PEMANFAATAN TANAH UNTUK KAWASAN PERMUKIMAN MENURUT RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA MAKASSAR
THE USE OF LAND FOR SETTLEMENT AREA ACCORDING TO SITE LAYOUT PLAN OF MAKASSAR CITY
Fatmasari, Syamsul Bachri, Sri Susyanti Nur
Program Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi : Fatmasari S.H., M.H. Fakultas Hukum Program Pascasarjana (S2) Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP: 081 2426 19360 Email:
[email protected]
Abstrak Pengembangan kawasan permukiman telah mendorong terjadinya pergeseran fungsi kawasan atau alih fungsi lahan. Pergeseran fungsi kawasan atau alih fungsi lahan dari ruang terbuka hijau, lahan konservasi, kawasan budi daya atau kawasan lindung telah beralih fungsi menjadi kawasan permukiman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan pemanfaatan tanah untuk kawasan permukiman menurut rencana tata ruang wilayah Kota Makassar dan penerapan sanksi terhadap pemanfaatan kawasan permukiman yang tidak sejalan dengan pengaturan tata ruang Kota Makassar. Jenis penelitian yang digunakan adalah sosio-yuridis, sampel dipilih secara purposive sampling. Data primer dan data sekunder, dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan landasan teori dalam menjelaskan fenomena yang ada, atau data dan informasi yang diperoleh disajikan secara deskriptif yaitu menguraikan, menggambarkan, dan menjelaskan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemanfaatan tanah untuk kawasan permukiman di Kota Makassar belum sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, hal ini dikarenakan belum disahkannya Rencana Detail Tata Ruang yang akan mengatur secara rinci atau detail 13 kawasan di Kota Makassar, sehingga Dinas Tata Ruang dan Bangunan dalam memberikan rekomendasi Izin Mendirikan Bangunan tidak berdasarkan suatu pedoman yang jelas atau rinci, faktor lain adalah lemahnya koordinasi kelembagaan antar aparat Pemerintah Kota, lemahnya pengawasan dan kurangnya peran serta masyarakat terhadap pemanfaatan tata ruang Kota Makassar. Penerapan sanksi terhdap pemanfaatan kawasan permukiman yang tidak sesuai dengan pengaturan tata ruang Kota Makassar hanya sebatas pada sanksi administratif dan belum pernah ditindak lanjuti dengan penerapan sanksi perdata dan sanksi pidana. Kata kunci : Tata Ruang, Kawasan Permukiman
Abstract Development of setlement area have pushed the happening friction of area function or displace farm function. Friction of area function or displace farm function green air-gap, conservation farm, energy kindness area or covert area have changed over function become setlement area. The aim of the research is to explain the use of land for settlement area, to find out how the layout arrangement of Makassar City, and to find out and understand the application of sanction to the use of settlement area which is not in accordance with the layout management of Makassar City. The research used socio-juridical study. The sample were determined using purposive sampling method. The data consisted of primary data by interviewing informants and secondary data which support the primary data obtained from primary, secondary, and tertiary legal materials. They were analyzed descriptivequalitatively. The results of the research indicate that the use of land for settlement area in Makassar city is not in accordance with Site Layout Plan of Makassar City. This is because RDTR which arranges in detail the 13 areas in Makassar City has not been legalized yet, so DTRB which gives Building Construction Permit and principle permit is not based on a clear and detailed manual. The other factors are the weak institutional coordination among city government officials, the weak supervision causing the violation of the use of layout not detected, and the lack understanding and role of community on the use of layout of Makassar City. The application of sanction to the use of settlement area which is not in accordance with the rules of layout of Makassar City is merely limited to administrative sanction and ithas not been followed up bay the application of civil law and criminal law. Keywords: Layout, SettlementArea
PENDAHULUAN Fungsi mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa mengandung arti bahwa negara dalam hal ini pemerintah memiliki kewenangan membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah untuk berbagai keperluan(Harsono,2008). Untuk lebih mengoptimalisasikan konsep penataan ruang pemerintah menyusun Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, namun seiring dengan adanya perubahan terhadap paradigma Pemerintahan Daerah, dimana Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk mengelola Daerahnya sendiri (Otonomi Daerah) melalui ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka ketentuan mengenai penataan ruang mengalami perubahan yang ditandai dengan digantikannya ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang selanjutnya disingkatUUPR(Ridwan,2008). Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah, wewenang penyelenggaraan penataan ruang
dilakukan
oleh
Pemerintah
Pusat
dan
Pemerintah
Daerah,
yang mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang, yang didasarkan pada pendekatan wilayah dengan batasan wilayah administratif (Bratakusumah, 2009). Dengan pendekatan wilayah administratif
tersebut, penataan ruang seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas wilayah nasional, wilayah provinsi, wilayah kabupaten dan wilayah kota, yang setiap wilayah tersebut merupakan subsistem ruang menurut batasan administratif (Erwiningsih,2011). Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 6 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar Tahun 2006-2016 selanjutnya disingkat RTRW Kota Makassar Pasal 9 mengatur bahwa pengembangan kawasan Terpadu Kota Makassar. Pengaturan tentang pembagian kawasan atau zonasi tersebut di atas pada dasarnya merupakan sebuah alat pengendalian bagi Pemerintah Kota Makassar dalam mengatur tata ruang Kota Makassar dengan sebaik-baiknya. Pengaturan zonasi tersebut pada pelaksanaannya terkadang tidak sesuai dengan pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan misalnya pada saat ini pada setiap kawasan yang merupakan jalan protokol telah dipenuhi dengan pembangunan Ruko (rumah toko). Oleh karena itu pembagian kawasan terpadu atau zonasi yang ditetapkan dalam RTRW Kota Makassar pada tahap pelaksanaannya tidak dapat diwujudkan sesuai dengan yang diharapkan.
Tanah dalam pengertian yuridis menurut UUPA adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. (Salle dkk ,2010), Tubuh bumi dan air serta ruang yang dimaksudkan itu bukan kepunyaan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Ia hanya diperbolehkan menggunakannya, itupun ada batasnya seperti yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA dengan kata-kata “sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini (yaitu: UUPA) dan peraturan-peraturan
lain
yang
lebih
tinggi(Nur,2008)
Sudikno
Mertokusumo
dalam
(Santoso,2010) menggunakan istilah tata guna tanah, yaitu apabila istilah tata guna dikaitkan dengan objek Hukum Agraria Nasional (UUPA), maka penggunaan istilah tata guna tanah/ land use planning kurang tepat, (Hasni,2010) menggunakan Istilah yang sama yaitu rencana tata guna tanah merupakan bentuk nyata pelaksanaan Pasal 2, Pasal 14 dan Pasal 15 UUPA yang juga dijiwai oleh undang-undang lain yang mengurus penggunaan tanah. Pasal 33 UUPR menggunakan istilah penatagunaan tanah. Tata guna tanah merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan penataan tanah secara maksimal, oleh karena tata guna tanah selain mengatur mengenai persediaan, penggunaan terhadap bumi, air dan ruang angkasa juga terhadap persediaan, penggunaan terhadap bumi, air dan ruang angkasa juga terhadap tanggung jawab pemeliharaan tanah, termasuk di dalamnya menjaga kesuburannya(Supriadi,2010). Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk menyebabkan peningkatan kebutuhan akan perumahan dan fasilitas-fasilitas lainnya yang terkait. Pemenuhan kebutuhan perumahan dan fasilitas-fasilitas yang terkait tersebut tidak terlepas dari peningkatan penggunaan lahan (Adisasmita,2010).
Pengembangan
kawasan
permukiman
telah
mendorong
terjadinya
pergeseran fungsi atau alih fungsi lahan. Pergeseran fungsi atau alih fungsi lahan dari ruang terbuka hijau, lahan konservasi, kawasan budi daya atau kawasan lindung telah beralih fungsi menjadi kawasan permukiman. Berdasarkan data yang ada pada saat ini Koran FAJAR,Jumat tanggal 4 Januari 2013, telah terjadi banjir pada beberapa kelurahan di Kota Makassar yang merupakan kawasan permukiman. Banjir yang terparah adalah di Kelurahan Batua yang menyebabkan para warga terpaksa mengungsi oleh karena ketinggian air mencapai 1,5 meter. Salah satu penyebabnya oleh karena banyaknya drainase yang tertutup oleh bangunan permukiman baru serta terjadinya alih fungsi dari ruang terbuka hijau yang seharusnya menjadi daerah resapan air telah beralih fungsi menjadi kawasan perumahan.
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan menjelaskan pemanfaatan tanah untuk kawasan permukiman dalam pengaturan tata ruang Kota Makassar dan penerapan sanksi terhadap pemanfaatan kawasan permukiman yang tidak sejalan dengan pengaturan tata ruang Kota Makassar.
METODE PENELITIAN Lokasi dan Rancangan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, dengan pertimbangan bahwa di Kota Makassar sebagai barometer kegiatan pembangunan di Sulawesi Selatan dan sebagai pintu gerbang kegiatan perekonomian dikawasan Indonesia Timur. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian sosio-yuridis, selain mengkaji hukum secara teoritis atau normatif, juga akan mengkaji hukum dalam pelaksanaannya. Kesesuaian antara hukum dalam perspektif normatif dan hukum dalam perspektif empiris merupakan sebuah tuntutan realitas untuk mengefektifkan hukum dalam kehidupan. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan aparat Pemerintah Kota Makassar Bagian Hukum, aparat Dinas Tata Ruang Kota Makassar (DTRB), aparat Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Pengembang (Developer) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)/Walhi, dan masyarakat Kota Makassar. Sampel sebanyak 48 orang terdiri dari 30 orang responden yaitu masyarakat dan 12 orang narasumber yang terdiri dari aparat pemerintah, LSM/WALHI, dan developer. Metode penetapan sampel adalah secara Purposive Sampling yaitu sampel yang secara sengaja dipilih dengan menggunakan kriteria-kriteria yang ditetapkan. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah a. Wawancara dengan mendatangi nara sumber dan responden, dan melakukan tanya jawab langsung, tipe pertanyaannya teratur dan terstruktur. b. Dokumentasi dengan menggumpulkan data-data yang berkaitan dengan penelitian ini. Analisis Data Data primer dan data sekunder, dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan landasan teori dalam menjelaskan fenomena yang ada, atau data dan informasi yang diperoleh
disajikan secara deskriptif yaitu menguraikan, menggambarkan, dan menjelaskan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian.
HASIL Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak BAPPEDA Kota Makassar menyatakan bahwa pada saat ini pemanfaatan tanah untuk kawasan permukiman terjadi deviasi atau simpangan di atas 40 % dari kondisi Das Sein dan Das Sollen hal ini disebabkan oleh karena meskipun pemanfaatan kawasan permukiman tetap mengacu dan merujuk pada RTRW Kota Makassar akan tetapi dalam pelaksanaan pengaturan kawasan atau zonasi masih memerlukan RDTR atau Rencana Rinci Tata Ruang yang mengatur secara detail atau terperinci setiap zona atau kawasan. RTRW Kota Makassar adalah merupakan master plan atau rencana induk yang pada dasarnya hanya mengatur secara makro atau secara umum tentang pembagian 13 kawasan atau zonasi. Akan tetapi belum ada penentuan secara spesifik atau detail dalam suatu wilayah Kecamatan yang merupakan kawasan permukiman dan wilayah mana yang termasuk fungsi penunjang mengingat suatu Kecamatan sangat luas wilayahnya. Tidak detailnya RTRW ini menyebabkan pihak DTRB yang menjadikan RTRW Kota Makassar dalam hal ini pembagian 13 kawasan sebagai pedoman dalam memberikan rekomendasi IMB dan Izin Prinsip terkesan hanya memperkirakan atau meraba dan tidak berdasarkan suatu pedoman yang pasti dan terinci. Dengan demikian sangat penting untuk segera membuat Rencana Detail Tata Ruang Kota Makassar dan Rencana Tata Ruang Kawasan (RTRK) atau yang biasa disebut Zoning Regulation yang merinci dan mengatur secara jelas dan tegas tentang pembagian fungsi-fungsi dalam kawasan baik sebagai fungsi utama maupun fungsi penunjang. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya deviasi atau simpangan adalah munculnya fenomena lebih dominannya fungsi penunjang yaitu fungsi perdagangan daripada fungsi utama di setiap kawasan. Lebih dominannya fungsi penunjang yaitu fungsi perdagangan daripada fungsi utama di setiap kawasan menurut pendapat penulis oleh karena aparat Pemerintah Kota Makassar tidak mengkaji secara teknis dan sosial tingkat kebutuhan masyarakat terhadap sarana perdagangan di setiap kawasan. Kajian teknis dan sosial pada tiap kawasan ini penting oleh karena di dalamnya terdapat analisis-analisis tentang tingkat kepadatan penduduk di suatu wilayah yang dikaitkan dengan tingkat kebutuhan masyarakat terhadap fungsi-fungsi perdagangan sehingga dengan adanya kajian teknis dan sosial ini menjadi pedoman bagi pihak
DTRB dalam memberikan rekomendasi penerbitan IMB. Bahwa pada suatu ruas jalan tidak boleh lagi ada pembangunan ruko ataupun rukan oleh karena telah melebihi dari kapasitas yang ada di setiap ruas jalan, sebagai contoh dapat dilihat pada sebuah perumahan dimana seorang developer membangun rumah sebanyak 45 unit, kemudian membangun ruko sebanyak 20 unit di depannya, hal inilah yang memerlukan kajian teknis dan sosial oleh karena dirasakan tidak seimbang antara tingkat kebutuhan masyarakat yang akan menghuni 45 unit rumah dalam sebuah perumahan dengan ruko yang berjumlah 20 unit. Oleh karena itu dibutuhkan analisis terhadap fungsi perdagangan dan jasa agar seimbang dengan kebutuhan masyarakat, dan agar Dinas Tata Ruang dan Bangunan tidak memberikan rekomendasi Izin Mendirikan Bangunan tanpa memperhitungkan kajian-kajian teknis dan sosial tersebut.
PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan bahwa ada berapa faktor yang menyebabkan penataan ruang Kota Makassar tidak berjalan sesuai dengan Perda Nomor 6 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar yang telah ditetapkan yaitu:. Perizinan yang terkait dengan pengendalian pemanfaatan ruang adalah Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Izin Lokasi (Izin Prinsip). Sjachran Basah dalam (HR,2010) menyatakan bahwa Izin adalah perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkreto berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Asep Warlan Yusuf menyatakan izin adalah suatu instrument pemerintah yang bersifat yuridis preventif, yang digunakan sebagai sarana hukum administrasi untuk mengendalikan perilaku masyarakat (Ridwan dkk,2008). Bagir Manan mengemukakan bahwa izin dalam arti luas adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang (HR,2010).Ateng syafrudin (Ridwan dkk,2008)menyatakan bahwa izin bertujuan dan berarti menghilangkan halangan, hal yang dilarang menjadi boleh. Dinas Tata Ruang dan Bangunan sebagai salah satu unsur dari Pemerintah Kota yang diserahi tugas pokok untuk membantu Walikota Makassar dalam merumuskan, membina dan mengendalikan kebijaksanaan di bidang perencanaan tata ruang, pengendalian kawasan, penataan dan penertiban bangunan, seharusnya tidak dibebani target untuk meralisasikan sumber Pendapatan Asli Daerah, oleh karena jika Dinas Tata Ruang dan Bangunan dibebani target PAD
maka tugas Dinas Tata Ruang dan Bangunan sebagai pelaksana, pengawas dan pengendali pemanfaatan tata ruang dalam melaksanakan tugasnya yaitu memberikan rekomendasi terhadap permohonan IMB hanya untuk mengejar target PAD dan tidak berdasarkan RTRW Kota Makassar yang telah ditetapkan atau dengan kata lain DTRB akan mempergunakan IMB sebagai alat untuk mencapai target. Dengan demikian tugas DTRB tidak akan terlaksana dengan baik oleh karena dengan adanya target yang dibebankan kepada DTRB ini, maka semua permohonan IMB yang masuk akan diberikan rekomendasi, atau dengan kata lain DTRB semata-mata hanya mengejar target PAD yang pada gilirannya akan mengakibatkan kesemrawutan terhadap penataan ruang kota dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar yang telah disusun sehingga pencapaian RTRW Kota Makassar tidak akan optimal Koordinasi antar lembaga dalam rangka penataan ruang di Kota Makassar menurut pendapat penulis masih kurang, Berdasarkan teori koordinasi yang dikemukakan oleh George R. Terry menyatakan bahwa pada dasarnya koordinasi dalam rangka pelaksanaan suatu rencana, pada dasarnya merupakan salah satu aspek dari pengendalian yang sangat penting. Koordinasi disini adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan yang menghubungkan dan bertujuan untuk menyelaraskan tiap langkah dan kegiatan dalam organisasi agar tercapai gerak yang tepat dalam mencapai sasaran dan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan (Bratakusumah,2009). Khususnya antara DTRB dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Hal ini dapat dilihat pada sistem pemberian izin yang tidak berkesesuaian antara IMB yang direkomendasikan oleh DTRB untuk mendirikan rukan atau rumah kantor sedangkan Dinas Perindustrian dan Perdagangan memberikan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Surat Izin Tempat Usaha (SITU) untuk perdagangan atau izin rumah bernyanyi oleh karena SIUP dan SITU adalah juga merupakan sumber PAD, sehingga pihak Dinas Perindustrian dan Perdagangan juga dibebani target untuk merealisasikan target PAD yang berakibat bahwa semua permohonan SIUP dan SITU juga diberikan izin. Sehingga rukan yang dibangun berubah fungsi dan tidak sesuai dengan peruntukannya. Pengawasan merupakan salah satu faktor oleh karena pengawasan yang dilaksanakan oleh DTRB pada saat ini masih lemah hal ini disebabkan kurangnya jumlah aparat DTRB yang melaksanakan pengawasan di setiap Kecamatan yang hanya berjumlah 2 (dua) orang untuk mengawasi 1 (satu) Kecamatan yang cukup luas. Sehingga berdasarkan data sekunder dan pengamatan penulis masih banyak terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat
khususnya pelanggaran mengenai ketiadaan IMB terhadap renovasi yang dilakukan oleh warga masyarakat dalam suatu permukiman. Demikian pula pelanggaran terhadap Garis Sempadan Bangunan berdasarkan penelitian yang penulis laksanakan maka di setiap kawasan permukiman terjadi pelanggaran GSB yang dilakukan, dimana renovasi rumah dilaksanakan oleh masyarakat dengan tidak mengindahkan GSB. Dengan demikian kurangnya aparat DTRB yang melaksanakan pengawasan mengakibatkan tidak terjaringnya setiap pelanggaran terhadap pemanfaatan tata ruang di Kota Makassar. Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan adanya wilayah yang tidak terjangkau oleh aparat DTRB dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengawas tata ruang di Kota Makassar. Kurangnya peran serta masyarakat untuk turut aktif berpartisipasi dalam melaksanakan pemanfaatan tata ruang Kota Makassar menjadi andil terjadinya deviasi dalam pembangunan Kota Makassar. Peran serta Masyarakat dapat dilaksanakan dengan mengadakan pengawasan dan melaporkan kepada aparat Pemerintah Kota Makassar dalam hal ini kepada BAPPEDA atau Dinas Tata Ruang dan Bangunan atau ke BKPRD dalam hal terjadi pelanggaran terhadap RTRW Kota Makassar. Peran serta masyarakat untuk turut
mengawasi pelaksanaan pembangunan
proyek-proyek baik proyek pemerintah maupun proyek swasta pada saat ini sangat penting oleh karena berdasarkan pengamatan penulis bahwa pelaksanaan pembangunan proyek khususnya proyek swasta cenderung tidak mempertimbangkan kelestarian alam, contohnya adalah reklamasi pantai besar-besaran yang diadakan oleh pihak swasta pada saat ini sudah sangat mengkhawatirkan banyak pihak khususnya di kawasan pelabuhan terpadu yang berakibat pada pendangkalan laut sehingga dapat menyebabkan kesulitan kapal-kapal penumpang yang merapat ke pelabuhan yang pada akhirnya dapat berakibat pada keselamatan penumpang kapal. Demikian pula terhadap kelestarian alam Kota Makassar. Disinilah peran serta masyarakat sangat diperlukan demikian pula peran LSM/WALHI dalam mengkritisi kebijakan Pemerintah Kota dalam pengaturan tata ruang Kota Makassar. Pelanggaran terhadap pemanfaatan kawasan permukiman dapat dijatuhi sanksi administratif yang secara langsung diberikan kepada pelanggar tanpa melalui proses peradilan. Menurut pendapat penulis bahwa sanksi administratif yang diberikan kepada masyarakat yang melakukan pelanggaran telah sesuai dengan tata cara dan prosedur pengenaan sanksi berdasarkan Pasal 63 UUPR. Dimana DTRB dalam menjatuhkan sanksi melalui beberapa tahap dan bersifat pembinaan serta berdasarkan prosedur yang ditetapkan dengan terlebih dahulu mengirimkan
surat teguran pertama, surat teguran kedua dan surat teguran ketiga. Apabila pihak pelanggar tidak memperhatikan surat teguran tersebut maka pihak DTRB akan turun melakukan pembongkaran terhadap bangunan yang melanggar. Menurut pendapat penulis UUPR memberikan pula perlindungan terhadap korban yang menderita kerugian sebagai akibat dari adanya pelanggaran terhadap rencana tata ruang yang dilakukan oleh orang perorang, badan hukum maupun kepada pejabat yang berwenang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Akan tetapi penuntutan terhadap kerugian materil yang disebabkan oleh terjadinya pelanggaran terhadap rencana tata ruang tersebut harus terlebih dahulu diawali dengan penuntutan pidana. Sehingga apabila terbukti kesalahan pelanggar dalam hal ini telah ada putusan hakim terhadap tindak pidana yang dilakukan. Maka hal tersebut merupakan dasar bagi korban untuk mengajukan gugatan perdata untuk memperoleh ganti kerugian secara materil. Sanksi pidana dapat pula dijatuhkan kepada Pejabat Pemerintah (Pasal 73 UUPR) yang berwenang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Pejabat Pemerintahan yang berwenang memberikan izin pemanfaatan ruang adalah Walikota Makassar yang bertanda tangan pada Izin Mendirikan Bangunan dan Izin Lokasi (Izin Prinsip). Dengan demikiaan Walikota Makassar yang dimaksud dalam UUPR dan Perda Nomor 6 Tahun 2006 sebagai pejabat yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang. Apabila izin yang diterbitkan oleh pejabat pemerintah di atas tidak sesuai dengan rencana tata ruang maka dapat dijatuhkan sanksi pidana terhadapnya setelah terlebih dahulu diadakan penuntutan pidana terhadap pejabat tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN Pemanfaatan Kawasan Permukiman Terpadu di Kota Makassar belum sejalan dengan RTRW Kota Makassar, hal ini disebabkan oleh karena pihak Dinas Tata Ruang dan Bangunan dalam memberikan rekomendasi IMB tidak mendasarkan rekomendasinya pada suatu pedoman yang lebih detail atau rinci, lemahnya koordinasi kelembagaan, lemahnya pengawasan demikian pula halnya dengan kurangnya peran serta masyarakat. Penerapan sanksi terhadap pemanfaatan kawasan permukiman yang tidak sesuai dengan RTRW Kota Makassar ada tiga yaitu Sanksi Administratif, Sanksi Perdata dan Sanksi Pidana. Dalam hal terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh orang perorang ataupun yang dilakukan oleh badan hukum atau korporasi maka sanksi yang diberikan hanyalah sanksi administratif yang dijatuhkan oleh pihak DTRB dan tidak membawa pelanggaran tersebut ke Pengadilan Negeri untuk diadakan penuntutan secara Pidana maupun Perdata. Adapun sanksi pidana dapat dijatuhkan kepada Pejabat Pemerintah dalam hal Pejabat Pemerintah tersebut menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan RTRW Kota Makassar akan tetapi kendala yang dihadapi adalah ketiadaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang menilai suatu izin yang diterbitkan oleh Pejabat Pemerintah telah sesuai atau tidak dengan RTRW Kota Makassar. Revisi RTRW Kota Makassar yang baru perlu segera disahkan oleh DPRD Kota Makassar untuk dapat dibuat RDTR dan RTRK (Zoning Regulation) sebagai dasar hukum pengaturan tata ruang Kota Makassar yang lebih detail atau terinci. Untuk menjamin efektifitas suatu aturan perlu diefektifkan sanksi pidana dengan demikian keberadaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil sangat diperlukan sebagai sebuah lembaga yang menilai suatu izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintahan.
DAFTAR PUSTAKA Adisasmita, Rahardjo (2010), Pembangunan Kawasan dan Tata Ruang, Yogyakarta: Graha Ilmu. Bratakusumah, Deddy Supriyadi, Riyadi, (2009), Perencanaan dan Pembangunan Daerah, Jakarta: Pustaka Karya. Erwiningsih, Winahyu (2011), Hak Pengelolaan Atas Tanah, , Yogyakarta: Total Media. Harsono, Boedi, (2008), Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanannya, Jakarta: Djambatan. Hasni, (2010), Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah Dalam Konteks UUPA, UUPR dan UUPLH, Jakarta: Rajawali Pers. HR, Ridwan, (2011), Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Nur, Sri Susyanti, (2010), Bank Tanah “Alternatif Penyelesaian Masalah Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Kota Berkelanjutan”, Makassar: AS Publishing. Ridwan, Juniarso, Sodik, Achmad, (2008), Hukum Tata Ruang dalam konsep kebijakan otonomi daerah, Bandung: Nuansa. Salle, Aminuddin, dkk (2010), Bahan Ajar Hukum Agraria, Makassar: AS Publishing. Santoso, Urip (2012), Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Jakarta: Kencana. Supriadi, (2010), Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika.