PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI FORMAL SEBAGAI PENCEGAHAN PERILAKU HUBUNGAN SEKSUAL PRANIKAH REMAJA DAN DEWASA MUDA DI INDONESIA (ANALISIS DATA SDKI 2012)
Oleh: Anggriyani Wahyu Pinandari Siswanto Agus Wilopo
Djauhar Ismail
LATAR BELAKANG MASALAH TRANSISI DEMOGRAFI 1
1st = TFR mendekati 2 & kematian (-) (United Nation 2011)
TRANSISI DEMOGRAFI 2
REMAJA
2nd = 27,6 revolusi seksual & reproduksi = (-) fertilitas & perubahan % perilaku sekrepro (Sutton, 2009 ; van de Kaa, 2002) POTENSI MASALAH KESEHATAN
Hubungan seksual pranikah, kehamilan usia remaja, infeksi HIV, penggunaan obat-obat terlarang dll (Wilopo, 2010)
Anggriyani WP |
[email protected] | UGM | 2014
2
Continued…
Persentase Hubungan Seksual Remaja 9 8 8
7 6 5
6
4 3 2
1
1
0 Laki-laki
1 Perempuan
SDKI 2007
Anggriyani WP |
[email protected] | UGM | 2014
SDKI 2012
3
Continued…
Besarnya pengaruh dimensi ekologi terhadap perilaku seksual remaja tidak diimbangi dengan penelitian pengaruh sumber informasi terhadap perilaku tersebut. (Lou et al., 2012 ; Guse et al., 2012)
Anggriyani WP |
[email protected] | UGM | 2014
4
Tujuan Penelitian
Umum • mengetahui pengaruh pemberian informasi kesehatan reproduksi pada jenjang pendidikan formal terhadap lama waktu penundaan munculnya perilaku hubungan seksual pranikah remaja dan dewasa muda di Indonesia.
Khusus • Menghitung dampak pemberian informasi kesehatan reproduksi pada jenjang pendidikan formal dan hubungannya dengan lama waktu penundaan perilaku hubungan seksual pranikah remaja dan dewasa muda di Indonesia, setelah mempertimbangkan faktor-faktor lain yang mempengaruhi hubungan tersebut. • Membuat kurva survival yang menjelaskan peluang survival remaja dan dewasa muda setelah pemberian informasi kesehatan reproduksi pada jenjang pendidikan formal dari waktu kewaktu pada berbagai variasi kategori sesuai faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam penelitian. • Menghitung variasi dampak pemberian informasi kesehatan reproduksi pada jenjang pendidikan formal terhadap munculnya perilaku hubungan seksual pranikah remaja dan dewasa muda dengan mempertimbangkan faktor-faktor lintas level wilayah administratif. Anggriyani WP |
[email protected] | UGM | 2014
5
Metode Penelitian Jenis dan desain penelitian • Cross sectional yang dianalisis secara kohort retrospektif.
Sampel penelitian • remaja dan dewasa muda usia 15-24 th yang terlibat dalam SDKI 2012 dan belum menikah.
Besar dan cara pengambilan sampel • Teknik sampling 3 tahap meliputi: PSU, blok sensus, @ blok 25 RT
Anggriyani WP |
[email protected] | UGM | 2014
6
Cont Besar Sample… Besar sampel remaja dan dewasa muda SDKI 2012 adalah 19.882 orang (10.890 laki-laki dan 8.902 perempuan)
Tidak sekolah 146 Besar sampel yang pernah sekolah 19.736 menjawab tidak tahu atau missing pertanyaan pengalaman dan umur saat hubungan seksual
pertama kali, pengalaman menerima pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah dan umur pubertas, belum mengalami pubertas (khusus untuk sampel yang tidak menerima informasi kesehatan
reproduksi), missing pada variabel luar.
Besar sampel tersisa 18.749 orang Anggriyani WP |
[email protected] | UGM | 2014
7
Manajemen dan pengolahan data
• Penggabungan data • Seleksi variabel • Labeling dan identifikasi missing variabel • Cleaning • Pengkodean ulang, pengelompokan data dan pembuatan variabel baru
Cara analisis data
• Bivariabel = log rank, chi-square, CI 95%, p<0.05 • Multilevel = general linear model
Anggriyani WP |
[email protected] | UGM | 2014
8
Hasil penelitian • Analisis univariabel • • • •
censor = 17.430 orang (92,96%). event = 1,319 orang (7,04%). Karakteristik individu Karakteristik komunitas • frekuensi terendah pengalaman koitus ditemukan di Aceh dan tertinggi di Maluku • frekuensi pengalaman koitus diatas rata-rata nasional yaitu Bali, Kalimantan Barat, Kalimatan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.
Anggriyani WP |
[email protected] | UGM | 2014
9
Cont Hasil penelitian • Analisis bivariabel • Variabel bebas dan luar level individu terhadap variabel terikat
Anggriyani WP |
[email protected] | UGM | 2014
10
Cont Hasil penelitian • Hubungan variabel kontekstual terhadap variabel terikat
• proporsi tingkat kekayaan kategori sangat kaya pada level provinsi menjadi faktor protektif dengan besar pengaruh 0,04 kali terhadap peluang terjadinya hubungan seksual pranikah pada remaja dan dewasa muda di Indonesia. • proporsi pendidikan tinggi pada level provinsi dan kabupaten menjadi faktor resiko terjadinya hubungan seksual pranikah remaja dan dewasa muda.
Anggriyani WP |
[email protected] | UGM | 2014
11
Cont Hasil penelitian • Analisis Multilevel
Anggriyani WP |
[email protected] | UGM | 2014
12
Anggriyani WP |
[email protected] | UGM | 2014
13
Pembahasan • Prevalensi pengalaman berhubungan seksual pranikah remaja dan dewasa muda di Indonesia pada SDKI 2012 bervariasi antar setiap wilayah. • Penyebab: • Lingkungan: kemiskinan, pendidikan dan pekerjaan. • Kebijakan: kemajuan dalam bidang kontrasepsi, akses pelayanan KB dan strategi pencegahan HIV serta STD (Wellings et al., 2006). • Demografi: perubahan struktur umur populasi penduduk, umur menikah yang semakin tua, peningkatan migrasi antar dan dalam negara serta globalisasi media massa (Wilopo, 2010).
• Umur 20-24 tahun berpeluang > seksual pranikah • dewasa muda memiliki jarak yang lebih panjang antara usia pubertas dan menikah, risiko yang diterima lebih besar (Kirby, 2011). • peningkatan hormon testosterone = waktu inisiasi seks (L) (Halpern et al., 1998) dan peningkatan minat dan aktivitas seksual (P) (Halpern et al., 1997)
Anggriyani WP |
[email protected] | UGM | 2014
14
Pembahasan • laki-laki berpeluang lebih besar melakukan hubungan seksual pranikah. • mungkin melaporkan hubungan seksual pranikah dengan pekerja seks (Wellings et al., 2006), Indonesia mencapai 3,71% (BPS, 2013).
• merokok, mengkonsumsi alkohol dan napza serta aktivitas seksual yang intim dengan pasangan > peluang seksual pranikah. • perilaku berisiko berhubungan dengan hubungan seksual pada usia dini (Boislard P and Poulin, 2011). • asynchronous pubertal maturation (Irwin dan Millstein 1988). • pengaruh kelompok usia yang lebih dewasa (DiClemente et al., 2009).
• pengaruh tipe domisili terhadap perilaku seksual tidak signifikan. • “status metropolitan” tidak berefek signifikan (Levine and Coupey, 2003). • Dari sudut pandang populasi, pengaruh domisili kecil karena efeknya bergabung dengan pengaruh ras/etnis, kemiskinan dan karakteristik lain seperti moral, tabu, hukum dan kepercayaan agama (Wellings et al., 2006).
Anggriyani WP |
[email protected] | UGM | 2014
15
Pembahasan • Variasi provinsi dan kabupaten secara signifikan mempengaruhi peluang terjadinya hubungan seksual pranikah baik dengan atau tanpa mempertimbangkan variabel lain. • Faktor kontekstual harus dipertimbangkan dalam pengkajian kesehatan seksual dan reproduksi (Lazarus et al., 2009) karena berperan penting dalam membentuk perilaku (Wellings et al., 2006). • Struktur sosial makro dari organisasi sosial (konsentrasi kemiskinan, ketimpangan pendapatan, mobilitas tempat tinggal, proporsi keluarga dengan orang tua tunggal, komposisi etnis dan struktur institusi formal) mempengaruhi individu melalui proses mikrososial (kepercayaan, dukungan dan kontrol sosial) (Thorlindsson et al., 2012).
• Semakin kecil proporsi penduduk sangat kaya pada level kabupaten, semakin besar pula peluang untuk terjadinya hubungan seksual pranikah.
Anggriyani WP |
[email protected] | UGM | 2014
16
Pembahasan • Signifikansi pengaruh pendidikan pada analisis bivariabel berubah pada analisis multilevel. Proporsi penduduk berpendidikan tinggi pada kedua level tidak berpengaruh signifikan. • Pendidikan seksual komprehensif (sistem reproduksi dan metode kontrasepsi) memberikan peluang waktu berpantang melakukan hubungan seksual pranikah yang paling lama. • Pada analisis multilevel, pendidikan seksual yang komprehensif berpeluang lebih besar untuk melakukan hubungan seksual pranikah dibandingkan dengan remaja yang hanya menerima informasi sistem reproduksi. • pendidikan seksual yang berbasis sekolah mampu menunda hubungan seksual yang terlalu dini (Wellings et al., 2006) dan meningkatkan self-effectiveness serta niat untuk berperilaku seks yang aman (Lazarus et al., 2009).
• Pendidikan kesehatan reproduksi formal sebagai kebutuhan umum bagi remaja (Lazarus et al., 2009 dan Kirby, 2011).
Anggriyani WP |
[email protected] | UGM | 2014
17
Pembahasan • Sayangnya, selama ini pengambil kebijakan kesehatan masyarakat sangat sedikit melibatkan pendekatan ekologi dalam menggali perilaku berisiko remaja. • Pendekatan yang ada selama ini terbatas pada tindakan-tindakan yang dapat langsung mengurangi resiko namun gagal menunjukkan bagaimana faktor lingkungan atau resiko lingkungan tertentu dapat mempengaruhi sikap dan perilaku seksual remaja (Lazarus et al., 2009). • Fokus pada intervensi yang bersifat vertikal daripada tradisional akan memberikan peluang yang lebih besar dalam upaya melindungi dan menjaga kesehatan seksual pada awal abad 21.
Anggriyani WP |
[email protected] | UGM | 2014
18
Kesimpulan • Pendidikan kesehatan reproduksi pada jenjang pendidikan formal berhubungan dengan peluang terjadinya hubungan seksual pranikah remaja dan dewasa muda di Indonesia. • informasi kesehatan reproduksi yang komprehensif (sistem reproduksi dan metode kontrasepsi) memberikan peluang yang lebih besar kepada remaja dan dewasa muda untuk menunda hubungan seksual pranikah. • Variasi kabupaten dan provinsi berpengaruh terhadap peluang terjadinya hubungan seksual pranikah remaja dan dewasa muda.
Anggriyani WP |
[email protected] | UGM | 2014
19