PARADOKS SEKTOR INFORMAL SERTA MODEL PENGEMBANGAN DI BERBAGAI BELAHAN DUNIA Oleh Dedi Muhammad Siddiq Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon
[email protected] Abstrak Sektor informal diakui memiliki peranan besar dalam menyediakan lapangan kerja dan menopang kehidupan jutaan rakyat miskin di dunia. Karakternya yang fleksibel dan mudah untuk dimasuki menjadikan sektor ini menjadi primadona sumber inkam khususnya bagi masyarakat miskin di berbagai belahan dunia. Sayangnya, kontribusi sektor informal belum sepenuhnya diakui oleh pemegang kebijakan. Banyak pemerintah di negara-negara berkembang kurang memberi perlindungan positif pada sektor ini. Akan tetapi, beberapa wilayah di dunia telah berhasil melakukan penanganan yang tepat dan positif terhadap aktor sektor ini. Penelitian studi literatur ini mencoba untuk mendiskusikan dinamika sektor informal serta beberapa kebijakan positif dari beberapa negara dalam penanganan sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak ini.
Abstract The informal sector plays a major role in providing employment and sustains the lives of millions of poor people in the world. Its flexible and the ease to enter the busines has made this sector an excellent source of income especially for poor people in various parts of the world. Unfortunately, the contribution of the informal sector has not been fully recognized by the authorities. Many governments in developing countries give less positive protection toward this sector. However, some regions in the world have managed to do a proper and positive handling to the actors of this sector. This literature study discusses the dynamics of the informal sector and some positive policies of some countries in handling the sector on which many people rely their income.
A. PENDAHULUAN Sektor informal memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi dan sosial khususnya di Indonesia dan umunya di negara-negara berkembang. Jutaan tenaga kerja yang umumnya dari kalangan ekonomi bawah menggantungkan inkam mereka pada sektor ini sehingga tanpa sektor ini kehidupan mereka dan keluarga mereka mungkin tidak dapat 1
dipertahankan. Dalam sektor ini, para pelaku melakukan jenis pekerjaan yang berbeda-beda seperti pedagang keliling, pedagang kaki lima (PKL), tukang ojeg, buruh kecil, tukang parkir, pedagang asongan, pengamen, pengemis, pemulung, pembantu rumah tangga (PRT) dan lain-lain. Mereka
menghabiskan waktu
mereka
siang dan malam untuk
mempertahankan pekerjaan mereka. Kadang untuk memulai atau meneruskan bisnisnya, mereka rela berhutang ke sana kemari dengan menggadaikan barang seadanya. Terlepas dari kenyataan bahwa sektor informal telah memberikan kontribusi besar bagi kehidupan jutaan orang dan untuk pembangunan ekonomi bangsa, sektor ini cenderung masih diabaikan. Masyarakat, khususnya pemerintah sering membiarkan operator bisnis ini tanpa jaminan sosial dan perlindungan hukum. Menurut Bhowmick (2005) dari penelitian yang dilakukan pada sepuluh negara di Asia dalam hal penanganan PKL –salah satu jenis pekerjaan sektor informal- hanya tiga negara yakni Malaysia, Filipina dan India memiliki kebijakan yang mengatur dan melindungi PKL. Tujuh negara lainnya, tidak memiliki peraturan yang melindungi dan mengembangkan PKL. Meskipun di negara-negara yang secara ideologis berkomitmen untuk kepentingan kelas buruh seperti Vietnam dan Kamboja, PKL tidak memiliki perlindungan hukum bahkan menerima perlakuan negatif dari pemerintah (Bhowmick, 2005). Meski demikian, tidak seluruh wilayah di negara berkembang di dunia memperlakukan sektor informal secara konfrontatif dan tidak bersahabat. Wilayah-wilayah tertentu memiliki kebijakan yang lebih positif dalam menangani para aktor sektor ini, meskipun jumlahnya masih sangat minim. Kebijakan yang mereka lahirkan tidak hanya direalisasikan dalam bentuk aksi nyata namun dirumuskan terlebih dahulu dalam kerangka kebijakan dan kerangka aturan yang berdimensi hukum dan mengikat semua kalangan khususnya pemerintah dan pelaku sektor informal itu sendiri. Hasilnya, kebijakan pro-poor ini, di satu sisi telah mampu menertibkan operasi para pebisnis sektor informal sehingga relatif mengurangi gangguan ketertiban umum dan di sisi lain meningkatkan penghasilan dan derajat hidup warga masyarakat miskin. Sehingga dari tujuan di atas terumuskan satu pertanyaan penelitian bagaimana dinamika penanganan sektor informal di dunia serta pengalaman wilayah-wilayah yang berhasil menangani sektor informal dengan tepat?
2
Studi literatur ini bertujuan menggambarkan pengalaman-pengalaman empiris di wilayah tertentu baik di Indonesia maupun di luar negeri dalam penanganan sektor informal. Tulisan ini juga menggambarkan strategi dan langkah kebijakan yang mereka tempuh serta hasil yang diperoleh dari penerapan kebijakan tersebut. Diharapkan dari studi ini muncul ide-ide pengembangan baru yang memihak pada kepentingan masyarakat luas baik para pelaku bisnis informal, pemerintah maupun masyarakat umum. Artikel ini disusun dengan sistematika antara lain pendahuluan, definisi dan cakupan, signifikansi sektor informal, skala sektor informal di dunia, faktor pendorong merebaknya sektor informal, paradoks sektor informal, beberapa inovasi kebijakan serta ditutup dengan kesimpulan. B. DEFINISI DAN CAKUPAN SEKTOR INFORMAL Definisi sektor informal muncul dari berbagai kalangan. Salah satu definisi yang disepakati secara bersama oleh berbagai ahli dalam bidang statistik adalah definisi yang dicetuskan International Conference of Labour Statisticians (ICLS) 1993. ICLS (Hussmanns, 2004) mendefinisikan sektor informal dengan criteria, pertama, perusahaan rumah tangga swasta (tidak termasuk perusahaan yang identik dengan Badan Usaha Milik Negara-BUMN), dimiliki oleh individu atau rumah tangga dan bukan merupakan badan hukum yang independen serta tidak memiliki laporan yang sempurna yang memisahkan aspek keuangan dari aktifitas produksi dengan kegiatan lain yang dilakukan oleh pemiliknya. Kedua, semua atau paling tidak beberapa dari barang atau jasa yang dihasilkan ditujukan untuk dijual atau barter, dengan pelibatan sektor informal rumah tangga yang menghasilkan layanan domestik atau pribadi. Ketiga, ukuran pekerja yang terlibat di bawah ambang tertentu yang ditentukan secara nasional. Para pekerja ini tidak diatur oleh peraturan perundangan nasional yang spesifik (seperti undang-undang perdagangan, undang-undang kelompok pekerja professional), serta status pekerjaan mereka tidak terdaftar. Keempat, mereka terlibat dalam kegiatan non-pertanian, termasuk non-pertanian sekunder dari perusahaan di sektor pertanian. Pengertian dan cakupan yang lebih jelas diungkapkan Todaro (2006). Karakter sektor informal menurut Todaro (2006) di antaranya bidang kegiatan produksi barang dan jasa yang sangat bervariasi, berskala kecil, unit-unit produksinya dimiliki secara perseorangan 3
atau keluarga, banyak menggunakan tenaga kerja (padat karya), dan teknologi yang digunakan sangat sederhana. Sektor informal juga beroperasi dengan ciri mudahnya untuk memasuki industri ini, kapasitas berlebih, dan adanya persaingan untuk menurunkan laba (pendapatan) menuju rata-rata harga penawaran tenaga kerja potensial baru. Para pekerja di sektor ini pada umumnya tidak memiliki pendidikan formal, tidak memiliki keterampilan khusus dan sangat kekurangan modal kerja. Umumnya para karyawan di sektor ini tidak memiliki jaminan keselamatan kerja atau fasilitas kesejahteraan misalnya tunjangan keselamatan kerja, tunjangan pension seperti yang dirasakan oleh kawan mereka di sektor formal. Dua jabaran cakupan pengertian sektor informal di atas menekankan informalitas kegiatan ekonomi tersebut. Karena aspek informalitas ini aktifitas mereka tidak terekam dalam data base pemerintah sehingga untuk mendapatkan data yang kongkrit tentang jumlah aktifitas bisnis guna kepentingan pengembangan pun menjadi sulit. Selain itu, manajemen bisnis yang dilakukan demikian sangat sederhana sehingga aspek keuangan pun seringkali berbaur dengan keuangan pribadi atau keluarga. Semua keterbatasan di atas menjadikan banyak usaha sektor informal hanya cukup untuk bertahan hidup. C. SIGNIFIKANSI SEKTOR INFORMAL Dari perspektif ekonomi, kontribusi signifikan dari ekonomi informal terhadap masyarakat dapat dikategorikan ke dalam tiga bidang utama. Pertama, kontribusi dalam hal penyerapan tenaga kerja yang besar khususnya di negara-negara berkembang. ILO (2007) meramalkan bahwa ekonomi informal terdiri dari setengah sampai tiga-perempat dari semua pekerjaan non-pertanian di negara berkembang. Artinya, jika ekonomi informal memegang tigaperempat dari pekerjaan non pertanian, hanya ada seperempat dari kontribusi pekerjaan formal untuk pekerjaan selain pertanian. Kontribusi yang besar ini memberikan proporsi yang tinggi terhadap pekerjaan dan pendapatan serta memainkan peranan penting dalam pembangunan ekonomi negara. Kedua, hubungannya dengan sektor formal melalui hubungan ke depan dan ke belakang (forward and backward linkage). Sektor informal pada kenyataannya telah memberikan kontribusi dalam beberapa hal untuk pengembangan sektor formal. Hubungan kedepan 4
antara dua sektor ini dapat dilihat dalam koneksi bisnis di antara mereka melalui pembelian bahan-bahan tertentu oleh beberapa pelaku usaha informal kepada pelaku bisnis formal. Timotius dan Wall (1997) memberikan contoh bahwa banyak produsen informal untuk souvenir dan produk rumah tangga di Yogyakarta membeli bahan baku dari pemasok sektor formal. Pewarna dan lilin untuk membuat batik misalnya disediakan oleh perusahaan resmi setempat yang terdaftar di pemerintah. Keterkaitan ke belakang dapat ditelusuri pada fakta bahwa desentralisasi produksi dengan meng-outsourcing-kan pembuatan beberapa jenis produk tertentu telah memberikan kesempatan kepada sektor informal untuk memasok barang dan produk kepada pemasok formal. Kompetisi lokal, nasional dan global telah mendesak untuk mengurangi biaya tenaga kerja melalui penerapan strategi produksi yang lebih fleksibel. Munculnya subkontraktor sebagai terobosan untuk mengurangi biaya produksi telah menggambarkan pentingnya hubungan formal dan informal dalam sektor-sektor pembangunan (Leonard, 2000). Salah satu contoh misalnya hubungan formal-informal produsen di Indonesia. Banyak perusahaan berorientasi ekspor tidak membangun pabrik untuk memproduksi barang sendiri dan melakukan sentralisasi usaha mereka. Alih-alih mereka memilih untuk memberikan pembuatan dan penyediaan barang ekspor mereka ke para pemasok setempat. Banyak produsen furnitur di Yogyakarta misalnya, mempercayakan pembuatan lemari, kursi, sofa dan lain-lain untuk memenuhi tuntutan global ke sejumlah pemasok informal kecil yang tersebar di desa-desa sekitar. Mereka membayar berdasarkan kesepakatan harga yang berlaku umum dalam konteks lokal. Ketiga, sektor informal telah berhasil membuat wilayah pedesaan maupun perkotaan lebih layak huni dan terjangkau (liveable and affordable) bagi masyarakat dari semua tingkat pendapatan. Kreativitas pelaku usaha sektor informal yang menggunakan bahan-bahan asli dan lokal telah memotong harga produk yang bisa menjadi lebih mahal di tangan para pengusaha sektor formal. Bagi masyarakat berpenghasilan menengah dan rendah di daerah perkotaan, keberadaan pedagang asongan dan PKL telah mampu memotong biaya hidup sehari-hari dan mengurangi kerentanan (vulnerability) yang parah sebagai akibat dari
5
tingginya harga kebutuhan sehari-hari. Selain itu, beberapa pelaku informal yang sifatnya bergerak seperti pedagang keliling dan asongan memberikan akses lebih mudah bagi para konsumen karena mereka memiliki kecenderungan untuk mendekati pasar. Mereka mengurangi biaya transportasi konsumen yang relatif lebih mahal di daerah perkotaan dan memperpendek waktu yang digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. PKL juga membantu menjaga keamanan lokasi-lokasi tertentu khususnya tempat-tempat atau jalanjalan sepi di perkotaan. Mereka menghidupkan lampu di malam hari sehingga jalan-jalan yang semula gelap menjadi lebih terang dan ramai dengan orang yang membeli produk yang disediakan oleh mereka. D. SKALA SEKTOR INFORMAL DI DUNIA Dari waktu ke waktu, kontribusi sektor informal sangat besar dan terus menerus berkembang secara perlahan tapi pasti. Dalam catatan ILO (2007) dalam empat dekade terakhir sejak tahun 1970-an, lapangan kerja informal telah berkembang terus menerus di Amerika Latin, Afrika, Asia, dan beberapa wilayah yang lebih maju. Pada tahun 1970, sektor ini menyumbang 22,5% dari total pekerjaan bukan pertanian, tahun 1980-an sekitar 26,8%, dan pada 1990-an sekitar 31,3%. Diperkirakan dalam tahun 2000-an jumlahnya akan juga meningkat. Dalam hal total pendapatan rumah tangga, sektor informal telah memberikan kontribusi yang signifikan mencapai hampir 30 persen dari total pendapatan masyarakat dunia dan lebih dari 40 persen dari pendapatan keseluruhan masyarakat di wilayah perkotaan. Kontribusi sektor informal terhadap penghasilan product domestic bruto (PDB) pun sangat signifikan. Bagi negara-negara yang memiliki estimasi data, pangsa sektor informal dalam pekerjaan non-pertanian terhadap PDB berkisar antara 45 sampai 60 persen (ILO 2007). Bahkan di negara-negara anggota Organization of Economic Cooperation and Development (OECD), yang pada umumnya negara-negara maju, Huitfeldt, Sida dan Jutting (2009) menyebutkan jumlah pekerja informal cenderung bertambah dan menyumbang lebih dari seperempat jumlah pekerja pada non-pertanian. Indonesia merupakan negara yang dihuni pelaku sektor informal yang sangat banyak. Menurut ILO (dikutip dalam Blunch et.al. 2001), sektor informal di Indonesia telah 6
menyerap 77,9 persen dari tenaga kerja non-pertanian. Persentase ini lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia seperti India (sekitar 73,7 persen dari nonpertanian), Pakistan (67,1 persen dari lapangan kerja perkotaan), Filipina (66,9 persen dari non-pertanian) dan Thailand (51,4 persen dari non-pertanian). Meski menurut data terakhir dari ILO (2014) bahwa Februari 2014 lalu angka ini turun menjadi 53,6 persen, jumlah tenaga kerja di bidang ini masih tinggi. Semua data yang telah disebutkan di atas menunjukkan peningkatan yang signifikan dari orang-orang yang menggantungkan pandapatan mereka pada sektor informal. Ekonomi informal telah menyediakan mata pencaharian dan memberi peluang bagi puluhan juta orang terlibat dalam kegiatan ekonomi. Data di atas juga menunjukkan bahwa Indonesia memiliki besaran ekonomi informal yang terbesar di dunia dan lebih jelas lagi di Asia. Di negara ini, ekonomi informal yang masih berperan penting dalam penyerapan sebagian besar total angkatan kerja dan memberikan pengaruh besar dalam menghasilkan distribusi pendapatan yang lebih adil baik bagi daerah pedesaan maupun perkotaan (Soeharto, 2003). E. MEREBAKNYA SEKTOR INFORMAL Ada beberapa aspek yang menyebabkan meningkatnya jumlah aktor dalam sektor ini. Perubahan ekonomi, liberalisasi ekonomi, krisis moneter yang disertai dengan perpindahan masyarakat dari desa ke kota, tutupnya atau mergernya banyak perusahaan sehingga merumahkan sejumlah besar pekerja telah mendesak banyak pihak untuk beralih ke pedagang jalanan untuk mendapatkan uang dan meneruskan hidup (Bhowmick 2005). Selain itu, konsentrasi penduduk di kota besar karena tren ekonomi dan politik, konflik dan reformasi pada kuartal terakhir dari abad ini di Afrika telah mempercepat pertumbuhan jumlah lapangan kerja informal (Riddell, 1997). Kenyataan ini diperparah dengan problem kelembagaan dan administrasi di kota yang tidak mampu mengelola kota dengan baik (Cross, 2000). Pesatnya pertumbuhan sektor informal ini ada hubungannya dengan peningkatan dari pedagang kaki lima informal yang sangat luar biasa (Lyons dan Snoxell, 2005). Kemungkinan, pedagang jalanan akan menjadi gambaran permanen kota-kota negara berkembang di masa depan (Evers dan Mehmet, 1994).
7
Huitfeldt, Sida dan Jutting (2009) menyebutkan pekerjaan informal sering menjadi pilihan yang hanya tersedia untuk orang-orang miskin. Sektor ini berfungsi sebagai opsi terakhir bagi mereka yang tidak mampu terlibat dalam pasar kerja formal. Oleh karena itu, ada hubungan yang kuat antara informalitas dan kemiskinan serta mayoritas kaum miskin di seluruh dunia kerja informal, baik wiraswasta atau sebagai pekerja upahan. Dengan kata lain, informalitas cenderung identik dengan kemiskinan meskipun belum tentu seratus persen benar.
F. PARADOKS SEKTOR INFORMAL Terlepas dari kenyataan bahwa sektor informal menyumbang banyak bagi perkembangan ekonomi, di Indonesia seperti di banyak negara berkembang lainnya, sektor ini masih menderita banyak sekali kekurangan. Pelaku bisnis di sektor ini mengalami rendahnya perlindungan sosial, keamanan, peningkatan keterampilan dan kewirausahaan serta perlindungan hukum. Semua kenyataan ini telah mengakibatkan produktivitas mereka rendah, kondisi kerja yang buruk, penghasilan rendah dan lebih sedikit kesempatan untuk maju (Soeharto, 2003). Selain itu, pelaku di sektor informal identik dengan posisi politik yang tidak menguntungkan serta memiliki sedikit kesempatan untuk berbicara atas nama masa depan mereka. Dengan kata lain, kelemahan ekonomi dan politik (economic and political weaknesses) and serta kerentanan (vulnerability) banyak disematkan pada mayoritas orang yang bekerja di sektor informal. Keadaan sehari-hari pelaku sektor ini pun masih memprihatinkan. Jika di kota negaranegara berkembang lain seperti Kalkuta, Manila, Dakar, Nairobi, Rio de Jeneiro dan Bogota banyak pelaku sektor informal yang hidup mengenaskan dengan hidup di kolong jembatan, emperan toko, dan berjuang sekedar untuk mengisi perut dengan menjadi buruh harian, pedagang asongan dan sebagainya yang upahnya terlalu sedikit untuk menyewa (Todaro, 2006). Di Indonesia pun kenyataan ini kurang lebih sama. Pemandangan yang menyedihkan bisa dilihat di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan
8
beberapa kota lain yang beranjak menjadi kota metropolitan seperti Bekasi, Bogor dan lainlain. Lyons dan Snoxell (2005) menyebutkan beberapa tren dalam sikap banyak pemerintah di kebanyakan negara berkembang. Pemerintah cenderung enggan untuk menerima pedagang informal yang karena mereka dianggap dapat menghambat kemajuan kota dan mengganggu kepentingan pedagang formal, sektor pariwisata, dan perlindungan alam. Faktor-faktor ini telah memunculkan kebijakan pelarangan yang berusaha untuk menghapus dan mengecualikan para pelaku bisnis ini. Salah satu contoh, demi mengembangkan pariwisata, Pemerintah Kota Cusco Peru pada tahun 1999 memindahkan lebih dari 3.500 pedagang kelas bawah ke pasar yang berada di luar kota. Kebijakan ini menunjukkan karakteristik gentrifikasi (pembersihan). Kasus ini juga menunjukkan preferensi pemerintah terhadap kelas menengah, wisatawan dan masyarakat lokal serta mencerminkan hubungan yang erat antara relokasi dan pembangunan pariwisata (Bromley dan Mackie, 2009). Di Indonesia, sektor informal belum sepenuhnya ditempatkan sebagai agenda utama dalam kebijakan pemerintah pusat. Meski pengaturannya telah ada ada namun hanya sebagai bagian kecil dari satu kebijakan besar. Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hanya memberi tempat kepada sektor formal dalam dengan memberikan aturan yang jelas mengenai hubungan pengusaha-pekerja dalam hubungan indistrial dengan mekanisme kontrol yang jelas. Akan tetapi untuk sektor infromal mekanisme kontrol hubungan pekerja-pengusaha tidak memiliki regulasi yang mengaturnya (Hernawan, 2012). G. BEBERAPA INOVASI KEBIJAKAN Meskipun beberapa sikap eksklusif dan bermusuhan diperlihatkan banyak pemerintah, beberapa daerah di negara berkembang telah menunjukkan respek mereka terhadap sektor informal. Beberapa wilayah telah mencoba menemukan inovasi dalam kebijakan dan langkah-langkah lainnya untuk mencapai tujuan pembangunan mereka serta untuk merespon trend yang sedang berlangsung dalam ekonomi global berkaitan sektor ini. India, Yogyakarta Indonesia, Peru dan Durban Afrika Selatan yang mewakili tiga benua berbeda: Asia,
Amerika
Latin
dan
Sub-Sahara
Afrika,
merupakan
negara
yang
telah
memperkenalkan kebijakan khusus dalam meningkatkan dan mengembangkan sektor 9
informal. Langkah-langkah yang mereka lakukan antara lain dengan mengakui kontribusi sektor informal dalam kebijakan, membangun kemitraan dan dialog dalam mengelola proyek pembangunan sektor informal, serta memperbaiki kondisi kerja melalui pengembangan kerangka kelembagaan dan hukum. India adalah negara yang telah memperkenalkan sejumlah inisiatif dalam menangani sektor informal (ILO, 2007). Dari sisi pemerintah, selama beberapa tahun ada komisi nasional penanganan sektor informal sementara yang di back-up dengan undang-undang untuk menangani ekonomi informal ini. Implikasi dari upaya-upaya di atas diantaranya penyediaan langkah kebijakan kesejahteraan melalui penyediaan jaminan dan perlindungan sosial. Salah satu aturan yang komprehensif yang menjamin perlindungan hukum terhadap salah satu jenis sektor informal adalah kebijakan nasional pedagang kaki lima di perkotaan tahun 2004 yang amandemen dan direvisi menjadi kebijakan nasional perkotaan untuk PKL 2009. Kebijakan 2009 ini dimaksudkan untuk menjamin pengakuan terhadap PKL perkotaan di tingkat nasional, negara bagian dan lokal dalam upaya mereka mengejar manfaat ekonomi tanpa adanya pelanggaran (India eNews, 2009). Praktek baik yang lain dalam menangani ekonomi informal telah ditunjukkan oleh pemerintah Durban di Afrika Selatan di era pertengahan 1990-an sampai 2001 (Skinner, 2004). Dewan Metropolitan Durban berhasil membangun berbagai kebijakan untuk mendukung para pekerja sektor informal dan operator di era itu. Skinner (2004) menyebutkan beberapa pengalaman nyata dari pengembangan kebijakan Durban. Cerita itu pertama kali dimulai pada tahun 1995 dan 1996 dengan berdirinya Proyek Pembaruan Junction Warwick (Warwick Junction Urban Renewal Project) yang mengintegrasikan PKL ke dalam perencanaan kota. Proyek yang sebenarnya dimulai pada 1997 sampai 2000 dan berhasil dalam mengembangkan pembangunan infrastruktur terpadu dikombinasikan dengan pembangunan sosial dan ekonomi PKL. Sepanjang proyek berjalan, kebutuhan pedagang jalanan ditampung dan ditanggapi secara tepat. Pasar obat tradisional, misalnya, didirikan dan kemudian menjadi pusat pedagang obat. Pembangunan fasilitas yang diperlukan dilakukan dengan mempertimbangkan pendapat pedagang jalanan melalui serangkaian dialog.
10
Kebutuhan untuk memperluas cakupan kebijakan untuk mengakomodir semua pelaku ekonomi informal telah mendesak pemerintah Durban untuk mengembangkan kebijakan mengakomodasi aktor yang lebih besar dalam ekonomi informal di kawasan tersebut. Pemerintah Durban kemudian mengembangkan kebijakan yang efektif dan inklusif dengan mengakui peran penting dari ekonomi informal dalam menciptakan lapangan kerja dan pendapatan bagi warga Durban, khususnya masyarakat miskin. Kebijakan ini menempatkan ekonomi informal sebagai bagian dari agenda utama proyek pengentasan kemiskinan yang menugaskan pemerintah untuk meningkatkan pengelolaan kegiatan ekonomi informal berkaitan dengan pendaftaran, tempat, dan kebutuhan biaya mereka untuk berjualan. ILO (2007) menyebutkan delapan kategori keberhasilan Durban dalam mendukung sektor informal, diantaranya peningkatan kapasitas untuk organisasi yang menaungi sektor informal; konsultasi rutin dengan perwakilan mereka terkait kebijakan pemerintah; tempat berjualan yang disahkan oleh pemerintah; pelatihan; pengurangan tarif biaya untuk keperluan air bagi pekerja informal yang miskin; pengembangan infrastruktur; peningkatan akses pasar dan dukungan bisnis. Di samping Durban dan India, di kota Yogyakarta Indonesia, sektor informal yang diwakili pedagang kaki lima pernah mendapatkan tempat yang layak dari pemerintah. Penelitian Siddiq (2009) menemukan bahwa penanganan pedagang kaki lima oleh pemerintah kota Yogyakarta pada periode 2001-2009 telah berhasil meningkatkan kesejaheteraan para PKL. Terbukti, sekitar seribu enam ratus PKL yang berjualan di tempat kumuh dan semrawut akhirnya berhasil dipindahkan oleh pemerintah ke tempat relokasi tanpa ada kekerasan dan perlawanan. Di tempat yang baru mereka lebih merasakan kesejahteraan karena mendapatkan tempat yang layak untuk berjualan dan terlindung dari sengatan cahaya matahari dan hujan. Selain itu, pendapatan mereka pun meningkat.
H. KESIMPULAN Studi literatur ini membahas tentang kontribusi sektor informal dalam pengembangan ekonomi masyarakat dan negara. Skala bisnis dan kemudahan dalam mengakses jenis pekerjaan ini menjadikannya sangat diminati oleh jutaan pelaku bisnis di dunia, terutama di 11
negara berkembang. Secara tersurat dan tersirat semua literatur di atas menunjukkan semakin pentingnya peranan sektor informal dalam menggerakkan ekonomi kerakyatan dan meningkatkan standar hidup mereka. Relevansinya ternyata sama baik dalam konteks global, nasional maupun lokal. Sayangnya, hal ini belum ditangkap dengan baik oleh semua pemangku kebijakan terutama di negara berkembang. Pelaku sektor informal kerap kali dimusuhi karena dianggap biang kekumuhan dan kekotoran kota dan lingkungan. Keberadaan mereka menjadikan suasana kota menjadi tidak nyaman dipandang. Belum lagi kontribusi mereka kepada pendapatan pemerintah melalui pajak yang masih dianggap minim. Meski beberapa otoritas memperlakukan para pelaku sektor ini secara negatif, namun beberapa inovasi kebijakan dari beberapa negara berkembang telah menyertakan sektor ini sebagai bagian dari agenda pembangunan. India dan Durban Afrika Selatan pada tengah 1990-an adalah contoh-contoh yang baik dalam menempatkan sektor informal dalam posisi yang lebih baik dalam arus utama pembangunan. Sementara penanganan yang positif dan tepat telah ditunjukkan oleh pemerintah Kota Yogyakarta yang berhasil merelokasi sekitar seribu enam ratus pedagang kaki lima dan meningkatkan kesejahteraan mereka di tempat mereka yang baru.
12
DAFTAR PUSTAKA Bhowmik, S. (2005). Street vendors in Asia: A review. Economic and Political Weekly, May 28-June 4, 2256-2264. Central Body of Statisitics or BPS (2007). Informal employment in Indonesia. BPS News. Diakses dari http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=06¬ab=4 Bromley, R.D.F. and Mackie, P.K. (2009). Displacement and the new spaces for informal trade in the Latin American city center. Urban Studies, 46(7), 1485–1506. Blunch, N.H. Canagarajah, S & Raju, D. (2001) The informal sector revisited: A synthesis across space and time. Diakses dari http://www.gdrc.org/informal/is-revisited.pdf. Cross, J. (2000). Street vendors, modernity and postmodernity: Conflict and compromise in the global economy. International Journal of Sociology and Social Policy, 20(1), 30– 52. Ever, H.D. & Mehmet, O. (1994). The management of risk: Informal trade in Indonesia. World Development, 22(1), 1-9. Hernawan, A. (2012). Perlindungan Hukum Bagi pekerja sektor informal di negara berkembang. Artikel Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas Gajah Mada. Diakses dari http://www.pkbh.ugm.ac.id/artkl.html. Huitfeldt, H. Sida & Jutting, J. (2009). Informality and informal employment. Diakses dari www.oecd.org/dataoecd/27/6/43280298.pdf. Hussmanns, R (2004). 7th Meeting of the Expert Group on Informal Sector Statistics (Delhi Group). Diakses dari http://ilo.org/public/english/bureau/stat/download/papers/def.pdf. Indiaenews (August 10, 2009). PM calls for better deal for street vendors. Diakses dari http://www.indiaenews.com/bollywood/20090810/213792.htm. International Labor Organization (2007). The informal economy. Diakses dari www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---.../wcms_091183.pdf. International Labor Organization (2014). Indonesia: Tren Sosial dan Ketenagakerjaan Agustus 2014. Diakses dari http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---robangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_329870.pdf. Leonard, M. (2000). Coping strategies in developed and developing societies: The working of the informal economy. Journal of International Development,12, 1069-1085.
13
Lyons, M. & Snoxell, S. (2005). Sustainable urban livelihoods and marketplace social capital: crisis and strategy in petty trade. Urban Studies, 42(8), 1301–1320. Riddell, B. (1997). Structural adjustment programs and the city in tropical Africa. Urban Studies, 34, 1297–1307. Skinner, C. (2004). The struggle for streets: Processes of exclusion and inclusion of street traders in Durban South Africa. Development Southern Africa, 25(2), 227-242. Siddiq, D.M. (2009). The development of informal economy: A case study of street vending policy in Yogyakarta Indonesia. Tesis Master of Development Practice, The University of Queensland Australia. Suharto, E. (2003). Accomodating the urban informal sector in the public policy process. Open Society Institute and Central European University Center for Policy Studies. Diakses dari http://pdc.ceu.hu/archive/00002593/. Timothy, D.J. & Wall, G. (1997). Selling to tourists Indonesian street vendors. Annals of Tourism Research, 24(2), 322-340. Todaro, M. & Smith, S.C. (2011). Economic Development, (11th ed.). Boston: Pearson Education Urban and Regional Development Institute (n.d). An Assessment Report of the Indonesian situation of public-private partnerships and the informal economy. Diakses dari http://streetnet.org.za/english/INDOREPORT.pdf.
14