i
PARTISIPASI PETANI DALAM MENINGKATKAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK PETANI (Kasus di Provinsi Jawa Tengah)
SAPJA ANANTANYU
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
ii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Partisipasi Petani Dalam Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani (Kasus di Provinsi Jawa Tengah)” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Februari 2009 Sapja Anantanyu NRP. P061030041
iii
ABSTRACT SAPJA ANANTANYU. Farmer’s Participation to Increase The Capacity of Famers’ Institution (Case on Farmers’ Group at Province of Central Java). Under direction of SUMARDJO, MARGONO SLAMET, and PRABOWO TJITROPRANOTO. The capacity of farmers’ group institutions are needed to promote agricultural development, in globalization economic era. Economic indicators, agricultural infrastructures, and government policy often cause small farmer to economically and socially marginalized. Farmers with small size land ownership, marginal rate of return in agriculture sector, agriculture policy which nonalignment to farmer make more difficult to increase their income. On the other side, farmers’ group institutions which are expected be able to strengthen the farmer position face the problems of mismanagement or less effective in improve famers’ livelihood condition. The objectives of the research are to: (1) Identify the degree of member participation in farmers’ group institution, and level of the capacity of farmer group’s institute in managing agriculture resources collectively; (2) Identify and explain various factors affect member participation in farmers’ group institution; (3) Identify and explain various factors affect the capacity of farmes’ group institution; and (4) Formulate an appropriate strategy in capacity building of farmers’ group institution. The data were collected at three district of Center Java Province, namely: Klaten, Grobogan, and Karanganyar. Data obtained through interview by 405 respondents whose members of farmers’ group institutions, 48 local leaders, and informans others. The results show that capacity of farmers’ group institution is still at medium category. Capacity of farmers’ group institution was directly influenced by level of members’ participation in farmer groups’ institution, capacities level of farmer, and dynamic level of learning group. Social economical status (formal education, non-formal education, farmers’ experience in work, famers’ income, famers’ needs, social participation, and learning experience), local leadership, intensity of outsiders’ role, the support of extension were indirectly influenced to the capacity of farmers’ group institution through dynamic of learning group, participation in farmers’ group institution, and farmers’ capacities. Key Words: capacity, famers’ group institution, famer’s participation
iv
RINGKASAN SAPJA ANANTANYU. Partisipasi Petani dalam Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani (Kasus di Provinsi Jawa Tengah). Dibimbing oleh SUMARDJO, MARGONO SLAMET, dan PRABOWO TJITROPRANOTO. Kelembagaan kelompok petani sangat diperlukan dalam pembangunan pertanian, di samping kelembagaan pertanian yang lain. Kelembagaan kelompok petani yang efektif dalam mengelola sumberdaya pertanian menjadi solusi bagi pemecahan permasalahan pertanian mengingat karakteristik usahatani yang ada serta dalam rangka menghadapi era globalisasi dan perdagangan bebas. Kelembagaan kelompok petani perlu dikembangkan dalam upaya mendukung kegiatan usahanya (agribisnis) agar mampu berhadapan secara setara dengan pelaku usaha pertanian yang lain, serta agar mampu menghadapi persaingan di tingkat global. Kenyataan memperlihatkan kecenderungan masih lemahnya kelembagaan kelompok petani di negara berkembang, serta besarnya hambatan dalam menumbuhkan kelembagaan pada masyarakat petani dan lemahnya kapasitas kelembagaan kelompok petani. Salah satu pendekatan yang diperlukan dalam pengembangan kapasitas petani adalah meningkatkan partisipasi mereka dalam kelembagaan kelompok petani. Penelitian ini bertujuan: (1) mendeskripsikan tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani dan tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani dalam mengelola sumberdaya pertanian secara kolektif, (2) menjelaskan berbagai faktor yang berpengaruh terhadap tingkat partisipasi anggota dalam kelembagaan kelompok petani, (3) menjelaskan berbagai faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani, dan (4) merumuskan suatu strategi penyuluhan yang sesuai untuk meningkatkan daya saing petani melalui kapasitas kelembagaan kelompok petani dalam mengelola sumberdaya pertanian secara berkelanjutan. Penelitian dilakukan melalui pendekatan deduktif dengan melakukan sintesa atas berbagai teori yang ada dan pendekatan induktif melalui survei dengan pendekatan trianggulasi. Survei dilakukan di tiga kabupaten Provinsi Jawa Tengah, yaitu: Kabupaten Klaten, Kabupaten Grobogan, dan Kabupaten Karanganyar, yang meliputi kawasan dengan komoditas padi, palawija, dan hortikultura. Sampel adalah petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani yang diambil secara stratified random sampling, yaitu: pengurus dan anggota. Analisis deskriptif, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, digunakan untuk memberikan gambaran tentang: tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani, tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani, tingkat kapasitas petani, tingkat kedinamisan kelompok, status sosial ekonomi petani, tingkat kebutuhan petani, pengalaman belajar petani, tingkat kepemimpinan lokal, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan penyuluhan pertanian. Melalui analisis statistik inferensial, seperti: korelasi, regresi, dan analisis lintas; diuji hubungan antar variabel untuk membangun model yang sesuai.
v
Tingkat kedinamisan kelompok sebagai sarana pembelajar bagi petani kebanyakan pada kategori sedang. Kelompok petani kurang menunjukkan aktivitas yang berarti, karena sangat bergantung pada pembinaan yang dilakukan oleh instansi terkait. Tingkat kapasitas petani secara umum berada pada kategori sedang, namun kemampuan petani sebagai pengelola usahatani relatif rendah yang menunjukkan masih rendahnya budaya agribisnis yang dimiliki. Tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani berada pada tingkat sedang, dalam beberapa aspek seperti: perencanaan, pemeliharaan, dan penilaian hasil, petani tampak kurang terlibat secara aktif. Terdapat kesenjangan yang cukup mencolok antara petani berstatus tinggi (ketua dan pengurus kelompok) dengan petani berstatus rendah (anggota kelompok) karena pengaruh budaya paternalistik, di samping itu lemahnya pemahaman anggota terhadap arti penting kelembagaan petani sebagai wahana mencapai tujuan dalam berusahatani. Kapasitas kelembagaan kelompok petani berada pada ketegori sedang. Kelembagaan petani yang ada kurang mampu memenuhi kebutuhan anggotanya. Peran kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya kurang maksimal. Ada kesadaran petani untuk kerjasama namun kurang efektif memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki, dan lemah dalam mengembangkan jaringan kerjasama dengan pihak lain. Tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani rendah dalam mendukung keberadaan kelembagaan kelompok petani. Kondisi ini dipengaruhi oleh rendahnya pendidikan formal, rendahnya pendapatan petani, tingkat partisipasi sosial petani yang juga rendah, serta kurang terpenuhinya tingkat kebutuhan petani, dan kurangnya dukungan penyuluhan yang partisipatif. Relatif rendahnya tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani disebabkan oleh rendahnya tingkat kedinamisan kelompok dan rendahnya tingkat kapasitas petani. Rendahnya aspek-aspek: tingkat kesadaran atas kebutuhan riil, tingkat kepemimpinan lokal, intensitas peran pihak luar, dan dukungan penyuluhan, berpengaruh pada rendahnya kedinamisan kelompok sebagai wahana pembelajar. Sedangkan, rendahnya tingkat pendidikan non-formal, pengalaman berusahatani, pengalaman belajar, tingkat kepemimpinan lokal, dan dukungan penyuluhan berpengaruh terhadap rendahnya kapasitas petani. Kapasitas kelembagaan kelompok petani rendah karena tingkat pemenuhan kebutuhan yang rendah, rendahnya intensitas peran pihak luar, dan kurangnya dukungan penyuluhan. Rendahnya tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani juga berpengaruh pada rendahnya kapasitas kelembagaan kelompok petani. Hal ini disebabkan tingkat kedinamisan kelompok sebagai wahana belajar yang rendah dan kapasitas petani yang juga rendah. Tingkat dukungan penyuluhan pertanian, baik langsung maupun tidak langsung, memberikan pengaruh terhadap kapasitas petani, peningkatan partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani, serta mendorong kapasitas kelembagaan kelompok petani. Strategi penyuluhan pertanian yang tepat adalah dilaksanakan dengan meningkatkan kapasitas petani dan berusaha meningkatkan partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani. Peningkatan dukungan penyuluhan pertanian dilakukan melalui proses-proses: penyadaran, pemberdayaan, pengorganisasian, pemantapan dan penguatan terhadap petani dan kelembagaan kelompok petani. Untuk melaksanakan peran tersebut penyuluhan membutuhkan dukungan kompetensi penyuluh yang memadai dan pendekatan penyuluhan
vi
yang partisipatif sehingga sesuai dengan tingkat kapasitas petani dan kelembagaan kelompok petani, serta kelembagaan penyuluhan yang lebih kuat. Kata kunci: kapasitas, kelembagaan kelompok petani, partisipasi petani
vii
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
viii
PARTISIPASI PETANI DALAM MENINGKATKAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK PETANI (Kasus di Provinsi Jawa Tengah)
SAPJA ANANTANYU
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
ix
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia/Koordinator Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan Institut Pertanian Bogor
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA. Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor 2. Dr. Ir. Adang Warya, M.M. Kepala Bidang Kelembagaan pada Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian, Departemen Pertanian RI
x
Judul Disertasi
: Partisipasi Petani dalam Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani (Kasus Di Provinsi Jawa Tengah)
Nama Mahasiswa
: Sapja Anantanyu
Nomor Pokok
: P.061030041
Menyetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S. Ketua
Prof. Dr. R. Margono Slamet, M.Sc. Anggota
Dr. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc. Anggota
Koordinator Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc.
Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 19 Februari 2009
Tanggal Kelulusan:
xi
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., yang telah memberikan berkah dan hidayahNya sehingga penulis telah menyelesaikan disertasi yang berjudul: PARTISIPASI PETANI DALAM MENINGKATKAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK PETANI (Kasus di Provinsi Jawa Tengah). Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada: Bapak Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS selaku ketua komisi pembimbing, serta Bapak Prof. Dr. H. R. Margono Slamet, MSc. dan Bapak. Dr. H. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc. selaku anggota komisi pembimbing, yang telah banyak mencurahkan waktu dan pikiran untuk pembimbingan disertasi ini.
Kepada Ibu Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. selaku
penguji luar komisi pada ujian tertutup, Bapak Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA. dan Bapak Dr. Ir. Adang Warya, M.M. sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka, penulis mengucapkan terima kasih atas arahan dan masukan guna perbaikan disertasi ini. Di samping itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, serta Ketua Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan, yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu di perguruan tinggi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada UNS, khususnya Ketua Jurusan/Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi S3 dan memberi kesempatan kepada penulis untuk berkarya dan mengabdikan diri sebagai staf pengajar. Kepada pimpinan dan teman sejawat di jurusan/program studi dan fakultas yang telah memberikan bantuan, dukungan, dan dorongan motivasi, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan disertasi ini, utamanya jajaran Pemerintah Kabupaten Klaten, Kabupaten Grobogan, dan Kabupaten Karanganyar beserta masyarakat yang menjadi subyek penelitian, penulis mengucapkan terima kasih. Kepada teman-teman PPN, teman-teman satu
xii
indekos, para enumerator, serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan disertasi ini, penulis mengucapkan terima kasih. Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada seluruh keluarga; terutama istri tercinta Dra. Suminah, MSi., dan anak-anak tercinta, Aulia Maulitaningtyas, Wahyudya Setya Ananta, Satria Widya Pamungkas; atas segala dukungan, pengertian, do’a, dan kasih sayang yang telah memberikan semangat dan motivasi sehingga dapat menyelesaikan studi ini. Semoga penelitian disertasi ini dapat menjadi karya yang bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya, serta segala masukan dari pembaca yang budiman akan menjadi suatu yang sangat berharga.
Bogor, Penulis
Februari 2009
xiii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Grobogan Jawa Tengah pada tanggal 27 Desember 1968, sebagai putra keempat dari enam saudara, dari Bapak Nyuwita dan Ibu Hj. Saliyem. Telah menikah dengan Dra. Suminah, MSi. dan dikaruniai tiga orang anak, yaitu: Aulia Maulitaningtyas, Wahyudya Setya Ananta, dan Satria Widya Pamungkas. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari Sekolah Dasar Negeri 1 Sambirejo lulus tahun 1981, Sekolah Menengah Pertama Negeri Wirosari (sekarang SMPN 1 Wirosari) lulus tahun 1984, Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Semarang lulus tahun 1987. Selanjutnya melanjutkan kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian lulus tahun 1993. Pada tahun 1998 menyelesaikan pendidikan Program Magister Sain (S2) pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Institut Pertanian Bogor (IPB). Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor (S3) pada program studi dan perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2003. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Sejak tahun 1994, penulis diangkat sebagai dosen tetap pada Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta, pada saat ini menduduki Jabatan Fungsional sebagai Lektor.
xiv
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL………………………………………………………..
xv
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………….
xviii
PENDAHULUAN……………………………………………………….
1
Latar Belakang………….………………………………………….
1
Masalah Penelitian…………………………………………...…….
5
Tujuan Penelitian…………………………………………………...
6
Kegunaan Hasil Penelitian…………………………………...……
7
TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………
9
Pembangunan Sebagai Proses Perubahan………………………….
9
Pengertian Pembangunan…………………………………….
9
Pembangunan Sebagai Proses Perubahan Berencana………..
11
Pembangunan Pertanian di Indonesia………………...……………
14
Memberdayakan Petani………………………………………
18
Partisipasi Masyarakat……………………………………...
21
Modal Sosial: Modal Bagi Pengembangan Kerjasama.............
29
Petani dan Perubahan Perilaku……………………………………..
30
Karakteristik Petani…………………………………………..
30
Membangun Kemandirian Petani………………….…………
32
Perilaku Belajar Dalam Individu……………………………..
33
Pemahaman Terhadap Perilaku Sosial……………………….
35
Kelembagaan Pedesaan dan Pertanian………...…………………...
39
Pengertian……………………………………………………
39
Organisasi: Wujud Luar Suatu Kelembagaan Masyarakat......
42
Kelompok dan Dinamika Kelompok…….…………………...
46
Arti Penting Kelembagaan Petani dalam Pertanian..................
47
Kelompok Petani di Indonesia………………..................…..
51
xv
Pemimpin dan Kepemimpinan……………………………………..
54
Peranan Penyuluhan Pertanian……………………………………..
58
Penyuluhan Pertanian…………………………………….......
58
Pengembangan Kapasitas Petani………….....…………....….
60
Mengembangkan Kapasitas Kelembagaan Petani....................
62
KERANGKA BERFIKIR.……………………………………………….
70
Arti Penting Kelembagaan Kelompok Petani Dalam Pembangunan Pertanian............................................................................................
70
Mengembangkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani….….
72
Partisipasi Anggota dalam Kelembagaan Kelompok Petani…..…..
76
Pengembangan Kapasitas Petani………………………..……….…
80
Peningkatan Kapasitas Petani Melalui Kedinamisan Kelompok......
84
Berbagai Faktor Internal dan Eksternal Petani……..………………
85
Faktor-faktor Internal………………………………………...
85
Faktor-faktor Eksternal………………………………………
88
Hipotesis Penelitian.............………………………………………..
92
METODE PENELITIAN………………………………………………..
93
Variabel, Definisi Operasional dan Pengukuran…………………...
93
Pengumpulan Data…………………………………………………
101
Lokasi Penelitian………………………….………………………..
102
Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel……………….
103
Validitas dan Reliabilitas…………………………………………..
103
Analisis Data……………………………………...………………..
106
HASIL DAN PEMBAHASAN....………………………………………..
112
Gambaran Umum Lokasi Penelitian...................………...………...
112
Kondisi Umum......……………………………...……………
112
Kondisi Pertanian.....................................................................
117
Kelembagaan Kelompok Petani...............................................
121
Faktor-faktor Internal dan Eksternal Petani……......................……
128
xvi
Status Sosial Ekonomi Petani..............................…………….
128
Tingkat Kebutuhan Petani........................................................
133
Pengalaman Belajar Petani.......................................................
135
Tingkat Kepemimpinan Lokal.................................................
139
Intensitas Peran Pihak Luar Dalam Kegiatan Usahatani..........
142
Tingkat Dukungan Penyuluhan Pertanian................................
145
Tingkat Kedinamisan Kelompok......................................................
148
Berbagai Faktor yang Berpengaruh Terhadap Tingkat Kedinamisan Kelompok...................................................................
150
Tingkat Kapasitas Petani...................................................................
153
Kemampuan Petani Dalam Mengelola Usahatani....................
154
Kemampuan Petani Dalam Bermasyarakat..............................
155
Kemampuan sebagai Pribadi Petani.........................................
156
Model Hubungan Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Tingkat Kapasitas Petani..........................................................
157
Tingkat Partisipasi Petani Dalam Kelembagaan Kelompok Petani..
162
Intensitas Partisipasi Petani dalam Kelembagaan....................
164
Kualitas Partisipasi Petani dalam Kelembagaan......................
166
Model Hubungan Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Tingkat Partisipasi dalam Kelembagaan Kelompok Petani.....
167
Model Kapasitas Petani untuk Meningkatkan Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Kelompok Petani.........................
173
Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani.........................................
177
Pencapaian Tujuan...................................................................
178
Fungsi dan Peran Kelembagaan...............................................
179
Keinovatifan Kelembagaan......................................................
180
Keberlanjutan Kelembagaan....................................................
180
Gambaran Kapasitas Kelembagaan Dilihat Melalui Hubungan Antar Parameter Kapasitas Kelembagaan................................
181
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani......................................................................
183
xvii
Mengembangkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani..........
190
Model Dukungan Penyuluhan Untuk Meningkatkan Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Kelompok Petani..................
190
Kontribusi Dukungan Penyuluhan Untuk Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani..............................
193
Model Kapasitas Petani untuk Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani...............................................
195
Model Partisipasi Petani untuk Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani...............................................
197
Strategi Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani.
200
Tipologi Petani dan Strategi Pengembangannya…………..…
200
Strategi Penyuluhan Pertanian untuk Meningkatkan Kapasitas Petani, Partisipasi dalam Kelembagaan Kelompok Petani, dan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani........................
206
KESIMPULAN DAN SARAN...………………………………………..
212
Kesimpulan...........................................................…………………
212
Saran......................…………………………………………………
213
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………
216
LAMPIRAN……………………………………………………………. 226 - 248
xviii
DAFTAR TABEL Halaman 2.1. Tipologi Modal Sosial……………………………………………..
30
2.2. Perbandingan Tiga Pendekatan Pengembangan Masyarakat………
63
2.3. Tahapan Pembangunan Kelompok…………………………………
69
3.1. Identifikasi Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani……....…
75
3.2. Identifikasi Partisipasi dalam Kelembagaan Kelompok Petani..…..
79
3.3. Identifikasi Kapasitas Petani……………………………………….
83
4.1. Parameter dan Indikator Status Sosial Ekonomi Petani…….……..
95
4.2. Parameter dan Indikator Tingkat Kebutuhan Petani……..……...…
95
4.3. Parameter dan Indikator Pengalaman Belajar……………………...
96
4.4. Parameter dan Indikator Tingkat Kepemimpinan Lokal…………...
96
4.5. Parameter dan Indikator Intensitas Peran Pihak Luar……………...
97
4.6. Parameter dan Indikator Tingkat Dukungan Penyuluhan……….....
98
4.7. Parameter dan Indikator Kapasitas Petani………………………….
99
4.8. Parameter dan Indikator Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Kelompok Petani…...............................................................
100
4.9. Parameter dan Indikator Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani…………………………………………………………...…..
101
4.10. Persebaran Lokasi Penelitian............................................................
104
4.11. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian.......................................
106
5.1. Tata Guna Lahan di Lokasi Kabupaten dan Provinsi Jawa Tengah..
116
5.2. Banyaknya Rumah Tangga Pertanian dan Luas Lahan yang Dikuasai dan Lokasi Penelitian.............................................................
118
5.3. Macam dan Prosentase Permasalahan Petani Menurut Lokasi.........
119
5.4. Jumlah Kelompok Tani Menurut Tingkat Perkembangannya dan Kabupaten Lokasi Penelitian....................................................
123
5.5.
Deskripsi Kelembagaan Kelompok Petani Di Lokasi Penelitian......
125
5.6.
Umur, Tingkat Pendidikan, Pengalaman Berusahatani, Tingkat Pendapatan, dan Tingkat Partisipasi Sosial Petani Menurut Lokasi dan Status Petani………………………………...............................
129
5.7.
Skor Tingkat Kebutuhan Petani Menurut Lokasi dan Status Petani...
134
5.8.
Skor Pengalaman Belajar Petani Menurut Lokasi dan Status Petani.................................................................................................
136
xix
5.9.
Skor Tingkat Kepemimpinan Lokal dalam Masyarakat Petani Menurut Lokasi dan Status Petani.....................................................
140
5.10. Skor Intensitas Peran Pihak Luar dalam Kegiatan Petani Menurut Lokasi dan Status Petani...................................................................
142
5.11. Skor Tingkat Dukungan Penyuluhan Pertanian Menurut Lokasi dan Status Petani...............................................................................
145
5.12. Jumlah Petani Berdasarkan Tingkat Kedinamisan Kelompok dan Lokasi Penelitian...............................................................................
148
5.13. Rataan Skor Indikator Kedinamisan Kelompok Berdasarkan Lokasi Penelitian...............................................................................
149
5.14. Koefisien Regresi Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Tingkat Kedinamisan Kelompok Pembelajar...................................
150
5.15. Skor Kapasitas Petani Menurut Lokasi dan Status Petani.................
153
5.16. Koefisien Lintas Variabel Bebas (Faktor Internal - Eksternal dan Kedinamisan Kelompok) Terhadap Variabel Tak Bebas Kapasitas Petani.................................................................................................
157
5.17. Analisis Lintas Variabel Bebas (Faktor Internal - Eksternal dan Kedinamisan Kelompok) Terhadap Variabel Tak Bebas Kapasitas Petani.................................................................................................
158
5.18. Skor Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Kelompok Petani Menurut Lokasi dan Status Petani..........................................
162
5.19. Macam dan Prosentase Alasan Keikutsertaan Petani Dalam Kelompok Petani Menurut Lokasi....................................................
163
5.20. Koefisien Lintas Variabel-variabel Yang Berpengaruh Terhadap Variabel Tak Bebas Partisipasi Petani Dalam Kelembagaan............
167
5.21. Analisis Lintas Variabel-variabel Yang Berpengaruh Terhadap Variabel Tak Bebas Tingkat Partisipasi Petani Dalam Kelembagaan…
168
5.22. Koefisien Lintas Variabel Bebas Kapasitas Petani Terhadap Variabel Tak Bebas Partisipasi Petani Dalam Kelembagaan............
174
5.23. Analisis Lintas Variabel Bebas Kapasitas Petani Terhadap Variabel Tak Bebas Tingkat Partisipasi Petani Dalam Kelembagaan.......
175
5.24. Skor Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani Menurut Lokasi dan Status Petani...............................................................................
178
5.25. Koefisien Lintas Variabel-variabel Yang Berpengaruh Terhadap Variabel Tak Bebas Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani.......
184
5.26. Analisis Lintas Variabel-variabel Yang Berpengaruh Terhadap Variabel Tak Bebas Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani.......
185
5.27. Koefisien Lintas Variabel Bebas Dukungan Penyuluhan Terhadap Variabel Tak Bebas Partisipasi Petani dalam Kelembagaan.............
190
xx
5.28. Analisis Lintas Variabel Bebas Dukungan Penyuluhan Terhadap Variabel Tak Bebas Partisipasi Petani dalam Kelembagaan.............
191
5.29. Koefisien Lintas Variabel Kapasitas Petani Terhadap Variabel Tak Bebas Kapasitas Kelembagaan..................................................
195
5.30. Analisis Lintas Variabel Kapasitas Petani Terhadap Variabel Tak Bebas Kapasitas Kelembagaan..................................................
196
5.31. Koefisien Lintas Variabel Bebas Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Petani Terhadap Variabel Tak Bebas Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani...................................................................
197
5.32. Analisis Lintas Variabel Bebas Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Petani Terhadap Variabel Tak Bebas Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani...................................................................
198
xxi
DAFTAR GAMBAR Halaman 2.1.
Mekanisme Partisipasi dalam Pembangunan…………………….
25
3.1.
Kerangka Berfikir Teoritis…………………….…………….…...
91
3.2.
Hubungan Antar Variabel Penelitian…...………………………..
91
4.1.
Model Hubungan antar Variabel dalam Hipotesa Satu…………..
108
4.2.
Model Hubungan antar Variabel dalam Hipotesa Dua…………..
108
4.3.
Model Hubungan antar Variabel dalam Hipotesa Tiga…….……
109
4.4.
Model Hubungan antar Variabel dalam Hipotesa Empat………..
110
4.5.
Model Hubungan antar Variabel dalam Hipotesa Lima…………
110
4.6.
Model Hubungan antar Variabel dalam Hipotesa Enam...………
111
4.7.
Model Hubungan antar Variabel dalam Hipotesa Tujuh...………
111
5.1.
Model Hubungan Berbagai Faktor yang Berpengaruh Terhadap Tingkat Kedinamisan Kelompok...................................................
152
Model Hubungan Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Kapasitas Petani............................................................................
160
Model Hubungan Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Tingkat Partisipasi dalam Kelembagaan Kelompok Petani..........
172
Model Kapasitas Petani untuk Meningkatkan Partisipasi dalam Kelembagaan Kelompok Petani.....................................................
176
5.5.
Empat Pilar Kapasitas Kelembagaan.............................................
182
5.6.
Model Hubungan antara Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani.........................................
187
Model Dukungan Penyuluhan untuk Meningkatkan Partisipasi Petani dalam Kelembagaan………………………………………
191
Model Hubungan Kontribusi Dukungan Penyuluhan Terhadap Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani...........
194
Model Kapasitas Petani dalam Kelembagaan Dalam Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani..............................
197
5.10. Model Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Dalam Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani.............................
199
5.11. Tipologi Petani Berdasarkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani dan Partisipasi Petani……………………………………..
201
5.12. Tipologi Petani Berdasarkan Kapasitas Kelembagaan dan Kapasitas Petani……………………………………………………..
203
5.2. 5.3. 5.4.
5.7. 5.8. 5.9.
5.13. Tipologi Petani Berdasarkan Tingkat Partisipasi dan Kapasitas
xxii
Petani..............................................................................................
205
5.14. Strategi Penyuluhan Pertanian Dalam Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani……………………………...…..
211
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara agraris karena dari 186 juta hektar luas daratan Indonesia sekitar 70 persennya lahan tersebut digunakan untuk usaha pertanian. Selain daratan, potensi laut juga besar untuk pembangunan pertanian. Pertanian merupakan sektor yang tidak boleh diabaikan, sebab selamanya sektor pertainan tetap menjadi tumpuan penghidupan sebagian besar masyarakat Indonesia. Dari jumlah penduduk Indonesia yang bekerja 95.5 juta orang, 42.05 persen bekerja di sektor pertanian, sedangkan yang bekerja di sektor perdagangan sebesar 20.13 persen, sektor perindustrian sebesar 12.46 persen, dan sektor jasa sebesar 11.90 persen (Statistik Indonesia, 2007). Jumlah penduduk yang besar (lebih 200 juta) dengan daya beli yang rendah sangat berpotensi mengalami rawan pangan atau mengalami ketergantungan impor pangan yang akan mengganggu ketahanan nasional. Kenyataan yang harus diakui bahwa sektor pertanian di Indonesia sebagian besar dibangun oleh petani dengan skala usaha yang relatif sempit. Keadaan pelaku usaha pertanian tersebut setiap tahun semakin bertambah jumlahnya dengan tingkat kesejahteraan yang masih rendah. Masih rendahnya taraf kesejahteraan petani terlihat dari hasil Sensus Pertanian (SP) 2003 yang disbandingkan dengan SP 1993. Jumlah rumah tangga petani gurem (kecil) dengan penguasaan lahan kurang dari 0.5 hektar, baik milik sendiri atau menyewa, meningkat 2.6 persen per tahun, dari 10.8 juta rumah tangga tahun 1993 menjadi 13.7 juta rumah tangga tahun 2003. Persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan juga meningkat dari 52.7 persen (1993) menjadi 56.5 persen (2003). Jumlah rumah tangga pertanian sendiri tercatat bertambah 2.2 persen per tahun dari 20.8 juta (1993) menjadi 25.4 juta (2003). Kenaikan persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan mengindikasikan semakin miskinnya petani di Indonesia. Membangun pertanian berarti mengembangkan ekonomi petani miskin tersebut. Skala usaha pertanian yang kecil menghambat petani meningkatkan pendapatannya sehingga sulit keluar dari lingkaran kemiskinan. Masyarakat pertanian
2
miskin selain luas usahataninya yang sempit, juga disebabkan oleh: produktivitas yang rendah; infrastruktur terbatas; aksesibilitas rendah terhadap modal, teknologi, informasi, dan pasar; serta rendahnya kapasitas petani. Di sisi lain, petani hanya mempunyai sedikit kesempatan untuk memanfaatkan waktu luang bagi usaha di luar pertanian (off-farm atau out-farm). Pertanian selama ini belum mampu untuk merespons kelebihan tenaga kerja yang ada, sedangkan transformasi struktural perekonomian nasional yang diharapkan dapat memindahkan tenaga kerja pertanian ke sektor nonpertanian tidak kunjung terjadi. Kebijakan pertanian dengan pendekatan sistem agribisnis menjadi pilihan pemerintah saat ini. Strategi revitalisasi pertanian mulai dicanangkan sejak 2005 untuk mengatasi berbagai permasalahan pertanian namun hasil-hasil kongkrit masih belum terlihat. Pembangunan sektor pertanian sudah selayaknya tidak hanya berorientasi pada produksi atau terpenuhinya kebutuhan pangan secara nasional, tetapi juga harus mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat petani. Implikasi dari hal ini adalah menempatkan petani sebagai pelaku (bukan obyek) dalam pembangunan pertanian dengan eksistensinya sebagai manusia yang bermartabat. Terpenuhinya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan komunitas petani, baik kebutuhan individu maupun kebutuhan sosial petani, dalam situasi lingkungan sumberdaya yang terbatas memerlukan suatu strategi pembangunan yang berorientasi pada peningkatan kapasitas petani, serta terciptanya kelembagaan petani yang tangguh disamping kelembagaan pertanian yang lain. Pembangunan pertanian merupakan bagian yang terintegral dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Pembangunan sebagai proses perubahan, menurut Goulet dalam Todaro (1994), mengandung nilai-nilai: (a) Nafkah hidup, dalam arti kemampuan masyarakat untuk memenuhi atau mencukupi kebutuhan-kebutuhan dasar (basic needs) yang mencakup: pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan dasar, dan perlindungan; (b) Peningkatan harga diri, dalam arti berkembangnya rasa percaya diri untuk dapat hidup mandiri terlepas dari penindasan dan tidak dimanfaatkan oleh pihak lain hanya untuk kepentingan mereka; dan (c) Diperolehnya kebebasan, dalam arti kemampuan untuk memilih alternatif-alternatif yang dapat dilakukan untuk mewujudkan perbaikan
3
mutu hidup atau kesejahteraan secara terus menerus bagi setiap individu maupun seluruh warga masyarakatnya. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi, hasil diratifikasinya WTO (World Trade Organization) oleh hampir semua negara di dunia termasuk Indonesia, membawa konsekuensi yang serius bagi perekonomian termasuk di sektor pertanian. Tingkat asimetri yang tinggi dalam sistem perdagangan dunia menyebakan globalisasi akan membawa dampak yang negatif bagi pertanian negara yang mempunyai daya kompetitif rendah. Diperlukan strategi dan politik pertanian yang jelas dalam mendukung pertanian dalam negeri dalam menghadapi persaingan global tersebut. Upaya peningkatan daya saing pertanian dapat berupa: peningkatan produktivitas usahatani, peningkatan kapasitas petani, dan pengembangan kelembagaan pertanian. Upaya meningkatkan produktivitas, efisiensi usahatani, dan daya saing petani dilakukan melalui pengembangan kelembagaan pertanian, termasuk di dalamnya penguatan kapasitas kelembagaan petani. Petani-petani kecil sebaiknya digerakkan untuk bergabung secara kolektif dalam kelompok-kelompok, organisasi atau kelembagaan agar menjadi sutu unit kekuatan produksi yang besar, tangguh dan memiliki produktivitas tinggi. Penumbuhan kelompok-kelompok sekunder masyarakat tani, selain meningkatkan produktivitas usaha juga akan meningkatkan efisiensi usaha pertanian. Reed (1979) menawarkan dua alternatif untuk mengatasi permasalahan petani kecil, yaitu: (a) konsolidasi lahan usahatani menjadi usaha yang lebih luas, dan (b) memperluas skala pengelolaan dan penggunaan sumberdaya usahatani tanpa mengubah pemilikan petani, melalui usahatani korporasi atau kelompok. Kelembagaan petani diakui sangat penting dalam pembangunan pertanian (Mosher, 1969; Staatz dan Eicher, 1984; Todaro, 1994). Kelembagaan petani di pedesaan berkontribusi dalam akselerasi pengembangan sosial ekonomi petani; aksesibilitas pada informasi pertanian; aksesibilitas pada modal, infrastruktur, dan pasar; dan adopsi inovasi-inovasi pertanian. Kelembagaan petani ini memiliki peran strategis di Indonesia karena karakteristik pertanian yang terdiri dari lebih 80 persen pertanian rakyat dan lebih 50 persen di antaranya petani gurem. Namun kenyataan memperlihatkan kecenderungan masih lemahnya kelembagaan petani,
4
serta besarnya hambatan dalam menumbuhkan kelembagaan pada masyarakat petani. Menurut Suryana (2007) salah satu hambatan implementasi Revitalisasi Pertanian di Indonesia adalah tidak adanya organisasi ekonomi petani yang kokoh sebagai salah satu ciri pertanian modern, Soedijanto (2004) menyebutkan berbagai permasalahan dalam penyuluhan pertanian di Indonesia diantaranya adalah masalah kelembagaan tani dan kepemimpinan petani. Intervensi yang terlalu besar dari pemerintah atau politisi seringkali menyebabkan organisasi itu bekerja bukan untuk petani tetapi lebih melayani kepentingan pemerintah atau para pengelolanya (van den Ban dan Hawkins, 1999). Perbedaan sosial dan kultural masyarakat petani di negara berkembang dengan asal bentuk kelembagaan yang diadopsi menyebabkan kelembagaan petani yang dibangun tidak berkembang. Bunch (1991) menegaskan pembangunan kelembagaan tidak sekedar memindahkan kerangka organisasi, tetapi juga harus memberikan ‘perasaan’ tertentu. Ciri-ciri masyarakat, perasaan, ketrampilan, sikap dan sikap moral, merupakan darah dan daging suatu lembaga. Kelembagaan petani yang diharapkan mampu membantu petani keluar dari persoalan kesenjangan ekonomi petani, sampai saat ini masih belum berfungsi secara optimal. Kelembagaan pertanian kurang menempatkan petani sebagai pengambil keputusan dalam usahataninya, karena dominansi pengaruh intervensi pihak luar petani terhadap kelompok tani (Slamet, 2003). Pengembangan kelembagaan melalui penyuluhan pertanian justru menempatkan petani pada berbagai kelompok binaan yang dibentuk dari atas dan untuk kepentingan atas, sehingga posisi petani lemah dalam pengambilan keputusan kelompok.
Kurang berhasilnya proyek-
proyek pertanian yang berorientasi pada pembangunan kelembagaan petani, seperti: KUD, corporate farming, dan kelompok-kelompok usaha bersama yang lain; menunjukkan masih perlu kajian yang mendalam terhadap kelembagaan petani. Implikasi diberlakukannya otonomi daerah, berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, membawa dampak buruk pada perkembangan kelembagaan petani, utamanya kelembagaan kelompok petani hampir di seluruh wilayah Indonesia termasuk di Provinsi Jawa Tengah. Pemerintah Daerah tidak memberikan prioritas bagi pengembangan kelembagaan penyuluhan yang selama ini mem-
5
beri kontribusi bagi peningkatan produksi pertanian dan menjadi mitra petani dalam memfasilitasi kelembagaan kelompok petani. Kegiatan penyuluhan pertanian di banyak daerah, termasuk Jawa Tengah, dikatakan hampir sampai pada titik nadir. Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi penyangga pangan nasional, dengan luas lahan sawah sebesar 996 ribu hektar, luas lahan tegal/kebun sebesar 753 ribu hektar, dan ladang sebesar 11 ribu hektar. Hampir semua komoditas pertanian penting dihasilkan di Provinsi Jawa Tengah yang diusahakan oleh 5.9 juta (42 persen) penduduk di provinsi ini (Jawa Tengah Dalam Angka 2006). Potensi pertanian yang besar perlu didukung dengan keberadaan kelembagaan petani yang kuat, namun akhir-akhir ini justru mengalami stagnasi. Mendasarkan pada kondisi kelembagaan petani saat ini khususnya kelembagaan kelompok petani, yang dipandang sebagai strategi sosial dalam pembangunan pertanian, maka dirasa perlu untuk mengkaji aspek-aspek yang berpengaruh pada stagnasi dan kemunduran yang terjadi dalam kelembagaan kelompok petani ini.
Masalah Penelitian Pada kenyataannya sebagian besar produk-produk pertanian di Indonesia dihasilkan oleh usahatani dengan luasan yang sempit-sempit. Dengan skala usaha yang kecil sangat sulit bagi petani untuk mengelola usahatani secara efisien. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh petani. Petani Indonesia harus mengusahakan pertanian di dalam lingkungan tropika yang penuh resiko, seperti banyaknya hama, tidak menentunya curah hujan, dan sebagainya. Selain itu, kondisi infrastruktur yang belum memadai, serta kebijakan-kebijakan pertanian yang secara ekonomi dan politik kurang berpihak. Para petani dituntut ekstra hati-hati dalam menerima inovasi karena kegagalan memanfaatkan inovasi akan berakibat fatal dalam ekonomi rumah tangga petani. Dalam menjalankan usahanya, petani juga harus berhadapan dengan pelaku-pelaku usaha yang lain di bidang pertanian. Belum ada atau lemahnya kelembagaan petani akan berakibat pada rendahnya posisi tawar petani yang berakibat pada
6
rendahnya tingkat kesejahteraan petani dan rendahnya dukungan pada pembangunan pertanian secara nasional. Pengembangan kelembagaan petani, termasuk didalamnya kelembagaan kelompok petani, sudah menjadi salah satu program pembangunan pertanian sejak Orde Baru. Upaya-upaya pengembangan kelembagaan petani oleh pemerintah selama ini belum mampu menghasilkan kelembagaan petani yang dinamis, kuat, dan mandiri. Kelembagaan kelompok petani semestinya mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan petani, mampu meningkatkan daya saing, serta mampu mendukung kotinyuitas usaha, namun sampai saat ini kelompok-kelompok petani masih menunjukkan tingkat perkembangan yang masih rendah. Kebijakan otonomi daerah yang diharapkan dapat lebih mengembangkan potensi-potensi lokal justru berdampak buruk pada keberadaan kelembagaan kelompok petani. Secara ringkas permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam peneliti-an ini meliputi:
(a) Sejauh mana kedinamisan kelompok sebagai pembelajar, kapasitas petani, partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani, dan kapasitas kelembagaan kelompok petani, serta bagaimana keterkaitan masing-masing variabel tersebut? (b) Faktor-faktor determinan apa saja yang lebih berpengaruh dalam pengembangan kapasitas kelembagaan kelompok petani? dan (c) Bagaimana strategi intervensi (penyuluhan) yang tepat, yang kondusif bagi peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok petani?
Tujuan Penelitian Berdasarkan pada rumusan permasalahan yang dipaparkan di atas, secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang kelembagaan kelompok petani, serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan kapasitas kelembagaan kelompok petani. Kapasitas kelembagaan kelompok petani dianalisis melalui kedinamisan kelompok sebagai wahana belajar, kapasitas petani, dan kesadaran kolektif untuk berpartisipasi dalam kelembagaan sehingga mengarah pada pencapaian kapasitas kelembagaan kelompok petani yang diinginkan. Secara spesifik tujuan penelitian ini adalah:
7
(1) Untuk mendeskripsikan tingkat kedinamisan kelompok sebagai sarana pembelajar, tingkat kapasitas petani, tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani, dan tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani; (2) Untuk mengidentifikasi dan menjelaskan pengaruh berbagai faktor terhadap tingkat partisipasi anggota dalam kelembagaan kelompok petani; (3) Untuk mengidentifikasi dan menjelaskan pengaruh berbagai faktor terhadap tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani; dan (4) Untuk merumuskan suatu strategi penyuluhan yang sesuai untuk mendorong petani dalam peningkatan kelembagaan kelompok petani yang efektif dalam mengelola sumberdaya pertanian secara berkelanjutan. Kegunaan Hasil Penelitian Penelitian ini mencoba menganalisis permasalahan kurang berkembangnya kelembagaan kelompok petani menjadi lembaga yang tangguh dan mandiri. Kapasitas kelembagaan kelompok petani sangat diperlukan dalam kondisi dan situasi yang dihadapi petani saat ini. Kedinamisan kelompok, kapasitas petani, dan partisipasi anggota dalam kelembagaan kelompok petani diduga menjadi faktor utama yang terkait dengan permasalahan kelembagaan kelompok petani ini sehingga memerlukan pendalaman yang lebih komprehensif dalam mengungkap hubungan kausalitas diantaranya. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan berbagai kegunaan dalam penumbuhan dan pengembangan kelembagaan kelompok petani dalam usaha mempertahankan eksistensi dan meningkatkan taraf kehidupan keluarga anggota dan masyarakatnya. Secara praktis, pemahaman terhadap berbagai faktor yang terkait partisipasi petani dalam kelembagaan akan menghasilkan konsep intervensi atau capacity building yang tepat bagi pengembangan kelembagaan petani yang efektif. Hasil-hasil penelitian ini diharapkan akan menghasilkan rumusan-rumusan yang bisa dijadikan pertimbangan bagi pengembangan kelembagaan kelompok petani yang tepat untuk dilaksanakan di Provinsi Jawa Tengah pada khususnya dan di daerah lain yang serupa, yang berpotensi pada peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan petani.
8
Pada akhirnya, hasil penelitian ini dapat menjadi perbandingan dari keluaran penelitian yang lain sebagai sarana untuk membuka wacana diskusi dan tukar informasi. Selain itu pengujian atau usaha untuk menindaklanjuti terhadap temuan-temuan yang ada merupakan sesuatu yang bermanfaat sehingga akan semakin mendorong terhadap kemajuan ilmu penyuluhan pembangunan pada umumnya dan pengembangan kelembagaan petani khususnya. Upaya penguatan kapasitas kelembagaan kelompok petani merupakan salah satu strategi yang diperlukan dalam pelaksanaan penyuluhan pembangunan yang efektif dan efisien.
9
TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan Sebagai Proses Perubahan Pengertian Pembangunan Secara etimologik, istilah pembangunan berasal dari kata dasar ‘bangun’ diberi imbuhan ‘pem - an’. Kata ‘bangun’ bisa berarti: sadar atau siuman (aspek fisiologis); bangkit atau siuman (aspek perilaku); bentuk (aspek anatomi); sebagai kata kerja berarti membuat, mendirikan, atau membina (gabungan aspek fisiologi, aspek perilaku, dan aspek bentuk). Konsep ‘pembangunan’ (development) seringkali dianalogkan dengan konsep-konsep: pertumbuhan (growth), rekonstruksi (recontruction), modernisasi (modernization), westernisasi (westernization), perubahan sosial (social change), pembebasan (liberation), pembaruan (innovation), pembangunan bangsa (nation building), pembangunan nasional (national development), pengembangan (progress), dan pembinaan (construction) (Ndraha, 1990; Suryono, 2001). Pembangunan dapat dilihat dalam paradigma yang berbeda. Terdapat tiga kelompok teori pembangunan yang dianggap penting secara literatur, yaitu: Pertama, kelompok teori modernisasi yang menekankan pada faktor manusia dan nilai-nilai budaya sebagai pokok persoalan dalam pembangunan. Kedua, kelompok teori ketergantungan (dependency theory) sebagai reaksi terhadap teori modernisasi yang dianggap kurang memadai, bahkan menyesatkan.
Ketiga,
kelompok teori-teori yang belum memiliki nama sebagai reaksi terhadap teori ketergantungan yang disebut sebagai teori atau ide pembangunan yang lain (another development) (Suryono, 2001). Kajian klasik perspektif modernisasi antara lain dikerjakan oleh David Mc.Clelland, Max Weber, WW. Rostow, Alex Inkeles dan David H. Smith. Teori Mc.Clelland menekankan aspek-aspek psikologi individu. Proses pembangunan diartikan sebagai upaya dalam membentuk manusia wiraswasta dengan N-ach yang tinggi melalui pendidikan individual masa anak-anak, terutama dalam lingkungan keluarga dengan kata lain memanipulasi mental anak didik sejak dini. Teori Weber menekankan pada nilai-nilai budaya. Nilai-nilai masyarakat antara
10
lain yang melalui agama, memiliki peran menentukan dalam mempengaruhi tingkah laku individu. Jika nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dapat diarahkan kepada sikap yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi, maka proses pembangunan dalam masyarakat dapat terlaksana. Teori pertumbuhan ekonomi yang dipelopori Rostow melihat perubahan sosial, yang disebutnya sebagai pembangunan, sebagai proses evolusi perjalanan dari tradisional ke modern. Asumsi dari teori ini adalah bahwa semua masyarakat termasuk masyarakat Barat pernah mengalami ‘tradisional’ dan akhirnya menjadi ‘modern’. Sikap manusia tradisional dianggap sebagai masalah. Perubahan sosial terjadi dalam lima tahapan pembangunan ekonomi, yaitu: tahap pertama adalah masyarakat tradisional, kemudian berkembang menjadi prakondisi tinggal landas, lantas diikuti masyarakat tinggal landas, kemudian masyarakat pematangan pertumbuhan, dan akhirnya mencapai masyarakat modern yang dicita-citakan (Suwarsono dan So, 2000). Teori ini menekankan adanya lembaga-lembaga sosial dan politik yang mendukung proses pembangunan sebelum lepas landas dimulai lembaga-lembaga sosial dan politik ini diperlukan untuk menghimpun modal serta merekrut tenaga teknis, tenaga wiraswasta dan teknologi (Suryono, 2001). Teori Inkeles dan Smith menekankan pada lingkungan material atau lingkungan pekerjaan sebagai salah satu cara terbaik untuk membentuk manusia modern yang bisa membangun. Di sini bukan manipulasi mental yang dipakai sebagai instrumen pengubah, tetapi pengalaman kerja yang dialami secara nyata oleh pelaku yang mengubah sikap dan tingkah lakunya. Pendidikan dianggap cara yang paling efektif untuk membentuk manusia modern. Menurut Inkeles, karakteristik pokok yang akan dimiliki oleh manusia modern meliputi: terbuka terhadap pengalaman baru; memiliki sikap untuk semakin independen terhadap berbagai bentuk otoritas tradisional, seperti orangtua, kepala suku, dan raja; percaya terhadap ilmu pengetahuan termasuk percaya akan kemampuannya untuk menundukkan alam semesta; memiliki orientasi mobilitas dan ambisi hidup yang tinggi; memiliki rencana jangka panjang; aktif terlibat dalam percaturan politik (Suwarsono dan So, 2000).
11
Pembangunan Sebagai Proses Perubahan Berencana Pembangunan merupakan salah satu bentuk perubahan sosial yang direncanakan karena diasumsikan bahwa perubahan tersebut dapat dikendalikan ke sasaran yang tepat. Menurut Lippitt; Watson dan Wesley (1958) perubahan berencana adalah perubahan yang terjadi karena adanya keputusan kita untuk memperbaiki sistem kepribadian, sistem kelompok, sistem organisasi, dan sistem kemasyarakatan dengan tujuan untuk memperoleh tingkat kehidupan yang lebih baik dan memuaskan melalui pertolongan yang diberikan oleh agen-agen perubahan. Selanjutnya Lippit, Watson dan Wasley (1958) sesuai rumusan Margono Slamet (1986) mengemukakan perubahan berencana tersebut terbagi dalam beberapa fase antara lain : (1) Fase menumbuhkan kebutuhan untuk berubah. Pada fase ini perlu dilakukan: (a) Perumusan perumusan kesulitan-kesulitan, ketegangan-ketegangan, ketidakpuasan dan kekecewaan yang harus diterjemahkan; (b) kesadaran akan masalah yang sebenarnya yang harus dipecahkan; (c) adanya suatu keinginan untuk berubah; dan (d) adanya keinginan untuk meminta pertolongan dari luar sistem sosialnya. (2) Fase membangun hubungan untuk perubahan. Perkembangan hubungan kerja dengan pelaksana perubahan yang terjadi karena adanya masalah-masalah baru yang dihadapi sistem klien. Keberhasilan atau kegagalan proyek perubahan akan tergantung pada kualitas hubungan kerja antara agen perubahan dengan sistem klien. (3) Fase mencari kejelasan atau melakukan diagnosis terhadap masalah klien (sasaran perubahan). Tugas penting yang harus dilakukan oleh sistem klien adalah bekerja sama dengan agen perubahan untuk mendiagnosis hakekat kesukaran yang dihadapi oleh sistem klien. Untuk itu agen perubahan memerlukan berbagai informasi yang dapat diperoleh melalui kegiatan wawancara, pengamatan, test dan lain-lain. (4) Fase menguji berbagai alternatif dan tujuan-tujuan pemecahan masalah, dalam sistem klien menterjemahkan hasil diagnosis tersebut kedalam berbagai alternatif pemecahan masalah dan mendefinisikan maksud dan tujuan perubahan.
12
(5) Tahap mentransformasikan maksud dan tujuan pemecahan masalah kedalam usaha-usaha perubahan nyata. Keberhasilan usaha-usaha perubahaan diukur melalui cara dimana rencana dan tujuan tersebut ditransformasikan dalam keberhasilan yang nyata. (6) Tahap generalisasi dan stabilisasi perubahan. Dapat dan tidaknya tercapai tujuan akan tergantung pada keadaan sistem klien yang stabil dan ajeg. Seringkali perubahan yang sering dihasilkan, cenderung menjadi hilang setelah usaha perubahan itu berakhir dan sistem klien tergelincir kembali kedalam tingkah laku yang lama. Karena itu perlu dilakukan evaluasi yang positif dan pemberian imbalan. (7) Tahap memutuskan hubungan antara klien dan agen perubahan. Hal ini dilakukan untuk mencegah timbulnya ketergantungaan masyarakat kepada agen perubahan. Dalam tahap ini perlu dipertanyakan apakah sistem klien telah mempelajari berbagai teknik pemecahan masalah dengan cukup baik. Apakah perubahan internal terhadap sistem klien menimbulkan konflik dengan lingkungannya dan lain-lain. Jadi ada kemungkinan suatu proyek perubahan dapat dilakukan serta pengakhiran proyek dilanjutkan dengan memberikan jaminan bahwa agen perubahan akan melanjutkan konsultasi atau melakukan perubahan yang diperbaharui. Selanjutnya Margono Slamet (1986) mengemukakan lima model menggerakkan masyarakat dalam perubahan berencana: (1) Pendahuluan (initiation). Pada tahap ini ditandai oleh adanya prakarsa untuk melakukan perubahan yang diikuti oleh usaha untuk menyadarkan orangorang yang berkepentingan akan adanya masalah yang perlu dipecahkan. Dalam hubungan ini tokoh-tokoh masyarakat dimana perubahan akan diselenggarakan harus segera diberitahu tentang ide-ide tersebut. Setelah itu sasaran perubahan yang tepat harus segera ditentukan . (2) Pengesahan (legitimation).
Pada tahap ini mendapatkan persetujuan dari
orang-orang yang berkuasa tentang ide-ide yang akan dibawakan. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting artinya bagi kelangsungan perubahan. Untuk itu penyuluh harus dapat menemukan: (a) organisasi-organisasi/orang-orang yang akan yang akan diperkirakan yang akan bersimpati dan
13
mendukung usaha yang akan dilancarkan; (b) Organisasi/organisasi yang akan mendapat prestise karena adanya perubahan tersebut; (c) Organisasi yang secara potensial akan menentang perubahan yang akan yang akan diselenggarakan; (d) Organisasi atau orang yang mau menjadi sponsor dalam mengadakan sponsor bagi sumberdaya. (3) Difusi = Penyebaran (Difussion). Difusi yaitu: (a) menyebarluaskan pembaharuan kepada masyarakat yang akan disertai perubahan, (b) perlu membuka saluran komunikasi kepada masyarakat setempat dalam menyalurkan ide-ide pembaharuan dan memperoleh umpan balik dari masyarakat tersebut, (c) melancarkan kampanye untuk menggairahkan masyarakat agar menerima dan menjadikan ide ide perubahan itu menjadi milik mereka, (d) melibatkan orang-orang setempat dalam melakukan kegiatan kegiatan tersebut di atas. (4) Organisasi (organization). Pengorganisasian orang-orang yang terlibat dalam pengalokasian sumber daya merupakan hal yang harus mendapat perhatian utama. Untuk melaksanakannya dengan baik perlu adanya: (a) tujuan yang jelas, (b) alternatif-alternatif untuk mencapai tujuan tersebut, (c) pengambilan keputusan (d) pembagian tanggung jawab dan tugas (e) rencana dan jadwal kerja yang jelas. (5) Bergerak (action). Semua yang telah direncanakan dengan matang harus benar-benar dilaksanakan. Dalam pelaksanakan program kerja para peserta perlu memperoleh motivasi lebih lanjut. Setiap tahap yang telah dicapai ataupun sedang diselenggarakan perlu diawasi dan dimotivasi lebih lanjut. Setiap tahap yang sedang dicapai ataupun sedang diselenggarakan perlu diawasi dan dimonitor terus menerus untuk mengetahui apakah segala sesuatu berjalan sesusi dengan rencana atau perlu diperbaiki. Setelah kegiatan yang diinginkan terlaksana, perlu diselenggarakan evaluasi untuk mengetahui sejauh mana hasil yang dicapai sesuai dengan rencana semula. Hasil evaluasi menjadi dasar dalam memulai program kerja baru . Adapun kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi perubahan antara lain : (1) Kekuatan Pendorong (Motivational Force), yakni kekuatan kekuatan yang ada dalam masyarakat yang mendorong orang untuk berubah. Kekuatan ini berasal dari segala aspek situasi yang merangsang kemauan klien untuk me-
14
lakukan perubahan yang disarankan. Kekuatan tersebut seperti: (a) Ketidakpuasan terhadap situasi yang ada dan menginginkan situasi lain, (b) adanya pengetahuan tentang perilaku yang ada dan yang seharusnya bisa ada, (c) Adanya tekanan dari luar seperti kompetisi, keinginan menyesuaikan diri dan lain-lain. (2) Kekuatan bertahan (Resisten Force). Kekuatan ini bertujuan mempertahankan apa yang telah ada dalam masyarakat dan menolak perubahan atau pembaharuan. Kekuatan ini mempunyai akibat dan bersumber dari: (a) menentang segala macam bentuk perubahan, ( b) Menentang tipe perubahan tertentu saja (c) Sudah puas dengan keadaan yang ada, (d) Beranggapan bahwa sumber perubahan itu tidak tepat, (e) Kekurangan atau tidak tersedianya sumberdaya yang diperlukan untuk melaksanakan perubahan yang diinginkan. (3) Kekuatan pengganggu (Intervering Forces), yakni kekuatan pengganggu yang memperlambat perubahan. Kekuatan ini bersumber dari: (a) Kekuatan dari masyarakat yang bersaing untuk memperoleh dukungan seluruh masyarakat dalam proses pembangunan, (b) Kesulitan atau kekompleksan perubahan yang berakibat lambatnya penerimaan masyarakat terhadap perubahan yang akan dilakukan, (c) Kekurangan sumberdaya yang diperlukan dalam bentuk kurang pengetahuan, tenaga ahli, ketrampilan, pengertian, biaya, sarana dan lain lain. Terakhir perlu dipahami pula bahwa pengambilan keputusan untuk melakukan perubahan berencana antara lain: (1) Keputusan perorangan (optional decision) yang bersifat individu dan sukarela; (2) Keputusan bersama, yang bersifat mengikat anggota-anggota suatu kelompok yang terlibat dalam kegiatan tertentu; (3) Keputusan penguasa (authority decision), yakni keputusan yang diambil oleh pejabat yang memiliki kewenangan dalam suatu bidang tertentu (Rogers, 1995).
Pembangunan Pertanian di Indonesia Menurut Todaro (1994) bahwa pembangunan bukan semata-mata fenomena ekonomi, tetapi pembangunan harus dipahami sebagai suatu proses yang berdimensi jamak yang melibatkan soal pengorganisasian dan peninjauan kembali
15
keseluruhan sistem ekonomi dan sosial. Jadi selain peningkatan pendapatan dan out-put, juga berurusan dengan perubahan mendasar tentang kelembagaan, sosial, dan struktur administrasi serta sikap masyarakat dan bahkan dalam banyak hal, kebiasaan dan kepercayaan. Sumberdaya pertanian meliputi masukan (in-put) atau keluaran (out-put) yang dibutuhkan dan dihasilkan dari proses usahatani. In-put dalam usahatani adalah segala sesuatu yang diikutsertakan di dalam proses produksi, meliputi: lahan, tenaga kerja, sarana produksi pertanian (benih, pupuk, pestisida/herbisida, alat-alat pertanian), irigasi dan sebagainya. Out-put dalam usahatani terdiri atas: produk dan hasil tanaman atau ternak. Usahatani (the farm) merupakan lahan dimana seorang petani, sebuah keluarga tani atau badan usaha lain, melakukan usaha bercocok tanam atau memelihara ternak (Mosher, 1966). Uphoff (1986) memaparkan kegiatan-kegiatan pertanian, yang mencakup in-put, produksi, dan output secara lebih spesifik sebagai berikut: I. Kegiatan-kegiatan input, secara umum dilaksanakan oleh kelembagaan lokal. A. Input-input material, meliputi: (1) Benih dan persemaian: dibeli, dipertukarkan, diawetkan; (2) Nutrien: pupuk kimia biasanya disalurkan melalui lembaga lokal, sumberdaya nutrien lain lebih sering disediakan oleh rumah tangga; (3) Kimia: herbisida, insektisida, fungisida; (4) Tenaga: tenaga ternak, tenaga traktor; (5) Alat: bajak, cangkul, sekop, dan lain-lain; (6) Pakan ternak: biasanya disediakan oleh rumah tangga petani, dibeli. B. Input-input modal, meliputi: (1) Pinjaman jangka pendek (produksi), digunakan untuk tanaman musiman; (2) Pinjaman jangka menengah, digunakan untuk peralatan dan pembelian yang lain; dan (3) Pinjaman jangka panjang, kebanyakan untuk pembelian lahan. C. Input-input umum, biasanya dikelola oleh kelembagaan nasional, meliputi: (1) Akses lahan: sistem kedudukan lahan, penyusunan bagi hasil tanaman, dan lain-lain; (2) Teknologi, berupa: informasi mengenai produk-produk, praktik atau teknik-teknik baru, yang secara umum dikembangkan melalui penelitian; (3) Kebijakan: harga, subsidi, dan lain-lain. D. Input-input tidak langsung, mencakup: (1) Pengelolaan sumberdaya alam: perlindungan dan persediaan tanah, air, hutan, dan sumberdaya alam lain;
16
(2) Infrastruktur pedesaan: jalan, penyediaan air, perumahan, dan sebagainya; (3) Pengembangan sumberdaya manusia: pendidikan, melek huruf, kesehatan, dan sebagainya. II. Kegiatan-kegiatan produksi, biasanya dilaksanakan oleh individu atau kelompok usaha, mencakup beberapa pertukaran tenaga kerja atau input. A. Tenaga kerja, berupa kegiatan-kegiatan kerja: (1) Untuk tanaman musiman: penyiapan lahan, penanaman, penyiangan, pemupukan, perlindungan tanaman, pengelolaan air (jika irigasi memungkinkan), pemanenan, dan pemilihan benih (mengulang siklus produksi); (2) Untuk tanaman tahunan, sama seperti nomor satu kecuali: kurang intensitas penyiapan lahan dan pemanenan, kemungkinan grafting dan atau pemangkasan; (3) Untuk ternak: penyediaan pakan, kandang, pengendalian penyakit, pengambilan hasil (pemerahan, pencukuran, penyembelihan), dan perkembangbiakan. B. Manajemen, kegiatan pembuatan keputusan: (1) Memperoleh atau memastikan input; (2) Mengarahkan, koordinasi, pengawasan input tenaga kerja; (3) Menentukan jumlah, macam, dan jangka waktu produksi; dan (4) Menjaga keseimbangan antara input dan output agar mencapai nilai output lebih tinggi dari input. III. Kegiatan-kegiatan output, umumnya dilaksanakan oleh kelembagaan lokal. A. Penyimpanan; pasca panen dan atau pasca pengolahan B. Pengolahan; secara manual dan atau dengan mesin C. Pengangkutan; untuk pengolahan, penyimpanan, dan atau penjualan D. Pemasaran; borongan dan atau eceran. Pengelolaan sumberdaya pertanian menyangkut pengaturan masukan dan keluaran dalam proses produksi pertanian sehingga mencapai produktivitas yang tinggi. Untuk menjalankan proses produksi pertanian, petani tidak hanya menguasai pengetahuan dan ketrampilan yang memadai mengenai input dan teknik budidaya pertanian, tetapi juga harus memahami kondisi alam, seperti: cuaca. Untuk dapat mencapai produktivitas dan efisiensi yang optimal tidak jarang petani harus menjalankan usaha bersama secara kolektif dengan petani lain.
Untuk
keperluan ini diperlukan pemahaman mengenai suatu kelembagaan. Secara tradisional, kelembagaan masyarakat petani sudah berkembang dari generasi ke
17
generasi, namun tantangan jaman menuntut suatu kelembagaan yang lebih sesuai dalam memenuhi kebutuhan masyarakat petani. Secara normatif, pembangunan di Indonesia mengarah pada pencapaian masyarakat yang adil makmur dan keadilan sosial ekonomi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Untuk mencapai kondisi tersebut, salah satu upaya yang bisa ditempuh adalah menggerakkan partisipasi masyarakat. Dalam hal ini, Sjahrir (1988) menekankan perlu adanya partisipasi emansipatif, yaitu: partisipasi dalam pembangunan bukan semata-mata dalam pelaksanaan program, rencana dan kebijakan pembangunan, tetapi sedapat mungkin penentuan alokasi sumber-sumber ekonomi semakin mengacu pada motto pembangunan: dari, oleh, dan untuk rakyat. Sumberdaya-sumberdaya pertanian perlu didorong untuk dikelola secara optimal dalam rangka meningkatkan kemandirian dan daya saing sektor pertanian. Menurut rumusan hasil Konpernas XII PERHEPI, pengelolaan sumberdaya pertanian dihadapkan pada permasalahan struktural dan permasalahan kultural. Permasalahan struktural menyangkut faktor-faktor eksternal yang kurang mendukung, seperti: rendahnya teknologi yang diterapkan, terbatasnya akses modal, kelembagaan dan manajemen, kurangnya dukungan pemasaran, dan kelembagaan yang tidak mendukung. Sedangkan permasalahan kultural ditandai oleh ciri masyarakat Indonesia yang tingkat karsa-nya relatif rendah terutama diperani oleh ‘budaya lunak’ yang dicirikan: tidak adanya orientasi ke depan, tidak adanya keyakinan terhadap hari esok yang lebih baik, cepat menyerah, refreatism (lebih berorientasi pada akherat), dan lamban. Pembangunan pertanian pada dasarnya meliputi pengembangan dan peningkatan pada faktor-faktor: teknologi, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan kelembagaan (Uphoff, 1986; Johnson (1985) dalam Pakpahan, 1989). Faktorfaktor tersebut merupakan syarat kecukupan (sufficient condition) untuk mencapai performance pembangunan yang dikehendaki. Artinya, apabila satu atau lebih dari faktor tersebut tidak tersedia atau tidak sesuai dengan persyaratan yang diperlukan, maka tujuan untuk mencapai performance tertentu yang dikehendaki tidak akan dapat dicapai.
18
Pembangunan kelembagaan pertanian dilandasi pemikiran bahwa: (a) Pertanian memerlukan pengubahan sumberdaya alam menjadi produk yang berguna melalui penggunaan sumberdaya manusia yang didukung infrastruktur, peralatan, kredit, dan sebagainya; (b) Pembangunan lembaga untuk pertanian lebih rumit daripada manajemen sumberdaya alam karena memerlukan faktor pendukung dan unit-unit produksi; (c) Kegiatan pertanian mencakup tiga rangkaian: penyiapan input, mengubah input menjadi produk dengan usaha tenaga kerja dan manajemen, dan menempatkan output menjadi berharga; (d) Kegiatan pertanian memerlukan dukungan dalam bentuk kebijakan dan investasi berupa lembaga dari pusat hingga daerah; dan (e) Kompleksitas pertanian, yang meliputi unit-unit usaha dan lembaga, sulit mencapai kondisi optimal.
Memberdayakan Petani Petani merupakan orang yang menjalankan usahatani atau melakukan usaha untuk memenuhi sebagian atau seluruh kehidupannya di bidang pertanian. Dalam menjalankan usahataninya, petani memegang peranan sebagai seorang juru tani (cultivator) dan seorang pengelola atau manajer (Mosher, 1966). Sebagai juru tani, petani memelihara tanaman atau bercocok tanam dan hewan guna mendapatkan hasil-hasilnya yang berfaedah, pada umumnya memerlukan ketrampilan tangan, otot dan mata. Sebagai pengelola, petani harus mengambil keputusan atau menetapkan pilihan dari alternatif-alternatif yang ada untuk kegiatan usahataninya. Selain itu, petani adalah seorang manusia anggota sebuah keluarga dan anggota masyarakat setempat. Sebagai perorangan, petani mempunyai empat kapasitas, yaitu: bekerja, belajar, berpikir kreatif, dan bercita-cita. Sebagai anggota masyarakat, langkah-langkah yang diambil petani sangat dipengaruhi oleh sikap dan hubungan dalam masyarakat setempat. Dalam kegiatan pertanian, masyarakat petani masih membutuhkan suatu layanan yang semakin luas dan kompleks cakupannya. J. Di Franco (Maunder, Addison H., 1972) mengidentifikasi cakupan tanggung jawab layanan pertanian di masa mendatang meliputi: (a) Produksi pertanian; (b) Pemasaran, distrihusi dan pengolahan produk pertanian; (c) Konservasi, penggunaan dan perbaikan sumberdaya alam; (d) Pengelolaan usahatani dan ekonomi rumah tangga; (e) Kehidupan
19
keluarga; (f) Pengembangan generasi muda; (g) Pengembangan kepemimpinan; (h) Pengembangan masyarakat dan pembangunan sumberdaya. Layanan pengembangan masyarakat dan pembangunan sumberdaya manusia sebagai salah satu upaya pemberdayaan masyarakat. Menurut Margono Slamet (2000) istilah `berdaya' diartikan sebagai tahu, mengerti, faham, termotivasi, berkesempatan melihat peluang, berenerji, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko, mampu mencari dan menangkap informasi, mampu bertindak sesuai situasi. Petani yang berdaya, menurut Susetiawan (2000) adalah petani yang secara politik dapat mengartikulasikan (menyampaikan perwujudan) kepentingannya, secara ekonomi dapat melakukan proses tawar-menawar dengan pihak lain dalam kegiatan ekonomi, secara sosial dapat mengelola mengatur komunitas dan mengambil keputusan secara mandiri, dan secara budaya diakui eksistensinya. Pemahaman tentang pemberdayaan masyarakat merupakan suatu strategi yang menitikberatkan pada bagaimana memberikan peran yang proporsional agar masyarakat dapat berperan secara aktif dalam aktivitas sosial kemasyarakatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberdayaan masyarakat tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga swasta dan masyarakat sendiri (Saputro, 2001). Sejalan dengan proses reformasi di negara Indonesia terjadi pula perubahan pendekatan pembangunan. Pembangunan yang semula bersifat sentralistik, topdown, sekarang diarahkan pada otonomi daerah dan bersifat buttom-up. Perhatian pembangunan yang selama ini lebih pada pertumbuhan ekonomi sehingga kurang memperhatikan aspirasi masyarakat, mulai bergeser pada usaha-usaha yang mendorong peningkatan kemampuan masyarakat untuk berkembang, memperluas dan memperbanyak kesempatan-kesempatan untuk memecahkan masalah dan membuat keputusan secara mandiri. Tuntutan tentang paradigma baru dalam pembangunan sudah lama dikemukakan oleh berbagai kalangan. Pada masa pemerintahan Orde Baru tuntutan tersebut tidak ditanggapi dengan serius. Tuntutan paradigma baru pembangunan ada sejalan dengan perkembangan masyarakat yang mulai menuju
20
perubahan sikap sebagai akibat tekanan dalam sistem pembangunan nasional. Dasar filosofi pembangunan yang dianut oleh pemerintah Orde baru mendasarkan pada asumsi bahwa masyarakat itu terbelakang, tidak maju, dan bodoh, sehingga diperlukan suatu tindakan atau intervensi dari pihak luar (pemerintah). Tekanan struktural ini berakibat pada kemandirian menjadi hilang. Pembangunan justru menempatkan orang miskin menjadi ”para penerima derma” (beneficiaries) proyek-proyek pembangunan, ”para penganut” teknologi-teknologi baru, para konsumen jasa pelayanan publik yang kurang terkoordinasi, buruh harian dan sebagainya. Untuk itu pengembangan masyarakat mestinya berusaha untuk menghilangkan tekanan struktural yang membuat masyarakat tidak berdaya. Pandangan baru pembangunan didasarkan pada asumsi yang berbeda tentang cara yang tepat untuk menggerakkan masyarakat. Menurut pandangan baru ini untuk mengadakan pembangunan diperlukan perombakan yang mendasar mengenai seluruh lembaga, proses dan hubungan yang ada di masyarakat dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan. Hambatan utama (dalam perombakan adalah sikap fatalisme, sikap menerima nasib, dan sikap ketegantungan dan kurang yakin akan kemampuan diri yang secara tradisional menjadi sikap penduduk. Dalam pembangunan diperlukan proses pendidikan yang berdasarkan pandangan luas untuk mengubah sikap masyarakat, dan untuk membangkitkan kegairahan dan hasrat, serta kepercayaan akan kemampuan sendiri, dapat meningkatkan kemampuan swadaya (self help) perorangan dan kelompok untuk memperbaiki nasib sendiri. Disamping itu, diperlukan peningkatan kesadaran dan partisipasi politik di kalangan penduduk serta meningkatkan semangat gotong-royong dengan memperkokoh lembaga-lembaga demokrasi dan memperluas dasar kepemimpinan masyarakat. Dengan kata lain, paradigma baru pembangunan ini lebih mendasarkan pada suatu teori pembangunan humanistis daripada teori pembangunan teknokrasi. Mendasarkan pada kerangka pikir di atas maka pendekatan masyarakat yang paling tepat adalah melalui pemberdayaan.
21
Partisipasi Masyarakat Partisipasi menempati posisi penting dalam praktik dan pemikiran pembangunan. Partisipasi sering dikaitkan dengan kegiatan pembangunan dalam masyarakat, digunakan untuk memberi gambaran pada kegiatan penyuluhan dan pembangunan kapasitas lokal dan kemandirian masyarakat. Partisipasi mempunyai banyak perbedaan dalam praktik sesuai negara-negara, sektor-sektor, dan tipe-tipe kegiatan. Partisipasi secara sederhana dapat diartikan sebagai peran serta seseorang atau sekelompok orang anggota masyarakat dalam suatu kegiatan. Aspek-aspek penting partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, menurut Carry (1970), meliputi: (a) prasyarat partisipasi, (b) tipe-tipe partisipasi, (c) tipetipe partisipan, (d) hubungan partisipan pada lokalitas, dan (e) tahapan pengorganisasian yang berhubungan dengan partisipasi. Banyak penerjemahan terhadap istilah partisipasi, The World Bank (1996) mendifinisikan partisipasi sebagai sebuah proses dimana stakeholder-stakeholder mempengaruhi dan ambil bagian atas pengelolaan inisiatif dan keputusan-keputusan pembangunan dan sumberdaya yang mempengaruhi mereka. Pretty (1994), dan Adnan et al. (1992) dalam Pretty dan Vodouhe (1997) mengemukakan tipologi partisipasi, yaitu: bagaimana masyarakat berpartisipasi dalam program dan proyek pembangunan. Partisipasi dapat disusun dalam tujuh tipe, yaitu: (a) Partisipasi pasif (passive participation); masyarakat berpartisipasi secara ikutikutan, pemberitahuan sepihak dari pengelola proyek tanpa mendengarkan tanggapan masyarakat. (b) Partisipasi dalam pemberian informasi (participation in information giving); masyarakat berpartisipasi dengan menjawab atau memberi informasi. Masyarakat tidak mempunyai pilihan untuk mempengaruhi cara kerja. (c) Partisipasi dengan konsultasi (participation by consultation); masyarakat berpartisipasi dengan konsultasi, sedangkan agen luar menetapkan masalah dan jalan keluarnya serta memodifikasinya. Pengambilan keputusan oleh profesional. (d) Partisipasi untuk memperoleh insentif material (participation for material incentive); masyarakat berpartisipasi dengan menyediakan sumberdaya, seperti tenaga kerja, untuk memperoleh insentif material.
22
(e) Partisipasi fungsional (funcional participation); masyarakat berpartisipasi dengan pembentukan kelompok-kelompok yang dikaitkan dengan tujuan proyek. Masyarakat tidak dilibatkan pada tahapan awal atau perencanaan, pengarahan dilakukan oleh pihak luar. (f) Partisipasi interaktif (interactive participation); masyarakat berpartisipasi dalam analisis bersama, membuat rencana aksi dan pembentukan lembaga lokal baru atau penguatan yang lain. Masyarakat menentukan keputusan dan mempunyai tanggung-jawab dalam pemeliharaan struktur dan praktik. (g) Pengembangan diri (self-mobilization); masyarakat berpartisipasi dengan mengambil kebebasan inisiatif dari lembaga eksternal untuk mengubah sistem. Masyarakat membangun hubungan dengan lembaga eksternal untuk sumberdaya dan bantuan teknis yang diperlukan, tetapi tetap menguasai sumberdaya yang digunakan. Howard, Baker, dan Forest (1994) membedakan keterlibatan dalam tiga tipe, yaitu: keterlibatan fisik (physical involvement), jika sekelompok kecil orang berkumpul di suatu ruangan; keterlibatan sosial (social involvement), jika mereka berdiskusi, bertukar pikiran mengungkapkan perasaan, kebutuhan dan harapan; keterlibatan psikologis (psychological involvement), jika mereka terlibat diskusi aktif, mendalami pilihan-pilihan program, hingga menjadi disepakati sebagai rumusan dan pemecahan masalah. Slamet (2003) membagi partisipasi masyarakat dalam pembangunan dalam lima jenis, yaitu: (a) Ikut memberi input proses pembangunan, menerima imbalan atas input tersebut dan ikut menikmati hasilnya; (b) Ikut memberi input dan menikmati hasilnya; (c) Ikut memberi input dan menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil pembangunan secara langsung; (d) Menikmati/memanfaatkan hasil pembangunan tanpa ikut memberi input; dan (e) Memberi input tanpa menerima imbalan dan tidak menikmati hasilnya. Menurut Mubyarto (Ndraha, 1990) mengartikan partisipasi sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri. Berbagai bentuk atau tahapan partisipasi seperti dikemukakan oleh Ndraha (1990) antara lain:
23
(a) Partisipasi dalam/melalui kontak dengan pihak lain (contact change) sebagai salah satu titik awal perubahan sosial. (b) Partisipasi dalam memperhatikan/menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima (mentaati, memenuhi, melaksanakan), mengiakan, menerima dengan syarat, maupun dalam arti menolaknya. (c) Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk pengambilan keputusan (penetapan rencana). Perasaan terlibat dalam perencanaan perlu ditumbuhkan sedini mungkin di dalam masyarakat. Partisipasi ini disebut juga partisipasi dalam pengambilan keputusan, termasuk keputusan politik yang menyangkut nasib mereka, dan partisipasi dalam hal yang bersifat teknis. (d) Partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan. (e) Partisipasi dalam menerima, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan. (f) Partisipasi dalam menilai pembangunan, yaitu keterlibatan masyarakat dalam menilai sejauh mana pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana dan sejauh mana hasilnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Howard, Baker, dan Forest (1994) mengemukakan beberapa alasan seseorang termotivasi untuk terlibat dalam suatu program tertentu, antara lain: (a) Pola partisipasi masyarakat ditentukan secara umum oleh lingkungan sosial mereka; di beberapa kelompok, komunitas, keluarga partisipasi merupakan suatu kebiasaan atau fungsi budaya. (b) Sebagai rasa tanggung-jawab masyarakat. (c) Masyarakat berpartisipasi jika merasa mampu. Kemampuan dan kepercayaan diri biasanya timbul dari akses pada informasi, pengalaman, dan pelatihan. (d) Ekspresi dan aktualisasi diri. Kepuasan terhadap prestasi, penghargaan, dan harapan pencapaian adalah bentuk penting motivasi. (e) Sebagai pilihan untuk meningkatkan kualitas hidup. (f) Keterlibatan seringkali merupakan derajat minat pribadi. Karena ditantang oleh kekuatan luar dan partisipasi dipandang sebagai suatu yang bermakna. IADB (2001) menyatakan bahwa partisipasi sangat penting untuk keberlanjutan pembangunan. Hal ini bisa terjadi karena:
24
Partisipasi memberdayakan dan menggerakkan masyarakat sebagai pelaku dan pengawas dari pembangunan yang mereka lakukan, sehingga membantu menciptakan dan memelihara demokrasi dan pemerintahan yang baik;
Partisipasi memperbaiki rancangan proyek dengan mengurangi biaya pengamatan dan data, faktor-faktor sosial budaya sesuai dengan prioritas dan kebutuhan yang dirasakan masyarakat sehingga mengurangi juga biaya supervisi;
Proses partisipasi dapat meningkatkan temuan dan pembelajaran sosial, sehingga dapat menciptakan komitmen terhadap perubahan sosial;
Partisipasi dapat menguatkan kapasitas lembaga lokal, seperti: ketrampilan manajemen, kemandirian, kepercayaan, transparansi, akuntabilitas, dan akses terhadap sumberdaya luar. Kapasitas lembaga lebih besar memperbaiki proyek secara berkelanjutan. Oakley et al. (1991) dalam Kumar (2002) mencatat sejumlah keuntungan
utama partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu: (a) Efisiensi (Efficiency): Partisipasi dapat menjamin penggunaan secara efektif sumberdaya yang tersedia. Masyarakat lokal mengambil tanggung-jawab dalam berbagai aktivitas sehingga meningkatkan efisiensi. (b) Efektivitas (Effectiveness): Partisipasi masyarakat dapat membuat proyekproyek lebih efektif melalui: pengambilan keputusan mengenai tujuan dan strategi, partisipasi dalam pelaksanaan, sehingga memastikan penggunaan sumberdaya secara efektif. (c) Kemandirian (Self-reliance): Melalui partisipasi aktif masyarakat lokal, tidak hanya dapat mengatasi mentalitas ketergantungan, tetapi juga dapat meningkatkan kesadaran, kepercayaan diri, dan pengawasan atas proses pembangunan. (d) Jaminan (Coverage): Partisipasi masyarakat dapat menjadi sebuah usaha keras sebagai jaminan atas manfaat yang diperoleh kelompok sasaran. (e) Keberlanjutan (Sustainability): Partisipasi masyarakat dianggap sebagai sebuah prasyarat bagi keberlanjutan kegiatan-kegiatan pembangunan. Pembangunan sebagai proses peningkatan kemampuan manusia untuk menentukan masa depannya mengandung arti bahwa masyarakat perlu dilibatkan dalam proses itu, masyarakat perlu berperanserta. Peranserta bukan semata-mata
25
melibatkan masyarakat dalam tahap perencanaan atau dalam evaluasi proyek belaka. Dalam peranserta tersirat makna dan integritas keseluruhan proyek itu. Peranserta merupakan sikap keterbukaan terhadap persepsi dan perasaan pihak lain; peranserta berarti perhatian mendalam mengenai perbedaan atau perubahan yang akan dihasilkan suatu proyek sehubungan dengan kehidupan masyarakat; peranserta adalah kesadaran mengenai kontribusi yang dapat diberikan oleh pihak-pihak lain untuk suatu kegiatan. IADB (2001) memperlihatkan urutan mekanisme partisipasi berdasarkan pada timbulnya pengawasan masyarakat terhadap keputusan-keputusan yang mempengaruhi hidup mereka adalah sebagai berikut:
Pengaruh, Keputusan dan Pengawasan yang diberikan Mekanisme: Partisipasi dalam Pembangunan
Mekanisme pemberdayaan stakeholder-stakeholder: membangun kapasitas penguatan finansial dan status legal menyerahkan dan pengelolaan sendiri dukungan baru, inisiatif spontan Mekanisme kolaborasi: pembentukan komisi bersama dengan stakeholder pembentukan kerjasama kelompok, kelompok tugas bersama kerja bersama dengan kelompok pengguna, organisasi perantara tanggung-jawab stakeholder untuk pelaksanaan Mekanisme memberi pengambilan keputusan: Teknik-teknik perencanaan partisipatif Lokakarya untuk merundingkan posisi, prioritas, peran Pertemuan untuk memecahkan konflik, membuat kesepakatan Review publik dan revisi draf dokumen Mekanisme penilaian bersama: penilaian dan evaluasi partisipatif penilaian stakeholder lokal
Informasi dan belajar Mekanisme: Prakondisi untuk partisipasi dalam Pembangunan
Mekanisme konsultatif: Pertemuan-pertemuan konsultatif Wawancara dan kunjungan lapangan (dlm berbagai tahapan) Mekanisme memberi informasi: Penerjemahan dan desiminasi material Informasi seminar, presentasi, pertemuan-pertemuan publik
Gambar 2.1. Mekanisme Partisipasi dalam Pembangunan
Menurut Uphoff, et.al. dalam Bryant dan White (1982) mengemukakan bahwa kontribusi gerakan pengembangan masyarakat dan pelajaran yang dapat diambil guna mengembangkan peranserta, terkait dengan suatu studi yang mencatat
26
sebagai berikut: (a) Peranserta janganlah dijadikan program yang terpisah; ia merupakan suatu proses dan oleh sebab itu hendaknya dipadukan dengan kegiatankegiatan lain; (b) Peranserta harus didasarkan pada organisasi-organisasi lokal; (c) Distribusi yang lebih adil akan mendorong lebih banyak partisipasi; dan (d) Perlu diciptakan mata rantai antara berbagai tingkat, dan hendaknya pembangunan tidak didasarkan pada upaya-upaya yang terpisah-pisah. Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi adanya tiga faktor utama yang mendukungnya, yaitu: (a) kemauan, (b) kemampuan, dan (c) kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi (Slamet, 1992). Masyarakat perlu mengalami proses belajar untuk mampu mengetahui kesempatan-kesempatan untuk memperbaiki kehidupan. Setelah mengetahui, kemampuan atau ketrampilan perlu ditingkatkan agar dapat memanfaatkan kesempatan-kesempatan itu. Akhirnya, diperlukan usaha khusus untuk membuat masyarakat mau bertindak memanfaatkan kesempatan memperbaiki kehidupannya. Kemauan partisipasi bersumber pada faktor psikologis individu yang menyangkut emosi dan perasaan yang melekat pada diri manusia. Faktor-faktor yang menyangkut emosi dan perasaan ini sangat kompleks sifatnya, sulit diamati dan diketahui dengan pasti, dan tidak mudah dikomunikasikan, akan tetapi selalu ada pada setiap individu dan merupakan motor penggerak perilaku manusia. Faktor yang menarik minat masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan apabila dengan berpartisipasi akan memberikan manfaat, dan dengan kemanfaatan itu dapat memenuhi keperluan-keperluan masyarakat setempat (Goldsmith dan Blustain dalam Jahi, 1988). Selain itu kebutuhan masyarakat merupakan faktor pendorong timbulnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Kemampuan menunjukkan kualitas manusia dalam mengatasi berbagai macam persoalan yang dihadapi. Kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan harus didahului oleh suatu proses belajar. Ketersediaan sumberdaya material atau teknologi erat kaitannya dengan kemampuan atau kualitas diri dalam mengembangkan potensi yang dimiliki untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi. Seringkali ketersediaan sumberdaya, teknologi, dan kesem-
27
patan belajar tidak mampu diakses oleh masyarakat sehingga perlu ada pihak luar yang bersedia memfasilitasi masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan. Tjokroamidjojo (1984) melihat empat aspek penting dalam rangka partisipasi dalam pembangunan, yaitu: (a) Terlibatnya dan ikut sertanya rakyat sesuai dengan mekanisme proses politik dalam suatu negara turut menentukan arah, strategi dan kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah; (b) Meningkatkan artikulasi (kemampuan) untuk merumuskan tujuan-tujuan dan terutama caracara dalam merencanakan tujuan yang sebaiknya; (c) Partisipasi masyarakat dalam kegiatan-kegiatan nyata yang konsisten dengan arah, strategi dan rencana yang telah ditentukan dalam proses politik; (d) Adanya perumusan dan pelaksanaan program-program partisipatif dalam pembangunan yang berencana. Strategi pembangunan di negara-negara berkembang memerlukan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaannya karena berbagai pertimbangan yaitu: (a) meningkatkan integrasi, (b) meningkatkan hasil dan merangsang penerimaan yang lebih besar terhadap kriteria hasil, (c) membantu menghadapi permasalahan nyata dari kesenjangan tanggapan terhadap perasaan, kebutuhan, masalah, dan pandangan komunitas lokal, (d) membawa kualitas hasil (output) lebih tinggi dan berkualitas, (e) meningkatkan jumlah dan ketepatan informasi, dan (f) memberikan operasi yang lebih ekonomis dengan penggunaan lebih banyak sumberdaya manusia lokal dan membatasi transportasi dan manajemen yang mahal (Claude dan Zamor, 1985). Tjokroamidjojo (1984) mengungkapkan ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam rangka partisipasi masyarakat, yaitu: (a) masalah kepemimpinan, (b) komunikasi, dan (c) pendidikan. Peranan kepemimpinan sangat menentukan karena pembangunan memerlukan pemimpin yang mempunyai atau menerima gagasan pembaharuan, mampu berkomunikasi dan menerjemahkan proses-proses yang berlangsung. Untuk menggerakkan partisipasi masyarakat diperlukan pemimpin-pemimpin formal yang mempunyai legalitas dan pemimpin-pemimpin informal yang mempunyai legitimitas. Komunikasi merupakan sarana yang memungkinkan gagasan, kebijakan, dan rencana mencerminkan kepentingan dan aspirasi masyarakat. Komunikasi dimaksudkan untuk menumbuhkan berbagai perubahan nilai dan sikap yang inheren di dalam proses pembaharuan. Selain
28
memberikan kesadaran, pendidikan memberikan prasyarat kemampuan serta pengembangan nilai-nilai dan sikap-sikap yang berguna untuk memperbaiki kualitas hidup seseorang. Perspektif sosiologi mengamati pengaruh-pengaruh sosial-ekonomi terhadap masyarakat, sedangkan perspektif ekonomi memusatkan perhatian pada pilihan-pilihan yang dibuat masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuannya. Bryant dan White (1982) mengemukakan model ekonomi partisipasi dengan rumus: P = [(B x Pr) – (DC + OC)] R Partisipasi (P) adalah sebuah fungsi dari manfaat (Benefits – B) yang akan diperoleh, dikalikan dengan probabilitas atau kemungkinan untuk benar-benar memetik manfaat itu (Probability – Pr), dikurangi dengan dua jenis biaya yakni biaya langsung (direct costs – DC) dan biaya oportunitas (opportunity costs – OC); semuanya itu dikalikan dengan besarnya resiko yang sanggup ditanggung (Risks – R). Ohama (2001) menyebutkan bahwa pendekatan partisipasi merupakan salah satu strategi dalam pengembangan masyarakat. Pendekatan partisipatif diyakini sangat efektif dalam memberdayakan masyarakat menuju kemandirian dan pembangunan berkelanjutan. Sebagai suatu metode praktis dalam memfasilitasi proses pemberdayaan masyarakat, pendekatan ini mempunyai beberapa kekuatan, yaitu: (a) tumbuhnya kesadaran masyarakat berkenaan dialog yang saling menguntungkan merupakan pembentukan visi, usaha bersama yang baru, orientasi pencapaian penanaman nilai melalui pengalaman belajar; (b) pembangunan organisasi berkenaan kerjasama pengambilan keputusan secara demokratis, pelaksanaan dan evaluasi secara efektif, pengelolaan kegiatan organisasi merupakan piranti sosial untuk menambah pengalaman pada kerjasama; (c) pengembangan kemampuan berkenaan penambahan dan internalisasi PSK (pengetahuan, sikap, dan keahlian) untuk kemandirian pengelolaan sumberdaya merupakan pengelolaan organisasi secara sesuai; dan (d) jaringan kerja berkenaan konsolidasi jaringan organisasi bagi transaksi sumberdaya dan pembagian pengalaman secara lebih efektif merupakan penguatan dasar yang umum untuk menyuarakan minat dan perhatian.
29
Modal Sosial: Modal Bagi Pengembangan Kerjasama Kolektif Modal sosial (social capital) merupakan salah satu konsep untuk menjelaskan realitas sosial pada berbagai tingkatan. Modal sosial secara sederhana dapat didefinisikan sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka (Fukuyama, 2000). Jika para anggota kelompok mengharapkan bahwa anggota-anggota yang lain berperilaku jujur dan terpercaya, maka mereka akan saling mempercayai.
Kepercayaan
menjadi sarana kelompok atau organisasi menjadi lebih efisien. Inti dari modal sosial adalah kepercayaan (trust) dan kerja-sama (cooperation) (Krishna, 2000). Harriss dan Renzio (1997 dalam Carroll (2001) mengungkapkan gambaran modal sosial dalam kehidupan nyata dan membaginya dalam 6 tipe, yaitu: (a) Family and kinship connections (Keluarga dan hubungan kekerabatan), berhubungan dengan satu rumah tangga, keluarga besar, dan marga, didasarkan pada pertalian darah atau etnik. (b) Social networks (Jaringan kerja sosial), atau asosiasi kehidupan. Terdapat pada kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi yang menghubungkan individu dengan berbagai keluarga atau kelompok kekerabatan dalam kegiatan-kegiatan umum untuk berbagai tujuan (ekonomi, sosial/budaya, politik. (c) Cross-sectoral linkages (Hubungan lintas sektoral), yang diterjemahkan “jaringan kerja dari jaringan kerja” dimana hubungan bersama organisasi mempunyai berbagai sektor di dalam masyarakat dalam pencarian pemecahan pada berbagai permasalahan. (d) Sosiopolitical capital (Modal sosio-politik), menggambarkan hubungan antara masyarakat sipil dengan negara, memberikan masyarakat kemampuan untuk menengahi konflik dengan mendengar, saluran, dan penyelesaian berbagai masalah. (e) Institutional and policy framework (Jaringan kerja kelembagaan dan kebijakan), atau serangkaian aturan-aturan formal dan norma-norma (konstitusi, hukum, peraturan, kebijakan) yang mengatur kehidupan masyarakat. (f) Social norms and value (Nilai dan norma-norma sosial), didefinisikan sebagai sesuatu yang terdapat di dalam kelompok sosial atau bangsa dalam
30
berbagi kepercayaan budaya dan mempunyai fungsi pada masyarakat sebagai satu kesatuan. Pembagian lebih lanjut, tiga tipe pertama dikategorikan sebagai tingkat mikro, sedangkan tiga tipe kedua merupakan tipe makro dari modal sosial. Pengelompokkan tipologi ini selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.1. Coleman (2000) mengemukakan tiga bentuk yang diidentifikasi dalam modal sosial, yaitu: (a) kewajiban-kewajiban dan harapan-harapan, yang tergantung pada kepercayaan lingkungan sosial; (b) kemampuan aliran informasi dari struktur sosial; dan (c) Adanya norma-norma yang disertai sanksi. Tabel 2.1. Tipologi Modal Sosial Kriteria
Tipe Interaksi Sosial
Distribusi manfaat
Individu Kelompok Masyarakat
Sumber interaksi sosial
Struktural – kognitif Jalinan di dalam – di luar komunitas Dipusatkan antar pribadi atau kelompok Lemah atau kuat Vertikal – horisontal
Sifat dasar interaksi
Penilaian sosial
Bermanfaat atau membahayakan (untuk kebaikan masyarakat)
Tingkat dan bidang
Keluarga/kekerabatan Asosiasi kehidupan lokal Hubungan lintas sektoral Modal sosio-politik Jaringan kerja kelembagaan Nilai dan norma-norma sosial
Sumber: Carroll (2001)
Petani dan Perubahan Perilaku Karakteristik Petani Istilah ‘petani’ dari banyak kalangan akademis sosial akan memberikan pengertian dan definisi yang beragam. Sosok petani ternyata mempunyai banyak dimensi sehingga berbagai kalangan memberi pandangan sesuai dengan ciri-ciri
31
yang dominan. Moore mencatat tiga karakteristik petani, yaitu: subordinasi legal, kekhususan kultural, dan pemilikan de facto atas tanah. Wolf memberikan istilah peasants untuk petani yang dicirikan: penduduk yang secara eksistensial terlibat dalam cocok tanam dan membuat keputusan otonom tentang proses cocok tanam (Lansberger dan Alexandrov, 1981). Shanin menunjuk pada ciri-ciri masyarakat petani (peasant) sebagai berikut: (a) satuan keluarga (rumah tangga) petani adalah satuan dasar dalam masyarakat desa yang berdimensi ganda; (b) petani hidup dari usahatani, dengan mengolah tanah (lahan); (c) pola kebudayaan petani berciri tradisional dan khas; (d) petani menduduki posisi rendah dalam masyarakat, mereka adalah “orang kecil” terhadap masyarakat di atas-desa (Sayogyo, 1993). Soekartawi dkk. (1986) mengidentifikasikan ‘petani kecil’ dengan ciri-ciri sebagai berikut: (a) Berusahatani dalam lingkungan tekanan penduduk lokal yang meningkat, (b) Mempunyai sumberdaya terbatas sehingga menciptakan tingkat hidup yang rendah, (c) Bergantung seluruhnya atau sebagian kepada produksi yang subsisten, dan (d) Kurang memperoleh pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pelayanan lainnya. Petani merupakan kelompok masyarakat yang memegang peranan penting, baik di negara industri maupun negara berkembang. Usahatani kecil merupakan bentuk usaha yang mengolah lahan terbatas, menggunakan semua atau sebagian tenaga kerja keluarga sendiri dalam kesatuan usaha ekonomi yang mandiri. Usahatani merupakan bentuk usaha paling banyak dan memasok sebagian besar hasil produksi pertanian. Tipe usahatani yang paling sering ditemui di banyak negara adalah usahatani keluarga, mereka terorganisir menurut masing-masing struktur keluarga tani yang berlaku. Blanckenburg dan Sachs (1989) menyebutkan bahwa salah satu ciri terpenting masyarakat pertanian yang membedakannya dari masyarakat industri adalah makna kelompok primer sebagai unsur membentuk masyarakat. Kelompok primer ditandai oleh kecilnya kelompok, lemahnya tingkat formalisasi, baik fungsi yang dipikul oleh kelompok maupun persatuan dan solidaritas anggota kelompok, juga lemahnya keterkaitan dengan norma-norma kelompok. Dalam masyarakat pertanian, kelompok primer lebih penting artinya dibandingkan
32
kelompok sekunder yang bercirikan organisasi rasional, berorientasi ke tujuan yang spesifik, dan mempunyai jumlah anggota yang lebih banyak.
Membangun Kemandirian Petani Kemandirian adalah sebuah konsep yang utuh, tetapi memiliki berbagai muka dan tercermin dalam berbagi bidang kehidupan (Kartasasmita, 1997). Kemandirian (self-reliance) pertanian mengandung pengertian yang lebih jauh dari swasembada (self-sufficiency) yang secara hakiki menuntut kebutuhan dari produksi sendiri. Kemandirian di tingkat petani adalah menciptakan penerimaan yang mampu menutupi pengeluarannya. Dengan perkataan lain, kemandirian merupakan fungsi dari berbagai peubah bebas yang berkaitan erat dengan peningkatan pendapatan, yakni efisiensi, sistem perdagangan, laju ekspor, sistem moneter dan kelembagaan yang inovatif serta organisasi yang bersifat adaptif (Amang, 1997). Saefullah dkk. (2003) menyebutkan perbedaan self-reliance setiap orang disamping disebabkan oleh faktor yang bersifat individual, seperti: character building, kepribadian, pengalaman, dan sebagainya; juga seringkali disebabkan oleh faktor sumberdaya. ‘Kemandirian’, dalam Kamus Webster’s berasal dari kata self-reliant (adj.): not dependent on others: having confidence in and exercising one’s own powers or judgement (tidak tergantung pada orang lain: mempunyai kepercayaan dan pengambilan kekuasaan dan keputusan sendiri) atau self-reliance (noun): reliance upon one’s own efforts, judgement, or ability (mandiri pada usaha-usaha, pertimbangan, atau kemampuan sendiri). Verhagen (1996) mengemukakan bahwa kemandirian (self-reliance) adalah suatu suasana atau kondisi tertentu yang membuat seorang individu atau sekelompok manusia yang telah mencapai kondisi itu tidak lagi tergantung pada bantuan atau kedermawanan pihak ketiga untuk mengamankan kepentingan individu atau kelompok. Dijelaskan oleh Verhagen (1996), sarana untuk mencapai kemandirian adalah adanya keswadayaan. Swadaya adalah setiap tindakan sukarela yang dilakukan oleh seorang individu atau kelompok manusia yang bertujuan untuk pemuasan kebutuhan-kebutuhan atau aspirasi-aspirasi individual atau kolektif. Pemilikan yang terbatas dan akses pemilikan yang juga terbatas terhadap sumber-
33
daya menyebabkan tingkat kemandirian yang rendah. Dalam hal ini ketergantungan terhadap faktor eksternal menjadi sangat tinggi. Penyatuan potensi, serta penumbuhan nilai-nilai untuk menghargai diri sendiri dan sesama, kepercayaan, komunikasi dan kerjasama, yang diwujudkan dalam suatu wadah kelompok, pada akhirnya menjadi organisasi, diyakini sebagai strategi dalam meningkatkan kemandirian masyarakat (Saefullah dkk., 2003).
Perilaku Belajar Dalam Individu Dalam perspektif teori belajar, perilaku individu atau seseorang ditentukan oleh apa yang telah dipelajari sebelumnya (Sear, Freedman, dan Peplau, 1992). Pendekatan perilaku dengan teori belajar ini merupakan dasar Behaviorisme. Belajar merupakan perubahan dalam individu (Crow dan Crow; Burton; Haggard dalam Knowles, 1978), sebagai hasil pengalaman yang berkaitan dengan interaksi individu dengan lingkungannya. Perubahan ini menyangkut kebiasaan, pengetahuan, dan sikap mental. Secara umum ada tiga mekanisme utama belajar pada manusia, yaitu: asosiasi atau classical conditioning, reinforcement, dan imitasi. Asosiasi merupakan kondisi dimana seseorang berperilaku tertentu karena mengasosiasikan dengan pengalaman sebelumnya. Dasar dari reinforcement menyatakan bahwa orang belajar menampilkan perilaku tertentu karena perilaku itu disertai dengan sesuatu yang menyenangkan dan dapat memuaskan kebutuhan (atau mereka belajar menghindari perilaku yang disertai akibat-akibat yang tidak menyenangkan). Sedangkan imitasi menjelaskan bahwa orang mempelajari sikap dan perilaku sosial dengan meniru sikap dan perilaku yang menjadi model. Dalam teori belajar ada tiga ciri khusus yang membedakan dengan pemikiran yang lain, yaitu: (a) sebab-sebab perilaku diduga terletak terutama pada pengalaman belajar individu di masa lampau; (b) cenderung menempatkan penyebab perilaku terutama pada lingkungan eksternal dan tidak pada pengartian subjektif individu terhadap apa yang terjadi; (c) biasanya diarahkan untuk menjelaskan perilaku yang nyata dan bukan keadaan subjektif atau psikologis. Teori belajar sosial oleh Bandura menyatakan bahwa sumber penyebab perilaku bukan hanya eksternal (faktor lingkungan) tetapi juga internal (faktor
34
kognitif) (Sarwono, 2002). Dijelaskan faktor kesadaran juga dianggap penting. Proses belajar sosial lebih daripada internalisasi norma-norma dan nilai-nilai. Belajar sosial berarti pula belajar untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan kerja sama serta kegiatan-kegiatan yang mengandung pertentangan, guna mengatasi situasi-situasi yang baru dan mencapai tujuan-tujuan di dalam suatu konteks kesempatan dan keterbatasan. Orientasi ke pemecahan masalah penting bagi keikutsertaan yang efektif, khususnya dalam suatu masyarakat yang kompleks dan berubah-ubah (Jaeger, 1985). Gagne (1965) mengidentifikasi lima domain proses belajar, masing-masing mempunyai praxis, yaitu: (a) Motor skills (ketrampilan gerak), yang dikembangkan melalui praktik; (b) Verbal information (informasi tulis), syarat utama untuk belajar yang penyajiannya di dalam suatu pengelolaan; (c) Intellectual skills (ketrampilan intelektual), belajar yang diperlukan sebagai prasyarat ketrampilan; (d) Cognitive strategies (strategi kognitif), belajar yang memerlukan pengulangan kesempatan dimana keraguan berfikir hadir; (e) Attitudes (sikap), dipelajari secara sangat efektif melalui penggunaan model-model kemanusiaan dan “vicarious reinforcement”. Bloom (Knowles, 1978) mengidentifikasi tiga ranah dari tujuan pendidikan, yaitu: (a) kognitif, yang berhubungan dengan menimbulkan dan memperoleh pengetahuan dan pengembangan kemampuan dan kecakapan; (b) afektif, yang menggambarkan perubahan dalam minat, sikap, dan nilai, serta pengembangan apresiasi dan penyesuaian yang memadai; dan (c) psikomotor. Terkait dengan belajar bagi orang dewasa, Lindeman dalam Knowles (1978) mengidentifikasi beberapa anggapan sebagai dasar teori belajar orang dewasa sebagai berikut: (a) Orang dewasa termotivasi untuk belajar apabila sesuai minat dan kebutuhan sehingga belajarnya akan memuaskan, ini merupakan awal yang tepat untuk memulai aktivitas belajar; (b) Orientasi belajar orang dewasa adalah dipusatkan pada kehidupan, oleh karena itu unit yang tepat bagi pengelolaan belajar adalah situasi kehidupan; (c) Pengalaman merupakan sumber belajar, oleh karena itu metode logi pendidikan orang dewasa adalah analisis pengalaman; (d) Orang dewasa mempunyai kemandirian, oleh karena itu peran pengajar mengajak dalam proses penyelidikan saling menguntungkan; (e) Perbedaan antar
35
individu meningkat, sehingga pendidikan orang dewasa harus membuat penyediaan secara optimal bagi perbedaan dalam gaya, waktu, tempat, dan langkah belajar. Rogers (1994) mengemukakan tiga karakteristik sebagai ciri yang menandakan kedewasaan seseorang di dalam masyarakat, yaitu: perkembangan penuh (full growth), perasaan terhadap pandangan (sense of perspective), dan kemandirian (autonomy). Perkembangan penuh merupakan perluasan dan pemanfaatan semua bakat yang dimiliki seseorang dan proses pergerakan ke arah kematangan. Kedewasaan menunjukkan akumulasi pengalaman sebagai pertimbangan yang membantu seseorang mengembangkan pemikiran dalam hubungannya dengan orang lain. Kemandirian menujuk pada tanggung-jawab terhadap keputusan yang diambil dan adanya kesukarelaan.
Pemahaman Terhadap Perilaku Sosial Dalam perspektif sosiologi, kompleksitas kehidupan masyarakat merupakan kenyataan sosial yang rumit sehingga memerlukan suatu teori yang dapat menggambarkan dan menjelaskan perilaku sosial manusia atau struktur sosialnya. Ada beberapa cara untuk mengklasifikasi pelbagai tingkatan kenyataan sosial, Johnson (1994) menyebutkan empat tingkatan sebagai berikut: (a) Tingkatan Individu: tingkat perilaku (behavioral) versus tingkat subyektif. Tingkatan ini menempatkan individu sebagai pusat perhatian untuk analisa yang paling utama, tetapi sering juga pada satuan-satuan perilaku atau tindakan sosial individu. (b) Tingkat Antarpribadi (interpersonal); meliputi interaksi antar individu yang berhubungan dengan komunikasi simbolis, penyesuaian timbal-balik, negosiasi mengenai bentuk-bentuk tindakan yang saling tergantung, kerjasama atau konflik antar pribadi, pola-pola adaptasi bersama atau yang berhubungan satu sama lain terhadap lingkungan yang lebih luas. (c) Tingkat struktur sosial; lebih bersifat abstrak dari kedua tingkatan di atas. Perhatian pada pola-pola tindakan atau jaringan-jaringan interaksi yang disimpulkan dari pengamatan terhadap keteraturan dan keseragaman yang terdapat dalam waktu dan ruang. Satuan-satuan yang penting dalam tingkatan ini dapat dilihat sebagai posisi-posisi sosial dan peranan-peranan sosial.
36
(d) Tingkat Budaya; meliputi arti, nilai, simbol, norma, dan pandangan hidup umumnya yang dimiliki bersama oleh anggota suatu masyarakat (atau sekelompok anggota). Dalam pengertian yang luas, istilah kebudayaan terdiri dari produk-produk tindakan dan interaksi manusia, termasuk benda-benda ciptaan manusia berupa materi dan dunia kebudayaan non-materiil. Kebudayaan non-materiil sebagai keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasaan, dan kemampuan serta tata cara yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Perilaku sosial dapat dipandang dalam berbagai perspektif, seperti perspektif sosiologi, atau perspektif psikologi. Beberapa teori sosiologi menjelaskan keteraturan sosial yang mendasar yang berhubungan dengan proses-proses sosial yang meningkatkan integrasi dan solidaritas. Solidaritas sosial dan integrasi merupakan permasalahan substantif yang diperhatikan Durkheim. Pandangan Durkeim didasarkan pada asumsi bahwa gejala sosial itu riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang berbeda dari karakteristik psikologis, biologis, atau karakteristik individu lainnya. Dalam pandangannya, kenyataan atau fakta sosial bersifat eksternal, memaksa individu, dan harus dijelaskan dengan fakta sosial yang lain. Pandangan berbeda diungkapkan oleh Weber, bahwa kenyataan sosial sebagai sesuatu yang didasarkan pada motivasi individu dan tindakan-tindakan sosial (Johnson, 1994). Interaksi sosial oleh setiap individu dalam suatu masyarakat sangat diperlukan. Robert Weiss (1974) dalam Sear dkk (1992), analisis kebutuhan afiliatif didasarkan pada enam “ketentuan hubungan sosial”, hal-hal penting yang diberikan berbagai hubungan bagi individu antara lain: (a) Kasih sayang merupakan rasa aman dan ketenangan yang diberikan oleh hubungan yang sangat erat; (b) Integrasi sosial merupakan perasaan berbagai minat dan sikap yang sering diberikan oleh hubungan dengan teman, rekan sekerja, atau teman seregu. Hubungan semacam ini memungkinkan adanya persahabatan dan memberikan rasa mempunyai kepada kelompok; (c) Harga diri diperoleh jika orang mendukung perasaan kita bahwa kita adalah orang yang berharga dan berkemampuan; (d) Rasa persatuan yang dapat dipercaya melibatkan pengertian bahwa orang akan membantu kita pada saat kita membutuhkan; (e) Bimbingan diberikan oleh konselor, guru,
37
dokter, teman, dan lain-lain, yang nasihat dan informasinya kita harapkan; (f) Kesempatan untuk mengasuh terjadi jika kita bertanggung-jawab terhadap kesejahteraan orang lain. Mengasuh orang lain memberikan perasaan bahwa kita dibutuhkan dan penting. Analisis kebutuhan sosial yang spesifik menyorot dua pokok utama tentang afiliasi manusia, yaitu: pertama, ada banyak dan bermacam-macam ganjaran persahabatan, dan kedua, pendekatan ini menekankan bahwa tidak ada hubungan tunggal yang dapat memenuhi semua kebutuhan afiliasi. Teori perbandingan sosial (social comparison theory) menyatakan bahwa orang berafiliasi untuk membandingkan perasaan mereka sendiri dengan perasaan orang lain dalam situasi yang sama. Teori ini mempunyai dua gagasan dasar: (1) Orang mempunyai dorongan untuk mengevaluasi dirinya sendiri, (2) Dalam ketiadaan patokan nonsosial yang objektif, kita mengevaluasi diri kita sendiri melalui perbandingan dengan orang lain (Sear dkk., 1992). Pandangan dari teori insentif terhadap perilaku sebagai sesuatu yang ditentukan oleh insentif yang tersedia bagi bermacam-macam tindakan. Orang bertindak berdasarkan keuntungan dan kerugian yang mereka peroleh dari setiap perilaku. Pada umumnya dibedakan 3 versi teori insentif, yaitu: (1) pilihan rasional atau rational decision-making theory, (2) teori pertukaran, dan (3) versi pemuasan kebutuhan. Ketiga versi ini menekankan pada upaya seseorang untuk memilih satu di antara beberapa alternatif perilaku dan harus mengambil keputusan berdasarkan besarnya keuntungan dan kerugian yang akan dialami dalam setiap alternatif. Teori pilihan rasional mengemukakan bahwa seseorang memperhitungkan kerugian dan keuntungan berbagai tindakan, serta secara rasional mengambil alternatif yang paling baik. Individu akan memilih tindakan yang memberikan keuntungan sebesar mungkin dan kerugian sekecil mungkin. Teori expectancyvalue, merupakan pengembangan teori pilihan rasional, menyatakan bahwa suatu keputusan diambil atas dasar: (a) nilai dari berbagai akibat keputusan yang mungkin, dan (b) derajat ekspektasi (dugaan) tentang akibat yang akan ditimbulkan oleh setiap keputusan. Teori pertukaran menganalisis interaksi interpersonal sebagai rangkaian keputusan rasional yang dibuat orang. Versi ketiga dari teori
38
insentif lebih menekankan adanya pemuasan kebutuhan. Individu memiliki kebutuhan atau motif spesifik tertentu dan berperilaku sedemikian rupa untuk memuaskan kebutuhan itu. Teori pertukaran Homans dibangun atas dasar asumsi individualistik yang diambil dari psikologi perilaku dan ilmu ekonomi dasar. Perilaku individu dilihat sebagai terbentuk oleh dukungan yang positif dan negatif; pilihan-pilihan individu dari antara perilaku-perilaku alternatif mencerminkan harapan mereka akan suatu rasio biaya-imbalan yang menguntungkan. Harapan-harapan ini dipengaruhi oleh pengalaman masa lampau dan oleh pengamatan atau perhitungan hasil biayaimbalan dari orang lain yang serupa. Konsep-konsep dan proposisi-proposisi yang membentuk dasar teori Homans digunakan untuk menjelaskan interaksi tatap muka dan dinamika-dinamika sosial, diantaranya proses-proses sosial seperti: menjalankan pengaruh, konformitas normatif dan inovasi, kerjasama dan konflik, serta status (Johnson, 1990). Teori pertukaran Blau berusaha untuk memberikan penjelasan dari tingkat mikro ke tingkat makro. Pada tingkat mikro, Blau membedakan penghargaan intrinsik dan yang ekstrinsik, dimana pertukaran dengan penghargaan intrinsik tunduk pada hambatan-hambatan normatif tertentu yang menghalangi terjadinya tawar-menawar mengenai biaya dan imbalan dan yang mengurangi perhatian terhadap apa yang harus dibayarkan oleh individu. Dalam struktur makro, Blau menilai penting munculnya nilai dan norma bersama, seperti: nilai-nilai yang memberikan legitimasi, nilai-nilai oposisi, nilai-nilai partikularistik, dan nilai-nilai universalistik. Dalam sistem yang besar dan kompleks seperti masyarakat, nilainilai abstrak tersebut menjadi lebih penting daripada penghargaan yang bersifat langsung, untuk mempertahankan pola-pola pertukaran yang sudah mapan. Ini disebabkan banyak dari pola-pola ini bersifat tidak langsung (Johnson, 1990). Di tingkat struktur sosial, teori Parsons menjelaskan bahwa tindakan sosial itu diarahkan pada tujuannya dan diatur secara normatif. Orientasi-orientasi alternatif terhadap tujuan dan norma dimasukkan dalam seperangkat variabel berpola yang menggambarkan pilihan-pilihan yang harus dibuat oleh individu, baik secara implisit maupun secara eksplisit, dalam hubungan sosial apa saja. Variabel-variabel tersebut mencakup: (a) Afektivitas versus netralitas afektif, (b) Orien-
39
tasi diri (self-orientation) versus orientasi kolektivitas, (c) Universalisme versus partikularisme, (d) Askripsi versus prestasi (achievement), dan (e) Spesifitas versus kekaburan (diffuseness). Variabel-variabel berpola ini merupakan suatu kerangka untuk menganalisa nilai budaya, penghargaan peran sistem sosial, dan pengaturan kebutuhan pribadi secara serempak (Johnson, 1990). Kelembagaan Pedesaan dan Pertanian Pengertian Kelembagaan atau institusi mempunyai beberapa pengertian. Anwar (2003) menyebutkan tiga pengertian, yaitu: (a) Kelembagaan atau institusi dapat diartikan sebagai “Aturan Main” (Rules of The Game); (b) Institusi juga sering diartikan sebagai “organisasi” yang melaksanakan Roles of the game, atau sebagi the Player of the Game; dan (c) Institusi diartikan juga sebagai “Aturan Main yang telah mengalami Keseimbangan” (Equilibrium Rules of The Games). Pengertian secara luas lembaga mencakup pula istilah organisasi (Ruttan, 1985). Pengertian secara terpisah, lembaga didefinisikan sebagai aturan perilaku yang menentukan pola-pola tindakan dan hubungan sosial, sedangkan organisasi adalah kesatuan sosial yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan (keluarga, perusahaan, kantor) yang menjalankan fungsi pengendalian terhadap berbagai sumberdaya. Koentjaraningrat (1990b) menggunakan istilah pranata untuk institution sebagai kelakuan berpola dari manusia dalam kebudayaannya. Kebudayaan terdiri atas tiga wujud, yaitu: (a) wujud ideel, (b) wujud kelakuan, dan (c) wujud fisik. Suatu total dari kelakuan manusia yang berpola dapat diperinci menurut fungsi-fungsi khasnya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup manusia dalam masyarakatnya. Suatu sistem aktivitas khas dari kelakuan berpola (wujud kedua dari kebudayaan) beserta komponen-komponennya, ialah: sistem norma dan tata kelakuannya (wujud pertama dari kebudayaan) dan peralatannya (wujud ketiga dari kebudayaan), ditambah dengan manusia atau personel yang melaksanakan kelakuan berpola. Uphoff (1986) memaparkan bahwa secara umum terdapat tiga pengelompokkan yang diterima, yaitu: (a) organisasi yang tidak termasuk lembaga, (b) lem-
40
baga yang tidak termasuk organisasi, dan (c) organisasi yang merupakan lembaga (sebaliknya, lembaga yang termasuk organisasi). Dalam kajiannya, Uphoff lebih menekankan pada pengertian yang terakhir. Soekanto (1990) menyebutkan lembaga kemasyarakatan sebagai himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Kelembagaan adalah keseluruhan pola-pola ideal, organisasi, dan aktivitas yang berpusat di sekeliling kebutuhan dasar seperti kehidupan keluarga, negara, agama dan mendapatkan makanan, pakaian, dan kenikmatan serta tempat perlindungan. Suatu lembaga dibentuk selalu bertujuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia sehingga lembaga mempunyai fungsi. Selain itu, lembaga merupakan konsep yang berpadu dengan struktur, artinya tidak saja melibatkan pola aktivitas yang lahir dari segi sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi juga pola organisasi untuk melaksanakannya (Roucek dan Warren, 1984). Menurut Schmid (1972) dalam Pakpahan (1989) lembaga merupakan rangkaian aturan hubungan antara manusia yang menentukan hak, diketahuinya hak orang lain, hak-hak istimewa, dan tanggung-jawab. Kelembagaan adalah sistem organisasi dan kontrol terhadap sumberdaya. Shaffer dan Schmid dalam Pakpahan (1989) menyatakan bahwa suatu kelembagaan dicirikan oleh tiga hal utama: (a) batas jurisdiksi, (b) property rights, dan (c) aturan representasi (rules of representation). Batas jurisdiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu masyarakat atau dapat berarti batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga. Konsep property atau pemilikan muncul dari konsep hak (rights) dan kewajiban (obligations) yang didefinisikan atau diatur oleh hukum, adat dan tradisi, atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya.
Aturan
representasi mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Lembaga pada dasarnya mempunyai beberapa fungsi, yaitu: (a) memberikan pedoman kepada anggota masyarakat bagaimana harus bertingkah-laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, yang terutama menyangkut kebutuhan pokoknya; (b) menjaga keutuhan masyarakat yang bersangkutan; (c) memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan
41
sistem pengendalian sosial (social control), artinya, sistem pengawasan dari masyarakat terhadap tingkah-laku anggota-anggotanya (Soekanto, 1990). Norma-norma diciptakan, untuk mengatur hubungan antar anggota masyarakat, mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda. Dikenal ada empat pengertian norma, yaitu: (a) cara (usage), menunjuk pada suatu bentuk perubahan; (b) kebiasaan (folkways), merupakan perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama; (c) tata kelakuan (mores), merupakan kebiasaan yang dianggap sebagai cara berperilaku dan diterima norma-norma pengatur; dan (d) adat-istiadat (customs), adalah tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat (Soekanto, 1990). Menurut Gillin dan Gillin dalam Soekanto (1990) lembaga kemasyarakatan mempunyai beberapa ciri umum, yaitu: (a) suatu lembaga kemasyarakatan adalah suatu organisasi pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku yang terwujud melalui aktivitas-aktivitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya, (b) suatu tingkat kekekalan tertentu merupakan ciri semua lembaga kemasyarakatan, (c) lembaga kemasayarakatan mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu, (d) lembaga kemasyarakatan mempunyai alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan, (e) lambang biasanya juga merupakan ciri khas lembaga kemasyarakatan, dan (f) suatu lembaga kemasyarakatan mempunyai suatu tradisi tertulis atau yang tak tertulis. Dalam pembangunan pedesaan memerlukan kelembagaan lokal untuk kegiatan-kegiatan: pengelolaan sumberdaya alam, infrastruktur pedesaan, pembangunan sumberdaya manusia, pembangunan pertanian, dan usaha non-pertanian. Uphoff (1986) mengkategorikan kelembagaan lokal, termasuk kelembagaan pertanian, ke dalam: (a) Administrasi lokal (local administration); agen dan staf lokal dari departemen-departemen pusat, bertanggung-jawab pada birokrasi di atasnya. (b) Pemerintahan lokal (local government); dipilih dan ditetapkan orang seperti dewan desa, mempunyai kewenangan yang berhubungan dengan pembangunan dan aturan tugas, dan bertanggung-jawab pada penduduk lokal.
42
(c) Organisasi-organisasi keanggotaan (membership organizations); asosiasi mandiri setempat yang mempunyai anggota untuk menangani: berbagai tugas, tugas khusus, atau adanya karakteristik dan minat yang sama. (d) Kerjasama (cooperatives); semacam organisasi lokal yang menyatukan sumberdaya ekonomi anggota untuk dimanfaatkan, seperti: asosiasi pemasaran, himpunan kredit, masyarakat konsumen, atau kerjasama produsen. (e) Organisasi-organisasi pelayanan (service organizations); organisasi lokal yang dibentuk utamanya untuk membantu orang lain. (f) Bisnis pribadi (private businesses); bisnis yang bergerak di bidang industri, jasa dan atau perdagangan. Di negara berkembang atau dunia ketiga, termasuk Indonesia, keberadaan kelembagaan pertanian yang ada sekarang kebanyakan merupakan hasil rekayasa dalam pembangunan pertanian. Staatz dan Eicher (1984) memaparkan bahwa pembangunan pertanian di negara dunia ketiga yang dimulai sejak tahun 1950-an dilakukan dengan transfer teknologi pertanian dari negara-negara maju. Sejalan dengan upaya tersebut dilakukan pengembangan masyarakat melalui pembangunan atau pengembangan kelembagaan sosial (Eaton, 1986; Israel, 1990). Pengembangan kelembagaan merupakan suatu proses perubahan sosial berencana yang dimaksudkan sebagai sarana pendorong proses perubahan dan inovasi.
Organisasi: Wujud Luar Suatu Kelembagaan Masyarakat Istilah ”kelembagaan” dan ”organisasi” menimbulkan banyak penafsiran yang menimbulkan saling-silang pendapat.
Institution dan organization, atau
’kelembagaan’ dan ’organisasi’ sangat sulit dibedakan, namun ada kesadaran para ilmuwan untuk menjelaskan masing-masing istilah. Menurut Syahyuti (2003) ada empat cara dalam membedakan: pertama, kelembagaan cenderung tradisional sedangkan organisasi cenderung modern; kedua, kelembagaan dari masyarakat itu sendiri dan organisasi datang dari atas; ketiga, kelembagaan dan organisasi berada dalam satu kontinum, dimana organisasi adalah kelembagaan yang belum melembaga; keempat, organisasi merupakan bagian dari kelembagaan. Suatu organisasi dipandang sebagai melembaga sejauh fungsi-fungsinya memperoleh arti penting yang tak lagi terbatas atau bersifat lokal. Organisasi da-
43
pat dinamakan lembaga jika telah mengembangkan kemampuan “untuk bertindak sebagai wakil masyarakat yang lebih luas dengan menyediakan fungsi-fungsi dan pelayanan-pelayanan berharga. Lebih dari itu, lembaga itu merupakan model untuk menentukan pola-pola normatif dan nilai-nilai yang sah, melestarikan dan melindunginya bagi masyarakat yang lebih besar” (Eaton, 1986). Lebih jauh Jiri Nehnevajsa (Eaton, 1986) memberikan definisi yang operasional terhadap lembaga bagi pembangunan ekonomi dan sosial sebagai berikut: (a) kemampuan suatu organisasi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya; (b) sejauh mana suatu organisasi yang inovatif (mengadakan pembaharuan) dipandang oleh lingkungannya sebagai memiliki nilai intrinsik, yang dapat diukur secara operasional dengan indeks-indeks seperti tingkat otonominya dan pengaruhnya terhadap lain-lain lembaga; dan (c) sejauh mana suatu pola inovatif dalam organisasi baru itu menjadi normatif bagi lain-lain kesatuan sosial dalam sistem sosial yang lebih besar. Menurut Etzioni (1982:3) organisasi adalah unit sosial (atau pengelompokan manusia) yang sengaja dibentuk dan dibentuk kembali dengan penuh pertimbangan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tertentu. Gibson, Ivancevich, dan Donnely (1996) mendefinisikan organisasi sebagai suatu unit terkoordinasi setidaknya dua orang berfungsi mencapai satu sasaran tertentu atau serangkaian sasaran. Struktur organisasi adalah pola formal (Slamet, 1995; Gibson, Ivancevich, dan Donnely 1996) mengelompokkan orang dan pekerjaan. Dijelaskan Etzioni (1982), pada umumnya organisasi mempunyai ciri-ciri: (a) adanya pembagian dalam pekerjaan, kekuasaan dan tanggung jawab dalam komunikasi; (b) adanya satu atau beberapa pusat kekuasaan yang berfungsi mengawasi pengendalian usaha-usaha organisasi serta mengarahkan organisasi mencapai tujuan; dan (c) penggantian tenaga. Berbagai pengelompokan mengenai organisasi menunjukkan ruang lingkup organisasi, diantaranya: Amitai Etzioni dalam Sutarto (1995) membagi organisasi atas dasar sistem wewenang dan atas dasar tanggapan anggota terhadap organisasi. Berdasar sistem wewenang organisasi terdiri atas: (a) Mengutamakan wewenang mutlak; (b) Mengutamakan kegunaan, wewenang resmi yang rasional, menggunakan dasar pertimbangan ekonomi; dan (c) Mengutamakan wewenang
44
normatif, menggunakan status anggota, mengutamakan ganjaran nilai. Berdasarkan susunan gabungan, dikelompokkan: mutlak dan normatif, normatif dan kegunaan, serta mutlak dan kegunaan. Sedangkan berdasarkan atas tanggapan anggota terhadap organisasi, terdiri: (a) Alienatif, yang berarti bahwa orang tidak terlibat secara kejiwaan tetapi dipaksa untuk tinggal sebagai anggota; (b) Kalkulatif, yang berarti bahwa orang digiatkan untuk banyak bekerja berdasarkan “balas jasa harus setimpal dengan jasa yang diberikan”; dan (c) Moral, yang berarti bahwa orang mendasarkan nilai-nilai sebagai misi organisasi yang pekerjaannya ada di dalamnya, dan melakukannya terutama karena dia merasa sesuai dengan nilai-nilai itu. Herbert G. Hick dalam Sutarto (1995) membedakan macam-macam organisasi atas dasar tingkat kepastian struktur, keterlibatan emosi anggota, dan atas dasar tujuan. Berdasarkan atas kepastian struktur, yaitu: (a) Organisasi formal, mempunyai struktur yang dinyatakan dengan baik yang dapat menggambarkan hubungan-hubungan wewenang, kekuasaan, akuntabilitas, dan tanggung-jawab; (b) Organisasi informal, disusun secara bebas, fleksibel, tak pasti, dan spontan. Berdasarkan atas keterlibatan emosi anggota, organisasi dibedakan: (a) organisasi primer, dan (b) organisasi sekunder. Organisasi primer menuntut secara penuh, pribadi, dan keterlibatan emosi para anggota mereka. Mereka ditandai dengan pribadi, langsung, spontan, hubungan tatap muka. Mereka didasari pada lebih saling memuaskan dari pada kewajiban yang dinyatakan dengan pasti. Contoh: keluarga, orang-orang yang mengabdi pada profesinya, organisasi yang memberikan perhatian istimewa pada hal-hal yang berharga bagi hati para anggotanya. Organisasi primer adalah memuaskan tujuan mereka sendiri. Dalam organisasi sekunder, hubungan berdasarkan akal, rasional, dan pejanjian. Hubungan-hubungan cenderung untuk diresmikan dan pribadi dengan kewajiban-kewajiban yang dinyatakan secara tegas. Mereka tidak memuaskan tujuan mereka sendiri, tetapi mereka mempunyai anggota-anggota karena mereka dapat memberikan sarana (seperti gaji), untuk tujuan para anggotanya. Keterlibatan anggota terbatas dalam organisasi ini. Berdasarkan atas tujuan, organisasi dibagi atas: (a) Organisasi pengabdian, siap membantu orang-orang tanpa menuntut gaji dari tiap-tiap penerima layanan; (b) Organisasi ekonomi, memberikan barang/pelayanan dengan imbalan beberapa bentuk pembayaran; (c) Organisasi keagamaan, memberikan
45
kebutuhan rokhani para anggotanya; (d) Organisasi pertahanan, melindungi orang-orang dari kejahatan; (e) Organisasi negara, yang memuaskan kebutuhan secara teratur dan terus-menerus; dan (f) Organisasi sosial, yang melayani kebutuhan sosial dari orang-orang yang saling berhubungan satu sama lain, yang memiliki kesamaan, dan saling membantu. Talcott Parsons dalam Sutarto (1995) membedakan organisasi berdasarkan atas kebutuhan sosial, yaitu: (a) Organisasi ekonomi, melakukan aktivitas memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa serta aktivitas lain guna memenuhi kebutuhan lingkungan; (b) Organisasi politik, melakukan aktivitas utama untuk mencapai pembagian kekuasaan dalam masyarakat; (c) Organisasi integratif, melakukan aktivitas guna memberikan pelayanan sosial kepada masyarakat: dan (d) Organisasi pemeliharaan, melakukan aktivitas memelihara kebudayaan, pendidikan, kesenian. Etzioni (1982) menyatakan bahwa semua unit sosial, termasuk organisasi, memerlukan pengendalian terhadap anggota. Keberhasilan suatu organisasi mencapai sasaran sebagian besar tergantung kemampuan mengendalikan anggotanya. Kekuatan yang diterapkan oleh organisasi untuk mengendalikan anggotanya biasanya terletak pada posisi tertentu (kepala departemen) seorang individu (tokoh persuasif) atau kombinasi keduanya (seorang kepala departemen yang persuasif). Kekauatan pribadi selalu merupakan kekuatan normatif, dan dilandasi oleh penggunaan simbol, serta berfungsi untuk menggugah komitmen orang yang dipimpin. Dipihak lain, kekuatan posisional dapat bersifat normatif, koersif atau utiliter. Seorang individu yang kekuasaannya berasal dari posisi organisasi disebut pejabat. Seorang individu yang mampu mengendalikan bawahan berdasarkan kekuatan pribadi dikenal dengan istilah pimpinan in-formal, sedangkan seorang yang sekaligus memiliki kekuasaan posisional dan kekuatan pribadi disebut pimpinan formal. Terkait hubungan pemimpin dengan anak buah (anggota) dalam pengambilan keputusan, Slamet (1995) membedakan organisasi atas : (c) Leader-oriented organization, dicirikan: putusan selalu oleh pemimpin, pengabdian dan kepatuhan anggota diperlukan.
46
(d) Patriachal (Leadeship) organization, dicirikan: hubungan pemimpin dengan anggota seperti hubungan antara Bapak-Anak (perlindungan); anggota selalu memerlukan restu/persetujuan pemimpin, meskipun putusan dibuat oleh anggota. (e) Bureaucracy, dicirikan: diatur oleh struktur tertentu, beroperasi sesuai seperangkat peraturan/ketentuan tertentu, keputusan diambil tanpa menghubungkan dengan pemimpin atau pemegang kekuasaan tertentu. (d) Democratic organization, dicirikan: anggota mempunyai hak bersuara keputusan diambil secara bersama, pemimpin tunduk pada keputusan bersama, pemimpin memberi arahan, tidak memberi perintah.
Kelompok dan Dinamika Kelompok Johnson dan Johnson (1987) dalam Sarwono (2005) mengidentifikasi tujuh jenis definisi kelompok yang penekanannya berbeda-beda sebagai berikut: (a) kumpulan individu yang saling berinteraksi; (b) satuan (unit) sosial yang terdiri atas dua orang atau lebih yang melihat diri mereka sendiri sebagai bagian dari kelompok itu; (c) sekumpulan individu yang saling tergantung; (d) kumpulan individu yang bersama-sama bergabung untuk mencapai satu tujuan; (e) kumpulan individu yang mencoba untuk memenuhi beberapa kebutuhan melalui penggabungan diri mereka (joint association); (f) kumpulan individu yang interaksinya diatur (distrukturkan) oleh atau dengan seperangkat peran dan norma; kumpulan individu yang saling mempengaruhi. Berbagai faktor mempengaruhi keberadaan atau kedinamisan suatu kelompok. Golembiewski (1962) dalam Vernelle (1994) mengemukakan tiga kategori faktor situasi kelompok kecil, yaitu: (a) struktur kelompok, (b) karakteristik individu anggota, dan (c) proses-proses yang dibangun kelompok. Struktur kelompok meliputi: ukuran, waktu, lokasi, aturan (formal atau informal), kesukarelaan, keanggotaan (terbuka atau tertutup), pola-pola komunikasi yang dibangun, komunikasi (satu atau dua tahap), apakah struktur memperbolehkan umpan balik, tipe dan status tujuan-tujuan kelompok, dan kesepakatan antar anggota. Karakteristik individu anggota, meliputi: peran yang dijalankan, reaksi perilaku individu, status setiap individu di luar kelompok, tanggapan individu terhadap tekanan kelompok,
47
tanggapan individu terhadap kewengan, tanggapan individu terhadap kerukunan, agenda terselubung, pengalaman kelompok, kelompok rujukan yang dimiliki oleh anggota yang mempengaruhi sikapnya di kelompok lain. Proses-proses yang dibangun kelompok, menurut Garland et.al. dalam Vernelle (1994) membagi dalam lima tahapan, yaitu: (a) Tahap pra-afiliasi (preaffiliation stage), investigasi individu apakah kelompok disukai atau tidak; (b) Tahap perjuangan untuk kekuasaan dan pengendalian (struggle for power and control stage), anggota mengetahui kedudukannya dalam hubungannya dengan anggota lain; (c) Tahap menuju kerukunan (move to intimacy stage), anggota menikmati beberapa kesepakatan di dalam norma-norma; (d) Tahap diferensiasi (differentiation stage), kelompok membagi pekerjaan yang harus dikerjakan; dan (e) Tahap pemisahan (separation stage), persiapan dibuat untuk akhir dan kelompok dievaluasi. Loomis (1960) menjelaskan interaksi individu dalam suatu kelompok dalam perspektif sistem sosial. Tindakan sosial secara umum dapat dianalisis dengan melihat unsur-unsur umum dari sistem sosial dan proses-proses yang dilihat sebagai penghubung. Unsur-unsur dari sistem sosial meliputi: (1) Keyakinan/pengetahuan (belief/knowledge), (2) Perasaan (sentiment), (3) Tujuan (end, goal, or objective), (4) Norma (norm), (5) Peranan kedudukan (status-role/position), (6) Jenjang (rank), (7) Kekuasaan (power), (8) Sanksi (sanction), dan (9) Fasilitas (facility). Proses sosial meliputi: komunikasi (communication), memelihara batas (boundary maintenance), kaitan sistemik (systemic linkage), pelembagaan (institutionalization), sosialisasi (socialization), dan kontrol sosial (social control). Arti Penting Kelembagaan Petani dalam Pertanian Guy Hunter (Mubyarto, 1994) menyatakan bahwa persoalan administrasi pembangunan pertanian pada pokoknya menyangkut empat hal, yaitu: (a) Koordinasi di dalam tindakan-tindakan administrasi pemerintah dalam rangka melayani keperluan petani yang bermacam-macam, seperti: informasi pertanian, bantuan teknik, investasi dan persoalan kredit, pemasaran, dan lainlain.
48
(b) Pola hubungan yang senantiasa berubah antara jasa-jasa yang dapat diberikan oleh pemerintah dengan jasa-jasa para pedagang atau koperasi. (c) Masalah mendorong partisipasi petani dan penduduk desa dalam keseluruhan usaha pembangunan pertanian. (d) Masalah kelembagaan yaitu keperluan akan lembaga-lembaga dan organisasi organisasi tertentu pada tahap pembangunan yang senantiasa berubah. Permasalahan kelembagaan petani dan masalah mendorong partisipasi petani dalam kegiatan pertanian dapat diatasi melalui pengembangan kerjasama kelompok dan organisasi di tingkat komunitas petani. Bunch (1991) menyebutkan kelembagaan diperlukan karena tiga alasan: Pertama, banyak masalah pertanan yang hanya dapat dipecahkan oleh suatu lembaga. Organisasi pelayanan mensyaratkan adanya suatu kelembagaan petani. Kelembagaan petani dapat menjadi perantara antara petani dengan kelembagaan yang lain.
Kelembagaan petani
dapat menyediakan jasa pelayanan untuk petani sendiri sehingga memungkinkan petani untuk belajar. Kedua, kelembagaan dapat memberi kelanggengan pada usaha petani karena memungkinkan adanya pengembangan teknologi secara terusmenerus. Kemampuan kerjasama petani sama pentingnya dengan perolehan pengetahuan teknis. Ketiga, kelembagaan adalah upaya untuk menghadapi persaingan dengan dunia luar. Kegiatan bersama (group action) oleh para petani diyakini oleh Mosher (1991) sebagai faktor pelancar pem-bangunan pertanian. Dipaparkan lebih lanjut bahwa tidak semua aktivitas petani harus dilakukan secara bersama atau kolektif. Aktivitas bersama sangat diperlukan apabila dengan kebersamaan tersebut akan lebih efektif dalam mencapai tujuan yang diinginkan bersama. Ada kerjasama yang bersifat informal di beberapa masyarkat untuk mencapai tujuan-tujuan tradisional, di Indonesia kegiatan semacam itu lebih dikenal dengan istilah gotongroyong, serta ada juga kerjasama antar petani yang bersifat lebih formal. Kerjasama kelompok dalam proyek-proyek yang bersifat membangun memerlukan pengorganisasian dengan ketrampilan-ketrampilan khusus sehingga sangat diperlukan dorongan dan bantuan secara sistematis.
49
Upton dan Anthonio (1965) menjelaskan berbagai cara bisa dilakukan para petani untuk mandiri melalui aktivitas kerjasama (co-operation). Kerjasama dapat dilakukan dalam berbagai hal, antara lain: (a) Pemprosesan (processing), kerjasama dalam pemprosesan produksi pertanian dan peternakan, seperti: kopi, ketela, susu dan sebagainya. Dengan kerjasama pemrosesan akan lebih cepat, efisien dan murah. (b) Pemasaran (marketing), pengorganisasian dalam pemasaran produk pertanian. Dalam pemasaran diperlukan penyimpanan dan transportasi untuk memperoleh harga yang layak. Dengan kerjasama ini akan meyakinkan pembeli atas kualitas dan meningkatkan posisi tawar petani. (c) Pembelian (buying), pembelian atas sarana produksi pertanian, seperti: benih, pupuk, alat-alat, dapat dilakukan secara kolektif karena dengan pembelian dalam jumlah besar akan mendapatkan harga lebih murah. (d) Pemakaian alat-alat pertanian (machine sharing), dengan penggunaan bersama atas suatu alat pertanian berarti akan menurunkan biaya atas pembelian alat tersebut. (e) Kerjasama pelayanan (co-operative services), di berbagai tempat petani menyediakan pelayanan untuk kepentingan bersama, seperti: listrik, kawin suntik ternak, dan sebagainya. Dengan pengelolaan tersebut akan meningkatkan kesejahteraan anggota. (f) Bank kerjasama (co-operative bank), dengan menghimpun dana tabungan anggota akan menghasilkan jumlah dana yang besar sehingga mampu membantu anggota atas kebutuhan usahataninya. Pemerintah dan lembaga yang lain biasanya mendorong dalam pengadaan dana awal. (g) Kerjasama usahatani (co-operative farming), bentuk kerjasama secara tertutup dalam budidaya tanaman atau ternak. Dengan kerja sama tersebut diperoleh keuntungan lebih tinggi dan keseragaman produk yang dihasilkan. (h) Kerjasa multi-tujuan (multi-purpose co-operatives), merupakan kombinasi bentuk kerjasama satu dengan yang lain. Kerjasama ini sesuai dikembangkan di negara berkembang dengan minat yang sama dari petani.
50
Organisasi di tingkat petani mempunyai banyak peranan dalam meningkatkan pemenuhan kebutuhan petani. Menurut van den Ban dan Hawkins (1999) peranan-peranan organisasi petani antara lain: (a) Peranan pendidikan, meliputi: - Mengelola pertemuan-pertemuan dan kursus-kursus tempat agen penyuluhan, pengajar, peneliti mendiskusikan penemuan penelitian dan pengalaman-pengalaman bersama petani. - Mengelola kelompok-kelompok belajar tempat petani bertukar pengalaman dan mengadakan eksperimen, seringkali dengan bantuan agen penyuluhan dan peneliti. - Mendirikan dan mengelola sekolah-sekolah pertanian kejuruan dan pusatpusat pelatihan bagi petani. - Mempekerjakan agen penyuluhan. - Mengelola karang taruna usahatani tempat pemuda dan pemudi mempelajari ketrampilan-ketrampilan manajerial dan profesional. - Menerbitkan jurnal usahatani dan publikasi lain yang memberikan kepada petani informasi yang dibutuhkan untuk keputusan-keputusan manajerial. (b) Peranan komersial dan organisasional, meliputi: - Mengelola suplai kredit dan input pemasaran dan pemrosesan hasil-hasil usahatani melalui koperasi. - Memberikan layanan pada anggota. - Mengelola kontrol kualitas bibit dan ternak. - Menguji kualitas input yang dijual perusahaan komersial dan koperasi. (c) Pengelolaan properti umum, meliputi: - Mengelola tanah penggembalaan komunal, irigasi, dan sebagainya. (d) Membela kepentingan kolektif anggota, meliputi: - Mempengaruhi kebijakan pemerintah, seperti: kebijakan harga, pajak, penetapan wilayah, dan lingkungan hidup. - Mempengaruhi agen pemerintahan sedemikian rupa agar menyediaakan layanan yang dibutuhkan petani, misalnya: dengan berpartisipasi dalam perencanaan program penelitian dan penyuluhan. (e) Peranan lain, seperti: peranan keagamaan, kultural, rekreasi, dan sebagainya.
51
Kelompok Petani di Indonesia 1. Kelompok dan Himpunan Tani Sejak pelaksanaan Repelita I (1969 – 1974) di Indonesia mulai dikembangkan pembentukan kelompok tani, yang diawali dengan kelompok-kelompok kegiatan (kelompok pemberantasan hama, kelompok pendegar siaran pedesaan), dan sejak 1976 dikembangkan kelompok tani berdasarkan hamparan lahan pertanian sejalan dilaksanakannya Proyek Penyuluhan Tanaman Pangan (National Food Crops Extension Project) (Mardikanto, 1993). Dalam musyawarah Kontak Tani seluruh Jawa di PLP Kayu Ambon Bandung tanggal 23 Februari – 1 Maret 1970 disepakati perumusan mengenai pengertian kelompok tani dan himpunan tani (Anonim, 2001). Kelompok tani adalah kumpulan orang-orang tani yang bersifat informal, anggotanya adalah petani-petani yang berada dalam lingkungan pengaruh seorang kontak tani. Ikatan dalam kelompok berpangkal kepada keserasian dalam arti mempunyai pandangan, kepentingan dan kesenangan yang sama. Diantara kontak tani dan anggota kelompok maupun diantara sesama anggota terjalin hubungan yang luwes dan wajar. Himpunan tani adalah organisasi orang-orang tani yang bersifat formal, pengurus dan anggota-anggotanya jelas terdaftar. Anggotanya adalah petani yang mendaftarkan diri dan memenuhi syarat tertentu yang ditetapkan pada rapat pembentukan. Organisasi ini mempunyai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang tertulis dengan mencantumkan tujuan, usaha, syarat keanggotaan dan ketentuan lainnya. Kelompok tani dan himpunan tani mempunyai peranan: (a) sebagai media sosial yang hidup dan wajar (dinamis), (b) basis untuk mencapai perubahan sesuai dengan tujuan yang disepakati, dan (c) penyatuan aspirasi (cita-cita hidup) yang murni dan sehat karena ikatan antara anggotanya yang tumbuh secara alami. Dalam perkembangannya, fungsi kelompok tani menjadi: sebagai kelas belajarmengajar, sebagai unit produksi usahatani, dan sebagai wahana kerjasama. Sebagai kelas belajar-mengajar, kelompok tani merupakan wadah bagi setiap anggotanya untuk berinteraksi meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap dalam berusahatani yang lebih baik dan menguntungkan. Sebagai unit produksi, kelom-
52
pok merupakan satu kesatuan usahatani dalam mencapai skala ekonomi yang lebih menguntungkan. Sebagai wahana kerjasama, kelompok menjadi tempat untuk memperkuat kerjasama diantara sesama anggota dan antara kelompok dengan pihak lain (Anonim, 2001). Berbagai bentuk dan jenis kelompok tani pernah dibentuk dan dikembangkan di Indonesia. Hadisapoetro (Mardikanto, 1993) menyebutkan tentang adanya dua kelompok tani yang dapat dibedakan menurut wilayahnya, yaitu: kelompok tani hamparan atau kelompok tani lapangan, dan kelompok tani tetangga atau kelompok tani domisili. Berdasarkan jenis kelompok, kelompok tani-nelayan (KTN) dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: KTN dewasa, KTN wanita, dan KTN taruna (Anonim, 2001). Berdasarkan kemampuan, yang didasarkan pada sepuluh jurus kemampuan dalam program BIMAS, kelompok tani dapat dibedakan menjadi empat kelas, yaitu: kelas pemula, kelas lanjut, kelas madya, dan kelas utama (Anonim, 2001).
2. Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) Organisasi petani pengelola air di Indonesia, yang di masa awal pembentukannya disebut Perkumpulan Petani Pemakai Air atau disingkat P3A. Dalam perkembangannya organisasi ini cenderung, dibakukan sehingga menghapuskan kelembagaan serupa yang sudah berakar di masyarakat. Pemerintah secara yuridis melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1982 tentang Irigasi, menyatakan adanya suatu lembaga yang disebut Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Berdasarkan peraturan ini dikembangkan sejumlah program untuk membentuk dan mengembangkan P3A di seluruh Indonesia, dan peraturan yang lebih khusus mengenai P3A, yaitu: Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1984 tentang Pembinaan Perkumpulan Petani Pemakai Air, Peraturan Pemerintah Nornor 14 Tahun 1987 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Pekerjaan Umum Kepada Daerah. Pengembangan P3A dalam pelaksanaannya cenderung membakukan dan membuat formal organisasi petani pengelola air, yang sebenarnya jauh sebelum keluar peraturan itu petani sudah memiliki suatu organisasi yang berhasil, meskipun sifatnya
53
tradisional dan informal. Hal ini menjadi salah satu sebab banyaknya P3A formal yang tidak berfungsi di lapangan. Menurut Coward dalarn Hartono (2000) fungsi-fungsi pengelolaan sistem irigasi yang dilakukan P3A meliputi: tiga tugas spesifik dan dua tugas umum. Ketiga tugas spesifik tersebut adalah: (1) Perolehan air (water acquisition), yaitu: tugas mendapatkan air secara tetap maupun pada waktu-waktu tertentu; (2) Pengalokasian air (water allocation), yaitu: tugas membagi dan mendistribusikan air kepada petani pemakai air; (3) Sistem pemeliharaan (maintenance system), yaitu: tugas memperbaiki, membersihkan, dan memelihara bangunan serta peralatan irigasi dari suatu sistem jaringan irigasi. Sedangkan dua tugas lainnya yang lebih bersifat umum, tetapi pelaksanaannya berhubungan langsung dengan salah satu atau ketiga tugas di atas adalah: (4) Pengerahan sumberdaya (resource mobilitation), yaitu: tugas menghimpun tenaga kerja, bahan-bahan (material), uang dan sumberdaya lainnya yang dibutuhkan untuk tugas pemeliharaan jaringan irigasi; dan (5) Pengelolaan konflik (conflict management), yaitu: tugas untuk menyelesaikan perselisihan dan pertentangan yang timbul dalam masalah alokasi air irigasi. Kebijakan Penyerahan Pengelolan Irigasi (PPI) perlu didahului upaya pemberdayaan organisasi atau perkumpulan petani pengelola air (P3A) agar mampu mengambil alih peran pengelolaan yang selama ini dipegang oleh pemerintah. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No. 77 Tahun 2001 tentang Irigasi, pemberdayaan petani pemakai air merupakan upaya penguatan dan peningkatan kemampuan perkumpulan petani pemakai air. Penguatan perkumpulan petani pemakai air adalah kegiatan yang mencakup fasilitasi pembentukan perkumpulan petani pemakai air secara demokratis dan mendorong terbentuknya perkumpulan petani pemakai air sebagai badan hukum yang mempunyai hak dan wewenang atau pengelolaan irigasi di wilayah kerjanya. Sedangkan peningkatan kemampuan perkumpulan petani pemakai air adalah kegiatan fasilitasi antara lain: pelatihan, bimbingan, pendampingan, penyuluhan, dan kerjasama pengelolaan, yang dilaksanakan secara terus-menerus dan berkesinambungan. Kegiatan tersebut dilakukan dalam rangka mengembangkan kemampuan perkumpulan petani pemakai air di bidang teknis, keuangan, manajerial administrasi
54
dan organisasi sehingga dapat mengelola daerah irigasi secara mandiri dan berkelanjutan. Pemberdayaan ini sasarannya adalah: (a) terbentuknya kelembagaan perkumpulan petani pemakai air yang dapat melakukan pengelolaan irigasi secara lebih efisien, efektif menyejahterakan anggotanya, mempunyai otoritas, otonom, mandiri, dan mernpunyai kesetaraan kedudukan dengan kelembagaan lainnya; (b) terbentuknya perkumpulan petani pemakai air dengan prinsip satu sistem irigasi satu kesatuan pengelolaan yang berbasis pada potensi lokal; (c) terbentuknya perkumpulan petani pemakai air sebagai lembaga yang mewakili petani di dalam forum koordinasi daerah irigasi, dan dengan pihak lainnya; (d) tewujudnya perkumpulan petani pemakai air yang mempunyai kewenangan dan kemampuan menetapkan hak-haknya dalam penyelenggaraan irigasi; (e) meningkatnya kemampuan keuangan perkumpulan petani pernakai air sehingga mampu melaksanakan pengelolaan irigasi yang menjadi tanggungjawabnya; (f) terciptanya iklim yang kondusif bagi pemberdayaan petani dan perkumpulan petani pemakai air melalui pelatihan-pelatihan dan kegiatan-kegiatan peningkatan kemampuan dengan pendekatan partisipatif; dan (g) terjaminnya hak guna air bagi petani yang diberikan sebagai hak kolektif melalui perkumpulan petani pemakai air, sesuai dengan rencana alokasi yang disepakati bersama.
Pemimpin dan Kepemimpinan Diskusi-diskusi tentang kepemimpinan sangat menarik, siapapun pesertanya, kalangan bisnis, eksekutif, pelajar atau kalangan akademis, maupun praktisi. Banyak eksekutif yang sangat percaya bahwa berkenaan dengan kepemimpinan, “kamu harus mendapatkan atau kamu tidak mempunyai”. Tetapi ketika alhasil penuturan pada: apa yang kamu dapat atau kamu tidak dapat, mereka tidak dapat menyetujui. Pandangan akademis tentang kepemimpinan sangat beragam, dari yang lunak “kami tidak secara nyata mengetahui” sampai pada definisi yang teliti
55
didasarkan pada penelitian yang sangat terbatas. Di tahun 1974, Stogdill menyimpulkan bahwa terdapat banyak definisi sebanyak dengan orang yang berusaha merumuskan konsep tersebut. Tiga pandangan besar oleh Bass dan Yulk, hasil kajian literatur tentang kepemimpinan, membantu menjernihkan suasana. Yulk mencatat bahwa walaupun terdapat banyak ketidaksepahaman konsep, kebanyakan definisi-definisi menekankan kepemimpinan sebagai sebuah proses mempengaruhi (influence process). Diluar thema umum ini, peneliti tidak setuju banyak aspek yang lain, termasuk bagaimana pemimpin dikenali, siapa mempunyai pengaruh, bagaimana pemimpin dibedakan dari pengikutnya, dan faktor-faktor apa dalam situasi kerja yang mempengaruhi perilaku pemimpin (Lau dan Shani, 1992). Lebih lanjut Lau dan Shani (1992) mengemukakan contoh definisi kepemimpinan, yaitu: (a) Kepemimpinan adalah perilaku dari seseorang ketika dia sedang mempengaruhi kegiatan dari suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan; (b) Kepemimpinan adalah pengaruh interpersonal, digunakan dalam sebuah situasi, dan diarahkan, melalui proses komunikasi, ke arah pencapaian tujuan khusus atau tujuan-tujuan; (c) Kepemimpinan adalah kenaikan pengaruh lebih dan di atas pemenuhan mekanis dengan petunjuk rutin dari organisasi; (d) Kepemimpinan nampak menjadi seni mempengaruhi orang lain untuk mengerjakan sesuatu yang diyakinkan seharusnya dikerjakan; (e) Kepemimpinan termasuk mempengaruhi strategi dan tujuan tugas, mempengaruhi pemenuhan dan komitmen dalam perilaku tugas untuk mencapai tujuan, mempengaruhi identifikasi dan pemeliharaan kelompok, dan mempengaruhi budaya kelompok. Permasalahan pemilihan definisi yang tepat dari istilah kepemimpinan (leadership) dan pemimpin (leader) juga dikemukakan oleh Cartwright dan Zander. Menurut Cartwright dan Zander (1968) kepemimpinan adalah sebuah sifat dari sebuah kelompok, sementara yang lain menyebut kepemimpinan adalah karakteristik seseorang. Bagi yang menekankan pada kelompok, kepemimpinan disama-artikan dengan martabat (prestige), dengan penguasaan kantor tertentu, dengan kinerja dari aktivitas penting kelompok. Bagi yang menekankan pada individu, kepemimpinan diartikan kepemilikan dari karakteristik tertentu, seperti: dominasi, pengendalian ego, agresivitas, atau kebebasan dari kecenderungan paranoid.
56
Terkait kepemimpinan dalam kelompok, Beebe dan Masterson (1994) mengemukakan kepemimpinan sebagai perilaku yang mempengaruhi, menuntun, memerintah, atau mengendalikan kelompok. Secara tradisional, kajian tentang kelompok telah dipusatkan pada orang-orang yang berhasil dalam berbagai posisi kepemimpinan. Peneliti membuktikan bahwa dengan memperhatikan keberhasilan pemimpin-pemimpin tersebut, mereka dapat menentukan atribut-atribut atau sifatsifat individu yang baik untuk memperkirakan kemampuan kepemimpinan yang baik. Pengenalan, seperti sifat, dapat menjadi sangat bernilai dalam bisnis, pemerintahan, atau militer yang bertanggung-jawab untuk mengangkat individu ke posisi kepemimpinan.
Lebih lanjut dijelaskan Beebe dan Masterson (1994)
bahwa kajian kepemimpinan menyangkut tiga perspektif, yaitu: perspektif sifat, perspektif fungsional, dan perspektif situasional. Kajian perspektif sifat memperlihatkan adanya serangkaian sifat tertentu yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Kajian perspektif fungsional menguji kepemimpinan sebagai perilaku yang mungkin dapat dikerjakan bersama anggota kelompok untuk memaksimalkan efektivitas kelompok, seperti: tuntutan, pengaruh, atau pengendalian. Kajian perspektif situasional mengakomodasi semua faktor-faktor: perilaku, kebutuhan tugas dan kebutuhan proses, juga memperhitungkan gaya kepemimpinan dan situasi. Menurut Soekanto (1997) kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan seseorang (yaitu pemimpin atau leader) untuk mempengaruhi orang lain (yaitu yang dipimpin atau pengikut), sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagaimana dikehendaki oleh pemimpin tersebut. Kadangkala dibedakan antara kepemimpinan sebagai sebagai kedudukan dan kepemimpinan sebagai suatu proses sosial. Sebagai kedudukan, kepemimpinan merupakan suatu kompleks dari hakhak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dimiliki oleh seseorang atau suatu badan. Sebagai suatu proses sosial, kepemimpinan meliputi segala tindakan yang dilakukan seseorang atau suatu badan yang menyebabkan gerak dari warga masyarakat. Yukl (1998) mengemukakan bahwa pengaruh seseorang terhadap yang lain dijelaskan dalam hubungannya dengan sebuah proses mempengaruhi sosial (social influence process). Menurut Kelman dalam Yulk (1998) terdapat tiga macam bentuk proses mempengaruhi, yaitu: (a) Instrumental compliance, orang yang
57
ditargetkan melaksanakan sebuah tindakan yang diminta dengan tujuan untuk memperoleh suatu imbalan yang berwujud (tangible) atau untuk menghindari suatu hukuman yang dikontrol oleh agen tersebut; (b) Internalization, pengaruh timbul karena dirasakan secara intrinsik sebagai sesuatu yang memang diinginkan dan benar dalam hubungannya dengan nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan, dan rasa harga diri; (c) Identification, target meniru perilaku agen atau mengambil sikap yang sama untuk menyenangkan agen tersebut atau agar sama seperti agen. Pengaruh (influence) timbul karena adanya kekuasaan (power) dari seseorang pemimpin. French dan Raven (Yukl, 1998) mengklasifikasikan berbagai jenis kekuasaan berdasarkan sumber-sumbernya, yaitu: (a) Reward power, orang yang ditargetkan patuh agar dapat memperoleh imbalan (reward) yang diyakini dipunyai agen; (b) Coercive power, orang yang ditargetkan patuh agar dapat menghindari hukuman yang diyakini dipunyai agen; (c) Legitimate power, orang yang ditargetkan patuh karena percaya bahwa agen tersebut mempunyai kewenangan; (d) Expert power, orang yang ditargetkan patuh karena percaya bahwa agen tersebut mempunyai pengetahuan mengenai cara yang terbaik untuk melakukan sesuatu; dan (e) Referent power, orang yang ditargetkan patuh karena mengagumi atau mengidentifikasikan dirinya dengan agen tersebut dan ingin memperoleh penerimaan dari agen. Beberapa jenis kekuasaan sangat dekat dengan beberapa proses mempengaruhi menurut Kelman. Instrumental compliance pada dasarnya dihubungkan dengan reward power dan coercive power. Identifikasi pada dasarnya diasosiasikan dengan penggunaan kekuasaan referen (referent power). Internalisasi pada dasarnya dihubungkan dengan expert power. Kekuasaan absah (legitimate power) berada di semua jenis proses mempengaruhi dan dapat menyangkut elemen-elemen dari masing-masing jenis tersebut. Menurut Singh (1961) menyatakan bahwa dalam kegiatan penyuluhan, pemimpin digambarkan sebagai inisiator dari suatu aktivitas yang membantu sebuah kelompok bergerak kearah yang diinginkan. Kualitas kepemimpinan tidak hanya ciri/sifat pribadi yang diperoleh sejak lahir, lebih dari itu kepemimpinan terdiri dari sejumlah keterampilan yang dapat dipelajari, ditingkatkan dan dikembangkan dalam kelompok. Lebih banyak kepemimpinan yang didistribusikan dalam suatu kelompok, lebih efektif fungsi kelompok. Kepemimpinan tidak hanya dipengaruhi
58
oleh kualitas kepribadian seseorang, sebagaimana pada keadaan dari situasi khusus. Kualitas, karakter, dan keterampilan diperlukan seorang pemimpin, dipengaruhi besarnya tingkatan dimana pemimpin berada. Konsep kepemimpinan bervariasi dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Pemimpin bertanggung-jawab untuk memberikan inisiasi dan koordinasi aktivitas anggota kelompok dalam melakukan tugas mereka untuk mencapai tujuan kelompok. Kepemimpinan dalam suatu kelompok menjadi salah satu faktor yang berpengaruh dalam perkembangan kelompok.
Peranan Penyuluhan Pertanian Penyuluhan Pertanian di Indonesia Istilah ’penyuluhan’ dikenal secara luas oleh masyarakat di Indonesia, namun sangat sedikit orang yang memahami pengertiannya secara tepat.
Bebe-
rapa istilah yang merupakan padanan penyuluhan (extension), diantaranya: voorlichting (Belanda) yang berarti memberi penerangan untuk menolong seseorang menemukan jalannya; Bahasa Jerman mengistilahkan sebagai pemberi saran atau Beratung atau Aufklarung (pencerahan) yang menekankan pentingnya mempelajari nilai-nilai yang mendasari hidup sehat dan pentingnya mengetahui arah langkah kita, atau Erziehung yang mirip artinya dengan pendidikan di Amerika Serikat; Forderung (Austria) yang berarti menggiring seseorang ke arah yang diinginkan; Vulgarisation (Perancis) yang menekankan pentingnya menyederhanakan pesan bagi orang awam; Capacitacion (Spanyol) menunjukkan adanya keinginan untuk meningkatkan kemampuan manusia yang dapat diartikan dengan pelatihan (Van den Ban dan Hawkins, 1999). Penyuluhan merupakan disiplin ilmu terapan. Margono Slamet (1992) menyebut sebagai disiplin ilmu yang mempelajari bagaimana pola perilaku manusia terbentuk, berubah atau diubah sehingga mau meninggalkan kebiasaan lama dan menggantinya dengan perilaku baru yang lebih berkualitas. Salah satu bidang terapan penyuluhan adalah pertanian. Penyuluhan pertanian di Indonesia mempunyai sejarah yang panjang sejak jaman penjajahan Belanda. Dalam pelaksanaannya, penyuluhan pertanian mengalami pasang-surut perkembangan. Pemahaman
59
yang kurang benar terhadap makna ’penyuluhan’ menyebabkan pelaksanaan di lapangan tidak sesuai dengan pengertian penyuluhan yang sebenarnya. Soekandar Wiriaatmadja (1977) memberi batasan penyuluhan pertanian sebagai suatu sistim pendidikan di luar sekolah untuk keluarga-keluarga tani di pedesaan, dimana mereka belajar sambil berbuat untuk menjadi mau, tahu, dan bisa menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang dihadapinya secara baik, menguntungkan dan memuaskan.
Pengertian serupa disampaikan Margono Slamet
(1987) bahwa penyuluhan pertanian adalah suatu sistem pendidikan luar sekolah (pendidikan non-formal) untuk petani dan keluarganya dengan tujuan agar mereka mampu dan sanggup memerankan dirinya sebagai warga negara yang baik sesuai dengan bidang profesinya, serta mampu, sanggup dan berswadaya memperbaiki/meningkatkan kesejahteraannya sendiri dan masyarakatnya. Berdasarkan pernyataan di atas, penyuluhan pertanian menempatkan petani sebagai sasaran utama, disamping sasaran yang lain. Dalam sistem agribisnis, menurut Soedijanto (2004), sasaran penyuluhan pertanian berada di 5 sub sistem penyuluhan, yaitu: (1) pengusaha hulu, (2) pengusaha tani, (3) pengusaha hilir, (4) pedagang, dan (5) penyedia jasa penunjang. Proses perubahan dalam penyuluhan pertanian, petani ditempatkan sebagai aktor (pemegang peran utama). Penyuluhan pertanian memandang petani sebagai bagian dari suatu sistem sosial sehingga pendekatan penyuluhan dapat ditempuh dalam: (1) Subsistem perorangan, (2) Subsistem kelompok, dan (3) Subsistem kelembagaan (Hubeis, Ruwiyanto, dan Tjitropranoto, 1992). Dijelaskan Margono Slamet (2003) bahwa tujuan utama penyuluhan pertanian adalah pengembangan pemberdayaan petani sehingga petani lebih mampu meningkatkan kesejahteraan diri, keluarga dan masyarakatnya secara mandiri dan tidak tersubordinasi oleh kepentingan pihak lain dalam pengembangkan usahataninya. Untuk mencapai tujuan tersebut maka penyelenggaraan penyuluhan pertanian perlu dilakukan lebih profesional. Beberapa hal mengenai pelaksanaan penyuluhan pertanian sesuai dengan kondisi saat ini dan dalam rangka otonomi daerah antara lain: (a) Penyuluhan pertanian seyogyanya dapat berfungsi melayani kebutuhan informasi para petani; (b) Penyuluhan pertanian harus lebih memusatkan perhatian pada kebutuhan pertanian dan petani di daerah kerja masing-
60
masing; (c) Penyuluhan pertanian harus berorientasi agribisnis; (d) Penyuluhan pertanian lebih banyak dilakukan dengan pendekatan kelompok; (e) Penyuluhan pertanian harus berpihak kepada kepentingan petani; (f) Penyuluhan pertanian dilakukan dengan pendekatan humanistik-egaliter; (h) Penyuluhan pertanian harus dapat dilaksanakan secara profesional; (i) Penyuluhan pertanian harus dipikirkan, direncanakan; dan dapat dilaksanakan, serta proses dan hasilnya dapat dipertanggung-jawabkan; dan (j) Penyuluhan pertanian harus membuahkan rasa puas pada para petani. Pengembangan Kapasitas Petani Penyuluhan pertanian terselenggara sebagai salah satu usaha untuk mendukung pembangunan pertanian di Indonesia. Mosher (1991) menempatkan penyuluhan pertanian sebagai faktor pelancar pembangunan (the accelerators of agricultural development). Penyuluhan pertanian bagi petani dianggap penting karena kemampuan petani dan keputusan-keputusan yang diambil mengenai pelaksanaan usahatani akan sangat menentukan bagi tingkat kecepatan pembangunan pertanian. Upaya pemerintah untuk meningkatkan kemampuan petani secara operasional dirumuskan dalam Pedoman Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian dalam Pemangunan Sistem dan Usaha Agribisnis. Ruang lingkup penyuluhan pertanian dikembangkan yang meliputi: (a) pengembangan budidya pertanian (better farming), (b) pengembangan usaha pertanian (better business), (c) pengembangan kelembagaan pertanian (better organization), (d) pengembangan masyarakat tani (better community), (e) pengembangan lingkungan usaha dan lingkungan hidup (better environment), dan (f) pengembangan kehidupan yang lebih sejahtera (better living) (Pambudy dan Adhi, 2002). Slamet (2003) menegaskan penyuluhan pertanian masa depan perlu didasarkan pada visi dan misi yang secara jelas menempatkan petani dan usahatani sebagai sentral; pendekatan yang lebih humanistik, yaitu melihat petani sebagai manusia yang berpotensi, yang dihargai untuk dikembangkan kemampuannya menuju kemandiriannya.
Dalam kaitan itu orientasi visi dan misi kelembagaan
penyuluhan kembali ke khitah penyuluhan itu sendiri, yaitu pengembangan pem-
61
berdayaan petani sehingga petani lebih mampu meningkatkan kesejahteraan diri, keluarga dan masyarakatnya secara mandiri dan tidak tersubordinasi oleh kepentingan pihak lain dalam pengembangkan usahataninya. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian perlu lebih profesional, antara lain memerlukan reorientasi: (a) Dari instansi ke pengembangan kualitas individu penyuluh, (b) Dari pendekatan top down ke bottom up, (c) Dari hirarkhi kerja vertikal ke horizontal, (d) Dari pendekatan instruktif ke partisipatif dan dialogis, dan (e) Dari sistem kerja linier ke sistem kerja jaringan. Dalam konteks penyuluhan pertanian, Soedijanto (2004) menyebutkan tujuan penyuluhan pertanian adalah menghasilkan manusia pembelajar, manusia penemu ilmu dan teknologi, manusia pengusaha agribisnis yang unggul, manusia pemimpin di masyarakatnya, manusia “guru” dari petani lain, yang bersifat mandiri dan interdependensi. Kemandirian ini meliputi: (a) Kemandirian material, artinya memiliki kapasitas untuk memanfaatkan secara optimal potensi sumberdaya alam yang mereka miliki sendiri tanpa harus menunggu bantuan orang lain atau tergantung dari luar; (b) Kemandirian intelektual, artinya memiliki kapasitas untuk mengkritisi dan mengemukakan pendapat tanpa dibayangi oleh rasa takut atau tekanan dari pihak lain; (c) Kemandirian pembinaan, artinya memiliki kapasitas untuk mengembangkan diri sendiri melalui proses belajar tanpa harus tergantung pihak luar; dan (d) Sebagai manusia yang interdepensi, artinya dalam melaksanakan kegiatannya selalu terdapat saling ketergantungan dengan manusia lain di dalam masyarakatnya sebagai suatu sistem sosial. Rahadian dkk (2003) menyatakan bahwa pengembangan sumberdaya manusia petani dan keluarganya diarahkan untuk membentuk petani Indonesia yang berdaya dan memiliki keunggulan-keunggulan sikap dan karakter: (a) memiliki pengetahuan yang luas baik di bidang agroteknologi maupun agribisnis yang spesifik lokalita; (b) memiliki sikap dan perilaku lebih mandiri serta berkemampuan memecahkan masalah-masalahnya sendiri secara tepat dan efisien; (c) memiliki sense of agribusiness sehingga perencanaan usaha pertanian selalu berorientasi pasar lokal, dalam negeri dan ekspor; (d) memiliki ketrampilan agribisnis baik di segmen hulu (perbenihan, perpupukan organik, pemilihan usaha produksi produk primer, sekunder dan tersier), pada sisi tengah yang mengefisienkan agroinput dan
62
mengoptimalkan agro-output, di segmen pasca panen dan pengolahan produk primer dan sekunder, serta di segmen pasaran; dan (e) memiliki ketangguhan dalam menghadapi masalah dan akibat anomali iklim, terbatasnya sarana produksi, dan gejolak harga, sehingga tetap berkemampuan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga. Untuk mendukung kemampuan petani sesuai yang diharapkan, diperlukan pemilihan isi (content) dalam penyuluhan pertanian. Campbell dan Barker (1997) mengungkapkan lingkup yang sesuai untuk penyuluhan pertanian meliputi: (a) Secara teknik dapat dilakukan (technically feasible); teknologi yang ditawarkan dapat memproduksi komoditas di lingkungan petani, dan dapat dicapai oleh petani. (b) Secara ekonomi menguntungkan (economically feasible); penggunaan teknologi berdampak pada peningkatan sistem usahatani yang menguntungkan. (c) Secara sosial dapat diterima (socially acceptable); inovasi yang ditawarkan diterima dan tidak menyebabkan ketidakseimbangan sosial. (d) Lingkungan yang lestari dan berkelanjutan (environmentally safe and sustainable).
Mengembangkan Kapasitas Kelembagaan Petani Berdasarkan artikel-artikel dalam jurnal, pengembangan masyarakat, dikelompokkan tiga tema utama, yaitu: (a) Pendekatan self-help (membantu diri sendiri), (b) Pendekatan technical assistance (bantuan teknik), dan (c) Pendekatan conflict (konflik). Kelompok pendekatan self-help menekankan pada orientasi proses, dengan membantu masyarakat dalam belajar bagaimana mengatasi masalah mereka sendiri. Proses mencapai tujuan tersebut merupakan pembelajaran bagi masyarakat bagaimana meningkatkan kondisi mereka. Kelompok technical assistance menekankan pada penyelesaian tugas, memberi bantuan atau intervensi fisik yang didasarkan informasi teknik, meningkatkan situasi dengan pendekatan secara ekonomi maupun tanggung-jawab sosial. Pendekatan conflict menekankan adanya pembagian yang adil atas sumberdaya dalam masyarakat (Christenson, 1989). Secara umum perbandingan ketiga pendekatan pengembangan masyarakat dipaparkan dalam Tabel 2.2.
63
Tabel 2.2. Perbandingan Tiga Pendekatan Pengembangan Masyarakat Pendekatan Self-Help Technical Assistance
Peran Agen Perubahan Fasilitator, Pendidik Penasihat, konsultan
Conflict
Orientasi Tipe Sasaran
Kecepatan Keberlanjutan Perubahan Perubahan Lambat Memuaskan
Proses
Kelas menengah
Tugas
Pemimpin, Moderat administrator
Pengorganisasi, Proses & Masy.miskin, Cepat avokat tugas minoritas Sumber: Christenson (1989)
Baik Lemah
Kegiatan penyuluhan lebih menekankan pada pendekatan self-help, yang didasarkan premis bahwa masyarakat dapat, akan, dan seharusnya bersama-sama memecahkan permasalahan yang dihadapi. Menurut Littrell dan Hobbs (1989), diperlukan komitmen masyarakat untuk membantu dirinya sendiri, tanpa komitmen dalam suatu organisasi atau suatu kelompok akan terjadi kesenjangan kapasitas untuk mencapai efektivitas kegiatan. Pendekatan ini tidak hanya menekankan apa yang dicapai masyarakat, tetapi juga bagaimana untuk mancapainya. Terkait dengan kelembagaan petani, perlu ada penumbuhan kesadaran bagi masyarakat petani tentang pengaruh luar yang membatasi usahanya, selain identifikasi kebutuhan-kebutuhan yang timbul akibat pengaruh tersebut untuk selanjutnya menentukan pemenuhannya. Dalam perspektif pengembangan masyarakat, suatu komunitas dapat dipandang sebagai sebuah konfigurasi yang muncul dan dinamis dari kelompokkelompok dan tindakan-tindakan yang menunjukkan adanya asosiasi, pelaku, tindakan dan konfigurasi kepentingan. Asosiasi adalah organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok berada dalam komunitas yang memusatkan pada penyediaan layanan atau sumberdaya atau mengkoordinasi usaha-usaha lokal. Pelaku adalah pemimpin dan anggota dari asosiasi dan penduduk lain dari komunitas yang menantikan mobilisasi. Tindakan adalah proyek, kebijakan, atau tindakan lain untuk meningkatkan kemampuan pelaku yang didasarkan pada tujuan. Konfigurasi kepentingan adalah suatu perhatian komunitas yang diwujudkan dengan asosiasi, pelaku, dan tindakan. Pengembangan masyarakat diwujudkan melalui struktur
64
dan penyelesaian tugas. Pembangunan melibatkan asosiasi dan jaringan kerja pelaku, serta merealisasikan gambaran masyarakat (Garkovich, 1989). Alasan pentingnya pembangunan organisasi lokal sebagai komponen kunci dalam pengembangan kapasitas lokal dikemukakan oleh Esman dan Uphoff dalam Garkovich (1989) karena adanya empat tugas organisasi, yaitu: (a) tugas dalam organisasi (interorganizational task) memerlukan banyak cara dalam memediasi masyarakat dan negara, (b) tugas sumberdaya (resource tasks) mencakup mobilisasi sumberdaya lokal (tenaga kerja, modal, material, informasi) dan pengelolaannya dalam pencapaian tujuan masyarakat, (c) tugas pelayanan (service tasks) mungkin mencakup permintaan pelayanan yang menggambarkan tujuan pembangunan atau koordinasi permintaan masyarakat lokal, dan (d) tugas antar organisasi (extra-organizational task) memerlukan adanya permintaan lokal terhadap birokrasi atau organisasi luar masyarakat terhadap campur tangan oleh agen-agen luar. Dijelaskan Esman (1986) lebih lanjut, kerangka konseptual pengembangan kelembagaan meliputi: (a) Kepemimpinan, yang menunjuk pada kelompok orang yang secara aktif berkecimpung dalam perumusan doktrin dan program dari lembaga tersebut dan yang mengarahkan operasi-operasi dan hubungan-hubungannya dengan lingkungan tersebut. (b) Doktrin, yang dirumuskan sebagai spesifikasi dari nilai-nilai, tujuan-tujuan, dan metode-metode operasional yang mendasari tindakan sosial. (c) Program, menunjuk pada tindakan-tindakan tertentu yang berhubungan dengan pelaksanaan dari fungsi-fungsi dan jasa-jasa yang merupakan keluaran dari lembaga tersebut. (d) Sumberdaya-sumberdaya, yaitu masukan-masukan keuangan, fisik, manusia, teknologi dan penerangan dari lembaga tersebut. (e) Struktur intern, yaitu struktur dan proses-proses yang diadakan untuk bekerjanya lembaga tersebut dan bagi pemeliharaannya. Pengembangan kelembagaan bagi masyarakat petani dianggap penting karena beberapa alasan. Pertama, banyak masalah pertanian yang hanya dapat dipecahkan oleh suatu lembaga petani. Berbagai pelayanan kepada masyarakat petani,
65
seperti: pemberian kredit, pengelolaan irigasi, penjualan bahan-bahan pertanian, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut dapat berperan sebagai perantara antara lembaga-lembaga pemerintah atau lembaga-lembaga swasta dalam rangka sebagai saluran komunikasi atau untuk kepentingan-kepentingan yang lain. Kedua, organisasi masyarakat memberikan kelanggengan atau kontinuitas pada usaha-usaha untuk menyebarkan dan mengembangkan teknologi, atau pengetahuan teknis kepada masyarakat. Ketiga, untuk menyiapkan masyarakat agar mampu bersaing dalam struktur ekonomi yang terbuka. Masyarakat memperkuat diri dengan mengorganisir dalam suatu organisasi. Melalui organisasi tersebut masyarakat memperoleh pengalaman-pengalaman yang berharga dalam mengelola sumberdaya pertanian (Bunch, 1991). Kerjasama petani dapat mendorong penggunaan sumberdaya lebih efisien, sarana difusi inovasi dan pengetahuan (Reed, 1979). Pengembangan lembaga merupakan suatu perspektif tentang perubahan sosial yang direncanakan, yang menyangkut inovasi-inovasi yang menyiratkan perubahan-perubahan kualitatif dalam norma-norma, dalam pola-pola kelakuan, dalam hubungan-hubungan kelompok, dalam persepsi-persepsi baru mengenai tujuan-tujuan maupun cara-cara. Menurut Esman (1986) pengembangan kelembagaan dapat dirumuskan sebagai perencanaan, penataan, dan bimbingan dari organisasi-organisasi baru atau yang disusun kembali yang (a) mewujudkan perubahan-perubahan dalam nilai-nilai, fungsi-fungsi, teknologi-teknologi fisik, dan/atau sosial, (b) menetapkan, mengembangkan, dan melindungi hubunganhubungan normatif dan pola-pola tindakan yang baru, dan (c) memperoleh dukungan dan kelengkapan dalam lingkungan lembaga. Efektivitas pengembangan kelembagaan diukur berdasar berbagai kriteria, termasuk kemampuannya untuk menyediakan barang-barang dan jasa-jasa bagi orang-orang dengan kategori tertentu dan kemampuannya mempertahankan hidupnya dalam suatu jaringan dari unit-unit yang saling mengisi yang memajukan tingkat pertumbuhan sosialekonomi (Eaton, 1986). Sumardjo (2003) mengungkapkan gejala-gejala sosial yang mendorong kelompok tani berfungsi secara efektif antara lain: (a) Keanggotaan dan aktivitas kelompok lebih didasarkan pada masalah, kebutuhan, dan minat calon anggota.
66
(b) Kelompok berkembang mulai dari informal efektif dan berpotensi serta berpeluang untuk berkembang ke formal sejalan dengan kesiapan dan kebutuhan kelompok yang bersangkutan. (c) Status kepengurusan yang dikelola dengan motivasi mencapai tujuan bersama dan memenuhi kebutuhan dan kepentingan bersama, cenderung lebih efektif untuk meringankan beban bersama sesama anggota, dibanding bila pemecahan masalah dan pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan secara sendiri-sendiri. (d) Inisiatif anggota kelompok tinggi untuk berusaha meraih kemajuan dan keefektifan kelompok karena adanya keinginan kuat untuk memenuhi kebutuhannya. (e) Kinerja kelompok sejalan dengan berkembangnya kesadaran anggota, bila terjadi penyimpangan pengurus segera dapat dikontrol oleh proses dan suasana demokratis kelompok. (f) Agen pembaharu cukup berperan secara efektif sebagai pengembang kepemimpinan dan kesadaran kritis dalam masyarakat atas pentingnya peran kelompok. Disamping itu, yang dibutuhkan atas kehadiran penyuluh selain mengembangkan kepemimpinan adalah kemampuan masyarakat mengorganisir diri secara dinamis dalam memenuhi kebutuhan hidup berkelompok. (g) Kelompok tidak terikat harus berbasis sehamparan, karena yang lebih menentukan efektivitas dan dinamika kelompok adalah keefektifan pola komunikasi lokal dalam mengembangkan peran kelompok. Wileden (1970) mengemukakan prinsip-prinsip kerjasama antar individu dan kelompok dalam masyarakat, yaitu: (a) membangun kesadaran dan kebanggaan dalam masyarakat, (b) bekerja melalui dan penguatan keberadaan kelompok, (c) membangun kerjasama dan kepercayaan setempat, (d) menggunakan organisasi dalam bentuk yang paling sesuai, (e) berusaha untuk perubahan yang sesuai, (f) memelihara kepercayaan dan stabilitas, (g) mempersilahkan bantuan luar bila diperlukan, dan (h) bekerjasama dengan komonitas yang lain. Dalam penyuluhan pertanian, metode kelompok lebih menguntungkan dari media massa karena umpan balik yang dihasilkan mengurangi salah pengertian antara penyuluh dan petani. Interaksi ini memberi kesempatan untuk bertukar pengalaman maupun pengaruh terhadap perilaku dan norma para anggota kelompok.
67
Metode kelompok satu dengan yang lain berbeda di dalam kesempatan memperoleh umpan balik dan berinteraksi (van den Ban dan Hawkins, 1999). Keuntungan metode kelompok diungkapkan Albrecht dkk. (1989) sebagai berikut: (a) Jumlah petani yang dapat dicapai jumlahnya lebih banyak, (b) Menghemat waktu dibandingkan dengan metode individu, (c) Biaya per kapita kelompok sasaran berkurang, (d) Memungkinkan partisipasi yang lebih besar dari kelompok sasaran, (e) Adanya peningkatan penilaian kemampuan penyuluh oleh petani, dan (f) Teknik-teknik dinamika kelompok dapat digunakan untuk meningkatkan perluasan informasi dan meningkatkan kesediaan petani membuat keputusan. Keberadaan kelembagaan petani cenderung lemah di banyak negara sedang berkembang. Masalah kelembagaan tani dan kepemimpinan petani dalam penyuluhan pertanian memerlukan pemecahan melalui peningkatan partisipasi petani dan memaksimalkan peran organisasi petani. The World Bank (1996) memberikan kiat untuk keberlangsungan keberadaan kelompok, yaitu:
Kelompok menujukan pada suatu kebutuhan yang dirasakan dan kepentingan umum. Ketika orang merasakan adanya permasalahan yang umum, mereka dapat disatukan melalui kegiatan kelompok dan menggerakkan mereka untuk mengubah situasi dengan dukungan pihak luar.
Manfaat kegiatan kelompok lebih besar daripada biaya. Manfaat-manfaat yang diperoleh bisa: ekonomi (tabungan, peningkatan produksi, pendapatan, dan penghematan waktu), pembentukan modal sosial (meningkatkan kemampuan pemecahan masalah secara kolektif), meningkatkan kapasitas individu (pengetahuan dan ketrampilan), psikologis (rasa memiliki dan kepercayaan), atau politis (akses kewenangan yang lebih besar, kewenangan yang lebih besar, dan pengurangan konflik). Menurut van den Ban dan Hawkins (1999) penyuluhan dapat memainkan
peran yang berbeda-beda mengenai organisasi petani, diantaranya: (1) mengajari petani bagaimana mencapai tujuan mereka secara lebih efektif dengan mendirikan dan mengelola sebuah organisasi petani yang efektif; (2) menggunakan organisasi tersebut sebagai perantara untuk berkomunikasi dengan petani melalui cara:
68
(a) berpartisipasi di dalam pertemuan-pertemuan organisasional, (b) mengajar di kursus-kursus yang dikelola oleh organisasi ini bagi para anggotanya, (c) menulis artikel di jurnal mereka, (d) melibatkan wakil-wakil organisasi dalam merencanakan program penyuluhan, dan (e) mendorong tukar-menukar pengalaman dan informasi antar anggota; (3) bekerja sebagai karyawan pada dinas penyuluhan organisasi. Efektivitas kegiatan penyuluhan sangat tergantung pada partisipasi sasaran dalam suatu kegiatan. Diperlukan suatu strategi yang tepat untuk membangun partisipasi masyarakat. The World Bank (1997) memberikan panduan berupa prinsip-prinsip kunci dalam praktik pembangunan partisipasi, sebagai berikut:
Keunggulan masyarakat; menempatkan kepentingan, kebutuhan, dan kepuasan masyarakat dalam kerangka kegiatan atau proyek.
Ketrampilan dan pengetahuan masyarakat harus dilihat sebagai sumbangan positif yang potensial bagi proyek. Partisipasi adalah berbuat dengan pengembangan kapasitas masyarakat, dan hal ini dapat dicapai melalui pembangunan dan penguatan pengetahuan dan keahlian masyarakat.
Partisipasi masyarakat hendaknya memberdayakan perempuan; memberikan peran yang lebih besar kepada perempuan dalam pengambilan keputusan.
Kemandirian sebagai lawan mengawasi; mengurangi pengawasan dan meningkatkan tanggungjawab pada masyarakat lokal.
Aksi lokal sebagai lawan respons lokal; mendorong masyarakat lokal untuk membuat keputusan dan mengambil tindakan dalam parameter yang luas.
Menyediakan untuk beberapa spontanitas dalam petunjuk proyek; kegiatan dikembangkan sesuai kemampuan masyarakat lokal. Upaya penyuluhan dapat dilakukan dengan membangun kelompok sehing-
ga menjadi lebih efektif. Howard, Baker, dan Forest (1994) mengidentifikasi tahapan pembangunan kelompok dalam empat tahap, yaitu: (a) Tahap uji-coba dan ketergantungan (testing and dependency), (b) Tahap pencarian dengan konflik (marked by conflict), (c) Tahap pembangunan kekompakan kelompok (the development of team cohesion), dan (d) Tahap pencarian dengan pemecahan masalah
69
yang membangun (market by constructive problem solving). Selama dalam proses tahapan tersebut, pemimpin menentukan perhatiannya atas dua hal, yaitu: orientasi pada tugas, di setiap tahapan dapat ditentukan perilaku tertentu yang mengarah pada tugas; orientasi pada hubungan individu, diperlukan tindakan yang berbeda kepada anggota sesuai dengan kepribadiannya. Berdasarkan pada dimensi hubungan individu dan fungsi tugas, dapat diringkas perilaku-perilaku pada tahapan pembangunan kelompok sebagai berikut: Tabel 2.3. Tahapan Pembangunan Kelompok
Tahap Orientasi Pada Hubungan Individu I Ketergantungan (dependency) II Konflik (conflict) III Kohesi (cohesion) IV Saling tergantung (interdependency)
Orientasi Pada Fungsi Tugas
Orientasi (orientation) Organization (organisasi) Aliran data (data-flow) Pemecahan masalah (problem solving)
Sumber: Howard, Baker, dan Forest (1994) Keberadaan organisasi dan kelembagaan di tingkat lokalitas petani akan memperluas partisipasi petani. Chamala dan Shingi (1997) mengemukakan beberapa permasalahan yang mempengaruhi partisipasi petani dalam organisasi, yaitu:
Derajat ketergantungan petani pada out-put dari kegiatan yang diorganisasi.
Derajat kepastian dari tersedianya out-put.
Tingkat out-put yang akan tersedia sebagai hasil kegiatan kolektif.
Tingkat penghargaan dihubungkan dengan tindakan kolektif yang didistribusikan secara merata.
Tingkat ketersediaan penghargaan dalam kerangka waktu yang dikorbankan.
Tingkat penghargaan yang sepadan dengan biaya untuk partisipasi.
70
KERANGKA BERFIKIR
Arti Penting Kelembagaan Kelompok Petani Dalam Pembangunan Pertanian Pembangunan pertanian pada dasarnya meliputi pengembangan dan peningkatan pada faktor-faktor: teknologi, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan kelembagaan (Uphoff, 1986; Johnson (1985) dalam Pakpahan, 1989). Faktorfaktor tersebut merupakan syarat kecukupan (sufficient condition) untuk mencapai performance pembangunan yang dikehendaki. Artinya, apabila satu atau lebih dari faktor tersebut tidak tersedia atau tidak sesuai dengan persyaratan yang diperlukan, maka tujuan untuk mencapai performance tertentu yang dikehendaki tidak akan dapat dicapai. Salah satu permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya pertanian adalah masalah kelembagaan pertanian yang tidak mendukung. Untuk itu perlu adanya pembangunan kelembagaan pertanian yang dilandasi pemikiran bahwa: (a) Proses pertanian memerlukan sumberdaya manusia tangguh yang didukung infrastruktur, peralatan, kredit, dan sebagainya; (b) Pembangunan kelembagaan untuk pertanian lebih rumit daripada manajemen sumberdaya alam karena memerlukan faktor pendukung dan unit-unit produksi; (c) Kegiatan pertanian mencakup tiga rangkaian: penyiapan input, mengubah input menjadi produk dengan usaha tenaga kerja dan manajemen, dan menempatkan output menjadi berharga; (d) Kegiatan pertanian memerlukan dukungan dalam bentuk kebijakan dan kelembagaan dari pusat hingga lokal; dan (e) Kompleksitas pertanian, yang meliputi unit-unit usaha dan kelembagaan, sulit mencapai kondisi optimal. Kelembagaan pertanian dibentuk pada dasarnya mempunyai beberapa peran, yaitu: (a) tugas dalam organisasi (interorganizational task) untuk memediasi masyarakat dan negara, (b) tugas sumberdaya (resource tasks) mencakup mobilisasi sumberdaya lokal (tenaga kerja, modal, material, informasi) dan pengelolaannya dalam pencapaian tujuan masyarakat, (c) tugas pelayanan (service tasks) mungkin mencakup permintaan pelayanan yang menggambarkan tujuan pembangunan atau koordinasi permintaan masyarakat lokal, dan (d) tugas antar organisasi (extra-organizational task) memerlukan adanya permintaan lokal ter-
71
hadap birokrasi atau organisasi luar masyarakat terhadap campur tangan oleh agen-agen luar (Esman dan Uphoff dalam Garkovich, 1989). Kelembagaan merupakan keseluruhan pola-pola ideal, organisasi, dan aktivitas yang berpusat di sekeliling kebutuhan dasar. Suatu kelembagaan pertanian dibentuk selalu bertujuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan petani sehingga lembaga mempunyai fungsi.
kelembagaan merupakan konsep yang berpadu
dengan struktur, artinya tidak saja melibatkan pola aktivitas yang lahir dari segi sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi juga pola organisasi untuk melaksanakannya. Pengelolaan sumberdaya usahatani oleh petani menyangkut pengaturan masukan, proses produksi, serta keluaran sehingga mencapai produktivitas yang tinggi. Kegiatan usaha pertanian akan berhasil jika petani mempunyai kapasitas yang memadai. Untuk dapat mencapai produktivitas dan efisiensi yang optimal petani harus menjalankan usaha bersama secara kolektif. Untuk keperluan ini diperlukan pemahaman mengenai suatu kelembagaan di tingkat petani. Secara tradisional, kelembagaan masyarakat petani sudah berkembang dari generasi ke generasi, namun tantangan jaman menuntut suatu kelembagaan yang lebih sesuai dalam memenuhi kebutuhan masyarakat petani. Kelembagaan petani yang efektif ini diharapkan mampu mendukung pem-bangunan pertanian. Di tingkat petani lembaga diperlukan sebagai: (a) wahana untuk pendidikan, (b) kegiatan komersial dan organisasi sumberdaya pertanian, (c) pengelolaan properti umum, (d) membela kepentingan kolektif, dan (e) lain-lain. Keberadaan kelembagaan kelompok petani didasarkan atas kerjasama yang dapat dilakukan oleh petani dalam mengelola sumberdaya pertanian, antara lain: (a) pemprosesan (processing), agar lebih cepat, efisien dan murah; (b) pemasaran (marketing), akan meyakinkan pembeli atas kualitas dan meningkatkan posisi tawar petani; (c) pembelian (buying), agar mendapatkan harga lebih murah; (d) pemakaian alat-alat pertanian (machine sharing), akan menurunkan biaya atas pembelian alat tersebut; (e) kerjasama pelayanan (co-operative services), untuk menyediakan pelayanan untuk kepentingan bersama sehingga meningkatkan kesejahteraan anggota; (f) bank kerjasama (co-operative bank); (g) kerjasama usahatani (co-operative farming), akan diperoleh keuntungan lebih tinggi dan kese-
72
ragaman produk yang dihasilkan; dan (h) kerjasa multi-tujuan (multi-purpose cooperatives), yang dikembangkan sesuai minat yang sama dari petani. Kegiatan bersama (group action atau co-operation) oleh para petani diyakini oleh Mosher (1991) sebagai faktor pelancar pembangunan pertanian. Aktivitas bersama sangat diperlukan apabila dengan kebersamaan tersebut akan lebih efektif dalam mencapai tujuan yang diinginkan bersama. Penelitian ini memfokuskan pada kelembagaan petani, yaitu: kelembagaan kelompok petani. Kelembagaan kelompok petani yang dimaksud adalah berada pada kawasan lokalitas (local institution) yaitu desa, berupa organisasi keanggotaan (membership organization) atau kerjasama (cooperatives) yaitu petanipetani yang tergabung dalam kelompok (Uphoff, 1986). Kelembagaan ini mencakup juga pengertian organisasi petani. Artinya, selain ‘aturan main’ (role of the game) atau aturan perilaku yang menentukan pola-pola tindakan dan hubungan sosial, termasuk juga kesatuan sosial-kesatuan sosial yang merupakan wujud kongkrit dari lembaga itu (Anwar, 2003; Ruttan, 1985; Uphoff, 1986).
Mengembangkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani Kemandirian (self-reliance) petani diyakini sebagai muara dari suatu usaha pembangunan pertanian. Sarana untuk mencapai kemandirian adalah adanya keswadayaan. Kemandirian dan keswadayaan individu dapat terwujud melalui proses-proses sosial dalam kelembagaan yang ada di masyarakat (Christenson dan Robinson, 1989; ECDPM, 2006). Melalui interaksi yang dibangun antar individu dalam masyarakat terjadi proses pembelajaran yang mampu meningkatkan kapasitas individu. Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan berbagai aspirasi masyarakat yang selalu berkembang diperlukan suatu kelembagaan yang mempunyai kapasitas yang memadai. Kapasitas atau capacity, menurut Kamus Webster, merujuk pada kemampuan untuk atau melakukan (ability for or to do); kesanggupan (capability); suatu keadaan yang memenuhi syarat (a condition of being qualified). Kapasitas kelembagaan dapat diartikan sebagai kemampuan kelembagaan untuk mencapai tujuan atau visinya. Perkembangan dan perubahan yang terjadi di masyarakat menuntut upaya pengembangan kapasitas kelembagaan.
73
Pengembangan kelembagaan merupakan suatu proses perubahan sosial berencana yang dimaksudkan sebagai sarana pendorong proses perubahan dan inovasi. Proses transformasi kelembagaan pada petani melalui pembanguan atau pengembangan kelembagaan seyogyanya dapat menjadikan kelembagaan menjadi bagian penting dalam ke-hidupan petani untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan usahataninya. Pengembangan kapasitas kelembagaan kelompok petani merupakan suatu perspektif tentang perubahan sosial yang direncanakan, yang menyangkut inovasi-inovasi yang menyiratkan perubahan-perubahan kualitatif dalam normanorma, dalam pola-pola kelakuan, dalam hubungan-hubungan kelompok, dalam persepsi-persepsi baru mengenai tujuan-tujuan maupun cara-cara. Pembangunan lembaga dapat dirumuskan sebagai perencanaan, penataan, dan bimbingan dari organisasi-organisasi baru atau yang disusun kembali yang (a) mewujudkan perubahan-perubahan dalam nilai-nilai, fungsi-fungsi, teknologi-teknologi fisik, dan/atau sosial, (b) menetapkan, mengembangkan, dan melindungi hubunganhubungan normatif dan pola-pola tindakan yang baru, dan (c) memperoleh dukungan dan kelengkapan dalam lingkungan lembaga (Esman, 1986). Pengembangan kelembagaan diarahkan pada upaya peningkatan kapasitasnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan anggota. Artinya, secara sosial-ekonomis lembaga tersebut: (a) mempunyai kemampuan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya; (b) sejauhmana inovatif (mengadakan pembaharuan) dipandang oleh lingkungannya sebagai memiliki nilai intrinsik, yang dapat diukur secara operasional dengan indeks-indeks seperti tingkat otonominya dan pengaruhnya terhadap lain-lain lembaga; dan (c) sejauh mana suatu pola inovatif dalam organisasi baru itu menjadi normatif bagi lain-lain kesatuan sosial dalam sistem sosial yang lebih besar (Jiri Nehnevajsa dalam Eaton, 1986). Unsur-unsur dalam lembaga, seperti dikemukakan Esman (1986), dapat dijadikan parameter untuk menilai kapasitas suatu lembaga: (a) Adanya kepemimpinan, yang menunjuk pada kelompok orang yang secara aktif berkecimpung dalam perumusan doktrin dan program dari lembaga tersebut dan yang mengarahkan operasi-operasi dan hubungan-hubungannya dengan lingkungan tersebut.
74
(b) Adanya spesifikasi nilai-nilai, tujuan-tujuan, dan metode-metode operasional yang mendasari tindakan sosial anggota. (c) Adanya program, menunjuk pada tindakan-tindakan tertentu yang berhubungan dengan pelaksanaan dari fungsi-fungsi dan jasa-jasa yang merupakan keluaran dari lembaga tersebut. (d) Adanya sumberdaya-sumberdaya, yaitu masukan-masukan keuangan, fisik, manusia, teknologi dan penerangan dari lembaga tersebut. (e) Terbentuknya struktur intern, yaitu struktur dan proses-proses yang diadakan untuk bekerjanya lembaga tersebut dan bagi pemeliharaannya. Pengembangan kelembagaan bagi masyarakat petani dianggap penting karena beberapa alasan. Pertama, banyak masalah pertanian yang hanya dapat dipecahkan oleh suatu lembaga petani. Kedua, organisasi masyarakat memberikan kelanggengan atau kontinuitas pada usaha-usaha untuk menyebarkan dan mengembangkan teknologi, atau pengetahuan teknis kepada masyarakat. Ketiga, untuk menyiapkan masyarakat agar mampu bersaing dalam struktur ekonomi yang terbuka (Bunch, 1991). Kerjasama petani dapat mendorong penggunaan sumberdaya lebih efisien, sarana difusi inovasi dan pengetahuan (Reed, 1979). Kelembagaan kelompok petani dalam melaksanakan perannya memerlukan pengorganisasian dengan ketrampilan-ketrampilan khusus untuk memberikan dorongan dan bantuan secara sistematis. Secara ideal, pengembangan kapasitas kelembagaan kelompok petani dilakukan melalui pendekatan self-help (membantu diri sendiri). Pendekatan yang berorientasi proses, membantu masyarakat dalam belajar bagaimana mengatasi masalah mereka sendiri. Penyuluhan didasarkan premis bahwa masyarakat dapat, akan, dan seharusnya bersama-sama memecahkan permasalahan yang dihadapi. Untuk itu diperlukan komitmen masyarakat untuk membantu dirinya sendiri, tanpa komitmen dalam kelembagaan akan terjadi kesenjangan kapasitas untuk mencapai efektivitas kegiatan. Dalam kelembagaan kelompok petani, perlu ada penumbuhan kesadaran bagi petani tentang pengaruh luar yang membatasi usahanya, serta identifikasi kebutuhan-kebutuhan yang timbul akibat pengaruh tersebut untuk selanjutnya menentukan pemenuhannya. Berdasarkan kajian pustaka, peneliti mencoba merumuskan kapasitas kelembagaan petani seperti terlihat pada Tabel 3.1.
75
Tabel 3.1. Identifikasi Kapasitas Kelembagaan Petani Dimensi-dimensi Teoritis 1. Tipe Kelembagaan lokal Uphoff (1986): Administrasi lokal Pemerintahan lokal Organisasi keanggotaan Kerjasama Organisasi pelayanan Bisnis pribadi 2. Unsur-unsur lembaga (Koentjaraningrat, 1990): Sistem norma Tata kelakuan Peralatan/fasilitas Personil
6. Efektivitas (Sumardjo, 2003): Kebutuhan anggota Informal formal Pemenuhan bersama Kesadaran anggota Kehadiran agen Pola-pola komunikasi 7. Manfaat (Esman, 1986) Mewujudkan perubahan Mengembangkan pola tindakan Memperoleh dukungan kelembagaan
8. Peran (Esman & Uphoff dalam Garkovich, 1989) 3. Unsur pembangunan lembaga Tugas dalam organisasi (Esman, 1986): Tugas sumberdaya lokal; Kepemimpinan; peran & Tenaga kerja, modal, material, fungsi, kualitas, distribusi informasi kewenangan Tugas pelayanan Doktrin; nilai-nilai, tujuan, Tugas antar organisasi metode operasional Program; fungsi-fungsi: pero9. Fungsi (Soekanto, 1997) lehan, pengaturan, pemeli Pedoman haraan, & pengerahan sum Kesatuan/keutuhan berdaya, pengelolaan konflik Pengendalian sosial Sumberdaya; pendanaan, fisik, manusia, teknologi 10. Peranan di pertanian (Van den Struktur intern; pembagian Ban & Hawkins, 1999) peranan, pola wewenang, Pendidikan sistem komunikasi, Komersial dan organisasi komitmen anggota Pengelolaan properti Membela kepentingan kolektif 4. Ciri-ciri lembaga (Shaffer & Lain-lain Schmid dalam Pakpahan, 1989): 11. Prinsip kerjasama (Wileden, Batas jurisdiksi; otoritas 1970) Property right; hak & kewa Kesadaran & kebanggaan jiban Kekompakan Aturan representasi; hak pe Kepercayaan ngambilan keputusan Bentuk yang sesuai Perubahan 5. Efektivitas (Jiri Nehnevajsa Kepercayaan dan stabilitas dalam Eaton, 1986): Bantuan luar Fungsi dan peran Kerjasama dg komunitas lain Keinovatifan; nilai intrinsik Keberlanjutan; tingkat otonomi, pencapaian tujuan
Parameter Terpilih Kapasitas Kelembagaan petani dilihat dalam empat perspektif, yaitu: 1. Pencapaian tujuan lembaga Indikator-indikator: a. Keberadaan dan kejelasan tujuan b. Kesesuaian tujuan dengan kebutuhan anggota c. Tingkat pemenuhan kebutuhan anggota 2. Fungsi dan peran lembaga dalam mengelola sumberdaya lokal (tenaga kerja, modal, material, dan informasi) Indikator-indikator: a. Fungsi perolehan sumberdaya lokal b. Fungsi pengaturan sumberdaya lokal c. Fungsi pemeliharaan sumberdaya lokal d. Fungsi pengerahan sumberdaya lokal e. Fungsi pengelolaan konflik 3. Keinovatifan lembaga petani Indikator-indikator: a. Kepemimpinan: Peran pemimpin Fungsi pemimpin b. Doktrin: Nilai-nilai yang mendasari Tujuan kerjasama c. Struktur lembaga: Pembagian peran anggota Pola kewenangan Komitmen anggota d. Sumberdaya: Pendanaan, Manusia Fisik, Teknologi 4. Keberlanjutan lembaga petani Indikator-indikator: a. Sentimen anggota b. Kesadaran anggota c. Kekompakan anggota d. Kepercayaan anggota e. Ketersediaan bantuan luar f. Pola-pola komunikasi g. Derajat kerjasama dengan kelompok/organisasi lain
76
Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Kelompok Petani Secara normatif, pembangunan di Indonesia mengarah pada pencapaian masyarakat yang adil makmur dan keadilan sosial ekonomi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Untuk mencapai kondisi tersebut, salah satu upaya yang bisa ditempuh adalah menggerakkan partisipasi masyarakat. Perlu adanya partisipasi emansipatif, yaitu: partisipasi dalam pembangunan bukan semata-mata dalam pelaksanaan program, rencana dan kebijakan pembangunan, tetapi sedapat mungkin penentuan alokasi sumber-sumber ekonomi semakin mengacu pada motto pembangunan: dari, oleh, dan untuk rakyat. Pembangunan sebagai proses peningkatan kemampuan manusia untuk menentukan masa depannya mengandung arti bahwa masyarakat perlu dilibatkan dalam proses itu, masyarakat perlu berperanserta. Peranserta bukan semata-mata melibatkan masyarakat dalam tahap perencanaan atau dalam evaluasi proyek belaka. Dalam peranserta tersirat makna dan integritas keseluruhan proyek itu. Peranserta merupakan sikap keterbukaan terhadap persepsi dan perasaan pihak lain; peranserta berarti perhatian mendalam mengenai perbedaan atau perubahan yang akan dihasilkan suatu proyek sehubungan dengan kehidupan masyarakat; peranserta adalah kesadaran mengenai kontribusi yang dapat diberikan oleh pihak-pihak lain untuk suatu kegiatan. Salah satu upaya untuk mengembangkan partisipasi masyarakat adalah melalui organisasi-organisasi lokal (Uphoff, et.al. dalam Bryant dan White, 1982). Keterlibatan petani dalam kelembagaan diperlukan karena berbagai alasan, antara lain: Pertama, banyak masalah pertanian yang hanya dapat dipecahkan oleh suatu lembaga petani. Berbagai pelayanan kepada masyarakat petani, seperti: pemberian kredit, pengelolaan irigasi, penjualan bahan-bahan pertanian, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut dapat berperan sebagai perantara antara lembagalembaga pemerintah atau lembaga-lembaga swasta dalam rangka sebagai saluran komunikasi atau untuk kepentingan-kepentingan yang lain. Kedua, organisasi masyarakat memberikan kelanggengan atau kontinuitas pada usaha-usaha untuk menyebarkan dan mengembangkan teknologi, atau pengetahuan teknis kepada masyarakat. Ketiga, untuk menyiapkan masyarakat agar mampu bersaing dalam
77
struktur ekonomi yang terbuka.
Masyarakat memperkuat diri dengan meng-
organisir dalam suatu organisasi. Melalui organisasi tersebut masyarakat memperoleh pengalaman-pengalaman yang berharga dalam mengelola sumberdaya pertanian (Bunch, 1991). Kerjasama petani dapat mendorong penggunaan sumberdaya lebih efisien, sarana difusi inovasi dan pengetahuan (Reed, 1979). Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi adanya tiga faktor utama yang mendukungnya, yaitu: (a) kemauan, (b) kemampuan, dan (c) kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi (Slamet, 1992). Masyarakat perlu mengalami proses belajar untuk mampu mengetahui kesempatan-kesempatan untuk memperbaiki kehidupan. Setelah itu, kemampuan atau ketrampilan perlu ditingkatkan agar dapat memanfaatkan kesempatan-kesempatan itu. Diperlukan usaha khusus untuk membuat masyarakat mau bertindak memanfaatkan kesempatan memperbaiki kehidupannya. Partisipasi masyarakat dalam lembaga-lembaga lokal merupakan manifestasi keberdayaan masyarakat. Petani yang berdaya, menurut Susetiawan (2000) adalah petani yang secara politik dapat mengartikulasikan (menyampaikan perwujudan) kepentingannya, secara ekonomi dapat melakukan proses tawar-menawar dengan pihak lain dalam kegiatan ekonomi, secara sosial dapat mengelola mengatur komunitas dan mengambil keputusan secara mandiri, dan secara budaya diakui eksistensinya. Pemahaman tentang pemberdayaan masyarakat merupakan suatu strategi yang menitikberatkan pada bagaimana memberikan peran yang proporsional agar masyarakat dapat berperan secara aktif dalam aktivitas sosial kemasyarakatan. Untuk upaya tersebut diperlukan proses pendidikan untuk mengubah sikap masyarakat, dan untuk membangkitkan kegairahan dan hasrat serta kepercayaan akan kemampuan sendiri, dapat meningkatkan kemampuan swadaya (self help) perorangan dan kelompok untuk memperbaiki nasib sendiri. Disamping itu, diperlukan peningkatan kesadaran dan partisipasi politik di kalangan penduduk, serta meningkatkan semangat gotong-royong dengan memperkokoh lembaga-lembaga demokrasi dan memperluas dasar kepemimpinan masyarakat.
78
Berbagai bentuk atau tahapan partisipasi seperti dikemukakan oleh Ndraha (1990) antara lain: (a) Partisipasi dalam/melalui kontak dengan pihak lain (contact change) sebagai salah satu titik awal perubahan sosial; (b) Partisipasi dalam memperhatikan/menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima (mentaati, memenuhi, melaksanakan), mengiakan, menerima dengan syarat, maupun dalam arti menolaknya; (c) Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk pengambilan keputusan (penetapan rencana); (d) Partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan; (e) Partisipasi dalam menerima, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan; dan (f) Partisipasi dalam menilai pembangunan. Beberapa alasan petani berpartisipasi dalam keputusan-keputusan yang berkaitan dengan program pembangunan antara lain: (1) Petani memiliki informasi yang sangat penting untuk merencanakan program; (2) Mereka lebih termotivasi untuk bekerja sama dalam program jika ikut bertanggung-jawab di dalamnya; (3) Masyarakat yang demokratis secara umum menerima bahwa rakyat yang terlibat berhak berpartisipasi dalam keputusan mengenai tujuan yang ingin dicapai; dan (4) Banyaknya permasalahan pembangunan pertanian, tidak mungkin dipecahkan secara perorangan. Partisipasi kelompok sasaran dalam keputusan kolektif sangat dibutuhkan. Strategi pembangunan di negara-negara berkembang memerlukan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaannya karena berbagai pertimbangan yaitu: (a) meningkatkan integrasi, (b) meningkatkan hasil dan merangsang penerimaan yang lebih besar terhadap kriteria hasil, (c) membantu menghadapi permasalahan nyata dari kesenjangan tanggapan terhadap perasaan, kebutuhan, masalah, dan pandangan komunitas lokal, (d) membawa kualitas hasil (output) lebih tinggi dan berkualitas, (e) meningkatkan jumlah dan ketepatan informasi, dan (f) memberikan operasi yang lebih ekonomis dengan penggunaan lebih banyak sumberdaya manusia lokal dan membatasi transportasi dan manajemen yang mahal (Claude dan Zamor, 1985). Berdasarkan kajian pustaka, peneliti mengidentifikasi partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani seperti tertera pada Tabel 3.2.
79
Tabel 3.2. Identifikasi Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Dimensi-dimensi Teoritis Tipologi (Pretty dalam Pretty dan Vodouhe, 1997): 1. Partisipasi pasif 2. Partisipasi informasi 3. Partisipasi konsultasi 4. Partisipasi insentif 5. Partisipasi fungsional 6. Partisipasi interaktif 7. Mandiri Tipologi (Howard, Baker, & Forest, 1994): 1. Keterlibatan fisik 2. Keterlibatan sosial 3. Keterlibatan psikologis Jenis (Slamet, 2004): 1.Memberi input, menerima imbalan, & menikmati hasil 2.Memberi input & menikmati hasil 3.Memberi input & menerima imbalan, tanpa menikmati hasil scr langsung 4.Menikmati hasil tanpa ikut memberi input 5.Memberi input tanpa menerima imbalan, & tidak menikmati hasil Alasan (Howard, Baker, & Forest, 1994): Pengaruh masyarakat Rasa tanggung-jawab Mempunyai kemampuan Ekspresi dan aktualisasi Pilihan kualitas hidup Minat Lingkup Kegiatan (Ndraha, 1990): Perencanaan Pelaksanaan Memanfaatkan Memelihara Menilai Prasyarat (Slamet, 1992): Kemampuan Kemauan Kesempatan
Arti penting (IADB, 2001): Memberdayakan & menggerakkan Memperbaiki kegiatan/proyek Pembelajaran Menguatkan kapasitas Manfaat (Claude & Zamor, 1985): Meningkatkan integrasi Hasil dan penerimaan Menghadapi masalah Kualitas hasil meningkat Jumlah dan ketepatan informasi Efisiensi Prinsip-prinsip (Uphoff dalam Bryant & White, 1982): Partisipasi & program satu kesatuan Didasarkan pada organisasi lokal Distribusi lebih adil Menciptakan mata rantai Prinsip-prinsip pembangunan partisipasi (The World Bank, 1997): Keunggulan masyarakat Ketrampilan & pengetahuan lokal sebagai potensi Memberdayakan perempuan Kemandirian vs. mengawasi Aksi lokal vs. respons lokal Disediakan spontanitas lokal Mekanisme (IADB, 2001): 1. Memberi informasi 2. Konsultatif 3. Penilaian bersama 4. Memberi kesempatan mengambil keputusan 5. Kolaborasi 6. Pemberdayaan
Parameter Terpilih Partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani dilihat dalam dua aspek, yaitu: 1. Intensitas berdasarkan lingkup kegiatan dalam organisasi a. Perencanaan dalam kegiatan b. Pelaksanaan kegiatan c. Pemanfaatan hasil kegiatan d. Pemeliharaan kegiatan e. Penilaian terhadap kegiatan Intensitas dilihat berdasarkan tipologi keterlibatannya, dari keterlibatan pasif sampai dengan mandiri atau dari keterlibatan fisik sampai dengan psikologis 2. Kualitas yang didasarkan pada: a. Alasan keikutsertaan, meliputi: Kesadaran/kerelaan Tanggung-jawab/peran Fungsi peran yang dilakukan Derajat pemenuhan kebutuhan Derajat motivasi kerjasama Derajat potensi yang dimiliki untuk berpartisipasi b. Manfaat yang diperoleh, meliputi: Informasi yang diperoleh Peningkatan kualitas hasil pertanian Efisiensi pengelolaan sumberdaya pertanian Kemudahan dalam pemecah an masalah yang dihadapi Derajat integrasi antar anggota
80
Pengembangan Kapasitas Petani Petani merupakan orang yang menjalankan usahatani atau melakukan usaha untuk memenuhi sebagian atau seluruh kehidupannya di bidang pertanian. Ciriciri masyarakat petani (peasant), seperti: (a) satuan keluarga (rumah tangga) petani adalah satuan dasar dalam masyarakat desa yang berdimensi ganda; (b) petani hidup dari usahatani, dengan mengolah tanah (lahan); (c) pola kebudayaan petani berciri tradisional dan khas; (d) petani menduduki posisi rendah dalam masyarakat, mereka adalah “orang kecil” terhadap masyarakat di atas-desa (Shanin dalam Sayogyo, 1993); menunjukkan kompleksitas dan keragaman kapasitas yang dimiliki oleh petani. Partisipasi petani dalam pembangunan diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat petani. Agar dapat berpartisipasi diperlukan suatu proses belajar sehingga petani mampu melihat kesempatan-kesempatan untuk memperbaiki kehidupan. Diperlukan kemampuan atau ketrampilan dan kemauan bertindak agar dapat memanfaatkan kesempatan tersebut. Artinya, perlu suatu kedewasaan individu agar mampu merespons dengan benar atau berperilaku sesuai kapasitas yang diharapkan. Kapasitas petani direpresentasikan pada kemampuannya memainkan peran, yang berdimensi ganda, dalam komunitas mereka sehingga mampu merespons perubahan-perubahan yang terjadi. Kapasitas petani dilihat dalam perspektif peran sesuai dengan statusnya sebagai petani, pengelola, individu, dan anggota masyarakat (Mosher, 1966). Kapasitas menandakan ciri-ciri kedewasaan seseorang, seperti: perkembangan penuh (full growth), perasaan terhadap pandangan (sense of perspective), dan kemandirian (autonomy) Rogers (1994). Kapasitas individu dapat dibedakan dalam tiga ranah manusia, yaitu: (a) kognitif, (b) afektif, dan (c) psikomotor. Kemampuan petani menunjukkan kualitas manusia dalam mengatasi berbagai macam persoalan yang dihadapi. Kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan harus didahului oleh suatu proses belajar. Ketersediaan sumberdaya material atau teknologi erat kaitannya dengan kemampuan atau kualitas diri dalam mengembangkan potensi yang dimiliki untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi. Seringkali ketersediaan sumberdaya, teknologi, dan
81
kesempatan belajar tidak mampu diakses oleh masyarakat sehingga perlu ada kesediaan pihak luar memfasilitasi masyarakat berpartisipasi. Kemauan partisipasi bersumber pada faktor psikologis individu yang menyangkut emosi dan perasaan yang melekat pada diri manusia. Faktor-faktor yang menyangkut emosi dan perasaan ini sangat kompleks sifatnya, sulit diamati dan diketahui dengan pasti, dan tidak mudah dikomunikasikan, akan tetapi selalu ada pada setiap individu dan merupakan motor penggerak perilaku manusia. Faktor yang menarik minat masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan apabila dengan berpartisipasi akan memberikan manfaat, dan dengan kemanfaatan itu dapat memenuhi keperluan-keperluan masyarakat setempat (Goldsmith dan Blustain dalam Jahi, 1988). Selain itu kebutuhan masyarakat merupakan faktor pendorong timbulnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Partisipasi dalam kelembagaan petani merupakan kesadaran kolektif individu dalam suatu masyarakat yang diwujudkan bentuk kerjasama untuk memecahkan berbagai permasalahan secara bersama. Kesadaran ini merupakan wujud modal sosial (social capital) yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Terdapat serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok (Fukuyama, 2000). Jika para anggota kelompok mengharapkan bahwa anggota-anggota yang lain berperilaku jujur dan terpercaya, maka mereka akan saling mempercayai. Kepercayaan menjadi sarana kelompok atau organisasi menjadi lebih efisien. Inti dari modal sosial adalah kepercayaan (trust) dan kerja-sama (cooperation) (Krishna, 2000). Dalam kehidupan nyata, modal sosial terwujud dalam enam tipe, yaitu: (1) family and kinship connections (keluarga dan hubungan kekerabatan); (2) social networks (jaringan kerja sosial), atau asosiasi kehidupan; (3) crosssectoral linkages (hubungan lintas sektoral); (4) sosiopolitical capital (modal sosio-politik); (5) institutional and policy framework (jaringan kerja kelembagaan dan kebijakan); dan (6) social norms and value (nilai dan norma-norma sosial). (Harriss dan Renzio (1997) dalam Carroll (2001). Dalam wujudnya tersebut diidentifikasi adanya: (a) kewajiban-kewajiban dan harapan-harapan, yang tergantung pada kepercayaan lingkungan sosial; (b) kemampuan aliran informasi dari struktur sosial; dan (c) Adanya norma yang disertai sanksi (Coleman, 2000).
82
Untuk menjelaskan perilaku sosial petani dalam kelembagaan petani digunakan perspektif sosiologi dan perspektif psikologi. Beberapa teori sosiologi yang dimaksud untuk menjelaskan fenomena yang diteliti, berhubungan dengan prosesproses sosial yang meningkatkan integrasi dan solidaritas. Kelembagaan atau organisasi petani dipandang sebagai gejala sosial yang riil dan mempengaruhi kesadaran petani serta perilakunya yang berbeda dari karakteristik psikologis, biologis, atau karakteristik individu lainnya.
Sebaliknya, kelembagaan atau organisasi
petani sebagai sesuatu yang didasarkan pada motivasi individu dan tindakantindakan sosial mereka (Weber dalam Johnson, 1994). Tindakan-tindakan sosial, yang tercermin dari perilaku sosial petani dalam kelembagaan petani, dapat dijelaskan melalui berbagai teori, seperti: analisis kebutuhan sosial, teori perbandingan sosial (social comparison theory), teori insentif, teori pilihan rasional, teori expectancy-value, teori pilihan rasional, teori pertukaran (Sear dkk., 1992). Selain itu, untuk memperjelas interaksi tatap muka dan dinamika-dinamika sosial, diantaranya proses-proses sosial dalam kelembagaan petani, peneliti mencoba mengaitkan dengan teori pertukaran Homans dan teori pertukaran Blau (Johnson, 1990). Di tingkat struktur sosial, peneliti juga mengaitkan dengan teori Parsons yang menjelaskan bahwa tindakan sosial itu diarahkan pada tujuannya dan diatur secara normatif. Dalam teori ini, orientasi-orientasi alternatif terhadap tujuan dan norma dimasukkan dalam seperangkat variabel berpola yang menggambarkan pilihan-pilihan yang harus dibuat oleh individu, baik secara implisit maupun secara eksplisit, dalam hubungan sosial apa saja. Variabel-variabel tersebut mencakup: (a) Afektivitas versus netralitas afektif, (b) Orientasi diri (self-orientation) versus orientasi kolektivitas, (c) Universalisme versus partikularisme, (d) Askripsi versus prestasi (achievement), dan (e) Spesifitas versus kekaburan (diffuseness). Variabel-variabel berpola ini merupakan suatu kerangka untuk menganalisa nilai budaya, penghargaan peran sistem sosial, dan pengaturan kebutuhan pribadi secara serempak (Johnson, 1990). Berdasarkan kajian pustaka, peneliti merumuskan kapasitas petani berdasarkan kemampuan yang miliki atas statusnya seperti tampak pada Tabel 3.3.
83
Tabel 3.3. Identifikasi Kapasitas Petani Dimensi-dimensi Teoritis
Parameter Terpilih
Peranan petani (Mosher, 1966): Juru tani (cultivator); kemampuan bercocok tanam Pengelola (menejer); kemampuan mengambil keputusan Perorangan; kemampuan bekerja, belajar, berfikir kreatif Anggota masyarakat; kemampuan menyesuaikan diri
Kapasitas petani ditunjukkan dalam kemampuan atas status yang dimiliki, meliputi: 1. Kemampuan sebagai petani (pengelola usahatani); Sebagai pengelola usahatani mengarah pada usahatani yang lebih baik (better farming), mengelola faktor-faktor produksi lebih baik (better organization), dan berusahatani dalam lingkungan yang semakin baik (better environment). Kemampuan yang harus dimiliki mencakup: a. Bercocok tanam atau teknik usahatani b. Memanfaatkan potensi sumberdaya alam c. Mengambil keputusan usahatani d. Mempunyai sense of agribusiness e. Mempunyai ketrampilan agribisnis f. Berorientasi pada pertanian masa depan
Ruang lingkup penyuluhan (Anonim dalam Pambudy dan Adhi, 2002) Better farming; Budidaya lebih baik Better organization; Pengembangan usahatani Better community; Pengembangan kelembagaan Better environment; Pengembangan lingkungan Better living; Pengembangan hidup lebih sejahtera Tujuan penyuluhan pertanian (Soedijanto, 2004): Kemandirian material; memanfaatkan potensi sda Kemandirian intelektual; mengemukakan pendapat Kemandirian pembinaan; mengembangkan diri proses belajar Kemandirian interdependensi; saling ketergan-tungan (sistem sosial) Pengembangan sdm petani (Rahadian dkk., 2004): Pengetahuan luas Sikap dan perilaku mandiri Sense of agribusiness Ketrampilan agribisnis Ketangguhan menghadapi masalah Content penyuluhan (Campbell dan Barker, 1997): Technically feasible; dapat dilakukan Economically feasible; menguntungkan Socially acceptable; dapat diterima Environmentally safe and sustainable; lestari & berkelanjutan Kedewasaan seseorang (Rogers, 1992): Full growth Sense of prespective Autonomy Ranah pada manusia Bloom (Knowles, 1978): Kognitif Afektif Psikomotorik
2. Kemampuan sebagai anggota masyarakat; Sebagai anggota masyarakat mengarah pada kehidupan sosial yang lebih baik (better community). Kemampuan yang dimiliki mencakup: a. Menyesuaikan diri dengan komunitas b. Mengembangkan kerjasama dalam memecahkan masalah bersama c. Membangun jejaring d. Kepemimpinan dalam masyarakat 3. Kemampuan sebagai pribadi dan kepala keluarga; Sebagai pribadi dan kepala keluarga, petani mempunyai kemampuan untuk belajar yang mengarah pada ke dewasaan dan kehidupan yang lebih baik (better living). Kemampuan-kemampuan yang dimiliki meliputi: a. Mempunyai pengetahuan luas b. Mempunyai sikap dan perilaku mandiri c. Tangguh dalam menghadapi masalah
84
Peningkatan Kapasitas Petani Melalui Kedinamisan Kelompok Petani Secara umum kelompok-kelompok petani ada karena berbagai alasan: (a) sarana individu untuk saling berinteraksi; (b) petani melihat diri mereka sebagai bagian dari kelompok itu; (c) adanya saling tergantung; (d) petani bersama-sama bergabung untuk mencapai satu tujuan; (e) petani mencoba untuk memenuhi beberapa kebutuhan melalui penggabungan diri mereka (joint association); (f) membangun interaksi yang teratur (terstruktur) oleh atau dengan seperangkat peran dan norma; kumpulan individu yang saling mempengaruhi. Berbagai faktor mempengaruhi keberadaan atau kedinamisan suatu kelompok meliputi: (a) struktur kelompok, (b) karakteristik individu anggota, dan (c) proses-proses yang dibangun kelompok. Struktur kelompok meliputi: ukuran, waktu, lokasi, aturan (formal atau informal), kesukarelaan, keanggotaan (terbuka atau tertutup), pola-pola komunikasi yang dibangun, komunikasi (satu atau dua tahap), apakah struktur memperbolehkan umpan balik, tipe dan status tujuantujuan kelompok, dan kesepakatan antar anggota. Karakteristik individu anggota, meliputi: peran yang dijalankan, reaksi perilaku individu, status setiap individu di luar kelompok, tanggapan individu terhadap tekanan kelompok, tanggapan individu terhadap kewengan, tanggapan individu terhadap kerukunan, agenda terselubung, pengalaman kelompok, kelompok rujukan yang dimiliki oleh anggota yang mempengaruhi sikapnya di kelompok lain. Proses-proses yang dibangun kelompok terdiri atas lima tahapan, yaitu: (a) Tahap pra-afiliasi (pre-affiliation stage), investigasi individu apakah kelompok disukai atau tidak; (b) Tahap perjuangan untuk kekuasaan dan pengendalian (struggle for power and control stage), anggota mengetahui kedudukannya dalam hubungannya dengan anggota lain; (c) Tahap menuju kerukunan (move to intimacy stage), anggota menikmati beberapa kesepakatan di dalam norma-norma; (d) Tahap diferensiasi (differentiation stage), kelompok membagi pekerjaan yang harus dikerjakan; dan (e) Tahap pemisahan (separation stage), persiapan dibuat untuk akhir dan kelompok dievaluasi. Interaksi individu dalam suatu kelompok dapat dilihat dalam perspektif sistem sosial. Tindakan sosial secara umum dapat dianalisis dengan melihat
85
unsur-unsur dari sistem sosial dan proses-proses sosial yang terjadi. Secara teoritis, kelompok yang dinamis ditandai dengan keberadaan unsur-unsur sosial dan terjadinya proses-proses atas unsur-unsur tersebut. Secara empiris, kelompok petani yang dinamis ditentukan oleh peranannya dalam meningkatkan pemenuhan kebutuhan petani, yaitu: (a) sebagai media sosial yang hidup dan wajar (dinamis), (b) berorientasi untuk mencapai perubahan sesuai dengan tujuan yang disepakati, dan (c) penyatuan aspirasi (cita-cita hidup) antara anggotanya. Interaksi antar anggota kelompok akan memberi kesempatan untuk bertukar pengalaman maupun pengaruh terhadap perilaku dan norma para anggota kelompok. Kelompok sebagai wahana belajar-mengajar, merupakan wadah bagi setiap anggotanya untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap dalam berusahatani yang lebih baik dan menguntungkan. Hal ini akan meningkatkan perluasan informasi dan meningkatkan kesediaan petani membuat keputusan, meningkatkan kepercayaan diri. Selain itu, kelompok menjadi sarana pembentukan modal sosial, yaitu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah secara kolektif.
Berbagai Faktor Internal dan Eksternal Petani Faktor-faktor Internal Petani Uphoff (1986) memaparkan kegiatan-kegiatan pertanian, yang mencakup in-put, produksi, dan output secara lebih spesifik sebagai berikut: (1) Kegiatan-kegiatan input, meliputi: (a) Input-input material, seperti: benih, pupuk, bahan kimia: (herbisida, insektisida, fungisida), tenaga kerja, peralatan, dan pakan ternak; (b) Input-input modal; (c) Input-input umum, seperti: akses lahan, teknologi, dan kebijakan; (d) Input-input tidak langsung, seperti: pengelolaan sumberdaya alam, infrastruktur pedesaan, dan pengembangan sumberdaya manusia. (2) Kegiatan-kegiatan produksi, meliputi: (a) tenaga kerja, dan (b) manajemen. (3) Kegiatan-kegiatan output, meliputi: (a) penyimpanan, (b) pengolahan, (c) pengangkutan, dan (d) pemasaran.
86
Pengelolaan sumberdaya pertanian menyangkut pengaturan masukan dan keluaran dalam proses produksi pertanian sehingga mencapai produktivitas yang tinggi. Untuk menjalankan proses produksi pertanian, petani tidak hanya menguasai pengetahuan dan ketrampilan yang memadai mengenai input dan teknik budidaya pertanian, tetapi juga harus memahami kondisi alam, seperti: cuaca. Untuk dapat mencapai produktivitas dan efisiensi yang optimal tidak jarang petani harus menjalankan usaha bersama secara kolektif dengan petani lain.
Untuk
keperluan ini diperlukan pemahaman mengenai suatu kelembagaan. Secara tradisional, kelembagaan masyarakat petani sudah berkembang dari generasi ke generasi, namun tantangan jaman menuntut suatu kelembagaan yang lebih sesuai dalam memenuhi kebutuhan masyarakat petani. Perilaku petani, dalam mengelola sumberdaya pertanian, ditentukan oleh apa yang telah dipelajari sebelumnya (Sear, Freedman, dan Peplau, 1992). Belajar merupakan perubahan dalam individu (Crow dan Crow; Burton; Haggard dalam Knowles, 1978), sebagai hasil pengalaman yang berkaitan dengan interaksi individu dengan lingkungannya. Perubahan ini menyangkut kebiasaan, pengetahuan, dan sikap mental. Secara umum ada tiga mekanisme utama belajar pada manusia, yaitu: asosiasi atau classical conditioning, reinforcement, dan imitasi. Asosiasi merupakan kondisi dimana seseorang berperilaku tertentu karena mengasosiasikan dengan pengalaman sebelumnya. Dasar dari reinforcement menyatakan bahwa orang belajar menampilkan perilaku tertentu karena perilaku itu disertai dengan sesuatu yang menyenangkan dan dapat memuaskan kebutuhan (atau mereka belajar menghindari perilaku yang disertai akibat-akibat yang tidak menyenangkan). Sedangkan imitasi menjelaskan bahwa orang mempelajari sikap dan perilaku sosial dengan meniru sikap dan perilaku yang menjadi model. Dalam teori belajar ada tiga ciri khusus yang membedakan dengan pemikiran yang lain, yaitu: (a) sebab-sebab perilaku diduga terletak terutama pada pengalaman belajar individu di masa lampau; (b) cenderung menempatkan penyebab perilaku terutama pada lingkungan eksternal dan tidak pada pengartian subjektif individu terhadap apa yang terjadi; (c) biasanya diarahkan untuk menjelaskan perilaku yang nyata dan bukan keadaan subjektif atau psikologis.
87
Teori belajar sosial oleh Bandura menyatakan bahwa sumber penyebab perilaku bukan hanya eksternal (faktor lingkungan) tetapi juga internal (faktor kognitif) (Sarwono, 2002). Dijelaskan faktor kesadaran juga dianggap penting. Proses belajar sosial lebih daripada internalisasi norma-norma dan nilai-nilai. Belajar sosial berarti pula belajar untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan kerja sama serta kegiatan-kegiatan yang mengandung pertentangan, guna mengatasi situasi-situasi yang baru dan mencapai tujuan-tujuan di dalam suatu konteks kesempatan dan keterbatasan. Orientasi ke pemecahan masalah penting bagi keikutsertaan yang efektif, khususnya dalam suatu masyarakat yang kompleks dan berubah-ubah (Jaeger, 1985). Gagne (1965) mengidentifikasi lima domain proses belajar, masing-masing mempunyai praxis, yaitu: (a) Motor skills (ketrampilan gerak), yang dikembangkan melalui praktik; (b) Verbal information (informasi tulis), syarat utama untuk belajar yang penyajiannya di dalam suatu pengelolaan; (c) Intellectual skills (ketrampilan intelektual), belajar yang diperlukan sebagai prasyarat ketrampilan; (d) Cognitive strategies (strategi kognitif), belajar yang memerlukan pengulangan kesempatan dimana keraguan berfikir hadir; (e) Attitudes (sikap), dipelajari secara sangat efektif melalui penggunaan model-model kemanusiaan dan “vicarious reinforcement”. Terkait dengan belajar bagi orang dewasa, Lindeman dalam Knowles (1978) mengidentifikasi beberapa anggapan sebagai dasar teori belajar orang dewasa sebagai berikut: (a) Orang dewasa termotivasi untuk belajar apabila sesuai minat dan kebutuhan sehingga belajarnya akan memuaskan, ini merupakan awal yang tepat untuk memulai aktivitas belajar; (b) Orientasi belajar orang dewasa adalah dipusatkan pada kehidupan, oleh karena itu unit yang tepat bagi pengelolaan belajar adalah situasi kehidupan; (c) Pengalaman merupakan sumber belajar, oleh karena itu metode logi pendidikan orang dewasa adalah analisis pengalaman; (d) Orang dewasa mempunyai kemandirian, oleh karena itu peran pengajar mengajak dalam proses penyelidikan saling menguntungkan; (e) Perbedaan antar individu meningkat, sehingga pendidikan orang dewasa harus membuat penyediaan secara optimal bagi perbedaan dalam gaya, waktu, tempat, dan langkah belajar.
88
Faktor-faktor Eksternal Petani Proses-proses perubahan perilaku, melalui belajar, tidak terlepas dari lingkungan yang berada di luar individu atau pihak-pihak yang mempunyai pengaruh kuat terhadap perilaku individu. Kepemimpinan dalam kelompok, oleh Beebe dan Masterson (1994) dianggap sebagai perilaku yang mempengaruhi, menuntun, memerintah, atau mengendalikan kelompok. Kajian kepemimpinan menyangkut tiga perspektif, yaitu: perspektif sifat, perspektif fungsional, dan perspektif situasional. Kajian perspektif sifat memperlihatkan adanya serangkaian sifat tertentu yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Kajian perspektif fungsional menguji kepemimpinan sebagai perilaku yang mungkin dapat dikerjakan bersama anggota kelompok untuk memaksimalkan efektivitas kelompok, seperti: tuntutan, pengaruh, atau pengendalian. Kajian perspektif situasional mengakomodasi semua faktorfaktor: perilaku, kebutuhan tugas dan kebutuhan proses, juga memperhitungkan gaya kepemimpinan dan situasi. Hersey, Blancad, dan Johnson (1996) mengemukakan tiga kemampuan umum seorang pemimpin adalah kemampuan dalam: (a) Mendiagnosa, memahami situasi yang akan dipengaruhi; (b) Adaptasi, menentukan kombinasi perilaku dan sumberdaya yang dimiliki dengan situasi yang sesuai; dan (c) Komunikasi, berinteraksi yang mudahdipahami dan diterima dengan orang lain. Kemampuan memotivasi adalah bentuk keterampilan (skill) yang dimiliki oleh seseorang (pemimpin) dalam melakukan berbagai kegiatan atau cara yang bertujuan memotivasi atau menggerakkan bawahan agar berprilaku seperti yang diinginkan. Kemampuan memotivasi termasuk dalam kategori interpersonal skill (Katz dan Mann dalam Yukl, 1998). Interpersonal skill adalah ketrampilan untuk melakukan hubungan antar pribadi meliputi: pengetahuan tentang manusia dan proses-proses hubungan antar pribadi, kemampuan untuk mengerti perasaan, sikap, serta motivasi orang lain dari apa yang mereka katakana dan lakukan (emphaty, sensitivitas sosial), kemampuan untuk dapat berkomunikasi secara jelas dan efektif (kemahiran berbicara, kemampuan menyakinkan orang/persuasiveness), serta kemampuan untuk membuat hubungan yang efektif dan kooperatif (kebijaksanaan, diplomasi, ketrampilan mendengarkan, pengetahuan mengenai
89
perilaku sosial yang dapat diterima). Ketrampilan antar pribadi berperan meningkat efektivitas perilaku pemimpin atau manajer yang berorientasi pada hubungan. Pembangunan merupakan salah satu bentuk perubahan sosial yang direncanakan karena diasumsikan bahwa perubahan tersebut dapat dikendalikan ke sasaran yang tepat.
Menurut Lippit; Watson dan Wesley (1958) perubahan
berencana adalah perubahan yang terjadi karena adanya keputusan kita untuk memperbaiki sistem kepribadian, sistem kelompok, sistem organisasi, dan sistem kemasyarakatan dengan tujuan untuk memperoleh tingkat kehidupan yang lebih baik dan memuaskan melalui pertolongan yang diberikan oleh agen-agen perubahan. Penyuluhan pertanian terselenggara sebagai salah satu usaha untuk mendukung pembangunan pertanian di Indonesia. Mosher (1991) menempatkan penyuluhan pertanian sebagai faktor pelancar pembangunan (the accelerators of agricultural development). Penyuluhan pertanian bagi petani dianggap penting karena kemampuan petani dan keputusan-keputusan yang diambil mengenai pelaksanaan usahatani akan sangat menentukan bagi tingkat kecepatan pembangunan pertanian. Slamet (2003) menegaskan penyuluhan pertanian masa depan perlu didasarkan pada visi dan misi yang secara jelas menempatkan petani dan usahatani sebagai sentral; pendekatan yang lebih humanistik, yaitu melihat petani sebagai manusia yang berpotensi, yang dihargai untuk dikembangkan kemampuannya menuju kemandiriannya. Dalam kaitan itu orientasi visi dan misi kelembagaan penyuluhan kembali ke khitah penyuluhan itu sendiri, yaitu pengembangan pemberdayaan petani sehingga petani lebih mampu meningkatkan kesejahteraan diri, keluarga dan masyarakatnya secara mandiri dan tidak tersubordinasi oleh kepentingan pihak lain dalam pengembangan usahataninya. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian perlu lebih profesional, antara lain memerlukan reorientasi: (a) Dari instansi ke pengembangan kualitas individu penyuluh, (b) Dari pendekatan top down ke bottom up, (c) Dari hirarkhi kerja vertikal ke horizontal, (d) Dari pendekatan instruktif ke partisipatif dan dialogis, dan (e) Dari sistem kerja linier ke sistem kerja jaringan.
90
Dalam penyuluhan pertanian, metode kelompok lebih menguntungkan dari media massa karena umpan balik yang dihasilkan mengurangi salah pengertian antara penyuluh dan petani. Interaksi ini memberi kesempatan untuk bertukar pengalaman maupun pengaruh terhadap perilaku dan norma para anggota kelompok (van den Ban dan Hawkins, 1999). Keuntungan metode kelompok diungkapkan Albrecht dkk. (1989) sebagai berikut: (a) Jumlah petani yang dapat dicapai jumlahnya lebih banyak, (b) Menghemat waktu dibandingkan dengan metode individu, (c) Biaya per kapita kelompok sasaran berkurang, (d) Memungkinkan partisipasi yang lebih besar dari kelompok sasaran, (e) Adanya peningkatan penilaian kemampuan penyuluh oleh petani, dan (f) Teknik-teknik dinamika kelompok dapat digunakan untuk meningkatkan perluasan informasi dan meningkatkan kesediaan petani membuat keputusan. Dalam kegiatan penyuluhan dengan khalayak sasaran kelompok, perlu upaya untuk mempengaruhi keberadaan atau kedinamisan suatu kelompok. Golembiewski (1962) dalam Vernelle (1994) mengemukakan tiga kategori faktor situasi kelompok, yaitu: (a) struktur kelompok, (b) karakteristik individu anggota, dan (c) proses-proses yang dibangun kelompok. Struktur kelompok meliputi: ukuran, waktu, lokasi, aturan (formal atau informal), kesukarelaan, keanggotaan (terbuka atau tertutup), pola-pola komunikasi yang dibangun, komunikasi (satu atau dua tahap), apakah struktur memperbolehkan umpan balik, tipe dan status tujuan-tujuan kelompok, dan kesepakatan antar anggota. Karakteristik individu anggota, meliputi: peran yang dijalankan, reaksi perilaku individu, status setiap individu di luar kelompok, tanggapan individu terhadap tekanan kelompok, tanggapan individu terhadap kewenangan, tanggapan individu terhadap kerukunan, agenda terselubung, pengalaman kelompok, kelompok rujukan yang dimiliki oleh anggota yang mempengaruhi sikapnya di kelompok lain. Semakin dinamis situasi kelompok akan mendorong pada peningkatan kapasitas individu dan partisipasinya dalam kelompok tersebut. Berdasarkan uraian di atas secara skematis kerangka berfikir yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 3.1. dan Gambar 3.2.
91
FAKTOR-FAKTOR INTERNAL: Status Sosial Ekonomi Petani Kebutuhan Petani Pengalaman Belajar
Partisipasi dalam Kelembagaan Kelompok Petani Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani
Kedinamisan Kelompok Pembelajar
FAKTOR-FAKTOR EKSTERNAL: Kepemimpinan Lokal Peran Pihak Luar Dukungan Penyuluhan
Kapasitas Petani
Gambar 3.1. Kerangka Berfikir Teoritis
Status Sosial Ekonomi (X1) X1.1. Umur X1.2. Pendidikan Formal X1.3. Pendidikan Non-formal X1.4. Pengalaman Ber-UT X1.5. Tk. Pendapatan X1.6. Tk. Partisipasi sosial
Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan (Y3) Y3.1. Intensitas keterlibatan Y3.2. Kualitas keterlibatan
Tingkat Kebutuhan (X2) X2.1. Kebutuhan Usahatani X2.2. Kebutuhan Sosial Pengalaman Belajar (X3) X3.1. Kontak dg media massa X3.2. Interaksi dg penyuluh X3.3. Interaksi dg petani lain X3.4. Interaksi dg pedagang Tk. Kepemimpinan Lokal (X4) X4.1. Fungsional X4.2. Situasional Intensitas Peran Pihak Luar (X5) X5.1. Pemerintah X5.2. Lembaga swadaya masyarakat X5.3. Lembaga komersial
Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani (Y4) Y4.1. Pencapaian tujuan Y4.2. Fungsi & peran Y4.3. Keinovatifan Y4.4. Keberlanjutan
Tingkat Kedinamisan Kelompok Pembelajar (Y1)
Kapasitas Petani (Y2) Y2.1. Petani sebagai pengelola UT Y2.2. Petani sbg anggota masyarakat Y2.3. Petani sebagai pribadi & KK
Tingkat Dukungan Penyuluhan (X6) X6.1. Kompetensi penyuluh X6.2. Pendekatan X6.3. Kelembagaan
Gambar 3.2. Hubungan Antar Variabel
92
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka berfikir, maka diajukan hipotesis kerja sebagai berikut: (1) Kedinamisan kelompok dipengaruhi secara nyata oleh status sosial ekonomi petani, tingkat kebutuhan petani, pengalaman belajar, tingkat kepemimpinan lokal, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan penyuluhan. (2) Kapasitas petani dipengaruhi secara nyata oleh tingkat kedinamisan kelompok pembelajar, status sosial ekonomi petani, tingkat kebutuhan petani, pengalaman belajar, tingkat kepemimpinan lokal, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan penyuluhan. (3) Tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok tani dipengaruhi secara nyata oleh tingkat kedinamisan kelompok pembelajar, tingkat kapasitas petani, status sosial ekonomi, tingkat kebutuhan petani, pengalaman belajar, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan penyuluhan. (4) Tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan dipengaruhi secara nyata oleh kapasitas petani yang ditunjukkan oleh kemampuan petani sebagai petani, kemampuan petani sebagai anggota masyarakat, dan peran petani sebagai pribadi dan kepala keluarga. (5) Tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani dipengaruhi secara nyata oleh tingkat kapasitas petani yang ditunjukkan oleh kemampuan sebagai pengelola usahatani, kemampuan petani sebagai anggota masyarakat, dan kemampuan sebagai pribadi. (6) Tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani dipengaruhi secara nyata oleh tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani yang ditunjukkan dengan intensitas partisipasi dan kualitas partisipasi. (7) Tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani dipengaruhi secara nyata oleh partisipasi petani dalam kelembagaan, kapasitas petani, tingkat kedinamisan kelompok pembelajar, status sosial ekonomi, tingkat kebutuhan petani, pengalaman belajar, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan penyuluhan.
93
METODE PENELITIAN Variabel, Definisi Operasional dan Pengukuran Model teoritis yang diuji dalam penelitian ini meliputi beberapa bentuk hubungan antar variabel. Berbagai bentuk hubungan antar variabel tersebut mencakup sepuluh variabel utama penelitian sebagai berikut: (1) Status Sosial Ekonomi Petani (X1) (2) Tingkat Kebutuhan Petani (X2) (3) Tingkat Pengalaman Belajar (X3) (4) Tingkat Kepemimpinan Lokal (X4) (5) Intensitas Peran Pihak Luar (X5) (6) Tingkat Dukungan Penyuluhan (X6) (7) Tingkat Kedinamisan Kelompok Pembelajar (Y1) (8) Tingkat Kapasitas Petani (Y2) (9) Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Petani (Y3) (10) Tingkat Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani (Y4) Kesepuluh variabel penelitian yang terpilih ini diuji arah dan bentuk hubungan secara statistik seperti dinyatakan dalam hipotesis penelitian. Definisi operasional merupakan salah satu unsur penelitian yang memberitahukan “bagaimana” caranya mengukur suatu variabel penelitian (Singarimbun dan Effendi, 1995). Dalam pengukuran perlu diperhatikan kedekatan antara realitas sosial yang diteliti dengan ‘nilai’ yang diperoleh dari pengukuran. Instrumen pengukur dipandang baik apabila hasilnya dapat merefleksikan secara tepat realitas atau fenomena yang hendak diukur. Pengukuran pada dasarnya adalah upaya peneliti menghubungkan antara konsep dengan realitas yang akan diukur. Dalam pengukuran perlu ada proses konseptualisasi dan operasionalisasi sehingga tujuan penelitian tercapai. Konseptualisasi adalah proses dimana kita menentukan secara tepat apa yang kita maksudkan ketika kita gunakan istilah-istilah khusus. Operasionalisasi dilakukan untuk menjelaskan variabel yang berasal dari suatu konsep abstrak. Variabelvariabel itu perlu diperjelas dan diubah bentuknya sehingga dapat diukur dan digunakan secara operasional. Dengan kata lain, perlu ada indikator-indikator
94
empiris yang bisa menjadi tanda atau fakta yang menjelaskan konsep yang yang menjadi pusat perhatiannya (Babbie, 1983; Chadwick, Bahr, dan Albrecht, 1991). Dalam penelitian ini pengukuran dilakukan terhadap sepuluh variabel utama sebagai berikut: Status Sosial Ekonomi Petani (X1) Status Sosial Ekonomi Petani adalah karakteristik, bersifat sosial dan ekonomi, dimiliki oleh petani yang menunjukkan stratifikasi petani dalam masyarakat. Terdapat enam parameter status sosial ekonomi petani yang dioperasionalkan dalam bentuk indikator, seperti terlihat pada Tabel 6, yaitu: umur (X1.1), pendidikan formal (X1.2), pendidikan non-formal (X1.3), pengalaman berusahatani (X1.4), tingkat pendapatan petani (X1.5), dan tingkat partisipasi sosial (X1.6). Pengukuran indikator dilakukan untuk mendapatkan informasi karakteristik pribadi petani dalam kontinum, nilai total terendah (sama dengan jumlah indikator) dan tertinggi (sama dengan jumlah skor maksimum). Setiap indikator merupakan skala ordinal dengan simbol 1, 2, 3, 4, 5. Berdasarkan Tabel 4.1., untuk pengujian statistik, ukuran karakteristik pribadi petani digunakan empat parameter. Melalui proses transformasi tiap parameter memiliki nilai 0 – 100. Pedoman transformasi berdasarkan rumus sebagai berikut: (a) Transformasi indeks parameter Jumlah skor yang dicapai per parameter − jumlah skor terkecil Indeks transformasi =
x 100 Selisih skor maksimum – skor minimum tiap parameter
Keterangan: Selang nilai Indeks Transformasi Indikator 1 – 100 (b) Transformasi indeks variabel Jumlah indeks parameter tiap variabel Indeks transformasi =
x 100 Jumlah total maksimum tiap variabel
Keterangan: Selang nilai Indeks Transformasi Indikator 1 – 100
95
Tabel 4.1. Parameter dan Indikator Status Sosial Ekonomi Petani Variabel/Parameter (X1) Status Sosial Ekonomi Petani (X1.1) Umur (X1.2) Tingkat pendidikan formal (X1.3) Tingkat pendidikan nonformal (X1.4) Pengalamanan berusahatani
(X1.5) Tingkat Pendapatan (X1.6) Tingkat Partisipasi Sosial
Indikator (1) Lama (tahun) (1) Lama (tahun) (1) Macam pendidikan (2) Intensitas pendidikan yang diperoleh (3) Kesesuaian dengan bidang usaha (1) Lama berusahatani (2) Intensitas dalam melakukan kegiatan (3) Macam kegiatan yang telah dilakukan (1) Jumlah (rupiah) (1) Intensitas dalam kegiatan sosial (2) Kualitas dalam mengikuti kegiatan sosial
Tingkat Kebutuhan Petani (X2) Tingkat kebutuhan petani adalah suatu kondisi kejiwaan pada petani yang memerlukan pemenuhan agar memperoleh ketentraman hidup, mencakup dua parameter, yaitu: tingkat kebutuhan usahatani (X2.1), dan tingkat kebutuhan sosial (X2.2). Indikator selengkapnya ditampilkan pada Tabel 4.2. Tabel 4.2. Parameter dan Indikator Tingkat Kebutuhan Petani Variabel/Parameter (X2) Tingkat Kebutuhan Petani (X2.1) Tingkat Kebutuhan Usahatani
(X2.2) Tingkat Kebutuhan Sosial
Indikator (1) Kecukupan penguasaan lahan pertanian (2) Ketersediaan tenaga kerja (3) Tersedianya sarana produksi sesuai dengan jenis dan kebutuhan (4) Tersedianya dana pada saat dibutuhkan (5) Ketersediaan teknologi yang sesuai (6) Manajemen usahatani (1) Pemanfaatan waktu luang untuk kegiatan keluarga (2) Pemanfaatan waktu luang untuk kegiatan sosial (3) Jumlah sumbangan sosial (4) Keberhasilan yang telah dicapai
96
Pengalaman Belajar (X3) Pengalaman belajar adalah kondisi yang dialami oleh petani dalam mengakses informasi yang ada dan menghasilkan perubahan perilaku dalam pengelolaan usahatani. Empat parameter variabel ini meliputi: akses media massa (X3.1), interaksi dengan penyuluh (X3.2), interaksi dengan petani lain (X3.3), dan interaksi dengan pedagang (X3.4). Secara rinci indikator-indikator variabel ini dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3. Parameter dan Indikator Pengalaman Belajar Variabel/Parameter (X3) Pengalaman Belajar (X3.1) Akses Media Massa
(X3.2) Interaksi dengan Penyuluh (X3.3) Interaksi dengan Petani lain (X3.4) Interaksi dengan Pedagang
Indikator (1) Jenis media massa yang diakses (2) Frekuensi dalam mengakses media (3) Kesesuaian informasi dengan kebutuhan usahatani (1) Jumlah tatap muka yang dilakukan (2) Kualitas tatap muka (1) Intensitas tatap muka yang dilakukan (2) Kualitas tatap muka (1) Intensitas tatap muka yang dilakukan (2) Kualitas tatap muka
Tingkat Kepemimpinan Lokal (X4) Tingkat kepemimpinan lokal adalah lingkungan personal yang mempengaruhi perilaku individu dalam interaksi sosial dan pengelolaan usahatani, meliputi: fungsional (X4.1), dan situasional (X4.2). Indikator selengkapnya terlihat pada Tabel 4.4. Tabel 4.4. Parameter dan Indikator Tingkat Kepemimpinan Lokal Variabel/Parameter (X4) Tingkat Kepemimpinan Lokal (X4.1) Fungsional
(X4.2) Situasional
Indikator (1) Adanya proses instrumental (2) Adanya proses proses internalisasi (3) Adanya proses identifikasi (1) Perilaku yang berorientasi hubungan (2) Perilaku yang berorientasi pada tugas
97
Intensitas Peran Pihak Luar (X5) Intensitas peran pihak luar adalah kondisi lingkungan yang mempunyai sifat menekan dan mempengaruhi pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya usahatani, meliputi: pemerintah (X5.1), lembaga swadaya masyarakat (X5.2), dan lembaga komersial (X5.3). Indikator selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.5. Tabel 4.5. Parameter dan Indikator Intensitas Peran Pihak Luar Variabel/Parameter
Indikator
(X5) Intensitas Peran Pihak Luar (X5.1) Pemerintah
(1) Keberadaan kebijakan (2) Efektivitas implementasi kebijakan (3) Koordinasi antar instansi (4) Kesesuaian dengan kebutuhan petani
(X5.2) Lembaga Swadaya Masyara- (1) Jumlah lembaga yang relevan kat (2) Macam dukungan terhadap petani (3) Intensitas dukungan (X5.3) Lembaga Komersial
(1) Jumlah lembaga komersial yang terkait (2) Macam interaksi dengan petani (3) Intensitas interaksi yang dilakukan (4) Bentuk dukungan (5) Sifat hubungan
Tingkat Dukungan Penyuluhan (X6) Tingkat dukungan penyuluhan adalah segala bentuk layanan yang diterima petani dari kelembagaan penyuluhan dalam meningkatkan kemampuan petani melalui peningkatan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan petani dalam mengelola sumberdaya usahatani. Tiga parameter variabel ini meliputi: kompetensi penyuluh (X6.1), pendekatan penyuluhan (X6.2), dan kelembagaan penyuluhan (X6.3). Indikator selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.6.
98
Tabel 4.6. Parameter dan Indikator Tingkat Dukungan Penyuluhan Variabel/Parameter
Indikator
(X6) Tingkat Dukungan Penyuluhan (X6.1) Kompetensi Penyuluh
(X6.2) Pendekatan penyuluhan
(X6.3) Kelembagaan penyuluhan
(1) Penguasaan materi yang dibutuhkan petani (2) Kemampuan berkomunikasi secara konvergen (3) Sikap egalitarian terhadap sasaran (4) Komitmen terhadap profesi penyuluhan partisipatif (1) Kesesuaian informasi (2) Ketepatan metode interaktif yang digunakan (3) Penggunaan teknik-teknik penyuluhan yang partisipatif (4) Penggunaan media penyuluhan (1) Ketersediaan program penyuluhan partisipatif (2) Kemudahan akses secara partisipatif (3) Dukungan fasilitas yang diperlukan (4) Kontinuitas pelaksanaan program
Tingkat Kedinamisan Kelompok Pembelajar (Y1) Tingkat kedinamisan kelompok pembelajar adalah derajat yang menunjukkan situasi anggota kelompok dan situasi kelompok petani sebagai kelompok pembelajar. Variabel ini dijabarkan dalam indikator-indikator: (a) Tujuan kelompok, (b) Struktur kelompok, (c) Fungsi tugas, (d) Pembinaan dan pengembangan kelompok, (e) Kekompakan kelompok, (f) Suasana kelompok, (g) Ketegangan kelompok, dan (h) Keefektifan kelompok. Dari indikator-indikator tersebut dikembangkan indeks yang dijabarkan ke dalam 18 item pernyataan. Kapasitas Petani (Y2) Kapasitas petani adalah suatu kondisi yang menunjukkan kemampuan individu petani dalam melaksanakan perannya sesuai dengan status yang dimilikinya sehingga mampu mengembangkan potensi pribadi, mengelola sumberdaya usaha-
99
tani, dan berinteraksi dengan orang lain dalam suatu komunitas pertanian. Variabel ini dijabarkan dalam tiga parameter, yaitu: peran sebagai pengelola usahatani (Y2.1), peran sebagai anggota masyarakat (Y2.2), dan peran sebagai pribadi dan kepala keluarga (Y2.3). Secara rinci indikator-indikator dalam variabel ini dapat dilihat pada Tabel 4.7. Tabel 4.7. Parameter dan Indikator Kapasitas Petani Variabel/Parameter
Indikator
(Y2) Kapasitas Petani (Y2.1) Kemampuan sebagai pengelola usahatani
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Kemampuan teknik usahatani Memanfaatkan potensi sumberdaya alam Mengambil keputusan usahatani Sense of agribusiness Ketrampilan agribisnis Orientasi pada pertanian masa depan
(Y2.2) Kemampuan sebagai anggota masyarakat
(1) (2) (3) (4)
Menyesuaikan diri dengan komunitas Mengembangkan kerjasama Membangun jejaring Kepemimpinan dalam pengambilan keputusan
(Y2.3) Kemampuan sebagai pribadi dan kepala keluarga
(1) Mempunyai pengetahuan luas (2) Mempunyai perilaku mandiri (3) Ketangguhan menghadapi masalah
Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Kelompok Petani (Y3) Tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani adalah derajat keseluruhan peran-serta petani dalam kegiatan kelembagaan dimana petani tersebut menjadi anggota. Variabel ini terdiri atas dua parameter, yaitu: intensitas keterlibatan (Y3.1), dan kualitas keterlibatan (Y3.2). Secara rinci indikator-indikator yang menjelaskan variabel ini dapat dilihat pada Tabel 4.8.
100
Tabel 4.8. Parameter dan Indikator Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Kelompok Petani Variabel/Parameter
Indikator
(Y3) Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Kelompok Petani (Y3.1) Intensitas keterlibatan
(Y3.2) Kualitas keterlibatan
(1) Intensitas keterlibatan dalam perencanaan kegiatan (2) Intensitas keterlibatan dalam pelaksanaan kegiatan (3) Intensitas keterlibatan dalam pemanfaatan hasil (4) Intensitas keterlibatan dalam pemeliharaan kegiatan (5) Intensitas keterlibatan dalam penilaian kegiatan (1) Kesadaran untuk terlibat (2) Peran atau tanggung-jawab yang diambil (3) Fungsi peran yang dilakukan (4) Derajat pemenuhan kebutuhan (5) Derajat motivasi kerjasama (6) Derajat potensi yang dimiliki (7) Jumlah informasi yang diperoleh (8) Ketepatan informasi yang diperoleh (9) Peningkatan kualitas hasil pertanian (10) Efisiensi pengelolaan sumberdaya pertanian (11) Kemudahan dalam pemecahan masalah yang dihadapi (12) Derajat integrasi antar anggota
Tingkat Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani (Y4) Tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani adalah suatu kondisi yang menggambarkan perkembangan kelembagaan kelompok petani dalam melaksanakan fungsi dan peranannya dalam mengelola sumberdaya pertanian, yang mencakup: pencapaian tujuan kelembagaan (Y4.1), fungsi dan peran kelembagaan (Y4.2), keinovatifan kelembagaan (Y4.3), dan keberlanjutan kelembagaan (Y4.4). Secara rinci indikator-indikator yang menjelaskan variabel ini dapat dilihat pada Tabel 4.9.
101
Tabel 4.9. Parameter dan Indikator Tingkat Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani Variabel/Parameter
Indikator
(Y4) Tingkat Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani (Y4.1) Pencapaian tujuan kelemba- (1) Keberadaan dan kejelasan tujuan gaan (2) Kesesuaian tujuan dengan kebutuhan anggota (3) Tingkat pemenuhan kebutuhan anggota (Y4.2) Fungsi dan peran kelemba- (1) Kemampuan memperoleh informasi, gaan tenaga kerja, modal, dan material (2) Kemampuan mengatur informasi, tenaga kerja, modal, dan material (3) Kemampuan memelihara informasi, tenaga kerja, modal, dan material (4) Kemampuan mengerahkan informasi, tenaga kerja, modal, dan material (5) Kemampuan mengelola konflik (Y4.3) Keinovatifan kelembagaan (1) Peran kepemimpinan dalam lembaga (2) Fungsi kepemimpinan dalam lembaga (3) Keberadaan nilai-nilai yang mendasari kerjasama (4) Pembagian peran anggota (5) Pola kewenangan dalam lembaga (6) Komitmen anggota terhadap lembaga (7) Ketersediaan sumber-sumber pendanaan (8) Ketersediaan fasilitas-fasilitas fisik (9) Kualitas sumberdaya anggota (10) Keberadaan teknologi yang sesuai (Y4.4) Keberlanjutan kelembagaan (1) Sentimen anggota (2) Kesadaran anggota (3) Kekompakan anggota (4) Kepercayaan anggota (5) Ketersediaan bantuan luar (6) Pola komunikasi antar anggota (7) Kerjasama dengan pihak lain
Pengumpulan Data Penelitian ini bersifat eksplanatory, yaitu menjelaskan berbagai hubungan mengenai suatu fenomena interaksi sosial masyarakat, dalam hal ini menyangkut: karakteristik sosial ekonomi petani, berbagai aktivitas petani, kegiatan usahatani, kegiatan petani, dan kelembagaan kelompok petani. Pelaksanaan penelitian meng-
102
gunakan metode survei dan analisis data dilakukan dengan statistika deskriptif maupun statistika inferensial. Jenis data penelitian yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari petani, tokoh masyarakat (pemuka pandapat) di lokasi penelitian, dan pejabat dari institusi yang terkait. Pelaksanaan pengumpulan data primer dilakukan dengan: pengamatan, wawancara terstruktur dengan responden terpilih. Selain itu dilakukan wawancara mendalam (indepthinterview) kepada informan terpilih. Data sekunder diperoleh melalui: penelusuran hasil-hasil penelitian yang sudah ada, kajian pustaka yang relevan, serta pencatatan data yang telah dikumpulkan oleh pihak-pihak yang berkompeten, seperti: BPS (Biro Pusat Statistik), Dinas Pertanian, dan instansi yang terkait lainnya.
Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah Provinsi Jawa Tengah, dengan mengambil tiga daerah kabupaten, yaitu: Kabupaten Klaten, Kabupaten Grobogan, dan Kabupaten Karanganyar. Ketiga kabupaten dipilih dengan berbagai pertimbangan.
Kabupaten Klaten merupakan lokasi yang mewakili wilayah persawahan
(komoditas padi) dengan institusi sosial (gotong-royong) paling banyak jumlahnya (BPS, 2003). Kabupaten Grobogan merupakan lokasi yang mewakili wilayah persawahan tadah hujan (komoditas palawija) dengan institusi sosial (gotongroyong) paling sedikit jumlahnya (BPS, 2003). Kabupaten Karanganyar dipilih sebagai lokasi penelitian karena mewakili wilayah dengan areal pegunungan (komoditas sayuran). Kecamatan lokasi penelitian dari masing-masing kabupaten terpilih, diambil berdasarkan karakteristik yang menonjol atas kondisi usahatani yang dikelola, yaitu: usahatani padi, usahatani palawija, dan usahatani sayuran. Pemilihan desa dari masing-masing kecamatan didasarkan pada kriteria yang sama. Dari tiap desa maksimal diambil tiga kelompok tani. Pemilihan kelompok-kelompok petani dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat perkembangan kelompokkelompok petani yang ada.
103
Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah petani yang tergabung dalam suatu kelompok petani yang mengelola sumberdaya-sumberdaya pertanian, yaitu: Kelompok Tani Padi Sawah, P3A, Kelompok Tani Palawija, dan Kelompok Tani Sayuran. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan multistage stratified cluster random sampling, yaitu: dengan memilih dan menetapkan lokasi kecamatan, desa, dan kelompok tani berdasarkan kriteria tertentu; menetapkan anggota kelompok petani berdasarkan statusnya, yaitu: ketua, pengurus, dan anggota; memilih responden secara acak. Setiap desa diambil responden sebanyak 15 orang. Jumlah responden petani secara keseluruhan sebanyak 405 orang, dengan rincian: Lokasi I (Kabupaten Klaten) pengurus sebanyak 53 orang dan anggota sebanyak 82 orang, Lokasi II (Kabupaten Grobogan) pengurus sebanyak 52 orang dan anggota sebanyak 83 orang, dan Lokasi III (Kabupaten Karanganyar) pengurus sebanyak 51 orang dan anggota sebanyak 84 orang. Jumlah responden tokoh masyarakat, baik formal maupun non-formal, sebanyak 46 orang. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka persebaran lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 4.10. Validitas dan Reliabilitas Validitas (kesahihan) dan reliabilitas (keterandalan) sangat penting dalam merancang pengukuran suatu penelitian. Validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur, sedangkan reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Singarimbun dan Effendi (1995) membagi validitas dalam enam jenis, yaitu: (a) Validitas isi, yang menggambarkan sejauhmana alat ukur mewakili semua dimensi atau aspek dari kerangka konsep. Validitas ini didasari pada pendapat ahli baik dari kajian pustaka maupun pembimbing sesuai dengan tujuan penelitian dan dari uji validitas logika, yaitu dengan menghubungkan teori kebutuhan dengan teori pengambilan keputusan.
104
Tabel 4.10. Persebaran Lokasi Penelitian Kabupaten 1. Klaten
Kecamatan 1. Karangdowo
2. Tulung
3. Karangnongko
2. Grobogan
1. Godong
2. Wirosari
3. Toroh
3. Karanganyar
1. Kebakkramat
2. Jumapolo
3. Tawangmangu
Desa
Kelompok Tani
1. Demangan 2. Bulusan 3. Karangjoho 1. Sudimoro 2. Wunut 3. Kemiri 1. Demakijo 2. Karangnongko 3. Jiwan 1. Klampok 2. Kemloko 3. Ketangirejo 1. Tambakselo 2. Kalirejo 3. Gedangan 1. Krangganharjo 2. Kenteng 3. Pilangpayung 1. Kaliwuluh 2. Kemiri 3. Banjarharjo 1. Jatikuwung 2. Jatiroyo 3. Jatisobo 1. Sepanjang 2. Lebak 3. Blumbang
Tirto Agung I, Tirto Agung II, Tirto Agung III Karya Mulya, Karya Tani Mardi Mulyo, Dadi Makmur, Sedyo Mulyo Budi Luhur, Dadi Luhur, Ngudi Luhur Sumber Makmur, Sumber Rejeki Sri Sadono, Dadi Mulyo, Tani Makmur Makmur, Jujur Adi Martani, Sri Rejeki Marsudi Tani, Karya Usaha, Ngudi Sampurno Karya Tani, Karya Bakti, Karya Mukti Jadi Mulyo, Jaya, Ratih Mulyo Rejo, Krida Tani, Rahayu Dadi Mulyo, Sido Murni, Sido Rahayu Marsudi Tani, Sido Mulyo, Manunggal Karya Tani Makmur, Dadi Makmur, Ngudi Rejeki Sri Rejeki, Sumber Rejeki, Sri Mulyo Sariro Utomo I, Sariro Utomo II, Sariro Utm III Ngudi Rahayu, Sido Mukti II, Sido Makmur Subur Makmur, Jaya Mulyo, Kali Mulyo Sido Makmur Enggal Mulyo, Ngudi Mulyo, Jati Mulyo Ngudi Rahayu II, Guyub Rukun, Krida Tani Esti Mulyo, Tani Subur Tani Waras Ngesti Maju, Margo Mulyo Mekar Tani, Ngudi Rejeki, Mekar Tani Tani Puas, Suka Tani, Mekar Sari
(b) Validitas eksternal, yaitu kemampuan alat ukur untuk mengukur gejala sosial yang memberikan hasil yang sama dengan alat ukur yang sudah ada. (c) Validitas konstruk, yaitu suatu evaluasi sejauhmana instrumen mengukur konstruk yang secara teoritis diharapkan peneliti untuk diukur. (d) Validitas prediktif, yaitu kemampuan alat ukur untuk memprediksi apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. (e) Validitas budaya, yaitu sejauhmana suatu alat ukur bisa digunakan untuk responden pada suatu masyarakat yang berbeda dimensi budayanya.
105
(f) Validitas rupa, yaitu jenis validitas yang menekankan aspek “rupanya” suatu alat pengukur tampaknya mengukur apa yang ingin diukur. Reliabilitas adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan sejauhmana suatu hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulangi dua kali atau lebih (Singarimbun dan Effendi, 1995). Kerlinger (2004) menyebutkan ada tiga pendekatan untuk mengukur reliabilitas, yaitu: (a) suatu alat ukur dikatakan reliabel apabila alat ukur tersebut digunakan berulangkali memberikan hasil yang sama, (b) suatu alat ukur dikatakan reliabel apabila alat ukur tersebut dapat mengukur hal yang sebenarnya dari sifat yang diukur, dan (c) reliabilitas suatu alat ukur dapat dilihat dari galat pengukurannya. Black dan Champion (1992) membagi reliabilitas dalam dua bentuk, yaitu: bentuk eksternal dan bentuk internal. Reliabilitas eksternal terdiri dari dua bentuk, yaitu: (a) bentuk test-retest, dan (b) bentuk paralel dari test yang sama. Reliabilitas internal terdiri dari dua bentuk, yaitu: (a) bentuk teknik splith-half, dan (b) bentuk diskriminasi soal. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan uji reliabilitas dengan pendekatan tes-ulang (test-retest), yaitu penyajian instrumen ukur pada satu kelompok subyek dua kali dengan memberi tenggang waktu diantara dua penyajian itu. Koefisien korelasi antara kedua distribusi skor kelompok tersebut merupakan koefisien reliabilitas yang dihitung dengan rumus (Azwar, 2004) sebagai berikut:
rxy =
[∑ X
2
∑ XY − (∑ X )(∑ Y )/ n − (∑ X ) / n ][∑ Y − (∑ Y ) 2
2
2
/n
]
Keterangan: rxy = Koefisien reliabilitas, X dan Y = skor masing-masing variabel,
Berdasarkan hasil uji reliabilitas menunjukkan koefisien reliabilitas sebagai berikut:
106
Tabel 4.11. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian Variabel Utama
Kisaran Koefisien Korelasi
(X1) (X2) (X3) (X4) (X5) (X6) (Y1) (Y2) (Y3)
Status Sosial Ekonomi Petani Tingkat Kebutuhan Petani Pengalaman Belajar Tingkat Kepemimpinan Lokal Intensitas Peran Pihak Luar Tingkat Dukungan Penyuluhan Tingkat Kedinamisan Kelompok Kapasitas Petani Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan kelompok petani (Y4) Tingkat Kapasitas Kelembagaan kelompok petani Keterangan: *) nyata pada α = 0,05 **) nyata pada α = 0,01
0.663 0.694 0.707 0.677 0.698 0.782 0.767 0.734 0.816
- 0.997**) - 0.887**) - 0.811**) - 0.874**) - 0.849**) - 0.871**) - 0.883**) - 0.812**) - 0.854**)
0.767 - 0.883**)
Analisis Data Data dan semua informasi yang diperoleh dianalisis, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Untuk mendiskripsikan variabel penelitian digunakan analisis statistik deskriptif. Selanjutnya dilakukan pengujian hubungan kausal antar berbagai variabel terpilih untuk menghitung besarnya pengaruh, baik langsung maupun tidak langsung. Uji statistik yang digunakan adalah analisis regresi berganda dan analisis lintasan (path analysis). Analisis dengan model regresi berganda dengan n variabel bebas dapat digambarkan sebagai berikut: Y = bo + b1X1 + b2X2 + b3X3 + …… + bnXn Dimana, Y = variabel terikat Xi = variabel bebas ke i, untuk i = 1,2,3,…n bi = koefisien regresi parsial tak baku ke i, untuk i = 1,2,3,….n bo = intersep Selanjutnya apabila Sy didefinisikan sebagai simpangan baku contoh dari variabel terikat Y, Sx1, Sx2, Sx3, ….Sxn sebagai simpangan baku contoh dari variabel bebas X1, X2, X3….Xn, maka dari model di atas dapat dihitung koefisien regresi baku yang sering disebut juga koefisien beta sebagai berikut:
107
Bi = bi
Sxi Sy
, i = 1, 2, 3….n
Koefisien lintasan (path coeficient) pada dasarnya adalah serupa dengan koefisien beta.
Apabila Ci didefinisikan sebagai koefisien lintasan variabel baku Xi
(variabel bebas Xi yang dibakukan sehingga berdistribusi normal dengan nilai rata-rata = 0 dan ragam = 1), maka pada dasarnya koefisien Ci dapat dihitung berdasarkan rumus di atas atau dengan kata lain Bi = Ci. Apabila koefisien lintasan Ci telah diketahui, maka beberapa informasi penting akan diperoleh berdasarkan metode analisis lintasan, yaitu: (a) Pengaruh langsung variabel bebas yang dibakukan Xi terhadap variabel terikat Y yang telah dibakukan, yang diukur oleh atau ditunjukkan dengan koefisien lintasan Ci. (b) Pengaruh tidak langsung variabel bebas yang dibakukan Xi terhadap variabel terikat Y, melalui variabel bebas yang dibakukan Xj yang diukur oleh besaran (Cjrij). (c) Pengaruh galat (error/residual) yang tidak dapat dijelaskan oleh model analisis lintasan diukur dengan rumus: n 2 Cs = 1 − ∑ Cjrij i=1 _ 2 Cs = √ Cs 2
Besaran Cs dalam analisis adalah serupa dengan besaran (1−R2) dalam analisis multiple regression. Model analisis lintasan tersebut terutama akan digunakan untuk menguji beberapa hipotesis penelitian sebagai berikut: Hipotesis 1: Tingkat kedinamisan kelompok pembelajar dipengaruhi secara nyata oleh status sosial ekonomi petani, tingkat kebutuhan petani, pengalaman belajar, tingkat kepemimpinan lokal, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan penyuluhan. Uji statistik yang digunakan adalah analisis regresi berganda.
108
Bentuk hubungan antar variabel tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.1. di bawah. Status Sosial Ekonomi (X1) Tingkat Kebutuhan Petani (X2)
Pengalaman Belajar (X3) TingkatKepemimpinan Lokal (X4)
Tingkat Kedinamisan Kelompok (Y1)
Tingkat Peran Pihak Luar (X5) Tingkat Dukungan Penyuluhan (X6) Gambar 4.1. Model Hubungan antar Variabel dalam Hipotesis Satu Hipotesis 2: Tingkat kapasitas petani dipengaruhi secara nyata oleh tingkat kedinamisan kelompok, status sosial ekonomi, tingkat kebutuhan petani, pengalaman belajar, tingkat kepemimpinan lokal, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan penyuluhan. Uji statistik yang digunakan adalah analisis analisis jalur (path). Bentuk hubungan antar variabel tersebut dapat dilihat pada di bawah:
Tingkat Kebutuhan Petani (X2)
Status Sosial Ekonomi (X1)
Pengalaman Belajar (X3)
Tingkat Kedinamisan Kelompok (Y1)
Kapasitas Petani (Y2)
Tingkat Kepemimpinan Lokal (X4) Intensitas Peran Pihak Luar (X5)
Tingkat Dukungan Penyuluhan (X6)
Gambar 4.2. Model Hubungan antar Variabel dalam Hipotesis Dua
109
Hipotesis 3: Tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani dipengaruhi secara nyata oleh tingkat kedinamisan kelompok tani, tingkat kapasitas individu, status sosial ekonomi petani, tingkat kebutuhan petani, pengalaman belajar, tingkat kepemimpinan lokal, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan penyuluhan. Uji statistik yang digunakan adalah analisis jalur (path). Bentuk hubungan antar variabel tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.3 di bawah.
Tingkat Kebutuhan Petani (X2) Pengalaman Belajar (X3)
Status Sosial Ekonomi (X1)
Tingkat Kapasitas Petani (Y2) Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Kelompok Petani (Y3) Tingkat Kedinamisan Kelompok (Y1)
Tingkat Kepemimpinan Lokal (X4)
Tingkat Dukungan Penyuluhan (X6) Intensitas Peran Pihak Luar (X5)
Gambar 4.3. Model Hubungan antar Variabel dalam Hipotesis Tiga
Hipotesis 4: Tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani dipengaruhi secara nyata oleh kapasitas petani yang ditunjukkan oleh kemampuannya sebagai petani, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai pribadi dan kepala keluarga.
110
Uji statistik yang digunakan adalah analisis jalur (path). Bentuk hubungan antar variabel dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.4.
Sebagai petani (Y2.1)
Sebagai anggota masyarakat (Y2.2) Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Kelompok Petani (Y3)
Kapasitas Petani (Y2)
Sebagai pribadi dan kepala keluarga (Y2.3)
Gambar 4.4. Model Hubungan antar Variabel dalam Hipotesis Empat
Hipotesis 5: Kapasitas kelembagaan kelompok petani dipengaruhi secara nyata oleh kapasitas petani yang ditunjukkan oleh kemampuan sebagai pengelola usahatani, kemampuan petani sebagai anggota masyarakat, dan kemampuan sebagai pribadi. Uji statistik yang digunakan adalah analisis jalur. Bentuk hubungan antar variabel dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.5.
Sebagai petani (Y2.1)
Kapasitas Petani (Y2)
Sebagai anggota masyarakat (Y2.2) Tingkat Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani (Y4)
Sebagai pribadi dan kepala keluarga (Y2.3)
Gambar 4.5. Model Hubungan antar Variabel dalam Hipotesis Lima Hipotesis 6: Kapasitas kelembagaan kelompok petani dipengaruhi secara nyata oleh tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani yang ditunjukkan dengan intensitas partisipasi dan kualitas partisipasi.
111
Uji statistik yang digunakan adalah analisis jalur. Bentuk hubungan antar variabel dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.6. Intensitas partisipasi (Y3.1) Tingkat Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani (Y4)
Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan (Y3)
Kualitas partisipasi (Y3.2)
Gambar 4.6. Model Hubungan antar Variabel dalam Hipotesis Enam Hipotesis 7: Kapasitas kelembagaan kelompok petani dipengaruhi secara nyata oleh tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani, kapasitas petani, status sosial ekonomi, tingkat kebutuhan petani, pengalaman belajar, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan penyuluhan. Uji statistik yang digunakan adalah analisis jalur. Bentuk hubungan antar variabel dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.7.
Pengalaman Belajar (X3)
Tingkat Kebutuhan Petani (X2)
Status Sosial Ekonomi (X1)
Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Kelompok Petani (Y3) Tingkat Kedinamisan Kelompok (Y1)
Tingkat Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani (Y4) Tingkat Kapasitas Petani (Y2)
Tingkat Kepemimpinan Lokal (X4)
Intensitas Peran Pihak Luar (X5)
Tingkat Dukungan Penyuluhan (X6)
Gambar 4.7. Model Hubungan antar Variabel dalam Hipotesis Tujuh
112
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kondisi Umum Provinsi Jawa Tengah merupakan satu dari enam propinsi yang berada di Pulau Jawa. Letaknya di tengah, diapit oleh dua provinsi besar yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur, berada antara 5040′ dan 8030′ Lintang Selatan dan antara 108030′ dan 111030′ Bujur Timur (termasuk Pulau Karimunjawa). Secara administrasi provinsi ini terbagi menjadi 29 kabupaten dan 6 kota. Luas wilayah Jawa Tengah pada tahun 2005 tercatat sebesar 3.25 juta hektar atau sekitar 25.04 persen dari luas Pulau Jawa. Luas tersebut terdiri dari 996 ribu hektar (30.60 persen) lahan sawah dan 2.26 juta hektar (69.40 persen) bukan lahan sawah. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, luas lahan sawah tahun 2005 turun sebesar 0.02 persen dan sebaliknya luas bukan lahan sawah naik sebesar 0.001 persen (Anonim, 2005). Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi penyangga pangan nasional. Produktivitas padi mencapai sekitar 52.29 kuintal per hektar pada tahun 2005. Seperti umumnya di Indonesia, sektor pertanian di Jawa Tengah mempunyai peranan penting dalam perekonomian baik dalam pembentukan PDB maupun dalam penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan Sensus Pertanian 2003, sektor pertanian memberikan kontribusi sebesar 21.4 persen dalam pembentukan PDRB, serta menyerap kurang lebih 42 persen penduduk bekerja di sektor pertanian.
1. Kabupaten Klaten Kabupaten Klaten merupakan satu dari 35 kabupaten yang ada di Propinsi Jawa Tengah. Lataknya cukup strategis karena berbatasan langsung dengan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang terkenal sebagai salah satu tujuan wisata. Wilayah Kabupaten Klaten berbatasan dengan: Kabupaten Boyolali (sebelah utara), Kabupaten Sukoharjo (sebelah timur), Kabupaten Gunung Kidul DI Yogyakarta (sebelah selatan), Kabupaten Sleman DI Yogyakarta (sebelah barat). Wilayah Kabupaten Klaten terbagi menjadi 3 (tiga) dataran, yaitu:
113
(a) Dataran Lereng Gunung Merapi, membentang di sebelah utara meliputi: wilayah Kecamatan Kemalang, Kecamatan Karangnongko, Kecamatan Jatinom, dan Kecamatan Tulung. (b) Dataran Rendah, membujur di tengah meliputi: seluruh wilayah kecamatan di Kabupaten Klaten kecuali sebagian kecil wilayah merupakan dataran lereng Gunung Merapi dan Gunung Kapur. (c) Dataran Gunung Kapur, yang membujur di sebelah selatan meliputi: Kecamatan Bayat dan Kecamatan Cawas. Sebagian besar (77.52 persen) wilayah Kabupaten Klaten merupakan dataran rendah dan didukung dengan banyaknya sumber mata air. Kabupaten Klaten terbagi menjadi 26 kecamatan, 401 desa/kelurahan, dengan luas wilayah sebesar 65 556 hektar. Jumlah penduduk Kabupaten Klaten pada tahun 2005 sebesar 1 286 058 jiwa, terdiri dari penduduk laki-laki sebesar 627 751 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 658 307 jiwa. Kepadatan penduduk pada tahun 2005 sebesar 1 962 jiwa/km2. Kabupaten ini merupakan salah satu kabupaten penyangga beras di Provinsi Jawa Tengah. Produktivitas padi yang dihasilkan pada tahun 2005 sebesar 56.27 kwintal per hektar dengan produksi sebanyak 313 817 ton. Selain tanaman padi, tanaman musiman yang menonjol di Kabupaten Klaten adalah jagung, kedelai, dan kacang tanah dengan luas panen masing-masing 9 188 hektar, 4 109 hektar, dan 2 719 hektar. Produksi tanaman jagung mencapai 61 681 ton, kedelai mencapai 5 636 ton, dan kacang tanah mencapai 3 706 ton. Selain komoditas pertanian, juga terdapat komoditas perkebunan yang menonjol, yaitu: tembakau dan tebu.
2. Kabupaten Grobogan Kabupaten Grobogan mempunyai luas 1 975.86 km2 dan merupakan kabupaten terluas kedua di Provinsi Jawa Tengah setelah Kabupaten Cilacap. Secara administratif Kabupaten Grobogan terdiri dari 19 kecamatan dan 280 desa/kelurahan. Wilayah Kabupaten Grobogan terletak diantara dua Pegunungan Kendeng yang membujur dari arah barat ke timur, berada di bagian timur berbatasan dengan: Kabupaten Semarang, Kabupaten Demak (sebelah barat); Ka-
114
bupaten Kudus, Kabupaten Pati, dan Kabupaten Blora (sebelah utara); Kabupaten Blora (sebelah timur); Kabupaten Ngawi, Kabupaten Sragen, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Semarang (sebelah selatan). Kabupaten Grobogan mempunyai relief daerah pegunungan kapur dan perbukitan serta dataran di bagian tengahnya, yang secara topografi terbagi dalam tiga kelompok wilayah, yaitu: (a) Daerah dataran rendah berada pada ketinggian sampai 50 meter di atas permukaan air laut dengan kelerengan antara 0 -8 % meliputi enam kecamatan, yaitu: Kecamatan Gubug, Tegowanu, Godong, Purwodadi, Grobogan sebelah selatan, dan Wirosari sebelah selatan. (b) Daerah perbukitan berada pada ketinggian antara 50 – 100 meter di atas permukaan air laut dengan kelerengan 8 – 15 % meliputi lima kecamatan, yaitu: Kecamatan Klambu, Brati, Grobogan sebelah utara, dan Wirosari sebelah utara. (c) Daerah dataran tinggi berada pada ketinggian antara 100 – 500 meter di atas permukaan air laut dengan kelerengan lebih dari 15 % meliputi wilayah kecamatan yang berada di sebelah selatan dari wilayah Kabupaten Grobogan. Wilayah Kabupaten Grobogan mempunyai iklim tipe D yang bersifat 1 sampai dengan 6 bulan kering dan 1 sampai dengan 6 bulan basah dengan suhu minimum 200C. Rata-rata hari hujan sebanyak 69 hari dengan rata-rata curah hujan 1 321 mm. Jumlah penduduk Kabupaten Grobogan adalah 1 368 307 jiwa, terdiri 676732 jiwa penduduk laki-laki dan 691 575 jiwa penduduk perempuan. Dengan luas wilayah sebesar 1 975.86 km2 maka kepadatan penduduk mencapai 693 jiwa/km2. Sebagian besar penduduk menggantungkan pada mata pencaharian di sektor pertanian. Komoditas utama di Kabupaten Grobogan adalah padi dan palawija. Luas panen tanaman padi sawah mencapai 91 197 hektar dengan produksi 558 308 ton, sehingga produktivitasnya mencapai 61.22 kwintal per hektar. Tanaman jagung, kedelai, kacang hijau juga merupakan komoditas yang menonjol. Luas tanam jagung mencapai 120 151 hektar dengan produksi 653 742 ton, tanaman kedelai dengan luas tanam 41 221 hektar dan produksi 94 476 ton, dan kacang hijau luas tanam 24 730 hektar dan produksi 31 800 ton. Selain itu ketela pohon banyak dibudidayakan di lahan tegalan. Selain tanaman padi dan palawija,
115
beberapa jenis sayuran, seperti: lombok, kacang panjang, terong, banyak diusahakan oleh petani.
3. Kabupaten Karanganyar Kabupaten Karanganyar merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang berbatasan dengan Kabupaten Sragen di sebelah utara, Provinsi Jawa Timur di sebelah timur, Kabupaten Wonogiri dan Sukoharjo di sebelah selatan, dan Kota Surakarta dan Kabupaten Boyolali di sebelah barat. Bila dilihat dari garis bujur dan garis lintang, maka Kabupaten Karanganyar terletak antara 7028′ dan 7046′ Lintang Selatan dan antara 110040′ dan 110070′ Bujur Timur. Ketinggian rata-rata 511 meter di atas permukaan laut serta beriklim tropis dengan temperatur 220 – 230. Luas wilayah Kabupaten Karanganyar adalah 77 378.6374 hektar dengan jumlah penduduk pada tahun 2005 sebesar 840 687 jiwa, yang terdiri dari laki-laki sebanyak 416 108 jiwa dan perempuan sebanyak 424 579 jiwa. Kabupaten Karanganyar terdiri dari 17 kecamatan yang meliputi 177 desa/kelurahan (15 kelurahan dan 162 desa). Pertanian dengan komoditas bahan makanan merupakan andalan penduduk sebagai produk pemenuhan kebutuhan pokok. Sebagian besar lahan pertanian di Kabupaten Karanganyar cukup berpotensi bagi pengembangan tanaman agro industri. Menurut data Dinas Pertanian, produksi padi sawah selama tahun 2005 di Kabupaten Karanganyar sebanyak 224 381 ton, jagung sebanyak 31 827 ton, ubi kayu sebanyak 5 770 ton, dan kacang tanah sebanyak 6 994 ton. Sebagian tanah di Kabupaten Karanganyar merupakan pegunungan/perbukitan (Jatiyoso, Matesih, Tawangmangu, Ngargoyoso dan Jenawi) yang sangat berpotensi untuk tanaman sayur-sayuran seperti: bawang merah, bawang putih, kobis, sawi, cabe, tomat, buncis dan sebagainya. Tanaman perkebunan rakyat di Kabupaten Karanganyar yang sangat potensial adalah cengkeh yang mencapai luas 2 624.73 hektar dan selama tahun 2005 produksinya mencapai 219 447 ton. Tanaman lain yang juga potensial untuk dikembangkan adalah kelapa, mete, tebu, dan jahe. Untuk tanaman perkebunan besar yang potensial adalah teh dan karet.
116
Secara umum tata guna lahan di Provinsi Jawa Tengah dan lokasi-lokasi kabupaten terpilih secara rinci dipaparkan pada Tabel 5.1. berikut. Tabel 5.1. Tata Guna Lahan di Lokasi Kabupaten dan Provinsi Jawa Tengah
No. 1.
Jenis Penggunaan
Kab. Klaten 33 494
a. Irigasi Teknis
19 173
18 674
7 508
387 811
b. Irigasi Setengah Teknis
10 455
1 801
7 750
122 346
2 386
1 669
5.938
133 504
-
5 506
-
60 680
1 480
36 079
1 554
288 552
Tanah Bukan Sawah
32 062
133 856
54 470
2 258 440
a. Pekarangan/Bangunan
19 920
28 783
20 627
580 976
6 312
26 266
18 001
752 842
d. Irigasi Desa e. Irigasi Tadah Hujan
b. Tegalan/Kebun c. Tambak/Kolam
23
d. Padang Rumput
-
2
244
2 709
180
15
-
4 774
f. Hutan Negara
1 450
68 635
9 846
569 926
g. Hutan Rakyat
-
2 486
-
69 377
4 179
7 646
2 542
144 773
65 556
197 585
77 220
3 254 412
e. Rawa
h. Lain-lain 3.
Provinsi Jawa Tengah 995 972
Tanah Sawah
c. Irigasi Sederhana
2.
Luas (Ha) Kab. Kab. KarangGrobogan anyar 63 729 22 750
Keseluruhan (1+2)
Sumber: Jawa Tengah Dalam Angka 2006
Dari Tabel 5.1. di atas, kecuali Kabupaten Klaten umumnya tanah sawah lebih sempit dibandingkan tanah bukan sawah. Proporsi antara tanah sawah dengan tanah bukan sawah ini akan semakin kecil seiring terjadinya konversi tanah sawah menjadi pekarangan atau bangunan lainnya.
Pengeringan lahan sawah untuk
keperluan lain banyak terjadi di sekitar perkotaan. Kondisi ini kurang menguntungkan mengingat seringkali lahan yang dikeringkan tersebut merupakan lahan subur dan beririgasi teknis. Kurang efektifnya peraturan daerah ditengarai menjadi penyebab terjadinya konversi yang kurang mendukung kebijakan di bidang
117
pertanian. Penurunan luas lahan sawah dibandingkan tahun sebelumnya di Jawa Tengah sebesar 0,02 persen. Penurunan luas lahan sawah ini tentunya akan berimplikasi pada produksi padi atau tanaman pangan yang lain. Kebijakan pangan nasional mentargetkan sejumlah produksi padi, namun usaha peningkatan produktivitas tanaman tersebut mungkin tidak akan mampu menutup kehilangan produksi akibat konversi lahan. Kondisi Pertanian Ketersediaan pangan nasional merupakan salah satu permasalahan yang menjadi perhatian utama pemerintah pada saat ini. Permintaan bahan pangan sebagai produk pertanian yang selalu meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk tidak selalu diimbangi dengan peningkatan produksi secara proporsional. Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi penyangga pangan nasional terutama beras sehingga produktivitas padi di daerah ini terus dipacu peningkatannya. Pada tahun 2005 produktivitas padi sawah sekitar 52.29 kuintal per hektar yang mengalami peningkatan 0.48 persen dari tahun sebelumnya. Luas panen, produktivitas, dan produksi tanaman palawija (jagung, kacang kedelai, dan kacang hijau) pada tahun 2005 mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Produksi beberapa jenis sayuran (bawang merah, bawang putih, kentang, kubis, cabe, tomat, wortel, kacang panjang, buncis, dan ketimun) selama tahun 2001 – 2005 mengalami fluktuasi. Demikian juga produksi beberapa jenis buah-buahan seperti mangga, rambután, duku, kelengkeng, blimbing, durian, pisang, salak, jeruk, nanas, dan pepaya.. Lahan merupakan modal istimewa yang dimiliki oleh petani. Keberadaan lahan pertanian ini dari tahun ke tahun mengalami penurunan luas karena berbagai faktor. Konversi lahan pertanian menjadi kawasan hunian atau tempat tinggal atau untuk industri tidak dapat terhindarkan. Desakan pemenuhan kebutuhan menyebabkan petani harus melepaskan asset utamanya (lahan sawah) untuk digunakan keperluan yang lain. Berdasarkan Sensus Pertanian Tahun 2003 mengenai banyaknya rumah tangga pertanian dan luas lahan yang dikuasai disajikan pada Tabel 5.2. berikut.
118
Tabel 5.2. Banyaknya Rumah Tangga Pertanian Menurut Luas Lahan yang Dikuasai dan Lokasi Penelitian
No. 1.
Luas Lahan Pertanian (Hektar)
Kab. Klaten
Lahan Sawah a. < 0.50
77 248
164 540
63 220
2 379 895
b. 0.50 – 0.74
9 618
20 542
10 462
275 878
c. 0.75 – 0.99
1 744
3 681
1 645
55 332
d. 1.00 – 1.49
2 013
4 649
529
78 630
e. 1.50 – 1.99
116
1 019
88
16 325
94
2 006
337
23 941
43 421
58 210
42 528
1 433 935
134 254
254 647
118 809
4 263 936
60 167
74 199
56 190
2 177 678
b. 0.50 – 0.74
1 792
5 906
5 463
202 616
c. 0.75 – 0.99
1 060
1 149
3 185
76 196
d. 1.00 – 1.49
460
1 130
3 229
72 655
e. 1.50 – 1.99
86
446
171
20 752
f. > 2.00
24
517
176
25 347
70 665
171 300
50 395
1 688 692
134 254
254 647
118 809
4 263 936
f. > 2.00 g. Tidak Menguasai h. Jumlah 2.
Banyaknya Rumah Tangga Kab. Provinsi Kab. KarangJawa Grobogan anyar Tengah
Lahan Bukan Sawah a. < 0.50
g. Tidak Menguasai h. Jumlah
Sumber: Jawa Tengah Dalam Angka 2006
Dalam menjalankan usahanya, petani berada pada resiko dan kondisi ketidakpastian yang tinggi. Selain keterbatasan sumberdaya yang dimiliki, petani juga dihadapkan pada kondisi alam yang tidak menentu, serta kondisi lingkungan sosial yang kurang mendukung. Permasalahan muncul apabila kondisi yang dihadapi tidak sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Petani di lokasi penelitian, seperti halnya petani lain di Indonesia, menghadapi berbagai permasalahan. Permasalahan pertanian yang secara riil dihadapi petani tergambar melalui wawan-
119
cara dengan tokoh masyarakat di tiga lokasi penelitian, secara rinci dipaparkan dalam Tabel 5.3. Tabel 5. 3. Macam dan Prosentase Permasalahan Petani Menurut Lokasi
Permasalahan 1. Keterbatasan air irigasi 2. Harga pupuk dan saprotan yang tinggi 3. Distribusi pupuk buruk 4. Harga jual produk rendah 5. SDM Petani rendah 6. Modal usaha yg terbatas 7. Penyuluh kurang 8. Muncul hama tanaman 9. Sarana produksi kurang 10. Budidaya tan. buruk 11. Lahan sempit 12. Informasi pert. kurang 13. Pengolahan produk 14. Musim tdk menentu
Lok I (n = 18) n % 12 67 8 44
Lok II (n = 18) n % 8 44 5 28
Lok III (n = 18) n % 9 50 4 22
2 3 1 1 1 3 1 1 1 -
8 7 4 3 1 1 2 1 1 0 0
4 4 4 2 4 1 3 1 1 1
11 17 6 6 6 17 6 6 0 6 0 0
44 39 22 17 6 6 0 11 6 6 0 0
22 22 22 11 22 6 17 0 6 0 6 6
Keseluruhan (%) 60 35 29 29 19 13 13 10 8 6 4 4 2 2
Keterangan: - Lokasi I = Kab. Klaten, Lokasi II = Kab. Grobogan, Lokasi III = Kab. Karanganyar
Berdasarkan pada Tabel 5.3. dapat dijelaskan bahwa permasalahan-permasalahan yang dihadapi petani antar lokasi penelitian berbeda, namun beberapa diantaranya yang relatif menonjol antara lain: masalah air irigasi yang kurang tersedia, harga pupuk yang tinggi dan keberadaannya yang sulit dicari, serta harga jual produk pertanian yang rendah. Permasalahan air irigasi umumnya dirasakan pada saat musim kemarau atau Musim Tanam III. Kondisi ini terjadi karena: keterbatasan sumber air, daya dukung waduk dan bendung terlalu rendah dengan areal lahan yang diairi; belum adanya sarana pengairan (lahan tadah hujan). Belum efektifnya kelembagaan pengelola irigasi, baik pemerintah maupun petani, menyebabkan timbulnya masalah distribusi air irigasi. Keterbatasan air diatasi oleh petani dengan membuat sumur bor (pantek) dan menggunakan mesin diesel untuk mengairi lahan, di beberapa tempat petani menyesuaikan musim dengan menanam komoditas yang sesuai, seperti: palawija dan hortikultura.
120
Harga pupuk dan sarana produksi lain, seperti: pestisida, benih, yang relatif mahal dirasakan petani karena tidak sebanding dengan nilai jual produk pertanian yang dihasilkan. Harga ini semakin melambung di saat ketersediaan pupuk di pasaran semakin langka. Pemasaran pupuk kimia pada saat ini menggunakan sistem tertutup, dengan menyalurkan pupuk tersebut melalui jalur pemasaran yang ditunjuk berdasarkan perkiraan kebutuhan petani, yaitu: komoditas dan luas lahan pertanian yang akan ditanami. Sering terjadi kelangkaan pupuk di pasaran atau daerah tertentu. Kondisi ini diduga disebabkan oleh distribusi yang tidak tepat waktu, adanya penyelewengan penyaluran pupuk untuk penggunaan lain atau ke daerah lain, serta kebiasaan penggunaan pupuk secara berlebih (tidak sesuai dosis anjuran). Pendapat skeptis menduga, pupuk banyak diekspor ke luar negeri. Permasalahan rendahnya sumberdaya petani tercermin dari beberapa hal, yaitu: sempitnya lahan usahatani, kurangnya modal usaha, kurangnya kemampuan mengatasi permasalahan budidaya tanaman, serta keterbatasan akses terhadap informasi pertanian yang diperlukan. Kurangnya dukungan kelembagaan pertanian, seperti: kelembagaan keuangan, kelembagaan pemerintah, kelembagaan penyuluhan, dan kelembagaan petani.
Petani masih sulit memperoleh kredit yang
berbunga rendah, petani tidak berdaya dalam menghadapi kelangkaan pupuk, harga jual produk yang rendah, petani belum mampu mengembangkan usahausaha pertanian (off-farm) selain produksi, dan masih banyak ketidakmampuan petani yang lain. Upaya pemerintah untuk mengatasi berbagai permasalahan pertanian dan menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual, tercermin dengan dicanangkannya Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) sejak tanggal 11 Juni 2005. Revitalisasi pertanian ini mempunyai agenda, yaitu: membalik tren penurunan dan mengakselerasi peningkatan produksi dan nilai tambah usaha pertanian; peningkatan dan perluasan kapasitas produksi melalui renovasi, penumbuhan dan restrukturisasi sistem agribisnis dan penunjangnya (kelembagaan dan infrastruktur); serta peningkatan dan perluasan kapasitas produksi, diwujudkan antara lain melalui investasi bisnis maupun investasi infrastruktur. Program Departemen Pertanian 2004 – 2009 terkait Revitalisasi Pertanian meliputi: (1) Program Peningkatan Ketahanan Pangan, (2) Pro-
121
gram Pengembangan Agribisnis, dan (3) Program Peningkatan Kesejahteraan Petani. Strategi pembangunan pertanian yang digunakan adalah Panca Yasa, yaitu: (1) Pembangunan Infrastruktur, (2) Penguatan Kelembagaan Petani, (3) Penyuluhan, (4) Pembiayaan Pertanian, dan (5) Pemasaran Hasil Pertanian. Berita Advertorial Media Indonesia 7 Nopember 2008 menyebutkan di tahun 2008 pemerintah mengalokasikan dana PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan) sebesar 1,1 triliun rupiah yang disalurkan kepada 11.000 Gapoktan di setiap desa, tersebar di 33 provinsi, 388 kabupaten/kota, dan 1.834 kecamatan. Setiap Gapoktan PUAP mendapatkan dana stimulan 100 juta rupiah per desa. Dana tersebut digunakan untuk membiayai kegiatan produktif budidaya (on-farm) dan kegiatan non budidaya yang terkait dengan komoditas pertanian (off-farm).
Kelembagaan Kelompok Petani Kelembagaan kelompok petani yang dimaksud dalam penelitian ini menliputi: kelompok-kelompok petani, yang dibina oleh Departemen Pertanian dan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) yang dibina oleh Dinas Pengairan. Pada awalnya keberadaan kelembagaan petani ini merupakan implikasi dari pelaksanaan program-program pembangunan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kelembagaan ini dimaksudkan sebagai alat yang penting untuk menjalankan programprogram tersebut. Kelembagaan semacam ini, menurut Syahyuti (2003) merupakan kelembagaan yang sengaja diciptakan (enacted institution). Ada pemahaman dari pemerintah bahwa kelembagaan merupakan komponen yang penting dalam masyarakat, dan dapat menjadi agent of change. Pentingnya kelembagaan petani diakui Pemerintah, yang dituangkan dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Dan Kehutanan pada Bagian Kedua Pasal 19 dengan sebutan ’Kelembagaan Pelaku Utama’. Secara rinci disebutkan bahwa: (1) Kelembagaan pelaku utama beranggotakan petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan, serta masyarakat di dalam dan di sekitar hutan yang dibentuk oleh pelaku utama, baik formal maupun nonformal; (2) Kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai fungsi sebagai wadah
122
proses pembelajaran, wahana kerja sama, unit penyedia sarana dan prasarana produksi, unit produksi, unit pengolahan dan pemasaran, serta unit jasa penunjang; (3) Kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk kelompok, gabungan kelompok, asosiasi, atau korporasi; (4) Kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difasilitasi dan diberdayakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah agar tumbuh dan berkembang menjadi organisasi yang kuat dan mandiri sehingga mampu mencapai tujuan yang diharapkan para anggotanya. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Jawa Tengah pada tahun 2007 menyebutkan keberadaan kelembagaan petani di Provinsi Jawa Tengah, yaitu: 29 522 kelompok tani dengan jumlah anggota 2 006 247 orang, kelompok wanita tani sebanyak 1 359 kelompok, pemuda tani sebanyak 651 kelompok, dan petani kecil sebanyak 8 712 kelompok. Selain itu, terdapat kelompok usaha bersama perikanan sejumlah 902 kelompok, kelompok tani hutan rakyat (KTHR) sebanyak 5 115 kelompok, serta Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) sebanyak 1 540 buah. Data Statistik Pertanian Kabupaten Klaten tahun 2005 mencatat selain jumlah kelompok tani yang 1 008 kelompok juga terdapat 58 kelompok wanita tani. Selain itu, di Kabupaten Klaten terdapat kelompok tani menurut jenis sektor, yaitu: Perkebunan sebanyak 510 kelompok, Peternakan sebanyak 64 kelompok, Perikanan sebanyak 11 kelompok, dan lainnya sebanyak 423 kelompok. Kelompok lain-lain ini mempunyai bidang usaha: lumbung pangan, koperasi tani, sarana produksi, pemasaran hasil, pembuatan pupuk organik, pembuatan agensia hayati, simpan pinjam, penangkar benih, dan usaha lainnya. Data Kabupaten Grobogan pada tahun 2006 menyebutkan selain kelompok tani yang disebutkan pada Tabel 5.4., terdapat kelompok usaha yang lain seperti: kelompok wanita tani sebanyak 59 kelompok, kelompok pemuda tani sebanyak 9 kelompok, Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) sebanyak 47 buah, dan kelompok P4K sebanyak 218 kelompok. Pemerintah selalu mendorong dan memfasilitasi kelompok-kelompok petani melalui program-program pembinaan secara rutin atau program-program pemberdayaan yang mengarah pada terciptanya kelompok tani yang mandiri. Kelompok petani dikelompokkan berdasarkan tingkat perkembangannya. Penggolongan kelompok petani oleh Dinas Pertanian didasarkan pada parameter, seperti:
123
(a) Kemampuan merencanakan kegiatan, (b) Kemampuan melaksanakan dan mentaati perjanjian, (c) Kemampuan memupuk modal dan memanfaatkan pendapatan, (d) Kemampuan meningkatkan hubungan yang melembaga dengan KUD, (e) Kemampuan memanfaatkan teknologi dan informasi. Berdasarkan parameter tersebut ditentukan kelas kelompok tani berdasarkan skor yang diperoleh, yaitu: pemula (0 – 250), lanjut (251 – 500), madya (501 – 750), dan utama (751 – 1000). Penilaian dilakukan oleh Balai Penyuluhan Pertanian setempat. Berdasarkan kelas kelompok tani yang dikeluarkan oleh Dinas Pertanian kabupaten setempat maka distribusi kelompok tani di lokasi penelitian dapat dikemukakan pada Tabel 5.4. berikut: Tabel 5.4. Jumlah Kelompok Tani Menurut Tingkat Perkembangannya dan Kabupaten Lokasi Penelitian Lokasi
No.
Pemula 262
Jumlah Kelompok Tani Lanjut Madya Utama 482 236 28
Total 1008
Jumlah Anggota 82 613
1.
Kab. Klateniii)
2.
Kab. Groboganii)
588
558
230
52
1428
159 884
3.
Kab. Karanganyari)
52
245
281
91
669
42 529
Sumber:
iii)
Data Base Kelompok Tani Hamparan Kab. Klaten Th 2006 Data Inventarisasi Kelompok Tani Kab. Grobogan Th 2006 i) Data Inventarisasi Kelompok Tani Kab. Karanganyar Th 2006
ii)
Selain kelompok tani hamparan atau domisili, terdapat kelompok petani yang kegiatannya dalam pengelolaan air irigasi, yaitu: Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Kelembagaan petani ini mempunyai peran dalam operasional dan pemeliharaan irigasi. Berbeda dengan kelompok tani hamparan atau domisili yang berada di bawah pembinaan Dinas Pertanian, P3A berada di bawah pembinaan Dinas Pengairan. Penilaian terhadap perkembangan P3A/GP3A/IP3A menggunakan instrumen yang didasarkan atas 6 (enam) aspek atau kriteria, yaitu: (1) Organisasi, mencakup: keberadaan AD/ART, pemahaman AD/ART, kehadiran anggota pada rapat tahunan, dan frekuensi rapat pengurus; (2) Penggunaan pemanfaatan air, mencakup: keberadaan pola dan rencana tata tanam serta realisasinya, keberadaan rencana pembagian air (RPA) dan realisasinya, dan frekuensi pertemuan rutin antara ulu-ulu, P3A dan Mantri Pengairan; (3) Pemeliharaan jaringan, meliputi:
124
keberadaan program kerja, pelaksanaan program kerja, dan keberadaan rencana perbaikan dan pengembangan jaringan; (4) Keuangan, meliputi: jumlah iuran yang terkumpul dari jumlah anggota yang membayar, realisasi pengeluaran biaya sesuai AD/ART dan program, administrasi keuangan, dan laporan pertangung-jawaban kepada anggota; (5) Kondisi fisik jaringan, meliputi: kondisi bangunan, kondisi saluran, dan kondisi fasilitas penunjang; serta (6) Pembinaan P3A oleh Pemerintah, mencakup: keberadaan pembinaan teknis, kebutuhan dan pemenuhan bantuan tenis, kebutuhan dan pemenuhan bantuan fisik. Melihat pentingnya keberadaan kelembagaan petani ini, pemerintah selalu mengupayakan mengembangkan kelembagaan petani sejalan dengan berbagai program-program pembangunan di bidang pertanian. Pada saat ini, programprogram pemerintah melalui Departemen Pertanian seperti misalnya: PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan), Prima Tani, dan sebagainya, memerlukan keberadaan kelembagaan petani yang tangguh. Selain institusi departemen atau dinas teknis pertanian, tidak jarang departemen atau dinas maupun organisasi non-pemerintah yang lain memerlukan kelembagaan petani dalam penyaluran bantuan ke masyarakat. Tidak jarang pihak-pihak ini mengambil inisiatif untuk melakukan pembentukan kelembagaan petani baru untuk pencapaian tujuan program yang dilaksanakan. Kondisi-kondisi semacam ini tentunya memerlukan perhatian bersama agar usaha-usaha memfasilitasi atau memberdayakan kelembagaan petani yang ada menjadi usaha yang efektif dan bersinergi. Dengan mengadaptasi variabel-variabel kelembagaan kerjasama (Uphoff, 1986) dibuat deskripsi mengenai kelembagaan kelompok petani. Gambaran umum kelembagaan kelompok petani yang ada di lokasi penelitian dapat dikemukakan pada Tabel 5.5. Dilihat dari fungsinya, kelembagaan kelompok petani memperlihatkan aktivitas yang relatif beragam. Kelembagaan kelompok petani ada yang memperlihatkan pelaksanaan fungsi secara optimal, namun ada juga yang tidak menunjukkan tanda-tanda aktivitas yang rutin. Umumnya kegiatan yang dilaksanakan relatif beragam, kegiatan yang dilaksanakan selalu mengkombinasikan kegiatan teknis, kegiatan sosial, bahkan kegiatan ekonomi. Rendahnya kapasitas atau kemampuan kelembagaan seringkali menyebabkan kelembagaan tidak dapat
125
menjalankan fungsinya dengan baik.
Kondisi ini dapat dilihat dari berbagai
permasalahan pertanian di tingkat lokal tidak mampu ditangani secara baik. Tabel 5.5. Deskripsi Kelembagaan Petani Di Lokasi Penelitian No.
Aspek
Keterangan
1.
Fungsi (functions)
Kelembagaan kelompok petani mempunyai banyak kegunaan (multi-purpose), antara lain: pemakaian air, tanam serempak, pengendalian hama, penyuluhan, arisan, penyaluran kredit/pupuk, gotong-royong, dan sebagainya
2.
Struktur (structure)
Struktur kelembagaan cenderung formal dengan kepengurusan yang ditunjuk oleh pemerintah atau didasarkan pada pilihan anggota
3.
Tujuan (objectives)
Umumnya lembaga kelompok petani selain berorientasi pada tujuan teknis, juga berorientasi pada tujuan sosial dan ekonomi, yaitu memupuk rasa kebersamaan antara anggota dan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Kelembagaan belum mengarah pada tujuan politik.
4.
Keanggotaan (membership)
Keanggotaan didasarkan pada: hamparan usahatani, domisili anggota, atau kesamaan usaha/komoditas yang dikelola. Jumlah anggota tidak menentu, kadang-kadang terlalu besar untuk satu kelompok
5.
Inisiatif (initiative)
Kebanyakan kelembagaan kelompok petani dibentuk oleh pemerintah sebagai upaya untuk mencapai tujuan pembangunan pertanian, hanya sebagian kecil kelembagaan kelompok petani muncul dari inisiatif petani sendiri
6.
Pertanggunganjawab (accountability)
Kegiatan yang dilakukan dalam kelembagaan kelompok petani seringkali untuk memenuhi kebijakan pemerintah dalam bidang pertanian
Sumber: Analisa Data Primer
Mendasarkan permasalahan pertanian di lokasi penelitian pada Tabel 5.3. menunjukkan bahwa kelembagaan kelompok petani belum menunjukkan kemampuannya dalam mengakomodasi permasalahan tersebut. Permasalahan pertanian yang ada dapat dikurangi apabila kelembagaan kelompok petani mampu mengembangkan kapasitasnya, dengan syarat adanya dukungan dari pemangku kepentingan dan kebijakan yang berpihak kepada kepentingan petani. Masalah keterbatasan air irigasi dapat diatasi dengan penguatan P3A sebagai pengelola irigasi yang didukung oleh dinas pengairan dan balai-balai terkait. Ketersediaan sarana produksi
126
yang kurang termasuk pupuk, dapat diatasi apabila petani dapat mengembangkan kelembagaan kelompok petani yang mampu memproduksi sarana produksi alternatif. Masalah SDM petani yang rendah, informasi pertanian yang kurang, budidaya tanaman yang buruk, dapat diatasi dengan mengembangkan kelembagaan kelompok petani sebagai wadah pembelajaran. Masalah harga jual produk yang rendah dapat diatasi apabila kelembagaan kelompok petani mampu menyediakan dana atau melakukan pengolahan produk. Kondisi ini dapat terwujud apabila kelembagaan kelompok petani sudah mampu mengembangkan diri menjadi kelembagaan yang efektif. Struktur kelembagaan menunjuk pada tata hubungan antar individu atau unit pembentuknya. Kecenderungan sifat formal atau mem-formalkan kelembagaan kelompok tani menunjukkan bahwa selama ini pengembangan kelembagaan yang dilakukan oleh dinas terkait selalu menggunakan pendekatan struktural. Usaha menjadikan kelembagaan kelompok petani sebagai organisasi modern sehingga mampu menjalankan berbagai peran dan fungsinya seringkali melupakan aspek kultural dari masyarakat. Beberapa kelembagaan kelompok petani bahkan difasilitasi untuk berbadan hukum, namun kurang dalam pengembangan kapasitas individunya sehingga status yang dimiliki tidak ada artinya. Pada awalnya kelembagaan kelompok petani dibuat untuk memenuhi kepentingan atau tujuan program pembangunan dari dinas-dinas terkait. Dalam perkembangannya, tujuan tersebut berhasil ditransformasi menjadi tujuan petani meskipun tidak seluruhnya. Kondisi ini terlihat dari adanya kesenjangan antara pemahaman anggota terhadap tujuan-tujuan kelompok. Pemahaman anggota terhadap tujuan-tujuan kelompok masih rendah, yang dipahami oleh anggota bahwa kelompok akan memperjuangkan atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan anggota. Kondisi ini tidak lepas dari pembinaan yang selama ini dilakukan oleh dinas terkait yang sering memanipulasi kelompok untuk memenuhi tujuan-tujuan program pembangunan yang tidak jarang sebatas pada tujuan institusi. Umumnya kelembagaan kelompok petani selain berorientasi pada tujuan teknis, juga berorientasi pada tujuan sosial dan ekonomi, yaitu memupuk rasa kebersamaan antara anggota dan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Kelembagaan belum mengarah pada tujuan politis, yaitu menyuarakan aspirasi-aspirasi yang dirasakan anggotanya.
127
Kelembagaan kelompok petani dibangun di seluruh wilayah admisnistratif desa sehingga seluruh wilayah terbagi habis. Keanggotaan dari kelompok petani terdiri dari penduduk dari wilayah administrasi yang bersangkutan, yang didasarkan pada: hamparan usahatani, domisili anggota, atau kesamaan usaha/komoditas yang dikelola. Jumlah anggota tidak menentu, kadang-kadang terlalu besar untuk satu kelompok. Besarnya jumlah anggota menjadi penyebab rendahnya interaksi antar anggota. Kegiatan kelompok petani mencoba untuk memperkuat ikatan horizontal anggotanya yang mempunyai jenis kegiatan yang sama. Pada awalnya keberadaan kelembagaan kelompok petani menjadi sesuatu yang penting bagi pemerintah sehingga pemerintah melalui dinas terkait mensponsori terbentuknya kelembagaan kelompok petani di desa-desa. Pemerintah melihat kelembagaan kelompok petani merupakan salah satu unsur yang diperlukan untuk melaksanakan pembangunan pertanian secara menyeluruh. Kelembagaan kelompok petani dipandang sebagai sasaran (beneficeries) yang paling strategis dalam menyampaikan dan menyalurkan berbagai sarana dan prasarana pembangunan pertanian dalam berbagai bentuk, seperti: teknologi pertanian, subsidi/bantuan/pinjaman barang/uang, distribusi pupuk, dan sebagainya. Sejalan dengan perkembangan, petani sendiri merasa perlu mengembangkan kelompok petani dengan tujuan tertentu, seperti: sarana berinteraksi dan bersosialisasi serta sebagai upaya untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang dimiliki secara efektif dan efisien. Bagi pihak swasta yang berkepentingan, keberadaan kelompok-kelompok petani merupakan sarana untuk bertransaksi secara efisien sehingga lebih menjamin keberlanjutan hubungan, namun biasanya pihak swasta hanya memanfaatkan kelembagaan kelompok petani yang sudah ada. Kelembagaan kelompok petani seringkali dikaitkan secara sub-ordinasi secara struktural dengan dinas-dinas terkait sehingga aktivitas yang dijalankan berorientasi untuk memenuhi kebijakan pemerintah. Kelembagaan kelompok petani belum mampu keluar dari pengaruh pemerintah sehingga mampu mengembangkan diri menjadi kelembagaan yang mandiri bertanggung-jawab kepada anggota yang membentuknya. Kondisi ini tentunya tidak terlepas dari cara-cara yang digunakan oleh pihak-pihak yang memfasilitasi selama ini.
128
Usaha-usaha memfasilitasi kelembagaan kelompok petani oleh pihakpihak pemerintah atau instansi terkait pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kelembagaan tersebut. Kurangnya koordinasi, lemahnya pendekatan yang digunakan, atau adanya unsur kepentingan (hidden agenda) tidak jarang menyebabkan upaya yang dilakukan menyebabkan kontra produktif. Program-program pemberdayaan kelembagaan yang semula akan dicapai, dalam pelaksanaannya menjadi kegiatan-kegiatan yang tidak memberdayakan atau menyebabkan ketidakmandirian kelembagaan petani tersebut. Syahyuti (2003) mencatat beberapa strategi pengembangan kelembagaan kelompok petani yang tidak tepat di Indonesia yaitu: (1) kelembagaan dibangun terbatas hanya untuk memperkuat ikatan-ikatan horizontal, tidak termasuk ikatan vertikal; (2) kelembagaan dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan memudahkan tugas kontrol dari pelaksana program; (3) struktur keorganisasian yang dibangun relatif seragam yang bias untuk bentuk kelembagaan tertentu; (4) meskipun kelembagaan sudah dibentuk, namun pembinaan yang dijalankan cenderung individual; (5) pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural, lemah dalam pengembangan aspek kultural; (6) introduksi kelembagaan lebih banyak melalui budaya material dibanding non-material, atau merupakan perubahan yang materialistik; (7) introduksi kelembagaan baru telah merusak kelembagaan lokal yang ada sebelumnya, termasuk hubungan-hubungan horisontal yang telah ada; (8) pengembangan kelembagaan seringkali masih lebih merupakan jargon politik daripada kenyataan yang riel di lapangan.
Faktor-faktor Internal dan Eksternal Petani Status Sosial Ekonomi Petani (X1) Status sosial ekonomi petani dipresentasikan dalam enam sub variabel, yaitu: umur, tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan non-formal, pengalaman usahatani, pendapatan petani, dan tingkat partisipasi sosial petani. Secara rinci gambaran status sosial ekonomi petani ditampilkan dalam Tabel 5.6.
129
Tabel 5.6. Umur, Tingkat Pendidikan, Pengalaman Berusahatani, Tingkat Pendapatan, dan Tingkat Partisipasi Sosial Petani Menurut Lokasi dan Status Petani
Tahun
50
50
45
45
48.5
49
Nilai Tengah Keseluruhan 48.75
a. Formal
Tahun
9
12
9
9
6
9
9
b. Non-formal
Skor (3-9)
6 (67)
7 (78)
6 (67)
7 (78)
3 (33)
3 (33)
6 (67)
3. Pengalaman Usahatani
Skor (3-10)
6 (60)
6 (60)
7 (70)
7 (70)
6 (60)
6 (60)
6 (60)
4. Tingkat Pendapatan
Rupiah (000)
800
1000
600
625
1000
1100
900
5. Tingkat Skor Partisipasi Sosial (3-10)
5 (50)
6 (60)
6 (60)
6 (60)
6 (60)
6 (60)
6 (60)
Indikator Status Sosial Ekonomi Petani 1. Usia
Lok I Status Petani Satuan
Lok II Status Petani
Lok III Status Petani
Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi
2. Tingkat Pendidikan
Keterangan: - Lokasi I = Kab. Klaten, Lokasi II = Kab. Grobogan, Lokasi III = Kab. Karanganyar; - Status petani: rendah = anggota, dan tinggi = ketua, sekretaris, & pengurus lain; - Nilai yang disajikan dalam bentuk: median skor dan persen dari skor maks. (dalam kurung); - Kategori: 25%–43%=rendah sekali, 44%–62%=rendah; 63%–81%=sedang, 82%–100%=tinggi; - N = 405
Usia Petani Usia merupakan salah satu karakteristik profil petani yang sangat penting untuk diketahui. Pada saat ini pelaku usaha pertanian di Indonesia ini sering ditengarai sebagai kelompok lanjut usia. Hal ini didasarkan pada kondisi bidang usaha pertanian yang dianggap tidak menarik lagi oleh kelompok usia muda. Terbatasnya sumberdaya lahan di Pulau Jawa, nilai tukar pertanian yang rendah, serta citra diri petani yang kurang menarik merupakan faktor penyebab banyaknya anak muda yang lebih tertarik bekerja di luar pertanian. Hasil survei menunjukkan petani berada pada selang usia 25 tahun sampai dengan 78 tahun, mempunyai rataan usia 48.75 tahun. Statistik ini cukup memberi bukti terhadap sinyalemen tersebut di atas bahwa pertanian, terutama di lokasi penelitian, lebih banyak ditekuni oleh kelompok usia yang sudah tidak muda lagi.
130
Usia berkaitan dengan kemampuan fisik, cara-cara berfikir, dan respons terhadap suatu inovasi dalam menjalankan usahatani. Pelaku usahatani yang kebanyakan dari kelompok usia tersebut tentu sudah mulai berkurang kemampuan fisiknya, lebih sulit berubah pola pikirnya, serta kurang responsif terhadap inovasi. Kondisi ini menjadi peringatan bagi pemerintah bagaimana untuk mengembangkan pertanian ke depan.
Tingkat Pendidikan Petani Pendidikan secara umum dikelompokkan ke dalam pendidikan formal dan pendidikan non-formal. Pendidikan formal atau pendidikan di bangku sekolah menjadi parameter utama bagi kualitas sumberdaya manusia (SDM) di Indonesia dan di negara-negara lainnya. Tingkat pendidikan formal petani berada pada rataan 9 tahun. Angka ini menunjukkan kondisi relatif yang lebih baik karena setara lulus sekolah menengah pertama. Dari tabel di atas juga terlihat bahwa petani dalam kategori status tinggi mempunyai tingkat pendidikan formal yang relatif lebih baik. Ketokohan atau kepemimpinan dalam masyarakat pertanian, salah satu cirinya ditentukan dengan tingkat pendidikan formal. Petani dengan pendidikan yang relatif lebih tinggi banyak dipercaya oleh petani-petani lain untuk menjabat sebagai ketua atau pengurus dalam kelembagaan petani. Pendidikan non-formal yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi: macam pendidikan yang diikuti, intensitas pendidikan yang diperoleh, dan kesesuaian dengan bidang usaha pertanian yang ditekuni. Gambaran pendidikan non-formal petani pada tiga lokasi kabupaten yang berbeda menunjukkan keragaman terutama di lokasi ke-3. Dalam rentang skor 3 sampai dengan 9, statistik median berada pada skor 6 atau 67 persen. Statistik ini menunjukkan tingkat pendidikan non-formal petani berada pada kategori sedang. Diperlukan kesempatan bagi petani untuk meningkatkan kemampuan dalam berusahatani melalui kegiatan-kegiatan pelatihan, penyuluhan, dan aktivitas pendidikan non-formal yang lainnya. Disadari bahwa pendidikan non-formal bagi petani sangat penting dan menjadi dasar utama untuk kemajuan petani dalam berusahatani. Terkait hal ini, peran pemerintah terlihat kian menurun, sedangkan pihak-pihak selain pemerintah yang diharapkan mampu melakukan peran melaksanakan pendidikan non-formal bagi
131
petani belum ada. Media massa (radio, televisi, dan surat kabar) yang diharapkan memberikan pencerahan bagi komunitas petani, seringkali justru kurang mendidik. Perubahan yang ditawarkan lebih bersifat konsumerisme, prosentase yang masih sangat kecil media-media tersebut dalam meningkatkan pengetahuan di bidang pertanian.
Pengalaman Usahatani Pengalaman usahatani yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi: lama berusahatani, intensitas dalam melakukan kegiatan usahatani, dan macam kegiatan usahatani yang telah dilakukan. Lama berusahatani umumnya sejalan dengan usia yang dimiliki oleh petani. Kebanyakan petani merupakan pekerjaan secara turunmenurun, diwariskan dari orang tua yang mempunyai pekerjaan sebagai petani. Perhitungan tingkat pengalaman berusahatani di lokasi penelitian menunjukkan nilai tengah skor sebesar 6 atau 67 persen.
Statistik ini memberikan gambaran
bahwa pengalaman usahatani berada pada kategori sedang. Selain lama berusahatani yang berjalan alamiah, pada umumnya petani kurang dalam melakukan intensitas dan diversifikasi usahatani.
Kebanyakan usahatani masih bersifat
tradisional dan petani belum banyak melakukan pilihan atas komoditas-komoditas selain yang selama ini dilakukan secara turun-menurun. Berbagai alasan yang dikemukakan atas pilihan komoditas yang selama ini ditanam antara lain: adanya kesesuaian dengan lahan, secara finansial menguntungkan, untuk memenuhi kebutuhan pangan, mudah dalam budidayanya, dan sebagainya. Keterbatasan akses modal menjadi faktor penghambat utama petani dalam membuat keputusan yang lebih inovatif karena mengutamakan selamat atau menghindari resiko. Selain keterbatasan modal, faktor-faktor lain yang menyebabkan petani tidak leluasa dalam memilih komoditas antara lain: keterbatasan ketersediaan air, pengaruh cuaca, keterbatasan pengetahuan terhadap komoditas yang diinginkan. Gambaran pengalaman berusahatani pada tiga lokasi kabupaten relatif seragam, namun di Kabupaten Grobogan relatif lebih tinggi. Pengalaman berusahatani ini merupakan salah satu faktor yang membentuk kemampuan berusahatani.
132
Pendapatan Petani Pendapatan petani diperoleh dari kegiatan berusahatani (on-farm) dan kegiatan-kegiatan lain di luar usahatani (off-farm dan atau out-farm). Pendapatan dari usahatani merupakan nilai jual produk pertanian yang dihasilkan setelah dikurangi dengan semua biaya-biaya yang telah dikeluarkan, seperti: sewa lahan, biaya membeli sarana produksi (benih, pupuk, dan pestisida), serta biaya mengupah tenaga kerja luar. Rendahnya kepemilikan lahan pertanian menyebabkan petani harus menyewa atau menjadi petani penyakap (bagi hasil). Berdasarkan data Sensus Pertanian 2003, rata-rata luas lahan pertanian yang diusahakan per rumah tangga pertanian di Jawa Tengah adalah 2 038 m2 (lahan sawah) dan 1 685 m2 (lahan bukan sawah). Tingkat produksi tanaman pangan (padi dan palawija) yang sangat tergantung kondisi cuaca dan lingkungan, ditambah mahalnya hargaharga sarana produksi menyebabkan tidak menentu dan rendahnya pendapatan petani dari usahatani. Dari perhitungan di tiga lokasi menunjukkan bahwa pendapatan yang diperoleh petani sebagai pendapatan bulanan rata-rata sebesar Rp 982 500,-. Perbedaan antar kelompok petani relatif nampak, petani dengan status tinggi menunjukkan pendapatan yang lebih baik. Kondisi ini memperlihatkan tingkat pengelolaan usaha yang relatif lebih baik. Keragaman relatif besar tingkat pendapatan petani juga terjadi antar lokasi penelitian. Hal ini menunjukkan adanya keragaman dalam perbedaan kondisi lahan dan jenis komoditas yang diusahakan, skala usahatani, serta intensitas usahanya. Pada daerah-daerah lahan berpengairan teknis, pemilikan lahan yang relatif luas, serta berusahatani lebih intensif akan memberikan pendapatan yang relatif lebih baik dibandingkan dengan di daerah-daerah lahan tadah hujan, pemilikan lahan yang sempit, serta intensitas berusahatani yang masih rendah. Dilihat dari tingkat pendapatannya, petani termasuk dalam kelompok masyarakat yang berpendapatan rendah. Sempitnya lahan dan terbatasnya modal menyebabkan pendapatan dari usahatani juga kecil.
Agar dapat memenuhi
kebutuhan rumah tangga umumnya petani melakukan berbagai kegiatan ekonomi produktif, baik di bidang pertanian (off-farm) maupun di luar bidang pertanian (out-farm). Walaupun pendapatan di luar pertanian lebih tinggi namun status
133
sebagai petani tidak begitu saja dilepas. Dalam situasi tertentu tidak jarang petani harus mencari modal usaha dengan bekerja di luar pertanian agar dapat menjalankan usahataninya. Pekerjaan-pekerjaan lain di luar pertanian antara lain: berdagang, buruh industri, buruh bangunan, dan pekerjaan serabutan yang lain.
Tingkat Partisipasi Sosial Petani Dalam kehidupan kemasyarakatan, keikutsertaan seseorang dalam berbagai aktivitas sosial merupakan suatu keharusan lebih-lebih dalam masyarakat perdesaan. Petani merupakan salah satu kelompok sosial masyarakat yang sangat intens dalam interaksi sosialnya.
Selain aktivitas dalam usahatani, kegiatan-
kegiatan di luar usaha pertanian memerlukan keterlibatan petani sebagai sarana untuk bersosialisasi dan beraktualisasi. Dalam penelitian ini tingkat partisipasi sosial petani diukur dalam dua aspek, yaitu: intensitas dalam kegiatan sosial yang diikuti dan kualitas dalam mengikuti kegiatan sosial tersebut. Tingkat partisipasi sosial petani di lokasi penelitian berada pada median skor 6 atau 60 persen dari skor maksimum atau berada pada kategori rendah. Pada lokasi I terlihat bahwa petani dengan status tinggi dalam kelembagaan petani mempunyai tingkat partisipasi sosial yang relatif lebih tinggi, sedangkan di dua lokasi yang lain relatif sama. Pada praktiknya kegiatan sosial yang dilakukan petani ada beberapa jenis, baik bersifat rutin maupun bersifat insedental. Dalam pengukuran ini dibedakan antara petani yang terlibat secara aktif dengan menjadi pengurus dengan petani sebagai anggota atau pelaksana.
Tingkat Kebutuhan Petani (X2) Tingkat kebutuhan petani dalam penelitian ini dikategorikan dalam dua kategori, yaitu: kebutuhan usahatani dan kebutuhan sosial. Secara rinci gambaran kebutuhan petani ditampilkan dalam Tabel 5.7.
134
Tabel 5.7. Skor Tingkat Kebutuhan Petani Menurut Lokasi dan Status Petani
1. Kebutuhan Usahatani
(12-48)
32 (67)
33 (69)
34 (71)
34 (71)
35 (73)
35 (73)
Nilai Tengah Keseluruhan 34 (71)
2. Kebutuhan Sosial
(8-32)
25 (78)
26 (81)
26 (81)
26 (81)
28 (88)
29 (91)
26 (81)
(73)
(75)
(76)
(76)
(81)
(72)
(76)
Profil Kebutuhan Petani
Rataan
Lok I Status Petani Skor
Rendah Tinggi
Lok II Status Petani Rendah
Lok III Status Petani
Tinggi Rendah Tinggi
Keterangan: - Lokasi I = Kab. Klaten, Lokasi II = Kab. Grobogan, Lokasi III = Kab. Karanganyar; - Status petani: rendah = anggota, dan tinggi = ketua, sekretaris, & pengurus lain; - Nilai yang disajikan dalam bentuk: median skor dan persen dari skor maks. (dalam kurung); - Kategori: 25%–43%=rendah sekali, 44%–62%=rendah; 63%–81%=sedang, 82%–100%=tinggi; - N = 405
Kebutuhan Usahatani Petani Kebutuhan pada individu merupakan sumber pendorong atau penggerak bagi individu tersebut untuk berperilaku tertentu. Kebutuhan berusahatani dimaksudkan untuk melihat bagaimana petani menilai tingkat kecukupan terhadap faktor-faktor produksi pertanian yang mampu diakses dalam menjalankan usahataninya. Kebutuhan usahatani mengandung dimensi-dimensi atas: kecukupan penguasaan lahan pertanian, ketersediaan tenaga kerja, tersedianya sarana produksi sesuai dengan jenis dan kebutuhan, tersedianya dana pada saat dibutuhkan, ketersediaan teknologi yang sesuai, serta manajemen usahatani. Dari hasil perhitungan memperlihatkan bahwa nilai tengah keseluruhan indikator tingkat kebutuhan berusahatani berada pada angka 34 atau 71 persen dari skor maksimal atau berada pada kategori sedang. Statistik ini mengindikasikan bahwa penilaian petani terhadap tingkat kebutuhan berusahatani berada pada tingkat cukup tersedia. Pendalaman atas berbagai indikator tingkat kebutuhan berusahatani memperlihatkan bahwa beberapa hal yang dirasakan perlu ditingkatkan kecukupannya pada saat ini adalah: ketersediaan modal untuk membeli sarana produksi, ketersediaan pupuk dalam jumlah dan waktu yang tepat, ketersediaan air irigasi, jaminan atas harga yang layak terhadap produk pertanian, dukungan dari dinas terkait dalam hal informasi, penyuluhan, dan sebagainya. Banyak petani
135
menyampaikan keluhannya atas kelangkaan pupuk dan harga sarana produksi yang mahal.
Kebutuhan Sosial Petani Kebutuhan sosial petani merupakan pencerminan terhadap dorongan petani terhadap interaksi sosialnya dalam kehidupan sehari-hari. Kebutuhan sosial petani meliputi: pemanfaatan waktu luang untuk kegiatan keluarga, pemanfaatan waktu luang untuk kegiatan sosial, jumlah sumbangan sosial, serta keberhasilan yang telah dicapai. Dari hasil perhitungan memperlihatkan bahwa nilai tengah keseluruhan indikator tingkat kebutuhan sosial petani berada pada angka 26 atau 81 persen dari skor maksimal dan berada pada kategori sedang. Statistik ini mengindikasikan bahwa penilaian petani terhadap tingkat kebutuhan sosialnya relatif lebih baik dibandingkan dengan tingkat kebutuhan berusahatani. Pendalaman atas indikator kebutuhan sosial petani terlihat bahwa secara umum petani merasa sudah cukup melakukan kegiatan yang bermanfaat untuk anggota keluarga dan masyarakat sekitarnya, namun petani belum merasa cukup atas apa yang sudah dicapai selama ini. Petani belum mampu memberikan sesuatu kepada orang yang lebih membutuhkan, petani merasa belum mendapatkan tempat yang terhormat dalam masyarakat. Apa yang dicita-citakan oleh masyarakat petani selama ini belum tercapai. Dari tabel di atas terlihat petani dengan status sosial lebih tinggi menunjukkan tingkat pemenuhan kebutuhan yang lebih baik.
Pengalaman Belajar Petani (X3) Pengalaman belajar petani meliputi segala bentuk aktivitas petani yang berhubungan dengan sumber-sumber belajar yang ada, yaitu: aktivitas berkelompok, interaksi dengan penyuluh, interaksi dengan petani lain, interaksi dengan pedagang, serta kontak dengan media. Secara rinci gambaran pengalaman belajar petani ditampilkan dalam Tabel 5.8.
136
Tabel 5.8. Skor Pengalaman Belajar Petani Menurut Lokasi dan Status Petani
1. Akses dengan Media
(0-7)
4 (57)
4 (57)
4 (57)
5 (71)
4 (57)
5 (71)
Nilai Tengah Keseluruhan 4 (57)
2. Interaksi dengan Sesama Petani
(0-7)
4 (57)
4 (57)
4 (57)
4 (57)
3 (43)
3 (43)
4 (57)
3. Interaksi dengan Penyuluh
(0-6)
3 (50)
3 (50)
3 (50)
3 (50)
3 (50)
3 (50)
3 (50)
4. Interaksi dengan Pedagang
(0-7)
3 (43)
4 (57)
5 (71)
5 (79)
3 (43)
3 (43)
3 (43)
(52)
(55)
(59)
(62)
(48)
(52)
(52)
Indikator Pengalaman Belajar Petani
Rataan
Lok I Status Petani Skor
Lok II Status Petani
Lok III Status Petani
Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi
Keterangan: - Lokasi I = Kab. Klaten, Lokasi II = Kab. Grobogan, Lokasi III = Kab. Karanganyar; - Status petani: rendah = anggota, dan tinggi = ketua, sekretaris, & pengurus lain; - Nilai yang disajikan dalam bentuk: median skor dan persen dari skor maks. (dalam kurung); - Kategori: 25%–43%=rendah sekali, 44%–62%=rendah; 63%–81%=sedang, 82%–100%=tinggi; - N = 405
Secara umum pengalaman belajar petani berada pada skor kurang, yaitu berada pada nilai tengah kurang dari 52 persen skor maksimum atau berada pada kategori rendah. Dari empat sumber belajar yang ada (media massa, sesama petani, penyuluh, dan pedagang), relatif tidak ada yang menonjol sebagai sumber pengalaman belajar. Akses dengan media dan interaksi dengan petani mempunyai skor rataan relatif tinggi dibanding dengan interaksi petani dengan penyuluh dan pedagang. Terdapat perbedaan rataan skor antara petani dengan status tinggi dengan petani dengan status rendah. Petani status tinggi mempunyai pengalaman belajar lebih baik dengan media massa dan dengan pedagang dibandingkan petani anggota. Selain itu terdapat keragaman nilai tengah skor indikator pengalaman belajar antar lokasi penelitian.
Kontak Petani Dengan Media Salah satu sumber belajar bagi petani adalah media massa yang ada dan mampu diakses oleh petani. Media massa komunikasi, baik cetak maupun elektro-
137
nik seperti: koran, majalah, radio, dan televisi, pada saat ini keberadaannya relatif tersedia. Tingkat pengalaman belajar petani sangat tergantung pada kemampuan petani dalam mengakses media tersebut, meliputi: jenis media massa yang diakses, frekuensi dalam mengakses media, dan kesesuaian informasi dengan kebutuhan usahatani. Kebanyakan petani mempunyai media elektronik seperti radio dan televisi di rumah, namun kebanyakan fungsi utamanya sebagai media hiburan. Hanya sebagian kecil petani yang menggunakan media tersebut sebagai sarana meningkatkan pengetahuan di bidang pertanian dengan menaruh perhatian pada acara-acara khusus, seperti ‘acara pertanian’, ‘mbangun desa’, dan sebagainya. Keterbatasan petani dalam mengakses acara pertanian di media massa bukan sepenuhnya dipengaruhi oleh rendahnya minat petani tetapi oleh kurangnya media massa untuk menyajikan acara-acara khusus pertanian. Media massa cetak, seperti koran dan majalah, lebih kecil intensitas penggunaannya oleh petani dibanding media elektronik. Hanya petani-petani dengan tingkat pendidikan, atau tingkat status sosial dan ekonomi yang tinggi, biasanya memanfaatkan media cetak ini. Kondisi pengalaman belajar melalui media masih sangat kurang, dapat ditunjukkan pada nilai tengah skor 4 – 5 atau 57 persen dari skor maksimum. Tidak ada perbedaan yang menonjol pengalaman belajar petani melalui media massa ini di tiga lokasi penelitian. Perbedaan nilai tengah skor terjadi antara petani status tinggi dengan petani status rendah. Petani dengan status tinggi mempunyai kontak dengan media massa lebih baik dibanding petani dengan status rendah di Lokasi II dan Lokasi III.
Interaksi Petani Dengan Petani Lain Interaksi petani dengan petani lain mewujudkan sarana petani dalam mengekspresikan dan mengekplorasi pengalaman dalam meningkatkan kemampuan bertani. Pada umumnya tatap muka petani dengan petani lain terjadi pada suasana in-formal dan lebih bersifat personal. Komunikasi antar petani berlangsung dua arah dengan pembicaraan mulai dari sapaan sopan-santun sampai pada permasalahan pertanian, seperti: budidaya, serangan hama, harga sarana produksi, dan sebagainya. Komunikasi dapat terjadi di rumah, tempat usahatani, ataupun di suatu pertemuan formal.
138
Dalam penelitian dihitung jumlah tatap muka yang dilakukan dan kualitas tatap muka untuk mengukur tingkat interaksi di antara mereka. Berdasarkan hasil pengukuran, skor nilai tengah interaksi petani dengan sesama petani berada pada nilai 4 atau 57 persen dari skor maksimum. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat ini intensitas hubungan petani dengan petani lain berada pada kondisi kurang, baik jumlah maupun kualitas tatap muka yang terjadi. Ada indikasi telah terjadi penurunan jika dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya. Keadaan ini dapat dijelaskan dengan mengkaitkan kondisi sosial ekonomi yang sulit pada saat ini. Kepemilikan sumberdaya yang rendah di tengah tuntutan pemenuhan kebutuhan yang semakin tinggi menuntut masyarakat untuk berusaha semakin keras. Secara individual masyarakat lebih memfokuskan pada tindakan yang dianggap lebih produktif sehingga menyebabkan interaksi dengan sesama petani menjadi semakin kurang intensif.
Interaksi Petani Dengan Penyuluh Disadari atau tidak keberadaan penyuluh pertanian lapangan (PPL) dalam suatu wilayah perdesaan sangat diperlukan. Keadaan ini didasarkan anggapan bahwa PPL merupakan satu-satunya perwakilan pemerintah yang dapat ditemui di lapangan. Selain dianggap sebagai orang yang paling tahu berbagai hal di bidang pertanian, mereka juga dianggap sebagai pegawai pemerintah yang bisa menampung permasalahan yang dihadapi petani. Dalam penelitian ini, jumlah tatap muka yang dilakukan dan kualitas tatap muka menjadi indikator pengukuran pengalaman belajar petani dari penyuluh.
Berdasarkan hasil pengukuran, skor nilai
tengah interaksi petani dengan penyuluh pertanian berada pada nilai 3 atau 50 persen dari skor maksimum. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah maupun kualitas tatap muka petani dengan penyuluh masih rendah. Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) kurang dalam melakukan kunjungan lapangan dan bertemu dengan petani. Kondisi yang kurang menguntungkan ini terjadi di tiga lokasi penelitian. Provinsi Jawa Tengah dengan jumlah desa sebanyak 8 574 desa, pada saat ini, mempunyai tenaga penyuluh PNS sebanyak 2 574 orang (24 orang penyuluh provinsi) dan penyuluh yang berstatus THL-TBPP sebanyak 2 070 orang (berlatar belakang umumnya teknis pertanian, kurang berkemampuan dalam kompetensi
139
penyuluhan). Dengan mengacu pada keberadaan penyuluh PNS, sebenarnya perbandingan antara penyuluh dengan wilayah kerjanya di Jawa Tengah adalah satu penyuluh bekerja untuk tiga desa. Dengan melihat kondisi wilayah kerja atau desa-desa di lokasi penelitian sebenarnya tidak terlalu sulit untuk dijangkau oleh penyuluh pertanian lapangan, sehingga dari permasalahan ini diperlukan peningkatan kinerja penyuluh pertanian lapangan dalam pelaksanaan tugasnya.
Interaksi Petani Dengan Pedagang Secara umum petani-petani di lokasi penelitian mempunyai keterikatan dengan pedagang.
Dalam berbagai kegiatan pertanian, keberadaan pedagang
tidak bisa diabaikan. Petani melakukan berbagai transaksi yang bersifat bisnis dengan para pedagang dalam berbagai kegiatan, seperti: membeli sarana produksi pertanian (benih, pupuk, alat-alat pertanian) dan menjual produk pertanian. Pedagang tersebut bisa merupakan tetangga atau pendatang, yang biasanya dari mereka didapat informasi-informasi baru mengenai pertanian. Dalam penelitian ini untuk mengukur pengalaman belajar melalui interaksi petani dengan pedagang dilihat dari jumlah tatap muka yang dilakukan dan kualitas tatap muka antara petani dengan pedagang. Hasil pengukuran menunjukkan interaksi petani dengan pedagang pada nilai tengah skor 3 atau 43 persen. Selain itu, pada umumnya petani dengan status tinggi mempunyai interaksi yang lebih intensif dengan pedagang dibanding petani kebanyakan. Pada saat ini, banyak formulator atau supplier dari suatu produsen sarana pertanian secara proaktif memberikan penawaran atas produknya, seperti: benih, obat-obatan, dan sebagainya. Biasanya mereka mendekati pengurus kelompok untuk kepentingan bisnis mereka, dengan anggapan para pengurus atau ketua kelompok mempunyai pengaruh terhadap anggotanya.
Tingkat Kepemimpinan Lokal dalam Masyarakat Petani (X4) Dalam setiap komunitas selalu ada orang-orang yang menjadi rujukan bagi yang lain untuk keperluan tertentu. Dalam hal ini orang-orang tersebut berperan
140
sebagai pemuka pendapat atau pemimpin atas yang lain. Kepemimpinan lokal memberi pengaruh terhadap perilaku petani dalam berbagai kegiatan produksi pertanian maupun kegiatan lain. Dalam penelitian ini pengaruh tersebut dibedakan atas pengaruh yang bersifat fungsional dan pengaruh yang bersifat situasional. Gambaran pengaruh kepemimpinan lokal dalam masyarakat petani dikemukakan dalam Tabel 5.9. Tabel 5.9. Skor Tingkat Kepemimpinan Lokal dalam Masyarakat Menurut Lokasi dan Status Petani Indikator Pengaruh Kepemimpinan Lokal 1. Pengaruh Fungsional
Lok I Lok II Lok III Status Petani Status Petani Status Petani Skor Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi 31 31 31 31.5 32 31 (9-36) (86) (86) (86) (88) (89) (86)
2. Pengaruh Situasional
(2-8)
Rataan
Nilai Tengah Keseluruhan 31 (86)
8 8 8 8 8 (100) (100) (100) (100) (100)
8 (100)
8 (100)
(93)
(93)
(93)
(93)
(93)
(94)
(94)
Keterangan: - Lokasi I = Kab. Klaten, Lokasi II = Kab. Grobogan, Lokasi III = Kab. Karanganyar; - Status petani: rendah = anggota, dan tinggi = ketua, sekretaris, & pengurus lain; - Nilai yang disajikan dalam bentuk: median skor dan persen dari skor maks. (dalam kurung); - Kategori: 25%–43%=rendah sekali, 44%–62%=rendah; 63%–81%=sedang, 82%–100%=tinggi; - N = 405
Berdasarkan Tabel 5.9. memperlihatkan bahwa kepemimpinan lokal mempunyai pengaruh yang besar terhadap masyarakat petani di perdesaan. Keberadaan kepemimpinan lokal secara keseluruhan memberi pengaruh sebesar 93 persen terhadap perilaku petani. Pengaruh Fungsional Kepemimpinan Lokal Dalam suatu sistem sosial masyarakat petani kepemimpinan lokal masih sangat diperlukan. Pola-pola panutan dibutuhkan sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas perilaku dalam berusahatani. Pada saat ini, dalam pengambilan keputusan dalam usahataninya, petani di perdesaan biasanya masih memerlukan tokoh-tokoh masyarakat setempat atau petani-petani maju sebagai rujukan atau memantapkan keputusannya. Pengaruh keberadaan kepemimpinan lokal dalam
141
masyarakat, dalam penelitian ini, dilihat pengaruhnya dalam dua aspek yaitu pengaruh fungsional dan pengaruh situasional. Pengaruh fungsional yang dimaksud adalah keberadaan pemimpin-pemimpin lokal yang ada di masyarakat sejauhmana membawa perubahan pada petani melalui suatu proses belajar pada petani. Proses-proses yang terjadi dikategorikan ke dalam proses-proses internalisasi dan proses-proses identifikasi. Tingginya pengaruh fungsional pemimpin lokal ditunjukkan dengan tingginya nilai tengah skor, yaitu: 31 atau 86 persen dari skor maksimal dan berada pada kategori tinggi. Secara umum tidak ada perbedaan pola pengaruh ini pada petani dari status yang berbeda. Pemimpin dalam masyarakat merupakan orang-orang yang mempunyai pengaruh atau kemampuan menggerakkan terhadap yang lain. Adanya pengaruh ini karena adanya kewenangan (pemimpin formal), kemampuan, atau karakteristik yang menonjol. Di masyarakat perdesaan, keberadaan pemimpin formal dan nonformal sangat dihormati. Pemimpin formal biasanya terdiri perangkat desa dan pengurus RT, mulai dari kepala desa sampai ketua RT. Meskipun ada diantara mereka yang usianya muda, biasanya mereka akan selalu ’di-tua-kan’. Gerakgerik atau perilaku para pemimpin tersebut menjadi perhatian dan contoh bagi warganya. Hal serupa juga terjadi pada pemimpin non-formal, yang biasanya terdiri atas tokoh-tokoh masyarakat yang relatif ’dipandang’ atau disegani, seperti: guru, kyai, tokoh pemuda, atau orang terpandang yang lain.
Pengaruh Situasional Kepemimpinan Lokal Pengaruh situasional kepemimpinan lokal merupakan bentuk-bentuk perilaku pemimpin dalam menggerakkan masyarakat petani yang ada di sekitarnya. Perilaku yang dimaksud adalah perilaku yang berorientasi pada hubungan dan perilaku yang berorientasi pada tugas. Tingginya pengaruh situasional pemimpin lokal ditunjukkan dengan tingginya nilai tengah skor, yaitu: 8 dan berada pada kategori tinggi. Dalam interaksi sosial di pedesaan pada umumnya keberadaan pemimpin sangat dihormati dalam situasi hubungan kerja ataupun dalam hubungan kemasyarakatan yang lain. Secara umum tidak ada perbedaan pola pengaruh ini pada petani dari status yang berbeda.
142
Intensitas Peran Pihak Luar dalam Kegiatan Usahatani (X5) Berbagai pemangku kepentingan memberi pengaruh terhadap perilaku petani dalam berbagai kegiatan petani. Pemangku kepentingan yang dimaksud antara lain: pemerintah, Lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga komersial. Gambaran peran pihak-pihak luar yang berpengaruh terhadap kegiatan petani dikemukakan dalam Tabel 5.10. Tabel 5.10. Skor Intensitas Peran Pihak Luar dalam Kegiatan Petani Menurut Lokasi dan Status Petani Lok I Lok II Lok III Indikator Nilai Tengah Peran Pihak Luar Status Petani Status Petani Status Petani Keseluruhan Dalam Kegiatan Petani Skor Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi 1. Peran Pemerin9 10 10 11 12 12 10 (4-16) tah (56) (63) (63) (69) (75) (75) (62) 2. Peran Lembaga 6 7 3 3 5 6 5 Swadaya (3-12) (50) (58) (25) (25) (38) (50) (42) Masyarakat 3. Peran Lembaga 12 14 13 11 10 11 11 (4-16) Komersial (75) (88) (81) (69) (63) (69) (69) Rataan
(63)
(70)
(56)
(54)
(60)
(65)
(61)
Keterangan: - Lokasi I = Kab. Klaten, Lokasi II = Kab. Grobogan, Lokasi III = Kab. Karanganyar; - Status petani: rendah = anggota, dan tinggi = ketua, sekretaris, & pengurus lain; - Nilai yang disajikan dalam bentuk: median skor dan persen dari skor maks. (dalam kurung); - Kategori: 25%–43%=rendah sekali, 44%–62%=rendah; 63%–81%=sedang, 82%–100%=tinggi; - N = 405
Peran Pemerintah Dalam pembangunan pertanian di negara agraris, seperti Indonesia, peran pemerintah sangat menonjol. Kebijakan-kebijakan pemerintah berdampak langsung terhadap kelangsungan usaha petani, seperti: kebijakan harga produk pertanian, kebijakan harga pupuk dan distribusinya, kebijakan ekspor dan impor, dan sebagainya. Selain fungsi pengaturan tersebut, pemerintah juga berperan dalam memfasilitasi penyediaan infrastruktur pertanian. Peran pemerintah yang berpengaruh terhadap kegiatan petani dalam penelitian ini dilihat dari aspek-aspek: ada tidaknya kebijakan pemerintah, seberapa besar efektivitas implementasi ke-
143
bijakan pemerintah, ada tidaknya koordinasi antar instansi, serta ada tidaknya kesesuaian dengan kebutuhan petani. Pengukuran terhadap indikator peran pemerintah menunjukkan nilai tengah skor pada angka 10 atau 62 persen dari skor maksimal. Nilai ini memperlihatkan bahwa peran-peran yang dilakukan pemerintah (expected role) berada pada kategori sedang. Pemerintah dinilai kurang memberikan perhatian kepada para petani. Banyak harapan petani yang ditujukan pada pemerintah agar dapat berbuat lebih banyak lagi kepada kepentingan petani. Selama ini seringkali kebijakan pemerintah dipandang kurang berpihak kepada kepentingan petani. Bagi anggapan petani, berbagai permasalahan yang sedang dihadapi oleh petani bermuara pada kebijakan pemerintah yang tidak memihak pada petani, seperti: kebijakan harga, kebijakan impor, dan sebagainya. Selain itu, masih kurangnya pemahaman petani terhadap apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah, misalnya kebijakan subsidi harga sarana produksi pertanian (pupuk). Di sisi lain, pemerintah mengakui bahwa pada saat ini campur tangan terhadap berbagai urusan semakin kecil karena diserahkan pada mekanisme pasar.
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan organisasi kemasyarakatan yang berorientasi pada non-profit. Pada akhir-akhir ini banyak LSM yang menempatkan diri untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan pertanian atau bekerja bersama petani dalam suatu issu tertentu. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat yang berpengaruh terhadap kegiatan petani, dalam penelitian ini, mencakup aspek-aspek: jumlah lembaga yang relevan, macam dukungan terhadap petani, dan intensitas dukungan yang diberikan kepada petani. Dari hasil perhitungan di lapangan, peran LSM ini masih relatif rendah terbukti dari nilai tengah skor 5 atau 42 persen dan berada pada kategori rendah. Kecilnya cakupan kegiatan yang mampu dilakukan oleh LSM-LSM lokal menyebabkan peran mereka kurang dirasakan oleh petani. Dalam bidang pertanian, beberapa issu yang banyak diangkat menjadi agenda utama organisasi kemasyarakatan ini diantaranya: pertanian organik, pengendalian hama terpadu, kearifan lokal, gender, pengembangan komoditas ter-
144
tentu, dan sebagainya. Dalam beberapa kasus menunjukkan intensitas yang relatif tinggi pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat, namun karena terbatasnya jumlah kelompok sasaran yang dilibatkan sehingga peran lembaga swadaya masyarakat dinilai masih kurang.
Peran Lembaga Komersial Lembaga komersial yang dimaksud dalam penelitian adalah pihak-pihak yang berhubungan dengan petani atas dasar bisnis atau keuntungan. Peran lembaga komersial yang berpengaruh terhadap kegiatan petani mencakup aspekaspek: jumlah lembaga komersial yang terkait, macam interaksi dengan petani, intensitas interaksi yang dilakukan, bentuk dukungan yang diberikan, dan sifat hubungan yang dikembangkan. Dari hasil perhitungan di lapangan, peran lembaga komersial ini relatif lebih tinggi dibandingkan peran pemerintah dan peran LSM, terbukti dari nilai tengah skor 11 atau 69 persen dan berada pada kategori sedang. Dibandingkan dengan peran pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat, maka peran lembaga komersial relatif lebih tinggi. Semua kegiatan petani, mulai dari kegiatan in-put, kegiatan produksi, sampai pada kegiatan out-put, selalu melibatkan lembaga komersial ini. Kios-kios sarana produksi yang menyediakan benih, pupuk, pestisida, dan sarana produksi pertanian yang lain tersebar di setiap desa atau dusun. Pada setiap panen petani akan berhubungan dengan pedagang pengumpul, baik datang ke rumah atau bertemu di pasar desa. Tidak jarang petani menjual sendiri hasil panennya ke pedagang besar di kota kecamatan atau kota kabupaten. Bentuk hubungan petani dengan pedagang seringkali tidak sebatas pada transaksi jual-beli, tetapi lebih dari itu. Seringkali pedagang sarana produksi pertanian memberikan fasilitas dalam bentuk pinjaman (hutang), baik barang atau uang, yang bisa dibayar pada waktu panen. Hubungan akan terjadi secara berkelanjutan karena bagi petani sebagai pilihan yang realistis bisa dijalankan, sedangkan bagi pedagang merupakan bisnis yang menguntungkan. Dukungan semacam ini menjadikan peran yang dilakukan lembaga komersial dinilai lebih tinggi. Secara keseluruhan rataan skor intensitas peran pihak luar adalah 66 persen dari skor maksimum.
145
Tingkat Dukungan Penyuluhan Pertanian (X6) Penyuluhan pertanian diyakini memberi kontribusi dalam meningkatkan kualitas sumberdaya petani. Penyuluhan pertanian yang berkualitas dilihat dari parameter: kompetensi penyuluh, pendekatan penyuluhan yang dilakukan, dan keefektifan kelembagaan penyuluhan pertanian yang ada. Gambaran tingkat dukungan penyuluhan pertanian di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.11. Tabel 5.11. Skor Tingkat Dukungan Penyuluhan Pertanian Menurut Lokasi dan Status Petani Indikator Kualitas Penyuluhan Pertanian 1. Kompetensi Penyuluh
Lok I Lok II Lok III Status Petani Status Petani Status Petani Skor Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi 20 20 21 21 19 20 (6-24) (83) (83) (88) (88) (79) (83)
2. Pendekatan Penyuluhan
(9-36)
26 (72)
28 (78)
28 (78)
30 (83)
28 (78)
28 (78)
28 (78)
3. Kelembagaan Penyuluhan
(8-32)
24 (75)
25 (78)
25 (78)
24 (75)
22 (69)
24 (75)
24 (75)
(77)
(80)
(81)
(82)
(75)
(79)
(79)
Rataan
Nilai Tengah Keseluruhan 20 (83)
Keterangan: - Lokasi I = Kab. Klaten, Lokasi II = Kab. Grobogan, Lokasi III = Kab. Karanganyar; - Status petani: rendah = anggota, dan tinggi = ketua, sekretaris, & pengurus lain; - Nilai yang disajikan dalam bentuk: median skor dan persen dari skor maks. (dalam kurung); - Kategori: 25%–43%=rendah sekali, 44%–62%=rendah; 63%–81%=sedang, 82%–100%=tinggi; - N = 405
Secara umum kegiatan penyuluhan pertanian di lokasi penelitian cukup bervariasi dalam tingkat kualitasnya. Kondisi tersebut dapat ditunjukkan perbedaan nilai tengah skor pada masing-masing lokasi. Kebijakan penyuluhan di masing-masing pemerintah kabupaten pada saat ini berbeda, yang dibuktikan dengan sangat bervariasinya alokasi anggaran kegiatan penyuluhan di masing-masing daerah. Selain itu perbedaan juga disebabkan oleh: tingkat persebaran tenaga penyuluh yang tidak merata antar wilayah kecamatan, fasilitas pendukung yang berbeda. Dukungan penyuluhan pertanian pada umumnya berada pada kategori sedang. Kondisi ini terlihat pada pengukuran setiap indikator penyuluhan pertanian yang memperlihatkan angka lebih dari 75 persen. Namun demikian, angka ini
146
harus dicermati lebih lanjut. Nilai tengah skor tersebut berada pada batas antara tingkat ragu-ragu dan persetujuannya terhadap berbagai aktivitas penyuluhan yang ada. Di lokasi penelitian, umumnya petani masih memberikan apresiasi dan penghargaan yang relatif tinggi terhadap keberadaan penyuluh dan kegiatan penyuluhan pertanian. Penyuluhan pertanian diyakini oleh petani dapat membantu mereka memecahkan berbagai masalah pertanian yang dihadapi. Permasalahan terkait dengan penyuluhan antara lain berbagai pelaksanaan tugas penyuluh masih jauh dari harapan, terlihat dari nilai tengah skor. Berbagai faktor yang menyebabkan kinerja PPL yang masih kurang terkait dengan kondisi pelaksanaan tugas PPL. Masalah kelembagaan yang tidak jelas dan kurangnya dukungan pemerintah daerah setempat sering disampaikan para penyuluh sebagai argumen untuk menjelaskan kinerjanya yang rendah. Pihak di luar penyuluh menilai bahwa masalah motivasi menjadi penyebab utama rendahnya kinerja penyuluh. Tidak adanya sistem penghargaan dan sanksi terhadap pelaksanaan tugas menjadi faktor penyebabnya. Salah satu faktor yang menentukan kualitas penyuluhan pertanian di suatu wilayah adalah kinerja penyuluh. Faktor utama yang mempengaruhi kemampuan kerja penyuluh adalah kompetensi yang dimiliki. Kompetensi penyuluh meliputi: penguasaan materi yang dibutuhkan petani, kemampuan penyuluh dalam berkomunikasi, sikap penyuluh terhadap khalayak sasaran (petani), dan komitmen penyuluh terhadap profesi yang ditekuni. Perhitungan terhadap indikator kompetensi penyuluh menunjukkan statistik nilai tengah 20 atau 83 persen dari skor tertinggi. Kompetensi penyuluh dinilai sudah tinggi oleh petani karena pada setiap pertemuan yang dihadiri oleh penyuluh memperlihatkan bahwa penyuluh mempunyai kemampuan untuk menyampaikan penjelasan tentang budidaya tanaman lebih dari pengetahuan petani, mampu berbicara dengan bahasa yang bisa dipahami oleh petani, menunjukkan kepeduliannya kepada apa yang dihadapi oleh petani. Dari kondisi ini memperlihatkan penyuluh lapangan adalah pribadi yang seolah-olah mengetahui berbagai hal melebihi dari apa yang diketahui oleh petani sehingga peniliaan petani relatif tinggi.
147
Pendekatan penyuluhan yang dimaksudkan dalam penelitian ini meliputi: kesesuaian informasi dengan kebutuhan khalayak sasaran, ketepatan metode yang digunakan dalam penyuluhan, penggunaan teknik-teknik penyuluhan, dan penggunaan media penyuluhan. Perhitungan terhadap indikator pendekatan penyuluhan menunjukkan statistik nilai tengah 28 atau 78 persen dari skor tertinggi dan berada pada kategori sedang. Artinya pendekatan penyuluhan yang dilakukan selama ini dianggap belum optimal oleh petani. Dari pengamatan di lapangan, sebenarnya tidak ada sesuatu yang baru dalam pendekatan penyuluhan selama ini. Dalam pelaksanaan tugasnya, pada umumnya para penyuluh masih menggunakan berbagai pendekatan lama, seperti: (a) Kunjungan (visit), (b) Latihan (training), (c) Melaksanakan percontohan, (d) Mengisi siaran pedesaan, (e) Menyusun rencana kerja, (f) Menggerakkan aktivitas petani, (g) Monitoring dan evaluasi, (h) Pembinaan KTNA di masing-masing tingkatan. Namun keterbatasan anggaran yang dialokasikan aktivitas-aktivitas tersebut dilaksanakan dalam intensitas yang sangat rendah. Kunjungan ke petani masih kurang, latihan yang dilakukan penyuluh hampir tidak pernah dilakukan, percontohan dalam bentuk demplot dilakukan tidak rutin dilakukan, biasanya dilakukan bila ada proyek (kerjasama dengan swasta). Pada pengamatan di lapangan, para penyuluh pertanian lapangan masih menggunakan cara-cara konvensional dalam pendekatannya. Ceramah dengan tanya-jawab masih menjadi pilihan utama dalam pelaksanaan kegiatan penyuluhan. Para penyuluh jarang menggunakan media, alat peraga, dan semacamnya. Beberapa kegiatan penyuluhan yang sudah pernah menggunakan metode partisipatif di antaranya sekolah lapangan pengendalian hama terpadu (SLPHT) pada komoditas padi. Terkait dengan kelembagaan petani, fasilitasi yang diberikan oleh penyuluh lapangan biasanya dalam bentuk himbauan secara umum untuk meningkatkan kegiatan-kegiatan dalam kelompok tani yang dilakukan pada saat menghadiri pertemuan-pertemuan kelompok. Bimbingan yang bersifat teknis bagi pengembangan kelembagaan masih bersifat formalitas, belum menyentuh kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi petani.
148
Kelembagaan penyuluhan yang efektif diperlukan untuk mendukung kemampuan kerja penyuluh di lapangan agar kegiatan penyuluhan dapat berjalan dengan efektif. Kelembagaan penyuluhan yang mengindikasikan kualitas penyuluhan meliputi: ketersediaan program penyuluhan dalam lembaga penyuluhan, kemudahan akses bagi petani untuk berhubungan dengan lembaga penyuluhan, dukungan fasilitas yang diperlukan oleh petani, dan adanya kontinuitas pelaksanaan program yang dilakukan. Kondisi carut-marut kelembagaan penyuluhan di daerah pada saat ini, yang ditandai ketidakjelasan struktur kelembagaan di daerah, ternyata tidak menyurutkan penilaian petani. Terbukti penilaian petani terhadap kelembagaan petani berada pada kategori sedang, statistik nilai tengah skor 24 atau 75 persen dari skor tertinggi.
Tingkat Kedinamisan Kelompok Pembelajar (Y1) Kedinamisan kelompok petani pembelajar menunjukkan derajat yang menunjukkan situasi anggota kelompok dan situasi kelompok petani sebagai kelompok pembelajar yang menentukan perilaku kelompok petani tersebut dan anggotaanggotanya. Mendasarkan pada pendekatan psikososial, kedinamisan kelompok petani dilihat dari indikator-indikator: (a) Tujuan kelompok, (b) Struktur kelompok, (c) Fungsi tugas, (d) Pembinaan dan pengembangan kelompok, (e) Kekompakan kelompok, (f) Suasana kelompok, (g) Ketegangan kelompok, dan (h) Keefektifan kelompok. Tingkat kedinamisan kelompok petani sebagai berikut. Untuk melihat tingkat kedinamisan kelompok pembelajar dapat dilihat pada Tabel 5.12. Tabel 5.12. Jumlah Petani Berdasarkan Tingkat Kedinamisan Kelompok dan Lokasi Penelitian Lok I n % 34 25
Jumlah Petani Lok II Lok III n % n % 30 22 53 39
Total n % 117 29
(46 – 59)
89
66
74
55
80
59
243
60
(32 – 45)
12
9
31
23
2
1
45
11
135
100
135
100
135
100
405
100
Tingkat Kedinamisan Kelompok Tinggi
Skor (60 – 72)
Sedang Rendah Jumlah
Keterangan: - Lokasi I = Kab. Klaten, Lokasi II = Kab. Grobogan, Lokasi III = Kab. Karanganyar
149
Berdasarkan jumlah skor, kebanyakan kedinamisan kelompok petani berada pada kategori sedang (skor 46 – 59) sebanyak 60 persen, diikuti dengan kategori tinggi sebanyak 29 persen, dan kategori rendah sebanyak 11 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar kelompok petani kurang dinamis. Kondisi ini mengindikasikan bahwa kelompok petani kurang menunjukkan aktivitas yang berarti. Kenyataan di lapangan memperlihatkan kebanyakan kelompok petani masih bergantung pada pembinaan yang dilakukan oleh instansi terkait. Rendahnya kunjungan penyuluh pada kelompok petani menyebabkan kurang bergairahnya kegiatan kelompok petani. Untuk mengetahui lebih jauh kedinamisan kelompok petani dapat dilihat berdasarkan indikator-indikator kedinamisan kelompok pada Tabel 5.13. Tabel 5.13. Rataan Skor Indikator Kedinamisan Kelompok Berdasarkan Lokasi Penelitian No.
Indikator
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Tujuan kelompok Struktur kelompok Fungsi tugas Pembinaan dan pengembangan Kekompakan kelompok Suasana kelompok Ketegangan kelompok Keefektifan kelompok
Lok I 5 7 6 5 6 7 6 6
Rataan Skor Lok II Lok III 4 6 6 7 4 6 5 5 6 6 7 7 6 6 6 6
Total 5 7 6 5 6 7 6 6
Keterangan: - Lokasi I = Kab. Klaten, Lokasi II = Kab. Grobogan, Lokasi III = Kab. Karanganyar - Kisaran Skor 2 – 8
Berdasarkan rataan skor indikator, tertera pada Tabel 5.13, terlihat bahwa indikator tujuan kelompok, dan indikator pembinaan dan pengembangan kelompok menunjukkan rataan skor yang relatif rendah. Sedangkan struktur kelompok dan suasana kelompok berada pada rataan skor yang relatif tinggi. Kondisi ini dapat dijelaskan bahwa tujuan kelompok belum dipahami sepenuhnya oleh anggota, anggota kelompok merasa tujuan pribadinya belum sepenuhnya dapat dipenuhi oleh kelompok. Usaha-usaha untuk menjaga kelompok tetap hidup masih rendah.
Hal ini tercermin dari rendahnya aktivitas-aktivitas yang ada dalam
kelompok seperti: partisipasi anggota, komunikasi, koordinasi, dan sebagainya.
150
Indikator yang menunjukkan rataan skor relatif tinggi adalah struktur kelompok dan suasana kelompok.
Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan
kelompok petani masih diakui oleh kebanyakan petani anggotanya. Personalpersonal yang memegang kewenangan masih mendapat pengakuan dari anggota yang lain serta dari instansi terkait. Suasana kelompok menunjukkan tingkat persahabatan sebagaimana layaknya komunitas petani di pedesaan. Indikator-indikator yang lain seperti: fungsi tugas kelompok, kekompakan kelompok ketegangan kelompok, serta keefektifan kelompok berada pada rataan skor 6.
Berbagai Faktor yang Berpengaruh Terhadap Tingkat Kedinamisan Kelompok Berbagai faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kedinamisan kelompok pembelajar digunakan analisis regresi berganda. Hasil analisis regresi berganda untuk menguji pengaruh status sosial ekonomi, tingkat kebutuhan petani, pengalaman belajar, tingkat kepemimpinan lokal, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan penyuluhan terhadap tingkat kedinamisan kelompok pembelajar, seperti dinyatakan dalam Hipotesis 1, disajikan dalam Tabel 5.14. Tabel 5.14. Koefisien Regresi Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Tingkat Kedinamisan Kelompok Pembelajar No.
Sumber Keragaman
Parameter
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Pendidikan Formal (X1.2) Pendidikan Non-formal (X1.3) Pengalaman Usahatani (X1.4) Pendapatan (X1.5) Tingkat Partisipasi Sosial (X1.6) Tingkat Kebutuhan Petani (X2) Pengalaman Belajar (X3) Tingkat Kepemimpinan lokal(X4) Intensitas Peran Pihak Luar (X5) Tk. Dukungan Penyuluhan (X6)
b1 b2 b3 b4 b5 b6 b7 b8 b9 b10
Keterangan: *) signifikan pada α = 10% **) signifikan pada α = 5%
Koefisien Regresi - 0.047 - 0.031 0.050 0.058 0.003 0.251**) 0.030 0.186**) 0.106**) 0.350**)
Nilai t -1.047 -0.703 1.162 1.373 0.077 5.654 0.575 4.354 2.390 7.544
151
Dari hasil analisis statistik tersebut dapat dikatakan bahwa hipotesis ke-1 tidak terbukti, namun dapat dilihat bahwa tingkat kedinamisan kelompok pembelajar secara nyata dipengaruhi oleh tingkat kebutuhan petani, tingkat kepemimpinan lokal, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan penyuluhan pertanian. Untuk mengetahui pengaruh secara bersama variabel pendidikan formal, pendidikan non-formal, pengalaman berusahatani, pendapatan, tingkat partisipasi sosial, tingkat kebutuhan petani, pengalaman belajar, tingkat kepemimpinan lokal, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan penyuluhan terhadap variabel kapasitas petani dilakukan uji F atau analisis varian. Variabel bebas secara bersama-sama memberikan pengaruh yang nyata terhadap variabel terikat yang ditunjukkan dengan nilai F sebesar 24.415. Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.383 yang berarti variabel pendidikan formal, pendidikan non-formal, pengalaman berusahatani, pendapatan, tingkat partisipasi sosial, tingkat kebutuhan petani, pengalaman belajar, tingkat kepemimpinan lokal, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan penyuluhan mampu menjelaskan 38.3 persen terhadap variabel tingkat kedinamisan kelompok. Analisis regresi menunjukkan bahwa tingkat dukungan penyuluhan, tingkat kebutuhan petani, tingkat kepemimpinan lokal, dan intensitas peran pihak luar berpengaruh nyata terhadap tingkat kedinamisan kelompok, yang ditunjukkan dengan nilai p (tingkat kesalahan) lebih kecil dari 10 persen, dengan nilai koefisien regresi masing-masing sebesar 0.350; 0.251; 0.186; dan 0.106. Variabel pendidikan formal, pendidikan non-formal, pengalaman berusahatani, pendapatan petani, dan tingkat partisipasi sosial; serta tingkat pengalaman belajar berpengaruh secara tidak nyata terhadap tingkat kedinamisan kelompok. Dari hasil analisis ini menjelaskan bahwa faktor dari dalam individu yang mendorong kedinamisan kelompok adalah tingkat kebutuhan petani, sedangkan faktor dari luar individu yang mendorong kedinamisan kelompok adalah dukungan penyuluhan pertanian, tingkat kepemimpinan lokal, intensitas peran pihak luar, dan. Pemenuhan terhadap kebutuhan menjadi pendorong terhadap kedinamisan kelompok petani. Pada umumnya petani berharap bahwa kelompok tani menjadi satu sarana dalam memenuhi kebutuhan usahataninya maupun kebutuhan sosialnya.
152
Secara visual gambaran faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kedinamisan kelompok pembelajar ditunjukkan pada Gambar 5.1.
Pendidikan Formal (X1.2) Pendidikan Non-formal (X1.3) Pengalaman Ber-UT (X1.4) Pendapatan (X1.5)
0.058 (0.171)
0.050 (0.246)
-0.031 (0.482)
0.003 (0.939)
Tk. Partisipasi Sosial (X1.6)
Tk. Kedinamisan Kelompok (Y1)
0.251 (0.000)
Tingkat Kebutuhan Petani (X2)
Pengalaman Belajar (X3)
0.030 (0.566) 0.186 (0.000)
Tingkat Kepemimpinan Lokal (X4)
-0.047 (0.296)
0.350 (0.000) 0.106 (0.017)
Intensitas Peran Pihak Luar (X5) Keterangan: = pengaruh nyata = pengaruh tidak nyata = pengaruh negatif
Tk. Dukungan Penyuluhan (X6)
Gambar 5.1. Model Hubungan Berbagai Faktor yang Berpengaruh Terhadap Tingkat Kedinamisan Kelompok Tingkat kepemimpinan lokal terbukti berpengaruh positif nyata terhadap tingkat kedinamisan kelompok.
Dalam masyarakat perdesaan, terutama etnis
Jawa, keberadaan pemimpin memberikan pengaruh yang besar terhadap perilaku masyarakat. Kepemimpinan lokal yang kuat akan mendorong proses-proses interaksi yang ada dalam kelompok. Selain itu, intensitas peran pihak luar terbukti berpengaruh positif nyata terhadap tingkat kedinamisan kelompok. Berbagai dukungan dari pihak-pihak yang berkepentingan di luar kelompok akan mendorong peningkatan kedinamisan kelompok. Dukungan penyuluhan pertanian berpengaruh positif nyata terhadap tingkat kedinamisan kelompok. Semakin tinggi dukungan penyuluhan pertanian akan memberikan peningkatan kedinamisan kelompok petani setempat. Besarnya pengaruh faktor-faktor eksternal ini mengindikasi-
153
kan tingkat perkembangan kelompok yang masih rendah. Faktor-faktor eksternal, seperti: dukungan penyuluhan, kepemimpinan lokal, dan intensitas peran pihak luar, sangat diperlukan dalam peningkatan kedinamisan kelompok, namun harus dipahami bahwa pengaruh yang berlebihan justru akan berakibat kurang baik bagi perkembangan ke arah kematangan.
Tingkat Kapasitas Petani (Y2) Kapasitas petani mencerminkan kemampuan yang diiliki petani sesuai dengan status yang dimiliki. Kemampuan tersebut meliputi kemampuan petani sebagai pengelola usahatani, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai pribadi. Deskripsi kapasitas petani dikemukakan pada Tabel 5.15. Tabel 5.15. Skor Kapasitas Petani Menurut Lokasi dan Status Petani Lok I Lok II Lok III Indikator Nilai Tengah Profil Kapasitas Status Petani Status Petani Status Petani Keseluruhan Petani Skor Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi 1. Sebagai Penge33 33 28 30 31 31 31 (12-48) lola Usahatani (69) (69) (58) (63) (65) (65) (65) 2. Sebagai Anggo(8-32) ta Masyarakat
23 (72)
23 (72)
22 (69)
25 (78)
25 (78)
26 (81)
24 (75)
3. Sebagai Pribadi (6-24)
20 (83)
21 (88)
20 (83)
21 (88)
20 (83)
21 (88)
20 (83)
(75)
(76)
(70)
(76)
(75)
(78)
(74)
Rataan
Keterangan: - Lokasi I = Kab. Klaten, Lokasi II = Kab. Grobogan, Lokasi III = Kab. Karanganyar; - Status petani: rendah = anggota, dan tinggi = ketua, sekretaris, & pengurus lain; - Nilai yang disajikan dalam bentuk: median skor dan persen dari skor maks. (dalam kurung); - Kategori: 25%–43%=rendah sekali, 44%–62%=rendah; 63%–81%=sedang, 82%–100%=tinggi; - N = 405
Berdasarkan Tabel 5.15. diketahui bahwa kapasitas petani sesuai dengan perannya mempunyai keragaman. Kapasitas petani sebagai pengelola usahatani dan kapasitas petani sebagai anggota masyarakat berada pada kategori sedang, sedangkan kapasitas petani sebagai pribadi berada pada kategori tinggi. Terlihat juga bahwa secara absolut petani dengan status tinggi mempunyai kemampuan yang relatif tinggi dibandingkan petani dengan status rendah. Kapasitas petani ini
154
mempunyai nilai tengah skor yang beragam antar lokasi penelitian. Secara rinci penjelasannya dikemukakan sebagai berikut.
Kemampuan Petani dalam Mengelola Usahatani Salah satu kemampuan utama yang harus dimiliki oleh petani adalah kemampuan dalam mengelola usahataninya. Kapasitas petani dalam mengelola usahatani meliputi: kemampuan dalam teknik usahatani, kemampuan memanfaatkan potensi sumberdaya alam, kemampuan dalam mengambil keputusan usahatani, adanya sense of agribusiness, ketrampilan agribisnis yang dimiliki, dan adanya orientasi pada pertanian masa depan. Dari hasil perhitungan statistik nilai tengah skor menunjukkan angka 31 atau 65 persen dari skor tertinggi dan berada pada kategori sedang. Statistik ini memperlihatkan bahwa kapasitas petani sebagai pengelola usahatani kurang optimal. Dalam banyak aspek petani di lokasi penelitian masih banyak menghadapi hambatan dan keterbatasan-keterbatasan. Terdapat keragaman nilai tengah skor kemampuan berusahatani antar lokasi kabupaten secara absolut. Pada umumnya setiap kawasan mempunyai kekhususan dalam karakteristik pengelolaan usahatani. Usahatani yang diusahakan relatif beragam, seperti: usahatani sawah, usahatani tegal, dan usahatani pekarangan. Tidak jarang para petani mengkombinasikan usahataninya dengan usaha peternakan. Di kawasan dataran rendah terdapat lahan sawah dengan infrastruktur irigasi teknis, biasanya petani mengembangkan pola tanam padi – padi – padi sepanjang tahun atau padi – padi – palawija. Sedangkan, di lahan sawah yang infrastruktur irigasinya tidak ada (tadah hujan), petani melakukan pilihan pola tanam antara: padi – jagung – kedelai/ kacang hijau/kacang tanah. Lahan tegal biasanya banyak ditanami dengan ketela pohon, palawija, atau hortikultura. Lahan pekarangan mempunyai banyak variasi dalam pengelolaan. Umumnya di lahan ini petani menanam berbagai macam tanaman tahunan, seperti: tanaman buah dan kayu-kayuan. Di sela-sela tanaman tahunan jika memungkinkan ditanami dengan tanaman musiman seperti: ketela pohon, lombok, kacang panjang, dan sayur-sayuran yang lain. Dari pilihan-pilihan komoditas terlihat bahwa orientasi petani masih pada komoditas pangan. Pilihan ini menjadikan petani merasa
155
aman, karena menurut anggapan petani walaupun tidak laku paling tidak bisa untuk dimakan sendiri. Kemampuan dalam teknik budidaya untuk beberapa komoditas pokok diperoleh petani secara turun-menurun. Sejalan dengan kemajuan teknologi, beberapa inovasi pertanian sudah diadopsi oleh petani untuk meningkatkan produksi, antara lain: pupuk buatan, benih unggul, pestisida, dan alat-alat pertanian. Ketersediaannya yang mudah selama ini menjadikan petani kurang bijaksana dalam penggunaan sarana produksi pertanian yang dihasilkan oleh pabrik itu. Biasanya petani menggunakan pupuk, pestisida, benih secara berlebihan, dengan alasan kepraktisan petani meninggalkan cara-cara lama (kearifan lokal) yang sebenarnya masih sangat dibutuhkan. Dalam jangka panjang kondisi ini akan menyebabkan kerugian pada petani, seperti: ketergantungan petani terhadap pupuk buatan dan pestisida. Kemampuan petani masih kurang dalam budaya agribisnis, terlihat dari rendahnya pemanfaatan potensi dan peluang-peluang yang ada. Petani lebih banyak menjual produk segar pertanian yang belum diolah. Selain itu petani belum melakukan perlakuan yang semestinya terhadap produk-produk pertanian yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan mereka masih terbatas sehingga upaya untuk mendapatkan nilai tambah produk belum dilakukan. Kemampuan Petani dalam Bermasyarakat Dalam kehidupan bermasyarakat, komunitas petani merupakan salah satu unsur mayoritas dalam masyarakat perdesaan. Kondisi lingkungan sosial ekonomi yang selalu berubah perlu direspons dengan baik oleh komunitas petani agar mampu mempertahankan kehidupan secara wajar. Untuk keperluan tersebut diperlukan kemampuan bermasyarakat dari petani. Kemampuan atau kapasitas petani dalam bermasyarakat mencakup kemampuan-kemampuan dalam: menyesuaikan diri dengan komunitas, mengembangkan kerjasama, membangun jejaring, dan kepemimpinan dalam pengambilan keputusan. Perhitungan terhadap kemampuan petani dalam bermasyarakat menunjukkan nilai tengah skor pada nilai 24 atau 75 persen. Kemampuan ini relatif lebih baik dari kemampuan dalam pengelolaan usahatani. Kesadaran petani untuk me-
156
lakukan tindakan sosial atau bertoleransi dengan sesamanya cukup besar, namun semangat kerjasama tersebut belum mampu ditingkatkan menjadi usaha bersama komunitasnya dengan membuat jejaring atau kerjasama yang menguntungkan dengan pihak-pihak luar. Petani lebih memilih berusaha sendiri-sendiri daripada mengusahakan bersama karena keuntungannya secara langsung dapat dinikmati sendiri tanpa harus bersusah payah mengorganisir dengan petani yang lain. Beberapa petani secara individu mampu membangun hubungan dan jalinan kerjasama dengan pihak-pihak lain. Petani-petani kosmopolit ini biasanya mengembangkan usaha agribisnis dengan melakukan kegiatan pertanian tidak hanya pada kegiatan produksi tetapi juga pemasaran atau menyediakan sarana produksi pertanian yang diperlukan petani lainnya. Kapasitas petani bermasyarakat yang masih kurang ditandai dengan kurang berkembangnya kelembagaan petani yang sudah ada. Ketergantungan atas figur seseorang dan tidak adanya usaha-usaha memfasilitasi dari pemerintah, sering membuat kelembagaan petani tidak berfungsi seperti yang diharapkan. Memudarnya perasaan senasib-sepenanggungan karena terpaan budaya individualistis menyebabkan dorongan kerjasama menjadi kurang. Penilaian terhadap manfaat yang akan diterima dari kerjasama lebih rendah dari korbanan yang telah dikeluarkan menyebabkan banyak individu memilih berusaha sendiri-sendiri. Pemahaman yang masih kurang terhadap manfaat kerjasama ini mengindikasikan kurangnya kemampuan petani dalam bermasyaakat.
Kemampuan sebagai Pribadi Petani Kemampuan sebagai pribadi petani dalam penelitian ini adalah kemampuan-kemampuan yang mencakup: mempunyai pengetahuan luas, mempunyai perilaku mandiri, dan ketangguhan menghadapi masalah. Petani sebagai kepala keluarga dituntut mampu menghadapi berbagai kondisi sosial ekonomi yang tidak mengutungkan bagi usahanya. Perhitungan terhadap kemampuan pribadi petani menunjukkan nilai tengah skor pada nilai 20 atau 83 persen. Kemampuan ini relatif lebih baik dari kemampuan dalam pengelolaan usahatani dan kemampuan petani dalam bermasyarakat.
157
Pada umumnya petani sudah mempunyai pandangan yang positif terhadap pendidikan terhadap anak-anaknya. Kesulitan ekonomi yang dihadapi selama ini mereka meyakini akan dapat diatasi dengan berbagai usaha atau ikhtiar. Kegiatan belajar atau mencari hal-hal yang baru untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi menjadi suatu keinginan bahkan kebutuhan yang dirasakan. Namun keterbatasan sumberdaya menyebabkan keinginan-keinginan yang ada sangat sulit untuk diwujudkan.
Model Hubungan Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Tingkat Kapasitas Petani Kaitan antara kapasitas petani dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya dirumuskan dalam hipotesis 2, yaitu: Kapasitas petani dipengaruhi oleh tingkat kedinamisan kelompok, status sosial ekonomi petani, tingkat kebutuhan petani, pengalaman belajar, tingkat kepemimpinan lokal, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan penyuluhan. Hipotesis ini diuji dengan analisis jalur. Hasil uji ini disajikan pada Tabel 5.16. berikut: Tabel 5.16. Koefisien Lintas Variabel Bebas (Faktor Internal - Eksternal dan Kedinamisan Kelompok) Terhadap Variabel Tak Bebas Kapasitas Petani Variabel Tak Bebas Tingkat Kedinamisan Variabel Bebas Kapasitas Individu (Y2) Kelompok (Y1) pxY1xi p pxY2xi p ) Pendidikan Formal (X1.2) -0.047 (0.296) 0.122** (0.001) Pendidikan Non-formal (X1.3) -0.031 (0.482) 0.080**) (0.032) ) Pengalaman Usahatani (X1.4) 0.050 (0.246) 0.111** (0.002) Pendapatan (X1.5) 0.058 (0.171) 0.105**) (0.003) Tk. Partisipasi Sosial (X1.6) 0.003 (0.939) -0.014 (0.700) Tk. Kebutuhan Petani (X2) 0.251**) (0.000) 0.017 (0.670) ) Pengalaman Belajar (X3) 0.030 (0.566) 0.347** (0.000) ) ) Tk. Kepemimpinan Lokal (X4) 0.186** (0.000) 0.263** (0.000) Intens. Peran Pihak Luar (X5) 0.106**) (0.017) 0.033 (0.381) ) ) Tk. Dukgn. Penyuluhan (X6) 0.350** (0.000) 0.069* (0.100) Tk. Kedinamisan Kelompok (Y1) 0.184**) (0.000) Keterangan: **) Nyata pada α = 0.05; *) Nyata pada α = 0.10
158
Dari Tabel 5.16. di atas dapat dikemukakan bahwa hipotesis ke-2 tidak terbukti, namun hubungan antar variabel dapat dijelaskan pada koefisien lintas sebagai berikut: (a) Tingkat kebutuhan petani, tingkat kepemimpinan lokal, dan tingkat dukungan penyuluhan pertanian berpengaruh positif nyata terhadap tingkat kedinamisan kelompok dengan nilai koefisien lintas masing-masing sebesar 0.251, 0.186, 0.106, dan 0.350. Status sosial ekonomi petani (pendidikan formal petani, pendidikan non-formal, pengalaman berusahatani, pendapatan, tingkat partisipasi sosial petani), dan pengalaman belajar berpengaruh tidak nyata (p > 0.10). (b) Pendidikan formal petani, pendidikan non-formal, pengalaman berusahatani, tingkat pendapatan petani, pengalaman belajar, tingkat kepemimpinan lokal, tingkat dukungan penyuluhan, dan tingkat kedinamisan kelompok berpengaruh positif nyata terhadap tingkat kapasitas petani dengan nilai koefisien lintas masing-masing sebesar 0.122, 0.080, 0.111, 0.105, 0.347, 0.263, 0.069, dan 0.184. Tingkat partisipasi sosial petani, tingkat kebutuhan petani, dan intensitas peran pihak luar berpengaruh tidak nyata (p > 0.10). Tabel 5.17. Analisis Lintas Variabel Bebas (Faktor Internal - Eksternal dan Kedinamisan Kelompok) Terhadap Variabel Tak Bebas Kapasitas Petani
Variabel Pendidikan Formal (X1.2) Pendidikan Non-formal (X1.3) Pengalaman Usahatani (X1.4) Pendapatan (X1.5) Tk. Partisipasi Sosial (X1.6) Tk. Kebutuhan Petani (X2) Pengalaman Belajar (X3) Tk. Kepemimpinan Lokal (X4) Intensitas Peran Pihak Luar(X5) Tk. Dukungan Penyuluhan (X6) Tk. Kedinamisan Kelompok (Y1)
Total Nilai 0.113 0.086 0.120 0.116 0.015 0.063 0.353 0.297 0.053 0.133 0.184
% 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Pengaruh Tak Langsung (via Y1) Nilai % -0.009 8 -0.006 7 0.009 8 0.011 9 0.001 4 0.046 73 0.006 2 0.034 12 0.020 37 0.064 48
Langsung Nilai 0.122 0.08 0.111 0.105 -0.014 0.017 0.347 0.263 0.033 0.069 0.184
% 92 93 92 91 96 27 98 88 63 52 100
159
Analisis lintas terhadap hubungan kausal variabel-variabel yang berpengaruh terhadap tingkat kapasitas petani menunjukkan: -
Sebagian besar variabel (pendidikan formal petani, pendidikan non-formal, pengalaman berusahatani, tingkat pendapatan petani, tingkat partisipasi sosial, pengalaman belajar, tingkat kepemimpinan lokal, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan penyuluhan) berpengaruh langsung lebih besar terhadap tingkat kapasitas petani daripada berpengaruh melalui peningkatan kedinamisan kelompok.
-
Hanya tingkat kebutuhan petani yang berpengaruh tidak langsung terhadap terhadap tingkat kapasitas petani yaitu melalui peningkatan kedinamisan kelompok.
-
Dilihat dari pengaruh totalnya maka pengalaman belajar memberikan pengaruh paling besar terhadap peningkatan kapasitas petani, yaitu sebesar 0.353, sedangkan pengaruh paling kecil adalah tingkat partisipasi sosial. Bentuk hubungan antar variabel dapat dilihat pada Gambar 5.2. Hubungan
kausal tersebut di atas secara umum dapat dijelaskan bahwa kedinamisan kelompok memberi kontribusi terhadap peningkatan kapasitas petani, selain faktorfaktor internal petani dan faktor-faktor eksternal petani. Kelompok yang dinamis menunjukkan adanya struktur yang baik sehingga memungkinkan adanya interaksi yang teratur antar anggota. Dalam kondisi seperti ini terbangun pola-pola komunikasi yang egaliter sehingga terjadi umpan balik yang mengarah pada pencapaian tujuan-tujuan kelompok. Dalam hal ini, karateristik individu juga berperan dalam menentukan tingkat kemajuan individu dalam kelompok. Melalui interaksi dan aktivitas bersama tersebut terjadi proses-proses pembelajaran yang menghasilkan peningkatan kapasitas petani. Kebutuhan petani berfungsi sebagai motif yang mengarahkan petani dalam proses interaksi. Faktor-faktor internal petani yang ditunjukkan dengan variabel-variabel: pendidikan formal, pendidikan non-formal, pengalaman berusahatani, pendapatan, dan tingkat kebutuhan petani berkontribusi positif nyata terhadap peningkatan kapasitas petani. Pengaruh positif ini memberikan implikasi bahwa semakin tinggi status sosial ekonomi petani semakin tinggi kapasitas petani. Pengaruh faktorfaktor internal petani, kecuali tingkat kebutuhan petani, bersifat langsung ter-
160
hadap peningkatan kapasitas petani, sedangkan tingkat kebutuhan petani berpengaruh tidak langsung, yaitu melalui kedinamisan kelompok pembelajar, dalam meningkatkan kapasitas petani. Variabel status sosial ekonomi petani mencerminkan tingkat akses petani dalam berbagai sumberdaya yang ada yang mengarah pada peningkatan kapasitas petani.
Pendidikan Formal (X1.2) Pendidikan Non-Formal (X1.3) -0.031 (0.482)
Pengalaman UT (X2) Pendapatan (X1.4) Tingkt.Partisipasi Sosial (X1.5)
E1 0,107
-0.047 (0.296)
0.122 (0.001)
0.050 (0.246)
0.080 (0,032)
0.058 (0,171)
0.111 (0,002) 0.105 (0,003)
0.003 (0,939)
-0.014 (0,700)
Tk. Kedinamisan Kelompok (Y1)
Kapasitas Petani (Y2)
0.184 (0.000) 0.017 (0.670)
0.251 (0,000)
0.347 (0.000)
Tk. Kebutuhan Petani (X2) Pengalaman Belajar (X3)
0.281 0.263 (0.000)
0.186 (0.000)
Tk. Kepemimpinan Lokal (X4)
0.033 (0.381)
0.069 (0.100)
0.106 (0,017
Intensitas Peran Pihak Luar (X5) Keterangan: = pengaruh nyata = pengaruh tidak nyata = pengaruh negatif
E2
0.350 (0,000)
Tingkat Dukungan Penyuluhan (X6)
Gambar 5. 2. Model Hubungan Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Kapasitas Petani Pengalaman belajar berpengaruh positif yang relatif besar dibandingkan variabel yang lain dari faktor internal petani. Pengalaman belajar petani diperoleh melalui interaksi petani dengan lingkungannya (Crow dan Crow; Burton; Haggard
161
dalam Knowles, 1978). Lingkungan sosial yang merupakan sumber belajar bagi petani adalah media, petani lain, penyuluh, dan pedagang. Di samping lingkungan sosial ini terdapat juga lingkungan fisik, namun dalam penelitian ini dibatasi pada lingkungan sosial. Pengalaman belajar petani akan membentuk perubahan perilaku pada petani yang menyangkut kebiasaan, pengetahuan, dan sikap mental. Perwujudan dari perilaku tersebut adalah kemampuan petani, yaitu: kemampuan dalam mengelola usahatani lebih baik, kemampuan dalam berinteraksi sosial lebih baik, dan kemampuan sebagai pribadi yang matang. Faktor-faktor eksternal petani, yang ditunjukkan oleh variabel-variabel: tingkat kepemimpinan lokal dan tingkat dukungan penyuluhan, berpengaruh positif nyata terhadap peningkatan kapasitas petani. Semakin besar tingkat kepemimpinan lokal dan dukungan penyuluhan terbukti memberikan peningkatan kapasitas petani. Dalam masyarakat perdesaan, terutama etnis Jawa, keberadaan pemimpin memberikan pengaruh yang besar terhadap perilaku anggota atau masyarakat. Pengaruh ini mengakibatkan proses-proses belajar, seperti: identifikasi, internalisasi, yang pada akhirnya akan membentuk struktur kognitif menjadi lebih baik. Kepemimpinan lokal ini pengaruh yang bersifat langsung (88 persen) lebih besar daripada pengaruh tidak langsung terhadap peningkatan kapasitas petani. Dari kondisi ini terlihat pola-pola kepemimpinan yang ada di perdesaan masih bersifat direktif, kurang menunjukkan sifat egaliter atau yang memberdayakan. Dukungan penyuluhan memberikan pengaruh positif nyata terhadap kapasitas petani. Semakin tinggi dukungan penyuluhan akan berdampak pada peningkatan kapasitas petani setempat. Dilihat arah pengaruh terhadap peningkatan kapasitas petani, dukungan penyuluhan berpengaruh langsung (52 persen) dan berpengaruh tidak langsung (48 persen) yaitu melalui kedinamisan kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok petani banyak digunakan sebagai sarana penyuluhan. Penyuluhan merupakan bentuk pendidikan non-formal dengan khalayak sasaran petani dan keluarganya. Peningkatan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan petani merupakan salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam setiap kegiatan penyuluhan. Tingkat kapasitas petani meningkat sebagai hasil proses belajar pembelajaran dengan penyuluh dan interaksi sesama petani dalam kelompok petani.
162
Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Kelompok Petani (Y3) Keterlibatan petani dalam berbagai aktivitas pertanian merupakan suatu manifestasi pemenuhan kebutuhan dan sebagai bentuk kesadaran petani sebagai bagian dari suatu komunitas. Partisipasi petani mempunyai dua dimensi, yaitu: dari aspek intensitas keterlibatan dan dari aspek kualitas keterlibatan. Tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani dikemukakan pada Tabel 5.18. Tabel 5.18. Skor Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Kelompok Petani Menurut Lokasi dan Status Petani Indikator Tingkat Partisipasi Petani 1. Intensitas Partisipasi
Lok I Lok II Lok III Nilai Tengah Status Petani Status Petani Status Petani Keseluruhan Skor Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi 42 50 39 49 47 54 48 (16-64) (66) (78) (61) (77) (73) (84) (75)
2. Kualitas Partisipasi
(24-96)
Rataan
71 (74)
74 (77)
68 (71)
74 (77)
73 (74)
74 (77)
73 (76)
(70)
(78)
(66)
(77)
(74)
(81)
(76)
Keterangan: - Lokasi I = Kab. Klaten, Lokasi II = Kab. Grobogan, Lokasi III = Kab. Karanganyar; - Status petani: rendah = anggota, dan tinggi = ketua, sekretaris, & pengurus lain; - Nilai yang disajikan dalam bentuk: median skor dan persen dari skor maks. (dalam kurung); - Kategori: 25%–43%=rendah sekali, 44%–62%=rendah; 63%–81%=sedang, 82%–100%=tinggi; - N = 405
Dari Tabel 5.18., tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani berada pada tingkat sedang, yang dilihat dari nilai tengah skor yaitu dari indikator intensitas partisipasi sebesar 48 atau 75 persen dari nilai maksimum, dan dari indikator kualitas partisipasi sebesar 73 atau 76 persen dari nilai maksimum. Namun perlu diperhatikan adanya kesenjangan tingkat partisipasi antara tingkat partisipasi antara petani status tinggi (ketua dan pengurus kelompok) dengan petani status rendah (anggota kelompok). Secara statistik, kesenjangan intensitas partisipasi antara petani dengan status tinggi (pengurus) dengan petani dengan status rendah (anggota) terjadi di lokasi I (Nilai F sebesar 1.781 p=0.081) dan Lokasi III (Nilai F sebesar 2.442, p=0.018). Kesenjangan ini mengindikasikan
163
adanya dominasi ketua dan pengurus dalam kegiatan kelembagaan petani. Ketua dan pengurus melakukan berbagai hal yang menyangkut kelembagaan, sedangkan anggota belum terlibat secara aktif. Kondisi yang demikian dapat terjadi secara sengaja maupun tidak disengaja, namun akibatnya kurang kondusif bagi keefektifan kelembagaan. Dalam jangka panjang, dukungan anggota semakin lemah karena semakin rendahnya motivasi anggota untuk terlibat. Keragaman juga terjadi antar lokasi penelitian, baik intensitas maupun kualitas partisipasi petani dalam kelembagaan petani. Secara umum keberadaan kelembagaan kelompok petani mempunyai arti penting bagi petani. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani menyebutkan berbagai alasan atas partisipasinya dalam kelembagaan kelompok petani. Adapun keragaman alasan partisipasi dikemukakan pada Tabel 5.19. Tabel 5.19. Macam dan Prosentase Alasan Partisipasi Petani Dalam Kelompok Petani Menurut Lokasi
Alasan Partisipasi Peningkatan Hasil
Lok I (n = 135) n % 47 35
Lok II (n = 135) n % 46 34
Lok III (n = 135) n % 51 38
Keseluruhan (%) 36
48
36
41
30
54
40
35
23
17
22
16
22
16
17
20
15
9
7
3
2
8
6
4
17
13
4
3
7
(Peningkatan: produksi UT/penerimaan/pendapatan)
Wahana Belajar (Sarana petani untuk: menambah pengalaman/pengetahuan/ ketrampilan, mendapatkan informasi & penyuluhan )
Kemudahan Usaha (Lebih mudah dalam: pemecahan masalah, pengelolaan saprotan/irigasi)
Kegiatan Sosial (Solidaritas dengan tetangga, membantu petani lain, ditunjuk/dipilih)
Manfaat Lain (Mendapatkan bantuan dan fasilitas yang lain)
Keterangan: - Lokasi I = Kab. Klaten, Lokasi II = Kab. Grobogan, Lokasi III = Kab. Karanganyar
164
Alasan partisipasi merupakan suatu motif yang mendorong petani terlibat dalam berbagai aktivitas-aktivitas kelembagaan. Berdasarkan Tabel 5.19. menunjukkan adanya keragaman motif petani menjadi anggota dalam kelembagaan kelompok petani, yaitu: usaha untuk meningkatkan hasil, memudahkan pengelolaan usahatani, untuk mendapatkan informasi pertanian/menambah wawasan dan pengalaman, menjalin kebersamaan/persaudaraan, serta untuk mendapatkan bantuan. Keragaan tersebut memperlihatkan bahwa adanya perbedaan perspektif petani terhadap kelembagaan petani. Sebagian besar petani melihat kelembagaan kelompok petani sebagai wahana belajar (35 persen) dan sarana untuk meningkatkan usaha (35 persen). Pandangan ini menunjukkan harapan (tujuan jangka panjang) petani untuk menjamin kelangsungan hidupnya sebagai petani. Selain itu, terlihat adanya kesadaran petani untuk dapat memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi melalui keberadaan kelembagaan kelompok petani, terlihat dari alasan kemudahan sebesar 16 persen. Hanya sebagian kecil dari petani yang mengungkapkan alasan yang bersifat pragmatis, yaitu untuk mendapatkan bantuan atau fasilitas yang lain. Kondisi tersebut di atas memperlihatkan bahwa petani menaruh harapan yang besar agar lembaga ini mampu memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pengembangan usahataninya. Manfaat yang dirasakan petani terkait dengan keberadaan kelembagaan kelompok petani sangat beragam. Manfaat tersebut dapat dikemukakan antara lain: pertemuan kelompok (pembahasan masalah, pengaturan pola tanam dan irigasi, arisan, simpan-pinjam); penyuluhan (sekolah lapang, demplot); pengadaan dan distribusi/penyaluran sarana produksi pertanian (pupuk, benih, bibit, kredit); melakukan pekerjaan bersama-sama (kerja bakti, pengendalian hama, perbaikan saluran irigasi).
Intensitas Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Kelompok Petani Salah satu cara mudah untuk mengukur tingkat partisipasi individu pada suatu kegiatan dengan melihat intensitas keterlibatannya. Intensitas partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani dilihat dari frekuensi keterlibatan dalam
165
kegiatan-kegiatan: perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil, dan penilaian kegiatan dalam kelembagaan tersebut. Dari hasil perhitungan memperlihatkan bahwa nilai tengah skor intensitas partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani berada pada kategori sedang. Pada kategori ini menunjukkan bahwa intensitas partisipasi berada pada nilai tengah ’jarang’. Keikutsertaan anggota pada kegiatan-kegiatan: perencanaan, pemanfaatan hasil, dan penilaian kegiatan jarang dilaksanakan. Hanya kegiatan pelaksanaan, partisipasi anggota menunjukkan intensitas lebih tinggi. Terjadi kesenjangan intensitas partisipasi antara petani dengan status tinggi (pengurus) dengan petani dengan status rendah (anggota). Perbedaan nilai tengah skor cukup mencolok. Kondisi ini meperlihatkan adanya dominasi ketua dan pengurus dalam kegiatan kelembagaan kelompok petani. Ketua dan pengurus melakukan berbagai hal yang menyangkut kelembagaan, sedangkan anggota tidak terlibat secara aktif. Kondisi yang demikian dapat terjadi secara sengaja maupun tidak disengaja, namun akibatnya kurang menguntungkan bagi perkembangan kelembagaan. Adanya kesenjangan kompetensi pengurus dengan anggota, atau adanya kepentingan tertentu dapat menyebabkan kondisi tersebut. Dalam jangka panjang, dukungan anggota semakin lemah karena tidak ada proses kaderisasi dan semakin rendahnya motivasi anggota untuk terlibat. Perencanaan dalam berbagai kegiatan yang kurang melibatkan anggota sering terjadi. Pengurus seringkali tidak sabar atau belum memahami arti pentingnya melibatkan anggota. Anggota seringkali sebagai syarat legitimasi tanpa ikut dalam proses pengambilan keputusan. Dalam proses inilah sebenarnya terjadi pembelajaran yang berharga sehingga memunculkan kesadaran akan berbagai masalah yang dihadapi oleh petani. Rendahnya partisipasi anggota dalam perencanaan mengakibatkan semakin rendahnya kepedulian terhadap keberadaan lembaga, sehingga memunculkan pemikiran bahwa lembaga selama ini tidak cukup menampung aspirasi dan kepentingan mereka. Analisis lebih rinci memperlihatkan intensitas partisipasi petani dalam kelembagaan memperlihatkan keragaman yang relatif besar antar lokasi penelitian. Dilihat dari akumulasi skor secara berurutan menunjukkan Lokasi III lebih baik dari Lokasi I dan Lokasi II, dan Lokasi I lebih baik dari Lokasi II dilihat dari
166
intensitas partisipasi petani dalam kelembagaan. Dalam beberapa kasus, terdapat kelompok tani yang mampu menggerakkan anggotanya terlibat secara aktif. Kualitas Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Kelompok Petani Kualitas partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani dilakukan dengan melihat beberapa parameter, yaitu: kesadaran petani untuk terlibat dalam kelompok petani, peran atau tanggung-jawab yang diambil petani dalam kelompok petani, fungsi peran yang dilakukan petani dalam kelompok petani, derajat pemenuhan kebutuhan petani, derajat motivasi kerjasama, derajat potensi yang dimiliki, jumlah informasi yang diperoleh, ketepatan informasi yang diperoleh, peningkatan kualitas hasil pertanian, efisiensi pengelolaan sumberdaya pertanian, kemudahan dalam pemecahan masalah yang dihadapi, serta derajat integrasi antar anggota. Dari hasil perhitungan memperlihatkan bahwa nilai tengah skor kualitas partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani berada pada kategori sedang. Kurangnya kualitas partisipasi dalam kelembagaan kelompok petani mengindikasikan rendahnya perasaan memiliki atas kelompok yang diikuti. Interaksi antar petani semakin bersifat impersonal dan kurang intensif dengan tingkat kohesif antar anggota kurang. Kondisi semacam ini menimbulkan rasa kepercayaan antar anggota juga rendah. Cara-cara pendekatan penyuluhan pada masa lalu, yang lebih bersifat mobilisasi, berakibat pada kondisi seperti ini. Dari pendalaman terhadap kualitas keikutsertaan petani memperlihatkan bahwa pada dasarnya petani menyadari akan pentingnya kerjasama dalam suatu kelompok, merasa bahwa kelompok memberikan manfaat bagi anggota dalam hal: informasi, peningkatan kualitas hasil pertanian, efisiensi pengelolaan, serta kemudahan dalam pemecahan masalah yang dihadapi. Namun kesadaran tersebut ternyata belum cukup, masih banyak anggota yang menyadari keterbatasan peran karena kemampuan yang dimiliki atau tidak melakukan sesuatu karena tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dukungan keterlibatan petani ini juga terkait dengan tingkat kapasitas kelembagaan yang ada. Dalam beberapa kelompok petani yang relatif dinamis menunjukkan kualitas keterlibatan yang relatif tinggi juga.
167
Model Hubungan Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Tingkat Partisipasi dalam Kelembagaan Kelompok Petani Kaitan antara tingkat partisipasi dalam kelembagaan kelompok petani dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya dirumuskan dalam hipotesis 3, yaitu: Tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan dipengaruhi oleh tingkat kedinamisan kelompok, tingkat kapasitas petani, status sosial ekonomi petani, tingkat kebutuhan petani, pengalaman belajar, tingkat kepemimpinan lokal, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan penyuluhan. Hipotesis ini diuji dengan analisis jalur. Hasil uji ini disajikan pada Tabel 5.20. berikut: Tabel 5.20. Koefisien Lintas Variabel-variabel Yang Berpengaruh Terhadap Variabel Tak Bebas Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Variabel Tak Bebas Variabel Bebas
Kedinamisan Kelompok (Y1)
pxY1xi Pendidikan Formal (X1.2) Pendidikan Non-formal (X1.3) Pengalaman Usahatani (X1.4) Pendapatan (X1.5) Tingkat Partisipasi Sosial (X1.6) Tk Kebutuhan Petani (X2) Pengalaman Belajar (X3) Tingkat Kepemimpinan Lokal (X4) Intensitas Peran Pihak Luar (X5) Tingkat Dukungan Penyuluhan (X6) Tingkat Kedinamisan Kelompok (Y1) Tingkat Kapasitas Petani (Y2)
Kapasitas Individu (Y2)
Partisipasi Petani dalam Kelembagaan (Y3)
p
pxY2xi
p
-0.047 -0.031
(0.296) (0.482)
0.122**) 0.08**)
(0.001) (0.032)
0.062*) -0.006
pxY3xi
(0.076) (0.869)
p
0.050
(0.246)
0.111**)
(0.002)
0.005
(0.868)
0.058 0.003
(0.171) (0.939)
0.105**) -0.014
(0.003) (0.700)
0.055*) 0.08**)
(0.089) (0.017)
0.251**) 0.030 0.186**)
(0.000) (0.566) (0.000)
0.017 0.347**) 0.263**)
(0.670) (0.000) (0.000)
0.122**) 0.025 -0.002
(0.001) (0.560) (0.952)
0.106**)
(0.017)
0.033
(0.381)
-0.054
(0.112)
0.350**)
(0.000)
0.069*)
(0.100)
0.165**)
(0.000)
0.184**)
(0.000)
0.551**)
(0.000)
0.094**)
(0.039)
Keterangan: **) Nyata pada α = 0.05 *) Nyata pada α = 0.10
Dari Tabel 5.20. di atas dapat dikemukakan bahwa hipotesis ke-3 tidak terbukti, namun hubungan antar variabel dapat dijelaskan pada koefisien lintas sebagai berikut:
168
(a) Tingkat kedinamisan kelompok dan tingkat kapasitas petani berpengaruh positif nyata terhadap tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan dengan nilai koefisien lintas masing-masing sebesar 0.551 dan 0.094. (b) Pendidikan formal petani berpengaruh negatif nyata terhadap tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan dengan nilai koefisien lintas sebesar -0.062. (c) Pendapatan petani, tingkat partisipasi sosial petani, tingkat kebutuhan petani, dan tingkat dukungan penyuluhan pertanian berpengaruh positif nyata terhadap tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani dengan nilai koefisien lintas masing-masing sebesar 0.055, 0.080, 0.122, dan 0.165. Pendidikan pendidikan non-formal, pengalaman berusahatani, pengalaman belajar petani, tingkat kepemimpinan lokal, dan intensitas peran pihak luar berpengaruh tidak nyata (p > 0.10). Tabel 5.21. Analisis Lintas Variabel-variabel Yang Berpengaruh Terhadap Variabel Tak Bebas Partisipasi Petani dalam Kelembagaan
Variabel
Pendidikan Formal (X1.2) Pendidikan Non-formal (X1.3) Pengalaman Usahatani (X1.4) Pendapatan (X1.5) Tk. Partisipasi Sosial (X1.6) Tk. Kebutuhan Petani (X2) Pengalaman Belajar (X3) Tk. Kepemimpinan Lokal (X4) Intensitas Peran Pihak Luar (X5) Tingkat Dukungan Penyuluhan (X6) Tingkat Kedinamisan Kelompok (Y1) Tingkat Kapasitas Petani (Y2)
Nilai 0.099
% 100
Pengaruh Tak Tak Langsung Langsung (via Y1) (via Y2) Nilai % Nilai % -0.026 26 0.011 12
0.031
100
-0.017
56
0.008
25
-0.006
20
0.043 0.097 0.083 0.262 0.074
100 100 100 100 100
0.028 0.032 0.002 0.138 -0.017
64 33 2 53 22
0.010 0.010 -0.001 0.002 0.033
24 10 2 1 44
0.005 0.055 0.08 0.122 0.025
12 57 96 47 34
0.129
100
0.102
79
0.025
19
-0.002
2
0.116
100
0.058
51
0.003
3
-0.054
47
0.364
100
0.193
53
0.006
2
0.165
45
0.568
100
0.017
3
0.551
97
0.094
100
0
0.094
100
Total
Langsung Nilai 0.062
% 62
169
Analisis lintas terhadap hubungan kausal variabel-variabel yang berpengaruh terhadap tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan menunjukkan: -
Pendidikan formal petani, pendapatan petani, dan tingkat partisipasi sosial berpengaruh langsung lebih besar (62 persen, 57 persen, dan 96 persen) terhadap tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani daripada berpengaruh melalui peningkatan kedinamisan kelompok maupun peningkatan kapasitas petani.
-
Pendidikan non-formal, pengalaman berusahatani, tingkat kebutuhan petani, tingkat kepemimpinan lokal, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan penyuluhan berpengaruh tidak langsung terhadap tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan yaitu melalui peningkatan kedinamisan kelompok.
-
Pengalaman belajar belajar petani berpengaruh tidak langsung terhadap tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan yaitu melalui peningkatan kapasitas petani.
-
Dilihat dari pengaruh totalnya maka tingkat kedinamisan kelompok, tingkat dukungan penyuluhan, dan tingkat kebutuhan petani memberikan pengaruh relatif besar, yaitu sebesar 0.568, 0.364, dan 0.262. Hubungan kausal antar variabel dapat dilihat pada Gambar 5.3. Secara
umum dapat dijelaskan bahwa tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani dipengaruhi oleh kedinamisan kelompok sebagai sarana belajar, kapasitas petani, faktor-faktor dari dalam individu petani (Krishna, 2000) dan lingkungan sosialnya (Howard, Baker, dan Forest, 1994). Keterlibatan seringkali merupakan derajat minat pribadi untuk melakukan suatu tindakan. Demikian juga partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani. Selain lingkungan kelompok yang kondusif, perilaku individu didorong oleh motif yang berasal dari dalam diri petani (motif intrinsik) dan dari luar petani (motif ekstrinsik), yang merupakan kebutuhan petani, seperti: kebutuhan berusahatani dan kebutuhan sosialnya. Kedinamisan kelompok berpengaruh relatif besar terhadap partisipasi petani dalam kelembagaan petani. Pengaruh positif dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat kedinamisan kelompok semakin tinggi pula partisipasi petani dalam kelembagaan petani. Kelompok petani dapat dimaknai sebagai wadah atau sarana bagi petani yang berfungsi memfasilitasi interaksi-interaksi petani atau dengan
170
kata lain kelompok tani sebagai sarana pembelajar bagi petani. Kedinamisan kelompok yang tinggi menunjuk pada: adanya kejelasan tujuan kelompok, adanya kesesuaian tujuan kelompok dengan tujuan anggota, struktur yang mengatur hubungan antar anggota jelas, adanya perasaan-perasaan yang sama, adanya kekompakan, dan yang lebih penting kelompok mampu memberikan suasana yang memuaskan bagi anggotanya. Kondisi-kondisi yang seperti ini akan mendorong petani anggota untuk terlibat secara aktif dalam berbagai aktivitas kelembagaan. Salah satu ciri dari masyarakat petani di perdesaan adalah sifat hubungan atau komunikasi yang lebih personal antar petani, mendalam, berlangsung dua arah. Kondisi ini harus mampu diwujudkan dalam berbagai aktivitas kelompok yang sedapat mungkin melibatkan semua anggota dalam upaya membangun kebersamaan, membuat keputusan-keputusan bersama. Struktur kelompok yang berkecenderungan formal justru menyebabkan timbulnya komunikasi yang searah, rendahnya aspirasi dari bawah, dan melemahnya ikatan sosial yang ditunjukkan kurangnya kepedulian sesama anggota dan tidak adanya rasa memiliki pada kelompok. Kelompok hanya dianggap milik pengurus atau elit-elit lokal yang hanya memenuhi kepentingan mereka. Kondisi ini merupakan perwujudan rendahnya kedinamisan kelompok yang pada akhirnya menyebabkan partisipasi anggota semakin rendah. Perilaku petani digerakkan oleh motif yang ada dalam diri petani. Motif digerakkan oleh kebutuhan yang dirasakan. Secara umum kebutuhan seorang petani adalah dapat melaksanakan usahatani dengan mudah dan wajar, serta bermasyarakat dengan rukun. Kelancaran berusahatani sangat diperlukan karena kegiatan ini merupakan mata pencaharian sekaligus identitas diri. Sebagai bagian anggota masyarakat, mempunyai rasa tanggung-jawab serta dorongan berekspresi dan mengaktualisasikan diri dalam lingkungannya. Kebutuhan terhadap prestasi, penghargaan, dan harapan pencapaian tujuan hidup petani. Hal ini terlihat dari adanya pengaruh nyata partisipasi sosial terhadap partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani. Makna yang tersirat dari kondisi ini adalah adanya struktur kewajiban (obligations), harapan-harapan (expectations), dan kepercayaan (trustworthiness). Petani merasa ada kewajiban sosial untuk terikat dalam satu komunitas dan melakukan tindakan-tindakan kolektif. Selain itu, partisipasi
171
petani dalam kelembagaan petani memunculkan harapan untuk memperbaiki kehidupan menunju perbaikan melalui: usaha untuk meningkatkan nilai tawar atas harga input pertanian, harga produk pertanian; usaha untuk memupuk modal bersama, usaha untuk mempengaruhi kebijakan. Kepercayaan petani atas petani yang lain diwujudkan melalui tingkat partisipasi yang beragam. Selain itu, tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani ditentukan oleh lingkungan sosial mereka. Lingkungan sosial yang berpengaruh di sini adalah kualitas penyuluhan, kepemimpinan lokal, dan pihak-pihak lain. Kualitas penyuluhan secara signifikan berpengaruh kuat terhadap tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan. Kegiatan penyuluhan yang selama ini dilakukan memberikan andil yang besar terhadap keberadaan kelembagaan petani. Salah satu tujuan penyuluhan di daerah adalah penguatan kelompok-kelompok petani. Namun harus disadari bahwa dukungan penyuluhan terhadap partisipasi petani ini selama ini masih rendah terlebih dalam era otonomi daerah. Selama ini partisipasi petani dalam berbagai kegiatan pembangunan diterjemahkan secara kurang tepat. Maknanya terlalu dangkal sehingga memandang partisipasi hanya pada kawasan fisik, formal, lebih pada usaha mobilisasi. Peningkatan dukungan penyuluhan di berbagai kawasan perdesaan akan membawa pada peningkatan partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani, baik pada aspek intensitas maupun aspek kualitasnya. Mencermati Gambar 5.3 di bawah, dukungan penyuluhan mempunyai posisi strategis sebagai upaya peningkatan partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani. Dukungan penyuluhan dapat dilakukan: Pertama, meningkatkan kesadaran petani atas kebutuhan riil mereka; Kedua, memberikan pengalaman belajar kepada petani (learning by doing); Ketiga, upaya perbaikan kehidupan (better living) melalui usaha peningkatan pendapatan petani. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa untuk dapat berpartisipasi diperlukan pengetahuan, kemampuan, serta kemauan. Pengetahuan petani atas keberadaan lembaga dan manfaat-manfaat yang diperoleh relatif besar, terbukti dari alasanalasan keikutsertaan mereka dalam kelembagaan kelompok petani. Hal ini memperlihatkan adanya kesempatan yang sudah terbuka. Namun harus dicermati bahwa masih banyak hal yang belum dipahami petani mengenai hakekat kelembagaan
172
kelompok petani sebagai sarana mencapai tujuan usaha. Kemampuan digambarkan oleh kapasitas petani, yang terbukti berpengaruh nyata terhadap tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani. Kemampuan petani ini sangat dipengaruhi oleh pengalaman belajar petani. Kebutuhan petani meng-gambarkan tingkat kemauan petani untuk berpartisipasi dalam kelembagaan, yang terbukti bahwa kebutuhan petani berpengaruh nyata terhadap tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani. Penjelasan mengenai pengaruh kapasitas petani terhadap partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani pada sub bab berikut. Pendidikan Non-Formal (X1.3) Pengalaman UT (X2) 0.111 0.080 (0,002) (0,032)
Pendapatan (X1.4) Pengalaman Belajar (X3)
0.122 (0,001)
0.105 (0,003)
0.062 (0,076)
Kapasitas Petani (Y2)
0,281
0.094 (0,039)
0.184 (0.000)
E1 0,107 0.263 (0,000)
0.080 (0,017)
0.055 (0,089)
0.347 (0.000)
E2
Pendidikan Formal (X1.2) Tingkt.Partisipasi Sosial (X1.5)
0.551 (0.000)
Tingkat Kedinamisan Kelompok (Y1)
0.069 (0,100)
Keterangan: = pengaruh nyata = pengaruh negatif
0.129
0.122 (0,001) 0.251 (0,000)
0.186 (0,000)
Tk. Kepemimpinan Lokal (X4)
Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan (Y3)
E3 Tk. Kebutuhan Petani (X2)
0.106 (0,017)
0.350 (0,000)
0.165 (0.000)
Intensitas Peran Pihak Luar (X5) Tingkat Dukungan Penyuluhan (X6)
Gambar 5. 3. Model Hubungan Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Tingkat Partisipasi dalam Kelembagaan Kelompok Petani
173
Untuk menjamin tumbuhnya pengetahuan, kemampuan, dan kemauan diperlukan pendidikan. Kemampuan dan kepercayaan diri biasanya timbul dari akses pada informasi, pengalaman, dan pelatihan. Pendidikan yang sesuai bagi petani adalah penyuluhan pertanian. Menurut Tjokroamidjojo (1984), selain memberikan kesadaran, pendidikan memberikan prasyarat kemampuan serta pengembangan nilai-nilai dan sikap-sikap yang berguna untuk memperbaiki kualitas hidup seseorang. Petani diberikan pengalaman belajar arti penting kelembagaan dalam pembangunan pertanian, bagaimana memperoleh manfaat yang sebesarbesarnya atas kelembagaan kelompok petani, serta bagaimana mengembangkan kelembagaan kelompok petani menjadi mandiri dan efektif. Pendekatan pembelajaran yang umum dilakukan bagi petani adalah learning by doing, seperti: pembuatan demplot, petak percontohan, dan sebagainya. Status sosial ekonomi yang berpengaruh positif nyata terhadap peningkatan partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani adalah pendidikan formal, pendapatan, dan tingkat partisipasi sosial petani. Ketiganya berpengaruh langsung, meskipun pengaruhnya relatif kecil, terhadap peningkatan partisipasi petani dalam kelembagaan. Artinya, semakin tinggi pendidikan formal petani, pendapatan, dan partisipasi sosial petani maka semakin meningkat partisipasi mereka dalam kelembagaan kelompok petani. Dengan kata lain, status sosial ekonomi semakin tinggi menunjukkan tingkat kesadaran yang semakin besar untuk terlibat dalam kegiatan bersama atau kolektif.
Model Kapasitas Petani untuk Meningkatkan Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Kelompok Petani Kaitan antara tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani dengan kapasitas yang dimiliki dirumuskan dalam hipotesis ke-4, yaitu: Tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani dipengaruhi secara nyata oleh kapasitas petani yang ditunjukkan oleh kemampuannnya sebagai petani, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai pribadi dan kepala keluarga. Hipotesis ini diuji dengan analisis jalur yang hasilnya disajikan pada Tabel 5.22. dan Tabel 5.23. berikut:
174
Tabel 5.22. Koefisien Lintas Variabel Bebas Kapasitas Petani Terhadap Variabel Tak Bebas Partisipasi Petani dalam Kelembagaan
Variabel Bebas
Variabel Tak Bebas Partisipasi Petani dalam Kapasitas Petani (Y2) Kelembagaan (Y3) pxY2xi p pxY3xi p
Kemampuan sebagai pengelola usahatani (Y2.1) 0.587**) Kemampuan sebagai anggota masyarakat (Y2.2) 0.496**) Kemampuan sebagai pribadi dan kepala keluarga (Y2.3) 0.278**) Kapasitas Petani (Y2) Keterangan: **) Nyata pada α = 0.05
(0.000)
0.207**)
(0.000)
(0.000)
0.278**)
(0.000)
(0.000)
0.196**) 0.478**)
(0.000) (0.000)
Hubungan antar variabel dapat dijelaskan pada koefisien lintas sebagai berikut: (a) Variabel kapasitas petani dapat dijelaskan melalui subvariabel kemampuan sebagai pengelola usahatani, kemampuan sebagai anggota masyarakat, dan kemampuan sebagai pribadi dan kepala keluarga dengan nilai koefisien lintas masing-masing sebesar 0.587, 0.496, dan 0.278. (b) Kemampuan sebagai pengelola usahatani, kemampuan sebagai anggota masyarakat, kemampuan sebagai pribadi dan kepala keluarga, serta kapasitas petani berpengaruh positif nyata terhadap tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani dengan nilai koefisien lintas masing-masing sebesar 0.207, 0.278, 0.196, dan 0.478. Dalam analisis jalur ini pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung variabel Bebas Kapasitas Petani Terhadap Variabel Tak Bebas Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan ditunjukkan pada Tabel 5.23. Berdasarkan koefisien lintas dan analisis lintasan di atas dapat dikatakan bahwa hipotesis ke-4 terbukti. Perhitungan koefisien lintas memperlihatkan bahwa kapasitas petani secara nyata dijelaskan melalui kapasitas sebagai petani, kapasitas sebagai anggota masyarakat, dan kapasitas sebagai pribadi dan kepala keluarga. Kapasitas petani berpengaruh secara nyata terhadap tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani, selain itu pengaruh juga dapat dijelaskan melalui kemampuan sebagai pengelola usahatani, kemampuan sebagai anggota masyarakat, dan kemampuan sebagai pribadi dan kepala keluarga.
175
Tabel 5.23. Analisis Lintas Variabel Bebas Kapasitas Petani Terhadap Variabel Tak Bebas Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan
Variabel
Total Nilai
Kemampuan sebagai pengelola usahatani (Y2.1) Sebagai anggota masyarakat (Y2.2) Sebagai pribadi dan kepala keluarga (Y2.3) Kapasitas Petani (Y2)
%
Pengaruh Tak Langsung (via Y1) Nilai %
Nilai
Langsung %
0.379
100
0.172
45
0.207
55
0.423
100
0.145
34
0.278
66
0.277 0.293
100 100
0.081 0.000
29 0
0.196 0.293
71 100
Validitas model dengan mendasarkan pada theory triming memperlihatkan bahwa tingkat partisipasi petani dalam lembaga petani secara langsung dipengaruhi oleh: (a) kemampuan petani dalam mengelola usahatani, (b) kemampuan petani sebagai anggota masyarakat yang mempunyai kesadaran sosial dan solidaritas dalam mengelola sumberdaya secara bersama, dan (c) kemampuan petani sebagai pribadi dan kepala keluarga yang mempunyai komitmen dalam memperjuangkan kehidupan keluarga lebih baik. Koefisien lintas untuk masing-masing subvariabel sebesar 0.207 (55 persen), 0.278 (66 persen), dan 0.196 (71 persen). Pengaruh langsung subvariabel-subvariabel tersebut relatif lebih besar dari pengaruh tidak langsung. Gambaran dari bentuk hubungan antar variabel atau model analisis lintasan kapasitas pribadi dengan partisipasi petani dapat dilihat pada Gambar 5.4. Pengaruh variabel-variabel kapasitas petani terhadap partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani dapat dijelaskan bahwa kapasitas petani sangat diperlukan dan merupakan prasyarat (Carry, 1970; Slamet, 1992; Howard, Baker, dan Forest, 1994)) dalam upaya meningkatkan partisipasi mereka dalam kelembagaan kelompok petani. Agar dapat berpartisipasi dalam kelembagaan petani, petani harus mengalami suatu proses belajar untuk memperoleh pengetahuan tentang adanya kesempatan bekerjasama dengan petani lain (better organization) untuk pengelolaan sumberdaya pertanian, mempunyai kemampuan atau ketrampilan agar dapat memanfaatkan kesempatan-kesempatan, dan memiliki kemauan untuk ber-
176
tindak memanfaatkan kesempatan memperbaiki kegiatan-kegiatan usahatani yang lebih baik (better farming) sehingga mencapai kehidupan yang lebih baik (better living) dan membangun masyarakat petani lebih baik (better community) dalam lingkungan usaha dan lingkungan hidup yang lebih baik (better environment).
Sebagai anggota masyarakat (Y2.2)
Sebagai petani (Y2.1) 0.587 (0.000)
0.207 (0.000)
0.496 (0,000)
Kapasitas Petani (Y2)
0.293 (0.000)
0.278 (0.000)
Sebagai pribadi dan kepala keluarga (Y2.3)
0.278 (0.000)
Tingkat Partisipasi dalam Kelembagaan (Y3) 0.196 (0.000)
0.319
E
Gambar 5.4. Model Kapasitas Petani untuk Meningkatkan Partisipasi dalam Kelembagaan Kelompok Petani
Petani dengan kapasitas diri yang tinggi ditunjukkan dengan penguasaan informasi sehingga mampu mengelola usahatani dengan baik, mempunyai tanggungjawab yang tinggi terhadap keluarga dan lingkungan sosialnya. Kapasitas petani yang tinggi memperlihatkan kredibilitas dan reputasi yang tinggi dalam komunitasnya sehingga menunjukkan pribadi yang dapat dipercaya. Biasanya individu seperti ini dalam perilaku kolektifnya berkecenderungan mengambil peranan yang relatif lebih tinggi dalam kegiatan-kegiatan sosial. Perilaku kolektif ini diwujudkan pada partisipasi dalam kelembagaan-kelembagaan lokal, seperti: kelembagaan kelompok petani. Semakin tinggi kemampuan sebagai petani akan mendorong petani untuk memanfaatkan potensi-potensi yang ada di sekitarnya. Kelompok petani dianggap sebagai peluang atau sarana meningkatkan usahataninya. Semakin tinggi kemampuan sebagai anggota masyarakat menunjukkan individu yang mempunyai solidaritas tinggi untuk tergerak bekerjasama atau meng-
177
ambil peran sebagai pemimpin. Semakin tinggi kemampuan sebagai pribadi menunjukkan pribadi yang matang dan mudah untuk melihat permasalahan-permasalahan yang ada di sekitarnya termasuk masalah-masalah pertanian. Seperti dipaparkan Uphoff (1986) kegiatan-kegiatan pertanian mempunyai cakupan yang luas meliputi: input, produksi, dan output. Dalam kegiatan-kegiatan tersebut membuka peluang adanya kelembagaan lokal, seperti: kelompok tani, gabungan kelompok tani, koperasi tani, atau apapun namanya, untuk melaksanakan dan memfasilitasi kerjasama antar petani. Keberadaan kelembagaan lokal ini memberikan efisiensi yang memadai dan kapasitas dalam pencapaian tujuan. Adanya lembaga lokal akan membantu terhadap pemecahan masalah-masalah teknis, ekonomis, sosial, dan bahkan politik. Kondisi ini sangat diperlukan mengingat karakteristik dari masyarakat petani di Indonesia. Unit usahatani yang kecil-kecil menjadi alasan mendasar selain alasan tingkat marginalisasi terhadap komunitas petani saat ini. Dalam hal ini masyarakat petani perlu penguatan yang menyangkut kegiatan usahanya.
Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani (Y4) Kapasitas kelembagaan kelompok petani merupakan wujud keberhasilan petani dalam pengelolaan sumberdaya pertanian yang dimiliki kelompok petani. Kapasitas kelembagaan kelompok petani mempunyai empat dimensi, yaitu: dari aspek pencapaian tujuan, aspek fungsi dan peran, aspek keinovatifan, dan aspek keberlanjutan. Tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani dikemukakan pada Tabel 5.24. Kelembagaan kelompok petani mempunyai banyak arti penting bagi petani. Hal ini terlihat dari alasan keikutsertaan mereka dalam kegiatan kelompok petani dan manfaat yang mereka peroleh dari keikutsertaannya itu. Keberadaan lembaga petani juga diperlukan oleh pemangku kepentingan yang lain, utamanya pemerintah, karena menjadi tumpuan dalam pencapaian tujuan pembangunan pertanian yang lebih luas. Disadari bahwa saat ini secara umum kelembagaan kelompok petani ini belum mampu memberikan perannya secara optimal bagi pemenuhan kebutuhan riil anggotanya, tetapi lebih pada sarana untuk memenuhi kepentingan pemerintah dalam mengemban misi pembangunan.
178
Tabel 5.24. Skor Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani Menurut Lokasi dan Status Petani Indikator Keefektifan Kelembagaan Petani 1. Pencapaian Tujuan
Lok I Lok II Lok III Status Petani Status Petani Status Petani Skor Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi 17 16 15 16 19 18 (6-24) (71) (67) (63) (67) (79) 75)
2. Fungsi dan Peran
(10-40)
30 (76)
34 (85)
29 (73)
29 (73)
32 (80)
33 (83)
31 (77)
3. Keinovatifan (13-52)
40 (77)
39 (75)
37 (71)
36 (70)
41 (79)
42 (81)
39 (75)
4. Keberlanjutan (8-32)
25 (78)
26 (81)
24 (75)
25 (78)
29 (91)
28 (88)
25 (78)
(76)
(77)
(71)
(72)
(82)
(82)
(77)
Rataan
Nilai Tengah Keseluruhan 16 (67)
Keterangan: - Lokasi I = Kab. Klaten, Lokasi II = Kab. Grobogan, Lokasi III = Kab. Karanganyar; - Status petani: rendah = anggota, dan tinggi = ketua, sekretaris, & pengurus lain; - Nilai yang disajikan dalam bentuk: median skor dan persen dari skor maks. (dalam kurung); - Kategori: 25%–43%=rendah sekali, 44%–62%=rendah; 63%–81%=sedang, 82%–100%=tinggi; - N = 405
Kenyataan tersebut dapat ditunjukkan dengan nilai tengah skor indikator kapasitas kelembagaan kelompok petani di lokasi penelitian. Tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani sangat bervariatif dalam suatu daerah. Terdapat kelembagaan kelompok petani yang berada pada kondisi ‘mati suri’, tidak punya aktivitas dan rendah dinamikanya, tetapi juga terdapat kelembagaan kelompok petani yang sangat dinamis dan dapat memenuhi kebutuhan anggota-nya. Adanya keragaman yang tinggi tingkat kapasitas kelembagaan antar lokasi penelitian. Berbagai faktor yang mempengaruhi kondisi ini secara rinci akan dibahas dalam paparan berikut. Pencapaian Tujuan Pencapaian tujuan merupakan salah satu indikator kapasitas kelembagaan kelompok petani. Sub variabel pencapaian tujuan dalam penelitian ini dilihat dari parameter-parameter: keberadaan dan kejelasan tujuan, kesesuaian tujuan dengan kebutuhan anggota, serta tingkat pemenuhan kebutuhan anggota.
Dari hasil
analisis memperlihatkan bahwa nilai tengah skor pencapaian tujuan sebesar 17
179
atau 67 persen atau berada pada kategori sedang.
Secara absolut, terdapat
perbedaan penilaian oleh petani berdasarkan status terhadap pencapaian tujuan ini. Petani dengan status rendah cenderung menilai relatif tinggi terhadap pencapaian tujuan di Lokasi I dan III, keadaan sebaliknya terjadi di Lokasi II. Pada umumnya petani menilai bahwa kelembagaan kelompok petani yang ada, dalam bentuk kelompok tani, mempunyai tujuan untuk membantu petani anggotanya. Biasanya petani mendiskripsikan tujuan kelembagaan ini dengan berbagai ragam sehingga menunjukkan bahwa kelompok tani adalah kelembagaan yang multi tujuan. Tujuan yang beragam tersebut menumbuhkan harapan yang tinggi anggota terhadap kelembagaan kelompok petani ini agar dapat memenuhi kebutuhan masing-masing anggota. Pada kenyataannya tidak semua harapan petani sesuai dengan kapasitas lembaga petani yang ada.
Fungsi dan Peran Kelembagaan Fungsi dan peran lembaga merupakan kemampuan dalam mengelola informasi, tenaga kerja, modal, dan material, menyangkut fungsi: perolehan, pengaturan, pemeliharaan, pengerahan, dan pengelolaan konflik. Dari hasil analisis memperlihatkan bahwa nilai tengah skor fungsi dan peran lembaga sebesar 31 atau 77 persen dari nilai maksimum skor atau berada pada kategori sedang. Artinya, fungsi dan peran kelembagaan kelompok petani dianggap kurang berperan dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Ada perbedaan penilaian oleh petani berdasarkan status terhadap fungsi dan peran lembaga ini. Petani dengan status rendah cenderung menilai relatif tinggi terhadap fungsi dan peran lembaga di Lokasi I dan III, keadaan sebaliknya terjadi di Lokasi II. Kelembagaan kelompok petani dinilai mampu menggerahkan sumberdaya terutama manusia, yaitu para petani sebagai tenaga kerja, sedangkan sumberdaya modal dan material masih dalam jumlah yang terbatas karena sulit untuk dihimpun. Pada umumnya kelompok petani mempunyai forum arisan dan simpan pinjam. Beberapa diantaranya mempunyai aset bersama berupa peralatan pertanian. Kelembagaan petani yang ada dipandang sudah melaksanakan perannya dengan melakukan pengaturan terhadap sumberdaya yang dikelola. Kondisi yang dirasakan kurang diantaranya: berbagai peluang kerjasama belum mampu ditangani oleh
180
kelembagaan kelompok petani, seperti: pembelian input, pemasaran dan pengolahan hasil. Informasi-informasi pertanian belum mampu diakses oleh kelembagaan kelompok petani yang menyebabkan peran kelembagaan sebagai wahana belajar masih sangat terbatas.
Keinovatifan Kelembagaan Keinovatifan dalam kelembagaan kelompok petani mencakup aspek-aspek: peran kepemimpinan dalam lembaga, fungsi kepemimpinan dalam lembaga, keberadaan nilai-nilai yang mendasari kerjasama, pembagian peran anggota, pola kewenangan dalam lembaga, komitmen anggota terhadap lembaga, ketersediaan sumber-sumber pendanaan, ketersediaan fasilitas-fasilitas fisik, kualitas sumberdaya anggota, serta keberadaan teknologi yang sesuai dalam pemecahan masalahmasalah yang dihadapi. Dari hasil analisis memperlihatkan bahwa nilai tengah skor keinovatifan lembaga sebesar 39 atau 75 persen dari nilai maksimum skor dan berada pada kategori sedang. Beberapa aspek yang dinilai kurang antara lain: keterbatasan sumberdaya yang berguna menunjang keberadaan kelembagaan, seperti: dana, fasilitas fisik, sumberdaya anggota, dan teknologi. Pembagian peran belum merata pada semua anggota karena terkonsentrasi pada pengurus. Ketergantungan pada pemimpin dan pengurus relatif tinggi menyebabkan kurangnya pengembangan kapasitas anggotanya
Keberlanjutan Kelembagaan Kapasitas kelembagaan kelompok petani dapat dicapai apabila lembaga tersebut mampu mengembangkan diri dalam membangun komitmen anggota dan menjalin interaksi dengan sistem sosial lain yang berfungsi sebagai keberlanjutan dalam siklus kehidupan lembaga petani. Keberlanjutan dilihat dari aspek-aspek: sentimen anggota, kesadaran anggota, kekompakan anggota, kepercayaan anggota, ketersediaan bantuan luar, pola komunikasi antar anggota, dan kerjasama dengan pihak lain. Dari hasil analisis memperlihatkan bahwa nilai tengah skor keberlanjutan lembaga sebesar 25 atau 78 persen dari nilai maksimum skor dan
181
berada pada kategori sedang. Dari skor tersebut memperlihatkan tingkat keberlanjutan masih kurang terutama pada aspek bantuan luar, komunikasi antar anggota, dan kerjasama dengan pihak lain.
Gambaran Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani Dilihat Melalui Hubungan Antar Parameter Kapasitas Kelembagaan Kapasitas kelembagaan kelompok petani yang tinggi mencerminkan keadaan kelompok petani yang memiliki ciri-ciri: dapat mewujudkan kepentingan, harapan, kebutuhan dari masyarakat petani yang membentuknya; mempunyai struktur yang mantap yang diwujudkan dengan berjalannya peran dan fungsi kelembagaan; dan tumbuhnya perilaku terpola serta norma-norma sebagai tindakan kolektif yang diwujudkan dengan tumbuhnya keinovatifan dan keberlanjutan kelembagaan tersebut. Pencapaian tujuan kelembagaan, berperan dan berfungsinya kelembagaan, tumbuhnya keinovatifan, dan adanya keberlanjutan yang menjadi parameter dalam menilai kapasitas kelembagaan kelompok petani merupakan penilaian yang bersifat menyeluruh. Artinya, keempat parameter tersebut harus dilihat sebagai satu kesatuan yang menunjukkan tingkat perkembangan kelembagaan kelompok petani menuju kemandirian. Nilai masing-masing parameter kapasitas kelembagaan kelompok petani mencerminkan tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani.
Arti penting
besaran parameter ini tentu akan bermanfaat bagi pemangku kepentingan terhadap pengembangan kelembagaan kelompok petani. Dari parameter kapasitas kelembagaan tersebut, pencapaian tujuan menunjukkan nilai paling rendah sedangkan fungsi dan peran memiliki nilai yang relatif paling baik, terlihat pada Tabel 5.24. di atas. Selain penilaian dari tiap parameter, dirasa berguna untuk melihat hubungan antar parameter kapasitas kelembagaan yang menunjukkan permasalahan yang dihadapi oleh kelembagaan kelompok petani. Analisis korelasi antar parameter kapasitas kelembagaan kelompok petani dapat dilihat pada Gambar 5.5.
182
Pencapaian tujuan 0.481
0.658
Keberlanjutan (Sustainable) Fungsi dan peran
0.479
0.588
0.689 0.570
Keinovatifan (Inovativeness)
Gambar 5.5. Empat Pilar Kapasitas Kelembagaan kelompok petani Dari Gambar 5.5. dapat dijelaskan bahwa kapasitas kelembagaan kelompok petani mencakup empat pilar, yaitu: pencapaian tujuan, fungsi dan peran, keinovatifan, serta keberlanjutan. Keempat pilar tersebut memberi kontribusi yang seimbang terhadap pencapaian kapasitas kelembagaan kelompok petani. Dari hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa secara keseluruhan nilai-nilai koefisien korelasi masih rendah berkisar 0.479 – 0.689. Hal ini mengindikasikan kurang terintegrasinya arah perkembangan kelembagaan kelompok petani menuju kelembagaan yang mandiri. Nilai koefisien korelasi yang rendah antara parameter keinovatifan kelembagaan dengan parameter pencapaian tujuan menunjukkan bahwa ketersediaan teknologi, sumberdaya, kepemimpinan, nilai-nilai yang mendasari kerjasama belum mengarah pada pencapaian tujuan kelembagaan, yaitu memenuhi kebutuhan anggota. Nilai koefisien korelasi yang rendah antara parameter keberlanjutan kelembagaan dengan parameter pencapaian tujuan menunjukkan bahwa belum adanya kerjasama, pola komunikasi, perasaan-perasaan antar anggota belum mengarah pada pencapaian tujuan kelembagaan. Nilai koefisien korelasi yang rendah antara parameter fungsi dan peran dengan parameter pencapaian tujuan menunjukkan bahwa kemampuan kelembagaan dalam pengelolaan kurang mengarah pada pencapaian tujuan kelembagaan. Nilai koefisien korelasi yang rendah antara parameter keinovatifan dengan parameter fungsi dan peran kelembagaan menunjukkan bahwa keinovatifan kelembagaan belum mampu mengembangkan kapasi-
183
tas petani. Nilai koefisien korelasi yang rendah antara parameter keinovatifan dengan parameter keberlanjutan kelembagaan menunjukkan bahwa keinovatifan kelembagaan belum mampu mendukung pada keberlanjutan kelembagaan. Dari pemaparan yang dikemukakan di atas, permasalahan pemahaman terhadap tujuan kelembagaan memerlukan perhatian. Selama ini petani kurang memahami atas tujuan-tujuan kelembagaan karena rumusan-rumusan sudah ditetapkan oleh institusi atau pemangku kepentingan, yaitu pemerintah. Tujuan kelembagaan kelompok petani dirumuskan secara seragam tanpa melihat tingkat kebutuhan petani. Usaha pengembangan kapasitas kelembagaan kelompok petani harus mampu mentransformasikan tujuan-tujuan kelembagaan dalam kerangka kebutuhan petani. Agar tujuan kelembagaan dapat dipahami, dihayati, dan berfungsi mengarahkan perilaku atau tindakan petani yang menjadi anggota, maka diperlukan usaha-usaha perumusan ulang atas tujuan-tujuan kelembagaan sehingga sesuai dengan kebutuhan petani. Untuk keperluan tersebut diperlukan dukungan dan fasilitasi dari pihak-pihak terkait melalui proses-proses pembelajaran. Pemahaman petani atas tujuan kelembagaan akan membawa pada tumbuhnya komitmen kebersamaan, tumbuhnya rasa memiliki (sense of belonging) terhadap kelembagaan yang ada, serta mendorong tingkat partisipasi anggota, yang pada akhirnya meningkatkan kapasitas kelembagaan kelompok petani.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani Faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas kelembagaan kelompok petani, seperti dinyatakan dalam hipotesis ke-7, yaitu: tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani dipengaruhi secara nyata oleh tingkat kedinamisan kelompok, kapasitas petani, tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan, status sosial ekonomi, tingkat kebutuhan petani, pengalaman belajar, tingkat kepemimpinan lokal, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan penyuluhan. Untuk menganalisis faktor-faktor tersebut digunakan analisis jalur (path analysis). Hasil uji ini disajikan pada Tabel 4.25.
184
Tabel 5.25. Koefisien Lintas Variabel-variabel Yang Berpengaruh Terhadap Variabel Tak Bebas Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani Variabel Tak Bebas Variabel Bebas
Pendidikan Formal (X1.2) Pendidikan Non-formal (X1.3) Pengalaman Usahatani (X1.4) Pendapatan (X1.5) Tingkat Partisipasi Sosial (X1.6) Tk Kebutuhan Petani (X2) Pengalaman Belajar (X3) Tingkat Kepemimpinan Lokal (X4) Intensitas Peran Pihak Luar (X5) Tingkat Dukungan Penyuluhan (X6) Tingkat Kedinamisan Kelompok (Y1) Kapasitas Petani (Y2) Tk. Partisipasi Petani dlm Kelembagaan(Y3)
Kedinamisan Kelompok (Y1)
Kapasitas Individu (Y2)
Partisipasi Petani (Y3)
pxY1xi
pxY2xi
pxY3xi )
0.062*
)
Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani (Y4)
pxY4xi -0.032**
p )
-0.047
0.122**
(0.036)
-0.031
0.08**)
-0.006
-0.003
(0.841)
0.050 0.058
0.111**) 0.105**)
0.005 0.055*)
0.000 0.013
(0.979) (0.354)
0.003 0.251**) 0.030
-0.014 0.017 0.347**)
0.08**) 0.122**) 0.025
0.004 0.053**) 0.009
(0.785) (0.001) (0.626)
0.186**)
0.263**)
-0.002
-0.001
(0.959)
0.106**)
0.033
-0.054
0.038**)
(0.011)
0.350**)
0.069*)
0.165**)
0.052**)
(0,002)
0.184**)
0.551**) 0.094**)
0.833**) 0.033**)
(0.000) (0.093)
0.066**)
(0.003)
)
Keterangan: ** Nyata pada α = 0.05 *) Nyata pada α = 0.10
Dari Tabel 5.25. dapat dikemukakan bahwa hipotesis ke-7 tidak terbukti, namun hubungan antar variabel dapat dijelaskan pada koefisien lintas sebagai berikut: (a) Tingkat kedinamisan kelompok, tingkat kapasitas petani, dan tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan berpengaruh positif nyata terhadap kapasitas kelembagaan kelompok petani dengan nilai koefisien lintas masing-masing sebesar 0.833, 0.033 dan 0.066. (b) Pendidikan formal petani berpengaruh negatif nyata terhadap tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani dengan nilai koefisien lintas sebesar -0.032. (c) Tingkat kebutuhan petani, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan penyuluhan pertanian berpengaruh positif nyata terhadap tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani dengan nilai koefisien lintas masing-masing sebesar 0.053, 0.038, dan 0.052.
185
Tabel 5.26. Analisis Lintas Variabel Bebas Kapasitas Petani dan Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Terhadap Variabel Tak Bebas Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani
Variabel Pendidikan Formal (X1.2) Pendidikan Non-formal (X1.3) Pengalaman Usahatani (X1.4) Pendapatan (X1.5) Tingkat Partisipasi Sosial (X1.6) Tk Kebutuhan Petani (X2) Pengalaman Belajar (X3) Tingkat Kepemimpinan Lokal (X4) Intensitas Peran Pihak Luar (X5) Tingkat Dukungan Penyuluhan (X6) Tingkat Kedinamisan Kelompok (Y1) Kapasitas Petani (Y2) Tk. Partisipasi Petani dlm Kelembagaan(Y3)
Total Nilai 0.079 0.031 0.046 0.068 0.011 0.271 0.047 0.162 0.131 0.357
% 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
0.875 0.039
100 100
0.066
100
Pengaruh Tak Langsung Nilai % 0.047 60 0.028 90 0.046 100 0.055 81 0.007 65 0.218 80 0.038 81 0.163 99 0.086 71 0.305 85 0.042 0.006
5 16
Langsung Nilai % -0.032 40 -0.003 10 0.000 0 0.013 19 0.004 35 0.053 20 0.009 19 -0.001 1 0.038 29 0.052 15 0.833 0.033
95 84
0.066
100
Analisis lintas terhadap hubungan kausal variabel-variabel yang berpengaruh terhadap kapasitas kelembagaan kelompok petani menunjukkan: -
Tingkat kedinamisan kelompok, kapasitas petani, dan tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan berpengaruh langsung yang lebih besar (95 persen, 84 persen, dan 100 persen) terhadap tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani.
-
Status sosial ekonomi petani (pendidikan formal, pendidikan non-formal, pendapatan petani, tingkat partisipasi sosial), tingkat kebutuhan petani, tingkat kepemimpinan lokal, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan penyuluhan berpengaruh tidak langsung terhadap tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani, yaitu melalui peningkatan kedinamisan kelompok, peningkatan kapasitas petani, dan peningkatan partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani.
-
Dilihat dari pengaruh totalnya maka tingkat kedinamisan kelompok, tingkat dukungan penyuluhan, tingkat kebutuhan petani, tingkat kepemimpinan lokal, dan intensitas peran pihak luar memberikan pengaruh relatif besar terhadap
186
peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok petani, yaitu sebesar 0.875, 0.357, 0.271, 0.162, dan 0.131. Bentuk hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas kelembagaan petani dapat dilihat pada Gambar 5.6. di bawah. Dalam gambar tersebut terlihat bahwa tingkat kedinamisan kelompok pembelajar, kapasitas petani, dan tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani berpengaruh positif terhadap kapasitas kelembagan kelompok petani, disamping faktor-faktor internal dan eksternal petani. Kapasitas kelembagaan ke-lompok petani yang dimaksud (Esman, 1986; Jiri Nehnevajsa dalam Eaton, 1986; Sumardjo, 2003; Wileden, 1970) meliputi: (a) Pencapaian tujuan kelembagaan, yang mencakup: keberadaan dan kejelasan tujuan, kesesuaian tujuan dengan kebutuhan anggota, dan tingkat pemenuhan kebutuhan anggota; (b) Fungsi dan peran kelembagaan dalam mengelola sumberdaya lokal (tenaga kerja, modal, material, dan informasi), meliputi: fungsi perolehan, fungsi pengaturan, fungsi pemeliharaan, fungsi pengerahan, dan fungsi pengelolaan konflik; (c) Keinovatifan kelembagaan, yang menyangkut: kepemimpinan, doktrin, struktur lembaga, dan sumberdaya; dan (d) Keberlanjutan kelembagaan, mencakup: sentimen, kesadaran, kekompakan, kepercayaan antar anggota, ketersediaan bantuan luar, pola-pola komunikasi, dan derajat kerjasama dengan kelompok/organisasi lain. Kedinamisan kelompok sebagai pembelajar kontribusinya relatif besar dalam meningkatkan kapasitas kelembagaan kelompok petani. Semakin dinamis kelompok akan berpengaruh pada semakin meningkatnya kapasitas kelembagaan kelompok petani. Pemahaman yang baik atas tujuan kelompok dan struktur kelembagaan yang sesuai bagi berkembangnya interaksi antar anggota akan mendorong tercapainya tujuan kelembagaan. Di samping itu, kedinamisan kelompok akan memudahkan dalam pengelolaan sumberdaya pertanian sehingga fungsi dan peran kelembagaan dapat berjalan dengan baik.
Kedinamisan kelompok me-
mungkinkan tumbuhnya kesadaran, pola pembagian peran, kepemimpinan, komitmen anggota dan sebagainya sehingga kelembagaan semakin kokoh dan bertahan.
187
Pendidikan Non-Formal (X1.3) Pendidikan Formal (X1.2)
Pengalaman UT (X2) 0.111 (0,002) 0.080 (0,032)
Pendapatan (X1.4) Pengalaman Belajar (X3)
0.105 (0,003)
0.281
E1 0.107 0.263 (0,000)
0.551 (0.000)
0.186 (0,000)
Tk. Kepemimpinan Lokal (X4)
Keterangan: = pengaruh nyata = pengaruh negatif
Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan (Y3)
0.350 (0,000)
0.066 (0,003) 0.129
0.107
E3
0.833 (0.000)
0.251 (0,000) 0.106 (0.017)
Tingkat Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani (Y4)
0.033 (0,093) 0.094 (0,039)
Tingkat Kedinamisan Kelompok (Y1)
-0.032 (0,036)
0.080 (0.017)
Kapasitas Petani (Y2) 0.184 (0.000)
0.069 (0,100)
0.062 (0,076)
0.055 (0,089)
0.347 (0.000)
E2
Tingkt.Partisipasi Sosial (X1.5)
0.122 (0,001)
0.165 (0.000)
0.122 (0,001)
Tk. Kebutuhan Petani (X2)
Intensitas Peran Pihak Luar (X5) Tingkat Dukungan Penyuluhan (X6)
Gambar 5.6. Model Hubungan antara Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani
E4
0.038 (0,011) 0.053 (0,001) 0.052 (0,002)
188
Kapasitas petani berpengaruh positif secara langsung (84 persen) dan tidak langsung (16) persen, yaitu melalui partisipasi petani dalam kelembagaan, terhadap kapasitas kelembagaan kelompok petani. Mekanisme hubungan antara kedua variabel akan dijelaskan pada sub bab berikut. Kapasitas petani yang semakin tinggi akan berpengaruh pada peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok petani. Partisipasi petani dalam secara langsung berpengaruh positif terhadap kapasitas kelembagaan kelompok petani. Partisipasi petani dalam kelembagaan yang semakin tinggi akan berpengaruh pada peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok petani. Penjelasan atas hubungan variabel ini terdapat pada sub bab berikutnya. Faktor-faktor internal petani yang berpengaruh langsung secara nyata terhadap kapasitas kelembagaan kelompok petani adalah pendidikan formal petani dan tingkat kebutuhan petani. Pendidikan formal berpengaruh negatif terhadap kapasitas kelembagaan, sedangkan tingkat kebutuhan petani berpengaruh positif terhadap kapasitas kelembagaan.
Pengaruh yang bersifat negatif pendidikan
formal petani ini memperlihatkan bahwa kelembagaan kelompok petani yang ada belum mampu mengakomodasi individu-individu yang mempunyai tingkat pendidikan relatif lebih baik. Petani-petani dengan pendidikan formal relatif lebih baik kurang mempunyai kontribusi dalam pencapain tujuan-tujuan kelembagaan kelompok petani. Tingkat kebutuhan petani berpengaruh secara positif terhadap kapasitas kelembagaan kelompok petani. Pengaruh langsung sebesar 20 persen dan pengaruh tidak langsung sebesar 80 persen melalui variabel-variabel: kedinamisan kelompok, kapasitas petani dan partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani. Kondisi ini dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya keberadaan kelembagaan kelompok petani sangat diperlukan oleh petani, yaitu: (a) wahana untuk pendidikan, (b) kegiatan komersial dan pengelolaan sumberdaya pertanian, (c) pengelolaan properti umum, (d) membela kepentingan kolektif, dan (e) lain-lain (van den Ban dan Hawkins, 1999). Sejalan dengan meningkatnya kebutuhan petani sudah semestinya diperlukan kelembagaan kelompok petani dengan kapasitas yang lebih besar dan memadai.
189
Faktor-faktor eksternal petani yang berpengaruh nyata secara langsung terhadap peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok petani adalah intensitas peran pihak luar dan dukungan penyuluhan. Kedua variabel ini berpengaruh secara positif terhadap kapasitas kelembagaan kelompok petani, namun pengaruh langsungnya relatif kecil dibanding pengaruh tidak langsung. Semakin besar intensitas peran pihak luar dan dukungan penyuluhan semakin besar pula kapasitas kelembagaan kelompok petani. Adanya pengaruh positif intensitas pihak luar menunjukkan bahwa selama ini pihak-pihak yang berkepentingan telah memberi kontribusi dalam pengembangan kapasitas kelembagaan kelompok petani. Intensitas pihak luar dapat juga diartikan sebagai campur tangan pihak luar terhadap kelembagaan, namun yang berkonotasi positif. Terdapat juga campur tangan atau intervensi pihak-pihak luar terhadap kelembagaan kelompok petani yang berpengaruh negatif terhadap perkembangan kelembagaan kelompok petani. Pemerintah dan elit-elit lokal banyak memanfaatkan keberadaan kelembagaan kelompok petani untuk berbagai kepentingan, baik yang bersifat konstruktif untuk kebutuhan petani juga maupun tidak konstruktif untuk kepentingan pihak-pihak yang memanfaatkan. Kelompok petani yang ada di setiap desa digunakan pemerintah sebagai sarana menyalurkan kredit dan bantuan pemerintah yang lain, seperti: benih, pupuk, dan sebagainya. Kelompok petani merupakan potensi atau basis massa yang sering digunakan untuk mendukung kelompok politik tertentu. Kelompok petani merupakan potensi pasar yang dapat dimanfaatkan sebagai sekmen pasar bagi produk-produk industri pertanian seperti: penjualan benih, pupuk, alat-alat pertanian, dan sebagainya. Dukungan penyuluhan mempunyai pengaruh total yang relatif besar terhadap peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok petani. Penyuluhan banyak berperan dalam mendukung kelembagaan kelompok petani melalui masukanmasukan berupa: kepemimpinan, doktrin, program, sumberdaya, dan struktur internal (Esman, 1986). Menurut Sumardjo (2003) agen pembaharu (penyuluh) cukup berperan secara efektif sebagai pengembang kepemimpinan dan kesadaran kritis dalam masyarakat atas pentingnya peran kelompok. Mekanisme kontribusi dukungan penyuluhan dalam meningkatkan kapasitas kelembagaan kelompok petani dijelaskan pada sub bab berikut.
190
Faktor-faktor internal dan eksternal petani, yang tidak mempunyai pengaruh langsung secara nyata terhadap kapasitas kelembagaan kelompok petani, dapat diduga berpengaruh melalui variabel-variabel tingkat kedinamisan kelompok pembelajar, kapasitas petani, dan tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani.
Mengembangkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani Model Dukungan Penyuluhan Untuk Meningkatkan Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Kelompok Petani Dukungan penyuluhan dalam mengembangkan kapasitas kelembagaan kelompok petani terjadi melalui peningkatan kedinamisan kelompok, peningkatan kapasitas petani, dan peningkatan partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani.
Pada sub bab ini disajikan mekanisme dukungan penyuluhan dalam
meningkatkan partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani. Untuk itu perlu dilihat hubungan kedua variabel melalui parameter dukungan penyuluhan. Hasil uji dengan analisis jalur (path analysis) disajikan pada Tabel 5.27. Tabel 5.27. Koefisien Lintas Variabel Bebas Dukungan Penyuluhan Terhadap Variabel Tak Bebas Partisipasi Petani dalam Kelembagaan
Variabel Bebas Kompetensi Penyuluh (X6.1)
Variabel Tak Bebas Dukungan Penyuluhan Partisipasi Petani dlm (X6) Kelembagaan (Y3) pxX6xi p pxY3xi p ) ) 0.247** (0.000) 0.242** (0.000)
Pendekatan penyuluhan (X6.2)
0.508**)
(0.000)
0.283**)
(0.000)
Kelembagaan penyuluhan (X6.3)
0.484**)
(0.000)
0.185**)
(0.000)
0.558**)
(0.000)
Dukungan Penyuluhan (X6) Keterangan: **) Nyata pada α = 0.01
Variabel dukungan penyuluhan dapat dijelaskan melalui subvariabel kompetensi penyuluh, pendekatan penyuluhan, dan kelembagaan penyuluhan dengan nilai koefisien lintas masing-masing sebesar 0.247, 0.508, dan 0.484. Kompetensi penyuluh, pendekatan penyuluhan, dan kelembagaan penyuluhan berpengaruh po-
191
sitif nyata terhadap tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani dengan nilai koefisien lintas masing-masing sebesar 0.242, 0.283, dan 0.185. Analisis lintas pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung variabel bebas dukungan penyuluhan terhadap variabel tak bebas partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani ditunjukkan pada Tabel 5.28. Tabel 5.28. Analisis Lintas Variabel Bebas Dukungan Penyuluhan Terhadap Variabel Tak Bebas Partisipasi Petani dalam Kelembagaan
Kompetensi Penyuluh (X6.1)
Pengaruh Tak Langsung Total (via X6) Nilai % Nilai % 0.380 100 0.138 36
Nilai 0.242
% 64
Pendekatan Penyuluhan (X6.2)
0.566
100
0.283
50
0.283
50
Kelembagaan Penyuluhan (X6.3)
0.455
100
0.270
59
0.185
41
Dukungan Penyuluhan (X6)
0.558
100
0.558
100
Variabel
Langsung
Bentuk hubungan kausal variabel-variabel dukungan penyuluhan terhadap peningkatan partisipasi dalam kelembagaan kelompok petani dapat dilihat pada Gambar 5.7. Pendekatan Penyuluhan (X6.2)
Kompetensi Penyuluh (X6.1) 0.247 (0.000)
0.508 (0.000)
Tingkat Dukungan Penyuluhan (X6)
0.283 (0.000)
0.242 (0.000)
Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan (Y3)
0.558 (0.000)
0.484 (0.000)
0.185 (0.000)
Kelembagaan Penyuluhan (X6.3)
0.633
E1
Gambar 5.7. Model Dukungan Penyuluhan untuk Meningkatkan Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Analisis lintas terhadap hubungan kausal variabel-variabel yang berpengaruh terhadap tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani me-
192
nunjukkan bahwa kompetensi penyuluh berpengaruh langsung (64 persen) terhadap tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani. Pendekatan penyuluhan berpengaruh langsung (50 persen) dan tidak langsung (50 persen) terhadap tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani. Kelembagaan penyuluhan berpengaruh tidak langsung (59 persen) terhadap tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani. Data ini menunjukkan bahwa pengaruh kompetensi penyuluh dalam meningkatkan partisipasi petani lebih bersifat langsung. Kinerja penyuluh akan dinilai secara langsung oleh petani untuk menentukan kualitas hubungan petani dengan penyuluh yang selanjutnya akan mempengaruhi perilaku petani termasuk perilaku kolektif. Pendekatan penyuluhan pengaruhnya dapat bersifat langsung maupun tidak langsung atau bersama-sama parameter yang lain dalam meningkatkan partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani. Pendekatan yang lebih bersifat partisipatif akan mendorong keterlibatan petani lebih tinggi. Pendekatan penyuluhan berkaitan dengan cara-cara memfasilitasi khalayak sasaran. Pendekatan kelompok dalam penyuluhan yang berkualitas ternyata mampu menumbuhkan kebersamaan, kesadaran, solidaritas yang menghasilkan partisipasi anggota dalam kelembagaan kelompok petani yang tinggi. Pendekatan penyuluhan terbukti mempunyai pengaruh total relatif tinggi dibanding kompetensi penyuluh dan kelembagaan penyuluhan. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan penyuluhan yang tepat akan sangat berpengaruh terhadap dinamika kelompok dan partisipasi anggota dalam kelompok. Kelembagaan penyuluhan pengaruhnya lebih bersifat tidak langsung dalam hadap tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani. Kelembagaan penyuluhan bersinergi dengan kompetensi penyuluh dan pendekatan penyuluhan untuk mendukung pelaksanaan penyuluhan di lapangan sehingga proses-proses belajar yang terjadi dalam kelompok mampu mendorong perubahan perilaku yang diinginkan. Proses-proses transformasi sosial dalam kelembagaan kelompok petani memerlukan dukungan secara sistematis dan berkelanjutan dalam bentuk: dukungan program, teknologi, bimbingan teknis, dukungan financial, dan sebagainya. Dukungan ini akan memperlancar pelaksanaan tugas penyuluh
193
sehingga kompetensi dan kinerjanya meningkat, dan melakukan pendekatan penyuluhan secara maksimal.
Kontribusi Dukungan Penyuluhan untuk Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani Salah satu pendekatan dalam penyuluhan yang sangat strategis dilaksanakan pada saat ini dan di masa mendatang adalah pendekatan kelompok (Margono Slamet, 2003). Pendekatan semacam ini dinilai mempunyai banyak kelebihan dibanding pendekatan perorangan atau pendekatan massal.
Selain lebih efisien
dalam penyelenggaraan, pendekatan kelompok juga efektif dalam mencapai tujuan penyuluhan yang lain. Kelompok petani merupakan sarana yang tepat bagi petani untuk berinteraksi, membicarakan berbagai permasalahan yang terkait dengan pertanian. Petani dapat memperoleh informasi baru, saling bertukar pengalaman, dan belajar berbagai hal. Tidak hanya belajar bagaimana memperbaiki cara bertani saja, tetapi petani dapat belajar mengenai cara-cara memperbaiki taraf kehidupan mereka agar lebih baik lagi.
Penyuluhan berperan memfasilitasi
proses-proses belajar tersebut dapat berjalan dengan efektif. Penyuluhan merupakan sistem pendidikan luar sekolah (pendidikan nonformal) yang membantu sasaran agar dapat memecahkan masalahnya sendiri (selfhelp). Sistem ini tentunya memerlukan partisipasi sasaran dan dukungan dari pihak-pihak pemangku kepentingan, serta berfungsi secara berkelanjutan. Kelompok-kelompok petani merupakan sasaran penyuluhan yang sampai saat ini masih sangat relevan untuk dikembangkan sehingga menjadi kelembagaan petani yang tangguh. Dukungan penyuluhan kepada kelompok-kelompok petani diberikan tidak boleh hanya berorientasi pada kepentingan-kepentingan pemerintah atau lembaga-lembaga donor, tetapi harus berorientasi pada pengembangan kapasitas petani dan kapasitas kelembagaan petani. Proses transformasi sosial pada petani harus menjadi tujuan yang ingin dicapai dalam penyelenggaraan penyuluhan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dukungan penyuluhan terbukti memberi kontribusi pada peningkatan kedinamisan kelompok pembelajar, kapasitas petani, partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani, dan kapasitas kelembagaan kelompok petani.
Hal tersebut dapat dilihat pada besaran nilai
194
koefisien regresi atau koefisien lintas hubungan antar variabel. Dukungan penyuluhan berpengaruh secara tidak langsung terhadap peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok petani, lihat Gambar 5.8. Dari gambar tersebut terlihat mekanisme kontribusi dukungan penyuluhan yang paling relevan, yaitu: (a) meningkatkan kedinamisan kelompok selanjutnya meningkatkan kapasitas kelembagaan, (b) meningkatkan partisipasi anggota dalam kelembagaan petani selanjutnya meningkatkan kapasitas kelembagaan, (c) meningkatkan kedinamisan kelompok kemudian meningkatkan partisipasi anggota dalam kelembagaan petani selanjutnya kapasitas kelembagaan meningkat. Dari berbagai alternatif yang mungkin, terbukti bahwa dukungan penyuluhan sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan partisipasi petani untuk mengembangkan kelembagaan petani.
Dukungan Penyuluhan (X6)
0,069
Kapasitas Petani (Y2)
0,146
0.033 0.094
0.350 0.165
Kedinamisan Kelompok Pembelajar (Y1)
0.551
Partisipasi Petani dalam Kelembagaan (Y3)
0.066
Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani (Y4)
0.833
Gambar 5.8. Model Hubungan Kontribusi Dukungan Penyuluhan terhadap Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani Dari uraian tersebut dapat dikatakan dukungan penyuluhan dalam mengembangkan kapasitas kelembagaan ke-lompok petani dapat berjalan dengan efektif apabila: (a) Didukung oleh penyuluh yang mempunyai kompetensi tinggi. Kompetensi penyuluh dicirikan: kemampuan berkomunikasi, adanya sikap positif terhadap sasaran, penguasaan materi yang dibutuhkan petani, dan mempunyai komitmen terhadap profesi; (b) Pendekatan penyuluhan yang dilakukan tepat, yaitu: adanya kesesuaian informasi, ketepatan metode yang digunakan, penggunaan teknik-teknik penyuluhan secara tepat, penggunaan media penyuluhan; (c)
195
Kelembagaan yang mendukung, yang dicirikan dengan: tersedia program penyuluhan, kemudahan akses terhadap bantuan penyuluhan, adanya dukungan fasilitas secara memadai, dan kontinuitas pelaksanaan program.
Model Kapasitas Petani untuk Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani Kaitan antara tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani dengan kapasitas kelembagaan kelompok petani, seperti dirumuskan dalam hipotesis ke-5, yaitu: Tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani dipengaruhi secara nyata oleh tingkat kapasitas petani yang ditunjukkan oleh kemampuan sebagai pengelola usahatani, kemampuan petani sebagai anggota masyarakat, dan kemampuan sebagai pribadi. Hipotesis ini diuji dengan analisis jalur (path analysis). Hasil uji ini disajikan pada Tabel 5.29. sebagai berikut: Tabel 5.29. Koefisien Lintas Variabel Bebas Kapasitas Petani Terhadap Variabel Tak Bebas Kapasitas Kelembagaan
Variabel Bebas Kemampuan sebagai pengelola usahatani (Y2.1) Kemampuan sebagai anggota masyarakat (Y2.2) Kemampuan sebagai pribadi (Y2.3) Kapasitas Petani (Y2)
Variabel Tak Bebas Kapasitas Kelembagaan Kapasitas Petani (Y2) Kelompok Petani (Y4) pxY2xi p pxY4xi p 0.587**)
(0.000)
0.223**)
(0.000)
0.496**)
(0.000)
0.217**)
(0.000)
0.278**)
(0.000)
0.205**) 0.454**)
(0.000) (0.000)
Keterangan: **) Nyata pada α = 0.01
Dari Tabel 5.29. terlihat bahwa variabel kapasitas petani dapat dijelaskan melalui subvariabel kemampuan sebagai pengelola usahatani, kemampuan sebagai pengelola usahatani, dan kemampuan sebagai pribadi dengan nilai koefisien lintas masing-masing sebesar 0.587, 0.496, dan 0.278. Kemampuan sebagai pengelola usahatani, kemampuan sebagai anggota masyarakat, dan kemampuan sebagai pri-
196
badi berpengaruh positif nyata terhadap kapasitas kelembagaan kelompok petani dengan nilai koefisien lintas masing-masing sebesar 0.223, 0.217, dan 0.205. Analisis jalur ini pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung variabel bebas kapasitas petani terhadap variabel tak bebas kapasitas kelembagaan kelompok petani ditunjukkan pada Tabel 5.30. berikut. Tabel 5.30. Analisis Lintas Variabel Bebas Kapasitas Petani Terhadap Variabel Tak Bebas Kapasitas Kelembagaan
Variabel
Total Nilai
Kemampuan sebagai pengelola usahatani (Y2.1) Kemampuan sebagai anggota masyarakat (Y2.2) Kemampuan sebagai pribadi (Y2.3) Kapasitas Petani (Y2)
%
Pengaruh Tak Langsung (via Y3) Nilai %
Langsung Nilai
%
0.489
100
0.266
54
0.223
46
0.442
100
0.225
51
0.217
49
0.331 0.454
100 100
0.126
38
0.205 0.454
62 100
Analisis lintas terhadap hubungan kausal variabel-variabel kapasitas petani yang berpengaruh terhadap peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok petani menunjukkan bahwa kemampuan sebagai pengelola usahatani, kemampuan sebagai pengelola usahatani, dan kemampuan sebagai pribadi berpengaruh langsung yang lebih besar (46 persen, 49 persen, dan 62 persen) terhadap tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani. Kemampuan sebagai pribadi yang matang akan langsung berpengaruh pada peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok tani, sedangkan kemampuan berusahatani dan kemampuan sebagai anggota masyarakat akan bersinergi dalam mempengaruhi kapasitas kelembagaan kelompok petani. Kemampuan sebagai pengelola usahatani mempunyai pengaruh total relatif paling besar terhadap kapasitas kelembagaan kelompok petani karena kemampuan ini akan sangat membantu dalam pencapaian tujuan-tujuan kelembagaan. Bentuk hubungan antar variabel dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.9. di bawah:
197
Kemampuan sebagai pengelola UT (Y2.1) 0.587 (0.000)
0.496 (0.000)
Kemampuan sbg anggota masyarakat (Y2.1) 0.217 (0.000)
0.223 (0.000) 0.454 (0.000)
Tingkat Kapasitas Petani (Y2) 0.278 (0.000)
Tingkat Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani (Y4) 0.205 (0.000)
0.581
Kemampuan sebagai pribadi (Y2.3)
E1
Gambar 5.9. Model Kapasitas Petani Dalam Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani Model Partisipasi Petani untuk Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani Kaitan antara tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani dengan kapasitas kelembagaan kelompok petani, seperti dirumuskan dalam hipotesis ke-6, yaitu: Tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani dipengaruhi secara nyata oleh tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani yang ditunjukkan oleh intensitas partisipasi dan kualitas partisipasi. Hipotesis ini diuji dengan analisis jalur (path analysis). Hasil uji ini disajikan pada Tabel 5.31 sebagai berikut: Tabel 5.31. Koefisien Lintas Variabel Bebas Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Terhadap Variabel Tak Bebas Kapasitas Kelembagaan
Variabel Bebas Intensitas partisipasi (Y3.1) Kualitas partisipasi (Y3.2)
Variabel Tak Bebas Partisipasi Petani dalam Kapasitas Kelembagaan Kelembagaan (Y3) Kelompok Petani (Y4) pxY3xi p pxY4xi p ) ) 0.543** (0.000) 0.517** (0.000) 0.308**)
Partisipasi Petani dalam Kelembagaan (Y3) Keterangan: **) Nyata pada α = 0.01
(0.000)
0.597**)
(0.000)
0.766**)
(0.000)
198
Hubungan antar variabel dapat dijelaskan pada koefisien lintas sebagai berikut: (a) Variabel partisipasi dalam kelembagaan kelompok petani dapat dijelaskan melalui subvariabel intensitas partisipasi dan kualitas partisipasi dengan nilai koefisien lintas masing-masing sebesar 0.543, dan 0.308. (b) Intensitas partisipasi petani dalam kelembagaan dan kualitas partisipasi petani dalam kelembagaan berpengaruh positif nyata terhadap kapasitas kelembagaan kelompok petani dengan nilai koefisien lintas masing-masing sebesar 0.517, dan 0.597. Analisis jalur ini pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung variabel bebas partisipasi petani dalam kelembagaan terhadap variabel tak bebas kapasitas kelembagaan kelompok petani ditunjukkan pada Tabel 5.32. berikut. Tabel 5.32. Analisis Lintas Variabel Bebas Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Terhadap Variabel Tak Bebas Kapasitas Kelembagaan
Variabel
Total
Intensitas partisipasi (Y3.1)
Nilai 0.933
% 100
Kualitas partisipasi (Y3.2)
0.833
100
Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan (Y3)
0.478
100
Pengaruh Tak Langsung (via Y3) Nilai % 0.416 45 0.236
28
Langsung Nilai 0.517
% 55
0.597
72
0.478
100
Analisis lintas terhadap hubungan kausal variabel-variabel yang berpengaruh terhadap tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani menunjukkan bahwa intensitas partisipasi petani dalam kelembagaan dan kualitas partisipasi petani dalam kelembagaan berpengaruh langsung yang lebih besar (55 persen dan 72 persen) terhadap tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani. Kedua variabel itu juga berpengaruh total yang besar. Bentuk hubungan antar variabel dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.10. di bawah. Gambaran hubungan kausalitas antar variabel dapat dijelaskan bahwa partisipasi petani dalam kelembagaan berpengaruh terhadap kapasitas kelembagaan kelompok petani. Semakin tinggi partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani, semakin tinggi kapasitas kelembagaan kelompok petani. Baik intensitas
199
partisipasi maupun kualitas partisipasi petani dalam kelembagaan akan mendorong pada peningkatan kapasitas kelembagaan. Partisipasi masyarakat diyakini dapat menguatkan kapasitas kelembagaan kelompok petani. Dengan partisipasi akan seseorang akan memperoleh nilai tambah, seperti: ketrampilan manajemen, kemandirian, kepercayaan, transparansi, akuntabilitas, dan akses terhadap sumberdaya luar (IADB, 2001). Di samping itu, partisipasi petani dalam kelembagaan merupakan bentuk tanggungjawab sosial petani. Intensitas Partisipasi (Y3.1) 0.543 (0.000)
Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan (Y3)
0.517 (0.000) 0.478 (0.000)
0.308 (0.000)
Tingkat Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani (Y4) 0.597 (0.000)
Kualitas Partisipasi (Y3.2)
0.403
E1
Gambar 5.10. Model Tingkat Partisipasi Petani Dalam Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani Partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan, termasuk dalam kelembagaan pertanian, akan mendorong efisiensi (eficiency) dan efektif (effectiveness) dalam penggunaan sumberdaya yang tersedia karena petani merasa mengambil tanggungjawab; dapat meningkatkan kesadaran, kepercayaan diri, dan pengawasan atas proses pembangunan; sebagai sebuah prasyarat bagi keberlanjutan suatu kegiatan-kegiatan pembangunan (Oakley et al. dalam Kumar (2002). Mendasarkan pernyataan ini maka peningkatan partisipasi petani dalam kelembagaan, baik intensitas maupun kualitasnya, akan menorong tercapainya kapasitas kelembagaan yang semakin tinggi. Partisipasi petani dalam kelembagaan akan menghasilkan pengalaman belajar yang berharga bagi petani. Petani dapat meningkatkan temuan-temuan dan proses pembelajaran sosial, sehingga dapat menciptakan komitmen terhadap perubahan sosial. Partisipasi petani dalam kelembagaan timbul karena pengalaman belajar serta tumbuhnya kesadaran untuk membangun kerjasama dan kepercayaan
200
sehingga mendorong penguatan keberadaan lembaga. Di sisi lain, keberhasilan lembaga ditandai dengan pencapaian tujuan sosial ekonomis, yaitu: (a) kemampuan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya; (b) inovatif (mengadakan pembaharuan) yang dipandang oleh lingkungannya sebagai memiliki nilai intrinsik; dan (c) membangun pola yang menjadi normatif bagi lain-lain kesatuan sosial dalam sistem sosial yang lebih besar (Jiri Nehnevajsa dalam Eaton, 1986). Keberhasilan lembaga ini akan menumbuhkan kemauan petani untuk berpartisipasi.
Strategi Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani Tipologi Petani dan Strategi Pengembangannya Berdasarkan perspektif kelembagaan, yaitu: tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani, tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani, dan kapasitas petani maka dapat diklasifikasi petani dalam beberapa tipe. Klasifikasi tipe petani dari perspektif kelembagaan dapat dipaparkan dalam beberapa gambar sebagai berikut. Tipologi A Berdasarkan kapasitas kelembagaan kelompok petani dan partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani maka petani dapat dikelompokkan dalam empat tipe, yaitu: (1) Tipe I, yaitu: petani dengan kapasitas kelembagaan yang tinggi dan tingkat partisipasi anggota yang tinggi. Pada tipe ini petani dikatakan ’berkembang’, karena kelembagaan kelompok petani dianggap mampu memenuhi kebutuhan petani dan petani terlibat secara aktif dalam berbagai pola kerjasama dalam kelembagaan tersebut. Tipe ini adalah paling besar jumlahnya, sebesar 80 persen. Strategi yang diperlukan adalah pemantapan, yaitu: fasilitasi saranaprasarana yang dibutuhkan, meningkatkan keinovatifan, dan fasilitasi pengembangan pola-pola kerjasama. (2) Tipe II, yaitu: petani dengan kapasitas kelembagaan yang tinggi tetapi tingkat partisipasi anggota rendah.
Pada tipe ini petani dikatakan pada tahap
201
’transisi’, kelembagaan kelompok petani dianggap dapat memenuhi kebutuhan petani namun petani belum terlibat secara aktif dalam berbagai aktivitas kelembagaan kelompok petani. Kelembagaan kelompok petani seperti ini didominasi oleh elit-elit lokal yang berhasil memenuhi keperluan petani secara praktis. Tipe ini jumlahnya paling sedikit, yaitu sebesar 1 persen. Strategi utama yang diperlukan adalah sosialisasi, yaitu: penumbuhan kesadaran dan membangun komitmen kebersamaan. Pendekatan dinamika kelompok dengan mengajak seluruh anggota untuk terlibat dan saling belajar akan menumbuhkan rasa kebersamaan.
100.00
Tipe III
Tipe I ( 80 % )
(7%)
Tingkat Partisipasi
80.00
60.00
40.00
Tipe IV ( 12 % )
Tipe II (1%)
20.00
0.00
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
Kapasitas Kelembagaan Efektivitas Kelembagaan
Gambar 5.11. Tipologi Petani Berdasarkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani dan Partisipasi Petani (3) Tipe III, yaitu: petani dengan kapasitas kelembagaan yang rendah tetapi tingkat partisipasi anggota tinggi.
Pada tipe ini petani dikatakan tahap
’transisi’, kelembagaan kelompok petani hanya sebagai sarana pemenuhan kebutuhan sosial petani semata tetapi belum mampu mengembangkan kerjasama yang terstruktur dan terpola. Tipe ini berjumlah 7 persen. Strategi
202
utama yang diperlukan adalah penguatan, yaitu: meningkatkan kemampuan mamajemen. (4) Tipe IV, yaitu: petani dengan kapasitas kelembagaan yang rendah dan tingkat partisipasi anggota juga rendah. Pada tipe ini kelembagaan kelompok petani dikatakan ’tertinggal’, kelembagaan kelompok petani dianggap antara ada dan tiada, belum mampu memberikan manfaat terhadap pemenuhan kebutuhan petani. Kondisi umum yang terjadi apabila kelembagaan yang dibentuk dari atas (pemerintah).
Keberadaan kelembagaan kelompok petani hanya me-
wakili kepentingan pihak luar, biasanya pemerintah, biasanya keterlibatan petani dalam kelembagaan lebih disebabkan oleh pengerahan (mobilisasi) yang bersifat pasif. Tipe ini berjumlah 12 persen. Strategi utama yang diperlukan adalah pengembangan, yaitu: mengembangkan kepemimpinan lokal, penumbuhan kesadaran, membangun komitmen kebersamaan, menginisiasikan atau memperkenalkan inovasi. Pendekatan dapat dilakukan secara individu maupun secara kelompok sekaligus. Pendekatan individu dilakukan untuk menciptakan kepemimpinan lokal, sedangkan pendekatan kelompok diharapkan akan mampu menumbuhkan social capital kelompok.
Tipologi B Berdasarkan kapasitas kelembagaan kelompok petani dan kapasitas petani terdapat empat tipe petani, yaitu: (1) Tipe I, yaitu: petani dengan kapasitas kelembagaan yang tinggi dan tingkat kapasitas petani yang tinggi. Pada tipe ini petani dikatakan tipe ’potensial’, kelembagaan kelompok petani dianggap sesuai dengan kebutuhan petani yang sudah matang (mature). Tipe ini adalah paling besar jumlahnya, sebesar 47 persen. Strategi utama yang diperlukan adalah perluasan (scaling-up), yaitu: pemantapan terhadap visi kelembagaan, peningkatan atas skala kegiatan, pengembangan kewirausahaan, dan mengembangkan pola-pola kerjasama kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan termasuk dunia usaha.
203
100.00
Tipologi III (6%)
Tipologi I ( 47 % )
Kapasitas Petani
80.00
60.00
40.00
20.00
Tipologi IV
Tipologi II
( 14 % )
( 33 % )
0.00
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
Kapasitas Kelembagaan Efektivitas Kelembagaan
Gambar 5.12. Tipologi Petani Berdasarkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani dan Kapasitas Petani
(2) Tipe II, yaitu: petani dengan kapasitas kelembagaan yang tinggi tetapi tingkat kapasitas petani rendah. Pada tipe ini petani dikatakan tipe ’transisi’, kelembagaan kelompok petani petani dianggap sesuai dengan kebutuhan petani yang mempunyai kapasitas masih rendah. Petani tipe ini jumlahnya relatif banyak, yaitu sebesar 33 persen. Strategi utama yang diperlukan adalah pengembangan kapasitas SDM, yaitu: mengembangkan kemampuan petani dalam sikap, pengetahuan, dan ketrampilan dalam berusahatani, berorganisasi. Pendekatan dapat dilakukan secara individu dan kelompok melalui pelatihanpelatihan, lokakarya dan sebagainya. (3) Tipe III, yaitu: petani dengan kapasitas kelembagaan yang rendah tetapi tingkat kapasitas individu petani yang tinggi. Pada tipe ini petani dikatakan tipe ’transisi’, kelembagaan kelompok petani dianggap belum mampu memenuhi harapan dan kebutuhan anggota yang terdiri dari petani yang mempunyai kapasitas relatif tinggi.
Tipe kelembagaan seperti ini biasanya dipenuhi
dengan tingkat konflik yang relatif tinggi, terjadi salah urus, dan krisis ke-
204
pemimpinan. Petani pada tipe ini berjumlah 6 persen. Strategi utama yang diperlukan adalah pengembangan manajemen organisasi, yaitu: menumbuhkan kepemimpinan lokal, peningkatan kemampuan menangani konflik, meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan bersama. (4) Tipe IV, yaitu: petani dengan kapasitas kelembagaan yang rendah dan tingkat kapasitas petani yang rendah pula. Pada tipe ini petani dikatakan tipe ’kurang potensi’, kelembagaan kelompok petani pada petani tipe ini umumnya terbentuk di daerah tertinggal (miskin) dengan tingkat sumberdaya petani yang rendah. Kemampuan dalam mengerahkan sumberdaya lokal sangat terbatas, daya inovasi rendah, dan tingkat kepemimpinan lokal yang rendah. Petani tipe ini berjumlah 14 persen. Strategi utama yang diperlukan adalah pengembangan kapasitas kelembagaan, yaitu: inisiasi informasi-teknologi, penyediaan sarana-prasarana, pengembangan kepemimpinan lokal, dan penumbuhan kesadaran.
Pendekatan penyuluhan dapat dilakukan secara individu dan
kelompok melalui berbagai teknik penyuluhan. Tipologi C Berdasarkan tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani dan kapasitas petani, petani dapat dikelompokkan dalam empat tipe, yaitu: (1) Tipe I, yaitu: petani dengan partisipasi yang tinggi dan tingkat kapasitas petani yang tinggi. Pada tipe ini petani dikatakan tipe ’berdaya’, kelembagaan kelompok petani beranggotakan petani yang mempunyai kesadaran untuk bertindak kolektif dan mempunyai kapasitas individu relatif tinggi. Petani tipe ini jumlahnya sebesar 44 persen. Strategi utama yang diperlukan adalah pemantapan (penguatan daya saing), yaitu: memfasilitasi kerjasama dengan berbagai pihak. (2) Tipe II, yaitu: petani dengan partisipasi yang tinggi tetapi kapasitas individu yang rendah. Pada tipe ini petani dikatakan tahap ’transisi’. Kelembagaan kelompok petani sudah berjalan dengan rutinitas yang terpola namun belum mampu mengembangkan kapasitas anggota-anggotanya. Kelembagaan pada petani tipe ini umumnya memperlihatkan keterbatasannya pada akses informasi dari luar atau rendahnya tingkat fasilitasi oleh pihak luar. Petani tipe ini
205
jumlahnya relatif banyak, yaitu sebesar 42 persen. Strategi yang diperlukan adalah pengembangan kapasitas petani, yaitu: fasilitasi dalam bentuk pelatihan-pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan petani, memberi kemudahan akses informasi.
Tipologi III
100.00
(3%)
Tipologi I ( 44 % )
Kapasitas Petani
80.00
60.00
40.00
20.00
Tipologi IV ( 11 % )
Tipologi II ( 42 % )
0.00
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
Tingkat Partisipasi
Gambar 5.13. Tipologi Petani Berdasarkan Tingkat Partisipasi dan Kapasitas Petani
(3) Tipe III, yaitu: petani dengan tingkat partisipasi yang rendah tetapi kapasitasnya tinggi. Pada tipe ini petani dikatakan ’transisi’. Kelembagaan kelompok petani tidak mampu menarik minat petani untuk berpartisipasi. Pada umumnya anggota lebih memilih menjalankan kegiatan-kegiatan secara individu. Beberapa alasan diantaranya: kelembagaan kelompok petani yang salah urus atau adanya dominasi elit-elit lokal. Populasi petani tipe ini relatif kecil, hanya 3 persen. Strategi yang diperlukan adalah pembenahan kelembagaan, yaitu: memfasilitasi reformasi kelembagaan, peningkatan kemampuan pengelolaan.
206
(4) Tipe IV, yaitu: petani dengan tingkat partisipasi dalam kelembagaan yang rendah dan kapasitas individu juga rendah. Pada tipe ini kelembagaan kelompok petani dikatakan ’lemah’, kelembagaan kelompok petani kurang mempunyai aktivitas yang cukup berarti dan petani tidak mempunyai kemampuan dalam menggerakkan. Petani tipe ini tidak banyak, sebesar 11 persen. Strategi utama yang diperlukan adalah pengembangan, yaitu: memberikan penyadaran terhadap arti penting kelembagaan, stimulasi kegiatankegiatan bersama, menumbuhkan kepemimpinan lokal, menyuluhan dengan metode kelompok.
Strategi Penyuluhan Pertanian untuk Meningkatkan Kapasitas, Partisipasi dalam Kelembagaan Kelompok Petani, dan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani Mendasarkan pada orientasi pembangunan pertanian di Indonesia saat ini yang mendasarkan pada sistem agribisnis maka peranan kelembagaan pertanian, termasuk didalamnya kelembagaan kelompok petani, sangat menentukan keberhasilan pembangunan pertanian. Kelembagaan kelompok petani di pedesaan berkontribusi dalam akselerasi pengembangan sosial ekonomi petani; aksesibilitas pada informasi pertanian; aksesibilitas pada modal, infrastruktur, dan pasar; dan adopsi inovasi-inovasi pertanian.
Di samping itu, keberadaan kelembagaan
kelompok petani akan memudahkan bagi pemerintah dan pemangku kepentingan yang lain dalam memfasilitasi dan memberikan penguatan pada petani. Keberadaan kelembagaan kelompok petani bagi petani sudah menjadi keniscayaan untuk memperbaiki taraf hidup, harkat dan martabatnya. Kelembagaan kelompok petani harus ditempatkan sebagai sarana untuk mewujudkan harapan, keinginan, dan pemenuhan kebutuhan petani. Kelembagaan kelompok petani di pedesaan yang efektif diharapkan mampu memberi kontribusi yang nyata dalam meningkatkan kemandirian dan martabat petani. Kelembagaan kelompok petani merupakan merupakan sarana sekaligus sasaran penyuluhan pertanian (Albrecht, H. et.al.,1989; Anonim, 2001; Mosher, 1991), sehingga keberadaannya sangat diperlukan. Kondisi dilematis biasanya timbul dari kelembagaan penyuluhan karena bias kepentingan. Penyuluh perta-
207
nian, baik pegawai pemerintah maupun swasta, merupakan anggota atau staf dari institusi yang menugaskannya sehingga tidak jarang dalam melakukan pekerjaannya lebih berorientasi pada kepentingan dinas daripada kepentingan petani. Berkaitan dengan situasi ini, penguatan kapasitas kelembagaan kelompok petani memerlukan komitmen bagi kelembagaan penyuluhan, terutama kelembagaan penyuluhan pertanian pemerintah, untuk melaksanakan tugas yang semestinya. Penyuluhan pertanian pada hakikatnya dilaksanakan untuk membantu petani agar mampu memecahkan permasalahan yang dihadapi sendiri. Penyuluhan dapat diartikan sebagai proses yang membantu petani dalam: menganalisis situasi yang sedang dihadapi; meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan terhadap suatu masalah, serta membantu menyusun kerangka berdasarkan pengetahuan yang dimiliki petani; memperoleh pengetahuan khusus berkaitan dengan cara pemecahan masalah yang dihadapi serta akibat yang ditimbulkan; memutuskan pilihan yang tepat yang menurut pendapat petani sudah optimal; meningkatkan motivasi petani untuk menetapkan pilihannya; dan mengevaluasi dan meningkatkan ketrampilan dalam membentuk pendapat dan mengambil keputusan. Mengembangkan kapasitas kelembagaan kelompok petani adalah wujud nyata dari tugas kelembagaan penyuluhan pertanian pemerintah di tingkat provinsi, sesuai Pasal 11 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, yaitu: ”memfasilitasi pengembangan kelembagaan dan forum masyarakat bagi pelaku utama dan pelaku usaha untuk mengembangkan usahanya dan memberikan umpan balik kepada pemerintah daerah” dan tugas kelembagaan penyuluhan pertanian pemerintah tingkat kabupaten, sesuai Pasal 13 ayat (1) huruf e, yaitu: ”menumbuh-kembangkan dan memfasilitasi kelembagaan dan forum kegiatan bagi pelaku utama dan pelaku usaha”. Langkah-langkah tindakan menuju kelembagaan kelompok petani yang efektif adalah sebagai berikut: (1) Peningkatan dukungan penyuluhan pertanian -
Meningkatkan kompetensi penyuluh dalam memfasilitasi petani, meliputi: penguasaan materi, kemampuan berkomunikasi, sikap terhadap sasaran, serta adanya komitmen terhadap profesi.
208
-
Penggunaan pendekatan penyuluhan yang tepat sesuai dengan karakteristik khalayak sasaran, meliputi: kesesuaian informasi, ketepatan metode, penggunaan berbagai teknik penyuluhan, dan penggunaan media dalam penyuluhan.
-
Penguatan kelembagaan penyuluhan pertanian, meliputi: ketersediaan programa penyuluhan, kemudahan akses, dukungan fasilitas yang diperlukan, dan pelaksanaan program.
(2) Peningkatan peran pihak luar -
Memfasilitasi adanya dukungan kepemimpinan lokal.
-
Menjembatani peran pihak luar (pemerintah, swasta, dan kelembagaan lain).
(3) Peningkatan kedinamisan kelompok sebagai kelompok pembelajar, melalui: - Peningkatan pemahaman tujuan kelompok. - Mengembangkan struktur. - Mengembangkan fungsi tugas. - Meningkatkan pembinaan dan pengembangan kelompok. - Meningkatkan kekompakan kelompok. - Mendorong kekondusifan suasana kelompok. - Menciptakan ketegangan kelompok. - Mendorong keefektifan kelompok. (4) Peningkatan kapasitas petani, dilakukan melalui: -
Peningkatan pendidikan, baik formal maupun non-formal, bagi petani yang mendukung bidang usaha atau agribisnis.
-
Memfasilitasi dalam berbagai kegiatan agribisnis.
-
Mendorong kemampuan berusaha untuk meningkatkan pendapatan.
-
Memfasilitasi penyediaan sarana kegiatan agribisnis bagi petani.
-
Menyediakan sumber-sumber belajar termasuk informasi yang diperlukan oleh petani.
(5) Peningkatan partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani Partisipasi anggota dalam kelembagaan dimaknai sebagai pilihan anggota komunitas secara aktif untuk berperan mengaktualisasikan diri dalam usaha memperbaiki kualitas hidup. Upaya peningkatan partisipasi petani dalam
209
kelembagaan dilakukan dengan proses-proses yang bertahap sesuai dengan tingkat perkembangan kelembagaan kelompok petani, yang meliputi: (a) Penyadaran, antara lain: -
Penumbuhan pemahaman terhadap masalah secara spesifik
-
Penyediaan sarana sosial
-
Menumbuhkan kepemimpinan lokal
-
Menumbuhkan kerjasama
-
Membangun wawasan tentang kehidupan bersama
-
Menciptakan komitmen kebersamaan
-
Meningkatkan kemampuan berusahatani dan kemampuan sosial
(b) Pengorganisasian, antara lain: -
Peningkatan kemampuan manajemen sumberdaya
-
Peningkatan kemampuan pengambilan keputusan bersama
-
Pengembangan kepemimpinan
-
Penyediaan sarana dan prasarana kelembagaan
(c) Pemantapan, antara lain: -
Pemantapan terhadap visi kelembagaan
-
Peningkatan kemampuan kewirausahaan
-
Membangun jaringan dan kerjasama antar kelembagaan
Kapasitas kelembagaan kelompok petani dapat tercapai apabila: (1) Tujuan kelembagaan kelompok petani tercapai, artinya: - Adanya kejelasan tujuan; - Adanya kesesuaian tujuan dengan kebutuhan anggota; - Tingkat pemenuhan kebutuhan anggota oleh kelembagaan tinggi. (2) Fungsi dan peran kelembagaan berjalan, meliputi: - Adanya kemampuan memperoleh informasi, tenaga kerja, modal, dan material; - Adanya kemampuan mengatur informasi, tenaga kerja, modal, dan material; - Adanya kemampuan memelihara informasi, tenaga kerja, modal, dan material;
210
- Adanya kemampuan mengerahkan informasi, tenaga kerja, modal, dan material; - Adanya kemampuan mengelola konflik. (3) Adanya keinovatifan kelembagaan, meliputi: - Adanya peran kepemimpinan dalam kelembagaan; - Fungsi kepemimpinan dalam kelembagaan berjalan; - Adanya nilai-nilai yang mendasari kerjasama; - Adanya pembagian peran anggota; - Adanya pola kewenangan dalam kelembagaan; - Adanya komitmen anggota terhadap kelembagaan; - Tersedia sumber-sumber pendanaan; - Tersedia fasilitas-fasilitas fisik; - Kualitas sumberdaya anggota memadai; - Adanya teknologi yang sesuai. (4) Keberlanjutan kelembagaan, meliputi: - Sentimen anggota baik; - Kesadaran anggota tinggi; - Kekompakan anggota terjadi; - Kepercayaan anggota besar; - Tersedia bantuan luar; - Pola komunikasi antar anggota dua arah; - Adanya kerjasama dengan pihak lain. Diagram mengenai strategi penyuluhan pertanian dalam meningkatkan kapasitas petani, partisipasi dalam kekelembagaan kelompok petani, dan kapasitas kelembagaan kelompok petani terlihat pada Gambar 5.14.
212
MASUKAN
PROSES
DUKUNGAN PENYULUHAN PERTANIAN ♦ Kompetensi penyuluh ♦ Pendekatan terhadap khalayak sasaran ♦ Kelembagaan penyuluhan pertanian
KAPASITAS PETANI: ♦ Pendidikan non-formal ♦ Pengalaman berusahatani ♦ Status ekonomi ♦ Dorongan kebutuhan ♦ Pengalaman belajar
PENINGKATAN PARTISIPASI PETANI DALAM KELEMBAGAAN: Penyadaran: - Penumbuhan kebutuhan riil petani - Pentingnya partisipasi kelembagaan - Menumbuhkan kepemimpinan lokal - Menumbuhkan kerjasama usaha berkelanjutan - Membangun wawasan tentang tujuan kelembagaan - Menciptakan komitmen kebersamaan Pengorganisasian: - Peningkatan kemampuan manajemen sumberdaya - Peningkatan kemampuan pengambilan keputusan bersama - Pengembangan kepemimpinan - Penyediaan sarana dan prasarana kelembagaan
LINGKUNGAN KELOMPOK: ♦ Kedinamisan sebagai kelompok pembelajar
KELUARAN
KELEMBAGAAN KELOMPOK PETANI YANG EFEKTIF ♦ Tujuan tercapai ♦ Fungsi dan peran berjalan ♦ Adanya keinovatifan ♦ Adanya keberlanjutan
Pemantapan: - Pemantapan terhadap visi - Membangun jaringan dan kerjasama antar kelembagaan
LINGKUNGAN PETANI: ♦ Dukungan kepemimpinan lokal ♦ Peran pihak luar (pemerintah, swasta, dan kelembagaan lain)
Gambar 5.14. Strategi Penyuluhan Dalam Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani
212
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan uraian pada pembahasan dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: (5) Tingkat kedinamisan kelompok sebagai sarana pembelajar bagi petani kebanyakan pada kategori sedang. Kelompok petani kurang menunjukkan aktivitas yang berarti, karena sangat bergantung pada pembinaan yang dilakukan oleh instansi terkait. Tingkat kapasitas petani secara umum berada pada kategori sedang, namun kemampuan petani sebagai pengelola usahatani relatif rendah yang menunjukkan masih rendahnya budaya agribisnis yang dimiliki. Tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani berada pada tingkat sedang, dalam beberapa aspek seperti: perencanaan, pemeliharaan, dan penilaian hasil, petani tampak kurang terlibat secara aktif. Terdapat kesenjangan yang cukup mencolok antara petani berstatus tinggi (ketua dan pengurus kelompok) dengan petani berstatus rendah (anggota kelompok) karena pengaruh budaya paternalistik, di samping itu lemahnya pemahaman anggota terhadap arti penting kelembagaan petani sebagai wahana mencapai tujuan dalam berusahatani. Kapasitas kelembagaan kelompok petani berada pada ketegori sedang. Kelembagaan petani yang ada kurang mampu memenuhi kebutuhan anggotanya. Peran kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya kurang maksimal. Ada kesadaran petani untuk kerjasama namun kurang efektif memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki, dan lemah dalam mengembangkan jaringan kerjasama dengan pihak lain. (6) Tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani rendah dalam mendukung keberadaan kelembagaan kelompok petani. Kondisi ini disebabkan oleh rendahnya pendidikan formal, rendahnya pendapatan petani, tingkat partisipasi sosial petani yang juga rendah, serta kurang terpenuhinya tingkat kebutuhan petani, dan kurangnya dukungan penyuluhan yang partisipatif. Relatif rendahnya tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani disebabkan oleh rendahnya tingkat kedinamisan kelompok dan rendah-
213
nya tingkat kapasitas petani. Rendahnya aspek-aspek: tingkat kesadaran atas kebutuhan riil, tingkat kepemimpinan lokal, intensitas peran pihak luar, dan dukungan penyuluhan, menyebabkan pada rendahnya kedinamisan kelompok sebagai wahana pembelajar. Sedangkan, rendahnya tingkat pendidikan nonformal, pengalaman berusahatani, pengalaman belajar, tingkat kepemimpinan lokal, dan dukungan penyuluhan menyebabkan terhadap rendahnya kapasitas petani. (7) Kapasitas kelembagaan kelompok petani rendah karena tingkat pemenuhan kebutuhan yang rendah, rendahnya intensitas peran pihak luar, dan kurangnya dukungan penyuluhan. Rendahnya tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani juga menyebabkan pada rendahnya kapasitas kelembagaan kelompok petani. Hal ini disebabkan tingkat kedinamisan kelompok sebagai wahana belajar yang rendah dan kapasitas petani yang juga rendah. (8) Tingkat dukungan penyuluhan pertanian, baik langsung maupun tidak langsung, menyebabkan pada peningkatan kapasitas petani, peningkatan partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani, serta mendorong kapasitas kelembagaan kelompok petani. Strategi penyuluhan pertanian yang tepat adalah dilaksanakan dengan meningkatkan kapasitas petani dan berusaha meningkatkan partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani. Peningkatan dukungan penyuluhan pertanian dilakukan melalui proses-proses: penyadaran, pemberdayaan, pengorganisasian, pemantapan dan penguatan terhadap petani dan kelembagaan kelompok petani. Untuk melaksanakan peran tersebut penyuluhan membutuhkan dukungan kompetensi penyuluh yang memadai dan pendekatan penyuluhan yang partisipatif sehingga sesuai dengan tingkat kapasitas petani dan kelembagaan kelompok petani, serta kelembagaan penyuluhan yang lebih kuat.
Saran Beberapa saran yang dapat dikemukakan terkait dengan hasil dan pembahasan adalah: (1) Peningkatan partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani dapat dilakukan melalui: peningkatan kapasitas petani, peningkatan pemenuhan kebu-
214
tuhan petani, dan peningkatan dukungan penyuluhan pertanian. Peningkatan kapasitas petani seyogyanya dilakukan melalui proses pembelajaran yang partisipatif melalui penyuluhan, terutama melalui interaksi petani dengan lingkungan sosialnya dan partisipasinya dalam kelembagaan kelompok petani. Usaha memfasilitasi oleh pihak luar untuk mengoptimalkan peran kelembagaan kelompok petani yang ada hendaknya dilakukan secara proporsional sesuai dengan kapasitas petani, dan tidak didominasi intervensi kepentingan pihak luar yang berlebihan, serta penyadaran petani atas kebutuhan riil menjadi kebutuhan yang dirasakan oleh petani, dan memanfaatkan kepemimpinan lokal. (2) Peningkatan dukungan penyuluhan pertanian yang partisipatif lebih kondusif bagi kedinamisan kelompok dan peningkatan kapasitas petani, yang mampu memotivasi petani untuk berpartisipasi dalam kelembagaan kelompok petani. Penyuluhan pertanian seyogyanya dirancang dengan memberikan muatan (content area) pada penguatan kapasitas petani sekaligus mengarah pada penguatan kapasitas kelembagaan kelompok petani. Upaya yang sebaiknya dilakukan oleh pihak-pihak pemangku kepentingan, terutama pemerintah adalah: (a) Meningkatkan kapasitas para penyuluh lapangan, (b) Menggunakan cara-cara atau pendekatan partisipatif yang berorientasi pada kebutuhan petani dalam melakukan kegiatan penyuluhan, dan (c) Memperkuat kelembagaan penyuluhan. (3) Diperlukan upaya peningkatan dukungan penyuluhan pertanian agar mampu mengembangkan kapasitas petani secara individu dan kapasitas kelembagaan kelompok petani di tingkat lokal. Selain penyuluh pertanian lapangan mempunyai kompetensi tinggi dan mempunyai komitmen pada kepentingan khalayak sasaran, juga diperlukan atas keberadaan kelembagaan-kelembagaan pertanian yang lain di tingkat lokal. Kelembagaan penyuluhan pertanian pada setiap daerah kabupaten/kota seyogyanya mengambil peran secara proporsional untuk mensinergikan kegiatan-kegiatan agribisnis yang dilaksanakan oleh petani secara individu, kelembagaan kelompok petani, maupun kelembagaan pertanian yang lain untuk peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. (4) Mengingat tingkat kompetensi penyuluhan yang masih rendah, maka untuk menjamin pelaksanaan kegiatan penyuluhan yang berkualitas diperlukan pe-
215
ningkatan kompetensi tenaga-tenaga penyuluh yang profesional. Kini telah diperlukan standar kompentensi yang jelas atas profesi tenaga penyuluh sehingga dapat menjadi acuan bagi upaya-upaya pengembangan kompetensi penyuluh, baik melalui pendidikan formal, non-formal maupun upaya lainnya. Pengembangan lembaga sertifikasi profesi (LSP) penyuluh tampaknya sudah menjadi kebutuhan yang mendesak. (5) Pendekatan partisipatif dalam kegiatan penyuluhan dinilai paling sesuai dalam upaya pengembangan kapasitas kelembagaan kelompok petani, namun selama ini pemahaman terhadap pendekatan partisipatif oleh tenaga penyuluh lapangan sangat beragam. Diperlukan adanya usaha penyamaan pemahaman atas pendekatan penyuluhan partisipatif terhadap tenaga-tenaga penyuluh di lapangan melalui berbagai latihan atau lokakarya, baik bagi calon tenaga penyuluh maupun penyegaran bagi para penyuluh yang sudah ada dengan paradigma penyuluhan yang partisipatif.
216
DAFTAR PUSTAKA Abrahamsen, Martin A. 1957. Agricultural Cooperation. University of Minnesota Press. Minneapolis. Albrecht, Hartmut et.al. 1989. Agricultural Extension: Basic Concepts and Methods. Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ). Eschborn. Amang, Beddu. 1997. “Pidato Ketua Umum PP PERHEPI pada Konpernas XII Denpasar Bali 9 Agustus 1996” dalam Membangun Kemandirian dan Daya Saing Pertanian Nasional dalam Menghadapi Era Industrialisasi dan Perdagangan Bebas. Prosiding Konferensi Nasional XII PERHEPI. Anonim. 2000. Pedoman Pemberdayaan P3A. Bahan Penunjang Pembelajaran TOT Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Irigasi 17-23 Nopember 2000 di Yogyakarta. _______. 2001. Penyuluhan Pertanian. Yayasan Pengembangan Sinar Tani. Jakarta. _______. 2005. Sensus Pertanian 2003: Hasil Survei Pendapatan Petani. Badan Pusat Statistik Jawa Tengah. Semarang. _______. 2006. Undang Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Dan Kehutanan. _______. 2007. Klaten.
Kabupaten Klaten Dalam Angka 2006.
BPS Kabupaten
_______. 2007. Kabupaten Grobogan Dalam Angka 2006. BPS Kabupaten Karanganyar. _______. 2007. Kabupaten Karanganyar Dalam Angka 2006. BPS Kabupaten Karanganyar. _______. 2007. Semarang.
Jawa Tengah Dalam Angka 2006.
BPS Jawa Tengah.
_______. 2007. Statistik Indonesia 2007. BPS Jakarta. Indonesia. Arintadisastra, Sumitro dan Rochayat Harun. 2001. Membangun Pertanian Modern. Yayasan Pengembangan Sinar Tani. Jakarta. IADB. 2001. Resource Book On Participation. Inter-American Development Bank. http://www.iadb.org/exr/english/POLICIES/participate/index.htm _______. 2002. Himpunan Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Irigasi (PKPI).
217
Anwar, Affendi. 2003. Pembangunan Kelembagaan Wilayah Dalam Rangka Pengelolaan Sumberdaya Alam: Kerangka Pendekatan Managemen Ekosistem. Makalah Kuliah Umum Desember 2003. Arif, Zainudin. 1986. Andragogi. Angkasa. Bandung. Axinn, George H. 1988. Guide on Alternative Extension Approaches. FAO. Rome. Azwar, Saifuddin. 2004. Reliabilitas dan Validitas. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Babbie, E.
1983.
The Practice of Social Research.
Third Edition.
Wadsworth Publishing Company. California. Bagadion, Benjamin U. dan Frances F. Korten. 1988. “Mengembangkan Organisasi Pemakai: Sebuah Pendekatan Proses Belajar” dalam Mengutamakan Manusia di Dalam Pembangunan. Editor Michael M. Cernea. Terjemahan oleh B.B. Teku. UI-Press. Jakarta. Beebe, S.A. dan J.T. Masterson. 1994. Communicating In Small Groups: Principles and Practices. Fourth Edition. HarperCollins College Publishers. New York. Bessette, Guy. 2004. Involving the Community: A Guide to Participatory Development Communication. International Development Research Centre. Ottawa. BPS. 2001. Statitistik Indonesia 2001. Badan Pusat Statistik. Jakarta. BPS. 2003. Statistik Potensi Desa Propinsi Jawa Tengah 2003. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Black, James A dan Dean J. Champion. 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Terjemahan Koeswara dkk. PT Eresco. Bandung. Bryant, Coralie dan Louise G. White. 1982. Managing Development in the Third World. Westview Press Inc. Bunch, Roland. 1991. Dua Tongkol Jagung: Pedoman Pengembangan Pertanian Berpangkal Pada Rakyat. Terjemahan oleh Ilya Moeliono. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Campbell dan Barker. 1997. “Selecting Appropriate Content and Methods in Programme Delivery” dalam Improving Agricultural Extension: A reference manual. Diedit oleh Burton E. Swanson, Robert P. Bentz, dan Andrew J. Sofranko. FAO. Rome. Hal. 100 - 109. Carroll, Thomas F. 2001. Social Capital, Local Capacity Building and Poverty Reduction. Asian Development Bank. Manila.
218
Carry, Lee J. 1970. “The Role of the Citizen in the Community Development Process” dalam Community Development As A Process. University of Missouri Press. Columbia. Hal. 144 – 170. Cartwright, D. dan A. Zander. 1968. “Leadership and Performance of Group Function: Introduction” dalam Group Dynamics: Research and Theory. Harper and Row, Publishers. New York. Castillo, Gelia T. 1988. How Participatory is Participatory Development: A Review of the Philippine Experience. The Philippine Institute for Development Studies. Chadwick, B.A.; H.M. Bahr dan S.L. Albrecht. 1991. Metode Penelitian Ilmu Pengetahuan Sosial. Terjemahan oleh Sulistia dkk. IKIP Semarang Press. Semarang. Chitambar, J.B. 1973. Introductory Rural Sociology: A Synopsis of Concepts and Principles. Halsted Press. New York. Christenson, James A. 1989. “Themes of Community Development” dalam Community Development in Perspective. Diedit oleh James A. Christenson dan Jerry w. Robinson, Jr. Iowa State University Press. Iowa. Hal. 26 – 47. Chu, Godwin C. 1976. “Groups And Development” dalam Communication for Group Transformation in Development. Diedit oleh Godwin C. Chu, Syed A. Rahim, D. Lawrence Kincaid. East-West Center, East-West Communication Institut. Hawai. Hal. 1 – 14. Claude, Jean dan Garcia Zamor. 1985. “An Introduction to Participative Planning and Management” dalam Public Participation in Development Planning and Management: Cases from Africa and Asia. Editor Jean Claude dan Garcia Zamor. Westview Press. London. Cobia, David W. 1989. Cooperatives In Agriculture. Prentice Hall. New Jersey. Coleman, James S. 2000. “Social Capital in the Creation of Human Capital” dalam Social Capital: A Multifaceted Perspective. Diedit oleh Partha Dasgupta dan Ismail Serageldin. The World Bank. Washington. Combs, P.H. dan M. Ahmed. 1985. Memerangi Kemiskinan di Pedesaan Melalui Pendidikan Non-formal (Terjemahan). CV Rajawali. Jakarta. Dina Umali-Deininger. 1997. Public and Private Agricultural Extension: Partners or Rivals?. The World Bank Research Observer, Vol. 12 No. 2. The International Bank for Reconstruction and Development. The World Bank. Eaton, Joseph W. 1986. “Petunjuk bagi Perumusan Teori Pembangunan” dalam Pembangunan Lembaga dan Pembangunan Nasional: dari Konsep ke Aplikasi. Editor J.W. Eaton. UI Press. Jakarta. Hal 157 – 167.
219
ECDPM. 2006. Institutional Development: Learning by Doing and Sharing. European Centre for Development Policy management (ECDPM), Netherlands Ministry of Foreign Affairs, Poverty Policy and Institutional Division. http://www.ecdpm.org/ Ellerman, D. 2001. Helping People Help Themselves: Towards a Theory of Autonomy-Compatible Help. World Bank. Esman, Milton J. 1986. “Unsur-unsur dari Pembangunan Lembaga” dalam Pembangunan Lembaga dan Pembangunan Nasional: dari Konsep ke Aplikasi. Editor J.W. Eaton. UI Press. Jakarta. Hal 21 – 46. Freeman, David M. 1989. Local Organizations For Social Development: Concepts and Cases of Irrigation Organization. Westview Press. London. Fukuyama, Francis. 2000. The Great Disruption: Human Nature and The Reconstitution of Social Order. Touchstone. New York. Gagne, R.M. 1965. The Conditions of Learning. Holt, Rinehart and Winston. New York. Garkovich, Lorraine E. 1989. “Local Organizations and Leadership in Community Development” dalam Community Development in Perspective. Editor James A. Christenson dan Jerry W. Robinson, Jr. Iowa State University Press. Iowa. Hal. 196 – 218. Hartono, N. 2000. Pengembangan P3A: Interaksi dan Proyeksi Kelembagaan P3A. Bahan Pembelajaran TOT Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Irigasi 17-23 Nopember 2000 di Yogyakarta. Hersey, Paul; Kenneth H. Blanchard; dan Dewey E. Johnson. 1996. Management of Organizational Behavior: Utilizing Human Resources 7th. Prentice Hall. New York. Howard, Thelma; Harold R. Baker; dan Laverne B. Forest. 1994. “Constructive Public Involvement” dalam Extension Handbook: Processes and Practices. Diedit oleh Donald J. Blackburn. Thompson Educational Publishing, Inc. Toronto. Hal 100 – 114. Hubeis, AVS; W. Ruwiyanto; dan P. Tjitropranoto. 1992. “Peran Penyuluhan Menjelang Era Tinggal Landas” dalam Penyuluhan Pembangunan di Indonesia: Menyongsong Abad XXI. Diedit oleh Aida Vitayala Sjafri Hubeis, Prabowo Tjitropranoto, dan Wahyudi Ruwiyanto. PT Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. Jakarta. Hal 11 – 21. Israel, Arturo. 1992. Pengembangan Kelembagaan: Pengalaman Proyek-proyek Bank Dunia. Terjemahan. LP3ES. Jakarta. Jaeger, Gertrude. 1985. “Dinamika Sosialisasi” dalam Pengantar Sosiologi: Sebuah Bunga Rampai. Penyunting Kamanto Sunarto. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
220
Jahi, Amri. 1993. “Komunikasi dan Pembangunan” dalam Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-negara Dunia Ketiga: Suatu Pengantar. Disunting oleh Amri Jahi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Johnson, Doyle Paul. 1990. Teori Sosiologi: Klasik dan Modern Jilid II. Terjemahan oleh Robert M.Z. Lawang. Gramedia. Jakarta. ________________. 1994. Teori Sosiologi: Klasik dan Modern Jilid I. Terjemahan oleh Robert M.Z. Lawang. Gramedia. Jakarta. Kartasasmita, Ginandjar. 1997. “Meningkatkan Daya Saing Pertanian Dalam Rangka Mewujudkan Kemandirian Ekonomi Nasional” dalam Membangun Kemandirian dan Daya Saing Pertanian Nasional dalam Menghadapi Era Industrialisasi dan Perdagangan Bebas. Prosiding Konferensi Nasional XII PERHEPI. Kerlinger, F.N. 2004. Azas-azas Penelitian Behavioral. Cetakan ke lima. Terjemahan Landung R Simatupang. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Knowles, Malcolm. 1978. The Adult Learner: A Neglected Species. Second Edition. Gulf Publishing Company. Houston. Koentjaraningrat. 1990a. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta. Jakarta. _____________.
1990b.
Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Kompas tanggal 3 Januari 2003. “2003, Inflasi 5,06 Persen, Jumlah Petani Gurem Meningkat”. Krishna, Anirudh. 2000. “Creating and Harnessing Social Capital” dalam Social Capital: A Multifaceted Perspective. Diedit oleh Partha Dasgupta dan Ismail Serageldin. The World Bank. Washington. Kumar, Somesh. 2002. Methods for Community Participation: A Complete Guide for Practitioners. ITDG Publishing. London. Landsberger, Henry A dan YU G. Alexandrov. 1981. Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial. Terjemahan Aswab Mahasin. CV Rajawali. Jakarta. Lau, J.B. dan A.B. Shani. 1992. Behavior in Organization: An Experiential Approach. Fith Edition. Irwin, Inc. Boston. Leeuwis, Cees. 2004. Communication for Rural Innovation: Rethinking Agricultural Extension. Third Edition. Blackwell Publishing. Oxford. Lippitt, R., J. Watson, dan B. Westley. 1958. The Dynamics of Planned Change. Harcourt, Brace and Company. New York.
221
Littrel, Donald W. dan Daryl Hobbs. 1989. “The Self-Help Approach” dalam Community Development in Perspective. Diedit oleh James A. Christenson dan Jerry w. Robinson, Jr. Iowa State University Press. Iowa. Hal. 48 – 68. Loomis, Charles. 1960. Social Systems: Essays on Their Persistence and Change. D. Van Nostrand Company. London. Mardikanto, Totok. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press. Surakarta. Mosher, Arthur T. 1969. Creating A Progressive Rural Structure: To Serve a Modern Agriculture. The Agricultural Development Council, Inc. New York. _____________. 1991. Getting Agriculture Moving. Frederick A. Praeger, Inc. Publishers. New York. Mubyarto. 1994. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta. Ndraha, Taliziduhu. 1990. Pembangunan Masyarakat: Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas. Rineka Cipta. Jakarta. Neuman, W.L. 1994. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Second Edition. Allyn and Bacon. Boston. Nuhung, Iskandar Andi. 2006. Bedah Terapi Pertanian Nasional: Peran Strategis dan Revitalisasi. PT Bhuana Ilmu Populer. Jakarta. Ohama, Yutaka. 2001. “Participatory Approach (PA)” dalam Jica Training Course In Participatory Local Social Development (PLSD): Theories and Practices. Japan International Cooperation Agency. Japan. Pakpahan, Agus. 1989. “Kerangka Analitik Untuk Penelitian Rekayasa Sosial: Perspektif Ekonomi Institusi” dalam Prosiding Patanas Evolusi Kelembagaan Pedesaan. Disunting oleh Effendi Pasandaran dkk. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Bogor. Hal 1 – 18. Pambudy, Rachmat dan Adriyono K. Adhi. 2002. Pemberdayaan Sumberdaya Manusia Menuju Terwujudnya Masyarakat Madani. Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian, PPS IPB dan PAPPI. Jakarta. Pranadji, Tri. 2003. Menuju Transformasi Kelembagaan dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Pretty, Jules N dan Simplice D. Vodouhe. 1997. “Using Rapid or Participatory Rural Appraisal” dalam Improving Agricultural Extension: A reference manual. Diedit oleh Burton E. Swanson, Robert P. Bentz, dan Andrew J. Sofranko. FAO. Rome. Hal 69 – 84. Rahadian, dkk. 2003. Reinjenering Penyuluhan. Draf III Bahan Bahasan di STPP Malang, 6 Oktober 2003. Jakarta.
222
Rahardjo, M dan S. Rinakit. 1996. "Pemberdayaan Masyarakat Tani" Dalam Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan Implementasi. CSIS. Jakarta. Reed, Edward. 1979. “Two Approaches to Cooperation in Rice Production in South Korea” dalam Group Farming in Asia. Editor John Wong. Singapore University Press. Kent Ridge, Singapore. Reinjntjes, Coen; Bertus Haverkort; dan Ann Waters-Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan: Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Terjemahan. Kanisius. Yogyakarta. Rogers, Alan. 1992. Education for Development. Cassell Educational Limited. London. __________. 1994. Teaching Adults. Open University Press. Philadelphia. Rogers, Everett M. 1995. Diffusion of Inovations. Fourth Edition. The Free Press. New York. Rohs, Frederick R. dan Maria Navarro. 2008. Soft Systems Methodology: An Intervention Strategy. Journal of International Agricultural and Extension Education Vol. 15 No. 3. AIAEE. Ross, Murray G. dan B.W. Lappin. 1967. Community Organization: Theory, Principles, and Practice. Second Edition. Harper & Row, Publishers. New York. Roucek, Joseph S. dan Roland L. Warren. 1984. Pengantar Sosiologi. Terjemahan oleh Sahat Simamora. Bina Aksara. Jakarta. Ruttan, Vernon W. 1985. ”Tiga Kasus Terjadinya Pembaruan Kelembagaan” dalam Dinamika Pembangunan Pedesaan. Diedit oleh Faisal Kasryno dan Joseph F. Stepanek. Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia. Jakarta. Hal. 114 – 140. Saefullah, B.Y. dkk. 2003. Organisasi Berbasis Masyarakat: Modul Pelatihan. INCIS. Jakarta. Sahidu, Arifuddin. 1998. Partisipasi Masyarakat Tani Pengguna Lahan Sawah dalam Pembangunan Pertanian di Daerah Lombok Nusa Tenggara Barat. Disertasi Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Samantha de Silva. 2000. Community-based Contracting: A Review of Stakeholder Experience. The International Bank for Reconstruction and Development. The World Bank. Sanders, Irwin T. 1958. The Community: An Introduction to a Social System. The Ronald Press Company. New York. Saputro, E.P (Ed). 2001. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Ketahanan Pangan - Kajian Empiris LSM-LSM Mitra Yayasan Indonesia Sejahtera. Yayasan Indonesia Sejahtera. Jakarta.
223
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2002. Psikologi Sosial: Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial. Balai Pustaka. Jakarta. _____________________. 2005. Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Balai Pustaka. Jakarta. Sayogyo. 1993. “Kata Pengantar” dalam Perlawanan Kaum Tani oleh James C. Scott. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Sears David O., Jonathan L. Freedman, dan L. Anne Peplau. 1992. Psikologi Sosial Edisi Kelima. Terjemahan. Penerbit Erlangga. Jakarta. Simpson, Greg. 1998. Extension Is Not Just Service, But Service Learning Is Important to Extension. Journal of Extension Vol. 36 No. 5. Singarimbun, Masri dan Sofjan Effendi. LP3ES. Jakarta.
1995.
Metode Penelitian Survey.
Singh, S.N. 1961. “Leaders and Group Methods in Education” dalam Extension Education in Community Development. Directorate of Extension Ministry of Food and Agriculture Government of India. India. Sjahrir. 1988. “Pembangunan Berdimensi Kerakyatan” dalam Pembangunan Berdimensi Kerakyatan. Penyunting D.C. Korten dan Sjahrir. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Slamet, Margono. 1992. “Perspektif Ilmu Penyuluhan Pembangunan Menyong-song Era Tinggal Landas” dalam Penyuluhan Pembangunan di Indonesia: Menyongsong Abad XXI. Diedit oleh Aida Vitayala Sjafri Hubeis, Prabowo Tjitropranoto, dan Wahyudi Ruwiyanto. PT Pustaka Pemba-ngunan Swadaya Nusantara. Jakarta. Hal 22 – 29. _____________. 2000. Memantapkan Posisi dan Meningkatkan Peran Penyuluhan Pembangunan Dalam Pembangunan. Makalah Seminar Nasional Pemberdayaan Sumberdaya Manusia Menuju Terwujudnya Masyarakat Madani 25-26 September 2000 di IPB. _____________. 2003. “Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Perdesaan” dalam Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Penyunting Ida Yustina dan Ajad Sudradjat. IPB Press. Bogor. Hal 7 – 13. ______________. 2003. “Menata Sistem Penyuluhan Pertanian Menuju Pertanian Modern” dalam Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Penyunting Ida Yustina dan Ajad Sudradjat. IPB Press. Bogor. Hal 49 – 55. Slamet, Margono dkk. 1987. Mahasiswa Dalam Pembangunan. Penerbit Universitas Lampung. Lampung.
224
Soedijanto. 2004. Menata Kembali Penyuluhan Pertanian di Era Pembangunan Agribisnis. Departemen Pertanian. Jakarta. Soekanto, S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar Edisi Keempat. CV Rajawali. Jakarta. Soetrisno, Loekman. 1999. Pertanian pada Abad Ke-21. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Staatz, John M. dan Carl K. Eicher. 1984. ”Agricultural Development Ideas in Historical Perspective” dalam Agricultural Development in the Third World. Diedit oleh Carl K. Eicher dan John M. Staatz. The Johns Hopkins University Press. London. Hal 3 – 30. Sukartawi dkk. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil. UI Press. Jakarta. Sumardjo. 2003. “Kepemimpinan dan Pengembangan Kelembagaan Pedesaan: Kasus Kelembagaan Ketahanan Pangan” dalam Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Penyunting Ida Yustina dan Ajad Sudradjat. IPB Press. Bogor. Hal 151 – 169. Sukarno. 2008. Kebijakan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah. Makalah dalam Seminar Peningkatan Citra Penyuluhan Pertanian 25 Juni di Fakultas Pertanian UNS Surakarta. Suryana, Achmad. 2007. Strategi dan Program Revitalisasi Pertanian. Pidato Kunci Seminar Nasional Dalam Rangka Dies Natalis ke-31 UNS, 13 Maret 2007. Suryono, A. 2001. Teori dan Isu Pembangunan. UM-Press. Malang. Susetiawan. 2000. Perubahan Paradigma Pembangunan. Bahan Pembelajaran TOT Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Irigasi 17-23 Nopember 2000. Sutarto. 1995. Dasar-dasar Organisasi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Suwarsono dan A.Y. So. 2000. Perubahan Sosial dan Pembangunan. LP3ES. Jakarta. Swanson, Burton E dan Mohamed M. Samy. 2004. Introduction to Decentralization of Agricultural Extension Systems: Key Elements for Success. Agriculture and Rural Development Discussion Paper. ARD. The World Bank. Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan: Strategi Pengembangan dan Penerapannya dalam Penelitian Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Bogor. The World Bank. 1996. Participation Sourcebook. The World Bank. Washington, D.C. http://www.worldbank.org/wbi/sourcebook/sb0001. htm
225
The World Bank. 1997. Empowering People: A Guide to Participation. CSOPP – UNDP. World Bank. Tjitropranoto, Prabowo. 2005. Penyediaan dan Diseminasi Inovasi Teknologi Pertanian untuk Peningkatan Pendapatan Petani Di Lahan Marginal: Peningkatan Mutu Partisipasi. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Sumberdaya Lahan Marginal. Mataram 30-31 Agustus 2005. Tjokroamidjojo, Bintoro. 1984. Pengantar Administrasi Pembangunan. LP3ES. Jakarta. Todaro, Michael P. 1994. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Jilid I Edisi Keempat. Terjemahan. Penerbit Erlangga. Jakarta. Turner, Jonathan H. 1978. The Structure of Sociological Theory. Edition. The Dorsey Press. Illinois.
Revised
Uphoff, Norman Thomas. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With Cases. Kumarian Press. Upton, M dan Q.B.O. Anthonio. 1965. Farming as a Business. Oxford University Press. New York. Van den Ban, A.W dan H.S. Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian. Terjemahan oleh A.D. Herdiasti. Kanisius. Yogyakarta. Verhagen, Koenraad. 1996. Pengembangan Keswadayaan: Pengalaman LSM di Tiga Negara. Terjemahan. Puspa Swara. Jakarta. Vernelle, Brenda. 1994. Understanding and Using Group. Whiting and Birch Ltd. London. Von Blanckenurg, Peter dan Reinhold Sachs. 1989. “Masyarakat Tani dalam Membangun” dalam Sosiologi Pertanian. Penyunting Ulrich Planck. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Webster’s Third New International Dictionary. Wileden, Arthur F. 1970. Community Development: The Dynamics of Planned Change. The Bedminster Press. New York. Wiriaatmadja, Soekandar. 1977. Pokok-pokok Penyuluhan Pertanian. CV Yasaguna. Jakarta. Young, R. Clinton. 1998. Determining Needs of Farmers for Management Knowledge. Journal of Extension Vol. 36 No. 3. Yukl, Gary A. 1998. Kepemimpinan Dalam Organisasi. Terjemahan oleh Jusuf Udaya. Prenhallindo. Jakarta. Yustika, Ahmad Erani. 2006. Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan Strategi. Banyumedia Publishing. Malang.
0
LAMPIRAN
226
Lampiran 1. Glossary Kapasitas atau capacity, merujuk pada kemampuan untuk atau melakukan (ability for or to do); kesanggupan (capability); suatu keadaan yang memenuhi syarat (a condition of being qualified) (Kamus Webster). Kapasitas Kelembagaan (institutional capacity) menunjuk pada kemampuan ke-lembagaan untuk mencapai tujuan-tujuannya sendiri. Kapasitas kelembagaan dapat dilihat dari parameter: (a) Pencapaian tujuan lembaga, yang mencakup: keberadaan dan kejelasan tujuan, kesesuaian tujuan dengan kebutuhan anggota, dan tingkat pemenuhan kebutuhan anggota; (b) Fungsi dan peran lembaga dalam mengelola sumberdaya lokal (tenaga kerja, modal, material, dan informasi), meliputi: fungsi perolehan, fungsi pengaturan, fungsi pemeliharaan, fungsi pengerahan, dan fungsi pengelolaan konflik; (c) Keinovatifan kelembagaan, yang menyangkut: kepemimpinan, doktrin, struktur lembaga, dan sumberdaya; dan (d) Keberlanjutan kelembagaan, mencakup: sentimen, kesadaran, kekompakan, kepercayaan antar anggota, ketersediaan bantuan luar, pola-pola komunikasi, dan derajat kerjasama dengan kelompok/organisasi lain (Esman, 1986; Jiri Nehne-vajsa dalam Eaton, 1986; Sumardjo, 2003; Wileden, 1970). Kapasitas Petani menunjuk pada kemampuan petani dalam melaksanakan perannya sesuai dengan status yang dimilikinya sehingga mampu mengembangkan potensi pribadi, mengelola sumberdaya usahatani, dan berinteraksi dengan orang lain dalam suatu komunitas pertanian. Sebagai perorangan, petani mempunyai empat kapasitas, yaitu: bekerja, belajar, berpikir kreatif, dan bercita-cita. Sebagai anggota masyarakat, langkah-langkah yang diambil petani sangat dipengaruhi oleh sikap dan hubungan dalam masyarakat setempat. Kelembagaan berasal dari kata dasar ’lembaga’ ditambah imbuhan ’ke – an’. Mempunyai padanan kata dalam Bahasa Inggris ’institution’. Istilah ’kelembaga-an’ dan ’organisasi’ sering membingungkan dan bersifat interchangeably. Pada akhir-akhir ini kelembagaan mencakup juga organisasi atau kelembagaan mencakup aspek organisasi. Kelembagaan dapat terbentuk melalui dua cara, yaitu: terbentuk secara alamiah dan bersifat rekayasa. Kelembagaan yang terbentuk secara alamiah melalui proses pelembagaan (institutionalization) atau pematangan suatu norma. Kelembagaan yang direkayasa, dilakukan dengan membangun struktur terlebih dahulu kemudian menuju proses pelembagaan. Kelembagaan Pertanian adalah kelembagaan-kelembagaan yang diperlukan dalam mendukung pembangunan pertanian. Jenis-jenis kelembagaan pertanian: (a) Kelembagaan lokal dalam bidang pertanian perlu dikembangkan dalam: (1) Administrasi lokal (local administration), yaitu: agen dan staf lokal dari departemen-departemen pusat, bertanggung-jawab pada birokrasi di atasnya; (2) Pemerintahan lokal (local government), dipilih dan ditetapkan orang seperti dewan desa, mempunyai kewenangan yang berhubungan dengan pembangunan dan aturan tugas, dan bertanggung-jawab pada penduduk lokal; (3) Organisasiorganisasi keanggotaan (membership organizations), yaitu: asosiasi mandiri setempat yang mempunyai anggota untuk menangani berbagai tugas, tugas khusus, atau adanya karakteristik dan minat yang sama; (4) Kerjasama (cooperatives), yaitu semacam organisasi lokal yang me-nyatukan sumberdaya ekonomi anggota untuk dimanfaatkan, seperti: asosiasi pemasaran, himpunan
227
kredit, masyarakat konsumen, atau kerjasama produsen; (5) Organisasiorganisasi pelayanan (service organi-zations), yaitu organisasi lokal yang dibentuk utamanya untuk membantu orang lain; dan (6) Bisnis pribadi (private businesses), yaitu bisnis yang bergerak di bidang industri, jasa dan atau perdagangan (Uphoff, 1986). (b) Menurut sistem agribisnis, kelembagaan pertanian dapat mencakup: (1) kelembagaan pengadaan sarana input produksi, (2) kelembagaan dalam aktivitas budidaya, (3) kelembagaan yang terkait aktivitas pengolahan hasil produksi, (4) kelembagaan pemasaran, dan (5) kelembagaan pendukung. Kelembagaan Petani adalah kelembagaan yang anggota-anggotanya terdiri dari masyarakat petani. Kelembagaan ini merupakan bagian dari kelembagaan pertanian. Kelembagaan ini biasanya tumbuh secara alamiah untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sejalan dengan paradigma pembangunan ada upaya untuk membangun dan mengembangkan kelembagaan petani oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Kelompok Petani adalah bentuk himpunan kerjasama yang anggotanya adalah petani-petani untuk suatu tujuan tertentu. Di Indonesia dikenal secara luas kelompok petani, seperti: kelompok-kelompok tani dan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Kelompok tani dikembangkan pemerintah berdasarkan hamparan lahan pertanian sejalan dilaksanakannya Proyek Penyuluhan Tanaman Pangan (National Food Crops Extension Project) sejak 1976, sedangkan P3A dibentuk Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1982 tentang Irigasi, yang menyatakan adanya suatu lembaga yang disebut Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Modal Sosial (social capital) secara sederhana dapat didefinisikan sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka (Fukuyama, 2000). Jika para anggota kelompok mengharapkan bahwa anggota-anggota yang lain berperilaku jujur dan terpercaya, maka mereka akan saling mempercayai. Kepercayaan menjadi sarana kelompok atau organisasi menjadi lebih efisien. Inti dari modal sosial adalah kepercayaan (trust) dan kerjasama (cooperation) (Krishna, 2000). Partisipasi adalah istilah yang menggambarkan keterlibatan seseorang pada suatu kegiatankegiatan, proyek-proyek, atau program-program pembangunan. Partisipasi merupakan salah satu strategi atau pendekatan dalam pembangunan, penyuluhan, dan community development. The World Bank (1996) mendifinisi-kan partisipasi sebagai sebuah proses dimana stakeholder-stakeholder mem-pengaruhi dan ambil bagian atas pengelolaan inisiatif dan keputusan-keputusan pembangunan dan sumberdaya yang mempengaruhi masyarakat. Pendekatan partisipasi dilakukan dengan beberapa alasan: (a) Efisiensi (efficiency) dalam penggunaan sumberdaya, (b) Efektivitas (effectiveness): pelaksanaan kegiatan, (c) Meningkatkan kemandirian (self-reliance) masyarakat, (d) Adanya jaminan (coverage) atas manfaat yang diperoleh, dan (e) Adanya keberlanjutan (sustainability) kegiatan-kegiatan (Oakley et al., 1991 dalam Kumar, 2002). Partisipasi akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi adanya tiga faktor utama yang mendukungnya, yaitu: (a) kemauan, (b) kemampuan, dan (c) kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi (Slamet, 1992). Tipologi partisipasi, yaitu: (a) Partisipasi pasif (passive participation); (b) Partisipasi dalam pemberian informasi (participation in information giving); (c) Partisipasi dengan konsultasi (participation by consultation); (d) Partisipasi untuk memperoleh
228
insentif material (participation for material incentive); (e) Parti-sipasi fungsional (funcional participation); (f) Partisipasi interaktif (interactive participation); dan (g) Pengembangan diri (self-mobilization) (Pretty dan Vodouhe, 1997). Pembangunan berasal dari kata dasar ‘bangun’ diberi imbuhan ‘pem-an’. Kata ‘bangun’ bisa berarti: sadar atau siuman (aspek fisiologis); bangkit atau siuman (aspek perilaku); bentuk (aspek anatomi); sebagai kata kerja berarti membuat, men-dirikan, atau membina (gabungan aspek fisiologi, aspek perilaku, dan aspek bentuk). Konsep ‘pembangunan’ (development) seringkali dianalogkan dengan konsep-konsep: pertumbuhan (growth), rekonstruksi (recontruction), modernisasi (modernization), westernisasi (westernization), perubahan sosial (social change), pembebasan (liberation), pembaruan (innovation), pembangunan bangsa (nation building), pembangunan nasional (national development), pengembangan (progress), dan pembinaan (construction). Pembangunan merupakan salah satu bentuk perubahan sosial yang direncanakan karena diasumsikan bahwa perubahan tersebut dapat dikendalikan ke sasaran yang tepat. Pembangunan Kelembagaan dan Pengembangan Kelembagaan keduanya merupakan terjemahan dari intitutional development. adalah usaha-usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan kelembagaan. Dikenal dua pendekatan utama dalam pengembangan kelembagaan, yaitu: secara individual dan keorganisasian, sehingga dalam memilih strategi pengembangan kelembagaan ini tergantung pada kapasitas pelaksananya dan kelembagaan yang sudah terbentuk (Norman Uphoff, 1986). Pendekatan yang umum selama ini berupa: blue print approach dan learning process approach atau process approach. Pembangunan Pertanian adalah pembangunan di bidang pertanian. Pembangunan pertanian pada dasarnya meliputi pengembangan dan peningkatan pada faktorfaktor: teknologi, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan kelembagaan (Uphoff, 1986; Johnson (1985) dalam Pakpahan, 1989). Faktor-faktor tersebut merupakan syarat kecukupan (sufficient condition) untuk mencapai performance pembangunan yang dikehendaki. Artinya, apabila satu atau lebih dari faktor tersebut tidak tersedia atau tidak sesuai dengan persyaratan yang diperlukan, maka tujuan untuk mencapai performance tertentu yang dikehendaki tidak akan dapat dicapai. Pengalaman Belajar adalah hasil interaksi individu dengan sumber-sumber belajar. Dalam perspektif teori belajar, perilaku individu atau seseorang ditentukan oleh apa yang telah dipelajari sebelumnya (Sear, Freedman, dan Peplau, 1992). Pendekatan perilaku dengan teori belajar ini merupakan dasar Behaviorisme. Belajar merupakan perubahan dalam individu (Crow dan Crow; Burton; Haggard dalam Knowles, 1978), sebagai hasil pengalaman yang berkaitan dengan interaksi individu dengan lingkungannya. Perubahan ini menyangkut kebiasaan, penge-tahuan, dan sikap mental. Secara umum ada tiga mekanisme utama belajar pada manusia, yaitu: asosiasi atau classical conditioning, reinforcement, dan imitasi. Asosiasi merupakan kondisi dimana seseorang berperilaku tertentu karena mengasosiasikan dengan pengalaman sebelumnya. Dasar dari reinforcement menyatakan bahwa orang belajar menampilkan perilaku tertentu karena perilaku itu disertai dengan sesuatu yang menyenangkan dan dapat memuaskan kebutuhan (atau mereka belajar menghindari perilaku yang disertai akibat-akibat yang tidak menyenangkan). Sedangkan imitasi menjelaskan bahwa orang mempelajari sikap dan perilaku sosial dengan meniru sikap dan perilaku yang menjadi model. Gagne (1965) mengidentifikasi lima domain proses belajar, masing-masing mempunyai praxis, yaitu: (a) Motor skills (ketrampilan gerak), yang dikem-bangkan
229
melalui praktik; (b) Verbal information (informasi tulis), syarat utama untuk belajar yang penyajiannya di dalam suatu pengelolaan; (c) Intellectual skills (ketrampilan intelektual), belajar yang diperlukan sebagai prasyarat ketrampilan; (d) Cognitive strategies (strategi kognitif), belajar yang memerlukan pengulangan kesempatan dimana keraguan berfikir hadir; (e) Attitudes (sikap), dipelajari secara sangat efektif melalui penggunaan model-model kemanusiaan dan “vicarious reinforcement”. Penyuluhan Pertanian adalah upaya pengembangan kompetensi petani yang dilakukan di bidang pertanian dan merupakan sistem pendidikan luar sekolah (pendidikan nonformal) untuk membantu petani dan keluarganya agar dapat agar mereka mampu dan sanggup memecahkan masalah-masalah yang dihadapi, serta ber-swadaya memperbaiki/meningkatkan kesejahteraannya sendiri dan masyarakat-nya. Sebagai sistem pendidikan, penyuluhan pertanian mempunyai landasan falsafah kerja serta dalam pelaksanaannya didasarkan atas prinsip-prinsip partisipatif dalam penyuluhan agar tujuan pemberdayaan bagi pelaku utama (petani) dan pelaku usaha dapat tercapai. Pertanian adalah sejenis proses produksi yang didasarkan atas proses pertumbuhan tanaman dan hewan. Nasoetion (2008), menyatakan bahwa pertanian dapat dianggap sebagai suatu usaha untuk mengadakan suatu ekosistem buatan yang bertugas menyediakan bahan makanan bagi manusia. Petani adalah pelaku utama yang bekerja dengan mengendalikan, mengambil kegunaan tanaman dan hewan serta sifat tanah supaya lebih berguna. Dalam menjalankan usaha-taninya, tiap petani berperan sebagai jurutani (cultivator) dan pengelola atau manajer (Mosher, 1965). Sebagai juru tani, petani memelihara tanaman atau bercocok tanam dan hewan guna mendapatkan hasil-hasilnya yang berfaedah, pada umumnya memerlukan ketrampilan tangan, otot dan mata. Sebagai pe-ngelola, petani harus mengambil keputusan atau menetapkan pilihan dari alternatif-alternatif yang ada untuk kegiatan usahataninya. Selain itu, petani adalah seorang manusia anggota sebuah keluarga dan anggota masyarakat setempat. Istilah ‘petani’ dari banyak kalangan akademis sosial akan memberikan pe-ngertian dan definisi yang beragam. Sosok petani ternyata mempunyai banyak dimensi sehingga berbagai kalangan memberi pandangan sesuai dengan ciri-ciri yang dominan. Moore mencatat tiga karakteristik petani, yaitu: subordinasi legal, kekhususan kultural, dan pemilikan de facto atas tanah. Wolf memberikan istilah peasants untuk petani yang dicirikan: penduduk yang secara eksistensial terlibat dalam cocok tanam dan membuat keputusan otonom tentang proses cocok tanam (Lansberger dan Alexandrov, 1981). Shanin menunjuk pada ciri-ciri masyarakat petani (peasant) sebagai berikut: (a) satuan keluarga (rumah tangga) petani adalah satuan dasar dalam masyarakat desa yang berdimensi ganda; (b) petani hidup dari usahatani, dengan mengolah tanah (lahan); (c) pola kebudayaan petani berciri tradisional dan khas; (d) petani menduduki posisi rendah dalam masyarakat, mereka adalah “orang kecil” terhadap masyarakat di atas-desa (Sayogyo, 1993). Usahatani (the farm) merupakan lahan dimana seorang petani, sebuah keluarga tani atau badan usaha lain, melakukan usaha bercocok tanam atau memelihara ternak (Mosher, 1966). Reinjntjes, C; B. Haverkort; dan A.Waters-Bayer (1999) menyebut usahatani sebagai suatu sistem. Usahatani merupakan suatu jalinan yang kompleks yang terdiri dari tanah, tumbuhan, hewan, peralatan, tenaga kerja, dan input lain, dan pengaruh-pengaruh lingkungan yang dikelola oleh seseorang yang disebut petani sesuai dengan kemampuan dan aspirasinya. Petani tersebut mengupayakan output dari input dan teknologi yang ada.
230
Lampiran 2. Hasil-hasil Uji Statistik Analisis Regresi Faktor-faktor yang Berpengaruh Thd Kapasitas Kelembagaan dengan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani (Y4) Model Summary Model 1
Adjusted R Square .933
R R Square .967a .935
Std. Error of the Estimate 5.10340
a. Predictors: (Constant), Tingkat Partisipasi Petani, Pendidikan Non-formal, Pengalaman UT, Pendapatan, Intensitas Peran Pihak Luar, Tingkat Kepemimpinan Lokal, Pendidikan Formal, Tingkat Partisipasi Sosial, Tingkat Kebutuhan Petani, Tingkat Dukungan Penyuluhan, Pengalaman Belajar, Tingkat Kapasitas Petani, Tingkat Kedinamisan Kelompok
ANOVA b Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 146082.4 10183.464 156265.8
df 13 391 404
Mean Square 11237.105 26.045
F 431.455
Sig. .000a
a. Predictors: (Constant), Tingkat Partisipasi Petani, Pendidikan Non-formal, Pengalaman UT, Pendapatan, Intensitas Peran Pihak Luar, Tingkat Kepemimpinan Lokal, Pendidikan Formal, Tingkat Partisipasi Sosial, Tingkat Kebutuhan Petani, Tingkat Dukungan Penyuluhan, Pengalaman Belajar, Tingkat Kapasitas Petani, Tingkat Kedinamisan Kelompok b. Dependent Variable: Kapasitas Kelembagaan
Coefficientsa
Model 1
(Constant) Pendidikan Formal Pendidikan Non-formal Pengalaman UT Pendapatan Tingkat Partisipasi Sosial Tingkat Kebutuhan Petani Pengalaman Belajar Tingkat Kepemimpinan Lokal Intensitas Peran Pihak Luar Tingkat Dukungan Penyuluhan Tingkat Kedinamisan Kelompok Tingkat Kapasitas Petani Tingkat Partisipasi Petani
Unstandardized Coefficients B Std. Error -.727 1.625 -.038 .018 -.002 .011 .000 .014 .022 .024 .004 .016 .064 .019 .010 .020
Standardized Coefficients Beta -.032 -.003 .000 .013 .004 .053 .009
t -.447 -2.101 -.200 .027 .929 .273 3.483 .488
Sig. .655 .036 .841 .979 .354 .785 .001 .626
-.001
.017
-.001
-.051
.959
.038
.015
.038
2.560
.011
.052
.017
.052
3.099
.002
.790
.020
.833
40.359
.000
.046 .070
.027 .023
.033 .066
1.684 3.015
.093 .003
a. Dependent Variable: Kapasitas Kelembagaan
231
Analisis Regresi Faktor-faktor yang Berpengaruh Thd Partisipasi Petani dengan Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Kelompok Petani (Y3) Model Summary Model 1
R .805a
R Square .647
Adjusted R Square .636
Std. Error of the Estimate 11.14798
a. Predictors: (Constant), Tingkat Kapasitas Petani, Pengalaman UT, Intensitas Peran Pihak Luar, Pendapatan, Pendidikan Non-formal, Tingkat Partisipasi Sosial, Tingkat Kebutuhan Petani, Pendidikan Formal, Tingkat Kepemimpinan Lokal, Tingkat Dukungan Penyuluhan, Tingkat Kedinamisan Kelompok, Pengalaman Belajar
ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 89383.547 48716.799 138100.3
df 12 392 404
Mean Square 7448.629 124.278
F 59.935
Sig. .000a
a. Predictors: (Constant), Tingkat Kapasitas Petani, Pengalaman UT, Intensitas Peran Pihak Luar, Pendapatan, Pendidikan Non-formal, Tingkat Partisipasi Sosial, Tingkat Kebutuhan Petani, Pendidikan Formal, Tingkat Kepemimpinan Lokal, Tingkat Dukungan Penyuluhan, Tingkat Kedinamisan Kelompok, Pengalaman Belajar b. Dependent Variable: Tingkat Partisipasi Petani
Coefficients a
Model 1
(Constant) Pendidikan Formal Pendidikan Non-formal Pengalaman UT Pendapatan Tingkat Partisipasi Sosial Tingkat Kebutuhan Petani Pengalaman Belajar Tingkat Kepemimpinan Lokal Intensitas Peran Pihak Luar Tingkat Dukungan Penyuluhan Tingkat Kedinamisan Kelompok Tingkat Kapasitas Petani
Unstandardized Coefficients B Std. Error 6.661 3.533 .070 .039 -.004 .025 .005 .031 .089 .052 .081 .034 .139 .040 .025 .043
Standardized Coefficients Beta .062 -.006 .005 .055 .080 .122 .025
t 1.885 1.778 -.165 .166 1.703 2.402 3.492 .583
Sig. .060 .076 .869 .868 .089 .017 .001 .560
-.002
.038
-.002
-.061
.952
-.051
.032
-.054
-1.594
.112
.156
.036
.165
4.366
.000
.491
.035
.551
14.088
.000
.122
.059
.094
2.070
.039
a. Dependent Variable: Tingkat Partisipasi Petani
232
Analisis Regresi Faktor-faktor yang Berpengaruh Thd Kapasitas Petani dengan Kapasitas Petani (Y2) Model Summary Model 1
R ,753a
R Square ,567
Adjusted R Square ,555
Std. Error of the Estimate 9,53293
a. Predictors: (Constant), Tingkat Kedinamisan Kelompok, Pendidikan Non-formal, Pendapatan, Pengalaman UT, Tingkat Kepemimpinan Lokal, Pendidikan Formal, Intensitas Peran Pihak Luar, Tingkat Partisipasi Sosial, Tingkat Kebutuhan Petani, Tingkat Dukungan Penyuluhan, Pengalaman Belajar ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 46824,629 35714,571 82539,200
df 11 393 404
Mean Square 4256,784 90,877
F 46,841
Sig. ,000a
a. Predictors: (Constant), Tingkat Kedinamisan Kelompok, Pendidikan Non-formal, Pendapatan, Pengalaman UT, Tingkat Kepemimpinan Lokal, Pendidikan Formal, Intensitas Peran Pihak Luar, Tingkat Partisipasi Sosial, Tingkat Kebutuhan Petani, Tingkat Dukungan Penyuluhan, Pengalaman Belajar b. Dependent Variable: Kapasitas Petani Coefficientsa
Model 1
(Constant) Pendidikan Formal Pendidikan Non-formal Pengalaman UT Pendapatan Tingkat Partisipasi Sosial Tingkat Kebutuhan Petani Pengalaman Belajar Tingkat Kepemimpinan Lokal Intensitas Peran Pihak Luar Tingkat Dukungan Penyuluhan Tingkat Kedinamisan Kelompok
Unstandardized Coefficients B Std. Error -2,392 3,019 ,106 ,033 ,046 ,021 ,081 ,026 ,132 ,044 -,011 ,029 ,015 ,034 ,271 ,034
Standardized Coefficients Beta ,122 ,080 ,111 ,105 -,014 ,017 ,347
t -,793 3,212 2,152 3,073 2,994 -,386 ,427 8,010
Sig. ,429 ,001 ,032 ,002 ,003 ,700 ,670 ,000
,219
,030
,263
7,194
,000
,024
,028
,033
,878
,381
,050
,030
,069
1,648
,100
,127
,029
,184
4,362
,000
a. Dependent Variable: Kapasitas Petani
233
Analisis Regresi Faktor-faktor yang Berpengaruh Thd Kedinamisan Kelompok dengan Tingkat Kedinamisan Kelompok (Y1) Model Summary Model 1
R ,619a
R Square ,383
Adjusted R Square ,367
Std. Error of the Estimate 16,49937
a. Predictors: (Constant), Tingkat Dukungan Penyuluhan, Pengalaman UT, Pendapatan, Pendidikan Non-formal, Tingkat Kepemimpinan Lokal, Pendidikan Formal, Intensitas Peran Pihak Luar, Tingkat Partisipasi Sosial, Tingkat Kebutuhan Petani, Pengalaman Belajar
ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 66464,547 107258.4 173722.9
df 10 394 404
Mean Square 6646,455 272,229
F 24,415
Sig. ,000a
a. Predictors: (Constant), Tingkat Dukungan Penyuluhan, Pengalaman UT, Pendapatan, Pendidikan Non-formal, Tingkat Kepemimpinan Lokal, Pendidikan Formal, Intensitas Peran Pihak Luar, Tingkat Partisipasi Sosial, Tingkat Kebutuhan Petani, Pengalaman Belajar b. Dependent Variable: Tingkat Kedinamisan Kelompok
Coefficientsa
Model 1
(Constant) Pendidikan Formal Pendidikan Non-formal Pengalaman UT Pendapatan Tingkat Partisipasi Sosial Tingkat Kebutuhan Petani Pengalaman Belajar Tingkat Kepemimpinan Lokal Intensitas Peran Pihak Luar Tingkat Dukungan Penyuluhan
Unstandardized Coefficients B Std. Error 6,967 5,213 -,060 ,057 -,026 ,037 ,053 ,045 ,104 ,076 ,004 ,050 ,320 ,057 -,034 ,058
Standardized Coefficients Beta -,047 -,031 ,050 ,058 ,003 ,251 -,030
t 1,336 -1,047 -,703 1,162 1,373 ,077 5,654 -,575
Sig. ,182 ,296 ,482 ,246 ,171 ,939 ,000 ,566
,224
,051
,186
4,354
,000
,113
,047
,106
2,390
,017
,371
,049
,350
7,544
,000
a. Dependent Variable: Tingkat Kedinamisan Kelompok
234
Analisis Regresi Faktor-faktor Pembentuk Kapasitas Petani dengan Kapasitas Petani (Y2) b
Model Summary Model 1
R a
1.000
R Square 1.000
Adjusted R Square 1.000
Std. Error of the Estimate .00180
a. Predictors: (Constant), Kualitas sbg Pribadi, Kualitas sbg Pengelola UT, Kualitas sbg Anggota Masy. b. Dependent Variable: Kapasitas Petani ANOVA Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 82539.199 .001 82539.200
b
df
Mean Square 27513.066 .000
3 401 404
F 8E+009
Sig. .000a
a. Predictors: (Constant), Kualitas sbg Pribadi, Kualitas sbg Pengelola UT, Kualitas sbg Anggota Masy. b. Dependent Variable: Kapasitas Petani a
Coefficients
Model 1
Unstandardized Coefficients B Std. Error -2.000 .000
(Constant) Kualitas sbg Pengelola UT Kualitas sbg Anggota Masy. Kualitas sbg Pribadi
Standardized Coefficients Beta
t -4896.605
Sig. .000
.480
.000
.587
86931.394
.000
.340
.000
.496
73442.970
.000
.240
.000
.278
42550.846
.000
a. Dependent Variable: Kapasitas Petani
Analisis Regresi Faktor-faktor Pembentuk Kapasitas Petani dengan Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Kelompok Petani (Y3) Model Summary Model 1
R .489a
R Square .239
b
Adjusted R Square .234
Std. Error of the Estimate 16.18555
a. Predictors: (Constant), Kualitas sbg Pengelola UT, Kualitas sbg Pribadi, Kualitas sbg Anggota Masy. b. Dependent Variable: Tingkat Partisipasi ANOVA Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 33049.587 105050.8 138100.3
df 3 401 404
b
Mean Square 11016.529 261.972
F 42.052
Sig. .000a
a. Predictors: (Constant), Kualitas sbg Pengelola UT, Kualitas sbg Pribadi, Kualitas sbg Anggota Masy. b. Dependent Variable: Tingkat Partisipasi Coefficients
Model 1
(Constant) Kualitas sbg Pribadi Kualitas sbg Anggota Masy. Kualitas sbg Pengelola UT
a. Dependent Variable: Tingkat Partisipasi
a
Unstandardized Coefficients B Std. Error 34.495 3.664 .230 .051
Standardized Coefficients Beta
t
Sig.
.207
9.415 4.554
.000 .000
.246
.042
.278
5.928
.000
.207
.050
.196
4.182
.000
235
Analisis Regresi Faktor-faktor Pembentuk Partisipasi Petani dengan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani (Y4)
Model Summary Model 1
R .770a
R Square .593
Adjusted R Square .591
Std. Error of the Estimate 12.58410
a. Predictors: (Constant), Kualitas Partisipasi, Intensitas Partisipasi ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 92605.326 63660.507 156265.8
df 2 402 404
Mean Square 46302.663 158.359
F 292.390
Sig. .000a
a. Predictors: (Constant), Kualitas Partisipasi, Intensitas Partisipasi b. Dependent Variable: Keefektivan Kelembagaan
Coefficientsa
Model 1
(Constant) Intensitas Partisipasi Kualitas Partisipasi
Unstandardized Coefficients B Std. Error 11.610 2.584 .440 .057 1.009 .075
Standardized Coefficients Beta .308 .543
t 4.493 7.666 13.513
Sig. .000 .000 .000
a. Dependent Variable: Keefektivan Kelembagaan
Excluded Variablesb
Model 1
Tingkat Partisipasi
Beta In -158.277a
t -1.278
Sig. .202
Partial Correlation -.064
a. Predictors in the Model: (Constant), Intensitas Partisipasi, Kualitas Partisipasi b. Dependent Variable: Efektivitas Kelembagaan
Collinearity Statistics Tolerance 6.59E-008
236
Analisis Regresi Faktor-faktor Pembentuk Partisipasi Petani dengan Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Kelompok Petani (Y3) b
Model Summary Model 1
R 1.000a
R Square 1.000
Adjusted R Square 1.000
Std. Error of the Estimate .00476
a. Predictors: (Constant), Kualitas Partisipasi, Intensitas Partisipasi b. Dependent Variable: Tingkat Partisipasi ANOVA Model 1
Sum of Squares 138100.3 .009 138100.3
Regression Residual Total
b
df
Mean Square 69050.168 .000
2 402 404
F 3E+009
Sig. .000a
a. Predictors: (Constant), Kualitas Partisipasi, Intensitas Partisipasi b. Dependent Variable: Tingkat Partisipasi
Coefficients
Model 1
a
Unstandardized Coefficients B Std. Error -.001 .001 .696 .000 1.043 .000
(Constant) Intensitas Partisipasi Kualitas Partisipasi
Standardized Coefficients Beta .517 .597
t
Sig.
-.722 32025.732 36942.781
.471 .000 .000
a. Dependent Variable: Tingkat Partisipasi
Analisis Regresi Faktor-faktor Pembentuk Kapasitas Petani dengan Tingkat Kapasitas Petani (Y2) Model Summary Model 1
R 1.000a
R Square 1.000
b
Adjusted R Square 1.000
Std. Error of the Estimate .00180
a. Predictors: (Constant), Kualitas sbg Pribadi, Kualitas sbg Pengelola UT, Kualitas sbg Anggota Masy. b. Dependent Variable: Kapasitas Petani ANOVA Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 82539.199 .001 82539.200
df 3 401 404
b
Mean Square 27513.066 .000
F 8E+009
Sig. .000a
a. Predictors: (Constant), Kualitas sbg Pribadi, Kualitas sbg Pengelola UT, Kualitas sbg Anggota Masy. b. Dependent Variable: Kapasitas Petani
Coefficients
Model 1
(Constant) Kualitas sbg Pengelola UT Kualitas sbg Anggota Masy. Kualitas sbg Pribadi
a. Dependent Variable: Kapasitas Petani
Unstandardized Coefficients B Std. Error -2.000 .000
a
Standardized Coefficients Beta
t -4896.605
Sig. .000
.480
.000
.587
86931.394
.000
.340
.000
.496
73442.970
.000
.240
.000
.278
42550.846
.000
237
Analisis Regresi Faktor-faktor Pembentuk Kapasitas Petani dengan Tingkat Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani (Y4) Model Summary Model 1
R .461a
R Square .213
Adjusted R Square .207
Std. Error of the Estimate 17.51720
a. Predictors: (Constant), Kapasitas sbg Pribadi, Kapasitas sbg Pengelola UT, Kapasitas sbg Anggota Masy.
ANOVA b Model 1
Sum of Squares 33218.075 123047.8 156265.8
Regression Residual Total
df 3 401 404
Mean Square 11072.692 306.852
F 36.085
Sig. .000a
a. Predictors: (Constant), Kapasitas sbg Pribadi, Kapasitas sbg Pengelola UT, Kapasitas sbg Anggota Masy. b. Dependent Variable: Kapasitas Kelembagaan Coefficients
Model 1
a
Unstandardized Coefficients B Std. Error 30.758 3.965
(Constant) Kapasitas sbg Pengelola UT Kapasitas sbg Anggota Masy. Kapasitas sbg Pribadi
Standardized Coefficients Beta
t
Sig. 7.757
.000
.251
.054
.223
4.685
.000
.205
.045
.217
4.562
.000
.243
.055
.205
4.430
.000
a. Dependent Variable: Kapasitas Kelembagaan
Model Summary Model 1
R .454a
R Square .206
Adjusted R Square .204
Std. Error of the Estimate 17.54508
a. Predictors: (Constant), Tingkat Kapasitas Petani ANOVA b Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 32210.344 124055.5 156265.8
df 1 403 404
Mean Square 32210.344 307.830
F 104.637
Sig. .000a
a. Predictors: (Constant), Tingkat Kapasitas Petani b. Dependent Variable: Kapasitas Kelembagaan Coefficients
Model 1
(Constant) Tingkat Kapasitas Petani
a
Unstandardized Coefficients B Std. Error 35.800 3.243 .625 .061
a. Dependent Variable: Kapasitas Kelembagaan
Standardized Coefficients Beta .454
t 11.038 10.229
Sig. .000 .000
238
Analisis Regresi Dukungan Penyuluhan dengan Tingkat Kapasitas Petani (Y2) Model Summaryb Model 1
R R Square .410a .168
Adjusted R Square .161
Std. Error of the Estimate 13.08864
a. Predictors: (Constant), Kompetensi Penyuluh, Kelembagaan Penyuluhan, Pendekatan Penyuluhan b. Dependent Variable: Kapasitas Petani ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 13842.906 68696.294 82539.200
df
Mean Square 4614.302 171.312
3 401 404
F 26.935
Sig. .000a
a. Predictors: (Constant), Kompetensi Penyuluh, Kelembagaan Penyuluhan, Pendekatan Penyuluhan b. Dependent Variable: Kapasitas Petani Coefficientsa
Model 1
(Constant) Kelembagaan Penyuluhan Pendekatan Penyuluhan Kompetensi Penyuluh
Unstandardized Coefficients B Std. Error 24.233 3.387
Standardized Coefficients Beta
t 7.154
Sig. .000
.341
.067
.269
5.056
.000
.125 .269
.075 .099
.092 .144
1.661 2.722
.098 .007
a. Dependent Variable: Kapasitas Petani
Excluded Variablesb
Model 1
Kualitas Penyuluhan
Beta In 56.332a
t .296
Sig. .767
Partial Correlation .015
Collinearity Statistics Tolerance 5.75E-008
a. Predictors in the Model: (Constant), Kompetensi Penyuluh, Kelembagaan Penyuluhan, Pendekatan Penyuluhan b. Dependent Variable: Kapasitas Petani
239
Analisis Regresi Dukungan Penyuluhan dengan Tingkat Kedinamisan Kelompok (Y1) Model Summary Model 1
R .520a
Adjusted R Square .265
R Square .270
Std. Error of the Estimate 17.77995
a. Predictors: (Constant), Kelembagaan Penyuluhan, Kompetensi Penyuluh, Pendekatan Penyuluhan ANOVA b Model 1
Sum of Squares 46956.144 126766.8 173722.9
Regression Residual Total
df
Mean Square 15652.048 316.127
3 401 404
F 49.512
Sig. .000a
a. Predictors: (Constant), Kelembagaan Penyuluhan, Kompetensi Penyuluh, Pendekatan Penyuluhan b. Dependent Variable: Tingkat Kedinamisan Kelompok
Coefficients a
Model 1
Unstandardized Coefficients B Std. Error 19.024 4.601 .586 .134 .561 .102
(Constant) Kompetensi Penyuluh Pendekatan Penyuluhan Kelembagaan Penyuluhan
.267
Standardized Coefficients Beta
.092
.216 .284
t 4.135 4.369 5.483
Sig. .000 .000 .000
.145
2.909
.004
a. Dependent Variable: Tingkat Kedinamisan Kelompok
Model Summary Model 1
R .509a
Adjusted R Square .257
R Square .259
Std. Error of the Estimate 17.87683
a. Predictors: (Constant), Tingkat Dukungan Penyuluhan ANOVA b Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 44931.777 128791.1 173722.9
df 1 403 404
Mean Square 44931.777 319.581
F 140.596
Sig. .000a
a. Predictors: (Constant), Tingkat Dukungan Penyuluhan b. Dependent Variable: Tingkat Kedinamisan Kelompok
Coefficients
Model 1
(Constant) Tingkat Dukungan Penyuluhan
Unstandardized Coefficients B Std. Error 32.379 3.147 .538
a. Dependent Variable: Tingkat Kedinamisan Kelompok
.045
a
Standardized Coefficients Beta .509
t 10.290
Sig. .000
11.857
.000
240
Analisis Regresi Dukungan Penyuluhan dengan Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Kelompok Petani (Y3) Model Summary Model 1
R .568a
Adjusted R Square .317
R Square .322
Std. Error of the Estimate 15.27572
a. Predictors: (Constant), Kelembagaan Penyuluhan, Kompetensi Penyuluh, Pendekatan Penyuluhan ANOVA b Model 1
Sum of Squares 44527.968 93572.378 138100.3
Regression Residual Total
df
Mean Square 14842.656 233.348
3 401 404
F 63.608
Sig. .000a
a. Predictors: (Constant), Kelembagaan Penyuluhan, Kompetensi Penyuluh, Pendekatan Penyuluhan b. Dependent Variable: Tingkat Partisipasi Petani
Coefficients
Model 1
a
Unstandardized Coefficients B Std. Error 22.432 3.953 .583 .115 .498 .088
(Constant) Kompetensi Penyuluh Pendekatan Penyuluhan Kelembagaan Penyuluhan
.304
Standardized Coefficients Beta
.079
.242 .283
t 5.674 5.065 5.668
Sig. .000 .000 .000
.185
3.861
.000
a. Dependent Variable: Tingkat Partisipasi Petani
Model Summary Model 1
R .558a
Adjusted R Square .310
R Square .311
Std. Error of the Estimate 15.36166
a. Predictors: (Constant), Tingkat Dukungan Penyuluhan ANOVA Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 43000.190 95100.156 138100.3
b
df
Mean Square 43000.190 235.981
1 403 404
F 182.219
Sig. .000a
a. Predictors: (Constant), Tingkat Dukungan Penyuluhan b. Dependent Variable: Tingkat Partisipasi Petani
Coefficients a
Model 1
(Constant) Tingkat Dukungan Penyuluhan
Unstandardized Coefficients B Std. Error 35.996 2.704 .527
a. Dependent Variable: Tingkat Partisipasi Petani
.039
Standardized Coefficients Beta .558
t 13.312
Sig. .000
13.499
.000
241
Analisis Regresi Faktor-faktor Pembentuk Dukungan Penyuluhan dengan Dukungan Penyuluhan (X6)
Model Summary Model 1
R 1.000a
R Square 1.000
Adjusted R Square 1.000
Std. Error of the Estimate .00471
a. Predictors: (Constant), Kelembagaan Penyuluhan, Kompetensi Penyuluh, Pendekatan Penyuluhan
ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 154986.0 .009 154986.1
df 3 401 404
Mean Square 51662.016 .000
F 2E+009
Sig. .000a
a. Predictors: (Constant), Kelembagaan Penyuluhan, Kompetensi Penyuluh, Pendekatan Penyuluhan b. Dependent Variable: Tingkat Dukungan Penyuluhan
Coefficientsa
Model 1
(Constant) Kompetensi Penyuluh Pendekatan Penyuluhan Kelembagaan Penyuluhan
Unstandardized Coefficients B Std. Error -18.421 .001 .632 .000 .947 .000 .842
.000
a. Dependent Variable: Tingkat Dukungan Penyuluhan
Standardized Coefficients Beta
t -15102.4 .247 17771.846 .508 34938.608
Sig. .000 .000 .000
.484 34649.839
.000
242
Analisis Korelasi Antar Variabel Utama (X1 – X6, Y1 – Y4) Correlations
Tingkat Kedinamisan Kelompok
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Tingkat Kapasitas Petani Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Tingkat Partisipasi Petani Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Kapasitas Kelembagaan Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Karakteristik Sosek Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Tingkat Kebutuhan Petani Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pengalaman Belajar Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Tingkat Kepemimpinan Pearson Correlation Lokal Sig. (2-tailed) N Intensitas Peran Pihak Pearson Correlation Luar Sig. (2-tailed) N Tingkat Dukungan Pearson Correlation Penyuluhan Sig. (2-tailed) N
Tingkat Kedinamisan Kelompok 1
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Tingkat Kapasitas Petani .417** .000 405 405 .417** 1 .000 405 405 .745** .478** .000 .000 405 405 .959** .454** .000 .000 405 405 .181** .513** .000 .000 405 405 .438** .264** .000 .000 405 405 .185** .605** .000 .000 405 405 .295** .465** .000 .000 405 405 .304** .254** .000 .000 405 405 .509** .397** .000 .000 405 405
Tingkat Tingkat Tingkat Intensitas Tingkat Kapasitas Karakteristik Pengalaman Partisipasi Kebutuhan Kepemimpi Peran Dukungan Kelembagaan Sosek Belajar Petani Petani nan Lokal Pihak Luar Penyuluhan .745** .959** .181** .438** .185** .295** .304** .509** .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 405 405 405 405 405 405 405 405 .478** .454** .513** .264** .605** .465** .254** .397** .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 405 405 405 405 405 405 405 405 1 .766** .333** .466** .293** .284** .271** .558** .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 405 405 405 405 405 405 405 405 .766** 1 .208** .488** .225** .299** .352** .555** .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 405 405 405 405 405 405 405 405 .333** .208** 1 .207** .567** .144** .202** .307** .000 .000 .000 .000 .004 .000 .000 405 405 405 405 405 405 405 405 .466** .488** .207** 1 .176** .122* .310** .358** .000 .000 .000 .000 .014 .000 .000 405 405 405 405 405 405 405 405 .293** .225** .567** .176** 1 .267** .260** .295** .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 405 405 405 405 405 405 405 405 .284** .299** .144** .122* .267** 1 .005 .220** .000 .000 .004 .014 .000 .921 .000 405 405 405 405 405 405 405 405 .271** .352** .202** .310** .260** .005 1 .350** .000 .000 .000 .000 .000 .921 .000 405 405 405 405 405 405 405 405 .558** .555** .307** .358** .295** .220** .350** 1 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 405 405 405 405 405 405 405 405
243
Analisis Korelasi Variabel Utama Y (Y1 – Y4) dengan Sub Variabel Karakteristik Sosial Ekonomi (X1) Correlations Tingkat Tingkat Tingkat Kedinamisan Kapasitas Partisipasi Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani Petani Tingkat Kedinamisan Pearson Correlation 1 .417** .745** .959** Kelompok Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 N 405 405 405 405 Tingkat Kapasitas Petani Pearson Correlation .417** 1 .478** .454** Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 N 405 405 405 405 Tingkat Partisipasi Petani Pearson Correlation .745** .478** 1 .766** Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 N 405 405 405 405 Kapasitas Kelembagaan Pearson Correlation .959** .454** .766** 1 Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 N 405 405 405 405 Umur Pearson Correlation .025 .010 .019 .049 Sig. (2-tailed) .617 .840 .700 .330 N 405 405 405 405 Pendidikan Formal Pearson Correlation .074 .350** .210** .083 Sig. (2-tailed) .137 .000 .000 .095 N 405 405 405 405 Pendidikan Non-formal Pearson Correlation .009 .292** .085 .026 Sig. (2-tailed) .853 .000 .087 .598 N 405 405 405 405 Pengalaman UT Pearson Correlation .131** .253** .146** .147** Sig. (2-tailed) .008 .000 .003 .003 N 405 405 405 405 Pendapatan Pearson Correlation .170** .262** .235** .194** Sig. (2-tailed) .001 .000 .000 .000 N 405 405 405 405 Tingkat Partisipasi Sosial Pearson Correlation .197** .257** .309** .230** Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 N 405 405 405 405 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Tingkat Pendidikan Pendidikan Pengalaman Partisipasi Umur Formal Non-formal UT Pendapatan Sosial .025 .074 .009 .131** .170** .197** .617 .137 .853 .008 .001 .000 405 405 405 405 405 405 .010 .350** .292** .253** .262** .257** .840 .000 .000 .000 .000 .000 405 405 405 405 405 405 .019 .210** .085 .146** .235** .309** .700 .000 .087 .003 .000 .000 405 405 405 405 405 405 .049 .083 .026 .147** .194** .230** .330 .095 .598 .003 .000 .000 405 405 405 405 405 405 1 -.225** .041 .405** .015 .082 .000 .405 .000 .763 .099 405 405 405 405 405 405 -.225** 1 .243** -.066 .191** .196** .000 .000 .182 .000 .000 405 405 405 405 405 405 .041 .243** 1 .176** .027 .171** .405 .000 .000 .590 .001 405 405 405 405 405 405 .405** -.066 .176** 1 -.059 .205** .000 .182 .000 .233 .000 405 405 405 405 405 405 .015 .191** .027 -.059 1 .208** .763 .000 .590 .233 .000 405 405 405 405 405 405 .082 .196** .171** .205** .208** 1 .099 .000 .001 .000 .000 405 405 405 405 405 405
244
Analisis Korelasi Variabel Utama Y (Y1 – Y4) dengan Sub Variabel Tingkat Kebutuhan Petani (X2) Correlations
Tingkat Kedinamisan Kelompok Tingkat Kapasitas Petani
Tingkat Partisipasi Petani
Keefektifan Kelembagaan
Kebutuhan UT
Kebutuhan Sosial
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Tingkat Kedinamisan Kelompok 1
Tingkat Kapasitas Petani .417** .000 405 405 .417** 1 .000 405 405 .745** .478** .000 .000 405 405 .959** .454** .000 .000 405 405 .373** .260** .000 .000 405 405 .344** .161** .000 .001 405 405
Tingkat Partisipasi Keefektifan Petani Kelembagaan .745** .959** .000 .000 405 405 .478** .454** .000 .000 405 405 1 .766** .000 405 405 .766** 1 .000 405 405 .388** .415** .000 .000 405 405 .380** .386** .000 .000 405 405
Kebutuhan UT .373** .000 405 .260** .000 405 .388** .000 405 .415** .000 405 1 405 .345** .000 405
Kebutuhan Sosial .344** .000 405 .161** .001 405 .380** .000 405 .386** .000 405 .345** .000 405 1 405
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Analisis Korelasi Variabel Utama Y (Y1 – Y4) dengan Sub Variabel Pengalaman Belajar (X3) Correlations Tingkat Tingkat Tingkat Kedinamisan Kapasitas Partisipasi Keefektifan Interaksi dg Interaksi dg Interaksi dg Kelompok Petani Petani KelembagaanAkses Media Penyuluh Petani Lain Pedagang Tingkat Kedinamisan Pearson Correlation 1 .417** .745** .959** .213** .154** .029 .106* Kelompok Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .002 .567 .032 N 405 405 405 405 405 405 405 405 Tingkat Kapasitas Petani Pearson Correlation .417** 1 .478** .454** .433** .314** .381** .503** Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 N 405 405 405 405 405 405 405 405 Tingkat Partisipasi Petani Pearson Correlation .745** .478** 1 .766** .324** .222** .072 .178** Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .150 .000 N 405 405 405 405 405 405 405 405 Keefektifan Kelembagaan Pearson Correlation .959** .454** .766** 1 .252** .175** .056 .130** Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .260 .009 N 405 405 405 405 405 405 405 405 Akses Media Pearson Correlation .213** .433** .324** .252** 1 .153** .204** .213** Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .002 .000 .000 N 405 405 405 405 405 405 405 405 Interaksi dg Penyuluh Pearson Correlation .154** .314** .222** .175** .153** 1 .351** .280** Sig. (2-tailed) .002 .000 .000 .000 .002 .000 .000 N 405 405 405 405 405 405 405 405 Interaksi dg Petani LainPearson Correlation .029 .381** .072 .056 .204** .351** 1 .401** Sig. (2-tailed) .567 .000 .150 .260 .000 .000 .000 N 405 405 405 405 405 405 405 405 Interaksi dg Pedagang Pearson Correlation .106* .503** .178** .130** .213** .280** .401** 1 Sig. (2-tailed) .032 .000 .000 .009 .000 .000 .000 N 405 405 405 405 405 405 405 405 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
245
Analisis Korelasi Variabel Utama Y (Y1 – Y4) dengan Sub Variabel Tingkat Kepemimpinan Lokal (X4) Correlations Tingkat Tingkat Tingkat Kedinamisan Kapasitas Partisipasi Keefektifan Pengaruh Pengaruh Kelompok Petani Petani Kelembagaan Fungsional Situasional Tingkat Kedinamisan Pearson Correlation 1 .417** .745** .959** .191** .362** Kelompok Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 N 405 405 405 405 405 405 Tingkat Kapasitas Petani Pearson Correlation .417** 1 .478** .454** .325** .519** Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 N 405 405 405 405 405 405 Tingkat Partisipasi Petani Pearson Correlation .745** .478** 1 .766** .166** .390** Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .001 .000 N 405 405 405 405 405 405 Keefektifan Kelembagaan Pearson Correlation .959** .454** .766** 1 .192** .370** Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 N 405 405 405 405 405 405 Pengaruh Fungsional Pearson Correlation .191** .325** .166** .192** 1 .244** Sig. (2-tailed) .000 .000 .001 .000 .000 N 405 405 405 405 405 405 Pengaruh Situasional Pearson Correlation .362** .519** .390** .370** .244** 1 Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 N 405 405 405 405 405 405 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Analisis Korelasi Variabel Utama Y (Y1 – Y4) dengan Sub Variabel Intensitas Peran Pihak Luar (X5) Correlations Tingkat Tingkat Tingkat Peran Kedinamisan Kapasitas Partisipasi Lembaga Keefektifan Peran Kelompok Petani Petani Kelembagaan Pemerintah Peran LSM Komersial Tingkat Kedinamisan Pearson Correlation 1 .417** .745** .959** .409** .218** -.043 Kelompok Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .392 N 405 405 405 405 405 405 405 Tingkat Kapasitas Petani Pearson Correlation .417** 1 .478** .454** .238** .154** .076 Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .002 .125 N 405 405 405 405 405 405 405 Tingkat Partisipasi Petani Pearson Correlation .745** .478** 1 .766** .370** .206** -.053 Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .283 N 405 405 405 405 405 405 405 Keefektifan Kelembagaan Pearson Correlation .959** .454** .766** 1 .424** .244** .000 Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 1.000 N 405 405 405 405 405 405 405 Peran Pemerintah Pearson Correlation .409** .238** .370** .424** 1 .102* -.102* Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .040 .039 N 405 405 405 405 405 405 405 Peran LSM Pearson Correlation .218** .154** .206** .244** .102* 1 .122* Sig. (2-tailed) .000 .002 .000 .000 .040 .014 N 405 405 405 405 405 405 405 Peran Lembaga Pearson Correlation -.043 .076 -.053 .000 -.102* .122* 1 Komersial Sig. (2-tailed) .392 .125 .283 1.000 .039 .014 N 405 405 405 405 405 405 405 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
246
Analisis Korelasi Variabel Utama Y (Y1 – Y4) dengan Sub Variabel Tingkat Dukungan Penyuluhan (X6) Correlations Tingkat Tingkat Tingkat Kedinamisan Kapasitas Partisipasi Keefektifan Kompetensi Pendekatan Kelembagaan Kelompok Petani Petani Kelembagaan Penyuluh Penyuluhan Penyuluhan Tingkat Kedinamisan Pearson Correlation 1 .417** .745** .959** .407** .455** .365** Kelompok Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .000 N 405 405 405 405 405 405 405 Tingkat Kapasitas PetaniPearson Correlation .417** 1 .478** .454** .293** .288** .369** Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .000 N 405 405 405 405 405 405 405 Tingkat Partisipasi Petani Pearson Correlation .745** .478** 1 .766** .448** .485** .415** Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .000 N 405 405 405 405 405 405 405 Keefektifan Kelembagaan Pearson Correlation .959** .454** .766** 1 .432** .503** .399** Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .000 N 405 405 405 405 405 405 405 Kompetensi Penyuluh Pearson Correlation .407** .293** .448** .432** 1 .471** .393** Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .000 N 405 405 405 405 405 405 405 Pendekatan PenyuluhanPearson Correlation .455** .288** .485** .503** .471** 1 .477** Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .000 N 405 405 405 405 405 405 405 Kelembagaan Pearson Correlation .365** .369** .415** .399** .393** .477** 1 Penyuluhan Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .000 N 405 405 405 405 405 405 405 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Analisis Korelasi Variabel Utama Y3 & Y4 dengan Sub Variabel Kapasitas Petani (Y2) Correlations Tingkat Kualitas sbg Partisipasi Keefektivan Kualitas sbg Anggota Kualitas sbg Petani Kelembagaan Pengelola UT Masy. Pribadi Tingkat Partisipasi PetaniPearson Correlation 1 .766** .335** .390** .315** Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 N 405 405 405 405 405 Keefektivan Pearson Correlation .766** 1 .342** .339** .306** Kelembagaan Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 N 405 405 405 405 405 Kualitas sbg Pengelola Pearson Correlation .335** .342** 1 .332** .228** UT Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 N 405 405 405 405 405 Kualitas sbg Anggota Masy. Kualitas sbg Pribadi
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
.390** .000 405 .315** .000 405
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
.339** .000 405 .306** .000 405
.332** .000 405 .228** .000 405
1 405 .231** .000 405
.231** .000 405 1 405
247
Analisis Korelasi Variabel Utama Y4 dengan Sub Variabel Tingkat Partisipasi Petani (Y3) Correlations
Keefektivan Kelembagaan Intensitas Partisipasi
Kualitas Partisipasi
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Keefektivan Kelembagaan 1
Intensitas Kualitas Partisipasi Partisipasi .638** .730** .000 .000 405 405 405 .638** 1 .609** .000 .000 405 405 405 .730** .609** 1 .000 .000 405 405 405
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Analisis Korelasi Antar Sub Variabel KapasitasKelembagaan (Y4) Correlations
Pencapaian Tujuan Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Fungsi dan Peran Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Keinovatifan Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Keberlanjutan Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Pencapaian Tujuan 1
Fungsi dan Peran Keinovatifan Keberlanjutan .658** .479** .481** .000 .000 .000 405 405 405 405 .658** 1 .570** .689** .000 .000 .000 405 405 405 405 .479** .570** 1 .588** .000 .000 .000 405 405 405 405 .481** .689** .588** 1 .000 .000 .000 405 405 405 405
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).