LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU
PENERAPAN KONSEP TRI HITA KARANA DI DAYA TARIK WISATA TANAH LOT BALI
Peneliti: Dewa Ayu Made Lily Dianasari, S.T.,M.Si.
Dibiayai dari Dana DIPA Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali Tahun Anggaran 2014
SEKOLAH TINGGI PARIWISATA NUSA DUA BALI KEMENTERIAN PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian dengan judul “Penerapan Konsep Tri Hita Karana di Daya Tarik Wisata Tanah Lot Bali”. Dalam proses penulisan laporan penelitian ini, penulis mendapatkan dukungan moral maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sebagai wujud terima kasih, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terutama pada para narasumber yang telah membantu di lapangan sehingga laporan penelitian ini dapat kami selesaikan tepat waktu. Sebagai sebuah proses pembelajaran yang tidak akan pernah berhenti, penulis menyadari bahwa penulisan laporan penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan penulisan laporan penelitian ini. Akhir kata, penulis berharap semoga tulisan ini berguna dan bermanfaat bagi semua pihak.
Nusa Dua, Oktober 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………..……………… ii DAFTAR ISI ………………………………………………………..…………….. iii DAFTAR GAMBAR …………………………………………..………………….. v BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang …………………………………………………………. 1 1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………… 4 1.3 Batasan dan Tujuan Penelitian …………………………………..…….. 4 1.4 Manfaat Penelitian ……………………………………………………... 5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Tri Hita Karana …….…….……………….…………………………... 6 2.2 Pariwisata Berwawasan Tri Hita Karana ……………………………… 8 2.3 Tri Hita Karana dan Pariwisata Berkelanjutan ……………………….. 10 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Pengumpulan Data …………………………………………… 12 3.2 Metode Analisis Data …………………………………………………. 12 3.3 Teknik Analisis Data …………………………….……………………...12 3.4 Jadwal Penelitian ………………………………………………………13 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Pura Tanah Lot ……………………………………………….. 14 4.2 Kondisi Fisik tanah Lot ……………………………………………….. 17
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pengelolaan DTW Tanah Lot ………………………………………. 20 5.2. Visi dan Misi ………………………………………………………… 24 5.3. Struktur Organisasi ………………………………………………….. 25 5.4. Penerapan THK di DTW Tanah Lot ………………………………… 26 5.5. Pengelolaan Sampah Batok Kelapa Berbasis Masyarakat yang Berkelanjutan ……………………………………………………….. 35 BAB VI KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR
Gambar 5.1 Struktur Organisasi Bidang Operasional Manajemen ………….. 25 Gambar 5.2 Kondisi Keberadaan Tempat Suci Tanah Lot …………………… 27 Gambar 5.3 Penamaan Tempat Suci …………………………………………. 27 Gambar 5.4 Pemangku yang bertugas di Pura Tanah Lot ……………………. 28 Gambar 5.5 Petugas Keamanan (pecalang) di DTW Tanah Lot ……………… 29 Gambar 5.6 Kelompok Fotografer dengan Jasa Foto Ular …………………… 30 Gambar 5.7 Tanda Jalur Evakuasi dan Tanda Himbauan ……………………. 31 Gambar 5.8 Tanda Pelestarian Tanaman ……………….…………………… 33 Gambar 5.9 Kegiatan Petugas Kebersihan dan Pertamanan DTW Tanah Lot . 34 Gambar 5.10 Tempat Pembuangan Akhir Sampah DTW Tanah Lot ………… 34 Gambar 5.11 Tempat Pengolahan Briket Batok Kelapa ……………………… 35 Gambar 5.12 Mesin Penghancur Batok Kelapa ………………………………. 37 Gambar 5.13 Pengeringan Briket Batok Kelapa ……………………………… 39
PENERAPAN KONSEP TRI HITA KARANA DI DAYA TARIK WISATA TANAH LOT BALI DEWA AYU LILY DIANASARI
[email protected]
Abstraksi Bali sebagai salah satu destinasi di Indonesia yang memiliki kearifan tradisional dan adat istiadat serta sangat terkenal dalam bidang pariwisatanya. Seluruh masyarakat Bali sepakat bahwa pembangunan di Bali didasarkan atas nilai-nilai kearifan lokal yang telah dikenal secara universal dalam konsep Tri Hita Karana. Keanekaragaman alam, budaya, dan seni yang khas di pulau Bali tidak dapat dipisahkan dari kegiatan keagamaan atau peribadatan masyarakatnya sebagai bentuk sikap kepatuhan yang diyakini. Tanah Lot merupakan daya tarik wisata unggulan yang memiliki daya tarik yang besar bagi wisatawan karena keunikan, keindahan, dan keserasian suasana pantai laut selatan. Keharmonisan daya tarik wisata Tanah Lot dibuktikan dengan penghargaan Emerald Trophy dari Tri Hita Karana Award and Accreditation Bali. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan mengetahui penerapan Tri Hita Karana di Daya Tarik Wisata Tanah Lot, Bali. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka, observasi lapangan dan wawancara dengan pengelola, pegawai dan masyarakat sekitarnya. Pengumpulan data menggunakan teknik analisis deskriptif, yaitu metode yang digunakan untuk memaparkan data yang telah diketahui melalui pengumpulan data yang diperoleh sesuai dengan kenyataan. Teknik analisis ini digunakan untuk menjelaskan atau memaparkan data yang didapatkan baik data kualitatif maupun data kuantitatif. (Kusmayadi, Sugiarto 2000:29). Penerapan Tri Hita Karana di Daya Tarik Wisata Tanah Lot meliputi tiga aspek yaitu Parahyangan, Pawongan dan Palemahan yaitu sebagai berikut : Aspek Parahyangan di daya tarik wisata Tanah Lot mencakup didalamnya yaitu tempat pemujaan dan keberadaannya, pelestarian dan pengembangan tradisi keagamaan, program ritual keagamaan, letak tempat pemujaan, penanggung jawab keagamaan, pemeliharaan tempat pemujaan, pengunaan bahan bangunan sebagai tempat suci, pemberian nama pada bangunan dan dharma wacana. Aspek Pawongan mencakup di dalamnya adalah aspek internal, eksternal dan semuanya menekankan pada harmoni. Aspek ini meliputi kegiatan sosial terhadap lingkungan sekitarnya, petugas humas, ticketing, keamanan dan parkir, kegiatan koperasi/simpan pinjam serta kegiatan wisatawannya. Aspek Palemahan mencakup tentang komitmen DTW terhadap kualitas lingkungan, pelestarian dan pengembangan ekosistem, pengelolaan limbah (padat dan cair), partisipasi DTW terhadap lingkungan, penghematan energi dan sumberdaya alam, melakukan pemantauan lingkungan secara berkala.
Kata Kunci : daya tarik wisata, Tri Hita Karana, Parahyangan, Pawongan dan Palemahan
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pariwisata adalah kegiatan yang memiliki dampak ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan. Beberapa dampak dapat dikontrol namun sebagian tidak dapat dikontrol. Pengelolaan yang baik akan meminimilkan dampak negative dari kegiatan pariwisata. Upaya menjamin bahwa pariwisata tidak menimbulkan dampak negative terhadap sumberdaya alam dapat dilakukan dengan peningkatan kualitas kehidupan social masyarakat
serta membangun pariwisata berdasarkan prinsip-prinsip
pembangunan yang berkelanjutan. Bali sebagai salah satu pulau di Indonesia yang memiliki kearifan tradisional dan adat istiadat serta sangat terkenal dalam bidang pariwisatanya. Seluruh masyarakat Bali sepakat bahwa pembangunan di Bali didasarkan atas nilai-nilai kearifan lokal yang telah dikenal secara universal dalam konsep Tri Hita Karana. Keharmonisan manusia dengan Tuhan, sesama dan lingkungan menjadi modal utama berkembangnya pariwisata di Bali. Oleh karena itu, perkembangan pariwisata yang terjadi saat ini dan yang akan datang tidak membuat keharmonisan hubungan tersebut melemah bahkan saling tercabut dari akarnya. Prinsip dasar dari pembangunan yang berkelanjutan adalah keseimbangan intergenerasi; pembangunan akan berkelanjutan apabila pemenuhan kebutuhan saat
1
ini tidak mengurangi kebutuhan generasi yang akan datang (Pearce et al., 1989). Begitu halnya juga pembangunan pariwisata harus menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep keberlanjutan sering sekali dipertentangkan dengan konsep persaingan (competitiveness) sehingga dapam sebuah perencanaan pembangunan pariwisata harus mempertimbangkan hal-hal, yaitu: (1) global environment, (2) competitive environment dan (3) the big picture (Richie, 2004 dalam Berata Asrama et al., 2007). Global environment menjelaskan bahwa merencanakan pariwisata harus mempertimbangkan kondisi global. Sehingga membangun pariwisata tidak dapat hanya dilakukan temporer dan mengabaikan aspek spasial melainkan harus dilakukan secara terus menerus,
berkesinambungan dan holistik. Konsep persaingan
(competition) menunjukkan bahwa pariwisata didasari oleh lingkungan yang ketat dimana
stakeholder
harus
mampu
membangun
kerjasama
untuk
mampu
memenangkan persaingan. The global picture maksudnya bahwa pembangunan dan pengembangan pariwisata tidak cukup dengan memperbaiki infrastuktur dan suprastruktur fisik, namun menguatkan budaya dan etika moral masyarakat. Sehingga pariwisata membutuhkan kesiapan yang menyeluruh , peran serta masyarakat, komitmen pemerintahserta kerjasama pihak swasta. Daya Tarik Wisata Tanah Lot merupakan salah satu tujuan wisata yang populer di Pulau Bali yang terletak di Kabupaten Tabanan yaitu di Desa Adat Beraban Kecamatan Kediri. Sifat dan keberadaan obyek wisata ini adalah merupakan wisata budaya, dimana terdiri atas bangunan-bangunan sejarah berupa peninggalan
2
umat Hindu yang sampai saat ini masih disungsung oleh umat Hindu yang ada di Bali. Komponen pendukung dari wisata budaya ini adalah adanya bangunanbangunan sejarah lainya yang terdiri dari Pura Penataran, Pura Enjung Galuh, Pura Taman Sari, Pura Batu Bolong, Pura Batu Mejan, Pura Pakendungan, sumber mata air batu mejan, areal tugu pahlawan, areal yeh kutikan, dan areal enjung sibun. Disamping itu daya tarik utama pada obyek wisata Tanah Lot adalah tanah lot sunset. fasilitas pendukung pariwisata di Daya Tarik Wisata Tanah Lot adalah Pasar Seni, rumah makan, penginapan, dan galeri kesenian. Dalam tiga dasa warsa, untuk mengembangkan Daya Tarik Wisata Tanah Lot tentunya tidak semua komponen dapat dikembangkan atau ditata dengan baik, baik dari struktur bangunan maupun perbaikan potenti-potensi yang ada. Walaupun daya tarik wisata tanah lot memiliki daya tarik tersendiri yang mana sudah terkenal di mancanegara namun dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh manajemen operasional obyek wisata tanah lot menunjukkan bahwa kunjungan tamu asing sebesar 14% dari total wisatawan yang berkunjungan ke obyek wisata tanah lot dan sebesar 20% wisatawan yang datang dari kunjungan wisatawan yang berkunjung ke bali, dengan rata-rata tamu menikmati obyek wisata tanah lot selama 2 jam. Permasalahan di atas membutuhkan suatu pemahaman dan analisis yang lebih lanjut terhadap situasi seperti tersebut di atas, dan tentunya dengan perubahan-berubahan kebutuhan wisatawan harus sejalan dengan perubahan-perubahan atau pengembangan pada obyek wisata tanah lot sebagai tempat tujuan wisata, sehingga pada masa mendatang Obyek Wisata Tanah Lot tidak berpaku pada satu daya tarik untuk dapat dikunjungi. Pengembangan atau exploitasi yang berlandaskan budaya harus segera 3
dilaksanakan, yang tentunya sesuai dengan potensi dan pemetaan obyek wisata tanah lot menjadi kawasan wisata, sehingga komponen-komponen kebudayaan masyarakat yang dapat dikomersialkan terakomodasi dalam satu wadah yang tentunya akan mempengaruhi sektor ekonomi sosial masyarakat. Sifat dan keberadaan obyek wisata ini adalah merupakan wisata budaya, dimana terdiri atas bangunan-bangunan sejarah berupa peninggalan umat Hindu yang sampai saat ini masih disungsung oleh umat Hindu yang ada di Bali. Daya tarik wisata Tanah Lot telah menerapkan konsep Tri Hita Karana sebagai salah satu konsep ramah lingkungan dimana hal ini dibuktikan dengan penghargaan Emerald Trophy dari Tri Hita Karana Award and Accreditation Bali. 1.2. Rumusan Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah penerapan Tri Hita Karana di Daya Tarik Wisata Tanah Lot , Bali dalam bidang Parahyangan, Pawongan dan Palemahan? 1.3. Batasan dan Tujuan Penelitian Agar topik tidak meluas maka penelitian ini akan dibatasi pada bidang Parahyangan, hubungan manusia dengan lingkungan spiritual ; Pawongan, hubungan manusia dengan sesamanya; Palemahan, hubungan manusia dengan lingkungan alamiah. Adapun tujuan penelitian yang dilakukan adalah untuk mengidentifikasi dan mengetahui penerapan Tri Hita Karana di Daya Tarik Wisata Tanah Lot, Bali dalam
4
bidang Parahyangan, Pawongan dan Palemahan. 1.4. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai
masukan atau bahan
pertimbangan kepada pihak daya tarik wisata Tanah Lot dalam terwujudnya pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
5
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1.
Tri Hita Karana Seperti dalam kebudayaan Bali yang dijiwai oleh agama Hindu dikenal
adanya konsep Tri Hita Karana (THK), yaitu tiga penyebab kesejahteraan yang berasal dari Bahasa Sansekerta Tri (tiga), hita (sejahtera), karana (sebab). Ketiga penyebab kesejahteraan/kebahagiaan itu adalah Parahyangan (lingkungan spiritual), Pawongan (lingkungan social), Palemahan (lingkungan alamiah) yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Hubungan yang seimbang dan harmonis antar ketiga unsure tersebut diyakini membawa manfaat bagi kesejahteraan hidup manusia lahir bathin. Sebaliknya hubungan yang tidak seimbang dapat mengancam kesejahteraan hidup manusia. 1. Parahyangan Aspek Parahyangan merupakan ekspresi dari hubungan manusia dengan lingkungan spiritual sekaligus merupakan refleksi dari hakikat manusia sebagai makhluk homo religious, yaitu makhluk yang memiliki keyakinan akan adanya kekuasaan adikodrati atau super natural. Sebaga salah satu mencapai kesejahteraan hidup, manusia senantiasa berusaha menjaga interaksi yang harmonis dengan lingkungan spiritual. Berbagai bentuk interaksi manusia dengan lingkungan spiritual ini membentuk system religi atau agama.
6
Dominasi nilai religi di Bali adalah Agama Hindu dalam konfigurasi budaya Bali mempengaruhi citra lingkungan masyarakatnya. Soemarwoto (1994), citra lingkungan merupakan anggapan orang mengenai struktur lingkungan, bagaimana lingkungan berfungsi, reaksinya terhadap tindakan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungannya. 2. Pawongan Aspek Pawongan merupakan ekspresi hubungan manusia dengan sesamanya, yang sekaligus refleksi dari hakikat manusia sebaga makhluk social. Manusia tidak dapat hidup sendiri, melainkan selalu berinteraksi dengan manusia lainnya, dan menjadi bagian dari system sosialnya.Untuk mencapai kesejahteraan hidupnya, manusia yang satu senantiasa menjaga hubungan yang harmonis dengan manusia lainnya. Ekspresi dari interaksi antara orang Bali dan lingkungan social, antara lain melahirkan Basa Bali (Bahasa Bali), norma-norma, peraturan-peraturan, hukum, pranata social seperti kekerabatan dan pranata kemasyarakatan, dsb. 3. Palemahan Aspek Palemahan merupakan ekspresi dari hubungan manusia dengan lingkungan alamiah. Untuk mencapai kesejahteraan hidupnya, manusia senantiasa berusaha menjaga interaksi yang harmonis dengan lingkungan alamiah. Terkadang arogansi manusia dalam bentuk eksploitasi sumberdaya alam tanpa memperdulikan kelestariannya adalah merupakan bentuk interaksi yang kurang harmonis dengan lingkungannya.
7
Sebagai upaya untuk menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan lingkungan alamiah dijumpai berbagai bentuk pranata yang befungsi sebagai mekanisme control terhadap pemanfaatan sumberdaya alam. Pranata tersebut sesungguhnya mencerminkan kearifan-kearifan ekologi. Ekspresi dari interaksi orang Bali dengan lingkungan fisik antara lain melahirkan suatu pengetahuan tentang alam seperti penanggalan sasih, pawukon, dan sebagainya.
2.2.
Pariwisata Berwawasan Tri Hita Karana Pariwisata Bali dilandasi oleh konsep Tri Hita Karana. Tri Hita Karana telah
dipahami sebatas konsep namun belum dipaami secara operasional. Nilai-nilai kearifan yang terkandung dalam konsep Tri Hita Karana dapat diharapkan menjadi alat untuk menyaring dampak-dampak kemajuan pariwisata sehingga dampak positif akan lebih dominan dibandingkan dengan dampak negatifnya. Kekamjuan teknologi juga mempengaruhi pola hidup dan budaya masyarakat. Interkasi antar masyarakat Bali dengan wisatawan yang akan dating ke Bali memang member warna yang membuat Bali menjadi semakin menarik. Pengakuan terhadap pengaruh yang ditimbulkan oleh aktivitas pariwisata terhadap perilaku dan kelembagaan masyarakat di Bali perlu disikapi dengan bijaksana. Tri Hita Karana sebagai dasar pembangunan kepariwisataan Bali menyebabkan keunikannya tertap terjaga. Tri Hita Karana akan memberikan landasan yang kuat bagi pembangunan kepariwisataan di Bali sehingga pembangunan tersebut tidak menyebabkan masyarakat tercerabut dari akar budaya yang ada. Selain 8
dasar yang kuat, pembangunan pariwisata juga membutuhkan tiang-tiang penyangga yang kokoh, sesai dengan karakteritik produk pariwisata tersebut. Implementasi THK dalam pembangunan pariwisata pada dasarnya mengontrol libido kapitalisme industri pariwisata dengan menanamkan kesadaran moral dan etika keagamaan (Parahyangan), kemanusiaan (Pawongan) dan lingkungan (Palemahan). Dengan demikian diharapkan pariwista tidak sekedar mengejar keuntungan ekonomi semata, tetapi juga mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk berbudaya serta konservasi lingkungan secara berkelanjutan. Pengejewantahan aspek Parahyangan dalam pengelolaan industry pariwisata yang berimplikasi kepada revitalisasi nilai-nilai religi local, tidak saja penting artinya bagi kesejahteraan batiniah manusia, tetapi juga member corak dan nuansa tersendiri bagi pariwisata itu sendiri. Pengejewantahan
aspek
Pawongan
dalam
pengelolaan
pariwisata
memposisikan pranata-pranata social masyarakat local sebagai acuan bagi pola-pola hubungan baik antar sesame pelaku pariwisata maupun antara pelaku pariwisata dengan lingkungan social setempat. Hal ini tidak saja berimplikasi kepada terciptanya hubungan yang harmonis antarsesama manusia sebagai makhluk social, tetapi sekaligus merupakan revitalisasi terhadap tatanan social masyarakat setempat. Pengejewantahan aspek Palemahan dalam pengelolaan pariwisata menjunjung tinggi kearifan-kearifan ekologis masyarakat setempat. Kearifan ekologis merupakan segala tindakan manusia yang selaras dengan lingkungannya dan merupakan manifestasi dari system kepercayaan yang dianut. Krisis ekologi global yang mencuat,
keberadaan
aspek-aspek
kebudayaan
tradisional
dengan
system 9
pengetahuan dan kepercyaan tradisional dipandang sebagai bentuk-bentuk kearifan ekologi yang berfungsi cukup efektif sebagai mekanisme kontrol bagi pengelolaan lingkungan.Sehingga pengelolaan pariwisata dengan menghormati kearifan ekologi masyarakat setempat merupakan salah satu upaya menuju pembangunan pariwisata berkelanjutan.
2.3.
Tri Hita Karana dan Pariwisata Berkelanjutan Pariwisata berkelanjutan adalah kegiatan kepariwisataan yang mampu lestari
dalam jangka panjang, serta mampu memberikan manfaat ekonomi, social, lingkungan alam dan budaya masyarakat. Kenikmatan yang harus dirasakan dari sector pariwisata kini haruslah tidak mengurangi kenikmatan yang harus dirasakan oleh generasi yang akan datang (Debudpar, 2004; dan Shandy, 1991). Menyimak pemahaman dan definisi tersebut, dapat dinayatakn bahwa pariwisata berkelanjutran, selain harus mendapat komitmen positif dari pemerintah, harus juga mendapatkan simpati dan dukungan positif dari masyarakat luas, Dukungan kuat masyarakat terhadap sebuah konsep disebutkan oleh McGinnis (1999) dalam Windia (2005) sebagai good governance. Good governance artinya sebuah sitauasi sosial yang masalahnya diketahui persis oleh masyarakat sendiri, dan tahu persisi apa yang harus dikerjakan untuk memecahkan masalah itu. Kondisi yang harmonis dalam suatu rasa kebersamaan merupakan hakikat yang paling universal dari implementasi konsep THK yang diharapkan dapat dilaksanakan oleh komponen kepariwisataan di Bali melalui pelaksanaan THK Awards. Dengan timbulnya niat
10
secara internal untuk melaksanakan konsep THK di sector pariwisata, akan merupakan pertanda yang signifikan bahwa sector pariwisata Bali akan berlanjut. Secara teoritis dapat disebutkan bahwa hotel dan sector pariwisata akan diputuskan untuk dibangun melalui suatu analisis yang cermat. Dalam proses operasional, pihak pengelola umumnya akan melaksanakan analisis SWOT (untuk mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan dari perusahaan yang bersangkutan) agar asset yang itu dapat beroperasi secara maksimal. Selanjutnya, supaya asset di sector itu mampu menemukan nilai-nilai harmoni dan kebersamaan. Hanya dengan kondisi yang harmonis dan dalam suasana kebersamaan suatu asset di sector pariwisata akan dapat berlanjut. Konflik di sector pariwisata (baik internal dan juga pihak eksternal) akan menyebabkan wisatawan enggan untuk dating. Hal ini akan berakibat sector ini tidak akan berlanjut. THK Awards mengusung konsep keberlanjutan, maka harus disadari oleh semua pihak, khususnya komponen kepariwisataan di Bali, agar tidak terlalu mengharap mendapatkan manfaat yang instan. Secara khusus kiranya diperlukan dukungan yang positif dari pemerintah dan pihak legislatif. Tentu juga dari pihak komponen kepariwisataan agar kegiatan THK Awards ini menajdi kegiatan yang memiliki karisma tinggi di sector kepariwisataan di Bali. Hanya dengan cara-cara seperti inilah sector pariwisatadi Bali akan berlanjut dan pelaksanaan THK Awards adalah suatu lompatan awal yang besar bagi keberlanjutan dunia kepariwisataan di Bali.
11
BAB III METODE PENELITIAN
3.1.
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi :
1. Studi Pustaka Studi pustaka adalah kegiatan untuk mendapatkan data dan informasi umum mengenai penerapan Tri Hita Karana baik bidang Parahyangan, Pawongan dan Palemahan dalam bidang pariwisata. 2. Obeservasi/Survey Lapangan Metode ini digunakan untuk mengamati situasi dan kondisi di lokasi terpilih secara langsung, melakukan diskusi
partisipatif dengan direktur
manajemen operasional Tanah Lot, pemangku Pura Tanah Lot, Kadiv Kebersihan dan Pertamanan. Hasil observasi akan membantu melengkapi kebutuhan data yang belum tercover dalam data sekunder (desk study). 3.2.
Metoda Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Identifikasi
dan Inventarisasi kegiatan yang dilakukan oleh daya tarik wisata Tanah Lot. 3.3.
Teknik Analisis Data Pengumpulan data menggunakan teknik analisis deskriptif, yaitu metode yang
digunakan untuk memaparkan data yang telah diketahui melalui pengumpulan data yang diperoleh sesuai dengan kenyataan. Teknik analisis ini digunakan untuk menjelaskan atau memaparkan data yang didapatkan baik data kualitatif maupun data
12
kuantitatif. (Kusmayadi, Sugiarto 2000:29). Fungsi dari analisis deskriptif adalah memberikan
gambaran
umum
tentang
data
yang
telah
diperoleh
(www.inparametric.com). Hasil analisis deskriptif berguna untuk mendukung interpretasi terhadap hasil analisis dengan teknik lainnya.
3.4.
Jadwal Penelitian Kegiatan penelitian ini direncanakan dilakukan mengikuti jadwal pada tabel
berikut: Tabel 1 Jadwal Kegiatan Penelitian
No
Jenis Kegiatan
1
Studi Literatur dan Referensi Pengumpulan dan Analisis Data Penyusunan Laporan Penelitian Pengumpulan Laporan Penelitian
2 3 4
Agst
Sept
Okt
13
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. Sejarah Pura Tanah Lot Pada masa Kerajaan Majapahit ada seseorang Bhagawan yang bernama Dang Hyang Dwijendra atau Dang Hyang Nirarta.Beliau dikenal sebagai Tokoh penyebaran ajaran Agama Hindu dengan nama “Dharma Yatra “.Di Lombok beliau dikenal dengan nama “Tuan Semeru” atau guru dari Semeru (sebuah nama Gunung di Jawa Timur). Pada waktu beliau datang ke Bali untuk menjalankan misinya,yang berkuasa di Bali saat itu adalah Raja Dalem Waturenggong yang menyambut beliau dengan sangat hormat.Beliau menyebarkan agama Hindu sampai ke pelosok-pelosok Pulau Bali.Suatu ketika pada saat beliau menjalankan tugasnya,beliau melihat sinar suci dari arah tenggara dan beliau mengikutinya sampai pada sumbernya yang ternyata adalah sebuah sumber mata air.Tidak jauh dari tempat itu beliau menemukan sebuah tempat yang sangat indah yang disebut “Gili Beo”(Gili artinya Batu Karang dan Beo artinya Burung) jadi tempat itu adalah sebuah Batu Karang yang berbentuk burung. Ditempat inilah beliau melakukan meditasi dan pemujaan terhadap Dewa Penguasa Laut. Lokasi tempat Batu Karang ini termasuk dalam daerah Desa Beraban,dimana di desa tersebut dikepalai oleh seorang pemimpin suci yang
14
disebut “Bendesa Beraban Sakti”.Sebelumnya masyarakat Desa Beraban menganut ajaran monotheisme(percaya dan bersandar hanya pada satu orang pemimpin yang menjadi utusan Tuhan sperti Nabi)dalam waktu yang singkat banyak masyarakat Desa Beraban ini mengikuti ajaran Dang Hyang Nirarta yang kemudian membuat Bendesa Beraban Sakti sangat marah dan mengajak pengikutnya yang masih setia untuk mengusir Bhagawan suci ini. Dengan kekuatan spiritual yang dimiliki Dhang Hyang Nirarta,beliau melindungi diri dari serangan Bendesa Baraban dengan memindahkan batu karang besar tempat beliau bermeditasi (Gili Beo) ke tengah lautan dan menciptakan banyak ular dengan selendangnya di sekitar batu karang sebagai pelindung dan penjaga tempat tersebut.Kemudian beliau memberi nama tempat itu “Tanah Lot” yang berarti Tanah di tengah Laut. Akhirnya Bendesa Beraban mengakui kesaktian dan kekuatan spiritual dari Dang Hyang Nirarta,dan akhirnya Bendesa Beraban menjadi pengikut setia dan ikut menyebarkan ajaran Agama Hindu kepada penduduk setempat.Sebagai tanda terima kasih sebelum melanjutkan perjalanan beliau memberikan sebuah keris kepada Bendesa Beraban yang dikenal dengan nama “Keris Jaramenara atau Keris Ki Baru Gajah”.Saat ini keris itu disimpan di Puri Kediri yang sangat dikeramatkan dan di upacarai setiap hari raya Kuningan.Dan upacara tersebut di adakan di Pura Tanah Lot setiap 210 hari sekali,yakni pada “Buda Wage Lengkir”sesuai dengan penanggalan Kalender Bali.
15
Pura di Sekitarnya Sejumlah pura yang ada di sekitar Pura Tanah Lot adalah Pura Pekendungan, Pura Penataran, Pura Jero Kandang, Pura Enjung Galuh, Pura Batu Bolong dan Pura Batu Mejan. Pura Pekendungan merupakan satu-kesatuan dengan Pura Tanah Lot. Pada mulanya tempat ini bernama Alas Kendung, digunakan sebagai tempat meditasi atau yoga semadi, untuk mendapatkan sinar suci sebelum melanjutkan perjalanan. Di Pura Pekendungan terdapat keris sakti bernama Ki Baru Gajah yang memiliki kekuatan untuk menaklukkan penyakit tumbuh-tumbuhan di Bali. Keris ini merupakan anugerah Danghyang Nirartha kepada pemimpin Desa Beraban. Keris itu kini disimpan di Puri Kediri. Saat piodalan, Sabtu Kliwon Wara Kuningan, keris ini di-pendak serangkaian piodalan. Sedangkan Pura Jero Kandang merupakan pura yang dibangun oleh masyarakat Beraban dengan tujuan untuk memohon perlindungan bagi ternak dan tumbuhan mereka dari gangguan berbagai penyakit. Akan halnya Pura Enjung Galuh berlokasi dekat dengan Pura Jero Kandang. Menurut beberapa catatan, pura ini dibangun untuk memuja Dewi Sri yang merupakan sakti dari Dewa Wisnu yang piodalannya setiap Rabu Umanis Wara Medangsia. Di pura ini masyarakat Mengenai Pura Sad Kahyangan dan Kahyangan Jagat memohon kesuburan jagat. Sementara itu, Pura Batu Belong merupakan tempat melakukan pamelastian maupun pakelem dengan maksud menyucikan alam. Sedangkan 16
Pura Batu Mejan atau dikenal dengan beji merupakan tempat untuk mendapatkan tirtha penglukatan.
4.2.
Kondisi Fisik Tanah Lot
4.2.1. Letak Geografis Tanah lot terletak di Desa Beraban Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan, sekitar 13 km barat Tabanan. Disebelah utara Pura Tanah Lot terdapat sebuah pura yang terletak di atas tebing yang menjorok ke laut. Tebing ini menghubungkan pura dengan daratan dan berbentuk seperti jembatan (melengkung). 4.2.2. Topografi dan Geologi Kenampakan morfologi di daerah ini tergolong bentuk lahan asal marine. Daerahnya terpengeruh air permukaan yang bersifat asin secara langsung ataupun daerah daerahnya mengalami pasang surut. Daerah ini mengalmi pengikisan hebat sehingga permasalahan yang paling utama di hadapi oleh daerah ini adalah adanya abrasi yang tinggi yang dapat berpengaruh terhadap keberadaan lahan di daerah ini sehingga pemerintah setempat mengambil langkah solusi dengan membuat pemecah gelombang pada daerah yang mengalami gelombang tinggi. Orientasi batuan yang ada di Tanah Lot mengarah mengarah Tuff (abu Vulkanik terbawa menuruni lereng dan tercampur breksi). Termasuk di daerah letusan gunung Batur Agung.
17
Batuannya konglomerat (sedimen) dan resistensi abrasi juga berbeda. Tanah di daerah ini tergolong Aluvial Grumof, andosol, Reandosol. Tanahnya juga mempunyai berat jenis yang rendah. Tanahnya berasal dari ordo Eulotropet, mediteran dan Habluands. 4.2.3. Hidrologi Bali merupakan salah satu pulau kecil yang berada di Indonesia. Secarra umum, kondisi hidrologi di Bali cukup baik. Banyak terdapat sungaisungai besar dan kecil serta terdaat danau yang ada di sana. Sumber-sumber hidrologi tersebut sangat bermanfaat bagi penduduk sekitar. Pemanfaatan suber-sumber air tersebut diantaranya untuk kegiatan sehari-hari penduduk seperti mandi, mencuci, memasak da sebagainya serta digunakan untuk pengairan atau irigasi yang biasa disebut subak oleh masyarakat setempat dan lain-lain.Begitu pula pada obyek wisata Tanah Lot. Kondisi hidrologi di sana cukup baik selain berada pada tepi laut, di daerah sekitar obyek tersebut juga terdapat
aliran-aliran sungai
yang
mengalir
sepanjang
tahun
yang
dimanfaatkan penduduk setempat untuk kegiatan sehari-hari. 4.2.4. Konservasi Lahan Tanah Lot merupakan salah satu obyek wisata di bali. Selain terkenal dengan keindahan alam serta terdapatnya Pura yang berada di tengah laut, di Tanah Lot juga digunakan sebagai tempat konservasi makhluk yang hidup di laut. Seperti ikan, terumbu karang, kura-kura serta tidak ketinggalan ular yang
18
dipercaya penduduk sekitar sebagai penjaga pura. Oleh karena itu ular tersebut sangat dihormati oleh penduduk sekitar . Penduduk sekitar percaya bahwa baarang siapa yang berani mengusik bahkan membunuh ular penjaga pura di tanah lot maka orang tersebut akan menerima balasan yang setimpal. Dari hal tersebut merupakan salah sau cara masyarakat Bali untuk melindungi satwa-satwa maupun tumbuhan agar terjaga kelestariannya, yaitu salah satunya dengan cara mengkeramatkannya, sehingga orang tidak berani untuk mengusik bahkan membunuh satwa tersebut sehingga satwa tersebut terjaga kelestariannya.
19
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Pengelolaan Daya Tarik Wisata Tanah Lot Daya Tarik Wisata Tanah Lot terletak di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Bali. Obyek wisata yang popular ini sangat dikenal dikalangan wisatawan domestik maupun mancanegara. Dengan keindahan alam pantai laut selatan, dengan suasana sunset, tebing-tebing dan keberadaan situs Pura Luhur Tanah Lot yang dilengkapi oleh atraksi budaya masyarakat Hindu Bali, mampu menyedot tidak kurang dari 1.7 juta wisatawan di tahun 2009 yang lalu. Dan saat ini Daya Tarik Wisata Tanah Lot ini sudah dikelola oleh sebuah manajemen yang berbasis professional di bawah suatu badan yang disebut dengan nama “Badan Pengelola Obyek Wisata Tanah Lot”. Tanah Lot adalah sebuah Daya Tarik Wisata Khusus (DTWK), yang awalnya sudah dikenal sebagai obyek wisata dari tahun 1970-an. Cuma pada saat itu infrastruktur penunjang yang sangat minim dan hanya dikunjungi oleh wisatawan lokal pada hari-hari libur lokal seperti hari liburan sekolah, hari raya Galungan, Kuningan atau pada saat upacara di Pura Tanah Lot. Seiring berkembangnya sektor kepariwisataan Bali, dengan mengandalkan suasana Sunsetnya yang menawan Tanah Lot mengalami peningkatan pengunjung baik dari domestik maupun mancanegara. Dan para pengunjung tidak saja
20
berkunjung pada saat-saat liburan tetapi sudah rutin setiap hari terutama pada sore hari. Mengantisipasi Perkembangan ini Pemerintah Kabupaten Tabanan pada Tahun 1980 mempercayakan pengelolaan Tanah Lot kepada pihak Swasta, yaitu CV. Ary Jasa Wisata dengan sistem kontrak. Pengelolaan ini dimulai per 1 juni 1980 dengan harga tiket masuk pada saat itu Rp 100 per orang, dengan target pemasukan ke Pemerintah Daerah 3 Juta rupiah pertahun. Sistem kontrak ini terus berlangsung dengan mengalami perubahan target pencapaian pendapatan seiring peningkatan angka kunjungan dan peningkatan harga tiket masuk pada daya tarik wisata Tanah Lot. Situasi ini berlangsung sampai saat ketika pada awal tahun 2000, di ketahui bahwa kewajiban pihak swasta/nilai kontrak kepada Pemerintah kabupaten Tabanan pertahun menjadi Rp 380 juta pertahun. Dan pada saat itu harga tiket masuk sudah Rp 3300/orang dewasa dan Rp 1800/orang untuk anak-anak. Pada tahun 1999 dengan bergulirnya wacana otonomi daerah, masyarakat Beraban mencoba berjuang untuk bisa mengelola Daya Tarik Wisata Tanah Lot. Meski sebenarnya keinginan masyarakat ini bukan hal yang baru. Tetapi memang karena situasi kepemerintahan dan resim pada saat itu merupakan halangan terbesar bagi masyarakat Desa Beraban untuk mengambil alih pengelolaan. Sehingga dengan memanfaatkan moment otonomi daerah dan perubahan situasi politik pada saat itu masyarakat Beraban mencoba maju dan menawarkan sebuah konsep pengelolaan Daya
21
Tarik Wisata Tanah Lot yang baru. Situasi pada saat masa perjuangan masyarakat Desa Beraban ini, memang menciptakan situasi yang cukup panas dilapangan, dan apalagi saat itu masyarakat baru tahu bahwa perpanjangan kontrak pemerintah dengan Pihak Swasta baru saja diperpanjang sampai tahun 2011 tanpa sepengetahuan pihak Desa Adat Beraban. Situasi ini membuat situasi dimasyarakat cukup panas dan akhirnya dengan menggunakan jalur kekuatan politik dan masyarakat, akhirnya di Legislatif dibentuklah PANSUS Pengkajian Kontrak Kerja Sama Pengelolaan Daya Tarik Wisata Tanah Lot antara pemerintah dengan Pihak swasta. Dari perjuangan masyarakat ini akhirnya terjadi kesepakatan win-win solution; yaitu bahwa Daya Tarik Wisata Tanah Lot dikelola oleh ketiga unsur yaitu Unsur Desa Adat Beraban, unsur Swasta (CV Arya jasa Wisata) dan Pemerintah Kabupaten Tabanan. Hal ini meski tidak mampu memenuhi harapan masyarakat adat Beraban; yaitu mengelola sendiri, tetapi akhirnya ada pemahaman dan kesadaran dimasyarakat, bahwa masa Kontrak antara pihak swasta dan Pemerintah kabupaten Tabanan bisa berakibat pada aspek Hukum (PTUN). Dan disatu sisi dengan jelas dan tegas pemerintah kabupaten Tabanan mengambil strategi bahwa tidak mau dituntut oleh swasta di PTUN, tetapi keinginan Masyarakat adat Beraban harus diakomodasi. Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang dan cukup panas maka disepakati bahwa dari 1 Juli 2000 sampai 19 April 2011, Daya Tarik Wisata Tanah Lot dikelola oleh
22
tiga komponen yaitu Desa Adat Beraban, Pihak Swasta dan Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan dengan pola sharing profit. Kesepakatan ini akhirnya tertuang pada Surat Perjanjian Kerja Sama Pengelolaan Objek Wisata Tanah Lot No:01/HK/2000 tertanggal 30 Juni 2000. Dan terbitnya Surat Keputusan Bupati Tabanan Nomor: 644 tahun 2000 tentang Pembentukan Badan Pengelola Obyek Wisata Tanah Lot. Sampai saat ini surat Perjanjian Kerja sama Pengelolaan Objek Wisata Tanah Lot telah mengalami revisi satu kali yaitu pada tahun 2002 yaitu menjadi Surat Perjanjian Kerjasama Pergelolaan Obyek Wisata Tanah Lot Nomor: 01/HK/2002. Secara substansi pada surat perjanjian ini terjadi perubahan pada penentuan biaya Operasional. Biaya Operasional akhirnya di tentukan berdasarkan pengajuan dari Manajer Operasional untuk disepakati di Badan Pengelola Obyek Wisata Tanah Lot, yang dalam perjanjian sebelumnya (Nomor: 01/HK/2000) di tetapkan 20% dari pendapatan Kotor. Didalam Surat Keputusan Bupati ini diatur hak dari ketiga pihak (shareholder) dalam Badan Pengelola Obyek Wisata Tanah Lot. Secara spesifik pengaturan hak ini diatur dalam pasal 6 dalam Perjanjian ini yaitu: Besarnya pembagian hasil retribusi ditentukan sebagai berikut: 1. Biaya Operasional pengelola Obyek ditetapkan setiap tahun atas dasar rapat Badan pengelola.
23
2. Peninjauan atau perubahan atas besarnya biaya Operasional dapat dilakukan sekurang–kurangnya enam bulan sekali atas dasar rapat Badan pengelola. 3. Pihak pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan memperoleh hasil sebesar 55% dari hasil kotor setelah dikurangi biaya Operasional. 4. Pihak CV.ARY JASA WISATA memperoleh hasil sebesar 15% dari hasil kotor setelah dikurangi biaya Operasional. 5. Pihak Bendesa Adat Beraban memperoleh hasil sebesar 30% dari hasil kotor setelah dikurangi biaya Operasioanal. Dan seterusnya. Pada poin 3 dalam pasal ini juga di sebutkan:
Desa Adat Beraban
melaksanakan kewajiban Pemerintah Daerah untuk memberikan sumbangan kepada Pura-Pura yang terkait sebesar 5% dan Desa Adat yang terkait di Kecamatan Kediri sebesar 5%. 5.2.
Visi dan Misi 5.2.1.
VISI Melestarikan, Menggali dan Mengembangkan Potensi Obyek Wisata Tanah Lot dengan manajemen pengelolaan professional, yang Berlandaskan Tri Hita Karana.
5.2.2.
MISI 1.
Mewujudkan standar pelayanan dan standar fasilitas guna memberikan kepuasan kepada wisatawan.
24
2.
Berperan
aktif
dalam
membangun
dan
kerjasama
yang
menguntungkan dengan stake holder didalam pelaksanaan konsep “Sapta Pesona Pariwisata. 3.
Pemberdayaan masyarakat dalam Pengembangan Daya Tarik Wisata Tanah Lot
4.
Menjaga kesinambungan dan keseimbangan pariwisata dengan budaya dengan mengimplementasikan konsep “Tri Hita Karana”.
5.3.
Struktur Organisasi
Gambar 5.1. STRUKTUR ORGANISASI BIDANG OPERASIONAL (Sumber : Manajemen DTW Tanah Lot)
25
5.4.
Penerapan Tri Hita Karana di Daya Tarik Wisata Tanah Lot Tri Hita Karana meliputi tiga aspek yaitu Parahyangan, Pawongan dan
Palemahan yaitu sebagai berikut : 5.4.1. Parahyangan Aspek Parahyangan dalam Tri Hita Karana mencakup didalamnya yaitu tempat pemujaan dan keberadaannya, pelestarian dan pengembangan tradisi keagamaan,
program ritual keagamaan, letak tempat pemujaan,
penanggung jawab keagamaan, pemeliharaan tempat pemujaan, pengunaan bahan bangunan sebagai tempat suci, pemberian nama pada bangunan dan dharma wacana. Daya Tarik Wisata Tanah Lot memiliki 4 (empat) pura, yaitu : Pura Luhur Tanah Lot, Pura Batu Bolong, Pura Enjung Galu dan Pura Luhur Pakendungan. Tempat pemujaan dan kebaradaannya di daya tarik wisata Tanah Lot tertata rapi dan sesuai dengan lokasi yang sudah ditentukan. Kebersihan tempat suci terjaga dengan baik Petugas yang membersihakan areal pura adalah petugas kebersihan dibawah sub divisi kebersihan dan pertamanan. Hal ini dapat terlihat pada Gambar 5.2
26
Gambar 5.2. Kondisi Keberadaan Tempat Suci (Sumber : Penulis)
Penggunaan bahan bangunan tempat pemujaan dengan menggunakan bahan lokal Bali dan mempekerjakan masyarakat Desa Adat Beraban sendiri tanpa menggunakan bahan dari luar Bali. Setiap pura memiliki nama dan tertulis rapi dengan menggunakan Bahasa Indonesia dan menurut aksara Bali. Penggunaan dan penamaan setiap pura dapat terlihat pada Gambar 5.3.
Gambar 5.3 Penamaan Tempat Suci (Sumber : Penulis)
27
Di setiap pura selalu ada pemangku (pendeta) seperti yang terlihat pada Gambar 5.4 yang berjaga setiap harinya dengan cara bergantian yaitu dari pagi sampai sore. Pendeta tersebut berasal dari Desa Adat Beraban yang merupakan pemangku di setiap pura di desa. Adapun biaya yang dikeluarkan untuk sesajen yang dipergunakan setiap harinya adalah keikhlasan dari para pemangku tersebut yang mereka istilahkan dengan ngayah. Sedangkan bila ada upacara besar keagamaan di masing-masing pura tersebut biayanya dikeluarkan dari dana yang telah tersedia dari hasil pemasukan wisatawan yang datang ke daya tarik wisata Tanah Lot.
Gambar 5.4. Pemangku (pendeta) yang bertugas di Pura Tanah Lot
Kegiatan
persembahyangan
operasional Tanah Lot
dilakukan
oleh
seluruh
karyawan
baik di sekitar pura yang ada di daya tarik
wisata Tanah Lot maupun melakukan persembahyangan di luar areal Tanah Lot.
28
5.4.2. Pawongan Aspek Pawongan dalam penilaian Tri Hita Karana mencakup di dalamnya adalah aspek internal, eksternal dan semuanya menekankan pada harmoni. Aspek ini meliputi kegiatan sosial terhadap lingkungan sekitarnya, petugas humas, ticketing, keamanan dan parkir, kegiatan koperasi/simpan pinjam serta kegiatan wisatawannya. Seluruh pegawai yang terlibat dalam manajemen operasional daya tarik wisata Tanah Lot melibatkan seluruh masyarakat Desa Adat Beraban baik dari bagian ticketing, humas , keamanan yang melibatkan pecalang desa seperti pada Gambar 5.5 serta petugas parkirnya.
Gambar 5.5. Petugas keamanan (pecalang) di DTW Tanah Lot (Sumber : penulis)
29
Selain petugas kemananan, ticketing dan humas yang melayani wisatawan dengan ramah, di daya tarik wisata Tanah Lot juga melibatkan pedagang post card, pedagang mainan keliling ataupun kelompok fotografer yang menyewakan ular kepada wisatawan untuk foto bersama. Menurut Wayan Suka yang merupakan Ketua Perkumpulan Fotografer Daya tarik Wisata Tanah Lot mengatakan bahwa ada dua kelompok fotografer yang di kelola oleh Koperasi. Dimana koperasi meminjamkan dana sebesar rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) kepada anggota kelompok yang nantinya dapat dibayarkan secara bertahap. Untuk dapat menjadi anggota kelompok fotografer yang dikelola oleh koperasi ini mengeluarkan dana sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Jadi tidak semua orang dapat menjadi kelompok fotografer ini bahkan orang luar dari Desa Adat
Beraban.
Kegiatan
kelompok
fotografer
diharapkan
dapat
memberikan pelayanan yang ramah kepada wisatawan sehingga juga dapat menjaga citra pariwisata DTW Tanah Lot seperti yang terlihat pada Gambar 5.6.
Gambar 5.6. Kelompok fotografer Dengan Jasa Foto Ular (sumber: penulis)
30
Selain itu di daya tarik wisata Tanah Lot juga telah tersedia tandatanda yang digunakan untuk jalur evakuasi dan papan-papan larangan ataupun himbauan (Gambar 5.7) yang memudahkan wisatawan untuk menikmati daya tarik wisata Tanah Lot. Disamping telah disiapkan petugas Life Guard yang berjumlah 6 (enam) orang yang berjaga secara bergantian.
Gambar 5.7. Tanda Jalur Evakuasi dan Tanda Himbauan (Sumber : penulis)
Manajemen operasional daya tarik wisata Tanah Lot juga telah meningkatkan sumberdaya manusia yang ada dengan berbagai kegiatan yaitu mengikuti ceramah dan seminar “Peningkatan SDM dalam Bidang Pariwisata” dari Wakil Ketua III Badan Pengelola Daya Tarik Wisata tanah Lot, “Pariwisata Berwawasan Lingkungan” dari Kadis Budaya dan Pariwisata Kabupaten Tabanan, dan “Etika dan Kedisiplinan” dari Manager Operasional Daya tarik Wisata Tanah Lot. Disamping ceramah ataupun seminar manajemen operasional daya tarik wisata Tanah Lot juga mengadakan pelatihan kepada seluruh 31
karyawan manajemen operasional daya tarik wisata Tanah Lot serta studi banding ke beberapa daya tarik wisata yang ada di Bali seperti Bali Safari, Daya Tarik Wisata kintamani dan Desa Wisata Panglipuran. Kegiatan suka duka selalu dilakukan oleh manajemen operasioal daya tarik wisata Tanah Lot yaitu bila ada kegiatan kematian, undangan pernikahan maupun kegiatan ngayah di pura.
5.4.3. Palemahan Aspek Palemahan dalam Tri Hita Karana mencakup tentang komitmen
DTW
terhadap
kualitas
lingkungan,
pelestarian
dan
pengembangan ekosistem, pengelolaan limbah (padat dan cair), partisipasi DTW terhadap lingkungan, penghematan energi dan sumberdaya alam, melakukan pemantauan lingkungan secara berkala. Pelestarian dan pengembangan ekosistem sudah diterapkan di areal taman daya tarik wisata Tanah Lot. Pengelola daya tarik wisata Tanah Lot mengembangkan berbagai tanaman langka yang cocok hidup di areal pantai. Sebagian tanaman diberikan nama sesuai dengan nama latinnya dan diberikan tanda supaya tanaman tersebut tidak dirusak oleh para wisatawan. Hal ini dapat terlihat pada Gambar 5.8.
32
Gambar 5.8. Tanda pelestarian Tanaman (Sumber: penulis)
Kegiatan kerja bakti diadakan terjadwal setiap hari Jumat secara bergilir dimana pembagian tugasnya dibagi minggu I, II, III, dan IV untuk masing-masing blok dan tiap 2 bulan sekali diadakan general cleaning oleh seluruh elemen pariwisata daya tarik wisata Tanah Lot. Dan seluruh karyawan manajemen operasional DTW Tanah Lot secara bergilir setiap Hari Jumat mengadakan Jumat Bersih yang dimulai pukul 6.30 sampai dengan 7.30 wita. DTW Tanah Lot juga memiliki 24 karyawan yang membidangi bagian pertamanan dan kebersihan yang selalu bertugas tiap hari dengan pergantian jam kerja setiap 7 jam. Petugas ini berkeliling membersihan seluruh areal DTW Tanah Lot setiap pagi dan siang saat pergantian petugas. Kegiatan petugas kebersihan dapat dilihat pada Gambar 5.9.
33
Gambar 5.9. Kegiatan Petugas Kebersihan dan Pertamanan DTW Tanah Lot (Sumber : Penulis)
Pengelolaan sampah yang ada di DTW Tanah Lot dikelola oleh 2 institusi yaitu untuk sampah basah di kelola Desa Adat Beraban sedangkan sampah kering langsung dikelola oleh Petugas Dinas Kebersihan Kabupaten Tabanan. Seluruh sampah yang ada di areal DTW Tanah Lot dikumpulkan di sebuah areal khusus bak penampungan sampah seperti pada Gambar 5.10 dan diangkut oleh petugas Dinas Kebersihan Kabupaten Tabanan.
Gambar 5.10. Tempat Pembuangan Akhir Sampah DTW Tanah Lot (Sumber : Penulis)
34
5.5.
Pengelolaan
Sampah
Batok
Kelapa
Berbasis
Masyarakat
yang
Berkelanjutan Permasalahan yang terjadi di DTW Tanah Lot beberapa tahun terakhir adalah banyaknya sampah batok kelapa yang tidak bisa diolah. Namun permasalahan tersebut dapat diatasi dengan adanya Program “Pengelolaan Sampah Terpadu Berbasis Masyarakat” yang merupakan kerjasama Yayasan Korpri, Universitas Warmadewa dan P.T. Aqua Golden Missisipi melalui penelitian dan pengembangan menjadikan sampah batok kelapa menjadi briket yang berguna bagi masyarakat. Program pengelolaan sampah berbasis masyarakat
ini diawali dengan peluncuran GEMARIPAH (Gerakan
Masyarakat Mandiri Peduli Sampah) yang dilangsungkan pada tanggal 2 Desember 2011 di Tanah Lot
(http://www.kabarnusa.com/2014/05/sampah-batok-
kelapa-tak-lagi-momok-di.html) seperti pada Gambar 5.11.
Gambar 5.11. Tempat Pengolahan Briket Batok Kelapa (Sumber : Penulis)
35
Manajer Operasional Daerah Tujuan Wisata (DTW) Tanah Lot Ketut Toya Adnyana mengatakan, keberadaan sampah sebelum dan sesudah adanya program pengelolaan sampah berbasis masyarakat ini, sangat berbanding terbalik. Pada awalnya sampah batok kelapa menjadi momok di kawasan DTW Tanah Lot karena jumlahnya yang besar setiap harinya sehingga terkadang menganggu pemandangan wisatawan yang berkunjung. Dengan adanya program tersebut permasalahan sampah batok kelapa dapat diatasi sehingga kawasan DTW Tanah Lot menjadi lebih bersih. Menurut Bapak Ketut Toya Adnyana bahwa manajemen operasional DTW Tanah Lot mendapatkan dampak positifnya, yaitu mendapat wawasan yang lebih dalam pengolahan sampah terutama batok kelapa, dimana sampah tersebut dapat diolah menjadi briket. Sedangkan menurut Bapak I Made Sulindera yang merupakan Kepala Bagian Kebersihan Tanah Lot sekaligus ketua dari Program Kelompok Gemaripah mengatakan bahwa : proses pengolahan sampah batok kelapa ini masih tergolong sangat sederhana dimana proses diawali dengan penghancuran batok kelapa muda dengan menggunakan mesin penghancur. Terkadang dibutuhkan sampai empat kali penghancuran agar serat kelapanya dapat terpotong hingga layak produksi. Pabriknya memang masih mini, hanya berukuran 4x2 meter yang diisi dengan mesin berskala kecil dan beberapa karung briket yang telah siap pakai. Untuk satu kali produksi, hanya dijalankan oleh 4 orang personel. Setiap personil hanya dijadwal masuk produksi sekali dalam seminggu. Ini menjadi 36
salah satu strategi agar ke 45 orang itupun masih dapat menjalankan tugasnya membersihkan daerah tanah Lot. Alatnya pun masih tergolong kecil. Hanya terlihat 1 alat penghancur serat kelapa, 11 alat untuk mempress adonan dan oven pembakar. Selain itu juga ada beberapa ember, kompor gas dan 2 keranjang sampah kelapa muda. Untuk mencampur adonan, dipilih cara manual, yakni mencampurnya menggunakan tangan dengan takaran 1:1 antara serat kelapa muda dan serbuk gergaji. Sebagai pelekat, digunakan kanji dengan takaran 220 ml untuk 1 kg adonan. Alat penghancur seperti terlihat pada Gambar 5.12.
Gambar 5.12. Mesin Penghancur Batok Kelapa dan Briket Siap Pakai (Sumber : Penulis)
Masih menurut Bapak Made Sulindera untuk hancurkan batok kelapanya, tidak cukup hanya 1 kali dan biasanya harus kita ulang sampai empat kali dan terkadang masih belum halus betul. Selanjutnya adonan itu akan dicampur dalam sebuah baskom bersama dengan serbuk gergaji dan air kanji. Pada proses ini, persis seperti saat membuat adonan kue. Setelah selesai
37
mencampur, selanjutnya proses pencetakan dalam alat cetak berbentuk lingkaran dengan berdiameter kurang lebih 7 cm dan tebal 2 cm. Setelah dimasukkan ke dalam cetakan, adonan kemudian dipres untuk memadatkan dan mengurangi kadar air yang masih ada. Setelah dipadatkan, briket setengah jadi tesebut ditata dengan rapi diatas sebuah loyang berukuran 1x1 meter yang alasnya sengaja dibuat berpori (alias bolong-bolong) agar memudahkan pengeringannya. Proses selanjutnya, yakni proses pengeringan yang dilakukan secara manual dengan bantuan sinar matahari. Loyang berisi briket tersebut tinggal diletakkan saja di halaman depan pabrik. Kalau matahari sedang terik, maka hanya memerlukan waktu 2 hari untuk mengeringkan briket tersebut. Namun, bila cuaca sedang mendung, dibutuhkan oven pembakar untuk mempercepat pengeringan. Pengeringan dilakukan dengan sinar matahari secara langsung dan jika menggunakan oven, kadang malah pecah-pecah. Setelah adonan briket jadi, adonan tersebut dijemur sampai kering kurang lebih 1 - 4 hari sehingga siap untuk dipergunakan seperti yang terlihat pada Gambar 5.13. Produk ini telah juga diperkenalkan diajang penganugrahan Tri Hita Karana Award dan mendapat respon positif dari kalangan Paguyuban Hotel dan pemerhati THK. Produk briket ini sangat banyak diminati oleh para pedagang namun produksi yang dihasilkan tidak dapat menyediakan sesuai permintaan. Selain itu kendala yang paling sering dihadapi dalam pengolahan sampah batok kelapa ini adalah sering rusaknya mesin pemotong batok kelapa. 38
Gambar 5.13. Pengeringan Briket Batok Kelapa (Sumber : Penulis)
39
BAB VI KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan pada Bab V, maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Implementasi penerapan Tri Hita Karana di DTW Tanah Lot dalam bidang Parahyangan Daya Tarik Wisata Tanah Lot memili 4 (empat) pura, yaitu : Pura Luhur Tanah Lot, Pura Batu Bolong, Pura Enjung Galu dan Pura Luhur Pakendungan. Tempat pemujaan dan kebaradaannya di daya tarik wisata Tanah Lot tertata rapi dan sesuai dengan lokasi yang sudah ditentukan. Kebersihan tempat suci terjaga dengan baik Petugas yang membersihkan areal pura adalah petugas kebersihan dibawah sub divisi kebersihan dan pertamanan.
Penggunaan bahan bangunan tempat
pemujaan dengan
menggunakan bahan lokal Bali dan mempekerjakan masyarakat Desa Adat Beraban sendiri tanpa menggunakan bahan dari luar Bali. Setiap pura memiliki nama dan tertulis rapi dengan menggunakan Bahasa Indonesia dan menurut aksara Bali. Di setiap pura selalu ada pemangku (pendeta) yang berjaga setiap harinya dengan cara bergantian yaitu dari pagi sampai sore. Pendeta tersebut berasal dari Desa Adat Beraban yang merupakan pemangku di setiap pura di desa. 2. Implementasi penerapan Tri Hita Karana di DTW Tanah Lot dalam bidang Pawongan adalah mencakup di dalamnya adalah aspek internal, eksternal dan
40
semuanya menekankan pada harmoni. Aspek ini meliputi kegiatan sosial terhadap lingkungan sekitarnya, petugas humas, ticketing, keamanan dan parkir, kegiatan koperasi/simpan pinjam serta kegiatan wisatawannya. Seluruh pegawai yang terlibat dalam manajemen operasional daya tarik wisata Tanah Lot melibatkan seluruh masyarakat Desa Adat Beraban baik dari bagian ticketing, humas , keamanan yang melibatkan pecalang desa. Manajemen operasional daya tarik wisata Tanah Lot juga telah meningkatkan sumberdaya manusia yang ada dengan berbagai kegiatan yaitu mengikuti ceramah, seminar dan pelatihan kepada seluruh karyawan manajemen operasional daya tarik wisata Tanah Lot serta studi banding ke beberapa daya tarik wisata yang ada di Bali. Selain itu kegiatan suka duka selalu dilakukan oleh manajemen operasioal daya tarik wisata Tanah Lot yaitu bila ada kegiatan kematian, undangan pernikahan maupun kegiatan ngayah di pura 3. Implementasi penerapan Tri Hita Karana di DTW Tanah Lot dalam bidang Palemahan adalah kualitas lingkungan, pelestarian dan pengembangan ekosistem, pengelolaan limbah (padat dan cair), partisipasi DTW terhadap lingkungan,
penghematan energi dan sumberdaya
alam,
melakukan
pemantauan lingkungan secara berkala. Pelestarian dan pengembangan ekosistem sudah diterapkan di areal taman daya tarik wisata Tanah Lot. Pengelola daya tarik wisata Tanah Lot mengembangkan berbagai tanaman langka yang cocok hidup di areal pantai. Kegiatan kerja bakti diadakan terjadwal setiap hari Jumat secara bergilir dimana pembagian tugasnya dibagi minggu I, II, III, dan IV untuk masing-masing blok dan tiap 2 bulan sekali 41
diadakan general cleaning oleh seluruh elemn pariwisata daya tarik wisata Tanah Lot. Pengelolaan sampah yang ada di DTW Tanah Lot dikelola oleh 2 institusi yaitu untuk sampah basah di kelola Desa Adat Beraban sedangkan sampah kering langsung dikelola oleh Petugas Dinas Kebersihan Kabupaten Tabanan. Sedangkan untuk sampah batok kelapa diolah menjadi briket yang langsung dikelola oleh manajemen operasional DTW Tanah Lot Divisi kebersihan dan pertamanan.
42
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2013. Tri Hita Karana Tourism Awards and Accreditations. Denpasar: Bali Travel Newspaper. Ardika, I Wayan. 2002, Komponen Budaya Bali Sebagai Daya Tarik Wisata, Makalah Pada Seminar Pariwisata Budaya Berkelanjutan, Universitas Udayana, Denpasar. Daldjoeni, N. dan A. Soeyitno. 1978. Pedesaan, Lingkungan, dan Pembangunan. Bandung : Alumni. Pujaastawa, I.B.G. 2001. Pola Pengembangan Priwisata Terpadu Bertumpu pada Model Pemberdayaan Masyarakat di Wilayah Bali Tengah. KerjasamaKementerian Riset dan Teknologi RI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Unud, Denpasar. Pujaastawa, I.B.G. 2001. “Tri Hita Karana”, Nilai-nilai Lokal dalam Konteks Global. Brahma Carya Unikahidha University Brawijaya Edisi II 2001/2002. Surabaya : Paramita. Pujaastawa, I.B.G. 2002. “Kearifan Ekologi dalam Kebudayaan Tradisional di Indonesia”. Dalam Bumi Lestari; Jurnal Lingkungan Hidup. Volume 2, Nomor 2, Agustus 2002. Halaman 29 – 36. Denpasar: Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian Unud. Pujaastawa, I.B.G. 2005. “Pariwisata Berwawasan THK”. Dalam Tri Hita Karana Tourism Awards and Accreditations. Denpasar: Pelawa Sari. Raka Dalam, A.A.G., Wardi, I.N., Suarna, I.W., dan Sandi Adnyana, I.W. 2007. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Denpasar: Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Udayana. Windia, I.W. 2005. “THK dan Pariwisata Berkelanjutan”. Dalam Tri Hita Karana Tourism Awards and Accreditations. Denpasar: Pelawa Sari.
http://www.rentalmobilbali.net/wisata-ubud-bali/ di akses pada tanggal 20 agustus 2013 http://www.kabarnusa.com/2014/05/sampah-batok-kelapa-tak-lagi-momok-di.html diunduh tanggal 29 september 2014
43
http://news.detik.com/read/2013/06/16/065223/2274644/10/mengintip-prosespengolahan-briket-ala-tanah-lot-bali diunduh tanggal 29 september 2014.
44