SKRIPSI
KELEMBAGAAN EKONOMI MASYARAKAT PENAMBANG PASIR ETNIS BALI YANG BERBASISKAN TRI HITA KARANA PADA KOMUNITAS BALI DI KECAMATAN MOWILA
Oleh: GUSTI AYU MADE ADI PURNIANTI D1A1 12 199
JURUSAN/PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2016
KELEMBAGAAN EKONOMI MASYARAKAT PENAMBANG PASIR ETNIS BALI YANG BERBASISKAN TRI HITA KARANA PADA KOMUNITAS BALI DI KECAMATAN MOWILA
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Pertanian untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Jurusan/Program Studi Agribisnis
Oleh: GUSTI AYU MADE ADI PURNIANTI D1A1 12 199
JURUSAN/PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2016
ii
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN PERGURUAN
SEBAGAI TINGGI
SKRIPSI ATAU
ATAU
KARYA
LEMBAGA
ILMIAH
MANAPUN,
PADA
APABILA
DIKEMUDIAN HARI TERBUKTI ATAU DAPAT DIBUKTIKAN BAHWA SKRIPSI INI MERUPAKAN HASIL JIPLAKAN, MAKA SAYA BESEDIA MENERIMA SANKSI PERATURAN YANG BERLAKU.
Kendari, Oktober 2016
GUSTI AYU MADE ADI PURNIANTI NIM. D1A1 12 199
iii
iv
v
ABSTRAK
GUSTI AYU MADE ADI PURNIANTI (D1A1 12 199). Kelembagaan ekonomi masyarakat penambang pasir yang berbasis Tri Hita Karana pada komunitas Bali di kecamatan mowila. Dibimbing oleh DASMIN SIDU sebagai Pembimbing I dan NUR ISIYANA WIANTI sebagai Pembimbing II. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) untuk mengetahui kelembagaan ekonomi masyarakat penambang pasir etnis Bali, dan (2) untuk mengetahui penerapan Tri Hita Karana dalam usaha penambangan pasir etnis Bali. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Lamebara Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan pada bulan Mei 2016. Analisis data yang digunakan deskritif kualitatif. Hasil penelitian ini menujukan bahwa kelembagaan ekonomi usaha penambangan pasir adalah suatu wadah atau tempat berkumpulnya antara karyawan dan pemilik usaha dengan menerapkan aturan-aturan yang telah disepakati bersama. Kelembagaan ekonomi dapat dilihat dalam struktur kelembagaan penambangan pasir etnis Bali di Desa Lamebara Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan yang terjalin dengan adanya hubungan keluarga dalam kegiatan pertambangan yakni terdiri dari: pemimpin yang bernama Pak Nyoman Sendra sebagai pemilik lahan usaha penambangan pasir dan tugasnya dalam usaha penambangan pasir yaitu sebagai orang yang pengontrol bak penampungan pasir, kemudian Pak Wayan Pasti sebagai karyawan sekaligus sebagai wakil untuk menggantikan tugasnya pemimpin disaat Pak Nyoman Sendra memiliki kesibukan diluar seperti mendapat proyek pembangunan rumah, jalan, toko, dan gedung pendidikan, kemudian Pak Nengah Mudiarta sebagai karyawan usaha penambvangan pasir yang bertugas untuk mengontrol mesin dan sebagai pemuat pasir keatas truk, kemudian Pak putu sumendra dan Pak Ketut Astra sebagai karyawan usaha penambangan pasir etnis Bali yang bertugas sebagai pemegang selang yang berada didalam air dengan cara turun lansung ke dalam sungai yang bertujuan untuk menentukan dimana terdapat pasir yang baik dan tidak bercampur dengan tanah sehingga mereka lakukan dengan cara bergantian dan mereka juga sebagai pemuat pasir keatas truk. Penerapan Tri Hita Karana dalam proses penambangan pasir dapat dilihat pada gambar peran kelembagaan nilai-nilai Tri Hita Karana dalam proses eksploitasi sumberdaya pasir, Misalnya: yang menerapkan unsur Parahyangan yaitu: tahap memulai kegiatan penambangan meliputi Persembahyangan dan Mebanten Saiban, tahap Mebanten meliputi pemberian sesajen berupa Caru, Segehan, dan Canang, tahap Ibadah, pada tahap ini kegiatan penambangan tidak dilaksanakan karena umat Hindu melakukan Persembahyangan misalnya pada tahap hari Raya Nyepi, tahap hari Tumpek Landep, tahap hari Raya Galungan dan tahap hari Raya Kuningan; unsur Palemahan yaitu: tahap mebanten meliputi pemberian Sesajen berupa Caru, Segehan, dan Canang, tahap hari Raya Nyepi, tahap hari Tumpek Landep, tahap penyampai dilokasi penambangan, tahap pembungan limbah dan unsur Pawongan misalnya: tahap memulai kegiatan penambangan meliputi Persembahyangan dan Mebanten Saiban, tahap Mebanten vi
meliputi pemberian sesajen berupa Caru, Segehan, dan Canang, tahap hari Raya Nyepi, tahap hari Raya Galungan dan tahap hari Raya Kuningan, tahap penyampai dilokasi penambangan, tahap penyiapan alat, tahap pemuatan dan tahap pembayaran atau bagi hasil. Kata kunci: kelembagaan ekonomi, penambang pasir, dan Tri Hita Karana
vii
ABSTRACT
GUSTI AYU MADE ADI PURNIANTI ( D1A1 12 199). Institute of society economics mineworker of the sand being based on Three Hita Karana at community Bali in district mowila. Guided by DASMIN SIDU as counsellor I and NUR ISIYANA WIANTI as counsellor II. This research aim to to: (1) to to know institute of society economics mineworker of ethnical sand of Bali, and (2) to know the applying Tri Hita Karana in effort mining of ethnical sand of Bali. This research is executed in countryside Lamebara district Mowila sub-province South Konawe in May 2016. used Data analysis deskritif qualitative. This Research result address that institute of economics of effort mining of sand is an place of or place of him gathering among/between employeeses and owner of effort by applying orders which have been agreed on with. Institute of visible economics in structure institute of mining of ethnical sand of Bali in countryside Lamebara district Mowila sub-province Konawe South which intertwin with existence of blood relation in activity of mining namely consist of: so called leader Mr. Nyoman Sendra as owner of farm of is effort mining of sand and his duty in effort mining of sand that is as one who control the machine relocation of sand, then Mr. Wayan Pasti as employees is at the same time as proxy to replace the duty of of leader of moment package nyoman sendra have workdload outside be like getting the project development of house, road;street, shop, and education building, then package Nengah Mudiarta as employees of effort mining commisioned sand to control the machine and as loader of sand of to the above of truck, then Mr. Putu Sumendra and Mr. Ketut Astra as employees of is effort mining of ethnical sand Bali commisioned as owner after the residing in in water by going down direct into river with aim to to determine where there are good sand and not mixed with land;ground so that they do by rotation and they also as loader of sand of to the above of truck. Applying Three Hita Karana in course of mining of visible sand at picture role of institute of values Three Hita Karana in course of exploitation resource sand, for example: applying the element Parahyangan that is: phase start activity of mining cover praying and give devoting Saiban, phase Mebanten cover the gift/ giving sesajen in the form of Caru, Segehan, and Canang, phase Ibadah, at this phase of activity of mining is is not executed because Hindu people do praying for example at feast day of Ramadan phase Nyepi, day phase Tumpek Landep, feast day of Ramadan phase Galungan and feast day of Ramadan phase Kuningan; element Palemahan that is: phase give devoting cover the giving devoting medium in the form of Caru, Segehan, and Canang, feast day of Ramadan phase Nyepi, day phase Tumpek Landep, phase conveyor of mining location by thex, waste fella phase and element Pawongan for example: phase start activity of mining cover praying and give devoting Saiban, phase give devoting cover the giving devoting medium in the form of Caru, Segehan, and Canang, feast day of Ramadan phase
viii
Nyepi, feast day of Ramadan phase Galungan and feast day of Ramadan phase Kuningan, phase conveyor of mining location by theX, phase preparation of appliance, loading phase and sharing holder or payment phase. Keyword: institute of economics, mineworker of sand, and Three Hita Karana
ix
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur penulis panjatkan Tuhan yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan seluruh rangkaian perkuliahan, penelitian serta penyusunan skripsi hingga dalam wujud sekarang ini. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghormatan kepada Bapak Dr Dasmin Sidu, SP.MP selaku pembimbing I dan Ibu Nur Isiyana Wianti, SP., MSi selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, waktu dan motivasi
dengan segala keiklasan dan kesabaran sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan. Penulis juga menyampaikan rasa hormat dan trimakasih yang tak dapat diukur kepada Ayahanda Gusti Putu Sakra dan Ibunda Gusti Ayu Murjani yang telah membesarkan serta selalu memberikan dukungan serta do‟anya yang tak terhingga sampai penulis bisa menempuh pendidikan sampai sekarang. Penulis sadar, dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari hambatanhambatan, namun berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak maka hambatan tersebut dapat teratasi. Olehnya itu dengan segala kerendahan hati penulis menghanturkan rasa terima kasih kepada: 1.
Rektor, Dekan, dan Ketua Jurusan/Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian yang telah memberikankesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di Universitas Halu Oleo.
2.
Dosen pengajar pada Jurusan/Program Studi Agribisnis yang telah berperan aktif dalam proses pembelajaran, pembentukan pola pikir dan karakter penulis.
x
3.
Dosen-dosen penguji yang telah memberikan masukan berupa saran dan penguatan untuk perbaikan skripsi ini.
4.
Pegawai administrasi Jurusan Agribisnis dan Fakultas Pertanian atas urusan administrasi yang mendukung penulis dalam masa pendidikan.
5.
Perangkat desa dan semua masyarakat Desa Lamebara Kecamatan Mowila yang telah membantu, melayani dengan baik, memberikan informasi dan wawasan baru selama peneliti melakukan kegiatan penelitian di lokasi.
6.
Kepada pemilik usaha penambangan pasir etnis Bali dan karyawanya yang telah membantu dalam memberikan informasi dalam menyelesaikan penelitian ini.
7.
Kepada Kakak Gusti Ngurah Putu Suwiradana, Amd serta yang terkasih Dewa Nyoman Wiradana, ST atas dukungan, motivasi, doa, dan inspirasinya dan juga segenap keluarga besar penulis atas dukungannya dalam menempuh pendidikan.
8.
Kepada Dewa Putu Anom Dan Ruda Deningati yang selaku orang tua yang memberi bantuan, doa dan dukungan.
9.
Sahabat tercinta dan seperjuangan terkhusus Ririn Sri Restiani, Kamelia, Lilis Aftika Samsul, I Gede Ari Artawan, Samirawan, Siti Salminah SP, dan Intan yang selalu mendukung, menyemangati, dan membantu.
10. Teman kuliah Agribisnis konsentrasi Sosial Ekonomi Tambang angkatan 2012 yaitu, Minggu Lestari Ningsih, Faslia Maharani, Eka Sari Wati, Laode Hasri, Untung, Haswan Dida, Herdin, La Yoreni S.P., Laode Firman Yadi, Ritno Permana, Laode Alam Damai, Wawan Banowu, Esmit Dayanto,
xi
Yusman, Asmul, Nurmiati Saipulah, Dwi Fera, Sulmiatin, Kasman dan yang lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah mendukung menyemangati dan membantu. 11. Pihak-pihak lain yang telah membantu penulis baik selama mengikuti proses perkuliahan maupun proses penelitian berlangsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis hanya bisa berdoa agar semua amal dan kebaikan yang telah diberikan dalam penyelesaian studi penulis diganjar dengan kebaikan dan bernilai pahala dari sisi Tuhan Yang Maha Esa. Penulis menyadari dalam skripsi yang disusun masih memiliki kekurangan dan kelemahan sehingga bimbingan dan arahan sangat diharapkan penulis. Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi setiap pihak yang membutuhkan informasi dan ingin meningkatkan pemahamannya.
Kendari,
Oktober 2016
Penulis
xii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadapan Tuhan yang Maha Esa, karena dengan limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Kelembagaan Ekonomi Masyarakat Penambang Pasir Yang Berbasis Tri Hita Karana Pada Komunitas Bali Di Kecamatan Mowila”. penelitian ini tersusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Program Sarjana Setara Satu (S1) pada Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil penelitian ini
diselesaikan berkat dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu dengan penuh rasa hormat dan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat : Dr. Dasmin Sidu, SP.MP selaku pembimbing I dan Nur Isiyana Wianti, SP. M.Si selaku pembimbing II yang dengan iklas meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dengan penuh kearifan dan kekeluargaan dalam memberikan masukan-masukan, serta diskusi-diskusi demi penyelesaian penelitian ini. Penulis menyadari bahwa proposal ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga saran dan kritik konstruktif sangat diharapkan demi kesempurnaanya .
Kendari,
April 2016
Penulis
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ................................................................................ i HALAMAN JUDUL .................................................................................... ii HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................... iii HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iv ABSTRAK .................................................................................................. v ABTRACK..................................................................................................... vii UCAPAN TRIMAKASIH ........................................................................... ix KATA PENGANTAR ................................................................................. xiii DAFTAR ISI ............................................................................................... xiv DAFTAR TABEL ........................................................................................ xv DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xvi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xviii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1.2. Rumusan Masalah .......................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................... 1.4. Manfaat dan Kegunaan ................................................................... II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelembagaan .................................................................................. 2.2. Kelembagaan Ekonomi .................................................................... 2.3. Teori Kelembagaan.......................................................................... 2.4. Nilai-Nilai Agama Terhadap Etos Kerja ........................................... 2.5. Bentuk Organisasi Birokratis .......................................................... 2.6. Hasil Penelitian Terkait Peran Nilai Agama di Dalam Prilaku Ekonomi .............................................................. 2.7. Etnis Bali ....................................................................................... 2.8. Tri Hita Karana ................................................................................ 2.9. Pertambangan.................................................................................. 2.10. Penelitian Terdahulu ........................................................................ 2.11. Kerangka Pikir ................................................................................
1 4 4 5
6 11 12 16 17 20 24 28 30 32 35
III.METODE PENELITIAN 3.1. Waktu Dan Tempat Penelitian ........................................................ 3.2. Penentuan Informan ....................................................................... 3.3. Jenis dan Sumber Data ................................................................... 3.4. Teknik Pengumpulan Data ............................................................. 3.5. Teknik Analisis Data ...................................................................... 3.6. Definisi Konseptual ........................................................................
37 37 37 38 38 49
IV.HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Wilayah ..............................................................
42
xiv
4.1.1 Sejarah Desa Lamebara .......................................................... 42 4.1.2 Letak dan Luas Wilayah ......................................................... 42 4.1.3 Keadaan Iklim dan Topografi Tanah ....................................... 42 4.1.4 Kependudukan........................................................................ 43 4.1.4.1 Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin ............ 44 4.1.4.2 Komposisi Penduduk Menurut Mata pencaharian ...... 44 4.1.5 Pola Penggunaan Tanah ......................................................... 45 4.1.6 Keadaan Struktur Pertanian .................................................... 46 4.1.7 Keadaan Sara dan Prasarana ................................................... 46 4.2 Hasil dan Pembahasan ..................................................................... 47 4.2.1 Gambaran Nilai-Nilai Tri Hita Karana .................................... 47 4.2.2 Gambaran Kelambagaan Penamabangan Pasir Etnis Bali........ 50 4.2.2.1 Sejarah Kelembagaan Penambangan Pasir Etnis Bali .. 50 4.2.2.2 Struktur Kelembagaan Penambangan Pasir Etnis Bali . 56 4.2.2.3 Kepemimpinan Usaha Penambangan Pasir ................. 57 4.2.2.4 Proses Rekrutmen Karyawan Usaha Penambangan Pasir ........................................................................... 59 4.2.2.5 Pola Pengolahan Sumber Daya ................................... 60 4.2.2.6 Mekanisme Pengolahan Usaha ................................... 64 4.2.2.7 Struktur Orgnisasi Usaha Penambangan Pasir ............. 65 4.2.3 Gambaran Aktivitas Penambangan Pasir................................. 66 4.2.3.1 Fase Memulai Kegiatan Penambangan ........................ 66 4.2.3.1.1 Persembahyangan ......................................... 66 4.2.3.1.2 Mebanten Saiban/Ngejot ( Yadnya Sesa ) .... 68 4.2.3.2 Fase Mebanten Dilokasi Penambangan ....................... 69 4.2.3.2.1 Caru/Mecaru ................................................ 69 4.2.3.2.2 Segehan........................................................ 70 4.2.3.2.3 Canang Sari .................................................. 70 4.2.3.3 Fase Bekerja ............................................................... 72 4.2.3.4 Penyampaian Dilokasi Pemambangan......................... 72 4.2.3.5 Penyiapan Alat-Alat dan Pembagian Tugas ..................................................................... 73 4.2.3.6 Pengolahan Limbah ................................................... 73 4.2.3.7 Pemuatan .................................................................... 74 4.2.3.8 Pembayaran atau Bagi Hasil ....................................... 74 4.2.3.3.1 Fase Ibadah ................................................. 74 4.2.4 Peran Nilai-Nilai Tri Hita Karana Dalam Aktivitas Penambangan Pasir Oleh Etnis Bali ............................................................ 77 V. PENUTUP 5.1 Kesimpulan ........................................................................................ 5.2 Saran .................................................................................................. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xv
85 87
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel
1.
Distribusi Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Desa Lamebara Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan 2016 ................
44
Tabel 2. Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Desa Lamebara, 2016 ...
44
Tabel 3. Pola Penggunaan Tanah di Desa Lamebara, 2016 ........................
45
Tabel 4. Keadaan sektor pertanian di desa Lamebara 2016 ........................
46
Tabel 5. Keadaan sarana dan prasarana di desa Lamebara kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan 2016 ...................
xvi
46
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran .....................................................
36
Gambar 2. Struktur Kelembagaan Penambangan Pasir Etnis Bali ..............
56
Gambar 3. Alur Penerapan Nilai-Nilai Tri Hita Karana Dalam Proses Penambangan Pasir Etnis Bali ....................................................
xvii
84
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampitan 1. Riwayat Hidup .......................................................................
92
Lampitan 2. Peta Lokasi Penambangan......................................................
93
Lampitan 3. Panduan Pertanyaan ................................................................
94
Lampitan 4. Dokumentasi .......................................................................... 102
xviii
I. PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang Industri pertambangan merupakan salah satu industri yang diandalkan pemeritah Idonesia untuk mendatangkan devisa. Selain mendatangkan devisa industri pertambangan juga menyedot lapangan kerja dan bagi kabupaten dan kota merupakan sumber pendapatan asli daerah. Menurut UU No.XI.Tahun 1967 Bahwa Penambangan Rakyat yaitu suatu usaha pengambilan bahan-bahan galian dari semua golongan a, b, dan c dilakukan oleh masyarakat sekitar lokasi penambangan yang pekerjanya rumahtangga sekitar penambangan. Penambangan rakyat yang dilakukan dengan cara sederhana. Kegiatan penambangan rakyat yang masih dilakukan masyarakat yakni penambangan golongan C. Bagai jamur dimusim hujan, penambangan golongan C Diupayakan oleh masyarakat karena penambangan golongan C mudah didapat, tidak memerlukan izin yang rumit, biaya produksi juga lebih rendah. Kegiatan pembangan galian C antara lain : Marmer, batu kapur, batu suplit, tanah liat, pasir, tanah timbunan. sepanjang tidak mengandung unsur mineral. Penambangan Rakyat yang berada di Desa Lamebara, Kecamatan Mowila, Kabupaten Konawe Selatan ini dapat dikatakan sebagian besar milik pribadi, lokasi penambangan pasir Etnis Bali yang berada dipinggiran sungai, dan menggunakan tenaga kerja masyarakat Etnis Bali atau dapat dikatakan menerapkan sistem kekeluargaan.
2
Masyarakat penambang pasir etnis Bali yang berkerja di Desa Lamebara awalnya berkerja di bidang pertanian sehari-hari bertani padi sawah namun, karena mengalami gagal panen akibat musim kemarau berkepanjangan dan kebutuhan yang semakin meningkat daya saing pembangunan dan kemajuan sebuah daerah, maka
Rumahtangga petani Bali sebagian mencari nafkah
tambahan seperti berkebun, bercocok tanam dan sebagi penambang pasir. Cara penambangan pasir orang Bali tidak jauh berbeda dengan cara penambangan pasir yang lain, yang membedakan hanyalah proses
sebelum
dilakukannya penambangan. Sebelumnya lokasi penambangan ini merupakan daerah perkebunan, yang di lintasi sungai, pada tahun 2005 pemilik lahan melihat sebuah potensi dari sungai tersebut, ternyata banyak memiliki kandungan pasir yang dapat di kelola menjadi sumber pendapatan. Pada tahun 2006 pemilik lahan mulai mencoba mengelola tambang pasir tersebut. Kegiatan penambangan ini masih berlangsung sampai sekarang. Pada awalnya tahun 2006 masyarakat Bali menambang dengan cara tradisional menggunakan alat yang sederhana namun semakin meningkatnya permintaan pemilik usaha merasa kewalahan memenuhi permintaan maka pada tahun 2007 penggolahan dilakukan dengan menggunakan mesin sedot pasir. Dengan menggunakan mesin sedot pasir banyak memberikan kemudahan bagi para penambang pasir karena dapat menghemat tenaga kerja, mempermudah sehingga dapat menpercepat pekerjaan dan hasilnya pun sangat memuaskan. Maka penambang banyak menggunakan mesin sedot pasir karena mesin mudah dioprasikan, penambangan dapat dilakukan oleh 4 orang saja. Jadi jumlah
3
karyawan yang bekerja di penambangan pasir ini yaitu 5 orang termasuk pemilik usaha. Dalam kegiatan penambangan dengan menggunakan mesin sedot pasir penambang bisa mendapatkan hasil pasir yang lebih banyak karena dapat mengambil pasir jauh ke tengah sungai, hasil penambangan pasir lebih halus, bersih, dan terhindar dari benda-benda lainnya yang dapat mengurangi harga jual pasir. Hal ini karena pasir yang bersih lebih baik dalam pembentukan bangunan sehingga pasir lebih kuat. Dalam
penambangan
pasir
menggunakan
mesin
sedot
dapat
meningkatkan penghasilan, karena selain mudah digunakan dapat mengurangi tenagakerja dan hasil lebih cepat diperoleh, dalam penambangan pasir masyarakat etnis Bali menggunakan kelembagaan pengelolaan usaha sistem kekeluargaan hingga sistem upah yang digunakan yaitu sistem harian karena orang Bali banyak memiliki kegiatan seperti kegiatan keagamaan maka sistem upah tidak bisa dipatok perbulan. Jadi sistem gajih yang digunakan bagi hasil yang di berikan setiap harinya. Untuk kehidupan sosial etnis Bali lebih dikenal dengan nilai-nilai kebersamaan, toleran dalam beragama dan memiliki rasa kebersamaan yang kuat dan saling membantu. Maka dalam memilih pekerja orang Bali lebih mengutamakan keluarga sendiri untuk bekerja agar hasil dapat dibagi dan samasama merasakan hasilnya, apabila keluarga sibuk atau berhalangan maka harus cari pekerja yang lain yang berada disekitar lokasi penambangan, sehingga
4
kesimpulannya orang Bali dalam mencari pekerja paling mengutamakan keluarga, karena orang Bali paling kuat dalam sistem kekeluargaannya. Dalam sebuah usaha penambangan pasir ini merupakan sebuah lembaga yang menerapkan sistem Tri Hita Karana karena menurut etnis Bali Tri Hita Karana ini di jadikan sebuah filsafat dalam berjalannya sebuah usaha hingga tercapainya kebahagiaan yang meliputi Parahyangan (hubungan antara manusia dengan tuhan), Palemahan (manusia dengan alamya) dan Pawongan (manusia dengan manusianya). Berdasarkan fenomena diatas maka perlu dilakukan satu penelitian terkait dengan “Bagaimana kelembagaan ekonomi masyarakat penambang pasir yang berbasis Tri Hita Karana pada komunitas Bali di Kecamatan Mowila.” I.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan, masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana gambaran lembaga ekonomi masyarakat penambang pasir etnis Bali di Desa Lamebara? 2. Bagaimana penerapan pranata Tri Hita Karana dalam aktivitas penambangan pasir Etnis Bali? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum dari kegiatan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui gambaran kelembagaan ekonomi masyarakat penambang pasir?
5
2. Untuk mengetahui penerapan Tri Hita Karana dalam usaha penambangan Pasir Etnis Bali ? 1.4 Manfaat dan Kegunaan Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, manfaat dan kegunaan penelitian yang diharapkan adalah sebagai berikut : 1. Bagi peneliti : dapat menambah pengetahuan dan infornasi kelembagaan masyarakat dalam hal penerapan konsep nilai-nilai Tri Hita Karana. 2. Bagi masyarakat : Sebagai sumber informasi mengenai kelembagaan ekonomi masyarakat penambang pasir yang berbasis Tri Hita Karana pada komunitas Bali. 3. Bagi pemerintah : Sebagai salah satu karya ilmiah yang bertujuan untuk memberikan pendeskripsian tentang kelembagaan ekonomi masyarakat penambang pasir yang berbasis Tri Hita Karana pada komunitas Bali. 4. Untuk akademisi penelitian diharapkan dapat menjadi bahan pembanding bagi peneliti selanjutnya yang melakukan penelitian yang relevan dengan penelitian ini.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelembagaan Kelembagaan umumnya banyak dibahas dalam sosiologi, antropologi, hukum dan politik, organisasi dan manajemen, psikologi maupun ilmu lingkungan yang kemudian berkembang kedalam ilmu ekonomi karena kini mulai banyak ekonomi berkesimpulan bahwa kegagalan pembangunan ekonomi umumnya karena kegagalan kelembagaan. Dalam bidang sosiologi dan antropologi kelembagaan banyak ditekankan pada norma, tingkah laku dan adat istiadat. Dalam bidang ilmu politik kelembagaan banyak ditekankan pada aturan main (the rules) dan kegiatan kolektif (collective action) untuk kepentingan bersama atau umum (public). Ilmu psikologi melihat kelembagaan dari sudut tingkah laku manusia (behaviour). Ilmu hukum menegaskan pentingnya kelembagaan dari sudut hukum, aturan dan penegakan hukum serta instrumen dan proses litigasinya. Pendekatan ilmu biologi, ekologi atau lingkungan melihat institusi dari sudut analisis system lingkungan (ecosystem) atau sistem produksi dengan menekankan struktur dan fungsi system produksi atau system lingkungan kemudian dapat dianalisis keluaran serta kinerja dari system tersebut dalam beberapa karakteristik atau kinerja (system performance atau system properties) seperti produktivitas, stabilitas, sustainabilitas, penyebaran dan kemerataanya. Ilmu ekonomi yang berkembang dalam cabang barunya ilmu ekonomi institusi baru (neo institutional economics) melihat kelembagaan dari sudut biaya transaksi (transaction costs) dan tindakan kolektif (collective action). Di dalam analisis biaya transaksi termasuk analisis tentang kepemilikan dan penguasaan
7
sumber daya alam atau faktor produksi (property rights), ketidak-seimbangan akses dan penguasaan informasi (information asymmetry) serta tingkah laku opportunistik (opportunistic behaviour). Ilmu ekonomi institusi baru ini sering pula disebut sebagai ilmu ekonomi biaya transaksi (transaction costs economics). sedangkan yang lain menyebutkannya sebagai paradigma informasi yang tidak sempurna (imperfect information paradigm). (Stiglitz, dalam Piccioto, R. and Wiesner, E. (1998). 2.1.1 Pengertian Kelembagaan Definisi kelembagaan yang disampaikan oleh ahli dari berbagai bidang antara lain: Lembaga adalah aturan didalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang menfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan di mana setiap orang dapat bekerjasama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan. (Ruttan dan Hayami, 1984). Suatu himpunan atau tatanan norma–norma dan tingkah laku yang bisa berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama. Institusi ditekankan pada norma-norma prilaku, nilai budaya dan adat istiadat. (Uphoff, 1986). Aturan main di dalam suatu kelompok sosial dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik. Institusi dapat berupa aturan formal atau dalam bentuk kode etik informal yang disepakati bersama. North membedakan
8
antara institusi dari organisasi dan mengatakan bahwa institusi adalah aturan main sedangkan organisasi adalah pemainnya. North, dalam djogo (2003) et al. Mencakup
penataan
institusi
(institutional
arrangement)
untuk
memadukan organisasi dan institusi. Penataan institusi adalah suatu penataan hubungan antara unit-unit ekonomi yang mengatur cara unit-unit ini apakah dapat bekerjasama dan atau berkompetisi. Dalam pendekatan ini organisasi adalah suatupertanyaan mengenai aktor atau pelaku ekonomi di mana ada kontrak atau transaski yang dilakukan dan tujuan utama kontrak adalah mengurangi biaya transaksi. (Williamson, 1975). Umumnya definisi lembaga mencakup konsep pola perilaku sosial yang sudah mengakar dan berlangsung terus menerus atau berulang. Dalam hal ini sangat penting diperhatikan bahwa perilaku sosial tidak membatasi lembaga pada peraturan yang mengatur perilaku tersebut atau mewajibkan orang atau organisasi untuk harus berpikir positif ke arah norma-norma yang menjelaskan perilaku mereka tetapi juga pemahaman akan lembaga ini memusatkan perhatian pada pengertian mengapa orang berprilaku atau bertindak sesuai dengan atau bertentangan dengan peraturan yang ada. Merangkum dari berbagai pengertian yang dikemukakan sebelumnya, maka yang dimaksud kelembagaan dalam Bahan. Pranata diartikan sebagai kelakuan berpola dari manusia dalam kebudayaanya, sedangkan pranata sosial diartikan sebagai suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat pada berbagai aktivitas untuk memenuhi kekompleksitasan kebutuhan hidup masyarakat, termasuk aktivitas dan prilaku ekonomi. Penekanan pada aspek tata kelakuan dan norma yang memiliki fungsi
9
khusus masyarakat, dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Institution merupakan kaidah formal dan informal yang mengatur prilaku dan tindakan anggota masyarakat untuk mencapai tujuan. (Mubyarto, 2002). Kelembagaan mencangkup aspek “isi”, tidak hanya”bentuk luar” atau “fisik”. Kelembagaan sebagai a acomplex or cluster of rules, dimana konsep peranan (role) merupakan komponem utama kelembagaan. (Bottomore, dalam: Launer, 2003). Kelembagaan adalah suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan hubungan antar manusia atau antar organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikut berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial serta intensif untuk bekerja sama dan mencapai tujuan bersama. kelembagaan mempunyai beberapa unsur penting (a) Institusi merupakan landasan untuk membangun tingkah laku sosial masyarakat, (b) Norma tingkah laku yang mengakar dalam masyarakat
dan diterima secara luas untuk melayani tujuan bersama yang
mengandung nilai tertentu dan menghasilkan interaksi antar manusia yang terstruktur, (c) Peraturan dan penegakan aturan/hukum, (d) Aturan dalam masyarakat yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama dengan dukungan tingkah laku, hak dan kewajiban anggota, (e) Kode etik, (f) Kontrak, (g) Pasar, (h) Hak milik, (i) Organisasi, (j) Intensif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan. (Djogo et al 2003).
10
Kelembagaan diidentikan dengan aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain. Penataan institusi (institusional arragements dapat ditentukan oleh beberapa unsur-unsur aturan operasional untuk mengatur pemanfaatan sumber daya, aturan kolektif untuk menentukan menegakkan hukum atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur hubungan kewenangan organisasi. (Ostrom, 1986) Kelembagaan lokal dan area aktivitasnya terbagi menjadi tiga kategori, yaitu kategori sektor publik (administrasi lokal dan pemerintah lokal); kategori sektor sukarela (organisasi keanggotaan dan koperasi); kategori sektor swasta (organisasi jasa dan bisnis swasta). Bentuk resmi suatu lembaga yaitu lembaga garis (line organization, military organization) lembaga garis dan staf (line and staff organization); lembaga fungsi (functional organization). Jadi pengertian dari kelembagaan adalah suatu sistem sosial yang melakukan usaha untuk mencapai tujuan tertentu yang memfokuskan pada perilaku dengan nilai, norma, dan aturan yang mengikutinya, serta memiliki bentuk dan area aktivitas tempat berlangsungnya. (Sitti Bulkis 2011). Norma adalah pola-pola sesuatu yang menjadi pedoman untuk mencapai tujuan dari kehidupan sosial yang didalamnya terdapat seperangkat perintah dan larangan berupa sanksi. Aturan lokal terbentuk berdasarkan nilai-nilai dan normanorma yang berlaku pada masyarakat. Secara konseptual ada empat tingkat norma yaitu cara, kebiasaan, tata kelakuan dan adat istiadat. Perincian keempat tingkatan
11
norma tersebut adalah sebagai berikut : (1) Cara (usage): lebih menonjol di dalam hubungan antar individu dalam masyarakat atau menunjuk pada suatu bentuk perbuatan. Suatu penyimpangan terhadapnya secara moral dirasakan sebagai sesuatu yang tidak pantas oleh pelakunya. Penyimpangan tersebut oleh masyarakat hanya dinilai sebagai suatu perbuatan yang dianggap janggal, (2) Kebiasaan (folkways): mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar dibandingkan cara. Bagi yang melanggar kebiasaan tersebut, secara moral akan merasa malu dan akan dicela oleh masyarakat di sekitarnya, (3) Tata kelakuan (mores): merupakan kebiasaan yang dianggap sebagai cara berperilaku dan diterima sebagai norma-norma pengatur. Orang-orang yang melanggar tingkatan norma tata-kelakuan, secara moral akan merasa bersalah. Di samping itu, pelanggar akan dihukum oleh masyarakat sekitar, (4) Adat istiadat (customs): merupakan tata kelakuan yang kekal serta kuat intergrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat. Bila adat istiadat dilanggar, secara moral pelanggar akan merasa berdosa. Kemudian masyarakat akan mengeluarkan pelakunya dari komunitasnya. Dengan kata lain, sanksinya berwujud suatu pederitaan bagi pelanggarnya. (Setiadi et al 2011). 2.2 Kelembagaan Ekonomi Kelembagaan ekonomi mempelajari dan berusaha memahami peranan kelembagaan dalam sistem dan organisasi ekonomi atau sistem terkait, yang lebih luas. Kelembagaan yang dipelajari biasanya bertumbuh spontan seiring dengan perjalanan waktu atau kelembagaan yang sengaja dibuat oleh manusia. Peranan
12
kelembagaan bersifat penting dan strategis karena ternyata ada dan berfungsi di segala bidang kehidupan. Ekonomi kelembagaan dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk pemecahan masalah-masalah ekonomi maupun politik. Pandangan ini didasarkan pada kenyataan bahwa sebagian besar persoalan ekonomi maupun politik justru berada di luar lingkup ekonomi dan politik itu sendiri, yaitu dalam kelembagaan yang mengatur proses kerja suatu perekonomian maupun proses-proses politik. Ekonomi kelembagaan merupakan disiplin ilmu yang mempelajari tentang ekonomi dengan tidak mengabaikan peran aspek non ekonomi seperti kelembagaan dan lingkungan. Ekonomi kelembagaan adalah paradigma baru dalam ilmu ekonomi yang melihat kelembagaan (rule of the game) berperan sentral dalam membentuk perekonomian yang effisien. North (1990)
2.3 Teori Kelembagaan 2.3.1 Organisasi Ekonomi Dalam Komunitas Desa Desa adalah unit dasar dari kehidupan pedesaan di Asia sampai disini desa mengandung arti sebagai suatu desa alamiah atau dukuh ditempat orang hidup dalam ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan dengan saling ketergantungan yang besar dibidang sosial dan ekonomi; tidak ada keharusan untuk sama dengan unit administratif setempat dalam negara moderen, sungguhpun seringkali demikian halnya. Komunitas desa dalam ekonomi Asia yang sedang berkembang, untuk sebagian besar memenuhi kebutuhan sendiri dalam berorientasi pada kebutuhan pokok, sungguhpun hubungan pasar dengan
13
sektor perkotaan sangat berbeda-beda diantara desa-desa tesebut. Desa biasanya terdiri dari rumahtangga petani dengan kegiatan produksi, konsumsi dan investasi sebagai hasil keputusan keluarga secara bersama. Berlainan dengan ekonomi pasar didaerah perkotaan dengan pembagian fungsinya yang menyolok antara firma dan rumah tangga dibidang produksi
dan konsumsi, produksi seorang
petani tidak dapat dipisahkan dengan konsumsi keluarganya; kegiatannya dalam produksi lebih disesuaikan untuk mempertinggi sejauh mungkin kesejahtraan keluarganya dari pada untuk mencapai keuntungan usaha taninya secara maksimal, seperti disebutkan dalam penelahan klasik. Chayanov (1996)
2.3.2. Gaya Desa Dalam Produksi Dan Pertukaran Secara alamiah, aktivitas produksi dalam pertanian sangat berkaitan satu sama lain, disebabkan oleh saling ketergantungan secara ekologis dari proses biologi. Seorang petani merupakan suatu unit produksi yang terlalu kecil untuk dapat berbuat banyak demi penanggulangan dampak produksi yang negatif seperti itu. Adalah suatu keharusan
bagi komunitas desa untuk menyusun tindakan
secara kolektif guna menyediakan “bahan-bahan keperluan umum”. Bahan-bahan keperluan umum ini bersifat fisik maupun kelembagaan: desa memobilisasi tenaga kerja umum untuk membangun dan memelihara modal masyarakat yang berupa prasarana (social overhead capital), seperti di jalan raya dan sistem pengairan ; desa juga menetapkan dan menjalankan ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan untuk mengkordinasi dan mengurangi konflik dan pemakaian sumber-sumber daya di kalangan orang Desa.
14
Faktor utama lain yang mendorong kerja antara para petani, permintaan akan pekerja yang sifatnya sangat tergantung pada musim dalam produksi pertanian. Pada masa-masa puncak, jumlah pekerja yang melebihi kapasitas kerja keluarga selalu diperlukan untuk memenuhi jadwal kerja. Merupakan hal yang biasa, bahwa penduduk desa terbagi dalam spektrum yang terbagi dari berbagai sub-kelas petani dari pekerja tanpa tanah milik sampai kepada tuan tanah yang tidak ikut bercocok tanam, sesuai dengan berbagai hak mereka atas kepemilikan tanah. Namun, bertolak blakang dengan industri perkotaan dengan pekerjanya yang terpisah dari hasil kerja maupun alatalat produksinya, didalam komunitas petani bahkan mereka tidak memiliki tanah pun merasa berhak atas pemakaian tanah dan atas bagian dari hasilnya hal yang khas melalui suatu pendapatan seperti bagi hasil. Hubungan seperti itu biasanya oleh para ahli antropologi dan sosiologi disebutkan sebagai hubungan antara bapak dan anak buah (patron-client relationship) “suatu kasus-kasus dalam ikatan (dyadic) dua pihak yang menyangkut persahabatan, dimana seorang individu dengan setatus sosialekonomi yang lebih tinggi (patront) menggunakan pengaruh dan sumber-sumber yang dimilikinya untuk memberikan perlindingan dan/atau keuangan bagi seseorang yang setatusnya lebih rendah (client), yang sebaiknya membahas dan memberikan dukungan dan bantuan secara umum, termasuk pelayanan pribadi kepada bapak (patront). (Scott, 1972, hlm. 8) Dalam hal ini, cara tukar menukar di Desa telah didorong oleh cara desa berproduksi. Pada industri perkotaan yang bercirikan proses mesin, standar kerja
15
yang amat tinggi dan mudah di pantau. Akan tetapi, proses biologi dalam proses pertanian tunduk pada variasi tanpa batas dalam kondisi ekologisnya. Perlakuan yang amat berbeda terhadap suatu tanaman atau hewan sering diperlukan dalam menghadapi sedikit saja perbedaan dalam temperatur dan lembabnya tanah. Hal ini banyak berkaitan dengan apakah seorang pekerja melakukan pekerjaan dengan penuh perhatian dan penyesuaian yang sempurna dalam menghadapi variasi tanaman, hewan dan ekologi; kualitas kerja demikian itu sangat sukar di pantau. Tersebarnya kegiatan pertanian di ruangan yang terbuka, semakin menambah kesukaran pemantauannya. Dalam kondisi seperti itu, mutu buruh (dari sudut perhatianserta penyesuaian yang bersungguh-sunguh ) harus tinggi nilainya. Suatu pasar menjadi tidak tepat guna ataupun akan mati sama sekali tidak adanya keterangan tentang mutu yang demikian. (Akerlof, 1970; Ben-Porath). Kelembagaan yang menguasai ekonomi desa yang bercirikan cara-cara produksi dan tukar-menukar seperti di gambarkan di atas, lebih merupakan adat kebiasaan dan prinsip-prinsip moral daripada undang-undang dan perjanjian resmi. Karena dampak negatif dari produksi merembes ke mana-mana dan konflik yang mungkin terjadi demikian banyak dan beragamnya, maka adat kebiasaan ataupun preseden-preseden yang terkumpul cenderung menjadi sarana yang lebih berhasil-guna untuk menyelesaikan konflik dibandingkan dengan ketetapanketetapan dalam undang-undang resmi. oleh karena harta benda penduduk desa, dalam bentuk tanaman pokok yang sedang tumbuh dan hewan-hewan yang sedang merumput, seringkali dibiarkan tanpa lindungan fisik di lapangan-lapangan terbuka, moral dapat menjadi sarana yang lebih berhasil-guna dalam membuat
16
kebijaksanaan. Juga, karena perjanjian-perjanjian yang tersirat dalam hubungan bapak-anak buah itu terlalu rumit untuk diperinci, aturan-aturan di luar prinsip maral umum, seperti “saling menolong dan berbagi pendapatan di kalangan orang desa”. Sukar untuk dapat diterapkan pada pelaksanaan perjanjian yang banyak seginya. (Williamson,1975). 2.4 Nilai-Nilai Agama Terhadap Etos Kerja Weber mengakui pentingnya kondisi materil dan posisi kelas ekonomi dalam mempengaruhi kepercayaan, nilai dan prilaku manusia. Sebenarnya, Weber memperluas perspektif Marx mengenai stratifikasi, seperti sudah kita lihat. Namun, Weber berpendapat bahwa teori Marx terlau berat sebelah, yang hanya mengakui pengaruh ekonomi dan materi, serta menyangkal bahwa ide-ide, ide-ide agama dapat mempunyai pengaruh yang independen sifatnya terhadap prilaku manusia. Weber menekankan bahwa orang mempunyai kepentingan ideal dan juga materil, kepentingan ideal dapat mempengaruhi motivasi manusia secara independen, kendati kadang-kadang bertentangan dengan kepentingan materilnya. Namun dia tidak menerima posisi idealis seperti hegel, yang mengecilkan kekuatan-kekuatan materil dan sebaliknya melihat sejarah manusia hanyalah merupakan manifestasi ideal-ideal budaya. Weber sebaliknya merasa perlu mengakui pengaruh timbal-balik antara kepentingan ideal dan kepentingan materil dan menentukan secara empiris dalam kasus individu, apakah kepentingan materil atau ideal itu yang dominan. Perkembangan Kapitalisme moderen menuntut untuk membatasi konsumsi supaya uang yang ada itu diinvestasi secara teratur dalam suatu perkerjaan, simplistis untuk tujuan-tujuan dimasa mendatang, berkerja
17
secara teratur dalam suatu perkerjaan. Weber menekankan pentingnya faktor khusus ini, namun kiranya dia pasti akan menyetujui bahwa faktor-faktor lain juga penting,
termasuk
didalamnya
kondisi-kondisi
kepentingan
materil
dan
kepentingan ekonomi. Weber dalam Johnson (1988) Secara teoritis, pengkajian dan penelitian tentang relasi antara agama secara umum dengan etos kerja ini memang melahirkan suatu teori ilmu besar (grand theory) yang disebut teori ini berpandangan bahwa fungsi agama adalah mendukung dan melestarian masyarakat yang sudah ada. Karena itu agama besifat fungsional terhadap persatuan terhadap persatuan dan solidaritas sosial. Max Weber menyatakan korelasi protestan dengan etos kerja dalam membangun dan mengembangkan kapitalisme. Weber dalam mulyadi (2008) 2.5 Bentuk Organisasi Birokratis Otoritas legal-rasional diwujudkan dalam organisasi birokrasi. Analisa Weber yang sangan terkenal mengenai organisasi birokratis berbeda dengan sikap yang umumnya terdapat di masa kini yang memusatkan perhatian pada birokrasi yang tidak efisien, boros dan nampaknya tidak rasional lagi. Sebaliknya, dalam membandingkan birokrasi dengan bentuk-bentuk administrasi tradisional kuno yang di dasarkan pada keluarga besar (extended family) dan hubungan pribadi, Weber melihat birokrasi moderen sebagai satu bentuk organisasi sosial yang paling efisien, sistematis, dan dapat diramalkan. Seperti yang dilihatnya langsung dalam masyarakatnya sendiri, yang dikuasai ketika sedang berada di bawah birokrasi militer dan birokrasi politik Prosia, dan ketika dia melihat
18
perkembangan sistem administrasi industry dan administrasi politik nasional di negara-negara barat lainnya, dia mendapat kesan bahwa perkembangan dunia model ditandai oleh semakin besarnya pengaruh birokrasi. Bentuk organisasi sosial birokrasis, yang mencerminkan suatu tingkat rasionalitas instrumental yang tinggi, mampu berkembang pesat dengan menggeser bentuk-bentuk tradisional, hanya karena efisiensinya yang besar itu. Sebagian
besar
analisa
Weber
mengenai
birokrasi
mencakup
karakteristik-karakteristik yang istimewa, yang dilihatnya sebagai tipe ideal. Tipe ideal, seperti sudah kita singgung di depan, meliputi seleksi atas ciri-ciri suatu gejala empirik kelihatannya berhubungan secara logis dan berarti, meskipun kerangka atau ciri-ciri ini secara empirik tidak pernah ada dalam bentuknya yang murni. Misalnya tipe ideal mengenai birokrasi menekankan sifat hubungan sosial yang impersonal, tetapi organisasi birokratis yang sebenarnya tidak pernah sepenuhnya mengabaikan atau mencegah timbulnya hubungan-hubungan pribadi. Weber
mencampur
baurkan
perasaan-perasaan
dengan
dominasi
organisasi birokratis yang bertambah besar. Dia tidak melihat efisiensinya yang semakin bertambah itu menghasilkan kebahagiaan manusia yang lebih besar atau membawa kemajuan yang jelas ke suatu bentuk masyarakat yang utopis. Dalam hal ini dia lebih pesimis daripada Marx yang memimpikan suatu masyarakat tanpa kelas. Dalam mengembangkan dan meningkatkan bentuk organisasi birokratis, orang membangun bagi dirinya suatu kandang besi (iron cage) dimana pada suatu saat mereka sadar bahwa mereka tidak bisa keluar lagi dari situ. Proses ini tidak
19
hanya terbatas pada masyarakat kapitalis, juga terjadi pada masyarakat sosialis. Satu-satunya jalan keluar yang dibayangkan Weber adalah impian kosongnya bahwa mungkin kelak akan muncul seorang pemimpin karismatik yang akan membuat dobrakan dari cengkraman mesin birokratis yang tanpa jiwa itu, dan memberi tempat kembali pada perasaan dan cita-cita manusia. 2.5.1 Orientasi Agama, Pola Motivasi Dan Rasionalisasi Kecenderungan yang sama terhadap rasionalisasi juga dirangsang oleh perkembangan protestantisme. Analisa Weber mengenai hubungan antara etika protestantisme dan pertumbuhan sistem ekonomi kapitalisme barangkali merupakan sumbangannya yang paling terkenal. Namun analisa yang khusus ini dapat dimengerti dengan baik dan dihargai dalam konteks perspektif teori Weber secara keseluruhan. Pengaruh Ide Agama menurut Marx, perjuangan kelas merupakan kunci untuk mengerti perubahan Sejarah serta transisi dari suatu tipe ke tipe struktur sosial
lainnya.
Perjuangan kelas
mencerminkan kepentingan-kepentingan
ekonomi obyektif yang berlawanan dalam kelas-kelas yang berbeda, khususnya apabila kelas bawah itu sadar akan kepentingan ini melalui kesadaran kelas. Kepentingan-kepentingan ini ditentukan oleh kondisi-kondisi material di mana para angota dari kelas-kelas yang berbeda itu berada. Dunia kebudayaan, khususnya nilai sosial, norma, kepercayaan, cita-cita, dan pandangan hidup hanyalah mencerminkan kondisi-kondisi material ini. Ide-ide atau ideal-ideal hanya mempunyai pengaruhnya sendiri yang terbatas terhadap prilaku manusia atau struktur sosial. Jadi dalam suatu priode yang stabil, apabila kesadaran kelas
20
itu rendah tingkatnya. maka agama dilihat sebagai “candu bagi manusia”. Perubahan revolusioner lalu menuntut supaya ilusi dan institusi agama itu dihancurkan, demikian pandangan mark. Weber mengakui pentingnya kondisi material dan posisi kelas ekonomi dalam
mempengaruhi kepercayaan, nilai, dan prilaku manusia. Sebenarnya,
Weber memperluas perspektif
Marx mengenai stratifikasi, seperti sudah kita
lihat. Namun, Weber berpendapat bahwa teori Marx terlalu berat sebelah, yang hanya mengakui pengaruh ekonomi dan materi, serta menyangkal bahwa Ide-Ide, bahkan Ide-Ide agama dapat mempunyai pengaruh yang independen sifatnya terhadap perilaku manusia. Weber menekankan bahwa orang mempunyai kepentingan ideal dan juga materil. Kepentingan ideal dapat mempengaruhi motivasi manusia secara independen, kadang-kadang bertentangan dengan kepentingan materilnya. Namun dia tidak menerima posisi idealis seperti Hegel, yang mengecilkan kekuatan-kekuatan materil dan sebaliknya melihat sejarah manusia hanyalah merupakan manifestasi ideal-ideal budaya. Weber sebaliknya merasa perlu mengakui pengaruh timbal-balik antara kepentingan ideal
dan
kepentingan materil dan menentukan empiris dalam kasus individu, apakah kepentingan materil atau ideal itu yang dominan. 2.6 Hasil Penelitian Terkait Peran Nilai Agama Di Dalam Perilaku Ekonomi Hasil kajian Bellah mengamati apa kaitan yang terjadi antara agama Tokugawa dengan pembangunan ekonomi Jepang. Lebih khusus lagi penelitian ini menguji apa sumbangan yang di berikan oleh agama Tokugawa terhadap cepatnya laju pembangunan ekonomi jepang, dan bagaimana sumbangan itu di
21
wujudkan. Perhatian Bellah terhadap Jepang bukan saja karena Jepang merupakan satu-satunya negara bukan Barat yang mampu mengembangkan industralisasinya pada ambang pintu memasuki abad ke-20, tetapi juga karena Jepang memiliki satu pola industralisasi yang khas. Dengan mengikuti arah penelitian yang di kembangkan oleh Weber, Bellah mulai tertarik untuk menguji ada tidaknya terlibatnya agama dalam kasus Jepang ini. Dengan kata lain,”apakah ada satu analogi fungsional dari etik Protestan dalam agama Jepang” yang menimbulkan lahirnya masyarakat industri modern Jepang sekarang ini. Sebagai murid Parsons, Bellah banyak meminjam dan menggunakan konsep funsionalismenya untuk menjelaskan hubungan antara agama dengan masyarakat industri modern di Jepang. Dalam hal ini Bellah memberikan pengertian masyarakat industri modern sebagai masyarakat yang sepenuhnya mendasarkan diri dari pada nilai-nilai ekonomi, seperti misalnya rasionalisasi, universalitas, dan nilai-nilai berprestasi. Tanpa nilai-nilai budaya ekonomi ini, suatu masyarakat tidak akan mungkin mampu melakukan liberalisasi dari batasan nilai-nilai tradisional kenilai-nilai dinamis rasional. Sedang agama diartikan oleh Bellah sebagai sikap dan tingkah laku yang selalu mengarah pada nilai-nilai luhur dengan kata lain agama sebagai sesuatu yang memiliki fungsi sosial untuk merumuskan seperangkat nilai luhur yang darinya masyarakat membangunan tatanan moralnya. Dalam usahanya mengamati agama di Jepang, Bella membuat 2 klasifikasi dan observasi. pertama, sekalipun memang terdapat banyak agama di Jepang, termaksud di dalamnya Konfusianisme, Budhisme, dan Shinto ini tidak
22
kemudian berarti menghalangi untuk menganalisa atau mengkategorikan agama-agama di Jepang tersebut sebagai satu entitas. Ini dapat dilakukan karena berbagai agama tersebut telah saling bercampur baur dan sulit untuk di bedakan satu sama lain secara rinci. Dengan kata lain,”Konfusianisme dan Shinto telah meminjam dan menggabungkan ajaran metafisika dan psikologi dari Budhisme; Budhisme dan Shinto telah meminjam dan menggabungkan ajaran etika Konfusianisme; dan Budhisme telah terpengaruh oleh tradisi Jepang”. Oleh karena itu, menurut Bellah, Konfusianisme Jepang sangat berbeda dengan Konfusianisme Cina, dan Budhisme Jepang berbeda dengan Budhisme India. Kedua, bahwa agama di Jepang mampu membentuk nilai-nilai dasar masyarakat Jepang. Jika dilihat dari sejarahnya, agama di Jepang bermula sebagai etika dari para pejuang samurai, dan kemudian baru menjadi dikenal dan dianut masyarakat luas setelah melalui pengaruh agama Konfusianisme dan Budhisme dan kemudian menjadi panutan etika penduduk Jepang secara keseluruhan, termasuk didalamnya petani terbelakang yang tinggal di pedesaan yang terpencil. Dengan dua klasifikasi observasi ini, Bellah melihat tiga kemungkinan keterkaitan antara agama dan pembangunan ekonomi di Jepang. Pertama, agama secara langsung mempengaruhi etika ekonomi; kedua, pengaruh agama terjadi melalui pranata keluarga. Pada masa awalnya, Shinsu, salah satu sekte agama Budha yang dikaji oleh Bellah menekan pada pentingnya keselamatan yang lebih didasarkan pada keyakinan saja, dan hanya sedikit memberikan perhatian pada tuntutan etika. Oleh karena itu, setiap manusia akan memperoleh keselamatan tidak peduli bertapa
23
jahatnya manusia. Namun demikian, pada pertengahan masa Tokugawa (16001868), sebagai akibat dari perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Rennyo Shonin, yang disebut-sebut sebagai pendiri kedua dari sekte ini, keselamatan dan etik menjadi terkait mutlak dan tidak dapat dibedakan sama sekali, apalagi dipisahkan. Sehingga tidak lagi terdengar ajaran yang menyatakan, bahwa yang jahat tetap akan selamat. Perubahan nilai keagamaan ini yang menekankan pentingnya etika dalam proses penyelamatan penyelamatan sebagai perubahan yang sangat mendasar. Dalam pada itu, Bellah melihat adanya tiga karakteristik pokok dari ajaran dan tuntutan persyaratan etika ini. Pertama, ajaran untuk berkerja secara tekun dan sungguh-sungguh, khususnya di bidang pekerjaan yang telah dipilihnya. Persyaratan ini menempati posisi sentral dari ajaran dan tuntutan etika baru ini. Kedua, ajaran untuk memiliki sikap pertapa dan hemat dalam konsumsi barang. Etika ini, misalnya, dapat dilihat dari berbagai anjuran dan peribahasa yang muncul waktu itu. Misalnya untuk selalu tidak melupakan berkerja tekun pada pagi dan sore hari, himbauan berkerja keras, bersikap kepala dingin terhadap konsumsi barang mewah. Juga dapat terlihat pada anjuran yang tegas untuk tidak berjudi dan lebih baik mengambil sedikit daripada mengambil banyak. Ketiga, sekalipun pencarian keuntungan secara tidak halal dilarang, namun usaha keras mengejar dan mengumpulkan keuntungan yang diperoleh dari usaha-usaha yang normal diberikan dan disediakan legitimasinya dalam ajaran agama melalui doktrin spirit Bodhisattva. Menurut Bellah, usaha perdagangan dan kerajinan ini diperbolehkan, karena kegiatan ini dianggap juga memberikan keuntungan pada konsumen.
24
Kerena mereka juga memberikan keuntungan pada masyarakat, pedagang dan pengrajin memiliki hak untuk mencari keuntungan bagi diri mereka sendiri. Inilah apa yang disebut dengan harmoni jiri-rita. Untuk mendokumentasikan pengaruh dari agama Shinsu ini terhadap tingkah laku nyata pedagang Jepang. Bellah menunjuk adanya bukti tentang konsentrasi candi-candi Shin pada pusat-pusat perdagangan di kota Omi. Di samping itu Bellah juga menggunakan bukti-bukti tentang adanya catatan banyaknya jumlah pedagang yang terlihat di pusat-pusat pencatatan candi-candi, dan pernyataan-pernyataan kealiman (kesalehan) yang sering di buat dalam riwayat hidup para pedagang ini. Secara ringkas, hasil kajian Bellah tentang agama Tokugawa ini mencoba menunjukan, apakah itu secara langsung atau tidak langsung melalui pranata politik dan keluarga, bahwa agama tersebut memberikan akibat positif terhadap modernisasi ekonomi Jepang.
2.7 Etnis Bali Etnis merupakan suatu sistem kemasyarakatan yang memiliki kebudayaan tersendiri yang berasal dari Bali dan yang beragama Hindu. Karena itu, kebudayaan dapat berwujud: a) kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, dalam artian wujud ini masih dalam pikiran pemilik kebudayaan tersebut, yang bersifat abstrak tidak dapat disentuh, sekalipun ide/gagasan tersebut (dinyatakan oleh pemiliknya) dapat disentuh, hanya dapat ditemukan pada warga pemilik kebudayaan tersebut; b)
25
kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; dan c) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia atau juga pada umumnya etnis ini lebih dikenal sebagai populasi yang secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan, mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, dan menetukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi yang lain. 2.7.1
Ekonomi Komunitas Petani Di Pedesaan Berbicara mengenai ekonomi komunitas petani di pedesaan, tentunya
berkaitan erat dengan kelembagaan ekonomi itu sendiri. Lemahnya kinerja ekonomi pedesaan yang didominasi usaha pertanian, terutama disebabkan rendahnya kapasitas kelembagaannya. Hal ini dikarenakan program pembangunan pertanian yang selama ini dilaksanakan tidak local institution endowment (berbasiskan kelembagaan lokal) yang telah ada. Rendahnya akses kelembagaan ekonomi di pedesaan (terbentuk dari nilai-nilai tradisional) terhadap kelembagaan moderen menyebabkan rendahnya intraksi antar kelembagaan. Oleh karenanya partisipasi komunitas petani lemah dalam aktifitas jaringan ekonomi di tingkat lokal dalam keterkaitannya dengan pembangunan pedesaan. Lemahnya struktur perekonomian komunitas petani, diimplikasikan dari berbagai dampak negatif lanjutan, seperti: terjadinya kontraksi perekonomian nasional, degradasi SDA (lahan air),terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha yang mempertajam kesenjangan antar golongan masyarakat, serta terkait dengan
26
kelembagaan perekonomian kerakyatan tradisional di pedesaan. hal ini disebabkan oleh strategi pembangunan ekonomi nasional yang sentralistik, bias mengejar pertumbuhan, bias kawasan/wilayah, kurang memperhatikan aspek keadilan dan berkelanjutan
yang
merupakan
pola
pembangunan
konvensional
yang
menghasilkan kinerja ekonomi nasional yang rapuh. Perekonomian pedesaan sangat ditunjang usaha pertaniannya sebagai sektor riil yang sangat potensial dan berspektrum luas. Berbagai strategi pembangunan pertanian seperti pengembangan agribisnis sebagai salah satu usaha, mendorong petani meninggalkan konsep pertanian primitif subsistensi dengan produktifitas tinggi, terspesialisai (komoditas komersial), yang hampir secara keseluruhan untuk memenuhi pasar komersial. (Todaro, 1983). Konsep evolusi pertanian tidak hanya melalui perubahan struktur dan prilaku kelembagaan ekonomi pasar di pedesaan, sebagai upaya menghindari dan memperkecil kesenjangan antar golongan masyarakat. Secara sosiologis, setiap fungsi dalam masyarakat pasti dijalankan sebagai fungsi dalam masyarakat pasti dijalankan sebagai fungsi kelembagaan. Dalam memenuhi kebutuhan hidup, melakukan proses produksi manapun distribusi, dijalankan oleh fungsi kelembagaan ekonomi. Sikap dan prilaku setiap individu yang terlibat dipedomani suatu pola nilai dan norma berupa struktur yang baku dalam berperan yang secara sederhana. Peran kearifan lokal masyarakat Hindu Bali berupa Konsep Tri Hita Karana dijadikan falsafah dalam berjalannya sistem subak ini. Konsep ini artinya dalam mencapai kesejahteraan hidup perlu adanya harmonisasi antara tiga
27
komponen meliputi komponen Parahyangan, komponen Palemahan dan komponen Pawongan. Sebagian besar masyarakat Bali memiliki mata pencaharian sebagai petani. Selain padi, pertanian yang lain yaitu palawija, kopi, dan kelapa. Peternakan di Bali yaitu, ternak babi, ayam, bebek dan sapi. Selain itu juga dikembangkan peternakan kambing, kerbau, dan kuda. Perikanan yang dikembangkan perikanan darat dan laut, perikanan laut terdapat di pinggir pantai. Para nelayan menggunakan jangkung (perahu penangkap ikan) untuk mencari ikan tongkol, udang, dan cumi-cumi. Di Bali juga banyak terdapat industri kerajinan, kerajinan yang dibuat meliputi: benda-benda anyaman, kain tenun, pabrik rokok, dan tekstil. Selain itu juga banyak perusahaan yang menjual jasa, seperti biro perjalanan, hotel, rumah makan, taxi, dan toko kesenian. Hal tersebut melandasi pola aktivitas budaya sehari-hari, melalui peneguhan pelaksanaan pada tiga aspek lingkungan hidup yakni, lingkungan spiritual (Parahyangan), lingkungan manusia (Pawongan), dan lingkungan fisik (Palemahan). Dalam hal yang bisa di bangun sesuai dengan kearifan lokal masyarakat etnis Hindu Bali yang menuntun kearah hidup masyarakat yang lebih harmonis. Salah satu konsep filosofis Hindu yang dijadikan kearifan lokan tersebut adalah Tri Hita Karana. Secara etimologi, konsep Tri Hita Karana yaitu Tri yang artinya tiga, Hita yang berarti sejahtra, dan Karana yang artinya sebab,yang terdiri dari Parahyangan yaitu lingkungan spiritual (manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa), Palemahan yaitu lingkungan alamiah (manusia dengan
28
alamnya), Pawongan yaitu lingkungan sosial (manusia dengan manusianya). (Sutawan, 2008). 2.8 Tri Hita Karana 2.8.1 Pengertian Tri Hita Karana Tri Hita Karana terdiri atas tiga kata yaitu tri, artinya, tiga, hita artinya, kebahagiaan atau kesejahteraan dan karana artinya, sebab. Jadi Tri Hita Karana (THK) berarti tiga komponen atau unsur yang menyebabkan
kesejahtraan atau
kebahagiaan. Ketiga komponen THK itu berkaitan erat antara yang satu dengan yang lainnya. Ketiga komponen THK itu meliputi hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa (Parhyangan), hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia (Pawongan), dan hubungan yang harmonis antara mnusia dengan alam lingkungan (Palemahan). (Sudarta, 2008 : 84). Unsur-unsurnya disebutkan meliputi Parhyangan (hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa), Pawongan (hubungan yang harmonis antara manusia dngan manusia), dan Palemahan (Hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam lingkungan). Meskipun konsep THK pada dasarnya adalah sebuah landasan yang bersumber dari agama Hindu, sejatinya THK adalah konsep universal yang ada pada semua ajaran Agama di dunia. (Windia dan Dewi, 2011) Aspek Parahyangan menyangkut hubungan manusia dengan lingkungan sepiritual sebagai refleksi dari hakekat manusia sebagai mahluk yang memiliki keyakinan akan adanya kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai upaya untuk mencapai kesejahtraan hidip, manusia senantiasa berusaha menjaga intraksi
29
harmonis dengan lingkungan spiritual, yang terekspresikan dalam bentuk sistem religi, mencangkup emosi keagamaan, tindakan-tindakan keagamaan, fasilitas keagamaan, kominitas keagamaan. Aspek Palemahan yang berasal dari kata “lemah” yang berarti tanah/pekarangan rumah/wilayah pemukiman. Secara umum Palemahan merupakan salah satu aspek dari Tri Hita Karana yang berhubungan dengan lingkungan fisik. Terkait lingkungan terdapat banyak faktor yang perlu di perhatikan dalam implementasi aspek Palemahan tersebut. Pemerintah, kalangan dunia usaha, dan masyarakat semestinya mempunyai komitmen dalam menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan. Aspek Pawongan menciptakan kehidupan harmonis yang selalu menjadi dambaan setiap orang. Hal ini bisa dicapai melalui kerjasama yang serasi dengan sesama manusia. Tuntutan kerja sama ini umumnya didorong oleh adanya ketidak pastian, keterbatasan, dan kelangkaan sumberdaya yang dimiliki manusia, sehingga jalinan sosial menjadi suatu keharusan. (Sutawan 2001) 2.8.2 Tujuan Tri Hita Karana Tujuan dari THK adalah mencapai kebahagiaan hidup melalui proses harmoni dan kebersamaan. Selanjutnya tujuan THK tersebut, sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Hal ini berarti bahwa lingkungan alam, lingkungan manusia/masyarakat, dan lingkungan pola pikir/konsep/nilai yang berkembang dalam masyarakat akan dapat mempengaruhi tujuan akhir yang akan dicapai oleh filsafat THK tersebut. (Windia dan Dewi 2011).
30
2.9 Pertambangan [[[
Pertambangan adalah rangkaian kegiatan dalam rangka upaya pencarian, penambangan (penggalian), pengolahan, pemanfaatan dan penjualan bahan galian (mineral, batubara, panas bumi, migas). Pertambangan mempunyai beberapa karakteristik, yaitu (tidak dapat diperbarui), mempunyai risiko relatif lebih tinggi, dan pengusahaannya mempunyai dampak lingkungan baik fisik maupun sosial yang relatif lebih tinggi dibandingkan pengusahaan komoditi lain pada umumnya. Karena sifatnya yang tidak dapat diperbarui tersebut pengusaha pertambangan selalu mencari (cadangan terbukti) baru. Cadangan terbukti berkurang dengan produksi dan bertambah dengan adanya penemuan. ( Ikawati, Y, dalam Putri, 2014) Perubahan lingkungan akibat kegiatan penambangan dapat bersifat permanen atau tidak dapat di kembalikan pada keadaan semula. Perubahan tofografi tanah, termaksud merubah aliran sungai, bentuk danau atau bukit selama masa penambangan, sulit di kembalikan kepada keadaan semula. Kegiatan penambangan juga mengakibatkan perubahan pada kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Perubahan tataguna tanah, perubahan kepemilikan tanah, atau pekerja dan lain-lain. Pengolahan dampak penambangan terhadap lingkungan bukan untuk kepentingan lingkungan itu sendiri tetapi juga untuk kepentingan manusia. Penambangan pada hakekatnya merupakan suatu upaya penambangan sumberdaya alam mineral dan energi yang potensial untuk dimanfaatkan secara hemat dan optimal bagi kepentingan dan kemakmuran rakyat melalui serangkaian
31
kegiatan eksplorasi, pengusahaan dan pemanfaatan hasil tambang. Upaya tersebut bertumpu pada pendayagunaan berbagai sumber daya, terutama sumberdaya energi dan mineral, didukung sumberdaya energi manusia yang berkualitas, penguasaan ilmu pengetahuan dan tegnologi serta kemampuan manajemen. (Purnama 2012). 2.9.1 Usaha Pertambangan Rakyat Pertambangan rakyat memiliki arti suatu usaha pertambangan bahan galian dari semua golongan A, B, dan C sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 3 ayat (1) yang dilakukan oleh rakyat setempat secara kecil-kecilan atau secara gotong royong dengan menggunakan peralatan tradisional atau peralatan yang sederhana untuk pencarian sendiri. Tujuan Pertambangan Rakyat menurut UU No. 11/1967- Pasal 11(1) adalah memberikan kesempatan kepada rakyat setempat dalam mengusahakan bahan galian untuk turut serta membangun Negara dibidang pertambangan dengan bimbingan Pemerintah.Pertambangan rakyat dilakukan oleh rakyat, artinya dilakukan oleh masyarakat yang berdomisili di area pertambangan secara kecilkecilan atau gotong royong dengan alat-alat sederhana. Tujuan mereka adalah untuk meningkatkan kehidupan sehari-hari. Dilaksanakan secara sederhana dan dengan alat sederhana, jadi tidak menggunakan teknologi canggih, sebagaimana halnya dengan perusahaan pertambangan yang mempunyai modal besar dan memakai teknologi canggih. Dari uraian di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur pertambangan rakyat, yaitu : (1) Usaha pertambangan ; (2) bahan galian meliputi bahan galian strategis, vital dan galian c ; (3) dilakukan oleh rakyat ; (4)
32
Domisili di area tambang rakyat ; (5) Untuk penghidupan sehari-hari ; (6) Diusahakan dengan cara sederhana. (Nur 2014) Perkembangan dari waktu ke waktu, memungkinkan terjadinya pergeseran. Usaha pertambangan rakyat, secara nyata dilakukan oleh rakyat, dan disponsori oleh para pemilik modal besar, walaupun dalam proses penambangan masih dilakukan dengan menggunakan peralatan yang sederhana. Pekerja tambang, adalah masyarakat biasa yang hanya menerima gaji/upah dari pemilik modal. Dengan demikian semangat gotong royong sebagai ciri khas pertambangan rakyat, tidak lagi mewarnai pertambangan tradisional yang dilakukan oleh rakyat. 2.10 Penelitian Terdahulu Komang Elva Equitari et al (2013) Melakukan penelitian dengan judul Pola Keberlanjutan Prinsip Tri Hita Karana Dalam Pengelolaan Sumberdaya Air Untuk Pertanian Berbasis Subak di Kawasan Perkotaan (Studi Kasus: Subak Ayung, Subak Gaji, Subak Seminyak, Kabupaten Badung, Provinsi Bali). Sistem irigasi subak di Bali adalah salah satu bentuk sistem irigasi berbasis masyarakat dimana peran kearifan lokal berupa konsep Tri Hita Karana sangat berpengaruh di dalamnya.
Namun keberlanjutan prinsip Tri Hita Karana yang melandasi
keberlanjutan subak di Bali saat ini pun menghadapi tantangan terutama di perkotaan dimana terjadi perubahan kondisi fisik, sosial dan ekonomi di wilayah subak tersebut berada. Tesis ini menemukenali pola keberlanjutan prinsip Tri Hita Karana dengan melihat keberlanjutan komponen parahyangan, pawongan dan palemahan yang dijabarkan
dalam 14 kriteria dan
indikator yang lebih
operasional. Kriteria dan indikator tersebut kemudian digunakan untuk melihat
33
fenomena di 3 (tiga) lokasi studi kasus, yaitu: Subak Ayung, Subak Gaji dan Subak Seminyak. Hasil penelitian ini menunjukan keberlanjutan prinsip Tri Hita Karana di masing-masing studi kasus, jika dikaitkan dengan karakteristik perkotaan di masing- masing studi kasus diperoleh 3 (tiga) pola yaitu: (1) keberlanjutan komponen parahyangan dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi dan sosial perkotaan; (2) keberlanjutan komponen palemahan dipengaruhi oleh perkembangan komponen fisik, sosial dan ekonomi perkotaan; (3) keberlanjutan komponen pawongan paling dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi perkotaan. Nikomang Elva Equitari et al (2013) Melakukan penelitian dengan judul Pengilahan Ilmu Lingkungan Hotel Berbasis Tri Hita Karana Di Kawasan Pariwesata Sanur. Selain ini masalah lingkungan telah menjadi isu global, di tengah-tengah proses pembangunan yang berjalan pesat. Protes friksi, dan konflik yang kini terjadi dalam proses pembangunan, karena manusia merasa telah terdesak secara sosial, ekonomi dan juga lingkungan. Pembangunan di Bali harus bertumpu pada harmoni sesuai dengan visi pembangunan provinsi Bali : menuju bali Dwipada Jaya yang Berlandaskan Tri Hita Karana. Penelitian ini berlandaskan dengan tujuan untuk menyusun kriteria hotel yang berbasis THK, dan untuk mengetahui tingkat penerapan THK pada hotelhotel di Kawasan Pariwisata Sanur. Penentuan lokasi penelitian, dilaksanakan dengan cara purposive. Semua hotel yang tercatat di kawasan pariwisata sanur dipilih sebagai sampael. Artinya sampling dilaksanakan secara sensus. Selanjutnya sebagai responden dalam penelitian ini adalah manajemen hotel yang
34
bersangkutan. Manajemen/pengeloalan hotel adalah bagaimana hotel itu di oprasikan sehari-hari. Hasil penelitian menunjukan bahwa, indikator hotel yang berbasis THK dapat di lihat dari tiga elemen, yakni parhyangan, pawongan, dan palemahan. Indikator elemen parhyangan adalah : adanya pura di hotel : pengelola pura : pelaksanaan odalan di pura : memelihara pura : pelaksanaan cearamah agama : dan bantuan kepada pura di sekitar hotel. Indikator elemen pawongan I adalah : ada harmoni antara pihak managemen dan pihak karyawan : ada-tidaknya surat perjanjian kerja bersama ( PKB ) : harmoni antara pihak hotel dengan masyarakat sekitarnya : dan jumlah karyawan sebagai pendukung budaya lokal ( Bali ). Indikator elemen palemehan adalah : Ruang terbuka hijau RTH : taman di kawasan hotel : pengolahan air limbah : pengelohan sampah : pengolahan emisi : pengolahan lingkungan : pengolahan bahn berbahaya beracun ( B3 ): bangunan dengan ciri khas Bali : dan pemanfaatan CSR untuk kegiatan penghijauan. Tingkat penerapan THK pada hotel di kawasan pariwisata sanur adalah sebesar 86,97% ( sangat baik ). Penerapan per-elemen THK dapat di lihat bahwa tingkat penenerapan elemen parhyangan adalah 86,81% ( sangat baik ), pawongan adalah 90,15% ( sangat baik ) dan palemahan adalah 74,78% ( baik ). Indikator hotel yang berbasis THK dapat terus di kembangkan lebih lanjut, dan terus di uji pada kawasan pariwisata yang lebih luas.
35
2.11 Kerangka Pikir Usaha penambangan pasir etnis Bali menggunakan sistem kekeluargaan, sehingga semua karyawan adalah etnis Bali. Di dalam gambaran umum kelembagaan ekonomi usaha penambangan etnis Bali yang meliputi
adanya
Kepemimpinan, Proses rekrutmen pekerja, Pola Pengelolaan Sumberdaya, Mekanisme Pengelolaan Usaha, dan Struktur Organisasi. Penelitian ini menggunakan teori Weber mengenai pentingnya nilai-nilai agama terhadap etos ekonomi dan kelembagaan ekonomi atau dalam istilah Weber semagat kapitalisme. nilai-nilai yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nilai agama Hindu yakni Tri Hita Karana yang dijadikan pedoman hidup oleh masyarakat Hindu Bali. Tri Hita Karana yaitu tiga penyebab kesejahtraan atau tiga upaya untuk mencapai kebahagiaan. Untuk
mencapai kebahagiaan atau
kesejahteraan hidup perlu adanya harmonisasi antara tiga komponen meliputi (1) Parahyangan (terjadinya keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa), (2) Palemahan (keharmonisan hubungan manusia dengan alam) dan (3) Pawongan (keharmonisan antara manusia dengan manusianya). Nilai-nilai ini dianggap berperan didalam delapan fase proses eksploitasi oleh kelembaggan ekonimi etnis Bali di Desa Lamebara. Fase tersebut antara lain: fase memulai kegiatan penambangan yaitu kegiatan yang dilakukan sebelum melakuakan aktivitas atau kegiatan penambangan, yang dilakukan oleh pemilik usaha dan karyawan, Fase Mebanten Dilokasi Penambangan Kegiatan ini yang dilakukan oleh pemilik usaha, Fase bekerja ini yaitu rangkaian kegiatan yang akan dilakukan pada saat sebelum memulai kegiatan penambangan, dan kegiatan ini
36
dilakukan pada saat di lahan atau di lokasi penambangan pasir, fase penyampaian dilokasi penambangan yang dilakukan oleh pemilik usaha, fase Penyiapan AlatAlat dan Pembagian Tugas Kegiatan ini yang dilakukan oleh karyawan usaha penambangan pasir, fase pembuangan limbah yang dilakukan oleh pemilik usaha dan karyawan, fase pemuatan yang dilakukan oleh karyawan, dan fase pembayaran/bagi hasil yang dilakukan oleh pemilik usaha dan karyawan.
37
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini di laksanakan pada bulan Mei 2016, di Desa Lamebara, Kecamatan Mowila, Kabupaten Konawe Selatan. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan atas pertimbangan bahwa di Desa Lamebara terdapat usaha penambangan pasir dan dalam sebuah usahanya terdapat masyarakat etnis Bali dengan menggunakan kelembagaan yang menerapkan sebuah filsafat Hindu yaitu Tri Hita Karana. 3.2 Penentuan Informan Untuk analisa penelitian ini adalah masyarakat yang dipilih secara sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan kasus unik seperti masyarakat yang menerapkan kelembagaan dengan nilai-nilai Tri Hita Karana. Informan dalam penelitian ini sebagai sumber informasi adalah 6 orang pemilik usaha penambang pasir, karyawan penambang pasir, dan pemangku etnis Bali. 3.3 Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas dua jenis yaitu : 1.
Data primer bersumber dari informan terpilih yang berkerja dalam usaha penambangan pasir dan yang memahami tentang konsep Tri Hita Karana. Data yang diperoleh dengan cara wawancara mendalam (deep interview) berdasarkan panduan pertanyaan.
38
2.
Data sekunder adalah berupa data yang bersumber dari penelitian keperpustakaan yang diperoleh melalui pencatatan pada instansi terkait, karya ilmiah dan sumber pustaka lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.
3.4 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1.
Observasi/pengamatan adalah tehnik pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan secara langsung terhadap objek yang akan diteliti.
2.
Wawancara mendalam (in deep interview) adalah penggumpulan data dengan menggunakan tehnik wawancara mendalam atau antara peneliti dan informan yang dilakukan untuk mendapatkan keterangan dengan jelas. Pengumpulan data dibimbing oleh pedoman wawancara yang sudah dipersiapkan.
3.
Studi pustaka yaitu studi-studi mengenai literatur-literatur yang terkait denagn penelitian ini.
3.5 Teknik Analisis Data Dalam menentukan analisa data maka peneliti menggunakan analisis deskritif kualitatif, dimana data yang diperoleh di lapangan, diolah kemudian disajikan dalam bentuk tulisan. Sitorus dalam ( Miles dan Humberman,1992) mendifinisikan tahap-tahap analisis data sebagai berikut : 1. Reduksi
data
adalah
proses
pemilihan,
permusatan
perhatian
pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis dilapangan. Reduksi data merupakan bentuk analisis yang menjamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang
39
tidak perlu, dan megorganisasi data dengan cara sedemikian
rupa hingga
kesimpulan-kesimpulan akhir dapat diambil. 2. Penyajian data adalah kegiatan ketika sekumpulan informasi disusun, sehingga memberi kemungkinan akan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Kesimpulan adalah proses untuk menjawab permasalahan dan tujuan sehingga ditentukan saran dan masukan untuk pemecahan masalah. 3.6 Definisi Konseptual Definisi konseptual ialah pengertian atau batasan-batasan yang digunakan untuk mendapatkan data serta dapat memudahkan dalam analisis data hasil penelitian yang berhubungan dengan penarikan kesimpulan. Adapun konsep operasional dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Lembaga ekonomi masyarakat penambang pasir adalah badan atau organisasi yang melaksanakan aktivitas eksploitasi sumberdaya pasir di Desa Lamebara. 2) Usaha penambangan pasir adalah suatu kegiatan pencarian hingga penjualan material pasir yang dilakukan oleh masyarakat etnis Bali 3) Etnis bali adalah masyarakat yang berasal dari Bali dan yang beragama Hindu. 4) Kepemimpinan yang dimaksud dalam penelitian ini diarikan sebagai kemampuan pemilik usaha penambangan pasir dalam mempengaruhi dan mengatur para karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya yang terkait dengan kegiatan penambangan.
40
5) Rekrutmen yang dimaksud dalam penelitian ini diarikan sebagai serangkaian aktivitas mencari karyawan sesuai dengan kebutuhan lembaga dan mecari tenaga kerja yang profesional dalam penambangan pasir. 6) Sumber daya alam yang ada didalam penelitian ini adalah sumberdaya alam pasir yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dan diperoleh dengan proses penambangan hingga penjualan. 7) Pola pengolahan sumberdaya dalam penelitian ini diartikan sebagai upaya lembaga ekonomi usaha penambangan pasir didalam memanfaatkan sumberdaya pasir disekitar sungai Lamebara dengan melakukan pengendalian serta pemulihan terkait dengan dampak yang diakibatkan dari kegiatan penambangan. 8) Mekanisme adalah alat yang digunakan dalam penambangan pasir etnis Bali yaitu dengan menggunakan mesin sedot pasir. 9) Mekanisme pengolahan usaha dalam penelitian ini dapat diartikan sebagai upaya terpadu oleh lembaga ekonomi usaha penambangan dalam memimpin, menata usaha sesuai dengan prinsip yang melandasi lembaga usaha penambangan pasir tersebut. 10) Nilai-nilai Tri Hita Karana merupakan kelembagaan, pranata atau sistem norman atau aturan yang mengenai suatu aktivitas masyarakat, yang khusus yang berdasarkan nilai-nilai kepercayaan masyarakat Hindu yang diwujudkan dalam bentuk tingkah laku nilai-nilai Tri Hita Karana 11) Tri Hita Karana adalah filsafat dari nilai-nilai agama Hindu Bali. Orang Hindu Bali meyakini bahwa Tri Hita Karana berarti “Tiga penyebab
41
terciptanya kebahagiaan. Yang meliputi: Parahyangan (manusia dengan Tuhan), Palemahan (manusia dengan lingkunganNya), Pawongan (manusia dengan sesamaNya) 12) Konsep nilai Manusia dengan Tuhan (Parahyangan). Manusia adalah ciptaan Tuhan, sedangkan Atman yang ada dalam diri manusia merupakan percikan sinar suci kebesaran Tuhan yang menyebabkan manusia dapat hidup. Dilihat dari segi ini sesungguhnya manusia itu berhutang nyawa terhadap Tuhan. Oleh karena itu setiap manusia wajib berterima kasih, berbhakti dan selalu sujud kepada Tuhan Yang Maha Esa. Rasa terima kasih dan sujud bhakti itu dapat dinyatakan dalam bentuk puja dan puji terhadap kebesaran Nya. 13) Konsep nilai manusia dengan alam lingkungan (Palemahan). Manusia hidup dalam suatu lingkungan dan bergantung pada lingkungan. Oleh karena itu manusia harus selalu memperhatikan situasi dan kondisi lingkungannya. Lingkungan harus selalu dijaga dan dipelihara serta tidak dirusak. Keindahan lingkungan dapat menimbulkan rasa tenang dan tenteram dalam diri manusia. 14) Konsep nilai Manusia dengan SesamaNya (Pawongan) adalah Sebagai mahluk sosial, manusia tidak dapat hidup menyendiri. Dan membutuhkan bantuan dari manusia lainnya dengan dasar saling menghargai, saling mengasihi dan saling membimbing. Mereka memerlukan bantuan dan kerja sama dengan sesamanya. Karena itu hubungan antara sesamanya harus selalu baik dan harmoni. Dalam bahasa bali di sebut saling asah (menghargai), saling asih (mengasihi) dan saling asuh (melindungi).
42
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Wilayah Gambaran umum wilayah merupakan deskripsi ringkas terkait kondisi geografis dan demografis wilayah penelitian. Penggambaran ini di batasi pada sejarah lokasi penelitian letak dan luas wilayah penelitian, keadaan iklim dan topografi tanah, keadaan demografis, keadaan penduduk menurut mata pencarian, pola penggunaan tanah, keadaan sektor pertanian, serta keadaan sarana dan prasarana, dan gambaran umum masyarakat desa Lamebara. 4.1.1 Sejarah Desa Lamebara Desa Lamebara merupakan salah satu desa di wilayah kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara yang di mekarkan pada tahun 1995, desa Lamebara merupakan daerah pemekaran dari desa Rakawuta yang di mekarkan pada tahun 2000 yang kemudian didefinitifkan pada tahun 2003 oleh pemerintah Kabupaten Konawe Selatan. Desa ini di berinama Lamebara karena dalam bahasa tolaki memiliki arti “ kehidupan baru sehingga dapat di maknai bahwa bangkitnya kesejahtraan rakyat. 4.1.2 Letak Dan Luas Wilayah Desa Lamebara terletak di kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara dengan jarak kurang lebih 7 kilo meter dari kantor camat Mowila, sekitar 30 kilo dari kabupaten konawe selatan dan sekitar 40 kilo dari
43
kota Provinsi. Luas wilayah desa Lamebara 805H2 dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : 1. Sebelah utara berbatasan dengan desa Lamolori 2. Sebelah timur berbatasan dengan desa desa Pudahoa dan desa Mowila 3. Sebelah selatan berbatasan dengan desa Maisare kec. Palangga 4. Sebelah barat berbatasan dengan desa Lamoeri kec. Angata 4.1.3 Keadaan Iklim Dan Topografi Tanah Berdasarkan data yang di peroleh dari desa Lamebara mengalami tiga musim yaitu musim kemarau, hujan dan musim pancaroba. Dimana musim hujan biasanya terjadi antara bulan januari s/d april, musim kemarau antara bulan juli s/d november, sedangkan musim pancaroba antara bulan mei s/d juni. 4.1.4 Kependudukan Keberhasilan suatu daerah khususnya daerah pedesaan tidak terlepas dari peranan sumberdaya manusia pada daerah tersebut. Sumberdaya manusia yang di maksud dapat berupa potensi yaitu keahlian dan kemampuan yang dimiliki penduduk desa Lamebara. Data terakhir tahun 2015 menunjukkan bahwa penduduk desa Lamebara berjumlah 355 jiwa, dengan jumalah 91 kepala keluarga.
44
4.1.4.1 Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin Keadaan jumlah penduduk di desa Lamebara tahun 2016 dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 1. Distribusi penduduk menurut jenis kelamin di desa Lamebara kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2016-06-30
No
Jenis Kelamin
1 2
Jiwa
Laki-laki Perempuan
185 170 355 Total Sumber : Data sekunder ( Profil Desa Lamebara, 2016
Jumlah Presentase % 50,75 49,25 100
Bersarkan angka tersebut maka dapat di hitung sex ratio khusus penduduk di desa Lamebara adalah: Sex Ratio =
jumlah penduduk laki − laki 185 x 100 = x 100 = 1,08.9 jumlah penduduk perempuan 170
Hal ini berarti setiap 100 orang penduduk orang terdapat 108 orang penduduk laki-laki. Dalam hal ini maka jumlah penduduk laki-laki di desa Lamebara memang lebih banyak dari pada jumlah penduduk perempuan. 4.1.4.2 Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencarian Jumlah kepala keluarga ( KK ) menurut mata pencarian di desa Lamebara Tahun 2016 dapat di lihat pada tabel berikut : Tabel 2. Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Desa Lamebara, 2016. No 1 2
Mata Pencaharian Pertanian, perikanan, perkebunan Industri pengolahan (pabrik, kerajinan, tukang)
67
Presentase (%) 73.6
6
6.6
Jumlah KK
45
Perdagangan besar/eceran dan 6 rumah makan 4 Jasa 1 5 Pegawai Negeri Sipil 3 6 Peternak 8 91 Jumlah Sumber : Data sekunder ( Profil Desa Lamebara, 2016) 3
6.6 1.1 3.3 8.8 100
Berdasarkan tabel di atas dapat kita lihat bahwa mata pencaharian penduduk desa Lamebara dapat di katakan hampir semua berprofesi petani, hal ini sesua latar belakang penelitian, karena jumlah penduduk Lamebara bermata pencaharian di bidang pertanian sebanyak 67 kepala keluarga ( KK ) dan 8 orang yang berprofesi peternak. 4.1.5 Pola Penggunaan Tanah Tanah di desa Lamebara sebagian besar di manfaatkan untuk kegiatan produktif seperti ladang kering dan adapula hutan berawa yang di tumbuhi tumbuhan produktif, dan di manfaatkan masyarakat sekitar sebagai sumber mata pencaharian. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada tabel berikut : Tabel 3. Pola Penggunaan Tanah di Desa Lamebara, 2016 No 1 2 3 4 5
Jenis Penggunaan Tanah Luas ( Ha ) Pekarangan 91 Padang rumput/pengembalaan 105 Pertambangan 10 Perkebunan rakyat 524 Hutan rakyat 75 Jumlah 805 Sumber : Data sekunder ( Profil Desa Lamebara, 2016)
Persentase ( % ) 11.3 13.0 1.2 65.1 9.3 100
46
4.1.6 Keadaan Sektor Pertanian Petani di Desa Lamebara mengusahakan berbagai jenis tanaman adapun tanaman yang di usahakan oleh masyarakat di desa Lamebara dapat di lihat pada tabel berikut : Tabel 4. Keadaan sektor pertanian di desa Lamebara 2016 No 1 2 3 4
Jenis komoditi
Luas areal ( Ha ) Kakao 499 Kelapa/sawit 7 Lada 18 Durian 5 Jumlah 529 Sumber : Data sekunder ( Profil Desa Lamebara, 2016) 4.1.7 Keadaan Sarana Dan Prasarana Ketersediaan sarana dan prasarana merupakan salah satu syarat terciptanya pembangunan di suatu kawasan. Data berikut akan mengurai keadaan sarana dan prasarana yang terdapat di desa Lamebara kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan, secara rinci pada tabel berikut : Tabel 5. Keadaan sarana dan prasarana di desa Lamebara kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan 2016 No Jenis sarana dan prasarana 1 Kantor desa 2 Mesjid 3 Jembatan 4 Sekolah sd 5 Balai desa 6 Deuker 7 Sarana air bersih 8 Jalan Sumber : Data sekunder ( Profil Desa Lamebara, 2016)
Jumlah unit 1 Bh 1 Bh 1 Bh 1 Bh 1 Bh 2 Bh 1 Bh 4 Bh
47
Dari data tabel di atas keadaan sarana dan prasarana yang ada di desa Lamebara sudah cukup memadai untuk menunjang kegiatan masyarakat. Keberadaan sarana transfortasi (jembatan) merupakan jalur yang sangat penting dalam kelancaran arus perekonomian, seperti pengangkutan hasil-hasil pertanian para petani dan lain sebagainya. Selain sarana transfortasi terdapat sarana pendidikan seperti sekolah dasar (SD). Untuk fasilitas pendidikan seperti TK, SMP dan SMA tidak jauh dari desa. Keadaan ini di katakan cukup memadai dengan keadaan penduduk yang cukup banyak, selain itu sara transfortasi seperti jalan masih sangat membutuhkan perbaikan dari pihak pemerintah, karena jalan yang digunakan warga sangat berdebu dan masih terdapat banyak lubang dimanamana. 4.2 Hasil Dan Pembahasan 4.2.1 Gambaran Nilai-Nilai Tri Hita Karana Tri Hita Karana adalah pedoman hidup bagi semua masyarakat Bali Hindu. Pedoman ini mendasari seluruh pola kehidupan orang Hindu antara lain misalnya: (1) beribadah kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa; (2) mencari nafkah; (3) membangun bahtera rumahtangga; (4) membangun usaha; dan (5) panduan di dalam berintraksi dengan orang lain baik sesama kaum Hindu maupun di luar kelompok Hindunya. Menurut Ide Pandite Tri Hita Karana adalah tiga penyebab kebahagiaan yang membuat keharmonisan hidup manusia, bagian-bagian dari Tri Hita Karana adalah (parahyangan) yaitu hutang kepada yang di atas atau manusia dengan Tuhannya, (palemahan) yaitu hutang kepada alam semesta atau manusia dengan
48
alamnya dan (pawongan) yaitu hutang kepada sesama manusia atau manusia dengan manusianya. Dalam membangun usaha penambangan pasir dengan menerapkan konsep Tri Hita Karana yaitu dengan membangun hubungan keharmonisan antara manusia dengan Tuhanya (Parahyangan) misalnya sebelum melakukan pekerjaan maka dilakukan pemberian/ngaturan sesajen yang di persembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang bertujuan dalam proses berkerja tidak terjadi hambabatan, Manusia dengan lingkungan (Palemahan) misalnya dalam usaha penambangan pasir pastinya dapat merusak alam namun dengan ini maka wajib dilakukan dengan cara penghijauan kembali di sekitaran tempat yang mengalami kerusakan atau di sekitar sungai agar alam kembali lestari walaupun dengan adanya pertambangan. Manusia dengan manusianya (Pawongan) misalnya membangun hubungan yang baik dengan masyarakat sekitar lokasi penambangan pasir maupun sesama pekerja, apapun yang kita kerjakan apabila terjalin rasa saling menghargai pasti akan tercipta suasana yang nyaman, caranya cukup mudah apabila ada masyarakat asli disana berpapasan dengan kita kita sebaiknya menyapa duluan, dengan senyuman maupun ucapan kata-kata. Penambangan pasir etnis Bali dalam kelembagaan agama Hindu seperti PHDI (Persatuan Hindu Dharma Indonesia) merupakan suatu forum atau wadah yang membahas tentang masalah dan perkembangan agama Hindu yang ada di indonesia. Jika dihubungkan dengan Tri Hita Karana yang tepat yaitu (pawongan) manusia dengan manusianya dalam sebuah kelembagaan yang utama adalah
49
interaksi sesama manusia yang baik agar tercipta hasil dan pelayanan yang memuaskan. Apabila pelayanan sudah bagus, konsisten dalam menentukan harga dengan mengikuti kondisi pasar serta material pasir selalu siap. dan hasil yang baik tidak menuntut kemungkinan kedepannya penambangan pasir ini akan berkembang dan diminati banyak orang. Model kepemimpinan yang menerapkan konsep Tri Hita Karana yaitu seorang pemimpin yang beracuan pada Prajaniti Sastra dalam agama Hindu banyak di temukan istilah yang menunjuk pada pengertian pemimpin bila bakat kepemimpinannya yang menonjol dan mampu memimpin sebuah organisasi yang baik disebut kesatria kerena kata kesatria artinya yang memberi perlindungan. Demikian pula yang memiliki kecerdasan yang tinggi, senang terjun dibidang sepiritual Ia adalah seorang Brahmana. Demikian pula profesi-profesi masyarakat pedagang, bisnismen, petani, nelayan dan sebagainya. Kitab atau sastra Hindu yang banyak meluas tentang konsep kepemimpinan termaksud etika dan moral didalam di sebut kitap Niti Sastra. Niti yang berarti bimbingan, dukungan, bijaksana, kebijakan,dan etika. Sedangkan Sastra berarti perintah, ajaran, nasehat, aturan, teori, dan tulisan ilmiah. Dengan demikian berdasarkan uraian di atas maka Niti Sastra berarti ajaran pemimpin. Enam sifat utama yang dimiliki seorang pemimpin (sadwarnaning Rajaniti) yaitu: (1) Abhigamika artinya seorang pemimpin harus mampu menarik perhatian positif dari rakyatnya, (2) Prajna artinya seorang pemimpin harus bijaksana, (3) Utsaha artinya seorang raja atau pemimpin harus mempunyai daya kreatif yang tinggi, (4) Atma Sampad artinya seorang raja atau pemimpin harus
50
*memiliki moral yang luhur, (5) Saya Samanta artinya seorang raja atau pemimpin harus mampu mengontrol bawahannya sekaligus memperbaiki hal-hal yang kurang baik, (6) Aksudra Parisatka artinya seorang raja atau pemimpin harus mampu memimpin sidang para mentrinya dan dapat menarik kesimpulan yang bijaksana sehingga diterima oleh semua pihak yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda. 4.2.2 Gambaran Kelembagaan Penambangan Pasir Etnis Bali 4.2.2.1 Sejarah Kelembagaan Penambangan Pasir Etnis Bali Penambangan pasir yang dilakukan di desa Lamebara kecamatan Mowila berlokasi pada wilayah pinggiran sungai yang dilintasi oleh aliran sungai Lamebara yang menghasilkan sumberdaya pasir berlimpah. Hal ini mendorong pemilik lokasi melakukan kegiatan penambangan pasir tersebut sejak tahun 2005. Awalnya pak NS mengajak kenalan yang merupakan ahli dalam konstruksi dan bangunan untuk melakukan penelitian yang dilakukan bersama-sama, tentang material pasir yang dapat dipergunakan dalam sebuah bangunan namun Sangat mengejutkan ternyata kandungan pasir yang berada di aliran sungai tersebut sangat baik di pergunakan untuk pendukung sebuah bangunan. Mengingat pasir sangat dibutuhkan untuk membangun rumah, ruko-ruko dan lain sebagainya artinya bahwa peluang usaha untuk sukses besar ditambah lagi hasil penelitian yang menunjukan bahwa kualitas pasir yang di dapatkannya sangat bagus untuk dijual maka pada tahun 2006 pak NS membangun usaha berbadan hukum yakni pasir Lamebara.
51
Sebelum dijadikan kantor usaha penambangan pasir lokasi tersebut dulunya masih merupakan hutan, pada tahun 2000, Pak NS membeli tanah seluas 10 Ha yang masih berupa hutan. tanah tersebut di lintasi sebuah anak sungai yang membentang panjang yang membagi dua tanah dari Pak NS. Awalnya, Pak NS membeli tanah itu untuk investasi, yang rencananya akan dikelola menjadi kebun yang akan ditanami perkebunan misalnya merica, dan buah-buahan antara lain jeruk, pisang dan rambutan. Karena pada saat itu usaha pasir tidak begitu menjanjikan, kebutuhan pasir oleh masyarakat masih rendah, dikarenakan masyarakat masih banyak membangun rumahnya dengan menggunakan bahan dasar kayu dan belum terlalu menggunakan material pasir. beberapa tahun kemudian
kebutuhan
pasir
meningkat
sejalan
dengan
perubahan
cara
membanggun pemukiman oleh masyarakat yakni menggunakan pasir sebagai bahan bangunan untuk rumah dan bangunan lainya seperti sekolah, ruko, perkantoran, jembatan dan sebagainya. Melihat peluang bisnis yang menjanjikan tersebut Pak NS kemudian merencanakan untuk membanggun usaha penambangan pasir bermodalkan lahan yang dibelinya pada tahun 2000. Agar sukses, Pak NS kemudian mencari informasi mengenai cara melakukan penambangan pasir, informasi ini diperolehnya dari pengusaha yang merupakan orang Jawa yang bernama Pak Mariono yang berada di desa punggoni Kec. Anggata yang adalah tetangga desa Lamebara. setelah informasi diperoleh, Pak NS mulai membanggun sarana produksi dengan menyiapkan antara lain cangkul yang digunakan untuk membuat penampungan pasir seperti mengupas rumput agar bersih dan meratakan
52
gundukan tanah hingga pasir mudah diangkut, sekopang yang digunakan untuk menaikan pasir dari dalam sungai ke permukaan tanah serta digunakan untuk merapikan pasir yang berada dipermukaan tanah/tempat penampungan hingga diggunakan untuk menaikan pasir ke atas truk, dan ember digunakan untuk menggabungkan/ menggumpulkan pasir menjadi satu tumpukan di tempat penampuangan pasir agar mudah dalam proses penggankutan pasir ke truk. untuk mengawali usahanya Pak NS menggunakan sedikit modal yang dimilikinya sendiri, dan mengajak dua orang kakak kandungnya untuk mengelola usaha tambang dengan system bagi hasil. Mekanisme bagi hasilnya adalah bagi tiga 1 bagian untuk pemilik usaha 2 bagian untuk karyawan usaha penambangan pasir. Pak NS dan saudara-saudaranya mulai mengelola pasir tersebut dengan cara tradisional atau manual yang menggunakan alat seandanya seperti sekopang, pacul, ember untuk mengambil dan mengankut pasir. Saat itu, volume produksi sebesar 4 kubik atau sama dengan 1 ret truk per harinya. Cara pemasarannya juga tidak begitu rumit, masyarakat yang membutuhkan pasir langsung menghubungi Pak NS. ± enam bulan kemudian permintaan pasir semakin meningkat, selain itu pelayanan yang di berikan oleh Pak NS dan kedua saudaranya yakni Pak PJ dan Pak MW ditambah lagi kualitas pasir yang sangat baik mendukung berkembangnya usaha penambangan pasir yang mereka kelola. Melihat kecendrungan itu dan permintaan akan pasir oleh konsumen semakin meningkat dan Pak NS juga banyak mengalami kesibukan seperti proyek bangunanya juga semakin lancar maka Pak NS menambah tenaga kerja sebanyak dua orang untuk mengantinya apabila Ia ada di luar daerah sehingga total tenaga
53
kerja sebanyak lima orang termasuk Pak NS dan dalam seharinya dapat menyiapkan ±4-6 ret truk pasir. Dua orang tambahan tenaga kerja tersebut merupakan tetangga dan merupakan orang Bali. Alasan Pak NS merekrut kembali orang Bali karena apabila ada kegiatan keagamaan maka kegiatan penambangan di liburkan dan tidak ada yang merasa dirugikan. selain menambah tenaga kerja, Pak NS juga menambah alat-alat produksi antara lain seperti menambah kualitas misalnya memperbanyak jumlah cangkul, sekopang dan ember agar dapat mempercepat kegiatan penambangan. Satu tahun kemudian tepatnya pada tahun 2007, Pak NS membeli alat mesin sedot pasir
serta alat-alat penunjang lainnya seperti pipa, selang dan
membuat bak penampungan pasir yang berbentuk persegi panjang menggunakan papan dan balok-balok, semua ini di peroleh dari keuntungan penjualan pasir selama ini atau uang tabungan dari hasil penjualan pasir selama satu tahun. Setelah menggunakan mesin sedot pasir Pak NS dapat menyiapkan 5 sampai 10 ret per harinya. Pak NS mengungkapkan bahwa produksi pasir tidak boleh lebih dari 10 ret atau sekitar dua bak penampungan. dalam sehari dikarenakan jika produksi pasir sebanyak –banyaknya menurut pak NS akan menimbulkan longsor pada pinggiran sungai di lokasi penambangan pasir, karena sejak dimulai penambangan pasir kedalaman sungai semakin bertambah, sehingga rentan terjadi longsor. Longsor yang dimaksud menyebabkan keruhnya air sungai di wilayah hulu. Keruhnya air sungai di hulu menyebabkan keruhnya air sungai di wilayah hilir yang biasa digunakan oleh masyarakat desa Lamebara untuk kegiatan sehari-hari
54
antara lain mencuci pakaian, mandi, memandiakan ternak, sebagai sumber air minum ternak dan sebagai sumber air irigasi. Karena dengan mengurangi jumlah ret secara tidak langsung dapat mempengaruhi jumlah kendaraan berat seperti truk pasir masuk kelokasi pertambangan dan melewati pemukiman warga. Pak NS menggungkapkan bahwa jika keinginan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya menjadi orientasi utama Pak NS maka bisa menggangu hubungannya dengan warga desa di Lamebara, merusak fasilitas jalan milik umum akibat alat berat, dan bisa menyebabkan bencana longsor, gagal panen dan penyakit bagi ternak dan manusia. Usaha penambangan pasir tidak dilaksanakan pada saat musim hujan dan pada saat ada hariraya keagamaan agama misalnya pada saat hari raya Nyepi, Galungan , Kuningan, Dan Tumpek Landep. Dan hari raya Non Hindu misalnya hari Idhul Fitri, hari Idul Adha, dan hari Natalan karena ingin membangun hubungan yang saling menghargai antra sesama umat manusia yang beragama. Pak NS selalu menanamkan dalam dirinya bahwa dalam setiap kegiatan didasarkan oleh Tri Hita Karana, yang tidak hanya memikirkan diri sendiri tetapi selalu mengingat hubungan kita sebagai manusia dengan Tuhan yang Maha Esa (Parahyangan), kemudian untuk (Palemahan) yaitu untuk menjaga kelestarian alam dengan manusia agar ketersediaan sumberdaya alam tetap terpenuhi untuk generasi selanjutnya, serta untuk (Pawongan) yaitu tetap menjaga silahturahmi antara manusia dengan manusia agar terjalin tali persaudaraan yang semakin erat.
55
Kepemimpinan sangat berperan penting dalam tercapainya kelancaran usaha, sehingga seorang pemimpin harus lebih peka dalam memperhatikan perkembangan sebuah usaha yang di jalankannya, dari segi kinerja karyawan dan bagaimana agar masyarakat lebih banyak yang tertarik dengan hasil usaha penambangan pasir. Sehingga seorang pemimpin dalam proses perekrutmen karyawan atau pekerja harus bisa memilih dan menentukan karyawan yang memiliki komitmen dan rasa tanggung jawab dalam melaksanakan pekerjaannya sehingga menghasilkan usaha yang berkesinambungan dan jangka panjang. Maka diperlukan kegiatan dalam pengelolaan sumberdaya pasir yang memperhatikan mekanisme yang digunakan dalam usaha penambangan agar dapat mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan. Untuk mencapai kelancaran dalam usaha penambangan maka perlu dilakukan dengan memperhatikan aturan dan tanggung jawab sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam setruktur organisasi.
56
Struktur organisasi dalam kegiatan penambangan yaitu Pak Nyoman sebagi pemimpin usaha sekaligus sebagai pemilik lahan dan ikut berkerja dalam usahanya sebagai pengontrol bak yang akan diisi pasir; Pak Wayan Pasti sebagai wakil pemimpin apabila Pak Nyoman Sendra memiliki kesibukan lain sehingga Ia tidak datang di lokasi penambangan, tugasnya dalam usaha penambangan pasir yaitu sebagai pengarah selang mesin pasir atau pemegang selang di atas bak penampungan pasir dan bertugas sebagi pemuat pasir keatas truk; Pak Nengah
57
sebagai karyawan tugasnya dalam usaha penambangan pasir yaitu sebagai pengontrol mesin dan sebagai pemuat pasir keatas truk; Pak Putu Sumendra dan Ketut Astra sebagai karyawan tugasnya dalam usaha penambangan pasir yaitu sebagai orang yang mengarahkan selang didalam air dengan cara turun lansung ke dalam sungai yang bertujuan untuk menentukan dimana terdapat pasir yang baik dan tidak bercampur dengan tanah sehingga mereka lakukan dengan cara bergantian dan mereka juga sebagai pemuat pasir keatas truk. 4.2.2.3 Kepemimpinan Usaha Penambangan Pasir Dalam memimpin usaha Pak NS
selalu menanamkan dalam dirinya
bahwa setiap kegiatan yang didasarkan oleh Tri Hita Karana akan mempermudah dan melancarkan usaha yang dijalankan. Dalam memimpin Pak NS yang menerapkan Model kepemimpinan dengan berpedoman dalam konsep Tri Hita Karana yaitu seorang pemimpin yang beracuan pada Prajaniti Sastra (kepemimpinan dalam agama hindu). Dengan menerapkan Enam sifat utama yang dimiliki seorang pemimpin (Sadwarnaning Rajaniti) yaitu : 1. Abhigamika artinya seorang pemimpin harus mampu menarik perhatian positif dari rakyatnya. 2. Prajna artinya seorang pemimpin harus bijaksana 3. Utsaha artinya seorang raja atau pemimpin harus mempunyai daya kreatif yang tinggi 4. Atma sampad artinya seorang raja atau pemimpin harus memiliki moral yang luhur.
58
5. Saya samanta artinya seorang raja atau pemimpin harus mampu mengontrol bawahannya sekaligus memperbaiki hal-hal yang kurang baik. 6. Aksudra Parisatka artinya seorang raja atau pemimpin harus mampu memimpin sidang para mentrinya dan dapat menarik kesimpulan yang bijaksana sehingga diterima oleh semua pihak yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Kepemimpinan yang menerapkan konsep Tri Hita Karana menurut Pak WP adalah bijaksana, tidak egois, tegas dalam memimpin, berwibawa, dapat mengerti apa yang di rasakan oleh bawahannya, dan mencari kendala, masalah yang ada di lapangan atau di tempat kerjanya. Dan model meminpin yang dilakuakn oleh Pak NS sudah cukup baik karena Ia sudah menjalankan semuanya namun tidaklah sangat sempurna karena manusia tidak ada yang sempurna dan memiliki pendapat yang berbeda-beda. Kepemimpinan yang menerapkan konsep Tri Hita Karana menurut Pak NM adalah bijaksana, tegas dalam memimpin, ramah dan selalu memberikan masukan yang baik untuk karyawannya, itu lah yang dilaksanakan oleh pemimpin usaha penambangan pasir Etnis Bali kepada karyawannya. Kepemimpinan yang menerapkan konsep Tri Hita karana menurut KA dalam Hindu adalah bijaksana, tegas dalam memimpin, ramah dan tidak pelit dalam memberikan sesuatu yang di miliki. Dalam usaha ini pemilik usaha sangat mempercayai karyawan untuk mengurus ausahanya apabila Ia berada di luar daerah.
59
4.2.2.4 Proses Rekrutmen Karyawan Usaha Penambangan Pasir Dalam prores perekrutan karyawan Pak NS yang menerapkan nilai-nilai Tri Hita Karana menurutnya tidak jauh berbeda dengan perekrutan karyawan seperti biasanya misalnya dalam penerimaan ketenaga kerja dengan cara seleksi misalnya mencari yang belum memiliki perkerjaan dan mengutamakan keluarga terdekat dengan cara melihat dan bertanya apakan dia membutuhkan perkerjaan ini atau tidak dan layak sebagai karyawan penambangan pasir Etnis Bali Dalam proses perekrutan karyawan yang dilakukan Pak NS menurut Pak WP menerapkan nilai-nilai Tri Hita Karana, karena dalam proses penerimaan karyawan sangat mempermudah dalam memenuhi syaratnya misalnya pada saat saya melamar pekerjaan ditanggapi dengan senyuman, ramah, dan selalu menghargai yang ingin menjadi karyawanya bahkan Ia juga menentukan atau mencari karyawan yang menurutnya layak bergabung dalam usahanya. Semua karyawan usaha penambangan pasir milik Pak NS orang Bali, karena dalam bekerjamenggunakansistemkekeluargaan, namun apabila keluarga sibuk maka di ambil karyawan apa saja yang bisa bekerja. Dan sebelum perekrutan karyawan Pak NS menjelaskan sistem pembagian upahnya dibagi tiga misalnya: 1 bagian untuk mesin, 1 bagian untuk pemilik usaha/lahan dan 1 bagian untuk pekerja. Tujuan sebelum mulai berkerja agar karyawan mengetahui berapa gajih yang akan di perolehnya dalam 1 ret pasir, dan tidak ada perbedaan pemberian upah yang mereka dapatkan. Dalam perekrutan karyawan
menurut Pak NM memang menerapkan
konsep Tri Hita Karana, misalnya pada saat saya tidak memiliki perkerjaan lain
60
selain berkebun Ia menawarkan saya untuk bergabung didalam usaha penambangan pasir miliknya, dan saya merasa sangat senag ternyata Ia sangat peduli dengan krabatnya. Dapat saya katakan dalam usaha ini mengutamakan keluarga dalam berbagi suatu pekerjaan, kecuali keluarga tidak sempat maka akan menawarkan ke orang lain. Dalam proses perekrutan karyawan Ia juga menjelaskan sistem pembagian upahnya yaitu dibagi tiga, yang 1 bagian untuk mesin, 1 bagian untuk pemilik usaha/lahan dan 1 bagian untuk pekerja. itupun pembagian untuk pekerja di bagi rata tidak ada perbedaan pemberian upah yang saya dapatkan. Dalam perekrutan karyawan menurut Pak PS menerapkan konsep Tri Hita Karana, misalnya pada saat saya melamar pekerjaan di tanggapi dengan baik, ramah dan Ia menerima setelah saya menjelaskan alasan seperti membutuhkan perkerjaan sampingan dan saya ingin berkerja diusaha penambangan miliknya. Dalam perekrutan karyawan menurut Pak KA menerapkan konsep Tri Hita Karana, karena pada saat saya melamar pekerjaan pemilik usaha menerima dengan baik dan sopan dan Ia mengatakan membutuhkan karyawan yang siap bekerja dan mempunyai waktu luang. Semua karyawan adalah orang Bali, karena mengutamakan keluarga untuk mengolah usahanya. 4.2.2.5 Pola Pengolaan Sumberdaya Penambangan Pasir Pola pengolahan sumberdaya yang diterapkan oleh Pak NS dengan cara menerapkan konsep Tri Hita Karana yakni palemahan yang berarti manusia dengan alam, sehingga dalam pengolahan harus memperhatikan alam yang ada di
61
sekitar, apabila sudah mulai rusak Pak NS harus melakukan perbaikan terhadap alam tersebut agar menjadi lebih baik dan lestari dengan cara melakukan penanaman pohon kayu seperti jati. Pak NS juga membatasi produksi pasir dalam seharinya dengan memproduksi pasir tidak boleh lebih dari 10 ret atau sekitar dua bak penampungan dikarenakan jika produksi pasir sebanyak –banyaknya menurut Pak NS akan menimbulkan longsor pada pinggiran sungai di lokasi penambangan pasir, karena semenjak dimulai penambangan pasir kedalaman sungai semakin bertambah, sehingga mudah terjadi longsor. Longsor yang menyebabkan pelebaran sungai dan menyebabkan keruhnya air sungai di wilayah hulu. Longsor yang menyebabkan keruhnya air sungai di wilayah hulu ke hilir yang biasa digunakan oleh masyarakat desa Lamebara untuk kegiatan sehari-hari antara lain mencuci pakaian, mandi, memandiakan ternak, sebagai sumber air minum ternak dan sebagai sumber air irigasi. Karena dengan mengurangi jumlah ret secara tidak langsung dapat mempengaruhi jumlah kendaraan besar seperti truk pasir masuk kelokasi pertambangan dan melewati pemukiman warga. Pak NS menggungkapkan bahwa jika keinginan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya menjadi orientasi utama Pak NS maka bisa menggangu hubungannya dengan warga desa di Lamebara, merusak fasilitas jalan milik umum akibat kendaraan, dan bisa menyebabkan bencana longsor, penyakit bagi ternak dan manusia. Usaha penambangan pasir tidak dilaksanakan pada saat musim hujan dan pada saat ada hariraya keagamaan agama misalnya pada saat hari raya Nyepi,
62
Galungan , Kuningan, Dan Tumpek Landep. Dan hari raya Non Hindu misalnya hari Idhul Fitri, hari Idul Adha, dan hari Natalan karena ingin membangun hubungan yang saling menghargai antra sesama umat manusia yang beragama. Menurut Pak Wp Selama Ia bekerja dengan menggunakan mesin penyedot pasir, kerjanya semakin cepat, hanya berdampak pada aliran sungai yang semakin mendalam, untuk mengatasi haltersebut maka pada saat menambang, apabila sudah merasa semakin dalam maka penambangan dihentikan sementrara sampai tumpukan pasir di dalam air terisi kembali. Dalam kegiatan menambang tidak bisa dipungkiri bahwa akan menimbulkan dampak dalam skala kecil dan besar tergantung bagaimana cara penanganannya, adapun alat-alat yang digunakan dalam menambang pasir misalnya: dengan menggunakan mesin sedot pasir, sekopang pacul, untuk memperbaiki alam biasanya di lakukan penanaman pohon di pingir atau sekitar sungai. Adapun kendala yang dihadapi dalam pengolahan pasir disini apabila musim hujan yang menyebabkan air meluab dan kami susah untuk menentukan dimana letak pasir selain itu juga mesin tidak bisa bekerja dengan baik karena kuatnya arus sungai. Menurut Pak NM dalam pengolahan sumberdaya pasir dengan menggunakan mesin penyedot pasir akan mempercepat dan mempermudah perkerjaan. Tetapi cepat juga menyebabkan dalamnya air aliran sungai, bila air sungai sudah mulai dalam pekerjaan akan dihentikan agar tidak menyebabkan longsor di pinggiran sungai, tapi penambangan akan dilanjutkan apabila pasir sudah mulai terkumpul kembali.
63
Dalam kegiatan menambang
pasti akan merusak alam di sekitarnya
dimanapun itu, untuk memperbaiki biasanya di lakukan penanaman pohon di pingir atau sekitar sungai agar alam menjadi pulih kembali. Disinilah penerapan Konsep Tri Hita Karana. Manusia dengan alam. adapun alat-alat yang di gunakan dalam menambang pasir, ya alat seperti biasanya, mesin sedot pasir, sekopang pacul. Adapun kendala dalam pengolahan pasir yaitu pada musim hujan yang menyebabkan air banjir takut apabila terbawa arus, sehingga saat mengatur selang di dalam air sangat susah karena derasnya arus. Menurut Pak PS dalam pengolahan sumberdaya pasir dengan memakai mesin penyedot pasir akan terjadi pendalaman aliran air sungai, sehingga kalau sudah dalam pekerjaan di hentikan agar tidak menyebabkan longsor di pinggiran sungai tapi untungnya penambangan pasir ini di lakukan di sungai yang mengalir sehingga galian cepat terisi kembali. Dalam menambang/mengambil pasti akan menimbulkan dampak negatif dan positif, negatif misalnya: merusak alam di sekitarnya, dan positifnaya bagi karyawan membuka lapangan pekerjaan bagi keluarga yang membutuhkan perkerjaan, untuk masyarakat sekitar mendapat potongan harga setiap pembelian pasir. adapun alat-alat yang di gunakan dalam menambang pasir, dengan mesin dan alat-alat yang di gunakan sekopang, pacul untuk memperbaiki alam biasanya di lakukan penanaman pohon bear di pinggir sungai.
64
Kendala dalam pengolahan pasir yaitu kurangnya pemuatan pada bulan 1-4 karena musim hujan sehingga kurangnya proyek dan menyebabkan air sungai meluab. Menurut Pak KA dalam pengolahan pasir yang menggunakan mesin penyedot pasir dapat mempercepat pekerjaan,semakin cepatnya suatu pekerjaan maka pasir yang di gali di dalam air akan semakin dalam sehingga di pinggiran kali akan terjadi longsor. Untuk mengatasi hal itu maka dalam penambangan yang di lakukan tidak melebihi batas. 4.2.2.6 Mekanisme Pengolaan Usaha Penambangan Pasir Mekanisme pengolahan usaha penambangan pasir menurut Pak NS yang menerapkan konsep Tri Hita Karana, yaitu pengacu pada pembagian dari Tri Hita Karana tersebut yang sudah di jelaskan bahwa Parahyangan (Manusia dengan Tuhannya) sebelum melaksanakan, mulai bekerja sebelumnya harus berdoa dan memberikan sesajen yang di tujukan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Palemahan (Manusia dengan Alam Lingkungan) sebagai manusia harus lebih memperhatikan alam, setelah proses penambangan pasir di lakukan sehingga harus memperbaiki alam yang ada di sekitar penambangan tersebut, misalnya penanaman pohon di sekitar sungai agar tanaman kembali menjadi asri. Pawongan (Manusia sesama Manusia) dalam proses pengolahan kita harus saling menjaga dalam bekerja, dan berkomunikasi yang baik sesama pekerja maupun pemilik usaha. Dan sebagai pemilik usaha harus mengerti berapa upah yang pantas di berikan terhadap karyawannya.
65
Mekanisme pengolahan usaha penambangan pasir menurut Pak WP dengan menerapkan nilai-nilai Tri Hita Karana itu tiga konsep agama Hindu yang di jadikan dasar atau pedoman dalam mendirikan suatu usaha apapun itu. Yang pertama manusia dengan Ida Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan yang Maha Esa, yang kedua manusia dengan alam sekitar dan yang ketiga sesama manusia. Jadi kalau dalam kelembagaan itu yang terpenting adalah adanya hubungan baik antara manusia dengan manusia. Untuk pemberian upah di sini di bagi tiga, yang 1 bagian untuk mesin, 1 bagian untuk pemilik usaha/lahan dan 1 bagian untuk pekerja. itupun pembagian untuk pekerja di bagi rata tidak ada perbedaan pemberian upah yang saya dapatkan. Semua yang karyawan disini adalah orang Bali, karena mengutamakan keluarga dalam berbagi suatu pekerjaan, kecuali keluarga tidak sempat maka akan menawarkan ke orang lain dengan syarat orang yang memiliki waktu luang dan siap bekerja. Untuk pemberian upah di sini menurut pak PS di bagi tiga, yang 1 bagian untuk mesin, 1 bagian untuk pemilik usaha/lahan dan 1 bagian untuk pekerja. Tri Hita Karana disini cukup dengan memberikan upah sesama teman bekerja dengan adil tidak adanya perbedaan. Serta di lakukannya dengan cara musyawarah dan kesepakatan bersama. 4.2.2.7 Struktur Organisasi Usaha Penambangan Pasir Struktur organisasi tidak stabil karena pemilik usaha juga ikut berkerja dalam kegiatan usaha penambangan pasir, Menurut Pak KA Dalam struktur organisasi di usaha penambangan pasir ini di lengkapi adannya seorang
66
pemimpin yaiti Pak Nyoman Sendra, sekretaris Pak Wayan Pasti dan karyawan Nengah Mudiarta, Pak Putu Sumendra Dan Saya Ketut Astra. Dengan terjalin baiknya hubungan antara kita sebagai karyawan dan pemilik usaha sehingga dapat tercipta kelancaran dalam usaha tersebut. 4.2.3 Gambaran Aktivitas Penambangan Pasir 4.2.3.1 Fase Memulai Kegiatan Penambangan Fase memulai kegiatan penambangan ini yaitu kegiatan yang dilakukan oleh pemilik usaha dan karyawan sebelum berangkat berkerja atau di rumah sebelum memulai kegiatan penambangan, hal-hal yang dilakukan misalnya sembahyang dan Mebanten Saiban atau Mebanten Jot yang sering disebut Yadnye Sesa. 4.2.3.1.1 Persembahyangan Kegiatan persembahyangan ini yang dilakukan oleh pemilik usaha dan karyawannya, persembahyangan yang dilakukan tiga kali dalam sehari yaitu pada pagi hari, siang hari dan sore hari yang dilakukan selama ± 15 menit. Sebelum persembahyangan di mulai terlebih dahulu melakukan persiapan yang meliputi pembersihan diri
dengan mandi
dan mempersiapkan sarana
prasarana
persembahyangan yang meliputi bunga, dupa, air dan bija ( beras ). (1) Bunga yang di gunakan sebagai sarana persembahyangan yaitu Bunga sebagai simbol Tuhan Siwa, (2) Dupa yang digunakan sebagai pembasmi segala kotoran, (3) Air yang digunakan sebagai dalam pelaksanaan persembahyangan sebagai Tirte, Tirte ada dua macam
ada dua macam yaitu Tirte yang didapat sebelum
persembahyangan sebagai Tirte Pebersih, dan Tiete sesudah persembahyangan
67
merupakan Tirte Wangsupada, (4) Bija bisa disebut Mebije, merupakan biji beras yang digunakan setelah selesai Persembahyangan atau Metirte, makna dari Bija yaitu dalam diri manusia ada benih-benih Siwa yang diama jika terus diasah akan memberikan dampak positif pada diri manusia tersebut. (5) kwangen Sarana untuk membuat kewangen: (a) Kojong, dibuat dari selembar daun pisang yang berbentuk segitiga lancip melambangkan Ardacandra. (b) Pelawa, potongan daun kayu seperti andong, pandan harum, puring, dan lain sejenisnya yang berwarna hijau lambang ketenangan. (c) Porosan, dibuat dari dua lembar daun sirih digulung dengan posisi menengadah satu, telungkup satu, disatukan. Ini disebut porosan silih asih lambang hubungan timbal balik antara baktinya umat manusia dengan kasih Ida Sang Hyang Widhi. (d) Kembang Payas, berbentuk cili, dibuat dari serangkaian jejahitan janur yang sudah diringgit / dibentuk. Melambangkan nada, reringgitan melambangkan rasa ketulusan hati. (e) Bunga, yaitu bunga hidup yang masih segar dan berbau harum / wangi melambangkan kesegaran dan kesucian pikiran dalam beryadnya. (f) Uang kepeng logam dua buah melambangkan Windu, uangnya melambangkan sesari / sarining manah. Selain itu uang berfungsi sebagi penebus segala kekurangan yang ada. Disempurnakan dengan meletakkan sejumlah kepeng (uang logam) atau uang kertas, konon untuk menjadi esensi (sari) dari persembahan. Tujuan dilakukan Persembahyangan yaitu untuk memuja keagungan Tuhan Yang Maha Esa, memohon diberi kesehatan, rezeki, umur panjang, keselamatan dalam berkerja dan bersyukur atas berkah yang telah diberikan.
68
4.2.2.1.2 Mebanten Saiban/Ngejot (Yadnya Sesa) Mebanten Saiban/Ngejot adalah Yajne Sesa yang dilakukan oleh pemilik usaha dan karyawan, mebanten ini dilaksanakan pada pagi hari setelah selesai memasak dan sebelum menikmati makanan kegiatan ini dilakukan dilakukan ±10 menit dalam setiap hari. Mebanten Saiban/Ngejot
merupakan persembahan yang tulus ikhlas
dengan mempersembahkan makanan berupa nasi, lauk-pauk, sayur-sayuran, garam, dan air. Adapun bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat Yajna Sesa, sebagai berikut : (1) daun pisang yang dipotong segi empat yang digunakan sebagai alasnya, (2) nasi sebagai persembahan pokok dari Mebanten Saiban/Ngejot, Ini mengandung makna bahwa nasi merupakan makanan pokok manusia, (3) Garam, ini sebagai sarinya air laut yang terasa asin hal ini sangat diperlukan bagi kebutuhan manusia serta makanan yang akan dimakan tidak terasa hambar, (4) Lauk-pauk, ini juga merupakan bahan untuk mebantean saiban/ ngejot untuk melengkapi rasa yang terkandung dalam persembahan, (5) Sayuran, adalah jenis makanan yang dibuat dari daun-daunan yang segar dan hijau yang juga dapat melengkapi persembahan, (6) Air yang digunakan sebagai sarana untuk melengkapi pelaksanan mebanten saiban/ngejot, Seperti halnya manusia jika habis makan perlu air untuk minum sebagai pengantar makanan dan sebagai tanda kepuasan. Tujuan
melaksanakan
Banten Saiban/Ngejot
ini
adalah
sebagai
ungkapan terima kasih atau rasa syukur masyarakat Hindu Bali kepada Tuhan,
69
Bhutakala dan sebagai ungkapan terima kasih kepada benda-benda ciptaan-Nya yang telah banyak berjasa dalam kehidupan di dunia ini. 4.2.3.2 Fase Mebanten Dilokasi Penambangan Kegiatan ini yang dilakukan oleh pemilik lahan/pemilik usaha, dalam fase mebanten dilokasi penambangan ini yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta roh-roh yang bersemayam di lokasi penambangan, Agar pada saat proses kegiatan penambangan berlangsung tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam mebanten dilokasi penambangan ada tiga tahapan yaitu: (1) caru (pemberian sesajen dalam sekala besar), segehan (pemberian sesajen dalam sekala menengah), (3) canang (pemberian sesajen dalam sekala kecil). 4.2.3.2.1 Caru/Mecaru Caru merupakan kurban suci yaitu pemberian sesajen yang lebih besar di bandingkan segehan dan canang.kegiatan ini dilakukan pada awal membuka lokasi kegitan penambangan dan pada saat ada kejadian-kejadian aneh yang tidak masuk diakal maka dilakukan mecaru yang paling sederhana yang dipimpin oleh pemangku, kegiatan ini tidak bisa ditentukan waktunya karena yang mentukan lama dan cepatnya yaitu besar dan kecilnya caru yang dipersembahkan. Yang bertujuan untuk mengharmoniskan hubungan manusia dengan lingkungannya berserta isinya agar menjadi baik, indah, lestari dan untuk mengatasi bhutakala. Bhutakala adalah energi yang timbul dan mengakibatkan kegelapan yang mengakibatkan terjadinya ketidak harmonisnya antara Badan Manusia (Bhuana Alit) dan Alam Semesta (Bhuana Agung).
70
4.2.3.2.2 Segehan Pemberian caru yang lebih sederhana dapat dilakukan pada saat hari kajeng kliwon yang dilaksanakan setiap 15 hari sekali dalam pemberian segehan dilokasi penambangan dilakukan ± 5 menit, pada hari kajeng kliwon merupakan munculnya segala kekuatan negatif yang sangat membahayakan hingga menimbulkan dampak yang buruk bagi manusia. Bahan-bahan yang digunakan misalnya: (1) Porosan Silih Asih yang bermakna, pada saat penganut Hindu Bali menghaturkan persembahan harus dilandasi oleh hati yang welas asih serta tulus kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa Nya, demikian pula dalam hal kita menerima anugerah dan karunia Nya. (2) Bunga, cukup sehelai. (3) Garam sebagai simbol satwam : sifat kebijaksanaan. (3) Irisan bawang sebagai simbol tamas : sifat kemalasan. (4) Irisan jahe sebagai simbol rajas : sifat keserakahan. Garam, bawang dan jahe merupakan simbolis untuk mengembalikan Tri Guna (Satwam-Rajas-Tamas) kepada asalnya Tujuan dari pemberian segehan ini yaitu untuk memberikan persembahan kepada Bhutakala agar tidak mengganggu manusia dan mengganggu proses penambangan. 4.2.3.2.3 Canang Sari Pemberian canang sari yaitu pemberian sesajen yang dilaksanakan pada saat melakukan penambangan yang dilakukan ± 5menit. Karena bertujuan untuk memohon
perlindungan,
keselamatan
dalam
berkerja
dan
memperoleh
kebahagiaan. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan canang sari misalnya: (1) Canang memakai alas berupa “ ceper” (berbentuk segi empat)
71
adalah simbol kekuatan “Ardha Candra” (bulan). Di atas ceper (2) Plawa adalah daun – daunan. Telah disebutkan dalam Lontar Yadnya Prakerti bahwa plawa merupakan lambang tumbuhnya pikiran yang hening dan suci, sehingga dapat menangkal pengaruh busuk dari nafsu duniawi. Di atas Plawa (3) ini diisikan sebuah Porosan atau peporosan terbuat dari daun sirih, kapur, dan jambe (gambir) yang melambangkan Tri-Premana, yaitu Bayu ("pikiran"), Sabda ("perkataan"), dan Idep ("perbuatan"). Ketiganya membuat tubuh yang bernyawa dapat melakukan aktivitas. Porosan juga melambangkan Trimurti, yaitu Siwa (kapur), Wisnu (sirih), dan Brahma (gambir). Porosan mempunyai makna bahwa setiap umat harus mempunyai hati (poros) penuh cinta dan welas asih serta rasa syukur yang mendalam kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. (4) Di atas Ceper ini juga berisikan seiris tebu, pisang dan sepotong jaja (kue) adalah sebagai simbol kekuatan “Wiswa Ongkara” (Angka 3 aksara Bali). (5) Kemudian di atas point 2 dan 3 di atas, disusunlah sebuah “Sampian Urasari” yang berbentuk bundar sebagai dasar untuk menempatkan bunga. Hal ini adalah simbol dari kekuatan “Windhu” (Matahari). (6) Lalu pada ujung-ujung Urasari ini memakai hiasan panah sebagai simbol kekuatan “Nadha” (Bintang). (7) Bunga yang diletakkan di atas sampian urasari melambangkan kedamaian dan ketulusan hati. Penyusunan bunga diurutkan sebagai berikut: (a) Bunga berwarna Putih disusun di Timur sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Iswara. (b) Bunga berwarna Merah disusun di Selatan sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Brahma. (c) Bunga berwarna Kuning disusun di Barat sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Mahadewa. (c) Bunga berwarna Biru atau Hijau disusun di Utara sebagai simbol kekuatan Sang
72
Hyang Wisnu. (8) Kembang rampai diletakkan di atas susunan bunga dan memiliki makna sebagai lambang kebijaksanaan. Bermacam-macam bunga ada yang harum dan ada yang tidak berbau, melambangkan kehidupan manusia tidak selamanya senang atau susah. Untuk itulah, dalam menata kehidupan, manusia hendaknya memiliki kebijaksanaan. (9) Lepa atau boreh miyik (harum) merupakan lambang sebagai sikap dan perilaku yang baik, Perilaku menentukan penilaian masyarakat terhadap baik atau buruknya seseorang. (10) Minyak wangi atau miyik-miyikan menjadi lambang ketenangan jiwa atau pengendalian diri Dalam menata kehidupan, manusia, hendaknya menjalankannya dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang baik. (11) Sebuah canang sari disempurnakan dengan meletakkan sejumlah Kepeng (uang logam) atau uang kertas, konon untuk menjadi esensi (sari) dari persembahan. 4.2.3.3 Fase Bekerja Fase bekerja ini yaitu rangkaian kegiatan yang akan dilakukan pada saat sebelum memulai kegiatan penambangan, dan kegiatan ini dilakukan pada saat di lahan atau di lokasi penambangan pasir. 4.2.3.4 Penyampaian Dilokasi Penambangan Kegiatan ini dilakukan oleh pemilik usaha, menyampaikan yang dilakukan untuk memberikan arahan dimana lokasi yang akan dilakukan penambangan dengan mempertimbangkan keadaan bak penampungan yang kosong dan selalu mengingatkan karyawan tetap mengutamakan keselamatan dalam berkerja. hingga menyampaikan hal-hal yang perlu dilakukan saat berkerja sampai selesai bekerja terutama saat penyimpanan alat-alat kerja dan mesin.
73
Namun disaat pemilik usaha mempunyai halangan atau kesibukan lain tidak sempat mengawasi karyawan berkerja maka pemilik usaha menunjuk salah satu karyawan untuk menggantikan tugasnya. 4.2.3.5 Penyiapan Alat-Alat dan Pembagian Tugas Kegiatan ini yang dilakukan oleh karyawan usaha penambangan pasir, adapun alat-alat yang perlu disiapkan misalnya: papan yang digunakan untuk menambah tinggi bak penampungan pada saat penambangan dimulai, balok-balok untuk menahan papan agar tidak roboh saat pengisian pasir dimulai, solar yang digunakan untuk bahan bakar mesin, pipa yang digunakan untuk pengantar pasir kepermukaan, cangkul yang digunakan sebagai alat untuk merapikan pasir yang berada di bak penampungan agar mempermudah proses pengangkutan material pasir dan digunakan sebagai pembuat aliran air dari permukaan tanah hingga kembali kesungai, dan sekopang digunakan sebagai alat untuk melakukan pemuatan pasir kedalam truk. 4.2.3.6 Pengolahan Limbah Pengolahan limbah
di proses dengan sederhana, melainkan dari bak
penampungan pasir di buat jalur aliran irigasi yang mengarah langsung kesungai dengan jarak ±15 M, Tidak ada penanganan khusus untuk pengolahan air limbah tersebut. Sehingga tetap saja air yang akan langsung turun kealiran sungai akan tetap keruh, hanya dengan jarak tersebut pasir tidak banyak yang hanyut ke sungai kembali karena sudah mengendap di jalur irigasi yang menuju sungai.
74
4.2.3.7 Pemuatan Kegiatan ini dilakukan oleh karyawan penambangan pasir, pada saat ada pemuatan pasir kegiatan penambang dihentikan karena karyawan juga bertugas untuk menaikan pasir keatas truk. 4.2.3.8 Pembayaran atau Bagi Hasil Yang dilakukan oleh pemilik usaha dan karyawan penambangan pasir, pemilik usaha menerima pembayaran harga pasir dan karyawan menerima sendiri upah untuk pemuatan. Karena harga untuk pemuatan atas persetujuan bersama antar pemuat dan pemilik truk, dalam hal ini pemilik usaha tida ikut campur dengan masalah pemuatan, untuk bagi hasil harga pasir satu truk dibagi menjadi tiga bagian yaitu satu bagian untuk pemilik lahan, satu bagian untuk pemilik mesin dan satu bagian lagi untuk karyawan, sedangkan untuk hasil dari pemuatan seluruhnya milik karyawan sebanyak empat orang maka dari itu hasilnya dibagi menjadi empat. Pemberian upah/gajih dilakukan pada saat jam pulang kerja atau pada saat jam istirahat, setelah selesai pembagian gajih/upah dan merapikan alat-alat, pemilik usaha dan karyawan kembali pulang dirumah masing-masing 4.2.3.4 Fase Ibadah Dalam fase Ibadah ini kegiatan penambangan tidak berjalan karena seluruh umat Hindu merayakan hari raya dengan melakukan Persembahyangan.
75
4.2.3.4.1 Hari Raya Nyepi Hari Raya Nyepi yang dilakukan oleh Pemilik usaha, Karyawan, dan seluruh umat hindu. Hari Raya Nyepi yang dirayakan setiap satu tahun sekali pada Sasih Kedase. Hari Raya Nyepi merupakan perayaan tahun baru Hindu berdasarkan penanggalan/kalender caka, yang diawali dengan Menyepi misalnya tidak melakukan aktivitas seperti biasa. Pada Hari Raya Nyepi umat Hindu melaksanakan Catur Barata Penyepian yang terdiri dari (1) Amati Geni yatu tiada berapi-api/tidak baik api secara fisik maupun api didalam diri (nafsu), (2) Amati Karya yaitu tidak berkerja, (3) Amati Lelungan yaitu tidak berpergian, (4) dan Amati Lelaguan yaitu tidak mendengarkan hiburan. Hari Raya Nyepi dikenal dengan mengarak ogoh-ogoh merupakan perwujudan Bhuta Kala (raksasa) yang mengelilingi perkampungan yang bermanfaat untuk mengusir Butha Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. Hari Raya Catur Barata penyepian dilaksanakan selama satu hari satu malam atau 24 jam, dan keesokan harinya keluarga besar dan tetangga mengucapkan rasa sykur dan saling maaf-memaafkan satusama lain, Untuk memulai lembaran tahun baru yang bersih. Dharma Shanti adalah yang memandang semua manusia di seluruh penjuru bumi sebagai ciptaan Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa hendaknya saling menyayangi satu dengan yang lain, memaafkan segala kesalahan dan kekeliruan hingga tercapainya kedamaian dan kerukunan dalam kehidupan ini.
76
Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah untuk memohon Kehadan Tuhan Yang Maha Esa, serta untuk mensucikan Bhuane Alit (Alam Manusia) dan Bhuana Agung (Alam Semesta) 4.2.3.4.2 Tumpek Landep Tumpek Landep yang dilakukan oleh pemilik usaha, karyawan, dan seluruh umat hindu. hari Tumpek Landep yang merupakan tonggak penajaman, citta, budhi dan manah, dengan demikian pada hari ini umat manusia berprilaku berdasarkan kejernihan pikiran dengan landasan nilai-nilai Agama dan dengan pikiran yang suci, kita semua harus mampu memilih mana yang baik dan buruk. Hari tumpek landep ini diperingati setiap 210 hari sekali atau enam bulan sekali pada Saniscara Sabtu Kliwon Wuku Landep dirayakan selama satu hari saja. Tujuan dari hari Tumpek Landep yaitu untuk melakukan penyucian ,barang-barang yang berupa pusaka, kris, motor, mobi, mesin dan alat-alat karya manusia yang dapat mempermudah pekerjaan manusia dalam mencari nafkah. 4.2.3.4.3 Hari Raya Galungan Hari Raya Galungan yang diperingati oleh pemilik usaha, karyawan, dan seluruh umat hindu. Hari Raya Galungan yang dirayakan setiap 210 hari sekali atau enam bulan sekali pada Budha Kliwon Dungulan. Hari Raya Galungan dimaknai kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (kejahatan), pada hari ini umat Hindu merayakan dan mengaturkan puja dan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa maka pada hari ini umat manusia tidak berkerja selama dua hari.
77
Tujuan memperingati Hari Raya Galungan yaitu untuk menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang, dengan bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dari Dharma sedangkan segala kekacauan pikiran itu wujud dari Adharma. 4.2.3.4.4 Hari Raya Kuningan Hari Raya Kuningan yang diperingati oleh pemilik usaha, karyawan, dan seluruh umat hindu. Hari Raya Kuningan yang dirayakan setiap 210 hari sekali atau enam bulan sekali pada hari Sabtu Kliwon Wuku Kuningan. Hari Raya Kuningan yang diyakini Para Dewa (sinar suci), Bhatara (kekuatan atau kemampuan bersifat gaib yang dimiliki oleh Ida Sang Hyang Widhi) diiringi oleh Pitara (para leluhur yang telah mendahului kita dan mampu memberi perlindungan) turun kebumi hanya sampai tengah hari, sehingga pelaksanaan Upacara dan Persembahyangan hanya sampai tengah hari saja. Tujuan memperingati hari raya kuningan untuk memohon keselamatan, kedirgayusan, perlindungan dan tuntunan lahir-batin kepada para Dewa, bhatara dan para pitara. 4.2.4
Peran Nilai-Nilai Tri Hita Karana Dalam Aktivitas Penambangan Pasir Oleh Etnis Bali Nilai-nilai Tri Hita Karana yang dianut oleh masyarakat Hindu,
khususnya masyarakat Hindu yang melakukan kegiatan penambangan di Desa Lamebara bukan saja sebagai nilai-nilai kepercayaan melainkan sebagai landasan didalam mengelola sumberdaya alam, yakni dalam hal ini eksploitasi sumberdaya pasir dihulu sungai Lamebara. Nilai-Nilai Tri Hita Karana berperan dalam fase
78
memulai kegiatan penambangan, fase mebanten dilokasi penambangan, fase berkerja, fase ibadah (Hari Raya Nyepi, Hari Tumpek Landep, Hari Raya Galungan, Dan Hari Raya Kuningan), penyampaian dilokasi penambangan, penyiapan alat dan pembagian tugas, proses pembuangan limbah, pemuatan dan pembayaran atau bagi hasil. Fase memulai kegiatan penambangan yang meliputi: Persembahyangan didalam nilai-nilai Tri Hita Karana dapat digolongkan kedalam unsur; (1) Parahyangan karena sembahyang untuk memuja Tuhan, dengan sembahyang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan, (3) Pawongan karena dalam persembahyangan dilakukan bersama-sama dengan anggota keluarga atau saling membutuhkan bantuan untuk mempersiapkan sarana persembahyangan maka terciptalah hubungan yang baik antara sesama manusianya. Mebanten saiban/ngejot atau yadnya sesa didalam nilai-nilai Tri Hita Karana dapat digolongkan ke dalam unsur; (1) Parahyangan pemberian sesajen yang berupa nasi dan lauk-pauk dipersembahkan kepada Tuhan untuk mengucapkan rasa syukur atas berkah yang diberikan, sehingga dapat menghubungkan manusia dengan tuhannya, dan (3) Pawongan karena dalam mempersiapkan sesajen ini juga saling membantu antara anak dan ibu untuk mempersiapkan sesajen maka dapat dikatakan terciptanya hubungan dalam keluarga antara manusia dengan manusianya. Fase Mebanten yang dilaksanakan dilokasi penambangan yang meliputi: Caru, Segehan, dan Canang digolongkan kedalan nilai-nilai Tri Hita Karana yang meliputi unsur; (1) Parahyangan karena pemberian ketiga unsur ini
79
manusia memohan kepada tuhan agar diberi keselamatan dalam melakukan kegiatan, sehingga dapat menghubungkan manusia dengan Tuhannya, (2) Palemahan karena dengan memberikan sesajen atau banten caru, segehan, dan canang ini manusia memohan kepada tuhan agar alam ini tetap terjaga dan tatap lestari maka tercapainya hubungan manusia dengan alam yang selalu terjaga, dan (3) Pawongan karena dalam pembuatan caru, segehan, dan canang ini membutukan bantuan dari masyarakat sekitar atau keluarga maka terciptanya hubungan antara manusia dengan manusia. Fase ibadah yaitu semua aktifitas penambangan tidak dilaksanakan karena umat manusia melakuan persembahyangan yang meliputi: Hari Raya Nyepi menerapkan nilai-nilai Tri Hita Karana adalah pada bagian (1,2 dan 3) karena ketiga bagian ini sangat diterapkan pada Hari Raya Nyepi misalnya (1) Parahyangan pada Hari Raya Nyepi umat manusia melakukan semadi dan persembahyangan untuk memuja Tuhan sehingga dapat tercapainya hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, (2) Palemahan contoh penerapan konsep ini dapat dilihat pada Catur Brata Penyepian agar mencegah terjadinya kerusakan alam sehingga dapat tercapai hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam, (3) Pawongan contoh penerapan konsep ini dapat dilihat dari adanya kegiatan Dharma Santih yakni saling berkunjung sehingga dapat tercapainya hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia Hari tumpek landep menerapkan nilai-nilai Tri Hita Karana adalah pada bagian (1,2 dan3 ) karena ketiga bagian ini diterapkan pada hari tumpek landep misalnya: (1) Parahyangan contoh penerapan Tri Hita Karana pada Hari Tumpek
80
Landep ini umat Hindu atau pemilik usaha dan karyawan melaksanakan Persembahyangan dengan menyucikan diri dan seluruh alat-alat yang digunakan untuk mencari nafkah yang berupa benda-benda tajam yang terbuat dari besi maka dalam hal ini dapat terciptanya hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, (2) Palemahan contoh penerapan Tri Hita Karana pada Hari Tumpek Landep ini umat Hindu memberikan sesajen agar alam tetap terjaga hingga dapat tercapinya hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam, (3) Pawongan contoh penerapan Tri Hita Karana pada Hari Tumpek Landep ini umat hindu menyucikan diri agar terciptanya hubungan yang harmonis antara sesama manusia. Hari Raya Galungan menerapkan nilai-nilai Tri Hita Karana adalah pada bagian (1,2 dan3 ) karena ketiga bagian ini diterapkan pada Hari Raya Galungan misalnya: (1) Parahyangan contoh Penerapan Tri Hita Karana pada Hari Raya Galungan ini umat Hindu melaksanakan Persembahyangan bersama untuk memuja Tuhan yang memperingati hari kemenangan Dharma melawan Adharma, (2) Palemahan contoh penerapan Tri Hita Karana pada Hari Raya Galungan ini manusia memanfaatkan hasil alam yang dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mendapatkan hasil yang baik sehingga manusia menjaga, merawat, melindungi dan melestarikan alam. Maka alampun dapat memberikan hasil serta perlindungan terhadap manusia sehingga tercapainya hubungan yang harmonis antara alam dan manusianya, (3) Pawongan contoh penerapan Tri Hita Karana pada hari raya galungan ini setelah tercapainya kemenangan Dharma melawan
81
Adharma sehingga manusia harus menjalin hubungan yang baik antara manusia itu sendiri. Hari Raya Kuningan untuk penerapan Tri Hita Karana kurang lebih sama dengan Hari Raya Galungan: (1) Parahyangan contoh Penerapan Tri Hita Karana pada Hari Raya Kuningan ini umat Hindu melaksanakan persembahyangan bersama untuk memuja Tuhan yang memperingati hari dimana turunnya para Dewa, Pitara, dan Leluhur. (2) Palemahan contoh penerapan Tri Hita Karana pada hari raya kuningan ini manusia memanfaatkan hasil alam yang dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mendapatkan hasil yang baik sehingga manusia menjaga, merawat, melindungi dan melestarikan alam. Maka alampun dapat memberikan hasil serta perlindungan terhadap manusia sehingga tercapainya hubungan yang harmonis antara alam dan manusianya, (3) Pawongan contoh penerapan Tri Hita Karana pada Hari Raya Kuningan ini setelah upacara memuja Dewa, Pitara, dan Leluhur sehingga manusia harus menjalin hubungan yang baik antara manusia itu sendiri. Fase Berkerja yaitu rangkaian kegiatan yang akan dilakukan pada saat sebelum memulai kegiatan penambangan, dan pada saat kegiatan penambangan ini dilakukan. Adapun tahap-tahapan yang akan dilakukan yaitu: Penyampaian di lokasi penambangan yang dilakukan oleh pemilik usaha dengan menerapkan nilai-nilai Tri Hita Karana adalah pada bagian (2dan3) karena kedua bagian ini diterapkan dalam penyampaian misalnya: (2) Palemahan, contoh penerapan Tri Hita Karana dalam penyampaian lokasi yang akan dilakukan kegiatan penambangan dan menyampaikan kepada karyawan agar pengambilan
82
pasir tidak berlebihan untuk mecegah terjadinya dampak negatif disinilah peranan hubungan manusia dengan alamnya, (2) Pawongan contoh dalam penyampaian mebutuhkan kerjasama antara pemilik usaha dan karyawan agar tercapainya kesuksesan dalam kegiatan penambangan maka dibutuhkan adanya keharmonisan antara sesama manusianya. Penyiapan alat dan pembagian tugas yang dilakukan oleh karyawan dengan menerapkan nilai-nilai Tri Hita Karana misalnya pada bagian (3) Pawongan karena menyangkut adanya hubungan baik antara sesama karyawan agar tercapainya kerjasama yang baik antara sesama manusianya. Proses pembuangan limbah yang dilakukan oleh pemilik usaha dan karyawan dengan menerapkan nilai-nilai Tri Hita Karana misalnya pada bagian (2) Palemahan contoh penerapannya adalah di buatnya jalur aliran irigasi yang mengarah langsung kesungai agar air dari penambangan pasir dapat kembali lagi kesungai sehingga air tidak tergenang dimana-mana, maka hubungan manusia dan alam tetap tejaga. Pemuatan yang dilakukan oleh karyawan dengan menerapkan nilai-nilai Tri Hita Karana misalnya pada bagian (3) Pawongan karena dalam pemuatan sangat membutuhkan kerjasama antara sesama manusia. Pembayaran dan bagi hasil yang dilakukan oleh pemilik usaha dan karyawan dengan menerapkan nilai-nilai Tri Hita Karana misalnya pada bagian (3) Pawongan karena dalam pembayaran dan pembagian hasil membutuhkan kesepakatan antara pemilik usaha, karyawan dan pemilik truk agar tidak
83
terjadinya konflik maka diperlukan kerjasama sehingga dapat tercapainya hubungan yang harmonis sesama manusia.
84
85
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan permasalahan dan hasil penelitian yang telah diuraikan dapat disimpulkan bahwa dalam kelembagaan ekonomi usaha penambangan pasir adalah suatu wadah atau tempat berkumpulnya antara karyawan dan pemilik usaha dengan menerapkan aturan-aturan yang telah disepakati bersama. Kelembagaa n ekonomi dapat dilihat dalam struktur kelembagaan penambangan pasir etnis Bali di Desa Lamebara Kecamatan Mowila Kabupaten Konawe Selatan yang terjalin dengan adanya hubungan keluarga dalam kegiatan pertambangan yakni terdiri dari pemimpin yang bernama Pak Nyoman Sendra sebagai pemilik lahan usaha penambangan pasir dan tugasnya dalam usaha penambangan pasir yaitu sebagai orang yang penggontrol bak penampungan pasir, kemudian Pak Wayan Pasti sebagai karyawan sekaligus sebagai wakil untuk menggantikan tugasnya pemimpin disaat Pak Nyoman Sendra memiliki kesibukan diluar seperti mendapat proyek pembangunan rumah, jalan, toko, dan gedung pendidikan, kemudian Pak Nengah Mudiarta sebagai karyawan usaha penambvangan pasir yang bertugas untuk mengontrol mesin dan sebagai pemuat pasir keatas truk, kemudian Pak putu sumendra dan Pak Ketut Astra sebagai karyawan usaha penambangan pasir etnis Bali yang bertugas sebagai pemegang selang yang berada didalam air dengan cara turun lansung ke dalam sungai yang bertujuan untuk menentukan dimana terdapat pasir yang baik dan tidak bercampur dengan
86
tanah sehingga mereka lakukan dengan cara bergantian dan mereka juga sebagai pemuat pasir keatas truk. Penerapan Tri Hita Karana dalam proses penambangan pasir dapat dilihat pada gambar peran kelembagaan nilai-nilai Tri Hita Karana dalam proses eksploitasi sumberdaya pasir, Misalnya: yang menerapkan unsur Parahyangan yaitu: tahap memulai kegiatan penambangan meliputi Persembahyangan dan Mebanten Saiban, tahap Mebanten meliputi pemberian sesajen berupa Caru, Segehan, dan Canang, tahap Ibadah, pada tahap ini kegiatan penambangan tidak dilaksanakan karena umat Hindu melakukan Persembahyangan misalnya pada tahap hari Raya Nyepi, tahap hari Tumpek Landep, tahap hari Raya Galungan dan tahap hari Raya Kuningan; unsur Palemahan yaitu: tahap mebanten meliputi pemberian Sesajen berupa Caru, Segehan, dan Canang, tahap hari Raya Nyepi, tahap hari Tumpek Landep, tahap penyampai dilokasi penambangan, tahap pembungan limbah dan unsur Pawongan misalnya: tahap memulai kegiatan penambangan meliputi Persembahyangan dan Mebanten Saiban, tahap Mebanten meliputi pemberian sesajen berupa Caru, Segehan, dan Canang, tahap hari Raya Nyepi, tahap hari Raya Galungan dan tahap hari Raya Kuningan, tahap penyampai dilokasi penambangan, tahap penyiapan alat, tahap pemuatan dan tahap pembayaran atau bagi hasil.
87
5.2 Saran Adapun saran yang diberikan dalam penelitian kelembagaan ekonomi masyarakat penambang pasir yang berbasis Tri Hita Karana pada komunitas Bali adalah: 1. Bagi pemerintah disarankan sebaiknya menerapkan ketiga konsep didalam Tri Hita Karana agar terjadi keharmonisan atara pemerintah dengan masyarakat. 2. Bagi masyarakat terutama pada masyarakat Etnis Bali yang melakukan kegiatam penambangan di desa Lamebara yang membangun usaha harus selalu menanamkan dan meningkatkan penenerapan Nilai-Nilai Tri Hita Karana agar usaha dapat berjalan dengan baik dan dapat mengurangi dampak negatifnya. 3. Bagi peneliti selanjutnya dapat disarankan bila mengambil penelitian serupa dengan penelitian ini maka diharapkan dapat mejelaskan lebih dalam lagi mengenai penerapan Tri Hita Karana didalam kehidupan sehari-hari. 4. Bagi pemerintah hendaknya mendorong dan mendukung petani padi sawah khususnya saprodi dan perlu adanya pelatihan - pelatihan bagi para petani yang berbasis teknologi dan penanganan hama agar dapat diterapkan dalam mengembangkan usahataninya.
88
DAFTAR PUSTAKA Akerlof, Geograge A. 1970.” The Market for „Lemons‟: Quality Unicertainty and the Market Mechannism,” Quarterly Journal of Economics, Vol. 84 (Agustus),hlm. 488-500. Chayanov (Tschajanov), Alexander V. 1966. (Terbitan asli tahun 1926). Dalam Daniel Thorner. B. Kerblay, R.E.F. Smith,eds., The Theory Of Peasant Economy (Homewood, III.:Richard D.Irwin) Djogo et al, (2003). Definisi Kelembagaan http://www.scribd.com/doc/218043391/Teori-Kelembagaan#scribd.Di akses pada sabtu, 13 oktober 2012 ______. 2003. Kelembagaan dan kebijakan dalam pengembangan agroforestri. Bahan ajaran 8. Johnson, Doyle Paul. 1988. Teori Sosiologi Klasik dan Modern (diterjemahkan oleh Robert M. Z. Lawang). Jakarta: Gramedia. Jutriani p. 2014 Efektivitas Pelaksanaan CSR Perusahaan PT Wijaya Inti Nusantara Di Desa Torobulu Kecamatan Laeya, Kabupaten Konsel, Skripsi Fakultas Pertanian UHO Kendari. Lauer, R. H. 2003. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Rineka Cipta. Jakarta. Miles,B. dan A.M. Huberman, 1992, Analisa Data Kualitatif, UI Press Jakarta. M.Nur; (2014) resistensi penambang ilegal: studi kasus eksploitasi tambang galian c (pasir) di desa borimasunggu kabupaten maros Mubyarto. 2002. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Dan Peran Ilmu-Ilmu Sosial. UGM. Muliadi, acep. 2008. Judul. Islam dan Etos Kerja: Relasi Antara Kualitas Keagamaan Dengan Etos Produktivitsa Kerja di Daerah Kawasan Industri Kabupaten Bekasi. Jurnal Turats, vol. 4, No.1. North DC.(1994) http://icnie.org/2013/10/ekonomi-kelembagaan-baru/ di akses pada rabu,13 april 2016 North DC. 1990. Institutions, Institutional Change and Economic Performance. Cambridge University Press, Cambridge.
89
Ostrom E. 1985. Formulating the elements of institutional analysis. Paper presented to aConference on Institutional Analysis and Development Washington DC May 21- 22.1985. Ostrom E. 1986. A method of institutional analysis. In Kaufmann, F.X., G. Majone and V. Ostrom (eds.). 1986. Guidance, Control and Evaluation in the Public Sector. De Gruyer. Berlin and New York. Piccioto, R. and Wiesner, E. (1998). Evaluation and Development, The Institutional Dimension. The World Bank Publication. Purnama,H,R, 2012. Tambang vs lingkungan di sulawesi tenggara, fakultas perikanan dan ilmu kelautan, universitas haluoleo kendari. Robert N. Bellah,Tokugawa Religion, Beacon Prees, Bostom,1957. Dalam Suarsono Alvin Y. So Perubahan Sosial Dan Pembangunan. Ruttan VW and Hayami Y. 1984. Toward a theory of induced institutional innovation. Journal of Development Studies. Vol. 20: 203-22. Scott, James C. 1972. “The Erosion Of Patron-Client Bonds And Social Change in Rural Southeast Asian,” Journal of Asian Studies,Vol.33 (November), hlm.5-37. Setiadi et all, (2011). Definisi Kelembagaan http://www.scribd.com/doc/218043391/Teori-Kelembagaan#scribd.Di akses pada sabtu, 13 oktober 2012 Sitti Bulkis, (2003). Definisi Kelembagaan http://www.scribd.com/doc/218043391/Teori-Kelembagaan#scribd. Sutawan 2008 dalam Komang E dan Suhirman : Pola Keberlanjutan Prinsip Tri Hita Karana Dalam Pengelolaan Sumberdaya Air Untuk Pertanian Berbasis Subak di Kawasan Perkotaan (Studi Kasus: Subak Ayung, Subak Gaji, Subak Seminyak, Kabupaten Badung, Provinsi Bali) Sutawan, N. 2001. Eksistensi Subak di Bali: Mampukah bertahan Menghadapi Berbagai Tantangan. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Udayana. Denpasar. Suyastiri. 2008. Eksistensi Subak Berlandaskan Tri Hita Karana Dalam Menghadapi Globalisasi. Majalah Populer Wimaya UPN ”Veteran” Yogyakarta.
90
Todaro, M. P. 1994. Pemikiran Para Pakar Ekonomi Terkemuka Dari Aristoteles Hingga Keynes. Terjemahan dari Ideas Of The Great Economists. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Todaro,. 1986. Lockal Institution Development. UGM. Press Yogyakarta Uphoff N. 1986. Local Institutional Development. West Hartford. An Analycal With Cases. Rual Development Commitee, Cornell University. Kumarian Press. USA Wiliamson, Oliver E.1975 Market and Hierarchies: Analysis and Antitrust Implication (New Yor: Free Press).
91
92
Lampiran 1. Riwayat Hidup Penulis RIWAYAT HIDUP penulis yang bernama GUSTI AYU MADE ADI PURNIANTI atau yang sering disapa Ayu lahir pada tanggal 15 Oktober 1994 di Desa Landono Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Gusti Putu Sakra dan Ibu Gusti Ayu Murjani. Pendidikan SD penulis ditamatkan pada SD 2 Landono dan tamat pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di SMP Negeri 1 Landono yang sekarang berganti menjadi SMP 17 Konsel dan lulus pada tahun 2009, kemudian penulis melanjutkan studi di SMK Negeri 3 Kendari pada Tahun yang sama dan lulus pada tahun 2012. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan ke Universitas Halu Oleo Fakultas Pertanian Program Studi Jurusan Agribisnis Konsentrasi Sosial Ekonomi Pertambangan melalui jalur Seleksi Lokal Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SLMPTN).
93
Lampiran 2. Peta Lokasi Penelitian
94
Lampiran 3. Panduan Pertanyaan
KELEMBAGAAN EKONOMI MASYARAKAT PEBNAMBANG PASIR YANG BERBASIS TRI HITA KARANA DI KECAMATAN MOWILA
No
:
Nama informant
:
Tanggal wawancara
:
Lokasi wawancara
:
A,
1. Kelembagaan Ekonomi Usaha Penambangan Pasir Etnis Bali
Mulai Kapan usaha penambangan pasir ini bapak jalankan?
Pemilik usaha
2.
Sebelum adanya usaha penambangan pasir ini usaha apa yang bapak jalankan?
Pemilik usaha
3.
Dalam usaha penambangan pasir ini apa bapak menerapkan konsep nilai-nilai Tri Hita Karana?
Pemilik usaha
4.
Da;lam membangun usaha ini bapak sudah melkukan ke tiga aspek ini, jika sudah contoh naya seperti apa ? dan apa yang anda peroleh setelah menerapkan ke 3 aspek ini pak ?
Pemilik usaha
95
5.
B.
Dalam usaha penambangan pasir ini tentu ada dampak positif dan negatif apa dampak yang sering di timbulakan dgn adanya usaha bapak ini dan hal apa yang bapak suadah jalankan untukmencegah dampak negatif yang diakibatkan oleh usaha bapak ini 6. Dalam usaha bapak apa ada aturan-aturan yang diterapkan untuk mencegah terjadinya konflik antar masyarakat, dan sesama karyawan?
Pemilik usaha
7.
Berapa harga pasir bapak dalam 1 ret
Pemilik usaha
8.
Pada saat banjir apakah bapak masi bisa mengelola tambang pasir?
Pemilik usaha
9.
Bagaimna sikap warga terhadap tambang pasir yang bapak kelola?
Pemilik usaha
10. Selama usaha tambang pasir ini berjalan apa pernah terjadi konflik antar pengolah tambang dengan masyarakat sekitar? Kepemimpinan 1. Bagaimana cara bapak memimpin usaha penambangan pasir dengan menerapkan konsep nilai-nilai Tri Hita Karana? Hingga dapat berjalan dengan baik dan
Pemilik usaha
Pemilik usaha
Pemilik usaha
96
memperoleh banyak ke untungan?
C.
Proses
Apa dalam proses rerukmen karyawan bapak menerapkan konsep tri hita karana? Bagaimana cara perekrutan pekerja dengan menerapkan konsep nilainilai tri hita karana, apa ada kriteria yang yang harus dipenuhi agar dapat berkerja di usaha penambangan pasir bapak? Apa dalam pemberian upah bapak menerapkan konsep tri hita karana? Bagaimana cara pengolahan tambang pasir bapak? Bagaimana cara bapak mengelola usaha ini agar bisa jangka panjang?
Pemilik usaha
2.
Bagaimana cara bapak mengelola sda ini agar tidak merusak lingkungan hingga jangka panjang?
Pemilik usaha
3.
Setelah bapak melakukan penambangan bagai mana cara bapak untuk memulihkan kembali lahan bekas olahan pasir tersebut ?
Pemilik usaha
1.
Rekrutmen Karyawan
2.
3.
D.
Pola
1.
Pengolahan Sumberdaya
1.
Pemilik usaha
Pemilik usaha
Pemilik usaha
Pemilik usaha
97
E.
Mekanisme pengolahan usaha
4.
Dalam mengelola tambang ini kendala apa saja yang sering bapak dapatkan?
Pemilik usaha
1.
Bagaimana cara pengolahan tambang pasir bapak dengan menerapkan konsep tri hita karana? Dalam pengolahan pasir ini bapak menggunakan cara moderend/ dengan menggunakan mesin sedot pasir namun tetap menerapkan nilai-nilai tri hita karana. apa alasan bapak?
Pemilik usaha
Dalam penambangan menggunakan mesin sedot pasir apa saja alat pendukung yang dibutuhkan? Dengan menggunakan mesin sedot pasir apa sja kemudahan yang bapak peroleh? Dan dalam satu mesin dapat dioprasikan oleh berapa karyawan? Bagaimana sistem struktur organisasi dengan menggunakan konsep nilai-nilai tri hita karana?
Pemilik usaha
2.
3.
4.
F.
Struktur organisasi
1.
Pemilik usaha
Pemilik usaha
Pemilik usaha
98
KELEMBAGAAN EKONOMI MASYARAKAT PEBNAMBANG PASIR YANG BERBASIS TRI HITA KARANA DI KECAMATAN MOWILA
No
:
Nama informant
:
Tanggal wawancara
:
Lokasi wawancara
:
A
Kelembagaan Ekonomi 1. Sejak Kapan bapak menjadi karyawan Usaha Penambangan penambang pasir? Pasir Etnis Bali
B.
Kepemimpinan
Karyawan penambang pasir
2. Apa alasan bapak untuk menjadi karyawan penambang pasir?
Karyawan penambang pasir
3. Sebelum bapak berkerja sebagai karyawan penambang pasir usaha apa yang bapak sudah jalankan?
Karyawan penambang pasir
4. Yang bapak ketahui bagaimana kelembagaan dalam usaha penamabangan pasir dengan menerapkan konsep nilai-nilia tri hita karana agar tidak menimbulkan konflik sesama karyawan dan masyarakat sekitar? 1. Yang anda ketahui Seperti apa cara memimpin pemilik usaha penambangan pasir etnis bali dengan menerapkan konsep tri hita karana agar berjalan dengan baik dan memperoleh banyak keuntungan?
Karyawan penambang pasir
Karyawan penambang pasir
99
C.
Proses Rekrutmen Karyawan
D.
Pola Pengolahan Sumberdaya
E.
Mekanisme Pengolahan Usaha
F.
Struktur Organisasi
1. Apakah Dalam perekrutan karyawan menerapkan konsep nilai-nilai tri hita karana? Dan apasaja kriteria yang harus di penuhi agar dapat menjadi karyawan penambang pasir etnis bali?
Karyawan penambang pasir
2. Apakah disini semua karyawannya orang bali?
Karyawan penambang pasir Karyawan penambang pasir
3. Apakah dalam sistem pemberian upah tri hita karana di jadikan pedoman? 1. Cara apakah yang dipakai oleh karyawan untuk menambang pasir, agar tidak meninggalkan nilianilia tri hita karana? Dan tidak merusak lingkungan hingga pemambangan dapat berjangka panjang? 2. Dalam mengelola penambangan pasir etnis bali dengan menerapka konsep tri hita karana ini apakah memiliki kendala? 1. Bagaimana cara penambangan pasir dengan menggunaka mesin sedot pasi namun tetap menanamkan nilai-nilai tri hita karana? 1. Bagaimana sistem struktur organisasi yang menggunakan konsep nilainilai tri hita karana?
Karyawan penambang pasir
Karyawan penambang pasir
Karyawan penambang pasir
Karyawan penambang pasir
100
KELEMBAGAAN EKONOMI MASYARAKAT PEBNAMBANG PASIR YANG BERBASIS TRI HITA KARANA DI KECAMATAN MOWILA
No
:
Nama informant
:
Tanggal wawancara
:
Lokasi wawancara
:
A
B
C
D
E
F
Konsep Nilai-Niliai Tri Hita Karana
1.
Apa pengertian Tri Hita Karana? 2. Apa saja unsur-unsur dari Tri Hita Karana? Kelembagaan Ekonomi 1. Menurut anda bagaimana Penamabangan Pasir Etnis model kelembagaan yang Bali menggunakan konsep Tri Hita Karana? 2. Bagaimana konsep niliainilai Tri Hita Karana dalam membangaun usaha penambangan pasir etnis Bali ini ? Kepemimpinan 1. Bagaimana model kepemimpinan yang menerapkan konsep Tri Hita Karana? Proses Perekrutan 1. Menurut anda bagai mana Karyawan cara perekrutan karyawan dengan maenerapkan nilai-nilai Tri Hita Karana? Penggolahan Sumber Daya 1. Menurut anda bagaimana Alam cara pengolahan sumberdaya alam agar tetap menerapkan konsep Tri Hita Karana? Mekanisme penggolahan 1. Menurut anda bagaimana usaha cara mekanisme pengolahan usaha yang menerapkan konsep Tri Hita Karana?
Pemangku Etnis Bali Pemangku Etnis Bali Pemangku Etnis Bali
Pemangku Etnis Bali
Pemangku Etnis Bali
Pemangku Etnis Bali
Pemangku Etnis Bali
Pemangku Etnis Bali
101
G
Struktur Organisasi
1.
Menurut anda bagaimana struktur organisasi yang menggunakan nilai-nilai Tri Hita Karana?
Pemangku Etnis Bali
102
Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian Di Desa Lamebara
sddfff
Jalan Masuk Ke Desa Lamebara
Wawancara Ide Pandite Agenijaya Shree Shree Yogi Swarrasebali
Kondisi Jalan Di Desa Lamebara
Wawancara Dengan Pak Desa Lamebara
103
Foto Wawancara Dengan Pemilik Usaha Pengolahan
Dokomentasi Pada Saat Wawancara Karyawan
Pasir Pak Nyoman Sendra
Pengelohan Pasir Pak Wayan Pasti
Dokomentasi Pada Saat Wawancara Karyawan
Dokomentasi Pada Saat Wawancara Karyawan
Pengelohan Pasir Pak Nengah Mudiarta
Pengelohan Pasir Pak Putu Sumendra
104
Dokomentasi Pada Saat Wawancara Karyawan
Alat Mesin Sedot Pasir
Pengelohan Pasir Pak Ketut Astra
Proses menaikan Pasir Menggunakan mesin dari sungai
Mengatur Selang di Bak Penampungan Pasir
105
Jalur drainase pembuangan limbah
Perkebunan Jagung
Proses Pemuatan Pasir Ke Truk
Kebun Rambutan
106
Perkebunan Jeruk
Pohon Jati
Pemanfaatan Sungai Sebagai Tempat Mandi Dan Minum Ternak
Tempat Persembahyangan Umat Hindu di Desa Lamolori
107
Gambar Segehan
Gambar Canang Sari
Sarana Sembahyang
Pura Yang Berada Di Kebun