70
KERANGKA BERFIKIR
Arti Penting Kelembagaan Kelompok Petani Dalam Pembangunan Pertanian Pembangunan pertanian pada dasarnya meliputi pengembangan dan peningkatan pada faktor-faktor: teknologi, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan kelembagaan (Uphoff, 1986; Johnson (1985) dalam Pakpahan, 1989). Faktorfaktor tersebut merupakan syarat kecukupan (sufficient condition) untuk mencapai performance pembangunan yang dikehendaki. Artinya, apabila satu atau lebih dari faktor tersebut tidak tersedia atau tidak sesuai dengan persyaratan yang diperlukan, maka tujuan untuk mencapai performance tertentu yang dikehendaki tidak akan dapat dicapai. Salah satu permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya pertanian adalah masalah kelembagaan pertanian yang tidak mendukung. Untuk itu perlu adanya pembangunan kelembagaan pertanian yang dilandasi pemikiran bahwa: (a) Proses pertanian memerlukan sumberdaya manusia tangguh yang didukung infrastruktur, peralatan, kredit, dan sebagainya; (b) Pembangunan kelembagaan untuk pertanian lebih rumit daripada manajemen sumberdaya alam karena memerlukan faktor pendukung dan unit-unit produksi; (c) Kegiatan pertanian mencakup tiga rangkaian: penyiapan input, mengubah input menjadi produk dengan usaha tenaga kerja dan manajemen, dan menempatkan output menjadi berharga; (d) Kegiatan pertanian memerlukan dukungan dalam bentuk kebijakan dan kelembagaan dari pusat hingga lokal; dan (e) Kompleksitas pertanian, yang meliputi unit-unit usaha dan kelembagaan, sulit mencapai kondisi optimal. Kelembagaan pertanian dibentuk pada dasarnya mempunyai beberapa peran, yaitu: (a) tugas dalam organisasi (interorganizational task) untuk memediasi masyarakat dan negara, (b) tugas sumberdaya (resource tasks) mencakup mobilisasi sumberdaya lokal (tenaga kerja, modal, material, informasi) dan pengelolaannya dalam pencapaian tujuan masyarakat, (c) tugas pelayanan (service tasks) mungkin mencakup permintaan pelayanan yang menggambarkan tujuan pembangunan atau koordinasi permintaan masyarakat lokal, dan (d) tugas antar organisasi (extra-organizational task) memerlukan adanya permintaan lokal ter-
71
hadap birokrasi atau organisasi luar masyarakat terhadap campur tangan oleh agen-agen luar (Esman dan Uphoff dalam Garkovich, 1989). Kelembagaan merupakan keseluruhan pola-pola ideal, organisasi, dan aktivitas yang berpusat di sekeliling kebutuhan dasar. Suatu kelembagaan pertanian dibentuk selalu bertujuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan petani sehingga lembaga mempunyai fungsi.
kelembagaan merupakan konsep yang berpadu
dengan struktur, artinya tidak saja melibatkan pola aktivitas yang lahir dari segi sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi juga pola organisasi untuk melaksanakannya. Pengelolaan sumberdaya usahatani oleh petani menyangkut pengaturan masukan, proses produksi, serta keluaran sehingga mencapai produktivitas yang tinggi. Kegiatan usaha pertanian akan berhasil jika petani mempunyai kapasitas yang memadai. Untuk dapat mencapai produktivitas dan efisiensi yang optimal petani harus menjalankan usaha bersama secara kolektif. Untuk keperluan ini diperlukan pemahaman mengenai suatu kelembagaan di tingkat petani. Secara tradisional, kelembagaan masyarakat petani sudah berkembang dari generasi ke generasi, namun tantangan jaman menuntut suatu kelembagaan yang lebih sesuai dalam memenuhi kebutuhan masyarakat petani. Kelembagaan petani yang efektif ini diharapkan mampu mendukung pem-bangunan pertanian. Di tingkat petani lembaga diperlukan sebagai: (a) wahana untuk pendidikan, (b) kegiatan komersial dan organisasi sumberdaya pertanian, (c) pengelolaan properti umum, (d) membela kepentingan kolektif, dan (e) lain-lain. Keberadaan kelembagaan kelompok petani didasarkan atas kerjasama yang dapat dilakukan oleh petani dalam mengelola sumberdaya pertanian, antara lain: (a) pemprosesan (processing), agar lebih cepat, efisien dan murah; (b) pemasaran (marketing), akan meyakinkan pembeli atas kualitas dan meningkatkan posisi tawar petani; (c) pembelian (buying), agar mendapatkan harga lebih murah; (d) pemakaian alat-alat pertanian (machine sharing), akan menurunkan biaya atas pembelian alat tersebut; (e) kerjasama pelayanan (co-operative services), untuk menyediakan pelayanan untuk kepentingan bersama sehingga meningkatkan kesejahteraan anggota; (f) bank kerjasama (co-operative bank); (g) kerjasama usahatani (co-operative farming), akan diperoleh keuntungan lebih tinggi dan kese-
72
ragaman produk yang dihasilkan; dan (h) kerjasa multi-tujuan (multi-purpose cooperatives), yang dikembangkan sesuai minat yang sama dari petani. Kegiatan bersama (group action atau co-operation) oleh para petani diyakini oleh Mosher (1991) sebagai faktor pelancar pembangunan pertanian. Aktivitas bersama sangat diperlukan apabila dengan kebersamaan tersebut akan lebih efektif dalam mencapai tujuan yang diinginkan bersama. Penelitian ini memfokuskan pada kelembagaan petani, yaitu: kelembagaan kelompok petani. Kelembagaan kelompok petani yang dimaksud adalah berada pada kawasan lokalitas (local institution) yaitu desa, berupa organisasi keanggotaan (membership organization) atau kerjasama (cooperatives) yaitu petanipetani yang tergabung dalam kelompok (Uphoff, 1986). Kelembagaan ini mencakup juga pengertian organisasi petani. Artinya, selain ‘aturan main’ (role of the game) atau aturan perilaku yang menentukan pola-pola tindakan dan hubungan sosial, termasuk juga kesatuan sosial-kesatuan sosial yang merupakan wujud kongkrit dari lembaga itu (Anwar, 2003; Ruttan, 1985; Uphoff, 1986).
Mengembangkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani Kemandirian (self-reliance) petani diyakini sebagai muara dari suatu usaha pembangunan pertanian. Sarana untuk mencapai kemandirian adalah adanya keswadayaan. Kemandirian dan keswadayaan individu dapat terwujud melalui proses-proses sosial dalam kelembagaan yang ada di masyarakat (Christenson dan Robinson, 1989; ECDPM, 2006). Melalui interaksi yang dibangun antar individu dalam masyarakat terjadi proses pembelajaran yang mampu meningkatkan kapasitas individu. Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan berbagai aspirasi masyarakat yang selalu berkembang diperlukan suatu kelembagaan yang mempunyai kapasitas yang memadai. Kapasitas atau capacity, menurut Kamus Webster, merujuk pada kemampuan untuk atau melakukan (ability for or to do); kesanggupan (capability); suatu keadaan yang memenuhi syarat (a condition of being qualified). Kapasitas kelembagaan dapat diartikan sebagai kemampuan kelembagaan untuk mencapai tujuan atau visinya. Perkembangan dan perubahan yang terjadi di masyarakat menuntut upaya pengembangan kapasitas kelembagaan.
73
Pengembangan kelembagaan merupakan suatu proses perubahan sosial berencana yang dimaksudkan sebagai sarana pendorong proses perubahan dan inovasi. Proses transformasi kelembagaan pada petani melalui pembanguan atau pengembangan kelembagaan seyogyanya dapat menjadikan kelembagaan menjadi bagian penting dalam ke-hidupan petani untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan usahataninya. Pengembangan kapasitas kelembagaan kelompok petani merupakan suatu perspektif tentang perubahan sosial yang direncanakan, yang menyangkut inovasi-inovasi yang menyiratkan perubahan-perubahan kualitatif dalam normanorma, dalam pola-pola kelakuan, dalam hubungan-hubungan kelompok, dalam persepsi-persepsi baru mengenai tujuan-tujuan maupun cara-cara. Pembangunan lembaga dapat dirumuskan sebagai perencanaan, penataan, dan bimbingan dari organisasi-organisasi baru atau yang disusun kembali yang (a) mewujudkan perubahan-perubahan dalam nilai-nilai, fungsi-fungsi, teknologi-teknologi fisik, dan/atau sosial, (b) menetapkan, mengembangkan, dan melindungi hubunganhubungan normatif dan pola-pola tindakan yang baru, dan (c) memperoleh dukungan dan kelengkapan dalam lingkungan lembaga (Esman, 1986). Pengembangan kelembagaan diarahkan pada upaya peningkatan kapasitasnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan anggota. Artinya, secara sosial-ekonomis lembaga tersebut: (a) mempunyai kemampuan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya; (b) sejauhmana inovatif (mengadakan pembaharuan) dipandang oleh lingkungannya sebagai memiliki nilai intrinsik, yang dapat diukur secara operasional dengan indeks-indeks seperti tingkat otonominya dan pengaruhnya terhadap lain-lain lembaga; dan (c) sejauh mana suatu pola inovatif dalam organisasi baru itu menjadi normatif bagi lain-lain kesatuan sosial dalam sistem sosial yang lebih besar (Jiri Nehnevajsa dalam Eaton, 1986). Unsur-unsur dalam lembaga, seperti dikemukakan Esman (1986), dapat dijadikan parameter untuk menilai kapasitas suatu lembaga: (a) Adanya kepemimpinan, yang menunjuk pada kelompok orang yang secara aktif berkecimpung dalam perumusan doktrin dan program dari lembaga tersebut dan yang mengarahkan operasi-operasi dan hubungan-hubungannya dengan lingkungan tersebut.
74
(b) Adanya spesifikasi nilai-nilai, tujuan-tujuan, dan metode-metode operasional yang mendasari tindakan sosial anggota. (c) Adanya program, menunjuk pada tindakan-tindakan tertentu yang berhubungan dengan pelaksanaan dari fungsi-fungsi dan jasa-jasa yang merupakan keluaran dari lembaga tersebut. (d) Adanya sumberdaya-sumberdaya, yaitu masukan-masukan keuangan, fisik, manusia, teknologi dan penerangan dari lembaga tersebut. (e) Terbentuknya struktur intern, yaitu struktur dan proses-proses yang diadakan untuk bekerjanya lembaga tersebut dan bagi pemeliharaannya. Pengembangan kelembagaan bagi masyarakat petani dianggap penting karena beberapa alasan. Pertama, banyak masalah pertanian yang hanya dapat dipecahkan oleh suatu lembaga petani. Kedua, organisasi masyarakat memberikan kelanggengan atau kontinuitas pada usaha-usaha untuk menyebarkan dan mengembangkan teknologi, atau pengetahuan teknis kepada masyarakat. Ketiga, untuk menyiapkan masyarakat agar mampu bersaing dalam struktur ekonomi yang terbuka (Bunch, 1991). Kerjasama petani dapat mendorong penggunaan sumberdaya lebih efisien, sarana difusi inovasi dan pengetahuan (Reed, 1979). Kelembagaan kelompok petani dalam melaksanakan perannya memerlukan pengorganisasian dengan ketrampilan-ketrampilan khusus untuk memberikan dorongan dan bantuan secara sistematis. Secara ideal, pengembangan kapasitas kelembagaan kelompok petani dilakukan melalui pendekatan self-help (membantu diri sendiri). Pendekatan yang berorientasi proses, membantu masyarakat dalam belajar bagaimana mengatasi masalah mereka sendiri. Penyuluhan didasarkan premis bahwa masyarakat dapat, akan, dan seharusnya bersama-sama memecahkan permasalahan yang dihadapi. Untuk itu diperlukan komitmen masyarakat untuk membantu dirinya sendiri, tanpa komitmen dalam kelembagaan akan terjadi kesenjangan kapasitas untuk mencapai efektivitas kegiatan. Dalam kelembagaan kelompok petani, perlu ada penumbuhan kesadaran bagi petani tentang pengaruh luar yang membatasi usahanya, serta identifikasi kebutuhan-kebutuhan yang timbul akibat pengaruh tersebut untuk selanjutnya menentukan pemenuhannya. Berdasarkan kajian pustaka, peneliti mencoba merumuskan kapasitas kelembagaan petani seperti terlihat pada Tabel 3.1.
75
Tabel 3.1. Identifikasi Kapasitas Kelembagaan Petani Dimensi-dimensi Teoritis 1. Tipe Kelembagaan lokal Uphoff (1986): Administrasi lokal Pemerintahan lokal Organisasi keanggotaan Kerjasama Organisasi pelayanan Bisnis pribadi 2. Unsur-unsur lembaga (Koentjaraningrat, 1990): Sistem norma Tata kelakuan Peralatan/fasilitas Personil
6. Efektivitas (Sumardjo, 2003): Kebutuhan anggota Informal formal Pemenuhan bersama Kesadaran anggota Kehadiran agen Pola-pola komunikasi
7. Manfaat (Esman, 1986) Mewujudkan perubahan Mengembangkan pola tindakan Memperoleh dukungan kelembagaan
8. Peran (Esman & Uphoff dalam Garkovich, 1989) 3. Unsur pembangunan lembaga Tugas dalam organisasi (Esman, 1986): Tugas sumberdaya lokal; Kepemimpinan; peran & Tenaga kerja, modal, material, fungsi, kualitas, distribusi informasi kewenangan Tugas pelayanan Doktrin; nilai-nilai, tujuan, Tugas antar organisasi metode operasional Program; fungsi-fungsi: pero9. Fungsi (Soekanto, 1997) lehan, pengaturan, pemeli Pedoman haraan, & pengerahan sum Kesatuan/keutuhan berdaya, pengelolaan konflik Pengendalian sosial Sumberdaya; pendanaan, fisik, manusia, teknologi 10. Peranan di pertanian (Van den Struktur intern; pembagian Ban & Hawkins, 1999) peranan, pola wewenang, Pendidikan sistem komunikasi, Komersial dan organisasi komitmen anggota Pengelolaan properti Membela kepentingan kolektif 4. Ciri-ciri lembaga (Shaffer & Lain-lain Schmid dalam Pakpahan, 1989): 11. Prinsip kerjasama (Wileden, Batas jurisdiksi; otoritas 1970) Property right; hak & kewa Kesadaran & kebanggaan jiban Kekompakan Aturan representasi; hak pe Kepercayaan ngambilan keputusan Bentuk yang sesuai Perubahan 5. Efektivitas (Jiri Nehnevajsa Kepercayaan dan stabilitas dalam Eaton, 1986): Bantuan luar Fungsi dan peran Kerjasama dg komunitas lain Keinovatifan; nilai intrinsik Keberlanjutan; tingkat otonomi, pencapaian tujuan
Parameter Terpilih Kapasitas Kelembagaan petani dilihat dalam empat perspektif, yaitu: 1. Pencapaian tujuan lembaga Indikator-indikator: a. Keberadaan dan kejelasan tujuan b. Kesesuaian tujuan dengan kebutuhan anggota c. Tingkat pemenuhan kebutuhan anggota 2. Fungsi dan peran lembaga dalam mengelola sumberdaya lokal (tenaga kerja, modal, material, dan informasi) Indikator-indikator: a. Fungsi perolehan sumberdaya lokal b. Fungsi pengaturan sumberdaya lokal c. Fungsi pemeliharaan sumberdaya lokal d. Fungsi pengerahan sumberdaya lokal e. Fungsi pengelolaan konflik 3. Keinovatifan lembaga petani Indikator-indikator: a. Kepemimpinan: Peran pemimpin Fungsi pemimpin b. Doktrin: Nilai-nilai yang mendasari Tujuan kerjasama c. Struktur lembaga: Pembagian peran anggota Pola kewenangan Komitmen anggota d. Sumberdaya: Pendanaan, Manusia Fisik, Teknologi 4. Keberlanjutan lembaga petani Indikator-indikator: a. Sentimen anggota b. Kesadaran anggota c. Kekompakan anggota d. Kepercayaan anggota e. Ketersediaan bantuan luar f. Pola-pola komunikasi g. Derajat kerjasama dengan kelompok/organisasi lain
76
Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Kelompok Petani Secara normatif, pembangunan di Indonesia mengarah pada pencapaian masyarakat yang adil makmur dan keadilan sosial ekonomi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Untuk mencapai kondisi tersebut, salah satu upaya yang bisa ditempuh adalah menggerakkan partisipasi masyarakat. Perlu adanya partisipasi emansipatif, yaitu: partisipasi dalam pembangunan bukan semata-mata dalam pelaksanaan program, rencana dan kebijakan pembangunan, tetapi sedapat mungkin penentuan alokasi sumber-sumber ekonomi semakin mengacu pada motto pembangunan: dari, oleh, dan untuk rakyat. Pembangunan sebagai proses peningkatan kemampuan manusia untuk menentukan masa depannya mengandung arti bahwa masyarakat perlu dilibatkan dalam proses itu, masyarakat perlu berperanserta. Peranserta bukan semata-mata melibatkan masyarakat dalam tahap perencanaan atau dalam evaluasi proyek belaka. Dalam peranserta tersirat makna dan integritas keseluruhan proyek itu. Peranserta merupakan sikap keterbukaan terhadap persepsi dan perasaan pihak lain; peranserta berarti perhatian mendalam mengenai perbedaan atau perubahan yang akan dihasilkan suatu proyek sehubungan dengan kehidupan masyarakat; peranserta adalah kesadaran mengenai kontribusi yang dapat diberikan oleh pihak-pihak lain untuk suatu kegiatan. Salah satu upaya untuk mengembangkan partisipasi masyarakat adalah melalui organisasi-organisasi lokal (Uphoff, et.al. dalam Bryant dan White, 1982). Keterlibatan petani dalam kelembagaan diperlukan karena berbagai alasan, antara lain: Pertama, banyak masalah pertanian yang hanya dapat dipecahkan oleh suatu lembaga petani. Berbagai pelayanan kepada masyarakat petani, seperti: pemberian kredit, pengelolaan irigasi, penjualan bahan-bahan pertanian, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut dapat berperan sebagai perantara antara lembagalembaga pemerintah atau lembaga-lembaga swasta dalam rangka sebagai saluran komunikasi atau untuk kepentingan-kepentingan yang lain. Kedua, organisasi masyarakat memberikan kelanggengan atau kontinuitas pada usaha-usaha untuk menyebarkan dan mengembangkan teknologi, atau pengetahuan teknis kepada masyarakat. Ketiga, untuk menyiapkan masyarakat agar mampu bersaing dalam
77
struktur ekonomi yang terbuka.
Masyarakat memperkuat diri dengan meng-
organisir dalam suatu organisasi. Melalui organisasi tersebut masyarakat memperoleh pengalaman-pengalaman yang berharga dalam mengelola sumberdaya pertanian (Bunch, 1991). Kerjasama petani dapat mendorong penggunaan sumberdaya lebih efisien, sarana difusi inovasi dan pengetahuan (Reed, 1979). Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi adanya tiga faktor utama yang mendukungnya, yaitu: (a) kemauan, (b) kemampuan, dan (c) kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi (Slamet, 1992). Masyarakat perlu mengalami proses belajar untuk mampu mengetahui kesempatan-kesempatan untuk memperbaiki kehidupan. Setelah itu, kemampuan atau ketrampilan perlu ditingkatkan agar dapat memanfaatkan kesempatan-kesempatan itu. Diperlukan usaha khusus untuk membuat masyarakat mau bertindak memanfaatkan kesempatan memperbaiki kehidupannya. Partisipasi masyarakat dalam lembaga-lembaga lokal merupakan manifestasi keberdayaan masyarakat. Petani yang berdaya, menurut Susetiawan (2000) adalah petani yang secara politik dapat mengartikulasikan (menyampaikan perwujudan) kepentingannya, secara ekonomi dapat melakukan proses tawar-menawar dengan pihak lain dalam kegiatan ekonomi, secara sosial dapat mengelola mengatur komunitas dan mengambil keputusan secara mandiri, dan secara budaya diakui eksistensinya. Pemahaman tentang pemberdayaan masyarakat merupakan suatu strategi yang menitikberatkan pada bagaimana memberikan peran yang proporsional agar masyarakat dapat berperan secara aktif dalam aktivitas sosial kemasyarakatan. Untuk upaya tersebut diperlukan proses pendidikan untuk mengubah sikap masyarakat, dan untuk membangkitkan kegairahan dan hasrat serta kepercayaan akan kemampuan sendiri, dapat meningkatkan kemampuan swadaya (self help) perorangan dan kelompok untuk memperbaiki nasib sendiri. Disamping itu, diperlukan peningkatan kesadaran dan partisipasi politik di kalangan penduduk, serta meningkatkan semangat gotong-royong dengan memperkokoh lembaga-lembaga demokrasi dan memperluas dasar kepemimpinan masyarakat.
78
Berbagai bentuk atau tahapan partisipasi seperti dikemukakan oleh Ndraha (1990) antara lain: (a) Partisipasi dalam/melalui kontak dengan pihak lain (contact change) sebagai salah satu titik awal perubahan sosial; (b) Partisipasi dalam memperhatikan/menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima (mentaati, memenuhi, melaksanakan), mengiakan, menerima dengan syarat, maupun dalam arti menolaknya; (c) Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk pengambilan keputusan (penetapan rencana); (d) Partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan; (e) Partisipasi dalam menerima, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan; dan (f) Partisipasi dalam menilai pembangunan. Beberapa alasan petani berpartisipasi dalam keputusan-keputusan yang berkaitan dengan program pembangunan antara lain: (1) Petani memiliki informasi yang sangat penting untuk merencanakan program; (2) Mereka lebih termotivasi untuk bekerja sama dalam program jika ikut bertanggung-jawab di dalamnya; (3) Masyarakat yang demokratis secara umum menerima bahwa rakyat yang terlibat berhak berpartisipasi dalam keputusan mengenai tujuan yang ingin dicapai; dan (4) Banyaknya permasalahan pembangunan pertanian, tidak mungkin dipecahkan secara perorangan. Partisipasi kelompok sasaran dalam keputusan kolektif sangat dibutuhkan. Strategi pembangunan di negara-negara berkembang memerlukan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaannya karena berbagai pertimbangan yaitu: (a) meningkatkan integrasi, (b) meningkatkan hasil dan merangsang penerimaan yang lebih besar terhadap kriteria hasil, (c) membantu menghadapi permasalahan nyata dari kesenjangan tanggapan terhadap perasaan, kebutuhan, masalah, dan pandangan komunitas lokal, (d) membawa kualitas hasil (output) lebih tinggi dan berkualitas, (e) meningkatkan jumlah dan ketepatan informasi, dan (f) memberikan operasi yang lebih ekonomis dengan penggunaan lebih banyak sumberdaya manusia lokal dan membatasi transportasi dan manajemen yang mahal (Claude dan Zamor, 1985). Berdasarkan kajian pustaka, peneliti mengidentifikasi partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani seperti tertera pada Tabel 3.2.
79
Tabel 3.2. Identifikasi Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Dimensi-dimensi Teoritis Tipologi (Pretty dalam Pretty dan Vodouhe, 1997): 1. Partisipasi pasif 2. Partisipasi informasi 3. Partisipasi konsultasi 4. Partisipasi insentif 5. Partisipasi fungsional 6. Partisipasi interaktif 7. Mandiri Tipologi (Howard, Baker, & Forest, 1994): 1. Keterlibatan fisik 2. Keterlibatan sosial 3. Keterlibatan psikologis Jenis (Slamet, 2004): 1.Memberi input, menerima imbalan, & menikmati hasil 2.Memberi input & menikmati hasil 3.Memberi input & menerima imbalan, tanpa menikmati hasil scr langsung 4.Menikmati hasil tanpa ikut memberi input 5.Memberi input tanpa menerima imbalan, & tidak menikmati hasil Alasan (Howard, Baker, & Forest, 1994): Pengaruh masyarakat Rasa tanggung-jawab Mempunyai kemampuan Ekspresi dan aktualisasi Pilihan kualitas hidup Minat Lingkup Kegiatan (Ndraha, 1990): Perencanaan Pelaksanaan Memanfaatkan Memelihara Menilai Prasyarat (Slamet, 1992): Kemampuan Kemauan Kesempatan
Arti penting (IADB, 2001): Memberdayakan & menggerakkan Memperbaiki kegiatan/proyek Pembelajaran Menguatkan kapasitas Manfaat (Claude & Zamor, 1985): Meningkatkan integrasi Hasil dan penerimaan Menghadapi masalah Kualitas hasil meningkat Jumlah dan ketepatan informasi Efisiensi Prinsip-prinsip (Uphoff dalam Bryant & White, 1982): Partisipasi & program satu kesatuan Didasarkan pada organisasi lokal Distribusi lebih adil Menciptakan mata rantai Prinsip-prinsip pembangunan partisipasi (The World Bank, 1997): Keunggulan masyarakat Ketrampilan & pengetahuan lokal sebagai potensi Memberdayakan perempuan Kemandirian vs. mengawasi Aksi lokal vs. respons lokal Disediakan spontanitas lokal Mekanisme (IADB, 2001): 1. Memberi informasi 2. Konsultatif 3. Penilaian bersama 4. Memberi kesempatan mengambil keputusan 5. Kolaborasi 6. Pemberdayaan
Parameter Terpilih Partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani dilihat dalam dua aspek, yaitu: 1. Intensitas berdasarkan lingkup kegiatan dalam organisasi a. Perencanaan dalam kegiatan b. Pelaksanaan kegiatan c. Pemanfaatan hasil kegiatan d. Pemeliharaan kegiatan e. Penilaian terhadap kegiatan Intensitas dilihat berdasarkan tipologi keterlibatannya, dari keterlibatan pasif sampai dengan mandiri atau dari keterlibatan fisik sampai dengan psikologis 2. Kualitas yang didasarkan pada: a. Alasan keikutsertaan, meliputi: Kesadaran/kerelaan Tanggung-jawab/peran Fungsi peran yang dilakukan Derajat pemenuhan kebutuhan Derajat motivasi kerjasama Derajat potensi yang dimiliki untuk berpartisipasi b. Manfaat yang diperoleh, meliputi: Informasi yang diperoleh Peningkatan kualitas hasil pertanian Efisiensi pengelolaan sumberdaya pertanian Kemudahan dalam pemecah an masalah yang dihadapi Derajat integrasi antar anggota
80
Pengembangan Kapasitas Petani Petani merupakan orang yang menjalankan usahatani atau melakukan usaha untuk memenuhi sebagian atau seluruh kehidupannya di bidang pertanian. Ciriciri masyarakat petani (peasant), seperti: (a) satuan keluarga (rumah tangga) petani adalah satuan dasar dalam masyarakat desa yang berdimensi ganda; (b) petani hidup dari usahatani, dengan mengolah tanah (lahan); (c) pola kebudayaan petani berciri tradisional dan khas; (d) petani menduduki posisi rendah dalam masyarakat, mereka adalah “orang kecil” terhadap masyarakat di atas-desa (Shanin dalam Sayogyo, 1993); menunjukkan kompleksitas dan keragaman kapasitas yang dimiliki oleh petani. Partisipasi petani dalam pembangunan diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat petani. Agar dapat berpartisipasi diperlukan suatu proses belajar sehingga petani mampu melihat kesempatan-kesempatan untuk memperbaiki kehidupan. Diperlukan kemampuan atau ketrampilan dan kemauan bertindak agar dapat memanfaatkan kesempatan tersebut. Artinya, perlu suatu kedewasaan individu agar mampu merespons dengan benar atau berperilaku sesuai kapasitas yang diharapkan. Kapasitas petani direpresentasikan pada kemampuannya memainkan peran, yang berdimensi ganda, dalam komunitas mereka sehingga mampu merespons perubahan-perubahan yang terjadi. Kapasitas petani dilihat dalam perspektif peran sesuai dengan statusnya sebagai petani, pengelola, individu, dan anggota masyarakat (Mosher, 1966). Kapasitas menandakan ciri-ciri kedewasaan seseorang, seperti: perkembangan penuh (full growth), perasaan terhadap pandangan (sense of perspective), dan kemandirian (autonomy) Rogers (1994). Kapasitas individu dapat dibedakan dalam tiga ranah manusia, yaitu: (a) kognitif, (b) afektif, dan (c) psikomotor. Kemampuan petani menunjukkan kualitas manusia dalam mengatasi berbagai macam persoalan yang dihadapi. Kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan harus didahului oleh suatu proses belajar. Ketersediaan sumberdaya material atau teknologi erat kaitannya dengan kemampuan atau kualitas diri dalam mengembangkan potensi yang dimiliki untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi. Seringkali ketersediaan sumberdaya, teknologi, dan
81
kesempatan belajar tidak mampu diakses oleh masyarakat sehingga perlu ada kesediaan pihak luar memfasilitasi masyarakat berpartisipasi. Kemauan partisipasi bersumber pada faktor psikologis individu yang menyangkut emosi dan perasaan yang melekat pada diri manusia. Faktor-faktor yang menyangkut emosi dan perasaan ini sangat kompleks sifatnya, sulit diamati dan diketahui dengan pasti, dan tidak mudah dikomunikasikan, akan tetapi selalu ada pada setiap individu dan merupakan motor penggerak perilaku manusia. Faktor yang menarik minat masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan apabila dengan berpartisipasi akan memberikan manfaat, dan dengan kemanfaatan itu dapat memenuhi keperluan-keperluan masyarakat setempat (Goldsmith dan Blustain dalam Jahi, 1988). Selain itu kebutuhan masyarakat merupakan faktor pendorong timbulnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Partisipasi dalam kelembagaan petani merupakan kesadaran kolektif individu dalam suatu masyarakat yang diwujudkan bentuk kerjasama untuk memecahkan berbagai permasalahan secara bersama. Kesadaran ini merupakan wujud modal sosial (social capital) yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Terdapat serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok (Fukuyama, 2000). Jika para anggota kelompok mengharapkan bahwa anggota-anggota yang lain berperilaku jujur dan terpercaya, maka mereka akan saling mempercayai. Kepercayaan menjadi sarana kelompok atau organisasi menjadi lebih efisien. Inti dari modal sosial adalah kepercayaan (trust) dan kerja-sama (cooperation) (Krishna, 2000). Dalam kehidupan nyata, modal sosial terwujud dalam enam tipe, yaitu: (1) family and kinship connections (keluarga dan hubungan kekerabatan); (2) social networks (jaringan kerja sosial), atau asosiasi kehidupan; (3) crosssectoral linkages (hubungan lintas sektoral); (4) sosiopolitical capital (modal sosio-politik); (5) institutional and policy framework (jaringan kerja kelembagaan dan kebijakan); dan (6) social norms and value (nilai dan norma-norma sosial). (Harriss dan Renzio (1997) dalam Carroll (2001). Dalam wujudnya tersebut diidentifikasi adanya: (a) kewajiban-kewajiban dan harapan-harapan, yang tergantung pada kepercayaan lingkungan sosial; (b) kemampuan aliran informasi dari struktur sosial; dan (c) Adanya norma yang disertai sanksi (Coleman, 2000).
82
Untuk menjelaskan perilaku sosial petani dalam kelembagaan petani digunakan perspektif sosiologi dan perspektif psikologi. Beberapa teori sosiologi yang dimaksud untuk menjelaskan fenomena yang diteliti, berhubungan dengan prosesproses sosial yang meningkatkan integrasi dan solidaritas. Kelembagaan atau organisasi petani dipandang sebagai gejala sosial yang riil dan mempengaruhi kesadaran petani serta perilakunya yang berbeda dari karakteristik psikologis, biologis, atau karakteristik individu lainnya.
Sebaliknya, kelembagaan atau organisasi
petani sebagai sesuatu yang didasarkan pada motivasi individu dan tindakantindakan sosial mereka (Weber dalam Johnson, 1994). Tindakan-tindakan sosial, yang tercermin dari perilaku sosial petani dalam kelembagaan petani, dapat dijelaskan melalui berbagai teori, seperti: analisis kebutuhan sosial, teori perbandingan sosial (social comparison theory), teori insentif, teori pilihan rasional, teori expectancy-value, teori pilihan rasional, teori pertukaran (Sear dkk., 1992). Selain itu, untuk memperjelas interaksi tatap muka dan dinamika-dinamika sosial, diantaranya proses-proses sosial dalam kelembagaan petani, peneliti mencoba mengaitkan dengan teori pertukaran Homans dan teori pertukaran Blau (Johnson, 1990). Di tingkat struktur sosial, peneliti juga mengaitkan dengan teori Parsons yang menjelaskan bahwa tindakan sosial itu diarahkan pada tujuannya dan diatur secara normatif. Dalam teori ini, orientasi-orientasi alternatif terhadap tujuan dan norma dimasukkan dalam seperangkat variabel berpola yang menggambarkan pilihan-pilihan yang harus dibuat oleh individu, baik secara implisit maupun secara eksplisit, dalam hubungan sosial apa saja. Variabel-variabel tersebut mencakup: (a) Afektivitas versus netralitas afektif, (b) Orientasi diri (self-orientation) versus orientasi kolektivitas, (c) Universalisme versus partikularisme, (d) Askripsi versus prestasi (achievement), dan (e) Spesifitas versus kekaburan (diffuseness). Variabel-variabel berpola ini merupakan suatu kerangka untuk menganalisa nilai budaya, penghargaan peran sistem sosial, dan pengaturan kebutuhan pribadi secara serempak (Johnson, 1990). Berdasarkan kajian pustaka, peneliti merumuskan kapasitas petani berdasarkan kemampuan yang miliki atas statusnya seperti tampak pada Tabel 3.3.
83
Tabel 3.3. Identifikasi Kapasitas Petani Dimensi-dimensi Teoritis
Parameter Terpilih
Peranan petani (Mosher, 1966): Juru tani (cultivator); kemampuan bercocok tanam Pengelola (menejer); kemampuan mengambil keputusan Perorangan; kemampuan bekerja, belajar, berfikir kreatif Anggota masyarakat; kemampuan menyesuaikan diri
Kapasitas petani ditunjukkan dalam kemampuan atas status yang dimiliki, meliputi: 1. Kemampuan sebagai petani (pengelola usahatani); Sebagai pengelola usahatani mengarah pada usahatani yang lebih baik (better farming), mengelola faktor-faktor produksi lebih baik (better organization), dan berusahatani dalam lingkungan yang semakin baik (better environment). Kemampuan yang harus dimiliki mencakup: a. Bercocok tanam atau teknik usahatani b. Memanfaatkan potensi sumberdaya alam c. Mengambil keputusan usahatani d. Mempunyai sense of agribusiness e. Mempunyai ketrampilan agribisnis f. Berorientasi pada pertanian masa depan
Ruang lingkup penyuluhan (Anonim dalam Pambudy dan Adhi, 2002) Better farming; Budidaya lebih baik Better organization; Pengembangan usahatani Better community; Pengembangan kelembagaan Better environment; Pengembangan lingkungan Better living; Pengembangan hidup lebih sejahtera Tujuan penyuluhan pertanian (Soedijanto, 2004): Kemandirian material; memanfaatkan potensi sda Kemandirian intelektual; mengemukakan pendapat Kemandirian pembinaan; mengembangkan diri proses belajar Kemandirian interdependensi; saling ketergan-tungan (sistem sosial) Pengembangan sdm petani (Rahadian dkk., 2004): Pengetahuan luas Sikap dan perilaku mandiri Sense of agribusiness Ketrampilan agribisnis Ketangguhan menghadapi masalah Content penyuluhan (Campbell dan Barker, 1997): Technically feasible; dapat dilakukan Economically feasible; menguntungkan Socially acceptable; dapat diterima Environmentally safe and sustainable; lestari & berkelanjutan Kedewasaan seseorang (Rogers, 1992): Full growth Sense of prespective Autonomy Ranah pada manusia Bloom (Knowles, 1978): Kognitif Afektif Psikomotorik
2. Kemampuan sebagai anggota masyarakat; Sebagai anggota masyarakat mengarah pada kehidupan sosial yang lebih baik (better community). Kemampuan yang dimiliki mencakup: a. Menyesuaikan diri dengan komunitas b. Mengembangkan kerjasama dalam memecahkan masalah bersama c. Membangun jejaring d. Kepemimpinan dalam masyarakat 3. Kemampuan sebagai pribadi dan kepala keluarga; Sebagai pribadi dan kepala keluarga, petani mempunyai kemampuan untuk belajar yang mengarah pada ke dewasaan dan kehidupan yang lebih baik (better living). Kemampuan-kemampuan yang dimiliki meliputi: a. Mempunyai pengetahuan luas b. Mempunyai sikap dan perilaku mandiri c. Tangguh dalam menghadapi masalah
84
Peningkatan Kapasitas Petani Melalui Kedinamisan Kelompok Petani Secara umum kelompok-kelompok petani ada karena berbagai alasan: (a) sarana individu untuk saling berinteraksi; (b) petani melihat diri mereka sebagai bagian dari kelompok itu; (c) adanya saling tergantung; (d) petani bersama-sama bergabung untuk mencapai satu tujuan; (e) petani mencoba untuk memenuhi beberapa kebutuhan melalui penggabungan diri mereka (joint association); (f) membangun interaksi yang teratur (terstruktur) oleh atau dengan seperangkat peran dan norma; kumpulan individu yang saling mempengaruhi. Berbagai faktor mempengaruhi keberadaan atau kedinamisan suatu kelompok meliputi: (a) struktur kelompok, (b) karakteristik individu anggota, dan (c) proses-proses yang dibangun kelompok. Struktur kelompok meliputi: ukuran, waktu, lokasi, aturan (formal atau informal), kesukarelaan, keanggotaan (terbuka atau tertutup), pola-pola komunikasi yang dibangun, komunikasi (satu atau dua tahap), apakah struktur memperbolehkan umpan balik, tipe dan status tujuantujuan kelompok, dan kesepakatan antar anggota. Karakteristik individu anggota, meliputi: peran yang dijalankan, reaksi perilaku individu, status setiap individu di luar kelompok, tanggapan individu terhadap tekanan kelompok, tanggapan individu terhadap kewengan, tanggapan individu terhadap kerukunan, agenda terselubung, pengalaman kelompok, kelompok rujukan yang dimiliki oleh anggota yang mempengaruhi sikapnya di kelompok lain. Proses-proses yang dibangun kelompok terdiri atas lima tahapan, yaitu: (a) Tahap pra-afiliasi (pre-affiliation stage), investigasi individu apakah kelompok disukai atau tidak; (b) Tahap perjuangan untuk kekuasaan dan pengendalian (struggle for power and control stage), anggota mengetahui kedudukannya dalam hubungannya dengan anggota lain; (c) Tahap menuju kerukunan (move to intimacy stage), anggota menikmati beberapa kesepakatan di dalam norma-norma; (d) Tahap diferensiasi (differentiation stage), kelompok membagi pekerjaan yang harus dikerjakan; dan (e) Tahap pemisahan (separation stage), persiapan dibuat untuk akhir dan kelompok dievaluasi. Interaksi individu dalam suatu kelompok dapat dilihat dalam perspektif sistem sosial. Tindakan sosial secara umum dapat dianalisis dengan melihat
85
unsur-unsur dari sistem sosial dan proses-proses sosial yang terjadi. Secara teoritis, kelompok yang dinamis ditandai dengan keberadaan unsur-unsur sosial dan terjadinya proses-proses atas unsur-unsur tersebut. Secara empiris, kelompok petani yang dinamis ditentukan oleh peranannya dalam meningkatkan pemenuhan kebutuhan petani, yaitu: (a) sebagai media sosial yang hidup dan wajar (dinamis), (b) berorientasi untuk mencapai perubahan sesuai dengan tujuan yang disepakati, dan (c) penyatuan aspirasi (cita-cita hidup) antara anggotanya. Interaksi antar anggota kelompok akan memberi kesempatan untuk bertukar pengalaman maupun pengaruh terhadap perilaku dan norma para anggota kelompok. Kelompok sebagai wahana belajar-mengajar, merupakan wadah bagi setiap anggotanya untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap dalam berusahatani yang lebih baik dan menguntungkan. Hal ini akan meningkatkan perluasan informasi dan meningkatkan kesediaan petani membuat keputusan, meningkatkan kepercayaan diri. Selain itu, kelompok menjadi sarana pembentukan modal sosial, yaitu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah secara kolektif.
Berbagai Faktor Internal dan Eksternal Petani Faktor-faktor Internal Petani Uphoff (1986) memaparkan kegiatan-kegiatan pertanian, yang mencakup in-put, produksi, dan output secara lebih spesifik sebagai berikut: (1) Kegiatan-kegiatan input, meliputi: (a) Input-input material, seperti: benih, pupuk, bahan kimia: (herbisida, insektisida, fungisida), tenaga kerja, peralatan, dan pakan ternak; (b) Input-input modal; (c) Input-input umum, seperti: akses lahan, teknologi, dan kebijakan; (d) Input-input tidak langsung, seperti: pengelolaan sumberdaya alam, infrastruktur pedesaan, dan pengembangan sumberdaya manusia. (2) Kegiatan-kegiatan produksi, meliputi: (a) tenaga kerja, dan (b) manajemen. (3) Kegiatan-kegiatan output, meliputi: (a) penyimpanan, (b) pengolahan, (c) pengangkutan, dan (d) pemasaran.
86
Pengelolaan sumberdaya pertanian menyangkut pengaturan masukan dan keluaran dalam proses produksi pertanian sehingga mencapai produktivitas yang tinggi. Untuk menjalankan proses produksi pertanian, petani tidak hanya menguasai pengetahuan dan ketrampilan yang memadai mengenai input dan teknik budidaya pertanian, tetapi juga harus memahami kondisi alam, seperti: cuaca. Untuk dapat mencapai produktivitas dan efisiensi yang optimal tidak jarang petani harus menjalankan usaha bersama secara kolektif dengan petani lain. Untuk keperluan ini diperlukan pemahaman mengenai suatu kelembagaan. Secara tradisional, kelembagaan masyarakat petani sudah berkembang dari generasi ke generasi, namun tantangan jaman menuntut suatu kelembagaan yang lebih sesuai dalam memenuhi kebutuhan masyarakat petani. Perilaku petani, dalam mengelola sumberdaya pertanian, ditentukan oleh apa yang telah dipelajari sebelumnya (Sear, Freedman, dan Peplau, 1992). Belajar merupakan perubahan dalam individu (Crow dan Crow; Burton; Haggard dalam Knowles, 1978), sebagai hasil pengalaman yang berkaitan dengan interaksi individu dengan lingkungannya. Perubahan ini menyangkut kebiasaan, pengetahuan, dan sikap mental. Secara umum ada tiga mekanisme utama belajar pada manusia, yaitu: asosiasi atau classical conditioning, reinforcement, dan imitasi. Asosiasi merupakan kondisi dimana seseorang berperilaku tertentu karena mengasosiasikan dengan pengalaman sebelumnya. Dasar dari reinforcement menyatakan bahwa orang belajar menampilkan perilaku tertentu karena perilaku itu disertai dengan sesuatu yang menyenangkan dan dapat memuaskan kebutuhan (atau mereka belajar menghindari perilaku yang disertai akibat-akibat yang tidak menyenangkan). Sedangkan imitasi menjelaskan bahwa orang mempelajari sikap dan perilaku sosial dengan meniru sikap dan perilaku yang menjadi model. Dalam teori belajar ada tiga ciri khusus yang membedakan dengan pemikiran yang lain, yaitu: (a) sebab-sebab perilaku diduga terletak terutama pada pengalaman belajar individu di masa lampau; (b) cenderung menempatkan penyebab perilaku terutama pada lingkungan eksternal dan tidak pada pengartian subjektif individu terhadap apa yang terjadi; (c) biasanya diarahkan untuk menjelaskan perilaku yang nyata dan bukan keadaan subjektif atau psikologis.
87
Teori belajar sosial oleh Bandura menyatakan bahwa sumber penyebab perilaku bukan hanya eksternal (faktor lingkungan) tetapi juga internal (faktor kognitif) (Sarwono, 2002). Dijelaskan faktor kesadaran juga dianggap penting. Proses belajar sosial lebih daripada internalisasi norma-norma dan nilai-nilai. Belajar sosial berarti pula belajar untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan kerja sama serta kegiatan-kegiatan yang mengandung pertentangan, guna mengatasi situasi-situasi yang baru dan mencapai tujuan-tujuan di dalam suatu konteks kesempatan dan keterbatasan. Orientasi ke pemecahan masalah penting bagi keikutsertaan yang efektif, khususnya dalam suatu masyarakat yang kompleks dan berubah-ubah (Jaeger, 1985). Gagne (1965) mengidentifikasi lima domain proses belajar, masing-masing mempunyai praxis, yaitu: (a) Motor skills (ketrampilan gerak), yang dikembangkan melalui praktik; (b) Verbal information (informasi tulis), syarat utama untuk belajar yang penyajiannya di dalam suatu pengelolaan; (c) Intellectual skills (ketrampilan intelektual), belajar yang diperlukan sebagai prasyarat ketrampilan; (d) Cognitive strategies (strategi kognitif), belajar yang memerlukan pengulangan kesempatan dimana keraguan berfikir hadir; (e) Attitudes (sikap), dipelajari secara sangat efektif melalui penggunaan model-model kemanusiaan dan “vicarious reinforcement”. Terkait dengan belajar bagi orang dewasa, Lindeman dalam Knowles (1978) mengidentifikasi beberapa anggapan sebagai dasar teori belajar orang dewasa sebagai berikut: (a) Orang dewasa termotivasi untuk belajar apabila sesuai minat dan kebutuhan sehingga belajarnya akan memuaskan, ini merupakan awal yang tepat untuk memulai aktivitas belajar; (b) Orientasi belajar orang dewasa adalah dipusatkan pada kehidupan, oleh karena itu unit yang tepat bagi pengelolaan belajar adalah situasi kehidupan; (c) Pengalaman merupakan sumber belajar, oleh karena itu metode logi pendidikan orang dewasa adalah analisis pengalaman; (d) Orang dewasa mempunyai kemandirian, oleh karena itu peran pengajar mengajak dalam proses penyelidikan saling menguntungkan; (e) Perbedaan antar individu meningkat, sehingga pendidikan orang dewasa harus membuat penyediaan secara optimal bagi perbedaan dalam gaya, waktu, tempat, dan langkah belajar.
88
Faktor-faktor Eksternal Petani Proses-proses perubahan perilaku, melalui belajar, tidak terlepas dari lingkungan yang berada di luar individu atau pihak-pihak yang mempunyai pengaruh kuat terhadap perilaku individu. Kepemimpinan dalam kelompok, oleh Beebe dan Masterson (1994) dianggap sebagai perilaku yang mempengaruhi, menuntun, memerintah, atau mengendalikan kelompok. Kajian kepemimpinan menyangkut tiga perspektif, yaitu: perspektif sifat, perspektif fungsional, dan perspektif situasional. Kajian perspektif sifat memperlihatkan adanya serangkaian sifat tertentu yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Kajian perspektif fungsional menguji kepemimpinan sebagai perilaku yang mungkin dapat dikerjakan bersama anggota kelompok untuk memaksimalkan efektivitas kelompok, seperti: tuntutan, pengaruh, atau pengendalian. Kajian perspektif situasional mengakomodasi semua faktorfaktor: perilaku, kebutuhan tugas dan kebutuhan proses, juga memperhitungkan gaya kepemimpinan dan situasi. Hersey, Blancad, dan Johnson (1996) mengemukakan tiga kemampuan umum seorang pemimpin adalah kemampuan dalam: (a) Mendiagnosa, memahami situasi yang akan dipengaruhi; (b) Adaptasi, menentukan kombinasi perilaku dan sumberdaya yang dimiliki dengan situasi yang sesuai; dan (c) Komunikasi, berinteraksi yang mudahdipahami dan diterima dengan orang lain. Kemampuan memotivasi adalah bentuk keterampilan (skill) yang dimiliki oleh seseorang (pemimpin) dalam melakukan berbagai kegiatan atau cara yang bertujuan memotivasi atau menggerakkan bawahan agar berprilaku seperti yang diinginkan. Kemampuan memotivasi termasuk dalam kategori interpersonal skill (Katz dan Mann dalam Yukl, 1998). Interpersonal skill adalah ketrampilan untuk melakukan hubungan antar pribadi meliputi: pengetahuan tentang manusia dan proses-proses hubungan antar pribadi, kemampuan untuk mengerti perasaan, sikap, serta motivasi orang lain dari apa yang mereka katakana dan lakukan (emphaty, sensitivitas sosial), kemampuan untuk dapat berkomunikasi secara jelas dan efektif (kemahiran berbicara, kemampuan menyakinkan orang/persuasiveness), serta kemampuan untuk membuat hubungan yang efektif dan kooperatif (kebijaksanaan, diplomasi, ketrampilan mendengarkan, pengetahuan mengenai
89
perilaku sosial yang dapat diterima). Ketrampilan antar pribadi berperan meningkat efektivitas perilaku pemimpin atau manajer yang berorientasi pada hubungan. Pembangunan merupakan salah satu bentuk perubahan sosial yang direncanakan karena diasumsikan bahwa perubahan tersebut dapat dikendalikan ke sasaran yang tepat.
Menurut Lippit; Watson dan Wesley (1958) perubahan
berencana adalah perubahan yang terjadi karena adanya keputusan kita untuk memperbaiki sistem kepribadian, sistem kelompok, sistem organisasi, dan sistem kemasyarakatan dengan tujuan untuk memperoleh tingkat kehidupan yang lebih baik dan memuaskan melalui pertolongan yang diberikan oleh agen-agen perubahan. Penyuluhan pertanian terselenggara sebagai salah satu usaha untuk mendukung pembangunan pertanian di Indonesia. Mosher (1991) menempatkan penyuluhan pertanian sebagai faktor pelancar pembangunan (the accelerators of agricultural development). Penyuluhan pertanian bagi petani dianggap penting karena kemampuan petani dan keputusan-keputusan yang diambil mengenai pelaksanaan usahatani akan sangat menentukan bagi tingkat kecepatan pembangunan pertanian. Slamet (2003) menegaskan penyuluhan pertanian masa depan perlu didasarkan pada visi dan misi yang secara jelas menempatkan petani dan usahatani sebagai sentral; pendekatan yang lebih humanistik, yaitu melihat petani sebagai manusia yang berpotensi, yang dihargai untuk dikembangkan kemampuannya menuju kemandiriannya. Dalam kaitan itu orientasi visi dan misi kelembagaan penyuluhan kembali ke khitah penyuluhan itu sendiri, yaitu pengembangan pemberdayaan petani sehingga petani lebih mampu meningkatkan kesejahteraan diri, keluarga dan masyarakatnya secara mandiri dan tidak tersubordinasi oleh kepentingan pihak lain dalam pengembangan usahataninya. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian perlu lebih profesional, antara lain memerlukan reorientasi: (a) Dari instansi ke pengembangan kualitas individu penyuluh, (b) Dari pendekatan top down ke bottom up, (c) Dari hirarkhi kerja vertikal ke horizontal, (d) Dari pendekatan instruktif ke partisipatif dan dialogis, dan (e) Dari sistem kerja linier ke sistem kerja jaringan.
90
Dalam penyuluhan pertanian, metode kelompok lebih menguntungkan dari media massa karena umpan balik yang dihasilkan mengurangi salah pengertian antara penyuluh dan petani. Interaksi ini memberi kesempatan untuk bertukar pengalaman maupun pengaruh terhadap perilaku dan norma para anggota kelompok (van den Ban dan Hawkins, 1999). Keuntungan metode kelompok diungkapkan Albrecht dkk. (1989) sebagai berikut: (a) Jumlah petani yang dapat dicapai jumlahnya lebih banyak, (b) Menghemat waktu dibandingkan dengan metode individu, (c) Biaya per kapita kelompok sasaran berkurang, (d) Memungkinkan partisipasi yang lebih besar dari kelompok sasaran, (e) Adanya peningkatan penilaian kemampuan penyuluh oleh petani, dan (f) Teknik-teknik dinamika kelompok dapat digunakan untuk meningkatkan perluasan informasi dan meningkatkan kesediaan petani membuat keputusan. Dalam kegiatan penyuluhan dengan khalayak sasaran kelompok, perlu upaya untuk mempengaruhi keberadaan atau kedinamisan suatu kelompok. Golembiewski (1962) dalam Vernelle (1994) mengemukakan tiga kategori faktor situasi kelompok, yaitu: (a) struktur kelompok, (b) karakteristik individu anggota, dan (c) proses-proses yang dibangun kelompok. Struktur kelompok meliputi: ukuran, waktu, lokasi, aturan (formal atau informal), kesukarelaan, keanggotaan (terbuka atau tertutup), pola-pola komunikasi yang dibangun, komunikasi (satu atau dua tahap), apakah struktur memperbolehkan umpan balik, tipe dan status tujuan-tujuan kelompok, dan kesepakatan antar anggota. Karakteristik individu anggota, meliputi: peran yang dijalankan, reaksi perilaku individu, status setiap individu di luar kelompok, tanggapan individu terhadap tekanan kelompok, tanggapan individu terhadap kewenangan, tanggapan individu terhadap kerukunan, agenda terselubung, pengalaman kelompok, kelompok rujukan yang dimiliki oleh anggota yang mempengaruhi sikapnya di kelompok lain. Semakin dinamis situasi kelompok akan mendorong pada peningkatan kapasitas individu dan partisipasinya dalam kelompok tersebut. Berdasarkan uraian di atas secara skematis kerangka berfikir yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 3.1. dan Gambar 3.2.
91
FAKTOR-FAKTOR INTERNAL: Status Sosial Ekonomi Petani Kebutuhan Petani Pengalaman Belajar
Partisipasi dalam Kelembagaan Kelompok Petani Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani
Kedinamisan Kelompok Pembelajar
FAKTOR-FAKTOR EKSTERNAL: Kepemimpinan Lokal Peran Pihak Luar Dukungan Penyuluhan
Kapasitas Petani
Gambar 3.1. Kerangka Berfikir Teoritis
Status Sosial Ekonomi (X1) X1.1. Umur X1.2. Pendidikan Formal X1.3. Pendidikan Non-formal X1.4. Pengalaman Ber-UT X1.5. Tk. Pendapatan X1.6. Tk. Partisipasi sosial
Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan (Y3) Y3.1. Intensitas keterlibatan Y3.2. Kualitas keterlibatan
Tingkat Kebutuhan (X2) X2.1. Kebutuhan Usahatani X2.2. Kebutuhan Sosial Pengalaman Belajar (X3) X3.1. Kontak dg media massa X3.2. Interaksi dg penyuluh X3.3. Interaksi dg petani lain X3.4. Interaksi dg pedagang Tk. Kepemimpinan Lokal (X4) X4.1. Fungsional X4.2. Situasional Intensitas Peran Pihak Luar (X5) X5.1. Pemerintah X5.2. Lembaga swadaya masyarakat X5.3. Lembaga komersial
Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani (Y4) Y4.1. Pencapaian tujuan Y4.2. Fungsi & peran Y4.3. Keinovatifan Y4.4. Keberlanjutan
Tingkat Kedinamisan Kelompok Pembelajar (Y1)
Kapasitas Petani (Y2)
Y2.1. Petani sebagai pengelola UT Y2.2. Petani sbg anggota masyarakat Y2.3. Petani sebagai pribadi & KK
Tingkat Dukungan Penyuluhan (X6) X6.1. Kompetensi penyuluh X6.2. Pendekatan X6.3. Kelembagaan
Gambar 3.2. Hubungan Antar Variabel
92
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka berfikir, maka diajukan hipotesis kerja sebagai berikut: (1) Kedinamisan kelompok dipengaruhi secara nyata oleh status sosial ekonomi petani, tingkat kebutuhan petani, pengalaman belajar, tingkat kepemimpinan lokal, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan penyuluhan. (2) Kapasitas petani dipengaruhi secara nyata oleh tingkat kedinamisan kelompok pembelajar, status sosial ekonomi petani, tingkat kebutuhan petani, pengalaman belajar, tingkat kepemimpinan lokal, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan penyuluhan. (3) Tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok tani dipengaruhi secara nyata oleh tingkat kedinamisan kelompok pembelajar, tingkat kapasitas petani, status sosial ekonomi, tingkat kebutuhan petani, pengalaman belajar, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan penyuluhan. (4) Tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan dipengaruhi secara nyata oleh kapasitas petani yang ditunjukkan oleh kemampuan petani sebagai petani, kemampuan petani sebagai anggota masyarakat, dan peran petani sebagai pribadi dan kepala keluarga. (5) Tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani dipengaruhi secara nyata oleh tingkat kapasitas petani yang ditunjukkan oleh kemampuan sebagai pengelola usahatani, kemampuan petani sebagai anggota masyarakat, dan kemampuan sebagai pribadi. (6) Tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani dipengaruhi secara nyata oleh tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani yang ditunjukkan dengan intensitas partisipasi dan kualitas partisipasi. (7) Tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani dipengaruhi secara nyata oleh partisipasi petani dalam kelembagaan, kapasitas petani, tingkat kedinamisan kelompok pembelajar, status sosial ekonomi, tingkat kebutuhan petani, pengalaman belajar, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan penyuluhan.