PERBEDAAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS WANITA YANG MENGALAMI PERNIKAHAN REMAJA DENGAN WANITA YANG MENGALAMI PERNIKAHAN DEWASA AWAL DI KECAMATAN NUSANIWE KOTA AMBON OLEH VLENZY RIEUWPASSA 802009035
TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologis
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2014
PERBEDAAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS WANITA YANG MENGALAMI PERNIKAHAN REMAJA DENGAN WANITA YANG MENGALAMI PERNIKAHAN DEWASA AWAL DI KECAMATAN NUSANIWE KOTA AMBON
VLENZY RIEUWPASSA
Ratriana Y.E.Kusumiati, M.Si.Psi H.Astikasari S.Murti, Psi,MA
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2014
ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari perbedaan kesejahteraan psikologis pada istri yang mengalami pernikahan remaja dan istri yang mengalami pernikahan dewasa awal. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan yang signifikan kesejahteraan psikologi istri yang mengalami pernikahan remaja dan pernikahan dewasa awal memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi dibandingkan dengan istri yang mengalami pernikahan remaja. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Nusaniwe Kota Ambon. Jumbla keseluruhan subjek adalah 100 istri (50 istri yang mengalami pernikahan remaja) dan (50 istri yang mengalami pernikahan dewasa awal). Variabel kesejahteraan psikologis diukur dengan menggunakan skala yang terdiri dari 42 item pernyataan. Berdasarkan hasil analisa data yang diperoleh nilai t sebesar -0,371, dengan p = 0,711 (p > 0,05) yang berarti H ditolak dan H0 diterima, sehingga dapat disimpulkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kesejahteraan psikologis istri yang mengalami pernikahan remaja dan istri yang mengalami pernikahan dewasa awal. Kata kunci: Kesejahteraan Psikologis, Pernikahan Usia Remaja dan Pernikahan Usia Dewasa Awal.
ABSTRACT The purpose of this study is to look for the psychological welfare differences between wives who had a teenage wedding and wives who had an early mature wedding. The study hypothesis is there are significant differences in psychological welfare between wives who had a teenage wedding and wives who had an early mature wedding, which is the wives who experienced an early mature wedding have higher psychological welfare compared to wives who had a teenage wedding. This study was conducted in Nusaniwe District of Ambon City. Total subject is 100 wives (50 wives who had a teenage wedding and 50 wives who had an early mature wedding). Variable psychological welfare was measured using a scale which consists of 42 statement items. Data analysis obtained that value of T is -0,371, with p = 0,711 (p > 0,05) that means H rejected and H
accepted. So we can conclude there is no significant psychological welfare differences
between the wives who experienced teenage wedding and wives who had an early mature wedding. Keyword : psychological welfare, teenage wedding, early mature wedding
PENDAHULUAN Dalam kehidupan ini secara alamiah manusia mempunyai daya tarik menarik antara satu individu dengan individu lainnya untuk dapat hidup bersama dan menjalin perkawinan laki-laki dan perempuan yang pada umumnya mempunyai harapan serta keinginan untuk menikah.Menurut Walgito (2002) dengan melaksanakan perkawinan, maka salah satu segi ajaran agama dapat dipenuhi
sebagai
mahluk
hidup
yang
diciptakan
secara
berpasang-
pasangan.Menikah adalah lambang kesucian hubungan antara kedua jenis manusia berdasarkan perintah Allah. Tidak mudah untuk menciptakan keluarga yang bahagia karena dalam kehidupan berumah tangga akan muncul masalahmasalah dalam kehidupan sehari-hari yang membutuhkan penyesuaian. Berawal dari perkembangan manusia yang memiliki tiga masa perkembangan yaitu masa kanak-kanak, masa remaja, dan masa dewasa. Batasan perkembangan masa remaja menurut Gunarsa, (1983) berada pada usia 12 sampai 21 tahun, dimana usia tersebut terbagi lagi menjadi tiga yaitu masa remaja awal (12-15 tahun), remaja tengah (15-17 tahun), dan remaja akhir (1821 tahun). Masa dewasa itu sendiri dibagi menjadi tiga yaitu masa dewasa awal pada umur 21-40 tahun, masa dewasa madya (tengah) pada umur 40-60 tahun, dan masa dewasa akhir pada umur 60-meninggal (Hurlock, 1992). Setiap masa perkembangan memiliki tanggungjawab sendiri-sendiri sesuai dengan tugas perkembangannya.Salah
satu
tugas
perkembangan
remaja
adalah
mempersiapkan perkawinan sedangkan dewasa awal adalah melaksanakan perkawinan.
Sering
kali
menjadikan
keprihatinan
ketika
dua
masa
perkembangan ini dimaknai sama oleh banyak individu namun sebenarnya
memiliki perbedaan yang sangat tipis. Hal ini terlihat adanya perkawinan di usia remaja atau bisa disebut pernikahan dini. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) pernikahan dan perkawinan memiliki pengertian sama yaitu hal perbuatan nikah: ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama, hidup sebagai suami istri tanpa adanya pelanggaran agama. Perkawinan itu sendiri adalah upacara resmi yang menandakan bahwa seorang pria dan wanita mulai menjadi suami istri yang sah di depan masyarakat dan menurut hukum Negara maupun agama Hardiwadoyo, (1990, dalam Agnes, 2007). Dalam membentuk keluarga terdapat ikatan perkawinan yang dianggap sebagai suatu peristiwa yang sakral, yang perlu dipelihara, dipertahankan, dan wajib dijaga keutuhannya. Ikatan perkawinan menurut UU perkawinan No. 1 tahun 1994 yaitu ikatan lahir dan batin antara seseorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan itu terdiri atas seorang laki-laki dan perempuan dengan usia yang berbeda-beda, tetapi juga bisa sama secara kebetulan. Walgito (2002) mengemukakan bahwa undang-undang perkawinan Indonesia telah menetapkan batasan umur seseorang untuk melangsungkan pernikahan adalah 20 tahun. Di sisi lain pernikahan dilakukan atas pertimbangan kematangan fisiologis dan jasmani (Walgito, 2002). Hal ini berarti bahwa pernikahan terjadi atas asumsi umur yang cukup dan kesehatan jasmani yang baik, namun pernikahan di bawah usia dewasa masih menjadi fenomena masyarakat Indonesia. Menurut Sarwono (1994) pernikahan remaja banyak terjadi pada masa purbetas, hal ini terjadi
karena remaja rentan terhadap perilaku seksual. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, oleh sebab itu remaja telah meninggalkan usia anak-anak yang lemah dan belum dapat mengambil tanggungjawab
baik
terhadap
dirinya
maupun
masyarakat.
Termasuk
bertanggungjawab untuk menikah dan membina keluarga dalam arti yang sesungguhnya. Menurut
Steinberg
(1993)
remaja
lebih
memungkinkan
untuk
melangsungkan perkawinan dibanding usia dewasa hal ini terjadi karena tekanan ekonomi. Tingkat pendidikan yang rendah dan pekerjaan yang porspeknya rendah. Di sisi lain terjadi kehamilan terlebih dahulu sebelum menikah. Menikah usia remaja juga merupakan salah satu faktor penyebab kegagalan perkawinan tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi kebahagian di dalam keluarga. Perilaku seksual remaja dalam melakukan hubungan seks pra-nikah sering berujung pada pernikahan dini. Di sisi lain kultur masyarakat Indonesia yang ingin mempercepat pernikahan dengan berbagi alasan ekonomi, sosial, anggapan pendidikan tinggi tidak terlalu penting bagi anak perempuan, dan stigma negatif terhadap status perawan tua. Fenomena terjadi yang terjadi di kota Ambon, menurut pengamatan peneliti masih banyak terjadi pernikahan remaja. Pernikahan terjadi karena banyak terjadi pernikahan dengan alasan seksual atau hamil di luar pernikahan, selain itu juga karena hal tentang seks sudah tidak dianggap tabuh lagi.Bahkan di jenjang SD-SMA sudah menonton video-video porno dengan bebas tanpa ada rasa takut dan juga banyak masyarakat setempat menjual kaset-kaset porno di tempat umum sehingga mereka mendapatkannya dengan sangat mudah.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya menurut Lianawati (2008) yang menyatakan bahwa tidak perbedaan anatar kelompok suami dan istri baik dalam tiap dimensi kesejahteraan psikologis maupun skor kesejahteraan psikologis secara keseluruhan. Hurlock (1990) mengemukakan bahwa secara psikologis masa remaja adalah masa dimana individu berintregasi dengan masyarakat dewasa.Usia ini tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang tua melainkan berada dalam tingkat yang sama, paling tidak dalam masalah hak dan integrasi dalam masyarakat (dewasa) yang mempunyai banyak aspek afektif, hal ini kurang lebih berhubungan dengan masa puber. Termasuk perubahan intelektual yang mencolok, transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja memungkinkannya untuk mencapai integritas dalam hubungan sosial dengan orang dewasa, yang merupakan ciri khas dan tugas perkembangan dari periode ini. Menurut Hurlock (1997) remaja dalam menjalani kehidupan akan melewati masa perubahan-perubahan antaralain perubahan fisik, perubahan emosi, perubahan sosialnya.perubahan fisik adalah masa pubertas berakhir, pertumbuhan fisik masih jauh dari sempurna dan akan makin sempurna pada akhir masa remaja. Perubahan masa remaja akan terlihat dari ketegangan, tekanan, dan kestabilan emosi sehingga memiliki konsekuensi untuk menyesuaikan diri dengan pola perilaku dan harapan sosial yang baru. Perubahan sosial masa remaja merupakan salah satu tugas perkembangan masa remaja yang sulit yaitu penyesuaian sosial.Oleh karena itu remaja yang memasuki tahap penikahan perlu mempersiapkan diri untuk memasuki masa
kedewasaan dan kematangan baik segi emosi, intelektual dan sosial (Gunarsa dan Gunarsa, 1995). Pernikahan remaja akan berdampak pada kualitas anak, kualitas keluarga, kebahagian keluarga, dan perceraian. Orang yang menikah di usia
remaja
memiliki
kecenderungan
mengalami
permasalahan
dalam
perkawinan dan perceraian (Steinberg, 1993). Seiring dengan fenomena pernikahan usia remaja, fenomena pernikahan usia dewasa awal terjadi pada masyarakat Indonesia yaitu usia 21-40 tahun (Hurlock, 1992). Pernikahan usia dewasa awal adalah pernikahan antara para perjaka dan gadis yang berusia dewasa yang dilandaskan dengan adanya rasa mampu dalam segi biologis, mental, ekonomi dan sosial (Tagor, 1993). Sedangkan pernikahan usia remaja adalah pernikahan anatara perjaka dan para gadis yang berusia remaja dan belum mencapai kematangan baik fisik dan mental yang bisa melibatkan tingkah laku emosional (Sarwono, 1984). Menurut Erikson (dalam Mussen, 1989) tahap perkembangan usia dewasa awal adalah membangun intimasi yaitu membentuk hubungan pribadi yang mendalam dan abadi. Pada usia dewasa hidup berkeluarga merupakan salah satu kebutuhan individu pada satu pihak dan sebagai tugas perkembangan yang harus dijalani pada pihak yang lain (Mappiare 1983), jadi usia dewasa, individu lebih siap untuk berkeluarga, karena sudah melewati tahap-tahap perkembangan yang ada pada tahap usia sebelumnya yaitu usia remaja yang sedang mempersiapkan perkawinan. Tahap-tahap perkembangan dewasa yang dimaksud adalah memilih teman bergaul, belajar hidup bersama dengan suami atau istri, belajar mengasuh anak, dan mengelola rumah tangga (Tagor, 1993).
Pernikahan usia remaja dan pernikahan usia dewasa memiliki arti yang sama yaitu adanya ikatan resmi dengan tujuan menjalin keluarga yang bahagia. Yang membedakan adalah usia biologis pengantin, kelangsungan hidup ke depan yang akan dijalani oleh pengantinnya. Dimana dalam kehidupan tidak terlepas dari banyak persoalan maupun perubahan yang akan terjadi pada diri sendiri serta bagaimana cara menyingkapinya yang akan dihadapi dan membawa dampak pada kesejahateraan masing-masing terlebih pasangan. Setiap keluarga memimpikan dan mengusahakan kebahagian antar sesama anggota baik secara lahir maupun batin.Kebahagian secara lahir dapat dilihat dengan penemuan kebutuhan ekonomi sedangkan kebahagian secara batin dapat dilihat dari pencapaian kebutuhan secara psikologis. Walaupun fenomena istri yang mengalami pernikahan usia remaja di kota Ambon masih tetap berinteraksi dengan orang lain, hal ini merupakan salah satu indikator pencapaian psikologis, misalnya mengikuti kegiatan sosial di masyarakat. Selain itu sebagian besar istri yang mengalami pernikahan remaja bekerja untuk kebutuhan keluarga sehari-hari, misalnya menjadi celes di mall, ada juga yang berjualan gorengan.Walaupun bekerja tidak selalu menjadi indikator seseorang mandiri, namun kondisi tersebut membantu remaja untuk mencapai kebahagian. Selain kebahagiaan, menurut Ryff (1995), kesejahteraan psikologis psychological Well-Being) merupakan salah satu indikator kesejahteraan individu yang banyak digunakan untuk melihat pemenuhan individu terhadap kriteria fungsi psikologi positif.Kesejahteraan individu dapat membantu individu agak dapat menjalankan hidupnya dengan bahagia, tenang dan mampu mengatasi
semua
masalah
termasud
dalam
pernikahan
(http://indjegost.blogspot.com/2009/05/hubungan-antara-dukungansosialdengan4018.html).Selain itu individu dapat menjadi lebih kreatif, mampu berpikir positif dan produktif (Schultz, 1991). Berbagai studi menjelaskan bahwa remaja berada dalam tahapan menemukan jati dirinya yang sejati (Hurlock, 1994).Keadaan demikian membuat remaja belum matang untuk menjalani konsekuensi sebagai pasangan suami-istri dan memcapai kesejahteraan psikologis yaitu penerimaan diri, otonomi diri penguasaan terhadap lingkungan maupun pertumbuhan diri seperti yang dikemukakan oleh Ryff (1995).Keadaan yang dialami oleh remaja dapat menyebabkan kesejahteraan psikologis remaja yang sudah menikah menjadi rendah. Kesejahteraan psikologis yang tinggi akan sulit dicapai apabila tugas perkembangannya belum terpenuhi meskipun remaja sudah matang secara biologis dan siap melakukan reproduksi. Keadaan ini menjadi berbeda dengan pernikahan usia dewasa, karena individu usia dewasa sudah cukup matang dalam menjalani kehidupan berumah tangga, selain itu dilihat dari tugas perkembangan usia dewasa sudah siap melakukan pernikahan. Hal ini nampak dari kesiapan individu dalam menyingkapi dan mengatasi setiap konflik yang terjadi. Individu usia dewasa memiliki kemampuan untuk menerima diri, berhubungan positif dengan orang lain mencapai tujuan hidup maupun fondasi-fondasi lain yang dikemukakan oleh Ryff (1995). Semakin tinggi individu memiliki kemampuan untuk menerima diri dan berhubungan positif dengan orang lain, serta mencapai tujuan hidup menunjukan pencapaian kesejahteraan psikologis yang tinggi.
Setiap pasangan memiliki tanggungjawab yang besar terhadap keluarga, sedangkan perempuan atau istri sendiri memiliki peran dan tanggung jawab antara lainmelahirkan anak, membesarkan anak, mengelolakeungan keluarga, dan mengelola konflik yang dihadapi dalam membina rumah tangga serta melayani
suami
dengan
taat
(http://artikel.sabda.org/peran_seorang_istri).
Sehingga
dan tidak
patuh hanya
segi
psikologis tapi juga keadaan fisologis istri salah satunya kesehatan jasmani yang dibutuhkan untuk mengahadapi kehidupan berumah tangga khusunya dalam menjalankan tanggungjawabnya sebagai istri, karena keadaan fisiologis dapat memberikan dukungan dan keseimbangan yang berarti untuk menunjang keadaan psikologis istri demi kelangsungan kehidupan rumah tangga yang harmonis (Walgito, 2004) Usia memiliki peran yang sangat penting kesejahterajaan
psikologis individu.
Semakin bertambah usia
semakin
bertambah matang juga kesejahteraan psikologisnya (Walgito, 2004). Studi pra di kota Ambon ditemukan data bahwa pada kenyataannya usia remaja yang mengalami pernikahan di usia remaja ketika memiliki anak, mereka tetap menyekolahkan anaknya, mereka melayani dan patuh kepada suami. Apabila ada suatu pertemuan di lingkungan mereka juga ikut serta menghadiri pertemuan tersebut.Walaupun ego masing-masing masih cukup tinggi. Hal ini menunjukan remaja di kota Ambon mampu menjalin hubungan baik dengan orang lain. Penyesuaian dengan sosial masyarakat dan menggunakan kondisi fisiknya dengan baik.Kondisi demikian menunjukan kesejahteraan psikologis mereka tampak baik.Dengan demikian keadaan menjadi berbeda dengan tugas perkembangan remaja (mempersiapkan pernikahan) dan keadaan psikologis
remaja yang masih lemah (pencarian jati diri, emosi masih labil, dan penyesuaian sosial). Oleh karena itu penelitian ini akan merujuk pada “perbedaan kesejahteraan psikologis pada istri yang menikah pada usia remaja dan istri yang menikah pada usia dewasa awal”.
Kesejahteraan Psikologi Konsep kesejahteraan psikologi diperkenalkan oleh Ryff (1995).Konsep ryff berawal dari adanya keyakinan bahwa kesehatan yang positif tidak sekedar tidak adanya penyakit fisik saja.Kesejahteraan psikologis terdiri dari adanya kebutuhan untuk mearasa baik secara psikologis (psychologically-well). Menurut Ryff (1989) gambaran tentang karakteristik orang yang memiliki kesejahtraan psikologis merujuk pada pandangan Rogers tentang orang yang berfungsi penuh (fully-functioning person). Pandangan Maslow tentang aktualisasi diri (self actualization), pandangan Jung tentang indiduasi, konsep Allport tentang kematangan, juga sesuai dengan konsep Erikson dalam menggambarkan individu yang mencapai integrasi dibanding putus asa. Menurut Ryff (1995), pondasi untuk mencapai kesejahteraan psikologis adalah individu yang berperan secara positif. Hurlock (1991) menyebutkan bahwa Psychological well-being atau kebahagian individu tegantung dipenuhi atau tidaknya kebahagiaan yaitu acceptance (penerimaan), affection (kasih sayang), achievement (pencapaian prestasi). Konsep kematangan (maturity) Allport, kesejahteraan psikologis dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan.Kepuasan hidup dan tidak adanya
gejala-gejala depresi (Ryff, 1995).Menurut Bradburn (dalam Ryff, 1989) kebahagiaan (happiness) merupakan hasil dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia. Dapat disimpulkan bahwa psychological Weel-Being (kesejahteraan psikologis) adalah kondisi individu yang ditandai dengan adanya perasaan bahagia, mempunyai kepuasan hidup dan tidak ada gejala-gejala depresi.
Aspek Kesejahteraan Psikologis Menurut Ryff (1995), ada enam aspek kesejahteraan psikologisyaitu : (1) Penerimaan Diri (self-acceptance) / adanya sikap positif terhadap dirinya, dan mampu mengakui dan menerima kehidupan masa lalunya baik yang negative maupun positif. (2) Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with other) / karakter yang ditunjukan oleh individu yang memiliki hubungan positif dengan orang lain. (3) Otonomy (autonomy) / kemampuan melakukan dan mengarahkan perilaku secara mandiri dan penuh keyakinan diri. (4) Tujuan Hidup (purpose in life) / merupakan mental yang sehat, meliputi adanya keyakinan bahwa individu dapat melakukan sesuatu bagi orang lain. (5) Perkembangan Pribadi (personal growth) / fungsinya bukan hanya meminta sesorang untuk dapat mencapai karakteristik terdahulu, tetapi juga dapat melanjutkan perkembangan individu yang potensial untuk tumbuh dan mengebangkan diri sebagai seorang manusia. (6) Penguasaan terhadap lingkungan (environmental mastery) / mental yang sehat dikarakteristikan dengan kemampuan individu untuk memiliki atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisiknya.
Faktor-faktor kesejahteraan psikologis Dari beberapa literatur penelitian faoktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis antara lain sebagai berikut: (1) Status sosial ekonomi meliputi besarnya pemasukan keluarga, tingkat pendidikan, keberhasilan pekerjaan, kepemilikan materi dan status sosial di masyarakat (Pinquart & Sorenson, 2000). (2) Jaringan sosial, berkaitan dengan aktivitas sosial yang diikuti oleh individu seperti aktif dalam pertemuan atau organisasi (pinquart & Sorenson, 2000). (3) Kompetensi pribadi, yaitu kemampuan atau skill pribadi yang dapat digunakan sehari-hari, di dalamnya mengandung kompetensi kognitif (pinquart & Sorenson, 2000). (4) Religiusitas, hal ini berkaitan dengan transedensi segala persoalan hidup kepada Tuhan, individu yang memiliki tingkat
religious
yang
tinggi
mampu
memaknai
hidup
secara
positif,(Bastaman,2000)http://evapalupi.blogspot.com/2008_03_01_archive.html . (5) Kepribadian, individu yang memiliki banyak kopetensi pribadi dan sosial, seperti penerimaan diri, mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan.(Santrock, 1999; Ryff, 1995). (6) Jenis kelamin, wanita cenderung lebih memiliki kesejahteraan psikologis dibandingkan laki-laki (Ryff, 1995). Hal ini dikaitkan dengan pola pikir yang berpengaruh terhadap strategi koping yang dilakukan. Wanita lebih mampu mengekspresikan emosi dengan curhat kepada orang lain. Wanita juga lebih senang menjalin relasi sosial disbanding laki-laki. (http://evapalupi.blog.spot.com/2008_03_01_archive.html). (7) Usia, selama mempunyai kaitan dengan keadaan fisiologis usia juga berkaitan dengan keadaan psikologis
individu,
dilihat dari segi perkembangan
dengan
bertambahnya usia individu maka keadaan psikologisnya akan lebih matang termasuk juga kesejahteraan psikologisnya (Walgito, 2004).
Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan yang signifikan kesejahteraan psikologis pada istri yang mengalami pernikahan remaja dan istri yang mengalami pernikahan dewasa awal, istri yang mengalami pernikahan dewasa awal memiliki kesejahteraan psikologis lebih tinggi dibandingkan istri yang mengalami pernikahan remaja.
METODE PENELITIAN Partisipan Populasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah istri yang mengalami pernikahan remaja dan istri yang mengalami pernikahan dewasa awal di kota Ambon kecamatan Nusaniwe. Populasi yang tercatat mulai dari Januari 2014-Juli 2014, remaja berjumbla 56 dan dewasa awal 189.Pada rencana awal usia remaja yang ingin diambil yaitu mulai dari usia 12-21 tahun, tetapi ketika dilapangan peneliti hanya menemukan remaja usia 16-21 tahun sehinggga kurang sesuai dengan rencana awal. Usia pernikahan pada subjek remaja yaitu dari 1-3 tahun. Begitupun pada usia dewasa awal yang ingin di ambil dari mulai
dari usia 21-40 tahun, tapi ketika di lapangan kebanyakan yang ditemukan yaitu dari usia 23-31 tahun, dan lamanya usia pernikahan mereka sudah mencapai kurang lebih 1-6 tahun. Alat ukur penelitian Dalam penelitian ini menggunakan skala Likert (Sugioyona, 2008).Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial.Skala pengukuran yang dipakai adalah skala kesejahteraan psikologis.Skala kesejahteraan psikologis terdiri atas 6 aspek yaitu, penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, tujuan hidup, perkembangan pribadi, penguasaan terhadap lingkungan. Sebelum melakukan pengujian asumsi klasik dan pengujian hipotesis penulis melakukan pengujian validitas dan reliabilitas alat ukur.Dalam pengujian validitas alat ukur terdapat 15 item yang gugur dan 27 iteem yang valid.Validitas alat ukur kesejahteraan psikologis bergerak dari angka 0,253-0,593 dan koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,738.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa validitas dan reliabilitas alat ukur kesejahteraan psikologis diandalkan. Mertode pengumpulan data Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dan pengumpulan data dimulai pada hari Selasa 26 Agustus-16 September 2014 dengan cara penulis langsung ke kantor kecamatan untuk meminta izin untuk melakukan penelitian. Kemudian penulis dibantu oleh seorang dokter untuk membagikan skala di puskesmas.Awal rancangan penelitian dalam menentukan subjek menggunakan
teknik random sampling Menurut Sugiarto, Siagian, Sunaryanto dan Utomo (2003). Tetapi ketika peneliti di lapangan yang di dapatkan tidak sesuai dengan rancangan awal sehingga subjek menggunakan cara pengambilan data secara langsung dan tidak langsung. Teknik Analisis Data Penelitian dilakukan untuk melihat perbedaan kesejahteraan psikologis wanita yang mengalami pernikahan remaja dengan wanita yang mengalamai pernikahan dewasa awal di kecamatan Nusaniwe Kota Ambon. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program bantu komputer SPSS 17.0 for windows dengan Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah random samplingdan
secara
pengambilan
data
langsung
dan
tidak
langsung.
Pengambilan sampel secara acak dan semua bagian mendapat peluang yang sama (Sugiarto Siagian, Sunaryanto, dan Utomo, 2003)
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Uji Normalitas Uji normalitas menggunakan Kolmogrov-Smirnov yang terdapat pada program SPSS 17.0. data yang dikatakan normal bila memiliki nilai signifikan lebih besar dari 0,05 atau 5% (p > 0,05). Berdasarkan hasil uji one-sample Kolmogrov-Smirnov (KSZ) dapat diketahui bahwa nilai KSZ adalah sebesar 0,908 dan (p > 0,05). Dengan demikian dapat dikatakan nilai residual normal atau berdistribusi normal.
Uji Homogenitas Uji homogenitas dilakukan menggunakan SPSS 17.0.dari hasil uji homogenitas yang diperoleh pada variabel kesejahteraan psikologis istri yang mengalami pernikahan remaja dan istri yang mengalami pernikahan dewasa awal adalah sebesar 0,487. Uji homogenitas variabel menunjukan p > 0,05 yang
artinya bahwa sebaran data berasal dari populasi yang memiliki varians yang sama.
Uji Reliabilitas Pengujian reabilitas bertujuan untuk melihat keajengan (reliable) yaitu sejauh mana alat ukur dapat memberikan hasil yang relative sama panjang tidak ada faktor yang berubah. Uji reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah Alpha Cronbach, dan menggunakan standar reliabilitas Aloh Azwar (2002), yaitu : 0,7
= tidak reliable
0,7
< 0,8 = cukup reliable
0,8
< 0,9 = reliable
0,9
< 1,0 = sangat reliable
Dengan demikian maka item-item skala kesejahteraan psikologis dikatakan reliable, sesuai dengan standar Reliabilitas Azwar.
Uji Hipotesis Perhitungan berikut adalah t-test, yaitu untuk melihat perbedaan rata-rata kesejahteraan psikologis istri yang mengalami pernikahan remaja dan istri yang mengalami pernikahan dewasa awal.Hasil uji beda (t-test) menunjukan nilai t = 0, 371 dengan p = 0,711 (p > 0,05) yang berarti H ditolak dan H diterima,
artinya tidak ada perbedaan antara kesejahteraan psikologis istri yang mengalami pernikahan remaja dan istri yang mengalami pernikahan dewasa awal.
PEMBAHASAN Penelitian ini menyatakan bahwa tidak ada perbedaan kesejahteraan psikologis istri yang mengalami pernikahan remaja dengan istri yang mengalami pernikahan dewasa awal ditunjukan dengan nilai t = -0,371, (sig) p = 0,711 (p > 0,05). Penelitian ini berlokasi di Kecamatan Nusaniwe kota Ambon. Kecamtan Nusaniwe ini memiliki 19 desa.19 desa tersebut merupakan populasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu istri yang mengalami pernikahan remaja dan istri yang mengalami pernikahan dewasa awal.Alasan pemilihan subjek di Kecamatan Nusaniwe karena peneliti melihat banyaknya pernikahan remaja, kehidupan dalam pernikahan tetap baik, layaknnya seperti tugas perkembangan dewasa awal yang telah mampu mengelola sosial dan penyesuaian fisiknya dengan baik. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa istri yang mengalami pernikahan remaja dan istri yang mengalami perniakahan dewasa awal memiliki kesejahteraan psikologis yang sama tinggi. Munurut Adhim (2002) pernikahan remaja tidak kalah baik dibandingkan dengan pernikahan dewasa awal kalau individu sudah siap mental dan kepribadian, bahkan bisa menjadi motivasi untuk meraih puncak prestasi yang lebih cemerlang. Selain itu, pernikahan remaja juga
sangat baik untuk pertumbuhan emosi dan mental, sehingga lebih mungkin mencapai kematangan yang puncak (Adhim, 2002)
http://digilib.sunan-
ampel.ac.id/files/disk1/148/hubptain-gdl-yuliatinin-7355-3-bab.1.pdf Menurut Maslow (1970), pendiri psikologi humanistic, individu yang menikah di usia 20 tahun atau orang yang menikah di usia remaja lebih mungkin mencapai taraf aktualisasi diri lebih cepat dan lebih sempurna dibanding dengan mereka yang selalu menunda pernikahan. Maslow (1970) mengemukakan pernikahan yang sebenarnya dimulai dari saat menikah. Pernikahan akan mematangkan sesorang sekaligus memenuhi separuh dari kebutuhan-kebutuhan psikologis manusia, yang pada gilirannya akan menjadikan manusia mampu mencapai puncak pertumbuhan kepribadian yang mengesankan dan pernikahan remaja adalah motivator untuk potensi diri dalam segala aspek positif. Dalam psikologi perkembangan menurut Sarwono (1994) pernikahan banyak terjadi pada usia remaja, karena remaja retan dengan perilaku seksual. Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap sebagian subjek yang menikah di usia remaja, mereka mengatakan bahwa menikah muda sudah menjadi budaya atau perilaku yang sudah biasa yang sering terjadi pada saat lulus SMP atau masih dalam kursi pendidikan. Dan ada keluarga yang berpendapat bahwa remaja perempuan dianggap telah mampu untuk menikah karena dikhawatirkan melakukan perbuatan dosa sehingga memberi dampak kepada nama baik keluarga. Hal demikian tersebut berkaitan dengan aspek berhubungan postif dengan orang lain. Semakin tinggi kesadaran istri yang mengalami pernikahan remaja terhadap salah satu aspek kesejahteraan psikologis ini, kemungkinan kesejahteraan psikologisnya bertambah baik.
Salah satu faktor lain yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis adalah religiusitas, hal ini berkaitan dengan transedensi segala persoalan hidup kepada
Tuhan
(Bastaman,
http://evapalupi.blogspot.com/2008_03_01_archive.html.
2000), Hasil
pengamatan
peneliti menunjukan kehidupan religiusitas di masyarakat kecamatan Nusaniwe sangat tinggi.Hal ini menjadi penopang dalam meningkatkan kesejahteraan psikologis. Hasil wawancara subjek menyatakan bahwa pernikahan (jodoh ada didalam tangan Tuhan) meskipun mereka menikah diusia remaja, kalau itu sudah jodoh individu menganggap ini merupakan takdir Tuhan yang harus diterima karena subjek meyakini bhawa setiap peristiwa maupun persoalan memiliki makna yang baik tergantung bagaimana individu mengelolanya. Oleh karena itu, walaupun subjek telah menikah diusia remaja karena memiliki religiusitas yang baik dilihat dari mereka selalu aktif dalam mengikuti kegiatan ibadah da nada juga sebgian dari mereka yang menjadi pengasuh di sekolah minggu, memungkinkan kesejahteraan psikologisnya tinggi. Berdasarkan teori Pieget (Hurlock, 1997) remaja telah mencapai tahap pelaksanaan formal dalam kemampuan kognitif oleh karenanya remaja akhir mampu mempertimbangkan suatu
kemungkinan
untuk
menyelesaikan
suatu
masalah
dan
mempertanggungjawabkannya. Dengan demikian ada kemungkinan istri yang mengalami pernikahan usia remaja tidak kalah baik kesejahteraan psikologisnya dengan istri yang mengalami pernikahan dewasa awal. Di sisi lain, fenomena masyarakat Indonesia keterlibatan orang tua tidak lepas dari individu remaja maupun dewasa awal. Dukungan sosial orang tua memiliki peranan yang penting dalam kesejahteraan psikologis individu remaja
maupun dewasa awal, walaupun individu yang bersangkutan sudah menikah dan tidak hidup bersama orang tua.Masyarakat di kecamatan nusaniwe, peran orang tua dalam kehidupan pernikahan anaknya masih sangat erat. Dalam penelitian ini mengungkapkan aspek kemandirian, namun secara psikologis remaja maupun dewasa awal sama-sama membutuhkan dukungan sosial orang tua. Bukan berarti remaja tidak mengusahakan untuk mandiri, namun kadang-kadang dari sisi orang tua yang secara otomatis melibatkan diri dalam keluarga anaknya terutama ketika oramg tua mengetahui sedang ada masalah dan membutuhkan pihak ketiga.Namun secara ekonomi remaja tidak kalah produktif dibandingkan dengan dewasa awal.Dengan fisik yang masih muda, remaja merasa mampu mencukupi kebutuhan anak-anaknya, daya kerja atau daya produktifitasnya masih tinggi (Hananto, 2008). Hal ini diperkuat oleh Cohen & Syme, (1985, dalam Santrock, 2005) dukungan sosial sebagai sumber-sumber yang disediakan oleh orang lain terhadap individu yang bisa mempengaruhi kesejahteraan individu. Dukungan sosial tersebut bisa berasal dari berbagai pihak salah satunya orang tua atau keluarga.Pendapat Cohen dan Syme, 1985 (dalam Santrock, 2005) didukung oleh Taylor (dalam Santrock, 2005) bahwa dukungan sosial membantu individu dalam mengatasi stress yang dialami. Sehingga individu yang menikah usia remaja tidak khawatir akan ditolak oleh lingkungannya, hal tersebut dapat membuat individu remaja yang menikah terhindar dari rasa takut, stress, dan merasa mendapat dukungan sosial dari orang tua dan lingkungannya. Dengan berbagai faktor lain yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis tersebut diatas menunjukan bahwa tidak ada perbedaan kesejahteraan psikologis istri yang
mengalami pernikahan remaja dengan istri yang menngalami pernikahan dewasa awal dan kemungkinan tidak ada perbedaan kesejahteraan psikologis istri yang menikah remaja dengan istri yang menikah dewasa awal adalah karena sebagian subjek remaja adalah kebanyakan remaja menuju akhir dan mendekati dewasa awal.
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan kesejahteraan psikologis pada istri yang mengalami pernikahan remaja dan istri yang mengalami pernikahan dewasa awal. Istri yang mengalami pernikahan
remajasama
kesejahteraan psikologisnya dengan istri yang mengalami pernikahan dewasa awal. Kesejahteraan psikologis istri yang mengalami pernikahan remaja kategorinya tinggi, sedangkan istri yang mengalami pernikahan dewasa awal
juga memiliki kategori tinggi. Ada kemungkinan dipengaruhi oleh faktor lain yang mendukung yaitu dukungan orang tua dan kemungkinan tidak ada perbedaan kesejahteraan psikologis istri yang menikah remaja dengan istri yang menikah dewasa awal adalah karena sebagian subjek remaja adalah kebanyakan remaja menuju akhir dan mendekati dewasa awal.
Saran Setelah penulis melakukan penelitian dan pengamatan langsung dilapangan serta melihat hasil penelitian yang ada, maka berikut ini beberapa saran yang penulis ajukan :
1. Bagi remaja perempuan dan perempuan dewasa awal a. Bagi istri yang mengalami pernikahan remaja dan istri yang mengalami pernikahan dewasa awal senantiasa perlu menyiapkan diri, fisik maupun mental untuk menghadapi kehidupan pernikahannya. b. Bagi istri yang telah menikah pada usia remaja, hendaknya lebih meningkatkan hubungan sosialnya terutama dengan orang-orang terdekat dan harus memiliki kesadaran untuk meningkatkan religiusitas 2. Bagi orang tua a. Bagi orang tua yang anaknya telah menikah pada usia remaja, hendaknya tetap menjalin hubungan sosial sampai mereka memasuki usia dewasa.
b. Agar orang tua mendorong anak perempuannya yang telah menikah pada usia remaja maupun dewasa awal untuk meningkatkan hubungan religiusitasnya 3. Bagi peneliti selanjutnya Penulis merekomendasikan agar menggunakan faktor lain diluar usia yang mempengaruhi faktor kesejahteraan psikologis yaitu religiusitas dukungan sosial orang tua, status sosial ekonomi, jaringan sosial, kompetensi pribadi, kepribadian, dan jenis kelamin.
DAFTAR PUSTAKA
Agnes, D. W. D. S. C.(2007). Perbedaan Persepsi Terhadap Keharmonisan Keluarga Ditinjau Dari Usia Pada Waktu Menikah. Skripsi (tidak diterbitkan). Semarang: Fakultas Psikologi Universitas Katholik Soegiyopranoto Adhim.
M. F. (2002). Indahnya Pernikahan Dini. Diakses 29-09-2010. http://digilib.sunan-ampel.ac.id/files/disk1/148/hubptain-gdl-yuliatinin-7355-3bab.1.pdf
Gunarsa, J. S. D.(1983). Psikologi Remaja. Jakarta: Percetakan BPK Gunung Mulia Gunarsa, S. D. & Gunarsa, Y. D. S. (1995).Psikologis Praktis: Anak, Remaja, dan Keluarga. Cetakan Ketiga. Jakarta : Gunung Mulia Hurlock, E. B. (1990). Psikologi Perkembangan; suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga (Edisi Kedua) Hurlock, E. B. (1991). Psikologi Perkembangan; suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga (Edisi Kelima) Hurlock, E. B. (1992). Psikologi Perkembangan; Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Ahli Bahasa: Istiwidayanti. Jakarta: Penerbit Erlangga (Edisi Kelima) Hurlock, E. B. (1997). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga Kamus Besar Bahasa Indonesia: Jakarta (2005) Lianawati Ester. (2008). Kesejahteraan Psikologis Istri di Tinjau Dari Sikap Peran Gender Pada Pasturi Muslim.(2).1 Mamppiare.A. (1983).Psikologi Orang Dewasa. Suraaya: Usaha Nasional Maslow, A. M. (1970). Religions, Value and Peak-Expriences. Preface Copyright © Viking Pingguin Inc. All Rigth Reserved Mussen.(1989). Perkembangan Remaja. Jakarta: Penerbit Erlangga
Pinquart.M. & Sorenson.S. (2000). Influence Of Socioeconomic Status. Social Notwork And Conpetence on Subjektive Well-Being in Later Life : A Meta-Analisysis. Psychology and Aging, Vol. 15, 2, 187-224. Ryff. C. D. (1989). Happiness is Everything, or is it ? Explorations on the meaning of Psychological Well-Being. Journal Of Personality and Social Psychology. 57 : 1069-1081 Ryff. C. D. (1995). Psychological well being in adult life.Current Direction in Psychological science. 4: 99-104. Santrock. J. W. (1999). Life-span Development. New York McGraw-Hill College Santrock. J. W. (2005). Psychology.Updated Seventh Edition. New York: McGraw Hill Sarwono. W. S. (1984). Perkawinan Remaja. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan Sarwono. W. S. (1994). Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: CV. Rajawali Schultz. D. (1991).Psikologi Pertumbuhan. Penerjemah : Drs. Yustinus Msc. OFM. Yogyakarta: Kanisius Steinberg. L. (1993).Adoelesence.Third Edition. New York: McGraw Hill Sugiarto. D. S. Lasmono. T. S. & Deny S.O. (2003). Teknik Sampling. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Sugiono.(2008). Statistik untuk Penelitian. Bandung: CV. ALFABETA Tagor.A. (1993).Kumpulan Nasehat Perkawinan dan Keluarga BP4 Membina Keluarga Bahagia. Jakarta: Pustaka Antara Walgito, B. (2002). Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakutas Psikologi UGM Walgito, B. (2004). Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta: penerbit ANDI