KOMPETITIVE ADVANTAGE DAERAH1 Oleh Wilopo
I. PENDAHULUAN Sejak pertengahan tahun 1990 lalu yang ditandai oleh munculnya teknologi informasi (baca:internet), knowledge-based products, dan globalisasi (Juergen, 2002) telah melahirkan ekonomi baru
“new economy”. Fenomena
“new economy” sudah menjadi pembicaraan umum sejak 1997. Selama tahun tersebut, tiga publikasi muncul secara internasional yaitu tentang knowledgebased economy dengan kata kunci “intellectual assets” (Stewart, 1997; Edvinsson/Malone, 1997, dan Sveiby, 1997). Hal ini mendorong peningkatan kontribusi aset tidak nyata (intangible assets) atau aset berbasis pengetahuan didalam perkembangan ekonomi artinya intangable tersebut telah memberikan kontribusi 50% lebih terhadap penciptaan value perusahaan (John Holland, 2001). Hal ini memacu seluruh organisasi saat ini menciptakan sustainable value melalui aset tidak berwujud (intangible assets) – human capital, databases dan information systems; responsive, high-quality processes; customer relationship dan brands; innovation capabilities; dan budaya. Fenomena ini telah menggeser dari product-driven economy, yang didasarkan oleh tangible assets, menuju ekonomi pengetahuan dan jasa (a knowledge and service economy), yang didasarkan pada intangible assets (Kaplan, 2004, Boulton, 2001; Baruch Lev, 2001). Kunci untuk meningkatkan produktivitas investasi adalah kemampuan untuk berkompetisi dalam tumbuhnya pasar global, baik nasional, maupun internasional, dan membangun competitive advantage (keunggulan bersaing) pada sektor-sektor kunci. Sesungguhnya, kebutuhan untuk melakukan inovasi secara konstan guna mencapai dan mendukung suatu posisi kompetitif adalah pusat tantangan bagi para manajer perusahaan maupun para ekonomi lokal, regional dan nasional. Mendorong munculnya
perusahaan dan sektor yang
kompetitif menjadi kunci tantangan kebijakan ekonomi struktural. 1
Disampaikan pada Diklat Perencanaan Pembangunan Daerah, Angkatan IV, Pusbindiklatren Bappenas – FIA Unibraw, Malang, 30 Mei -23 Juni 2005
1
Pendekatan yang paling efektif untuk merancang dan menerapkan kebijakan investasi untuk membantu perusahaan, sektor dan kluster dalam membangun keunggulan bersaing didasarkan pada prinsip manajemen strategis. Strategic
managament
merupakan
pendekatan
yang
sistematis
dalam
mengartikulasikan dan mengejar tujuan atau arah ketika banyak stakeholder yang dilibatkan. Manajemen strategis menekankan partisipasi dari semua stakeholder dalam menetapkan tujuan, prioritas, dalam mendefinisikan sasaran yang terukur dan benchmarks, mematangkan strategi dan memobilisasi sumberdaya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan, menyelesaikan aktivitas, dan memonitoring kinerja dan revisi dan menyesuaikan atas tujuan, sasaran dan aktifitas strategis.
II. STRATEGIC ELEMENTS Suatu strategi daya saing akan efektif bila mampu mengkombinasikan upaya tingkat makro guna meningkatkan iklim investasi melalui prakarsa mengarah pada pembangunan kompetisi kluster industri kunci. Upaya tingkat makro dapat mendukung peringkat daya saing negara yang melalui Balanced Scorecard sebagai alat monitoring dan alat analisa strategis. Melengkapi hal tersebut dengan kebijakan yang berorientasi pengembangan kluster menuntut instrumen baru untuk
analisa dan pendekatan inovatif guna
pembuatan
kebijakan ekonomi yang menerobos batas sektor tradisionil dan batasan-batasan administratif. Konsep suatu kluster industri merupakan sentral dari suatu pendekatan. Akar intelektual dari konsep kluster industri meluas melewati batas disiplin akademis tertentu atau lintas dislipiner akademis. Ekonomi Bisnis,
terutama
yang dikerjakan Michael Porter, telah sangat menekankan pada faktor lokal di dalam menetapkan dan memelihara
keunggulan bersaing
dalam ekonomi
global. Pendekatan geografi pada pesaing dan komplementor merupakan sutau unsur penting. Aliran Ekonomi yang kuat telah menyumbang suatu bangun teori pertumbuhan baru membangun sekitar model meningkatkan pengembalian. Karya Paul Krugman's pada perdagangan dan geografi telah menjadi sorotan pentingnya ekonomi kluster sebagai sumber meningkatkan pengembalian. Studi Econometric yang terkait telah menunjukkan bahwa aktifitas inovatif yang dilakukan kluster merupakan hasil dari spillovers pengetahuan.
2
Ilmuwan regional sudah lama lama tertarik pada kluster sebagai jaringan inovasi, sebagai pembuktian pertumbuhan sesuai degan literatur 1960an dan 1970an. Minat ini telah dihidupkan kembali oleh literatur daerah industri yang terbaru sampai taraf tertentu mengingatkan kepada analisa Marshal atas industri di tahun 1890 yang memfokuskan pada Itali dan negara lain di Eropa. Akhirnya, literatur tersebut memberikan perhatian pada pengembangan teknologi yang berfokus tidak saja pada perusahaan secara individu, tetapi juga ditekankan pada pentingnya interaksi dengan konsumen, komplementor (pemasok, dan pesaing, dimana kompetisi merupakan bagian dari startegi, taktik dan kerjasama insidental. Baik
inovasi dan difusi tergantung pada jaringan institusi yang sering
menggambarkan sistem regional. Selagi geografis memberikan kemudahan karena pendekatan tersebut memudahkan bagi kerjasama dan kompetisi, kebijakan berbasis kluster beroperasi pada tingkat yang berbeda. Pada tahun 1998 laporan OECD meringkas pengalaman itu dengan kebijakan berbasis kluster difokuskan pada peran kluster sebagai mekanisme inovasi dan mobilisasi pengetahuan: … networks of production of strongly interdependent firms (including specialised suppliers), knowledge producing agents (universities, research institutes, engineering companies), bridging institutions (brokers, consultants) and customers, linked to each other in a value adding production chain. The cluster approach focuses on the linkages and interdependence between actors in the network of production when producing products and services and creating innovations.2 Berikut ilustrasi konsep Economic Competitiveness Group. tentang sebuah cluster, dengan fokus pada dimensi regional dan penekanan pada eksport.
2
Roelandt, Theo J.A. and Pim den Hertog (eds.), Cluster analysis and cluster-based policy in OECD-countries Various approaches, early results & policy implications. The Hague/Utrecht, May 1998.
3
Pengalaman negara-negara yang bergabung dalam OECD dan negara-negara lain dengan kebijakan berbasis kluster menunjukkan bahwa pendekatan ini dapat (berhasil) mencapai peningkatan kemampuan bersaing (competitiveness) pada tingkat agregate yang berbeda. Negara-negara di Eropa, misalnya, telah menerapkan “mega kluster” seperti servis (Netherlands) atau kehutanan dan telokomunikasi (Finland). Pada sat yang sama, institusi lokal dan regional telah mengadopsi pendekatan berbasis kluster untuk mendukung pembangunan regional. Terlepas dari skala, keberhasilan kebijakan berbasis kluster memiliki keragaman tertentu. Elemen yang paling penting adalah penciptaan yang berfokus kemitraan pemerintah-swasta (public-private partnership). Kemitraan seperti itu, pada bentuk organisasi apapun, membutuhkan ketekunan untuk memahami kelemahan dan kekuatan terhadap masing-masing rantai nilai (value chain) dan memiliki
komitmen untuk melakukan strategi bersama dalam
menciptakan daya ungkit melalui kekuatan yang ada dan mengatasi kelemahan yang dimilikinya. Kemitraan seperti itu harus melebihi pola berfikir tradisional
4
dalam mencari keunggulan untuk sektor tertentu melalui subsidi langsung atau tidak langsung. Bagi pemerintah, kebijakan persaingan yang berbasis pada kluster tidak didesain untuk mencapai keuntungan biaya yang tidak nyata, tetapi untuk melengkapi upaya yang dilakukan oleh pihak sektor swasta dalam meningkatkan
kinerjanya
pada
pasar
kunci.
Seperti
kebijakan
yang
memfokuskan pada peningkatan social capital dan infrastruktur fisik dalam menunjang strategi peningkatan keunggulan bersaing.
III. KLUSTER 3.1 Konsep Kerangka Kerja Kluster adalah sekelompok perusahaan dan institusi berlokasi pada daerah/geografis tertentu dan memiliki keterkaitan melalui saling ketergantungan didalam menyediakan sekelompok barang atau jasa.3 Oleh karena dekatnya antar mereka – baik dalam kaitan geografis dan
aktivitas – anggota kluster
menikmati keuntungan ekonomi atas beberapa hal yang positif menyangkut lokasi dan faktor eksternal tertentu. Faktor eksternal tertentu, sebagai contoh, akses terhadap para pemasok dan sumber daya manusia tertentu, dampak seperti pengetahuan, tekanan untuk pencapaian kinerja lebih tinggi dalam persaingan, dan belajar dari kedekatan interaksi dengan para penyalur dan pelanggan yang khusus.
3.2 Tipe Kluster Kluster dapat dikelompokkan sesuai dengan keragaman dimensi:4 tipe produk dan jasa mereka produksi, dinamika lokasi meraka berada, tahapan pengembangan dan lingkungan bisnis Pada tingkat pertama, kluster dapat di klasifikasikan atas dasar produk dan/atau jasa yang mereka sediakan.
Bisa kluster otomotif, jasa keuangan,
wisata, keramik, dan banyak lagi. Diantara kluster tersebut, penelitian terakhir
3
This definition builds on Porter (1996, 1990). For discussions see Doeringer/Terkla (1995), Rosenfeld (1997), and European Commission (2002). 4 Dr. Christian Ketels, “The Development of the cluster concept – present experiences and further developments”, Harvard Business School, Duisburg, Germany, 5 Dec 2003
5
menunjukkan bagaimana perbedaan lokasi memainkan perbedaan peran. Penelitan yang lebih terkahir pada kluster mengindikasikan bahwa meskipun dalam bidang yang ditentukan masih terdapat ruang untuk kluster yang berbeda dan sukses, bisa melalui keunikan, atau peran individu. Kluster dibedakan melalui spesialisasi mereka dalam sebuah tahapan tertentu dari rantai nilai mereka, melalui fokus pada area gografis tertentu, atau oleh kebutuhan oleh target konsumen tertentu atau segmen pasar. Pada tingkat kedua, kluster dapat dikalsifikasikan oleh tipe dinamika lokasi dimana para anggotannya berada.5 Industri dibedakan
oleh keluasan
dimana mereka dapat memilih lokasi. Dua alasan utama dapat membatasi pilihan tersebut: (1) Industri-industri “Lokal” melayani hanya pasar lokal dan di distribusikan melewati ruang sesuai dengan pupulasi penduduk.Kluster ini lebih berorientasi pada geografis yang sempit seperti sebuah bagian suatu kota – terutama karena kemampuannya untukmenjadi pengengkap untuk menarik konsumen – tetapi kluster ini tidak cukup kuat untuk mempengaruhi pola lokasi lintas regional. (2)
Industri-industri “tergantung sumberdaya alam” (“natural
resource-dependent industries”) melayani pasar global dam dikonsetrasikan lintas ruang sesuai dengan keberadaan sumber alam. Akhirnya, terdapat banyak industri yang secara esensial bebas untuk memiliki lokasi meraka sesuai dengan kualitas kluster dan lingkungan bisnis tertentu. Kluster “traded” industries ini melayani pasar di banyak regional dan negara, dan kosentrasi pada lintas geografis. Kluster ini memiliki dampak kuat dan keberadaan mereka merupakan sebuah kunci untuk menariknya suatu lokasi tertentu. Memahami perbedaan antara tipe-tipe industri tersebut merupakan hal penting, karena hal tersebut akan berdampak pada tipe kebijakan yang relevan untuk memperbaharui mereka. Pada tingkat ketiga, klsuter dapat diklasifikasikan pada tahapan pengembangan yang telah mereka capai. Tahapan pengembangan tergantung pada dua dimensi: (1) tergantung pada kualitas lingkungan ekternal bisnis dimana kluster beroperasi. Para peneliti telah melihat kluster yang kurang berkembang ekonominya6 sesuai dengan kurang
berkembanganya ekonomi
7
regional tersebut, seperti daerah pedesaan dan bagian kota lama8. Diskusi ini
5
See Porter (2003a) See US AID (2003) and Fairbanks/Lindsay (1997) 7 See Landabaso (2001), Rosenfeld (2002b), and Porter/Ketels/Miller (2003) 8 See and Porter (1998b) 6
6
berkaitan dengan pertanyaan apakah kluster terjadi dalam lingkungan yang tidak memungkinkan untuk aktivitas ekonomi lebih tinggi. Semua teori mengajurkan bahwa kluster adalah sebuah faktor pada setiap tahapan pembangunan ekonomi tetapi dalam lingkungan lebih lemah kluster akan cenderung menajdi lemah dan lebih sempit pula. (2) Kedua, tahapan pengembangan tergantung pada kemajuan kluster tersebut dalam memobilisasi potensi lingkungan bisnisnya melalui aktivitas kerjasama dan aktivitas internal lainnya9. Peneliti telah menfokuskan pada peran faktor budaya, institusim kepeminpinan individu. Terdapat pandangn kuat dalam literatur dimana dinamika kluster tidak terjadi secara otomatis, tetapi hal tersebut tergantung pada dan dapat di keuatkan oleh kegiatan yang memiliki tujuan jelas.
3.3 Clusters and economic performance Kluster
membangun
dan
penting
karena
mereka
keuntungan ekonomi. Keuntungan kluster dapat dari tiga dimensi
menciptakan 10
. Pertama,
perusahaan dapat beroperasi pada tingkat effisiensi tinggi, aset yang lebih spesialis dan para pemasok dengan waktu tanggap yang lebih pendek daripada mereka berada dalam isolasi. Kedua, perusahaan-perusahaan dan institusi penelitian dapat mencapai lingkat lebih tinggi dalam inovasi
11
. Dampak sepiral
pengetahuan dan dan interaksi tertutup dengan konsumen dan perusahaan lain menciptakan banyak ide baru dan memberi banyak tekanan untuk mencipta (innovate) sementar aitu lingkungan kluster
menurunkan biaya eksperimen.
Tiga, tingkat formasi bisnis cenderung menjadi lebih tinggi dala kluster. Start-up lebih menggantungkan pemasok luar dan rekanan, dimana semuanya diperoleh dari dalam kluster dan kluster juga mengurangi kesalahan Kemanfaatan ini bagi bara anggota kluster dan untuk kebijakan publik. Untuk perusahaan, dia menciptakan nilai tambahan yang bobotnya lebih besar ketimbang biaya atas persaingan ketat terkhusus biaya kepemilikan, ketrampila dan pelanggan dilokasi tersebut.12 Hal tersebut menjadi alasan bahwa kluster akan muncul secara alami dalam proses pengambilan keputusan optimalisasi 9
Enright (1996) See Porter (1998a). 11 Because of the critical importance of innovation for advanced economies ‘innovation clusters’ have become a particularly popular topic. See OECD (2001) and Monitor Company, Council on Competitiveness, and Michael Porter (2001). 12 For the implications of clusters on company strategy see Porter (2000b) and Ketels (2002a) 10
7
keungtungan. Untuk kebijakan publik, produktiviyas yang lebih tinggi dan inovasi dalam kluster merupakan hal strategis karena hal tersebut menjadi faktor jangka panjang dalam menjaga kesimbangungan kemakmuran di wilayah tersebut. Kinerja sebuah kluster pada lokasi tertentu diarahkan oleh lingkungan bisnis dimana kluster tersebut beroperasi. “Lingkungan Bisnis” merupakan terminologi yang luas yang senyangkaut segala sesuatu – dari aliran kualitas hingga pesaing lokal strategis – dari hal tingkat produktifitas hingga inovasi . Untuk mengelola kompleksitas ini, Machael Porter telah memperkenalkan di tahun 1990 yang disebut “diamond” sebagai sebuah alat analisa untuk menilai lingkungan bisnis.13 Diamond tersebut meliputi empat elemen faktor yaitu: (1) Fakotor kondisi (seperti infrastruktur, ketrampilan, dsb), kondisi permintaan (seperti kekhasan kpnsumen lokal, regulasi produk dan konsumen), kontkes startegi dan persaingan (seperti struktur pajak, hukum persaingan, strategi persaingan perusahaan lokal), dan keberadaan faktor pendukung industri (seperti keluasan dan kedalam kluster). Elemen ini beriteraksi memberikan dampak pada perusahaan dan kluster;
mereka akan menunjukkan dampak sistem dimana
elemen yang paling lemah sering kali cenderung memiliki dapat paling kuat terhadap keseluruhan kualitas. Diamond dapat digunakan untuk menganalisasi kualitas secara umum dari lingkungan bisnis pada tingkat nasional dan regional. Tetapi juga dapat diterapkan pada tingkat kluster regional, mencari kondisi tertentu yang sesuai untuk kluster sebagaimana emapt katagori yang telah didefinisikan. Sebagai catatan bahwa dampak dari perbedaan aspek dalam lingkungan bisnis tergantung pada posisi dimana tujuan kluster ditempatkan di bidang itu.
IV. TEORI KEUNGGULAN BERSAING DAERAH: PORTER’S DIAMOND Pada tahUn 1990, Michael Porter dari HBS mempublikasikan hasil sebuah opaya penelitian mendalam yang menggambarkan kenapa suatu negara berhasil dan lainnya gagal dalam persaingan internasional. Teori ini kemudian banyak diturunkan dalam membangun keunggulab bersaing untuk tingkat regional, lokal dabkan kluster.
13
Porter (1990)
8
Tesis milik Porter menyatakan ada empat atribut yang menjadi bentuk lingkungan suatu negara dimana perusahaan lokal berkompetisi, dan atribut ini dapat meningkatkan atau menghalangi kreasi dari keunggulan kompetitif. Atribut tersebut adalah : 1. Faktor endowment. Posisi daerah pada faktor produksi seperti keahlian tenaga kerja atau kepentingan infrastruktur untuk berkompetisi di industri. 2. Kondisi permintaan. Permintaan dalam negeri pada produk industri atau pelayanan 3. Hubungan dan dukungan industri. Kehadiran atau absennya suatu daerah pada persediaan industri dan hubungan industri pada kompetisi internasional. 4. Strategi perusahaan, struktur, dan persaingan. Kondisi pada perintah bagaimana perusahaan
berkreasi, organisasi dan memanajemen pada
persaingan domestik. Porter menyatakan bahwa keempat atribut sebagai
diamond. Ia
membantah bahwa perusahaan akan lebih sukses di industri atau segmen industri jika menganggap diamond adalah menguntungkan. Ia juga membantah bahwa diamond dapat menguatkan sistem. Efek satu atribut adalah tergantung atas keberadaan atribut yang lain. Sebagai contoh, Porter berargumen, kondisi permintaan yang baik tidak menghasilkan manfaat kompetisi kecuali jika keadaan persaingan cukup menjadikan perusahaan untuk bereaksi. Porter menyatakan bahwa dua variabel tambahan dapat mempengaruhi diamond nasional pada hal penting : pemerintah dan kesempatan. Peristiwa kesempatan,
seperti
inovasi
utama,
menciptakan
discontinuities
dapat
meluruskan atau membentuk kembali struktur industri dan menyediakan kesempatan untuk perusahaan suatu negara untuk menggantikan milik yang lain. Pemerintah, dengan kebijakannya, dapat merugikan atau meningkatkan keuntungan nasional. Sebagai contoh, peraturan, dapat mengubah kondisi permintaan dalam negeri, kebijakan antitrust dapat mempengaruhi intensitas persaingan di dalam suatu industri, dan investasi pemerintah dalam pendidikan dapat mengubah faktor endowment.
4.1 Faktor Endowments
9
Faktor endowment melanggar dari teori Heckscher-Ohlin.14 Sementara Porter tidak mengusulkan apapun tentang hal yang baru secara radikal, ia meneliti karakteristik faktor-faktor produksi dalam beberapa spesifikasi. Ia mengenali hirarki antar faktor, membedakan faktor dasar (misal sumber alam, iklim, lokasi, dan demografis) dan faktor advanced
(misal infrastruktur
komunikasi, pengalaman, tenaga terampil, fasilitas riset, dan know-how teknologi). Ia berargumen bahwa faktor advanced
adalah
keuntungan kompetitif. Tidak sama dengan faktor dasar
penting untuk
yang mana
yang
secara alami tersedia), faktor advanced adalah suatu produk investasi oleh individu, perusahaan, dan pemerintah. Investasi pemerintah pada pendidikan dasar dan pendidikan tinggi, ketrampilan umum dari
dengan meningkatkan pengetahuan dan
penduduk dan merangsang
riset pada institusi
pendidikan tinggi, dapat meningkatkan faktor advanced suatu bangsa. Hubungan antara faktor advanced dan faktor dasar adalah kompleks. Faktor dasar dapat menyediakan suatu keuntungan awal yang sesudah itu diperkuat dan diperluas oleh faktor advanced. Kerugian pada faktor dasar dapat menciptakan ketidakpastian untuk menanam modal dalam
faktor advanced.
contoh yang nyata dari perwujudan ini adalah Jepang, suatu negeri yang kekurangan akan lahan/tanah atau kandungan mineral dan menanam investasi dengan membangun a substantial endowment of advanced factors. Porter mencatat bahwa jumlah insinyur Jepang yang banyak (mempunyai jumlah lulusan insinyur per kapita jauh lebih banyak dibanding bangsa lain) menjadi hal penting bagi kesuksesan Jepang dalam banyak industri.
4.2 Demand Conditions Porter menekankan peran permintaan dalam
negeri/lokal dalam
mendorong keuntungan kompetitif. Perusahaan secara khas lebih mudah untuk memenuhi kebutuhan pelanggan yang terdekat. Karakteristik permintaan dalam negeri terutama penting di dalam membentuk atribut tentang produk domestik yang dibuat untuk menciptakan tekanan untuk inovasi dan mutu. Porter 14
Teori Ricardo's menekankan bahwa keuntungan komparatif dibangun dari perbedaan pada produktivitas. Mereka berargumentasi bahwa keuntungan komparatif dibangun dari adanya perbedaan dalam faktor endowment nasional. Adanya faktor endowment, mereka mengartikan bahwa suatu negara mempunyai sumber daya seperti tanah, tenaga kerja, dan modal. Setiap negara mempunyai faktor endowment yang berbeda, dan perbedaan faktor endowment menjelaskan perbedaan dalam faktor biaya. Semakin banyak faktor, biaya semakin rendah.
10
berpendapat bahwa perusahaan suatu daerah akan memperoleh manfaat kompetisi jika konsumen domestik mereka adalah sophisticated dan demanding. Sophisticated dan demanding konsumen memaksa perusahaan lokal untuk menerapkan kualitas produk yang berstandar tinggi dan menghasilkan produk inovatif. Porter mencatat bahwa Jepang memiliki pembeli yang sophisticated dan knowledgeable untuk produk kamera membantu merangsang industri kamera di Jepang untuk meningkatkan kualitas produk dan memperkenalkan model inovatif. Contoh serupa dapat ditemukan pada industri telepon selular, dimana konsumen lokal yang sophisticated dan demanding pada daerah Scandinavia membantu mendorong Nokia dari Finlandia dan Ericsson dari Swedia untuk menanam modal dalam teknologi telepon selular lama sebelum permintaan untuk telepon selular sampai pada daerah berkembang yang lainnya. Sebagai hasilnya, Nokia dan Ericsson, bersama-sama dengan Motorola, merupakan
pemain
dominan di dalam industri peralatan telepon selular yang global.
11
4.3 Related and Supporting Industries Atribut ketiga keuntungan nasional pada suatu industri adalah kehadiran kompetisi internasional para penyalur atau hubungan industri. Manfaat investasi pada faktor advanced adalah menciptakan hubungan dan mendorong industri agar dapat maksimal dalam industri, dengan membantunya mencapai posisi kompetitif yang kuat secara internasional. Kekuatan Swedia dalam produk baja (misal: ball bearings and cutting tools) telah menjadikan kekuatan Swedia sebagai spesialis dalam industri baja.keunggulan teknologi pada industri semikonduktor di AS sampai pertengahan tahun 1980an menjadikan dasar kesuksesan AS dalam industri PC dan beberapa produk elektronik yang lain. Sebanding dengan kesuksesan Switzerland's berkenaan dengan farmasi adalah berhubungan erat dengan kesuksesan sebelumnya pada
teknologi industri
pewarna. Satu konsekuensi dari kesuksesan industri dalam suatu daerah cenderung dikelompokkan ke dalam cluster industri terkait. Salah satu studi dari Porter tentang cluster. Menyangkut cluster pada industri tekstil dan sektor pakaian di Jerman, terdiri dari kapas berkualitas tinggi, wol, fiber sintetik, mesin jahit, dan mesin-mesin tekstil yang besar.
4.5 Firm Strategy, Structure, and Rivalry Atribut keempat pada keuntungan kompetisi nasional pada model Porter adalah strategi, struktur, dan persaingan perusahaan di dalam suatu daerah. Porter menekankan pada dua poin penting. Yang pertama adalah bahwa daerah-daerah itu ditandai oleh perbedaan "ideologi manajemen,” dimana pada satu sisi dapat membantu atau tidak dapat membantu untuk membangun keuntungan kompetisi nasional. Sebagai contoh, Porter mencatat dominasi insinyur pada level top manajemen pada perusahaan Jeman dan Jepang. Ia menunjukkan dengan keadaan ini penekanan perusahaan pada peningkatan proses pabrik dan desain produk. Sebaliknya, Porter mencatat dominasi oleh orang-orang dengan latar belakang keuangan pada level top manajemen di banyak perusahaan AS. Ia menghubungkan ini sebagai ketidakperhatian banyak perusahaan AS terhadap peningkatan proses pabrik dan desain produk, terutama sekali sepanjang tahun 1970an dan 1980an. Ia juga membantah bahwa dominasi orang-orang keuangan telah mendorong pada corresponding over
12
emphasis untuk memaksimalkan short-term financial return. Menurut Porter, satu konsekuensi dari ideologi manajemen yang berbeda ini telah menjadi hilangnya hubungan pada kompetisi US dalam industri mesin di mana proses pabrik dan desain produk merupakan isu terpenting (misal industri mobil). Poin yang kedua dari Porter adalah bahwa ada suatu asosiasi kuat antara semangat persaingan domestik dan kreasi serta ketekunan keuntungan kompetitif dalam industri. Semangat persaingan domestik mempengaruhi perusahaan untuk mencari jalan dalam meningkatkan efisiensi, yang membuat persaingan internasional mereka lebih baik. Persaingan domestik menciptakan tekanan untuk berinovasi, meningkatkan kualitas, mengurangi biaya-biaya, dan untuk menanam modal dalam faktor advanced. Semua dari ini membantu kearah menciptakan pesaing kelas dunia.
4.6 Evaluating Porter’s Theory Ringkasnya, argumentasi Porter menyatakan bahwa derajat tingkat dimana suatu daerah untuk mencapai kesuksesan internasional di dalam suatu industri tertentu adalah menyangkut fungsi dari kombinasi dampak seperti faktor endowment, kondisi permintaan domestik, hubungan dan dukungan industri, dan persaingan domestik. Ia membantah bahwa kehadiran dari empat komponen pada umumnya diperlukan untuk mencapai diamond yang positif berdampak pada performa kompetitif (walaupun ada beberapa perkecualian). Porter juga menentang bahwa pemerintah
dapat mempengaruhi masing-masing dari
keempat komponen pada diamond baik yang secara positif atau secara negatif. Faktor endowment dapat dipengaruhi oleh subsidi, kebijakan yang mengarah pada pasar modal, kebijakan pendidikan, dan semacamnya. Pemerintah dapat membentuk permintaan domestik melalui standard produk lokal atau dengan peraturan yang mengamanatkan atau mempengaruhi kebutuhan pembeli. Kebijakan pemerintah dapat mempengaruhi hubungan dan dukungan industri melalui peraturan dan pengaruh persaingan perusahaan melalui peraturan, kebijakan pajak, dan kebijakan antitrust.
V. VALUE INNOVATION DAERAH
13
Pengembangan teori inovasi sudah berkembang selama lebih 20 tahun yang telah melibatkan banyak reformulasi, dimana inovasi tidak lagi dipandang sebagai suatu proses penemuan (seperti pengetahuan baru atau prinsip-prinsip teknologi baru) tetapi lebih pada proses pembelajaran non-linier. Perubahan tersebut banyak dipengaruhi karya Richard Nelson dan Sidney Winter melalui karyanya yaitu Evalutionary Theory of Economic Change. Menunjukkan bahwa inovasi banyak dipicu oleh program penelitian perusahaan yang didorong oleh krisis. Dalam kondisi ekonomi dan teknologi saat itu yang dipandang berwajah datar-datar saja, mendorong perusahaan mencari alternatif baru melalui proses experimental learning. Tema terbesar dalam penelitian inovasi tersebut adalah mengeksplorasi kondisi dan karakter seperti pembelajaran, hubungan lintas perusahaan, sektor, regional dan sistem nasional. (Mytelka, 2001) Pada sebuah simposium di tahun 1981 tentang konsekuensi teknologi baru terhadap pertumbuhan ekonomi, struktur perubahan dan tenaga kerja, Christopher Freeman (1992) memberikan poin atas pentingnya pakar teori ekonomi seperti
Adam Smith, Karl Marx, dan Joseph Schumpeter
menempatkan inovasi sebagai sebuah mesin pertumbuhan ekonomi. Tetapi pandangan ini tidak menjadi bagian penting dalam teori pertumbuhan saat itu – sejak tahun 1950an, konsep yang lebih luas tentang inovasi sebagai proses yang saat dengan logika teknologi dan perubahan organisasi dimana para kapar ekonomi menempatkannya sebagai sebuah pendekatan yang sempit dari perubahan teknologi diantara serial model pertumbuhan ekonomi makro. Sebagaimana argumen Richard Nelson, model ekonomi tahun 1950an dan 1960an menunjukkan dengan jelas keterbatasannya berhubungan dengan paradoks pertumbuhan produksi dimana terbukti di tahun 1970 (Nelson, 1981), dan tantangan kompetisi di tahun 1981. Melalui pemikiran Nathan Rosenberg, telah merubah secara mendasar dalam memahami inovasi dan perannya yang sangat kuat berpengaruh secara tidak langsung pada pemikian kebijakan dibanyak negara. Dalam karyanya Perspective on Technology (1976) dan Inside the Block Box: Technology and Economics (1982), Rosenberg mengarahkan karyanya tentang sebuah isu yang sangat luas dan monumental terhadap peran inovasi. Didalamnya termasuk ktirik terhadap konsep neo-klasik terhadap teknologi, kritikan terhadap Schumpeters tentang skema invention-innovation-diffusion, satu kajian industri yang luas (industri kayu, kimia, pesawat, elektronik, alat-alat mekanik), pekerjaan penting
14
dari ilmu ekonomi (dalam kaitannya dengan teknologi).
Tema-tema tersebut
merupakan argumen atas penolakan konsep linearity dari neo-klasik dan Schumpeters. Sebagai contoh, Rosenberg menekankan pentingnya fakta bahwa inovasi, ketika dikenalkan kepada pasar, secara variable akan menuai banyak penyempurnaan pasca inovasi, dan hal tersebut merupakan proses penyesuaian terhadap pasar.
Diantara perbedaaan antara inovasi dan
penyebarluasan, terdapat tekanan yang sama terhadap betapa pentingnya proses imbal balik pembelajaran (learning feedbacks) antara marketing, produksi dan pengembangan/ pembangunan sebagai sebuah dasar untuk proses inovasi yang lebih luas. (Mytelka, 2001) Hal terbukti bahwa format organisasi yang baru dan inovasi telah memberikan dampak terhadap kinerja ekonomi tahun 1990an. Dengan inovasi – dalam perspektif yang lebih luas – organisasi mendapatkan pemahaman yang lebih baik mekanisme dalam pekerjaan, menjadi dominan didalam memahami kecenderunag ke depan. Lundal dan Johnson (1994) (dalam Nielson, 2001) berpendangan bahwa perubahan lingkungan ekonomi hanya dapat ditangkap dan disikapi hanya melalui konsep “the learning economy”. Hal ini menjadi Ekonomi modern ditandai oleh
perubahan pesat dan
globalisasi. Dalam
lingkungan ini, kapasitas untuk melakukan inovasi merupakan salah satu faktor penentu utama dalam competitive advantage baik untuk masyarakat maupun perusahaan. Inovasi yang terus meningkat tergantung pada interaksi pengaruh pasar (market-induced) dan pengaruh-non-pasar (non-market-induced) antar para aktor yang saling-tergantung (interdependent actors) dan infrastruktur atau kondisi-kondisi kerangka mempengaruhi tindakan inovasi. Regionalisasi memiliki posisi semakin penting sebagai salah satu aspek kecenderungan globalisasi. Regionalisasi mengacu pada kegiatan ekonomi yang memiliki ketergantungan pada sumberdaya yang unik (Stoper, 1997). Prinispprinsip nyata telah menunjukkan kecenderungan kepada regionalisasi yang dapat memcau pertumbungan melalui kluster dan sisitem inovasi. Sejak 1970 tipe kluster regional yang berbeda-beda telah menempati posisi yang kuat dalam masar dunia baik untuk produk tradisionil dan produk teknologi tinggi. Klusterisasi suatu kegiatan ekonomi akan menstimuli suatu proses yang melahirkan penemuan-penemuan baru, baik perangkat keras maupun perangkat lunak. Oleh karenanya Arne Isaksen, Agder University College (2001)
15
menyusun suatu heraki kluster dalam konteks sistem inovasi dalam 4 susunan konsep yaitu (1) Regional cluster; (2) Regional innovation network; (3) Regional innovation system; (4) Learning regions. Peningkatan popularitas konsep sistem inovasi regional (regional innovations systems) sudah menjadi bagian yang didorong oleh peningkatan intensitas persaingan internasional dalam sebuah globalisasi ekonomi, semakin nampaknya kekuarang konsep dan kebijakan pembangungan regional secara tradisionil, dan munculna keberhasilan kluster bagi perusahaan dan industri dibanyak regional (Enright, 2001). Satu hasil yang telah ditemukan ulang oleh banyak akademisi atas pentingnya skala yang regional dan pentingnya sumber daya regional dan spesifik di dalam merangsang kemampuan inovasi dan daya saing perusahaan dan daerah (Asheim et al., 2003: Cooke, 2003, Wolfe, 2003, Isaksen, 2002, Malmberg and Maskell, 2002). Hal inilah yang menjadi argumen bahwa kompetensi khusus yang dimiliki perusahaan dan proses belajar dapat memicu keunggulan bersaing suatu regional jika hal tersebut didasari oleh kapabilitas lokaitas seperti sumberdaya khsusu, ketrampilan, institusi dan kebersamaan sosial dan nilai budaya (Markell dan Mamlmberg, 1999). Dengan kata lain, pembangunan regional akan memiliki daya saing apabila dilakukan di suatu
tempat
dimanha
kapabilitas
likasitas
seperti
institusi
“bawaan”
(endowment), pengembangan struktur, pengetahuan dan ketrampilan terjadi disana. Beberapa pustaka tentang sistem inovasi regional telah memberikan gambaran dan analisa atas hubungan antara inovasi, pembelajaran dan kinerja ekonomi pada suatu wilayah (regional).
16
DAFTAR PUSTAKA
Porter, M. E. and C. Ketels, 2003. “UK Competitiveness: Moving to the Next Stage,” DTI Economics Paper No.3. Porter, M. E. and S. Stern, 2001, “Innovation: Location Matters”, in: Sloan Management Review, Vol. 4, No. 4. Fairbanks, M. and S. Lindsay, 1997, Plowing the Sea: The Challenge of Competitiveness in the Developing World, Boston: Harvard Business School Press. Landabaso, M., 2001, ”Clusters in Less Prosperous Places: Policy Options in Planning and Implementation,” Draft, European Commission: Brussels. Rosenfeld, S., 2002a, “A Governor’s Guide to Cluster-Based Economic Development,” National Governors Association: Washington, D.C. Enright, M., 1996, “Regional clusters and economic development: A research agenda,” in: U. Staber et al. (eds.), Business Networks: Prospects for Regional evelopment, Walter de Gruyter: Berlin.
17