Profil Anak Indonesia 2013
1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Berdasarkan Konvensi Hak-Hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November 1989 dan diratifikasi Indonesia pada tahun 1990 Bab 1 Pasal 1, yang dimaksud dengan anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun. Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 1 Ayat 1 juga menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Hasil Proyeksi Sensus Penduduk 2010, pada 2012 penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 245,4 juta jiwa, dan sekitar 33,4 persen diantaranya adalah anak-anak usia 0-17 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa berinvestasi untuk anak adalah berinvestasi untuk sepertiga penduduk Indonesia. Gambaran kondisi anak saat ini menjadi dasar yang penting bagi pengambilan kebijakan yang tepat bagi anak. Anak-anak merupakan kelompok penduduk usia muda yang mempunyai potensi untuk dikembangkan agar dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan di masa mendatang. Mereka adalah kelompok yang perlu disiapkan untuk kelangsungan bangsa dan negara di masa depan. Perwujudan anak-anak sebagai generasi muda yang berkualitas, berimplikasi pada perlunya pemberian perlindungan khusus terhadap anak-anak dan hak-hak yang dimilikinya sehingga anak-anak bebas berinteraksi dalam kehidupan di lingkungan masyarakat. Sesuai dengan isi UU No.23 Tahun 2002 Pasal 4 tentang Perlindungan Anak, bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Undang-undang tersebut merupakan bentuk dari hasil ratifikasi Convention on the Rights of the Child (CRC). Konvensi ini merupakan instrumen Internasional di bidang Hak Asasi Manusia dengan cakupan hak yang paling
1
Profil Anak Indonesia 2013
komprehensif. CRC terdiri dari 54 pasal yang hingga saat ini dikenal sebagai satusatunya konvensi di bidang Hak Asasi Manusia khususnya bagi anak-anak yang mencakup baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Berbagai kebijakan untuk anak juga telah dibuat oleh pemerintah diantaranya adalah Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) yang didalamnya mencakup empat program besar yaitu bidang kesehatan, pendidikan, perlindungan anak dan penanggulangan HIV/AIDS. Salah satu aspek penting untuk melihat kualitas anak adalah dari sisi pendidikan. Hasil Susenas 2012 menunjukkan bahwa anak usia 5-17 tahun yang berstatus sekolah sebesar 81,53 persen. Pada kelompok usia tersebut terdapat 6,32 persen yang tidak bersekolah lagi dan yang belum pernah sekolah sebesar 12,15 persen. Meskipun persentase anak usia sekolah yang masih bersekolah cukup tinggi, namun kualitas dari anak tersebut juga harus ditingkatkan demi terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas bagi bangsa dan negara di masa mendatang. Hal ini dikarenakan masih adanya permasalahan terbatasnya akses pendidikan berkualitas bagi anak, terutama bagi anak keluarga miskin dan di masyarakat terpencil. Dampaknya dapat terlihat dari semakin meningkatnya kasuskasus kekerasan, jumlah anak yang bermasalah dengan hukum, eksploitasi (termasuk trafficking), dan diskriminasi terhadap anak. Dilihat dari sisi kesehatan, angka kematian bayi (AKB) pada tahun 2012 sebesar 32 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup. Angka tersebut jauh dari target MDGs (23 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup) yang ingin dicapai pada tahun 2015. Sementara pada tahun yang sama, Angka Kematian Balita adalah sebesar 40 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan target MDGs pada tahun 2015 adalah 32 kematian balita per 1.000 kelahiran hidup. Indikator lainnya adalah status gizi anak, dimana berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, prevalensi Balita Kurang Gizi (BKG) pada tahun 2010 adalah sebesar 17,9 persen yang terdiri dari 4,9 persen gizi buruk dan 13 persen gizi kurang. Secara sosial, masalah anak diantaranya adalah diskriminasi, kekerasan, eksploitasi, dan penelantaran anak. Hasil Survei Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (2006) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP&PA) menunjukkan sebesar 3 persen anak-anak mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga dalam berbagai bentuk. Hal tersebut menunjukkan bahwa keluarga, yang seharusnya menjadi tempat aman bagi anak dan memberikan perlindungan bagi anak justru menjadi tempat
2
Profil Anak Indonesia 2013
anak mendapatkan tindak kekerasan. Maraknya kasus kekerasan terhadap anak, baik di lingkungan keluarga atau lingkungan umum menunjukkan masih minimnya perlindungan terhadap anak. Hal ini menunjukkan pula masih jauhnya lingkungan yang ramah dan aman bagi anak. Di samping itu, perlindungan anak dari berbagai tindak kekerasan, perdagangan anak, eksploitasi, dan diskriminasi masih belum optimal. Hal ini antara lain terlihat dari jumlah anak bekerja yang relatif masih tinggi. Hasil Survei Pekerja Anak (SPA) yang merupakan kerjasama antara BPS dan ILO (International Labour Organization) pada tahun 2009 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 4,1 juta anak usia 5-17 tahun yang bekerja. Sedangkan berdasarkan hasil Sakernas Agustus 2012, terdapat 3,6 juta anak berumur 10-17 tahun pada 33 provinsi di Indonesia yang bekerja. Disisi lain belum terpenuhinya hak sipil anak, dimana anak yang memiliki akte kelahiran baru sekitar 72 persen (Susenas 2012), 27 persen lainnya tidak mempunyai akte kelahiran. Hal ini mencerminkan belum terpenuhinya hak anak terhadap identitasnya dan masih lemahnya sistem pendataan atau registrasi kelahiran. Tidak dimilikinya akta kelahiran menyebabkan ketidakjelasan identitas anak, yang akan membawa sejumlah implikasi seperti diskriminasi, tidak memiliki akses terhadap pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan, rawan menjadi korban perdagangan manusia, mudah dijadikan pekerja anak, rawan menjadi korban kejahatan seksual, dan lain-lain. Berkaitan dengan kondisi tersebut, maka diperlukan adanya data profil anak sebagai gambaran keadaan anak-anak di Indonesia secara menyeluruh diberbagai bidang. Oleh karena itu KPP&PA bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik melakukan suatu kajian analisis deskriptif mengenai situasi dan kondisi anak-anak di Indonesia. Penyusunan profil dalam jangka pendek menjadi sangat penting untuk disusun dan dikembangkan sebagai basis data dan masukan dalam upaya pemenuhan hak-hak anak. 1.2
Tujuan
Publikasi ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan informasi tentang kondisi anak-anak Indonesia yang diamati dari aspek lingkungan keluarga, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan anak baik terhadap masalah sosial, hukum, kekerasan, anak bekerja dan anak cacat.
3
Profil Anak Indonesia 2013
1.3
Sumber Data
Publikasi ini menggunakan berbagai macam sumber data, dari hasil survei dan sensus sebagai berikut: a. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 b. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2012 c. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2012 d. Sensus Penduduk 2010 dan Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2030 Berdasarkan Hasil Sensus Penduduk 2010 e. Lembaga Pemasyarakatan Republik Indonesia f. Bareskrim Mabes POLRI 1.4
Sistematika Penyajian
Secara sistematis publikasi ini disajikan dalam tujuh bab. Pemilihan bab dalam penyusunan Profil Anak disesuaikan dengan lima kluster hak anak pada Konvensi Hak Anak (KHA) yakni: hak sipil dan kebebasan; lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; kesehatan dasar dan kesejahteraan; pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan seni budaya, dan perlindungan khusus. Pengelompokan tentang isi KHA ke dalam lima kluster oleh Komisi Hak Anak PBB dilakukan dengan pertimbangan mempermudah pemahaman publik serta mempermudah dalam penyusunan laporan implementasinya kepada PBB. Dalam setiap kluster telah ditentukan indikator rinci, meskipun demikian karena keterbatasan data, tidak semua indikator tersebut disajikan dalam publikasi ini. Bab pertama menyajikan pendahuluan yang berisi latar belakang penyusunan publikasi, tujuan, sumber data, serta sistematika publikasi. Bab kedua menyajikan tentang Struktur Penduduk 0-17 tahun. Bab ke-tiga menyajikan tentang Hak Sipil dan Kebebasan. Bab ke-empat tentang Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif, Bab ke-lima Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan, Bab keenam Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang, dan Kegiatan Seni budaya, sedangkan Bab ke-tujuh Perlindungan Khusus yang berisi tentang Perkembangan Perlindungan Anak di Indonesia, Implementasi Penanganan Perlindungan Anak, Perlindungan Khusus, Anak Bermasalah Hukum, Penyandang Disabilitas Anak, dan Profil Anak yang Bekerja.
4
Profil Anak Indonesia 2013
2 STRUKTUR PENDUDUK USIA 0 -17 TAHUN 2.1
Jumlah dan Rasio Jenis Kelamin
Karakteristik usia secara jelas mendefinisikan perbedaan yang memisahkan antara anak dari orang dewasa. Anak yang dimaksud dalam publikasi ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 Ayat 1 yaitu seseorang yang belum berusia 18 tahun. Anak merupakan karunia yang terbesar bagi keluarga, agama, bangsa, dan negara. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah penerus cita-cita bagi kemajuan suatu bangsa. Dari sudut pandang anak sebagai aset, anak merupakan salah satu modal sumber daya manusia, jika dipenuhi semua kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kebutuhan sosial ekonomi lainnya. Pemenuhan kebutuhan ini akan membentuk anak tumbuh menjadi manusia berkualitas. Sebaliknya jika kebutuhan anak tidak terpenuhi, dikhawatirkan akan menurunkan kualitas hidup anak atau sebagian dari mereka akan menimbulkan masalah bagi keluarga, masyarakat, maupun negara. Hasil Sensus Penduduk 2010 (SP2010), menunjukkan bahwa penduduk Indonesia berjumlah 237,6 juta jiwa, yang terdiri dari 119,6 juta laki-laki dan 118,0 juta perempuan. Dari jumlah tersebut, sekitar 82,0 juta orang atau sekitar 33,4 persen diantaranya adalah penduduk berumur di bawah 18 tahun. Tabel 2.1 Penduduk Indonesia Tahun 2012 (000) Kelompok Umur
Laki-laki
Perempuan
(1) 0-17
42.012
34 ,1
40.071
32 ,8
82.083
33 ,4
104 ,8
18+
81.319
65 ,9
82.023
67 ,2
163.342
66 ,6
99 ,1
Jumlah
123.331
100,0
122.094
100,0
245.425
100,0
101 ,0
(3)
(5)
Rasio Jenis Kelamin
Jumlah (000) (2)
%
Jumlah (000) (4)
Laki-laki dan Perempuan Jumlah % (000) (6) (7)
%
Sumber: Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 Berdasarkan Hasil SP2010
5
(8)
Profil Anak Indonesia 2013
Pada tahun 2012 penduduk Indonesia berumur 0-17 tahun mencapai 82,1 juta (Tabel 2.1) atau sebesar 33,4 persen dari keseluruhan penduduk. Apabila dilihat dari sudut pandang ketergantungan maka sepertiga dari penduduk Indonesia masih membutuhkan perlindungan baik oleh keluarga, masyarakat, ataupun negara. Kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus disiapkan oleh pemerintah untuk anak terlihat masih cukup besar misalnya dibidang kesehatan dan pendidikan. Masih sangat dibutuhkan peran serta orang tua untuk akses kepada pelayanan kesehatan agar mengurangi angka kesakitan dan angka kematian pada bayi, balita, dan anak. Anak baik bayi maupun balita membutuhkan layanan kesehatan yang baik, sehingga mereka bisa melewati tahun-tahun kritis di awal kehidupannya dimana kesehatannya sangat rentan terhadap berbagai jenis penyakit. Usaha pemerintah meningkatkan kesehatan anak melalui layanan imunisasi, pemberian vitamin, dan makanan tambahan berperan penting dalam menurunkan kematian bayi dan meningkatkan kualitas kesehatannya. Dibidang pendidikan juga tidak kalah pentingnya dimana pendidikan merupakan sarana untuk membentuk generasi yang berkualitas. Penyediaan penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah mutlak diperlukan disamping pendidikan yang diberikan oleh orang tua. Dalam hal ini perlu menjadikan pendidikan anak sebagai investasi untuk hari depan anak dan orangtua. Pada Tabel 2.1 tampak bahwa RJK kelompok umur 0-17 tahun sebesar 104,8, yang secara umum dapat dikatakan bahwa pada tahun 2012 penduduk berumur 0-17 lebih banyak berjenis kelamin laki-laki daripada perempuan. Sedangkan pada kelompok umur yang lebih tua, RJK sebesar 99,1 yang artinya proporsi penduduk laki-laki berkurang. Secara alami ini berkaitan dengan angka harapan hidup laki-laki yang memang lebih rendah daripada perempuan. Walaupun laki-laki tercatat lebih banyak daripada perempuan, dalam mendukung kesetaraan gender maka baik anak laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang setara dalam berbagai aspek seperti untuk memperoleh pendidikan atau layanan kesehatan yang baik.
6
Profil Anak Indonesia 2013
2.2
Tren Penduduk 0-17 Tahun
Dalam periode 2011-2016 yang diperlihatkan oleh Tabel 2.2 diproyeksikan akan terjadi kenaikan jumlah penduduk 0-17 tahun dalam periode lima tahun ke depan, namun pada penduduk kelompok umur 15-17 tahun memiliki pola yang sedikit acak, dimana terjadi peningkatan pada tahun tertentu dan terjadi penurunan ditahun berikutnya. Perbedaan tren antar kelompok umur ini di masa akan datang harus diantisipasi oleh pemerintah dengan merencanakan programprogram yang tepat agar perubahan komposisi penduduk 0-17 tahun ini tidak menjadi penghambat jalannya pembangunan. Tabel 2.2 Proyeksi Penduduk Indonesia Umur 0-17 Tahun, 2011-2016 (000) Tahun
Kelompok Umur
2011
2012
2013
2014
2015
2016
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
0-4
23.681
23.853
23.994
24.087
24.066
23.960
5-9
22.632
22.767
22.932
23.110
23.330
23.559
10-14
22.230
22.281
22.310
22.360
22.462
22.577
15-17
13.086
13.182
13.262
13.292
13.286
13.315
Jumlah
81.630
82.083
82.498
82.848
83.144
83.412
Sumber: Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 Berdasarkan Hasil SP2010
7
Profil Anak Indonesia 2013
8
Profil Anak Indonesia 2013
3 HAK SIPIL DAN KEBEBASAN Kepemilikan akte kelahiran juga merupakan salah satu bukti telah terpenuhinya hak memiliki identitas sebagai anak. Pasal 9 konvensi PBB mengenai hak-hak anak menentukan bahwa semua anak harus didaftarkan segera setelah kelahirannya dan juga harus mempunyai nama serta kewarganegaraan. Laporan ini menghimbau agar dilaksanakan pendaftaran kelahiran gratis bagi semua anak dan merupakan tujuan yang dapat dicapai oleh semua negara. Konvensi itu diratifikasi oleh indonesia pada tahun 1990. Akte kelahiran merupakan hasil pencatatan terhadap peristiwa kelahiran seseorang di wilayah suatu negara. Sampai saat ini masih banyak anak Indonesia yang identitasnya tidak atau belum tercatat dalam akta kelahiran, sehingga secara de jure keberadaannya dianggap tidak ada oleh negara. Hal ini mengakibatkan anak yang lahir tersebut tidak tercatat namanya, silsilah dan kewarganegaraannya serta tidak terlindungi keberadaanya. Ketika tidak ada bukti diri, dikemudian hari aka nada kemungkinan penyalahgunaan identitas yang akan menimbulkan permasalahan. Semakin tidak jelas identitas seorang anak, maka semakin mudah terjadi eksploitasi terhadap anak, seperti anak menjadi korban perdagangan bayi dan anak, tenaga kerja ataupun kekerasan. Akta kelahiran bersifat universal, karena hal ini terkait dengan pengakuan negara atas status keperdataan seseorang. Indonesia termasuk salah satu negara yang cakupan pencatatan kelahirannya kurang baik. Banyak faktor yang memengaruhi rendahnya cakupan pencatatan kelahiran, mulai dari kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pencatatan kelahiran, biaya yang tinggi untuk pencatatan, prosedur yang sulit, serta kurangnya akses terhadap pelayanan pencatatan yang biasanya berada di tingkat kabupaten/kota.
9
Profil Anak Indonesia 2013
Gambar 3.1 Penduduk 0-17 Tahun Menurut Kepemilikan Akte Kelahiran, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
Bukti dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2012 menunjukkan masih rendahnya kepemilikan akte kelahiran untuk anak 0-17 tahun. Susenas 2012 mencatat hanya sebesar 53 persen dari penduduk 0-17 tahun yang memiliki akte kelahiran dapat menunjukkannya, sedang 19 persen mengaku memiliki akte kelahiran namun tidak dapat menunjukkannya. Penduduk usia 0-17 tahun yang tidak memiliki akte kelahiran menurut Susenas 2012 adalah sebesar 27 persen, dan sebesar 1 persen responden yang ditanya tentang akte kelahiran anaknya menyatakan tidak tahu tentang akte kelahiran. Rendahnya kepemilikan akte menunjukkan kepedulian tentang hak anak oleh orang tua dan pemerintah perlu ditingkatkan. Anak dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga negara berkewajiban memenuhi hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi, perlindungan dari tindak kekerasan, dan diskriminasi. Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orangtua, memiliki tanggung jawab terhadap perlindungan anak. Realitanya keinginan sebagian penduduk untuk memiliki akta kelahiran seringkali mendapatkan hambatan karena biaya pembuatannya yang mahal, persyaratannya banyak, prosesnya yang panjang, dan butuh waktu lama, atau hambatan yang sifatnya menyangkut keturunan seseorang. Mencermati
10
Profil Anak Indonesia 2013
permasalahan dalam pencatatan kelahiran tersebut, maka persoalan yang lebih mendasar yaitu pengetahuan orang tua dan keluarga akan pentingnya akte kelahiran perlu ditingkatkan. Oleh karena itu akte kelahiran juga perlu dimasukkan dalam kurikulum pendidikan masyarakat. Tanggung jawab ini diemban oleh pemerintah pusat maupun daerah karena di dalam akte kelahiran terdapat Hak Asasi Manusia (HAM) dan sesungguhnya merupakan pelaksanaan amanat UUD 1945, serta Undang-Undang No. 23/2002 yang berkaitan keperdataan seseorang berupa hak identitas dan kewarganegaraan. Gambar 3.2
Persentase Penduduk 0-17 tahun yang Tidak Memiliki Akte Kelahiran Menurut Alasan, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
Alasan orang tua yang anaknya tidak memiliki akte kelahiran 42 persen diantaranya adalah karena biaya yang mahal. Alasan jarak yang jauh disebutkan oleh responden sebesar 6 persen. Jarak yang menjadi kendala bagi orang tua untuk mengurus dan memperoleh akte kelahiran, menunjukkan bahwa akses pelayanan pemerintah kepada masyarakat masih menjadi kendala di beberapa provinsi. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah jawaban tidak tahu. Sebesar 11 persen mengaku tidak tahu cara mengurus akte kelahiran, dan 4 persen mengaku tidak tahu bahwa kelahiran harus dicacat, hal ini memperlihatkan pengetahuan yang kurang pada masyarakat tentang akte kelahiran. Bagi pemerintah sangat perlu memperkenalkan hal ini berkaitan dengan tanggung jawab dalam pemenuhan hak anak.
11
Profil Anak Indonesia 2013
12
Profil Anak Indonesia 2013
4 LINGKUNGAN KELUARGA DAN PENGASUHAN ALTERNATIF Anak merupakan generasi penerus bangsa, oleh karenanya seorang anak harus mendapatkan pendidikan yang baik dan benar. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia berawal dari kehidupan prenatal, terutama sejak awal kehamilan. Faktor kunci terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak yang sangat menentukan masa depannya adalah suatu periode emas. Periode emas anak tersebut terjadi dalam lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga merupakan tempat untuk mengembangkan kepribadian yang utuh dan serasi bagi anak. Seperti yang tertuang dalam Mukadimah Konvensi Hak-hak Anak yaitu bahwa anak, demi pengembangan sepenuhnya dan keharmonisan dari kepribadiannya, harus tumbuh dalam lingkungan keluarga, dalam iklim kebahagiaan, cinta kasih, dan pengertian. 4.1
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Dalam tumbuh kembangnya, anak memiliki masa-masa emas atau yang sering disebut dengan golden age yaitu usia dini. Di usia tersebut, anak akan dengan mudah meniru apa yang ada di sekitarnya. Oleh karenanya, anak harus mendapatkan pendidikan yang baik pada usia tersebut. Pendidikan usia dini atau yang lebih sering dikenal dengan istilah PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani.Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010, PAUD berfungsi membina, menumbuhkan, dan mengembangkan seluruh potensi anak usia dini secara optimal sehingga terbentuk perilaku dan kemampuan dasar sesuai dengan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan
13
Profil Anak Indonesia 2013
selanjutnya. Sesuai dengan fungsi tersebut, maka PAUD diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. Sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PAUD dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal. Pada jalur formal, PAUD berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK), Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. PAUD pada jalur pendidikan nonformal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat, sedangkan PAUD pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselengggarakan oleh lingkungan. Survei Ekonomi Nasional (SUSENAS) setiap tahunnya mengumpulkan data tentang PAUD. Dari data Susenas kita dapat mengetahui angka partisipasi PAUD dan jenis PAUD yang diikuti oleh anak-anak di Indonesia. Tabel 4.1 menyajikan persentase anak usia 0-6 tahun yang sedang mengikuti PAUD menurut tipe daerah, jenis kelamin, dan kelompok umur. Persentase anak yang sedang mengikuti PAUD dibagi atas beberapa kelompok umur, yaitu 0-2 tahun, 3-4 tahun, 5-6 tahun, 3-6 tahun, dan 0-6 tahun. Tabel 4.1 Persentase Anak Usia 0-6 Tahun yang Sedang Mengikuti PAUD Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin, dan Kelompok Umur, 2012 Tipe Daerah
Kelompok Umur (Tahun)
Jenis Kelamin
0-2
3-4
5-6
3-6
0-6
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
1,01
19,63
41,30
30,25
18,39
1,35
22,77
41,13
31,60
19,17
1,18
21,16
41,22
30,90
18,77
0,90
14,21
28,93
21,46
13,00
0,96
15,68
30,53
23,04
13,96
0,93
14,93
29,71
22,23
13,47
0,95
16,89
35,02
25,80
15,65
1,15
19,20
35,65
27,23
16,51
1,05
18,02
35,33
26,50
16,07
Perkotaan: Laki-laki Perempuan Laki-laki dan Perempuan Perdesaan: Laki-laki Perempuan Laki-laki dan Perempuan Perkotaan dan Pedesaan Laki-laki Perempuan Laki-laki dan Perempuan Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
Tabel di atas memberikan gambaran tentang partisipasi PAUD anak usia 06 tahun di Indonesia. Angka partisipasi PAUD di Indonesia sebesar 16,07 dan tidak
14
Profil Anak Indonesia 2013
terlalu berbeda antara angka partisipasi PAUD laki-laki (15,65) dan perempuan (16,51). Angka partisipasi PAUD di daerah perkotaan (18,77) lebih tinggi dibandingkan dengan angka partisipasi PAUD di daerah perdesaan (13,47). Kelompok umur 5-6 tahun merupakan kelompok umur dengan angka partisipasi paling tinggi, karena di usia ini banyak anak yang mengikuti taman kanak-kanak. Pelaksanaan pendidikan anak usia dini di Indonesia sudah tersebar, walaupun persebarannya belum merata di seluruh provinsi. Hal ini terlihat dari angka partisipasi PAUD per provinsi yang berfluktuasi, seperti yang terlihat di Lampiran 1. Provinsi dengan angka partisipasi PAUD tertinggi adalah DI Yogyakarta yaitu sebesar 38,11 persen. Sedangkan provinsi dengan angka partisipasi PAUD terkecil adalah Provinsi Papua yaitu sebesar 4,21 persen. Gambar 4.1
Persentase Anak Usia 0-6 Tahun yang Sedang Mengikuti PAUD Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa jenis-jenis PAUD meliputi TK, RA, Kelompok Bermain, dan Taman Penitipan Anak. Dalam Susenas, jenis PAUD dikelompokkan menjadi lima yaitu TK/BA/RA, Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak, Pos PAUD/PAUD terintegrasi BKB (Bina Keluarga Balita)/Posyandu, dan satuan PAUD sejenis lainnya (PAUD-TAAM (Taman Asuh Anak Muslim), PAUD-PAK (Pendidikan Anak Kristen), PAUD-BIA (Bina Iman Anak Katolik), TKQ (Taman Kanak-kanak Al Qur’an), dan PAUD lembaga lainnya).
15
Profil Anak Indonesia 2013
16
Profil Anak Indonesia 2013
Tabel 4.2 Persentase Anak Usia 0-6 Tahun yang Sedang Mengikuti PAUD Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Jenis PAUD, 2012 Jenis PAUD Tipe Daerah/ Jenis Kelamin TK/RA/ RB
Kelompok Bermain
Taman Penitipan Anak
Pos PAUD/ PAUD Terintegrasi BKB/ Posyandu
Satuan PAUD Sejenis Lainnya
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Laki-laki
70,21
2,91
1,91
10,33
14,64
Perempuan
68,49
3,43
1,28
11,19
15,61
Laki-laki dan Perempuan
69,37
3,16
1,60
10,75
15,11
Laki-laki
65,07
1,43
0,69
13,73
19,09
Perempuan
62,78
2,26
0,59
15,51
18,86
Laki-laki dan Perempuan
63,94
1,84
0,64
14,60
18,98
Laki-laki
68,00
2,27
1,38
11,79
16,56
Perempuan
65,99
2,92
0,98
13,08
17,04
Laki-laki dan Perempuan
67,01
2,58
1,19
12,42
16,79
(1) Perkotaan:
Perdesaan:
Perkotaan dan Perdesaan:
Sumber : Diolahdari Susenas 2012, BPS
Dari Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa TK/RA/BA merupakan jenis PAUD yang paling banyak diikuti oleh anak-anak yaitu sebesar 67,01 persen. Jenis PAUD yang paling sedikit diikuti adalah taman penitipan anak yaitu sebesar 1,19 persen. Dari semua jenis PAUD yang ada, angka partisipasi PAUD anak-anak laki-laki dan perempuan relatif kecil perbedaannya. 4.2
Anak dan Keluarga yang Tinggal Bersama
Anak dan keluarga merupakan dua hal yang memiliki hubungan erat, dimana lingkungan keluarga merupakan salah satu lingkungan yang paling berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. Kerangka konseptual yang dikemukakan oleh UNICEF kemudian dikembangkan oleh Engle,et.al. menekankan bahwa ada tiga komponen yang berperan dalam menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal, yaitu makanan, kesehatan, dan asuhan. Dikemukakan lebih lanjut oleh Engle,et.al., bahwa pola asuh anak meliputi 6 hal, yaitu :
17
Profil Anak Indonesia 2013
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Perhatian/dukungan ibu terhadap anak Pemberian ASI atau makanan pendamping pada anak Rangsangan psikososial pada anak Persiapan dan penyimpanan makanan Praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan Perawatan anak dalam keadaan sakit seperti mencari pelayanan kesehatan.
Dari pola asuh yang disebutkan di atas, perhatian/dukungan ibu terhadap anak menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan karena ibulah yang nantinya akan mendidik dan mengasuh anak mereka, meski selayaknya pendidikan dan pengasuhan dilakukan oleh kedua orang tua. Perhatian dan dukungan orang tua terhadap anak akan menjadi optimal jika kedua orang tua tinggal bersama dengan anak-anaknya. Pada bahasan anak dan keluarga yang tinggal bersama ini, akan diulas tentang anak yang tinggal dengan bapak kandung, anak yang tinggal dengan ibu kandung, anak yang tinggal dengan bapak/ibu kandung, dan anak yang tinggal dengan keluarga lain. Data yang digunakan adalah data SUSENAS Modul Sosial Budaya dan Pendidikan 2012. 4.2.1
Anak yang Tinggal dengan Bapak Kandung
PAUD pada jalur pendidikan informal yang berbentuk pendidikan keluarga sejatinya didapat dari bapak dan ibunya. Akan tetapi pada kenyataannya, tidak semua anak bisa mendapatkan pendidikan dari kedua orang tua kandungnya. Pada sub bab ini, diulas mengenai anak yang tinggal dengan bapak kandungnya. Gambar 4.2
Persentase Anak yang Tinggal dengan Bapak Kandung Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas Modul Sosial Budaya dan Pendidikan 2012, BPS
18
Profil Anak Indonesia 2013
Pada Tabel Lampiran A-4.2 tercatat ada sekitar 2,34 persen anak-anak di Indonesia yang tinggal hanya bersama bapak kandungnya, ini bukan berarti hanya berdua saja dengan bapak kandungnya, karena kondisi ini memungkinkan bagi beberapa anak yang tinggal dengan salah satu dari orang tua kandung, dalam hal ini adalah bapak saja. Pada Grafik 4.2 digambarkan bahwa ada sekitar 2,35 persen anak laki-laki yang tinggal dengan bapak kandung, sedangkan anak perempuan sebesar 2,33 persen. Anak yang tinggal dengan hanya dengan bapak kandung bisa disebabkan oleh berbagai macam hal. Misalnya karena adanya perceraian antara bapak dan ibu, baik perceraian karena meninggalnya ibu kandung maupun perceraian karena akibat adanya perselisihan antara bapak dan ibu. Ibu yang bekerja di tempat yang sangat jauh, sehingga tidak memungkinkan anak dan ibu bertemu setiap hari. Atau bisa saja karena ibu kandung sedang bermasalah dengan hukum dan juga sebab lainnya. Fase-fase pertumbuhan anak tentunya membutuhkan perlakuan yang berbeda. Misalnya balita, akan lebih membutuhkan kehadiran seorang ibu kandung daripada bapak kandung. Khususnya bayi yang masih membutuhkan ASI, akan sangat membutuhkan kehadiran ibu kandung daripada bapak kandung. Meskipun peran pengasuhan sebenarnya bisa saling melengkapi. Anak yang tinggal dengan bapak kandung cenderung memiliki waktu kebersamaan dengan bapak lebih sedikit, karena kewajiban bapak untuk bekerja juga akan menyebabkan berkurangnya peran pengasuhan. Tentu saja ini merupakan hal yang sangat kompleks, mengasuh anak merupakan suatu proses yang sangat penting. Sehingga dibutuhkan kerjasama yang baik bagi orang-orang terdekat dalam membangun interaksi dengan anak. Bila seorang bapak menjadi orang tua tunggal, tanggung jawabnya tidak hanya dalam hal mencari nafkah, melainkan juga harus menjadi Ibu bagi anak-anaknya. Pengasuhan anak laki-laki dan perempuan remaja tentu saja juga berbeda, seorang anak perempuan berusia remaja yang hanya mempunyai orang tua lakilaki akan mengalami kesulitan pada saat mengalami masa menstruasi misalnya, karena tidak ada tempat bertanya bagi mereka. Sehingga peran keluarga lainnya teramat diperlukan pada masa-masa ini.
19
Profil Anak Indonesia 2013
4.2.2
Anak yang Tinggal dengan Ibu Kandung
Sama halnya dengan anak yang tinggal dengan bapak kandung. Anak yang tinggal dengan salah satu orang tua kandung, yaitu ibu kandung saja juga akan mengalami ketimpangan dalam hal pengasuhan. Ibu kandung yang menjadi orang tua tunggal bertanggung jawab atas kelangsungan kesejahteraan anak-anaknya. Pendidikan, sandang, pangan dan papan yang harus disediakan untuk anakanaknya menyebabkan ibu tersebut harus bekerja. Pada sub bahasan kali ini akan diulas anak yang tinggal dengan ibu kandung. Persentase anak yang tinggal dengan ibu kandung di Indonesia sebesar 6,33 persen, hampir tiga kali lipat dibandingkan persentase anak yang tinggal dengan bapak kandungnya. Hal ini mungkin disebabkan cukup banyak bapak yang bekerja di luar kota, sehingga banyak anak yang hanya tinggal dengan ibu kandungnya saja. Gambar 4.3 Persentase Anak yang Tinggal dengan Ibu Kandung Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas Modul Sosial Budaya dan Pendidikan 2012, BPS
Oleh karena itu, identifikasi terhadap kebutuhan anak-anak yang tinggal hanya dengan ibu kandung harus dilakukan baik oleh pemerintah maupun lembaga terkait. Sehingga anak-anak tersebut dapat terhindar dari masalah-masalah yang timbul akibat tidak lengkapnya orang tua yang akan berpengaruh terhadap masa depannya. Anak dengan orang tua tunggal, dalam hal ini adalah ibu, khususnya yang berasal dari keluarga miskin, besar kemungkinannya akan putus sekolah, kekurangan gizi, dan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar anak lainnya. Sehingga pemerintah perlu membuat peta masalah yang efektif guna mengatasi hal ini.
20
Profil Anak Indonesia 2013
4.2.3
Anak yang Tinggal dengan Bapak dan Ibu Kandung
Idealnya seorang anak tinggal dengan bapak dan ibu kandungnya, agar anak mendapat pengasuhan dan pendidikan dari kedua orang tuanya. Secara nasional, anak yang tinggal dengan bapak dan ibu kandungnya sebesar 86,32 persen. Sementara itu, anak yang tinggal dengan bapak dan ibu kandung di daerah perkotaan (87,06 persen) sedikit lebih tinggi daripada anak yang tinggal dengan bapak dan ibu kandung di daerah perdesaan (85,61 persen) seperti dilihat pada Tabel Lampiran A-4.2. Gambar 4.4
Persentase Anak yang Tinggal dengan Bapak dan Ibu Kandung Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah, 2012
Sumber : Diolah dari Susenas Modul Sosial Budaya dan Pendidikan 2012, BPS
Lengkapnya orang tua bagi anak merupakan hal penting. Walaupun bukan merupakan jaminan bahwa anak-anak dengan orang tua lengkap akan mendapatkan hak-haknya. Namun, setidaknya seorang anak akan mendapatkan fungsi perlindungan dari kedua orang tua secara lebih memadai dan lebih lengkap. Fungsi pencari nafkah akan dipenuhi oleh seorang bapak yang akan membantu anak mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik, sedangkan fungsi ibu sebagai pengelola dan pendidik dalam rumah tangga juga akan didapatkan oleh anak. Sehingga peran bapak dan ibu secara bersama-sama sangat dibutuhkan oleh seorang anak. Keduanya akan menjadi komplementer satu dengan lainnya.
21
Profil Anak Indonesia 2013
4.2.4
Anak yang Tinggal dengan Keluarga Lain
Anak yang tinggal dengan keluarga lain adalah anak yang tidak tinggal dengan bapak dan ibu kandungnya, atau tinggal dengan keluarga lain. Ketika seorang anak tinggal dengan keluarga lain, maka pendidikan dan pengasuhannya sudah tidak lagi ada dalam pengawasan orang tua kandungnya. Gambar 4.5
Persentase Anak yang Tinggal dengan Keluarga Lain Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas Modul Sosial Budaya dan Pendidikan 2012, BPS
Persentase anak yang tinggal dengan keluarga lain di Indonesia sebesar 13,68 persen, dimana anak yang tinggal dengan keluarga lain di daerah perkotaan (12,94 persen) sedikit lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tinggal dengan keluarga lain di daerah perdesaan (14,39 persen). Sementara itu dilihat dari Gambar 4.5, persentase anak perempuan yang tinggal dengan keluarga lain (14,11 persen) tidak berbeda secara signifikan dengan anak laki-laki yang tinggal dengan keluarga lain (13,27 persen). Anak merupakan amanah sekaligus tanggung jawab yang diberikan oleh Tuhan kepada tiap orang tua. Namun ada suatu kondisi yang menyebabkan seorang anak ada dalam pengasuhan anggota keluarga yang lain. Misalnya kedua orang tua bekerja di tempat lain, atau sedang menempuh pendidikan di tempat lain, atau kedua orang tua sudah meninggal (yatim piatu), atau kemungkinan
22
Profil Anak Indonesia 2013
paling buruk, misalnya kedua orang tua sedang bermasalah dengan hukum. Ini menyebabkan anak harus dititipkan kepada anggota keluarga yang lain. Tentu saja tiap kasus memerlukan berbagai jenis perlakuan yang berbeda. Anak-anak yang tidak tinggal dengan kedua orang-tuanya cenderung lebih rentan terpapar tindakan kriminal dari orang-orang terdekat. Belum lagi masalah psikologis yang akan dihadapi oleh seorang anak akibat ketiadaan kedua orang tua. Sehingga anak yang tinggal dengan selain kedua orangtua kandung jelas membutuhkan perhatian lebih, agar terjamin pemenuhan kebutuhan dan hak-hak nya sebagai warga negara yang juga dilindungi oleh undang-undang, khususnya UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1. Sehingga pemerintah punya tanggung jawab besar dalam mengupayakan kesejahteraan anak-anak, khususnya anak-anak yang tidak tinggal dengan kedua orang tuanya dengan memperhatikan berbagai macam penyebabnya. 4.3
Perkawinan Usia Dini
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria mencapai umur 19 tahun dan wanita mencapai umur 16 tahun. Karena, sebuah perkawinan sejatinya dilakukan pada saat laki-laki dan perempuan sudah cukup matang sehingga kedua belah pihak siap secara fisik, mental maupun psikis untuk membina rumah tangga. Akan tetapi, tidak jarang dijumpai anak-anak berstatus kawin/cerai. Seiring dengan waktu, lahirlah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak pasal 26 ayat 1 butir 3 menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan usia anak-anak. Dari Undang-Undang tersebut dapat disimpulkan bahwa perkawinan yang dianjurkan adalah usia minimal 18 tahun. Pada publikasi ini, yang dimaksud dengan perkawinan usia dini mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Anak adalah anak-anak usia di bawah 18 tahun yang sudah menikah, anak perempuan usia 10-17 tahun yang berstatus kawin dan cerai, baik cerai hidup maupun cerai mati. Pada Tabel Lampiran A-4.3 terlihat bahwa 1,67 persen anak perempuan usia 10-17 tahun di Indonesia telah melakukan perkawinan. Dan jika diperhatikan menurut tipe daerah, proporsi anak perempuan usia 10-17 tahun yang melakukan
23
Profil Anak Indonesia 2013
perkawinan di daerah perkotaan yaitu 0,88 persen, sedangkan di perdesaan hampir tiga kali lipatnya yaitu mencapai 2,40 persen. Hal ini diduga disebabkan berbagai faktor, diantaranya ekonomi, sosial dan budaya. Alasan ekonomi mungkin dianggap sebagai solusi paling cepat dan mudah bagi orang tua atas beban anak yang tentu saja akan digantikan oleh suami setelah seorang perempuan menikah. Atau justru, setelah menikah seorang anak perempuan diharapkan dapat membantu perekonomian keluarga. Yang menjadi alasan sosial misalnya masih adanya sebagian masyarakat di Indonesia yang menganggap bahwa semakin cepat menikah adalah suatu hal yang baik bagi seorang perempuan. Sedangkan dari segi budaya, diduga di beberapa daerah di Indonesia, khususnya daerah-daerah terpencil, menikah di usia sangat muda adalah hal yang sudah sangat umum dilakukan, sehingga bukan dianggap hal yang tabu meskipun telah dilarang oleh undang-undang. Sosialisasi akan pentingnya melakukan perkawinan pada usia yang tepat perlu dilakukan oleh berbagai kementerian dan lembaga, masyarakat juga harus dikomunikasikan tentang pentingnya mengatur usia perkawinan. Bagi perempuan, menikah di usia yang tepat akan mengurangi resiko kematian ibu dan bayi. Karena melahirkan pada usia sangat muda akan sangat beresiko terhadap kematian. Dalam jangka panjang, ini juga akan menurunkan angka fertilitas dengan cara memperpendek rentang masa reproduksi perempuan melalui penundaan usia perkawinan. Gambar 4.6
Persentase Anak Perempuan Usia10-17 Tahun Menurut Status Perkawinan, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
Gambar 4.6 menunjukkan bahwa 98,33 persen anak perempuan usia 10-17 tahun belum kawin, 1,59 persen berstatus kawin dan 0,07 persen berstatus cerai.
24
Profil Anak Indonesia 2013
Hal ini harus menjadi perhatian khusus bagi kementerian dan lembaga terkait, anak yang berstatus kawin akan tercabut sebagian haknya sebagai anak, diantaranya adalah hak atas pendidikan. Karena sebagaimana kita tahu, pada pendidikan dasar dan menengah formal mensyaratkan anak harus berstatus belum kawin. Gambar 4.7
Persentase Anak Perempuan Usia 10-17 Tahun yang Berstatus Kawin dan Cerai Menurut Umur Kawin Pertama, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
Labih rinci lagi, pada Grafik 4.7, dari 1,67 persen anak perempuan usia 1017 tahun yang berstatus kawin dan cerai di Indonesia, sebesar 38,86 persen kawin di usia 15 tahun ke bawah, sebesar 37,72 persen kawin di usia 16 tahun, dan sebesar 23,43 persen kawin di usia 17 tahun. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana usia perkawinan yang diijinkan untuk perempuan adalah 16 tahun, maka masih cukup banyak anak yang menikah di usia kurang dari 16 tahun. Melihat fenomena perkawinan pada usia yang sangat muda bagi perempuan, tentunya hal ini tidak terlepas dari peran orang tua, seorang anak kecil kemungkinan sudah mempunyai kesadaran atas dirinya dapat memutuskan kapan dia ingin menikah jika tidak ada campur tangan orang tua atau orang yang terdekat dengan dirinya. Sehingga untuk mengurangi fenomena pernikahan dini ini dapat dilakukan dengan cara memberikan edukasi kepada para orang tua, khususnya yang memiliki anak perempuan agar dapat menunda usia perkawinan hingga anak perempuannya telah mencapai usia yang cukup matang untuk kawin.
25
Profil Anak Indonesia 2013
5 KESEHATAN DASAR DAN KESEJAHTERAAN
Kesejahteraan merupakan hal atau keadaan sejahtera, aman, selamat, dan tenteram. Kesejahteraan meliputi segala aspek kehidupan manusia, baik ekonomi, sosial, dan budaya. Salah satu indikator yang dapat mengukur tingkat kesejahteraan adalah status kesehatan masyarakat. Semakin baik kesehatan masyarakat, semakin tinggi tingkat kesejahteraannya. 5.1
Penolong Kelahiran
Penolong kelahiran merupakan faktor yang sangat mempengaruhi proses kelahiran. Penolong kelahiran merupakan salah satu bagian dari pelayanan antenatal care. Peningkatan pelayanan antenatal merupakan bagian dari pelayanan kesehatan primer. Penolong kelahiran didefinisikan sebagai orang yang biasa memeriksa wanita hamil atau memberikan pertolongan selama persalinan dan masa nifas. Penolong kelahiran dibedakan menjadi dua yaitu tenaga kesehatan dan bukan tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan adalah mereka yang mendapatkan pendidikan formal seperti dokter spesialis kandungan, bidan dan lain-lain, sedangkan bukan tenaga kesehatan misalnya dukun terlatih maupun dukun tidak terlatih. Seringkali seorang ibu yang akan melahirkan ditolong lebih dari satu orang penolong kelahiran. Misalnya seorang ibu pada awal persalinannya ditolong oleh dukun, karena terjadi masalah maka harus dibawa ke bidan. Dalam kasus tersebut, ada dua penolong kelahiran dimana penolong kelahiran pertama adalah dukun, sedangkan penolong kelahiran terakhir adalah bidan. Pada bab ini akan diulas mengenai penolong kelahiran terakhir.
26
Profil Anak Indonesia 2013
Gambar 5.1 Persentase Balita Menurut Penolong Kelahiran dan Tipe Daerah, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
Berdasarkan Gambar 5.1 dapat dilihat bahwa penolong kelahiran terakhir paling banyak adalah bidan baik di daerah perkotaan maupun perdesaan. Di daerah perkotaan, penolong kelahiran yang banyak dipilih oleh masyarakat setelah bidan adalah dokter. Sementara itu, penolong kelahiran terakhir yang banyak dipilih oleh masyarakat perdesaan setelah bidan adalah dukun. Masih tingginya persentase balita yang kelahirannya ditolong oleh dukun di daerah perdesaan mungkin disebabkan oleh faktor budaya dan sarana prasarana kesehatan yang kurang memadai. Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah untuk meningkatkan jumlah tenaga kesehatan maupun tersedianya sarana dan prasarana kesehatan di daerah perdesaan. 5.2
Kematian Neonatum, Bayi, dan Balita
Periode neonatal atau 28 hari setelah kelahiran adalah masa paling rawan bagi seorang anak. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, 60 persen kematian bayi terjadi pada saat bayi berumur 0 bulan. Dan 80 persen kematian anak terjadi pada anak berumur 1-11 bulan. Sehingga, upaya menurunkan kematian neonatal adalah suatu hal yang sangat penting untuk digalakkan. Karena proporsi kematian neonatal dan bayi justru meningkat masingmasing sekitar 3,5 dan 3,3 persen dari periode sebelumnya (SDKI 2007). Tren menunjukkan bahwa angka kematian balita dan bayi pada tahun 2012 menurun
27
Profil Anak Indonesia 2013
dibanding tahun 2007, sedangkan kematian neonatal tidak terlihat perubahannya (Grafik 5.2). Namun fakta yang menunjukkan bahwa peningkatan proporsi kematian neonatal dan kematian bayi terhadap angka kematian balita jelas akan menjadi arah dalam menentukan kebijakan guna menurunkan kematian neonatal yang secara signifikan akan menurunkan angka kematian balita secara lebih cepat. Berita baiknya adalah bahwa angka kematian balita di Indonesia sudah jauh menurun dalam dua dekade terakhir, Pada SDKI 2012, angka kematian bayi tercatat sebanyak 40 tiap 1.000 bayi lahir hidup atau turun hampir 60 persen (58,7 persen) dari tahun 1991 yang tercatat sebesar 97 kematian per 1000 kelahiran. Sementara penurunan angka kematian balita terlihat sangat signifikan dalam periode tersebut, tidak demikian halnya dengan angka kematian neonatal yang tidak menunjukkan perubahan berarti, khususnya dalam lima belas tahun terakhir (Lihat Grafik 5.2 ), dimana angka kematian neonatal hanya turun dari 22 pada 1995 menjadi 19 per 1000 kelahiran. Bahkan pada dua periode SDKI yang terakhir (2007 dan 2012), angka kematian neonatal tidak berubah yaitu 19 per seribu kelahiran hidup. Disini terlihat bahwa penurunan angka kematian neonatal berjalan lebih lambat dari angka kematian bayi dan balita. Grafik 5.2 Angka Kematian Neonatum, Bayi, dan Balita, Per 1000 Kelahiran Hidup 1991-2012
Sumber: SDKI 2012
Dalam buku ‘Levels & Trends in Child Mortality Report 2013’ yang disusun oleh UNICEF, WHO, Bank Dunia dan PBB, dijelaskan bahwa pola penurunan angka kematian bayi dan kematian neonatal di semua negara yang mengadopsi poin-poin MDG’s adalah sama. Dimana penurunan kematian bayi jauh lebih cepat daripada
28
Profil Anak Indonesia 2013
angka kematian neonatal. Tren tersebut diperkirakan akan terus terjadi sejalan dengan terus menurunnya angka kematian balita. Kematian neonatal diakibatkan oleh berbagai macam penyakit dan kondisikondisi yang umumnya sudah dapat dicegah dengan berbagai macam jenis perawatan yang terbukti efektif dan murah. Secara global, kematian neonatal disebabkan oleh sepsis dan meningitis, pneumonia, atau diare. Penyakit-penyakit tersebut dapat disembuhkan dengan menerapkan pencegahan dan perawatan yang sederhana. Penyebab kematian neonatal lainnya adalah komplikasi pada saat menjelang kelahiran. Program yang terencana dengan baik yang dilakukan oleh pemerintah dan berbagai pihak terkait akan dapat membantu meningkatkan perawatan bagi ibu dan bayi di seluruh daerah. Tentu saja, program-program tersebut juga harus dijalankan bersamaan dengan program pencegahan yang terkait dengan ibu dan bayi. Misalnya, kunjungan postneonatal akan menjadi sarana efektif untuk mempromosikan kebiasaan hidup sehat seperti kebiasaan menyusui dengan ASI dan penerapan pola hidup bersih bagi ibu-ibu yang baru melahirkan. Kemudian juga penanganan terhadap penyakit menular seperti pneumonia, diare dan malaria. Perawatan kelahiran dapat memberikan tiga keuntungan, yaitu buat ibu, bayi dan anak-anak di kemudian hari. Dengan menerapkan berbagai metode yang sederhana tersebut, diharapkan dapat membantu mengurangi angka kematian bayi. 5.3
Air Susu Ibu (ASI)
Air susu ibu atau yang sering kita sebut dengan istilah ASI merupakan susu yang diproduksi oleh manusia untuk konsumsi bayi dan merupakan sumber gizi utama bagi bayi yang belum dapat mencerna makanan padat. Bayi yang disusui dengan ASI akan mendapatkan gizi terbaik yang tidak tergantikan bahkan oleh susu formula yang terbaik sekalipun. Hal ini dikarenakan, ASI mengandung banyak immunoglobulin A (IgA) yang baik untuk pertahanan tubuh dalam melawan penyakit. Seharusnya seorang bayi yang baru lahir mendapatkan ASI untuk kekebalan tubuh dan kesehatannya. WHO merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan. Para ahli menyatakan bahwa manfaat ASI akan meningkat jika bayi diberi ASI saja selama 6 bulan pertama kehidupannya. Akan tetapi belum semua ibu tahu pentingnya ASI untuk bayi, oleh karenanya perlu
29
Profil Anak Indonesia 2013
dilakukan sosialisasi pentingnya ASI untuk menghasilkan generasi penerus yang cerdas dan sehat. Gambar 5.3 memperlihatkan sebanyak 94,70 persen balita di Indonesia pernah diberi ASI, dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap balita laki-laki (94,29 persen) maupun perempuan (95,13 persen) yang pernah diberi ASI. Sementara itu persentase balita di daerah perdesaan yang pernah diberi ASI (96,15 persen) sedikit lebih tinggi dibandingkan balita di daerah perkotaan (93,20 persen). Gambar 5.3 Persentase Balita yang Pernah Diberi ASI Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
Rata-rata lama pemberian ASI di Indonesia (Gambar 5.4) adalah 15,85 bulan atau sekitar 16 bulan. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata lama pemberian ASI balita laki-laki (15,80 bulan) dan perempuan (15,91 bulan). Juga tidak ada perbedaan yang signifikan antara balita di daerah perkotaan dan perdesaan. Data tersebut mengindikasikan kesadaran masyarakat akan pentingnya pemberian ASI sudah cukup baik.
30
Profil Anak Indonesia 2013
Gambar 5.4
Rata-rata Lama Pemberian ASI (Bulan) Menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
Akan tetapi jika dilihat lebih jauh lagi mengenai ASI yang diberikan kepada balita, apakah ASI yang diberikan hanya ASI saja atau dengan makanan tambahan maka pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan masih harus ditingkatkan. Rata-rata lama pemberian ASI saja adalah sekitar 4 bulan, baik di derah perkotaan maupun perdesaan. Sementara itu, rata-rata lama pemberian ASI dengan makanan tambahan sekitar 12 bulan (Gambar 5.5). Gambar 5.5
Rata-rata Lama Pemberian ASI (Bulan) Tanpa Makanan Tambahan dan dengan Makanan Tambahan bagi Balita Menurut Tipe Daerah, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
31
Profil Anak Indonesia 2013
Dari Gambar 5.6 dapat dilihat persentase balita umur 2-4 tahun yang diberi ASI saja selama enam bulan lebih. Hal ini mengggambarkan balita yang diberi ASI eksklusif. Persentase balita 2-4 tahun yang diberi ASI saja selama enam bulan lebih sebesar 44,76 persen. Jika dilihat dari tipe daerahnya, balita usia 2-4 tahun yang diberi ASI saja selama enam bulan lebih di daerah perkotaan (46,20 persen) sedikit lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (43,39 persen). Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat di daerah perkotaan akan pentingnya ASI eksklusif lebih tinggi dibandingkan di perdesaan. Gambar 5.6 Persentase Balita Berumur 2-4 Tahun yang Diberi ASI Saja Selama 6 Bulan Lebih Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
5.4
Imunisasi
Salah satu investasi kesehatan yang tidak kalah pentingnya adalah imunisasi. Imunisasi adalah pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit dengan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit yang berbahaya. Sesuai dengan pedoman WHO, anak dinyatakan telah diimunisasi lengkap bila telah mendapatkan satu kali imunisasi BCG, tiga kali imunisasi DPT, tiga kali imunisasi polio, dan satu kali imunisasi campak (BPS, 2007). Dengan imunisasi, anak akan terhindar dari penyakit berbahaya, sehingga anak dapat beraktifitas, bermain, dan belajar tanpa harus terganggu oleh masalah kesehatan. Akan tetapi, masih banyak masalah di Indonesia sehubungan dengan
32
Profil Anak Indonesia 2013
pemberian imunisasi, seperti orang tua yang kurang memahami pentingnya imunisasi, mitos yang salah tentang imunisasi, budaya, hingga terlambatnya jadwal imunisasi. Karena sejatinya, balita diberikan imunisasi secara lengkap dan tepat waktu, maka seluruh imunisasi harus diberikan secara lengkap sebelum anak berumur 1 tahun. Gambar 5.7 Persentase Balita yang Pernah Diberi Imunisasi Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
Dari Gambar 5.7 di atas dapat dilihat bahwa persentase balita yang pernah diberi imunisasi sebesar 95,10 persen. Yang dimaksud dengan pernah diimunisasi adalah jika seorang balita pernah mendapat imunisasi minimal satu kali apapun jenis imunisasinya. Jika dilihat menurut jenis kelamin, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara persentase balita laki-laki (95,04 persen) dan perempuan (95,16 persen) yang pernah diimunisasi. Hal ini mengindikasikan sudah banyak balita yang mendapat imunisasi. Sementara itu, untuk persentase balita yang pernah diimunisasi di daerah perkotaan sebesar 96,79 persen, sedikit lebih tinggi dibandingkan di perdesaan yaitu sebesar 93,46 persen. Lebih banyaknya balita yang diimunisasi di daerah perkotaan dibandingkan di perdesaan perlu mendapat perhatian pemerintah, terutama sarana kesehatan yang kurang memadai di perdesaan.
33
Profil Anak Indonesia 2013
Gambar 5.8 Persentase Balita yang Pernah Diberi Imunisasi Menurut Jenis Imunisasi dan Jenis Kelamin, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
Balita yang pernah diimunisasi di Indonesia relatif cukup banyak, namun harus dilihat jenis imunisasinya. Dari Gambar 5.8 dapat dilihat bahwa balita yang pernah diimunisasi BCG, DPT, dan Polio relatif cukup tinggi, di atas 90 persen. Sementara itu persentase balita yang pernah diimunisasi campak cukup rendah yaitu 78,02 persen. Hal ini dikarenakan, imunisasi campak diberikan pada saat usia bayi 9 bulan. Gambar 5.9 Persentase Balita Berumur 1-4 Tahun yang Mendapat Imunisasi Lengkap Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah, 2012
70,62 70,29
70,43 70,25
70,12
69,95
69,94
69,78
69,61
Perkotaan Laki-laki
Perdesaan Perempuan
34
Perkotaan + Perdesaan Laki-laki + Perempuan
Profil Anak Indonesia 2013
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
Selain melihat jenis imunisasinya, perlu dikaji lebih jauh mengenai pemberian imunisasi lengkap. Karena dengan imunisasi lengkap, sistem imun dalam diri anak sudah tercipta dengan baik. Meskipun sudah banyak balita yang diberi imunisasi, namun baru 70,12 persen balita yang diberi imunisasi lengkap. Imunisasi lengkap ditanyakan kepada balita berumur 1-4 tahun, dengan asumsi bahwa saat usia balita satu tahun sudah mendapat imunisasi lengkap denganditandai pemberian imunisasi campak di umur 9 bulan. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara balita laki-laki (70,43 persen) dan balita perempuan (69,78 persen) dalam pemberian imunisasi lengkap. Begitu pula menurut daerah tempat tinggal, tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap balita di daerah perkotaan (70,29 persen) dan balita di perdesaan (69,94 persen) yang sudah diimunisasi lengkap. 5.5
Keluhan Kesehatan
Tingkat kesejahteraan suatu negara dapat dilihat dari tingkat kesehatannya. Salah satu indikator yang dapat menggambarkan tingkat kesehatan adalah angka kesakitan atau sering disebut juga dengan angka morbiditas. Keluhan kesehatan didefinisikan sebagai gangguan terhadap kondisi fisik maupun jiwa, termasuk kecelakaan, atau hal lain yang menyebabkan terganggunya kegiatan sehari-hari. Sementara itu, seseorang dikatakan sakit jika mengalami keluhan kesehatan dan terganggu aktivitas sehari-harinya. Gambar 5.10 Persentase Anak yang Sakit Selama Sebulan Terakhir Menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin, 2012
35
Profil Anak Indonesia 2013
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
Dari Gambar 5.10 dapat dilihat bahwa angka kesakitan anak Indonesia adalah 27,61 persen. Angka kesakitan anak di daerah perkotaan sebesar 28,44 persen dan angka kesakitan di daerah perdesaan sebesar 26,84 persen. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara angka kesakitan anak laki-laki (27,56 persen) dan anak perempuan (27,68 persen). Gambar 5.11
Persentase Anak yang Mempunyai Keluhan Kesehatan Selama Sebulan Terakhir Menurut Jenis Keluhan Terbesar dan Jenis Kelamin, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
Dalam Susenas, jenis keluhan kesehatan dirinci menjadi panas, batuk, pilek, asma/napas sesak/cepat, diare/buang air, sakit kepala berulang, sakit gigi, dan lainnya. Dalam publikasi ini, jenis keluhan kesehatan dibagi dalam empat kelompok yaitu panas, batuk, pilek, dan lainnya (keluhan kesehatan selain panas, batuk, dan pilek). Lebih dari separuh balita di Indonesia mengalami panas (54,04 persen), batuk (59,41 persen), dan pilek (61,38 persen). Ketiga keluhan kesehatan ini sering dialami balita, karena balita masih sangat rentan terhadap penyakit. Sementara itu persentase balita yang mengalami keluhan kesehatan lainnya sebesar 6,55 persen (Gambar 5.11). Banyak cara yang dilakukan orang ketika dirinya sakit, dari mengobati sendiri, berobat ke dokter dan lain sebagainya. Mengobati sendiri adalah cara yang banyak dilakukan orang ketika mengalami sakit, sebelum berobat ke fasilitas kesehatan. Adapun cara mengobati sendiri bermacam-macam. Dalam Susenas,
36
Profil Anak Indonesia 2013
cara mengobati sendiri dibedakan menjadi tiga yaitu minum obat/pengobatan modern, minum obat/pengobatan tradisional, dan lainnya. Gambar 5.12
Persentase Anak yang Mempunyai Keluhan Kesehatan dan Mengobati Sendiri Selama Sebulan Terakhir Menurut Daerah Tempat Tinggal dan Jenis Kelamin, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
Pada Gambar 5.12, sebanyak 62,56 persen anak yang sakit mengobati sendiri sakitnya. Jika dilihat menurut tipe daerahnya, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara anak di daerah perkotaan yang sakit dan mengobati sendiri (63,65 persen) dan anak di daerah perdesaan yang sakit dan mengobati sendiri (61,48 persen). Sementara itu dari Gambar 5.13 dapat dilihat bahwa 92,85 persen anak yang mengobati sendiri menggunakan obat modern, 20,37 persen menggunakan obat tradisional, dan 3,66 persen pengobatan lainnya. Gambar 5.13
Persentase Anak yang Mempunyai Keluhan Kesehatan dan Penggunaan Obat menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin, 2012
37
Profil Anak Indonesia 2013
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
5.6
Akses ke Pelayanan Kesehatan
Tingkat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor dilihatdari sisi masyarakat, sarana dan prasarana kesehatan. Jumlah fasilitas kesehatan menjadi salah satu faktor yang penting untuk diperhatikan. Yang tak kalah pentingnya adalah akses ke pelayanan kesehatan. Walaupun jumlahnya pelayanan kesehatan memadai namun bila sulit dijangkau maka fungsinya sebagai tempat pelayanan kesehatan menjadi kurang optimal. Tabel 5.1 Persentase Anak yang Berobat Jalan menurutJenis Fasilitas Kesehatan dan Tipe Daerah, 2012 Fasilitas Kesehatan
Perkotaan
Perdesaan
Perkotaan dan Perdesaan
(1)
(2)
(3)
(4)
Rumah Sakit Pemerintah
4,57
2,42
3,51
Rumah Sakit Swasta
5,82
1,35
3,62
Praktek Dokter/Poliklinik
37,97
15,78
27,02
Puskesmas/Pustu
34,90
39,56
37,20
Praktek Tenaga Kesehatan
21,55
43,46
32,36
Praktek PengobatanTradisional
1,59
1,96
1,77
Dukun Bersalin
0,75
0,39
0,57
Lainnya
1,91
1,94
1,93
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
38
Profil Anak Indonesia 2013
Dari Tabel 5.1 dapat dilihat bahwa fasilitas kesehatan yang paling digunakan balita yang sakit untuk berobat jalan adalah puskesmas (37,20 persen), danpraktek tenaga kesehatan (32,36persen). Yang perlu menjadi perhatian adalah masih ada anak yang berobat jalan ke praktek pengobatan tradisional (1,77 persen), dukun bersalin (0,57 persen), dan lainnya (1,93 persen). 5.7
Tingkat Kunjungan ke Fasilitas Kesehatan
Tingkat kunjungan merupakan banyaknya kunjungan pasien ke salah satu fasilitas kesehatan dibandingkan dengan jumlah kunjungan ke seluruh fasilitas kesehatan. Indikator tingkat kunjungan ke fasilitas kesehatan dapat digunakan untuk melihat fasilitas kesehatan yang paling banyak dikunjungi. Dari Gambar 5.14 dapat dilihat bahwa tingkat kunjungan tertinggi adalah ke puskesmas/pustu yaitu sebesar 34,07 persen. Sementara tingkat kunjungan terendah adalah ke dukun bersalin (0,75 persen). Gambar 5.14 Tingkat Kunjungan Anak ke Fasilitas Kesehatan, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
Di Indonesia, masih ditemui anak-anak yang berobat ke bukan tenaga kesehatan. Tingkat kunjungan ke bukan tenaga kesehatan sebesar 5,02 persen, dimana 2,04 persen ke praktek pengobatan tradisional (batra), 0,75 persen ke dukun bersalin, dan 2,23 persen tingkat kunjungan ke fasilitas kesehatan lainnya. Sementara jika dilihat sebarannya menurut provinsi (Tabel A-5.20 Lampiran), dua provinsi dengan tingkat kunjungan ke bukan tenaga kesehatan tertinggi adalah
39
Profil Anak Indonesia 2013
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (26,60 persen), dan Provinsi Nusa Tenggara Barat (11,83 persen). Menurunkan tingkat kunjungan kesehatan ke bukan tenaga kesehatan merupakan salah satu target pemerintah di bidang kesehatan. Dengan semakin berkurangnya anak yang berobat ke bukan fasilitas kesehatan, semakin berkurang juga resiko kematian anak. Hal ini sejalan dengan tujuan ke empat dari Millenium Development Goals yaitu menurunkan angka kematian anak.
40
Profil Anak Indonesia 2013
6 PENDIDIKAN, PEMANFAATAN WAKTU LUANG, DAN KEGIATAN SENI BUDAYA Anak-anak merupakan aset (obyek) dari komunitas sosial sehingga investasi dalam bentuk perlindungan, pengakuan, dan pemajuan akan hak-haknya akan kembali pada penguatan struktur produktivitas dan integrasi sosial dimasa yang akan datang. Hak anak atas pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang fundamental sehingga keberadaannya tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun berdasarkan manfaat dan arti penting pendidikan bagi anak dalam korelasinya sebagai mahkluk individu dan sosial. Deklarasi tentang Hak atas Pembangunan (Deny Slamet Pribadi, 2007) menyatakan bahwa pendidikan merupakan prasyarat bagi terciptanya pembangunan ekonomi sosial, budaya, dan politik dalam usaha peningkatan taraf hidup manusia dalam proses pembangunan berdasarkan peran aktif serta kebebasan. Selanjutnya, Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya menekankan arti penting hak atas pendidikan sebagai kendaraan utama untuk meningkatkan dan memberdayakan anak-anak dari kemiskinan, sarana untuk berpartisipasi secara aktif dan total dalam pembangunan komunitas sosialnya. Dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of the Child) juga dinyatakan bahwa setiap negara di dunia melindungi dan melaksanakan hak-hak anak tentang pendidikan dengan mewujudkan wajib belajar pendidikan dasar bagi semua secara bebas (Artikel 28). UUD 1945 juga mengamanatkan bahwa pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia, karenanya setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama, dan gender. Undang Undang No 20 Tahun 2003 Pasal 6 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (SD/sederajat dan SMP/sederajat). Melalui UU tersebut, Pemerintah ingin memastikan bahwa seluruh anak dapat berpartisipasi dalam kegiatan sekolah.
41
Profil Anak Indonesia 2013
Sesuai dengan Undang Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Sesuai dengan definisi anak tersebut, penulisan analisis pendidikan anak menggunakan umur 5-17 tahun. Selain mengikuti pendidikan, anak-anak diharapkan memiliki waktu untuk beristirahat dan dapat memanfaatkan waktu senggangnya untuk melakukan berbagai kegiatan seni, budaya, olahraga dan aktivitas lainnya. Dalam bab ini dibahas mengenai pemanfaatan waktu luang oleh anak khususnya dalam mengakses media serta partisipasi anak dalam kegiatan olahraga, kursus, dan kesenian. 6.1
Partisipasi Sekolah
Partisipasi sekolah merupakan indikator yang digunakan untuk melihat akses masyarakat terhadap pendidikan khususnya bagi penduduk usia sekolah. Partisipasi sekolah penduduk dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu tidak/belum pernah sekolah, masih bersekolah, dan tidak bersekolah lagi. Seseorang dengan status masih sekolah adalah mereka yang terdaftar dan aktif mengikuti pendidikan pada jenjang pendidikan formal maupun pendidikan non formal. Tabel 6.1
Persentase Anak Berumur 5-17 Tahun Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin, dan Partisipasi Sekolah, 2012 Tipe Daerah/ Jenis Kelamin
(1) Perkotaan Laki-laki Perempuan Laki-laki dan Perempuan Perdesaan Laki-laki Perempuan Laki-laki dan Perempuan Perkotaan dan Perdesaan Laki-laki Perempuan Laki-laki dan Perempuan
Formal dan Nonformal Tidak/Belum Sekolah
Masih Sekolah
Tidak Sekolah lagi
Jumlah
(2)
(3)
(4)
(5)
12,34 11,50 11,93
82,39 83,44 82,90
5,27 5,06 5,17
100,00 100,00 100,00
12,49 12,22 12,36
79,49 81,11 80,27
8,02 6,68 7,37
100,00 100,00 100,00
12,42 11,87 12,15
80,87 82,23 81,53
6,71 5,90 6,32
100,00 100,00 100,00
42
Profil Anak Indonesia 2013
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
Tabel 6.1 menyajikan persentase anak umur 5-17 tahun menurut tipe daerah, jenis kelamin serta partisipasi sekolah. Berdasarkan hasil Susenas tahun 2012, persentase anak berumur 5-17 tahun yang masih bersekolah sekitar 81,53 persen. Sementara itu anak yang belum/tidak pernah bersekolah sebesar 12,15 persen dan sisanya, yaitu sebesar 6,32 persen tidak bersekolah lagi. Berdasarkan tipe daerah, persentase anak umur 5-17 tahun yang masih bersekolah di perkotaan (82,90 persen) lebih tinggi dibanding di perdesaan (80,27 persen). Hal sebaliknya terjadi untuk persentase anak umur 5-17 tahun yang tidak bersekolah lagi. Persentase anak umur 5-17 tahun di perkotaan yang tidak bersekolah lagi lebih rendah dinadingkan dengan anak di perdesaan (5,17 persen berbanding 7,37 persen). Kemudahan akses untuk memperoleh pendidikan di perkotaan yang lebih baik, serta ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan di perkotaan yang lebih lengkap dan lebih memadai dibandingkan dengan di perdesaan diduga menjadi penyebab adanya perbedaan antara persentase anak yang bersekolah di perkotaan dibanding di perdesaan. Selain daerah tempat tinggal, akses terhadap pendidikan juga dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin. Persentase anak perempuan umur 5-17 tahun yang tidak/belum pernah sekolah lebih rendah daripada anak laki-laki. Susenas 2012 mencatat bahwa persentase anak perempuan umur 5-17 tahun yang tidak/belum pernah sekolah sebesar 11,87 persen, sedangkan untuk laki-laki sebesar 12,42 persen. Keadaan yang serupa ditemukan baik di perkotaan maupun perdesaan. Faktor lain yang memengaruhi akses penduduk pada pendidikan antara lain adalah umur. Semakin tinggi kelompok usia sekolah semakin rendah tingkat partisipasi sekolahnya. Pada Tabel 6.2 terlihat bahwa persentase anak yang masih sekolah pada kelompok umur 7-12 tahun (kelompok usia SD/sederajat) tercatat sebesar 97,95 persen. Pada kelompok umur 13–15 tahun (kelompok usia SMP/sederajat) persentase anak yang masih sekolah sebesar 89,66 persen dan pada kelompok umur 16–17 tahun (kelompok usia SM/sederajat) sebesar 71,34 persen. Meskipun usia minimal yang direkomendasikan untuk bersekolah adalah 7 tahun, namun hasil Susenas tahun 2012 menunjukkan bahwa terdapat anak berumur 5-6 tahun yang saat ini bersekolah (27,05 persen). Sementara itu pada kelompok umur yang direkomendasikan untuk mengenyam pendidikan (7-17 tahun), terlihat bahwa sebesar 91,46 persen anak pada kelompok umur 7-17 masih
43
Profil Anak Indonesia 2013
bersekolah. Sedangkan anak yang tidak/belum sekolah sebesar 1,08 persen dan anak yang tidak sekolah lagi sebesar 7,47 persen. Tabel 6.2
Persentase Anak Berumur 5-17 Tahun Menurut Kelompok Umur dan Partisipasi Sekolah, 2012 Formal dan Nonformal
Kelompok Umur
Jumlah
Tidak/Belum Sekolah
Masih Sekolah
Tidak Sekolah lagi
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
5–6
72,95
27,05
0,00
100,00
7 – 12
1,29
97,95
0,76
100,00
13 – 15
0,79
89,66
9,55
100,00
16 – 17
0,78
71,34
27,88
100,00
5 – 17
12,15
81,53
6,32
100,00
7 – 17
1,08
91,46
7,47
100,00
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
Berdasarkan sebaran menurut provinsi, persentase terbesar anak berumur 7-17 tahun yang tidak/belum pernah bersekolah berada di Papua yaitu sebesar 20,97 persen, kemudian Papua Barat sebesar 2,26 persen dan Nusa Tenggara Timur sebesar 2,05 persen (Tabel A-6.2 Lampiran). 6.2
Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM), dan Angka Partisipasi Kasar (APK)
Partisipasi penduduk usia sekolah dalam mengikuti pendidikan berdasarkan jenjang dan umur dapat diketahui melalui indikator Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Partisipasi Kasar (APK). APS dibedakan menjadi APS 7-12 tahun, APS 13-15 tahun, APS 16-18 tahun, dan APS 19-24 tahun. APS 7-12 tahun menunjukkan angka partisipasi penduduk berumur 7-12 yang saat ini masih bersekolah di jenjang manapun. Sementara itu APM digunakan untuk melihat partisipasi sekolah menurut kelompok usia sekolah sesuai jenjang pendidikannya. APM dibedakan menjadi APM SD, APM SMP, APM SM, dan APM PT. APM SD menunjukkan angka partisipasi penduduk berumur 7-12 tahun yang masih bersekolah di SD/sederajat. Sedangkan APK digunakan untuk melihat partisipasi sekolah penduduk menurut jenjang pendidikan tertentu tanpa melihat umur. Seperti APM, APK dibedakan menjadi
44
Profil Anak Indonesia 2013
APK SD, APK SMP, APK SM, dan APK PT. Interpretasi APK SD yaitu angka partisipasi penduduk yang masih bersekolah di jenjang SD/sederajat pada usia berapapun. Meskipun konsep anak dalam publikasi ini adalah penduduk yang berusia sampai dengan 17 tahun, khusus untuk APK SM dan APM SM mengacu pada konsep Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) yaitu menggunakan kelompok usia 16-18 tahun. Hal ini dilakukan agar interpretasi yang digunakan dalam publikasi ini sama dengan yang dikeluarkan oleh Kemdikbud. Sementara itu kelompok umur APS menyesuaikan dengan kelompok umur anak yaitu kelompok umur 7-12 tahun, 13-15 tahun, dan 16-17 tahun. 6.2.1
Angka Partisipasi Sekolah (APS)
Angka partisipasi sekolah (APS) merupakan ukuran daya serap sistem pendidikan terhadap penduduk usia sekolah dan sebagai indikator dasar yang digunakan untuk melihat akses pada pendidikan khususnya bagi penduduk usia sekolah. APS merupakan persentase penduduk yang bersekolah menurut kelompok umur tertentu. Indikator APS digunakan sebagai ukuran daya serap sistem pendidikan nasional terhadap penduduk usia sekolah.Indikator ini tidak memperhitungkan jenjang pendidikan, lembaga, maupun kualitas pendidikan yang sedang ditempuh. Kegiatan bersekolah tidak saja bersekolah di jalur formal akan tetapi juga termasuk bersekolah di jalur non formal seperti paket A setara SD/MI, paket B setara SMP/MTs, dan paket C setara SM/MA. Gambar 6.1 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Anak Berumur 7-17 Tahun Menurut Jenis Kelamin, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
45
Profil Anak Indonesia 2013
Gambar 6.1 menunjukkan bahwa pada tahun 2012,APS 7-12 tahun tercatat sebesar 97,95 persen. Angka tersebut memiliki arti bahwa dari 100 anak usia 7-12 tahun, sekitar 98 anak masih bersekolah dan 2 anak tidak bersekolah (baik yang tidak/belum pernah sekolah maupun tidak sekolah lagi). Sementara itu APS 13-15 tahun tercatat sebesar 89,66 persen dan APS 16-17 tahun sebesar 71,34 persen. Apabila diperhatikan menurut jenis kelamin, secara umum terlihat bahwa APS anak perempuan pada setiap kelompok umur sekolah lebih tinggi dibandingkan dengan APS anak laki-laki. Gambar 6.2 menunjukkan bahwa secara umum APS di perkotaan cenderung lebih tinggi dibandingkan APS di perdesaan. Lebih tingginya APS anak di perkotaan terjadi pada setiap kelompok umur. Kondisi ini sedikit memberikan gambaran bahwa penduduk perkotaan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk memperoleh pendidikan dibandingkan mereka yang tinggal di daerah perdesaan. Hal ini terkait dengan lebih banyaknya jumlah sekolah serta mudahnya akses ke sekolah di daerah perkotaan dibandingkan dengan perdesaan. Gambar 6.2
Angka Partisipasi Sekolah (APS) Anak Berumur 7-17 Tahun Menurut Tipe Daerah, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
6.2.2
Angka Partisipasi Murni (APM)
Angka Partisipasi Murni (APM) merupakan proporsi penduduk kelompok usia sekolah tertentu yang sedang bersekolah pada jenjang pendidikan yang sesuai dengan usianya terhadap jumlah penduduk pada kelompok usia sekolah tersebut. APM berfungsi untuk menunjukkan partisipasi pendidikan penduduk pada tingkat
46
Profil Anak Indonesia 2013
pendidikan tertentu yang sesuai dengan usianya, atau melihat penduduk usia sekolah yang dapat bersekolah pada jenjang pendidikan yang sesuai usianya. Sebagai gambaran misalnya APM SD adalah proporsi jumlah murid SD/sederajat yang berusia 7 – 12 tahun terhadap jumlah seluruh anak yang berusia 7 – 12 tahun. APM digunakan untuk melihat penduduk usia sekolah yang dapat bersekolah tepat waktu.Bila seluruh anak usia sekolah dapat bersekolah tepat waktu, maka APM akan mencapai 100 persen. Gambar 6.3 menunjukkan bahwa pada tahun 2012, APM SD tercatat sebesar 92,49 persen, APM SMP sebesar 70,84 persen dan APM SM sebesar 51,46 persen. Berdasarkan Gambar 6.3 juga dapat diketahui bahwa pada jenjang pendidikan yang tinggi, besaran APM menjadi lebih rendah dibanding dengan jenjang pendidikan di bawahnya atau dengan kata lain APM dan jenjang pendidikan berbanding terbalik. Gambar 6.3
Angka Partisipasi Murni (APM) Anak Menurut Jenis Kelamin, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
Tidak terlihat adanya perbedaan yang nyata antara APM anak laki-laki dengan APM anak perempuan pada setiap jenjang pendidikan. APM SD/sederajat anak laki-laki sebesar 92,57 persen, sedangkan APM SD/sederajat anak perempuan sebesar 92,41 persen. Pada jenjang pendidikan SMP/sederajat APM laki-laki sebesar 69,53 persen dan APM anak perempuan sebesar 72,22 persen. Sementara itu APM SM/sederajat anak laki-laki sebesar 51,56 dan anak perempuan sebesar 51,35 persen. Menurut daerah tempat tinggal, APM anak di daerah perkotaan secara umum cenderung lebih tinggi dibandingkan daerah perdesaan, kecuali pada
47
Profil Anak Indonesia 2013
jenjang SD yang persentasenya relatif hampir sama (Gambar 6.4). Kesenjangan APM antara anak di perkotaan dan perdesaan semakin tinggi sejalan dengan semakin meningkatnya jenjang pendidikan. Kondisi ini semakin mempertegas bahwa terdapat perbedaan kesempatan bersekolah serta sarana dan prasarana antara anak yang tinggal di daerah perkotaan dibanding anak yang tinggal daerah di perdesaan. Gambar 6.4
Angka Partisipasi Murni (APM) Anak Menurut Tipe Daerah, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
6.2.3
Angka Partisipasi Kasar (APK)
Angka Partisipasi Kasar (APK) mengindikasikan partisipasi penduduk yang sedang mengenyam pendidikan menurut jenjang pendidikan tanpa melihat umur. APK SD merupakan persentase jumlah penduduk yang sedang sekolah di SD/sederajat terhadap jumlah penduduk usia 7 – 12 tahun. Nilai APK bisa lebih dari 100 persen apabila jumlah murid yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan mencakup anak di luar batas usia sekolah pada jenjang pendidikan yang bersangkutan (misal anak yang bersekolah di jenjang SD/sederajat berumur kurang dari 7 tahun atau lebih dari 12 tahun). Berdasarkan Susenas 2012 yang disajikan dalam Gambar 6.5 dapat diketahui bahwa APK SD/sederajat sebesar 104,30 persen, APK SMP/sederajat sebesar 89,38 persen, dan APK SM/sederajat sebesar 68,22 persen. Penurunan APK pada jenjang
48
Profil Anak Indonesia 2013
pendidikan yang semakin tinggi sejalan dengan kecenderungan penurunan APS dan APM pada usia atau jenjang yang semakin tinggi. Nilai APK SD/sederajat sebesar 104,30 persen menunjukkan bahwa dari keseluruhan siswa yang bersekolah pada jenjang SD/sederajat di tahun 2012, ada sekitar 4,30 persen anak yang berusia kurang dari 7 tahun dan lebih dari 12 tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa siswa yang masih sekolah di SD/sederajat selain mencakup anak yang berusia 7 – 12 tahun, juga mencakup anak yang berusia kurang dari 7 tahun dan lebih dari 12 tahun. Dengan kata lain terdapat anak yang terlambat masuk sekolah atau tinggal kelas pada jenjang SD/sederajat atau sebaliknya terdapat anak yang terlalu dini untuk bersekolah SD/sederajat. Gambar 6.5
Angka Partisipasi Kasar (APK) Anak Menurut Jenis Kelamin, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
Pada jenjang pendidikan SD/sederajat, APK laki-laki lebih tinggi dibanding APK anak perempuan (APK SD/sederajat anak laki-laki sebesar 104,51 persen dan APK SD/sederajat anak perempuan sebesar 104,07 persen). Keadaan yang berkebalikan terlihat pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi (SMP/sederajat dan SM/sederajat), dimana APK anak perempuan lebih tinggi dibanding APK anak lakilaki (Gambar 6.5). Sementara itu, apabila diperhatikan menurut daerah tempat tinggal tampak bahwa APK anak di daerah perkotaan cenderung lebih tinggi dari daerah perdesaan, kecuali untuk APK SD/sederajat. Di perdesaan, APK SD sebesar 105,19 persen, sedangkan di perkotaan sebesar 103,29 persen (Gambar 6.6). APK SMP/sederajat di daerah perkotaan sebesar 92,02 persen dan APK SM/sederajat
49
Profil Anak Indonesia 2013
sebesar 76,09 persen. Sedangkan APK SMP/sederajat di perdesaan sebesar 87,02 persen dan APK SM/sederajat sebesar 59,78 persen. Gambar 6.6
Angka Partisipasi Kasar (APK) Anak Menurut Tipe Daerah, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
6.3
Angka Buta Huruf
Buta huruf adalah ketidakmampuan seseorang untuk membaca dan menulis. Kemampuan membaca sangat penting untuk pemeliharaan dan pengembangan kehidupan suatu masyarakat. Dalam dunia pendidikan, kegiatan membaca dapat dipandang sebagai jantungnya pendidikan. Melalui kegiatan membaca, setiap orang dapat mengikuti perkembangan baru yang terjadi dalam kehidupan. Menurut Harjasujana (Mumuh, 2003), jika dikaitkan dengan program pendidikan di sekolah, membaca memegang peranan yang sangat penting. Kemampuan membaca merupakan faktor utama penentu prestasi belajar. Di dunia internasional salah satu aspek penentu tingkat pembangunan suatu bangsa diukur dari tingkat keaksaraan penduduknya. Begitu pentingnya tingkat keaksaraan, sehingga penuntasan buta aksara menjadi suatu yang sangat diperlukan. Penuntasan buta aksara merupakan suatu investasi sumber daya manusia yang mempengaruhi berbagai aspek-aspek lain seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, dan sebagainya. WHO menekankan bahwa penuntasan buta aksara harus menjadi bagian terintegrasi dalam reformasi ekonomi. Kebutaaksaraan dapat menimbulkan efek negatif terhadap generasi kedua, dikarenakan ibu yang
50
Profil Anak Indonesia 2013
buta aksara cenderung tidak memiliki pengetahuan yang memadai terhadap kebutuhan-kebutuhan anaknya pada usia dini yang merupakan masa emas (golden age), sehingga mempengaruhi perkembangan kesehatan, emosi, sosial, dan intelektualnya (Kusnadi, 2005). Negara Indonesia telah melakukan kegiatan Pemberantasan Buta Aksara (PBA) melalui kurun waktu dan proses yang sangat panjang. Kegiatan PBA diawali sejak perang kemerdekaan, dimana para gerilyawan yang sudah dapat membaca, menulis, dan berhitung secara aktif mengajari rekannya yang belum dapat membaca dan menulis. Keseriusan Pemerintah juga terlihat dengan dikeluarkannya Inpres RI No. 5 Tahun 2006 tentang Penuntasan Wajib Belajar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. Berbagai program yang telah dilaksanakan dalam pemberantasan buta aksara diantaranya adalah kursus A-B-C, Program Pemberantasan Buta Huruf Fungsional, Kejar Paket A, dan Program Keaksaraan Fungsional (KF). Program Keaksaraan Fungsional (KF) ini dimaksudkan untuk memberantas kebutaaksaraan dengan fokus kegiatan melalui diskusi, membaca, menulis, berhitung dan pemecahan masalah yang dihadapi dalam aktivitas yang berkaitan dengan kebutuhan keseharian. Bentuk penghargaan atas mereka yang mengikuti kegiatan keaksaraan dan dinyatakan lulus, pemerintah memberikan sertifikat “SUKMA” (Surat Keterangan Melek Aksara) yang dapat digunakan sebagai rekomendasi untuk mengikuti program Paket A setara SD/MI. Selain itu, guna melayani kebutuhan membaca di kalangan masyarakat pemerintah menyediakan program Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang diharapkan dapat ikut memberantas buta huruf dan meningkatkan minat baca masyarakat. Kondisi keaksaraan anak di Indonesia ditunjukkan pada Tabel 6.3. Tabel tersebut menyajikan angka buta huruf anak umur 5-17 tahun menurut tipe daerah, jenis kelamin dan kelompok umur usia sekolah hasil Susenas 2012. Angka buta huruf (ABH) anak berumur 5-17 tahun masih tinggi yaitu sebesar 10,60 persen. Tingginya ABH anak tersebut disebabkan karena tingginya angka buta huruf pada kelompok usia 5-6 tahun yaitu sebesar 62,72 persen. Besarnya angka buta huruf pada anak kelompok umur 5-6 tahun dapat dipahami karena sebagian besar anak pada kelompok umur tersebut pada umumnya belum duduk di bangku sekolah.
51
Profil Anak Indonesia 2013
Tabel 6.3
Angka Buta Huruf Anak Berumur 5-17 Tahun Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin, dan Kelompok Usia Sekolah, 2012 Kelompok Usia Sekolah
Tipe Daerah/ Jenis Kelamin
5-6
7-12
13-15
16-17
5-17
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
59,61 57,37 58,54
0,65 0,55 0,60
0,37 0,31 0,34
0,24 0,16 0,20
9,95 9,18 9,57
67,91 65,43 66,70
2,28 1,81 2,05
1,27 1,10 1,19
1,16 1,20 1,18
11,77 11,31 11,54
63,82 61,54 62,72
1,52 1,21 1,37
0,85 0,72 0,79
0,69 0,66 0,67
10,90 10,28 10,60
Perkotaan Laki-laki Perempuan Laki-laki dan Perempuan Perdesaan Laki-laki Perempuan Laki-laki dan Perempuan Perkotaan dan Perdesaan Laki-laki Perempuan Laki-laki dan Perempuan Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
Pada anak kelompok usia diatasnya (7-17 tahun), ABH menurun seiring dengan meningkatnya usia sekolah. ABH anak kelompok umur 7-12 tahun tercatat sebesar 1,37 persen. Pada kelompok umur 13-15 tahun sebesar 0,79 persen dan kelompok umur 16-17 tahun sebesar 0,67 persen. Terlihat adanya perbedaan ABH yang cukup signifikan antara daerah perkotaan dan perdesaan. Pada setiap kelompok umur, angka buta huruf anak di perdesaan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan anak di perkotaan. Sementara itu apabila dilihat menurut jenis kelamin, ABH anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan ABH anak perempuan. Pola ini berlaku pada semua kelompok umur. 6.4
Putus Sekolah
Pendidikan merupakan hak yang sangat fundamental bagi anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal dan terarah. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Bab II Pasal 9 Ayat (1) menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Melalui pendidikan, terutama pendidikan di sekolah, seorang anak tidak hanya memperoleh pengetahuan tetapi juga dapat mengembangkan kepribadiannya sehingga menjadi pribadi yang matang secara kognitif, afektif, maupun motorik.
52
Profil Anak Indonesia 2013
Selanjutnya, di dalam UU No. 23 Tahun 2002 Bab IX Pasal 49 juga disebutkan bahwa negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan. Namun, pada kenyataannya tidak semua anak mempunyai kesempatan memperoleh pendidikan yang layak dan seluas-luasnya hingga menyebabkan mereka putus sekolah. 6.4.1
Angka Putus Sekolah
Putus sekolah didefinisikan sebagai seseorang yang tidak dapat menyelesaikan pendidikan atau berhenti bersekolah dalam suatu jenjang pendidikan sehingga belum memiliki ijazah pada jenjang pendidikan tersebut. Gambaran mengenai anak berumur 7-17 tahun yang masih/pernah bersekolah menurut tipe daerah, jenis kelamin dan status sekolah disajikan pada Tabel 6.4. Pada tahun 2012, persentase anak berumur 7-17 tahun yang masih sekolah sebesar 92,45 persen. Anak yang menamatkan sekolahnya sebesar 4,82 persen, dan sisanya sebesar 2,72 persen mengalami putus sekolah. Angka 2,72 persen mempunyai arti bahwa dari setiap 1000 orang anak usia 7-17 tahun yang bersekolah, terdapat sekitar 27 anak yang putus sekolah. Tabel 6.4
Persentase Anak Berumur 7-17 Tahun yang Masih/Pernah Sekolah Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Status Sekolah, 2012 Tipe Daerah/ Jenis Kelamin
(1) Perkotaan Laki-laki Perempuan Laki-laki dan Perempuan Perdesaan Laki-laki Perempuan Laki-laki dan Perempuan Perkotaan dan Perdesaan Laki-laki Perempuan Laki-laki dan Perempuan
Masih Sekolah (2)
Pernah Sekolah Putus Tamat Sekolah Sekolah (3) (4)
Total (5)
93,69 93,99 93,84
2,59 1,69 2,15
3,72 4,32 4,02
100,00 100,00 100,00
90,40 92,00 91,17
3,97 2,49 3,26
5,63 5,51 5,57
100,00 100,00 100,00
91,97 92,96 92,45
3,31 2,10 2,72
4,72 4,94 4,82
100,00 100,00 100,00
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
53
Profil Anak Indonesia 2013
Bila dilihat menurut tipe daerah, persentase anak putus sekolah lebih banyak terjadi di perdesaan dibandingkan di perkotaan (3,26 persen berbanding 2,15 persen). Apabila diperhatikan menurut jenis kelamin, putus sekolah lebih banyak dialami oleh anak laki-laki (3,31 persen) dibanding anak perempuan (2,10 persen). Pola ini terjadi baik di daerah perkotaan maupun perdesaan. Tabel 6.5
Angka Putus Sekolah Anak Berumur 7-17 Tahun Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin, dan Jenjang Pendidikan, 2012 Tipe Daerah/ Jenis Kelamin (1)
Perkotaan Laki-laki Perempuan Laki-laki dan Perempuan Perdesaan Laki-laki Perempuan Laki-laki dan Perempuan Perkotaan dan Perdesaan Laki-laki Perempuan Laki-laki dan Perempuan
Jenjang Pendidikan SD/ Sederajat
SMP/ Sederajat
SM/ Sederajat
(2)
(3)
(4)
1,28 0,80 1,05
0,93 0,58 0,76
0,37 0,29 0,33
2,40 1,40 1,92
1,18 0,72 0,96
0,39 0,36 0,38
1,87 1,11 1,50
1,06 0,66 0,86
0,38 0,33 0,36
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
Meskipun angka partisipasi sekolah cenderung meningkat dengan tren yang membaik setiap tahun, namun masih terdapat siswa yang tidak mampu untuk melanjutkan pendidikannya atau dengan kata lain putus sekolah. Berdasarkan hasil Susenas 2012 yang disajikan dalam Tabel 6.5, dapat diketahui bahwa angka putus sekolah yang tertinggi terdapat pada jenjang pendidikan SD/sederajat yaitu sebesar 1,50 persen, kemudian disusul jenjang SMP/sederajat sebesar 0,86 persen, dan SM/sederajat sebesar 0,36 persen. Di daerah perdesaan, anak yang putus sekolah persentasenya lebih besar jika dibandingkan dengan di perkotaan. Kondisi ini berlaku pada jenjang pendidikan dasar yaitu SD/sederajat dan SMP/sederajat, sedangkan pada jenjang SM/sederajat berlaku keadaan sebaliknya. Apabila diperhatikan menurut jenis kelamin, anak laki-laki memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk putus sekolah dibanding anak perempuan.
54
Profil Anak Indonesia 2013
Pada jenjang SD/sederajat, angka putus sekolah anak laki-laki lebih tinggi daripada anak perempuan (1,87 persen berbanding 1,11 persen). Begitu pula pada jenjang SMP/sederajat, dimana angka putus sekolah anak laki-laki (1,06 persen) lebih tinggi dibanding anak perempuan (0,66 persen). Hal yang sama juga terlihat pada jenjang pendidikan SM/sederajat dimana angka putus sekolah anak laki-laki (0,38 persen) lebih tinggi dibanding anak perempuan (0,33 persen). 6.4.2
Alasan Tidak Sekolah
Pendidikan belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh seluruh anak Indonesia sehingga masih terdapat anak-anak yang tidak/belum pernah sekolah dan tidak bersekolah lagi. Ada beberapa faktor yang menjadi sebab seseorang tidak/belum pernah sekolah dan tidak bersekolah lagi. Faktor-faktor tesebut antara lain faktor ekonomi (kemiskinan atau kemampuan ekonomi orang tua), faktor geografis (daerah perbukitan, wilayah pedalaman, dan kepulauan sehingga akses sekolah sulit dijangkau), dan faktor sosial budaya (motivasi anak rendah atau adanya anggapan bahwa perempuan sebaiknya tidak bersekolah terlalu tinggi). Peraturan Pemerintah RI No. 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar Bab VI Pasal 9 Ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya program wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Untuk menunjang program wajib belajar tersebut, pemerintah telah meluncurkan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang pada dasarnya bertujuan untuk meringankan beban semua siswa dan membebaskan siswa miskin dari kewajiban membayar uang sekolah. Program sekolah gratis untuk tingkat pendidikan dasar yang didengungkan pemerintah, sepertinya belum sepenuhnya terealisasi dan dinikmati oleh masyarakat luas. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6.6, sebagian besar anak berumur 7-17 tahun yang tidak/belum pernah sekolah atau tidak sekolah lagi dikarenakan alasan ekonomi, yaitu tidak ada biaya (44,01 persen), bekerja/mencari nafkah (9,64 persen) dan malu karena ekonomi (1,26 persen). Selain karena masalah ekonomi, sekolah jauh (4,18 persen), merasa pendidikan cukup (4,35 persen), cacat (3,76 persen), menikah/mengurus rumah tangga (3,95 persen), menunggu pengumuman (0,73 persen), tidak diterima (0,36 persen), dan lainnya (27,77 persen) adalah beberapa hal yang menyebabkan anak umur 7-17 tahun tidak/belum pernah sekolah atau tidak sekolah lagi.
55
Profil Anak Indonesia 2013
Tabel 6.6 juga menunjukkan bahwa alasan tidak/belum pernah sekolah atau tidak sekolah lagi karena tidak ada biaya, bekerja, cacat, dan menunggu pengumuman lebih banyak dijumpai pada anak yang tinggal di daerah perkotaan. Sedangkan alasan tidak/belum pernah sekolah atau tidak sekolah lagi karena menikah/mengurus rumah tangga, merasa pendidikan cukup, malu karena ekonomi, sekolah jauh, dan lainnya banyak dijumpai pada anak yang berada di daerah perdesaan. Sementara itu apabila dilihat menurut jenis kelamin, anak yang tidak/belum pernah sekolah atau tidak sekolah lagi dengan alasan tidak ada biaya, menikah, dan menunggu pengumuman persentasenya lebih tinggi pada anak perempuan dibanding anak laki-laki. Khusus untuk alasan menikah/mengurus rumah tangga, terlihat adanya perbedaan yang signifikan antara anak perempuan dan anak laki-laki (8,33 persen berbanding 0,33 persen). Tabel 6.6
Persentase Anak Berumur 7-17 Tahun yang Tidak/BelumPernah Sekolah/Tidak Bersekolah Lagi Menurut Alasan Tidak/Belum Pernah Sekolah/Tidak Bersekolah Lagi, Tipe Daerah, dan Jenis Kelamin, 2012
Alasan Tidak/Belum Pernah Sekolah/ Tidak Bersekolah Lagi
Perkotaan
Perdesaan
Perkotaan+Perdesaan
L
P
L+P
L
P
L+P
L
P
L+P
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
Tidak ada biaya
44,19
48,64
46,31
41,38
44,30
42,66
42,38
45,99
44,01
11,14
14,54
12,76
10,15
4,79
7,80
10,50
8,59
9,64
0,16
5,08
2,50
0,42
10,41
4,81
0,33
8,33
3,95
Merasa Pendidikan cukup
5,42
4,24
4,86
3,98
4,12
4,04
4,49
4,17
4,35
Malu Karena Ekonomi
1,30
1,03
1,17
1,40
1,18
1,31
1,37
1,13
1,26
Sekolah Jauh
1,09
0,63
0,87
6,28
5,93
6,12
4,44
3,86
4,18
Cacat
4,89
3,48
4,22
3,19
3,89
3,49
3,79
3,73
3,76
Menunggu Pengumuman
1,48
1,05
1,27
0,31
0,54
0,41
0,72
0,74
0,73
Tidak Diterima
0,36
0,57
0,46
0,41
0,15
0,30
0,39
0,31
0,36
29,97
20,74
25,58
32,47
24,69
29,05
31,58
23,15
27,77
100,00 100,00
100,00
Bekerja/Mencari Nafkah Menikah/ Mengurus RT
Lainnya Jumlah
100,00 100,00 100,00
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
56
100,00 100,00 100,00
Profil Anak Indonesia 2013
Sedangkan anak laki-laki yang tidak/belum pernah sekolah atau tidak sekolah lagi karena alasan bekerja, merasa pendidikan cukup, malu karena ekonomi, cacat, dan lainnya memiliki persentase lebih besar dibanding anak perempuan. 6.5
Jarak dan Waktu Tempuh ke Sekolah
Lokasi sekolah yang jauh dan sulit dijangkau dapat menjadi penghambat upaya peningkatan kualitas pengajaran peserta didik. Pembangunan sekolah diupayakan supaya terletak pada lokasi yang mudah dijangkau, atau tersedia sarana transportasi yang memadai. Kemudahan akses dari dan menuju ke sekolah dapat menjadi indikator pemerataan fasilitas sarana pendidikan. Gambar 6.7
Rata-rata Jarak Terdekat (Km) yang Rutin Ditempuh oleh Anak Berumur 7-17 Tahun yang Masih Bersekolah menurut Jenjang Pendidikan dan Tipe Daerah, 2012
Jarak (km) Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
Gambar 6.7 memperlihatkan rata-rata jarak yang rutin ditempuh oleh anak masih bersekolah. Semakin tinggi jenjang pendidikan, maka semakin jauh jarak yang harus ditempuh. Rata-rata jarak terdekat yang rutin ditempuh oleh anak yang masih bersekolah di SD adalah 2,11 km. Rata-rata jarak terdekat yang ditempuh anak yang bersekolah pada jenjang SMP adalah 4,47 km, dan rata-rata jarak terdekat yang ditempuh anak yang bersekolah pada jenjang SM adalah 7,31 km.
57
Profil Anak Indonesia 2013
Umumnya, rata-rata jarak terdekat yang rutin ditempuh oleh anak yang masih bersekolah di perkotaan dan perdesaan tidak ada perbedaan secara signifikan. Gambar 6.8 memperlihatkan rata-rata lama perjalanan yang rutin ditempuh oleh anak yang masih bersekolah. Rata-rata lama perjalanan yang rutin ditempuh oleh anak yang bersekolah diSD adalah 12,07 menit. Semakin tinggi jenjang pendidikan, maka perjalanan yang harus ditempuh juga semakin lama. Rata-rata lama perjalanan yang ditempuh oleh anak yang bersekolah pada jenjang SMP adalah 16,56 menit, sedangkan pada jenjang SM adalah 19,17 menit. Secara umum, rata-rata lama perjalanan yang rutin ditempuh anak yang masih bersekolah di perkotaan lebih cepat dibanding dengan di perdesaan. Gambar 6.8
Rata-rata Lama Perjalanan (menit) yang Rutin Ditempuh oleh Anak Berumur 7-17 Tahun yang Masih Bersekolah Menurut Jenjang Pendidikan dan Tipe Daerah, 2012
Waktu Tempuh (Menit)
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
6.6
Pemanfaatan Waktu Luang dan Kegiatan Seni Budaya
Pencapaian tujuan pendidikan formal yang diselenggarakan di sekolah sangat ditentukan oleh banyak faktor yang saling terkait. Salah satunya adalah faktor pemanfaatan waktu luang di luar jam sekolah. Pemanfaatan waktu luang di luar jam sekolah secara umum diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan manfaat besar terhadap pengembangan diri siswa. Besarnya pemanfaatan tergantung pada jenis kegiatan yang dilakukan oleh siswa tersebut. Ada kegiatan yang memberikan nilai tambah yang tinggi bagi pengembangan diri, sementara itu
58
Profil Anak Indonesia 2013
ada pula kegiatan yang sebaliknya yaitu kegiatan yang tidak memberikan manfaat apa-apa, bahkan merugikan bagi pengembangan diri siswa. The Liang Gie (1998) dalam Sanger (2002) mengemukakan bahwa sesungguhnya siswa memiliki keteraturan dan disiplin untuk mempergunakan waktunya secara efisien. Manusia adalah makhluk hidup yang mempunyai kebiasaan. Sebagian besar dari kita menghabiskan waktu dengan kebiasaan rutin. Sebagian besar orang tidak memikirkan dengan sadar bagaimana mereka menggunakan waktu. Dengan demikian efisiensi waktu turut menentukan kualitas belajar siswa yang sekaligus mempengaruhi prestasi belajarnya. 6.6.1
Akses terhadap Media
Penguasaan teknologi informasi saat ini diperlukan khususnya bagi para anak-anak yang sedang dalam tahap pembelajaran. Selain memanfaatkan sarana dan prasarana di sekolah, anak-anak sekolah juga dapat mengakses informasi melalui beberapa media seperti televisi, radio, surat kabar, dan internet. Seorang anak dapat memperoleh informasi mengenai pendidikan maupun hiburan melalui beberapa media tersebut untuk mengisi waktu senggangnya. Namun sangat dianjurkan bagi para orang tua agar selalu memperhatikan dan mengawasi anakanaknya saat mengakses media khususnya televisi dan internet mengingat saat ini banyak informasi yang tidak layak bagi anak-anak. Partisipasi anak dalam memperoleh informasi dan hiburan melalui televisi tergolong tinggi. Tabel 6.7 memperlihatkan persentase anak yang menonton televisi sebesar 94,58 persen. Di daerah perkotaan, persentase anak yang menonton televisi mencapai 98,52 persen, sedangkan di perdesaan sebesar 90,83 persen. Berdasarkan Tabel 6.7 juga terlihat bahwa persentase anak laki-laki dan perempuan yang menonton televisi relatif hampir sama besar. Persentase anak laki-laki di Indonesia yang menonton televisi tercatat sebesar 94,60 persen, sedangkan anak perempuan yang menonton televisi sebesar 94,56 persen. Radio masih merupakan media yang diminati anak-anak berumur 5-17 tahun. Tabel 6.7 memperlihatkan bahwa persentase anak yang mendengarkan radio sebesar 12,86 persen. Anak di perkotaan yang mendengarkan radio persentasenya sebesar 14,56 persen, sedangkan anak di perdesaan yang mendengarkan radio persentasenya lebih rendah yaitu sebesar 11,24 persen.
59
Profil Anak Indonesia 2013
Budaya membaca selain buku pelajaran sekolah khususnya di kalangan anak terlihat masih rendah. Berdasarkan hasil Susenas 2012, anak di Indonesia yang melakukan kegiatan membaca tercatat sebesar 50,70 persen (Tabel 6.7). Apabila diperhatikan menurut daerah tempat tinggal, minat membaca pemuda yang tinggal di perdesaan masih lebih rendah dibandingkan dengan yang tinggal di daerah perkotaan (47,31 persen berbanding 54,26 persen). Sedangkan menurut jenis kelamin, minat membaca anak laki-laki (48,31 persen) lebih rendah dibandingkan anak perempuan (53,22 persen). Tabel 6.7
Persentase Anak Berumur 5-17 Tahun Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin, dan Akses Terhadap Media, 2012 Tipe Daerah/ Jenis Kelamin
(1) Perkotaan Laki-laki Perempuan Laki-laki dan Perempuan Perdesaan Laki-laki Perempuan Laki-laki dan Perempuan Perkotaan dan Perdesaan Laki-laki Perempuan Laki-laki dan Perempuan
Menonton TV
Akses Terhadap Media Mendengarkan Radio
(2)
(3)
(4)
98,57 98,46 98,52
13,52 15,64 14,56
51,63 57,01 54,26
90,85 90,82 90,83
11,07 11,42 11,24
45,18 49,58 47,31
94,60 94,56 94,58
12,26 13,48 12,86
48,31 53,22 50,70
Membaca
*)
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS *) Selain buku pelajaran sekolah
6.6.2
Akses Internet
Penggunaan teknologi internet di dunia semakin meningkat. Setiap orang dapat menikmati layanan internet. Seiring dengan perkembangan zaman, teknologi ini berkembang ke arah pencapaian kemudahan dan kenyamanan luar biasa dalam melakukan kegiatan sehari-hari yang dianggap tidak mungkin dapat dikerjakan dalam waktu singkat. Susenas tahun 2012 menunjukkan bahwa sebanyak 25,55 persen anak yang masih bersekolah pernah mengakses internet (Gambar 6.9). Persentase anak laki-laki yang mengakses internet sebesar 24,52 persen, sedangkan anak perempuan yang mengakses internet sebanyak 26,63 persen. Di daerah perkotaan,
60
Profil Anak Indonesia 2013
anak masih sekolah yang mengakses internet sebesar 37,29 persen, sedangkan di perdesaan persentasenya sebesar 13,93 persen. Gambar 6.9
Persentase Anak Berumur 7-17 yang Mengakses Internet menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
Teknologi internet hadir sebagai media multifungsi. Internet sebagai media pendidikan mampu menghadirkan karakteristik sebagai media interpersonal (email), massa (mailing list), dan bersifat interaktif (chatting). Karakteristik ini memungkinkan seseorang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi secara lebih luas dibandingkan dengan media konvensional. Bagi yang masih bersekolah, teknologi internet dapat dimanfaatkan sebagai media pencari literatur/referensi guna menunjang kegiatan belajarnya. Sebanyak 81,80 persen dari keseluruhan anak masih sekolah yang mengakses internet memanfaatkan internet sebagai penunjang tugas sekolah (Gambar 6.10). Sekitar 83,76 persen anak perempuan mengakses internet sebagai penunjang tugas sekolah, sedangkan anak laki-laki yang mengakses internet untuk menunjang tugas sekolah sebanyak 78,95 persen. Pola yang serupa terjadi di daerah perkotaan maupun perdesaan.
61
Profil Anak Indonesia 2013
Gambar 6.10 Persentase Anak Berumur 7-17 Bersekolah yang Mengakses Internet untuk Mencari Informasi/Literatur Sebagai Penunjang Tugas Sekolah Menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
6.6.3
Kegiatan Olahraga
Berdasarkan UU RI Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN), yang dimaksud dengan olahraga adalah segala kegiatan yang sistematis untuk mendorong, membina, serta mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan sosial. Selain berfungsi untuk menjaga kesehatan, olahraga juga berfungsi sebagai kegiatan untuk rekreasi/hiburan dan sekaligus sebagai sarana untuk mencapai prestasi. Olahraga penting bagi kualitas hidup manusia, namun keadaan saat ini menunjukkan bahwa kegiatan olahraga kurang diperhatikan khususnya oleh siswa diluar kegiatan ekstrakurikuler sekolah. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, perkembangan kendaraan bermotor baik roda dua atau empat, penggunaan elevator atau lift di kota-kota besar, dan sejumlah kemudahan lainnya, mengantarkan manusia kurang menyadari akan keberadaan jasmani. Selain itu, makanan-makanan cepat saji dan sangat mudah dikonsumsi kalangan anak-anak dan remaja, tidak diimbangi dengan pelepasan energi tubuh, sehingga banyak ditemukan anak-anak dan remaja berbadan gemuk (obesitas). Persentase anak yang melakukan olahraga relatif cukup tinggi yaitu sebesar 72,70 persen (Tabel 6.8). Partisipasi anak dalam melakukan olahraga kemungkinan dikarenakan olahraga masih menjadi pelajaran yang diajarkan di
62
Profil Anak Indonesia 2013
sekolah. Menurut tipe daerah, persentase anak di perkotaan yang berolahraga relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan (76,99 persen berbanding 68,62 persen). Partisipasi anak laki-laki dalam kegiatan olahraga relatif lebih tinggi dibandingkan perempuan. Persentase anak laki-laki yang melakukan olahraga sebesar 73,60 persen sedangkan anak perempuan sebesar 71,75 persen. Tabel 6.8 Persentase Anak Berumur 5-17 yang Melakukan Olahraga Menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin, 2012 Tipe Daerah (1)
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki dan Perempuan
(2)
(3)
(4)
Perkotaan
77,86
76,07
76,99
Perdesaan
69,57
67,61
68,62
Perkotaan dan Perdesaan
73,60
71,75
72,70
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
6.6.4
Keikutsertaan dalam Kursus
Pelatihan adalah salah satu program pendidikan nonformal. Menurut Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan pada Pasal 26 ayat 3: Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Hasil Susenas 2012 menunjukkan bahwa partisipasi anak dalam mengikuti kursus dalam 2 tahun terakhir relatif rendah. Hal tersebut terlihat dari Tabel 6.9, hanya 5,39 persen anak yang pernah/sedang mengikuti kursus. Berdasarkan jenis kelamin, terlihat bahwa anak perempuan lebih banyak yang mengikuti kursus dibanding anak laki-laki (6,05 persen berbanding 4,77 persen). Apabila diperhatikan menurut daerah tempat tinggal, anak di perkotaan lebih banyak yang mengikuti kursus dibanding anak perdesaan (8,69 persen berbanding 2,25 persen). Hal ini berkaitan dengan fasilitas kursus yang lebih banyak tersedia di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan, serta kemudahan dalam menjangkau sarana tersebut di perkotaan dibandingkan di perdesaan.
63
Profil Anak Indonesia 2013
Tabel 6.9
Persentase Anak Berumur 5-17 Tahun yang Pernah/Sedang Mengikuti Kursus Selama Dua Tahun Terakhir Menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin, 2012
Tipe Daerah
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki dan Perempuan
(1)
(2)
(3)
(4)
Perkotaan
7,89
9,52
8,69
Perdesaan
1,81
2,72
2,25
Perkotaan dan Perdesaan
4,77
6,05
5,39
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
Jenis kursus yang paling banyak diikuti oleh anak umur 5-17 tahun adalah bimbingan belajar sebesar 53,19 persen, bahasa asing sebesar 22,00 persen, dan komputer/TI sebesar 15,70 persen (Tabel 6.10). Gambaran yang serupa terlihat baik di daerah perkotaan maupun perdesaan serta pada anak laki-laki dan anak perempuan. Tabel 6.10
Persentase Anak Berumur 5-17 Tahun yang Pernah/Sedang Mengikuti Kursus Selama Dua Tahun Terakhir Menurut Jenis Kursus dan Jenis Kelamin, 2012 Jenis Kursus
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki dan Perempuan
(1)
(2)
(3)
(4)
Bahasa Asing
9,32
12,68
22,00
Komputer/TI
6,47
9,23
15,70
Bimbingan belajar
24,94
28,26
53,19
Seni dan Budaya
0,59
0,87
1,46
Lainnya
4,18
3,47
7,65
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
6.6.5
Kegiatan Seni dan Budaya
Menurut International Council of Museum, museum adalah sebuah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan, melayani masyarakat, dan pengembangannya terbuka untuk umum, yang memperoleh, merawat, menghubungkan, dan memamerkan, untuk tujuan pendidikan, penelitian dan kesenangan, barang-barang pembuktian manusia dan lingkungannya. Bendabenda yang disimpan dalam museum kebanyakan adalah benda-benda yang bisa dipindahkan atau bersifat mobile.
64
Profil Anak Indonesia 2013
Museum memiliki kegiatan rutin yang biasa dipersembahkan untuk pengunjung yaitu kegiatan pameran dan pendidikan. Kegiatan tersebut menjadikan museum tidak hanya sebuah tempat untuk memamerkan benda koleksi, namun juga sebagai pembimbing yang menjelaskan secara langsung kegiatan museum dan menjadi media sosialisasi program museum diantaranya himbauan mengenai pentingnya berbagi ilmu dan informasi kepada masyarakat umum tentang benda koleksi dibandingkan bila dimiliki secara pribadi. Untuk dapat menjaga kelestarian museum maka diharapkan masyarakat sudah diperkenalkan dengan museum sedini mungkin. Hal ini akan lebih efektif jika dilakukan pada saat usia sekolah. Berdasarkan hasil Susenas 2012 diperoleh gambaran bahwa sebanyak 3,70 persen dari anak umur 5-17 tahun yang mengunjungi museum dalam setahun terakhir (Gambar 6.11). Ditinjau dari jenis kelamin, anak perempuan lebih banyak yang mengunjungi museum dibandingkan dengan anak laki-laki (4,01 persen dibanding 3,41 persen). Sementara itu apabila diperhatikan menurut tipe daerah, anak di perkotaan (5.65 persen) lebih banyak yang mengunjungi museum dibandingkan dengan anak di perdesaan (1,84 persen). Gambar 6.11
Persentase Anak Berumur 5-17 Tahun yang Mengunjungi Museum Menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
Sebagai salah satu bentuk kebudayaan manusia, kesenian berbeda dengan hasil budaya lainnya. Kesenian merupakan hasil karya, cipta dan rasa yang mengandung nilai estetika tinggi dan sarat dengan pesan moral yang dikemas dalam bentuk simbol-simbol. Menikmati suatu hasil kesenian dapat menimbulkan
65
Profil Anak Indonesia 2013
rasa keindahan pada jiwa manusia. Rasa keindahan ini merupakan salah satu hiburan kebutuhan rohani, karena manusia tidak saja memerlukan kebutuhan jasmani seperti pangan, sandang dan papan, tetapi juga hiburan bagi kebutuhan rohani atau jiwanya. Sesuai dengan kebutuhan dasar manusia untuk saling berinteraksi, kesenian juga merupakan sarana interaksi dalam bentuk pertunjukan kesenian. Interaksi terjadi antara mereka yang melakukan pertunjukan dan yang menikmati pertunjukan. Selain berinteraksi, penonton pertunjukan sekaligus juga dapat menikmati hiburan. Tabel 6.11
Proporsi Anak Berumur 7-17 Tahun yang Menonton Pertunjukan Seni Selama Seminggu Terakhir Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin, dan Jenis Kesenian, 2012 Tipe Daerah/ Jenis Kelamin (1)
Perkotaan Laki-laki Perempuan Laki-laki dan Perempuan Perdesaan Laki-laki Perempuan Laki-laki dan Perempuan Perkotaan dan Perdesaan Laki-laki Perempuan Laki-laki dan Perempuan
Tari/ Joget
Jenis Kesenian Musik/ Kerajinan/ Suara Kriya
Lainnya
(2)
(3)
(4)
(5)
5,50 6,74 6,10
11,09 10,54 10,82
0,46 0,56 0,51
2,10 2,27 2,18
8,24 7,82 8,04
15,59 13,62 14,63
0,15 0,19 0,17
2,46 2,19 2,33
6,91 7,29 7,09
13,40 12,11 12,78
0,30 0,37 0,33
2,28 2,23 2,26
Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
Animo anak terhadap kegiatan seni masih rendah. Berdasarkan hasil Susenas 2012 yang disajikan pada Tabel 6.11 terlihat bahwa proporsi anak yang menonton kegiatan seni dalam seminggu terakhir masih kecil. Jenis kesenian yang paling banyak ditonton oleh anak dalam tiga bulan terakhir yaitu seni musik/suara dengan persentase sebesar 12,78 persen dan seni tari/joget sebanyak 7,09 persen. Sedangkan untuk jenis kesenian seni kerajinan/kriya persentasenya sebesar 0,33 persen dan kesenian lainnya sebesar 2,26 persen. Gambaran yang serupa terlihat baik di daerah perkotaan maupun perdesaan serta pada anak laki-laki dan anak perempuan.
66
Profil Anak Indonesia 2013
7 PERLINDUNGAN KHUSUS 7.1
Upaya Perlindungan Anak di Indonesia
Upaya penanganan perlindungan anak di Indonesia secara nasional pada dasarnya telah dimulai sejak tahun 1990. Pada tahun tersebut, pemerintah Indonesia secara resmi meratifikasi Konvensi Tentang Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) melalui Keppres No.36/1990. Setelah Keppres tersebut diterbitkan, pemerintah mulai menyusun berbagai upaya untuk memetakan berbagai persoalan anak, baik dilakukan oleh pemerintah sendiri maupun bekerja sama dengan lembaga PBB yang memiliki mandat untuk melaksanakan perlindungan anak. Pada tahun 1997, pemerintah menerbitkan Undang Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak berupa undang-undang khusus yang mengatur masalah anak yang berhadapan dengan hukum. Undang-undang tersebut memberikan perhatian dan spesifikasi khusus bagi anak-anak yang disangka melakukan tindak pidana. Undang-undang ini juga memberikan kekhususan baik dalam penyidikan, penahanan, penuntutan, peradilan hingga penempatannya di lembaga pemasyarakatan anak. Sebagai puncak dari upaya legislasi ini adalah lahirnya Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini memberikan nuansa yang lebih komprehensif dalam upaya negara memberikan perlindungan pada anak di Indonesia. Sejalan dengan dengan itu, nomenklatur perlindungan anak dimasukkan ke dalam APBN sehingga memberikan jaminan bagi upaya perlindungan dan kesejahteraan anak-anak Indonesia. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 secara khusus memberikan mandat untuk membentuk Komisi Perlindungan Anak (KPA). Sebagai institusi indepeden, KPA diberikan mandat untuk melakukan pengawasan upaya perlindungan anak yang dilakukan oleh institusi negara dan melakukan investigasi terhadap pelanggaran hak anak yang dilakukan negara. KPA juga berkewajiban memberikan saran, masukan dan pertimbangan kepada Presiden tentang berbagai upaya perlindungan anak.
67
Profil Anak Indonesia 2013
Atas prakarsa dan perhatian khusus dari Presiden RI, pada awal tahun 2009 masalah perlindungan anak dimasukkan ke dalam satu kementerian bersama dengan pemberdayaan perempuan. Sesuai dengan perubahan tersebut, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu II berganti nama menjadi Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Meneg. PP dan PA). 7.2
Implementasi Penanganan Perlindungan Anak
Pelaksanaan penanganan perlindungan anak di Indonesia hingga saat ini masih terkesan hanya berjalan di tempat. Secara umum, “rapor” tentang pelaksanaan penanganan masalah perlindungan anak di Indonesia masih nampak buruk di mata Komite Hak Anak PBB terutama menyangkut masalah diskriminasi pada anak berdasarkan jenis kelamin khususnya terkait dengan usia perkawinan. Indonesia masih membedakan batas usia perkawinan, untuk laki-laki 19 tahun sedangkan untuk perempuan 16 tahun. Ini menunjukkan bahwa negara masih memberikan diskriminasi bagi anak perempuan, diskriminasi juga masih terlihat pada anak-anak yang hidup dalam kemiskinan dan anak-anak yang menjadi kelompok minoritas. Terkait dengan penerapan UU No. 3/1997 tentang Peradilan Anak, hingga saat ini masih banyak ditemukan anak-anak yang harus menjalani hukuman penjara di Indonesia. Menurut catatan UNICEF (2009), jumlah anak-anak tersebut diperkirakan telah mencapai lebih dari 4.000 orang anak per tahun. Padahal sebagian besar dari mereka adalah melakukan kejahatan ringan. Bagi sebagian pakar hukum dan masyarakat awam, batasan usia 8 tahun sebagai batas usia tanggung jawab kriminal bagi anak-anak dianggap terlalu rendah. Komitmen terhadap upaya perlindungan anak yang masih rendah juga nampak dari masih sering terjadinya kasus anak-anak pelaku kriminalitas yang ditahan atau dimasukkan penjara bersama-sama atau dicampur dengan orang dewasa dalam kondisi yang mengenaskan. Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO 138 tentang batasan usia minimum yang diperkenankan bagi anak-anak untuk bekerja dan Konvensi ILO 182 tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerjaan untuk Anak. Indonesia juga telah memiliki rencana aksi nasional penghapusan bentuk bentuk terburuk pekerjaan yang diperuntukan bagi anak. Namun kenyataan tingginya jumlah anak yang bekerja baik di sektor formal maupun informal menunjukkan masih belum
68
Profil Anak Indonesia 2013
teratasinya permasalahan yang terkait dengan pekerja anak. Di lain pihak, gambaran situasi ketenagakerjaan ini juga menunjukkan bahwa upaya perlindungan anak terhadap berbagai tindakan eksploitasi untuk mempekerjakan anak belum maksimal. Di bagian eksploitasi seksual anak, pemerintah mengakui belum adanya data akurat, namun diperkirakan dari semua kasus eksploitasi seksual sekitar 60 persen korbannya adalah anak-anak. Mayoritas korbannya adalah perempuan disamping anak laki-laki. Mengenai eksploitasi seksual komersial anak dilaporkan bahwa semua bentuk eksploitasi komersial anak dijumpai di Indonesia seperti anak yang dilacurkan, pelacuran anak, perdagangan anak untuk tujuan seksual, dan pornographi anak. Diperkirakan sekitar 30 persen dari pekerja seksual di Indonesia yang jumlahnya 30.000-70.000 adalah anak-anak. Hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi optional protocol Konvensi Hak Anak (protokol tambahan PBB) tentang penjualan anak, pelacuran anak dan pornographi anak sehingga undangundang yang ada masih dinilai kurang efektif akibatnya anak-anak korban eksploitasi seksual sering tidak mendapatkan perlidungan atau bantuan pemulihan yang efektif. 7.3
Perlindungan Khusus
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak secara eksplisit menyebutkan bahwa penyelenggaraan upaya perlindungan anak secara keseluruhan mencakup juga mencakup perlindungan khusus. Perlindungan anak dalam rangka menjamin terpenuhinya hak-hak anak merupakan upaya perlindungan yang diberikan untuk semua anak tanpa kecuali. Sedangkan perlindungan khusus seperti yang disebutkan pada Bab I Undang-Undang tersebut merupakan upaya perlindungan yang hanya diberikan bagi anak yang mengalami situasi dan kondisi tertentu. Perlindungan tersebut antara lain diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang bermasalah hukum, anak yang dieksploitasi secara ekonomi atau seksual, anak korban tindak pidana, anak penyandang cacat dan anak terlantar. Pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 secara rinci menyebutkan bahwa perlindungan khusus diberikan kepada : 1. Anak dalam situasi darurat (anak pengungsi, anak korban kerusuhan, anak korban bencana alam, dan anak dalam situasi konflik bersenjata) 2. Anak yang berhadapan dengan hukum
69
Profil Anak Indonesia 2013
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi Anak tereksploitasi secara ekonomi dan /atau seksual Anak yang diperdagangkan Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan napza Anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan Anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental Anak korban perlakuan salah/penelantaran Anak penyandang cacat.
Ulasan pada bagian ini difokuskan untuk melihat gambaran secara rinci mengenai kondisi dan perkembangan anak-anak yang mengalami situasi dan kondisi tertentu atau anak yang membutuhkan perlindungan khusus selama periode lima tahun terakhir. Pada bagian ini juga akan dibahas mengenai jenis dan efektifitas perlindungan khusus yang diberikan pada mereka. Terkait dengan masalah keterbatasan data, cakupan anak yang memerlukan perlindungan khusus bermasalah dalam kajian ini hanya dibatasi pada anak bermasalah hukum, pekerja anak, dan anak penyandang cacat. 7.4
Anak Bermasalah Hukum
Anak bermasalah hukum yang dimaksudkan dalam kajian ini merujuk pada konsep “anak yang berhadapan dengan hukum” yang digunakan dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002. Pada Pasal 64 ayat (1) disebutkan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana. Sesuai dengan delik hukum, konflik hukum yang dialami oleh anak-anak meupun orang dewasa, pada umumnya merupakan konsekuensi dari tindakan atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukannya. Atas perbuatan tersebut, pelakunya dapat diancam dengan sanksi atau hukuman sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dalam konteks hukum pidana, tindakan atau perbuatan melanggar hukum tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana, sedangkan sanksi hukumannya disebut sebagai pidana. Anak yang melakukan tindak pidana atau perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak disebut sebagai anak nakal. Sedangkan yang dikategorikan sebagai anak adalah mereka yang telah mencapai umur 8 (delapan) tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Klasifikasi
70
Profil Anak Indonesia 2013
serupa juga digunakan oleh Kepolisian Republik Indonesia dan Lembaga Pemasyarakatan untuk menentukan kriteria anak pelaku tindak pidana dan narapidana anak. Sejalan dengan itu, analisis mengenai profil dan perkembangan anak bermasalah hukum pada bagian ini dilakukan dengan menggunakan data narapidana anak/anak pidana hasil registrasi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Sedangkan analisis mengenai profil dan perkembangan anak korban tindak pidana dilakukan dengan menggunakan data anak korban tindak kejahatan/kriminalitas berdasarkan hasil registrasi Bareskrim (Bagian Reserse dan Kriminalitas) Kepolisian Republik Indonesia (Polri) 7.4.1
Anak Pelaku Tindak Pidana
Dilihat dari proses penyelesaian hukumnya, anak nakal atau anak pelaku tindak pidana mencakup dua kriteria anak, yaitu anak didik pemasyarakatan (anak pidana) dan tahanan anak. Sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 (Ketentuan Umum) Butir 8 UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dijelaskan bahwa anak didik pemasyarakatan adalah : a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. c. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua/walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling lama sampai dengan berumur 18 (delapan belas) tahun. Seperti dijelaskan dalam Pasal 1 (Ketentuan Umum), anak didik pemasyarakatan apapun kriterianya baik anak pidana, anak negara, maupun anak sipil semuanya telah menerima keputusan pengadilan. Sementara itu, sejumlah tahanan anak yang tinggal di Rumah Tahanan Anak, Cabang Rutan Anak dan tempat-tempat tertentu masih harus menunggu keputusan pengadilan. Sesuai dengan penjelasan pada butir 4, pasal 1 Bab 1 bahwa penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di Rumah Tahanan Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara dan tempat tertentu. Pejabat pelaksana hukum seperti Penyelidik, Penuntut Umum dan Hakim (Hakim Pengadilan, Hakim Banding dan Hakim Kasasi) berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan anak untuk melaksanakan
71
Profil Anak Indonesia 2013
berbagai macam kepentingan antara lain penyidikan (Pasal 44), penuntutan (Pasal 46) dan pemeriksaan (Pasal 47, Pasal 48 dan Pasal 49). Sesuai dengan laporan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, jumlah anak nakal atau anak pelaku tindak pidana di seluruh Indonesia pada tahun 2012 mencapai sebanyak 5.358 anak. Dari jumlah tersebut, seperti yang disajikan pada Tabel 7.1 sebanyak 2.063 anak (38,5 persen) masih berstatus sebagai tahanan dan sebanyak 3.295 anak (61,5 persen) lainnya telah berstatus narapidana atau anak didik. Tabel 7.1 juga menunjukkan bahwa anak laki-laki pelaku tindak pidana jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan anak perempuan. Tabel 7.1 Jumlah Narapidana dan Tahanan Menurut Kelompok Usia dan Jenis Kelamin, 2012 Kelompok Usia
Status
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
94.179
4.905
99.084
Dewasa
Narapidana Tahanan
43.566
2.680
46.246
137.745
7.585
145.330
Narapidana
3.225
70
3.295
Tahanan
2.020
43
2.063
Jumlah
5.245
113
5.358
Narapidana
97.404
4.975
102.379
Tahanan
45.586
2.723
48.309
142.990
7.698
150.688
Jumlah Anak-Anak
Dewasa dan AnakAnak
Jumlah Sumber: Lembaga Pemasyarakatan RI
Jumlah dan sebaran anak nakal atau anak pelaku pidana pada masingmasing provinsi nampak cukup bervariasi. Lima provinsi yang memiliki angka kenakalan anak atau jumlah anak pelaku tindak pidana yang paling tinggi selama tahun 2012 berturut-turut adalah Provinsi Sumatera Utara (597 anak), Jawa Timur (494 anak), Sumatera Selatan (484 anak), Jawa Barat (468 anak), dan Banten (247 anak). Sebaliknya, lima provinsi berikutnya yaitu Provinsi Papua Barat, Gorontalo, Sulawesi Barat, Yogyakarta, dan Maluku Utara memiliki jumlah anak nakal paling rendah yang berkisar antara 18 – 32 anak (Tabel Lampiran A-7.1).
72
Profil Anak Indonesia 2013
7.4.2
Anak Korban Tindak Pidana
Tren tindak kenakalan dan kriminalitas di kalangan anak dan remaja yang terus meningkat ini secara faktual antara lain terlihat dari berbagai tayangan berita kriminal di televisi dan mass media lainnya. Sejalan dengan perkembangan itu, jumlah anak yang menjadi korban tindak pidana juga semakin meningkat. Kenakalan di kalangan anak-anak atau remaja yang pada awalnya hanya berupa tawuran pelajar antar sekolah atau perkelahian di dalam sekolah, saat ini semakin mengarah pada tindakan yang tergolong sebagai tindak kejahatan atau kriminalitas, seperti pencurian, pemerkosaan dan pemakaian narkoba. Tindak kejahatan yang dialami oleh anak juga semakin berkembang dan beragam jenis baik, cakupan maupun kualitasnya, termasuk di antaranya adalah tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak (KTPA), kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), penelantaran anak dan perdagangan anak (trafficking). Gambar 7.1 Persentase Korban Kejahatan Selama Tahun 2012 Menurut Kelompok Usia dan Tipe Daerah
Anak Anak Anak (< 18 Tahun)
Dewasa Dewasa (18 Tahun +)
Perkotaan
Perdesaan
Sumber: Lembaga Pemasyarakatan RI
Data Susenas menunjukkan bahwa anak yang menjadi korban kejahatan selama tahun 2012 jumlahnya mencapai sekitar 346,6 ribu anak (Tabel Lampiran A7.2). Seperti yang nampak pada Gambar 7.1, sekitar 58,5 persen (202,8 ribu anak) dari keseluruhan anak korban kejahatan selama tahun 2012 tinggal di perkotaan dan sekitar 41,5 persen lainnya (143,8 ribu anak) adalah anak perdesaan. Kondisi ini juga menunjukkan indikasi bahwa wilayah perdesaan lebih aman dibandingkan
73
Profil Anak Indonesia 2013
dengan wilayah perkotaan. Gambaran serupa juga dirasakan oleh penduduk dewasa korban kejahatan. Dari Gambar 7.1 nampak bahwa sekitar 56,35 persen (sekitar 1.213,9 ribu jiwa) dari total orang dewasa yang menjadi korban kejahatan selama tahun 2012 adalah penduduk yang tinggal di daerah perkotaan, sedangkan 43,65 persen lainnya (sekitar 940,2 ribu jiwa) adalah penduduk dewasa yang tinggal di pedesaan. Seperti yang disajikan pada Tabel Lampiran A-7.3, mayoritas korban kejahatan selama tahun 2012 adalah orang dewasa dengan persentase sebesar 86,14 persen dan sebesar 13,86 persen lainnya adalah anak-anak. Anak-anak korban kejahatan tersebar di setiap provinsi di seluruh Indonesia dengan persentase berkisar antara 0,84–22,01 persen. Lima provinsi yang memiliki angka persentase anak korban kejahatan paling tinggi selama tahun 2012 secara berturut-turut adalah Provinsi Kalimantan Timur (22,0 persen), Jawa Barat (20,6 persen), Aceh (19,7 persen), Riau (19,6 persen), dan Sulawesi Utara (19,3 persen). Sebaliknya, angka persentase anak korban kejahatan terkecil selama periode tersebut berturut-turut ditemukan di Provinsi Kepulauan Riau (0,8 persen), Papua Barat (6,4 persen), Yogyakarta (6,75 persen), Sulawesi Selatan (6,87 persen), dan Maluku (6,94 persen). 7.4.3
Perdagangan Orang (Trafficking)
Perdagangan orang (trafficking) merupakan jenis tindak pidana yang penanggulangannya selain membutuhkan penanganan yang serius, namun juga membutuhkan campur tangan pemerintah. Seperti yang dijelaskan pada mukadimah Undang-Undang RI No.21 Tahun 2007 Tentang Perdagangan Orang bahwa perdagangan orang merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak azasi manusia. Selain itu disebutkan juga bahwa tindak kejahatan perdagangan orang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisir secara internasional sehingga proses penanganannya membutuhkan kerja sama antar pemerintah baik bilateral maupun multilateral. Romli Atmasasmita (1994)1 mengungkapkan bahwa globalisasi mengakibatkan semakin meningkatnya lalu lintas tindak pidana lintas teritorial 1
Romli Atmasasmita: “Antisipasi dan Fungsionalisasi Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Internasional : Problema dan Prospek Yurisdiksi Kriminal Di Luar Teritorial Indonesia”. Makalah disampaikan pada Seminar Kriminologi Ke-VII Semarang, 1-2 Desember 1994.
74
Profil Anak Indonesia 2013
antara negara satu dengan lainnya atau tindak pidana internasional. Kasus-kasus tindak pidana internasional yang semakin sering terjadi antara lain adalah: perdagangan narkoba, pencucian uang (money laundry), penyelundupan, terorisme, dan perdagangan orang (trafficking) yang mencakup perdagangan perempuan dan anak. Sejalan dengan pendapat tersebut, selama lima tahun terakhir sejak diberlakukannya UU No.21 Tahun 2007, kasus-kasus tindak pidana internasional terutama tindak pidana perdagangan narkoba dan pencucian uang meningkat secara signifikan. Berdasarkan data registrasi Polri, jumlah kasus perdagangan orang yang dilaporkan ke kepolisian selama periode tahun 2007–2012 cenderung semakin menurun. Seperti yang disajikan pada Gambar 7.2, jumlah kasus yang dilaporkan dari sebanyak 460 kasus pada tahun 2007 berkurang menjadi sebanyak 129 kasus pada tahun 2012. Mekipun demikian, besaran jumlah kasus setiap tahunnya secara statistik cukup signifikan. Pada sisi lain, seperti data registrasi Polri pada umumnya, data tersebut diduga lebih rendah dari keadaan yang sebenarnya (under estimated). Laporan International of Migrant (IOM) tahun 20122 menyebutkan bahwa selama lima tahun terakhir jumlah kasus perdagangan orang di Indonesia cenderung semakin meningkat. Gambar 7.2 Jumlah Kasus Perdagangan Orang yang Dilaporkan Ke Kepolisian, 2007 – 2012
Sumber: Pusiknas Mabes Polri, 2007 – 2012 2
International of Migrant: “Counter Trafficking And Assistance to Vulnerable Migrants” . Annual Report of Activities 2011.
75
Profil Anak Indonesia 2013
Data jumlah korban perdagangan orang menurut kelompok umur dan jenis kelamin seperti yang disajikan pada Gambar 7.3 menunjukkan bahwa sebagian besar korban tindak pidana perdagangan orang di Indonesia adalah orang dewasa dan sebagian kecil lainnya adalah anak-anak. Dari Gambar 7.3 juga nampak bahwa jumlah perempuan yang menjadi korban cenderung lebih besar dari laki-laki, baik untuk anak-anak maupun orang dewasa, kecuali tahun 2008. Jumlah korban orang dewasa selama tahun 2008 lebih didominasi oleh laki-laki. Gambar 7.3 Jumlah Korban Perdagangan Orang Menurut Umur dan Jenis Kelamin
Sumber : Bareskrim, Polri
7.5
Penyandang Disabilitas Anak
Anak merupakan anggota masyarakat yang mempunyai posisi strategis dalam menentukan kelangsungan hidup bangsa. Anak-anak yang tumbuh kembang secara wajar dapat memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan pembangunan bangsa. Sebaliknya, jika mereka mengalami berbagai hambatan dalam tumbuh kembangnya akan dapat menjadi beban bagi masyarakat dan membutuhkan biaya sosial yang tinggi. Orang tua dan keluarga juga diakui sebagai pihak pertama dan utama dalam pengasuhan anak. Perhatian khusus melalui kebijakan dan program yang berpihak kepada anak terus dilakukan, terutama bagi
76
Profil Anak Indonesia 2013
penyandang disabilitas untuk membangun masa depan demi peningkatan kualitas kesejahteraannya. Anak merupakan generasi penerus yang akan memegang tongkat estafet dalam upaya mewujudkan cita-cita bangsa yang memiliki peran strategis yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, serta dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa diskriminasi. Sejalan dengan hal tersebut berbagai program dalam upaya penanggulangan masalah anak terus dilakukan pemerintah agar anak-anak Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara wajar dan optimal. Keberadaan orangtua, kondisi ekonomi dan lingkungan mempengaruhi perkembangan anak dalam proses pertumbuhannya. Salah satu permasalahan anak berkaitan dengan anak yang mengalami hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar dikenal dengan istilah anak yang menyandang cacat (UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Keterbatasan yang dimiliki seorang anak dalam proses tumbuh kembangnya berdampak pada perlunya perlindungan anak. Perlindungan anak didefinisikan sebagai segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak atas hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh kembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 7.5.1 Karakteristik Demografis Berdasarkan hasil susenas 2012 menunjukkan bahwa perkiraan jumlah penyandang disabilitas anak di Indonesia ada sebanyak 532,13 ribu jiwa atau 0,63 persen dari seluruh anak Indonesia (Tabel 7.2). Perbandingan menurut jenis kelamin memperlihatkan bahwa jumlah anak laki-laki penyandang disabilitas lebih banyak dibandingkan jumlah anak perempuan penyandang disabilitas, dimana jumlah anak laki-laki penyandang disabilitas sebesar 285,33 ribu (0,66 persen) dan perempuan sebesar 246,81 ribu (0,60 persen). Dilihat menurut tempat tinggal, maka penyandang disabilitas anak di daerah perdesaan baik jumlah maupun persentase lebih tinggi dibandingkan dengan yang berada di daerah perkotaan. Persentase
77
Profil Anak Indonesia 2013
penyandang disabilitas anak di daerah perdesaan sebesar 0,64 persen, lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan sebesar 0,61 persen. Tabel 7.2
Perkiraan Jumlah dan Persentase Penyandang Disabilitas Anak Menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin, 2012
Tipe Daerah/JenisKelamin (1) Perkotaan Laki-laki Perempuan Laki-laki dan Perempuan Perdesaan Laki-laki Perempuan Laki-laki dan Perempuan Perkotaan dan Perdesaan Laki-laki Perempuan Laki-laki dan Perempuan
Jumlah Anak dengan Disabilitas (000) (2)
Jumlah Anak (000) (3)
% Penyandang Disabilitas Anak Terhadap Jumlah Anak (4)
141,3 112,3 253,6
21.176,5 20.124,2 41.300,7
0,67 0,56 0,61
144,0 134,5 278,5
22.339,8 20.962,0 43.301,8
0,64 0,64 0,64
285,3 246,8 532,1
43.516,2 41.086,2 84.602,5
0,66 0,60 0,63
Sumber: Diolah dari Susenas Modul 2012, BPS
Distribusi penyandang disabilitas anak menurut pulau dapat dilihat pada Gambar 7.4. Sama halnya dengan sebaran penduduk yang lebih terkonsentrasi di Pulau Jawa, demikian juga dengan sebaran penyandang disabilitas anak. Dari gambar tersebut nampak bahwa lebih dari separuh penyandang disabilitas anak (53,89 persen) terkonsentrasi di pulau Jawa. Sisanya tersebar di Pulau Sumatera (21,59 persen), Sulawesi (9,68 persen), Kalimantan (5,39 persen), dan sebanyak 9,45 persen tersebar di pulau-pulau lainnya seperti Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Gambar 7.4 Persebaran Penyandang Disabilitas Anak Menurut Pulau, 2012
78
Profil Anak Indonesia 2013
Sumber: Diolah dari Susenas Modul 2012, BPS
Tabel 7.3 memperlihatkan perkiraan jumlah (dalam ribuan) dan persentase penyandang disabilitas anak menurut kelompok umur dan tipe daerah. Dari tabel tersebut terlihat bahwa secara keseluruhan distribusi penyandang disabiltas anak terbesar terdapat pada kelompok umur 16-17 tahun sebesar 0,96 persen, kelompok umur 13-15 tahun (0,92 persen), dan kelompok usia 7-12 tahun (0,72 persen). Namun bila dilihat menurut tipe daerah, maka pola yang sama hanya terjadi di daerah perkotaan, yaitu kelompok umur 16-17 tahun sebesar 0,93 persen, kelompok umur 13-15 tahun (0,77 persen), dan kelompok usia 7-12 tahun (0,72 persen). Sedangkan di daerah perdesaan persentase tertinggi penyandang disabilitas anak terdapat pada kelompok umur 13-15 tahun sebesar 1,06 persen, kelompok umur 16-17 tahun sebesar 0,98 persen, dan kelompok umur 7-12 tahun sebesar 0,72 persen. Tabel 7.3
Persentase Penyandang Disabilitas Anak Menurut Kelompok Umur dan Tipe Daerah, 2012
KelompokUmur (tahun) (1)
Perkotaan Jumlah (000) (2)
Perdesaan %
Jumlah (000)
%
Perkotaan dan Perdesaan Jumlah % (000)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
0-4
28,4
0,25
32,7
0,27
61,1
0,26
5 -6
31,7
0,68
19,2
0,40
50,9
0,54
7-12
102,7
0,72
109,7
0,72
212,3
0,72
13-15
48,7
0,77
71,2
1,06
120,0
0,92
16 - 17
42,2
0,93
45,6
0,98
87,8
0,96
79
Profil Anak Indonesia 2013
0-17
253,7
0,61
278,5
0,64
532,1
0,63
Sumber: Diolah dari Susenas Modul 2012, BPS
Tabel 7.4 memberikan gambaran bahwa persentase anak laki-laki penyandang disabilitas (0,66 persen) lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan (0,60 persen). Demikian juga bila berdasarkan kelompok umur, penyandang disabilitas anak laki-laki selalu lebih besar bila dibandingkan dengan penyandang disabilitas anak perempuan kecuali untuk kelompok umur 13-15 tahun. Dari tabel tersebut juga terlihat bahwa distribusi penyandang disabiltas anak laki-laki terbesar terdapat pada kelompok umur 16-17 tahun sebesar 0,97 persen, selanjutnya kelompok umur 13-15 tahun (0,91 persen) dan kelompok usia 7-12 tahun (0,75 persen). Keadaan yang sama juga terjadi terhadap penyandang disabilitas anak perempuan. Tabel 7.4
Persentase Penyandang Disabilitas Anak Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, 2012
Kelompok Umur (tahun) (1)
0-4
Laki-laki Jumlah (000)
Perempuan %
Jumlah (000)
%
Laki-laki dan Perempuan Jumlah % (000)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
36,5
0,30
24,6
0,22
61,1
0,26
(7)
5 -6
28,0
0,58
22,9
0,50
50,9
0,54
7-12
113,5
0,75
98,8
0,69
212,3
0,72
13-15
61,7
0,91
58,3
0,92
120,0
0,92
16 - 17
45,5
0,97
42,2
0,94
87,8
0,96
0-17
285,3
0,66
246,8
0,60
532,1
0,63
Sumber: Diolah dari Susenas Modul 2012, BPS
7.5.2 Jenis, Penyebab, Alat Bantu/Sarana yang Digunakan, dan Rehabilitasi Disabilitas Anak. Menjadi penyandang disabilitas bukanlah harapan setiap orang, namun apabila disabilitas sudah menjadi bagian dari hidup, bukan pula menjadi kendala bagi seseorang untuk maju dan berkembang sesuai dengan bakat dan potensi yang dimilikinya. Berdasarkan definisi yang diterbitkan oleh Kementerian Sosial Tahun 2005, jenis dan penyebab disabilitas dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu : 1) Disabilitas akibat kecelakaan, meliputi korban peperangan, kerusuhan, kecelakaan kerja/ industri, kecelakaan lalu lintas, serta kecelakaan lainnya. 2) Disabilitas sejak lahir
80
Profil Anak Indonesia 2013
atau ketika dalam kandungan, termasuk golongan ini adalah mereka mengidap disabilitas akibat penyakit keturunan. 3) Disabilitas yang disebabkan oleh penyakit, diantaranya adalah penyakit polio, penyakit kelamin, penyakit TBC, penyakit kusta, diabetes, dll. a.
Jenis Disabilitas
Penyandang disabilitas anak mungkin mempunyai satu atau lebih jenis disabilitas. Data penyandang disabilitas yang dikumpulkan melalui Susenas 2012 menurut jenis disabilitas yang dialami dibedakan menjadi tujuh jenis yaitu: disabilitas melihat, disabilitas mendengar, disabilitas berkomunikasi, disabilitas mengingat atau berkonsentrasi, disabilitas berjalan atau naik tangga, disabilitas mengurus diri sendiri, dan disabilitas lebih dari satu jenis. Gambar 7.5 menyajikan proporsi penyandang disabilitas anak menurut jenis disabilitas. Gambar 7.5 Proporsi Penyandang Disabilitas Anak Menurut Jenis Disabilitas, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas Modul 2012, BPS
Hasil Susenas tahun 2012 menunjukan secara umum proporsi anak dengan disabilitas berdasarkan jenis disabilitas paling tinggi adalah disabilitas dengan lebih dari satu jenis yang mempunyai proporsi sebesar 47,20 persen dibandingkan dengan jenis disabilitas lainnya. Selain disabilitas tubuh, jenis disabilitas dengan proporsi tinggi lainnya adalah disabilitas berkomunikasi yaitu sebesar 10,10 persen dan disabilitas berjalan atau naik tangga sebesar 10,05 persen. Sementara itu disabilitas mengurus diri sendiri dan disabilitas melihat merupakan jenis disabilitas yang paling rendah dengan persentase masing-masing sebesar 4,33 persen dan 8,93 persen (Gambar 7.5).
81
Profil Anak Indonesia 2013
Gambar 7.6 Proporsi Penyandang Disabilitas Anak Menurut Jenis Disabilitas dan Tipe Daerah, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas Modul 2012, BPS
Gambar 7.6 memperlihatkan proporsi penyandang disabilitas anak menurutjenis disabilitas dan tipe daerah. Secara umum proporsi tertinggi berdasarkan jenis disabilitas baik di daerah perkotaan maupun perdesaan adalah sama. Di daerah perkotaan jenis disabilitas terbanyak adalah disabilitas dengan lebih dari satu jenis (53,50 persen), disabilitas mengingat atau berkonsentrasi (9,66 persen) dan disabilitas melihat (9,61 persen). Sedangkan di daerah perdesaan, jenis disabilitas terbanyak adalah disabilitas dengan lebih dari satu jenis (41,47 persen), disabilitas berjalan atau naik tangga (14,19 persen) dan disabilitas berkomunikasi (11,23 persen). Namun bila dibandingkan pada semua jenis disabilitas antara daerah perkotaan dan perdesaan sebagian besar jenis disabilitas persentasenya lebih tinggi di derah perdesaan daripada perkotaan. Hal ini terlihat pada Gambar 7.6, hanya pada jenis disabilitas mengingat atau berkonsentrasi, mengurus diri sendiri, dan lebih dari satu jenis mempunyai persentase yang lebih tinggi di daerah perkotaan. Gambar 7.7
Proporsi Penyandang Disabilitas Anak Menurut Jenis Disabilitas Dan Jenis Kelamin, 2012
82
Profil Anak Indonesia 2013
Sumber: Diolah dari Susenas Modul 2012, BPS
Gambar 7.7 memperlihatkan proporsi penyandang disablitas anak menurut jenis disabilitas dan jenis kelamin. Proporsi tertinggi berdasarkan jenis disabilitas untuk penyandang disabilitas anak laki-laki adalah lebih dari satu jenis (45,44 persen), kemudian disabilitas mengingat atau berkonsentrasi (11,70 persen) dan disabilitas berjalan atau naik tangga (11,48 persen). Sedangkan anak perempuan penyandang disabilitas yang tertinggi adalah adalah disabilitas dengan lebih dari satu jenis (49,24 persen), kemudian disabilitas berkomunikasi (12,02 persen) dan disabilitas melihat (8,44 persen). Namun bila dibandingkan pada semua jenis disabilitas antara anak laki-laki dan perempuan penyandang disabilitas maka sebagian besar jenis disabilitas persentasenya lebih tinggi anak perempuan penyandang disabilitas dibandingkan dengan anak laki-laki. Hal ini terlihat pada Gambar 7.7, dimana hanya pada jenis disabilitas mengingat atau berkonsentrasi, berjalan atau naik tangga dan melihat penyandang disabilitas anak laki-laki mempunyai persentase lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan. b.
Penyebab Disabilitas
Menjadi penyandang disabilitas bukanlah merupakan harapan bagi setiap orang terutama anak-anak, namun apabila disabilitas sudah menjadi bagian dari hidup bukan pula menjadi kendala bagi seseorang untuk maju dan berkembang sesuai dengan bakat dan potensi yang dimilikinya. Jenis disabilitas yang dialami seseorang dapat disebabkan oleh beberapa hal. Susenas 2012 mengumpulkan informasi penyebab disabilitas yang dibedakan menjadi delapan jenis yaitu: 1) bawaan sejak lahir; 2) kecelakaan/bencana alam, 3) penyakit kusta; 4) penyakit
83
Profil Anak Indonesia 2013
lainnya seperti diabetes, TBC, asma, jantung, darah tinggi dan lain-lain; 5) kekurangan gizi; dan 6) tekanan hidup/stress. Tabel 7.5 menampilkan persentase anak dengan disabilitas menurut jenis disabilitas dan penyebab disabilitas. Dari tabel tersebut terlihat bahwa persentase tertinggi penyebab disabilitas adalah bawaan sejak lahir (58,57 persen), kecelakaan atau bencana alam (21,67 persen) dan penyakit lainnya (15,92 persen). Disabilitas yang disebabkan oleh bawaan sejak lahir merupakan penyebab terbesar untuk semua jenis disabilitas, yaitu diatas 40 persen, terutama jenis disabilitas berkomunikasi mencapai 88,49 persen. Tingginya persentase penyandang disabilitas yang disebabkan oleh bawaan sejak lahir kemungkinan disebabkan masih rendahnya kesadaran sebagian masyarakat, khususnya kaum ibu saat menjaga dan merawat janin selama dalam kandungan. Bila ibu saat mengandung dapat menjaga kesehatan dan terpenuhi kebutuhan gizinya serta melakukan pemeriksaan kandungan secara rutin pada petugas kesehatan, kemungkinan terjadinya kecacatan karena bawaan sejak lahir dapat dikurangi.
84
Profil Anak Indonesia 2013
Tabel 7.5
Persentase Penyandang Disabilitas Anak Menurut Jenis Disabilitas dan Penyebab Utama Disabilitas, 2012
JenisDisabilitas
(1)
Penyebab Utama Kecela Bawaan kaan/ Penyakit Kurang Tekanan sejak Bencana Lainnya Gizi Hidup lahir Alam
Jumlah
(2)
(3)
(5)
(6)
(7)
(8)
Melihat
65,76
9,09
22,29
2,86
0,00
100,00
Mendengar
42,51
23,82
32,32
1,36
0,00
100,00
Berkomunikasi
88,49
0,32
9,31
1,88
0,00
100,00
Mengingat atau berkonsentrasi
41,87
28,46
7,92
0,00
21,74
100,00
Berjalan atau naik tangga
58,45
29,06
10,53
1,95
0,00
100,00
Mengurus diri sendiri
53,27
20,07
26,67
0,00
0,00
100,00
Lebih dari satu jenis
57,52
25,71
14,64
1,06
1,07
100,00
58,57
21,67
15,92
1,29
2,55
100,00
Jumlah
Sumber: Diolah dari Susenas Modul 2012, BPS
c.
Alat Bantu/Sarana yang Digunakan
Dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari penyandang disabilitas anak memerlukan alat bantu yang dipergunakan untuk dapat meminimalkan hambatan yang dialami sebagai akibat kecacatannya agar dapat meningkatkan mobilitas, komunikasi, dan interaksi dalam kehidupan bermasyarakat secara wajar,. Susenas 2012 mengumpulkan informasi mengenai alat bantu/sarana yang digunakan oleh penyandang disabilitas anak, yang dibedakan menjadi sepuluh macam yaitu: 1) kursi roda; 2) tongkat penyanggah, 3) kaki palsu; 4) tangan palsu; 5) tongkat putih (tongkat untuk orang buta); 6) alat bantu dengar; 7) template braile; 8) komputer suara; 9) lainnya dan 10) tidak menggunakan alat bantu. Hasil Susenas 2012 menunjukan persentase penyandang disabilitas anak menurut alat bantu/sarana yang digunakan dan jenis kelamin (Tabel 7.6). Dari tabel tersebut terlihat bahwa persentase tertinggi dari penyandang disabiltas anak adalah tidak menggunakan alat bantu sebesar 92,18 persen, sedangkan penggunaan alat bantu kurang dari delapan persen yaitu kursi roda (1,72 persen), tongkat penyanggah (1,62 persen), alat bantu dengar (2,01 persen) dan lainnya (2,47 persen). Demikian juga bila kita lihat menurut jenis kelamin, terdapat pola yang
85
Profil Anak Indonesia 2013
sama baik untuk penyandang disabilitas anak laki-laki maupun perempuan. Berdasarkan data tersebut ternyata penggunaan alat bantu bagi penyandang disabilitas anak masih mengalami kekurangan yang sangat banyak. Hal ini perlu menjadi perhatian serius dari pemerintah dalam menangani kesejahteraan bagi penyandang disabilitas anak. Tabel 7.6
Persentase Penyandang disabilitas anak menurut Alat Bantu/Sarana yang Digunakan dan Jenis Kelamin, 2012
Alat Bantu/Sarana
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki dan Perempuan
(1)
(2)
(3)
(4)
Tidak menggunakan alat bantu
92,48
91,84
92,18
Kursi roda
1,36
2,12
1,72
Tongkat penyanggah
1,88
1,32
1,62
Alat Bantu Dengar
1,93
2,10
2,01
Lainnya
2,35
2,62
2,47
100,00
100,00
100,00
Jumlah
Sumber: Diolah dari Susenas Modul 2012, BPS
d.
Rehabilitasi
Untuk memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penyandang agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar sesuai dengan bakat, kemampuan, pendidikan dan pengalaman maka penyandang disabilitas anak memerlukan rehabilitasi. Susenas 2012 mengumpulkan informasi mengenai rehabilitasi yang dilakukan bagi penyandang disabilitas anak, yaitu: 1) rehabilitasi medik; 2) rehabilitasi pendidikan; 3) rehabilitasi pelatihan; dan 4) rehabilitasi sosial. Hasil Susenas 2012 menunjukan persentase penyandang disabilitas anak menurut alat bantu/sarana yang digunakan dan jenis kelamin (Tabel 7.7). Dari tabel tersebut terlihat bahwa banyak penyandang disabilitas anak yang tidak mengikuti rehabilitasi yaitu sebesar 83,99 persen, sedangkan yang mengikuti rehabilitasi hanya sebesar ± 10 persen yaitu rehabilitasi medik (7,20 persen), rehabilitasi pendidikan (7,65 persen), rehabilitasi pelatihan (0,59 persen) dan rehabilitasi sosial (0,57 persen). Demikian juga bila kita lihat menurut jenis kelamin, terdapat pola yang sama baik untuk penyandang disabilitas anak laki-laki maupun perempuan. Pentingnya rehabilitasi bagi penyandang disabilitas anak memerlukan perhatian
86
Profil Anak Indonesia 2013
serius dari pemerintah agar perlindungan dan peningkatan bagi kesejahteraan kesejahteraan bagi penyandang disabilitas anak tidak hanya sebatas program tetapi sesuai dengan kenyataan yang dialami oleh penyandang disabilitas anak dalam kehidupan sehari-hari. Tabel 7.7 Persentase Penyandang Disabilitas Anak yang Pernah Mengikuti Rehabilitasi Selama Setahun Terakhir Menurut Jenis Rehabilitasi dan Jenis Kelamin, 2012 Jenis Rehabilitasi
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki dan Perempuan
(1)
(2)
(3)
(4)
Rehabilitasi Medik
6,42
8,10
7,20
Rehabilitasi Pendidikan dan Pelatihan
6,70
10,02
8,24
Rehabiltasi Sosial
0,79
0,32
0,57
86,09
81,56
83,99
100,00
100,00
100,00
Tidak Mengikuti Rehabilitasi Jumlah
Sumber: Diolah dari Susenas Modul 2012, BPS
7.5.3
Pendidikan
UUD 1945 pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. Ayat tersebut dijabarkan secara lengkap dalam UU No. 23 Tahun 2002 dimana pasal 9 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya, sementara itu dalam ayat (2) dijelaskan bahwa selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) khusus bagi anak dengandisabilitas juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus. Berbagai kondisi anak dengan segala keterbatasannya diberikan fasilitas agar sumber daya manusia Indonesia menjadi berkualitas. Hal ini sejalan dengan misi pembangunan pendidikan nasional yaitu mengupayakan pemerataan dan perluasan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia. Memperoleh pendidikan merupakan hak anak agar dapat menjadi sumber daya manusia yang berkualitas, yang merupakan modal pembangunan bangsa bernilai tinggi dan strategis dalam setiap aspek pembangunan.
87
Profil Anak Indonesia 2013
Pendidikan dasar dimulai pada usia 7 tahun yaitu sebagai awal usia Program Wajib Belajar Sembilan Tahun (Wajar 9 Tahun) yang dicanangkan pemerintah. Untuk mewujudkan program tersebut, penduduk yang berumur 7 tahun sudah harus bersekolah. Informasi mengenai partisipasi sekolah anak difokuskan pada penduduk usia 7-17 tahun. Demikian juga dengan anak dengan disabilitas yang berumur 7-17 tahun bila dilihat dari tingkat partisipasi sekolah. a.
Status Sekolah
Hasil Susenas 2012 memperlihatkan persentase penyandang disabilitas anak menurut partisipasi sekolah dan tipe daerah. Persentase penyandang disabilitas anak yang masih sekolah memiliki persentase yang cukup tinggi yaitu sebesar 48,73 persen, sedangkan yang tidak bersekolah lagi sebesar 35,25 persen dan yang tidak/belum pernah sekolah sebesar 16,03 persen (Gambar 7.8). Gambar 7.8 Persentase Penyandang Disabilitas Anak Berumur 7-17 Tahun Menurut Tipe Daerah dan Partisipasi Sekolah, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas Modul 2012, BPS
Dilihat menurut tipe daerah, persentase penyandang disabilitas anak yang masih bersekolah di daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah perdesaan, yaitu 55,00 persen dan 43,36 persen. Sebaliknya penyandang disabilitas anak yang tidak/belum pernah sekolah dan tidak bersekolah lagi di daerah perdesaan lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah perkotaan. Gambar 7.9 menunjukkan bahwa persentase penyandang disabilitas anak perempuan yang masih bersekolah lebih tinggi dibandingkan dengan anak laki-
88
Profil Anak Indonesia 2013
laki, yaitu 51,20 persen dan 46,49 persen. Demikian juga dengan penyandang disabilitas anak perempuan yang tidak bersekolah lagi (16,59 persen) lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan (15,52 persen). Keadaan sebaliknya dialami oleh penyandang disabilitas anak perempuan yang tidak/belum pernah sekolah, dimana anak perempuan (32,21 persen) lebih rendah dibandingkan anak laki-laki (37,98 persen). Gambar 7.9
Persentase Penyandang Disabilitas Anak Berumur 7-17 Tahun Menurut Jenis Kelamin dan Partisipasi Sekolah, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas Modul 2012, BPS
b.
Pendidikan yang Ditamatkan
Hasil dari Susenas 2012 memperlihatkan persentase penyandang disabilitas anak berumur 7-17 tahun menurut pendidikan yang ditamatkan dan tipe daerah (Gambar 7.10). Dari gambar tersebut dapat terlihat bahwa pendidikan penyandang disabilitas anak relatif masih rendah. Penyandang disabilitas anak berumur 7-17 tahun masih banyak yang belum tamat SD (43,13 persen), bahkan persentase penyandang disabilitas yang tidak/ belum pernah sekolah masih cukup banyak yaitu sebesar 35,25 persen. Keadaan sebaliknya terjadi terhadap persentase penyandang disabilitas anak yang menamatkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi relatif rendah. Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa persentase penyandang disabilitas anak yang menamatkan pendidikan sampai jenjang SMP hanya sebesar 8,29 persen, SM ke atas sebesar 0,35 persen.
89
Profil Anak Indonesia 2013
Dilihat menurut tipe daerah, terlihat bahwa pendidikan penyandang disabilitas anak di daerah perkotaan cenderung lebih baik dibanding dengan penyandang disabilitas anak yang tinggal di daerah perdesaan. Persentase penyandang disabilitas anak di daerah perkotaan yang menamatkan jenjang pendidikan SMP dan SM ke atas cenderung lebih tinggi (10,50 persen dan 0,68 persen) dibanding penyandang disabilitas anak di daerah perdesaan (6,40 persen dan 0,08 persen). Sebaliknya, penyandang disabilitas anak yang tidak/belum pernah sekolah di daerah perdesaan (36,66 persen) cenderung lebih tinggi dibandingkan mereka yang tinggal di daerah perkotaan (33,59 persen). Gambar 7.10 Persentase Penyandang Disabilitas Anak Usia 7-17 Tahun Menurut Tipe Daerah, dan Pendidikan yang Ditamatkan, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas Modul 2012, BPS
Dari Gambar 7.11 terlihat bahwa pendidikan penyandang disabilitas anak perempuan cenderung lebih baik dibanding dengan penyandang disabilitas anak perempuan. Persentase penyandang disabilitas anak perempuan yang menamatkan jenjang pendidikan SD dan SMP lebih tinggi (14,21 persen dan 8,64 persen) dibanding penyandang disabilitas anaklaki-laki (11,87persen dan 7,97 persen). Sebaliknya, anak laki-laki penyandang disabilitas yang tidak/belum pernah sekolah (37,98 persen) cenderung lebih tinggi dibandingkan anak perempuan penyandang disabilitas (32,21 persen).
90
Profil Anak Indonesia 2013
Gambar 7.11 Persentase Penyandang Disabilitas Anak Usia 7-17 Tahun Menurut Jenis Kelamin dan Pendidikan yang Ditamatkan, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas Modul 2012, BPS
c.
Angka Buta Huruf
Aksara adalah jendela dunia, pintu bagi pendidikan. Peran aksara sangat krusial dan sangat besar sumbangannya terhadap Indeks Pembangunan Manusia/IPM (Human Development Indeks/HDI). Jika buta aksara tinggi, maka IPM menjadi rendah. Sebaliknya, jika buta aksara rendah IPM akan meningkat. Kemampuan baca tulis atau melek aksara (literacy), menjadi ukuran yang sangat mendasar bagi tingkat pendidikan karena melek aksara merupakan salah satu indikator keberhasilan bidang pendidikan. Dengan semakin berkurangnya penduduk yang buta huruf, tingkat pendidikan masyarakat juga semakin maju sekaligus juga taraf hidup masyarakat semakin meningkat. Berdasarkan hasil Susenas tahun 2012 yang disajikan pada Gambar 7.12, dapat dilihat bahwa angka buta huruf penyandang disabilitas anak pada tahun 2012 sebesar 34,67 persen. Apabila diperhatikan menurut tipe daerah, secara umum kemampuan baca tulis penyandang disabilitas anak di daerah perkotaan cenderung lebih baik dibandingkan penyandang disabilitas di perdesaan. Hal ini ditunjukkan dari angka buta huruf penyandang disabilitas anak di perdesaan yang lebih tinggi dibandingkan penyandang disabilitas anak di perkotaan. Pada tahun 2012 angka buta huruf penyandang disabilitas anak di daerah perkotaan sebesar 33,23 persen, sedangkan angka buta huruf penyandang disabilitas anak di perdesaan sebesar 35,90 persen.
91
Profil Anak Indonesia 2013
Gambar 7.12 Persentase Penyandang Disabilitas Anak dan Bukan Penyandang Disabilitas Berusia 7-17 Tahun yang Buta Aksara Menurut Tipe Daerah, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas Modul 2012, BPS
Bila dilihat menurut jenis kelamin, hasil Susenas tahun 2012 juga menunjukkan bahwa angka buta huruf penyandang disabilitas anak laki-laki lebih tinggi dibanding penyandang disabilitas anak perempuan. Angka buta huruf penyandang disabilitas anak laki-laki sebesar 38,00 persen dan perempuan sebesar 30,98 persen. Gambaran yang serupa terjadi baik di daerah perdesaan maupun perkotaan. d.
Kegiatan Utama
Anak berumur 10-17 tahun seyogyanya masih menikmati dunia bermain dan sekolah, namun beberapa anak terpaksa harus meninggalkan bangku sekolah karena situasi dan kondisi. Bahkan mereka terpaksa harus bekerja untuk memperoleh/membantu memperoleh penghasilan. Anak-anak menjadi kehilangan kesempatan untuk memperoleh haknya bersekolah seperti anak yang lain. Kebutuhan dasar hidup sehari-hari yang semakin meningkat dan semakin sulit untuk dipenuhi menjadi penyebab orangtua merelakan anaknya membantu mencari nafkah sehingga harus meninggalkan bangku sekolah. Hasil Susenas 2012 yang diperlihatkan Gambar 7.13 menunjukkan kegiatan utama selama seminggu terakhir yang dilakukan oleh penyandang disabilitas anak terbesar adalah kegiatan lainnya (43,31 persen) dan sekolah (42,78 persen).
92
Profil Anak Indonesia 2013
Penyandang disabilitas anak yang melakukan kegiatan bekerja cukup banyak, yaitu sebesar 5,68 persen. Bila dilihat menurut tipe daerah, kondisi yang terjadi di daerah perkotaan memiliki perbedaan dengan daerah perdesaan. Di daerah perkotaan, kegiatan utama penyandang disabilitas yang terbesar adalah sekolah sebesar 52,82 persen, sedangkan di daerah perdesaan kegiatan utama yang terbesar adalah kegiatan lainnya sebesar 45,39 persen. Namun bila dilihat dari kegiatan bekerja, maka penyandang disabilitas anak di daerah perdesaan lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah perkotaan, yaitu 7,93 persen berbanding 2,80 persen. Gambar 7.13
Persentase Penyandang Disabilitas Anak Berumur 10-17 Tahun Menurut Tipe Daerah dan Jenis Kegiatan Utama Seminggu Terakhir, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas Modul 2012, BPS
Dilihat menurut jenis kelamin, hasil Susenas 2012 memperlihatkan kegiatan utama selama seminggu terakhir yang dilakukan oleh anak laki-laki dan perempuan penyandang disabilitas memiliki perbedaan. anak perempuan penyandang disabilitas mempunyai kegiatan utama yang terbesar adalah sekolah sebesar 45,61 persen, sedangkan anak laki-laki kegiatan utama yang terbesar adalah kegiatan lainnya sebesar 47,06 persen. Bila dilihat dari penyandang disabilitas anak yang memiliki kegiatan bekerja, ternyata laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan, yaitu 8,39 persen berbanding 2,80 persen (Gambar 7.14).
93
Profil Anak Indonesia 2013
Gambar 7.14
Persentase Penyandang Disabilitas Anak Berumur 10-17 Tahun Menurut Jenis Kelamin dan Jenis Kegiatan Utama Seminggu Terakhir, 2012
Sumber: Diolah dari Susenas Modul 2012, BPS
7.6
Profil Anak yang Bekerja
Anak merupakan individu yang mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan dari bayi hingga remaja. Rentang waktu pertumbuhan dan perkembangan anak dimulai sejak bayi (0-1 tahun), usia bermain/toddler (2-3 tahun), pra sekolah (3-6), usia sekolah (6-12 tahun) hingga remaja (12-18 tahun)3. Pertumbuhan dan perkembangan anak pada rentang tersebut berbeda antara anak yang satu dengan yang lain tergantung oleh latar belakang kehidupannya. Secara fisiologis maupun psikologis, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa karena perkembangan kompleks yang terjadi di setiap tahap perkembangan. Sebagai golongan yang rentan, anak memerlukan perlindungan terhadap hak-haknya. Seperti kita ketahui manusia mempunyai hak-hak sejak lahir dan beberapa diantaranya bersifat mutlak sehingga perlu dilindungi oleh setiap orang. Tak terkecuali pada anak, akan tetapi anak memiliki hak-hak khusus yang ditimbulkan oleh kebutuhan-kebutuhan khusus akibat keterbatasan kemampuan sebagai anak. Keterbatasan itu yang kemudian menyadarkan dunia bahwa perlindungan terhadap hak anak mutlak diperlukan untuk menciptakan masa depan kemanusiaan yang lebih baik. 3
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24631/4/Chapter%20II.pdf
94
Profil Anak Indonesia 2013
Pada hakekatnya anak tidak diperbolehkan bekerja karena waktu mereka selayaknya dimanfaatkan untuk bergembira, belajar, bermain, berada dalam suasana damai, mendapatkan kesempatan dan fasilitas untuk mencapai citacitanya sesuai dengan perkembangan fisik, psikologis, intelektual dan sosialnya4. Namun pada kenyataannya banyak anak-anak dibawah usia 18 tahun yang telah terlibat aktif dalam kegiatan ekonomi, menjadi pekerja anak dengan alasan tekanan ekonomi yang dialami orang tuanya ataupun faktor lainnya. Untuk menjamin terpenuhinya hak anak yang bekerja, maka perlu ada perlindungan yang tercantum dan ditegaskan dalam perundang-undangan yang berlaku. Perlindungan ini dimulai sejak Konvensi ILO No. 138 yang mengatur umur minimum anak yang bekerja, kemudian Konvensi ILO No. 182 tentang pelarangan dan tindakan cepat untuk penghapusan segala bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Sementara di Indonesia aturan hukum tentang pekerja anak tertuang dalam Pasal 68 hingga Pasal 75 UU No. 13 Tahun 2003. Pasal 68 secara tegas menyatakan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Namun pada pasal 69 tertuang beberapa pengecualian di antaranya anak usia 13 hingga 15 tahun dapat melakukan pekerjaan ringan asalkan tidak menganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial anak. Pengusaha yang mempekerjakan anak untuk pekerjaan ringan harus mampu memenuhi kriteria sebagai berikut : a. Izin tertulis dari orang tua atau wali b. Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali c. Waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam d. Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah e. Keselamatan dan kesehatan kerja f. Adanya hubungan kerja yang jelas g. Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku Ketentuan huruf a,b,f, dan g tidak berlaku jika anak usia 13 hingga 15 tahun tersebut bekerja pada usaha keluarganya. Selanjutnya pada Pasal 74 disebutkan mengenai beberapa jenis pekerjaan yang dilarang dilakukan oleh anak-anak : (1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaanpekerjaan yang terburuk (2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi : Syamsuddin, 1997, Petunjuk Pelaksanaan Penanganan Anak yang Bekerja, Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia, Jakarta, hal:1. Kutipan dari Tesis Eka Tjahjanto, Implementasi Peraturan Perundangundangan Ketenagakerjaan Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Eksploitasi Pekerja Anak,hal:xiii 4
95
Profil Anak Indonesia 2013 a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya; b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukkan porno, atau perjudian; c. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak (3) Jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Sub bab ini membahas anak 10-17 tahun yang bekerja. Anak dianggap bekerja jika mereka bekerja minimal satu jam secara berturut-turut dalam periode seminggu yang lalu dan pekerjaan itu dilakukan dengan maksud untuk memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan dalam bentuk uang maupun barang. Tabel-tabel deskriptif pada lampiran, anak dibedakan dalam tiga kelompok umur yaitu umur 10-12 tahun, 13-14 tahun dan umur 15-17 tahun. Anak-anak pada kelompok 10-12 tahun sebenarnya tidak diperbolehkan bekerja (untuk jenis pekerjaan ringan sekalipun). Sedangkan untuk kelompok umur berikutnya, 13-14 tahun, pekerjaan ringan masih dapat ditoleransi undang-undang. Sementara untuk kelompok umur tertua, 15-17 tahun, secara umum diperbolehkan oleh hukum untuk bekerja. Namun demikian, berdasarkan hukum yang berlaku mereka semua dilindungi untuk tidak terlibat dalam pekerjaan terburuk atau berbahaya. 7.6.1
Anak 10-17 Tahun yang Bekerja
Di Indonesia, masuknya anak-anak ke dalam dunia kerja tidak dapat dihindari. Terbukti dari hasil Sakernas Agustus 2012 terdapat sekitar 3,6 juta anak usia 10-17 tahun masuk dalam kelompok pekerja. Jumlah tersebut mencapai sekitar 9,26 persen dari total penduduk usia 10-17 tahun yang sebanyak 38,6 juta jiwa (Gambar 7.15).
96
Profil Anak Indonesia 2013
Gambar 7.15 Penduduk Usia 10-17 Tahun Menurut Aktivitas yang Bekerja, 2012
Apabila dibedakan menurut kelompok umur, dari seluruh anak berumur 15-17 tahun terdapat 17,61 persen yang bekerja. Persentase tersebut paling tinggi diantara kelompok umur lainnya, akan tetapi hal tersebut wajar karena pada kelompok umur tersebut anak-anak memang sudah diperbolehkan untuk masuk dalam pasar kerja. Hal yang perlu dikhawatirkan adalah dari seluruh anak berumur 10-12 tahun masih terdapat sebesar 2,32 persen yang bekerja. Sementara pada kelompok umur tersebut, anak-anak tidak diperbolehkan bekerja meskipun untuk jenis pekerjaan ringan (Gambar 7.16). Dilihat berdasarkan jenis kelamin pada anak usia 10-17 tahun, persentase anak laki-laki yang bekerja sebesar 11,04 persen, lebih besar dibandingkan dengan persentase anak perempuan yang bekerja yang hanya sebesar 7,38 persen. Hal yang sama juga terlihat, baik pada kelompok umur 10-12 tahun, 13-14 tahun dan 15-17 tahun. Jika dilihat berdasarkan daerah tempat tinggal, persentase anak yang bekerja di perdesaan sekitar dua kali lipat dibandingkan dengan persentase anak yang bekerja di perkotaan. Di perdesaan, terdapat 12,47 persen anak usia 10-17 tahun yang bekerja, sedangkan di perkotaan hanya 5,85 persen. Bahkan pada kelompok umur 10-12 tahun, persentase anak yang bekerja di perdesaan lebih dari tiga kali lipat dibandingkan persentase anak yang bekerja di perkotaan.
97
Profil Anak Indonesia 2013
Gambar 7.16
Persentase Anak yang Bekerja Menurut Kelompok Umur, Daerah Tempat Tinggal, dan Jenis Kelamin (%), 2012
Sumber: Diolah dari Sakernas Agustus 2012
7.6.2
Anak 10-17 Tahun yang Bekerja Menurut Provinsi
Gambar 7.17 merupakan ilustrasi jumlah dan persentase penduduk 10-17 tahun berdasarkan provinsi. Secara absolut, tiga provinsi dengan jumlah anak berumur 10-17 tahun paling banyak adalah Jawa Barat (7,1 juta), Jawa Timur (5,3 juta) dan Jawa Tengah (4,9 juta). Sementara itu, jika dilihat menurut persentase anak yang bekerja terhadap total penduduk berumur 10-17 tahun, tiga provinsi dengan persentase anak berumur 10-17 tahun yang bekerja paling tinggi adalah Papua (30,86 persen), Sulawesi Barat (20,45 persen), dan Sulawesi Tenggara (18,17 persen). Itu artinya, untuk setiap 10 orang anak berumur 10-17 tahun di Provinsi Kepulaun Riau, 3 di antaranya bekerja; di Provinsi Sulawesi Utara, 2 diantaranya bekerja; dan di Provinsi Bengkulu, 1 sampai 2 orang di antaranya bekerja.
98
Profil Anak Indonesia 2013
Gambar 7.17
Jumlah Penduduk 10-17 Tahun (Ratusan Ribu) dan Persentase Penduduk Usia 10-17 Tahun Yang Bekerja Menurut Provinsi, 2012
% pendudk 10-17 thn yang bekerja
Sumber: Diolah dari Sakernas Agustus 2012
Berdasarkan kelompok umur, jumlah anak yang bekerja paling banyak adalah pada kelompok umur 15-17 tahun. Jika dibedakan menurut provinsi maka
99
Profil Anak Indonesia 2013
kelompok umur 15-17 tahun yang bekerja paling banyak adalah Provinsi Jawa Tengah yaitu 371 ribu. Hal yang lebih penting lagi yang ditunjukkan pada Gambar 7.18 adalah jumlah anak bekerja kelompok umur 10-12 tahun menurut provinsi. Tiga provinsi terbanyak adalah Sumatera Utara, Papua, dan Sulawesi Selatan (52 ribu, 50 ribu, dan 33 ribu). Gambar 7.18 Jumlah Anak yang Bekerja Menurut Kelompok Umur dan Provinsi (000), 2012
Sumber: Diolah dari Sakernas Agustus 2012
100
Profil Anak Indonesia 2013
101
Profil Anak Indonesia 2013
7.6.3
Anak 10-17 tahun yang Bekerja Menurut Pendidikan
Pada anak umur 10-17 tahun ini, anak seharusnya masih menikmati jenjang pendidikan. Namun pada kenyataannya di Indonesia pada tahun 2012 banyak anak pada kelompok umur ini yang sudah memasuki pasar kerja. Gambar 7.19 menyajikan persentase penduduk berumur 10-17 tahun yang bekerja menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Data yang disajikan menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk berumur 10-17 tahun yang bekerja memiliki pendidikan setingkat SD (39,14 persen) dan SMP (38,60 persen). Gambar 7.19
Penduduk Usia 10-17 Tahun Yang Bekerja Menurut Pendidikan Terakhir yang Ditamatkan dan Kelompok Umur, 2012
(a) Pendidikan Penduduk Bekerja Usia 10-12 Tahun
(b) Pendidikan Penduduk Bekerja Usia 13-14 Tahun
(c) Pendidikan Penduduk Bekerja Usia 15-17 Tahun
Sumber: Diolah dari Sakernas Agustus 2012
Pola pikir anak untuk memulai masuk ke dalam pasar kerja juga dipengaruhi oleh daerah tempat tinggal dan jenis kelamin. Data pada Gambar 7.20
102
Profil Anak Indonesia 2013
menunjukkan sebagian besar anak yang tinggal di daerah perkotaan bekerja dengan pendidikan terakhir SMP (45,50 persen) sedangkan di daerah pedesaan sebagian besar berpendidikan SD (41,04 persen). Berbanding terbalik dengan daerah tempat tinggalnya, anak perempuan yang bekerja justru mempunyai pendidikan terakhir yang ditamatkan yaitu SMP (42,63 persen) lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki yaitu tamat SD (41,29 persen). Artinya, dari setiap 10 anak laki-laki yang bekerja terdapat 4 orang anak tamatan SD, dan dari 10 anak yang bekerja perempuan terdapat 4 orang anak tamat SMP. Jika dilihat lebih rinci berdasarkan kelompok umur, persentase anak yang bekerja menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan bervariasi pada setiap kelompok umur. Pada kelompok umur 10-12 tahun, sebagian besar anak yang bekerja tidak atau belum tamat SD (59,64%). Sementara pada kelompok umur 13-14 tahun sebagian besar anak yang bekerja memiliki pendidikan masing-masing setingkat SD (70,61 persen), sedangkan pada kelompok umur 15-17 tahun adalah SMP (49,62 persen). Gambar 7.20
Penduduk Usia 10-17 Tahun Yang Bekerja Menurut Pendidikan Terakhir yang Ditamatkan, Daerah Tempat Tinggal, dan Jenis Kelamin, 2012
Sumber: Diolah dari Sakernas Agustus 2012
Gambar 7.21 menunjukkan bahwa sebagian besar dari anak yang bekerja sudah tidak bersekolah lagi yaitu sebesar 53,60 persen. Sedangkan anak yang bekerja dan masih sekolah sebesar 43,72 persen, dan yang tidak/belum pernah
103
Profil Anak Indonesia 2013
sekolah sebesar 2,67 persen. Pada kelompok anak berumur 10-12 tahun dan 13-14 tahun sebagian besar anak yang bekerja tersebut masih bersekolah berturut-turut yaitu 83,46 persen dan 64,99 persen. Gambar 7.21
Penduduk Usia 10-17 Tahun yang Bekerja Menurut Kelompok Umur dan Partisipasi Sekolah (%), 2012
Sumber: Diolah dari Sakernas Agustus 2012
7.6.4
Anak 10-17 Tahun yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan
Sama halnya dengan kondisi orang yang bekerja pada umumnya di Indonesia sektor pertanian menampung paling banyak anak yang bekerja yaitu 46,78 persen walaupun mengalami penurunan dari tahun lalu yaitu dari 49,24 persen (Profil Anak Indonesia 2012; Sakernas 2011). Sementara itu, sektor industri mampu menyerap anak yang bekerja sebesar 17,87 persen dan sektor jasa sebesar 35,35 persen. Pola tersebut terjadi untuk setiap kelompok umur anak (Gambar 7.22).
104
Profil Anak Indonesia 2013
Gambar 7.22
Anak Usia 10-17 Tahun Yang Bekerja Menurut Kelompok Umur dan Lapangan Pekerjaan Utama (%), 2012
Sumber: Diolah dari Sakernas Agustus 2012
Gambar 7.23 menyajikan potret anak yang bekerja pada 3 sektor lapangan pekerjaan berdasarkan komposisi daerah tempat tinggal dan jenis kelamin. Berdasarkan daerah tempat tinggal, sangat jelas perbedaan nyata antara sektor lapangan pekerjaan dan kondisi di daerah perkotaan dan perdesaan. Daerah perdesaan yang menyediakan lahan yang luas memang cocok dalam penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian. Anak yang bekerja pada sektor pertanian di perdesaan mampu mencapai 62,07 persen. Sedangkan daerah perkotaan sangat kental dengan sektor jasanya dan mampu menampung sebanyak 59,88 persen pekerja anak. Beda halnya jika dilihat dari komposisi bedasarkan jenis kelamin, anak lakilaki yang bekerja sebagian besar memilih sektor pertanian sebagai lapangan pekerjaan utamanya sebesar 54,57 persen. Ini artinya, dari 10 orang pekerja anak laki-laki sekitar 4 sampai 5 orang diserap oleh sektor pertanian. Sementara itu, anak perempuan yang bekerja sebagian besar berada di sektor jasa sebesar 47,19 persen.
105
Profil Anak Indonesia 2013
Gambar 7.23
Penduduk Usia 10-17 Tahun Yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama, Jenis Kelamin, dan Tipe Daerah (%), 2012
Sumber: Diolah dari Sakernas Agustus 2012
7.6.5
Anak 10-17 tahun yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan
Banyaknya anak berumur 10-17 tahun yang bekerja berdasarkan status pekerjaan utamanya disajikan pada Gambar 7.24. pada gambar dibawah dapat dilihat bahwa anak-anak yang bekerja umumnya adalah pekerja tak dibayar yaitu sebesar 58,58 persen atau sekitar 5 sampai 6 anak dari setiap 10 anak. Ditilik berdasarkan kelompok umurnya sebesar 87,69 persen pekerja anak umur 10-12 tahun termasuk pekerja tak dibayar.
106
Profil Anak Indonesia 2013
Gambar 7.24
Persentase Penduduk Usia 10-17 Tahun Yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan Utama dan Kelompok Umur (%), 2012
Sumber: Diolah dari Sakernas Agustus 2012
Keterangan: 1. Berusaha Sendiri, Berusaha dibantu Buruh Tetap dan Buruh Tidak Dibayar 2. Buruh/Karyawan/Pegawai 3. Pekerja bebas pertanian 4. Pekerja bebas nonpertanian 5. Pekerja tak dibayar
Jika dilihat lebih rinci pada Gambar 7.25, walaupun secara umum status pekerjaan utama anak adalah sebagai pekerja tak dibayar, di daerah perkotaan ada perbedaan. Status pekerjaan utama anak di perkotaan sebagian besar adalah sebagai buruh/karyawan/pegawai sebesar 47,30 persen meskipun proporsi sebagai pekerja tak dibayar masih lumayan besar yaitu 37,38 persen. Sedangkan di pedesaan anak yang bekerja masih jauh lebih besar sebagai pekerja tak dibayar yaitu 67,91 persen. Sementara itu, berdasarkan komposisi jenis kelamin mengikuti pola secara umum yaitu sebagian besar berstatus sebagai pekerja tak dibayar, lakilaki sebesar 58,51 persen dan perempuan sebesar 58,68 persen.
107
Profil Anak Indonesia 2013
Gambar 7.25 Penduduk Usia 10-17 Tahun Yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan Utama, Jenis Kelamin, dan Daerah Tempat Tinggal (%) , 2012
Sumber: Diolah dari Sakernas Agustus 2012 Keterangan: 1. Berusaha Sendiri, Berusaha dibantu Buruh Tetap dan Buruh Tidak Dibayar 2. Buruh/Karyawan/Pegawai 3. Pekerja bebas pertanian 4. Pekerja bebas non pertanian 5. Pekerja tak dibayar
Penduduk dikategorikan bekerja pada kegiatan formal jika mereka bekerja sebagai buruh/karyawan/pegawai dan juga mereka yang berusaha dibantu buruh/karyawan. Seperti diketahui, tidak semua buruh/ karyawan/pegawai bekerja pada kegiatan yang memiliki aspek legalitas kegiatan. Sebagai gambaran, seorang pembantu rumah tangga juga terklasifikasi sebagai pekerja formal mengingat statusnya sebagai buruh/karyawan. Dalam ketenagakerjaan, konsep buruh/karyawan adalah mereka yang bekerja dengan mendapatkan upah/gaji berupa uang maupun barang dari majikan yang tetap, dalam hal ini termasuk juga pembantu rumah tangga. Jika dilihat pada Gambar 7.26, sebagian besar anak berumur 10-17 tahun bekerja pada sektor informal yaitu sekitar 75,45 persen dan sektor formal sebesar 24,55 persen. semakin bertambahnya umur anak yang bekerja semakin banyak anak yang berpartisipasi di sektor formal. Persentase anak umur 10-12 tahun yang
108
Profil Anak Indonesia 2013
bekerja di sektor formal adalah 4,67. Sedangkan anak umur 13-14 tahun sebesar 11,77 persen dan anak umur 15-17 tahun sebesar 29,71 persen. Gambar 7.26 Penduduk Usia 10-17 Tahun Yang Bekerja Menurut Sektor Formal-Informal, dan Kelompok Umur (%) , 2012
Sumber: Diolah dari Sakernas Agustus 2012
Berdasarkan komposisi daerah tempat tinggal pada Gambar 7.27 sektor informal tetap mempunyai proporsi yang besar baik di perkotaan (52,70 persen) maupun di pedesaan (85,47 persen). Jika dibandingkan, persentase anak yang bekerja di masing-masing kegiatan (formal-informal), di daerah perkotaan sektor formal lebih banyak dibandingkan dengan perdesaan (formal perkotaan: 47,30 persen; formal perdesaan: 14,53 persen). Sedangkan jika dilihat menurut jenis kelamin, persentase sektor formal untuk perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki (perempuan: 31,62 persen; laki-laki: 20,10 persen). Gambar 7.27
Penduduk Usia 10-17 Tahun Yang Bekerja Menurut Sektor Formal-Informal, Jenis Kelamin, dan Daerah Tempat Tinggal (%), 2012
Sumber: Diolah dari Sakernas Agustus 2012
109
Profil Anak Indonesia 2013
7.6.6
Anak 10-17 tahun yang Bekerja Menurut Jam Kerja
Seperti telah disebutkan bahwa sesuai UU no 13 Tahun 2003, pada dasarnya pengusaha dilarang memperkerjakan anak tetapi terdapat pengecualian bagi anak usia 13-15 tahun yaitu mereka masih dapat bekerja tetapi dengan berbagai syarat dan kondisi, salah satunya yaitu tidak boleh bekerja lebih dari 3 jam per hari. Batasan jam kerja bagi anak merupakan salah satu perlindungan yang diberikan pemerintah untuk anak-anak. Jumlah jam kerja yang sedikit diasumsikan tidak terlalu mengganggu pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental anak (tidak mengganggu waktu belajar dan bermain anak-anak). Di Indonesia dengan asumsi 5 hari kerja, jam kerja normal dalam seminggu diperkirakan sebanyak 35-40 jam/minggu, jika lebih dari itu maka dianggap sudah melebihi jam kerja normal. Sementara pada anak-anak ada batasan bekerja 3 jam/hari atau sekitar 15 jam per minggu. Berdasarkan teori tersebut pada tulisan ini jam kerja dikelompokkan menjadi tiga yaitu kurang dari 15 jam/minggu (jam kerja normal bagi anak dan tidak termasuk yang sementara tidak bekerja), 15-40 jam /minggu, dan lebih dari 40 jam/minggu. Gambar 7.28 Penduduk Usia 10-17 Tahun yang Bekerja Menurut Kelompok Umur dan Jam Kerja (%) serta rata-rata jam kerja, 2012
Sumber: Diolah dari Sakernas Agustus 2012
Berdasarkan hasil Sakernas Agustus 2012, rata jam kerja seminggu pada anak 10-17 tahun yang bekerja rata- adalah 29 jam atau hampir 6 jam setiap harinya. Pada Gambar 7.28 ada semacam pola linier antara pertambahan umur dengan rata-rata jam kerja seminggu. Rata-rata jam kerja pada anak umur 10-12
110
Profil Anak Indonesia 2013
tahun adalah 18 jam/minggu, meningkat menjadi 22 jam/minggu pada anak umur 13-14 tahun dan terus meningkat menjadi 32 jam/minggu pada anak umur 15-17 tahun. Pada kelompok umur 10-12 tahun sebagian besar (55,09 persen) jumlah jam kerja seminggu masih dalam keadaan normal yaitu dibawah 15 jam walaupun masih terdapat sekitar 6,75 persen jumlah jam kerja diatas 40 jam. Sedangkan pada kelompok anak umur 13-14 tahun jumlah jam kerja seminggu sudah menyamai normalnya orang yang bekerja pada umumnya yaitu sekitar 40,45 persen berada pada jumlah jam kerja 15-40 jam. 7.6.7
Anak 10-17 tahun yang Bekerja Menurut Upah/Pendapatan
Istilah upah/gaji/pendapatan yang digunakan pada publikasi ini merujuk pada semua jenis imbalan atau penghasilan bersih selama sebulan baik berupa uang maupun barang yang diterima oleh pekerja dan diukur dalam uang rupiah. Rata-rata upah/gaji/pendapatan anak 10-17 tahun yang bekerja per bulan sangat kecil, yaitu hanya sekitar 688 ribu rupiah (Tabel 7.8). Pola pengupahan yang terjadi pada anak yang bekerja di Indonesia adalah berdasarkan umur si anak, semakin tinggi umur si anak maka upah yang diberikanpun bertambah. Rata-rata upah/gaji/pendapatan tertinggi adalah pada anak berumur 15-17 tahun yaitu sebesar 713 ribu rupiah per bulan dan terendah adalah anak berumur 10-12 tahun hanya 460 ribu rupiah per bulan. Tabel. 7.8
Rata-rata Upah/Gaji/Pendapatan Penduduk 10-17 Tahun yang Bekerja Menurut Kelompok Umur, Tipe Daerah, dan Jenis Kelamin, 2012
Kelompok Umur
Rata-rata Upah/Gaji/Pendapatan Selama Sebulan (Rupiah) Perkotaan Perdesaan Laki-laki Perempuan
Total
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
10-12
559.729
391.758
507.607
380.315
460.376
13-14
558.770
479.445
566.841
441.355
515.092
15-17
748.984
671.866
707.453
719.803
712.781
Total
729.898
642.461
688.362
687.318
687.915
Sumber: Diolah dari Sakernas Agustus 2012
Pada dasarnya besarnya upah/gaji/pendapatan terkait erat dengan lamanya jam kerja yaitu semakin besar jumlah jam kerja maka akan semakin besar pula upah/gaji/pendapatan yang akan diterima. Apabila rata-rata upah/gaji/ pendapatan anak yang bekerja dikaitkan dengan rata-rata jumlah jam kerjanya
111
Profil Anak Indonesia 2013
dalam seminggu (Gambar 7.28 dan Tabel 7.8) dapat dilihat kelompok umur 10-12 tahun dengan rata-rata jam kerja 18 jam per minggu, rata-rata upah gajinya hanya 460 ribu rupiah. Sementara pada kelompok umur 15-17 tahun dengan rata-rata jam kerja seminggu 32 jam (tidak sampai dua kali lipat dari rata-rata jam kerja anak 10-12 tahun) rata-rata upah/gaji/pendapatannya mencapai 713 ribu rupiah. Sehingga dapat ditarik kesimpulan sangat tidak menguntungkan bagi anak-anak usia 10-12 tahun untuk bekerja, selain dapat mengganggu perkembangan fisik dan mentalnya dari sisi pendapatannya juga tidak memadai. Gambar 7.29 Rata-rata Upah/Gaji/Pendapatan Selama Sebulan Anak 10-17 Tahun yang Bekerja Menurut Provinsi (dalam ribuan rupiah), 2012
Sumber: Diolah dari Sakernas Agustus 2012
112
Profil Anak Indonesia 2013
Besarnya upah yang diterima pekerja sangat dipengaruhi oleh daerah tempat kerjanya. Upah/gaji/pendapatan yang diberikan di daerah pekotaan umumnya lebih besar. Hal ini juga berlaku bagi anak yang bekerja. Rata-rata upah/gaji/pendapatan selama sebulan di daerah perkotaan adalah sekitar 730 ribu rupiah lebih tinggi dibandingkan daerah pedesaan yaitu sekitar 642 ribu rupiah. Sementara itu jika ditilik dari jenis kelamin anak yang bekerja, rata-rata upah/gaji/pendapatan selama sebulan anak laki-laki 10-17 tahun yang bekerja hanya senilai 688 ribu rupiah, lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan 10-17 tahun bekerja yang senilai 687 ribu rupiah. Fenoma umum yang terjadi dalam pengupahan biasanya adalah upah/gaji/pendapatan yang diterima oleh lakilaki lebih besar dari perempuan. Namun fenomena ini tidak berlaku pada kelompok umur 15-17 tahun, rata-rata upah/gaji/pendapatan selama sebulan untuk laki-laki adalah 707 ribu rupiah, lebih rendah daripada perempuan yaitu senilai 720 ribu rupiah. Gambar 7.29 menyajikan distribusi rata-rata upah/gaji/ pendapatan dari 33 provinsi di Indonesia. Tiga provinsi dengan rata-rata upah/gaji/pendapatan tertinggi dari anak berumur 10-17 tahun yang bekerja yaitu DKI Jakarta, Kalimantan Tengah, dan Bangka Belitung, berturut-turut 1,14 juta rupiah, 1,06 juta rupiah dan satu juta rupiah. Sementara tiga provinsi dengan rata-rata upah/gaji/pendapatan yang terkecil ada di provinsi Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggar,a berturut-turut 337 ribu rupiah, 428 ribu rupiah, dan 476 ribu rupiah.
113
Profil Anak Indonesia 2013
114
Profil Anak Indonesia 2013
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2011. Data Statistik Indonesia: Demografi. Available at: http://www.datastatistik-indonesia.com/content/view/83/115/. Badan Pusat Statistik. 2009. Pekerja Anak di Indonesia. Jakarta: BPS dan ILO. Badan Pusat Statistik. 2008. Booklet: MDGs (Millenium Development Goals). Jakarta: Badan Pusat Statistik, UNICEF, dan Canadian International Development Agency. BKKBN, BPS, Kementerian Kesehatan & USAID. 2013. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2013. Jakarta. Chang, Yunita. 2006. Determinants of Child labor in Indonesia: The Roles of Family Affluence, Bargaining Power and Parents’ Educational Attainments. Department of Economics, National University of Singapore. International Labour Organization. 2010. Facts on Child Labor 2010. Geneva: ILO. Republik Indonesia. 1974. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sekretariat Negara. Jakarta. Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sekretariat Negara. Jakarta. Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang No.13 Ketenagakerjaan. Sekretariat Negara. Jakarta.
Tahun
2003
tentang
Republik Indonesia. 2002. Undang-Undang No.23 Perlindungan Anak. Sekretariat Negara. Jakarta.
Tahun
2002
tentang
UNICEF, WHO, The World Bank, & United Nations. 2013. Levels and Trends in Child Mortality, 2013. New York.
115