PEMBERDAYAAN KOMUNITAS EKS PENDERITA KUSTA MELALUI PENGUATAN INDIVIDU DAN KELOMPOK KELUARGA BINAAN SOSIAL – KELOMPOK USAHA BERSAMA (STUDI KASUS DI DUSUN NGANGET DESA KEDUNGJAMBE KECAMATAN SINGGAHAN KABUPATEN TUBAN PROVINSI JAWA TIMUR)
CIPTO WIBOWO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pemberdayaan Komunitas Eks Penderita Kusta Melalui Penguatan Individu dan Kelompok Keluarga Binaan Sosial – Kelompok Usaha Bersama (KBS–KUBE). Studi Kasus di Dusun Nganget Desa Kedungjambe Kecamatan Singgahan Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas ini.
Bogor,
November 2005
CIPTO WIBOWO NIM. A. 154040145
@ Hak cipta milik Cipto Wibowo,Tahun 2005 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, mikrofilm dan sebagainya
PEMBERDAYAAN KOMUNITAS EKS PENDERITA KUSTA MELALUI PENGUATAN INDIVIDU DAN KELOMPOK ( KBS – KUBE ) KELUARGA BINAAN SOSIAL – KELOMPOK USAHA BERSAMA (STUDI KASUS DI DUSUN NGANGET DESA KEDUNGJAMBE KECAMATAN SINGGAHAN KABUPATEN TUBAN PROVINSI JAWA TIMUR)
CIPTO WIBOWO
Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Pengembangan Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
Judul Tugas Akhir
: Pemberdayaan Komunitas Eks Penderita Kusta Melalui Penguatan Individu dan Kelompok Keluarga Binaan Sosial – Kelompok Usaha Bersama (KBS – KUBE). Studi Kasus di Dusun Nganget Desa Kedungjambe Kecamatan Singgahan Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur.
Nama
: Cipto Wibowo
NIM
: A. 154040145
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Carolina Nitimihardjo, MS Ketua
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc. Agr. Anggota
Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS
Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Ujian : 11 November 2005
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya
penulis
mendapat kesempatan
untuk mengikuti Pendidikan
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor hingga dapat menyelesaikan penulisan kajian ini. Penulisan ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional Pengembangan Masyarakat
dengan judul laporan Kajian
Pengembangan Masyarakat “ Pemberdayaan Komunitas Eks Penderita Kusta Melalui Penguatan Individu dan Kelompok Keluarga Binaan Sosial – Kelompok Usaha
Bersama
(KBS–KUBE).
Studi
Kasus
di
Dusun
Nganget
Desa
Kedungjambe Kecamatan Singgahan Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur. Penulisan Tugas Akhir ini dapat diselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan moril dan materiil dalam menyelesaikan kajian pengembangan masyarakat ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc. Selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). 2. Bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS, selaku Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor (IPB). 3. Ibu Dr. Carolina Nitimihardjo, MS, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc. Agr. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan tugas akhir ini. 4. Bapak Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS, selaku Penguji di luar komisi yang telah memberikan masukan yang berarti untuk kesempurnaan kajian ini. 5. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pengembangan Masyarakat yang telah membekali pengetahuan pengembangan masyarakat. 6. Bapak Ir. Binsar Tua Siregar, selaku Kepala Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk menempuh pendidikan Strata-2. 7. Bapak Drs. Palimbu Paluta, selaku Kepala Panti Rehabilitasi Sosial
Eks
Penderita Kusta Nganget Tuban, Jawa Timur dan seluruh staf yang turut mendukung dan membantu dalam pelaksanaan penelitian.
8. Bapak Kepala Desa beserta staf Desa Kedungjambe Kecamatan Singgahan yang telah memberikan ijin, membantu dan memberikan informasi yang sangat bermanfaat kepada penulis. 9. Bapak Ketua RT di Dusun Nganget dan warga masyarakat eks penderita kusta yang telah membantu kelancaran tugas akhir penulis. 10. Bapak – bapak Pengurus Kelompok Usaha Bersama dan Pengurus serta anggota KBS – KUBE di Dusun Nganget Desa Kedungjambe. 11. Ibunda dan Ayahanda serta adik – adik yang tercinta yang telah memberikan doa dan restunya selama mengikuti pendidikan hingga selesai. 12. Istri tercinta dan anakku tersayang Anissa Ayu Dewantari yang selama ini dengan penuh pengertian memberikan dorongan dan semangat hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Kami menyadari bahwa penulisan kajian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu semua pihak yang membaca kajian pengembangan masyarakat ini hendaknya dapat memberikan saran untuk kesempurnaan tulisan ini, Semoga kajian ini dapat memberikan sumbangan kepada pihak – pihak yang akan mengadakan penelitian lebih lanjut dan semoga dapat memberi manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan yang terkait dengan permasalahan eks penderita kusta khususnya dan kesejahteraan sosial pada umumnya.
Bogor,
November 2005
Cipto Wibowo
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabupaten Bojonegoro Provinsi Jawa Timur pada tanggal 17 Oktober 1968 dari pasangan Bapak Subijanto dan Ibu Djuwarijah. Penulis menyelesaikan Pendidikan Sekolah Dasar Negeri I Kedungadem pada tahun 1982, SMPK “St. Tarsisius”
Kabupaten Bojonegoro pada tahun 1984,
SMA Negeri 2 Bojonegoro pada tahun 1987, STKS Bandung Program Diploma III pada tahun 1990 dan STIKS Manado Program Sarjana pada tahun 1994. Pada tahun 1991 penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kantor Wilayah Departemen Sosial Provinsi Sulawesi Utara sampai tahun 1999. Kemudian pada bulan Januari 2000 penulis pindah tugas di Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) “Mardi Waluyo” Bojonegoro, Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur sampai dengan sekarang. Pada tahun 1994 penulis menikah dengan Ana Sukiswati. Dari pernikahan tersebut penulis dikaruniai seorang anak bernama Anissa Ayu Dewantari lahir pada tanggal 2 September 1999.
Bogor,
November 2005
Cipto Wibowo
ABSTRAK
CIPTO WIBOWO, Pemberdayaan Komunitas Eks Penderita Kusta Melalui Penguatan Individu dan Kelompok Keluarga Binaan Sosial – Kelompok Usaha Bersama (KBS–KUBE). Studi Kasus di Dusun Nganget Desa Kedungjambe Kecamatan Singgahan Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur. Dibimbing oleh CAROLINA NITIMIHARDJO sebagai ketua, ARYA HADI DHARMAWAN sebagai anggota komisi pembimbing. Salah satu pola pendekatan pemberdayaan yang belakangan ini mampu mengangkat mereka yang miskin agar menjadi berdaya dan berkembang adalah melalui media “kelompok”. Mereka diorganisir dalam wadah kelompok dan kelompok itu dimultifungsikan menjadi media pembelajaran anggota sekaligus proses tukar menukar informasi dan, pengetahuan. Secara perlahan, kekuatan individu akan muncul menjadi kekuatan kelompok dan disitulah berlangsungnya proses penguatan atau pemberdayaan. Kajian ini bertujuan menganalisis proses terjadinya kelompok Keluarga Binaan Sosial – Kelompok Usaha Bersama (KBS-KUBE), menganalisis masalah dan akar masalah yang dihadapi kelompok Keluarga Binaan Sosial – Kelompok Usaha Bersama (KBS-KUBE), menganalisis dan mengevaluasi program-program pengembangan penguatan kelompok yang ada di Dusun Nganget, menyusun program penguatan kelompok Keluarga Binaan Sosial-Kelompok Usaha Bersama (KBS-KUBE) sehingga eks penderita kusta dapat melaksanakan fungsi sosialnya dalam masyarakat. Metode penelitian yang digunakan dalam kajian pengembangan masyarakat melalui pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah (1) Observasi; (2) Wawancara mendalam; (3) Studi Dokumentasi; dan (4) Diskusi Kelompok. Hasil kajian menunjukkan bahwa program tersebut belum sepenuhnya dapat dipergunakan sebagai media pemberdayaan, ini disebabkan kelompok secara organisasi mempunyai berbagai permasalahan antara lain : aspek kelembagaan yang meliputi struktural dan kultural organisasi belum bisa menjalankan fungsinya secara optimal, aspek sosial meliputi pengembangan dinamika kelompok belum terjadi kekompakan kelompok dan secara individu anggota kelompok juga belum mempunyai keterampilan untuk mengembangkan kelompok tersebut serta belum mempunyai keterampilan teknik produksi kambing. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dirumuskan program penguatan individu dan kelompok KBS – KUBE. Penguatan individu dengan program yang meliputi (1) Penguatan Kapasitas Keterampilan Organisasi Individu anggota kelompok KBS-KUBE; dan (2) Penguatan Kapasitas Usaha Ekonomi Anggota KBS-KUBE. Penguatan Kelompok meliputi program (1) penguatan aspek struktural dan Kultural Organisasi KBS – KUBE ; dan (2) pengembangan Dinamika Kelompok KBS-KUBE, serta didukung oleh penguatan jejaring baik dalam komunitas maupun di luar komunitas. Dengan penguatan individu dan kelompok serta program – program yang telah disusun maka eks penderita kusta menjadi berdaya. Dengan berdayanya eks penderita kusta maka akan meningkatkan keberfungsian sosialnya dalam masyarakat.
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ……………………………………………………………………………... HAK CIPTA ……………………………………………………………………….…… JUDUL TUGAS AKHIR ……………………………………………………………… PENGESSAHAN TUGAS AKHIR ………………………………………………….. PRAKATA ……………………………………………………………………………... RIWAYAT HIDUP …………………………………………………………………….. DAFTAR ISI …………………………………………………………………………… DAFTAR TABEL ……………………………………………………………………… DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………………… DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………………
i ii iii iv v vii viii xi xiii xiv
I.
PENDAHULUAN ………………………………………………………………. 1.1. Latar Belakang …………………………………………….……………… 1.2. Perumusan Masalah ……………………………………………………… 1.3. Tujuan……………………………………………………….……………… 1.4. Kegunaan…………………………………………………………………..
1 1 6 9 10
II.
TINJAUAN TEORITIS…………………………………………………………. 2.1. Tinjauan Tentang Kemiskinan………………………………………….… 2.2. Tinjauan Tentang Pemberdayaan……………………………………….. 2.3. Tinjauan Tentang Kelompok dan Dinamika Kelompok……………….. 2.3.1. Kelompok Dalam Artian Persepsi……………………………….. 2.3.2. Kelompok Dalam Artian Organisasi…………………………….. 2.3.3. Kelompok Dalam Artian Motivasi………………………………… 2.3.4. Kelompok Dalam Artian Interaksi………………………………… 2.4. Tinjauan Tentang Kelompok Sebagai Media Pemberdayaan………… 2.5. Tinjauan Tentang Keberfungsian Sosial………………………………… 2.6. Tinjauan Tentang Eks Penderita Kusta…………………………………. 2.7. Kelompok Usaha Bersama (KUBE) …………………….……………… 2.8. Kerangka Konseptual ……………………………………………………. 2.9. Definisi Konseptual ……………………………………………………….
11 11 13 17 17 17 18 18 21 23 26 27 31 35
III.
METODOLOGI KAJIAN………………………………………………………. 3.1. Metode dan Pendekatan…………………………………………………. 3.2. Waktu dan Lokasi…………………………………………………………. 3.3. Teknik Pengumpulan Data……………………………………………….. 3.4. Pengolahan Data………………………………………………………….. 3.5. Penyusunan Program……………………………………………………..
36 36 37 38 41 41
IV.
PETA SOSIAL KOMUNITAS EKS PENDERITA KUSTA………………… 4.1. Sejarah Komunitas Eks Penderita Kusta Dusun Nganget……………. 4.2. Performa Komunitas Eks Penderita Kusta Dusun Nganget dan Komunitas Dusun Krajan Desa Kedungjambe……………………. 4.3. Proses Stigmatisasi Terhadap Eks Penderita Kusta…………………... 4.4. Alasan Pemilihan Lokasi…………………………………………………. 4.5. Batas Dusun Nganget………………………………………….. ………..
43 43
viii
44 47 50 51
4.6. Ciri Fisik Dusun Nganget……...…………………………………………. 4.7. Jarak Fisik dan Sosial…………………………………………………….. 4.8. Kependudukan…………………………………………………………….. 4.9. Sistem Ekonomi…………………………………………………………… 4.9.1. Mata Pencaharian Pokok…………………………………………. 4.9.2. Sistem Tata Niaga Input dan Output Pertanian dan Non Pertanian……………………………………………………………. 4.9.3. Kaitan Mata Pencaharian Dengan Sumber Daya Lokal…………………………………………………………………. 4.9.4. Keterkaitan antara Ekonomi Lokal Dengan Ekonomi yang Lebih Luas……………………………………….. ………………… 4.10. Struktur Komunitas…………………………………………….………… 4.10.1. Pelapisan Sosial………………………………………………… 4.10.2. Unsur Utama Pelapisan Sosial……………………………….. 4.10.3. Kepemimpinan dan Sumbernya………………………………. 4.10.4. Jejaring Sosial Dalam Komunitas…………………………….. 4.11. Organisasi dan Kelembagaan…………………………………………. 4.11.1. Lembaga Kemasyarakatan………………………….………… 4.11.2. Jejaring Lembaga Lokal Dengan Lembaga Lain Di Luar Komunitas……………………………………………………….. 4.11.3. Proses Sosialisasi (Pola Pengasuhan dan Sistem Kekerabatan)…………………………………………………….. 4.11.4. Kelembagaan Masyarakat Yang Sudah Mengarah Pada Organisasi………………………………………………… 4.11.5. Hubungan Antar Kelompok………………………….………… 4.12. Sumber Daya Lokal…………………………………………………….. 4.12.1. Hubungan Manusia Dengan Ekosistem…………………….. 4.12.2. Sistem Penguasaan Sumber Daya Agraris…………………. 4.12.3. Tekanan Penduduk Terhadap Sumberdaya………………… 4.12.4. Lembaga Yang Berhubungan Sumberdaya Alam………….. 4.13. Permasalahan-permasalahan di Komunitas ….………………………
51 52 53 55 56
V.
EVALUASI PENGEMBANGAN MASYARAKAT……………….…………. 5.1. Program Pendidikan TK Di Komunitas…………………………………. 5.1.1. Deskripsi Kegiatan………………………………………………… 5.1.2. Pengembangan Ekonomi Masyarakat………………………….. 5.1.3. Aspek Psikologi Sosial……………………………………………. 5.1.4. Pengembangan Modal Sosial dan Gerakan Sosial……………. 5.1.5. Kebijakan dan Perencanaan Sosial………………….………….. 5.1.6. Evaluasi Program Taman Kanak-Kanak…….………………….. 5.2. Pogram Bantuan Kesejahteraan Sosial KUBE………………………… 5.2.1. Deskripsi Kegiatan………………………………………………… 5.2.2. Pengembangan Ekonomi Lokal………………………………….. 5.2.3. Pengembangan Modal Sosial dan Gerakan Sosial……………. 5.2.4. Aspek Psikologi Sosial……………………………………………. 5.2.5. Kebijakan dan Perencanaan Sosial………………….………….. 5.2.5. Evaluasi Kelompok KBS-KUBE………………………………….
73 74 74 75 76 76 79 80 82 82 87 89 93 94 95
VI.
ANALISIS PEMBERDAYAAN KOMUNITAS EKS PENDERITA KUSTA 6.1. Profil Kelompok KBS – KUBE……………………………………………. 6.1.1. Kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia…………………………….. 6.1.2. Kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur………………………… 6.2. Analisis Aspek Kelembagaan Kelompok KBS – KUBE……………….
99 99 102 105 110
ix
57 58 58 59 59 59 60 61 62 63 63 67 68 68 69 69 70 71 72 72
6.2.1. Aspek Struktur Dalam Kelembagaan KBS – KUBE……………. 6.2.1.1. Pelapisan Sosial Dalam Kelompok KBS-KUBE……….. 6.2.1.2. Pola Hubungan dan Komunikasi Dalam Kelompok KBS – KUBE……... ………………………….. 6.2.1.3. Kepemimpinan Dalam Kelompok……………………….. 6.2.1.4. Konflik Dalam Kelompok…………………………………. 6.2.1.5. Mekanisme Kerja KUBE…………………………………. 6.2.2. Aspek Kultur Dalam Kelembagaan Kelompok KBS – KUBE….. 6.2.2.1. Sistem Nilai dan Norma Dalam Kelompok KBS–KUBE 6.2.2.2. Tata Perilaku Dalam Kelompok KBS –KUBE…………… 6.3. Analisis Aspek Sosial Kelompok KBS – KUBE ………………………. 6.4. Analisis Aspek Ekonomi……………………………………….. ……….. 6.5. Analisis Kekompakan / compactness Kelompok KBS-KUBE……….. 6.5.1. Jejaring Komunitas Eks Penderita Kusta……………………… 6.5.2. Integrasi Sosial ………………………………………………… 6.5.3. Solidaritas Sosial,……………………………………………….. 6.5.4. Kohesivitas Sosial……………………………………………….. 6.6. Analisis Tipe Kelompok KBS – KUBE…………………………………… 6.7. Strategi Penguatan Kelompok KBS – KUBE…………………………… 6.8. Strategi Penguatan Individu Kelompok KBS-KUBE…………………… 6.9. Strategi Penguatan Jejaring……………………………………………… 6.10. Ihktisar…………………………………………………………………… VII.
VIII.
111 111 116 117 118 119 120 120 122 124 126 127 127 130 133 134 137 140 140 141 142
PROGRAM PEMBERDAYAAN KOMUNITAS EKS PENDERITA KUSTA 7.1. Identifikasi Potensi Komunitas Eks Penderita Kusta………………….. 7.1.1. Sumber Daya Manusia…………………………………………… 7.1.2. Sumber Daya Alam……………………………………………… 7.1.3. Sumber Daya Kelembagaan………………………….…………. 7.2. Proses Penyusunan Perencanaan Program Secara Partisipatif……. 7.3. Identifikasi Masalah Dan Kebutuhan……………………………… 7.3.1. Identifikasi Masalah dan Kebutuhan Kelompok KBS – KUBE.. 7.3.2. Identifikasi Masalah dan Kebutuhan Individu……….…………. 7.3.3. Identifikasi Permasalahan dan Kebutuhan Komunitas ………. 7.4. Penyusunan Perencanaan Program Kerja Aras Kelompok Individu dan Komunitas……………………………………………… 7.4.1.Program Penguatan Pada Aras Kelompok KBS – KUBE …… 7.4.1.1. Program Penguatan Aspek Struktural dan Kultural Organisasi Kelompok KBS – KUBE…………………… 7.4.1.2. Program Pengembangan Dinamika Kelompok KBS – KUBE …………………………………………….. 7.4.2. Program Penguatan Kapasitas Keterampilan Individu Anggota Kelompok KBS – KUBE dan Rencana Program Penguatan Kapasitas Usaha Ekonomi Anggota Kelompok KBS – KUBE 7.4.3. Program Penguatan Jejaring ………………………………….. 7.5. Ikhtisar……………………………………………………………………….
144 144 144 145 145 146 148 148 150 152
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN………………………. 8.1. Kesimpulan…………………………………………………………………. 8.2. Rekomendasi …………..…………………………………………………..
191 191 194
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………..
198
LAMPIRAN ……………………………………………………………………..
201
x
155 156 156 167
178 182 188
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Jadwal Pelaksanaan Kajian Pengembangan Masyarakat……………..
37
2.
Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data Kelompok KBS-KUBE..
40
3.
Performa Komunitas Dusun Nganget dan Komunitas Dusun Krajan Desa Kedungjambe Tahun 2005 ………………………………..
45
4.
Orbitan Waktu Tempuh dan Ongkos …………………………………….
52
5.
Komposisi Penduduk Berdasarkan Matapencaharian………………….
56
6.
Peta Intervensi Lembaga Eksternal Pada Eks Penderita Kusta Di Dusun Nganget Desa Kedungjambe …………………………………
67
7.
Nama Ketua KBS - KUBE dan Jumlah Bantuan ……………………….
85
8.
Data Perkembangan Kelompok KBS – KUBE …………….……………
86
9.
Data Perkembangan Kelompok KBS – KUBE Tahun 2005……………
100
10. Tingkat Pendidikan Anggota Kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia……
103
11. Tingkat Pendidikan Anggota Kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur..
107
12. Profil Kelompok KBS – KUBE Bangkit Mulia dan Sumber Makmur Tahun 2005 …………………………………………………………………
109
Pelapisan Sosial dalam Kelompok KBS – KUBE ………………………
113
14. Tata Perilaku Kelompok KBS – KUBE Dusun Nganget Tahun 2005…
122
13
15. Dinamika kelompok anggota KUBE Bangkit Mulia dan Sumber Makmur Dusun Nganget Tahun 2005…………………………
124
16. Tipe kelompok KBS – KUBE di permukiman eks penderita kusta Dusun Nganget Tahun 2005………………………
137
17. Identifikasi permasalahan pada aras dinamika kelompok KBS – KUBE Tahun 2005…………………………………………………
149
18. Hasil identifikasi permasalahan pada aras individu anggota pada Dua Kelompok KBS – KUBE Tahun 2005………………………………
151
19. Hasil identifikasi permasalahan pada aras komunitas eks penderita kusta Tahun 2005………………………………………….
153
20. Rencana program penguatan aspek struktural dan kultural organisasi KBS – KUBE ……………………………………………………………….
162
21. Rencana program pengembangan dinamika kelompok KBS – KUBE
172
xi
Lanjutan daftar tabel ………. 22. Rencana program penguatan kapasitas keterampilan berorganisasi Individu anggota kelompok KBS – KUBE Dan Rencana Program Penguatan Kapasitas Usaha Ekonomi Anggota KBS – KUBE Tahun 2005 …………………………………………………………………
180
23. Rencana Program penguatan jejaring hasil kajian pada kelompok KBS-KUBE Tahun 2005……………………………………….
xii
185
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Empowerment Process (taken from Wilson, 1996 : 136)
16
2.
Tiga Dimensi Keberfungsian Sosial
23
3.
Kerangka Konseptual
34
4.
Piramida Penduduk Dusun Nganget Tahun 2005
54
5.
Keterkaitan ekonomi lokal dengan ekonomi yang lebih luas
58
6.
Tingkatan Pelapisan sosial Pemukiman eks kusta
60
7.
Jaringan komunitas permukiman eks kusta dengan komunitas luar
64
8.
Struktur Organisasi KUBE di Dusun Nganget Tahun 2005
9.
Bagan Alir Proses Perencanaan Program Secara Partisipatif Di Dusun Nganget Desa Kedungjambe Tahun 2005
xiii
119
147
DAFTAR LAMPIRAN
1.
Sketsa Lokasi Geografis Dusun Nganget Tahun 2005
201
3.
Profil Eks Penderita Kusta
202
xiv
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan
kesejahteraan
sosial
mengupayakan
meningkatnya
taraf
kesejahteraan sosial, terjaminnya setiap warga negara untuk memperoleh hakhaknya sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Dalam Pola Dasar Kesejahteraan
Sosial
(Anonymons,
pembangunan
kesejahteraan
sosial
2003), adalah
dijelaskan upaya
bahwa
hakekat
peningkatan
kualitas
kesejahteraan sosial perorangan, kelompok dan komunitas masyarakat yang memiliki harkat dan martabat, dimana setiap orang mampu mengambil peran dan menjalankan fungsinya dalam kehidupan. Pembangunan kesejahteraan sosial yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional diselenggarakan sebagai upaya mewujudkan integrasi sosial melalui peningkatan ketahanan sosial dalam tata kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia. Pembangunan kesejahteraan sosial diselenggarakan sebagai wujud investasi sosial, dilaksanakan bersama oleh masyarakat, dunia usaha dan masyarakat pada umumnya dalam wujud perbaikan kualitas kehidupan yang berkeadilan sosial. Tujuan pembangunan kesejahteraan sosial adalah terwujudnya tata kehidupan dan penghidupan yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha dan memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, baik perorangan, keluarga, kelompok maupun komunitas masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia serta nilai sosial budaya setempat. Masalah yang muncul adalah belum semua warga negara dapat tertangani dan terjangkau dalam pemenuhan hidupnya. Terutama bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang termasuk masyarakat marjinal. Masalah kesejahteraan sosial saat ini berkembang pesat, baik kuantitas maupun jenisnya terutama akibat krisis ekonomi, konflik sosial, bencana alam dan disintegrasi sosial. Berdasarkan data dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Departemen Sosial tahun 2003, diketahui bahwa
warga masyarakat yang
tercatat sebagai “fakir miskin” berjumlah sekitar 15,8 juta jiwa atau kurang lebih 42 % dari jumlah populasi orang miskin di Indonesia yang berjumlah sekitar 37,3 juta jiwa. Disamping 15,8 juta jiwa fakir miskin, masih terdapat pula sejumlah warga masyarakat lainnya yang termasuk penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) seperti gelandangan, pengemis, bekas narapidana terlantar, anak
1
jalanan, lanjut usia terlantar, tuna susila, komunitas adat terpencil, kecacatan dan sebagainya, jumlahnya 8,7 juta jiwa. Secara keseluruhan, jumlah PMKS yang membutuhkan perhatian adalah sebesar 24,5 juta jiwa. Berdasarkan estimasi Departemen Sosial RI jumlah eks penderita penyakit kronis termasuk eks penderita kusta tahun 2002 sebanyak 1.378.135 orang (0,65 % dari jumlah penduduk) tersebar diseluruh Provinsi. Di Provinsi Jawa Timur eks penderita kusta berjumlah 125.277 orang sampai dengan tahun 2005 Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur bersama Departemen Sosial RI baru bisa menangani sebanyak 4.407 orang atau 3,51 %. Departemen Kesehatan melalui Program eliminasi kusta telah berhasil menurunkan angka pesakitan pada tingkat tertentu. Dalam upaya tersebut, sampai dengan tahun 2002 masih terdapat 111 kabupaten pada 13 provinsi yang belum dapat mencapai eliminasi. Menurut WHO angka prevalensi (angka pesakitan) kurang dari satu penderita per 10.000 penduduk, melalui strategi penemuan penderita secara dini dan mengobati dengan tepat. Dalam rangka meningkatkan keberfungsian sosial dan memenuhi kebutuhan dasar
penyandang
masalah
kesejahteraan
sosial
dapat
melalui
upaya
pemberdayaan. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain, memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat (Kartasasmita, 1996 dalam Suharto 2004). Paradigma baru dalam pengembangan masyarakat memberikan pemahaman bahwa sebenarnya masyarakat memiliki kemauan dan kemampuan untuk melaksanakan pembangunan serta mewujudkan kesejahteraannya tak terkecuali eks penderita kusta. Berbagai bentuk hubungan sosial, kepercayaan, kerjasama, perasaan senasib, jejaring (networking), kelembagaan yang tumbuh di Dusun Nganget merupakan modal untuk melaksanakan pembangunan secara mandiri. Dalam kaitan ini Departemen Sosial melalui pembangunan kesejahteraan sosial telah sejak lama melaksanakan pengentasan kemiskinan. Seperti yang dilakukan pada
REPELITA
II
yang
dikenal
dengan
Program
Usaha
Bimbingan
Kesejahteraan Keluarga (UBKK) dan Program Usaha Bimbingan Kesejahteraan Anak dan Taruna (UBKAT). Pada REPELITA III program tersebut berubah menjadi Bimbingan dan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat (BPKM) serta
2
Usaha Swadaya Masyarakat (USM) dan pada REPELITA IV program tersebut berubah lagi menjadi Program Penanggulangan Kemiskinan dikenal dengan Proyek
Penyantunan
dan
Pengentasan
Fakir
Miskin
(PPFM).
Dalam
melaksanakan PPFM tersebut Departemen Sosial menggunakan pendekatan kelompok yang dikenal dengan nama Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Dengan sistem KUBE (Kelompok Usaha Bersama), kegiatan usaha yang tadinya dilakukan secara sendiri-sendiri kemudian disatukan dalam kelompok, sehingga memudahkan dalam pembinaan dan monitoring kegiatan usahanya. Disamping itu, para anggota kelompok ini dapat saling bekerjasama secara lebih mudah dibandingkan bila mereka saling berpencar. Ada beberapa jenis KUBE yang dilaksanakan Departemen Sosial, yaitu KUBE Keluarga Muda Mandiri, Lanjut Usia, Anak Terlantar, Karang Taruna, Masyarakat Terasing, Penyandang Cacat, Rehabilitasi Sosial Daerah Kumuh dan KUBE fakir miskin. Kelompok Usaha Bersama Fakir Miskin adalah himpunan dari keluarga yang tergolong fakir miskin yang dibentuk, tumbuh dan berkembang atas dasar prakarsanya sendiri, saling berinteraksi antara satu dengan lain, dan tinggal dalam satu wilayah tertentu dengan tujuan untuk meningkatkan produktifitas anggotanya, meningkatkan relasi sosial yang harmonis, memenuhi kebutuhan anggota, memecahkan masalah sosial yang dialaminya dan menjadi wadah pengembangan usaha bersama (Anonymons, 2003). Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang dilaksanakan Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur di Dusun Nganget Desa Kedungjambe Kecamatan Singgahan Kabupaten Tuban, Jawa Timur merupakan upaya pemberdayaan penyandang masalah kesejahteraan sosial dalam hal ini adalah eks penderita kusta. Program tersebut mulai dilaksanakan pada tahun 2004 berupa ternak kambing dan usaha simpan pinjam. Pada praktek lapangan I (PL I) yang telah dilaksanakan tanggal 9 sampai dengan 24 November 2004 berupa pemetaan sosial, kemudian dilanjutkan dengan praktek lapangan II (PL II) yang dilaksanakan tanggal 21 Februari sampai dengan 5 Maret 2005 berupa evaluasi kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat sudah teridentifikasi permasalahan-permasalahan dan potensi – potensi eks penderita kusta. Program evaluasi kegiatan pengembangan yang dilaksanakan pada PL II yaitu program pendidikan taman kanak-kanak dan program bantuan kesejahteraan sosial Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Dalam kajian ini yang akan dibahas
3
adalah Kelompok Usaha Bersama (KUBE) khususnya usaha ternak kambing melalui kelompok-kelompok Keluarga Binaan Sosial (KBS). Pemberian bantuan modal kepada eks penderita kusta melalui KUBE sebesar Rp. 50.000.000,(lima puluh juta rupiah) dibagi untuk usaha ternak kambing sebesar Rp. Rp.28.530.000,- ( dua puluh delapan juta lima ratus tiga puluh ribu rupiah ), dan simpan pinjam sebesar Rp. 21.470.000,- ( Dua puluh satu juta empat ratus tujuhpuluh ribu rupiah ). Modal awal usaha ternak kambing gibas sebanyak 100 ekor untuk 5 (lima) kelompok, masing-masing kelompok 20 ekor. Dalam perkembangannya sampai tanggal 26 Februari 2005 (pada saat PL II dilaksanakan)
menunjukkan
pertambahan sebanyak 19 ekor kambing. Selanjutnya proses pengguliran diserahkan
pada
pengurus/pendamping
yang
terdiri
dari
tokoh
masyarakat/agama/ketua RT sebagai muara kegiatan KUBE setelah
anak
kambing berumur enam bulan . Pelaksanaan program KUBE tersebut tentunya belum berjalan sesuai dengan tujuan
yang
ingin
dicapai
yaitu
KUBE
dapat
berkelanjutan
sehingga
meningkatkan kesejahteraan eks penderita kusta. Ada kendala-kendala yang dialami oleh anggota kelompok, kelompok- kelompok (Keluarga Binaan Sosial) KBS-KUBE, pengurus KUBE, koordinator KUBE (termasuk koordinasi antara komponen-komponen tersebut). Adapun kendala yang berkaitan dengan anggota kelompok
adalah
kurangnya
keterampilan
anggota
kelompok
dalam
mengembangkan kelompoknya dan terbatasnya keterampilan produksi kambing. Kendala kelompok KBS-KUBE meliputi (1) aspek kelembagaan antara lain srtuktural dan kultural, secara struktural pengurus belum dapat menjalankan peranannya sedangkan secara kultural belum belum dipatuhinya peraturan dan norma dalam kelompok ; (2) aspek sosial yaitu belum terjalinnya kerjasama, kepedulian sosial antar anggota dalam kelompok dan anggota antar kelompok KBS-KUBE maupun kelompok dengan kelompok, serta kelompok dengan masyarakat ; (3) aspek ekonomi yaitu masih rendahnya tingkat pendapatan eks penderita kusta. Kendala pada pengurus/koordinator KUBE yaitu terbatasnya pendidikan,
pengetahuan dan
keterampilan menyebabkan tidak
mampu
mengatasi berbagai permasalahan yang muncul seperti pada kelompok KBSKUBE dan usaha simpan pinjam.
4
Guna menghindari kemacetan pengguliran semua komponen harus dapat menjalankan fungsinya masing-masing. Karakteristik anggota kelompok yang rentan terhadap sakit, kecacatan, kerjasama, tingkat kohesivitas, kepemimpinan, mekanisme kerja dan lembaga lokal seperti Nahdatul Ulama (NU), Lembaga Dakwah
Islam
Indonesia
(LDII)
merupakan
komponen
yang
perlu
diperhitungkan, sehingga tujuan KUBE dapat tercapai. Dengan melihat kompleksitas permasalahan yang dialami oleh eks penderita kusta, maka kegiatan pemberdayaan komunitas eks penderita kusta melalui penguatan individu dan kelompok KBS - KUBE sangat penting karena :
A. Kepentingan eks penderita kusta 1. Program
Kelompok
Usaha
Bersama
di
Dusun
Nganget
Kedungjambe Kecamatan Singgahan Kabupaten Tuban wahana/proses pembelajaran
Desa
merupakan
eks penderita kusta untuk belajar tidak
menggantungkan diri kepada pihak lain. 2. Eks penderita kusta akan banyak belajar bagaimana mengenali dan memahami serta memanfaatkan kekuatan dan kelemahan yang mereka miliki. 3. Eks penderita kusta dapat mengembangkan potensi maupun sumber daya alam yang dimiliki. 4. Eks penderita kusta belajar bagaimana mengembangkan kelompok baik manajemen maupun organisasinya. 5. Untuk meningkatkan taraf penghidupan eks penderita kusta.
B. Kepentingan masyarakat di sekitar permukiman 1. Dengan keberhasilan eks penderita kusta mengembangkan Kelompok Usaha Bersama baik simpan pinjam maupun ternak kambing, masyarakat sekitar permukiman dapat membuka akses ekonomi seperti dapat membeli kambing maupun hasil pertanian dengan harga yang kompetetif. 2. Dengan keberhasilan eks penderita kusta mengembangkan Kelompok Usaha Bersama, secara tidak langsung berpengaruh pada peningkatan pendapatan sehingga daya beli meningkat. Dengan meningkatnya daya
5
beli tersebut masyarakat disekitar bisa menjual keperluan rumah tangga dengan lebih baik/meningkat.
C. Kepentingan Pemerintah Daerah 1. Mencegah timbulnya permasalahan sosial yang baru bagi eks penderita kusta yaitu menjadi gelandangan dan pengemis di jalan – jalan. 2. Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur berkaitan dengan masalah eks penderita kusta dapat berjalan dengan baik.
1.2. Perumusan Masalah Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pembangunan kesejahteraan sosial mengupayakan meningkatnya taraf kesejahteraan sosial, terjaminnya setiap warga negara untuk memperoleh hak-haknya sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Dijelaskan pula dalam Keputusan Menteri Sosial RI No. 24/HUK/1996 tentang Sistem Kesejahteraan Sosial bahwa tujuan pembangunan kesejahteraan sosial adalah tercapainya kondisi kesejahteraan sosial yang adil dan merata serta berjalannya suatu sistem kesejahteraan sosial yang mapan dan melembaga sebagai salah satu piranti kehidupan masyarakat Indonesia dalam upaya menjadi bangsa yang maju, mandiri, sejahtera lahir dan batin. Pembangunan kesejahteraan sosial menekankan pada keberfungsian sosial manusia dalam kehidupan sosial kemasyarakatan (Suharto, 2004). Perlu diakui bahwa pemerintah Indonesia telah banyak melakukan serangkaian upaya dalam rangka meningkatkan taraf kesejahteraan sosial masyarakat. Masalahnya belum semua warga negara dapat tertangani dan terjangkau dalam pemenuhan
kebutuhannya.
Terutama
bagi
para
penyandang
masalah
kesejahteraan sosial (PMKS) yang termasuk masyarakat marjinal, jumlah warga PMKS yang membutuhkan perhatian sebesar 24,5 juta jiwa salah satunya adalah eks penderita kusta. Program bantuan kesejahteraan sosial dengan membentuk Kelompok Usaha Bersama
(KUBE)
merupakan
salah
satu
alternatif
untuk
mengatasi
permasalahan tersebut dengan tujuan meningkatkan harkat dan martabat serta menumbuhkan
harga
diri
dalam
rangka
mewujudkan
kehidupan
dan
6
penghidupan yang lebih baik. Kelompok Usaha Bersama (KUBE)
di Dusun
Nganget terdiri dari lima kelompok masing-masing kelompok 10 orang. Adapun KBS-KUBE tersebut adalah
(1) KBS-KUBE Sumber Makmur dengan modal
awal 20 ekor, beranak tujuh ekor, mati tiga ekor dan hilang satu ekor, dijual 12 ekor, jumlah yang ada sekarang 11 ekor ; (2) KBS-KUBE Bangkit Mulia dengan modal awal 20 ekor beranak 28 ekor, mati tiga ekor, jumlah menjadi 45 ekor ; (3) KBS-KUBE Bina Usaha dengan modal awal 20 ekor beranak 10 ekor, mati lima ekor dan dijual dua ekor jumlah terakhir 23 ekor;
(4) KBS-KUBE
Barokah dengan modal awal 20 ekor beranak sembilan ekor, mati dua ekor, jumlah yang ada 27 ekor dan (5) KBS-KUBE Sumber Rejeki dengan modal awal 20 ekor, beranak delapan ekor, mati dua ekor, hilang tiga ekor dijual dua ekor, yang ada sekarang 21 ekor. Dari modal awal usaha ternak kambing gibas sebanyak 100 ekor menunjukkan adanya perkembangan yang positif sebanyak 27 ekor kambing. Selanjutnya proses pengguliran diserahkan pada pengurus/pendamping yang terdiri dari tokoh masyarakat/agama/ketua Rukun Tetangga ditunjuk enam orang sebagai muara kegiatan KUBE setelah anak kambing berumur enam bulan . Setelah itu dimusyawarahkan antara anggota dan pendamping serta ditetapkan siapa yang dapat pengguliran berikutnya. Perkembangan
kambing
sedikit
banyak
akan
berpengaruh
terhadap
keberfungsian sosial eks penderita kusta. Pertama dengan berkembangnya kambing secara ekonomi akan meningkatkan pendapatan eks penderita kusta seperti adanya pembelian peralatan pertukangan kayu yang lebih baik (mesin) sehingga produksi meubel akan meningkat ini adalah hasil penjualan dari perkembangan kambing KUBE. Dengan adanya perkembangan kambing menambah semangat eks penderita kusta untuk saling bekerja sama dan bertukar pengalaman tentang pemeliharaan kambing dan menambah kepedulian sosial antar eks penderita kusta terhdapat sesama anggota kelompok KBSKUBE maupun dengan masyarakat. Dalam
perkembangannya
KUBE
tersebut
tidak
terlepas
dari
berbagai
permasalahan yang ada seperti pengorganisasian kelompok, dan individu sebagai anggota kelompok. Secara pengorganisasian kelompok ada kelompokkelompok KUBE yang dapat berkembang dengan baik namun ada juga KUBE yang tidak dapat berkembang, ini disebabkan adanya Adapun kendala yang
7
berkaitan dengan anggota kelompok adalah kurangnya keterampilan anggota kelompok dalam mengembangkan kelompoknya dan terbatasnya keterampilan produksi
kambing.
Kendala
kelompok
KBS-KUBE
meliputi
(1)
aspek
kelembagaan antara lain srtuktural dan kultural, secara struktural pengurus belum dapat menjalankan peranannya sedangkan secara kultural belum belum dipatuhinya peraturan dan norma dalam kelompok ; (2) aspek sosial yaitu belum terjalinnya kerjasama, kepedulian sosial antar anggota dalam kelompok dan anggota antar kelompok KBS-KUBE maupun kelompok dengan kelompok, serta kelompok dengan masyarakat ; (3) aspek ekonomi yaitu masih rendahnya tingkat pendapatan eks penderita kusta. Selain itu ada faktor (1) jejaring yaitu masih terbatasnya jejaring antar anggota dalam kelompok KBS-KUBE maupun antar kelompok KBS-KUBE ; (2) integrasi sosial yaitu belum terbentuk intergrasi sosial antar anggota dalam kelompok maupun antar kelompok KBS-KUBE ; (3) solidaritas sosial dalam kelompok masih lemah dan (4) kohesivitas sosial juga masih lemah. Kelompok KBS-KUBE yang akan diteliti dipilih berdasarkan tingkat progresifitas. Pertama Kelompok KBS – KUBE yang progresif, kedua kelompok KBS – KUBE yang pasif. Indikator progresifitas dapat dilihat dari aspek sosial (motivasi berkelompok, peran masyarakat, partisipasi, rasa turut memiliki, kepedulian sosial, kerjasama antar anggota kelompok),
aspek ekonomi (meningkatkan
perekonomian anggota kelompok KBS-KUBE dan aspek kelembagaan yang meliputi struktur dan kultur (rapat/pertemuan anggota, kelengkapan organisasi, pembagian tugas, administrasi, pendelegasian wewenang, aturan tertulis, norma dan tata nilai). Adanya kedua kelompok yaitu progresif dan pasif yang akan dikaji ini sangat penting artinya karena akan diketahui faktor – faktor penyebab suatu kelompok itu progresif
atau pasif. Dengan diketahui faktor-faktor penyebab
tersebut akan dapat dijadikan wahana belajar bagi kelompok yang pasif sehingga kelompok tersebut akan bergerak kearah progresif/maju. Dengan berbagai kompleksitas permasalahan yang dihadapi kelompok KBS – KUBE maka penulis tertarik menelaah lebih dalam mengenai bagaimana strategi yang tepat memberdayakan komunitas eks penderita kusta melalui penguatan individu dan kelompok Keluarga Binaan Sosial (KBS) – Kelompok Usaha Bersama (KUBE).
8
Dari gambaran latar belakang dan permasalahan di atas dapat dirumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana proses pembentukan kelompok Keluarga Binaan Sosial (KBS) – Kelompok Usaha Bersama (KUBE) ? 2. Bagaimana masalah dan akar masalah pengembangan kelompok yang dihadapi oleh kelompok KBS – KUBE dikembangkan oleh eks penderita kusta ? 3. Bagaimana
analisis
dan
evaluasi
program-program
pengembangan
masyarakat melalui penguatan individu dan kelompok KBS–KUBE di Dusun Nganget ? 4. Bagaimana
program
penguatan
individu
dan
kelompok
KBS–KUBE
seharusnya disusun sehingga komunitas eks penderita kusta dapat melaksanakan fungsi sosialnya ?
1.3. Tujuan Secara umum tujuan kajian ini adalah merumuskan bagaimana strategi pemberdayaan komunitas eks penderita kusta melalui penguatan individu dan kelompok KBS – KUBE. Seperti diketahui bahwa perkembangan KBS-KUBE terletak pada kerjasama, kekuatan, manajemen kelompok dalam mengatur dan mengelola anggota kelompok untuk tetap mencapai tujuan dari kelompok tersebut. Tujuan umum tersebut dapat didukung dengan tujuan khusus yang lebih spesifik yaitu : 1. Mengkaji proses terjadinya kelompok Keluarga Binaan Sosial (KBS) – Kelompok Usaha Bersama (KUBE). 2. Menganalisis masalah dan akar masalah yang dihadapi kelompok KBS – KUBE dalam hal jejaring, solidaritas sosial, kohesivitas sosial dan integerasi sosial. 3. Menganalisis
dan
mengevaluasi
program-program
pengembangan
penguatan kelompok KBS-KUBE di Dusun Nganget. 4. Menyusun program penguatan individu dan kelompok KBS - KUBE sehingga eks penderita kusta dapat melaksanakan fungsi sosialnya dalam masyarakat.
9
Untuk mencapai tujuan tersebut dapat dicapai melalui penyusunan program secara partisipatif bersama masyarakat dengan metoda diskusi kelompok. Melalui diskusi kelompok dengan eks penderita kusta dapat diketahui, masalah dan akar masalah yang dihadapi oleh kelompok KBS - KUBE dan bagaimana strategi
untuk memecahkan masalah tersebut sehingga KBS-KUBE dapat
berkembang.
1.4. Kegunaan 1. Kegunaan praktis, sebagai bahan masukan mengenai kebijakan dan program secara partisipatif, bagi Departemen Sosial, Dinas Sosial serta instansi pendukung pembangunan kesejahteraan sosial secara lebih aplikatif. 2. Kegunaan akademis berupa pengayaan referensi tentang teori praktek pembangunan masyarakat secara partisipatif dan komprehensif. 3. Kegunaan strategis, berupa kontribusi terhadap
berbagai strategi upaya
pelayanan sosial dalam rangka meningkatkan keberfungsian sosial individu, kelompok, organisasi dan komunitas.
10
II. TINJAUAN TEORITIS
2.1. Tinjauan tentang Kemiskinan Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang ditandai dengan ketidakmampuan seseorang, kelompok atau masyarakat dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Dimensi kemiskinan dapat berupa keadaan melarat dan ketidakberuntungan, suatu keadaan minus (deprivation) dan bila dimasukan dalam konteks tertentu kemiskinan berkaitan dengan minimnya pendapatan dan harta, kelemahan fisik, isolasi, kerapuhan dan ketidakberdayaan (Chambers, 1996). Iskandar (1993) mengutip dari Salim (1990) mengemukakan lima ciri-ciri mereka yang
hidup di bawah garis kemiskinan yaitu : pertama, umumnya keluarga
miskin tidak memiliki faktor produksi seperti tanah, modal, ataupun keterampilan yang cukup sehingga untuk memperoleh pendapatan sangat terbatas; kedua, keluarga miskin tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri ; ketiga, tingkat pendidikan rendah, tidak sampai tamat sekolah dasar, waktu mereka tersita habis untuk mencari nafkah dan mendapatkan tambahan penghasilan ; keempat, kebanyakan keluarga miskin tinggal di pedesaan tidak memiliki tanah dan kalaupun ada sangat kecil; kelima, keluarga miskin yang hidup di daerah kota masih berusia muda dan tidak didukung dengan keterampilan yang memadai. Dalam perspektif pekerjaan sosial, (Huraerah, 2003,) orang miskin adalah orang yang mengalami disfungsi sosial, karena ia tidak dapat melakukan tugas-tugas pokoknya dengan baik. Studi tentang kemiskinan perlu mencakupi suatu asumsi dengan jangkauan luas ketika hal tersebut digunakan untuk memahami kelompok orang-orang miskin tertentu, yang tinggal di suatu daerah spesifik. Ini adalah berkaitan dengan fakta bahwa kemiskinan adalah suatu fenomena spesifik secara lokal dan mungkin saja
merupakan suatu masalah yang
kompleks yang dihadapi oleh komunitas tertentu (Alcock, 1997 dalam Dharmawan, 2000). Hemmer (1994) dan Spicker (1993 ) serta Weissberg (1999) dalam Dharmawan (2000) mengelompokkan kategori sosial secara umum yang menyebabkan kemiskinan di negara berkembang, dimana sistem perlindungan sosial (social security system) dibutuhkan untuk melindungi warga negaranya dari tindakan yang merugikan, yaitu :
11
1. Orang-orang cacat mental, lebih mengarah pada orang –orang yang memiliki perkembangan intelektual sangat lamban. Pada kondisi tertentu tidak mampu menangkap rangsangan (stimulus) seperti yang dilakukan orang pada umumnya. 2. Orang-orang cacat fisik, (disable persons) lebih mengarah pada orang-orang yang mengalami kesulitan memfungsikan fisiknya/tidak normal, oleh karena itu mereka tidak dapat secara penuh menikmati kehidupan yang lebih baik sebagaimana orang normal. 3. Orang – orang yang menderita penyakit kronis (chronically ill persons) lebih mengarah pada sebuah situasi yang menyebabkan orang-orang tidak mampu hidup secara normal setelah menderita penyakit kronis. 4. Lanjut usia (old people) lebih mengarah pada situasi yang menjadikan mereka dikelompokkan pada kelompok tidak produktif dan orang yang di dalam waktu dekat tidak mampu menghasilkan pendapat yang memadai. 5. Orang-orang dalam lingkungan miskin (people in poor area) lebih mengarah pada orang – orang yang hidup di daerah kumuh. Lingkungan kumuh adalah bagian dari lingkungan alamiah. 6. Pengangguran
permanen
atau pengangguran
sementara
(temporarily
permanently joblees people) mengarah pada orang-orang yang hidup tanpa memiliki pekerjaan dalam berbagai keadaan menjadikan hidup tidak aman sebagaimana mestinya. 7. Pekerja urban atau pekerja harian dari desa (rural or urban daily laborers) mengarah pada orang-orang yang umumnya bekerja di sektor ekonomi informal yang secara ekonomi sangat dibutuhkan. 8. Petani gurem (the peasants or smallholder), menunjuk pada orang yang memiliki lahan sempit sebagai sumber kehidupan utamanya. 9. Petani yang tidak memiliki tanah/penggarap ( the landless or tenants ) menunjuk pada orang-orang yang tidak memiliki tanah yang mendukung kepada
sumber
hidupnya,
ini
berarti
kehidupan
mereka
dalam
ketergantungan. 10. Pekerja ekonomi tradisional/desa (traditional rural economic workers) (wanita yang bekerja pada industri rumah tangga mikro dan pedagang kecil) yaitu
12
mereka yang bekerja pada sektor ekonomi desa yang memperoleh pendapatan minimum dan hanya bisa memenuhi kebutuhan minimumnya saja. Menurut Hammer (1994) dan Spicker (1993) serta Weissberg (1999)
bahwa
eks penderita kusta di Dusun Nganget Desa Kedungjambe dapat dikategorikan sebagai lapisan miskin, karena berkesesuaian dengan ciri-ciri pada nomor tiga yaitu orang – orang yang menderita penyakit kronis (chronically ill persons) lebih mengarah pada sebuah situasi yang menyebabkan orang-orang tidak mampu hidup secara normal setelah menderita penyakit kronis. Artinya mereka tidak mampu hidup secara normal yaitu setelah sakit yang dideritanya ada kendalakendala sosial dan psikologis yang mereka rasakan. Seperti adanya perasaan minder dan sulit diterima oleh masyarakat secara luas (isolasi sosial).
2.2. Tinjauan Tentang Pemberdayaan Ketidakberdayaan yang dialami oleh sekelompok masyarakat telah menjadi bahan diskusi dan wacana akademis yang cukup hangat pada dekade terakhir ini. Kelompok-kelompok tertentu yang mengalami diskriminasi dalam suatu masyarakat,
seperti masyarakat kelas sosial ekonomi rendah, kelompok
minoritas etnis, wanita, populasi lanjut usia, serta para penyandang cacat, umumnya adalah orang-orang yang mengalami ketidakberdayaan (Kieffer, 1984; Tore, 1985) dalam Suharto (1997). Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment) berasal dari kata “power” (kekuasaan dan keberdayaan) dalam arti pemberian atau peningkatan kekuasaan (power) kepada masyarakat yang lemah atau tidak beruntung (disadvantaged) seperti yang dikemukakan Ife (2002) “Empowerment aims to increase the power of disadvantaged”. Selanjutnya Torre dalam Parsons, Jorgensen (1994). Hernandes (1994) mengemukakan pengertian pemberdayaan sebagai berikut : A process through which become strong to participate within, share in the control of and influence events and institutions affecting their lives, (and that in part) empowerment necessitates that people gain particular skill, knowledge and sufficient power to influence their lives those they care about. Pemberdayaan merupakan suatu proses dimana orang-orang menjadi cukup berdaya untuk berpartisipasi bersama-sama mengontrol dan mempengaruhi
13
situasi
dan
lembaga-lembaga
yang
mempengaruhi
kehidupan
mereka.
Pemberdayaan mengharuskan orang-orang untuk mendapatkan keterampilan, pengetahuan dan kekuatan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupan dan penghidupan mereka yang mereka perhatikan. Menurut Ife (2002) pemberdayaan memuat dua pengertian kunci yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan disini diartikan bukan kekuasaan politik, melainkan kekuasaan atau penguasaan atas pilihan-pilihan personal dan kesempatan hidup, pendefinisian kebutuhan, ide atau gagasan, lembagalembaga, sumber-sumber, aktivitas ekonomi dan reproduksi. Sementara kelompok lemah atau tidak beruntung meliputi kelompok lemah secara struktural, kelompok lemah secara khusus dan kelompok lemah secara personal. Selain pengertian pemberdayaan, juga terdapat dimensi pemberdayaan seperti dikemukakan oleh Torre dalam Parsons, et.al (1994) yaitu : 1. A development procces that begins with individual growth and possibly culminates in larger sosial change. 2. A psychological state marked by heightened feelings of self esteem, efficacy and control. 3. Liberation resulting from a social movement, which begins with education and politization of powerless people and later involves collective attempt by the powerless o gain power and change those structure that remain oppressive.. Pemberdayaan memiliki tiga dimensi yaitu, (1) suatu proses pengembangan yang mengawali pertumbuhan individual dan membentuk kemungkinan dalam perubahan sosial yang lebih besar ; (2) kondisi psikologis yang ditandai dengan peningkatan perasaan harga diri, kemampuan diri dan pengontrolan diri ; (3) kebebasan sebagai hasil dari suatu pergerakan sosial yang dimulai dengan pendidikan dan pemolitikan orang yang tidak berdaya, melibatkan usaha kolektif dari mereka untuk mendapatkan daya dan mengubah struktur yang masih menekannya. Definisi lain mengenai pemberdayaan menurut Wallenstein dan Berstein (1998) dalam Suharto (1997)
“ pemberdayaan merupakan suatu proses aksi sosial
untuk meningkatkan partisipasi orang, organisasi-organisasi dan masyarakat dalam mengendalikan kehidupan lingkungan masyarakat maupun masyarakat yang lebih luas” sedangkan Guiterrez (1990) dalam Suharto (1997) menyebutkan bahwa
tujuan
pemberdayaan
untuk
meningkatkan
kemampuan
warga
masyarakat sehingga mereka dapat mengatasi masalah.
14
Makna pemberdayaan dikemukakan oleh Dharmawan (2000) , sebagai “a procces of having enough energy enabling people to expand their capabilities, to have greater bargaining power, to make their own decisions, and to more easily access to source of better living”. Pemahaman ini memberikan makna bahwa pemberdayaan berkaitan dengan upaya memperoleh posisi tawar yang lebih besar, serta kemudahan aksesibilitas kepada sumber kehidupan yang lebih baik. Berdasarkan pengertian tersebut , maka pemberdayaan mengandung makna (1) argumentation of choices ; (2) increases the degree of freedom ; (3) enhancing the ability to comman more economic resources ; dan (4) commanding more power at the grassroots level. Sumaryadi (2005), menyebutkan tujuan pemberdayaan masyarakat pada dasarnya adalah : (1) membantu pengembangan manusiawi yang otentik dan integral dari masyarakat lemah, rentan, miskin, marjinal dan kaum kecil, seperti petani kecil, buruh tani, masyarakat miskin perkotaan, masyarakat adat yang terbelakang, kaum muda pencari kerja, kaum cacat dan kelompok wanita yang didiskrimir/dikesampingkan;
(2)
memberdayakan
kelompok-kelompok
masyarakat tersebut secara sosio ekonomis sehingga mereka dapat lebih mandiri dan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka, namun sanggup berperan dalam pengembangan masyarakat. Foy
(1994) menggambarkan
empat unsur utama pemberdayaan yang saling mengkait satu dengan lainnya. Pertama, pemberdayaan itu terfokus pada kinerja (performance focus). Masyarakat ingin melakukan pekerjaan baik. Organisasi yang memberdayakan membantu mereka untuk mendapatkannya. Kedua adalah real teams (Foy, 1994) Kinerja yang baik berasal dari tim yang baik. Ketiga, pemberdayaan membutuhkan visible leadership (Foy, 1994). Memberdayakan orang/masyarakat membutuhkan
seorang
pemimpin
yang
mempunyai
visi.
Keempat,
pemberdayaan membutuhkan komunikasi yang baik (good communication) (Foy, 1994). Pemberdayaan adalah ada proses yang membantu mereka memahami diri mereka sendiri, merencanakan penggunaan sifat dan karakteristik terbaik, menetapkan arah bagi diri mereka sendiri.
15
Proses seperti ini diperlihatkan oleh Wilson (1996 ). AWAKENING
USING
UNDERSTANDING
HARNESSING
Sumber : Wilson, (1996 ). Gambar 1 : Empowerment Process (taken from Wilson, 1996 )
Tahap pertama dari proses pemberdayaan individu adalah ‘awakening’ , yang membantu orang mengadakan penelitian terhadap situasi mereka saat ini, pekerjaan dan posisi mereka dalam organisasi. Tahap kedua dari proses pemberdayaan individu adalah ‘understanding’. Orang mendapat pemahaman dan persepsi baru yang sudah mereka dapat mengenai diri mereka sendiri, pekerjaan mereka, aspirasi mereka dan keadaan umum. Tahap ketiga proses pemberdayaan adalah ‘harnessing’, yang diakibatkan oleh awakening and understanding phases. Individu, yang sudah memperlihatkan ketrampilan dan sifat, harus memutuskan bagaimana mereka dapat menggunakannya bagi pemberdayaan. Tahap terakhir dari proses tersebut adalah menggunakan keterampilan dan kemampuan pemberdayaan sebagai bagian dari kehidupan kerja setiap hari. Pemberdayaan
komunitas
berarti
mengembangkan
kondisi
dan
situasi
sedemikian rupa sehingga komunitas memiliki daya dan kesempatan untuk mengembangkan kehidupannya tanpa ada kesan bahwa pengembangan itu adalaH
hasil
kekuatan
eksternal.
Memberdayakan
masyarakat
berarti
menempatkan masyarakat sebagai subyek dalam pengembangan komunitas. Masyarakat berdaya memiliki ciri (1) mampu memahami diri dan potensinya ; (2) mampu merencanakan/mengantisipasi kondisi perubahan ke depan, dan mengarahkan dirinya sendiri ; (3) memiliki kekuatan untuk berunding, bekerjasama secara saling menguntungkan dengan bargaining power yang memadai ; (4) bertanggungjawab atas tindakannya sendiri. (Sumardjo dan Saharrudin, 2003)
16
2.3. Tinjauan Tentang Kelompok dan Dinamika Kelompok Tidak ada definisi kelompok yang secara umum dapat diterima. Sebaliknya, dapat disajikan suatu jajaran pandangan yang telah ada, dan dari berbagai pandangan tersebut dapat dikembangkan suatu definisi bandingan tentang kelompok.
2.3.1. Kelompok Dalam Artian Persepsi Banyak ahli ilmu perilaku berpendapat bahwa untuk dianggap sebagai suatu kelompok, anggota suatu kelompok harus mempersepsikan hubungan mereka terhadap yang lainnya. Sebagai contoh : Suatu kelompok kecil didefinisikan sebagai orang-orang yang terlibat dalam interaksi satu sama lain dalam suatu pertemuan tatap muka atau serangkaian pertemuan semacam itu, dimana setiap anggota menerima beberapa kesan atau persepsi yang cukup jelas tentang anggota lainnya sehingga ia dapat, pada saat itu atau bersoal jawab kemudian, memberikan reaksi satu sama lain sebagai seorang individu, meskipun hal itu mungkin hanya untuk mengingat bahwa yang lain hadir. Pandangan
ini
menunjukkan
bahwa
anggota
suatu
kelompok
harus
mempersepsikan keberadaan (eksistensi), setiap anggota dan keberadaan kelompok itu sendiri.
2.3.2. Kelompok dalam Artian Organisasi Para ahli Sosiologi memandang kelompok terutama dalam hubungannya dengan ciri-ciri keorganisasian. Misalnya menurut definisi sosiologi, kelompok ialah : Suatu sistem yang diorganisasikan dari dua orang atau lebih yang saling berhubungan sehingga sistem tersebut melakukan berbagai fungsi, mempunyai seperangkat standar hubungan, peranan para anggotanya dan mempunyai seperangkat norma yang mengatur fungsi kelompok dan masing-masing anggotanya. Pandangan tersebut menekankan beberapa karakteristik kelompok yang penting, seperti peranan dan norma.
17
2.3.3. Kelompok dalam Artian Motivasi Kelompok yang gagal membantu anggotanya memenuhi kebutuhannya akan mendapat
kesulitan
untuk
melangsungkan
hidupnya.
Pandangan
ini
mendefinisikan kelompok sebagai : Sekumpulan individu yang keberadaannya sebagai suatu kumpulan menguntungkan individu-individu.
2.3.4. Kelompok dalam Artian Interaksi Para
ahli
teori
mengasumsikan
bahwa
interaksi
dalam
bentuk
saling
ketergantungan adalah inti “kekelompokan”. Pandangan yang menekankan interaksi antar pribadi adalah : Yang kita maksudkan dengan kelompok yaitu sejumlah orang yang berkomunikasi satu sama lain dan sering melampaui rentang waktu tertentu, serta jumlahnya cukup sedikit, sehingga setiap orang dapat berkomunikasi satu sama lain, tidak sebagai orang kedua, melalui orang lain, tetapi saling berhadapan. Keempat pandangan tersebut penting, karena semuanya menunjukkan kepada gambaran penting tentang kelompok. Johnson & Johnson (1987) dalam Sarwono (1997) mengidentifikasi sedikitnya tujuh jenis definisi kelompok yang penekanannya berbeda – beda yaitu : 1. Kumpulan individu yang saling berinteraksi ( Bonner, 1959; Stogdill, 1959). 2. Satuan (unit) sosial terdiri atas dua orang atau lebih yang melihat diri mereka sendiri sebagai bagian dari kelompok itu (Bales, 1950;Smith, 1945). 3. Sekumpulan individu yang saling tergantung (Cartwright & Zander, 1968; friedler, 1967; Lewin, 1951). 4. Kumpulan individu yang bersama-sama bergabung untuk mencapai satu tujuan (Deutsch, 1959; Mills, 1967). 5. Kumpulan individu yang mencoba untuk memenuhi beberapa kebutuhan melalui penggabungan diri mereka (joint association) (Bass, 1960;Cattell, 1951). 6. Kumpulan individu yang interaksinya diatur (distrukturkan) oleh atau dengan seperangkat peran dan norma (McDavid & Harari, 1968; Sherif & Sherif, 1956). 7. Kumpulan individu yang saling mempengaruhi (Shaw, 1976).
18
Berdasarkan kumpulan berbagai definisi itu, Johnson & Johnson (1987) dalam Sarwono (1997) sendiri kemudian merumuskan definisinya sebagai berikut : Sebuah kelompok adalah dua individu atau lebih yang berinteraksi tatap muka (face to face interaction), yang masing-masing menyadari keanggotaannya dalam kelompok, masing-masing menyadari keberadaan orang lain yang juga anggota kelompok, dan masingmasing, menyadari saling ketergantungan secara positif dalam mencapai tujuan bersama. Soekanto (2002), membagi kelompok menjadi kelompok formal dan kelompok informal. Kelompok formal adalah kelompok yang keanggotaannya terbentuk menurut struktur resmi dan aturan yang dibuat dengan sengaja oleh anggotanya. Sebaliknya kelompok informal merupakan kelompok yang tidak memiliki struktur tertentu dan aturan dibuat secara tidak tegas. Berdasarkan pengertian tersebut maka terdapat aspek dalam kelompok yaitu persepsi, organisasi dan aspek motivasi seperti yang dijelaskan di atas. Di dalam interaksi diantara anggota kelompok ada kekuatan atau pengaruh (Nitimihardjo dan Iskandar, 1993). Anggota kelompok yang berinteraksi secara tetap
mempengaruhi
Keberadaan kekuatan
dan
dipengaruhi
oleh
anggota
kelompok
lainnya.
yang saling mempengaruhi menyebabkan anggota
kelompok dapat mengajak
orang lain untuk mencapai tujuan kelompok.
Pencapaian tujuan kelompok dapat dilakukan dengan baik melalui koordinasi. Kepemimpinan didefinisikan sebagai penggunaan kekuatan untuk mencapai tujuan dan memelihara kelompok. Minat-minat yang bertentangan dan konflik tidak mungkin dapat diatur tanpa menggunakan kekuatan (kontrol). Tidak ada komunikasi tanpa pengaruh, yang berarti tidak ada komunikasi tanpa kekuatan. Dengan demikian kekuatan merupakan esensi bagi semua keberfungsian kelompok. Pengertian dinamika kelompok dapat diartikan melalui asal katanya yaitu dinamika dan kelompok. Dinamika berarti tingkah laku warga yang satu secara langsung mempengaruhi warga yang lain secara timbal balik. Jadi, dinamika berarti adanya interaksi dan interdependensi antara anggota kelompok yang satu dengan anggota kelompok yang lain secara timbal balik dan antara anggota dengan kelompok secara keseluruhan. Keadaan ini dapat terjadi karena selama ada kelompok, semangat kelompok (group spirit)
terus menerus berada dalam kelompok itu. Oleh karena itu
19
kelompok tersebut bersifat dinamis, artinya setiap kelompok yang bersangkutan dapat berubah. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dinamika kelompok berarti suatu kelompok yang teratur dari dua individu atau lebih yang mempunyai hubungan psikologis secara jelas antara anggota yang satu dengan yang lain. Dengan kata lain, antar anggota kelompok mempunyai hubungan psikologis yang berlangsung dalam situasi yang dialami secara bersama-sama. Pengertian dinamika kelompok yang lain yaitu kekuatan-kekuatan di dalam kelompok yang menentukan perilaku kelompok dan perilaku segala anggota kelompok untuk mencapai tujuan. Pencapaian tujuan kelompok sangat ditentukan oleh tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh kelompok. Untuk dapat melakukan analisis dinamika kelompok, dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, diantaranya adalah pendekatan sosiologis dan pendekatan psikososial. Pendekatan psikososial seringkali dilakukan, karena dalam psikososial dilakukan kajian terhadap perilaku anggota kelompok dalam melaksanakan tugas atau kegiatan demi tercapainya tujuan kelompok. Unsur – unsur dinamika kelompok menurut Ruth Benedict (1972) dalam Santosa (2004) adalah sebagai berikut : 1. Kohesi/persatuan Dalam persoalan kohesi akan dilihat tingkah laku anggota dalam kelompok, seperti proses pengelompokan, intensitas anggota, arah pilahan, nilai kelompok. 2. Motif/dorongan Persoalan motif ini berkisar pada interes anggota terhadap kehidupan kelompok, seperti kesatuan berkelompok, tujuan bersama, orientasi diri terhadap kelompok. 3. Struktur Persoalan ini terlihat pada bentuk pengelompokan, bentuk hubungan, perbedaan, kedudukan antar anggota dan pembagian tugas. 4. Pimpinan Persoalan pimpinan tidak kalah pentingnya pada kehidupan berkelompok, hal ini terlihat pada bentuk-bentuk kepemimpinan, tugas pimpinan, sistem kepemimpinan.
20
5. Perkembangan kelompok Persoalan perkembangan kelompok dapat terlihat pada perubahan dalam kelompok, senangnya anggota kelompok dalam kelompok, perpecahan kelompok. Unsur-unsur dinamika kelompok yang menjadi pertimbangan dalam kajian ini adalah motivasi berkelompok, Kepedulian sosial , rasa turut memiliki, kerjasama antar anggota kelompok, kontrol sosial.
2.4. Tinjauan Tentang Kelompok Sebagai Media Pemberdayaan Salah satu pola pendekatan pemberdayaan yang belakangan ini mampu mengangkat mereka yang miskin agar menjadi berdaya dan berkembang adalah melalui media “kelompok”. Mereka diorganisir dalam wadah kelompok dan kelompok itu dimultifungsikan menjadi media pembelajaran anggota sekaligus proses tukar menukar informasi, pengetahuan dan sikap. Secara perlahan, kekuatan individu akan muncul menjadi kekuatan kelompok dan disitulah berlangsungnya proses penguatan atau pemberdayaan. Melalui wadah kelompok, kreativitas masing-masing pihak (individu sebagai anggota kelompok) akan mewarnai kehidupan kelompok termasuk bagaimana mencari jawaban secara swadaya dan swadana terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Cara dan proses tersebut sudah tentu merupakan gambaran mulus dari proses pemberdayaan melalui pendekatan kelompok. Tokoh sosiologi-politik dari Universitas Gadjah Mada Prof. Sunyoto Usman berpendapat bahwa setidaknya ada tiga aspek yang lazim dikenal dalam proses pemberdayaan yakni : asistensi, fasilitasi, dan promosi. Pertama, apabila sejumlah kemampuan sudah dimiliki oleh kelompok yang dibina, maka bentuk yang lazim dilakukan adalah dengan assistance (misalnya dalam bentuk pelatihan, konsultasi atau asistensi teknis, dana, dan sejenisnya) dan kedua facilitation (kolaborasi kegiatan). Ketiga, apabila masyarakat binaan masih dikategorikan ke dalam bentuk masyarakat yang berkemampuan rendah, maka alternatif yang perlu dikembangkan
adalah model promotion (bantuan pada
bidang-bidang tertentu yang sangat dibutuhkan). Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan secara bertahap dari tingkat individu, keluarga, kelompok, komunitas sampai pada tingkat institusi atau
21
kelembagaan. Salah satu upaya membangkitkan inisiatif dan partisipasi masyarakat lokal dapat dilakukan dengan menggunakan medium kelompok. Pendekatan kelompok menurut Vitayala (1986) mempunyai kelebihan antara lain proses adopsi dapat dipercepat, karena adanya interaksi sesama anggota kelompok dalam bentuk saling mempengaruhi satu sama lain. Selain itu seperti yang dikemukakan Gaetano Mosca bahwa “manusia mempunyai naluri untuk berkumpul dan berjuang dengan kumpulan manusia lainnya, sehingga individu ‘senasib’ saling berkumpul dalam suatu kelompok (Olson, 1975). Dengan demikian kelompok dapat dinilai sebagai bentuk pemberdayaan yang paling efektif, seperti yang dikemukakan Kurt Lewin bahwa lebih mudah untuk mengubah pola tingkah laku individu-individu yang terikat dalam satu kelompok daripada secara individual (Soekanto,1986). Lebih lanjut dipertegas oleh Achlis (1983) bahwa penggunaan kelompok merupakan mekanisme yang lebih baik daripada mekanisme-mekanisme
lainnya dan bahwa kelompok memiliki
kekuatan-kekuatan tertentu yang apabila digali dan dikembangkan atas nama dan kerjasama kelompok dapat merupakan sumber-sumber untuk penyembuhan dan pengembangan anggota-anggotanya. Kelompok sebagai gambaran kehidupan berorganisasi suatu komunitas, merefleksikan dinamika tindakan kolektif warga dalam mengatasi masalah bersama, termasuk peningkatan pendapatan rumah tangga (safety net)
di
komunitas (Darmajanti, 2004). Karena itulah maka dalam kelompok akan terdapat kombinasi kepentingan individu dan kepentingan kolektif. Namun semua kelompok seperti yang dinyatakan Olson (1975) mempunyai tujuan melayani kepentingan kolektif anggotanya. Dalam pemberdayaan masyarakat, penguatan kelompok berarti akan mencakup pola relasi, interaksi sosial dan identifikasi yang didasari oleh tumbuhnya kepercayaan, kerjasama dan membangun jejaring kerja. Lebih lanjut Achlis (1983) mengemukakan bahwa proses kelompok merupakan sumber bagi pemberdayaan anggota-anggotanya melalui : (1) Dukungan kelompok (group support);
(2)
Pengawasan
kelompok
(group
control);
(3)
Pengakuan
(rekognetion); (4) Generalisasi dan (5) Integrasi.
22
2.5. Tinjauan tentang Keberfungsian Sosial Keberfungsian sosial mengacu kepada cara yang dilakukan orang dalam rangka melaksanakan tugas kehidupan dan memenuhi kebutuhan. Hal ini dinyatakan Zastrow (1999) dalam Suharto (1997) sebagai berikut : “Social functioning refers to the way individuals or collectivities (families, associations, communities, and so on) behave in order to carry out their life tasks and meet their needs” . Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa keberfungsian sosial merupakan suatu cara (the way) yang menggambarkan perilaku orang. Cara atau perilaku tersebut dilakukan oleh individu, keluarga, kelompok, organisasi, komunitas maupun masyarakat. Tujuannya untuk melaksanakan tugas kehidupan dan memenuhi kebutuhan. Jadi keberfungsian sosial berkaitan dengan interaksi orang dengan lingkungan. Interaksi tersebut merupakan perwujudan dari pelaksanaan peranan sosial. Keberfungsian sosial menunjukkan kegiatan menampilkan beberapa peranan sosial yang seharusnya ditampilkan orang tersebut sesuai dengan status
sosialnya.
Penampilan
peranan
sosial
dinilai
oleh
orang
yang
bersangkutan maupun masyarakat sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku. Keberfungsian sosial merupakan hasil atau produk aktivitas orang dalam berelasi dengan sekelilingnya. Keberfungsian sosial berkaitan dengan hasil interaksi orang dengan lingkungannya.
Oleh
karena itu Skidmore, et,al (1994)
menggambarkan tiga dimensi keberfungsian sosial (social functioning triangl
rol es
ela sr iv e
ith
n tio sh i ers oth
Sa
ith
Social
w ps
ct i on w
s it
tis fa
Po
in lif e
sebagai berikut :
Feeling of self worth Sumber : Skidmore, et, al (1994 )
Gambar 2 : Tiga Dimensi Keberfungsian Sosial
23
Gambar di atas mengilustrasikan bahwa keberfungsian sosial dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu : (1) Kepuasan berperan dalam kehidupan (satisfaction with role in life) ; (2) Relasi positif dengan orang lain (Positive relationships with others), dan (3) Perasaan menyukai atau menghargai diri (feeling of self worth). Dubois dan Miley (1992) menyatakan ada tiga klasifikasi keberfungsian sosial yaitu : (1) Keberfungsian sosial adaptif (adaptive social functioning); (2) Keberfungsian sosial rentan atau populasi yang berisiko (at risk populations), dan (3) Keberfungsian sosial tidak adaptif (maladaptive social functioning). Tiga klasifikasi keberfungsian sosial dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Keberfungsian sosial adaptif menunjukkan adanya sistem yang mampu memanfaatkan sumber-sumber personal, interpersonal, dan institutional ketika dihadapkan pada kebutuhan, isu, maupun masalah. Sumber-sumber tersebut relatif tersedia di struktur sosial dan dapat diakses. Sistem tersebut mempunyai kemampuan untuk memecahkan. 2. Keberfungsian sosial rentan menggambarkan keberfungsian sosial yang dialami oleh populasi yang beresiko (at risk population). Dalam masyarakat terdapat populasi atau sistem sosial yang mempunyai resiko gagal berfungsi sosial. Sistem yang beresiko adalah sistem yang rentan (vulnerable) terhadap masalah keberfungsian, walaupun masalah tersebut belum dimunculkan dipermukaan (surface). Dengan kata
lain, kondisi yang ada
diperkirakan mempunyai dampak negatif terhadap keberfungsian sosial orang. 3. Keberfungsian
tidak
adaptif
menunjukkan
sistem
yang
mengalami
ketidakmampuan beradaptasi (maladaptive). Pada sistem seperti ini, masalah menjadi begitu parah (exacerbated), karena kemampuan sistem berkurang atau sistem tidak mampu menjalankan fungsinya dan tidak mampu berinisiatif mengatasi perubahan. Dalam situasi seperti ini, sistem secara serius mengalami masalah, sehingga tidak mampu berfungsi sosial. Selanjutnya Dubois dan Milley (1992) menyatakan bahwa keberfungsian sosial berhubungan
dengan
pemenuhan
tanggung
jawab
seseorang
kepada
masyarakat secara umum, terhadap mereka yang berada di lingkungan yang terdekat
dan
terhadap
diri
sendiri.
Tanggungjawab
tersebut
termasuk
24
pemenuhan kebutuhan dasar manusia, bagi mereka yang tergantung kepada seseorang dan memberikan kontribusi kepada masyarakat. Kebutuhan manusia yang dimaksud terdiri dari aspek fisik (pangan, tempat tinggal, keamanan, perawatan kesehatan, dan perlindungan) ; pemenuhan kebutuhan personal (pendidikan, rekreasi, nilai-nilai, estetika, agama) ; kebutuhan-kebutuhan emosional (rasa memiliki, saling peduli dan persahabatan) ; serta konsep diri yang memadai (percaya diri, harga diri dan identitas). Siporin (1975 ) mengemukakan bahwa : Social functioning, refers to the way individuals or collectivities (families, associations, communities, and so on) behave in order to carry out their life tasks and meet their needs, because people function in term of their social role, social functioning. “Designates those activities considered essential for the perfomance of the several roles which each individual, by virtue of this membership in social group, is called upon to carry out”. Keberfungsian sosial berhubungan dengan cara-cara berperilaku invidu-individu dan kolektif-kolektif (keluarga, perkumpulan, masyarakat dan sebagainya) dalam rangka melaksanakan tugas kehidupan dan memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu orang-orang berfungsi dalam kaitannya dengan peranan-peranan sosial mereka, maka keberungsian sosial merupakan kegiatan-kegiatan yang dianggap penting untuk menampilkan peranan yang harus dilaksanakan karena keanggotaannya dalam kelompok sosial. Dengan demikian, keberfungsian sosial menggambarkan pertukaran yang seimbang, cocok, tepat dan adaptasi timbal balik diantara orang-orang, individu atau kolektif dengan lingkungannya baik dilakukan secara individu maupun secara kolektif atau kelompok. Suatu kelompok dikatakan memiliki keberfungsian sosial apabila : sejumlah anggotanya telah mencapai kesepakatan untuk mencapai tujuan bersama; transmisi gagasan-gagasan sesama anggota berlangsung transparan dan tidak kabur; individu-individu saling menolong atas dasar kesetaraan untuk memenuhi kebutuhan mereka; aktivitas-aktivitasnya didukung berdasarkan prinsip-prinsip hidup kesetiakawanan sosial dengan mendayagunakan sumber dan kesempatan yang tersedia; pengaruh luar yang negatif yang menyebabkan disorganisasi, secara efektif mampu diwaspadai dan ditangani hingga minimal. Menurut Sukoco (1991) keberfungsian sosial dapat dipandang dari berbagai segi yaitu:
25
1. Keberfungsian
sosial
dipandang
sebagai
kemampuan
melaksanakan
peranan sosial, yaitu sebagai penampilan pelaksanaan peranan yang diharapkan sebagai anggota suatu kolektifitas. 2. Keberfungsian sosial dipandang sebagai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan, yaitu mengacu pada cara-cara yang digunakan oleh individu, maupun kolektifitas dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. 3. Keberfungsian sosial dipandang sebagai kemampuan untuk memecahkan permasalahan sosial yang dialaminya. Keberfungsian sosial mempunyai arti dan makna yang banyak sesuai dengan dengan pendapat beberapa ahli. Dalam kajian ini yang dimaksud dengan keberfungsian sosial yaitu interaksi eks penderita kusta yang tergabung dalam kelompok Keluarga Binaan Sosial - Kelompok Usaha Bersama dalam (1) menampilkan peranan sosial sesuai dengan status yang dimiliki seperti sebagai anggota,
pengurus
bagaimana
peranannya
dalam
kelompok
maupun
lingkungannya; (2) meningkatkan kemampuan anggota kelompok di dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan
meningkatnya
pendapatnya
hidup
keluarga
dan
sehari-hari, kesehatan;
ditandai (3)
dengan
meningkatnya
kemampuan anggota kelompok dalam mengatasi permasalahan sosial yang ada baik dalam keluarga, kelompok maupun lingkungan sosialnya yang ditandai dengan adanya kebersamaan dari kesepakatan dalam pengambilan keputusan dalam keluarga, kelompok dan lingkungan sosialnya.
2.6. Tinjauan Tentang Eks Penderita Kusta Penderita kusta adalah seseorang yang mengalami penyakit menular yang menahun disebabkan oleh kuman kusta (mycrobacterium leprae) yang menyerang syaraf tepi kulit dan jaringan tubuh lainnya. Eks penderita kusta adalah penderita penyakit kusta yang telah disembuhkan dari penyakit kusta. Dengan demikian eks penderita kusta adalah seseorang penderita yang secara medik telah dinyatakan sembuh dari suatu penyakit yang dinilainya memerlukan pengobatan yang sangat lama (menahun) dan telah sembuh dengan atau tanpa menimbulkan kecacatan pada tubuh yang dapat mengganggu pelaksanaan fungsi sosialnya. (Anonymons, 2002 ).
26
Eks penderita kusta sebagai individu masih memiliki potensi yang dapat dikembangkan sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya dan mereka berhak mendapatkan kesejahteraan sosial yang sama dengan masyarakat pada umumnya. Eks penderita kusta adalah mereka yang dulunya menderita penyakit menular yang sifatnya kronis dan menyerang syaraf-syaraf (syaraf motorik, sensorik, dan otonom) dan kulit dimana mereka sudah mendapatkan rehabilitasi secara medis dan sosial (Anonymons, 1994).
2.7. Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Keluarga Binaan Sosial adalah keluarga yang terpilih melalui seleksi yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Program KUBE yang merupakan bagian penting dari program pembangunan kesejahteraan sosial bertujuan untuk mewujudkan taraf kehidupan sosial anggotanya ke arah kehidupan yang lebih layak. KUBE diharapkan menjadi media pemberdayaan bagi eks penderita kusta untuk berwirausaha, meningkatkan rasa percaya diri, harga diri dan tekad kemandirian serta mengurangi ketersisihan eks penderita kusta dalam masyarakat. Kelompok Usaha Bersama adalah himpunan dari keluarga yang tergolong fakir miskin yang dibentuk, tumbuh dan berkembang atas dasar prakarsanya sendiri, saling berinteraksi antara satu dengan lain, dan tinggal dalam satu wilayah tertentu dengan tujuan untuk meningkatkan meningkatkan produktifitas anggotanya, meningkatkan relasi sosial yang harmonis, memenuhi kebutuhan anggota, memecahkan masalah sosial yang dialaminya dan menjadi wadah pengembangan usaha bersama (Anonymons, 2003). Tujuan Kelompok Usaha Bersama adalah (1) meningkatkan kemampuan anggota kelompok KUBE dalam menampilkan peranan-peranan sosialnya, baik dalam keluarga maupun lingkungan sosialnya, ditandai dengan semakin meningkatnya kepedulian dan rasa tanggungjawab dan keikutsertaan anggota dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial di lingkungannya, semakin terbukanya pilihan bagi anggota kelompok dalam pengembangan usaha yang lebih menguntungkan, terbukanya kesempatan dalam memanfaatkan sumber dan potensi
kesejahteraan
sosial
yang
tersedia
dalam
lingkungannya;
(2)
meningkatnya kemampuan anggota kelompok KUBE di dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, ditandai dengan meningkatnya pendapatan
27
keluarga, meningkatnya kualitas pangan, sandang, papan, kesehatan, tingkat pendidikan, dapat melaksanakan kegiatan keagamaan dan meningkatnya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial lainnya; (3) meningkatnya kemampuan anggota kelompok KUBE dalam mengatasi masalah-masalah yang mungkin terjadi dalam keluarganya maupun lingkungan sosialnya, ditandai dengan adanya kebersamaan dari kesepakatan dalam pengambilan keputusan di dalam keluarga, dalam lingkungan sosialnya, adanya penerimaan terhadap penerimaan pendapat yang mungkin timbul di antara keluarga dan lingkungan, semakin minimnya perselisihan yang mungkin timbul atau antara orang tua dan anak, dan lain-lain. Kehadiran KUBE merupakan media untuk meningkatkan motivasi warga miskin untuk lebih maju secara ekonomi dan sosial, meningkatkan interaksi dan kerjasama dalam kelompok, mendayagunakan potensi dan sumber sosial ekonomi lokal, memperkuat budaya kewirausahaan, mengembangkan akses pasar dan menjalin kemitraan sosial ekonomi dengan berbagai pihak yang terkait. Melalui KUBE diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan berpikir para anggota karena mereka dituntut suatu kemampuan manajerial untuk mengelola usaha yang sedang dijalankan, dan berupaya menggali dan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia dilingkungan untuk keberhasilan kelompoknya. Selain itu, diharapkan dapat menumbuhkembangkan sikap berorganisasi dan pengendalian emosi yang semakin baik. Diharapkan dengan
kelompok
KUBE,
dapat
menumbuhkan
rasa
kebersamaan,
kekeluargaan, kegotongroyongan, rasa kepedulian dan kesetiakawanan sosial, baik diantara keluarga binaan sosial maupun kepada masyarakat yang lebih luas. Melalui kelompok keluarga binaan sosial dapat saling berbagi pengalaman, saling berkomunikasi, saling mengenal, dapat menyelesaikan berbagai masalah dan kebutuhan yang dirasakan. Dengan sistem KUBE, kegiatan usaha atau beternak yang tadinya dilakukan sendiri-sendiri kemudian dikembangkan dalam kelompok, sehingga setiap anggota dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
dalam
usaha
kesejahateraan
sosial
serta
kemampuan
berorganisasi. Kegiatan
yang berkaitan dengan usaha kesejahteraan sosial dapat berupa
pengelolaan santunan hidup, iuran kesejahteraan sosial (IKS), arisan, pengajian, perkumpulan kematian, usaha simpan pinjam, pelayanan koperasi, usaha tolong
28
menolong atau gotong royong, usaha pelayanan sosial untuk orang tidak mampu, usaha-usaha untuk mencegah timbulnya permasalahan sosial di lingkungannya dan usaha-usaha kesejahteraan sosial lainnya. Kegiatan yang dengan usaha ekonomis produktif dapat berupa usaha dagang, jasa, pertanian, peternakan
dan
lain-lain,
sedangkan
kegiatan
yang
bersifat
penataan
kelembagaan seperti : pengelolaan keuangan, pencatatan dan pelapoaran. Dengan
kelompok
KUBE
dapat
menumbuhkan
rasa
kebersamaan,
kekeluargaan, kegotongroyongan, rasa kepedulian dan kesetiakawanan sosial secara luas karena mereka hidup dalam kelompok. Pengelolaan KUBE dilakukan melalui pendekatan kelompok dengan pertimbangan (1) warga masyarakat lebih dinamis dalam mengembangkan kegiatan; (2) adanya proses saling asah, asuh dan asih sesama warga/anggota kelompok, sehingga setiap anggota bisa saling berbagi baik dalam ilmu maupun keterampilan ; (3) adanya konsep saling menolong dan konsolidasi kekuatan bersama antara yang kuat dan yang lemah. KUBE dibentuk dilandasi oleh nilai filosofi “dari”, “oleh”, dan “untuk” masyarakat. Artinya bahwa keberadaan suatu kelompok KUBE dimanapun adalah berasal dari
dan
berada
di
tengah-tengah
masyarakat.
Pembentukannya
oleh
masyarakat setempat dan peruntukannya juga adalah untuk anggota dan masyarakat setempat. Karena konsep yang demikian maka pembentukan dan pengembangan KUBE harus bercirikan nilai dan potensi yang tersedia di lingkungan setempat, juga harus sesuai dengan kemampuan SDM (anggota KUBE ) yang ada. Pengembangan KUBE dapat dilakukan antara lain
dengan (1) penambahan
modal usaha bisa diperoleh dengan cara kerjasama kemitraan dengan koperasi, Bank
Pemerintah
setempat
atau
bantuan
pengembangan
KUBE;
(2)
penambahan/pengembangan jenis usaha. Dalam penambahan/pengembangan jenis usaha didasarkan pada kebutuhan pasar; (3) penambahan jumlah anggota. Penambahan jumlah anggota dapat dilakukan apabila usaha KUBE memerlukan jumlah tenaga yang lebih banyak, dana iuran kesetiakawanan sosial yang dihimpun sudah cukup jumlahnya untuk digulirkan kepada warga setempat yang memerlukan modal usaha; (3) pembentukan kelompok baru.
29
Indikator keberhasilan Kelompok Usaha Bersama yaitu : 1. Bidang Kegiatan Kelembagaan a. Kepengurusan dan pembagian tugas sudah ada dan sudah dijalankan sebagaimana mestinya. b. Administrasi kelompok, yang meliputi: buku daftar anggota kelompok, buku tamu, buku kegiatan/agenda kelompok, buku kas/keuangan, buku inventaris, buku simpan pinjam, sudah ada dan sudah diterapkan dengan baik. c. Proses pengambilan keputusan sudah didasarkan atas musyawarah anggota. d. Pertemuan sudah berlangsung secara rutin dan dilakukan pencatatan serta ditindaklanjuti. 2. Bidang Kegiatan Sosial a. Motivasi kelompok sudah baik ditunjukkan dengan minimal 2/3 kehadiran anggota pada setiap pertemuan yang diadakan. b. Kerjasama kelompok sudah baik yang dilihat dari koordinasi dan kekompakan kelompok. c. Kepedulian sosial sudah baik yang ditunjukkan dengan kesediaan membantu anggota dan tetangga yang mengalami kesulitan. d. Usaha simpan pinjam KUBE sudah dapat dimanfaatkan oleh keluarga. e. Anggota keluarga taat dan sungguh-sungguh dalam menjalankan rukun keagamaan. 3. Bidang Kegiatan Ekonomi a. Meningkatnya pendapatan keluarga. b. Simpan pinjam sudah berkembang dengan baik. c. Kemitraan, sudah terjalin dengan baik dengan berbagai kelompok masyarakat bisnis. Secara spesifik keberhasilan KUBE dalam kajian ini dapat dilihat dari 3 aspek yaitu aspek sosial meliputi motivasi berkelompok, peran masyarakat, rasa turut memiliki, kepedulian sosial, dan kerjasama, aspek ekonomi meliputi peningkatan
30
perekonomian anggota kelompok KBS-KUBE dan aspek kelembagaan yang meliputi struktur dan kultur. Secara struktur meliputi pelapisan kelompok, pola hubungan dan komunikasi, kepemimpinan, konflik dalam kelompok dan mekanisme kerja sedangkan secara kultur meliputi nilai dan norma serta tata perilaku dalam kelompok.
2.8. Kerangka Konseptual Pengembangan program pemberdayaan masyarakat didasarkan pada kenyataan bahwa setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat digerakkan untuk mengatasi masalah kebutuhan mereka dengan prinsip dari, oleh dan untuk masyarakat. Agar masyarakat mau dan mampu untuk mengembangkan dan mendayagunakan berbagai potensi secara optimal, maka mereka perlu diberikan bimbingan, bantuan stimulan dan pemberian lainnya (Anonymons, 1998). Strategi
pengembangan
masyarakat
dengan
pendekatan
pemberdayaan
(empowerment) yang integral dan holistik dengan menempatkan komunitas sebagai subyek pembangunan. Pemberdayaan pada hakikatnya adalah pendelegasian tanggung jawab dan pembuatan keputusan kepada tingkat kewenangan yang paling rendah di dalam organisasi masyarakat. Langkah-langkah penerapan strategi pemberdayaan komunitas dapat secara efektif dan efisien dilaksanakan melalui kelompok-kelompok yang ada dalam komunitas.
Pemberdayaan
kelompok
merupakan
upaya
peningkatan
kemandirian dan kemampuan kelompok agar mampu menjadi wahana peningkatan kesejahteraan anggota kelompok. Salah satu pendekatan untuk mengembangkan dan membangun kemandirian masyarakat adalah pengembangan komunitas melalui pendekatan kelompok dalam bentuk kelompok usaha bersama (KUBE). Melalui kelompok proses adopsi terhadap upaya-upaya pembangunan dapat dipercepat melalui interaksi sesama anggota kelompok dalam bentuk saling mempengaruhi satu sama lain (Vitalaya, 1996). Untuk melihat suatu kelompok maka diperlukan analisis kelompok yang meliputi jejaring sosial, integrasi sosial, solidaritas sosial dan kohesivitas sosial. Keberadaan kelompok KBS-KUBE dalam suatu komunitas eks penderita kusta tidak berdiri sendiri melainkan banyak juga kelompok-kelompok lain dalam
31
komunitas. Untuk memahami masalah dan akar masalah kelompok KBS-KUBE maka diperlukan konsep-konsep jejaring sosial, integrasi sosial, solidaritas sosial dan kohesivitas sosial. Suatu komunitas pada dasarnya tidak akan bisa menyelesaikan permasalahannya sendiri tanpa bantuan pihak lain. Begitu juga dengan
eks penderita
kusta
memerlukan
pihak
lain
untuk membantu
memecahkan permasalahan yang ada. Untuk memecahkan permasalahan tersebut diperlukan jejaring (network) antar lembaga secara kolaboratif yaitu suatu jejaring yang bersifat informal, transparan, menampilkan kesetaraan, mengandalkan
komitmen,
mensinergikan
upaya
dan
mengembangkan
kesadaran kritis serta berfungsi pula sebaga kontrol sosial. Dengan prinsipprinsip tersebut jejaring akan mampu mengkombinasikan fungsi-fungsi yang diperlukan bagi penyelesaian masalah komunitas melalui pertukaran informasi, pengalaman dan pengetahuan serta penyediaan sumber daya di tingkat komunitas (Tonny, 2004). Di dalam komunitas eks penderita kusta Dusun Nganget terdapat kelompok antara lain kelompok KBS-KUBE, kelompok Nahdatul Ulama (NU), Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII).
Agar kelompok – kelompok tersebut saling
mendukung dan menguatkan integrasi sosial dapat mulai dengan melihat kelompok-kelompok tersebut sebagai komponen-komponen dari suatu sistem. Artinya perlu diciptakan adanya komunikasi antar kelompok agar mereka saling berinteraksi dan berhubungan untuk selanjutnya saling membutuhkan dan menciptakan komitmen mencapai tujuan yang sama (Nitimihardjo, 2003). Suatu kelompok yang mempunyai tingkat kohesivitas tinggi adalah kelompok dimana anggota-anggotanya memiliki tingkat keterikatan pada kelompok cukup tinggi. Konsekuensi dari kohesivitas tinggi adalah para anggota akan tetap berada dalam kelompok bekerja bersama-sama mencapai tujuan kelompok. Hal tersebut dimungkinkan karena mereka memandang bahwa dengan tetap berada dalam kelompok dapat memperoleh apa yang mereka harapkan. Menurut Ivancevich (1977) faktor – faktor yang dapat meningkatkan kohesivitas kelompok adalah : kesepakatan anggota terhadap tujuan kelompok, tingkat keseringan berinteraksi, adanya keterikatan pribadi, adanya persaingan antar kelompok, adanya evaluasi yang menyenangkan dan adanya perlakuan antar anggota dalam kelompok sebagai manusia bukan sebagai mesin.
32
Suatu masyarakat memiliki tingkat integrasi sosial tinggi apabila masyarakat tersebut memiliki solidaritas sosial yang mencerminkan adanya ikatan sosial berupa kepercayaan bersama, cita-cita dan komitmen moral atau adanya saling hubungan
dan
ketergantungan
fungsional
yang
mencerminkan
adanya
kesadaran kolektif (Nitimihardjo. 2003) Pembentukan KUBE dengan jumlah anggota sepuluh orang dimaksudkan agar setiap anggota saling mengenal, kontak lebih sering yang pada gilirannya akan memperlancar pengelolaan KUBE. KUBE dimaksudkan untuk mewujudkan keberfungsian sosial para anggota KUBE dan keluarganya, yang meliputi meningkatnya kemampuan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup seharihari dan berubahnya sikap dan tingkah laku dalam mengatasi permasalahanpermasalahan
yang
dihadapi
serta
meningkatnya
kemampuan
dalam
menjalankan peranan-peranan sosialnya dalam masyarakat serta meningkatkan rasa percaya diri. Melalui kelompok, setiap anggota kelompok dapat saling berbagi pengalaman, saling berkomunikasi, saling mengenal, sehingga dapat menyelesaikan berbagai masalah dan kebutuhan yang dirasakan. Keberadaan usaha-usaha ekonomis produktif yang bersifat ekonomis dalam kelompok KUBE hanya sebagai sarana bukan sebagai tujuan. Banyak orang beranggapan bahwa aspek ekonomi atau UEP (Usaha Ekonomi Produksi) dalam KUBE sebagai tujuan dan sering dijadikan ukuran keberhasilan KUBE. Ini adalah suatu hal yang keliru (Anonymons, 2003). Setelah dilaksanakan evaluasi terhadap Kelompok KBS-KUBE di Dusun Nganget maka ada permasalahan yang menyangkut aspek individu dan kelompok. Aspek individu
berkaitan
dengan
terbatasnya
keterampilan
individu
dalam
berorganisasi, dan terbatasnya kemampuan individu dalam produksi kambing. Adapun secara kelompok meliputi keterbatasan berinteraksi antar anggota kelompok baik di dalam kelompok KBS-KUBE maupun di luar. Dengan adanya permasalahan tersebut maka
diperlukan penguatan individu dan kelompok
supaya eks penderita kusta dapat berdaya dan akhirnya dapat meningkatkan keberfungsian sosialnya.
33
Sosial
Masalah Eks Penderita Kusta
Psikologi
Solusi Melalui KUBE
Ekonomi
Keberfungsian sosial meningkat
Ideal
Evaluasi KUBE
Sosial – Organisasi
Permasalahan - Kelompok - Individu
Ekonomi Produksi
Kelompok
Keberfungsian sosial tercapai
Kelembagaan KBS -KUBE
Permasalahan
Individu
Gagasan pemecahan masalah
Gambar 3. Kerangka Konseptual Pemberdayaan Komunitas Eks Penderita Kusta Melalui Penguatan Individu dan Kelompok
33
2.9. Definisi Konseptual 1. Masalah eks penderita kusta adalah sesuatu yang dirasakan oleh eks penderita kusta sebagai yang tidak mengenakan baik masalah sosial, psikologi maupun ekonomi. 2. Masalah sosial eks penderita kusta adalah masalah yang berkaitan dengan belum bisa diterima sepenuhnya eks penderita kusta dalam kehidupan masyarakat di luar komunitasnya. 3. Masalah psikologi eks penderita kusta adalah masalah yang berkaitan dengan rasa minder dan kurang percaya diri yang dialami oleh eks penderita kusta. 4. Masalah ekonomi eks penderita kusta adalah masalah yang berkaitan dengan rendahnya tingkat pendapatan anggota kelompok KBS-KUBE. 5. KBS-KUBE
adalah
penerima
bantuan
stimulan
program
Bantuan
Kesejahteraan Sosial yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama. 6. Kelompok Usaha Bersama adalah suatu program yang dilaksanakan oleh Departemen sosial untuk mengatasi permasalahan sosial, psikologi dan ekonomi eks penderita kusta dalam bentuk kelompok. 7. Sosial – Organisasi adalah bentuk interaksi sosial yang dialami oleh antar anggota dalam suatu kelompok sebagai sebuah organisasi. 8. Ekonomi produksi adalah jumlah produksi kambing yang dihasilkan oleh eks penderita kusta sebagai anggota KBS-KUBE. 9. Kelembagaan KBS – KUBE adalah berkaitan dengan struktur dan kultur kelompok KBS-KUBE (infra sturktur KBS-KUBE). 10. Kelompok adalah kelompok sebagai organisasi kelompok Keluarga Binaan Sosial – Kelompok Usaha Bersama. 11. Individu adalah
anggota kelompok Keluarga Binaan Sosial – Kelompok
Usaha Bersama. 12. Keberfungsian sosial adalah berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup ditandai dengan meningkatnya kualitas pangan dan kesehatan, mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi baik permasalahan kelompok, keluarga dan lingkungan sosialnya ditandai dengan minimnya perselisihan yang mungkin timbul , menampilkan peranan-peranan sosialnya ditandai dengan semakin meningkatnya kepedulian sosial.
35
III. METODOLOGI KAJIAN
3.1. Metode dan Pendekatan Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan partisipatif. Pendekatan kualitatif pada hakekatnya ialah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya (Nasution, 2003). Metode kajian yang digunakan adalah non survey, untuk menggali informasi pada tataran tineliti dengan menggunakan instrumen diskusi kelompok, wawancara mendalam, observasi lapangan dan studi kasus. Semua hasil wawancara mendalam, diskusi kelompok dan observasi lapangan didokumentasikan dalam bentuk catatan harian (seperti terlihat dalam lampiran), semua data disajikan dalam bentuk kutipan langsung, ataupun dalam bentuk tabel. Dalam kajian ini dari lima Kelompok KBS-KUBE yang ada di Dusun Nganget Desa Kedungjambe diambil dua Kelompok KBS-KUBE, yaitu Kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia sebagai kelompok KBS-KUBE yang progresif dan kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur sebagai kelompok KBS-KUBE yang pasif. Pendekatan partisipatif yaitu sejumlah metode dan teknik serta persiapan yang diperlukan untuk melakukan kajian potensi, identifikasi dan disain masalah, menyusun rancangan kegiatan dan implementasinya pada suatu program/proyek yang memungkinkan berbagai pihak terlibat. Tujuannya adalah menjaring aspirasi
dan
partisipasi
masyarakat/stakeholder
dalam
suatu
program
pembangunan seefektif mungkin. Melalui pendekatan partisipatif diharapkan dapat memperoleh informasi yang mendalam mengenai proses pembentukan kelompok KBS – KUBE, masalah dan akar masalah KBS –KUBE. Pendekatan partisipatif dilakukan
bersama-sama
dengan eks penderita kusta melalui diskusi kelompok untuk dapat memahami peranan kelompok dalam memberdayakan anggotanya sehingga anggota kelompok dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban atau peranan-peranannya. Tipe kajian ini menggunakan pendekatan subyektif mikro (Sitorus dan Agusta 2004), yaitu dalam upaya memperoleh gambaran yang utuh dan menyeluruh mengenai pola perilaku, tindakan dan interaksi anggota kelompok KBS – KUBE. Aras analisis yaitu kelompok KBS – KUBE dan individu sebagai anggota kelompok.
36
3.2. Lokasi dan Waktu Lokasi kajian adalah permukiman eks penderita kusta Dusun Nganget Desa Kedungjambe Kecamatan Singgahan Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur. Lokasi tersebut adalah merupakan satu-satunya permukiman eks penderita kusta di Provinsi Jawa Timur. Lokasi ini adalah sebagai kelanjutan dari Praktek Lapangan I dan Praktek Lapangan II. Dusun Nganget ini letaknya yang sangat strategis yaitu antara jalur Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Tuban. Dengan jalur tersebut akan memudahkan eks penderita kusta untuk menjangkau berbagai pelayanan pengobatan. Dusun Nganget juga tidak terlalu jauh dengan pasar hewan Desa Kedungjambe sehingga bagi eks penderita kusta akan mudah mengakses bila ingin menjual dan membeli kambing. Kajian ini, sudah dimulai dengan Praktek Lapangan I tanggal 9 sampai dengan 24 November 2004 berupa pemetaan sosial, kemudian dilanjutkan Prakek Lapangan II tanggal 21 Februari sampai dengan 5 Maret 2005 berupa evaluasi kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat. Kemudian dilanjutkan Praktek Lapangan III bulan Juni sampai Juli 2005 dengan fokus merancang program pengembangan masyarakat berupa pemberdayaan komunitas eks penderita kusta melalui penguatan individu dan kelompok KBS-KUBE di Dusun Nganget Desa Kedungjambe Kecamatan Singgahan Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur. Berikut ini rencana kajian pengembangan masyarakat. Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan kajian pengembangan masyarakat di Dusun Nganget Desa Kedungjambe Tahun 2005.
2004 No 1 2
3
Kegiatan Pemetaan Sosial (PL-1) Evaluasi kegiatan Pengembangan masyarakat (PL –2) Pembuatan rencana kerja Lapangan (proposal)
4
Pengumpulan data kajian(PL-3)
5
Pengolahan, analisis data dan Penyusunan laporan KPM
11
12
2005 1
2
3
V
V
4
5
V
V
6
7
V
V
8
9
V
V
V
37
3.3. Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam kajian yaitu data primer dan data sekunder. Data primer, adalah data yang bersumber dari kelompok subyek dan informan diperoleh melalui metode partisipatif. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari data statistik, laporan, literatur dan data desa yang diperoleh melalui kegiatan studi dokumentasi. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah (1) Observasi langsung; (2) Wawancara mendalam ; (3) Studi Dokumentasi; (4) Diskusi Kelompok. Teknik ini berkenaan dengan proses pelibatan partisipan dalam penggalian data, baik secara individual, kelompok, dan komunitas yaitu : 1. Observasi lapangan yaitu bahwa peneliti datang ke lapangan mengadakan observasi langsung ke Dusun Nganget ditemani oleh seorang informan. Data yang akan diperoleh yaitu mengenai potensi sumber daya alam seperti padang pengembalaan, aktifitas keseharian eks penderita dan sebagainya. 2. Studi dokumentasi ini peneliti lakukan ke berbagai stakeholder yang mempunyai hubungan
dengan eks penderita kusta seperti Dinas Sosial,
Kantor Desa, Panti dan sampai pada tingkat RT serta pengurus KUBE dan Kelompok KBS–KUBE. Data yang akan diperoleh yaitu mekanisme kerja Kelompok Usaha Bersama (KUBE), jumlah eks kusta yang menerima KUBE, perkembangan KUBE, administrasi pelaksanaan KUBE. 3. Wawancara mendalam. Wawancara mendalam merupakan proses temu muka berulang antara peneliti dan subyek peneliti. Melalui cara ini peneliti hendak memahami pandangan subyek tentang hidupnya, pengalamannya dan situasi sosial. Wawancara mendalam berlangsung dalam suasana kesetaraan, akrab dan informal. Wawancara ini dapat diwakili beberapa kelompok atau lembaga yang ada di permukiman eks penderita kusta. Seperti kyai Ysf wakil dari kelompok Nadhatul Ulama (NU) sekaligus ketua KUBE , Pak Rsln wakil dari kelompok Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) wakil ketua KUBE dan Pak Ykp wakil dari kelompok Kristen (pegawai panti/), dan Kepala Panti sebagai tokoh formal. Data yang ingin diperoleh adalah mengenai dampak kegiatan KUBE terhadap anggota, permasalahan dan kendala perkembangan KUBE, kelembagaan yang dapat mendukung perkembangan KUBE.
38
Dalam komunitas eks penderita kusta di Dusun Nganget tokoh agama dan pegawai masih sangat dihormati. Hal
ini disebabkan pada awalnya mereka
adalah kelayan dalam rumah sakit kusta Nganget. Kyai Jsf sebagai tokoh Nahdatul
Ulama
(NU)
merupakan
tokoh
panutan
warga
NU
karena
pengetahuannya tentang agama melebihi warga lainnya, pengetahuan ini diperoleh
melalui
pendidikan
pesantren
serta
tujuan
hidupnya
yang
diperuntukkan untuk menolong warga NU dalam memperoleh kepercayaan diri serta bisa membangun masjid dan Taman Pendidikan Al Quran (TPQ). Selain itu hubungan dengan kelompok KBS – KUBE yaitu bahwa Kyai Jsf adalah Ketua Pengurus KUBE. Pak Rsln adalah seorang Amir dalam kelompok warga Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) yang segala perilakunya dianut dan dipatuhi oleh warganya, ini diperoleh karena pengetahuan agamanya yang melebihi warga yang lain dan sebagai tokoh pertama yang membawa LDII ke komunitas eks penderita kusta Dusun Nganget. Selain sebagai Amir Pak Rsln juga ketua RT.05 sekaligus wakil ketua Kelompok Usaha Bersama (KUBE) sehingga mempunyai pengaruh dalam pengelolaan KUBE. Sedangkan Pak Ykp adalah tokoh Kristen dan Pegawai senior yang dulu merawat eks penderita kusta yang dulunya menjadi kelayan di rumah sakit kusta sehingga masih mempunyai pengaruh terhadap eks penderita kusta yang sekarang menjadi anggota KBS-KUBE. Dengan pengaruh Pak Ykp maka diharapkan bisa memotivasi eks penderita kusta untuk
mengembangkan KBS-
KUBE. 4. Diskusi kelompok. Diskusi kelompok lebih merupakan proses komunikasi dua arah antara kelompok dengan peneliti. Peneliti mengadakan diskusi dengan pengurus KUBE dan kelompok – kelompok KBS, koordinator (panti), Pemerintah Desa, kelompok –kelompok yang ada di permukiman (LDII, NU dan Umat Kristiani), serta Ketua Rukun Tetangga (RT), dilakukan melalui diskusi kelompok dengan kelompok-kelompok KBS – KUBE. Data yang ingin diperoleh adalah performa kelompok KBS-KUBE, masalah dan akar masalah serta potensi dan sumber lokal.
39
Tabel 2. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data Kelompok KBS-KUBE di Dusun Nganget Tahun 2005 Teknik Pengumpulan Data Tujuan
Untuk mengetahui profil kelompok
Jenis Data
Profil KBS KUBE
Sumber Data
–
• Pengurus
Observasi
Wawancara
Studi Dokumentasi
Diskusi Kelompok
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
KUBE • Hasil PL 2 • Koordinator KUBE (Pegawai panti).
Untuk mengetahui proses pembentukan kelompok
Proses pembentukan kelompok
• Pengurus KUBE • Hasil PL 2 • Koordinator KUBE (Pegawai panti)
-
• Anggota Klpk KBS-KUBE Untuk mengetahui dinamika internal dan eksternal KBS –KUBE
Dinamika internal dan eksternal KBSKUBE a. Jejaring b. Solidaritas
• Kelompok KBS-KUBE • Pengurus KUBE • Koordinator KUBE
c. Integritas d. Kohesivitas • Kelompok KBS-KUBE
Untuk mengetahui masalah dan akar masalah keberhasilan perkembangan kelompok KBSKUBE
Permasalahan KBS – KUBE
Untuk mengetahui potensi dan sumber
• Organisasi lokal
• Tokoh masyarakat
• Pasar
• Tokoh Agama
• Pengurus KUBE • Koordinator KUBE
• SDA
• Kepala Panti
40
3.4. Pengolahan Data Dalam menganalisis data penulis menggunakan tiga alur : reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (Miles dan Huberman dalam Sitorus dan Agusta, 2004). Reduksi data dalam proses pengumpulan data meliputi kegiatan meringkas data, mengkode, menelusur tema, membuat gugus, membuat
partisi
dan
menulis
memo.
Kegiatan
ini
berlangsung
sejak
pengumpulan data sampai dengan penyusunan laporan. 1. Reduksi data Data yang diperoleh dari lapangan yang jumlahnya tidak terbatas, maka peneliti harus melakukan reduksi, yaitu hanya memilih hal-hal yang pokok dan tema-tema yang relevan dengan fokus kajian. 2. Penyajian data Penyajian data bisa dalam bentuk matriks, network, dan lain-lain yang memungkinkan data hasil kajian tidak tercampur dengan data yang belum diolah. 3. Penarikan kesimpulan dan verifikasi Suatu upaya untuk mencari model, tema atau hal – hal yang sering muncul sehingga didapat suatu kesimpulan yang semakin lama semakin jelas seiring dengan semakin banyak data yang diperoleh.
3.5. Penyusunan program Program pemberdayaan eks penderita kusta yang akan disusun menempatkan partisipasi sebagai proses utamanya. Program disusun bersama masyarakat secara partisipatif sedangkan penulis hanya sebagai pendamping dalam proses perencanaan, yang dilakukan oleh masyarakat. Hasil Praktek Lapangan l dan Praktek Lapangan II hanya sebagai pendukung. Pada saat PL I dan II telah ada kontak dengan pihak-pihak yang berkompeten dalam permasalahan KBS-KUBE, seperti panti sebagai koordinator/pendamping KUBE, pengurus KUBE dan kelompok KBS-KUBE
pihak-pihak tersebut kemudian diikutsertakan dalam
kegiatan
program.
penyusunan
Pada
tahap
pertama
diskusi
kelompok
dilaksanakan dengan pengurus dan anggota kelompok KBS-KUBE, tahap kedua
41
diskusi kelompok dilaksanakan dengan pengurus KUBE, tahap ketiga diskusi kelompok dilaksanakan dengan koordinator/pendamping KUBE dan pada tahap kelima diskusi kelompok melibatkan semua unsur baik kelompok KBS-KUBE, pengurus KUBE mapun koordinator/pendaping KUBE. Teknik yang akan digunakan dalam penyusunan program adalah diskusi kelompok. Teknik ini digunakan untuk menganalisis situasi, masalah-masalah dan kebutuhan yang terjadi dalam kelompok, kiat-kiat mendayagunakan potensi yang ada, dan penciptaan interaksi dengan kelembagaan yang ada, baik di dalam permukiman atau di luar.
42
IV. PETA SOSIAL KOMUNITAS EKS PENDERITA KUSTA DUSUN NGANGET DESA KEDUNGJAMBE KECAMATAN SINGGAHAN KABUPATEN TUBAN
Peta sosial suatu komunitas menjadi sangat penting artinya bagi pelaksanaan pengembangan masyarakat. Dengan peta sosial akan diketahui potensi, sumber dan
permasalahan-permasalahan
yang
ada
serta
peluang
yang
dapat
dimanfaatkan untuk mengembangkan suatu masyarakat melalui potensi lokal yang dimiliki oleh suatu komunitas. Pemetaan sosial juga dilaksanakan sebagai bahan masukan
dan
analisis
aspek-aspek kehidupan
suatu komunitas
khususnya berkaitan dengan pelaksanaan pemberdayaan eks penderita kusta melalui penguatan kelompok KBS –KUBE. Peta sosial meliputi sejarah permukiman komunitas eks penderita kusta, performa Dusun Nganget dan Dusun Krajan, data kependudukan, pendidikan, sistem ekonomi, struktur komunitas, organisasi dan kelembagaan, sumber daya lokal, masalah sosial dan potensi alam. Berdasarkan laporan praktek lapangan I yang telah dilaksanakan, peta sosial yang akan dikemukakan di bawah ini adalah berlokasi di permukiman eks penderita kusta Dusun Nganget Desa Kedungjambe Kecamatan Singgahan Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur.
4.1. Sejarah Komunitas Eks Penderita Kusta Dusun Nganget Sejarah Komunitas Eks Penderita Kusta Dusun Nganget terjadi kira-kira pada jaman Belanda I. Pada waktu itu sudah ada beberapa warga yang menempati dusun tersebut dan bahkan sudah ada kepala Dusun yaitu Pak Nydd sebagai Kepala Dusun pertama, Pak Trj sebagai Kepala Dusun kedua dan Pak Mrd Kepala Dusun Ketiga. Pada Tahun 1935 Dusun Nganget oleh Kolonial Belanda dijadikan perkampungan leproseri (perkampungan kusta/lepra) sampai dengan tahun 1946.
Pada saat itu yang menjadi Mantri Kesehatan Kusta Pertama
adalah Pak Yhn S dan Kepala Dusun Nganget dijabat oleh Pak Mrd, sedangkan penduduk yang sebelumnya menempati dusun tersebut diberi ganti rugi oleh Pemerintah Kolonial Belanda selanjutnya keluar dari dusun dan menyebar di Desa Kedungjambe dan sekitarnya.
43
Setelah sebelas tahun sebagai perkampungan leproseri (perkampungan kusta) maka pada tahun 1947 dibangun Rumah Sakit Kusta Nganget Tuban di bawah dokter Karesidenan Bojonegoro sampai dengan tahun 1968.
Dokter yang
memimpin Rumah Sakit Kusta tersebut adalah dokter Stl yang berkedudukan di Jakarta. Setelah tahun 1969 diserahkan ke Provinsi Jawa Timur dengan nama Rumah Sakit Kusta Tingkat I dibawah Dinas Kesehatan Tingkat I, pimpinan Rumah Sakit dijabat
kembali oleh Pak Yhn S (mantri kesehatan) dengan
penghuni pasien kusta sebanyak 221 orang, ini berlangsung sampai dengan tahun 1985. Pada tahun 1985 bagi pasien kusta yang sudah dinyatakan sembuh oleh Rumah Sakit selanjutnya
dibuatkan rumah oleh Departemen Sosial melalui Kantor
Wilayah Departemen Sosial Provinsi Jawa Timur pada waktu itu sebanyak 55 buah melalui tiga tahap. Pada tahap pertama berjumlah 25 buah, tahap kedua sebanyak 15 buah dan tahap ketiga sebanyak 15 buah. Tonggak sejarah adanya pemukiman eks kusta yaitu tahun 1985 dan sampai sekarang dengan jumlah penduduk sebanyak 464 jiwa. Daerah dimana eks kusta membuat permukiman ada dua desa yaitu sebagian Desa Mulyorejo dan Desa Kedungjambe namun masih dalam wilayah Kecamatan Singgahan. Eks penderita kusta secara wilayah menempati dua desa tapi secara kependudukan masuk dalam Dusun Nganget Desa Kedungjambe Kecamatan Singgahan.
4.2. Performa Komunitas Eks Penderita Kusta Dusun Nganget dan Komunitas Dusun Krajan Desa Kedungjambe. Komunitas Dusun Nganget merupakan komunitas campuran artinya bahwa yang menjadi warga dusun adalah orang yang sehat (bukan eks penderita) yaitu keluarga dari eks penderita kusta seperti anak, istri, suami ataupun keluarga yang lain serta pegawai beserta keluarganya. Mereka menempati Dusun Nganget baru sekitar tahun 1935 sebagai upaya pemerintah kolonial Belanda menangani para penderita kusta. Sedangkan warga pada Dusun Krajan merupakan penduduk yang sudah sangat lama menempati dusun tersebut. Secara geofrafis Dusun Krajan berada di jalan raya yang menghubungkan Kabupaten Bojonegoro dan Tuban. Performa kedua dusun tersebut dapat dilihat pada tabel 3.
44
Tabel 3. Performa Komunitas Dusun Nganget dan Komunitas Dusun Krajan Desa Kedungjambe Tahun 2005.
Performa Komunitas Sumber Nilai dan Norma
Dusun Nganget
Dusun Krajan
Bagi tamu yang baru datang tidak akan diajak berjabat tangan
Bagi tamu yang baru datang diajak berjabat tangan.
Pemberian makanan selalu yang terbungkus / dalam kemasan (seperti pisang, aqua, permen)
Pemberian makanan sifatnya bisa terbuka dan tertutup.
Norma lokal
Mobilitas sosial
Mobilitas sosial hanya terbatas pada komunitasnya atau orangorang yang sudah dikenal, bila keluar komunitas atau belum dikenal ada rasa minder dan kurang percaya diri.
Mobiltas sosial tidak terbatas bisa keluar komunitas tanpa perasaan minder dan kurang percaya diri.
Lapisan Sosial
Pegawai Negeri menempati lapisan teratas. Ini disebabkan bahwa pegawai negeri adalah sebagai orang yang menolong mereka pada saat mereka di rumah sakit kusta Nganget.
Kyai menempati lapisan teratas. Ini disebabkan karena kyai mempunyai kepedulian terhadap permasalahan warga. Kyai mempunyai kelebihan secara keilmuan baik agama maupun ilmu yang lain seperti pengobatan.
Pola Hubungan Sosial
Ketetanggaan dan pertemanan, organisasi hanya di bidang keagamaan
Melalui organisasi seperti PKK, Arisan, Tahlilan, Remaja Masjid, NU,LDII.
Sumber : Wawancara masyarakat di Dusun Nganget dan Dusun Krajan tahun 2005 Pola hubungan yang dimaksud disini adalah bahwa komunitas di Dusun Nganget dalam melakukan suatu aktifitas tidak menggunakan organisasi yang sifatnya formal sehingga di Dusun Nganget tidak banyak organisasi yang Dusun Nganget hanya ada
formal. Di
lembaga keagamaan dan sebuah yayasan yaitu
45
yayasan Bina Putra yang beberapa tahun yang lalu digunakan oleh warga Nganget untuk mencari bantuan pembangunan Masjid dan Gereja. Namun untuk sebuah kelompok informal yang tidak memiliki kepengurusan lebih banyak seperti kelompok-kelompok sosial, kulon kali, pucung, ataupun kelompokkelompok yang sifatnya spontan. Di Dusun Krajan pola hubungan bersifat formal ini ditandai dengan tumbuhnya organisasi – organisasi formal seperti arisan, PKK, kelompok tani, Karang Taruna, kelompok tahlilan baik bapak-bapak maupun ibu-ibu yang memerlukan kepengurusan. Interaksi sosial yang terjadi di Dusun Nganget antara warga terjadi pada sela-sela pekerjaan sampai dengan sore hari sedang pada malam hari komunitas Nganget khususnya eks penderita kusta lebih banyak tinggal di dalam rumah, sedangkan di Dusun Krajan interakasi sosial bisa sampai dengan malam hari di warung-warung atau ogek (tempat duduk yang dibuat untuk ngobrol di halaman rumah/pinggir jalan). Nilai dan norma yang berlaku pada dusun Nganget yaitu berasal dari Agama /Pemerintah dan norma lokal. Nilai dan norma yang bersumber dari agama berupa larangan dan anjuran dari kitab suci agama yang dianutnya, dari pemerintah yaitu peraturan-peraturan pemerintah seperti pembayaran pajak bumi dan bangunan sedangkan normal lokal adalah norma-norma yang berkembang di tingkat lokal, hanya berlaku ditempat tertentu dan tidak berlaku di tempat lain. Perbedaan pada kedua komunitas hanya terletak pada norma lokal, bila dusun Nganget ada kekhususan bagi para tamu yang datang atau yang berkunjung ke permukiman yaitu warga tidak akan memberi makanan yang sifatnya terbuka tapi tertutup seperti pisang, permen, air kemasan dan tidak pernah mengajak jabat tangan pada orang yang baru dikenalnya. Mobilitas sosial
komunitas Dusun Nganget sangat terbatas ini disebabkan
stigma yang diberikan masyarakat kepada eks penderita kusta sehingga komunitas hanya berinteraksi di kelompoknya atau disekitar lingkungan yang sudah mengenalnya. Masyarakat pada umumnya mempunyai anggapan yang keliru terhadap eks penderita kusta seperti (1) merupakan penyakit kutukan Tuhan atau pengaruh kekuatan ilmu gaib ; (2) merupakan penyakit menular dan turunan maka penderita harus diasingkan ditempat terpencil ; (3) merasa ngeri dan jijik yang amat sangat apabila bersinggungan dengan penderita. Pengertian
46
yang salah dan sudah berakar di masyarakat ini dipandang dari kesehatan dan sosial sangat merugikan. Lapisan sosial yang terjadi di Dusun Nganget bersumber pada struktural dan agama sedangkan di Dusun Krajan bersumber pada agama dan kekayaan.
Di
Dusun Nganget lapisan sosial paling tinggi adalah kelompok pegawai karena secara struktur semua warga eks penderita kusta adalah di sebagian besar berasal dari Rumah Sakit atau panti. Di Dusun Krajan lapisan sosial yang tinggi adalah tokoh agama. Bila dilihat dari semangat kerja di komunitas Dusun Nganget yaitu semangat atau motivasi kerja yang tinggi dibanding Dusun Krajan. Warga Komunitas Dusun Nganget walaupun mereka tidak mempunyai jari atau tidak mempunyai kaki mereka tetap mencangkul di sawah dan hampir seharian berada di sawah atau ladang, sehingga pada malam harinya lebih banyak di dalam rumah. Solidaritas kedua dusun juga berbeda ini disebabkan masing-masing dusun mempunyai latar belakang yang berbeda. Di Dusun Nganget solidaritas sosial terbentuk karena mereka mempunyai perasaan senasib, mengalami kesulitan secara bersama-sama dan secara terus menerus. Dengan demikian apabila kepentingan kelompok terancam, maka dengan segera mereka akan bertindak progresif bisa menimbulkan perilaku anarkis.
4.3. Proses Stigmatisasi Terhadap Eks Penderita Kusta Stigmatisasi biasanya didefinisikan sebagai penggunaan stereotipe atau penanda untuk memberikan suatu penegasan pada kelompok atau seseorang. Stigma yang dalam bahasa Yunani berarti ‘tanda' merujuk pada pola karakteristik untuk menyudutkan mereka yang menyandang ‘tanda' ini. Stigma inilah yang kemudian menyelubungi berbagai ketidakpahaman yang membatasi segala sudut pandang dan tentunya memunculkan suatu penilaian yang buruk. Hal-hal ini
terwujud
dalam
pemahaman
yang
kabur,
ketidakpercayaan,
pola
penyeragaman, penyebaran ketakutan, suatu hal yang memalukan, kebencian, dan sikap-sikap peminggiran. Stigmatization (Goffman, 1963) dalam Panjaitan, Nitimihardjo , Fahruddin (2004) adalah proses dimana suatu atribut yang dinilai negatif menyebabkan identitas seseorang menjadi tercemar atau rusak. Beberapa stigma yang ada dalam masyarakat menyangkut epilepsi, cacat , buta,
47
pencandu, narkoba, HIV/AIDS, sakit mental dan eks penderita kusta. Identitas ini dianggap sebagai status utama orang yang bersangkutan dan orang lain cenderung mengkaitkannya dengan begitu banyak ketidaksempurnaan. Labeling theory ( Wiggins, 1997) dalam Panjaitan, Nitimihardjo , Fahruddin (2004) mengatakan dengan memberikan seseorang label menyangkut identitas stigmatis akan membangkitkan skema kepercayaan orang lain tentang bagaimana orang yang terstigma itu akan bertingkah laku. Dalam kajian ini eks penderita kusta adalah salah satu korban dari dampak stigma yang diberikan oleh masyarakat. Proses stigmatisasi terhadap eks penderita kusta dapat dilihat dari aspek klinis, psikologi dan sosial. 1. Aspek Klinis Perkembangan klinis berdasarkan pemeriksaan histopa tologik dan tanda yang timbul kusta dibagi menjadi 4 tipe : a. Tipe I atau disebut indeferent -------- indeterminate Merupakan tanda-tanda permulaan dari kusta yang menyerang pada jaringan kulit dan saraf dengan tanda-tanda : (1) bercak keputihan/noda seperti panu sebesar uang logam, kadang bercak datar merah ; (2) perasaan kulit pada bercak mulai berkurang terhadap suhu sakit dan tidak sakit/anastese gejala ini disebut reaksi lepromin. Pada tipe ini masyarakat yang berdekatan (teman, keluarga, tetangga ) sedikit – demi sedikit sudah mulai bertanya-tanya tentang bercak putih tersebut, karena dirasa aneh, tidak sama dengan orang lain dari sini proses stigmatisasi sudah mulai terjadi. Teman, tetangga bahkan keluarga sedikit – demi sedikit sudah mulai menjauh. b. Tipe II atau disebut T. Tuberkuloid Pada tipe II ini tanda-tanda fisik sudah mulai nampak agak jelas seperti rambut mulai rontok, kulit tak berkeringat tidak ada minyak sehingga terjadi penebalan kulit yang terdiri dari lapisan tanduk, kadang menimbulkan penbengkakan pada jari-jari tangan dan kaki. Pada tipe ini orang-orang di sekeliling (teman, tetangga dan keluarga) sudah mulai mengetahui bahwa itu sakit kusta orang sudah mulai takut berdekatan dengan orang yang terkena kusta.
48
c. Tipe III atau disebut B. Border Line Pada tipe III akan memberikan tanda-tanda yang sudah sangat nyata seperti kulit tidak menerima rangsangan menimbulkan kematian jaringan terjadilah luka /ukus. Pada tingkat ini terjadi mutilasi = ujuang 3 ruas jari kaki atau tangan terlepas. Pada tipe ini orang – orang (teman, tetangga dan keluarga) sudah mulai mengucilkan, membenci, menjauhi bahkan mengasingkan. d. Tipe IV disebut sebagai Lepromatous Pada tipe ini memberikan tanda-tanda leproma lebih banyak pada daun telinga kiri dan kanan, bulu alis rontok, pipi kiri dan kanan menebal jari-jari kaki kanan dan kiri membengkak. Terjadi luka-luka terutama pada kaki dan tangan. Pada tipe ini sudah menderita kecacatan baik di wajah, kaki dan tangan sehingga menimbulkan rasa kengerian yang amat sangat. Pada tipe ini orang yang mendengar saja sudah menimbulkan kengerian sehingga bila mendengar kusta mereka sudah takut dan membentengi diri untuk tidak bergaul dengan kusta. Walaupun penyakit kusta sudah dinyatakan sembuh tetapi kadang-kadang bekas penyakit tersebut masih nampak jelas sehingga orang masih takut bila berhubungan atau bersentuhan dengan eks penyandang kusta. Takut bila dirinya mengalami hal yang serupa, dikucilkan masyarakat itu akhirnya mempengaruhi jiwa sehingga akan terus menjauhi eks penderita kusta. Secara klinis orang juga tidak mengetahui cara penuluran kusta sehingga orang selalu takut bila berdekatan dengan eks penderita kusta karena secara fisik orang kusta sulit dikenali apa sudah sembuh atau belum. 2. Aspek Psikologi Aspek psikologi ini berkaitan dengan bagaimana orang kusta melihat keberadaan dirinya sendiri setelah melalui beberapa proses penyakit yang dialaminya. Dengan keberadaannya yang berbeda dengan orang lain dan mulai dijauhi oleh teman, tetangga bahkan keluarga membuat mereka merasa lebih rendah dari orang lain sehingga sifat minder, kurang percaya diri dan menarik diri dari lingkungannya.
49
Aspek psikologi bagi masyarakat di luar eks penderita kusta yaitu dengan pengalaman diri sendiri dan cerita-cerita dari orang lain dengan segala macam kengeriannya akhirnya terpatri dalam jiwanya. Bila mendengar eks penderita kusta maka dalam pikirannya sudah terbayang hal-hal yang mengerikan dan akan membentengi dirinya untuk tidak bergaul bahkan bertemu sekalipun dengan eks penderita kusta. 3. Aspek Sosial Aspek sosial ini berkaitan dengan cerita dari individu – individu tersebut akhirnya berkembang dalam masyarakat. Dari cerita-cerita tersebut akhirnya proses
stigmatisasi
berkembang
dalam
masyarakat
sehingga
akan
berpengaruh pada pola pikir masyarakat tentang eks penderita kusta. Karena hanya berdasarkan cerita dan ketidaktahuannya tersebut maka masyarakat menganggap penyakit kusta merupakan penyakit menular dan turunan maka penderita harus disingkirkan dan diasingkan di tempat terpencil. Merasa ngeri dan jijik yang amat sangat bila bersinggungan dengan penderita misalnya berjabat tangan. Proses tersebut secara terus menerus mempengaruhi pola pikir masyarakat sehingga akhirnya menimbulkan identitas sosial eks pederita kusta, yang apabila orang menyebut eks penderita kusta dalam pikirannya sudah terpatri kengerian dan penyakit menular dan harus dihindari. Identitas sosial adalah konsep mental yang dikembangkan oleh pikiran dan disimpan di dalam memori sebagai hasil pengalaman kita. Identitas sosial diasosiasikan dengan sejumlah kenyakinan (belief) dan perasaan (feelings) yang disebut sikap sosial. (social
attitude). Adanya kenyakinan dari orang luar bahwa kalau
berdekatan dengan eks kusta akan menular. Dengan kenyakinan tersebut maka akan timbul sikap sosial untuk menjauhi eks penderita kusta
4.4. Alasan Pemilihan Lokasi Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan : 1. Di permukiman eks kusta sedang dilaksanakan program fakir miskin yaitu Kelompok Usaha Bersama berupa ternak kambing dan simpan pinjam bahan pertanian.
50
2. Populasi eks penderita kusta semakin bertambah sedangkan lahan pertanian dan ladang tetap, lapangan kerja terbatas sehingga harus dicari alternatif usaha yang lain. 3. Berhasilnya program Kelompok Usaha Bersama diharapkan akan mampu menarik masyarakat di sekitar permukiman untuk datang ke lokasi permukiman sehingga sedikit demi sedikit akan terjadi penerimaan eks penderita kusta oleh masyarakat umum.
4.5. Batas Dusun Nganget / Komunitas Eks Penderita Kusta Letak Dusun Nganget / komunitas eks penderita kusta, dari jalan raya jurusan Tuban – Bojonegoro
kurang lebih 3 km, pemukiman eks penderita kusta terdiri
dari tiga RT yaitu RT 04 dan RT 06 masuk wilayah dusun Nganget, sedangkan RT 05 sebagian masuk sebagian wilayah masuk desa Mulyorejo Kecamatan Singgahan. Batas Dusun Nganget / permukiman desa eks penderita kusta dikelilingi oleh hutan dan perbukitan. Tanah atau lahan yang ditempati eks penderita kusta adalah milik Dinas Sosial seluas 105.695 M2. Tanah tersebut dulunya adalah milik Rumah Sakit kusta dan pada tahun 1997 sudah diserahkan ke Dinas Sosial Provinsi Jatim, sebagian milik Aryodiningrat (hak pakai) seluas 9.904 M2 untuk lapangan Sepak Bola dan sebagian lagi milik perhutani. (Sumber : Panti Rehabilitasi Sosial Nganget, Tuban Tahun 2004).
4.6. Ciri Fisik Komunitas Eks Penderita Kusta Dusun Nganget 1. Permukiman dikelilingi oleh hutan dan bukit 2. Pemukiman dikelilingi oleh aliran sungai belerang. 3. Jauh dari pemukiman penduduk ± 3 km. 4. Ada sumber air yang digunakan untuk kebutuhan rumah tangga desa Kedungjambe.
51
4.7. Jarak Fisik dan Sosial Adapun jarak fisik dan sosial permukiman eks penderita kusta dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini : Tabel 4. Orbitan waktu tempuh dan ongkos Dusun Nganget Tahun 2004. No Orbitasi dan jarak tempuh
Jumlah
Ongkos (Rp)
1
Jarak ke Desa
4 Km
3.000
2
Jarak ke Kecamatan
6 Km
6.000
3
Jarak ke Kabupaten
35 Km
17.000
4
Jarak ke Provinsi
145 Km
30.000
5
Jarak ke Pasar
5 Km
5.000
6
Jarak ke Puskesmas
8 Km
6.000
7
Jarak ke RSU Bojonegoro
25 Km
14.000
8
Jarak ke RS Glagah Kusta Mojokerto
145 Km
350.000
9
Waktu tempuh ke desa
10 menit
10
Waktu tempuh ke Kecamatan
15 menit
11
Waktu tempuh ke Kabupaten
60 menit
12
Waktu tempuh ke Provinsi
13
Waktu tempuh ke Pasar
13 menit
14
Waktu tempuh ke Puskesmas
15 menit
15
Waktu tempuh ke RSU
45 menit
16
Waktu tempuh ke RS Kusta Glagah Mojokerto
180 menit
180 menit
Sumber. Ketua RT Dusun Nganget Tahun 2004 Catatan : Diukur dengan menggunakan alat transportasi yang digunakan masyarakat umum di dusun Nganget. Pada umumnya jarak tersebut dapat dicapai dengan menggunakan sarana angkutan umum, motor/ojeg atau carter mobil dan setiap hari ada, tidak ada kendala dalam mobilitas, namun kalau naik angkutan biasanya hanya untuk eks penderita kusta yang masih utuh secara fisik, sedangkan bagi eks penderita kusta yang mempunyai kendala secara fisik carteran
bila
pergi
jauh,namun
ini
cenderung menggunakan mobil
jarang
dilakukan.
Kecuali
yang
bermatapencaharian pedagang/warung/toko dan pengusaha meubel tingkat mobilitas eks kusta cukup rendah. Bagi mereka yang tani atupun buruh tani
52
jarang melakukan aktifitas di luar pemukiman, kebutuhan sehari-hari disamping sudah ada toko/kios/warung juga ada penjual sayuran keliling.
4.8. Kependudukan Penduduk merupakan jumlah orang yang bertempat tinggal di suatu wilayah pada waktu tertentu dan merupakan hasil proses demografi yaitu fertilitas, mortalitas dan migrasi. Diantara beragam komposisi penduduk yang dapat disusun, komposisi penduduk menurut jenis kelamin merupakan hal yang terpenting. Komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin bagi suatu masyarakat penting baik dalam kerangka biologis, ekonomis, maupun sosial. Jumlah penduduk di permukiman eks kusta berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Ketua Rukun Tetangga masing – masing
berjumlah 464 jiwa (Agustus
2005) yang terbagi yaitu laki-laki sebanyak 234 jiwa dan perempuan sebanyak 230 jiwa. Di permukiman tersebut terdapat eks penderita kusta sebanyak 152 Jiwa dan bukan kusta sebanyak 312 Jiwa (keturunan dan warga waras/kampung yang kawin dengan eks kusta). Fertilitas merupakan performan reproduksi aktual dari seorang wanita atau sekelompok individu, yang pada umumnya dikenakan pada seorang wanita atau sekelompok wanita, sedangkan paritas berarti jumlah anak yang telah dipunyai oleh wanita. Kemampuan fisiologis wanita untuk memberikan kelahiran atau berpatisipasi dalam reproduksi dikenal dengan istilah fekunditas. Tinggi rendahnya angka mortalitas penduduk berhubungan dengan
beragam
faktor seperti keadaan persediaan pangan penduduk, kemiskinan, dan keadaan fasilitas kesehatan. Faktor-faktor tersebut di satu pihak dapat meningkatkan reit mortalitas penduduk, namun di pihak lain dapat menurunkannya. Tanpa kecuali setiap daerah termasuk permukiman eks kusta menginginkan menurunnya reit kematian penduduk di tingkat yang rendah. Komposisi penduduk pemukiman eks kusta berdasarkan usia dan jenis kelamin dapat dilihat pada gambar berikut ini.
53
Gambar 4. Piramida penduduk Dusun Nganget berdasarkan usia dan jenis kelamin Tahun 2005.
65 + 60 - 64
♂
♀
55 - 59
50 - 54 45 - 49 40 - 44 35 - 39 30 - 34 25 - 29 20 - 24 15 - 19 10 - 14 5- 9 0-4 45
40
35
30
25
20
15
10
0
10
15
20
25
30
35
40
45
Sumber : Ketua RT Tahun 2005
Komposisi penduduk berdasarkan umur dan jenis kelamin mempunyai arti yang penting sebagai data analisis kependudukan karena berbagai fenomena dalam kehidupan terkait dengan umur dan jenis kelamin, seperti fenomena biologis, ekonomi sosial dan politik. Bila disimak piramida penduduk pada tabel tersebut bahwa pada umur 20 – 24 tahun berjumlah 22 orang atau 4,74 %. Dengan perincian
remaja laki-laki berjumlah 10 orang atau 2,15 % dan perempuan
berjumlah 12 orang atau 2,58 %. Ini menandakan bahwa pada usia tersebut banyak penduduk Dusun Nganget yang mengadakan migrasi keluar. Pada usia tersebut kebanyakan mereka mencari pekerjaan di luar kota dan secara biologis mereka akan menikah sehingga setelah menikah mereka tidak kembali lagi. Jumlah penduduk pada usia 45 – 49 berjumlah 60 orang atau 12,93 % dengan perincian laki-laki berjumlah 35 orang atau 7,54 % dan perempuan berjumlah 25
54
orang atau 5,39 % dan pada usia 50 – 59 berjumlah 45 orang atau 9,70 % dengan perincian laki-laki 25 atau 5,39 % dan perempuan berjumlah 20 orang atau 4,31 %. Jumlah laki-laki yang mengalami penurunan pada usia 45 – 49 ke usia 50 – 59 tahun sampai dengan 10 orang ini disebabkan ada 10 pasang suami istri yang laki-laki eks penderita kusta dan yang perempuan orang sehat. Dengan sakit yang dideritanya itu menyebabkan lebih banyak laki-laki yang meninggal lebih dulu dibanding perempuan. Banyaknya laki – laki eks penderita kusta yang meninggal dunia ini disebabkan pada saat mereka sakit membutuhkan biaya yang relatif tinggi dan mereka tidak bisa membiayai pengobatan tersebut selain jarak yang ditempuh antara permukiman eks penderita kusta Dusun Nganget dengan Rumah Sakit Kusta di Mojokerto relatif jauh dengan biaya sekali jalan mencapai Rp. 350.000,- (Tiga ratus lima puluh ribu rupiah) dengan menggunakan mobil carteran belum biaya rumah sakit yang harus dikeluarkan oleh eks penderita kusta.
4.9. Sistem Ekonomi Sistem ekonomi dalam hal ini adalah konsep ekonomi lokal yang mengandung dua dimensi yaitu dimensi fenomena ekonomi dan dimensi lokal. Fenomena ekonomi menunjuk pada gejala bagaimana cara orang atau masyarakat memenuhi kebutuhan hidupnya terhadap jasa dan barang langka. Cara yang dimaksud disini berkait dengan semua aktifitas yang berhubungan dengan produksi, distribusi, pertukaran dan konsumsi jasa-jasa dan barang-barang langka (Damsar, 1997). Sedangkan dimensi lokal menunjuk tidak hanya pada kesatuan wilayah geografis, namun juga kesatuan entitas basis sosial untuk tindakan kolektif.
55
4.9.1. Mata Pencaharian Pokok Menurut informasi yang di dapat, bahwa matapencaharian eks penderita kusta adalah sebagai berikut : Tabel 5. Komposisi penduduk berdasarkan matapencaharian Dusun Nganget Tahun 2005.
No
Mata Pencaharian
Jumlah
%
1.
PNS
8
1,72
2.
Petani Penggarap
86
18,53
3.
Penggarap Persil
64
13,79
4.
Tukang Kayu
30
6,46
5.
Pengusaha meubel
26
5,60
6.
Pedagang
28
6,03
7.
Pengemis
23
4,95
8.
Lain-lain serabutan, sopir, ojek, jahit, guru
73
15,73
338
100
ngaji, pemulung, tukang batu, dukun bayi, tukang becak, dan pengamen. Jumlah Sumber : ketua RT 2005 Mata pencaharian eks kusta sangatlah tergantung pada sumber daya lokal yang ada, khususnya pertanian yang meliputi tanah persawahan yang ditanami padi selama setahun dengan panen sebanyak tiga kali, sedangkan ladang/tegalan, ditanami jagung, kedelai dan sayuran serta kayu jati yang ada disekitar permukiman. Bila dilihat dari tabel tersebut diatas maka petani penggarap menempati urutan paling banyak 18,53 % atau 86 orang, ini disebabkan komunitas eks penderita kusta bekerja pada tanah pertanian milik Dinas Sosial dan Perhutani. Sedangkan terkecil adalah Pegawai Negeri Sipil sebanyak delapan orang atau 1,72 % mereka bekerja sebagai Pegawai Panti Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta yang menempati rumah dinas.
56
4.9.2. Sistem Tata Niaga Input dan Output Hasil Pertanian dan Non Pertanian Tata niaga input dan output hasil pertanian dan non petanian di pemukiman eks penderita kusta, hasil dari temuan lapangan menggambarkan bahwa hasil pertanian warga eks penderita kusta tiap kali panen, langsung dibeli oleh tengkulak yang datang ke permukiman. Sedangkan untuk sayur-sayuran di bawa ke pasar desa Kedungjambe sekitar 5 Km dari permukiman. Hari pasaran di desa Kedung jambe Kliwon dan Pahing. Hari-hari pasaran tersebut biasanya banyak eks penderita kusta yang datang ke pasar membawa sayuran ataupun hasil pertukangan kayu seperti tempat tidur dan kursi serta meja. Selain mereka menjual sayur ke pasar juga ada pedagang sayur yang keliling permukiman. Selain sayur mayur juga ada pasar kambing yang letaknya bersebelahan dengan pasar tradisional. Di pasar inilah biasanya eks penderita kusta menjual dan membeli kambing. Maka terjadilah transaksi dan interaksi sosial antara eks kusta dengan masyarakat luas. Bagi warga masyarakat di sekitar dusun Nganget seperti pasar desa Kedungjambe dan para penjual sayur yang selama ini berinteraksi dengan eks penderita kusta mereka tidak takut ketularan ini disebabkan seringnya mereka berinteraksi dan selama ini tidak menimbulkan dampak apapun terhadap diri mereka. Pada awalnya mereka takut juga tapi itu proses awal bagi semua orang yang akan mengadakan interaksi dengan eks penderita kusta. Namun bila eks penderita kusta mempunyai kepercayaan diri maka orang disekitar permukiman lama-lama menjadi biasa bergaul dengan mereka bahkan ada yang menjadi tukang kayu di rumah eks penderita kusta di permukiman eks penderita kusta Dusun Nganget. Selain hal tersebut di atas di permukiman eks penderita kusta pernah ada kegiatan ekonomi berskala kecil / home industry namun mengalami kesulitan pemasaran dan akhirnya sekarang sudah tidak berkembang lagi/tidak ada lagi. Adapun kegiatan ekonomi tersebut antara lain : 1. Pembuatan kipas 2. Pembuatan tas 3. Pembuatan asbak 4. Pembuatan geblok kasur 5. Pembuatan cikrah 6. Pembuatan batu bata
57
4.9.3. Kaitan Mata Pencaharian Dengan Sumber Daya Lokal Di pedesaan lahan adalah aset produktif penting untuk mempertahankan mata pencaharian. Akses lahan sangat penting, baik bagi kesejahteraan rumah tangga, pertumbuhan agregat ekonomi, maupun bagi penurunan kemiskinan secara berkelanjutan
Kaitan antara mata pencaharian eks penderita kusta
dengan sumber daya lokal adalah sangat tinggi, ini dikarenakan : 1. Keterbatasan mobilitas sosial eks kusta 2. Letak permukiman eks kusta dipinggiran hutan sehingga sangat tergantung pada sawah milik Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur dan Ladang milik Perhutani. Ada sebagian kecil yang mengemis di luar seperti Semarang, Jakarta, namun istri di permukiman menjadi buruh tani, selain itu yang muda menjadi TKI di Malaysia dan Brunei ( khusus untuk keturunan eks kusta).
4.9.4. Keterkaitan Antara Ekonomi Lokal Dengan Ekonomi yang lebih Luas Sudah terbentuk jaringan ekonomi lokal dengan ekonomi yang lebih luas, seperti dengan pasar Kedungjambe, tengkulak, dan konsumen meubel, maupun kayu jati serta tukang sayur. Pasar Kedungjambe merupakan jaringan yang baik bagi eks kusta untuk memenuhi kebutuhan baik pertanian maupun non pertanian. Pasar sebagai tempat transaksi dan interaksi eks kusta untuk membeli maupun menjual hasil pertanian atau non pertanian. Bagi yang bergerak di bidang usaha meubel sudah mempunyai jaringan konsumen tersendiri yaitu yang pesan pintu, kusen
maupun perkakas rumah tangga seperti tempat tidur, bufet dan lain
sebagainya
jaringan mereka sudah sampai Jakarta, Surabaya, Malang dan
bebarapa daerah di Jawa Timur. Gambar 5. Keterkaitan ekonomi lokal dengan ekonomi yang lebih luas Dusun Nganget . Konsumen Meubel
Tengkulak
Permukiman Eks Kusta • Kebutuhan Rumah Tangga (Pertanian dan non Pertanian • Toko/Kios/warung • Pengusaha meubel
Penjual Sayur
Pedagang Pasar Kedungjambe
Sumber Praktek Lapangan II Tahun 2004
58
4.10. Struktur Komunitas 4.10.1. Pelapisan Sosial Pelapisan komunitas dalam komunitas yang perlu dicermati adalah gejala pelapisan itu sendiri. Apakah terjadinya pelapisan tersebut secara alamiah atau non alamiah, hal tersebut merupakan fenomena yang penting untuk mengetahui bagaimana komunitas lokal membangun suatu ikatan atau komunikasi satu dengan lainnya.
4.10.2. Unsur Utama Pelapisan Sosial Pada umumnya terjadinya pelapisan sosial karena hal-hal sebagai berikut: a. Kondisi tempat tinggal b. Pekerjaan c. Idiologi / Agama d. Suku / ras e. Politik / Partai f. Usia g. Jenis kelamin Pelapisan
seperti tersebut di atas juga dialami oleh pemukiman eks kusta.
Adapun pelapisan sosial tersebut yaitu lapisan sosial yang pertama adalah pegawai panti / bekas Rumah Sakit Swasta yang bertempat tinggal di permukiman eks kusta. Pada lapisan ini suara dan ajakan masih berpengaruh dalam kehidupan eks kusta. Pengaruh ini terkait dengan sejarah bahwa pada waktu masih berbentuk rumah sakit, masih banyak eks kusta yang tergantung pengobatan kesehatan kepada rumah sakit, dan ini berlanjut sampai sekarang. Selain itu juga berkaitan dengan bantuan yang diberikan pada eks kusta sering melalui panti sehingga pegawai mempunyai kelas tersendiri. Lapisan sosial yang kedua tokoh agama, suara kelompok ini juga sangat berpengaruh khususnya terhadap hal yang berkaitan dengan agama. Lapisan sosial ini juga berpengaruh terhadap pembinaan mental para eks kusta serta menangani berbagai permasalahan sosial yang terjadi di pemukiman. Tokoh
59
informal yang ada di permukiman juga menjadi pimpinan formal seperti ketua Rukun Tetangga. Lapisan sosial yang ketiga adalah pengusaha meubel, kelompok ini dalam pemukiman juga berpengaruh namun tidak sebesar tokoh agama, pengaruh mereka ini hanya didasari oleh ekonomi yang lebih baik. Lapisan sosial yang selanjutnya yaitu petani penggarap, yang sebagian besar menghuni permukiman eks kusta. Namun yang perlu dicermati bukan saja pelapisan sosial tersebut, pelapisan sosial itu juga mempengaruhi kehidupan komunitas, tapi yang lebih menonjol yaitu adanya 3 kelompok yang ada di permukiman eks kusta antara lain, kelompok NU (Nahdatul Ulama) yang dipimpin oleh Mbah Kyai Ysf dan kelompok LDII ( Lembaga Dakwah Islam Indonesia) yang dipimpin oleh Bapak Rsl ( ketua RT) sedangkan kelompok Kristen yang dipimpin oleh Ykb Salatnaya. ketiga kelompok inilah yang mewarnai kehidupan eks kusta di permukiman. Disamping kelompok keagamaan juga ada kelompok lokal seperti kelompok sosial, kulon kali dan pucung. Gambar 6. Tingkatan pelapisan sosial di Dusun Nganget Tahun 2005.
I
Pegawai Negeri Sipil
II
Tokoh Agama
III
Pengusaha meubel/kayu
IV
Petani Penggarap
4.10.3. Kepemimpinan dan Sumbernya Kepemipinan adalah proses mempengaruhi aktifitas orang lain atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu. Dalam situasi apapun dimana seorang berusaha mempengaruhi perilaku orang lain atau kelompok, maka saat itu berlangsung kegiatan kepemimpinan.
60
Keberfungsian kepemimpinan formal dan informal dapat dilihat dari aktifitasnya dalam penanganan permasalahan sosial kemasyarakatan dan pemerintahan serta keagamaan. Seperti dijelaskan diatas, hal yang paling berpengaruh dalam kehidupan eks penderita kusta adalah tiga kelompok yaitu Nahdatul Ulama (NU), Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) dan Kristen serta kelompok lokal seperti kelompok sosial, kulon kali dan pucung. Kepemimpinan itu lahir karena seseorang memiliki pengetahuan agama dan kelebihan lainnya dibanding yang lain serta kharismatik. Pondok Pesantren yang berada di desa Bakalan ± 15 Km dari pemukiman eks kusta khususnya warga Nahdatul Ulama sering datang ke pondok tersebut yang dipimpin oleh Kyai Nsr. Mbah Kyai Ysf selain sebagai tokoh agama juga sebagai pengusaha meubel / kayu sehingga secara ekonomi lebih mapan. Mbah Kyai Ysf ini juga mendirikan Taman Pengajian Qur’an / Taman Pengajian Anak yang berada di permukiman, beliau juga mengelolanya. Karena mempunyai kelebihan tersebut di atas maka warga eks kusta khususnya warga Nahdatul Ulama sangat patuh pada Kyai Ysf. Begitu juga dengan Lembaga Dakwah Islam Indonesia yang dipimpin oleh Pak Rsl (Ketua RT 05). Sumber kepemimpinan juga diperoleh dari kepandaiannya di bidang agama, sehingga beliau diangkat memjadi Amir di kelompok Lembaga Dakwah Islam Indonesia ini. Warga eks penderita kusta juga sangat patuh khususnya warga Lembaga Dakwah Islam Indonesia terhadap amirnya. Bagi warga Kristiani, pemimpin jemaahnya adalah Pak Ykp, (Pegawai Panti) di samping beliau mempunyai kelebihan di bidang agama, beliau juga pegawai panti sekaligus putra Pendiiri
Perkampungan eks penderita kusta sehingga
beliau cukup disegani oleh warga Kristiani maupun warga eks penderita kusta.
4.10.4. Jejaring Sosial Dalam Komunitas Berdasarkan hasil wawancara dengan eks penderita kusta, Pegawai Panti serta Aparat Desa dan mempelajari berbagai laporan serta berbagai permasalahan yang terjadi, maka ada jejaring sosial dalam komunitas namun tidak secara formal dibentuk oleh warga eks kusta antara lain : 1. Panti Rehabilitasi Sosial Eks Kusta Nganget 2. Balai Pengobatan/Unit Rawat Jalan Nganget
61
3. Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) 4. Nahdatul Ulama (NU) 5. Umat Kristiani 6. Kelompok Tahlilan Ibu-Ibu Al Hikmah Secara formal tidak terbentuk suatu organisasi namum secara non formal lembaga tersebut sudah membentuk jaringan. Panti Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta yang dulunya rumah sakit kusta mempunyai ikatan yang kuat dengan eks penderita kusta karena dulu mereka di rawat di rumah sakit tersebut. Eks penderita kusta dalam kehidupan sehari-hari masih tetap memerlukan pengobatan secara rutin maka Balai Pengobatan sangat diperlukan untuk memberi pertolongan pertama yang kemudian dikirim ke Rumah Sakit Kusta Sumber Glagah Mojokerto. Balai Pengobatan secara struktural merupakan Unit Pelaksana Teknis Rumah Sakit Kusta Sumber Glagah Mojokerto. Eks penderita kusta merupakan sebagian merupakan warga Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Nahdatul Ulama (NU) dan umat Kristiani dan bagi eks penderita kusta yang perempuan mengikuti Tahlilan ibu-ibu Al Hikmah. Dengan demikian dalam penanganan eks penderita kusta dapat melalui lembaga tersebut diatas.
4.11. Organisasi Dan kelembagaan Organisasi adalah kesatuan yang memungkinkan masyarakat mencapai suatu tujuan yang tidak dapat dicapai individu secara perorangan. Orang mendirikan organisasi karena alasan, bahwa organisasi dapat mencapai sesuatu yang tidak dapat kita capai secara perorangan. Organisasi dicirikan oleh “perilakunya yang terarah pada tujuan” . Tujuan dan sasaran organisasi dapat dicapai lebih efisien dan
efektif
melalui
tindakan-tindakan
individu
dan
kelompok
yang
diselenggarakan dengan persetujuan bersama. Kelembagaan merupakan himpunan norma-norma atau pola hubungan
dan
segala tindakan yang berkisar pada kebutuhan pokok manusia. Sistem norma yang dibangun di pemukiman eks penderita kusta merupakan kebiasaan yang turun temurun. Pola perilaku yang standar adalah pola perilaku yang menurut kebanyakan orang tidak menyimpang karena norma yang ada di pemukiman eks penderita kusta / masyarakat pada umumnya. Namun demikian ada norma khusus yang berlaku di pemukiman eks penderita kusta yaitu bila ada tamu yang
62
berasal dari luar komunitas yaitu : (1) tidak akan diajak berjabat tangan; (2) tidak akan diberi minuman atau makanan yang sifatnya terbuka.
4.11.1. Lembaga Kemasyarakatan Di pemukiman eks penderita kusta belum banyak lembaga kemasyarakatan, lembaga yang ada hanya bersifat kelembagaan agama, seperti NU (Nahdatul Ulama), Lembaga Dakwah Islam Indonesia ( LDII ) dan Lembaga Gereja. Di dalam organisasi Nahdatul Ulama (NU) itu ada kelompok tahlilan Ibu-ibu beranggotakan 80 orang. Tahlil dilaksanakan setiap dapat dikumpulkan tiap minggunya mencapai
yang
hari Jum’at. Dana yang
Rp. 12.000,- sampai dengan
Rp.14.000,- Tahlilan untuk Bapak-bapak dilaksanakan tiap hari Kamis malam Jum’at, namun sifatnya hanya mempunyai nilai ibadah saja. Di organisasi NU juga ada lembaga Taman Pendidikan Anak (TPA) dan Taman Pendidikan Qur’an (TPQ) ini di bangun atas inisiatif lokal dan remaja masjid sedangkan di Umat Kristiani ada pemuda gereja. Namun dalam hal kerukunan seperti yang dikemukakan P. Markum “bahwa kebiasaan yang ada di pemukiman eks kusta tiap hari hanya Idul Fitri ataupun Natal mereka saling mengunjungi dan bahkan bila umat Kristiani mengadakan Natal Cup maka panitia juga berasal dari muslim begitu juga sebaliknya kalau umat Islam merayakan hari besar yang mengiringi
musiknya dari umat Kristiani. Sistem mekanisme kontrol sosial
terhadap warga secara khusus tidak ada. Hanya
sistem kontrol sosial lebih
dilandasi oleh faktor religi (agama) dan sebagian ketetanggaan.
4.11.2. Jejaring Lembaga Lokal Dengan Lembaga Lain Di Luar Komunitas Pengembangan usaha-usaha produktif yang berbasiskan pada komunitas diharapkan dapat melibatkan stakeholder yang lain (kelembagaan kolaboratif), seperti organisasi pemerintah dan berbagai organisasi lokal. Dalam hal ini penguatan kelembagaan merupakan hal yang penting dalam pemberdayaan komunitas. Apabila dilandasi dengan respon yang baik serta prinsip-prinsip partisipatori, maka hasil pemikiran stakeholders ditingkat lokal atau nasional perlu dikembalikan pada jejaring tingkat komunitas lokal, sehingga rumusanrumusan dari jejaring ini perlu mendapat tanggapan dari seluruh masyarakat. Jejaring kelembagan berbasis komunitas tidak harus diformalkan.
63
Berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai unsur di permukiman eks penderita kusta, Pegawai Panti serta Aparat Desa dan mempelajari berbagai laporan serta berbagai permasalahan yang terjadi, maka ada beberapa stakeholders baik yang sifatnya horizontal maupun vertikal, yaitu : (1) Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur; (2) Rumah Sakit Kusta Glagah Mojokerto; (3) Panti Rehabilitasi Sosial Eks Kusta Nganget; (4) Balai Pengobatan/Unit Rawat Jalan Nganget; (5) Kantor Kesejahteraan Sosial Kabupaten Tuban; (6) Perhutani; (7) Pasar; (8) Puskesmas; (9) Kepala Desa dan Perangkatnya; (10) Rumah Sakit Kabupaten Bojonegoro; (11) Pondok Pesantren/Kyai Nasro’; (12) LDII Cabang Desa Kedungjambe; (13) Lembaga Swadaya Masyarakat. Adapun jejaring sosial tersebut seperti digambarkan di bawah ini : Gambar 7. Jaringan komunitas permukiman eks kusta dengan komunitas luar. Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur Rumah Sakit Kusta Mojokerto
Balai Pengobatan
RS Bojonegoro
Panti Rehabilitasi
Kantor Sosial Kab. Tuban
LDDI Desa
Komunitas Eks Penderita kusta
PUSKESMAS
LSM
LDII
NU KRIS TEN
PERHUTANI
Kyai Nso’/ NU Desa Pendeta Desa
Keterangan :
Garis koordinasi
APARAT DESA
Garis Komando
Hubungan timbal balik
Sumber : Praktek Lapangan II Tahun 2004
64
Mencermati gambar di atas, maka begitu banyak stakeholders yang terlibat dalam jejaring dengan pemukiman eks kusta.
Adapun masing - masing
stakeholders yang mempunyai hubungan dan peranan adalah sebagai berikut : 1. Dinas Sosial Eks penderita kusta adalah salah satu sasaran garapan dari pada Dinas Sosial, maka Dinas Sosial mempunyai kewenangan untuk membantu permasalahan yang dihadapi oleh eks penderita kusta. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan eks kusta Dinas Sosial memberikan bantuan fakir miskin berupa bantuan modal sebesar Rp. 50.000.000,- berupa ternak kambing dan simpan pinjam pupuk pertanian. Dalam memberikan bantuan tersebut langsung melalui Panti Rehabilitasi Sosial Eks Kusta Nganget. 2. Panti Rehabilitasi Sosial Eks Kusta Nganget. Tugas Pokok dan Fungsi Panti Rehabilitasi Sosial Eks Kusta Nganget sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinas Sosial mempunyai baik di dalam maupun diluar panti, disamping secara struktural sebagai
namun secara
kultural eks kusta yang diluar panti mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan panti yaitu pada waktu rumah sakit dulu dan ada sebagian penghuni panti yang mempunyai ikatan keluarga (suami, istri, orang tua, anak) dengan warga eks kusta di luar panti. 3. Balai Pengobatan / Unit Rawat Jalan Nganget. Balai Pengobatan atau Unit Rawat Jalan adalah kepanjangan tangan dari Rumah Sakit Kusta Sumber Glagah Mojokerto yang menangani secara rutin kesehatan eks kusta baik yang berada di dalam panti maupun luar panti. 4. Perhutani Perhutani adalah lembaga yang memberi pinjaman lahan untuk warga eks penderita kusta baik dipergunakan untuk sebagian permukiman maupun ladang/persil. 5. Pondok Pesantren Kyai Nsr adalah pemimpin pondok pesantren yang mempunyai peranan cukup penting khususnya bagi warga Nahdatul Ulama (NU). Karena kepeduliannya terhadap eks penderita kusta, pernah suatu kali seperti yang
65
dikemukakan oleh Pak Rsd “bahwa kalau eks penderita kusta mau, akan diberikan tanah untuk di tempati tidak jauh dari pondok pesantrennya”. 6. RSU Bojonegoro / Puskesmas Penderita eks kusta walaupun sudah dinyatakan sembuh secara medis, namun sebagai manusia pernah juga mengalami sakit. Dengan sakitnya itu mereka berobat ke Rumah Sakit Umum Bojonegoro karena dianggap lebih dekat di banding ke Rumah Sakit Umum Tuban. Rumah Sakit yang ada sekarang belum dilengkapi dengan perawatan khusus bagi eks penderita kusta. 7. Pasar Pasar mempunyai arti yang sangat penting bagi eks penderita kusta. Karena di pasar tersebut terjadi interaksi dan transaksi dengan masyarakat di luar pemukiman. Dengan adanya pasar yang bisa menerima dirinya eks penderita kusta dapat memenuhi kebutuhannya. 8.
Kantor
Kesejahteraan
Sosial
Kabupaten
Tuban
dan
Aparat
Desa
Kedungjambe. Secara administrasi kependudukan eks kusta adalah merupakan warga desa Kedungjambe sekaligus berada dalam wilayah kerja Kantor Kesejahteraan Sosial Kabupaten Tuban, sehingga permasalahan yang terjadi di komunitas eks penderita kusta secara tidak langsung ikut bertanggungjawb. Namun secara wilayah bahwa lahan yang ditempati eks penderita kusta tersebut adalah milik Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur dan Perhutani. 9.
Tiga orang anggota Badan Perwakilan Desa (BPD), desa Kedungjambe berasal dari pemukiman eks kusta, sehingga bila ada aspirasi warga yang berhubungan dengan pemerintahan atau permasalahan yang ada maka bisa langsung menyampaikan aspirasinya lewat anggota Badan Perwakilan Desa tersebut.
10. Lembaga Swadaya Masyarakat seperti Yayasan Kusta Indonesia yang peduli terhadap pengembangan masyarakat dan Yayasan BRE juga memberi bantuan berupa peralatan sekolah dan bahan makanan.
66
Dari 10 lembaga eksternal yang memberi kontribusi langsung adalah Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Nahdatul Ulama (NU), LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) , Panti dan Balai Pengobatan, seperti terlihat dalam tabel 6. Tabel 6. Peta Intervensi Lembaga Eksternal Pada Eks Penderita Kusta di Dusun Nganget Desa Kedungjambe. Tahun 2005.
Elemen Perhatian
LSM LDII
NU
Panti YKI
BRE
Balai Pengobatan
Fokus Program yang ditawarkan
Pembina an mental agama
Pembina an mental agama
Pengembang an Usaha pertukangan kayu
Bantuan peralatan sekolah dan bahan makanan
Pembina an lanjut
Pengobatan
Aspek yang ditonjolkan
Mental/ agama
Mental/ agama
ekonomi
Sosial / charity
Sosial Psikologi
Kesehatan
Pola Pendekatan Pengembang an Program
Pengajian
Pengajian / Tahlilan
Pinjaman modal tanpa bunga
Bantuan sosial
Pendam pingan Sosial sistim konsulta si
Bila sakit datang ke Balai Pengobatan .
Tingkat Keberhasilan
80 %
80 %
30 %
70 %
50 %
50 %
Faktor Utama Kendala Program
Proses yang lama
Proses yang lama
Tidak pernah dilaksanakan monitoring dan evaluasi.
Banyaknya bantuan tidak sama dengan jml orang.
Terbatas nya dana penbina an lanjut
Keterbatas an obatobatan
ringan
Sumber : Hasil wawancara Tahun 2005
4.11.3. Proses Sosialisasi (Pola Pengasuhan dan Sistem Kekerabatan). Pola pengasuhan yang ada di pemukiman eks kusta ada dua hal yang pertama bahwa pola pengasuh anak diasuh oleh orang tua, yang kedua yaitu pola pengasuhan dititipkan di Panti Asuhan. Pola pengasuhan dan sistem kekerabatan di pemukiman eks kusta, seperti hasil
wawancara dengan tiga
tokoh masyarakat yang tidak mempunyai anak, mereka cenderung mengasuh anak dari keluarga. Sistem kekerabatan yang ada masih cukup kuat khususnya bagi sesama penderita / eks penderita kusta . Ini dapat diamati bahwa pola pemberian bantuan yang ada di pemukiman eks penderita kusta bukan berdasarkan pelapisan sosial seperti kaya dan miskin , tapi perasaan senasib mempunyai peranan yang cukup kuat, satu dapat bantuan semua harus dapat
67
bantuan . Jadi sistem kekerabatan yang berlaku di permukiman eks kusta adalah berdasar pada senasib sepenanggungan.
4.11.4. Kelembagaan Masyarakat yang Sudah Mengarah pada Organisasi. Seperti telah diuraikan di atas bahwa di pemukiman eks penderita kusta belum ada kelembagaan yang mengarah pada organisasi sosial kemasyarakatan, namun berdasarkan agama / religi. Lembaga tersebut hanya bergerak di bidang keagamaan.
4.11.5. Hubungan Antar Kelompok Di pemukiman eks penderita kusta dalam hubungan tata kemasyarakatan ada tiga kelompok yaitu Nahdatul Ulama (NU), Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) dan Umat Kristiani. Ketiga lembaga itulah yang paling menonjol yang mendasari kehidupan mereka. Hubungan antara ketiga kelompok tersebut juga mengalami proses asosiatif, namun pernah terjadi juga proses dissosiatif. Proses assosiatif
ini adalah adanya kerjasama antara berbagai lembaga
tersebut walaupun bersifat formal, sedangkan proses dissosiatif terjadi antara penganut Nahdatul Ulama (NU) dan Lembaga Da’wah Islam Indonesia (LDII). Proses dissosiatif ini terjadi karena ada penganut Nahdatul Ulama (NU) yang masuk ke LDII. Permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan musyawarah antara tokoh agama yang ada, dengan melibatkan perangkat keamanan Desa Kedungjambe. Di komunitas eks penderita kusta disamping tiga kelompok dalam tata kemasyarakat terbagi juga dalam tiga kelompok lagi dalam bidang penerimaaan bantuan yaitu kelompok sosial, kelompok kulon kali dan kelompok puncung. Kelompok sosial adalah kelompok yang secara resmi tercatat identitasnya di instansi - instansi pemerintah sedangkan yang lain belum semuanya, disinilah kadang-kadang sering menimbulkan konflik antar warga berkaitan dengan pemberian bantuan.
68
4.12. Sumber Daya Lokal 4.12.1. Hubungan Manusia dengan Ekosistem Hubungan warga dengan ekosistem adalah bahwa mereka sangat bergantung dengan alam sebagai sumber kehidupan dan kesehatan. Adapun hubungan warga eks kusta dengan ekosistem antara lain : 1. Sumber air panas belerang Pemukiman eks kusta dikelilingi oleh sungai air panas (belerang). Fungsi dari air panas (belereng) tersebut adalah untuk membersihkan diri / mandi, menghilangkan kesemutan serta gatal-gatal yang dialaminya. Walaupun mereka sudah dinyatakan sembuh dari baksil kusta namun bekas luka, biasanya kambuh bila dibuat bekerja, mereka merasa nyaman kalau sudah berendam di air panas. Bagi para eks penderita kusta mereka dibuatkan tempat khusus berupa jendingan. (tempat mandi eks penderita kusta berupa bak
mandi yang besar dan dikelilingi tembok yang khusus dipergunakan
mandi eks penderita kusta yang ada di permukiman eks penderita kusta Dusun Nganget). 2. Hutan Lokasi pemukiman eks kusta berada di pinggiran hutan oleh sebab itu alam menjadi tempat menyadarkan kehidupannya. Kayu khususnya jati sebagai komoditi yang sangat menggiurkan bagi mereka, maka ada sebagian eks kusta yang mengandalkan hidup dengan menjadi pengusaha meubel ataupun pedagang kayu baik yang ilegal maupun legal, mereka itulah yang secara ekonomi lebih mapan. Selain mereka mengandalkan kayu jati juga sebagai penggarap ladang / tegalan milik Perhutani,belum ada aturan yang mengikat, berapa luas mereka membuka lahan / tegalan. Sesuai yang dikemukakan oleh Pak Rsl (ketua RT 05) “bahwa tanah perhutani yang dikerjakan oleh eks kusta kurang lebih 6 Ha untuk ladang dan 4,5 Ha untuk perumahan atas izin ADM / sinder ataupun Muspika”. Antara pihak perhutani dan warga penggarap ladang terjamin kerjasama seperti apabila perhutani membuat jalan di hutan, menanam kembali jati / reboisasi maka eks kusta yang mengerjakan.
69
3. Sawah Sawah, ladang dan hutan tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan eks kusta. Sawah yang dikerjakan oleh eks kusta adalah milik Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur, luas tanah pertanian yang dikelola eks kusta yaitu 2,5 Ha di bagi dalam 44 petak dikerjakan oleh 44 KK dengan kriteria eks penderita kusta yang masih potensial artinya secara fisik masih mampu mengerjakan pekerjaan pertanian. Kesepakatan yang terjadi antara Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur yang dalam hal ini diwakili Panti Rehabilitasi Sosial Eks Kusta Nganget, yaitu bahwa pihak eks kusta hanya mampu membayar sewa sebesar sepuluh ribu rupiah setiap kali panen. Dalam setahun tiga kali panen.
4.12.2. Sistem Penguasaan Sumber Daya Agraris Sistem penguasaan sumber daya agraris di pemukiman eks kusta adalah sebagai berikut : 1. Tanah milik Aryodiningrat Tanah
milik
Aryodiningrat
ini
seluas
9904
M2
digunakan
untuk
lapangan/padang pengembalaan merupakan hak pakai. 2. Tanah milik Negara a. Milik Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur Tanah Milik Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur ini seluas 132.795 M2 yang terbagi dalam : Kantor dan Perumahan, tanah bangunan seluas 27.100 M2 Pertanian tanah ladang 20.700 M2 Pertanian tanah sawah 15.270 M2 Pemukiman eks penderita kusta dan pertanian, tanah tegalan seluas 69.720 M2. b. Milik Perhutani digunakan untuk berladang bagi 64 orang eks penderita kusta dan sebagian lagi untuk permukiman.
70
4.12.3. Tekanan Penduduk Terhadap Sumber Daya Luasan tanah dalam suatu wilayah tidak akan berubah, sementara jumlah penduduk terus bertambah. Akibatnya dengan meningkatkan jumlah penduduk maka besarnya rasio manusia – lahan yaitu perbandingan antara jumlah manusia dan luas lahan di suatu daerah, semakin meningkat, meskipun nilai suatu lahan sangat dipengaruhi oleh tingkat kebudayaan masyarakat yang mendiami (Rusli 1996 ). Menurut Erlich dan Erlich ( 1990) dalam Rusli (1996) kelebihan penduduk akan terjadi jika suatu daerah sudah tidak mampu lagi mendukung penduduknya tanpa merusak secara cepat menguras sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui dan tanpa menurunkan kualitas lingkungan. Kondisi hutan yang ada di sekitar permukiman eks kusta seperti fenomena yang terjadi di hampir seluruh Indonesia bahwa terjadi penebangan yang tidak terkendali sehingga hutan habis dan merusak lingkungan.
Ini berakibat pada kehidupan yang semakin sulit bagi
warga eks penderita kusta dan keturunannya. Adapun cara eks penderita kusta dalam mengatasi permasalahan
tersebut
adalah dengan : 1. Menitipkan anak di panti asuhan atau di keluarga. Eks penderita kusta dalam kehidupan sehari-harinya untuk memenuhi kebutuhan hidup sangat minim bahkan kadang-kadang kurang maka untuk mengurangi beban kehidupan anak dititipkan ke panti asuhan. Dari segi sosial maka untuk menghindari stigma maka anak dititipkan pada panti asuhan atau keluarga. 2.
Seleksi yang cukup ketat migrasi masuk. Tugas Ketua Rukun Tetangga /Rukun Warga disamping membantu pemerintah dan juga menyeleksi orang yang masuk di pemukiman tersebut.
3.
Banyak keturunan eks kusta yang mencari pekerjaan diluar pemukiman bahkan menjadi Tenaga Kerja Indonesia.
71
4.12.4. Lembaga yang Berhubungan Dengan Sumber Daya Alam Di Pemukiman Eks Kusta Dusun Nganget belum ada lembaga yang mengurusi masalah pengolahan sumber daya alam masih bersifat individu, bahkan hutan yang dulu masih lebat sekarang sudah gundul.
4.13. Permasalahan-permasalahan di Komunitas. Permasalahan - permasalahan yang dirasakan oleh komunitas eks penderita kusta di permukiman antara lain : 1. Masalah sosial/psikologi Masalah pembinaan mental karena adanya sifat minder yang dialami oleh eks penderita kusta bila harus bergaul dengan masyarakat luas, ini akibat stigma yang diberikan masyarakat kepada eks penderita kusta. 2. Masalah kesehatan Masalah kesehatan juga merupakan permasalahan yang sangat krusial karena sarana dan prasarana kesehatan sangat terbatas. Balai Pengobatan yang berada di panti kurang memadahi untuk melayani eks penderita kusta baik di dalam panti maupun diluar panti. 3. Masalah Perekonomian Masalah perekonomian berkaitan dengan banyak faktor antara lain belum terbukanya akses (jejaring) bagi warga eks penderita kusta, keuletan, mental, ini berakibat pada tingkat pendapatan yang rendah sehingga dalam pemberian bantuan harus selektif mana bantuan yang sifatnya bergulir dan tidak, sehingga program dapat berkelanjutan. 4 Masalah Pendidikan Masalah pendidikan juga dirasakan menjadi permasalahan di permukiman eks penderita kusta baik pendidikan formal maupun non formal karena sebagian besar komunitas berpendidikan Sekolah Dasar dan tidak sekolah serta kurangnya mengikuti pendidikan non formal sehingga berpengaruh pada perkermbangan komunitas tersebut.
72
V. EVALUASI KEGIATAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Salah satu hal yang penting dalam pelaksanaan suatu kegiatan/proyek adalah adanya keberhasilan dari suatu kegiatan/proyek yang telah atau sedang dilakukan. Demikian halnya dalam upaya pengembangan masyarakat, untuk mengetahui berhasil dan tidaknya suatu kegiatan, maka memerlukan evaluasi. Evaluasi program atau proyek pengembangan masyarakat diperlukan untuk : 1.
Mengukur
perubahan
ataupun
kemajuan
yang
dicapai
oleh
suatu
program/proyek. Perubahan tersebut dapat diamati pengaruhnya terhadap peningkatan
kesejahteraan
anggota
baik
individu,
kelompok
atau
masyarakat. 2.
Meningkatkan pemahaman mengenai faktor positif dan negatif yang memberikan
kontribusi
bagi
keberhasilan
atau
kegagalan
suatu
program/proyek. Sebagai contoh kondisi sumber daya alam, kebutuhan masyarakat, sikap dan perilaku individu/kelompok dalam memandang suatu program/proyek. 3.
Memahami
kendala-kendala
program/proyek.
Bagaimana
yang
dialami
suatu
pelaksanaan
individu/kelompok/komunitas
lokal
memecahkan permasalahan tersebut. Apakah ada saluran-saluran informal untuk memecahkan permasalahan tersebut. 4.
Sebagai dasar pengambilan keputusan yang tepat bagi tindakan yang akan dilaksanakan pada masa yang akan datang yang didasarkan pada analisis dan pembahasan suatu program/proyek. Kegiatan
pengembangan
masyarakat
di
Dusun
Nganget
Desa
Kedungjambe Kecamatan Singgahan, yang dievaluasi dalam praktek lapangan II adalah (1) program pendidikan Taman Kanak-Kanak ; (2) Program bantuan kesejahteraan sosial Kelompok Usaha Bersama
73
5.1. Program Pendidikan Taman Kanak- Kanak di Dusun Nganget. 5.1.1. Deskripsi Kegiatan Pogram Pendidikan Taman Kanak-Kanak yang berada di Dusun Nganget adalah atas inisiatif warga masyarakat itu sendiri. Latar belakang didirikan Taman Kanak-Kanak tersebut adalah bahwa tempat pendidikan untuk anak- anak yang selama ini adalah di luar Dusun yaitu di desa Kedungjambe dengan jarak tempuh kira-kira 4 Km.
Seperti diketahui bahwa warga eks penderita kusta karena
penyakit yang dideritanya banyak yang mengalami kecacatan fisik. Dengan keberadaan yang dialaminya menyebabkan orang tua kesulitan untuk mengantar anaknya ke sekolah yang berada di luar dusun. Disamping itu masyarakat desa Kedungjambe juga belum sepenuhnya bisa menerima keberadaan warga eks penderita kusta, walaupun anak-anak
mereka tidak mengalami sakit seperti
yang dialami oleh orang tuanya. Jumlah anak usia sekolah Taman Kanak – Kanak di Dusun Nganget mencapai 22 anak atau 4,74 % dari jumlah penduduk. Kondisi tersebut memunculkan inisiatif lokal untuk mendirikan Taman Kanak – Kanak. Beberapa kendala yang dihadapi tokoh masyarakat/agama/ketua RT membicarakan dan masyarakat berkenaan dengan pendirian Taman KanakKanak antara lain : (1) Siapa kira-kira yang mau mengajar di Permukiman ? (2) Dimana akan melaksanakan kegiatan belajar mengajar ? (3) Apa kira-kira warga masyarakat mampu untuk membayar guru ? (4) Bagaimana untuk biaya operasionalnya dan macam –macam kebutuhan yang lain. Berbagai
pertanyaan
yang
ada
tersebut
akhirnya
masing-masing
RT
membicarakan melalui musyawarah. Dalam pembicaraan tersebut wali murid hanya sanggup membayar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah) setiap bulannya. Dengan kesanggupan tersebut akhirnya tokoh masyarakat/agama/Ketua RT masingmasing mencari guru yang mau mengajar di Taman Kanak – Kanak tersebut. Dengan kegigihan para tokoh tersebut akhirnya menemukan guru yang mau mengabdi walaupun dengan gaji Rp. 40.000,- termasuk biaya operasional, nama guru tersebut adalah Ibu Rmh (37) yang bertempat tinggal di desa Kedungjambe kira-kira 5 km dari lokasi permukiman. Setelah menemukan guru yang tanpa pamrih dan peduli terhadap nasib pendidikan eks penderita kusta tersebut, akhirnya warga dihadapkan pada permasalahan yang lain seperti dimana kegiatan belajar mengajar akan dilaksanakan, akhirnya warga yang diwakili oleh
74
beberapa tokoh masyarakat (Rsl, Kyai Ysf, Rso, Ryd dan Mkn ) memberanikan diri untuk menghadap Kepala Panti Rehabilitasi Eks Penderita Kusta. Di lingkungan panti ada bangunan yang tidak dimanfaatkan untuk kegiatan panti, karena untuk kepentingan pendidikan maka kepala panti
memperbolehkan,
namun dengan syarat bahwa bangunan tersebut harus dipelihara, untuk biaya perawatan dan operasional harus ditanggung oleh warga masyarakat sendiri. Dari beberapa permasalahan atau kendala sudah teratasi maka untuk biaya operasional kegiatan sekolah serta sarana dan prasarana dimusyawarahkan lagi di tingkat RT. Dalam musyawarah tersebut akhirnya disetujui bahwa yang akan memyumbang sarana yang prasarana adalah warga masyarakat yang mempunyai usaha meubel, adapun barang-barang yang diperlukan
seperti bangku, kursi dan
papan tulis. Dengan kesepakatan tersebut akhirnya sampai sekarang di Taman Kanak-Kanak tersebut tersedia sarana: meja 10 buah, kursi 20 buah, alat bermain satu buah dan alat peraga tiga buah. Disamping swadaya komunitas lokal juga ada bantuan dari Sekretaris Desa berupa kusrsi sebanyak 10 buah. Akhirnya dengan keberadaan yang sangat sederhana, tepatnya tanggal 13 April 2004 memberanikan diri membuat edaran mulai tahun anggaran 2004-2005 akan dibuka
pendaftaran
“TK
BHAKTI
HUSADA
DUSUN
NGANGET
DESA
KEDUNGJAMBE, SINGGAHAN, TUBAN”. Dengan jumlah murid sebanyak 20 orang. Karena sudah beroperasional secara formal maka perlu adanya pengesahan dari Dinas Pendidikan, maka oleh warga didaftarkan ke Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Singgahan melalui Yayasan Bina Putra yang sudah dibentuk oleh warga eks penderita kusta sejak tahun 1989. Melalui yayasan tersebut akhirnya TK BHAKTI HUSADA
bergerak untuk mencari
donatur. Dengan demikian bahwa berdirinya Taman Kanak-Kanak tersebut merupakan swadaya warga masyarakat.
5.1.2. Pengembangan Ekonomi Masyarakat Program pendidikan Taman Kanak-Kanak tidak berhubungan langsung dengan pertumbuhan
ekonomi,
namun
untuk jangka
panjang
diharapkan
akan
berpengaruh pada peningkatan Sumber Daya Manusia, dengan meningkatnya Sumber Daya Manusia akan meningkatkan daya saing bagi pertumbuhan ekonomi di masa yang akan datang. Manfaat yang dirasakan oleh warga
75
permukiman secara ekonomi justru akan menambah pengeluaran rumah tangga. Namun untuk investasi jangka panjang akan sangat menguntungkan dengan meningkatnya Sumber Daya Manusia.
5.1.3. Aspek Psikologi Sosial Dalam pengembangan modal dan gerakan sosial yaitu dengan adanya identitas sosial dan akhirnya menimbulkan sikap sosial. Dalam sikap sosial tersebut ada dua komponen yaitu keyakinan dan perasaan, dan kedua komponen ini muncul bersama-sama. Aspek perasaan yang sering dipelajari adalah evaluasi. Evaluasi kita menyangkut apakah suatu identitas sosial tertentu baik atau jahat, menyenangkan atau tidak menyenangkan suatu kelompok menjadi disukai atau tidak disukai. Evaluasi dapat dibedakan menjadi direction dan intensity . Direction atau arah menyangkut apakah sikap kita positif atau negatif terhadap identitas sosial tertentu. Arah positif disebut sosial esteem atau penghargaan sosial, sedangkan arah negatif disebut prejudice atau prasangka. Bila dikaitkan dengan eks penderita kusta maka keberadaannya dalam masyarakat yang lebih luas masuk dalam kategori prejudice atau prasangka. Seperti yang dialami oleh salah salah eks penderita kusta saat mengantar anaknya sekolah di Taman KanakKanak di desa Kedungjambe Pak Tyo (54) mengemukakan bahwa : ” … saat saya mengantarkan anak di TK desa Kedungjambe banyak orang tua murid yang lain melihat saya dengan perasaan aneh, dan sangat menyakitkan sekali saat anak saya mau duduk dengan murid yang lain, tapi orang tua murid tersebut tidak mengijinkan, katanya takut ketuluaran penyakit …..“. Dengan adanya akumulasi dari berbagai pengalaman yang dialaminya akhirnya muncullah gerakan sosial yang dikoordinir oleh beberapa orang antara lain tokoh masyarakat/agama.
5.1.4. Pengembangan Modal Sosial dan Gerakan Sosial Social Capital Menurut Bank Dunia (1999) dalam Tonny (2004) merujuk pada institusi, relasi dan norma-norma yang membentuk kuantitas dan kualitas interaksi sosial di dalam masyarakat. Sedangkan modal sosial (sosial capital) menurut Fukuyama (2000), dalam Tonny (2004) diartikan sebagai seperangkat
76
nilai-nilai internal atau norma-norma yang disebarkan di antara anggota-anggota suatu kelompok yang mengijinkan mereka untuk bekerjasama antara satu dengan yang lain. Ia menambahkan bahwa prasyarat penting munculnya modal sosial adalah adanya kepercayaan (trust), kejujuran (honesty), dan timbal bailk (resiprocity). Modal sosial memiliki empat dimensi antara lain (1) Integrasi yaitu ikatan yang kuat antar anggota masyarakat; (2) Linkage (pertalian) yaitu ikatan dengan komunitas lain di luar komunitas asal; (3) Integritas organisasional yaitu keefektifan dan kemampuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya; dan (4) Sinergi yaitu relasi antara pemimpin dengan institusi pemerintahan (Colletta & Cullen ; 2000) dalam Tonny (2004) Bila penulis telaah secara sederhana dalam konteks program berdirinya Taman Kanak-Kanak ditinjau dari modal sosial yang dikemukan oleh Bank Dunia dan Fukuyama serta empat dimensi modal sosial maka dalam masyarakat yang sangat sederhana pun sedikit banyak sudah menggunakan atau memanfaatkan modal sosial dalam mengembangkan komunitasnya. Seperti yang dikemukakan oleh Bank Dunia bahwa ternyata komunitas eks penderita kusta memanfaatkan institusi RT (Rukun Tetangga) dan interaksi sosial warga yang tergambung dalam kumpulan RT (Rukun Tetangga) sebagai media mencetuskan suatu gagasan. Begitu juga seperti yang dikemukakan Fukuyama (2000) dalam Tonny (2004) dalam mewujudkan inisiatifnya mereka memanfaatkan kerjasama antar warga dalam menyediakan sarana dan prasarana Taman Kanak-Kanak juga antar anggota masyarakat saling percaya, jujur serta adanya timbal balik dalam mewujdkan berdirinya Taman Kanak-Kanak. Ditinjau dari dimensi modal sosial secara sangat sederhana komunitas eks penderita kusta juga masuk pada dimensi keempat yaitu sinergi. Secara integrasi mereka
mempunyai
ikatan
sangat
kuat
karena
faktor
senasib
dan
sepenanggungan, secara linkage (pertalian) mereka bisa membangun relasi dengan orang luar komunitas yaitu ibu guru Taman Kanak-Kanak dan mendudukan ketua yayasan Bina Putra juga berasal dari luar komunitas. Integrasi ini bisa dijalankan panti sebagai institusi negara dapat memberikan fasilitas milik panti untuk kegiatan masyarakat di sekitar panti. Sedangkan secara sinergi dapat dijalankan oleh masing-masing ketua RT, tokoh masyarakat/agama dengan institusi pemerintahan yang dalam hal ini diwakili oleh panti.
77
Gerakan sosial dalam program ini sudah dijelaskan dengan adanya Taman Kanak-kanak akan membawa perubahan nilai, norma, sistem kepercayaan dan budaya ke arah yang lebih baik seperti yang dikemukakann oleh Ibu Rmh (37) (Guru TK) bahwa: “….waktu saya baru masuk pertama kali di Taman Kanak-kanak ini, pembicaraan anak-anak disini sangat kasar dan tidak mengenal etika, tidak seperti kampung – kampung lain, pada saat saya menganjar di TK sebelumnya, namun setelah saya mengajar kurang lebih satu tahun sudah ada perubahan dalam cara bicara dan pergaulan……..”. Seperti dijelaskan di atas bahwa Gerakan sosial ( social movement ) menurut Baldridge (1986 ) dalam Tonny dan Utomo (2004) yaitu : “….. suatu bentuk perilaku atau tindakan kolektif yang melibatkan sekelompok orang yang membaktikan diri untuk mendorong atau sebaliknya menolak suatu perubahan sosial”. Perilaku kolektif menurut Sunarto (1993 ) dalam Tonny dan Utomo (2004) ….. “ perilaku yang dilakukan bersama oleh sejumlah orang, tidak bersifat rutin dan merupakan tanggapan terhadap rangsangan tertentu “. Bahwa untuk mengadakan perubahan di permukiman eks penderita kusta maka dalam diri masyarakat sendiri sudah ada gerakan sosial ini akbiat dari ketertindasan sosial seperti yang dikemukakan oleh Engels & Marx (1989) dalam Tonny dan Utomo (2004) dengan teori asal mula gerakan sosial menggariskan bahwa kondisi sosial ekonomi yang sangat buruk menjadi alasan untuk seseorang memutuskan bahwa tidak ada ruginya bergabung dalam suatu gerakan sosial revolusioner. Seperti dijelaskan pula oleh Giddens, (1990); Komblum, (1988); Light, Keller dan Calhoun (1989), dalam Tonny dan Utomo (2004) bahwa mereka mengaitkan gerakan sosial dengan deprivasi ekonomi dan sosial. Menurut penjelasan ini orang melibatkan diri dalam gerakan sosial karena menderita deprivasi (kehilangan, kekurangan, penderitaan), misalnya dibidang ekonomi (seperti hilangnya peluang untuk dapat memenuhi kebutuhankebutuhan pokoknya: pangan, sadang, papan). Bila ditelaah lebih mendalam bahwa gerakan sosial yang diaktualisasikan eks penderita kusta melalui pendidikan seperti Taman Kanak-Kanak adalah bisa dikatakan akibat kondisi sosial ekonomi yang sangat buruk dan adanya deprivasi ekonomi dan sosial . Secara ekonomi eks penderita kusta sangat sulit untuk mengakses sumber-sumber ekonomi ini disebabkan mereka tidak mempunyai
78
aset untuk dianggunkan atau kalau ada modal akan kesulitan untuk pemasaran karena masih ada ketakutan dari masyarakat bila harus membeli produk-produk eks penderita kusta. Untuk mengoptimalkan gerakan tersebut akhirnya mereka bermusyawarah bahwa pengelolaan Taman Kanak-Kanak dimasukan dalam Yayasan Bina Putra yang sudah sejak lama didirikan oleh warga permukiman eks penderita kusta. Bahkan supaya dapat bergerak dengan leluasa mereka memilih ketua yang berasal dari orang luar permukiman dengan harapan dapat memperjuangkan aspirasi mereka warga eks penderita kusta yang berada di Dusun Nganget Desa Kedungjambe Kecamatan Singgahan Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur.
5.1.5. Kebijakan dan Perencanaan Sosial Kebijakan sosial adalah seperangkat tindakan (course of action), kerangka kerja (framework), petunjuk (guideline), rencana (plan), peta (map) atau strategi, yang dirancang untuk menterjemahkan visi politis ‘lembaga pelayanan publik ‘ ke dalam program dan tindakan untuk tujuan tertentu di bidang kesejahteraan sosial (sosial welfare). Istilah publik umumnya dikaitkan dengan urusan pemerintah (government). Namun, belakangan ini makna publik merujuk pada ‘urusan orang banyak ‘ dalam konteks ‘kepemerintahan’ atau ‘tatakelola’ (governance). Dengan demikian, kebijakan sosial adalah kebijakan publik yang tidak lagi merupakan domain pemerintah, melainkan pula badan – badan swasta sejauh berurusan dengan kepentingan orang banyak. Perencanaan (planning) adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan guna memilih alternatif terbaik dari sejumlah alternatif yang ada untuk mencapai tujuan tertentu. Secara singkat perencanaan adalah ‘proses membuat rencana (plan). Dengan demikian perencanaan sosial adalah proses membuat ‘rencana sosial’. Sebagaimana tercermin dalam pernyataan Conyers (1984) dalam Suharto (2004) perencanaan sebaiknya tidak dipandang sebagai aktifitas yang terpisah dari kebijakan, tetapi sesuatu bagian dari proses pengambilan keputusan yang amat kompleks yang dimulai dari perumusan tujuan kebijakan serta sasaran yang lebih luas kemudian dikembangkan melalui tahapan-tahapan dimana tujuan kebijakan ini diterjemahkan ke dalam bentuk rencana (plan) yang lebih rinci bagi program dan proyek khusus yang selanjutnya dilaksanakan secara nyata.
79
Bila ditelaah secara sederhana apa yang dilaksanakan oleh warga komunitas eks penderita kusta merupakan
dengan didirikannya pendidikan Taman Kanak-Kanak
proses
kebijakan
dan
perencanaan
sosial.
Kebijakan
dan
perencanaan sosial yang lahir dari masyarakat, dimana setelah masyarakat tersebut mengalami berbagai tekanan dari berbagai pihak. Dengan tekanan tersebut akhirnya masyarakat membuat perencanaan dengan melakukan berbagai kegiatan guna memilih alternatif yang terbaik dari sejumlah alternaif yang baik bagaimana supaya Taman Kanak-Kanak berjalan dengan kondisi komunitas yang serba terbatas. Seperti dimana lokasi yang dapat dipakai untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar, apakah tempat tersebut di tengahtengah permukiman dengan resiko
semua biaya operasional dan gaji guru,
sarana dan prasarana ditanggung oleh masyarakat atau bekerjasama dengan panti dengan meminjam sarana milik panti dan lain sebagaimana yang berkaitan dengan pelaksanaan keberlangsungan Taman Kanak-Kanak tersebut. Dengan berdirinya Taman Kanak – Kanak tersebut bukan hanya masalah pendidikan tetapi juga menyangkut permasalahan kesejahteraan sosial yang dialami oleh eks penderita kusta sedikit demi sedikit bisa diselesaikan oleh masyarakat itu sendiri.
5.1.6. Evaluasi Program Taman Kanak-Kanak Pengembangan
masyarakat
mempunyai
tujuan
mengembangkan
tingkat
kehidupan dan mempunyai cakupan seluruh komunitas. Pendekatan komunitas biasanya memecahkan permasalahan dan menjadi kepentingan dan kebutuhan hampir semua warga. Pengembangan masyarakat diartikan sebagai : “Community development is a movement designed to promote better living for the whole community with the active participation and the intiative of the community”. (Brokensha dan Hodge, 1969, dalam Adi 2001). (Pengembangan
masyarakat
adalah
gerakan
yang
dirancang
untuk
meningkatkan kehidupan seluruh komunitas dengan partisipasi aktif dan atas prakarsa komunitas). Disebutkan juga pengembangan masyarakat menurut Brokensha dan Hodge (1969)
dalam Adi (2001). Bersumber dari disiplin pendidikan juga, terutama
80
perluasan pendidikan di tingkat pedesaan (rural extension program). Sedang bagi
daerah
perkotaan
mereka
mengembangkan
organisasi
komunitas
(community organization) yang bersumber dari Ilmu Kesejahteraan Sosial, dan diawali pada tahun 1873. Bila ditelaah secara sederhana maka apa yang dilakukan oleh eks penderita kusta merupakan pengembangan masyarakat dimana mereka membuat gerakan untuk merancang bagaimana meningkatkan kehidupannya dengan gerakan mendirikan Taman Kanak-Kanak yang diorganisasi melalui kumpulan Rukun Tetangga (RT) sampai dengan Yayasan Bina Putra yang didirikan oleh eks penderita kusta itu sendiri. Dan juga seperti yang dikemukakan oleh Brokensha dan Hodge yang bersumber dari disiplin pendidikan terutama perluasan pendidikan di tingkat pendesaan (rural extension program). Namun demikian dalam pelaksanaanya masih perlu pengorganisasian yang lebih baik melalui kerjasama yang kuat dari berbagai kelembagaan yang ada di Dusun Nganget maupun luar dusun. Berdirinya Taman Kanak-Kanak di Dusun Nganget merupakan kebutuhan dari seluruh warga dusun. Ditinjau dari dimensi modal sosial menurut Woolcock (1997) dalam Tonny (2004) secara sangat sederhana komunitas eks penderita kusta juga masuk pada dimensi keempat yaitu sinergi. Secara integrasi mereka mempunyai ikatan sangat kuat karena faktor senasib dan sepenanggungan, secara linkage (pertalian) mereka bisa membangun relasi dengan orang luar komunitas yaitu ibu guru Taman Kanak-Kanak dan mendudukan ketua yayasan Bina Putra juga berasal dari luar komunitas. Integrasi ini bisa dijalankan panti sebagai institusi negara dapat memberikan fasilitas milik panti untuk kegiatan masyarakat di sekitar panti. Sedangkan secara sinergi dapat dijalankan oleh masing-masing ketua Rukun Tetangga, tokoh masyarakat/agama dengan institusi pemerintahan yang dalam hal ini diwakili oleh panti. Dengan demikian dapat diyakini bahwa program Taman Kanak-Kanak yang berada di Dusun Nganget Kecamatan Kedungjambe akan dapat berkelanjutan.
81
5.2. Program Bantuan Kesejahteraan Sosial Kelompok Usaha Bersama Di Nganget Kecamatan Singgahan 5.2.1. Deskripsi Kegiatan Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) adalah suatu kelompok yang dibentuk oleh warga-warga /keluarga-keluarga binaan sosial yang terdiri dari orang-orang / keluarga kurang mampu (pra sejahtera) yang menerima pelayanan sosial melalui kegiatan Program Pembinaan Kesejahteraan Sosial (Prokesos). Penerima bantuan stimulan pemberdayaan adalah para Keluarga Binaan Sosial (KBS) yang tergabung dalam KUBE, namun kondisi usaha ekonomi produktifnya mengalami hambatan dan/atau kegagalan dan memerlukan bantuan tambahan modal usaha. Kelompok Usaha Bersama terdiri atas sepuluh orang fakir miskin yang telah terpilih melalui seleksi sebagai Keluarga Binaan Sosial (KBS). Adanya kemauan anggota Kelompok Usaha Bersama (KUBE) untuk bekerja secara kelompok. Adanya kelompok minat dari anggota untuk melaksanakan suatu jenis usaha (UEP/KUBE) melalui kegiatan kelompok. Proses Pembentukan Kelompok yaitu melalui : (1) Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dibentuk berdasarkan musyawarah bersama antar anggota
(hasil seleksi) Keluarga Binaan Sosial
(KBS) Program Bantuan Kesejahteraan Sosial; (2) Penentuan jenis usaha kelompok dilakukan atau dilaksanakan oleh anggota kelompok sesuai dengan potensi alam yang ada; (3) Terhadap kelompok yang sudah terbentuk diberikan latihan keterampilan sesuai dengan jenis usaha yang akan dilaksanakan; (4) Pemberian bantuan sarana dan prasarana. Mekanisme pengembangan bantuan stimulan dikembangkan menjadi tiga bagian yaitu: (1) Pengelolaan Usaha Ekonomis Produktif. Bantuan stimulan berupa bahan dan peralatan yang diserahkan kepada masingmasing kelompok merupakan hak milik kelompok. Oleh karena itu pengelolaan dan pengembangannya menjadi tanggungjawab bersama. Beberapa cara pengelolaan bantuanyang dapat dilakukan (sesuai kesepakatan kelompok) antara lain :
82
(a) Pengelolaan Bantuan Secara Kolektif. Bahan dan peralatan yang diterima dikelola secara bersama-sama oleh seluruh anggota kelompok dengan mengutamakan azas kebersamaan dengan cara mengadakan pembagian kerja secara adil dan merata. Didalam kegiatan ini,tidak dibenarkan anggota (Keluarga Binaan Sosial) diperlakukan sebagai buruh. (b) Pengelolaan Bantuan Secara Perorangan Karena berbagai pertimbangan tertentu tidak dapat dikelola secara kolektif (misalnya tempat tinggal saling berjauhan, jenis usaha yang beraneka ragam) maka bantuan stimulus dapat dikelola secara perorangan dengan catatan bahwa kegiatan tersebut masih terkait dengan kepemilkan kelompok, sehingga kepada yang bersangkutan (pengelola) tetap dikenakan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi sesuai dengan kesepakatan kelompok. (2) Pengguliran IKS ( melalui dana Iuran Kesetiakawanan Sosial) Setiap Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang mendapatkan bantuan diwajibkan melaksanakan pengguliran kepada warga lain yang membutuhkan disekitarnya secara perorangan maupun secara kelompok (KUBE lain yang telah atau akan dibentuk). Mengingat bantuan yang diterima adalah bahan dan peralatan usaha ekonomis produktif, maka penggulirannya adalah berupa uang yang dikumpulkan melalui Iuran Kesetiakawanan Sosial (IKS). Besarnya nilai IKS dan kapan mulai mengumpulkannya ditentukan berdasarkan kesepakatan kelompok dengan mempertimbangkan kondisi dan hasil usaha serta rasa kesetiakawanan sosial seluruh anggota kelompok. Disamping untuk memberi bantuan keluarga yang belum mendapat bantuan (melalui penguliran) dan IKS yang terkumpul dapat juga dipergunakan untuk : (a) Apabila sangat diperlukan dapat dipergunakan untuk penambahan madal usaha ekonomis produktif atau penganekaragaman usaha ; (b) Sebagai modal kegiatan Jaminan Kesejahteraan Sosial (JKS). (3) Pembagian Keuntungan. Setelah usaha ekonomis produktif yang dikelola dapat berjalan dengan lancar dan memiliki keuntungan maka seluruh Keluarga Binaan Sosial dapat meninkmati hasil keuntungan usaha tersebut. Pembagian hasil keuntungan usaha
ditentukan
berdasarkan
kesepakatan
kelompok
dengan
83
mempertimbangkan keaktifan dan prestasi kerja dalam pengelolaan usaha baik secara kolektif maupun perorangan.
Pelaksanaan Program di lapangan Kegiatan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang berada di permukiman eks penderita kusta di dusun Nganget Desa Kedungjambe Kecamatan Singgahan Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur dimulai pada bulan Oktober 2004. Sumber pembiayaan berasal dari APBN yang dialirkan melalui Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur dengan Bagian Proyek Bantuan Kesejahteraan Sosial Tahun 2004. Dalam mekanisme pembinaan yang dilakukan oleh Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur untuk menangani KUBE yang berada di Dusun Nganget Desa Kedungjambe Kecamatan Singgahan Kabupaten Tuban berbeda dengan daerah lain . Proses pembinaan KUBE di Dusun Nganget mekanismenya adalah : Pembina Tingkat I / Provinsi adalah Kepala Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur, langsung kepada Kepala Panti Rehabilitasi Penderita Eks Kusta seterusnya ke Pendamping Sosial yang terdiri dari tiga
pejabat eselon empat selanjutnya
dibentuk pengurus KUBE sebanyak enam orang yang berasal dari tokoh – tokoh masyarakat/agama/ketua RT di lingkungan komunitas
eks penderita kusta
selanjutnya Kelompok KBS-KUBE. Ini dimaksudkan secara kultur eks penderita kusta yang berada di Dusun Nganget masih mempunyai ikatan kekeluargaan /kekerabatan sehingga nilai-nilai kepercayaan diantara keduanya yaitu eks penderita kusta yang bermukim disekitar panti dan institusi panti sendiri masih begitu kuat ini bisa dijadikan modal sosial untuk keberlangsungan suatu program. Pendekatan yang digunakan dalam Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dan Simpan Pinjam adalah secara partisipatif . Hal ini dikemukakan oleh salah satu pengurus KUBE Pak Rsl (60) yang menyatakan bahwa : “ ….walaupun program KUBE itu dari Dinas Sosial/Pemerintah namun yang menentukan kebutuhan adalah warga masyarakat sendiri melalui musyawarah pengurus KUBE. Hasil musyawarah dilaporkan pada Kepala Panti …” Pemberian bantuan modal melalui Bagian Proyek Bantuan Sosial Fakir Miskin tahun 2004 kepada 50 KK (lima kelompok usaha bersama/KUBE) sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) yang diwujudkan dalam bentuk kambing
84
gibas masing-masing kelompok 20 ekor dan sisa uang dijadikan modal simpan pinjam,. Sebelum bantuan turun tidak pernah diadakan penyuluhan dan bimbingan sosial oleh Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur. Seleksi dilaksanakan oleh tokoh masyarakat/agama/ketua RT yang terbentuk dalam pengurus KUBE, selanjutnya nama-nama tersebut diserahkan kepada panti. Dari panti selanjutnya diteruskan ke Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur selanjutnya ditetapkan sebagai penerima bantuan Program Kesejahteraan Sosial Tahun 2004. Wujud dari Program Bantuan tersebut berupa KUBE Usaha Ternak Kambing dan Usaha Simpan Pinjam sebagai hasil musyawarah dari anggota kelompok dan pengurus.
1. Usaha Ternak Kambing Sesuai dengan musyawarah penerima KUBE dan Pendamping pada tahap awal dana bantuan dari anggaran bagian proyek bantuan sosial fakir miskin tahun 2004 dibelikan kambing gibas betina 100 ekor yang masing–masing kelompok mendapatkan 20 ekor kambing gibas dengan dana Rp.28.530.000,(dua puluh delapan juta lima ratus tiga puluh ribu rupiah). Adapun lima kelompok KUBE yang masing – masing kelompok berjumlah 10 orang yang terdiri dari satu orang ketua, satu orang sekretaris, satu orang bendahara dan tujuh orang anggota, dengan perincian sebagai berikut : Tabel 7. Nama Ketua KBS - KUBE dan Jumlah Bantuan KUBE Dusun Nganget Tahun 2005
Nama KBS-KUBE
Ketua
Bantuan Awal
.Sumber Makmur
Khoirul
20 ekor
.Bangkit Mulia
Bakri
20 ekor
. Bina Usaha
Nurhadi
20 ekor
. Barokah
Untung Alex
20 ekor
.Sumber Rejeki
Suwarji
20 ekor
Total
100 ekor
Sumber : Laporan KUBE 2005
85
Bantuan kambing gibas ini akan digulirkan kepada masyarakat yang belum mendapat bantuan, dengan ketentuan semua penerima bantuan wajib mengembalikan dua ekor kambing dari hasil (anak) kambing bantuan yang diterima dan seterusnya sampai semua kepala keluarga dapat bantuan ; sedangkan penerima terakhir tetap mengembalikan dua ekor kambing untuk dijadikan tambahan modal simpan pinjam.
a. Perkembangan Sejak digulirkannya bantuan modal usaha untuk kegiatan usaha ternak kambing dan simpan pinjam dari Bagian Proyek Bantuan Sosial Fakir Miskin tahun 2004 Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur pada bulan Oktober 2004, perkembangannya dapat dilihat pada tabelsebagai berikut :
Tabel 8. Data Perkembangan Kelompok KBS – KUBE Dusun Nganget Tahun 2005.
Nama Kube
Data Awal
Beranak
.Sumber Makmur
20 ekor
7 ekor
3 ekor
.Bangkit Mulia
20 ekor
28 ekor
3 ekor
. Bina Usaha
20 ekor
10 ekor
5 ekor
. Barokah
20 ekor
9 ekor
2 ekor
.Sumber Rejeki
20 ekor
8 ekor
2 ekor
Total
100 ekor
62 ekor
Mati
15 ekor
Hilang 1 ekor
Dijual
Jumlah
12 ekor
11 ekor 45 ekor
2 ekor
23 ekor 27 ekor
3 ekor 4 ekor
2 ekor
21 ekor
16 ekor
127 ekor
Sumber : Laporan Kelompok KBS - KUBE 2005 Dari modal awal usaha ternak kambing gibas sebanyak 100 ekor hingga tanggal Agustus 2005 menunjukkan perkembangan yang positif sebanyak 27 ekor
kambing.
Selanjutnya
proses
pengguliran
diserahkan
pada
pengurus/pendamping yang terdiri dari tokoh masyarakat/agama/ketua RT ditunjuk enam orang sebagai muara kegiatan KUBE setelah anak kambing berumur enam bulan . Setelah itu dimusyawarahkan antara anggota dan pendamping serta ditetapkan siapa yang dapat pengguliran berikutnya.
86
2. Usaha Simpan Pinjam Modal usaha simpan pinjam secara keseluruhan adalah Rp. 21.470.000,(dua puluh satu juta empat ratus tujuh puluh ribu rupiah) yang berasal dari sisa pembelian kambing gibas.Kegiatan simpan pinjam ini penyalurannya dalam bentuk pupuk pertanian dan bahan bangunan dengan sistem pengembalian setiap panen dengan bunga 7,9 % per tiga bulan. Namun kendala yang umum dalam pengelolaan usaha simpan pinjam adalah kejujuran dan rasa tanggungjawab, terutama dalam pengguliran. Sering mereka beranggapan bahwa dana tersebut adalah hibah sehingga tidak perlu harus dikembalikan.
5.1.2. Pengembangan Ekonomi Lokal Komunitas eks penderita kusta berlokasi di Dusun Nganget, Desa Kedungjambe, Kecamatan Singgahan Kabupaten Tuban terbagi menjadi tiga RT (Rukun Tetangga) dengan jumlah penduduk 464 jiwa. Sebagian besar eks penderita kusta mata pencahariannya adalah sebagai petani penggarap, berladang, tukang kayu dan sebagian kecil menjadi pengemis diluar Jawa Timur. Maka Program Bantuan Kesejahteraan Sosial dalam bentuk Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang dialokasikan di Dusun Nganget Desa Kedungjambe Kecamatan Singgahan, Kabupaten Tuban, Jawa Timur berupa : (1) Usaha Ternak Kambing; (2) Usaha Simpan Pinjam. Bantuan usaha tersebut sebesar Rp.
50.000.000,-
dibagi
untuk
usaha
ternak
kambing
sebesar
Rp.
Rp.28.530.000,- ( dua puluh delapan juta lima ratus tiga puluh ribu rupiah ). Dan simpan pinjam sebesar Rp. 21.470.000,- (Dua puluh satu juta empat ratus tujuhpuluh ribu rupiah). 1. Usaha Ternak Kambing Dengan adanya bantuan KUBE berupa usaha ternak kambing secara ekonomi
belumlah
berdampak
secara
langsung
pada
peningkatan
kesejahteraan keluarga. Namun dengan dengan usaha ternak kambing ini memberikan proses pembelajaran pada eks penderita kusta untuk berusaha, bagaimana bertangungjawab terhadap diri, keluarga, dan masyarakat yang akan
menerima
pengguliran
kambing
tersebut.
Usaha
ini
juga
mencegah/mengurangi timbulnya permasalahan sosial yang baru yaitu eks
87
penderita kusta untuk mengemis di kota-kota, serta melatih eks penderita kusta untuk mandiri. Dampak terhadap Usaha Kecil Menengah secara langsung belum terasa, begitu juga dengan manfaat yang dirasakan masyarakat secara langsung, namun untuk jangka panjang akan membantu eks penderita kusta untuk menopang perekonomian keluarga bila dibutuhkan sewaktu-waktu. Program usaha ternak kambing ini juga berusaha mengembangkan aspek lokalitas dengan mempertimbangkan potensi yang ada di komunitas local baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam seperti : sebagian besar eks penderita kusta adalah petani penggarap yang sudah terbiasa memelihara ternak, dan potensi alam dengan luasnya padang pengembalaan yang ada di permukiman. Keterkaitan program dengan ekonomi lokal dengan pasar yang lebih luas belum ada dampak secara langsung.
2. Usaha Simpan Pinjam Modal usaha simpan pinjam secara keseluruhan adalah Rp. 21.470.000,(dua puluh satu juta empat ratus tujuh puluh ribu rupiah) yang berasal dari sisa pembelian kambing gibas dan diperuntukan untuk semua warga permukiman eks penderita kusta siapa yang membutuhkan. Kegiatan simpan pinjam ini penyalurannya dalam bentuk pupuk pertanian dan bahan bangunan dengan sistem pengembalian setiap habis panen dengan bunga 7,9 % per tiga bulan. Sistem pemasaran yang berada di lokasi permukiman eks penderita kusta adalah sebagian hasil panen di bawa ke pasar tradisional yang berjarak 5 Km dan sebagian besar adalah di datangi oleh para tengkulak. Seperti yang dikemukakan oleh Ibu Rkm (48) : “…….bahwa hasil panen jagung ini nanti sudah ada orang yang mau membeli, hanya selisih Rp. 200,-bila dijual sendiri ke pasar, jadi masyarakat lebih senang bila ada orang yang datang membeli di sini daripada harus ke pasar, belum tambahan ongkos angkutnya…..”. Dengan hasil panen yang baik akan mendorong para tengkulak untuk datang ke permukiman eks penderita kusta, dengan demikian ini akan sedikit demi sedikit
menumbuhkan,
membangkitkan
dan
menggerakan
ekonomi
88
masyarakat lokal. Dengan adanya tambahan bantuan simpan pinjam ini sangat menolong para petani atau masyarakat eks penderita kusta dan tentunya akan dapat menggerakan dan membangkitkan pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal. Modal usaha simpan pinjam tersebut mempunyai arti yang sangat besar bagi eks penderita kusta, ini dikarenakan eks penderita kusta baik secara fisik, sosial maupun ekonomi sangat sulit untuk mengakses lembaga-lembaga atau sumber-sumber ekonomi seperti Bank, Koperasi dll. Disamping itu Lembaga-lembaga tersebut juga
harus
menggunakan anggunan/jaminan dan persyaratan yang bermacam-macam padahal itu sama sekali tidak dipunyai oleh eks penderita kusta.
Usaha simpan pinjam ini tidak terlepas dari aspek lokalitas dengan bertumpu pada kondisi komunitas yang sebagian besar adalah bermatapencaharian petani penggarap ( 18,53 %) dan kondisi ekonomi komunitas yang kesulitan mengakses lembaga atau sumber ekonomi.
5.2.3. Pengembangan Modal Sosial dan Gerakan Sosial Social Capital Menurut Bank Dunia (1999) dalam Tonny (2004) merujuk pada institusi, relasi dan norma-norma yang membentuk kuantitas dan kualitas interaksi sosial di dalam masyarakat. Sedangkan modal sosial (social capital) menurut Fukuyama (2000), dalam Tonny dan Utomo (2004) diartikan sebagai seperangkat nilai-nilai internal atau norma-norma yang disebarkan di antara anggota-anggota suatu kelompok yang mengijinkan mereka untuk bekerjasama antara satu dengan yang lain. Ia menambahkan bahwa prasyarat penting munculnya modal sosial adalah adanya kepercayaan (trust), kejujuran (honesty), dan timbal bailk (resiprocity). Turner (1991) dalam Tonny (2004) mendefinisikan social capital lebih menekankan pada hubungan sosial dan pola-pola organisasi sosial yang diciptakan untuk memperoleh kekuatan yang potensial untuk perkembangan ekonomi. Ia mengaitkan modal sosial (social capital) dengan analisis mikro, meso dan makro, sehingga modal sosial (social capital) tidak bisa dijelaskan dengan istilah modal (investasi) sebagaimana yang kita kenal dengan kehidupan seharihari. Pada tataran makro (negara) modal sosial meliputi institusi seperti
89
pemerintah, aturan hukum, kebebasan sipil dan politik. Pada tataran mikro (individu dan keluarga) dan juga meso (komunitas). Modal sosial berkenaan dengan nilai dan norma yang mengatur interaksi di antara individu, keluarga dan komunitas yang dapat mengejawantahkan dalam berbagai tradisi, kebiasaan dengan rasionalistas masing-masing. Lebih lanjut Woolcock (1997) dalam Tonny (2004) menambahkan bahwa social capital ini memiliki 4 perspektif yaitu : (1) The communitarian view; (2) Networking view; (3) Institutional view dan ( 4) synergy view. Dalam pengembagan modal sosial tidak bisa terlepas dari pembentukan Jejaring (networking) antar lembaga secara kolaboratif , yaitu suatu jejaring yang bersifat informal,
transparan
menampilkan
kesetaraan,
mengandalkan
komitmen,
mensinergikan upaya dan mengembangkan kesadaran kritis serta berfungsi sebagai kontrol sosial. Dengan prinsip-prinsip tersebut jejaring akan mampu mengkombinasikan fungsi-fungsi yang diperlukan bagi penyelesaian masalah komunitas melalui pertukaran informasi, pengalaman dan pengetahuan serta penyediaan sumber daya yang berasal dari komunitas. Gerakan sosial ( social movement ) menurut Baldridge (1986 ) dalam Tonny dan Utomo (2004), “….. suatu bentuk perilaku atau tindakan kolektif yang melibatkan sekelompok orang yang membaktikan diri untuk mendorong atau sebaliknya menolak suatu perubahan sosial”. Perilaku kolektif menurut Sunarto (1993 ) dalam Tonny dan Utomo (2004) ….. “ perilaku yang dilakukan bersama oleh sejumlah orang, tidak bersifat rutin dan merupakan tanggapan terhadap rangsangan tertentu “. Gerakan sosial dapat dibedakan menurut dua segi, yaitu dari segi orientasi perubahan
dan dari segi lingkup perubahan yang dikehendaki. Berdasar
orientasi perubahan yang dikendaki Baldridge (1986 ) dalam Tonny (2004) membedakan gerakan sosial ke dalam empat tipe utama yaitu : (1) orientasi kekuasaan; perubahan melalui kekuasaan dan pengaruh politik; melalui jalan reformasi atau revolusi; (2) orientasi nilai; perubahan dalam nilai – nilai budaya, norma dan system kepercayaan, melalui jalan persuasi, propaganda, pendidikan; (3) orientasi ekspresi-personal: perbaikan pribadi-pribadi warga pengikut gerakan, selain juga mendorong perubahan dalam masyarakat lebih luas; dan (4) orientasi resistensi: penghentian perubahan sosial sekaligus promosi status quo; merupakan
reaksikonservatif
terhdap
perubahan
sosial
cepat
(gerakan
90
konservatif); kerap kali membangun kembali kondisi terdahulu (gerakan reaksioner). Tipologi gerakan sosial dapat juga dibuat menurut lingkup perubahan yang dikehendaki,
dalam
arti
pada
skala
(sebagian/menyeluruh)
dan
aras
(individu/sosial) mana perubahan dikehendaki (Aberle dalam Sunarto, 1993). Menurut lingkup perubahan gerakan sosial dapat dibedakan menjadi empat tipe yaitu : (1) Gerakan alternatif perubahan sebagian pada perilaku individu; (2) Gerakan Redemtif: perubahan menyeluruh pada perilaku individu; (3) Gerakan reformatif: perubahan sebagian fungsi/nilai sosial dalam masyarakat; dan (4) Gerakan reformatif perubahan menyeluruh pada masyarakat. Bertitik tolak dari beberapa konsep di atas dan deskripsi mengenai kegiatan Kelompok Usaha Bersama maka penulis akan menggunakan kerangka evaluasi bagaimana sebuah kegiatan membangun jejaring (networking) antar lembaga yang bersifat kolaboratif
serta bagaimana sebuah gerakan masyarakat eks
penderita kusta bila ditinjau dari tipologi gerakan sosial. Dalam pelaksanaan kegiatan Kelompok Usaha Bersama setelah ditetapkan sebagai penerima bantuan kesejahteraan sosial melalui penyelenggaraan KUBE tahun 2004
di
permukiman eks kusta semua tokoh masyarakat dipanggil oleh kepala panti untuk membicarakan masalah pembentukan kelompok karena bantuan akan diserahkan melalui kelompok. Dari lima kelompok tersebut diangkat juga pengurus yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat dengan tugas dan fungsi sebagai kontrol dari lima kelompok tersebut sekaligus yang memfasilitasi bagaimana suatu kelompok tersebut membuat kesepakatan-kesepakatan dan sanksi – sanksi bila ada yang melanggar serta berfungsi sebagai pengurus simpan pinjam. Kelima pengurus tersebut dipantau dari panti sampai seberapa jauh pelaksanaan kegiatan tersebut. Kepala panti disini berfungsi sebagai pengendali karena beberapa pengalaman mengenai beberapa bantuan yang sama tidak pernah berhasil ini disebabkan karena pandangan komunitas terhadap bantuan tersebut bila bantuan sudah diberikan maka itu adalah milik pribadi, seperti yang dikemukan Pak Dmt (54) bahwa : “Mendho meniko sampun disukaake kula, kalih pemerintah, dados terserah kulo bade kulo napaake “. ( Artinya bahwa kambing ini sudah diberikan saya, oleh pemerintah jadi terserah mau saya apakan ).
91
Dalam pemanfaatan kelompok, KUBE menggunakan kelompok-kelompok Rukun Tetangga dari
tiga
RT yang ada di permukiman eks penderita kusta. Dari
masing-masing RT di ambil orang-orang yang memenuhi persyaratan penerima bantuan selanjtunya membentuk KBS. Dalam pelaksanaan pengorganisasiannya, kegiatan ini belum sepenuhnya memanfaatkan modal sosial yang ada di permukiman. Bila mengacu pada pendapat Woolcock (1997) dalam Tonny (2004) yang salah satu perspektifnya adalah networking view maka dalam pelaksanaan kegiatan KUBE dalam membentuk jaringan tersebut hanya memanfaatkan Rukun Tetangga dan Panti sebagai bentuk kolaborasi. Bila mengacu pada PL –1 sebenarnya selain RT dan Panti ada beberapa stakeholder yang dapat digunakan sebagai mitra kolaborasi yang berfungsi sebagai pengawasan maupun pengelolaan kegiatan serta tidak harus membentuk kelompok baru yang rentan terhadap terjadinya konflik karena nilai dan norma yang ada masih lemah, lain bila kelompok tersebut sudah mapan seperti: Lembaga Dakwah Islam Indonesia, Nahdatul Ulama, Kelompok Kristen. Dalam lembaga tersebut pengaruh kyai, pendeta dan amir cukup disengani selain itu norma dan nilai yang ada sudah melembaga dan cenderung untuk dipatuhi.
Bila dilihat dari prasyarat modal sosial yang dikemukakan oleh
Fukuyama (2000) dalam Tonny (2004) seperti kepercayaan (trust), kejujuran (honesty), dan timbal balik (resiprocity) maka kegiatan yang ada di permukiman eks penderita eks juga belum sepenuhnya memenuhi persyaratan tersebut baik antara panti sendiri dengan komunitas ataupun antar anggota masyarakat penerima bantuan maupun masyarakat yang tidak mnerima bantuan. Seperti yang dikemukan oleh salah satu warga yaitu Ibu Amh (35) (tidak menerima bantuan) bahwa : “….bantuan kambing itu akan dijual bila penerima butuh uang untuk kebutuhan hidupnya, apalagi bila penerima bantuan sakit karena tidak bisa memelihara lagi……i”. Memang eks penderita kusta sangat rawan terhadap sakit, apalagi bila musim dingin bekas luka akibat penyakit kustanya itu akan kambuh. Walaupun secara medis bakteri kusta sudah dinyatakan sembuh namun penyakit lainnya akan mudah menyerang. Begitu juga seperti yang yang dikemukakan oleh Pak Drs. AY (Kepala Seksi Penyaluran dan Pembinaan Lanjut) sebagai penanggungjawab KUBE bahwa :
92
“……ada penerima bantuan yang menukarkan kambing gibas dua ekor menjadi kambing jawa satu ekor, namun ia berjanji akan menggulirkan dua ekor, namun setelah kambing jawa itu gemuk dijual pada saat bulan haji sehingga dia mendapat untung, lantas dibelikan lagi kambing gibas dua ekor itupun sangat kecil, sehingga memerlukan waktu yang lama untuk beranak ini akan berakibat tertundanya proses pengguliran……”. Dengan berbagai wawancara tersebut jelas bahwa belum sepenuhnya ada kepercayaan, kejujuran maupun timbal balik baik dari masyarakat penerima bantuan, masyarakat lainnya ataupun pihak panti sendiri. Modal sosial di Dusun Nganget dapat dilihat dari empat dimenasi modal sosial yang dikemukakan oleh Colletta & Cullen (2000) dalam Tonny (2004). Adapun dimensi modal sosial tersebut antara lain (1) Integrasi yaitu ikatan yang kuat antar anggota masyarakat; (2) Linkage (pertalian) yaitu ikatan dengan komunitas lain di luar komunitas asal; (3) Integritas organisasional yaitu keefektifan dan kemampuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya; dan (4) Sinergi yaitu relasi antara pemimpin dengan institusi pemerintahan. Perasaan senasib adalah merupakan dimensi integrasi yang kuat antar anggota eks penderita kusta. Lingkage (pertalian) dalam Dusun Nganget dapat dilihat dengan terjalinnya berbagai stakeholders seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, Pesantren, Rumah Sakit Kusta seperti terlihat dalam sub bab jejaring. Sedangkan intergritas organisasional dapat dilihat dengan adanya peran Panti Rehabilitasi Eks Penderita Kusta dalam mengembangkan komunitas eks penderita kusta dan hubungan yang baik antara tokoh masyarakat/agama dan ketua Rukun Tetangga dengan pemerintah desa dan panti.
5.2.4. Aspek Psikologi Sosial Dalam pengembangan modal dan gerakan sosial ini berkaitan bila eks penderita kusta akan membentuk jejaring yang sifatnya ke luar permukiman. Adanya identitas sosial dan sikap sosial yang diberikan oleh masyarakat diluar permukiman yang kurang baik sehingga akan menghambat eks pendeirta kusta dalam mengadakan interkasi dan menjalin relasi dengan dunia luar. Identitas sosial adalah konsep mental yang dikembangkan oleh pikiran dan disimpan di dalam memori sebagai hasil pengalaman kita. Identitas sosial diasosiasikan dengan sejumlah kenyakinan (belief) dan perasaan (feelings) yang disebut sikap sosial. (social attitude). Adanya kenyakinan dari orang luar bahwa
93
kalau berdekatan dengan eks kusta akan menular. Dengan kenyakinan tersebut maka akan timbul sikap sosial untuk menjauhi eks penderita kusta. Dengan demikian eks penderita kusta akan mengalami kesulitan untuk mengembangkan dirinya ke luar permukiman termasuk dalam menbangun jejaring dengan orang luar permukiman. Adanya pandangan bahwa bantuan KUBE adalah merupakan hibah dan pandangan bahwa bila warga eks penderita kusta mendapat bantuan maka semua harus mendapatkan bantuan pemahaman ini harus dirubah dengan menggunakan teori representasi sosial.
5.2.5. Kebijakan dan Perencanaan Sosial. Departemen Sosial melalui pembangunan kesejahteraan sosial sudah sejak lama melaksanakan pengentasan kemiskinan. Seperti yang dilakukan pada REPELITA II yang dikenal dengan Program Usaha Bimbingan Kesejahteraan Keluarga (UBKK) dan Program Usaha Bimbingan Kesejahteraan Anak dan Taruna (UBKAT). Pada REPELITA III program tersebut berubah menjadi Bimbingan dan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat (BPKM) serta Usaha Swadaya Masyarakat (USSM) dan Dalam REPELITA IV program tersebut berubah lagi menjadi
Program
Penanggulangan
Kemiskinan
dikenal
dengan
Proyek
Penyantunan dan Pengentasan Fakir Miskin (PPFM). Dalam melaksanakan PPFM tersebut Departemen Sosial juga menggunakan pendekatan kelompok yang dikenal dengan nama Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Dalam mendukung kebijakan Pemerintah / Departemen Sosial, Provinsi Jawa Timur melalui Pola Dasar Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2001 – 2005 juga dijelaskan mengenai arah kebijakan pada point pengelolaan pembangunan daerah bidang kesejahteraan sosial yang berisi antara lain bahwa dengan masih banyaknya kalangan masyarakat yang hidupnya kurang beruntung seperti fakir miskin, orang jompo dan lanjut usia, eks penderita kusta dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, maka sebagai konsekuensi dari konstitusi kita maka pembangunan daerah haruslah memperhatikan sistem yang lebih adil bagi masyarakat yang kurang beuntung. Untuk itu perlu adanya peningkatan dan pengembangan peran serta partisipasi masyarakat dalam mendukung penciptaan sistem sosial, ekonomi dan kemasyarakatan yang adil sehingga mereka dapat menikmati hasil-hasil pembangunan dengan cara lebih memperhatikan
dan
menciptakan
peluang
kerja
melalui
pelatihan
dan
94
ketrampilan serta bantuan kesejahteraan untuk mengangkat kepercayaan diri mereka sebagai manusia yang berharga dan bermartabat. Kebijakan dan perencanaan program bantuan kesejahteraan sosial dalam penyelenggaraannya berupa KUBE dari pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Sosial mendapat dukungan dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Dalam operasional pelaksanaan kegiatan diserahkan kepada Dinas Sosial Provinsi JawaTimur. Seperti dijelaskan di atas bahwa kebijakan Dinas Sosial dalam melalui mekanisme pemberian bantuan tidak melalui pemerintah kabupaten sampai desa namun melalui panti ini dikarenakan warga permukiman masih mempunyai kepercayaan dan ikatan kekerabatan dengan panti, sehingga dalam pendampingan lebih mudah. Dalam hal seleksi bila di daerah lain melalui pendataan oleh Petugas Sosial Kecamatan, namun bila di permukiman eks penderita kusta oleh panti diserahkan pada tokoh masyarakat/agama untuk mengadakan seleksi, siapa yang berhak menerima bantuan dan dalam bentuk apa bantuan tersebut.
5.2.6. Evaluasi Kelompok KBS-KUBE Dalam evaluasi program bantuan kesejahteraan sosial dalam hal ini Kelompok KBS-KUBE di permukiman eks penderita kusta yaitu mulai dari : (1) Proses Pembentukan kelompok; (2) Kepengurusan KUBE; (3) Pengguliran; (4) Administrasi, secara global sudah sesuai dengan perencanaan. Namun ada sedikit kebijakan dari masyarakat yang tidak sesuai dengan proses perencanaan, kebijakan itu atas kesepakatan warga eks penderita kusta. Adapun kebijakan tersebut adalah mengenai simpan pinjam. Sesuai dengan pedoman seharusnya yang memperoleh bantuan KUBE adalah lima kelompok atau 50 orang hasil seleksi yang dilakukan oleh tokoh masyarakat yang ditunjuk oleh Kepala Panti. Namun untuk usaha simpan pinjam diperuntukan bagi semua warga yang membutuhkan. Disinilah muncul bahwa dalam pelaksanaan di lapangan masyarakat
mempunyai
peranan
dalam
mengatur
dan
menentukan
kebutuhannya sendiri. Dalam hal pengawasan kegiatan Kelompok KBS - KUBE masyarakat hendaknya diberi kepercayaan yang lebih besar dalam mengawasi pelaksanaan kegiatan seperti dibentuk kelompok bayangan yang akan menerima pengguliran atau masyarakat lainnya karena Kelompok KBS - KUBE ini untuk kesejahteraan
95
semua warga melalui sistem pengguliran tersebut. Ini akan memudahkan pihak panti atau Dinas Sosial
dalam monitoring dan evaluasi. Seleksi adalah salah
satu faktor yang sangat menentukan suatu program, bila seleksi tepat, maka satu keberhasilan sudah diraih. Seperti yang terjadi di permukiman eks penderita kusta, salah satu faktor yang menyebabkan terjadi kendala untuk pengguliran karena ketidakmampuan anggota KBS - KUBE baik dalam segi keterbatasan fisik atau secara ekonomi sulit untuk menggulirkan bantuan tersebut. Untuk program yang sifatnya pengguliran hendaknya dipilih/diseleksi orang yang mempunyai kemampuan secara fisik, mau dan mampu untuk mengkuti proses pengguliran tersebut. Untuk mereka yang benar-benar tidak mampu baik secara fisik maupun ekonomi hendaknya proses pertolongan bukan melalui proses pengguliran. Namun yang perlu dicermati lebih mendalam adalah kelemahan dan kendala program Kelompok Usaha Bersama itu sendiri dalam pelaksanaannya di Dusun Nganget Desa Kedungjambe yaitu terjadinya pembentukan kelompok adalah penunjukan dari Pengurus KUBE atas perintah Kepala Panti artinya bahwa masalah pembentukan kelompok masih bersifat top down. Sebelum bantuan modal usaha turun maka terlebih dahulu sudah dibentuk Kelompok KBS-KUBE. Karena yang berhak mengambil dana adalah masing-masing ketua kelompok. Dalam pelaksanaan kemudian yang berhak mengelola uang tersebut bukan masing-masing kelompok KBS – KUBE tapi setelah uang diambil semua diserahkan pada pengurus KUBE yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat untuk mengelolanya. Dengan demikian kelompok KBS – KUBE tidak diberi otoritas untuk pengelolaan keuangan yang sebenarnya diperuntukan kepada kelompok, ini menyebabkan timbulnya sikap apatis pada masing-masing kelompok. Bila dikaitkan dengan konsep yang dikemukakan oleh Ife (2002)
yang menyatakan bahwa
pemberdayaan adalah pemberian kekuasaan kepada masyarakat yang lemah atau kurang beruntung, maka pada kelompok KBS-KUBE di Dusun Nganget tidak diberi kekuasaan untuk membentuk kelompoknya sendiri sesuai dengan kebutuhan, ide atau gagasan dari masing-masing anggota kelompok, sehingga kelompok
KBS-KUBE
tidak
mempunyai
semangat
kelompok
untuk
mengembangkan kelompoknya. Akibatnya kelompok menjadi pasif dan hanya menunggu perintah atau petunjuk dari panti, dengan demikian kelompok akan sulit berkembang dan berkelanjutan.
96
Sesuai dengan teori keberfungsian sosial yang dikemukakan oleh Sukoco (1991) yang menyatakan (1) keberfungsian sosial dipandang sebagai kemampuan melaksanakan peranan sosial, yaitu sebagai penampilan pelaksanaan peranan yang diharapkan sebagai anggota suatu kolektifitas; (2) keberfungsian sosial dipandang sebagai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan, yaitu mengacu pada cara-cara yang digunakan oleh individu, maupun kolektifitas dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka; (3) Keberfungsian sosial dipandang sebagai kemampuan untuk memecahkan permasalahan sosial yang dialaminya. Bahwa kelompok KBS-KUBE di Dusun Nganget belum menunjukan peningkatan keberfungsian anggota kelompok dapat dilihat bahwa pengurus kelompok belum mampu
melaksanakan
peranan-peranannya sesuai dengan status yang
disandangnya, dengan program KUBE di Dusun Nganget justru banyak kambing yang dijual untuk memenuhi kebutuhannya hidupnya sehingga pengguliran tidak berjalan, dan kelompok yang dibentuk sebagai media pemecahan masalah juga tidak berjalan karena tidak pernah dilaksanakan pertemuan kelompok. Untuk melihat kelemahan dan kelebihan kelompok KBS-KUBE di Dusun Nganget Kecamatan Singgahan Kabupaten Tuban maka dapat dicari perbandingan dengan KUBE yang lain. Adapun KUBE tersebut adalah KUBE Keluarga Muda Mandiri yang berada di Desa Cikeusal Kecamatan Talaga Kabupaten Majalengka, KUBE ini dipilih karena mempunyai persamaan yaitu sama-sama beternak kambing hanya di Kabupaten Majalengka di tambah dengan sapi. Bila ditelaah mengenai proses pembentukan kelompok pada kedua KUBE yaitu pada kelompok KBS-KUBE yang berada di Dusun Nganget proses pembentukan kelompok karena akan ada bantuan modal dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur. Pada KUBE KMM di Desa Cikeusal pada awalnya ada permasalahan yang dirasakan oleh warga desa setelah adanya berbagai pertemuan yang dilaksanakan di rumah Kepala Desa maka ada kesepakatan dari warga desa untuk mengajukan bantuan permodalan kepada Dinas Sosial Kabupaten Majalengka. Gayung bersambut maka oleh Dinas Sosial Kabupaten Majalengka ditindaklanjuti dengan pembentukan KUBE Keluarga Muda Mandiri (KUBE KMM). Nama dan pembentukan kelompok dilakukan oleh Kepala Desa Cikesual. (Anonymons, 2003). Menyimak proses pembentukan kelompok kedua KUBE tersebut maka dapat dijelaskan bahwa pada KUBE KMM di Desa Cikesual proses pembentukan
97
kelompok berawal dari permasalahan dan kebutuhan yang dirasakan oleh warga desa tersebut baru kemudian kepala desa mencoba mencari program atau bantuan
permodalan
untuk
Kelompok KBS-KUBE di
menangani
permasalahan
sedangkan
pada
Dusun Nganget ada program dulu baru dibentuk
kelompok, sehingga warga dusun kurang antusias dalam mengembangkan bantuan tersebut akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan baik dari aspek sosial, kelembagaan maupun ekonomi. Dari ketiga program yang ada yaitu Pendidikan Taman Kanak – Kanak, kelompok KBS-KUBE yang ada di Dusun Nganget dan KUBE KMM di Desa Cikesual Kecamatan Talaga Kabupaten Majalengka dapat dikaji bahwa untuk keberlangsungan sebuah program pengembangan masyarakat maka (1) program pengembangan masyarakat harus disusun berdasarkan kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat ; (2) pemberian kekuasaan kepada masyarakat lokal untuk mengelola program itu sendiri berdasarkan potensi lokal yang dimilikinya. Dengan berbagai permasalahan yang ada khususnya kelompok KBSKUBE
yang
berada
di
Dusun
Nganget
maka
langkah–langkah
untuk
memperbaiki keadaan tersebut adalah dengan mengubah pola pikir anggota kelompok dari kebutuhan yang riil
(real need)
menjadi kebutuhan yang
dirasakan (felt need). Dengan demikian maka program KUBE yang ada menjadi sangat dirasakan kalau itu memang benar-benar dibutuhkan untuk memecahkan permasalahan bersama dan memenuhi dan meningkatkan kebutuhan keluarga serta dapat meningkatkan peranan eks penderita kusta dalam kelompok dan masyarakat.
98
VI. ANALISIS PEMBERDAYAAN KOMUNITAS EKS PENDERITA KUSTA MELALUI PENGUATAN INDIVIDU DAN KELOMPOK KBS - KUBE
Berdasarkan permasalahan yang ada dalam kelompok KBS – KUBE komunitas eks penderita kusta dan sesuai dengan kerangka konseptual maka performa KBS - KUBE dapat dianalisis berbagai aspek antara lain (1) aspek kelembagaan yang meliputi struktur dan kultur ; (2) aspek sosial dan (3) aspek ekonomi ; (4) jejaring sosial ; (5) solidaritas sosial; (6) integrasi sosial dan (7) kohesifitas sosial. Sebelum pada analisis ketiga aspek tersebut maka akan dikemukakan profil KBS-KUBE sesuai dengan hasil diskusi kelompok. Dari lima KBS – KUBE yang ada di komunitas eks penderita kusta diambil dua kelompok yang
dianggap
mewakili kelompok KBS – KUBE yang progresif dan pasif. Kelompok KBS – KUBE dimaksud adalah kelompok KBS – KUBE Bangkit Mulia dan kelompok KBS – KUBE Sumber Makmur.
6.1. Profil KBS – KUBE Perkembangan kelompok KBS – KUBE sangat penting artinya untuk mengetahui sejauhmana perkembangan dan kendala yang dialami oleh masing-masing kelompok KBS-KUBE. Perkembangan KBS - KUBE yang ada di Dusun Nganget sebenarnya belum dapat dikatakan mencapai tujuan Kelompok Usaha Bersama yaitu antara lain (1) meningkatkatnya kemampuan anggota kelompok KBS-KUBE di dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari ; (2) meningkatkan kemampuan anggota kelompok KBS-KUBE dalam mengatasi permasalahan sosial; dan (3) meningkatkan kemampuan anggota kelompok KBS-KUBE dalam menampilkan peranan-peranan sosialnya. Salah satu perkembangan Kelompok KBS-KUBE dapat dilihat dari berkembangnya ternak kambing yang dipelihara oleh eks penderita kusta. Dengan semakin banyaknya kambing maka dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan eks penderita kusta, mengatasi masalah dan menampilkan peranan sosialnya. Hasil penelitian perkembangan KBS-KUBE ternak kambing yang ada di komunitas eks penderita kusta Dusun Nganget Desa Kedungjambe Kecamatan Singgahan adalah sebagai berikut :
99
Tabel 9.
Daftar Perkembangan Kelompok KBS –KUBE Tahun 2005
di Dusun Nganget
Nama KBSKUBE
Data Awal
Beranak
Mati
Hilang
Dijual
Jumlah
1
2
3
4
5
6
7
Peng guliran 8
Sumber Makmur
20 ekor
7 ekor
3 ekor
1 ekor
12 ekor
11 ekor
-
Bangkit
20 ekor
28 ekor
3 ekor
-
-
45 ekor
1 klp
20 ekor
10 ekor
5 ekor
-
23 ekor
-
Barokah
20 ekor
9 ekor
2 ekor
-
27 ekor
-
Sumber
20 ekor
8 ekor
2 ekor
3 ekor
2 ekor
21 ekor
-
100 ekor
62 ekor
15 ekor
4 ekor
16 ekor
127 ekor
Mulia Bina
2 ekor
Usaha -
Rejeki Total
Sumber : Pengurus Kelompok KBS - KUBE 2005
Tabel 10. Menunjukkan bahwa dari jumlah bantuan kambing yang diberikan kepada eks penderita kusta sebanyak 100 ekor mulai bulan Oktober 2004 sampai Juli 2005 selama sembilan bulan ada 62 % berkembang dan 48 % belum dapat berkembang, ini menunjukkan bahwa pada saat pembelian bibit kambing secara kualitas tidak sama. Sebagaimana penuturan Pak Mkn ( 48 ) sebagai berikut : “ …… pada saat pengurus mau membeli induk kambing yang akan diberikan pada anggota kelompok Keluarga Binaan Sosial Kelompok Usaha Bersama mengalami kesulitan karena sekaligus dalam jumlah yang besar yaitu 100 ekor sehingga kualitas kambing tidak sama ada yang induknya bagus, ada yang kurang bagus dan ada juga yang sudah tua, atau masih muda semua itu diundi oleh pendamping/koordinator Kelompok Usaha Bersama yang berada di panti …… “
Sedangkan bantuan kambing yang mati mecapai 15 % ini menunjukkan bahwa penerima bantuan yaitu eks penderita kusta mengalami kesulitan dalam pemeliharaannya, seperti yang diungkapkan oleh P. Mkm (42) yaitu :
100
“ …….. bahwa tidak semua eks penderita kusta mempunyai keterampilan memelihara kambing, karena latar belakang mereka sebelum bertempat tinggal di Nganget beraneka ragam …….” Menyimak pernyataan tersebut bahwa tidak semua warga mempunyai keterampilan memelihara kambing, dengan demikian mereka tidak tahu mengenai penyakit-penyakit yang menyebabkan kambing mati, dan bila kambing sakit apa yang harus dilakukan. Di lain pihak dalam proses seleksi tidak mempertimbangkan apakah si penerima bantuan punya pengalaman atau keterampilan memelihara kambing. Disamping hal tersebut dalam kegiatan bantuan tidak dilaksanakan penyuluhan dan bimbingan sosial untuk membekali penerima bantuan dalam hal ini eks penderita kusta baik secara teknis tentang pemeliharaan/perawatan kambing maupun apa esensi daripada Kelompok Usaha Bersama. Seperti pernyataan Pemimpin Proyek Ibu Dw A ( 42) yaitu : “ …….. bahwa bantuan yang diberikan kepada eks penderita kusta adalah bantuan modal jadi tidak ada pos untuk penyuluhan dan bimbingan Sosial ………” Dengan tidak dilaksanakan kegiatan penyuluhan dan bimbingan sosial akan berpengaruh banyak terhadap perkembangan Kelompok Usaha Bersama baik perkembangan kambing maupun perkembangan organisasinya itu sendiri. Di dalam tabel 9 juga dapat diketahui bahwa 4 % atau 4 ekor kambing dinyatakan hilang. Hilangnya kambing disebabkan belum ada kesiapan warga untuk menempatkan kambing pada satu kadang besar karena keterbatasan sarana. Disamping itu untuk penjagaan diperlukan kesadaran yang tinggi dari warga. Seperti diungkapkan oleh P. Mkn (48) yaitu : “………… bahwa setiap kelompok pada mulanya dijadikan satu kandang supaya mudah untuk mengontrol namun banyak kendala yang kemudian muncul yaitu sarana kadang besar sangat terbatas disamping itu untuk menjaga diperlukan kesadaran dan tidak semua eks penderita kusta mampu untuk menjaga kambing pada malam hari ………”
Melihat kendala tersebut akhirnya disepakati untuk diambil masing-masing supaya yang mempunyai kambing merasa tenang dan lebih dekat dengan kambing peiharaannya. Dengan diambilnya kambing dari kadang besar juga membawa dampak makin sulitnya mengadakan pengawasan sehingga tanpa
101
sepengetahuan pengurus banyak kambing yang dijual sampai mencapai 16 % atau 16 ekor. Seperti diungkapkan oleh P. Ynt (34) yaitu : “……… bahwa sebenarnya sudah banyak bantuan yang diberikan kepada warga Nganget ini baik berupa sapi maupun kambing, namun banyak yang dijual dengan alasan untuk makan atau tidak bisa merawat lagi karena sakit yang dideritanya kambuh ataupun dijual untuk berobat……..”
Dari berbagai pandangan yang diungkapkan seperti itu maka dalam upaya mengembangkan Kelompok Usaha Bersama supaya dapat meningkatkan keberfungsian sosial perlu telaah yang lebih mendalam lagi terhadap berbagai hal yang menyangkut perkembangan Kelompok KBS-KUBE itu sendiri. Untuk kajian yang lebih mendalam dari lima kelompok KBS-KUBE yang ada dipilih dua kelompok yang progresif dan pasif dengan demikian dapat diketahui kendala yang dialami dan dan faktor-faktor yang menyebabkan perkembangan Kelompok KBS-KUBE.
6.1.1. Kelompok KBS – KUBE “Bangkit Mulia” Kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia didirikan pada tahun 2004 karena akan ada bantuan dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur
melalui Program Bantuan
Kesejahteraan Sosial tahun 2004. Kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia terdiri dari 10 orang, sembilan orang diantaranya bertempat tinggal di RT. 06 dengan ketua RT Bapak Mkn dan satu orang tinggal di RT. 04. Adapun susunan pengurus Kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia adalah : 1. Ketua
: Bakri
: T.Tuberkuloid
2. Sekretaris
: Eko Wahyu
: Indeferent - Indeterminate
3. Bendahara
: Gapar
: T.Tuberkuloid
4. Anggota
: 1. Darmi
: T.Tuberkuloid
2. Satimin
: T. Tuberkuloid
3. Suminah
: Indeferent - Indeterminate
4. Sajid
: T. Tuberkuloid
5. Lasmin
: B. Border Line
6. Asan
: T. Tuberkuloid
7. Romly
: T. Tuberkuloid
Sumber : Balai Pengobatan Dusun Nganget Tahun 2005.
102
Dari daftar susunan Kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia semua anggotanya adalah eks penderita kusta terdiri dari 10 orang dua orang perempuan dan delapan orang laki-laki. Adapun satu orang yang berasal dari RT. 04 karena ada kelebihan dari RT, 04 yang tidak tertampung di RT-nya, sehingga digabungkan dengan RT. 06. Sesuai dengan pernyataan Pak Rsd ( 65 ) yaitu : “………. Kolo rumiyin sampun dados keputusanipun pengurus KUBE menawi Pak Lsm meniko nderek kelompok Bangkit Mulia RT nipun Pak Mkn amargo dateng RT kulo sampun ngluwihi bantuan ingkang dipun sukaake kalih panti lan mboten klebet dateng kelompok sanesipun ……” (Artinya bahwa sejak dulu sudah jadi keputusan pengurus Kelompok Usaha Bersama bahwa Pak Lsm ini diikutkan kelompok Bangkit Mulia RT -nya pak Mkn karena di RT saya ada kelebihan orang yang menerima bantuan yang diberikan oleh panti dan tidak tertampung oleh kelompok lain). Adapun tingkat pendidikan anggota kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia yaitu sebagian besar adalah Tamat Sekolah Dasar, Tidak Sekolah dan Sekolah Menengah Pertama, seperti tabel di bawah ini : Tabel 10. Tingkat Pendidikan Anggota Kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia Di Dusun Nganget Tahun 2005. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Nama Anggota KUBE Bakri Eko Wahyu Gapar Darmi Satimin Suminah Sajid Asan Romly Lasmin
Pendidikan Tamat SD Taman SMP Tamat SD Tidak Sekolah Tamat SD Tidak Sekolah Tamat SD Tamat SD Tidak Sekolah Tamat SD
Keterangan
Sumber : Pengurus Kelompok KBS - KUBE 2005 Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa dari 10 anggota Kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia yang berpendidikan Tidak Tamat Sekolah Dasar ada tiga orang atau 30 %, Tamat Sekolah Dasar enam orang atau 60 % dan satu orang Tamat SMP atau 1 %. Dengan 60 % anggota yang hanya berpendidikan SD akan mempengaruhi perkembangan organisasi Kelompok Usaha Bersama. Secara organasasi kelompok bangkit mulia belum berfungsi ini dapat dilihat dari
103
aktivitasnya seperti pertemuan anggota tidak pernah ada, pembagian tugas dan pedelegasian wewenang tidak berjalan hanya ada kelengkapan organisasi saja, administrasi hanya ada buku perkembangan KUBE namun perkembangan kambing tidak pernah dicatat oleh sekretaris tapi tercatat di Pak RT (Mkn), aturan tertulis tidak ada, yang ada hanya aturan tidak tertulis yang berlaku untuk semua Kelompok Usaha Bersama. Ini sesuai dengan pernyataan Pak Bkr (55) yaitu : “……… bahwa saya selaku ketua kelompok tidak tahu masalah perkembangan kambing Kelompok Usaha Bersama, yang tahu adalah Pak RT karena warga kalau ada apa-apa selalu melapor kepada Pak RT, waktu saya menjadi ketua kelompok atas penunjukan pak RT karena dalam kelompok tersebut tidak ada yang mau …….” Dalam kepengurusan selanjutnya setiap anggota maupun pengurus di tingkat Kelompok Usaha Bersama tidak pernah berpikiran untuk menumbuhkan atau mengembangkan organisasi KBS - KUBE, yang ada hanya bagaimana supaya kambing bantuannya dapat berkembang banyak dan bisa segera dapat menggulirkan. Adapun karakteristik lain yang mendukung semangat anggota KBS-KUBE Bangkit Mulia yaitu bahwa mereka adalah homongen dan hampir semua berasal dari eks pasien Rumah Sakit Kusta Nganget. Sesuai dengan pernyataan Pak Sbr (48) yaitu : “………. bahwa di RT 06 itu atau orang biasa menyebut sosial memang dipersiapkan oleh Departemen Sosial pada waktu itu, jadi sebelum mereka keluar dari Rumah Sakit Kusta mereka diberi Pendidikan dan Latihan Ketrampilan selama 2 bulan, diberi rumah sebanyak 55 rumah setelah selesai pendidikan mereka diberi modal yaitu berupa sapi dan diperbolehkan mengerjakan sawah milik Dinas Sosial …….” Dari pernyataan tersebut dapat ditelaah bahwa anggota KBS - KUBE Bangkit Mulia secara kultur mempunyai hubungan psikologis dengan panti, jadi segala sesuatu yang diprogramkan melalui panti sedikit banyak akan berpengaruh pada tindakan mereka. Artinya bahwa apabila program lewat panti akan mempunyai kecenderungan lebih besar kemungkinan untuk
berhasil, apabila pihak panti
juga komitmen untuk mengembangkan eks penderita kusta di luar panti yaitu di Dusun Nganget.
104
Sesuai dengan uraian di atas bahwa kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia dapat dikatakan masuk pada kelompok dalam artian interaksi. Kelompok dalam artian ini adalah sejumlah orang yang berkomunikasi satu sama lain dan sering melampaui rentang waktu tertentu, serta jumlahnya cukup sedikit, sehingga setiap orang dapat berkomunikasi satu sama lain, tidak sebagai orang kedua, melalui orang lain, tetapi saling berhadapan (Gibson, Ivancevich, Donnelly, 1996). Kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia dapat dikategorikan pada kelompok dalam artian interaksi, ini dapat dilihat pada seringnya anggota kelompok mengembala kambing secara bersama sehingga setiap anggota dapat berkomunikasi dan berinteraksi langsung tanpa ada perantara, sehingga sedikit demi sedikit dapat menimbulkan saling ketergantungan antar anggota kelompok.
6.1.2. Kelompok KBS – KUBE “Sumber Makmur” Kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur didirikan pada tahun 2004 karena akan ada bantuan dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur melalui Program Bantuan Kesejahteraan Sosial tahun 2004. Kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur terdiri dari 10 orang, dan semuanya bertempat tinggal dalam satu Rukun Tetangga yaitu RT. 04. Adapun susunan pengurus Kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur adalah : 1. Ketua
: Khoirul
: T. Tuberkuloid
2. Sekretaris
: Amir
: T. Tuberkuloid
3. Bendahara
: Kamjani
: B. Border Line
4. Anggota
: 1. Sableg
: Indeferent - indeterminate
2. Suwoto
: B. Border Line
3. Darmi
: Indeferent - indeterminate
4. Matsai
: B. Border Line
5. Sarmi
: B. Border Line
6. Ngademo
: B. Border Line
7. Kadari
: T. Tuberkuloid
Sumber : Balai Pengobatan Dusun Nganget Tahun 2005. Dari daftar susunan anggota Kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur semua adalah eks penderita kusta yang terdiri dari tiga orang perempuan dan tujuh orang laki-laki. Anggota KBS-KUBE Sumber Makmur kebanyakan adalah pendatang yang berobat ke Nganget dan sudah dinyatakan sembuh oleh Mantri
105
Kesehatan (Balai Pengobatan). Di Dusun Nganget seperti dijelaskan di depan bahwa ada sungai belereng sebagai tempat berobat untuk orang yang mempunyai penyakit kusta. Dari berobat inilah banyak pendatang yang akhirnya menjadi warga Nganget. Seperti diungkapkan oleh Pak Rsd (65) yaitu : “…….. bahwa warga RT. 04 kebanyakan adalah pendatang yang berobat ke Nganget, karena merasa senasib maka mereka akhirnya membuat rumah disini, saya tidak bisa melarang karena mau kembali kerumah juga mereka dikucikan oleh warga di sekitar rumahnya……”
Dengan pernyataan tersebut maka banyak warga di RT. 04 yang pendatang sehingga tingkat kesembuhan penyakit yang dideritanya masih perlu untuk diadakan pemeriksaan kembali. Bagi anggota kelompok KBS - KUBE Sumber Makmur secara kultural tidak mempunyai ikatan psikologis dengan panti ataupun Rumah Sakit Kusta Nganget. Ini juga mempunyai mempunyai pengaruh terhadap perilaku yang berbeda dengan anggota kelompok KBS - KUBE Bangkit Mulia seperti yang diungkapkan oleh Pak Wdn (44) tahun yaitu : “……..bahwa warga di RT 04 ini adalah liar karena mereka datang begitu saja sehingga kadang-kadang mereka susah diatur, sebelum kesini mereka itu sudah kemana-mana,seperti minta-minta di jalan..” Menelaah pernyataan tersebut bahwa dalam Kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur anggotanya adalah para pendatang yang karakteristiknya berbeda dengan kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia yang seluruhnya berasal dari Rumah Sakit Kusta Nganget. Pada Kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda artinya sebelumnya tidak saling mengenal antar anggota kelompok dengan demikian akan berpengaruh terhadap perkembangan Kelompok KBS-KUBE selanjutnya terutama mengenai kekompakan antar anggota kelompok. Adapun tingkat pendidikan anggota kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur yaitu sebagian besar adalah, Tidak Sekolah, Tamat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, sesuai dengan tabel di bawah ini :
106
Tabel 11. Tingkat Pendidikan Anggota Kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur Dusun Nganget Tahun 2005
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Nama Anggota KUBE Khoirul Amir Kamjani Sableg Suwoto Darmi Matsai Sarmi Ngademo Kadari
Pendidikan Tamat SD Tamat SMP Tidak Sekolah Tidak Sekolah Tidak Sekolah Tidak Sekolah Tamat SD Tidak Sekolah Tidak Sekolah Tidak Sekolah
Keterangan
Sumber : Pengurus Kelompok KBS - KUBE 2005 Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa dari 10 angota kelompok KBS-KUBE yang Tidak Sekolah mencapai tujuh orang atau 70 %, dua orang atau 20 % Tamat Sekolah Dasar dan satu orang atau 10 %, Tamat Sekolah Menengah Pertama.
Dengan
70
%
anggota
tidak
sekolah
akan
mempengaruhi
perkembangan organisasi Kelompok KBS-KUBE. Secara organasasi kelompok Sumber Makmur belum berfungsi ini dapat dilihat dari aktivitasnya seperti pertemuan anggota tidak pernah ada, pembagian tugas dan pedelegasian wewenang tidak berjalan hanya ada kelengkapan organisasi saja, administrasi hanya ada buku perkembangan kelompok KBS-KUBE namun perkembangan kambing tidak pernah dicatat oleh sekretaris tapi tercatat di Pak RT (Rsd), aturan tertulis tidak ada, yang ada hanya aturan tidak tertulis yang berlaku untuk semua Kelompok Usaha Bersama. Ini sesuai dengan pernyataan Pak Amr (45) yaitu : “……… bahwa selama ini kepengurusan di KBS-KUBE Sumber Makmur tidak berjalan saya sebagai sekretaris tidak pernah mencatat apa-apa semua buku-buku dibawa oleh ketua dan selama ini memang tidak ada petunjuk untuk mengadakan pertemuan …….” Dalam kepengurusan selanjutnya setiap anggota maupun pengurus di tingkat Kelompok Usaha Bersama tidak pernah berpikiran untuk menumbuhkan atau mengembangkan organisasi KBS-KUBE. Adapun karakteristik anggota kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur yaitu bahwa mereka adalah heterogen berasal dari berbagai daerah. Di permukiman tersebut mereka berusaha sendiri untuk membangun rumah dan kebersamaan dibangun tidak secara bersamaan.
107
Sesuai dengan pernyataan Pak Rsd (65) yaitu : “………. Bahwa sebagian besar warga di RT saya adalah pendatang adanya perumahan dibangun atas inisiatif sendiri-sendiri …….” Dari pernyataan tersebut dapat ditelaah bahwa anggota kelompok KBS - KUBE Sumber Makmur secara kultur kurang mempunyai hubungan psikologis dengan panti, jadi segala sesuatu yang diprogramkan melalui panti sedikit berpengaruh pada tindakan mereka..Seperti terlihat pada tabel 9 bahwa 12 kambing atau12 % kambing KUBE dijual dua diantaranya ditukar dengan kambing jawa karena mereka menganggap memelihara kambing gibas tidak jodoh/sinung seperti pernyataan Pak Kdr (49) yaitu : “……… setelah saya mendapat bantuan kambing gibas beberapa hari kemudian sakit-sakitan sebelum kambing mati, saya melapor Pak RT untuk menjual kambing bantuan dan akan saya tukarkan dengan kambing jawa ………” Walaupun mereka menjual kambing bantuan mereka tetap melapor kepada RT setempat, bukannya melapor kepada ketua kelompok. Ketua RT mempunyai kedudukan yang baik di mata mereka karena Ketua RT juga menjabat sebagai wakil sekretaris pada kepengurusan Kelompok Usaha Bersama yang lebih besar dan kepanjangan tangan dari panti dan selama ini kalau ada permasalahan selalu melapor kepada Ketua RT. Kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur bila dikaitkan dengan teori kelompok maka masuk dalam kelompok sebagai artian persepsi yaitu suatu kelompok kecil didefinisikan sebagai orang-orang yang terlibat dalam interaksi satu sama lain dalam suatu pertemuan tatap muka atau serangkaian pertemuan semacam itu, dimana setiap anggota menerima beberapa kesan atau persepsi yang cukup jelas tentang anggota lainnya sehingga ia dapat, pada saat itu atau bersoal jawab kemudian, memberikan reaksi satu sama lain sebagai seorang individu, meskipun hal itu mungkin hanya untuk mengingat bahwa yang lain hadir (Gibson, Ivancevich, Donnelly, 1996).
Artinya bahwa dalam kelompok KBS-KUBE
Sumber Makmur antar anggota kelompok hanya menunjukkan yang lain hadir pada saat terjadinya pertemuan seperti yang terjadi pada diskusi kelompok. Dalam kelompok tersebut belum terjalin hubungan antar anggota yang saling menguntungkan dan saling ketergantungan.
108
Dari uraian profil kedua kelompok KBS-KUBE
tersebut di atas dapat dibuat
dalam tabel sebagai berikut : seperti terlihat dalam tabel 12. Tabel 12. Profil Kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia dan Sumber Makmur Dusun Nganget Tahun 2005.
Aspek Kajian Tahun dibentuk kelompok
Kelompok Bangkit Mulia
Kelompok Sumber Makmur
Bulan Oktober 2004
Bulan Oktober 2004
Tidak tamat SD
3 orang atau 30 %
7 orang atau 70 %
Tamat SD
6 orang atau 60 %
2 orang atau 20 %
Tamat SMP
1 orang atau 10 %
1 orang atau 10 %
Belum pernah
Belum pernah
Struktur organisasi
Ada, tetapi ketua, sekretaris dan bendahara belum menjalankan fungsinya.
Ada, tetapi ketua, sekretaris dan bendahara belum menjalankan fungsinya.
Pembukuan
Ada, tetapi tidak pernah diisi.
Ada, tetapi tidak pernah diisi.
Kepatuhan pada peraturan
Belum pernah menerima sanksi
Pernah menerima sanksi karena menjual kambing bantuan. (sanksi harus mengganti kambing).
Afiliasi lembaga keagamaan
NU dan LDII
NU
Asal anggota kelompok KBS-KUBE
Semua mantan pasien Rumah Sakit Kusta Nganget / kelompok sosial
Pendatang (RS Kusta Kediri, Sumber Glagah Mojokerto) Kelompok kulon kali.
Pendidikan Formal
Diklat yang pernah diikuti berkaitan dengan KUBE Kepengurusan
109
Eks Penderita Kusta pada stadium / tipe
Dua orang pada tipe I atau disebut indeferent ---indeterminate. (bercak keputihan). Daya tahan tubuh kuat tidak menular.
2 orang pada tipe I atau disebut indeferent ---indeterminate. (bercak keputihan). Daya tahan tubuh kuat tidak menular.
Tujuh orang pada tipe 2 atau disebut T. Tuberkoloid rambut rontok, penebalan kulit, pembengkakan pada tangan dan kaki. (lepra kering).
3 orang pada tipe 2 atau disebut T. Tuberkoloid rambut rontok, penebalan kulit, pembengkakan pada tangan dan kaki. (lepra kering).
Satu orang pada tipe 3 B. Border Line terjadi luka dan mutilasai = ujung ruas jari kaki
5 orang pada tipe 3 B. Border Line terjadi luka dan mutilasai = ujung ruas jari kaki.
Derajat kesembuhan
Derajat kesembuhan
100 % sudah dinyatakan sembuh.
100 % sudah dinyatakan sembuh.
Sumber : wawancara dengan anggota kelompok KBS-KUBE Tahun 2005.
6.2. Analisis Aspek Kelembagaan Kelompok KBS - KUBE Bertrand (1974) sebagaimana dikutip Tonny (2004) mengemukakan bahwa kelembagaan sosial adalah tata abstraksi yang lebih tinggi dari group, organisasi dan sistem sosial lainnya. Setiap kelembagaan mempunyai tujuan tertentu dan orang-orang yang terlibat di dalamnya memiliki pola perilaku tertentu yang berpedoman pada nilai–nilai dan norma yang sifatnya khas. Perihal sistem norma yang mengatur pergaulan hidup dengan tujuan tertentu, apabila diwujudkan dalam hubungan antar manusia
dinamakan organisasi
sosial
(social
organization). Dalam perkembangan selanjutnya, norma-norma tersebut dapat dikategorikan ke dalam berbagai kebutuhan pokok kehidupan manusia. Selanjutnya, setiap masyarakat tentu mempunyai kebutuhan-kebutuhan pokok yang apabila dikelompokkan akan terhimpun menjadi kelembagaan sosial. Kelembagaan itu bersifat konsepsi, dan bukan suatu yang kongkrit. Suatu kelembagaan adalah suatu kompleks peraturan-peraturan dan peranan-peranan sosial. Dengan demikian, kelembagaan memiliki aspek kultural dan struktural.
110
Segi kultural memiliki norma-norma dan nilai-nilai dari segi struktural berupa pelbagai peranan sosial.
6.2.1. Aspek Struktural dalam kelembagaan Kelompok KBS - KUBE Struktur kelompok ialah suatu sistem yang cukup tegas mengenai hubunganhubungan antara anggota-anggota kelompok berdasarkan peranan-peranan dan status-status mereka sesuai dengan sumbangan masing-masing dalam interaksi kelompok menuju ketujuannya. (Gerungan : 2002) Jadi struktur dalam kelompok itu terdiri dari susunan kedudukan-kedudukan fungsional anggota kelompok dalam kerjasamanya kearah tujuannya. Dengan kata lain, struktur itu adalah susunan hirarkis antar anggota kelompok disertai pengharapan-pengharapannya bahwa tugas dan kewajiban yang diserahkan kepada anggota-anggota itu akan diselesaikan dengan sewajarnya. Oleh karena itu tujuan kelompok adalah khas bagi kelompok yang bersangkutan, demikian pula ciri-ciri pribadi dan kecakapan-kecakapan anggota serta interaksi kelompok kearah tujuannya adalah khas. Maka oleh karena struktur kelompok yang bersangkutan adalah khas pula, sesuai dengan keadaan di dalam dan di luar kelompok. Berkenaan dengan struktur kelembagaan KUBE maka faktorfaktor yang diamati meliputi : pelapisan sosial dalam kelompok, pola hubungan dan komunikasi dalam kelompok, kepemimpinan dalam kelompok dan konflik dalam kelompok serta mekanisme kerja Kelompok Usaha Bersama.
6.2.1.1. Pelapisan Sosial dalam Kelompok KBS – KUBE Dalam peta sosial di jelasakan bahwa pelapisan sosial di permukiman eks penderita kusta dusun Nganget kekayaan bukanlah hal yang menjadi prioritas tetapi senioritas, keahlian ilmu pengetahuan terutama di bidang agama dan yang lebih khusus lagi adalah pegawai panti terlebih lagi didukung peranannya dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Untuk mengamati pelapisan sosial dalam kelompok dapat diamati dari jenis kelamin, pendidikan anggota, usia anggota, pembagian kerja, pengambilan keputusan dalam kelompok, paham idiologi, pendapatan per bulan dan asal eks penderita kusta. Pada umumnya anggota kelompok KBS - KUBE baik Bangkit Mulia maupun Sumber Makmur adalah laki-laki namun ada juga perempuan. Baik laki-laki
111
maupun perempuan mereka semua adalah pencari nafkah, mereka saling bergantian dalam pemeliharaan kambing tetapi ada juga yang sebagai pencari nafkah utama karena suaminya meninggal dunia atau sakit tidak tidak bisa bekerja lagi seperti yang diungkapkan oleh Ibu Gpr (55) yaitu : “……… menawi bapake kerja dateng tiang sanes biasanipun dikengken macul utawi kerja nopo mawon ingkang angen nggih kulo niki ……..” (artinya bahwa kalau suaminya disuruh orang untuk kerja mencangkul ataupun kerja yang lain maka yang mengembala kambing adalah istrinya). Hal ini diungkapkan juga oleh pernyataan Ibu Drm (44) yaitu “ “…….. Ingkang pados penggesangan saben dintene nggih kulo wong bapakipun sampun mboten saget menopo-menepo amargi sakit, kulo nggih kadang-kadang bakdho nyencang mendho niku merman dikengkeni tiang-tiang dateng persil, sabin utowo menopo ke mawon…….” ( Artinya bahwa yang mencari penghidupan setiap harinya adalah perempuan karena suami sudah tidak bisa apa-apa karena sakit, kadang-kadang setelah mengembala kambing saya disuruh orang membantu di persil, sawah atau apa saja ……..”). Dengan pernyataan tersebut bahwa peranan laki-laki dan perempuan dalam pengembalaan kambing adalah saling melengkapi. Bahkan yang sering mengembala kambing adalah perempuan karena tempat pengembalaan dekat dengan permukiman warga sedangkan yang laki-laki cenderung mencari penghasilan lain. Berikut ini adalah hasil wawancara terhadap dua kelompok KBS - KUBE sebagai terdapat dalam tabel 13.
112
Tabel 13. Pelapisan sosial dua kelompok KBS – KUBE di Dusun Nganget Tahun 2005
Pelapisan Sosial
Jenis Kelamin a. Laki-laki b. Perempuan Usia Anggota a. 20 – 30 Tahun b. 31 – 40 Tahun c. 41 – 50 Tahun d. > 51 Pembagian Kerja a. Ada b. Tidak ada Pengambilan Keputusan a. Anggota/Pribadi b. Ketua Kelompok c. Musyawarah anggota d. Pihak lain (Ketua RT) Afiliasi Lembaga Keagamaan a. NU b. LDII Asal Eks Penderita Kusta a. Pendatang b. Bekas RS Kusta Nganget Pendapatan Per Bulan a. < 100.000,b. 100.000 – 300.000,c. 301.000 – 600.000,d. 601.000 – 900.000, Pekerjaan Petani Penggarap Tukang Kayu Swasta Tidak Bekerja
Kelompok Usaha Bersama Bangkit Mulia Sumber Makmur Jumlah % Jumlah % Anggota Anggota 10 100 100 10 7 8 80 70 3 2 20 30 10 100 100 10 1 1 10 10 2 20 5 4 40 50 2 5 50 20 10 100 100 10 10 10 100 100 10 100 100 10 6 60 4 10 100 40 10 100 100 10 10 7 70 100 3 30 100 100 10 10 10 100 10 100 10 100 100 10 1 10 7 4 40 70 2 5 50 20 1 10 100 100 10 10 7 8 80 70 2 1 10 20 1 10 1 10
Sumber : Wawancara dengan anggota kelompok KBS-KUBE Usia anggota Kelompok Usaha Bersama rata-rata di atas usia 41 tahun mencapai 90 %, untuk KBS - KUBE Bangkit Mulia 50 % anggotanya di atas 51 Tahun sedangkan KBS - KUBE Sumber Makmur hanya 20 %. Dengan usia yang sudah semakin tua untuk anggota KBS-KUBE Bangkit Mulia lebih rajin dan sabar dalam pemeliharaan kambing bahkan setiap hari kambing dicombor (makan dedeg/katul campur air dan garam sedikit) supaya cepat gemuk karena mereka
113
berprinsip bahwa memelihara kambing disamping untuk kegiatan ekonomis juga untuk hiburan sehingga kambing dipelihara dengan baik dan bahkan sangat disayangi seperti yang diungkapkan oleh Pak Gpr (49) yaitu : “ …….. bahwa sebenarnya secara ekonomi dan jangka pendek memelihara kambing itu rugi, karena tiap hari mengeluarkan uang untuk membeli katul/dedeg setiap minggu kambing 7 ekor ini menghabiskan dedeg/katul sampai 10 kg per Minggu, harga per kilonya sampai di permukiman Rp. 1.000,- jadi setiap minggunya saya mengelurkan uang sebesar Rp. 10.000,- Namun saya ikhlas dan senang karena kambing-kambing saya menjadi gemuk itu jadi hati saya sudah terhibur dan kalau sewaktu-waktu saya butuh uang tinggal menjual……” Kelompok KBS - KUBE Sumber Makmur rata-rata anggotanya masih berusia produktif yaitu mencapai 50 %, dengan usia yang produktif maka tingkat mobilisasi sosial lebih tinggi dibanding dengan kelompok KBS – KUBE Bangkit Mulia sehingga banyak kambing yang tidak terpelihara dengan baik. Seperti yang diungkapkan oleh Pak Krl (23) yaitu : “ ………. Bahwa pekerjaan saya adalah tukang kayu sehingga saya sering dipanggil orang kesana-kemari dan saya juga belum berumah tangga sehingga kambing tidak terurus dan akhirnya saya jual ……..” Pendidikan formal anggota Kelompok Usaha Bersama baik kelompok KBS KUBE Bangkit Mulia maupun Sumber Makmur sebagian besar tidak tamat Sekolah Dasar sampai tamat Sekolah Dasar hanya dua orang yang tamat Sekolah Menengah Pertama. Rendahnya tingkat pendidikan disebabkan waktu itu mereka dari kecil penyakit yang dideritanya sudah mulai nampak dan kebanyakan dari keluarga yang tidak mampu. Seperti diungkapkan oleh Pak Amr (45) yaitu : “……..bahwa dari kecil sampai Sekolah Dasar penyakit saya ini belum kelihatan menginjak kelas tiga Sekolah Menengah Pertama mulai kelihatan, saya mulai dijauhi oleh teman-teman dan saya mulai minder namun tetap saya tahan sampai akhirnya saya lulus dari SMP ……” Untuk melanjutkan sekolah orang yang mempunyai penyakit kusta sangat sulit karena masih ada stigma dari masyarakat yang selalu melekat padanya yaitu masyarakat menyebut penyakit tersebut akibat kutukan atau kalau berdekatan bisa menular sehingga sangat sulit untuk bergaul dengan masyarakat pada umumnya.
114
Pembagian tugas dalam kelompok KBS - KUBE disusun secara sederhana terdiri atas ketua, sekretaris dan bendahara. Kepengurusan ini hanya sekedar memenuhi persyaratan untuk mendapatkan bantuan dari program bantuan kesejahteraan sosial tanpa diketahui tugasnya dengan jelas. Karena di atas lima kelompok KBS - KUBE yang ada ini ada kepengurusannya lagi yang menaungi yaitu Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Kepengurusan inilah yang aktif dan jelas
pembagian
tugasnya.
Kepengurusan
ini
terdiri
dari
tokoh
agama/masyarakat dan masing-masing ketua RT. Masing-masing ketua RT diberi wewenang untuk mengatur, mengawasi dan mengontrol KBS - KUBE di RT –nya masing-masing. Dengan pemberian wewenang tersebut akhirnya pengambilan keputusan selalui diserahkan kepada ketua RT. Kelompok KBS – KUBE Bangkit Mulia ketua RTnya cukup aktif dan kebetulan dia tidak ada pekerjaan yang pasti karena kebutuhan hidupnya dipenuhi oleh anaknya, sehingga mempunyai waktu untuk selalu memonitor KBS - KUBE yang berada dalam kewenangannya. Dalam KUBE Bangkit Mulia 100 % keputusan diambil oleh ketua RT yang sekaligus sebagai sekretaris pengurus KUBE. Di permukiman eks penderita Nganget tidak bisa lepas dengan kelompokkelompok masyarakat yang ada. Pada Kelompok KBS - KUBE Bangkit mulia anggota cukup beragam 70 % warga Nahdatul Ulama dan 30 % warga LDII, namun mereka dipersatukan kelompok sosial, karena mereka berangkat ke permukiman dengan gerbong yang sama yaitu bantuan dari Departemen Sosial. Berbeda dengan KUBE Sumber Makmur 100 % warga Nahdatul Ulama yang sangat rutin mengikuti tahlilan setiap satu minggu sekali walaupun pada awalnya mereka tidak mengenal satu dengan yang lain. Pendapatan diantara dua KUBE hampir sama yaitu KUBE Bangkit Mulia 50 % berpendapatan tiap bulan antara Rp. 301.000
- 600.000 sedangkan KUBE
Sumber Makmur 70 % pendapatan per bulan anggotanya sebesar Rp. 100.000 – 300.000,- . Ada yang lebih menonjol diantara dua KUBE yaitu masing-masing 10 % ada anggota yang berpenghasilan tertinggi dan terendah. Ini disebabkan karena anggota dari KBS – KUBE Bangkit Mulia ada yang bekerja di luar permukiman sehingga pendapatan lebih tinggi sedangkan di KUBE Sumber Makmur juga penderita namun usia sudah sangat tua dan tidak berpenghasilan.
115
Dengan tingkat pendidikan yang rendah, pendapatan yang tidak mencukupi kebutuhan dan ditambah dengan persoalan-persoalan yang lain sehingga peranan individu dalam kelompok sangat kurang. Seperti yang dikemukakan oleh Soekanto (2005) bahwa peranan dapat dikatakan sebagai perilaku yang penting bagi struktur sosial masyarakat. Kurang adanya spesialisasi tugas menjadikan individu kurang berperan dalam setiap aktifitas kelompok sehingga struktur kelompok akan tampak statis, apalagi jika kemampuan sumber daya yang dimilikinya sangat lemah maka intervensi dari luar akan sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan sebuah kelompok.
6.2.1.2. Pola Hubungan dan Komunikasi Dalam Kelompok Pola hubungan dan komunikasi dalam kelompok yang berkaitan dengan aspek struktur diamati dari derajat kedekatan anggota dalam kelompok serta bentuk bentuk hubungan dan ikatan dalam kelompok. Sedangkan pola komunikasi dalam kelompok diamati dari intensitas komunikasi dalam kelompok dan antar kelompok baik horizontal maupun vertikal serta sarana komunikasi yang digunakan. Hubungan yang dinamis dalam kelompok dengan komunikasi yang baik dan lancar akan memperkuat tingkat kohesivitas kelompok tersebut. Derajat kedekatan anggota dalam kelompok untuk kedua kelompok KBS - KUBE hampir sama perasaan senasib membawa dampak adanya ikatan emosional yang kuat. Perasaan senasib akan muncul apabila kelompok – kelompok tersebut mempunyai kepentingan yang sama dalam menghadapi sesuatu. Namun dalam kelompok KBS - KUBE mereka juga bisa bersifat egois bila antar anggota kBS - KUBE mempunyai kepentingan yang tidak sama. Seperti yang muncul dalam diskusi kelompok yang diungkapkan oleh Ibu Drm (44) yaitu : “……….. bahwa kambing yang sakit itu adalah urusan mereka masing-masing mau memanggil mantri atau tidak, kalau disuruh membantu maka saya tidak mau karena tidak punya uang …….” Ketidakmauan mereka membantu sesama anggota kelompok dapat disebabkan susahnya mencari penghasilan karena keterbatasan pekerjaan, mereka hanya bisa mencari penghasilan di permukiman saja atau di sekitarnya yang sudah terbiasa menerima mereka. Hubungan
atau
komuikasi
anggota
dalam
kelompok
pada
umumnya
menggunakan media lisan atau tatap muka antar personal. Pranadji (2003)
116
menyatakan bahwa hubungan atau komunikasi menggunakan media lisan dan tatap
muka
personal
menjadi
ciri
umum
yang
mendasari
solidaritas
ketetanggaan. Masing-masing kelompok KBS - KUBE selama ini tidak pernah mengadakan pertemuan.
Pertemuan hanya dilakukan oleh pendamping KUBE
yang berkedudukan di dalam panti selama ini pertemuan baru dilaksanakan sebanyak 4 kali. Sesuai dengan pernyataan Ibu Smh (49) yaitu : “……..Bahwa pertemuan masing-masing kelompok memang tidak pernah ada namun kalau pertemuan seluruh KUBE yang ada kira-kira sudah 4 (empat) kali dan dilaksanakan di panti yang pertama pada saat akan ada bantuan; kedua pada saat akan menerima bantuan; ketiga pada saat pembagian kelompok dan yang keempat pada saat pembagian bantuan kambing setelah itu tidak pernah ada lagi ……..” Pertemuan yang diadakan hanya pada tingkat pengurus KUBE yang menaungi kelompok-kelompok KBS - KUBE. Pertemuan itu dilaksanakan setiap 4 bulan sekali itu diadakan untuk membahas perkembangan simpan pinjam dan permasalahan-permasalahan yang ada pada masing-masing kelompok KBS KUBE. Dengan jarangnya pertemuan yang dilaksanakan di permukiman ini juga berkaitan dengan keterbasatan fisik yang ada pada eks penderita kusta itu sendiri. Setelah seharian bekerja mereka cukup lelah sehingga frekwensi pertemuan dengan tetangga juga terbatas hanya pada sore hari setelah pulang dari sawah atau persil. Dan pada malam hari mereka beristirahat dalam rumah.
6.2.1.3. Kepemimpinan Dalam Kelompok KBS - KUBE Poinsioen (1969) sebagaimana dikutip Pranadji (2003) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah salah satu penggerak utama perubahan masyarakat, leadership as a prime mover of social changes. Aspek kepemimpinan sangat menentukan kemajuan masyarakat. Kemajuan suatu kelompok sangat ditentukan oleh ciri kepemimpinan yang melekat pada para pemimpinnya. Berdasarkan hasil wawancara anggota kelompok bahwa pada kedua kelompok KBS - KUBE baik Bangkit Mulia maupun Sumber Makmur pemilihan ketua masing – masing KBS - KUBE berdasarkan penunjukkan ketua RT masingmasing melalui musyawarah pengurus KUBE yang menaungi masing-masing kelompok KBS - KUBE. Sesuai dengan pernyataan Pak Rls (65) yaitu : “………bahwa pada siang hari kami dipanggil oleh kepala panti dan kami diberi tugas untuk membentuk 5 kelompok yang terdiri dari masing –masing kelompok 10 orang karena akan ada bantuan, maka
117
pada malam harinya kami berkumpul di rumah Pak Rks untuk membicarakan masalah tersebut dan kami selesaikan tugas membentuk kelompok sekaligus pengurusnya dan pagi harinya kami serahkan kepada kepala panti……..”. Kepemimpinan dalam kedua kelompok KBS-KUBE tersebut tidak berfungsi ini disebabkan ketua kelompok adalah hasil penunjukkan dari pengurus Kelompok Usaha Bersama.
6.1.2.4. Konflik Dalam Kelompok KBS - KUBE Konflik adalah pertentangan antara sua pihak atau lebih. Konflik dapat terjadi antar individu, antar kelompok kecil atau besar. Dalam mengelola sebuah kelompok seperti KBS - KUBE tentunya konflik sering terjadi terutama berkaitan dengan keragaman kebutuhan dan kepentingan anggota dalam kelompok. Semakin beragamnya tujuan setiap anggota semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik. Konflik dalam kelompok KBS - KUBE pada umumnya merupakan suatu dinamika yang ada dalam perkembangan kelompok. Pola konflik yang terjadi dalam kelompok KBS - KUBE umumnya bersifat interpersonal, namun tidak menutup kemungkinan bisa meluas pada kelompok yang lain. Sesuai dengan pernyataan Ibu Smh (49) yaitu : “…….. sampun dados keputusanipun pengurus menawi mendho bantuan niku mboten saget dipun sadhe, niku medhonipun Bu Rks kok dipun sadhe malah ditumbasake kalung, pengurus KUBE sampun mangertos nanging mendhel mawon ……..” ( Artinya sudah menjadi keputusan pengurus bahwa kambing bantuan tidak boleh dijual, tapi kambingnya bu Rks di jual dan dibelikan perhiasan, pengurus KUBE sudah mengetahuinya tetapi diam saja ) Konflik akan terjadi bila pengurus KUBE sendiri tidak konsisten dengan peraturan yang dibuatnya sendiri, walaupun peraturan itu sifatnya tidak tertulis. Penyebab lain bisa terjadi karena faktor kurangnya komunikasi maupun lemahnya kepemimpinan dalam kelompok. Lemahnya komunikasi ini bisa disebabkan karena kurang adanya pertemuan baik internal kelompok maupun antar kelompok KBS - KUBE yang ada. Konflik juga mempunyai aspek – aspek positif seperti memperkuat identitas kelompok, meningkatkan prestasi kelompok (Jehn, 1995) dalam Sarwono (2001) memberi peluang untuk belajar, dan meningkatkan konsensus (Franz & Jin, 1995) dalam Sarwono (2001).
118
6.2.1.5. Mekanisme Kerja KUBE Mekanisme KUBE yang ada di permukiman eks penderita kusta barangkali berbeda dengan KUBE di daerah lain. Mekanisme kerja KUBE di permukiman eks penderita kusta yaitu bantuan disaluran melalui panti. Didalam panti ada koordinator KUBE yang dijabat oleh eselon IV dan mereka mempunyai staf yang disebut sebagai pendamping. Jumlah pendamping ada lima
orang sesuai
dengan jumlah kelompok KBS - KUBE yang ada. Dibawah Koordinator dan pendamping ada pengurus yang yang berjumlah enam orang terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh agama dan Ketua RT disebut sebagai Pengurus KUBE , dalam kepengurusan KUBE mempunyai kegiatan usaha simpan pinjam dan kelompok KBS - KUBE yang berjumlah lima kelompok. Struktur Organisasi Kerja KUBE dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 8. Struktur Organisasi KUBE di Dusun Nganget Tahun 2005 Dinas Sosial Panti Koordinator I
Koordinator Umum
Pendamping
Pendamping
Usaha Simpan Pinjam
KBS – KUBE Sumber Rejeki Ket. : =
Koordinator II
Pendamping
Pendamping
Pengurus KUBE (Tokoh Masyarakat)
KBS – KUBE Bina Usaha
Garis Komando,
KBS – KUBE Sumber Makmur
Pendamping
KBS - KUBE
KBS – KUBE Bangkit Mulia
= Garis Koordinasi, = Garis Pendamping,
KBS – KUBE Barokah
=Grs Kegiatan
Sumber : Koordinator KUBE Tahun 2005
119
Dalam pengelolaannya dilaksanakan secara hirarkis mulai Pembina yang dijabat oleh Kepala Panti, dibawahnya koordinator lalu pendamping, pengurus KUBE dan yang paling bawah pengurus kelompok KBS - KUBE. Secara struktural pengurus KBS – KUBE akan melaporkan permasalahan kelompok kepada Pengurus KUBE selanjutnya pengurus KUBE melanjutkan kepada Koordinator KUBE dan seterusnya sampai kepada Pembina KUBE. Namun yang terjadi pengurus KBS – KUBE baik kelompok KBS – KUBE Bangkit Mulia maupun Sumber Makmur tidak berfungsi sehingga diambil alih oleh ketua RT masing-masing yang secara langsung juga menjadi pengurus KUBE. Bagi kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia yang mempunyai Ketua RT rajin dan sering mengadakan monitoring maka KBS – KUBE dapat berkembang namun untuk kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur sedikit mengalami hambatan dalam perkembagannya. Ketua RT tidak bisa selalu memonitor perkembangan KBS – KUBE akhirnya anggota KBS – KUBE bertindak sesuai dengan kebutuhan yang dia rasakan seperti menjual kambing untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bila
ditelaah
lebih
dalam
mekanisme
kerja
KUBE
secara
hirarkis
petanggungjawaban antar unit organisasi tidak jelas adanya jabatan rangkap yang disandang oleh pengurus KUBE. Selain sebagai pengurus KUBE mereka juga menjadi ketua RT yang bertanggungjawab terhadap perkembangan KUBE. Kelemahan dari mekanisme kerja KUBE karena masing-masing unit tidak mengetahui siapa bertanggungjawab kepada siapa, karena tidak ada penjelasan secara tertulis dan mekenisme tersebut hanya diketahui orang-orang yang berada dalam panti tanpa melibatkan pengurus dan anggota KBS-KUBE yang ada.
6.2.2. Aspek Kultur dalam kelembagaan KBS - KUBE Banyaknya unsur-unsur kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat maka untuk memahami kelompok KBS - KUBE, pengamatan dibatasi pada nilai dan norma kelompok, dan tata perilaku dalam kelompok. 6.2.2.1. Sistem Nilai dan Norma dalam Kelompok KBS - KUBE Sistem tata nilai yang diperankan oleh anggota-anggota kelompok dalam masyarakat mencerminkan tata nilai dari masyarakat itu sendiri, begitu juga
120
sebaliknya tata nilai masyarakat itu mencerminkan tata nilai dari anggotaanggota masyarakat. Begitu juga yang terjadi pada anggota – anggota kelompok KBS - KUBE dalam komunitas eks penderita kusta. Sistem tata nilai dan norma yang dianut oleh kedua kelompok KBS – yaitu pada KBS-KUBE Bangkit Mulia kepatuhan pada peraturan lebih baik dibanding dengan KBS – KUBE Sumber Makmur ini dapat dilihat pada perilaku penjualan kambing yang dilakukan oleh anggota kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur lebih banyak dibanding kelompok
Bangkit
Mulia.
Disamping
penjualan
kambing
juga
masalah
pengguliran Kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia lebih banyak jumlah kambing yang digulirkan bahkan sudah membentuk kelompok baru. Penjualan yang terjadi pada kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur ini disebabkan karena tingkat ekonomi kelompok sumber Makmur sangat rendah dan sering sakit – sakitan sehingga kambing dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan dipakai untuk pengobatan. Dalam kehidupan sehari-hari Eks penderita kusta mempunyai semangat hidup dan semangat kerja yang lebih tinggi dibanding dengan masyarakat di dusun sekitar permukiman Dusun Nganget ini sesuai dengan pernyataan Pak Mstr (55) yaitu : “………..bahwa yang membedakan eks penderita kusta dengan warga di Dusun lainnya adalah semangat kerja dan keinginannya untuk tetap hidup lebih besar dibanding dengan warga dusun lainnya……….” Hakekat hidup dan hakekat kerja ini dapat diamati melalui pola kerja atau waktu lamanya mereka bekerja. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Rph (42) yaitu : “……….Kulo niku pak nyambut dhamel milai injing ngantos suruf, tangi jam 04.00 terus sholat subuh, masak, umbah-umbah bakdho niku angen dateng saben kulo sambi nburuh tandur ngantos bade dhuhur manthuk sekedap, mangke jam 13,00 berangkat malih dateng saben nerusake mburuh ngantos jam 16.00, saksampune niku mendhet mendho kalih pados suket kangge nedo medho menawi dhalu ngantos jam 17,30 ……..” (artinya saya ini pak mulai bekerja dari pagi sampai metahari tenggelam, mulai bangun jam 04.00 pagi terus menjalankan sholat subuh, masak, mencuci setelah itu pergi mengembala kambing sambil menjadi buruh tani sampai hampir dhuhur, pulang sebentar sampai pukul 13.00 lalu berangkat lagi melanjutkan bekerja sebagai buruh tani sampai pukul 16.00, sesudah itu pergi mengambil kambing sekalian mencari rumput untuk makan kambing pada waktu malam hari selesai sampai pukul 17.30) Para eks penderita kusta bekerja selama 12 jam setiap harinya dengan kualitas pekerjaan yang berat, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
121
6.2.2.2. Tata Perilaku Dalam Kelompok KBS - KUBE Tata perilaku dalam kelompok juga merupakan perwujudan dari perilaku yang ditujukkan oleh suatu masyarakat. Tata perilaku tersebut merupakan wujud sistem norma dan nilai yang dianut oleh masyarakat di permukiman eks penderita kusta Dusun Nganget. Jadi baik buruhnya suatu perilaku suatu kelompok tergantung pada seberapa kuat nilai dan sistem norma yang dijalankan oleh kelompok tersebut. Untuk mengamati perilaku individu dalam kelompok KBS - KUBE di permukiman eks penderita kusta Dusun Nganget ada tiga hal yang pokok yaitu perilaku kerjasama, perilaku persaingan dan disiplin kerja. Kerjasama adalah suatu bentuk interaksi sosial ketika tujuan anggota kelompok yang satu berkaitan erat dengan tujuan anggota yang lain atau tujuan kelompok yang lain secara keseluruhan sehingga setiap individu hanya dapat mencapai tujuan apabila individu yang lain juga mecapai tujuan. Persaingan suatu bentuk interaksi sosial ketika seorang individu dapat mencapai tujuan sehingga individu lain akan terpengaruh dalam mencapai tujuan tersebut atau suatu proses sosial ketika individu/kelompok saling berusaha dan berebut untuk mencapai keuntungan dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan disiplin kerja merupakan perilaku untuk mentaati suatu aturan baik itu aturan tertulis maupun tidak tertulis. Ketiga faktor tersebut dipandang sangat berkaitan dengan tata nilai dan norma yang berlaku dalam dalam kelompok KBS - KUBE di permukiman eks penderita kusta. Untuk memahami lebih dalam tentang hal tersebut dapat diuraikan melalui tabel 14. Tabel 14. Tata perilaku kelompok KBS - KUBE Dusun Nganget Tahun 2005. Tata Perilaku Dalam Kelompok Perilaku Kerjasama
Perilaku Persaingan Pengguliran Disiplin kerja
Kelompok KUBE Bangkit Mulia Sumber Makmur Bila ada anggota lain Bila ada anggota lain yang tidak bisa mengembalakan yang tidak bisa mengembalakan kambing maka dapat kambing maka bisa dititipkan kepada anggota dititipkan orang dengan lain tanpa pamrih. jalan memberi upah. Ada kebanggaan bila Belum ada kebanggan sudah menggulirkan bila sudah menggulirkan Dalam mengembala dan Dalam mengembala dan pemberian makanan pemberian makanan tambahan tepat waktu tambahan Tidak tepat waktu
Sumber : Wawancara dengan anggota kelompok tahun 2005
122
Perilaku kerjasama di antara kedua kelompok ini mempunyai perbedaan yang sangat menyolok. Bila pada kelompok KBS - KUBE Bangkit Mulia apabila ada teman yang sedang bepergian maka teman yang lain dapat diminta untuk sementara mengembalakan kambing yang dimilikinya ini. Sesuai dengan pernyataan Ibu Smh (49) yaitu : “……….Menawi wonten konco ingkang bade tindak an mendhonipun dititip kalih kulo, natos pak Stm tindak Griyo Sakit Sumber Glagah Mojokerto mresakaken gerahipun pinten-pinten ndinten mendhonipun dititip kulo, nggih kulo ngen sareng kalih mendho kulo ……..” (artinya bahwa kalau ada teman yang akan pergi kambing dititipkan kepada saya pernah pak Stm pergi ke Rumah Sakit Sumber Glagah Mojokerto memeriksakan sakitnya, beberapa hari kambingnya dititipkan saya, ya saya mengembalakan bersamaan dengan kambing saya). Bila ditelaah lebih dalam bahwa perilaku kerjasama yang ditunjukkan oleh anggota kelompok KBS - KUBE Bangkit Mulia adalah berkat kebersamaannya selama mereka berada di rumah sakit kusta Nganget sampai beberapa tahun bahkan bertempat tinggal pun bertetangga sehingga diantara mereka timbul solidaritas. Sedangkan perilaku kerjasama di dalam kelompok KBS - KUBE Sumber Makmur sudah didasari oleh sikap yang agak komersial seperti pernyataan Pak Swt (50) yaitu : “………..bahwa pada saat saya sakit dan berobat ke Rumah Sakit Sumber Glagah Mojokerto beberapa hari, saya minta tolong pada seseorang untuk sementara menggembalakan kambing, tetapi orang tersebut minta upah dan saya beri Rp. 60.000,- karena tidak punya uang maka kambing saya jual untuk berobat dan memberi upah orang tersebut……..” Dari pernyataan tersebut apabila ditelaah maka sifat solidaritas kelompok KBS – KUBE Sumber Makmur sangat rendah ini disebabkan karena mereka dipertemukan di permukiman dan pada awalnya tidak mengetahui latar belakang masing-masing. Perilaku persaingan yang terjadi pada kedua kelompok KBS KUBE hampir sama namun frekwensi anggota yang berbeda artinya persaingan antar anggota KBS - KUBE Bangkit Mulia terjadi apabila sudah bisa menggulirkan itu adalah merupakan kebanggaan karena mereka menganggap kewajiban sudah selesai dari 10 anggota hampir semua merasa senang kalau sudah menggulirkan ini berakibat bahwa kelompok KBS - KUBE Bangkit Mulia
123
jumlah pengguliran lebih banyak dibanding kelompok KBS - KUBE Sumber Makmur dan bahkan sudah terbentuk kelompok KBS - KUBE baru. Pada disiplin kerja anggota kelompok KBS - KUBE Sumber Makmur masih kurang dibanding dengan kelompok KBS - KUBE Bangkit Mulia. Ini disebabkan tingkat mobilitas pada kelompok Sumber Makmur lebih tinggi sehingga kadang – kadang berpengaruh pada pemeiliharaan kambingnya. Sedangkan pada kelompok Bangkit mulia ada saling bekerjasama atau saling membantu antara suami dan istri dalam pemeliharaan kambing, sehingga kambing tetap terpelihara dengan baik.
6.3. Analisis Aspek Sosial Kelompok KBS - KUBE Dinamika kelompok berarti suatu kelompok yang teratur dari dua individu atau lebih yang mempunyai hubungan psikologis secara jelas antara anggota yang satu dengan anggota yang lain. Dengan kata lain antar anggota kelompok mempunyai hubungan psikologis yang berlangsung dalam situasi yang dialami secara bersama-sama. Untuk menganalisis aspek sosial baik anggota kelompok KBS - KUBE Sumber Makmur dan KBS - KUBE Bangkit Mulia dalam kajian ini di fokuskan kepada yaitu motivasi berkelompok, peran masyarakat, interaksi dalam kelompok dan kepedulian sosial, rasa turut memiliki dan perkembangan kelompok.
Seperti
dapat dilihat dalam tabel 15. Tabel 15. Dinamika kelompok anggota KUBE Bangkit Mulia dan Sumber Makmur Dusun Nganget Tahun 2005.
Dinamika Kelompok
Kelompok KUBE Bangkit Mulia
Sumber Makmur
Motivasi berkelompok
Mulai tumbuh, ditandai dengan adanya mengembala secara bersama
Belum tumbuh
Peran Masyarakat
Melalui
Melalui Lembaga keagamaan
ketetanggaan Kepedulian Sosial
Bila ada anggota sakit maka anggota yang lain menolong.
Belum ada dalam kelompok
124
Perkembangan kelompok
Muncul kelompok baru
Belum tumbuh kelompok baru
Rasa Turut Memiliki
Ditunjukkan dengan pemeliharaan kambing dengan baik sehingga kambing dapat berkembang.
Belum tumbuh
Kerjasama
Kerjasama ditunjukkan dengan saling menolong dalam mengembala kambing
Kerjasama tidak ada melainkan bila ada anggota yang tidak bisa mengembalakan kambing maka membayar orang untuk mengembalakannya,
Sumber : Hasil wawancara dengan Anggota KBS – KUBE Tahun2005. Analisis motivasi berkelompok pada kedua KSB - KUBE baik kelompok KBS KUBE Bangkit Mulia maupun Sumber Makmur bahwa motivasi berkelompok bukan inisiatif masing-masing anggota kelompok KUBE tapi berasal dari pihak luar yaitu Panti Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta Nganget karena akan ada bantuan turun. Analisis peran masyarakat untuk kedua kelompok KUBE adalah bila pada kelompok KBS - KUBE Bangkit Mulia peran masyarakat dilakukan melalui ketetanggaan artinya bahwa anggota masyarakat yang dalam hal ini tetangga ikut mengawasi perkembangan kelompok KBS KUBE khususnya mengenai pemeliharaan kambing. Seperti yang diungkapkan oleh Pak Ksbl (49) yaitu : “…….. bahwa bila ada anggota kelompok KUBE yang ketahuan menjual kambing, maka oleh tetangga akan ditegur supaya tidak dijual karena itu adalah bantuan dari pemerintah tidak boleh dijual, saya sendiri beberapa kali menegur anggota KUBE yang mau menjual kambing dengan alasan tidak bisa merawat lagi ………..” Bila pada kelompok KBS - KUBE Sumber Makmur peran masyarakat ditunjukkan melalui lembaga keagamaan yaitu melalui Jum’atan dan Tahlilan. Seperti yang diungkapan oleh Kyai Jsf (65) yaitu : “………. Bahwa untuk mendidik orang sakit itu perlu waktu yang sangat lama, seperti yang saya lakukan melalui Jum’atan dan Tahlilan baik bapak-bapaknya maupun ibu-ibu itupun tidak mudah kadangkadang mereka itu seenaknya sendiri……..”
125
Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompokkelompok manusia, atau antara orang perorangan dengan kelompok. Seperti dijelaskan di depan bahwa kelompok-kelompok KBS - KUBE tidak pernah mengadakan pertemuan, maka interaksi yang terjadi tidak dibatasi oleh kelompok KBS - KUBE yang ada. Secara umum kepedulian sosial eks penderita kusta terhadap sesama adalah
rendah apabila berkaitan dengan bantuan
karena mereka berprinsip bila ada bantuan maka semua eks penderita kusta di permukiman harus mendapat bantuan semua dapat tidak peduli kaya atau miskin karena semua adalah eks penderita kusta. Bila dikaitkan dengan bantuan maka eks penderita kusta mempunyai rasa memiliki yang juga rendah apabila yang sifatnya bantuan. Seperti yang diungkapkan oleh Kyai Jsf (65) yaitu : “………. bahwa orang sakit itu kurang mempunyai rasa memiliki karena mereka berpikiran bantuan itu adalah kepunyaan negara apalagi yang bertempat tinggal di sekitar rumah saya ini karena sebelumnya mereka tidak pernah menjalani/mengikuti pendidikan agak berbeda sedikit dengan yang berada di sosial karena mereka dulu waktu di rumah sakit selain berobat juga diberi pendidikan ………”
6.4. Analisis Aspek Ekonomi Kelompok KBS – KUBE Seperti dijelaskan di depan bahwa pendapatan anggota kelompok KBS - KUBE baik Bangkit Mulia maupun Sumber Makmur sangatlah rendah. Oleh sebab itu dengan adanya bantuan kambing membawa dampak positif dan negatif. Bila pada anggota KBS - KUBE Bangkit Mulia kambing lebih berkembang daripada Sumber Makmur maka dengan perkembangan tersebut sedikit banyak memperngaruhi pendapatannya. Seperti yang diungkapkan oleh Pak Mkn (48) yaitu : “………. Bahwa setelah kambing KUBE itu berkembang dan sudah menggulirkan, ada beberapa anggota KUBE bangkit mulia yang menjual kambing dan dibelikan alat pertukangan sehingga usahanya mengalami kemajuan …….” Namun disisi lain seperti yang terjadi pada KBS - KUBE Sumber Makmur karena tingkat perekonomiannya lebih rendah daripada kelompok KBS - KUBE Bangkit Mulia maka kambing bantuan banyak yang dijual untuk memenuhi kebutuhannya
126
disamping untuk berobat bila sakit yang dideritanya kambuh. Pada aspek ekonomi di dalam KBS-KUBE tidak ada usaha secara kelompok namun secara individu masih diperlukan peningkatkan pendapatan individu dalam kelompok melalui peningkatan jumlah produksi kambing.
6.5. Analisis Kekompakan (Compactness) kelompok KBS-KUBE. Selain aspek kelembagaan, sosial dan ekonomi maka analisis kelompok KBS – KUBE di Dusun Nganget juga menyangkut permasalahan jejaring sosial, integrasi sosial , solidaritas sosial dan kohesivitas sosial.
6.5.1. Jejaring Sosial Komunitas Eks Penderita Kusta Dalam suatu komunitas masih sangat jarang yang mempu menyelesaikan masalahnya
sendiri.
Sebagian
masyarakat
ternyata
masih
memerlukan
keterlibatan pihak lain, bahkan ada yang memerlukan sejak perumusan masalahnya, termasuk dalam pengumpulan informasi yang diperlukan untuk merumuskan suatu masalah. Dengan demikian, bila fungsi-fungsi yang diperlukan bagi penyelesaian masalah komunitas yang bersangkutan maka dalam hal ini diperlukan keteribatan pihak lain yang fungsinya diperlukan. Atau dengan kata lain, perlu melibatkan seluruh komponen stakeholders. Dalam menganalisis jejaring dibagi menjadi
tiga yaitu (1) jejaring intra KBS-
KUBE ; (2) jejaring antar kelompok KBS – KUBE ; (3) jejaring kelompok KBSKUBE dengan dengan masyarakat yang lebih Luas. 1. Jejaring intra KBS – KUBE Jejaring intra kelompok KBS – KUBE yang terbentuk baik kelompok KBSKUBE Sumber Makmur maupun kelompok Bangkit Mulia belum tampak ini disebabkan proses pembentukan KUBE adalah bentukan panti akibat akan ada bantuan modal usaha dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur dan waktu terbentuk kelompok KBS – KUBE baru
dua tahun. Dengan proses
terbentuknya KBS – KUBE yang dibentuk karena akan ada bantuan dan ditambah dengan waktu yang antar anggota kelompok KBS-KUBE belum ada perasaan saling ketergantungan ditambah lagi kambing ternak dipelihara secara sendiri – sendiri sehingga seakan-akan sudah menjadi milik pribadi
127
dan bila terjadi sakit dengan kambing tersebut maka secara pribadi pula akan mengobati tanpa campur tangan dari kelompok. Jejaring terjadi bila antara anggota yang satu dengan yang lain saling membutuhkan seperti yang terjadi dalam kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia bila ada salah satu yang sakit dan harus dirawat di rumah sakit maka anggota yang lain membantu dengan jalan mengembalakan kambingnya. Jejaring juga terjadi secara informal melalui pengembalaan kambing secara bersamaan. 2. Jejaring antara kelompok KBS – KUBE Jejaring antar kelompok KBS – KUBE yang ada di komunitas eks penderita kusta terjadi pada saat kandang kambing menjadi satu. Pada saat pertama kali menerima bantuan kambing lima kelompok dengan kambing berjumlah 100 ekor tersebut dijadikan dua kadang. Kandang pertama di RT.06 yang berisi 40 kambing dengan dua kelompok KBS – KUBE Bangkit Mulia dan Barokah. Kadang kedua berada di RT. 04. yang berisi 60 ekor kambing dengan 3 kelompok KBS-KUBE yaitu Bina Usaha, Sumber Rejeki dan Sumber Makmur. Pada saat kambing dijadikan satu kandang dibuatlah jadual yang melibatkan masing-masing anggota kelompok KBS – KUBE. Tiap malam dua kelompok orang yang menjaga kadang untuk kelompok Bangkit mula dan Barokah sedangkan yang tiga orang untuk kelompok Sumber Rejeki, Bina Usaha dan Sumber Makmur. Pada saat mereka berjaga itu sebenarnya sudah timbulnya jejaring antar kelompok KBS-KUBE, namun kedekatan tersebut hanya berlangsung selama dua minggu sehingga belum sampai pada tahap saling membutuhkan. Ini disebabkan karena (1) rumah yang dipakai untuk kandang kambing dibutuhkan oleh yang punya rumah; (2)
pada saat orang sibuk
menghadapi hari raya idul fitri kandang tidak ada yang menjaga maka pada malam terjadi pencurian kambing KBS – KUBE sebanyak empat ekor; (3) setelah eks penderita kusta pada malam harinya menjaga kambing keesokan harinya badan terasa tidak nyaman/sakit. Dengan kejadian tersebut maka anggota mulai merasa kuatir, maka diadakan rapat di aula panti yang dipimpin oleh Kepala Panti dihadiri oleh Pegurus KUBE, diputuskan untuk memelihara kambing di rumah masing-masing.
128
3. Jejaring anggota kelompok KBS – KUBE dengan Masyarakat yang lebih Luas. Jejaring anggota kelompok KBS – KUBE dengan pihak lain terjadi karena bantuan kambing yang diberikan semuanya kambing betina jadi jejaring terbangun dengan pihak lain /tetangga yang mempunyai kambing jantan. Jejaring dengan pihak lain juga terjadi dengan warga Dusun Krajan yang berbatasan dengan Dusun Nganget, eks penderita kusta yang mendapat bantuan kambing dan merasa tidak mampu memelihara menitipkan kambing di Dusun Krajan dengan sistem paron. Jejaring yang terbangun baik kelompok KUBE Bangkit Mulia maupun Sumber Makmur sudah ada namun terbatas yaitu hanya mantri hewan dan blantik kambing (orang yang berprofesi sebagai pembeli dan penjual kambing). Bertitik tolak dari penjelasan jejaring tersebut di atas maka dapat dianalisis jaringan sosial yang ada di komunitas eks penderita kusta yaitu : 1. Kedalaman jejaring Kedalaman jejaring pada tingkat antar anggota KBS - KUBE masih pada tataran pertolongan belum saling membutuhkan antar anggota kelompok, karena kebutuhan pribadi bisa dipenuhi tanpa membutuhkan kelompok. Kedalaman jejaring intra KBS-KUBE, terjadinya pencurian kambing menyebabkan masing-masing anggota kelompok intra KBS – KUBE sudah tidak mempunyai wadah lagi untuk saling bertemu. Karena selama ini tidak pernah diadakan pertemuan baik di tingkat kelompok KBS-KUBE atau semua KBS – KUBE yang ada di komuitas eks penderita kusta. Dengan tidak pernah diadakan pertemuan maka jejaring tidak pernah terbangun. Kedalamam jejaring dengan masyarakat yang lebih luas, sudah terbangun sebelum adanya bantuan KUBE turun yaitu pembelian kambing baik di pasar Kedungjambe maupun dengan blantik kambing (orang yang pekerjaannya menjual dan membeli kambing), mantri hewan, penduduk Dusun Krajan dan Tetangga yang mempunyai kambing jantan. Kedalaman jejaring didasari oleh kepentingan kedua belah pihak sehingga jejaring ini dapat bertahan.
129
2. Faktor perekat jaringan Pada saat keputusan rapat mengijinkan masing-masing penerima bantuan sebenarnya perekat jaringan yang sudah mulai tumbuh memudar lagi, karena anggota – anggota kelompok bisa memelihara kambing dan berkembang tanpa harus bergantung pada anggota kelompok atau kelompok secara organisasai. Perekat jaringan yang ada di komunitas adalah (1) perasaan senasib; (2) satu
paham ideologi; (3) sentimen kelompok tempat tinggal (ada
kelompok sosial, kulon kali atau pucung). Perasaaan senasib dan sentimen kelompok harus dimunculkan untuk memacu perkembangan kelompok tetapi tidak boleh sampai terjadi konflik, peran tokoh masyarakat diperlukan untuk mengatisipasi terjadinya konflik antar kelompok. Paham idiologi juga mempunyai kekuatan untuk menyatukan anggota
kelompok
karena
mereka
mempunyai
pandangan
dan
pemahaman yang sama. 3. Kendala dan hambatan Kendala dan hambatan dalam membangun jejaring yaitu : (1) kurang pengetahuan dan pemahaman terhadap hakekat KUBE. Kepala panti, kordinator KUBE, pendamping, pengurus KUBE sampai dengan anggota KBS-KUBE tidak mengetahui makna program KUBE sehingga fokus pemekiran hanya terbatas pada perkembangan kambing saja; (2) perasaan minder, kurang percaya diri akibat sakit yang pernah dideritanya bila harus memulai membuat jejaring dengan pihak lain di luar komunitas; (3) ketakutan dari masyarakat di luar komunitas bila berhubungan dengan eks penderita kusta.
6.5.2. Integrasi Sosial Komunitas Eks Penderita Kusta Integrasi sosial di komunitas eks penderita kusta Dusun Nganget dapat dianalisis melalui (1) integrasi sosial dalam kelompok KBS – KUBE ; (2) integrasi sosial antar kelompok KBS-KUBE ; (3) integrasi sosial dengan lingkungan sosialnya.
130
1. Integrasi Sosial intra Kelompok KBS-KUBE. Integrasi sosial dalam kelompok KBS-KUBE terjadi karena ada ikatan yang mendasarinya. Pada Kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia memiliki ikatan yang kuat berdasarkan proses awal masuk dari rumah sakit kusta, berinteraksi di dalam rumah sakit sampai membentuk Rukun Tetangga tersendiri, bahkan yang menjadi ketua RT dulunya di rumah sakit juga sudah menjadi tokoh. Dengan ikatan tersebut membawa dampak terhadap perkembangan kelompok KBS-KUBE seperti bila ada anggota kelompok yang lain tidak bisa mengembalakan kambing karena sakit maka anggota yang lain dengan sukarela menolongnya. Intergrasi sosial yang terjadi pada kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur adalah melalui lembaga keagamaan. Anggota kelompok pada KBS-KUBE Sumber Makmur kedatangan ke permukiman tidak sama jadi ikatan asal usul tidak mempengaruhi ikatan dalam kelompok KBS-KUBE. Sifat ikatan dalam kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur sudah mengandung nilai komersial. Faktor-faktor perekat integrasi sosial kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia adalah dari sejarah bertemu dalam panti sampai pada permukiman sedangkan pada kelompok Sumber Makmur melalui faham ideologi yang sama yaitu sebagai warga Nahdatul Ulama. Kendala dan hambatan integrasi sosial pada kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia adalah faham ideologi tidak sama ini menyebabkan dalam memahami sesuatu tidak sama dan cenderung menimbulkan perbedaan seperti ada usaha simpan pinjam anggota yang berpaham LDII tidak memperbolehkan anggotanya untuk mengadakan pinjam, sebaliknya warga NU memperbolehkan adanya simpan pinjam. Sedangkan pada kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur kendala dan hambatan yang dialami yaitu kebanyakan anggota kelompok KBS-KUBE adalah pendatang dengan latar belakang yang berbeda dan kedatangan di permukiman tidak sama menyebakan rendahnya ikatan emosional antar anggota kelompok. 2. Integrasi Sosial Antar Kelompok KBS – KUBE Integrasi sosial antar kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia terjalin dengan kelompok KBS-KUBE Barokah dalam hal jadual menjaga bantuan kambing pada saat kambing masih dalam satu kadang dan itu berjalan hanya dua minggu karena banyak kambing yang hilang. Berdasarkan musyawarah
131
seluruh anggota KBS-KUBE, Pengurus KUBE, Pendamping dan koordinator diputusakan untuk dibawa ke rumah masing-masing. Begitu juga dengan kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur mempunyai ikatan dengan kelompok KBS-KUBE Bina Usaha, Sumber Rejeki. Yang mendasari ikatan tersebut adalah kedekatan tempat tinggal. Faktor-faktor perekat integrasi sosial antar kelompok KBS-KUBE adalah bahwa kelompok tersebut masih dalam struktur panti sehingga sewaktuwaktu dapat dipertemukan dan dibuat kegiatan-kegiatan yang sifatnya melibatkan semua kelompok KBS-KUBE dan jenis bantuan yang sama yaitu kambing dan adanya perasaan yang sama sehingga memiliki permasalahan yang sama. Hambatan dan kendala integrasi sosial antar KBS-KUBE adalah adanya sentimen kelompok bila kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia adalah kelompok Sosial sedangkan kelompok Sumber Makmur adalah kelompok kulon kali dan perbedaan ideologi. 3. Integrasi Sosial Kelompok KBS-KUBE dengan Lingkungan Sosialnya Integrasi sosial yang terjadi antara KBS-KUBE dengan lingkungan sosial adalah bila pada kelompok KBS-KUBE Bangkit mulia terjadi ikatan dengan sesama pengembala kambing atau tetangga yang mempunyai kambing jantan dan bukan merupakan anggota kelompok KBS-KUBE. Ikatan juga terjadi dengan blantik kambing yang sering datang ataupun diundang bila ada kambing anggota kelompok yang sakit, ditukar ataupun dijual. Ikatan juga terjadi dengan penduduk disekitar Dusun Nganget yang menitipkan kambing pada penduduk dengan sistim paron. Faktor-fator yang mempererat integrasi sosial antar kelompok KBS-KUBE dengan
lingkungan
sosialnya
yaitu
adanya
hubungan
yang
saling
menguntungkan antara blantik kambing dengan anggota kelompok dan antara penduduk dengan anggota kelompok juga. Hambatan dan kendala yang menghambat integrasi sosial adalah banyaknya kelompok-kelompok yang ada di komunitas eks penderita kusta seperti dari lembaga agama Nahdatul Ulama (NU), Lembaga Dakwah Islam Indonnesia (LDII), dan Kristen sementara kelompok lokal ada kelompok sosial, pucung dan kulon kali.
132
6.5.3.Solidaritas Sosial Komunitas Eks Penderita Kusta Solidaritas sosial komunitas eks penderita dapat dianalisis melalui beberapa hal antara lain : (1) solidaritas ditingkat kelompok KBS-KUBE ; (2) ditingkat KUBE ; dan (3) tingkat komunitas. Analisis ketiga tingkat tersebut adalah sebagai berikut: 1. Solidaritas sosial ditingkat KBS-KUBE Pada tingkat kelompok – kelompok KBS - KUBE yang ada di permukiman belum terjadi solidaritas kelompok ini disebabkan pembentukan kelompok untuk kepentingan program bantuan kesejahteraan sosial bukan terjadi atas inisiatif anggota. Solidaritas di dalam kelompok KBS – KUBE akan muncul bila ada tekanan dari kelompok KBS – KUBE yang lain artinya diciptakan persaingan antara kelompok KBS – KUBE seperti diadakan lomba KBS – KUBE terbaik. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya solidaritas dalam kelompok KBSKUBE antara lain adanya pertemuan rutin yang dilaksanakan oleh kelompok, menciptakan simbol-simbol kelompok seperti kelompok sosial, pucung dan kulon kali, permasalahan yang dialami sama yaitu banyaknya kambing yang sakit dan mati dan permasalahan pada segi ekonomi dengan tekanan kemiskinan dan tersingkir secara sosial.
Kendala dan hambatan untuk
mewujudkan solidaritas sosial ditingkat KBS-KUBE yaitu adanya tekanan kemiskinan sehingga untuk membantu anggota kelompok yang lain sedikit sulit seperti adanya kambing sakit untuk memanggil mantri hewan diperlukan biaya untuk iuran saja mereka keberatan. 2. Solidaritas sosial ditingkat KUBE Kelompok Usaha Bersama di Dusun Nganget mempunyai kegiatan beternak kambing yang diorganisir melalui kelompok KBS-KUBE dan Usaha Simpan Pinjam. Dalam kepengurusan KUBE tersebut yang rutin melaksanakan pertemuan adalah mereka yang menpunyai pinjaman di KUBE tersebut. Faktor yang mendukung solidaritas ditingkat KUBE adalah masih ada ketergantungan anggota KUBE dengan pengurus KUBE, dengan adanya usaha simpan pinjam anggota merasa mendapat manfaat dari KUBE tersebut. Hambatan dan kendala adalah bahwa ada rasa kurang percaya anggota kelompok KUBE terhadap pengurus KUBE terutama masalah
133
laporan keuangan begitu juga pengurus KUBE ada rasa curiga kalau anggota yang diberi pinjaman tidak bisa mengembalikan pinjaman. 3. Solidaritas sosial ditingkat komunitas Namun bila ditarik ke komunitas eks penderita kusta
maka akan timbul
solidaritas kelompok-kelompok yang ada di permukiman. Seperti kelompok sosial, kelompok Nganget/kulon kali , kelompok pucung ada juga kelompok yang berlandaskan keagamaan seperti Nahdatul Ulama, LDII dan Kristen. Solidaritas sosial akan meluas lagi apabila mereka seluruh permukiman mulai terancam, artinya bahwa apabila sumber kehidupan dan kebutuhan mereka terganggu oleh pihak di luar komunitas eks penderita kusta misalnya panti, perhutani maka mereka serentak bersatu. Dan apabila itu terjadi mereka akan agresif sekali untuk bertindak seperti melakukan demo dan bisa sampai pada sikap anarkis. Faktor – faktor yang menghambat terjadi solidaritas ditingkat KUBE adalah banyak kelompok-kelompok dan paham idelogi yang ada di tingkat KUBE. Dalam kepengurusan KUBE saja ada tiga macam paham ideologi Kristen, NU dan LDII serta berbagai kelompok pucung, sosial dan kulon kali yang sangat rawan terjadinya konflik. Karena konflik pernah terjadi antara warga NU dan LDII tentang perekrutmen anggota masyarakat menjadi penganut salah satu paham tersebut. Faktor – faktor yang mendukung terjadinya solidaritas sosial adalah mereka sama – sama eks penderita kusta yang mempunyai permasalahan yang sama.
6.5.4. Kohesivitas Sosial Komunitas Eks Penderita Kusta. Sigmund Freud berpendapat bahwa dalam setiap kelompok perlu adanya cohesiveness / kesatuan kelompok, agar kelompok tersebut dapat bertahan lama dan berkembang. Selanjutnya kesatuan kelompok hanya dapat diwujudkan apabila tiap-tiap kelompok melaksanakan identifikasi bersama antara anggota satu dengan yang lain. Kohesivitas sosial komunitas eks penderita kusta dapat dianalisis melalui tiga hal yaitu (1) kohesivitas sosial intra kelompok KBS-KUBE ; (3) kohesivitas antara kelompok KBS-KUBE ; dan kohesivitas komunitas eks penderita kusta. Adapun kohesivitas sosial tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
134
1. Kohesivitas Sosial Intra Kelompok KBS – KUBE Kohesivitas sosial intra kelompok KBS-KUBE baik kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia dan Sumber Makmur sama – sama belum mempunyai kesatuan yang kuat ini disebabkan karena antar anggota kelompok tidak mempunyai
saling
ketergantungan
satu
sama
lain,
mereka
tanpa
kelompokpun bisa memelihara kambing dan memecahkan permasalahan keluarga bisa melalui tetangga ataupun orang lain di luar kelompok KBS KUBE. Kelompok – kelompok tersebut tidak mempunyai aturan dan norma, simbol yang menyatukan antar anggota kelompok. Tujuan kelompok tidak dirumuskan dan dibuat bersama bahkan kelompok tersebut tidak mempunyai tujuan kecuali hanya tujuan-tujuan masing-masing anggota kelompok yaitu memelihara kambing secara pribadi dan cepat menggulirkan itu yang terjadi pada kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia sedangkan kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur cenderun dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan mengobati penyakit yang dialaminya. Faktor-faktor yang menghambat kohesivitas sosial intra kelompok yaitu antar anggota kelompok tidak mempunyai rasa saling ketergantungan, kelompok belum bisa memberi manfaat bagi anggota dan anggota merasa tidak dibutuhkan dalam kelompok. Faktor-faktor yang mendukung yaitu masingmasing anggota kelompok bertempat tinggal berdekatan satu sama lain dan mempunyai permasalahan yang homogen pada pemeliharaan kambing dan permasalahan sosial serta ekonomi. 2. Kohesivitas Sosial Antar Kelompok KBS – KUBE Kohesivitas sosial antar kelompok KBS-KUBE yang terjadi di komunitas eks penderita kusta adalah mempunyai tingkat kohesivitas yang rendah ini ditandai dengan tidak ada hubungan yang mengikat antara kelompokkelompok KBS-KUBE yang ada seperti pertemuan rutin atau acara yang bersifat kebersamaan yang tumbuh dari inisiatif kelompok. Pertemuan yang terjadi selama ini atas inisitaif koordinator KUBE atau Kepala Panti dengan munculnya berbagai permasalahan yang ada seperti banyak kambing yang dijual atau mati maka seluruh anggota kelompok dipanggil di panti untuk mengadakan rapat guna menyelesaikan permasalahan tersebut sehabis itu sudah tidak mempunyai ikatan atau hubungan lagi.
135
Faktor – faktor yang mendukung kohensivitas kelompok KBS-KUBE adalah adanya srtuktur organisasi yang mengikat semua komponen yang ada. Dan struktur tersebut ada pada koordinator KUBE sekaligus sebagai pegawai panti. Disamping hal tersebut masih ada sifat kepatuhan anggota kelompok KBS-KUBE terhadap panti. Faktor-faktor yang menghambat kohesivitas kelompok KBS-KUBE tempat tinggal yang berjauhan antar kelompok, tidak mempunyai tujuan di tingkat pengurus KUBE, tidak mempunyai motivasi yang kuat untuk mengembangkan KUBE, karena mereka berpikir tidak mendapat apa-apa di dalam kelompok. 3. Kohesivitas Sosial Komunitas Eks Penderita Kusta Kohesivitas sosial komunitas eks penderita kusta terjadi bila mereka mempunyai keinginan komunitas seperti ingin mempertahankan tanah pertanian yang selama ini sudah dikerjakan selama bertahun-tahun atau menginginkan sesuatu dari pemerintah misalnya adanya listrik masuk Dusun Nganget atau pembuatan jalan dan sebagainya. Namun secara formal komunitas eks penderita kusta tidak mempunyai organisasi yang menyatukan anggota komunitas. Faktor – faktor yang mendukung kohesivitas komunitas adalah adanya perasaan senasib yang begitu kuat diantara anggota komunitas sedangkan faktor – faktor yang menghambat adalah banyaknya kelompok – kelompok dalam komunitas seperti diuraikan di atas. Menyimak dan menelaah penjelasan di atas bahwa pemberdayaan komunitas eks penderita dapat dikaitkan dengan pendapat Foy (1994) menggambarkan empat unsur utama pemberdayaan yang saling mengkait satu dengan lainnya. Pertama, pemberdayaan itu terfokus pada kinerja (performance focus). Masyarakat ingin melakukan pekerjaan baik. Organisasi yang memberdayakan membantu mereka untuk mendapatkannya. Kedua adalah real teams (Foy, 1994) Kinerja yang baik berasal dari tim yang baik. Ketiga, pemberdayaan membutuhkan visible leadership (Foy, 1994). Memberdayakan orang/masyarakat membutuhkan
seorang
pemimpin
yang
mempunyai
visi.
Keempat,
pemberdayaan membutuhkan komunikasi yang baik (good communication) (Foy, 1994). Organisasi kelompok KBS-KUBE merupakan wadah yang tepat untuk memberdayakan eks penderita kusta . Dengan organisasi kelompok KBSKUBE yang baik akan dapat membantu memberdayakan eks penderita kusta ditunjang dengan komunikasi dan seorang pemimpin yang mempunyai visi.
136
6.6. Analisis Tipe Kelompok KBS – KUBE Tipe kelompok KBS – KUBE dipelajari berdasarkan dinamika yang terjadi dalam kelompok-kelompok tersebut. Tipe kelompok-kelompok KBS-KUBE ini dapat dilihat dari berbagai apek seperti aspek kelembagaan yang meliputi strukturak dan kulturan, aspek sosial dan aspek ekonomi. Hasil analisis tipe kelompok ini dapat dijelaskan sebagaimana dalam tabel 16. Tabel 16 . Tipe kelompok KBS – KUBE di Dusun Nganget Tahun 2005. Aspek yang diamati
Kelompok KBS - KUBE Bangkit Mulia
Sumber Makmur
1. Kelembagaan a. Struktural
¾ Struktur organisasi ada tetapi masing-masing belum berfungsi.
¾ Struktur organisasi ada tetapi masing-masing belum berfungsi
¾ Pola pengambilan keputusan semua dilakukan oleh ketua RT.
¾ Anggota mengambil keputusan sendirisendiri, Pak RT tidak aktif.
¾ Komunikasi antar anggota KBS-KUBE melalui aktifitas mengembala kambing. ¾ Ketua RT aktif memonitor perkembangan kambing. ¾ Ikatan psikologis dengan panti kuat. ¾ Perempuan tidak dilibatkan dalam kepengurusan kelompok KBS-KUBE.
¾ Komunikasi antar anggota KBS-KUBE pengajian / tahlilan. ¾ Ketua RT kurang aktif memonitor perkembangan kambing. ¾ Ikatan psikologis berdasarkan keaagaamaan ¾ Perempuan tidak dilibatkan dalam kepengurusan kelompok KBS-KUBE.
b. Kultural
¾ Buku perkembangan kelompok ada, tapi tidak pernah dipergunakan untuk mencatat perkembangan kelompok. ¾ Aturan dibuat secara tidak tertulis ¾ Kerjasama dilakukan tanpa pamrih ¾ Pengguliran berjalan lancar
¾ Buku perkembangan kelompok ada, tapi tidak digunakan untuk mencatat perkembangan kelompok. ¾ Aturan dibuat secara tidak tertulis ¾ Kerjasama dilaksanakan dengan imbalan/upah ¾ Pengguliran mengalami kemacetan
137
¾ Waktu pengembalaan dan pemberian makanan tambahan ajeg
¾ Waktu pengembalaan dan pemberian makanan tambahan tidak ajeg
¾ Kepatuhan pada ketua RT tinggi
¾ Kepatuhan pada ketua RT rendah
¾ Tingkat solidaritas sesama anggota ditunjukkan dengan menolong anggota yang lain yang tidak bisa mengembala kambing.
¾ Tingkat solidaritas sesama anggota belum nampak. ¾ satu paham idiologi yaitu NU.
¾ Terdiri dari berbagai paham idiologi (NU dan LDII).
2. Aspek Sosial
¾ Motivasi kelompok mulai tumbuh
¾ Motivasi kelompok belum tumbuh
¾ Peran masyarakat melalui ketetanggaan
¾ Peran masyarakat melalui lembaga keagamaan
¾ Interaksi dalam kelompok melalui pengembalaan kambing secara bersama ¾ Mulai tumbuh kepedulian sosial dalam kelompok. ¾ Sudah melahirkan kelompok KBS-KUBE baru ¾ Ada rasa memiliki
¾ Interaksi dalam kelompok melalui pengajian ¾ Belum tumbuh kepedulian sosial dalam kelompok ¾ Belum melahirkan kelompok KBS-KUBE baru ¾ Belum ada rasa memiliki
3. Aspek Ekonomi
¾ Bantuan kambing berkembang. ¾ Pendapatan anggota KBSKUBE 50 % antara ( Rp. 301.000 – Rp. 600.000).
¾ Bantuan kambing dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup. ¾ Pendapat anggota KBSKUBE 70 % antara (Rp. 100.000 – Rp. 300.000)
4. Tipe kelompok Tipe kelompok KBS-KUBE Bangkit mulia lebih progresif KBS-KUBE daripada KBS-KUBE Sumber Makmur. Sumber : Hasil wawancara dengan anggota KBS-KUBE Analisis tipe kelompok KBS – KUBE yang berada di permukiman eks penderita kusta secara umum hampir sama namun ada beberapa hal yang menunjukkan perbedaan. KBS – KUBE Bangkit Mulia bila dilihat dari aspek kelembagaan yaitu secara struktur pengambilan keputusan berada ditangan ketua RT dengan gaya
138
kepemimpinan semi otoriter, dan secara psikogis mempunyai ikatan yang kuat dengan panti ini disebabkan mereka sebelumnya mendapat pelayanan dari panti dan masih banyak keluarga (suami, istri, atau orang tua) yang sampai sekarang dirawat dalam panti. Secara kultur kerjasama masih dilandasi dengan semangat kegotongroyongan tanpa pamrih dan dalam pekerjaan khususnya mengembala kambing keluarga ikut bertanggungjawab artinya ada pembagian kerja yang baik antara laki-laki dan perempuan. Bila ditinjau dari aspek sosial maka kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia peran masyarakat dalam mendukung program KUBE melalui ketetanggaan sedangkan Sumber Makmur melalui lembaga keagamaan. Ini menandakan kepeduliaan sosial antar tetangga masih terjalin dengan baik. Sedangkan secara ekonomi khususnya anggota kelompok KUBE tingkat ekonomi anggota kelompok Bangkit Mulia lebih tinggi dibanding KBS-KUBE Sumber Makmur ini bisa dilihat dalam tabel 13. Bila ditelaah lebih dalam maka pada tabel 16 dan analisis kekompakan yang meliputi: jejaring sosial, slidaritas sosial, integrasi sosial dan kohesivitas sosial dapat diketahui bahwa diantara dua kelompok KBS-KUBE yang mendekati keberfungsian sosial adalah kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia dapat dilihat dari beberapa aspek antara lain (1) aspek kelembagaan yaitu kerjasama dilakukan tanpa pamrih, pengguliran berjalan lancar, waktu pengembalaan dan pemberian makanan tambahan, tingkat solidaritas sesama anggota tinggi; (2) aspek sosial yaitu motivasi kelompok mulai tumbuh, interaksi dalam kelompok melalui pengembalaan kambing secara bersamam mulai tumbuh kepedulian sosial dalam kelompok, Sudah melahirkan kelompok KBS-KUBE baru, dan sudah tumbuh rasa memiliki bantuan ternak kambing; (3) aspek ekonomi sudah bisa meningkatkan pendapatan keluarga ini ditandai dengan hasil beternak kambing sudah bisa dibelikan peralatan pertukangan sehingga memperlancar pembuatan meubel, bisa untuk membeli TV, menambah uang saku anak sekolah. Dengan keberadaan masing-masing KBS-KUBE yang ada maka dapat disusun berbagai alternatif strategi dalam pemberdayaan eks penderita kusta melalui penguatan kelompok KBS-KUBE sehingga dapat berperan dalam pengembangan KBS-KUBE dan masyarakat yang lebih luas.
139
6.7. Strategi Penguatan Kelompok KBS – KUBE Berdasarkan uraian diatas dan tipe kelompok KBS – KUBE yang meliputi aspek kelembagaan, aspek sosial dan aspek ekonomi maka dapat disusun strategi penguatan kelompok KBS - KUBE. Dengan melihat beragamnya pendekatan maka pemberdayaan eks penderita kusta tidak hanya dilihat dari satu aspek saja melainkan secara komprehensif dan terpadu dengan melibatkan berbagai stakeholders yang selama ini sudah turut berpartisipasi. Alternatif strategi pemberdayaan eks penderita kusta melalui penguatan kelompok KBS - KUBE
yang dapat dilakukan berdasarkan penelitian dalam
kajian ini adalah : 1. Strategi penguatan kelembagaan yang meliputi struktur dan kultur kelompok, merupakan suatu strategi yang diarahkan untuk memperbaiki struktur dan kultur dari kelompok KBS – KUBE. Aspek Struktur meliputi struktur organisasi,
pola
kepemimpinan,
kelompok, pola komunikasi,
pengambilan
keputusan,
manajemen
administrasi dan mekanisme kerja dari pada
KUBE dan keterlibatan perempuan dalam kepengurusan KBS-KUBE. Sedangkan secara kultur meliputi : tata nilai, norma, peraturan dalam kelompok, dan mekanisme pengguliran. 2. Strategi penguatan sosial, yaitu strategi yang diarahkan untuk memperbaiki aspek sosial yang meliputi penumbuhan motivasi berkelompok, peran masyarakat guna mendukung pengembangan KBS – KUBE, mempererat interaksi dalam kelompok, meningkatkan kepedulian sosial antar anggota kelompok, dan memantapkan sikap atau rasa memiliki, menumbuhkan solidaritas sosial, kohesivitas sosial dan integrasi sosial sehingga bantuan dianggap sebagi amanah yang harus dipertanggungjawabkan secara sosial.
6.8. Strategi Penguatan Individu Sebagai Anggota Kelompok KBS-KUBE 1. Strategi Penguatan Kapasitas Keterampilan Organisasi Individu .anggota kelompok KBS-KUBE, merupakan strategi yang diarahkan untuk memperkuat individu dalam peranannya sebagai anggota/pengurus kelompok KBS-KUBE.
140
2. Penguatan Kapasitas Usaha Ekonomi Anggota kelompok KBS-KUBE, strategi ini diarahkan untuk memperkuat usaha ekonomi anggota kelompok KBS – KUBE.
6.9. Strategi Penguatan Jejaring Strategi ini diarahkan untuk memperkuat jejaring antar kelompok KBSKUBE, intra kelompok KBS-KUBE atau kelompok – kelompok yang ada di komunitas serta di luar komunitas. Strategi ini memperkuat kerjasama di dalam dan di luar komunitas guna mendukung perkembangan Kelompok Usaha Bersama. Berdasarkan profil umum kelompok KBS – KUBE baik Bangkit Mulia maupun Sumber Makmur mempunyai sejarah pembentukan yang sama yaitu secara top down karena akan ada program yang masuk di permukiman.
Pembentukan
kelompok diserahkan kepada masyarakat namun yang membentuk kelompokkelompok tersebut adalah pengurus KUBE tanpa melibatkan masyarakat penerima bantuan. Pembentukan kelompok KBS-KUBE dibentuk berdasarkan kelompok RT walaupun ada yang lintas RT namun itu sebagian kecil saja karena di RT yang bersangkutan tidak bisa menampung lagi. Seperti diuraikan di atas bahwa masing-masing RT mempunyai karakteristik yang berbeda ini disebabkan sejarah permukiman yang berbeda. Kelompok KUBE Bangkit Mulia hampir seluruhnya anggotanya adalah warga RT. 06 hanya 1 (satu) orang dari RT. 04. RT. 06 ini juga disebut kelompok sosial artinya warganya semua adalah bekas pasien Rumah Sakit Kusta Nganget. Setelah dinyatakan sembuh mereka ditangani oleh Departemen Sosial dan sebelum mereka keluar dari Rumah Sakit Kusta sudah disiapkan rumah, diberi paket bantuan, diadakan bimbingan sosial dan ketrampilan sebagai persiapan mereka keluar dari Rumah Sakit. Dengan proses tersebut secara struktur dan kultur mempunyai ikatan psikologis yang kuat maka sebagai alternatif pendekatan pemberdayaan melalui Kelembagaan Panti. Berbeda dengan kelompok Sumber Makmur yang semua anggotanya berada di RT. 04, permukiman terjadi tidak secara kolosal tetapi bertahap karena mereka membagun sendiri permukiman tersebut, sehingga secara psikologis ikatan dengan panti tidak begitu kuat. Mereka datang dari berbagai tempat secara
141
kekeluargaan tidak sekuat kelompok Bangkit Mulia. Namun mereka masih mempunyai ikatan lain yang bisa dipergunakan untuk forum pemberdayaan yaitu lembaga keagamaan. Dalam kelompok Sumber Makmur semua anggotanya adalah warga Nahdatul Ulama yang sering bertemu melalui forum tahlilan. Dengan uraian tersebut maka alternatif pemberdayaan kelompok KUBE Sumber Makmur dapat melalui Lembaga Keagamaan.
6.10. Ikhtisar Profil Kelompok Usaha Bersama di permukiman eks penderita kusta sesuai dengan proses terbentuknya adalah bersifat top down. Kelompok Usaha Bersama tersebut adalah merupakan program bantuan kesejahteraan sosial dalam bentuk bantuan modal usaha yang diberikan dalam bentuk uang sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Mekanisme kerja Kelompok Usaha Bersama yang berada di Dusun Nganget penyalurannya melalui Panti Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta. Maka dalam mekanisme kerjanya adalah Kepala Panti sebagai Pembina KUBE, dibawahnya ada koordiantor/pendamping
yang dijabat oleh pegawai panti,
selanjutnya ada pengurus KUBE yang terdiri dari tokoh masyarakat/agama selanjutnya ada kelompok-kelompok KBS – KUBE. Dalam rangka memahami secara mendalam analisis kelompok KBS – KUBE maka dapat dilihat dari berbagai aspek kelembagaan yang meliputi struktur dan kultur, aspek sosial dan aspek ekonomi yang dimiliki oleh masing-masing kelompok KBS – KUBE. Bila ditelaah lebih dalam maka antara kelompok KBS – KUBE Bangkit Mulia dan Sumber Makmur secara kelembagaan struktur maka bila kelompok Bangkit Mulia pengambilan keputusan sepenuhnya oleh ketua RT, tetapi justru perkembangan kelompok semakin baik khususnya mengenai pemeliharaan/pengguliran
kambing.
pengambilan
ketua
keputusan
RT
Pada hanya
kelompok
Sumber
kadang-kadang
tapi
Makmur justru
perkembangannya tidak sebaik kelompok Bangkit Mulia ini disebabkan keputusan yang diambil oleh anggota hanya untuk kepentingan pribadi tanpa harus dimusyawarahnya dengan ketua RT. walupun norma dan aturan sama
Pada kultur ada perbeadaan
yang ditetapkan secara musyawarah dari
ketiga komponen yang ada (koordinator/pendamping, pengurus KUBE dan
142
anggota kelompok KBS – KUBE) namun kelompok KBS – KUBE Bangkit Mulia lebih mematuhinya. Bila ditelaah dari aspek sosial maka dinamika sosial kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia lebih dinamis dibanding dengan kelompok KBS – KUBE Sumber Makmur, ini disebabkan pada kelompok KBS – KUBE Bangkit Mulia sudah mulai tumbuh motivasi kelompok, rasa kepedulian sosial, rasa turut memiliki serta interaksi sosial juga terjadi sesama anggota kelompok walaupun masih bersifat informal. Sedangkan dari aspek ekonomi maka kelompok KBS – KUBE Bangkit Mulia lebih tinggi tingkat pendapatan dibanding kelompok KBS – KUBE Sumber Makmur akibat pada kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur banyak kambing bantuan yang dijual untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan berbagai analisis yang disebutkan di atas maka pendekatan Kelompok Usaha Bersama Ternak Kambing yang berada di Dusun Nganget belum dapat meningkatkan keberfungsian sosial. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan (1) aspek kelembagaan belum berfungsinya pengurus KUBE ditandai dengan tidak berjalannya fungsi ketua, sekretaris dan bendahara serta adanya aturan yang tidak tertulis belum dilaksanakan secara tegas dan sanksi-sanksinya ; (2) aspek sosial dalam dinamika kelompok yaitu masih lemahnya motivasi berkelompok, kepedulian sosial dan rasa turut memiliki mengingat proses terjadinya kelompok adalah merupakan bentukkan dari panti, tidak adanya perekat dalam kelompok; (3) aspek ekonomi dengan pendapatan yang rata-rata mecapai Rp. 100.000 – Rp. 300.000,- per bulan menyebabkan banyak anggota yag menjual kambing untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Melihat berbagai aspek yang ada pada kelompok KBS – KUBE komunitas eks penderita kusta maka strategi pengembangannya dapat melalui penguatan kelembagaan yang meliputi struktur dan kultur, penguatan ekonomi, dan penguatan sosial, penguatan kapasitas individu dan komunitas eks penderita kusta. Dengan berbagai penguatan yang ada tersebut diharapkan kelompok KBS – KUBE dapat berkembang. Dengan perkembangan KBS-KUBE terjadi pemberdayaan komunitas eks penderita kusta.
maka akan
Pemberdayaan
akan
mengakibatkan peningkatan peranan sosial, pemenuhan kebutuhan serta dapat mengatasi permasalahan sosial yang ada di lingkungan sosialnya sehingga keberfungsian sosial eks penderita kusta akan meningkat.
143
VII. PROGRAM PEMBERDAYAAN KOMUNITAS EKS PENDERITA KUSTA MELALUI PENGUATAN INDIVIDU DAN KELOMPOK KBS-KUBE
7.1. Identifikasi Potensi Komunitas Eks Penderita Kusta Dalam rangka penyusunan program kegiatan yang partisipatif dan berbasis pada potensi lokal, maka hasil penelitian dalam kajian yang sudah dijabarkan di babbab sebelumnya dijadikan dasar untuk menyusun rencana program kegiatan. Dalam praktek lapangan l dan II juga telah teridentifikasi kondisi sosial, ekonomi, budaya, ekologi, dan demografi penduduk eks penderita kusta. Pada praktek lapangan lll melalui kegiatan diskusi kelompok dibahas pula mengenai masalah dan akar masalah yang dialami oleh kelompok KBS – KUBE serta potensi yang dapat dikembangkan dalam upaya penguatan kelompok KBS – KUBE sehingga pemberdayaan komunitas eks penderita kusta dapat dicapai. Potensi tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
(1) Sumber Daya Manusia
(Human Asset); (2) Sumber Daya Alam (Natural Resources); dan Sumber Daya Kelembagaan ( Sosial and Institutional Asset).
7.1.1. Sumber Daya Manusia ( Human Asset ) Sumber Daya Manusia selalu berkaiatan dengan jumlah penduduk dan tingkat pendidikan. Namun demikian untuk komunitas eks penderita kusta semangat hidup dan semangat bekerja menjadi variabel yang mendukung peningkatan Sumber Daya Manusia. Jumlah penduduk Dusun Nganget adalah berjumlah 464 jiwa (Agustus 2005) terdiri dari laki-laki sebanyak 230 jiwa dan perempuan sebayak 234 jiwa. Jumlah eks penderita kusta sebanyak 152 jiwa dan yang bukan eks penderita kusta sebanyak 312 jiwa ( keturunan, orang sehat yang kawin dengan eks penderita kusta dan keluarga pegawai panti). Tingkat pendidikan komunitas eks penderita kusta yaitu (1) tidak sekolah sebanyak 113 orang atau 24,35 % ; (2) belum sekolah sebanyak 20 orang atau 4, 31 % ; (3) Taman Kanan-Kanak sebanyak 22 orang atau 4,74 % ; (4) Sekolah Dasar sebanyak 178 orang atau 38, 36 % ; (5)
Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama sebanyak 91 orang atau 19,61 % ; (6) Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
144
sebanyak 35 orang atau 7,54 % dan Perguruan Tinggi sebanyak 5 orang atau 1,07 %. Bila di telaah dari segi pendidikan formal saja tidaklah cukup menyakinkan namun yang perlu mendapat perhatian adalah semangat kerja yang cukup tinggi inilah modal dasar untuk memberdayakan komunitas eks penderita kusta di Dusun Nganget.
7.1.2. Sumber Daya Alam (Natural Resources) Sawah, ladang dan hutan tidak bisa terlepas dari kehidupan komunitas eks penderita kusta. Lokasi permukiman eks penderita kusta adalah berupa perbukitan yang terpisah dari permukiman penduduk dalam satu desa. Luas wilayah milik Dinas Sosial yaitu 132.795 M2 dipergunakan untuk bangunan gedung panti seluas 27.100 M2, ladang seluas 20.700 M2 dan sawah seluas 15.275 M2 dan tegalan seluas 69.720 M2 di pergunakan untuk permukiman eks penderita kusta dan pertanian.
Disamping milik Dinas Sosial mereka juga
menempati tanah milik Perhutani seluas kurang lebih 80.00 M2 dipergunakan untuk ladang seluas 40.000 M2 dan sisanya dipergunakan untuk permukiman. Diantara tanah-tanah tersebut banyak terdapat padang pengembalaan yang sangat potensial untuk mengembala kambing. Disamping tanah tersebut komunitas eks penderita kusta juga memanfaatkan tanah perhutani untuk permukiman dan persil seluas 50.500 M2. Selain itu masih ada tanah milik Arya Diningrat seluas 9.904 M2 yang tidak ditanami dan setiap harinya dipergunakan sebagai tempat pengembalaan kambing karena letaknya bersebelahan dengan permukiman.
7.1.3. Sumber Daya Kelembagaan (Social and Institutional Asset) Sumber Daya Kelembagaan yang dimaksud adalah kelembagaan yang berada di dalam komunitas maupun di luar komunitas baik formal maupun non formal yang mendukung perkembangan komunitas seperti lembaga pemerintahan, lembaga pendidikan, dan lembaga keagamaan. Lembaga – lembaga di dalam komunitas yang langsung berkaitan dengan kelompok KBS – KUBE yaitu kelembagaan keagamaan, Kelembagaan panti, kelembagaan RT dan kelembagaan KUBE itu sendiri. Sedangkan kelembagaan yang berada di luar komunitas yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat seperti Yayasan Kusta Indonesia, Yayasan BREA yang
145
berdomisili di Suarabaya, juga ikut membantu dalam pengembangan komunitas eks penderita kusta. Potensi kelembagaan lain yang mendukung perkembangan KBS – KUBE di Dusun Nganget adalah pasar sebagai tempat transaksi sekaligus interaksi komunitas eks penderita kusta dengan masyarakat luas. Jarak pasar dengan Dusun Nganget tidak terlalu jauh kira-kiran 5 km dan dapat ditempuh dengan sepeda atau motor. Di pasar tersebut selain pasar tradisional juga ada pasar hewan dengan waktu dua kali dalam lima hari yaitu Pahing dan Kliwon (Hari pasaran).
7.2. Proses Penyusunan Perencanaan Program Secara Partisipatif Sebelum pada penyusunan rancangan program kerja untuk memecahkan permasalahan pada kelompok KBS-KUBE di Dusun Nganget Desa Kedungjambe maka terlebih dulu ada proses perencanaan secara partisipatif yang melibatkan anggota kelompok KBS-KUBE, pengurus KUBE dan pendamping KUBE serta koordinator KUBE. Perencanaan tersebut dilaksanakan melalui diskusi kelompok yang terbagi dalam beberapa tahapan yaitu (1) diskusi kelompok dilaksanakan pada tingkat kelompok KBS-KUBE baik kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia dan kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur dengan tujuan untuk mengetahui permasalahan dan kebutuhan pada aras individu dan kelompok KBS-KUBE ; (2) pada tingkat pengurus KUBE dengan tujuan untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh pengurus KUBE dalam menangani permasalahan kelompok KBS-KUBE ; (3)
pada tingkat koordinator/pendamping KUBE dengan tujuan
untuk mengetahui apa yang sudah dilaksanakan oleh koordinator KUBE dalam mengembangkan kelompok KBS-KUBE dan kendala-kendala yang dialami ; dan (4) diskusi kelompok yang melibatkan semua unsur yaitu dua kelompok KBSKUBE yaitu kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia, kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur, pengurus KUBE (enam orang tokoh masyarakat/agama) dan koordinator/pendamping KUBE (pegawai panti terdiri tiga orang koordinator, lima orang
pendamping)
tujuan
dari
diskusi
kelompok
ini
adalah
untuk
mengidentifikasi permasalahan dan kebutuhan serta menyusun program untuk memecahakan permasalahan tersebut. Adapun proses perencanaan program secara partisipatif dapat digambarkan pada bagan alir seperti pada gambar 9.
146
Gambar 9. Bagan alir proses perencanaan program secara partisipatif pada kelompok KBS – KUBE Dusun Nganget Tahun 2005. Diskusi Kelompok I Peserta : Pengurus dan anggota kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia dan Sumber Makmur Hasil Diskusi Kelompok KBS-KUBE Bangkit Mulia Masalah ¾ Pengurus tidak berfungsi ¾ Administrasi tidak berjalan ¾ Mekanisme kerja KUBE tidak berjalan ¾ Pengambilan keputusan oleh Ketua RT ¾ Rendahnya pendidikan dan keterampilan ¾ Tidak pernah diadakan bimbingan sosial ¾ Pertemuan tidak pernah dilaksanakan Program/kegiatan/kebutuhan ¾ Pelatihan pengurus dan administrasi ¾ Dilaksanakan pertemuan rutin ¾ Pelatihan kepemimpinan
Hasil Diskusi Kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur Masalah ¾ Pengurus tidak berfungsi ¾ Administrasi tidak berjalan ¾ Mekanisme kerja KUBE tidak berjalan ¾ Banyak kambing yang mati dan dijual ¾ Tidak ada kerjasama antar anggota kelompok ¾ Tidak ada kepedulian sosial ¾ Pengambilan keputusan tanpa musyawarah ¾ Tidak pernah dilaksanakan bimbingan sosial ¾ Pendidikan rendah ¾ Pendapatan rendah ¾ Pertemuan tidak pernah dilaksanakan V e r i f i k a s i
Program/kegiatan/kebutuhan ¾ Pelatihan pengurus dan administrasi ¾ Bimbingan sosial ¾ Pelatihan Teknik Produksi Kambing
Diskusi Kelompok II Peserta : Pengurus Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Hasil ¾ Terbatasanya pendidikan, pengetahuan dan keterampilan pada pengurus KUBE sehingga tidak mampu untuk mengatasi berbagai permasalahan baik usaha simpan pinjam maupun kelompok KBS-KUBE. ¾ Kesibukan pengurus KUBE sebagai kepala keluarga dan mengurusi usaha simpan pinjam sehingga kelompok KBS-KUBE kdang-kadang terabaikan. ¾ Belum adanya insentif yang memadai sehingga ada sifat malas untuk mengadakan kunjungan ke pengurus KBS-KUBE.
V e r i f i k a s i
Diskusi kelompok III Peserta : Koordinator / Pendamping KUBE Hasil : Koordinator : Menampung berbagai permasalahan kelompok KBS-KUBE dan merumuskan pemecahan masalahnya. Pendamping : Melaksanakan pendampingan dengan memonitor perkembangan kambing serta permasalahan yang dihadapi oleh kelompok KBS-KUBE. Kendala : Belum semua pendamping memahami hakekat KUBE sehingga kadang-kadang hanya mementingkan perkembangan kambing
V e r i f i k a s i
Diskusi kelompok IV (Rumusan akhir) KBS-KUBE (Bangkit Mulia dan Sumber Makmur), Pengurus KUBE dan Koordinator/Pendamping KUBE Hasil : ¾ Pada diskusi kelompok yang melibatkan semua unsur yang terkait dengan kelompok KBS-KUBE dari masing-masing kelompok KBS-KUBE menyampaikan aspirasinya sesuai dengan hasil diskusi pada kelompok KBS-KUBE. ¾ Masing-masing kelompok memberikan tanggapan dan solusi untuk memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi kelompok KBS-KUBE dalam bentuk program dan kegiatan. ¾ Identifikasi permasalahan dan kebutuhan serta Program untuk memecahkan permasalahan tersebut dapat dijabarkan dalam sub bab selanjutnya dalam kajian ini.
Sumber : Diskusi kelompok KBS-KUBE Tahun 2005
147
7.3. Identifikasi Masalah Dan Kebutuhan Berdasarkan kajian secara komprehensif tentang potensi-potensi yang ada di dalam permukiman dan hasil evaluasi terhadap program pengembangan masyarakat yang telah dilaksanakan pada praktek lapangan l dan II ternyata belum mampu berkembang sesuai dengan pedoman yang ada. Hasil analisis terhadap kelompok KBS – KUBE dapat diketahui bahwa masih lemahnya kapasitas kelompok baik dari aspek kelembagaan, sosial maupun ekonomi merupakan penyebab ketidakberdayaan kelompok dalam mengembangkan kelompok KBS – KUBE. Permasalahan kelompok KBS – KUBE permasalahan juga terjadi pada anggota kelompok sebagai individu. Kapasitas individu dalam kelompok yang rendah menyebabkan pengelolaan kelompok KBS - KUBE belum bisa berkembang dengan baik. Dengan permasalahan yang dialami baik anggota kelompok sebagai individu ,dan kelompok KBS – KUBE maka dalam penyusunan program pemberdayaan dapat dilihat dari dua aras yaitu peningkatan kapasitas individu dan kelompok KBS - KUBE. Dengan penyusunan program tersebut diharapkan komunitas eks penderita kusta dapat diberdayakan melalui penguatan individu dan kelompok sehingga dapat meningkatkan keberfungsian sosialnya.
7.3.1. Identifikasi masalah dan kebutuhan kelompok KBS – KUBE Ada tiga permasalahan pokok yang dihadapi oleh kelompok KBS – KUBE yaitu lemahnya kelembagaan yang meliputi struktur dan kultur, lemahnya aspek sosial dan aspek kemampuan ekonomi. Upaya untuk mengidentifikasi permasalahan dan kebutuhan tersebut dilaksanakan dengan wawancara mendalam dan diskusi kelompok. Hasil identifikasi tersebut adalah dapat dilihat pada tabel 17 sebagai berikut :
148
Tabel 17. Identifikasi permasalahan pada aras dinamika kelompok Tahun 2005. Masalah Utama Lemahnya aspek kelembagaan (struktur ) kelompok KBS-KUBE (Kasus Kelompok Bangkit Mulia dan Sumber Makmur)
Lemahnya aspek kelembagaan (kultur) kelompok KBS-KUBE (Kasus kelompok Sumber Makmur)
Penyebab ¾ Lemahnya manajemen kelompok dalam hal ini tidak berfungsinya pengurus KBS-KUBE, komunikasi, dan pola kepemimpinan. ¾ Lemahnya mekanisme kerja KUBE, lemahnya kontrol sosial, administrasi KUBE, lemahnya keikutsertaan perempuan dalam kepengurusan KBS KUBE
Alternatif Pemecahan ¾ Pelatihan Tugas Pokok dan Fungsi Pengurus (Ketua, Sekretaris dan Bendahara), ¾ Pelatihan Administrasi Pengurus ¾ Pelibatan perempuan dalam kegiatan. ¾ Perlunya menyelenggarakan pertemuan rutin
¾ Lemahnya kelompok ¾ Pembuatan aturan dalam menerapkan norma tertulis, dan aturan yang berlaku dalam KUBE. ¾ Permainan ¾ Lemahnya kepercayaan Dinamika kelompok dan kerjasama antar dan musyawarah. anggota kelompok dalam melakukan kegiatan. ¾ Belum ada kontrol sosial antara anggota/tetangga
Lemahnya aspek Sosial Kelompok KBS-KUBE (Kasus kelompok Sumber Makmur.
¾ Lemahnya motivasi kelompok. ¾ Lemahnya kepedulian sosial antar anggota kelompok. ¾ Lemahnya rasa turut memiliki
Lemahnya aspek ekonomi Kelompok KBS KUBE(Kasus kelompok Sumber Makmur)
Lemahnya pendapatan KBS – Diklat Teknik KUBE Produksi Kambing
Lemahnya integrasi, solidaritas dan kohesivitas (Kasus Kelompok Sumber Makmur)
Tidak ada saling ketergantungan antar anggota kelompok.
Pendampingan sosial (Sistim konsultasi)
Lomba kelompok KBS-KUBE.
Sumber : Hasil resume wawancara dan diskusi kelompok
149
Permasalahan pertama yang dihadapi oleh kelompok KBS – KUBE adalah lemahnya aspek kelembagaan yang meliputi struktur dan kultur. Aspek ini sangat penting karena tumbuh dan berkembangnya kelompok berkaitan dengan aspek tersebut. Penyebab lemahnya apek kelembagaan yang bersifat struktur adalah lemahnya manajemen kelompok dalam hal ini tidak berfungsinya pengurus KBSKUBE,
komunikasi,
tujuan
dan
pola
kepemimpinan,
dan
pengelolaan
administrasi. Sedangkan secara kultur adalah lemahnya kelompok dalam menerapkan norma dan aturan yang berlaku dalam KUBE serta lemahnya kepercayaan dan kerjasama antar anggota kelompok dalam melakukan kegiatan serta belum ada kontrol sosial antara anggota/tetangga. Kedua, aspek sosial ini disebabkan lemahnya motivasi kelompok, lemahnya kepedulian sosial antar anggota kelompok dan lemahnya rasa turut memiliki. Ketiga aspek ekonomi lemahnya tingkat ekonomi penerima bantuan ini menyebabkan sedikit mempunyai permasalahan yang menyangkut pemenuhan kebutuhan maka kambing akan dijual. Keempat lemahnya integrasi, solidaritas dan kehesivitas kelompok. Kelemahan itu tidak saja muncul begitu saja tetapi melalui proses dari awal pembentukan KBS – KUBE sampai pada perkembangannya sekarang. Kelemahan ketiga aspek tersebut disebabkan karena (1) Proses pembentukan KBS - KUBE bersifat top down ; (2) tidak ada bimbingan sosial sebagai bekal kelompok dalam mengelola KUBE ; (3) penguasaan pendamping dalam pengelolaan KUBE sangat terbatas (belum pernah mengikuti pendidikan dan latihan KUBE) ini berakibat bahwa dalam memberi penjelasan terhadap kelompok hanya berkisar masalah pengguliran dan administrasi saja. Dengan keberadaan komunitas eks penderita kusta baik segi pendidikan maupun psikologis, maka peran pendamping diharapkan intensif dalam melaksanakan pendampingan. Berdasarkan wawancara dan diskusi kelompok dengan anggota kelompok KBS – KUBE pada umumnya mereka membutuhkan pendidikan dan latihan supaya dapat mengelola KUBE dengan baik terutama mengenai aspek kelembagaan struktural, kultur maupun aspek sosial dan ekonomi..
150
7.3.2. Identifikasi masalah dan kebutuhan individu Walaupun penelitian kajian ini terfokus pada pendekatan kelompok KBS – KUBE namun peningkatan kapasitas individu sebagai anggota KBS – KUBE perlu mendapat perhatian karena kedua hal tersebut saling berkaitan satu sama lain. Berdasarkan hasil wawancara dapat diperoleh beberapa permasalahan berkaitan dengan individu mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya kelompok KBS – KUBE. Tabel 18. Hasil identifikasi permasalahan pada aras individu/anggota pada dua kelompok KBS – KUBE Tahun 2005
Masalah Utama Tidak ada keterlibatan individu dalam pengambilan keputusan. (Kasus kelompok Bangkit Mulia)
Penyebab ¾ Terbatasnya pendidikan dan keterampilan individu dalam pemecahan masalah yang dihadapi.
Alternatif pemecahan Pendampingan / Konseling
¾ Masih dominannya peran tokoh dalam proses pengambilan keputusan. ¾ Masih ada rasa kepatuhan dengan tokoh Pengambilan keputusan dilaksanakan secara individu tanpa musyawarah.
¾ Kurang dominan tokoh dalam proses pengambilan keputusan dalam kelompok.
(Kasus Kelompok Sumber Makmur).
¾ Kepatuhan terhadap tokoh sudah berkurang.
Lemahnya peran pemimpin (ketua) dalam memimpin kelompok. (Kelompok Bangkit Mulia)
Belum pernah mengikuti latihan kepemimpinan
Latihan kepemimpinan (Permainan Dinamika Kelompok)
Belum pernah ada Pendidikan dan Latihan mengenai teknik produksi kambing.
Pendidikan dan Latihan Teknik Produksi Kambing.
Kurangnya pengetahuan dan keterampilan teknik produksi kambing. (Kelompok Sumber Makmur)
Pendampingan / Konseling
Sumber : Hasil wawncara dengan anggota kelompok KBS – KUBE.
151
Permasalahan pertama adalah tidak adanya keterlibatan individu dalam pengambilan keputusan. Penyebab utamanya dalah rendahnya pendidikan dan ketrampilan individu dalam pemecahan masalah yang dihadapi serta masih dominannya tokoh dalam pengambilan keputusan serta sifat kepatuhan individu terhadap tokoh tersebut. Bila ditengok ke belakang mengapa terjadi demikian maka seperti dijelaskan di depan bahwa kelompok KBS-KUBE Bangkit mulai adalah semua anggotannya berasal dari Rumah Sakit Nganget dan dalam jangka waktu yang lama dan yang menjadi tokoh sekarang, adalah tokoh juga di rumah sakit sehingga sifat-sifat kepatuhan sangat menonjol di kelompak KBS-KUBE Bangkit Mulia. Berbeda dengan anggota kelompok Sumber Makmur karena datangnya tidak bersama maka ikatan emosional sangat rendah ini ditandai dengan tidak adanya kerjasama antara anggota kelompok dan pengambilan keputusan dilaksanakan tanpa minta ijin kepada Ketua RT. Dengan demikian kepatuhan kepala Ketua RT di kelompok KBS – KUBE Sumber Makmur sangat rendah. Ini berpengaruh pada sikap berani mengambil keputusan sendiri namun cenderung tidak sesuai dengan aturan yang ada. Komunitas eks penderita kusta setiap warganya adalah merupakan pendatang, dengan berbagai latar belakang yang berbeda ada yang dulunya memang seorang yang sudah biasa memelihara kambing dan ada yang tidak. Dengan kondisi itu maka pemeliharaan kambing yang ada sekarang tentunya tidak semua berkembang dengan baik, maka diperlukan pendidikan dan latihan produksi kambing supaya kambing dapat berkembang banyak. Dengan perkembangan tersebut secara ekonomi kondisi eks penderita kusta akan meningkat dan dari sisi psikologis ada perasaan tenang karena bila terjadi sakit mendadak atau memperlukan sesuatu masih mempunyai kambing yang sewaktu-waktu bisa dijual.
7.3.3. Identifikasi Permasalahan dan Kebutuhan Komunitas Kebutuhan untuk mengembangkan jejaring sangat mutlak diperlukan untuk membangun suatu komunitas. Seperti yang dialami oleh komunitas eks penderita kusta disamping penguatan kelompok dan peningkatan kapasitas individu juga dibutuhkan
jejaring
untuk
membantu
merumuskan
dan
memecahkan
152
permasalahan yang ada, dengan melibatkan berbagai stakeholders yang ada sesuai dengan fungsinya masing-masing. Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa di komunitas eks penderita kusta banyak stakeholders
yang berada di dalam maupun diluar baik itu bersifat
horizntal maupun vertikal, nanum keterilbatannya dalam mengembangkan komunitas eks penderita kusta belum optimal. Hasil wawancara dan diskusi kelompok dapat dilihat pada tabel 19. Tebel 19. Hasil identifikasi permasalahan pada aras komunitas Tahun 2005. Masalah Utama
Penyebab
Alternatif Pemecahan
Banyaknya kelompokkelompok dalam komunitas.
Pembentukan Forum Komunikasi Informal Antar Tokoh Agama.
Belum adanya wadah sebagai sumber informasi yang berkaitan dengan pengembangan eks penderita kusta.
Forum Komunikasi Antar LSM
Labilnya kondisi mental eks penderita kusta
Merasa tidak berguna dalam menjalani kehidupan.
Pengajian/tahlilan dari luar komunitas.
Perasaan minder, kurang percaya diri akibat sakit yang pernah diderita
Perasaan tidak diterima oleh masyarakat di luar komunitas eks penderita kusta.
Konseling dengan psikolog/pekerja sosial.
Ada rasa kekuatiran pihak luar bila bekerjasama dengan eks penderita kusta
Ketidaktahuan masyarakat di luar komunitas eks penderita kusta bahwa eks penderita kusta sudah tidak menular lagi.
Penyuluhan terpadu (kesehatan dan sosial)
Ada sebagian eks penderita kusta yang belum diketahui tingkat kesembuhannya
Tidak dilaksanakan deteksi dini tentang penderita kusta di Dusun Nganget.
Konseling / klinis. Dilaksanakan Dinas Kesehatan/Rumah Sakit Kusta Mojokerto/Balai Pengobatan.
Lemahnya kelompok dalam membangun jejaring antar kelompok dalam komunitas. Lemahnya koordinasi antar LSM dan Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur
Sumber : Hasil wawancara dan diskusi kelompok.
153
Permasalahan
pertama
adalah
lemahnya
kelompok
KBS-KUBE
dalam
membangun jejaring antar kelompok dalam komunitas ini disebabkan banyaknya kelompok-kelompok yang ada di dalam komunitas yang sudah terbentuk lama dan mempunyai kepentingan masing-masing, seperti lembaga keagamaan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) ingin menambah jumlah anggota sementara
kelompok
Nahdatul
Ulama
(NU)
juga
menginginkan
jumlah
anggotanya bertambah. Permasalahan kedua adalah lemahnya koordinasi antara LSM dan Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur dalam membangun jejaring sehingga pelaksanaan programprogram di komunitas eks penderita kusta dilaksanakan sendiri-sendiri tanpa koordinasi satu sama lain sehingga tidak ada keterpaduan program akibatnya program tidak bisa berkelanjutan. Permasalahan ketiga adalah labilnya kondisi mental eks penderita kusta ini disebabkan adanya sikap hidup yang memandang dirinya tidak berguna dan selalu membuat keluarga menjadi malu dengan adanya pengajian secara rutin diharapkan akan memperkuat mental dan sikap eks penderita dalam menghadapi dan menjalani kehidupannya di tengah-tengah masyarakat yang lain. Permasalahan keempat yaitu adanya sikap minder dan kurang percaya diri yang dialami eks penderita kuata akibat sakit yang pernah dideritanya ini disebabkan adanya perasaan tidak diterima oleh masyarakat di luar komunitas eks penderita kusta maka pemberian motivasi sangat penting untuk memberi dorongan kepada eks penderita kusta supaya mempnyai kepercayaan diri. Permasalahan kelima adalah adanya rasa kekuatiran yang berlebihan dari pihak luar komunitas bila akan bekerjasama dengan komunitas eks penderita kusta. Baik dari segi kesehatan takut ketuluran penyakitnya, ataupun sikap skeptis dari beberapa pihak terhadap komunitas eks penderita kusta karena ketidaktahuan mereka tentang eks penderita kusta. Permasalahan keenam adalah bahwa setelah diadakan penelitian maka ditemukan khususnya di RT.04 ada beberapa orang yang masih belum sembuh benar dari penyakit kusta dengan demikian perlu diadakan pemeriksaan kembali supaya bisa dipastikan bahwa yang berada di Dusun Nganget adalah semua eks penderita kusta. Kebutuhan yang dirasakan oleh komunitas eks penderita kusta adalah mereka sangat membutuhkan jejaring dan pemeiksaan kembali/ulang terhadap warga Dusun sehingga bisa dipastikan semua sudah sembuh sehingga
154
tidak ada rasa kuatir pihak luar untuk menjalin kerjasama. Bila jejaring dapat terbangun maka dapat meningkatkan keeratan anggota kelompok-kelompok dalam komunitas dengan kelompok KBS-KUBE atau antar kelompok KBS-KUBE yang ada di Dusun Nganget. Dengan jejaring yang terbangun dengan kuat maka anggota kelompok KBS-KUBE dapat mengatasi berbagai
permasalahan-
permasalahan yang mereka alami baik masalah individu, keluaarga, kelompok maupun lingkungan sosialnya sehngga bisa meningkatkan keberfungsian sosialnya.
7.4. Penyusunan Perencanaan Program Kerja Aras Kelompok, Individu dan Komunitas. Penyusunan rancangan program pemberdayaan komunitas eks penderita kusta melalui penguatan kelompok KBS – KUBE meliputi baik aras kelompok maupun individu di dasarkan pada permasalahan dan kebutuhan yang dirasakan oleh kelompok dan individu eks penderita kusta. Untuk menyusun rancangan tersebut dilaksanakan secara bersama-sama antara kelompok KBS–KUBE, pengurus KUBE dan koordinator/pendamping KBS – KUBE melaksanakan diskusi kelompok. Hasil diskusi kelompok dalam penguatan individu dan kelompok KBS – KUBE dikategorikan sebagai berikut
pada aras kelompok, aras individu dan aras
komunitas . 1. Strategi Penguatan Kelompok KBS - KUBE a. Strategi penguatan kelembagaan yang meliputi struktur dan kultur kelompok, merupakan suatu strategi yang diarahkan untuk memperbaiki struktur dan kultur dari kelompok KBS – KUBE. Aspek Struktur meliputi struktur
organisasi,
pola
kepemimpinan,
manajemen kelompok, pola komunikasi,
pengambilan
keputusan,
administrasi dan mekanisme
kerja dari pada KUBE dan keterlibatan perempuan dalam kepengurusan KBS-KUBE. Sedangkan secara kultur meliputi : tata nilai, norma, peraturan dalam kelompok, dan mekanisme kerja KUBE. b. Strategi
penguatan
sosial,
yaitu
strategi
yang
diarahkan
untuk
pengembangan dinamika kelompok yang meliputi penumbuhan motivasi berkelompok, peran masyarakat guna mendukung pengembangan KBS –
155
KUBE, mempererat interaksi dalam kelompok, meningkatkan kepedulian sosial antar anggota kelompok, dan memantapkan sikap atau rasa memiliki, menumbuhkan solidaritas sosial, kohesivitas sosial dan integrasi sosial
sehingga
bantuan
dianggap
sebagi
amanah
yang
harus
dipertanggungjawabkan secara sosial. 2. Strategi Penguatan Individu Sebagai Anggota Kelompok KBS-KUBE. a. Strategi Penguatan Kapasitas Keterampilan Organisasi Individu .anggota kelompok KBS-KUBE, merupakan strategi yang diarahkan untuk memperkuat individu dalam peranannya sebagai anggota/pengurus kelompok KBS-KUBE. b. Penguatan Kapasitas Usaha Ekonomi Anggota kelompok KBS-KUBE, strategi ini diarahkan untuk memperkuat usaha ekonomi anggota kelompok KBS – KUBE. 3. Strategi Penguatan Jejaring. Strategi ini diarahkan untuk memperkuat jejaring antar kelompok KBS-KUBE, intra kelompok KBS-KUBE atau kelompok – kelompok yang ada di komunitas serta di luar komunitas. Strategi ini memperkuat kerjasama di dalam dan di luar komunitas guna mendukung perkembangan Kelompok Usaha Bersama.
7.4.1. Perencanaan Program Penguatan Pada Aras Kelompok KBS - KUBE 7.4.1.1. Perencanaan Program Penguatan aspek Struktural dan Kultural Organsisasi Kelompok KBS – KUBE Dalam mengimplementasi rencana program penguatan aspek struktural maupun kultural organisasi kelompok KBS – KUBE maka akan dilaksanakan kegiatan sesuai dengan akar masalah antara lain: 1. Pelaksanaan pendidikan kejar paket B Tujuan pelaksanaan pendidikan kejar paket B adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan pengurus ini disebabkan rendahnya tingkat pendidikan pengurus hanya 2 orang yang berpendidikan SMP sisanya tamat SD dan tidak tamat SD. Pelaksan kegiatan ini adalah pengurus Kelompok Usaha Bersama. Sebagai instansi pendukung adalah Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur, Dinas Pendidikan dan Panti Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta.
156
Waktu pelaksanaan adalah pada bulan Juli tahun 2006 dilaksanakan di aula panti dengan peserta pengurus KBS-KUBE yang terdiri dari ketua, sekretaris dan bendahara. Sumber dana adalah anggaran dari Dinas Pendidikan. 2. Pendampingan sosial dengan sistim konsultasi (pemantapan pengurus kelompok). Tujuan kegiatan ini adalah untuk memberi pemahaman tentang hasil penunjukkan eks penderita kusta sebagai pengurus KBS-KUBE oleh pengurus
KUBE.
Pelaksana
kegiatan
ini
adalah
pengurus
KUBE,
pendamping dan koordinator KUBE. Sebagai instansi pendukung adalah Dinas Sosial Provinsi dan Panti. Waktu pelaksanaan kegiatan ini adalah bulan Oktober 2005 di rumah pengurus KBS-KUBE. Mekanisme pelaksanaan kegiatan ini adalah pengurus KUBE, pendamping dan koordinator KUBE melaksanakan kunjungan rumah (home visit)
ke rumah pengurus secara bergantingan untuk memberi
pemahaman tentang pentingnya pengurus melaksanakan tugas-tugas sebagai pengurus KBS-KUBE. Sumber dana adalah Panti Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta. 3. Pendampingan sosial dengan sistim konsultasi (penguatan pengurus melalui motivasi) Tujuan kegiatan ini adalah memberi pemahaman dan motivasi tentang pentingnya pengurus dan pemberian insentif bagi pengurus KBS-KUBE, kegiatan ini ada karena pengurus beranggapan bahwa menjadi pengurus tidak memberi keuntungan secara metari bahkan sering mendapatkan umpatan dari anggota. Pelaksana kegiatan ini adalah pengurus KUBE, pendamping dan koordinator KUBE. Sebagai instansi pendukung adalah Dinas Sosial Provinsi dan Panti. Waktu pelakanaan setiap bulan sesuai dengan kebutuhan tempat di rumah pengurus
secara
bergantingan
untuk
memberi
pemahaman
tentang
pentingnya pengurus melaksanakan tugas-tugas sebagai pengurus KBSKUBE. Sumber dana adalah Panti Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta.
157
4. Pelatihan tentang tugas-tugas pengurus serta kewenangannya (Ketua, sekretaris dan bendahara) Tujuan kegiatan ini adalah untuk emberikan pengetahuan dan pemahaman tentang tugas-tugas pengurus karena pengurus tidak mengetahui apa yang harus dikerjakan dan kewenangan yang dimiliki. Dengan kegiatan ini diharapkan pengurus akan mengetahui tugas – tugas apa yang harus dikerjakan dan kewenangan apa saja yang dimiliki untuk memajukan perkembangan kelompok KBS-KUBE. Pelaksana kegiatan ini adalah
Pengurus KUBE, Pendamping dan
Koordinator KUBE. Instansi pendukung adalah Dinas Sosial Provinsi dan Panti. Pelaksanaan kegiatan pada Juli 2006 selama 3 hari di aula panti. Mekanisme pelaksanaan kegiatan ini adalah Identifikasi kebutuhan dan permasalahan pengurus kemudian menyusun materi dan melaksanakan pelatihan dengan metode ceramah diskusi kelompok dan praktek. Sumber dana adalah dari Dinas Sosial dan Panti. 5. Pendampingan sosial (pentingnya mencatat perkembangan kelompok) Tujuan kegiatan ini adalah memberikan penjelasan tentang cara penulisan buku-buku administrasi ini disebabkan karena pencatatan tidak dilaksanakan setiap bulan dan setiap ada pekembangan kambing, sehingga pembukuan tidak jelas dan tidak dapat dipakai untuk mengetahui pekermbangan kelompok KBS-KUBE. Pelaksana kegiatan adalah pendamping. Sebagai instansi pendukung adalah waktu pelaksanaan kegiatan ini adalah setiap bulan namun bila sudah menunjukkan perkembangan baik sedikit demi sedikit akan dikurangi bisa sampai 3 bulan baru di monitor kembali. Tempat pelaksnaan kegiatan di rumah pengurus KBS-KUBE. Sumber dana dari Panti. 6. Rapat/Musyawarah Tujuan dari kegiatan ini adalah menyederhanakan buku-buku KUBE untuk disesuaikan dengan kemampuan fisik dan pendidikan eks pendeita kusta ini disebabkan banyaknya buku yang harus dikerjakan oleh pengurus KBSKUBE. Pelaksana kegiatan adalah koordinator KUBE, Pengurus KUBE dan Pengurus KBS-KUBE. Sebagai instansi pendukung adalah Dinas Sosial Provinsi dan Panti.
158
Waktu pelaksanaan kegiatan adalah bulan Nopember 2005 / satu hari tempat aula panti. Mekanisme kegiatan adalah mengundang pengurus KBS-KUBE, Pengurus KUBE, Pendamping dan Koordinator KUBE untuk membahas penyederhanaan buku-buku KUBE. Sumber dana adalah
Panti dan
Pengurus KUBE. 7. Sosialisasi gender Tujuan kegiatan ini adalah memberi pengertian tentang peran gender dalam kepengurusan KBS-KUBE karena selama ini perempuan dianggap tidak bisa melaskanakan tugas-tugas pengurus dan menganggap tugas perempuan hanya mengembala kambing dan mengerjakan pekerjaan rumah. Pelaksana kegiatan ini adalah koordinator KUBE. Sebagai instansi pendukung adalah Dinas Sosial Provinsi dan Panti. Waktu pelaksanaan kegiatan pada bulan Desember 2006 /satu hari dilaksanakan di aula panti mekanisme kegiatan yaitu mengundang seluruh pengurus dan anggota KBS-KUBE, Pengurus KUBE untuk mendengarkan ceramah tentang peran gender dalam kepengurusan KBS-KUBE. Sumber dana dari Panti Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta. 8. Pendampingan sosial dengan sistim konsultasi (penjelasan tentang peran gender) Tujuan kegiatan ini adalah memberi pemahaman terhadap peran gender dalam pengambilan keputusan kegiatan ini penting karena perempuan selama ini dianggap tidak tahu apa-apa. Sebagai pelaksana kegiatan adalah Pendamping/ Koordinator KUBE dan instansi pendukung adalah Panti. Waktu pelaksanaan kegiatan Setiap bulan / sesuai dengan kebutuhan bila sudah mengerti dan memahami maka kegiatan dihentikan pelaksanaan kegiatan dirumah pada malam hari. Mekanisme kegiatan adalah pendamping memberi penjelasan tentang peran gender kepada kelompok KBS-KUBE. Sumber dana adalah Panti. 9. Pertemuan rutin Permasalahan yang dihadapi oleh kelompok yaitu lemahnya pola hubungan dan komunikasi karena tidak pernah dilaksanakan pertemuan rutin. Tujuan
159
kegiatan tersebut adalah untuk meningkatkan hubungan dan komunikasi antar anggota kelompok KBS-KUBE. Dengan
pertemuan
merupakan
metode
untuk
bertukar
pikiran
dan
pengalaman sekaligus sebagai proses belajar memecahkan permasalahan kelompok
dan
permasalahan-permasalahan
keluarga
dan
lingkungan
sosialnya secara bersama. Pertemuan juga ada dapat meningkatkan kemampuan anggota kelompok KBS – KUBE dalam menampilkan perananperanan sosialnya, baik dalam keluarga, kelompok maupun lingkungan sosialnya baik perempuan maupun laki-laki. Pertemuan rutin juga dihadiri oleh pengurus KUBE, pendamping dan koordinator KUBE. Kehadiran mereka diharapkan memberi masukan dan mengetahui permasalahan yang dialami oleh kelompok KBS-KUBE dan dari koordinator bisa melaksanakan pendampingan
dan monitoring ,evaluasi
terhadap perkembangan KUBE. Pelaksana kegiatan adalah pengurus kelompok KBS - KUBE waktu pelaksanaan setiap bulan dan dilaksanakan secara bergiliran. Tempat pelaksanaan
di
rumah
pengurus
kelompok
KBS-KUBE
atau
atas
kesepakatan kelompok. Anggaran berasal dari pengurus KUBE 10. Pertemuan informal Tujuan kegiatan adalah membangun hubungan dan komunikasi antar kelompok KBS-KUBE, kegiatan ini sangat penting karena waktu habis dipergunakan eks pederita kusta untuk bekerja, malam hari untuk istirahat. Pelaksana kegiatan adalah pendamping. Instansi pendukung adalah Panti. Waktu pelaksanaan kegiatan minimal 3 bulan sekali, tempat dilaksanakan pertemuan kelompok KBS-KUBE yang disepakati bersama antara kelompok dengan pendamping bisa di sawah/padang pengembalaan didampingi oleh pendamping. Sumber anggaran kelompok KBS-KUBE dan Panti. 11. Perumusan pembuatan peraturan tertulis pada masing-masing KBS-KUBE Tujuan kegiatan ini adalah merumuskan dan menyepakati peraturan yang sudah dibuat di kelompok KBS-KUBE ini disebabkan karena selama ini peraturan kelompok tidak dibuat oleh kelompok KBS-KUBE itu sendiri melainkan dibuat secara bersama oleh Kepala Panti di Aula panti. Pelaksana
160
kegiatan ini adalah pengurus dan anggota KBS-KUBE, Instansi pendukung kegiatan adalah panti. Mekanisme kegiatan adalah pengurus kelompok KBS-KUBE mengundang anggota kelompok untuk mengadakan rapat dan membuat peraturan tertulis secara bersama dan disepakati secara bersama pula. Waktu pelaksanaan kegiatan adalah pada bulan Desember 2005 / satu hari tempat kesepakatan Kelompok KBS-KUBE. Sumber dana adalah dari anggran kelompok KBSKUBE. 12. Sosialisai hasil perumusan dan pembuatan peraturan kepada seluruh anggota. Tujuan kegiatan ini adalah menyebarluaskan hasil keputusan rapat kepada seluruh anggota ini disebabkan karena tidak semua anggota kelompok hadir pada saat pembuatan peraturan. Pelaksana kegiatan adalan pengurus KBSKUBE, Pengurus KUBE. Instansi pendukung adalah panti. Mekanisne kegiatan ini adalah memberikan pengertian kepada suluruh anggota kelompok tentang pentingmya mematuhi peraturan yang sudah ditetapkan secara bersama. Waktu pelaksanaan yaitu Bersamaan dengan pertemuan kelompok KBS-KUBE. Sumber dana adalah Kelompok KBSKUBE.
161
7.4.1.2.
Perencanaan
Program
Pengembangan
Dinamika
Kelompok
KBS - KUBE .Dalam
mengimplementasi
rencana
program
pengembangan
dinamika
Kelompok KBS – KUBE maka akan dilaksanakan kegiatan sesuai dengan akar masalah antara lain : 1. Pendampingan sosial/permainan dinamika kelompok. Tujuan kegiatan ini adalah untuk memperkuat ikatan kelompok Kelompok dan anggota
ini disebabkan karena masing-masing anggota kelompok belum
bisa saling memberi dan menerima manfaat dibentuknya kelompok. Pelaksana adalah Pendamping / Pekerja Sosial Panti. Sebagai instansi pendukung adalah Panti. Waktu pelaksanaan setiap 3 bulan sekali selama satu tahun kemudian melihat perkembangan dari hasil permainan dinamika kelompok tersebut masih diperlukan atau tidak pelaksanaan kegiatan di gedung TK Dusun Nganget. Metode permainan dinamika kelompok yaitu komunikasi satu arah dan dua arah.Setelah permainan selesai dijelaskan tujuan dari permainan tersebut. Sumber dana adalah Panti dan KUBE. 2. Pertemuan rutin Tujuan kegiatan ini adalah untuk memperkuat ikatan kelompok sebab kelompok KBS-KUBE dibentuk karena akan ada proyek sehingga tingkat kohesivitas antar anggota dalam kelompok sangat lemah. Pelaksana kegiatan adalah anggota dan pengurus kelompok KBS-KUBE. Sebagai instansi pendukung adalah panti. Waktu pelaksanaan kegiatan tiap bulan di rumah pengurus dan anggota kelompok KBS-KUBE. Mekanisme pelaksanaan kegiatan adalah pengurus KBS-KUBE membuat undangan untuk mengundang seluruh anggota dan pengurus.
Dan
pertemuan
rutin
dilaksanakan
untuk
membahas
permasalahan yang dialami baik anggota sebagai individu, kelompok ataupun permasalahan-permasalahan sosial yang ada di lingkungannya. Anggaran untuk pelaksanaan kegiatan ini adalah dibebankan kepada kelompok KBSKUBE.
167
3. Pendampingan mengenai potensi dan sumber yang dimiliki anggota kelompok. Tujuan dilaksanakan kegiatan ini adalah untuk menggali dan memanfaatkan potensi dan sumber yang dimiliki oleh anggota kelompok. Ini sangat penting karena dengan keberadaannya eks penderita kusta seakan-akan dia memandang dirinya tidak mempunyai apa-apa yang bisa dimanfaatkan untuk menolong orang lain. Pelaksana kegiatan ini adalah pendamping dan pekerja sosial panti. Instansi pendukung adalah Dinas Sosial dan Panti. Waktu pelaksanaan kegiatan adalah setiap bulan sesuai dengan pertemuan rutin yang ada namun disesuai dengan materi yang ada. Mekanisme kegiatan adalah dilaksanakan secara individu melalui home visit
(kunjungan rumah). Anggaran dibebankan
kepada panti melalui dana pembinaan lanjut. 4. Pendampingan (motivasi kelompok) Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengadakan perubahan sikap dan cara berpikir tentang bantuan dari pemerintah ini disebabkan eks penderita kusta bila menerima bantuan ada rasa tidak ikut memiliki sehingga dalam pemeliharaannya
tidak
begitu
baik.
Pelaksana
kegiatan
ini
adalah
pendamping/pekerja sosial panti. Instansi pendukung adalah panti. Waktu pelaksanaan setiap bulan disesuaikan dengan materi yang ada melalui pertemuan rutin. Anggaran dari panti melalui dana pembinaan lanjut. Mekanisme kegiatan adalah Pendampimgan dilaksanakan dengan cara berkelompok dengan metode brainstorming/curah pendapat mengenai perasaan-perasaan anggota kelompok saat menerima bantuan dan bila tidak menerima bantuan. Setelah anggota kelompok selesai mengungkapkan perasaannya maka saat itu perlu dijelaskan tentang pentingnya rasa memiliki bantuan tersebut. 5. Pendampingan sosial melalui permainan dinamika kelompok Tujuan dari kegiatan ini adalah memberi pengertian dan pemahaman tentang pentingnya manfaat dari kerjasama, ini disebabkan karena anggota kelompok belum mengetahui dan memahami manfaat dari kerjasama. Pelaksana kegiatan ini adalah pendamping. Sebagai instansi pendukung adalah Panti.
168
Waktu pelaksanaan setiap bulan disesuikan dengan jadual pertemuan rutin anggota kelompok KBS-KUBE. Mekanisme kegiatan adalah dengan menggunakan metode persuasif dan permainan dinamika kelompok. Anggaran dari panti melalui kegiatan pembinaan lanjut. 6. Pendampingan sosial (pemberian motivasi secara kelompok) Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk merubah anggapan yang salah menjadi hal yang bermanfaat ini disebabkan karena ada anggapan dari anggota kelompok bahwa
kalau kita akan melaksanakan kerjasama berarti
mengeluarkan uang. Pelaksana kegiatan adalah pendamping. Sebagai instansi pendukung adalah panti. Kegiatan ini dilaksanakan setiap bulan melalui
pertemuan
kelompok
dengan
metode
persuasif.
Anggaran
dibebankan melalui panti dengan dana pembinaan lanjut. 7. Peringatan Hari Besar Agama . Tujuan kegiatan ini adalah untuk memberikan pemahaman tentang perbedaan dan kebersamaan, ini disebabkan karena dalam komunitas eks penderita kusta terdapat kelompok-kelompok dan berbagai perbedaan paham idiologi seperti NU, LDII. Pelaksana kegiatan adalah tokoh agama / panitia. Instansi pendukung kegiatan ini adalah panti. Waktu pelaksanaan disesuaikan dengan hari-hari besar agama. Metode yang dilakukan adalah melalui ceramah. Anggaran dibebankan pada masyarakat yang beragama Islam. 8. Pembentukan Kelompok KBS-KUBE Bayangan Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memonitor perkembangan kelompok KBS-KUBE yang dilakukan oleh anggota masyarakat itu sendiri. Ini dibentuk karena lemahnya kontrol sosial yang dilaksanakan oleh anggota masyarakat, ada rasa segan untuk memperingatkan orang lain. Pelaksana kegiatan ini adalah pengurus KUBE, pendamping dan koordinator KUBE. Instansi pendukung adalah panti. Waktu pelaksanaan kegiatan adalah pada bulan Desember 2005 di gedung Taman Kanak – Kanak Dusun Nganget. Mekanisme kegiatan diadakan seleksi bagi masyarakat yang akan menerima pengguliran berikutnya dan
169
diseleksi per RT setelah berjumlah sepuluh orang maka tugas kelompok ini selanjutnya mengawasai kelompok yang akan memberikan pengguliran tersebut. Anggaran dari pengurus KUBE. 9. Pangajian / Tahlilan Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan ikatan emosional kelompok sehingga kelompok mempunyai ikatan yang kuat karena latar belakang yang berbeda sehingga perlu untuk menyatukan dalam suatu kegiatan. Pelaksana kegiatan tersebut adalah kelompok KBS-KUBE. Sebagai instansi pendukung adalah panti. Waktu pelaksanaan kegiatan setiap malam Jum’at dilaksanakan di masjid. Mekanisme kegiatan adalah setelah tahlilan dilanjutkan dengan ceramah baik yang berhubungan dengan agama maupun dengan kemasyarakatan. Anggaran di bebankan pada kelompok KBS-KUBE. 10. Rekreasi Bersama Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan ikatan emosional kelompok KBS-KUBE karena banyak berbagai paham idiologi. Pelaksana kegiatan ini adalah Kelompok KBS-KUBE. Instansi pendukung adalah panti. Waktu pelaksanaan ditentukan bersama oleh kelompok (setelah panen). Mekanisme kegiatan adalah rekreasi dilaksanakan ditempat yang terjangkau dan didampingi oleh pendamping. Dalam rekreasi tersebut ada acara untuk saling mengungkapkan perasaan dan permasalahan yang dihadapi oleh semua anggota dan yang lain mendengarkan setelah itu dicari pemecahan masalah secara bersama-sama. Anggaran dibebankan pada kelompok KBS-KUBE. 11. Pertemuan kelompok sambil mengembala kambing Tujuan dilaksanakan kegiatan ini adalah antar anggota kelompok saling membuka diri untuk saling mengenal lebih dekat. Ini sangat penting karena di antara anggota kelompok belum terjadi identifikasi pribadi sehingga solidaritas yang lemah. Kegiatan ini sudah terpola di komunitas eks penderita kusta. Pelaksana kegiatan ini adalah kelompok KBS-KUBE dan pendamping kelompok. Sebagai instansi pendukung adalah panti. Waktu pelaksanaan dua
170
minggu sekali. Mekanisme kegiatan adalah pendamping menjelaskan pentingnya anggota kelompok mengungkapkan identititas diri masing-masing di mulai dengan pendamping kelompok. Setelah itu bebas mengungkapkan apa saja sesuai dengan yang dirasakan. 12. Pertemuan kelompok dengan Kyai Tujuan kegiatan ini adalah untuk mempererat tali silaturohim dengan kyai pelaksanaan kegiatan ini dilaksanakan oleh kelompok KBS – KUBE. Sebagai instansi pendukung adalah panti. Waktu pelaksanaan biasanya dilaksanakan pada waktu selapanan. Mekanisme kegiatan ini adalah Setelah mengadakan silaturrohim dengan Kyai Nas’ro maka kelompok melaksanakan pertemuan sendiri dan mengundang Kyai untuk memberi wejangan petingnya antar anggota untuk saling menerima sehingga akan timbul kohesivitas kelompok. 13. Lomba Kelompok KBS-KUBE. Lemahnya integrasi sosial, solidaritas dan kohesivitas kelompok karena masing-masing individu tidak mempunyai rasa saling ketergantungan satu dengan yang lain. Kelompok KBS-KUBE tidak mampu memberi manfaat kepada angota kelompok begitu juga sebaliknya individu
belum bisa
memberi manfaat kepada kelompok. Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan rasa solidaritas, integrasi sosial dan kohesivitas kelompok KBS-KUBE. Dengan diadakan lomba
maka kelompok akan bersaing,
dengan persaingan tersebut maka di dalam kelompok akan tumbuh perasaan untuk menjadi yang terbaik, disinilah akan muncul kohesitas kelompok, integrasi dan solidaritas. Pelaksana
kegiatan
ini
adalah,
Pengurus
KUBE,
Pendamping
dan
Koordinator KUBE. Tempat pelaksanaan kegiatan adalah di Dusun Nganget. Waktu pelaksanaan setiap tahun pada bulan Desember bersamaan dengan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional. Dengan anggaran dari Panti Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta Tuban dan Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur.
171
Tabel 20. Rencana Program penguatan Aspek Struktural dan Kultural Organiasai KBS-KUBE Tahun 2005 Masalah Belum berfungsinya pengurus KBS-KUBE (Ketua, Sekretaris dan Bendahara
Akar Masalah Rendahnya tingkat pendidikan pengurus
Kegiatan
Tujuan
Pelaksana
Instansi Pendukung Dinas Sosial Propinsi dan Panti Dinas Pendidikan
Waktu, Tempat Tahun 2006 Aula panti (jangka panjang)
Mekanisame / Metode Peserta pengurus KBSKUBE Metode pendidikan paket B
Pengurus KUBE, Pendamping dan Koordinator KUBE melaksanakan home visit
Pelaksanaan pendidikan kejar paket B
Meningkatkan kualitas pendidikan pengurus
Pengurus KUBE
Pengurus atas penunjukkan Pengurus KUBE
Pendampingan Sosial dengan konsultasi (pemantapan pengurus kelompok)
Memberi pemahaman tentang penunjukkannya sebagai pengurus
Pengurus KUBE, Pendamping dan Koordinator KUBE
Dinas Sosial Propinsi dan Panti
Oktober 2005 rumah pengurus (jangka pendek)
Menjadi pengurus tidak memberi keuntungan secara materi
Pendampingan sosial dengan konsultasi (penguatan pengurus melaui motivasi)
Memberi pemahaman dan motivasi tentang pentingnya pengurus dan pemberian insentif / honor pengurus
Pengurus KUBE, Pendamping dan Koordinator KUBE
Dinas Sosial Propinsi dan Panti
Setiap bulan Rumah pengurus (jangka pendek)
Pengurus KUBE, Pendamping dan Koordinator KUBE melaksanakan home visit
Anggaran Dinas Pendidikan
Prioritas Kelompok KBS – KUBE Sumber Makmur.
Panti Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta
KBS – KUBE Sumber Makmur.
KUBE dan Panti
KBS – KUBE Sumber Makmur
Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun
171
Tabel 20 :Lanjutan………… Masalah
Lemahnya administrasi pembukuan pengurus kelompok KBS-KUBE
Akar Masalah
Kegiatan
Tujuan
Pelaksana
Tidak mengetahui apa yang harus dikerjakan dan kewenangan yang dimiliki
Pelatihan tentang tugastugas pengurus serta kewenangannya (ketua,sekretaris dan bendahara)
Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang tugas-tugas pengurus
Pengurus KUBE, Pendamping dan Koordinator KUBE
Pencatatan tidak dilaksanakan setiap bulan dan setiap ada pekembangan kambing,
Pendampingan sosial (pentingnya mencatat perkembangan kelompok)
Memberikan Pendamping penjelasan tentang cara penulisan buku-buku administrasi
Instansi Pendukung
Waktu, Tempat
Mekanisame / Metode
Anggaran
Prioritas Kelompok
Dinas Sosial Propinsi dan Panti
Juli 2006 /3 hari Di panti (jangka panjang)
Peserta pengurus KBSKUBE Identifikasi kebutuhan dan permasalahan pengurus. Menyusun materi dan melaksanakan pelatihan dengan metode ceramah diskusi kelompok dan praktek.
Dinas Sosial dan Panti
KBS – KUBE Sumber Makmur
Panti
Setiap bulan (jangka pendek) 1 tahun
Pengurus KUBE Panti dan pendamping setiap bulannya harus memeriksa pembukuan kelompok KBSKUBE
KBS – KUBE Sumber Makmur
Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun
172
Masalah
Belum dilibatkannya perempuan dalam kepengurusan KBS-KUBE
Instansi Pendukung
Waktu, Tempat
Akar Masalah
Kegiatan
Tujuan
Pelaksana
Banyaknya buku yang harus dikerjakan oleh pengurus
Rapat / musyawarah
Menyederhanakan buku-buku KUBE untuk disesuaikan dengan kemampuan eks pendeita kusta.
Koordinator KUBE, Pengurus KUBE dan Pengurus KBSKUBE
Dinas Sosial Propinsi dan Panti
Nopember 2005 / satu hari Aula panti (jangka pendek)
Memberi pengertian tentang peran gender dalam kepengurusan KBS-KUBE
Koordinator KUBE
Dinas Sosial Propinsi dan Panti
Desember 2006 /satu hari Aula panti (jangka pendek)
Sosialisasi Perempuan dianggap gender tidak bisa melaskanakan tugas-tugas pengurus. Menganggap tugas perempuan hanya mengembala kambing dan mengerjakan pekerjaan rumah.
Tabel 20 : Lanjutan…………… Mekanisame / Anggaran Prioritas Metode Kelompok Mengundang pengurus KBSKUBE, Pengurus KUBE, Pendamping dan Koordinator KUBE untuk membahas penyederhanaan buku-buku KUBE Mengundang seluruh pengurus dan anggota KBSKUBE, Pengurus KUBE untuk mendengarkan ceramah tentang peran gender dalam kepengurusan KBS-KUBE.
Panti dan KUBE
KBS – KUBE Sumber Makmur
Panti
KBS – KUBE Sumber Makmur
Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun 173
Akar Masalah Masalah Perempuan Belum dilibatkannya dianggap tidak tahu perempuan apa-apa dalam pengambilan keputusan
Lemahnya pola hubungan dan komunikasi kelompok KBS-KUBE
Instansi Pelaksana Pendukung Pendamping/ Panti Koordinator KUBE
Kegiatan
Tujuan
Pendampingan sosial, dengan sistim konsultasi (penjelasan tentang peran gender)
Memberi pemahaman terhadap peran gender dan pengambilan keputusan
Tidak pernah dilaksanakan pertemuan rutin
Pertemuan rutin
Membangun hubungan dan komunikasi antar kelompok KBS-KUBE
Panti Kelompok KBS-KUBE, Pendamping/ Koordinator KUBE
Waktu habis dipergunakan eks pederita kusta untuk bekerja, malam hari untuk istirahat
Pertemuan informal
Membangun hubungan dan komunikasi antar kelompok KBS-KUBE
Pendamping
Panti
Tabel 20 : Lanjutan… Anggaran Prioritas Kelompok Panti KBS – KUBE Sumber Makmur
Waktu, Tempat Setiap bulan / dirumah pada malam hari (jangka pendek) Setiap bulan / di rumah anggota Kelompok KBSKUBE (j.panjang)
Mekanisame / Metode Pendamping memberi penjelasan tentang peran gender kepada kelompok KBS-KUBE. Dilaksanakan peretmuan rutin kelompok KBS-KUBE secara bergiliran dari rumah ke rumah
Kelompok KBSKUBE
KBS – KUBE Sumber Makmur
Minimal 3 bulan sekali (jangka menengah)
Dilaksanakan pertemuan kelompok KBS-KUBE ditempat yang disepaktai bersama bisa di sawah/padang pengembalaan didampingi oleh pendamping.
Panti
KBS – KUBE Sumber Makmur
Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun
174
Tabel 20 : Lanjutan………… Masalah Lemahnya kelompok KBS-KUBE dalam menerapkan peraturan
Akar Masalah Peraturan kelompok tidak dibuat oleh kelompok KBS-KUBE itu sendiri.
Tidak semua anggota kelompok hadir pada saat pembuatan peraturan.
Kegiatan
Tujuan
Pelaksana
Perumusan dan pembuatan peraturan secara tertulis di masingmasing kelompok KBS –KUBE
Menyepakati peraturan yang sudah dibuat di kelompok KBS-KUBE
Pengurus dan anggota KBS-KUBE Didampingi Pengurus KUBE dan Pendamping
Menyebarluas kan hasil keputusan rapat kepada seluruh anggota.
Pengurus KBSKUBE, Pengurus KUBE
Sosialisasi hasil perumusan dan pembuatan peraturan kepada seluruh anggota
Instansi Pendukung
Waktu, Tempat
Mekanisame / Metode
Anggaran
Prioritas Kelompok
Panti
Desember 2005 / satu hari tempat kesepakatan kelompok. (jangka pendek)
Pengurus KBSKUBE mengundang anggota kelompok untuk mengadakan rapat dan membuat peraturan tertulis secara bersama dan disepakati secara bersama pula.
Kelompok KBSKUBE
KBS – KUBE Sumber Makmur
Panti
Bersamaan dengan pertemuan kelompok KBSKUBE (jangka pendek)
Memberikan pengertian kepada suluruh anggota kelompok tentang pentingmya mematuhi peraturan yang sudah ditetapkan secara bersama.
Kelompok KBSKUBE
KBS – KUBE Sumber Makmur
Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun
175
Tabel 21. Rencana Program Pengembangan Dinamika Kelompok KBS-KUBE Tahun 2005 Masalah Lemahnya motivasi berkelompok
Akar Masalah
Kegiatan
Tujuan
Pelaksana
Kelompok dan anggota belum bisa saling memberi dan menerima manfaat dibentuknya kelompok.
Pendampingan Memperkuat Pendamping/ Pekerja sosial ikatan Sosial Panti /permainan kelompok dinamika kelompok dan arisan kelompok.
Kelompok dibentuk atas dasar proyek
Pertemuan rutin
Memperkuat Anggota/ pengurus ikatan kelompok kelompok KBS KUBE
Instansi Pendukung
Waktu, Tempat
Mekanisame / Metode
Anggaran
Prioritas Kelompok
Panti
Mulai bulan Des’ 05 5 minggu sekali, di gedung TK Dusun Nganget. (jangka pendek)
Permainan dinamika kelompok yaitu komunikasi satu arah dan dua arah.Setelah permainan selesai dijelaskan tujuan dari permainan tersebut.
Panti
KBS – KUBE Sumber Makmur
Panti
Tiap bulan di rumah pengurus dan anggota kelompok KBSKUBE. (jangka panjang).
Waktu disesuaikan dengan pertemuan rutin yang lain dengan materi yang berbeda. Rumah secara bergiliran.
Kelompok KBSKUBE
KBS – KUBE Sumber Makmur
Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun
176
Tabel 21 : Lanjutan……… Masalah Lemahnya kepedulian sosial antar anggota kelompok KBSKUBE
Lemahnya rasa turut memiliki
Akar Masalah Anggota kelompok merasa tidak memiliki apa-apa .
Merasa tidak ikut memiliki baik bantuan maupun kelompok dan Seringnya dapat bantuan dari Pemerintah
Kegiatan Pendampingan mengenai potensi dan sumber yang dimiliki anggota kelompok
Tujuan
Pelaksana
Menggali dan Pendamping memanfaatkan dan Pekerja sosial panti. potensi dan sumber yang dimiliki oleh anggota kelompok
Pendampingan Mengadakan perubahan (motivasi sikap dan cara kelompok) berpikir tentang bantuan dari pemerintah.
Pendamping /Pekerja Sosial Panti.
Instansi Pendukung Dinas Sosial dan Panti
Waktu, Tempat Setiap bulan minggu ke 2, di rumah anggota kelompok (j.panjang)
Mekanisame / Metode Pendampingan dilaksanakan secara individu melalui home visit.
Anggaran
Dinas Sosial dan Panti
Setiap bulan Di rumah anggota kelompok (jangka panjang)
Pendampimgan dilaksanakan dengan cara berkelompok dengan metode brainstorming/curah pendapat mengenai perasaan-perasaan anggota kelompok saat menerima bantuan dan bila tidak menerima bantuan. Setelah anggota kelompok selesai mengungkapkan perasaannya maka saat itu perlu dijelaskan tentang pentingnya rasa memiliki.
Panti
Panti
Prioritas Kelompok Kelompok KBS – KUBE Sumber Makmur
Kelompok KBS – KUBE Sumber Makmur
Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun 177
Tabel 21: Lanjutan………… Masalah Lemahnya kerjasama antar anggota kelompok
Akar Masalah
Instansi Pendukung
Waktu, Tempat
Kegiatan
Tujuan
Pelaksana
Anggota kelompok belum mengetahui dan memahami manfaat kerjasama
Pendampingan sosial Melalui permainan dinamika kelompok
Memberi pengertian dan pemahaman pentingnya manfaat kerjasama
Pendamping/ Pekerja Sosial Panti
Panti
Setiap bulan di rumah anggota kelompok KBSKUBE. (jangka pendek)
Ada anggapan dari anggota bahwa kalau kerjasama berarti mengeluarkan uang.
Pendampingan (pemberian motivasi secara kelompok).
Merubah anggapan yang salah tersebut menjadi hal yang bermanfaat.
Pendamping
Panti
Setiap bulan di rumah anggota kelompok KBSKUBE. (Jangka pendek)
Perbedaan paham idiologi
Peringatan Hari Besar Agama
Panti Memberikan Tokoh pemahaman agama/panitia tentang perbedaan dan kebersamaan
Mekanisame / Metode
Anggaran
Prioritas Kelompok
Metode yang digunakan persuasif, dan permaina dinamika kelompok.
Panti
KBS – KUBE Sumber Makmur
Metode adalah persuasif melalui pertemuan rutin kelompok KBS-KUBE.
Panti
KBS – KUBE Sumber Makmur
KUBE /Panti/ Anggota kelompok KBSKUBE
KBS – KUBE Bangkit Mulia.
Disesuaikan Metode dengan hari ceramah besar agama Islam Di Dusun Nganget (j. panjang)
Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun
178
Tabel 21: lanjutan…………… Masalah Lemahnya integrasi sosial kelompok KBS KUBE
Akar Masalah
Kegiatan
Tujuan
Pelaksana
Instansi Pendukung
Waktu, Tempat
Mekanisame / Metode
Anggaran
Prioritas Kelompok
Latar belakang yang berbeda dan datang di Dusun tidak bersamaan
Pengajian / Tahlilan
Meningkatkan ikatan emosional kelompok.
Kelompok KBS – KUBE
Panti
Setiap minggu malam Jum’at sehabis Maghrib Di Masjid (jangka panjang)
Pelaksanaan yaitu Tahlilan dilanjutkan ceramah dan tanya jawab mengenai agama dan kemasyarakatan
Kelompok Kelompok KBS – KBSKUBE KUBE Sumber Makmur
Anggota kelompok berbagai paham idiologi
Rekreasi bersama
Meningkatkan ikatan emosional kelompok
Kelompok KBS KUBE
Panti
Ditentukan secara bersama oleh kelompok (jangka panjang)
Pelaksanaan rekreasi ada pendamping dilakukan ditempat yang dapat dijangkau dan ada acara untuk mengungkapkan perasan dan permasalahan yang dihadapi oleh semua anggota kelompok serta yang lain mendengarkan difasilitasi oleh pendamping kelompok.
Kelompok Kelompok KBS – KBSKUBE KUBE Bangkit Mulia.
Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun
179
Masalah
Akar Masalah
Kegiatan
Tujuan
Pelaksana
Instansi Pendukung
Waktu, Tempat
Tabel 21 : Lanjutan………… Mekanisame / Anggaran Prioritas Metode Kelompok
Lemahnya solidaritas kelompok KBS KUBE
Belum terjadi identifikasi pribadi antar anggota dalam kelompok
Pertemuan kelompok sambil mengembala kambing
Agar antar anggota kelompok saling membuka diri untuk mengenal anggota yang lain secara apa adanya.
Kelompok KBS – KUBE Dan Pendamping
Panti
Padang pengembalaan Dusun Nganget, pelaksaan setiap 2 minggu sekali (Jangka menengah)
Pendamping menjelaskan pentingnya anggota kelompok mengungkapkan identititas diri masing-masing di mulai dengan pendamping kelompok. Setelah itu bebas mengung kapkan apa saja.
Kelompok Kelompok KBSKBS – KUBE KUBE Bangkit Mulia
Lemahnya kohesivitas kelompok (keterpaduan kelompok)
Belum terjalin penerimaan diri antara anggota kelompok
Pertemuan keompok melalui silaraturrohim dengan Kyai NU
Mempererat tali silaturrohim dengan Kyai NU dan antar anggota kelompok
Kelompok KBS-KUBE
Panti
Selapanan di Pondok Pesantren Kyai Nso (jangka menengah)
Setelah mengadakan silaturrohim dengan Kyai Nas’ro maka kelompok melaksanakan pertemuan sendiri dan mengundang Kyai untuk memberi wejangan petingnya antar anggota untuk saling menerima.
Kelompok Kelompok KBSKBS – KUBE KUBE Sumber Makmur.
Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun
180
Masalah Lemahnya integrasi, solidaritas, dan kohesivitas kelompok KBSKUBE
Akar Masalah Belum terjadi identifikasi diri anggota kelompok. Belum adanya saling penerimaan antar anggota kelompok. Anggota kelompok heterogen
Kegiatan
Tujuan
Pelaksana
Lomba kelompok KBS-KUBE
Meningkatkan integrasi sosial, solidaritas dan kohesivitas kelompok
Koordianator KUBE / Pendamping dan Pengurus KUBE
Instansi Pendukung
Waktu, Tempat
Dinas Sosial Propinsi dan Panti Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta
Tiap tahun Bulan Desember/ HKSN Dusun Nganget (jangka panjang)
Tabel 21 : lanjutan…………… Mekanisame / Anggaran Prioritas Metode Kelompok 1. Peserta 5 kelompok KBS-KUBE. 2. Dari 5 kelompok diseleksi satu yang menjadi juara dan ada piala bergilir yang diperebutkan. 3. Penilaian di dasarkan pada keberhasilan kelompok dalam mengatasi permasalahan yang ada.
Dinas Sosial/Panti
Belum ada tujuan kelompok yang perlu diperjuang kan Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun
181
Tabel 22. Rencana Program Penguatan Kapasitas Keterampilan berorganisasi Individu anggota Kelompok KBS – KUBE dan Rencana Program Penguatan Kapasitas Usaha Ekonomi Anggota KBS-KUBE Tahun 2005 Masalah
Akar Masalah
Kegiatan
Tujuan
Pelaksana
Instansi Pendukung
Waktu, Tempat
Mekanisame / Metode
Anggaran
Prioritas Kelompok
Rendahnya tingkat partisipasi anggota kelompok dalam pengambilan keputusan
Konseling Rendahnya pengetahuan dan keterampilan sosial individu dalam memecahkan permasalahan kelompok
Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sosial individu dalam memecahkan permasalahan kelompok
Pekerja Sosial Panti Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta
Dinas Sosial/Panti
3 bulan sekali rumah anggota kelompok KBS-KUBE (jangka menengah)
1. Menggali masalah secara mendalam. 2. Menggali solusi alternatif pemecahan masalah
Panti
Kelompok KBS – KUBE Bangkit Mulia.
Rendahnya kemampuan individu menjadi pemimpin kelompok KBSKUBE.
Belum pernah menjadi pemimpin
Pekerja Memberi Sosial Panti keterampilan tentang kepemimpinan kepada ketua kelompok KBS-KUBE
Panti Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta
Bulan Nopember /satu hari Gedung Taman kanakKanak Dusun Nganget (jangka pendek)
Mengundang semua ketua kelompok KBSKUBE untuk mengikuti permainan dinamika kelompok dengan permainan peran. (role playing).
Panti
Kelompok KBS – KUBE Bangkit Mulia
Pendampingan melalui permainan dinamika kelompok
Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun
182
Tabel 22 : Lanjutan……… Masalah Kurangnya pengetahuan dan keterampilan produksi kambing
Akar Masalah Belum pernah ada Pendidikan dan Latihan mengenai teknik produksi kambing
Kegiatan
Tujuan
Pelaksana
Pendidikan dan Latihan Teknik Produksi Kambing
Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mengenai teknik produksi kambing.
Anggota kelompok KBSKUBE. Pengurus KUBE, Pendamping dan Koordinator KUBE
Instansi Pendukung Dinas Sosial dan Panti
Waktu, Tempat
Mekanisame / Metode
September 2006 /2 hari jangka panjang).
1. Peserta adalah anggota kelompok KBSKUBE. 2. Mengidentifikasi jenis kambing dan metode yang cocok dengan kondisi alam dan potensi Dusun Nganget. 3. Metode yang digunakan ceramah, studi kasus, diskusi dan studi banding
Anggaran
Prioritas Kelompok
Dinas Sosial
Kelompok KBS – KUBE Sumber Makmur.
Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun
183
Tabel 23. Rencana Program Penguatan Jejaring Kelompok KBS-KUBE Tahun 2005
Masalah
Akar Masalah
Kegiatan
Tujuan
Pelaksana
Instansi Pendu kung
Waktu, Tempat
Mekanisame / Metode
Angga ran
Prioritas Kelompok
Lemahnya kelompok dalam membangun jejaring antar kelompok dalam komunitas
Banyaknya kelompok dalam komunitas
Pembentukan Forum Komunikasi Informal Antar Tokoh Agama
Mempererat dan meningkatkan kohesivitas kelompok keagamaan di Dusun Nganget.
Tokoh Agama yang ada di Dusun Nganget (LDII, NU dan Kristen)
Panti Rehabili tasi Eks Penderita Kusta
Juli 2005 di rumah Kyai Ysf (NU) (jangka panjang)
Kyai Jsf mengundang tokoh-tokoh agama untuk membentuk forum komunikasi melalui rapat.
Tokoh -tokoh agama
Prioritas kelompok KBSKUBE Sumber Makmur
Lemahnya koordinasi antar LSM dan Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur
Belum adanya wadah sebagai sumber informasi yang berkaitan dengan eks penderita kusta.
Forum Komunakasi antar LSM dan Dinas Sosial
Untuk mempermudah komunkasi dan mengakses informasi sehingga program pengembangan bisa dipadukan.
Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur
Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur
Desember 2006 di Dinas Sosial Jawa Timur (Jangka Panjang)
Dinas Sosial mengundang LSM yang bergerak di bidang pengembangan komunitas eks penderita kusta untuk memadukan program sekaligus membentuk forum komunikasi sehingga program tersebut dapat berkelanjutan.
Dinas Sosial
Prioritas kelompok KBSKUBE Bangkit Mulia
Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun
184
Tabel 23 : Lanjutan…… Masalah
Akar Masalah
Kegiatan
Tujuan
Pelaksana
Instansi Pendukung
Waktu, Tempat
Mekanisame / Metode
Anggaran
Prioritas Kelompok
Labilnya kondisi mental eks penderita
Merasa tidak berguna dalam menjalani kehidupan
Pengajian/tahlilan dari luar komunitas Dusun Nganget.
Membangun jejaring dengan tokoh agama dari luar komunitas dan memberi motivasi kepada eks penderita kusta dalam menjalani kehidupan.
Tokoh agama di Dusun Nganget khsusnya NU
Panti
Tiap hari Jum’at dilaksanakan setiap minggu tempat bergiliran. (jangka panjang)
Kelompok Tahlilan NU mengundang penceramah dari luar komunitas atau ada program dari lembaga agama kecamatan untuk mengadakan pengajian di Dusun Nganget.
Pengurus kelompok tahlilan/ organisasi Keagamaan tingkat kecamatan.
Prioritas kelompok KBSKUBE Sumber Makmur
Perasaan minder, kurang percaya diri akibat sakit yang pernah diderita
Perasaan tidak diterima oleh masyarakat di luar komunitas eks penderita kusta
Konseling dengan psikolog /pekerja sosial
Untuk meningkat rasa percaya diri sehingga dapat menyakinkan masyarakat umum untuk menerima keberadaanya.
Psikolog / Pekerja sosial
Dinas Sosial /Panti
1 tahun 2 kali bula Juli dan Nopember 2006 (jangka panjang)
Pelaksanaan konseling di rumah atau tempat yang ditentukan secara bersama
Panti / Dinas Sosial
Prioritas kelompok KBSKUBE Sumber Makmur
Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun
185
Tabel 23 : Lanjutan……… Masalah
Akar Masalah
Kegiatan
Adanya perasaan takut dari masyarakat di luar komunitas bila berhubungan dengan eks penderita kusta.
Ketidaktahuan Penyuluh masyarakat an sosial luas tentang terpadu keberadaan eks penderita kusta
Ada sebagian eks penderita kusta yang belum diketahui tingkat kesembuhan nya
Tidak dilaksanakan deteksi dini tentang penderita kusta di Dusun Nganget.
Konse ling / klinis..
Tujuan
Pelaksana
Memberi pemahaman kepada masyarakat tentang penyakit kusta dan eks penderita kusta serta permasalahan yang dihadapi
Dinas Sosial, Dinas Kesehatan dan Panti Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta
Memperoleh kepastian tentang apakah warga Dusun Nganget semua sudah sembuh dari penyakit kusta.
Dinas Kesehatan/ Rumah Sakit Kusta Mojokerto/ Balai Pengobatan
Waktu, Tempat
Mekanisame / Metode
Dinas Sosial, Dinas Kesehat an dan Panti Rehabili tasi Sosial Eks Penderita Kusta
Juli – Nop. 2006. Penyuluhan sosial terpadu 2 kali setahun. diadakan di Kec.Singgahan dengan mengundang warga dan pengusaha lokal. (jangka panjang)
Meminta ijin Camat kalau akan ada penyuluhan sosial terpadu 2 kali
Dinas Sosial/ Dinas Kesehatan/ Rumah Sakit Kusta Mojokerto /Balai Pengobat an
Dilaksanakan setiap tahun dan bila ada warga baru yang masuk ke Dusun Nganget (jangka panjang)
Balai Pengobatan/Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit Kusta Mojokerto bekerjasama dengan Kepala Desa Kedungjambe dan Panti melaksanakan konseling/klinis
Instansi Pendukung
Penyuluhan I Camat mengundang warga . Penyuluhan kedua Camat mengundang pengusaha lokal untuk menghadiri kegiatan tersebut.
Angga ran
Prioritas Kelompok
Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur
Kelompok KBS – KUBE Sumber Makmur
Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur / Panti
Kelompok KBS – KUBE Sumber Makmur
Keterangan : Jangka Pendek : 1 – 2 tahun ; jangka menengah 2 – 4 tahun ; jangka panjang lebih dari 4 tahun
186
7.4.2. Perencanaan Program Penguatan Kapasitas Keterampilan Individu anggota kelompok KBS-KUBE dan Rencana Program Penguatan Kapasitas usaha Ekonomi Anggota KBS-KUBE. Program ini untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan anggota kelompok KBS-KUBE. Program ini sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia untuk merubah pola pikir, sikap
dan perilaku eks
penderita kusta sehingga mampu mengetahui dan memahami potensi alam yang ada dan kemampuan sumberdaya manusia supaya dapat memecahkan permasalahan baik individu, keluarga, kelompok dan lingkungan sosialnya. Implementasi dari program tersebut adalah sebagai berikut : 1. Konseling Konseling
dalam perspektif pekerjaan sosial dapat dilakukan melalui tiga
phase yaitu membangun relasi, menggali masalah secara mendalam dan menggali solusi alternatif. Tujuan konseling yaitu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan individu eks penderita kusta dalam memecahkan permasalahan
individu,
keluarga,
kelompok
dan
lingkungan
sosial.
Permasalahan yang dihadapi anggota kelompok KBS-KUBE yaitu rendahnya tingkat partisipasi anggota kelompok dalam pengambilan setiap keputusan. Pelaksana kegiatan ini adalah Pekerja Sosial Panti Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta. Instansi pendukung kegiatan ini adalah Panti Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta dan Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur. Waktu pelaksanaan
kegiatan
Disesuaikan
dengan
kondisi
individu
anggota
kelompok KBS – KUBE atau 3 (tiga) bulan sekali setelah melihat perkembangan saat ada pertemuan kelompok pelaksanaan konseling di rumah anggota kelompok KBS-KUBE atau tempat-tempat yang disepakati antara anggota kelompok dengan Pekerja Sosial. 2. Pendampingan Melalui Permainan Dinamika Kelompok Tujuan
kegiatan
ini
adalah
untuk
memberi
keterampilan
tentang
kepemimpinan kepada ketua kelompok KBS-KUBE. Kegiatan ini muncul karena rendahnya kemampuan individu dalam memimpin kelompok karena belum pernah mengikuti latihan kepemimpinan. Pelaksana kegiatan ini adalah Pendamping dan Pekerja Sosial Panti. Sebagai Instansi pendukung adalah Panti. Waktu pelaksanaan kegiatan
178
adalah bulan Nopember kegiatan dilaksanakan selama satu hari di gedung Taman Kanak-Kanak Dusun Nganget. Mekanisme kegiatan yaitu dengan menggunakan metode role playing. Anggaran dibebankan pada panti. 3. Pendidikan dan Latihan Teknik Produksi Kambing Tujuan
kegiatan
ini
adalah
untuk
meningkatkan
pengetahuan
dan
keterampilan mengenai teknik produksi kambing. Kegiatan ini muncul karena kurangnya
pengetahuan
dan
keterampilan
produksi
kambing
yang
disebabkan karena belum pernah diadakan pendidikan dan latihan mengenai produksi kambing. Pelaksana kegiatan adalah koordinator KUBE, pendamping pengurus KUBE dan pengurus kelompok KBS-KUBE. Instansi pendukung kegiatan ini adalah Dinas Peternakan Kabupaten Tuban dan Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur serta Panti Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta. Waktu pelaksanaan kegiatan pada bulan September 2006, Anggaran yang digunakan untuk kegiatan tersebut adalah Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur atau serta Panti Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta. Mekanisme
kegiatan
adalah peserta anggota kelompok KBS-KUBE.
Mengidentifikasi jenis kambing dan metode yang cocok dengan kondisi alam dan potensi Dusun Nganget. Metode yang digunakan ceramah, studi kasus, diskusi dan studi banding.
179
7.4.3. Perencanaan Program Penguatan Jejaring Program penguatan jejaring ini sangat penting dan mempunyai nilai strategis. Mengingat keberadaan eks penderita kusta yang selama ini terminggirkan dari kehidupan ditengah-tengah masyarakat pada umumnya. Penguatan jejaring ini bertujuan supaya kelompok dapat mengoptimalkan jejaring antar anggota kelompok KBS-KUBE, intra kelompok KBS-KUBE dan masyarakat di luar Dusun Nganget / Permukiman Eks Penderita Kusta. Melalui jejaring yang kuat, komunitas eks penderita kusta akan bisa mengembangkan kelompok KBS – KUBE. Kegiatan pokok dalam program penguatan jejaring adalah (1) Pembentukan Forum Komunikasi Informal Antar Tokoh Agama; (2) Forum Komunikasi Antar LSM dan Dinas Sosial ; (3) Pengajian/Tahlilan dari Luar Komunitas ; (4) Konseling Dengan Psikolog/Pekerja Sosial ; (5) Penyuluhan Sosial Terpadu. Untuk mengetahui lebih jauh maka dapat dijelaskan senagai berikut : 1. Pembentukan Forum Komunikasi Informal Antar Tokoh Agama Tujuan kegiatan ini adalah untuk mempererat dan meningkatkan kohesivitas kelompok-kelompok keagamaan yang berada di Dusun Nganget. Kegiatan ini berangkat dari banyaknya kelompok-kelompok yang ada di Dusun Nganget. Pelaksana kegiatan ini adalah Tokoh Agama yang ada di Dusun Nganget (LDII, NU dan Kristen). Sebagai instansi pendukung adalah Panti. Waktu pelaksanaan pada bulan Juli 2005 di rumah Kyai Jsf. Sumber dana berasal dari tokoh-tokoh agama. 2. Forum Komunikasi Antar LSM dan Dinas Sosial Tujuan kegiatan adalah untuk mempermudah komunikasi dan mengakses informasi sehingga program dapat dipadukan antara program LSM dengan LSM ataupun dengan Dinas Sosial. Munculnya kegiatan ini karena selama ini tidak terjalin koordinasi antara LSM dengan Dinas Sosial program-program yang ada di komunitas eks penderita kusta berjalan sendiri-sendiri. Pelaksana kegiatan adalah Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur. Sebagai instansi pendukung adalah Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur. Waktu pelaksanaan pada bulan Agustus 2006.di Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur. Mekanisme kegiatan adalah Dinas Sosial mengundang beberapa LSM yang
182
bergerak
di
bidang
pengembangan
komunitas
eks
penderita
kusta
memadukan program dari perencanaan sampai monitoring dan evaluasi sekaligus membentuk forum komunikasi sehingga program tersebut dapat berkelanjutan. Sumber dana dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur. 3. Pengajian/Tahlilan dari Luar Komunitas Eks Penderita Kusta. Tujuan kegiatan ini adalah membangun jejaring dengan tokoh-tokoh agama dari luar komunitas dan memberi motivasi kepada eks penderita kusta dalam menjalani kehidupan. Pelaksana kegiatan ini adalah tokoh agama di dusun Nganget khususnya warga Nahdatul Ulama. Instansi pendukung kegiatan adalah
Panti dan Pemerintah Desa
Kedungjambe. Waktu pelaksanaan kegiatan setiap hari Jum’at sore di rumah warga secara bergiliran. Sumber dana Organisasi Tahlilan. Mekanisme kegiatan adalah Kelompok Tahlilan NU mengundang penceramah dari luar komunitas atau ada program dari lembaga agama kecamatan untuk mengadakan pengajian di Dusun Nganget. 4. Konseling Dengan Psikolog / Pekerja Sosial Konseling
dalam perspektif pekerjaan sosial dapat dilakukan melalui tiga
phase yaitu membangun relasi, menggali masalah secara mendalam dan menggali solusi alternatif. Permasalahan yang dihadapi anggota kelompok KBS-KUBE yaitu perasaan minder, kurang percaya diri akibat sakit yang pernah diderita dalam membangun jejaring .Tujuan konseling yaitu meningkatkan rasa percaya diri eks penderita kusta dalam membangun jejaring. Pelaksana kegiatan ini adalah Pekerja Sosial Panti Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta atau Psikolog. Instansi pendukung kegiatan ini adalah Panti Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta dan Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur. Waktu pelaksanaan kegiatan setiap 6 bulan sekali selama satu tahun. Tempat di rumah Eks Penderita Kusta hasil kesepakatan antara konselor dan eks penderita kusta. Anggaran dibebankan pada Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur. 5. Penyuluhan Sosial Terpadu Penyuluhan sosial terpadu adalah penyuluhan sosial yang dilaksanakan secara terpadu disesuaikan dengan permasalahan yang ada di lokasi tempat
183
akan dilaksanakan penyuluhan tersebut. Permasalahannya yaitu
adanya
perasaan takut dari masyarakat di luar komunitas eks penderita kusta bila berhubungan dengan eks penderita kusta. Tujuan dari penyuluhan sosial terpadu adalah menjelaskan tentang penyakit kusta bagaimana proses,cara penuluraan dan bagaimana menghindarinya serta tentang keberadaan eks penderita kusta dalam pergaulannya dengan masyarakat di luar Dusun Nganget. Pelaksana kegiatan yaitu Dinas Sosial, Dinas Kesehatan dan Panti Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta. Instansi pendukung yaitu Dinas Sosial, Dinas Kesehatan dan Panti Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta. Waktu pelaksanaan kegiatan tersebut adalah pada bulan Juli 2006, dengan jumlah kegiatan dua kali setahun. Tahap pertama dilaksanakan di Kantor Kecamatan Singgahan dan peserta yang diundang adalah warga disekitar Desa Kedungjambe Kecamatan Singgahan. Tahap Kedua yang diundang adalah pengusaha lokal yang ada di Kecamatan dengan maksud supaya ada investasi yang bisa diarahkan ke Dusun Nganget. Anggaran dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur. 6. Konseling Klinis Tujuan kegiatan ini adalah untuk memperoleh kepastian tentang apakah warga yang berada di Dusun Nganget semua sudah sembuh dari penyakit kusta. Kegiatan ini didasari oleh adanya sebagian warga Dusun Nganget yang belum diketahui tingkat kesembuhannya. Pelaksana kegiatan ini adalah Dinas Kesehatan, Rumah Sakit Kusta Mojokerto, Balai Pengobatan yang berada di Dusun Nganget dan Pekerja Sosial. iIstansi pendukung kegiatan adalah Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, Rumah Sakit Kusta Mojokerto dan Panti Rehabilitasi Sosial Eks Penderita Kusta Tuban. Waktu pelaksnaaan kegiatan setiap tahun atau bila ada pendatang baru yang akan bermukim di Dusun Nganget. Mekanisme pelaksanaan kegiatan adalah Dinas Sosial bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur untuk mengadakan konseling klinis atau panti dengan data yang ada bisa mengusulkan diadakannya konseling klinis. Sumber dana berasan dari Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur.
184
7.5. Ikhtisar Program penguatan kelompok KBS – KUBE dalam upaya memberdayakan komunitas eks penderita kusta disusun secara partisipatif dengan tahapan identifikasi potensi yang meliputi Sumber Daya Manusia, Sumber Daya Alam dan Sumber Daya kelembagaan, identifikasi permasalahan dan kebutuhan dan penyusunan rancangan program secara partisipatif. Sumber Daya Manusia meliputi jumlah penduduk dan
tingkat pendidikan. Jumlah penduduk Dusun
Nganget adalah sebagai 464 jiwa (Agustus 2005) terdiri dari laki-laki sebanyak 230 jiwa dan perempuan sebayak 234 jiwa. Jumlah eks penderita kusta sebanyak 152 jiwa dan yang bukan eks penderita kusta sebanyak 312 jiwa (keturunan, orang waras yang kawin dengan eks penderita kusta dan keluarga pegawai panti). Tingkat
pendidikan
warga
Dusun
Nganget
yaitu
yang
paling
berpendidikan Sekolah Dasar mencapai178 orang atau 38, 36 %
banyak
dan yang
paling sedikit jumlahnya adalah Perguruan Tinggi sebanyak 5 orang atau 1,07 %. Sumberdaya alam yang dimiliki adalah tanah pertanian berupa sawah dan persil. Sawah adalah milik Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur sedangkan persil / ladang adalah milik Perhutani, jadi eks penderita kusta hanya sebagai penggarap saja. Namun untuk padang pengembalaan cukup untuk mengembala kambing karena daerah yang berbukit, tanah lapangan yang sudah tidak dipakai lagi sehingga dimanfaatkan untuk mengembala serta di pinggiran-pinggiran sawah sangat potensial untuk pemeliharaan kambing. Potensi kelembagaan yang ada di Dusun Nganget yaitu Lembaga Dakwah Islam Indonesia
,
Nahdatul
Ulama
serta
Umat
Kristiani
sangat
mendukung
perkembangan KUBE. Dengan potensi alam yang ada dan didukung dengan pengorganisasian kelompok KBS – KUBE yang baik maka KUBE kambing akan dapat berkembang dengan baik. Namun demikian dalam pengorganisasiannya perlu mendapat penguatan agar dapat berfungsi dengan baik. Berdasarkan strategi yang disusun yaitu :
188
Strategi Penguatan Kelompok KBS – KUBE Alternatif strategi pemberdayaan eks penderita kusta melalui penguatan kelompok KBS - KUBE
yang dapat dilakukan berdasarkan penelitian dalam
kajian ini adalah : 1. Strategi penguatan kelembagaan yang meliputi struktur dan kultur kelompok, merupakan suatu strategi yang diarahkan untuk memperbaiki struktur dan kultur dengan kegiatan (1) pendidikan kerjar paket B; (2) pendampingan sosial
dengan
konsultasi
(pemantapan
pengurus
kelompok);
(3)
pendampingan sosial dengan konsultasi (penguatan pengurus melalui motivasi) ; (4) pelatihan tentang tugas-tugas pengurus serta kewenangannya; (5) Pendampingan sosial (pentingnya mencatat perkembangan kelompok) ; (6) Rapat / musyawarah ; (7) sosialisasi gender ; (8) pendampingan sosial sistem konsultasi ; (9) pertemuan rutin ; (10) Pertemuan informal ; (11) Perumusan dan pembuatan peraturan secara tertulis ; (12) Sosialisasi hasil perumusan. 2.
Strategi
penguatan
sosial,
yaitu
strategi
yang
diarahkan
untuk
mengembangkan dinamika kelompok. yang meliputi kegiatan antara lain (1) pendampingan sosial / permainan dinamika kelompok ; (2) pertemuan rutin ; (3) pendampingan mengenai potensi dan sumber ; (4) pendampingan (motivasi kelompok) ; (5) pendampingan sosial /permainan dinamika kelompok ; (6) pendampingan sosial (motivasi secara berkelompok) ; (7) Peringatan Hari Besar Agama ; (8) Membentuk kelompok KBS-KUBE Bayangan ; (9) Pengajian / Tahlilan ; (10) rekreasi bersama ; (11) pertemuan kelompok sambil mengembala ; (12) Pertemuan dengan Kyai NU ; (13) Lomba kelompok KBS-KUBE.
Strategi Penguatan Individu sebagai anggota Kelompok KBS-KUBE. 1. Strategi Penguatan Kapasitas Keterampilan Organisasi Individu .anggota kelompok KBS-KUBE, merupakan strategi yang diarahkan untuk memperkuat individu dalam peranannya sebagai anggota/pengurus kelompok KBS-KUBE dengan kegiatan (1) Konseling ; (2) pendampingan melalui permainan dinamika kelompok.
189
2. Penguatan Kapasitas Usaha Ekonomi Anggota kelompok KBS-KUBE, strategi ini diarahkan untuk memperkuat usaha ekonomi anggota kelompok KBS – KUBE dengan kegiatan pendidikan dan latihan teknik produksi kambing.
Strategi Penguatan Jejaring. Strategi ini diarahkan untuk memperkuat jejaring antar kelompok KBSKUBE, intra kelompok KBS-KUBE atau kelompok – kelompok yang ada di komunitas serta di luar komunitas. Strategi ini memperkuat kerjasama di dalam dan di luar komunitas guna mendukung perkembangan Kelompok Usaha Bersama.
190
DAFTAR PUSTAKA
Achlis, 1983, Bimbingan Sosial Kelompok, Kopma STKS Bandung. Anonymons, 1994, Buku Pedoman Pembinaan Para Penyandang Cacat, Suatu Upaya Dalam Meningkatkan Kegiatan RBM, Manado. Anonymons, 1998. Petunjuk Pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat Dalam Rangka Menanggulangi Rawan Pangan dan Kemiskinan sebagai Dampak Sosial Akibat Bencana dan Krisis Ekonomi. Departemen Sosial RI, Jakarta Adi, Isbandi Rukminto, 2001. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas (Pengantar pada pemikiran dan Pendekatan Praktis). Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Anonymons, 2002. Panduan Penyelenggaraan Kelompok Usaha Bersama Penyandang Cacat (KUBE PENCA), Departemen Sosial RI, Jakarta Anonymons, 2003, Pola Dasar Pembangunan Departemen Sosial RI, Jakarta
Kesejahteraan
Sosial,
Anonymons, 2003. KELOMPOK USAHA BERSAMA Proses Penumbuhan dan Pengembangan, Departemen Sosial RI, Jakarta. Anonymons, 2003, Mewujudkan Kemandirian Keluarga Melallui KUBE KMM, Departemen Sosial RI, Jakarta. Anonymons, 2003, Diagnosis, Klasifikasi dan Pengobatan Penyakit Kusta, Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Adimihardja, Kusnaka dan Hikmat, Harry, 2003, Participatory Research Appraisal: Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat, Humaniora Utama Press, Bandung Chambers, Robert, 1996, Participatory Rural Appraisal, Memahami Desa Secara Partisipatif, Yayasan Obor, Yogyakarta. Damsar, 1997, Sosiologi Ekonomi, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada. Damarjanti, 2002. Kehidupan Berorganisasi sebagai Modal Sosial Komunitas, Artikel Jurnal Masyarakat No. 11 Tahun 2002, hal 62 – 88, Jakarta. Dubois, B dan Milley K.K 1992, Sosial Work An Empowering Profession, Allyn and Bacon. Boston. Dharmawan, Arya Hadi, 2000, Poverty, Powerlessness, and Poor People Empowerment: A Conceptual Analysis with Special Reference to the Case of Indonesia, Makalah Workshop on Rural Institutional Empowerment held in the Indonesian Consulate General of the Republic of Indonesia in Frankfurt am Main Germany. Dharmawan, Arya Hadi, 2002, Kemiskinan Kepercayaan (The Poverty of Trust), Stok Modal Sosial dan Disintegrasi Sosial, Makalah Seminar dan Kongres nasional IV Ikatan Sosiologi Indonesia.
198
Dharmawan, Arya Hadi dan Adiwibowo, Suryo, 2004, Ekologi Manusia. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dharmawan, Arya Hadi dan Nasdian Fredian Tonny, 2003, Sosiologi Perkembangan Komunitas. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. F. Netting Ellen, Peter M. Kettner, Steven L. McMurtry, 2001, Praktek Makro Pekerjaan Sosial, Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung. Gerungan, 2002, Psikologi Sosial, Bandung, Refika Aditama. Hikmat, Harry dan Adimihardja, Kusnaka, 2001, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Bandung, Humaniora Utama Press. Huraerah, Abu, 2003, Isu Kesejahteraan Sosial Di Tengah Ketidakpastian Indonesia , Bandung, CEPLAS, Fisipol Unpas. Iskandar, Jusman, 1993, Strategi Dasar Membangun Kekuatan masyarakat, Kopma STKS, Bandung Ibrahim Jabal Tarik, 2002, Sosiologi Pedesaan, Universitas Muhammadiyah Malang. Jamasy,
Owin, 2004, Keadilan, Pemberdayaan, Kemiskinan, Belantika, Bandung.
dan
Penanggulangan
Kusuma, Sutara Hendra dan Syaukat, Yusman. 2004, Pengembangan Ekonomi Lokal, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Bogor dan Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor Nasution S, 2003, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung. Nasdian, Fredian Tonny dan Utomo, S, Bambang, 2004, Pengembangan Kelembagaan dan Modal Sosial, Bahan Perkuliahan Program Pasca Sarjana Pembangunan Komunitas, Kerjasama IPB – STKS Bandung. Nitimihardjo, Carolina et. Al, 1993, Dinamika Kelompok Dan Beberapa Catatan Tentang Organisasi, Kepemimpinan dan Komunikasi Dalam Pekerjaan Sosial, Bandung, Kopma STKS. Olson, Mancur, 1975, The Logic of Collective action. Harvard University Press. London. Panjaitan, Nurmala K, Nitimihardjo, Carolina dan Fahrudin, Adi .2004, Perilaku Manusia dan Lingkungan Sosial, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Bogor dan Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Parsons, Ruth J. James D. Joregensen, Santos H. Hernandez. 1994 The Integration Of Sosial Work Practice. California : Pacipic Grove.. Pranadji T. 2003, Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Puslitbang Sosek Departemen Pertanian Bogor.
199
Rusli, Said, Wahyuni Ekawati Sri, dan Sunito, Melani A. 2004, Kependudukan, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Bogor dan Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Rusli, Said, 1995, Pengantar Ilmu Kependudukan, LP3ES, Jakarta. Sarwono, Sarlito Wirawan, 2001, Psikologi Sosial, Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan, Balai Pustaka, Jakarta Saharudin, 2003, Metode-Metode Partisipatif Dalam Pengembangan Masyarakat, Bahan Perkuliahan Program Pasca Sarjana Pembangunan Komunitas, Kerjasama IPB – STKS Bandung Santosa, Slamet, 2004, Dinamika Kelompok, Buma Aksara, Jakarta. Sukoco, Dwi Heru, 1991. Profesi Pekerjaan Sosial dan Proses Pertolongannya, Kopma STKS. Bandung Supriatna, Tjahya, 1997, Birokrasi Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan, Humaniora Utama Press, Bandung Suharto Edi, 1997, Pembangunan, Kebijakan Sosial, Dan Pekerjaan Sosial Spektrum Pemikiran, Lembaga Studi Pembangunan (Institute For Development Studies) LSP-STKS, Bandung. Suharto, Edi. et.al, 2004, Isu-Isu Tematik Pembangunan Sosial : Konsepsi dan Strategi, Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial, Departemen Sosial RI. Sumarti Titik , dan Syaukat Yusman. 2004, Analisis Ekonomi Lokal, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Bogor dan Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Sumardjo
dan Saharudin, 2005, Metode-Metode Partisipatif Dalam Pengembangan Masyarakat, Bahan Perkuliahan Program Pasca Sarjana Pembangunan Komunitas, Kerjasama IPB – STKS Bandung
Sumaryadi, I. Nyoman, 2005, Perencanaan Pembangunan Daerah Otonomi dan Pemberdayaan Masyarakat, Citra Utama, Jakarta. Siporin, Max. 1975. Introduction to Social Work Practice. Mac Millan Publishing Co. Inc. New York. Sitorus M.T. Felix, Agusta Ivanovich, 2004, Metodologi Kajian Komunitas, Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soetarto , Endriatmo. 2004, Analisis Sosial, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Bogor dan Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Soekanto, Soerjono, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar, CV. Rajawali, Jakarta. Skidmore, Rex A. dan Milton G. Trckeray, 1982, Introduction to Social Work. Printice Hall Inc. Englewood Cliff. New Jersey. Vitalaya, Aida, 1996, Menuju Masyarakat Lewat Penyuluhan. LPPM IPB. Bogor
200
SKETSA LOKASI GEOGRAFIS DUSUN NGANGET
Perbukitan
Perbukitan Ladang Padang Pengembalaan
P e
rs Pad ang a Pen w gem bal a aan h
Makam
a n
Perbukitan P a d a n g P n e m b a la a
LADANG
PERSAWAHAN
Perbukitan Keterangan
= Rumah Pegawai Panti = Rumah Eks Penderita Kusta = Gereja = Masjid
= Jalan = Sungai belerang = Tempat mandi eks penderita kusta 201
HASIL WAWANCARA DENGAN ANGGOTA KELOMPOK KBS –KUBE MENGENAI PERMASALAHAN YANG DIALAMI DAN PANDANGANNYA TERHADAP PROGRAM KELOMPOK USAHA BERSAMA
1. Nama resnponden Pekerjaan Umur Asal Jabatan dalam kelompok
: Amr : Petani Penggarap : 45 tahun : Kabupaten Lamongan : Sekretaris kelompok KBS-KUBE Sumber Makmur
Menurut penuturan Pak Amr bahwa penyakit kusta yang diderita mulai terasa pada waktu duduk di kelas dua SMP, pada waktu itu hanya tampak bintik – bintik seperti panu atau kadas di kulit. Dan waktu itu saya juga tidak mengetahui kalau itu gejala sakit kusta. Sebenarnya dengan bintik-bintik di kulit itu saya sudah mulai malu dengan teman – teman, dan sedikit banyak teman-teman yang dulunya akrab mulai mejauh saya menjadi minder dan menarik diri dari pergaulan. Karena sudah kelas dua SMP saya coba bertahan dan berkat dukungan adik dan keluarga saya akhirnya saya lulus SMP. Begitu lulus SMP bintik – bintik yang di kulit itu sudah mulai tampak nyata bahwa itu penyakit kusta. Melihat gejala tersebut saya sudah tidak berani keluar rumah. Teman – teman dan tetangga yang mengetahui hal tersebut semakin menjauhi aku dan keluarganya saat itu rasanya aku ingin mati saja. Itu saya alami sampai bertahun – tahun. Sampai pada akhirnya tahun 1987 saya ketemu orang yang mempunyai penyakit yang sama dengan aku yaitu Pak Jm dari Dusun Nganget. Pak Jm menyarankan supaya sakit saya ini dibawa saja ke Nganget karena disana ada obatnya. Saya mengikuti saran Pak Jm akhirnya kami sama-sama berangkat ke Nganget, tapi pada saat saya sampai Nganget Rumah Sakit tersebut sudah penuh dan tidak bisa menampung aku. Dengan penuhnya Rumah Sakit Nganget tersebut saya disarankan supaya ke Rumah Sakit Kediri sama juga dengan di Nganget ini. Maka pada tahun itu juga saya pergi ke Rumah Sakit Kusta Kediri, saya di rumah sakit itu selama tiga tahun. Dari Rumah Sakit Kediri itulah saya dinyatakan sembuh dari sakit kusta. Dari Rumah Sakit Kusta Kediri saya langsung ke Nganget karena saya lihat sebelumnya banyak juga teman-teman senasib yang hidup di Nganget. Sebelum saya ke Nganget saya sempatkan pulang ke Lamongan menjenguk orang tua. Setelah beberapa tahun tidak bertemu dan ditambah keadaan saya yang sudah berubah ada beberapa luka di kaki baik yang kiri maupun yang kanan. Mereka terperangah dan kaget ada perubahan diraut wajahnya. Dengan perubahan tersebut ada rasa nggak enak dan jijik tapi saya pura – pura 202
tidak melihatnya. Saya hanya sehari di rumah orang tua dan pamitan kalau mau menetap di Nganget. Selama sehari saya kuatkan diri untuk mencoba keluar rumah tapi teman dan tetangga memandang dengan perasaan aneh dan segera menjauhi saya. Namun ada satu orang tua yang saya dekati dan saya tanya mengapa mereka menjauhi saya, orang tua itu bilang katanya takut ketularan dan itu penyakit kutukan Tuhan makanya mereka begitu melihat kamu langsung menjauh. Dengan kejadian tersebut membuat saya berpikir bahwa semakin cepat meninggalkan rumah semakin baik bagi saya dan keluarga. Pada sore hari itu pula saya pamit untuk pergi ke Nganget. Pada saat saya pergi ke Nganget saya ikut pada keluarga Pak Jm selama beberapa bulan sambil belajar bekerja pada Pak Jm. Setelah ada penghasilan sendiri walaupun sedikit saya memutuskan untuk menikah dengan Samining yang masih keluarga Pak Jm. Dengan sedikit penghasilan dibantu dengan istri yang jualan jajan untuk anakanak akhirnya saya bisa mendirikan rumah. Setelah beberapa tahun membina rumah tangga akhirnya saya dikaruniai seorang anak laki – laki dan sekarang sedang kuliah di Malang. Semua biaya kuliah ditanggung oleh adik saya yaitu Pak KM yang menjadi dosen di Surabaya. Hubungan saya dengan Pak KM itu cukup baik, bila perlu apa–apa saya disuruh datang ke Surabaya. Istri dan anaknya juga memandang saya dengan baik. Pada tahun 2004 bulan Oktober saya mendapat bantuan kambing gibas sebanyak dua ekor. Setelah saya pelihara beberapa bulan kambing itu sakit – sakitan akhirnya saya jual dan saya belikan kambing jawa hanya mendapat satu ekor. Menurut penjelasan Pak Amr sebenarnya pemerintan itu sudah baik memberikan bantuan kambing kepada kami, tapi sayangnya hanya diberikan begitu saja tidak pernah diberi tahu bagaimana pemeliharaan kambing itu yang baik sehingga kambing banyak yang sakit dan mati. Selanjutnya Pak Amr meneruskan ceritanya bahwa penunjukkan sekretaris kepada dirinya selama itu juga dia tidak mengetahuinya, dan tugas – tugas sekretaris itu apa saja karena selama ini saya juga tidak mengetahui apa yang harus saya perbuat. Buku–buku juga saya tidak pernah melihat katanya Pak RT. ada di Ketua Kelompok tapi oleh ketua kelompok tidak pernah diberikan kepada saya. Menurut Pak Amr bahwa pada saat ada pertemuan di panti penjelasan yang dia terima dari Kepala Panti pada waktu itu bahwa kambing bantuan itu hanya diperintahkan untuk dipelihara saja supaya menjadi banyak dan kalau sudah banyak dibelikan sapi selanjutnya Kepala Panti menjelaskan kalau kambing sudah beranak dan anaknya sudah disetor ke orang lain maka kambing itu sudah menjadi milik nya sendiri.
203
2 Nama resnponden Pekerjaan Umur Asal Jabatan dalam kelompok
: Ngdm : Petani Penggarap : 42 tahun : Kabupaten Jombang : Anggota kelompok KB-KUBE Sumber Makmur.
Pak Ngdm dilahirkan 42 tahun lalu di Kabupaten Jombang Jawa Timur. Beliau tidak pernah sekolah, dari umur yang 42 tahun hampir separuh umurnya dijalaninya dengan sakit . Sakit kusta yang dialami oleh Pak Ngdm kurang lebih 25 tahun lamanya. Selama Pak Ngdm sakit kusta di rumah orang tuanya di Jombang oleh keluarganya sendiri masih diterima dengan baik. Sakit kusta Pak Ngdm mulai kelihatan flag putih pada umur 17 tahun kira-kira kalau saya sekolah ya SMA, namun orang tua miskin jadi saya SD pun tidak tamat. Selama di rumah saya hanya membantu orang tua yang bekerja sebagai buruh tani. Selama saya sakit tidak pernah keluar rumah, karena tetangga saya kurang senang bila saya datang bermain ke rumah atau bila saya pergi ke warung seakan-akan bila saya membeli di warungnya tidak boleh, tetapi saya beruntung masih ada teman yang mau saya ajak untuk mengobrol sehingga ada sedikit hiburan. Dengan kondisi tetangga yang kurang senang melihat keberadaan saya di rumah maka saya mengajak teman pergi keluar desa supaya keluarga juga merasa tidak dipandang kurang baik sama tetangga. Maka kami berdua pada tahun 1993 berangkat di Tangerang mencari pekerjaan apa saja yang penting bisa untuk makan, setelah beberapa minggu kami berdua hampir putus asa, maka ada orang yang menawari bekerja di perkebunan slada. Kami bekerja hampir tiga tahun disana namun gajinya sangat kecil sehingga kami tidak kuat membayar kontrakan rumah disamping itu sakit saya sudah mulai sering sakit-sakitan. Dengan sakit itu saya memutuskan untuk pulang ke Jombang dan akhirnya berdasarkan informasi dari teman saya berobat ke Rumah Sakit Sumber Glagah Mojokerto. Di Rumah Sakit Sumber Glagah saya bertemu dengan teman-teman Nganget yang berobat di Sumber Glagah maka pada tahun 1997 saya memutuskan berangkat ke Nganget pada mulanya saya ikut kerja sama Pak Kyai Jsf. Lama kelamaan saya kenalan sama Ik yang sekarang menjadi istri saya dan sampai sekarang belum dikaruniai anak. Saya bekerja sedikit demi sedikit akhirnya dapat mendirikan rumah dan bersebelahan dengan Kyai Jsf. Pada tahun lalu saya diberi kambing oleh Pak Rsd katanya kambing bantuan dari pemerintah, dengan syarat dipelihara dengan baik setelah beranak digulirkan sama tetangga yang belum mendapatkan bantuan dan saya menyetujuinya. Sebelum saya mendapat bantuan kambing saya bekerja di persil atau bekerja apa saja kadang-kadang disuruh Pak Kyai ya saya jalani yang penting dapat uang. Setelah saya mendapat kambing saya memeliharanya dengan sungguh-sungguh sehingga kambing saya sehat-sehat dan dapat berkembang dengan baik dari dua ekor sudah bisa berkembang menjadi tujuh ekor dan yang dua sudah saya gulirkan tinggal lima ekor dan sudah menjadi milik saya. Sebenarnya begini pak saya kan sudah menggulirkan buat apa dicatat-catat lagi itu kan sudah menjadi milik pribadi masak masih dicatat. Kalau ada kambing yang sakit itu karena yang punya tidak sungguh-sungguh merawat. Kalau saya disuruh urunan untuk mengobati kambing orang yang sakit ya tidak mau pak wong kambing saya sehat itu salahnya sendiri tidak dipelihara dengan baik. 204
3. Nama resnponden Pekerjaan Umur Asal Jabatan dalam kelompok
: Mkn : Petani Penggarap/tidak tetap : 47 tahun : Kabupaten Lamongan : Ketua RT/Sekretaris KUBE
Pak Mkn dilahirkan 47 tahun yang lalu di Desa Sukodadi Kecamatan Sukodadi Kabupaten Lamongan. Penyakit kusta ini mulai kelihatan sekitar tahun 1979 waktu itu masih duduk di bangku SMP. Pada mulanya hanya kelihatan berupa flag putih dan akhirnya menjadi kusta. Mengetahui anaknya terkena penyakit kusta maka orang tua saya mulai panik dan mencari pengobatan dengan harapan penyakit tersebut bisa disembuhkan. Dalam pengobatan itu orang tua saya menempuh jalan apa saja seperti dukun sampai menghabiskan banyak biaya. Bahkan sempat dibawa ke Yogyakarta karena mendengar bahwa ada dukun yang bisa menyembuhkan penyakit saya ini tapi setelah tiga bulan berobat tidak sembuh juga, akhirnya pulang kembali ke Lamongan. Karena tidak sembuh-sembuh maka saya dibawa ke rumah sakit di Kecamatan Sukodadi dengan rawat jalan selama enam bulan setiap kali saya disuntik langsung pingsan. Setelah enam bulan lamanya tidak ada perubahan, ada orang yang memberitahu supaya dibawa ke Sumberrejo. Pada saat di Sumberrejo itulah ketemu dengan orang dan diberi tahu supaya di bawa saja ke Nganget disana ada Rumah Sakit yang khusus menangani pernyakit seperti yang saya derita. Pada waktu saya masuk Rumah Sakit Nganget orang masih sedikit tidak sebanyak sekarang dan saya cukup lama Rumah Sakit Nganget sehingga banyak kenal dengan teman-teman yang bahkan saya dipanggil Pak Lurah, karena pada waktu itu saya sering memimpin teman-teman bila di rumah sakit kami diperlakukan kurang baik. Akhirnya setelah keluar dari Rumah Sakit dan menempati rumah yang diberikan oleh Departemen Sosial saya dijadikan Ketua RT.sampai sekarang itu belum pernah diganti. Saya mejandi Ketua RT kurang lebih sudah 20 tahun sejak pertama kali dipilih langsung oleh warga disini. Setelah keluar rumah sakit saya sempatkan pulang untuk menengok keluarga dan orang tua di Lamongan. Pada waktu itu orang tua saya menangis melihat keberadaan saya karena penyakit kusta itu menyerang kaki dan sebagian wajah saya. Sebenarnya keluarga saya bisa menerima saya namun pandangan masyarakat terhadap dan keluarga mengharuskan saya untuk kembali ke Nganget dan menetap sampai sekarang ini. Begitu keluar dari rumah sakit kami semua di beri latihan oleh Departemen Sosial selama dua bulan, setelah latihan kami diberi modal seperti sapi, beras ada juga yang mendapat mesin jahit dan kami diperbolehkan mengerjakan sawah yang pada waktu itu masih milik Dinas Kesehatan Tingkat I. Saya mengerjakan sawah yang luasnya kira-kira hanya 15 x 20 m kami tanami kacang dan padi. Pada waktu itu hasil kebun kami jual di rumah sakit. Namun pada tahun 1985 sampai 1987 saya mencoba beralih profesi menjadi penjual kayu berupa papan karena pada waktu itu sangat murah saya beli di Nganget papan seharga Rp. 1.500,dan saya jual ke Lamongan seharga Rp. 3.500. saya untung banyak, sehingga saya bisa membeli sawah di Lamongan.
205
Namun usaha yang mulai kurintis dengan baik tersebut akhirnya habis karena untuk pengobatan istri saya yang sedang dirawat di rumah sakit di Bojonegoro. Pada tahun 1994 istri saya meninggal dunia. Saya berpikir mungkin usaha saya ini tidak diridhoi Allah karena yang saya jual adalah kayu hasil curian karena pada waktu itu di Nganget ini hutannya masih rimbun, sekarang sudah habis. Pada waktu istri saya meninggal tersebut kami dikaruniai satu orang anak yaitu E.W yang sekarang bekerja di Surabaya. Tidak terlalu lama setelah istri saya meninggal dunia saya kawin lagi dengan sesama eks penderita kusta dan mempunyai anak tiga orang dan sekarang menunggui orang tuanya yang sakit di Nganjuk sehingga saya sering balak – balik Bojonegoro Nganjuk maka dari itu kambing bantuan yang diberikan E oleh panti saya titipkan kepada penduduk di Dusun sebelah. Dengan adanya bantuan tersebut sangatlah menolong warga yang ada disini khususnya warga di RT. saya ini. Maka warga disini sangat tekun dalam memelihara kambing tersebut walaupun ada yang sakit saya cepat mengambil keputusan ditukar dengan yang lain walaupun dapat kecil tapi sehat. Bahkan dengan bantuan kambing yang ada, maka warga saya sudah dapat membeli alat pertukangan yang pakai mesin sehingga pesanan meubelnya semakin cepat dikerjakan tidak seperti dulu yang pesan sampai capek menunggu. Terus gini Pak Cip pada saat menerima kambing itu kita tidak diberi penjelasan mengenai tugas-tugas kelompok yang ada sehingga banyak pengurus yang tidak tahu, sehingga semuanya diserahkan sama saya. Sebenarnya buku-buku sudah saya serahkan kepada ketua kelompok namun tidak pernah dikerjakan sehingga saya ambil lagi dan sekarang setiap warga kalau ada permasalahan dengan kambingnya selalu melapor kepada saya. Ya kebetulan saya tidak mempunyai pekerjaan yang tetap sehingga saya sering melihat – lihat kambing maka kalau ada yang sakit dengan cepat saya tukar dengan kambing yang lain yang sehat.
206
4. Nama Resnponden Pekerjaan Umur Asal Jabatan dalam kelompok
: Gpr : Petani Penggarap : 63 tahun : Kabupaten Tulungagung : Sekretaris Kelompok KBS - KUBE Bangkit Mulia.
Pak Gpr dilahirkan di Kabupaten Tulungagung Jawa Timur 63 tahun yang lalu, mulai merasakan sakit pada saat di Sekolah Rakyat. Sebelum Pak Gpr berobat di rumah sakit kusta Nganget sebenarnya sudah berkeluarga dan mempunyai anak perempuan namun ditinggalkan di Tulungagung. Pak Gpr meninggalkan rumah di Tulungagung yaitu pada tahun 1982 dan langsung berobat ke Sumberglagah tidak lama di sana dipindahkan di Rumah sakit Nganget. Pengobatan yang dijalani Pak Gpr selama di Rumah Sakit Nganget selama 15 tahun. Selama Pak Gpr meninggalkan rumah belum pernah satu kalipun pulang ke Tulungagung dengan alasan ingin menjaga nama baik keluarga karena selama ini saya di rumah menambah beban keluarga. Keluarga merasa malu karena saya sakit, dan pengalaman yang pernah tidak saya lupakan yaitu anak saya perempuan pada waktu itu pacaran dan mau dilamar namun melihat keadaan saya begini sehingga membatalkan lamaran tersebut. Sejak itu saya keluar rumah berobat dan belum pernah kembali sampai saya sekarang sudah mempunyai istri lagi. Istri pertama dan kedua saya tidak sakit mereka duaduanya sehat. Saya ketemu istri saya yang kedua ini pada saat bekerja di Semarang, istri saya ini jualan nasi ya dipinggir jalan itu mungkin melihat keadaan saya yang begini dia meresa kasihan dan mau saya ajak kawin. Istri saya itu seorang janda yang mempunyai dua orang anak laki – laki dan perempuan. Pada mau menikah semua keluarganya menentang pernikahan itu dengan alasan yang tidak jelas, saya pikir mungkin karena saya sakit begini. Dengan permasalahan tersebut saya pantang menyerah akhirnya pernikahan itu berlangsung juga di Kudus rumah orang tuanya dan pada saat itu tinggal ibunya saja. Namun pernikahan itu membawa dampak yang besar anak laki – lakinya tidak pernah mengakui saya dan ibunya dan sampai sekarang tidak pernah komunikasi lagi, dimana sekarang kami juga tidak tahu. Setelah menikah akhirnya istri saya yang kedua saya ajak hidup di Nganget. Dengan istri yang kedua ini saya tidak mempunyai anak. Saya merasa bahwa di Nganget ini adalah tempat yang sangat cocok untuk kami tinggal dan mungkin sampai akhir hayat. Walaupun pada musim paceklik kadang-kadang kami hanya makan seadanya seperti gabplek, karena harga gaplek tersebut yang bisa saya beli. Namun dengan adanya bantuan kambing dari Pemerintah itu kami merasa bersyukur, karena ada hiburan selain untuk tabungan kambing itu juga merupakan hiburan bagi kami. Hati ini menjadi ayem kalau ada kambing di rumah makanya kambing itu saya pelihara dengan baik bukan hanya saya beri makan saja tetapi juga saya mandikan tiap pagi sehingga kambing – kambing saya menjadi sehat. 207
5. Nama Resnponden Pekerjaan Umur Asal Jabatan dalam kelompok
: Smh : Pengembala kambing : 49 tahun : Kabupaten Jember : Anggota Kelompok KBS - KUBE Bangkit Mulia.
Bu Smh dilahirkan 49 tahun yang lalu di Kabupaten Jember Jawa Timur. Ibu Smh mulai hidup di Nganget tahun 1967 yaitu Ibu Smh mengikuti kedua orang tuanya yang kedua – duanya menderita kusta dan berobat ke Rumah Sakit Nganget. Ayah Ibu Smh sudah meninggal dunia dua tahun yang lalu sedangkan ibunya tinggal dalam panti. Ibu Smh sejak berusia 11 tahun sudah hidup di lingkungan eks penderita kusta mengikuti orang tuanya berobat. Pada umur 17 tahun gejala sakit kusta Ibu Smh sudah mulai terdeteksi oleh pihak rumah sakit sehingga bisa segera diobati. Ibu Smh sekarang hidup dengan keempat anaknya dan suami yang keduanya. Pada perkawinan pertama Ibu Smh mempunyai satu anak perempuan dan sekarang di pondok pesantren di Jombang. Suami yang pertama adalah juga eks penderita kusta dan sudah meninggal dunia. Pada perkawinan keduanya Bu Smh mempunyai tiga orang anak, suami kedua juga adalah eks penderita kusta, namun anak-anaknya sampai sekarang tidak menunjukkan adanya gejala sakit kusta. Anak kedua Ibu Smh adalah laki-laki yang sudah berumur 21 tahun dan masih menganggur menurut penuturannya mereka kesulitan mencari pekerjaan karena pendidikan rendah dan tidak keterampilan. Anak ketiga adalah perempuan sudah berumur 17 tahun dan pekerjaannya hanya membantu orang tua dan yang terakhir masih kelas dua Sekolah Dasar. Pekerjaan suami sekarang adalah buruh tani dengan panen tiga kali dalam setahun. Bu Smh sendiri pekerjaannya hanya mengembala kambing bantuan Kelompok Usaha Bersama yang sekarang sudah dapat berkembang dan kadang-kadang membantu suami di sawah. Saya bersyukur karena pemerintah sudah memberikan kambing. Selama ini memang kami sekeluarga ingin membeli kambing namun belum bisa dengan pemberian itu maka kambing saya pelihara dengan baik sehingga dapat berkembang. Dengan semakin berkembangnya kambing yang saya pelihara maka kami sekeluarga mempunyai tabungan, maka begitu kambing beranak setelah enam bulan saya gulirkan sehingga kewajiban saya sudah selesai dan kambing itu menjadi milik saya. Dalam pemeliharaan kambing tersebut kami banyak mengalami kendala-kendala, seperti banyak kambing tiba – tiba mencret, perutnya kembung sampai kami kebingungan. Namun kami masih beruntung sering mengembala kambing secara bersama dengan anggota yang lain sehingga kami sering berdiskusi dengan permasalahan tersebut. Dari hasil diskusi tersebut ada yang menyarankan bila ada kambing yang sakit perut diberi entrostop ini berdasarkan pengalaman dari teman-teman sesama pengembala, akhirnya kambing itu sembuh juga itulah enaknya kalau mengembala secara bersama banyak pengalaman dari teman-teman yang bisa ditularkan pada yang lain. Begini Pak kalau saya mempunyai kambing dan ada sedikit gabah di rumah biar cuma ada dua sak maka perasaan kami sudah senang. Dengan tabungan itu bila dari keluarga kami ada yang memerlukan dan itu mendesak maka kambing itu bisa kami jual tidak perlu menghutang pada orang lain. 208
6. Nama Resnponden Pekerjaan Umur Asal Jabatan dalam kelompok
: Rsd : Petani Penggarap : 60 tahun : Kabupaten Lamongan : Ketua RT 04/Wakil Sekretaris KUBE
Pak Rsd dilahirkan di Kabupaten Lamongan pada tahun 1939. Pendidikan yang Beliau tempuh adalah SMP namun tidak sempat lulus. Pada tahun 1952 bercak – bercak putih mulai kelihatan di wajah dan tangan saya. Padahal pada saat itu sudah kelas tiga SMP dan sebentar lagi mau ujian. Dengan bercak-bercak putih yang tampak begitu jelas itu membuat saya menjadi minder, karena banyak teman-teman yang selalu melihat saya, seperti melihat orang asing. Dengan perlakuan yang demikian saya menarik diri dari pergaulan dan akhirnya tidak mengikuti ujian akhir. Selama saya sakit itu sudah dibawa kemana-mana oleh orang tua saya pernah ke Rumah Sakit di Karangmenjengan Surabaya berobat jalan dan berlangsung selama tiga tahun yaitu mulai tahun 1963 sampai tahun 1966. Selama tiga tahun itu saya menetap di Surabaya sambil bekerja di penggilingan karet. Pada tahun 1967 saya kembali ke Lamongan karena selama di Surabaya tidak ada perubahan dengan penyakit saya itu. Saya memutuskan untuk berobat di Lamongan saja sampai tahun 1977, selama itu pula tidak ada perubahan dan disela-sela saya berobat di Lamongan itu ketemu teman dan akhirnya mengajak saya berobat ke Nganget. Selama di Nganget saya tidak masuk rumah sakit saya hanya berobat di sungai yang ada di Nganget yang mengandung belerang dan ada orang rumah sakit yang selalu memberi obat kepada saya. Saya di Nganget bekerja mengambil kayu karena pada waktu itu kayu jati masih banyak. Saya ambil dan sudah ada yang membeli sampai saya bisa membangun rumah ini dan akhirnya saya kawin dengan eks penderita kusta juga tapi tidak dikaruniai anak. Karena saya tidak mempunyai anak maka saya mengajak keponakan ke Nganget ini. Sampai anak itu besar akhirnya kawin juga dengan anak eks penderita kusta dan menetap di Nganget juga. Sebenarnya program Kelompok Usaha Bersama itu sangat bagus dan cocok di Nganget ini tapi ya karena waktu itu Pak Plb minta supaya yang mendapat bantuan adalah mereka yang sangat miskin, saya tidak bisa menolak permintaan tersebut sehingga sampai sekarang banyak kambing yang dijual untuk makan sehari – hari dan kebutuhan berobat. Sebenarnya yang mendapat kambing itu seharusnya yang setengah mampu dan yang sudah biasa memelihara kambing sehingga sudah berpengalaman. Tapi sekarang kan tidak pokoknya yang tidak mampu dapat bantuan sehingga ada yang bisa memelihara dan ada juga yang tidak akibatnya banyak kambing yang sakit dan mati. Seharusnya sebelum menerima kambing ada sejenis pendidikan dan latihan tentang apa sebenarnya Kelompok Usaha Bersama itu, sampai sekarang saya tidak tahu. Sepengetahuan saya hanya pemerintah memberikan bantuan kambing supaya kalau beranak bisa digulirkan pada tetangga yang belum menerima bantuan.
209