Linguistik Indonesia, Agustus 2012, Copyright©2012, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Tahun ke-30, No. 2
KEBERTAHANAN BAHASA BALI PADA TRANSMIGRAN BALI DI PROVINSI LAMPUNG Ni Luh Nyoman Seri Malini Universitas Udayana
[email protected];
[email protected] Abstrak Keanekaragaman kelompok etnis di Provinsi Lampung membawa implikasi tersendiri bagi vitalitas bahasa daerah yang mengalami kontak, termasuk bahasa Bali, yang hidup dan berkembang di daerah tersebut. Penerapan metode observasi partisipasi digunakan untuk menjaring data lisan yang dikumpulkan dari kata-kata dan tindakan nyata para transmigran Bali di kantong-kantong transmigran Bali di Provinsi Lampung. Data dianalisis dengan menggunakan teknik kualitatif dan kuantitatif. Transmigran Bali adalah masyarakat dwi/multilingual yang menggunakan bahasa Bali pada ranah keluarga, kesenian, dan religi. Secara pragmatis percakapan antar/intertransmigran diwarnai oleh interferensi fonologis. Sikap positif terhadap bahasa Bali dan dukungan oleh berbagai faktor luar menyebabkan kebertahanan bahasa Bali di Lampung cukup baik. Kata kunci: transmigran Bali, interferensi, sikap bahasa Abstract The diversity of ethnic groups in Lampung Province brings its own implications for the vitality of local languages in contacting with other languages, including Balinese language which spreads in the area. The participatory observation method was applied to collect verbal data from the expressions and action produced by Balinese transmigrants in Lampung Province. Data were analyzed using qualitative and quantitative techniques. The findings show that Balinese migrants are bi/ multilingual. They use Balinese language in the family, art, and religion domains. Pragmatically, their conversations are colored by phonological interference. Their positive attitude towards Balinese language and support by various external factors led to the maintenance of Balinese language in Lampung relatively well. Keywords: Balinese, migrants, interference, language attitude
PENDAHULUAN Salah satu isu yang menonjol dalam kajian pemertahanan/kebertahanan (selanjutnya digunakan istilah kebertahanan karena berimplikasi pada keadaan bertahan yang tidak direncanakan penuturnya) dan pergeseran bahasa ialah ketidakberdayaan migran minoritas mempertahankan bahasa asalnya dalam persaingan dengan bahasa mayoritas. Pergeseran bahasa terjadi ketika masyarakat memutuskan untuk memilih bahasa atau unsur kebahasaan dari bahasa yang baru untuk menggantikan bahasa atau unsur kebahasaan yang lama. Sebaliknya, kebertahanan bahasa terjadi bila masyarakat memutuskan untuk meneruskan pemakaian bahasa atau unsure kebahasaan yang selama itu digunakan. Pada tulisan ini dibahas kebertahanan suatu bahasa di luar wilayah pakai aslinya: bagaimana kebertahanan bahasa Bali di wilayah transmigrasi, seperti di provinsi Lampung. Penelitian Sutjaja (1991) merupakan penelitian awal yang mengungkapkan perubahan bahasa secara umum di daerah transmigran. Sutjaja tidak menjelaskan secara rinci perubahan bahasa lisan dan tulis dalam berbagai ranah. Penutur bahasa Bali masih setia menggunakan bahasa Bali dalam kehidupan sehari-hari. Faktor-faktor, seperti umur, jangka waktu tinggal, kelas sosial, jenis pekerjaan, dan topik pembicaraan, menentukan pilihan variasi bahasa yang digunakan baik tertulis maupun lisan (Sutjaja 1996). Demikian juga penggunaan istilah kekerabatan dan
Ni Luh Nyoman Seri Malini
variasi tutur sapa bahasa Bali yang digunakan oleh keluarga dosen di Lampung masih cukup bertahan (Wetty 1996). Hal berbeda dikemukakan oleh Kismosuwartono (1991:107). Ia menemukan penggunaan bahasa Jawa oleh anak-anak transmigran Bali dalam kehidupan sehari-hari. Kendati pihak orang tua berbicara dalam bahasa Bali, anak-anak muda menjawabnya dengan bahasa Jawa. Khazanah kosakata bahasa Bali di Lampung Tengah telah disusupi bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Lampung. Penyusupan leksem bahasa Indonesia sering dilakukan untuk menggantikan leksem bahasa Bali yang tidak diketahui bentuk Alus oleh penutur, sementara situasi tutur menuntut pemakaian bahasa ragam Alus (Dhanawaty 1993). Dari kajian terdahulu ditemukan realitas penggunaan bahasa Bali oleh transmigran Bali di Lampung. Jika dihitung dari awal penempatan penduduk asal Bali di Lampung pada saat program transmigrasi dimulai (sejak pra-Pelita), bahasa Bali mampu bertahan di tengah keanekaragaman etnis, bahasa, dan situasi sosial-budaya selama kurang lebih lima dasawarsa, padahal jumlah transmigran asal Bali jauh lebih sedikit dibandingkan dengan transmigran asal pulau padat penduduk lainnya, yakni Pulau Jawa. Jumlah penduduk Jawa di Lampung sebanyak 61,89% dari jumlah penduduk Lampung. Situasi kemudian menjadi rumit dengan hadirnya bahasa yang secara nasional dominan, yakni bahasa Indonesia. Selama kurun 57 tahun keanekaragaman kelompok etnis di Provinsi Lampung diyakini membawa implikasi tersendiri bagi vitalitas bahasa daerah yang mengalami kontak di daerah tersebut. Penelitian mengenai kondisi kebertahanan bahasa Bali di Provinsi Lampung dilihat dari beberapa kriteria, yakni (1) pola-pola pemakaian bahasa, (2) faktor demografi, dan (3) sikap terhadap bahasa asal. METODE PENELITIAN Penelitian ini mengikuti alur berpikir fenomenologis, yakni berupaya menggambarkan fenomena kehidupan sosial bahasa etnis Bali berdasarkan pandangan mereka sendiri tanpa adanya standardisasi dan batasan. Penelitian ini adalah penelitian lapangan yang bersifat deskriptif etnografis. Adapun daerah yang menjadi fokus penelitian adalah enam desa di tiga kabupaten berbeda yang menjadi desa rintisan transmigrasi dan daerah tujuan transmigrasi penduduk provinsi Bali. Desa-desa yang menjadi lokasi penelitian adalah Desa Rama Gunawan, Rama Dewa, dan Rama Nirwana di Kabupaten Lampung Tengah; Desa Toto Mulyo dan Mesuji di Kabupaten Tulang Bawang; Desa Rejobinangun Raman Utara di Kabupaten Lampung Timur. Data dalam penelitian ini berupa ujaran lisan, data tulis, dan intuisi bahasa peneliti. Data lisan dikumpulkan dari kata-kata dan tindakan nyata warga transmigran Bali melalui observasi partisipasi, wawancara tidak terstruktur, dan dokumentasi. Data tulis dikumpulkan melalui kuesioner. Intuisi dapat dipakai apabila peneliti sekaligus sebagai penutur asli dari bahasa yang sedang diteliti. Data yang berupa ujaran lisan ditranskripsikan dan diklasifikasi. Kesimpulan ditarik dengan mempertimbangkan intuisi peneliti, yang merupakan penutur jati bahasa Bali. TEORI PERUBAHAN BAHASA Perubahan tingkah laku berbahasa pada saat bahasa itu digunakan banyak memunculkan fenomena kebahasaan. Menurut Labov (1994). Gejala seperti ini sering diawali dengan penyimpangan-penyimpangan penggunaan bahasa dari norma-norma yang telah baku. Suatu perubahan atau pergeseran pasti diawali dari sesuatu yang kecil (anything is likely to have a small beginnings). Kalau penyimpangan sejenis ini digunakan oleh seorang penutur atau kelompok penutur, variasi bahasa akan terjadi. Seperti yang telah diuraikan di atas, variasi bahasa merupakan proses awal dari suatu pergeseran atau perubahan bahasa yang sedang berlangsung (language change in progress). Situasi kebahasaan pada komunitas tutur yang dwibahasawan atau multibahasawan menimbulkan pilihan bahasa bagi masing-masing komunitas tutur. Sebagai konsekuensi pilihan
2
Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012
bahasa tersebut adalah pola penggunaan bahasa. Pola penggunaan bahasa yang mantap menyebabkan adanya kebertahanan bahasa (language maintenance), sedangkan pola yang goyah menyebabkan pergeseran bahasa (language shift). Wujud pemertahanan bahasa dapat dilihat dari kenyataan bahwa bahasa tersebut masih dipilih dan dipakai pada ranah-ranah penggunaan bahasa oleh para penuturnya. Menurut Fishman (1968) indikator utama penanda pemertahanan atau pergeseran bahasa adalah ranah penggunaan bahasa. Dalam pemilihan bahasa terdapat tiga kategori pilihan. Pertama, memilih satu variasi dari bahasa yang sama (intra language variation). Apabila seorang penutur bahasa berbicara kepada orang lain dengan menggunakan bahasa Bali Alus, misalnya, ia telah melakukan pilihan bahasa kategori pertama ini. Kedua, melakukan alih kode (code switching), artinya menggunakan satu bahasa untuk suatu keperluan dan menggunakan bahasa yang lain untuk keperluan lain dalam satu peristiwa komunikasi. Ketiga, melakukan campur kode (code mixing), artinya menggunakan satu bahasa tertentu dengan bercampur serpihan-serpihan dari bahasa lain. Pilihan bahasa dalam interaksi sosial masyarakat dwibahasa/multibahasa disebabkan oleh berbagai faktor sosial dan budaya. Evin-Tripp (dalam Grosjean 1982: 125) mengidentifikasikan empat faktor utama penyebab pilihan bahasa penutur dalam interaksi sosial, yaitu (1) latar (waktu dan tempat) dan situasi, (2) partisipan dalam interaksi, (3) topik percakapan, dan (4) fungsi interaksi. Faktor pertama dapat berupa hal-hal seperti makan pagi di lingkungan keluarga, rapat di kelurahan, syukuran kelahiran anak di sebuah keluarga, kuliah, dan tawar-menawar barang di pasar. Dinamika pemertahanan dan pergeseran bahasa tidak terlepas juga dari psikologi sosial dalam bidang bahasa yang melahirkan pengertian tentang sikap bahasa. Gardner and Lambert (1972), misalnya, menggunakan pendekatan psikologi sosial dengan menerapkan metode reaksi evaluatif terhadap variasi bahasa di kalangan penutur-penutur antaretnik yang dwibahasawan. Fishman (1972:151) juga mengakui bahwa di dalam banyak contoh, pengakuan perilaku terhadap bahasa merupakan topik yang sangat penting untuk mengkaji perilaku sosial melalui bahasa. Oleh karena itu, teori psikologi sosial diterapkan dalam mengkaji sikap bahasa transmigran Bali di Lampung terhadap bahasa Bali. POLA-POLA PEMAKAIAN BAHASA TRANSMIGRAN BALI Khazanah kebahasaan transmigran Bali di Lampung sangat tinggi. Secara umum, transmigran asal Bali menguasai lebih dari dua bahasa secara aktif, seperti terlihat pada Diagram 1 Bahasa yang dikuasai aktif Tdk menjawab 10%
BB
BB 20%
BJ BB, BJ
BB, BJ, BL, BI 20%
BJ 10%
BB, BJ, BI 10%
BB, BJ 10% BB, BI 20%
BB, BI BB, BJ, BI BB, BJ, BL, BI Tdk menjawab
Diagram 1. Penguasaan Bahasa Transmigran Bali Menurut seorang informan, Wayan Bawa, dari Rama Nirwana di Lampung Tengah, (1) ― …Dini yen ngajak nyama-nyama Bali raga ngomong Bali ye.. Yen ada nyama Jawa ajak di grup to..bisa mase ngomong Jawa anu ane biasa-biasa. Nak Bali
3
Ni Luh Nyoman Seri Malini
dini nak bisa ye basa Jawa. Onyo bisa…Tapi nah yen dawa- dawa satua e Bahasa Indonesia anu sai manggo…‖ (… Di sini (maksudnya di Lampung-pen), jika berbicara sesama saudara dari Bali, menggunakan Bahasa Bali. Jika ada saudara dari Jawa, bisa juga berbahasa Jawa yang sederhana. Semua orang Bali di sini bisa berbahasa Jawa. Tapi jika cerita kita panjang-panjang, Bahasa Indonesia yang sering digunakan…) Seperti yang terlihat pada diagram, transmigran Bali minimal menguasai bahasa Bali, kemudian diikuti penguasaan bahasa Indonesia serta bahasa etnis lainnya, seperti bahasa Jawa dan Lampung. Bahasa yang pertama kali diperoleh oleh para transmigran umumnya adalah bahasa Bali. Bahasa ini diperoleh dan dipelajari secara informal karena hanya lingkungan keluarga (rumah tangga) satu-satunya tempat pemerolehan mengingat bahasa Bali tidak diajarkan secara resmi di sekolah. Begitu juga halnya dengan bahasa Jawa yang dipelajari oleh transmigran Bali secara informal melalui sosialisasi dan pergaulan dengan etnis Jawa. Kurikulum di Lampung, sebagaimana di daerah-daerah lain di Indonesia, hanya mengakomodasi pengajaran bahasa Indonesia dan bahasa daerah setempat, dalam hal ini bahasa Lampung. Walaupun diajarkan di sekolah, bahasa Lampung amat jarang digunakan oleh transmigran Bali dalam komunikasi sehari-hari. Bahkan, bahasa Lampung pun jarang pula digunakan para transmigran kepada penduduk pribumi Lampung. Transmigran Bali adalah dwibahasawan. Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap dwibahasawan yang tidak memiliki tingkat penguasaan yang seimbang terhadap bahasa-bahasa yang dikuasainya akan melakukan interferensi dalam berbahasa. Hal itu disebabkan perkenalan seorang penutur atau kelompok penutur dengan bahasa lain. Weinreich (1968:1) mengemukakan bahwa interferensi adalah penyimpangan yang terjadi dalam tuturan para dwibahasawan sebagai akibat pengenalannya terhadap bahasa lain. Selanjutnya Weinreich (1968) menambahkan interferensi adalah kekeliruan-kekeliruan yang disebabkan oleh terbawanya kebiasaaan ujaran bahasa atau dialek bahasa ibu ke dalam bahasa kedua atau dialek bahasa kedua. Pengertian interferensi tersebut hanya memperhatikan gejala tutur. Oleh karena itu, pengertian interferensi diperluas lagi oleh pakar lain. Haugen (1974:12) mengatakan bahwa interferensi adalah pengambilan unsur-unsur dari satu bahasa dan digunakan dalam hubungannya dengan bahasa lain. Penggunaan unsur tersebut terjadi baik ketika seseorang berbicara maupun menulis dalam bahasa lain. Mackey (dalam Fishman 1972:565) juga mendefinisikan interferensi sebagai penggunaan unsur satu bahasa yang terbawa pada waktu seseorang berbicara atau menulis dalam bahasa lain. la juga mengatakan bahwa tipe interferensi bergantung pada apakah seseorang berbicara dalam bahasa kedua atau hanya sekadar untuk memahami apa yang didengar atau dibacanya. Jika ia berbicara dalam bahasa kedua, sedangkan pola-pola bahasa ibunya sudah sangat berakar pada dirinya, bahasa ibunya akan mengganggu penggunaan bahasa kedua yang sedang dipelajarinya. Sebaliknya, jika ia hanya berusaha memahami bahasa kedua tersebut, pemahaman itu lebih mudah apabila kedua bahasa tersebut mirip satu dengan lainnya. Dengan demikian, cakupan interferensi tidak hanya terbatas pada bahasa lisan, tetapi juga bahasa tulis. Interferensi fonologis merupakan gejala yang wajar ditemukan dalam masyarakat bilingual, termasuk di Provinsi Lampung. Gejala tersebut merupakan salah satu karakteristik kebahasaan bahasa Bali di Lampung. Berdasarkan informasi yang dijaring melalui kuesioner ditemukan terdapat perbedaan penulisan huruf-huruf vokal, yaitu dari tulisan dan ucapan [a] /ə/ menjadi [o] /O/, seperti teka /təkə/ menjadi teko/təkO/, ia /iyə/ menjadi /iyO /; [i] /I/ menjadi [e] /e/, seperti jait /jaIt/ menjadi /jaet/; [u] /u/ menjadi [o] /O /. seperti belus /bəlus/, gugut /gugut/, ikut /Ikut/, jagur /jagur/, ulung /ulu/, labuh /labuh/ menjadi kata /bəlOs/, /gugOt/, /ikOt/, /jagOr/, /ulO/, /labOh/.
4
Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012
Ortografi
Bunyi
[a]
/ə/
[i] [u]
/I/ /u/
Tabel 1. Perbedaan Penulisan Huruf Vokal Ortografi Bunyi Ortografi Bunyi Bali transmigran Teka /təkə/ Teko /təkO/ Ia /Iyə/ Iyo /IyO / Jait /jaIt/ Jaet /jaet/ Belus /bəlus/ Belos /belOs/ Gugut /gugut/ Gugot /gugOt/ Ikut /Ikut/ Ikot /ikOt/ Jagur /jagur/ Jagor /jagOr/ Ulung Ulong /ulu/ /ulO/ Labuh /labuh/ Laboh /labOh/
Arti Datang Dia Jahit Basah Gigit Ekor Pukul Jatuh Jatuh
Bahasa Bali baku memiliki 24 fonem, yang terdiri atas 6 fonem vokal /a, i, e, u, o, ə / dan 18 konsonan /p, b, m, t, d, n, c, j, ɲ, s, l, r, k, g, ŋ, w, y, h/1 (Warna dkk.1983; Sulaga dkk. 1996). Pada penelitian selanjutnya, Pastika (2005) menyatakan bahwa bahasa Bali dibagi menjadi vokal /a, i, e, u, o, ə /, semivokal /w,y/, dan konsonan /p, b, m, t, d, n, c, j, ɲ, s, l, r, k, g, ŋ, h/. Secara teoretis perubahan bunyi tersebut dapat dipahami karena berdasarkan tinggirendahnya, bunyi-bunyi tersebut memiliki posisi yang berdekatan, seperti bunyi /ə/ sedang tengah menjadi /O/ sedang belakang, bunyi /I/ tinggi menjadi /e/ sedang , bunyi /u/ tinggi menjadi /o/ sedang. Jadi, dapat disimpulkan bahwa perubahan bunyi vokal bahasa Bali pada transmigran Bali dari bunyi-bunyi sedang tengah ke bunyi sedang belakang dan dari bunyi tinggi ke bunyi sedang. Pada penulisan terdapat perubahan bunyi dari bunyi tinggi ke sedang dan dari bunyi rendah ke bunyi sedang. Fonem-fonem vokal bahasa Bali umumnya memiliki distribusi yang lengkap: dapat terletak di awal, tengah, dan akhir, kecuali fonem vokal /a/ yang tidak memiliki distribusi akhir.2 Akan tetapi, pada bahasa Bali dialek Bali Aga justru sebaliknya. Di sana tidak ada fonem /ə/ yang terletak di posisi akhir. Kalau dalam Bali Aga banyak terdapat kata yang berakhir dengan fonem /a/, dalam bahasa Bali (Dataran) akan didapati berakhir dengan /ə/. Fonem konsonan bahasa Bali pun tidak semuanya memiliki distribusi yang lengkap. Fonem-fonem konsonan palatal, seperti /c, j, /, konsonan velar /y/, serta konsonan bilabial /w/ tidak dapat menduduki posisi akhir, sedangkan fonem konsonan yang lain memiliki distribusi yang lengkap yang dapat berposisi di awal, tengah, dan akhir. Interferensi fonologis di atas merupakan pilihan transmigran dalam penggunaan bahasa. Pilihan untuk menggunakan suatu bahasa pada ranah tertentu secara menonjol ditentukan oleh faktor utama, yakni sosial-ekonomi. Dalam uraian sebelumnya mengenai pilihan bahasa telah dijelaskan bahwa transmigran Bali menggunakan bahasa Bali dalam berbagai aspek kehidupan. Secara umum, bahasa Bali masih terpelihara, terwariskan, dan terkembangkan selama empat generasi (Sutjaja1990/1992 dan 1996). Hal ini sudah terjadi selama hampir 53 tahun, yakni mulai tahun 1957. Ada kecenderungan transmigran Bali untuk bersikap akomodatif dan toleran terhadap etnis lain, sebagaimana yang diutarakan oleh Wayan Bawa diatas. Dalam berkomunikasi dengan etnis lain, etnis Bali cenderung mengakomodasi pilihan bahasanya sesuai dengan bahasa lawan tuturnya: .. Yen ada nyama Jawa ajak di grup to..bisa mase ngomong Jawa anu ane biasabiasa. Nak Bali dini nak bisa ye basa Jawa. (Jika ada saudara dari Jawa, bisa juga berbahasa Jawa yang sederhana. Semua orang Bali di sini bisa berbahasa Jawa). Menurut Sumarsono (1993:13-14), pemertahanan bahasa, dalam situasi adanya interaksi dan terjadinya kedwibahasaan, dapat terjadi dengan atau tanpa harus menyerap unsur-unsur nonbahasa atau unsur budaya kelompok etnik lain. Dalam kondisi apa pun tipe pemertahanan bahasa, setiap kelompok masih mempertahankan bahasa masing-masing. Pemertahanan itu
5
Ni Luh Nyoman Seri Malini
merupakan kenyataan bahwa suatu bahasa masih dipakai dan dipilih dalam situasi tertentu. Salah satu cara untuk menguji pilihan bahasa itu adalah analisis ranah sebagaimana yang dianjurkan Fishman (1972). Terkait dengan penggunaan bahasa, Holmes (2001:63-64) menyampaikan bahwa makin luas ranah penggunaan suatu bahasa, peluang bahasa tersebut untuk bertahan akan makin besar. Meskipun bersikap akomodatif, pemilihan dan penggunaan bahasa Bali masih terlihat dominan pada ranah-ranah penting bagi proses pemertahanan sebuah bahasa, yakni pada ranah rumah tangga (keluarga), ranah kegiatan religi, dan kesenian rakyat. Dalam ranah keluarga, responden menunjukkan bahwa pilihan bahasa yang dominan pada anak-anak dan orang tua dalam berkomunikasi adalah bahasa Bali. Artinya, terdapat upaya mempertahankan dan mewariskan penggunaan bahasa Bali kepada anak-anak mereka. Sementara itu, dalam ranah kegiatan religi dan kesenian rakyat, pemilihan dan penggunaan bahasa yang mendominasi adalah bahasa Bali. Faktor yang berperan dalam hal ini adalah kondisi yang kondusif yang tercipta di daerah transmigran, yaitu kondisi yang tercipta sesuai dengan daerah asal transmigran, yakni Pulau Bali. Di daerah transmigran, atas fasilitas dari pemerintah dan dengan kerja keras generasi transmigran terdahulu, di sebagian besar desa, ciri kebalian berhasil dimunculkan, antara lain dengan mendirikan Kahyangan Tiga atau purapura lainnya di desa-desa. Kegiatan pemertahanan bahasa Bali juga dilakukan dalam kegiatan-kegiatan keagamaan bersama-sama dengan keluarga, seperti yang dinyatakan Wayan Lording, tranmigran Bali generasi pertama, 1958 berikut ini. (2) P : Yen bapak jak anak-anake kije yen ke pura ne? Kalau bapak dan anak-anak, di sini pura mana yang dituju? I : Yen dini di desa, nak be ada pure Puseh, Desa, jak pura Dalem, pura Gede. Pusatne ne di Waelunik di Tanjung Karang. Di gunung… Pura Waelunik ane sungsunge ken seluruh Bali Lampung e. Kalau di desa ini, memang sudah berdiri pura Puseh, Desa, dan pura Dalem. Pura yang utama berpusat di Way Lunik, Tanjung Karang. Di gunung… Pura inilah yang diusung oleh semua Bali Lampung. Terdapat juga program pasraman bagi anak-anak tingkat SD dan SMP yang beragama Hindu di Lampung Tengah dan di Lampung Timur, sedangkan di Kabupaten Tulang Bawang belum ada pasraman. Kegiatan di pasraman berlangsung setiap sore hari setelah jam pelajaran sekolah. Di pasraman inilah anak-anak diajari pelajaran agama Hindu, bahasa Bali, serta beragam bentuk kesenian khas Bali. Keberadaan pasraman ini menunjukkan keinginan transmigran Bali di Provinsi Lampung untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka. Lembaga yang bersifat kerakyatan dan tradisional, seperti pasraman, berfungsi sebagai sarana untuk mengajarkan bahasa Bali dan mewariskan tradisi dan ekspresiekspresi kebudayaan Bali (Hindu). Untuk pengembangan seni tradisional, di samping di pesraman, terdapat juga sekaasekaa kesenian di masing-masing desa yang beranggotakan transmigran Bali, terutama para pemudanya. Banyaknya anak-anak muda yang tergabung dalam seni tradisional berdampak baik bagi proses pemertahanan bahasa Bali karena ranah penggunaan dan pajanan terhadap bahasa Bali menjadi terjaga sehingga memperbesar peluang bagi bahasa Bali untuk dipertahankan. Penggunaan bahasa Bali Alus mewarnai percakapan antara peneliti dan informan yang merupakan pembina kesenian di Desa Rama Dewa, Seputih Raman, Lampung Tengah. Hal ini mengindikasikan bahwa seni, khususnya pembina, memiliki peran penting dalam upaya pemertahanan bahasa Bali. Keberadaan lembaga atau kelompok informal tersebut mendukung pengembangan bahasa Bali. Pemberdayaan masyarakat yang muncul dari kalangan penutur itu sendiri, mewujudkan pemberdayaan lembaga kerakyatan tradisional seperti itu juga ditemukan pada 6
Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012
komunitas migran asal Jawa di Suriname (Koesobjono 2000). Akan tetapi, menurut Koesonjono, hal yang harus diperhatikan adalah pewarisan kebudayaan, termasuk bahasa di dalamnya secara oral akan memunculkan kecenderungan banyak aspek kebudayaan akan menjadi kabur, menyimpang dari aslinya, mendapatkan interpretasi baru, bahkan menghilang seiring dengan perjalanan waktu. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah yang bersifat lebih berkelanjutan dan sistematis. FAKTOR DEMOGRAFI Jika diperhatikan pola permukiman transmigran Bali, dapat dikatakan bahwa faktor ini, meskipun juga terpaut dengan faktor lainnya, dapat mendukung proses pemertahanan bahasa Bali di Lampung. Terdapat dua pola permukiman bagi warga transmigran: 1) integrated pluralism (keragaman terpadu, yakni pemukim/transmigran yang berasal dari berbagai daerah dimukimkan pada suatu wilayah, dan kelompok transmigran tersebut tidak dipisahkan secara geografis menurut wilayah atau kesukuan) dan 2) pola segregated pluralism (keragaman terpisah, yakni transmigran yang berasal dari satu daerah dimukimkan pada wilayah tertentu). Jika memperhatikan kondisi demografis dan geografis daerah transmigrasi di Lampung, akan sulitlah membedakannya dengan situasi di Bali. Di Kabupaten Lampung Tengah dan Lampung Timur, faktor lingkungan mendukung usaha pemertahanan bahasa Bali karena pola permukiman yang cenderung terpisah dengan kelompok penutur bahasa non-Bali. Oleh sebab itu, seorang penutur bahasa Bali yang datang ke Lampung Tengah akan merasa seperti berada di kelompok masyarakat Bali di Bali. Masyarakat transmigran di Lampung ditempatkan dengan menerapkan pola permukiman integrated pluralism (keragaman terpadu), yaitu penempatan transmigran secara terpadu, atau dalam satu lokasi terdapat transmigran dari berbagai kelompok etnik dan agama. Kondisi tersebut terjadi di daerah Lampung Tengah dan Lampung Timur. Di Kabupaten Tulang Bawang, di beberapa lokasi, seperti Kampung Tua dan Mesuji, masyarakat menempati lokasi yang segregated pluralism. Pola permukiman tersebut sangat mempengaruhi perilaku berbahasa transmigran Bali. Menurut Holmes (2001:59), demografi merupakan faktor terkait yang juga mempengaruhi bahasa itu bertahan, bergeser, atau berubah. Terkait dengan itu, bila sebuah kelompok cukup besar dan terdapat banyak penutur dan dengan alasan yang berterima mampu mengisolasi diri dari kontak dengan kelompok mayoritas, setidaknya dalam beberapa ranah, peluang untuk suatu bahasa bertahan akan makin besar. Kemudian, bilamana anggota komunitas etnis tinggal dalam satu lingkungan yang sama, hal ini juga membantu bahasanya untuk dapat bertahan lebih lama. Wilayah permukiman penutur suatu bahasa merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan bahasa itu. Pengalaman, misalnya, ditunjukkan oleh guyup tutur Loloan (Sumarsono 1993). Sumarsono menyampaikan bahwa pusat permukiman yang mampu mendukung pemertahanan bahasa itu biasanya didukung oleh keterpisahan geografis dari kelompok-kelompok lain, terutama kelompok mayoritas, yang kadang-kadang disertai oleh keterpisahan sosial dan ekonomi, meskipun tidak sampai menjurus ke arah keterisolasian. Pengaruh signifikan faktor demografi dengan pola permukiman juga disampaikan oleh Adisaputera (2010). Adisaputera menyampaikan bahwa masuknya etnis non-Melayu di wilayahwilayah yang sebelumnya merupakan konsentrasi penduduk Melayu menyebabkan adanya pembauran secara social sehingga berdampak pada penyusutan wilayah konsentrasi etnis Melayu. Menyusutnya ―kantong-kantong Melayu‖ selanjutnya berdampak pada menurunnya intensitas penggunaan bahasa Melayu Langkat. Di samping kondisi lingkungan dan pola permukiman, frekuensi kontak dengan daerah asal juga mendukung proses pemertahanan suatu bahasa. Antara Provinsi Bali dan Provinsi Lampung terdapat ketansinambungan geografis dengan jarak sekitar 1.500 km. Meskipun diantarai oleh lautan dan daratan, dewasa ini ketika zaman sudah makin berkembang, perbedaan
7
Ni Luh Nyoman Seri Malini
jarak dan waktu tidak menjadi faktor penghambat bagi kelangsungan komunikasi. Telah terdapat berbagai media bagi terwujudnya kontak tersebut. Kondisi transportasi yang sudah makin maju dan berkembang bisa memperlancar arus perjalanan kunjungan transmigran Bali untuk pulang atau berkunjung ke daerah asalnya dalam rangka menjaga jalinan kekerabatan dengan sanak saudaranya. Hal ini terutama berlaku bagi generasi yang lebih tua. Frekuensi kunjungan mereka ke Bali tidak tergantung apakah ada upacara atau acara keluarga di Bali. Untuk generasi muda dan anak-anak, kesempatan pulang ke Bali lebih sedikit daripada para orang tua. Hal itu disebabkan masalah ekonomi dan efisiensi. Akibatnya, mereka jarang berkesempatan menyaksikan dan menjalani kehidupan Bali secara langsung. Akan tetapi, kontak bagi kalangan ini tetap terjadi melalui media lain, seperti sarana telekomunikasi dan media audio-visual, seperti publikasi di media massa Bali TV, dan kiriman kaset-kaset kesenian, VCD gamelan, wayang, drama gong, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan identitas kebalian mereka. Sebagai sarana hiburan, hampir sebagian besar transmigran Bali memiliki parabola. Hal tersebut sangat memungkinkan mereka untuk mendapatkan informasi dari Bali melalui siaran Bali TV. Peran generasi muda dalam kegiatan seni juga turut membantu mempertahankan bahasa Bali. Peran generasi muda terlihat pada acara-acara kesenian dan keagamaan, seperti mengikuti lomba Ogoh-Ogoh pada perayaan Hari Raya Nyepi . Kegiatan tersebut terlihat seperti pada gambar di bawah ini.
Gambar 1. Partisipasi Generasi Muda dalam Kegiatan Seni Usaha-usaha di atas harus dimaknai positif sebagai usaha pemertahanan seni, bahasa Bali, dan identitas kebalian transmigran Bali (Malini 2008) karena mereka dapat menjadikan apa yang mereka tonton sebagai model, yang selanjutnya membantu proses identifikasi mereka sebagai orang Bali, walaupun keberadaan sarana seperti ini masih belum mendukung pemelajaran bahasa Bali termasuk ragam aras tuturnya untuk model pemelajaran aktif. Faktor demografi dan geografi juga menyebabkan transmigran Bali beradaptasi dengan budaya setempat. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, transmigran Bali mengikuti budaya mayoritas (dalam hal ini budaya Jawa), tetapi tetap mempertahankan budaya sendiri. Hal tersebut terlihat antara lain dalam acara maaf-memaafkan dan silaturahmi ke rumah-rumah pada Hari Raya Galungan. Tradisi tersebut biasanya dilakukan oleh umat Islam dan etnis Jawa di seluruh Indonesia, termasuk di Lampung, tetapi diikuti juga oleh transmigran Bali. Tradisi tersebut, misalnya, terlihat pada gambar di bawah ini.
8
Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012
Gambar 2 Silaturahmi Antarwarga setelah Persembahyangan pada Hari Raya Galungan Hal berbeda dengan tradisi etnis Bali secara umum juga tampak pada acara potong gigi di Tulang Bawang. Salah satu rangkaian dalam upacara tersebut adalah acara basuh kaki orang tua, yang kemudian dilanjutkan dengan sungkeman kepada orang tua oleh mereka yang akan menjalani upacara potong gigi, seperti terlihat pada gambar di bawah.
Gambar 3 Rangkaian Upacara Potong Gigi Etnis Bali di Mesuji Menurut Clifford (1979) , ada empat hal yang mungkin dilakukan remaja etnik minoritas dalam upaya hidup bersama kelompok mayoritas, yakni asimilasi, marginalitas, separasi, dan bikulturalisme. Asimilasi adalah mengadopsi norma-norma budaya mayoritas dan standar mereka, tetapi tetap menganggap mayoritas bukan sebagai kelompoknya. Marginalitas (marginality) adalah hidup bersama budaya mayoritas, tetapi sebagai orang asing dan tidak diterima. Separasi (separation) adalah memisahkan diri dari budaya mayoritas dan tetap memakai budaya sendiri. Bikulturalisme adalah mengadopsi nilai-nilai mayoritas dan minoritas secara bersamaan. Secara skematik, keempat hal tersebut dapat digambarkan dalam bagan berikut ini.
Bagan 1. Upaya Remaja Hidup Bersama Etnis Mayoritas dan Minoritas
9
Comment [FS1]: Mengapa penulis ini tidak dimasukkan pada daftar pustaka? Deleted: Phinney (dalam Steinberg 2002)
Deleted: pendapat Phinney (dalam Steinberg 2002) itu
Ni Luh Nyoman Seri Malini
Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa transmigran Bali mengikuti budaya mayoritas dengan tetap mempertahankan budaya sendiri. Pada suatu kesempatan mereka melakukan kedua budaya (bikultural) dan pada kesempatan lain mereka hanya melakukan budaya sendiri (asimilasi). Dalam berinteraksi dengan etnis mayoritas (Jawa dan etnis lain) transmigran Bali di Lampung mengalami proses perusakan dan pengintegrasian secara silih berganti dalam suatu mekanisme yang disebut peningkatan adaptasi (adaptive upgrading) atau adaptasi dengan modifikasi (adaptive modification). Berdasarkan pengamatan, tidak ada transmigran Bali di Lampung yang tidak mengikuti budaya mayoritas dan hanya mempertahankan budaya sendiri (separasi dan marginalitas). SIKAP TERHADAP BAHASA ASAL Menurut Suhardi (1996:14), semula istilah sikap merupakan pokok utama bahasan bidang psikologi sosial. Mengikuti alur pemikiran Allport dalam Suhardi (1996) menjelaskan bahwa sikap sebagai kesiagaan saraf dan mental tersusun melalui pengalaman yang memberikan arah atau pengaruh dinamis kepada tanggapan seseorang terhadap semua benda dan situasi yang berhubungan dengan kesiagaan itu. Dari pengertian itu tersirat bahwa sikap tidak dapat diamati secara langsung, tetapi harus disimpulkan melalui introspeksi diri seorang subjek. Sementara itu, Rokeach (1972) menjelaskan sikap sebagai tata kepercayaan (organization of beliefs) yang secara relatif berlangsung lama terkait suatu objek atau situasi yang mendorong seseorang untuk menanggapinya dengan cara tertentu yang disukainya. Rokeach beranggapan bahwa setiap kepercayaan terdiri atas tiga bagian atau komponen, yakni komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen perilaku. Komponen kognitif merujuk kepada pengetahuan seseorang pada apa yang benar atau salah, baik atau buruk, diinginkan atau tidak diinginkan. Komponen afektif berhubungan dengan penilaian seseorang mengenai suatu objek, apakah ia suka atau tidak suka akan objek itu. Komponen perilaku berhubungan dengan kecenderungan seseorang untuk bertindak. Menurut Anderson (1974) sikap bahasa adalah tata kepercayaan yang berhubungan dengan bahasa yang secara relatif berlangsung lama mengenai suatu objek bahasa yang memberikan kecenderungan kepada seseorang (yang memiliki sikap bahasa itu) untuk bertindak dengan cara tertentu yang disukainya. Sikap bisa positif dan bisa juga negatif. Berkaitan dengan sikap bahasa terhadap bahasa Bali, responden diberi sepuluh butir pertanyaan. Butir-butir pertanyaan tersebut dikaitkan dengan aspek kognitif, afektif, dan perilaku (konatif) mereka terhadap bahasa Bali sebagaimana Tabel 2 berikut. Tabel 2. Butir pertanyaan berkaitan dengan sikap transmigran Bali terhadap Bahasa Bali Aspek 1. Bahasa Bali adalah bahasa yang indah dan merdu Kognitif 2. Bahasa Bali adalah pengemban budaya yang tinggi Aspek 3. Sebagai orang Bali, saya bangga dapat berbahasa Bali Afektif 4. Saya senang bila orang berbahasa Bali dengan saya 5. Saya senang berbahasa Bali dengan orang Bali lainnya Aspek 6. Segala upaya perlu dilakukan untuk melestarikan bahasa Bali Perilaku/ 7. Bahasa Bali perlu terus dikembangkan (misalnya, kosakatanya ditambah) Konatif 8. Bahasa Bali harus diajarkan di sekolah meskipun di daerah yang minoritas berbahasa Bali 9. Pemerintah harus lebih aktif membina dan mengembangkan bahasa Bali 10. Perlu ada kampanye untuk menggunakan bahasa Bali diantara anggota keluarga Bali
10
Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012
Dari pertanyaan tersebut diperoleh hasil sebagaimana grafik berikut. Grafik 1. Sikap Transmigran Bali terhadap Bahasa Bali
Pembahasan hasil penelitian sebagaimana berikut. Aspek Kognitif Sikap Bahasa Berkenaan dengan aspek kognitif, transmigran Bali diberikan pertanyaan berkenaan dengan persepsi mereka terhadap bahasa Bali. Dari Grafik 1, tiap-tiap komponen sikap bahasa menunjukkan persentase pilihan setuju dan tidak setuju masing-masing adalah 50% untuk pernyataaan nomor (1). Begitu pula bila dikaitkan dengan pernyataan nomor (2), responden menyatakan 100% sangat setuju dengan bahasa Bali secara simbolis merupakan pengemban kebudayaan yang tinggi dan merupakan bahasa yang indah dan merdu. Kecenderungan persentase yang tinggi ini dapat ditafsirkan sebagai pengakuan mereka terhadap bahasa Bali, dalam hal ini berkaitan dengan keberadaan bahasa sebagai alat pengembangan kebudayaan, jalur penerus kebudayaan, dan inventaris ciri-ciri kebudayaan. Oleh karena itu, bahasa juga merupakan faktor penting dalam membentuk identitas kultural dan identitas sosial, termasuk identitas etnis anggota masyarakat. Dalam hal ini, komponen kognitif sikap transmigran Bali di Provinsi Lampung terhadap bahasa Bali menyangkut apa saja yang mereka percayai terhadap bahasa Bali itu sendiri. Seperti pernyataan di atas, mengukur kepercayaan mereka atas keindahan dan kemerduan bahasa Bali serta fungsi bahasa Bali sebagai pengemban budaya yang tinggi. Triandis (1971) menyatakan bahwa komponen kognitif sebagai gagasan umumnya berupa kategori tertentu yang dipakai oleh manusia untuk berpikir. Kategori itu diperoleh sebagai simpulan dari ketaatasasan dalam menanggapi berbagai rangsangan yang berbeda. Mann (dalam Azwar 2008: 24) menjelaskan bahwa komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan, dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu. Menurut Azwar (2008:24–25), sering apa yang dipercayai seseorang itu merupakan stereotipe atau sesuatu yang telah terpolakan dalam pikirannya. Jadi, apabila telah terpolakan dalam pikiran para transmigran bahwa bahasa Bali merupakan sesuatu yang negatif atau tidak baik, segala yang dilakukan terkait usaha pelestarian bahasa Bali akan membawa asosiasi pola pikiran itu, terlepas dari maksud dan tujuan dilakukannya pelestarian terhadap bahasa Bali itu sendiri. Apabila demikian kenyataannya, apa pun juga yang menyangkut bahasa Bali akan membawa makna negatif dan mereka menjadi percaya bahwa usaha pelestarian pun membawa arti yang kurang baik itu. Namun, tidaklah demikian faktanya terhadap persepsi penutur Bali terhadap bahasa Bali. Kesadaran adanya norma bahasa (awareness of language norms), yang mendorong orang untuk menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun, merupakan faktor yang sangat besar berpengaruh terhadap perbuatan, yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use) (Garvin
11
Ni Luh Nyoman Seri Malini
dan Mathiot 1968). Demikian juga halnya dengan transmigran Bali. Kesadaran yang telah dimilikinya merupakan sikap positif yang dimiliki transmigran Bali untuk mempertahankan bahasa Bali. Aspek Afektif Sikap Bahasa Dari Grafik 1 terlihat bahwa untuk pernyataan yang berkaitan dengan komponen afektif (nomor 3, 4, 5), 100% responden menyatakan setuju terhadap pertanyaan mengenai rasa bangga mampu berbahasa Bali dan senang bila ada orang berbahasa Bali dengan responden. Untuk pertanyaan mengenai perasaan jika berbahasa Bali dengan orang Bali lainnya, 70% menyatakan senang, 20% ragu-ragu, 10% tidak setuju. Secara umum hasil tersebut mengindikasikan sikap positif para transmigran. Komponen afektif merupakan emosi yang mengisi gagasan. Apabila seseorang ‗merasa senang‘ atau ‗merasa tidak senang‘ kepada seseorang, sekelompok orang, sesuatu, atau suatu keadaan, dia memiliki sikap positif atau negatif kepada seseorang atau kepada hal yang lain. Sikap positif atau negatif ini biasanya ditentukan oleh hubungan objek sikap dengan keadaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi (Suhardi, 1996:23). Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin akan mengubah sikap seseorang. Menurut Azwar (2008:26), secara umum komponen afektif dapat disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu yang sering bersifat subjektif. Kebanggaan bahasa (language pride) mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat. Penelitian terdahulu (Malini, 2011) menyebutkan bahwa kemampuan generasi muda dalam penggunaan bahasa Bali cenderung terdevaluasi. Banyak generasi muda transmigran tidak suka memakai bahasa Bali. Ketidaksukaannya ini disebabkan oleh ketakutan bahwa mereka akan dianggap kampungan jika menggunakan bahasa Bali dalam pergaulan. Apabila mereka tahu bahwa bahasa Bali merupakan penanda identitas etnik dan pengemban kebudayaan Bali yang adiluhung, sangatlah mungkin terbentuk sikap afektif yang positif. Hasil pengukuran terhadap sikap responden menunjukkan kecenderungan sikap positif haruslah selaras dengan pemakaian dan penguasaan transmigran Bali atas bahasa Bali. Namun, hal ini perlu ditanggapi sebagai sesuatu yang prospektif bagi pelestarian bahasa Bali di daerah transmigrasi. Aspek Konatif Sikap Bahasa Berkaitan dengan aspek perilaku transmigran Bali terhadap Bahasa Bali, terdapat lima butir pernyataan (nomor 6—10) yang diajukan kepada responden. Di sini terlihat kecenderungan bahwa jawaban responden antara setuju dan sangat setuju terhadap upaya pembinaan dan pengembangan bahasa Bali. Hanya terdapat 10% responden tidak setuju akan pernyataan no. 6, yaitu Segala upaya perlu dilakukan untuk melestarikan bahasa Bali. Berdasarkan triangulasi pernyataan responden, responden menyatakan bahwa transmigran Bali tidak boleh melakukan hal-hal yang bersifat negatif yang menggangu hubungan antartransmigran semata-mata demi melestarikan bahasa Bali. Selain itu, terdapat 10% responden menyatakan sikap ragu-ragu terhadap pernyataan no. 7, yaitu Bahasa Bali perlu terus dikembangkan (misalnya, kosakatanya ditambah). Menurut responden. tidak perlu ada upaya khusus untuk itu, tetapi biarkan bahasa Bali yang saat ini mereka gunakan seperti apa adanya. Namun, secara umum dari data di atas tergambar bahwa transmigran Bali memiliki sikap positif terhadap upaya pembinaan dan pengembangan terhadap Bahasa Bali. Komponen ini, menurut Triandis (dalam Suhardi, 1996:24), menunjukkan adanya kecenderungan untuk bertindak. Seseorang menanggapi rangsangan-rangsangan di sekitarnya, pertama-tama dengan membuat kategori, kemudian menghubungkan kategori yang satu dengan yang lainnya. Komponen perilaku dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang
12
Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012
dihadapinya. Kaitan ini didasari oleh asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi perilaku. Azwar (2008:27) menyampaikan bahwa kecenderungan berperilaku secara konsisten, selaras dengan kepercayaan dan perasaan membentuk sikap individual. Oleh karena itu, logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang akan dicerminkannya dalam bentuk tendensi perilaku terhadap objek. Sebagai contoh, apabila generasi muda transmigran Bali di Lampung tidak percaya bahasa Bali mampu mengakomodasi kehidupan pergaulan modern dan mereka merasa tidak suka pada bahasa Bali, wajarlah apabila mereka tidak mau berbahasa Bali. Sikap bahasa yang positif, seperti yang ditunjukkan oleh data di atas, akan berdampak baik bagi situasi pemertahanan bahasa. Sikap positif ini diharapkan akan menumbuhkan sikap setia pada bahasa Bali. Loyalitas terhadap bahasa Bali ini makin terlihat ketika adanya dukungan dari tokoh setempat dan dari institusi, seperti PHDI. Dengan dukungan ini diharapkan terbentuk pola anutan dari golongan yang disegani. Kutipan di bawah ini memperlihatkan bahwa penutur Bali memiliki kesetiaan bahasa (language loyalty) terhadap bahasa Bali. (3) P : Nggih , mangkin tentang bahasa perdagangan Pak.. ngih..Pak, misalnya ada seorang pemuda Bali kenten nggih menuturkan bahasa lain gimana menurut Bapak? I : Kalo mereka melontarkan bahasa lain tiang, justru kalo tiang sudah paham bener anak itu anak Bali, justru tiang jawab dengan bahasa Bali, walupun mereka melontarkan bahasa Indonesia, bahasa Jawa. Tiang jawab untuk bahasa Bali …nak kita supaya apa ….supaya kedekatan kita. Nah, kalo misalnya anak–anak itu berbahasa Indonesia…Tiang jawab dengan bahasa Bali …ya , karena kita tau persis bahwa anak itu anak Balilah ….nah, supaya mereka merasa memiliki bahasa itu dan kedekatan antarindividu ini lebih dekat …ya, ketika kita saling berbahasa Bali gitu… Sikap setia terhadap bahasa mendorong masyarakat mempertahankan bahasanya, bila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain. Secara umum dapat dikatakan para transmigran memiliki sikap positif terhadap bahasa Bali. Hal ini menjanjikan asa yang cukup prospektif bagi pemertahanan bahasa Bali di Lampung. Akan tetapi, kondisi ini perlu didukung oleh model dan sistem perencanaan bahasa yang komprehensif dan sesuai dengan konteks situasi kebahasan yang dialami transmigran Bali. SIMPULAN Kondisi pemertahanan bahasa Bali di daerah transmigrasi Provinsi Lampung dapat dianggap baik meskipun transmigran Bali adalah masyarakat yang dwibahasawan. Transmigran Bali memiliki sikap bahasa yang positif seperti yang ditunjukkan pada aspek kognitif, afektif, dan konatif . Ini berdampak baik bagi situasi pemertahanan bahasa. Sikap positif ini diharapkan akan menumbuhkan sikap setia pada bahasa Bali. Keragaman kelompok etnis di Provinsi Lampung membawa implikasi tersendiri bagi vitalitas bahasa daerah yang mengalami kontak di daerah tersebut. Kontak bahasa yang beragam menimbulkan situasi kedwibahasaan, bahkan kemultibahasaan. Situasi kedwibahasaan pada suatu masyarakat tutur menimbulkan kemungkinan pilihan bahasa yang menentukan pola penggunaan bahasa. Pola penggunaan bahasa yang mantap menyebabkan adanya kebertahanan bahasa (language maintenance), sedangkan pola yang goyah menyebabkan pergeseran bahasa (language shift). Untuk itu, perlu penanganan bahasa-bahasa yang hidup di daerah dengan frekuensi kontak tinggi, terutama bahasa daerah di luar daerah pakai aslinya, melalui implementasi kebijakan bahasa yang tepat.
13
Ni Luh Nyoman Seri Malini
CATATAN * Penulis berterima kasih kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikan makalah ini. 1 Studi yang dilakukan oleh Sutjiati-Beratha (1992:93-94) menunjukkan bahwa tidak ada perubahan khazanah fonem dari bahasa Bali Kuna ke bahasa Bali Modern. 2 Tulisan ini sependapat dengan Pastika (1991); Sutjiati-Beratha (1992); Dhanawaty (2002) yang menganggap bahwa bunyi [ə] pada akhir kata merupakan realisasi dari fonem /a/. Oleh Dhanawaty (2002:125) dibuktikan bahwa bunyi [ə] pada posisi akhir kata dasar yang berubah posisi-menempati posisi tengah akibat penambahan sufiks, ligatur, penanda posesif, atau penanda definit-kembali berubah menjadi[a], seperti [təkə] + {-in} [təkaIɳ] [bapə] + {-ɳe} [bapaɳe]
DAFTAR PUSTAKA Adisaputera, Abdurahman. 2010. ―Kebertahanan Bahasa Melayu Langkat: Studi terhadap Komunitas Remaja di Stabat Kabupaten Langkat‖ (Disertasi). Denpasar: Universitas Udayana Anderson,Edmund A. 1974. ‗Language Attitude,Belief, and Values : A Study in Linguistic Cognitive Frameworks.‖ Disertasi. Georgetown University Azwar. 2008. Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya (edisi kedua). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Clifford, Jensen. 1979. Beberapa Aspek Sosiologis dari Migrasi. Yogyakarta:PPSPK-UGM Dhanawathy, Ni Made.1993. ―Interferensi Leksikal dalam Pemakaian Bahasa Bali di Lampung Tengah‖. Laporan Penelitian. Jakarta: Penelitian yang disponsori oleh The Toyota Foundation.
Fishman, J. A. (ed). 1968. Readings in the Sociology of Language. The Hague; Mouton Fishman, J. A. (ed). 1972. Readings in the Sociology of Language. Rowley : Newbury House Gardner dan Lambert. 1972. Attitudes and Motivation in Second Language Learning. Massachusset: Newburry House.
Grosjean, F. 1982. Life with Two Languages: An Introduction to Bilingualism. England: Harvard University Press. Haugen, Eugine. 1978. ―Bilingualism, Language Context, and Immigrant Language in the United States‖ dalam Fishman, J. A. (ed). Advances in the Study of Social Multilingualism. The Hague: Mouton. Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sociolinguistics (edisi kedua). Sydney: Pearson Education. Kismosuwartono. 1991. ―Pola Pengasuhan Anak Keluarga Petani Transmigran Jawa dan Bali di Daerah Transmigrasi Desa Ruktiharjo Kecamatan Seputih Raman Kabupaten Lampung Tengah Propinsi Lampung. (Studi Perbandingan Keluarga Petani Jawa dan Bali)‖. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana. Koesoebjono. 2000. ―Towards a new Javaneseness‖. Makalah pada The 12th Workshop of the European Social Science Java Network/ESSSJN Amstredam, 20--21 Januari.
14
Linguistik Indonesia, Tahun ke-30, No. 2, Agustus 2012
Labov,William 1994. Principles of Linguistic Change. USA: Blackwell Publishers. Malini, Seri dan Ida Ayu Made Puspani, 2008. ―Penggunaan Bahasa Bali sebagai Penanda Identitas Etnis Bali (Kasus pada Warga Transmigran Bali di Provinsi Lampung‘ Seminar Antarbangsa Dialek-Dialek Austronesia (SADDAN III), diselenggarakan oleh Universiti Brunei Darussalam, 22—26 Januari 2008. Malini, Ni Luh Nyoman Seri. 2011.‖Dinamika Bahasa Bali di Daerah Transmigran di Provinsi Lampung”. Desertasi. Denpasar. Universitas Udayana Pastika, I Wayan. 2005. Fonologi Bahasa Bali: Sebuah Pendekatan Generatif Transformasi. Kuta-Bali: Pustaka Larasan. Rokeach,Milton. 1972.Beliefs, Attitudes, and Values:A Theory of Organization and Change. San Fransisco: Jossey-Bass Suhardi, Basuki. 1996. Sikap Bahasa: Suatu Telaah Eksploratif atas Sekelompok Sarjana dan Mahasiswa di Jakarta. Depok: Universitas Indonesia. Sulaga, I Nyoman. dkk. 1996. Tata Bahasa Bali. Denpasar: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bali. Sumarsono. 1993. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Sutjaja, I Gusti Made. 1990-1992. ―Language Change: The Case of Balinese in the Transmigration Areas of Lampung, Sulawesi, Sumbawa, and Timor‖. Laporan Penelitian dengan Dukungan Dana Toyota Foundation, Tokyo. Sutjaja, I Gusti Made. 1996. ―Balinese Transmigrants in Lampung: Language Change and Traditions‖ dalam Adrian Vickers (ed). Being Modern in Bali: Image and Change. New Haven: Monograph 43/Yale Southeast Asia Studies. Triandis, Harry C. 1971.Attitude and Attitude Change. New York:John Wiley & Sons, Inc Warna, I Wayan dkk. 1983. Tata Bahasa Bali. Denpasar: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali. Weinreich, Uriel. 1968. Language and Contact: Findings and Problems. Paris: Mouton. Wetty Suliani, Ni Nyoman. 1996. ― Istilah Kekerabatan dan Variasi Tutur Sapa Bahasa Daerah Bali yang Digunakan oleh Keluarga Dosen Universitas Lampung yang berasal dari Suku Bali‖. Laporan Penelitian. Lampung: FKIP Universitas Lampung.
15
Formatted: Underline Deleted: Uriel. Deleted: .