FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN PENOLONG PERSALINAN DI PROVINSI PAPUA (DATA SDKI 2012)
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh: SARYATI 1110101000063
PEMINATAN PROMOSI KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M/1436 H
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persayaratan memperoleh gelar strata satu di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, 26 Juni 2015
Saryati
i
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN PROMOSI KESEHATAN Skripsi, Juni 2015 Saryati, NIM : 1110101000063 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penggunaan Penolong Persalinan Di Provinsi Papua (Data SDKI 2012) xv + 118 halaman, 18 tabel, 3 gambar, 2 lampiran ABSTRAK Penolong persalinan adalah orang yang menolong ibu melahirkan baik merupakan tenaga kesehatan maupun bukan tenaga kesehatan. Penggunaan penolong persalinan bukan tenaga profesional akan menimbulkan resiko komplikasi saat persalinan. Keadaan ini dapat meningkatkan kejadian kematian ibu sehingga dapat mempengaruhi status kesehatan ibu dan juga bayi yang dilahirkan. Provinsi Papua merupakan provinsi dengan persentase penggunaan penolong persalinan tenaga kesehatan paling rendah yaitu sebesar 39,9% dan berada di bawah rata-rata angka nasional (90,88%). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan penolong persalinan oleh ibu melahirkan di Provinsi Papua berdasarkan data SDKI 2012. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi Cross Sectional. Sumber data penelitian adalah data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012. Analisis statistik menggunakan uji Chi Square dilakukan untuk melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu yang menggunakan penolong persalinan tenaga kesehatan sebesar 51,9%, penggunaan bukan tenaga kesehatan 46,3% dan tanpa penolong persalinan 1,8%. Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa faktor yang berhubungan dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua antara lain paritas (pvalue 0,000), status perkawinan (pvalue 0,000) tingkat pendidikan ibu (pvalue 0,000), tingkat pendidikan suami (pvalue 0,000), status pekerjaan ibu (pvalue 0,000), status pekerjaan suami (pvalue 0,014), tingkat kekayaan (pvalue 0,000), wilayah tempat tinggal (pvalue 0,000), kunjungan pelayanan antenatal (pvalue 0,000). Disarankan agar pemerintah daerah meningkatkan sarana prasana yang dapat digunakan masyarakat untuk mengakses pelayanan persalinan dan melakukan pendidikan kesehatan kepada masyarakat guna meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penolong persalinan. Kata Kunci : Penolong Persalinan, pelayanan kesehatan, Provinsi Papua Daftar bacaan : 61 (1968-2014)
ii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SIENCES PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM HEALTH PROMOTION CONCENTRATION Undergraduate Thesis, June 2015 Saryati, NIM : 1110101000063 Determinant of Birth Attendant Utilizations in Papua Province (Data of Indonesian Demographic and Health Survey 2012) xv + 118 pages, 18 tabels, 3 pictures, 2 attachment ABSTRACT Birth attendant is a people who help mother during childbirth even as a skilled birth attendant or unskilled birth attendant. Utilization of birth attendant with unskilled birth attendant would have complication risk during childbirth. This kind of condition would increase mortality of mother that will affect to mother health status and the newborns. In Papua, there is still some mother whose give birth with unskilled birth attendant even more without birth attendant. Papua is a province that the utilization of skilled birth attendant’s percentage was the lower, that is only 39,9% and it was under the national average (90,88%). This study aims to know the factors associated with utilization of birth attendant by mother during childbirth in Papua Province according to IDHS’s data in 2012. This research is a quantitative research with cross sectional study design. The data source of this study is Indonesia Demographic and Health Survey (IDHS) data in 2012. Chi square test is used as statistics analysis to look for factors associated with utilization of birth attendant in Province of Papua. The results showed that mother who used utilization of skilled birth attendant is 51,9%, utilization of unskilled birth attendant is 46,3%, and without birth attendant is 1,8%. Based on the research results, indicate that factors related to utilization of birth attendant in Papua Province were parity (p value 0,000), marital status (p value 0,000), mother education level (p value 0,000), husband education level (p value 0,000), mother occupation (p value 0,000), husband occupation (p value 0,014), family economic level (p value 0,000), place of residence (p value 0,000), antenatal care (p value 0,000). Based on these results, it is suggested to the local government to increase the infrastructure that can use for community to accessed maternal care and to make health education for community to excalation community knowledge about birth attendant. Keyword : Birth attendant, health service, Papua Province Reading list: 61 (1968-2014)
iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN Skripsi dengan Judul FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN PENOLONG PERSALINAN DI PROVINSI PAPUA (DATA SDKI 2012) Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Disusun Oleh: SARYATI 1110101000063
Jakarta, Juli 2015
Pembimbing 1
Pembimbing 2
Dr. M. Farid Hamzens, M.si
Ratri Ciptaningtyas, MHS
NIP: 19630621 199403 1 001
NIP: 19840404 200812 2 007
PEMINATAN PROMOSI KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M / 1436 H iv
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap
: Saryati
Tempat, Tanggal Lahir
: Jakarta, 20 Oktober 1992
Alamat
: Kp. Pematang Tengah RT/RW 003/004 Kelurahan Mekarjaya, Kecamatan Panimbang, Pandeglang, Banten
Jenis Kelamin
: Perempuan
Kewarganegaraan
: Indonesia
Agama
: Islam
Email
:
[email protected]
Telepon
: 085776801450
Riwayat Pendidikan 1998 – 2004
SDN Mekarjaya 2, Panimbang
2004 – 2007
Mts MMA Pusat Caringin, Labuan
2007 – 2010
MAN 2 Model Serang, Banten
2010 – sekarang
Peminatan Promosi Kesehatan Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR Puji syukur peneliti penjatkan kehadirat Allah swt. yang telah memberikan rahmat dan nikmat sehat, umur, serta kelapangan waktu bagi peneliti. Sehingga peneliti dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penggunaan Penolong Persalinan Di Provinsi Papua (DATA SDKI 2012)”. Sholawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad saw. yang telah menuntun umatnya menujukehidupan yang penuh dengan cahaya Islam. Peneliti menyadari bahwa skripsi ini tidak akan tersusun dan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itulah, peneliti ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Mamah dan Ayah tercinta,orang tua penulis yang mendidik dan membesarkan dengan penuh kasih sayang hingga saat ini. Selalu mendoakan, memberikan dukungan, motivasi, perhatian, dan pengorbanan yang tidak pernah putus kepada peneliti. Kakak serta adik penulis, Teh Sumyati, Andi dan Zahra yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas semua limpahan kasih sayang yang kalian berikan kepada penulis. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan limpahan rahmat, hidayah serta nikmat sehat kepada kalian semua keluargaku tercinta. 2. Bapak, Dr. H. Arif Sumantri, SKM, MKes, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Fajar Ariyanti, SKM, MKes, PhD, selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat dan penanggung jawab skripsi. 4. Ibu Raihana Nadra Al-Kaff, SKM, MMA, selaku penanggung jawab Peminatan Promosi Kesehatan dan Penesehat Akademik. 5. Bapak, Dr. M. Farid Hamzens, M. Si dan Ibu Ratri Ciptaningtyas, MHS, selaku Dosen Pembimbing atas arahan, nasehat, waktu serta bimbingannya selama peneliti mengerjakan skripsi ini. 6. Bapak dr. Yuli Pranpanca Satar, MARS., Ibu Hoirun Nisa, M.Kes, Ph.D.,dan Bu Julie Rostina, SKM, MKM selaku penguji sidang skripsi,
terima kasih atas kesediaan bapak dan ibu menjadi penguji dan memberikan saran yang positif untuk perbaikan penulisan skripsi. 7. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat bagi peneliti. 8. Kak Ida Farida yang telah memberikan banyak masukan serta berbagi ilmu dan pengalaman kepada peneliti. 9. Seluruh teman-teman kelas Promkes 2010 (Wahyunita, Furi, Zahrita, Siva, Yuli, Ayu, Ilmi, Supriadi, Fadlur, Prima, Richo, Hervina, Dita, dan Randika) yang selalu siap mendengarkan keluh kesah peneliti selama mengerjakan skripsi. 10. Dan tak lupa kepada rekan-rekan lain yang telah membantu peneliti dalam proses penyetakan skripsi ini. Skripsi yang telah dibuat oleh peneliti ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran demi kemajuan di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin.
Jakarta, Juni 2015
Peneliti
DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... i ABSTRAK .............................................................................................................. ii ABSTRACT........................................................................................................... iii PERNYATAAN PERSETUJUAN ........................................................................ iv PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI ...................Error! Bookmark not defined. DAFTAR RIWAYAT HIDUP.............................................................................. vii KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii DAFTAR ISI.......................................................................................................... ix DAFTAR TABEL................................................................................................ xiii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xv DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xvi BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .............................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................6 1.3 Pertanyaan Penelitian ...................................................................................6 1.4 Tujuan Penelitian..........................................................................................7 1.4.1
Tujuan Umum ................................................................................... 7
1.4.2
Tujuan Khusus .................................................................................. 7
1.5 Manfaat Penelitian........................................................................................8 1.5.1 Bagi Dinas Kesehatan Provinsi Papua ................................................... 8 1.5.3 Bagi Peneliti Lain................................................................................... 8 1.6 Ruang Lingkup Penelitian..............................................................................8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 9 2.1 Penolong Persalinan .......................................................................................9 2.2 Perilaku Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan................................................11 2.3 Model perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan Andersen .....................12 2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Dalam Pemilihan Penolong Persalinan.......................................................................................................... 16 2.3.1 Faktor Predisposisi ............................................................................... 16 2.3.2 Faktor Pemungkin ............................................................................... 24 2.3.3 Faktor Kebutuhan................................................................................ 28 2.5 Kerangka Teori.............................................................................................31
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS ............................................................................................................................... 33 3.1 Kerangka Konsep .........................................................................................33 3.2 Definisi Operasional.....................................................................................35 3.3 Hipotesis.......................................................................................................38 BAB IV METODE PENELITIAN ....................................................................... 40 4.1 Desain Penelitian..........................................................................................40 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................................40 4.3 Populasi dan Sampel ....................................................................................41 4.3.1 Populasi .............................................................................................. 41 4.3.2 Sampel................................................................................................ 41 4.4 Instrumen Penelitian.....................................................................................42 4.5 Pengumpulan Data .......................................................................................48 4.6 Pegolahan Data.............................................................................................49 4.7 Analisis Data ................................................................................................50 BAB V................................................................................................................... 51 5.1 Analisis Univariat.........................................................................................51 5.1.1 Gambaran Penggunaan Penolong Persalinan Di Provinsi Papua......... 51 5.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan Faktor Predisposisi ..................... 52 5.1.3 Gambaran Responden Berdasarkan Faktor Pemungkin...................... 57 5.1.4 Gambaran Responden Berdasarkan Faktor Kebutuhan ....................... 59 5.2 Analisis Bivariat...........................................................................................62 5.2.1 Gambaran Faktor Predisposisi Dengan Penggunaan Penolong Persalinan ...................................................................................................... 62 5.2.2 Gambaran Faktor Pemungkin Dengan Penggunaan Penolong Persalinan ....................................................................................................................... 69 5.2.3 Hubungan Faktor Kebutuhan Dengan Penggunaan Penolong Persalinan ....................................................................................................................... 71 BAB VI ................................................................................................................. 73 6.1 Keterbatasan Penelitian ..............................................................................74 6.2 Gambaran Penggunaan Penolong Persalinan pada Ibu Melahirkan di Provinsi Papua....................................................................................................74 6.3 Hubungan Faktor Predisposisi Dengan Penggunaan Penolong Persalinan..79
6.3.1 Umur Ibu .............................................................................................. 79 6.3.2 Paritas................................................................................................... 83 6.3.3 Status Perkawinan ................................................................................ 87 6.3.4 Tingkat Pendidikan Ibu ........................................................................ 91 6.3.5 Tingkat Pendidikan Suami/Pasangan ................................................... 94 6.3.6 Status Pekerjaan Ibu ............................................................................. 96 6.3.7 Status Pekerjaan Suami ........................................................................ 97 6.4 Hubungan Faktor Pemungkin Dengan Penggunaan Penolong Persalinan.99 6.4.1 Tingkat Kekayaan ................................................................................ 99 6.4.2 Wilayah Tempat Tinggal.................................................................... 101 6.5 Hubungan Faktor Kebutuhan Dengan Penggunaan Penolong Persalinan106 6.5.1 Komplikasi Kehamilan....................................................................... 106 6.5.2 Kunjungan Pelayanan Antenatal ........................................................ 108 6.6 Hubungan Faktor Predisiposisi, Faktor Pemungkin, dan Faktor Kebutuhan Terhadap Penggunaan Penolong Persalinan ....................................................110 BAB VII .............................................................................................................. 113 7.1 Kesimpulan...............................................................................................114 7.2 Saran.........................................................................................................115 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 118 LAMPIRAN
DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Definisi Operasional ........................................................................... 35 Tabel 4.1 Daftar Variabel Dan Kuesioner Dalam SDKI 2012............................ 43 Tabel 4.2 Variabel dan Kode Variabel Penelitian................................................ 49 Tabel 5.1 Distribusi Penggunaan Penolong Persalinan pada Ibu Melahirkan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012......................................................... 49 Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Umur Ibu di Provinsi Papua Data SDKI 2012.........................................................
................. 51
Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Paritas Ibu di Provinsi Papua Data SDKI 2012 .........................................................
................. 53
Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Status Perkawinan Ibu di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ......................................................... 54 Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ibu di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ......................................................... 55 Tabel 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Suami/Pasangan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012......................... 56 Tabel 5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Status Pekerjaan Ibu di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ......................................................... 56 Tabel 5.8 Distribusi Responden Berdasarkan Status Pekerjaan Suami/Pasangan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ..................................................... 57 Tabel 5.9 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kekayaan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ......................................................... 58 Tabel 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Wilayah Tempat Tinggal di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ....................................................... 59
Tabel 5.11 Distribusi Responden Berdasarkan Kunjungan Pelayanan Antenatal di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 .................................................. 60 Tabel 5.12 Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat Komplikasi Kehamilan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 .................................................. 61 Tabel 5.13 Hubungan antara Umur Ibu dengan Penggunaan Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ..................................................... 62 Tabel 5.14 Hubungan antara Paritas Ibu dengan Penggunaan Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ..................................................... 63 Tabel 5.15 Hubungan Status Perkawinan Ibu dengan Penggunaan Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ................................... 64 Tabel 5.16 Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu dengan Penggunaan Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ................................... 65 Tabel 5.17 Hubungan antara Tingkat Pendidikan Suami dengan Penggunaan Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ................... 66 Tabel 5.18 Hubungan antara Status Pekerjaan Ibu dengan Penggunaan Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ................. 67 Tabel 5.19 Hubungan antara Status Pekerjaan Suami dengan Penggunaan Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ................. 68 Tabel 5.20 Hubungan antara Tingkat Kekayaan dengan Penggunaan Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ................. 69 Tabel 5.21 Hubungan antara Wilayah Tempat Tinggal dengan Penggunaan Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ................. 70 Tabel 5.22 Hubungan antara Komplikasi Kehamilan dengan Penggunaan Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ................. 71 Tabel 5.23 Hubungan antara Kunjungan Antenatal dengan Penggunaan Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 ................. 72
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Model Perilaku Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Andersen & Newman (2005) ......................................................... 15 Gambar 2.2 Kerangka Teori ................................................................................. 32 Gambar 3.1 Kerangka Konsep ............................................................................. 36 Gambar 4.1 Penentuan Sampel ............................................................................ 41
DAFTAR SINGKATAN AKI
: Angka Kematian Ibu
AKB
: Angka Kematian Bayi
BAPPENAS : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BKKBN
: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
BPS
: Badan Pusat Statistik
FIGO
: International of Gynecology and Obstetrics
ICM
: International Confideration of Midwives
IMD
: Inisiasi Menyusui Dini
KH
: Kelahiran Hidup
MDGs
: Millennium Development Goals
SDKI
: Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
WHO
: World Health Organization
WUS
: Wanita Usia Subur
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Upaya menurunkan angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu target Millenium Development Goals (MDGs). AKI di Asia Tenggara menunjukkan angka yang masih tinggi yaitu sebesar 200 per 100.000 Kelahiran Hidup (KH). Indonesia merupakan negara dengan AKI tertinggi di Asia Tenggara setelah Timor Leste (WHO, 2013). Berdasarkan laporan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2012 terjadi peningkatan AKI dari tahun sebelumnya, AKI pada tahun 2007 adalah
228 per 100.000 KH,
meningkat menjadi 359 per 100.000 KH pada 2012 (BPS, 2013). Tingginya AKI ini dipengaruhi oleh beberapa faktor langsung dan tidak langsung. Menurut World Health Organization (WHO) faktor langsung yang mempengaruhi kematian ibu antara lain pendarahan (25%), infeksi (15%), Eklampsia (12%), persalinan lama (8%), Aborsi yang tidak aman (13%), penyebab langsung lainnya (8%), dan penyebab tidak langsung (19%) (Leah, 2013). Selain hal tersebut menurut McCarthy and Maine (1992), kematian ibu dapat disebabkan oleh faktor jauh dan faktor perantara. Adapun faktor jauh terdiri dari status perempuan dalam keluarga dan komunitas (pendidikan, pekerjaan, penghasilan, sosial dan kemandirian), status keluarga dalam komunitas (pendapatan keluarga, pendidikan anggota lainnya, pekerjaan anggota lainnya), dan status komunitas (kekayaan, sumber daya komunitas
1
seperti ketersediaan dokter, klinik, dan ambulans). Faktor perantara terdiri dari status kesehatan, status reproduksi, akses terhadap pelayanan kesehatan (lokasi pelayanan kesehatan, jarak pelayanan yang tersedia, kualitas pelayanan dan akses terhadap informasi tentang pelayanan), perilaku wanita dalam menggunakan pelayanan kesehatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kematian ibu tidak hanya di pengaruhi oleh faktor medis saja, melainkan terdapat pula faktor-faktor pendukung lain yang dapat mempengaruhinya, seperti akses ibu terhadap pelayanan kesehatan, ketersediaan tenaga penolong persalinan yang profesional, dan persalinan dengan operasi caesar (Michelle Hynes, 2012) Menurut beberapa penelitian di Indonesia, penolong persalinan merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kematian ibu melahirkan (Sadiq, 2002; Wijayanti, 2005; Wibowo & Darmastuti, 2009; Rani, 2010). Kematian ibu dapat terjadi pada saat kehamilan, persalinan, dan nifas. Kematian ibu erat kaitannya dengan penolong persalinan. Oleh karena itu, salah satu cara yang paling
efektif
untuk
menurunkan angka kematian ibu adalah dengan
meningkatkan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih (BAPPENAS, 2011). Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi dengan angka kematian ibu yang masih tinggi. Berdasarkan laporan SDKI (2007) angka kematian ibu di Provinsi Papua sebesar 362 per 100.000 KH, pada tahun 2011 tercatat angka kematian ibu sebesar 304,6 per 100.000 KH (Dinkes Papua, 2013). Angka tersebut masih jauh dari target MDGs yakni, 102 per 100.000 kelahiran hidup pada 2015.
2
Berdasarkan profil kesehatan Provinsi Papua tahun 2012, diketahui bahwa penyebab langsung yang dapat menyebabkan kematian ibu adalah perdarahan 40,00%, hipertensi dalam kehamilan 3,08%, infeksi 26,42%, Abortus 7,69%, partus lama 3,08%, lain-lain 21,54% (Dinkes Papua, 2012). Tingginya kejadian ini dapat disebabkan oleh rendahnya persalinan ibu yang ditolong oleh tenaga kesehatan yang terampil. Berdasarkan hasil laporan SDKI tahun 2012, Provinsi Papua merupakan daerah dengan angka penolong persalinan bukan oleh tenaga kesehatan paling tinggi, yaitu mencapai 55,5%. Sedangkan angka penolong persalinan oleh tenaga kesehatan hanya mencapai 39,9%, angka ini lebih rendah dari capaian Provinsi Maluku (49,9%) dan Provinsi Sulawesi Barat (43,3%). Capaian persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan di provinsi Papua masih jauh dari target MDGs, yakni 95% persalinan ditolong tenaga kesehatan pada tahun 2015.
Rendahnya
persalinan
ditolong
oleh
tenaga
kesehatan
ini
mengakibatkan tingginya kejadian perdarahan dan infeksi saat persalinan di Provinsi Papua, yang berdampak pada kematian ibu. Berdasarkan Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI (InfoDatin) tahun 2013, diketahui bahwa jumlah penolong persalinan yaitu bidan di Papua pada tahun 2013 hanya mencapai 1.353 orang, jumlah ini masih kurang jika dibandingkan dengan provinsi lain. Adapun rasio ibu hamil dan bidan di Provinsi Papua pada sudah memenuhi syarat yaitu setiap bidan mampu menangani 21-30 ibu hamil dan berada pada zona biru. Akan tetapi, berdasarkan jumlah persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan diketahui Provinsi Papua masih berada di zona merah. Rasio bumil dan bidan tinggi
3
tersebut ternyata tidak mempengaruhi angka persalinan ditolong tenaga kesehatan. Hal ini dapat disebabkan oleh distribusi bidan yang kurang merata serta kemampuan dan kualitas pelayanan yang masih kurang (Kemenkes, 2014) Menurut laporan SDKI 2012, persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan bervariasi sesuai karakteristik latar belakang ibu. Ibu yang berumur lebih tua cenderung menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan dibandingkan dengan ibu yang berumur 20 tahun atau usia yang masih muda. Persalinan ditolong tenaga kesehatan juga menurun pada ibu dengan urutan kelahiran yang tinggi. Tempat tinggal juga berpengaruh dalam penggunaan penolong persalinan, terdapat perbedaan persentase penolong persalinan oleh tenaga kesehatan di pedesaan dan perkotaan. Kehidupan masyarakat masih dipengaruhi oleh budaya patriarki yaitu segala bidang kehidupan berpusat pada kekuasaan lakilaki terutama di pedesaan atau pedalaman, hal ini dapat berpengaruh terhadap kontrol perempuan dalam mengambil keputusan penggunaan penolong persalinan (Goo, 2012). Distribusi tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan yang tidak merata juga dapat berdampak pada rendahnya penggunaan penolong persalinan di daerah pedesaan. Akan tetapi, berdasarkan SDKI tahun 2012 ibu yang bertempat tinggal di pedesaan menggunakan tenaga kesehatan Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan juga meningkat sejalan dengan tingginya tingkat pendidikan dan tingkat kekayaan keluarga ibu (BPS, 2013). Penolong persalinan merupakan salah satu dari bentuk pelayanan kesehatan yang sangat dibutuhkan bagi semua ibu melahirkan. Menurut
4
Andersen dan Newman (2005), terdapat tiga faktor yang mempengaruhi seseorang
dalam
memanfaatkan
pelayanan
kesehatan,
yakni
faktor
predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor kebutuhan. Oleh karena itu, teori yang dapat digunakan untuk membahas pemanfaatan penolong persalinan adalah teori The Behavioral Model Of Health Service Use oleh Andersen dan Newman (2005). Hasil penelitian yang dilakukan Juliwanto (2009) di Aceh Tenggara, diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan penolong persalinan yaitu pengetahuan ibu, Sikap ibu, dan budaya. Jarak ke tempat pelayanan kesehatan dan sosial budaya juga diketahui berhubungan dengan pemilihan penolong persalinan di Gorontalo (Amalia, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Fauziyah, dkk (2013) dan Paladan, dkk (2013) di Toraja Utara diketahui terdapat hubungan antara paritas dengan pemanfaatan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan. Hasil penelitian lain yang dilakukan di Sulawesi Tengah menemukan bahwa kepercayaan terhadap pelayanan antenatal juga berpengaruh dalam mengambil keputusan untuk memilih penolong persalinan (Buyandaya, 2012) Berdasarkan penjelasan diatas, diketahui bahwa provinsi Papua merupakan daerah terendah dalam pencapaian persalinan ditolong tenaga kesehatan. Mengingat masih rendahnya penolong persalinan oleh tenaga kesehatan di provinsi Papua, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian terkait dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan keputusan ibu dalam memilih penolong persalinan di Provinsi Papua dengan menggunakan data SDKI 2012.
5
1.2 Rumusan Masalah Provinsi Papua merupakan salah satu wilayah dengan angka kematian ibu yang masih tinggi. Salah satu pemicu tingginya kematian ibu di Provinsi Papua adalah masih rendahnya penolong persalinan oleh tenaga kesehatan. Berdasarkan laporan SDKI (2012) persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan di papua hanya mencapai 39,9%, sedangkan persalinan ditolong oleh bukan tenaga kesehatan yaitu mencapai 55,5%. Selain itu, masih terdapat ibu yang melakukan persalinan tanpa penolong sebesar 3,2%. Capaian persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan di Provinsi Papua masih jauh dari target MDGs 95%. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan pemilihan penolong persalinan di provinsi Papua dengan menggunakan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012. 1.3 Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana gambaran penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua berdasarkan hasil SDKI tahun 2012? 2. Apakah ada hubungan antara faktor predisposisi (umur, paritas, status perkawinan, pendidikan ibu, pendidikan suami, status pekerjaan ibu, status pekerjaan suami) ibu dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua berdasarkan hasil SDKI tahun 2012? 3. Apakah ada hubungan antara faktor pemungkin (tingkat kekayaan dan wilayah tempat tinggal) ibu dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua berdasarkan hasil SDKI tahun 2012?
6
4. Apakah ada hubungan antara faktor kebutuhan (kunjungan pelayanan antenatal) ibu dengan penggunaan penolong persalinan di provinsi Papua berdasarkan hasil SDKI tahun 2012? 1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua berdasarkan hasil SDKI tahun 2012 1.4.2 Tujuan Khusus 1. Diketahuinya gambaran penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua berdasarkan hasil SDKI tahun 2012? 2. Diketahuinya hubungan antara faktor predisposisi (umur, paritas, status perkawinan, pendidikan ibu, pendidikan suami, status pekerjaan ibu, status pekerjaan suami) ibu dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua berdasarkan hasil SDKI tahun 2012? 3. Diketahuinya hubungan antara faktor pemungkin (tingkat kekayaan dan wilayah tempat tinggal) ibu dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua berdasarkan hasil SDKI tahun 2012 4. Diketahuinya hubungan antara faktor kebutuhan (kunjungan pelayanan antenatal) ibu dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua berdasarkan hasil SDKI tahun 2012
7
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Bagi Dinas Kesehatan Provinsi Papua Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan data dan informasi terkait faktor yang mempengaruhi pemilihan penolong persalinan di Papua pada tahun 2012, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan untuk peningkatan cakupan persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan. 1.5.3 Bagi Peneliti Lain Diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan bacaan dan rujukan peneliti selanjutnya dalam melakukan penelitian terkait kesehatan ibu, khususnya dalam pemilihan penolong persalinan. 1.6 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan ibu dalam penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua berdasarkan SDKI 2012. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan menggunakan data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012. Populasi dalam penelitian ini mengacu pada populasi dalam SDKI 2012. Sampel penelitian adalah wanita usia subur 15-49 tahun yang pernah melahirkan lima tahun terakhir di Provinsi Papua sesuai dengan SDKI 2012. Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2014 oleh mahasiswa peminatan Promosi Kesehatan program studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penolong Persalinan Persalinan dan kelahiran merupakan suatu kejadian fisiologi yang normal. Persalinan adalah proses membuka dan menipisnya serviks, dan janin turun ke dalam jalan lahir. Kelahiran adalah proses saat janin dan ketuban didorong keluar melalui jalan lahir. Persalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37- 42 minggu), berlangsung tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin (Prawirohadrjo, 2009). Penolong persalinan terlatih menurut WHO, ICM (International Confideration of Midwives), dan FIGO (International of gynecology and obstetrics) adalah profesional kesehatan terakreditasi seperti bidan, dokter atau perawat yang telah diberi pendidikan dan dilatih dalam keterampilan yang diperlukan untuk menangani persalinan normal (tanpa komplikasi), kelahiran bayi, dan periode pasca salin dini, juga mampu mengidentifikasi, mengelola, serta merujuk komplikasi pada ibu dan bayi baru lahir (Sastrawinata, 2009). Menurut Departemen Kesehatan (2008) Penolong persalinan yang aman adalah dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten dan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Pada prinsipnya penolong persalinan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Pencegahan infeksi;
9
b. Metode pertolongan persalinan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan; c. Segera merujuk kasus yang tidak dapat ditangani ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi; d. Dapat melaksanakan inisiasi menyusui dini (IMD); e. Dapat memberikan Injeksi Vit K 1 dan salep mata pada bayi baru lahir. Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan ini merupakan salah satu tujuan pemerintah untuk mengurangi angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB). Hal ini dikarenakan penolong persalinan profesional dapat melakukan pencegahan akan terjadinya infeksi dalam persalinan. Infeksi dalam persalinan atau infeksi intrauretin merupakan salah satu infeksi yang dapat menyebabkan kematian ibu. Infeksi intrauterine (korioamnionitis, infeksi intraannion,amnionitis) merupakan infeksi akut pada cairan ketuban, janin dan selaput korioamnion yang disebabkan oleh bakteri. Sekitar 25% infeksi intrauterine disebabkan oleh ketuban pecah dini. Makin lama jarak antara ketuban pecah dengan persalinan, makin tinggi pula resiko morbiditas dan mortalitas ibu dan janin
(Prawirohadrjo, 2009). Oleh karena itu, penggunaan tenaga
kesehatan sebagai penolong persalinan sangatlah diperlukan. Tenaga penolong persalinan dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu pertama penolong persalinan dengan tenaga kesehatan yang termasuk didalamnya adalah dokter umum, dokter kandungan, bidan dan bidan desa, dan tenaga profesional lainnya (Farrer, 2001). Kedua adalah penolong
10
persalinan bukan tenaga kesehatan yaitu dukun, keluarga/teman/lainnya selain tenaga profesional yang terlatih.
2.2 Perilaku Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Skinner (1938) merumuskan bahwa perilaku merupakan respons seseorang terhadap rangsangan dari luar. Perilaku terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme dan kemudian adanya respons dari organisme tersebut atau disebut dengan “S-O-R”. Berdasarkan batasan tersebut, maka perilaku kesehatan merupakan suatu respons seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta lingkungan (Notoatmodjo, 2007). Perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan sangat erat kaitannya dengan persepsi masyarakat terhadap sehat-sakit. Perilaku ini menyakut pada upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita sakit atau kecelakaan. Pada prinsipnya kategori pelayanan kesehatan dibagi menjadi dua yaitu pelayanan yang beroriantasi publik (masyarakat) dan pelayanan yang beroriantasi perorangan (individu) (Notoatmodjo, 2007).
11
2.3 Model perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan Andersen Andersen mengembangkan model perilaku penggunaan pelayanan kesehatan pada akhir 1960an, dengan menggunakan keluarga sebagai unit analisisnya. Kemudian Andersen bersama Anderson, Smedby dan Newman menggunakan model ini untuk penelitian dengan unit analisisnya individu. Model ini dikenal dengan nama “A behavioral model of health services use”. Model ini dapat menggunakan keluarga atau individu sebagai unit analisisnya. Model ini bertujuan untuk mengetahui alasan penggunaan pelayanan kesehatan, mendefinisikan dan mengukur kesetaraan dalam akses pelayanan kesehatan, membantu pemangku kebijakan dalam membaut kebijakan tentang pelayanan kesehatan yang merata. Dalam model ini disebutkan bahwa untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan, keluarga dan individu di pengaruhi oleh faktor predisposisi seseorang untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan, kemampuan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan, dan kebutuhan mereka untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan. Berdasarkan hal tersebut, pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tiga komponen, yaitu predisposisi (predisposing), pemungkin (enabling), dan kebutuhan (need). Setiap komponen tersebut terdiri dari beberapa subkomponen, yang dijelaskan sebagai berikut: 1) Predisposisi (predisposing) Faktor predisposisi merupakan kecenderungan seseorang dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. Faktor ini berada dalam setiap individu dan berbeda-beda setiap individu, sehingga faktor ini termasuk dalam faktor yang sulit atau tidak dapat diubah. Dalam
12
model
ini
kecenderungan
pemanfaatan
pelayanan
kesehatan
dikelompokkan dalam tiga variabel yang terdiri dari variabel demografi; struktur sosial yaitu menggambarkan pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh status individu dalam komunitas, karakteristik ini dapat menunjukkan gaya hidup sekaligus perilaku individu dalam lingkungan sosialnya dan dapat berhubungan dengan pola pemanfaatan pelayanan kesehatan (Andersen, 1968; Andersen & Newman, 2005). Dalam veriabel tersebut terdiri dari setiap karakteristik, sebagai berikut: a.
Variabel demografi: umur, jenis kelamin dan status perkawinan
b.
Variabel struktur sosial: pendidikan, pekerjaan, kesukuan, ras, dan lainnya.
c.
Variabel keyakinan terhadap pelayanan kesehatan: sikap, pengetahuan, dan keyakinan individu dalam manfaatmanfaat pelayanan kesehatan dalam pemenuhan kesehatan mereka.
2) Pemungkin (enabling) Faktor pemungkin merupakan faktor yang memungkinkan/ memfasilitasi seseorang dalam menggunakan pelayanan kesehatan. faktor ini sangat erat kaitannya dengan kemampuan sumber daya untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan, karena meskipun telah mempunyai faktor predisposisi seseorang tidak akan bertindak tanpa adanya faktor ini. Dalam faktor pemungkin ini terdapat dua
13
subkomponen
yaitu
sumberdaya
keluarga
dan
sumberdaya
komunitas. Sumberdaya keluarga merupakan kemampuan keluarga untuk mengakses pelayanan kesehatan, seperti pendapatan kelurga, asuransi kesehatan, dan lainnya. Sedangkan, sumberdaya komunitas merupakan ketersediaan sumberdaya disekitar individu tinggal yang dapat digunakan untuk memgakses pelayanan kesehatan, seperti wilayah tempat tinggal individu dan ketersediaan pelayanan kesehatan. 3) Kebutuhan (need) Faktor
kebutuhan
merupakan
faktor
yang
langsung
mempengaruhi individu untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan. Faktor ini berhubungan langsung dengan kondisi atau kesakitan individu. Faktor ini digambarkan oleh dua kategori yaitu pertama penilaian individu (perceived need), yaitu penilaian individu terhadap keadaan kesehatan yang dirasakan. Pada penilaian individu ini, melihat pandangan seseorang terhadap kesehatan dan keadaan fungsional mereka sendiri, serta bagaimana mereka mengalami gejala sakit, nyeri, dan kekhawatiran tentang kesehatan mereka dan penilaian mereka terhadap masalah kesehatan yang mereka rasakan cukup untuk mencari bantuan profesional. Dan kedua adalah penilaian klinik (evaluated clinic) yaitu penilaian kesehatan oleh tenaga profesional atau tenaga kesehatan. Dua keadaan ini mempengaruhi seseorang dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan.
14
Berdasarkan penjelasan diatas, model pemanfaaytan pelayanan kesehatan Andersen diilustrasikan sebagai berikut: Gambar 1. Model Perilaku Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Predisposisi
Pemungkin
Demografi
Sumber daya kelurga
Struktur Sosial
Kebutuhan
Persepsi
Penggunaan pelayanan kesehatan
Evaluasi
Sumber daya Komunitas
Kepercayaan Kesehatan
→ = hubungan antar komponen ----= subkomponen dari masing-masing komponen
Sumber: Andersen & Newman, 2005 (Societal and Individual Determinants of Medical Care Utilization in The United States)
15
2.4 Faktor-Faktor
Yang
Mempengaruhi
Dalam
Pemilihan
Penolong
Persalinan Pemilihan penolong persalinan oleh tenaga kesehatan merupakan salah satu bentuk pemanfaatan pelayanan kesehatan. Berdasarkan Andersen pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor predisposisi (predisposing), faktor pemungkin (enabling), dan faktor kebutuhan (need). Adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: 2.3.1 Faktor Predisposisi A. Karakteristik Demografi Berdasarkan
beberapa
karakteristik
demografi
penelitian yang
yang
mempunyai
telah
dilakukan
peran
dalam
mempengaruhi ibu untuk memilih penolong persalinan adalah umur, tempat tinggal, dan paritas (Salam & Siddiqui, 2006; Simanjuntak,dkk., 2012; Fauziyah,dkk., 2013). Karakteristik demografi ibu yang mempengaruhi terhadap pemilihan penolong persalinan sebagai berikut: 1. Umur Ibu Umur merupakan lama hidup seseorang yang dihitung sejak dilahirkan. Umur adalah tingkat yang menempatkan individu-individu dalam urutan perkembangan. Umur yang baik untuk kehamilan dan persalinan adalah antara umur 20-35 tahun, ini disebut juga dengan usia reproduksi sehat. Wanita yang melahirkan di bawah usia 20 tahun atau lebih dari 35 16
tahun akan mempunyai resiko yang tinggi baik pada ibu maupun bayi (Kemenkes, 2011). Umur ibu merupakan faktor yang dapat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan untuk memilih tenaga penolong persalinan. Ibu yang lebih muda cenderung lebih memilih menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan daripada ibu yang lebih tua, beberapa penelitian menunjukkan bahwa ibu yang berumur lebih tua lebih sedikit menggunakan
tenaga
kesehatan
sebagai
penolong
persalinannya. Sedangkan, berdasarkan hasil SDKI 2012 diketahui
bahwa
Presentase
kelahiran
ditolong
tenaga
kesehatan lebih rendah diantara ibu yang berumur 20 tahun daripada ibu yang lebih tua (BPS, 2013). 2. Paritas Paritas merupakan frekuensi ibu pernah melahirkan anak baik hidup atau mati, tetapi bukan aborsi. Pengalaman melahirkan merupakan bagian penting untuk menentukan hasil kehamilan saat ini. Paritas dapat dibedakan menjadi primipara, multipara dan grande multipara. Primipara yang
telah
melahirkan
bayi
adalah
wanita
aterm sebanyak satu kali.
Multipara adalah wanita yang pernah melahirkan anak hidup beberapa kali, dimana persalinan tersebut tidak lebih dari lima kali. Sedangkan Grande multipara adalah ibu yang pernah melahirkan lima kali atau lebih (Salmah,dkk., 2006).
17
Menurut Wikjhosastro (2007), paritas adalah jumlah anak yang dilahirkan, termasuk yang meninggal dengan usia kehamilan >36 minggu. Paritas 1-3 merupakan paritas yang paling aman bagi kesehatan ibu maupun janin dalam kandungan. Paritas 2-3 merupakan paritas yang paling aman di tinjau dari sudut kematian maternal, paritas 1 dan paritas tinggi (lebih dari 3) mempunyai resiko angka kematian maternal lebih tinggi (Yenita, 2011). Menurut Kementerian kesehatan (2011), paritas dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu paritas dikategorikan rendah apabila ibu melahirkan kurang atau sama dengan 3 kali kelahiran, sedangkan
paritas tinggi
yaitu
apabila ibu
melahirkan lebih dari 3 kali kelahiran. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Assfaw (2010) di Ethiopia,
ibu
dengan
paritas
rendah
lebih
memilih
menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan dibandingkan dengan ibu dengan paritas tinggi. Hal ini dikarenakan pengalaman ibu dengan paritas rendah yang masih kurang dalam persalinan, sehingga mereka cenderung memiliki ketakutan lebih tinggi dibanding ibu yang telah sering melahirkan. Penelitian yang dilakukan Fauziyah, dkk (2013), juga mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara paritas dengan pemilihan penolong persalinan. Penelitian lain yang dilakukan Tarekegn, dkk (2014) di Ethiopia, diketahui
18
bahwa ibu dengan paritas rendah mempunyai peluang 2,4 kali untuk menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan. 3. Status Perkawinan Berdasarkan UU No.1 tahun 1974, perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga)
yang bahagia
dan kekal
berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Status perkawinan merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi
seseorang
untuk
memanfaatkan
pelayanan kesehatan, termasuk penolong persalinan. B. Karakteristik Struktur Sosial 1. Pendidikan Berdasarkan UU RI Nomor 20 Tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan,
kecerdasan,
akhlak
pengendalian mulia,
serta
diri,
kepribadian,
keterampilan
yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Republik Indonesia, 2003).
19
Pendidikan
merupakan
faktor
utama
yang
memepengaruhi individu dalam hal pengetahuan, sikap dan perilaku. Pendidikan merupakan indikator penting yang dapat menggambarkan modal sosial dari sumber daya manusia dan hasil pembangunan sosial ekonomi (BPS, 2013). Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan kepada seseorang pada orang lain agar mereka dapat memahami. Semakin tingginya pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pengetahuan yang mereka miliki (Mubarak,dkk, 2007). Wanita yang mempunyai pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan dan kesadaran tentang manfaat dari pelayanan kehamilan dan komplikasi kehamilan. Wanita yang memiliki pendidikan tinggi lebih memilih menggunakan pelayanan modern daripada wanita dengan pendidikan rendah. Pendidikan
juga
dapat
membantu
mereka
mengambil
keputusan untuk menangani kesehatan mereka, termasuk dalam pengambilan keputusan memilih penolong persalinan (Assfaw, 2010). Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 2008 tentang wajib belajar, pendidikan seseorang rendah apabila hanya tamat sampai Sekolah Menengah Pertama atau pendidikan setingkat lainnya ke bawah. Sedangkan pendidikan
20
tinggi adalah seseorang dengan pendidikan sampai Sekolah Menegah Atas atau setingkat lainnya keatas. Berdasarkan hasil penelitian Simanjuntak (2012) dan Amalia (2011), terdapat hubungan antara pendidikan ibu dengan pemilihan penolong persalinan. Ibu yang memiliki pendidikan
tinggi
lebih
memilih
menggunakan
tenaga
kesehatannya daripada ibu yang berpendidikan rendah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Jat dkk (2011) yang dilakukan di India, didapatkan bahwa ibu dengan pendidikan lebih tinggi memiliki 2,35 kali kesempatan untuk memilih tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya, dibandingkan dengan ibu yang memiliki pendidikan rendah. Selain pendidikan ibu, pendidikan suami atau pasangan juga mempunyai pengaruh terhadap pemilihan penolong persalinan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Dagne (2010) di Ethiopia, menyebutkan bahwa wanita dengan suami atau pasangan yang mempunyai pendidikan tinggi mempunyai peluang 2,2 kali untuk menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya. 2. Status Pekerjaan Pekerjaan merupakan
aktivitas atau kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang untuk Sesorang
yang
bekerja
memperoleh penghasilan.
(mempunyai
penghasilan)
memberikan kontribusi besar pada kesejahteraan keluarga
21
karena semakin baik pekerjaan seseorang maka semakin besar
pula
penghasilan
dan
semakin
baik
juga
kesejahteraan keluarga (Arung, dkk., 2013). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Arung, dkk (2013) di Toraja Utara, diketahui bahwa terdapat hubungan antara status pekerjaan ibu dengan pemilihan pelayanan persalinan oleh tenaga kesehatan. Selain status pekerjaan ibu, status pekerjaan suami atau pasangan juga mempunyai pengaruh dalam keputusan ibu untuk memanfaatkan penolong persalinan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Kanini di Kenya pada tahun 2012, di ketahui terdapat hubungan antara status pekerjaan suami/pasangan dengan penggunaan penolong persalinan. 3. Budaya Kebudayaan
mempunyai
pengaruh
besar
terhadap
pembentukkan sikap seseorang. Menurut Kontjaraningrat (2004)
kebudayaan
adalah
kompleks
yang
mencakup
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat
dan
perbedaan
kemampuan-kemampuan
dan
kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan seseorang sebagai anggota masyarakat (Juliwanto, 2008). Berdasarkan hasil penelitian Juliwanto (2008) terdapat hubungan antara budaya dengan pemilihan tenaga penolong persalinan. Ibu dengan budaya yang tidak mendukung 48%
22
cenderung lebih memilih bukan tenaga kesehatan untuk penolong persalinan dibandingkan dengan budaya yang mendukung 15,2%. Budaya dalam penelitian ini merupakan budaya yang mendukung penolong persalinan oleh tenaga kesehatan. C. Kepercayaan Pada Kesehatan Kepercayaan pada kesehatan berkaitan dengan sikap, pengetahuan
dan
kepercayaan
terhadap
manfaat-manfaat
pelayanan kesehatan. Adapun variabel yang termasuk dalam kepercayaan pada kesehatan yang mempengaruhi pemilihan penolong persalinan sebagai berikut: 1. Pengetahuan Ibu Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, hal ini terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan (yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba) terhadap suatu objek (Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Perilaku seseorang akan lebih langgeng apabila didasari dengan pengetahuan (Fitriani, 2011). Berdasarkan
hasil
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Buyandaya (2012) dan Amalia (2011) diketahui terdapat hubungan antara pengetahuan ibu dengan pemilihan penolong persalinan. Hal ini sejalan pula dengan hasil penelitian yang dilakukan Juliwanto (2008), diketahui bahwa ibu dengan 23
pengetahuan baik lebih memilih tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya dibandingkan dengan ibu yang pengetahuannya kurang. 2. Sikap Ibu Sikap adalah merupakan reaksi atau respons seseorang terhadap stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku. Menurut
Alport (1994), sikap
mempunyai 3 komponen utama yaitu (1) kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep terhadap suatu objek; (2) kehidupan emosional atau evaluasi emasional terhadap suatu objek; (3) kecenderungan untuk bertindak (trend to behave). Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (Mubarak,dkk, 2007). Sikap yang dimaksud disini adalah pandangan atau pendapat ibu terhadap penolong persalinan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Juliwanto (2008) terdapat hubungan antara sikap ibu dengan pemilihan penolong persalinan. Ibu yang mempunyai sikap kurang setuju mempunyai peluang 5 kali untuk memilih penolong persalinan bukan oleh tenaga kesehatan. 2.3.2 Faktor Pemungkin Faktor
pemungkin
(enabling)
merupakan
memungkinkan
seseorang untuk mengakses atau menggunakan pelayanan kesehatan 24
yang terdiri dari sumber daya keluarga dan sumber daya yang terdapat di lingkungan. Adapun faktor pemungkin ibu dalam pemilihan penolong persalinan sebagai berikut: 1. Jarak kepelayanan kesehatan Keterjangkauan
pelayanan
kesehatan
mempengaruhi
seseorang dalam pemilihan pelayanan kesehatan. Jarak juga merupakan komponen kedua yang memungkinkan seseorang untuk
memanfaatkan
pelayanan
kesehatan
(Sari,
2010).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Amalia (2011) yang dilakukan di Gorontalo, terdapat hubungan antara jarak ke tempat pelayanan kesehatan terhadap pemilihan penolong persalinan. Jarak rumah ibu dari fasilitas kesehatan berkontribusi terhadap penggunaan pelayanan persalinan, ibu yang tinggal dengan jarak 30 min atau kurang cenderung 1,25 kali untuk menggunakan penolong persalinan oleh tenaga kesehatan, dibandingkan ibu yang bertempat tinggal dengan jarak lebih dari 30 menit (Choulagai, dkk., 2013). 2. Wilayah Tempat Tinggal Ibu Wilayah tempat tinggal merupakan unit administratif terkecil yaitu Desa/Kelurahan
ditempati oleh sejumlah orang
yang terbagi dalam dua unit perkotaan dan perdesaan. Perkotaan adalah suatu wilayah administratif setingkat desa/kelurahan yang memenuhi persyaratan tertentu dalam hal kepadatan penduduk, persentase rumah tangga 25
pertanian, dan sejumlah
fasilitas perkotaan, sarana pendidikan formal, sarana kesehatan umum, dan sebagainya. Sedangkan Perdesaan adalah suatu wilayah administratif setingkat desa/kelurahan yang belum memenuhi persyaratan tertentu dalam hal kepadatan penduduk, persentase rumah tangga
pertanian,
dan
sejumlah
fasilitas
perkotaan, sarana pendidikan formal, sarana kesehatan umum, dan sebagainya (BPS, 2010). Hasil penelitian yang dilakukan Salam & Siddiqui (2006) di India, diketahui bahwa ibu yang tinggal di perkotaan lebih memilih menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan dibandingkan dengan ibu yang tinggal di perdesaan. 3. Tingkat kekayaan Pengukuran kekayaan rumah tangga, didapatkan dengan melalui pengukuran karakteristik latar belakang rumah tangga (mengukur standar hidup rumah tangga dalam jangka panjang). Pengukuran ini didasarkan pada data karakteristik perumahan dan kepemilikan barang, jenis sumber air minum, fasilitas toilet dan kakakteristik lain terkait dengan status sosial ekonomi rumah tangga (BPS, 2013). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Salam & Siddiqui (2006) terdapat hubungan antara tingkat kekayaan dengan pemilihan penolong persalinan. Hal ini disebutkan bahwa ibu dengan ekonomi tinggi lebih memilih tenaga kesehatan untuk penolong persalinan dibandingkan dengan ibu yang ekonomi rendah.
26
4. Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang untuk dapat menggunakan pelayanan kesehatan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Amalia di Gorontalo pada tahun 2011, diketahui bahwa pendapatan keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi seorang ibu untuk memanfaatkan pelayanan penolong persalinan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Tapanuli Utara oleh Siamanjuntak, dkk pada 2012, diketahui bahwa keluraga dengan pendapatan diatas UMR lebih memilih bidan sebagai penolong persalinannya. 5. Biaya Persalinan Biaya kesehatan adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan atau memanfaatkan berbagai upaya
kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga,
kelompok dan masyarakat. Biaya kesehatan ditinjau melalui dua sudut, yaitu melalui penyedia pelayanan kesehatan dan melalui pemakai jasa pelayanan (Azwar, 2010). Biaya persalinan merupakan salah satu biaya kesehatan yang dilihat melalui sudut pemakai jasa pelayanan, yaitu besarnya dana yang harus dikeluarkan oleh ibu hamil atau kelaurga untuk mendapatkan pelayanan penolong persalinan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Simanjuntak, dkk pada tahun 2012 di Tapanuli Utara,
27
diketahui bahwa terdapat hubungan antara biaya persalinan dengan pemanfaatan penolong persalinan. 6. Dukungan Keluarga Dukungan keluarga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi ibu dalam mengambil keputusan dalam memilih penolong persalinan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Simanjuntak, dkk pada tahun 2012 di Tapanuli Utara, diketahui bahwa terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan pemanfaatan penolong persalinan. 2.3.3 Faktor Kebutuhan Faktor kebutuhan (need) merupakan faktor langsung yang mempengaruhi individu untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan. Menurut Fosu (1994) Faktor kebutuhan menggambarkan status kesehatan yang dirasakan seseorang (Chakraborty, dkk., 2003). Faktor kebutuhan terdiri dari dua komponen yaitu perceive dan evaluated. Perceive need merupakan suatu keadaan yang dirasakan oleh seseorang yang dapat mempengaruhi dalam pencarian pelayanan kesehatan. Menurut Andersen (2008) yang termasuk dalam perceive need adalah kematian, kesakitan dan tingkat kecacatan. Menurut Phillip (1990) dalam bukunya yang berjudul Health and Healthcare in Third World menyatakan bahwa faktor need bagi wanita hamil berbeda dengan orang sakit, tanggapan terhadap kesehatan kehamilan, kesakitan dan komplikasi kehamilan termasuk dalam kelompok ini (Holst, 2014). Komplikasi kehamilan merupakan salah satu faktor 28
yang berhubungan langsung terhadap kematian ibu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Auliasih, dkk (2013) yang dilakukan di Sulawesi Selatan, diketahui bahwa ibu yang pernah mengalami komplikasi kehamilan lebih memilih tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya. Evaluated need menggambarkan pendapat tenaga kesehatan terkait status kesehatan dan kebutuhan mereka terhadap pelayanan kesehatan (Andersen, 1995). Keterlibatan tenaga kesehatan dalam keputusan ibu hamil untuk menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan dapat terjadi saat ibu melakukan kunjungan pelayanan antenatal untuk pemeriksaan kehamilannya. Menurut WHO (2010), pelayanan antenatal adalah pengawasan sebelum persalinan terutama ditujukan pada pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim (Ritonga, 2013). Tujuan dari usaha pelayanan antenatal adalah untuk memantau kemajuan kehamilan dan memastikan kesehatan ibu serta tumbuh kembang bayi, juga untuk meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik, mental dan sosial ibu (Jekti & Mutiatikum, 2011). Pelayanan antenatal dapat memberikan kesempatan bagi petugas kesehatan untuk memberikan informasi secara spesifik tentang masalah kehamilannya, yang dapat juga mempengaruhi ibu membuat keputusan untuk persalinannya
(Lelei, dkk.,2013). Ibu
yang
melakukan kunjungan antenatal memiliki kesempatan untuk menerima pendidikan kesehatan tentang kehamilan dan komplikasi kehamilan.
29
Selain itu, mereka juga dapat menerima informasi tentang manfaat melakukan
persalinan
oleh
tenaga
kesehatan
dan
mampu
merencanakan persalinan yang aman, sehingga ibu yang melakukan kunjungan antenatal lebih cenderung memilih tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan. Pelayanan antenatal terdiri dari kunjungan pertama (K1), yaitu kontak pertama ibu hamil dengan tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi. Kunjungan ke-4 (K4) yaitu kunjungan ibu hamil dengan kontak 4 kali atau lebih dengan tenaga kesehatan. Kontak 4 kali dilakukan sebagai berikut: minimal satu kali pada trismester I (0-12 minggu), minimal satu kali pada trismester ke-2 (≥ 12 -24 minggu), dan minimal 2 kali pada trismester ke-3 (≥ 24 minggu sampai dengan kelahiran) (Direktorat Bina Kesehatan Ibu, 2012). Berdasarkan uraian tersebut, maka kunjungan ke pelayanan antenatal paling sedikit dilakukan sebanyak 4 kali. Kunjungan pelayanan antenatal memberikan pengaruh kepada ibu hamil untuk memilih tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya, baik di fasilitas kesehatan maupun dirumah (USAID, 2007). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Jekti & Mutiatikum (2011), ibu yang sering melakukan kunjungan terhadap pelayanan antenatal, lebih cenderung memilih tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan di bandingkan dengan ibu yang tidak patuh mengunjungi pelayanan antenatal. Penelitian lain yang dilakukan oleh Choulagai, dkk (2013) yang dilakukan di Nepal, diketahui bahwa ibu
30
yang setidaknya menyelesaikan kunjungan antenatal sebanyak 4 kali atau lebih, memiliki peluang sebesar 2,4 kali untuk menggunakan penolong persalinan oleh tenaga kesehatan.
2.5 Kerangka Teori Kerangka teori ini disusun berdasarkan The Behavioral Model Of Health Service Use Andersen tentang pemanfaatan pelayanan kesehatan dan dari berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan dan diketahui berpengaruh dalam pemilihan penolong persalinan. Faktor-faktor yang mempenaruhi pemilihan penolong persalinan ini dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor kebutuhan. Kerangka teori dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut:
31
Gambar 2. Kerangka Teori Faktor-Faktor Pemilihan Penolong Persalinan Adaptasi Model Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Andersen Predisposisi
- Umur - Paritas - Status
perkawinan
- Pendidikan ibu - Pendidikan suami - Status pekerjaan ibu - Status pekerjaan suami - Budaya
Pemungkin
-
Kebutuhan
Tingkat kekayaan Dukugan keluarga Biaya persalinan Pendapatan kelurga
Penggunaan pelayanan kesehatan
- Komplikasi kehamilan - Kunjungan pelayanan antenatal
- Jarak kepelayanan kesehatan - Wilayah Tempat Tinggal
- Pengetahuan - Sikap
→ = hubungan antar komponen ----= subkomponen dari masing-masing komponen
Sumber: Ronald Andersen and John F. Newman (2005), diadaptasi oleh Salam & Siddiqui (2006); Assfaw (2010); Kanini (2012); Simanjuntak,dkk (2012); Arung, dkk (2013); Choulagai, dkk (2013).
32
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep Kerangka konsep penelitian merupakan kerangka hubungan antara konsepkonsep yang akan diukur atau diamati dalam penelitian, terdiri dari variabelvariabel serta hubungan antar variabel. Kerangka konsep mengacu pada kerangka teori dan dikembangkan dari tujuan penelitian yang telah dirumuskan (Notoatmodjo, 2010). Berdasarkan kerangka teori yang telah dijelaskan sebelumnya terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi ibu dalam melakukan pemilihan penolong persalinan diantaranya yaitu faktor predisposisi (umur, paritas, status perkawinan, pendidikan ibu, pendidikan suami, status pekerjaan ibu, status pekerjaan suami, budaya, pengetahuan, sikap), faktor pemungkin (jarak kepelayanan kesehatan, wilayah tempat tinggal, tingkat kekayaan, pendapatan keluarga, biaya persalinan, dukungan keluarga) dan faktor kebutuhan (komplikasi kehamilan dan kunjungan pelayanan antenatal). Adapun variabel yang digunakan sebagai berikut:
33
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
Faktor Predisposisi
Faktor Pemungkin
Faktor Kebutuhan
- Umur - Paritas - Status
- Tingkat
- Komplikasi kehamilan - Kunjungan pelayanan antenatal
perkawinan - Pendidikan ibu - Pendidikan suami - Status pekerjaan ibu - Status pekerjaan suami
kekayaan - Wilayah Tempat Tinggal
Penggunaan penolong persalinan
Dalam penelitian tidak semua variabel digunakan, terdapat beberapa variabel yang tidak diamati dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan keterbatasan penelitian yang menggunakan data sekunder dari SDKI 2012, sehingga variabel-variabel yang digunakan mengacu pada data yang tersedia dalam SDKI 2012. Variabel-variabel yang tidak diamati antara lain yaitu pengetahuan, sikap, budaya, jarak kepelayanan kesehatan, pendapatan keluarga, biaya persalinan dan dukungan keluraga. Variabelvariabel tersebut tidak ada dalam data SDKI 2012.
34
3.2 Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi Operasional
No
Variabel
Definisi
Alat
Cara
Ukur
ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
Variabel Dependen
1.
0. Tanpa
Penggunaan
Jenis penolong
Kuesioner
Observasi
Penolong
persalinan yang
SDK12-
data
penolong
persalinan
digunakan ibu untuk
WUS
SDKI
persalinan
menolong
bagian 4
1. Bukan
persalinannya pada
No. 433
tenaga
saat melahirkan
Ordinal
kesehatan
dalam lima tahun
2. Tenaga
terakhir
kesehatan (BPS, 2013)
Variabel Independen
1.
Umur Ibu
Tingkat umur ibu
Kuesioner
Observasi
0 = < 20
pada ulang tahun
SDK12-
data
1 = 20 – 34 tahun
terakhir dikurangi
WUS
SDKI
2 = 35 – 49 tahun
umur anak terakhir
bagian 1
yang lahir dalam 5
No. 103,
tahun sebelum
Ordinal
(BPS, 2013)
215
survey 2.
Status
Ikatan perkawinan
Kuesioner
Observasi
0. Pisah
Perkawinan
yang dimiliki oleh
SDK12-
data
1. Cerai Hidup
ibu pada kelahiran
WUS
SDKI
2. Cerai Mati
anak terakhir
bagian 6 No. 601-
35
3. Hidup bersama
Ordinal
No
Variabel
Definisi
Alat
Cara
Ukur
ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
4. Menikah
603
(BPS, 2013)
3.
Paritas
Jumlah kelahiran,
Kuesioner
Observasi
0. 6+
baik hidup maupun
SDK12-
data
1. 4-5
mati yang pernah
WUS
SDKI
2. 2-3
dialami ibu
bagian 2
3. 1
No. 202-
(BPS, 2013)
Ordinal
208
4.
5.
Wilayah
Lokasi tempat
Kuesioner
Observasi
0. Pedesaan
Tempat
tinggal ibu yang
SDK12-
data
1. Perkotaan
tinggal
dikategorikan
WUS
SDKI
(BPS, 2013)
berdasarkan
pengenala
perkotaan dan
n tempat
pedesaan
No. 5 pendidikan Kuesioner
Observasi 0. Tanpa
Pendidikan
Tingkat
Ibu
formal tertinggi yang SDK12-
data
pernah dicapai ibu
SDKI
WUS
Ordinal
Pendidikan
1. Pendidikan
bagian 1
Dasar
No. 105-
2. Pendidikan
106
Ordinal
Menengah
3. Pendidikan tinggi (BPS, 2013)
6.
Pendidikan
Tingkat
pendidikan Kuesioner Observasi SDK12suami/pasang formal tertinggi yang data WUS an pernah dicapai bagian 8 SDKI No. 804suami/pasangan 805
0. Tanpa Pendidikan
1. Pendidikan Dasar
2. Pendidikan Menengah
36
Ordinal
No
Variabel
Definisi
Alat
Cara
Ukur
ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
3. Pendidikan tinggi (BPS, 2013)
7.
Status
Status bekerja pada
Kuesioner
Observasi 0. Tidak Bekerja
pekerjaan ibu
ibu, baik yang
SDK12-
data
1. Bekerja
dilakukan dirumah
WUS
SDKI
(BPS, 2013)
maupun di luar
bagian 8
rumah dan
No. 808
Ordinal
memperoleh penghasilan/imbalan
8.
9.
Status
Status bekerja pada
Kuesioner
Observasi 0. Tidak Bekerja
pekerjaan
suami yang
SDK12-
data
1. Bekerja
suami/Pasan
dilakukan untuk
WUS
SDKI
(BPS, 2013)
gan
memperoleh
bagian 8
penghasilan
No. 805A
Tingkat
Tingkat kekayaan
Kuesioner
Observasi 0. Terbawah
kekayaan
rumah tangga,
SDK12-
data
didapatkan dengan
RT
SDKI
mengukur
Bagian III
2. Menengah
karakteristik latar
dan IV
3. Menengah
belakang rumah
Ordinal
Ordinal
1. Mengengah bawah
atas
tangga (mengukur
4. Teratas
standar hidup rumah
(BPS, 2013)
tangga dalam jangka panjang) 10.
Kunjungan
Jumlah kunjungan
Kuesioner
Observasi 0. Tidak ANC
Pelayanan
ibu kepelayanan
SDK12-
data
1. Tidak tahu
Antenatal
kesehatan untuk
WUS
SDKI
2. 1
memeriksakan
bagian 4
37
3. 2-3
Ordinal
No
Variabel
Definisi kehamilannya
Alat
Cara
Ukur
ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
4. 4+
No. 408
(BPS, 2013) 11.
Komplikasi
Riwayat komplikasi
Kuesioner
Observasi 0. Pernah
Kehamilan
kehamilan yang
SDK12-
data
dialami ibu selama
WUS
SDKI
masa kehamilan
bagian 4
1. Tidak Pernah (BPS, 2013)
No. 414C
3.3 Hipotesis 1. Ada hubungan antara umur ibu dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua. 2. Ada hubungan antara paritas dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua. 3. Ada hubungan antara status perkawinan dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua. 4. Ada hubungan antara pendidikan ibu dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua. 5. Ada hubungan antara pendidikan suami dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua. 6. Ada hubungan antara status status pekerjaan ibu dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua. 7. Ada hubungan antara status pekerjaan suami dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua. 8. Ada hubungan antara tingkat kekayaan dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua. 38
Ordinal
9. Ada hubungan antara wilayah tempat tinggal dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua 10. Ada hubungan anatara komplikasi kehamilan dengan dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua 11. Ada hubungan antara kunjungan pelayanan antenatal dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua
39
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional. Desain cross sectional adalah penelitian yang variabel terikat dan variabel bebasnya diukur dalam satu waktu tertentu. Dalam penelitian ini yang termasuk dalam variabel terikat adalah penolong persalinan, sedangkan variabel bebasnya adalah umur, paritas, status perkawinan, pendidikan ibu, pendidikan suami, status pekerjaan ibu, status pekerjaan suami, tingkat kekayaan, wilayah tempat tinggal, kunjungan pelayanan antenatal dan komplikasi kehamilan. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) merupakan penelitian berskala nasional yang dilakukan di 33 provinsi di Indonesia. SDKI 2012 dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) bekerja sama dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Kementerian Kesehatan. Penelitian ini berfokus pada satu provinsi yaitu provinsi Papua, yang akan dilaksanakan pada Desember 2014.
40
4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi Populasi dalam penelitian ini mengacu pada jumlah populasi SDKI 2012.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua wanita usia subur
(WUS) 15-49 tahun yang pernah melahirkan dalam kurun waktu lima tahun terakhir atau dari tahun 2008-2012. 4.3.2 Sampel Metode sampling yang digunakan dalam SDKI 2012 adalah sampling
tiga
tahap.
Tahap
pertama
adalah
memilih
sejumlah
primary sampling unit (PSU) dari kerangka sampel PSU secara probability proportional to size (PPS). PSU adalah kelompok blok sensus yang berdekatan yang menjadi wilayah tugas koordinator tim Sensus Penduduk 2010. Tahap kedua adalah memilih satu blok sensus secara PPS di setiap PSU terpilih. Tahap ketiga adalah memilih 25 rumah tangga biasa di setiap blok sensus terpilih secara sistematik (BPS, 2013). Dalam penelitian ini terdapat kriteria sampel yang peneliti gunakan dalam penelitian, sebagai berikut: Kriteria inklusi: Sampel dalam penelitian ini adalah wanita usia subur (WUS) 15-49 tahun yang pernah melahirkan dalam lima tahun terakhir pada SDKI 2012 dengan kelahiran tunggal. Kriteria eksklusi: Jumlah kelahiran kembar di Provinsi Papua hanya sebesar 1,4%, untuk menghindari bias maka karakteristik sampel disamaratakan menjadi ibu yang melahirkan dengan kelahiran tunggal.
41
Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 337 ibu, dan yang tidak digunakan dalam penelitian ini sebanyak 583 ibu. Jumlah ini diperoleh setelah melalui proses cleaning atau pembersihan data dari data yang tidak tersedia atau data missing dalam tahap pengambilan sampel yang diperlukan dalam penelitian ini. Adapun langkah-langkah penentuan sampel dalam penelitian ini sebagai berikut: Gambar 4.1 Penentuan Sampel Wanita usia 15-49 tahun yang memenuhi syarat untuk diwawancarai dalam SDKI 2012 di provinsi papua = 968 wanita Wanita usia 15-49 tahun yang memenuhi syarat berdasarkan hasil kunjungan dalam SDKI 2012 di provinsi papua = 920 wanita
Wanita usia subur 15-49 tahun yang pernah melahirkan dalam lima tahun terakhir di provinsi Papua = 349 wanita
Setelah melalui proses cleaning data missing atau data tidak tersedia, jumlah sampel yang diperoleh sebesar 337 ibu yang pernah melahirkan dalam lima tahun terakhir
4.4 Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner SDKI 2012. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner wanita usia subur (WUS) 15-49 tahun dan kuesioner rumah tangga. Kuesioner WUS
42
dan rumah tangga ini digunakan untuk mengumpulkan informasi yang berhubungan dengan variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian, yaitu penolong persalinan, umur, paritas, status perkawinan, pendidikan ibu, pendidikan suami, status pekerjaan ibu, status pekerjaan suami, tingkat kekayaan, wilayah tempat tinggal, kunjungan pelayanan antenatal dan komplikasi kehamilan. Adapun daftar variabel dan kusioner yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
Tabel 4.1 Daftar Variabel Dan Kuesioner Dalam SDKI 2012 No.
Variabel
1.
Penolong persalinan
2
Umur ibu
3
Status Perkawinan
4
Pendidikan ibu
5
Pendidikan suami
6
Status pekerjaan ibu
7
Status pekerjaan suami
8
Paritas
9
Wilayah tempat tinggal
10
Tingkat kekayaan
11
Komplikasi Kehamilan
12
Kunjungan Pelayanan Antenatal
Keterangan Kuesioner Kuesioner Wanita Usia Subur bagian 4 No. 433 Kuesioner Wanita Usia Subur bagian 1 No. 103, 215 Kuesioner SDK12-WUS bagian 6 No. 601-603 Kuesioner Wanita Usia Subur bagian 1 No. 105-106 Kuesioner SDK12-WUS bagian 8 No. 804-805 Kuesioner Wanita Usia Subur bagian 8 No. 808 Kuesioner SDK12-WUS bagian 8 No. 805A Kuesioner Wanita Usia Subur bagian 2 No. 202-208 Kuesioner Wanita Usia Subur bagian pengenalan tempat No. 5 Kuesioner Rumah Tangga Bagian III dan IV Kuesioner Wanita Usia Subur bagian 4 No. 414C Kuesioner Wanita Usia Subur bagian 4 No. 408
43
Adapun pengukuran data dari setiap variabel yang digunakan adalah sebagai berikut: 1) Pemilihan Penolong persalinan Pemilihan penolong persalinan didefinisikan sebagai pilihan ibu dalam menggunakan tenaga kesehatan, non tenaga kesehatan atau tanpa penolong pada saat melahirkan dalam lima tahun terakhir. Penolong persalinan yang ditanyakan dalam kuesioner SDKI 2012 terdiri dari 3 (tiga) kategori yaitu petugas kesehatan (dokter umum, dokter kandungan, perawat, bidan dan bidan desa), orang lain (dukun, teman/kelurga dan lainnya), dan tanpa penolong. Hasil ukur yang digunakan adalah 0 apabila ibu melahirkan tanpa penolong persalinan, 1 apabila ibu menggunakan bukan tenaga kesehatan dan 2 apabila ibu menggunakan tenaga kesehatan. 2) Umur Ibu Umur ibu dalam penelitian ini didefinisikan sebagai umur ibu pada ulang tahun terakhir dikurangi dengan umur anak terakhir. Umur ibu didapatkan dari jawaban kuesioner SDKI 2012 yang dikurangi umur anak terakhir 5 tahun sebelum survei dilakukan. Dalam penelitian ini umur ibu dikelompokkan menjadi umur muda yaitu kurang dari 20 tahun (< 20), umur ibu sedang 20-35 tahun, dan umur lebih tua lebih dari 35 tahun (>35) (Kemenkes, 2011). Hasil ukur yang digunakan adalah 0 apabila umur ibu kurang dari 20 tahun, 1 apabila umur ibu 20-34 tahun, dan 2 apabila umur ibu 35-49 tahun. 3) Paritas
44
Paritas dalam penelitian ini didefinisikan sebagai jumlah kelahiran yang pernah dialami ibu, baik lahir hidup maupun lahir mati. Jawaban ini diperoleh melalui jumlah anak yang pernah dimiliki ibu baik hidup atau mati, yang ditanyakan dalam kuesioner SDKI 2012. Hasil ukur yang digunakan adalah 0 apabila paritas ibu lebih dari 6, 1 apabila paritas ibu 4 sampai 5, 2 apabila paritas ibu 2-3, dan 3 apabila paritas ibu 1. 4) Status Perkawinan Status perkawinan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai ikatan perkawinan yang ibu miliki pada kelahiran anak terakhir. Hasil ukur yang digunakan adalah 0 apabila responden pisah, 1 apabila responden cerai hidup, 2 apabila responden cerai mati, 3 apabila responden hidup bersama, dan 4 apabila responden menikah .
5) Pendidikan Ibu Pendidikan ibu dalam penelitian ini didefinisikan sebagai tingkat pendidikan formal tertinggi yang dicapai oleh ibu. Jenjang pendidikan yang ditanyakan dalam kuesioner SDKI 2012 terdiri dari tidak pernah bersekolah, Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), Akademi atau Universitas. Dalam penelitian ini, pendidikan dikategorikan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2008 mengenai Wajib Belajar. Pendidikan rendah jika tamat < SMA dan pendidikan tinggi jika tamat ≥ SMA (Kemendiknas, 2008). Hasil ukur yang digunakan adalah 0
45
apabila ibu tanpa pendidikan, 1 apabila pendidikan dasar, 2 apabila pendidikan menengah dan 3 apabila pendidikan tinggi. 6) Pendidikan Suami/Pasangan Pendidikan suami/pasangan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai tingkat pendidikan formal tertinggi yang dicapai oleh suami/pasangan. Hasil ukur yang digunakan adalah 0 apabila suami atau pasangan tanpa pendidikan, 1 apabila pendidikan dasar, 2 apabila pendidikan menengah dan 3 apabila pendidikan tinggi. 7) Status pekerjaan ibu Status pekerjaan ibu dalam penelitian ini didefinisikan sebagai status bekerja pada ibu, baik yang dilakukan dirumah maupun di luar rumah dan memperoleh penghasilan/imbalan. Status bekerja pada ibu didapatkan melalui jawaban ibu menggunakan kuesioner SDKI 2012. Hasil ukur yang digunakan adalah 0 apabila ibu tidak bekerja/IRT dan 1 apabila ibu bekerja. 8) Status pekerjaan suami/Pasangan Status pekerjaan suami/pasangan yang didefinisikan sebagai jenis kegiatan
yang
dilakukan
suami/pasangan
untuk
mendapatkan
penghasilan/imbalan. Hasil ukur yang digunakan adalah 0 apabila suami/pasangan tidak bekerja dan 1 apabila suami/pasangan bekerja. 9) Tingkat kekayaan Tingkat kekayaan dalam penelitian ini didefinisikan Tingkat kekayaan rumah tangga, didapatkan dengan mengukur karakteristik latar belakang rumah tangga yang digunkana untuk mengukur standar hidup
46
rumah tangga dalam jangka panjang. Tingkat kekayaan didasarkan pada karakteritik perumahan dan kepemilikan barang, jenis air minum, fasilitas sanitasi rumah tangga yang dimiliki dan karakteristik lain yang sesuai dengan status ekonomi rumah tangga. Setiap karakteristik tersebut kemudian diberi skor untuk setiap rumah tangga, yang kemudian dijumlahkan untuk menghasilkan skor total setiap rumah tangga yang kemudian diurutkan. Selanjutnya tingkat rumah tangga ini dibagi ke dalam quintiles mulai dari satu (paling rendah) sampai dengan lima (paling tinggi). Kemudian dihasilkan lima kategori yaitu terbawah, menengah kebawah, menengah, menengah keatas, dan teratas. Hasil ukur yang digunakan adalah 0 terbawah, 1 menengah kebawah, 2 menengah, 3 menengah keatas, dan 4 teratas. 10) Wilayah tempat tinggal Wilayah tempat tinggal dalam penelitian ini didefinisikan sebagai tempat tinggal ibu yang dikategorikan berdasarkan perkotaan dan pedesaan. Pengelompokkan wilayah tempat tinggal ini mengacu pada Peraturan Kepala Pusat Statistik Nomor 37 Tahun 2010 Tentang Klasifikasi Perkotaan dan Perdesaan. Hasil ukur yang digunakan adalah 0 apabila wilayah tempat tinggal ibu pedesaan, 1 apabila wilayah tempat tinggal ibu perkotaan. 11) Komplikasi Kehamilan Komplikasi kehamilan didefinisikan sebagai riwayat komplikasi kehamilan ibu selama masa kehamilannya. Hasil ukur yang digunakan
47
apabila 0 apabila ibu pernah mengalami komplikasi kehamilan, dan 1 apabila ibu tidak pernah mengalami komplikasi kehamilan. 12) Kunjungan pelayanan antenatal Kunjungan Pelayanan Antenatal didefinisikan jumlah kunjungan ibu kepelayanan kesehatan untuk memeriksakan kehamilannya . Hasil ukur
yang digunakan adalah 0 apabila ibu tidak melakukan kunjungan antenatal, 1 apabila ibu melakukan kunjungan 1 kali, 2 apabila ibu melakukan kunjungan 2-3 kali, dan 3 apabila ibu melakukan kunjungan lebih dari 4 kali. 4.5 Pengumpulan Data Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan cara mengumpulkan data dari hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012. Data yang diperoleh dan dianalisis dari SDKI 2012 yaitu penolong persalinan, umur, paritas, status perkawinan, pendidikan ibu, pendidikan suami, status pekerjaan ibu, status pekerjaan suami, tingkat kekayaan, wilayah tempat tinggal, kunjungan pelayanan antenatal. Adapun kode variabel yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
48
Tabel 4.2 Variabel dan Kode Variabel Penelitian No.
Variabel
Kode data
Variabel Dependen 1. Penolong persalinan Variabel Independen 1. Umur ibu 2. Pendidikan ibu 3. Pendidikan suami 4. Status pekerjaan ibu 5. Status pekerjaan suami 6. Status perkawinan 7. Paritas 8. Tempat tinggal 9. Tingkat kekayaan 10. Komplikasi Kehamilan 11. Kunjungan Pelayanan Antenatal
M3F, M3G, M3, M3H V012 V106 V701 V714 V704 V501 V201 V102 V190 M43 M14
4.6 Pegolahan Data Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan bantuan perangkat lunak (software). Pengolahan data yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut: 1) Cleaning yaitu pembersihan data yang dilakukan dengan cara tabulasi frekuensi dari variabel-variabel yang akan diteliti. Cleaning data ini dilakukan untuk mengecek data yang tidak sesuai dan data yang hilang/missing. 2) Recoding
yaitu
pengkodean
ulang
pada
variabel-variabel
yang
membutuhkan perubahan tertentu. Pengkodean ini disesuaikan dengan kebutuhan penelitian. 3) Weighting data yaitu melakukan pembobotan pada tiap variabel sebelum dilakukannya analisis data.
49
4.7 Analisis Data Analisi data yang dilakukan pada penelitian ini sebagai berikut: 1) Analisis Univariat Analisis
univariat
adalah
analisis
yang
dilakukan
untuk
menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel. Dalam penelitian ini analisis univariat akan digunakan untuk menghasilkan distribusi frekuensi terhadap variabel yang diteliti. 2) Analisis Bivariat Pada penelitian ini analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel dependen dan variabel independen. Hasil uji untuk analisis bivariat ini dilihat dengan uji chi square dengan membuat tabel silang variabel independen dan dependen. Pada penelitian ini digunakan tingkat kepercayaan sebesar 95% dan derajat kemaknaan (α) 5% atau 0,05, yaitu apabila diperoleh nilai p≤0,05 maka terdapat hubungan yang signifikan antara variabel dependen dan independen, dan apabila diperoleh nilai p>0,05 maka tidak terdapat hubungan yang signifikan antara variabel dependen dan variabel independen.
50
BAB V HASIL
5.1 Analisis Univariat Analisis univariat menggambarkan distribusi frekuensi dari masing-masing variabel yang diteliti, baik variabel dependen maupun variabel independen. Adapun variabel tersebut adalah penolong persalinan, umur ibu, paritas, status perkawinan, pendidikan ibu, pendidikan suami, status pekerjaan ibu, status pekerjaan suami, tingkat kekayaan, wilayah tempat tinggal, komplikasi kehamilan dan kunjungan antenatal. 5.1.1 Gambaran Penggunaan Penolong Persalinan Di Provinsi Papua Gambaran distribusi frekuensi ibu berdasarkan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua dapat dilihat pada tabel 5.1 berikut ini: Tabel 5.1 Distribusi Penggunaan Penolong Persalinan pada Ibu Melahirkan di Provinsi Papua Data SDKI 2012 Tidak Dibobot (n) (%) 6 1,8 175 51,9 156 46,3 337 100
Penggunaan Penolong Persalinan Tanpa Penolong Persalinan Bukan Tenaga Kesehatan Tenaga Kesehatan Total
51
Dibobot (n) (%) 6 0,7 350 42,5 468 56,8 824 100
Berdasarkan Tabel 5.1 diketahui bahwa setelah dilakukan pembobotan (weighting) persentase ibu yang melahirkan tanpa penolong persalinan sebanyak 0,7% ibu, persentase ibu yang menggunakan bukan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya sebanyak 42,5% ibu, dan ibu yang menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan saat melahirkan sebanyak 56,8%. Dari hasil pembobotan tersebut menunjukkan bahwa persentase ibu yang menggunakan tenaga kesehatan lebih tinggi dibanding ibu yang menggunakan bukan tenaga kesehatan. Hal ini dikarenakan jumlah residual penggunaan tenaga kesehatan yang tinggi yaitu sebesar 193,3. Meski demikian, dari hasil tersebut menunjukkan bahwa persentase penggunaan bukan tenaga kesehatan masih tinggi. 5.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan Faktor Predisposisi Faktor predisposisi dalam penelitian ini terdiri dari umur ibu, paritas, status perkawinan, pendidikan ibu, pendidikan suami, status pekerjaan ibu, dan status pekerjaan suami. Dalam penelitian ini variabel-variabel tersebut dikategorikan sesuai dengan data SDKI 2012. Gambaran distribusi frekuensi ibu berdasarkan faktor predisposisi dapat dilihat pada tabel-tabel berikut ini:
52
1) Distribusi Umur Ibu Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Umur Ibu Tidak Dibobot (n) (%) 43 12,8 232 68,8 62 18,4 337 100
Umur Ibu <20 tahun 20-34 tahun 35-49 tahun Total
Dibobot (n) (%) 43 6,2 464 67,0 186 26,8 693 100
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa setelah dilakukan pembobotan (weighting) ibu yang berumur <20 tahun sebanyak 6,2%, ibu yang termasuk dalam kelompok umur 20-34 tahun sebanyak 67,0%, dan ibu yang termasuk dalam kelompok umur 35-49 tahun sebanyak 26,8%. Berdasarkan hasil analisis, baik yang tidak dilakukan pembobotan atau yang dilakukan pembobotan tersebut, menunjukkan bahwa ibu pada kelompok umur 20-34 tahun lebih tinggi di banding ibu dengan kelompok umur lainnya. 2) Distribusi Paritas Ibu Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Paritas Ibu Paritas 6+ 4-5 2-3 1 Total
Tidak Dibobot (n) (%) 41 12,2 67 19,9 138 40,9 91 27 337 100
53
Dibobot (n) (%) 41 4,3 134 14,1 414 43,3 364 38,2 953 100
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa setelah dilakukan pembobotan (weighting) persentase ibu yang memiliki paritas 6+ sebesar 4,3%, ibu yang termasuk dalam kelompok paritas 4-5 sebanyak 14,1%, ibu yang termasuk dalam kelompok paritas 2-3 sebanyak 43,3%, dan ibu yang termasuk dalam kelompok paritas 1 sebanyak 38,2%. Berdasarkan hasil analisis, baik yang tidak dilakukan pembobotan atau yang dilakukan pembobotan tersebut, menunjukkan bahwa persentase paritas ibu di Provinsi Papua lebih tinggi pada ibu yang termasuk dalam kelompok paritas 2-3. 3) Distribusi Status Perkawinan Ibu Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Status Perkawinan Ibu Tidak Dibobot (n) (%) 1 0,3 5 1,5 7 2,1 30 8,9 294 87,2 337 100
Status Perkawinan Pisah Cerai hidup Cerai mati Hidup bersama Menikah Total
Dibobot (n) 5 20 21 60 294 400
(%) 1,2 5,0 5,2 15,0 73,5 100
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa setelah
dilakukan
pembobotan (weighting) persentase ibu yang memiliki status perkawinan pisah sebanyak 1,2%, ibu yang memiliki status perkawinan cerai hidup sebanyak 5,0%, ibu yang memiliki status perkawinan cerai mati sebanyak 5,2%, ibu yang memiliki status hidup bersama sebanyak 15,0%, dan ibu yang memiliki status menikah sebanyak 73,5%. Berdasarkan hasil analisis, baik
54
yang tidak dilakukan pembobotan atau yang dilakukan pembobotan tersebut, menunjukkan bahwa persentase ibu yang berstatus menikah lebih tinggi dibandingkan ibu yang memiliki status perkawinan lainnya. 4) Distribusi Tingkat Pendidikan Ibu Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ibu Tidak Dibobot (n) (%) 125 37,1 65 19,3 120 35,6 27 8 337 100
Tingkat Pendidikan Ibu Tanpa pendidikan Pendidikan dasar Pendidikan menengah Pendidikan tinggi Total
Dibobot (n) 125 130 360 108 723
(%) 17,3 18,0 49,8 14,9 100
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa setelah dilakukan pembobotan (weighting) persentase ibu yang tanpa pendidikan sebesar 17,3%, ibu yang memiliki tingkat pendidikan dasar sebesar 18,0%, ibu yang memiliki pendidikan menengah sebesar 49,8%, ibu yang memiliki pendidikan tinggi sebesar 14,9%. Berdasarkan hasil tersebut terlihat perbedaan antara ibu dengan tanpa pendidikan sebelum dilakukan pembobotan dan setelah dilakukan pembobotan. Sebelum dilakukan pembobotan ibu dengan tanpa pendidikan merupakan tingkat pendidikan paling banyak yang dimiliki ibu, sedangkan setelah dilakukan pembobotan tingkat pendidikan paling banyak yaitu pendidikan menengah.
55
5) Distirbusi Tingkat Pendidikan Suami/Pasangan Tabel 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Suami/Pasangan Tidak Dibobot (n) (%) 75 22,3 61 18,1 167 49,6 34 10,1 337 100
Pendidikan Suami/Pasangan Tanpa pendidikan Pendidikan dasar Pendidikan menengah Pendidikan tinggi Total
Dibobot (n) 75 122 501 136 834
(%) 9,0 14,6 60,1 16,3 100
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa setelah dilakukan pembobotan (weighting) persentase suami/pasangan yang dimiliki ibu dengan tanpa pendidikan sebesar 9,0%, suami/pasangan yang dimiliki ibu dengan tingkat pendidikan dasar sebesar 14,6%, suami/pasangan yang dimiliki ibu dengan pendidikan menengah sebesar 60,1%, suami/pasangan yang dimiliki ibu dengan pendidikan tinggi sebesar 16,3%. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa presentase tingkat pendidikan suami paling banyak terdapat pada suami/pasangan dengan pendidikan menengah. 6) Distribusi Status Pekerjaan Ibu Tabel 5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Status Pekerjaan Ibu Tidak Dibobot (n) (%) 119 35,3 218 64,7 337 100
Status Pekerjaan Ibu Tidak Bekerja Bekerja Total
56
Dibobot (n) 119 436 555
(%) 21,4 78,6 100
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa setelah
dilakukan
pembobotan (weighting) persentase ibu yang tidak bekerja sebesar 21,4%, sedangkan ibu yang bekerja sebesar 78,6%. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa presentase ibu yang bekerja lebih tinggi dibanding ibu yang tidak bekerja, baik sebelum dilakukan pembobotan maupun setelah dilakukan pembobotan. 7) Distribusi Status Pekerjaan Suami/Pasangan Tabel 5.8 Distribusi Responden Berdasarkan Status Pekerjaan Suami/Pasangan Tidak Dibobot (n) (%) 37 11 300 89 337 100
Status Pekerjaan Suami/Pasangan Tidak Bekerja Bekerja Total
Dibobot (n) 37 600 637
(%) 5,8 94,2 100
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa setelah dilakukan pembobotan (weighting) persentase suami/pasangan yang tidak bekerja sebesar 5,8%, sedangkan suami/pasangan yang bekerja sebesar 94,2%. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa presentase suami/pasangan yang bekerja lebih tinggi dibandingkan suami/pasangan yang tidak bekerja, baik sebelum dilakukan pembobotan maupun setelah dilakukan pembobotan. 5.1.3 Gambaran Responden Berdasarkan Faktor Pemungkin Faktor pemungkin dalam penelitian ini terdiri dari tingkat kekayaan dan wilayah tempat tinggal. Tingkat kekayaan responden dibagi menjadi 5
57
kategori yaitu terbawah, menengah bawah, menengah, menengah atas, teratas. Untuk tempet tinggal dibagi menjadi 2 kategori yaitu wilayah pedesaan dan wilayah perkotaan. Kategori dalam penelitian ini menyesuaikan dengan SDKI 2012. Gambaran distribusi frekuensi ibu berdasarkan faktor pemungkin dapat dilihat pada tabel-tabel berikut ini: 1) Distribusi Tingkat Kekayaan Tabel 5.9 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kekayaan Tingkat Kekayaan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Total
Tidak Dibobot (n) (%) 234 69,4 39 11,6 37 11,0 17 5,0 10 3,0 337 100
Dibobot (n) 234 78 111 68 50 541
(%) 43,3 14,4 20,5 12,6 9,2 100
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa setelah dilakukan pembobotan (weighting) persentase ibu yang memiliki tingkat kekayaan terbawah sebesar 43,4%, ibu yang memiliki tingkat kekayaan menengah bawah sebesar 14,4%, ibu yang memiliki tingkat kekayaan menengah sebesar 20,5%, ibu yang memiliki tingkat kekayaan menengah atas sebesar 12,6%, dan ibu yang memiliki tingkat kekayaan teratas sebesar 9,2%. Berdasarkan hasil analisis, baik yang tidak dilakukan pembobotan atau yang dilakukan pembobotan tersebut, menunjukkan bahwa persentase ibu yang memiliki
58
tingkat kekayaan terbawah lebih tinggi dibandingkan ibu yang memiliki tingkat kekayaan lainnya. 2) Distribusi Wilayah Tempat Tinggal Tabel 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Wilayah Tempat Tinggal Wilayah Tempat Tinggal Pedesaan Pekotaan Total
Tidak Dibobot (n) (%) 243 94 337
72,1 27,9 100
Dibobot (n) 243 188
(%) 56,4 43,6
431
100
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa setelah dilakukan pembobotan (weighting) persentase ibu yang bertempat tinggal diwilayah pedesaan sebesar 56,4%, sedangkan ibu yang bertempat tinggal diwilayah pekotaan sebesar 43,6%. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa presentase ibu yang bertempat tinggal di wilayah pedesaan lebih tinggi dibandingkan ibu yang bertempat tinggal di wilayah pekotaan, baik sebelum dilakukan pembobotan maupun setelah dilakukan pembobotan. 5.1.4 Gambaran Responden Berdasarkan Faktor Kebutuhan Dalam penelitian ini yang dijadikan sebagai faktor kebutuhan adalah kunjungan antenatal dan komplikasi kehamilan. Kunjungan antenatal ini merupakan jumlah atau frekuensi ibu dalam melakukan kunjungan ke pelayanan antenatal. Dalam penelitian ini di kategorikan menjadi 5, yaitu tidak antenatal, tidak tahu, 1 kali, 2-3 kali dan lebih dari 4. Komplikasi
59
kehamilan dikategorikan menjadi 2 yaitu pernah dan tidak pernah. Kategori ini menyesuaikan dengan data SDKI 2012. Gambaran distribusi frekuensi ibu berdasarkan faktor kebutuhan dapat dilihat pada tabel-tabel berikut ini: 1) Distribusi Kunjungan Antenatal Tabel 5.11 Distribusi Responden Berdasarkan Kunjungan Pelayanan Antenatal Kunjungan ANC Tidak ANC Tidak Tahu 1 kali 2-3 kali 4+ kali Total
Tidak Dibobot (n) (%) 123 38 9 42 125 337
36,5 11,3 2,7 12,5 37,1 100
Dibobot (n) 123 76 27 168 625
(%) 12,1 7,5 2,6 16,5 61,3
1019
100
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa setelah dilakukan pembobotan (weighting) persentase ibu yang memiliki tidak melakukan kunjungan sebesar 12,1%, ibu yang tidak tahu/tidak menjawab saat wawancara sebesar 7,5%, ibu yang melakukan kunjungan sebanyak 1 kali sebesar 2,6%, ibu yang melakukan kunjungan sebanyak 2-3 kali sebesar 16,5%, dan ibu yang melakukan kunjungan sebanyak 4+kali sebesar 61,3%. Berdasarkan hasil analisis, baik yang tidak dilakukan pembobotan atau yang dilakukan pembobotan tersebut, menunjukkan bahwa persentase ibu yang melakukan kunjungan antenatal 4+kali lebih tinggi dibandingkan ibu yang melakukan kunjungan kurang dari 4+ kali. Akan tetapi, pada hasil tersebut menunjukkan perbedaan persentase pada ibu yang tidak melakukan
60
kunjungan. Pada hasil sebelum pembobotan persentase ibu yang tidak melakukan kunjungan dengan yang melakukan kunjungan 4+ kali lebih tinggi akan tetapi setelah pembobotan terlihat perbedaan yang sangat jauh.
2) Distribusi Riwayat Komplikasi Kehamilan Tabel 5.12 Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat Komplikasi Kehamilan Komplikasi Kehamilan Pernah Tidak Pernah Total
Tidak Dibobot (n) (%) 34 303 337
10,1 89,9 100
Dibobot (n) 80 744
(%) 9,7 90,3
824
100
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa setelah dilakukan pembobotan (weighting) persentase ibu yang pernah mengalami komplikasi kehamilan sebesar 9,7%, sedangkan ibu yang tidak pernah mengalami komplikasi
kehamilan
sebesar 90,3%.
Berdasarkan hasil
tersebut
menunjukkan bahwa presentase ibu yang tidak pernah mengalami komplikasi kehamilan lebih tinggi dibandingkan ibu yang pernah mengalami komplikasi kehamilan, baik sebelum dilakukan pembobotan maupun setelah dilakukan pembobotan.
61
5.2 Analisis Bivariat Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Analisis bivariat dilakukan dengan uji Chi Square. Dikatakan berhubungan secara signifikan apabila didapatkan nilai p≤0,05 dan dikatakan tidak berhubungan secara signifikan ap abila didapatkan nilai p>0,05. 5.2.1 Gambaran Faktor Predisposisi Dengan Penggunaan Penolong Persalinan 1) Hubungan antara Umur Ibu dengan Penggunaan Penolong Persalinan Hasil analisis bivariat antara umur ibu dengan penggunaan penolong persalinan akan dijelaskan pada tabel 5.13 berikut ini: Tabel 5.13 Hubungan antara Umur Ibu dengan Penggunaan Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 Umur Ibu < 20tahun 20-34 tahun 35-49 tahun
Penggunaan Penolong Persalinan Bukan Tanpa Tenaga Tenaga Penolong Kesehatan Kesehatan n % n % n % 0 0 27 62,8 16 37,2 10 2,2 228 49,1 226 48,7 3 1,6 102 54,8 81 43,5 13 1,9 357 51,5 323 46,6
Total n 43 464 186 693
% 100 100 100 100
P value
0,324
Berdasarkan hasil tabel diatas, diketahui bahwa ibu yang melahirkan tanpa penolong lebih tinggi terjadi pada kelompok umur 20-34 tahun sebesar (2,2%), dan ibu yang menggunakan bukan tenaga kesehatan untuk menolong persalinannya lebih tinggi pada kelompok umur <20 tahun (62,8%). Sedangkan ibu yang menggunakan tenaga kesehatan lebih tinggi pada ibu dengan kelompok umur 20-34 tahun. Berdasarkan hasil uji statistik 62
didapatkan Pvalue 0,324 yang artinya pada α= 5% diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara umur ibu dengan penggunaan penolong persalinan pada ibu melahirkan di Provinsi Papua berdasarkan data SDKI 2012. 2) Hubungan antara Paritas dengan Penggunaan penolong Persalinan Hasil analisi bivariat antara paritas dengan penggunaan penolong persalinan akan dijelaskan pada tabel 5.14 berikut ini: Tabel 5.14 Hubungan antara Paritas dengan Penggunaan Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012
Paritas Ibu 6+ 4-5 2-3 1
Penggunaan Penolong Persalinan Bukan Tanpa Tenaga Tenaga Penolong Kesehatan Kesehatan n % n % N % 0 0 28 68,3 13 31,7 6 4,5 72 53,7 56 41,8 6 1,4 222 53,6 186 44,9 4 1,1 148 40,7 212 58,2 16 1,7 470 49,3 467 49,0
Total n 41 134 414 364 953
% 100 100 100 100 100
P value
0,000
Berdasarkan hasil tabel diatas, diketahui bahwa ibu yang melahirkan tanpa penolong lebih tinggi pada ibu dengan paritas 4-5 yaitu 4,5 %, dan ibu dengan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan lebih tinggi pada ibu dengan paritas 6+ yaitu sebanyak 68,3%. Berdasarkan hasil uji statistik di peroleh Pvalue 0,000 yang artinya pada α = 5% terdapat hubungan yang signifikan antara paritas dengan penggunaan penolong persalinan pada ibu melahirkan berdasarkan data SDKI 2012.
63
3) Hubungan antara Status Perkawinan dengan Penggunaan penolong Persalinan Hasil analisi bivariat antara status perkawinan dengan penggunaan penolong persalinan akan dijelaskan pada tabel 5.15 berikut ini: Tabel 5.15 Hubungan antara Status Perkawinan dengan Penggunaan Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012
Status Perkawinan Pisah Cerai Hidup Cerai Mati Hidup Bersama Menikah
Penggunaan Penolong Persalinan Bukan Tanpa Tenaga Tenaga Penolong Kesehatan Kesehatan n % n % N % 0 0 0 0 5 100 0 0 0 0 20 100 0 0 15 71,4 6 28,6 2 3,3 32 53,3 26 43,3
n 5 20 21 60
% 100 100 100 100
5 7
294 400
100 100
1,7 1,8
154 201
52,4 50,2
135 192
45,9 48,0
Total
P value
0,000
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa ibu yang melahirkan tanpa penolong persalinan lebih tinggi pada ibu dengan status menikah yaitu 1,7%, dan ibu yang menggunakan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan lebih tinggi pada ibu dengan cerai mati yaitu 71,4%. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh Pvalue 0,000 yang artinya pada α = 5% terdapat hubungan yang signifikan antara status perkawinan dengan penggunaan penolong persalinan di provinsi Papua berdasarkan data SDKI 2012.
64
4) Hubungan antara Pendidikan Ibu dengan Penggunaan Penolong Persalinan Hasil analisi bivariat antara pendidikan ibu dengan penggunaan penolong persalinan akan dijelaskan pada tabel 5.16 berikut ini: Tabel 5.16 Hubungan antara Pendidikan Ibu dengan Penggunaan Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012
Tingkat Pendidikan Tanpa Pendidikan Pendidikan Dasar Pendidikan Menengah Pendidikan Tinggi
Penggunaan Penolong Persalinan Bukan Tanpa Tenaga Tenaga Penolong Kesehatan Kesehatan n % n % n % 3 2,4 104 83,2 18 14,4
n 125
% 100
2
1,5
76
58,5
52
40,0
130
100
6
1,7
99
27,5
255
70,8
360
100
0
0
0
0
108
100
108
100
11
1,5
279
38,6
433
59,9
723
100
Total
P value
0,000
Berdasarkan hasil tabel diatas, diketahui bahwa ibu yang melahirkan tanpa penolong persalinan lebih tinggi pada kelompok ibu tanpa pendidikan yaitu sebesar 2,4%, dan ibu dengan tanpa pendidikan lebih tinggi menggunakan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan yaitu 83,2%. Sedangkan penggunaan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan lebih tinggi digunakan oleh ibu dengan ibu yang mempunyai pendidikan tinggi yaitu sebesar 100%. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh Pvalue 0,000 yang artinya pada α = 5% terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan penggunaan penolong persalinan oleh ibu melahirkan di Provinsi Papua berdasarkan data SDKI 2012.
65
5) Hubungan antara Pendidikan Suami/Pasangan dengan Penggunaan Penolong Persalinan Hasil analisi bivariat antara tingkat pendidikan suami/pasangan dengan penggunaan penolong persalinan akan dijelaskan pada tabel 5.17 berikut ini: Tabel 5.17 Hubungan antara Pendidikan Suami/Pasangan dengan Penggunaan Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012
Tingkat Pendidikan Tanpa Pendidikan Pendidikan Dasar Pendidikan Menengah Pendidikan Tinggi
Penggunaan Penolong Persalinan Bukan Tanpa Tenaga Tenaga Penolong Kesehatan Kesehatan n % n % n % 2 2,7 68 90,7 5 6,7
n 75
% 100
2
1,6
76
62,3
44
36,1
122
100
6
1,2
189
37,7
306
61,1
501
100
4
2,9
24
17,6
108
79,4
136
100
14
1,7
357
42,8
463
55,5
834
100
Total
P value
0,000
Berdasarkan hasil tabel diatas, diketahui bahwa suami/pasangan dengan tanpa pendidikan lebih tinggi menggunakan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan untuk menolong persalinan ibu melahirkan yaitu sebanyak 90,7%, dan tanpa penolong persalinan untuk ibu melahirkan sebesar 2,7%. Sedangkan penggunaan tenaga kesehatan lebih tinggi digunakan pada ibu yang memiliki suami/pasangan dengan pendidikan tinggi sebesar 79,4%. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh Pvalue 0,000 yang artinya pada α = 5%
terdapat
hubungan
yang
signifikan
66
antara
tingkat
pendidikan
suami/pasangan dengan penggunaan penolong persalinan oleh ibu melahirkan di Provinsi Papua berdasarkan data SDKI 2012. 6) Hubungan antara Status Pekerjaan Ibu dengan Penggunaan Penolong Persalinan Hasil analisi bivariat antara status pekerjaan ibu dengan penggunaan penolong persalinan akan dijelaskan pada tabel 5.18 berikut ini: Tabel 5.18 Hubungan antara Status Pekerjaan Ibu dengan Penggunaan Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012
Status Pekerjaan Ibu Tidak Bekerja Bekerja
Penggunaan penolong persalinan Tanpa Bukan Tenaga penolong tenaga kesehatan kesehatan n % n % n % 90 75,6 1 0,8 28 23,5 132 30,3 10 2,3 294 67,4 222 40,0 11 2,0 322 58,0
Total n 119 436 555
% 100 100 100
P value
0,000
Berdasarkan hasil tabel diatas, diketahui bahwa ibu yang bekerja lebih tinggi menggunakan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan untuk menolong persalinannya yaitu sebanyak 67,4%, dan tanpa penolong persalinan untuk persalinannya sebesar 2,3%. Sedangkan penggunaan tenaga kesehatan lebih tinggi pada ibu yang tidak bekerja yaitu sebesar 75,6%. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh Pvalue 0,000 yang artinya pada α = 5% terdapat hubungan yang signifikan antara status pekerjaan ibu dengan penggunaan penolong persalinan oleh ibu melahirkan di Provinsi Papua berdasarkan data SDKI 2012. 67
7) Hubungan antara Status Pekerjaan Suami/Pasangan dengan Penggunaan Penolong Persalinan Hasil analisi bivariat antara status pekerjaan suami/pasangan dengan penggunaan penolong persalinan akan dijelaskan pada tabel 5.19 berikut ini: Tabel 5.19 Hubungan antara Status Pekerjaan Suami/pasangan dengan Penggunaan Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012
Status Pekerjaan Tidak bekerja Bekerja
Penggunaan penolong persalinan Tanpa Bukan Tenaga penolong tenaga kesehatan kesehatan n % n % n % 9 24,3 1 2,7 27 73,0 294 49,0 10 1,7 296 49,3 303 47,6 11 1,7 323 50,7
Total n 37 600 637
% 100 100 100
P value
0,014
Berdasarkan hasil tabel diatas, diketahui bahwa suami/pasangan yang tidak bekerja lebih tinggi menggunakan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan untuk menolong persalinan ibu melahirkan yaitu sebanyak 73,0%, dan tanpa penolong persalinan untuk persalinannya sebesar 2,7%. Sedangkan penggunaan tenaga kesehatan lebih tinggi pada ibu yang memiliki suami/pasangan yang bekerja sebesar 49,0%. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh Pvalue 0,014 yang artinya pada α = 5% terdapat hubungan yang signifikan antara status pekerjaan suami/pasangan dengan penggunaan penolong persalinan oleh ibu melahirkan di Provinsi Papua berdasarkan data SDKI 2012.
68
5.2.2 Gambaran Faktor Pemungkin Dengan Penggunaan Penolong Persalinan 1) Hubungan antara Tingkat Kekayaan dengan Penggunaan Penolong Persalinan Hasil analisi bivariat antara tingkat kekayaan dengan penggunaan penolong persalinan akan dijelaskan pada tabel 5.20 berikut ini: Tabel 5.20 Hubungan antara Tingkat Kekayaan dengan Penggunaan Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 Tingkat Kekayaan Terbawah Mengengah bawah Menengah Menengah atas Teratas
Penggunaan penolong persalinan Tanpa Bukan tenaga Tenaga penolong kesehatan kesehatan n % n % n % 1,3 70,1 67 28,6 3 164
Total n 234
% 100
4
5,1
16
20,6
58
74,4
78
100
3
2,7
6
5,4
102
91,9
111
100
0
0
0
0
68
100
68
100
0 10
0 1,8
5 191
10,0 35,3
45 340
90,0 62,8
50 541
100 100
P value
0,000
Berdasarkan hasil tabel diatas, diketahui bahwa ibu dengan tingkat kekayaan terbawah lebih tinggi menggunakan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan untuk menolong persalinannya yaitu sebanyak 70,1%, dan ibu dengan tingkat menengah bawah lebih tinggi dengan tanpa penolong persalinan untuk persalinannya sebesar 5,1%. Sedangkan penggunaan tenaga kesehatan lebih tinggi pada ibu dengan tingkat kekayaan menengah atas sebesar 100%. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh Pvalue 0,000 yang artinya pada α = 5% terdapat hubungan yang
69
signifikan antara tingkat kekayaan dengan penggunaan penolong persalinan oleh ibu melahirkan di Provinsi Papua berdasarkan data SDKI 2012. 2) Hubungan antara Wilayah Tempat Tinggal dengan Penggunaan Penolong Persalinan Hasil analisis bivariat antara wilayah tempat tinggal dengan penggunaan penolong persalinan akan dijelaskan pada tabel 5.21 berikut ini: Tabel 5.21 Hubungan antara Wilayah Tempat Tinggal dengan Penggunaan Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 Wilayah Tempat Tinggal Pedesaan Pekotaan
Penggunaan penolong persalinan Tanpa Bukan tenaga Tenaga penolong kesehatan kesehatan n % n % n % 1,6 67,1 76 31,3 4 163 2,1 12,8 160 85,1 4 24 236 54,8 8 1,9 187 43,4
Total n 243 188 431
% 100 100 100
P value
0,000
Berdasarkan hasil tabel diatas, diketahui bahwa ibu dengan wilayah tempat tinggal pedesaan lebih tinggi menggunakan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan untuk menolong persalinannya yaitu sebanyak 67,1%. Ibu yang melahirkan tanpa penolong lebih tinggi pada ibu yang bertempat tinggal di pekotaan sebesar 2,1%. Sedangkan penggunaan tenaga kesehatan lebih tinggi digunakan oleh ibu yang bertempat tinggal di wilayah pekotaan sebesar 85,1%. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh Pvalue 0,000 yang artinya pada α = 5% terdapat hubungan yang signifikan antara wilayah tempat tinggal
70
ibu dengan penggunaan penolong persalinan oleh ibu melahirkan di Provinsi Papua berdasarkan data SDKI 2012.
5.2.3 Hubungan Faktor Kebutuhan Dengan Penggunaan Penolong Persalinan 1) Hubungan antara Komplikasi Kehamilan dengan Penggunaan Penolong Persalinan Hasil
analisis
bivariat
antara
komplikasi
kehamilan
dengan
penggunaan penolong persalinan akan dijelaskan pada tabel 5.22 berikut ini: Tabel 5.22 Hubungan antara Komplikasi Kehamilan dengan Penggunaan Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 Komplikasi Kehamilan Pernah Tidak Pernah
Penggunaan penolong persalinan Tanpa Bukan tenaga Tenaga penolong kesehatan kesehatan n % n % n % 1 1,2 40 50,0 39 48,8 5 0,7 310 41,7 429 57,7 468 56,8 6 0,7 350 42,5
Total n 80 744 824
% 100 100 100
P value 0,283
Berdasarkan hasil tabel diatas, diketahui bahwa ibu pernah mengalami komplikasi kehamilan lebih tinggi melakukan persalinan tanpa penolong
yaitu
sebanyak 2,9 %, dan lebih tinggi dalam menggunakan bukan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya yaitu 50%. Sedangkan penggunaan tenaga kesehatan lebih tinggi pada ibu yang tidak pernah mengalami komplikasi kehamilan sebesar 57,7%. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh Pvalue 0,283 yang artinya pada α = 5% tidak terdapat hubungan yang signifikan antara komplikasi kehamilan dengan
71
penggunaan penolong persalinan oleh ibu melahirkan di Provinsi Papua berdasarkan data SDKI 2012. 2) Hubungan antara Kunjungan Antenatal dengan Penggunaan Penolong Persalinan Analisis bivariat antara kunjungan antenatal dan penggunaan penolong persalinan dijabarkan dalam tabel 5.23 sebagai berikut: Tabel 5.23 Hubungan antara Kunjungan Antenatal dengan Penggunaan Penolong Persalinan di Provinsi Papua-Data SDKI 2012 Kunjungan Antenatal Tidak antenatal Tidak Tahu 1 kali 2-3 kali 4+ kali
Penggunaan penolong persalinan Tanpa Bukan tenaga Tenaga penolong kesehatan kesehatan n % n % n %
Total n
%
6
4,9
102
82,9
15
12,2
123
100
0 0 0 0 6
0 0 0 0 0,6
44 21 100 95 362
57,9 77,8 59,5 15,2 35,5
32 6 68 530 651
42,1 22,2 40,5 84,8 63,9
76 27 168 625 1019
100 100 100 100 100
P value
0,000
Berdasarkan hasil tabel diatas, diketahui bahwa ibu yang tidak antenatal lebih tinggi melakukan persalinan tanpa penolong sebesar 4,9%. Ibu yang tidak melakukanantenatal juga menggunakan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan untuk menolong persalinannya yaitu sebanyak 82,9 %, dan lebih tinggi dengan tanpa penolong persalinan untuk persalinannya yaitu 4,9%. Sedangkan penggunaan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan lebih tinggi pada ibu yang melakukan kunjungan antenatal 4+ kali 84,8%. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh Pvalue 0,000 yang artinya pada α = 5% terdapat hubungan yang signifikan antara kunjungan
72
antenatal dengan penggunaan penolong persalinan oleh ibu melahirkan di Provinsi Papua berdasarkan data SDKI 2012.
BAB VI PEMBAHASAN
73
6.1 Keterbatasan Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2012. Penelitian ini mempunyai keterbatasan yaitu variabel-variabel yang diteliti terbatas pada variabel yang terdapat dalam SDKI 2012. Beberapa variabel tidak terdapat dalam SDKI, sehingga beberapa variabel yang terdapat dalam kerangka teori yang tidak dapat diteliti. 6.2 Gambaran Penggunaan Penolong Persalinan pada Ibu Melahirkan di Provinsi Papua Penolong persalinan merupakan orang yang membantu pada saat ibu melahirkan, baik tenaga kesehatan maupun bukan tenaga kesehatan. Dalam SDKI 2012 yang termasuk kedalam penolong persalinan tenaga kesehatan yaitu dokter, dokter kandungan, perawat, bidan dan bidan desa. Sedangkan yang bukan tenaga kesehatan adalah penolong persalinan tradisional atau dukun bayi/beranak, kelurga/teman dan lain sebagainya (BPS, 2013). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 337 ibu yang melahirkan di Provinsi Papua yang menggunakan tenaga kesehatan hanya mencapai 46,3% angka ini sama dengan capaian penolong persalinan dari SDKI 2007. Capaian ini belum memenuhi target MDGs (Millenium Development Goals) 95% pada tahun 2015. Sedangkan ibu yang menggunakan penolong persalinan bukan tenaga
74
kesehatan mencapai (51,9%), angka ini sama dengan hasil yang didapat SDKI 2007. Selain itu, di Provinsi Papua juga masih terdapat ibu yang melahirkan dengan tanpa penolong atau melakukan persalinan sendiri yaitu sebesar (1,8%), angka ini sudah mengalami penurunan dari hasil capaian SDKI 2007 yaitu (12,0%) (BPS, 2008). Tingginya penggunaan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan ini dapat meningkatkan resiko terjadinya komplikasi persalinan dan dapat berujung pada kematian ibu. Selain kematian ibu, persalinan yang tidak ditolong oleh tenaga yang terampil dapat mengakibatkan kematian pada bayi. Hal ini disebabkan oleh masih kemampuan dan keterampilan tenaga penolong yang tidak kompeten (Kemenkes RI, 2012). Selain masih tingginya penolong persalinan oleh bukan tenaga kesehatan, masih adanya ibu melahirkan di Papua yang tidak menggunakan penolong persalinan semakin menambah resiko angka kematian ibu. Berdasarkan profil kesehatan Provinsi Papua tahun 2012 diketahui bahwa penyebab kematian ibu adalah perdarahan 40,00%, hipertensi dalam kehamilan 3,08%, infeksi 26,42%, Abortus 7,69%, partus lama 3,08%, lain-lain 21,54% (Dinkes Papua, 2012). Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa perdarahan merupakan penyebab kematian paling tinggi, kejadian perdarahan ini dapat ditangani apabila ibu ditolong oleh tenaga profesional yang kompeten. Penolong persalinan bukan oleh tenaga kesehatan lebih tinggi digunakan oleh ibu melahirkan di Provinsi Papua dibandingkan dengan penggunaan tenaga kesehatan. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Andersen & Newman (2005) diketahui bahwa dalam menggunakan pelayanan kesehatan 75
seseorang dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu predisposisi, pemungkin dan kebutuhan. Faktor predisposisi terdiri dari demografi, sturktur sosial, dan kepercayaan kesehatan. Beberapa hal yang dapat berhubungan dengan keputusan ibu dalam menggunakan pelayanan kesehatan yaitu umur ibu, status perkawinan dan paritas. Umur ibu dapat mempengaruhi kesehatan ibu selama proses melahirkan. Ibu yang melahirkan dengan umur terlalu muda atau terlalu tua dapat menjadi penyebab terjadinya masalah persalinan yang dapat berujung pada kematian ibu (Depkes, 2009). Keadaan ini dapat mempengaruhi ibu untuk memutuskan penggunaan penolong persalinan. Paritas merupakan jumlah kelahiran yang pernah dialami ibu baik lahir hidup maupun lahir mati. Paritas termasuk kondisi reproduksi ibu yang dapat menyebabkan komplikasi kehamilan apabila ibu mengalami paritas tinggi (McCarthy and Deborah, 1992). Paritas berhubungan juga dengan pengalaman ibu dalam proses melahirkan. Pengalaman ibu ini dapat mendukung ibu untuk memilih penggunaan penolong persalinan. Status perkawinan ibu dapat menjadi salah satu faktor yang mendukung ibu untuk menggunakan penolong persalinan. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa ibu yang memiliki status menikah sebesar (87,2%). Status perkawinan ibu ini berhubungan juga dengan dukungan suami dalam pengambilan keputusan untuk menggunakan penolong persalinan, dibandingkan dengan ibu yang tidak menikah atau tidak memiliki pasangan. Faktor lain yang dapat mempengaruhi seseorang dalam mengakses pelayanan kesehatan antara lain pendidikan, pekerjaan, budaya, agama, mobilitas penduduk. Pendidikan ibu dan suami/pasangan sangat berpengaruh terhadap penggunaan 76
penolong persalinan. Ibu dan suami/ pasangan yang mempunyai pendidikan rendah akan mempengaruhi terhadap pengetahuan ibu dan suami/pasangan tentang penolong persalinan yang baik. Pengetahuan ibu dan suami yang rendah juga dapat berdampak pada kepercayaan ibu dan suami/pasangan terhadap kesehatan. Oleh karena itu, pendidikan sangat mempengaruhi seseorang untuk menggunakan pelayanan kesehatan. Pekerjaan juga mendukung seseorang untuk menggunakan tenaga kesehatan. Pekerjaan ibu dan suami/pasangan dapat menggambarkan status ekonomi keluarga yang juga dapat mendukung akses pelayanan kesehatan. status ekonomi juga digambarkan melalui tingkat kekayaan keluarga. Ibu yang memiliki tingkat kekayaan yang tinggi akan lebih memilih menggunakan tenaga kesehatan dibanding ibu dengan tingkat kekayaan rendah. Budaya merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perilaku seseorang. Berdasakan penelitian yang dilakukan Alwi dkk (2001) yang dilakukan pada suku Amungme dan suku Kamoro Provinsi Papua, diketahui bahwa masyarakat memandang persalinan merupakan peristiwa alami dan urusan perempuan dan tidak perlu dibesar-besarkan, selain itu mereka juga menganggap bahwa darah dan kotoran persalinan dapat menimbulkan penyakit yang mengerikan bagi lakilaki dan anak-anak sehingga harus disembunyikan atau dijauhkan. Hal ini tentu saja dapat berdampak pada kesehatan ibu dan juga bayi yang dilahirkan bahkan dapat juga menyebabkan kematian ibu dan anak, karena tidak ada penolong persalinan yang terlatih dan terampil untuk membantu ibu pada saat melahirkan. Budaya yang ada di wilayah tempat tinggal ibu di Provinsi Papua dapat mendukung untuk memilih penolong persalinan. Kehidupan masyarakat Papua 77
yang masih dipengaruhi oleh budaya patriarki, yaitu segala urusan kehidupan berpusat pada kekuasaan laki-laki, termasuk dalam hal pengambilan keputusan. Oleh karena itu, masih banyak perempuan di Papua yang kesulitan untuk mengakses pelayanan kesehatan dikarenakan keputusan masih berada di tangan laki-laki terutama di wilayah pedalaman Papua. Selain hal tersebut, wilayah tempat tinggal ibu juga menunjukkan kemampuan ibu dalam mengakses tenaga kesehatan, ketersediaan fasilitas kesehatan dan jumlah tenaga kesehatan juga mempengaruhi ibu untuk dapat mengakses
penolong
persalinan.
Berdasarkan
Data
dan
Informasi
Kementerian Kesehatan RI (InfoDatin) tahun 2013, diketahui bahwa jumlah penolong persalinan yaitu bidan di Papua pada tahun 2013 hanya mencapai 1.353 orang, jumlah ini masih kurang jika dibandingkan dengan provinsi lain. Adapun rasio ibu hamil dan bidan di Provinsi Papua pada sudah memenuhi syarat yaitu setiap bidan mampu menangani 21-30 ibu hamil dan berada pada zona biru. Akan tetapi, berdasarkan jumlah persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan diketahui Provinsi Papua masih berada di zona merah. Rasio bumil dan bidan tinggi tersebut ternyata tidak mempengaruhi angka persalinan ditolong tenaga kesehatan. Hal ini dapat disebabkan oleh distribusi bidan yang kurang merata serta kemampuan dan kualitas pelayanan yang masih kurang (Kemenkes, 2014). Ketersediaan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan yang masih banyak hanya dapat diakses oleh ibu yang bertempat tinggal diwilayah pekotaan dibandingkan ibu yang bertempat tinggal diwilayah pedesaan, 78
pedalaman dan daerah terpencil, hal ini dipengaruhi oleh wilayah Papua yang juga termasuk pegunungan dengan jarak tempat tinggal yang jauh dari pelayanan kesehatan. Ibu yang berada di daerah perkotaan akan lebih mudah untuk mengakses pelayanan kesehatan, hal ini dikarenakan ketersediaan tenaga dan fasilitas masih berpusat di daerah pekotaan. 6.3 Hubungan Faktor Predisposisi Dengan Penggunaan Penolong Persalinan Menurut Andersen dan Newman (2005), dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan seseorang dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor kebutuhan. Dijelaskan bahwa ketiga faktor ini dapat mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan untuk menentukan dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan, hal ini termasuk juga dalam keputusan ibu untuk menggunakan penolong persalinan untuk membantu ibu pada saat melahirkan. Adapun faktor predisposisi yang dimaksud adalah umur ibu, paritas, status perkawinan, pendidikan ibu, pendidikan suami, status pekerjaan ibu dan status pekerjaan suami. Gambaran faktor predisposisi ini akan dijabarkan sebagai berikut: 6.3.1 Umur Ibu Berdasarkan hasil uji statistik didapat Pvalue sebesar 0,324, yang artinya bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara umur ibu dengan penggunaan penolong persalinan. Umur merupakan salah satu faktor demografi yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Umur ibu melahirkan juga merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan 79
terjadinya komplikasi persalinan yang dapat berujung pada kematian ibu. Umur ibu yang ideal untuk melahirkan adalah 20-35 tahun, ini disebut juga dengan usia reproduksi sehat. Wanita yang melahirkan di bawah usia 20 tahun atau lebih dari 35 tahun akan mempunyai resiko yang tinggi baik pada ibu maupun bayi (Kemenkes, 2011). Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa penggunaan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan lebih tinggi pada ibu dengan kelompok umur <20 tahun yaitu (62,8%), kelompok umur ibu yang melakukan persalinan tanpa penolong paling tinggi berada pada kelompok umur 20-34 tahun yaitu (2,2%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bashar (2012) di Kenya, Simanjuntak dkk (2012) di Tapanuli Utara dan Assfaw (2010) di Distrik Samre Saharti, Tigray, Ethiopia. Pada penelitian tersebut diketahui bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara umur ibu dengan penggunaan penolong persalinan. Umur ibu yang lebih tua memiliki resiko terjadinya komplikasi saat melahirkan, keadaan ini dapat mendukung ibu untuk menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya. Hal ini dapat dimungkinkan karena perasaan khawatir ibu terhadap keadaan yang dapat mengancam kesehatan ibu. Persepsi seseorang terhadap kerentanan dan keparahan suatu penyakit atau gejala yang mengancam akan mempengaruhi seseorang bertindak untuk melakukan pengobatan atau pencegahan (Rosenstock,dkk, 1988). Hasil penelitian ini diketahui bahwa umur ibu yang lebih tua (35-49
80
tahun) lebih tinggi menggunakan bukan tenaga kesehatan untuk penolong persalinannya sebesar (54,8%). Tingginya penggunaan penolong persalinan oleh ibu yang melahirkan pada kelompok umur 35-49 tahun ini, dapat dipengaruhi pula oleh kurangnya pengetahuan ibu terhadap penolong persalinan serta kurangnya pengetahuan kesehatan tentang resiko terjadinya komplikasi jika melahirkan pada umur yang terlalu tua. Pengetahuan merupakan hasil dari mengingat kejadian yang pernah di alami baik sengaja maupun tidak sengaja (Mubarak, dkk; 2007). Pengetahuan seperti ini dapat diperoleh ibu melalui pengalaman saat melakukan proses persalinan sebelumnya. Pengalaman yang baik akan mendukung membentuk sikap positif ibu. Selain umur yang terlalu tua, umur terlalu muda juga mempunyai resiko terjadinya komplikasi saat melahirkan, hal ini dapat dikarenakan keadaan ibu yang belum siap untuk melakukan proses persalinan. ibu yang terlalu muda untuk melahirkan membutuhkan penolong persalinan yang terampil dan kompeten untuk mengurangi resiko terjadinya komplikasi dan dapat melakukan penanganan yang tepat jika terjadi komplikasi. Akan tetapi, berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa (62,8%) melakukan persalinan dengan penolong bukan tenaga kesehatan. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok umur ibu lainnya. Semakin bertambahnya umur seseorang, maka dapat terlihat taraf berpikir seseorang semakin matang dan dewasa (Mubarak, 2007). Keputusan seseorang akan berbeda pada umur yang muda dan umur yang lebih tua. Umur 81
yang lebih tua akan mengambil keputusan setelah mempelajari masalah tersebut dengan lebih teliti dan menilai kualitas keputusan tersebut dibandingkan pada seseorang dengan umur yang lebih muda (Lizárraga, dkk., 2007). Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa umur ibu 20-34 tahun menggunakan tenaga kesehatan sebesar (48,7%) dan ibu dengan umur 35-49 tahun (43,5%), angka ini lebih tinggi di banding ibu dengan umur <20 tahun (37,2%). Meski hasil tersebut menunjukkan penggunaan tenaga kesehatan tinggi, akan tetapi hasil yang diperoleh untuk penggunaan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan lebih tinggi dibandingkan hasil tersebut. Masih tingginya penggunaan penolong persalinan oleh bukan tenaga kesehatan ini dapat dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan ibu tentang persalinan yang aman. Lingkungan sekitar dan pengalaman ibu juga turut mempengaruhi keputusan ibu untuk menggunakan penolong persalinan, dimana pengalaman juga bertambah seiring dengan umur ibu. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Arung (2013) di Toraja Utara, bahwa ibu yang menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya lebih banyak pada kelompok ibu yang lebih muda dibandingkan dengan kelompok umur ibu yang lebih tua, hal ini dikarenakan ibu yang lebih muda memungkinkan untuk menjaga keamanan dan keselamatan dalam proses persalinan. Amano dkk (2012) menyatakan bahwa ibu dengan umur <20 tahun 6 kali lebih memilih melahirkan di fasilitas kesehatan dari pada ibu yang lebih tua. Pernyataan ini tidak sejalan dengan hasil yang didapat, dimana dalam penelitian ini diketahui bahwa ibu dengan umur <20 tahun lebih banyak 82
menggunakan bukan penolong persalinan dan lebih rendah dalam penggunaan tenaga kesehatan. Pada penelitian ini diketahui bahwa penggunaan penolong persalinan oleh tenaga kesehatan masih rendah pada semua kelompok umur ibu. Untuk meningkatkan penggunaan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan pemberian pendidikan/pengetahuan kesehatan tidak hanya diberikan pada ibu hamil saja, melainkan kepada anggota kelurga lainnya seperti suami, ibu kandung bahkan ibu mertua, agar memiliki pemahaman yang sama terhadap pentingnya penggunaan tenaga kesehatan pada saat proses persalinan. Selain itu, masih tingginya penggunaan bukan tenaga kesehatan untuk menolong proses persalinan di kalangan ibu-ibu semua umur, maka perlunya ada pendampingan dari petugas kesehatan setempat, untuk mengantisipasi bila terjadi komplikasi sekaligus upaya untuk menurunkan angka kematian ibu di Provinsi Papua.
6.3.2 Paritas Paritas merupakan jumlah anak yang pernah dilahirkan ibu baik hidup maupun mati, namun bukan aborsi. Semakin banyaknya jumlah anak yang pernah dilahirkan akan menambah pengalaman ibu dalam proses melahirkan, sehingga mempengaruhi untuk mengambil keputusan dalam penggunaan tenaga penolong persalinan. Hasil analisis didapatkan Pvalue sebesar 0,000
83
yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara paritas dengan penggunaan penolong persalinan. Menurut
McCarthy
and
Deborah (1992) disebutkan bahwa paritas
merupakan salah satu status reproduksi wanita yang termasuk dalam faktor lanjutan yang mempengaruhi kehamilan, komplikasi kehamilan dan kesakitan atau kematian ibu. Menurut Kementerian kesehatan (2011), paritas dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu paritas dikategorikan rendah apabila ibu melahirkan kurang atau sama dengan 3 kali kelahiran, sedangkan paritas tinggi yaitu apabila ibu melahirkan lebih dari 3 kali kelahiran. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa ibu yang memiliki paritas lebih dari enam (6+) sebanyak 4,3% ibu, sedangkan ibu yang memiliki paritas 4-5 sebanyak 14,1% ibu. Semakin tingginya paritas ibu, maka semakin besar peluang mengalami komplikasi kehamilan. Menurut Manuaba, wanita dengan paritas tinggi menghadapi resiko perdarahan akibat atonia uteri yang semakin meningkat karena terjadinya perubahan serabut otot menjadi jaringan pada uterus. Hal ini dapat menurunkan kemampuan uterus dalam berkontraksi sehingga sulit untuk melakukan penekanan pada pembuluh-pembuluh darah yang terbuka setelah melepaskan plasenta (Yenita, 2011). Akan tetapi, hasil analisis menunjukkan bahwa ibu dengan paritas 6+ menggunakan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya yaitu sebesar 63,8% ibu menggunakan bukan tenaga kesehatan. Kelompok paritas lain yang menggunakan bukan tenaga kesehatan tinggi kedua yaitu ibu dengan paritas 484
5 sebesar 53,7% ibu. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa ibu yang memiliki paritas tinggi lebih banyak menggunakan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan. Selain itu, berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa ibu dengan paritas 6+ paling banyak berada pada kelompok ibu 34-49 tahun. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa ibu dengan umur tua dan mempunyai paritas tinggi memiliki resiko komplikasi kehamilan lebih tinggi. Tingginya penggunaan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan oleh ibu dengan paritas tinggi ini dapat dipengaruhi juga oleh pengalaman ibu dalam proses persalinan. Ibu yang berada pada paritas lebih dari tiga memiliki pengalaman melahirkan yang lebih banyak dibandingkan ibu yang berada pada paritas kurang dari tiga. Pengalaman ibu dalam proses persalinan ini dapat mempengaruhi ibu untuk memutuskan dalam penggunaan penolong persalinan. Menurut Mubarak, dkk (2007) pengalaman merupakan kejadian yang pernah dialami seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Pengalaman merupakan proses yang dapat merubah sikap seseorang. Oleh karena itu, pengalaman yang lebih banyak pada ibu dengan paritas tinggi dalam proses persalinan dapat mengurangi perasaan takut dan khawatir ibu pada saat melahirkan, dibandingkan dengan ibu yang paritas rendah dan masih kurang berpengalaman. Pengalaman
ibu
menggunakan
penolong
persalinan
juga
dapat
menimbulkan kepercayaan pada penolong persalinan tersebut. Ibu yang yang ditolong oleh bukan tenaga kesehatan pada persalinan sebelumnya dengan tidak mengalami masalah saat persalinan, memiliki kemungkinan untuk 85
menggunakan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan pada persalinan berikutnya. Kepercayaan ibu terhadap penggunaan penolong persalinan dapat dipengaruhi pula oleh pengetahuan ibu. Menurut Andersen (1968), pengetahuan terhadap suatu penyakit dapat menimbulkan kepercayaan kesehatan seseorang. Pengetahuan ibu yang kurang atau tidak memiliki pengetahuan tentang paritas dan kesehatan reproduksi, dapat memungkinkan ibu untuk menggunakan penolong persalinan yang salah dibandingkan ibu yang memiliki pengetahuan tentang paritas. Ibu yang tidak mengetahui bahaya dari paritas tinggi dalam kehamilan dan persalinan cenderung memiliki rasa takut yang sedikit dan tidak ragu untuk menggunakan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan. Pengalaman ibu dalam persalinan yang didukung dengan rendahnya pengetahuan inilah yang dapat menyebabkan masih tingginya ibu yang menggunakan bukan tenaga kesehatan untuk proses persalinannya. beberapa penelitian lain yang juga sejalan dengan hasil penelitian ini yaitu Jat dkk (2011) di India, dan Bashar (2012) di Bangladesh, diketahui terdapat hubungan antara paritas dengan penggunaan penolong persalinan. Penelitian lain yang dilakukan Mekonenn & Mekonenn (2002) di Ethiopia, menunjukkan bahwa wanita dengan anak lebih dari satu memiliki 50% kemungkinan lebih kecil untuk menggunakan tenaga kesehatan untuk menolong persalinannya. Informasi kesehatan mengenai kesehatan reproduksi wanita sangat diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan ibu tentang paritas dan penggunaan penolong persalinan yang tepat. Pendidikan kesehatan juga 86
diberikan untuk merubah sikap ibu terhadap penolong persalinan. Kemitraan antara tenaga kesehatan dan penolong persalinan tradisional juga perlu ditingkatkan, mengingat masih tingginya ibu dengan paritas tinggi yang menggunakan menggunakan bukan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya. 6.3.3 Status Perkawinan Status perkawinan mempunyai pengaruh terhadap keputusan ibu untuk menggunakan penolong persalinan. Status perkawinan ibu menunjukkan dukungan suami atau pasangan dalam memilih penolong persalinan. Berdasarkan data SDKI 2012 diketahui bahwa sebanyak (23,9%) ayah di Provinsi Papua turut berperan mendiskusikan penolong persalinan dalam persiapan kelahiran. Berdasarkan uji statistik didapat Pvalue sebesar 0,000 yang artinya terdapat hubungan antara status perkawinan dengan penggunaan penolong persalinan. Hubungan status perkawinan merupakan sumber utama dukungan untuk para orang dewasa (Gallo,dkk., 2003). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebesar (45,9%) ibu yang menikah menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya. Angka ini lebih tinggi dibandingkan ibu yang memiliki status tidak menikah. Hal ini dapat disebabkan karena ibu yang menikah memiliki dukungan sosial dari suami dan keluarga lainnya. Dukungan yang diberikan suami dalam penggunaan penolong persalinan dapat melalui pendampingan suami pada saat melakukan pemeriksaan
87
kehamilan, mendiskusikan kesehatan ibu dengan tenaga kesehatan, dan mempersiapkan rencana kelahiran (BPS, 2013). Selain ibu yang menikah, ibu yang hidup bersama dengan pasangan juga menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan tinggi yaitu sebesar (43,3%). Hal ini juga dapat disebabkan adanya dukungan dari pasangan ibu untuk menggunakan tenaga kesehatan. Dukungan sosial yang positif terhadap pelayanan kesehatan, akan mendukung keputusan yang positif dalam menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya. Akan tetapi, dalam penelitian ini diketahui bahwa ibu dengan status menikah dan hidup bersama tinggi dalam penggunaan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan yaitu sebesar (52,4%) dan (53,3%). Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa kelompok ibu menikah dan hidup bersama pasangan juga memiliki angka persalinan tanpa penolong lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang tidak mempunyai status perkawinan. Hal ini dapat disebabkan kurangnya pengetahuan suami/pasangan dan keluarga ibu tentang persalinan yang aman oleh tenaga kesehatan. Pengetahuan suami/pasangan yang kurang tentang tenaga kesehatan
akan
berdampak
pada
dukungan
suami/pasangan
dalam
menggunakan penolong persalinan. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa ibu yang bercerai atau berpisah hidup menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya. Hal ini dapat disebabkan masih adanya dukungan dari suami meski sudah bercerai atau berpisah dibandingkan dengan ibu yang bercerai mati. Hasil 88
menunjukkan bahwa ibu yang bercerai mati menggunakan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan sebesar (71,4%). Hal ini dapat disebabkan tidak adanya dukungan dari suami yang membantu ibu untuk menentukan penggunaan penolong persalinan. Dukungan yang diberikan suami dapat bersifat emosional atau finansial. Dukungan yang diberikan suami dapat berupa pendampingan suami saat ibu melakukan pemeriksaan kehamilan, mendiskusikan kesehatan ibu hamil dengan tenaga kesehatan untuk membantu menjaga kesehatan ibu dan melakukan perencanaan persalinan yang termasuk didalamnya penentuan penolong persalinan, transportasi, tempat persalinan, biaya persalinan dan lain-lain (BPS, 2013). Ibu yang memiliki suami/pasangan lebih mendapatkan bantuan untuk mengakses tenaga kesehatan terutama dalam pengeluaran untuk biaya persalinan. Biaya persalinan yang tinggi akan berdampak negatif bagi ibu untuk mengakses tenaga kesehatan terutama pada ibu yang miskin. Ketiadaan suami dapat menghambat ibu untuk mengkases pelayanan kesehatan. Berdasarkan SDKI 2012 salah satu penghambat ibu untuk mengakses pelayanan kesehatan di Provinsi Papua adalah ibu tidak berani untuk pergi sendiri kepelayanan kesehatan (26,8%) (BPS, 2013). Oleh karena itu, keberadaan suami/pasangan dapat mendukung ibu untuk mengakses pelayanan kesehatan. Suami atau pasangan mempunyai peran penting dalam pengambilan keputusan, meski sebagian besar ibu yang memutuskan untuk memilih penolong persalinannya, namun masih banyak ibu yang patuh terhadap 89
keputusan suami hal ini berkaitan dengan kedudukan suami didalam keluarga. Hal ini dikarenakan masyarakat Papua yang masih menganut budaya patriarki, yaitu laki-laki merupakan pemegang keputusan dalam rumah tangga atau masyarakat. Selain itu, ada istilah yang mengatakan bahwa perempuan yang menikah merupakan milik bersama, artinya perempuan yang sudah menikah tidak hanya milik suami melainkan milik seluruh kerabatnya (Goo,2012). Hal ini juga dapat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan ibu untuk menggunakan penolong persalinan yang juga akan dipengaruhi oleh keluarga suami salah satunya yaitu ibu mertua. Kentalnya budaya yang melekat dalam kehidupan masyarakat Papua, maka besar kemungkinan bahwa terlihat perbedaan antara kedudukan suami dan isteri dalam keluarga. Penelitian yang dilakukan Alwi (2001) menyebutkan bahwa masih terdapat ibu yang tidak akan melakukan persalinan ke pelayanan kesehatan sebelum mendapatkan ijin suami. Kepercayaan terhadap adat setempat juga dapat memperngaruhi keputusan ibu untuk menggunkan tenaga penolong persalinan. Di Provinsi Papua masih banyak terdapat masyarakat yang masih sangat patuh terhadap kepercayaan terhadap leluhur, sehingga apabila melanggar akan diberi hukuman. Hal ini dapat juga mengakibatkan tingginya ibu melahirkan tanpa menggunakan penolong persalinan dan persalinan dengan bukan tenaga kesehatan.
90
6.3.4 Tingkat Pendidikan Ibu Pendidikan mempunyai peran penting dalam perilaku seseorang. Pendidikan dapat juga mempengaruhi terhadap pengetahuan dan sikap seseorang terhadap pelayanan kesehatan, termasuk dalam menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan. Hasil analisis memperoleh Pvalue sebesar 0,000 yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan penggunaan penolong persalinan. Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan untuk menggunakan pelayanan kesehatan. Menurut Andersen and Newman (2005), pendidikan dapat menunjukkan gaya hidup seseorang dan pola perilaku seseorang yang berhubungan juga dengan penggunaan pelayanan kesehatan. Tingkat pendidikan seseorang dapat menunjukkan kesadaran dan ketertarikan yang lebih terhadap masalah kesehatan. Ibu dengan pendidikan tinggi akan lebih cenderung untuk menggunakan tenaga kesehatan untuk penolong persalinannya dibandingkan dengan ibu
yang
mempunyai
pendidikan rendah atau tanpa pendidikan. Hasil analisis menunjukkan bahwa ibu dengan tanpa pendidikan lebih tinggi menggunakan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan yaitu sebesar 83,2% dan melakukan persalinan tanpa penolong persalinan lebih tinggi dibandingkan dengan ibu lainnya. Sedangkan ibu dengan pendidikan tinggi lebih banyak menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya yaitu sebesar 100%. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa pendidikan ibu sangat 91
mempengaruhi
keputusan ibu untuk
menggunakan penolong persalinan. Tingkat pendidikan ibu yang rendah akan mempengaruhi perilaku ibu yang cenderung kearah yang kurang sehat. Sedangkan ibu yang berpendidikan tinggi memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk berperilaku sehat, termasuk dalam mengakses pelayanan kesehatan. Hal ini ada kaitannya pula dengan pengetahuan yang dimiliki oleh ibu. Tingkat pendidikan dapat pula mempengaruhi pengetahuan yang dimiliki seseorang. Ibu yang mempunyai pengetahuan kurang tentang persalinan yang aman akan cenderung untuk menggunakan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan atau bahkan melakukan persalinan tanpa penolong persalinan. Hal ini dikarenakan ibu tidak mengetahui masalah yang dapat ditimbulkan pada saat melahirkan dan hal yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi saat persalinan. Penelitian yang dilakukan Simanjuntak, dkk (2012) di Tapanuli Utara, menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan ibu dengan penggunaan penolong persalinan. Pengetahuan ibu yang kurang tentang penolong persalinan dapat juga berpengaruh terhadap sikap ibu terhadap penggunaan penolong persalinan. Sikap ibu yang memiliki pendidikan tinggi akan berbeda dengan ibu yang memiliki pendidikan rendah atau tanpa pendidikan terhadap penolong persalinan oleh tenaga kesehatan. Sikap dapat merubah tanggapan seseorang terhadap suatu objek, akan tetapi tidak harus memprediksi tindakan tertentu (Azjen & Fishbein, 1977). Sikap tidak secara langsung dapat mempengaruhi perilaku ibu untuk menggunakan penolong persalinan. Akan tetapi, ibu yang 92
memiliki sikap yang kurang terhadap tenaga kesehatan akan berpengaruh terhadap keputusan ibu untuk menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya. Penelitian yang dilakukan Juliwanto (2009) di Aceh, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang antara sikap ibu dengan pemilihan penolong persalinan Sikap dapat terbentuk melalui keyakinan atau kepercayaan seseorang terhadap sesuatu. Penggunaan penolong persalinan bukan oleh tenaga kesehatan pada ibu yang berpendidikan rendah atau tanpa pendidikan dapat dipengaruhi oleh kepercayaan lingkungan setempat ibu terhadap tenaga kesehatan. Di beberapa daerah Papua masih terdapat ibu yang berpikir bahwa terjadinya komplikasi saat kehamilan atau persalinan merupakan hukuman karena melanggar adat setempat (Dumatubun, 2002). Hal ini dapat disebabkan pula oleh kurangnya informasi-informasi kesehatan yang didapat oleh ibu, sehingga pengetahuan yang didapatkan oleh ibu hanya didapatkan dari pengalaman ibu ataupun dari kepercayaan-kepercayaan masyarakat setempat. Pemberian informasi-informasi kesehatan melalui media komunikasi umum, dan melalui petugas-petugas kesehatan terkait penolong persalinan kepada ibu hamil. Berkerjasama dengan lembaga-lembaga masyarakat lain untuk memberikan pendidikan kesehatan kepada ibu, suami atau pasangan, dan keluarga sehingga dapat menambah wawasan dan pengtahuan serta dapat mengubah sikap ibu dan tindakan ibu untuk memilih penolong persalinan.
93
6.3.5 Tingkat Pendidikan Suami/Pasangan Berdasarkan hasil uji statistik didapat Pvalue sebesar 0,000 yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan suami atau pasangan dengan pemilihan penolong persalinan. Suami mempunyai peran dalam pengambilan keputusan untuk penggunaan penolong persalinan. Berdasarkan data SDKI 2012, menyebutkan bahwa suami yang turut berperan dalam pengambilan keputusan untuk perencanaan persalinan sebesar (23,9%). Tingkat pendidikan suami/pasangan yang tinggi akan lebih memilih tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan istrinya. suami/pasangan yang mempunyai pendidikan rendah akan cenderung memilih tenaga penolong persalinan oleh bukan tenaga kesehatan. Hal ini dikarenakan pengetahuan suami/pasangan yang kurang tentang persalinan yang aman. Tingkat pendidikan yang tinggi akan memudahkan seseorang untuk lebih mudah menerima informasi, sehingga menambah pengetahuan orang tersebut. Sebaliknya jika pendidikan seseornag rendah maka akan menghambat perkembangan sikap seseorang (Mubarak, dkk., 2007). Oleh karena itu, suami dengan pendidikan yang tinggi akan lebih mendukung untuk menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan istrinya, dibandingkan dengan suami yang mempunyai pendidikan rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian yang Dagne (2010) diketahui bahwa wanita yang mempunyai pasangan dengan pendidikan tinggi cenderung menggunakan tenaga kesehatan untuk persalinannya daripada wanita yang mempunyai pasangan tanpa pendidikan
94
Pendidikan yang tinggi yang akan mempengaruhi suami/pasangan untuk lebih peduli tentang kesehatan dibanding suami/pasangan dengan pedidikan rendah. Pendidikan suami/pasangan juga dapat memperlihatkan peran suami/pasangan dalam perawatan kesehatan keluaraga termasuk dalam perwatan kehamilan istri dan persiapan kelahiran (BPS, 2013). Pendidikan suami/pasangan yang tinggi akan lebih positif dalam menerima informasi kesehatan dibanding suami/pasangan yang mempunyai pendidikan rendah atau tanpa pendidikan. Hal ini akan berdampak pula pada pengetahuan suami/pasangan tentang kesehatan ibu hamil dan pelayanan persalinan. Pengetahuan suami tentang pelayanan persalinan, juga dapat berdampak pada sikap suami terhadap tenaga kesehatan. Pengetahuan yang kurang akan berdampak pula pada sikap yang kurang. Sikap juga dapat terbantuk melalui kepercayaan dan keyakinan, ide dan konsep terhadap suatu objek (Mubarak, dkk., 2007). Kepercayaan dan keyakinan suami terhadap persalinan yang salah akan berdampak pada dukungan suami terhadap keputusan ibu untuk memilih penggunaan penolong persalinan. Suami/pasangan yang lebih percaya pada penolong tradisional atau bukan tenaga kesehatan akan lebih mendukung ibu untuk menggunakan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan. Hasil penelitian yang dilakukan Restiyanti (2013) di Toraja Utara, diketahui bahwa terdapat hubungan antara pendidikan suami atau pasangan dengan
perencanaan
persalinan
termasuk
didalamnya
merencanakan
pemilihan penolong persalinan. Langi (2009), ibu yang memiliki suami 95
dengan pendidikan tinggi lebih tinggi menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya dibandingkan dengan ibu yang memiliki pendidikan rendah. 6.3.6
Status Pekerjaan Ibu Pekerjaan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi seseorang dalam menggunakan pelayanan kesehatan. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai Pvalue sebesar 0,000 yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu dengan pemilihan penolong persalinan. penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Amano dkk (2012) Ethiopia tenggara, diketahui bahwa terdapat hubungan antara pekerjaan ibu dengan pemanfaatan pelayanan persalinan. Menurut Andersen dan Newman (2005) pekerjaan dapat menunjukkan gaya hidup dan pandangan seseorang terhadap pelayanan kesehatan. Pekerjaan ibu yang mendukung akan memudahkan ibu untuk mengakses pelayanan kesehatan. Lingkungan pekerjaan seseorang dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung (Mubarak, dkk., 2007). Pekerjaan dapat menjadi sumber seseorang untuk memperoleh pengalaman. Pengalaman dapat diperoleh melalui interaksi antara individu dengan lingkungan. Lingkungan pekerjaan ibu yang tidak mendukung dapat pula berpengaruh terhadap pengetahuan ibu tentang penggunaan penolong persalinan. Pekerjaan ibu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah status bekerja pada ibu, baik yang
96
dilakukan
dirumah
maupun
di
luar
rumah
dan
memperoleh
penghasilan/imbalan berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa jenis pekerjaan yang dimiliki ibu sebesar (38,8%) bekerja di bagian pertanian. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa lingkungan pekerjaan ibu dapat berpengaruh terhadap pengetahuan ibu, yang juga dapat mendukung pembentukkan sikap ibu terhadap penggunaan penolong persalinan. Ibu yang berada pada lingkungan pekerjaan yang kurang mendukung pendidikan kesehatan, akan memiliki pengetahuan kesehatan yang kurang. Oleh karena itu, informasi-informasi kesehatan diperlukan disetiap lingkungan pekerjaan. Hal ini bertujuan untuk menambah pengetahuan ibu. 6.3.7 Status Pekerjaan Suami Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang memiliki suami bekerja, melakukan persalinan tanpa penolong lebih tinggi yaitu (2,7%) dan menggunakan bukan tenaga kesehatan sebanyak (73%), hasil statistik didapat 0,014 yang artinya terdapat hubungan antara pekerjaan suami dengan pemilihan penolong persalinan yang digunakan ibu melahirkan. Hasil penelitian ini sejalan dengan Langi (2009) diketahui bahwa pekerjaan suami memiliki hubungan dengan pemilihan penolong persalinan ibu. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ibu yang menggunakan penolong persalinan tenaga kesehatan lebih tinggi pada ibu yang mempunyai suami bekerja yaitu (49%). Hal ini menunjukkan bahwa dukungan suami dapat mempengaruhi ibu dalam mengambil keputusan untuk menggunakan
97
tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan. Hal ini sejalan dengan Dhakal (2011) bahwa semakin tinggi tingkat keterampilan pekerjaan suami, semakin tinggi kemungkinan ibu mmelahirkan di institusi pelayanan kesehatan dan dibantu oleh tenaga kesehatan. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Restiyanti (2013) di Toraja Utara, diketahui bahwa tidak ada hubungan yang antara pekerjaan suami dengan pemilihan penolong persalinan. Ibu yang mempunyai suami bekerja lebih tinggi melakukan kunjungan antenatal lebih dari 4 kali dibandingkan dengan ibu yang mempunyai suami tidak bekerja. Ibu yang memiliki suami bekerja mempunyai kesempatan yang lebih tinggi untuk mengakses pelayanan kesehatan dan menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya. Pekerjaan suami merupakan salah satu faktor yang dapat menggambarkan angka pendapatan keluarga, dan juga dapat mendukung akses ibu untuk mendapatkan pelayanan persalinan oleh tenaga kesehatan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Juliwanto (2009) diketahui bahwa terdapat hubungan antara pendapatan keluarga dengan pemilihan penolong persalinan. Dalam penelitian ini ibu yang memiliki suami tidak bekerja lebih banyak menggunakan penolong persalinan bukan oleh tenaga kesehatan. Selain itu, sebanyak (75,7%) suami yang tidak bekerja bertempat tinggal di wilayah pedesaan dan (51,4%) ibu yang memiliki suami yang tidak bekerja mempunyai pendidikan rendah. Hal ini menyebabkan ibu yang memiliki suami atau pasangan yang tidak bekerja kurang mendapatkan dukungan dari 98
suami. Oleh karena itu, perlunya dukungan dari anggota kelurga lain maupun petugas kesehatan untuk meningkatkan penggunaan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan.
6.4 Hubungan
Faktor
Pemungkin
Dengan
Penggunaan
Penolong
Persalinan Faktor pemungkin merupakan faktor yang dapat memungkinkan ibu untuk mengakses penolong persalinan. Adapun faktor pemungkin yang dapat mendukung ibu untuk menggunakan penolong persalinan pada penelitian ini antara lain tingkat kekayaan dan wilayah tempat tinggal ibu yang akan dijabarkan sebagai berikut. 6.4.1
Tingkat Kekayaan Tingkat
kekayaan merupakan salah satu faktor
yang dapat
mempengaruhi seseorang untuk mengakses pelayanan kesehatan. Hasil uji statistik didapatkan Pvalue sebesar 0,000 yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kekayaan dan penggunaan penolong persalinan oleh ibu melahirkan di Provinsi Papua. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Jat, dkk (2011) di India, diketahui bahwa ibu yang termasuk dalam kelompok kekayaan menengah atas dan teratas lebih memilih menggunakan penolong persalinan tenaga kesehatan dibandingkan ibu yang termasuk dalam kelompok terbawah dan menengah bawah. Tingkat kekayaan dapat digunakan untuk mengukur status ekonomi rumah tangga. Dalam SDKI 2012 kekayaan rumah tangga merupakan 99
karakteristik latar belakang rumah tangga yang digunakan sebagai pandekatan untuk mengukur standar hidup rumah tangga dalam waktu yang panjang. Pengukuran ini didasarkan pada data karakteristik perumahan dan kepemilikan barang, jenis sumber air minum, fasilitas toilet dan karakteristik lain yang terkait dengan status ekonomi rumah tangga. Tingkat kekayaan dalam SDKI dibagi kedalam lima kuantil yaitu kuantil terbawah, menengah bawah, menengah, menengah atas dan teratas (BPS, 2013). Hasil analisis menunjukkan bahwa ibu di Provinsi Papua yang termasuk dalam tingkat kekayaan terbawah sebesar (43,3%), menengah bawah (14,4%), menengah (20,5%), menengah atas (12,6%), dan teratas (9,2%). Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa ibu yang memiliki tingkat kekayaan tinggi akan penggunaan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan, seperti ibu dengan tingkat kekayaan menengah menggunakan tenaga kesehatan sebesar 91,9%, ibu dengan tingkat kekayaan menengah atas menggunakan tenaga kesehatan sebesar 100%, dan ibu dengan tingkat kekayaan teratas menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan sebesar 90%. Hal ini berbeda dengan ibu yang berada pada tingkat kekayaan terbawah yang menggunakan tenaga kesehatan hanya sebesar 28,6%, dan lebih tinggi dalam menggunakan bukan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya yaitu sebesar 70,1%. Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa ibu yang memiliki tingkat kekayaan atas akan lebih memilih menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya dibandingkan ibu yang berada pada tingkat kekayaan 100
terbawah. Hal ini dapat berhubungan dengan sumberdaya yang dimiliki ibu memenuhi untuk menggunakan pelayanan kesehatan termasuk penggunaan tenaga kesehatan. Tingkat kekayaan merupakan salah satu sumberdaya yang dapat mendukung untuk menggunakan pelayanan kesehatan (Andersen, 1968). Tingkat kekayaan keluarga juga menunjukkan kemampuan ibu untuk mengeluarkan biaya untuk mengakses persalinan oleh tenaga kesehatan. Dalam penelitian ini diketahui bahwa ibu yang menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya lebih tinggi pada ibu yang termasuk dalam tingkat kekayaan menengah sampai ibu yang memiliki tingkat kekayaan atas. Hal ini menunjukkan bahwa ibu yang memiliki tingkat kekayaan tinggi lebih mudah dalam mengakses pelayanan persalinan. 6.4.2 Wilayah Tempat Tinggal Provinsi Papua merupakan salah satu pulau besar di Indonesia. Namun, jumlah penduduk yang Provinsi Papua jauh lebih sedikit dibandingkan dengan besar pulau tersebut. Penyebaran penduduk Papua masih belum merata. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa dari 337 ibu yang melahirkan lima tahun lalu (2008-2012) ibu yang bertempat tinggal di pedesaan sebesar (56,4%), dan ibu yang bertempat tinggal di perkotaan sebesar (43,6%). Hasil uji statistik menunjukkan Pvalue sebesar 0,000 yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara wilayah tempat tinggal dengan penggunaan penolong persalinan. Hasil penelitian ini sejalan dengan
101
penelitian yang dilakukan Dagne (2010) di Ethiopia, diketahui bahwa ibu yang berada di wilayah pedesaan lebih sedikit menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya dibandingkan dengan ibu yang bertempat tinggal diwilayah perkotaan. Berdasarkan penelitian ini wilayah tempat tinggal ibu berhubungan dengan penggunaan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan. Ibu yang bertempat tinggal di perkotaan menggunakan tenaga kesahatan sebagai penolong persalinan lebih tinggi dibandingkan ibu yang bertempat tinggal di pedesaan. Hal ini dikarenakan ibu yang bertempat tinggal lebih mudah untuk mengakses pelayanan persalinan. Ketersediaan tenaga kesehatan yang mendukung untuk melakukan penolongan persalinan lebih banyak tersedia di wilayah perkotaan dibandingkan wilayah pedesaan. Berdasarkan data tahun 2013 diketahui bahwa ketersediaan tenaga kesehatan di Papua antara lain rasio dokter umum di Provinsi Papua yang telah mencapai rasio provinsi adalah kota Jayapura yaitu (88,0%). Ketersediaan perawat di provinsi Papua sudah memenuhi capaian Indonesia tahun 2013 dengan rasio rata-rata nasional sebesar 117,5% per 100.000 penduduk. Jumlah rasio perawat di Papua sudah melebihi yaitu pada tahun 2013 mencapai 166,3% per 100.000 penduduk. Rasio bidan di baru mencapai 58,0% per 100.000 penduduk, rasio ini sudah lebih dari rata-rata rasio bidan di provinsi Papua yaitu sebesar 55,1% per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2013). Penyebaran tenaga kesehatan yang belum merata di Papua menjadi
102
penyebab rendahnya capaian penggunaan tenaga kesehatan untuk penolong persalinannya. Selain itu, Provinsi Papua merupakan provinsi yang mempunyai banyak suku juga menjadi salah satu hal yang mempengaruhi perilaku masyarakat Papua. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2000, diketahui bahwa terdapat sebanyak 319 suku di Papua (Papua.go.id). banyaknya sukusuku di Papua juga mempunyai pengaruh atas perilaku masyarakat Papua termasuk perilaku kesehatan masyarakat, yang salah satunya adalah perilaku penggunaan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya. Kepercayaan masyarakat terhadap kebiasaan-kebiasaan adat dalam proses
persalinan
mempercayai
dapat
tenaga
menyebabkan
kesehatan
dan
sulitnya
masyarakat
menggunakannya.
untuk
Kepercayaan
masyarakat yang masih kental terhadap adat istiadat sekitarnya masih tinggi di daerah-daerah pedesaan atau pedalaman Papua. Ibu yang bertempat tinggal di pedesaan mempunyai peluang lebih besar mendapatkan pengaruh dari adat setempat dalam melakukan persalinan. Menurut Andersen & Newman (2005) wilayah tempat tinggal seseorang dapat mendukung untuk mengakses pelayanan kesehatan karena norma setempat atau adanya nilai komunitas yang mempengaruhi perilaku individu yang tinggal di lingkungan tersebut. Salah satu pengaruh budaya terhadap persalinan yaitu persalinan yang dilakukan oleh orang Hatam dan Sough. Persalinan bagi orang Hatam dan Sough adalah suatu masa krisis. Persalinan biasanya di dalam pondok (semuka) yang dibangun di belakang 103
rumah. Darah bagi orang Hatam dan Sough bagi ibu yang melahirkan adalah tidak baik untuk kaum laki-laki, karena bila terkena darah tersebut, maka akan mengalami kegagalan dalam aktivitas berburu. Oleh karena itu, seorang ibu yang melahirkan harus terpisah dari rumah induknya. Persalinan juga dibantu oleh seorang dukun perempuan (Ndaken) yang sudah mempunyai posisi yang penting dalam masyarakat (Dumatubun, 2002). Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa di beberapa daerah Papua masih kentalnya pengaruh kepercayaan masyarakat terhadap adat setempat. Kepercayaan tersebut dapat menimbulkan sikap ibu terhadap penggunaan penolong persalinan. Selain pengaruh budaya, distribusi tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan yang belum merata, keterjangkauan daerah tempat tinggal masyarakat juga menjadi penyebab rendahnya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Rendahnya akses ini juga dapat disebabkan oleh kurang tersedianya pelayanan kesehatan di daerah-daerah tertentu di Provinsi Papua, seperti halnya pada daerah terpencil dan perbatasan Papua. Provinsi Papua merupakan provinsi yang berbatasan langsung dengan Papua New Guinea. Daerah perbatasan tersebut berbukit dan bergunung, sehingga daerah-daerah yang berada diperbatasan tersebut masih merupakan daerah tertinggal. Sulitnya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan disebabkan daerah yang berjauhan dan transportasi yang sulit didapat. Hal ini menjadikan penyebab sulitnya meningkatkan pelayanan kesehatan di masyarakat. Hal ini berbeda dengan ibu yang bertempat tinggal di wilayah pekotaan. Meski sarana prasarana belum mencapai yang ditargetkan pemerintah, akan tetapi ibu yang 104
bertempat tinggal di pekotaan memiliki peluang yang lebih tinggi untuk dengan mudah mengakses pelayanan kesehatan dibandingkan ibu yang berada diwilayah pedesaan atau bahkan di pedalaman. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa ibu yang tinggal di perkotaan lebih banyak menggunakan tenaga kesehatan dibandingkan ibu yang tinggal di pedesaan. Akan tetapi, meski penggunaan tenaga kesehatan tinggi pada ibu yang bertempat tinggal di perkotaan, namun pada hasil analisis diketahui bahwa persentase ibu yang melakukan persalinan tanpa penolong lebih tinggi pada ibu yang berada perkotaan sebesar (2,1%). Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah populasi ibu yang bertempat tinggal di pedesaan jauh lebih banyak dibandingkan ibu yang bertempat tinggal diwilayah perkotaan. Masih adanya ibu yang bertempat tinggal diperkotaan yang melahirkan tanpa penolong juga dapat dipengaruhi oleh pendidikan ibu yang masih rendah, hasil analisis menunjukkan ibu diperkotaan yang yang termasuk dalam tingkat kekayaan terbawah sebesar (23,4%) dan ibu masih memiliki pendidikan dasar sebesar (11,7%) dan (9,6%) ibu mempunyai suami tidak bekerja dan sebesar (7,4%) ibu tidak melakukan kunjungan antenatal. Beberapa hal tersebut dapat menjadi penyebab ibu yang berada di perkotaan melahirkan tanpa menggunakan persalinan. Oleh karena itu, kerjasama antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat serta lembaga-lembaga masyarakat lain sangat diperlukan untuk memberikan informasi kesehatan pada ibu, suami atau pasangan dan juga pada keluarga serta masyarakat sekitar serta 105
peningkatan penyediaan sarana dan prasarana untuk mengakses tenaga kesehatan bagi masyarakat desa dan pedalaman. 6.5 Hubungan Faktor Kebutuhan Dengan Penggunaan Penolong Persalinan 6.5.1
Komplikasi Kehamilan Hasil analisis menunjukkan bahwa ibu yang pernah mengalami komplikasi kehamilan di Provinsi Papua sebesar (10,1%) dan ibu yang tidak pernah
mengalami
komplikasi
kehamilan
sebesar
(89,9%).
Hasil
menunjukkan bahwa ibu yang pernah mengalami komplikasi kehamilan lebih tinggi melakukan persalinan tanpa penolong yaitu (2,9%), ibu yang melahirkan menggunakan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan lebih tinggi pada ibu yang pernah mengalami komplikasi kehamilan yaitu (58,8%). Hasil uji statistik didapatkan Pvalue sebesar 0,559 yang artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara komplikasi kehamilan dengan penggunaan penolong persalinan. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa jumlah ibu yang menggunakan bukan tenaga kesehatan lebih tinggi pada kelompok ibu yang tidak pernah mengalami komplikasi kehamilan. Hal ini dapat disebabkan karena jumlah perbedaan populasi yang terlalu besar antara ibu yang pernah mengalami komplikasi dengan ibu yang tidak pernah mengalami. Perbedaan ini dapat disebabkan juga oleh ibu yang tidak menjawab pada saat proses wawancara atau dapat juga oleh banyaknya data yang missing. Dari hasil analisis didapatkan data yang missing sebanyak 578 dari jumlah populasi 920 ibu. 106
Meskipun dengan jumlah data missing sejumlah diatas, akan tetapi penelitian ini sudah memenuhi syarat kekuatan uji 80%. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa ibu tidak terdapat hubungan antara komplikasi kehamilan dan penolong persalinan, hal ini dikarenakan penggunaan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan tinggi pada ibu yang pernah mengalami komplikasi kehamilan maupun yang tidak pernah mengalami komplikasi kehamilan. Berdasarkan hasil analisis juga menunjukkan bahwa ibu yang tidak pernah mengalami komplikasi kehamilan lebih tinggi menggunakan tenaga kesehatan sebesar (47,2%). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Auliasih, dkk (2013) yang dilakukan di Sulawesi Selatan, yaitu ibu yang mempunyai komplikasi kehamilan dari menggunakan dukun beranak pada kelahiran sebelumnya menjadi pada tenaga kesehatan untuk penolong persalinan saat ini. Menurut
McCarthy
and
Deborah (1992) komplikasi kehamilan
merupakan penyebab langsung terjadinya kematian ibu. Oleh karena itu, bantuan tenaga kesehatan pada saat ibu melahirkan merupakan hal yang sangat penting. Akan tetapi, masih banyak ibu yang tetap menggunakan penolong bukan tenaga kesehatan bahkan tidak menggunakan penolong persalinan. Hal ini dapat disebabkan oleh pengetahuan dan sikap ibu yang kurang terhadap pelayanan persalinan, kurangnya pengetahuan ibu ini dapat terjadi karena kurangnya informasi kesehatan yang didapatkan oleh ibu. Informasi tentang persalinan bagi ibu yang berada di pedesaan atau daerah pedalaman dapat berupa informasi yang dipengaruhi oleh adat setempat dan 107
telah dilakukan secara turun temurun, dan berpengaruh terhadap persepsi ibu yang menganggap komplikasi kehamilan merupakan hukuman karena ibu melanggar adat setempat. Bagi ibu yang tidak pernah mengalami komplikasi kehamilan dan tidak menggunakan tenaga kesehatan dapat disebabkan oleh pengalaman ibu pada saat melahirkan anak-anak sebelumnya. Paparan informasi kesehatan mengenai persalinan sangatlah penting untuk menarik minat ibu dalam menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan. Selain itu, upaya pemenuhan sarana dan prasarana untuk mengakses
pelayanan
persalinan
sangat
dibutuhkan,
karena
dapat
memudahkan ibu untuk mengakses tenaga kesehatan. Pelayanan yang baik juga dapat meningkatkan kepercayaan ibu untuk menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya. 6.5.2
Kunjungan Pelayanan Antenatal Pelayanan antenatal merupakan salah satu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi oleh ibu hamil. Dalam pelayanan antenatal ini selain memeriksakan kehamilan ibu, juga dilakukan konseling dan perencanaan persalinan.
Penyuluhan
kesehatan
yang
diberikan
dapat
menambah
pengetahuan ibu terhadap penolong persalinan. Kunjungan antenatal dianjurkan paling sedikit dilakukan sebanyak 4 kali. Hasil uji statistik didapat Pvalue sebesar 0,000 yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara kunjungan pelayanan antenatal dengan penggunaan penolong persalinan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
108
dilakukan oleh Auliasih,dkk (2013), Amano, dkk (2012), diketahui bahwa terdapat hubungan antara kunjungan pelayanan antenatal dengan penggunaan penolong persalinan. Dalam penelitian ini diketahui bahwa ibu yang melakukan kunjungan antenatal 4 kali atau lebih, lebih memilih menggunakan tenaga kesehatan oleh tenaga kesehatan dibandingkan dengan ibu yang tidak melakukan kunjungan antenatal. Hal ini dikarenakan pada saat ibu melakukan kunjungan antenatal, ibu lebih mengetahui keadaan kehamilannya dan mengetahui kebutuhan yang diperlukan ibu pada saat hamil dan melahirkan. Pelayanan antenatal dapat memberikan kesempatan bagi petugas kesehatan untuk memberikan informasi secara
spesifik
tentang
masalah
kehamilannya,
yang
dapat
juga
mempengaruhi ibu membuat keputusan untuk persalinannya (Lelei, dkk.,2013). Ibu yang melakukan kunjungan antenatal memiliki kesempatan untuk menerima pendidikan kesehatan tentang kehamilan dan komplikasi kehamilan. Selain itu, mereka juga dapat menerima informasi tentang manfaat melakukan persalinan oleh tenaga kesehatan dan mampu merencanakan persalinan yang aman, sehingga ibu yang melakukan kunjungan antenatal lebih cenderung memilih tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan. Informasi-informasi kesehatan yang didapatkan ibu pada saat melakukan kunjungan pelayanan antenatal memberikan pengaruh kepada ibu untuk memilih menggunakan tenaga kesehatan pada saat melakukan kunjungan antenatal. Oleh karena itu, peningkatan penyediaan fasilitas pelayanan antenatal sangatlah dibutuhkan untuk meningkatkan penggunaan 109
tenaga kesehatan. Ketersediaan tenaga kesehatan yang terampil dalam melakukan pemeriksaan kehamilan dan dalam melakukan konseling atau penyuluhan untuk pendidikan kesehatan sangatlah diperlukan, untuk meningkatkan kinerja pelayanan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan antenatal dan tenaga kesehatan. 6.6 Hubungan Faktor Predisiposisi, Faktor Pemungkin, dan Faktor Kebutuhan Terhadap Penggunaan Penolong Persalinan Faktor
predisposisi
merupakan
kecenderungan
seseorang
dalam
memanfaatkan pelayanan kesehatan. Faktor ini berada dalam setiap individu dan berbeda-beda setiap individu, sehingga faktor ini termasuk dalam faktor yang sulit atau tidak dapat diubah (Andersen, 1995). Faktor predisposisi terdiri dari tiga komponen yang terdiri dari demografi, struktur sosial, dan kepercayaan kesehatan. Dalam penelitian ini yang termasuk variabel yang termasuk kedalam kategori demografi anatara lain umur ibu, paritas, status perkawinan, pendidikan ibu, pendidikan suami, pekerjaan ibu dan pekerjaan suami. Faktor pemungkin merupakan keadaan yang memungkinkan seseorang untuk menggunakan pelayanan kesehatan (Andersen & Newman, 2005). Faktor pemungkin ini didukung oleh adanya sumberdaya dari diri seseorang tersebut dan sumberdaya dari lingkungan untuk mengakses pelayanan kesehatan. Adapun yang termasuk kedalam faktor pemungkin dalam adalah tingkat kekayaan ibu dan wilayah tempat tinggal ibu. Faktor lain yang mempengaruhi seseorang untuk menggunakan pelayanan kesehatan adalah faktor kebutuhan. Faktor kebutuhan
110
merupakan faktor yang dapat langsung mempengaruhi seseorang untuk mencari pelayanan kesehatan. Dalam penelitian ini yang termasuk dalam faktor kebutuhan adalah komplikasi kehamilan dan kunjungan pelayanan antenatal. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa faktor predisposisi yang berhubungan dengan penggunaan tenaga kesehatan yaitu faktor demografi yang berhubungan
adalah
paritas.
Paritas
dapat
mempengaruhi
ibu
untuk
menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan. Hal ini dipengaruhi oleh pengalaman ibu dalam melahirkan, pengalam ibu ini dapat mendukung ibu untuk menggunakan penolong persalinan baik tenaga kesehatan maupun bukan tenaga kesehatan atau tanpa persalinan. Hal ini tergantung dari pengalaman baik atau buruk yang ibu alami. Variabel Struktur sosial yang berhubungan antara lain tingkat pendidikan ibu dan tingkat pendidikan suami, pekerjaan ibu dan pekerjaan suami. Pendidikan dan pekerjaan seseorang dapat menunjukkan status seseorang dalam komunitas, dan menunjukkan gaya hidup dan pola perilaku seseorang yang berhubungan pula dengan penggunaan pelayanan kesehatan (Andersen & Newman, 2005). Pendidikan ibu dan pendidikan suami atau pasangan dapat berpengaruh terhadap pengetahuan dan sikap ibu dan suami/pasangan terhadap penggunaan penolong persalinan. Pekerjaan ibu dan suami/pasangan memiliki peran penting dalam penggunaan pelayanan kesehatan. hal ini berhubungan dengan kemampuan ibu untuk menggunakan penolong persalinan. Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa faktor pemungkin yang berhubungan dengan penggunaan penolong persalinan antara lain yaitu 111
tingkat kekayaan dan wilayah tempat tinggal ibu. Dua hal ini dapat mempengaruhi ibu dalam mengakses tenaga kesehatan. tingkat kekayaan dan wilayah tempat tinggal ibu yang tidak mendukung akan menyebabkan ibu untuk menggunakan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan atau melakukan persalinan tanpa penolong. Wilayah tempat tinggal mungkin berhubungan dengan norma yang ada untuk menggunakan pelayanan kesehatan (Andersen & Newman, 2005). Adapun faktor kebutuhan yang berhubungan dengan penggunaan penolong persalinan yaitu kunjungan pelayanan antenatal. pelayanan antenatal ini dapat mempengaruhi ibu untuk menggunakan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinannya hal ini dimungkinkan karena ibu yang melakukan kunjungan antenatal lebih mengetahui kondisi kehamilan serta mengetahui perencanaan persalinan yang aman. Berdasarkan Andersen (1968) menunjukkan bahwa variabel predisposisi, pemungkin dan kebutuhan dalam penggunaan tenaga kesehatan saling berhubungan satu sama lain. Faktor predisposisi, pemungkin dan kebutuhan dibutuhkan agar ibu dapat mengakses tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan penolong persalinan oleh ibu melahirkan di Provinsi Papua antara lain faktor predisposisi yaitu paritas, pendidikan ibu, pendidikan suami/pasangan, pekerjaan ibu, pekerjaan suami/pasangan; faktor pemungkin yaitu tingkat kekayaan, wilayah tempat tinggal; dan faktor kebutuhan yaitu kunjungan pelayanan antenatal. Faktor-faktor tersebut mempunyai 112
hubungan yang signifikan dalam penggunaan penolong persalinan. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa faktor perdisposisi, pemungkin dan kebutuhan dapat mendukung ibu untuk menggunakan penolong persalinan.
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
113
7.1 Kesimpulan 1) Penggunaan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan masih rendah digunakan ibu melahirkan di Provinsi Papua dibandingkan penggunaan dengan bukan tenaga kesehatan, selain itu masih terdapat ibu yang melahirkan tanpa menggunakan penolong persalinan. 2) Faktor predisposisi ibu melahirkan di Provinsi Papua untuk menggunakan penolong persalinan: a. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara umur ibu dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua pada tahun 2012. b. Terdapat hubungan yang signifikan antara paritas ibu dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua pada tahun 2012. c. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status perkawinan ibu dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua pada tahun 2012. d. Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua pada tahun 2012. e. Terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan penolong persalinan dengan penggunaan penolong persalinan. f. Terdapat hubungan yang signifikan antara status pekerjaan ibu dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua pada tahun 2012.
114
g. Terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan suami/pasangan dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua pada tahun 2012. 3) Faktor pemungkin ibu melahirkan di Provinsi Papua untuk menggunakan penolong persalinan: a. Terdapat hubungan yangg signifikan antara tingkat kekayaan ibu dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua pada tahun 2012. b. Terdapat hubungan yang signifikan antara wilayah tempat tinggal dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua pada tahun 2012. 4) Faktor kebutuhan ibu melahirkan di Provinsi Papua untuk menggunakan penolong persalinan: a. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara komplikasi kehamilan dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua pada tahun 2012. b. Terdapat hubungan yang signifikan antara kunjungan pelayanan antenatal dengan penggunaan penolong persalinan di Provinsi Papua pada tahun 2012.
7.2 Saran A. Bagi Dinas Kesehatan Provinsi Papua
115
1. Meningkatkan kemitraan antara bidan dan penolong persalinan tradisional atau dukun, sebagai salah satu usaha pencegahan komplikasi dan agar meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap tenaga kesehatan. 2. Melakukan pelatihan kepada penolong persalinan tradisional atau dukun tentang persalinan yang aman dan agar terampil melakukan penolong persalinan yang aman. 3. Meningkatkan pelayanan kesehatan dasar melalui Poskesdes dan Posyandu terutama diwilayah pedesaan, agar masyarakat dapat dengan mudah mengakses pelayanan kesehatan dasar. 4. Melakukan kemitraan dengan lembaga non pemerintah untuk mendukung keberhasilan pencapaian penolong persalinan oleh tenaga kesehatan, yang dapat dilakukan melalui pendidikan kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap tenaga kesehatan.
B. Bagi Peneliti lain Peneliti lain yang akan melakukan penelitian lanjutan mengenai penggunaan penolong persalinan dapat melanjutkan menggunakan analisis 116
multivariat sehingga dapat melihat faktor yang paling mempengaruhi terhadap penggunaan penolong persalinan, dan dapat pula dengan menggunakan penelitian kualitatif sehingga dapat menggali lebih dalam terkait faktor yang mendukung penggunaan penolong persalinan pada ibu yang melahirkan.
117
DAFTAR PUSTAKA
Adewemimo, Adeyinka W., Sia E. Msuya, Christine T. Olaniyan, Adetoro A. Adegoke.2013.Utilisation of skilled birth attendance in Northern Nigeria: A cross-sectional survey. Midwifery 30 (2014) e7–e13 Alwi, Qomariah., Lannywati Ghani & Delima.2001.Budaya persalinan Suku Amungme dan Suku Kamoro, Papua.Universa Medicina Vol.23 No.4 hal 115-156. Amalia, L.2011. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ibu dalam Pemilihan Penolong Persalinan. Artikel-Jurnal Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo. Amano, Abdella., Abebaw Gebeyehu & Zelalem Birhanu.2012.Institutional delivery service utilization in Munisa Woreda, South East Ethiopia: a community based cross-sectional study. BMC Pregnancy and Childbirth 2012,12 (105). Andersen, Ronald.1968. A Behavioral Model Of Families' Use Of Health Services. Research Series No. 25. Chicago: Center For Health Administation Studies, University Of Chicago Andersen, Ronald & John F. Newman.2005. Societal and Individual Determinants of Medical Care Utilization in the United States. The Milbank Quarterly, Vol. 83, No. 4 (pp. 1–28), reprinted from The Milbank Memorial Fund Quarterly: Health and Society, Vol. 51, No. 1 (pp. 95–124) Andersen, Ronald Max.1995. Revisiting the Behavioral Model and access to Medical Care: Does It Matter?*. Journal of Health and Social Behavioral Vol. 36 (March), 1-10. Andersen, Ronald Max.2008.National Health Surveys and the Behavioral Model of Health Services Use. Medical Care, Vol. 46, No 7 Anwar I, dkk.2008. Inequity in maternal health-care services: evidence from homebased skilled-birth-attendant programmes in Bangladesh. Bulletin of the World Health Organization, 252–259. Arung, Nensi Debora; Asiah Hamzah & Sukri Palutturi.2013.Proses Pengambilan Keputusan Ibu Hamil Terhadap Pelayanan Persalinan Di Puskesmas Lempo
118
Toraja Utara. Artikel Penelitian UnHas.Sulawesi tengah: Universitas Hasanuddin. Assfaw, Yalem Tsegay.2010.Determinants of Antenatal Care, Institutional Delivery and Skilled Birth Attendant Utilization in Samre Saharti District, Tigray, Ethiopia. Master Thesis in Public Health. Umeå International School of Public Health Azwar, Azrul.2010.Pengantar Administrasi Kesehatan Edisi Ketiga.Tangerang: Binarupa Aksara Publisher BAPPENAS.2011.Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2011. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Di
Bashar, S. M. Abul.2012. Determinants Of The Use Of Skilled Birth Attendants At Delivery By Pregnant Women In Bangladesh. Umeå University: Sweden BPS.2010.Peraturan Kepala Pusat Statistik Nomor 37 Tahun 2010 Tentang Klasifikasi Perkotaan dan Perdesaan. Jakarta: Badan Pusat Statistik. BPS.2008. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta: BPS. BPS.2013. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta: BPS. Buyandaya, Tahir Abdullah & Syamsiar S.Russeng.2012. Faktor Determinan Pemilihan Tenaga Penolong Persalinan Di Wilayah Kerja Puskesmas Palasa Kabupaten Parigi Moutong Tahun 2012.Jurnal Pascasarjana UnHas.Sulawesi tengah: Universitas Hasanuddin. Chakraborty1, Nitai, M. Ataharul Islam, Rafiqul Islam Chowdhury2, Wasimul Bari1and Halida Hanum Akhter.2003. Determinants of the use of maternal health services in rural Bangladesh. Health Promotion International Vol. 18. No. 4 Choulagai, Bishnu, Sharad Onta, Narayan Subedi, Suresh Mehata, Gajananda P Bhandari, Amod Poudyal, Binjwala Shrestha, Matthews Mathai, Max Petzold, & Alexandra Krettek.2013.Barriers To Using Skilled Birth Attendants’ Services In Mid- And Far-Western Nepal: A Cross-Sectional Study. BMC International Health and Human Rights 2013,13:49 Dagne, Eyerusalem.2010.Role Of Socio-Demographic Factors On Utilization Of Maternal Health Care Services In Ethiopia.UMEA University
119
Dinkes Papua.2012.Profil Kesehatan Papua 2012. Papua: Dinas Kesehatan. Dinkes Papua.2013.Data dan Informasi Kesehatan Tahun 2013. Papua: Dinas Kesehatan. Dirjen Bina Gizi dan KIA.2011.Pedoman Pelaksaan Kegiatan: Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE) Kesehatan Reproduksi Untuk Petugas Kesehatan Di Tingkat pelayanan dasar. Jakarta: kementerian kesehatan RI. Dumatubun, A.E.2002. Kebudayaan, Kesehatan Orang Papua Dalam Perspektif Antropologi Kesehatan.Jurnal Antropology Vol. 1 No.1 Farrer, H.2001.Perawatan Maternitas. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran. Fitriani, S.2011.Promosi Kesehatan. Jogyakarta: Graha Ilmu. Gallo, Linda C., Wendy M. Troxel, Karen A. Matthews & Lewis H. Kuller.2003. Marital Status and Quality in Middle-Aged Women: Associations With Levels and Trajectories of Cardiovascular Risk Factors. Health Psychology Vol. 22, No.5, 453– 463 Goo, manuel Goubo.2012."Memahami Masalah Perempuan Papua Dalam Budaya Dan Kesehatan".Artikel. http://majalahselangkah.com/old/memahamimasalah-perempuan-papua-dalam-budaya-dan-kesehatan/ diakses pada 22 Juli 2015 Holst, Christine.2014.Use of skilled birth attendants in Nepal, A study of influencing factors, structural barriers and government strategies and interventions.Thesis.Olso, Norway Jat, Tej Ram, Nawi Ng & Miguel San Sebastian.2011. Factors affecting the use of maternal healthservices in Madhya Pradesh state of India:a multilevel analysis. International Journal for Equity in Health,1-11. Jekti, Rabea Pangerti & D. Mutiatikum.2011. Hubungan Antara Kepatuhan Antenatal Care Dengan Pemilihan Penolong Persalinan.Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol.1 No2, 84-91 Juliwanto, E.2009.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keputusan Mmemilih Penolong Persalinan Pada Ibu Hamil Di Kecamatan Babul Rahmah Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2008. Thesis.Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
120
Kanini, Caroline Mumbe.2012.Utilization Of Skilled Birth Attendants Among Women Of Reproductive Age In Central District, Kitui County.Thesis. Reproductive Health Of Kenyatta University Kemendiknas RI.2008.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008, No. 90.Sekertariat Negara.Jakarta. Kemenkes RI.2011.Buku Pedoman Pengenalan Tanda Bahaya Pada Kehamilan, Persalinan Dan Nifas Bagi Kader. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Kemenkes RI.2012.Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Kemenkes RI.2013.Ringkasan Eksklusif:Data dan Informasi Provinsi Papua . Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Kemenkes RI.2014.InfoDatin: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, Situasi Bidan Di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Lizárraga, María L. Sanz de Acedo, María T. Sanz de Acedo Baquedano & y María Cardelle-Elawar.2007. Factors that affect decision making: gender and age differences. International Journal of Psychology and Psychological Therapy, Vol. 7, No. 3 (2007) pp. 381-391 Leah, B. C.2013.Barrier To Utilization Of Focused Antenatal Care Among Pregnant Women In Ntchisi District In Malawi. Tampere: University of Tampere. McCarthy, James & Deborah Maine.1992.A Framework for Analyzing the Determinants of Maternal Mortality. Studies in Family Planning, Vol. 23, No. 1 (1992), pp. 23-33 Menkokesra.2010.Kesehatan Indonesia Timur Tertinggal. Jakarta: Kementeriian Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat. Michelle Hynes, O. S.2012.A Study of Refugee Maternal Mortality in 10 Countries, 2008—2010. International Perspectives on Sexual and Reproductive Health, Vol. 38, No. 4 (DECEMBER 2012), pp. 205-213, 2. Mubarak, Wahit Iqbal, dkk.2007.Promosi Kesehatan:Sebuah Pengantar Proses Belajar Mengajar Dalam Pendidikan.Yogyakarta:Graha Ilmu Notoatmodjo, S.2007.Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.
121
Notoatmodjo, S.2010.Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Papua.2005."Suku Bangsa Asli Papua Menurut Abjad". dari https://www.papua.go.id/bps/left%20frame%20web%202005/penduduk/suku %20bangsa%20asli%20papua%20menurut%20urutan%20abjad.htm diakses pada 13 Juli 2015 Prawirohadrjo, Sarwono.2009.Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: PT Bina Pustaka. Riskesdas.2010.Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan. Ritonga, Fatimah Jahra.2013.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ibu Hamil Dalam Melakukan Pemeriksaan Antenatal Di Desa Tanjung Rejo Kec. Percut Sei Tuan Kab.Deli Serdang.Jurnal Keperawatan Klinis Universitas Sumatera Utara Vol. 4, No. 1 (2012) Republik Indonesia.2003.Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003, No. 78.Sekretariat Negara.Jakarta. Rosenstock, Irwin M., Victor J. Strecher, Marshall H. Becker.1988.Social Learning Theory and the Health Belief Model.Health Education Quarterly Vol. 15 No.2 (pp: 175-183) Salam, Abdul, S ASiddiqui.2006.Socioeconomic Inequalities In Use Of Delivery Care Services In India. J Obstet Gynecol India Vol. 56, No. 2, 123-127 Sari, T. W.2010.Analisis Spasial Tempat Pertolongan Persalinan Di Kelurahan Sendangmulyo Semarang Tahun 2010. Jurnal Kesehatan Reproduksi: The Indonesian Journal of Reproductive Health, 113-124. Sastrawinata, U. S.2009.Optimalisasi persalinan Non-institusional Menurunkan Angka Kematian Ibu. MKB, volume 41 No.4, 212-219.
Untuk
Simanjuntak, Harto P., Heru Santosa, Maya Fitria.2012.Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemilihan Penolong Persalinan Di Wilayah Kerja Puskesmas Sipahutar Kecamatan Sipahutar Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2012. Jurnal Gizi, Kesehatan Reproduksi dan Epidemiologi USU Vol. 2, No. 3 (2013) Tarekegn, Shegaw Mulu, Leslie Sue Lieberman & Vincentas Giedraitis.2014. Determinants of maternal health service utilization in Ethiopia: analysis of 122
the 2011 Ethiopian Demographic and Health Survey. BMC Pregnancy and Childbirth 2014, 14:161. Titus, Lelei., Kiprop Danie, Elizabeth Barasa, Chepngetich Margaret.2013. Factors Affecting Skilled Birth Attendant Utilization In Kibra Constituency,Raila Village (Nairobi, Kenya).University Of Nairobi WHO.2013.Cause Specific Mortality and Morbidity: Maternal Mortality Ratio. Dipetik March 17, 2014, dari World Health Organization: http://apps.who.int/gho/data/view.main.1370?lang=en Yenita, Sri.2011.Faktor Determinan Pemilihan Tenaga Penolong Persalinan Di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Baru Kabupaten Pasaman Barat Tahun 2011.Thesis.Padang:Universitas Andalusia Padang
123
Frequencies
Crosstabs umur * jenis penolong 1 Crosstabulation
Statistics
jenis penolong 1
jenis penolong 1 N
Valid
693
Missing
<20tahun
0
tanpa
bukan tenaga
tenaga
penolong
kesehatan
kesehatan
Count % within umur
jenis penolong 1
Frequency Valid
tanpa penolong
umur
Percent
Valid
Cumulative
Percent
Percent
13
1.9
1.9
1.9
bukan tenaga kesehatan
357
51.5
51.5
53.4
tenaga kesehatan
323
46.6
46.6
100.0
Total
693
100.0
100.0
0
27
16
43
.0%
62.8%
37.2%
100.0%
10
228
226
464
2.2%
49.1%
48.7%
100.0%
3
102
81
186
1.6%
54.8%
43.5%
100.0%
13
357
323
693
1.9%
51.5%
46.6%
100.0%
20-34 tahun Count
% within umur 35-49 tahun Count % within umur Total
Count % within umur
Frequencies
Chi-Square Tests umur
Asymp. Sig. (2Cumulative
Frequency Valid
<20tahun
Percent
Valid Percent
Value
Percent
43
6.2
6.2
6.2
20-34 tahun
464
67.0
67.0
73.2
35-49 tahun
186
26.8
26.8
100.0
Total
693
100.0
100.0
124
df
sided)
a
4
.324
5.458
4
.243
Linear-by-Linear Association
.068
1
.794
N of Valid Cases
693
Pearson Chi-Square Likelihood Ratio
4.664
Total
Crosstabs
Chi-Square Tests
parity * jenis penolong 1 Crosstabulation
Asymp. Sig. (2Value Pearson Chi-Square
df
Linear-by-Linear Association
jenis penolong 1
a
4
.324
tanpa
bukan tenaga
tenaga
5.458
4
.243
penolong
kesehatan
kesehatan
.068
1
.794
4.664
Likelihood Ratio
sided)
parity
6+
a. 2 cells (22,2%) have expected count less than 5. The minimum expected
Count
4-5
WEIGHT BY parity. 2-3
1
Total
Frequencies Cumulative
68.3%
31.7%
100.0%
6
72
56
134
4.5%
53.7%
41.8%
100.0%
6
222
186
414
1.4%
53.6%
44.9%
100.0%
4
148
212
364
1.1%
40.7%
58.2%
100.0%
16
470
467
953
1.7%
49.3%
49.0%
100.0%
Chi-Square Tests
Percent
6+
41
4.3
4.3
4.3
4-5
134
14.1
14.1
18.4
2-3
414
43.4
43.4
61.8
1
364
38.2
38.2
100.0
Total
953
100.0
100.0
125
.0%
Count % within parity
Parity
Valid
41
Count % within parity
Valid Percent
13
Count % within parity
Percent
28
Count % within parity
Frequency
0
% within parity
count is ,81.
Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
a
6
.000
Likelihood Ratio
28.982
6
.000
Linear-by-Linear Association
21.217
1
.000
Pearson Chi-Square
N of Valid Cases
Total
30.080
953
pernikahan * jenis penolong 1 Crosstabulation jenis penolong 1
Chi-Square Tests
bukan
Pernikahan Married
tenaga
tenaga
penolong
kesehatan
kesehatan
Count % within pernikahan
% within pernikahan
Widowed
154
135
294
1.7%
52.4%
45.9%
100.0%
2
32
26
60
3.3%
53.3%
43.3%
100.0%
0
15
6
21
.0%
71.4%
28.6%
100.0%
pernikahan Divorced
0
0
20
20
.0%
.0%
100.0%
100.0%
0
0
5
5
.0%
.0%
100.0%
100.0%
7
201
192
400
1.8%
50.2%
48.0%
100.0%
Count % within pernikahan
No longer living together/se parated Total
Count % within pernikahan Count % within pernikahan
a. 2 cells (16,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,69.
126
df
sided)
a
8
.000
Likelihood Ratio
42.629
8
.000
Linear-by-Linear Association
11.092
1
.001
Pearson Chi-Square
32.757
N of Valid Cases
Count % within
Value
Total
5
Living with Count partner
Asymp. Sig. (2-
tanpa
400
a. 6 cells (40,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,09.
pernikahan Cumulative Frequency Valid Married
Percent
Valid Percent
Percent
294
73.5
73.5
73.5
Living with partner
60
15.0
15.0
88.5
Widowed
21
5.2
5.2
93.8
Divorced
20
5.0
5.0
98.8
5
1.2
1.2
100.0
400
100.0
100.0
No longer living together/separated Total
didiksuami * jenis penolong 1 Crosstabulation Chi-Square Tests
jenis penolong 1
Asymp. Sig. (2-
bukan tanpa
tenaga
penolong Didik
tanpa
suami pendidikan
Count % within didiksuami
pendidikan dasar
Count % within didiksuami
pendidikan menengah
Count % within didiksuami
pendidikan atas Count % within didiksuami Total
Count % within didiksuami
Value
tenaga
kesehatan kesehatan
Total
68
5
75
2.7%
90.7%
6.7%
100.0%
2
76
44
122
sided)
a
6
.000
Likelihood Ratio
147.605
6
.000
Linear-by-Linear Association
110.332
1
.000
Pearson Chi-Square
2
df
N of Valid Cases
1.338E2
834
a. 3 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,26.
1.6%
62.3%
36.1%
100.0%
6
189
306
501
1.2%
37.7%
61.1%
100.0%
4
24
108
136
2.9%
17.6%
79.4%
100.0%
14
357
463
834
1.7%
42.8%
55.5%
100.0%
127
Frequencies didiksuami Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
tanpa pendidikan
75
9.0
9.0
9.0
pendidikan dasar
122
14.6
14.6
23.6
pendidikan menengah
501
60.1
60.1
83.7
pendidikan atas
136
16.3
16.3
100.0
Total
834
100.0
100.0
Frequencies
Crosstabs
Statistics
didikibu * jenis penolong 1 Crosstabulation
didikibu N
jenis penolong 1 Valid Missing
723
bukan
0 didikibu tanpa
Didikibu
pendidikan
Cumulative Frequency
Percent Valid Percent
pendidikan
Percent
Valid tanpa pendidikan
125
17.3
17.3
17.3
pendidikan dasar
130
18.0
18.0
35.3
pendidikan menengah
360
49.8
49.8
85.1
pendidikan atas
108
14.9
14.9
100.0
Total
723
100.0
100.0
dasar pendidikan menengah pendidikan atas Total
tanpa
tenaga
tenaga
penolong
kesehatan
kesehatan
Count % within didikibu
3
104
18
125
2.4%
83.2%
14.4%
100.0%
2
76
52
130
1.5%
58.5%
40.0%
100.0%
6
99
255
360
1.7%
27.5%
70.8%
100.0%
0
0
108
108
.0%
.0%
100.0%
100.0%
11
279
433
723
1.5%
38.6%
59.9%
100.0%
Count % within didikibu Count % within didikibu Count % within didikibu Count % within didikibu
Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
sided) 6
.000
Likelihood Ratio
262.780
6
.000
Linear-by-Linear Association
200.400
1
.000
N of Valid Cases
128
df a
Pearson Chi-Square
2.212E2
723
Total
Crosstabs
Chi-Square Tests
kerjasuami * jenis penolong 1 Crosstabulation
Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
jenis penolong 1
a
6
.000
Likelihood Ratio
262.780
6
.000
tanpa
Linear-by-Linear Association
200.400
1
.000
penolong
Pearson Chi-Square
2.212E2
bukan
a. 3 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected
Kerja tidak
count is 1,64.
suami bekerja
Frequencies bekerja
jenis penolong 1 N
Valid Missing
Count % within kerjasuami
Statistics
kerjasuami Total
0
kerjasuami
jenis penolong 1
kesehatan kesehatan
Total
27
9
37
2.7%
73.0%
24.3%
100.0%
10
296
294
600
1.7%
49.3%
49.0%
100.0%
11
323
303
637
1.7%
50.7%
47.6%
100.0%
Count % within
tenaga
1
Count % within
824
tenaga
Cumulative Frequency Valid tanpa penolong bukan tenaga
Percent
6
Valid Percent .7
.7
Chi-Square Tests
Percent
Value 350
42.5
42.5
43.2
tenaga kesehatan
468
56.8
56.8
100.0
Total
824
100.0
100.0
kesehatan
Asymp. Sig. (2-
.7 df
sided)
a
2
.014
Likelihood Ratio
8.976
2
.011
Linear-by-Linear Association
8.134
1
.004
Pearson Chi-Square
N of Valid Cases
8.519
637
a. 1 cells (16,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,64.
129
Frequencies
kerjaibu * jenis penolong 1 Crosstabulation
Statistics
jenis penolong 1
kerjasuami N
bukan
Valid
tanpa
tenaga
tenaga
penolong
kesehatan
kesehatan
637
Missing
0 kerjaibu tidak bekerja
% within kerjaibu
Kerjasuami Frequency Valid tidak
Percent
bekerja
Valid Percent Cumulative Percent
Count % within kerjaibu
37
5.8
5.8
5.8
bekerja
600
94.2
94.2
100.0
Total
637
100.0
100.0
bekerja
Count
Total
Count % within kerjaibu
Crosstabs
1
28
.8%
23.5%
10
294
2.3%
67.4%
11
322
2.0%
58.0%
Value
tenaga
tenaga
penolong
kesehatan
kesehatan
Count % within kerjaibu Count % within kerjaibu
Total
tanpa
Count
1
28
.8%
23.5%
10
294
2.3%
67.4%
11
322
130
90
Total 119
75.6% 100.0% 132
436
30.3% 100.0% 222
555
df
222
sided) .000
Likelihood Ratio
80.191
2
.000
Linear-by-Linear Association
74.272
1
.000
N of Valid Cases
555
a. 1 cells (16,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,36.
555
40.0% 100.0%
2
80.128
436
30.3% 100.0%
a
Pearson Chi-Square
bukan
bekerja
132
Asymp. Sig. (2-
jenis penolong 1
119
75.6% 100.0%
Chi-Square Tests kerjaibu * jenis penolong 1 Crosstabulation
kerjaibu tidak bekerja
90
Total
Statistics
kerjaibu
kerjaibu N
Cumulative Valid
Frequency
555
Missing
Valid
0 tempattinggal * jenis penolong 1 Crosstabulation jenis penolong 1 bukan
Tempat pedesaan tinggal
Count % within tempattinggal
perkotaan
Count % within tempattinggal
Total
Count % within tempattinggal
tanpa
tenaga
tenaga
penolong
kesehatan
kesehatan
Percent
Valid Percent
Percent
tidak bekerja
119
21.4
21.4
21.4
bekerja
436
78.6
78.6
100.0
Total
555
100.0
100.0
Frequencies Total
4
163
76
243
1.6%
67.1%
31.3%
100.0%
4
24
160
188
2.1%
12.8%
85.1%
100.0%
8
187
236
431
1.9%
43.4%
54.8%
100.0%
jenis penolong 1 Cumulative Frequency Valid tanpa penolong
Percent
Valid Percent
Percent
8
1.9
1.9
1.9
bukan tenaga kesehatan
187
43.4
43.4
45.2
tenaga kesehatan
236
54.8
54.8
100.0
Total
431
100.0
100.0
Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
sided)
a
2
.000
Likelihood Ratio
139.438
2
.000
Linear-by-Linear Association
105.133
1
.000
Pearson Chi-Square
131
df
1.283E2
Chi-Square Tests
Wealth index * jenis penolong 1 Crosstabulation Asymp. Sig. (2-
Value
df
jenis penolong 1
sided)
a
2
.000
Likelihood Ratio
139.438
2
.000
Wealth Poorest Count
Linear-by-Linear Association
105.133
1
.000
index
Pearson Chi-Square
1.283E2
N of Valid Cases
% within Wealth
431
index
a. 2 cells (33,3%) have expected count less than 5. The minimum expected
Poorer Count
count is 3,49.
% within Wealth index
Frequencies
Middle
% within Wealth
tempattinggal
index Cumulative
Frequency Valid
Percent
Count
Valid Percent
Richer
Percent
pedesaan
243
56.4
56.4
56.4
perkotaan
188
43.6
43.6
100.0
Total
431
100.0
100.0
Count % within Wealth index
Richest Count % within Wealth index Total
Count % within Wealth index
132
tanpa
bukan tenaga
tenaga
penolong
kesehatan
kesehatan
Total
3
164
67
234
1.3%
70.1%
28.6%
100.0%
4
16
58
78
5.1%
20.5%
74.4%
100.0%
3
6
102
111
2.7%
5.4%
91.9%
100.0%
0
0
68
68
.0%
.0%
100.0%
100.0%
0
5
45
50
.0%
10.0%
90.0%
100.0%
10
191
340
541
1.8%
35.3%
62.8%
100.0%
Chi-Square Tests
Crosstabs
Asymp. Sig. (2Value
df
antenatal * jenis penolong 1 Crosstabulation
sided)
jenis penolong 1
a
8
.000
Likelihood Ratio
267.804
8
.000
tanpa
bukan tenaga
tenaga
Linear-by-Linear Association
152.234
1
.000
penolong
kesehatan
kesehatan
Pearson Chi-Square
2.347E2
N of Valid Cases
antenatal tidak
541
antenatal
a. 5 cells (33,3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,92.
% within antenatal
Frequencies
tidak tahu
Statistics
Valid Missing
Count % within
Wealth index N
Count
antenatal 541
1
0
Count % within antenatal
2-3
Wealth index
Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative
% within
Percent
antenatal
Poorest
234
43.3
43.3
43.3
Poorer
78
14.4
14.4
57.7
Middle
111
20.5
20.5
78.2
Richer
68
12.6
12.6
90.8
Richest
50
9.2
9.2
100.0
541
100.0
100.0
Total
133
Count
4+
Count % within antenatal
Total
Count % within antenatal
Total
6
102
15
123
4.9%
82.9%
12.2%
100.0%
0
44
32
76
.0%
57.9%
42.1%
100.0%
0
21
6
27
.0%
77.8%
22.2%
100.0%
0
100
68
168
.0%
59.5%
40.5%
100.0%
0
95
530
625
.0%
15.2%
84.8%
100.0%
6
362
651
1019
.6%
35.5%
63.9%
100.0%
Chi-Square Tests
Frequencies
Asymp. Sig. (2Value
df
Komplikasi
sided)
a
8
.000
Likelihood Ratio
365.205
8
.000
Linear-by-Linear Association
293.762
1
.000
Pearson Chi-Square
N of Valid Cases
3.673E2
Frequency Valid
tidak
1019
pernah
a. 5 cells (33,3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,16.
Total
Frequencies
Frequency tidak antenatal
Cumulative
Percent
Percent
80
9.7
9.7
9.7
744
90.3
90.3
100.0
824
100.0
100.0
Crosstabs
antenatal
Valid
pernah
Percent
Valid
Percent
Valid
Cumulative
Percent
Percent
Komplikasi * jenis penolong 1 Crosstabulation jenis penolong 1
123
12.1
12.1
12.1
tanpa
bukan tenaga
tenaga
tidak tahu
76
7.5
7.5
19.5
penolong
kesehatan
kesehatan
1
27
2.6
2.6
22.2
168
16.5
16.5
38.7
2-3 4+ Total
625
61.3
61.3
1019
100.0
100.0
Komplikasi pernah
Count % within Komplikasi
100.0 tidak pernah
Count % within Komplikasi
Total
Count % within Komplikasi
134
Total
1
40
39
80
1.2%
50.0%
48.8%
100.0%
5
310
429
744
.7%
41.7%
57.7%
100.0%
6
350
468
824
.7%
42.5%
56.8%
100.0%
Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
a
2
.283
Likelihood Ratio
2.458
2
.293
Linear-by-Linear Association
2.490
1
.115
Pearson Chi-Square
N of Valid Cases
2.522
824
a. 1 cells (16,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,58.
135
136
137
138
139
140
141
142
143
144
145
146
147
148
149
150
151
152
153
154
155
156
157