PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah)
AMIN FAUZI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Partisipasi Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2009
Amin Fauzi NIM I351070081
ABSTRACT AMIN FAUZI. Farmer Participation in the Community Forest Management (Case in Kertanegara District, Purbalingga Regency, Central of Java). Supervised by PUDJI MULJONO and RICHARD W.E. LUMINTANG. Community forest management is a solution to improve the welfare of the community and one of the real form of community participation in forestry development. This research was conducted a focused on farmers participation in the community forestry. The objectives of the study were : 1) To identify the farmers participation, 2) To identify the farmers competencies, 3) To analyze the factors related to the farmers participation in the community forestry, and 4) To analyze the relationship between farmers participation and farmers welfare. Research carried out for two months starting in March until April 2009. Research was conducted in the Purbalingga Regency, Kartanegara District, Central of Java. This research used purposive sampling for choosing numbers of farmers member of the forestry farmer group. Simple random sampling was used to get respondent from the group of 60 respondents. To find out the relationship between variable were used product moment correlation statistical test. Farmers participation in the community forest management are on the medium category. Technical competence and conceptual competence of farmers are on the high category, while the relationship competence on medium level. Level of farmers social welfare are on the medium category, and economic welfare are on the low category. Based on analysis there is no significant correlation between the internal factors and the farmers participation. The external factors and farmers competence have significance correlation with the farmers participation in the community forestry and there is significance correlation between farmers participation and the farmers welfare. Keywords: farmers participation, farmers competencies, community forestry, farmers welfare
RINGKASAN AMIN FAUZI. Partisipasi Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah). Dibimbing oleh PUDJI MULJONO dan RICHARD W.E. LUMINTANG. Pergeseran paradigma pembangunan dan pendekatan pembangunan yang sentralistik dan top down menuju pendekatan pembangunan partisipatif memberikan imbas pada pembangunan sektor kehutanan, dari kehutanan industrial (konvensional) menuju pembangunan kehutanan yang berbasis masyarakat. Sejalan dengan paradigma pembangunan kehutanan yang berorientasi pada community based management, masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan perlu dilibatkan secara penuh dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan. Salah satu strategi yang dikembangkan sebagai implementasi dari paradigma pembangunan kehutanan adalah pengembangan hutan rakyat. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat merupakan salah satu modal sosial yang bisa dikembangkan secara integratif dalam rangka mengoptimalkan sumber daya alam yang ada, meningkatkan kehidupan di pedesaan lebih produktif, mampu mempertahankan nilai-nilai budaya yang baik, mendukung sistem penguasaan dan tata guna lahan yang jelas, meningkatkan pendapatan petani yang pada akhirnya akan bermuara pada peningkatan kesejahteraan petani. Partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat sangat diperlukan agar terjaga kelestarian fungsi dan kemampuan sumberdaya hutan dan ekosistemnya sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani. Partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat merupakan bentuk keterlibatan petani secara langsung dalam pengelolaan hutan rakyat. Meningkatnya partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang diduga berhubungan nyata dengan partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat terdiri atas faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan ciri-ciri atau sifat-sifat individu yang melekat pada pribadi seseorang (individu) yang berkaitan dengan semua aspek kehidupan. Faktor eksternal adalah berbagai stimuli atau rangsangan yang berasal atau berada di luar pribadi seseorang (individu) yang mengakibatkan terjadinya perubahan perilaku pada individu tersebut. Partisipasi petani juga berkaitan dengan kemampuan petani dalam mengelola hutan rakyat, sehingga usahatani hutan rakyat dapat mendatangkan manfaat yang optimal bagi peningkatan kesejahteraan petani dan menjaga kelestarian lingkungan. Penilitian ini bertujuan : 1) mengidentifikasi partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat, 2) mengidentifikasi kompetensi petani pengelola hutan rakyat, 3) menganalisis faktor-faktor yang berhubungan nyata dengan partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat, dan 4) menganalisis hubungan partisipasi petani dengan kesejahteraan petani pengelola hutan rakyat di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah. Penelitian dilakukan di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah dan dilaksanakan selama dua bulan mulai bulan Maret sampai dengan April 2009. Populasi penelitian adalah petani-petani pengelola hutan rakyat yang tergabung dalam kelompok tani hutan. Pengambilan sampel secara acak sederhana (simple random sampling) sebanyak 20 responden pada
masing-masing desa sehingga total responden sebanyak 60 petani. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Hubungan antar peubah diketahui dengan menggunakan Korelasi Product Moment Pearsons. Partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga berada pada kategori sedang. Partisipasi dalam perencanaan berada pada kategori tinggi, partisipasi dalam pelaksanaan termasuk dalam kategori sedang, dan partisipasi dalam pemanfaatan hasil termasuk kategori sedang. Kompetensi teknis dan kompetensi konseptual petani berada pada kategori tinggi, sedangkan kompetensi relasional berada pada kategori sedang. Tingkat kesejahteraan sosial petani berada pada kategori sedang, dan kesejahteraan ekonomi berada pada kategori rendah. Faktor internal petani tidak berhubungan nyata dengan partisipasi petani. Faktor eksternal dan faktor kompetensi petani berkorelasi sangat nyata dengan partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat, serta faktor partisipasi petani berkorelasi sangat nyata dengan kesejahteraan petani. Sub peubah yang berhubungan nyata dengan aspek perencanaan dalam pengelolaan hutan rakyat adalah pendidikan nonformal, luas lahan, motivasi, kelompok tani hutan, dan kompetensi relasional. Sub peubah yang berhubungan nyata dengan partisipasi dalam pelaksanaan adalah penyuluhan kehutanan, kelompok tani hutan, kompetensi teknis, dan kompetensi konseptual. Sub peubah yang berhubungan nyata dengan partisipasi dalam pemanfaatan hasil adalah motivasi, kelompok tani hutan, dan sumber informasi. Sub peubah partisipasi dalam perencanaan berkorelasi sangat nyata dengan kesejahteraan ekonomi petani hutan rakyat, sub peubah partisipasi dalam pelaksanaan berkorelasi sangat nyata dengan kesejahteraan sosial petani hutan rakyat, dan sub peubah partisipasi dalam pemanfaatan hasil berkorelasi sangat nyata dengan kesejahteraan ekonomi petani hutan rakyat. Partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat merupakan faktor yang sangat penting dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani dan menjaga kualitas lingkungan. Oleh karena itu, beberapa saran yang dapat dikemukakan adalah : 1) kegiatan pendampingan dan fasilitasi khususnya oleh penyuluh kehutanan perlu dilakukan secara terprogram dan berkesinambungan dalam rangka mewujudkan kemandirian petani dalam mengelola usaha tani hutan rakyat, 2) kelompok-kelompok tani hutan rakyat sebagai lembaga yang menghimpun para petani pengelola hutan rakyat perlu diberdayakan secara fungsional dalam rangka mewujudkan kemandirian kelompok sehingga berfungsi sebagai stimulan terbentuknya petani-petani yang produktif dan mandiri berbasis pembangunan kehutanan, 3) perlu dibangun jejaring kerja secara sinergis antara dinas teknis, penyuluh kehutanan, dan kelompok-kelompok tani hutan rakyat dalam rangka menumbuhkan penyuluh kehutanan swakarsa yang memiliki kompetensi tinggi di bidangnya, 4) Kegiatan pelatian teknis oleh dinas teknis tingkat kabupaten dan provinsi perlu mengikutsertakan para petani hutan rakyat secara merata, sehingga dapat meningkatkan kompetensi petani hutan rakyat yang pada akhirnya dapat meningkatkan partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat. Kata kunci : partisipasi petani, kompetensi petani, hutan rakyat, kesejahteraan petani
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah)
AMIN FAUZI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. (Ris) Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM
Judul Tesis
:
Nama NIM
: :
Partisipasi Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) Amin Fauzi I351070081
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Pudji Muljono, M.Si Ketua
Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 21 Juli 2009
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT atas nikmat
karunia-Nya, sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis berjudul “Partisipasi Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah)”. Penelitian dimaksudkan untuk mendapatkan data dan informasi berkaitan faktor-faktor yang mendukung tumbuhnya partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Pudji Muljono, M.Si. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA selaku Anggota Komisi Pembimbing atas saran dan bimbinganya dalam penyusunan tesis ini. Kepada Prof. (Ris) Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM selaku dosen penguji luar komisi, penulis juga mengucapan terima kasih atas saran dan masukannya. Terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan beserta staf, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi. Pengurus dan anggota kelompok tani hutan rakyat Desa Langkap, Krangean dan Adiarsa, terima kasih atas kerjasama dan informasi yang diberikan. Mas Mujalil, Mas Nur, Mas Salbi, Mas Waryo, terima kasih atas informasi, bantuan, dan dukungannya selama pengambilan data di lapangan. Bapak, Ibu, adik dan kakak, terima kasih atas segala kasih sayang dan doa yang tak pernah berhenti mengalir. Puji syukur dan terima kasih yang tak berbatas kepada Dra. Kusnarti, Yassinta Nareswari ZF, dan Avicenna Narendra F, atas ketabahan, dukungan, dan curahan kasih sayangnya. Terima kasih kepada sahabat-sahabatku rekan-rekan mahasiswa PPN angkatan 2007 atas kerjasamanya selama perkuliahan. Semoga tesis ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2009
Amin Fauzi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Purbalingga Jawa Tengah pada tanggal 21 Februari 1968 dan merupakan anak kedua dari 6 bersaudara dari pasangan Muhammad Basri dan Fatimah. Pendidikan SD sampai SMA diselesaikan di kota kelahiran. Pada tahun 1991 penulis menyelesaikan pendidikan S1 pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Tahun 1991 s.d. 1994, penulis bertugas sebagai Tenaga Pendamping pada Pendidikan Luar Sekolah Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah dan ditempatkan di Kecamatan Karanganyar Kabupaten Purbalingga dan merangkap sebagai guru di SMA Muhammadiyah II Purbalingga di Bobotsari. Pada tahun 1995 penulis bertugas sebagai guru di Sekolah Kehutanan Menengah Atas (SKMA) Makassar, dan tahun 2002 beralih tugas sebagai Widyaiswara bidang Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) pada Balai Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan (BDK) Makassar. Tahun 2004 penulis menyelesaikan pendidikan S1 pada Fakultas Pertanian dan Kehutanan Jurusan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati di Universitas Satria (UNSAT) Makassar. Kesempatan melanjutkan studi ke program Magister Sains Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) IPB diperoleh pada tahun 2007. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Kehutanan Republik Indonesia.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...........................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
xiv
PENDAHULUAN Latar Belakang ........................................................................................... Perumusan Masalah ................................................................................... Tujuan Penelitian ....................................................................................... Manfaat Penelitian .....................................................................................
1 4 5 6
TINJAUAN PUSTAKA Partisipasi ................................................................................................... Partisipasi Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat ................................. Faktor Internal .......................................................................................... Faktor Eksternal ......................................................................................... Kompetensi ................................................................................................ Hutan Rakyat ........... ................................................................................. Pengelolaan Hutan Rakyat ......................................................................... Kesejahteraan Petani Hutan Rakyat .........................................................
7 10 10 15 19 21 25 27
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran .................................................................................. Hipotesis Penelitian ...................................................................................
30 33
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................................... Populasi dan Sampel .................................................................................. Rancangan Penelitian ................................................................................ Data dan Instrumentasi .............................................................................. Pengumpulan Data ..................................................................................... Analisis Data .............................................................................................. Definisi Operasional ..................................................................................
34 34 34 35 37 37 38
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian .......................................................... Potensi Hutan Rakyat ................................................................................ Kelompok Tani Hutan ............................................................................... Faktor Internal Petani ................................................................................ Faktor Eksternal Petani .............................................................................. Kompetensi Petani ..................................................................................... Partisipasi Petani ........................................................................................ Kesejahteraan Petani .................................................................................. Hubungan Faktor Internal Petani dengan Partisipasi Petani ..................... Hubungan Faktor Eksternal Petani dengan Partisipasi Petani ...................
42 44 45 47 53 57 62 67 69 74
Hubungan Kompetensi Petani dengan Partisipasi Petani .......................... Hubungan Partisipasi Petani dengan Kesejahteraan Petani .......................
81 86
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ................................................................................................ Saran ..........................................................................................................
93 93
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
95
LAMPIRAN ....................................................................................................
100
DAFTAR TABEL Halaman 1. Luas Wilayah Kecamatan Kertanegara ………………………..............
42
2. Pemanfaatan Tanah Kering di Kecamatan Kertanegara ……………
43
3. Jenis Tanaman Hutan Rakyat di Kecamatan Kertanegara ......................
45
4. Kelompok Tani Hutan (KTH) di Kecamatan Kertanegara ………….....
46
5. Deskripsi Faktor Internal Petani Hutan Rakyat di Kec.Kertanegara .....
47
6. Deskripsi Faktor Eksternal Petani Hutan Rakyat di Kec. Kertanegara..
53
7. Deskripsi Kompetensi Petani Hutan Rakyat di Kec. Kertanegara ........
57
8. Deskripsi Partisipasi Petani Hutan Rakyat di Kec. Kertanegara ……...
62
9. Deskripsi Kesejahteraan Petani Hutan Rakyat di Kec. Kertanegara ….
67
10. Hubungan Faktor Internal dengan Partisipasi Petani …………….....
70
11. Hubungan Faktor Eksternal dengan Partisipasi Petani ……………..
75
12. Hubungan Faktor Kompetensi Petani dengan Partisipasi Petani ……
81
13. Hubungan Faktor Partisipasi Petani dengan Kesejahteraan Petani …
86
.
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peta Lokasi Penelitian ............................................................................
100
2. Definisi Operasional, Indikator, dan Pengukuran Peubah penelitian .....
101
3. Kuesioner Penelitian ...............................................................................
109
4. Dokumentasi Penelitian ..........................................................................
121
.
PENDAHULUAN Latar Belakang Pergeseran paradigma pembangunan dan pendekatan pembangunan yang sentralistik dan top down menuju pendekatan pembangunan partisipatif memberikan imbas juga pada pembangunan sektor kehutanan, dari kehutanan industrial (konvensional) menuju pembangunan kehutanan yang berbasis masyarakat. Sejalan dengan paradigma pembangunan kehutanan saat ini yang berorientasi pada community based management, masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan perlu dilibatkan secara penuh dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan. Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan mengamanatkan bahwa masyarakat sekitar hutan perlu diberdayakan dalam rangka meningkatkan peran sertanya dalam pembangunan kehutanan. Peran serta masyarakat dalam pembangunan kehutanan diarahkan pada peningkatan akses mereka dalam pengelolaan hutan. Pemberian hak, akses, dan kewenangan dalam pengelolaan hutan merupakan salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan mereka. Pengelolan hutan berbasis masyarakat secara umum adalah semua aspek pengelolaan hutan yang mengikutsertakan masyarakat setempat secara partisipatif mulai aspek perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, pengawasan dan evaluasi. Keterlibatan
masyarakat
dalam
pengelolaan
hutan
diharapkan
dapat
mendatangkan manfaat ganda sejalan dengan visi pembangunan kehutanan yaitu hutan lestari dan masyarakat sejahtera. Dengan demikian, masyarakat sekitar hutan perlu diberdayakan dengan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikapnya agar mampu mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan serta meningkatkan
kesejahteraannya
melalui
usaha-usaha
dalam
menumbuh
kembangkan keswadayaan dan kewirausahaan bekerja sama dengan pemerintah dan mitra lainnya. Pada akhirnya diharapkan akan tumbuh kelompok-kelompok masyarakat produktif mandiri berbasis pembangunan kehutanan. Salah satu strategi yang dikembangkan sebagai implementasi dari paradigma pembangunan kehutanan adalah pengembangan hutan rakyat. Hutan rakyat adalah
konsep pengelolaan hutan yang menempatkan masyarakat sebagai aktor utama dalam menjaga dan memanfaatkan fungsi hutan sedangkan pemerintah berperan sebagai fasilitator yang mendukung upaya kelompok masyarakat dan memastikan berjalannya kepastian hak dan kewajiban dari seluruh pihak. Pengembangan hutan rakyat yang telah dipraktekkan masyarakat di berbagai pelosok tanah air dianggap mampu memberikan manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial secara adil dan lestari. Hutan rakyat berperan dalam memenuhi kebutuhan konsumsi kayu, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan menjaga kelestarian lingkungan. Hutan rakyat merupakan salah satu model pengelolaan hutan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan lahan milik dengan berbagai jenis tanaman kehutanan, pertanian atau perkebunan dan kegiatan lain yang terintegrasi. Pengelolaan hutan rakyat yang dilaksanakan oleh masyarakat merupakan salah satu upaya untuk memanfaatkan sumber daya lahan yang dimiliki dengan berbagai kegiatan produktif yang bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Hutan rakyat di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga umumnya dikelola secara perorangan (individual) pada lahan milik petani dan tersebar berdasarkan letak, luas kepemilikan lahan dan pola usahataninya. Secara keseluruhan pola pengembangan hutan rakyat di Kecamatan Kertanegara bisa diklasifikasikan ke dalam pola hutan rakyat wanatani (agroforestry) yaitu kombinasi antara tanaman kayu dengan tanaman perkebunan serta tanaman bawah tegakan. Pola pengembangan hutan rakyat yang ada sangat terkait dengan luas kepemilikan lahan para petani. Secara umum, luas pemilikan lahan berkisar antara 0,21 – 2,24 ha. Kepemilikan lahan yang tidak terlalu luas menyebabkan para petani mengelola hutan rakyat dengan sistem yang lebih intensif. Hal ini terlihat dari beragamnya jenis tanaman yang dikembangkan. Jenis tanaman yang terdapat di semua lahan hutan rakyat milik para petani adalah albizia (Albizia spp), pisang (Musa spp), kapulaga (Amomum cardamomum), dan kelapa (Cocos nucifera). Kombinasi tanaman lainnya disesuaikan dengan keinginan para petani. Untuk tanaman kayu-kayuan selain albizia, beberapa petani juga menanam jati (Tectona grandis), dan mahoni (Swietenia sp), tanaman buah-buahan antara lain pepaya (Carica papaya), durian (Durio zibethinus), alpukat (Persea Americana),
rambutan (Nephelium lappaceum), mangga (Mangifera indica), duku (Lancium domesticum, Corr), melinjo (Gnetum gnemon), petai (Parkia speciosa, Log), tanaman perkebunan antara lain kopi (Coffea spp), coklat (Teobroma cacao), dan lada (Piper ningrum). Pengelolaan hutan rakyat adalah salah satu solusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan merupakan bentuk nyata partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat merupakan salah satu modal sosial yang bisa dikembangkan secara integratif melalui berbagai kegiatan kreatif dalam rangka memanfaatkan sumberdaya alam yang ada secara lestari dan berkelanjutan. Kompetensi petani dalam budidaya tanaman (sistem silvikultur) merupakan satu hal yang menentukan berhasil tidaknya pengelolaan hutan rakyat. Dukungan dan partisipasi masyarakat, terutama penduduk di sekitar kawasan hutan diperlukan untuk mencapai keberhasilan pengelolaan hutan rakyat. Kegiatan penyuluhan kehutanan menjadi suatu hal yang strategis untuk dilaksanakan dalam mendukung pengelolaan hutan rakyat yang dikembangkan oleh para petani. Pentingnya penyuluhan kehutanan terutama didorong oleh perubahan orientasi kebijakan pengelolaan dan pemanfataan sumberdaya hutan dari sebelumnya yang berorientasi pada produksi kayu menjadi bentuk pengelolaan hutan yang berbasis pada masyarakat. Pergeseran tersebut menuntut adanya perubahan metode penyuluhan
yang
mengarah
pada
prinsip-prinsip
partisipatif,
persuasif,
desentralisasi dan demokratisasi yang melibatkan peran masyarakat, swasta, LSM dan pihak terkait lainnya. Partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan hutan rakyat dan merupakan faktor determinan bagi peningkatan kesejahteraan petani. Mengingat peran partisipasi petani hutan rakyat yang sangat penting tersebut, kajian penelitian ini akan diperdalam dengan penelusuran lebih lanjut terhadap faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat. Kajian lebih mendalam tentang berbagai faktor yang berhubungan dengan tumbuhnya partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat akan bermanfaat sebagai salah satu pijakan dalam penerapan strategi penyuluhan kehutanan.
Perumusan Masalah Hutan rakyat memiliki manfaat secara ekologis dan ekonomis. Manfaat ekologis hutan rakyat dilihat dari fungsinya dalam menjaga dan mendukung kualitas lingkungan, menahan erosi, mengurangi bahaya banjir, menjaga dan memperbaiki kondisi tata air, dan sebagainya. Manfaat ekonomis yang dapat dihasilkan dari usahatani hutan rakyat adalah dihasilkannya kayu rakyat yang saat ini merupakan salah satu komoditas yang memiliki nilai ekonomis yang cukup prospektif sehingga merupakan salah satu alternatif sumber pendapatan tambahan bagi masyarakat. Pengelolaan hutan rakyat sampai saat ini masih merupakan usahatani yang dilakukan secara turun-temurun. Sistem pengelolaan hutan rakyat dengan teknik silvikultur (pengadaan benih, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan) yang diperoleh secara turun-temurun akan berimplikasi pada produktivitas hasil sehingga berdampak pada nilai pendapatan yang diperoleh dari usaha tersebut. Usaha hutan rakyat belum merupakan sumber utama bagi pendapatan rumah tangga petani di pedesaan. Petani masih menggantungkan sumber pendapatan utamanya dari hasil usahatani tanaman pangan. Partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat berkaitan dengan beberapa faktor. Faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat antara lain : faktor internal (umur, pendidikan formal/nonformal, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan usahatani, pengalaman berusahatani, motivasi berusaha), faktor eskternal (penyuluhan kehutanan, kelompok tani hutan, dan sumber informasi), serta kompetensi petani. Dukungan para pihak sangat dibutuhkan agar pengelolaan hutan rakyat lebih meningkatkan keuntungan secara ekonomis bagi masyarakat, secara ekologis mampu menjaga kelestarian lingkungan, dan secara sosial budaya mampu mempertahankan tata nilai dan norma sosial budaya yang mendukung kehidupan masyarakat di pedesaan lebih produktif. Penyuluhan kehutanan sebagai salah satu bentuk pendidikan nonformal memiliki peran yang strategis untuk meningkatkan motivasi petani pengelola hutan rakyat dalam melaksanakan kegiatan usahataninya. Tumbuhnya motivasi petani pengelola hutan rakyat merupakan faktor pendorong munculnya berbagai
aktivitas yang dapat meningkatkan kompetensi petani sehingga berimplikasi pada peningkatan kapasitas pengetahuan, sikap dan keterampilan petani dalam mengelola usahatani hutan rakyat. Berbagai faktor tersebut merupakan satu rangkaian yang saling berkaitan yang dapat meningkatkan partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat. Meningkatnya partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat diharapkan dapat berdampak pada meningkatnya kesejahteraan petani pengelola hutan rakyat. Kondisi tersebut pada akhirnya dapat menjadi pendorong tumbuhnya kemandirian para petani dalam mengelola hutan rakyat. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah ? 2. Bagaimana kompetensi petani pengelola hutan rakyat di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah ? 3. Faktor – faktor apa yang berhubungan dengan partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah ? 4. Apakah partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat berhubungan dengan kesejahteraan petani di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah ? Tujuan Penelitian Berdasarkan pemaparan di atas, penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah. 2. Mengetahui kompetensi petani pengelola hutan rakyat di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah. 3. Menganalisis faktor – faktor
yang berhubungan dengan partisipasi petani
dalam pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah. 4. Menganalisis hubungan partisipasi petani dengan
kesejahteraan petani
pengelola hutan rakyat di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah.
Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi bagi pengembangan strategi penyuluhan kehutanan sejalan dengan paradigma pembangunan kehutanan partisipatif terutama dalam pengelolaan hutan rakyat lestari. 2. Secara praktis diharapkan menjadi masukan yang sangat berarti bagi pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan dan Dinas Kehutanan di daerah, penyuluh kehutanan dan pihak yang terkait dalam rangka peningkatan partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari.
TINJAUAN PUSTAKA Partisipasi Partisipasi
merupakan
satu
terminologi
yang
semakin
banyak
diperbincangkan sejalan dengan perubahan paradigma pembangunan, dari sentralistik menjadi desentralistik yang mengutamakan keterlibatan masyarakat secara langsung dalam seluruh proses pembangunan. Konsep ini menempatkan masyarakat pada titik yang sangat sentral dalam spektrum pembangunan. Slamet (2003) menyebut partisipasi masyarakat dalam pembangunan sebagai ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, dan ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Van den Ban dan Hawkins (1999) merumuskan partisipasi adalah : 1. Sikap kerja sama petani dalam pelaksanaan program penyuluhan dengan cara menghadiri rapat, mendemonstrasikan metode baru, mengajukan pertanyaan kepada penyuluh, dan lain-lain. 2. Pengorganisasian kegiatan penyuluh oleh kelompok tani. 3. Menyediakan informasi yang diperlukan untuk merencanakan program penyuluhan yang efektif. 4. Petani berpartisipasi dalam pengambilan keputusan mengenai tujuan, kelompok sasaran, pesan-pesan dan metode dalam evaluasi kegiatan. 5. Supervisi agen penyuluhan oleh organisasi petani yang mengerjakannya. Partisipasi dalam pelaksanaan pembangunan berarti ikut ambil bagian dalam satu tahap atau lebih dari suatu proses pembangunan. Keith Davis seperti dikutip Khairuddin (1992) mengemukakan partisipasi adalah keterlibatan mental, pikiran dan perasaan seseorang dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan atau bantuan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan bersama dan ikut bertanggung jawab terhadap usaha yang dilakukan. Pengertian ini memiliki 3 hal pokok, yaitu : 1. Partisipasi merupakan keterlibatan mental dan emosi. 2. Partisipasi menghendaki adanya kontribusi terhadap kepentingan atau tujuan kelompok. 3. Partisipasi merupakan tangung jawab terhadap kelompok.
Mubyarto (1984) lebih menegaskan partisipasi atau peran serta masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan pedesaan secara lebih luas yaitu kesediaan masyarakat untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa harus mengorbankan kepentingan dirinya. Pemberdayaan dan partisipasi merupakan dua hal yang menjadi pusat perhatian dalam proses pembangunan suatu negara, termasuk Indonesia. Pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial dan transformasi budaya. Proses ini pada akhirnya akan dapat menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada rakyat (Hikmat, 2004). Strategi pembangunan meletakkan partisipasi masyarakat sebagai fokus isu sentral pembangunan saat ini. Sumodiningrat (2004) memaparkan bahwa pemberdayaan dan partisipasi masyarakat diarahkan pada pemberdayaan ekonomi kerakyatan dalam konstelasi pembangunan dan perekonomian nasional sebagai salah satu solusi alternatif untuk pemecahan masalah pokok perekonomian saat ini terutama rendahnya kesejahteraan masyarakat. Slamet (2003) membagi partisipasi masyarakat dalam pembangunan menjadi lima jenis, yaitu : 1. Ikut memberi input proses pembangunan, menerima imbalan atas input tersebut dan ikut menikmati hasilnya. 2. Ikut memberi input dan menikmati hasilnya. 3. Ikut memberi input dan menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil pembangunan secara langsung. 4. Menikmati/memanfaatkan hasil pembangunan tanpa ikut memberi input. 5. Memberi input tanpa menerima imbalan dan tidak menikmati hasilnya. Muhadjir (1980) merinci tingkatan partisipasi dalam empat jenis, yaitu : 1) keterlibatan orang dalam proses pembuatan keputusan, 2) keterlibatan orang dalam pelaksanaan program dan pengambilan keputusan, 3) keterlibatan orang di dalam menikmati hasil dari kegiatan, dan 4) keterlibatan di dalam evaluasi suatu hasil dari program yang sudah terlaksana. Hoofsteede dalam Khairuddin (1992) membagi partisipasi menjadi 3 tingkatan, yaitu : 1. Partisipasi inisiasi (Inisiation Participation) yaitu partisipasi yang mengundang inisiatif dari pemimpin desa, baik formal maupun informal, ataupun dari
anggota masyarakat mengenai suatu kegiatan yang nantinya kegiatan tersebut merupakan kebutuhan masyarakat. 2. Partisipasi legitimisasi (Legitimation Participation) adalah partisipasi pada tingkat pembicaraan atau pembuatan keputusan tentang kegiatan tersebut. 3. Pasrtisipasi eksekusi (Execution Participation) adalah partisipasi pada tingkat pelaksanaan. Hardjosudiro (1975) menjelaskan faktor-faktor sosial ekonomi yang berperan sebagai pendorong tumbuhnya partisipasi petani dalam usaha menanam tanaman keras adalah luas kepemilikan lahan, pola penggunaan tanah, jumlah anggota keluarga, keadaan wilayah dan adanya harapan akan manfaat dari usaha yang akan dijalankan. Tingkat pendidikan dan kemiskinan adalah faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam mengelola lingkungan hidup. Tingkat pengetahuan masyarakat diharapkan dapat mempengaruhi kesadaran mereka dalam mengelola lingkungan dengan lebih bijaksana. Hal tersebut akhirnya akan mendorong masyarakat untuk memperdalam pemahamannya terhadap manfaat yang diperoleh dari lingkungan yang ada di sekitarnya. Partisipasi dapat dan sering dicapai secara informal. Penyuluh harus dapat memahami dengan seksama berbagai tipe petani di wilayah kerja mereka dengan tujuan memahami kebutuhan, tujuan, masalah serta peluang-peluang yang dimiliki oleh masyarakat sasaran. Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan sangat mutlak diperlukan. Khairuddin (1992) menjelaskan bahwa masyarakatlah yang pada akhirnya melaksanakan berbagai kegiatan pembangunan, rakyat banyak memegang peranan sekaligus sebagai objek dan subjek pembangunan. Kartasubrata (2003) menegaskan bahwa untuk dapat melaksanakan pengelolaan hutan secara baik diperlukan dukungan dan partisipasi masyarakat, terutama penduduk di sekitar hutan. Pengelolaan hutan yang baik dapat mendatangkan manfaat secara langsung (kayu dan hasil hutan lainnya) dan tidak langsung (pengendalian tata air dan erosi, kualitas lingkungan hidup) secara lestari. Tingkat partisipasi petani dalam suatu kegiatan pembangunan sangat dipengaruhi oleh keadaan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat itu sendiri. Partisipasi menitikberatkan pada keterlibatan langsung masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan. Mengacu pada berbagai definsi dan stratifikasi
partisipasi tersebut di atas, panelitian ini memfokuskan partisipasi petani pada tiga aspek, yaitu partisipasi
dalam perencanaan hutan rakyat, partisipasi dalam
pelaksanaan hutan rakyat, dan partisipasi dalam pemanfaatan hasil hutan rakyat. Partisipasi Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Partisipasi petani dalam Pengelolaan hutan rakyat berhubungan dengan faktor internal yaitu karakteristik petani, faktor eksternal berupa dukungan kegiatan penyuluhan kehutanan, keberadaan kelompok tani hutan rakyat, sumber informasi yang dimiliki petani dan didukung oleh kompetensi petani. Faktor Internal Petani Partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat sangat
berhubungan
dengan faktor internal masing-masing individu petani. Perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh karakteristik individu. Karakteristik individu adalah ciri-ciri atau sifat-sifat pribadi yang dimiliki seseorang yang diwujudkan dalam pola pikir, sikap dan tindakannya terhadap lingkungan. Karakteristik individu merupakan bagian dari pribadi dan melekat pada diri seseorang. Karakteristik ini mendasari tingkah laku seseorang dalam situasi kerja maupun situasi yang lainnya (Rogers & Shoemaker, 1987). Menurut Mardikanto dan Rasyid (1996) karakteristik individu ialah sifat-sifat yang melekat pada diri seseorang dan berhubungan dengan aspek kehidupan, antara lain : umur, jenis kelamin, posisi, jabatan, status sosial, dan agama. Siagian (2004) menjelaskan bahwa faktor individu yang berpengaruh terhadap motivasi antara lain adalah karakteristik biografikal, kepribadian, persepsi, kemampuan belajar, nilai-nilai yang dianut, dan sikap. Lionberger (1960) mengemukakan bahwa karakteristik individu atau personal adalah semua faktor yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungan, yaitu umur, pendidikan dan karakteristik psikologis. Karakteristik psikologis ialah rasionalitas, fleksibilitas mental, orientasi pada usahatani sebagai bisnis, dan kemudahan menerima inovasi. Faktor-faktor individu yang diduga berhubungan dengan partisipasi petani berdasarkan pernyataan tersebut di atas meliputi : umur, tingkat pendidikan formal/nonformal, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan usahatani, pengalaman berusahatani, dan motivasi berusaha.
Umur Padmowihardjo (1999) mengatakan umur bukan merupakan faktor psikologis, tetapi sesuatu yang diakibatkan oleh umur adalah faktor psikologis. Terdapat dua faktor yang menentukan kemampuan seseorang berhubungan dengan umur. Faktor pertama adalah mekanisme belajar dan kematangan otak, organ-organ sensual dan otot organ-organ tertentu. Faktor kedua adalah akumulasi pengalaman dan bentuk-bentuk proses belajar lainnya. Umur petani akan mempengaruhi penerimaan terhadap inovasi hal-hal baru (Wiraatmadja, 1990). Umur merupakan suatu indikator umum tentang kapan suatu perubahan harus terjadi. Umur menggambarkan pengalaman dalam diri seseorang sehingga terdapat keragaman tindakannya berdasarkan usia yang dimiliki. Rakhmat (2001) mengatakan bahwa kelompok orangtua melahirkan pola tindakan yang pasti berbeda dengan anak-anak muda. Kemampuan mental tumbuh lebih cepat pada masa anak-anak sampai dengan pubertas, dan agak lambat sampai awal dua puluhan, dan merosot perlahan-lahan sampai tahun-tahun terakhir. Umur berkorelasi dengan tingkat penerimaan suatu inovasi atau teknologi baru. Robbins (2007) mengatakan para pekerja yang sudah tua cenderung kurang luwes dan menolak teknologi baru. Umur juga berkolerasi dengan produktivitas. Produktivitas akan merosot dengan bertambahnya usia seseorang. Keterampilan individu menyangkut kecepatan, kecekatan, kekuatan, dan kordinasi menurun seiring berjalannya waktu, dan kurangnya rangsangan intelektual semua berkontribusi terhadap menurunnya produktivitas. Pendikan Formal/Nonformal Mardikanto (1993) menyatakan bahwa pendidikan petani mempengaruhi cara dan pola pikir petani dalam mengelola usahatani. Pendidikan yang relatif tinggi dan umur yang muda menyebabkan petani lebih dinamis. Soekartawi et al. (1986) menjelaskan salah satu faktor yang dapat mengubah pola pikir dan daya nalar petani adalah pendidikan. Salam (1997) mengemukakan pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha yang disadari untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia yang dilaksanakan di dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.
Pendidikan dengan demikian merupakan proses yang dijalani seseorang untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang kemudian menghasilkan perubahan perilaku. Pendidikan dalam penelitian ini dibatasi pada jumlah tahun pendidikan formal yang telah ditempuh oleh petani Tjondronegoro dalam Sastraatmaja (1986) mengemukakan pendidikan non formal merupakan perpaduan dari kegiatan mengunggah minat/keinginan, menyebarkan pengetahuan, keterampilan dan kecakapan, sehingga diharapkan terjadinya perubahan perilaku (sikap, tindakan dan pengetahuan). Jumlah Tanggungan Keluarga Jumlah tanggungan keluarga adalah banyaknya orang yang menjadi tanggungan baik keluarga maupun bukan yang tinggal serumah dan menjadi tanggung
jawabnya
(Soekartawi,
1988).
Jumlah
tanggungan
keluarga
berhubungan dengan kemampuan keluarga dalam penyediaan tenaga kerja. Keluarga petani merupakan kesatuan unit produksi dan kesatuan unit konsumsi. Jumlah anggota keluarga mempengaruhi kegiatan ekonomi suatu keluarga (Asdi, 1996). Jumlah tanggungan keluarga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pengelolaan pekarangan secara lestari di Lampung Tengah, Lampung Barat, dan Lampung Utara (Wulandari, 1999). Jumlah tanggungan keluarga berhubungan dengan partisipasi petani dalam melaksanakan usahatani hutan rakyat. Luas Lahan Usahatani Lahan merupakan sarana produksi bagi usahatani, termasuk salah satu faktor produksi dan pabrik hasil pertanian. Lahan adalah sumberdaya alam fisik yang mempunyai peranan penting dalam berbagai segi kehidupan manusia khususnya petani (Mosher, 1991). Lahan usahatani merupakan asset bagi petani dalam menghasilkan produksi dan sekaligus sumber kehidupan. Pada umumnya, petani dengan kepemilikan lahan usaha yang lebih luas, menempati posisi sosial lebih tinggi di lingkungan sosialnya (Mardikanto, 1993). Tjakrawiralaksana (1996) menyebutkan lahan merupakan manifestasi atau pencerminan dari faktor-faktor alam yang berada di atas dan di dalam bumi yang berfungsi sebagai (1) tempat diselenggarakan
kegiatan pertanian, seperti bercocok tanam dan memelihara ternak atau ikan, (2) tempat pemukiman keluarga tani. Faktor yang mempengaruhi petani dalam meningkatkan produktivitas usahatani adalah luas lahan usahatani yang dikerjakan. Luas lahan juga mempengaruhi kecepatan petani dalam menerima suatu inovasi. Perbedaan status penguasaan lahan dapat menunjukkan perbedaan terhadap pengelolaan usahatani yang dilakukan. Status penguasaan pemilik cenderung mengelola usahatani dengan baik dan memperhatikan kelestarian lingkungan. Sebaliknya, status penguasaan lahan penyewa mengelola lahan untuk usahatani dengan tidak memperhatikan kondisi lingkungan dan cenderung mengeksploitasi lahan secara besar-besaran (Salikin, 2003). Pambudy (2003) mengemukakan perilaku pertanian agribisnis berhubungan dengan besaran luas lahan. Semakin luas usahanya maka semakin tinggi jiwa wirausaha mereka. Pemilikan lahan usahatani hutan rakyat di Jawa umumnya sempit. Sempitnya kepemilikan lahan setiap keluarga, mendorong pemiliknya untuk memanfaatkan seoptimal mungkin (Hardjanto, 2000) Pengalaman Berusahatani Padmowihardjo (2002) mengemukakan pengalaman yang menyenangkan dan yang mengecewakan akan berpengaruh pada proses belajar seseorang. Seseorang yang pernah mengalami keberhasilan dalam proses belajar, ia telah memiliki perasaan optimis akan keberhasilan di masa mendatang. Sebaliknya, seseorang yang pernah memiliki pengalaman mengecewakan, ia telah memiliki perasaan pesimis untuk dapat berhasil. Pengalaman seseorang bertambah sejalan dengan bertambahnya usia. Pengalaman dapat diukur secara kuantitatif berdasarkan jumlah tahun seseorang dalam bidang usahatani; serta pengalaman yang bersifat kualitatif. Konsekuensi masa depan ditentukan oleh pengalaman masa lalu, dampak dari pengalaman, serta pengamatan seseorang terhadap yang lain (Bandura 1986). Pengalaman berusahatani merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi dan aktivitas petani dalam usahataninya. Cita-cita petani berdasarkan pangalaman yang baik, mengenai cara bercocok tanam yang baik dan menguntungkan akan mempengaruhi terlaksananya pembangunan pertanian (Mosher, 1991).
Pengalaman berusahatani yang dimiliki petani akan berpengaruh dalam pengelolaan usahatani yang dilakukan. Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi proses pengambilan keputusan, sehingga petani yang memiliki pengalaman berusahatani lebih lama cenderung
lebih efektif dalam proses
pengambilan keputusan (Mardikanto, 1993). Motivasi Berusaha Motivasi merupakan akibat dari adanya interaksi antara individu dengan situasi dan lingkungannya. Secara terminologis, motivasi dikembangkan dari istilah movere yang bermakna pindah atau bergerak. Dalam konteks perilaku, hal tersebut merupakan proses psikologis yang dapat meningkatkan dan mengarahkan perilaku untuk mencapai tujuan (Morgan et.al. 1962). Danim (2004) mendefinisikan motivasi sebagai kekuatan, dorongan, kebutuhan, semangat, tekanan, atau mekanisme psikologi yang mendorong seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai prestasi tertentu sesuai yang dikehendakinya. Motivasi juga diartikan
sebagai proses yang berperan pada intensitas, arah dan lamanya
berlangsung upaya individu ke arah pencapaian tujuan (Robbins, 2007). Istilah motivasi paling tidak memuat tiga unsur esensial. Pertama, faktor pendorong atau pembangkit motif, baik internal maupun eksternal. Kedua, tujuan yang ingin dicapai. Ketiga, strategi yang diperlukan oleh individu atau kelompok untuk mencapai tujuan tersebut (Danim, 2004). Motivasi dapat menjelaskan tentang alasan seseorang melakukan suatu tindakan karena motivasi merupakan daya pendorong yang menyebabkan seseorang berbuat (atau tidak berbuat) sesuatu guna mencapai tujuan yang diinginkan. Berkembangnya teori-teori tentang motivasi diawali oleh munculnya teori tentang kebutuhan manusia. Teori Hierarkhi Kebutuhan merupakan konsep awal yang diperkenalkan oleh Abraham Maslow pada periode 1950-an bersama dengan teori X dan Y yang dikenalkan oleh Mc Gregor serta teori Hygine-Motivation oleh Herzberg (Marihot, 2002). Kemudian berbagai teori kontemporer tentang motivasi dikemukakan oleh para ahli sejalan dengan semakin kompleksnya tuntutan kehidupan manusia. Clayton Aldelfer mengemukakan teori ERG yang merupakan hasil kajian empiris tentang teori Hierarkhi kebutuhan Maslow. Teori ERG mengelompokkan adanya tiga kebutuhan inti manusia, yaitu eksistensi
(existenence), keterhubungan (relatedness), dan pertumbuhan (growth), sehingga dikenal dengan teori ERG. Teori kebutuhan McClelland memfokuskan pada tiga kebutuhan, yaitu prestasi, kekuasaan dan kelompok pertemanan. Dewasa ini salah satu penjelasan yang paling banyak diterima secara luas mengenai motivasi adalah teori pengharapan (ekspektasi) dari Victor Vroom. Teori pengharapan beragumen bahwa kekuatan dari kecenderungan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu bergantung pada kekuatan pengharapan bahwa tindakan itu akan diikuti oleh output tertentu dan tergantung pada daya tarik output itu bagi individu (Robbins, 2007). Teori motivasi berusaha yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah teori pengharapan (ekspektasi) dari Victor Vroom. Mekanisme terbentuknya motivasi pada seseorang merupakan akumulasi adanya faktor-faktor internal dan eksternal. Faktor internal bersumber dari dalam diri individu, sedangkan faktor eksternal bersumber dari luar individu. Faktor internal dapat pula disebut sebagai akumulasi aspek-aspek internal individu seperti kepribadian, intelegensi, ciri-ciri fisik, kebiasaan, kesadaran, minat, bakat, kemauan, spirit, dan sebagainya. Faktor eksternal bersumber dari lingkungan, apakah itu lingkungan fisik, sosial ataupun regulasi keorganisasian (Danim, 2004). Faktor internal dan eksternal tersebut berinteraksi dan diaktualisasikan dalam bentuk kapasitas yang mendukung pencapaian kinerja individu. Motivasi berusahatani dapat dikonstruksikan sebagai dorongan atau keinginan yang bersumber dari dalam diri seseorang dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau situasi di luar dirinya menjadi motif dorongan berperilaku untuk mencapai tujuan tertentu dalam rangka memenuhi dan memuaskan kebutuhan. Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah ciri-ciri yang menekan seseorang yang berasal dari luar dirinya, yang merupakan salah satu faktor penting dalam rangka mengetahui upaya seseorang untuk melakukan suatu usaha. Pengertian faktor eksternal dalam penelitian ini adalah keadaan atau kondisi yang mempengaruhi petani yang berasal dari luar dirinya, seperti: penyuluhan kehutanan, kelompok tani hutan, dan sumber informasi.
Penyuluhan Kehutanan Keberhasilan
pembangunan
diarahkan
pada
peningkatan
kapasitas
masyarakat dalam memberdayakan dirinya menuju tingkat yang lebih baik. Arah kebijakan pembangunan harus berorientasi pada manusia sebagai pelaku dan penerima manfaat dari proses pembangunan (people centered developmnet) dengan bertumpu pada pengelolaan dan pengembangan sumber daya lokal (community based resource management). Pembangunan adalah sebuah proses perubahan yang dilakukan secara sengaja untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat (Khairuddin, 1992). Penyuluhan memiliki pengertian sebagai suatu pendidikan nonformal, bertujuan mengubah perilaku masyarakat agar dapat memecahkan masalah yang dihadapi guna mencapai kehidupan yang lebih baik (Rejeki, 1998). Clarr et. al. dalam Nasution (2007) menjelaskan penyuluhan merupakan pendidikan pemecahan masalah (problem solving) yang berorientasi pada tindakan untuk mengajarkan sesuatu, mendemonstrasikan, memotivasi tetapi tidak melakukan pengaturan (regulating) dan tidak melaksanakan program yang nonedukatif. Penyuluhan dalam arti umum adalah ilmu sosial yang mempelajari sistem dan proses perubahan pada individu serta masyarakat agar dapat terwujud perubahan yang lebih baik sesuai yang diharapkan. Penyuluhan dapat diartikan sebagai suatu sistem pendidikan yang bersifat nonformal di luar sistem sekolah. Penyuluhan sebagai salah satu pendidikan nonformal berkaitan dengan tujuan pendidikan dalam arti luas, yaitu adanya perubahan perilaku sasaran. Sasaran penyuluhan adalah masyarakat (petani), sehingga penyuluhan merupakan satu kegiatan untuk mengubah perilaku petani. Perubahan perilaku sasaran terkait dengan proses adopsi. Adopsi dalam proses penyuluhan diartikan sebagai proses perubahan perilaku baik pengetahuan, sikap, dan keterampilan seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan penyuluh (Departemen Kehutanan, 2004). Sasaran penyuluhan adalah masyarakat pedesaan agar memiliki keinginan untuk maju, meningkatkan kualitas hidup dan memiliki kecakapan dalam bekerja. Kegiatan penyuluhan meliputi : 1. Menyajikan
informasi
tentang
pertanian, pasar dan sebaginya.
teknologi,
pengetahuan,
perkembangan
2. Mendidik masyarakat pedesaan tentang pemanfaatan dan operasionalisasi teknologi dan pengetahuan yang sesuai dan lebih efisien. 3. Memperluas wawasan/pandangan masyarakat pedesaan. 4. Membantu masyarakat pedesaan agar memiliki pendapat yang rasional (masuk akal) dan mampu mengambil keputusan dengan tepat. 5. Menggerakkan masyarakat pedesaan agar lebih dinamis menuju perubahan. 6. Membantu masyarakat pedesaan agar mampu berusahatani dan mampu meningkatkan produksi pertanian yang diusahakan (Rejeki, 1998). Orientasi kegiatan penyuluhan dalam kerangka pembangunan masyarakat pedesaan diarahkan pada upaya peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan masyarakat agar dapat memanfaatkan secara optimal sumber daya yang ada. Setiana (2005) menjelaskan, bahwa orientasi kegiatan penyuluhan dalam konteks pembangunan pedesaan, antara lain : 1. Penyuluhan yang berorientasi pada profesi yang mendukung kehidupan masyarakat desa setempat. 2. Penyuluhan yang berorientasi pada kelangsungan hidup masyarakat setempat dari masa ke masa. 3. Penyuluhan yang berorientasi pada penerapan teknologi tertentu dalam rangka mendukung program nasional di bidang tertentu. 4. Penyuluhan yang berorientasi pada perubahan sosial masyarakat yang diharapkan dapat terjadi secara bertahap sesuai standar yang ditetapkan. Penyuluhan menjadi sangat penting dalam peranannya sebagai jembatan bagi golongan ekonomi lemah. Penyuluhan diharapkan dapat menghasilkan sumberdaya produksi, modal kerja, prasarana pokok di samping layanan umum lain yang dibutuhkan golongan penduduk miskin agar turut serta dalam kegiatan ekonomi (Pambudy, 2003). Penyuluhan yang dilaksanakan disesuaikan dengan kebutuhan sasaran dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Kelompok Tani Hutan Kelompok merupakan tempat bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan sosiologis, kebutuhan ekonomis, dan kebutuhan psikologisnya. Manusia dapat mengembangkan potensi, aktualisasi, dan eksistensi dirinya dengan berkelompok.
Hal ini disebabkan adanya naluri manusia untuk selalu hidup dengan orang lain atau gregariousness sehingga manusia disebut social animal (Soekanto, 2006). Penumbuhan kelompok tani didasarkan atas faktor-faktor pengikat antara lain : (a) adanya kepentingan bersama antara anggotanya, (b) adanya kesamaan kondisi sumber daya alam dalam berusahatani, (c) adanya kondisi masyarakat dan kondisi sosial yang sama, (d) adanya saling percaya mempercayai antara sesama anggota. Kerjasama antara individu anggota kelompok dalam proses belajar, proses berproduksi, pengolahan hasil dan pemasaran hasil untuk peningkatan pendapatan dan kehidupan yang layak dapat dijalin melalui pendekatan kelompok (Abbas 1995). Salah satu aspek penting yang perlu mendapat perhatian dalam pemberdayaan masyarakat petani dan nelayan menurut Karsidi (2003) adalah : 1. Pengembangan organisasi/kelompok masyarakat yang dikembangkan dan berfungsi dalam mendinamisasikan kegiatan produktif masyarakat. 2. Pengembangan jaringan strategis antar kelompok/organisasi masyarakat yang dibentuk dan berperan dalam pengembangan masyarakat tani dan nelayan. 3. Kemampuan kelompok tani dan nelayan dalam mengakses sumber-sumber luar yang dapat mendukung pengembangan mereka, baik dalam bidang informasi pasar, permodalan serta teknologi, dan manajemen termasuk kemampuan lobi ekonomi. 4. Pengembangan kemampuan-kemampuan teknis dan manajerial kelompokkelompok masyarakat, sehingga berbagai masalah teknis dan organisasi dapat dipecahkan dengan baik. Sumber Informasi Kemampuan petani untuk berhubungan dengan lingkungan yang luas dalam mengakses
informasi merupakan keterbukaan petani terhadap inovasi atau
informasi dari luar. Keterbukaan ini akan menambah pengetahuan, perubahan sikap dan peningkatan keterampilan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kemampuan petani dalam pengelolaan hutan rakyat. Hal ini juga berkaitan dengan perkembangan proses belajar mandiri yang menuntut petani mampu untuk membuka wawasannya mencari informasi dalam berusahatani hutan rakyat.
Suharjito (2000) mengatakan bahwa budidaya hutan rakyat di Jawa dengan hasil utama kayu berkembang karena adanya pasar (termasuk yang mengatur perilaku efisiensi dan gengsi) untuk peralatan tumah tangga, peti kemas, pulp dan lain-lain penggunaan. Pasar itulah yang menentukan jenis tanaman. Pemilihan komoditas juga berdasarkan luasan hutan rakyat yang dikelola oleh masyarakat. Pada umumnya pemilik berusaha memanfaatkan lahan dengan membudidayakan tanaman-tanaman yang bernilai tinggi, cepat menghasilkan, dan tanaman konsumsi sehari-hari. Hasil penelitian Lembaga Penelitian IPB di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur tentang posisi petani dalam usaha hutan rakyat diketahui bahwa pihak-pihak yang berperan dalam sistem usaha hutan rakyat terutama dalam rantai usaha akan lebih solid jika pihak-pihak tersebut menguasai informasi (pasar) sehingga memiliki posisi tawar yang lebih kuat (Hardjanto, 2000). Mosher (1991) berpendapat keterbukaan seseorang berhubungann dengan penerimaan perubahan-perubahaan untuk meningkatkan perbaikan usahatani mereka. Perilaku petani dalam mengelola usahatani berhubungan dengan frekuensi interaksi sesama petani. Semakin intensif mereka berinteraksi, semakin banyak mendapat informasi baru dan berbagai alternatif untuk meningkatkan kualitas usahatani mereka. Kompetensi Susanto (2003) mendefinisikan
kompetensi merupakan karakteristik-
karakteristk yang mendasari individu untuk mencapai kinerja superior. Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang berhubungan dengan pekerjaan, serta kemampuan yang dibutuhkan untuk pekerjaan-pekerjaan non-rutin. Johnson dalam Usman (1997) mengemukakan kompetensi merupakan kinerja (perfomance) yang rasional yang secara memuaskan memenuhi tujuan tertentu sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Mirabile dalam Kismiyati (2004) mendefinisikan kompetensi sebagai pengetahuan dan keterampilan yang dituntut untuk melaksanakan dan/atau untuk menunjang pelaksanaan pekerjaan, yang merupakan dasar bagi penciptaan nilai dalam suatu organisasi. Faktor-faktor kompetensi yang sangat penting bagi perseorangan maupun organisasi untuk
mencapai
keberhasilan,
meliputi:
pengetahuan
teknis,
pengkoordinasian
pekerjaan, penyelesaian dan pemecahan masalah, komunikasi dan layanan, serta akuntabilitas. Sedarmayanti (2003) membagi kompetensi menjadi tiga macam, yaitu : 1. Kompetensi teknis, yaitu pengetahuan dan keahlian untuk mencapai hasil yang telah disepakati, kemampuan untuk memikirkan persoalan dan mencari alternatif baru. 2. Kompetensi konseptual, yaitu kemampuan melihat gambar besar (imajinatif), untuk menguji berbagai pengandaian, dan mengubah perspektif. 3. Kompetensi untuk hidup dalam ketergantungan, yaitu kemampuan yang diperlukan guna berinteraksi efektif dengan orang lain, termasuk kemampuan mendengar, berkomunikasi, mendapat alternatif lain, menciptakan kesepakatan menang-menang, dan beroperasi secara efektif dalam sistem. Spencer dan Spencer (1993) menyatakan bahwa kompetensi merupakan karakteristik mendalam dan terukur pada diri seseorang sebagai suatu perilaku dan kinerja dalam situasi dan tugas kerja tertentu. Lebih jauh Spencer dan Spencer menyatakan
bahwa
kompetensi
mempunyai
cakupan
yang
jauh
lebih
komprehensif, yang terdiri atas : 1. Motif, yaitu kebutuhan dasar seseorang yang mendorong dan mengarahkan cara berpikir dan bersikap. 2. Sifat-sifat, yaitu sifat-sifat dasar yang menentukan seseorang bertindak/ bertingkah laku. 3. Konsep diri, yaitu pandangan seseorang terhadap identitas dan kepribadiannya sendiri atau inner self. 4. Peran kemasyarakatan, yaitu bagaimana seseorang melihat dirinya dalam interaksinya dengan orang lain atau outer self. 5. Pengetahuan, kemampuan intelektual yang dapat dimanfaatkan dalam tugas/ pekerjaan tertentu. 6. Keterampilan, kemampuan teknis untuk melaksanakan sesuatu dengan baik. Kompetensi merupakan kombinasi dari pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang diperlukan oleh individu untuk dapat melaksanakan tugas tertentu dengan baik yang terekspresi dalam bentuk perilaku. Seseorang yang
berkompeten adalah seseorang yang penuh percaya diri karena menguasai pengetahuan dalam bidangnya, memiliki kemampuan dan keterampilan serta motivasi tinggi dalam mengerjakan hal-hal yang terkait dengan bidangnya sesuai dengan tata nilai atau ketentuan yang dipersyaratkan. Kompetensi merupakan faktor mendasar yang perlu dimiliki seseorang, sehingga mempunyai kemampuan lebih dan membuatnya berbeda dengan seseorang yang mempunyai kemampuan rata-rata atau biasa saja. Klausmeier dan Goodwin (1975) menyatakan bahwa kompetensi dapat mengalami perubahan atau dikembangkan. Kompetensi petani adalah kemampuan yang dimiliki petani berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Perubahan kompetensi dapat terjadi melalui proses belajar. Hutan Rakyat Sejarah pengelolaan hutan yang beorientasi pada kemanfaatan bagi masyarakat lokal memiliki rentang waktu yang cukup panjang. Berbagai sistem pengelolaan
hutan
yang
melibatkan
masyarakat
sudah
dimulai
sejak
diberlakukannya Ordonansi Hutan untuk Jawa dan Madura yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1927. Program-program kehutanan yang melibatkan masyarakat juga dilakukan oleh pihak Perhutani melalui konsep Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH). Kemudian berturut-turut lahir konsep Hutan Kemasyarakatan, Social Forestry, dan disusul dengan Hutan Rakyat. Konsep-konsep pengelolaan hutan seperti tersebut di atas, menurut pandangan beberapa pakar memiliki pengertian yang hampir sama. Cukup banyak program pembangunan pertanian yang terintegrasi dengan kegaiatan lain dalam satu areal dengan menggunakan pendekatan agroforestry di luar kawasan hutan. Konsep hutan kemasyarakatan (social agroforestry) merupakan konsep pengelolaan hutan dengan sistem agoforestry pada lahan milik (Departemen Kehutanan, 1997). Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan
luas minimal 0.25 ha, penutupan tajuk didominasi oleh tanaman perkayuan (lebih dari 50%), dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang ( Awang, 2001). Penanaman pepohonan di tanah milik masyarakat oleh pemiliknya, merupakan salah satu bentuk kearifan masyarakat dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Terbatasnya kepemilikan tanah, menyebabkan peran hutan rakyat semakin penting bagi kesejahteraan masyarakat. Pengetahuan tentang kondisi tanah dan faktor-faktor lingkungannya yang dipadukan dengan pengetahuan jenis-jenis pohon yang akan ditanam untuk mendapatkan hasil yang diharapkan oleh pemilik lahan, merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan hutan rakyat. Hutan rakyat memiliki pola tanam yang beragam di setiap daerah, baik pemilihan jenis yang dikembangkan maupun cara penataannya di lapangan. Suharjito (2000) mengemukakan bahwa keberagaman pola tanam (struktur dan komposisi jenis tanaman) hutan rakyat merupakan hasil kreasi budaya masyarakat. Pola tanam yang dikembangkan oleh petani pada umumnya dapat diklasifikasikan pada 2 pola tanam yaitu murni (monokultur) dan campuran (Polyculture). 1. Hutan Rakyat Monokultur Hutan rakyat yang terdiri atas satu jenis tanaman pokok yang ditanam dan diusahakan secara homogen (monokultur). Jenis silvikultur pola tanam ini memiliki kelebihan yaitu lebih mudah dalam pembuatan, pengelolaan dan pengawasannya, akan tetapi kurang tahan terhadap serangan hama penyakit dan angin, serta kurang fleksibel karena tidak ada diversifikasi komoditi sehingga ketahanan ekonominya kurang dan penyerapan tenaga kerja bersifat musiman (Windawati, 2005). Harjanto (2000) menegaskan bahwa upaya budidaya dilakukan lebih intensif pada hutan rakyat monokultur, karena pada sistem ini lahan secara sengaja diperuntukkan menjadi hutan rakyat. 2. Hutan Rakyat Campuran (Polyculture) a. Hutan Rakyat Campuran (polyculture) dengan 2 – 5 jenis tanaman kehutanan yang dikembangkan dan diusahakan. Cara ini lebih baik dari segi silvikultur daripada hutan rakyat murni, daya tahan terhadap hama penyakit dan angin lebih tinggi, perakaran lebih berlapis dan dari segi ekonomi lebih
fleksibel. Hasil yang diperoleh berkesinambungan dan tenaga kerja yang terserap lebih banyak, namun pelaksanaannya memerlukan perencanaan, pengelolaan dan pengawasan yang lebih baik dan terampil. b. Hutan Rakyat Campuran dengan sistem agroforestry/wanatani. Pola ini merupakan kombinasi kehutanan dengan cabang usaha lainnya seperti perkebunan, pertanian, peternakan dan lain-lain secara terpadu. Pola ini berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan lahan secara rasional, baik dari aspek ekonomis maupun aspek ekologis. Penerapan di lapangan dilakukan dengan cara pemanfaatan suatu ruang tumbuh baik vertikal maupun horizontal dalam bentuk penanaman campuran lebih dari satu jenis seperti jenis kayu-kayuan. Kelebihan pola tanam ini mempunyai daya tahan yang kuat terhadap serangan hama, penyakit dan angin (Windawati, 2005). Lahjie (2001) mengemukakan bahwa agroforestry merupakan bentuk usahatani (pengelolaan lahan) yang memadukan prinsip-prinsip pertanian dan kehutanan. Pertanian dalam arti suatu pemanfaatan lahan untuk memperoleh pangan, serat, dan protein hewani. Kehutanan, untuk memperoleh produksi kayu pertukangan dan atau kayu bakar serta fungsi estetis, hidrologi serta konservasi flora dan fauna. Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan secara eksplisit membagi hutan berdasarkan kepemilikannya menjadi dua golongan yaitu hutan negara, adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak milik, dan hutan hak yaitu hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Definisi tersebut menurut Suharjito (2000) menimbulkan berbagai konsekuensi. Pertama, hutan-hutan yang tumbuh di atas tanah adat dan dikelola oleh keluargakeluarga petani sebagai anggota suatu kelompok masyarakat adat dapat diklaim oleh pemerintah sebagai hutan negara dan bukan hutan rakyat. Kedua, hutanhutan yang tumbuh di atas tanah milik dan diusahakan oleh orang-orang kota yang menyewa atau membeli tanah masyarakat lokal masih dapat dikategorikan sebagai hutan rakyat. Pengertian hutan rakyat tersebut hanya melihat berdasarkan status kepemilikan tanahnya dan bukan berdasarkan pelakunya atau subyek yang mengelola hutan.
Hutan rakyat adalah hutan yang pengelolaannya dilaksanakan oleh organisasi masyarakat baik pada lahan individu, komunal (bersama), lahan adat, maupun lahan yang dikuasai oleh negara. Hutan rakyat atau hutan milik adalah semua hutan yang ada di Indonesia yang tidak berada di atas tanah yang dikuasai pemerintah, dimiliki oleh masyarakat, proses terjadinya dapat dibuat oleh manusia, dapat terjadi secara alami dan dapat juga karena upaya rehabilitasi tanah kritis (Hardjosoediro, 1981). Sistem pengelolaan hutan rakyat juga tidak mengarah hanya pada kayu, namun lebih pada pengembangan pengelolaan hasil hutan non kayu sebagai produk utama dari sistem hutan rakyat. Peran pemerintah dalam pengelolaan hutan rakyat lebih pada pemberian dukungan (fasilitasi), kemitraan, pembuat kebijakan umum (prinsip-prinsip) dan pengakuan kawasan yang dikelola oleh masyarakat. Pola pengembangan hutan rakyat terdiri atas tiga pola, yaitu : 1. Pola Swadaya; hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok atau perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu sendiri. Melalui pola ini masyarakat didorong agar mau dan mampu untuk melaksanakan pembuatan hutan rakyat secara swadaya dengan bimbingan teknis kehutanan. 2. Pola subsidi (model hutan rakyat); hutan rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan biaya pembangunannya. Subsidi atau bantuan diberikan oleh pemerintah (melalui Inpres Penghijauan, Padat Karya dan dana bantuan lainnya) atau dari pihak lain yang peduli terhadap pembangunan hutan rakyat. 3. Pola kemitraan (Kredit Usaha Hutan Rakyat); hutan rakyat dibangun atas kerjasama masyarakat dan
perusahaan swasta dengan insentif permodalan
berupa kredit kepada rakyat dengan bunga ringan. Dasar pertimbangan kerjasama itu adalah pihak perusahaan memerlukan bahan baku dan masyarakat membutuhkan bantuan modal kerja. Pola kemitraan ini dilakukan dengan memberikan bantuan secara penuh melalui perencanaan sampai dengan membagi hasil usaha secara bijaksana, sesuai kesepakatan antara perusahaan dan masyarakat (Rahmawaty, 2004).
Berdasarkan berbagai hasil penelitian yang dilakukan di beberapa daerah oleh Lembaga Penelitian IPB, Suharjito (2000) menyimpulkan beberapa ciri pengusahaan hutan rakyat sebagai berikut : 1. Pelaku. Pelaku dalam hutan rakyat dibedakan menjadi dua golongan yaitu petani dan bukan petani hutan rakyat. Petani hutan rakyat adalah pelaku utama penghasil hutan rakyat dari lahan miliknya. Sedangkan bukan petani adalah pihak-pihak lain yang terkait dalam usaha hutan rakyat, yaitu buruh, penyedia jasa tebang, jasa angkutan dan pihak yang bergerak dalam pemasaran. 2. Distribusi lokasi. Distribusi lokasi hutan rakyat menurut macam pemilikan lahan pada umumnya berada pada lahan-lahan kering. Distribusi lokasinya ternyata terdapat pada seluruh macam pemilikan lahan yaitu sawah, pekarangan, kebun, talun, ladang/tegakan. 3. Teknik budidaya. Budidaya hutan rakyat pada dasarnya telah dikuasai oleh para petani hutan rakyat, walaupun dalam pengertian apa adanya. 4. Skala usaha dan pendapatan hutan rakyat. Sesuai dengan sumber data lahan yang dimiliki, maka petani hutan rakyat belum dapat disebut memiliki usaha hutan rakyat dengan prinsip usaha dan prinsip kelestarian yang baik. Hal ini ditunjukan oleh sedikitnya jumlah pohon yang dimiliki serta penentuan daur yang tidak menentu. Maksud dan tujuan pengembangan hutan rakyat adalah : 1. Meningkatkan pendapatan masyarakat di pedesaan sekaligus meningkatkan kesejahteraan dalam upaya mengentaskan kemiskinan. 2. Memenuhi kebutuhan masyarakat pengguna bahan baku kayu untuk industri, kayu pertukangan dan kayu energi. 3. Terpeliharanya kondisi tata air dan lingkungan yang baik, khususnya lahan milik rakyat. 4. Memberdayakan masyarakat pedesaan. Pengelolaan Hutan Rakyat Suatu cara silvikultur atau strategi pengelolaan hutan adalah suatu metode yang telah ditetapkan untuk memanipulasi pertumbuhan pohon agar dapat memenuhi tujuan penanamannya. Cara pengelolaan bisa bervariasi dengan
mengubah jarak tanam awal, jenis dan waktu penjarangan, tingkat jumlah dan waktu pemangkasan, penggunaan pupuk, penambahan usia dan metode pemanenan (Lahjie, 2001). Lebih jauh dikatakan bahwa teknik silvikultur harus dikembangkan berdasarkan tujuan yang jelas dan tepat sesuai dengan kondisi, berkaitan dengan lahan, topografi, pasar, dan manfaat multi guna. Teknik budidaya hutan rakyat pada dasarnya sudah dikuasai oleh para petani pengelola hutan rakyat secara turun-temurun. Hardjanto (2000) mengatakan bahwa teknik budidaya hutan rakyat yang dikuasai oleh para petani masih sebatas dalam pengertian apa adanya. Artinya mulai dari penyediaan biji, bibit, penanaman, pemeliharaan sampai siap jual, dilakukan secara sederhana. Strategi pengelolaan hutan rakyat pada dasarnya bertitik tolak dari tiga sub sistem yang saling berkaitan, yaitu sub sistem produksi, sub sistem pengolahan hasil, dan sub sistem pemasaran. Attar (2000) mengemukakan sub sistem produksi terbagi menjadi tiga bagian, yaitu penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Sub sistem pengolahan hasil adalah proses sampai menghasilkan bentuk produk akhir yang dijual oleh petani hutan rakyat atau untuk dipakai memenuhi kebutuhan sendiri. Produk yang dihasilkan dapat dipakai sendiri, dijual dalam bentuk pohon berdiri, dijual dalam bentuk kayu bakar atau dijual dalam bentuk kayu gelondongan atau kayu gergajian. Hasil penelitian Attar (2000) memperlihakan beberapa faktor yang mendukung berjalannya sub sistem pengolahan hasil, yaitu : 1. Aspek ekonomi, di mana tegakan yang ditanam penduduk adalah tegakan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. 2. Aspek ekologi, di mana penduduk berpandangan bahwa tegakan yang ada di lahan mereka tidak akan ditebang habis selain untuk menjaga keadaan lahan dan kondisi lingkungan desa, tegakan tersebut dapat digunakan sebagai tabungan untuk masa yang akan datang. 3. Faktor jenis tegakan, yaitu jenis yang disukai masyarakat untuk bahan bangunan sehingga selain dapat digunakan sendiri juga dapat dijual. Hardjanto (2000) menjelaskan sistem pengelolaan hutan rakyat dimulai dengan kegiatan pengadaan benih, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran hasil. Pola tanam hutan rakyat sangat menentukan dalam peningkatan
pendapatan bagi petani pemilik lahan. Pola tanam monokultur akan berhasil jika dilakukan secara kemitraan dengan perusahaan industri yang memerlukan bahan baku kayu. Pola tanam campuran, terutama dengan sistem agroforestry/wanatani bermanfaat secara ganda, di samping meningkatkan pendapatan petani juga menjaga kelestarian lingkungan (ekologi) karena pola ini berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan lahan secara rasional baik dari aspek ekologi, ekonomi, maupun aspek sosial budaya. Kesejahteraan Petani Hutan Rakyat Konsep kesejahteraan memiliki dimensi yang sangat luas dan kompleks karena taraf kesejahteraan tidak hanya berupa ukuran-ukuran yang terlihat (visible) tetapi juga mengandung ukuran-ukuran yang tidak terlihat. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengeluarkan indikator yang dapat digunakan untuk melihat kesejahteraan suatu keluarga. Adapun indikator keluarga sejahtera adalah : 1) kebutuhan dasar (basic needs) terdiri atas variabel pangan, sandang, papan, dan kesehatan; 2) kebutuhan sosial (social psychological needs) terdiri atas variabel pendidikan, rekreasi, transportasi, interaksi sosial internal dan eksternal; 3) kebutuhan pengembangan (developmental needs) terdiri atas variabel tabungan, pendidikan khusus/kejuruan, akses terhadap informasi. Tingkat kesejahteraan keluarga dibagi menjadi lima kategori, yaitu : 1) Pra Sejahtera, 2) Sejahtera I, 3) Sejahtera II, 4) Sejahtera III, dan 5) Sejahtera Plus. Klasifikasi tingkat kesejahteraan keluarga tersebut memiliki dimensi ekonomis, sosial dan psikologis (BKKBN, 1997). Pengembangan hutan rakyat diharapkan mampu memberikan manfaat dan keuntungan ekologi, ekonomi, serta sosial budaya. Pertumbuhan ekonomi yang diharapkan harus diikuti adanya peningkatan kelestarian ekologi dan sosial budaya. Pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan para petani diharapkan dapat meningkatkan kehidupan di pedesaan lebih produktif, mampu mempertahankan nilai-nilai budaya yang baik, adanya sistem penguasaan dan tata guna lahan yang jelas, adanya peningkatan pendapatan petani yang pada akhirnya akan bermuara pada peningkatan kesejahteraan petani. Hutan rakyat yang dikelola dengan memperhatikan teknik-teknik silvikultur akan mendatangkan manfaat yang cukup besar dilihat dari aspek ekologis dan ekonomis. Manfaat ekologis hutan rakyat
dilihat dari kemampuannya dalam mendukung lingkungan terutama dalam menahan erosi, mengurangi bahaya banjir, sebagai pengatur tata air, dan sebagainya. Manfaat ekonomis hutan rakyat diperoleh dari berbagai jenis tanaman yang diusahakan dan memiliki nilai ekonomis cukup tinggi sehingga berimplikasi pada meningkatnya pendapatan rumah tangga petani pengelola. Pengembangan hutan rakyat dalam skala yang lebih luas sebagai salah satu asset nasional perlu memperhatikan berbagai karakteristik lokal yang sangat beragam di berbagai daerah. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Suharjito (2000) bahwa keberadaan hutan rakyat di suatu daerah merupakan salah satu hasil kreasi budaya masyarakat setempat sehingga menghasilkan berbagai bentuk pengelolaan yang sangat variatif. Pengelolaan hutan rakyat sebagai salah satu bentuk manajemen pengelolaan hutan dalam skala yang lebih sempit harus tetap mengacu pada sustainable forest manajemen (SFM) yang berorientasi pada aspek kemanfaatan dan kelestarian yang berkelanjutan. Hutan rakyat sampai saat ini diusahakan oleh masyarakat di pedesaan, sehingga kontribusi manfaat hutan rakyat akan berdampak pada perekonomian desa. Manfaat ekonomi hutan rakyat secara langsung dapat dirasakan masing-masing rumah tangga para pelakunya dan secara tidak langsung berpengaruh pada perekonomian desa. Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10% pendapatan total yang mereka terima. Hal ini disebabkan karena pengusahaan hutan rakyat masih merupakan jenis usaha sambilan. Usaha hutan rakyat pada umumnya dilakukan oleh keluarga petani kecil biasanya subsisten yang merupakan ciri umum petani Indonesia (Darusman & Hardjanto, 2006). Hutan rakyat akan lestari apabila ada manfaat ekonomis yang dirasakan oleh petani. Selain penghasil kayu yang seringkali menjadi tujuan utama petani dalam mengembangkan hutan rakyat, mereka juga dapat memperoleh hasil ikutannya. Manfaat jangka pendek dari hutan rakyat dapat dikembangkan menjadi manfaat jangka panjang seperti peningkatan hasil pertanian, perbaikan gizi dan kesehatan, perbaikan keadaan sosial ekonomi, tata guna lahan, serta perbaikan konservasi
lingkungan. Semuanya tersebut merupakan manfaat yang secara ekonomi bersifat tangible dan intangible. Hasil penelitian Attar (2000) di Desa Sumberejo Kabupaten Wonogiri, memperlihatkan bahwa hasil dari hutan rakyat memberikan kontribusi yang tidak sedikit terhadap pendapatan rumah tangga petani. Hasil dari hutan rakyat memberikan kontribusi rata-rata 21,97% terhadap pendapatan rumah tangga petani. Para petani hutan rakyat di desa tersebut berada di atas garis kemiskinan dan dapat dikatakan sejahtera karena kebutuhan pangan atau konsumsi beras per kapita terpenuhi. Konsep kosejahteraan yang dikaji dalam penelitian ini adalah kesejahteraan sosial dan ekonomi. Kesejahteraan sosial ditunjukkan oleh adanya tata guna lahan yang mantap, batas-batas kepemilikan lahan yang jelas, dan hubungan antar petani dalam ikatan kerjasama sosial yang kuat dan terpenuhinya kebutuhan sosial psikologis petani. Kesejahteraan ekonomi dilihat dari tingkat pendapatan yang diperoleh responden dari hutan rakyat yang berkontribusi terhadap pendapatan ekonomi keluarga.
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Kerangka Pemikiran Potensi hutan alam sebagai penghasil kayu dan devisa negara semakin hari semakin menurun, sedangkan
permintaan kebutuhan kayu terutama sebagai
bahan baku industri pengolahan kayu semakin meningkat. Kondisi ini merupakan peluang bagi berkembangnya sektor usahatani hutan rakyat. Hutan rakyat memiliki fungsi pendukung lingkungan, konservasi tanah dan perlindungan tata air, dan memberikan kontribusi yang cukup besar dalam upaya memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu dan rumah tangga. Partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat menjadi hal yang sangat penting untuk menjamin kelestarian dan keberlangsungan hutan rakyat. Kartasubrata (2003) menjelaskan bahwa untuk melaksanakan pengelolaan hutan secara baik diperlukan dukungan dan partisipasi masyarakat, terutama penduduk di sekitar kawasan hutan. Partisipasi akan timbul apabila terdapat kesempatan, kemampuan, dan kemauan pada diri anggota-anggota masyarakat (Slamet, 2003). Partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat sangat diperlukan agar terjaga kelestarian fungsi dan kemampuan sumberdaya hutan dan ekosistemnya sekaligus meningkatkan kesejehteraan petani. Hardjosudiro (1975) menjelaskan faktor sosial ekonomi yang berperan sebagai pendorong tumbuhnya partisipasi petani dalam usaha menanam tanaman keras adalah luas kepemilikan lahan, pola penggunaan tanah, jumlah anggota keluarga, keadaan wilayah dan adanya harapan akan manfaat dari usaha yang akan dijalankan. Partisipasi petani dipengaruhi oleh faktor internal petani yang meliputi umur, pendidikan forrmal/nonformal, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan usahatani, pengalaman berusahatani, dan motivasi berusaha, serta dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu
penyuluhan
kehutanan, kelompok tani hutan, dan sumber informasi. Orientasi penyuluhan kehutanan diarahkan pada peningkatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan masyarakat dalam kerangka pembangunan masyarakat pedesaan. Penyuluhan kehutanan harus memberikan dampak yang mendukung peningkatan aktivitas berusahatani yang lebih baik dan kehidupan yang lebih baik bagi petani. Salah satu aspek penting yang perlu mendapat perhatian dalam
pemberdayaan masyarakat petani adalah pengembangan organisasi/kelompok masyarakat agar dapat berfungsi dalam mendinamisasikan kegiatan produktif masyarakat. Kelompok tani hutan merupakan salah satu elemen yang mendukung keberhasilan pengelolaan hutan rakyat. Terbukanya peluang bagi pengembangan hutan rakyat merupakan pendorong keberhasilan pengelolaan hutan rakyat oleh para petani. Kemampuan petani dalam mengakses informasi baik menyangkut tata niaga komoditi hutan rakyat maupun permintaan pasar akan jenis-jenis komoditi hutan rakyat yang benilai ekonomi tinggi berpeluang dalam meningkatkan posisi tawar petani dalam mata rantai tata niaga produk hutan rakyat. Pengelolaan hutan rakyat khususnya di Pulau Jawa dengan tingkat pemilikan lahan yang rata-rata sempit, mendorong petani untuk memanfaatkan lahan seoptimal mungkin dengan berbagai jenis tanaman yang produktif, bernilai tinggi, cepat menghasilkan, dan tanaman konsumsi sehari-hari. Kondisi ini mendorong petani untuk mengelola hutan rakyat lebih intensif dengan menerapkan teknik silvikultur, mulai pengadaan benih, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Penerapan teknik silvikultur dalam pengelolaan hutan rakyat menuntut adanya kemampuan petani dalam mengusahakan usahatani hutan rakyat. Kemampuan atau kompetensi petani dalam mengelola hutan rakyat merupakan faktor yang mendukung
keberhasilan
mengemukakan
bahwa
pengelolaan
dalam
hutan
pembangunan
rakyat. hutan
Waskito
rakyat,
(2000)
kemampuan
masyarakat dalam budidaya tanaman (sistem silvikultur) merupakan satu hal yang menentukan berhasil tidaknya pengelolaan hutan rakyat. Teknik budidaya hutan rakyat pada dasarnya sudah dikuasai oleh para petani pengelola hutan rakyat secara turun-temurun. Hardjanto (2000) mengatakan teknik budidaya hutan rakyat yang dikuasai para petani masih sebatas dalam pengertian apa adanya. Artinya mulai dari penyediaan biji, bibit, penanaman, pemeliharaan sampai siap jual, semuanya dilakukan secara sederhana. Kompetensi petani diduga berhubungan dengan partisipasi mereka dalam pengelolaan hutan rakyat. Kompetensi merupakan kemampuan anggota-anggota masyarakat untuk berkembang secara mandiri. Kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi merupakan tanda adanya kompetensi atau kemampuan awal untuk berkembang secara mandiri (Ndraha, 1990). Mubyarto (1984) menyatakan
kompetensi anggota masyarakat berkorelasi positif dengan kemampuannya untuk berpartisipasi. Kompetensi merupakan kemampuan yang dapat ditingkatkan dan dikembangkan melalui proses belajar. Kompetensi yang dikaji dalam penelitian ini meliputi kompetensi teknis, kompetensi konseptual, dan kompetensi relasional. Kompetensi teknis adalah kemampuan yang dimiliki oleh petani berupa pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan usahatani hutan rakyat. Penguasaan kompetensi ini akan berdampak pada meningkatnya kemampuan petani dalam melakukan kegiatan pengelolaan hutan rakyat secara berkelanjutan. Kompetensi konseptual merupakan seperangkat kemampuan yang dimiliki oleh petani berkaitan dengan pemahaman dan pengetahuan dalam memprediksi peluang-peluang usaha yang dapat dikembangkan. Kompetensi konseptual petani diduga mampu berkontribusi dalam mengembangkan ide-ide/pemikiran terkait dengan pengelolaan hutan rakyat. Kompetensi relasional merupakan kemampuan untuk membangun hubungan kemitraan dalam rangka pengelolaan hutan rakyat. Faktor internal petani (umur, pendidikan formal/nonformal, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan usahatani, pengalaman berusahatani, motivasi berusaha), faktor eksternal ( penyuluhan kehutanan, kelompok tani hutan, sumber informasi), dan kompetensi petani (kompetensi teknis, kompetensi konseptual, dan kompetensi relasional) diduga berkorelasi dengan partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat. Partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat dicirikan oleh indikator partisipasi berupa: 1) partisipasi
dalam perencanaan
hutan rakyat, 2) partisipasi dalam pelaksanaan hutan rakyat, dan 3) partisipasi dalam pemanfaatan hasil hutan rakyat. Meningkatnya partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat diharapkan berdampak pada tingkat kesejahteraan sosial dan kesejahteraan ekonomi petani. Pendapatan petani diperoleh dari berbagai jenis tanaman yang diusahakan dalam areal hutan rakyat berdasarkan model-model hutan rakyat yang dikembangkan. Hasil dari hutan rakyat berkontribusi bagi pendapatan petani dan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Pengelolaan hutan rakyat harus tetap memperhatikan aspek kelestarian produksi dan kelestarian usaha. Hutan rakyat
diharapkan menjadi salah satu asset produksi bagi petani dan sebagai salah satu alternatif sumber pendapatan keluarga. Hubungan antar peubah sebagai kerangka operasional penelitian disusun sebagai berikut: Faktor Internal (X1) x Umur x Pendidikan formal/ nonformal x Jumlah tanggungan keluarga x Luas lahan usahatani x Pengalaman berusahatani x Motivasi berusaha
Partisipasi (Y1) • Partiipasi dalam Perencanaan
Faktor Eksternal (X2) x Penyuluhan kehutanan x Kelompok tani hutan x Sumber informasi
• Partisipasi dalam Pelaksanaan • Partisipasi dalam Pemanfaatan Hasil
Kompetensi Petani (X3) x Kompetensi teknis x Kompetensi konseptual
Kesejahteraan Petani Hutan Rakyat (Y2) • Kesejahteraan Sosial • Kesejahteraan Ekonomi
x Kompetensi relasional Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis Penelitian 1. Terdapat hubungan nyata antara faktor internal petani dengan partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat. 2. Terdapat hubungan nyata antara faktor eksternal
petani dengan partisipasi
petani dalam pengelolaan hutan rakyat. 3. Terdapat hubungan nyata antara kompetensi petani dengan partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat. 4. Terdapat hubungan nyata antara partisipasi petani dengan kesejahteraan petani pengelola hutan rakyat.
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan, antara lain : 1) lokasi tersebut merupakan kecamatan yang memiliki areal hutan rakyat yang dikelola petani yang tergabung dalam kelompok tani hutan, 2) kelompok-kelompok tani hutan yang ada di Kecamatan Kertanegara telah berkiprah cukup lama dan memiliki prestasi baik tingkat kabupaten maupun provinsi, 3) aksesibilitas ke lokasi penelitian yang mudah. Penelitian dilaksanakan selama dua bulan mulai bulan Maret sampai dengan April 2009. Populasi dan Sampel Populasi penelitian adalah petani anggota Kelompok Tani Hutan di Desa Langkap, Desa Krangean, dan Desa Adiarsa Kecamatan Kertanegara, Kabupaten Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling pada anggota kelompok tani hutan di wilayah penelitian. Teknik pengambilan sampel secara acak sederhana (simple random sampling) sebanyak 20 responden pada masing-masing desa sehingga total responden sebanyak 60 petani. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan riset deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan, merinci, dan membuat deskripsi terhadap suatu gejala atau obyek yang diteliti (Mardikanto, 2001). Sevilla et. al. (1993) menyatakan bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan mengumpulkan informasi tentang keadaan-keadaan nyata sekarang. Keadaan nyata sekarang dalam penelitian ini adalah hubungan antara peubah bebas yaitu faktor internal (X1) meliputi umur, pendidikan formal/non formal, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan usahatani, pengalaman berusahatani, dan motivasi berusaha; faktor eksternal (X2) meliputi penyuluhan kehutanan, kelompok tani hutan dan sumber informasi; dan kompetensi petani (X3) terdiri atas kompetensi teknis, kompetensi konseptual, dan kompetensi relasional; peubah terikat yaitu partisipasi (Y1) yang
terdiri atas partisipasi dalam perencanaan, partisipasi dalam pelaksanaan, dan partisipasi dalam pemanfaatan hasil, serta kesejahteraan petani hutan rakyat (Y2) meliputi kesejahteraan sosial dan kesejahteraan ekonomi. Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian deskriptif korelasional. Penelitian korelasional merupakan kegiatan penelitian yang bertujuan untuk merinci dan menjelaskan seberapa jauh terjadi hubungan timbal balik antar gejala/variabel yang diteliti (Mardikanto, 2001). Data dan Instrumentasi Data Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah jenis data interval dan rasio. Rincain masing-masing data tersebut adalah sebagai berikut : X1 :
Faktor internal petani meliputi : umur, pendidikan formal/nonformal, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan usahatani, pengalaman berusahatani, dan motivasi berusaha.
X2 : Faktor eksternal petani meliputi : penyuluhan kehutanan, kelompok tani hutan, dan sumber informasi. X3 : Kompetensi petani meliputi : kompetensi teknis, kompetensi konseptual, dan kompetensi relasional. Y1 : Partisipasi petani meliputi : partisipasi dalam perencanaan, partisipasi dalam pelaksanaan, dan partisipasi dalam pemanfaatan. Y2 : Kesejahteraan petani hutan rakyat meliputi : kesejahteraan sosial dan kesejahteraan ekonomi. Instrumentasi Data penelitian diperoleh melalui istrumen penelitian berupa kuesioner berisi seperangkat pertanyaan yang dikembangkan dari peubah-peubah penelitian. Agar data dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka instrumen penelitian diuji terlebih dahulu validitas dan reliabilitasnya. Uji Kesahihan (Validity Test) Menurut Kerlinger dan Rosenzweig (1995) validitas yang terpenting dari sudut pandang riset ilmiah adalah validitas konstruk. Konstruk adalah suatu abstraksi dan generalisasi khusus dan merupakan suatu konsep yang diciptakan
khusus untuk kebutuhan ilmiah dan mempunyai pengertian terbatas. Konstruk tersebut diberi definisi sehingga dapat diamati dan diukur (Nazir, 2005). Hal yang dibahas dalam validitas konstruk adalah ”isi” dan ”makna” dari suatu konsep dari alat ukur yang dipakai untuk mengukur konsep tersebut ( Hagul, 1987). Validitas konstruk digunakan unuk mendapatkan kesahihan alat ukur dalam rancangan penelitian ini, dengan cara : 1. Menyesuaikan daftar pertanyaan dengan esensi kerangka konsep yang diperoleh dari kajian pustaka, terutama tentang peubah dan indikator-indikator yang diteliti. 2. Mengadakan konsultasi secara intensif dengan pembimbing dan berbagai pihak yang dianggap menguasai materi dari daftar pertanyaan yang diajukan. Uji Keterandalan (Reliability Test) Reliabilitas
instrumen
adalah
suatu
istilah
yang
dipakai
untuk
menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulangi untuk kedua kalinya atau lebih (Ancok, 1995). Reliabilitas instrumen diuji dengan menggunakan metode Cronbach’s alpha. Metode tersebut digunakan untuk kuesioner yang memiliki lebih banyak pilihan jawaban serta bukan skor 1 dan 0, melainkan dalam bentuk kategori dan uraian (Arikunto, 1998), sehingga menghasilkan konsistensi antar butir pertanyaan (interiiem) (Kerlinger & Rosenzweig, 1995). Rumus Cronbach’s alpha adalah :
rH =
k (k - 1)
1-
Σ σ 2b
Keterangan :
σ2 1
rH
= reliabilitas instrumen
k
= banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal 2
σ b = jumlah varians butir
Σ σ 21 = varians total Hasil uji reliabilitas instrumen terhadap 30 responden di Desa Karangasem, Darma, dan Adiarsa Kecamatan Kertanegara diperoleh nilai α sebesar 0,956. Setelah melakukan uji validitas konstruk terhadap butir-butir pertanyaan, dinyatakan bahwa instrumen valid dan reliabel.
Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer terdiri atas : 1) karakteristik petani pengelola hutan rakyar, 2) kegiatan penyuluhan yang diikuti oleh petani, keberadaan kelompok tani hutan rakyat, dan sumber informasi, 3) kompetensi petani, terdiri atas kompetensi teknis, kompetensi konseptual dan kompetensi interpersonal, 4) partisipasi petani yang mencakup partisipasi dalam perencanaan, partisipasi dalam pelaksanaan, dan partisipasi dalam pemanfaatan, 5) kesejahteraan petani hutan rakyat terdiri atas kesejahteraan sosial dan kesejahteraan ekonomi. Data primer berasal dari petani pengelola hutan rakyat yang tergabung dalam kelompok tani hutan sebagai responden penelitian. Data primer terdiri atas data kuantitatif dan data kualitatif. Data primer diperoleh dari jawaban yang diberikan responden melalui kuesioner, wawancara, dan observasi lapangan. Wawancara dimaksudkan untuk mengungkapkan data yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat, kegiatan-kegiatan penyuluhan, aktivitas dan kontribusi kelompok tani hutan rakyat, partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat, dan manfaat langsung dan tidak langsung yang diperoleh petani dari usahatani hutan rakyat. Data sekunder berasal dari : 1) kantor penyuluhan pertanian dan kehutanan kecamatan meliputi laporan bulanan, laporan triwulan, laporan tahunan, 2) monografi desa, kecamatan, kabupaten dalam angka, 3) hasil-hasil penelitian atau catatan-catatan lainnya yang berkaitan dengan peubah penelitian. Analisis Data Data yang diperoleh diolah dan ditabulasi dengan interval yang dihasilkan pada masing-masing hasil pengukuran. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Hubungan antar peubah diketahui dengan menggunakan Korelasi Product Moment Perasons, sebagai uji korelasi bagi data parametrik, karena data yang diperoleh dari kuesioner berupa data interval dan rasio. Skor yang diperoleh melalui tes dengan menggunakan skala Likert bisanya dipertimbangkan
sebagai data interval walaupun pada dasarnya adalah data
ordinal (Sevilla et. al. 1993).
Rumus Korelasi Product Moment Pearsons adalah :
Σ xy
rxy =
(Σ x2) (Σ y2) Keterangan : rxy
= Korelasi antara variabel x dan y
x
= (X1 – X)
y
= (Y1 – Y) Definisi Operasional
1. Faktor internal: ciri-ciri atau sifat-sifat individu yang melekat pada pribadi seseorang (individu) yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan, yang meliputi: a. Umur responden adalah usia responden dari lahir sampai pada saat penelitian berlangsung. Dikategorikan muda, dewasa dan tua. b. Pendidikan formal adalah lamanya (tahun) pendidikan formal yang diikuti responden hingga dilakukannya wawancara. Dikategorikan rendah (tidak tamat SD dan lulus SD), sedang (lulus SMP dan lulus SMA), tinggi (lulus perguruan tinggi). Pendidikan nonformal adalah banyaknya pelatihan yang terkait dengan pengelolaan hutan rakyat yang pernah diikuti oleh responden. Dikategorikan rendah, sedang, dan tinggi. c. Jumlah tanggungan keluarga banyaknya orang baik keluarga maupun bukan yang
tinggal
serumah
dan
menjadi
tanggung
jawab
responden.
Dikategorikan rendah, sedang, dan tinggi. d. Luas lahan usahatani adalah
ukuran lahan atau tanah garapan yang
dijadikan responden untuk usahatani dan budidaya tanaman untuk pemenuhan kebutuhan hidup, yang diukur dalam satuan Ha. Dikategorikan sempit, sedang, dan luas. e. Pengalaman
berusahatani yaitu
jumlah
tahun lamanya responden
mengusahakan usahatani hutan rakyat dihitung mulai awal berusahatani sampai wawancara dilakukan. Dikategorikan rendah, sedang, dan tinggi.
f. Motivasi berusaha adalah kekuatan dan dorongan yang menimbulkan dan mengarahkan perilaku petani dalam kegiatan hutan rakyat. Dikategorikan rendah, sedang, dan tinggi. 2. Faktor eksternal adalah berbagai stimuli atau rangsangan yang berasal atau berada di luar diri responden yang mengakibatkan terjadinya perubahan perilaku, meliputi: a. Penyuluhan kehutanan adalah kegiatan penyuluhan kehutanan yang diikuti oleh responden meliputi frekuensi penyuluhan yang dilaksanakan, tingkat kehadiran responden dalam penyuluhan, dan kesesuaian materi penyuluhan dengan kebutuhan responden. Dikategorikan rendah, sedang, dan tinggi. b. Kelompok tani hutan adalah keberadaan kelembagaan kelompok tani hutan dalam mendukung pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan responden, meliputi keberadaan kelompok tani hutan, dukungan kelompok tani hutan terhadap usaha hutan rakyat, dan manfaat kelompok tani hutan bagi responden. Dikategorikan rendah, sedang, dan tinggi. c. Sumber informasi adalah ketersediaan sumber-sumber informasi yang mendukung usahatani hutan rakyat, meliputi ketersediaan infomasi yang mendukung usaha hutan rakyat, tingkat kemanfaatan informasi yang tersedia dalam mendukung usaha hutan rakyat, dan kemudahan responden dalam mendapatkan informasi yang mendukung usaha hutan rakyat. Dikategorikan dengan rendah, sedang, dan tinggi. 3. Kompetensi petani adalah pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh responden yang berkontribusi dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat, yang meliputi: a. Kompetensi teknis adalah pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki responden di bidang pelestarian dan pengelolaan hutan rakyat, meliputi aspek
budidaya
yaitu
pembibitan
dan
penanaman,
pemeliharaan,
pemanenan, dan pascapanen. Dikategorikan rendah, sedang, dan tinggi. b. Kompetensi konseptual adalah seperangkat kemampuan yang dimiliki responden berkaitan dengan pemahaman dan pengetahuan dalam memprediksi peluang-peluang usaha yang dapat dikembangkan dalam usaha hutan rakyat. Dikategorikan rendah, sedang, dan tinggi.
c. Kompetensi relasional, adalah pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh responden dalam membangun hubungan kerja, membangun jejaring sosial, dan kemampuan bernegosiasi, meliputi relasi antar petani dan relasi dengan mitra kerja. Dikategorikan rendah, sedang, dan tinggi. 4. Partisipasi dalam pengelolaan hutan rakyat, adalah keikutsertaan atau keterlibatan responden dalam kegiatan hutan rakyat, yang meliputi: a. Partisipasi dalam perencanaan adalah proses pengambilan keputusan yang rasional tentang kegiatan pengelolaan hutan rakyat baik berupa program pemerintah maupun kegiatan mandiri yang berorientasi pada aspek kemanfaatan dan kelestarian hasil, meliputi keikutsertaan responden dalam merencanakan usaha hutan rakyat, dan kedudukan responden dalam pemilihan jenis tanaman. Dikategorikan rendah, sedang, dan tinggi. b. Partisipasi dalam pelaksanaan adalah keterlibatan responden dalam pengelolaan hutan rakyat berupa program pemerintah maupun kegiatan mandiri yang berorientasi pada aspek kemanfaatan dan kelestarian hasil, meliputi pertimbangan responden dalam menentukan jenis komoditi dan teknologi yang digunakan, pihak-pihak yang berperan membantu responden dalam pengelolaan hutan rakyat, dan kemampuan responden dalam budidaya tanaman. Dikategorikan rendah, sedang, dan tinggi. c. Partisipasi dalam pemanfaatan hasil adalah keterlibatan responden dalam pemanfaatan hasil usahatani hutan rakyat yang dikelolanya, meliputi tingkat kemanfaatan usaha hutan rakyat, kemampuan responden dalam meningkatkan hasil produksi, kemampuan responden dalam memilih pasar yang menguntungkan, dan pihak-pihak yang menentukan harga jual komoditi hutan rakyat. Dikategorikan rendah, sedang, dan tinggi. 5. Kesejahteraan petani hutan rakyat adalah kondisi kehidupan petani hutan rakyat sebagai perwujudan dari kemampuan petani dalam mengelola hutan rakyat secara lestari yang dihasilkan melalui proses pembelajaran. a. Kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehiduapan sosial petani yang terkait dengan kegiatan hutan rakyat yang dikelola karena adanya jaminan keadilan manfaat hutan rakyat bagi petani pengelola hutan rakyat, meliputi kejelasan
tata guna lahan dan sistem kepemilikan lahan, terbangun dan terpeliharanya hubungan sosial. Dikategorikan rendah, sedang, dan tinggi. b. Kesejahteraan ekonomi adalah suatu tata kehidupan ekonomi petani yang terkait dengan manfaat yang diperoleh petani dari usaha hutan rakyat untuk kehidupan sehari-hari
karena adanya sistem pengaturan terhadap
pemanenan (daur tebang) sehingga menjamin adanya potensi produksi untuk dipanen secara berkelanjutan yang berasaskan pada kelestarian sumberdaya, kelestarian hasil dan kelestarian usaha, meliputi pendapatan dan pengeluaran petani. Dikategorikan rendah, sedang, dan tinggi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Kertanegara terletak di bagian utara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah dengan jarak dari ibu kota kabupaten adalah 22 km. Batasbatas wilayah Kecamatan Kertanegara adalah di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Karangjambu, sebelah selatan dengan Kecamatan Kaligondang, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Karangmoncol, dan sebelah barat dengan Kecamatan Karanganyar. Kecamatan Kertanegera merupakan daerah dataran tinggi/pegunungan yang berbukit-bukit dengan tingkat kelerengan lebih dari 40% dan ketinggian dari permukaan laut 260 m dpl. Luas wilayah secara keseluruhan adalah 2.673,91 ha yang terbagi ke dalam 11 desa, dengan perincian sebagai berikut: Tabel 1. Luas Wilayah Kecamatan Kertanegara Desa Margasana Kertanegara Kasih Karangtengah Condong Karangpucung Karangasem Adiarsa Langkap Darma Krangean Hutan Negara Jumlah
Tanah Sawah
Tanah Kering
Jumlah
65,70 90,269 134,300 88,848 71,438 103,323 72,000 135,255 82,054 76,344 164,370 -
47,260 94,857 90,700 86,941 43,300 58,157 319,681 225,825 212,946 94,581 315,692 1.126,990
113,000 185,126 225,000 175,798 114,798 161,480 391,681 351,080 295,000 170,925 460,062 1.126,990
1.083,941
1.590,000
2.673,941
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Purbalingga Th. 2007 Tata guna lahan di Kecamatan Kertanegara didominasi oleh tanah kering/ tegalan yaitu seluas 1.590,00 ha (59,46%) termasuk di dalamnya lahan hutan rakyat, sedangkan sawah irigasi teknis 120,300 ha (4,50%), irigasi setengah teknis 416,773 ha (15,59%), irigasi sederhana 347,261 ha (12,99%), dan tadah hujan 199,607 ha (7,46%). Pola penggunaan lahan terutama lahan kering didominasi
oleh pemanfaatan lahan tegalan untuk pengembangan hutan rakyat. Pola penggunaan lahan kering secara lengkap disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Pemanfaatan Tanah Kering di Kecamatan Kertanegara Desa Margasana Kertanegara Kasih Karangtengah Condong Karangpucung Karangasem Adiarsa Langkap Darma Krangean Jumlah
Pekarangan/ Bangunan 12,173 40,063 68,200 42,092 20,857 38,725 211,181 54,900 10,724 17,380 64,063
Tegal/ Kebun 19,000 43,777 5,400 31,500 15,064 6,342 81,500 135,000 159,460 55,000 243,448
Tambak Kolam 0,750 1,500 0,540 -
580,331
795,491
3,890
Hutan Negara
Jumlah
-
Lainlain 16,067 11,017 17,100 13,349 7,439 12,340 27,000 34,425 42,222 22,201 7,108
1.126.990
210,288
1.590,000
47,250 94,857 90,700 86,941 43,360 58,157 319,681 225,825 212,946 94,581 315,692
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Purbalingga Th. 2007 Jumlah penduduk berdasarkan data kependudukan yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Purbalingga tahun 2007 berjumlah 34.101 jiwa mencakup 8.799 kepala keluarga, terdiri atas 16.934 laki-laki (49,66%) dan 17.167 perempuan (50,34%) dengan kepadatan penduduk 1.275 orang/km2. Tata guna lahan di Kecamatan Kertanegara memperlihatkan bahwa sektor pertanian baik tanaman pangan maupun pertanian lahan kering mendominasi pola penggunaan lahan. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa sektor pertanian memegang peranan yang cukup penting bagi perekonomian penduduk. Pernyataan tersebut diperkuat dengan mayoritas penduduk Kecamatan Kertanegara yang berprofesi sebagai petani dan buruh tani. Jumlah penduduk yang berprofesi sebagai petani maupun buruh tani berjumlah 7.854 orang, buruh industri 2.897 orang, buruh bangunan 1.537 orang, pengusaha 89 orang, pedagang, 3.009 orang, jasa angkutan 359 orang, PNS 266 orang, TNI/Polri 21 orang, pensiunan 207 orang, lain-lain 1.091 orang. Tingkat pendidikan penduduk sebagian besar adalah tamatan Sekolah Dasar sebanyak 10.660 orang (57,14%), SLTP sebanyak 4.988 orang (26,74%), SLTA 2.565 orang (13,75%) dan perguruan tinggi/akademi sebanyak 442 orang (2,37%).
Potensi Hutan Rakyat Hutan rakyat di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga umumnya dikelola secara perorangan (individual) pada lahan milik petani dan tersebar berdasarkan letak, luas kepemilikan lahan dan pola usahataninya. Sebagian besar areal hutan rakyat terdapat di atas tanah hak milik petani dan sebagian kecil berada di atas tanah hak sewa. Data luas dan potensi hutan rakyat di Kecamatan Kertanegara dan seluruh wilayah Kabupaten Purbalingga belum diinventarisasi oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan. Padahal sektor usahatani hutan rakyat memegang posisi yang cukup penting sejalan dengan strategi pengembangan kehutanan di Kabupaten Purbalingga yang diarahkan pada rehabilitasi lahan dan konservasi tanah serta pengembangan aneka usaha kehutanan. Peran hutan rakyat juga penting dalam struktur ekonomi keluarga petani. Hutan rakyat bermanfaat secara ekologis untuk rehabilitasi lahan kritis, dan bermanfaat secara ekonomi bagi seluruh stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan hutan rakyat. Pembangunan hutan rakyat di Kecamatan Kertanegara dapat mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat melalui penyediaan lapangan pekerjaan, baik terkait langsung dengan kegiatan pemanfaatan dan budidaya maupun tidak langsung berupa industri rumah tangga yang memanfaatkan produk hutan rakyat sebagai salah satu faktor produksi. Luas hutan rakyat di Kecamatan Kertanegara lebih kurang 795,491 ha (29,35%) dari total luas wilayah kecamatan dan tersebar di 11 desa. Hutan rakyat di Kecamatan Kertanegara merupakan salah satu bentuk usahatani yang dikembangkan secara turun-temurun. Pola pengembangnnya dilakukan dengan model agroforestry yaitu campuran antara tanaman kehutanan, perkebunan, tanaman pangan, dan tanaman obat-obatan. Penerapan model agroforestry merupakan strategi untuk menyiasati kepemilikan lahan yang relatif sempit. Pemilihan jenis-jenis tanaman yang memiliki daur beragam dimaksudkan agar penghasilan yang diperoleh petani dapat berkelanjutan. Jenis dikembangkan petani disajikan pada Tabel 3.
tanaman yang
Tabel 3. Jenis Tanaman Hutan Rakyat di Kecamatan Kertanegara No
Nama Daerah
1 2 3
Alba Jati Mahoni
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kelapa Petai Jengkol Rambutan Mangga Duku Durian Alpukat Nangka Melinjo Bambu
1 2 3 4 5
Kopi Coklat Cengkeh Pisang Pepaya
1 2 3 4 5 6
Lada Kapulaga Singkong Jagung Ubi jalar Talas
Nama Ilmiah
Tajuk tinggi/Tanaman pokok Albizia spp Tectona grandis Swietenia macrophylla Tajuk tinggi/Tanaman pengisi Cocos nucifera Parkis speciosa Pithecellobium lobatum Nephelium lappaceum Mangifera indica Lansium domesticum Corr Durio zibethinus Persea Americana Artocarpus heterophyllus Gnetum gnemon Bambusa spp. Tajuk rendah/Tanaman sisipan Coffea spp. Theobroma cacao Syzygium aromaticum Musa spp. Carica papaya Tanaman bawah tegakan Piper ningrum Amomum cardamomum Manihot esculenta Zea mays Ipomoea batatas Colocasia giganteum Hook
Kelompok Tani Hutan (KTH) Pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan Kertanegara, khususnya di desa lokasi penelitian yaitu Desa Langkap, Adiarsa, dan Krangean didukung oleh keberadaan kelompok tani hutan. Kelompok tani hutan merupakan satu lembaga yang menghimpun para petani pengelola hutan rakyat dalam rangka meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan petani anggota. Pola pembentukan kelompok tani hutan di desa penelitian terbagi atas 2 model, yaitu : 1) pola swakarsa, dan 2) pendekatan keproyekan. Deskripsi selengkapnya tentang kelompok tani hutan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Kelompok Tani Hutan (KTH) di Kecamatan Kertanegara No 1
Desa Langkap
Nama Kelompok Budi Waluyo
Jml Anggota (orang) 128
Luas Lahan (ha) 96
Budi Santoso
136
63
2
Adiarsa
Mugi Rahayu
135
135
3
Krangean
Manggala Kisma
268
125
Kelompok tani hutan di lokasi penelitian terutama di Desa Adiarsa dan Desa Krangean sudah dirasakan manfaatnya oleh anggota-anggotanya. Kelompok tani hutan di kedua desa tersebut telah berfungsi sebagai salah satu sumber informasi, tempat petani saling belajar dan bertukar pengalaman. Pertemuan rutin bulanan yang dilaksanakan di kedua kelompok tani hutan tersebut seringkali diisi dengan penyuluhan yang disampaikan oleh pengurus-pengurus kelompok. Secara tidak langsung, keberadaan kedua kelompok tani hutan tersebut telah melahirkan penyuluh-penyuluh kehutanan swakarsa. Kelompok Tani Hutan (KTH) di Desa Langkap pada dasarnya sudah berdiri sejak lama. Akan tetapi, selama kurun waktu yang cukup panjang Kelompok Tani Hutan (KTH) Budi Waluyo di Dusun Lawa Ijo dan Kelompok Tani Hutan (KTH) Budi Santosa di Dusun Langkap Desa Langkap mengalami stagnasi. Kedua kelompok tani tersebut beraktivitas kembali pada pertengahan tahun 2007 ditandai dengan pemilihan pengurus baru. Pengaktifan kedua kelompok tani hutan tersebut berkaitan dengan pelaksanaan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) pada tahun 2007 di Desa Langkap Kecamatan Kertanegara. Kelompok Tani Hutan (KTH) Mugi Rahayu di Desa Adiarsa mulai aktif sejak tahun 1985 dan Kelompok Tani Hutan (KTH) Manggala Kisma di Desa Krangean sudah berdiri sejak tahun 1986. Kedua kelompok tani hutan tersebut telah berkiprah dalam mendukung usahatani hutan rakyat yang dikelola oleh petani anggota kelompok. Prestasi yang berhasil diraih oleh Kelompok Tani Hutan (KTH) Manggala Kisma adalah Juara I lomba kelompok tani hutan tingkat Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2006. Kelompok Tani Hutan (KTH) Mugi Rahayu Desa Adiarsa berhasil menjuarai lomba kelompok tani hutan rakyat tingkat kabupaten dan tingkat provinsi pada tahun 2007 sebagai juara I.
Faktor Internal Petani Faktor internal petani meliputi: 1) umur, 2) pendidikan formal, dengan ukuran lamanya waktu responden menempuh pendidikan formal; dan pendidikan nonformal berupa keikutsertaan responden dalam kegiatan pelatihan yang berkaitan dengan usahatani hutan rakyat, 3) jumlah tanggungan keluarga, 4) luas lahan usahatani, 5) pengalaman berusahatani, dan 6) motivasi berusaha. Deskripsi faktor internal petani selengkapnya disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Deskripsi Faktor Internal Petani Hutan Rakyat di Desa Langkap, Desa Krangean, dan Desa Adiarsa Kecamatan Kertanegara (n = 60) Faktor Internal (X1)
Rataan
Kisaran
Umur
51,6 th
30 – 70 th
Pendidikan formal
7 th
Pendidikan nonformal
Kategori
Jumlah n
%
Muda (< 43.3 th) Dewasa (43,3 - 56.7 th) Tua ( >56.7 )
16 21 23
26,7 35,0 8,3
3 – 15 th
Rendah (< 7 th) Sedang (7 -11 th) Tinggi ( > 11 th)
44 12 4
73,3 20,0 6,7
1,2 kali
0 – 4 kali
Rendah (< 1,3 kali) Sedang (1,3 -2,7 kali) Tinggi ( > 2,7 kali)
39 8 13
65,0 13,3 21,7
4,7 orang
2 – 8 orang
Rendah (< 4 orang) Sedang (4 – 6 orang) Tinggi ( > 6 orang)
13 39 8
1,7 65,0 13,3
0,65 ha
0,21 – 2,0 ha
Sempit (< 0,89 ha) Sedang (0,89 – 1,56 ha) Luas (> 1,56 ha)
44 12 4
73.3 20,0 6,7
Pengalaman berusahatani
21,2 th
6 – 55 th
Rendah (< 22,3 th) Sedang (22,3 -38,7th) Tinggi ( > 38,7 th)
36 21 3
60,0 35,0 5,0
Motivasi berusaha
28,57
24 - 30
Rendah (< 26 ) Sedang (26 - 28) Tinggi ( > 28)
3 21 36
5,0 35,0 60,0
Jumlah tanggungan keluarga Luas lahan usahatani
Umur Umur petani hutan rakyat di Kecamatan Kertanegara berkisar antara 30 sampai 70 tahun dengan umur rata-rata 51,6 tahun. Berdasarkan Tabel 5 terlihat
bahwa petani yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat sebagian besar berusia tua yaitu 23 orang responden (38,3%). Dominasi petani yang berusia tua merupakan salah satu sintesa yang memperkuat asumsi bahwa pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan Kertanegera merupakan usahatani yang berlangsung secara turun-temurun. Para petani yang berusia muda dan dewasa merupakan generasi pelanjut dari generasi sebelumnya dalam mengelola hutan rakyat sebagai salah satu sumber pendapatan mereka. Hutan rakyat berfungsi sebagai pendukung dan berkontribusi dalam peningkatan pendapatan keluarga. Pendidikan Formal/Nonformal Rata-rata tingkat pendidikan formal petani di Kecamatan Kertanegara termasuk dalam kategori sedang, dengan skor rata-rata jumlah tahun menempuh pendidikan formal yaitu 7,0 tahun atau setara dengan kelas I SLTP. Akan tetapi tingkat pendidikan formal petani secara keseluruhan justru didominasi oleh tingkat pendidikan formal yang rendah yaitu 44 orang responden (73,3%). Petani yang berpendidikan rendah didominasi oleh petani yang berusia tua. Sedangkan petani yang berusia muda dan dewasa relatif memiliki tingkat pendidikan formal yang lebih tinggi. Rendahnya tingkat pendidikan petani berkorelasi dengan umur petani yang sebagian besar berusia tua. Faktor tingkat ekonomi keluarga pada masa itu diduga berkontribusi terhadap rendahnya tingkat pendidikan formal petani. Secara teoritis, rendahnya tingkat pendidikan berkorelasi dengan kemampuan seseorang dalam mengoptimalkan potensi yang dimiliki. Tilaar (1997) menjelaskan bahwa salah satu fungsi pendidikan adalah proses untuk menguak potensi individu dan cara manusia untuk mampu mengontrol potensi yang telah dikembangkan agar bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidupnya. Selanjutnya, kondisi tersebut akan berkontribusi terhadap kemampuan adaptif seseorang dalam merespon dan menerima inovasi. Kenyataan yang ditemui di lokasi penelitian menunjukkan bahwa kondisi tingkat pendidikan formal petani yang rendah tidak membuat petani memiliki resistensi terhadap segala inovasi yang berkaitan dengan sektor pertanian lahan kering (hutan rakyat). Kondisi tersebut didukung oleh pengetahuan dan
keterampilan dalam mengelola hutan rakyat yang diperoleh petani dari pendidikan nonformal berupa penyuluhan dan pelatihan. Pendidikan nonformal petani berkisar antara 0 – 4 kali dengan rata-rata 1,2 kali. Tingkat pendidikan nonformal petani didominasi oleh tingkat pendidikan nonformal yang rendah yaitu sebanyak 39 orang responden (65,0%). Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh petani melalui kegiatan pelatihan teknis yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat baik yang dilaksanakan oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan kabupaten maupun provinsi berkontribusi terhadap perubahan pola pengelolaan hutan rakyat yang diterapkan petani. Aspek pengetahuan dan keterampilan ini sangat menunjang kegiatan pengelolaan hutan rakyat sehingga berimplikasi pada produktivitas hasil hutan rakyat. Para petani yang telah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan hutan rakyat akan menularkan pengalaman dan pengetahuannya kepada sesama petani melalui pertemuan kelompok tani. Transfer teknologi dan informasi yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat terjadi antar sesama petani melalui mekanisme yang sudah dibangun lewat media pertemuan kelompok tani. Jumlah Tanggungan Keluarga Rata-rata jumlah tanggungan keluarga petani adalah 4,7 orang dengan kisaran 2 - 8 orang. Jumlah tanggungan keluarga petani di lokasi penelitian didominasi oleh petani dengan jumlah tanggungan keluarga sedang, yaitu sebanyak 39 orang responden (65,0%). Semakin tinggi jumlah tanggungan keluarga petani berimplikasi pada semakin tinggi beban hidup berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Kondisi ini mendorong para petani untuk mencari alternatif sumber pendapatan di luar hutan rakyat yang bisa menopang kebutuhan keluarga. Para petani yang mengandalkan pendapatan keluarga dari hutan rakyat mengoptimalkan pengelolaannya secara lebih intensif dengan mengembangkan jenis-jenis tanaman yang memiliki nilai ekonomis cukup tinggi. Tingginya jumlah tanggungan keluarga petani berkaitan dengan tipe kekerabatan yang sampai saat ini masih terus berlangsung. Para petani tidak hanya memiliki tanggungan keluarga sebatas istri atau anak atau tetapi juga orang lain yang masih terhitung memiliki ikatan keluarga. Tingginya tanggungan keluarga
dan keterbatasan lahan hutan rakyat yang dimiliki merupakan faktor pendorong semakin intensifnya pengelolaan hutan rakyat yang dilakuan petani responden. Luas Lahan Usahatani Kondisi kepemilikan lahan para petani di lokasi penelitian didominasi oleh tingkat kepemilikan lahan yang sempit. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Hardjanto (2000) bahwa rata-rata pemilikan lahan hutan rakyat di Jawa sangat sempit sehingga mendorong petani untuk memanfaatkan lahan seoptimal mungkin. Luas lahan usahatani di lokasi penelitian berkisar antara 0,212,24 ha dengan luas rata-rata 0,65 ha. Sebagian besar petani memiliki luas lahan yang sempit, yaitu sebanyak 44 orang responden (73,3%). Terbatasnya lahan usahatani yang dimiliki mendorong para petani untuk memanfaatkan lahan dengan mengembangkan tanaman yang bernilai ekonomi tinggi dan cepat menghasilkan. Hampir semua lahan hutan rakyat yang dikelola petani dikembangkan dengan sistem multikultur, yaitu memadukan berbagai jenis tanaman dalam satu lahan. Beragamnya jenis tanaman yang dikembangkan petani berimplikasi pada bervariasinya strata tanaman di areal hutan rakyat. Strata pertama didominasi oleh tanaman kayu-kayuan sebagai tanaman pokok yang bernilai ekonomis tinggi, mudah dalam perawatan dan cepat menghasilkan. Strata ini didominasi oleh tanaman albizia (Albizia spp), mahoni (Swietenia macrophylla), dan jati (Tectona grandis). Strata kedua didominasi oleh tanaman bertajuk tinggi yang berfungsi sebagai tanaman pengisi, antara lain melinjo (Gnetum gnemon), kelapa (Cocos nucifera) dan tanaman buah-buahan. Strata ketiga didominasi tanaman bertajuk rendah sebagai tanaman sisipan, antara lain pisang (Musa spp), kopi (Coffea spp), coklat (Theobroma cacao), Strata keempat berupa tanaman bawah tegakan berupa ubi jalar (Ipomoea batatas) singkong (Manihot esculenta), jagung (Zea mays), talas (Colocasia giganteum Hook), kapulaga (Amomum cardamomum), dan lada (Piper ningrum). Pengalaman Berusahatani Pengalaman berusahatani merupakan tahun lamanya petani mengelola hutan rakyat. Pengalaman berusahatani dominan berada pada kategori rendah, yaitu 36 orang responden (60,0%). Rata-rata pengalaman berusahatani selama 21,2 tahun.
Secara keseluruhan sebenarnya dapat dikatakan bahwa pengalaman berusahatani petani di lokasi penelitian cukup tinggi. Hal ini dibuktikan oleh beberapa petani yang telah mengelola usahatani lebih dari 50 tahun. Pertanian merupakan salah satu sumber kehidupan bagi petani di lokasi penelitian. Pengalaman berusahatani khususnya lahan kering jika dikaitkan dengan kategori umur responden menunjukkan bahwa sebenarnya berusahatani
telah
dilaksanakan dalam rentang waktu yang cukup lama. Hal ini juga berkaitan dengan sistem pengelolaan hutan rakyat yang dilaksanakan secara turun-temurun. Rata-rata pengalaman berusahatani sebesar 21,2 tahun menunjukkan bahwa sebenarnya para petani telah memiliki pengalaman yang cukup dalam mengelola hutan rakyat. Mubyarto (2000) menjelaskan bahwa pengalaman dan kemampuan bertani yang telah dimiliki sejak lama merupakan cara hidup (way of life) yang memberikan keuntungan dalam hidup para petani. Sebagian besar petani di Kecamatan Kertanegara mengandalkan pendapatan keluarga dari sumberdaya alam yang dimiliki. Pertanian tanaman pangan dan pertanian lahan kering merupakan sumber pendapatan keluarga yang menopang kebutuhan hidup sehari-hari. Para petani mengelola lahan pertaniannya dengan menerapkan teknologi yang diperoleh secara turun-temurun ditambah dengan pengetahuan dan keterampilan
yang diperoleh dari kegiatan penyuluhan
kehutanan, dan proses interaksinya dengan kelompok tani hutan rakyat, serta pengetahuan yang diperoleh dari kegiatan pelatihan. Motivasi Berusaha Motivasi yang diukur dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang mendorong petani berusahatani hutan rakyat, manfaat dan keuntungan relatif yang diperoleh petani, serta dukungan eksternal terhadap aktivitas usahatani. Motivasi internal petani berkaitan dengan ketersediaan sumber daya alam yang dimiliki dan ekspektasi terhadap aktivitas usahatani serta tuntutan dalam pemenuhan kebutuhan keluarga. Motivasi untuk memenuhi berbagai tuntutan kebutuhan keluarga dan pola pertanian yang sudah berlangsung secara turuntemurun menyebabkan para petani memiliki kemandirian dalam berusahatani. Para petani mengelola hutan rakyat atas kemauan dan dorongan diri sendiri. Motivasi ini muncul didukung oleh budaya agraris yang melingkupi kehidupan
mereka. Para petani beragumentasi bahwa mereka adalah petani yang dilahirkan dari keluarga petani dan menggantungkan hidup dari sektor pertanian. Kondisi ini menyebabkan munculnya motivasi internal yang kuat untuk mengelola sumber daya alam yang dimiliki. Kemandirian para petani dalam mengelola hutan rakyat tumbuh atas kesadaran bahwa sektor pertanian baik lahan basah maupun lahan kering adalah sumber pendapatan utama mereka. Skor rata-rata motivasi berusaha petani adalah 28,57 dengan kisaran 24 – 30. Sebagian besar petani, yaitu sebanyak 36 orang responden (60,0%) memiliki motivasi tinggi. Para petani mengelola hutan rakyat atas dorongan dan kemauan sendiri. Bantuan dan bimbingan dari pihak lain bersifat pendorong bagi mereka dalam aktivitas usahataninya. Manfaat dan keuntungan relatif serta nilai jual produk hutan rakyat yang cukup prospektif mendorong para petani bersemangat dalam mengelola hutan rakyat. Kondisi ini didukung oleh terbukanya pasar hasilhasil produk hutan rakyat dan ketersediaan informasi yang mendukung pengelolaan hutan rakyat. Motivasi tersebut pada akhirnya akan mendorong terbentuknya kemandirian dan keswadayaan petani. Hasil hutan rakyat di samping dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangga petani, sebagian besar dijual ke pasar dan ke pedagang yang datang ke desa. Semua produk yang dihasilkan dari hutan rakyat terserap oleh pasar, baik kayu maupun nonkayu. Harga produk hutan rakyat selama ini dianggap oleh para petani cukup memberi keuntungan bagi mereka. Akses pasar yang mudah terjangkau dan kontinuitas pendapatan petani yang diperoleh dari semua jenis tanaman yang diusahakan mendorong para petani lebih termotivasi untuk mengelola hutan rakyat dengan lebih intensif. Motivasi tersebut didukung oleh iklim usaha dan peluang pasar yang prospektif. Kebutuhan ekonomi keluarga merupakan faktor pendorong utama munculnya motivasi petani dalam mengelola hutan rakyat. Tuntutan dan harapan para petani ini sejalan dengan teori pengharapan (ekspektasi) yang menjelaskan bahwa kekuatan dari kecenderungan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu bergantung pada kekuatan pengharapan bahwa tindakan itu akan diikuti oleh output tertentu dan tergantung pada daya tarik output itu bagi individu (Robbins, 2007).
Faktor Eksternal Petani Faktor eksternal merupakan faktor yang menekan seseorang yang berasal dari luar dirinya, dan merupakan salah satu faktor penting untuk mengetahui upaya seseorang dalam melakukan suatu usaha atau aktivitas. Faktor eskternal yang diamati adalah : 1) penyuluhan kehutanan, 2) kelompok tani hutan, dan 3) sumber informasi. Deskripsi faktor eksternal petani selengkapnya disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Deskripsi Faktor Eksternal Petani Hutan Rakyat di Desa Langkap, Desa Krangean, dan Desa Adiarsa Kecamatan Kertanegara (n = 60) Faktor Eksternal (X2)
Rataan Kisaran
Kategori
Jumlah n
%
Penyuluhan kehutanan
21,43
17 - 25
Rendah (< 19,67) Sedang (19,67 - 22,34) Tinggi ( > 22,34 )
12 29 19
20,0 48,3 31,7
Kelompok Tani Hutan
13,82
10 - 15
Rendah (< 11,67) Sedang (11,67 – 13,34) Tinggi ( > 13,34)
4 15 41
6.6 26,7 66,7
Sumber informasi
13,5
8 - 15
Rendah (< 10,33) Sedang (10,33 – 12,66) Tinggi ( > 12,66)
9 10 41
15,0 16,7 68,3
Penyuluhan Kehutanan Indikator penyuluhan kehutanan yang diamati pada penelitian ini mencakup semua aspek yang terdapat dalam kegiatan penyuluhan yaitu intensitas kegiatan, kehadiran petani, pemahaman petani, dan kesesuaian serta kemanfaatan materi, bagi peningkatan usahatani hutan rakyat. Rata-rata skor indikator penyuluhan kehutanan adalah 21,43 dengan kisaran 17 - 25. Kegiatan penyuluhan dilaksanakan secara terjadwal, terutama dalam pertemuan rutin kelompok satu kali dalam satu bulan. Kenyataan yang menarik adalah peran kelompok sangat dominan dalam pelaksanaan kegiatan penyuluhan. Artinya, peran penyuluh kehutanan yang biasanya dimiliki oleh para PPL tersubstitusi oleh kelompok sebagai pihak yang melaksanakan penyuluhan kepada para petani. Kondisi ini di satu sisi berdampak cukup baik terhadap munculnya
penyuluh-penyuluh kehutanan swakarsa, di sisi lain realitas ini bisa berdampak kurang baik bagi citra PPL sebagai petugas yang memiliki peran sebagai agen pembaharu. Kondisi tersebut tergambar jelas karena sebagian besar petani tidak mengenal siapa PPL yang bertugas di desanya. Jika petani menghadapi masalah atau ingin berkonsultasi tentang hal yang terkait dengan usahatani hutan rakyat selalu berhubungan dengan kelompok, terutama para pengurus kelompok tani. Pengurus kelompok tani yang melaksanakan penyuluhan pada setiap pertemuan kelompok adalah petani yang sering mengikuti kegiatan pelatihan teknis hutan rakyat baik di tingkat kabupaten maupun provinsi. Sehingga secara teknis mereka memiliki pengetahuan dan keterampilan yang lebih dibandingkan petani lainnya. Para pengurus kelompok berperan sebagai agen pembaharu dan sebagai salah satu sumber informasi dalam kegiatan penyuluhan. Kegiatan penyuluhan yang dilaksanakan selama ini berada pada kategori sedang dengan jumlah 29 orang responden (48,3%).
Kegiatan penyuluhan
dilaksanakan satu kali dalam satu bulan yang dilakukan bersaman dengan pertemuan rutin kelompok. Petani memahami materi penyuluhan yang diberikan oleh sesama petani pada setiap kegiatan pertemuan. Materi penyuluhan juga berdampak pada peningkatan usahatani hutan rakyat yang dikelola petani. Hasil wawancara dengan petani berkaitan dengan kehadiran petani pada setiap kegiatan penyuluhan yang dilaksanakan oleh kelompok, antara lain : 1) menjalin silaturahmi dan memperkokoh kerjasama serta hubungan relasional antar petani, 2) mendapatkan informasi baru tentang usahatani hutan rakyat, dan 3) menambah pengetahuan dan keterampilan berusahatani. Kelompok Tani Hutan Keberadaan kelompok tani hutan sangat menunjang kegiatan hutan rakyat yang dikelola oleh para petani. Kelompok tani hutan sebagai wadah yang menghimpun para petani dalam kegiatan usahatani terbentuk berdasarkan sistem norma dan pola hubungan yang sudah melembaga. Kelompok tani hutan merupakan lembaga tempat petani saling berinteraksi, berkomunikasi, saling bertukar pikiran dan saling belajar antar sesama petani. Kelompok tani sebagai wadah belajar para petani akan memberi manfaat bagi para petani dalam menunjang kegiatan usahatani hutan rakyat.
Rata-rata skor untuk indikator kelompok tani hutan adalah 13,82 dengan kisaran 10 – 15. Manfaat kelompok tani hutan
untuk menunjang kegiatan
usahatani hutan rakyat yang diperoleh petani relatif tinggi, yaitu sebanyak 41 orang responden (66,7%). Para petani yang memperoleh manfaat dari keberadaan kelompok tani hutan pada kategori sedang dan tinggi umumnya adalah petani-petani yang tergabung dalam kelompok tani yang sudah berusia lama dan telah berkontribusi terhadap pengelolaan hutan rakyat oleh anggota, serta kelompok tani yang telah memiliki prestasi memenangkan lomba kelompok tani hutan baik tingkat kabupaten maupun provinsi. Kelompok Tani Hutan (KTH) Mugi Rahayu di Desa Adiarsa yang mulai aktif tahun 1985 pernah juara I lomba Kelompok Tani Hutan tingkat Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007 dan Kelompok Tani Hutan (Manggala Kisma) di Desa Krangean yang mulai aktif sejak tahun 1986 pernah juara I lomba Kelompok Tani Hutan tingkat provinsi pada tahun 2006. Kelompok Tani Hutan (KTH) Budi Waluyo di Dusun Lawa Ijo dan Budi Santoso Dusun Langkap Desa Langkap baru terbentuk pada tahun 2007 ketika kegiatan Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) tingkat kabupaten mulai masuk ke desa tersebut, sehingga petani belum mendapatkan manfaat yang optimal dari keberadaan kelompok tani tersebut. Manfaat kelompok tani hutan dalam mendukung pengelolaan hutan rakyat menurut responden antara lain: 1) sebagai salah satu sumber informasi usahatani hutan rakyat, 2) meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam berusahatani, 3) membantu memecahkan masalah yang dihadapi, dan 4) membantu distribusi bibit dan sarana produksi usahatani. Pertemuan kelompok diselenggarakan secara rutin satu kali dalam satu bulan. Materi yang dibicarakan dalam pertemuan kelompok antara lain: 1) kelembagaan kelompok menyangkut aturan-aturan kelompok, 2) teknis pengelolaan hutan rakyat, 3) rencana kegiatan kelompok, dan 4) masalah yang dihadapi anggota dalam pengelolaan hutan rakyat. Sumber Informasi Sumber informasi yang diukur dalam penelitian ini adalah ketersediaan informasi yang mendukung usahatani hutan rakyat, aspek kemudahan petani dalam mengakses informasi tersebut, dan aspek kemanfaatan informasi tersebut
dalam mendukung usahatani hutan rakyat. Ketersediaan informasi dalam jumlah yang memadai merupakan salah satu faktor pendukung keberhasilan petani dalam mengelola hutan rakyat. Informasi yang diperoleh petani bisa berasal dari media cetak atau elektronik, sesama petani, PPL atau sumber informasi lainnya yang mendukung usahatani hutan rakyat. Para petani selama ini mengandalkan kelompok tani hutan terutama para pengurusnya sebagai sumber informasi utama. Hal ini terutama berlaku di Desa Krangean dan Desa Adiarsa, di mana kelompok tani hutan sudah mampu memenuhi kebutuhan informasi para anggotanya. Kondisi sebaliknya terjadi di Desa Langkap, PPL masih menduduki peran yang sangat strategis sebagai salah satu sumber informasi yang dibutuhkan petani. Kondisi ini disebabkan kelompok tani hutan di desa tersebut masih dalam taraf pemula. Pengurus kelompok tani hutan merupakan sumber informasi utama bagi para petani. Rata-rata skor sumber informasi adalah 13,5 dengan kisaran 8 – 15. Sebagian besar petani beranggapan bahwa sumber informasi berada pada kategori tinggi, yaitu sebanyak 41 orang responden (68,3%). Terdapat 3 orang responden (5,0%) yang mencari sumber informasi lewat media cetak selain dari sesama petani atau tokoh masyarakat setempat. Petani yang menjadi sumber informasi adalah petani yang merangkap sebagai pengurus kelompok. Pengurus kelompok tani di lokasi penelitian adalah orang-orang yang dianggap memiliki kemampuan teknis dan informatif yang lebih dibandingkan petani lainnya. Kenyataan ini diperkuat dengan seringnya para pengurus kelompok mengikuti kegiatan pelatihan yang terkait dengan pengelolaan usahatani hutan rakyat dan memiliki akses informasi yang lebih luas. Informasi yang diperoleh dari pengurus kelompok tani bermanfaat bagi para petani untuk mendukung usahatani hutan rakyat. Informasi yang terkait dengan aspek teknis dan nonteknis sangat dibutuhkan oleh para petani untuk meningkatkan usahataninya. Tempat tinggal petani yang saling berdekatan memudahkan interaksi dan tukar menukar informasi antar sesama petani. Petani saling belajar dengan sesama petani, saling berdiskusi dan bertukar informasi dengan tujuan meningkatkan hasil usahatani hutan rakyat.
Informasi tentang harga jual produk hutan rakyat diperoleh petani dari berbagai sumber. Pasar yang menampung hasil panen komoditas hutan rakyat sangat terbuka. Pasar hasil komoditas tanaman bawah tegakan, tanaman perkebunan, dan tanaman kayu-kayuan terletak di luar kecamatan dengan tingkat harga yang berlaku sesuai dengan harga pasar. Sedangkan pasar untuk pisang dan kelapa, terdapat di dalam dan di luar desa. Informasi harga kayu diperoleh petani dari pedagang kayu yang kerap datang ke lokasi, dari sesama petani, dan dari TPK (tempat pengumpulan kayu) yang terletak di luar kecamatan. Kompetensi Petani Kompetensi merupakan perpaduan antara pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang diperlukan oleh individu untuk dapat melaksanakan tugas tertentu dengan baik, yang terekspresi dalam bentuk perilaku. Seseorang yang berkompeten adalah seseorang yang penuh percaya diri karena menguasai pengetahuan, memiliki kemampuan dan keterampilan serta motivasi tinggi dalam mengerjakan hal-hal yang terkait dengan bidangnya sesuai dengan tata nilai atau ketentuan yang dipersyaratkan. Kompetensi yang diukur dalam penelitian ini meliputi : 1) kompetensi teknis, 2) kompetensi konseptual, dan 3) kompetensi relasional. Deskripsi secara lengkap kompetensi petani tersaji pada Tabel 7. Tabel 7. Deskripsi Kompetensi Petani Hutan Rakyat di Desa Langkap, Desa Krangean, dan Desa Adiarsa Kecamatan Kertanegara (n = 60) Kompetensi (X3)
Rataan Kisaran
Kategori
Jumlah n
%
Kompetensi teknis
24,98
20 - 27
Rendah (< 22,33) Sedang (22,33 - 24,66) Tinggi ( > 24,66 )
4 21 35
6,7 35,0 58,3
Kompetensi konseptual
17,52
15 - 18
Rendah (< 16) Sedang (16 – 17) Tinggi ( > 17)
2 19 39
3,3 31,7 65,0
Kompetensi relasional
18,55
15 - 21
Rendah (< 17) Sedang (17 – 19) Tinggi ( > 19)
8 34 18
13,3 56,7 30,0
Kompetensi Teknis Kompetensi teknis dalam pengelolaan hutan rakyat adalah kemampuan yang dimiliki oleh petani berupa pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan usahatani hutan rakyat. Kompetensi teknis merupakan kemampuan mendasar yang harus dimiliki oleh seorang petani pengelola hutan rakyat agar usahataninya dapat mendatangkan manfaat secara optimal baik secara ekonomis, ekologis, maupun sosial. Skor rata-rata kompetensi teknis petani adalah 24,98 dengan kisaran 20 – 27. Kompetensi teknis petani dominan berada pada kategori tinggi, yaitu sebanyak 35 orang responden (58,3%). Kompetensi teknis yang dimiliki petani pada dasarnya diperoleh secara turun-temurun, melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan teknis, dan dari kegiatan penyuluhan yang diikuti. Sebagian besar kompetensi teknis petani hutan rakyat termasuk dalam kategori tinggi. Hal ini kalau ditelusuri merupakan salah satu manfaat yang diperoleh para petani dari kelompok tani hutan. Kegiatan pelatihan yang terkait dengan usahatani hutan rakyat, juga berperan dalam mendukung peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan para petani pengelola hutan rakyat. Kegiatan pelatihan yang diikuti petani pengelola hutan rakyat berdampak pada peningkatan kompetensi teknis petani. Hutan rakyat merupakan salah satu model pengelolaan hutan yang dilaksanakan secara partisipatif dan kolaboratif pada lahan-lahan milik rakyat. Masyarakat atau petani merupakan aktor utama dalam pengelolaan hutan rakyat. Pola pengembangan usahatani yang diterapkan sesuai dengan karakteristik bentuk pengelolaan yang pada umumnya menerapkan sistem tumpangsari (mixed cropping), yaitu kombinasi tanaman semusim dan tanaman tahunan. Kenyataan tersebut sejalan dengan kondisi hutan rakyat yang ada di lokasi penelitian. Semua responden memahami pengertian dan manfaat hutan rakyat. Hutan rakyat dalam perspektif responden merupakan hutan yang ditanam di tanah milik dan dikelola serta dimanfaatkan untuk rakyat. Hutan rakyat sebagai salah satu bentuk pengelolaan hutan yang sudah berlangsung secara turun-temurun, memiliki manfaat yang cukup besar dilihat dari berbagai aspek. Manfaat hutan
rakyat yang diperoleh responden, antara lain : 1) sumber pendapatan keluarga, 2) menyuburkan tanah, 3) mengatur tata air, 4) mencegah banjir dan erosi. Pemilihan jenis tanaman didasarkan atas pertimbangan praktis, yaitu mudah memperoleh bibit, mudah dalam perawatan, cepat menghasilkan (cepat panen), dan harga jual yang menguntungkan. Terdapat beberapa jenis tanaman yang ada pada semua lahan hutan rakyat di lokasi penelitian. Jenis-jenis tanaman tersebut antara lain : alba, kelapa, pisang dan kapulaga. Keragaman jenis tanaman lainnya tergantung pada keinginan dan selera petani. Kegiatan pemeliharaan tanaman juga dilaksanakan oleh responden. Pemeliharaan tanaman dilakukan secara terintegrasi antara tanaman tahunan (kayu) dengan tanaman lainnya. Pemeliharaan tanaman terutama pemupukan dilaksanakan selama 3 kali dalam satu tahun dan umumnya dilakukan pada tahun pertama. Kegiatan pemeliharaan yang biasa dilakukan adalah : pemupukan, penyiangan, pemberantasan hama, dan sebagian melakukan pemangkasan. Kegiatan pemeliharaan tanaman menurut para petani berdampak pada pertumbuhan tanaman. Daur tebang yang diterapkan oleh responden untuk jenis tanaman kayukayuan sebagian besar adalah daur butuh. Para petani reponden akan menjual kayu dalam bentuk pohon sewaktu-waktu memerlukan dana segar. Banyak petani responden yang sudah menjual tanaman alba (Albizia spp) yang berumur sekitar 5-7 tahun. Walaupun secara ekonomi harga kayu tersebut masih rendah, lebih kurang Rp 75.000,00 per pohon. Sebanyak 17 orang responden (28,33%) menerapkan sistem panen setelah pohon masak tebang, yaitu ukuran diameter minimal 60 cm atau umur tanaman lebih dari 10 tahun. Pemanenan jenis tanaman lain sangat bervariatif. Pemanenan kelapa dilakukan dengan dua macam cara, yaitu dalam bentuk buah, selama lebih kurang 60 hari sekali atau diambil niranya untuk pembuatan gula merah. Pengambilan nira menggunakan sistem bagi hasil dengan perbandingan 4 : 1. Pemilik pohon akan menerima 1 kg gula merah per 5 pohon setiap 5 hari sekali. Komptensi Konseptual Kompetensi konseptual merupakan seperangkat kemampuan yang dimiliki oleh petani berkaitan dengan pemahaman dan pengetahuan dalam memprediksi
peluang-peluang usaha yang dapat dikembangkan. Kompetensi konseptual dalam konteks pengelolaan hutan rakyat merupakan kemampuan petani dalam memprediksi segala kemungkinan yang dapat terjadi terkait dengan hutan rakyat yang dikelolanya. Skor rata-rata kompetensi konseptual petani adalah 17,52 dengan kisaran 15-18. Kompetensi konseptual petani berada pada kategori tinggi, yaitu sebanyak 39 orang responden (65,0%). Komptensi konseptual jika dilihat berdasarkan hasil penelitian erat terkait dengan luas kepemilikan lahan. Sebagai suatu usaha yang sudah dilakukan secara turun-temurun dan sejalan dengan sistem budaya masyarakat pertanian, hutan rakyat merupakan salah satu asset yang sangat berharga bagi para petani. Selain sebagai sumber penghasilan, hutan rakyat juga merupakan salah satu hasil kreasi budaya masyarakat setempat dalam memanfaatkan sumber daya alam yang dimilikinya. Hutan rakyat merupakan salah satu asset keluarga petani yang dapat dijadikan sebagai harta waris bagi keturunannya. Para petani beralasan bahwa sejak dahulu sampai saat ini sektor pertanian baik tanaman pangan maupun lahan kering memberikan penghidupan bagi mereka dan mereka akan terus mempertahankan sektor ini sebagai salah satu sumber pendapatan keluarga. Hutan rakyat yang ada saat ini menurut
responden masih dapat terus
ditingkatkan produktivitasnya dengan menerapkan teknik-teknik pengelolaan yang sesuai sehingga mendatangkan manfaat ekonomi yang lebih besar. Berbagai jenis tanaman yang dikembangkan oleh para responden dimaksudkan agar mereka dapat memperoleh pendapatan yang berkesinambungan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Tanaman kayu-kayuan terutama alba merupakan investasi dan tabungan petani yang ada di lahan. Sedangkan tanaman bawah tegakan dan berbagai tanaman lainnya merupakan sumber pendapatan responden untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kompetensi Relasional Kompetensi relasional merupakan
kemampuan untuk membangun
hubungan kemitraan dalam rangka pengelolaan usahatani hutan rakyat. Kompetensi
relasional
mengungkapkan
kemampuan
para
petani
dalam
membangun jaringan kerja baik antar sesama petani maupun dengan pihak lain
yang terkait dengan usahatani hutan rakyat. Kerja sama antar sesama petani pengelola hutan rakyat diperlukan dalam rangka mengoptimalkan usahatani yang merupakan salah satu sumber pendapatan petani. Berbagai persoalan yang dihadapi petani dalam mengelola hutan rakyat akan mudah dipecahkan dengan kerja sama dan sikap saling membantu antar petani, kerja sama petani dengan petugas (PPL), dan hubungan antara petani dengan pedagang, serta hubungan antara petani dengan pihak dinas teknis terkait. Jejaring kerja antar sesama petani merupakan kondisi yang sangat mendukung usahatani hutan rakyat. Kemampuan adaptif petani dalam berhubungan dengan pihak-pihak yang terkait dengan usahatani hutan rakyat akan berdampak pada meningkatnya posisi tawar petani dalam mata rantai usahatani hutan rakyat. Kerja sama antar petani di lokasi penelitian tercermin dari munculnya semangat kolektif petani dalam ikatan sistem norma dan pola hubungan dalam kelompok tani hutan rakyat. Hubungan relasional petani dengan pedagang kayu tercermin dari pola penentuan harga kayu yang didasarkan atas kesepakatan bersama. Posisi antara petani dan pedagang berada pada garis yang sejajar. Petani memiliki posisi tawar dalam transaksi penentuan harga komoditas kayu hutan rakyat. Kerja sama petani dengan pedagang pengumpul hasil hutan bukan kayu (HHBK) dalam penentuan harga terjalin berdasarkan mekanisme pasar yang berlaku pada saat transaksi. Skor rata-rata kompetensi relasional adalah 18,55 dengan rentang 15 – 21. Kompetensi relasional dominan berada kategori sedang, yaitu sebanyak 34 orang responden (56,7%). Kompetensi relasional yang dimiliki oleh petani responden terutama dalam ikatan kerjasama komunal antar sesama petani muncul sebagai akibat pola hubungan kekerabatan yang masih dipegang oleh petani sampai saat ini. Pola hubungan antar sesama petani juga dipengaruhi oleh faktor pekerjaan pokok petani responden. Beberapa petani responden di lokasi penelitian memiliki pekerjaan pokok sebagai pedagang baik dalam kota maupun luar kota, sehingga frekuensi hubungan dengan sesama petani di desanya cenderung berkurang. Hubungan relasional antara petani dengan petugas (PPL) juga dipengaruhi oleh intensitas dan frekuensi kehadiran petugas di lokasi yang menjadi wilayah binaannya. Sebagian besar petani responden di lokasi penelitian yaitu di Desa
Adiarsa dan Desa Krangean mengakui tidak pernah berkomunikasi dengan PPL. Hal ini disebabkan PPL jarang mengunjungi para petani. Partisipasi Petani Partisipasi
merupakan
bentuk
keterlibatan
langsung
petani
dalam
pengelolaan hutan rakyat. Partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat akan semakin meningkat apabila hasil yang diperoleh dari usahatani hutan rakyat dapat dinikmati langsung dan memberikan keuntungan kepada petani. Pendapat tersebut sejalan dengan teori pertukaran (exchange theory) yang dikemukakan oleh Blau (Ndraha, 1990) bahwa semakin banyak manfaat yang diduga akan diperoleh suatu pihak dari pihak lain melalui kegiatan tertentu, maka akan semakin kuat keterlibatannya dalam kegiatan tersebut. Indikator partisipasi yang diukur dalam penelitian ini meliputi : 1) partisipasi dalam perencanaan, 2) partisipasi dalam pelaksanaan, dan 3) partisipasi dalam pemanfaatan. Deskripsi secara lengkap partisipasi petani dalam kegiatan hutan rakyat disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Deskripsi Partisipasi Petani Hutan Rakyat di Desa Langkap, Desa Krangean, dan Desa Adiarsa Kecamatan Kertanegara (n = 60) Partisipasi (Y1)
Rataan Kisaran
Partisipasi dalam Perencanaan
18,50
14 - 21
Partisipasi dalam Pelaksanaan
16,10
Partisipasi dalam Pemanfaatan hasil
16,23
Kategori
Jumlah n
%
Rendah (< 16,33) Sedang (16,33 – 18,66) Tinggi ( > 18,66)
11 15 34
18,3 25,0 56,7
13 - 18
Rendah (< 14,67) Sedang (14,67 – 16,33) Tinggi ( > 16,33)
6 33 21
10,0 55,0 35,0
14 - 18
Rendah (< 15,33) Sedang (15,33 – 16,67) Tinggi ( > 16,67)
10 26 24
16,7 43,3 40,0
Partisipasi dalam Perencanaan Perencanaan adalah suatu rangkaian dari rencana kegiatan yang akan dilakukan untuk menjalankan suatu usaha pada periode tertentu, mencakup pengelolaan usaha, produk atau jasa yang dijual, pasar dan pemasaran serta proyeksi keuangan (Iqbal dan Simanjuntak, 2004). Partisipasi dalam perencanaan
mencakup keikutsertaan responden dalam merencanakan usaha hutan rakyat, dan kedudukan responden dalam pemilihan jenis tanaman. Skor rata-rata indikator partisipasi dalam perencanaan adalah 18,50 dengan kisaran 14 – 21. Sebagian besar responden memiliki kategori partisipasi dalam perencanaan yang tinggi, yaitu sebanyak 34 orang responden (56,7%). Penentuan jenis tanaman yang akan dikembangkan berdasarkan kemauan responden. Hal ini tercermin dari beragamnya jenis tanaman yang dikembangkan dengan daur yang cukup beragam. Alasan pemilihan beragam jenis tanaman antara lain : 1) kontinuitas pendapatan, 2) mudah dalam perawatan, 3) sesuai dengan kondisi tanah, 4) cepat menghasilkan, dan 5) harga menguntungkan. Pertimbangan-pertimbangan tersebut didasarkan atas pengetahuan yang diperoleh responden secara empirik dan kemampuan responden dalam menjalin kerjasama dalam ikatan kerjasama kelompok, serta aksesibilatas pasar yang cukup terbuka. Pemanenan yang dilakukan terutama untuk jenis tanaman keras (kayu) menggunakan pola daur butuh. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari responden diperoleh dari tanaman pengisi dan tanaman bawah tegakan. Proyeksi keuangan mencakup kegiatan analisis usahatani tidak dilakukan oleh responden. Kondisi ini menyulitkan untuk mengukur apakah hutan rakyat yang dikelola para petani memiliki kelayakan secara finansial atau tidak. Manajemen budidaya yang dilakukan responden seperti penyediaan bibit, teknik penanaman, dan pemeliharaan secara empirik diperoleh responden secara turun-temurun. Manajemen finansial menyangkut analisa usahatani dilakukan dengan model manajemen keluarga, yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan tidak diperhitungkan karena dianggap biaya tersebut merupakan pekerjaan rutin responden. Pola penanaman yang diterapkan responden dengan pola campuran, sehingga biaya yang dikeluarkan hanya untuk satu jenis tanaman tetapi diperuntukkan untuk seluruh tanaman yang ada di lahan hutan rakyat. Partisipasi dalam Pelaksanaan Partisipasi dalam pelaksanaan merupakan aktivitas responden dalam mengelola hutan rakyat di lahan milik mereka. Aspek pelaksanaan kegiatan hutan rakyat juga mencakup curahan tenaga kerja yang dibutuhkan, pengaturan jarak tanam, dan kegiatan pemeliharaan tanaman.
Skor rata-rata untuk partisipasi dalam
pelaksanaan adalah 16,0 dengan
kisaran 13 – 18. Partisipasi dalam pelaksanaan dominan berada pada kategori sedang, yaitu sebanyak 33 orang responden (55,0%). Partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan hutan rakyat dipengaruhi oleh pengetahuan responden yang diperoleh secara empirik, melalui kegiatan pelatihan dan penyuluhan yang diikuti, juga dipengaruhi oleh tingkat penguasaan lahan. Hutan rakyat yang dikelola oleh responden merupakan usaha yang sudah dilaksanakan secara turun-temurun. Hal ini diakui oleh responden bahwa mereka terlahir dari keluarga petani dan hidup dalam masyarakat yang berbudaya pertanian. Sektor pertanian lahan kering (hutan rakyat) merupakan usaha yang secara sosial budaya menyatu dengan kehidupan responden. Partisipasi dalam pelaksanaan juga berkaitan dengan curahan tenaga kerja yang dibutuhkan dalam pengelolaan hutan rakyat. Banyaknya curahan tenaga kerja dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain: 1) penguasaan lahan, 2) posisi hutan rakyat dalam struktur pendapatan ekonomi responden, 3) tingkat mobilitas responden, dan 4) pekerjaan responden. Penguasaan lahan hutan rakyat di lokasi penelitian menunjukkan tingkat cukup beragam. Rata-rata kepemilikan lahan reponden adalah 0,65 ha dengan lahan terluas adalah 2,24 ha dan lahan tersempit adalah 0,21 ha. Semakin luas tingkat kepemilikan lahan, maka curahan tenaga kerja yang dibutuhkan dalam pengelolaan hutan rakyat juga semakin tinggi. Menurut reponden, rata-rata curahan tenaga kerja yang dibutuhkan sebanyak 3 orang dengan jumlah hari antara 7 – 10 hari dan biaya Rp 15.000,00/orang/hari. Tenaga kerja terutama dibutuhkan dalam penanaman dan pemeliharaan pohon yang dilaksanakan selama 3 kali dalam tahun pertama. Sebanyak 8 orang responden (13,3%) mengandalkan pendapatan keluarga dari usahatani lahan kering (hutan rakyat). Pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh responden yang mengandalkan pendapatan ekonomi keluarga dari hutan rakyat menggunakan tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga. Langkah tersebut ditempuh untuk menghemat pengeluaran rumah tangga sehingga tidak berdampak pada pendapatan yang diperoleh dari hutan rakyat.
Tingkat mobilitas responden dan pekerjaan responden juga mempengaruhi curahan tenaga kerja yang dibutuhkan dalam pengelolaan hutan rakyat. Responden yang memiliki tingkat mobilitas tinggi terutama berkaitan dengan pekerjaan responden sebagai pedagang baik di tingkat lokal maupun antar kota, menggunakan tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga dalam pengelolaan hutan rakyat. Partisipasi dalam Pemanfaatan Hasil Partisipasi dalam pemanfaatan hasil adalah keterlibatan responden dalam pemanfaatan hasil dari usaha hutan rakyat yang dikelolanya mencakup tingkat kemanfaatan usaha hutan rakyat yang diperoleh responden. Manfaat tersebut mencakup hasil yang diperoleh responden dari hutan rakyat, baik untuk tujuan komersial sebagai salah satu barang yang memiliki nilai ekonomis maupun untuk pemenuhan kebutuhan keluarga secara langsung. Rata-rata skor partisipasi dalam pemanfaatan hasil adalah 16,23 dengan kisaran 14- 18. Partisipasi dalam pemanfaatan hasil berada pada kategori sedang yaitu 26 orang responden (43,3%). Indikator pemanfaatan berkaitan dengan berbagai aspek, antara lain : 1) umur tanaman, 2) keragaman jenis tanaman, dan 3) pola pemanenan. Tanaman keras (kayu) merupakan komoditas yang menyumbang tingkat kemanfaatan jangka panjang dan memiliki nilai ekonomis cukup tinggi. Tanaman kayu sebagian besar diperuntukkan dijual dan sebagian kecil dimanfaatkan sendiri oleh responden untuk keperluan membangun rumah. Kebutuhan kayu bakar juga diperoleh dari hutan rakyat. Hal ini secara langsung mengurangi pengeluaran rumah tangga dalam pemenuhan bahan bakar untuk keperluan memasak. Jenis tanaman kayu yang ditanam responden yang memiliki nilai ekonomis cukup tinggi adalah alba (Albizia spp). Semua responden menanam jenis kayu ini di lahan hutan rakyat milik mereka. Permintaan kayu alba (Albizia spp), menurut responden tinggi, bahkan kadang-kadang tidak dapat dipenuhi oleh produk kayu dari hutan rakyat. Tingginya permintaan kayu hutan rakyat terutama alba (Albizia spp) dipengaruhi oleh banyaknya industri pengolahan kayu yang ada di tingkat kabupaten. Kondisi ini mempengaruhi daur tebang yang diterapkan oleh responden. Responden menerapkan daur butuh untuk pemanenan kayu.
Responden memperoleh pendapatan dari berbagai jenis tanaman lain yang dikembangkan. Berbagai jenis tanaman dengan daur yang beragam mendukung kontinuitas pendapatan yang diperoleh responden dari hutan rakyat. Tanaman kelapa hampir terdapat pada semua lahan hutan rakyat milik responden. Sistem pemanenan buah kelapa terbagi menjadi 2 pola, yaitu pemanenan langsung berupa buah kelapa dan pemanfaatan nira untuk pembuatan gula merah. Di lihat dari sisi ekonomi, pemanfaatan pohon kelapa dengan diambil niranya memiliki nilai ekonomis lebih tinggi dibandingkan dengan mengambil buahnya untuk dijual langsung. Pola yang diterapkan adalah bagi hasil dengan sistem 4:1. Artinya dalam lima hari, pemilik pohon kelapa mendapatkan 1 kg berupa gula merah. Dalam satu hari, 1 kg gula merah diperoleh pengrajin gula merah dari 4 – 5 pohon kelapa yang diambil niranya. Jenis tanaman lain yang ada pada semua lahan hutan rakyat milik responden adalah tanaman pisang (Musa spp) dan tanaman bawah tegakan yaitu kapulaga (Amomum cardamomum). Harga pisang di tingkat petani masih cukup rendah antara Rp 5000,00 – Rp 6000,00/tandan. Hampir setiap bulan, reponden dapat memanen pisang antara 4 – 7 tandan. Kapulaga (Amomum cardamomum) adalah salah satu tanaman bawah tegakan yang memiliki harga jual cukup tinggi. Harga di tingkat pasar berkisar antara Rp 40.000,00 – Rp 60.000,00/kg kering, dan Rp 6.000,00 – Rp 7000,00/kg basah. Daur panen kapulaga
yang cukup pendek
menyebabkan responden dapat memanen setiap 35 hari sekali dengan hasil panen yang bervariasi tergantung banyaknya tanaman yang ada di lahan hutan rakyat. Harga jual produk hutan rakyat saat ini menurut responden terutama untuk pisang dan kelapa masih rendah. Harga jual komoditas lainnya secara ekonomis cukup menguntungkan. Harga jual kayu hutan rakyat jenis alba (Albizia spp) saat ini adalah Rp 75.000,00 – Rp 100.000,00 per pohon untuk tanaman umur 7-10 tahun. Sistem pemasaran yang berlaku di lokasi penelitian adalah penjualan langsung di lahan hutan rakyat. Artinya, responden menjual kayu dalam bentuk pohon berdiri dan pembeli yang melakukan penebangan dan pengangkutan. Penentuan harga jual kayu hutan rakyat didasarkan atas tawar menawar antara petani selaku produsen dengan pembeli.
Kesejahteraan Petani Pengembangan hutan rakyat diupayakan mampu memberikan manfaat dan keuntungan ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Pertumbuhan ekonomi yang diharapkan harus diikuti oleh adanya peningkatan kelestarian ekologi dan sosial budaya. Pengelolaan hutan rakyat diharapkan dapat meningkatkan kehidupan di pedesaan lebih produktif, mampu mempertahankan nilai-nilai budaya yang baik, adanya sistem penguasaan dan tata guna lahan yang jelas, adanya peningkatan pendapatan petani yang pada akhirnya akan bermuara pada peningkatan kesejahteraan petani. Oleh karena itu, pengelolaan hutan rakyat diarahkan pada peningkatan nilai ekonomi, ekologi dan sosial secara lestari dan berkelanjutan. Peubah kesejahteraan petani mencakup : 1) kesejahteraan sosial, dan 2) kesejahteraan ekonomi. Kesejahteraan sosial dilihat dari semakin kuatnya tata nilai dan norma hubungan antar petani, terpenuhinya kebutuhan sosial psikologis petani, dan adanya tata guna lahan yang mantap, serta batas-batas lahan hutan rakyat yang jelas, sehingga meminimalkan munculnya konflik antar petani. Kesejahteraan ekonomi dilihat dari pendapatan yang diperoleh responden dari hutan rakyat yang berkontribusi terhadap pendapatan ekonomi keluarga. Deskripsi selengkapnya peubah kesejahteraan petani disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Deskripsi Kesejahteraan Petani Hutan Rakyat di Desa Langkap, Desa Krangean, dan Desa Adiarsa Kecamatan Kertanegara (n = 60) Kesejahtera an Petani (Y2)
Rataan
Sosial
17,02
15 - 18
Ekonomi
12,07
10 - 15
Pendapatan dari hutan rakyat
Rp 10.792.325,03 Per tahun
Kisaran
Rp 5.897.000,00Rp 22.816.000,00
Kategori
Jumlah n
%
Rendah (< 16) Sedang (16 – 17) Tinggi ( > 17 )
4 0 26
6,7 50,0 43,3
Rendah (< 11,67) Sedang (11,67 – 13,33) Tinggi ( > 13,33)
23 21
8,3 5,0
16
26,7
Rendah (