RILISAN MEDIA Akademisi dan aktivis Indonesia menghimbau respon berbasis bukti dengan pendekatan kesehatan masyarakat untuk penggunaan narkotika di Indonesia Jumat, 5 Juni, 2015 (Jakarta, Indonesia) – Dalam surat terbuka -yang diterbitkan kemarin di jurnal ilmiah ternama The Lancet – dan ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia, Bapak Joko Widodo, sekelompok akademisi dan aktivis yang berkompeten di bidang Kesehatan Masyarakat, Narkotika, dan Kemanusiaan dan HAM menghimbau komitmen pemerintah untuk menguji pendekatan Kesehatan Masyarakat dan HAM pada kasus penggunaan narkotika dan segera menghentikan strategi “perang melawan narkotika” menggunakan rehabilitasi paksa dan hukuman mati yang telah terbukti tidak efektif di negara asalnya, Amerika Serikat. “Pemerintah Indonesia yang makin serius dalam menangani penggunaan napza dan menjamin kesejahteraan penduduknya, harus memilih strategi-strategi kesehatan masyarakat dan pengurangan dampak buruk. Pendekatan “perang melawan narkotika” seperti ini telah terbukti gagal di berbagai negara lain di dunia, bahkan menyebabkan lebih banyak masalah dibandingkan membantu menyelesaikan masalah”, ujar Prof. Dr. Irwanto, di Pusat Penelitian HIV dan AIDS Unika Atma Jaya, seorang pengamat dan peneliti masalah narkotika dan HIV yang sudah sangat berpengalaman di Indonesia. “Kita sebenarnya tahu intervensi apa yang telah berhasil: kita sudah memiliki buktinya dan telah mengimplementasikan program-program berbasis kesehatan yang secara empirik telah diteliti dan memberikan hasil positif sejak awal 2000an. Kita memiliki kewajiban etis untuk menyediakan pilhan-pilihan yang dapat menyelamatkan nyawa, seperti program penyediaan dan penukaran jarum dan alat suntik steril, terapi substitusi opioid, serta perawatan (adiksi) napza yang sukarela dan berbasis komunitas. Tapi bukti-bukti ini tidak memperoleh perhatian yang cukup serius dalam menentukan komitmen politik dan pendanaan kita untuk mengatasi masalah terkait narkotika. Kebijakan yang ada tidak menyediakan ruang dan peran bagi program kesehatan secara bermakna. Dana kita yang terbatas justru digunakan untuk pendekatan berbasis rasa takut yang akan mendorong orang-orang yang membutuhkan rawatan semakin jauh dari program kesehatan,” ujar Dr. Ignatius Praptoraharjo, peneliti dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Para penulis surat sepakat bahwa melakukan estimasi terhadap besaran masalah narkotika dan berbagai implikasinya tidaklah mudah. Terutama ketika penanggulangan masalah ini telah sekian lama didominasi oleh strategi kriminalisasi yang membuat populasi yang teribat makin tersembunyi. Oleh karena itu validitas dari estimasi yang digunakan menjadi persoalan. Tidak ada resep mujarab yang menentukan validitas estmasi yang digunakan. Setiap estimasi harus diuji validitasnya melalui validasi lapangan yang memerlukan waktu. Para penulis khawatir bahwa pemerintah dan (dalam hal ini) BNN belum memberikan cukup waktu dan kesempatan bagi data yang dikumpulkan oleh peneliti UI untuk memperoleh input 1
para ahli yang independen sehingga estimasi dapat disepakati secara nasional dan digunakan sebagai basis kebijakan nasional. Kami menghimbau diciptakannya proses yang transparan dan melibatkan mitra bestari ahli secara nasional sebelum data tersebut digunakan untuk menentukan bahwa Indonesia sedang terancam oleh situasi “darurat narkotika nasional”. Kami mohon kepada Bapak Presiden Jokowi untuk menangani masalah narkotika ini dengan melibatkan ahli-ahli terbaik di negeri ini secara bersama-sama. “Kita perlu memastikan bahwa kebijakan nasional ditentukan oleh sebuah proses yang transparan dan peer-reviewed terhadap bukti-bukti yang dikumpulkan Estimasi terhadap persoalan narkotika di Indonesia telah dilakukan oleh berbagai pihak dan ada indikasi penurunan. Meskipun demikian, data-data baru tersebut belum tercermin dalam kebijakan yang ada saat ini. Kami percaya bahwa pemerintah tidak akan menyia-nyiakan asupan konstruktif dalam semangat mengatasi masalah narkotika bersama-sama. Setiap nyawa manusia sangat berharga. Kita semua tidak mau nyawa manusia yang produktif sia-sia karena narkotika atau karena kebijakan negara yang tidak didasarkan atas data dan informasi terbaik“ pendapat Profesor Dr Irwanto. Pengguna narkotika telah lama menghadapi stigma dan diskriminasi keluarga dan masyarakat. Perlakuan negatif ini akan lebih parah jika kebijakan publik menekankan rasa takut dan tindakan-tindakan represif yang sangat berpotensi melanggar hak-hak asasi manusia. Karena jumlah pecandu jauh lebih banyak dibanding dengan produsen dan pengedar (yang menjadi musuh sebenarnya), banyak negara telah bergeser ke arah kebijakan berbasis kesehatan masyarakat dan HAM. “Infeksi HIV (di Indonesia) akan terus meningkat selama pengguna napza terus hidup dalam ketakutan akan penangkapan atau penempatan dalam rehabilitasi wajib/non-sukarela,” ujar Dr. Kemal Siregar, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Para penandatangan surat terbuka ini menganjurkan berdirinya sebuah komisi penggunaan narkotika adhoc yang independen dan multi-sektoral, yang terdiri dari wakil-wakil lembaga pemerintah yang relevan, kementerian-kementerian terkait, para peneliti, penyedia layanan, serta tokoh masyarakat, yang bertugas untuk meninjau data yang tersedia terkait napza, menetapkan prioritas kegiatan, merekomendasikan tindakan-tindakan berbasis bukti, serta memonitor perkembangan kegiatan tersebut. “Sebagai mantan pengguna narkotika kami telah menyaksikan dan merasakan bahwa pendekatan yang represif dan punitif justru memperbuurk situasi dan kondisi yang kami hadapi. Banyak saudara kami telah meninggal dunia karena kurangnya fasilitas rawatan dan rehabilitasi dan takut untuk terbuka masalahnya ketika mencari bantuan,,” tambah Edo Agustian, Koordinator Nasional Persaudaraan Korban napza Indonesia. “Kami mendorong pemerintah untuk bekerja sama dengan komunitas pengguna napza, akademisi, serta pemangku kepentingan lainnya untuk membangun respon yang lebih efektif sebelum lebih banyak nyawa harus hilang.” Penanda-tangan: Prof.Dr. Irwanto, PhD, Peneliti dan pengamat senior di Pusat Penelitian HIV/AIDS Unika Atma Jaya; Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia; Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, cendekiawan Muslim dan Ketua Konferensi Indonesia untuk Agama dan Perdamaian; 2
Prof.Dr. D.N. Wirawan, Kepala Program Pascasarjana Kesehatan Masyarakat di Universitas Udayana; Dr. Ignatius Praptoraharjo, Ph.D, peneliti dari Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada; Dr. Robet Robertus, Kepala Departemen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta; Edo Agustian, Koordinator Nasional Persaudaraan Korban Napza Indonesia; Haris Azhar, Koordinator Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan); Dr. A. Setyo Wibowo, dosen dan Kepala bagian Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara; Rafendi Djamin, perwakilan Indonesia di Komisi Antar-Pemerintah ASEAN, beserta penandatangan lainnya.
Informasi lebih lanjut: Professor Dr Irwanto Penulis Utama Tel: 0818 999935 Email:
[email protected] Anindita Gabriella Kepala Pusat Penelitian HIV dan AIDS, Unika Atma Jaya Tel: + (62) 816 1813273 Email:
[email protected] Edo Agustian Koordinator Nasional Persaudaraan Korban Napza Indonesia Tel: + (62) 878 73460077 Email:
[email protected]
3
Correspondence
Evidence-informed response to illicit drugs in Indonesia To address the serious harm caused by drugs to individuals and the community is an important public health priority and one that all countries, including Indonesia, must tackle. The Indonesian Government, led by President Joko Widodo, has heralded its commitment to evidencebased policy making. The public health community welcomes this commitment; however, as researchers, scientists, and practitioners, we have grave concerns that the government is missing an opportunity to implement an effective response to illicit drugs informed by evidence. A close examination of the nature and extent of drug use in Indonesia reveals substantial gaps in knowledge and a scarcity of evidence to support forced rehabilitation and the punitive, lawenforcement-led approach favoured by the government. www.thelancet.com Vol 385 June 6, 2015
Submissions should be made via our electronic submission system at http://ees.elsevier.com/ thelancet/
2249
Correspondence
See appendix for a full list of signatories
2250
Opioid overdose and infectious diseases, including HIV transmitted through unsafe injecting practices, are the primary causes of drug-related deaths worldwide. 1 In the past 10 years, Indonesia has taken positive steps forward by introducing strategies such as opioid substitution therapy, needle and syringe programmes, and increased access to HIV treatment. Substantial evidence2 supports the effectiveness of these interventions in reducing fatal overdose and HIV transmission, morbidity, and mortality. However, these interventions have yet to be implemented to scale in Indonesia, and this delay is preventing the realisation of their potential benefit. Meanwhile, there is evidence that criminalisation of people who use drugs and punitive law-enforcement approaches have failed to reduce the prevalence of drug use and are fuelling the HIV epidemic. 3 Compulsory detention and rehabilitation of drug users has been shown to be ineffective in sustaining reductions in drug use.4 The Indonesian Government has frequently cited National Narcotics Board studies from 20085 and 2011,6 which estimate drug-use prevalence to be 2∙6% in the general population (equivalent to 4∙5 million people) and as many as 50 deaths per day from drug-related causes. We have serious concerns about the validity of these estimates for the following reasons: the details and methods of these studies are not publicly accessible; from information that is available, the recruitment methods appear to have been inappropriate, resulting in an unrepresentative sample and results that are not generalisable; differentiation between different types of drugs and frequency and patterns of their use were inadequate to identify problematic drug use; definitions of addiction were inconsistent with accepted criteria for drug dependence; and the unorthodox method used to indirectly estimate drug-related mortality is unreliable.
We call on the Indonesian Government to scale back punitive strategies that are ineffective and counterproductive and instead expand evidence-based interventions, such as opioid substitution therapy, needle and syringe programmes, HIV treatment, and care for people who use drugs; invest in the collection of better quality data on the scale and nature of drug use in Indonesia, without which an effective and appropriately targeted response cannot be developed; and form a national committee on drug use, comprising the National Narcotics Board, Ministry of Health, Ministry of Social Affairs, Ministry of Law and Human Rights, service providers, and community representatives, to review drug-related data, set priorities, recommend evidence-informed actions, and monitor progress. We support a transparent, peer-reviewed process for collecting data on drug-use indicators, and a commensurate evidence-based policy response.
5
6
Badan Narkotika Nasional bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. Laporan Survei Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia: Studi Kerugian Ekonomi dan Sosial akibat Narkoba, tahun 2008. Jakarta: Badan Narkotika Nasional, 2008. Badan Narkotika Nasional bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. Ringkasan Eksekutif Survei Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia: Studi Kerugian Ekonomi dan Sosial akibat Narkoba, tahun 2011. Jakarta: Badan Narkotika Nasional, 2011.
We declare no competing interests.
*Irwanto, Dewa N Wirawan, Ignatius Praptoraharjo, Sulistyowati Irianto, Siti Musdah Mulia, on behalf of 11 signatories
[email protected] HIV/AIDS Research Centre, Atma Jaya Catholic University of Indonesia, Jakarta, Indonesia (I); Public Health Postgraduate Program, Udayana University, Denpasar, Indonesia (DNW); Center for Health Policy and Management, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia (IP); Faculty of Law, Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia (SI); and Indonesian Conference on Religion for Peace, Jakarta, Indonesia (SMM) 1
2
3
4
Degenhardt L, Whiteford HA, Ferrari AJ, et al. Global burden of disease attributable to illicit drug use and dependence: findings from the Global Burden of Disease Study 2010. Lancet 2013; 382: 1564–74. Tilson H, Aramrattana A, Bozzette S. Preventing HIV infection among injecting drug users in high-risk countries: an assessment of the evidence. Washington, DC: Institute of Medicine, 2007. Reuter P. Ten years after the United Nations General Assembly Special Session (UNGASS): assessing drug problems, policies and reform proposals. Addiction 2009; 104: 510–17. WHO Regional Office for the Western Pacific. Assessment of compulsory treatment of people who use drugs in Cambodia, China, Malaysia and Viet Nam: an application of selected human rights principles. Manila: WHO Regional Office for the Western Pacific, 2009.
www.thelancet.com Vol 385 June 6, 2015
The Lancet. June 6, 2015. “Evidence-informed response to illicit drugs in Indonesia” Correspondence (385): 2249-2250. Surat terbuka yang dipublikasi di jurnal The Lancet: Respon berbasis bukti dalam penanggulangan situasi napza di Indonesia Mempertimbangkan kerusakan serius yang disebabkan oleh Napza (narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya) pada individu dan komunitas, maka isu napza adalah sebuah prioritas kesehatan masyarakat yang penting, dan semua negara, termasuk Indonesia, harus menanggapinya. Pemerintah Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, telah mengumumkan komitmennya untuk membuat kebijakan yang berdasarkan bukti. Kami dari komunitas kesehatan masyarakat menyambut baik komitmen ini. Meskipun demikian, sebagai peneliti, ilmuwan, dan praktisi, kami punya keprihatinan bahwa pemerintah telah kehilangan sebuah kesempatan untuk menerapkan respon yang efektif dan berbasis bukti untuk masalah napza/obat-obatan terlarang. Peninjauan atas data yang ada dalam hal situasi dan jumlah penggunaan Napza di Indonesia mengungkap adanya celah pengetahuan dan kurangnya bukti yang mendukung ke arah rehabilitasi, melainkan pendekatan punitif/menghukum, yang lebih disukai pemerintah dan didukung oleh para penegak hukum. Overdosis opioid dan penyakit menular, termasuk HIV yang ditularkan lewat perilaku menyuntik yang tidak aman, adalah penyebab utama dari kematian yang terkait dengan penggunaan Napza di seluruh dunia.1 Dalam beberapa tahun terakhir Indonesia telah mengambil langkah-langkah maju yang signifikan dengan memperkenalkan strategi-strategi seperti terapi substitusi opioid, layanan alat suntik steril, dan peningkatan akses ke penanganan HIV. Ada bukti substansial yang mendukung efektivitas dari intervensi ini dalam mengurangi overdosis yang fatal dan penularan HIV, penyakit yang menyertainya serta kematian karenanya. Sayangnya, intervensi ini belum diimplementasikan dalam skala nasional, dan oleh karenanya menghambat terjadinya potensi keuntungan dari hal tersebut. Sebaliknya, tersedia bukti bahwa kriminalisasi dari pengguna Napza dan pendekatan penegak hukum yang cenderung menghukum telah gagal untuk mengurangi prevalensi dari penggunaan Napza, dan telah menciptakan kerusakan yang mendukung epidemi HIV. 2 Penahanan dan rehabilitasi paksa terbukti tidak efektif dalam pengurangan jumlah penggunaan Napza yang berkelanjutan.3 Pemerintah sering mengacu pada penelitian dari Badan Narkotika Nasional di tahun 2008 dan 2011 yang memperkirakan prevelansi dari pengguna Napza adalah 2.56% dari seluruh populasi (kurang lebih 4.5 juta orang) dan sebanyak 50 orang meninggal dunia per hari karena sebab-sebab yang berkaitan dengan penggunaan Napza. 4 5Kami mengkhawatirkan validitas dari angka perkiraan ini, khususnya: detil dari penelitian ini serta metode penelitian ini tidak bisa diakses secara publik; dari informasi yang didapat ada indikasi bahwa metode rekrutmen yang dipakai tidak sesuai, sampel yang diambil tidak representatif dan hasil yang tidak bisa digeneralisasi, perbedaan antara jenis Napza dan frekuensi serta pola pemakaian tidak bisa digunakan untuk mengidentifikasi permasalahan penggunaan Napza; pengertian dari kecanduan tidak konsisten dengan kriteria yang bisa dan biasa diterima dalam masalah ketergantungan obat; serta metode tidak baku seperti yang dipaparkan digunakan untuk memperkirakan kematian yang terkait dengan penggunaan Napza, tidak bisa dijadikan rujukan. Dengan pertimbangan-pertimbangan, ini kami mendesak pemerintah Indonesia untuk:
1. Meninjau ulang strategi punitif/menghukum yang telah terbukti tidak efektif dan bahkan kontra-produktif dan menganjurkan untuk memperluas intervensi berbasis bukti seperti terapi substitusi opioid, layanan alat suntik steril, penanganan HIV serta pengguna napza. 2. Menginvestasi dalam pengumpulan data yang lebih berkualitas dalam skala dan situasi penggunaan Napza, yang tidak bisa dibuat tanpa target responden efektif dan pantas. 3. Membentuk satu komite mengenai penggunaan Napza yang melibatkan Badan Narkotika Nasional, Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, penyedia layanan, dan perwakilan komunitas untuk mengkaji data yang tersedia terkait dengan Napza, membuat prioritas, serta membuat rekomendasi kegiatan informasi berdasar bukti dan mengawasi prosesnya. Kami mendukung proses pengumpulan data untuk indikator penggunaan Napza, yang dikawal oleh kelompok yang transparan, serta respon kebijakan yang sesuai dengan bukti-bukti terbaru/mutakhir.
Penandatangan: 1. Professor Dr. Irwanto Pusat Penelitian HIV/AIDS Universitas Atma Jaya 2. Professor Dr. D.N. Wirawan, MPH Program Paska-sarjana Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana 3. Dr Ignatius Praptoraharjo, PhD Peneliti Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada 4. Professor Dr. Sulistyowati Irianto Fakultas Hukum Universitas Indonesia 5. Professor Dr. Siti Musdah Mulia Ketua Indonesian Conference on Religion for Peace (ICRP) 6. Rafendi Djamin Perwakilan Indonesia untuk ASEAN Intergovernmental Commission (AICHR) 7. Benny Juliawan Dosen, Universitas Sanata Dharma 8. Asmin Fransiska Dosen Universitas Atma Jaya 9. Dr A Setyo Wibowo Dosen dan kepala dari Filsasat
Institute Filsafat Driyarkara 10. Dr. Robet Robertus Kepala Departemen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta 11. Daniel Awigra Manajer Program ASEAN, Human Rights Working Group 12. Edo Agustian Koordinator Nasional Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) 13. Haris Azhar Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) 14. Ricky Gunawan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) 15. Hafiz Muhammad Progam Manager for UN and OIC HRWG 16. Sigit Kurniawan Journalist for Marketeers Magazine
Referensi:
Degenhardt, L. et al. (2013). Global burden of disease attributable to illicit drug use and dependence: findings from the Global Burden of Disease Study 2010, The Lancet, 382(9904): 1564-1574. 1
Reuter P. (2009) Ten years after the United Nations General Assembly Special Session (UNGASS): assessing drug problems, policies and reform proposals. Addiction 2009;104:510-7. 2
World Health Organization. (2009). Assessment of compulsory treatment of people who use drugs in Cambodia, China, Malaysia and Viet Nam: an application of selected human rights principles. Manila: WHO Regional Office for the Western Pacific. 3
Badan Narkotika Nasional bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (2008) Laporan Survei Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia: Studi Kerugian Ekonomi dan Sosial akibat Narkoba, tahun 2008. Jakarta: Badan Narkotika Nasional. 4
Badan Narkotika Nasional bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (2011) Ringkasan Eksekutif Survei Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia: Studi Kerugian Ekonomi dan Sosial akibat Narkoba, tahun 2011. Jakarta: Badan Narkotika Nasional. 5