KELEMBAGAAN EKONOMI PADA KOMUNITAS PETANI SAYURAN DI PROVINSI BALI Economic Institution on Vegetables Farmers Community in Bali Province Roosganda Elizabeth dan Iwan Setiajie Anugrah Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70. Bogor 16161
ABSTRACT Agricultural sector has proved itself as strong foundation to support activities in other sectors during the economic and financial crisis. The role has closed link with various supporting institution that already exist in the society. For example, traditional institution the subak, banjar adat, ritual and customs in Bali still exist curve due to its homogenesis population. The aim of this paper is to study economic instituttion activity of vegetable farmer at Baturiti, Tabanan, Bali supported by Sub Terminal Agribisnis (STA). STA is predicted to have strong link with vegetable agribusiness and strengthens market institution in the area. When a farmer decides develop and grow horticulture crop it is related with social, culture, and governance (political) aspect. In line with Bali development program which puts emphasize on agriculture sector and as an engine of growth, Baturiti subdistrict with vegetable crops encourages is farmer to fallow.Good Agriculture Practice combined with tourisme, and small scale industrial development characteringed by modern, efficient and retilience management. STA has helped vegetable farmer group in Watuwisesa, Baturiti subdistrict in planning, handling post harvest, and then distribute 49 percent of production to hotel supplier, 20 percent to market selfservice supplier, and 40 percent to retail market. Key word : economic institution, vegetables farmer, socio-culture aspect
ABSTRAK Sektor pertanian telah mampu memulihkan sekaligus sebagai pondasi kekuatan untuk mendukung stabilitas kegiatan sektor riil pada saat terjadi krisis ekonomi dan moneter serta masih berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran ini tidak terbatas dari faktor kelembagaan di masyarakat, misalnya kelembagaan tradisional seperti subak, banjar adat, ritual religi dan adat budaya di Bali relatif masih eksis karena faktor homogenitas penduduknya. Meskipun tidak luput dari dinamika perubahan, namun tidak secepat pada masyarakat yang heterogen. Tulisan ini bertujuan mengkaji aktivitas kelembagaan ekonomi di perdesaan pada lokasi petani sayuran di Baturiti, Tabanan, Provinsi Bali yang di dukung adanya konsep Sub Terminal Agribisnis (STA). Keberadaan STA diprediksi berkaitan erat dengan agribisnis ekonomi sayuran, sekaligus memperkuat kelembagaan pasar di daerah sekitarnya. Ketika usaha hortikultura menjadi pilihan petaninya sebagai upaya mengembangkan aktivitas ekonomi di bidang pertanian, hal ini senantiasa terkait dengan aspek sosial, budaya dan pemerintahan (politik). Dengan menyelaraskan pada pembangunan yang menitikberatkan pada sektor pertanian dan sebagai motor penggerak perekonomian Kecamatan Baturiti dengan penekanan pada komoditas sayuran serta mendorong petaninya mengikuti budidaya yang berwawasan agribisnis dipadu dengan pariwisata dan industri kecil mengikuti sistem pengelolaan
Kelembagaan Ekonomi pada Komunitas Petani Sayuran di Provinsi Bali
mutakhir, efisien, tangguh. Keberadaan dan aktivitas STA telah membantu kelompok petani sayuran di Watuwisesa Kecamatan Baturiti membentuk suatu koperasi dalam merencanakan produksi, penanganan pascapanen dan kemudian mendistribusikan ke pasaran, dengan tujuan: 49 persen ke pemasok hotel, 20 persen pemasok pasar swalayan, dan 40 persen ke pasar eceran. Kata kunci : kelembagaan ekonomi, petani sayuran, sosial budaya
PENDAHULUAN
Sektor pertanian di Indonesia dan di negara berkembang lainnya memiliki beberapa kekhasan seperti: melibatkan banyak orang dengan pemilikan sumber daya terbatas, tingkat keterampilan dan pengetahuan relatif rendah, serta dukungan social network kurang, khususnya untuk memasuki era ekonomi modern saat ini. Namun demikian jika ditangani secara serius, sektor pertanian sesungguhnya mampu memulihkan sekaligus menjadi tulang punggung bagi perkembangan sektor riil yang telah merosot akibat krisis ekonomi yang dialami Indonesia sejak tahun 1997. Diakui atau tidak, sektor pertanian juga merupakan basis dan landasan perekonomian Indonesia selama ini, mengingat secara ekonomi konstribusi sektor pertanian terhadap perekonomian nasional relatif masih cukup besar dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya. Secara teoritis konsep ekonomi itu sendiri mempunyai dua pengertian, dalam arti formal ekonomi sebagai proses maksimisasi dan secara subtansial, ekonomi juga merupakan upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup di tengah lingkungan alam dan sosialnya, sehingga berlaku secara universal (Polanyi, 1957). Dalam memahami perilaku ekonomi pada suatu komunitas petani atau masyarakat secara lebih luas, maka secara eksplisit dan implisit mengindikasikan hubungan antara sistem ekonomi dengan konteks sosial budaya pada keberadaan suatu sistem. Keberadaan konsep ekonomi modern merupakan produk yang memunculkan sistem ekonomi pasar (Polanyi, 1957), serta berlaku secara universal, sehingga dapat dioperasikan untuk memahami tata ekonomi suatu masyarakat (Firth dan Goodfellow, 1986; dalam: Mitchell, 1994). Sementara adat istiadat tidak mengatur perilaku ekonomi masyarakat non-modern, justru menjadikan proses ekonomisasi berlangsung, sehingga bila universalitas pengetahuan ekonomi tidak berlaku, maka ia adalah sia-sia (Goodfellow, 1986; dalam: Mitchell, 1994). Semua kegiatan maupun tindakan, pada dasarnya memiliki aspek ekonomis, sosial dan budaya, dimana bentuk-bentuk sosial tertentu harus ada sebelum mencapai pertumbuhan ekonomi tertentu. Struktur ekonomi sebagai salah satu konsep utama materialisme, memuat hubungan produksi yang mencakup: kepemilikan harta benda, upah buruh, sistem pasar, keadaan/gejala eksploitasi tenaga kerja, dan sebagainya. Masyarakat Tabanan (Bali) dalam upaya mengembangkan dan mempertahankan sistem perekonomiannya senantiasa terkait dengan aspek sosial dan budaya. Perkembangan berbagai pusat pariwisata di Bali sangat pesat, seperti kawasan Nusa Dua, merupakan faktor penarik bagi percepatan perkembangan
135
Roosganda Elizabeth dan Iwan Setiajie Anugrah
industri pertanian hortikultura sayur-sayuran di beberapa desa di Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Permintaan berbagai jenis sayuran untuk memenuhi kebutuhan hotel dan restoran relatif bisa lebih diprediksi dan dengan adanya kesepakatan harga, menjadi faktor penguat bagi peningkatan pemasaran sayuran di Baturiti. Ketika usaha hortikultura menjadi pilihan petani, sekaligus merupakan bagian aktivitas ekonomi di bidang industri pertanian dan dijalankan sebagai sumber mata pencaharian, maka jika ditelusuri secara historis maupun prospek ke depannya, selalu terkait dengan aspek sosial, budaya dan pemerintahan (politik). Tulisan ini bertujuan mengkaji aktivitas kelembagaan ekonomi di perdesaan diantaranya pada lokasi petani sayuran di Kecamatan Baturiti, Tabanan, Provinsi Bali yang didukung dengan adanya konsep sub terminal agribisnis (STA). Keberadaan STA diprediksi berkaitan erat dengan kelembagaan ekonomi sayuran, sekaligus memperkuat kelembagaan pasar di daerah sekitarnya.
METODOLOGI
Penelitian dilaksanakan di Provinsi Bali dan secara purposive memilih Kecamatan Baturiti di Kabupaten Tabanan, yang merupakan daerah dataran tinggi dengan dominasi usaha tani sayuran sebagai unit analisis yang otonom. Pemilihan desa dan kelembagaan dilakukan secara acak, terdiri dari kelembagaan pemerintahan (politik), kelembagaan pasar (ekonomi), dan kelembagaan komunitas (sosial) (sekitar 35 kelembagaan). Dalam setiap kelembagaan sampel dilakukan wawancara mendalam kepada para pengurus dan anggotanya, dengan menggunakan kuesioner sebagai alat bantu. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, sehingga jumlah responden bukan menjadi pertimbangan, namun lebih ditekankan pada kedalaman dan kecukupan informasi (representatif). Penggunaan pendekatan kualitatif, karena ; studi ini membahas aspek perilaku yang sangat kompleks (nilai, norma, motivasi, persepsi, tujuan, dan alat untuk mencapai tujuan); membahas aspek struktur sosial (peran, aktivitas, hubungan antar peran, integrasi atau koordinasi sosial, struktur umum, perbandingan struktur tekstual dengan struktur riel, struktur kewenangan atau kekuasaan, struktur pengambilan keputusan, hubungan aktivitas dengan tujuan, aspek solidaritas, klik, dan pola kekuasaan); karena lebih mampu mengungkapkan fakta secara induktif. Komunitas petani di desa Baturiti memiliki daya tarik tersendiri, karena masyarakatnya masih menjunjung tinggi adat istiadat dan seni budaya. Tingginya nilai dan norma-norma kesusilaan antar penduduk, kepatuhan dan ketaatan dalam menjalankan ritual adat serta keyakinan yang turun temurun telah melekat (embeddedness) dan membudaya, dimana di masa depan menjadi masyarakat berbasis ekonomi industrial dengan sistem perekonomian pasar bebas. Data dan informasi yang diperoleh, dikaji untuk memperkaya nuansa sosial budaya terhadap perubahan yang terjadi, terkait dengan berbagai aspek kelembagaan perekonomian rakyat dari perspektif perilaku ekonomi komunitas petaninya.
136
Kelembagaan Ekonomi pada Komunitas Petani Sayuran di Provinsi Bali
KERANGKA PEMIKIRAN
Penjelasan mengenai kegiatan ekonomi suatu masyarakat tidak cukup hanya dari sisi ilmu ekonomi, khususnya hanya melihatnya secara sempit sebagai agregat dari perilaku-perilaku yang individualistis. Interaksi antar individu terjadi dalam wadah kelembagaan. Dalam kaitan kelembagaan ini, para ekonom, sosiolog, dan antropolog menjustifikasi kelembagaan berdasarkan kompleksitas terhadap aspek alam, fisik, sosial, serta tatanan sosial melalui berbagai sistem pendekatan ekonomi kelembagaan. Pendekatan indikatif untuk perilaku ekonomi, selalu dikaitkan dengan sistem makna dan lingkungan yang berlatar belakang komunitas maupun paham religi yang dimiliki. Sedangkan pendekatan indikatif untuk ekonomi kebijakan dan ekonomi ekologi dalam sebuah proses produksi, berhubungan/konvergensi dengan proses eksploitasi lingkungan/alam (Cook, 1979; dalam: Sairin, 2002). Lemahnya struktur perekonomian komunitas petani, diimplikasikan dari berbagai dampak negatif lanjutan, seperti: terjadinya kontraksi perekonomian nasional, degradasi SDA (lahan, air), serta terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha yang mempertajam kesenjangan antar golongan masyarakat maupun yang terkait dengan kelembagaan perekonomian kerakyatan/tradisional di perdesaan. Hal ini disebabkan oleh strategi pembangunan ekonomi nasional yang sentralistik, bias mengejar pertumbuhan, bias kawasan/wilayah, kurang memperhatikan aspek keadilan dan berkelanjutan; serta merupakan pola pembangunan konvensional yang menghasilkan kinerja ekonomi nasional yang rapuh (Saptana et al., 2003). Berkembangnya perilaku ekonomi yang terkait dengan konsep kelembagaan, dapat diindikasikan merupakan proses “rujuknya” ilmu ekonomi sebagai cabang, dengan ilmu sosiologi sebagai induknya (Seoule, 1994). Menurut Pakpahan (1989), suatu kelembagaan dicirikan oleh 3 hal utama, yaitu: (1) Yurisdiction of boundary (batas yuridiksi); (2) Property right (hak kepemilikan); (3) Rule of representation (aturan representasi). Perubahannya menghasilkan performance yang diinginkan, dan ditentukan oleh: (1) sence of community (perasaan sebagai satu masyarakat); (2) eksternalitas; (3) homogenitas; dan (4) economic of scale (skala ekonomi). Secara konseptual, kelembagaan berasal dari istilah pranata yang mengandung pengertian sebagai padanan institution dan pranata sosial bagi social institution (Koentjaraningrat, 1977). Pranata juga diartikan sebagai kelakuan berpola dari manusia dalam kebudayaannya, sedangkan pranata sosial diartikan sebagai suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat pada berbagai aktivitas, untuk memenuhi kompleksitas kebutuhan hidup termasuk aktivitas dan perilaku ekonomi masyarakat, dalam artian bahwa penekanannya harus pada aspek tata kelakuan dan norma yang memiliki fungsi khusus bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, maka institution merupakan kaidah formal dan informal yang mengatur perilaku dan tindakan anggota masyarakat untuk mencapai tujuan (Mubyarto, 2002).
137
Roosganda Elizabeth dan Iwan Setiajie Anugrah
Pada hakekatnya, terdapat 3 bentuk kelembagaan pokok dalam masyarakat, yaitu: komunitas, pemerintahan, dan pasar. Pemberdayaan tersebut terkait tata hubungan di antara mereka, khususnya aspek struktur dan perilaku agar pemberdayaan menuju pengembangan ekonomi ditingkat lokal dapat berjalan. Faktor personalitas menjadi penentu kemajuan ekonomi suatu masyarakat, sejauh sistem masyarakat tidak menghambat perwujudan tata nilai maju yang diusung oleh individu masyarakat yang bersangkutan. Strategi pengembangan perekonomian rakyat di perdesaan sangat terkait dengan perilaku ekonomi komunitasnya. Strategi tersebut dapat ditempuh dengan pengembangan kelembagaan lokal pendukung, pengembangan pertanian rakyat berbasis budaya industrial; seperti pengembangan agroindustri berbasis bahan baku setempat, atau pengembangan teknologi tepat guna dan bersifat spesifik lokasi. Begitu sentralnya peran kelembagaan dalam masyarakat, sehingga setiap perilaku ekonomi dan perubahan sosial menjadikan kelembagaan sebagai wadahnya. Setiap aktivitas program pembangunan membentuk suatu kelembagaan baru, misalnya: koperasi untuk usaha ekonomi; kelompok tani untuk budidaya pertanian; kelompok P3A untuk urusan air irigasi (pengairan); kelompencapir untuk penyebaran dan pemenuhan informasi; kelompok ternak bagi peternak; STA untuk pemberdayaan petani hortikultura, dan kelembagaan lainnya. Dengan demikian, kelembagaan dalam sistem perilaku ekonomi merupakan sistem organisasi dan kontrol terhadap sumber daya. ENTITAS SOSIAL EKONOMI PETANI DI PERDESAAN Aktivitas ekonomi pada komunitas petani di perdesaan sangat erat kaitannya dengan kelembagaan ekonomi itu sendiri. Masih lemahnya kinerja ekonomi di perdesaan menunjukkan rendahnya kapasitas dan interaksi antar kelembagaan serta partisipasi petani dalam aktifitas jaringan ekonomi terkait pembangunan perdesaan. Salah satunya dikarenakan pelaksanaan pembangunan pertanian tidak local institution endowment. Perekonomian perdesaan sangat ditunjang oleh usaha pertaniannya sebagai sektor riil yang sangat potensial dan berspektrum luas. Strategi pembangunan dan pengembangan agribisnis mendorong petani menuju pertanian modern yang produksinya tinggi, terspesialisasi (komoditas komersial), serta produknya hampir secara keseluruhan untuk memenuhi pasar komersial (Todaro, 1983). Masyarakat dipedomani pola nilai dan norma berupa struktur yang baku dalam berperan. Dalam memenuhi kebutuhan hidup, melakukan proses produksi maupun distribusi, dijalankan oleh fungsi kelembagaan ekonomi. Secara sederhana hal tersebut diilustrasikan pada Gambar 1. Dari bagan di atas, aktivitas dan perilaku ekonomi dan pengembangannya di tingkat lokal bergantung kepada tiga pilar kelembagaan yang menopang kehidupan suatu masyarakat, yaitu: private sector (kelembagaan pasar atau ekonomi), voluntary sector (kelembagaan komunitas), dan public sector (kelembagaan pemerintahan/politik/pengambilan keputusan di tingkat publik) (Uphoff, 1986).
138
Kelembagaan Ekonomi pada Komunitas Petani Sayuran di Provinsi Bali
3 pilar utama kehidupan masyarakat: 1. private sector 2. voluntary sector 3. public sector (ekonomi, komunitas, pemerintahan)
Perilaku Ekonomi Komunitas Petani dan Pengembangaannya Sistem pertanian maju, komersial, terintegrasi hulu-hilir, jangka panjang, berkelanjutan
Tradisional, subsisten, parsial, jangka pendek, tidak berkelanjutan Jaringan Ekonomi Kerakyatan
Gambar 1. Pola Perilaku Ekonomi Komunitas Petani
Perilaku ekonomi suatu komunitas petani, dalam konsep dasar pemikiran didasarkan pada beberapa prinsip, seperti: (1) Mentransfer konsep ekonomi ke dalam antropologi, dimana untuk melihat hubungan ”keterbelengguan” (keterlekatan) dengan batasan sistem sosial masyarakat (budaya, religi/keyakinan) yang membias dalam berperilaku ekonomi; (2) Paham substantivist, sebagai konsep kelembagaan yang terkait dengan konteks pengertian, bahwa dengan paham substantivist berarti adanya bias deskriptif (sejarah) yang bersifat anti generalisasi (perilaku ekonomi masyarakat modern). Tiga dimensi yang menyangkut kebutuhan manusia yaitu: sebagai individual, sosial dan moral, selalu saling berkaitan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Terdapat berbagai penyebab perbedaan perilaku ekonomi pada suatu masyarakat yang di dasari oleh berbedanya :(a) sistem produksi; (b) segi ekonomi distribusi; (c) pendekatan antropologi ekonomi; (d) pendayagunaan sumber daya; dan (e) perbedaan organisasi/ kelembagaannya (Heilbroner, 1982). Sedangkan kebudayaan berfungsi sebagai blue print bagi sikap dan perilaku manusia dalam kesatuan sosialnya yang tumbuh, berkembang dan mengalami berbagai perubahan sesuai dengan kebutuhan hidup manusia. Perubahan tersebut menyatu kuat dengan nilai-nilai masyarakat pendukung kebudayaan tersebut, serta terkait erat dengan pengaruh lingkungan hidup (alam, sosial dan lingkungan buatan).
PERILAKU SOSIAL EKONOMI PETANI DAN SINERGISITAS KELEMBAGAAN
Perilaku Ekonomi Komunitas Petani dan Kinerja Program Ekonomi Kerakyatan Berdasarkan potensi sumber daya bio-fisik, SDM, serta infra strukturnya, usaha pertanian merupakan sektor utama dalam kegiatan ekonomi komunitas
139
Roosganda Elizabeth dan Iwan Setiajie Anugrah
petani di Tabanan. Perkembangan usaha pariwisata beserta usaha di bidang jasa yang terkait dengan kegiatan tersebut, cukup memberikan karakteristik yang khas terhadap perilaku ekonomi yang berkaitan dengan bentuk-bentuk ekonomi kerakyatan di Bali. Di dasarkan atas fenomena dan kenyataan tersebut, berbagai program pembangunan telah diimplementasikan pemerintah di wilayah ini. Kesejahteraan komunitas pertanian yang relatif terbatas, diantaranya karena keterbatasan dalam hal ; kepemilikan lahan yang semakin sempit (kurang dari 0,5 Ha); tingkat penguasaan informasi, manajemen dan teknologi; dan berbagai faktor lain yang mengakibatkan usaha sektor pertanian menjadi kurang menguntungkan dari segi ekonomi. Menyusutnya lahan pertanian yang subur dan potensial akibat dikonversi ke berbagai usaha kegiatan non-pertanian, merupakan masalah yang harus segera di atasi secara bijaksana dengan tetap mempertimbangkan konsep kelestarian. Secara umum, perilaku komunitas petani di Bali pada sektor eksternal (ekonomi global) sangat mempengaruhi kinerja ekonomi kerakyatan, karena terkait dengan sektor pariwisata. Kegiatan ekonomi dari pariwisata semakin dapat dinikmati oleh sebagian besar masyarakat dengan adanya pembenahan infrastruktur beserta fasilitasnya. Pemanfaatan tanah di Bali yang tergolong sangat subur, dengan kehidupan alamiah desa yang dipadu adat istiadat budaya, mendorong pemerintah daerah untuk mengembangkan dan mempopulerkan program “wisata desa”, sebagai salah satu objek wisata bagi para turis. Para petani juga tetap melakukan aktivitas usaha taninya dan dapat menjual hasilnya kepada turis yang berkunjung. Tabel 1. Keragaan Umum Perilaku Ekonomi Komunitas Petani pada Struktur Tataniaga Sayuran di Baturuti Aspek Historik
Desa Baturiti
Kelembagaan
Dulu ditanami kopi, panili, jagumg dan singkong. Ternak umumnya babi dan sapi. Hortikultura mulai ditanam ketika tahun 1985 kompleks Hotel Nusa Dua dan seiring dengan meningkatnya permintaan akan komoditi tersebut. Tahun 1990-an, sekitar 80-an jenis komoditi sayuran yang diminta oleh berbagai hotel dan restoran.
Tahun 1980-an, berdiri HPHB (Himpunan Pengusaha Hortikultura Bali) yang dibantu PT. Bali Tourism Development Center (PT. BTDC). Pendirian Sub Terminal Agribisnis (STA) untuk membantu HPHB.
Struktur Pasar
Oligopsonistik.
Tujuan Pasar
Seluruhnya untuk memenuhi kebutuhan di wilayah Bali: 30-40% untuk hotel dan restoran. Sisanya untuk ke pasar biasa/umum.
Sumber: Saptana et al., 2003
140
Kelembagaan Ekonomi pada Komunitas Petani Sayuran di Provinsi Bali
Hal tersebut merupakan salah satu entry point dari perilaku ekonomi pada komunitas petani untuk pengembangan ekonomi kerakyatan. Berbagai program ekonomi kerakyatan telah dikembangkan pemerintah, seperti: proyek rehabilitasi pengembangan tanaman ekspor (PRPTE, 1990) untuk tanaman kopi, lada, panili dan kelapa; PPT (1990); PRT (1995); PPA (2000) dan PPWT (1993-2001). Pengembangan dan pewilayahan komoditas pertanian juga telah dilakukan oleh pemerintah, dengan pembentukan wilayah Sub Terminal Agribisnis (STA), dengan cakupan pada 5 program pengembangan sentra produksi, yaitu: (1) sayuran dataran tinggi di Baturiti, Tabanan; (2) melon di Pangiangan; (3) buah-buahan (mangga) di Buleleng; (4) sapi (penggemukan) di Bangli dan Badung; serta (5) rencana mendirikan kawasan agropolitan (2002) di Bangli.
Perilaku Ekonomi Petani Sayuran Ditinjau dari Kelembagaan Ekonomi Komoditas sayuran mulai berkembang di Baturiti, sekitar tahun 1980-an. Sebelumnya, wilayah Baturiti yang didominasi lahan kering berbukit, sebagian lahannya ditanami padi gogo, jagung, ubi jalar, singkong, dan kacang tanah. Setengah areal lahan lainnya diusahakan dengan tanaman perkebunan: kopi arabika dan panili. Pengembangan usaha tani sayuran didukung oleh berbagai kelembagaan ekonomi dalam kaitan dengan permodalan, sarana produksi dan pemasaran. Kelembagaan ekonomi yang sudah ada di lokasi, diantaranya adalah koperasi, Sub Terminal Agribisnis, Lembaga Perkreditan Desa (LPD), kelompok tani, dan usaha perdagangan. Sedangkan kelembagaan pemerintahannya meliputi: Desa, Dinas, BPD, dan LKMD, disamping kelembagaan komunitas, seperti Desa Adat dan Banjar Adat. Lembaga Perkreditan Desa (LPD), relatif berbeda dengan koperasi. LPD merupakan institusi yang tumbuh berdasarkan atas ikatan adat budaya lokal, yaitu kesatuan hidup territorial se-Desa Adat, yang menyatu dengan kelembagaan pemerintahan adat. Kunci keberhasilannya adalah dukungan masyarakat yang kuat melalui Desa Adat dan Banjar Adat. Keuntungan usahanya sebagian masuk kas pemerintahan adat untuk pembangunan sarana umum dan peribadatan. Semua permasalahan yang timbul dalam LPD, dibicarakan secara terbuka dalam setiap pertemuan bulanan di Balai Banjar yang dihadiri seluruh warga sebagai anggotanya. Kelompok taninya merupakan salah satu kelembagaan ekonomi yang mengandalkan hubungan horizontal sesama petani pada sub sektor budidaya, dan merupakan wadah komunikasi maupun penyaluran bantuan material dari pemerintah. Kelembagaan “Subak” juga merupakan gambaran perilaku ekonomi komunitas petani di Bali dalam bentuk kelembagaan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Subak merupakan kelembagaan khas pada masyarakat Bali yang memiliki peranan penting dalam pengaturan sistem pengairan bagi pertanian di lahan persawahan. Satu hal yang positif, adalah sebagaimana pemerintah pusat tetap mengakui keberadaan “desa adat” dan “banjar adat”, sehingga hampir seluruh program pembangunan pertanian yang dilaksanakan, dilakukan melalui kelembagaan adat ini. Kalau-pun suatu program,
141
Roosganda Elizabeth dan Iwan Setiajie Anugrah
membutuhkan kelembagaan baru, maka Subak tetap dipakai sebagai basisnya. Hal ini seperti terlihat dalam pembentukan kelompok tani dalam program Bimas yang tidak mengubah struktur, serta pada program UPJA yang cukup dengan menambahkan posisi manajer pada struktur yang ada. Secara umum, kinerja proyek atau program pembangunan pertanian yang dilaksanakan melalui kelembagaan adat (Subak dan Banjar) menunjukkan kinerja yang lebih baik. Hal ini disebabkan karena keberhasilannya lebih terjamin, dengan mengandalkan kepada ikatan dan kepatuhan yang sudah ada sebelumnya. Subak dapat bertahan dan eksis karena memiliki sumber ekonomi sendiri yang mandiri, yaitu “pengaci” dan “pengempel”, yang merupakan iuran petani untuk pelayanan pengairan. Uang yang terkumpul, selain digunakan untuk honor pengurus Subak, juga untuk pemeliharaan sarana irigasi dan peribadatan dan kebutuhan berbagai upacara adat yang berkaitan dengan aktivitas usaha tani di sawah. Perilaku ekonomi komunitas petani di Bali juga tercermin dari aktivitas ekonomi kelompok tani, seperti: usaha tani dan pemasaran produksi sayuran; arisan kelompok setiap bulan; “pengaci” dengan upah 2 kg gabah/are; usaha pembuatan tape singkong, kripik singkong, kue basah (jajanan pasar) dan kacang asin (merupakan salah satu produk cemilan terkenal dari Bali); di samping produk kerajinan tangan lainnya (tenunan, ukiran, lukisan). Keterkaitan dengan gambaran tersebut, maka secara teoritis menunjukkan bahwa pada dasarnya terdapat 3 pendekatan homogenitas (Cancian; dalam: Plattner (1999) : 133-136), antara lain sebagai: komunitas tertutup (Wolf); the lanage of limited good (Foster); ekonomi petani sebagai tipe khusus (Chayanov). Faktor ”kehomogenitasan” (Lewis, 1951; dalam Plattners (1989) komunitas di wilayah juga merupakan salah satu paradigma penting dalam menentukan keberhasilan berbagai kelembagaannya, demikian juga dengan kondisi sosial, budaya (adat-istiadat), politik dan pemerintahannya. Dengan pendekatan homogenitas, beberapa perbedaan yang terdapat dan muncul dalam suatu komunitas akan lebih mudah dijembatani. Meskipun tingkat sosial ekonomi masyarakat Bali tidak sama karena berlakunya sistem derajat atau kekastaan dalam kehidupan sosial, maka dengan pendekatan homogenenity, terutama dalam aktivitas ritual (keagamaan) dan adatistiadat, tetap mencerminkan kehomogenan dalam pemahaman dan pelaksanaannya. Stratifikasi (internal dan eksternal) baru terlihat pada status perekonomian dan kasta. Seiring perkembangan waktu dan zaman (terutama dalam peraturan maupun larangan/pantangan antar kasta yang berbeda), mulai terkikis dan mengalami perubahan akibat adanya pembaharuan secara perlahanlahan (memudar). Stratifikasi internal juga tercermin pada interaksi dengan dunia ekonomi, khususnya dalam merespon perubahan ekonomi global maupun perilaku ekonomi dalam komunitas mereka (lokal). Masyarakat Bali memiliki communities, yang secara historis (terutama dalam konteks melakukan beberapa sisi merupakan komunitas
142
karakteristik homogenitas dan corporate merupakan komunitas kerja sama tertutup perkawinan dan ritual peribadatan), namun di terbuka. Masyarakat Bali tidak terisolasi atau
Kelembagaan Ekonomi pada Komunitas Petani Sayuran di Provinsi Bali
berswasembada sebab dalam kondisi sekarang, perilaku ekonomi yang dijalankan dilingkungannya, mau tidak mau bergantung pada usaha yang bersifat ekonomi komersial seiring dengan semakin berkembangnya iklim pariwisata internasional di Bali, “wisata desa”, serta perkembangan industrialisasi pertanian, seperti: dalam komoditi panili, lada, tembakau; maupun produk daging sapi.
Perilaku Ekonomi Petani Sayuran Baturiti (Bali umumnya) di Masa Depan Di masa mendatang, usaha pertanian di Bali diarahkan untuk menjadi usaha dengan wawasan agribisnis, yaitu sebagai wujud pertanian yang modern, efisien dan tangguh. Dengan karakter seperti ini, sektor pertanian dapat diandalkan sebagai sumber pangan, pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan penghasil devisa, sehingga sektor perekonomian di Bali dapat lebih beragam. Pembangunan Bali dititikberatkan pada sektor pertanian, pariwisata dan industri kecil, yang membawa konsekuensi bahwa sektor pertanian ditempatkan sebagai motor penggerak perekonomian, dimana sektor pertanian juga memiliki linkage (kaitan) yang lebih luas, baik kaitan ke sektor hulu maupun ke hilir. Satu program berskala besar yang gencar dirumuskan, adalah pengembangan STA sebagai infrastruktur dan kawasan pemasaran, yang diintegrasikan melalui konsep Agropolitan, (konsep pembangunan wilayah pertanian/agro dengan kota/politan). Efektivitas pemerintah daerah untuk memobilisasi para pedagang agar bersedia memindahkan kegiatannya ke STA, adalah dengan menyediakan infrastruktur fisik STA, disamping akan diberlakukan PERDA. Untuk mengoperasionalkan STA, selanjutnya pemerintah harus mampu menyediakan beberapa fasilitas baik infrastruktur fisik, sarana penunjang, bantuan teknis dan manajemen, serta permodalan. Untuk pembangunan fasilitas operasionalnya, STA didukung instansi PMD, Kimpraswil, dan Dinas Perdagangan, serta BUMD. Keberadaan dan aktivitas STA mulai dilakukan pada satu kelompok petani sayuran di Watuwisesa yang beranggotakan 60 orang. Dengan bantuan STA, kelompok tani tersebut telah membentuk suatu koperasi. Kelompok tani merencanakan produksi, penanganan pascapanen, dan kemudian mendistribusikan ke pasaran, yaitu dengan tujuan : 49 persen ke pemasok hotel, 20 persen pemasok pasar swalayan, dan 40 persen ke pasar eceran. Salah satu pendekatan yang dilakukan dalam kaitan pemasaran produk tadi, adalah dengan melihat kecenderungan di masa mendatang, menuju integrasi dari semua lapisan menjadi a single worldwide (suatu sistem mendunia yang tunggal). Dalam artian bahwa suatu sistem, dimana komunitas peysan menjadi terbuka, dan pada akhirnya kehilangan ciri khasnya. A cyclical pattern (suatu pola yang mendaur), adalah suatu proses yang membuka dan menutup komunitas peysan selama berabad yang lalu, dalam hal interaksinya dengan sistem yang lebih besar, dan mengharapkan bahwa pola ini akan berkelanjutan. Pendapat tersebut menjadi dukungan ilustrasi dan interpretasi pada historis masa kini, dimana akses sistem komunikasi, informasi dan transportasi semakin luas dan lancar, maka semakin sedikit manusia bisa mendukung
143
Roosganda Elizabeth dan Iwan Setiajie Anugrah
kehidupan di atas lahannya sendiri. Agar produk mereka mampu berkompetisi di pasar dunia, otomatis mereka tegantung pada pemakaian inovasi teknologi (pupuk, pestisida). Peysan yang landless akan menjual tenaga kerja di perkotaan dan berubah menjadi proletarians maupun semi-proletarians. Sulit untuk membayangkan kecenderungan tersebut akan berbalik (to reverse). Ditinjau dari keterkaitannya dengan teknologi maupun hubungan ekonomi (konsep utama antropologi ekonomi/kultural materialistis) kehidupan dan perilaku komunitas petani di Bali (termasuk kaum wanitanya) kini telah terkait erat dengan sistem yang lebih besar (globalisasi).
Sinergisitas Aspek Sosial Budaya dan Kelembagaan Ekonomi Rakyat Perilaku ekonomi komunitas petani dalam kehidupan masyarakat perdesaan Bali, hingga kini masih bekerja di bidang pertanian, mengingat tidak terlalu banyak memperoleh manfaat langsung, sekalipun adanya perkembangan perekonomian perkotaan yang digerakkan industri, perdagangan dan jasa turisme. Interaksi masyarakat perdesaan Bali dengan kehidupan dan dinamika perekonomian modern (perkotaan-industri-jasa) masih terbatas pada penyiapan jasa tenaga kerja atau buruh yang hanya memiliki skill (ketrampilan) seadanya. Dilihat dari pemenuhan tenaga kerja berketrampilan tinggi, keberadaan mereka ini secara ekonomi tidak begitu diperhitungkan terhadap kemajuan kehidupan perekonomian modern di Bali. Strategi memajukan ekonomi Bali, terlihat belum sebangun dengan memajukan perekonomian perdesaannya. Tidak terlihat ada strategi khusus untuk pemberdayaan perekonomian perdesaan yang menitikberatkan pada penguatan kelembagaan petaninya. Diindikasikan adanya gejala ketidakberdayaan pemerintah setempat untuk memajukan perekonomian pertanian di perdesaan, bila dibandingkan kemajuan perekonomian yang dicapai oleh masyarakat perkotaannya. Keberadaan kelembagaan tradisional (Banjar, Subak, dan Kelompok Tani) sepertinya belum mampu menjadi faktor penguat integrasi antara kemajuan perekonomian perkotaan yang digerakkan oleh pertanian dan tenaga kerja berketrampilan rendah. Dilandasi pemikiran bahwa aspek sosio-budaya sangat menentukan perkembangan masyarakat, maka secara sosiologis (teoritis) kelompok komunal atau kelembagaan lokal tradisional tersebut seharusnya dapat digunakan sebagai basis perilaku ekonomi komunitas petani dalam pengembangan perekonomian kerakyatan di perdesaan. Hal ini mengindikasikan bahwa perilaku ekonomi komunitas di perdesaan akan sulit berkembang (dalam arti memiliki daya saing tinggi), tanpa adanya dukungan kelembagaan dengan kinerja yang bisa diandalkan. Basis kelembagaan ekonomi rakyat di perdesaan yang kuat perlu dibangun, jika menginginkan terwujudnya perekonomian kerakyatan di perdesaan sebagai penghela bagi perekonomian nasional. Dengan demikian upaya untuk membangun basis perekonomian kerakyatan di perdesaan saat ini, dipandang sebagai kebutuhan yang sangat mendesak. Mengandalkan sistem organisasi konglomerasi dan pemusatan pada
144
Kelembagaan Ekonomi pada Komunitas Petani Sayuran di Provinsi Bali
penguasaan kapital yang terlalu besar terhadap sejumlah kecil pelaku untuk berperilaku ekonomi, ternyata tidak menghasilkan kinerja perekonomian nasional yang kuat. Sistem konsep kelembagaan peradaban tradisional, seperti Subak dan Banjar Adat tetap bertahan dan dipergunakan sebagai basis yang diaplikasikan dalam setiap lembaga (baik itu sebagai lembaga yang baru dibentuk), yang berfungsi pada peysan di Bali. Hasil penelitian ini akan berguna, apabila ada collective political commitment eksekutif dan legislatif mulai dari tingkat pusat sampai daerah serta kesadaran komunitas petani dalam berperilaku ekonomi untuk memperkuat jaringan ekonomi kerakyatan di perdesaan.
KESIMPULAN DAN SARAN KEBIJAKAN
Sektor pertanian masih merupakan sumber perekonomian yang sangat potensial bagi sebagian besar masyarakat di perdesaan serta memberikan kontribusi cukup besar bagi dasar pembangunan ekonomi secara nasional. Penetapan sektor pertanian sebagai basis ekonomi, tidak terlepas dari peran serta kelembagaan sosial, ekonomi dan budaya didalam pelaksanaannya. Bagi masyarakat perdesaan di sebagian besar wilayah Provinsi Bali, perpaduan ketiga aspek tersebut merupakan modal dasar, bagaimana kelembagaan ekonomi yang dijalankan selaras dengan kebudayaan lokal yang selama ini dilaksanakan secara turun temurun. Dengan demikian baik secara konsep maupun implementasi dalam proses pembangunan pertanian, akan senantiasa diterapkan melalui perspektif perilaku ekonomi dan eksistensi kelembagaan komunitas petaninya. Sistem konsep kelembagaan peradaban tradisional, seperti Subak dan Banjar Adat tetap bertahan dan dipergunakan sebagai basis yang diaplikasikan dalam setiap lembaga (baik itu sebagai lembaga yang baru dibentuk), yang berfungsi pada peysan di Bali. Peran keberadaan dan aktivitas STA salah satunya ditemukan pada satu kelompok petani sayuran di Watuwisesa yang beranggotakan 60 orang, dengan terbentuknya suatu koperasi. Dengan bantuan STA, kelompok tani merencanakan produksi, penanganan pascapanen, dan kemudian mendistribusikan ke pasaran, yaitu dengan tujuan : 49 persen ke pemasok hotel, 20 persen pemasok pasar swalayan, dan 40 persen ke pasar eceran. Sistem konsep kelembagaan peradaban tradisional, seperti Subak dan Banjar Adat tetap bertahan dan dipergunakan sebagai basis yang diaplikasikan dalam setiap lembaga (baik itu sebagai lembaga yang baru dibentuk), yang berfungsi pada peysan di Bali. Hasil penelitian ini akan berguna, apabila ada collective political commitment eksekutif dan legislatif mulai dari tingkat pusat sampai daerah serta kesadaran komunitas petani dalam berperilaku ekonomi untuk memperkuat jaringan ekonomi kerakyatan di perdesaan. Sekalipun dalam perkembangan tatanan pembangunan ekonomi yang lebih luas ke depan, diperlukan strategi untuk melakukan sinergisitas antara aspek sosial budaya dengan kelembagaan ekonomi modern yang lahir dari tuntutan kebutuhan ekonomi global.
145
Roosganda Elizabeth dan Iwan Setiajie Anugrah
DAFTAR PUSTAKA
Heilbroner, R. 1982. Terbentuknya Masyarakat Ekonomi. Ghalia Indonesia. Jakarta. Koentjaraningrat. 1997. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Gramedia. Jakarta. Mitchell, B. 1994. Sustainable Development at the Village Level in Bali. Human Ecology: An Interdiciplinary Journal. Vol.22 (3). 3 Sept. 1994. pp.189-211. Mubyarto. 2002. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat dan Peranan Ilmu-Ilmu Sosial. UGM. Pakpahan, A. 1989. Kerangka Analitik untuk Penelitian Rekayasa Sosial Perspektif Ekonomi Institusi. Prosiding Forum Agro Ekonomi. Bogor. Plattner, S. 1989. Economic Anthropology. Stanford University. Press. Stanford, California Polanyi, K. 1957. The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time. Beacon Press. Boston. Sairin, S. 2002. Pengantar Antropologi Ekonomi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Saptana, R. Elizabeth. T. Pranadji, Syahyuti. 2003. Transformasi Kelembagaan Tradisional. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Seoule.G. 1994. Pemikiran Para Pakar Ekonomi Terkemuka dari Aristoteles hingga Keynes. Terjemahan dari Ideas of The Great Economists. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Todaro, M. P. 1983. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Ghalia. Jakarta. Uphoff, N. 1986. Local Institutional Development : An Analytical with Cases. Rural Development Commitee, Cornell University. Kumarian Press. USA.
146