TESIS
NILAI pH PERMUKAAN KULIT BERKORELASI POSITIF DENGAN DERAJAT KEPARAHAN DERMATITIS ATOPIK
AZHAR RAMADAN NONCI NIM 1114088103
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016
1
NILAI pH PERMUKAAN KULIT BERKORELASI POSITIF DENGAN DERAJAT KEPARAHAN DERMATITIS ATOPIK
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik (Combined Degree) Program Pascasarjana Universitas Udayana
AZHAR RAMADAN NONCI NIM 1114088103
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016
2
Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 21 JULI 2016
Pembimbing I,
Dr. dr. Made Wardhana, Sp.KK(K), FINSDV
Pembimbing II,
Prof. dr. Made Swastika Adiguna, Sp.KK (K), FINSDV FAADV
NIP. 195308111981021001
NIP. 195201011980031003
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Dr.dr.Gde Ngurah Indraguna Pinatih,M.Sc,SpGK NIP. 195805211985031002
Prof.Dr.dr.A.A. Raka Sudewi, SpS (K) NIP. 19530811198102001
3
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 21 Juli 2016
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No 3312/UN14.4/HK/2016. Tanggal 19 JuLi 2016
Ketua
: Dr. dr. Made Wardhana, Sp.KK(K), FINSDV
Sekretaris
: Prof. dr. Made Swastika Adiguna, SpKK (K), FINSDV, FAADV
Anggota
:
1. Dr.dr. AAGP. Wiraguna, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV 2. Dr. dr. IGAA. Praharsini, Sp.KK, FINSDV 3. Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, SpKK, FINSDV
4
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Nama
:
dr. Azhar Ramadan Nonci
NIM
:
1114088103
Program Studi
:
Magister Ilmu Biomedik
Judul
:
Nilai pH Permukaan Kulit Berkorelasi Positif
dengan
Derajat
Keparahan
Dermatitis
Dengan ini menyatakan bahwa karya Tesis ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No.17 tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 21 Juli 2016 Yang membuat pernyataan,
(dr. Azhar Ramadan Nonci)
5
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih dan puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya tesis yang berjudul “Nilai pH Permukaan Kulit Berkorelasi Positif dengan Derajat Keparahan Dermatitis Atopik” dapat diselesaikan. Penulis menyadari tanpa bimbingan, motivasi, semangat dan bantuan lainnya yang sangat berharga dari semua pihak, tugas akhir ini tidak akan terlaksana dengan baik. Oleh karena itu melalui kesempatan ini penulis sampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr.dr. Putu Astawa, Sp.OT, M.Kes, FICS, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan program pendidikan dokter spesialis I di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SpS(K) dan Ketua Program Magister Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana Dr.dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, SpGK serta kepada Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And., FAACS atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Kekhususan Kedokteran Klinik (Combine Degree). Terima kasih kepada Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. I Wayan Sudana M.Kes, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan
6
di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin dan melakukan penelitian di RSUP Sanglah Denpasar. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana sekaligus pembimbing karya akhir ini, Prof. dr. Made Swastika Adiguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV, sekaligus sebagai pembimbng kedua serta Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I (KPS PPDS-I) Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar sekaligus sebagai pembimbing pertama, Dr. dr. Made Wardhana, Sp.KK(K), FINSDV yang telah memberikan kesempatan mengikuti Program Pendidikan Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Terima kasih kepada Dr. dr. A.A.G.P. Wiraguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV, Dr. dr. I.G.A.A. Praharsini, Sp.KK FINSDV dan Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati Sudarsa, Sp.KK FINSDV, selaku penguji, yang telah banyak memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran dalam penyusunan karya akhir ini.Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua Kepala Divisi dan Staf Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar serta seluruh tenaga paramedis dan nonmedis di Unit Rawat Jalan dan Unit Rawat Inap yang telah membimbing, membantu dan memberikan dukungan sehingga memungkinkan penulis menyelesaikan pendidikan. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada semua pasien dermatitis atopik yang telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini.
7
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua teman-teman dr.Gusti Ayu Sriyani, M.Biomed, SpKK, dr.Putu Anindita Maharani, M.Biomed, SpKK, dr.Yulia Trisna Wijaya, M.Biomed, SpKK, dr.Dulce Madalena DaCosta Alberto, dr.Desak Made Putri Pidari, dr.Tjokorda Istri Oka Dwiprasetia Handayani, dr.Ida Ayu Komang Utami Dewi, dr.Herjuni Oematan, dr.Ni Made Dina Pranidya Ari atas dorongan,, motivasi, dan kerjasamanya selama menempuh pendidikan. Rasa hormat dan terima kasih yang mendalam juga penulis sampaikan kepada ayahanda Ilham Nontji dan ibunda Hartuti Ilham, sebagai orang tua yang telah mengasuh, membesarkan, mendidik dan mendoakan tanpa pamrih. Rasa hormat juga saya sampaikan kepada kedua mertua saya Drs. Zulfikar Thahar, Msc dan Dra Irdawati (Apt), yang memberi dukungan selama menempuh pendidikan. Kepada istri tercinta, Rezeki Febrina Joelida, SE. (AK), kedua anak, Fathi Raya Nonci dan Dante Vidyatama Nonci serta saudara kandung tersayang, Ir. Junita Bahari Nonci dan drg Ivory Nonci, S.kg, tanpa dukungan, rasa cinta kasih, dan pengorbanan kalian selama ini, akan sulit bagi penulis untuk dapat menyelesaikan pendidikan ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya tulis akhir ini jauh dari sempurna, maka oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis tetap mohon petunjuk dan saran perbaikan sehingga hasil yang tertuang dalam karya akhir ini dapat bermanfaat bagi ilmu kedokteran dan pelayanan kesehatan. Denpasar, 22 Juli 2016
Azhar Ramadan Nonci
8
ABSTRAK NILAI pH PERMUKAAN KULIT BERKORELASI POSITIF DENGAN DERAJAT KEPARAHAN DERMATITIS ATOPIK Dermatitis atopik (DA) merupakan suatu keadaan peradangan kulit kronis residif akibat adanya interaksi yang kompleks antara kerentanan genetik yang mengakibatkan kerusakan sawar kulit dan peningkatan respon imun. Banyaknya faktor penyebab dan kurangnya pengetahuan tentang perawatan kulit yang tepat pada penderita DA, menyebabkan tingginya kekambuhan yang berulang pada penderita DA. Kekeringan kulit penderita DA, menunjukkan adanya peningkatan potensial hydrogen (pH) permukaan kulit menjadi lebih alkali. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara nilai pH permukaan kulit dengan derajat keparahan DA yang dihitung berdasarkan Scoring for Atopic Dermatitis (SCORAD). Dilakukan penelitian potong lintang di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar dengan jumlah sampel 47 orang yang dipilih secara consecutive sampling. Sampel yang memenuhi kriteria dimintakan kesediaannya berpartisipasi dengan menandatangani informed consent. Diagnosis DA ditegakkan berdasarkan kriteria Hanifin dan Rajka. Derajat keparahan DA dihitung dengan indeks SCORAD. Nilai pH permukaan kulit diukur pada lesi kulit penderita DA. Data yang terkumpul dianalisis dengan SPSS 17 for windows dengan uji komparasi one way ANOVA dan uji korelasi Spearman. Sebanyak 25 subjek adalah perempuan dan 22 lelaki. Umur terendah 4 tahun dan tertinggi 58 tahun.Nilai median SCORAD didapatkan sebesar 30,0 dengan kelompok severitas DA terbanyak adalah derajat keparahan sedang sebanyak 19 penderita Nilai median pH permukaan kulit didapatkan sebesar 6,0. Pada analisis komparasi antara kelompok derajat keparahan didapatkan nilai p<0,001. Hasil analisis korelasi didapatkan nilai (r=0,769 ; p=0,001). Kesimpulan dari penelitian ini menunjukan terdapat korelasi antara nilai pH permukaan kulit dengan derajat keparahan DA. Nilai pH permukaan kulit berbeda secara bermakna pada masing-masing derajat keparahan dan terdapat korelasi yang kuat antara nilai pH permukaan kulit dengan derajat keparahan DA.
Kata kunci: nilai pH permukaan kulit, dermatitis atopik, SCORAD.
9
ABSTRACT pH VALUES OF SKIN SURFACE WAS POSITIVELY CORRELATED WITH ATOPIC DERMATITIS SEVERITY Atopic dermatitis (AD) is a chronically relapsing inflammatory skin disease that result from complex interaction between genetic susceptibility genes resulting in a defective skin barrier, and heightened immunologic response. The many factors and lack of knowledge about proper skin care in AD patients, leading to highly reccurence. Skin dryness in AD patients, showed an increase in the potential of hydrogen (pH) of the skin surface becomes more alkaline. This study aimed to determine the correlation between pH values of skin surface with the severity of AD which is calculated based Scoring for Atopic Dermatitis (SCORAD). A cross-sectional study conducted at Dermatovenereology polyclinic, Sanglah hospital with a sample of 47 people selected by consecutive sampling. The samples that fulfill the criteria, requested by signing an informed consent. The assessment of AD, enforced in accordance Hanifin and Rajka criteria. The AD severity was calculated by SCORAD index. The pH values is measured at the skin surface lesions of AD patients. The data were analyzed with SPSS 17 for windows with one way ANOVA comparison test and Spearman correlation test. A total of 25 subjects were female and 22 were male with the lowest age was 4 years old and the highest was 58 years old The SCORAD median value obtained was 30,0 with the highest AD severity groups were moderate group as many as 19 patients.The pH median value of skin surface was 6,0. The results of comparison analysis between severity groups was p value <0,001.The results of correlation analysis obtained values (r=0,769; p=0,001) This study concluded that pH values have correlation with AD severity. pH values of skin surface significantly different in each severity and there were strong positive correlations between pH values of skin surface and AD severity.
Keywords: pH values of skin surface, atopic dermatitis, SCORAD.
10
DAFTAR ISI SAMPUL DALAM ................................................................................................. i PRASYARAT GELAR ........................................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI ....................................................................... iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT........................................................ v UCAPAN TERIMA KASIH…………………………………………………….. . vi ABSTRAK……………………………………………………………………….. ix DAFTAR ISI…………………………………………………………….. ............. xi DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………. xviii DAFTAR TABEL..………………………………………………………... .......... xix DAFTAR SINGKATAN………………………………………………………… xx DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………… ... xxii BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 4 1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 5 1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................... 5 1.3.2 Tujuan Khusus .............................................................................. 5 1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................... 5 1.4.1
Manfaat Teoritis ............................................................................ 5
1.4.2
Manfaat Praktis ............................................................................. 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 6 2.1 Definisi ...................................................................................................... 6
11
2.2 Epidemiologi ............................................................................................. 7 2.3 Etiologi dan Patogenesis ........................................................................... 8 2.3.1
2.3.2
2.3.3
Faktor Predisposisi ........................................................................ 8 2.3.1.1
Gangguan Fungsi Sawar Kulit ...................................... 8
2.3.1.2
Mekanisme Genetik ...................................................... 10
2.3.1.3
Hygiene Hypotesis ........................................................ 11
Faktor Imunopatogenesis .............................................................. 11 2.3.2.1
Monosit ......................................................................... 11
2.3.2.2
Eosinofil........................................................................ 12
2.3.2.3
Keratinosit .................................................................... 12
2.3.2.4
Sel T .............................................................................. 13
2.3.2.5
Sitokin dan Kemokin .................................................... 14
Faktor Pencetus ............................................................................. 15 2.3.3.1
Makanan ....................................................................... 15
2.3.3.2
Aeroalergen .................................................................. 15
2.3.3.3
Mikroba ........................................................................ 16
2.3.3.4
Bahan Iritan .................................................................. 17
2.3.3.5
Faktor Neuroimunologis ............................................... 17
2.4 Sawar Epidemis ........................................................................................ 17 2.4.1
Struktur Sawar Epidermis ............................................................. 18 2.4.1.1
Korneosit ...................................................................... 19
2.4.1.2
Lipid Ekstraseluler ........................................................ 20
12
2.4.2
Disfungsi Sawar Epidermis pada Penderita Dermatitis Atopik .... 21
2.4.3
Evaluasi Fungsi Sawar Epidermis ................................................ 25
2.5 Gambaran Klinis ....................................................................................... 26 2.6 Diagnosis................................................................................................... 28 2.7 Derajat Keparahan Penyakit ..................................................................... 30 2.8 Penatalaksanaan ........................................................................................ 31 2.8.1
Identifikasi dan Eliminasi Faktor Pencetus................................... 31
2.8.2
Terapi Topikal ............................................................................... 32
2.8.3
2.8.4
2.8.2.1
Hidrasi Kulit ................................................................. 32
2.8.2.2
Kortikosteroid Topikal ................................................. 32
2.8.2.3
Penghambat Kalsineurin Topikal ................................. 33
2.8.2.4
Preparat Ter .................................................................. 34
Pengobatan Sistemik ..................................................................... 34 2.8.3.1
Kortikosteroid ............................................................... 34
2.8.3.2
Antihistamin ................................................................. 35
2.8.3.3
Antiinfeksi .................................................................... 35
2.8.3.4
Interferon Gamma......................................................... 35
2.8.3.5
Antimetabolit ................................................................ 36
2.8.3.6
Siklosporin .................................................................... 36
Terapi Sinar (Fototerapi)............................................................... 37
2.9 Prognosis ................................................................................................... 37 2.10 Hubungan pH Kulit dengan Dermatitis Atopik ........................................ 38
13
2.10.1 pH Kulit......................................................................................... 38 2.10.2 pH Kulit pada Dermatitis Atopi…………………………………. 41 BAB III. KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 42 3.1 Kerangka Berpikir ..................................................................................... 42 3.2 Konsep Penelitian ..................................................................................... 43 3.3 Hipotesis Penelitian .................................................................................. 44 BAB IV. METODE PENELITIAN ........................................................................ 45 4.1 Rancangan Penelitian ................................................................................ 45 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................... 45 4.3 Penentuan Sumber Data ............................................................................ 46 4.3.1 Populasi Target………………………………………………… .... 46 4.3.2 Populasi Terjangkau……………………………………………..... 46 4.3.3 Sampel……………………………………………………………..46 4.3.3.1 Kriteria Inklusi……...…………………………………….. 46 4.3.3.2 Kriteria Eksklusi………………………………………… .. 46 4.3.4 Besar Sampel……………………………………………………. .. 47 4.3.5 Tehnik Pengambilan Sampel…………………………………… ... 48 4.4 Ijin/Persetujuan Subjek Penelitian ............................................................ 48 4.5 Variabel Penelitian .................................................................................... 48 4.5.1 Klasifikasi dan Identifikasi Variabel…………………………… ... 48 4.5.2 Definisi Operasional Variabel…………………………………….. 49 4.6 Bahan Penelitian ....................................................................................... 51
14
4.7 Instrumen Penelitian ................................................................................. 51 4.7.1 Alat – alat………………………………………………………… . 51 4.7.2 Bahan – bahan…………………………………………………… .. 51 4.8 Prosedur Penelitian…………………………………………………… ... 51 4.8.1 Penjelasan Alur Penelitian………………………………………… 51 4.9 Pengambilan Data………………………………………………………. 53 4.10 Pengukuran pH Permukaan Kulit………………………………………. 54 4.11 Analisis Data………………………………………………..…….. ........ 54 4.12 Etika Penelitian ........................................................................................ 55 BAB V HASIL PENELITIAN ............................................................................... 56 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian.................................................................. 56 5.2 Uji Normalitas Data ................................................................................... 57 5.3 Komparasi Rerata Nilai pH Permukaan Kulit Berdasarkan Derajat Keparahan Dermatitis Atopik ................................................................... 58 5.4 Korelasi Nilai pH Permukaan Kulit dengan Derajat Keparahan Dermatitis Atopik...................................................................................... 60 BAB VI PEMBAHASAN ....................................................................................... 62 6.1 Karakteristik Subjek Penelitian.................................................................. 62 6.2 Komparasi Rerata Nilai pH Permukaan Kulit Berdasarkan Derajat Keparahan Dermatitis Atopik ................................................................... 65 6.3 Korelasi Nilai pH Permukaan Kulit dengan Derajat Keparahan Dermatitis Atopik Berdasarkan SCORAD ............................................... 68
15
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 71 7.1 Simpulan .................................................................................................... 71 7.2 Saran .......................................................................................................... 71 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 73 LAMPIRAN-LAMPIRAN...................................................................................... 79
16
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Patogenesis Dermatitis Atopik………………………………... ………
15
Gambar 2.2 Peran pH Kulit dalam Sistem Sawar Kulit………………………….....
40
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian……………….. ………………………...
43
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian Cross-sectional……………..…………………..
45
Gambar 4.2 Hubungan antar Variabel………….…………………………………...
49
Gambar 4.3 Alur Penelitian………………………..………………………………..
53
Gambar 5.1 Grafik Box Plot Rerata Nilai pH Permukaan Kulit Pada Berbagai Severitas DA………...………………………………………………...
59
Gambar 5.2 Grafik Scattered Plot Korelasi Nilai pH Permukaan Kulit dengan SCORAD………………………………………………………………
17
61
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian………………………………...………..
57
Tabel 5.2 Hasil Uji Normalitas Data dengan Shapiro-Wilk………………………....
58
Tabel 5.1 Hasil Analisis Perbandingan Rerata Nilai pH Permukaan Kulit Berdasarkan Derajat Keparhan DA…………….………………………...
59
Tabel 5.4 Hasil Uji Lanjut (Post Hoc)……………..………………………………..
60
Tabel 5.5 Hasil Analisis Korelasi Nilai pH Permukaan Kulit dengan Derajat Keparahan DA………….………………………………………………...
18
60
DAFTAR ARTI SINGKATAN
CAMP
:
Cyclic adenosine monophosphate
CD
: Cluster of Differentiation
CLA
: Cutaneous Lymphoid Antigen
DA
: Dermatitis atopik
ExT – A
: Exotoxin A
Filagrin
: Filamen-agregating Protein
GM-CSF
: Granulocyte Macrophage colony stimulating factor
ICAM – I
: Intercullular Adhesion Molecule-I
IFN
: Interferon
IFN-γ
: Interferon gamma
IgE
: Imunoglobulin E
IgM
: Imunoglobulin M
IL
: Interleukin
KS
: Kortikosteroid
MDC
: Macrophage-derived Chemokine
MHC
: Major Histocompatibility Complex
mRNA
: Messengger Ribonucleic Acid
NMF
: Natural moisturizing factor
pH
: Potensial Hydrogen
PMN
: Polimorfonuklear
19
SA
: Staphylococcus aureus
SCCE
: Stratum corneum chymotryptic
SCORAD
: Scoring for Atopic Dermatitis
SCTE
: Stratum corneum tryptic enzyme
SE
: Staphylococcus Epidermidis
SEA
: Staphylococcus Enterotoxin A
SEB
: Staphylococcus Enterotoxin B
SEC
: Staphylococcus Enterotoxin C
TEWL
: Transepidermal water loss
TDR
: Tungau Debu Rumah
Th
: T Helper
TGF
: Tumor Growth Factor
TNF
: Tumor Necrosis Factor
TNF – ex
: Tumor Necrosis Factor ex
TRC
: Thymic Reticuloepithelial Cells
UV
:
Ultra Violet
VCAM
:
Vascular Cell Adhesion Molecule
20
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1
Keterangan Kelaikan Etik…………………………………………... 78
Lampiran 2
Surat Ijin Penelitian……………………….………………………… 79
Lampiran 3
Penjelasan dan Form Persetujuan Tertulis………………………….. 80
Lampiran 4
Formulir Persetujuan Tertulis……………………………....……..... 82
Lampiran 5
Status/Formulir penelitian ………………….………………………. 83
Lampiran 6
Kriteria Diagnosis Dermatitis Atopik dari Hanifin dan Rajka…........ 86
Lampiran 7
Cara pengukuran pH permukaan kulit menggunakan skin pH meter. 88
Lampiran 8
Data Sampel Penelitian…………………………………………….. 89
Lampiran 9
Analisis Hasil Penelitian…………………………………………….91
Lampiran 10 Foto Lesi Kulit Penderita dengan Alat Ukur pH Meter…………….. 98
21
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kondisi gangguan fungsi sawar kulit dapat menyebabkan berbagai jenis penyakit di bidang Dermatologi. Salah satu penyakit kulit yang disebabkan oleh adanya disfungsi fungsi sawar kulit adalah dermatitis atopik (DA). Penderita DA sering merasa frustasi terhadap penyakitnya karena berlangsung cukup lama dan seringkali kambuh secara berkala. Penderita DA memperlihatkan kecenderungan kulit yang kering dan mudah teriritasi. Banyaknya faktor penyebab dan kurangnya pengetahuan tentang perawatan kulit yang tepat pada penderita DA, menyebabkan tingginya kekambuhan yang berulang pada penderita DA. Dermatitis atopik merupakan suatu keadaan peradangan kulit kronis residif, ditandai dengan rasa gatal yang sangat mengganggu dan paling sering terjadi pada bayi dan anak-anak (Leung dkk., 2012). Sejak tahun 1960, prevalensi DA terus mengalami peningkatan hingga mencapai lebih dari tiga kali lipat. Penelitian saat ini menggambarkan DA termasuk dalam salah satu masalah kesehatan utama di dunia dengan prevalensi pada anak di Amerika Serikat, Jepang, Eropa, Australia dan negara industri lain mencapai 10% sampai 20%, sedangkan pada dewasa 1% sampai 3%. Di negara agraris, misalnya Cina, Eropa Timur, Asia Tengah prevalensi DA jauh lebih rendah (Leung dkk., 2012). Prevalensi DA di Asia Tenggara pada orang dewasa didapatkan sebesar 20% (Chan dkk, 2006).
22
Dermatitis atopik merupakan penyakit yang terjadi akibat adanya interaksi yang kompleks antara kerentanan genetik yang mengakibatkan kerusakan sawar kulit dan peningkatan respon imun terhadap alergen dan antigen mikroba yang ditandai dengan peningkatan kadar Imunoglobulin E (IgE) dalam serum (Novak dkk., 2011; Leung dkk., 2012). Penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa berbagai macam gejala DA yang timbul terutama diakibatkan karena terganggunya fungsi sawar kulit (Park dkk., 2001). Salah satu fungsi epidermis adalah sebagai sawar kulit. Gejala utama DA ialah gatal dengan kulit yang kering, bersisik dan akibat garukan, dapat timbul bermacam-macam kelainan di kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, krusta dengan distribusi yang khas sesuai fasenya. Pada bayi lesi sering terdapat pada wajah dan ekstensor, pada anak-anak dan dewasa lesi pada fleksura dengan likenifikasi (Leung dkk., 2012). Diagnosis DA dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik sesuai kriteria mayor dan minor yang disusun oleh Hanifin dan Rajka pada tahun 1980 (Leung dkk., 2012). Kekeringan pada kulit penderita DA, menunjukkan adanya peningkatan potensial hydrogen (pH) permukaan kulit menjadi lebih alkali dan hal ini dapat mempengaruhi flora bakteri pada kulit. Acid mantle adalah lapisan film yang bersifat asam di permukaan kulit yang berfungsi melindungi kulit. Definisi nilai keasaman (pH) kulit adalah nilai keasamaan dari lapisan pada permukaan yang terdiri dari asam lemak dari sebum yang dihasilkan oleh kelenjar sebasea, lemak epidermal dan komponen yang disekresikan bersama keringat (Harry, 1975; Strauss, 1991). Nilai keasaman permukaan kulit normal antara 4 sampai 6,5 pada orang sehat, meskipun
23
bervariasi antara satu kulit dengan kulit yang lain (Rieger, 1989). Schade dan Marchionini (1928), menyatakan bahwa pH permukaan kulit berkisar dari 3,0 sampai 5,0 dan menyebutnya sebagai acid mantle yang berperan dalam perlindungan terhadap infeksi bakteri atau jamur. Peneliti lain mendapatkan nilai pH kulit berkisar antara 5,4 sampai 5,9 dengan rerata 5,5, namun ada pula yang berpendapat bahwa rerata pH permukaan kulit antara 6,4 dan 6,5 (Braun-Falco dan Korting, 1991). Dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa berbagai jenis inflamasi kulit atau trauma tertentu (tape stripping) dapat menyebabkan peningkatan pH permukaan kulit. Pada DA didapatkan pH kulit lebih tinggi (lebih alkali) dan nilai pH meningkat sesuai dengan meningkatnya kekeringan kulit (Schafer dkk, 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Eberlein-Konig dkk., mendapatkan bahwa nilai pH permukaan kulit yang diukur pada lengan penderita DA bagian volar secara signifikan lebih tinggi yaitu sebesar 5,54 dibandingkan pada orang yang bukan DA yaitu sebesar 4,86 (Eberlein-Konig dkk. 2000). Penelitian yang sama juga didapatkan bahwa pH permukaan kulit pada lesi maupun kulit tanpa lesi pada penderita DA secara signifikan lebih tinggi dibandingkan pada individu bukan DA (Knor Tanja dkk. 2011). Penelitian lain mendapatkan bahwa tidak ada perbedaan peningkatan pH permukaan kulit pada lesi penderita DA dibandingkan individu bukan DA (Choi dkk, 2003). Pada dua kelompok peneliti yaitu Hon dkk., dan Gupta dkk., didapatkan hubungan antara TEWL dan Scoring for Atopic Dermatitis (SCORAD) pada anak-
24
anak yang menunjukkan adanya hubungan antara defek pada sawar kulit yang ditunjukkan dengan peningkatan TEWL dengan keparahan penyakit (Aoki, 2010). Untuk mengetahui derajat keparahan penyakit, terdapat indeks SCORAD. Sistem ini merupakan nilai kombinasi antara luasnya penyakit dengan menggunakan rule of nine, intensitas penyakit kulit dengan ciri eritema, edema, krusta, ekskoriasi, likenifikasi dan kulit kering, dimana kulit kering dievaluasi pada kulit yang tidak meradang serta keluhan subjektif penderita yaitu rasa gatal dan gangguan tidur. Skor yang tinggi menunjukkan penyakit yang lebih parah (Bender dkk., 2008). Berdasarkan latar belakang terdapat perbedaan hasil dari beberapa peniltian dan belum adanya data tentang nilai keasamaan pH kulit berdasarkan derajat keparahan DA baik pada penderita DA anak-anak maupun penderita DA dewasa di Denpasar, maka penelitian ini dilakukan untuk melihat korelasi antara nilai keasaman (pH) permukaan kulit dengan derajat keparahan lesi penderita DA di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah, Denpasar 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Apakah terdapat perbedaan rerata nilai pH permukaan kulit pada berbagai derajat keparahan DA dan nilai pH permukaan kulit berkorelasi positif dengan derajat keparahan DA?
25
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Untuk mengetahui adanya hubungan antara pH permukaan kulit dengan derajat keparahan pada penderita DA. 1.3.2 Tujuan khusus 1.
Untuk mengetahui rerata nilai pH permukaan kulit pada berbagai derajat keparahan pada penderita DA di rumah sakit Sanglah, Denpasar.
2.
Untuk mengetahui nilai pH permukaan kulit berkorelasi positif dengan derajat keparahan penderita DA di rumah sakit Sanglah, Denpasar.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis 1. Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang hubungan antara nilai pH permukaan kulit dengan derajat keparahan DA 2. Mengetahui peran pH sebagai sawar kulit dalam etiopatogenesis DA 3. Menambah data tentang nilai pH permukaan kulit pada penderita DA khususnya di Denpasar 4. Data ini dapat digunakan sebagai data awal untuk penelitian lebih lanjut. 1.4.1 Manfaat praktis 1. Data ini dapat digunakan sebagai dasar untuk pemilihan terapi secara holistik pada penderita DA, selain terapi utama untuk mengatasi inflamasi pada DA dapat digunakan bahan pelembab untuk memperbaiki fungsi sawar kulit.
26
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Dermatis atopik adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal, yang umumnya terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE serum dan riwayat atopik pada keluarga atau penderita (DA, rinitis alergika dan atau asma bronkial) (Leung dkk., 2012). Kata “atopik” pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923) yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya, misalnya DA, rinitis alergika, dan konjungtivitis alergika. Dermatitis atopik dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan gambaran laboratoris dan penyakit terkait, yaitu dermatitis atopik tipe intrinsik dan ekstrinsik. Dermatitis atopik tipe ekstrinsik memerlukan sensitisasi yang diperantarai oleh IgE, seringkali terkait dengan asma bronkial atau rinokonjungtivitis alergika dan merespon positif terhadap pemberian alergen makanan maupun lingkungan. Sedangkan, dermatitis atopik tipe intrinsik (DA non alergika, DA non atopik, eksim non atopik) memiliki kadar IgE serum normal. Penderita ini memberi hasil negatif pada percobaan in vitro dengan alergen makanan maupun lingkungan dan tidak terkait dengan penyakit atopik lainnya seperti asma atau rinokonjungtivitis alergi. Penderita DA intrinsik cenderung memiliki onset penyakit yang lebih lambat (Choi dkk., 2003; Leung dkk., 2004).
27
2.2 Epidemiologi Prevelensi DA meningkat dua hingga tiga kali lipat selama tiga dekade terakhir di negara maju sehingga menjadi masalah kesehatan yang cukup serius (Leung dkk., 2012). Di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia, dan negara industri lain prevalensi DA pada anak mencapai 10% sampai 20%, sedangkan pada dewasa kirakira 1% sampai 3%. Di negara agraris misalnya Cina, Eropa Timur, Asia Tengah prevalensi DA jauh lebih rendah (Leung dkk., 2012). Prevalensi DA secara umum mencapai 10%-20% pada anak dan 1%-3% pada dewasa (Leung dkk., 2004). Dermatitis atopik biasanya muncul pada bayi dan anak-anak, namun bisa menetap ataupun dimulai pada saat dewasa (Leung dkk., 2004; Bieber 2008). Empat puluh lima persen kasus DA dimulai pada enam bulan pertama kehidupan, 60% dimulai pada tahun pertama dan 85% dimulai sebelum usia lima tahun. Lebih dari 70% penderita mengalami remisi spontan sebelum remaja (Bieber, 2008). Wanita lebih banyak menderita DA daripada pria dengan rasio 1,3 : 1 (Leung dkk., 2012). Berbagai faktor lingkungan berpengaruh terhadap prevalensi DA, misalnya jumlah keluarga kecil, taraf pendidikan dan penghasilan. Migrasi dari desa ke kota dan meningkatnya penggunaan antibiotik, juga berpotensi meningkatkan jumlah penderita DA (Leung dkk., 2012). “Hygiene hypotesis” telah diajukan untuk menjelaskan peningkatan prevalensi DA. Hipotesis ini menyatakan tidak adanya infeksi di awal kehidupan pada populasi yang telah disebutkan di atas membuat individu lebih rentan untuk mengalami DA (Bieber, 2008; Leung dkk., 2012), sedangkan jumlah rumah yang berpenghuni banyak, meningkatnya jumlah keluarga,
28
urutan lahir makin belakang, sering mengalami infeksi sewaktu kecil akan melindungi timbulnya DA pada kemudian hari. Dermatitis atopik cenderung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopik akan mengalami DA pada masa kehidupan tiga bulan pertama. Bila salah satu orang tua menderita atopik, lebih separuh jumlah anak akan mengalami gejala alergi sampai usia dua tahun dan meningkat sampai 79% bila kedua orang tua menderita atopik. Risiko mewarisi DA lebih tinggi pada ibu yang menderita DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi bila DA yang dialami berlanjut hingga masa dewasa, maka risiko untuk mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira 50% (Leung dkk., 2012)
2.3 Etiologi dan Patogenesis Penyebab DA yang pasti tidak diketahui dengan jelas, beberapa peneliti mengemukakan berbagai faktor yang berperan dalam patogenesis DA, misalnya faktor genetik, lingkungan, sawar kulit dan imunologi (Leung dkk., 2004; Bieber, 2008; Novak, 2008; Leung dkk., 2012). 2.3.1 Faktor predisposisi 2.3.1.1 Gangguan fungsi sawar kulit Rasa gatal yang hebat dan garukan dikombinasi dengan hiperreaktivitas kulit dan berkurangnya ambang batas rasa gatal mendasari lingkaran setan dari stimulasi mekanis yang kontinyu dan pengeluaran sitokin yang tidak teratur oleh keratinosit. Kerusakan yang mendasar terjadi pada DA adalah perubahan komposisi lipid stratum
29
korneum yang bertanggung jawab terhadap keringnya kulit dan mengakibatkan peningkatan permeabilitas terhadap alergen dan iritan (Novak, 2008). Stratum korneum mempunyai kemampuan untuk menahan air yang tergantung dari fenotip dan susunan korneosit, komposisi dan susunan lipid ekstraseluler dan adanya materi yang bersifat higroskopis kuat pada korneosit. Susunan stratum korneum dianalogikan dengan “batu bata dan semen” (Brick wall with mortar). Korneosit mewakili batu bata dan matriks yang terdiri dari lipid dan korneodesmoson mewakili semen. Lipid stratum korneum mengisi 20% volume stratum korneum yang terdiri dari seramid (50%), kolesterol (25%) dan asam lemak (10-20%). Seramid berperan sebagai molekul penahan air utama pada stratum korneum. Berkurangnya jumlah seramid telah dilaporkan terjadi pada epidermis, baik pada kulit penderita DA yang mengalami lesi maupun yang tidak (Beiber, 2008; Novak, 2008). Bahkan pada penderita DA tanpa lesi kulit juga terjadi kekeringan kulit dan gangguan fungsi sawar stratum korneum yang ditandai dengan meningkatnya kehilangan air melalui epidermis transepidermal water loss (TEWL) (Novak, 2008). Gangguan fungsi sawar kulit pada DA meningkatkan absorpsi antigen yang mengakibatkan hiperreaktivitas kulit yang merupakan gambaran khas DA (Bieber, 2008; Novak, 2008). Sebagai tambahan, seramidase yang memecah seramid menjadi sphingosine dan asam lemak disekresi lebih banyak dari flora bakteri yang didapat baik pada kulit yang mengalami lesi ataupun tanpa lesi pada penderita DA. Pada fase aktif penyakit terjadi pergeseran pH ke arah alkali pada kulit yang sehat maupun sakit. Bersamaan dengan kerentanan terhadap iritan pada DA dapat
30
digambarkan sebagai defek primer dan kemudian pada diferensiasi dan fungsi epidermis dengan adanya inflasi subklinis yang menginduksi kerusakan kulit dikombinasi dengan gangguan sawar kulit lebih lanjut pada fase aktif penyakit (Novak, 2008). 2.3.1.2 Mekanisme genetik Onset pada usia dini, kejadian penyakit pada keluarga, dan angka kejadian yang tinggi pada kembar monozigot sebesar 77% dan 15% pada kembar dizigot, menggambarkan bahwa DA merupakan penyakit yang kompleks secara genetik yang berkembang berdasarkan latar belakang gen dan interaksi ginetik dengan lingkungan (Leung dkk., 2004; Bieber, 2008; Novak, 2008; Leung dkk., 2012). Beberapa kromosom mengandung gen yang terlibat dalam DA, khususnya pada kromososm 5q31-33yang mengandung famili gen sitokin T Helper 2 (Th2) yaitu Interleukin 3 (IL-3), IL-4, IL-5, IL-13 dan Granulocyte Macrophage colony stimulating factor (GM-CSF). Pada tahun 1998, penelitian menunjukan gen yang dikode pada kromosom 16p11.2-12 berhubungan dengan kadar IgE serum total. Area gen ini merupakan lokasi dari IL-4 reseptor gen alfa (IL-4R). Mutasi gen yang mengakibatkan peningkatan reaktivitas reseptor IL-4 seperti Q576R diperkirakan bertanggung jawab terhadap peningkatan sekresi IgE. Lebih lanjut lagi, polimorfisme yang terjadi minimal pada empat asam amino yang berbeda pada lokasi sitoplasmisk IL-4R mempengaruhi sinyal reseptor IL-4 dan meningkatkan sekresi IgE. Terdapat hubungan juga antara kadar IgE total yang tinggi dengan 12q21-1q24.1, yaitu gen untuk interferon- (IFN-) dan faktor sel punca (KIT ligand/mast-cell growth faktor)
31
berlokasi (Novak, 2008). Cookson dkk., menemukan bahwa lokus gen 11q13 yang mewakili daerah untuk rantai reseptor untuk IgE terkait dengan fenotip DA (Leung dkk., 2004; Bieber, 2008; Novak, 2008). Begitu juga varian dari area pengkode IL13, mutasi pada promotor proksimal gen RANTES dan keterkaitan DA dengan kromosom 3q21, area
yang mengkode molekul kostimulator
Cluster of
Differentiation 80 (CD80) dan CD86 telah diidentifikasi sebagai lokus yang rentan terhadap DA (Novak, 2008). 2.3.1.3 Hygiene hypothesis Limfosit fetal manusia mengandung Th2 sebagai konsekuensi dari sitokin plasenta, hormon dan paparan terhadap alergen transplasenta. Selama periode postnatal, pada individu yang non atopik terjadi pergantian dari Th2 dominan menjadi Th1, mungkin diakibatkan karena stimulasi dari beberapa macam agen infeksi. Berlawanan dengan individu yang atopik, pergantian ini tidak terjadi selama bulan pertama kehidupan dan menimbulkan reaksi imunologis Th2 (Novak, 2008). Faktor-faktor kehidupan modern seperti penggunaan antibiotik, penurunan jumlah anggota keluarga, dan peningkatan higienitas mengakibatkan kurangnya paparan terhadap stimulasi bakteri dan mendukung perkembangan Th2 (Novak, 2008; Leung dkk, 2012). 2.3.2 Faktor imunopatogenesis 2.3.2.1 Monosit Peningkatan hidrolisis cyclic adenosine monophosphate (CAMP) oleh phosphodiesterase yang overaktif secara genetik pada monosit mengakibatkan
32
peningkatan produksi mediator seperti prostaglandin E dan IL-10. Mekanisme ini selanjutnya menghambat respon Th2 dan memprekuat sekresei IL-4 oleh sel Th2 dan nampak sebagai tambahan selain prostaglandin E2, IL10 berperan untuk mengatur keseimbangan antara respon Th1 dan Th2 yang mengatur gambaran atopik termasik produksi IL-4, IL-5 dan IL-6 oleh sel T, peningkatan sintetis IgE, berkurangnya produksi interferon- (IFN-γ) dan terganggunya respon imun yang diperantarai sel. Monosit dari penderita DA menunjukkan peningkatan ekspresi reseptor untuk IgE dan rantai IL-4R dapat dibedakan dari monosit pasien DA non alergi yang ekspresi marker permukaannya rendah (Leung dkk., 2004; Novak, 2008). 2.3.2.2 Eosinofil Adanya eosinofilia pada darah perifer dan peningkatan kadar protein granul eosinofil serum menggambarkan degranulasi eosinofil berperan penting pada DA. Peningkatan kadar eosinofil dengan peningkatan survival telah terdeteksi dan terutama pada eosinofil dari penderita DA alergi, reseptor CD137 yang menstimulasi aktivasi dan diferensiasi sel T dapat dideteksi. Peningkatan protein granular dapat ditemukan dari darah perifer sejalan dengan keaktifan penyakit. Di kulit, sitokin Th2 bersamaan dengan kemokin seperti eotaxin dan protein 4 kemoatraktan monosit mendorong influx eosinofil ke dalam kulit penderita DA (Leung dkk., 2004; Novak, 2008). 2.3.2.3 Keratinosit Transduksi sinyal pada sel epitel yang tidak teratur dapat mengakibatkan respon yang berlebihan terhadap stimulus inflamasi. Perubahan sintesis sitokin oleh sel di
33
kulit meningkatkan ekspresi Tumor Necrosis Factor-α (TNF-), IL-1, dan IL-12 Messengger Ribonucleic Acid (mRNA) pada kulit penderita DA setelah kontak dengan deterjen atau aeroalergen. Defek intrinsik keratinosit ditemukan pada DA mengakibatkan sekresi GM-CSF, IL-1 dan TNF- dipercepat (Leung dkk., 2004; Bieber, 2008; Novak, 2008). 2.3.2.4 Sel T Salah satu gambaran DA yang paling menonjol adalah infiltrasi kulit oleh sel T CD4 pada lesi kulit. Penelitian imunohistologis menunjukkan infiltrat dermis pada lesi kulit terutama terdiri dari sel CD4 dan CD8 dengan perbandingan CD4:CD8 hampir sama dengan yang ditemukan pada darah tepi (Leung dkk., 2004; Bieber, 2008; Novak, 2008). Sistem imun manusia memiliki sel T kutaneus yang sangat aktif dan memiliki Cutaneus lymphocyte antigen (CLA) pada permukaannya yang memungkinkan sel T untuk segera menuju ke kulit bila terdapat masuknya antigen asing. Masuknya sel T kedalam kulit ditentukan oleh interaksi CLA dengan antigen permukaan sel vaskular yang diekspresikan pada pembuluh darah dermis seperti E-selectin. Kofaktor lain yang penting untuk masuknya sel T adalah alpha-6 integrin, Vascular Cell Adhesion Molecule (VCAM-1), Intercullular Adhesion Molecule-I (ICAM-1) dan IL-8 yang ditemukan dalam jumlah banyak pada darah tepi penderita DA (Novak, 2008). Prekursor Th 0 dirangsang untuk berdiferensiasi menjadi sel Th1 atau Th2, setelah presentasi antigen oleh sel dendritik. Respon Th1 terkait dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat dan dominan mensekresi IFN-γ dan IL-2. Pola Th2
34
terkait dengan peningkatan sekresi IgE dan reaksi yang diperantarai IgE dan didominasi oleh IL-4, IL-5 dan IL-13. Analisis sampel biopsi dari kulit sehat pada penderita DA menunjukkan peningktan sel Th2 yang mengekspresikan mRNA dari IL-4 dan IL-13. Sementara lesi DA akut tidak mengandung sel yang mengekspresikan mRNA, IL-5, IL-12, GMCSF atau IL-12 dalam jumlah yang signifikan, jumlah mRNA sitokin-sitokin ini meningkat pada fase kronis, sedangkan jumlah mRNA IL-4 dan IL-13 menurun (Leung, 2004; Novak, 2008). Dari penelitian terhadap lesi kulit terhadap penderita DA diketahui bahwa perjalanan DA bersifat bifasik, dimana pada fase inisial ditandai oleh pola Th2 lalu beralih ke fase kronis yang didominasi oleh profil Th1. Peralihan ini mungkin dimulai oleh produksi lokal IL-12 dari eosinofil atau sel epidermal dendritik atau keduanya (Novak, 2008). 2.3.2.5 Sitokin dan Kemokin Berkurangnya imunitas yang diperantarai sel pada DA adalah akibat peningkatan produksi sitokin imunosupresif seperti IL-10 dan Tumor Growth Factor (TGF-) telah diobservasi pada DA (Leung, 2004; Novak, 2008). Lebih lanjut lagi, kemoatraktan untuk sel T CD4, kemokin yang diekspresikan dan disekresi oleh sel T (RANTES), kemokin yang bersal dari Macrophage-derived Chemokine (MDC), kemokin yang diaktivasi Thymic Reticuloepithelial Cells (TRC) dapat ditemukan pada penderita DA (Leung, 2004; Novak, 2008). Inflamasi kulit yang menetap pada lesi kulit kronis dapat diinduksi oleh mediator yang meningkatkan lama hidup
35
eosinofil, monosit/makrofag dan sel dendritik seperti IL-5 atau GM-CSF ditemukan dalam jumlah yang banyak pada penderita DA (Novak, 2008).
Gambar 2.1 Patogenesis dermatitis atopik (Egawa G. 2015) 2.3.3 Faktor Pencetus 2.3.3.1 Makanan Pada anak kecil makanan dapat berperan dalam patogenesis DA, tetapi tidak biasa terjadi pada usia yang lebih tua. Makanan yang paling sering adalah telur, susu, gandum, kedelai dan kacang tanah (Novak, 2008; Leung dkk., 2012). 2.3.3.2 Aeroalergen Dari percobaan double blinded dengan placebo dan tungau debu rumah (TDR) didapatkan penderita DA setelah menghirup TDR mengalami eksaserbasi ditempat lesi lama dan timbul lesi baru (Leung dkk., 2004; Sularsito dkk., 2007; Novak, 2008;
36
Leung dkk., 2012). Demikian pula setelah aplikasi epikutan dengan aeroalergen (TDR, bulu binatang, kapang) melalui uji tempel pada kulit penderita DA tanpa lesi, terjadi reaksi eksematosa pada 30%-50% penderita DA, sedangkan pada penderita alergi saluran nafas dan relawan sehat jarang yang menunjukkan hasil positif. Sembilan puluh lima persen penderita DA mempunyai IgE spesifik terhadap TDR, sedangkan penderita asma bronkial hanya 42% (Novak, 2008). Derajat sensitisasi terhadap aeroalergen berhubungan lagsung dengan tingkat keparahan DA (Leung dkk., 2004; Novak, 2008; Leung dkk., 2012). 2.3.3.3 Mikroba Penderita DA cenderung mudah mengalami infeksi oleh bakteri, virus, jamur karena imunitas seluler menurun (aktivitas Th1 berkurang). Pada lebih dari 90% lesi kulit penderita DA ditemukan Staphylococcus aureus (S. aureus). Sedangkan pada orang normal hanya 5% (Leung dkk., 2004; Bieber, 2008; Novak, 2008; Leung dkk., 2012). Garukan adalah faktor penting yang dapat mempercepat pengikatan bakteri dengan mengganggu sawar kulit. Staphylococcus aureus mampu mensekresi toksin seperti Staphylococcus enterotoxin A (SEA) dan B (SEB) atau toxic shock syndrome toxine-1 yang menstimulasi aktivasi sel T dan makrofag. Sebagian besar penderita DA membuat antibodi IgE spesifik terhadap superantigen stafilokokus yang ada di kulit. Apabila ada superantigen menembus sawar kulit yang terganggu, akan menginduksi IgE spesifik dan degranulasi sel mast. Kejadian ini akan memicu siklus gatal garuk yang akan menimbulkan lesi di kulit penderita DA (Leung dkk., 2004; Bieber, 2008;
37
Novak, 2008). Superantigen juga meningkatkan sintesis IgE spesifik dan menginduksi resistensi kortikosteroid sehingga memperparah DA (Novak, 2008). 2.3.3.4 Bahan iritan Bahan iritan merupakan bahan yang langsung memiliki efek terhadap kulit. Bahan iritan akan semakin meningkat pengaruhnya dengan meningkatkan konsentrasi dan lama kontak sehingga kulit menjadi merah, gatal atau terbakar. Yang termasuk bahan iritan adalah sabun, deterjen, bahan kimia, asap, pakaian kasar yang abrasif, alkohol, parfum, kosmetik, astringen, disinfektan seperti klorin, pasir dan asap rokok. Penderita DA lebih sering mangalami dermatitis kontak iritan daripada dermatitis kontak alergika karena kerusakan sawar kulit lebih memudahkan masuknya bahan kimia iritan. Oleh karena itu, menghindari paparan terhadap bahanbahan tersebut juga merupakan salah satu prinsip penanganan DA (Leung dkk., 2004; Bieber, 2008; Novak, 2008; Leung dkk., 2012;). 2.3.3.5 Faktor neuroimunologis Stres adalah salah satu faktor yang dapat menimbulkan ekaserbasi DA. Meskipun mekanisme yang pasti dari imun kulit dan sistem saraf belum diketahui dengan jelas, diyakini bahwa fenomena ini diperantarai oleh faktor neuroimunologis seperti neuropeptida yang dapat ditemui pada serat saraf epidermis (Novak, 2008). 2.4 Sawar Epidermis Kulit merupakan organ tubuh terluas, yang membentuk 16 % berat tubuh dengan luas permukaan 1,8 m2 dan terdiri dari 3 lapisan utama yaitu epidermis, dermis dan subkutis (Bensouilah dkk, 2006). Fungsi terpenting dari kulit adalah membentuk
38
sawar yang efektif antara bagian dalam (inside) dan lingkungan luar (outside). Sawar inside-outside berperan meregulasi hilangnya air. Sedangkan sawar outside-inside memberikan pelindungan mekanik (terhadap iritasi, radiasi ultraviolet, panas, dan dingin), kimia (terhadap bahan-bahan iritan dan alergen), dan ancaman mikroba (terhadap bakteri, jamur dan virus). Sawar fisik kulit terletak pada lapisan yang paling luar, yaitu stratum korneum (Denda, 2000; Proksch dkk., 2012). 2.4.1 Struktur sawar epidermis Hingga tahun 1960-an, yang dianggap sebagai sawar kulit adalah bagian atas stratum granulosum dan bukan dibentuk oleh stratum korneum. Orang yang pertama kali memodifikasi pikiran ini adalah Christper dan Kligman, yang menganalisis stratum korneum dan menunjukkan fungsi ketahanannya. Tokoh lama yaitu Oldland kemudian menemukan organel yang kemudian dinamakan sesuai namanya Badan Oldland, saat ini dikenal sebagai badan lamelar dimana organel ini memiliki struktur yang mengandung seramid, kolesterol, dan asam lemak bebas. Pada tahun 1975, Michael dkk., menemukan sebuah model yang dapat menjelaskan sifat permeabilitas dari stratum korneum yaitu model ”batu bata dan semen”. Pada model ini, stratum korneum dianggap sebagai suatu dinding yang terbuat dari batu bata, dimana korneosit analog dengan batu bata dan lamela lipid analog dengan semen. Sebagai tambahan dari teori ini, Elias mengemukakan bahwa korneodesmosom analog dengan lempeng besi dalam batu bata dan berperan memberikan kekuatan pada dinding batu bata tersebut. Saat ini, model “batu bata dan
39
semen” ini yang dianggap paling tepat untuk memahami susunan seluler dan permeabilitas kulit (Cork dkk., 2008; Aoki, 2010) Stratum korneum merupakan komponen kulit yang penting karena stratum korneum memiliki kapasitas untuk menahan air dan adanya kandungan lipid di dalamnya. Stratum korneum berfungsi untuk menahan air untuk mencegah kekeringan pada kulit dan melindungi kulit terhadap benda asing (bahan – bahan alergen dan iritan, atau mikroba, bakteri, jamur, dan virus) (Bikowski, 2009). Sawar stratum korneum terdiri dari korneosit yang diperkaya protein, dilapisi lemak, dan dikelilingi oleh matriks lipid seluler (Chu, 2012). 2.4.1.1 Korneosit Sebagian besar epidermis terdiri dari keratinosit. Epidermis selalu mengalami proses pembaharuan. Lapisan ini mngandung sel-sel yang bergerak keluar dan mengalami diferensiasi secara progresif, membentuk stratum granuler dan stratum korneum (McGrath dkk., 2010; Miller dkk., 2012). Seiring dengan pergerakan keluar dari stratum basalis, keratinosit mulai berdiferensiasi dan mengalami sejumlah perubahan struktur dan komposisi. Keratinosit mensintesis dan mengekspresikan sejumlah protein dan lipid selama proses maturasinya. Tahap akhir dari diferensiasi keratinosit ini berkaitan dengan perubahan strukturnya, sehingga terbentuk sel skuamus yang datar dan tidak mengandung inti pada stratum korneum, yang disebut korneosit. Korneosit ini dilapisi oleh pembungkus protein (protein envelope) pada bagian dalamnya, dan pembungkus lemak (lipid envelope) pada bagian luarnya. Korneosit ini dikelilingi oleh matriks lipid ekstraseluler, yang membentuk suatu
40
matriks hidrofobik (Proksch dkk., 2012). Korneosit dilekatkan oleh korneodesmosom yang terdiri dari glikoprotein cadherin, yaitu desmoglein dan desmokolin. Pada kulit yang normal, seiring dengan migrasi korneosit menuju permukaan stratum korneum, akan terjadi penurunan jumlah korneodesmosom secara progresif. Keseimbangan
antara
proliferasi
sel
basal
dan
deskuamasi
korneosit
mempertahankan sawar kulit pada ketebalan yang konstan (Machado dkk., 2010) Adanya struktur korneosit seperti ini yang mendasari terbentuknya sawar fisik dan kemampuan kulit untuk menahan air. Lapisan korneosit ini mampu menahan air hingga tiga kali lipat beratnya. Namun bila kandungan air di dalam lapisan ini berkurang lebih dari 10%, maka lapisan ini tidak lagi bersifat lembut dan cenderung retak (Bensouilah dkk., 2006). 2.4.1.2 Lipid ekstraseluler Pada stratum spinosum bagian atas dan stratum granulosum, terdapat vesikel lamelar khas yang disebut badan lamelar epidermis. Badan lamelar adalah struktur berukuran 0.3-0.4 nm x 0.25 nm, yang menyususn kurang lebih 10% sitosol stratum granulosom. Badan lamelar diperkaya oleh lipid polar, gliskospingolipid, sterol bebas, fosfolipid, dan enzim katabolik, yang akan menghantarkan lipid yang diperlukan pada ruang ekstraseluler stratum korneum (Proksch dkk., 2012). Di akhir masa diferensiasi epidermis, granul–granul pada badan lamelar bergerak menuju puncak sel gronulosum teratas, kemudian mengalami fusi dengan membran plasma, dan mensekresikan isinya ke ruang interseluler melalui proses eksositosis. Lipid polar kemudian diubah secara enzimatik menjadi produk nonpolar.
41
Hidrolisis glikospingolipid akan menghasilkan seramid, sedangkan fosfolipid akan diubah menjadi asam lemak bebas (Proksch dkk., 2012). Serangkaian proses enzimatik tersebut akan mengasilkan matriks lipid ekstraseluler, yaitu kristalina yang tersusun atas seramid, kolesterol, asam lemak dan ester kolesterol (Cork dkk., 2008). Seramid merupakan komponen yang dominan dan penting dalam fungsi sawar epidermis. Korneosit berfungsi sebagai pertahanan dan perlindungan terhadap bahan kimia, dan bersama-sama dengan lipid ekstraseluler yang menghasilkan sifat impermeabilitas terhadap air (Proksch dkk., 2012). 2.4.2
Disfungsi sawar epidermis pada penderita dermatitis atopik
Beberapa postulat mengemukakan tentang mekanisme terjadinya disfungsi sawar epidermis pada penderita DA antara lain yaitu adanya penurunan kadar seramid kulit, yang berperan sebagai molekul pengikat air pada ruang ekstraseluluer, adanya perubahan pH stratum korneum dan adanya ekspresi yang berlebihan dari eksim chymotryptic (chymase), (4). Defek pada filagrin (Bieber, 2010). Seramid adalah asam lemak yang dihubungkan dengan amida, dan mengandung alkohol amino rantai panjang yang disebut basa sphingoid (Proksch dkk., 2012). Pada stratum korneum manusia, terdapat 11 subkelas seramid yang telah teridentifikasi. Seramid dibedakan berdasarkan arsitektur ‘kepala’ dan panjang rantai asam lemak. Basa daripada seramid tersusun atas salah satu dari sphingosin, phytosphingosin, 6-hidroksphingosin, atau dihidroksisphingosin. Basa ini akan terhubung dengan asam lemak non hidroksilasi, asam lemak hidroksi - , atau asam
42
lemak hidroksi - . Kombinasi 4 macam basa dan asam lemak ini akan menghasilkan struktur seramid (Bouwstra dkk., 2010) Pada tingkat ultrastruktur, sawar permeabilitas kulit diperankan oleh lapisan lipid multilamela interseluler yang terletak di stratum korneum. Seramid yang merupakan komponen terbesar penyusun lipid stratum korneum, secara fungsional berperan penting untuk menjaga stabilitas lapisan lemak interseluler. Terutama seramid 1, karena struktur rantainya yang panjang, akan menghubungkan bilayer yang berdekatan, sehingga dapat mempertahankan homeostasis air dan menghambat kehilangan air. Pada percobaan perusakan sawar kulit menggunakan pelarut atau deterjen yang dapat menghilangkan sawar, ternyata ditemukan kulit yang xerotik dan peningkatan Transepidermal Water Loss (TEWL). Pada sebuah penelitian yang dilakukan Nardo dkk., pada 47 penderita AD dan 20 orang normal, didapatkan hasil bahwa kadar seramid 1 dan seramid 3 pada DA lebih rendah secara signifikan (Nardo dkk., 1998). Pada kulit atopik terjadi gangguan maturasi badan lamelar, sehingga terjadi penurunan pelepasan asam, lipid dan bahan penyusun enzim pada stratum korneum, sehingga terjadi defek fungsi sawar kulit. Selain itu, berkurangnya seramid pada penderita atopik juga disebabkan karena peningkatan aktivitas enzim sphingomyelin deasilase (Cork dkk., 2008). Keadaan homeostasis pH permukaan kulit merupakan salah satu bagian yang penting dari konsep ‘acid mantle’ kulit. Nilai pH permukaan kulit pada lengan bawah orang dewasa pria suku Kaukasian adalah 5.4 hingga 5.9, dan pH rata-rata pada bayi
43
berusia dua minggu hingga 18 bulan lebih tinggi daripada orang dewasa (Konig dkk., 2000). Pentingnya pH stratum korneum terhadap homeostasis sawar kulit dibuktikan dengan adanya perburukan fungsi sawar ketika kulit yang tidak terpapar oleh pH alkali. pH stratum korneum mempengaruhi fungsi sawar kulit melalui dua mekanisme. Mekanisme pertama yaitu mempengaruhi secara langsung melalui organisasi membran bilayer, dan yang kedua sekunder melalui regulasi proses lipid ekstraseluler. Enzim-enzim yang membentuk lipid ekstraseluler, seperti misalnya glukoserebrosidase- dan sfingomyelinase, bekerja pada pH optimal asam. Pada percobaan pada kulit mencit, setelah diaplikasikan produk yang bersifat basa, dengan pemeriksaan mikroskop elektron ditemukan penurunan aktivitas glukoserebrosidase, maka proses membran lamela lipid terjadi secara inkomplit (Cork dkk., 2008). Selama
proses
deskuamasi
kulit,
terjadi
pemecahan
korneodesmosom
ekstraselluler yang mengikat korneosit, sehingga korneosit akan terlepas dari permukaan kulit. Pemecahan protein korneodesmosom oleh protease menyebabkan berkurangnya ikatan antara korneosit dan reduksi kohesi korneosit. Di antara enzimenzim protease yang terlibat dalam deskuamasi, yang berperan penting adalah enzim chymotryptic stratum korneum / stratum corneum chymotryptic (SCCE), dan enzim tryptic stratum korneum / stratum corneum tryptic enzyme (SCTE). SCCE akan menghidrolisis korneodesmosom dan desmokolin 1, sedangkan SCTE akan memecah desmoglein 1. Variasi genetik pada gen SCCE berhubungan dengan disregulasi aktivitas SCCE pada manusia. Pada penderita DA, terjadi insersi 4 basa AACC pada gen pengkode SCCE, sehingga memperpanjang waktu paruh mRNA SCCE dan
44
akhirnya terjadi peningkatan produksi SCCE. Pada sebuah percobaan pada tikus dengan ekspresi SCCE yang berlebihan, didapatkan perubahan kulit yang mirip dengan pada kulit atopik. Ekspresi SCCE yang berlebihan menyebabkan pemecahan korneodesmosom prematur, diikuti oleh peningkatan deskuamasi korneosit dan penipisan sawar kulit (Cork dkk., 2008). Enzim SCCE bekerja optimal pada pH netral. Jika pH stratum korneum meningkat dari pH normalnya (5.5) menjadi 7 atau lebih tinggi, maka aktivitas SCCE akan semakin meningkat, menyebabkan penurunan fungsi sawar. Bahan yang paling sering meningkatkan pH permukaan kulit yaitu sabun dan deterjen (Cork dkk., 2008; Leung dkk., 2012). Beberapa penelitian genetika akhir-akhir ini menunjukkan bahwa Filamenagregating Protein (Filagrin) berperan penting dalam etiologi dermatitis atopik. Filagrin, dan gennya FLG, terletak pada kompleks diferensiasi epidermal pada kromosom 1q21. Produk awal dari gen FLG adalah profilagrin, yang merupakan komponen utama granula keratohyalin, dan dalam proses diferensiasi akhir akan dipecah menjadi peptide filagrin. Filagrin berperan dalam perubahan keratinosit menjadi skuama protein – lipid. Filagrin memicu terjadinya pemipihan korneosit dengan cara mengagregasikan filamen keratin menjadi struktur bundle untuk kemudian membentuk skeleton keratin (DeJongh dkk., 2008). Setelah filagrin menjalankan perannya untuk pembentukan bundle filamen keratin, filagrin akan dipecah menjadi asam amino histidin, glutamine dan arginine yang kemudian akan mengalami deaminasi menjadi asam amino histidin, glutamine dan arginine yang kemudian akan mengalami deaminasi menjadi asam trans-urocanic asam karboksilat
45
pyrolidon dan citrulin yang merupakan komponen aktif senyawa yang meregulasi hidradsi kulit, disebut faktor pelembab alami / natural moisturizing faktor (NMF). NMF turut berperan dalam retensi air di dalam korneosit, sehingga terjadi hidrasi dan pengembungan yang optimal. Hal ini mencegah terbentuknya celah antara korneosit, meningkatkan integritas stratum korneum dan membuatnya resisten terhadap penetrasi iritan dan allergen (Cork dkk., 2008; DeJongh dkk., 2008). Terhadap hubungan yang signifikan antara mutasi pada filagrin dan DA. Pada kulit penderita DA terdapat penurunan kadar filagrin dan NMF. DA dihubungkan dengan mutasi loss of function filagrin. Penurunan kadar filagrin dan NMF akan menyebabkan berkurangnya kemampuan korneosit untuk menahan air, sehingga terjadi pengerutan. Seiring dengan pengerutan korneosit, akan terbentuk celah di antara korneosit, sehingga terjadi defek sawar epidermis yang rentan terhadap penetrasi allergen maupun iritan (Cork dkk.,2008). 2.4.3 Evaluasi fungsi sawar epidermis Salah satu cara untuk evaluasi fungsi sawar epidermis adalah dengan pengukuran TEWL (Aoki, 2010). Secara definisi, TEWL adalah hilangnya air secara difusi dari epidermis, selain karena proses desorpsi dan aktivitas kelenjar keringat (Machado dkk., 2010). Hasil pengukuran TEWL dapat menunjukkan hasil yang bervariasi antar dan inter individu. Variasi TEWL antar pengukuran dapat berbeda dalam satu individu. Variasi pada lokasi yang sama adalah 8% , dan 21% pada hari yang berbeda. Sedangkan variasi antar individu diperkirakan lebih besar yaitu 3548% (Cork dkk., 2008). Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah : usia, area
46
anatomis, suhu dan keringat pada permukaan kulit, kerusakan dan penyakit pada kulit, irama sirkadian, dan stres. Pada kondisi sawar kulit yang imatur, seperti pada bayi prematur, didapatkan TEWL yang lebih tinggi. Hal ini terutama terjadi pada 2 minggu pertama kehidupan. Sawar epidermis terhadap penetrasi bahan eksogen terletak pada stratum korneum bagian dalam. Oleh karena itu, penetrasi perkutaneus dari bahan-bahan eksogen bervariasi tergantung dari ketebalan stratum korneum. Pengukuran TEWL sangat dipengaruhi oleh area anatomis, dengan urutan sebagai berikut : telapak tangan > telapak kaki > dahi = postaurikula = kuku = dorsum tangan > lengan atas = paha = dada = perut = punggung (Rogiers dkk., 2005). Pada sebuah penelitian yang membandingkan individu DA dan normal, didapatkan peningkatan TEWL pada DA. Pada pengukuran TEWL di punggung tangan didapatkan TEWL sebesar 17.5 g/m2/jam pada penderita DA dan pada orang normal sebesar 9.8 g/m2/jam. Pada pengukuran di area punggung didapatkan nilai TEWL pada penderita DA adalah 14.4 g/m2/jam, dan 6.6 g/m2/jam (Konig BE dkk., 2000). 2.5 Gambaran Klinis Kulit penderita DA umumnya kering, pucat, kadar lipid di epidermis berkurang dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Gejala utama DA adalah gatal hebat, dapat hilang timbul sepanjang hari tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk dan timbul bermacam-macam kelainan di kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi dan krusta. Lesi subakut ditandai
47
dengan eritema, ekskoriasi, papul berskuama. Lesi kronis ditandai dengan plak, likenifikasi, papul fibrotik (Remitz dkk., 2008; Leung dkk., 2012). Dermatitis atopik dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu DA infantil (2 bulan-2 tahun), DA anak (2-10 tahun), dan DA pada remaja dan dewasa (Leung dkk., 2012). 1. Dermatitis atopik infantil Dermatitis atopik paling sering terjadi pada tahun pertama kehidupan biasanya setelah usia 2 bulan. Lesi mulai di muka (dahi, pipi) berupa eritema, papulovesikel, karena gatal digosok, pecah, eksudatif dan akhirnya terbentuk krusta. Lesi kemudian meluas ke tempat lain yaitu ke scalp, leher, pergelangan tangan, lengan dan tungkai. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi. Pada sebagian besar penderita sembuh setelah usia 2 tahun, sebagian lagi berlanjut menjadi bentuk anak (Leung dkk., 2012). 2. Dermatitis atopik pada anak Dapat merukapan kelanjutan bentuk infantil atau tumbuh sendiri (de novo). Lesi lebih kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul, likenifikasi dan sedikit skuama. Letak kelainan kulit di lipatan siku, lipatan lutut, pergelangan tangan bagian fleksor, kelopak mata, leher, jarang di muka. Rasa gatal menyebabkan penderita sering menggaruk, dapat terjadi erosi, likenifikasi, sampai infeksi sekunder. Akibat garukan, kulit menebal dan perubahan lainnya yang menyebabkan gatal sehingga terjadi lingkatan setan “siklus gatal garuk” (Leung dkk., 2012).
48
3. Dermatitis atopik pada remaja dan dewasa Lesi kulit dapat berupa plak popular eritematosa dan berskuama atau plak likenifikasi yang gatal. Pada DA remaja lokalisasi lesi di lipatan siku, lipatan lutut, dan samping leher, dahi dan sekitar mata. Pada DA dewasa distribusi lesi kurang karakteristik sering mengenai lengan dan pergelangan tangan, dapat pula ditemukan setempat, misalnya di bibir (kering, pecah, bersisik), vulva, puting susu atau kulit kepala. Kadang erupsi, ekskoriasi dan eksudasi karena garukan, lambat laun terjadi hiperpigmentasi. Pada umunya DA remaja atau dewasa berlangsung lama, kemudian cenderung menurun dan membaik setelah usia 30 tahun, jarang sampai usia pertengahan, hanya sebagian kecil terus berlangsung sampai tua. Kulit penderita DA yang telah sembuh mudah gatal dan cepat meradang bial terpajan oleh bahan iritan eksogen (Leung dkk., 2012). 2.6 Diagnosis Kriteria diagnosis dapat ditegakkan dengan diagnosis DA berdasarkan kriteria Hanifin dan Rajka yang diperbaiki oleh kelompok kerja dari Inggris. Diagnosis DA harus mempunyai mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor (Remitz dkk., 2008; Leung dkk., 2012). Kriteria mayor : 1. Pruritus 2. Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak 3. Dermatitis di fleksura pada dewasa
49
4. Dermatitis kronis atau residif 5. Riwayat atopik pada penderita atau keluarganya (asma, rinokonjungtivitis alergi, DA, urtikaria kontak) Kriteria minor : 1. Xerosis (kulit kering) 2. Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus dan virus herpes simpleks) 3. Dermatitis non spesifik pada tangan atau kaki 4. Iktiosis/hiperlinearitas Palmaris/keratosis pilaris 5. Pitiriasis alba 6. Dermatitis di papilla mama 7. White dermographism dan delayed branch response 8. Keilitis 9. Lipatan infra-orbital Dennie-Morgan 10. Konjungtivitis berulang 11. Keratokonus 12. Katarak subkapsular anterior 13. Orbita menjadi gelap 14. Muka pucat atau eritem 15. Gatal biala berkeringat 16. Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak 17. Aksentuasi perfolikular 18. Hipersensitif terhadap makanan
50
19. Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi 20. Tes kulit alergi tipe dadakan positif 21. Kadar Ig E di dalam serum meningkat 22. Awitan pada usia dini 2.7 Derajat Keparahan Penyakit Derajat keparahan penderita DA dinilai dengan menggunakan sistem indeks SCORAD yang terdiri dari beberapa kriteria (Bender dkk., 2008): 1. Luasnya lesi Menggunakan rule of nine yang dinyatakan dalam prosentase (0-100) 2. Intensitas lesi Meliputi eritema, edema/papulasi, krusta, ekskoriasi, likenifikasi dan xerosis yang dinilai dengan skor (0-3) 3. Keluhan penderita Yaitu gatal dan gangguan tidur yang dinyatakan dengan skor (0-10) untuk masing-masing kriteria Dari ketiga kategori di atas dapat dihitung indeks SCORAD dengan rumusan A/5+7B/2+C. Pada penelitian ini derajat keparahan DA dapat dibagi dalam 3 kategori yang pertama derajat ringan dengan nilai < 25, derajat sedang dengan nilai 25-50 dan derajat berat dengan nilai > 50 (Oranje dkk., 2007)
51
2.8 Penatalaksanaan Agar penatalaksanaan DA bisa berhasil dengan baik, memerlukan pendekatan yang sistematik yang meliputi hidrasi kulit, terapi farmakologi, identifikasi dan eliminasi faktor-faktor pencetus terjadinya DA seperti iritan, alergen, agen infeksi dan stres emosional. Banyak faktor yang mencetuskan gejala DA sehingga pemilihan terapi harus disesuaikan dengan keadaan masing-masing penderita. Pada pasien yang tidak mempan dengan terapi konvensional, agen antiinflamasi alternatif dan imunomodulator mungkin diperlukan (Boguniewicz dkk.,2008; Leung dkk., 2012). 2.8.1 Identifikasi dan eliminasi faktor pencetus Penderita DA lebih rentan terhadap bahan iritan, oleh karena itu penting untuk mengidentifikasi dan mengeliminasi faktor yang memperberat dan memicu siklus gatal garuk, seperti misalnya sabun atau deterjen, bahan kimia, rokok, pakaian kasar, pajanan terhadap panas atau dingin dan kelembaban yang ekstrim. Alkohol bersifat mengeringkan. Bila memakai sabun hendaknya yang berdaya larut minimal terhadap lemak dan pH nya netral. Pakaian baru hendaknya dicuci sebelum digunakan untuk mengurangi formaldehid atau bahan iritan lain. Mencuci pakaian dengan deterjen harus dibilas dengan baik sebab sisa deterjen dapat bersifat iritan. Stres psikis juga dapat mengakibatkan ekaserbasi DA. Seringkali serangan dermatitis pada bayi dan anak dipicu oleh iritasi dari luar, misalnya terlalu sering dimandikan, menggosok terlalu kuat, pakaian terlalu tebal atau ketat, kebersihan kurang terutama di daerah popok, infeksi lokal, iritasi oleh kencing atau feses. Pada bayi perlu diperhatikan kebersihan daerah bokong dan genitalia, bila basah atau kotor popok segera diganti.
52
Jangan memakai bahan yang bersifat iritan (misalnya wol/sintetik), bahan katun lebih baik. Kulit anak/bayi dijaga agar tetap tertutup pakaian untuk menghindari pajanan iritan atau garukan. Mandi dengan pembersih yang mengandung pelembab dan bersifat hipoalergenik, hindari pembersih antibacterial karena menginduksi resistensi. Anak-anak diupayakan agar bisa tetap aktif seperti normal. Beberapa jenis olahraga lebih dapat ditoleransi, seperti misalnya berenang daripada olahraga lain yang berkeringat banyak, namun bila selesai berenang harus segera mandi untuk membilas klorin biasanya digunakan pada kolam renang. Walaupun sinar ultraviolet (UV) bias berguna untuk beberapa pasien DA, tabir surya seharusnya tetap digunakan untuk mencegah luka bakar, namun karena tabir surya dapat bersifat iritatif, pilihlah produk yang bersifat noniritan (Boguniewicz dkk., 2008; Leung dkk., 2012). 2.8.2 Terapi topikal 2.8.2.1 Hidrasi kulit Kulit penderita DA cenderung kering, terjadi gangguan fungsi sawar kulit, mudah retak sehingga mempermudah masuknya mikroorganisme patogen, bahan iritan dan alergen sehingga perlu diberikan pelembab. Pengunaan pelembab membantu menjaga fungsi sawar stratum korneum dan dapat mengurangi pengunaan glukokortikoid topikal (Boguniewicz dkk., 2008; Leung dkk., 2012). 2.8.2.2 Kortikosteroid topikal Kortikosteroid topikal adalah terapi utama yang memiliki efek antiinflamasi pada lesi kulit eksematosa. Mengingat efek sampingnya yang cukup banyak,
53
kortikosteroid topikal lebih banyak digunakan hanya untuk mengatasi ekaserbasi akut pada DA. Namun, penelitian terbaru menyatakan bahwa bila DA telah dikontrol dengan kortikosteroid topikal, untuk kontrol jangka panjang dapat digunakan 2 kali seminggu pada area yang sudah sembuh namun cenderung untuk mengalami lesi. Pada bayi digunakan salep steroid berpotensi rendah. Pada anak dan dewasa, dipakai steroid potensi sedang, kecuali pada muka digunakan steroid berpotensi lebih rendah. Kortikosteroid potensi rendah juga dipakai pada daerah genitalia dan intertriginosa. Terdapat tujuh kelas kortikosteroid topikal, yang disusun berdasarkan potensinya sesuai kemampuan vasokonstriksinya. Mengingat efek samping yang tinggi, kortikosteroid potensi super poten sebaiknya digunakan untuk waktu yang sangat singkat dan pada area yang mengalami likenifikasi, namun jangan pada wajah ataupun area intertriginosa. Penggunaan pelembab dapat membantu hidrasi kulit sehingga dapat digunakan kortikosteroid potensi rendah untuk terapi pemeliharaan. Kortikosteroid potensi sedang dapat digunakan dalam jangka waktu yang lebih lama untuk pengobatan DA kronis pada badan dan ekstriminasi. Efek samping bisa bersifat lokal maupun sistemik akibat penekanan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal. Efek samping lokal meliputi pembentukan striae, atrofi kulit, perioral dermatitis dan rosasea (May dkk., 2008; Leung dkk., 2012; ). 2.8.2.3 Penghambat kalsineurin topikal Takrolimus
dan
pimekrolimus
topikal
telah
dikembangkan
sebagai
imunomodulator nonsteroid. Takrolismus dalam bentuk salep 0,03% telah teruji untuk digunakan pada pengobatan DA sedang-berat pada anak berumur 2 tahun atau
54
lebih tua, sedangkan salep takrolimus 0,1% digunakan untuk dewasa. Krim pimekrolimus 1% dapat digunakan untuk pengobatan pasien usia dua tahun lebih dengan Da ringan-sedang. Kedua obat ini terbukti efektif dengan tingkat keamanan untuk pengobatan hingga empat tahun dengan salep takrolimus dan mencapai dua tahun untuk krim pimekrolimus. Efek sampingnya adalah rasa terbakar sementara pada kulit. Pengobatan dengan penghambat kalsineurin tidak mengakibatkan atrofi kulit sehingga dapat digunakan untuk pengobatan pada area wajah dan intertriginosa (Leung dkk., 2012). 2.8.2.4 Preparat ter Preparat ter dari batu bara memiliki efek antipruritus dan antiinflamasi pada kulit, meskipun tidak sekuat efek kortikosteroid topikal. Preparat ter berguna untuk mengurangi potensi kortikosteroid topikal
yang diperlukan selama terapi
pemeliharaan DA kronis. Preparat ter jangan digunakan pada lesi akut karena dapat mengakibatkan iritasi kulit. Efek samping preparat ter yaitu folikulitis dan fotosensitif. Sediaan dalam bentuk salep hidrofilik, misalnya yang mengandung likuor karbonas deterjen 5%-10% atau crude coal tar 1%-5% (Leung dkk., 2012). 2.8.3 Pengobatan sistemik 2.8.3.1 Kortikosteroid Kortikosteroid oral seperti prednison jarang digunakan untuk pengobatan DA kronis. Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk mengendalikan eksaserbasi akut, jangka pendek dan dosis rendah, diberikan berselang-seling (alternate) atau diturunkan bertahap (tappering), kemudian segera diganti dengan kortikosteroid
55
topikal. Pemakaian jangka panjang menimbulkan berbagai efek samping dan bila dihentikan lesi yang lebih berat dapat memicu muncul kembali (Leung dkk., 2012) 2.8.3.2 Antihistamin Antihistamin digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal yang hebat, terutama pada malam hari yang menggangu tidur. Oleh karena itu, dipilih antihistamin yang memiliki efek sedatif. Pada kasus yang lebih sulit diberikan doksepin hidroklorid yang mempunyai efek antidepresan dan memblok reseptor H1 dan H2 dengan dosis 10-75 mg secara oral pada malam hari pada orang dewasa. Penelitian mengenai antihistamin golongan yang lebih baru, non sedatifmenunjukkan hasil yang bervariasi mengenai keefektifannya untuk mengontrol pruritus pada penderita DA, namun pengobatan ini berguna untuk penderita DA dengan urtikaria dan rinitis alergi (Leung dkk., 2012). 2.8.3.3 Anti infeksi Pada DA terjadi peningkatan kolonisasi S. aureus. Dapat diberikan eritromisin, azitromisin, atau klaritromisin untuk yang belum resisten, sedangkan untuk yang sudah resisten dapat diberikan dikloksasilin, oksasilin atau sefalosporin generasi pertama. Bila terjadi infeksi virus herpes simpleks, kortikosteroid dihentikan sementara dan diberikan asiklovir (Leung dkk., 2012). 2.8.3.4 Interferon Gamma Interferon-y menekan respon IgE dan menurunkan proliferasi dan fungsi sel Th2. Berkurangnya keparahan DA terkait dengan kemampuan Interferon-y untuk
56
mengurangi jumlah eosinofil total dalam sirkulasi. Efek samping adalah gejala seperti flu (Leung dkk., 2012). 2.8.3.5 Antimetabolit Mycophenolate mofetil adalah inhibitor biosintesis purin yang digunakan sebagai imunosupresan pada transplantasi organ dan telah digunakan sebagai pengobatan penyakit kulit inflamasi yang refrakter. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian mycophenolate mofetil oral dua gram perhari sebagai monoterapi dapat mengatasi lesi kulit pada DA yang resisten terhadap pengobatan lain termasuk steroid oral dan tropikal serta psoralen dan ultraviolet A (UVA). Pengobatan harus digunakan untuk DA yang parah, dihentikan bila penderita tidak merespon pengobatan dalam empat sampai delapan minggu. Methotrexate adalah antimetabolit yang merupakan inhibitor poten pada sintesis sitokin inflamasi dan kemotaksis sel. Metotreksat telah digunakan pada penderita DA yang refrakter, namun uji klinisnya masih kurang. Azatioprin adalah analog purin dengan efek antiinflamasi dan antiproliferasi yang telah digunakan untuk DA yang parah, walaupun belum dilaporkan pada uji klinis. Efek samping adalah supresi sumsum tulang (Leung dkk., 2012). 2.8.3.6 Siklosporin Siklosporin merupakan obat imunosupresif poten yang terutama bekerja pada sel T dengan menekan transkripsi sitokin. Obat terikat pada cyclophilin, suatu protein intraseluler dan kompleks ini selanjutnya menghambat calcineurin, molekul yang diperlukan untuk memulai transkripsi gen sitokin. Banyak penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dan dewasa yang dengan DA yang berat, refrakter terhadap
57
pengobatan konvensional dapat diberikan pengobatan siklosporin jangka pendek. Namun, bila pengobatan dengan siklosporin dihentikan umumnya penyakit akan segera kambuh kemabli. Efek samping yang dapat terjadi adalah peningkatan kreatinin serum, gangguan ginjal dan hipertensi (Leung dkk., 2012). 2.8.4 Terapi sinar (Fototerapi) Sinar matahari alami bermanfaat pada penderita DA. Namun pada suhu atau kelembaban tinggi dapat merangsang timbulnya keringat dan gatal. Sinar UVA dan ultraviolet B (UVB) dapat digunakan sebagai terapi tambahan DA. Untuk DA yang berat dan luas dapat digunakan psoralen dan UVA atau (PUVA). Terapi dengan UVB dengan ter juga efektif. Sinar UVA bekerja pada sel langerhans, sedangkan UVB memiliki efek imunosupresif dengan memblok fungsi sel langerhans dan mengubah produksi sitokin sel keratinotasi. Efek samping jangka pendek meliputi eritema, perih, gatal dan pigmentasi, sedangkan efek samping jangka panjang adalah penuaan kulit dini dan keganasan kulit (Leung dkk., 2012). 2.9 Prognosis Prognosis DA pada seseorang sulit untuk ditentukan, penyakit cenderung menjadi lebih parah dan menetap pada anak-anak. Periode remisi sering terjadi pada orang yang bertambah dewasa. Penyembuhan spontan DA yang terjadi sejak bayi pernah dilaporkan terjadi setelah umur lima tahun sebesar 40-60%, terutama bila penyakitnya ringan. Sebelumya dilaporkan bahwa 84% DA anak berlangsung sampai remaja. Lebih dari setengah remaja dewasa yang telah diobati kambuh kembali setelah dewasa. Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik pada DA
58
seperti DA luas pada anak, menderita rinitis alergi atau asma bronkial, riwayat DA pada orang tua atau saudara kandung, onset DA pada usia muda, anak tunggal dan kadar IgE serum sangat tinggi. Diperkirakan 30-50% DA infantil akan berkembang menjadi asma bronkial atau hay fever (Leung dkk., 2012). 2.10 Hubungan pH Kulit dengan Dermatitis Atopik 2.10.1 pH kulit Mekanisme proteksi epidermal yang merupakan salah satu bagian dari sistem antimikrobial adalah keasaman kulit (pH) (Behne dkk. 2002). Rendahnya nilai pH (keasaman) pada kulit yang terjadi karena adanya subtansi asam pada permukaan kulit (Rieger, 1989). Faktor yang menentukan keasaman permukaan kulit adalah keringat (pH 4,0 sampai 6,75) dan asam lemak dari sebum (Harry, 1975; Gunathilake dkk., 2009). Sebum yang dihasilkan oleh kelenjar sebasea, mempunyai komposisi terdiri dari trigliserida 50 sampai 55%, ester malam 25 sampai 30%, skualen 10 sampai 15% serta sejumlah kecil kolesterol dan ester kolesterol. Pada sebum yang baru dieksresi tidak ditemukan asam lemak bebas. Asam lemak bebas ditemukan pada permukaan kulit sebagai hasil hidrolisis trigliserida oleh bakteri di kanalis folikularis dan di permukaan kulit (Strauss, 1991). Nilai pH ditemukan oleh konsentrasi ion hidrogen (H+, proton) dan ion hidroksida (OH+) (Hachem dkk., 2003). Reaksi disosiasi air adalah H2O ↔ H+ + OH- yang menjelaskan bahwa H+ adalah ion hidrogen bermuatan positif yang bersifat asam dan OH- adalah ion hidroksida bermuatan negatif yang bersifat basa.
59
Definisi pH adalah logaritma negatif dari kosentrasi molar ion H+ atau pH = log [H+]. Nilai pH berskala 0 (asam kuat) sampai dengan 14 (basa kuat) dengan nilai netral 7 (Rieger, 1989; Hachem dkk., 2003). Schade dan Machionini pada tahun 1928 menyatakan bahwa pH permukaan kulit berkisar 3,0 sampai dengan 5,0 yang disebut sebagai acid mantle yang merupakan perlindungan kimiawi terhadap infeksi bakteri dan jamur. Berbagai hasil penelitian yang lain menunjukan nilai pH yang beragam berkisar antara 3,5 sampai 6,5 (Klein,1992). Nilai pH dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain jenis kelamin, umur, bagian tubuh yang diperiksa, penggunaan sabun dan pemakaian kosmetik. Pada lakilaki nilai pH permukaan kulitnya sedikit lebih rendah dibanding perempuan dan nilai pH akan meningkat dengan bertambahnya umur (Klein dkk, 1992). Berdasarkan lokasi, nilai pH pada wajah lebih tinggi daripada lengan bawah (Kober,1992; Tranggono dan Purwoko,1989) dan kulit yang terbuka mempunyai pH antara 5 sampai 6, sedangkan daerah intertriginosa netral atau sedikit alkali (Ray dkk, 1992). Nilai pH juga akan meningkat bila beberapa saat sebelumnya kulit dicuci dengan sabun (Kober, 1992) atau karena pemakaian kosmetik (Klein dkk, 1992). Beberapa peneliti dari Jerman yang pertama kali menyimpulkan bahwa kulit dilapisi oleh acid mantle yang berperan untuk kesehatan kulit dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada kulit (Rippke dkk., 2002). Konsep ini tidak sepenuhnya diterima oleh para peneliti Amerika dan sebagian peniliti Eropa. Para peneliti ini berpendapat bahwa tidak adanya bakteri dalam jumlah besar pada kulit normal disebabkan keadaan lingkungan yang tidak mendukung. Beberapa peneliti
60
Eropa masih berpendapat bahwa pH yang rendah pada kulit mencegah pertumbuhan yang berlebihan dari bakteri (Rieger, 1989).
Gambar 2.2 Peran pH kulit pada sistem sawar kulit (Ellias dan Feingold 2006). Pengukuran pH kulit dapat dilakukan secara elektrometrik dengan menggunakan elektroda kaca (Rieger, 1989). Pengukuran pH kulit tidak banyak dipengaruhi oleh suhu maupun kelembaban udara. Kondisi banyak keringat atau aplikasi produk– produk kosmetik akan mempengaruhi hasil pengukuran nilai pH kulit. Kulit memerlukan waktu lima jam untuk kembali ke nilai pH normal sesudah pemakaian sabun pada kulit atau pemakaian produk kosmetik. Lokasi pengukuran pH lebih sering disukai pada daerah punggung tangan, lengan, dahi dan pipi, walaupun area kulit yang lain juga dapat diukur. Nilai pH berkisar antara 0 (asam kuat) sampai dengan 14 (basa kuat) (Kober, 1992).
61
2.10.2 pH kulit pada dermatitis atopik Pada kulit penderita DA terjadi peningkatan pH atau bergeser kearah alkali. Schafer dkk. Pada tahun 2000 mendapatkan nilai pH lebih tinggi secara bermakna (p = 0,029) pada DA (5,32) dibanding tanpa DA (5,12). Didapatkan pula bahwa peningkatan pH pada DA menggambarkan kekeringan kulit, karena didapatkan pula peningkatan pH yang bermakna (p = 0,004; r = 0,0147) dihubungkan dengan kekeringan kulit, yaitu pH 5,12 ± 0,45 pada kelompok tanpa kekeringan kulit dan pH 5,4 ± 0,35 pada kelompok dengan kekeringan kulit yang berat (Schafer dkk, 2000). Penelitian yang dilakukan Schaefer dkk (2000) terhadap anak–anak sekolah dasar, mendapatkan bahwa pH permukaan kulit secara signifikan lebih tinggi pada kelompok DA dibanding kelompok non DA. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Seidenari dan Giusti (1995), bahwa pH kulit pada lesi sebesar 5,54 dan pada kulit non lesi pada penderita DA sebesar 5,23, sedangkan pada kulit non DA didapat 4,86. Terdapat juga peningkatan bermakna dari nilai pH kulit terkait dengan kekeringan kulit, yaitu pH 5,12 ± 0,45 pada kelompok tanpa kekeringan kulit dan pH 5,4 ± 0,35 pada kelompok dengan kekeringan kulit yang berat (Schaefer dkk, 2000).
62
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Kulit merupakan lapisan pelindung tubuh yang berperan penting dalam memelihara homeostasis melalui fungsinya sebagai sawar kulit. Etiologi dan patogenesis DA sampai saat ini belum diketahui dengan pasti, namun terdapat beberapa faktor yang saling berkaitan (multifaktorial) ikut terlibat dalam terjadinya DA. Perkembangan DA bergantung pada faktor intrinsik maupun faktor eksintrik. Faktor intrinsik meliputi genetik, kelainan imunologi dan penurunan fungsi sawar kulit. Faktor eksintrik meliputi alergi makanan, aeroalergen, infeksi bakteri, bahan iritan, stres, cuaca dan lainnya. Salah satu faktor intrinsik yang berperan pada terjadinya DA adalah gangguan fungsi sawar epidermis. Mekanisme terjadinya disfungsi sawar epidermis pada penderita DA antara lain adalah adanya defek filagrin, ekspresi yang berlebihan dari enzim chymotryptic (chymase), penurunan kadar seramid kulit yang berperan sebagai molekul pengikat air pada ruang ekstraseluler dan peningkatan pH stratum korneum. Adanya kegagalan biosintesis seramid dan kegagalan aktivitas kelenjar sebasea mengakibatkan timbulnya kekeringan kulit dengan peningkatan transepidermal water loss (TEWL). Kekeringan kulit pada penderita DA menunjukkan adanya peningkatan pH permukaan kulit menjadi lebih alkali. Nilai pH kulit dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain umur, jenis kelamin, lokasi pengukuran pH, riwayat paparan sabun sebelumnya dan riwayat penggunaan kosmetik sebelumnya. Penelitian
63
ini dilakukan untuk melihat korelasi antara pH permukaan kulit dan derajat keparahan pada pasien DA. 3.2 Konsep Penelitian
Seramid Enzim chymotryptic (chymase) Filagrin
Disfungsi sawar kulit
Usia Jenis kelamin Lokasi pengukuran pH Riwayat penggunaan sabun sebelumnya Riwayat penggunaan kosmetik sebelumnya
pH Kulit
Faktor eksintrik Faktor intrinsik Genetik Imunologi Disfungsi sawar kulit
Dermatitis Atopik Derajat Keparahan
Keterangan: Diteliti Staphylococc us aureus Tidak diteliti (SA)
Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian
64
Alergi makanan Aeroalergen Infeksi bakteri Bahan iritan Stress Cuaca
3.3 Hipotesis Penelitian 1. Terdapat perbedaan rerata nilai pH permukaan kulit pada berbagai derajat keparahan DA dan nilai pH permukaan kulit berkorelasi positif dengan derajat keparahan DA
65
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah observasional cross-sectional yang bertujuan untuk mengetahui korelasi antara pH permukaan kulit dengan derajat keparahan pada pasien dermatitis atopik di RSUP Sanglah, Denpasar.
POPULASI SAMPEL Dermatitis Atopik - pH permukaan kulit - Derajat keparahan (SCORAD)
Gambar 4.1 Rancangan penelitian cross-sectional
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Poli Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah, Denpasar, mulai bulan Mei hingga Juni 2016 atau sampai jumlah sampel terpenuhi.
66
4.3 Penentuan Sumber Data 4.3.1. Populasi target Populasi target penelitian adalah seluruh pasien DA laki-laki dan perempuan yang berusia usia 1 tahun. 4.3.2. Populasi terjangkau Populasi terjangkau adalah pasien DA yang berkunjung ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah, Denpasar pada bulan Mei hingga Juni 2016. 4.3.3. Sampel Sampel penelitian diambil dari populasi terjangkau secara consecutive sampling pada penderita DA yang memenuhi kriteria inklusi sampel yang berobat di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah, Denpasar. 4.3.3.1. Kriteria inklusi 1.
Penderita baru atau lama, yang memenuhi kriteria diagnosis DA menurut Hanifin dan Rajka.
2.
Warga Negara Indonesia.
3.
Pria dan Wanita berumur 1 tahun.
4.
Keadaan umum penderita baik.
5.
Bersedia ikut serta dalam penelitian dengan menandatangani inform concent dan untuk umur < 14 tahun ditandatangani orang tua/wali.
4.3.3.2. Kriteria eksklusi 1.
Penderita yang sudah mendapatkan pengobatan kotikosteroid.
2.
Penderita DA dengan lesi hanya pada daerah intertrigenosa.
67
3.
Penderita DA yang sedang mengalami eritrodermi.
4.
Penderita DA yang dalam 5 jam sebelum dilakukan pemeriksaan, menggunakan sabun atau cairan antiseptik.
5.
Pasien yang dalam 5 jam sebelum dilakukan pemeriksaan, menggunakan bahan kosmetik.
4.3.4. Besar sampel Besar sampel adalah semua penderita yang memenuhi kriteria penerimaan sampel yang datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah, Denpasar. Untuk menentukan besar sampel penelitian cross-sectional dengan menggunakan koefisien korelasi (r), diperlukan informasi : 1.
Taksiran kedua koefisien korelasi, r yaitu sebesar 0,5, Tingkat kemaknaan yang dikehendaki sebesar 95%, yaitu = 0,05
2.
Power penelitian yang direncanakan sebesar 80%, yaitu = 0,20
Besar sampel dihitung berdasarkan rumus (Madiyono dkk, 2002)
[
(
]
)
Penelitian rancangan cross-sectional study direncanakan power sebesar 80 persen, yaitu = 0,20 dengan Z = 0,842. Ditetapkan = 0,05 sehingga besar Z = 1,96 dengan koefisien korelasi yang diperkirakan adalah 0,5. Maka jumlah sampel minimal (n) yang diperlukan untuk rancangan ini adalah: (
)
68
(
)
Berdasarkan perhitungan tersebut diatas, maka diperlukan sampel minimal sebesar 32 orang. 4.3.5 Teknik pengambilan sampel Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling, yaitu semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria penerimaan sampel dimasukkan dalam sampel penelitian, sampai memenuhi jumlah yang diperlukan. 4.4 Ijin/persetujuan subjek penelitian Semua subjek dalam penelitian ini diberikan penjelasan selengkapnya tentang penelitian ini (lampiran 1) kemudian diminta persetujuannya untuk ikut dalam penelitian ini dan menandatangani surat persetujuan (lampiran 2). 4.5 Variabel Penelitian 4.5.1 Klasifikasi dan identifikasi variabel Variabel penelitian adalah karakteristik atau ciri sampel penelitian yang diukur, secara numerik maupun kategorikal. Semua variabel tersebut ditentukan dan di susun sesuai dengan rancangan penelitian yang telah di rencanakan. 1.
Variabel bebas
: nilai pH permukaan kulit
2.
Variabel tergantung : derajat keparahan DA
69
3.
Variabel perancu : umur, jenis kelamin, lokasi pengukuran pH, riwayat penggunaan sabun sebelumnya dan riwayat penggunaan kosmetik sebelumnya. Variabel Bebas
Variabel Tergantung
pH permukaan kulit
Derajat keparahan (SCORAD)
Variabel Kendali - Umur - Jenis kelamin - Lokasi pengukuran pH - Riwayat penggunaan sabun - Riwayat penggunaan kosmetik Gambar 4.2 Hubungan antar variabel
4.5.2 Definisi operasional variabel 1.
Dermatitis atopik : dermatitis atopik pada penelitian ini adalah semua pasien yang ditegakkan diagnosis DA berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis yang khas berdasarkan kriteria diagnosis dari Hanifin & Rajka (1981).
2.
pH permukaan kulit : hasil pengukuran pada permukaan lesi kulit yang menggunakan skala pengukuran rasio yang termasuk skala numerik dengan menggunakan alat skincheck-pH-Meter KI 98109.
3.
Derajat keparahan dermatitis atopik adalah derajat keparahan penderita DA yang dinilai dengan sistem SCORAD, yang terdiri dari beberapa kriteria: 1. Luasnya lesi Menggunakan rule of nine, yang ditanykan dapalam persentase (0-100). 2. Intensitas lesi
70
Kriteria ini meliputi eritema, edema, papul, krusta, ekskoriasi, likenifikasi dan xerosis, yang dinilai dengan skor (0-3). 3. Keluhan penderita Dua kriteria yang mencerminkan keluhan subjektif penderita DA yaitu gatal dan gangguan tidur, dinyatakan dalam skor 0-10 untuk masing-masing kriteria. Dari 3 kriteria diatas dapat dihitung SCORAD dengan rumus A/5 +7B/2 + C. Dibagi dalam 3 kategori, yaitu : (ringan < 25, sedang 25-50, dan berat > 50). 4.
Umur : waktu yang ditentukan sejak pasien lahir dinyatakan dalam tahun berdasarkan dokumen resmi kartu tanda penduduk atau kartu keluarga. Pada penelitian ini ditetapkan umur yang di pilih adalah 1 tahun.
5.
Jenis kelamin : adalah laki-laki/perempuan, ditetapkan berdasarkan jenis kelamin yang tercantum dalam kartu tanda penduduk.
6.
Lokasi pengukuran pH adalah area permukaan kulit yang akan dilakukan pemeriksaan pH dengan menggunakan skin pH meter dengan lokasi pada daerah fleksor lengan bawah atau lesi kulit daerah lain selain daerah intertrigenosa.
7.
Riwayat penggunaan sabun adalah kondisi penderita DA dan bukan DA yang dalam 5 jam sebelum pemeriksaan memiliki riwayat penggunaan sabun dan cairan antiseptik
8.
Riwayat penggunaan kosmetik adalah kondisi penderita DA dan bukan DA yang dalam 5 jam sebelum pemeriksaan memiliki riwayat penggunaan kosmetik (pelembab, tabir surya)
71
4.6
Bahan Penelitian Bahan penelitian adalah lesi kulit penderita DA, yang diukur menggunakan pH meter.
4.7
Instrumen Penelitian
4.7.1 Alat – alat 1.
Skincheck pH-meter (SKIN-pH-METER KI 98109) untuk mengukur nilai pH permukaan kulit.
2.
Sarung tangan.
3.
Kassa steril.
4.
Status/formulir yang telah disiapkan dan rekam medis untuk mendapatkan informasi tentang riwayat atopi, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan dermatologis/efloresensi.
4.7.2 Bahan–bahan Bahan–bahan yang diperlukan antara lain : 1.
Larutan natrium klorida 0,9%
2.
Larutan buffer pH 7,01
4.8
Prosedur Penelitian
4.8.1 Penjelasan alur penelitian Alur penelitian dimulai dengan pemilihan sampel berdasarkan kriteria penerimaan sampel penelitian yaitu subjek penderita DA dan kemudian subjek yang memenuhi
kriteria
inklusi
diberi
penjelasan
72
dan
menandatangani
surat
persetujuan/informed consent (untuk anak < 14 tahun, ditandatangani orangtua/wali). Pada penderita dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, ditentukan apakah menderita DA sesuai dengan kriteria Hanifin & Rajka atau tidak. Kemudian dilakukan pengukuran pH pada permukaan lesi kulit penderita DA, permukaan kulit penderita DA yang tanpa lesi dan permukaan kulit bukan penderita DA. Pada prosedur pemeriksaan pH permukaan kulit, syarat pemeriksaan yaitu dalam waktu 5 jam sebelum pengukuran pH, kulit tidak boleh terpapar sabun atau kosmetik serta tidak boleh menggunakan antiseptik. Pasien yang telah diberikan edukasi sebelumnya agar sewaktu mandi disarankan tidak memakai sabun dan mengoles kosmetika atau menggunakan antiseptik sebelum datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah. Pengukuran pH permukaan kulit dengan menggunakan alat skincheck pH-meter-KI 98109. Data dan hasil yang didapatkan dimasukkan dalam lembar pengumpulan data, kemudian dilakukan pengolahan dan analisis dat
73
Populasi target Penderita DA laki-laki dan perempuan usia 1 tahun Populasi Terjangkau Pasien DA yang berobat ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah pada bulan Mei–Juni 2016
Kriteria Eksklusi
Kriteria Inklusi EEksklusi
Sampel
- Mengukur pH permukaan kulit - Menghitung SCORAD
Analisis data
Gambar 4.3 Alur penelitian
4.9 Pengambilan Data Prosedur pengukuran pH permukaan kulit dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah, Denpasar.
74
4.10
Pengukuran pH permukaan kulit Pemeriksaan pH permukaan kulit dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUP Sanglah, Denpasar, dengan prosedur sebagai berikut: Sebelum menggunakan pH-METER, lepaskan tutup pelindung dan tempatkan elektroda dengan merendam bagian ujungnya (sedalam 4 cm / 1 ½ “) dalam larutan buffer pH 7,01 selama beberapa jam. Kemudian lakukan kalibrasi. Sebelum pengukuran dimulai terlebih dahulu bersihkan area permukaan kulit yang akan diukur dengan menggunakan larutan NaCl 0,9% dan kemudian dibiarkan kering. Alat dihidupkan dengan menekan tombol ‘ON’. Jam pada layar akan menghitung ke belakang untuk 3 detik, dari 3 sampai 0. Selama waktu tersebut probe ditempelkan dengan tekanan ringan pada kulit yang akan diukur. Setelah 3 detik terdengar nada tertentu sebagai tanda dan nilai hasil pengukuran segera ditampilkan pada layar selama 2 menit, kemudian akan menghilang sendiri dengan ditandai 5 kali peringatan. 4.11
Analisis Data Data dicatat dalam lembar pengumpulan data yang telah disusun. Sebelum
melakukan analisis data, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan kelengkapan data. Data yang tidak lengkap dicoba dilengkapi dengan menghubungi kembali penderita. Untuk menjawab permasalahan penelitian dilakukan serangkaian tahapan analisis data (Dahlan, 2008) :
75
1. Seleksi data yaitu editing, coding dan tabulasi dilakukan di laboratorium biostatistik Universitas Udayana. 2. Analisis statistik deskriptif Untuk menggambarkan karakteristik umum dan distribusi frekuensi berbagai variabel yaitu: umur, jenis kelamin, nilai pH permukaan kulit dan SCORAD. 3. Uji normalitas Shapiro-Wilk Mengingat jumlah sampel kurang dari 50 maka digunakan uji ini untuk menguji apakah data penelitian berdistribusi normal atau tidak. 4. Uji one way ANOVA untuk mencari perbedaan rerata nilai pH permukaan kulit berdasarkan derajat keparahan DA 5. Analisis Korelasi Spearman Untuk mengetahui korelasi antara pH permukaan kulit dengan derajat keparahan penderita DA, dilakukan analisis dengan metode korelasi Spearman’s rho. Tingkat kepercayaan yang di pakai = 0,05 4.12 Etika Penelitian Ethical Clearance didapatkan dari Komisi Etik Penelitian FK UNUD /RSUP Sanglah Denpasar. Subjek penelitian diberi penjelasan tentang tujuan dan protokol penelitian serta diminta mengisi informed consent tertulis. Subjek penelitian bebas untuk menolak ikut serta dalam penelitian apabila tidak setuju. Seluruh biaya penelitian dan biaya lain yang timbul akibat penelitian ditanggung peneliti
76
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Subyek Penelitian Penelitian ini dilakukan pada Bulan Mei sampai dengan Juni 2016 di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah dengan melibatkan total 47 subjek penelitian pasien DA yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Dari 47 sampel didapatkan distribusi jenis kelamin laki-laki sebanyak 22 orang (47%) dan perempuan sebanyak 25 orang (53%). Pada subjek DA didapatkan umur termuda adalah 4 tahun dan tertua adalah 58 tahun dengan nilai median 12. Berdasarkan kelompok umur, presentase terbanyak pada kelompok umur 1-10 sebanyak 42,6%, diikuti oleh kelompok umur 11-20 sebesar 17,0% dan berikutnya kelompok umur 21-30 sebesar 14,9%. Pada kelompok umur 31-40 dan 41-50 memiliki presentase yang sama besar yaitu 10,6% dan presentase paling kecil pada kelompok umur 51-60 sebesar 4,3%. Berdasarkan derajat keparahan penyakit yang dihitung menggunakan SCORAD, subjek penderita DA terbagi menjadi kelompok dengan derajat keparahan ringan (SCORAD < 25) sebesar 38,3%; derajat keparahan sedang (SCORAD 25 - 50) sebesar 40,4%; dan derajat keparahan berat (SCORAD > 50) sebesar 21,3%. Nilai SCORAD terendah adalah 19,23 dan tertinggi adalah 70,3 dengan nilai median SCORAD adalah 30. Pada pemeriksaan pH permukaan kulit dari subjek pasien DA didapatkan nilai pH permukaan kulit terendah adalah 5,11 dan nilai pH permukaan kulit paling tinggi sebesar 7,83 dengan nilai median 6,0.
77
Tabel 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian
No
Karakteristik
n = 47 (%)
1.
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
22 (46,8) 25 (53,2)
Umur (tahun) 1-10 11-20 21-30 31-40 41-50 51-60 Median (IQR) Min - Max
20 (42,6) 8 (17,0) 7 (14,9) 5 (10,6) 5 (10,6) 2 (4,3) 12 (25) 4 - 58
SCORAD Median (IQR) Min – Max
30,0 (21,7) 19,23–70,3
Severitas DA Ringan Sedang Berat
18 (38,3) 19 (40,4) 10 (21,3)
Nilai pH permukaan kulit Median (IQR) Min - Max
6,0 (1,0) 5,11–7,83
2.
3.
4.
5.
IQR = Interquartile Range 5.2 Uji Normalitas Data Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji Saphiro-Wilk karena jumlah sampel kurang dari 50 (Dahlan 2008). Berdasarkan hasil uji normalitas didapatkan
78
bahwa data umur, nilai pH permukaan kulit dan SCORAD berdistribusi tidak normal dengan (p < 0,05). Tabel 5.2 Hasil Uji Normalitas Data dengan Shapiro-Wilk
No
Variabel
P
1.
Umur
0,000
2.
pH permukaan kulit
0,003
3.
SCORAD
0,000
Signifikansi nilai p >0,05 5.3 Komparasi rerata nilai pH permukaan kulit berdasarkan derajat keparahan DA Rerata nilai pH permukaan kulit pada kelompok DA dengan derajat keparahan ringan lebih rendah dibandingkan dengan derajat keparahan sedang dan nilai pH permukaan kulit pada DA dengan derajat keparahan sedang lebih rendah daripada kelompok DA dengan derajat keparahan berat. Untuk menganalisis perbandingan rerata nilai pH permukaan kulit pada tiga kelompok derajat keparahan DA, dilakukan uji one way ANOVA. Hasil pengujian ANOVA dengan menggunakan uji F menunjukkan nilai F = 55,381 dengan Sig. = 0,000 (< 0,05), berarti nilai pH permukaan kulit pada masing-masing kelompok derajat keparahan berbeda secara bermakna.
79
Tabel 5.3 Hasil Analisis Perbandingan Rerata Nilai pH Permukaan Kulit Berdasarkan Derajat Keparahan DA Derajat keparahan DA Variabel
Nilai p Ringan
pH permukaan kulit, Rerata ± SD 5,7 ± 0,28 Min - Max
5,11 – 6,22
Sedang
Berat
6,1 ± 0,41
7,2 ± 0,42
5,66 – 6,85
6,70 – 7,83
< 0,001
Signifikan nilai p < 0,05
Gambar 5.1 Grafik Box Plot Rerata Nilai pH Permukaan Kulit pada Berbagai Severitas DA
80
Tabel 5.4 Hasil Uji Lanjut (Post Hoc) Perbedaan antar kelompok severitas
Beda rerata
95% CI
Nilai p
Ringan – Sedang
0,438
0,681-(-0,195)
0,001
Ringan – Berat
1,518
1,923-(-1,112)
0,000
Sedang – Berat
1,080
1,369-(-0,791)
0,000
5.4 Korelasi nilai pH permukaan kulit dengan derajat keparahan DA Untuk mengetahui korelasi linier antara nilai pH permukaan kulit dengan derajat keparahan DA berdasarkan SCORAD dilakukan uji korelasi menggunakan uji Spearman’s rho karena data nilai pH permukaan kulit dan data SCORAD berdistribusi tidak normal. Tabel 5.5 Hasil analisis korelasi nilai pH permukaan kulit dengan derajat keparahan DA
Derajat keparahan DA
SCORAD
Variabel
Nilai pH Permukaan kulit
r
Nilai p
r
Nilai p
0,769
< 0,001
0,850
< 0,001
r : koefisien korelasi bedasarkan uji Spearman’s rho Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang kuat (r = 0,769; p = 0,001) antara nilai pH permukaan kulit dengan derajat keparahan DA dan
81
(r = 0,850; p = 0,001) antara nilai pH permukaan kulit dengan SCORAD. Hasil analisis membuktikan semakin tinggi nilai pH permukaan kulit maka derajat keparahan DA semakin berat (Tabel 5.5 dan Gambar 5.2).
Gambar 5.2 Grafik scattered plot korelasi nilai pH permukaan kulit dengan SCORAD
82
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Subyek Penelitian Penelitian ini melibatkan 47 subjek penelitian yaitu pasien DA yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak ada subjek yang hilang dalam penelitian ini. Pada subjek dilakukan pengukuran nilai pH pada lesi permukaan kulit pasien DA dengan skin check pH meter, sedangkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan untuk menilai derajat keparahan DA dengan penghitungan indeks SCORAD. Hasil penelitian tentang karakteristik sosial demografi subjek penelitian ini, didapatkan kejadian DA lebih banyak pada perempuan (53,2%) dibandingkan lakilaki (46,8%), dengan perbandingan antara perempuan dan laki-laki adalah 1,1 : 1. Hasil penelitian ini sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya. Penelitian oleh Varela dkk., (2008), pada suatu studi prevalensi DA di Puerto rico didapatkan pasien DA perempuan 288 orang, lebih banyak dibandingkan pasien DA lelaki 232 orang. dengan perbandingan antara perempuan dan laki-laki adalah 1,2 : 1. Penelitian DA oleh Tsuboi, dkk., (1998), didapatkan kejadian DA pada perempuan (76%) lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki (24%). Hasil dari penelitian ini didapatkan hasil yang sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Varela dan Tsuboi. Hal ini diperkuat dengan angka kejadian DA pada dewasa secara global, menunjukkan kejadian DA pada perempuan lebih banyak
83
dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 1,5 : 1. Tidak ada prediposisi genetik pada perempuan untuk lebih rentan terjadi DA (Leung dkk., 2008) Pada penelitian ini didapatkan subjek pasien DA umur termuda adalah 4 tahun, dan umur tertua adalah 58 tahun dengan rerata umur 12 tahun. Kelompok umur terbanyak pada penelitian ini kami dapatkan pada kelompok umur 1-10 tahun (42,5%), dan kelompok umur terbanyak kedua 11-20 tahun (17,2%). Boediardja (1996), menyatakan bahwa pasien DA di 10 rumah sakit terbesar di Indonesia, paling banyak berada pada kelompok umur 5-14 tahun. Tsuboi dkk menunjukkan hasil yang berbeda dari penelitian ini dengan kelompok umur terbanyak 16-39 tahun. Adanya perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan oleh teknik pengambilan sampel, seperti diketahui dalam penelitian ini sampel diambil berdasarkan teknik consecutive sampling dan tidak memandang apakah subjek adalah pasien baru ataupun pasien lama. Selain itu kelompok umur terbanyak pada penelitian ini kemungkinan disebabkan karena kelompok umur tersebut mempunyai aktivitas yang lebih tinggi, sehingga lebih sering terpapar alergen penyebab atau faktor-faktor pencetus DA lainnya. Kemungkinan sebab lainnya adalah bahwa DA adalah penyakit yang kronis. sehingga pasien yang berusia lebih dewasa lebih mengenyampingkan keluhan untuk mencari pengobatan dibandingkan pasien kelompok usia balita atau anak-anak. Prevalensi DA pada anak-anak di Amerika Serikat mencapai 20-30%, sedangkan pada usia dewasa berkisar antara 1-3% (Bieber, 2008). Pada penelitian ini dilakukan penghitungan indeks SCORAD pada subjek penelitian, untuk mengetahui derajat keparahan penyakit. Sistem ini menggabungkan
84
penentuan dari luasnya penyakit yang menggunakan rule of nine dengan enam ciri utama dari intesitas penyakit yakni: eritema, edema, krusta, ekskoriasi, likenifikasi dan kulit kering (dryness). Kulit kering dievaluasi pada kulit yang tidak meradang serta menilai pruritus yang dinilai mulai dari angka 0 sampai 10. Skor yang tinggi menunjukkan penyakit yang lebih parah (Oranje, dkk., 2007). Pada penelitian ini, didapatkan penderita DA paling banyak dengan derajat keparahan sedang (40,4%) dan 38,3% penderita DA dengan derajat keparahan ringan. Hanya sedikit (21,3%) penderita DA dengan derajat keparahan ringan didapatkan pada penelitian ini. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian DA pada tempat penelitian yang sama oleh Hendrawan (2013), bahwa sebagian besar penderita DA dengan derajat keparahan sedang (47,2%), ringan (38,9%), dan berat (13,9%). Penelitian yang dilakukan Artana (2013), pada tempat penelitian yang sama, menunjukkan hasil yang berbeda, dengan hasil kelompok DA dengan derajat keparahan berat, lebih banyak didapatkan (29,2%) daripada yang ringan (14,6%), namun kejadian terbanyak sesuai dengan penelitian ini yaitu didapatkan pada kelompok derajat keparahan sedang. Penelitian Ando, dkk., (2006), didapatkan hasil bahwa sebagian besar penderita DA dengan derajat keparahan ringan sebanyak 46%. Perbedaan hasil penelitian ini mungkin disebabkan oleh perbedaan tingkat stresor pada setiap subjek penelitian yang akan mempengaruhi severitas DA. Hal ini mungkin juga disebabkan karena sebagian besar dari sampel penelitian ini adalah perempuan usia anak-anak sehingga mempengaruhi kekhawatiran orang tua penderita terhadap penyakit yang diderita anaknya dan juga selain itu pada
85
perempuan usia muda yang produktif akan sangat mempengaruhi penampilan dan aktivitas mereka, sehingga membuat mereka memutuskan untuk segera berobat walaupun keparahan DA yang mereka derita masih dalam derajat ringan. Dengan demikian, kejadian DA dengan severitas ringan dan sedang, lebih banyak dibandingkan DA dengan severitas berat di RSUP Sanglah. Pada penelitian ini semua subjek penelitian dilakukan pengukuran nilai pH permukaan kulit pada lesi kulit penderita DA. Nilai pH permukaan kulit terendah dari subjek penelitian ini adalah 5,11 dan nilai pH tertinggi adalah 7,83 dengan nilai median 6,0. Pada penelitian sebelumnya oleh Primadiarti, dkk., (2014) nilai pH permukaan kulit pada lesi kulit pada anak-anak paling rendah adalah 5,67 dan paling tinggi adalah 6,04, dengan nilai median 5,86. Penelitian yang dilakukan Marpaung, (2012) pada penelitian pH terkait jumlah koloni Staphylococcus aureus pada pasien DA, didapatkan nilai pH 5,3 sampai 7,4 dengan nilai median 5,71 pada kelompok umur 3-9 tahun, dan terjadi peningkatan nilai median pH 6,12 pada kelompok umur 10-20 tahun. Adanya peningkatan nilai pH permukaan kulit pada usia sekitar pubertas diduga berhubungan dengan aktivitas kelenjar sebasea yang lebih aktif pada masa pubertas. 6.2 Komparasi Rerata Nilai pH Permukaan Kulit Berdasarkan Derajat Keparahan DA Penelitian klinis dan eksperimental telah dilakukan untuk mengetahui fungsi pH kulit, perannya pada sawar kulit, serta patogenesisnya pada beberapa penyakit kulit. Pada DA, pH kulit yang normalnya asam bergeser menjadi lebih alkalis. Penyebab
86
pergeseran nilai pH pada DA masih menjadi perdebatan. Beberapa studi telah dilakukan untuk menilai pH kulit pada pasien DA, tetapi pengetahuan mengenai pH kulit pada pasien DA masih terbatas. Pada penelitian Primadiarti, dkk., di RSUD DR. Soetomo Surabaya, (2014) tentang peningkatan pH Kulit DA pada anak, didapatkan nilai pH normal sebesar 4,86±0,46 dengan rentang nilai 4,76-5,067. Hasil pemeriksaan pH kulit pada 38 pasien DA pada area lesi adalah 5,86±0,564 (95% CI, 5,670-6,040), dan pada area tanpa lesi sebesar 5,2±0,460 (95% CI, 5,068-5,370). Pada uji komparasi terdapat perbedaan bermakna antara rerata pH pada ketiga kelompok sampel. Pada penelitian ini tidak dibahas perbedaan pH berdasarkan area lesi kulit DA, DA tanpa lesi kulit dan pH normal. Penelitian ini membandingkan rerata nilai pH pada pasien DA berdasarkan kelompok derajat keparahannya. Hasil penelitian didapatkan rerata nilai pH permukaan kulit pada kelompok DA dengan derajat keparahan ringan berdasarkan SCORAD adalah 5,7 dengan nilai minimum 5,11 dan nilai maksimum 6,22. Pada kelompok DA dengan derajat keparahan sedang didapatkan rerata nilai pH permukaan kulit adalah 6,1 dengan nilai minimum adalah 5,66 dan nilai maksimum adalah 6,85. Pada kelompok DA dengan derajat keparahan berat didapatkan rerata nilai pH permukaan kulit adalah 7,2 dengan nilai minimum adalah 6,70 dan nilai maksimum adalah 7,83. Untuk menganalisis perbandingan rerata nilai pH permukaan kulit pada tiga kelompok derajat keparahan DA, dilakukan uji one way ANOVA. Uji ini dapat dilakukan apabila data berdistribusi normal dan homogen. Sebelum dilakukan uji
87
normalitas dengan analisis Shapiro-Wilk karena jumlah sampel dari masing-masing kelompok kurang dari 50. Dari analisis Shapiro-Wilk, uji normalitas data nilai pH permukaan kulit berdasarkan tiga kelompok derajat keparahan DA didapatkan hasil dengan distribusi normal nilai p (> 0.05). Uji homogenitas varian didapatkan nilai 3,195 dengan Sig. = 0,051 (> 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa variansi nilai pH permukaan kulit untuk masingmasing kelompok derajat keparahan DA adalah homogen. Uji ANOVA dapat dilakukan dengan Fisher Least Significant Difference (LSD), setelah didapatkan data yang berdistribusi normal dan homogen. Hasil dari uji one way ANOVA, didapatkan nilai p = 0,00, sehingga dapat disimpulkan terdapat perbedaan nilai pH pada masingmasing kelompok derajat keparahan. Selanjutnya untuk menentukan nilai perbedaan antar masing-masing kelompok, dilakukan analisis post hoc atau uji lanjut dan didapatkan hasil nilai p pada ketiga perbandingan adalah (<0,005), dan pada ketiga perbandingan didapatkan nilai minimum yang tidak mencakup angka 0. Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara rerata nilai pH pada ketiga kelompok derajat keparahan. Derajat keparahan DA dipengaruhi oleh keadaan fungsi sawar kulit. Fungsi sawar kulit sangat tergantung dari intregitas, kohesi dan deskuamasi stratum korneum. pH tidak hanya berpengaruh terhadap sawar homeostasis namun juga mempengaruhi integritas, kohesi dan deskuamasi stratum korneum. Serin protease, kallikrein 5 (enzim triptik) dan kallikrein 7 (enzim kimotriptik) memiliki nilai pH netral optimal dan sangat terkait erat dengan adanya deskuamasi oleh degradasi
88
desmoglein 1. Pada pH yang meningkat, serin protease ini akan diaktifkan, sedangkan enzim lain yang menghasilkan seramid akan inaktif sehingga merusak stuktur dan fungsi stratum korneum. Apabila serin protease yang yang aktif berlangsung terus-menerus maka akan menghambat sekresi lamellar body yang berdampak pada peningkatan derajat keparahan DA (Man dkk., 2009; Ali dkk., 2013). 6.3 Korelasi Nilai pH Permukaan Kulit dengan Derajat Keparahan DA berdasarkan SCORAD Pada penelitian ini nilai pH permukaan kulit dengan derajat keparahan DA berdasarkan indeks SCORAD dilakukan dengan uji korelasi menggunakan uji Spearman’s rho dan didapatkan bahwa terdapat korelasi positif kuat (r = 0,769; p < 0,01) antara nilai pH permukan kulit dengan derajat keparahan DA, dan (r = 0,850; p < 0,01) antara nilai pH permukaan kulit dengan SCORAD. Penelitian yang menghubungkan nilai pH permukaan kulit dengan derajat keparahan DA berdasarkan indeks SCORAD sebelumnya belum pernah dilakukan, tetapi penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan adanya peningkatan nilai pH permukaan kulit pada pasien DA, baik pada lesi kulit aktif yang didapatkan nilai pH lebih tinggi dibandingkan area tanpa lesi pasien DA, maupun yang dibandingkan dengan subjek normal. Peningkatan nilai pH ini dihubungkan dengan adanya progresivitas penyakit. Penelitian tentang fungsi sawar kulit pada DA oleh Knor, dkk., pada tahun 2011, meneliti tentang nilai pH permukaan kulit dan hidrasi stratum korneum pada pasien DA, didapatkan nilai rerata pH pada pasien DA sebesar 6,13±0,52 pada lesi,
89
5,80±0,41 pada area kulit sekitar lesi dan 5,54±0,49 pada area kulit tanpa lesi. Pada grup kontrol, nilai rerata pH permukaan kulit adalah 5,24±0,40. Nilai pH pada kelompok sehat lebih rendah secara signifikan dibandingkan kulit tanpa lesi pada pasien DA (p = 0,038), pada area kulit DA tanpa lesi dibandingkan area kulit DA sekitar lesi (p = 0,0039), dan pada area kulit sekitar lesi dibandingkan dengan area lesi kulit pasien DA (p < 0,0001). Fungsi pH kulit yang paling utama adalah sebagai mekanisme pertahanan terhadap masuknya mikroorganisme, menurunkan kolonisasi bakteri pathogen, dan mendukung adhesi bakteri nonpatogen pada kulit. pH kulit juga memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan dan permeabiltas sawar kulit, mempengaruhi deskuamasi stratum korneum, dan menjaga integritas serta kohesi stratum korneum (Rippke dkk., 2004; Cork dkk., 2008). Faktor yang secara pasti mempengaruhi pH kulit belum diketahui dengan pasti. Faktor yang dapat meningkatkan pH pada pasien DA adalah pengurangan sekresi sebum dan maturasi lipid stratum korneum, pengurangan pembentukan dan meningkatnya degradasi filagrin, serta pengurangan sekresi badan Oldland yang merupakan sumber proton (Boediardja, 1996; Ripkke dkk., 2004; Ali dkk., 2013). Kelainan filagrin pada pasien DA menunjukkan adanya kelainan fungsi sawar kulit yang ditandai dengan peningkatan TEWL, peningkatan pH kulit, dan perubahan ekspresi seramid pada stratum korneum (VonGunten dkk., 2012). Pada pasien DA terdapat parameter khusus yang berbeda antara pasien DA dengan orang normal, bahkan pada kulit yang tampaknya normal atau tanpa lesi
90
(Kubo dkk., 2012). Secara klinis pasien DA memiliki kulit yang kering, yang menunjukkan peningkatan TEWL (Elias dkk., 2009). Elias menemukan bahwa peningkatan TEWL berhubungan dengan kenaikan pH, hidrasi yang rendah, dan penurunan kandungan lipid yang berada di permukaan kulit. Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara mutasi filagrin dengan DA. Kelainan filagrin pada pasien DA menunjukkan adanya kelainan fungsi sawar kulit yang ditandai dengan peningkatan TEWL, peningkatan pH kulit, dan perubahan ekspresi seramid pada stratum korneum (Bougenwicz dkk., 2008). pH merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh pada patogenesis DA. Keberhasilan pengobatan DA memerlukan pendekatan sistemik dan meliputi berbagai macam aspek, termasuk hidrasi kulit, terapi farmakologikal, dan identifikasi serta eliminasi faktor pencetus kekambuhan, misalnya bahan-bahan yang bersifat iritan, alergen, agen infeksius dan stresor emosional. Pilihan terapi untuk DA yang berhubungan dengan fungsi sawar kulit khususnya ditujukan untuk perbaikan fungsi sawar kulit dan menjaga fungsinya. Perbaikan sawar kulit lebih lanjut akan memperbaiki kondisi kulit secara keseluruhan, dan akan mempengauhi keadaan fisiologis kulit termasuk kelembaban kulit dan pH (Leung dkk., 2012). Pasien DA disarankan memakai produk pembersih (sabun) yang memiliki pH seimbang dan memakai emolien terutama yang bersifat memperbaiki sawar kulit, yang dapat menjaga nilai pH kulit yang optimal yang bertujuan untuk mengurangi kekambuhan DA.
91
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan tersebut diatas, didapatkan simpulan sebagai berikut : 1. Rerata nilai pH permukaan kulit pada derajat ringan DA lebih rendah dari kelompok derajat sedang dan rerata nilai pH permukaan kulit derajat sedang lebih rendah dibandingkan kelompok derajat berat DA. 2. Terdapat korelasi positif kuat antara nilai pH permukaan kulit dengan derajat keparahan DA, artinya semakin tinggi nilai pH permukaan kulit, semakin tinggi derajat keparahan DA 7.2 Saran Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah: 1. Perlu dipertimbangkan melakukan penelitian lanjutan untuk menentukan hubungan sebab-akibat (kausatif) antara nilai pH permukaan kulit dengan derajat keparahan DA, dengan melakukan penelitian rancangan case-control. 2. Dilakukan penelitian eksperimental mengenai pemberian terapi emolien dengan tindak lanjut hasil nilai pH permukaan kulit pada penderita DA. 3. Memberikan konseling kepada penderita DA untuk menggunakan sabun yang bersifat asam untuk mempertahankan keasaman kulit dan pemberian emolien untuk memperbaiki gangguan sawar kulit.
92
DAFTAR PUSTAKA
Ali, S.M., Yosipovitch, G. 2013. Skin pH: From Basic Scince to Basic Skin Care. Acta Derm Venerol. 93: 261-267. Aoki, V. 2010. Skin Barrier in Atopic Dermatitis. An Brass Dermatol. 85(2): 184194. Artana, I.P. 2013. “Kadar Malondialdehyde Serum dan Stres Psikologis Berkorelasi Positif dengan Severitas Dermatitis Atopik” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana. Behne, M.J., Meyer, J.W., Hanson, K.M, Barry, N.P., Murata, S., Crumrine D. 2002. NHE1 Regulates The Stratum Corneum Permeability Barrier Homeostasis. Microenvironment Acidification Assessed with Fluorescence Lifetime Imaging. J Biol Chem, 277: 47399–47406. Bender, B.G., Ballard, R., Canono, B. 2008. Disesase Severity, Scratching, and Sleep Quality in Patients with Atopic Dermatitis. J Am Acad Dermatol, 58: 415-420. Bensouilah, J., Buck, P., Tisserand, R., Avis, A. 2006. Skin Structure and Function. In; Acrodermatology. United Kingdom: Radcliffe Publishing Ltd, p. 1-11. Bieber, T. 2008. Mechanism of Desease: Atopic Dermatitis. Eng J Med, 358: 14831494. Bieber, T. 2010. Atopic Dermatitis. Ann dermatol, 22(2): 125-137. Bikowski, J. 2009. Understanding the Structure, Function and Strategiest for Repair of the Epidermal Barrier. Practical Dermatology, p. 17-18. Boediardja, S.,A. 1996. Dermatitis Atopik pada Anak. Dalam: Makalah Lengkap Temu Ilmiah Manifestasi Atopik pada Kulit. Bandung: SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RS Dr. Hasan Sadikin. h.65-86. Boguniewicz, M., Nicol, N. 2008. General Management of Patients with Atopic Dermatitis. In: Reitarno, S., Luger, T.A., Steinhoff, M. Editors. Textbook of Atopic Dermatitis. 1st Ed. United Kingdom: Informa Health Care, p. 174-164. Bouwstra, A., Gorris, G.,S. 2010. The Lipid Organisation in Human Stratum Corneum and Model Systems. The Open Dermatology Journal, 4:10-13.
93
Braun-Falco, 0., Korting, H.C. 1991. Syndets in the Treatment of Atopic Eczema. In: Ruzicka, T., Ring, J., Przybilla, B. Editors. Handbook of atopic eczema. Berlin: Springer- Verlag, p. 357-361. Chan, Y.C., Tay, Y.K., Sugito, T.L., Boediardja, S.A., Chau, D.D., Nguyen, K.V. 2006. A Study on the Knowledge, Attitudes and Practices of Southeast Asian Dermatologists in the Management of Atopic Dermatitis. Ann Acad Med Singapore. 35(11): 794-803. Choi, S.J., Song, M.G., Sung, W.T., Lee, D.Y., Lee, J.H., Lee, E.S., et al. 2003. Comparison of Transepidermal Water Loss, Capacitance and pH Values in the Skin Between Intrinsic and Ekstrinsic Atopic Dermatitis Patients. J Korean Med Sci, 18: 93-96. Chu, D.H. 2012. Development Structure of Skin. In : Wolff, K., Goldsmith, L.A., Katz, S.I. Editors. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 8th Ed. New York: McGraw Hill, p. 58-74. Cork, M.J., Danby, S., Moustafa, M., MacGowan, A., Vargahese, J., Duff, G.W., et al. 2008. Epidermal Barrier Dysfungction in Atopic Dermatitis. In: Reitarno, S., Luger, T.A., Steinhoff, M. Editors. Textbook of Atopic Dermatitis, 1st Ed. United Kingdom: Informa Health Care, p. 35-57. DeJongh, C.M., Khrenova, L., Verberk, M.M., Calkoen, F., VanDijk, F.J.H., Voss, H., et al. 2008. Loss of Function Polymorphism in the Fillagrin Gene are Associated with an Increased Susceptibility to Chronic Irritant Contact Dermatitis: A Case-Control Study. Brit J Dermatol, 38:45-47. Denda, M. 2000. Skin Barrier Fuction as a Sel Organizing System. Forma,15: CRC Press, p. 97-104. Di, Z.H., Zhang, L., Lv, Y.N., Zhao, L.P., Chen, H.D., Gao, X.H. 2012. Advances in Assessing the Severity of Atopic Dermatitis, In: Esparza-Gordillo, J. Editors. Atopic Dermatitis - Disease Etiology and Clinical Management, 1st Ed. Shanghai: InTech, p. 169-196. Gupta, J., Grube, E., Ericksen, M.B., Stevenson, M.D., Lucky, A.W., Sheth, A.P., et al. 2008. Intrinsically Defective Skin Barrier Function in Children with Atopic Dermatitis Correlates with Disease Severity. J Allergy Dermatol, 121:725-730.
94
Gunathilake, R., Schurer, N.Y., Shoo, B.A., Celli, A., Hachem, J.P., Crumrine, D., et al. 2009. pH-regulated Mechanisms Account for Pigment-Type Differences in Epidermal Barrier Function. J Invest Dermatol, 129: 1719–1729. Eberlein-Konig, B., Schafer, T., Huss-Marp, J., Darsow, U., Mohrenschlager, M., Herbert, O., et al. 2000. Skin Surface pH, Stratum Corneum Hydration, Transepidermal Water Loss and Skin Roughness Related to Autopic Eczema and Skin Dryness in a Population of Primary School Childern. Acta Derm Venerol, 80: 188-191. Egawa, G., Weninger, W. 2015. Pathogenesis of Atopic Dermatitis: A short review. Coagent Biology, 1: 1103459. Hachem, J.P., Crumrine, D., Fluhr, J., Brown, B.E., Feingold, K.R., Elias PM. 2003. pH Directly Regulates Epidermal Permeability Barrier Homeostasis, and Stratum Corneum Integrity/Cohesion. J Invest Dermatol, 121: 345–353. Hachem, J.P., Man, M.Q., Crumrine, D., Uchida, Y., Brown, B.E., Rogiers, V., et al. 2005. Sustained Serine Proteases Activity by Prolonged Increase in pH leads to Degradation of Lipid Processing Enzymes and Profound Alterations of Barrier Function and Stratum Corneum Integrity. J Invest Dermatol, 125: 510–520. Harry, R.G. 1975. Harry’s Cosmeticology. London: Billing and Sons Ltd, p. 8-19. Hendrawan, I.W. 2013. “Kadar Eosinophyl Cationic Protein Serum Berkorelasi Positif dengan Derajat Keparahan Dermatitis Atopik” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana. Hon, K.L., Wong, K.Y., Leung, T.F., Chow, C.M., Ng, P.C. 2008. Comparison of Skin Hydration and Evaluation Sites and Correlations among Skin Hydration, Transepidermal Water Loss, SCORAD Index, Nottinghan Eczema Severity Score and Quality Of Life in Patients with Atopic Dermatitis. Am J Clin Dermatol, 9:45-50 Konig, B.E., Schafer, T.S., Marp, J.H., Darson, U., Mohrenschlanger, M., Herbert, O., et al. 2000. Skin Surface pH, Stratum Coreneum Hydration, Transepidermal Water loss and Skin Roughness Related to Atopic Eczema and Skin Dryness in a Population of Primary School Children. Acta Derm Venereol, 80: 188-191 Klein, K., Evers, H., Vob, H.W. 1992. Skin Surface pH in the Population at Large Measured Data and Correlation with Other Parameters. In : Braun-Falco, O., Korting, H.C. editors. Griebach conference; Skin cleansing with synthetic
95
detergents; chemical, ecological and clinical aspects. Berlin : Springer-Verlag, p. 62-70. Kober, M. 1992. Determination of Skin Surface pH In Healthy Subjects Method and Results of Clinical Studies. in: Braun-Falco O, Korting HC, Editors. Gribach Conference; Skin Cleasing With Synthetic Detergents; Chemical, Ecological And Clinical Aspects. Berlin: Springer-Verlag, p. 53-60. Knor, T., Meholjic-Fetahovi,c A., Mehmedagic, A. 2011. Stratum Corneum Hydration and Skin Surface pH in Patients with Atopic Dermatitis. A Dermatovenerol Croa, 19(4): 242-247 Kubo, A., Nagao, K., Amagai, M. 2012. Epidermal Barrier Dysfunction and Cutaneous in Atopic Dermatitis. J Clin Invest, 122(2):440-447. Leung, D.Y.M., Boguniewicz, M., Howell, M.D. 2004. New INSIGHTS into Atopic Dermatitis. J Clin Inves, 113(5); 651-657 Leung, D.Y.M., Eichenfield, L.F., Boguniewicz, M. 2012. Atopic Dermatitis (Atopic Eczema). In: Wolff, K., Goldsmith, L.A., Katz, S.I. editors. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 8th Ed. New York: McGraw Hill, p. 165-181. Machado, M., Hadgraft, J., Lane, M.E .2010. Assessment of the Variation of Skin Barrier Function with Anatomic Site, Age, Gender and Ethnicity. Int J Cos Sci, 32: 397-409. Man, M.Q. Xin, S.J., Song, S.P., Cho,S.Y., Zhang,X.J. Tu, C.X. 2009. Stratum Corneum Hydration with Age and Gender in a Large Chinese Population. Skin Pharmacol Physiol, 22;190-199. Marpaung, I.M. 2012. “Derajat Keasaman (pH) Permukaan Kulit Berkorelasi Positif dengan Nilai Jumlah Koloni Staphyloccocus Aureus pada Lesi Pasien Dermatitis Atopik di RSUP Sanglah Denpasar” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana. May, E., Zollner, T., Schacke, H., Schoepe, S., Rehwinkel, H., Sterry, W., et al. 2008 Mode of Action of Glucocorticiods. In: Reitarmo S, Luger TA, Steinhoff M, editors. Textbook of Atopic Dermatitis. 1st Ed. United Kingdom: Informa Health Care, p.165-186. McGrath, J.A., Uitto, J. 2010. Anatomy and Organization of Human Skin. In : Rook’s Textbook of Dermatology. 8th Ed. United Kingdom: Willey-Blackwell Science Itd, Chap 3.
96
Miller, S.J., Sun, T.T., Coulombe, P.A. 2012. Epidermal Growth and Differentiation, In: Wolff, K., Goldsmith, L.A., Katz, S.I. editors. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine, 8th Ed. New York: McGraw Hill, p. 478-485. Nardo, A.D., Wertz, P., Giannetti, S. 1998. Ceramide and Cholesterol Composition of the Skin of Patients with Atopic Dermatitis. Acta Derm Veneorol (Stockh), 78: 27-30. Novak, N. 2008. The Pathogenesis of Atopic Dermatitis. In: Reitarno, S., Luger, T.A., Steinhoff, M. editors. Textbook of Atopic Dermatitis. 1st Ed. United Kingdom: Informa Health Care, p. 25-31. Novak, N., Simon, D. 2011. Atopic dermatitis – from new pathophysiologic insights to individualized therapy. Allergy, 66: 830–839. Oranje A.P., Glazenburg, E.J., Wolkerstofer, A., deWaed-van der Spek, F.B. 2007. Practical Issues on Interpretation of Scoring Atopic Dermatitis: the SCORAD index, Objective SCORAD and the Three-item Severity Score. British J Dermatol. 157: 645-648. Park, B.D., Youm, J.K., Lee, S.H. 2001. The Clinical Efficacy of Multi-Lammelar Emulsion (MLE) contained Pseudo-ceramide (PC-98) on Atopic Dermatitis. The Journal of Skin Barrier Research, 3: 81-85. Primadiarti, P., Rahmadewi, Zulkarnain, I. 2014. Peningkatan pH Kulit Dermatitis Atopik pada Anak. BIKKK Periodical of Dermatology and Venereology 26(3): 190-196. Proksch, E., Holleran, W.M., Menon, G.K., Elias, P.M., Feingold, K.R. 1993. Barrier Function Regulates Epidermal Lipid and DNA Synthesis. Br J Dematol, 128: 473-482. Proksch, E., Jensen, J.M. 2012. Skin as an Organ of Protection. In: Wolff, K., Goldsmith, L.A., Katz, S.I. Editors. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 8th Ed. New York: McGraw Hill, p. 486-498. Ray, T.L., Marples, R.R., Leyden, J.J. 1992. Fundamental Cutaneous Microbiology. In: Moschella, S.l., Hurle,y H.J. Editors. Dermatology. 3rd Ed. Philadephia: W.B Saunders Co, p. 701-709.
97
Remitz, A., Reitamo, S. 2008. The Clinical Manifestation of Atopic dermatitis. In: Reitamo S, Luger TA, Steinhoff M, editors. Textbook of Atopic dermatitis. 1st Ed. United Kingdom: Informa Health Care, p. 1-12. Rieger, M. 1989. The Apparent pH on the Skin. Cosmetic & Toiletries. 104:53-58. Rippke, F., Schreiner, V., Schwanitz, H.J. 2002. The Acidic Milieu of the Horny Layer: New Findings On The Physiology And Pathophysiology Of Skin Ph. Am J Clin Dermatol, 3: 261–272. Rippke, F., Schreiner, V., Doering, T., Maibach, H. 2004. Stratum Corneum pH in Atopic Dermatitis. Impact on Skin Barrier Function and Colonization with Staphylococcus aureus. Am J Clin Dermatol 5(4):217-223. Rogeiers, V., Houben, E., DePaepe, K. 2005. Transepidermal Water Loss Measurements in Dermato-Cosmetic Sciences .In: Bioengineering of the SkinWater and Stratum Corneum. 2nd Ed. United States of America : CRC Press, p. 17-18. Schafer, B.E.T., Huss-Marp, J., Darsow, U., Mohrenschlager, M., Herbert, O., Abeck, D. 2000. Skin Surface pH, Stratum Korneum, Hydration, TransEpidermal Water Loss and Skin Roughness Related to Atopic Eczema And Skin Dryness in A Population of Primary Scholl Children. Acta Derm Venereol, 80: 188-191. Strauss, J.S. 1991. Sebum. In: Orkin, M., Mailbach, H.I., Dahl, M.V. editors. Dermatology. 1st Ed. Connecticut: Appleton & Lange, p. 19-21. Tranggono, R.I.S., Purwoko, R.H. 1989. Penelitian Pendahuluan: pH permukaan kulit orang Indonesia. KONAS PAD VI. Bandung.; 11-12 November. Varela, M.M.S., Alvarez, L.G.M., Kogan, M.D. 2008. The Prevalence of Atopic Dermatitis in Puerto Rican School Children. Puerto Rico Health Sciences Journal, 26(2):127-33. VonGunten, S., Marsland, B.J., VonGarine,r C., Simon, D. 2012. Update in Clinical Allergy and Immunology. Clin Allergy Immunol 67:1491-500. Wertz, P.W. 2000. Lipids and Barrier Function of The Skin. Acta Derm Venerol; (Suppl. 208): 7-11.
98
Lampiran 1 Keterangan Kelaikan Etik
99
Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian
100
Lampiran 3 PENJELASAN DAN FORM PERSETUJUAN PENELITIAN
Judul
: Nilai pH Permukaan Kulit Berkorelasi Positif dengan Derajat Keparahan Dermatitis Atopik
Pembimbing I ` : Dr. dr. Made Wardhana SpKK (K), FINS DV Pembimbing II : Prof. dr. Made Swastika Adiguna, SpKK (K) FINS DV FAA DV Peneliti Utama : dr. Azhar Ramadan Nonci Latar Belakang Penelitian : Dermatitis atopik (DA) adalah suatu keadaan peradangan kulit kronis, kumatkumatan, ditandai dengan rasa gatal yang sangat mengganggu dan paling sering terjadi pada usia bayi dan anak-anak. DA sering dihubungkan dengan riwayat penyakt atopi seperti rinitis alergi, asma bronkial baik pada penderita sendiri maupun keluarganya. Terdapat banyak faktor yang berhubungan dengan terjadinya DA. Salah satunya adalah gangguan fungsi sawar kulit yang dinilai melalui pengukuran pH permukaan kulit. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari hubungan antara nilai pH permukaan kulit dengan derajat keparahan DA. Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memperkaya pengetahuan mengenai DA dan sebagai pemantauan derajat keparahan DA. Penelitian ini akan melibatkan 32 orang peserta sukarela yang didiagnosa DA dan memenuhi persyaratan penelitian. Setiap penderita akan diperiksa nilai pH permukaan kulitnya oleh dokter/tenaga medis yang terlatih. Pemeriksaan dilakukan di rumah sakit saat Bapak/Ibu/Saudara diperiksa oleh dokter yang merawat. Peserta penelitian tidak dibebani biaya dan tidak ada resiko berbahaya karena pemeriksaan kadar pH permukaan kulit bukan merupakan tindakan invasif dan hanya dilakukan di permukaan kulit saja.
101
Kami sangat berterima kasih apabila Bapak/Ibu/Saudara berkenan ikut dalam penelitian ini. Tidak ada pemaksaan untuk berpartisipasi dan Bapak/Ibu/Saudara dapat mengundurkan diri dari penelitian ini kapan saja tanpa syarat atau sanksi apapun. Kami menjamin bahwa bahan dan data yang kami peroleh tidak akan digunakan untuk kepentingan lain dan terjaga kerahasiaannya. Data ini mungkin dipublikasikan tanpa tercantum identitas Bapak/Ibu/Saudara. Bila masih ada hal-hal yang oerlu ditanya, Bapak/Ibu/Saudara dapat menghubungi dr. Azhar Ramadan Nonci, Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar, Jalan Diponegoro Denpasar Bali, HP: 0816517482 / 082145197297 Bersama ini kami sertakan formulir persetujuan mengikuti penelitian.
102
Lampiran 4 FORMULIR PERSETUJUAN TERTULIS
Saya yang bertandatangan di bawah ini : Nama
:
Umur
:
JenisKelamin
:
Pekerjaan
:
Setelah menerima penjelasan dan mengerti akan prosedur penelitian ini, maka saya setuju/menolak* untuk dilakukan pemeriksaan nilai pH permukaan kulit. Saya tidak keberatan bila kemudian hasilnya menjadi milik SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar guna kepentingan ilmu pengetahuan. Denpasar,……………….. Dokter/peneliti
Yang memberi pernyataan,
dr. Azhar Ramadan Nonci
……………………………
Saksi
…..………………………..
103
Lampiran 5 STATUS/FORMULIR PENELITIAN
DEMOGRAFI 1. Nama
:
2. Jenis Kelamin
:
3. Tanggal/bulan/tahun lahir
:
4. Alamat
:
5. Suku bangsa
:
6. Pekerjaan
:
ANAMNESIS Keluhan Utama : gatal
sejak, ___________
Keluhan tersebut : 1. Pertama kali 2. Kumat-kumatan Bila kumat-kumatan, sejak kapan pertama kali muncul : _________ Derajat keluhan (SCORAD) : 1. Ringan
2. Sedang
Apakah ada riwayat alergi : 1. Makanan
2. Obat
3. Berat (mengganggu tidur)
(bila ada sebutkan jenisnya) : ________________ Apakah ada alergi kontak : jam tangan, kosmetik, alergen di udara, nikel (tangkai kaca mata), anting, kalung, parfum, tekstil, zat warna, bahan pelembut atau pewangi pakaian,sabun, detergen, sandal jepit, bahan kimia, dll. (bila ada sebutkan jenisnya) : ______________________ Riwayat Keluarga Apakah ada anggota keluarga (ayah, ibu, saudara kandung, sepupu, keponakan, aman/bibi, kakek/nenek) yang menderita penyakit di bawah ini : 1. Eksim/gatal-gatal kumat-kumatan
2. Sering pilek/bersin
3. Sesak nafas/asma
1. Ya (jelaskan……………………………………………………………………….) 2. 2. Tidak
104
PEMERIKSAAN STATUS PRESENT DAN GENERAL Tensi :
Nadi :
Pernafasan :
PEMERIKSAAN DERMATOLOGI Status Dermatologi
:
Lokasi
:
Effloresensi
:
Gambar
:
Luas lesi(rule of nine) :
Tanda minor yang sesuai dengan literature/Stigmata Atopi [] Xerosis (kulit kering) [] Infeksi kulit (khususnya oleh S. Aureus dan virus herpes simpleks) [] Dermatitis non spesifik pada tangan atau kaki [] Iktiosis/hiperlinearitas Palmaris/keratosis pilaris [] Pitiriasis alba [] Dermatitis di papilla mama [] White dermographism dan delayed branch response [] Keilitis [] Lipatan infra-orbital Dennie-Morgan [] Konjungtivitis berulang [] Keratokonus [] Katarak subkapsular anterior [] Orbita menjadi gelap [] Muka pucat atau eritem [] Gatal biala berkeringat [] Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
105
Suhu :
[] Aksentuasi perfolikular [] Hipersensitif terhadap makanan [] Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi [] Tes kulit alergi tipe dadakan positif [] Kadar Ig E di dalam serum meningkat [] Awitan pada usia dini Beri tanda V bila ditemukan.
I.
NILAI pH PERMUKAAN KULIT
…………………………………………………………………………………………………. . Lokasi Lesi DA
pH
:……………………………………
…………………………………...
Tingkat severitas (SCORAD): 1. Ringan
2. Sedang
3. Berat (mengganggu tidur)
106
Lampiran 6 Kriteria diagnostik dermatitis atopik dari Hanifin dan Rajka Kriteria Major 1. Pruritus 2. Morfologi dan distribusi yang khas : Dewasa : lipatan mengalami likenifikasi atau likenifikasi linear Anak dan bayi : mengenai daerah muka dan bagian ekstensor 3. Dermatitis khronis atau kambuhan 4. Riwayat atopik pada diri keluarga. Kriteria Minor 1. Xerosis 2. Ikhtiosis / keratosis pilaris / palmar hiperlinear 3. Reaktifitas uji kulit tipe I 4. Peningkatan kadar lgE dalam serum 5. Usia awitan dini 6. Cenderung mudah terkena infeksi kulit ( Staphylococcus aureus, herpes simplex ) / gangguan imunitas selular ( cell-mediated immunity ) 7. Kecenderungan untuk menderita dermatitis pada tangan / kaki 8. Eksema pada putting susu (nipple) 9. Konjungtivitas 10. Tanda dari Dennie-Morgan 11. Kertokonus 12. Katarak subkapsular anterior 13. Warna gelap dibawah mata ( infra orbital darkeling )
107
14. Wajah pucat/muka merah 15. Pitinasis alba 16. Lipatan pada leher bagian anterior 17. Gatal saat berkeringat 18. Intoleran terhadap wool dan bahan larut minyak 19. Perifolliculer accentuation 20. Intoleran makanan 21. Perjalanan penyakit dipengaruhi faktor lingkungan/emosi 22. Demographisme/Delayed blanch
*dikutip dan dimodifikasi dari Hanifin 1980 yang dimodifikasi oleh Budihardja Keterangan : untuk menegakan diagnosis dermatitis atopik harus ada paling sedikit 3 kriteria major dan 3 kriteria minor.
108
Lampiran 7 Cara Pengukuran pH Permukaan Kulit Dengan Menggunakan Skin pH Meter:
Sebelum menggunakan pH-METER, lepaskan tutup pelingdung dan tempatkan elektroda dengan merendam bagian ujungnya (sedalam 4 cm/1 1/2) dalam larutan buffer pH 7,01 selama beberapa jam. Kemudian lakukan kalibrasi.
Sebelum pengukuran dimulai, terlebih dahulu bersihkan area permukaan kulit yang akan diukur dengan menggunakan larutan NaCl kemudian dibiarkan kering.
Alat dihidupkan dengan menekan tombol ‘ON’.
Jam pad alayar akan menghitung ke belakang untuk 3 detik, dari 3 sampai 0. Selam waktu tersebut probe ditempelkan dengan ringan pada kulit yang diukur.
Setelah 3 detik terdengar nada tertentu sebagai tanda dan nilai hasil pengukuran segera tampilkan selama 2 menit, kemudian akan menghilang sendiri dengan ditandai 5 kali nada peringatan.
109
Lampiran 8 Data Sampel Penelitian NOMOR
NAMA
SEX
UMUR
SCORAD
SEVERITAS DA
pH
1
DPAN
Perempuan
5
42,13
Sedang
6,54
2
PD
Perempuan
10
38,45
Sedang
6,01
3
M
Perempuan
46
52,09
Berat
6,79
4
SP
Perempuan
32
34,01
Sedang
5,86
5
A
Laki-laki
8
28,67
Sedang
5,66
6
NWS
Perempuan
49
23,98
Ringan
5,61
7
KW
Perempuan
46
27,9
Sedang
5,66
8
AASY
Perempuan
50
35,37
Sedang
6,23
9
NS
Perempuan
34
55,7
Berat
7,37
10
NKAA
Perempuan
4
52,50
Berat
6,90
11
Y
Perempuan
36
47,00
Sedang
6,85
12
NDPS
Perempuan
21
67,2
Berat
7,81
13
NPS
Perempuan
36
30,9
Sedang
5,80
14
NNED
Perempuan
47
64,4
Berat
7,54
15
KW
Laki-laki
4
35,0
Sedang
5,69
16
KJR
Laki-laki
9
21,3
Ringan
5,41
17
DAR
Perempuan
5
26,4
Sedang
5,73
18
YH
Perempuan
9
35,8
Sedang
6,73
19
AAII
Laki-laki
11
19,23
Ringan
5,11
20
IBDHP
Laki-laki
8
21,97
Ringan
5,38
21
RA
Perempuan
53
23,5
Ringan
6,06
22
FI
Perempuan
5
24,9
Ringan
5,73
110
Data Sampel Penelitian (lanjutan)
NOMOR
NAMA
SEX
UMUR
SCORAD
SEVERITAS DA
pH
23
S
Laki-laki
58
28,9
Sedang
6,11
24
GBH
Laki-laki
33
22,2
Ringan
5,44
25
IGAN
Laki-laki
23
24,33
Ringan
6,13
26
SW
Laki-laki
12
23,80
Ringan
6,22
27
VS
Perempuan
20
21,9
Ringan
5,75
28
KMP
Perempuan
5
23,07
Ringan
5,72
29
SPS
Laki-laki
12
25,99
Sedang
5,97
30
MF
Laki-laki
24
31,11
Sedang
6,44
31
IAUP
Perempuan
9
51,33
Berat
6,70
32
R
Laki-laki
12
24,6
Ringan
5,81
33
RAH
Laki-laki
4
21,5
Ringan
5,66
34
ACJ
Laki-laki
12
24,76
Ringan
5,71
35
IWH
Laki-laki
30
51,06
Berat
6,78
36
PRRA
Laki-laki
5
22,34
Ringan
6,03
37
GLKW
Laki-laki
4
22,02
Ringan
5,66
38
BS
Laki-laki
8
23,43
Ringan
5,80
39
IM
Perempuan
26
24,90
Ringan
5,55
40
OS
Laki-laki
11
33,50
Sedang
5,89
41
WU
Perempuan
7
45,50
Sedang
6,72
42
AN
Perempuan
6
43,80
Sedang
6,69
43
RS
Laki-laki
23
37,37
Sedang
6,33
44
LJ
Perempuan
15
30,00
Sedang
5,90
45
WSN
Laki-laki
10
56,93
Berat
7,27
46
WSD
Laki-laki
7
55,30
Berat
7,29
47
NT
Perempuan
24
70,30
Berat
7,83
111
Lampiran 9 Analisis Hasil Penelitian Case Processing Summary Cases Valid Missing N UMUR
47
Percent 100.0%
N 0
Percent 0.0%
Total N 47
Percent 100.0%
Descriptives Statistic Mean 95% Confidence Interval for Mean
UMUR
Lower Bound Upper Bound
5% Trimmed Mean Median Variance Std. Deviation Minimum Maximum Range Interquartile Range Skewness Kurtosis
UMUR
19.74 15.07 24.42
2.324
18.68 12.00 253.933 15.935 4 58 54 25 .937
.347
-.364
.681
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df .240 47 .000 .850 47
112
Std. Error
Sig. .000
Statistics SEX N
Valid Missing
47 0
SEX Frequency
Valid
Laki-laki Perempuan Total
Statistics SEVERITAS DA Valid N Missing
Percent
22 25 47
Valid Percent
46.8 53.2 100.0
46.8 53.2 100.0
47 0
SEVERITAS DA Frequency Percent Valid Percent
Valid
Ringan Sedang Berat
18 19 10
38.3 40.4 21.3
38.3 40.4 21.3
Total
47
100.0
100.0
SCORAD pH
Cumulative Percent 46.8 100.0
Case Processing Summary Cases Valid Missing N Percent N Percent 47 100.0% 0 0.0% 47 100.0% 0 0.0%
Descriptives
113
Cumulative Percent 38.3 78.7 100.0
Total N Percent 47 100.0% 47 100.0%
Case Processing Summary
5% Trimmed Mean Median
Statistic 35.0711 30.9701 39.1721 34.0483 30.0000
Variance SCORAD Std. Deviation Minimum Maximum Range Interquartile Range Skewness Kurtosis Mean
195.090 13.96745 19.23 70.30 51.07 21.70 .969 -.137 6.2100
Mean Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound Upper Bound
5% Trimmed Mean Median Variance Std. Deviation Minimum Maximum
6.0122 6.4078 6.1751 6.0100 .454 .67357 5.11 7.83
Range Interquartile Range Skewness Kurtosis
2.72 1.01 .829 -.109
95% Confidence Interval for Mean
pH
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic df Sig. SCORAD .165 47 .003 pH .145 47 .014
114
Shapiro-Wilk Statistic df .867 47 .918 47
Std. Error 2.03736
.347 .681 .09825
.347 .681
Sig. .000 .003
SEVERITAS DA
pH
Ringan Sedang Berat
Cases Missing N Percent 0 0.0% 0 0.0% 0 0.0%
Valid N Percent 18 100.0% 19 100.0% 10 100.0%
Total N Percent 18 100.0% 19 100.0% 10 100.0%
SEVERITAS DA Descriptives SEVERITAS DA Mean
5% Trimmed Mean Median
Statistic 5.7100 5.5697 5.8503 5.7150 5.7150
Variance Std. Deviation Minimum Maximum Range Interquartile Range Skewness Kurtosis
.080 .28222 5.11 6.22 1.11 .34 -.058 .088
Mean
6.1479 5.9519 6.3439 6.1360 6.0100 .165 .40663 5.66 6.85
95% Confidence Interval for Mean
Ringan
pH
95% Confidence Interval for Mean
Sedang
5% Trimmed Mean Median Variance Std. Deviation Minimum Maximum Range
Lower Bound Upper Bound
Lower Bound Upper Bound
1.19
115
Std. Error .06652
.536 1.038 .09329
Interquartile Range Skewness Kurtosis Mean 95% Confidence Interval for Mean
Berat
Lower Bound Upper Bound
7.2239 7.2800 .178 .42205 6.70 7.83
Range Interquartile Range Skewness
1.13 .82 .171
.687
-1.434
1.334
SEVERITAS DA
pH
.524 1.014 .13346
5% Trimmed Mean Median Variance Std. Deviation Minimum Maximum
Kurtosis
Ringan Sedang Berat
.74 .438 -1.296 7.2280 6.9261 7.5299
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic df Sig. .139 18 .200* .159 19 .200* .181 10 .200*
Shapiro-Wilk Statistic df .971 18 .904 19 .908 10
Sig. .823 .056 .267
Oneway N
Ringan Sedang Berat Total
18 19 10 47
Descriptives pH Mean Std. Std. Error 95% Confidence Interval Minimum Maximum Deviation for Mean Lower Upper Bound Bound 5.7100 .28222 .06652 5.5697 5.8503 5.11 6.22 6.1479 .40663 .09329 5.9519 6.3439 5.66 6.85 7.2280 .42205 .13346 6.9261 7.5299 6.70 7.83 6.2100 .67357 .09825 6.0122 6.4078 5.11 7.83
116
Test of Homogeneity of Variances pH Levene df1 df2 Statistic 3.195 2 44
Sig. .051
ANOVA pH
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 14.937 5.933 20.870
df
Mean Square 2 44 46
7.468 .135
F 55.381
Sig. .000
Post Hoc Tests Multiple Comparisons Dependent Variable: pH (I) (J) SEVERITAS SEVERITAS DA DA Ringan LSD
Sedang Berat Ringan
Tamhane
Sedang Berat
Mean Difference (I-J)
Sedang Berat
-.43789* -1.51800*
.12079 .14483
95% Confidence Interval Lower Upper Bound Bound .001 -.6813 -.1945 .000 -1.8099 -1.2261
Ringan Berat Ringan Sedang Sedang Berat Ringan Berat
.43789* -1.08011* 1.51800* 1.08011* -.43789* -1.51800* .43789* -1.08011*
.12079 .14347 .14483 .14347 .11458 .14912 .11458 .16284
.001 .000 .000 .000 .002 .000 .002 .000
.1945 -1.3692 1.2261 .7910 -.7265 -1.9236 .1493 -1.5090
.6813 -.7910 1.8099 1.3692 -.1493 -1.1124 .7265 -.6512
Ringan Sedang
1.51800* 1.08011*
.14912 .16284
.000 .000
1.1124 .6512
1.9236 1.5090
117
Std. Error
Sig.
Nonparametric Correlations Correlations
Correlation Coefficient SEVERITAS DA Sig. (2-tailed)
SEVERITAS DA 1.000 .
N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
47 .769** .000 47
Spearman's rho pH
pH
Correlations pH
Spearman's rho
Correlation Coefficient pH Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient SCORAD Sig. (2-tailed) N
118
1.000 . 47 .850** .000 47
SCORAD .850** .000 47 1.000 . 47
.769** .000 47 1.000 . 47
Lampiran 10 Foto Lesi Kulit Penderita dengan Alat Ukur pH Meter
119