FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BERAT BADAN TIDAK NAIK (2T) PADA BADUTA GAKIN SETELAH PEMBERIAN PROGRAM MP-ASI KEMENKES DI KECAMATAN PANCORAN JAKARTA SELATAN TAHUN 2011
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526
PEMINATAN GIZI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2011 M
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN GIZI Skripsi, September 2011
M.Arbi Ramadhan, 107101001526 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Berat Badan Tidak Naik (2T) Pada Baduta Gakin Setelah Pemberian Program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011
xx + 122 halaman, 28 tabel, 2 bagan, 1 gambar, 1 diagram, 8 lampiran ABSTRAK Program Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Kemenkes bertujuan untuk meningkatkan status gizi bayi dan baduta yang mengalami gizi kurang maupun gizi buruk dari keluarga miskin. MP-ASI yang diberikan berupa bubur untuk 6-11 bulan dan berupa biskuit untuk 12-24 bulan. Jumlah baduta yang mengalami berat badan tidak naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan sebanyak 60 baduta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder, dimana sampel penelitian ini adalah 82 ibu baduta yang mendapatkan MP-ASI Kemenkes (biskuit) untuk periode November 2010- Februari 2011. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain studi case control (1:1). Adapun variabel dependennya yaitu berat badan tidak naik (2T) sedangkan variabel independennya yaitu ASI Eksklusif, Lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes, Riwayat penyakit infeksi dan Pola Konsumi Makan (makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati,sayuran,buah dan susu). Hasil penelitian ini terdapat hubungan antara ASI Eksklusif dengan OR 3,485 CI 95% (1,380-8,798), Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes dengan OR 0,299 CI 95% (0,095-0,939), Riwayat Penyakit Infeksi dengan OR 3,071 CI 95% (1,1748,028) dan Pola Konsumsi Susu dengan OR 0,233 CI 95% (0,069-0,791) dengan berat badan tidak naik (2T). Namun tidak terdapat hubungan antara Pola Konsumsi Makan (makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran dan buah) dengan berat badan tidak naik (2T). Adapun faktor yang paling dominan mempengaruhi yaitu ASI Eksklusif (B = 6,152). Sebaiknya adanya sosialisasi yang menyeluruh dan jelas terhadap program MP-ASI Kemenkes, selain itu diperlukan personal hyiegene ibu, pengetahuan pola makan yang baik dan bergizi serta kebersihan lingkungan rumah dalam
ii
meningkatkan derajat kesehatan serta peningkatan frekuensi minum susu dan pemberian ASI Eksklusif.
Daftar bacaan : 73 (1988-2011)
ii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM NUTRITION DEPARTEMENT Undergraduate Thesis, September 2011
Ramadhan M.Arbi, NIM 107101001526 The Factors Influence No Weight Gain (2T) Improvement of Baduta’s Gakin After Giving Complementary Feeding Program (MP-ASI) Ministry of Health (Kemenkes) at Pancoran District South Jakarta Year 2011
xx + 122 pages, 28 tables, 2 charts, ,1 picture, 1 diagram, 8 attachments ABSTRACT Complementary Feeding Program (MP-ASI) Ministry of Health aims to improve the nutritional status of infants and baduta who experience malnutrition from poor families. Complementary Feeding Program (MP-ASI) Ministry of Health provided in the form of porridge for 6-11 months and biscuits for 12-24 months. The number of that baduta (2T) at Pancoran District South Jakarta reaches 60 babies. The purpose of this study is to determine the factors influence no weight gain improvement of Baduta’s Gakin after treatment of Complementary Feeding Program (MP-ASI) Ministry of Health. This study used primary and secondary data, where the sample of this study were 82 mothers who got Complementary Feeding Program (MP-ASI) Kemenkes’s biscuit for the period November 2010 - February 2011. This study used quantitative methods with case-control study design (1:1). The dependent variable is no weight gain improvement while the independent variable is exclusive breastfeeding, duration of MP-ASI Kemenkes, history of infectious diseases and eating habit (staple food, animal side dish, vegetables, fruit and milk). The results of this study is a relationship between exclusive breastfeeding with OR 3.485 and 95% CI (1.380 to 8.798), duration of provision of Complementary feeding program (MP-ASI) Kemenkes with OR 0.299 and 95% CI (0.095 to 0.939), History of Infectious Diseases with OR 3.071 and 95% CI (1.174 - 8.028) and the Pattern of Milk Consumption with OR 0.233 and 95% CI (0.069 to 0.791) with no weight gain improvement. But there is no relationship between Eating habit (staple foods, animal side dishes, vegetables and fruits) with no weight gain improvement. The most dominant factor affecting the exclusive breastfeeding (B = 6,152).
ii
We recommend a thorough socialization of the program such as the clear goals of MP-ASI Kemenkes, time frame providing porridge and biscuits and other clues as well as the required personal hygienic for mother, knowledge of nutritious food and hygienic environment in other to improve the health of society with the increasing frequency of drinking milk and exclusive breastfeeding.
Reading List : 73 (1988-2011)
ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Judul Skripsi
FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BERAT BADAN TIDAK NAIK (2T) PADA BADUTA GAKIN SETELAH PEMBERIAN PROGRAM MP-ASI KEMENKES DI KECAMATAN PANCORAN JAKARTA SELATAN TAHUN 2011
Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, September 2011
Mengetahui,
Ratri Ciptaningtyas, SKM,S.Sn.Kes Pembimbing I
Dr.H. Arif Sumantri, SKM M.Kes Pembimbing II
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Jakarta, 29 September 2011
Penguji I,
Ratri Ciptaningtyas, SKM, S.Sn.Kes
Penguji II,
Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes
Penguji III,
Dr. Helda, M.Kes
Riwayat Hidup Penulis
Data Pribadi
Nama Lengkap
: M. Arbi Ramadhan
Tempat Tanggal Lahir
: Bandar Lampung, 8 April 1989
Alamat Rumah
: Jl. Dr. Samratulangi No. 15/52 Penengahan Tanjung Karang Pusat Bandar Lampung 35112
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Agama
: Islam
Email
:
[email protected]
Telepon
: 085693514198 / 021-94119217
Riwayat Pendidikan
1995 – 2001
SD Kartika II-5 Bandar Lampung
2001 – 2004
SMP Negeri 2 Bandar Lampung
2004 – 2007
SMA Negeri 2 Bandar Lampung
2007 – 2011
Peminatan Gizi, Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
iv
Pengalaman Organisasi
2004 – 2005
OSIS SMA Negeri 2 Bandar Lampung
2005 – 2006
OSIS SMA Negeri 2 Bandar Lampung
2007 – 2008
BEM Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2008 – 2009
BEM Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengalaman Bekerja
2004 – 2006
Penyiar Radio “Sore Ceria “ RRI Pro 2 Bandar Lampung
Februari 2011
Magang - Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan Sie. Bagian Gizi Kesmas
v
LEMBAR PERSEMBAHAN
Dengan segala cinta dan ketulusan, kupersembahkan karya sederhana ini untuk:
Mama dan Papa tersayang yang telah membimbing dan mendoakanku di setiap sujudnya, Mbak Diyan, Mbak Tyas dan Mbak Astrid yang selalu memberikan dukungan, Almamaterku Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
”... Allah akan Meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa Derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan...” (QS. Al-Mujadilah [58]:11)
“ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (QS.Al-Baqarah [2]:286)
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Berat Badan Tidak Naik (2T) Pada Baduta Gakin Setelah Pemberian Program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011”. Shalawat dan salam senantiasa tecurahkan kepada Rasulullah SAW yang telah menjadi suri tauladan bagi umatnya. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada : 1. Kedua orang tua, mama dan papa tersayang yang tak hentinya selalu memberikan kasih sayang, semangat dan mendoakan saya di setiap waktunya. 2. Mbak Diyan dan Mas Anto, Mbak Tyas dan Mas Dedy, Keponakanku tersayang R.Abid dan Mbak Astrid yang juga memberikan doa dan semangat. 3. (Alm) Mbah H.Sajadi yang memberikan doa dan pesan terakhir untuk penulis agar melanjutkan pendidikan ke Strata (S-2). Insya Allah Mbah. 4. Prof. Dr (hc). dr. M. K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Ibu Ratri Ciptaningtyas, SKM,S.Sn.Kes selaku Pembimbing I yang telah memberikan banyak arahan dan masukan serta bimbingannya. 7. Bapak Dr.H.Arif Sumantri,SKM,M.Kes selaku Pembimbing II yang memberikan masukan dan arahan. vii
8. Dr. Helda, M.Kes selaku penguji yang banyak memberikan ilmu dan masukan. 9. Ibu Meilani, M.Epid yang banyak memberikan bantuan dan masukan. 10. Ibu Febrianti, M.Si selaku penanggung jawab peminatan gizi dan seluruh dosen Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 11. Seluruh Seksi Kesmas Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan, Kepala Puskesmas Kecamatan Pancoran, Ibu Merry selaku penanggung jawab gizi PKM Kecamatan Pancoran serta semua kader kesehatan PKM Pancoran dan Posyandu-Posyandu yang telah memberikan banyak bantuan. 12. Semua ibu baduta yang berkenan menjadi responden dan sangat membantu dalam penelitian kali ini. 13. Besties Siska untuk bantuannya saat penyebaran kuesioner penelitian. 14. Besties Yuni, Tamalia, Pipit, dan Ika untuk persahabatan dengan suka duka canda tawa, bantuan, semangat dan doa selama ini. 15. Sobat Nancy, S.Ked, Mareisca, SE, dan Ardela yang memberikan doa, bantuan dan semangat, serta rekan Ami Najmi untuk semua bantuannya. 16. OPUS’ Oktober 2011 (Pipit, Ika, Memeng, Zulfa, Rian, Ami, Fitri, Ida, Meli, Lisa, Ratih, Ovi, Bella, Aan, dan Agung) suka duka, semangat kita membuahkan hasil “Wisuda Pertama Angkatan 2007” 17. Teman-teman seperjuangan; Gizi dan K3 angkatan 2007 tetap semangat dan sabar, yakinlah dibalik kesulitan pasti ada kebahagiaan yang telah menanti kita semua. Ayo segera menyusul kawan !!! 18. ALDN untuk doa dan semangatnya, terima kasih.
viii
19. Dan semua pihak yang belum sempat disebutkan satu per satu , terima kasih atas bantuannya dan segalanya. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna, dengan segala kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran demi kemajuan dimasa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin.. Jakarta, September 2011
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERNYATAAN…………………………………………… ABSTRAK .............................................................................................. PERNYATAAN PERSETUJUAN……………………………………. RIWAYAT HIDUP PENULIS………………………………………… LEMBAR PERSEMBAHAN ................................................................ KATA PENGANTAR …………………………………………………. DAFTAR ISI …………………………………………………………… DAFTAR TABEL ……………………………………………………… DAFTAR BAGAN ……………………………………………………... DAFTAR GAMBAR ............................................................................... DAFTAR GRAFIK ................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................
i ii iii iv vi vii x xiv xvii xviii xiv xx
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………… 1.1 Latar Belakang …………………………………………..... 1.2 Rumusan Masalah ................................................................ 1.3 Pertanyaan Penelitian ........................................................... 1.4 Tujuan …………………………………………………….. 1.2.1 Tujuan Umum …………………………………….... 1.2.2 Tujuan Khusus …………………………………….. 1.5 Manfaat…………………………………………………… 1.6 Ruang Lingkup Penelitian ....................................................
1 1 7 8 9 9 9 10 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………..... 2.1 Berat Badan ......……………………………………………. 2.1.1 Pertumbuhan dan Perkembangan …………………… 2.1.2 Berat Badan Menurut Umur (BB/U)..………….......... 2.2 Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) …………………… 2.2.1 Tujuan Pemberian MP-ASI……………….................. 2.2.2 Resiko Pemberian MP-ASI Terlalu Dini .................... 2.3 Prosedur Mutu MP-ASI Kemenkes ……………………….. 2.3.1 Sasaran MP-ASI …………………………………….
12 12 12 13 14 15 16 19 19
x
2.3.2 Pengadaan MP-ASI ……………………………….... 2.3.3 Pemberian MP-ASI...................................................... 2.3.4 Spesifikasi MP- ASI Bubur & Biskuit ........................ 2.3.8 Cara Menghidangkan MP-ASI ................................... 2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi Balita…… 2.4.1 Karakteristik Keluarga ............................................... a. Pendidikan Ibu ........................................................ b. Pendapatan Keluarga .............................................. 2.4.2 Pola Asuh .................................................................... a. Pemberian ASI ........................................................ b. ASI Eksklusif ....................................................... 2.4.3 Karakteristik Anak .................................................... a. Cakupan Imunisasi .................................................. b. Penimbangan ......................................................... 2.4.4 Penyakit Metabolisme Bawaan ............................... 2.4.5 Pola Konsumsi Makanan (Asupan Zat Gizi) .............. 2.4.6 Riwayat Penyakit Infeksi ............................................ 2.5 Penilaian Konsumsi Makanan .......…………....................... 2.6 Kerangka Teori .....................................................................
19 19 20 29 30 30 30 32 33 33 37 39 39 43 44 45 45 47 50
BAB III Kerangka Konsep……………………….................................. 3.1 Kerangka Konsep ...................................………………....... 3.2 Definisi Operasional .....................…………….................... 3.3 Hipotesis ................................................................................
53 53 55 57
BAB IV Metodologi Penelitian .............................................................. 4.1 Desain Penelitian ................................................................... 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................ 4.3 Populasi ................................................................................. 4.4 Sampel Penelitian .................................................................. 4.5 Pengumpulan Data ................................................................ 4.6 Instrumen Penelitian ............................................................. 4.7 Uji Coba Kuesioner ............................................................ 4.8 Pengolahan Data ................................................................... 4.9 Analisis Data ......................................................................... 1. Univariat ............................................................................. 2. Bivariat ............................................................................... 3. Multivariat ..........................................................................
58 58 58 58 59 62 63 63 66 67 67 67 68
xi
BAB V Hasil Penelitian ........................................................................... 5.1 Gambaran Umum Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan....... 5.2 Analisis Univariat ................................................................. 5.2.1 Gambaran ASI Eksklusif ............................................ 5.2.2 Gambaran Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes 5.2.3 Gambaran Riwayat Penyakit Infeksi .......................... 5.2.3 Gambaran Pola Konsumsi Makan .............................. a. Makanan Pokok ...................................................... b. Lauk Hewani .......................................................... c. Lauk Nabati ............................................................ d. Sayuran ................................................................... e. Buah ........................................................................ f. Susu ........................................................................ 5.3 Analisis Bivariat .................................................................... 5.3.1 Hubungan antara ASI Eksklusif dengan 2T ................ 5.3.2 Hubungan Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes dengan 2T ................................................................... 5.3.3 Hubungan Riwayat Penyakit Infeksi dengan 2T ........ 5.3.4 Hubungan Pola Konsumsi Makan dengan 2T ............ a. Makanan Pokok ...................................................... b. Lauk Hewani .......................................................... c. Lauk Nabati ............................................................ d. Sayuran ................................................................... e. Buah ........................................................................ f. Susu ........................................................................ 5.4 Analisis Multivariat ............................................................ 5.4.1 Pemilihan Kandidat Multivariat ................................. 5.4.2 Pembuatan Model ..................................................... 5.4.3 Pengujian Interaksi ...................................................... 5.4.4 Tahap Akhir ..............................................................
71 71 72 72 73 73 74 75 75 76 76 77 77 77 78 79
BAB VI Pembahasan ............................................................................. 6.1 Keterbatasan Penelitian ......................................................... 6.2 Gambaran 2T di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan ........ 6.3 Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi 2T pada Baduta Gakin Setelah Pemberian Program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 ...................................................................................... 6.3.1 Hubungan antara ASI Eksklusif dengan 2T ................
94 94 95 96
xii
80 82 82 83 84 85 86 88 89 89 90 90 91
96
6.3.2 Hubungan Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes dengan 2T ................................................................... 6.3.3 Hubungan Riwayat Penyakit Infeksi dengan 2T ........ 6.3.4 Hubungan Pola Konsumsi Makan dengan 2T ............ a. Makanan Pokok ...................................................... b. Lauk Hewani .......................................................... c. Lauk Nabati ............................................................ d. Sayuran ................................................................... e. Buah ........................................................................ f. Susu ........................................................................ 6.4 Analisis Faktor Yang Paling Dominan Mempengaruhi 2T pada Baduta Gakin Setelah Pemberian Program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 ................................................................................. BAB VII Penutup ................................................................................. 7.1 Kesimpulan ..................................................................... 7.2 Saran ...................................................................................
Daftar Pustaka…………………………………………………………..
xiii
98 101 105 108 109 109 110 111 111 115
119 119 121
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1
Kandungan Zat Gizi MP-ASI Bubur
21
Tabel 2.2
Kandungan Zat Gizi MP-ASI Biskuit
25
Tabel 4.1
Pemilihan Sampel di Kecamatan Pancoran Jakarta
62
Selatan Tahun 2011 Tabel 4.2
Hasil Uji Validitas dan Rebilitas Kuesioner
65
Tabel 5.1
Luas Wilayah dan Jumlah RT/RW se-Kecamatan
71
Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2010 Tabel 5.2
Jumlah KK dan Jumlah Penduduk se-Kecamatan
72
Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2010 Tabel 5.3
Distribusi ASI Eksklusif di Kecamatan Pancoran
72
Jakarta Selatan Tahun 2011 Tabel 5.4
Distribusi Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes
73
di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Tabel 5.5
Distribusi Riwayat Penyakit Infeksi di Kecamatan
74
Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Tabel 5.6
Distribusi Pola Konsumsi Makanan Pokok di
75
Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Tabel 5.7
Distribusi Pola Konsumsi Lauk Hewani di
75
Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Tabel 5.8
Distribusi Pola Konsumsi Lauk Nabati di Kecamatan
76
Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Tabel 5.9
Distribusi Pola Konsumsi Sayuran di Kecamatan
76
Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Tabel 5.10
Distribusi Pola Konsumsi Buah di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011
xiv
77
Tabel 5.11
Distibusi Pola Konsumsi Susu di Kecamatan
77
Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Tabel 5.12
Analisis Hubungan ASI Eksklusif dengan Berat
78
Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Tabel 5.13
Analisis Hubungan Lamanya Pemberian MP-ASI
79
Kemenkes dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Tabel 5.14
Analisis Hubungan Riwayat Penyakit Infeksi dengan
81
Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Tabel 5.15
Analisis Hubungan Pola Konsumsi Makanan Pokok
82
dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Tabel 5.16
Analisis Hubungan Pola Konsumsi Lauk Hewani
83
dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Tabel 5.17
Analisis Hubungan Pola Konsumsi Lauk Nabati
84
dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Tabel 5.18
Analisis Hubungan Pola Konsumsi Sayuran dengan
86
Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Tabel 5.19
Analisis Hubungan Pola Konsumsi Buah dengan
87
Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Tabel 5.20
Analisis Hubungan Pola Konsumsi Susu dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011
xv
88
Tabel 5.21
Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Berganda
89
Tahap Pertama Tabel 5.22
Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Berganda
90
Tahap Kedua Tahap 5.23
Hasil Analisis Uji Interaksi
91
Tahap 5.24
Model Akhir Multivariat Regresi Logistik Berganda
92
xvi
DAFTAR BAGAN
Halaman 2.1
Kerangka Teori
52
3.1
Kerangka Konsep
54
xvii
DAFTAR GAMBAR
Halaman 2.1
Gambar MP-ASI Kemenkes (biskuit)
xviii
24
DAFTAR DIAGRAM
Halaman
6.1
Diagram Proporsi Sampel Baduta 2T dan Non 2T di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011
xix
96
DAFTAR LAMPIRAN
1
Surat Pengajuan Penelitian ke Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan
2
Surat Penelitian ke Puskesmas Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan
3
Kuesioner Penelitian
4
Form FFQ Kualitatif
5
Hasil Output SPSS Univariat
6
Hasil Output SPSS Bivariat
7
Hasil Output SPSS Multivariat
8
Daftar Nama Register Pendistribusian MP-ASI Kemenkes Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan (November 2010-Februari 2011)
xx
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas yang sehat, cerdas dan produktif. Pencapaian pembangunan manusia yang diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) belum menunjukkan hasil yang menggembirakan dalam tiga dasawarsa terakhir. Pada tahun 2003, IPM Indonesia masih rendah yaitu berada pada peringkat 112 dari 174 negara, lebih rendah dari negara-negara tetangga. Rendahnya IPM ini sangat dipengaruhi oleh rendahnya status gizi dan status kesehatan penduduk. Hal ini antara lain terlihat dari masih tingginya angka kematian bayi sebesar 35/100.000 kelahiran hidup dan angka kematian balita sebesar 58/100.000 kelahiran hidup serta angka kematian ibu 307/100.000 kelahiran hidup. Lebih dari separuh kematian bayi dan anak balita disebabkan oleh buruknya status gizi anak balita (Azwar, 2004). Arah
dan
kebijakan
pembangunan
bidang
kesehatan,
diantaranya
menyebutkan bahwa pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan. Salah satu faktor yang menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia adalah gizi. Gizi merupakan faktor penting yang memegang peranan dalam
1
2
siklus kehidupan manusia terutama bayi dan anak yang nantinya akan menjadi generasi penerus bangsa (Depkes, 2002). Bayi atau balita yang kurang gizi memiliki resiko kematian yang tinggi dan jika dapat bertahan hidup sering mengalami sakit dan perkembangan fisik maupun mentalnya terganggu. Kurang gizi merupakan penyebab tingginya kematian balita sebesar 60% dari kematian balita setiap tahunnya. Dua per tiga dari kematian ini berkaitan dengan kebiasaan makan yang tidak benar yang terjadi pada tahun pertama umur bayi (WHO dan UNICEF, 2003). Secara nasional prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Pada tahun 2005 tercatat 1,03% dari jumah penduduk mengidap gizi buruk, kemudian naik menjadi 2,10% pada tahun 2006, dan kembali melonjak menjadi 3,48% pada tahun 2007 (Depkes, 2008). Dari hasil beberapa penelitian menyatakan bahwa keadaan kurang gizi pada bayi dan anak disebabkan karena kebiasaan pemberian Makanan Pendamping ASI yang tidak tepat. Ketidaktauan tentang cara pemberian makanan bayi dan anak serta adanya kebiasaan yang merugikan kesehatan, secara langsung dan tidak langsung menjadi penyebab utama terjadinya masalah kurang gizi pada anak, khususnya pada anak (baduta) usia dibawah 2 tahun (Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI, 2000). Dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding untuk mencapai tumbuh kembang optimal, WHO/UNICEF (2001) merekomendasikan empat hal penting yang harus dilakukan yaitu, pertama memberikan ASI kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir, kedua memberikan hanya ASI saja atau
3
pemberian ASI secara eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, ketiga memberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) sejak bayi berusia 6 bulan sampai 24 bulan, dan keempat meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih (Depkes, 2006). WHO dan UNICEF menganjurkan ibu untuk tetap menyusui anaknya sampai usia 2 tahun. Penelitian yang dilakukan pakar-pakar
laktasi di WHO
mengungkapkan bahwa pemberian ASI di saat anak > 1 tahun tetap memberikan nutrisi yang tidak ternilai harganya. Karena pemberian ASI pada batita memberikan manfaat seperti: 31% kebutuhan energi anak, 38% kebutuhan protein anak, 45% kebutuhan vitamin A anak, 95% kebutuhan vitamin C anak (WHO, 2003). Menurut WHO (2009) cara terbaik dalam mencegah kekurangan nutrisi dan kematian para bayi dan anak- anak adalah dengan memastikan mereka telah memperoleh ASI dimulai dalam jangka 1 (satu) jam setelah kelahiran, lalu ASI Ekslusif (tanpa disertai makanan atau cairan maupun air sekalipun selain hanya ASI saja) hingga usia 6 (enam) bulan, kemudian dilanjutkan dengan pemberian ASI yang disertai tambahan makanan pelengkap yang tepat hingga 2 (dua) tahun atau lebih. Bahkan dalam situasi darurat pun, pemberian ASI tetap terus dianjurkan diberikan secara berkala dan berkesinambungan hingga sedikitnya usia 2 (dua) tahun. Hal tersebut telah sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Quran sebagai berikut:
4
“ Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui dengan sempurna....... (QS. Al-Baqarah: 233). Berdasarkan Kitab Tafsir Tafsir Al-wasith, karya Muhammad Sayid Thonthowi, Juz 1 hal 532, yang dimaksud dengan dua tahun penuh yaitu seperti yang dikatakan Al-Raghib yaitu merubah sesuatu dan melepaskannya (menyapih). Batasan dua tahun bukan merupakan batasan kewajiban karena masih diperbolehkan menyapih sebelum dua tahun. Pada ayat yang ini, para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh. Telah jelas bahwa merupakan bentuk perlindungan dari Allah kepada manusia sejak kelahirannya. Bahkan sejak manusia dibentuk di perut ibunya menjadi sebuah janin. Maka Allah memerintahkan kepada manusia untuk menyusui anaknya selama dua tahun. Karena ASI adalah sebaik-baiknnya makanan bagi anaknya. Serta berguna untuk menjaga kesehatan dan melindungi dari serangan penyakit karena bayi rentan terserang berbagai penyakit baik penyakit jasmani, rohani, dan jiwa. Pada usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, sehingga sering diistilahkan sebagai periode emas sekaligus periode kritis. Periode emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini, bayi dan anak memperoleh asupan gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal. Sebaliknya apabila bayi dan anak pada masa ini tidak memperoleh makanan sesuai kebutuhan gizinya, maka
5
periode emas akan berubah menjadi periode kritis, yang akan menggangu tumbuh kembang bayi dan anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya (Depkes, 2006). Dalam mencapai target Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Nasional (RPJPMN) bidang Kesehatan, dilakukan sejumlah kegiatan yang bertumpu kepada perubahan perilaku dengan cara mewujudkan Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi). Melalui penerapan perilaku Keluarga Sadar Gizi, keluarga didorong untuk memberikan ASI eksklusif pada bayi sejak lahir sampai berusia 6 bulan dan memberikan MP-ASI yang cukup dan bermutu kepada bayi dan anak usia 6-24 bulan. Bagi keluarga mampu, pemberian MP-ASI yang cukup dan bermutu relatif tidak bermasalah. Pada keluarga miskin, pendapatan yang rendah menimbulkan keterbatasan pangan di rumah tangga yang berlanjut kepada rendahnya jumlah dan mutu MP-ASI yang diberikan kepada bayi dan anak. Maka Depkes RI membagikan MP-ASI berupa bubur dan biskuit pada balita gakin yang mengalami kekurangan gizi maupun gizi buruk di seluruh Indonesia, dengan tujuan untuk meningkatkan status gizinya balita tersebut (Depkes, 2009). Program perbaikan gizi yang bertujuan meningkatkan jumlah dan mutu MPASI, selama ini telah dilakukan, diantaranya pemberian MP-ASI kepada bayi dan anak usia 6 sampai 24 bulan dari keluarga miskin. Secara umum terdapat dua jenis MP-ASI yaitu hasil pengolahan pabrik atau disebut dengan MP-ASI pabrikan dan yang diolah di rumah tangga atau disebut dengan MP-ASI lokal (Depkes, 2006). Dari beberapa penelitian dinyatakan bahwa keadaan kurang gizi pada bayi dan anak disebabkan karena kebiasaan pemberian MP-ASI yang tidak tepat dan
6
ketidaktahuan ibu tentang manfaat dan cara pemberian MP-ASI yang benar sehingga berpengaruh terhadap pemberian MP-ASI. Selain itu faktor lain seperti cakupan imunisasi, pendidikan ibu, status pekerjaan, dukungan keluarga serta peran petugas kesehatan juga berpengaruh terhadap pemberian MP-ASI (Depkes, 2006). Selain itu pemberian MP-ASI yang terlalu dini kepada bayi (kurang dari 6 bulan) akan memberikan beberapa resiko kepada bayi. Menurut Rahardjo (2006) dalam Utami (2011) penyakit infeksi saluran nafas dan diare merupakan penyebab utama kematian bayi. Hal tersebut dapat dicegah dengan pemberian MP-ASI secara benar atau dengan kata lain menunda pemberian MP-ASI dini pada bayi. Hasil survei Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta (2008) menunjukkan bahwa beberapa faktor penyebab terjadinya gangguan tumbuh kembang bayi usia 611 bulan dan anak usia 12-24 bulan (Baduta) di Indonesia adalah rendahnya mutu Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) dan pola asuh pemberian makan yang tidak tepat sehingga kebutuhan zat gizi tidak tercukupi khususnya energi dan zat gizi mikro seperti Zat Besi (Fe) dan Seng (Zn). Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan melakukan program MP-ASI menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan melakukan pendistribusian MP-ASI ke 10 kecamatan yang ada di wilayah Jakarta Selatan kepada bayi berumur 6-11 bulan dan baduta berumur 6-24 bulan dari keluarga miskin (Gakin) yang mengalami kasus gizi buruk maupun gizi kurang. Sehingga setelah dilakukan program pemberian MP ASI diharapkan status gizi bayi dan baduta tersebut menjadi lebih baik dengan melihat kenaikan berat badannya. Tetapi pada kenyataannya masih adanya baduta yang berat badannya tidak naik (2T)
7
dan ada pula yang berat badannya naik setelah pemberian MP-ASI Kemenkes (Sudin Kesehatan Jakarta Selatan, 2011). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Februari 2011 terhadap data sekunder mengenai laporan MP-ASI di Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan, di 10 kecamatan se- Jakarta Selatan. Prevalensi kasus baduta 2T tertinggi di wilayah Pancoran sebesar 31,58% (60 baduta), Kebayoran Baru sebesar 27,84% (27 baduta), Kebayoran Lama sebesar 26,67% (48 baduta), Tebet sebesar 13,16% (5 baduta), Setiabudi sebesar 12,9% (4 baduta), Mampang sebesar 6,56% (4 baduta), Jagakarsa sebsesar 5,08% (10 baduta), Pasar Minggu sebesar 3,45% (5 baduta), Cilandak sebesar 3,33% (2 baduta) dan prevalensi terendah di wilayah Pesanggrahan sebesar 3,12% (5 baduta). Sehingga penelitian dilakukan di Kecamatan Pancoran dengan persentase terbesar yaitu 31,58%.
1.2 Rumusan Masalah Pemberian ASI dan Makanan Pendamping ASI yang kurang tepat dapat mengakibatkan kurang gizi pada balita. Sekitar 6,7 juta (27,3%) dari sejumlah balita di Indonesia yang menderita kurang gizi dan 1,5 juta diantaranya menderita gizi buruk sehingga Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengadakan program MP-ASI kepada bayi dan baduta kepada keluarga miskin di Indonesia (Depkes, 2008). Menurut Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta (2008), latar belakang dilaksanakan pengadaan MP-ASI adalah angka kematian yang tinggi karena penyakit infeksi yang diperberat dengan keadaan gizi buruk, krisis ekonomi,
8
Standar Pelayanan Minimal (SPM) 100% dan untuk melindungi masyarakat dari kekurangan gizi serta meningkatkan status gizi khususnya bayi dan balita umur 6-24 bulan dari keluarga miskin. Keadaan gizi buruk dan kurang pada baduta yang tidak ditangani segera akan berdampak buruk yang nantinya dapat berujung kematian. Sehingga dengan adanya program MP-ASI Kemenkes diharapkan dapat memperbaiki status gizi baduta gakin, terutama terhadap kenaikan berat badan. Tetapi pada kenyataanya di dalam satu kecamatan masih terdapat baduta yang mengalami kenaikan berat badan dan terdapat pula baduta yang
tidak mengalami kenaikan berat badan dua bulan
berturut-turut atau dikenal dengan istilah 2T. Prevalensi tertinggi se-Jakarta Selatan pada bulan November 2010- Februari 2011 untuk kasus 2T berada di wilayah Pancoran yaitu sebesar 31,58% (60 baduta). Sehingga melalui uraian tersebut, membuat peneliti tertarik meneliti Faktorfaktor yang mempengaruhi berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011.
1.3 Pertanyaan Penelitian Apa saja yang menjadi Faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 ?
9
1.4 Tujuan 1.4.1 Tujuan Umum Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011. 1.4.2 Tujuan Khusus 1. Diketahuinya gambaran pemberian ASI Eksklusif pada baduta setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 2. Diketahuinya gambaran lamanya pemberian program MP-ASI Kemenkes pada baduta gakin di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 3. Diketahuinya gambaran riwayat penyakit infeksi pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 4. Diketahuinya gambaran pola konsumsi makan (makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran, buah dan susu) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 5. Diketahuinya hubungan antara pemberian ASI Eksklusif dengan berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MPASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011
10
6. Diketahuinya hubungan antara lamanya pemberian program MP-ASI Kemenkes dengan berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 7. Diketahuinya hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MPASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 8. Diketahuinya hubungan antara pola konsumsi makan (makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran, buah dan susu) dengan berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011. 9. Diketahuinya faktor yang paling dominan mempengaruhi berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011.
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Bagi Peneliti Menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman serta sebagai sarana bagi peneliti dalam mengaplikasikan berbagai ilmu di bidang kesehatan masyarakat yang telah didapat selama bangku kuliah. 1.5.2 Bagi Institusi Memberikan tambahan informasi dan bahan pertimbangan bagi peneliti lain yang berminat untuk penelitian serupa di masa yang akan datang.
11
1.5.3 Bagi Masyarakat Memberikan
informasi
penting
bagi
masyarakat
agar
lebih
memperhatikan status gizi anaknya, dikhususkan pada keluarga miskin (gakin) setelah pemberian MP-ASI terutama dalam hal kenaikan berat badannya. 1.6 Ruang Lingkup Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2011 dengan subyek yang akan diteliti yaitu ibu baduta dan baduta yang mendapatkan program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder dari Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan dan Puskesmas Kecamatan Pancoran. Penelitian ini dapat dijadikan bahan evaluasi terhadap keberhasilan program MP-ASI Kementerian Kesehatan RI untuk wilayah Jakarta Selatan, khususnya Pancoran. Karena di wilayah Pancoran paling banyak jumlah baduta yang mengalami berat badan tidak naik (2T) setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes dibandingkan kecamatan lain se-Jakarta Selatan. Penelitian yang dilakukan menggunakan metode kuantitatif dengan desain studi case control.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Berat Badan Berat badan dikatakan sebagai berat bobot (massa) tubuh seseorang. Berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting dan paling sering digunakan pada bayi baru lahir. Berat badan digunakan untuk mendiagnosa bayi normal atau BBLR. Pada masa bayi-balita, berat badan dapat dipergunakan untuk melihat laju pertumbuhan fisik maupaun status gizi. Berat badan menggambarkan jumlah dari protein, lemak, air dan mineral pada tulang (Supariasa, 2001). Setiap manusia yang hidup mengalami proses tumbuh kembang. Proses tumbuh kembang anak terdiri atas dua proses yang tidak dapat dipisahkan karena saling mempengaruhi, yaitu proses pertumbuhan yang ditandai oleh semakin besarnya ukuran tubuh (berat, tinggi badan, lingkar lengan atas, dan lainnya) dan proses perkembangan yang ditandai oleh semakin bertambahnya kemampuan anak (koordinasi gerakan, bicara, kecerdasan, pengendalian perasaan, interaksi dengan orang lain dan sebagainya) (Santoso, 1999). 2.1.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Pada masa tumbuh kembang seorang anak, faktor genetik yang dianggap sebagai penentu potensi bawaan berpengaruh dengan faktor lingkungan yaitu antara lain infeksi, gizi, sosial, emosional, kultural, dan politik (Santoso, 1999).
12
13
Ada dua determinan yang saling berinteraksi dalam mempengaruhi pertumbuhan bayi dan balita, yaitu faktor bawaan (genetic factor atau nature) dan faktor lingkungan (environmental factors atau nurture). Faktor bawaan mengacu pada faktor statik yang menyertai anak sejak pembuahan, sedangkan faktor lingkungan lebih banyak terfokus pada kecukupan gizi dan kesehatan bayi dan balita (Satoto, 1997). Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik (anatomi) dan struktur tubuh. Pertumbuhan lebih ditekankan pada pertambahan fisik seseorang, yaitu menjadi lebih besar atau lebih matang bentuknya, seperti pertambahan berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepala (Nursalam, 2005). Berdasarkan definisi
The
British
Medical
Dictionary,
pertumbuhan
merupakan
perkembangan progresif dari makhluk hidup dari tahap paling awal sampai dewasa, termasuk pertambahan dalam ukuran (Hurlock, 1997). Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dan struktur/fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur, dapat diperkirakan, dan diramalkan sebagai hasil dari proses diferensiasi sel, jaringan tubuh, organorgan, dan sistemnya yang terorganisasi (IDAI, 2002 dalam Nursalam, 2005). 2.1.2 Berat Badan Menurut Umur (BB/U) Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan
14
adalah parameter antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan yang abnormal, terdapat dua kemungkinan perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal. Berdasarkan karakteristik berat badan ini maka indeks berat badan per umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (Supariasa, 2001). 2.2 Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Makanan Pendamping ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi, yang diberikan pada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain ASI (Depkes, 2006). MP-ASI merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan bayi atau anak. Pemberian MP-ASI yang cukup kualitas dan kuantitasnya penting untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan anak yang sangat pesat pada periode ini, tetapi sangat diperlukan hygienitas dalam pemberian MP-ASI tersebut (Depkes, 2000).
15
Menurut Brown et al.,(1998) sanitasi dan hygienitas MP-ASI yang rendah memungkinkan terjadinya kontaminasi mikroba yang dapat meningkatkan risiko atau infeksi lain pada bayi. 2.2.1 Tujuan Pemberian MP-ASI MP-ASI diberikan sebagai pelengkap ASI sangat membantu bayi dalam proses belajar makan dan kesempatan untuk menanamkan kebiasaan makan yang baik. Pemberian makanan pelengkap bertahap dan bervariasi dari sari buah segar, makanan lumat, makanan lembek dan akhirnya makanan padat (Husaini, 1999 dalam Utami, 2011). Tujuan pemberian MP-ASI adalah untuk menambah energi dan zat-zat gizi yang diperlukan bayi karena ASI tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi secara terus menerus. Dengan demikian makanan tambahan diberikan untuk mengisi kesenjangan antara kebutuhan nutrisi total pada anak dengan jumlah yang didapatkan dari ASI (WHO, 2003). Menurut Ziegler et al.,(2000) pemberian MP-ASI pemulihan sangat dianjurkan untuk penderita KEP, terlebih bayi berusia enam bulan ke atas dengan harapan MP-ASI ini mampu memenuhi kebutuhan gizi dan mampu memperkecil kehilangan zat gizi. Adapun tujuan pemberian Makanan Pendamping ASI adalah (Persagi, 1994): 1.
Melengkapai zat gizi yang kurang terdapat dalam ASI
16
2.
Mengembangkan kemampuan bayi untuk menerima bermacam makanan dengan berbagai tekstur dan rasa
3.
Mengembangkan kemampuan bayi untuk mengunyah dan menelan
4.
Melakukan adaptasi terhadap makanan yang mengandung kalor energi yang tinggi
2.2.2 Resiko Pemberian MP-ASI Terlalu Dini Menurut Siahaan (2005), pemberian MP-ASI harus memperhatikan angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan berdasarkan kelompok umur dan tekstur makanan yang sesuai perkembangan usia balita. Terkadang ada ibu-ibu yang sudah memberikannya pada usia dua atau tiga bulan. Padahal di usia tersebut kemampuan pencernaan bayi belum siap menerima makanan tambahan. Akibatnya banyak bayi yang mengalami diare. Menurut Jahari et all. (2000), masalah gangguan pertumbuhan pada usia dini yang terjadi di Indonesia diduga kuat berhubungan dengan banyaknya bayi yang sudah diberi MP-ASI sejak usia satu bulan, bahkan sebelumnnya. Pemberian MP-ASI terlalu dini juga akan mengurangi konsumsi ASI, dan bila terlambat akan menyebabkan bayi kurang gizi. Sebenarnya pencernaan bayi sudah mulai kuat sejak usia empat bulan. Pada bayi yang mengonsumsi ASI, makanan tambahan dapat diberikan setelah usia enam bulan. Selain cukup jumlah dan mutunya, pemberian MP-ASI juga perlu
17
memperhatikan kebersihan makanan agar ank terhindar dari infeksi kuman yang membuat gangguan pencernaan (Siahaan, 2005). Umur yang paling tepat untuk memperkenalkan MP-ASI adalah enam bulan. Pada umumnya kebutuhan nutrisi bayi yang kurang dari enam bulan masih dapat dipenuhi oleh ASI. Tetapi, setelah berumur enam bulan bayi umumnya membutuhkan energi dan zat gizi yang lebih untuk tetap bertumbuh lebih cepat sampai dua kali atau lebih darti itu, disamping itu pada umur enam bulan saluran cerna bayi sudah dapat mencerna sebagian makanan keluarga seperti tepung (Albar, 2004). Anshori (2002), dalam Utami (2011) melaporkan bahwa bayi yang mendapat MP-ASI < empat bulan akan mengalami risiko gizi kurang lima kali lebih besar dibandingkan bayi yang mendapatkan MP-ASI pada umur empatenam bulan setelah dikontrol oleh asupan energi dan melakukan penelitian kohort selama empat bulan melaporkan pemberian MP-ASI terlalu dini (< empat bulan) berpengaruh pada gangguan pertambahan berat badan bayi, meskipun tidak berpengaruh pada gangguan pertambahan panjang bayi. Pemberian makanan tambahan terlalu dini kepada bayi sering ditemukan dalam masyarakat seperti pemberian pisang, madu, air tajin, air gula, susu formula, dan makanan lain sebelum bayi berusia 6 bulan (Azwar, 2002). Adapun resiko pemberian makanan tambahan terlalu dini, yaitu: jangka pendek dan jangka panjang.
18
1. Resiko Jangka Pendek Resiko jangka pendek yang terjadi seperti mengurangi keinginan bayi untuk menyusui sehingga frekuensi dan kekuatan bayi menyusui berkurang dengan akibat produksi ASI berkurang. Selain itu pengenalan serelia dan sayur-sayuran tertentu dapat mempengaruhi penyerapan zat besi dan ASI, walaupun konsentrasi zat besi dalam ASI rendah, tetapi lebih mudah. Pemberian makanan dini seperti pisang, nasi di daerah pedesaan di Indonesia sering menyebabkan penyumbatan saluran cerna/diare serta meningkatnya resiko terkena infeksi (Azwar, 2002) 2. Resiko Jangka Panjang Resiko jangka panjang dihubungkan dengan obesitas, kelebihan dalam memberikan makanan adalah resiko utama dari pemberian makanan yang terlalu dini pada bayi. Konsekuensi pada usia-usia selanjutnya adalah terjadi kelebihan berat badan ataupun kebiasaan makan yang tidak sehat. Kandungan natrium dalam ASI yang cukup rendah (± 15mg/100ml) namun, jika masukan dari diet bayi dapat meningkat drastis jika makanan telah dikenalkan. Konsekuensi di kemudian hari akan menyebabkan kebiasaan makan yang memudahkan terjadinya gangguan hipertensi. Selain itu, belum matangnya sistem kekebalan dari usus pada umur yang dini dapat menyebabkan alergi terhadap makanan (Azwar, 2002).
19
2.3 Prosedur Mutu Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Kemenkes Adapun prosedur mutu untuk Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) bagi bayi 6-11 bulan dan baduta 12-23 bulan, BGM Gakin menurut Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2008 adalah sebagai berikut: 2.3.1 Sasaran MP-ASI Adapun sasaran pemberian MP-ASI yaitu: 1.
Sasaran pemberian MP-ASI bubur adalah bayi usia 6-11 bulan dari keluarga miskin
2.
Sasaran pemberian MP-ASI biskuit adalah anak usia 12-24 bulan dari keluarga miskin
3.
Penentuan keluarga miskin sesuai kriteria keluarga miskin yang berlaku
2.3.2 Pengadaan MP-ASI Pengadaan
MP-ASI
dapat
dilakukan
di
tingkat
Provinsi,
Kota/Kabupaten Administrasi, Puskesmas dan pihak lain yang tidak mengikat. Sebagian dasar perencanaan pengadaan MP-ASI adalah data Baduta keluarga miskin yang ada di suatu wilayah kerja Puskesmas Kecamatan/Kelurahan. 2.3.3 Pemberian MP-ASI Jangka waktu pemberian MP-ASI diberikan selama 90 hari. Adapun jumlah MP-ASI yang diberikan: 1.
Untuk sasaran bayi umur 6-11 bulan akan mendapat MP-ASI bubur sebanyak 100 gr/hari yang diberikan dalam 3 kali penyajian per hari
20
2.
MP-ASI bubur dikemas dalam sachet ukuran 200 gram. Setiap satu sachet dapat dikonsumsi selama 2 hari
3.
Untuk sasaran anak umur 12-24 bulan akan mendapat MP-ASI biskuit sebanyak 120 gr/hari
4.
Biskuit dikemas dalam sachet roll dengan berat bersih 120 gr. Setiap 7 rol dibungkus dalam satu palstik bertuliskan “untuk dikonsumsi 1 minggu”
5.
Sisa MP-ASI harus disimpan dengan baik, di ikat dan disimpan dalam wadah yang kering dan bersih (kaleng, stoples atau lainnya)
2.3.4 Spesifikasi MP-ASI 2.3.4.1 MP-ASI Bubur 1. Nilai Gizi Takaran saji = 30 gr ( 3 sendok makan ) Dalam 1 sachet 200 gr untuk 6 saji selama 2 hari Komposisi: a. Tepung Kedelai b.Tepung beras putih c. Sukrosa d. Skim milk e. Powder f. Garan beryodium g. Mineral
21
h. Premix vitamin dan aroma rasa
Zat Gizi Energi Protein Lemak Karbohidrat Air Vitamin Vitamin A Vitamin D Vitamin E Vitamin K Vitamin B1 Vitamin B2 Vitamin B6 Vitamin B12 Vitamin C Asam Folat Niasin Asam Panthotenat
Tabel 2.1 Kandungan Zat Gizi MP-ASI Bubur Kandungan Satuan Per 100 gr Per saji Kkal 438,87 131,66 Gram 19,62 5,89 Gram 12,4 3,72 Gram 62,26 18,68 Gram 1,37 0,41 RE µg µg µg Mg Mg Mg µg Mg µg Mg Mg
335 8,5 3,6 8,36 0,33 0,45 0,5 0,09 31 28,27 3,5 1,75
100,5 2,55 1,08 2,51 0,1 0,14 0,15 0,03 9,3 8,48 1,05 0,53
Mineral Besi Mg Selenium µg Seng Mg Natrium Mg Kalsium Mg Iodium µg Fosfor Mg Sumber : Depkes, 2008
10,55 13,8 5,2 245 392 62 234
35,22 27,6 26 21 23,52 18,6 17,55
22
2. Karakteristik Produk a. Bentuk MP-ASI bubuk instan berbentuk bubuk dengan distribusi partikel 95% lolos uji penyaringan 600 micrometer dan 100% lolos uji penyaringan 1000 micrometer. b. Konsistensi MP-ASI bubuk instan bila dicampur dengan air akan menghasilkan bubur halus tanpa gumpalan dengan kekentalan yang memungkinkan pemberian dengan sendok. c. Rasa MP-ASI bubuk instan mempunyai tiga rasa yang disukai oleh bayi yaitu : beras merah, kacang hijau dan pisang. d. Kadaluarsa MP-ASI bubuk instan aman dikonsumsi dalam waktu 24 bulan setelah tanggal produksi. 3. Keamanan Pangan a. Cemaran Mikro Total Plate Count (TPC) atau Angka Lempeng 1.Total
: tidak lebih dari 1,0 x 104 koloni per gram
23
2.Coliforms
: Most Probable Number (MPN) tidak > 20/gr
3.Escheria coli
: negatif/gr
4.Salmonella
: negatif dalam 25 gr
5.Staphylococcus
: negatif/gr
b. Cemaran Logam 1.Timbal
: tidak lebih dari 1,14 ppm
2.Timah
: tidak lebih dari 152 ppm
3.Raksa
: tidak lebih dari 0,114 ppm
4.Tembaga
: tidak lebih dari 5,0 ppm
5.Arsen
: tidak lebih dari 0,38 ppm
4. Kemasan 1. Jenis kemasan adalah Metalized Plastic Food Grade 2. Berat bersih tiap kemasan 200 gr 3. Setiap 15 kemasan yang terdiri dari 3 rasa yaitu Beras Merah, Kacang Hijau, dan Pisang masing-masing 5 kemasan @ 200 gr dikemas lagi dalam satu kotak kardus 4. Pada kotak kardus terdapat keterangan: nama produk, tanggal kadaluarsa, jumlah kemasan, petunjuk penyimpanan, petujuk penanganan
24
2.3.4.2 MP-ASI Biskuit 1. Nilai Gizi Takaran saji = 40 gr (4 keping) Dalam 1 sachet 120 gr untuk 3 saji selama 1 hari Komposisi: a. Tepung Terigu b. Gula c. Minyak nabati (antioksidan: askorbilpamitat, tokoferol) d. Susu bubuk e. Bahan pengembang (natrium bikarbonat, amonium bikarbonat) f. Pengemulsi (lesitin kedelai) f. Garam g. Perasa susu h. Premix vitamin i. Mineral
Gambar 2.1 MP- ASI Kemenkes berupa biskuit
25
Tabel 2.2 Kandungan Zat Gizi MP-ASI Biskuit Kandungan Zat Gizi Satuan Per 100 gr Per saji Kalori Kkal 460 180,00 Lemak Total Gram 14,86 6 Asam Linoleat Gram 1,4 0,5 Karbohidrat Total Gram 72,31 29 Serat Makanan Grm 4,9 2 Gula Gram 15 6 Protein Gram 8,29 3 Vitamin Vitamin A RE 350 140 Vitamin D µg 5 2 Vitamin E Mg 5 2 Thiamin µg 0,6 0,24 Riboflavin Mg 0,5 0,24 Niacin Mg 8 3,2 Vitamin B6 Mg 0,8 0,32 Asam Folat µg 40 16 Vitamin B12 µg 1 0,4 Mineral Natrium Mg 80 32 Kalsium Mg 250 80 Besi Mg 6 2,4 Seng Mg 3 1,2 Selenium Mg 13 5,2 Iodium µg 70 28 Sumber: Depkes, 2008
2. Karakteristik Produk a. Bentuk MP-ASI biskuit berbentuk keping bundar berdiameter 5 s/d 6 cm, berat 10 gram per keping. Pada permukaan atas biskuit tercantum tulisan “MP-ASI”
26
b. Tekstur MP-ASI Biskuit bertekstur renyah yang bila dicampur air menjadi lembut. c. Rasa MP-ASI Biskuit mempunyai rasa manis gurih yang disukai anak. d. Kadaluarsa MP-ASI biskuit aman dikonsumsi dalam waktu 24 bulan setelah tanggal produksi. 3. Keamanan Pangan a. Cemaran Mikro Total Plate Count (TPC) atau Angka Lempeng 1.Total
: tidak lebih dari 1,0 x 104 koloni per gram
2.Coliforms
: Most Probable Number (MPN) tidak > 3/gr
4.Salmonella
: negatif dalam 25 gr
5.Staphylococcus
: tidak lebih dari 1,0 x 102 koloni per gram
b. Cemaran Logam 1.Timbal
: tidak lebih dari 0,3 ppm
2.Timah
: tidak lebih dari 40,0 ppm
3.Raksa
: tidak lebih dari 0,03 ppm
27
4.Tembaga
: tidak lebih dari 5,0 ppm
5.Arsen
: tidak lebih dari 0,1 ppm
4. Kemasan dan Label 1. Jenis kemasan adalah Metalized Plastic Food Grade 2. Berat bersih Tiap Kemasan 120 gram atau 12 keping 3. Setiap kemasam berisi 12 keping biskuit yang disusun dalam tray yang mempunyai 2 ruang dengan ukuran diameter sesuai dengan ukuran biskuit. Tray terbuat dari Polyetilen Food Grade 4. Setiap 7 kemasan @ 120 gr dikemas dalam satu plastik bening bertuliskan “Untuk dikonsumsi 1 minggu” 5. Setiap 8 kemasan plastik bening kering berisi 7 kemasan @120 gram kemasan tersebut dikemas lagi dalam 1 kotak kardus. Pada kotak kardus tercantum keterangan tentang: nama produk, tanggal kadaluwarsa, jumlah kemasan, petunjuk penyimpanan, petunjuk penanganan dan tulisan “MP-ASI mengandung 10 vitamin dan 7 mineral yang dibutuhkan anak” 6. Pelabelan harus sesuai dengan PP No.60 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Pada kemasan primer Metalized Plastic Food Grade harus diacantumkan: a. Nama produk Logi DEPKES RI dan tulisan “DEPKES” serta tulisan “MP-ASI BISKUIT”. Urutan pencantuman dimulai
28
dengan tulisan “Depkes”dibagian tengah atas, diikuti dengan Logo
Depkes
RI
dan
tulisan
“MP-ASI
BISKUIT”.
Keseluruhan tulisan tersebut dicantumkan pada bagian utama label dan menggunakan 1/3 bagian permukaan kemasan. Selanjutnya semua tulisan didalam label berwarna hitam kecuali lambang dan tulisan Depkes RI berwarna hijau b. Keterangan tentang berat bersih, dicantumkan pada bagian utama label c. Daftar bahan yang digunakan d. Informasi nilai gizi, mencantumkan nilai energi, lemak, protein, karbohidrat, vitamin, dan mineral. Keterangan tersebut dicantumkan per 100 gram dan per takaran saji, % Anjuran Kecukupan Gizi (AKG) dicantumkan per takaran saji. Format informasi gizi sesuai Pedoman Pencantuman Informasi Nilai Gizi (BPOM RI, 2004) e. Petunjuk penyiapan dalam bentuk gambar dan tulisan yang jelas dan dimengerti f. Petunjuk penyimpanan sebelum kemasan dibuka g. Petunjuk penyimpanan setelah kemasan dibuka h. Tanggal kadaluwarsa:”Baik digunakan sebelum Tanggal XX Bulan XX Tahun XXXX. Penulisan tanggal kadaluwarsa harus permanen (tidak bisa dihapus) i. Kode produksi
29
j. Nomor pendaftaran pangan (registrasi) mencantumkan tulisan “BPOM RI MD : .....” k. Pesan: “Berikan MP-ASI dan teruskan pemberian Air Susu Ibu sampai anak usia 24 bulan” l. Pesan: “ Hanya untuk usia 12-24 bulan” pada bagian utama label m. Pesan: “GRATIS” n. Tulisan: “Halal” pada bagian utama label o. Penjelasan tentang: “Tanda-tanda produk sudah tidak layak konsumsi” p. Cantumkan tulisan: “Mengandung 12 Vitamin dan 7 Mineral” pada bagian utama label q. Pesan: “Berikan MP-ASI dan teruskan pemberian Air Susu Ibu sampai anak usia 24 bulan” 2.3.5 Cara Menghidangkan MP-ASI a. MP-ASI Bubur 1.
Cuci tangan dengan sabun terlebih dahulu
2.
Persiapkan alat-alat dengan bersih
3.
Tuangkan air matang hangat (kurang lebih 100 ml) dalam mangkok kering dan bersih, lalu campurkan ± 30 gr MP-ASI atau sekitar 3 sendok makan
4.
Aduk hingga rata
30
5.
Setiap hidangan hanya untuk 1 kali makan, apabila terdapat sisa harus dibuang (jangan berikan pada waktu makan berikutnya)
6.
Selama pemberian MP-ASI bubur, ASI dan makanan lainnya tetap diberikan
b. MP-ASI Biskuit 1.
Cuci tangan dengan sabun terlebih dahulu
2.
Biskuit dapat langsung dikonsumsi atau terlebih dahulu ditambah air dalam mangkok bersih sehingga dikonsumsi dengan menggunakan sendok
3.
Setiap 120 gr biskuit harus dihabiskan dalam sehari, jumlah dan waktu pemberian pada setiap kali makan disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan anak
4.
Selama pemberian MP-ASI biskuit, ASI dan makanan lainnya tetap diberikan
2.4 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Balita 2.4.1 Karakteristik Keluarga a. Pendidikan Ibu Tingkat pendidikan merupakan jenjang pendidikan terakhir yang ditempuh seseorang dimana tingkat pendidikan merupakan suatu wahana untuk
mendasari sesorang
berperilaku
secara
ilmiah.
Pendidikan
merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan. Tinggi rendahnya pendidikan ibu erat kaitannya dengan
31
tingkat pengertiannya terhadap perawatan kesehatan, pemberian makanan, higyene, serta kesadaran terhadap kesehatan anak-anaknya (Ebrahim, 1996). Menurut Kartono (1993), tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap keadaan gizi anak. Semakin tinggi pendidikan ibu semakin cenderung mempunyai anak dengan keadaan gizi baik dan sebaliknya semakin rendah pendidikan ibu semakin cenderung mempunyai anak dengan keadaan gizi buruk. Kurang pengetahuan dari orangtua mengenai pemberian makanan yang banyak untuk tumbuh dan berkembang dengan baik membuat anaknya tidak mendapat cukup protein dan energi. Karena keluarga dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah seringkali anaknya harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi balita hanya pada kualitas pengasuhan anak (Biddulph, et al. 1999). Berdasarkan penelitian Sari (1999), terdapat hubungan bermakna antara pendidikan ibu dengan status gizi balita. Status gizi kurang balita lebih banyak terdapat pada ibu yang tidak tamat SD (45,7%) daripada ibu yang tamat SMP (18,3%). Hal ini serupa juga didapatkan dari hasil penelitian Hadi (2005), bahwa proporsi balita yang mengalami kekurangan gizi lebih banyak ditemukan pada ibu balita yang mempunyai tingkat
32
pendidikan rendah (32,8%) dibandingkan ibu balita dengan tingkat pendidikan menengah (10%). b. Pendapatan Keluarga Pekerjaan ayah yang tetap, tingkat pendapatannya berbeda dengan pekerjaan ayah yang tidak tetap. Menurut Hermina (1992), pendapatan yang rendah menyebabkan keterbatasan dalam pemilihan dan penyediaan konsumsi pangan keluarga dan balitanya. Penghasilan keluarga akan turut menentukan hidangan keluarga baik kualitas atau kuantitas (Supariasa, 2001). Di berbagai negara berkembang termasuk Indonesia, masalah gizi kurang banyak diderita oleh penduduk terutama golongan miskin, hal ini dikarenakan pekerjaan kepala keluarganya tidak tetap dan pendapatan mereka tidak cukup untuk membeli makanan yang bergizi. Muthmainah, dkk (1996) menyatakan bahwa orang tua yang berpenghasilan rendah cenderung mempunyai anak kekurangan gizi dan tidak sehat. Hal ini didukung oleh penelitian Sihadi (1999), yang menyatakan ada kaitan antara keadaan gizi balita dengan ekonomi rumah tangga.
33
2.4.2 Pola Asuh a. Pemberian ASI Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang paling cocok bagi bayi serta mempunyai nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan makanan bayi yang dibuat manusia ataupun susu hewan seperti susu sapi. Air susu ibu sangat menguntungkan ditinjau dari berbagai segi, baik segi gizi, kesehatan, ekonomi, maupun sosio-psikologis (Suharyono,dkk. 1992). ASI merupakan makanan yang sempurna untuk bayi dan tidak ada produk makanan pengganti ASI yang kualitasnya menyamai ASI. Hal ini disebabkan karena ASI sehat, tidak mengandung kuman, memenuhi sebagian kebutuhan metabolik bayi dan dapat mengurangi kemungkinan sakit perut dan peradangan secara umum (Yenrina, 2006). Menurut Depkes (1992), ASI mampu melindungi bayi dari penyakit infeksi terutama diare karena ASI mempunyai kelebihan dibandingkan dengan makanan pengantinya yaitu: 1. ASI bebas kontaminasi sehingga aman dikonsumsi bayi 2. Mengandung immunoglobulin yang dapat melumpuhkan bakteri E.coli 3. Mengandung sel darah putih 4. Mengandung faktor bifidus, yaitu sejenis karbohidrat yang mengandung nitrogen dan berperan untuk menunjang pertumbuhan bakteri lactobacillus bifidus. Bakteri ini menjaga juga keasaman
34
usus bayi dan berguna menghambat pertumbuhan bakteri yang merugikan Komposisi zat gizi yang terkandung dalam ASI dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Lemak ASI maupun susu sapi mengandung lemak yang cukup tinggi yaitu sekitar 3,5%. Namun, keduanya mempunyai susunan lemak yang berbeda. ASI lebih banyak mengandung asam lemak tak jenuh sedangkan susu sapi lebih banyak mengandung asam lemak rantai pendek dan asam lemak jenuh. Selain itu ASI mengandung asam lemak omega-3 yang dibutuhkan untuk perkembangan otak. Alat pencernaan bayi akan lebih cepat menyerap asam lemak tak jenuh dibandingkan menyerap asam lemak jenuh. Oleh karena itu, lemak ASI lebih cepat diserap oleh usus bayi dibandingkan lemak susu sapi (Pudjiadi, 2000). 2. Protein Kualitas protein dalam makanan tergantung pada susunan asam amino dan mutu cernanya. Berdasarkan hasil penelitian, protein susu, telur, daging dan ikan memiliki nilai gizi yang paling tinggi. Protein susu dibagi menjadi dua golongan yaitu caseine dan whey. Kebutuhan protein ASI pada bayi sekitar 1,8/kg berat badan. Sekitar
35
80% susu sapi terdiri atas caseine yang sifatnya sangat mudah menggumpal di lambung sehingga sulit untuk dicerna oleh enzim proteinase (Yenrina, 2006). 3. Karbohidrat Peranan karbohidrat terutama diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi. Laktosa merupakan salah satu sumber karbohidrat yang terdapat dalam ASI maupun susu sapi. ASI mengandung laktosa sekitar 70% sedangkan kandungan laktosa dalam susu sapi hanya sekitar 4,4% kadar laktosa yang tinggi mengakibatkan terjadinya pertumbuhan Lactobacillus yang terdapat dalam usus utuk mencegah terjadinya infeksi (Soetjingsih, 1997). 4. Mineral Kandungan mineral dalam ASI lebih kecil dibandingkan dengan kandungan mineral dalam susu sapi (1:4). Karena kandugan mineral yang tinggi pada susus akan menyebabkan terjadinya beban osmolar yaitu tingginya kadar mineral dalam tubuh (Pudjiadi, 2000). 5. Vitamin Kadar vitamin dalam ASI diperoleh dari asupan makanan ibu yang harus cukup dan seimbang. Kekurangan vitamin tersebut dapat
36
mengakibatkan terganggunya kesehatan dan dapat menimbulkan penyakit tertentu (Almatsier, 2001). Kegunaan ASI dikarenakan kandungan zat kekebalan dan zat gizinya bagi bayi, sehingga bisa mencegah anak dari gizi buruk atau infeksi. Zat gizi dalam ASI cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi dan sesuai dengan saluran pencernaan, tidak ada bahaya alergi dan komposisi sesuai untuk bayi. Bayi yang baru lahir sampai beberapa bulan pertama kehidupan belum dapat membuat kekebalan sendiri secara sempurna. ASI merupakan subtansi bahan hidup yang memberikan perlindungan baik secara aktif maupun melalui pengaturan imunologis yang menyediakan perlindungan yang unik terhadap infeksi dan alergi serta menstimuli perkembangan sistem imunologi bayi itu sendiri serta bayi yang diberikan ASI jarang sakit (WHO, 1999). Terjadinya kurang gizi, erat kaitanya dengan produksi ASI maupun lamanya pemberian ASI. Tidak diberikannya atau terlalu cepatnya bayi disapih akan memperbesar kemungkinan keadaan gizi kurang. Bayi hanya diberi ASI saja pada usia 0-6 bulan karena produksi ASI pada periode tersebut sudah dapat mencukupi kebutuhan bayi untuk tumbuh kembang yang sehat (Depkes, 2003). Pada keadaan normal, ASI mampu memberikan zat gizi yang cukup bagi pertumbuhan bayi sampai umur enam bulan. Tetapi untuk mengetahui
37
cukup tidaknya kemampuan produksi ASI, tidak hanya menggunakan ukuran volume atau banyaknya ASI. Tanda-tanda lapar atau kepuasan anak khususnya,dengan melihat laju pertumbuhan berat badan merupakan indikator yang lebih baik untuk mengetahui cukup tidaknya ASI (Yenrina, 2006). Menurut WHO (1998) dalam Mutiara (2006), bayi sampai umur enam bulan tetap tumbuh normal dan sehat dengan hanya diberi ASI. Setelah bayi umur enam bulan MP-ASI harus diberikan karena kebutuhan gizi bayi semakin meningkat dan tidak dapat dipenuhi hanya dari ASI. Bentuk MP-ASI harus disesuaikan dengan kemampuan pencernaan bayi dan harus mengandung cukup energi, protein serta vitamin dan mineral secara cukup. b. ASI Eksklusif Jika kita membahas mengenai Makanan Pendamping (MP-ASI), maka tidak akan lepas dari pembahasan mengenai pemberian ASI Eksklusif. Dimana bila yang satu dilaksanakan, maka satu hal yang lain pasti dapat dilakukan. Pemberian ASI Eksklusif adalah memberikan hanya ASI saja tanpa memberikan makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai berusia enam bulan, kecuali obat dan vitamin (Depkes, 2003).
38
Roesli (2000) menyatakan pemberian ASI eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI saja tanpa tambahan cairan lain seperti: susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, dan tanpa tambahan makana padat seperti: pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi dan nasi tim. Kegagalan
pemberian
ASI
Eksklusif
akan
menyebabkan
berkurangnya sel-sel otak bayi sebanyak 15-20% sehingga dapat menghambat perkembangan kecerdasan bayi tahap selanjutnya (Depkes, 2003). Berdasarkan penelitian Oktaviyanti (2007), terdapat hubungan bermakna antara pemberian ASI Eksklusif dengan status gizi balita. Akan tetapi proporsi anak yang kurus ternyata lebih tinggi pada anak yang mendapat
ASI Eksklusif dibandingkan dengan anak yang tidak
mendapatkan ASI Eksklusif. Dari hasil tabulasi silang antara pemberian ASI Eksklusif dengan konsumsi energi dan protein anak, diketahui bahwa proporsi anak yang konsumsi energi dan proteinnya kurang, lebih tinggi pada anak yang mendapatkan ASI Eksklusif. Hal ini menunjukkan bahwa anak yang mendapat ASI Eksklusif, tetapi konsumsi energi dan proteinnya kurang dapat menyebabkan anak tersebut menjadi kurang gizi karena kebutuhan energi dan proteinya untuk pertumbuhannya tidak adekuat. Berdasarkan penelitian Widodo dkk, (2005), berdasarkan indeks antropometri BB menunjukkan bahwa sejak usia 2 – 4 bulan kenaikan rata-
39
rata BB bayi yang diberi ASI Eksklusif daripada bayi yang diberi MP-ASI sebelum usia 4 bulan. Tetapi hasil penelitian tersebut berbeda dengan penelitian Eregie dan Abraham (1997) dan Heinig, et all., (1993) yang menunjukkan bahwa pertumbuhan bayi yang diberi ASI Ekslusif dan yang tidak diberi ASI Ekslusif tidak berbeda. 2.4.3 Karakteristik Anak a. Cakupan Imunisasi Imunisasi merupakan salah satu cara untuk memberikan kekebalan pada bayi dan anak terhadap berbagai penyakit, sehingga dengan imunisasi diharapkan bayi dan anak tetap tumbuh dalam keadaan sehat (Alimul, 2009). Bayi dan anak tergolong ke dalam kelompok yang rawan terhadap penularan penyakit. Oleh sebab itu, imunisasi dilakukan dengan menyuntikkan vaksin ke dalam tubuh anak. Vaksin adalah bibit penyakit yang telah dilemahkan. Banyak penyakit infeksi yang dapat dicegah melalui pemberian imunisasi (Lestari, 1996). Penyakit infeksi banyak menyebabkan kematian pada anak-anak khususnya balita. Tubuh bisa melindungi diri dari kuman-kuman penyebab penyakit infeksi bila orang tersebut diimunisasi. Oleh karena itu, tujuan dari imunisasi adalah memberikan kekebalan pada bayi agar tidak mudah tertular penyakit seperti Hepatitis B, Difteri, batuk rejan, Tetanus, Polio dan Campak
40
(Depkes, 2000). Adalah manfaat imunisasi adalah melindungi anak dari serangan penyakit tertentu yang berbahaya, anak yang tidak diimunisasi lebih besar kemungkinan menderita kekurangan gizi, cacat, dan meninggal dunia (Depkes, 2000). Ada lima jenis imunisasi untuk balita yang diwajibkan, yakni (Cynthia, 2009): 1. Vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) Berupa bakteri tuberculosis bacillus yang telah dilemahkan yang digunakan untuk mencegah penyakit Tuberkulosis (TBC). Vaksin BCG terbukti 80% efektif mencegah TBC selama 15 tahun, namun efeknya bergantung pada keadaan geografis. Imunisasi BCG hanya dilakukan sekali yakni ketika bayi berusia 0-11 bulan. 2. Vaksin DPT/DTP Merupakan campuran dari tiga vaksin yang diberikan untuk memberikan kekebalan pada tubuh terhadap penyakit difteri, pertusis, dan tetanus. Vaksin ini diberikan tiga kali pada bayi usia 2-11 bulan dengan jarak waktu antar pemberian minimal empat minggu. Kemudian diberikan lagi pada usia 18 bulan dan 5 tahun.
41
3. Vaksin Polio Vaksin ini dibuat dari poliovirus yang dilemahkan. Biasanya diberikan kepada anak-anak dengan meneteskannya ke dalam mulut untuk mencegah terjadinya penularan virus polio dari lingkungan. Imunisasi pertama kali dilakukan setelah bayi lahir dilanjutkan pada usia 2, 4, 6, dan 18 bulan. Yang terakhir, vaksin polio dapat diberikan saat berumur 4 hingga 6 tahun. Vaksin polio ini dapat dikombinasikan dengan vaksin DPT. 4. Vaksin Campak Penyakit campak hanya menyerang satu kali dalam seumur hidup. Imunisasi ini dilakukan satu kali pada bayi berusia 9-11 bulan dengan menyuntikkannya pada bagian lengan atas. Imunisasi ini memiliki efek samping seperti ruam pada tempat suntikan dan panas. Angka kejadian campak juga sangat tinggi dalam mempenegaruhi angka kesakitan dan kematian pada anak. 5. Vaksni Hepatitis B Imunisasi hepatitis B merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit hepatitis. Karena hepatitis B merupakan jenis hepatitis yang paling berbahaya dan dapat menyebabkan kematian. Vaksin ini sangat penting untuk diberikan sebagai pencegahan, mengingat hingga sekarang belum ditemukan
42
obat untuk mengobati orang yang telah terjangkit. Berupa virus yang dilemahkan dan biasanya diberikan tak lama setelah bayi dilahirkan. Adapun jadwal pemberian imunisasi adalah sebagai berikut (Alimul, 2009): a. Umur 0 bulan : Hepatitis B b. Umur 1 bulan : BCG,Polio 1 c. Umur 2 bulan : DPT/HB 1, Polio 2 d. Umur 3 bulan : DPT/HB 2, Polio 3 e. Umur 4 bulan : DPT/HB 3, Polio 4 f. Umur 9 bulan : Campak Berdasarkan hasil Riskesdas 2010, Provinsi DKI Jakarta sebanyak 89,3% mendapat imunisasi BCG, sebanyak 68,6% mendapat imunisasi Polio, sebanyak 62,5% mendapat imunisasi DPT-HB dan sebanyak 76,7% mendapat imunisasi Campak sedangkan sebanyak 53,2% mendapat imunisasi lengkap, sebanyak 41,1% mendapat imunisasi tidak lengkap dan sebanyak 5,7% tidak mendapat imunisasi. Hasil penelitian Oktaviyanti (2007), status gizi kurus lebih banyak terjadi pada balita yang imunisasinya tidak lengkap (7,5%) daripada balita
43
yang imunisasi lengkap (5,9%). Berdasarkan tabulasi silang antara pemberian imunisasi dengan penyakit infeksi diketahui bahwa proporsi anak yang terkena penyakit infeksi lebih tinggi pada anak yang imunisasinya tidak lengkap (100%). Hal ini menunjukkan bahwa anak yang mendapatkan imunisasi yang tidak lengkap memiliki kekebalan yang rendah terhadap penyakit infeksi sehingga anak akan sering sakit. b. Penimbangan Penimbangan balita merupakan salah satu upaya dari pemeriksaan kesehatan balita untuk melihat tumbuh kembang anak. Pertumbuhan anak dapat diamati dengan menggunakan Kartu Menuju Sehat (KMS). Kartu ini berfungsi sebagai alat bantu pemantauan gerak pertumbuhan, bukan menilai status gizi (Arisman, 2004). KMS adalah kartu dimana dicatat berat badan anak yang ditimbang. KMS dapat menggambarkan pertumbuhan anak sampai usia 5 tahun, dengan berpedoman pada KMS maka dapat diketahui apakah anak tergolong sehat atau tidak (Depkes, 2003). Berdasarkan penelitian Feddelia (2006), proporsi balita berstatus gizi (kurang dan buruk) lebih tinggi pada balita yang menimbang secara tidak rutin (45,2%) dibandingkan balita yang menimbang rutin (40%).
44
2.4.4 Penyakit Metabolisme Bawaan (Inborn Errors of Metabolisme) Kelompok penyakit ini diturunkan dari orang tua kepada anaknya secara genetik (melalui genes), dan bermanifestasi sebagai kelainan dalam proses metabolisme zat gizi tertentu. Metabolisme zat gizi diatur oleh sistem enzim dan enzim termasuk kelompok protein yang disintesa didalam tubuh (sel tubuh). Mekanisme untuk sintesa protein dikuasai oleh genes yang mengandung kodon bagi jenis protein enzim yang akan disintesanya. Terkadang terjadi gangguan pada sintesa protein ini, sehingga terbentuk enzim yang berlainan dengan yang biasa. Akibatnya terjadi proses metabolisme yang berbeda pada zat gizi tertentu. Perubahan metabolisme ini menyebabkan gejala-gejala biokimiawi maupun klinis (fungsional). Penyakit-penyakit yang telah dikenal tergolong dalam jenis ini antara lain: cicle cell anemia, lactose intolerance, phenylketonuria, dan sebagainya. Meskipun telah dikenal dasar patogenesis dari berbagai penyakit ini, tidak selalu dapat diusahakan pengobatannya yang memuaskan, karena pengobatan tidak causal memperbaiki kesalahan yang terdapat pada gene tersebut. Tetapi untuk
beberapa
diantaranya,
pendekatan
pengobatan
dietetik
sudah
memberikan hasil yang cukup memuaskan, meskipun pengobatan ini harus dilakukan seumur hidup (Sediaoetama, 2006). Menurut Hauvast et all.,( 2000), gangguan stunting pada balita dapat juga disebabkan faktor genetik dari orang tua yang menurun kepada anaknya
45
seperti adanya penyakit metabolisme bawaan. Dimana faktor genetik tersebut bersifat klinis. 2.4.5 Faktor Makanan (Asupan Zat Gizi) Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial. Asupan zat gizi makanan diperoleh dari makanan sehari-hari seperti: makanan pokok, lauk, sayuran, buah, dan susu (Almatsier, 2001). 2.4.6 Riwayat Penyaki Infeksi (Sanitasi) Penyakit
infeksi
merupakan
penyakit
yang
disebabkan
oleh
mikroorganisme seperti virus, bakteri, parasit pathogen yang berkembang biak dalam tubuh dan menyebabkan penyakit seperti TBC, Malaria, Diare dan sebagainya (Hull, 1994). Telah lama diketahui adanya interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi. Derajat infeksi atau apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Malnutrisi walaupun masih ringan, mempunyai pengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh terhadap infeksi. Hubungan ini sinergis, sebab malnutrisi
46
disertai infeksi pada umumnya dapat memperburuk keadaan gizi (Pudjiadi, 1997 dalam Mutiara, 2006). Kehadiran penyakit infeksi dalam tubuh anak mengakibatkan anak kehilangan nafsu makan, sehingga anak sering menolak makanan yang diberikan ibunya. Penolakan terhadap makanan berarti berkurangnya pemasukan zat gizi ke dalam tubuh anak (Moehyi, 1988). Infeksi juga menyebabkan penghancuran jaringan tubuh, baik oleh bibit penyakit maupun oleh tubuh sendiri untuk memperoleh protein untuk daya tahan tubuh. Jelasalah kalau infeksi dalam bentuk apapun akan memperburuk status gizi anak ke arah gizi buruk. Keadaan gizi buruk tadi melemahkan kemampuan anak untuk melawan infeksi, kuman-kuman yang tidak berbahaya pun menyerang anak akan menimbulkan penyakit yang berbahaya bahkan kematian pada anak yang menderita gizi buruk (Moehyi, 1988). Riwayat penyakit infeksi berhubungan dengan sanitasi lingkungan dan personal hygiene. Lingkungan dan personal hygiene merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status kesehatan. Meningkatnya industrialisasi, emisi kendaran bermotor, pariwisata, dan lain sebagainya menyebabkan degradasi lingkungan. Kualitas udara di daerah perkotaan dan industrial jauh melebihi standar yang telah ditentukan. Air di permukaan dan di dalam tanah di beberapa daerah tercemar oleh sisa air industri yang tidak diolah. Masalah lingkungan yang besar telah menyebabkan masalah kesehatan, termasuk
47
sistem pernapasan, kulit, dan penyakit perut (WHO, 2000 dalam Mutiara, 2006). Keadaan sanitasi lingkungan yang kurang baik memungkinkan terjadinya berbagai jenis penyakit antara lain diare, kecacingan, dan infeksi saluran pencernaan (Supariasa, 2001). Salah satu ruang lingkup kesehatan lingkungan yaitu penyediaan air bersih. Kebutuhan manusia akan air sangat kompleks antara lain untuk minum, masak, mandi, cuci-mencuci, dan sebagianya (Notoatmodjo, 2003). Berdasarkan penelitian Sukmadewi (2003), menunjukkan bahwa anak yang berstatus gizi buruk lebih banyak disertai dengan riwayat penyakit buruk (pernah menderita penyakit ISPA, diare, atau demam dalam satu bulan terakhir) yaitu 7,6% daripada anak yang gizi buruk dengan riwayat penyakit baik (tidak pernah menderita penyakit ISPA, diare, atau demam dalam satu bulan terakhir) yaitu sebesar 2,3% dan terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi balita dengan riwayat penyakit (p.value 0,0017). 2.5 Penilaian Konsumsi Makanan Penilaian konsumsi makanan dimaksudkan untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga, dan perorangan, serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi makanan tersebut (Supariasa, 2001).
48
Menurut Supariasa (2001), survei konsumsi pangan adalah metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan zat gizi yang dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan individu. Survei ini mengidentifikasikan kelebihan dan kekurangan zat gizi. Metode pengukuran konsumsi makanan berdasarkan jenis data yang diperoleh dibedakan menjadi: 1. Metode Kualitatif Metode yang bersifat kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (food habits) serta cara-cara memperoleh bahan makanan tersebut. Metode metode pengukuran konsumsi makanan yang bersifat kualitatif, seperti: metode frekuensi makanan (food frequency), metode dietary history, metode telepon, dan metode pendaftaran makanan (food list) (Supariasa, 2001). 2. Metode Kuantitatif Metode secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM), atau daftar lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar Konversi Mentah-Masak (DKMM) dan Daftar Penyerapan Minyak.
49
Metode-metode untuk pengukuran konsumsi secara kuantitaif antara lain: Metode recall 24 jam, perkiraan makanan (estimated food records), penimbangan makanan (food weighing), metode food accounts, metode inventaris (inventory method), dan pencatatan (household food records) (Supariasa, 2001). Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti hari, minggu, bulan atau tahun. Selain itu dengan metode frekuensi makanan dapat memperoleh gambaran pola konsumsi bahan makanan secara kualitatif, tetapi karena periode pengamatannya lebih lama dan dapat membedakan individu berdasarkan ranking tingkat konsumsi zat gizi, maka cara ini paling sering digunakan dalam penelitian epidemiologi gizi (Supariasa, 2001). Menurut Supariasa (2001), kuesioner frekuensi makanan memuat tentang daftar bahan makanan atau makanan dan frekuensi penggunaan makanan tersebut dalam periode tertentu. Bahan makanan yang ada dalam daftar kuesioner tersebut adalah yang dikonsumsi dalam frekuensi yang cukup sering oleh responden. Adapun langkah-langkah metode food frequency adalah: a. Responden diminta untuk memberi tanda pada daftar makanan yang tersedia pada kuesioner mengenai frekuensi penggunaannya dan ukuran porsinya
50
b. Lakukan rekapitulasi tentang frekuensi penggunaan jenis-jenis bahan makanan terutama bahan makanan yang merupakan sumber-sumber zat gizi tertnetu selama periode tertentu pula Kelebihan metode food frequency adalah: a. Relatif murah dan sederhana b. Dapat dilakukan sendiri oleh responden c. Tidak membutuhkan latihan khusus d. Dapat membantu untuk menjelaskan hubungan antara penyakit dan kebiasaan makan Kekurangan metode food frequency adalah: a. Tidak dapat untuk menghitung intake zat gizi sehari b. Sulit mengembangkan kuesioner pengumpulan data c. Cukup menjemukan bagi pewawancara d. Perlu membuat percobaan pendahuluan untuk menentukan jenis bahan makanan yang akan masuk dalam daftar kuesioner e. Responden harus jujur dan mempunyai motivasi tinggi. 2.6 Kerangka Teori Masalah gizi buruk secara langsung disebabkan oleh konsumsi makanan sehari-hari, pola asuh dan penyakit infeksi penyerta yang terdapat pada balita. Karakteristik anak dapat berpengaruh langsung terhadap keadaan gizi balita, tetapi dapat juga berpengaruh terhadap kesehatan balita terlebih dahulu dengan terkenanya
51
penyaki infeksi yang akhirnya berakibat pada masalah gizi. Karakteristik keluarga secara umum berhubungan dengan konsumsi makanan yang bila tidak mencukupi atau tidak tepat akan berakibat kepada masalah gizi. Gangguan stunting pada balita dapat juga disebabkan faktor genetik dari orang tua yang menurun kepada anaknya (Hauvast et all.,2000) seperti adanya penyakit metabolisme bawaan. Dimana faktor genetik tersebut bersifat klinis. Dari penjelasan sebelumnya maka disusunlah sebuah kerangka teori yang merupakan modifikasi teori dari Unicef (1998); Azwar (2004) : Karakteristik Keluarga, Pola Asuh, Konsumsi Makanan dan Penyakit Infeksi (santitasi), Mutiara (2006) : Karakteristik Anak dan Konsumsi Makanan serta teori Sediaoetama (2006): Metabolisme Bawaan. Sehingga disusunlah kerangka teori dalam bagan 2.1 dibawah ini:
52
Karakteristik Keluarga:
-
Konsumsi Makanan
Pendidikan Ibu
Pendapatan Keluarga
( Asupan Zat Gizi)
Pola Asuh: -
ASI Eksklusif Lama ASI Jenis MP-ASI Frekuensi Pemberian MP-ASI
Status Gizi Balita
Karakteristik Anak: -
Imunisasi Penimbangan
Penyakit Infeksi (sanitasi)
Metabolisme Bawaan
Sumber: Modifikasi Unicef, 1998; Azwar, 2004, Mutiara, 2006 dan Sediaoetama, 2006 Bagan 2.1 Kerangka Teori Faktor- Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Balita
BAB III KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Konsep Berdasarkan kerangka teori gabungan yang ada di tinjauan pustaka mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi balita dari Unicef (1998); Azwar (2004), Mutiara (2006) dan Sediaoetama, 2006, maka variabel dalam penelitian ini terdiri atas variabel independen (variabel bebas) dan variabel dependen (variabel terikat). Variabel independen yang akan diteliti terdiri atas pola asuh, riwayat penyakit infeksi, dan pola konsumsi makan. Pola asuh meliputi pemberian ASI Eksklusif dan lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes. Sedangkan untuk variabel dependen yaitu berat badan tidak naik (2T). Sehingga dalam menentukan kerangka konsep dipilih yang berpengaruh secara langsung terhadap berat badan tidak naik (2T) pada baduta dengan kata lain variabel independen yang dialami langsung oleh baduta.
53
54
Variabel Independen
Variabel Dependen
Pola Asuh : 1. ASI Eksklusif 2. Lamanya Pemberian MP- ASI Kemenkes
3. Riwayat Penyakit Infeksi
Berat Badan Tidak Naik (2T)
4. Pola Konsumsi Makan
Bagan 3.1 Kerangka Konsep Pada penelitian ini hanya diteliti faktor yang secara langsung berpengaruh pada baduta terhadap berat badan tidak naik (2T). Didalam penelitian ini ada beberapa variabel dari kerangka teori yang tidak diteliti secara mendalam dan tidak dijadikan kerangka konsep, seperti karakteristik keluarga karena variabel tersebut merupakan faktor demografi yang tidak berpengaruh secara langsung dan rata-rata datanya akan homogen. Faktor karakteristik anak (imunisasi) tidak diteliti karena berdasarkan Riskesdas 2010, wilayah Jakarta Selatan sebanyak 53,2% sudah mendapatkan imunisasi lengkap dan untuk penimbangan datanya sudah ada dari kader kesehatan. Untuk faktor penyakit metabolisme bawaan juga tidak diteliti karena merupakan penelitian klinis (medis) yang membutuhkan waktu yang lama dan dana yang besar.
3.2 Definisi Operasional No
Variabel
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala
Variabel Dependen
1
Berat Badan Tidak Naik (2T)
Hasil penimbangan tidak naik 2 bulan berturut-turut (2T) dengan melihat BB/U pada baduta
0. non 2T 1. 2T Observasi
Data KMS
(Dinkes DKI Jakarta, 2008)
Ordinal
Variabel Independen
1
2
Pemberian ASI Eksklusif
Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes
Suatu kegiatan pemberian ASI saja kepada balita sampai balita berusia 6 bulan tanpa disertai makanan tambahan apapun Jangka waktu lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes yang ditetapkan Kementrian Kesehatan RI
Wawancara
Kuesioner
1.Ya, jika diberikan ASI saja sampai usia 6 bulan 2.Tidak, jika tidak diberikan ASI saja sampai usia 6 bulan
Ordinal
(Depkes, 2003) 1. ≥ 90 hari 2. < 90 hari Wawanacara
Kuesioner
Ordinal (Depkes, 2008)
55
56
No
3
4
Variabel
Riwayat Penyakit Infeksi
Pola Konsumsi Makan
Definisi Penyakit infeksi yang diderita baduta selama pemberian MP-ASI Kemenkes, yang dapat mempengaruhi status gizinya. Metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat frekuensi makanan yang dikonsumsi selama periode tertentu seperti : makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran, buah dan susu.
Cara Ukur
Wawancara
Alat Ukur
Kuesioner
Hasil Ukur
1.Tidak 2.Ya
Skala
Ordinal
(Depkes, 2002)
Wawancara
Kuesioner FFQ kualitatif
0. Sering (≥ 2x/hari) 1. Jarang (<2x/hari)
(PGS, 2010)
Ordinal
57
3.3 Hipotesis 1.
Ada hubungan antara pemberian ASI Eksklusif dengan berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah program pemberian MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011
2. Ada hubungan antara lamanya pemberian MP-ASI dengan berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah program pemberian MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 3. Ada hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah program pemberian MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 4. Ada hubungan antara pola konsumsi makan dengan berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah program pemberian MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 5. Ada faktor paling dominan mempengaruhi berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah program pemberian MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain studi case control.
Penelitian
dilakukan
secara
retrospektif
yang
dimulai
dengan
mengidentifikasi efek atau penyakit tertentu yang disebut sebagai kasus serta kelompok tanpa efek yang disebut kontrol. Selanjutnya, kelompok kasus dibandingkan dengan kelompok kontrol untuk mengetahui seberapa besar faktor resiko berpengaruh terhadap terjadinya kasus yang diteliti (1:1). 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan yang terdiri dari 8 kelurahan: Pengadegan, Cikoko, Kalibata I, Kalibata II, Pancoran, Rawajati I, Rawajati II, dan Duren Tiga. Penelitian dilakukan pada bulan Juli- Agustus 2011. 4.3 Populasi Populasi pada penelitian ini adalah seluruh baduta yang berusia 12-24 bulan yang mendapatkan program MP-ASI Kemenkes berupa biskuit di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan pada periode November 2010- Februari 2011. Jumlah populasi dalam penelitian ini berjumlah 190 baduta.
58
59
4.4. Sampel Penelitian Sampel pada penelitian adalah semua ibu baduta yang ada di 8 Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan yang mendapatkan program MP-ASI Kemenkes berupa biskuit selama periode November 2010- Februari 2011 yang dikonsumsi sebanyak 120 gr/hari. Perhitungan sampel pada penelitian ini menggunakan rumus uji hipotesis odds ratio dengan arah uji statistik 2 arah (2 tail) sebagai berikut: Rumus P1:
Rumus P:
60
Rumus n:
Keterangan: P
: Proporsi rata-rata
P1
: Proporsi baduta yang memiliki status gizi buruk dan kurang yang mengkonsumsi energi defisit dan kurang pada penelitian sebelumnya (Sulistyowati, 2007)
P2
: Proporsi baduta yang memiliki status gizi baik dan lebih yang mengkonsumsi energi defisit dan kurang pada penelitian sebelumnya = 7% (Sulistyowati, 2007)
n
: jumlah sampel penelitian
Z 1-1/2 α
: tingkat kemaknaan 95% = 1,96
Z 1-β
: kekuatan uji 80%
61
Setelah dihitung jumlah sampel yang didapatkan sejumlah 37 sampel. Untuk menghindari sampel yang drop out maka besar sampel ditambah 10%, maka total sampel penelitian ini sebanyak 41 baduta. Jadi pada penelitian ini diperlukan sampel 41 baduta 2T sebagai kasus dan 41 baduta non 2T sebagai kontrol. Kriteria inklusi kasus dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki baduta yang berusia 12-24 bulan (November 2010-Februari 2011) yang berada di wilayah kerja Puskesmas Pancoran yang mendapatkan MP-ASI Biskuit, serta yang diasuh oleh ibu kandung dan mengalami 2T. Kriteria inklusi kontrol dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki baduta yang berusia 12-24 bulan (November 2010-Februari 2011) yang berada di wilayah kerja Puskesmas Pancoran yang mendapatkan MP-ASI Biskuit, serta yang diasuh oleh ibu kandung dan tidak mengalami 2T. Kriteria ekslusi yang tidak masuk dalam penelitian ini adalah ibu yang tidak memiliki baduta yang berusia 12-24 bulan (November 2010-Februari 2011) yang berada di wilayah kerja Puskesmas Pancoran dan baduta yang berpindah tempat tinggal saat dilakukan penelitian.
62
Tabel 4.1 Pemilihan Sampel di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011
No
Kelurahan
Jumlah Kasus (2T)
Jumlah Kontrol (non 2T)
1
Pengadegan
1
1
2
Cikoko
5
5
3
Kalibata I
2
2
4
Kalibata II
5
5
5
Pancoran
10
10
6
Rawajati I
5
5
7
Rawajati II
4
4
8
Duren Tiga
9
9
TOTAL
41
41
Untuk memilih sampel pada penelitian ini, di delapan kelurahan wilayah Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan dilakukan secara acak menggunakan (simple random sampling) dengan memperhitungkan proporsi pada tiap kelurahan. 4.5 Pengumpulan Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer yang diperoleh diantaranya data tentang Pola Asuh (ASI
63
Eksklusif dan lamanya pemberian MP-ASI Kenkes), Riwayat Penyakit Infeksi dan data tingkat konsumsi makan baduta (form FFQ). Data sekunder berasal dari Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan yaitu data baduta berusia 12-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pancoran yang mengalami berat badan 2 bulan tidak naik berturut-turut (2T) dan yang mengalami kenaikan berat badan (non 2T), data sekunder dari Puskesmas Kecamatan Pancoran, KMS Baduta, KTP/Kartu Keluarga serta data sekunder lain yang dibutuhkan. Untuk data mengenai konsumsi makan baduta tidak diobservasi mendetail secara langsung hanya menggunakan kuesioner FFQ yang dianggap dapat menggambarkan asupan makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran, buah dan susu pada baduta sebulan terakhir (saat dilakukan penelitian). 4.6 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner. Kuesioner digunakan untuk menilai Pola Asuh (ASI Eksklusif dan lamanya pemberian MP-ASI), Riwayat Penyakit Infeksi, dan tingkat konsumsi pangan responden (form FFQ), serta data lain yang diperlukan dalam penelitian ini. 4.7 Uji Coba Kuesioner Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Sebelum dilakukan pengumpulan data primer, peneliti telah melakukan uji kuesioner terlebih dahulu di tempat yang berbeda terhadap 10 ibu baduta di wilayah Pasar Minggu, Jakarta Selatan dengan karakteristik ibu baduta
64
yang sama dengan karakteristik ibu baduta di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan. Uji Kuesioner ini untuk mengetahui tingkat validitas dan reliabilitas instrumen penelitian dengan metode Pearson. Kuesioner dikatakan valid bila instrumen atau alat ukur yang dibuat bisa tepat mengukur objek yang akan diukur atau mampu mengukur apa yang harus diukur. Sedangkan kuesioner dikatakan reliabel bila instrumen menghasilkan ukuran yang konsisten walaupun instrumen tersebut digunakan untuk mengukur berkali-kali. Dalam penelitian ini langkahlangkah uji validitas dan reliabilitas akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Validitas Kuesioner Pertanyaan dikatakan valid jika r hitung > r tabel (0,707). Jumlah pertanyaan kuesioner awalnya berjumlah 30 pertanyaan, setelah dilakukan uji validitas ternyata terdapat 6 pertanyaan yang tidak valid, sehingga 4 pertanyaan yang tidak valid dihapus dan 2 pertanyaan yang tidak valid, tetapi dianggap penting dilakukan perbaikan kalimat namun tidak merubah isi pertanyaan (E 18, r tabel = 0, 650) dan (D22, r tabel = 0, 453).
b. Reabilitas Kuesioner Kuesioner dinyatakan reliabel bila nilai r alpha Cronbach > r tabel (0,7). Berdasarkan dari hasil analisis uji coba kuesioner pada tabel 4.2 didapat bahwa kuesioner alpha Cronbach (0,976) > 0,7 sehingga kuesioner ini dikatakan realibel.
65
Tabel 4.2 Hasil Uji Validitas dan Reabilitas Kuesioner No Pertanyaan
Nilai r tabel
Alpha Cronbach
A1
.806
Valid
A2
.796
Valid
A3
.818
Valid
A4
.796
Valid
A5
.806
Valid
B6
.806
Valid
C10
.806
Valid
C11
.806
Valid
C12
.795
Valid
D13
.806
D14
.795
Valid
D17
.806
Valid
D18
.650
Tidak Valid *sudah diperbaiki
E19
.774
Valid
E20
.806
Valid
E22
.453
Tidak Valid * sudah diperbaiki
E24
.774
Valid
E25
.806
Valid
.976
Keterangan
Valid
66
4.8 Pengolahan Data Setelah data diperoleh maka dilakukan pengolahan data dengan dengan urutan sebagai berikut: 1.
Coding Proses pemberian kode kepada setiap variabel yang telah dikumpulkan untuk memudahkan dalam pengelolaan lebih lanjut.
2.
Editing Dilakukan untuk memeriksa kelengkapan dan kebenaran data seperti kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian, konsistensi pengisian setiap jawaban kusioner.
3.
Entry Memasukkan data dalam program software komputer berdasarkan klasifikasi.
4.
Cleaning Pengecekan kembali data yang telah dimasukkan untuk memastikan data tersebut tidak ada yang salah, sehingga dengan demikian data tersebut telah siap diolah dan dianalisis.
67
4.9 Analisis Data Analisis data yang dalam penelitian ini meliputi: 1. Univariat Analisis univariat dilakukan untuk menyajikan dan mendiskripsikan karakteristik data setiap variabel yang diteliti. Penyajian data univariat berupa distribusi dan frekuensi variabel tersebut. 2. Bivariat Analisis biavariat dilakukan untuk menguji dan menjelaskan hubungan antara variabel dependen dan variabel independen. Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji Chi-Square dengan Confident Interval (CI) 95% atau α= 0,05 Pada analisa ini digunakan uji chi square dengan rumus:
DF = (k-1)(b-1)
Keterangan: X2 = Chi square O
= Nilai observasi
E
= Nilai Ekspektasi
k
= Jumlah kolom
68
b
= Jumlah baris
Penentuan Odds Ratio (OR). Odd Ratio (OR) yaitu penilaian berapa sering terdapat paparan pada kasus dibandingkan dengan kontrol. Interpretasi nilai OR dan 95% CI : a) Bila OR > 1 menunjukkan bahwa faktor yang diteliti merupakan faktor resiko. b) Bila OR = 1 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara faktor yang diteliti dengan faktor resiko c) Bila OR < 1 menunjukkan bahwa faktor yang diteliti merupakan faktor protektif.
Jika nilai CI 95%, batas bawah (lower) dan batas atas (upper), keduanya < 1 atau keduanya > 1 maka terdapat hubungan. Jika jarak antara batas bawah (lower) dan batas atas (upper), melewati nilai 1 maka tidak ada hubungan, dengan kata lain jika batas bawah < 1 dan batas atas > 1.
3. Multivariat Analisis ini dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel independen mana yang paling berpengaruh hubungannya dengan variabel dependen.
69
Analisis ini dilakukan menggunakan uji regresi logistik ganda dengan model prediksi dimana semua variabel dianggap penting, untuk memperoleh hasil terbaik untuk memprediksi kejadian variabel dependen. Langkah-langkah dalam melakukan analisis multivariat, yaitu: a. Seleksi kandidat model multivariat Analisis ini dimulai dengan melakukan analisis bivariat antara masingmasing variabel independen dengan variabel dependen. Bila hasil uji dari analisis bivariat mempunyai nilai p ≤ 0,25 maka variabel tersebut dapat masuk ke dalam kandidat model multivariat. Sebaliknya, jika p > 0,25 maka variabel tersebut dikeluarkan dari kandidat model multivariat. Namun, bisa saja dengan nilai p> 0,25 tetap ikut ke kandidat model bila variabel tersebut secara substansi berhubungan. b. Pemodelan multivariat Setelah didapatkan kandidat model multivariat, selanjutnya variabelvariabel yang telah masuk ke dalam kandidat model tersebut di analisis secara bersamaan. Variabel yang masuk ke dalam model adalah variabel yang memiliki p ≤ 0,05. Sedangkan variabel yang memiliki p > 0,05 maka akan dikeluarkan dari model. Pengeluaran variabel dilakukan secara bertahap dimulai dari variabel yang memiliki p value paling besar. c. Uji Interaksi
70
Setelah memperoleh model yang memuat variabel-variabel penting, maka langkah terakhir adalah memeriksa apakah ada interaksi antar variabel independen. Interaksi atau efek modifikasi merupakan heterogenitas efek dari satu pajanan pada tingkat pajanan yang lain. Jadi efek satu pajanan pada kejadian variabel dependen berbeda pada kelompok pajanan lainnya. Tidak adanya efek modifikasi, berarti efek pajanan homogen. Modifikasi efek merupakan konsep yang penting dalam analisis, kita harus menentukkan apakah akan melaporkan efek bersama (yang terkontrol konfounder) atau efek yang terpisah untuk masing-masing strata. Setelah dilakukan uji interaksi, maka didapatkan model fit (akhir) dari setiap variabel independen yang berpengaruh besar terhadap variabel dependen. Setelah semua langkah tersebut selesai dan berdasarkan hasil analisis multivariat secara keseluruhan, maka persamaan regresi diperoleh.
Keterangan: P = probabilitas untuk terjadinya suatu kejadian e = bilangan natural = 2,7 y = konstanta + a1x1 + a2x2 + … + aixi a = nilai koefisien tiap variabel x = nilai variabel bebas
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Kecamatan Pancoran merupakan salah satu dari sepuluh kecamatan yang ada di wilayah Jakarta Selatan dengan luas wilayah 852,79 ha serta batas-batas wilayah sebagai berikut : a. Sebelah utara
: Kecamatan Tebet
b. Sebelah barat
: Kecamatan Mampang Prapatan
c. Sebelah selatan : Kecamatan Pasar Minggu d. Sebelah timur
: Kecamatan Kramat Jati
Tabel 5.1 Luas Wilayah dan Jumlah RT/RW se-Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2010 Kelurahan Luas (Ha) RW RT No 1 2 3 4 5 6
Pancoran 121,80 Durentiga 192,40 Pengadegan 94,30 Cikoko 71,69 Rawajati 144,00 Kalibata 228,60 Jumlah 852,79 Sumber : Puskesmas Kecamatan Pancoran Tahun 2011
71
5 7 8 5 8 10 43
60 77 83 42 84 133 479
72
Tabel 5.2 Jumlah KK dan Jumlah Penduduk se-Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2010 No Kelurahan Jml KK L % P % 1 Pancoran 4600 13969 52,45 12535 47,55 2 Durentiga 6505 10710 46,22 12692 53,78 3 Pengadegan 4233 11356 51,43 10642 48,57 4 Cikoko 2440 6250 53,42 5298 46,58 5 Rawajati 4288 10071 51,88 9140 48,12 6 Kalibata 6864 23459 51,56 21950 48,44 Jumlah 28930 75715 51,04 72257 48,96 Sumber : Puskesmas Kecamatan Pancoran Tahun 2011
Total 26504 23402 21998 11548 19111 45409 147972
5.2 Analisis Univariat Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui gambaran variabel dependen. Dimana variabel dependen pada penelitian ini antara lain: ASI Eksklusif, Lamanya MP-ASI Kemenkes, Riwayat Penyakit Infeksi, dan Pola Konsumsi Makan (makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran, buah dan susu). 5.2.1 Gambaran ASI Eksklusif Gambaran ASI Eksklusif dikategorikan menjadi dua, yaitu ya, jika diberikan ASI saja sampai usia 6 bulan dan tidak, jika tidak diberikan ASI saja sampai usia 6 bulan. Adapun hasilnya dapat dilihat pada tabel 5.3 dibawah ini: Tabel 5.3 Distribusi ASI Eksklusif di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 ASI Eksklusif Jumlah % Ya 48 58,5 Tidak 34 41,5 Total 82 100
73
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar ibuibu baduta di Kecamatan Pancoran memberikan ASI Eksklusif dengan jumlah 48 orang (58,5%) dan yang tidak memberikan ASI Eksklusif dengan jumlah 34 orang (41,5%). Hal tersebut menunjukkan bahwa ibuibu di Kecamatan Pancoran sudah mengetahui pentingnya pemberian ASI Eksklusif bagi anaknya. 5.2.2 Gambaran Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes Gambaran lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes, dikategorikan menjadi dua, yaitu ≥ 90 hari dan < 90 hari. Adapun hasilnya dapat dilihat pada tabel 5.4 dibawah ini: Tabel 5.4 Distribusi Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Lamanya MP-ASI Kemenkes Jumlah % ≥ 90 hari 64 78 < 90 hari 18 22 Total 82 100
Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa sebanyak 64 baduta (78%) diberikan MP ASI ≥ 90 hari dan sebanyak 18 baduta (22%) diberikan MP-ASI < 90 hari. Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian baduta sudah mendapatkan MP-ASI Kemenkes berupa biskuit sesuai dengan yang ditetapkan Kemenkes RI. 5.2.3 Gambaran Riwayat Penyakit Infeksi Gambaran riwayat penyakit infeksi dikategorikan menjadi dua, yaitu ya, jika pernah menderita penyakit selama pemberian MP-ASI Kemenkes
74
dan tidak, jika tidak pernah menderita penyakit selama pemberian MP-ASI Kemenkes. Adapun hasilnya dapat dilihat pada tabel 5.5 dibawah ini: Tabel 5.5 Distribusi Riwayat Penyakit Infeksi di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Riwayat Penyakit Infeksi Jumlah % Tidak 28 34,1 Ya 52 65,9 Total 82 100
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa sebanyak 28 baduta (34,1%) tidak pernah mengalami riwayat penyakit infeksi sedangkan sebanyak 52 baduta pernah mengalami riwayat penyakit infeksi selama pemberian MP-ASI Kemenkes. Hal tersebut menunjukkan bahwa masih banyak baduta di wilayah Pancoran yang mengalami penyakit selama massa pemberian MP-ASI Kemenkes. 5.2.4 Gambaran Pola Konsumsi Makan Gambaran pola konsumsi makan dikelompokkan menjadi: makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran, buah dan susu. Pola konsumsi makan tersebut dikategorikan menjadi dua, yaitu: sering ≥ 2x/hari dan jarang < 2x/hari. Adapun hasilnya dapat dilihat pada tabel-tabel dibawah ini:
75
a. Makanan pokok Tabel 5.6 Distribusi Pola Konsumsi Makanan Pokok di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Makanan Pokok Jumlah % Sering 55 67,1 Jarang 27 32,9 Total 82 100 Berdasarkan tabel 5.6 dapat diketahui bahwa sebanyak 55 baduta (67,1%) dikategorikan sering mengkonsumsi makanan pokok ≥ 2x/hari sedangkan 27 baduta (32,9%) dikategorikan jarang mengkonsumsi makanan pokok < 2x/hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar baduta sering mengkonsumsi makanan pokok ≥ 2x/hari.
b. Lauk Hewani Tabel 5.7 Distribusi Pola Konsumsi Lauk Hewani di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Lauk Hewani Jumlah % Sering 18 22 Jarang 64 78 Total 82 100 Berdasarkan tabel 5.7 dapat diketahui bahwa sebanyak 18 baduta (22%) dikategorikan sering mengkonsumsi lauk hewani ≥ 2x/hari sedangkan 64 baduta (78%) dikategorikan jarang mengkonsumsi lauk hewani < 2x/hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar baduta jarang mengkonsumsi lauk hewani ≥ 2x/hari.
76
c. Lauk Nabati Tabel 5.8 Distribusi Pola Konsumsi Lauk Nabati di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Lauk Nabati Jumlah % Sering 21 25,6 Jarang 61 74,4 Total 82 100 Berdasarkan tabel 5.8 dapat diketahui bahwa sebanyak 21 baduta (25,6%) dikategorikan sering mengkonsumsi lauk nabati ≥ 2x/hari sedangkan 61 baduta (74,4%) dikategorikan jarang mengkonsumsi lauk nabati < 2x/hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar baduta jarang mengkonsumsi lauk nabati ≥ 2x/hari. d. Sayuran Tabel 5.9 Distribusi Pola Konsumsi Sayuran di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Sayuran Jumlah % Sering 35 42,7 Jarang 47 57,3 Total 82 100 Berdasarkan tabel 5.9 dapat diketahui bahwa sebanyak 35 baduta (42,7%) dikategorikan sering mengkonsumsi sayuran ≥ 2x/hari sedangkan 47 baduta (57,3%) dikategorikan jarang mengkonsumsi sayuran < 2x/hari. Hal tersebut
menunjukkan bahwa sebagian besar baduta
mengkonsumsi sayuran ≥ 2x/hari.
jarang
77
e. Buah Tabel 5.10 Distribusi Pola Konsumsi Buah di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Buah Jumlah % Sering 48 58,5 Jarang 34 41,5 Total 82 100
Berdasarkan tabel 5.10 dapat diketahui bahwa sebanyak 48 baduta (58,5%) dikategorikan sering mengkonsumsi buah ≥ 2x/hari sedangkan 34 baduta (41,5%) dikategorikan jarang mengkonsumsi buah < 2x/hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar baduta sering mengkonsumsi buah ≥ 2x/hari. f. Susu Tabel 5.11 Distribusi Pola Konsumsi Susu di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Susu Jumlah % Sering 17 20,7 Jarang 65 79,3 Total 82 100 Berdasarkan tabel 5.10 dapat diketahui bahwa sebanyak 17 baduta (20,7%) dikategorikan sering mengkonsumsi susu ≥ 2x/hari sedangkan 65 baduta (79,3%) dikategorikan jarang mengkonsumsi susu < 2x/hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar baduta jarang mengkonsumsi susu ≥ 2x/hari. 5.3 Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen dengan uji statistik. Sehingga dapat
78
diketahui nilai Odds Ratio (OR) dimana untuk penelitian case control, nilai OR menunjukkan seberapa besar faktor resiko yang diteliti terhadap terjadinya berat badan tidak naik (2T). Selain itu didapat pula nilai interval estimate OR pada derajat kepercayaan sebesar 95% CI (Confident Interval). 5.3.1 Hubungan antara ASI Ekskulsif dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) Analisis hubungan antara ASI Eksklusif dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) diperoleh dengan menggunakan uji crosstabs untuk melihat nilai OR. ASI Eksklusif dikategorikan menjadi dua, yaitu ya, jika diberikan ASI saja sampai usia 6 bulan dan tidak, jika tidak diberikan ASI saja sampai usia 6 bulan. Adapun hasil uji yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 5.12 dibawah ini: Tabel 5.12 Analisis Hubungan antara ASI Eksklusif dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Berat Badan Tidak Naik (2T) ASI CI 2T Non 2T Jumlah OR Eksklusif (95%) N % N % N % Ya 43,9 73,2 58,5 18 30 48 1,380Tidak 56,1 26,8 41,5 3,485 23 11 34 8,798 100 100 100 Total 41 41 82 Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 48 ibu yang memberikan ASI Eksklusif, yang mengalami 2T sebanyak 18 baduta (43,9%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 30 baduta (73,2%). Sedangkan dari 34 ibu yang tidak memberikan ASI Eksklusif yang mengalami 2T sebanyak 23 baduta (56,1%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 11 baduta (26,8%).
79
Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 3,485 dimana pada penelitian case control nilai OR > 1 maka faktor yang diteliti merupakan faktor resiko, artinya ibu yang tidak memberikan ASI Eksklusif kepada anaknya berisiko 3,485 kali mengalami 2T dibandingkan ibu yang memberikan ASI Eksklusif. Selain itu didapat nilai CI 95% (1,380-8,798) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara faktor ASI Eksklusif dengan berat badan tidak naik (2T). 5.3.2 Hubungan Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) Analisis hubungan antara lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) diperoleh dengan menggunakan uji crosstabs untuk melihat nilai OR. Lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes dikategorikan menjadi dua, yaitu ≥ 90 hari dan < 90 hari . Adapun hasil uji yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 5.13 dibawah ini: Tabel 5.13 Analisis Hubungan antara Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Lama MP-ASI Kemenkes ≥ 90 hari < 90 hari Total
N 36 5 41
Berat Badan Tidak Naik (2T) 2T Non 2T Jumlah % N % n % 87,8 68,3 78 28 64 12,23 31,7 22 13 18 100 100 100 41 82
OR
CI (95%)
0,299
0,0950,939
Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 64 baduta yang memakan MP-ASI Kemenkes ≥ 90 hari, yang mengalami 2T
80
sebanyak 36 baduta (87,8%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 28 baduta (68,3%). Sedangkan dari 18 baduta yang
memakan MP-ASI
Kemenkes < 90 hari, yang mengalami 2T sebanyak 5 baduta (12,23%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 13 baduta (31,7%). Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,299 dimana pada penelitian case control nilai OR < 1 maka faktor yang diteliti merupakan faktor protektif, artinya baduta yang memakan MP-ASI Kemenkes < 90 hari hari berisiko 1/0,299 atau 3,34 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang memakan MP-ASI Kemenkes ≥ 90 hari. Selain itu didapat nilai CI 95% (0,095-0,939) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara lamanya MP-ASI Kemenkes dengan berat badan tidak naik (2T). 5.3.3 Hubungan Riwayat Penyakit Infeksi dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) Analisis hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) diperoleh dengan menggunakan uji crosstabs untuk melihat nilai OR. Riwayat penyakit infeksi dikategorikan menjadi dua, yaitu ya, jika pernah menderita penyakit selama pemberian MP-ASI Kemenkes dan tidak, jika tidak pernah menderita penyakit selama pemberian MP-ASI Kemenkes. Adapun hasil uji yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 5.14 dibawah ini:
81
Tabel 5.14 Analisis Hubungan antara Riwayat Penyakit Infeksi dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Riwayat Penyakit Infeksi Tidak Ya Total
n 9 32 41
Berat Badan Tidak Naik (2T) 2T Non 2T Jumlah % N % n % 22 46,3 34,1 19 28 78 53,7 65,9 22 54 100 100 100 41 82
OR
CI (95%)
3,071
1,1748,028
Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 28 baduta yang tidak mengalami riwayat penyakit infeksi, yang mengalami 2T sebanyak 9 baduta (22%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 19 baduta (46,3%). Sedangkan dari 54 baduta yang mengalami riwayat penyakit infeksi, yang mengalami 2T sebanyak 32 baduta (78%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 22 baduta (53,7%). Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 3,071 dimana pada penelitian case control nilai OR > 1 maka faktor yang diteliti merupakan faktor resiko, artinya baduta yang mengalami riwayat penyakit infeksi memiliki resiko 3,071 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang tidak mengalami riwayat penyakit infeksi. Selain itu didapat nilai CI 95% (1,174-8,028) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan berat badan tidak naik (2T).
82
5.3.4 Hubungan Pola Konsumsi Makan dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) a. Makanan Pokok Analisis hubungan antara pola konsumsi makanan pokok dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) diperoleh dengan menggunakan uji crosstabs untuk melihat nilai OR. Pola konsumsi makanan pokok dikategorikan menjadi dua, yaitu sering , jika ≥ 2x/hari dan jarang, jika < 2x/hari Adapun hasil uji yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 5.15 dibawah ini: Tabel 5.15 Analisis Hubungan antara Pola Konsumsi Makanan Pokok dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Makanan Pokok Sering Jarang Total
n 29 12 41
Berat Badan Tidak Naik (2T) 2T Non 2T Jumlah % N % N % 70,7 63,4 67,1 26 55 29,3 36,6 32,9 15 27 100 100 100 41 82
OR
CI (95%)
0,717
0,2841,810
Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 55 baduta yang sering mengkonsumsi makanan pokok, yang mengalami 2T sebanyak 29 baduta (70,7%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 26 baduta (63,4%). Sedangkan dari 27 baduta yang jarang mengkonsumsi makanan pokok, yang mengalami 2T sebanyak 12 baduta (29,3%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 15 baduta (36,6%).
83
Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,717 dimana pada penelitian case control nilai OR < 1 maka faktor yang diteliti merupakan faktor protektif, artinya baduta yang jarang mengkonsumsi makanan pokok memiliki resiko 1/0,717 atau 1,39 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering mengkonsumsi makanan pokok. Selain itu didapat nilai CI 95% (0,284-1,810) yang menunjukkan bahwa tidak hubungan antara pola konsumsi makanan pokok dengan berat badan tidak naik (2T). b. Lauk Hewani Analisis hubungan antara pola konsumsi lauk hewani dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) diperoleh dengan menggunakan uji crosstabs untuk melihat nilai OR. Pola konsumsi lauk hewani dikategorikan menjadi dua, yaitu sering , jika ≥ 2x/hari dan jarang, jika < 2x/hari Adapun hasil uji yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 5.16 dibawah ini: Tabel 5.16 Analisis Hubungan antara Pola Konsumsi Lauk Hewani dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Lauk Hewani Sering Jarang Total
n 8 33 41
Berat Badan Tidak Naik (2T) 2T Non 2T Jumlah % N % n % 19,5 24,4 22 10 18 80,5 75,6 78 31 64 100 100 100 41 82
OR
CI (95%)
1,331
0,4653,806
Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 18 baduta yang sering mengkonsumsi lauk hewani, yang mengalami 2T sebanyak 8 baduta (19,5%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 10 baduta
84
(24,4%). Sedangkan dari 64 baduta yang jarang mengkonsumsi lauk hewani yang mengalami 2T sebanyak 33 baduta (80,5%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 31 baduta (75,6%). Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 1,331 dimana pada penelitian case control nilai OR > 1 maka faktor yang diteliti merupakan faktor resiko, artinya baduta yang jarang mengkonsumsi lauk hewani memiliki resiko 1,331 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering mengkonsumsi lauk hewani. Selain itu didapat nilai CI 95% (0,465-3,806) yang menunjukkan bahwa tidak hubungan antara pola konsumsi lauk hewani dengan berat badan tidak naik (2T). c. Lauk Nabati Analisis hubungan antara pola konsumsi lauk nabati dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) diperoleh dengan menggunakan uji crosstabs untuk melihat nilai OR. Pola konsumsi lauk nabati dikategorikan menjadi dua, yaitu sering , jika ≥ 2x/hari dan jarang, jika < 2x/hari Adapun hasil uji yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 5.17 dibawah ini: Tabel 5.17 Analisis Hubungan antara Pola Konsumsi Lauk Nabati dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Lauk Nabati Sering Jarang Total
n 10 31 41
Berat Badan Tidak Naik (2T) 2T Non 2T Jumlah % N % n % 24,4 26,8 25,6 11 21 75,6 73,2 74,4 30 61 100 100 100 41 82
OR
CI (95%)
1,137
0,4213,067
85
Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 21 baduta yang sering mengkonsumsi lauk nabati, yang mengalami 2T sebanyak 10 baduta (24,4%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 11 baduta (26,8%). Sedangkan dari 61 baduta yang jarang mengkonsumsi lauk nabati yang mengalami 2T sebanyak 31 baduta (75,6%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 30 baduta (73,2%). Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 1,137 dimana pada penelitian case control nilai OR > 1 maka faktor yang diteliti merupakan faktor resiko, artinya baduta yang jarang mengkonsumsi lauk nabati memiliki resiko 1,137 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering mengkonsumsi lauk nabati. Selain itu didapat nilai CI 95% (0,4213,067) yang menunjukkan bahwa tidak hubungan antara pola konsumsi lauk nabati dengan berat badan tidak naik (2T). d. Sayuran Analisis hubungan antara pola konsumsi sayuran dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) diperoleh dengan menggunakan uji crosstabs untuk melihat nilai OR. Pola konsumsi sayuran dikategorikan menjadi dua, yaitu sering , jika ≥ 2x/hari dan jarang, jika < 2x/hari Adapun hasil uji yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 5.18 dibawah ini:
86
Tabel 5.18 Analisis Hubungan antara Pola Konsumsi Sayuran dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Sayuran Sering Jarang Total
n 17 24 41
Berat Badan Tidak Naik (2T) 2T Non 2T Jumlah % N % n % 41,5 43,9 42,7 18 35 58,5 56,1 57,3 23 47 100 100 100 41 82
OR
CI (95%)
1,105
0,4602,652
Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 35 baduta yang sering mengkonsumsi sayuran, yang mengalami 2T sebanyak 17 baduta (41,5%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 18 baduta (43,9%). Sedangkan dari 47 baduta yang jarang mengkonsumsi sayuran yang mengalami 2T sebanyak 24 baduta (58,5%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 23 baduta (56,1%). Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 1,105 dimana pada penelitian case control nilai OR > 1 maka faktor yang diteliti merupakan faktor resiko, artinya baduta yang jarang mengkonsumsi sayuran memiliki resiko 1,105 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering mengkonsumsi sayuran. Selain itu didapat nilai CI 95% (0,460-2,652) yang menunjukkan bahwa tidak hubungan antara pola konsumsi sayuran dengan berat badan tidak naik (2T). e. Buah Analisis hubungan antara pola konsumsi buah dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) diperoleh dengan menggunakan uji crosstabs untuk
87
melihat nilai OR. Pola konsumsi buah dikategorikan menjadi dua, yaitu sering , jika ≥ 2x/hari dan jarang, jika < 2x/hari Adapun hasil uji yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 5.19 dibawah ini: Tabel 5.19 Analisis Hubungan antara Pola Konsumsi Buah dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Buah Sering Jarang Total
N 25 16 41
Berat Badan Tidak Naik (2T) 2T Non 2T Jumlah % N % n % 61 56,1 58,5 23 48 39 43,9 41,5 18 34 100 100 100 41 82
OR
CI (95%)
0,818
0,3391,971
Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 48 baduta yang sering mengkonsumsi buah, yang mengalami 2T sebanyak 25 baduta (61%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 23 baduta (56,1%). Sedangkan dari 34 baduta yang jarang mengkonsumsi sayuran yang mengalami 2T sebanyak 16 baduta (39%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 18 baduta (41,5%). Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,818 dimana pada penelitian case control nilai OR < 1 maka faktor yang diteliti merupakan faktor protektif, artinya baduta yang jarang mengkonsumsi buah memiliki resiko 1/0,818 atau 1,22 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering mengkonsumsi buah. Selain itu didapat nilai CI 95% (0,339-1,971) yang menunjukkan bahwa tidak hubungan antara pola konsumsi buah dengan berat badan tidak naik (2T).
88
f. Susu Analisis hubungan antara pola konsumsi susu dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) diperoleh dengan menggunakan uji crosstabs untuk melihat nilai OR. Pola konsumsi susu dikategorikan menjadi dua, yaitu sering , jika ≥ 2x/hari dan jarang, jika < 2x/hari Adapun hasil uji yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 5.20 dibawah ini: Tabel 5.20 Analisis Hubungan antara Pola Konsumsi Susu dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011 Susu Sering Jarang Total
N 13 28 41
Berat Badan Tidak Naik (2T) 2T Non 2T Jumlah % n % n % 31,7 9,8 20,7 4 17 68,3 90,2 79,3 37 65 100 100 100 41 82
OR
CI (95%)
0,233
0,0690,791
Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 17 baduta yang sering mengkonsumsi susu, yang mengalami 2T sebanyak 13 baduta (31,7%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 4 baduta (9,8%). Sedangkan dari 65 baduta yang jarang mengkonsumsi susu yang mengalami 2T sebanyak 28 baduta (68,3%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 37 baduta (90,2%). Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,233 dimana pada penelitian case control nilai OR < 1 maka faktor yang diteliti merupakan faktor protektif, artinya baduta yang jarang mengkonsumsi susu memiliki resiko 1/0,233 atau 4,29 kali mengalami 2T dibandingkan
89
baduta yang sering mengkonsumsi buah. Selain itu didapat nilai CI 95% (0,069-0,791) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara pola konsumsi susu dengan berat badan tidak naik (2T). 5.4 Analisis Multivariat Analisis multivariat bertujuan untuk mendapatkan satu model terbaik dalam melihat determinan terhadap berat badan tidak naik (2T). Tahapan analisis multivariat terdiri dari: 5.4.1 Pemilihan Kandidat Multivariat Berdasarkan hasil analisis bivariat, variabel yang secara teoritis berhubungan dengan variabel dependen atau nilai p ≤ 0,25 dianggap potensial untuk dimasukkan ke dalam analisis regresi logistik berganda. Dari 9 variabel independen yang dianalisis, terdapat 4 variabel yang memenuhi syarat untuk dimasukkan dalam analisis multivariat. Keempat variabel tersebut adalah ASI Eksklusif , Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes, Riwayat Penyakit Infeksi dan Pola Konsumsi Susu. Adapun keempat variabel tersebut disajikan pada tabel 5.21 Tabel 5.21 Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Berganda Tahap Pertama No Variabel Independen P-value 1 ASI Eksklusif 0,007 2 Lamanya Pemberian MP-ASI 0,030 Kemenkes 3 4
Riwayat Penyakit Infeksi Pola Konsumsi Susu
0,019 0,012
90
5.4.2 Pembuatan Model Setelah variabel independen dimasukkan ke dalam proses pemodelan, kemudian dilakukan eliminasi variabel dimulai dengan mengeluarkan variabel yang mempunyai nilai p paling besar (standar p ≤ 0,05). Hasil analisis dapat dilihat pada tabel 5.22 Tabel 5.22 Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Berganda Tahap Kedua Variabel Independen B Wald p-value OR 95,0% CI for EXP (B) ASI Eksklusif 1,194 4,997 0,026 3,302 1,156 – 9, 429 Lamanya Pemberian -2,008 6,772 0,009 0,134 0,030 – 0,609 MP-ASI Kemenkes Riwayat Penyakit 1,342 5,334 0,021 3,828 1,225 – 11,959 Infeksi Pola Konsumsi Susu -1,869 6,504 0,011 0,154 0,037 – 0,649
Hasil tahapan multivariat tahap pemodelan memperlihatkan adanya hubungan yang bermakna antara adalah ASI Eksklusif, Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes, Riwayat Penyakit Infeksi dan Pola Konsumsi Susu. Keempat variabel tersebut masuk ke dalam model karena nilai p ≤ 0,05
5.4.3 Pengujian Interaksi Pengujian interaksi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dan pengaruhnya terhadap uji regresi logistik berganda. Berdasarkan variabel yang masuk model multivariat, maka variabel yang diduga ada hubungan interaksi adalah ASI Eksklusif dengan Riwayat Penyakit Infeksi, Dari hasil pengujian interaksi ternyata terlihat adanya interaksi antara ASI
91
Eksklusif dengan Riwayat Penyakit Infeksi (p-value < 0,05). Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.23 Tabel 5.23 Hasil Analisis Uji Interaksi Variabel Independen ASI Eksklusif Lamanya Pemberian MPASI Kemenkes Riwayat Penyakit Infeksi Pola Konsumsi Susu ASI Eksklusif * Riwayat Penyakit Infeksi
B
Wald
p-value
OR
6,152
6,447
0,011
469,450
95,0% CI for EXP (B) 4,067 – 5,419 x 10 4
-1,963
5,871
0,015
0,140
0,209 – 0,687
5,460
6,990
0,008
235,065
4,106 – 1,346 x 104
-2,296
7,753
0,05
0,101
0,020 – 0,507
-2,874
4,659
0,031
0,056
0,004 – 0,768
5.4.4 Tahap Akhir Setelah dilakukan tahap pengujian interaksi maka selanjutnya dilakukan uji tahap akhir untuk mendapatkan variabel mana yang paling dominan mempengaruhi berat badan tidak naik (2T). Pada tahap uji interaksi diketahui adanya interaksi antara variabel ASI Eksklusif dengan Riwayat Penyakit Infeksi (0,031 > 0,05). Jika dilihat pada tabel 5.23 keempat variabel ( ASI Eksklusif, Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes, Riwayat Penyakit Infeksi, Pola Konsumsi Susu) dan interaksi antara ASI Eksklusif dengan Riwayat Penyakit Infeksi berhubungan signifikan dengan berat badan tidak naik (p-value < 0,05). Sehingga model akhir multivariat dapat dilihat pada tabel 5.24
92
Tabel 5.24 Model Akhir Multivariat Regresi Logistik Berganda Variabel 95,0% CI for EXP B Wald p-value OR Independen (B) ASI Eksklusif 6,152 6,477 0,011 469,450 4,067 – 5,419 x 10 4 Lamanya Pemberian -1,963 5,871 0,015 0,140 0,209 – 0,687 MP-ASI Kemenkes Riwayat Penyakit 5,460 6,990 0,008 235,065 4,106 – 1,346 x 104 Infeksi Pola Konsumsi -2,296 7,753 0,05 0,101 0,020 – 0,507 Susu ASI Eksklusif * Riwayat -2, 874 4,659 0,031 0,056 0,004 – 0,768 Penyakit Infeksi Konstanta -4,517 1,617 0,204 0,011 -2 Log Likelihood = 83,5489 Nagelkerke R Square = 0,410 Dari hasil analisis diperoleh nilai OR ASI Eksklusif sebesar 469,450 artinya ibu yang tidak memberikan ASI Eksklusif kepada anaknya memiliki resiko 469,450 kali mengalami 2T dibandingkan ibu yang memberikan ASI Eksklusif. Variabel lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai OR sebesar 0,140 artinya baduta yang memakan MP-ASI Kemenkes > 90 hari memiliki resiko 0,140 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang memakan MP-ASI Kemenkes ≥ 90 hari. Dari hasil analisis diperoleh nilai OR Riwayat Penyakit Infeksi sebesar 235,065 artinya baduta yang mengalami riwayat penyakit
93
infeksi memiliki resiko 235,065 kali mengalami 2T dibandingkan yang tidak mengalami riwayat penyakit infeksi. Variabel Pola Konsumsi Susu berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai OR sebesar 0,101 artinya baduta yang jarang mengkonsumsi susu memiliki resiko 0,101 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering minum susu. Sedangkan untuk variabel interaksi antara ASI Eksklusif dengan Riwayat Penyakit Infeksi diperoleh nilai OR sebesar 0,056 artinya baduta yang tidak diberikan ASI Eksklusif dan mengalami riwayat penyakit infeksi memiliki resiko 0,056 mengalami 2T dibandingkan baduta yang diberikan ASI Eksklusif dan tidak mengalami riwayat penyakit infeksi. Maka dapat disimpulkan bahwa variabel ASI Eksklusif, Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes, Riwayat Penyakit Infeksi, Pola Konsumsi Susu dan Interaksi antara ASI Eksklusif dengan Riwayat Penyakit Infeksi memiliki hubungan dengan berat badan tidak naik (2T). Dari hasil analisis multivariat, maka bentuk model regresi logistik berganda tersebut dapat dinyatakan dalam persamaan matematika sebagai berikut: Logit Berat Badan Tidak Naik (2T) : - 4,517 + 6,152*ASI Eksklusif – 1,963*Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes + 5,460*Riwayat Penyakit Infeksi – 2,29* Pola Konsumsi Susu – 2,874 (ASI Eksklusif*Riwayat Penyakit Infeksi)
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian Pada penelitian ini memiliki keterbatasan-keterbatasan, antara lain adanya beberapa variabel dari kerangka teori yang tidak diteliti, seperti karakteristik anak dan karakteristik keluarga. Serta adanya variabel metabolisme bawaan yang tidak dijadikan variabel pada penelitian ini, karena untuk melakukan penelitian terhadap faktor metabolisme bawaan tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama, biaya yang besar dan biasanya lebih difokuskan pada bidang kedokteran. Sehingga variabel-variabel yang tidak dijadikan kerangka konsep pada penelitian ini kemungkinan dapat mempengaruhi hasil penelitian. Karena penelitian ini menggunakan desain case control, sehingga datadata yang dibutuhkan adalah data masa lalu (adanya faktor jeda waktu yang terpotong) sehingga terkadang menyulitkan responden yang harus mengingat kembali terhadap pertanyaan-pertanyaan kuesioner, sehingga apabila responden tidak menjawab secara jujur dapat mempengaruhi hasil penelitian. Selain itu jika jumlah sampel lebih banyak, kemungkinan hasil penelitian pun berbeda. Dimana jumlah responden pada penelitian ini hanya berjumlah 82 ibu baduta (1:1). Untuk variabel konsumsi makan metode yang digunakan adalah FFQ kualitatif, pada metode ini jawaban sangat bergantung pada kejujuran dan kemampuan responden dalam mengingat jenis makanan yang dimakan baduta. Pola konsumsi makan tersebut tidak di observasi mendetail satu persatu dikarenakan keterbatasan waktu dan tenaga. Selain itu seharusnya untuk variabel
94
95
konsumsi makan diteliti saat periode program MP-ASI Kemenkes pada bulan November 2010- Februari 2011. Berdasarkan penelitian dilapangan, terdapat faktor keterbatasan dari peneliti seperti keterbatasan waktu, dana dan tenaga dan lain sebagainya. 6.2 Gambaran Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2004). Depkes (2003) mengartikan status gizi sebagai keadaan gizi seseorang yang dapat dinilai untuk mengetahui apakah seseorang itu normal atau bermasalah (gizi salah/malnutrisi). Status gizi dapat dibedakan menjadi gizi baik, kurang dan buruk. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Anak balita sehat atau kurang gizi secara sederhana dapat diketahui dengan membandingkan antara berat badan menurut umurnya dengan standar yang telah ditetapkan (Depkes, 2005). Pada penelitian kali ini yang mengkategorikan apakah seorang baduta tersebut 2T atau tidak adalah kader kesehatan yang dilakukan di Posyandu. Dimana berat badan baduta tersebut tidak naik dua bulan berturut-turut. Dalam penelitian kali ini proporsi baduta yang dijadikan subjek penelitian yang mengalami 2T dan tidak (non 2T) masing-masing berjumlah 41 baduta. Adapun jumlah keseluruhan baduta 2T di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan berjumlah 60 baduta untuk periode Program MP-ASI Kemenkes bulan November 2010-Februari 2011.
96
Diagram 6.1 Proporsi Sampel Baduta 2T dan Non 2T di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011
Proporsi Baduta
Non 2T 50%
2T 50%
6.3 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Berat Badan Tidak Naik (2T) Pada Baduta Gakin Setelah Pemberian Program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 Faktor-faktor yang diteliti dalam penelitian ini adalah ASI Eksklusif, Lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes, Riwayat penyakit infeksi dan Pola konsumsi makan. Faktor-faktor tersebut yang secara langsung dialami oleh baduta. Berikut ini hasil dan pembahasan terhadap faktor-faktor yang diteliti dihubungkan dengan Berat badan tidak naik (2T). 6.3.1 Hubungan antara ASI Eksklusif dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) ASI Eksklusif merupakan pemberian hanya air susu ibu saja tanpa tambahan cairan atau makan lain sampai balita berumur 6 bulan. Terjadinya kurang gizi, erat kaitannya dengan produksi ASI maupun lamanya pemberian ASI. Tidak diberikannya atau terlalu cepatnya bayi disapih akan memperbesar kemungkinan keadaan gizi kurang (Depkes, 2003).
97
Hasil analisis hubungan antara ASI Eksklusif dengan berat badan tidak naik (2T) diperoleh bahwa dapat dari 48 ibu yang memberikan ASI Eksklusif, yang mengalami 2T sebanyak 18 baduta (43,9%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 30 baduta (73,2%). Sedangkan dari 34 ibu yang tidak memberikan ASI Eksklusif yang mengalami 2T sebanyak 23 baduta (56,1%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 11 baduta (26,8%). Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 3,485 dengan nilai interval CI 95% (1,380-8,798), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara faktor ASI Eksklusif dengan berat badan tidak naik (2T), dimana ibu yang tidak memberikan ASI Eksklusif kepada anaknya berisiko 3,485 kali mengalami 2T dibandingkan ibu yang memberikan ASI Eksklusif. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Mutiara (2006) dan Okviyanti (2007) bahwa terdapat hubungan bermakna antara pemberian ASI Eksklusif dengan status gizi balita. Serta sesuai dengan penelitian Widodo dkk, (2005), berdasarkan indeks antropometri BB menunjukkan bahwa sejak usia 2 – 4 bulan kenaikan rata-rata BB bayi yang diberi ASI Eksklusif daripada bayi yang diberi MP-ASI sebelum usia 4 bulan. Selain itu dari hasil penelitian ini didapatkan sebanyak 56 ibu (63,8%) langsung memberikan ASI kepada anaknya saat lahir dan 26 ibu (31,7%) tidak memberikan ASI secara langsung. Sebanyak 13,4% diberikan susu formula, 11% madu, 3,7% pisang, 2,4% air putih. Bagi ibuibu yang mengalami hambatan dalam menyusui sebanyak 20,7% tetap
98
diberikan ASI, 23,2% diberikan susu formula dan lainnya diberikan pisang, madu ataupun air putih. Karena zat gizi dalam ASI cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi dan komposisi sesuai untuk bayi (WHO, 1999). Pada penelitian ini diketahui pula sebanyak 45 ibu (54,9%) yang tidak memberikan ASI sampai 2 tahun sedangkan hanya 37 ibu (45,1%) yang tetap memberikan ASI sampai 2 tahun. Padahal WHO dan UNICEF menganjurkan ibu untuk tetap menyusui anaknya sampai usia 2 tahun. Karena pemberian ASI pada batita > 1tahun memberikan manfaat seperti: 31% kebutuhan energi anak, 38% kebutuhan protein anak, 45% kebutuhan vitamin A anak, 95% kebutuhan vitamin C anak (WHO, 2003). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian ASI Eksklusif sangat mempengaruhi berat badan anak tersebut, apabila anak tidak diberikan ASI Eksklusif kemungkinan akan memperbesar keadaan gizi kurang atau dengan kata lain mengalami ketidaknaikan berat badan. 6.3.2 Hubungan antara Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) Makanan Pendamping ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi, yang diberikan pada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain ASI (Depkes, 2006). MP-ASI merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan bayi atau anak. Pemberian MP-ASI yang cukup kualitas dan kuantitasnya
99
penting untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan anak (Depkes, 2000). Tujuan pemberian MP-ASI adalah untuk menambah energi dan zatzat gizi yang diperlukan bayi karena ASI tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi secara terus menerus. Dengan demikian makanan tambahan diberikan untuk mengisi kesenjangan antara kebutuhan nutrisi total pada anak dengan jumlah yang didapatkan dari ASI (WHO, 2003). Kementrian Kesehatan RI melakukan program pemberian MP-ASI untuk seluruh keluarga miskin dengan sasaran pemberian MP-ASI berupa bubur adalah bayi usia 6-11 bulan dan sasaran pemberian MP-ASI berupa biskuit adalah anak usia 12-24 bulan. Jangka waktu pemberian MP-ASI diberikan selama 90 hari. Adapun jumlah MP-ASI yang diberikan: 1.
Untuk sasaran bayi umur 6-11 bulan akan mendapat MP-ASI bubur sebanyak 100 gr/hari yang diberikan dalam 3 kali penyajian per hari
2.
Untuk sasaran anak umur 12-24 bulan akan mendapat MP-ASI biskuit sebanyak 120 gr/hari
Pada penelitian kali ini yang difokuskan adalah jenis MP-ASI Kemenkes berupa biskuit untuk baduta berumur 12-24 bulan, karena data sekunder dari Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan didapatkan bahwa lebih banyak baduta yang mengalami berat badan tidak naik dua bulan berturut-turut (2T).
100
Hasil analisis hubungan antara lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes dengan berat badan tidak naik (2T) diperoleh bahwa dari 64 baduta yang memakan MP-ASI Kemenkes ≥ 90 hari, yang mengalami 2T sebanyak 36 baduta (87,8%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 28 baduta (68,3%). Sedangkan dari 18 baduta yang
memakan MP-ASI
Kemenkes < 90 hari, yang mengalami 2T sebanyak 5 baduta (12,23%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 13 baduta (31,7%). Dari hasil uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,299 dengan interval CI 95% (0,095-0,939) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes dengan berat badan tidak naik (2T), dimana baduta yang memakan MP-ASI Kemenkes < 90 hari berisiko 1/0,299 atau 3,34 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang memakan MP-ASI Kemenkes ≥ 90 hari, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pemberian MP-ASI Kemenkes ≥ 90 hari merupakan faktor protektif. Hasil penelitian ini sesuai dengan anjuran dari Kementrian Kesehatan RI yang menetapkan jangka waktu pemberian MP-ASI Kemenkes adalah 90 hari. Walaupun fakta dilapangan masih adanya baduta yang mendapatkan MP-ASI berupa biskuit ≥ 90 hari maupun < 90 hari. Dimana program MP-ASI Kemenkes RI ini dikhususkan untuk bayi dan baduta dari keluarga miskin yang mengalami gizi kurang maupun gizi buruk. Dari hasil wawancara koordinator gizi di Puskesmas Kecamatan
101
Pancoran maupun kader kesehatan didapatkan fakta bahwa terkadang ibu yang bukan dari keluarga miskin pun ikut meminta biskuit. Sehingga alokasi biskuit berkurang untuk yang seharusnya menerima biskuit tersebut. Sebanyak 51,2% baduta tidak menghabiskan biskuit sesuai anjuran yaitu 120g/hari dan 48,8% baduta menghabiskan biskuit sesuai anjuran yang telah ditetapkan. Dari 82 baduta yang menjadi responden didapatkan hasil sebanyak 61% biskuit tersebut tidak hanya dimakan oleh baduta dan 39% hanya dimakan oleh baduta. Rata-rata sebanyak 25,6% ikut dimakan oleh ibu/ayah, 22% ikut dimakan oleh kakak/adik, 11% oleh saudara dan sebanyak 2,4% ikut dimakan oleh saudara. Dari fakta tersebut seharusnya lebih disosialisasikan mengenai program MP-ASI Kemenkes biskuit bahwa biskuit tersebut hanya boleh dimakan oleh badutanya saja. Sehingga dapat disimpulkan bahwa lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes (biskuit) sangat erat kaitannya dengan berat badan tidak naik (2T). Karena dengan adanya program MP-ASI tersebut seharusnya dapat memperbaiki status gizi bayi dan baduta. 6.3.3 Hubungan antara Riwayat Penyakit Infeksi dengan Berat Badan Tidak Naik
(2T)
Hadirnya penyakit infeksi dalam tubuh anak akan membawa pengaruh terhadap keadaan gizinya. Sebagai reaksi pertama akibat adanya infeksi adalah menurunnya nafsu makan anak sehingga anak menolak
102
makanan yang diberikan ibunya. Penolakan terhadap makanan berarti berkurangnya pemasukan zat gizi ke dalam tubuh anak (Moehyi, 1988). Penyakit infeksi dapat pula disebabkan kurangnya kesadaran untuk menjaga kebersihan dan sanitasi. Sanitasi lingkungan yang kurang akan mempermudah penularan penyakit infeksi. Pada penelitian kali ini lebih banyak baduta yang pernah mengalami riwayat penyakit infeksi sebesar 52 baduta (65,9%) dan 28 baduta (34,1%) tidak pernah mengalami riwayat penyakit infeksi. Dimana peneliti melakukan cross check untuk mengurangi bias terhadap sebagian besar data responden ke posyandu/puskesmas, terhadap jawaban yang diberikan oleh responden. Dimana terkadang ada responden yang menjawab tidak pernah menderita penyakit infeksi selama periode pemberian MP-ASI tetapi saat diberikan pertanyaan tentang gejala-gelaja yang pernah dialami hasilnya pun menyatakan bahwa baduta tersebut pernah menderita penyakit infeksi. Mungkin responden terkesan takut dengan kata penyakit infeksi, disini peneliti melakukan bahasa yang lebih halus dan mudah dimengerti agar data yang diharapkan sesuai dengan fakta dilapangan. Hasil analisis hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan berat badan tidak naik (2T), diperoleh bahwa dari 28 baduta yang tidak mengalami riwayat penyakit infeksi, yang mengalami 2T sebanyak 9 baduta (22%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 19 baduta (46,3%). Sedangkan dari 54 baduta yang mengalami riwayat penyakit infeksi, yang
103
mengalami 2T sebanyak 32 baduta (78%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 22 baduta (53,7%). Hasil uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 3,071 dengan interval CI 95% (1,174-8,028 ) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan berat badan tidak naik (2T), dimana baduta yang mengalami riwayat penyakit infeksi memiliki resiko 3,071 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang tidak mengalami riwayat penyakit infeksi. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sukmadewi (2003) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara riwayat penyakit infeksi dengan status gizi balita. Hal tersebut juga sesuai dengan penelitian Hadi (2005) dan Feddelia (2006) menyatakan bahwa proporsi balita yang mengalami kurang gizi lebih banyak ditemukan pada balita yang mengalami
infeksi
berat/diare
dibandingkan
dengan
balita
yang
mengalami infeksi ringan/tidak menderita diare. Keusch dan Scrimshaw dalam Kartika, dkk (2003), menyatakan bahwa ada hubungan sinergis antara keadaan gizi dengan penyakit infeksi. Penyakit infeksi dapat berpengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh, karena penyakit infeksi dapat menurunkan nafsu makan sehingga konsumsi makanan menurun. Padahal kebutuhan gizi anak sewaktu sakit justru meningkat. Di samping itu, infeksi menggangu metabolisme, membuat ketidakseimbangan hormon dan menggangu fungsi imunitas. Jadi anak yang terkena penyakit infeksi yang berulang dan kronis akan
104
mengalami gangguan gizi dan imunitas baik secara absolut maupun relatif. Kurang gizi walaupun masih ringan mempunyai pengaruh negatif tehadap daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaam gizi. Semua akibat infeksi ini merugikan pertumbuhan anak, sehingga pertumbuhan anak secara antropometris terganggu. Penyakit infeksi erat kaitannya dengan status gizi rendah. Hubungan antara kekurangan gizi dengan penyakit infeksi antara lain dapat dijelaskan melalui mekanisme pertahanan tubuh, dimana pada balita yang mengalami kekurangan gizi akan mengalami kekurangan masukan energi dan protein, sehingga kemampuan tubuh untuk membentuk protein baru berkurang. Hal ini mengakibatkan pembentukan kekebalan tubuh seluler terganggu sehingga tubuh menjadi rawan terhadap serangan infeksi (Jellife, 1989 dalam Hadi, 2005). Dari hasil penelitian ini didapatkan sebanyak 18,3% diare, 12,2% demam, 9,8% ISPA, 4,9% TBC dan 23,2% menderita penyakit lainnya seperti batuk, pilek dan sebagainya. Dari faktwa dilapangan didapatkan seorang anak yang menderita gizi buruk serta mengalami kelainan jantung bawaan. Bahkan kasus anak tersebut sampai diliput oleh media. Sebanyak 68,3% ibu baduta tersebut sudah berusaha mencari pengobatan untuk anaknya,
37,8%
berobat
Puskesmas/Posyandu.
ke
RS/Klinik
dan
28%
berobat
ke
105
Dari hasil pengamatan dilapangan saat dilakukan penelitian memang benar bahwa lingkungan rumah responden tidak cukup bersih, keadaan rumah yang padat penduduk, rumah-rumah kontrakan dipusat ibukota dan dibelakang gedung-gedung bertingkat terlihat penuh sesak, didekat rumahrumah tersebut masih terdapat sumber pencemar > 5m sebanyak 40,2%. Sanitasi dan ventilasi yang kurang menyebabkan lingkungan rumah kurang mendapatkan sirkulasi udara yang baik, sebanyak 78% sirkulasi udara terhambat dan 22% sirkulasi udara lancar. Selain itu banyaknya keluarga yang mengkonsumsi air kemasan isi ulang yang tingkat hygienitasnya tidak terjamin yaitu sebesar 45,1%. Selain itu personal hygiene ibu kurang diterapkan karena sebanyak 67,1% hanya mencuci tangan dengan air saja saat memberikan makanan ke anak dan 12,2% tidak pernah mencuci tangan dengan sabun atau air sekalipun. Sehingga dapat disimpulkan bahwa lingkungan rumah dan personal hygiene pun berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Dimana baduta yang mengalami riwayat penyakit infeksi akan mempengaruhi berat badannya selain itu dapat memperburuk status gizinya. 6.3.4 Hubungan antara Pola Konsumsi Makan dengan Berat badan Tidak Naik (2T) Makanan yang dikonsumsi sehari-hari berpengaruh terhadap asupan energi yang masuk ke tubuh. Mengkonsumsi makanan yang bergizi bermanfaat untuk meningkatkan derajat kesehatan seseorang. Konsumsi makanan tersebut berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat
106
gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Makanan sehari-hari seperti: makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran, susu dan buah dapat mencukupi nilai gizi seseorang setiap harinya (Almatsier, 2001). Dari bermacam-macam makanan tersebut menghasilkan berbagai zat gizi yang diperlukan oleh tubuh baduta. Asupan zat gizi dalam jumlah mutlak diperlukan pada berbagai tahap tumbuh kembang manusia, khususnya bayi dan balita. Karena intake yang kurang maupun berlebihan secara terus-menerus akan menggangu pertumbuhan dan kesehatan (Pudjiadi, 2000). Dalam siklus kehidupan manusia, terutama saat tumbuh kembang anak,
makanan
merupakan kebutuhan
yang
terpenting.
Menurut
Muhammad as-Syyid (2009) disebutkan bahwa makanan seimbang adalah makanan yang ideal, baik kuantitas maupun kualitas, bagi setiap penduduk bumi dengan berbagai macam kepercayaannya. Al-Qur’an telah membuat pondasi dasar yang jelas dan bijak dalam hal makanan ini. Bahkan Nabi Muhammad SAW telah mengukuhkan dasar tersebut sembari memberikan beberapa ketentuan dan aturan yang menjamin realisasinya sehingga seorang muslim benar-benar dapat mengkonsumsi makanan yang sempurna dan bergizi seimbang, jasmani maupun rohani dan kesemuanya itu tersedia di alam, tinggal bagaimana
107
manusi mengolah dan memanfaatkanny dengan sebaik-baiknya. Seperti firman Allah SWT :
“Maka hendaklah manusia itu memerhatikan makanannya, Kamilah yang telah mencurahkan air melimpah (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu di sana Kami tumbuhkan biji-bijian, dan anggur dan sayur-sayuran, dan zaitun dan pohon kurma, dan kebun-kebun (yang) rindang, dan buah-buahan serta rerumputan. (Semua itu) untuk kesenanan kalian dan untuk hewan-hewan ternak kalian” (QS.‟Abasa: 2432). Berdasarkan kitab Shofwat Al-Tafasir karya Imam Muhammad „Ali Al-Shobuny ayat diatas dapat dijelaskan sebagai berikut: Yakni hendaknya manusia melihat dengan pemikiran dan berangan-angan terhadap urusan kehidupannya bagaimana dia diciptakan dan diberi kebahagiaan dengan rahmat Allah, dan bagaimana ia menyiapkan sebab kehidupannya, serta diciptakan bagi manusia makanan sebagai penopang kehidupannya, seperti air dari langit, bermacam-macam tumbuhan yang subur, sayuran, bijibijian, pohon zaitun dan buah kurma, rerumputan. Kami jadikan dan kami
108
tumbuhkan agar bermanfaat dan sebagai penopang kehidupan untukmu para manusia dan untuk binatang-bintangmu. Pada penelitian ini pola konsumsi makan dikelompokkan menjadi: makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran, buah dan susu. Hasil analisis terhadap masing-masing makanan adalah sebagai berikut: a. Makanan Pokok Hasil analisis hubungan antara pola konsumsi makan makanan pokok dengan berat badan tidak naik (2T), diperoleh bahwa dari 55 baduta yang sering mengkonsumsi makanan pokok, yang mengalami 2T sebanyak 29 baduta (70,7%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 26 baduta (63,4%). Sedangkan dari 27 baduta yang jarang mengkonsumsi makanan pokok, yang mengalami 2T sebanyak 12 baduta (29,3%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 15 baduta (36,6%). Dari uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,717 dimana dengan interval CI 95% (0,284-1,810), sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pola konsumsi makan makanan pokok dengan berat badan tidak naik (2T). Nilai OR menunjukkan bahwa baduta yang jarang mengkonsumsi makanan pokok memiliki resiko 1/0,717 atau 1,39 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering mengkonsumsi makanan pokok, sehingga dengan kata lain baduta yang sering mengkonsumsi
109
makanan pokok merupakan faktor protektif terhadap berat badan tidak naik (2T). b. Lauk Hewani Hasil analisis hubungan antara pola makan lauk hewani dengan berat badan tidak naik (2T), diperoleh bahwa dari 18 baduta yang sering mengkonsumsi lauk hewani, yang mengalami 2T sebanyak 8 baduta (19,5%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 10 baduta (24,4%). Sedangkan dari 64 baduta yang jarang mengkonsumsi lauk hewani yang mengalami 2T sebanyak 33 baduta (80,5%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 31 baduta (75,6%). Dari hasil uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 1,331 dengan nilai interval CI 95% (0,465-3,806), sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pola konsumsi lauk hewani dengan berat badan tidak naik (2T). Nilai OR menunjukkan bahwa baduta yang jarang mengkonsumsi lauk hewani memiliki resiko 1,331 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering mengkonsumsi lauk hewani. c. Lauk Nabati Hasil analisis hubungan antara pola konsumsi makan lauk nabati dengan berat badan tidak naik (2T) diperoleh bahwa dari 21 baduta yang sering mengkonsumsi lauk nabati, yang mengalami 2T sebanyak 10 baduta (24,4%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 11 baduta (26,8%). Sedangkan dari 61 baduta yang jarang
110
mengkonsumsi lauk nabati yang mengalami 2T sebanyak 31 baduta (75,6%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 30 baduta (73,2%). Dari hasil uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 1,137 dengan nilai interval CI 95% (0,421-3,067), sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara antara pola konsumsi lauk nabati dengan berat badan tidak naik (2T). Nilai OR menunjukkan bahwa baduta yang jarang mengkonsumsi lauk nabati memiliki resiko 1,137 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering mengkonsumsi lauk nabati. d. Sayuran Hasil analisis hubungan antara pola konsumsi makan sayuran dengan berat badan tidak naik (2T) diperoleh bahwa dari 35 baduta yang sering mengkonsumsi sayuran, yang mengalami 2T sebanyak 17 baduta (41,5%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 18 baduta (43,9%). Sedangkan dari 47 baduta yang jarang mengkonsumsi sayuran yang mengalami 2T sebanyak 24 baduta (58,5%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 23 baduta (56,1%). Dari hasil uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 1,105 dengan nilai interval CI 95% (0,460-2,652), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada tidak hubungan antara pola konsumsi sayuran dengan berat badan tidak naik (2T). Nilai OR menunjukkan bahwa baduta yang jarang mengkonsumsi sayuran memiliki resiko
111
1,105 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering mengkonsumsi sayuran. e. Buah Hasil analisis hubungan antara pola konsumsi makan buah dengan berat badan tidak naik diperoleh bahwa dari 48 baduta yang sering mengkonsumsi buah, yang mengalami 2T sebanyak 25 baduta (61%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 23 baduta (56,1%). Sedangkan dari 34 baduta yang jarang mengkonsumsi sayuran yang mengalami 2T sebanyak 16 baduta (39%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 18 baduta (41,5%). Dari hasil uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,818 dengan nilai interval nilai CI 95% (0,339-1,971) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada tidak hubungan antara pola konsumsi buah dengan berat badan tidak naik (2T). Nilai OR menunjukkan bahwa baduta yang jarang mengkonsumsi buah memiliki resiko 1/0,818 atau 1,22 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering mengkonsumsi buah, dengan kata lain dapat dikatakan baduta yang jsering mengkonsumsi buah merupakan faktor protektif terhadap berat badan tidak naik (2T). f. Susu Hasil analisis hubungan antara pola konsumsi minum susu dengan berat badan tidak naik (2T) diperoleh bahwa dari 17 baduta yang sering mengkonsumsi susu, yang mengalami 2T sebanyak 13
112
baduta (31,7%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 4 baduta (9,8%). Sedangkan dari 65 baduta yang jarang mengkonsumsi susu yang mengalami 2T sebanyak 28 baduta (68,3%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 37 baduta (90,2%). Dari hasil uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,233 dengan nilai interval nilai CI 95% (0,069-0,791), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pola konsumsi minum susu dengan berat badan tidak naik (2T). Nilai OR menunjukkan bahwa baduta yang jarang mengkonsumsi susu memiliki resiko 1/0,233 atau 4,29 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering mengkonsumsi buah, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa baduta yang sering mengkonsumsi susu merupakan faktor protektif terhadap berat badan tidak naik (2T). Dari berbagai jenis makanan yang diteliti hanya pola minum susu yang berhubungan dan sesuai dengan hasil penelitian Mutiara (2006) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara pola asuh makan dengan kejadian gizi buruk pada balita. Sedangkan untuk jenis makanan lain seperti, makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran dan buah tidak ada hubungan antara pola makan dengan berat badan tidak naik (2T). Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pola konsumsi makan (makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran dan nabati), karena pada saat pengambilan data ada kemungkinan ibu baduta lupa terhadap apa dan jumlah makanan yang dimakan oleh
113
anaknya, karena menggunakan form FFQ sehingga hanya dilihat frekuensi makannya
saja.
Selain
itu,
pengambilan
sampel
penelitian
ini
menggunakan data program MP-ASI Kemenkes untuk bulan November 2010- Februari 2011 sehingga seharusnya pengambilan data mengenai pola makan dilakukan pada masa lalu. Pada saat dilakukan penelitian pun tidak dilakukan observasi langsung terhadap pola konsumsi makan baduta, dikarenakan keterbatasan waktu dan tenaga. Terkadang saat dilakukan wawancara kebetulan ada responden yang sedang memberikan makan siang pada anaknya bersama teman-teman anaknya. Sehingga untuk mengurangi bias, disaat itu juga peneliti mengamati makanan yang diberikan untuk baduta, dan faktanya sesuai dengan jawaban yang diberikan saat pengisian Form FFQ kualitatif. Karena peneliti juga melakukan cross check data ke orang dirumah tersebut, seperti ayah, kakek, nenek, saudara bahkan tetangga terdekat. Dimana orang-orang tersebut mengetahui secara pasti pola konsumsi makan baduta tersebut. Memang rata-rata baduta yang diamati badannya kurus dan gizi kurang. Saat dilakukan wawancara ditemukan adanya baduta yang sudah vegetarian dari kecil, sehingga asupan lauk hewani tidak tercukupi, dimana seharusnya saat usia tersebut pemenuhan berbagai macam zat gizi sangatlah
dibutuhkan.
Responden
berpendapat
sudah
berusaha
memberikan lauk hewani tersebut tetapi baduta tersebut tetap menolak (tidak doyan), sehingga dimuntahkan. Sehingga daripada tidak makan sama sekali, lebih baik makan sayuran saja.
114
Sebagian responden menyatakan untuk dapat memenuhi kebutuhan makanan bergizi sangatlah sulit karena harga barang-barang kebutuhan pokok sangat mahal. Dikarenakan keterbatasan perekonomian mereka, sehingga jarang sekali mereka mengkonsumsi lauk pauk yang bergizi bagi keluarganya terlebih untuk baduta yang mengalami gizi kurang. Sehingga dapat dikatakan perekonomian sangat erat kaitannya dengan pola konsumsi makan. Kemungkinan lain karena faktor dari personal personal hygiene ibu kurang diterapkan karena sebanyak 67,1% hanya mencuci tangan dengan air saja saat memberikan makanan ke anak dan 12,2% tidak pernah mencuci tangan dengan sabun atau air sekalipun. Personal hygiene yang tidak baik dapat menyebabkan balita terkena berbagai penyakit, seperti diare atau cacingan, sehingga asupan makanan tersebut tidak menjadikan status gizi balita menjadi lebih baik. Menurut Sahardjo (2006), parasit dalam usus, seperti cacing gelang dan cacing pita bersaing dengan tubuh dalam memperoleh makanan dan dapat menghalangi zat gizi ke dalam arus darah, keadaan yang demikian membantu terjadinya kurang gizi. Dapat disimpulkan bahwa personal hygiene, pola konsumsi makan dan riwayat penyakit infeksi sangat erat hubungannya dengan berat badan tidak naik (2T). Dimana faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi berat badan baduta yang nantinya akan berpengaruh terhadap status gizinya.
115
6.4 Analisis Faktor yang Paling Dominan Mempengaruhi Berat Badan Tidak Naik (2T) Pada Baduta Gakin Setelah Pemberian Program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh dan parameter antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan yang abnormal, terdapat dua kemungkinan perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal (Supariasa, 2001). Ada dua determinan yang saling berinteraksi dalam mempengaruhi pertumbuhan bayi dan balita, yaitu faktor bawaan (genetic factor atau nature) dan faktor lingkungan (environmental factors atau nurture). Faktor bawaan mengacu pada faktor statik yang menyertai anak sejak pembuahan, sedangkan faktor lingkungan lebih banyak terfokus pada kecukupan gizi dan kesehatan bayi dan balita (Satoto, 1997). Dalam menentukan faktor yang paling dominan mempengaruhi berat badan tidak naik (2T) setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes dapat diketahui dengan melakukan analisis multivariat terhadap faktor yang paling dominan mempengaruhi. Sehingga didapatkan hasil akhir dalam bentuk model regresi logistik berganda, yang dinyatakan dalam persamaan matematika sebagai berikut:
116
Logit Berat Badan Tidak Naik (2T) : - 4,517 + 6,152*ASI Eksklusif – 1,963*Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes + 5,460*Riwayat Penyakit Infeksi – 2,29* Pola Konsumsi Susu – 2,874 (ASI Eksklusif*Riwayat Penyakit Infeksi)
Dengan model persamaan tersebut, maka dapat memperkirakan berat badan tidak naik (2T) dengan menggunakan variabel ASI Eksklusif, Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes, Riwayat Penyakit Infeksi, Pola Konsumsi Susu dan Interaksi antara ASI Eksklusif dengan Riwayat Penyakit Infeksi. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa berat badan tidak naik (2T) pada baduta akan menambahkan sebesar 6,152 kg berat badan baduta jika diberikan ASI Eksklusif, berat badan tidak naik (2T) pada baduta akan menurunkan sebesar 1,963 kg berat badan jika pemberian MP-ASI > 90 hari, berat badan tidak naik (2T) pada baduta akan menambahkan sebesar 5,460 kg berat badan jika tidak mengalami riwayat penyakit infeksi, berat badan tidak naik (2T) pada baduta akan menurunkan sebesar 2,29 kg berat badan jika jarang mengkonsumsi susu, serta adanya interaksi antara ASI Eksklusif dengan riwayat penyakit infeksi akan menurunkan 2,874 kg berat badan pada baduta yang mengalami berat badan tidak naik (2T). Semakin besar nilai beta (B) maka semakin besar hubungannya dengan berat badan tidak naik. Sehingga dapat dikatakan bahwa adanya interaksi antara pemberian ASI Eksklusif dengan Riwayat Penyakit Infeksi, yang artinya bahwa seorang baduta yang tidak diberikan ASI Eksklusif lebih beresiko mengalami Riwayat Penyakit Infeksi dan akhirnya menyebabkan
117
terjadinya berat badan tidak naik (2T). Selain itu dapat diketahui faktor yang paling dominan mempengaruhi berat badan tidak naik (2T) pada penelitian ini adalah variabel ASI Eksklusif dengan nilai B (6,152). Dimana didalam kandungan ASI terdapat zat kekebalan dan zat gizinya bagi bayi, sehingga bisa mencegah anak dari gizi buruk atau infeksi. Bayi yang baru lahir sampai beberapa bulan pertama kehidupan belum dapat membuat kekebalan sendiri secara sempurna. ASI merupakan subtansi bahan hidup yang memberikan perlindungan baik secara aktif maupun melalui pengaturan imunologis yang menyediakan perlindungan yang unik terhadap infeksi dan alergi serta menstimuli perkembangan sistem imunologi bayi itu sendiri serta bayi yang diberikan ASI jarang sakit (WHO, 1999). Pada penelitian ini faktor yang paling mempengaruhi adalah pemberian ASI Eksklusif. Seperti kita ketahui pemberian ASI Eksklusif adalah memberikan hanya ASI saja tanpa memberikan makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai berusia enam bulan, kecuali obat dan vitamin (Depkes, 2003). Dapat disimpulkan bahwa kejadian berat badan tidak naik (2T) pada baduta sangat dipengaruhi oleh pemberian ASI Eksklusif. Dimana terjadinya kurang gizi, erat kaitanya dengan produksi ASI maupun lamanya pemberian ASI. Tidak diberikannya atau terlalu cepatnya bayi disapih akan memperbesar kemungkinan keadaan gizi kurang. Bayi hanya diberi ASI saja pada usia 0-6 bulan karena produksi ASI pada periode
118
tersebut sudah dapat mencukupi kebutuhan bayi untuk tumbuh kembang yang sehat (Depkes, 2003). Menurut WHO (1998) dalam Mutiara (2006), bayi sampai umur enam bulan tetap tumbuh normal dan sehat dengan hanya diberi ASI. Setelah bayi umur enam bulan MP-ASI harus diberikan karena kebutuhan gizi bayi semakin meningkat dan tidak dapat dipenuhi hanya dari ASI. Bentuk MP-ASI harus disesuaikan dengan kemampuan pencernaan bayi dan harus mengandung cukup energi, protein serta vitamin dan mineral secara cukup. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, diketahui bahwa koefisien determinan (Nagelkerke R Square) menunjukkan nilai 0,410 artinya bahwa model regresi yang diperoleh dapat menjelaskan 41% variasi variabel dependen yaitu berat badan tidak naik (2T). Dengan demikian
variabel
ASI
Eksklusif,
Lamanya
Pemberian
MP-ASI
Kemenkes, Riwayat Penyakit Infeksi, Pola Konsumsi Susu dan Interaksi antara ASI Eksklusif dengan Riwayat Penyakit Infeksi hanya dapat menjelaskan variasi variabel berat badan tidak naik (2T) sebesar 41%, sedangkan 59% dijelaskan variabel lainya yang tidak diteliti.
BAB VII PENUTUP
7.1 Kesimpulan 1. Gambaran pemberian ASI Eksklusif pada baduta setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 yaitu sebanyak 48 ibu (58,5%) memberikan ASI Eksklusif dan sebanyak 34 ibu (41,5%) tidak memberikan ASI Eksklusif. 2. Gambaran lamanya pemberian program MP-ASI Kemenkes pada baduta gakin di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 yaitu sebanyak 64 baduta (78%) yang mengkonsumsi MP-ASI Kemenkes selama ≥ 90 hari dan sebanyak 18 baduta (22%) yang mengkonsumsi MP-ASI Kemenkes selama > 90 hari. 3. Gambaran riwayat penyakit infeksi pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 yaitu sebanyak 28 baduta (34,1%) tidak pernah menderita penyakit infeksi dan sebanyak 52 baduta (65,9%) pernah menderita penyakit infeksi. 4. Gambaran pola konsumsi makan baduta pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011, yaitu: a. Sebanyak 55 baduta (67,1%) sering mengkonsumsi makanan pokok dan sebanyak 27 baduta (32,9%) jarang mengkonsumsi makanan pokok. b. Sebanyak 18 baduta (22%) sering mengkonsumsi lauk hewani dan sebanyak 64 baduta (78%) jarang mengkonsumsi lauk hewani.
119
120
c. Sebanyak 21 baduta (25,6%) sering mengkonsumsi lauk nabati dan sebanyak 61 baduta (74,4%) jarang mengkonsumsi lauk nabati. d. Sebanyak 35 baduta (42,7%) sering mengkonsumsi sayuran dan sebanyak 47 baduta (57,3%) jarang mengkonsumsi sayuran. e. Sebanyak 48 baduta (58,5%) sering mengkonsumsi buah dan sebanyak 34 baduta (41,5%) jarang mengkonsumsi buah. f. Sebanyak 17 baduta (20,7%) sering mengkonsumsi susu dan sebanyak 65 baduta jarang mengkonsumsi susu. 5. Ada hubungan antara pemberian ASI Eksklusif dengan berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 dengan OR 3,485 dan nilai interval CI 95% (1,380-8,798). 6. Ada hubungan antara lamanya pemberian program MP-ASI Kemenkes dengan berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 dengan OR 0,299 dan nilai interval CI 95% (0,095-0,0939). 7. Ada hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 dengan OR 3,071 dan nilai interval CI 95% (1,174-8,028). 8. Hubungan antara pola konsumsi makan dengan berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011, yaitu:
121
a. Tidak ada hubungan antara: pola makan makanan pokok dengan berat badan tidak naik (2T) dengan OR 0,717 dan nilai interval CI 95% (0,2841,810), pola makan lauk hewani dengan berat badan tidak naik (2T) dengan OR 1,331 dan nilai interval CI 95% (0,465-3,806), pola makan lauk nabati dengan berat badan tidak naik (2T) dengan OR 1,137 dan nilai interval CI 95% (0,421-3,067), pola makan sayuran dengan berat badan tidak naik (2T) dengan OR 1,105 dan nilai interval CI 95% (0,460-2,652), pola makan buah dengan berat badan tidak naik (2T) dengan OR 0,818 dan nilai interval CI 95% (0,339-1,971). b. Ada hubungan antara pola minum susu dengan berat badan tidak naik (2T) dengan OR 0,233 dan nilai interval CI 95% (0,069-0,791). 9. Adanya faktor yang paling dominan mempengaruhi berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 adalah ASI Eksklusif dengan nilai B (6,152). 7.2 Saran 1. Meningkatkan pentingnya pemberian ASI Eksklusif untuk memberikan imunitas terhadap penyakit infeksi 2. Untuk mengoptimalkan status gizi baduta diperlukan frekuensi minum susu sesuai dengan Pedoman Gizi Seimbang (PGS) 3. Diperlukannya
sosialisasi
menyeluruh
mengenai
program
MP-ASI
Kemenkes, baik sasaran yang jelas, jangka waktu pemberian biskuit dan petunjuk tentang program MP-ASI Kemenkes tersebut oleh para kader, petugas kesehatan, maupun pranata sosial.
122
4. Diperlukannya personal hyiegene ibu, pengetahuan mengenai pola makan yang baik dan bergizi, dan kebersihan lingkungan rumah dalam menjaga serta meningkatkan derajat kesehatan keluarganya, khususnya bagi anaknya. 5. Untuk pengukuran pola konsumsi makan, sebaiknya dilakukan saat baduta tersebut mendapatkan Program MP-ASI Kemenkes tersebut. 6. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk meneliti variabel penyakit metabolisme bawaan, dimana faktor tersebut menyebabkan kejadian stunting pada balita.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Shobuny, Imam Muhammad’ Ali. 1418 H. Shofwat al-Tafasir. Mekah: Dar alShobuny Albar, Hussein. 2004. Makanan Pendamping ASI. Cermin Dunia Kedokteran. No. 145:51-55. Makassar: FK UNHAS. Alimul, Aziz Hidayat. 2009. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika Almatsier, Sunita. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Ariawan, Iwan. 1996. Besar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan. Depok: Jurusan Biostatistika dan Kependududkan FKM UI. Arisman. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta:EGC. As-Syyid, Abdul Muhammad. 2009. Pola Makan Rasulullah Makanan Sehat Berkualitas Menurut Al-Quran dan As-Sunnah. Jakarta: PT. Almahira Astari, Dwi Lita, dkk. 2006. Hubungan Konsumsi ASI dan MP-ASI serta Kejadian Stunting Anak Usia 6-12 Bulan di Kabupaten Bogor. Bogor: Media Gizi& Keluarga. Azwar, Azrul. 2000. Masalah Gizi Kurang pada Balita dan Upaya Penanggulangan di Indonesia. Jakarta: Majalah Kesehatan Masyarakat, Tahun XXVII, No. 11. Azwar, Azrul. 2004. Aspek Kesehatan dan Gizi dalam Ketahanan Pangan. Jakarta: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII LIPI. Biddulph, John, dkk. 1999. Kesehatan Anak Untuk Perawat, Petugas Penyuluhan Kesehatan dan Bidan di Desa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Brown, K.H., K. Dewey & L. Allen 1998. Complementary Feeding of Young Children in Developing Countries. A review of Current Scientific Knowledge. World Health Organization, Genewa. Cynthia. 2009. Vaksin Untuk Imunisasi Balita. (diakses tanggal 30 April 2011). http://piogama.ugm.ac.id. _________________. 1992. Pedoman Pemantauan Status Gizi (PSG) Melalui Posyandu. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan RI.
_________________. 2000. Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional 2001-2005. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. _________________. 2002. Program Gizi Makro. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Direktorat Gizi Masyarakat. _________________. 2002. Tata Cara Pemberian MP-ASI Rumah Tangga. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. _________________. 2003. Pedoman Umum Gizi Seimbang (Panduan Untuk Petugas). Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Direktorat Gizi Masyarakat. _________________. 2003. Status Gizi Ibu Hamil, Bayi dan Balita Tahun 1989-2002. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI. _________________. 2004. Pedoman Pelaksanaan Pendistribusian dan Pengelolaan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) Tahun 2004. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. _________________. 2006. Pedoman Umum Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) Lokal Tahun 2006. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. _________________. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia Tahun 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. _________________. 2008. Prosedur Mutu Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI bagi Bayi 6-11 bulan dan Anak 12-23 bulan BGM Gakin Tahun 2008). Jakarta: Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. _________________. 2009. Laporan Tahunan Program Gizi Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2008 . Jakarta: Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. _________________. 2011. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010 . Jakarta: Departemen Kesehatan RI. _________________. 2011. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia Tahun 2010 . Jakarta: Departemen Kesehatan RI. _________________. 2011. Laporan Tahunan Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan Tahun 2010. Jakarta: Sudin Kesehatan Jakarta Selatan. _________________. 2011. Pedoman Kader Seri Kesehatan Anak. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. Direktorat Gizi Masyarakat. 2000. Buku Panduan Pengelolaan Program Perbaikan Gizi Kabupaten/Kota. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Direktorat Gizi Masyarakat. 2005. Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal (SPM) Penyelenggraan Perbaikan Gizi Masyarakat. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Ebrahim, G.J. 1996. Air Susu Ibu.Yogyakarta: Yayasan Essentia Medika. Eregie,C.O. and Abraham,R. 1997. Studies on Exclusive Breastfeeding: Observations on The Adequacy of Breast Milk as Sole Nutrient for The First Six Month of Life. International Child Health: a Digest of Current Information. An International Pediatrics Association Publication in Collaboration with UNICEF and WHO. VIII, 4 : 49-54. Feddelia, Ellan. 2006. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Balita di Lingkungan Pemulung Ciputat Tahun 2006. Depok: Skripsi FKM UI. Kartono, Djoko, dkk. 1993. Beberapa Aspek Psiko Sosial Pada Anak Kurang Energi Protein di Daerah Bogor. Bogor: Penelitian Gizi dan Makanan. Hadi, Imam. 2005. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Balita di Kelurahan Neglasari dan Kedaung Wetan Tahun 2005. Depok: Skripsi FKM UI. Hauvast,J.L.A., J.J.M. Toolboom, L.J.M. Heijden van der, A.K. Luneta, W.A. Staveren van, S.M. van. Gastel. 2000. Food Consumption of Young Stunted and Non-Stunned Children in Rural Zambia. Eur J Clin Nutr 53:50-59 [abstrak] Heinig, J., et all,. 1993. Energy and Protein Intake of Breast-Fed and Formula-Fed Infant During the First Year of Life and Their Association with Growth Velocity: The DARLING Study. American Journal of Clinical Nutrition.58:152-161. Hermina. 1992. Keragaman Pengetahuan Gizi dan Pengetahuan Praktek Pemberian Makanan Bayi dan Anak dari Ibu Balita Gizi Buruk di daerah Bogor dan sekitarnya. Bogor: Penelitian Gizi dan Makanan. Hull, David. 1994. Pedoman Bagi Orang Tua: Kesehatan Anak. Jakarta: Arcan. Hurlock, EB. 1997. Perkembangan Anak Jilid 1. Jakarta : PT Gramedia. Jahari,A.B.,Sandjaya,H.Sudirman, Soekirman,I. Juss’at, D. Latief & Atmarita.2000. Status Gizi Balita di Indonesia sebelum dan sesudah krisis (Analisa data antropometri Susenas 1989 s/d 1999). Jakarta: Widya Karya Pangan dan Gizi Kartika, Vita, dkk. 2003. Studi Dampak Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu. Penelitian Gizi dan Makanan. 26 (1): 1-10.
Kurniasih,dkk. 2010. Sehat dan Bugar Berkat Gizi Seimbang (PGS). Jakarta: PT.Gramedia. Lestari, 1996. Menjaga Kesehatan Balita. Jakarta: Puspa Swara. Moehyi. 1988. Pemeliharaan Gizi Bayi dan Balita. Jakarta: Bhratara Karya Angkasa. Muthmainah, Ani, dkk. 1996. Beberapa Faktor Yang Berhubungan dengan Tingkat Kecukupan Anak Usia 2-5 Tahun. Bogor: IPB Media Gizi dan Keluarga. Mutiara, Ira. 2006. Hubungan Pemberian Makan dan ASI serta Faktor-Faktor Lain dengan Status Gizi Buruk Balita dengan Tanda Klinis. Depok: Tesis FKM UI. Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta: Rineka Cipta Nursalam, dkk. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (untuk Perawat dan Bidan). Jakarta: Salemba Medika. Oktaviyanti, Rika. 2007. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan di Kelurahan Ratu Jaya Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok Jawa Barat Tahun 2007. Depok: Skripsi FKM UI. Persagi dan RS Dr. Cipto Mangunkusumo. 1992. Penuntun Diit Anak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Pudjiadi, Solihin. 2000. Ilmu Gizi Klinis pada Anak. Edisi keempat. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Roesli, Utami. 2000. Mengenal ASI Ekskusif Seri I. Jakarta: Trubus Agriwirdya. Santoso, Soegeng dan Anne Lies Ranti. 1999. Kesehatan dan Gizi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Sari, Tri Novita. 1999. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Balita di Desa Sirnagalih Kecamatan Ciomas Bogor Juli 1998. Depok: Skripsi FKM UI. Satoto, 1997. Fitrah dan Tumbuh Kembang Anak. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Gizi pada Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang. Sediaoetama, Achmad Djaeni. 2006. Ilmu Gizi I untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid 1. Jakarta: Dian Rakyat. Siahaan, Rinto. 2005. Pendamping ASI Cegah Kekurangan Gizi. (diakses tanggal 28 April 2011). http:// www. humanmedicine.net
Sihadi. 1999. Aplikasi Analisis Survival Untuk Menentukan Beberapa Faktor Yang Berhubungan dengan Perbaikan Gizi Anak Balita Gizi Buruk, Pengunjung Klinik Bogor (KGB) 1982-1997. Depok : Tesis FKM UI. Soetjiningsih. 1997. ASI Petunjuk Untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta: EGC. Suharyono, dkk. 1992. Air Susu Ibu Tinjauan dari Beberapa Aspek. Jakarta: FKUI. Sukmadewi, Sari. 2003. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Balita di Wilayah Puskesmas Bogor Tengah Kota Bogor Tahun 2003. Depok: Skripsi FKM UI. Sulistyowati, Heni. 2007. Hubungan antara Pengetahuan Ibu dan Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI dengan Status Gizi Balita Usia 4-24 Bulan di Desa Sendangharjo Kecamatan Blora Kabupaten Blora Tahun 2007. Semarang: Skripsi FIK UNES. Supariasa, I Dewa Nyoman. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC. Thonthowi, Muhammad Sayid. 1420 H. Tafsir Al-Wasith. Kairo: Dar el Haromain Utami, Karina Dewi. 2011. Faktor- Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemberian MPASI Dini Pada Bayi Kurang Dari 6 Bulan di Desa Sutopati Tahun 2011. Ciputat: Skripsi FKIK UIN Yenrina, 2006. Menyiapkan ASI. Jakarta: Puspa Swara UNICEF, WHO, UNESCO, Kementrian Kesehatan RI, dkk. 2010. Penuntun Hidup Sehat: Edisi Keempat. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI. WHO. 1999. Management Severe of Nutrition: a Manual for Physicians and other Service Health Worker. Geneva. WHO. 2003. Global Strategy for Infant and Young Child. (diakses 1 Mei 2011). Widodo, Yekti, dkk. 2005. Pertumbuhan Bayi yang Mendapat ASI Eksklusif dan ASI Tidak Ekskusif. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Willet, Walter. 1998. Nutritional Epidemiology. New York: Oxford University Press Ziegler, T.R., N. Bazargan & J.R. Galloway,. 2000. Glutamine Supplemented Nutrition Support: Saving Nitrogen and Saving Money. Clinical Nutrition: 19(6); 375-377
NO : Ks / Kr
KUESIONER FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BERAT BADAN TIDAK NAIK (2T) PADA BADUTA GAKIN SETELAH PEMBERIAN PROGRAM MP-ASI KEMENKES DI KECAMATAN PANCORAN JAKARTA SELATAN TAHUN 2011
Assalamu’alaikum Wr Wb Perkenalkan nama saya M.Arbi Ramadhan, Mahasiswa Peminatan Gizi Jurusan Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya sedang melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan tidak naik (2T) pada baduta setelah pemberian MP-ASI Kemenkes. Saya akan menanyakan mengenai berbagai faktor yang berpengaruh terhadap ketidaknaikan BB (2T). Jawaban yang ibu berikan akan dirahasiakan sehingga tidak seorang pun yang mengetahuinya
Apakah Ibu bersedia?
Ya
Tidak
Saya mohon kesediaan Ibu untuk diwawancarai untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan saya berikan dengan jujur. Terima kasih atas perhatian dan kerja samanya.
1. IDENTITAS IBU Nama Ibu
: ..........................................................................
Umur Ibu
: ..........................................................................
Suku Ibu
: ..........................................................................
Suku Ayah
: ..........................................................................
Pendidikan terakhir
: ..........................................................................
Alamat
: ...........................................................................
2. IDENTITAS BADUTA Nama Baduta
: ............................................................................
Jenis Kelamin
: .............................................................................
Umur Baduta
: ............................................................................
Anak ke/saudara
: ............ / ..............
A. ASI Eksklusif 1
2
3
4
Ketika anak ibu lahir, apakah ibu langsung memberikan ASI ? a. Ya b. Tidak Jika tidak, apa yang ibu berikan? a. Susu Formula b. Madu c. Air Putih d. Pisang a. Lainnya, sebutkan ............................. Apakah ada hambatan dalam menyusui ? a. Tidak b. Ya Bagi ibu yang mengalami hambatan menyusui (selama 0-6 bulan), apa yang ibu berikan kepada anak ? a. Tetap memberikan ASI b. Susu Formula c. Madu
A1[
]
A2[
]
A3[
]
A4[
]
5
d. Air Putih e. Pisang f. Lainnya, sebutkan ........................... Apakah ibu hanya memberikan ASI saja sampai umur 6 bulan? a. Ya b. Tidak
A5[
]
B6[
]
C8[
]
C9[
]
C 10 [
]
C 11 [
]
C 12 [
]
B. Pasca ASI Eksklusif 6
7
Apakah anak ibu tetap diberi ASI sampai usia 2 tahun? a. Ya b. Tidak Jika tidak, sampai usia berapa anak ibu diberikan ASI ? Alasannya ? ........................................................................ .......................................................................
C. MP-ASI Kemenkes 8
9
10
11
12
Apakah ibu mengetahui tentang MP-ASI Kemenkes ? a. Ya b. Tidak Berapa lama anak ibu diberikan Biskuit MP-ASI ? a. ≥ 90 hari b. < 90 hari Apakah biskuit tersebut rutin dimakan sesuai anjuran ? (1 kemasan= 120 gr/hari) a. Ya b. Tidak Apakah biskuit tersebut hanya dimakan oleh anak ibu saja ? a. Ya b. Tidak Jika tidak, dimakan oleh siapa saja? a. Ayah/ Ibu b. Kakak/Adik c. Saudara d. Teman sebaya e. Lainnya, sebutkan ................................................
D. RIWAYAT PENYAKIT INFEKSI 13
14
15
16 17
18
Apakah anak ibu pernah mengalami sakit selama pemberian MP-ASI Kemenkes? a. Tidak b. Ya Dalam kurun waktu tersebut, penyakit apa yang diderita anak ibu? a. ISPA b. TBC c. Diare d. Cacingan e. Demam f. Lain-lain ..................................................... Gejala – gejala seperti apa yang dialami oleh baduta ibu? .................................................................................. .................................................................................. .................................................................................. Berapa lama baduta ibu menderita penyakit tersebut? ............................................................................... Apakah ibu sudah mencari pengobatan untuk baduta selama menderita penyakit tersebut? a. Ya b. Tidak Jika Ya, kemana ibu mencari pengobatan untuk baduta? a. Posyandu/Puskesmas b. Rumah Sakit/Klinik c. Pengobatan Alternatif
D 13 [
]
D 14 [
]
D 17 [
]
D 18 [
]
E 19 [
]
E 20 [
]
E 21 [
]
E. SANITASI LINGKUNGAN & PERSONAL HYGIENE 19
20
21
Darimana sumber air yang digunakan ibu untuk kebutuhan sehari-hari? a. PDAM/ sejenisnya b. Sumur c. Air isi ulang Bagaimana kualitas fisik air minum yang sering dikonsumsi? a. Jernih b. Keruh dan berwarna c. Berbau dan berasa Bagaimana pengelolaan air sebelum diminum? a. Dimasak/ direbus
22
23
24
25
26
b. Disaring saja c. Langsung diminum Bagaimana saluran pembuangan air limbah dari kamar mandi/dapur/cuci? a. Saluran Tertutup b. Saluran Terbuka c. Tanpa Saluran Apakah di sekitar sumber air terdapat sumber pencemaran (air limbah/tangki septik/sampah), apabila ada berapa jaraknya dari sumber air tersebut? a. Tidak ada b. Ada, < 5 meter c. Ada, > 5 meter Bagaimana keadaan sirkulasi udara rumah ibu? a. Sangat lancar b. Terhambat, karena kurangnya sarana fentilasi Apakah ibu selalu membiasakan mencuci tangan dengan sabun sebelum memberikan makanan ke anak ibu? a. Ya,selalu b. Hanya mencuci tangan dengan air bersih c. Tidak pernah Apakah ibu selalu mencuci peralatan makan dan minum anak dengan sabun? a. Ya, selalu b. Hanya mencuci dengan air bersih c. Tidak pernah
E 22 [
]
E 23 [
]
E 24 [
]
E 25 [
]
E 26 [
]
Form Checklist (√) Hal yang diamati 1. Air Minum
Jernih
Keruh
Penilaian Berbau
2. Sirkulasi Udara
Sangat lancar
Lancar
Terhambat
3. Selokan
Sangat lancar
Lancar
Terhambat
4. Kebersihan Rumah
Bersih
Cukup bersih
Tidak bersih
Berwarna
Berasa
Tidak ada ventilasi
Kotor
Sangat kotor
FORMULIR METODE FREKUENSI MAKANAN FFQ – KUALITATIF Nama Baduta
:
Umur Baduta
:
Jenis Kelamin
:
Tanggal Wawancara : Keterangan
1. Makanan Pokok dan Produk Lainnya a. Nasi b. Roti c. Mie/Bihun d. Biskuit MP-ASI e. 2. Lauk Hewani dan Produk Lainnya a. Telur b. Daging c. Ikan d. f.
1-3x/bulan
1x/bulan
2-4x/minggu
1-3x/minggu
1x/minggu
4-6x/hari
2-3x/hari
1x/hari
Nama Bahan Makanan
Tidak Pernah
Frekuensi Konsumsi
3. Lauk Nabati dan Produk Lainnya a. Tempe b. Tahu c. Kedelai d. Kacang Hijau e. 4. Sayur-Sayuran a. Bayam b. Kangkung c. Kacang Panjang d.Sop e. 5. Buah-buahan a. Pisang b. Jeruk c. Apel d. Jambu e. 7. Susu dan Produk Olahannya a. Susu Sapi b. Susu UHT c. Ice Cream d. Yogurt e.
Analisis Univariat
1. ASI Eksklusif Statistics A5 N
Valid
82
Missing
0
A5 Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
ya
48
58.5
58.5
58.5
tidak
34
41.5
41.5
100.0
Total
82
100.0
100.0
2. Lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes Statistics C9 N
Valid Missing
82 0
C9 Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
>90 hari
64
78.0
78.0
78.0
<90 hari
18
22.0
22.0
100.0
Total
82
100.0
100.0
3. Riwayat Penyakit Infeksi Statistics D13 N
Valid
82
Missing
0
D13 Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
tidak
28
34.1
34.1
34.1
ya
54
65.9
65.9
100.0
Total
82
100.0
100.0
4. Pola Konsumsi Makan a. Makanan Pokok Statistics makananpokok N
Valid Missing
82 0
makananpokok Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
Sering > 2kali/hari
55
67.1
67.1
67.1
Jarang < 2kali/hari
27
32.9
32.9
100.0
Total
82
100.0
100.0
b. Lauk Hewani Statistics laukhewani N
Valid Missing
82 0
laukhewani Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
Sering > 2kali/hari
18
22.0
22.0
22.0
Jarang < 2kali/hari
64
78.0
78.0
100.0
Total
82
100.0
100.0
d. Lauk Nabati Statistics lauknabati N
Valid Missing
82 0
lauknabati Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
Sering > 2kali/hari
21
25.6
25.6
25.6
Jarang < 2kali/hari
61
74.4
74.4
100.0
Total
82
100.0
100.0
c. Sayuran Statistics Sayuran N
Valid Missing
82 0
sayuran Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
Sering > 2kali/hari
35
42.7
42.7
42.7
Jarang < 2kali/hari
47
57.3
57.3
100.0
Total
82
100.0
100.0
e. Buah Statistics buah N
Valid Missing
82 0
buah Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
Sering > 2kali/hari
48
58.5
58.5
58.5
Jarang < 2kali/hari
34
41.5
41.5
100.0
Total
82
100.0
100.0
f. Susu Statistics susu N
Valid Missing
82 0
Susu Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
Sering > 2kali/hari
17
20.7
20.7
20.7
Jarang < 2kali/hari
65
79.3
79.3
100.0
Total
82
100.0
100.0
Analisis Bivariat 1. ASI Eksklusif dgn 2T
Case Processing Summary Cases Valid N
Missing
Percent
A5 * BB
82
N
Total
Percent
100.0%
0
N
.0%
Percent 82
100.0%
A5 * BB Crosstabulation BB non 2T A5
Ya
Count
18
48
73.2%
43.9%
58.5%
11
23
34
26.8%
56.1%
41.5%
41
41
82
100.0%
100.0%
100.0%
Count % within BB
Total
Count % within BB
Total
30
% within BB Tidak
2T
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
7.235a
1
.007
Continuity Correctionb
6.080
1
.014
Likelihood Ratio
7.360
1
.007
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
.013 7.147
1
.008
82
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17,00. b. Computed only for a 2x2 table
.007
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for A5 (Ya / Tidak) For cohort BB = non 2T For cohort BB = 2T N of Valid Cases
Lower
Upper
3.485
1.380
8.798
1.932
1.133
3.292
.554
.360
.855
82
2. Lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes dgn 2T
Case Processing Summary Cases Valid N C9 * BB
Missing
Percent 82
N
100.0%
Total
Percent 0
N
.0%
Percent 82
100.0%
C9 * BB Crosstabulation BB non 2T C9
>=90 hari
Count % within BB
< 90 hari
Count % within BB
Total
Count % within BB
2T
Total
28
36
64
68.3%
87.8%
78.0%
13
5
18
31.7%
12.2%
22.0%
41
41
82
100.0%
100.0%
100.0%
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
4.556a
1
.033
3.488
1
.062
4.686
1
.030
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
.060 4.500
1
.034
82
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9,00. b. Computed only for a 2x2 table
.030
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for C9 (>=90 hari / < 90 hari) For cohort BB = non 2T For cohort BB = 2T N of Valid Cases
Lower
Upper
.299
.095
.939
.606
.406
.903
2.025
.932
4.398
82
3. Riwayat Penyakit Infeksi dgn 2T Case Processing Summary Cases Valid N
Missing
Percent
D13 * BB
82
N
Total
Percent
100.0%
0
N
.0%
Percent 82
100.0%
D13 * BB Crosstabulation BB non 2T D13
Tidak
Count
9
28
46.3%
22.0%
34.1%
22
32
54
53.7%
78.0%
65.9%
41
41
82
100.0%
100.0%
100.0%
Count % within BB
Total
Count % within BB
Total
19
% within BB Ya
2T
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
df
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.020
4.393
1
.036
5.514
1
.019
5.423 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
.035 5.357
1
.021
82
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14,00. b. Computed only for a 2x2 table
.018
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for D13 (Tidak / Ya) For cohort BB = non 2T For cohort BB = 2T N of Valid Cases
Lower
Upper
3.071
1.174
8.028
1.666
1.105
2.511
.542
.303
.971
82
4. Pola Konsumsi Makanan a. Makanan Pokok dgn 2T
Case Processing Summary Cases Valid N mkananpokok * BB
Missing
Percent 82
N
100.0%
Total
Percent 0
N
.0%
Percent 82
100.0%
mkananpokok * BB Crosstabulation BB non 2T mkananpokok
Sering > 2kali/hari
Count % within BB
Jarang < 2 kali/hari
Total
29
55
63.4%
70.7%
67.1%
15
12
27
36.6%
29.3%
32.9%
41
41
82
100.0%
100.0%
100.0%
Count % within BB
Total
26
Count % within BB
2T
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
.497a
1
.481
Continuity Correction
.221
1
.638
Likelihood Ratio
.498
1
.480
Pearson Chi-Square b
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
b
.639 .491
1
.484
82
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13,50. b. Computed only for a 2x2 table
.319
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for mkananpokok (Sering > 2kali/hari / Jarang
.717
.284
1.810
.851
.549
1.318
1.186
.727
1.937
< 2 kali/hari) For cohort BB = non 2T For cohort BB = 2T N of Valid Cases
82
b. Lauk Hewani dgn 2T
Case Processing Summary Cases Valid N
Missing
Percent
laukhewani * BB
82
N
Total
Percent
100.0%
0
N
Percent
.0%
82
100.0%
laukhewani * BB Crosstabulation BB non 2T laukhewani
Sering > 2 kali/hari
Count % within BB
Jarang < 2 kali/hari
Count % within BB
Total
Count % within BB
2T
Total
10
8
18
24.4%
19.5%
22.0%
31
33
64
75.6%
80.5%
78.0%
41
41
82
100.0%
100.0%
100.0%
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
.285a
1
.594
.071
1
.790
.285
1
.593
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
b
.790 .281
1
.596
82
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9,00. b. Computed only for a 2x2 table
.395
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for laukhewani (Sering > 2 kali/hari / Jarang
1.331
.465
3.806
1.147
.707
1.862
.862
.488
1.522
< 2 kali/hari) For cohort BB = non 2T For cohort BB = 2T N of Valid Cases
82
c. Lauk Nabati dgn 2T
Case Processing Summary Cases Valid N lauknabati * BB
Missing
Percent 82
N
Total
Percent
100.0%
0
N
.0%
Percent 82
100.0%
lauknabati * BB Crosstabulation BB non 2T lauknabati
Sering > 2 kali/hari
Count % within BB
Jarang < 2 kali/hari
Count % within BB
Total
Count % within BB
2T
Total
11
10
21
26.8%
24.4%
25.6%
30
31
61
73.2%
75.6%
74.4%
41
41
82
100.0%
100.0%
100.0%
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.800
Continuity Correction
.000
1
1.000
Likelihood Ratio
.064
1
.800
Pearson Chi-Square
.064 b
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
1.000 .063
1
.801
82
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,50. b. Computed only for a 2x2 table
.500
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for lauknabati (Sering > 2 kali/hari / Jarang
1.137
.421
3.067
1.065
.658
1.723
.937
.562
1.564
< 2 kali/hari) For cohort BB = non 2T For cohort BB = 2T N of Valid Cases
82
d. Sayuran dgn 2T
Case Processing Summary Cases Valid N sayuran * BB
Missing
Percent 82
N
100.0%
Total
Percent 0
N
.0%
Percent 82
100.0%
sayuran * BB Crosstabulation BB non 2T sayuran
Sering > 2 kali/hari
Count % within BB
Jarang < 2 kali/hari
Count % within BB
Total
Count % within BB
2T
Total
18
17
35
43.9%
41.5%
42.7%
23
24
47
56.1%
58.5%
57.3%
41
41
82
100.0%
100.0%
100.0%
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
.050a
1
.823
.000
1
1.000
.050
1
.823
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
b
1.000 .049
1
.824
82
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17,50. b. Computed only for a 2x2 table
.500
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for sayuran (Sering > 2 kali/hari / Jarang
1.105
.460
2.652
1.051
.680
1.623
.951
.612
1.478
< 2 kali/hari) For cohort BB = non 2T For cohort BB = 2T N of Valid Cases
82
e. Buah dgn 2T
Case Processing Summary Cases Valid N buah * BB
Missing
Percent 82
N
100.0%
Total
Percent 0
N
.0%
Percent 82
100.0%
buah * BB Crosstabulation BB non 2T buah
Sering > 2 kali/hari
Count % within BB
Jarang < 2 kali/hari
Total
25
48
56.1%
61.0%
58.5%
18
16
34
43.9%
39.0%
41.5%
41
41
82
100.0%
100.0%
100.0%
Count % within BB
Total
23
Count % within BB
2T
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
.201a
1
.654
Continuity Correctionb
.050
1
.823
Likelihood Ratio
.201
1
.654
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
b
.823 .199
1
.656
82
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17,00. b. Computed only for a 2x2 table
.411
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for buah (Sering > 2 kali/hari / Jarang < 2
.818
.339
1.971
.905
.587
1.395
1.107
.707
1.732
kali/hari) For cohort BB = non 2T For cohort BB = 2T N of Valid Cases
82
f. Susu dgn 2T
Case Processing Summary Cases Valid N
Missing
Percent
susu * BB
82
N
100.0%
Total
Percent 0
N
.0%
Percent 82
100.0%
susu * BB Crosstabulation BB non 2T susu
Sering > 2 kali/hari
Count
13
17
9.8%
31.7%
20.7%
37
28
65
90.2%
68.3%
79.3%
41
41
82
100.0%
100.0%
100.0%
Count % within BB
Total
Count % within BB
Total
4
% within BB Jarang < 2 kali/hari
2T
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
6.011a
1
.014
4.749
1
.029
6.267
1
.012
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
b
.027 5.938
1
.015
82
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,50. b. Computed only for a 2x2 table
.014
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for susu (Sering > 2 kali/hari / Jarang < 2
.233
.069
.791
.413
.171
.999
1.775
1.209
2.607
kali/hari) For cohort BB = non 2T For cohort BB = 2T N of Valid Cases
82
Analisis Multivariat
1. Kandidat Model a. ASI Eksklusif Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square Step 1
df
Sig.
Step
7.360
1
.007
Block
7.360
1
.007
Model
7.360
1
.007
b. Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square Step 1
df
Sig.
Step
4.686
1
.030
Block
4.686
1
.030
Model
4.686
1
.030
c. Riwayat Penyakit Infeksi Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square Step 1
df
Sig.
Step
5.514
1
.019
Block
5.514
1
.019
Model
5.514
1
.019
d. Pola Konsumsi Susu Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square Step 1
df
Sig.
Step
6.267
1
.012
Block
6.267
1
.012
Model
6.267
1
.012
2. Pembuatan Model Logistic Regression Case Processing Summary Unweighted Cases
a
Selected Cases
N Included in Analysis
Percent 82
100.0
0
.0
82
100.0
0
.0
82
100.0
Missing Cases Total Unselected Cases Total
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding Original Value
Internal Value
non 2T
0
2T
1
Block 0: Beginning Block Classification Tablea,b Predicted BB Observed Step 0
BB
non 2T
Percentage 2T
Correct
non 2T
0
41
.0
2T
0
41
100.0
Overall Percentage a. Constant is included in the model. b. The cut value is ,500
50.0
Variables in the Equation B Step 0
Constant
S.E. .000
Wald
.221
df
.000
Sig. 1
1.000
Variables not in the Equation Score Step 0
Variables
df
A5
7.235
1
.007
C9
4.556
1
.033
D13
5.423
1
.020
Susu
6.011
1
.014
20.913
4
.000
Overall Statistics
Block 1: Method = Enter Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square Step 1
df
Sig.
Step
24.828
4
.000
Block
24.828
4
.000
Model
24.828
4
.000
Model Summary
Step 1
Sig.
-2 Log likelihood a
88.848
Cox & Snell R
Nagelkerke R
Square
Square .261
a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001.
.348
Exp(B) 1.000
Classification Table
a
Predicted BB Observed Step 1
BB
Percentage
non 2T
2T
Correct
non 2T
32
9
78.0
2T
21
20
48.8
Overall Percentage
63.4
a. The cut value is ,500 Variables in the Equation 95,0% C.I.for EXP(B) B Step 1a
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
Lower
Upper
A5
1.194
.535
4.977
1
.026
3.302
1.156
9.429
C9
-2.008
.772
6.772
1
.009
.134
.030
.609
D13
1.342
.581
5.334
1
.021
3.828
1.225
11.959
susu
-1.869
.733
6.504
1
.011
.154
.037
.649
1.856
1.914
.940
1
.332
6.396
Constant
a. Variable(s) entered on step 1: A5, C9, D13, susu.
3. Uji Interaksi
Logistic Regression Case Processing Summary Unweighted Casesa Selected Cases
N Included in Analysis
Percent 82
100.0
0
.0
82
100.0
0
.0
82
100.0
Missing Cases Total Unselected Cases Total
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding Original Value
Internal Value
non 2T
0
2T
1
Block 0: Beginning Block Classification Table
a,b
Predicted BB Observed Step 0
BB
non 2T
Percentage 2T
Correct
non 2T
0
41
.0
2T
0
41
100.0
Overall Percentage a. Constant is included in the model. b. The cut value is ,500
50.0
Variables in the Equation B Step 0
Constant
S.E. .000
Wald
.221
df
.000
Sig. 1
1.000
Variables not in the Equation Score Step 0
Variables
df
A5
7.235
1
.007
C9
4.556
1
.033
D13
5.423
1
.020
Susu
6.011
1
.014
A5 by D13
8.071
1
.004
24.439
5
.000
Overall Statistics
Block 1: Method = Enter Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square Step 1
df
Sig.
Step
30.127
5
.000
Block
30.127
5
.000
Model
30.127
5
.000
Model Summary
Step 1
Sig.
-2 Log likelihood a
83.549
Cox & Snell R
Nagelkerke R
Square
Square .307
a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001.
.410
Exp(B) 1.000
Classification Table
a
Predicted BB Observed Step 1
BB
non 2T
non 2T 2T
Percentage 2T
Correct
24
17
58.5
4
37
90.2
Overall Percentage
74.4
a. The cut value is ,500
Variables in the Equation 95,0% C.I.for EXP(B) B Step 1a
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
Lower
Upper
A5
6.152
2.423
6.447
1
.011
469.450
4.067
5.419E4
C9
-1.963
.810
5.871
1
.015
.140
.029
.687
D13
5.460
2.065
6.990
1
.008
235.065
4.106
1.346E4
susu
-2.296
.825
7.753
1
.005
.101
.020
.507
A5 by D13
-2.874
1.332
4.659
1
.031
.056
.004
.768
Constant
-4.517
3.552
1.617
1
.204
.011
a. Variable(s) entered on step 1: A5, C9, D13, susu, A5 * D13 .
4. Tahap Akhir
Logistic Regression Case Processing Summary Unweighted Casesa Selected Cases
N Included in Analysis
Percent 82
100.0
0
.0
82
100.0
0
.0
82
100.0
Missing Cases Total Unselected Cases Total
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding Original Value
Internal Value
non 2T
0
2T
1
Block 0: Beginning Block Classification Tablea,b Predicted BB Observed Step 0
BB
non 2T
Percentage 2T
Correct
non 2T
0
41
.0
2T
0
41
100.0
Overall Percentage a. Constant is included in the model. b. The cut value is ,500
50.0
Variables in the Equation B Step 0
Constant
S.E. .000
Wald
.221
df
.000
Sig. 1
1.000
Variables not in the Equation Score Step 0
Variables
df
A5
7.235
1
.007
C9
4.556
1
.033
D13
5.423
1
.020
susu
6.011
1
.014
20.913
4
.000
Overall Statistics
Block 1: Method = Enter Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square Step 1
df
Sig.
Step
24.828
4
.000
Block
24.828
4
.000
Model
24.828
4
.000
Model Summary
Step 1
Sig.
-2 Log likelihood a
88.848
Cox & Snell R
Nagelkerke R
Square
Square .261
a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001.
.348
Exp(B) 1.000
Classification Table
a
Predicted BB Observed Step 1
BB
Percentage
non 2T
2T
Correct
non 2T
32
9
78.0
2T
21
20
48.8
Overall Percentage
63.4
a. The cut value is ,500
Variables in the Equation 95,0% C.I.for EXP(B) B Step 1a
S.E.
Wald
df
Exp(B)
Lower
Upper
A5
1.194
.535
4.977
1
.026
3.302
1.156
9.429
C9
-2.008
.772
6.772
1
.009
.134
.030
.609
D13
1.342
.581
5.334
1
.021
3.828
1.225
11.959
susu
-1.869
.733
6.504
1
.011
.154
.037
.649
1.856
1.914
.940
1
.332
6.396
Constant
a. Variable(s) entered on step 1: A5, C9, D13, susu.
Block 2: Method = Backward Stepwise (Wald) Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square Step 1
Sig.
df
Sig.
Step
5.299
1
.021
Block
5.299
1
.021
Model
30.127
5
.000
Model Summary
Step
Cox & Snell R
Nagelkerke R
Square
Square
-2 Log likelihood a
1
83.549
.307
.410
a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001.
Classification Table
a
Predicted BB Observed Step 1
BB
non 2T
non 2T 2T
Percentage 2T
Correct
24
17
58.5
4
37
90.2
Overall Percentage
74.4
a. The cut value is ,500
Variables in the Equation 95,0% C.I.for EXP(B) B Step 1a
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
Lower
Upper
A5
6.152
2.423
6.447
1
.011
469.450
4.067
5.419E4
C9
-1.963
.810
5.871
1
.015
.140
.029
.687
D13
5.460
2.065
6.990
1
.008
235.065
4.106
1.346E4
susu
-2.296
.825
7.753
1
.005
.101
.020
.507
A5 by D13
-2.874
1.332
4.659
1
.031
.056
.004
.768
Constant
-4.517
3.552
1.617
1
.204
.011
a. Variable(s) entered on step 1: A5 * D13 .