran.11 Begitu pun dengan Ramayulis, beliau mengatakan bahwa: Metode dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah ţarîqah yang berarti langkah-langkah strategis dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan. Bila dihubungkan dengan pendidikan, maka strategi tersebut haruslah diwujudkan dalam proses pendidikan, dalam rangka pengembangan sikap mental dan kepribadian agar peserta didik menerima materi ajar dengan mudah, efektif dan dapat dicerna dengan baik.12 Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan, dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan metode itu adalah suatu jalan atau cara yang ditempuh seseorang demi mencapai suatu tujuan yang telah direncanakan sebelumnya. Beralih ke definisi pembelajaran, kata pembelajaran berasal dari kata “belajar” yang dibubuhkan dengan sambungan pem- dan -an. Untuk itu sebagai langkah awal maka harus dipahami pula makna dari kata belajar itu sendiri.
9
Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat, (Yogyakarta: LKiS Group, 2011), h. 91 10 Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), Cet. VII, h. 9 11 Kadar M. Yusuf, Tafsir Tarbawi: Pesan-Pesan Al-Qur’an Tentang Pendidikan, (Jakarta: AMZAH, 2013), h. 114 12 Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), Cet. IV, h. 2-3
16
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata belajar berasal dari kata “ajar” yang memiliki makna secara etimologi “berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu”.13 Sedangkan secara terminologis, belajar menurut B.F. Skinner sebagaimana yang dikutip oleh Muhibbin Syah berpendapat bahwa belajar adalah “… a process of progressive behavior adaption”, yaitu suatu proses adaptasi (penyesuaian tingkah laku) yang berlangsung secara progresif”.14 Pendapat Chaplin dalam Dictionary of Pschology sebagaimana yang dikutip oleh Muhibbin Syah membatasi belajar dengan dua macam rumusan, yaitu “… acquisition of any relatively permanent change in behavior is a result of practice and experience (perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat latihan dan pengalaman) dan process of acquiring responses as a result of special practice (proses memperoleh respon-respon sebagai akibat adanya latihan khusus)”.15 Lebih lanjut Degeng menjelaskan tentang definisi belajar sebagaimana yang telah dikutip oleh Yatim Riyanto, bahwa: Belajar merupakan pengaitan pengetahuan baru pada struktur kognitif yang sudah dimiliki si belajar. Hal ini mempunyai arti bahwa dalam proses belajar, siswa akan menghubung-hubungkan pengetahuan atau ilmu yang telah tersimpan dalam memorinya dan kemudian menghubungkan dengan pengetahuan yang baru. Dengan kata lain belajar adalah suatu proses untuk mengubah performansi yang tidak terbatas pada keterampilan, tetapi juga meliputi seperti fungsi-fungsi, seperti skill, persepsi, emosi, proses berfikir, sehingga dapat menghasilkan perbaikan performansi.16 Dari beberapa pengertian belajar di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah proses perubahan yang menetap dari tingkah laku individu
13
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Op Cit., h. 23 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. XVII, h. 88 15 Muhibbin Syah, Psikolgi Belajar, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001) Cet. III, h. 60. 16 Yatim Riyanto, Paradigma Baru Pembelajaran: Sebagai Referensi Bagi Pendidik Dalam Implementasi Pembelajaran Yang Efektif dan Berkualitas, (Jakarta: Prenada Media Group, 2009) h. 5-6 14
17
sebagai hasil pengalaman, ilmu pengetahuan, dan interaksi dengan lingkungan. Setelah memahami pengertian belajar, selanjutnya adalah istilah pembelajaran. Secara etimologi, kata pembelajaran berasal pula dari kata ajar dan belajar. Penambahan imbuhan pem- dan akhiran –an membuat kata pembelajaran memiliki arti “proses, cara, perbuatan menjadikan orang atau mahluk hidup belajar”.17 Menurut Rusman “pembelajaran merupakan suatu sistem yang terdiri atas berbagai komponen yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Komponen tersebut meliputi tujuan, materi, metode, dan evaluasi”.18 Sedangkan menurut Hamzah, “istilah pembelajaran memiliki hakikat perencanaan
atau
perancangan
(desain)
sebagai
upaya
untuk
membelajarkan siswa. Itulah sebabnya dalam pembelajaran siswa tidak hanya berinteraksi dengan guru sebagai salah satu sumber belajar, tetapi mungkin berinteraksi dengan keseluruhan sumber belajar yang dipakai untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan”.19 Menurut Abudin Nata, “yang diharapkan dari penggunaan istilah pembelajaran adalah usaha membimbing peserta didik dan menciptakan lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar untuk belajar”.20 Setelah dua kata tersebut diketahui definisinya, dapat ditarik kesimpulan bahwa metode pembelajaran berarti suatu jalan atau cara yang ditempuh seseorang guru kepada muridnya untuk mencapai suatu tujuan yang telah direncanakan sebelumnya. Sebagaimana yang dikatakan Jejen dalam “Metode Pendidikan dalam Perspektif Islam, bahwa: Metode pengajaran atau pendidikan adalah suatu cara yang digunakan pendidik untuk menyampaikan materi pelajaran, keterampilan, atau sikap tertentu agar pembelajaran dan pendidikan berlangsung efektif, 17
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Loc Cit., h. 23 Rusman, Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 1 19 Hamzah B. Uno, Perencanaan Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), Cet. VI, h. 2 20 Abudin Nata, Prespektif Islam .. Op Cit., h. 87 18
18
dan tujuannya tercapai dengan baik. Guru harus menguasai materi pembelajaran dengan baik, sehingga ia mudah memilih metode yang tepat untuk mengajarkannya.21 Berkaitan dengan penelitian ini, metode pembelajaran yang akan dibahas adalah metode pembelajaran amśâl. Maka selanjutnya dipahami terlebih dahulu perngertian kata amśâl. Kata amśâl “merupakan bentuk jama’ dari kata berbahasa Arab yaitu maśal () َمثَم.22 Syekh Manna‟ AlQaththan menjelaskan bahwa amśâl merupakan “penyerupaan suatu keadaan dengan keadaan yang lain demi tujuan yang sama, yaitu pengisah menyerupakan sesuatu dengan yang aslinya”.23 Kemudian Hasani Ahmad Syamsuri menjelaskan definisi amśâl secara etimologis bahwa: Kata amśâl merupakan bentuk jamak dari maśal yang berarti serupa atau sama. Dilihat dari pola (wazan) nya, kata maśal, miśl dan maśil satu pola dengan kata syabah, syibh dan syabih. Pengertian maśal secara etimologis ini ada tiga macam. Pertama, bisa berarti perumpamaan, gambaran, atau perserupaan. Kedua, bisa berarti kisah atau cerita, jika keadaanya sangat menakjubkan. Ketiga, bisa berarti sifat, keadaan, atau tingkah laku yang menakjubkan.24 Sedangkan secara terminologis sebagaimana yang telah didefinisikan oleh para ahli sastra maśal atau amśâl adalah “ucapan yang banyak disebutkan yang telah biasa dikatakan orang dimaksudkan untuk menyamakan keadaan sesuatu yang diceritakan dengan keadaan sesuatu yang akan dituju”.25 Sejalan dengan pendapat yang telah dikemukakan di atas, Kadar M. Yusuf juga mejelaskan bahwa, secara harfiah kata maśal semakna dengan syabah yang berarti serupa, sama atau seperti. Dalam bahasa Arab kata ini selalu digunakan untuk menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain.
21
Jejen Musfah, “Metode Pendidikan dalam Perspektif Islam”, TAHDZIB Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol.3, 2009, h. 107 22 Syaikh Manna‟ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Qur’an, Terj. Mifdhol Abdurrahman dan Aunur Rofiq El-Mazni, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 353 23 Ibid, h. 354 24 Hasani Ahmad Syamsuri, Studi Ulumul Qur’an, (Jakarta: Zikra-Press, 2009), h. 173-174 25 Ibid., h. 174
19
Maśal juga berarti suatu ungkapan yang menyerupakan keadaan sesuatu atau seseorang dengan apa-apa yang terkandung dalam ungkapan itu.26 Selanjutnya
Ibnu
Qayyim
juga
menjelaskan
tentang
amśâl,
sebagaimana yang dikutip oleh Manna‟ al-Qaththan bahwa amśâl adalah “menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum, mendekatkan yang rasional kepada yang indrawi, atau salah satu dari dua indra dengan yang lain karena ada kemiripan”.27 Jejen menjelaskan bahwa, metode perumpamaan atau metode amśâl adalah, “metode pendidikan yang digunakan pendidik kepada anak didik dengan cara memajukan berbagai perumpamaan agar materinya mudah dipahami.”28 Dengan memperhatikan beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli, dapat dipahami bahwa metode amśâl dalam pembelajaran merupakan sebuah cara guru menjelaskan sesuatu kepada muridnya dengan menggunakan perumpamaan sesuatu tersebut dengan hal yang lainnya karena adanya kemiripan dengan tujuan mempermudah nalar siswa untuk memahami sesuatu. Dalam
beberapa
literatur
yang
penulis
dapatkan,
mayoritas
narasumber menjelaskan bahwa amśâl termasuk metode pendidikan Islam. Meskipun demikian, amśâl dalam pembelajaran atau pendidikan dapat dikategorikan pula dalam istilah approach atau yang sering dikenal sebagai pendekatan dalam pembelajaran. Dalam literatur asli berbahasa Arab (bukan terjemahan), kata amśâl termasuk dalam kategori minhâj ( )هنهجyang berarti pendekatan, bukan kategori ţarîqah ( )طريقةyang diartikan sebagai metode. Kata هنهجsendiri berasal dari akar kata نهج. Dalam Kamus Lisânul „Arab kata نهجmemiliki persamaan arti dengan kata طريق.
26
Kadar M. Yusuf, Op Cit., h. 118-119 Syekh Manna‟ Al-Qaththan, Op Cit., h. 355 28 Jejen Inong, Loc Cit. 27
20
29
وىو النهج، بني واضح: طريق هنج:هنج
Menurut Ramayulis, pendekatan merupakan pandangan falsafi terhadap subject matter yang harus diajarkan dapat juga diartikan sebagai pedoman mengajar yang bersifat realistis/konseptual.30 Pendekatan dalam pembelajaran dapat diartikan sebagai sudut pandangan terhadap terjadinya suatu
proses
pembelajaran.
Dan
pendekatan
inilah
menginspirasi lahirnya suatu metode pembelajaran.
yang
akan
Jadi, pengertian
pendekatan lebih luas dibandingkan dengan metode. Jika kata amśâl (perumpamaan) ini dikaitkan dengan istilah al-miśâl ( )انمثالpemberian contoh, maka dalam pendidikan hal ini juga merupakan sesuatu yang sangat penting. Sebagaimana Muhammad Quthb mengatakan dalam karyanya yang berjudul Minhaj al-Tarbiyah al-Islâmiyah: بين الىاقع والوثال:الباب الحادي عشر
متهمة أبهنا ترسم مناذج مثالية خيالية ال تتحقق يف- والرتبية اإلسالمية من بينها- نظم الرتبية كلها . ألهنا غري قابلة للتحقيق،عامل الواقع
. ولكنو عند التدقيق ال يلبث أن يزول،ويف ظاىر األمر يبدو يف ذلك شيء من احلق
واليت،إن مهمة كل منهج من مناىج الرتبية أن يرسم الصورة الصحيحة اليت "ينبغي" أن تكون
وبغري ىذه الصورة املتكاملة ال ميكن أن.دائما يف تصحيح األوضاع وضبط املقاييس ً يرجع إليها ، لنقيس اجلهد الذي ينبغي أن يبذل، وكم بقي يف الطريق،نعرف ابلضبط كم قطعنا من الشوط 31
.ونقيس طاقتنا إىل ىذا اجلهد املطلوب
2. Kedudukan Amśâl dalam Pembelajaran Dalam
beberapa
literatur
yang
penulis
dapatkan,
mayoritas
narasumber menjelaskan bahwa amśâl termasuk metode pendidikan Islam. Seperti dalam buku “Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat” karya Abdurahman an-Nahlawi yang menyebutkan bahwa amśâl merupakan salah satu metode pendidikan.
29
Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob AlIlmiyah, 2003) vol. 2, h. 446 30 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), Cet. IV, h. 23 31 Muhammad Quthb, Minhaj al-Tarbiyah al-Islâmiyah.
21
Beliau menyebutkan bahwa beberapa metode yang dianggap penting dan paling menonjol antara lain: 1) Metode dialog Qur`ani dan Nabawi, 2) Mendidik melalui kisah Qur‟ani dan Nabawi, 3) Mendidik melalui perumpamaan Qur‟ani dan Nabawi, 4) Mendidik melalui keteladanan, 5) Mendidik melalui aplikasi pengalaman, 6) Mendidik melalui ibrah dan nasihat, 7) Mendidik melalui tarġîb dan tarhîb 32. Selain itu, hal semacam ini juga terdapat pada jurnal pendidikan Islam. Salah satu tulisan yang menyebutkan bahwa amśâl merupakan suatu metode adalah tulisan dari Jejen Musfah, beliau menyatakan bahwa metode pendidikan dalam perspektif Islam mencakup tujuh metode, antara lain: Metode Perumpamaan (Amśâl), Metode Kisah, Metode TarġîbTarhîb, Metode Dialog (Hiwâr), Metode Teladan (Uswah Hasanah), Metode Latihan dan Praktik (Tajrîbah), dan Metode Nasehat.33 Di dalam kitab بين اننظرية و انتطبيق: تعهيم اندين اإلسالمىdisebutkan bahwa dalam pembelajaran tidak hanya terdapat satu metode, melainkan ada beberapa macam, salah satunya adalah metode pemberian amśâl (perumpamaan).
فهناك طرق متع ّددة،جيب االلتفات إىل أنّو ليست ىناك طريقة واحدة للتعليم ، وتعدد مستوايهتم،متنوعة بتنوع أغراض التعلم وحمتوايتو وبتنوع استعدادات املتعلمني ّ .غري أ ّن ىناك اعتبارات جيب أن تراعى ىف طرق التدريس
بل إهنّا اختذت وسائل،الرتبية اإلسالمية مل تتخذ طريقة واحدة ةىف تربية أبنائها كما راعت،وأساليب كثرية راعت فيها خصائص ملو العقلي والعقلى والوجداىن لديهم استوى إدراكهم واحلوالز املوررة فيهم والدوافع ال ى ميكن أن تثري معاشرىم و هتيء نفوسهم للتلقى و التعليم مع احرتام مبادئهم الشخصية و نشاطهم الذاتى ومشاركتهم
32
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, terj: Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani, 1995), h. 204 33 Jejen Musfah, “Metode Pendidikan dalam Perspektif Islam”, TAHDZIB Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol.3, 2009, h. 107
22
الفعالة ىف عملية التعليم و املرتتبة بفهم ووعى وتبصر ،وليس عن طريق التلقني وحشوا األذىان ابملعلومات واملعارف دون فهمها واستيعاهبا . إ ّن طريقة اإلسالم ىف الرتبية ىى معاجلة الكائن البشرى كلو معاجلة شاملة الترتك
منو شيئا والتغفل عن شىء ،جسمو وعقلو وروحو ،حياة املادية واملعنوية وكل نشاطو على األرض.
34
di atas dapatتعهيم اندين اإلسالمى :بين اننظرية و انتطبيق Dari teks kitab dipahami bahwa, dalam dunia pendidikan Islam tidak hanya terdapat satu metode pembelajaran saja, akan tetapi terdapat berbagai macam metode pembelajaran, metode tersebut disesuaikan dengan tujuan pembelajaran itu sendiri maupun disesuaikan dengan kesiapan para pengajarnya. Kemudian dalam buku tersebut tertulis beberapa metode pembelajaran agama Islam antara lain sebagai berikut:
و ميكن غرض أىم طرق تعليم الدين اإلسالم فيما يلى:
-1القدوة احلسنة -2القصص
-3النصح واإلرشاد وضرب األمثال -4احلوار
-5الرتغيب و الرتىيب
-6التعلم عن طريق العمل -7الثواب و العقاب
-8األمر ابملعروف و النهى عن املنكر -9األحداث اجلارية
-11املوعظة احلسنة
-11غرس العادة أو إزالتها -12طريقة املالحظة -13التعليم ابحلزم
-14التعليم ابلتجيو الطاقة
35
حسن شحاتة ،تعلين الدين اإلسالهى :بين النظرية و التطبيق( ،مدينة نصر :مكتبة اندار انعربية انكتاب ،)3991 ،ط ،3 ص65-65 . 34
23
تعهيم اندين اإلسالمى Dapat dipahami dari teks yang dikutip dari kitab :
bahwa amśâl atau pemberian perumpamaan termasukبين اننظرية و انتطبيق salah satu metode dari beberapa metode pembelajaran agama Islam khususnya. Jadi, sebagaimana yang dijelaskan dalam buku tersebut amśâl , bukan kategori pendekatanطريقة termasuk dalam kategori metode atau .هنهج (approach) atau Dalam buku tersebut juga dijelaskan tujuan dari metode amśâl, sebagai berikut:
وقد كثر استخدام األمثلة للتوضيح و تقريب املعاىن اجملردة إىل عقل املسلم ىف القرآن الكرمي
و احلديث النبوى .ويطلق على احلال و القصة العجيبة ،وفيو متثيل لألشياء اجملردة وغري املنظورة
وتشبيو هلا نقرهبا إىل احملسوس .و ىي تؤرر على املشاعر والعواطف ،وتدعو إىل السلوك احملبوب،
ألهنا أوقع ىف النفس و أقدر على اإلقناع و إقامة احلجة والتذكرة والعربة وإاثرة السامع والتشويق
والتعليم واإلرشاد والشرح والتفسري.
وتستخدم ىذه الطريقة لتقريب غري احملسوس و متثيل األشياء غري املادية وغري املنظورة،
حبيث تصبح ىف متناول اإلنسان ليفهمها و يتدبرىا ،وىي طريقة تعتمد على تقريب ىعقول من
حمسوس ،أو حمسوس من أكثر منو حسا و وضوحا ،و املثل القرآىن ىو تشبيو شيء بشيء ىف حكمو ،و تقريب املعقول من احملسوس أو أحد احملسوسني من اآلخر و اعتبار أحدمها ابآلخر.
واألمثال كثرية ىف القرآن ،وتلعب دورا ابلغا ىف التأرري ىف العواطف و ىف التأرري على السلوك
اإل نساىن ،فيما لو استعملت حبكمة وىف ظروف املناسبة ،وقد أكثر هللا تعاىل من األمثال ىف القرآن صالهلل عليو وسلم ىف حديثو و استعان هبا الداعون ىف كل عصر للتذكرة و العربة ،وقد ضرهبا النيب ّ
لنصرة احلق و إقامة احلجة ،و يستعني هبا املربون و يتخذوهنا من وسائل اإليضاح والتشويق ،و
وسائل الرتبية ىف الرتغيب أو التنفري ىف املدح أو الذم . amśâl
36
Demikianlah beberapa referensi yang menyatakan bahwa
meupakan salah satu dari berbagai maca metode pembelajaran, khususnya metode pembelajaran Islam. Disamping itu, ada juga referensi lain yang menyatakan secara ), di dalamnyaهنهج implisit bahwa amśâl tergolong pendekatan (approach/ tertulis sebagai berikut: Ibid., h. 59-77 Ibid., h. 64-65
35 36
24
فاملنهج. و ىف احلالني يستمد وجوده من اجملتمع، وقد يكون مثاليّا،وقد يكون املنهج واقعيّا وىو ما, يستقى كيانو من اجملتمع القائم ؛ بينما املنهج املثاىل، وىو ما يدرس ابلفعل، الواقع 37
. يطلب بو املفكرون ىف مدهنم الفاضلة
Jadi kesimpulannya, mayoritas ahli pendidikan Islam menyebutkan bahwa amśâl merupakan salah satu dari beberapa metode pembelajaran. Dimana istilah metode itu diungkapkan dengan kata
طريقة. Namun
demikian, ada referensi juga yang menyatakan secara implicit bahwa amśâl merupakan suatu manhaj ( ) هنهجatau pendekatan (approach).
3. Macam-Macam Istilah Metode Amśâl Selain istilah amśâl, ada beberapa istilah lagi yang digunakan untuk menjelaskan metode ini. Beberapa istilah tersebut antara lain: a. Perumpamaan Abdurrahman An-Nahlawi menyebutkan, mendidikan melalui perumpamaan adalah salah satu metode yang dugunakan dalam pendidikan Islam. Kemudian beliau mengatakan bahwa: Perumpamaan al-Qur`ân memiliki maksud-maksud tertentu, antara lain: 1) menyerupakan suatu perkara yang hendak dijelaskan kebaikan atau keburukannya, dengan perkara lain yang sudah wajar atau diketahui secara umum ihwal kebaikan dan keburukannya. 2) menceritakan suatu keadaan dari berbagai keadaan dan membandingkan keadaan itu dengan keadaan lain yang sama-sama memiliki akibat dari keadaan tersebut. 3) menjelaskan kemustahilan adanya persamaan antara dua perkara.38 b. Metafora Menurut M Arifin, metode metafora ini termasuk kedalam metode yang tidak bertentangan dengan metode modern yang diciptakan oleh ahli pendidikan saat ini.39 Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “metafora” memiliki arti, “pemakaian kata atau 351 . ص،)3951 ، دار انمعارف بمصر: (مصر، التربية فى اإلسالم، أحمد فؤاد األحوانى Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, terj: Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani, 1995), h.252-254 39 M. Arifin, Op Cit., h. 157 37
38
25
kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan”.40 Sebagai contoh, M. Arifin mengemukakan contoh penggunaan metode metafora
yang ada di dalam al-Qur`ân
yang dapat
diimplementasikan dalam pembelajaran, yaitu surat An-Nur ayat 35:
Dalam
surat
ini
M.
Arifin
menjelaskan
bahwa
terdapat
perumpamaan: Yang menggambarkan tentang sifat-sifat Allah dengan sinar lampu di kaca yang kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara dan seterusnya, yang menujukkan tentang sifat-sifat Allah yang yang amat terang cahayanya, sehingga segala sesuatu akan lenyap dalam cahaya Allah itu. Perumpamaan ini dimaksudkan untuk menafikan (menghilangkan) cahaya dari kepercayaan menyembah objek-objek pemujaan selain Allah.41 c. Analogi Dilihat dari definisinya kata analogi juga dapat dikatakan merupakan salah satu nama lain dari amśâl. Seperti salah satu definisi yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa kata analogi sedikitnya memiliki empat definisi yang diutarakan, yaitu: Pertama, persamaan atau persesuaian antara dua benda atau hal yang berlainan. Kedua, kesepadanan antara bentuk bahasa yang menjadi dasar terjadinya bentuk lain. Ketiga, sesuatu yang sama dalam bentuk, susunan, atau fungsi, tetapi berlaianan asal-usulnya sehingga tidak ada hubungan kekerabatan. Keempat, kesamaan
40
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional., h. 908 M. Arifin, Loc Cit.
41
26
sebagai ciri dua benda atau hal yang dapat dipakai untuk dasar perbandingan.42 Jadi, jika seorang guru dalam menjelaskan materi pembelajaran menggunakan metode analogi, maka dapat dikatakan bahwa guru tersebut juga sedang menggunakan metode pembelajaran amśâl.
d. Personifikasi Syekh Manna‟ al-Qaththan menjelaskan bahwa ayat yang mengandung
amtsâl,
“biasanya
dilakukan
dengan
metode
“mempersonifikasikan” sesuatu yang ghaib dengan sesuatu yang hadir, yang abstrak dengan yang konkret, atau dengan menganalogikan sesuatu hal dengan hal yang serupa”.43 Sebagaimana pendapat di atas, maka dapat dikatakan bahwa personifikasi juga merupakan nama lain dari amśâl, hal ini didukung dengan definisi yang tertera dalam Kamu Besar Bahasa Indonesia bahwa, personifikasi memiliki arti pengumpamaan (pelambangan), hanya saja kata personifikasi lebih khusus kepada pengumpamaan benda mati sebagai orang atau manusia, seperti bentuk pengumpamaan alam dan rembulan menjadi saksi sumpah setia.44
e. Peribahasa Menurut Quraish Shihab dalam al-Qur‟an ada ayat-ayat amśâl yang maknanya serupa dengan peribahasa yang digunakan oleh masyarakat. Berdasarkan pendapat tersebut, artinya ada beberapa ayat amśâl yang memiliki kesamaan dengan peribahasa. Oleh karena itu peribahasa juga dapat dikategorikan sebagai nama lain dari jenis amśâl.45 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata peribahasa sedikitnya memiliki dua arti, pertama: kelompok kata atau kalimat yang tetap 42
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional., h. 59 Syaikh Manna‟ Al-Qaththan.,, h. 352 44 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional., h. 1062 45 Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2013), Cet. II, h. 265 43
27
susunannya, biasanya mengiaskan maksud tertentu (peribahasa termasuk juga bidal, ungkapan, perumpamaan). Kedua: ungkapan atau kalimat ringkas padat, berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup, atau aturan tingkah laku.46
f. Qiyâs Kata qiyâs juga merupakan salah satu nama lain dari amśâl, hal ini dapat diketahui dari beberapa definisi yang sudah dinyatakan oleh beberapa ahli, terutama ahli fiqih. Berikut beberapa definisi qiyâs yang dapat disampaikan. Dalam bahasa Indonesia, kata qiyâs disebut dengan “kias”, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tercantum beberapa definisi dari kata kias yaitu, “perbandingan (persamaan); ibarat; contoh yang telah ada (terjadi)”.47 “Dilihat dari segi bahasa, kata ْان ِق َياسberasal dari bahasa Arab. Ia merupakan bentuk maşdar dari kata سا ً قِيَا, يَ ِقيْس, اس َ َق, artinya mengukur dan membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya”.48 Menurut Abu Zahra sebagaimana yang dikutip oleh Sapiuddin Siddiq, menurut istilah syara’ adalah
ِ ص َعلى ح ْك ِم ِو ِال ْشِرت ٍ ُ ْإِ ْحلَا ُق أ َْم ٍرغَ ِْري ََم اك بَ ْينِ ِه َما ِىف َ لى ُح ْك ِم ِو ِأب َْم ٍر ُ آخ َر َم ْن ُ َ ٍ ص ْو َ َ ص ْوص َع ِعلَّ ِة ا ْحلُ ْك ِم “Menghubungkan suatu perkara yang tidak ada hukumnya dalam
nash dengan perkara lain yang ada naş hukumnya karena ada persamaan „illat.”49 Abdul Wahab Khallaf menjelaskan makna kata qiyâs menurut bahasa adalah “mengukur sesuatu dengan benda lain yang dapat menyamainya”. Juga dikatakan: Qiyâs ialah menyamakan, karena
46
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional., h. 1055 Ibid., h. 695 48 Sapiuddin Shiddiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 69 49 Ibid. 47
28
mengukur sesuatu dengan benda yang lain yang dapat menyamainya, berarti menyamakan diantara dua benda tersebut”.50 Dalam istilah ilmu Uşul al-Fiqh, kata qiyâs juga terkenal sebagai salah satu metode untuk meng-istinbaţ-kan hukum Islam yang tidak ada dalam al-Qur`ân maupun as-Sunnah. Menurut Sulaiman Abdullah kata
qiyâs menurut istilah ulama
Uşul, “qiyâs” adalah mempersamakan satu peristiwa hukum yang tidak ditentukan hukumnya oleh naş, dengan peristiwa hukum yang ditentukan oleh naş bahwa ketentuan hukumnya sama dengan hukum yang ditentukan naş.51
4. Syarat-syarat Metode Amśâl Jika dalam ilmu al-Qur`ân dikenal dengan amśâl, maka dalam istilah fiqh sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas, definisi amśâl ini dapat disamakan dengan istilah qiyâs. Dalam ilmu uşul fiqh ketika membahas tentang qiyâs, maka terdapat beberapa syarat atau rukun untuk melakukan qiyâs tersebut. Dalam hal ini, penulis dapat mengatakan bahwa syarat dan rukun yang harus ada ketika akan melakukan qiyâs juga berlaku untuk melakukan amśâl, terlebih jika amśâl ini digunakan untuk pembelajaran. Sebagaimana yang dikatakan Sapiuddin, ada 4 rukun qiyâs yang harus dipenuhi: a. Al-Aşlu, Yaitu sesuatu yang sudah ada hukumnya dalam naş. Al-Aşlu juga disebut maqîs ‘alaihi (yang dijadikan ukuran) atau mahmul ‘alaihi (yang dijadikan tangguhan) atau musyabbah bih (yang dibuat keserupaan). 52
50
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh, Terj. Noer Iskandar al-Barsany dan Moh Tolchah Mansoer, (Jakarta: Grafindo Persada, 2002), Cet. VIII, h. 74 51 Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam: Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Cet. III, h. 82 52 Sapiuddin Shiddiq, Op. Cit., h. 71
29
Dalam hal amśâl, maka al-aşlu disini lebih cocok disebut dengan musyabbah bih (yang dibuat keserupaan). Yaitu suatu hal atau materi yang bersifat konkret yang dapat menjelaskan materi-materi abstrak dalam pembelajaran.
b. Al-Far’u, Yaitu sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam naş. Tetapi hukumnya dapat dihubungkan dengan al-aşlu. Al-Far’u disebut juga almaqîs (yang diukur) atau al-mahmul (yang dibawa) atau al-musyabbah (yang diserupakan).53 Dalam pengertian amśâl, maka al-far’u ini lebih cocok disebut dengan al-musyabbah (yang diserupakan). Yaitu suatu materi yang masih bersifat abstrak, yang masih sulit dipahami oleh siswa. c. Hukum aşal, Yaitu hukum syara‟ yang ada naş nya sebagai pangkal hukum bagi cabang.54 Dalam kaitannya dengan amśâl, maka hukum aşal ini dapat dikatakan dengan persamaan yang ada antara hal yang diserupakan (abstrak) dan hal yang dibuat keserupaan (konkret). d. ‘Illat (sebab), „Illat adalah sifat yang ada pada hukum aşal.55 Jika kita kaitkan dengan amśâl, maka „illat ini merupakan sifat yang ada dalam persamaan yang ada pada dua hal antara yang abstrak dan yang konkret. Sedangkan dalam ilmu balaġah kata amśâl disebut dengan tasybîh. Ahli balaġah memberikan empat syarat atau rukun amśâl (tasybîh), sebagaimana yang dijelaskan oleh Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi‟i, empat rukun tersebut antara lain: 1) Wajah Syabah, yaitu pengertian yang bersama-sama ada pada musyabbah dan musyabbah bih; 2) Âlat Tasybîh, 53
Ibid. Ibid., h. 72 55 Ibid. 54
30
yaitu kaf, mitsil, ka`anna dan semua lafadz yang menunjukan makna perserupaan; 3) Musyabbah, yaitu sesuatu yang diserupakan (menyerupai) musyabbah bih; 4) Musyabbah bih, yaitu sesuatu yang diserupai oleh musyabbah.56 Pendapat mengenai rukun tasybîh tersebut juga dibenarkan dalam kitab al-Balaġah al-Wađihah :
ِ ٌأَرَكا ُن التَّ ْشبِي ِو أَرب عة ِ و يس ِمي,شبَّوُ بِ ِو ُ َو أَ َداة,ان طََرَِيف التَّ ْشبِْي ِو َ شبَّوُ َو ال ُْم َ الْ ُم: ى َي, َ َْ ْ َّ َ ُ َ ْ 57 ِ ِ ِ َّ ُالتَّ ْشبِْي ِو وو ْجو .شبَّ ِو بِ ِو ِم ْنوُ ِيف الْ ُم َشبَّو َ ب أَ ْن يَ ُك ْو َن أَقْ َوى َو أَظْ َه َر ِيف الْ ُم ََ ُ َو َجي,الشبَو 5. Tujuan Metode Amśâl dalam Pembelajaran Adapun tujuan dari metode pembelajaran amśâl salah satunya adalah “untuk memudahkan pengertian manusia didik tentang suatu konsep dengan melalui pertimbangan akal”.58 Maśal dapat pula diartikan kepada menggambarkan sesuatu yang abstrak secara konkret, agar yang abstrak itu mudah dipahami dan berpengaruh pada jiwa manusia.59 Seperti halnya dalam al-Qur`ân terdapat beberapa ayat yang mengandung metode amśâl, misalnya Surat an-Nahl ayat 75-76, dalam ayat ini tidak hanya bertujuan untuk memahami sesuatu yang abstrak (memahami ketauhidan dan kemusyrikan) akan tetapi mempengaruhi jiwa manusia tersebut (menarik jiwa manusia untuk mencintai ketauhidan). Sebagaimana pula yang dijelaskan oleh Kadir, bahwasannya melalui metode amśâl ini para peserta didik tidak hanya diharapkan memahami dan mengetahui konsep syirik, tetapi lebih dari itu mereka juga diharapkan membenci perbuatan syirik tersebut, sebagaimana mereka tidak menyukai perbudakan, bisu dan menjadi beban bagi orang lain.60 56
Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi‟i, Ulumul Qur’an II, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), cet. II, h. 35-36 57 Ali Jarim dan Musthafa Amin., Loc Cit. 58 M. Arifin, Loc Cit. 59 Kadar. M Yusuf, Loc Cit. 60 Ibid., h. 121
31
Selanjutnya Abdurrahman An-Nahlawi menjelaskan tujuan edukatif yang terkandung dalam metode amtsâl antara lain: Pertama, Memudahkan pemahaman mengenai suatu konsep. Untuk memahami makna spiritual suatu perkara manusia itu cenderung menyukai penyerupaan persoalan-persoalan abstrak pada perkaraperkara yang kongkret. Kedua, mempengaruhi emosi yang sejalan dengan konsep yang diumpamakan, dan untuk mengembangkan aneka perasaan ketuhanan. Ketiga, membina akal untuk terbiasa berpikir secara valid dan analogis. Pada dasarnya, hampir setiap perumpamaan bersumber pada analogi melalui penyebutan premis-premis. Selain itu, perumamaan pun mengiring akal pada kesimpulan yang kerap tidak dirinci dalam al-Qur`ân. Keempat, mampu menciptakan motivasi yang menggerakan aspek emosi dan mental manusia. Mental akan menggerakan dan mendorong hati untuk berbuat kebaikan dan menjauhi berbagai kemungkaran. Karena itu kita dapat mengatakan bahwa perumpamaan-perumpamaan itu ikut andil dalam mengarahkan manusia pada perbuatan baik sehingga hidup individu dan masyarakat tumbuh dalam kestabilan menuju peradaban ideal, sejahtera, dan adil.61 Kemudian Hasani Ahmad juga menjelskan terkait tujuan dari amtsâl, antara lain: 1) menonjolkan sesuatu yang abstrak dalam bentuk konkrit yang dapat dirasakan indra manusia, sehingga akal dapat menerimanya; 2) Amśâl lebih berpengaruh kepada jiwa, lebih efektif dalam memberikan nasehat, lebih kuat dalam memberikan peringatan, dan lebih dapat memuaskan hati; 3) mengungkap hakikat-hakikat dan
mengemukakan
sesuatu yang jauh dari pikiran sebagai sesuatu yang dekat pada pikiran.62 Senada dengan pendapat di atas, Hasbi Ash-Shidieqy juga berpendapat bahwa amśâl juga bertujuan untuk melahirkan sesuatu yang dapat dipahami dengan akal dalam bentuk rupa yang dapat dirasakan oleh panca indera, sehingga mudah diterima oleh akal. Juga untuk mengumpulkan makna yang indah dalam suatu ibarat yang pendek.63 Imam Zarkasyi juga mengatakan sebagaimana yang dijelaskan oleh Didin bahwa tujuan amśâl antara lain memperingatkan, menasehati, mendorong, melarang, menyuruh mengambil pelajaran, memantapkan, 61
Abdurrahman An-Nahlawi, Op cit., h. 254-259 Hasani Ahmad Syamsuri, Op Cit., h. 183-184 63 Hasbi Ash-Shidiieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an: Media-Media Pokok Dalam Menafsirkan AlQur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988) Cet. II, h. 175 62
32
menertibkan bantahan-bantahan terhadap akal dan menggambarkannya dalam bentuk sesuatu yang dapat diungkapkan oleh panca indra. Amtsâl juga bertujuan untuk menggerakan kemampuan berfikir.64 Syekh
Manna‟
al-Qaththan
juga
mengatakan
bahwa
tamśîl
(perumpamaan) merupakan kerangka yang dapat menampilkan maknamakna dalam bentuk yang hidup di dalam pikiran. Hakikat-hakikat yang tinggi dalam makna dan tujuan akan menampilkan gambaran lebih menarik jika dituangkan dalam retrorika yang indah. Dengan analogi yang benar, ia akan lebih dekat dengan pemahaman suatu ilmu yang diketahui secara yakin.65 Kemudian beliau juga menyetujui bahwa amśâl lebih berbekas dalam jiwa, lebih efektif dalam memberikan nasihat, lebih kuat dalam memberikan peringatan, dan lebih dapat memuaskan hati.66 Dengan mempertimbangkan beberapa pendapat di atas, dan jika amśâl diimplementasikan dalam pembelajaran maka dapat disimpulkan bahwa tujuan metode amśâl dalam pembelajaran yaitu untuk mempermudah guru untuk menjelaskan materi ajar yang bersifat abstrak sehingga menjadi lebih real dan konkret. Dengan metode ini pula dapat mempermudah siswa untuk menalar dan memahami materi ajar yang bersifat abstrak tersebut.
B. Hasil Penelitian Yang Relevan Adapun hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut: 1. Cindi Pratiwi, dengan judul penelitian “Metode Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur`ân Kajian QS. An-Nahl Ayat 125-127”. Karya ini menjelaskan tentang metode pendidikan Islam dalam perspektif AlQur`ân Surat An-Nahl 125-127. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa terdapat lima metode pedidikan Islam yang sudah ditafsirkan oleh ahli 64
Didin Saefudin Buchori, Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur’an, (Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005), h.167 65 Syekh Manna‟ al-Qaththan., h. 352 66 Ibid, h. 362
33
tafsir dan dianalisa oleh penulis tersebut, antara lain: 1) Al-Hikmah; perkataan yang kuat diserti dengan dalil. 2) Al-Mau’izah Hasanah; Perkataan yang lembut dan benar. 3) Al-Jidâl; Membantah dengan cara yang baik. 4) Al-Muhtadin: Memberikan bantahan yang setimpal. 5) Ash-Şabru; Perasaan tabah dan menahan diri.67 2. Zain Fanani, dengan judul penelitian “Tafsir Surat An-Nahl Ayat 125 (Kajian Tentang Metode Pembelajaran)”. Karya ini menjelaskan tentang metode pembelajaran yang terkandung dalam Al-Qur`ân Surat An-Nahl ayat 125. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam Surat An-Nahl/16 ayat 125 terkandung tiga metode pendidikan, yakni: Hikmah, Mau’idzah Hasanah, dan Jidâl, Hikmah merupakan ilmu pengetahuan yang dimiliki seorang guru. Dengan alat ilmu pengetahuan tersebut,
ia
menjadi
orang
yang
berhak
untuk
memberikan
pembelajaran keagamaan kepada anak didik. Sementara itu Mau’idzah Hasanah dan Jidal adalah metode yang terbaik yang bisa digunakan sesuai situasi dan kebutuhan dalam mendidik.68
67
Cindi Pratiwi, Metode Pendidikan Dalam Prespektif Al-Qur’an Kajian QS. An-Nahl Ayat 125-127, (Jakarta: UIN Jakarta, 2014) 68 Zain Fannani, Tafisr Surat An-Nahl Ayat 125 (Kajian Tentang Metode Pembelajaran), (Jakarta: UIN Jakarta, 2014)
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah mengenai kajian tentang tafsir surat Ibrâhîm ayat 18, surat al-Baqarah ayat 68, dan surat Yȗsuf ayat 41. Adapun waktu penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu selama satu semester terhitung dari tanggal 17 Januari 2015.
B. Metode Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriprif analisis yang menggunakan tehnik analisis kajian melalui studi kepustakaan (Library Research). Karena penelitian ini merupakan library research, maka sumber data pada penelitian ini adalah literatur-literatur yang berkaitan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Maman, “sumber data penelitian kualitatif ialah tindakan dan perkataan manusia dalam suatu latar yang bersifat alamiah. Sumber data lainnya ialah bahan-bahan pustaka, seperti: dokumen, arsip, koran, majalah, jurnal ilmiah, buku, laporan tahunan dan lain sebagainya”.1 Adapun literatur yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer, yaitu kitab suci al-Qur`ân, dan kitab-kitab tafsir al-Qur`ân yang menjelaskan surat Ibrâhîm ayat 18, surat Al-Baqarah ayat 68, dan surat Yȗsuf ayat 41 diantaranya: kitab al-Qur`ân dan Tafsirnya, Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab, Tafsir Ath-Thabari, dan kitab Al-Bayan: Tafsir Penjelas Al-Qur’an. Dan data sekunder, yaitu buku-buku yang membahas metode pendidikan amśâl. Mengenai analisis data, menurut Imam Gunawan, “analisis data kualitatif sesungguhnya sudah dimulai saat peneliti mulai mengumpulkan data, dengan
1
U. Maman Kh, dkk., Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktek, (Jakarta: Raja Grafindo Persada Press, 2006), h. 80
33
34
cara memilah mana data yang sesungguhnya penting atau tidak. Ukuran penting atau tidaknya mengacu pada kontribusi data tersebut pada upaya menjawab fokus penelitian”.2 Karena penelitian ini merupakan penelitian tafsir, dalam meneliti ayatayat al-Qur`ân dengan mengacu pada pandangan al-Farmawi yang dikutip oleh Abudin Nata bahwa metode tafsir yang bercorak penalaran (bukan jalur riwayat) ini terbagi menjadi empat macam metode, yaitu: tahlilî, ijmalî, muqârin, dan mauđu’î.3 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode tahlilî. Metode tafsîr tahlilî adalah satu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur`ân dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur`ân sebagaimana tercantum di dalam muşhaf. Dalam hubungan ini, mufassir mulai dari ayat ke ayat berikutnya, atau dari surat ke surat berikutnya dengan mengikuti urutan ayat atau surat sesuai yang termaktub di dalam muşhaf. 4 Dengan demikian, tafsîr tahlilî merupakan suatu metode yang bermaksud menguraikan dan menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur`ân dari seluruh isinya, sesuai dengan urutan yang ada dalam al-Qur`ân.
C. Fokus Penelitian Menurut Sugiyono, “batasan masalah dalam penelitian kualitatif disebut dengan fokus, yang berisi fokus masalah yang masih bersifat umum”.5 Dengan melihat pendapat Sugiyono, maka penulis mencantumkan apa yang ada dalam batasan masalah menjadi fokus penelitian dalam penulisan ini, yaitu mengenai tafsir surat Ibrâhîm ayat 18, surat al-Baqarah ayat 68, dan surat Yȗsuf ayat 41.
2
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 209 3 Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h. 219 4 Ibid. 5 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mixed Methods), (Bandung: Alfabeta, 2011), h.287
35
Jadi, dalam penelitian ini penulis bermaksud mengkaji tentang tafsir surat Ibrâhîm ayat 18, surat al-Baqarah ayat 68, dan surat Yȗsuf ayat 41, dengan mencari data-data dan sumber yang membahas mengenai ayat tersebut.
D. Prosedur Penelitian Dalam penelitian tafsir yang menggunakan metode tafsîr tahlilî, ada beberapa prosedur atau langkah yang harus diperhatikan. Mengacu pada penjelasan Abudin Nata dalam buku Studi Islam Komprehensif, maka prosedur penelitian tafsir surat Ibrâhîm ayat 18, surat al-Baqarah ayat 68, dan surat Yȗsuf ayat 41 adalah sebagai berikut: 1. Memulai penjelasan dari kosa kata yang terdapat pada ayat 18 surat Ibrâhîm, ayat 68 surat al-Baqarah, dan ayat 41 surat Yȗsuf. Pada tahap ini penulis memulai dengan menjelaskan kosa kata yang terdapat dari masing-masing ayat yaitu ayat 18 surat Ibrâhîm, ayat 68 surat alBaqarah, dan ayat 41 surat Yȗsuf dengan mengacu pada kitab-kitab tafsir.6 2. Setelah menjelaskan kosa kata ayat per ayatnya, kemudian penulis menjelaskan munâsabah ayat atau hubungan ayat 18 surat Ibrâhîm, ayat 68 surat Al-Baqarah, dan ayat 41 surat Yȗsuf dengan ayat-ayat sebelumnya. Disini penulis akan menjelaskan munâsabah, yaitu hubungan atau keterkaitan ayat 18 surat Ibrâhîm, ayat 68 surat alBaqarah, dan ayat 41 surat Yȗsuf dengan ayat sebelumnya. Hal ini sangat dibutuhkan untuk mengetahui kejelasan makna ayat.7 3. Menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat 18 surat Ibrâhîm, ayat 68 surat al-Baqarah, dan ayat 41 surat Yȗsuf dengan dibantu dari penjelasan dari ayat lain, hadits Rasulullah SAW, atau ilmu pendidikan yang berkaitan dengan ayat tersebut. Dalam tahap ini penulis akan mencoba menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat 18 Surat Ibrâhîm, ayat 68 Surat al-Baqarah, dan ayat 41 Surat Yȗsuf dengan 6
Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Prenada media Group, 2011) h, 169 Ibid.
7
36
menggunakan literatur dari kitab tafsir, kemudian hadiś-hadiś Rasulullah yang berkaitan dengan makna ayat tersebut, dan juga bukubuku penunjang seperti buku-buku pendidikan yang membicarakan seputar makna ayat tersebut. Selain itu, pada tahap ini juga penulis menganalisis kajian tentang metode pembelajaran
amśâl yang
terkandung di dalam ayat tersebut.8 4. Setelah menjelaskan makna ayat dan menganalisisnya, selanjutnya adalah menarik kesimpulan dari ayat 18 surat Ibrâhîm, ayat 68 surat alBaqarah, dan ayat 41 surat Yȗsuf. Kesimpulan dari penelitian ini berkaitan tentang apa saja kandungan ayat 18 surat Ibrâhîm, ayat 68 surat al-Baqarah, dan ayat 41 surat Yȗsuf kemudian bagaimana analisis metode amśâl yang terkandung dalam ayat tersebut.9 Dalam metode tafsîr tahlilî, para mufassir menguraikan makna yang dikandung oleh al-Qur`ân ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai urutan di dalam muşhaf. Dalam penelitian ini, uraian ayat dan surah yaitu Surah Ibrâhîm ayat 18, Surah al-Baqarah ayat 68, dan Surah Yȗsuf ayat 41. Uraian ayat tersebut termasuk berbagai aspek yang dikandung oleh ayat 18 Surah Ibrâhîm, ayat 68 Surah al-Baqarah, dan ayat 41 Surah Yȗsuf yang ditafsirkan dengan pengertian/makna kosa kata, konotasi kalimat, kaitannya dengan ayat lain, baik sebelum atau sesudahnya (munâsabah ayat), dan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat 18 surat Ibrâhîm, ayat 68 surat al-Baqarah, dan ayat 41 surat Yȗsuf baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para tâbi’in maupun tafsir lainnya. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, penulis mencoba menafsirkan ayat-ayat yang mengandung amśâl berdasarkan pendapat para mufassir. Pada ayat-ayat yang mengandung amśâl, Syekh Manna’ al-Qaththan menjelaskan bahwa, “biasanya dilakukan dengan metode “mempersonifikasikan” sesuatu
8
Ibid. Ibid.
9
37
yang ghaib dengan sesuatu yang hadir, yang abstrak dengan yang konkret, atau dengan menganalogikan sesuatu hal dengan hal yang yang serupa”.10 Para mufassir kontemporer ketika menafsirkan ayat amtsâl tidak hanya memperhatikan kedudukan amśâl dalam kedudukan sebagai satu kesatuan susunan kata-kata, tetapi juga berusaha memahami dan menarik makna, hikmah, dan pelajaran dari bagian demi bagian maśal yang ditafsirkannya. Mereka menganalisisnya kemudian menarik dari masing-masing bagian makna dan hikmah, disamping memahami maśal pada ayat yang mereka tafsirkan sebagai satu kesatuan.11 Selain memperhatikan beberapa hal di atas, menurut Quraish Shihab dalam al-Qur`ân ada ayat-ayat amśâl yang maknanya serupa dengan peribahasa yang digunakan oleh masyarakat. Ketika memahami ayat amśâl yang seperti ini, selain memperhatikan hal-hal yang sudah dijelaskan sebelumnya, hendaknya harus memahami pula lafadz-lafadz tersebut ketika pertama kali terucap, yakni sebelum ia menjadi peribahasa.12 Berdasarkan pendapat di atas, maka untuk memahami ayat-ayat yang mengandung amśâl perlu dipahami unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, seperti objek yang dibuat keserupaan, objek yang diserupakan, dan lain sebagainya yang termasuk dalam syarat-syarat amśâl yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Quraish Shihab berkata bahwa maśal menampung banyak makna, karena itu ia memerlukan perenungan yang mendalam untuk memahaminya secara baik.13
10
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Qur’an, Terj. Mifdhol Abdurrahman dan Aunur Rofiq El-Mazni, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 352 11 Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2013), Cet. II,h. 267 12 Ibid, h. 265 13 Ibid, h. 272
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Tafsir Surat Ibrâhîm Ayat 18, Surat Al-Baqarah Ayat 68, dan Surat Yȗsuf Ayat 41 1. Tafsir Surat Ibrâhîm Ayat 18 a) Teks dan Terjemah Surat Ibrâhîm Ayat 18 Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti Abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.(Q.S. Ibrâhîm/14: 18) 1
b) Kosa Kata Inti Kata َمث َ ُوmerupakan bentuk mufrad, dan bentuk jama’ nya adalah أ َ ْمث َاهyang berarti perumpamaan, bidal, pepatah, dan juga bandingan.2 Kata َمث َ ُوjuga memiliki tiga makna lainnya, makna pertama adalah contoh atau tauladan (ُ اى ِعث َْشج: )اى َمث َ ُو ج أ َ ْمث َاه, makna kedua yaitu peribahasa atau pepatah (اس ِ َّسائِش تَيْهَ اىى َ )قَ ْىه, dan
1
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Special for Women, (Bandung: Syamil Al-Qur‟an, 2007), h. 257 2 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 410
38
39
makna ketiga adalah allegori parabel/cerita perumpamaan ( صح َّ ِق 3 اصيَح ِ ) ُم َج.
ُ َ َمثjuga dikatakan Pada dasarnya, menurut bahasa kata و dengan (“ ) ميمح ذسىيحkalimat persamaan”, sebagaimana yang dijelaskan dalam kamus Lisânul ‘Arab:
ٍ يقال ىذا ِمثلو و َمثَلو كما يقال ِشْبهة و َشبَ ُهو.تسوية ُ كلمة: ِمثل: مثل الفرق بني املماثلة و املساواة أ ّن املساواة تكون بني: قال ابن بري,مبمعىن أل ّن التّسا ِوي ىو التكافؤ ىف املقدار ال يزيد وال,املختلفني ىف اجلنس و املتّفقني ِ فقهو كفق ِه ِو ُ حنوهُ و حن ِوه و ُ : تقول, و ّأما املماثلة فال تكون إالّ ىف املتّفقني,ينقص 4 ِ و لونُو كلونِو وطعمو .كطعمو ُ
Dari penjelasan teks Lisânul ‘Arab di atas, dapat dipahami
bahwa, maśal disebut juga dengan kalimat taswiyah/kalimat persamaan. Namun demikian, menurut Ibnu Bari ada perbedaan antara maśal (al-mumâśalah) dengan taswiyah (al-musâwâh). Menurutnya, taswiyah merupakan persamaan yang terjadi pada dua hal yang berimbang dalam ukurannya, tidak bertambah dan tidak berkurang. Sedangkan maśal tidak demikian, maśal merupakan persamaan yang terjadi berdasarkan kesepakatan para ahli tanpa ada ukuran yang persis. Selanjutnya adalah kata َم َش َماد, terdiri dari satu kata dan satu huruf jar yaitu ك, dalam istilah ilmu balaġah huruf كtermasuk dalam âdat tasybîh ()أداج اىرّشثيه, sebagaimana dijelaskan oleh AlHasyim dalam Jawahir al-Balaghah: 5
3
ويربط املشبّو اباملشبّو بو,يدل على التّشبيو ّ اللّفظ الّذي
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Bahasa Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h.1309 4 Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob AlIlmiyah, 2003) vol. 11, h. 726-727 5 Ahmad Al-Hasyim, Jawahir al-balaghah Fi al-Ma’ani wa al-Bayani wa al-Badi’, (Indonesia: Maktabah Daar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, 1960), h.248
40
Âdat tasybîh adalah lafaż yang menujukkan kepada tasybîh, dan mengikat musyabbah dengan musyabbah bih. Kemudian kata َس َمادmempunyai arti abu api 6, َس َمادjuga berarti abu atau debu api (اس ُ )ذ ُ َش.7 Sementara itu, dalam ِ َّاب اىى
ُ د: اىشماد Lisânul ‘Arab juga dijelaskan bahwa: دشاقَ ِح ُقاق ُ اىفذم ِمه ِ اس ِ ّاىى, dari penjelasan teks tersebut, dapat dipahami bahwa سماد merupakan serbuk (debu halus) arang yang berasal dari kobaran api8.
ْ إ ْشرَذberasal dari kata َّ إ ْشرَذyang disandingkan Kemudian kata َّخ dengan خmuannaś, yang berakar dari kata شذَّج َ yang ِ - َيشِذ-َّشذ
ْ إini juga memiliki berarti kuat, keras, dan kokoh. Kata َّ شرَذ kesamaan arti dengan kata َشذَّد َ َ ذyaitu keras (dalam urusannya)9 atau menjadi kuat ()ذَقَ َّىي.10 Kata خ ُ اىش ْي ّ ِ merupakan bentuk mufrad, dan bentuk jama’ (plural) nya adalah ِس َياحyang artinya angin atau bau. Sedangkan kata َس ِيخbermakna angin keras.11 Dan kata خ َ ِس ْيjuga berarti 12 tertimpa/terserang angin (خ ُ اىش ْي ّ ِ ُصا َترْه َ َ )أ. Sementara itu, dalam
Lisânul ‘Arab tertulis bahwa: ومزاىل وسيم م ّو، وسيم اىهىي: خ ُ اىشي ّ
شيء, dari teks tersebut dapat dipahami bahwa kata اىش ْي ُخ ّ ِ bermakna bertiupnya udara sebagaimana bertiupnya segala sesuatu.13
6
Mahmud Yunus, Op Cit., h. 147 Ahmad Warson Munawwir, Op Cit., h. 531 8 Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob AlIlmiyah, 2003) vol. 3, h. 228 9 Mahmud Yunus., h. 192 10 Ahmad Warson Munawwir., h. 702 11 Mahmud Yunus. , h. 149 12 Ahmad Warson Munawwir ., h. 544 13 Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob AlIlmiyah, 2003) vol. 2, h. 543 7
41
َ الَ يَ ْقذ ُِس ْونmerupakan kata kerja yang sebelumnya ditambahkan Laa Nafî, kata َ يَ ْقذ ُِس ْونberasal dari kata Selanjutnya lafaż
َ َ ا ْسر, قُذ َْسج َو َم ْقذ َِسج-يَ ْقذ ُُس- قَذَ َسdan kata يَ ْقذَ ُس- قَذ َِسyang berarti “dapat” ع َ طا jika kata tersebut di sambung dengan lafaż ًي َ maka artinya َ ع menjadi kuasa atau mampu mengerjakan sesuatu.14 Kemudian
lafaż
سثُىا َ َم
merupakan
kata
kerja
yang
disambungkan đomir orang ketiga jamak. Lafaż ini berasal dari kata َمسْثا-ِة ُ يَ ْنس-ة َ س َ َمyang berarti memperoleh atau mendapatkan,
َّ اى, maka artinya berubah namun jika disandingkan dengan kata ي ُء ْ ش 15 menjadi ج َم َع َ yaitu mengumpulkan. Sejalan dengan pendapat
tersebut, dalam Lisânul ‘Arab juga dijelaskan bahwa: ْة ُ اى َنس: مسة
و أصيه اىجم ُع، ق ُ َ طي: , dari teks tersebut dapat dipahami ّ ة ِ اىش ْص 16 bahwa makna asli dari ة َ س َ َمadalah mengumpulkan. c) Tafsir Surat Ibrâhîm Ayat 18 1) Munâsabah Ayat Sebelum menjelaskan tafsir dari ayat 18 Surat Ibrâhîm ini, akan dijelaskan terlebih dulu Munâsabah atau hubungan ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya. Pada ayat 18 Surah Ibrâhîm ini merupakan lanjutan dari ayat-ayat sebelumnya yakni ayat 13 sampai 17 yang menceritakan tentang siksaan dan ancaman yang ditimpakan Allah kepada umat-umat terdahulu sebagai akibat dari kekafiran, disamping kerugian mereka yang besar karena pahala amalan mereka yang dihapus.17
14
Ibid., h. 1905 Mahmud Yunus., h. 373 16 Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob AlIlmiyah, 2003) vol. 1, h. 840 17 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi Yang Disempurnakan) , Jilid. V, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), h. 135 15
42
Pada ayat 16 dijelaskan bahwa orang-orang yang menolak kebenaran dan mengingkari rasul bahkan berani mengancam dan mengusirnya adalah orang-orang yang ingin menandingi kebesaran dan kekuasaan Allah. Mereka bersifat keras kepala, takabur dan sewenang-wenang,
mereka
telah
berada
di
depan
neraka
Jahannam, dan di dunia mereka sudah seperti di tepi neraka, mereka selalu merasa gelisah, khawatir dan penuh keraguan. Hukuman bagi mereka di neraka kelak akan dimasukan ke neraka dan diberi minuman kotor seperti nanah.18 Kemudian pada ayat selanjutnya yaitu ayat 17 Allah menggambarkan siksaan bagi mereka yang zalim, kelak mereka akan disiksa dengan api neraka yang sangat panas, diberi minuman kotor seperti nanah tapi mereka sangat sukar untuk meneguknya. Dan Allah datangkan kepada mereka bahaya maut dari segala penjuru, tapi kematian mereka ditangguhkan oleh Allah agar mereka merasakan kepedihan azab.19
2) Tafsir Ayat Pada ayat sebelumnya, yakni ayat 17 Surat Ibrâhîm ini telah dijelaskan bagaimana siksaan dan azab yang diberikan Allah kepada orang-orang kafir. Menurut Quraish Shihab, jika ada yang mengatakan dan bertanya bahwa diantara orang-orang kafir itu juga ada yang telah melakukan amal-amal baik bahkan berjasa kepada banyak orang, apakah mereka juga harus disiksa? maka pada ayat inilah pertanyaan itu akan dibahas.20 Ayat ini menjelaskan kerugian besar yang orang-orang kafir itu derita, yaitu amal-amal perbuatan mereka di dunia dihapuskan. Mereka tidak bisa merasakan manfaat dari amal kebaikan mereka 18
Ibid., h. 136 Ibid. 20 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 6 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 349 19
43
yang mungkin pernah mereka perbuat di dunia. Keadaan yang seperti ini adalah akibat dari penyelewengan dan kesesatan mereka yang jauh sekali dari petunjuk Allah swt.21 Dalam Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa: Inilah perumpamaan yang diberikan oleh Allah terhadap berbagai perbuatan kaum kafir yang menyembah pihak lain selain Allah, mendustakan rasul-rasul-Nya, dan mendirikan amalnya di atas fondasi yang tidak şahih. Maka amal itu pun hancur dan musnah padahal saat itu mereka sangat membutuhkannya. Maka Allah berfirman, “Perbuatan-perbuatan orang yang kafir kepada Tuhannya.” Yakni perumpamaan amalamal mereka pada hari kiamat tatkala mereka meminta pahalanya dari Allah lantaran mereka menduga bahwa mereka telah melakukan sesuatu, maka mereka tidak menemukan pahala apapun dan tidak memperoleh hasil apapun kecuali seperti abu yang diperoleh seseorang tatkala diterpa angin yang sangat kencang “pada musim angin kencang”. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari amal mereka, kecuali seperti kesanggupan mereka mengumpulkan abu terebut pada musim angin kencang.22 Allah menjelaskan keadaan amal-amal perbuatan mereka dengan satu perumpamaan, bahwa amal-amal mereka yang dilakukan di dunia yang dianggap baik itu seperti abu yang ditiup keras oleh angin. Angin yang meniup abu itu terjadi pada suatu hari yang berangin kencang sehingga menerbangkan segala sesuatu (apalagi abu) ke segala penjuru.23 Demikianlah keadaan amal-amal baik mereka sehingga mereka tidak kuasa, dalam arti mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan. Hal ini terjadi karena amal-amal mereka tidak berlandaskan sesuatu yang kukuh yang tidak dibarengi oleh iman. Dan keadaan mereka yang seperti itu adalah sebuah kesesatan yang jauh.24 21
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid.5, Loc Cit. Muhammad Nasib Ar-Rifa‟I, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Terj. Syihabuddin, jilid. 2 (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h.948-949 23 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol.6, Op Cit., h. 350 24 Ibid. 22
44
Menurut Abu Ja‟far, Firman Allah ُ ضالَ ُه ْاىثَ ِع ْيذ َّ “ رَاىِلَ ُه َى اىYang demikian itu adalah kesesatan yang jauh”. Maksudnya amal perbuatan yang mereka kerjaan di dunia, menyekutukan Allah dengan para sekutu itu merupakan amal-amal yang dikerjakan tanpa didasari petunjuk dan istiqâmah, melainkan dalam keadaan menyimpang jauh dari petunjuk dan sangat menyalahi sifat istiqâmah (lurus).25 Pendapat di atas selaras dengan yang dijelaskan oleh Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i bahwa ُ ضالَ ُه ْاى َث ِع ْيذ َّ رَاىِلَ ُه َى اىberarti bahwa “ upaya dan amal mereka itu berdasar dan tidak istiqâmah, sehingga mereka kehilangan pahalanya pada saat mereka membutuhkannya.”26 Lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan terkait kualitas amal seseorang. Beliau juga mengumpamakan amal dengan bangunan, ada bangunan yang cepat hancur hanya dengan guncangan yang tidak terlalu besar, ada juga bangunan yang kokoh seperti pyramid yang utuh dan bertahan hingga kini. Itu karena kualitas pembuatannya tidak memenuhi standar yang bisa menjadikannya dapat bertahan lama. Begitu juga dengan amal manusia, jika kualitasnya tidak sempurna, ia akan hancur berantakan bagaikan debu yang beterbangan. Standar kualitas yang mutlak harus dipenuhi untuk kokohnya amal hingga hari Kemudian adalah keikhlasan kepada Allah swt. Tanpa hal ini, secara lahiriah amal dapat terlihat berpenampilan sangat baik, tetapi ia keropos, kualitasnya sangat buruk walaupun kemasannya sangat indah.27 Dalam literatur lainnya, Quraish Shihab juga menjelaskan bahwa, meskipun melakukan kebaikan untuk hal-hal kemanusiaan
25
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Terj. Ahsan Askan, , jilid. 15 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 480 26 Muhammad Nasib Ar-Rifa‟I, Op Cit., h. 949 27 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol.6, Loc Cit.
45
yang mestinya dapat membebaskan dari azab, tetapi jika amal yang diduga baik itu tidak dilandasi sesuatu yang kukuh dan tidak dibarengi keimanan, maka amal tersebut tidak mempunyai nilai apapun.28 Setelah penulis telusuri dari pendapat beberapa mufassir di atas, pada ayat 18 Surat Ibrâhîm
ini terdapat amśâl atau
perumpamaan yang sangat jelas. Yaitu perumpamaan perbuatan orang-orang yang kafir itu seperti abu yang beterbangan di hari yang berangin sangat kencang. Berdasarkan pendapat para mufassir
tersebut,
penulis
menyimpulkan
bahwa
keadaan
perbuatan orang-orang kafir itu seperti abu yang ditiup oleh angin di hari yang berangin sangat kencang, sehingga mustahil sekali abu tersebut tidak terbang dan tetap pada posisinya. Hal ini terjadi karena pondasi dari amal perbuatan mereka tidak kokoh. Mereka melakukan amal kebaikan tetapi tidak beriman kepada Allah dan tidak ada keikhlasan di hati mereka ketika melakukan amal tersebut. Disini dapat dipahami bahwa, perbuatan orang-orang kafir merupakan sesuatu yang abstrak, yang belum dapat dipahami. Kemudian diumpamakan dengan debu yang ditiup oleh angin di hari yang berangin sangat kencang, merupakan hal yang konkret atau real yang lebih bisa dipahami. Jadi, seperti tujuan amśâl yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, pengguanan amśâl pada ayat ini bertujuan untuk menjelaskan sesuatu yang masih abstrak, yaitu keadaan perbuatan orang-orang kafir dengan sesuatu yang lebih konkret, yaitu seperti abu yang ditiup angin di hari yang berangin sangat kencang. Merujuk pada ayat 18 Surat Ibrâhîm tersebut, maka dalam dunia pendidikan, terutama sebagai pendidik hendaknya untuk bisa mengimplementasikan ayat tersebut dalam 28
Quraish Shihab, Al-Lubâb: Makna, Tujuan, dan Pelajaran Surah-Surah Al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2012), h. 96
46
pembelajaran sehari-hari. Pendidik hendaknya selalu memberi amśâl atau perumpamaan kepada peserta didik untuk menjelaskan sesuatu yang abstrak agar terlihat lebih konret dan lebih mudah dipahami.
2. Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 68 a) Teks dan Terjemah Surat Al-Baqarah Ayat 68 Mereka menjawab: " mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami, agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina Apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu". (Q.S Al-Baqarah/2: 68) 29
b) Kosa Kata Inti Kata ع ُ ا ْدmerupakan fi’il `amr (kata perintah) dari kata -عا َ َد
عاء ُ َي ْذyang bermakna memanggil, mendo‟a, dan memohon.30 َ ُ د-عىا Kemudian kata ini disambungkan dengan huruf هdan đamîr sehingga artinya menjadi mendoakan kebaikan.31 Kemudian kata
تَقَ َشجmemiliki arti sapi atau lembu, tanpa
menjelaskan jantan atau betina.32 “Pendapat yang masyhur mengatakn maksudnya adalah sapi betina, karena adanya ta marbuţah dan disebut dengan nama al-Baqarah karena adanya
29
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op Cit., h. 10 Ahmad Warson Munawwir ,, h. 406 31 Mahmud Yunus,,, h. 127 32 Ibid. h. 69 30
47
kisah penyembelihan sapi betina.33 Dan kata اسض ِ َ فjika diartikan dalam konteks kata تَقَ َشجmemiliki arti lembu yang tua umurnya.34 Hal ini juga dibenarkan dalam Lisânul ‘Arab bahwa : تقشج فاسض
ُم ِسىّح.35 Abu Ja‟far Ath-Thabari juga menyebutkan bahwa yang 36 dimaksud اسض ِ َ فdalam ayat ini adalah tidak tua. Dalam potongan
ayat )إوّها تقشج ال فاسض وال تنش, al-Farâ menjelaskan bahwa yang dimaksud اىفاسضadalah yang tua renta, sedangkan اىثنشadalah yang
muda
(untuk
perempuan/betina),
sebagaimana
yang
dijelaskan dalam Lisanul ‘Arab: اىفاسض اىهشيمح واىثنش: اىفشاء ّ قاه
اىشاتّح.37 Selanjutnya kata تِ ْنشmemiliki arti ُ اىثَقَ َشج ُ ْاىفَرِيَّحanak lembu. Kata اىثنشdengan kasrah berarti jenis betina dari binatang maupun manusia, kata ini tidak ditemukan akar katanya. Dan yang dimaksud َو َال ِت ْنشDalam ayat ini adalah tidak kecil dan tidak beranak”.38 Sedangkan dalam Lisânul ‘Arab dijelaskan bahwa اىثنش adalah:
وجمعها أتناس اىثنش، َط َّ اىجاسيح اىرً ىم ذ ُ ْفر:اىثنش 39 فَرِيَح ىَ ْم ذَذْ ِم ْو: تقشج ِت ْنش Dari teks Lisanul ‘Arab di atas, dapat dipahami bahwa kata
اىثنشberarti gadis yang perawan dan bentuk jama’ nya adalah 33
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi Yang Disempurnakan),jilid.1, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), h. 127 34 Ahmad Warson Munawwir ., h. 1047 35 Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob AlIlmiyah, 2003) vol. 7, h. 229 36 Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Terj. Ahsan Askan, jilid. 2 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 71 37 Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Loc Cit. 38 Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Jilid. 2 Op Cit., h. 73 39 Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob AlIlmiyah, 2003) vol. 4, h. 91
48
أتناس. Kemudian dalam konteks kata تقشج, kata اىثنشberarti sapi muda yang belum hamil. “Kata ini digunakan untuk hewan betina dan juga manusia yang belum pernah digauli. Untuk sebutan hewan kadang juga digunakan sebagai sebutan anak-anak hewan.”40 Dan kata ع َىان َ memiliki arti yang setengah umur.41 “Kata
ُ اىعَ َىartinya pertengahan yang telah melahirkan satu anak atau ان lebih, tapi tidak disebut kecil”42. Dalam konteks ayat ini kata ع َىان َ diartikan sebagai pertengahan antara umur sapi yang tua dan muda. Sejalan dengan pendapat Mahmud Yunus, bahwa kata ع َىان َ memiliki arti setengah umur, dalam Lisânul ‘Arab disebutkan sebagai berikut:
بكر ٌ (ال: ويف التنزيل العزيز.صف يف سنّها ُ ّ الن: العوان من البقر ووغريىا ٌ فارض وال مثّ استأنف فقال،)بكر ٌ ( وال:عوا ٌن بني ذلك) ؛قال الفراء انقطع الكالم عند قولو ِ أبو.ت بعد بطنها البكر ْ العوان من البقر واخليل اليت نُت َج: وقيل،)(عوا ٌن بني ذلك النّصف الىت بني: عانت البقرة تعون عؤوان إذا صارت عواان؛ و العوان:زيد 43 ِ الفا ِر . وبني البكر وىي الصغرية،ض وىي املسنّة Dari penjelasan teks Lisanul ‘Arab di atas, dapat dipahami
bahwa yang dimaksud اىعىانdari sapi dan sejenisnya adalah yang telah mencapai setengah umurnya. Kemudian Al-Farâ menjelaskan bahwa yang dimaksud عىانpada potongan ayat (ال فاسض وال تنش
) عىان تيه رىل, adalah sapi atau kuda yang melahirkan setelah muda. Dan Abu Zaid mengatakan bahwa اىعىان
40
disini berarti
Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, TafsirFathul Qadir, Terj. Amir Hamzah Fachruddin dan Asep Saefullah, jilid. 1, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 382 41 Mahmud Yunus., h.287 42 Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, jilid. 2 ., h. 74 43 Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob AlIlmiyah, 2003) vol. 13, h. 364
49
pertengahan antara اىفاسض yaitu yang berumur dan اىثنش yang ُ ُ masih kecil/muda.
c) Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 68 1) Munâsabah Ayat Pada ayat sebelumnya yaitu kelompok ayat 63-66, Allah menerangkan sifat keras kepala Bani Israil dalam menunaikan perintah-perintah Allah yakni kewajiban mereka mengamalkan isi Taurat dan beribadah pada Hari Sabat. Kemudian pada ayat ini Allah menerangkan sikap keras kepala mereka kepada Nabi Musa untuk menyembelih sapi.44 Jika pada kelompok ayat 63-66 Surat al-Baqarah menguraikan tentang kedurhakaan mereka menyangkut hak-hak Allah secara umum, maka pada kelompok ayat 67-72 ini akan menggambarkan kekerasan hati dan kedangkalan pengetahuan mereka tentang makna keberagamaan serta bagaimana seharusnya sikap kepada Allah dan Nabi-Nya.45 Pada dasarnya ayat 68 yang akan dibahas ini adalah satu kesatuan cerita dari ayat 67 sampai dengan ayat 72. Sebelum menjelaskan ayat yang dimaksud yaitu ayat 68, maka penulis akan mengutip pejelasan untuk ayat sebelumnya. Pada masa Nabi Musa as. ada seorang terbunuh yang tidak diketahui siapa pembunuhnya oleh Bani Israil. Mereka ingin mengetahui siapa pembunuhnya, untuk menghilangkan tuduh menuduh diantara mereka. Dengan ayat 67 ini, Bani Israil diperintahkan untuk menyembelih sapi. Sapi apapun itu, jantan atau betina. Tapi mereka enggan melakukannya karena berbagai macam dalih, mereka tidak percaya bahwa itu adalah perintah 44
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid. I, Loc Cit. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 267 45
50
Allah. Kemudian mereka berkata kepada Nabi Musa, “ apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan atau bahan olokan?”, pertanyaan mereka ini mengandung keraguan terhadap kekuasaan Allah.46 Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa Ibnu Hatim meriwayatkan dengan sanad yang bersambung hingga Muhammad bin Sirrin, dari Ubadah As-Silmani, ia berkata bahwa: Ada seorang laki-laki Bani Israel mandul yang mempunyai harta banyak dan anak saudaranya merupakan pewarisnya. Maka ia membunuh anak saudaranya itu. Pada malam hari ia membawa mayatnya, lalu diletakan di depan pintu salah seorang Bani Israel. Ketika pagi tiba, maka pihak korban menuduh si pemilik rumah dan warganya sehingga mereka pun mengangkat senjata dan saling menyerang. Salah satu yang berpikiran lebih bijak berkata,” Mengapa kalian saling membunuh padahal kita punya Rasul!” Maka mereka menemui Musa a.s. dan menceritkan kejadian tersebut. Musa berkata,” Sesungguhnya Allah menyuruhmu untuk menyembelih seekor sapi betina. Mereka berkata, „Apakah kamu hendak menjadikan kami bahan ejekan? Musa menjawab,‟Aku berlindung kepada Allah sekiranya aku termasuk orang-orang yang bodoh‟.”47 Dan perkataan mereka yang seperti itu sudah menjadi bukti bahwa mereka sangat kasar tabiatnya dan tidak mengakui kekuasaan Allah swt. kemudian Nabi Musa menjawab,”Aku berlindung kepada Allah dari memperolok manusia, karena perbuatan itu termasuk perbuatan orang yang jahil, terlebih bagi seorang rasul yang akan menyampaikan risalah dan hukum Allah kepada manusia.48
2) Tafsir Ayat Setelah Nabi Musa menjawab demikian, mereka memunculkan pertanyaan lagi, padahal dengan jawaban Nabi Musa saja 46
Ibid. Muhammad Nashib Ar-Rifa‟I, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Terj., Budi Permadi, jilid.1, (Jakarta: Gema Insani 2011), h. 119 48 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid. I, Op Cit., h. 128 47
51
sebenarnya sudah cukup, apalagi di dalam jawaban beliau terdapat sindiran bahwa bisa jadi merekalah orang-orang yang jahil yang menduga Nabi mereka berolok-olok atau Allah berbuat tanpa alasan.49 Bani Israil berkata lagi kepada Nabi Musa,”Tanyakanlah kepada Tuhanmu agar diterangkan kepada kami tanda-tanda sapi yang dimaksudkan itu”. Nabi Musa menjawab,” sapi yang harus disembelih itu bukan sapi yang tua atau sapi yang muda, tetapi yang sedang umurnya. Turutilah perintah itu dan laksanakanlah segera.”50 Hamka menafsirkan ayat ini dalam Tafsir Al-Azhar: “Mereka berkata: Serukanlah kepada kami kepada Tuhanmu, supaya diterangkannya bagaimana lembu itu?”. Lembu betina banyak berkeliaran di padang rumput. Kami mau jelas bagaimana macamnya lembu itu. Menjatuhkan perintah hendaklah yang terang! Cobalah tanyakan kembali pada Tuhanmu itu, lembu betina yang macam mana yang dikehendaki. Berkata dia: “Sesungguhnya Dia bersabda, bahwa hendaklah lembu betina itu yang belum tua benar dan tidak sangat muda, pertengahanlah diantara itu, maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu itu.”51 Pada potongan ayat َع ىَىَا َستَّل ُ ( قَاىُىا ا ْدMereka berkata, “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami”), dalam Tafsir Fathul Qadir dijelaskan bahwa ini merupakan salah satu bentuk keras kepala mereka yang sudah mendarah daging, karena mereka biasa bersikap seperti
ini
kepada kebanyakan apa
yang
diperintahkan Allah kepada mereka. Jika seandainya mereka tidak keras kepala dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, tentu akan cukup bagi mereka menyembelih sapi apapun, namun mereka
49
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 1, Op Cit., h. 268 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid. I, Loc Cit. 51 Hamka, Tafsir Al-Azhar, juz.1, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001), h. 283-284 50
52
sendiri yang mempersulit sehingga Allah pun mempersulit mereka.52 Ketika mereka bertanya kepada Nabi Musa, “sapi apakah itu?”, Nabi Musa menjawab, “Sesungguhnya Dia berfirman”, Nabi Musa menegaskan bahwa ini adalah firman Allah, bukan ucapan berdasarkan kemauan dan pendapatnya, bahwa “sapi itu adalah sapi yang tidak tua dan tidak pula muda, pertengahan antara itu”.53 Dalam menafsirkan ayat ini Abu Ja‟far berkata dalam kitab Tafsir Ath-Thabari: Maka setelah mereka yakin apa yang diperintahkan Musa kepada mereka adalah benar dan sungguh-sungguh, mereka mengatakan, coba mohonkan kepada Tuhanmu agar Dia menerangkan kepada kami sapi betina apa itu? Mereka bertanya kepada Musa dengan nada membangkang, padahal jika menuruti apa yang diperintahkan Allah niscaya cukuplah bagi mereka sapi betina apa saja.54 Hamka juga menjelaskan, “kesombongan mereka dan cara mereka bertanya sebenarnya telah mempersulit mereka sendiri. Dengan jawaban Nabi Musa yang demikian, menyuruh mencari lembu betina yang belum tua, tetapi tidak muda lagi, supaya dicari pertengahan antara tua dan muda, mereka telah mempersulit diri.”55 Perintah dilaksanakan.
Allah Tetapi
seharusnya mereka
diterima masih
dan
langsung
belum
beranjak
mengerjakannya walaupun penjelasan itu sudah cukup. Bahkan Nabi Musa sudah mengisyaratkan tidak perlu lagi ada pertanyaan dengan mengatakan,” maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepada kamu.” Karena semakin banyak pertanyaan yang diajukan, maka semakin banyak pula jawaban yang akan memberi ciri dan syarat, dan pada gilirannya akan semakin mempersulit.56 52
Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Op Cit,, h. 381 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 1, Loc Cit. 54 Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, jilid. 2,, h. 70 55 Hamka, Op Cit,, h. 284 56 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah,, vol.,1 h. 269 53
53
Melanjutkan penjelasannya, Hamka mengatakan bahwa: Tadinya jika mereka menangkap saja sembarangan lembu betina, entah muda atau tua, perintah itu telah terlaksana dengan baik. Tetapi dengan perintah yang sekarang ini, mereka sudah menyaring dengan benar dan menaksir umur lembu-lembu betina yang hendak disembelih itu. Nabi Musa memerintahkan lekas-lekaslah laksanakan perintah itu, dengan maksud supaya mereka tidak bertanya lagi. 57 Menurut Abu Ja‟far pada bagian akhir ayat ini, yaitu فَا ْف َعيُ ْىا َما
َ ذُأ ْ َم ُش ْونbahwa Allah berfirman bahwa: “Kerjakanlah apa yang Aku perintahkan kepada kalian, niscaya kalian akan mendapatkan apa yang kalian cari di sisi-Ku, dan sembelihlah sapi betina yang Aku perintahkan kepada kalian, niscaya dengan menaati perintahku tersebut kalian akan mengetahui siapa pelaku pembunuhan itu”.58 Menurut Imam Asy-Syaukani potongan ayat “ ( فَا ْفعَيُ ْىاMaka kerjakanlah), merupakan pembaharuan perintah dan penegasannya, serta sebagai dampratan bagi mereka karena keras kepala, namun ini tidak berguna dan tidak mempan bagi mereka, bahkan mereka kembali kepada tabi‟at dan makar mereka serta melanjutkan kebiasaan mereka yang telah mendarah daging itu.”59 Pada ayat 68 Surat al-Baqarah terdapat potongan ayat yang mengandung amśâl, yaitu َع َىان تَيْهَ رَاىِل َ اسض َو َال تِ ْنش ِ َ الَ ف. Potongan ayat tersebut mengandung makna amśâl meskipun tidak secara jelas terdapat lafaż tamśîl yang mengindikasikan amśâl, karena bentuk amśâl seperti ini termasuk amśâl kâminah. Dan potongan ayat tersebut memiliki persamaan makna dengan pepatah
ُ س ط َها َ ( َخي ُْش ْاْل ُ ُم ْى ِس أ َ ْوsebaik-baiknya perkara adalah yang di pertengahannya). Dalam pembelajaran, amśâl kâminah seperti ini dapat diimplementasikan. Contoh sederhananya adalah ketika seorang 57
Hamka, Loc Cit. Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari ,, h. 77 59 Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Op Cit., h. 382 58
54
guru menjelaskan materi pelajaran kepada peserta didik, maka hendaknya guru tersebut menjelaskan jangan terlalu cepat dan juga terlalu lambat, tetapi pertengahan diantara keduanya.
3. Tafsr Surat Yȗsuf Ayat 41 a) Teks dan Terjemah Surat Yȗsuf Ayat 41 Hai kedua penghuni penjara: "Adapun salah seorang diantara kamu berdua, akan memberi minuman tuannya dengan khamar; Adapun yang seorang lagi Maka ia akan disalib, lalu burung memakan sebagian dari kepalanya. telah diputuskan perkara yang kamu berdua menanyakannya (kepadaku)." (Q.S Yȗsuf/12: 41) 60
b) Kosa Kata Inti Kata سِجْ ُه ّ اىberasal dari akar kata يَ ْس ُج ُه- َس َجه َ yang artinya menahan atau memenjarakan. Kata سِجْ ُه ّ اىmemiliki persamaan arti dengan kata س ُ َ اى َمذْ ثyang artinya penjara.61 Pendapat tersebut juga dibenarkan dalam Lisânul ‘Arab, bahwa kata سِجْ ُه ّ اىdengan kasrah pada huruf sin sama artinya dengan kata س ُ َ اى َمذْ ثyang merupakan isim, dan jika huruf sin nya di fathah maka merupakan maşdar.62 Kemudian kata ًس ِق ْ َ يmerupakan fi’il mudhâri’ dari kata ًَسق َ yang berarti memberi minum.63
60
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Special for Women, h. 41 Ahmad Warson Munawwir ,, h. 613 62 Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Op Cit., Vol. 13, h. 247 63 Mahmud Yunus,,, h.173 61
55
Kata selanjutnya yaitu ة ُ َصي ْ ُ يmerupakan fi’il mudhâri’ majhȗl dari akar kata ة ُ ُصي ْ َ ي- ة َ َصي َ yang berarti menyalib. Karena kata
ة ُ ص َي ْ ُ يmerupakan fi’il majhȗl , maka artinya berubah menjadi disalib, kemudian karena şigatnya juga fi’il mudhâri’ yang mengandung waktu yang akan datang, maka kata ة ُ َصي ْ ُ يdiartikan akan disalib.64 Kata ي ِ ُ قadalah bentuk majhȗl dari kata ًض ِ يَ ْق- ًض َ َ ق. Kata َ ض
ًض َ َ قsendiri memiliki arti melaksanakan, menyelesaikan. Karena kata ي ِ ُ قadalah bentuk majhȗl dan disandingkan dengan kata َ ض
اْل َ ْم ُشmaka artinya menjadi keputusan (perkara) sudah diambil, diselesaikan.65 Selanjutnya kata ان ِ َ ذ َ ْسر َ ْفرِيmerupakan fi’il mudhâri’ dari kata
ًَ اِ ْسر َ ْفرyang berarti meminta fatwa, yang kemudian disambungkan dengan đamîr antumâ, sehingga kata ان ِ َ ذ َ ْسر َ ْفرِيmemiliki arti yang kalian berdua minta fatwanya. Meminta fatwa dalam konteks ayat ini berarti juga menanyakan.66 Meskipun dalam kamus Lisânul ‘Arab tidak menjelaskan dengan khusus arti dari kata سر َ ْفرِ َيان ْ َ ذ, tetapi ada dua kata yang dijelaskan dalam kamus ini yang memiliki asal kata yang sama (ًَ سر َ ْفر ْ ِ )اyaitu kata فَا ْسر َ ْفرِ ِه ْمdan َيَ ْسر َ ْفر ُ ْىوَل. Di dalam Lisanul ‘Arab tertulis:
ُّ استَ ْفتِ ِه ْم أىم أشد خل ًقا ) ؛ أي فسأَهلم سؤال ْ َ (ف:وقال أبو إسحاق يف قولو تعاىل : وجل ّ وقولو.ىم أَش ّد خلقاًْ ع َم ْن َخل ْقنا من األمم السالفة ّ َتقرير أ ّ عز 67 .ك قل هللاُ يُ ْفتِي ُكم)؛ أي يسألونك سؤال تعلّم َ َ(يَ ْستَ ْفتُ ْون 64
Ahmad Warson Munawwir ,, h. 787 Ibid, h. 1130 66 Ibid, h. 1034 67 Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob AlIlmiyah, 2003) vol. 15, h. 170 65
56
Dari pernyataan teks Lisanul ‘Arab di atas, dapat dipahami bahwa makna kata سر َ ْفرِ ِه ْم ْ فَاdalam potongan ayat ) (فَا ْسر َ ْفرِ ِه ْم أهم أشذ
خيقاmengandung makna سؤاه ُ “ فَاسْأىُه ْمmaka tanyakanlah”. Dan pada kata َسر َ ْفر ُ ْىوَل ْ َ يdalam potongan ayat )(يَ ْسر َ ْفر ُ ْىوَلَ قو هللاُ يُ ْفرِي ُنم mengandung makna سؤاه ُ يَسْأىُىول. Dengan melihat contoh ayat di atas, maka kata سر َ ْفرِيَان ْ َ ذdalam ayat ini dapat diartikan dengan menanyakan atau kalian berdua tanyakan.
c) Tafsir Surat Yȗsuf Ayat 41 1) Munâsabah Ayat Pada ayat-ayat sebelumnya, yaitu ayat 39-40 Surat Yȗsuf dijelaskan bahwa Nabi Yȗsuf mengajak kedua penghuni penjara untuk memeluk agama tauhid, yaitu hanya menyembah kepada Allah
Yang
Maha
Esa.68
Selain
itu,
Nabi
Yȗsuf
juga
menyampaikan pokok-pokok ajaran agama yang dianutnya, yakni agama Islam.69 Pada ayat 36 Surah Yȗsuf ini , dua teman Nabi Yȗsuf di penjara pura-pura bermimpi agar mimpi itu ditakwilkan oleh Nabi Yȗsuf dengan niat untuk menjajaki ilmunya. Salah satu dari mereka berkata, ”sesungguhnya aku bermimpi memeras anggur” dan yang lain berkata, “sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku membawa roti di atas kepalaku, sebagiannya dimakan burung”, berikanlah
kepada
kami
ta‟birnya.
Sesungguhnya
memandangmu termasuk orang-orang yang pandai.
kami
70
Akan tetapi, setelah ditanya seperti itu Nabi Yȗsuf tidak langsung menjawab ta’bir mimpi yang ditanyakan. Seperti yang 68
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi Yang Disempurnakan), Jilid. IV, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), h. 531 69 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 6, Op Cit., h. 99 70 Muhammad Ahmad Isawi, Tafsir Ibnu Mas’ud: Studi Tentang Ibnu Mas’ud dan Tafsirnya, Terj. Ali Murtadho Syahudi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 604-605
57
dikatakan Quraish Shihab sebelumnya, pada ayat 37-40 Surah Yȗsuf ini dijelaskan bahwa Nabi Yȗsuf menyampaikan pokokpokok ajaran Islam kepada kedua orang penghuni penjara tersebut.71 Dan pada ayat 41 nanti baru akan dijelaskan ta’bir dari mimpi kedua orang penghuni penjara tersebut.
2) Tafsir Ayat Pada ayat sebelumnya yaitu ayat 39-40, telah dijelaskan bahwa Nabi Yȗsuf dimasukan ke dalam penjara, dan di penjara beliau melakukan dakwah. Di penjara tersebut terdapat dua orang yang bermimpi dan menanyakan takwilnya kepada Nabi Yȗsuf. Dan kemudian pada ayat ini, barulah dijelaskan oleh beliau takwil mimpi yang dialami dua pemuda itu. Yȗsuf berkata, “Hai dua penghuni penjara, adapun mimpi yang pertama takwilnya adalah bahwa engkau akan segera keluar dari penjara dan kembali bekerja seperti dulu sebelum masuk penjara, yaitu sebagai tukang siram kebun raja dan akan memberi minum raja dengan khamar. Takwil mimpi kedua bahwa engkau akan dihukum salib, lalu bangkaimu dan sebagian kepalamu akan dimakan burung. Begitulah takwil mimpi yang kamu tanyakan kepada saya sebagai wahyu yang telah diwahyukan kepadaku.72 Muhammad Nasib Ar-Rifa‟I menjelaskan bahwa: Yȗsuf berkata kepada keduanya, “Hai kedua temanku di dalam penjara, adapun salah seorang diantara kamu berdua, maka dia akan memberi minum kepada tuannya berupa khamr.” Yȗsuf menggembirakan dengan menakbirkan mimpi keduanya setelah Yȗsuf merasa puas karena telah menyampaikan dakwah ketauhidan serta menyajikannya selaras dengan kepentingannya terhadap pentakbiran. Maka Yȗsuf berkata, adapun salah seorang diantara kamu berdua, maka dia akan kembali bekerja menyajikan khamr kepada raja. “Adapun yang seorang lagi, ia akan disalib kemudian burung akan memakan sebagian 71
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 6, Loc Cit. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, jil. 4, Op Cit., h. 531-532
72
58
kepalanya.” Raja akan menyalibnya, burung mendatanginya, lalu memakan daging kepalanya. Demikianlah Yȗsuf tidak menentukan secara tegas siapa yang mendapat takbir itu agar ia tidak bersedih. Oleh karena itu Yȗsuf menyamarkannya dengan kata “adapun yang lain”. Yang dimaksud adalah orang yang membawa roti di atas kepalanya.73 Menurut Abu Ja‟far Firman Allah دذ ُ ُم َما ّ ادثَي ِ اى ِ ص َ َ سِجْ ِه أ َ َّما أ َ َيا
" فَيَ ْس ِقً َستَّهُ خ َْمشاHai kedua penghuni penjara, adapun salah satu diantara kalian berdua akan memberi minum tuannya dengan khamer" , yaitu orang yang memeras anggur, ia akan memberi minum khamer kepada tuannya, yakni rajanya. Menjadi juru saji minumannya.74 Kemudian Abu Ja‟far meneruskan penjelasannya, “adapun yang seorang lagi, yakni yang bermimpi membawa roti diatas kepalanya, sementara burung memakannya, maka ia akan disalib dan burung memakan kepalanya”.75 Abu Ja‟far juga menjelaskan kembali bahwa: Ketika Yȗsuf menabirkan mimpi kedua orang tersebut, keduanya berkata kepada Yȗsuf, “Kami tidak bermimpi apapun”. Yȗsuf kemudian berkata kepada keduanya ي اْل َ ْم ُش ِ ُق َ ض ان ِ َ“ اىَّزِي فِ ْي ِه ذ َ ْسر َ ْفرِيTelah diputuskan perkara yang kamu berdua menanyakannya (kepadaku)”. Yȗsuf berkata ,”Telah selesai masalah yang kalian berdua tanyakan, maka ketentuan Allah pasti akan terjadi kepada kalian berdua seperti yang aku beritahukan kepada kalian.76 Pendapat seperti ini selaras dengan pendapat para ahli takwil, salah satunya menyebutkan riwayat dibawah ini: Muhammad bin Amr menceritakan kepadaku, ia berkata: Isa Abu Ashim menceritakan kepada kami, ia berkata: Isa menceritakan kepada kami dari Ibnu Abi Najih dari Mujahid tentang ayat ان ِ ُ“ قTelah diputuskan ِ َي اْل َ ْم ُش اىَّزِي فِ ْي ِه ذ َ ْسر َ ْفرِي َ ض 73
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟I,, h.857-858 Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Terj. Ahsan Askan, jilid. 14, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 690 75 Ibid, h. 691 76 Ibid. 74
59
perkara yang kalian berdua menayakannya (kepadaku)”, ia berkata, “ketika kedua orang tersebut berkata, „kami tidak bermimpi kami hanya bercanda‟, Yȗsuf berkata, ‟Mimpi akan menjadi kenyataan, sebagaimana yang telah aku tabirkan.” 77 Dalam buku Tafsir Ibnu Mas‟ud juga dijelaskan bahwa pada ayat ini Nabi Yȗsuf baru menjawab ta‟bir mimpi dari kedua penghuni penjara tersebut. Nabi Yȗsuf menjawab, “Hai kedua penghuni penjara, adapun salah satu dari kalian berdua akan memberi minuman tuannya dengan khamr, adapun yang satu lagi ia akan disalib, lalu burung memakan sebagian dari kepalanya”. Setelah Nabi Yȗsuf menta‟birkan mimpi dari keduanya, maka keduanya berkata, “Sebenarnya kami tidak bermimpi apa-apa”. Maka Nabi Yȗsuf berkata ان ِ ُ قTelah ِ َي اْل َ ْم ُش اىَّزِي فِ ْي ِه ذ َ ْسر َ ْفرِي َ ض diputuskan perkara yang kalian berdua menanyakannya kepadaku (Sesuai yang dita‟birkan oleh Nabi Yȗsuf).78 Hal senada juga terdapat dalam Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, dikatakan bahwa Ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibrâhîm
bin
Abdullah, dia berkata bahwa, setelah Nabi Yȗsuf menyampaikan ta’birnya, lalu kedua berkata, “Sebenarnya kami tidak bermimpi apapun.” Maka Yȗsuf berkata, “Telah diputuskan perkara yang ditanyakan oleh kalian berdua.” Kemudian disimpulkan kembali bahwa barang siapa bermimpi kebatilan kemudian ditakwilkannya, maka tetaplah baginya ta‟bir itu.79 Pada ayat 41 Surat Yȗsuf ada potongan ayat yang berlaku sebagai amśâl, meskipun secara żahirnya tidak terlihat ada lafażlafaż tamśîl. Potongan ayat tersebut adalah ( ي اْل َ ْم ُش اىَّزِي فِ ْي ِه ِ ُق َ ض
ان ِ َ“ )ذ َ ْسر َ ْفرِيTelah diputuskan perkara yang kalian berdua tanyakan kepadaku”.
77
Ibid. h. 694 Muhammad Ahmad Isawi, Op Cit., h. 605 79 Muhammad Nasib Ar-Rifa‟I,, Op Cit., h.858 78
60
B. Analisis Metode Amśâl dalam Surat Ibrâhîm
Ayat 18,
Surat Al-Baqarah Ayat 68, dan Surat Yȗsuf Ayat 41 1. Analisis Metode Amśâl dalam Surat Ibrâhîm Ayat 18 Sebagaimana yang telah di jelaskan di atas, bahwa pada ayat 18 Surat Ibrâhîm ini mengandung sebuah perumpamaan atau amśâl yang jelas (amśâl muşarrahah). Yaitu perumpamaan keadaan perbuatan orang-orang yang kafir itu bagaikan abu yang ditiup oleh angin di suatu hari yang sedang berangin kencang. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya dalam Lisânul Arab bahwa kata amśâl mempunyai makna persamaan/taswiyah. Akan tetapi
terdapat
perbedaan
antara
amśâl/mumâśalah
dengan
taswiyah/musâwah, kata taswiyah/musâwah berlaku untuk dua hal yang berimbang dalam jenis dan ukurannya, tidak lebih dan tidak berkurang. Sedangkan kata amśâl/mumâśalah berlaku hanya pada dua hal yang telah disepakati persamaannya, akan tetapi tidak ada ukuran persisnya. Kata amśâl/mumâśalah juga sering diartikan dengan istilah “serupa tapi tak sama”. Dalam ayat ini yakni ayat 18 Surat Ibrâhîm , yang terjadi adalah amśâl/mumâśalah. Sesuatu yang bersifat abstrak dan akan diserupakan adalah keadaan perbuatan orang-orang kafir, sedangkan hal yang nyata/real dan yang menyerupakannya adalah abu yang beterbangan karena ditiup angin di hari yang berangin sangat kencang. Selain mempunyai fungsi untuk menjelaskan dan mempermudah pemahaman dari sesuatu yang bersifat abstrak menjadi konkret. Amśâl seperti ini juga berfungsi untuk mempengaruhi emosi yang sejalan dengan konsep yang diumpamakan dan untuk mengembangkan aneka perasaan ketuhanan.80
80
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, Terj. Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), Cet. I, h. 256
61
Sebagai contoh, ketika al-Qur`ân menjelaskan keadaan hilangnya pahala sedekah karena menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si penerima sedekah tersebut bagaikan batu licin yang di atasnya terdapat tanah, kemudian batu itu diguyur hujan lebat sehingga menjadi bersih tidak bertanah lagi. Perumpamaan seperti ini mampu menumbuhkan perasaan takut terhadap kerugian akibat terhapusnya pahala amal sedekah mereka. Dan dari perasaan inilah tumbuh motivasi dalam diri untuk menggerakan dan mendorong hati agar menjauhi keburukan dan terus melakukan kebaikan. Dan dengan adanya perumpamaan seperti ini, mampu melatih akal untuk terbiasa berpikir valid dan analogis. Dalam al-Qur`ân masih banyak terdapat ayat-ayat lainnya yang juga menunjukan amśâl seperti pada ayat 18 surat Ibrâhîm ini. Salah satunya pada ayat 12 surat Al-Hujurât, dalam ayat ini Allah menjelaskan tentang larangan berprasangka buruk kepada orang lain. Karena berprasangka buruk termasuk perbuatan yang berdosa, ayat ini juga menjelaskan larangan mencari-cari kesalahan orang lain dan menggunjing. Kemudian Allah mengumpamakan orang-orang yang demikian itu seperti orang yang memakan daging saudaranya yang sudah mati. Tak hanya dalam al-Qur‟an, pada sebuah hadits misalnya yang diriwayatkan oleh Abu Musa rađiyallahu’anhu:
ِ إِ مَّنَا َمثَ ُل ا ْْلَِل ْي: صل هلل عليو وسلّم قال صالِ ِح َو س ال م َ عن النّيب,عن أيب موسى ِ ُّ س ِ فَح ِامل املِس,ك و ََن ِف ِخ ال َك ِْْي ِ ِ ِ ِ ا ْْلَلِ ْي ك َوإما َ َك إِما أَ ْن ُُْي ِذي ْ ُ َ َ َك َحام ِل الْم ْس,الس ْوء ك َوإِما أ ْن َ َ َوَنفِ ُخ الْ َك ِْْي إما أ ْن ُُْي ِر َق ثِيَاب,اع ِم ْنوُ َوإما أَ ْن ََِت َد ِم ْنوُ ِرُْيًا طَيِّبًا َ َأَ ْن تَ ْب ت ) (رواه صحيح ومسلم.ًََِت َد ِرُْيًا َخبِْي ثَة Dari Nabi saw, beliau bersabda: Sesungguhnya perumpamaan teman dekat yang bai dan teman dekat yang buruk adalah seperti seorang penjual minyak wangi (misk) dan seorang tukang pandai besi. Penjual minyak wangi terkadang mengoleskan wanginya kepadamu dan terkadang kamu membeli darinya sebagian atau
62
minimal kamu menhirup semerbak aroma harum dar minyak wangi itu. Sedangkan tukang pandai besi, adakalanya dia akan membakar pakaiamu, atau kamu akan mendapati aroma yang tidak sedap.81 Dari beberapa contoh perumpamaan yang terdapat dalam alQur`ân dan al-Hadîś, sebaiknya perumpamaan-perumpamaan tersebut maupun yang serupa tentu dapat digunakan dalam dunia pendidikan. Dalam mengimplementasikan metode amśâl ini, seorang guru yang akan
menyampaikan
materi
pelajarannya
dapat
menggunakan
perumpamaan-perumpamaan untuk menjelaskan sesuatu yang sifatnya masih abstrak agar terasa lebih nyata, real dan mudah dipahami. Misalnya
dalam
pembelajaran
fiqih,
seorang
guru
ingin
menjelaskan tentang perbedaan-perbedaan di beberapa mazhab dalam ketentuan dalam beberapa persoalan. Kemudian guru tersebut mengibaratkan dengan seorang ayah yang menyuruh ketiga anaknya untuk membeli apel. Kemudian anak pertama membeli apel malang yang berwarna hijau, lalu anak kedua membeli apel fuji yang berwarna merah, sedangkan anak ketiga membeli apel golden dengan warna hijau kekuning-kuningan. Ketiga anak tersebut sama-sama membeli apel namun dengan jenis yang berbeda, dan tidak ada yang salah dari ketiganya. Begitupun perbedaan-perbedaan yang terjadi di beberapa mazhab. Contoh lainnya yang terjadi dalam pembelajaran misalnya, seorang guru akan menjelaskan tentang perjalanan kehidupan, kemudian guru tersebut mengumpamakan kehidupan dengan aliran air disungai yang akan bermuara di tepat yang luas nan indah yaitu lautan. Sebelum air tersebut dapat sampai ke lautan yang luas, air itu akan mengalir dari pegunungan melalui sungai dan melewati berbagai rintangan seperti melewati benturan dari bebatuan, tebing, bahkan tak 81
Al-Hafidz Dzaqiyuddin Abdul Adzim bin Abdul Qawi Al-Mundziri, Muktashar Shahih Muslim (Ringkasan Shahih Muslim), Terj. Pipih Imran Nurtsani dan Fitri Nurhayati, (Solo: Insan Kamil, 2012), h. 933-934
63
jarang melewati jurang, serta menerima banyak sampah, yang kemudian setelah itu barulah akan merasakan kebahagiaan yaitu sampai di lautan yang luas dan indah. Begitu pula dalam kehidupan ini, sebelum menuju ke kehidupan yang kekal nanti, kita akan melewati berbagai macam cobaan kehidupan, musibah, dan menerima banyak cemooh dan perkataan yang tidak menyenangkan. Akan tetapi jika kita menghadapinya dengan cara yang benar, maka kelak akan sampai pada kebahagiaan di kehidupan yang kekal nanti. Contoh lain misalnya, seorang guru menjelaskan keadaan orang yang sangat putus asa dalam belajar dengan mengumpamakan layanglayang yang telah putus talinya. Maka layang-layang itu tak dapat berbuat apa-apa kecuali menerima nasibnya yang dibawa oleh angin, kemana ia akan terdampar, masih utuhkah bentuknya? Atau sudah robek terkena ranting pepohonan dan yang lainnya. Begitu juga orang yang putus asa dalam belajar atau putus asa karena hal lainnya. Ia hanya bisa pasrah dengan keadaan, atau hanya akan mengandalkan belas kasihan orang lain untuknya. Pemberian perumpamaan seperti ini juga tidak hanya berlaku dari guru terhadap muridnya, dalam hal lain misalnya ketika seorang guru akan
memberikan
motivasi
kepada
rekan
sesama
guru,
ia
menyampaikan dengan cara memberikan perumpamaan bahwa guru itu diibaratkan seperti sebuah piala besar yang disimpan dalam kaca transparan, sehingga dapat terlihat seluruh bagiannya dari segala arah. Sebuah piala yang sangat diidam-idamkan oleh semua orang. Begitulah perumpamaan seorang guru, yang seluruh aspek dari kepribadiannya dapat dilihat oleh muridnya, dan sangat diinginkan oleh siswanya untuk dijadikan teladan yang baik. Penggunaan amśâl atau perumpamaan ini disamping bertujuan untuk menjelaskan sesuatu yang masih abstrak sehingga terlihat lebih konkret, juga dapat digunakan dengan tujuan memotivasi peserta didik agar tidak mudah putus asa, karena sebuah motivasi yang disampaikan
64
dengan perumpamaan biasanya lebih melekat di hati bahkan peserta didik lebih memahaminya. Sebagai contoh, seorang guru PAI menjelaskan manfaat berpakaian muslim atau muslimah kepada siswanya. Guru tersebut mengibaratkan seorang wanita muslimah yang berpkaian sesuai syaria`at Islam seperti sebuah kue mahal yang di jual dan diletaan di etalase sebuah toko, yang hanya bisa dilihat oleh orang lain dari luar kaca dan tidak bisa menyentuhnya, hanya orang yang siap membelinya saja yang boleh menyentuh dan membawanya pulang. Begitu juga seorang wanita muslimah yang berpakaian islami, mereka terjaga dari kejahatan manusia yang jahil dan tidak bertanggung jawab, hanya orang yang siap untuk menjadi seseorang yang halal baginyalah yang bisa menyentuhnya. Dan wanita yang berpakaian tidak sesuai syari`at Islam bahkan terkesan seksi, diibaratkan seperti kue yang di jual di pinggir jalan tanpa penutup dan etalase yang bisa saja dihinggapi lalat. Sama halnya dengan kue tersebut, wanita yang berpakaian minim mereka rentan terhadap godaan manusia yang jahil dan tak bertanggungjawab. Contoh lain ketika seorang guru memberi motivasi kepada peerta didiknya tentang kesabaran dan kesungguhan dalam menuntut ilmu. Guru tersebut mengumpamakan belajarnya seorang murid di sekolah dengan seorang bayi yang belajar berjalan. Bayi yang belajar berjalan tidak serta merta lansung dapat berjalan dan berlari begitu saja, melainkan melaui proses dari mulai belajar duduk, merangkak, berdiri, melangkah perlahan selangkah demi selangkah, hingga akhirnya dapat berjalan dan berlari. Terkadang dalam beberapa tahapan dan proses itu pula banyak terjadi kesulitan seperti rasa sakit pada lutut ketika merangkak, jatuh ketika belajar berdiri, kesulitan melangkah dan kemudian jatuh lagi. Akan tetapi, hal semacam itu akan terlewati dan membuahkan hasil. Begiu juga para persta didik yang sedang belajar, tidak serta merta akan dengan mudahnya memahami materi dan bahan
65
ajar. Tidak instan langsung bisa mendapatkan hasil yang baik, semua itu perlu proses tahapan demi tahapan, dan tak jarang akan menemui kesulitan. Tapi dari kesulitan tersebut, peserta didik bisa belajar arti kesabaran dan kesungguhan sehingga akan mendapatkan hasil yang memuaskan. Setelah penulis uraikan analisis dan beberapa contoh, dapat dikatakan bahwa amśâl yang terkandung seperti pada ayat 18 Surat Ibrâhîm ini merupakan jenis perumpamaan yang jelas, dan tergolong dalam kategori amśâl yang ringan, sehingga siapapun yang diberikan perumpamaan seperti ini maka akan mudah memahami maksud yang terkandung di dalamnya.
2. Analisis Metode Amśâl dalam Surat Al-Baqarah Ayat 68 Selanjutnya dalam Surat al-Baqarah ayat 68 terkandung amśâl, meskipun jika dilihat secara kasar dalam ayat ini tidak dicantumkan secara jelas perumpamaannya. Berdasarkan penjelasan para mufassir, potongan ayat dari surat al-Baqarah ayat 68 ini, yang mengandung amśâl adalah kalimat ((ال فاسض وال تنش عىان تيه رىل. Bila ditinjau secara lafżi, dalam ayat ini pun tidak menjelaskan sebagai bentuk perumpamaan terhadap suatu makna, namun kandungan dari ayat ini menunjukan suatu bentuk perumpamaan. Sebagaimana yang dikatakan Hasani: “Perlu dicatat disini, bahwa sebenarnya al-Qur`ân sendiri tidak menjelaskan sebagai bentuk perumpamaan terhadap makna tertentu, hanya saja isi kandungannya menunjukan salah satu bentuk perumpamaan. Tegasnya, amśâl kâminah ini termasuk maśal ma’nawî yang tersembunyi, bukan amśâl lafżî yang jelas.”82 Kalimat tersebut mengindikasikan adanya amśâl meskipun tidak dicantumkan dengan jelas lafaż tamśîlnya, tetapi kalimat ini 82
Hasani Ahmad Syamsuri, Studi Ulumul Qur’an, (Jakarta: Penerbit Zikra Press, 2009), Cet. I, h. 179
66
menunjukan makna yang indah dan menarik. Kalimat ini senada dengan perumpamaan orang Arab “sebaik-baik perkara adalah yang tidak berlebihan, adil, dan seimbang. Atau dalam bahasa Arab disebut 83 ُ س (ط َها َ ) َخي ُْش ْل ُ ُم ْى ِس أ َ ْو.
Menurut Hasani, seorang ulama pernah mengatakan bahwa orang Arab tidak mengucapkan suatu perumpamaan, kecuali karena ada
َ persamaanya di dalam al-Qur‟an.84 Maka ungkapan Arab ( خي ُْش ْل ُ ُم ْى ِس ُ س ط َها َ )أ َ ْوada persamaannya dengan ayat al-Qur‟an. Pada potongan ayat )(ال فاسض وال تنش عىان تيه رىل, terkandung
ُ س makna ط َها َ َخي ُْش ْل ُ ُم ْى ِس أ َ ْوyakni sapi yang dimaksud adalah sapi betina yang tidak tua/berumur dan tidak juga muda, akan tetapi sapi betina yang pertengahan diantara tua dan muda. Jadi yang dikehendaki dalam ayat ini adalah pertegahan dari dua perkara yaitu antara yang tua dan yang muda. Berdasarkan penjelasan para mufassir, ungkapan seperti ini termasuk jenis amśâl kâminah. Untuk memahami jenis amśâl seperti ini membutuhkan pemikiran yang lebih mendalam dibandingkan jenis amśâl sebelumnya yaitu amśâl muşarrahah, karena seperti yang sudah dijelskan sebelumnya bahwa dalam amśâl kâminah ini tidak terdapat lafaż tamśîl dan perumpamaan yang ditunjukan pun tidak disebutkan dengan jelas. Dalam al-Qur`ân ada beberapa ayat lagi yang memiliki persamaan makna dengan ayat 68 Surat al-Baqarah ini. Pertama, pada ayat 67 Surat al-Furqân () َواىَّ ِزيْهَ اِرَا أ َ ْوفَقُ ْىا ىَ ْم يُس ِْشفُ ْىا َوىَ ْم يَ ْقر َُش ْوا َو َمانَ تَيْهَ رَاىِلَ قَ َىاما “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, adalah pembelanjaan itu di tengahtengah antara yang demikian”. 83
Manna‟ Al-Qaththan, Pengantar Ilmu Studi Al-Qur’an, Terj. Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta: Pustka Al-Kausar, 2005), Cet.I, h. 358 84 Hasani Ahmad Syamsuri, Loc Cit.
67
Kedua, terdapat pada ayat 29 Surat al-Isrâ ( ًََوالَ ذَجْ َع ْو يَذَكَ َم ْغيُ ْىىَح ِإى
ْ س س ْىسا ِ ط َها ُم َّو ْاىثَس ُ ) “Dan janganlah kamu ُ ْْظ فَر َ ْقعُذُ َميُ ْىما َّمذ ُ عىُقِلَ َو َال ذ َ ْث menjadikan tanganmu terbelenggu ada lehermu, dan jangan pula kamu terlalu mengulurkannya agar kamu tidak menjadi tercela dan menyesal”. Maksud dari ayat ini adalah, hendaknya agar manusia tidak terlalu kikir dan tidak juga teralalu pemurah (boros). Dan ketiga, terdapat pada ayat 110 dalam surat yang sama yaitu Surat al-Isrâ ( ًْى ُ ْاىشدْ َمهَ أَيَّاّماذَذ ُ عىهللاَ أ َ ِوا ْد ُ قُ ِو ا ْد َّ عىا َ عىا فَيَهُ ْاْل ْس َما ُء ْاى ُذس
ْ ِصالَذِلَ َو َال ذُخَاف س ِثيْال َّ ) َو َالذَجْ َه ْش ِتاى, “Katakanlah, َ َد ِت َها َوا ْتر َغِ تَيْهَ رَا ِىل „Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman dengan nama yang mana saja kamu seru. Dia mempunyai al-asmâul husnâ dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula kamu merendahkannya, dan carilah jalan tengah dari kedua itu.” Menurut Syamsuri, ungkapan “tidak berlebihan” dan “tidak boros”, ungkapan “tidak kikir” dan “tidak terlalu boros”, dan ungkapan “mengeraskan suara” dan “merendahkannya”, menurut sebagian ulama disebut dengan amśâl kâminah, karena memiliki makna yang sesuai dengan ungkapan sebaik-baik perkara itu yang 85 ُ س pertengahan (ط َها َ ) َخي ُْش ْل ُ ُم ْى ِس أ َ ْو.
Dengan adanya ayat-ayat amśâl kâminah seperti ini, maka akan terkumpul makna-makna yang indah, singkat, padat dan menarik dalam ungkapannya. Selain itu ayat-ayat seperti ini juga dapat membantu melatih penalaran dan pemahaman seseorang. Terlebih bagi siswa, jika seorang guru menggunakan perumpamaan yang sejenis dengan amśâl kâminah ini, maka siswa juga akan berlatih menalar dan memahami apa yang dikatakan oleh guru. Ketika seorang guru hendak mengimplementasikan metode amśâl dari jenis amśâl kâminah ini, secara sederhana misalnya: seorang guru
85
Hasani Ahmad Syamsuri, Op Cit., h. 181
68
memberikan nasehat kepada murid-muridnya berkaitan dengan strategi belajar mereka, kemudian guru tersebut memberikan saran agar muridnya belajar tidak dengan terlalu memforsir waktu mereka untuk belajar sehingga melupakan hal-hal lainnya, tetapi tidak juga bermalas-malasan dalam belajar, akan tetapi pertengahan diantara keduanya. Karena yang demikian adalah cara yang terbaik. Jika di analogikan proses belajar yang baik adalah yang tidak terlalu berlebihan dan tidak pula terlalu jarang belajar (malas). Sebuah botol, ketika hendak diisi air dengan menggunakan gayung, maka cara mengisi yang paling tepat adalah dengan mengisinya secara perlahan, tidak terburu-buru dan sekaligus menuangkan semuanya, maupun tidak juga setetes demi setetes. Isilah botol tersebut dengan perlahan dan sabar, maka botol itu akan terisi penuh tanpa ada air yang terbuang sia-sia. Jenis amśâl kâminah ini merupakan perumpamaan yang memiliki persamaan makna yang terkandung dalam uşlub Arab. Jika diiplementasikan dalam pembelajaran, maka boleh jadi dalam menggunakan amśâl kâminah ini, seorang guru dapat mengutarakan suatu maksud tertentu dengan mengatakannya sesuai dengan uşlub atau peribahasa dalam bahasa Indonesia. Contoh sederhananya misalnya, peribahasa Indonesia yang berbunyi “bagai tulisan di atas air”. Peribahasa ini mengandung arti seseorang yang mengerjakan sesuatu tapi hasilnya sia-sia. Contoh, seorang guru memberi nasehat kepada muridnya agar senantiasa menjaga kebersihan, akan tetapi guru tersebut juga tidak menjaga kebersihan dan perilaku itu terlihat oleh muridnya, maka nasehat dari guru itu pun hasilnya bagaikan tulisan di atas air, sia-sia tak berarti. Setelah penulis uraikan tentang metode amśâl yang terkandung dalam Surat Al-Baqarah ayat 68 ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa amśâl yang terkandung pada ayat ini termasuk jenis amśâl kâminah atau amśâl yang tersembunyi, dan tergolong pada amśâl
69
dengan tingkat sedang. Sehingga seseorang yang mendapatkan amśâl seperti ini tidak dengan mudah memahaminya seperti jenis amśâl sebelumnya yaitu amśâl muşarrahah, melainkan perlu pemahaman yang
lebih
mendalam,
karena
jenis
amśâl
muşarrahah
ini
mengandung pengertian yang serupa dengan uşlȗb bahasa Arab atau yang dapat disamakan dengan peribahasa dalam bahasa Indonesia.
3. Analisis Metode Amśâl dalam Surat Yȗsuf Ayat 41 Pada ayat 41 dari Surat Yȗsuf, di dalamnya terdapat potongan ayat yang juga berlaku sebagai amśâl. Sama seperti jenis amśâl sebelumnya yaitu amśâl kâminah, amśâl dalam ayat 41 Surat Yȗsuf ini juga tidak memiliki lafaż tamśîl secara jelas, namun tetap berlaku dan dihukumi sebagai amśâl. Menurut para mufassir, amśâl pada ayat 41 Surat Yȗsuf ini termasuk dalam jenis amśâl mursalah. Yaitu “kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafaż tasybîh secara jelas. Tetapi kalimatkalimat itu berlaku sebagai amśâl.”86 Karena jenis amśâl seperti ini tidak memiliki lafaż tasybîh/lafaż tamśîl, dan juga tidak memiiki persamaan makna dengan ungkapanungkapan tertentu, maka untuk memahami jenis amśâl seperti membutuhkan pemikiran dan penalaran yang lebih mendalam dibandingkan memahami jenis amśâl sebelumnya, yaitu amśâl muşarrahah dan amśâl kâminah. Meskipun jenis amśâl mursalah dan amśâl kâminah merupakan jenis maśal ma’nawiy, yaitu jenis amśâl yang tidak nampak perumpamaan, dan lafaż tamśîlnya, akan tetapi terdapat perbedaan diantara keduanya. Pada amśâl kâminah, yang dijadikan amśâl adalah potongan ayat yang memiliki persamaan makna dengan beberapa ungkapan Arab.
86
Manna‟ Al-Qaththan, Op Cit., h. 359
70
Pada
ayat
41
Surat
Yȗsuf
ini,
potongan
ayat
yang
mengindikasikan adanya amśâl yaitu pada kalimat “ ي اْل َ ْم ُش اىَّزِي فِ ْي ِه ِ ُق َ ض
ان ِ َ( ”ذ َ ْسر َ ْفرِيtelah diputuskan perkara yang kamu berdua menanyakannya kepadaku). Ketika Nabi Yȗsuf mentakwilkan mimpi kedua penghuni penjara tersebut, kemudian mereka berkata bahwa mereka hanya bergurau, sebenarnya mereka tidak bermimpi apapun, mereka hanya ingin menjajaki ilmu Nabi Yȗsuf saja. Akan tetapi Nabi Yȗsuf menjawab,
ان ِ ُ( قtelah diputuskan perkara yang kamu ِ َي اْل َ ْم ُش اىَّزِي فِ ْي ِه ذ َ ْسر َ ْفرِي َ ض berdua menanyakannya kepadaku). Penjelasan kalimat ”telah diputuskan perkara yang kamu berdua menanyakannya kepadaku” dapat dijadikan amśâl dengan maksud dan tujuan yang baik. Dengan adanya kalimat ini, seakan menghimpun makna dan kalimat-kalimat indah untuk disampaikan kepada orang lain. Karena sebuah nasehat yang disampaikan melalui amśâl akan lebih mengena di hati dan lebih kuat pengaruhnya. Jenis amśâl seperti ini yang terdapat pada ayat 41 Surat Yȗsuf ini merupakan amśâl mursalah, oleh karena itu amśâl ini tergolong dalam kategori amśâl yang tinggi/berat, karena amśâl ini memiliki tingkat perumpamaan yang cukup tinggi dibandingkan amśâl sebelumnya. Disamping amśâl ini tidak terdapat lafaż tasybîh, di dalamnya juga tidak terdapat kesesuaian makna dengan ungkapan-ungkapan Arab. Sehingga dalam memahami amśâl ini dibutuhkan penalaran yang dalam. Dikarenakan amśâl ini merupakan jenis amśâl yang tersembunyi, yang artinya perumpamaan dalam jenis amśâl ini tidaklah terlihat sama sekali, bahkan untuk mencari persamaan makna dengan uşlȗb atau peribahasa sekalipun tidak terdapat di dalamnya, maka
71
implementasi dari jenis amśâl yang tersembunyi seperti ini jarang ditemukan. Bisa saja seorang guru yang sedang mengajar, hendak menyampaikan suatu maksud tertentu kepada muridnya dengan cara memberikan penegasan-penegasan yang tertuju pada maksud tersebut.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan analisa yang sudah peneliti lakukan, dapat ditarik menjadi sebuah kesimpulan bahwa: Di dalam al-Qur`ân surat Ibrâhîm ayat 18, surat al-Baqarah ayat 68, dan surat Yȗsuf ayat 41 terkandung pendekatan amśâl, dimana dalam ketiga surat tersebut terkandung jenis amśâl yang berbeda-beda. Dari beberapa pendapat mufassir yang telah dikemukakan oleh penulis dalam penelitian ini, dapat dipahami bahwa: 1. Dalam surat Ibrâhîm ayat 18, jenis amśâl yang terkandung adalah amśâl muşarrahah, yaitu jenis amśâl yang jelas terlihat baik dari segi lafadznya maupun dari segi maknanya. Dan amśâl ini juga tergolong dalam kategori amśâl yang ringan, sehingga seseorang yang diberikan perumpamaan seperti ini maka akan dengan mudah memahami maksud yang terkandung di dalamnya. Dalam mengimplementasikan amśâl muşarrahah ini, pengajar dapat memberi perumpamaan bagi suatu hal yang abstrak dengan sesuatu yang lebih konkret. 2. Dalam surat al-Baqarah ayat 68, jenis amśâl yang terkandung adalah amśâl kâminah, yaitu perumpamaan yang tersembunyi yang tidak nampak pada lafadz atau teksnya, namun memiliki persamaan arti dengan ungkapan-ungkapan Arab, atau peribahasa yang berlaku. Dan amśâl ini tergolong dalam kategori amśâl yang sedang, sehingga butuh penalaran lebih untuk memahaminya dibandingkan dengan jenis amśâl muşarrahah. Dalam mengimplementasikan amśâl kâminah ini, pengajar
dapat
memberi
perumpamaan
yang serupa
dengan
peribahasa. 3. Dan dalam surat Yȗsuf ayat 41, jenis amśâl yang terkandung adalah amśâl mursalah yaitu jenis perumpamaan yang tidak tampak dari
72
73
teksnya dan tidak ada persamaan dengan ungkapan-ungkapan atau peribahasa
yang
berlaku,
namun
tetap
dihukumi
sebagai
amśâl/perumpamaan. Dan amśâl ini tergolong dalam kategori amśâl yang
berat,
sehingga
butuh
penalaran
lebih
dalam
untuk
memahaminya.
B. Implikasi Seorang guru harus rajin membaca, berfikir, dan tentu harus kreatif agar dapat menemukan perumpamaan-perumpamaan saat akan mengajar, atau saat secara tiba-tiba ia akan menyampaikannya. Seorang guru menyampaikan perumpamaan tersebut, agar siswa yang belum paham dapat mengerti maknanya. Guru dapat menemukan perumpamaan tersebut dari al-Qur`ân, al-Hadîś, uşlȗb atau peribahasa dan sumber lainnya.
C. Saran Sesuai dengan hasil penelitian dan kesimpulan yang didapatkan penulis pada penelitian ini, penulis akan mengemukakan masukan atau saran, antara lain sebagai berikut: 1. Bagi seluruh pendidik baik pendidik formal ataupun informal, terutama yang berada dalam lingkungan pendidikan Islam, hendaknya turut mengimplementasikan metode pendidikan Islam yang bersumber dari al-Qur’an seperti metode amśâl. Karena dengan adanya metode amśâl ini materi-materi pembelajaran yang sifatnya masih abstrak dapat lebih mudah dipahami dan terlihat lebih konkret. 2. Meskipun saat ini sudah banyak terlahir metode pembelajaran yang bervariatif,
akan
tetapi
metode
amśâl
atau
metode
dengan
perumpamaan ini merupakan salah satu metode yang cocok dan dapat di aplikasikan pada masa kini. 3. Penelitian ini sudah penulis lakukan secara maksimal, akan tetapi penulis menyadari bahwa masih terdapat beberapa kekurangan dalam penelitian ini. Salah satunya adalah penulis hanya meneliti terkait
74
metode amśâl yang terkandung dalam surat Ibrâhîm ayat 18, surat alBaqarah ayat 68, dan surat Yȗsuf ayat 41 yang sebatas dalam varian metode amśâl nya saja, dan bagaimana pendapat para ahli tafsir terkait metode tersebut. Sehingga disarankan untuk penulis selanjutnya yang akan meneliti terkait masalah ini, hendaknya berlanjut pada tujuan pendidikan yang hendak dicapai, kesesuaian metode dengan materi dan perkembangan peserta didik, dan berakhir pada evaluasi pendidikan. Yang demikian ini dimaksudkan agar penelitian tersebut menghasilkan sesuatu yang lebih komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Sulaiman. Sumber Hukum Islam: Permasalahan dan Fleksibilitasnya. Jakarta: Sinar Grafika, Cet. III, 2007. Al-Mundziri, Al-Hafidz Dzaqiyuddin Abdul Adzim bin Abdul Qawi. Muktashar Shahih Muslim (Ringkasan Shahih Muslim), Terj. Pipih Imran Nurtsani, Lc dan Fitri Nurhayati, Lc. Solo: Insan Kamil, 2012 Al-Hasyim, Ahmad. Jawahir al-balaghah Fi al-Ma’ani wa al-Bayani wa alBadi’. Indonesia: maktabah Daar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, 1960. Al-Qaththan, Manna’. Pengantar Studi Ilmu Qur’an, Terj. Mifdhol Abdurrahman dan Aunur Rofiq El-Mazni. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006. An-Nahlawi, Abdurrahman. Pendidikan islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, terj: Shihabuddin. Jakarta: Gema Insani, 1995. Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press, 2002. Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara, 2003. Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Terj. Syihabuddin, jilid. 1 dan 2. Jakarta: Gema Insani Press, 1999. Ash-Shidiieqy, Hasbi. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an: Media-Media Pokok Dalam Menafsirkan Al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang, Cet. II, 1988. Assiba’I, Musthafa Husni. Kehidupan Sosial Menurut Islam. Bandung: Diponegoro, 1993. Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. TafsirFathul Qadir, Terj. Amir Hamzah Fachruddin dan Asep Saefullah, jilid. 1. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008. Ath-Thabari, Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir Ath-Thabari, Terj. Ahsan Askan, jilid. 2, 14 dan 15. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007a. Azizi, Ernawati . Keberhasilan Pendidikan Perspektif Al-Qur’an. Tarbawi Kajian Kependidikan Islam. 2, 2005
Jurnal At-
Bashri, Hasan. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2009.
75
76
Buchori, Didin Saefudin. Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur’an. Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005.
Daradjat, Zakiyah. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1995. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya Special for Women. Bandung: Syamil Al-Qur’an, 2007. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi Yang Disempurnakan), Jilid. 1, 4 dan 5. Jakarta: Lentera Abadi, 2010a. Fannani, Zain. “Tafisr Surat An-Nahl Ayat 125 (Kajian Tentang Metode Pembelajaran)”, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2014. tidak dipulikasikan. Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik. Jakarta: Bumi Aksara, 2013. Hamka, Tafsir Al-Azhar, juz.1. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001. Hidayat, Ara., dan Machali, Imam. Pengelolaan Pendidikan: Konsep, Prinsip, dan Aplikasi dalam Mengelola Sekolah dan Madrasah. Yogyakarta: Kaukaba, 2012. Inong, Jejen. Metode Pendidikan dalam Perspektif Islam. Pendidikan Agama Islam. 3, 2009
TAHDZIB Jurnal
Jarim, Ali dan Amin, Musthafa. Al-Balaġah al-Wađihah: al-Bayânu wa al-Ma’âni wa al-Badî’. Jakarta: Raudhah Press, 2007. Khallaf, Abdul Wahab. Kaidah-Kaida Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh, Terj. Noer Iskandar al-Barsany dan Moh Tolchah Mansoer. Jakarta: Grafindo Persada, Cet. VIII , 2002. Majid, Abdul. Strategi Pembelajaran. Bandung: Rosda Karya, 2013. Maman Kh, U., dkk. Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktek. Jakarta: Raja Grafindo Persada Press, 2006. Muhammad Ahmad Isawi. Tafsir Ibnu Mas’ud: Studi Tentang Ibnu Mas’ud dan Tafsirnya, Terj. Ali Murtadho Syahudi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009. Muhammad, Jamaluddin Abi Al-Fadhli. Lisânul ‘Arab, vol. 1, 2, 3, 4, 7, 11, 13 dan 15. Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-Ilmiyah, 2003a.
77
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Bahasa Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997. Nata, Abudin. Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Prenada Media Group, 2011. ----------. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005a. ----------. Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: UIN Jakarta PRESS, 2005b. ----------. Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011 ----------. Prespektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2009. ----------. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Grafindo Persada, Cet. III, 2012a. ----------. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet.II, 2012b. Pratiwi, Cindi. “Metode Pendidikan Dalam Prespektif Al-Qur’an Kajian QS. AnNahl Ayat 125-127”, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2014. tidak dipulikasikan. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008. Quthb, Muhammad. Minhaj al-Tarbiyah al-Islâmiyah. Ramayulis. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia, Cet. IV, 2005. Riyanto, Yatim. Paradigma Baru Pembelajaran: Sebagai Referensi Bagi Pendidik Dalam Implementasi Pembelajaran Yang Efektif dan Berkualitas. Jakarta: Prenada Media Group, 2009. Roqib, Moh. Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat. Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang, 2011. Rusman. Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Pers, 2013. Sabri, Alisuf. Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta: UIN Jakarta PRESS, 2005.
78
Shiddiq, Sapiuddin. Ushul Fiqh. Jakarta: KENCANA, 2011. Shihab, M.Quraish. Lentera Al-Qur’an. Jakarta: Mizan Pustaka, 2008. ----------. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 1 dan 6. Jakarta: Lentera Hati, 2002a. ----------. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, Cet. II , 2013. ----------. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 2003. ----------, AL-LUBÂB: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah AlQur’an. Tangerang: Lentera Hati, 2012 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta, 2011. Syadali, Ahmad dan Rofi’i, Ahmad. Ulumul Qur’an II. Bandung: Pustaka Setia, cet. II, 2002. Syafa’at, TB Aat., dkk. Peranan Pendidikan Agama Islam Dalam Mencegah Kenakalan Remaja (Juvenile Delinquency). Jakarta: Rajawali Press, 2008. Syafri, Ulil Amri. Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an. Jakarta: Rajawali Press, 2012. Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. XVII, 2011. ----------. Psikolgi Belajar. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. III, 2001. Syamsuri, Hasani Ahmad. Studi Ulumul Qur’an. Jakarta: Zikra-Press, 2009. Tafsir, Ahmad. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. VII, 2003. Uhbiyati, Nur. Ilmu Pendidikan Islam II. Bandung: CV Pustaka Setia, Cet. II, 1999. Uno, Hazah B. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. VI , 2010. Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.
79
Yusuf, Kadar M. Tafsir Tarbawi: Pesan-Pesan Al-Qur’an Tentang Pendidikan. Jakarta: AMZAH, 2013. حسن شحاتة ،تعلين الدين اإلسالهى :بين النظرية و التطبيق ،مدينة نصر :مكتبة الدار العربية الكتاب، 3991 أحمد فؤاد األحوانى ،التربية فى اإلسالم ( ،مصر :دار المعارف بمصر ،)3991 ،ص391 .
LEMBAR UJI REFERENSI Nama
: Fathurrohmah Aviciena
NIM
: 1111011000059
Fakultas
: Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Jurusan
: Pendidikan Agama Islam
Judul
: Tafsir Surat Ibrâhîm Ayat 18, Surat Al-Baqarah Ayat 68, dan Surat Yȗsȗf Ayat 41: (Kajian Tentang Metode Amśâl dalam Pembelajaran Agama Islam).
No
Judul Buku
No. Halaman Footnote Skripsi
BAB I 1
2
3
4
5
6
7
8
Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), h. 207 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h. 103 Departemen Agama RI, AlQur’an dan Terjemahnya Special for Women, (Bandung: Syamil Al-Qur’an, 2007), h. 564, dan 283 Musthafa Husni Assiba’i, Kehidupan Sosial Menurut Islam, (Bandung: Diponegoro, 1993), Cet III, h. 112 M.Quraish Shihab, Lentera AlQur’an, (Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2008), Cet. II, h.21 dan 26 Sapiuddin Shiddiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: KENCANA, 2011), h. 25 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2003), cet. IV, h. 21 Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 2012), cet. III,
1
1
2
1
3 dan 8
2
4
2
5 dan 6
2
7
2
9
3
10
3
Paraf Pembimbing
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
h. 12 Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h. 59-60 Ernawati Azizi, “Keberhasilan Pendidikan Perspektif AlQur’an”, Jurnal At-Tarbawi Kajian Kependidikan Islam, Vol.2, 2005, h. 109 Ara Hidayat dan Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan: Konsep, Prinsip, dan Aplikasi dalam Mengelola Sekolah dan Madrasah, (Yogyakarta: Kaukaba, 2012), h. 29 Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta PRESS, 2005), h. 7 Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), Cet. II, h. 28 dan 31 Hasan Bashri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009) h. 14 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat, (Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang, 2011), h. 17, 21 dan 27 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h. 22 dan 144 Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), Cet. IV, h. 21 dan 22 Abudin Nata, Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: UIN Jakarta PRESS, 2005), h. 15
11
3
12
3
13, 16
4
14
4
15, 34 dan 35
4, 5, 8 dan 9
17
5
18, 25 dan 31
5, 6 dan 7
19 dan 26
5 dan 7
20 dan 32
5 dan 8
21
6
19
20
21
22
TB Aat Syafa’at, Sohari Sahrani dan Muslih, Peranan Pendidikan Agama Islam Dalam Mencegah Kenakalan Remaja(Juvenile Delinquency), (Jakarta: Rajawali Press, 2008), h. 40-47 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002) , h. 22 Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, terj: Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani, 1995), h. 204, 24 dan 117 Jejen Musfah, “Metode Pendidikan dalam Perspektif Islam”, TAHDZIB Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol.3, 2009, h. 107
22 dan
6
23, 24 dan 30
6
26, 27 dan 33
6, 7 dan 8
29
7
BAB II 23
24
25
26
27
28
Pusat Bahasa Departemen 1, 13, 17, 13, 16, Pendidikan Nasional, Kamus 31, 33, 17, 21, Besar Bahasa Indonesia: Edisi 35, 37 22 dan 23 Keempat, (Jakarta: Gramedia dan 38 Pustaka Utama, 2008) h. 910, 23, 908, 59, 1062, 1055, 695 M. Arifin, Ilmu Pendidikan 2, 30, 32 13, 21 Islam (Tinjauan Teoritis dan dan 48 dan 27 Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner), (Jakarta: Buna Aksara, 2005) Cet. I, h. 65, 157 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan 3 14 Islam II, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), Cet. II, h. 99 TB Aat Syafa’at,Sohari Sahrani 4 14 dan Muslih, Peranan Pendidikan Agama Islam Dalam Mencegah Kenakalan Remaja (Juvenile Delinquency), (Jakarta: Rajawali Press, 2008), h. 39 Abdul Majid, Strategi 5 14 Pembelajaran, (Bandung: Rosda Karya, 2013), h. 193 Abudin Nata, Filsafat 6 14
29
30
31
32
33
34
35
36
37
Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005) h, 143 Abudin Nata, Prespektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 176, 87 Zakiyah Daradjat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995) h. 1 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat, (Yogyakarta: LKiS Group, 2011), h. 91 Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), Cet. VII, h. 9 Kadar M. Yusuf, Tafsir Tarbawi: Pesan-Pesan AlQur’an Tentang Pendidikan, (Jakarta: AMZAH, 2013), h. 114, 118-119, 121 Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), Cet. IV, h. 2-3 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. XVII, h. 88. Muhibbin Syah, Psikolgi Belajar, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001) Cet. III, h. 60 Yatim Riyanto, Paradigma Baru Pembelajaran: Sebagai Referensi Bagi Pendidik Dalam Implementasi Pembelajaran Yang Efektif dan Berkualitas, (Jakarta: Prenada Media Group, 2009) h. 5-6
7 dan 20
14 dan 17
8
14
9
15
10
15
11, 26, 59 dan 60
15, 19, 30 dan 31
12
15
14
16
15
16
16
16
38
39
40
41
42
43
44 45
46 47
48
Rusman, Model-Model Pembelajaran:Mengembangkan Profesionalisme Guru, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 1 Hamzah B. Uno, Perencanaan Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), Cet. VI, h. 2 Jejen Musfah, “Metode Pendidikan dalam Perspektif Islam”, TAHDZIB Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol.3, 2009, h. 107 Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Qur’an, Terj. Mifdhol Abdurrahman dan Aunur Rofiq El-Mazni, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 353, 354, 355, 352, 362 Hasani Ahmad Syamsuri, Studi Ulumul Qur’an, (Jakarta: ZikraPress, 2009), h. 173-174, 183184 Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-Ilmiyah, 2003) vol. 2, h. 446 Muhammad Quthb, Minhaj alTarbiyah al-Islâmiyah. بين: تعلين الدين اإلسالهى،حسن شحاتة مكتبة: (مدينة نصر،النظرية و التطبيق . ص،3 ط،)3991 ،الدار العربية الكتاب 65-65 ، التربية فى اإلسالم، أحمد فؤاد األحوانى . ص،)3951 ، دار المعارف بمصر: (مصر 351
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, terj: Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani, 1995), h.252-259 Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2013), Cet. II, h. 265
18
17
19
17
21, 28 dan 33
18, 19 dan 21
22, 23, 27, 43, 65 dan 66
18, 19, 26 dan 32
24, 25 dan 62
18 dan 31
29
21
31
21
34, 35 dan 36
22 dan 23
37
24
32, 38 dan 61
21, 24 dan 31
36
20
49
Sapiuddin Shiddiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 69, 71, 72
50
Abdul Wahab Khallaf, KaidahKaida Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh, Terj. Noer Iskandar al-Barsany dan Moh Tolchah Mansoer, (Jakarta: Grafindo Persada, 2002), Cet. VIII, h. 74 Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam: Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Cet. III, h. 82 Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an II, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), cet. II, h. 35-36 Hasbi Ash-Shidiieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an: Media-Media Pokok Dalam Menafsirkan Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988) Cet. II, h. 175 Didin Saefudin Buchori, Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur’an, (Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005), h.167 Cindi Pratiwi, Metode Pendidikan Dalam Prespektif Al-Qur’an Kajian QS. An-Nahl Ayat 125-127, (Jakarta: UIN Jakarta, 2014) Zain Fannani, Tafisr Surat AnNahl Ayat 125 (Kajian Tentang Metode Pembelajaran), (Jakarta: UIN Jakarta, 2014)
51
52
53
54
55
56
48, 49, 52, 53, 54 dan 55 50
27, 28, dan 29
51
28
56
30
63
31
64
32
67
33
68
33
28
BAB III 57
58
U. Maman Kh, dkk., Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktek, (Jakarta: Raja Grafindo Persada Press, 2006), h. 80 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan
1
33
2
34
59
60
61
62
63
64
Praktik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 209 Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h. 219 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mixed Methods), (Bandung: Alfabeta, 2011), h.287 Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Prenada media Group, 2011) h, 169 Nasaruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 31 Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Qur’an, Terj. Mifdhol Abdurrahman dan Aunur Rofiq El-Mazni, (Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2006), h. 352 Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2013), Cet. II,h. 267
3 dan 4
34
5
34
6, 7, 8 dan 9
35 dan 36
10
30
11
37
12, dan 13
37
BAB IV 65
66
67
Departemen Agama RI, AlQur’an dan Terjemahnya Special for Women, (Bandung: Syamil Al-Qur’an, 2007), h. 257, 10, 41 Mahmud Yunus, Kamus ArabIndonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 410, 147, 192, 149, 373, 127, 69, 287 dan 173 Ahmad Warson Munawwir, AlMunawwir: Kamus Bahasa Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h.1309, 531, 702, 544, 406, 1047, 613, 787, 1130,1034
1, 29 dan 59
38, 48 dan 54
2, 6, 9, 11, 15, 31, 32, 40 dan 62 3, 7, 10, 12, 30, 33, 60, 63, 64 dan 65
33, 34, 35, 40, 42 dan 48
33, 34, 40, 48 dan 49
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-Ilmiyah, 2003) vol. 11, h. 726-727 Ahmad Al-Hasyim, Jawahir albalaghah Fi al-Ma’ani wa alBayani wa al-Badi’, (Indonesia: maktabah Daar Ihya al-Kutub alArabiyyah, 1960), h.248 Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-Ilmiyah, 2003) vol. 3, h. 228 Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-Ilmiyah, 2003) vol. 2, h. 543, 1905 Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-Ilmiyah, 2003) vol. 1, h. 840 Departemen Agama RI, AlQur’an dan Tafsirnya (Edisi Yang Disempurnakan) , Jilid. V, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), h. 135, 136 Quraish Shihab, Tafsir AlMisbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 6 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 349, 350, 267 Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Terj. Syihabuddin, jilid. 2 (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h.948-949 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Terj. Ahsan Askan, , jilid. 15 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 480 Quraish Shihab, Al-Lubâb: Makna, Tujuan, dan Pelajaran
4
33
5
34
8
34
13 dan 14
34
16
35
17, 18, 19 dan 21
35, 36 dan 37
20, 23, 24, 27, 68 dan 70
36, 37, 38, 50 dan 51
22, 26
37, 38
25
38
28
39
78
79
80
81
82
83
84
85
86
Surah-Surah Al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2012), h. 96 Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-Ilmiyah, 2003) vol. 7, h. 229 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Terj. Ahsan Askan, jilid. 2 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 71, 73, 74, 70, 77 Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-Ilmiyah, 2003) vol. 4, h. 91 Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, TafsirFathul Qadir, Terj. Amir Hamzah Fachruddin dan Asep Saefullah, jilid. 1, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 382, 381 Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-Ilmiyah, 2003) vol. 13, h. 364, 247 Departemen Agama RI, AlQur’an dan Tafsirnya (Edisi Yang Disempurnakan),jilid.1, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), h. 127 Quraish Shihab, Tafsir AlMisbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 267, 269 Mumahammad Nashib ArRifa’I, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Terj., Budi Permadi, jilid.1, (Jakarta: Gema Insani 2011), h. 119, 857-858 Hamka, Tafsir Al-Azhar, juz.1, (Jakarta: Pustaka Panjimas,
34 dan 36
41
35, 37, 41, 53 dan 57
41, 42, 46 dan 47
38
41
39, 51 dan 58
42, 45 dan 47
42 dan 61
42 dan 48
43, 47 dan 49
43, 44 dan 46
44, 45, 48, 52, 55
43, 44, 45, 46
46, 72 dan 78
44, 51 dan 53
50, 54 dan 56
45, 46 dan 47
87
88
89
90
91
92
93
94
2001), h. 283-284 Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-Ilmiyah, 2003) vol. 15, h. 170 Departemen Agama RI, AlQur’an dan Tafsirnya (Edisi Yang Disempurnakan), Jilid. IV, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), h. 531 Muhammad Ahmad Isawi, Tafsir Ibnu Mas’ud: Studi Tentang Ibnu Mas’ud dan Tafsirnya, Terj. Ali Murtadho Syahudi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 604 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Terj. Ahsan Askan, jilid. 14, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 690, 691, 694 Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, Terj. Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), Cet. I, h. 256 Al-Hafidz Dzaqiyuddin Abdul Adzim bin Abdul Qawi AlMundziri, Muktashar Shahih Muslim (Ringkasan Shahih Muslim), Terj. Pipih Imran Nurtsani, Lc dan Fitri Nurhayati, Lc, (Solo: Insan Kamil, 2012), h. 933-934 Hasani Ahmad Syamsuri, Studi Ulumul Qur’an, (Jakarta: Penerbit Zikra Press, 2009), Cet. I, h. 179, 181 Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Ilmu Studi Al-Qur’an, Terj. Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta: Pustka Al-Kausar, 2005), Cet.I, h. 358, 359
66
49
67 dan 71
50 dan 51
69 dan 77
50 dan 53
73, 74, 75 dan 76
52 dan 53
79
55
80
56
81, 83 dan 84
59 dan 61
82 dan 85
59 dan 62