PEMBERDAYAAN PETANI UNTUK PEMENUHAN KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KAPASITAS DAN KEMANDIRIAN PETANI BERAGRIBISNIS (Kasus di Kabupaten Kampar Provinsi Riau)
MARLIATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Pemberdayaan Petani untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas dan Kemandirian Petani Beragribisnis (Kasus di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau)” adalah ide atau hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi lain. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2008
MARLIATI NRP: P05600009
ABSTRACT MARLIATI. The Empowerment of Farmers to The Fulfillment the Need of Farmers for Development Capacity and Farmer’s Self Reliance in Agribusiness (A Case in District of Kampar, Riau Province). Under Supervision of: SUMARDJO, PANG S. ASNGARI, PRABOWO TJITROPRANOTO, ASEP SAEFUDDIN Government through the institution of agriculture extension has implemented the farmer empowerment activities. But in the reality, the empowerment are not fulfill yet the need of capacity development and farmer’s self reliance in agribusiness. The research objectives are to analyze: (1) The level of agriculture extension worker’s performance to empower farmer in agribusiness and influenced important factors; (2) The level of need fulfillment for farmer capacity development and influenced important factors; (3) The level of farmer’s self reliance in agribusiness and influenced important factors and (4) The formulation of agriculture extension strategy to fulfill capacity development need and farmer’s self reliance in agribusiness. Through sampling technique “multistage cluster sampling”, found total sample 300 farmers. This research was conducted from April 2007 up to December 2007. Used data in the research consist of Primary and secondary data. Primary data has been found by the usage of structured questionnaire, indepth interview, focused group discussion and participatory observation. Secondary data has been found through documentation and literature studies. Data analysis included with the correlation test, regression test and path analysis. The research conclusion are: (1) The performance’s level of agriculture extension worker to empower farmer in agribusiness, fulfillment level of farmer’s capacity development need in agribusiness and level of farmer self reliance in agribusiness are “low” category and (2) The synergy of influenced significant factors to the performance of agriculture extension worker in empowering farmer; fulfillment of farmer’s capacity development need and farmer’s self reliance in agribusiness are effective asset to empower farmer for need fulfillment and their self reliance in agribusiness. Key word: performance of agriculture extension worker; empowerment; fulfillment of capacity development need; farmer’s selfreliance in agribusiness
RINGKASAN MARLIATI. 2008. Pemberdayaan Petani untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas dan Kemandirian Petani Beragribisnis (Kasus di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau). Dibimbing oleh: Sumardjo, Pang S. Asngari Prabowo Tjitropranoto dan Asep Saefuddin. Pemerintah melalui kelembagaan penyuluhan pertanian telah melakukan kegiatan pemberdayaan terhadap petani. Namun dalam kenyataannya, pemberdayaan tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan pe-ngembangan kapasitas dan kemandirian petani beragribisnis. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis: (1) Tingkat kinerja penyuluh pertanian memberdayakan petani beragribisnis dan faktor-faktor yang berpengaruh, (2) Tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis dan faktor-faktor yang berpengaruh, (3) Tingkat kemandirian petani beragribisnis dan faktor-faktor yang berpengaruh, dan (4) Merumuskan strategi penyuluhan pertanian untuk pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas dan keamandirian petani beragribisnis. Melalui tehnik pengambilan multistage cluster sampling, diperoleh 300 orang sampel petani. Penelitian dilakukan bulan April 2007 sampai dengan Desember 2007. Data penelitian meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan menggunakan kuesioner terstruktur, wawancara mendalam, Diskusi Kelompok Terarah (Focus Group Discussion) dan pengamatan partisipasi (participant observation). Data sekunder diperoleh melalui studi dokumentasi dan studi literatur. Analisis data menggunakan uji korelasi, uji regresi dan analisis jalur. Kesimpulan penelitian adalah: (1) Tingkat kinerja penyuluh pertanian memberdayakan petani beragribisnis kategori “rendah.” Rendahnya tingkat kinerja penyuluh pertanian disebabkan oleh: (a) faktor karakteristik sistem sosial, dicirikan oleh: kurang mendukungnya nilai-nilai sosial budaya; kurangnya fasilitasi oleh lembaga pemerintah terkait agribisnis dan kurangnya dukungan kelembagaan agribisnis, (b) rendanya tingkat kompetensi penyuluh pertanian, meliputi: kompetensi komunikasi; kompetensi membelajarkan petani dan kompetensi interaksi sosial, dan (c) rendahnya tingkat pendidikan non formal petani; (2) Tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis kategori “rendah.” Rendahnya tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani disebabkan oleh: (a) rendahnya tingkat kinerja penyuluh pertanian, (b) faktor karakteristik petani yaitu rendahya tingkat
pendidikan formal dan pendidikan non formal petani, dan (c) faktor karakteristik sistem sosial yaitu: kurang mendukungnya nilai-nilai sosial budaya; kurangnya fasilitasi oleh lembaga pemerintah terkait agribisnis dan kurangnya dukungan kelembagaan agribisnis; (3) Tingkat kemandirian petani beragribisnis kategori “rendah.” Rendahnya tingkat kemandirian petani beragribisnis disebabkan oleh: (a) rendahnya tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis, yaitu meliputi rendahnya pemenuhan kebutuhan pengembangan: kapasitas produktivitas, kapasitas pemasaran, kapasitas keamanan usaha/ agribisnis, kapasitas berkelompok, kapasitas berjaringan, dan kapasitas peningkatan prestasi/kemajuan usaha, yang semuanya “rendah”; (b) faktor karakteristik sistem sosial khususnya kurangnya dukungan kelembagaan agribisnis, dan (c) faktor karakteristik petani yaitu rendanya tingkat pendidikan formal dan pendidikan non formal; (4) Perpaduan dari faktor-faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap kinerja penyuluh pertanian mem-berdayakan petani; pemenuhan kebutuhan pengembangan petani dan kemandirian petani beragribisnis merupakan model efektif pemberdayaan petani untuk pemenuhan kebutuhan dan kemandirian petani beragribisnis. Dengan kata lain, kinerja pemberdayaan oleh penyuluh pertanian yang betujuan pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis dan didukung oleh karakteristik petani yaitu tingkat pendidikan formal dan non formal petani; dukungan karakteristik sistem sosial dan kompetensi penyuluh pertanian yang tinggi berpengaruh atau dapat meningkatkan kemandirian petani beragribisnis; dan (5) Petani dengan komoditi unggulan yang berbeda (tanaman pangan, kelapa sawit, karet, perikanan dan tenak), pendekatan atau strategi penyuluhannya juga harus berbeda, karena factor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja pemberdayaan oleh penyuluh; tingkat pemenuhan kebutuhan petani dan kemandirian petani beragribisnis berbeda.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PEMBERDAYAAN PETANI UNTUK PEMENUHAN KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KAPASITAS DAN KEMANDIRIAN PETANI BERAGRIBISNIS (Kasus Di Kabupaten Kampar Provinsi Riau)
MARLIATI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr.Ir.SITI AMANAH, MSc. (Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan IPB)
Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. FAWZIA SULAIMAN, MSc. (Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemem Pertanian) 2. Prof. (Riset) Dr. DJOKO SUSANTO, SKM (Guru Besar pada Program Studi/Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Institut Pertanian Bogor)
Judul Disertasi
: Pemberdayaan Petani untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas dan Kemandirian Petani Beragribisnis (Kasus di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau).
Nama
:
Marliati
Nomor Induk
:
P 05600009
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. SUMARDJO, M.S. Ketua
Prof. Dr. PANG S.ASNGARI Anggota
Dr. PRABOWO TJITROPRANOTO, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. ASEP SAEFUDDIN, M.Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan IPB
Dr.Ir.SITI AMANAH, MSc.
Tanggal ujian:
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof..Dr.Ir.KHAIRIL A.NOTODIPUTRO, MS
Tanggal lulus:
KATA PENGANTAR
Puji syukur dihaturkan kepada Allah SWT, Tuhan seru sekalian alam, atas rahmat dan karunia-Nya, tulisan ini dapat diselesaikan. Tulisan ini merupakan disertasi yang berjudul: “Pemberdayaan Petani untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas dan Kemandirian Petani
Beragribisnis (Kasus di
Kabupaten Kampar Propinsi Riau)” dan merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Doktor di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: Bapak Prof. Dr. Ir. H. Sumardjo, MS. (selaku ketua komisi pembimbing disertasi), Bapak Prof. Dr.H. Pang S.Asngari, Bapak Dr.H.Prabowo Tjitropranoto dan Bapak Dr. Ir. H. Asep Saefuddin, MSc. selaku anggota komisi pembimbing.
Keempat beliau telah banyak memberikan
bimbingan dan pengarahan kepada penulis, sehingga tulisan ini dapat diselesaikan. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hasan Basri Jumin, MS, MSc., selaku Rektor Universitas Islam Riau dan Bapak Ir. Asrol, M Ec., selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Islam Riau, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis melanjutkan studi S3 di Institut Pertanian Bogor. Secara khusus, ucapan terimakasih disampaikan kepada kedua orang tua tercinta, mas Harsono, anak-anak tersayang, kakak dan adik-adik penulis yang telah memberikan bantuan moril dan materil kepada penulis. Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada siapa saja yang telah membantu selesainya disertasi ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam tulisan ini. Akhirnya, semoga segala sesuatu yang dituangkan dalam tulisan ini bermanfaat bagi penulis dan orang-orang yang membutuhkannya. Kritik dan saran pembaca sangat penulis harapkan demi perbaikan tulisan ini.
Bogor, Juni 2008 Penulis
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bangkinang (Riau) pada tanggal 27 Agustus 1965 sebagai anak ketiga dari sembilan bersaudara pasangan Bapak H. Ahmad dan Ibu Hj. Mariah. Pendidikan Sekolah Dasar hingga Lanjutan Atas diselesaikan di kota Bangkinang.
Sarjana Pertanian lulus pada bulan Februari tahun 1989 dari
Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan, Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB).
Program
Pascasarjana S2 diselesaikan pada tahun 1996 dari Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan IPB. Studi Program Doktor pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan IPB ditempuh mulai semester Genap tahun ajaran 2003/2004 dengan bantuan beasiswa dari Pemda Riau. Sejak tahun 1990 hingga saat ini, penulis bekerja sebagai staf pengajar PNS yang diperkerjakan sebagai dosen tetap di Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Islam Riau Pekanbaru. Disamping sebagai dosen tetap, penulis juga aktif sebagai dosen Luar Biasa di perguruan tinggi swasta. Pada tahun ajaran 1996/1997 penulis aktif
sebagai Dosen Luar Biasa Fakultas
Pertanian UNIDA Ciawi Bogor; pada tahun yang sama penulis juga aktif sebagai Dosen Luar Biasa Program Diploma IPB dan pada tahun yang sama juga sebagai asisten peneliti di Pusat Studi Wanita –LP IPB. Tulisan ilmiah yang pernah dipublikasikan antara lain: ”Peranan Wanita dalam Sistem Usahatani di Kecamatan Rajasinga Kecamatan Cikedung Kabupaten Indramayu
Propinsi Jawa Barat” (Jurnal Dinamika Pertanian UIR);
”Peranan Wanita dalam Usaha Peternakan di Kabupaten Kampar Provinsi Riau (Jurnal Dinamika Pertanian UIR); “Dinamika Kelompok Tani di Kabupaten Kampar Provinsi Riau” (Jurnal Dinamika Pertanian UIR);
”Kepemimpinan
Kontak Tani dan Efektivitas Kelompok Tani dalam Program Intensifikasi Ayam Buras di Kecamatan Nagrak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat” (Jurnal Dinamika Pertanian UIR).
DAFTAR ISI Halaman ABSTRACT……………………………………………………………..
ii
RINGKASAN……………………………………………………………
iii
DAFTAR TABEL......................................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR..................................................................................
xxi
PENDAHULUAN ....................................................................................
1
Latar Belakang ..............................................................................
1
Masalah Penelitian .......................................................................
4
Tujuan Penelitian ..........................................................................
6
Kegunaan Penelitian......................................................................
6
Definisi Istilah...............................................................................
7
TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
11
Karakteristik Petani .......................................................................
11
Karakteristik Petani yang Mempengaruhi Kemampuan Mengubah Perilaku............................................................
13
Karakteristik Sistem Sosial............................................................
15
Pengertian Sistem Sosial ...................................................
15
Perubahan dalam Sistem Sosial.........................................
17
Masyarakat Petani sebagai suatu Sistem Sosial ................
19
Pengaruh Kepemimpinan dalam Sistem Sosial.................
20
Konsep-konsep Pemberdayaan .....................................................
21
Pengertian Pemberdayaan..................................................
21
Syarat Pemberdayaan.........................................................
24
Visi Pemberdayaan Masyarakat.........................................
24
Misi Utama Pemberdayaan ................................................
25
Pemberdayaan Model Pentagonal......................................
28
Peran Petugas Pemberdayaan Masyarakat.........................
30
Karakteristik dan Strategi Intervensi Masyarakat..............
35
Kinerja Penyuluh Pertanian dalam Memberdayakan Petani
36
Kompetensi Penyuluh Pertanian ...................................................
37
Teori Kebutuhan............................................................................
40
Pengertian Kebutuhan .......................................................
40
Hierarki Kebutuhan Maslow .............................................
41
Teori Kebutuhan David Mc Clelland ................................
42
Teori Kebutuhan Argyris...................................................
43
Tehnik Pengidentifikasian Kebutuhan ..............................
44
Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis......................................................................
44
Konsep-konsep Kemandirian .......................................................
45
Konsep Kepribadian Sehat/Matang Menurut Allport ................................................................................
45
Pribadi yang Berfungsi Sepenuhnya (Fully Function Person) Model Carl Rogers................................
46
Konsep Kemandirian Lainnya ...........................................
49
Dimensi atau Elemen Kemandirian ...................................
52
Kemandirian Petani............................................................
55
Beberapa Hasil Penelitian Tentang Kemandirian Petani dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya .......................
57
Sistem Agribisnis ......................................................................... KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN .................. Kerangka Berpikir........................................................................ Hipotesis Penelitian......................................................................
58 60 60 74
METODE PENELITIAN..........................................................................
75
Populasi dan Sampel ....................................................................
75
Populasi..............................................................................
75
Sampel................................................................................
75
Rancangan Penelitian ...................................................................
76
Data dan Instrumentasi.................................................................
77
Data.....................................................................................
77
Instrumentasi.......................................................................
78
Kesahihan (Validitas) Instrumen ................................
78
Keterandalan (Reliabilitas) Instrumen ........................ Pengukuran Peubah..................................................................... Pengumpulan Data ......................................................................
80 82 93
Analisis Data...............................................................................
94
HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................
97
Gambaran Umum Daerah Penelitian ..........................................
97
Pertanian Tanaman Pangan.........................................
98
Perkebunan..................................................................
99
Peternakan...................................................................
99
Perikanan.....................................................................
100
Profil Kelembagaan Penyuluhan Pertanian ................................
100
Kelembagaan Penyuluh .............................................
100
Sumberdaya Penyuluh ...............................................
101
Kelembagaan Petani....................................................................
103
Karakteristik Petani.....................................................................
105
Profil dan Permasalahan Petani Beragribisnis...........
108
Karakteristik Sistem Sosial .........................................................
111
Kompetensi Penyuluh Pertanian .................................................
120
Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian Memberdayakan Petani ....
126
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Penyuluh Pertanian Memberdayakan Petani..............................................
129
Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis ....................................................................
141
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan kapasitas Petani Beragribisnis.........
147
Tingkat Kemandirian Petani Beragribisnis .................................
162
Kaitan Kemandirian Petani dengan Produktivitas Usahatani .....
166
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kemandirian Petani Beragribisnis ....................................................................
167
Strategi Penyuluhan Pertanian untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas dan Kemandirian Petani Beragribisnis
187
Implementasi Hasil Penelitian dalam Konteks Sistem Penyuluhan Pertanian.................................................................. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................. Kesimpulan ................................................................................... Saran ............................................................................................. DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... LAMPIRAN..............................................................................................
203 204 205 206 209 216
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman Teks
1
Perubahan Strategi Pembangunan Ditinjau dari Empat Variabel .....................................................................
61
2
Pemikiran tentang Karakteristik Petani .......................................
65
3
Pemikiran tentang Karakteristik Sistem Sosial ..........................
66
4
Pemikiran tentang Kompetensi Penyuluh Pertanian ...................
67
5
Pemikiran tentang Kinerja Penyuluh Pertanian Memberdayakan Petani ………………….................................
69
Pemikiran tentang Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis..................................................
70
7
Paradigma Petani yang Mandiri………………………………….
72
8
Daftar Kerangka Penarikan Sampel Penelitian…..……................
76
9
Validitas dan Reliabilitas Instrumen Setiap Dimensi Peubah Penelitian……………………………………………….
80
Sub Peubah dan Parameter Karakteristik Sumberdaya Petani (X1)…………………………………….……
82
Sub Peubah dan Parameter Karakteristik Sistem Sosial (X2)………………………………………..………
83
Sub Peubah dan Parameter Kompetensi Penyuluh Pertanian (X3)……………………………………………………..
85
Sub Peubah dan Parameter Kinerja Penyuluhan Pertanian Memberdayakan Petani (X4)…………………………………........
86
Sub Peubah dan Parameter Pengukuran Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis (Y1).......
88
15
Sub Peubah dan Parameter Tingkat Kemandirian Petani (Y2)…….
90
16
Daftar Balai Informasi Penyuluhan, Jumlah Desa Binaan dan Jumlah Penyuluh Pertanian di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau ................................................................................
102
Jumlah Kelompok Tani Menurut Kelas Kemampuan Kelompok Tani di Kabupaten Kampar, Propinsi Riau .................
104
Karakteristk Petani (X1) di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.................................................................................
105
Permasalahan Petani Beragribisnis pada Setiap Komoditi unggulan yang Berbeda di Kabupaten Kampar, Riau ...................
109
6
10 11 12 13 14
17 18 19
Karakteristk Sistem Sosial (X2) di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau (Skor Rataan).........................................................
112
Kompetensi Penyuluh Pertanian (X3) di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau (Skor Rataan) ........................................................
122
Kinerja Penyuluh Pertanian Memberdayakan Petani (X4) di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau (Skor Rataan) ...................
126
Koefisien Korelasi Aspek-aspek Karakteristik Petani, Karakteristik Sistem Sosial dan Kompetensi Penyuluh Pertanian dengan Kinerja Penyuluh Pertanian Memberdayakan Petani di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau...............................
130
Koefisien Regresi yang Distandarkan (Standarized Regresi Coeficient) Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Penyuluh Pertanian Memberdayakan Petani di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau ..................................
132
Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis (Y1) di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau (Skor Rataan) ......................................................................
144
Koefisien Korelasi Aspek-aspek Karakteristik Petani, Karakteristik Sistem Sosial, Kompetensi Penyuluh Pertanian, Kinerja Penyuluh Pertanian dengan Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau...........................................
149
Koefisien Jalur Faktor-faktor yang Berpengaruh Langsung dan Tidak Langsung terhadap Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis (Y1) di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.......................................
151
Koefisien Jalur Aspek-aspek Kinerja Penyuluh Pertanian dan Faktor-faktor Lain yang Berpengaruh terhadap Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau...........................................
160
29 Tingkat Kemandirian Petani Beragribisnis (Y2) di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau (Skor Rataan) ........................................
191
20
21 22 23
24
25
26
27
28
30
31
Koefisien Korelasi Aspek-aspek Karakteristik Petani, Karakteristik Sistem Sosial, Kompetensi Penyuluh Pertanian dan Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani dengan Kemandirian Petani Beragribisnis di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau...........................................
168
Koefisien Jalur Faktor-faktor yang Berpengaruh Langsung dan Tidak Langsung terhadap Kemandirian Petani Beragribisnis (Y2)) di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.................................
171
32
33
Koefisien Jaluri Aspek-aspek Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani yang Berpengaruh terhadap Kemandirian Petani Beragribisnis (Petani Keseluruhan)............
204
Rumusan Kinerja Penyuluh Pertanian untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas dan Kemandirian Petani Beragribisnis ...............................................................................
201
Lampiran 1
2 3
4
5 6 7
Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi sawah dan Padi ladang Menurut BIP/Kecamatan di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau......................................................................................
217
Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Palawija Menurut BIP/Kecamatan di Kabupaten Kampar,Propinsi Riau ..............
218
Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Sayuran Menurut BIP/Kecamatan di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau ........................
219
Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Perkebunan Rakyat Menurut BIP/Kecamatan di Kabupaten Kampar, Propinsi Riau..........................................
220
Jumlah Ternak Besar (Ekor) Menurut jenis dan Kecamatan di Kabupaten Kampar, Propinsi Riau.......................
221
Jumlah Ternak Unggas (Ekor) Menurut jenis dan Kecamatan di Kabupaten Kampar, Propinsi Riau ..............................................
222
Produksi Perikanan (Ton) Menurut Kecamatan dan Sektor Perairan di Kabupaten Kampar, Propinsi Riau ...............................................................................
223
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman Teks
1 2 3
Petani dan Produktivitasnya di Lahan Marginal (Tjitropranoto, 2005)…………………………………………..
12
Saling Hubungan antar Sub Sistem dari Sistem Sosial Masyarakat Pedesaan (Sanders, 1958)..……………………….
20
Sistem Agribisnis dan Lembaga Penunjangnya (Said dan Intan , 2001)...............................................................
58
4
Alur Berpikir Penelitian
5
Kerangka Berpikir Penelitian
6
Pengaruh antar Variabel dalam Diagram Jalur...........................
95
7
Pengaruh antar Variabel secara Konseptual pada Penelitian Pemberdayaan Petani untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis (Kasus di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau)............................................
96
8
9
10
11
12
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Penyuluh Pertanian Memberdayakan Petani Beragribisnis Pada Petani Keseluruhan di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau …
136
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pemberdayaan Petani untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis (pada Petani Keseluruhan) di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau..............................................................
158
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pemberdayaan Petani untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas dan Kemandirian Petani Beragribisnis (pada Petani Keseluruhan) di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau..............................................
176
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pemberdayaan Petani untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas dan Kemandirian Petani Tanaman Pangan Beragribisnis di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau............................................................... .....
177
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pemberdayaan Petani untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Kelapa Sawit Beragribisnis di Kabupaten Kampar,
13
14
15
16
17
Provinsi Riau............................................................... ..............
178
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pemberdayaan Petani untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Kelapa Karet Beragribisnis di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau............................................................... ..............
180
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pemberdayaan Petani untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Ikan Beragribisnis di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau............................................................... ..............
181
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Penyuluh Pertanian untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Ternak Beragribisnis di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau..................................................................................................
182
Aspek-aspek Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani yang Berpengaruh Terhadap Kemandirian Petani Beragribisnis di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.......................
186
Strategi Penyuluhan Pertanian untuk Pemenuhan Kebutuhan dan Pengembangan Kemandirian Petani Beragribisnis……………
188
PENDAHULUAN Latar Belakang Setelah beberapa dekade pembangunan pertanian di Indonesia, ternyata pembangunan itu belum mampu meningkatkan harkat, martabat dan kesejahteraan petani.
Hal yang menjadi penyebabnya adalah: (1) Pembangunan itu hanya
mengutamakan pertumbuhan, mengejar target dan jarang memperhatikan faktor manusia sebagai subjek. Dalam praktek sering dijumpai martabat manusia merosot hingga sekedar menjadi alat untuk mencapai tujuan ekonomi dan (2) Tidak efisiennya sistem birokrasi yang dikembangkan oleh pemerintah. Golongan yang diuntungkan adalah mereka yang dekat dengan elit kekuasaan atau mereka yang secara sosial ekonomi mampu meraih kesempatan yang ada (Ismawan, 2003). Hal yang senada juga dikemukakan oleh Padmowihardjo (2005), bahwa pembangunan yang selama ini dilaksanakan belum banyak mengubah nasib petani. Mengapa? Salah satu penyebab utamanya adalah karena petani kurang diberdayakan. Orang miskin akan tetap miskin selama dia tidak berdaya untuk mendayagunakan kapasitas produktif dirinya. Dengan pemberdayaan akan terjadi pendayagunaan semua potensi yang dimiliki seseorang untuk dapat memperbaiki nasibnya. Pembangunan yang bertujuan untuk memperbaiki nasib suatu masyarakat tidak akan berhasil dengan baik, apabila tidak dilakukan pemberdayaan dari masyarakat itu sendiri, sehingga mereka mampu menempatkan dirinya sebagai subjek pembangunan, bukan sebagai objek pembangunan. Menurut Amartya Sen (Padmowihardjo, 2005), penerima hadiah Nobel Ekonomi tahun 1998, pembangunan merupakan upaya perluasan kemampuan rakyat (expansion of people’s capability) dan pembangunan adalah pembebasan (development is a freedom). Demikian pula Chakra Varty (Padmowihardjo, 2005) menyatakan bahwa pembangunan adalah perluasan kreativitas rakyat (expansion of people’s creativity).
Oleh karena itu, pemikir India, Rajni Kotari
(Padmowihardjo, 2005) menyatakan perlunya melaksanakan strategi pembangunan partisipatif. Dengan melaksanakan strategi pembangunan partisipatif maka individu akan ditempatkan sebagai pusat intervensi, sehingga manusia akan menjadi fokus utama dalam pambangunan, atau manusia akan menjadi modal sosialnya (social capital) atau human capital. Oleh karena itu, dalam
1
pembangunan diperlukan adanya empowerment atau pemberdayaan guna meningkatkan kesadaran akan harga dirinya, harkatnya, martabatnya, kemandirian, tahan uji, pintar, jujur, berkemampuan kreatif, produktif dan emansipatif. Bukan sebaliknya, yaitu dilakukan disempowerment atau pelumpuhan masyarakat seperti yang sering kita lihat selama ini. Disisi lain, menurut Sumardjo (1999), keterbukaan ekonomi sebagai akibat globalisasi ekonomi dunia menciptakan kondisi (tantangan) yang lebih menuntut perilaku modern sumberdaya manusia, efisiensi usaha dan daya saing dari setiap komoditas yang dihasilkan, termasuk komoditas pertanian. Munculnya kekuatan ekonomi baru ini, selain tantangan juga merupakan peluang potensi pasar produk pertanian Indonesia. Hal tersebut, merupakan peluang karena secara geografis Indonesia berada pada posisi strategis dibandingkan negara-negara pemasok lainnya. Kondisi petani sampai saat ini masih merupakan tantangan karena mereka dalam melakukan agribisnis (bisnis pertanian), petani tidak saja dituntut berorientasi pada produk yang dibutuhkan pasar, tetapi juga harus mampu menciptakan pasar, efisien dan memiliki daya saing. Petani tidak lagi hanya mengandalkan proteksi dan subsidi dari pemerintah, mereka dituntut untuk memiliki aspirasi, kreatif, mampu mengambil keputusan yang menguntungkan, inovatif dan tangguh dalam melakukan agribisnisnya. Menurut Soewardi (1987), petani selama ini memiliki pilihan terbatas pada paket program pemerintah dan lebih berorientasi pada sikap menunggu petunjuk. Hal ini menyebabkan mereka kehilangan kekuatan diri sendiri dan lebih menunjukkan ketergantungan pada kekuatan dari luar. Menurut Slamet (1995), ketergantungan tersebut tidak hanya dalam hal mendapatkan informasi, tetapi juga dalam membuat keputusan-keputusan. Selain itu, masih banyak petani kita dalam kondisi marjinal. Menurut Tjitropranoto (2005) dan Elyas dkk. (2003), istilah marjinal saat ini menjadi sesuatu yang cukup populer dan pada umumnya dikaitkan dengan kondisi masyarakat yang miskin, tidak berpendidikan, tidak terampil, lemah dari segala aspek kehidupan sehingga membuat posisi mereka menjadi sangat rentan terhadap perubahan sosial yang terjadi. Hal ini telah menyebabkan mereka berada pada kedudukan paling pinggir dalam pranata sosial dan terabaikan.
2
Menurut Elyas dkk. (2003), upaya negara dalam mengentaskan petani marginal dari dulu telah dilakukan dalam program-program pengentasan kemiskinan (proverty allevation).
Banyak konsep yang telah diaplikasikan,
namun sejauh ini jumlah mereka terus bertambah.
Hal ini tak terlepas dari
dampak krisis ekonomi nasional yang bergulir sejak tahun 1997.
Berbagai
program digulirkan untuk mengurangi jumlah petani marjinal, namun sulit bila dikatakan berhasil, karena program yang diluncurkan lebih didasarkan pada usaha pengangkatan kesejahteraan secara instan, yaitu memberikan program-program usaha dalam bentuk-bentuk program reaktif, sesaat dan tidak ada pendampingan yang berkelanjutan. Kabupaten Kampar merupakan salah satu kabupaten memiliki potensi pengembangan agribisnis di provinsi Riau. Beberapa komoditi perkebunan dan perikanan merupakan komoditi ekspor atau bahan baku ekspor. Komoditi ekspor perkebunan misalnya: kelapa sawit, karet dan gambir. Komoditi perikanan yang diekspor ke negara tetangga adalah komoditi ikan salai (ikan air tawar segar yang diolah melalui pengasapan).
Komoditi tanaman pangan dan peternakan juga
memiliki peluang tinggi untuk menjadi komoditi ekspor, karena negara tetangga Singapure (yang letak geografisnya sangat dekat dengan provinsi Riau) adalah negara yang bahan pangannya hampir semuanya diimpor dari negara luar. Kondisi ini merupakan peluang dan sekaligus juga tantangan karena menuntut petani di kabupaten Kampar berperilaku maju dalam beragribisnis. Berdasarkan survei pendahuluan, ada dua kondisi petani di kabupaten Kampar yaitu, petani yang sadar akan kebutuhan pengembangan kapasitas (real needs) dan petani yang belum sadar. Tugas penyuluh pertanian disesuaikan dengan kondisi ini. Petani yang sudah sadar akan kebutuhan riilnya dalam beragribisnis, penyuluh berperan memfasilitasi memampukan petani memenuhi kebutuhan tersebut. Petani yang belum sadar akan kebutuhan riilnya, penyuluh berperan menyadarkan akan kebutuhan riilnya dan memfasilitasi untuk pemenuhannya. Berdasarkan hal ini, realisasi pemberdayaan petani di lapangan yang bertujuan untuk memampukan petani memenuhi kebutuhan pengembangan kapasitas dan kemandirian petani beragribisnis, menjadi faktor penting untuk dikaji dan ditindaklanjuti.
3
Masalah Penelitian Faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan pemberdayaan petani untuk pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas dan kemandirian petani
beragribisnis
adalah
“karakteristik
petani”
(faktor
internal);
“karakteristik sistem sosial” dan “karakteristik penyuluh” (faktor eksternal). Tantangan pembangunan pertanian dalam menghadapi era globalisasi adalah kenyataan masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia petani, baik karakteristik pribadi maupun karakteristik sosial ekonomi. Usaha pertanian di Indonesia masih didominasi oleh usaha skala kecil yang dilaksanakan oleh berjuta-juta petani yang sebagian besar tingkat pendidikannya sangat rendah (87 persen dari 35 juta tenaga kerja pertanian berpendidikan SD ke bawah), berlahan sempit, bermodal kecil dan petani memiliki produktivitas yang rendah. Kondisi ini memberikan dampak yang kurang menguntungkan terhadap persaingan di pasar global, karena pada umumnya mereka belum mampu menerapkan teknologi maju yang spesifik lokal, yang selanjutnya berakibat rendahnya efisiensi usaha dan jumlah serta mutu produk yang dihasilkan (Deptan, 2003). Menurut Slamet (2003), sebagian besar rakyat Indonesia (di atas 60 persen) adalah petani yang umumnya tinggal di pedesaan, dengan fasilitas sosial yang serba kurang dibandingkan dengan kehidupan di perkotaan. Keadaan sosial ekonomi mereka umumnya rendah, dan tingkat pendidikan mereka umumnya juga rendah.
Kehidupan mereka umumnya sangat sederhana,
lebih terbelakang
dibandingkan dengan rekan-rekannya yang ada di perkotaan.
Mereka sering
mendapat sebutan sebagai warga yang masih mengalami keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan. Keadaan semacam itu sebenarnya adalah akibat dari perkembangan dan pembangunan semata, bukan ditakdirkan bahwa kaum tani memang harus demikian. Salah satu permasalahan utama pembangunan pertanian di provinsi Riau adalah lahan pertanian yang umumnya terdiri dari lahan dan sekaligus petani marginal. Menurut Elyas dkk (2001), sebagian besar jenis tanah di provinsi Riau adalah podsolik merah kuning yang tidak subur untuk usaha pertanian. Di lain pihak sebagian besar masyarakat miskin di Riau berada di pedesaan, berlatar belakang penghidupan usahatani tradisional atau konvensional.
4
Menurut Tjitropranoto (2005), lahan marginal bukanlah lahan yang tidak berpotensi untuk menghasilkan produk pertanian unggulan, asalkan diterapkan teknologi pertanian yang tepat. Persoalan yang belum terpecahkan adalah bagaimana meningkatkan pendapatan petani di lahan marginal, yang merupakan sebagian besar dari jumlah seluruh petani?
Permasalahan petani di lahan
marginal menurut Tjitropranoto (2005) antara lain adalah kapasitas diri dan pemanfaatan kapasitas sumberdaya yang rendah, yang ditandai oleh pendidikan rendah, motivasi rendah, apatis, kemauan rendah dan kepercayaan diri rendah. Menurut Tjitropranoto (2005), peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani dapat ditingkatkan dengan teknologi pertanian spesifik lokasi, disertai tersedianya teknologi pengolahan hasil pertanian dan pemasaran yang baik. Walaupun semua itu tersedia, produktivitas petani marginal masih tergantung dari karakteristik individu, kapasitas diri dan pemanfaatan kapasitas sumberdaya alam pertanian
(termasuk
pemanfaatan
modal
dan
pemasaran
untuk
usaha
pertaniannya). Produktivitas petani yang berkelanjutan dapat diwujudkan apabila petani memiliki kemandirian. Kemandirian petani terwujud jika petani mampu mengoptimalkan kapasitas diri dan pemanfaatan kapasitas sumberdaya pertanian. Pengembangan kapasitas tersebut diupayakan melalui kinerja penyuluh pertanian memberdayakan petani berdasarkan kebutuhan petani dan didukung oleh sistem sosial (motivasi ekstrinsik) dan karakteristik petani (motivasi intrinsik). Kemandirian petani adalah suatu kondisi yang dapat ditumbuhkan melalui proses pemberdayaan (empowerment). Pihak pemerintah (Departemen Pertanian melalui kelembagaan penyuluhan pertaniannya) dari tahun ke tahun juga telah melakukan kegiatan pemberdayaan petani dalam kegiatan penyuluhan pertanian. Namun sejak otonomi daerah, kebijakan penyelenggaraan penyuluhan berbedabeda antar daerah. Sesuatu yang menarik untuk diteliti adalah: Dalam kenyataanya, apakah upaya pemberdayaan yang telah dilakukan melalui kegiatan penyuluhan
pertanian
telah
memampukan
petani
memenuhi
kebutuhan
pengembangan kapasitas dan kemandirian beragribisnis? Permasalahan spesifik penelitian ini adalah:
5
(1) Sejauhmana tingkat kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani dan faktor-faktor manakah yang berpengaruh penting terhadap tingkat kinerja penyuluh pertanian tersebut? (2) Sejauhmana tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis dan faktor-faktor manakah yang berpengaruh penting terhadap tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani tersebut? (3) Sejauhmana tingkat kemandirian petani beragribisnis dan faktor-faktor manakah yang berpengaruh penting terhadap tingkat kemandirian petani tersebut? (4) Bagaimana strategi penyuluhan pertanian untuk pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas dan kemandirian petani beragribisnis? Tujuan Penelitian Berdasarkan berbagai tantangan, tuntutan dan berbagai permasalahan yang berkembang, maka secara spesifik tujuan penelitian ini adalah: (1) Menganalisis tingkat kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani dan faktor-faktor yang berpengaruh penting terhadap tingkat kinerja penyuluh pertanian tersebut.
(2) Menganalisis tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis dan faktor-faktor yang berpengaruh penting terhadap tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani tersebut.
(3) Menganalisis tingkat kemandirian petani beragribisnis dan faktorfaktor yang berpengaruh penting terhadap tingkat kemandirian petani tersebut. (4) Merumuskan strategi penyuluhan pertanian untuk pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas dan kemandirian petani beragribisnis. Kegunaan Penelitian Penelitian ini secara umum diharapkan bermanfaat bagi: (1) Pengembangan ilmu pengetahuan (dalam hal teoritis) dan (2) Pemecahan permasalahan (dalam hal praktis).
Dalam hal teoritis diharapkan penelitian ini memberi
sumbangan bagi pengembangan konsep pemberdayaan yaitu pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas dan kemandirian petani beragribisnis melalui perbaikan kinerja penyuluh pertanian. Dalam hal pemecahan masalah, diharapkan
6
hasil penelitian berguna bagi para praktisi (pemerintah atau pihak swasta), yaitu bahan pertimbangan atau masukan dalam mengatasi permasalahan tidak optimalnya
kinerja
penyuluh
pertanian,
tidak
terpenuhinya
kebutuhan
pengembangan kapasitas dan ketidakmandirian petani beragribisnis, sehingga dapat diupayakan kinerja penyuluh pertanian yang memenuhi kebutuhan pengembangan kapasitas dan kemandirian petani petani beragribisnis. Secara khusus, hasil-hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk diketahui atau dipahaminya: (1) Tingkat kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani dan faktor-faktor yang berpengaruh, (2) Tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis dan faktorfaktor yang berpengaruh, dan (3) Tingkat kemandirian petani beragribisnis dan faktor-faktor yang berpengaruh. Atas dasar pemahaman ketiga hal ini, dapat disusun strategi pemberdayaan petani melalui penyuluhan pertanian oleh berbagai pihak secara tepat dan produktif bagi pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas dan kemandirian petani beragribisnis, serta diharapkan outcomenya meningkatkan pendapatan petani dan ketangguhan petani beragribisnis. Definisi Istilah Beberapa istilah yang digunakan dalam tulisan ini, didefinisikan sebagai berikut: (1) Karakteristik Petani adalah ciri-ciri yang melekat pada diri petani sebagai individu manusia. Karakteristik petani yang akan diteliti pada penelitian ini meliputi: (a) Umur, (b) Pendidikan Formal, (c) Pendidikan Non Formal, (d) Pendidikan Informal, dan (e) Pengalaman Petani Beragribisnis. (2) Karakteristik Sistem Sosial adalah faktor-faktor yang turut menghambat/mendukung perubahan sistem sosial sebagai akibat intervensi atau program pemberdayaan. Faktor-faktor tersebut adalah: (a) Nilai-nilai Sosial Budaya, (b) Sistem Kelembagaan, (c) Akses terhadap Tenaga Ahli, Kelembagaan Penyuluhan dan Penelitian, (d) Fasilitasi Agribisnis oleh Lembaga Pemerintah, (e) Fasilitasi Agribisnis oleh Lembaga Swasta, dan (f) Kepemimpinan Lokal. (3) Kompetensi Penyuluh Pertanian dalam Memberdayakan petani adalah kemampuan yang dimiliki penyuluh pertanian untuk dapat melakukan tugastugas penyuluhan yang diamanahkan (diembankan) kepadanya. Amanah dalam arti kesadaran penyuluh pertanian untuk mampu mempertang7
gungjawabkan pekerjaannya tidak hanya kepada manusia tetapi juga kepada Tuhan. Kompetensi penyuluh pertanian minimal yang harus dimiliki oleh seorang penyuluh pertanian kaitannya dengan pemberdayaan petani adalah kompetensi: (a) Managerial, (b) Komunikasi, (c) Pembelajaran Petani, dan (d) Interaksi Sosial. Tingkat kompetensi penyuluh pertanian ini diukur berdasarkan persepsi petani. (4) Pemberdayaan Petani adalah upaya yang dilakukan untuk mengoptimalkan atau membangun daya (kapasitas) petani secara internal (kapasitas diri) dan eksternal (kemampuan memanfaatkan/mengakses sumberdaya pertanian), sehingga petani mampu memberdayakan dirinya sendiri (menyadari sendiri dan berbuat yang terbaik untuk dirinya dalam mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi), sehingga mereka mempunyai kesadaran dan kekuasaan penuh dalam beragribisnis dan membentuk kehidupan yang lebih baik. (5) Penyuluh Pertanian dalam penelitian ini adalah petugas yang diberikan kewenangan (amanah) dalam lingkup kewenangan pemerintahan daerah untuk melakukan tugas memberdayakan petani di lapangan. Penyuluh pertanian ini adalah ujung tombak dari keberhasilan pemberdayaan petani. (6) Kinerja Penyuluh Pertanian dalam memberdayakan petani adalah perilaku yang diperagakan secara aktual oleh penyuluh pertanian sebagai kewajibannya melaksanakan kegiatan memberdayakan (mengembangkan kapasitas petani) untuk mewujudkan kemandirian petani beragribisnis. Kinerja dapat dilihat dari kepuasan (persepsi) petani terhadap perilaku aktual yang diperagakan penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani. Aspekaspek kinerja pemberdayaan yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah: (a) Pengembangan Perilaku Inovatif Petani, (b) Penguatan Tingkat Partisipasi Petani, (c) Penguatan Kelembagaan Petani, (d) Penguatan Akses Petani terhadap Berbagai Sumberdaya, (e) Penguatan Kemampuan Petani Berjaringan, dan (f) Kaderisasi. (7) Persepsi Petani adalah proses aktif petani dalam memperhatikan, mengorganisasikan, menafsirkan dan menilai secara selektif berdasarkan pengalaman sebelumnya atau kombinasi baru dan konsep yang sudah ada. (8) Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis adalah terpenuhinya kebutuhan petani untuk mengembangkan kapasitasnya (kebutuhan peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif) agar petani memiliki kemandirian menjalankan agribisnis (usahatani yang berorientasi bisnis), sesuai dengan kondisi ideal yang diharapkan (better
8
farming; better bussiness; friendly environment dan better living). Pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani tersebut meliputi memenuhan pengembangan kapasitas (pengetahuan, keterampilan, motivasi dan komitmen) dalam hal: (a) Produktivitas, (b) Pemasaran, (c) Keamanan Usaha/agribisnis, (d) Berkelompok, (e) Berjaringan, dan (f) Peningkatan Prestasi/Kemajuan usaha. (9) Kapasitas Petani adalah daya (kemapuan) yang dimiliki diri petani (meliputi pengetahuan, sikap, kerampilan dan sikap positif) untuk menjalankan agribisnis ideal yang diharapkan (better farming; better bussiness; friendly environment dan better living). Sikap positif dalam penelitian ini dibatasi pada motivasi dan komitmen petani beragribisnis. Motivasi adalah semangat petani untuk selalu meraih prestasi.
Komitmen adalah keterikatan jiwa
petani terhadap kemajuan agribisnisnya. (10) Kemandirian Petani Beragribisnis adalah perwujudan kemampuan (perilaku aktual yang ditampilkan) petani dalam beragribisnis untuk berbuat yang terbaik bagi diri (mengatur diri sendiri), keluarga dan masyarakat dengan memanfaatkan secara optimal potensi (kapasitas) dirinya dan sumberdaya, sesuai kesadaran diri, dan diyakini manfaatnya dalam rangka kesejahteraan hidupnya, tanpa ketergantungan dengan orang lain dan sematamata hanya ketergantungan pada Tuhan Yang Maha Esa. Kemandirian petani dalam beragribisnis dicirikan oleh enam elemen pokok, yaitu: (a) Kemandirian Intelektualitas Beragribisnis Kemandirian intelektualitas beragribisnis yaitu kemampuan yang diwujudkan/ditampilkan petani untuk mengkritisi berbagai persoalan yang berkaitan dengan agribisnisnya (penyediaan dan penggunaan sarana produksi, proses produksi, pemasaran dan pengolahan hasil pertanian yang lebih baik) secara cerdas dan logis tanpa dibayangi rasa takut atau tekanan pihak lain. Kemandirian intelektual juga bermakna pembentukan dasar pengetahuan otonom oleh petani yang memungkinkan mereka menanggulangi bentuk bentuk dominasi yang lebih halus yang muncul diluar kontrol terhadap pengetahuan itu. (b) Kemandirian Sikap Mental Beragribisnis Kemandirian sikap mental beragribisnis yaitu kemampuan yang diwujudkan/ditampilkan petani yang merupakan sintesa dari kemampuan mengotrol emosi (tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang lain), kesadaran diri, inisiatif, motivasi, harga
9
diri, komitmen dan kepercayaan diri untuk bertindak dan berbuat yang terbaik bagi dirinya dan orang lain dalam menjalankan agribisnisnya. (c) Kemandirian Manajemen Agribisnis Kemandirian manajemen yaitu kemampuan otonom untuk mengelola diri, menjalani serta mengelola kegiatan agribisnis (merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi) agar terwujud efisiensi dan efektivitas kerja, sehingga ada perubahan ke arah yang lebih baik dalam situasi kehidupan agribisnis petani. (d) Kemandirian Sosial Kemandirian sosial yaitu kemampuan yang ditampilkan/diwujudkan petani petani untuk mengadakan interaksi, bekerjasama dalam kelompok dan menjalin jaringan kerja atau bermitra dengan lembaga/pihak lain dan tidak tergantung atau menunggu aksi dari orang lain. (e) Kemandirian Material Kemandirian material yaitu kemampuan produktif petani guna memenuhi kebutuhan materi dasar dan cadangan serta termasuk mekanisme untuk dapat bertahan pada waktu krisis (kemampuan menabung dan berinvestasi). (f) Kemandirian Pengembangan Diri Kemandirian pembinaan diri, yaitu kemampuan yang ditampilkan petani untuk mengembangkan dirinya sendiri melalui proses pembelajaran discovery learning tanpa harus tergantung atau menunggu sampai adanya pembina atau penyuluh dari luar sebagai guru mereka dan memegang prinsip belajar seumur hidup.
10
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Petani Tingkat kemandirian petani dipengaruhi oleh kualitas sumberdaya petani. Menurut Slamet (2003), meskipun para petani yang hidup di pedesaan dan pelosok-pelosok yang jauh dari pusat-pusat peradaban modern dan sering disebut-sebut sebagai terbelakang, bodoh dan miskin, tetapi mereka adalah manusia seperti kita semua yaitu memiliki potensi dan kemampuan, disamping juga memiliki kebutuhan dan keinginan. Keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan bukanlah sesuatu yang akan melekat secara abadi pada para petani dan yang jelas itu semua bukanlah kemauan dan keinginan mereka. Para petani itu memiliki potensi dan kemampuan. Sekarang kemampuan mereka mungkin masih rendah, tetapi mereka mempunyai potensi untuk meningkatkannya. Mereka pun memiliki berbagai kebutuhan dan keinginan yang akan dapat mereka penuhi sendiri bilamana potensi dan kemampuan mereka mendapat kesempatan untuk berkembang. Selanjutnya menurut Slamet (2003), kondisi masyarakat petani masa kini adalah sebagai berikut: (1) Percampuran antara yang modern, maju, kaya dan yang tradisional, tertinggal dan miskin. (2) Mayoritas berpendidikan rendah. (3) Mayoritas masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar. (4) Lembaga-lembaga masyarakat belum banyak yang secara nyata memberdayakan masyarakat. (5) Tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan umumnya masih rendah. (6) Masyarakat madani masih merupakan cita-cita, disebabkan oleh banyaknya kendala yang dihadapi, dan kondisi yang belum kondusif. (7) Mayoritas masih hidup dalam “kegelapan,” kurang informasi dan umumnya tidak memiliki alternatif yang lebih menguntungkan. Menurut Tjitropranoto (2005), kondisi petani di lahan marjinal dan pengaruhnya terhadap kapasitas diri dan pemanfaatan kapasitas sumberdaya, produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan, digambarkan secara skematis pada Gambar 1.
11
KESEJAHTERAAN
PENDAPATAN
PRODUKTIVITAS
: Pemanfaatan SDA
Akses Kredit
Adopsi Teknologi
Akses Pasar
Pemanfaatan Kapasitas Sumberdaya
Kapasitas Diri
Petani Kecil Di Lahan Marginal
Pendidikan Rendah
Motivasi Rendah
Apatis
Kemauan Rendah
Percaya Diri Rendah
Gambar 1. Petani dan Produktivitasnya di Lahan Marginal (Tjitropranoto, 2005)
12
Gambar tersebut menjelaskan bahwa ciri-ciri petani di lahan marjinal antara lain: berpendidikan rendah, motivasi rendah, apatis, berkemauan rendah dan rasa percaya dirinya rendah. Hal ini mencerminkan rendahnya kapasitas diri petani dan pemanfaatan kapasitas sumberdaya yang masih rendah, yaitu kurangnya akses petani terhadap pemanfaatan sumberdaya alam, akses terhadap kredit, adopsi teknologi dan akses pasar.
Keadaan ini akan menyebabkan
rendahnya produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan petani. Berdasarkan pemikiran ini, peningkatan kesejahteraan petani dapat ditingkatkan melalui peningkatan kapasitas diri petani dan penguatan akses petani terhadap berbagai sumberdaya.
Pengembangan kapasitas petani dapat dilakukan melalui upaya
pemberdayaan oleh penyuluh pertanian sesuai dengan pengembangan kapasitas yang mereka butuhkan.
Dalam hal ini penyuluh pertanian berperan mem-
fasilitasi pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani, selanjutnya petanilah yang mampu mengembangkan kapasitas dirinya. Karakteristik Petani yang Mempengaruhi Kemampuan Mengubah Perilaku Kualitas sumberdaya pribadi (individual/personal characteristic) adalah ciri-ciri yang melekat pada diri seseorang sebagai individu manusia. Rogers dan Shoemaker (1981) mengungkapkan bahwa sumberdaya pribadi mencakup: (1) Ciri kepribadian (personality), dan (2) Ciri komunikasi. Ciri kepribadian mencakup: empati, dogmatisme, kemampuan abstraksi, rasionalitas, intelejensia, sikap terhadap perubahan, sikap mengambil resiko, sikap terhadap ilmu pengetahuan atau pendidikan, fatalisme, motivasi meningkatkan taraf hidup dan aspirasi terhadap pendidikan dan pekerjaan. Ciri-ciri komunikasi antara lain: partisipasi sosial, komunikasi interpersonal dengan sistem luar, kekosmopolitan, kontak dengan agen pembaharu, keterdadahan terhadap media massa, keinovatifan (keaktifan mencari inovasi), kepemimpinan (leadership) dan penerimaan terhadap norma modern. Rogers (1969) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam mengubah perilaku adalah: (a) Kemampuan membaca dan menulis, (b) Sifat kosmopolit, (c) Tingkat pendidikan, (d) Status sosial Ekonomi dan (e) Umur. Lionberger (1960) menyatakan bahwa karakteristik 13
individu atau personal faktor yang perlu diperhatikan adalah: umur, tingkat pendidikan dan karakter psikologis. Karakteristik psikologis antara lain adalah rasionalitas, fleksibilitas mental, dogmatisme, orientasi terhadap usahatani dan kecenderungan mencari informasi. Mc Leod dan O’Kiefe Jr (1972) menyatakan bahwa variabel demografik yang digunakan sebagai indikator untuk menerangkan perilaku individu adalah: jenis kelamin, umur dan status sosial. Rogers (1969) dan Salkind (1985) mengemukakan bahwa dalam proses pemberdayaan masyarakat tidak bisa terlepas dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal individu masyarakat antara lain: Umur, pendidikan, jenis kelamin, jumlah tanggungan, status sosial ekonomi dan pengalaman masa lalu. Faktor eksternal yang esensial antara lain: Peran penyuluh (fasilitator, motivator, katalisator, pendidik, pelatih); lingkungan (fisik, sosial dan ekonomi) dan ketersediaan dana/modal usaha. Salkind (1985) mengemukakan bahwa pengembangan sumberdaya manusia adalah merupakan upaya untuk mengubah/meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan. Dalam hal ini, haruslah melalui proses dan merupakan suatu usaha peningkatan taraf hidup manusia agar mendapatkan suatu pengakuan (recognition) individu dalam kehidupan masyarakat. Lembaga pengembangan swadaya masyarakat, penyuluh dan lembaga keswadayaan bagi individu sebagai wadah dengan bentuk kelompok berperan penting dalam proses pemberdayaan anggota
masyarakat
vidu/masyarakat.
dalam
rangka
mewujudkan
kemandirian
indi-
Dengan demikian kehidupan berkelompok berperan mem-
pengaruhi kemampuan individu mengubah perilaku. Hal senada dikemukakan oleh Gerungan (1983), faktor eksternal yang dapat mengubah sikap dan perilaku seseorang antara lain adalah: (a) Kekuatan (force), (b) Perubahan norma kelompok, (c) Perubahan “membership group,” (d) Perubahan “reference group,” dan (e) Pembentukan kelompok baru. Menurut Padmowihardjo (1994), kemampuan umum untuk belajar akan bagi seseorang berkembang secara gradual semenjak dilahirkan sampai saat kedewasaan. Seseorang pada usia 15 – 25 tahun akan belajar lebih cepat dan berhasil mempertahankan retensi belajar, jika diberi bimbingan dalam
14
pembelajaran yang baik. Kemampuan ini akan berkembang dan tumbuh maksimal pada usia 45 tahun. Kemampuan belajar akan nyata berkurang setelah usia 55 sampai 60 tahun. Menurut Winkel (1990), pendidikan merupakan proses pembentukan watak seseorang sehingga memperoleh pengetahuan, pemahaman dan cara bertingkah laku. Dengan demikian, tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi kemampuan mengubah perilaku. Karakteristik Sistem Sosial Pengertian Sistem Sosial Faktor lain yang mempengaruhi kualitas pemberdayaan, tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas dan kemandirian petani dalam beragribisnis adalah faktor sistem sosial. Agen pemberdaya (termasuk penyuluh dan pendamping) dan petani, hidup dan beraktivitas dalam suatu sistem sosial tertentu, secara otomatis akan mempengaruhi kualitas pemberdayaan dan akhirnya mempengaruhi tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas dan kemandirian petani beragribisnis. Foster (1973) menyatakan bahwa kegiatan manusia dalam kelompok sosial dipengaruhi oleh sistem sosial, budaya dan psikologi kelompok atau masyarakat tempat orang tersebut berada. Sistem sosial mengatur bagaimana hubungan di antara anggota-anggotanya, bagaimana status dan peranan masing-masing anggota, serta hak dan kewajibannya. Sistem budaya mengatur perilaku anggotaangota kelompok, dimana perilaku tersebut harus mengikuti norma-norma yang berlaku. Sistem psikologi berhubungan dengan bagaimana individu mereaksi atau merespon stimulus dari luar dirinya dalam situasi kelompok tertentu. Sistem psikologi ini meliputi: pengetahuan, persepsi, aspirasi, sikap, motivasi, harapanharapan dan aspek-aspek pengalaman hidup seseorang. Sistem sosial dan budaya sering digunakan secara bergantian, karena kedua konsep tersebut saling dekat dan saling pengaruh mempengaruhi. Sistem sosial menekankan cara kelompok terbentuk dan terorganisasi, macam bentuk hubungan antar mereka dalam hidup bersama, status dan stratifikasi sosial dan
15
bentuk-bentuk pranata sosial lainnya. Sistem budaya lebih menekankan pada aturan atau norma-norma yang memberi arah perilaku anggotanya. Oleh Foster diakui bahwa pembatasan tersebut masih kurang jelas dan kabur, sehingga para ahli lebih mudah memandang konsep tersebut dalam pengertian yang saling mencakup, yaitu konsep sosial-budaya (socio-cultural). Sistem sosial adalah suatu set (satuan) kehidupan sosial yang tersusun dari unsur-unsur yang satu sama lainnya saling berhubungan dan pengaruh mempengaruhi (Sanders, 1958; Berlo, 1961; Havelock & Huberman, 1977). Sistem berkembang dalam suatu situasi tertentu sambil terus mencari bentuknya yang lebih sempurna. Loomis (1964) menyebutkan adanya sembilan unsur dalam sistem sosial, yaitu: (1) Tujuan dari sistem sosial; (2) Kepercayaan atau belief; yaitu kepercayaan yang menyangkut aspek kognitif atau aspek intetellectual ability; (3) Sentimen, yaitu perasaan tertentu diantara para anggota
yang dapat
mempengaruhi pola interaksinya, sehingga sentimen ini lebih menyangkut aspek afektif atau emosi; (4) Norma, yaitu standar perilaku atau perilaku-perilaku yang telah dapat diterima oleh orang-orang dalam sistem sosial itu, dimana norma itu ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis; (5) Sanksi, yaitu sitem pemberian penghargaan atau hukuman yang berhubungan dengan perilaku yang ditunjukkan seseorang, dimana sanksi ini selalu ada hubungan dengan norma; (6) Kedudukan dan peranan, yaitu kedudukan dan peranan yang jelas dari anggota dalam sistem sosial; (7)
Kekuasaan/pengaruh, yaitu adanya struktur kekuasaan yang jelas,
sehingga ada struktur kewenangan yang jelas pula; (8) Stratifikasi sosial, yaitu lapisan-lapisan sosial yang ada dalam masyarakat dan (9) Fasilitas, yaitu segala macam alat dan wahana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan, baik perangkat keras (hard ware) dan perangkat lunak berupa peraturan/perundangundangan, dan lain-lain (soft ware). Selain sembilan unsur tersebut, Betrand (1974) menambahkan satu unsur lagi yaitu “stres and strain.” Stress dan strain yaitu, tegangan yang timbul di dalam sistem sosial yang berguna untuk menimbulkan penguatan atau persatuan diantara anggota sistem.
16
Perubahan dalam Sistem Sosial Perubahan dalam sistem sosial dapat menuju ke arah yang positif dan negatif. Berbagai tipe perubahan sistem menurut Havelock dan Huberman (1977) adalah sebagi berikut: (1) Perubahan terjadi sebagai akibat datangnya masukan baru, berupa informasi, ide atau teknologi baru. (2) Perubahan yang disebabkan karena kegagalan sistem dalam mencapai keseimbangan. (3) Perubahan dalam rangka proses mencari bentuk baru sebagai sistem secara keseluruhan. (4) Perubahan karena sistem lama telah lapuk, sebagai akibat erosi kebudayaan. (5) Perubahan yang terjadi karena pengaruh penggunaan barang-barang impor. (6) Perubahan yang terjadi karena fusi dengan sistem sosial lain. (7) Perubahan yang terjadi karena adanya ide baru yang bertujuan menyempurnakan sistem, atau dalam rangka menciptakan sistem baru yang lebih sempurna. Dalam perubahan sistem sosial, dapat terjadi hambatan-hambatan yang memperlambat terjadi perubahan. Bennis, et al (1969) menyebutkan dua faktor penghambat terhadap perubahan dalam sistem sosial, pertama adalah hambatan pribadi dan kedua adalah hambatan dalam sistem sosial itu sendiri. Hambatan pribadi meliputi: (1) Homeostatis, yaitu sifat pribadi yang ingin tetap seperti pada keadaan semula. (2) Kebiasaan atau adat yang tidak menginginkan perubahan. (3) Persepsi anggota sistem sosial yang masih rendah. (4) Sifat ketergantungan pada seseorang. (5) Sifat super ego, yaitu dirinya merasa sudah menguasai dan merasa tahu, sehingga tidak bersedia menerima pengetahuan yang datang dari luar. (6) Sifat regresi, yaitu tidak mau memandang ke depan, justeru mengagungagungkan masa lampau. Hambatan-hambatan dalam sistem sosial, meliputi: (1) Tidak mau menerima ide perubahan karena keterikatannya pada norma sosial. (2) Sifat yang melekat pada sistem budaya yang berlaku (systemic cultural coherence). (3) Orang-orang dalam sistem sosial yang vested interest. 17
(4) Menganggap tabu bila meninggalkan adat/tradisi. (5) Sifat sistem sosial yang tertutup, yang tidak mau menerima masukan baru dari luar. Menurut Havelock dan Huberman (1977), ada tujuh faktor penghambat perubahan dalam sistem sosial, yaitu: (1) Hambatan geografis. Hambatan ini misalnya terjadi pada daerah terpencil, dengan sarana transportasi yang sulit, sehingga penyampaian informasi terganggu. Demikian pula terjadi kelambatan dalam penyampaian bahanbahan yang diperlukan bagi inovasi. (2) Hambatan historis. Misalnya, sistem pendidikan kolonial yang tidak tepat dalam menyediakan tenaga kerja yang terampil. Sistem kelembagaan kemasyarakatan yang didominasi kelompok elit yang telah berlangsung lama. (3) Hambatan ekonomis. Hambatan ini berupa kurang dimilikinya dana dan modal yang diperlukan bagi inovasi atau ide baru untuk perubahan. (4) Hambatan dalam prosedur. Hambatan ini berupa tiadanya koordinasi yang mapan antar pemegang peranan atau lembaga maupun aparat yang akan melaksanakan perubahan. Sebagai akibatnya, bahan-bahan atau pekerjaan bagi pembangunan tidak selesai pada waktunya. (5) Hambatan personal. Hambatan ini tidak tersedianya tenaga-tenaga ahli dan terampil serta memiliki dedikasi tinggi yang diperlukan dalam pembangunan. (6) Hambatan sosio-kultural. Misalnya, terdapat pertentangan ideologi, pertentangan kelas-kelas dalam masyarakat, perasaan menyerah pada nasib, serta
sifat-sifat
tradisi
masyarakat
yang
ingin
mempertahankan
kebiasaannya. (7) Hambatan politik. Misalnya, kurang terjalinnya komunikasi yang baik antara pemimpin-pemimpin politik, antara pemimpin politik dengan peguasa negara, cara pengambilan keputusan yang terlalu terpusat, kurang kesempatan berpartisipasi, padahal masyarakat menghendaki diikut sertakan dalam proses pengambilan keputusan. Juga hambatan-hambatan karena kurangnya dukungan penguasa formal dalam gerakan masyarakat setempat. 18
Masyarakat Petani sebagai Suatu Sistem Sosial Petani berta keluarganya umunya tinggal di pedesaan atau di pinggiran kota. Petani dan lingkungan tempat tinggalnya adalah suatu sistem sosial. Sistem sosial tersusun dari sejumlah unsur yang mengatur tata kehidupan sistem yang bersangkutan. Masyarakat desa, merupakan kehidupan bersama dan mendiami suatu wilayah tertentu, juga memiliki sejumlah unsur sistem sosial. Unsur-unsur itulah yang mengatur pola hubungan antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lain, yang membangun struktur, yang mengatur pembagian tugas, yang membagi peranan, yang menentukan sanksi sosial dan sebagainya. Menurut Sanders (1958), masyarakat desa (yang di dalamnya ada petani) dapat dipandang sebagai tempat pemukiman bersama (community as settlement). Sebagai pemukiman bersama, masyarakat terdiri dari sejumlah penduduk, terdiri dari berbagai macam bentuk pekerjaan dan layanan sosial, memiliki jaringan komunikasi tertentu, memiliki tradisi dan sistem nilai tersendiri, memiliki lapisan atau
struktur,
memiliki
kelompok-kelompok
sosial
sebagai
wadah
mengekspresikan kehendaknya, merupakan wadah untuk mengadakan interaksi satu sama lain, memiliki sistem dan mekanisme kontrol yang akan mengatur perilaku anggotanya dan masyarakat terserbut selalu terjadi perubahan sosial. Sanders (1958) juga mengemukakan bahwa masyarakat (termasuk petani) dalam kegiatannya, disamping dilandasi oleh ciri-ciri sebagaimana disebutkan di atas, masyarakat ditandai oleh adanya usaha untuk kaderisasi, proses sosialisasi, alokasi dari sesuatu yang dianggap berharga (prestige), mobilitas sosial, integrasi dari
perilaku
melalui
proses
penyesuaian
(pembudayaan)
dan
adanya
kepemimpinan yang akan mengatur dan mengorganisasi semua kegiatan. Menurut Sanders (1958), masyarakat sebagai suatu sistem sosial terdiri dari sub-sub sistem. Sub-sub sistem masyarakat pedesaan terdiri dari sub sistem : (1) Kehidupan keluarga, (2) Pemerintahan, (3) Ekonomi, (4) Agama dan (5) Pendidikan.
Sub-subsistem tersebut dalam keseluruhan sistem saling berhu-
19
bungan dan saling pengaruh mempengaruhi. Hubungan saling pengaruh antar sub sistem tersebut digambarkan Sander seperti terlihat pada Gambar 2.
Pengaruh Kepemimpinan dalam Sistem Sosial Kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi oleh pimpinan agar anggota mau mengikuti pengarahannya (Slamet, 2004). Pengaruh kepemimpinan merupakan tingkat kekuatan yang melekat pada diri seorang pemimpin. Orang yang memiliki kepemimpinan yang kuat, akan memiliki pengaruh yang lebih besar pula. Hammer dan Organ (1978), menyebutkan bahwa pengaruh kepemimpinan bersumber kepada: (1) Otoritas, (2) Keahlian/kecakapan (expertise) dan (3) Sifat kesetiakawanan (friendship).
Ekonomi
Agama Kelas
Pemerintahan
Keluarga
Pendidikan
Keterangan Gambar: Menurut Gambar tersebut, sebelah kanan terdapat “Kelas” dengan 5 anak panah dua ujung. Artinya, bahwa kelas-kelas atau lapisan dalam masyarakat melintasi kelima komponen yang lain. Dalam gambar lintasan tersebut tidak diperlihatkan secara jelas, untuk menghindari keruwetan gambar.
Gambar 2. Saling Hubungan antar Sub Sistem dari Sistem Sosial Masyarakat Pedesaan (Sanders, 1958)
Dalam hubungannya dengan usaha penyebaran inovasi dan peranan pemimpin dalam pembangunan pertanian dalam suatu sistem sosial, Havelock 20
(1971) dan Rogers & Shoemaker (1971) mengemukakan sejumlah peranan pemimpin masyarakat, yaitu: (1) Merangsang dan mengajak para pengikutnya untuk mencari, menyebar dan mengadopsi inovasi. (2) Mengarahkan pengikutnya untuk melakukan kontak dengan unit sistem sosial yang lain yang lebih maju. (3) Mengatur suasana dan iklim dalam sistem, sehingga terjadi hubungan yang harmonis antar anggota. (4) Membangun dan membagi peranan di dalam sistem, sehingga setiap anggota mengetahui dan menyadari tugasnya masing-masing. (5) Mempengaruhi dan mengajak pengikutnya untuk menghargai dan memanfaatkan setiap ide baru yang datang dari luar. (6) Menciptakan suatu struktur di dalam sistem sosial yang memungkinkan adanya hubungan yang saling memotivasi, sehingga terjadi hubungan saling pengaruh mempengaruhi yang bermanfaat dan saling menguntungkan (social learning interaction). Konsep-konsep Pemberdayaan Pengertian Pemberdayaan Menurut Hikmat (2001), pada awal gerakannya konsep pemberdayaan bertujuan untuk menemukan alternatif-alternatif baru dalam pembangunan masyarakat. Proses pemberdayaan hakekatnya dapat dipandang sebagai depowerment dari sistem kekuasaan yang mutlak absolut (intelektual, religius, politik, ekonomi dan militer). Konsep ini digantikan oleh sistem baru yang berlandaskan idiil manusia dan kemanusiaan (humanisme). Doktrin dari konsep ini sama dengan aliran fenomologi, ekstensialisme dan personalisme yang menolak segala bentuk power yang bermuara hanya pada proses dehumanisasi eksistensi manusia. Menurut Pranarka dan Moeljarto (Prijono dan. Pranarka, 1996), pemahaman konsep pemberdayaan oleh masing-masing individu secara selektif dan kritis dirasa penting, karena konsep ini mempunyai akar historis dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan Barat. Perlu upaya mengakulturasikan konsep pemberdayaan tersebut sesuai dengan alam pikiran dan kebudayaan Indonesia. Selanjutnya, dijelaskan pula oleh Pranarka dan Moeljarto, 21
empowerment hanya akan mempunyai arti kalau proses pemberdayaan menjadi bagian dan fungsi dari kebudayaan, yaitu aktualisasi dan koaktualisasi eksistensi manusia dan bukan sebaliknya menjadi hal yang destruktif bagi proses aktualisasi dan koaktualisasi eksistensi manusia. Dalam menghadapi era globalisasi dan demokratisasi, sumberdaya manusia perlu dipersiapkan agar mampu menghadapi tantangan masa depan. Apa pengertian pemberdayaan? Pemberdayaan (empowerment) berasal dari kata empower (memberdayakan). Menurut Merriam Webster dan Oxford English Dictionery (Prijono dan Pranarka, 1996), kata “empower” mengandung dua arti. Pengertian pertama adalah to give power or authority to dan pengertian kedua berarti to give ability to or enable. Dalam pengertian pertama, diartikan sebagai memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan, atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain. Dalam pengertian kedua, diartikan sebagai upaya untuk memberi kemampuan atau keberdayaan. Menurut Pranarka dan Moeljarto (Prijono dan Pranarka, 1996), berdasarkan penelitian kepustakaan, proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan: (1) Proses pemberdayaan yang menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Menurut Oakley & Marsden (1984), proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi. Kecenderungan atau proses yang pertama tadi dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan, dan (2) Kecenderungan sekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Seringkali terwujudnya kecenderungan primer harus didahului kecenderungan sekunder. Kecenderungan yang kedua ini dalam proses pengembangan idenya banyak dipengaruhi oleh karya Paulo Freire. Menurut Padmowihardjo (2005), makna sebenarnya dari pemberdayaan adalah “to give official authority or legal power, capacity, to make one able to do something.” Dengan demikian pemberdayaan dapat diartikan sebagai suatu proses kapasitasi atau pengembangan kapasitas sumberdaya manusia. Dengan kapasitasi seseorang akan memiliki kekuatan (daya) atau kewenangan yang diakui
22
secara official atau legal sehingga orang tersebut tidak termarginalisasi, melainkan sadar akan harga dirinya, harkatnya dan martabatnya. Robinson (1994) memperjelas konsep pemberdayaan dengan mengemukakan bahwa: "Empowerment is a personal and social process, a liberating sense of one’s own strengths, competence, creativity and freedom of action; to be empowered is to feel power surging into one from other people and from inside, specifically the power to act and grow, to become, in Paolo Freire’s terms, “more fully human.” Payne (1997) mengemukakan bahwa suatu proses pemberdayaan, pada intinya ditujukan untuk: “to help clients gain power of decision and action over their own lives by reducing the effect of social or personal blocks to exercising existing power, by increasing capacity and self confidence to use power and by transferring power from the environment to clients”.(membantu klien memperoleh daya) Shardlow (1998) mengemukakan bahwa berbagai pengertian yang ada mengenai pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka (such a definition of empowerment is centrally about people taking control of their own lives and having the power to shape their own future). Menurut Ife (1995) tentang pemberdayaan mengemukakan bahwa: “Empowerment means providing people with the resource, opportunities, knowledge and skill to increase their capacity to determine their own future and participate in and affect the life of their community.” Ife (1995), menambahkan bahwa “empowerment aims to increase the power of the disadvantaged.” Chambers (1987) menambahkan, bahwa konsep pemberdayaan masyarakat memiliki tiga sifat utama, yaitu: berpusat pada manusia, partisipatoris dan berkelanjutan. Menurut Slamet (2003), pemberdayaan masyarakat merupakan ungkapan lain dari tujuan penyuluhan pembangunan. Pemberdayaan masyarakat adalah suatu usaha membuat masyarakat mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan, melihat peluang, dapat memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengan situasi. 23
Syarat Pemberdayaan Sajogyo (1999) mengemukakan bahwa untuk merangsang lahirnya gerakan masyarakat yang bermula pada komunitas lokal, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Tiga syarat tersebut adalah: (1) Restrukturisasi kelembagaan dasar komunitas. Tatanan dasar yang mengatur kehidupan komunitas desa perlu direorientasi (UU Politik dan Pemerintahan) dari pola yang feodalistik dan kolonial (pemerintahan yang kuat dan paternalistik) ke pola yang lebih partisipatif (masyarakat yang proaktif). (2) Meninjau kembali segala kebijakan yang memperlemah kreatifitas masyarakat dan menggantinya dengan kebijakan yang lebih memihak pada upaya peningkatan kreatifitas masyarakat untuk memperbaiki nasib sendiri. (3) Pendekatan top-down harus segera diganti dengan pendekatan bottom-up, yang tercermin dari mekanisme pengambilan keputusan dan penyelenggaraan program. Istilah program pengembangan masyarakat desa seharusnya tidak lagi berkonotasi program masuk masyarakat, melainkan program dari masyarakat. Visi Pemberdayaan Masyarakat Menurut Sajogyo (1999), pembangunan haruslah memiliki visi memberdayakan manusia dan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya. Sebab sepanjang jaman, keswadayaan merupakan sumberdaya kehidupan yang abadi dengan manusia yang menjadi intinya dan partisipasi merupakan perwujudan optimalnya. Keberdayaan merupakan modal utama masyarakat untuk mengembangkan dirinya serta mempertahankan keberadaannya di tengah masyarakat lain. Pemberdayaan hanya bisa tercapai melalui sikap intristik “memanusiakan manusia“ melalui penggalian dan penghargaan
pada nilai-nilai luhur kema-
nusiaan dan melalui pengembangan prakarsa dan partisipasi masyarakat menolong diri sendiri untuk “berdiri di atas kaki sendiri.” Pemberdayaan merupakan proses belajar yang produktif dan reproduktif. Produktif dalam pengertian mampu mendayagunakan potensi diri dan lingkungan dan kerjasama untuk memperoleh kemanfaatan materil dan immateril bagi masyarakat pada suatu jangka waktu tertentu. Reproduktif, dalam pengertian mampu mewariskan nilai-nilai kearifan. 24
Setiap generasi yang berdaya harus bisa mewariskan nilai kearifan kepada generasi berikutnya, utamanya nilai-nilai pembebasan diri dari keterbelakangan dan kemiskinan. Misi Utama Pemberdayaan Menurut Sajogyo (1999), ada lima misi utama yang harus diemban untuk mencapai hasil pemberdayaan yang baik. Kelima misi tersebut saling terkait, jika kurang dari lima fungsi itu yang digelar dalam program, maka tidak akan diperoleh hasil yang berkelanjutan. Penyadaran Dalam banyak kasus, orang luar sebagai peneliti atau petugas pelayanan masyarakat, seringkali menemukan keadaan komunitas desa yang serba mubazir. Di daerah pinggiran terutama pedesaan, sering terlihat banyak potensi diri dan lingkungan masyarakat yang tak termanfaatkan, sementara kehidupan mereka sendiri memprihatinkan. Di tengah daratan, sungai dan laut yang terbentang luas muncul ironi “ayam lapar di lumbung padi.” Dalam hal ini perlu upaya penyadaran masyarakat, sehingga mereka menemukan potensi diri dan mampu memanfaatkannya.
Penyadaran yang dimaksudkan adalah penyadaran akan
kemampuan diri, sumberdaya yang mereka miliki, peluang baru yang bersumber dari dalam dan luar komunitas untuk memperbaiki diri dan arti solidaritas
antar
warga
dalam
memenuhi
kebutuhan,
merupakan
misi
pemberdayaan yang utama. Pengorganisasian Salah satu sumber kesalahan yang paling mendasar dalam pengembangan organisasi komunitas lokal adalah paternalisme perencana. Ketika para perencana menemukan keadaan kelembagaan tradisional lemah, mereka secara refleks memperkenalkan organisasi modern kepada komunitas desa dengan bentuk dan pola yang serba seragam. Dalam proses itu terlupakan bahwa penilaian yang menyimpulkan lemahnya kelembagaan tradisional seringkali bias pengalaman dari perencana yang bekerja pada organisasi modern. Juga terlupakan bahwa
25
organisasi dan kelembagaan, hakikinya haruslah berawal dari prakarsa masyarakat secara sukarela agar memudahkan mereka mengelola potensi sosial ekonomi yang dimiliki. Penguatan organisasi masyarakat mutlak diperlukan dalam upaya memberdayakan diri mereka, mengacu pada prinsip memanfaatkan potensi kelembagaan yang berakar kuat dalam struktur masyarakat lokal. Kinerja kelembagaan lokal perlu dinilai kembali oleh, dari dan untuk masyarakat setempat, sehingga dapat diperkembangkan menjadi “biduk” bagi masyarakat menyongsong masa depan yang kian terbuka dan kompetitif. Kaderisasi Setiap program pada hakekatnya memiliki keharusan mempersiapkan kader-kader pengembangan keswadayaan lokal yang akan mengambil alih tugas pendampingan setelah program berakhir.
Kader-kader dapat berasal dari
penduduk lokal yang dipilih oleh masyarakat secara partisipatif dan musyawarah. Ukuran keberhasilan kaderisasi adalah kemampuan kader lokal untuk memainkan peran sebagai pendamping bagi masyarakat, minimal menyamai kemampuan pendamping purna waktu sebelum program berakhir, yang ditentukan oleh penilaian masyarakat. Dukungan Teknis Pembaharuan masyarakat setempat umumnya memerlukan bantuan suatu lembaga dari luar yang menguasai sumberdaya informasi dan teknologi yang dapat membantu mempercepat pembaharuan itu menjadi kenyataan. Organisasi pendukung teknis sering adalah aparat pemerintah, mungkin juga perusahaan swasta. Pengelolaan Sistem Sekelompok masyarakat adalah sistem yang terkait dengan sistem yang lebih luas. Kebutuhan-kebutuhannya sebagian diperoleh dari pihak lain. Dalam menjalankan kegiatan usaha, masyarakat memerlukan modal, pengetahuan dan keterampilan baru yang relevan, namun tidak selalu tersedia dan atau tidak terpenuhi di tingkat lokal. Oleh sebab itu, pendamping bertugas mengeola sistem, 26
yaitu memperlancar upaya masyarakat memperoleh kebutuhan tersebut baik secara individu maupun secara berkelompok dalam sistem se-tempat yang berkelanjutan. Upaya “pengelolaan sistem,” salah satu misi pemberdayaan dari Sajogyo (1999), dalam istilah Sumardjo dkk. (2003) adalah “pengembangan kemampuan berjaringan.” Menurut Sumardjo dkk. (2003), pengembangan jaringan adalah menggali dan mengembangkan kerjasama sinergis dengan pihak-pihak lain dalam pengembangan usaha. Dengan mengemban lima misi pemberdayaan masyarakat tersebut maka membuka peluang membentuk masa depan yang baru. Penyadaran, pelatihan kader, pengorganisasian, dukungan teknis dan pengelolaan sistem secara sinergis merupakan upaya membangun daya manusia. Menurut Florus (1998), kata pemberdayaan dalam konteks sosial kemasyarakatan mencakup lima elemen pokok, yakni: (1) Pengembangan kemampuan daya nalar, bersikap dan berpikir kritis, (2) Penguatan akses ke berbagai sumberdaya, (3) Pencerahan terhadap kemampuan mengatur dan memerintah diri sendiri, (4) Peningkatan kesejahteraan, dan (5) Membina kebersamaan dan kontrol sosial. Dalam kaitannya dengan kaum miskin, Narayan (2002) mengemukakan bahwa pemberdayaan merupakan pengembangan aset dan kapabilitas penduduk miskin untuk berpartisipasi dalam, bernegosiasi dengan, mempengaruhi, mengontrol dan mengendalikan institusi yang akuntabel yang berpengaruh pada kehidupan mereka. Pemberdayaan kaum miskin kerap kali mengandung empat unsur: (1)
Akses pada informasi. Akses pada informasi yaitu, arus informasi dua arah dari pemerintah kepada warga dan dari warga kepada pemerintah, dalam hal ini warga bertanggung jawab dan pemerintah responsif dan akuntabel. Warga yang akses informasi (informed citizen) lebih mudah untuk mengambil keuntungan dari setiap peluang, mengakses layanan, memanfaatkan hak mereka, bernegosiasi dengan efektif dan mempertanggungjawabkan tindakan mereka.
(2)
Keterlibatan dan partisipasi. Keterlibatan dan partisipasi adalah suatu tindakan untuk berperanserta yang memberdayakan menempatkan kaum 27
miskin sebagai co-procedurs dengan otoritas dan kendali atas keputusan dan sumberdaya, terutama sumberdaya financial, termasuk partisipasi dalam perencanaan. (3)
Akuntabilitas. Akuntabilitas mengacu kepada daya untuk meminta pejabat negara, pengusaha swasta dan penyandang dana, membuat kebijakan, mengambil tindakan dan menyediakan banrtuan dana untuk mereka.
(4)
Pengorganisasian lokal. Pengorganisasian lokal yaitu meningkatkan kemampuan penduduk untuk bekerjasama, mengorganisasikan diri dan memobilisasi sumberdaya untuk mengatasi masalah mereka bersama. Menurut Narayan (2002), suatu tindakan memberdayakan adalah mem-
bangun kekuatan kaum miskin, yaitu: pengetahuan, skill, nilai-nilai, inisiatif dan motivasi mereka untuk memecahkan masalah, mengelola sumberdaya dan melenyapkan kemiskinan. Menurut Ife (1995), model pemberdayaan yang dikembangkan mencakup tujuh jenis power (kekuatan). Ketujuh jenis power yang termasuk dalam strategi pemberdayaan berbasis komunitas adalah: (1) power atas pilihan pribadi dan peluang kehidupan, (2) power untuk mendefinisikan kebutuhan, (3) power atas ide-ide (berpikir sendiri), (4) power atas institusi-institusi, (5) power atas sumberdaya, (6) power atas aktivitas ekonomi dan (7) power atas reproduksi. Pemberdayaan Model Pentagonal Pada masa yang lalu cara pandang terhadap petani adalah berdasarkan kelemahan yang dimiliki petani, sehingga menempatkan petani pada posisi yang harus dibantu dan dilindungi (petani bodoh, petani fatalis, petani tidak ulet, dan sebagainya).
Akibat lebih jauh, telah menjadikan para pengambil keputusan
membantu petani dengan sistem top down. Pendekatan ini ternyata membuahkan hasil petani menjadi “ketergantungan” dan tidak mandiri. Perlu ada cara pandang baru terhadap petani, yaitu yang melihat petani berdasarkan “daya/kekuatan/kemampuan yang telah dimiliki,” kemudian diberdayakan dengan mambuka akses seluas-luasnya sehingga petani dapat memberdayakan diri dengan pilihan mandiri. Cara pandang tersebut senada dengan konsep “sustainable livehood’ yang di dalamnya ada “model pentagonal” dari Departement For International Development (DFID, 1998). 28
Kerangka kerja model pentagonal ini aslinya dibuat oleh Institut of Development Studi, kemudian disesuaikan untuk mengakomodir konsep DFID dan tujuan-tujuan praktis. Dalam kerangka kerja ini dilakukan analisa lima asset yang berbeda yang mana masing-masing petani membangun penghidupannya. Artinya, dalam memberdayakan petani harus berdasarkan apa yang sudah dimiliki petani dari lima asset ini dan memberikan daya kepada petani agar memiliki kemampuan untuk akses terhadap kelima asset tersebut, yaitu: (1)
Human Capital adalah kapital yang dimiliki petani berkaitan dengan aspek kemanusiaan baik fisik maupun mental yaitu terkait dengan: keteram,pilan, pengetahuan, kemampuan bekerja, kesehatan dan sebagainya yang sangat penting bagi petani untuk mencari strategi bagi penghidupan yang lain.
(2)
Social Capital adalah kemampuan akses petani terhadap membina jaringan kerja, hubungan kepercayaan, keanggotaan dalam suatu kelompok, akses terhadap lembaga sosial yang lebih luas dimana petani hidup dan mencari penghmidupannya.
(3)
Natural Capital adalah kemampuan petani untuk akses terhadap sumberdaya alam yang dapat memberikan manfaat sebagai sumber penghidupan seperti: tanah/lahan, air, keragaman biologi dan lingkungan.
(4)
Physical Capital adalah kemampuan/daya yang dimiliki petani untuk akses terhadap infrastruktur pokok seperti alat transportasi, perumahan, sumber air bersih, energi, sarana produksi, sarana komunikasi yang me-mungkinkan petani dapat melangsungkan penghidupannya.
(5)
Financial Capital adalah daya yang dimiliki petani agar akses terhadap permodalan, apakah melalui kemampuan menabung (berinvestasi), kemampuan menjangkau dan memanfaatkan kredit
untuk
melangsungkan usaha/penghidupannya. Mengacu pada berbagai pendapat dari: Sayogyo (1999), Florus (1998), Ife (1995), Narrayan (2002), Sumardjo dkk. (2003) dan Slamet (2000), kata kunci dari misi (tugas) pemberdayaan yaitu: (1) Pengembangan perilaku keinovatifan (Slamet, 2000; Florus, 1998), yaitu: (a) Pengembangan kemampuan daya nalar dan berpikir kritis.
29
(b) Penyadaran akan kemampuan diri, sumberdaya yang mereka miliki dan peluang-peluang baru. (c) Pengembangan sikap dan nilai-nilai, inisiatif dan motivasi. (d) Kemampuan memanfaatkan peluang dan bernegosiasi. (2) Penguatan berpartisipasi (Florus, 1998; Narrayan, 2002), yaitu: (a) Melibatkan petani dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan. (b) Meningkatkan kemampuan mendefinisikan kebutuhan pengembangan kapasitas dan kemandirian. (3) Pengorganisasian lokal (Sajogyo, 1999; Florus, 1998 dan Narrayan, 2002), yaitu: (a) Meningkatkan kemampuan penduduk untuk bekerjasama, mengorganisasikan diri dan memobilisasi sumberdaya untuk mengatasi masalah mereka bersama. (b) Memanfaatkan potensi kelembagaan yang berakar kuat dalam struktur masyarakat lokal dan berawal dari prakarsa masyarakat. (4) Penguatan akses terhadap berbagai sumberdaya (Sayogyo, 1999; Florus, 1998; Narrayan, 2002 dan Ife, 1995), yaitu: (a) Membantu petani menguasai informasi dan teknologi. (b) Penguatan akses petani untuk memperoleh sarana produksi yang berkualitas, permodalan, pemasaran dan pengolahan hasil pertanian. (5) Penguatan kemampuan berjaringan (Sayogyo, 1999; Sumardjo dkk, 2000), yaitu: menggali dan mengembangkan kerjasama sinergis dengan pihak-pihak lain dalam pengembangan usaha. (6) Kaderisasi (Sayogyo, 1999), yaitu: mempersiapkan kader-kader pengembangan keswadayaan lokal yang akan mengambil alih tugas pendampingan setelah program berakhir atau membantu petugas pemberdayaan dalam mengembangkan keswadayaan masyarakat. Peran Petugas Pemberdayaan Masyarakat Peran yang dilakukan seorang petugas pemberdayaan dalam pemberdayaan masyarakat terkait dengan model intervensi yang digunakan. Menurut
30
Spergel, 1975; Zastrow, 1986 dan Adi, 1999 (Adi, 2003), minimal ada tujuh peran yang dapat dikembangkan yaitu: Pempercepat Perubahan (Enabler) Sebagai enabler seorang agen pemberdayaan membantu masyarakat agar dapat mengartikulasikan kebutuhan mereka, mengidentifikasi masalah mereka dan mengembangkan kapasitas mereka agar dapat menangani masa-lah yang mereka hadapi secara lebih efektif. Dasar filosotis dari peran ini adalah "help people to help themselves." Ada empat fungsi utama petugas pemberdayaan sebagai pemercepat terja-dinya perubahan, yaiitu: (a) Membantu masyarakat menyadari dan melihat kondisi mereka; (b) Membangkitkan dan mengembangkan `organisasi' dalam masyarakat; (c) Mengembangkan relasi interpersonal yang baik; (d)Memfasilitasi perencanaan yang efektif. Perantara (Broker) Peranan seorang broker (perantara) dalam intervensi makro terkait erat dengan upaya menghubungkan individu ataupun kelompok dalam masya-rakat yang membutuhkan bantuan ataupun layanan masyarakat (community services), tetapi tidak tahu dimana dan bagaimana mendapatkan bantuan tersebut dengan lembaga yang menyediakan layanan masyarakat. Peran sebagai perantara, yang merupakan peran mediasi, dalam konteks pengem-bangan masyarakat juga diikuti dengan perlunya melibatkan klien dalam kegiatan penghubungan ini. Misalnya ingin menghubungkan masyarakat di lingkungan kumuh yang memproduksi pupuk kompos (klien) dengan para pemakai ataupun pembeli pupuk kompos. Maka upaya menghubungkan klien dengan lembaga yang menyalurkan penjualan pupuk kompos tidak dilakukan sendiri oleh petugas pemberdayaan, tetapi harus dikerjakan bersama wakil dari klien tersebut, agar bila sudah tiba waktunya untuk melakukan terminasi, klien yang bersangkutan dapat tetap menjalin hubung-an dengan lembaga yang terkait. Pendidik (Educator) Dalam menjalankan peran sebagai pendidik, petugas pemberdayaan diharapkan mempunyai kemampuan menyampaikan informasi dengan baik
31
dan jelas, serta mudah ditangkap oleh komuniti yang menjadi sasaran perubahan. Disamping itu ia harus mempunyai pengetahuan yang cukup memadai mengenai topik yang akan dibicarakan. Dalam kaitan dengan hal ini, seorang petugas pemberdayaan tidak ja-rang harus menghubungi rekan dari profesi lain yang menguasai materi tersebut. Misalnya saja, ketika seorang petugas pemberdayaan harus menyampaikan informasi mengenai perilaku hidup yang sehat, dalam hal ini petugas pemberdayaan mungkin harus menghubungi dokter puskesmas ataupun ahli kesehatan masyarakat guna mendapat informasi yang relatif mencukupi untuk disampaikan pada masyarakat. Aspek lain yang terkait dengan peran ini adalah keharusan bagi seorang petugas pemberdayaan untuk selalu belajar. Karena begitu seorang petugas pemberdayaan merasa sudah tidak perlu belajar kembali mengenai topik yang akan dibicarakan, maka ia mungkin akan terjebak untuk menyampaikan pandangan yang kurang up-to-date dan kurang menjawab tantangan ataupun masaiah yang muncul pada waktu itu. Tenaga Ahli (Expert) Dalam kaitan dengan peranan sebagai tenaga ahli (expert), petugas pemberdayaan diharapkan untuk dapat memberikan masukan, saran dan dukungan informasi dalam berbagai area. Misalkan saja, seorang tenaga ahli diharapkan dapat memberikan usulan mengenai bagaimana struktur organisasi yang bisa dikembangkan dalam suatu organisasi nirlaba yang menangani masalah lingkungan, kelompok-kelompok mana saja yang harus terwakili, atau memberikan masukan mengenai isu apa yang pantas dikembangkan dalam suatu komunitas (termasuk organisasi). Seorang expert harus sadar bahwa usulan dan saran yang ia berikan bukanlah mutlak harus dijalankan klien mereka (masyarakat ataupun organisasi), tetapi usulan dan saran tersebut !ebih merupakan masukan gagasan sebagai bahan pertimbangan masyarakat ataupun organisasi dalam proses pengambilan keputusan.
32
Perencana Sosial (Social Planner) Seorang perencana sosial mengumpulkan data mengenai masalah sosial yang terdapat dalam komunitas, menganalisisnya dan menyajikan alternatif tindakan yang rasional untuk menangani masalah tersebut. Setelah itu perencana sosial mengembangkan program, mencoba mencari alternatif sumber pendanaan, dan mengem-bangkan konsensus dalam kelompok yang mempunyai berbagai minat ataupun kepentingan. Menurut Zastrow, peran expert dan social planner saling tumpang tindih, dimana seorang expert lebih memfokuskan pada pemformulasian usulan dan saran (advice) yang terkait dengan isu dan permasalahan yang ada. Sedangkan perencana sosial lebih memfokuskan pada tugas-tugas yang terkait dengan pengembangan dan pelaksanaan program. Advokat (Advocate) Peran sebagai advokat' dalam community work dicangkok dari profesi hukum. Peran `advokat' pada satu sisi berpijak pada tradisi pembaharuan sosial dan pada sisi lainnya berpijak pada tradisi pelayanan sosial. Peran ini merupakan peran yang aktif dan terarah (directive), agen pemberdayaan menjalankan fungsi advokasi atau pembelaan yang mewakili kelompok masyarakat yang membutuhkan suatu bantuan ataupun layanan, tetapi ins-titusi yang `seharus'nya memberikan bantuan ataupun layanan tersebut tidak memperdulikan (bersifat negatif ataupun menolak tuntutan warga). Dalam menjalankan fungsi advokasi, seorang petugas pemberdayaan tidak jarang harus melakukan persuasi terhadap kelompok profesional ataupun kelompok elite tertentu, agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan (dalam kaitan dengan upaya mengembangkan suatu komunitas). Peran advokasi, misalnya saja dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh lembaga non pemerintah yang menyampaikan tuntutan pada pemerintah, seperti tuntutan agar pemerintah menyediakan ganti rugi yang memadai bagi mereka yang digusur; agar pemerintah meringankan biaya pendidikan, agar pemerintah memperhatikan hak-hak rakyat yang tertindas dan lain sebagainya. Aktifis (Activist) Sebagai activist, seorang petugas pemberdayaan mencoba melakukan perubahan institusional yang lebih mendasar dan seringkali tujuannya adalah pengalihan sumber daya ataupun kekuasaan (power) pada kelompok yang kurang
33
mendapatkan keuntungan (disadvantaged group). Seorang activis biasanya memperhatikan isu-isu tertentu, seperti ketidaksesuaian dengan hu-kum yang berlaku (injustice), kesenjangan (inequity) dan perampasan hak. Seorang aktivis biasanya mencoba menstimulasi kefompok-kefompok yang kurang diuntungkan tersebut (disadvantaqed group) untuk mengorga-nisir diri dan melakukan tindakan melawan struktur kekuasaan vang ada (yang menjadi 'penekan' mereka). Taktik yang biasa mereka lakukan adalah melalui konflik, konfrontasi (misalnya melalui demonstrasi) dan negosiasi. Serupa dengan peran sebagai advokat, seorang aktivis juga menjalankan peran partisan. Hal ini dilakukan karena mereka melihat klien mereka sebagai `korban' dari struktur yang berkuasa ataupun sistem yang berjalan saat itu. Upaya aktifis lingkungan dari keiompok `greenpeace' guna menghalangi kapal pengangkut plutonium, ataupun pembantaian ikan paus merupakan salah satu bentuk konvensional yang biasa dilakukan ofeh para aktifis. Meskipun ada tumpang tindih di antara beberapa peran di atas, dalam penerapannya yang dikaitkan dengan model intervensi yang dipilih. Tetapi secara sederhana dapat terlihat bahwa tiga peran pertama (sebagai pemercepat perubahan. perantara, dan pendidik) lebih banyak terkait dengan model intervensi pengembangan masyarakat (community development). Kemudian peran sebagai tenaga ahli dan perencana sosial tampaknya lebih terikait dengan model intervensi pengembangan pelayanan komunitas (community services approach). Sedangkan peran sebagai advokat dan aktifis teriihat lebih terkait dengan model intervensi aksi komunitas (community action). Menurut Hubeis dkk (1992), empat peran yang mungkin dilakukan oleh penyuluh pembangunan adalah: (1) Katalis, (2) Penemu solusi, (3) Pendamping dan (4) Perantara. Secara lebih terinci peran pendampingan adalah: (1)
Membantu khalayak sasaran pembangunan tentang cara-cara mengenali dan mendefinisikan keperluan mereka.
(2)
Membantu khalayak sasaran pembangunan tentang cara-cara mendiagnosa masalah dan menetapkan tujuan perubahan yang hendak dicapai.
34
(3)
Membantu khalayak sasaran pembangunan tentang cara-cara memperoleh sumber-sumber informasi, sarana dan prasarana pembangunan yang diperlukan.
(4)
Membantu khalayak sasaran pembangunan tentang cara-cara memilih dan mengkreasi suatu solusi permasalahan yang disesuaikan dengan kondisi khalayak yang bersangkutan.
(5)
Membantu khalayak sasaran pembangunan tentang cara-cara dalam memodifikasi dan menempatkan solusi-solusi.
(6)
Membantu khalayak sasaran pembangunan tentang cara-cara dalam mengevaluasi kemanfaatan suatu solusi dalam memenuhi kebutuhan mereka dan mengantisipasi permasalahan yang mungkin akan timbul dimasa yang akan datang. Menurut Lippit et al., (1958) tahap-tahap perubahan berencana yang dapat
dilakukan penyuluh adalah: (1) Menumbuhkan kebutuhan untuk berubah. (2) Membangun hubungan untuk berubah. (3) Diagnosis masalah sasaran. (4) Menetapkan tujuan dan intensitas tindakan. (5) Melakukan usaha nyata ke arah pencapaian tujuan perubahan. (6) Generalisasi, yaitu perluasan dan pemantapan perubahan dengan skala kecil. (7) Hubungan terakhir, yaitu memutuskan hubungan dengan sasaran untuk mencegah ketergantungan masyarakat pada penyuluh (community worker), berlanjut dalam pola hubungan yang lainnya. Karakteristik dan Strategi Intervensi masyarakat Berkaitan dengan karakteristik pengembangan masyarakat, Glen (1993) menggambarkan bahwa ada tiga unsur dasar yang menjadi ciri khas pendekatan ini: (1) Tujuan dari pendekatan ini adalah memampukan masyarakat untuk mendefinisikan dan memenuhi kebutuhan mereka. (2) Proses pelaksanaannya melibatkan kreatifitas dan kerjasama masyarakat ataupun kelompok-kelompok dalam masyarakat tersebut. (3) Menggunakan pendekatan pengembangan masyarakat yang bersifat non direktif.
35
Kinerja Penyuluh Pertanian dalam Memberdayakan Petani Kualitas pemberdayaan petani adalah gambaran dari hasil kinerja penyuluh pertanian. Menurut Bernandin dan Russel (1993), kinerja adalah catatan output yang dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan atau kegiatan tertentu dalam suatu periode tertentu.
Gruneberg (1979) menyatakan bahwa kinerja
adalah perilaku yang diperagakan secara aktual oleh individu sebagai respon terhadap pekerjaan yang diberikan kepadanya. Kinerja kerja dapat dilihat atas dasar hasil kerja, derajat kecepatan kerja dan kualitas (mutu) kerja. Menurut Slamet (2003), filosofi mutu suatu kinerja adalah: (1) Setiap pekerjaan menghasilkan barang dan/atau jasa. (2) Barang dan jasa itu diproduksi atau diusahakan karena ada yang memerlukan (setidaknya oleh diri sendiri). (3) Orang-orang yang memerlukan barang/jasa itu disebut pelanggan. (4) Barang dan/atau jasa itu merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh pelanggannya. (5) Barang atau jasa itu harus dibuat/diupayakan sedemikian rupa agar dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggannya (kliennya). (6) Barang atau jasa itu disebut bermutu apabila dapat memenuhi atau melebihi kebutuhan dan harapan pelanggannya. Menurut Kusnadi (2003), kinerja yang baik sebaiknya memiliki karakteritik: (1) Rasional. Kinerja yang baik seharusnya diterima oleh akal sehat. (2) Konsisten. Kinerja yang baik seharusnya sejalan dengan nilai-nilai yang ada. (3) Tepat. Kinerja yang baik harus dapat dinyatakan secara tepat dan jelas. (4) Sistematis. Kinerja sebaiknya dilakukan secara sistematis dan tidak acak. (5) Berorientasi kepada kerjasama. Kinerja seharusnya diarahkan kepada kerjasama dan lain-lain.
36
Pemberdayaan (empowerment) dilakukan karena ada orang-orang yang membutuhkannya. Menurut Slamet (2003), penyuluhan pembangunan (merupakan upaya pemberdayaan) adalah industri jasa yang juga memiliki dimensi kualitas. Penyuluhan (pemberdayaan) akan berkualitas jika dapat memenuhi atau melebihi kebutuhan dan harapan pelanggan (klien) yang menerimanya. Oleh sebab itu, yang berhak menilai berkualitas atau tidaknya adalah orang-orang yang menerimanya dan ditandai oleh tanggapannya; menerima anjuran atau menerima secara responsif upaya pemberdayaan dan aktif memberdayakan dirinya. Jika akibat pemberdayaan, klien merasa puas dan menjadi berdaya atau aktif memberdayakan diri, berarti kinerja petugas pemberdayaan adalah berkualitas. Agar pemberdayaannya berkualitas, kinerja petugas pemberdayaan harus mewujudkan visi pemberdayaan dan menjalankan misi (tugas) pemberdayaan. Menurut Slamet (2003), visi adalah pernyataan tentang maksud akhir yang ingin diwuudkan oleh/dengan adanya suatu kelembagaan/institusi. pernyataan yang memberikan
Misi adalah
arah yang jelas apa yang akan ditempuh atau
dilakukan untuk mewujudkan visi. Misi dapat dijabarkan lagi menjadi tindakantindakan. Kompetensi Penyuluh Pertanian Gilley dan Eggland (1989) mengatakan bahwa kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang sehingga yang bersangkutan dapat menyelesaikan perannya. Boyatzis (1982) mengemukakan bahwa kompetensi adalah: “A job competency is an underliying characteristic of a person wich results in effective and/or superior performance in a job. A job competency is an underiying characteristic of a person in that it may be a motive, trait, skill, aspect of one’s self image or social role, or a body of knowledge which he or she uses.” Menurut Aguinis dan Kraiger (2005), kompetensi adalah kombinasi pengetahuan, keterampilan dan kemampuan. Sumardjo (2006) mengemukakan bahwa kompeten adalah kemampuan dan kewenangan yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, yang didasari oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap sesuai dengan unjuk kerja yang ditetapkan. 37
Berdasarkan beberapa definisi, beberapa padanan kata dari kompetensi, ada yang menyebutnya sebagai “kemampuan” dan ada juga yang menyebutnya “keahlian.” Apapun sinonim yang dipilih, kompetensi intinya adalah segala sesuatu pada individu yang menyebabkan kinerja prima, karena kompetensi yang diperbincangkan ialah kompetensi dalam konteks pekerjaan. Selain itu, kompetensi selalu memiliki aspek-aspek intelektual dan praktis. Terkait dengan peran yang harus dilakukan oleh seorang community worker (agen perubahan, petugas pemberdayaan), Mayo (1994) menyatakan ada beberapa keterampilan dasar (kompetensi) yang sebaiknya dikuasai. Keterampilan-keterampilan tersebut yaitu: (a) Keterampilan menjalin relasi (engagement skill). (b) Keterampilan dalam melakukan penilaian (assessment), termasuk penilaian kebutuhan. (c) Keterampilan melakukan riset atau investigasi. (d) Keterampilan melakukan dinamika kelompok. (e) Keterampilan bernegosiasi. (f)
Keterampilan berkomunikasi.
(g) Keterampilan dalam melakukan konsultasi. (h) Keterampilan manajemen, termasuk manajemen waktu dan dana. (i)
Keterampilan mencari sumber dana, termasuk pula pembuatan permohan bantuan.
(j)
Keterampilan dalam penulisan dan pencatatan kasus dan laporan.
(k) Keterampilan dalam melakukan pemantauan dan evaluasi. Berdasarkan berbagai keterampilan di atas, Mayo (1994) menginventarisasi beberapa tugas-tugas yang terkait praktek intervensi makro (community work). Tugas-tugas tersebut adalah: (a) Menjalin kontak dengan individu, kelompok ataupun organisasi. (b) Mengembangkan profil komunitas, menilai (assess) kebutuhan dan sumber daya masyarakat © Mengembangkan analisis strategis, merencanakan sasaran, tujuan jangka pendek, dan tujuan jangka panjang. (d) Memfasilitasi kemapanan kelompok-kelompok sasaran.
38
(e) Bekerja secara produktif dalam mengatasi konflik, baik konflik antar kelompok ataupun antar organisasi. (f) Melakukan kolaborasi dan negosiasi dengan berbagai lembaga dan profesi. (g) Menghubungkan isu yang ada secara efektif dengan pembuatan keputusan dan implementasinya, termasuk menjalin relasi dengan politisi di tingkat lokal; (h) Berkomunikasi baik dalam bentuk lisan maupun tulisan dengan berbagai individu, kelompok dan organisasi. (i)
Bekerja bersama individu dalam komunitas, termasuk melakukan konsultasi bila diperlukan.
(j)
Mengelola sumber daya yang ada, termasuk waktu dan dana.
(k) Mendukung kelompok dan organisasi guna mencapai sumber daya yang dibutuhkan, misalnya dalam hal dana dilakukan dengan membuat proposal permohonan dana. (l) Memonitor dan mengevaluasi perkembangan program atau kegiatan, terutama pemanfaatan sumber daya yang ada secara efektif dan efsien. (m) Menarik diri dari kelompok yang sudah berkembang, dan atau memfasilitasi proses perpisahan yang efektif. (n) Mengembangkan, memantau dan mengevaluasi strategi yang serupa. Chamala dan Shingi (1997) menyarankan empat peran baru penyuluhan, sebagai kritik terhadap praktek penyuluhan di masa silam. Keempat peran baru tersebut adalah: (1) Pemberdayaan, (2) Pengorganisasian masyarakat, (3) Pengembangan sumberdaya manusia, dan (4) Pemecahan masalah danpendidikan. Peran yang harus dilaksanakan penyuluh tersebut, mensyaratkan kompetensi yang harus dimiliki penyuluh. Menurut Easter (Edgar et al., 1993), salah satu kelemahan pendekatan yang telah dilakukan dalam menyiapkan tenaga-tenaga penyuluhan di negara yang sedang berkembang adalah tidak mampunya memusatkan pada pengembangan kemampuan profesinalnya. Menurut Edgar et al, (1993), sejumlah studi telah mengidentifikasi kompetensi profesional yang dibutuhkan oleh tenaga penyuluh di berbagai negara sedang berkembang. Penemuan dari studi ini menunjukkan bahwa para penyuluh di negara sedang berkembang perlu menguasai kompetensi
39
professional di bidang: (1) Administrasi, (2) Perencanaan Program, (3) Pelaksanaan Program, (4) Pengajaran, (5) Komunikasi, (6) Memahami Perilaku Manusia, (7) Memelihara profesionalisme, dan (8) Evaluasi. Menurut Sumardjo (2006), kompetensi bagi penyuluh sarjana adalah: (1) Oral communication skill, (2) Ability to work in team settings, (3) Knowledge of technology, (4) Analytical skill, (5) Ability to work independently, (6) Knowledge of Field, (7) Writes communication skill dan (8) Logical skill. Howard M. Carlisle (Rosyada, 2004) mengemukakan ada tiga kecerdasan atau kemampuan (kompetensi) yang perlu dimiliki dalam mengelola sesuatu, anatara lain: (1) Kecerdasan profesional, (2) Kecerdasan Personal, dan (3) Kecerdasan Managerial. Kecerdasan profesional adalah kecerdasan yang diperoleh melalui pendidikan, yang akan menghasilkan pengetahuan dan keahlian atau keterampilan tehnis yang spesifik untuk melakukan pekerjaan profesional. Kecerdasan personal adalah kemampuan skill dan pengetahuan untuk melakukan hubungan sosial yang amat diperlukan agar dapat menjalin hubungan baik dengan orang lain, baik dalam konteks tata hubungan profesional maupun sosial. Kecerdasan managerial adalah kecerdasan dalam kaitan dengan kemampuan bekerjasama dalam mengerjakan sesuatu melalui orang lain. Teori Kebutuhan Pengertian Kebutuhan Menurut Slamet (2004), kebutuhan adalah segala sesuatu yang bila tidak terpenuhi akan menimbulkan ketidak seimbangan fisiologis atau psikologis (emosional) dan menyebabkan munculnya rasa tidak enak/tidak senang pada orang yang bersangkutan. Menurut Drever (1961), arti kata kebutuhan dalam sebuah kamus psikologi disebut sebagai suatu kondisi yang dibentuk oleh perasaan kekurangan sesuatu atau keinginan terhadap sesuartu atau keperluan terhadap kinerja beberapa tindakan. Menurut sudut pandang ekonomi ortodoks, kebutuhan adalah preferensi atau permintaan konsumen. Oleh karena menimbulkan ketidakseimbangan fisiologis atau psikologis pada diri seseorang jika kebutuhannya tidak dipenuhi, maka kebutuhan dapat
40
menimbulkan motivasi orang untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian, kebutuhan adalah sumber motivasi untuk bertindak atau berperilaku. Ware dan Goodin (1990) membedakan antara konsep “kebutuhan” (needs) dan “keinginan” (wants). Misalnya, seseorang yang menderita anoreksia nervosa (gangguan kejiwaan yang menyebabkan individu tidak mau makan atau bila terpaksa makan ia akan berusaha untuk memuntahkannya kembali). Orang tersebut sebenarnya membutuhkan makanan, tetapi dia tidak menginginkannya. Berdasarkan hal ini, seorang penyuluh, pendamping atau community worker harus sedapat mungkin memenuhi kebutuhan masyarakat, bukan keinginan. Beberapa ilmuwan lain membedakan kebutuhan atas: (1) kebutuhan yang dirasakan (felt needs) dan (2) kebutuhan aktual (real needs). Kebutuhan yang dirasakan adalah kebutuhan menurut pemikiran/perasaan petani, yang mungkin belum tentu sesuai dengan kebutuhan real. Kebutuhan aktual (real) adalah kebutuhan nyata yang harus dipenuhi petani, sesuai dengan kondisi ideal. Godin (1990), mengatakan bahwa kebutuhan tidak selalu bersifat absolut. Menurutnya, kebutuhan mempunyai dua komponen yang perlu diperhatikan, karena kedua komponen ini mempunyai pengaruh dalam pendefinisian kebutuhan, yaitu: (1) prioritas dan (2) kerelatifan. Misalnya saja, masyarakat di Sumatra Selatan apakah benar-benar membutuhkan antena parabola sebagai hiburan ataukah sebaiknya mereka lebih memusatkan diri pada fasilitas kesehatan dan air bersih? Dalam hal ini seorang community worker harus melihat dan membantu masyarakat ntuk mengenal secara lebih tepat mana yang merupakan kebutuhan prioritas. Komponen berikutnya adalah kerelatifan dari kebutuhan itu sendiri.Godin melihat kebutuhan seringkali lebih bersifat relatif dari pada absolut (pasti). Kebutuhan sangat tergantung dengan unsur waktu, tempat dan lingkungan sosial. Misalnya saja, kebutuhan akan pakaian pada tempat yang berbeda akan berbeda pula kebutuhannya. Hierarki Kebutuhan Maslow Maslow (1970) menyatakan bahwa manusia mempunyai lima kebutuhan dasar: (1) kebutuhan Fisiologis, (2) kebutuhan keamanan, (3) kebutuhan sosial, (4) kebutuhan penghargaan dan (5) kebutuhan aktualisasi diri. Maslow berteori 41
bahwa kelima kebutuhan dasar tersebut bisa disusun dalam suatu hierarki arti pentingnya atau urutan dimana individu biasanya akan bekerja keras untuk memuaskan kebutuhan tersebut.
Kebutuhan fisiologis berhubungan dengan
fungsi normal dari tubuh dan termasuk kebutuhan akan air, istirahat, udara dan kebutuhan biologis. Hingga kebutuhan tersebut terpenuhi, bagian penting dari perilaku manusia ditujukan pada pemenuhan kebutuhan tersebut. Kebutuhan keamanan adalah kebutuhan individu untuk menjauhkan diri dari bahaya. Bahaya tersebut termasuk juga menghindari kecelakaan tubuh dan bencana ekonomi. Community worker mungkin membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan fisiologis dan keamanan melalui peningkatan pendapatan. Kebutuhan sosial juga termasuk kebutuhan untuk disayangi, kemitraan dan persahabatan.
Secara
keseluruhan, kebutuhan tersebut mencerminkan keinginan individu untuk diterima orang lain.
Ketika kebutuhan tersebut terpenuhi, individu akan termo-tivasi
pemenuhan kebutuhan penghargaan.
Kebutuhan penghargaan adalah kebu-
tuhan individu untuk mendapat penghormatan dan biasanya dibagi menjadi dua kategori: (1) penghargaan diri dan (2) penghargaan pada orang lain. Kebutuhan untuk mengaktualisasi diri adalah kebutuhan untuk memaksimumkan potensi yang dimiliki oleh individu. Misalnya, seorang petani yang berusaha memenuhi kebutuhan aktualisasi diri, akan bekerja keras memanfaatkan segala potensi dirinya untuk berprestasi dan unggul dibidang pekerjaannya. Teori Kebutuhan David McClelland McClelland (Davis dan Newstrom, 1996) mengemukakan empat kebutuhan dasar yang mempengaruhi pencapaian tujuan ekonomi. Kebutuhan tersebut adalah: (1) Kebutuhan untuk berprestasi (Need for achievement) McClelland mendefinisikan kebutuhan berprestasi adalah kebutuhan untuk mengerjakan sesuatu dengan lebih baik atau lebih efisien dari yang telah dikerjakan sebelumnya. Pada beberapa orang bisnis, kebutuhan untuk berprestasi demikian kuat sehingga ia lebih termotivasi dibandingkan upaya mencapai keuntungan.
42
(2) Kebutuhan berafiliasi (Need for affiliation) Kebutuhan berafiliasi adalah kebutuhan untuk membentuk hubungan yang hangat dan bersahabat dengan orang lain, keinginan untuk diterima dan disukai. (3) Kebutuhan kompetensi (Need for competence). Kebutuhan kompetensi adalah untuk mencapai keunggulan kerja, meningkatkan keterampilan pemecahan masalah dan berusaha keras untuk inovatif. (4) Kebutuhan untuk berkuasa (Need for power) Kebutuhan untuk mengendalikan cara-cara mempengaruhi orang lain, keinginan untuk mendominasi, untuk meyakinkan orang lain tentang kebenaran dari superioritas orang lain. Teori Kebutuhan Argyris Rangkaian kesatuan kedewasaan-ketidakdewasaan Argyris (Wiratmo, 1996) memberikan pandangan mengenai kebutuhan kemanusiaan. Menurut Argyris, ketika orang-orang sesungguhnya mengalami kemajuan dari ketidakdewasaan menuju kedewasaan, maka mereka bergerak: (1) Dari suatu keadaan fasif sebagai seorang anak kecil ke keadaan meningkatnya aktifitas sebagai orang dewasa. (2) Dari suatu keadaan ketergantungan pada orang lain sebagai anak kecil ke keadaan relatif independen sebagai orang dewasa. (3) Dari suatu keadaan yang hanya mampu berperilaku dengan sedikit cara sebagai anak kecil menjadi orang yang berperilaku macam-macam (kreatif) sebagai orang dewasa. (4) Dari anak kecil yang berminat tidak menentu, sempit, sambil lalu dan merosot dengan cepat, menjadi orang dewasa yang mempunyai minat lebih mendalam. (5) Dari anak kecil yang hanya mempunyai perspfektif jangka pendek menjadi orang dewasa yang mempunyai perspektif jangka panjang. (6) Dari anak kecil yang ingin selalu posisi di atas menjadi orang dewasa yang mempunyai posisi sejajar/ dan atau di bawah (posisi seimbang) dengan orang dewasa lain. (7) Dari anak kecil yang kurang mempunyai kesadaran akan diri menjadi orang dewasa yang mampu mengendalikan diri.
43
Tehnik Pengidentifikasian Kebutuhan Menurut (Green, 1987) beberapa tehnik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan masyarakat (community needs), antara lain adalah: (a) Tinjauan Pustaka (Studi literatur); (b) Nominal Group Process, yang lebih dikenal dengan nama tehnik Van de Ven dan Delbecq; (c) Metode Delphi; (d) Metode Curah Pendapat (Brainstorming) dan (e) Metode Diskusi Kelompok Terfokus (Focus Group Discussion Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis Istilah kapasitas berasal dari bahasa Inggris capacity, yang artinya: kemampuan, kecakapan, daya tampung yang ada. Pengertian kapasitas yang dikembangkan oleh CIDA (2001) adalah: “capacity as the abilities, skill, under-standings, attitudes, values, relationships, behaviors, motivatiorn, resources and condition that enable individual, organizations, network/sectors and broader sosial system to carry out functions and achieve their development objectives over time.” The Ontario Prevention Clearinghouse (2002) memberikan definisi kapasitas adalah: “the actual knowledge, skills set, participation, leadership and resource required by individual, organization or a community to effectivelly address local issues and concern.” Dengan demikian, pengertian kapasitas petani beragribisnis adalah segala daya yang dimiliki petani (pengetahuan, keterampilan dan sikap positif) untuk mampu menjalankan agribisnis yang berorientasi better farming, better living, friendly environment dan better living. Menurut Reintjes dkk (1999), tiap rumah tangga tani dan tiap individu di dalamnya memiliki kebutuhan dan keinginan khusus, namun bisa digolongkan ke dalam beberapa tujuan, yaitu: produktivitas, keamanan, kesinambungan dan identitas. Dalam konsep Doyal dan Gough (1991), kebutuhan-kebutuhan yang disebutkan oleh Reinjers dkk (1999) dapat didefinisikan sebagai kebutuhan antara (intermediate needs), untuk selanjutnya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs). Kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis adalah kebutuhan untuk mengembangkan kapasitas (kebutuhan memperoleh pengetahuan, ketertampilan dan sikap) petani dalam menjalankan agribisnisnya sesuai dengan kondisi ideal yang diharapkan (better farming, better bussiness dan better living). 44
Dalam hal ini adalah kebutuhan belajar petani, dan kebtuhan akan informasi untuk dapat menjalankan kegiatan agribisnis secara ideal. Agribisnis dimulai dari proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Tehnik kegiatannya dimulai dari penyediaan sarana produksi (input pertanian), proses produksi dan pasca produksi (panen, pemasaran /pengolahan hasil pertanian). Dengan demikian, kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisni adalah kebutuhan pengembangan kapasitas petani adalah kapasitas: (a) produktivitas; (b) pemasaran; (c) peningkatan pendapatan; (d) keamanan usaha/ agribisnis; (e) berkelompok; (f) berjaringan dan (g) peningkatan prestasi/ kemajuan usaha. Konsep-Konsep Kemandirian Menurut Verhagen (1987), tujuan dari upaya pembangunan bukanlah ketergantungan melainkan kemandirian. Selain itu, Nawawi dan Martini (1994) mengemukakan bahwa kemandirian merupakan totalitas kepribadian yang perlu atau harus dimiliki oleh setiap individu sebagai sumberdaya manusia. Apa pengertian kemandirian? Banyak ahli telah mempelajari, meneliti dan menjabarkan pengertian kemandirian dalam dimensi yang berbeda-beda, namun pada dasarnya satu sama lain saling melengkapi. Konsep kemandirian yang penulis maksudkan dalam penelitian ini adalah mengacu kepada konsep kepribadian yang sehat dan matang (menurut Allport), keperibadian yang berfungsi sepenuhnya atau fully function person (menurut Carl Rogers) dan beberapa konsep kemandirian lainnya. Konsep Kepribadian Sehat/Matang Menurut Allport (Schultz, 2005) Menurut Allport, orang yang mempunyai kepribadian yang sehat dan matang adalah pribadi yang bebas dari paksaan-paksaan masa lampau, tetapi dibimbing dan diarahkan oleh masa sekarang dan oleh intensi-intensi dan antisipasi-antisipasi masa depan. Pandangan pribadi sehat adalah masa depan. Pribadi ini bebas dalam memilih dan bertindak, mempunyai harapan dan aspirasiaspirasi.
45
Menurut Allport, pribadi yang sehat memiliki kebutuhan terus-menerus akan variasi, sensasi-sensasi dan tantangan-tantangan baru. Mereka tidak suka akan hal-hal yang rutin dan mereka senang mencari pengalaman-pengalaman baru. Mereka mengambil resiko, berspekulasi dan menyelidiki hal-hal baru. Teori Allport tentang dorongan dari kepribadian yang sehat memasukkan “prinsip penguasaan dan kemampuan (principle of mastery and competence).” Artinya, orang-orang yang matang dan sehat, mereka tidak puas terhadap apa yang telah dapat dicapai. Mereka didorong untuk mencapai tingkat penguasaan dan kemampuan yang tinggi dalam usaha memuaskan motif-motif mereka. Pribadi yang Berfungsi Sepenuhnya (Fully Function Person) Model Carl Rogers Menurut Rogers (1963), motivasi orang yang sehat adalah: “aktualisasi.” Rogers percaya bahwa kecenderungan aktualisasi ditemukan pada setiap makhluk hidup: Binatang-binatang, pohon-pohon dan bahkan ganggang laut memilikinya. Sebagaimana dilukiskan Rogers dalam gaya puitis: ”Disini dalam ganggang laut yang serupa pohon palem, terdapat kegigihan hidup, dorongan hidup untuk maju, kemampuan untuk masuk ke dalam suatu lingkungan yang benar-benar bermusuhan dan tidak hanya mempertahankan dirinya, tetapi juga menyesuaikan diri, berkembang dan menjadi dirinya sendiri. “ Menurut Rogers (1961), orang yang memiliki kepribadian yang sehat adalah orang yang bebas menjadi orang yang mengaktualisasikan diri, untuk mengembangkan seluruh potensinya. Setelah proses aktualisasi diri berlangsung, orang ini dapat maju ke tujuan terakhir, yang menjadi orang berfungsi sepenuhnya (fully function person). Ciri keperibadian sehat yang mengaktualisasikan diri menurut Rogers (1961) adalah: Pertama, kepribadian yang sehat merupakan suatu proses. Aktualisasi diri berlangsung terus, tidak pernah merupakan suatu kondisi yang selesai atau statis.Kedua, aktualisasi diri merupakan suatu proses yang sukar dan kadang-kadang menyakitkan. Aktualisasi diri merupakan suatu ujian, rintangan dan pecutan terus-menerus terhadap semua kemampuan seseorang. Rogers me-
46
nulis, “aktualisasi diri merupakan keberanian untuk ada.” Ketiga, orang-orang yang mengaktualisasikan diri, yakin mereka benar-benar adalah diri mereka sendiri. Mereka tidak bersembunyi dibelakang topeng-topeng atau kedok-kedok. Arah yang dipilih, tingkah laku yang diperlihatkan semata-mata ditentukan oleh individu-individu mereka sendiri. Rogers (1961) juga memberikan lima sifat orang yang berfungsi sepenuhnya, yaitu: (1) Keterbukaan pada pengalaman Ciri orang yang terbuka pada pengalaman adalah, orang tersebut mengetahui segala sesuatu tentang kodratnya; tidak ada segi kepribadian tertutup. Itu berarti bahwa kepribadian adalah fleksibel, tidak hanya mau menerima pengalaman-pengalaman yang diberikan oleh kehidupan, tetapi juga menggunakannya dalam membuka kesempatan-kesempatan persepsi dan ungkapan baru. Sebaliknya, kepribadian orang yang defensif, yang beroperasi menurut syaratsyarat penghargaan adalah statis, bersembunyi dibelakang pera-nan-peranan, tidak dapat menerima atau bahkan mengetahui pengalaman-pengalaman tertentu. Orang yang berfungsi sepenuhnya dapat dikatakan lebih “emosional” dalam pengertian bahwa dia mengalami banyak emosi yang bersifat positif dan negatif (misalnya, baik kegembiraan maupun kesusahan) dan mengalami emosiemosi itu lebih kuat dari pada orang yang defensif. (2)
Kehidupan eksistensial Orang yang berfungsi sepenuhnya, hidup sepenuhnya dalam setiap momen
kehidupan. Setiap pengalaman dirasa segar dan baru. Maka dari itu, ada kegembiraan karena setiap pengalaman tersingkap. Karena orang sehat terbuka kepada semua pengalaman, maka diri atau kepribadian terus-menerus dipengaruhi atau disegarkan oleh setiap pengalaman. Orang yang berfungsi sepenuhnya dapat menyesuaikan diri karena struktur diri terus-menerus terbuka kepada pengalaman-pengalaman baru. Kepribadian yang demikian itu tidak kaku atau tidak dapat diramalkan. Orang itu berkata demikian, ”Saya akan menjadi apa dalam momen berikutnya dan apa yang saya kerjakan, timbul dari momen itu dan baik saya maupun orang-orang lain tidak dapat meramalkan sebelumnya.” 47
(3)
Kepercayaan terhadap organisme orang sendiri Seseorang yang beroperasi semata-mata atas dasar rasional atau intelektual
sedikit banyak adalah cacat, karena mengabaikan faktor-faktor emosional dalam proses mencapai keputusan. Semua segi organisme--sadar, tak sadar, emosional dan juga intelektual--harus dianalisis dalam kaitannya dengan masalah yang ada. Karena data yang digunakan untuk mencapai suatu keputusan adalah tepat (tidak diubah) dan karena seluruh kepribadian mengambil bagian dalam proses membuat keputusan, maka orang-orang yang sehat percaya akan keputusan mereka, seperti mereka percaya akan diri mereka sendiri. (4)
Perasaan bebas Rogers percaya bahwa semakin seseorang sehat secara psikologis,
semakin juga ia mengalami kebebasan untuk memilih dan bertindak. Orang yang sehat dapat memilih dengan bebas tanpa adanya paksaan-paksaan atau rintanganrintangan antara alternatif pikiran dan tindakan. Tambahan lagi, orang yang berfungsi sepenuhnya memiliki suatu perasaan berkuasa secara pribadi mengenai kehidupan dan percaya bahwa masa depan tergantung pada dirinya, tidak diatur oleh tingkah laku, keadaan atau peristiwa-peristiwa masa lampau. Karena merasa bebas dan berkuasa ini maka orang yang sehat melihat sangat banyak pilihan dalam kehidupan dan merasa mampu melakukan apa saja yang mungkin ingin dilakukannya. (5)
Kreativitas Semua orang yang berfungsi sepenuhnya sangat kreatif. Mengingat sifat-
sifat lain yang mereka miliki, sukar untuk melihat bagaimana seandainya kalau mereka tidak. Orang-orang yang terbuka sepenuhnya kepada semua pengalaman, yang percaya akan organisme mereka sendiri, yang fleksibel dalam keputusan serta tindakan mereka ialah orang-orang yang—sebagaimana dikemukakan Rogers—yang akan mengungkapkan diri mereka dalam produk-produk yang kreatif dan kehidupan yang kreatif dalam semua aktifitas mereka. Tambahan lagi, mereka bertingkah laku spontan, berubah, bertumbuh dan berkembang sebagai respons atas stimulus-stimulus kehidupan yang beraneka ragam di sekitar mereka. 48
Konsep Kemandirian Lainnya Istilah kemandirian sepadan dengan istilah autonomy yang dikutip dari istilah Kant (Sumardjo, 1999). Autonomy berasal dari akar bahasa Yunani autos yang berarti self dan nomos yang berarti law atau rule. Secara harpiah, arti kata kemandirian (autonomy) adalah merujuk pada hak atau kemampuan individu untuk mengatur dirinya sendiri. Mengacu pada pendapat Kant (Sumardjo,1999), kemandirian (autonomy) menunjuk pada individualitas, bukan individualistis atau individualisme atau egoisme. Kemandirian merupakan sikap dan perilaku yang dapat menghantarkan manusia pada sukses dalam menjalani hidup dan kehidupan, “bersama” dengan orang lain. Menurut Sumardjo (1999), mengacu pada konsep filsafat moral autonomy dari Kant, otonomi moral adalah kehendak manusia untuk bertindak dari prinsip yang diyakininya sendiri; mampu mengatur diri sendiri; menentukan diri sendiri; mengarahkan sendiri; bebas dari kehendak orang lain, berhak untuk mengikuti kemauannya sendiri. Kant membedakan istilah otonomi moral dan heteronomi moral.
Heteronomi moral berarti sikap moral dimana orang melaksanakan
kewajiban bukan berdasarkan rasa takut, tertekan, takut salah/dosa, misal takut ditegur, dimarahi atau ancaman lainnya. Pernyataan sikap moral manusia yang sebenarnya adalah otonomi moral, yang berarti orang yang punya prinsip sehingga taat dan menjalankan kewajibannya karena ia sadar, ia insyaf, ia yakin man-faatnya, tetapi bukan berarti suatu sikap yang menutup diri. Dalam otonomi moral manusia secara rendah hati menerima situasi masyarakat, norma-norma yang diagungkan dan aturan-aturan yang ada di dalamnya. Atas dasar konsep itu, kemandirian petani lebih tepat dan memang
sejalan dengan konsep moral
tersebut. Senada dengan pendapat di atas, menurut Steinberg (2001), kemandirian adalah keadaan dimana seorang individu memiliki kemampuan untuk menentukan keinginannya, mampu mengatasi tekanan sosial untuk berpikir dan berbuat dengan cara tertentu dan tidak terpengaruh oleh pandangan orang lain terhadap
49
dirinya. Menurut Steinberg, pribadi yang mandiri adalah pribadi yang mengusai dan mengatur dirinya sendiri. Selain mengacu kepada pengertian “kebebasan atau ketidakterkungkungan” individu dalam berbuat (kemampuan mengatur diri sendiri), kemandirian juga mengandung makna “mengoptimalkan potensi” yang dimiliki manusia. Nawawi dan Martini (1994), kemandirian adalah kemampuan mengakomodasikan sifat-sifat baik manusia, untuk ditampilkan dalam sikap dan perilaku yang tepat berdasarkan situasi dan kondisi yang dihadapi seorang individu. Hal ini juga senada dengan pendapat Hubeis (1992), kemandirian adalah perwujudan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan potensi dirinya sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, yang dicirikan oleh kemampuan dan kebebasan menentukan pilihan yang terbaik. Menurut Rahardjo (1992) kemandirian diartikan sebagai upaya seseorang yang didasarkan pada kepercayaan kemampuan diri dan pada sumberdaya yang dimiliki sebagai semangat keswadayaan. Pengertian lain dari kemandirian adalah mampu bekerjasama secara setara dengan pihak lain. Hal ini seperti dikemukakan oleh Cartwright dan Zander (1968), bahwa untuk menumbuhkan dan membina kemandiriannya, kelompok sasaran perlu diarahkan agar dengan kekuatan dan kemampuannya mereka dapat berupaya untuk bekerja sama untuk mencapai segala yang dibutuhkan dan diinginkan. Kemandirian tidak berarti anti kerja sama atau menolak saling keterkaitan dan saling ketergantungan. Kemandirian justru perlu menekankan perlunya kerjasama yang disertai tumbuh dan berkembangnya mengenai: (1) Kemampuan memecahkan masalah (2) Aspirasi; (3) Kreativitas; (4) Keberanian menghadapi resiko; dan (5) Keuletan, (6) Sikap dan kemampuan berwirausaha, dan (7) Prakarsa seseorang bertindak atas dasar kekuatan sendiri dalam kebersamaan (collective self-reliancy).
50
Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan Covey (Sumardjo, 1999), individu yang mandiri adalah individu yang mampu menciptakan kesalingketergantungan (interdependency) dan duduk setara dalam pola kolegial (kemitraan) dengan pihak lain. Keputusan yang diambil petani idealnya adalah kepu-tusan yang “merdeka” dan dinilai secara sadar oleh individu tersebut sebagai ke-putusan yang paling menguntungkan. Menurut Nawawi dan Martini (1994), karakteristik manusia yang berkualitas kepribadian mandiri adalah individu yang memiliki sikap dan sifat rajin, senang bekerja, sanggup bekerja keras, tekun, gigih, berdisiplin, berani merebut kesempatan, jujur, mampu bersaing dan mampu pula bekerjasama, dapat dipercaya dan mempercayai orang lain, mempunyai cita-cita dan tahu apa yang harus diperbuat untuk mewujudkannya, terbuka pada kritik dan saran-saran, tidak mudah putus asa dan berpikir prospektif. Verhagen (1987) mengemukakan bahwa kemandirian adalah kemampuan memilih berbagai alternatif yang tersedia agar dapat digunakan untuk melangsungkan kehidupan yang serasi dan berkelanjutan. Kemampuan tersebut didukung oleh kemampuan-kemampuan yang lain, yaitu kemampuan mengenali kekuatan dan kelemahan diri sendiri, serta kemampuan untuk memperhitungkan kesempatan dan ancaman yang ada di lingkungan sekitarnya. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Badan Pengembangan Swadaya Masyarakat (Bina Swadaya, 1999), kemandirian adalah sikap yang bersumber pada “kepercayaan diri.” Tetapi kemandirian adalah juga kemampuan (mental dan fisik) untuk: (1) Memahami kelemahan dan kekuatan sendiri. (2) Kemampuan memperhitungkan kesempatan dan ancaman lingkungan. (3) Kemampuan memilih berbagai alternatif yang tersedia untuk mengatasi persoalan dan mengembangkan kehidupan secara serasi dan berkesinambungan. Menurut Ismawan dan Budi (dalam Krisnamurthi, 2005), kemandirian (keswadayaan) adalah suatu kondisi dimana manusia memiliki sejumlah kemampuan untuk mengenali kekuatan dan kelemahan diri sendiri, serta mampu memperhitungkan kesempatan-kesempatan dan ancaman yang ada di lingkungan sekitarnya, maupun kemampuan untuk memilih berbagai alternatif yang tersedia
51
agar dapat dipakai untuk melangsungkan kehidupan yang berkelanjutan (sustainable). Kemandirian manusia ini, akan relatif lebih cepat prosesnya bila melalui interaksi antar manusia dalam kelompok (organisasi). Badan Pengembangan Sumberdaya Koperasi dan PKM dan LPM UNIBRAW (2001), mengemukakan bahwa kemandirian adalah proses kebangkitan kembali dan pengembangan kekuatan pada diri manusia yang mungkin sudah hilang karena ketergantungan, eksploitasi dan subordinasi. Menurut Barnadib (Mu’tadin, 2002), kemandirian meliputi perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan, mempunyai rasa percaya diri dalam mengerjakan tugas-tugasnya dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain serta bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya. Dimensi atau elemen Kemandirian Menurut Badan Pengembangan Sumberdaya Koperasi
dan PKM dan
LPM UNIBRAW (2001), kemandirian mencakup empat elemen pokok yaitu kemandirian material, kemandirian intelektual dan kemandirian manajemen. Pengertian masing-masing elemen sebagai berikut: (a) Kemandirian Material Tidak sama dengan konsep sanggup mencukupi kebutuhan sendiri.
Keman-
dirian material adalah kemampuan produktif guna memenuhi kebutuhan materi dasar serta cadangan dan mekanisme untuk dapat bertahan pada waktu krisis. (b) Kemandirian Intelektual Kemandirian intelektual yaitu pembentukan dasar pengetahuan otonom oleh masyarakat yang memungkinkan mereka menanggulangi bentuk-bentuk dominasi yang lebih halus muncul diluar kontrol terhadap pengetahuan itu. (c)
Kemandirian Sikap Kemandirian sikap yaitu kemampuan otonom dalam menyikapi setiap seluruh permasalahan yang muncul dalam kaitan dengan kehidupan. Kemampuan otonom menentukan sikap ini merupakan “sintesa” dari kesadaran diri, insiatif, motivasi, kepercayaan diri, pengambilan keputusan untuk bertindak dan sejauh mana kemampuan untuk “menolong” dirinya sendiri.
52
(d) Kemandirian Manajemen Kemandirian manajemen yaitu kemampuan otonom untuk membina diri dan menjalani serta mengelola kegiatan kolektif agar ada perubahan dalam situasi kehidupan usahatani petani. Steinberg (2001) menjelaskan bahwa dimensi kemandirian meliputi kemandirian emosi (emotional autonomy), kemandirian perilaku (behavioral autonomy) dan kemandirian nilai (values autonomy). Masing-masing dimensi dijelaskan berikut: (1) Kemandirian emosi (emotional autonomy). Merupakan dimensi kemandirian yang berhubungan dengan perubahan keterikatan atau kedekatan emosi anak (sesorang) dengan orang tua (orang lain. Menurut Steinberg dan Silverberg (1986) diacu dalam Steinberg (2001), dinyatakan ada empat komponen kemandirian emosi (khususnya pada remaja), yaitu: (a) Suatu tingkat dimana seseorang (remaja) memiliki kemampuan untuk tidak mengidealkan (de-idealized) orang tuanya (orang lain). (b) Suatu tingkat dimana seseorang (remaja) memiliki kemampuan untuk memandang orang tua sebagai orang dewasa atau orang dewasa lain pada umumnya (parent as people). (c) Suatu tingkat dimana remaja (seseorang) memiliki sikap non dependency artinya lebih bersandar pada kemampuannya sendiri, dari pada tergantung pada kemampuan orang lain. (d) Suatu tingkat dimana remaja (seseorang) menampilkan perilaku bertanggung jawab dalam hubungannya dengan orang tua atau orang lain (individuated). (2) Kemandirian perilaku (behavioral autonomy). Individu yang mandiri secara perilaku memiliki kemampuan untuk membuat suatu keputusan sendiri dan dapat melaksanakan keputusannya tersebut. Menurut Sprinthall & Collins (1995), kemandirian dalam perilaku merupakan dimensi kemandirian dalam bentuk fungsi independen individu yang aktif dan nyata,artinya individu yang memiliki kebebasan untuk berbuat dan bertindak tanpa harus bergantung pada orang lain. Menurut Steinberg (2001),
53
ada tiga karakteristik remaja (seseorang) yang memiliki kemandirian perilaku, yaitu: (a) Memiliki kemampuan mengambil keputusan. (b) Memiliki kekuatan terhadap pengaruh pihak lain. ©
Memiliki rasa percaya diri (self-reliance).
(3) Kemandirian Nilai (values autonomy) Kemandirian nilai merupakan kemampuan individu untuk mengambil keputusan dan menetapkan pilihan yang lebih berpegang atas dasar prinsipprinsip individu yang dimilikinya bukan mengambil dari prinsip-prinsip orang lain. Artinya, individu memiliki seperangkat prinsip tentang benar dan salah serta penting dan tidak penting dalam memandang sesuatu dilihat dari sisi nilai. Menurut Soedijanto (2002), kemandirian terdiri dari kemandirian materil, kemandirian intelektual dan kemandirian pembinaan. Melalui kemandirian material, seseorang memiliki kapasitas untuk memanfaatkan secara optimal potensi sumberdaya alam yang mereka miliki sendiri tanpa harus menunggu bantuan orang lain atau tergantung dari luar. Kemandirian intelektual, memiliki kapasitas untuk mengkritisi dan mengemukakan pendapat tanpa dibayangi rasa takut atau tekanan pihak lain. Kemandirian pembinaan, yaitu memiliki kapasitas untuk mengembangkan dirinya sendiri melalui proses pembelajaran discovery learning tanpa harus tergantung atau menunggu sampai adanya pembina atau agen pembaharu dari luar sebagai guru mereka. Havighurst (1972) menambahkan bahwa kemandirian terdiri dari beberapa aspek, yaitu: (1) Emosi, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan mengotrol emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang lain. (2) Ekonomi, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan mengatur ekonomi dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang lain. (3) Intelektual, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.
54
(4) Sosial, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung atau menunggu aksi dari orang lain. Kemandirian Petani Menurut Soediyanto (2001), kegiatan penyuluhan pertanian dalam pembangunan sistem dan usaha agribisnis harus memiliki sasaran tercapainya kemandirian petani dan perilaku agribisnis lainnya, yang meliputi kemandirian material, kemandirian intelektual dan kemandirian pembinaan. Subagyo (2000) mengemukakan bahwa petani masa depan adalah model sosok petani yang mandiri, tangguh dan sebagai subjek pembangunan dengan ciriciri sebagai berikut: (1) Kegiatan bertani didasari atas suatu rencana usaha yang sesuai dengan kebutuhan pasar dan potensi wilayah (agroklimat, sosial ekonomi). (2) Pola kerjanya didasari atas ilmu usahatani yang selalu berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. (3) Mempunyai sikap yang rasional dalam mengelola usahataninya. (4) Mempunyai kemampuan untuk berkembang yang diperoleh melalui pendidikan. (5) Teknologi yang diterapkan merupakan keputusan sendiri berdasarkan pengalamannya, kondisi sumberdaya alam, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta sesuai dengan ekosistem lokal. (6) Dalam menghadapi berbagai persoalan/masalah didasari atas proses observasi, pengalaman, analisa, alternatif mengatasinya dan baru mengambil tindakan. (7) Ketergantungan bukan pada nasib tetapi petani selalu menggunakan akal atau rasio yang sehat. (8) Mempunyai penampilan yang maju sebagaimana seorang manajer dalam pengelolaan usahataninya. (9) Organisasinya merupakan organisasi usatani agribisnis, sehingga tahu apa yang harus dikerjakan, tahu cara-cara yang benar, tahu alasan-alasannya dan mempunyai percaya diri dalam mengelola usahataninya.
55
Menurut Sumardjo (1999), berdasarkan kajian deduktif yang mengacu kepada pendapat beberapa ahli, ciri kemandirian petani (farmer autonomy), yaitu: (1) Petani mandiri mempunyai rasa percaya diri dan mampu memutuskan atau mengambil suatu tindakan yang dinilai paling menguntungkan (efficient) secara tepat dan cepat dalam mengelola usahanya di bidang pertanian tanpa tergantung atau tersubordinasi oleh pihak lain, baik itu berupa perintah, ancaman, petunjuk atau anjuran (self dependency). (2) Senantiasa mengembangkan kesadaran diri dan kebutuhan akan pentingnya memperbaiki diri dan kehidupannya, serta punya inisiatif dan kemauan keras untuk mewujudkan harapannya (optimistik dan daya juang). (3) Mampu bekerjasama dengan pihak lain dalam kedudukan setara sehingga terjadi kesalingtergantungan dalam situasi saling menguntungkan dalam suatu kemitraan usaha yang berkelanjutan (interdepedence). (4) Mempunyai daya saring yang tinggi dalam menetapkan pilihan tindakan terbaik bagi alternatif usaha yang ditempuh dalam kehidupan (filter system). (5) Senantiasa berusaha memperbaiki kehidupannya (hidup modern) melalui berbagai upaya memperluas wawasan berpikir dan pengetahuan, sikap dan keterampilannya (kosmopolit), sehingga berespon secara positif terhadap perubahan situasi (dinamis) dan berusaha secara sadar mengatasi permasalahan dengan prosedur yang dinilai paling tepat (progresif). Menurut Radi (1997), petani yang mampu mewujudkan pertanian mandiri adalah petani yang memiliki karakter: (1)
Mampu memanfaatkan keanekaragaman sumberdaya pertanian secara optimal melalui kekuatan/kemampuan sendiri.
(2) Mampu memanfaatkan teknologi pertanian yang rujuk lingkungan, serta tidak menutup diri terhadap berlangsungnya transformasi teknologi yang lebih menguntungkan (integrasi teknologi lokal dengan teknologi dari luar secara selektif). (3) Mampu mengembangkan keunggulan kompetitif. (4) Memiliki kemampuan manajerial dan keterampilan mengelola usaha secara bisnis.
56
Beberapa Hasil Penelitian tentang Kemandirian Petani Faktor-faktor yang Mempengaruhinya Menurut Sumardjo (1999), secara umum petani di Jawa Barat masih mempunyai tingkat kemandirian yang rendah. Skor terendah terutama pada aspek daya saing. Artinya, tingkat kesiapan petani menghadapi era globalisasi masih relatif belum memadai. Menurut Sumardjo (1999), fakta hasil uji statistik membuktikan bahwa tingkat kemandirian petani secara signifikan didipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal petani. Faktor internal meliputi: (1) status sosial, (2) kualitas pribadi, (3) ciri komunikasi, (4) motivasi intrinsik, (5) motivasi ekstrinsik. Faktor eksternal meliputi: (1) kualitas penyuluhan, (2) pengaruh pasar komoditi pertanian, (3) desakan perkembangan sektor luar pertanian, (4) penetrasi produk non pertanian, (5) sarana penunjang pengembangan pertanian, (6) ketersediaan sumberdaya informasi secara lokal, (7) kondisi lingkungan fisik, dan (8) kebijakan pembangunan pertanian. Dalam penelitiannya, disarankan oleh Sumardjo (2000) bahwa penelitian yang menyangkut pengembangan kemandirian belajar (terutama pengembangan metoda dan tehnik kekondusifan belajar mandiri) semakin diperlukan. Hal ini dimaksudkan untuk memperkaya metoda dan tehnik-tehnik belajar secara mandiri bagi orang dewasa (para pelaku sistem agribisnis). Hasil penelitian Soebiyanto(1998) di Jawa Tengah menyatakan bahwa kemandirian petani termasuk kategori sedang. Hal ini dicerminkan oleh rendahnya tingkat aspirasi, rendahnya kreativitas, kurang memiliki wawasan ke depan dan semangat kerjasama, tetapi memiliki keuletan kerja yang tinggi. Terdapat perbedaan nyata tingkat kemandirian petani pada berbagai tingkat kemampuan kelompok dan sentra produksi. Menurut Soebiyanto (1998), karakteristik pribadi yaitu sifat yang melekat pada diri pribadi petani yang terdiri dari: pengalaman kerja, tingkat pendidikan, motivasi berkelompok dan keterbukaan terhadap pembaharuan. Karakteristik pribadi petani ini berpengaruh nyata terhadap kemandirian petani, tetapi tidak 57
berpengaruh nyata terhadap ketangguhan berusahatani. Karakteristik ekonomi petani (luas penguasaan lahan, pemilikan sarana produksi, jumlah tenaga kerja yang digunakan dan penguasaan modal) termasuk peringkat rendah dan juga berpengaruh nyata terhadap kemandirian petani dan ketangguhannya berusahatani. Sistem Agribisnis Menurut Soehardjo (Said dan Intan, 2001), agribisnis merupakan sebuah sistem yang terdiri dari beberapa subsistem (Gambar 3). Setiap subsistem tersebut mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya. Subsistem III akan berfungsi dengan baik bila ditunjang oleh ketersediaan bahan baku yang dihasilkan oleh subsistem II dan subsistem III tersebut akan berhasil baik bila menemukan pasar untuk produknya. Lembaga pertanahan, pembiayaan/keuangan, pendidikan, penelitian,
dan perhubungan merupakan
lembaga yang menunjang kegiatan agribisnis yang kebanyakan berada di luar sektor pertanian, sehingga sektor pertanian terkait erat dengan sektor lainnya.
Subsistem 1 (Pengadaan dan Penyaluran Sarana Produksi
Subsistem II
Subsistem III
Subsistem IV
(Produksi Primer)
(Pengolahan)
(Pemasaran)
Lembaga Penunjang Agribisnis (Pertanahan, Keuangan, Penelitian, dll)
Gambar 3. Sistem Agribisnis dan Lembaga Penunjangnya (Said dan Intan , 2001)
58
Umumnya petani berada pada subsistem II yang khusus menghasilkan produk pertanian dikarenakan tidak mempunyai modal yang cukup untuk pengadaan sarana produksi, kurang pengetahuan dan teknologi dalam pengolahan, serta kurang tahu cara pemasaran hasil produksinya. Dengan adanya kemitraan antara usaha besar dengan petani, maka perusahaan akan memberikan bantuan yang dibutuhkan petani sehingga masing-masing unit akan bekerja secara terspesialisasi dalam pengadaan input produksi, menghasilkan produk, mengolah produk, dan memasarkannya sehingga berada pada kondisi skala ekonomis dengan menurunnya biaya rata-rata jangka panjang seiring banyaknya unit yang terlibat (Said dan Intan, 2001).
59
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Pendekatan dan Hakekat Manusia dalam Pembangunan Sebagai Landasan Kerangka Berpikir Menurut Adi (2003), dalam proses pembangunan baik yang terjadi di dunia internasional, maupun di Indonesia, pada dasarnya dipengaruhi oleh sekurangkurangnya dua dimensi. Dimensi pertama adalah dimensi makro yang menggambarkan bagaimana institusi negara melalui kebijakan dan peraturan yang dibuatnya mempengaruhi proses perubahan di suatu masyarakat. Sedangkan dimensi ke dua adalah dimensi mikro, dimana individu dan kelompok dalam masyarakat mempengaruhi proses pembangunan itu sendiri. Hadad (1980) mensarikan dari apa yang dijabarkan oleh Troeller, mengungkapkan kembali bahwa terdapat lima pendekatan dalam pembangunan, yaitu: (1) Pendekatan Pertumbuhan (growth approach), (2) Pendekatan Pertumbuhan dan Pemerataan (redistribution of growth approach), (3) Pendekatan Ketergantungan (dependency paradigm), (4) Pendekatan Kebutuhan Dasar (the basic needs approach), dan (5) Pendekatan Kemandirian (the self reliancy approach). Hadad (1980) menyatakan bahwa pendekatan kemandirian adalah dikenal juga dengan nama “self sustained.” Soedjatmoko (Hadad, 1980) menyatakan konsep kemandirian dalam dua perspektif, yaitu: (1) Penekanan yang lebih diutamakan pada hubungan timbal balik dan saling menguntungkan dalam perdagangan dan kerjasama pembangunan, dan (2) Lebih mengandalkan pada kemampuan dan sumberdaya sendiri. Menurut Badan Pengembangan Sumberdaya Koperasi dan PKM dan LPM UNIBRAW (2001), sejak Indonesia merdeka, model strategi pembangunan yang ditempuh adalah: (1) Model Pertumbuhan, (2) Model Kesejahteraan, dan (3) Model Bangkit Kemampuan. Secara ringkas, perbedaan dan perubahan strategi pembangunan tersebut dilihat dari empat aspek/variabel yaitu: (1) Nilai, (2) Peranan Pemerintah, (3) Titik Pusat Analisis, dan (4) Sumberdaya Utama (secara lebih lengkap disajikan pada Tabel 1). 60
Tabel 1. Perubahan Strategi Pembangunan Ditinjau dari Empat Variabel
Model Variabel
Pertumbuhan
Nilai
Kesejahteraan
Berpusat pada Berorientasi produksi pada masyarakat Peranan Perintis Pemberi Pemerintah pelayanan pada masyarakat Titik Pusat Indikator Indikator sosial Analisis ekonomi secara makro Sumberdaya Modal Kemampuan Utama administratif dan Budgeting
Bangkit Kemampuan Berpusat pada masyarakat Pembangkit kemampuan masyarakat
Ekologi
Kreativitas dan komitmen manusia
(Sumber: Badan Pengembangan Sumberdaya Koperasi & PKM dan LPM UNIBRAW, 2001). Strategi pembangunan yang seharusnya dikembangkan yaitu
Model
Bangkit Kemampuan. Model tersebut memiliki ciri-ciri antara lain, nilai pembangunan yang berpusat pada masyarakat dan sumberdaya utama pembangunan adalah kreatifitas dan komitmen manusia. Model Pemberdayaan Petani Berdasarkan pendekatan pembangunan yang seharusnya dikembangkan yatu yang berpusat pada masyarakat dan sumberdaya utama adalah kreatifitas dan komitment manusia, maka penelitian yang bertitik tolak mengembangkan kemandirian adalah sangat relevan dan diperlukan. Pemberdayaan petani ke arah kemandirian petani dapat ditumbuhkan melalui kinerja penyuluh pertanian yang berkualitas dengan memposisikan petani sebagai subyek atau mitra sejajar dan berorientasi pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani. Alur berpikir dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan masukan (inputs), proses (process), keluaran (outputs) dan manfaat (outcome). Model pemberdayaan yang dikembangkan berdasarkan pemikiran: Apa masukan 61
proses pemberdayaan, bagaimana prosesnya, apa keluaran dan manfaat yang akan dihasilkan? Pemberdayaan dimulai dari kenyataan bahwa petani (masyarakat) dalam keadaan kurang berdaya (powerless), namun harus dilandasi oleh pemikiran bahwa mereka memiliki daya (kapasitas) yang mampu mereka kembangkan. Orang luar hanya memfasilitasi agar petani mampu memberdayakan dirinya sendiri (memaksimalkan kapasitas yang mereka miliki).
Daya yang
dimiliki petani, sistem sosial dan kompetensi tenaga penyuluh adalah “masukan” dari proses pemberdayaan. Dalam “proses pemberdayaan”, penyuluh pertanian harus bekerja berdasarkan visi (pandangan jauh ke depan) dan misi (tugas) yang harus dilakukan, yang merupakan cerminan kinerja penyuluh pertanian tersebut. Terpenuhinya kebutuhan pengembangan kapasitas petani dan kemandirian petani dalam beragribisnis adalah “keluaran” yang ingin dicapai.
Peningkatan
pendapatan dan ketangguhan bisnis petani adalah “manfaat” yang diharapkan. Alur berpikir disajikan pada Gambar 4.
Kerangka berpikir yang merupakan
hubungan antar variabel yang diteliti disajikan pada Gambar 5. Pemikiran tentang variabel-variabel penelitian dijelaskan berlandaskan pendekatan atau kajian deduktif. Karakteristik Petani
Karakteristik petani adalah ciri-ciri yang melekat pada diri seseorang petani sebagai individu. Keberhasilan pemberdayaan dalam memenuhi kebutuhan pengembangan kapasitas dan kemandirian petani dalam beragribisnis tidak terlepas dari karakter yang dimiliki petani. Dengan kata lain, untuk keberhasilan pemberdayaan mutlak memperhatikan karakteristik petani. Kemandirian petani tidak dapat terwujud jika hanya diupayakan dari luar diri petani. Faktor diri petani adalah faktor yang terpenting. Proses belajar adalah proses aktif seseorang untuk mengubah perilakunya, yang dipengaruhi oleh karakteristik petani. Berdasarkan kajian deduktif dari pendapat para ahli yaitu: Havighurst (1972), Padmowihardjo (1994), Gilley & Eggland (1999), dan Winkel (1990), beberapa pemikiran tentang karakteristik petani yang mempengaruhi tingkat kinerja pemberdayaan oleh penyuluh pertanian pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis dan kemandirian petani beragribisnis, disajikan pada Tabel 2. 62
MASUKAN (INPUTS) (Daya yang dimiliki Petani, Sistem Sosial dan Penyuluh) 1.
Karakteristik Petani
2.
Karakteristik (Hambatan/ Dukungan) Sistem Sosial
PROSES (PROCESS) (Pemberdayaan)
KINERJA PEMBERDAYAAN OLEH PENYULUH PERTANIAN
3. Kompetensi Penyuluh Pertanian
1. Pengembangan Perilaku Inovatif Petani 2. Penguatan Tingkat Partisipasi Petani 3. Pengouatan Kelembagaan Petani
KELUARAN (OUTPUTS)
1. Terpenuhinya Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani
MANFAAT (OUTCOME)
Peningkatan Pendapatan dan Ketangguhan Petani Beragribisnis
2. Kemandirian Petani dalam Beragribisnis
4. Penguatan Akses Terhadap Berbagai Sumberdaya 5. Penguatan Kemampuan Petani Berjaringan 6. Kaderisasi
Petani Kurang Berdaya (Powerless)
Proses Pemberdayaan (Empowerment)
Pertani Berdaya (Powerred)
Gambar 4. Alur Berpikir Penelitian
63
P E N I N G K A T A N
Karakteristik Petani (X1) X11 Umur X12 Pendidikan Formal X13 Pendidikan non Formal X14 Pendidikan in Formal X15 Pengalaman Beragribisnis Karakteristik Sistem Sosial (X2) X21 Nilai-nilai SosialBudaya X22 Sistem Kelembagaan Petani X23 Dukungan Tenaga Ahli, Kelembagaan Lit-luh X24 Fasilitasi Agribisnis oleh Lembaga Pemerintah X25 Akses Petani terhadap Kelembagaan Agribisnis X26 Kepemimpinan Lokal
Kinerja Penyuluh Pertanian (X4) X41 Pengembangan Perilaku Inovatif X42 Penguatan Tingkat Partisipasi Petani X43 Penguatan Kelembagaan Petani X44 Penguatan Akses Petani terhadap Berbagai Sumberdaya X45 Penguatan Kemampuan Berjaringan X46 Kaderisasi
Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis (Y1) Y11 Kapasitas Produktivitas Y12 Kapasitas Pemasaran Y13 Kapasitas Keamanan Usaha Y14 Kapasitas Berkelompok Y15 Kapasitas Berjaringan Y16 Kapasitas Peningkatan Prestasi/Ke majuan Usaha
P E N D A P A T A N
Kemandirian Petani Beragribisnis (Y2) Y21 Intelektualitas Beragribisnis
D A N
Y22 Sikap Mental Agribisnis
K E T A N G G U H A N
Y23 Manajemen Agribisnis Y24 Sosial Y25 Materiil Y26 Pengembangan Diri
B E R
A G R I B I S N I S
Kompetensi Penyuluh Pertanian (X3) X31 X32 X33 X34
Managerial Komunikasi Pembelajaran Petani Interaksi Sosial
Gambar 4. Kerangka Berpikir Penelitian
64
METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel Populasi Penelitian dilakukan di kabupaten Kampar provinsi Riau.
Kabupaten
Kampar merupakan salah satu kabupaten memiliki potensi pengembangan agribisnis di propinsi Riau, yang meliputi agribisnis tanaman pangan, perkebunan, perikanan dan peternakan. Iklim dan kesuburan lahan di kabupaten Kampar relatif homogen.
Heterogenitas dilihat dari petani dengan komoditi unggulan yang
diusahakan. Komoditi unggulan pertanian yang diusahakan di kabupaten Kampar yaitu: perkebunan sawit, karet, tanaman pangan, peternakan dan perikanan air tawar. Populasi dalam penelitian ini adalah semua petani yang mengusahakan komoditi unggulan tersebut. Sampel Pengambilan sampel petani (responden penelitian) dilakukan dengan metode pengambilan sampel gugus bertahap (multistage cluster sampling). Menurut Singarimbun dan Effendi (1989), dalam praktek sering dijumpai populasi yang letaknya sangat tersebar secara geografis, sehingga sangat sulit untuk mendapatkan kerangka sampel (sampling frame). Hal ini dapat diatasi dengan mengelompokkan unit analisis ke dalam gugus-gugus (cluster) yang merupakan satuan-satuan dimana sampel akan diambil.
Pengambilan sampel dilakukan
melalui tahap tertentu. Dalam penelitian ini metode pengambilan sampel adalah sebagai berikut: (1) Pengambilanl Sampel Tahap I. Populasi adalah semua petani yang mengusahakan komoditi unggulan perkebunan sawit, karet, tanaman pangan, peternakan dan perkebunan yang ada di kabupaten Kampar (20 kecamatan). Sampel tahap pertama dipilih secara acak dua kecamatan untuk setiap komoditi unggulan, yaitu kecamatan yang mewakili petani yang mengusahakan masing-masing perkebunan sawit, perkebunan karet, tanaman pangan, peternakan dan perikanan, sehingga diperoleh 10 kecamatan.
75
(2) Pengambilan Sampel Tahap II. Pada setiap kecamatan dari sampel pada tahap pertama dipilih secara acak satu desa, sehingga diperoleh sampling kedua 10 desa. (3) Pengambilan Sampel Tahap III. Pada setiap desa dari 10 desa pada sampel kedua, ditetapkan secara quota 30 orang petani (petani dipilih secara acak), sehingga jumlah sampel ketiga (petani responden penelitian) adalah 300 orang. Daftar Kerangka Penarikan Sampel Penelitian disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Daftar Kerangka Penarikan Sampel Penelitian Petani dengan Komoditi Unggulan
BIP/Kecamatan Sampel (Sample Tahap I)
Desa Sampel (Sample Tahap II)
1 Kelapa Sawit
Tapung
Muara Mahat Baru
30
Tapung Hulu
Sinama Nenek
30
2 Karet
Salo
Siabu
30
XIII Koto Kampar Tanjung Alai
Jumlah Petani (Sample Tahap III)
30
3 Tanaman Pangan
Kampar Timur
Pulau Rambai
30
Bangkinang Seberang
Pulau
30
4 Peternakan
Bangkinang
Ridan Permai
30
Tambang
Padang Luas
30
Bangkinang Barat
Kuok
30
Kampar
Padang Mutung
30
10
300
5 Perikanan Jumlah
10 Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian survei dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Dalam rangka memperkaya data dan lebih memahami fenomena sosial yang diteliti, dalam penelitian ini dilakukan upaya menambahkan informasi kualitatif pada data kuantitatif. Unit analisis dalam penelitian adalah individu. Responden penelitiannya adalah “petani.”
76
Penelitian ini digunakan untuk maksud penelitian penjelasan (explanatory research), yaitu menjelaskan hubungan kausalitas antara peubahpeubah melalui pengujian hipotesis. Model teoritis yang akan diuji dalam penelitian ini meliputi beberapa bentuk hubungan kausalitas antar peubah. Berbagai hubungan peubah tersebut terdiri dari enam peubah, yaitu: (1) Karakteristik Petani (X1). (2) Karakteristik Sistem Sosial (X2) (3) Kompetensi Penyuluh Pertanian (X3) (4) Kinerja Penyuluh Pertanian dalam Memberdayakan Petani (X4) (5) Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Bergribisnis (Y1) (6) Tingkat Kemandirian Petani (Y2). Hubungan antar peubah dalam model teoritis disajikan pada Gambar 5. Peubah “peningkatan pendapatan dan ketangguhan bisnis pertanian” yang diduga outcome dari proses pemberdayaan, tidak diteliti dan tidak diuji dalam model (secara statistik). Peubah tersebut digunakan untuk memberikan arah dari kerangka berpikir dan membatasi penelitian dalam ruang lingkup keberlanjutan agribisnis petani. Pengambilan data di lapangan secara intensif berlangsung selama tujuh bulan, yaitu dari bulan April 2007 sampai dengan Desemberi 2007.
Namun
demikian, sampai dengan bulan Juli 2008 masih dilakukan cross-check data untuk konfirmasi hasil kuantitatif penelitian dengan informasi kualitatif. Data dan Instrumentasi Data Ditinjau berdasarkan jenisnya, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif adalah data utama untuk mengukur peubah dan hubungan antar peubah dalam penelitian. Data kuantitatif merupakan data yang berbentuk angka dan dapat dianalisis dengan menggunakan metode statistik. Semua peubah dalam penelitian ini merupakan data kuantitatif. Data kualitatif merupakan data dalam bentuk teks, tulisan, phrases atau simbolsimbol yang menjelaskan atau mempersentasikan orang, tindakan atau gejala sosial. Kecuali bagi keperluan studi analisis isi, peneliti kualitatif sangat jarang menggunakan analisis statistik (Neuman, 1994).
Dalam penelitian ini, data
kualitatif dikumpulkan untuk memperjelas atau mempertajam hasil/temuan masing77
masing peubah dan hasil analisis hubungan antar peubah tersebut. Data kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam dengan key informan.
Key informan
dalam penelitian ini meliputi: petani, pengurus kelompok tani, penyuluh pertanian, Kepala Balai Informasi Penyuluhan, Kepala Kantor Informasi Penyuluhan dan Kepala Dinas terkait agribisnis petani. Berdasarkan sumber data, data dalam penelitian ini dibedakan atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari sumbernya, yakni dari responden penelitian dan informan. Data sekunder yang sudah dikumpulkan atau diolah oleh lembaga atau instansi tertentu. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data tentang: (a)
Data lembaga pemerintah berkaitan dengan agribisnis petani (visi/misi lembaga penyuluhan dan dinas pertanian,sistem koordinasi, good will, comitment dan open understanding, dsb) yang secara langsung/tidak langsung merupakan penyelenggara kegiatan pemberdayaan petani.
(b) Dukungan (political will dan comitment) dari Dinas Pertanian terkait dan Pemerintah Daerah terhadap upaya pemberdayaan petani. (c) Data lokasi penelitian. (d) Data lain yang menunjang tercapainya tujuan penelitian.
Instrumentasi Menurut Sevilla (1988), paling tidak ada lima kriteria agar instrumen pengumpulan data dikatakan baik, yaitu mencakup: (1) Kesahihan (validitas); (2) Keterandalan (reliabilitas); (3) Sensivisitas; (4) Obyektivitas, dan (5) Kelayakan (Fisibilitas). Kesahihan (Validitas) Instrumen Menurut Ancok (1987), suatu alat ukur dikatakan sahih atau valid apabila alat ukur tersebut dapat digunakan untuk mengukur secara tepat konsep yang sebenarnya ingin diukur. Menurut Sevilla (1988), kesahihan dalam penelitian adalah suatu derajat ketepatan alat ukur penelitian tentang isi atau inti sebenarnya yang diukur. Menurut Renner (1962), dan Black dan Champion (1976), kesahihan menyangkut ketepatan dalam penggunaan alat ukur. Instrumen sebagai alat untuk pengumpulan data, harus dapat mengukur konsep yang hendak diukur. Ke-sahihan instrumen tersebut hendaknya, bersandar pada logika dan pembuktian statistik. 78
Menurut Downie dan Health (Black dan Champion, 1976) untuk menguji tingkat kesahihan instrumen penelitian ada tiga komponen yang harus dilakukan, yaitu: (1) Pengujian kesahihan konstruktif (constructive validity); (2) Pengujian kesahihan isi (content validity) dan (3) Pengujian kesahihan eksternal (external validity). Pada instrumen penelitian dilakukan pengujian validitas instrumen dengan cara sebagai berikut: (a) Validitas Isi (Content Validity). Menunurut Singarimbun dan Effendi (1995), validitas isi suatu alat pengukur ditentukan oleh sejauh mana isi alat pengukur tersebut mewakili semua aspek yang dianggap sebagai aspek kerangka konsep.
Sevilla et al., (1993) menyarankan
dengan menggunakan prosedur dan tehnik antara lain: (1) Analisis dokumentasi atau pra survey, pada tahap ini menggunakan gagasan teoritis (theoretical constructs) yang langsung dihubungkan dengan tes yang direncanakan; (2) Konsultasi dengan para ahli atau pembimbing, dan (3) Penulisan soal. (b) Validitas Konstruk (Construk Validity). Sevilla et al., (1993), Black dan Champion (1999) mengatakan bahwa dalam validitas konstruk yang sangat penting adalah teori atau konsep yang mendukung tes. Validitas konstruk kadang-kadang disebut validitas konsep yang melibatkan penemuan korelasi positif antara beberapa variabel/konstruk yang menegaskan konsep. Menurut Kerlinger (2000), validitas konstruk terutama lebih menekankan pada teori, konstruk teoritis dan telaah empiris ilmiah yang meliputi pengujian relasi yang dihipotesiskan. Menurut Singarimbun dan Effendi (1995), konstruk adalah kerangka teori dari suatu konsep. Jika peneliti ingin mengukur suatu konsep, ialah dengan mencari apa saja yang merupakan kerangka dari konsep tersebut. Tiga cara yang dipakai adalah: (1) Mencari definisi konsep melalui literatur; (2) Mendiskusikan konsep tersebut dengan ahli yang kompeten, dan (3) Menanyakan kepada calon responden. Dalam penelitian ini, definisi peubah-peubah penelitian: Karakteristik sumberdaya petani, karakteristik sistem sosial, kompetensi penyuluh pertanian, kinerja pemberdayaan oleh penyuluh pertanian, tingkat pemenuhan kebutuhan petani beragribisnis dan tingkat kemandirian petani beragribisnis, validitas isi dan 79
validitas konstruk dilakukan dengan tehnik: mencari definisi dan rumusan tentang konsep yang akan diukur berdasarkan tinjauan literatur; mendiskusikan dengan dosen pembimbing (pembimbingan dan sidang komisi) dan menanyakan langsung kepada calon responden penelitian mengenai aspek-aspek konsep yang akan diukur. (2) Keterandalan (Reliabilitas) Instrumen Menurut Sevilla (1988), keterandalan atau reliabilitas adalah derajat ketepatan, ketelitian atau keakuratan yang ditunjukkan oleh instrumen pengukuran Pengujiannya dapat dilakukan secara (1) internal, yaitu pengujian dengan menganalisis butir-butir pertanyaan yang ada; (2) eksternal, yaitu dengan melakukan test-retest. Menurut Singarimbun dan Effendi (1995), reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana seuatu alat ukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan Bila suatu alat ukur (instrumen) dipakai dua kali untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relatif konsisten, maka alat pengukur tersebut dianggap reliabel.
Dengan kata lain, reliabilitas (keterandalan) menunjukkan
konsistensi suatu alat pengukur di dalam mengukur gejala yang sama. Tabel 9. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Setiap Dimensi Peubah Penelitian No Peubah dan Dimensi
1
Koefisien Validitas
Reliabilitas
Karakteristik Sistem Sosial (X2)
0,74
0,76
a. Nilai-nilai Sosial Budaya (X21)
0,70
0,74
b. Sistem Kelembagaan Petani (X22)
0,72
0,80
0,78
0,81
0,79
0.83
0,75
0,79
0,69
0,73
c. Akses Petani terhadap Tenaga Ahli, Kelembagaan Penyuluhan dan Penelitian (X23) d. Fasilitasi Agribisnis oleh Lembaga Pemerintah (X24) e. Akses Petani terhadap Kelembagaan Agribisnis (X25) f.
Kepemimpinan Lokal (X26)
80
Tabel 9. (lanjutan)
No 2
Koefisien
Peubah dan Dimensi
Validitas
Reliabilitas
Kompetensi Penyuluh Pertanian (X3)
0,73
0,75
a. Kompetensi Managerial (X31)
0,72
0,74
b. Kompetensi Komunikasi (X32)
0,71
0,80
0,68
0,81
d. Kompetensi Interaksi Soail(X34)
0,70
0.83
Kinerja Penyuluh Pertanian dalam Memberdayakan Petani (X4)
0,71
0,82
a.
0,72
0,85
0,75
0,84
0,78
0,83
Sumberdaya (X44)
0,76
0,80
e.
Penguatan Kemampuan Petani Berjaringan (X45)
0,75
0,79
f.
Kaderisasi (X46)
0,72
0,75
Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis (Y1)
0,72
0,81
a. Peningkatan Produktivitas (Y11)
0,70
0,86
b. Pemasaran (Y12)
0,71
0,83
c. Peningkatan Pendapatan (Y13)
0,69
0,86
d. Keamanan Usaha/Agribisnis (Y14)
0,72
0,85
e. Berkelompok (Y15)
0,71
0,82
f. Berjaringan (Y16)
0,69
0,84
g Peningkatan Prestasi/Kemajuan Usaha Agribisnis (Y17)
0,73
0,79
Tingkat Kemandirian Petani Beragribisnis (Y2)
0,70
0,83
a. Kemandirian Intelektual (Y21)
0,71
0,87
b. Kemandirian Sikap Mental (Y22)
0,70
0,82
c. Kemandirian Manajemen (Y23)
0,71
0,84
d. Kemandirian Sosial (Y24)
0,70
0,82
e. Kemandirian Materil (Y25)
0,69
0,83
f. Kemandirian Pembinaan Diri (Y26)
0,70
0,86
c. Kompetensi Membelajarkan Petani (X33)
3
Pengembangan Perilaku Inovatif Petani (X41)
b. Penguatan Tingkat Parrtisipasi Petani (X42)
4.
5
c.
Pengutan Kelembagaan Petani (X43)
d.
Penguatan Akses Petani terhadap Berbagai
81
Pengujian validitas dan reliabilitas instrumen dilakukan dengan bantuan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) 12 for WINDOWS. Hasil pengujian validitas dan reliabilitas instrumen disajikan pada Tabel 9 Hasil pengujian validitas dan reliabilitas, semua instrumen layak digunakan. Hal ini dapat dijelaskan karena nilai koefisien validitas dan reliabilitas lebih besar dari nilai r tabel. Pengukuran Peubah Model teoritis yang akan diuji dalam penelitian ini meliputi beberapa bentuk hubungan antar peubah. Sub peubah dan indikator penelitian dari masingmasing peubah, disajikan berikut ini: (1) Karakteristik Petani (X1) Karakteristik petani adalah ciri-ciri yang melekat pada diri petani sebagai individu manusia. Sub Peubah dan parameter karakteristik petani dirinci pada Tabel 10. Tabel 10. Peubah dan Indikator Karakteristik Petani (X1) Peubah: KARAKTERISTIK SUMBERDAYA PETANI (X1) Nama Peubah
Indikator
X11 Umur
Jumlah tahun hidup (sejak lahir) sampai dengan wawancara dilakukan
X12 Pendidikan formal
Jumlah tahun pendidikan formal yang pernah diikuti
X13 Pendidikan non formal
Frekwensi dan lama pendidikan non formal (kursus/pelatihan) yang diikuti Jumlah jenis sumber pengetahuan/informasi/ keterampilan/sikap positif yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari secara informal (yang bersumber dari keluarga inti, kerabat/tetangga/teman petani, media cetak (koran, majalah, dsb.) dan media elektronik (radio, tv, dsb.)
X14 Pendidikan informal
X15 Pengalaman bisnis tani
Jumlah tahun melakukan agribisnis
(2) Karakteristik Sistem Sosial (X2) Selain karakteristik petani, sistem sosial adalah faktor yang harus diperhatikan dalam melakukan upaya pemberdayaan dan diduga berpengaruh terhadap kemandirian petani. Sistem sosial adalah suatu set (satuan) kehidupan sosial yang 82
tersusun dari unsur-unsur yang satu sama lainnya saling berhubungan dan pengaruh mempengaruhi. Sistem sosial mengatur bagaimana hubungan diantara anggotaanggotanya, bagaimana status dan peranan masing-masing anggota, serta hak dan kewajibannya. Pemberdayaan bertujuan terjadinya perubahan positif petani dari sistem sosial. Dalam perubahannya itu ada faktor-faktor penghambat atau pendukung. Sub Peubah dan parameter dari peubah karakteristik sistem sosial, disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Peubah dan Indikator Karakteristik Sistem Sosial (X2) Peubah: KARAKTERISTIK SISTEM SOSIAL (X2) Nama Peubah X21 Nilai-nilai Sosial Budaya
Indikator a. Tingkat keinovatifan masyarakat untuk mencoba teknologi/ideide baru yang yang diperkenalkan penyuluh atau diperoleh dari media. b. Tingkat keterbukaan masyarakat terhadap budaya luar c. Tingkat keuletan masyarakat dalam mencari nafkah. d. Tingkat kegotong-royongan masyarakat dalam kegiatan pertanian dan pada aspek kehidupan lainnya. e. Tingkat penghargaan masyarakat terhadap prestasi (need achievement)
X22 Sistem Kelembagaan Petani
a. Tingkat kesesuaian pembentukan kelembagaan dengan kebutuhan dan aspirasi anggota b. Tingkat keterbukaan pengelolaan kelembagaan petani c. Tingkat kesesuaian aturan dengan pelaksanaan dalam kelembagaan d. Tingkat keefektifan penegakan sanksi dalam kelembagaan e. Tingkat kemanfaatan kelembagaan bagi petani
X23 Akses terhadap tenaga ahli, kelembagaan penyuluhan dan penelitian
a. Tingkat akses petani menemui dan meminta bantuan kepada penyuluh pertanian jika ada kesulitan. b. Tingkat kemanfaatan kelembagaan penyuluhan (misal: Balai Informasi Penyuluhan, dsb) bagi petani. c. Tingkat kemanfaatan lembaga penelitian (hasil penelitiannya) bagi petani.
X24
Fasilitasi Agribisnis oleh Lembaga Pemerintah
a. Fasilitasi dinas-dinas terkait meningkatkan akses petani terhadap sarana produksi (bibi unggul, irigasi, alsintan, dsb.) b. Fasilitasi dinas-dinas terkait meningkatkan akses petani terhadap permodalan. c. Fasilitasi dinas-dinas terkait meningkatkan akses petani terhadap pemasaran hasil pertanian d. Fasilitasi dinas-dinas terkait meningkatkan akses petani terhadap pengolahan hasi pertanian
83
Tabel 11 (lanjutan) Nama Peubah X24 Fasilitasi Agribisnis oleh Lembaga Swasta
Indikator a. Fasilitasi lembaga swasta (perusahaan inti pada pola PIR) meningkatkan akses petani terhadap sarana produksi (bibit unggul, irigasi, alsintan, dsb.) b. Fasilitasi lembaga swasta (perusahaan inti pada pola PIR) meningkatkan akses petani terhadap permodalan. c. Fasilitasi lembaga swasta (perusahaan inti pada pola PIR) meningkatkan akses petani terhadap pemasaran hasil pertanian h. Fasilitasi lembaga swasta (perusahaan inti pada pola PIR) meningkatkan akses petani terhadap pengolahan hasil pertanian
X26 Kepemimpinan Lokal
a. Tingkat perhatian dan dukungan pemimpin lokal memotivasi petani mencari,memunculkan dan menyebarkan ide-ide/teknologi baru untuk kemajuan pertanian b. Tingkat keaktifan pemimpin lokal memfasilitasi petani menjalin hubungan dengan pihak-pihak luar secara sinergis dan saling menguntungkan. c. Tingkat kepedulian pemimpin lokal terhadap
permasalahan petani
d. Tingkat keterbukaan pemimpin lokal terhadap kritik untuk kemajuan agribisnis petani. e. Tingkat keterbukaan pemimpin lokal menampung aspirasi petani
(3) Kompetensi Penyuluh Pertanian (X3) Kompetensi adalah kemampuan (kecakapan memadai) yang harus dimiliki oleh penyuluh pertanian sehingga yang bersangkutan dapat mewujudkan visi dan misi (tugas) pemberdayaan yang diamanahkan kepadanya.. Kompetensi tersebut kombinasi (cluster) pengetahuan, keterampilan dan aktivitas yang ditampilkan dalam suatu situasi kerja. Pada Tabel 12 disajikan sub peubah dan parameter kompetensi penyuluh pertanian. (4) Kinerja Penyuluh Pertanian dalam Memberdayakan Petani (X4) Kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan adalah perilaku yang diperagakan secara aktual oleh penyuluh pertanian dalam melaksanakan tugas (misi) pemberdayaan yang diamanahkan kepadanya. Pemberdayaan adalah
84
Tabel 12. Peubah dan Indikator Kompetensi Penyuluh Pertanian (X3) Peubah: KOMPETENSI PENYULUH PERTANIAN (X3) Nama Peubah X31 Kompetensi Managerial
Indikator a. Tingkat kemampuan penyuluh pertanian mengidentifikasi kebutuhan (need assement) petani sebelum merencanakan kegiatan pemberdayaan. b. Tingkat kemampuan penyuluh pertanian melibatkan petani dalam menyusun program pemberdayaan. c. Tingkat keaktifan penyuluh pertanian melaksanakan program (kegiatan) pemberdayaan petani. d. Tingkat kemampuan penyuluh pertanian melakukan evaluasi setiap kegiatan pemberdayaan e.
X32 Kompetensi Komunikasi
Tingkat kemampuan penyuluh pertanian memberi contoh mengelola waktu dan dana secara baik
a. Tingkat kemampuan penyuluh pertanian berkomunikasi dengan efektif (mudah dimengerti dan diikuti petani) b. Tingkat kemampuan penyuluh pertanian menjalin relasi (hubungan) dengan petani atau pihak terkait agribisnis petani. c. Tingkat kemampuan penyuluh pertanian bernegosiasi dengan pihak lain untuk kepentingan petani. d. Tingkat kemampuan penyuluh pertanian menggunakan berbagai media komunikasi dalam kegiatan pemberdayaan.
X33 Kompetensi Pembelajaran Petani
a. Tingkat kemampuan penyuluh pertanian memotivasi/ mengembangkan kemauan belajar petani. b. Tingkat kemampuan penyuluh pertanian membelajarkan petani sesuai dengan kemampuan diri (pengetahuan, sikap dan keterampilan) petani d.
Tingkat kemampuan penyuluh pertanian membelajarkan petani berdasarkan potensi sumberdaya yang dimiliki petani dan lingkungan (lahan, iklim, kearifan lokal).
d. Tingkat kemampuan penyuluh pertanian menggunakan berbagai metode belajar yang efisien dan efektif e. Tingkat kemampuan penyuluh pertanian belajar bersama petani, untuk memperoleh kemanfaatan bersama. f. Tingkat kemampuan penyuluh pertanian memotivasi petani untuk belajar sesuatu dan membelajarkannya kepada petani lain pada setiap kesempatan X34 Kompetensi Interaksi Sosial
a. Tingkat kemampuan penyuluh pertanian menyesuaikan diri dengan budaya setempat b. Tingkat kemampuan penyuluh pertanian selalu membelajarkan petani berdasarkan kemampuannya. c. Tingkat kemampuan penyuluh pertanian mengidentifikasi dan memanfaatkan kelompok penekan untuk kesejahteraan masyarakat secara bermartabat (adil dan beradab).
85
upaya yang dilakukan dalam memberikan daya (kapasitas) kepada petani agar mampu mengoptimalkan sumberdaya yang dimiliki, mampu menentukan sendiri apa yang harus ia lakukan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi (khususnya berkaitan dengan agribisnis), sehingga mereka mempunyai kesadaran dan kekuasaan penuh dalam menjalankan dan meningkatkan agribisnis untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Kinerja penyuluh pertanian diukur berdasarkan persepsi petani terhadap perilaku aktual yang dilakukan penyuluh pertanian dalam memenuhi kebutuhan pengembangan kapasitas petani. Berdasarkan kajian deduktif, kinerja penyuluh pertanian ini dioperasionalkan dalam bentuk sub peubah (aspek kinerja) dan parameter disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Peubah dan Parameter Kinerja Penyuluh Pertanian Memberdayakan Petani (X4). Peubah: KINERJA PENYULUH PERTANIAN (X4) Nama Peubah X41 Pengembangan Perilaku Inovatif Petani
Indikator a. Tingkat aktulisasi (perilaku aktual yang ditampilkan) penyuluh pertanian meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang lebih baik dalam beragribisnis kepada petani b. Tingkat aktualisasi penyuluh pertanian menyadarkan petani akan potensi diri, sumberdaya dan peluang yang dimiliki c. Tingkat aktualisasi penyuluh pertanian meningkatkan motivasi, sikap kerja keras/ketekunan petani dalam beragribisnis d. Tingkat aktualisasi penyuluh pertanian meningkatkan adopsi inovasi petani. e. Tingkat aktualisasi penyuluh pertanian meningkatkan/ memunculkan keinginan petani untuk maju dan mandiri
X42 Penguatan Tingkat Partisipasi Petani
a. Tingkat aktualisasi penyuluh pertanian memfasilitasi petani dalam mengidentifikasi kebutuhan. b. Tingkat aktualisasi penyuluh pertanian dalam meningkatkan tingkat partisipasi petani dalam proses perencanaan kegiatan/ program penyuluhan c. Tingkat aktualisasi penyuluh pertanian dalam meningkatkan tingkat partisipasi petani dalam pelaksanaan kegiatan. d. Tingkat aktualisasi penyuluh pertanian dalam meningkatkan tingkat partisipasi petani dalam mengevaluasi kegiatan/program. e. Tingkat aktualisasi penyuluh pertanian menjadikan etani berpartisipasi sampai pada tingkat “petani mau, mampu dan berkesempatan untuk berubah”
86
Tabel 13 (lanjutan) Peubah: KINERJA PENYULUH PERTANIAN (X4) Nama Peubah X43 Penguatan Kelembagaan Petani
Indikator a. Tingkat kepuasan petani terhadap upaya penyuluh pertanian memanfaatkan potensi kelembagaan yang berasal dan berakar kuat dalam masyarakat. b. Tingkat kepuasan petani terhadap upaya penyuluh pertanian memotivasi kerjasama dan meningkatkan dinamika kelompok c. Tingkat aktualisasi penyuluh pertanian membantu /memfasilitasi penyelesaian masalah yang terjadi dalam kelompok d
Tingkat aktualisasi penyuluh pertanian membantu /memfasilitasi, memotivasi kelompok maju dan berprestasi.
e Tingkat aktualisasi penyuluh pertanian membantu /memfasilitasi atau menumbuhkan dan membangun kerjasama kelompok petani dengan lembaga pemasaran f
Tingkat aktualisasi penyuluh pertanian menumbuhkan dan membangun kerjasama kelompok petani dengan lembaga pengolah hasil pertanian.
g Tingkat aktualisasi penyuluh pertanian membantu /memfasilitasi/ menumbuhkan dan membangun kerjasama kelompok petani dalam memperkuat permodalan sendiri’ X44 Penguatan Akses Petani terhadap Berbagai Sumberdaya
X45 Penguatan Kemampuan Petani Berjaringan
a.
Tingkat aktualisasi penyuluh pertanian membantu /memfasilitasi/memotivasi petani senantiasa mencari informasi untuk kemajuan agribisnisnya.
b. Tingkat aktualisasi penyuluh pertanian membantu /memfasilitasi petani untuk mengusai informasi c.
Tingkat aktualisasi penyuluh pertanian memotivasi, memfasilitasi petani akses terhadap sarana produksi (benih, pupuk,alsintan, obatabatan) yang berkualitas dan ramah lingkungan.
d.
Tingkat aktualisasi penyuluh pertanian memotivasi, memfasilitasi petani akses terhahadap modal.
e.
Tingkat aktualisasi penyuluh pertanian memotivasi, memfasiltasi petani untuk akses terhadap pasar.
f.
Tingkat aktualisasi penyuluh pertanian memotivasi, memfasiltasi petani akses terhadap pngolahan hasil pertanian
a. Tingkat aktualisasi penyuluh pertanian memotivasi petani untuk melakukan kerjasama antar kelompok tani b. Tingkat aktualisasi penyuluh pertanian memfasilitasi (membantu terwujudnya) kerjasama antar kelompok tani c. Tingkat aktualisasi penyuluh pertanian mendampingi petani memgembangkan kerjasama dengan sesama kelompok tani. d. Tingkat aktualisasi penyuluh pertanian memotivasi kerjasama kelompok tani dengan lembaga agribisnis terkait (lembaga penyedia saprodi, lembaga pemasaran, lembaga pengolahan hasil, lembaga permodalan, dsb.)
87
Tabel 13 (lanjutan) Nama Peubah X45 Penguatan Kemampuan Petani Berjaringan X46 Kaderisasi
Indikator d. Tingkat aktualisasi penyuluh pertanian mendampingi petani memgembangkan kerjasama sinergis kelompok tani dengan lembaga agribisnis terkait
a.
Tingkat aktulisasi penyuluh pertanian memotivasi, memfasilitasi petani untuk menjadi kader
b.
Tingkat aktualisasi penyuluh pertanian membangun kemampuan petani untuk menjadi kader
c. Tingkat aktualisasi penyuluh pertanian mendampingi kader jika menemui kesulitan dalam menyelesaikan masalah petani.
(5) Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis (Y1) Pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah terpenuhinya kebutuhan untuk mengembangkan kapasitas petani (pemenuhan kebutuhan pengetahuan, keterampilan, motivasi dan komitmen) agar petani memiliki kemandirian beragribisnis dalam rangka better farming, better busines, friendly environments dan better living. Indikator dan parameter dari tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis disajikan pada tabel 14. Tabel 14. Sub Peubah dan Parameter PengukuranTingkat Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis (Y1) Peubah: Tingkat Pemenuhan Kebutuhan pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis (Y1) Nama Peubah Y11 Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Produktivitas Beragribisnis
Indikator a. Tingkat terpenuhinya kebutuhan pengetahuan, keterampilan, motivasi dan komitmen petani untuk penggunaan sarana produksi yang berkualitas dan ramah lingkungan b. Tingkat terpenuhinya kebutuhan pengetahuan, keterampilan, motivasi dan komitmen petani agar mampu memupuk modal c. Tingkat terpenuhinya kebutuhan pengetahuan, keterampilan, motivasi dan komitmen petani menggunakan teknologi yang efektif dan efisien spesifik lokasi d. Tingkat terpenuhinya kebutuhan pengetahuan, keterampilan, motivasi dan komitmen petani untuk mampu berproduksi yang lebih menguntungkan secara tehnis, ekonomis, sosial dan lingkungan.
88
Tabel 14 (lanjutan) Nama Peubah Y12 Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Pemasaran
Indikator a.
Tingkat terpenuhinya kebutuhan pengetahuan, keterampilan, motivasi dan komitmen petani dalam pemasaran hasil pertanian dan mampu meningkatkan “bargaining positin”
b.
Tingkat terpenuhinya kebutuhan petani untuk akses informasi harga hasil pertanian.
c. Tingkat terpenuhinya kebutuhan petani untuk akses informasi saluran pemasaran yang menguntungkan. Y13 Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Keamanan usaha/agribisnis petani
Y14 Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Berkelompok
a.
Tingkat terpenuhinya kebutuhan pengetahuan, keterampilan, motivasi dan komitmen petani untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman dan hewan bagi petani.
b. Tingkat terpenuhinya kebutuhan petani untuk akses informasi prakiraan cuaca/iklim bagi petani. c.
a.
Tingkat terpenuhinya kebutuhan pengetahuan, keterampilan, motivasi dan komitmen penanganan pasca panen yang lebih baik Tingkat terpenuhi kebutuhan pengetahuan, keterampilan, motivasi dan komitmen petani mampu bekerjasama, menyelesaikan masalah bersama dalam kelompok petani.
b. Tingkat terpenuhi kebutuhan pengetahuan, keterampilan, motivasi dan komitmen petani untuk mampu mencapai tujuan bersama kelompok petani. c.
Tingkat terpenuhi kebutuhan pengetahuan, keterampilan, motivasi dan komitmen petani untuk menggalang meningkatkan kekuatan bersama meningkatkan daya tawar menawar (bargaining position) atau kekuatan bersama melalui kelompok bagi petani.
d. Tingkat terpenuhi kebutuhan pengetahuan, keterampilan, motivasi dan komitmen petani untuk menyalurkan aspirasi bagi petani. Y15 Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Berjaringan
a. Tingkat terpenuhinya kebutuhan pengetahuan, keterampilan, motivasi dan komitmen petani dan kelompoknya menjalin kerjasama secara sinergis antar kelompok tani b. Tingkat terpenuhinya kebutuhan pengetahuan, keterampilan, motivasi dan komitmen petani dan kelompoknya menjalin kerjasama dengan lembaga saprodi c. Tingkat terpenuhinya kebutuhan pengetahuan, keterampilan, motivasi dan komitmen petani dan kelompoknya menjalin kerjasama dengan lembaga permodalan d. Tingkat terpenuhinya pengetahuan, keterampilan motivasi dan komitmen petani dan kelompoknya menjalin kerjasama dengan lembaga pemasaran e. Tingkat terpenuhinya kebutuhan pengetahuan, keterampilan, motivasi dan komitmen petani dan kelompoknya menjalin kerjasama dengan lembaga pengolahan hasil pertanian
89
Tabel 14 (lanjutan) Nama Peubah
Indikator
Y16 Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Berprestasi/ Kemajuan Usaha
a. Tingkat terpenuhinya kebutuhan pengetahuan, keterampilan, motivasi dan komitmen petani untuk lebih berprestasi (mengembangkan usaha) dalam agribisnis pertanian b. Tingkat terpenuhinya kebutuhan pengetahuan, keterampilan, motivasi dan komitmen petani untuk mandiri (tidak ketergantungan pada orang lain). c. Tingkat terpenuhinya kebutuhan pengetahuan, keterampilan, motivasi dan komitmen petani untuk menngembangkan inovasi yang spesifik lokasi
(4) Tingkat Kemandirian Petani (Y2) Kemandirian petani adalah adalah perwujudan kemampuan (perilaku aktual yang ditampilkan) petani untuk memanfaatkan segala potensi dirinya dalam menjalankan agribisnis sesuai kehendak sendiri (merdeka) dan diyakini manfaatnya, dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.
Berdasarkan kajian
deduksi, indikator dan parameter kemandirian petani ini disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Peubah dan Parameter Tingkat Kemandirian Petani (Y2) Peubah: Tingkat Kemandirian Petani (Y2) Nama Peubah Y11 Kemandirian Intelektual
Indikator a. Tingkat kemampuan memanfaatkan sumberdaya lahan secara maksimal b. Tingkat kemampuan memanfaatkan waktu yang dimiliki untuk kegiatan produktif agribisnis c. Tingkat kemampuan petani membuat keputusan “rasional”(misal: Memilih komoditi yang menguntungkan dan berorientasi pasar, tidak ikut-ikutan teman). d. Tingkat kemampuan petani menyelesaikan masalah e. Tingkat kemampuan petani berkreatifitas dan mengembangkan aspirasi dalam bisnis petani (misal: Menerapkan integrated farming system) f. Tingkat kemampuan petani aktif mencari, menemukan, mengadopsi dan menyebarkan ide/teknologi baru
Y12 Kemandirian Sikap Mental
a. Tingkat kemampuan senantiasa memupuk iman dan tagwa (misal: mengsyukuri nikmat dan sabar, tawakkal dalam menghadapi musibah) b. Tingkat keuletan dalam bekerja c. Tingkat kemampuan menerima pembaharuan (inovatif ) dalam beragribisnis
90
Tabel 15 (lanjutan) Nama Peubah
Indikator
Y12 Kemandirian Sikap Mental (sambungan)
d. Tingkat kemampuan mengambil resiko dalam pengembangan usaha. e. Tingkat kemampuan petani percaya diri dalam berinteraksi terhadap pihak lain.
Y13 Kemandirian Manajemen
a. Tingkat kemampuan mengambil keputusan secara “mandiri” tanpa tergantung pihak lain. n
berkomunikasi secara konvergen/relasional dengan berbagai pihak. b. Tingkat kemampuan membuat perencanaan dalam setiap kegiatan agribisbisnisnya. c. Tingkat kemampuan melaksanakan kegiatan agribisnis sesuai dengan yang direncanakan. d. Tingkat kemampuan mengevaluasi (menilai keberhasilan kegiatan) agribisnisnya. e. Tingkat kemampuan memiliki semangat untuk menghasilkan produksi yang bermutu dan mampu bersaing di pasar.
Y14 Kemandirian Sosial
a. Tingkat kemampuan berinteraksi secara egaliter dengan lingkungan sekitarnya b. Tingkat kemampuan melakukan kerjasama sinergi dalam kelompok c Tingkat kemampuan menjalin kerjasama sinergis antar kelompok tani. d. Tingkat kemampuan menjalin jaringan kerjasama kemitraan dengan kelembagaan saprodi, permodalan, kelembagaan pemasaran dan kelembagaan lainnya yang berkaitan dengan agribisnis.
Y15 Kemandirian Material
a. Tingkat kemampuan menggunakan saprodi yang berkualitas untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. b. Tingkat kemampuan menyisihkan sebagian pendapatan agribisnisnya untuk pengembangan usahanya.. c. Tingkat keberhasilan melakukan investasi untuk pengembangan diri dan keluarga (misal: investasi untuk mengikuti pelatihan, pendidikan anak,dsb.). d. Tingkat kemampuan memperoleh modal usaha.
Y16 Kemandirian Pembinaan Diri
a. Tingkat kemampuan memanfaatkan sumber informasi dari berbagai media untuk kepentingan agribisnisnya. b. Tingkat kemampuan memanfaatkan tenaga pemberdayaan (penyuluh, pendamping, dsb.) c. Tingkat kemampuani memanfaatkan peluang-peluang pelatihan d. Tingkat kemampuan berbagi pengetahuan dengan orang lain.
91
Menurut Kerlinger (2003), pengukuran adalah penetapan atau pemberian nilai atau angka-angka pada suatu peubah, objek atau kejadian-kejadian menurut aturan tertentu, sehingga dapat dihubungkan antara konsep-konsep abstrak dengan realitas. Menurut Neuman (1994), dalam penelitian sosial, proses pengukuran relatif lebih sulit dari ilmu esakta. Konsep-konsep yang ditelaah dalam penelitian sosial mengenai fenomena sosial yang lebih abstrak. Mengacu kepada berbagai pemikiran (Kerlinger, 2003; Neuman, 1994 dan Effendi, 1989), dalam penelitian ini untuk mengukur peubah diterapkan prinsip isomorfisme atau persamaan bentuk. Artinya, diupayakan terdapat kesamaan yang dekat antara realitas sosial diteliti dengan “nilai” yang diperoleh dari pengukuran. Tujuan tersebut dicapai dengan cara meneliti literatur sebanyak mungkin yang membicarakan konsep dan membuat definisi dari konsep. Konsep ini masih merupakan variabel laten (construct). Setelah tersusun sub peubah (indikator) penyusun konsep, kemudian dari masing-masing sub peubah ditentukan indikanindikan sub peubah. Indikan-indikan inilah yang diamati dalam penelitian dan dianggap sebagai “realitas” dari konsep dan yang diukur dalam penelitian. Indikator ini dibuat menjadi sebuah pernyataan yang mudah dipahami oleh petani (parameter) yang akan dipersepsikan oleh petani sesuai kenyataan di lapangan dan yang akan diukur. Tingkat pengukuran yang digunakan adalah menggunakan ukuran “ordinal”. Setelah pertanyaan-pertanyaan dibuat untuk masing-masing indikan ditentukan skor. Agar informasi dapat mengukur lebih tepat dan lengkap dari setiap indikan, digunakan jenjang (range) yaitu: 1, 2, 3, dan 4. Cara pengukuran adalah dengan menghadapkan responden dengan “pernyataan” yang telah disusun dan diminta untuk memberikan persepsi pada setiap pernyataan, yaitu: (1) “Sangat Tidak Setuju,” (2) “Tidak Setuju,” (3) “Setuju,” dan (4) “Sangat Setuju” Skor ini dijumlahkan untuk mendapatkan skor gabungan untuk setiap sub peubah. Dalam melakukan analisis, dibutuhkan data-data (hasil pengukuran) yang dapat diolah sehingga menghasilkan informasi yang dimengerti, bermanfaat dan sesuai dengan tujuan penelitian. Pada peneltitian diperoleh data mentah (raw data) yang belum sesuai dengan asumsi atau tipe analisis.
Untuk keperluan itu,
dilakukan transfomasi data.
92
Transformasi data dalam penelitian ini (sesuai dengan yang dilakukan Soemardjo,1999) digunakan untuk menghitung nilai keragaman yang muncul atau terjadi dalam setiap peubah penelitian, terutama variabel yang berskala ordinal. Melalui transformasi skala yang semula ordinal dirubah menjadi skala interval atau bahkan skala rasio sehingga layak diuji dengan menggunakan uji statistik Melalui proses transformasi setiap indikator memiliki nilai 0 – 100, Nilai indek terkecil diberikan untuk jumlah skor terendah dan nilai 100 untuk skor tertinggi.
Angka di belakang koma dibulatkan sesuai dengan ketentuan pem-
bulatan matematik yang berlaku dalam penggunaan komputer.
Rumus umum
transformasi yang digunakan dalam penelitian inimengikuti Li (1975) yang digunakan Sumardjo (1999), adalah: (a) Transformasi indek sub variabel: Jumlah Skor yang dicapai – Jumlah skor minimum yang diharapkan x 100 Jumlah skor maksimum yang diharapkan – jumlah skor minimum yang diharapkan
(b) Transformasi indek variabel: Jumlah Skor yang dicapai – Jumlah skor minimum yang diharapkan x 100 Jumlah skor maksimum yang diharapkan – jumlah skor minimum yang diharapkan
Keterangan: selang nilai indeks transformasi peubah adalah 0 – 100 Nilai indeks transformasi minimum dicapai apabila semua parameter setiap indikator setelah diukur menunjukkan angka 1, sedangkan nilai maksimum 4. Dengan menggunakan pengukuran ini, maka sebaran data yang merupakan skala interval berkisar antara nilai 0 sampai 100. Pengelompokan kategori menggunakan 4 tingkatan, yaitu: (a) : 0 - ≤ 49 = sangat rendah (b) : 50 - ≤ 69 = rendah (c) : 70 - ≤ 85 = tinggi (d) : 85 – ≤ 100 = sangat tinggi Pengumpulan Data Data primer kuantitatif dikumpulkan melalui waawancara berdasarkan kuesioner terstruktur. Data primer kualitatif dikumpulkan berdasarkan kuesioner (pertanyaan terbuka), indept interview kepada beberapa responden dan diskusi 93
dengan berbagai nara sumber serta pengamatan partisipasipatif Selain responden petani, untuk memperoleh data primer kualitatif digunakan informan.
Tehnik
penentuan informan dilakukan dengan tehnik bola salju bergulir (snow balling). Analisis Data Pada analisis data dilakukan dua tahapan kegiatan, yaitu: (1) Eksplorasi data dan (2) Pengujian hipotesis. Eksplorasi data dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum mengenai data yang diperoleh. Pengujian hipotesis dilakukan dengan statistik inferensial. Analisis statistik bersumber dari: Agresti dan Finlay (1999) dan Johnson, et al. (2002). Analisis data dilakukan dengan menggunakan bantuan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) 12 for WINDOWS. Pengujian hipotesis dijlakukan melalui tahapan berikut ini: (1)
Analisis Korelasi Pearson. Analisis ini digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan antara sub
variabel dan variabel bebas terhadap sub variabel dan variabel terikat yang berskala interval (parametrik).
Semua sub variabel dan variabel dalam penelitian ini
menggunakan data yang berskala interval (setelah ditransformasikan dari data yang sebelumnya ordinal). Sesuai dengan model hubungan hipotesis, sub variabel dan variabel yang menunjukkan keeratan hubungan yang signifikan, dilanjutkan ke analisis regresi ganda. Pada analisis data ini, ditetapkan signifikansi 1 persen; 5 persen dan 10 persen. Korelasi Pearson product moment, menggunakan rumus: rxy =
∑ xy − (∑ x(∑ y )) {n∑ x − (∑ x ) }{n∑ y − (∑ y ) } n
2
2
2
2
Keterangan: r = koefisien korelasi n = banyaknya kasus x = variabel bebas y = variabel terikat (2) Analisis Regresi Ganda. Analisis regresi ganda digunakan untuk mengestimasi besarnya koefisienkoefisien yang dihasilkan oleh persamaan yang bersifat linier, yang melibatkan dua variabel bebas atau lebih. Pengaruh antara masing-masing varibel bebas terhadap variabel terikat digunakan persamaan: 94
Y = β ο + β 1 X1 + ….. + β k Xk + ε Keterangan: Y
βo
= variabel terikat = intersep
β 1..βk = koefisien regresi ε
= error
Besarnya kontribusi variabel bebas terhadap variabel terikat, digunakan Koefisien Determinasi (KD). KD = r2 x 100 %, r = Koefisien Korelasi (3) Analisis Jalur Menguji pengaruh langsung dan tak langsung dari variabel bebas terhadap variabel terikat digunakan Path Analysis (analisis jalur).
Menurut Kerlinger
(2000), Path Analysis adalah suatu bentuk terapan dari analisis multiregresi. Diagram jalur digunakan untuk membantu konseptualisasi masalah atau menguji hipotesis yang kompleks. Melalui analisis jalur, dapat dihitung besarnya pengaruh langsung dan tidak langsung dari variabel bebas terhadap variabel terikat. Besarnya pengaruh tersebut disebut koefisien jalur, yang sesungguhnya adalah koefisien regresi yang telah dibakukan (beta).
Besarnya pengaruh langsung dan tidak langsung, dapat
digunakan untuk menentukan pengaruh total, sehingga memungkinkan peneliti untuk mempelajari besarnya peranan tiap komponen dalam sistem atau model kausal yang dirumuskan. Berikut ini dijelaskan cara perhitungannya: X1 c21
cy1 cy2
X2
Y
c31 c32
cy3 X3
Keterangan: Pengaruh X1 terhadap Y - Pengaruh langsung: X1 – Y1 = cy1 - Pengaruh tidak langsung: X1 – X2 – Y = c21 cy2 X1 – X3– Y = c31 cy3 X1 – X2– X3– Y = c21 c32cy3 - Pengaruh total = cy1 + c21 cy2 + c31 cy3 + c21 c32cy3
Gambar 6. Pengaruh antar Variabel dalam Diagram Jalur 95
Diagram Jalur secara Konseptual dari penelitian ini disajikan pada Gambar 7. X1
X3
X4
Y1
Y2
X2
Gambar 7. Pengaruh antar Variabel secara Konseptual pada Penelitian Pemberdayaan Petani untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas dan Kemandirian petani Beragribisnis (Kasus di Kabupaten Kampar Provinsi Riau) Persamaam strukturalnya, berdasarkan pengujian hipotesis: (1) Hipotesis 1, X4 = β *x4x1X1 + β *x4x2 X2 + β *x4x3 X3 + ε (2) Hipotesis 2, Y1 = β *y1x1 X1 + β * y1x1 X2 + β * y1x3 X31 + β * y1x4 X4 + ε (3) Hipotesis 3, Y2 = β *y2x1 X1 + β * y21x1 X2 + β *y2y1 Y1+ ε (4) Hipotesis 4, Y1 = β *y1x41 X41 +……… + β * y1x46 X46 ε (5) Hipotesis 5, Y2 = β *y2y11 Y11 +……… + β *y2y17 Y17+ ε Keterangan:
X1 = karakteristik petani X2 = karakteristik sistem sosial X3 = kompetensi penyuluh pertanian = kinerja penyuluh pertanian memberdayakan petani X4 X41... X46 = aspek-aspek dari kinerja penyuluh dalam memberdayakan petani Y1 = pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis Y11… Y17 = aspek-aspek dari pemenuhan kebutuhan pengembangan kapaitas petani beragribisnis = kemandirian petani beragribisnis Y2 β*
= koefisien lintas (path)
ε
= error
96
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Daerah Penelitian Sebagian besar kabupaten Kampar merupakan daratan rendah dintara daerah perbukitan dan daerah aliran sungai. Daerah perbukitan berada disepanjang Bukit Barisan yang berbatasan dengan provinsi Sumatra Barat dan perbatasan dengan Sumatra Utara, dengan ketinggian 0 – 500 meter dari permukaan laut (BPS Kampar, 2007). Di kabupaten Kampar terdapat dua buah sungai besar dan beberapa sungai kecil. Sungai besar yaitu: sungai Kampar dan sungai Siak bagian Hulu. Sungai Kampar panjangnya lebih kurang 413,5 km dengan kedalaman rata-rata 7,7 m dengan lebar rata-rata 143 m dan seluruh bagian sungai ini termasuk dalam wilayah kabupaten Kampar. Sungai Siak bagian hulu panjangnya lebih kurang 90 km, dengan kedalaman rata-rata 8 – 12 m (BPS Kampar, 2007).. Struktur tanah/jenis tanah adalah argonosol, gleihumus, aluvial, hidromorfik kelabu, podzolik merah kuning, litosol dan regosol. Jenis tanah argonosol tersebar luas di daratan rendah berawa-rawa dan berasosiasi dengan humus. Tanah argonosol ini semakin jauh dari pinggir sungai semakin tebal bahan gambutnya, yang dikenal dengan type gambut ombrogen (BPS Kampar, 2007). Menurut BPS Kampar (2007), kabupaten Kampar pada umumnya beriklim tropis dengan tempratur maksimum rata-rata 330 – 310 C. Banyaknya hari hujan dalam tahun 2006 adalah disekitar kecamatan Salo, Bangkinang dan Bangkinang Seberang. Berdasarkan keadaan alam, struktur tanah dan iklim (seperti yang telah diuraikan sebelumnya), agribisnis yang cocok dikembangkan adalah perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit dan karet. Walaupun demikian, dengan pemeliharaan yang intensif dan memanfaatkan teknologi spesifik lokasi, tanaman pangan juga mempunyai prospek untuk dikembangkan. Dominannya tanaman perkebunan di kabupaten Kampar, menyebabkan tanaman pangan juga menjadi primadona, karena setiap hari penduduk kabupaten Kampar memerlukan ratusan ton bahan makanan yang berasal dari tanaman pangan. Terdapatnya dua sungai besar di kabupaten Kampar merupakan potensi budidaya ikan air tawar dengan menggunakan teknologi keramba. Berdasarkan potensi sumberdaya alam ini, petani harus memiliki kapasitas dan kemandirian untuk memanfaatkan sumberdaya alam tersebut semaksimal mungkin untuk kepentingan petani dan masyarakat dan negara.
97
Menurut BPS Kampar (2007), dari total 1.098.346 hektar luas kabupaten Kampar, diantaranya 11.542 hektar (1,10 persen) digunakan untuk tanah sawah dan 1.087.016 hektar (98,90 persen) merupakan lahan kering. Selanjutnya, dari total lahan kering di kabupaten Kampar pada tahun 2007, persentase terbesar digunakan untuk perkebunan (kecuali hutan), yakni sebesar 29,95 persen (311.775 hektar). Luasnya lahan kering dan perkebunan kelapa sawit di kabupaten Kampar merupakan potensi untuk pengembangan agribisnis peternakan. Di atas lahan perkebunan kelapa sawit yang sudah berproduksi, dapat dikembangkan peternakan domba, kambing, sapi dan budidaya ikan melalui kolam. Berikut ini gambaran umum masing-masing usaha pertanian tanaman pangan, kelapa sawit, karet, perikanan dan peternakan di kabupaten Kampar. (1) Pertanian Tanaman Pangan Menurut BPS Kampar (2007), pertanian tanaman pangan yang diusahakan di kabupaten Kampar meliputi: padi sawah, ladang, palawija, sayur-sayuran dan buah-buahan. Pada Tabel 1(lampiran), disajikan luas panen padi sawah pada tahun 2006 yaitu 5.625 hektar dengan produksi sebesar 22.889,32 ton dan tingkat produktivitas rata-rata 4,069 ton/ha. Padi ladang, luas panen 3637 hektar dengan produksi 8769,63 ton dan tingkat produktivitas 2,41 ton/ha. Tingkat produktivitas padi sawah dan padi ladang ini, masih rendah dibandingkan produksi maksimum yang dapat dicapai. Menurut BPS Kampar (2007), kondisi palawija (Tabel 2 Lampiran) adalah: jagung luas panen 1.504 hektar, produksi 5 827,96 ton dan tingkat produktivitas 3,76 ton/ha; ubi kayu 1004 hektar, produksi 15255,63 ton dan tingkat produktivitas 15,20 ton/ha; ubi jalar 215 hektar, produksi 2010,70 ton dan tingkat produktivitas 9,35 ton/ha; kacang tanah 643 hektar, produksi 1050,42 ton dan tingkat produktivitas 1,63 ton/ha; kedelai 343 hektar, produksi 504,33 ton dan tingkat produktivitas 1,47 ton/ha dan kacang hijau luas panen 256 hektar, produksi 308,40 ton dan tingkat produktivitas 1,21 ton/ha. Salah satu faktor penyebab sulitnya peningkatan pendapatan petani khususnya tanaman pangan adalah tingginya vegetasi. Dibutuhkan biaya produksi tinggi untuk menekan pertumbuhan gulma, khususnya gulma berdaun sempit (rumput teki). Kondisi ini yang membuat lahan berubah fungsi dari tanaman pangan ke komoditi lain Kantor Informasi Penyuluhan Kampar, 2007). Selain palawija, luas panen, produksi dan tingkat produktivitas sayuran menurut kecamatan di kabupaten Kampar disajikan pada Lampiran 3. Sayuran
98
yang dominan ditanam di kabupaten Kampar meliputi: kacang panjang, cabe, terung, ketimun, kangkung, bayam dan ada juga perio, pitulo dan labu siam. Buah-buahan yang terdapat di kabupaten Kampar adalah: mangga, rambutan, duku, langsat, jeruk siam, durian, jambu, pisang, pepaya, nenas, alpokat dan sawo. (2) Perkebunan Tanaman perkebunan merupakan salah satu primadona komoditi perdagangan di kabupaten Kampar antara lain: karet, kelapa, kelapa sawit, kopi dan lain-lain. Menurut BPS Kampar (2007), luas areal tanaman perkebunan di kabupaten Kampar 228825 hektar. Berdasarkan luas tersebut, 60,83 persen adalah lahan sawit; 35,68 persen karet; 1,98 persen gambir dan 1,51 persen lainnya. Jadi, umumnya perkebunan yang paling luas dikembangkan di kabupaten Kampar adalah komoditi sawit. Berdasarkan luas areal perkebunan ini, tanaman belum menghasilkan (TBM) adalah 20,23 persen; tanaman menghasilkan (TM) adalah 74,25 persen dan tanaman tua rusak (TTR) adalah 5,52 persen. Luas panen, produksi dan produktivitas tanaman perkebunan rakyat menurut kecamatan di Kabupaten Kampar, disajikan pada Tabel 4 Lampiran. Pada Tabel tersebut, terlihat produktivitas dari luas kebun keseluruhan perkebunan (yang terdiri dari tanaman belum menghasilkan, tanaman menghasilkan dan tanaman tua rusak) yaitu: sawit 0,58 ton/ha; karet 0,51 ton/ha; kelapa 0,68 ton/ha dan gambir 0,35 ton/ha (BPS Kampar, 2007). Produktivitas perkebunan kelapa sawit dan karet ini juga tergolong rendah (belum maksimal). Pola pengembangan perkebunan rakyat di kabupaten Kampar dilakukan melalui pola swadaya, pola UPP (Unit Pelayanan Pengembangan) dan Pola PIR (PIR-BUN dan PIR - Kemitraan). Pola perkebunan besar dilaksanakan melalui pola PIR dan pola PPB – HGU oleh perusahaan swasta/BUMN (BPS Kampar, 2007). (3) Peternakan Menurut BPS Kampar (2007), kabupaten Kampar merupakan salah satu daerah penghasil ternak di propinsi Riau, khususnya untuk ternak besar (sapi dan kerbau. Di kabupaten Kampar terdapat 10264 ekor sapi, 21.555 ekor kerbau dan 16.655 ekor kambing/domba. (Tabel 5 Lampiran).
99
Selain ternak besar, di kabupaten Kampar juga dihasilkan ternak unggas. Pada Tabel 6 Lampiran disajikan jumlah ternak unggas (ekor) menurut jenis dan BIP/Kecamatan di kabupaten Kampar pada tahun 2006. Pada tabel tersebut terlihat bahwa jumlah populasi ayam buras 1077665 ekor, itik 21797 (ekor dan ayam petelur 33687 ekor (produksi telurnya 2021220 butir)
dan ayam ras
pedaging populasinya berjumlah 9683457 ekor (BPS Kampar, 2007). (4) Perikanan Menurut BPS (2007), jumlah produksi perikanan di kabupaten Kampar adalah 16.023,63 ton ikan air tawar, yang ditangkap dari perairan umum 6,06 persen dan budi daya 93,94 persen. Produksi ikan melalui budidaya dilakukan melalui kolam dan keramba. Pada Tabel 7 Lampiran disajikan jumlah kolam dan keramba di kabupaten Kampar pada tahun 2006. Selain produksi ikan segar, di kabupaten Kampar juga diproduksi ikan olahan yang disebut ikan salai (ikan air tawar segar yang disalai di atas bara api). Ikan salai ini juga diekspor sampai ke negara tetangga (Malaysia, Singapur dan lain-lain). Jenis ikan air tawar segar yang diolah (disalai) adalah ikan: Jambal, Gabus, Sepat, Patin, Tambakan dan lain-lain. Profil Kelembagaan Penyuluhan Pertanian (1) Kelembagaan Penyuluh Berdasarkan Peraturan Daerah nomor 33 tahun 2001 (KIP Kampar, 2007), unit kerja pemerintah daerah kabupaten Kampar yang mempunyai tugas pokok menyelenggarakan
urusan
pemerintah
di
bidang
informasi
penyuluhan
pemerintahan dan pembangunan dalam segala bidang (termasuk bidang pertanian) adalah Kantor Informasi Penyuluhan
(KIP), yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Bupati. Sampai dengan penelitian ini dilangsungkan, lembaga ini lebih dominan bekerja di bidang pertanian. KIP mempunyai fungsi sebagai berikut: (1) Melaksanakan pengkajian, perencanaan, koordinasi, perumusan kebijakan tekhnis di bidang informasi, komunikasi, penyuluhan pertanian. (2) Menyediakan data dan rekomendasi informasi pertanian. (3) Pelayanan tekhnis di bidang informasi dan komunikasi pertanian.
100
Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, KIP kabupaten Kampar mempunyai 12 Balai Informasi Penyuluhan (BIP). Pada tahun 2006 dilakukan pemekaran sehingga menjadi menjadi 19 BIP. BIP sebagai instalasi dan sekaligus sebagai institusi KIP dalam menyelenggarakan penyuluhan pertanian di kecamatan dan desa. Pada Tabel 16, disajikan daftar BIP, jumlah desa binaan dan jumlah tenaga penyuluh pertanian lapang (PPL) yang bertugas di desa tersebut. (2) Sumberdaya Penyuluh KIP kabupaten Kampar dalam mengemban tugas pokok dan fungsinya, mempunyai 197 orang penyuluh pertanian dan pembangunan yang tersebar pada 19 kecamatan/Balai Informasi Penyuluhan yang mempunyai pangkat, golongan, tingkat pendidikan tertinggi berbeda.
Tingkat pendidikan penyuluh pertanian
masih didominasi tingkat SLTA sejumlah 85 orang (43,59 persen); tingkat D3 sejumlah 56 orang (28,72 persen) dan S1 sejumlah 54 orang (27,70 persen) (KIP Kampar,2007). Menurut KIP Kampar (2007), jumlah penyuluh pertanian menurut golongan kepangkatan adalah: Golongan III adalah 43,21 persen; Golongan II 39,59 persen dan berstatus honorer 13,20 persen. Berdasarkan jabatan fungsionil penyuluh pertanian terdiri dari:
Penyuluh Ahli 12,18 persen dan Penyuluh
Terampil 74,62 persen. Tenaga honorer 13,20 persen. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Koordinator Pengawasan dan Pengembangan Pendayagunaan Aparatur Negara (Menkowasbangpan) nomor 19/KEP/MK. Waspan/5/1999, bahwa pendidikan minimal penyuluh adalah D3 atau setara D3, Sebagai tindak lanjut dari SK Menkowasbangpan tersebut dan konsekuensi dari pengembangan karir penyuluh, maka tahun 2003 ada beberapa orang penyuluh yang mengikuti pendidikan D3 di Medan dan D3 di Bogor, yang dibiayai oleh pemerintah dan ada beberapa orang yang mengikuti pendidikan S1 dan S2 di beberapa perguruan tinggi di Riau dengan biaya sendiri. Kelompok fungsional penyuluh dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu:
Penyuluh
Pertanian Ahli dengan pendidikan dasarnya Sarjana dan Penyuluh Pertanian Terampil dengan pendidikan dasarnya D3 (KIP Kampar, 2007). Menurut KIP Kampar (2007), jumlah penyuluh pertanian menurut golongan kepangkatan adalah: Golongan III adalah 43,21 persen; Golongan II
101
39,59 persen dan berstatus honorer 13,20 persen. Berdasarkan jabatan fungsionil penyuluh pertanian terdiri dari:
Penyuluh Ahli 12,18 persen dan Penyuluh
Terampil 74,62 persen. Tabel 16. Daftar Balai Informasi Penyuluhan, Jumlah Desa Binaan dan Jumlah Penyulun Pertanian di Kabupaten Kampar, Propinsi Riau
No.
Nama Balai Informasi Penyuluhan
Jumlah Desa Binaan
Jumlah Penyuluh Pertanian Pembangunan (Wilayah Pembinaan)
1
BIP Kecamatan Bangkinang Seberang
9
9
2
BIP Kecamatan Salo
6
6
3
BIP Kecamatan Tambang
14
9
4
BIP Kecamatan Bangkinang Barat
8
6
5
BIP Kecamatan Kampar
12
8
6
BIP Kecamtan Kampar Utara
8
5
7
BIP Kecamatan Kampar Timur
6
5
8
BIP Kecamatan Bangkinang
5
4
9
BIP Kecamatan Rumbio Raya
6
6
10
BIP Kecamatan Siak Hulu
12
6
11
BIP Kecamatan Tapung Hilir
7
6
12
BIP Kecamatan Kampar Kiri
7
3
13
BIP Kecamatan Kampar Kiri Hilir
8
6
14
BIP Kecamatan Kampar Kiri Hulu
9
8
15
BIP Kecamatan Kampar Kiri Tengah
10
6
16
BIP Kecamatan Tapung
9
8
17
BIP Kecamatan Gunung Sahilan
4
2
18
BIP Kecamatan XIII Koto Kampar
19
13
19
BIP Kecamatan Tapung Hulu
6
5
165
121
Jumlah
Sumber: Kantor Informasi Penyuluhan Kampar, 2007 Keterangan: Kecamatan yang diarsir adalah kecamatan sampel
102
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Koordinator Pengawasan dan Pengembangan Pendayagunaan Aparatur Negara (Menkowasbangpan) nomor 19/KEP/MK. Waspan/5/1999, bahwa pendidikan minimal penyuluh adalah D3 atau setara D3, Sebagai tindak lanjut dari SK Menkowasbangpan tersebut dan konsekuensi dari pengembangan karir penyuluh, maka tahun 2003 ada beberapa orang penyuluh yang mengikuti pendidikan D3 di Medan dan D3 di Bogor, yang dibiayai oleh pemerintah dan ada beberapa orang yang mengikuti pendidikan S1 dan S2 di beberapa perguruan tinggi di Riau dengan biaya sendiri. Kelompok fungsional penyuluh dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu: Penyuluh Pertanian Ahli dengan pendidikan dasarnya Sarjana dan Penyuluh Pertanian Terampil dengan pendidikan dasarnya D3 (KIP Kampar, 2007). Kelembagaan Petani Kelembagaan utama dikalangan petani adalah kelompok tani yang berfungsi sebagai wadah untuk belajar-mengajar, wadah bekerjasama antar petani dan antar kelembagaan agribisnis lainnya. Menurut KIP Kampar (2007), pada tahun 2004 jumlah kelompok tani di kabupaten Kampar adalah 1224 kelompok, yang terdiri dari: 44,93 persen kelompok Pemula; 33,25 persen kelompok Lanjut; 6,05 persen Madya; 0,49 persen kelompok Utama dan 15,28 persen kelompok yang belum dikukuhkan (Tabel 17). Berdasarkan pengamatan peneliti, dalam realitanya tidak terdapat perbedaan yang nyata kemampuan dan dinamika diantara kelompok-kelompok berdasarkan kelas kemampuan tersebut, kecuali ada satu kelompok ternak sapi yang dinamika kelompoknya lebih baik dari kelompok-kelompok lain. Kelompok ternak sapi tersebut, telah mampu memelihara sapi secara berkelompok dan telah mampu melakukan pembagian kerja dan keuntungan dengan baik.
Anggota
kelompok merasakan manfaat berkelompok. Selain kelompok tani, dalam pembinaan masyarakat menurut pola Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani Nelayan Kecil (P4K), juga ada Kelompok Petani Nelayan Kecil (KPK). Pengembangan permodalan bagi KPK dan GKPK bersal dari APBD Kampar dalam bentuk dana bergulir yang disalurkan melalui bank.
103
Tabel 17. Jumlah Kelompok Tani Menurut Kelas Kemampuan Kelompok Tani di Kabupaten Kampar, Propinsi Riau Jumlah Kelompok Tani
Jumlah Kelas Kemampuan Kelompok Tani Pemula
Lanjut
Madya
Utama
31 (100) 47 (100)
29 (93,55) 46 (97,87)
2 (6,45) 1 (2,13)
-
-
Belum Dikukuhkan -
-
-
-
40 (100) 43 (100) 20 (100) 113 (100) 44 (100) 35 (100) 58 (100) 39 (100) 62 (100) 11 (100) 98 (100)
34 (85,00) 16 (37,21) 8 (40,00) 68 (60,18) 30 (46,67) 13 (37,14) 35 (60,34) 3 (7,70) 45 (72,58) 9 (81,82) 28 (28,57)
5 (12,5) 21 (48,84) 12 (60,00) 31 (27,43) 12 (31,11) 14 (40,00) 19 (32,76) 1 (2,56) 17 (27,42) 2 (18,18) 46 (46,94)
-
-
-
-
-
-
-
2 (1,77) 2 (4,44) 4 (11,43) 4 (6,90) 4 (10,26) -
-
12 (10,62) -
52 (100) 30 (100)
5 (9,62) 3 (10,00)
16 Rumbio Jaya
56 (100)
17 Kampar Utara 18 Tambang
Kecamatan 1 Kampar Kiri 2 Kampar Kiri Hulu 3 Kampar Kiri Hilir 4 Kampar Kiri Tengah 5 Gunung Sahilan 6 XIII Koto Kampar 7 Bangkinang Barat 8 Salo 9 Tapung 10 Tapung Hulu 11 Tapung Hilir 12 Bangkinang 13 Bangkinang Seberang 14 Kampar 15 Kampar Timur
19 Siak Hulu 20 Perhentian Raja Jumlah
1 (2,50) 6 (13,95)
-
-
31 (79,48) -
-
-
6 (6,12)
-
18 (18,37)
27 (51,92) 23 (76,67)
18 (34,61) 4 (13,33)
-
2 (3,85)
-
-
10 (17,86)
40 (71,43)
6 (10,71)
-
-
29 (100)
6 (20,69)
19 (65,52)
4 (13,79)
-
-
99 (100) 62 (100) 41 (100) 1010 (100)
61 (61,62) 43 (69,35) 32 (78,05) 524 (51,88)
11 (11,11) 4 (6,45) 1 (12,44) 308 (30,49)
-
-
61 (6,04)
-
4 (11,43) -
-
27 (27,27) 15 (24,19) 8 (19,51) 117 (11,58)
Sumber: BPS Kampar, 2007 (data diolah) Keterangan: Kecamatan yang diarsir adalah kecamatan sampel.
104
Karakteristik Petani Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 18), secara keseluruhan petani responden (petani tanaman pangan, petani kelapa sawit, petani karet, petani ikan dan petani ternak) berada pada usia produktif, rataan 40 tahun dan modus 38 tahun. Pada tabel tersebut terlihat bahwa usia petani (nilai rataan) pada masingmasing petani dengan komoditi unggulan yang berbeda, yaitu berkisar antara 37 sampai 41 tahun Tabel 18. Karakteristik Petani (X1) di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau (Skor Rataan)
Peubah
X11 Umur (tahun) X12 Pendidikan Formal (Jumlah tahun sekolah) X13 Pendidikan Non Formal (Jumlah hari mengikuti)
Petani Keseluruhan (n = 300) Mean Modus
Petani Petani Petani Petani Petani Tanaman Kelapa Ternak Karet Ikan Sawit Pangan (n = 60) (n= 60) (n =60) (n = 60) (n = 60)
40
38
41
40
37
41
41
9
9
10
10
9
9
9
7
0
12
12
7
4
4
66
60
59
13
13
X13 Pendidikan Informal (skor hasil transformasi)
62
-
67
58
X14 Pengalaman Beragribisnis X14 (tahun)
13
10
14
12
14
Tingkat pendidikan formal petani secara keseluruhan rataan dan modus adalah 9 tahun atau setara dengan tamat Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP). Petani tanaman pangan dan kelapa sawit lama pendidikan formalnya tertinggi yaitu 10 tahun, sedangkan petani karet, petani ternak dan petani ikan lama pendidikan formal 9 tahun. Berdasarkan analisis data, tingkat pendidikan tertinggi
105
petani responden adalah sarjana (S1) dan terendah adalah kelas IV Sekolah Dasar. Hal ini, menunjukkan bahwa petani responden tidak ada yang buta huruf. Petani tanaman pangan dan petani kelapa sawit memperoleh tingkat pendidikan non formal (lama kursus/pelatihan agribisnis yang pernah diikuti), tertinggi, yaitu rataan 12 hari, dikuti oleh petani karet 7 hari, petani ikan dan ternak 4 hari. Berdasarkan analisis data dari seluruh petani, tingkat pendidikan non formal petani terendah adalah tidak pernah mengikuti pendidikan non formal (0 hari) dan tertinggi adalah pernah mengikuti kursus/pelatihan selama 74 hari, rataan 7 hari dan modus 0 hari.
Ternyata jumlah petani yang tidak pernah
mengikuti kursus tani/pelatihan (0 hari) adalah yang paling banyak yaitu 48,2 persen (hal ini yang menyebabkan nilai modus berbeda jauh dengan nilai rataan). Melalui hasil analisis data ini ternyata tingkat pendidikan non formal petani (mengikuti kursus/pelatihan petanian) masih sangat rendah, yaitu rataan 7 hari. Kenyataan rendahnya tingkat pendidikan non formal petani ini, hendaknya menjadi perhatian oleh pemerintah untuk meningkatkan akses petani ternadap pendidikan non formal untuk meningkatkan keberdayaan petani. Pendidikan non formal yang diikuti petani diselenggarakan oleh pemerintah daerah melalui dinas-dinas terkait (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura; Dinas Perkebunan dan Dinas Peternakan) bekerjasama dengan Kantor Informasi Penyuluhan Kabupaten Kampar.
Selain dari pemerintah,
pendidikan non formal (pelatihan) juga diperoleh petani kelapa sawit dan petani ternak yang diberikan secara berkala oleh Perusahaan Inti (pada pola kemitraan perkebunan dan peternakan). Petani tanaman pangan memperoleh pendidikan non formal hanya melalui pemerintah saja. Berkaitan dengan pendidikan non formal ini, lima tahun terakhir pemerintah kabupaten Kampar telah memberikan perhatian terhadap pendidikan non formal bagi petani dengan memiliki Pusat Pelatihan Pertanian Kubang. Melalui Pusat Pelatihan ini petani diberikan kursus/pelatihan agribisnis. Permasalahannya, petani yang telah diikutsertakan jumlahnya masih sangat terbatas (lebih banyak diikuti kontak tani dan pengurus kelompok).
106
Pendidikan informal adalah pendidikan yang diperoleh seseorang melalui keluarga, lingkungan tempat tinggal, lingkungan kerja, membaca koran, mendengar berita, menonton televisi, dan lain-lain. Petani tanaman pangan dan petani karet lebih banyak memperoleh pendidikan informal dibandingkan dari petani yang lain. Pengalaman beragribisnis petani tanaman pangan dan petani karet lebih banyak mereka peroleh dari keluarga secara turun temurun, kerabat dan teman-teman petani. Pengalaman petani beragribisnis rataannya 13 tahun dan modus 10 tahun. Pengalaman petani beragribisnis ini bervariasi dari 1 tahun sampai 36 tahun dan modus 10 tahun (hal ini yang menyebabkan nilai modus berbeda dengan rataan, karena pengalaman peragribisnis memiliki rentang yang jauh yaitu 1 dengan 36 tahun, sementara yang paling banyak petani berpengalaman selama 10 tahun). Jika dibandingkan diantara petani, petani tanaman pangan rataan pengalaman beragribisnisnya paling lama yaitu 14 tahun dan terendah petani kelapa sawit yaitu 12 tahun. Hal ini disebabkan karena komersialisasi usaha perkebunan kelapa sawit berkembang pesat di kabupaten Kampar sekitar tahun 1990-an. Berdasarkan daerah asal, petani terdiri dari petani eks transmigrasi (PIR dan Non PIR), petani lokal dan pendatang (berasal dari Lampung, Sumatra Utara dan pulau Jawa).
Selama bertahun-tahun petani ini telah berbaur dalam
kehidupan bersama dengan petani dari daerah setempat (Melayu). Dominannya perkebunan (sawit dan karet) di Kampar dan untuk mencukupi kebutuhan pangan, pemerintah daerah membuat kebijakan mengembangkan komoditi selain sawit, khususnya tanaman pangan dan hortikultura, yaitu pembukaan lahan untuk padi gogo, jagung dan buah-buahan (salak pondoh, manggis dan sebagainya). Kebijakan ini harus diimbangi dengan meningkatkan kapasitas dan petani mampu menyelenggarakan agribisnis tanaman pangan yang intensif, efisien dan menguntungkan. Dampaknya, pendapatan petani tanaman pangan tidak kalah dibandingkan pendapatan petani kelapa sawit atau lainnya. Sebelumnya, pendapatan petani kelapa sawit yang lebih tinggi yang menyebabkan petani mengalihkan kegiatannya ke agribisnis kelapa sawit.
107
Profil dan Permasalahan Petani Beragribisnis Petani responden tanaman pangan, terdiri dari petani yang mengusahakan secara komersil dan semi komersil komoditi cabe; sayuran lainnya (kacang panjang, mentimun, kangkung darat, selada, dan lain-lain); plawija (jagung, jagung manis, dan lain-lain); padi dan salak pondoh. Komersialisasi tanaman pangan ini awalnya adalah pada tanaman cabe keriting dan diikuti dengan mengusahakan jenis tanaman lain. Agribisnis salak pondoh, baru dilakukan oleh sebagian kecil petani (lebih kurang 10 orang petani saja). Petani responden kelapa sawit terdiri dari 90 persen petani plasma (pola Perkebunan Inti Rakyat atau PIR) dan petani 10 persen swadaya (Non PIR). Petani plasama (pada pola PIR) terdiri dari petani masih dalam masa konversi sejumlah 60 persen dan yang telah selesai masa konversinya sejumlah 40 persen. Pada pola PIR, perusahaan inti terdiri dari perusahaan Perkebunan Besar Swasta dan perkebunan besar yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dikenal dengan PT. Perkebunan Nusantara atau PTPN. Petani karet adalah seratus persen perkebunan karet rakyat dan tanpa pola kemitraan, yang pada umumnya turun temurun dari orang tua. Patani karet ini 85 persen adalah penduduk asli dan hanya sekitar 15 persen pendatang (petani dari pulau Jawa dan Lampung). Petani ikan adalah petani yang megusahakan budidaya ikan air tawar melalui kolam maupun keramba. Petani ikan ini juga seratus persen petani rakyat tanpa ada pola kemitraan. Petani ikan ini umumnya menjual produksinya berupa ikan segar dan sebagian kecil disamping menjual ikan segar juga menjual ikan salai (ikan segar yang sudah diolah melalui pengasapan). Petani responden ternak terdiri dari 90 persen petani yang mengusahakan ternak unggas (ayam ras pedaging) dan 10 persen terdiri dari petani ternak ruminansia (ternak sapi dan domba). Petani ternak ayam ras pedaging terdiri dari 90 persen petani peserta PIR dan 10 persen Non PIR. Peternak sapi dan domba adalah peternak biasa (swadaya) dengan bantuan permodalan dari pemerintah daerah (program ekonomi kerakyatan). Permasalahan petani beragribisnis per komoditi unggulan disajikan pada Tabel 19 (hasil penelitian ini diperoleh melalui focus group dicussion).
108
Karakteristik Sistem Sosial Secara keseluruhan karakteristik sistem sosial petani berada pada kategori “rendah” (Tabel 20). Artinya,
karakteristik sistem sosial belum mendukung
kemandirian petani beragribisnis.
Pada Tabel 20 ternyata aspek “fasilitasi
agribisnis oleh lembaga swasta termasuk kategori “tinggi”. Hal ini terlihat dari dukungan kelembagaan swasta tsehingga petani kelapa sawit sehingga petani akses terhadap sarana produksi, pemasaran dan pengolahan hasil. Petani kelapa sawit berhimpun dalam wadah koperasi untuk memasarkan produksi, disamping itu pasar komoditi sawit lebih terjamin dibanding komoditi lain. Nilai-nilai sosial budaya Nilai-nilai sosial budaya pada petani tanaman pangan; petani kelapa sawit dan petani ternak termasuk kategori “rendah,” Berdasarkan interpretasi terhadap hasil analisis data dan pengamatan berpartisipasi di lapangan, makna nilai-nilai sosial budaya termasuk kategori “rendah” dijelaskan sebagai berikut: (1) Petani tanaman pangan; petani kelapa sawit, petani karet, petani ikan dan petani ternak (terutama petani ternak besar yaitu petani ternak sapi dan domba) kurang inovatif. Hal ini disebabkan karena kurangnya akses petani terhadap informasi dan inovasi, serta masih belum berani menanggung resiko. Walaupun demikian, petani memiliki kebutuhan untuk maju dan berkembang. Terbukti dari antusias mereka menanyakan berbagai hal untuk kemajuan agribisnisnya. kurangnya
fasilitasi
Namun karena kurangnya pendampingan dan
oleh
penyuluh
untuk
pemenuhan
kebutuhan
pengembangan kapasitas, mereka berhenti sampai sekedar antusias. Selain itu, petani akan mengadopsi suatu inovasi jika: akses terhadap sarana produksinya, melihat nyata keuntungan yang akan diperoleh, akses terhadap modal dan mengetahui atau menguasai teknis budidaya dan pemasarannya. Dalam hal ini, tenaga penyuluh harus aktif dan mampu memfasilitasi petani untuk akses terhadap informasi dan inovasi, memenuhi kebutuhan pengembangan kapasitas serta menumbuhkan sikap motivasi yang tinggi untuk meraih prestasi dan berani menanggung resiko. Pada petani ternak
109
unggas, karena berkerjasama denga perusahaan inti, sudah lebih inovatif dalam hal meningkatkan produktivitas. Pada minggu-minggu pertama dari program kemitraan, petani ternak memperoleh pendampingan dan bimbingan teknis dari perusahaan inti.
Namun intensitas bimbingan ini, kurang
berlanjut dengan baik dengan berjalannya waktu atau tidak sesuai lagi dengan perjanjian. Tabel 20. Karakteristik Sistem Sosial (X2) di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau (Skor Rataan)
Nama Peubah X2 Karakteristik Sistem Sosial X21 Nilai-nilai Sosial Budaya X22 Sistem Kelembagaan Petani X23 Dukungan tenaga ahli, kelembagaan lit-luh X24 Fasilitasi Agribisnis oleh Pemerintah X25 Fasilitasi Agribisnis oleh Swasta X26 Kepemimpinan Lokal
Petani Keseluruhan (n=300)
Petani Pangan (n = 60)
62
62
63
Petani Kelapa Sawit (n = 60)
Petani Karet (n = 60)
Petani Ikan (n = 60)
Petani Ternak (n =60)
63
61
61
62
64
64
62
62
62
60
59
63
57
58
62
61
60
60
59
61
63
64
65
64
64
63
66
63
59
71
58
64
66
58
59
60
58
57
57
Keterangan: Kategori penilaian: 0 - ≤ 49 = sangat rendah; 50 - ≤ 69 = rendah; 70 – ≤ 85 = tinggi dan 85 – ≤ 100 = sangat tinggi (2) Masyarakat petani terdiri dari pembauran antara masyarakat Melayu (penduduk asli) dengan masyarakat pendatang (suku Jawa, Sunda dan Batak).
Adanya hal seperti ini menyebabkan telah terjadi pembauran
(asimilasi) kebudayaan. Suku Jawa yang dikenal rajin dan tekun di bidang pertanian mulai dicontoh oleh masyarakat Melayu. Sebaliknya, perkebunan kelapa sawit yang pemeliharaannya kurang intensif dibandingkan tanaman
110
pangan dan ternak, membuat petani menjadi terbiasa santai (kurang tekun), sikap ini terbawa pada petani yang berasal dari suku Jawa (yang biasanya lebih rajin). Sehingga, secara keseluruhan masyarakat petani masih kurang ulet dan tekun.
Hal ini ditandai oleh masyarakat petani belum banyak
memanfaatkan waktu luang dan lahan tidur untuk kemajuan agribisnisnya. Seharusnya, petani melakukan diversifikasi tanaman dan ternak untuk memanfaatkan waktu luang dan lahan tidur.
Petani kelapa sawit dapat
memanfaatkan lahannya untuk memelihara ternak dan ikan di atas lahan sawitnya. Peternak dapat mengusahakan tanaman pangan untuk membantu ketersediaan pakan ternak dan pemanfaatan kotoran ternak untuk kesuburan lahan tanaman pangannya. Usahatani terpadu (integrated farming system), seharusnya dikembangkan petani, untuk memperoleh kemanfaatan lebih dalam hal pendapatan dan mengurangi resiko kelebihan dan kegagalan panen (jika hanya mengusahakan pada satu komoditi saja). (3) Di kabupaten Kampar, khusus untuk pertanian padi sawah, sejak dahulu telah ada budaya gotong royong atau kebersamaan dalam mengolah tanah, yang disebut “Batobo”.
Kebudayaan ini memudar setelah masuknya “hand
tracktor”. Nilai-nilai gotong royong ini merupakan “social capital” yang harus dipertahankan, ditumbuhkan dan dipupuk kembali.
Nilai-nilai ini
dapat ditumbuhkan kembali melalui kegiatan kebersamaan petani dalam panen padi, pemeliharaan saluran irigasi, pemberantasan hama dan penyakit dan lain-lain. Nilai-nilai kegotongroyongan ini seharusnya juga diterapkan tidak hanya pada petani padi tetapi juga diterapkan pada petani lainnya. Sistem Kelembagaan Petani Secara keseluruhan sistem kelembagaan petani “rendah.”
termasuk kategori
Berdasarkan hasil analisis data dan pengamatan berpartisipasi
dilapangan, sistem kelembagaan petani yang rendah dijelaskan sebagai berikut: (1) Kelembagaan petani (kelompok tani) masih tumbuh atau dibentuk berdasarkan kepentingan dan oleh pemerintah, karena program pemerintah petani harus berkelompok. Selain dari hasil analisis data dan pengamatan di lapangan, hal ini dapat dilihat dari SK Menteri Pertanian No.93 Tahun 1997. 111
Berdasarkan SK tersebut kriteria keberhasilan penyuluh adalah: Minimal 30 persen jumlah petani di wilayah kerjanya telah bergabung dan aktif dalam kelompok. Berdasarkan interpretasi data dan pengamatan dilapangan banyak kelompok tani tidak aktif, karena petani belum merasakan manfaat kelompok tersebut. Jikapun ada manfaat hanya dirasakan sebagian kecil anggota (elite) kelompok. Kelompok belum optimal dapat menampung dan menyalurkan aspirasi anggota dan kelompok belum dikelola secara terbuka dan demokratis (contohnya, masalah bantuan yang diterima kelompok, utusan kelompok mengikuti kegiatan di luar kelompok dan lain-lain). (2) Kelompok tani pada umumnya sudah ada kepengurusan yang jelas, permasalahannya pengurus kelompok belum aktif. (3) Kelompok tani belum mampu membuat dan mematuhi aturan kelompok secara baik dan belum mampu memberikan sanksi secara efektif terhadap anggota. (4) Kelembagaan lokal selain kelompok tani yang tumbuh di lingkungan petani adalah, kelompok-kelompok kecil (klik). Klik-klik ini terbentuk spontanitas berdasarkan kepentingan beberapa orang petani (6 sampai 8 orang petani). Mereka mempunyai kepentingan bersama, misalnya dalam hal belajar bersama (mengatasi permasalahan usahatani, seperti hama dan penyakit; pemupukan; pemasaran bersama dan lain-lain). Klik-klik ini cukup langgeng dan lebih dirasakan manfaatnya oleh petani. (5) Sistem kelembagaan petani kelapa sawit relatif berjalan lebih baik dibandingkan dengan petani lain. Kelembagaan kelompok tani pada petani kelapa sawit sudah memberikan manfaat kepada petani dalam hal pemasaran hasil produksi. Kelompok tani bekerjasama dengan lembaga koperasi (Unit Usaha Otonom) dalam memasarkan tandan buah segar (TBS) ke pabrik kelapa sawit (PKS). Petani tidak kesulitan dalam memasarkan produksinya dengan adanya kerjasama kelompok tani dengan lembaga koperasi. Pada pertemuan kelompok, juga sering dibahas masalah-masalah teknis budidaya lainnya. Permasalahannya, kelompok masih kurang akses terhadap informasi
112
dan inovasi dan kerjasama dalam hal lain (pengadaan sarana produksi dan proses produksi, dan lain-lain) masih kurang baik Berikut ini penuturan seorang petani tanaman pangan, tentang keberadaan kelompok, disaksikan oleh beberapa orang petani lain:
Setiap ada kegiatan-kegiatan mengikuti pelatihan (kursus tani), kunjungan keluar daerah (ke pulau jawa, ke Bangkok, acara-acara lain), menerima bantuan untuk usahatani dan lain-lain, selalu yang dipilih ketua atau pengurus kelompok tani. Seharusnya, dimusyawarahkan dalam kelompok, dipilih sesuai dengan kepentingan kemajuan usahatani kita. Jangan orangnya itu-itu aja! Selain itu, kelompok tani sibuk kalau ada kunjungan dari pejabat. Tapi hari-hari biasa, kelompok sering tidak jalan atau tidak ada kegiatan. Sering juga pengurus kelompok tidak terbuka, apalagi berkaitan dengan bantuan dari pemerintah. Kadang sering berkelahi. Saya merasa kelompok tani belum memberikan manfaat yang berarti buat kemajuan usahatani saya. Saya lebih merasakan manfaat kelompok kecil kami ini. Anggotanya hanya 6-7 orang. Kami selau belajar bersama, mengatasi persoalan bersama, bahkan kami memasarkan hasil pertanian kami bersama. Kami juga pernah memasarkan buah melon kami ke super market.
Dukungan Tenaga Ahli, Kelembagaan Penelitian dan Penyuluhan Sumber informasi dan inovasi petani antara lain adalah: penyuluh dan kelembagaannya; Balai Penelitian dan Pengkajian; perguruan tinggi; lembaga swasta, media cetak dan elektronik serta sesama petani. Secara keseluruhan, dukungan tenaga ahli, kelembagaan penelitian dan penyuluhan (akses petani terhadap informasi dan inovasi) termasuk kategori ”rendah.” Hal ini disebabkan, petani
kurang
akses
terhadap
sumber
informasi
yaitu
penyuluh
dan
kelembagaannya; hasil-hasil penelitian dan kelembagaannya; serta masih kurangnya peran media massa cetak dan elektronik terhadap informasi di bidang pertanian. Secara spesifik, hal ini dijelaskan sebagai berikut: (1) Masyarakat petani kurang akses terhadap kegiatan penyuluhan pertanian. Hal ini kenyataan masih sulit petani menemui penyuluh dan kegiatan penyuluhan belum intensif. Penyuluh lebih sering mengadakan pertemuan sesama penyuluh di kantor dari pada melakukan kegiatan penyuluhan di lapangan.
113
(2) Petani belum sepenuhnya dibantu penyuluh dalam penyelesaian masalah yang ditemui petani. (3) Petani kurang akses terhadap tenaga ahli dari lembaga penelitian dan lembaga perguruan tingi. (4) Petani kurang akses terhadap hasil-hasil penelitian. (5) Lembaga penelitian kurang melakukan kerjasama dengan petani dalam menemukan, mencoba ide/teknlogi pertanian. (6) Media massa baik media cetak dan elektronik, masih kurang memuat informasi pertanian. Pada petani peserta PIR peternakan (khususnya PIR unggas),
dalam
perjanjian kerjasama kemitraannya, petani dikunjungi tenaga ahli dari perusahaan inti sekali dalam seminggu untuk mendapatkan penjelasan tentang teknik budidaya peternakan yang mereka geluti. Kenyataannya, kunjungan tenaga teknis dari perusahaan inti ini tidak lagi intensif (tidak sesuai lagi dengan perjanjian kerjasama). Berdasarkan urutan sumber informasi dan inovasi petani, tiga kelompok petani (petani tanaman pangan, dan petani karet dan petani ikan (rataan 85 persen petani) sumber informasi dan inovasi pertama mereka adalah dari sesama petani; kedua adalah dari lembaga pemerintah yaitu penyuluh dan dari dinas-dinas terkait, dan ketiga adalah dari swasta (yaitu perusahaan yang meperkenalkan produk mereka seperti benih, pupuk, zat pengatur tumbuh, dan sebagainya). Pada petani kelapa sawit dan petani ternak unggas (rataan 73 persen petani), sumber pertama informasi dan inovasi adalah perusahaan inti; sumber informasi dan inovasi kedua adalah sesama petani, dan sumber informasi dan inovasi yang ketiga adalah lembaga pemerintah (penyuluh dan dinas terkait). Informasi dan inovasi mereka peroleh ketika menjadi petani plasma. Pada petani ternak unggas peserta PIR, (87 persen petani) sumber informasi dan inovasi pertama adalah perusahaan inti; yang kedua adalah sesama petani dan ketiga adalah lembaga pemerintah (penyuluh dan dinas terkait). Pada petani ternak besar (sapi dan domba) sejumlah 79 persen sumber informasi dan inovasi pertama mereka adalah sesama petani; kedua lembaga pemerintah (penyuluh dan dinas
terkait),
dan
ketiga
adalah
lembaga
swasta
(perusahaan
yang
memperkenalkan produk mereka, pedagang, dan sebagainya.
114
Fasilitasi Agribisnis oleh Kelembagaan Pemerintah Fasilitasi agribisnis oleh lembaga pemerintah, adalah upaya-upaya fasilitasi yang dilakukan oleh lembaga pemerintah terkait agribisnis petani, yaitu oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura; Dinas Perkebunan, Dinas Perikanan dan Dinas Peternakan. Aspek ini untuk petani tanaman pangan; petani kelapa sawit dan petani ternak, ternyata termasuk kategori “rendah”. Berdasarkan hasil analisis data dan pengamatan berpartisipasi di lapangan, tingkat fasilitasi agribisnis oleh lembaga pemerintah yang kategori ”rendah” dijelaskan sebagai berikut: (1) Pemerintah daerah kabupaten Kampar telah memberikan dukungan yang positif terhadap kemajuan pembangunan agribisnis di kabupaten tersebut. Berdasarkan Peraturan Bupati Kampar Nomor 11 Tahun 2006 tanggal 27 Juni 2006 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Program Ekonomi Kerakyatan Pola Dana Bergulir Kabupaten Kampar, pemerintah telah menyelenggarakan pemberian bantuan modal (dana bergulir) dengan bunga rendah (6 persen per tahun), kepada semua petani (petani tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan) yang ingin memperluas usaha agribisnisnya. Permasalahannnya, program dana bergulir ini, belum menjangkau seluruh petani dan belum menjangkau petani kecil. Petani yang mendapatkan pinjaman ini masih sebatas petani yang memiliki agunan dan telah mengikuti (memiliki sertifikat) pelatihan/kursus agribisnis yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Dana bergulir ini disalurkan melalui Bank Perkreditan
Rakyat Sari Madu milik pemerintah daerah
melalui dinas-dinas terkait agribisnis petani. Berikut ini penuturan salah seorang petani ternak sapi, tentang permodalan usaha pertanian yang dikelola Bank Perkreditan Daerah ini:
115
Saya ingin sekali memperbesar usaha pertanian saya, yaitu menambah jumlah ternak sapi saya. Tetapi modal saya terbatas. Ada kredit dari pemerintah yang bunganya relatif kecil yaitu 6 persen per tahun, tetapi syaratnya harus memiliki sertifikat pelatihan Kubang dan harus memiliki agunan (sertifikat tanah). Saya tidak pernah diikutsertakan pelatihan di Kubang dan saya juga tidak memiliki agunan. Peminjaman bisa atas nama kelompok tani, ketua kelompok tani yang mengusahakan agunannya. Tetapi pinjaman atas nama kelompok dan pengelolaan sapinya juga atas nama kelompok. Ini bisa berjalan, kalau jumlah anggaota kelompoknya kecil misalnya 5-6 orang dan ada kerjasama yang baik, kebersamaan dan saling tanggung jawab, karena sistem renteng. Hal seperti ini yang sulit. Dalam hal ini kita harus menemukan teman yang memiliki kemauan, kerja keras dan tanggung jawab yang tinggi. Saya masih sulit menemukan itu Buk. (2) Dinas-dinas terkait (Tanaman Pangan, Perkebunan, Peternakan dan Perikanan) memiliki program pemberdayaan petani. Permasalahannya, belum terwujud kebersamaan dan keterpaduan diantara dinas-dinas yang ada dan juga antara dinas dengan lembaga penyuluhan dalam memberdayakan petani. Masing-masing bekerja masih berdasarkan ego sektoral. Fasilitasi Agribisnis oleh Kelembagaan Swasta Fasilitasi agribisnis oleh lembaga swasta (perusahaan inti pola PIR; perusahaan produsen sarana produksi dan lain-lain), maksudnya adalah upaya yang dilakukan lembaga swasta memfasilitasi agar petani akses terhadap kelembagaan agribisnis dan berbagai sumber daya. Pada keseluruhan petani selain petani kelapa sawit, fasilitasi agribisnis oleh lembaga swasta termasuk kategori “rendah.” Berdasarkan interpretasi hasil analisis data dan pengamatan berpartisipasi di lapangan, hal ini dijelaskan sebagai berikut: (1)
Belum ada perusahaan swasta yang memfasilitasi pengolahan hasil pertanian tanaman pangan dan ikan.
Pada musim panen, sering harga
anjlok (terutama sayuran dan buahan) dan komoditi menjadi busuk tidak laku di pasaran.
Hal ini yang menyebabkan petani tanaman pangan
(terutama sayuran dan buahan) enggan memperluas usaha agribisnisnya. Seyogyanya pihak pemerintah memfasilitasi agar pihak swasta berinvestasi dalam bidang ini.
116
(2)
Pada petani karet belum ada fasilitasi agribisnis oleh lembaga swasta. Pemasaran karet rakyat dilakukan melalui tengkulak.
Tengkulak yang
memasarkan lateks petani ke toke dan toke menyalurkan ke pabrik. Dalam hal ini petani berada pada posisi penawaran yang lemah, karena tidak memiliki modal dan kapasitas dalam memasarkan lateksnya. (3)
Pada petani kelapa sawit, fasilitasi agribisnis oleh perusahaan inti (pada pola PIR) termasuk kategori ”tinggi.” Hal ini dijelaskan sebagai berikut: (a)
Pada petani kelapa sawit, akses terhadap pengolahan hasil pertanian cukup baik, karena jumlah pabrik pengolahan kelapa sawit cukup memadai. Petani sebagai plasma, difasilitasi pemasrannya oleh perusahaan inti. Selain itu, banyaknya jumlah pabrik pengolahan kelapa sawit menyebabkan petani melalui lembaga koperasi dapat memilih alternatif pemasaran yang lebih menguntungkan.
(b)
Khususnya bagi petani perkebunan sawit, lembaga koperasi cukup mendukung kegiatan agribisnis petani.
Lembaga Koperasi ini
bekerjasama dengan perusahaan inti untuk menampung Tandan Buah Sawit Segar (TBS) dari kebun petani. Lembaga koperasi ini bernama Unit Usaha Otonom (UUO) Perkebunan Sawit. Permasalahannya adalah jaminan keamanan dan harga komoditi. Masih sering terjadi pencurian tandan buah segar kelapa sawit di kebun dan harga tandan buah segar ditentukan pihak perusahaan. Kepemimpinan Lokal Aspek kepemimpinan lokal dalam mendukung kegiatan agribisnis petani (petani tanaman pangan; petani kelapa sawit dan petani ternak) termasuk kategori “rendah”.
Berdasarkan hasil analisis data dan pengamatan berpartisipasi di
lapangan,
pemimpin
desa
dan
kecamatan
belum
optimal
mendukung
/memfasilitasi/ membantu mengatasi permasalahan agribisnis petani.
Hal ini
disebabkan oleh masih kurangnya kemauan dan kemampuan pemimpin lokal untuk kemajuan agribisnis.
117
Kompetensi Penyuluh Pertanian Hasil analisis tingkat kompetensi penyuluh pertanian menurut persepsi petani tanaman pangan; petani kelapa sawit, dan petani ternak disajikan pada Tabel 21. Berdasarkan tabel tersebut (Tabel 21), ternyata tingkat kompetensi penyuluh
pertanian
yang
meliputi
kompetensi
managerial,
kompetensi
komunikasi, kompetensi pembelajaran petani dan kompetensi interaksi sosial, berada pada kategori “rendah”. Artinya, tidak ada perbedaan persepsi tentang rendahnya kompetensi penyuluh pertanian menurut petani tanaman pangan, petani kelapa sawit, karet, ikan dan ternak. Berdasarkan hasil analisis data, pengamatan berpartisipasi di lapangan dan mempelajari Rencana Kerja Penyuluh Pertanian (tertulis), masing-masing kompetensi penyuluh pertanian dijelaskan berikut ini. Kompetensi managerial Kompetensi managerial penyuluh pertanian termasuk kategori “rendah”. Penjelasannya adalah sebagai berikut: (1) Hal ini terbukti dari hasil analisis data dan dokumen tertulis Rencana Kerja Penyuluh Pertanian, ternyata rencana kerja yang disusun penyuluh didukung data potensi desa (wilayah kerja), tetapi belum didasarkan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis.
Rencana kegiatan yang
disusun penyuluh belum didasarkan kepada kondisi riil petani yang ada diwilayah kerjanya.
Data yang digunakan penyuluh dalam menyusun
rencana kerja lebih berdasarkan data sekunder penduduk secara umum yang diambil dari kantor desa, Secara ideal, penyuluh harus mengumpulkan data keadaan riil petani, mencakup aspek: karakteristik petani, kompetensi petani, permasalahan dan kebutuhan pengembangan kapasitas petani dan lain-lain yang berkaitan dengan agribisnis petani. Tabel 21. Kompetensi Penyuluh Pertanian (X3) di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau (Skor Rataan) Nama Peubah
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
Petani
118
(n=300)
Pangan (n = 60)
Kelapa Sawit (n = 60)
X3 Kompetensi Penyuluh Pertanian
57
57
57
57
57
57
X31 Kompetensi Managerial
57
57
57
58
57
57
X32 Kompetensi Komunikasi
57
58
58
57
57
57
X33 Kompetensi Pembelajaran Petani
57
57
59
57
57
57
58
58
58
59
59
58
X34 Kompetensi Interaksi Sosial
Karet Ikan Ternak (n = 60) (n = 60) (n =60)
Keterangan: Kategori penilaian: 0 - ≤ 49 = sangat rendah; 50 - ≤ 69 = rendah; 70 – ≤ 85 = tinggi dan 85 – ≤ 100 = sangat tinggi (2) Dalam menyusun rencana kegiatan penyuluhan belum mampu melibatkan petani, sehingga petani merasa kurang memiliki, kurang bertanggung jawab dan berpartisipasi dalam setiap kegiatan penyuluhan. (3) Penyuluh belum mampu melaksanakan kegiatan penyuluhan sesuai dengan yang diharapkan petani
Berdasarkan pengamatan peneliti dan pengakuan
petani, penyuluh lebih sering mengikuti pertemuan-pertemuan seremonial yang dilaksanakan Balai Informasi Penyuluhan tingkat kecamatan dan Kantor Informasi perilaku atau Penyuluhan tingkat kabupaten dari pada memfasilitasi tercapainya kebutuhan pengembangan kapasitas petani.
Hal ini diperkuat
hasil wawancara mendalam peneliti dengan seorang KTNA yang selalu diundang hadir mengikuti kegiatan tersebut, disajikan dalam kutipan berikut.
119
Menurut pengamatan saya (sebagai seorang KTNA yang sering diundang untuk menghadiri berbagai kegiatan bersama penyuluh), penyuluh lebih banyak mengikuti kegiatan seremonial yang diselenggarakan Kantor Informasi Penyuluhan dan Dinas-dinas terkait dari pada mengadakan kegiatan penyuluhan ke petani. Acara-acara tersebut misalnya, sarasehan penyuluh tingkat kabupaten, sarasehan penyuluh tingkat kecamatan, pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan dinas pertanian terkait, temu lapang penyuluh dan lain-lain. Pada acara tersebut lebih banyak adu pendapat dan teori dari pada kegiatan nyata membantu penyelesaian masalah petani di lapangan
(3) Penyuluh melakukan kegiatan evaluasi, namun belum mampu melakukan evaluasi
terhadap
keberhasilan
kegiatan
penyuluhan
berdasarkan:
terpenuhinya kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis, keberdayaan, kemandirian dan peningkatan kesejahteraan petani. Laporanlaporan evaluasi yang disusun oleh penyuluh, Balai Informasi Penyuluhan tingkat kecamatan dan Kantor Informasi Penyuluhan tingkat kabupaten lebih kepada laporan pelaksanaan kegiatan dan jumlah penggunaan dana, dari pada mengevaluasi tercapainya tujuan penyuluhan yaitu pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani, keberdayaan, kemandirian dan peningkatan kesejahteraan petani. Kompetensi Komunikasi Kompetensi komunikasi penyuluh pertanian termasuk kategori “rendah.” Hal ini dijelaskan sebagai berikut: (1) Intensitas penyuluh berkomunikasi dengan petani masih rendah. (2) Tingkat kemampuan penyuluh menjalin relasi dengan petani dan dengan pihak-pihak terkait agribisnis dalam rangka memberdayakan petani masih rendah. (3) Penyuluh belum mampu melakukan negosiasi dengan pihak lain untuk kepentingan petani. (4) Penyuluh belum mampu menggunakan variasi berbagai media komunikasi dalam kegiatan penyuluhan pertanian.
120
Berikut ini hasil penuturan salah seorang petani kelapa sawit tentang kompetensi komunikasi penyuluh pertanian: Daun kelapa sawit saya bagian pucuknya mengalami keriting, tapi saya tidak tahu apa penyebab dan cara mengatasinya. Saya ingin menanyakan ke penyuluh, tapi sayang penyuluhnya sulit ditemui. Penyuluh jarang ke lapangan dan tinggalnya juga di kota jauh dari desa kami. Menurut saya penyuluh harus tinggal bersama kami di desa, sehingga kapan saja kami dapat memitai pertolongannya membantu mengatasi permasalahan usaha pertanian kami. Saya mau ke kantor BIP juga jauh, kadang sampai di sana tidak ada penyuluhnya dan kalaupun bertemu penyuluh, sering mereka tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan
Kompetensi Pembelajaran Petani Kompetensi penyuluh pertanian membelajarkan petani termasuk kategori “rendah.” Hal ini dijelaskan sebagai berikut: (1) Penyuluh kurang mampu memberikan motivasi atau menumbuhkan kemauan belajar petani (2) Penyuluh pertanian kurang mampu membelajarkan petani sesuai dengan kemampuan diri (pengetahuan, sikap dan keterampilan) petani (3) Penyuluh pertanian kurang mampu membelajarkan petani berdasarkan potensi sumberdaya yang dimiliki petani dan lingkungan (luas lahan, kesuburan lahan, iklim, kearifan lokal dan lain-lain). (4) Penyuluh pertanian kurang mampu menggunakan
berbagai metode belajar
yang efisien dan efektif (5) Penyuluh pertanian kurang mampu belajar bersama petani, untuk memperoleh kemanfaatan bersama. (6) Penyuluh pertanian kurang mampu memotivasi petani untuk belajar sesuatu dan membelajarkannya kepada petani lain pada setiap kesempatan Berikut ini penuturan salah seorang petani tentang kompetensi penyuluh membelajarkan petani:
121
Penyuluh di desa kami ada melakukan kegiatan demplot. Tetapi tanaman demlotnya juga tidak berhasil dengan baik. Karena sepertinya penyuluh belum menguasai dengan baik tekhnis budidaya tanaman tersebut. Seharusnya penyuluh belajar atau mendatangkan petani dari desa lain yang sudah berpengalaman dan berhasil menanam tanaman yang di demplotkan oleh penyuluh. Kompetensi Interaksi Sosial Kompetensi penyuluh pertanian interaksi sosial termasuk kategori “rendah.” Hal ini dijelaskan sebagai berikut: (1) Penyuluh pertanian kurang mampu berinteraksi dengan baik dengan berbagai pihak (misalnya, pemimpin pendapat) dalam masyarakat untuk kepentingan petani. (2) Penyuluh pertanian kurang memanfaatkan potensi sosial budaya setempat dalam kegiatan penyuluhan (2) Penyuluh pertanian kurang mampu memfasilitasi petani agar mampu menjalin relasi dengan berbagai pihak untuk pengembangan agribisnis. (3) Penyuluh pertanian kurang mengidentifikasi dan memanfaatkan secara memadai kelompok penekan untuk kesejahteraan masyarakat secara bermartabat (adil dan beradab). Kompetensi kategori “rendah,”, bermakna penyuluh melakukan kegiatan penyuluhan namun masih kurang manfaat yang dirasakan oleh petani, karena rendahnya kompetensi (kemampuan) penyuluh.
Disamping itu, belum baik
fasilitasi atau dukungan yang diberikan oleh pemerintah dan masih jeleknya koordinasi antara lembaga penyuluhan dengan lembaga tekhnis di bidang pertanian (dinas-dinas pertanian terkait). Permasalahan ini, dijelaskan sebagai berikut: (1) Penyuluh sebagian besar tidak berdomisili di wilayah kerjanya. Mereka bertempat tinggal di lain kecamatan, bahkan ada yang tinggal di lain kabupaten. Hal ini jelas akan mengurangi kelancaran kerja penyuluh, karena butuh waktu, tenaga dan biaya yang besar setiap berangkat kerja. Hal ini menyebabkan kinerja tidak prima.
122
(2) Balai Informasi Penyuluhan (BIP) sebagai basis kegiatan penyuluh di tingkat kecamatan, lebih merupakan perpanjangan tangan Kantor Informasi Pertanian (KIP) di tingkat kabupaten. BIP tidak diberi dana otonom untuk penyelenggaraan kegiatan penyuluhan di wilayah kerjanya. Dana diberikan langsung kepada penyuluh untuk melakukan demplot sejumlah Rp. 600.000,rupiah per tahun, ditambah biaya transportasi untuk mengunjungi petani sebesar Rp. 250.000,- per bulan.
Melalui dana sejumlah itulah penyuluh
bertugas memenuhi kebutuhan pengembangan kapasitas dan memandirikan petani. Kegiatan-kegitan penyuluhan lainnya, misalnya kursus tani, pertemuan penyuluh, demonstrasi plot di tingkat BIP dan lain-lain diselenggarakan oleh KIP di tingkat kabupaten. Penyuluh dan BIP hanya diundang. Bahkan ada kasus, demplot di halaman kantor BIP yang dikelola atau diselenggarakan oleh kantor KIP kabupaten. (3) Belum terselenggara koordinasi yang baik antara lembaga penyuluhan baik di tingkat desa, kecamatan maupun kabupaten dengan dinas-dinas terkait sehubungan dengan pemberdayaan petani.
Masing-masing instansi masih
bersifat egosektoral dan petani hanya sebagai objek dari sebuah kegiatan pembangunan. (4) Latar belakang pendidikan, golongan kepangkatan dan jabatan fungsional penyuluh belum sepenuhnya mendukung kinerja penyuluh pertanian. Berdasarkan klasifikasi pendidikan, penyuluh pertanian dengan pendidikan sarjana (S1) 37,56 persen, Diploma (D3) 32,99 persen dan SLTA 29,44 persen. Penyuluh senior, rata-rata berpendidikan Diploma dan
penyuluh
yang baru diangkat (honorer) berlatar belakang pendidikan sarjana, namun tidak spesialisasi di bidang penyuluhan pertanian. Berdasarkan golongan kepangkatan, penyuluh yang golongan III 47,21 persen, golongan II 39,59 persen. Tenaga penyuluh yang honorer berjumlah 13,20 persen. Berdasarkan jabatan fungsional, penyuluh pertanian terdiri dari: Penyuluh Ahli 12,18 persen dan penyuluh terampil 74,62 persen. Tenaga penyuluh yang masih honorer berjumlah 13,20 persen. Penyuluh dengan latar belakang pendidikan
123
sarjana, tidak ada yang memiliki disiplin ilmu penyuluhan pembangunan. Hal ini mencerminkan penyuluh belum memiliki kompetensi yang diperlukan untuk kesuksesan kegiatan penyuluhan.
124
Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian dalam Memberdayakan Petani Kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani adalah perilaku aktual yang ditampilkan oleh penyuluh pertanian sebagai respon terhadap tugas dan fungsinya dalam memberdayakan petani. Hasil analisis tingkat kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani, disajikan pada Tabel 22. Ternyata tingkat kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani pada keseluruhan petani (petani tanaman pangan, kelapa sawit, karet, ikan dan ternak), termasuk kategori “rendah”. Tabel 22. Kinerja Penyuluh Pertanian Memberdayakan Petani (X4) di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau (Skor Rataan)
Nama Peubah X4
X41
X42
X42
X43
X45
X46
Kinerja Penyuluh Pertanian Pengembangan Perilaku Inovatif Penguatan Tingkat Partisipasi dan Kemampuan Managerial Petani Penguatan Kelembagaan Petani Penguatan Akses petani Terhadap Berbagai Sumberdaya Penguatan Kemampuan Berjaringan Kaderisasi
Petani Keseluruhan (n=300)
Petani Tanaman Pangan (n = 60)
Petani Kelapa Sawit (n = 60)
Petani Karet (n= 60)
Petani Ikan (n= 60)
Petani Ternak (n = 60)
58
60
59
57
58
58
59
61
58
58
59
59
59
60
61
57
58
58
57
59
60
56
56
56
61
62
62
58
61
61
57
58
58
57
57
57
58
59
59
56
58
58
Keterangan: Kategori penilaian: 0 - ≤ 49 = sangat rendah; 50 - ≤ 69 = rendah; 70 – ≤ 85 = tinggi dan 85 – ≤ 100 = sangat tinggi
125
Berdasarkan hasil analisis data (Tabel 22) dan pengamatan berprtisipasi di lapangan, kinerja penyuluh pertanian pada kategori “rendah”, dijelaskan sebagai berikut: (1) Kinerja Pengembangan Perilaku Inovatif Petani. Kegiatan penyuluhan yang dilakukan penyuluh pertanian belum mampu mengembangkan perilaku inovatif petani beragribisnis.
Hal ini antara lain disebabkan oleh
perencanaan dan pelaksanaan kegiatan penyuluhan belum sesuai dengan kebutuhan pengembangan kapasitas petani. mengembangkan
perilaku
keinovatifan
Demplot yang diharapkan petani,
belum
menjangkau
kebutuhan dan seluruh petani di wilayah kerjanya. Wilayah kerja penyuluh meliputi dua sampai tiga desa yang luasnya mencapai ribuan hektar. Demplot yang dilakukan hanya di satu atau dua tempat.
Intensitas kegiatan
penyuluhan belum sesuai dengan yang direncanakan. Selain itu, sebagian petani masih sulit bertemu penyuluh untuk membantu memfasilitasi memecahkan permasalahan agribisnis yang mereka. (2) Penguatan Tingkat Partisipasi Petani. Kinerja penyuluhan sudah berupaya memperkuat tingkat partisipasi petani, namun belum mencapai tingkat partisipasi tinggi (mampu melakukan), masih pada tahap ikut-ikutan. Penyuluh belum membantu petani mengidentifikasi kebutuhan riilnya dan penyuluh belum melibatkan petani dalam penyusunan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan penyuluhan.
Penyuluh juga belum
berhasil meningkatkan kemampuan petani dalam membuat perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi agribisnisnya dengan lebih baik (terinci dan tertulis). (3) Penguatan Kelembagaan Petani.
Kinerja penyuluh pertanian sudah
berupaya memperkuat kelembagaan petani (kelompok tani), namun belum mencapai hasil yang memuaskan petani. Kelompok tani masih dibentuk untuk tujuan formalitas sesuai petunjuk dari tingkat atas, belum tumbuh berakar dari kebutuhan dan kesadaran masyarakat petani.
Kegiatan
penyuluhan belum berhasil meningkatkan dinamika kelompok tani. Hal ini terbukti dari petani belum merasakan kemanfaatan keberadaan kelompok tani. Kelompok tani yang cukup berjalan kegiatannya adalah kelompok tani perkebunan sawit dengan pola PIR, kelompok tani komoditi padi sawah dan
126
kelompok ternak unggas dan sapi. Kelompok petani kelapa sawit mempunyai kepentingan dalam memasarkan produksi perkebunannya ke perusahaan inti melalui koperasi. Pada petani tanaman pangan, sebagian kecil kelompok petani (komoditi padi sawah) melakukan aktivitas berkelompok pada musim tanam dan pemeliharaan irigasi. Kegiatan yang berkaitan dengan agribisnis palawija, hortikultura dan lain-lain masih kurang memanfaatkan kelompok untuk meningkatkan kemandirian petani. (4) Penguatan Akses Petani terhadap Berbagai Sumberdaya.
Kinerja
penyuluhan memperkuat akses petani ke berbagai sumberdaya masih terbatas pada penguatan akses ke sumber modal dan akses terhadap informasi memperoleh sarana produksi lainnya. Pemerintah daerah melalui dinas-dinas pertanian telah menyediakan dana bergulir bagi petani. Penyuluh dalam hal ini membantu petani memberikan informasi dan memfasilitasi petani mendapatkan dana bergulir tersebut, upaya ini belum maksimal karena kurangnya koordinasi antara kelembagaan penyuluhan dan instansi teknis terkait (dinas-dinas).
Dana bergulir yang disalurkan lewat kelembagaan
penyuluhan, khususnya hanya untuk Kelompok Petani Kecil (KPK) yang jumlahnya sangat minim yaitu maksimal satu juta rupiah. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan kepuasan petani, sebaiknya penyuluh dilibatkan untuk membantu memfasilitasi agar petani akses terhadap dana bergulir, dengan demikian akan menambah kedekatan dan kewibawaan penyuluh (kelembagaan penyuluhan) di mata petani. Disamping itu, penyuluh bersama petani dapat merencanakan dan menggunakan dana secara efektif dan efisien untuk kepentingan petani.
Penguatan petani akses petani untuk menguasai
berbagai informasi, akses terhadap pasar, akses pengolahan hasil pertanian masih kurang baik. (5) Penguatan Kemampuan Petani Berjaringan.
Kinerja penyuluhan
pertanian yang berkaitan dengan penguatan kemampuan petani berjaringan petani termasuk kategori “rendah” Hal ini ditunjukkan oleh belum baiknya upaya yang dilakukan penyuluh berkaitan dengan penguatan kemampuan petani untuk berjaringan (melakukan kerjasama dan kemitraan) dengan pihak-pihak lain.
127
(6) Kaderisasi. Kinerja penyuluh untuk melakukan kegiatan kaderisasi masih belum baik.
Penyuluh belum sepenuhnya memberdayakan kader-kader
(penyuluh swakarsa). Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Penyuluh Pertanian Memberdayakan Petani Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kinerja Penyuluh Pertanian Memberdayakan Petani Faktor-faktor yang berhubungan terhadap kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani, dianalisis dengan uji korelasi. Berdasarkan hasil analisis uji korelasi pada Tabel 23, faktor-faktor yang berhubungan (berkorelasi) dengan kinerja penyuluh pertanian dijelaskan berikut: (1) Karakteristik Petani:. Karakteristik petani secara keseluruhan (mencakup petani tanaman pangan, kelapa sawit, karet, ikan dan ternak) tidak berhubungan secara signifikan dengan kinerja penyuluh, kecuali pada karakteristik pendidikan non formal (berhubungan signifikan pada taraf 1 persen) dan pendidikan formal (berhubungan pada taraf 5 persen). Hal ini menjelaskan bahwa kinerja yang dilakukan oleh penyuluh belum seutuhnya memperhatikan atau berdasarkan karakteristik petani. Seharusnya, setiap upaya-upaya pemberdayaan yang dilakukan penyuluh harus memperhatikan atau disesuaikan dengan tingkat usia, pendidikan formal, pendidikan non formal, pengalaman beragribisnis dari petani dan sebagainya. Karakteritik petani yang berbeda, kemampuan belajar dan daya (kapasitas) yang dimilikinya juga berbeda. (2)
Karakteristik Sistem Sosial. Tidak semua aspek karakteristik sistem sosial berkorelasi secara kuat dan signifikan dengan upaya-upaya pemberdayaan yang dilakukan penyuluh melalui kinerjanya.
Faktor-faktor sistem sosial yang tidak (lemah)
korelasinya dengan kinerja penyuluh adalah “akses terhadap tenaga ahli, kelembagaan penyuluhan dan penelitian”. Artinya, aspek ini belum signifikan mendukung kinerja pemberdayaan oleh penyuluh. Sebaliknya penyuluh belum memperhatikan
faktor sistem sosial yang mendukung
kinerjanya yaitu aspek akses petani terhadap tenaga ahli, kelembagaan penyuluhan dan penelitian.
128
Tabel 23. Koefisien Korelasi Aspek-aspek Karakteristik Petani, Karakteristik Sistem Sosial dan Kompetensi Penyuluh Pertanian dengan Kinerja Penyuluh Pertanian Memberdayakan Petani di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau
Nama Peubah
Koefisien Korelasi Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kinerja Penyuluh Pertanian dalam Memberdayakan Petani (X4) Petani Petani Petani Petani Petani Petani Kelapa Karet Ikan Ternak KeseluTanaman Pangan Sawit (n = 60) (n = 60) (n = 60) ruhan (n = 300) (n = 60) (n = 60)
Karakteristik Petani (X1) 0,000 Umur (X11) 0,095 Pendidikan Formal 0,159* 0,197 (X12) Pendidikan Non 0,345** 0,223 Formal (X13) Pendidikan Informal 0,099 0,098 (X14) Pengalaman 0,098 0,114 Beragribisnis (X14) Karakteristik Sistem Sosial (X2) Nilai-nilai Sosial 0,469** 0,621** Budaya (X21) Sistem Kelembagaan 0,260** 0,292* Petani (X22) Akses Petani terhadap Tenaga Ahli, 0,044 0,096 Kelembagaan Penyuluhan dan Penelitian (X23) Fasilitasi Agribisnis oleh Lembaga 0,253** 0,297* Pemerintah (X24) Akses Petani terhadap 0490** 0,367** Kelembagaan Agribisnis (X25) Kepemimpinan Lokal 0,288** 0,416** (X26) Karakteristik Sistem 0,503** 0,561** Sosial (X2) Kompetensi Penyuluh Pertanian (X3) Managerial (X31) 0,412** 0,328* Komunikasi (X32) Pembelajaran Petani (X33)
0,017
-0,110
0,279*
-0,074
0,181
0,201
0,152
0,070
0,320*
0,307*
0,313*
0,321*
0,117
0,110
0,116*
0,104
0,222
-0,020
0,393**
-0,107
0,582**
0,427**
0,213
0,122
0,372**
0,003
0,248
0,018
0,127
0,091
0,223
0,130
0,523**
0,273*
0,161
0,465**
0,355**
0,284*
0,336*
0,251
0,117
0,052
0,178
0,389**
0,346**
0,367**
0,613**
0,553**
0,405**
0,617**
0,182
0,290*
0,732**
0,744**
0,649**
0,810**
0,806**
0,890**
0,620**
0,610**
0,523**
0,743**
0,665**
0,665**
Interaksi Sosial (X34)
0,417**
0,258*
0,320*
0,661**
0,671**
0,498**
Kompetensi Penyuluh Pertanian (X3)
0,771**
0,195
0,608**
0,940**
0,927**
0,334**
129
Tabel 23 (lanjutan)
Nama Peubah
Koefisien Korelasi Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kinerja Penyuluh Pertanian Memberdayakan Petani (X4)) Petani Petani Petani Petani Petani Petani KeseluTanaman Kelapa Karet Ikan Ternak Pangan (n = 60) (n = 60) (n = 60) ruhan Sawit (n = 300) (n = 60) (n = 60)
Kinerja Penyuluh Pertanian (X4) Pengembangan 0,751** Perilaku Iinovatif 0,711** Petani (X41) Penguatan Tingkat 0,750** 0,706** Partisipasi Petani (X42) Penguatan 0,570** 0,474** Kelembagaan Petani (X43) Penguatan Akses Petani terhadap 0,716** 0,611** Berbagai Sumberdaya (X44) Penguatan Kemampuan 0,592** 0,456** Petani Berjaringan (X45) Kaderisasi (X46) 0,235 0,367*
0621**
0,721**
0,777**
0,699**
0,677**
0,779**
0,728**
0,707**
0,358**
0,651**
0,584**
0,505**
0,601**
0,839**
0,733**
0,501**
0,701**
0,516**
0,596**
0,744**
0,566**
0,643**
0,561**
0,551**
Keterangan: ** = Uji korelasi signifikan pada taraf 1 persen * = Uji korelasi signifikan pada taraf 5 persen (2)
Kompetensi Penyuluh Pertanian. Hampir semua bentuk kompetensi yang disyaratkan dimiliki penyuluh pertanian untuk mewujudkan kinerja prima berkorelasi secara positif dan sinifikan dengan kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani. Artinya, semua aspek kompetensi tersebut mendukung secara signifikan kinerja penyuluh pertanian. Dengan kata lain, kinerja penyuluh pertanian memberdayakan petani menjadi prima jika didukung oleh semua kompetensi tersebut.
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Penyuluh Pertanian dalam Memberdayakan Petani Faktor-faktor yang berkorelasi signifikan dengan kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani (Tabel 23), dilanjutkan ke uji regresi berganda. Berdasarkan uji regresi berganda, faktor-faktor yang berpengaruh
130
signifikan dan besarnya pengaruh secara sendiri-sendiri dari faktor tersebut (koefisien Beta pada taraf 5 dan 10 persen) terhadap kinerja penyuluh pertanian memberdayakan petani pada petani keseluruhan dan pada petani dengan komoditi unggulan yang berbeda (petani tanaman pangan; kelapa sawit; karet; ikan dan ternak) disajikan pada Tabel 24. Tabel 24. Koefisien Regresi yang Distandarkan (Standarized Regresi Coeficient) Faktor-aktor yang Berpengaruh Signifikan terhadap KinerjaPenyuluh Pertanian Memberdayakan Petani di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau
Nama Peubah
X12 Pendidikan Formal Petani X13 Pendidikan Non Formal Petani X21 Nilai-nilai Sosial Budaya X24 Fasilitasi Agribisnis oleh Pemerintah X25 Fasilitasi Agribisnis oleh Lembaga Swasta X32 Kompetensi Komunikasi Penyuluh X33 Kompetensi Pembelajaran Petani X34 Kompetensi Interaksi Sosial Penyuluh 2 R
Kinerja Penyuluh Pertanian Memberdayakan Petani (X4) pada Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Karet Ikan Ternak Tanaman Kelapa KeseluSawit Pangan ruhan (n=60) (n=60) (n=60) (n=300) (n=60) (n=60) -
-
0,07*
0,08*
0,07*
0,08*
0,08*
0,07*
0,09*
-
0,10*
-
0,10**
0,09*
-
-
0,08*
0,10**
0,08*
-
-
0,20**
-
0,08*
0,09*
0,07*
007* -
0,21**
0,27**
0,25**
0,24**
0,27**
0,26**
0,30**
0,23**
0,30**
0,21**
0,26**
0,27**
0,20**
0,20**
0,19**
0,20**
0,18**
0,22**
0,13**
0,75
0,75
0,83
0,87
0,82
0,84
Keterangan: ** = Uji regresi signifikan pada taraf 5 persen * = Uji regresi signifikan pada taraf 10 persen Hasil uji analisis regresi berganda ini (Tabel 24) adalah untuk menguji Hipotesis 1, yaitu: “Karakteristik petani, karakteristik sistem sosial dan kompetensi penyuluh pertanian berpengaruh signifikan terhadap kinerja penyuluh pertanian memberdayakan petani." Ternyata Hipotesis 1 tersebut tidak terbukti
131
(ditolak) pada petani keseluruhan, tetapi diterima untuk faktor-faktor tertentu (faktor yang berpengaruh signifikan terhadap kinerja penyuluh pertanian memberdayakan petani). Faktor-faktor yang diterima pada Hipotesis 1 tersebut untuk petani keseluruhan (disajikan pada Gambar 8) adalah: (1) Kompetensi penyuluh pertanian yaitu kompetensi komunikasi penyuluh; kompetensi pembelajaran petani dan kompetensi interaksi sosial; (2) Karakteristik sistem sosial yaitu: nilainilai sosial budaya, fasilitasi agribisnis oleh lembaga pemerintah dan fasilitasi agribisnis oleh lembaga swasta, dan (3) Karakteristik petani yaitu faktor pendidikan non formal. Koefisien R kuadrat (koefisien determinasi) dari faktorfaktor ini adalah 0,75 atau 75 persen. Artinya, besarnya pengaruh langsung faktorfaktor tersebut secara bersama-sama terhadap kemandirian petani beragribisnis adalah sebesar 0,75 atau 75 persen. Adapun sisanya, yaitu 25 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Faktor di luar model ini diduga adalah kebijakan pemerintah (dana operasional, penghasilan penyuluh dan lain-lain), karakteristik penyuluh dan lain-lain. Hasil pengujian hipotesis 1 untuk masing-masing petani dengan komoditi unggulan berbeda adalah sebagai berikut: (1) Petani Tanaman Pangan. Hipotesis 1 tidak terbukti (ditolak) pada petani tanaman pangan, tetapi diterima untuk faktor tertentu (faktor yang berpengaruh signifikan terhadap kinerja penyuluh pertanian memberdayakan petani). Faktor-faktor yang diterima pada Hipotesis 1 tersebut untuk petani tanaman pangan adalah: (1) Kompetensi penyuluh pertanian yaitu kompetensi penyuluh komunikasi, kompetensi pembelajaran petani dan kompetensi interaksi sosial, (2) Karakteristik sistem sosial yaitu nilai-nilai sosial budaya, dan fasilitasi agribisnis oleh lembaga pemerintah, dan (3) Karakteristik petani yaitu faktor pendidikan non formal.
Koefisien R kuadrat (koefisien
determinasi) dari faktor-faktor ini adalah 0,75 atau 75 persen. Artinya, besarnya pengaruh langsung faktor-faktor
tersebut secara bersama-sama
terhadap kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani petani tanaman pangan adalah sebesar 0,75 atau 75 persen. Adapun sisanya, yaitu 25 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Faktor di luar model ini diduga adalah kebijakan pemerintah (dana operasional, penghasilan penyuluh dan lain-lain), karakteristik penyuluh dan lain-lain.
132
(2) Petani Kelapa Sawit. Hipotesis 1 tidak terbukti (ditolak) pada petani kelapa sawit, tetapi diterima untuk faktor tertentu (faktor yang berpengaruh signifikan terhadap kinerja penyuluh pertanian memberdayakan petani). Faktor-faktor yang diterima pada Hipotesis 1 tersebut untuk petani kelapa sawit yaitu: (1) Kompetensi komunikasi; kompetensi pembelajaran petani dan kompetensi interaksi sosial; (2) Karakteristik sistem sosial yaitu fasilitasi agribisnis oleh lembaga swasta, dan (3) Karakteristik petani yaitu faktor pendidikan formal dan pendidikan non formal petani. Koefisien R kuadrat (koefisien determinasi) dari faktor-faktor ini adalah 0,83 atau 83 persen. Artinya, besarnya pengaruh langsung faktor-faktor
tersebut secara bersama-sama terhadap kinerja
penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani kelapa sawit beragribisnis adalah sebesar 0,83 atau 83 persen.
Adapun sisanya, yaitu 17 persen
dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Faktor di luar model ini diduga adalah kebijakan pemerintah (dana operasional, penghasilan penyuluh dan lain-lain), karakteristik penyuluh dan lain-lain. (3) Petani Karet. Hipotesis 1 tersebut tidak terbukti (ditolak) pada petani karet, tetapi diterima untuk faktor tertentu. Faktor-faktor yang diterima pada Hipotesis 1 (faktor yang berpengaruh signifikan terhadap kinerja penyuluh pertanian memberdayakan petani) untuk petani karet yaitu: (1) Kompetensi penyuluh pertanian yaitu kompetensi komunikasi; kompetensi pembe-lajaran petani dan kompetensi interaksi sosial, (2) Karakteristik sistem sosial yaitu nilai-nilai sosial budaya dan fasilitasi agribisnis oleh pemerintah, dan (3) Karakteristik petani yaitu pendidikan non formal petani. Koefisien R kuadrat (koefisien determinasi) dari faktor-faktor ini adalah 0,87 atau 87 persen. Artinya, besarnya pengaruh langsung faktor-faktor tersebut secara bersamasama terhadap kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani kelapa sawit beragribisnis adalah sebesar 0,87 atau 87 persen.
Adapun
sisanya, yaitu 17 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Faktor di luar model ini diduga adalah kebijakan pemerintah (dana operasional, penghasilan penyuluh dan lain-lain), karakteristik penyuluh dan lain-lain.
133
(4) Petani Ikan. Hipotesis 1 tersebut tidak terbukti (ditolak) pada petani ikan, tetapi diterima untuk faktor tertentu. Faktor-faktor yang diterima pada Hipotesis 1 (faktor yang berpengaruh signifikan terhadap kinerja penyuluh pertanian memberdayakan petani) untuk petani ikan yaitu: (1) Kompetensi penyuluh
pertanian,
khususnya:
kompetensi
komunikasi;
kompetensi
pembelajaran petani dan kompetensi interaksi sosial, (2) Karakteristik sistem sosial yaitu fasilitasi agribisnis oleh lembaga pemerintah dan (3) Karakteristik petani yaitu faktor pendidikan formal dan pendidikan non formal petani. Koefisien R kuadrat (koefisien determinasi) dari faktor-faktor ini adalah 0,82 atau 82 persen. Artinya, besarnya pengaruh langsung faktor-faktor tersebut secara
bersama-sama
terhadap
kinerja
penyuluh
pertanian
dalam
memberdayakan petani ikan beragribisnis adalah sebesar 0,82 atau 82 persen. Adapun sisanya, yaitu 18 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Faktor di luar model ini diduga adalah kebijakan pemerintah (dana operasional, penghasilan penyuluh dan lain-lain), karakteristik penyuluh dan lain-lain. (5) Petani Ternak. Hipotesis 1 tidak terbukti (ditolak) pada petani ternak, tetapi diterima untuk faktor tertentu (faktor yang berpengaruh signifikan terhadap kinerja penyuluh pertanian memberdayakan petani). Faktor-faktor yang diterima pada Hipotesis 1 tersebut untuk petani ternak yaitu: (1) Kompetensi penyuluh pertanian memberdayakan petani, yaitu: kompetensi komunikasi dan kompetensi interaksi sosial dan kompetensi pembelajaran petani.
(2)
Karakteristik sistem sosial, yaitu: fasilitasi agribisnis oleh lembaga swasta dan nilai-nilai sosial budaya. (3) Karakteristik petani, yaitu: pendidikan non formal petani dan pendidikan formal petani. Koefisien R kuadrat (koefisien determinasi) dari faktor-faktor ini adalah 0,84 atau 84 persen. Artinya, besarnya pengaruh langsung faktor-faktor
tersebut secara bersama-sama
terhadap kemandirian petani beragribisnis adalah sebesar 0,84 atau 84 persen. Adapun sisanya, yaitu 16 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Faktor di luar model ini diduga adalah kebijakan pemerintah (dana operasional, penghasilan penyuluh dan lain-lain), karakteristik penyuluh dan lain-lain.
134
Pendidikan Non Formal X13
Nilai-nilai Sosial Budaya X21
Fasilitasi Agribisnis oleh Lembaga Pemerintah X24
0,08*
0,07*
0,07* R2 =0,75 0,08*
Fasilitasi Agribisnis oleh Lembaga Swasta X25
Kinerja Penyuluh Pertanian Memberdayakan Petani (X4)
0,27** Kompetensi Penyuluh Berkomunikasi X32 Kompetensi Pembelajaran Petani X33
0,24**
Kompetensi Penyuluh Berinteraksi Sosial X34
0,18**
Keterangan: ** = Uji regresi signifikan pada taraf 5 persen * = Uji regresi signifikan pada taraf 10 persen
Gambar 8. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Penyuluh Pertanian pada Petani Keseluruhan di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau Ternyata, berdasarkan hasil penelitian untuk petani keseluruhan dan petani dengan komoditi unggulan berbeda, faktor utama yang mempengaruhi tingkat kinerja penyuluh pertanian memberdayakan petani adalah: (1) Kompetensi penyuluhan
pertanian,
khususnya
kompetensi
pembelajaran
petani,
kompetensi komunikasi dan kompetensi interaksi sosial, dan (2) Pendidikan non formal petani. Pada petani keseluruhan, faktor lain yang berpengaruh adalah: faktor karakteristik sistem sosial yaitu fasilitasi agribisnis oleh lembaga pemerintah dan fasilitasi agribisnis oleh lembaga swasta. Pada petani tanaman pangan dan karet, faktor lainnya adalah: nilai-nilai sosial budaya dan fasilitasi agribisnis oleh pemerintah. Pada petani kelapa sawit dan ternak faktor lain yang berpengaruh adalah pendidikan formal dan fasilitasi agribisnis oleh swasta. Pada
135
petani ikan faktor lain yang berpengaruh adalah faktor pendidikan formal dan fasilitasi agribisnis oleh pemerintah. Hal ini memberikan implikasi bahwa, kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani dapat diperbaiki dan ditingkatkan dengan cara adalah: (1) Pada keseluruhan petani adalah dengan cara meningkatkan kompetensi penyuluh pertanian (khususnya kompetensi pembelajaran petani; kompetensi komunikasi dan kompetensi interaksi sosial) dan meningkatkan akses petani terhadap pendidikan (pendidikan nonformal). (2) Petani tanaman pangan, karet dan ikan: dengan meningkatkan dukungan sistem sosial yaitu fasilitasi agribisnis oleh pemerintah dan memperhatikan dan memanfaatkan nilai-nilai sosial budaya. (3) Petani kelapa sawit dan petani ternak: dengan meningkatkan fasilitasi agribisnis oleh lembaga swasta. Dengan kata lain, penyuluh pertanian dalam melakukan kinerjanya harus memperhatikan karakteristik sistem sosial (khususnya: fasilitasi agribisnis oleh lembaga swasta; fasilitasi agribisnis oleh lembaga pemerintah dan nilai-nilai sosial budaya;) dan memperhatikan karakteristik petani khususnya akses petani terhadap pendidikan non formal dan tingkat pendidikan formal petani. Sebaliknya, dukungan positif sistem sosial (fasilitasi agribisnis yang baik dari lembaga pemerintah maupun lembaga swasta) dan tingginya tingkat pendidikan formal dan pendidikan non formal petani akan memperlancar kinerja penyuluh pertanian. Pertanian tanaman pangan dan karet adalah usaha pertanian yang turun temurun dan pihak pemerintah yang memfasilitasi agribisnis petani.Lembaga pemerintah (dinas-dinas terkait agribisnis petani) dan juga lembaga swasta yang merupakan perusahaan inti, lembaga produsen dan distribusi sarana produksi, lembaga permodalalan, lembaga pengolahan hasil, harus mengupayakan komunikasi, sinkronisasi dan niat luhur dalam rangka memfasilitasi kemajuan agribisnis petani. Pada petani kelapa sawit dan ternak adalah usahatani komeresil yang kerupakan kemitraan dengan perusahaan besar swasta, sehingga pengaruh fasilitasi agribisnis swasta menjadi lebih besar. Berdasarkan hasil penelitian, ternyata pada petani keseluruhan dan juga pada petani dengan komoditi unggulan berbeda kompetensi manajerial penyuluh tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja penyuluh pertanian dalam
136
memberdayakan petani.
Artinya, kompetensi managerial yang dimiliki oleh
penyuluh pertanian belum mendukung kinerja penyuluh pertanian. Manajemen yang dilakukan penyuluh adalah manajemen terpusat atau sudah terpola dari pusat. Penyuluh harus mengikuti manajemen yang sudah ditentukan oleh pihak atas dan terjebak oleh perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan penyuluhan yang seragam, terstruktur dan dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan pihak atas yang berorientasi belum kepentingan petani. Dilain pihak petani memiliki permasalahan dan kebutuhan yang berbeda-beda, yang seharusnya perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan penyuluhan pertanian berdasarkan analisis kebuthan petani tanpa mengabaikan kepentingan nasional. Pemerintah daerah kabupaten Kampar melalui dinas-dinas terkait agribisnis petani dan kelembagaan penyuluhan telah berupaya meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif petani melalui pendidikan non formal yaitu menyelenggrakan kursus atau pelatihan untuk petani. mendirikan pusat pelatihan bagi petani.
Pemerintah telah
Petani secara berkala mendapatkan
pendidikan non formal di tempat ini. Selain itu, pemerintah daerah telah juga meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap positif petani dengan melakukan studi banding ke daerah-daerah yang agribisnisnya lebuh maju, termasuk ke negara tetangga. Permasalahannya, petani yang mengikuti kursus dan studi banding masih terbatas bagi pengurus kelompok tani. Selain itu, belum baik pendifusian pengetahuan, keterampilan dan sikap positif petani dari pengurus kelompok petani (yang mengikuti kursus dan studi banding) ke sesama petani lain. Faktor-kaktor karakteristik petani (umur, pendidikan formal dan pengalaman beragribisnis) tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja penyuluh. Artinya, karakteristik petani belum berperan terhadap kinerja penyuluh atau
sebaliknya
kinerja
penyuluh
belum
memperhatikan
karakteristik petani, kecuali pendidikan, non formal.
(berdasarkan)
Semakin tinggi tingkat
pendidikan non formal petani akan semakin mendukung kinerja penyuluh pertanian.
Dalam melakukan pemberdayaan seharusnya penyuluh juga
memperhatikan karakteristik petani yang lain seperti usia, tingkat pendidikan formal dan pengalaman petani.
137
Faktor-faktor karakteristik sistem sosial yang lain yaitu: sistem kelembagaan petani; akses petani terhadap tenaga ahli, kelembagaan penelitian dan penyuluhan dan kepemimpinan lokal belum berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja pem-berdayaan oleh penyuluh pertanian.
Faktor-faktor ini
seharusnya juga ditingkatkan untuk lebih meningkatkan tingkat kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani.
Pada petani kelapa sawit dan ternak,
faktor fasilitasi agribisnis oleh perusahan swasta berpengaruh terhadap kinerja penyuluh.
Pada petani tanaman pangan, justeru fasilitasi agribisnis oleh
pemerintah yang berpengaruh. Pada petani keseluruhan dan petani dengan komoditi uggulan yang berbeda, faktor-kaktor karakteristik petani yaitu umur, pendidikan informal dan pengalaman petani beragribisnis, hampir tidak berpengaruh terhadap kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani. Artinya, karakteristik petani belum berperan terhadap kinerja penyuluh atau sebaliknya kinerja penyuluh belum memperhatikan (berdasarkan) karakteristik petani.
Dalam melakukan
pemberdayaan seharusnya penyuluh juga memperhatikan karakteristik petani seperti usia, tingkat pendidikan formal dan pengalaman petani. Faktor-faktor karakteristik sistem sosial yang lain yaitu: sistem kelembagaan petani; akses petani terhadap tenaga ahli, kelembagaan penelitian dan penyu-luhan;fasilitasi oleh lembaga pemerintah terkait agribisnis dan kepemimpinan lokal belum berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani. Faktor-faktor ini seharusnya juga ditingkatkan untuk lebih meningkatkan kinerja penyuluh pertanian. Pada petani keseluruhan dan petani dengan komoditi unggulan yang berbeda, kompetensi manajerial penyuluh tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani. Kompetensi manajerial penyuluh pertanian kategori “rendah” dan kompetensi managerial penyuluh pertanian ini belum mendukung kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani. Hal ini disebabkan oleh manajemen penyuluh adalah manajemen terpusat. Artinya, manajemen yang dilakukan penyuluh sudah terpola dari pusat dan belum sesuai dengan kepentingan petani.
138
Sama halnya seperti pada petani tanaman pangan, faktor-kaktor karakteristik petani petani kelapa sawit tidak berpengaruh terhadap kinerja penyuluh. Artinya, karakteristik petani belum berperan terhadap kinerja penyuluh atau
sebaliknya
kinerja
penyuluh
belum
memperhatikan
(berdasarkan)
karakteristik petani. Dalam melakukan pemberdayaan seharusnya penyuluh juga memperhatikan karakteristik petani seperti usia, tingkat pendidikan formal dan pengalaman petani beragribisnis. Faktor-faktor karakteristik sistem sosial yang lain yaitu: sistem kelembagaan petani; akses petani terhadap tenaga ahli, kelembagaan penelitian dan penyuluhan; fasilitasi oleh lembaga pemerintah terkait agribisnis; akses petani terhadap kelembagaan agribisnis dan kepemimpinan lokal belum berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani. Faktor-faktor ini seharusnya juga ditingkatkan untuk lebih meningkatkan kinerja penyuluh pertanian. Pada petani kelapa sawit, sistem kelembagaan petani tidak berpengaruh terhadap kinerja penyuluh pertanian memberdayakan petani, hal ini disebabkan karena sistem kelembagaan petani lebih banyak berinteraksi dengan lembaga Koperasi dan perusahaan pabrik kelapa sawit yang akan membeli komoditi sawit mereka. Selain itu, kinerja penyuluh pertanian belum optimal memperhatikan kelembagaan petani sawit. Sama halnya seperti petani tanaman pangan, kompetensi manajerial penyuluh tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja penyuluh pertanian memberdayakan petani sawit.
Hal ini disebabkan oleh manajemen penyuluh
adalah manajemen terpusat. Artinya, manajemen yang dilakukan penyuluh sudah terpola dari pusat dan belum optimal sesuai dengan kepentingan petani. Seharusnya penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani bertitik tolak dari kepentingan (kebutuhan pengembangan kapasitas dan kemandirian petani), tanpa mengabaikan kepentingan nasional. Pada petani keseluruhan, faktor-kaktor karakteristik sumberdaya petani yaitu usia, pendidikan formal dan pengalaman beragribisnis tidak berpengaruh terhadap
kinerja
penyuluh
atau
sebaliknya
kinerja
penyuluh
belum
memperhatikan (berdasarkan) karakteristik petani tersebut. Dalam melakukan
139
pemberdayaan seharusnya penyuluh juga memperhatikan karakteristik petani seperti usia, tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan non formal dan pengalaman petani beragribisnis. Sama semua petani, kompetensi manajerial penyuluh tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja penyuluh pertanian memberdayakan petani karet. Hal ini disebabkan oleh manajemen penyuluh adalah manajemen terpusat. Artinya, manajemen yang dilakukan penyuluh sudah terpola dari pusat dan belum optimal sesuai dengan kepentingan petani. Seharusnya penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani bertitik tolak dari kepentingan (kebutuhan pengembangan kapasitas dan kemandirian petani), tanpa mengabaikan kepentingan nasional. Pada semua petani,, faktor-kaktor karakteristik petani yaitu usia, pendidikan formal dan pengalaman beragribisnis tidak berpengaruh terhadap kinerja penyuluh atau sebaliknya kinerja penyuluh belum memperhatikan (berdasarkan) karakteristik petani tersebut. Dalam melakukan pemberdayaan seharusnya penyuluh juga memperhatikan karakteristik petani seperti usia, tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan non formal dan pengalaman petani beragribisnis. Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Agribisnis Tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis disajikan pada Tabel 25. Berdasarkan tabel tersebut, ternyata tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis, secara keseluruhan (petani tanaman pangan, petani kelapa sawit, petani karet, petani ikan dan petani ternak) untuk semua aspek kebutuhan pengembangan kapasitas petani termasuk pada kategori “rendah.” Hal ini dijelaskan satu persatu berikut ini: Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Meningkatkan Produktivitas Kebutuhan pengembangan kapasitas produktivitas adalah kebutuhan petani akan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif untuk meningkatkan produktivitas agribisnis, meliputi kebutuhan akan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif tentang penggunaan sarana produksi yang berkualitas, teknologi yang lebih menguntungkan, kebutuhan bimbingan teknis produksi yang lebih baik dan pengolahan hasil pertanian. Kebutuhan ini belum terpenuhi dengan baik. Banyak
140
permasalahan teknis produksi dan pengolahan hasil pertanian yang belum mampu diatasi sendiri oleh petani. Hal ini berlaku pada semua petani (tanaman pangan, kelapa sawit, karet, ikan dan ternak). Kebutuhan akses terhadap modal usaha, sebagian kecil petani sudah terpenuhi dengan adanya dana bergulir yang diselenggarakan pemerintah daerah, walaupun belum sepenuhnya menjangkau petani kecil, karena peminjaman modal ini memerlukanagunan sebagai syarat. Belum ditemukan petani mengupayakan modal sendiri (swadaya) melalui dana simpan pinjam yang dikelola kelompok. Pada petani padi, modal untuk benih dilakukan dengan usaha penangkaran benih yang dikelola kelompok tani dibimbing penyuluh pertanian. Kebutuhan pengembangan kapasitas petani untuk peningkatan produktivitas agribisnis juga meliputi kebutuhan pengembangan kapasitas peningkatan mutu produksi dan efisiensi usaha belum terpenuhi. Petani belum sepenuhnya mampu meningkatkan mutu produksi dan melakukan usaha agribisnisnya secara efisien. Hal ini terbukti dari belum mampunya bersaing produk-produk petani terutama buah-buahan dibandingkan dengan buah-buahan dari daerah lain dan impor, seperti jeruk, pisang dan lain-lain. Upaya-upaya yang dilakukan penyuluh untuk usaha ini belum baik. Sebagian besar petani, masih takut menanggung resiko dan ragu-ragu menanamkan modalnya untuk peningkatan mutu dan efisiensi usaha. Penyuluh beserta dinas terkait hendaknya harus mampu mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan menumbuhkan sikap positif berorientasi peningkatan mutu dan efisiensi usaha kepada petani. Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Pemasaran Hasil Pertanian Pemenuhan kebutuhan pengembangan kapsitas pemasaran kategori "rendah", dejelaskan sebagai berikut: (1) Kebutuhan petani untuk peningkatan pengetahuan dalam pemasaran hasil pertanian belum terpenuhi dengan baik. Petani belum memperoleh secara baik pengetahuan tentang pemasaran, misalnya tentang lembaga-lembaga pemasaran, fungsi-fungsi dalam pemasaran, tehnik pemasaran yang baik, efisiensi pemasaran, strategi peningkatan bargaining position petani dan sebagainya.
141
(2)
Kebutuhan petani akan informasi harga-harga hasil pertanian dan akses terhadap saluran pemasaran yang menguntungkan belum sepenuhnya terpenuhi. Informasi harga-harga hasil pertanian masih terbatas untuk untuk komoditi tertentu dan di beberapa kota besar di Indonesia.
(3)
Kebutuhan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif penanganan pasca panen yang berlimpah belum terpenuhi., terutama pada tanaman pangan dan hortikultura.
Permasalahan ini dapat diatasi jika petani melakukan
pengaturan pola tanam. yaitu pada satu lahan usahatani, petani menanam lebih dari satu macam jenis komoditi, sehingga pada saat panen tidak kelebihan produksi. Permasalahan kelebihan produkdi ini juga dapat diatasi dengan petani menanam komoditi-komoditi langka,dan permintaan pasar tinggi (khususnya di Riau misalnya: salak pondoh, sayuran dataran tinggi, dsb). Selain itu perlu peningkatan akses petani terhadap pengolahan hasil pertanian, yang dapat menampung kelebihan produksi dan peningkatan nilai tambah komoditi pertanian. (4) Permasalahan lain adalah keuntungan (bagian yang diterima petani) lebih kecil dari bagian yang diterima pedagang atau lembaga jasa lainnya atau posisi tawar-menawar petani masih lemah. Permasalahan ini dapat diatasi jika petani kreatif dan inovatif dalam memasarkan hasil pertaniannya dan menggalang persatuan dan kebersamaan (berhimpun dalam satu wadah) dalam memasarkan hasil pertaniannya. Misalnya, petani karet menghimpun diri dalam satu kelompok pemasaran dan memasarkan langsung lateksnya ke pabrik pengolahan, tanpa melalui pedagang perantara atau cukong. (5)
Permasalahan lain adalah keuntungan (bagian yang diterima petani) lebih kecil dari bagian yang diterima pedagang atau lembaga jasa lainnya atau posisi tawar-menawar petani masih lemah. Permasalahan ini dapat diatasi jika petani kreatif dan inovatif dalam memasarkan hasil pertaniannya dan menggalang persatuan dan kebersamaan (berhimpun dalam satu wadah) dalam memasarkan hasil pertaniannya. Misalnya, petani karet menghimpun diri dalam satu kelompok pemasaran dan memasarkan langsung lateksnya ke pabrik pengolahan, tanpa melalui pedagang perantara atau cukong
144
Tabel 25. Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis (X5) di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau (Skor Rataan)
Nama Peubah
Y1 Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Y11 Meningkatkan Produktivitas Y12 Pemasaran Y13 Keamanan usaha Y14 Berkelompok Y15 Berjaringan Y16 Kemajuan Usaha/prestasi
Petani Keseluruhan (n=300
Petani Tanaman Pangan (n= 60)
Petani Kelapa Sawit (n = 60)
Petani Karet (n =60)
Petani Petani Ikan Ternak (n= 60) (n = 60)
63
63
64
61
64
65
64
64
63
62
65
65
64 65 64 63
63 64 64 63
66 70 63 62
61 62 62 61
63 64 64 64
65 65 65 65
62
63
62
60
63
64
Keterangan: Kategori penilaian: 0 - ≤ 49 = sangat rendah; 50 - ≤ 69 = rendah; 70 – ≤ 85 = tinggi dan 85 – ≤ 100 = sangat tinggi Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani untuk Keamanan Usaha/Agribisnis Kebutuhan pengembangan kapasitas (pengetahuan, keterampilan dan sikap positif) petani untuk keamanan usaha kategori rendah, misalnya: kebutuhan informasi parakiraan cuaca/iklim belum terpenuhi dengan baik.
Petani lebih
banyak belajar dari pengalaman dan kebiasaan gejala alam yang terjadi, misalnya kapan awal musim hujan, musim kemarau dan sebagainya. Kebutuhan untuk pengendalian hama/ penyakit sebagian kecil petani dapat memenuhinya dengan cara meramu sendiri obat-obatan untuk mencegah maupun mengobati hama/penyakit dari ramuan non kimiawi (jamu-jamuan) yang terbukti ampuh mencegah dan mengobati hama/penyakit tanpa mencemarkan lingkungan dan menjadikan komoditi pertanian mereka aman untuk dikonsumsi. Kenyataannya, tidak semua petani mau menyampaikan pengetahuan ini kepada petani lain secara gratis. Dalam hal ini, seharusnya pihak pemerintah menjadikan hal ini aset untuk dikembangkan dan penemunya diberikan penghargaan.
Selain itu, beberapa
perusahaan swasta sering memperkenalkan produk untuk mencegah/ mengobati 145
hama/penyakit kepada petani, misalnya dari CNI dan sebagainya. Kebutuhan untuk penanganan pasca panen khususnya buah-buahan, sayuran dan perikanan, masih belum terpenuhi. Petani, biasanya menangani hal ini dengan mengolah secara tradisional.
Penanganan pengolahan pasca panen ini hendaknya harus
mendapat perhatian dari pemerintah. Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Berkelompok Kelompok-kelompok yang tumbuh dengan baik di tengah masyarakat petani adalah kelompok-kelompok kecil (klik) yang dibentuk sendiri oleh petani, yang jumlahnya lebih kecil dari 10 orang. Kelompok ini terbentuk spontanitas, yang terbentuk atas kesamaan kepentingan/kebutuhan dan rasa saling berbagi sesama petani. Kelompok yang dibentuk dari atas (kepentingan) pihak lain tidak bertahan lama dan tidak berkelanjutan memenuhi kebutuhan agribisnis petani. Kelompok yang terbentuk atas kepentingan petani dan dibentuk sendiri oleh petani lebih mujarab memberikan manfaat kepada petani, seperti membantu menyelesaikan permsalahan agribisnis petani, meningkatkan posisi tawar menawar petani dalam pemasaran, pemenuhan kebutuhan menyalurkan aspirasi dan sebagainya.
Sebaiknya, kelompok-kelompok inilah yang dijadikan cikal
bakal pembentukan kelompok tani dan dikembangkan oleh petani dan didampingi penyuluh. Kebutuhan pengembangan kapasitas petani untuk mampu berkelompok secara dinamis belum terpenuhi dengan baik, terutama kelompok yang dibentuk oleh pemerintah.
Dalam hal kemampuan berkelompok ini seharusnya petani
difasilitasi agar mampu memenuhi kebutuhan kapasitas mengembangkan dinamika kelompok, sehingga kelompok dirasakan manfaatnya oleh setiap anggota. Kebutuhan pengembangan kapasitas yang meliputi pengetahuan, keterampilan dan sikap tentang tujuan dan manfaat berkelompok, manajemen kelompok dan cara-cara meningkatkan dinamika kelompok tani. Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Berjaringan Kebutuhan pengembangan kapasitas petani untuk berjaringan khususnya kebutuhan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif petani mampu menjalin kerjasama dengan lembaga agribisnis (saprodi, pemasaran, pengolahan hasil dan 146
sebagainya), belum dapat dipenuhi oleh kelompok-kelompok tani yang terdaftar pada penyuluh. Kebutuhan pengembangan kapasitas berjaringan khususnya kebutuhan menjalin kerjasama dengan lembaga saprodi dan pemasaran cukup dapat dipenuhi oleh kelompok-kelompok kecil yang dibentuk secara spontanitas oleh petani. Pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas ini mereka peroleh melalui diskusi dengan teman-teman. petani
Mereka secara bersama-sama
menjalin kerjasama dengan lembaga saprodi dan lembaga pemasaran (misalnya, supermaket dan sebagainya). Hal ini hanya terpenuhi hanya pada sebagian kecil petani. Kenyataannya, kelompok yang dibentuk lebih atas kepentingan pihak lain belum dapat memenuhi kebutuhan berjaringan petani. Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani untuk Kemajuan usaha/Berprestasi Kebutuhan pengembangan kapasitas untuk mengaktualisasikan dirinya yaitu melalui pemenuhan kebutuhan peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif untuk meraih berprestasi, kebutuhan tidak tergantung pada orang lain, kebutuhan mengembangkan inovasi. Petani yang mampu memenuhi kebutuhan pengembangan kapasitas untuk aktualisasi diri, misalnya petani yang berprestasi mampu mengembangkan komoditi baru di kabupaten Kampar, seperti komoditi salak pondoh, selada, melon dan lain-lain dengan produktivitas yang menguntungkan. Sebelumnya komoditi-komoditi ini belum pernah dan belum berhasil dikembangkan di wilayah ini, karena lahan yang marginal. Pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis disamping diupayakan petani melalui kegiatan penyuluh pertanian, juga dapat diperoleh petani melalui pihak-pihak lain. Berdasarkan hasil analisis data dan pengamatan di lapangan, hal ini dijelaskan sebagai berikut: (1) Pemenuhan kebutuhan petani beragribisnis diupayakan juga oleh dinas-dinas terkait yaitu: Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Hortikultura dan Irigasi: Dinas Perkebunan; Dinas Peternakan dan Dinas Perikanan. Namun demikian, upaya ini belum berhasil memenuhi kebutuhan pengembangan kapasitas petani (2) Petani memenuhi kebutuhannya beragribisnis melalui swadaya, yang dipenuhi melalui sesama petani dan media lainnya (cetak dan elektronik). Tingkat keinovatifan (kemajuan) petani bervariasi dari yang sangat mandiri (maju) sampai “kurang maju”. Dalam hal ini terjadi pertukaran informasi dan pengetahuan sesama petani.
147
(3) Di wilayah penelitian telah berkembang perusahaan besar swasta dan pemerintah di bidang perkebunan, khususnya sawit. Di bidang peternakan ada beberapa perusahaan swasta yang menjalin kerjasama dengan petani peternak ayam pedaging dan petelur. Peran perusahaan swasta dalam pola PIR dengan petani ini adalah: (a) Membantu petani untuk akses terhadap sarana produksi, pengolahan dan pemasaran dan (b) alih teknologi, petani dapat belajar dari hal-hal baru yang dilakukan perusahaan. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan hasil penelitian, ternyata upaya pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis yang dilakukan perusahaan-perusahaan swasta ini juga belum memuaskan petani, seperti berikut ini dituturkan oleh seorang petani ternak. Saya sudah dua tahun menjadi plasma peternakan ayam ras dari sebuah perusahaan swasta. Pada awalnya, sarana produksi (terutama bibit ayam) yang dipasok oleh perusahaan inti berkualitas bagus, ayam gemuk dan bugar. Pengontrolan dan petunjuk tehnis yang diberikan kepada peternak pada awalnya juga bagus dan tepat waktu, sesuai perjanjian. Tetapi lama kelamaan, bibit yang dikirim kebanyakan kerdil, pengontrolan dan petunjuk-petunjuk tehnis intensitasnya tidak sesuai lagi dengan perjanjian. Akibat bibit ayam yang kerdil dan pengontrolan yang tidak lagi intensif, pertumbuhan ayam tidak optimal dan ayam yang terserang sakit tidak dapat ditangani dengan baik. Kualitas produksi menurun. Celakanya, harga jual hasil panen ke perusahaan inti juga lebih murah dari harga pasaran, apa lagi ditekan karena kualitas ayam tidak bagus (akibat bibit ayam yang diterima kerdil. Dalam hal ini kami peternak ayam, mohon perhatian dan fasilitasi oleh lembaga pemerintah terkait (penyuluh dan dinas peternakan) mengatasi permasalahan kami ini. Kami juga jarang dikunjungi penyuluh dan dinas terkait. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis Melalui uji korelasi (Tabel 26), diperoleh hasil analisis sebagai berikut: (1) Karakteristik Petani. Pada karakteristik petani, faktor yang berkorelasi positif dan signifikan dengan pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis untuk semua petani (petani tanaman pangan; petani kelapa
148
sawit; petani karet;petani ikan dan petani ternak) adalah: pendidikan formal, pendidikan non formal dan pendidikan informal, korelasinya cukup kuat. Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan formal, pendidikan non formal dan pendidikan informal petani, semakin terpenuhi kebutuhan pengembangan kapasitas petani. Hal ini menjelaskan, faktor pendidikan (formal, non formal maupun informal) seharusnya diperhatikan dalam upaya pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis. Tingkat pendidikan formal dan pendidikan non formal berbeda, berbeda pula tingkat kebutuhan pengembangan kapasitas petani yang harus dipenuhi dalam beragribisnis. (2) Karakteristik Sistem Sosial. Aspek-aspek karakteristik sistem sosial yang berkorelasi positif, cukup erat dan signifikan dengan pemenuhan kebutuhan pe-ngembangan kapasitas petani beragribisnis untuk semua kelompok petani adalah: nilai-nilai sosial budaya, fasilitasi oleh lembaga pemerintah terkait dan akses terhadap kelembagaan agribisnis. Artinya, semakin tinggi dukungan dari aspek aspek karakteristik sistem sosial semakin terpenuhi kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis. Dengan demikian, agar tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani tinggi, maka aspek-aspek yang berkorelasi positif tersebut harus ditingkatkan (3) Kinerja Penyuluh Pertanian Memberdayakan Petani.
Semua aspek
kinerja penyuluh pertanian pada petani keseluruhan berkorelasi positif dan signifikan pada taraf 1 persen dengan aspek-aspek pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis, kecuali aspek penguatan kelembagaan petani, berkorelasi hanya pada taraf lima persen. Dengan kata lain, kinerja penyuluhan semakin baik maka
pemenuhan kebutuhan
pengembangan kapasitas petani beragribisnis semakin baik dan sebaliknya. Namun demikian, petani dengan komoditi unggulan berbeda, berbeda pula keeratan hubungan antara kinerja penyuluh pertanian dengan tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis. Artinya, belum merata semua petani memperoleh kinerja penyuluh pertanian yang meningkatkan pemenuhan kebutuhan pengembangan
kapasitas petani
beragribisnis. 149
Tabel 26. Koefisien Korelasi Aspek-aspek Karakteristik Petani, Karakteristik Sistem Sosial, Kinerja Penyuluh Pertanian Memberdayakan Petani dengan Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau
Nama Peubah
Koefisien Korelasi Faktor-faktor yang berhubungan dengan TingkatPemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis (Y2) Petani Ke- Petani Petani Petani Petani Petani seluruhan Tanaman Kelapa Ternak Karet Ikan (n = 300) Pangan (n = 60) (n = 60) (n = 60) Sawit (n = 60) (n = 60)
Karakteristik Petani (X1) Umur (X11) Pendidikan Formal (X12)
0,159** 0,470**
Pendidikan Non Formal 0,492** (X13) Pendidikan Informal (X14) 0,459** Pengalaman Beragribisnis 0,183** (X15) Karakteristik Sistem Sosial (X2) Nilai-nilai Sosial Budaya 0,445** (X21) Sistem Kelembagaan (X22) 0,344** Akses Terhadap Tenaga 0,201** Ahli, Kelembagaan Lit-luh (X23) Fasilitasi Agribisnis oleh 0,656** Lembaga Pemerintah (X24) Akses terhadap 0,608** Kelembagaan Agribisnis (X25) Kepemimpinan Lokal (X26) 0,089 Karakteristik Sistem Sosial 0,786** (X2) Kinerja Penyuluh Pertanian (X4) Pengembangan Perilaku 0,479** Inovatif Petani (X41) Penguatan Tingkat Partisipasi dan Kemampuan Managerial Petani (X42) Penguatan Kelembagaan Petani (X43) Penguatan Akses PetaniTerhadap Berbagai Sumberdaya (X44) Penguatan Kemampuan Petani Berjaringan (X45) Kaderisasi (X46) Kinerja Penyuluh Pertanian Memberdayakan Petani (X4)
0,154 0,270*
0,202 0,580**
0,036 0,392**
0,064 0,520**
0,062 0,583**
0,476**
0.547**
0,640**
0,686**
0,633**
0,523**
0,321**
0,719**
0,441**
0,301**
0,239
0,336**
0,097
0,118
0,022
0,690**
0,711**
0,405**
0,409**
0,247
0,269*
0,314*
0,158
0,006
0,178
0,179
0,109
-0,104
0,298*
0,009
0,556**
0,659**
0,810**
0,665**
0,715**
0,847*
0,791**
0,756**
0,502**
0,869**
0,486**
0,342**
-0,035
0,158
-0,212
0,782**
0,623**
0,579**
0,525**
0,659**
0,356**
0,390**
0,416**
0,392**
0,398**
0,397**
0,539**
0,409**
0,517*
0,147*
0,129
0,092
0,215
0,369**
0,411**
,382**
0,344**
0,174**
0,005
0,221
0,160 0,431**
0,150
0,184
0,356** 0,127
0,484**
0,353**
,344**
0,399**
0,378**
0,099
0,126
0,336**
0,383**
0,017
0,186
0,123 0,326*
0,173 0,381**
150
Tabel 26 (lanjutan)
Peubah
Koefisien Korelasi Faktor-faktor yang berhubungan dengan Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis Petani Petani Petani Petani Petani Petani Kelapa Keselu- Tanaman Karet Ikan Ternak Pangan Sawit (n = 60) (n = 60) (n = 60) ruhan (n = 60) (n = 60) (n = 60)
Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis (Y1) Meningkatkan 0,943** 0,964** 0,974** 0,971** 0,977** 0,984** Produktivitas (Y11) Pemasaran (Y12) 0,820** 0,815** 0,791** 0,757** 0,905** 0,865** Keamanan 0,950** 0,944** 0,968** 0,966** usaha/agribisnis (Y13) 0,823** 0,955** Berkelompok (Y14)
0,921**
0,927**
0,918**
0,942**
0,929**
0,952**
Berjaringan (Y15)
0,597**
0,582**
0,611**
0,435**
0,469**
0,584**
Kemajuan Usaha/Berprestasi (Y16)
0,953**
0,967**
0,974**
0,974**
0,975**
0,978**
Keterangan: ** = Uji korelasi signifikan pada taraf 1 persen * = Uji korelasi signifikan pada taraf 5 persen
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis pada Petani Keseluruhan dan pada Petani dengan Komoditi unggulan yang Berbeda Faktor-faktor yang Berpengaruh Langsung Faktor-faktor yang berkorelasi signifikan dengan pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis (Tabel 26), dilanjutkan ke uji regresi berganda yaitu untuk melihat pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis. Berdasarkan uji regresi berganda, faktor-faktor yang berpengaruh langsung dan tidak langsung (melalui kinerja penyuluh pertanian), signifikan dan besarnya pengaruh tersebut secara sendiri-sendiri (koefisien Beta pada taraf 5 dan 10 persen) terhadap pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis pada petani keseluruhan dan pada petani dengan komoditi unggulan yang bebeda (petani tanaman pangan; petani kelapa sawit; petani karet; petani ikan dan peteni ternak) disajikan pada Tabel 27. Hasil uji analisis regresi berganda ini untuk menguji Hipotesis 2, yaitu: "Karakteristik petani, karakteristik sistem sosial dan kinerja penyuluh pertanian 151
memberdayakan petani berpengaruh signifikan terhadap pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis." Ternyata Hipotesis 2 tersebut tidak terbukti (ditolak) pada petani keseluruhan, tetapi diterima untuk faktor-faktor tertentu (faktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis). Faktor-faktor yang diterima pada Hipotesis 2 tersebut untuk petani keseluruhan adalah:
(1) Kinerja
penyuluh perta-nian memberdayakan petani, (2) Karakteristik petani yaitu tingkat pendidikan formal; pendidikan non formal, dan pendidikan informal petani, (3) Karakteristik sistem sosial yaitu fasilitasi agribisnis oleh lembaga pemerintah, fasilitasi agribisnis oleh lembaga swasta nilai-nilai sosial budaya. Koefisien R kuadrat (koefisien determinasi) dari faktor-faktor ini adalah 0,82 atau 82 persen. Artinya, besarnya pengaruh langsung faktor-faktor tersebut secara bersama-sama terhadap pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis adalah sebesar 0,82 atau 82 persen. Adapun sisanya, yaitu 18 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Faktor di luar model ini diduga adalah ketersediaan informasi, inovasi spesifik lokasi, dan lain-lain. Hasil pengujian hipotesis 2 untuk masing-masing petani dengan komoditi unggulan berbeda adalah sebagai berikut: (1) Petani Tanaman Pangan. Hipotesis 2 tersebut tidak terbukti (ditolak) pada petani tanaman pangan, tetapi diterima untuk faktor-faktor tertentu (faktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis). Faktor-faktor yang diterima pada Hipotesis 2 tersebut untuk petani tanaman pangan adalah: (1) Kinerja penyuluh pertanian memberdayakan petani, (2) Karakteristik petani yaitu tingkat pendidikan non formal, dan pendidikan informal petani, (3) Karakteristik sistem sosial yaitu fasilitasi agribisnis oleh lembaga pemerintah, dan nilai-nilai sosial budaya. Koefisien R kuadrat (koefisien determinasi) dari faktor-faktor ini adalah 0,82 atau 82 persen. Artinya, besarnya pengaruh langsung faktor-faktor
tersebut secara bersama-sama terhadap kinerja
penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani tanaman pangan adalah sebesar 0,82 atau 82 persen. Adapun sisanya, yaitu 17 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. (2) Petani Kelapa Sawit. Hipotesis 2 tersebut tidak terbukti (ditolak) pada petani kelapa sawit, tetapi diterima untuk faktor-faktor tertentu (faktor yang 152
berpengaruh signifikan terhadap tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis. Faktor-faktor yang diterima pada Hipotesis 2 tersebut untuk petani kelapa sawit adalah: (1) Kinerja penyuluh pertanian memberdayakan petani, (2) Karakteristik petani yaitu tingkat pendidikan formal, dan pendidikan non formal petani, (3) Karakteristik sistem sosial yaitu fasilitasi agribisnis oleh lembaga pemerintah, fasilitasi agribisnis oleh lembaga swasta, dan nilai-nilai sosial budaya. Koefisien R kuadrat (koefisien determinasi) dari faktor-faktor ini adalah 0,83 atau 83 persen. Artinya, besarnya pengaruh langsung faktor-faktor
tersebut secara bersama-sama
terhadap kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani kelapa sawit beragribisnis adalah sebesar 0,83 atau 83 persen. Adapun sisanya, yaitu 17 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model (3) Petani Karet. Hipotesis 2 tersebut tidak terbukti (ditolak) pada petani karet, tetapi diterima untuk faktor-faktor tertentu (faktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis. Faktor-faktor yang diterima pada Hipotesis 2 tersebut untuk petani karet adalah: (1) Kinerja penyuluh pertanian memberdayakan petani, (2) Karakteristik petani yaitu tingkat pendidikan non formal, dan pendidikan informal petani, (3) Karakteristik sistem sosial yaitu fasilitasi agribisnis oleh lembaga pemerintah, dan nilai-nilai sosial budaya. Koefisien R kuadrat (koefisien determinasi) dari faktor-faktor ini adalah 0,87 atau 87 persen. Artinya, besarnya pengaruh langsung faktor-faktor tersebut secara bersama-sama terhadap kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani karet beragribisnis adalah sebesar 0,87 atau 87 persen. Adapun sisanya, yaitu 13 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. (4) Petani Ikan. Hipotesis 2 tersebut tidak terbukti (ditolak) pada petani ikan tetapi diterima untuk faktor-faktor tertentu (faktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis. Faktor-faktor yang diterima pada Hipotesis 2 tersebut untuk petani ikan adalah: (1) Kinerja penyuluh pertanian memberdayakan petani, (2) Karakteristik petani yaitu tingkat pendidikan formal dan pendidikan
153
non formal, dan pendidikan informal petani, (3) Karakteristik sistem sosial yaitu fasilitasi agribisnis oleh lembaga pemerintah, dan nilai-nilai sosial budaya. Koefisien R kuadrat (koefisien determinasi) dari faktor-faktor ini adalah 0,82 atau 82 persen. Artinya, besarnya pengaruh langsung faktor-faktor tersebut secara bersama-sama terhadap kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani ikan beragribisnis adalah sebesar 0,82 atau 82 persen. Adapun sisanya, yaitu 18 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. (5) Petani ternak. Hipotesis 2 tersebut tidak terbukti (ditolak) pada petani keseluruhan, tetapi diterima untuk fakto-faktor tertentu (faktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis. Faktor-faktor yang diterima pada Hipotesis 2 tersebut untuk petani ternak adalah: (1) Kinerja penyuluh pertanian memberdayakan petani, (2) Karakteristik petani yaitu tingkat pendidikan formal, dan pendidikan non formal petani, (3) Karakteristik sistem sosial yaitu fasilitasi agribisnis oleh lembaga pemerintah, fasilitasi agribisnis oleh lembaga swasta dan nilai-nilai sosial budaya. Koefisien R kuadrat (koefisien determinasi) dari faktor-faktor ini adalah 0,83 atau 83 persen. Artinya, besarnya pengaruh langsung faktor-faktor
tersebut secara bersama-sama terhadap kinerja
penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani ternak beragribisnis adalah sebesar 0,83 atau 83 persen. Adapun sisanya, yaitu 17 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 27), ternyata untuk seluruh petani (petani tanaman pangan, petani kelapa sawit, petani karet, petani ikan dan petani ternak),
faktor utama yang mempengaruhi tingkat pemenuhan kebutuhan
pengembangan kapasitas petani beragribisnis adalah: (1) Kinerja penyuluh pertanian memberdayakan petani; (2) Karakteristik petani yaitu pendidikan non formal petani; dan (3) Karakteristik sistem sosial yaitu fasilitasi agribisnis oleh lembaga pemerintah. Selain faktor tersebut, faktor spesifik untuk petani tanaman pangan dan karet, adalah faktor: pendidikan informal petani dan nilai-nilai sosial budaya. Pada petani kelapa sawit dan ternak faktor spesifik
154
yang berpengaruh adalah: pendidikan formal, nilai-nilai sosial budaya dan fasilitasi agribisnis oleh swasta.
Pada petani ikan faktor spesifik yang
berpengaruh adalah faktor pendidikan formal dan pendidikan informal Hasil penelitian ini memberikan implikasi bahwa tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis untuk petani keseluruhan dan secara spesifik pada petani dengan komoditi unggulan yang berbeda, dapat diperbaiki dan ditingkatkan dengan cara sebagai berikut: (1) Pada petani keseluruhan adalah dengan cara meningkatkan kinerja penyuluh pertanian memberdayakan petani; meningkatkan akses petani terhadap pendidikan non formal (melalui penyelenggaraan pelatihan atau kursus tani, dan lain-lain); dam meningkatkan efektifitas fasilitasi agribisnis oleh lembaga pemerintah (memampukan petani untuk akses terhadap saprodi, permodalan, pemasaran dan pengolahan hasil pertanian yang lebih baik). (2) Petani tanaman pangan, karet dan ikan: meningkatkan akses petani terhadap pendidikan informal dan meningkatkan dukungan sistem sosial yaitu memperhatikan dan memanfaatkan nilai-nilai sosial budaya. (3) Petani kelapa sawit dan petani ternak: dengan meningkatkan fasilitasi agribisnis oleh lembaga swasta (memampukan petani untuk akses terhadap saprodi, permodalan, pemasaran dan pengolahan hasil pertanian yang lebih baik). Pada petani kelapa sawit dan ternak, sebagian besar petaninya adalah petani peserta PIR (Perusahaan Inti Rakyat). peserta
PIR
kelapa
sawit,
sesuai dengan
Menurut Disbun (1985) petani ketentuan
pemerintah
yaitu
pengembangan perkebunan dengan pola PIR, Direktorat Jenderal Perkebunan memberikan hak-hak kepada petani antara lain, yaitu: (1) memperoleh kebun sesuai luas tanah yang diikutsertakan dalam proyek (kebun yang sudah ditanami kelapa sawit oleh perusahaan inti); (2) mendapatkan bantuan perusahaan inti untuk meperoleh sarana produksi; (3) memperoleh bimbingan teknis, latihan dan penyuluhan dalam usahataninya dan (4) memperoleh jaminan pemasaran hasil usaha tanaman perkebunannya sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah. Demikian juga pada pola PIR peternakan (perunggasan), peternak mendapat kemudahan mendapatkan kredit untuk membeli sapronak, bimbingan teknis dan jaminan pemasaran. Hal ini yang menjelaskan bahwa faktor fasilitasi 155
oleh kelembagaan swasta pada petani kelapa sawit dan petani ternak lebih berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani, terutama kapasitas akses petani terhadap sarana produksi dan pemasaran hasil pertanian. Walaupun demikian, fasilitasi agribisnis dari pemerintah juga diperlukan, untuk mengawasi kemitraan yang ideal antara petani dan perusahaan inti. Petani tanaman pangan dan karet, agribisnisnya lebih banyak dipengaruhi oleh kinerja penyuluh, fasilitasi agribisnis oleh pemerintah, pendidikan non formal dan pendidikan informal. Implikasinya adalah meningkatkan pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani dengan meningkatkan kinerja panyuluh pertanian memberdayakan petani, fasilitasi agribisnis oleh pemerintah, dan meningkatkan akses petni terhadap pendidikan non formal dan pendidikan informal petani. Petani ikan, tidak mengalami intervensi dari perusahaan swasta, dan agribisnis ini secara komersil baru berkembang tahun 1980-an di kabupaten Kampar. Pada keseluruhan petani dan pada petani dengan komoditi unggulan yang berbeda, ternyata faktor-faktor karakteristik petani (umur dan pengalaman beragribisnis) tidak berpengaruh signifikan terhadap pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis. Ternyata bertambahnya usia dan lama petani beragribisnis tidak berpengaruh signifikan terhadap pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis tanpa diiringi oleh peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif petani melalui pendidikan. Dalam hal ini penting untuk meningkatkan akses petani terhadap pendidikan (karena rendahnya tingkat pendidikan formal, non formal dan informal).
Melalui pendidikan non formal dan pendidikan informal petani,
diharapkan dapat meningkatkan kemampuan petani beragribisnis dan dapat memenuhi
kebutuhan
pengembangan
kapasitas
petani
untuk
kemajuan
agribisnisnya. Pada petani keseluruhan dan petani dengan komoditi unggulan yang berbeda, faktor-faktor karakteristik sistem sosial yang lain yaitu: sistem kelembagaan petani; akses petani terhadap informasi dan inovasi pertanian, dan kepemimpinan lokal tidak berpengaruh secara signifikan terhadap terhadap
156
pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis.
Faktor-
faktor ini seharusnya juga ditingkatkan untuk lebih meningkatkan pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis. Faktor -faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Penyuluh Pertanian untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis Pada petani keseluruhan, hasil analisis koefisien jalur besarnya pengaruh langsung dan tidak langsung peubah bebas terhadap peubah terikat pada model pemberdayaan petani untuk pemenuhan kebutuhan petani beragribisnis disajikan pada Tabel 27 dan Gambar 9. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, ternyata faktor pendidikan non formal; nilai-nilai sosial budaya; fasilitasi agribisnis oleh pemerintah dan fasilitasi agribisnis oleh lembaga swasta berpengaruh signifikan terhadap kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani dan sekaligus terhadap pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis. Artinya, akses petani terhadap pendidikan non formal, dukungan sistem sosial yaitu nilai-nilai sosial budaya; fasilitasi agribisnis oleh lembaga pemerintah dan fasilitasi agrbisnis oleh lembaga swasta, akan lebih berperan dalam pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis apabila didukung oleh kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani. Dengan kata lain, kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani apabila didukung oleh peningkatan akses petani terhadap pendidikan non formal; nilai-nilai sosial budaya, fasilitasi agribisnis oleh pemerintah, dan fasilitasi agribisnis oleh lembaga swasta akan meningkatkan pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis.
Hal ini memberikan implikasi
bahwa untuk pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis harus didukung oleh kinerja prima penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani;
akses petani terhadap pendidikan non formal yang tinggi (petani akses
untuk meraih pengetahuan, keterampilan dan sikap positif), dan koordinasi yang baik antara kelembagaan penyuluhan dengan dinas terkait dan pihak swasta dalam memfasilitasi agribisnis; serta memperhatikan dan memanfaatkan nilai-nilai sosial budaya setempat. Memperhatikan atau memanfaatkan nilai-nilai budaya ini misalnya, budaya gotong royong dalam batobo, bisa dimanfaatkan untuk kegiatan agribisnis yang lain. 157
0,14**
Pendidikan Formal Petani X12
Pendidikan Non Formal Petani X12
0,21**
Pendidikan InFormal X13
0,10* 0,08*
Kompetensi Penyuluh Berkomunikasi X32
0,27**
R2 =0,82
R2 =0,75 Kompetensi Penyuluh Membelajarkan Petani X33
Kompetensi Interaksi Sosial Penyuluh X34
0,30*
KINERJA PENYULUH PERTANIAN MEMBERDAYAKAN PETANI X4
0,19**
0,21**
0,07* Nilai-nilai Sosial
Fasilitasi Agribisnis oleh Lembaga Pemerintah X24
PEMENUHAN KEBUTUHAN PENGEMBAN GAN KAPASITAS PETANI BERAGRIBISNIS Y1
0,08** 0,09* 0,15** 0,07*
0,11**
FasilitasiAgribisnis oleh Lembaga swasta. X25
Keterangan: ** = Analisis Jalur signifikan pada taraf 5 persen * = Analisis Jalur signifikan pada taraf 10 persen
Gambar 9. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pemberdayaan Petani untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis (pada Petani Keseluruhan) di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau Aspek-aspek Kinerja Penyuluh Pertanian dalam Memberdayakan Petani yang Berpengaruh Langsung terhadap Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis Uji regresi berganda
aspek-aspek kinerja penyuluh pertanian yang
berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis pada petani keseluruhan dan pada petani dengan komoditi unggulan yang berbeda (petani tanaman pangan; kelapa sawit; karet; ikan dan ternak) disajikan pada Tabel 28. Hasil uji analisis regresi berganda ini adalah untuk
158
menguji Hipotesis 3 yaitu: "Aspek-aspek kinerja penyuluh petanian memberdayakan petani yaitu: pengembangan perilaku inovatif petani; penguatan tingkat partisipasi dan kemampuan managerial petani; penguatan kelembagaan petani; penguatan akses petani terhadap berbagai sumberdaya; penguatan kemampuan petani berjaringan dan kaderisasi berpengaruh secara signifikan terhadap pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis."
Ternyata
Hipotesis 3 tersebut tidak terbukti (ditolak) pada petani keseluruhan, tetapi diterima untuk faktor-faktor tertentu (aspek-aspek yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis). Faktor-faktor yang diterima pada Hipotesis 3 tersebut untuk petani keseluruhan adalah: (1) Pengembangan perilaku inovatif petani, (2) Penguatan tingkat partisipasi petani; (3) Penguatan akses petani terhadap berbagai sumberdaya. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 28), ternyata untuk seluruh petani (petani tanaman pangan, petani kelapa sawit, petani karet, petani ikan dan petani ternak),
aspek-aspek kinerja penyuluh petanian yang utama mempengaruhi
tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis adalah: (1) Pengembangan perilaku inovatif petani, dan (2) Penguatan tingkat partisipasi petani. Selain faktor tersebut, faktor spesifik untuk petani tanaman pangan, karet dan ikan, adalah faktor: penguatan akses petani terhadap berbagai sumberdaya. Pada petani kelapa sawit dan ternak faktor spesifik yang berpengaruh adalah: penguatan kemampuan petani berjaringan. Hasil penelitian ini memberikan implikasi bahwa aspek-aspek kinerja penyuluh pertanian yang berpengaruh terhadap tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis untuk petani keseluruhan dan secara spesifik pada petani dengan komoditi unggulan yang berbeda, dapat diperbaiki dan ditingkatkan dengan cara sebagai berikut: (1) Pada petani keseluruhan: meningkatkan aspek kinerja penyuluh pertanian pengembangan perilaku inovatif petani, dan penguatan tingkat partisipasi petani. (2) Petani tanaman pangan, karet dan ikan: meningkatkan aspek kinerja penguatan akses petani terhadap berbagai sumberdaya (3) Petani kelapa sawit dan petani ternak: dengan meningkatkan kemampuan petani berjaringan
159
Tabel 28. Koefisien Jalur Aspek-aspek Kinerja Penyuluh Pertanian dan Faktor-faktor lain yang Berpengaruh Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani (Y1) Petani Petani Petani Petani Petani Petani Nama Peubah Sawit Ikan Ternak Pangan Karet Keselu(n = 60) (n =60) (n = 60) (n = 60) (n = 60) ruhan (n = 60) Kinerja Penyuluh Pertanian (X4) X41 Pengembangan Perilaku Inovatif 0,11** 0,14** 0,10** 0,11** 0,12** 0,10** Petani X42 Penguatan Tingkat Partisipasi 0,09* Petani X44 Penguatan Akses Petani Ter0,07* hadap Berbagai Sumberdaya X44 Penguatan Kemampuan Petani Berjaringan Karakteristik petani (X1) X12 Pendidikan 0,10** Formal Petani X13 Pendidikan Non Formal 0,18** Petani X14 Pendidikan Informal 0,11** Petani Karakteristik Sistem Sosial (X2) X21 Nilai-nilai 0,09* Sosial Budaya X24 Fasilitasi Agribisnis 0,10** oleh Pemerintah X25 Fasilitasi Agribisnis 0, 09* oleh Swasta 0,82 R2
0,11**
0,08*
0,09*
0,08*
0,10**
0,09*
0,12**
-
0, 11**
-
0,10**
-
-
0,17**
-
0,17**
0,14**
0,19**
0,18**
0,14**
0,19**
0,18**
0,18**
-
0,28**
0,10*
0,10**
0,09*
0,14**
0,12**
-
0,12**
0,08*
0,11**
0,12**
0,10**
-
0,20**
-
0,82
0,83
0,87
-
0,82
-
0,11**
-
0,25** 0,83
Keterangan: ** = signifikan pada taraf 5 persen * = signifikan pada taraf 10 persen
160
Kinerja penyuluh pertanian dalam meningkatkan tingkat partisipasi berpengaruh lemah terhadap pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis.
Hal ini disebabkan karena upaya peningkatan tingkat
partisipasi petani yang dilakukan penyuluh masih bersifat top down. Melibatkan petani dalam kegiatan penyuluhan pertanian lebih banyak mengikuti petunjuk yang sudah ada ketentuan dari pemerintah untuk kepentingan ”terlaksanyanya” program dari pada untuk kepentingan atau kebutuhan petani. Program dan rencana kerja penyuluhan pertanian disusun penyuluh kurang melibatkan petani. Akibatnya, petani berpartisipasi lebih banyak karena ikut-ikutan atau bersifat sesaat dan insidentil, selama ada kegiatan dari pemerintah. Petani berpartisipasi tidak dibangun berdasarkan kemauan yang lahir dari petani, sehingga partisipasi itu bersifat semu. Partisipasi yang ikut-ikutan seperti ini lebih banyak hanya menghabiskan waktu petani, sehingga tidak berhasil memenuhi pengembangan kapasitas petani beragribisnis. Berikut ini disajikan hasil wawancara mendalam dengan seorang petani tanaman pangan.
Penyuluh pertanian dalam membuat membuat perencanaan kegiatan penyuluhan tidak musyawarah dengan kami petani. Tiba-tiba sudah ada aja perencanaan dari penyuluh tersebut. Misalnya, kegiatan demplot. Penyuluh tersebut yang menentukan jenis tanaman, tempat demplot dilakukan. Sepertinya, penyuluh lebih mementingkan asal terlaksanya suatu kegiatan dari pada manfaatnya untuk petani. Kineja penyuluh penguatan akses petani ke berbagai sumbrdaya adalah upaya-upaya yang dilakukan penyuluh dan kelembagaan penyuluh memfasilitasi petani agar mereka mampu akses terhadap berbagai sumberdaya, misalnya kebutuhan petani akan informasi teknologi yang menguntungkan (secara teknis, secara ekonomi dan sosial).
Pada petani kelapa sawit dan ternak, kinerja
penyuluh memperkuat kemampuan berjaringan petani adalah memfasilitasi agar petani mampu melakukan kerjasama horizontal, maupu vertikal. Misalnya meningkatkan kemampuan berjaringan petani dengan lembaga pemasaran, lembaga pengolah hasil pertanian, lembaga penelitian, dsb.
161
Aspek-aspek lain dari kinerja penyuluh dalam memberdayakan petani, yaitu: penguatan kelembagaan petani; penguatan akses terhadap berbagai sumberdaya; penguatan kemampuan berjaringan dan kaderisasi tidak berpengaruh signifikan terhadap pemenuhan kebutuhan peningkatan kapasitas petani beragribisnis.
Penyuluh belum melakukan kinerja dari aspek-aspek tersebut
secara baik, terbukti aspek-aspek kinerja tersebut kategori “rendah”. Aspek-aspek tersebut seharusnya ditingkatkan juga oleh penyuluh pertanian. Tingkat Kemandirian Petani Beragribisnis Tingkat kemandirian petani beragribisnis disajikan pada Tabel 44. Pada Tabel ini, terlihat bahwa tingkat kemandirian petani secara keseluruhan (petani tanaman pangan, kelapa sawit, karet, ikan dan ternak) berada pada kategori “rendah.” Tabel 29. Tingkat Kemandirian Petani Beragribisnis (Y2) di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau (Skor Rataan)
Variabel Y2 Tingkat Kemandirian Beragribisnis Y21 Intelektualitas Beragribisnis Y22 Sikap Mental Beragribisnis Y23 Manajemen Agribisnis Y24 Sosial Y25 Materil Y26 Pengembangan Diri
Petani Keseluruhan (n =300)
Petani Tanaman Pangan (n = 60)
Petani Petani Kelapa Karet Sawit (n = 60) (n = 60)
Petani Ikan (n =60)
Petani Ternak (n =60)
64
64
64
62
66
64
65
65
64
63
66
65
65
65
65
63
67
66
63
63
63
62
65
64
64 64
64 64
63 67
62 62
65 65
64 64
64
63
63
62
65
64
Keterangan: Kategori penilaian: 0 - ≤ 49 = sangat rendah; 50 - ≤ 69 = rendah; 70 – ≤ 85 = tinggi dan 85 – ≤ 100 = sangat tinggi
162