1
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Dermatitis atopik (DA) adalah suatu penyakit keradangan kulit yang bersifat menahun, kumat-kumatan dan ditandai oleh adanya rasa gatal yang hebat, kulit kering, kemerahan, eksudasi atau bahkan likenifikasi pada fase kronis. Perkembangan dari dermatitis atopik tidak hanya bergantung pada genetik tetapi faktor lingkungan juga berpengaruh besar pada perjalanan penyakit ini. Sampai saat ini mekanisme yang mendasari patogenesis DA masih belum diketahui dengan pasti. Beberapa gen yang diduga bertanggung jawab dalam proses patogenesis DA telah berhasil diidentifikasi. Namun, peranan faktor genetik tersebut tidak dapat berdiri sendiri dalam patogenesis DA. Faktor lingkungan diduga juga berperanan penting dalam proses patogenesis DA. Data terbaru mendukung bahwa dermatitis atopik merupakan penyakit alergi yang berhubungan dengan asma dan rinitis (Leung, et al., 2008). Serum level dari antibodi Ig E mengalami peningkatan sebesar 80-85% pada penderita dermatitis atopik. Gangguan pada fungsi kulit, tercermin dari peningkatan sensitivitas kulit, kekeringan dan infeksi. Peningkatan kadar eosinofil sering ditemukan pada pasien dengan stigmata atopi. Penelitian selama beberapa dekade terakhir menunjukkan bahwa eosinofil melalui kapasitas fungsional dan protein toksiknya, menghasilkan sel proinflamasi aktif yang menyebabkan gejala-gejala yang berbeda pada penyakit alergi. Eosinofil teraktivasi melalui berbagai sitokin dan
2
mediator inflamasi, menyebabkan eosinofil dapat berinvasi menuju ke daerah inflamasi. Pada daerah inflamasi eosinofil mensekresikan leukotrien, prostaglandin, bradikinin, berbagai sitokin, enzim, dan berbagai protein toksik dari granulagranulanya. Eosinophil Cationic Protein (ECP) yang disekresikan oleh eosinofil merupakan agen sitotoksik yang memegang peranan penting dalam perkembangan inflamasi dan memiliki kapasitas sebagai imunomodulator (Murat-Sušic, et al., 2006) Peningkatan kadar ECP telah diukur dalam serum, bronkoalveolar, dan sekresi nasal pada pasien dengan penyakit alergi, seperti asma bronkial dan rinitis alergi. Peningkatan kadar ECP yang signifikan ditemukan pada penderita dermatitis atopik, peningkatan ini mencerminkan keadaan aktivasi eosinofil pada kulit jadi ECP dapat bertindak sebagai parameter untuk identifikasi proses inflamasi patologik dan derajat keterlibatan eosinofil pada kulit penderita dermatitis atopik. Kadar ECP dalam serum berguna untuk investigasi laboratorium dalam melihat derajat keparahan asma (Gelfand, et al., 2007) Untuk mengetahui derajat keparahan penyakit, terdapat sistem indeks Scoring Atopic Dermatitis (SCORAD), sistem ini mengkombinasikan penentuan dari luasnya penyakit yang menggunakan rule of nine dengan enam ciri utama dari intensitas penyakit yakni: eritema, edema, krusta, ekskoriasi, likenifikasi dan kulit kering (dryness). Kulit kering dievaluasi pada kulit yang tidak mengalami inflamasi. Skor yang tinggi menunjukkan penyakit yang lebih parah. Penelitian oleh Amon (2000) menyimpulkan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara perubahan nilai SCORAD, kadar ECP, dan triptase pada penelitian kohort. Penelitian ini meneliti perubahan nilai SCORAD, kadar ECP, dan triptase saat penderita dermatitis atopik
3
masuk rumah sakit serta saat keluar dari rumah sakit (Amon, et al., 2000; Czech, 2002). Ardiana (2004), pernah meneliti hubungan kadar ECP dalam darah dengan derajat keparahan dermatitis atopik, dimana pada penelitian ini diagnosis pendertia dermatitis atopik ditegakkan berdasarkan kriteria William, sedangkan penilaian derajat keparahan dermatitis atopik menggunakan kriteria Rajka dan Langeland. Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara kadar ECP dalam serum dengan derajat keparahan penderita dermatitis atopik RSUP Sanglah, Denpasar. Pada penelitian ini diagnosis dermatitis atopik ditegakkan berdasarkan kriteria Hanafin dan Rajka. Penilaian derajat keparahan dermatitis atopik pada penelitian ini menggunakan kriteria Scoring Atopic Dermatitis (SCORAD) dan pengukuran kadar Eosinophil Cationic Protein (ECP) dalam serum diukur dengan menggunakan metode Enzyme-Linked Immunosobent Assay (ELISA).
1.2. 1.
Rumusan Masalah Apakah terdapat perbedaan kadar Eosinophil Cationic Protein (ECP) dalam serum pada berbagai derajat keparahan penderita dermatitis atopik RSUP Sanglah, Denpasar?
2.
Apakah kadar Eosinophil Cationic Protein (ECP) dalam serum berkorelasi positif dengan derajat keparahan pada penderita dermatitis atopik di RSUP Sanglah, Denpasar?
4
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara kadar Eosinophil Cationic Protein (ECP) serum dengan derajat keparahan penderita dermatitis atopik di RSUP Sanglah, Denpasar. 1.3.2 1.
Tujuan Khusus Mengetahui perbedaan kadar Eosinopihil Cationic Protein (ECP) serum pada berbagai derajat keparahan penderita dermatitis atopik RSUP Sanglah, Denpasar.
2.
Mengetahui hubungan antara peningkatan kadar Eosinophil Cationic Protein (ECP) serum dengan peningkatan derajat keparahan penderita dermatitis atopik di RSUP Sanglah, Denpasar.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat Ilmiah
1.
Mengetahui kadar Eosinophil Cationic Protein (ECP) serum pada berbagai derajat keparahan penderita dermatitis atopik di RSUP Sanglah, Denpasar.
2
Dapat digunakan sebagai dasar penelitian selanjutnya untuk mengetahui peran Eosinophil Cationic Protein (ECP) serum dalam penilaian derajat keparahan penderita dermatitis atopik.
1.4.2
Manfaat Praktis Dapat digunakan untuk mempertimbangan peran Eosinophil Cationic Protein (ECP) serum menilai derajat keparahan DA secara objektif.
5
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Definisi Dermatitis Atopik
Dermatitis atopik adalah penyakit peradangan pada kulit yang bersifat kronik dan residif dengan disertai rasa gatal yang umumnya telah terjadi sejak saat bayi atau anak-anak. Selain kelainan kulit juga disertai gangguan sekresi kelenjar keringat, kekeringan kulit, rentan terhadap infeksi, kepucatan kulit dan gangguan vaskuler. Dermatitis atopik merupakan penyakit kulit dengan latar belakang genetik dengan manifestasi hipereaktivitas kulit terhadap paparan alergen lingkungan seperti alergen makanan, alergen hirup, bahan iritan, stresor fisik, dan stresor psikologis (Leung, et al., 2004; Bieber, 2008)
2.2
Epidemiologi
Prevalensi DA diperkirakan sebesar 10-20% pada anak-anak dan 1-3% pada orang dewasa dengan peningkatan prevalensi hingga 2-3 kali selama 3 dekade terakhir. Wanita lebih banyak menderita DA daripada pria dengan rasio 1,3:1. Berbagai faktor lingkungan berpengaruh pada prevalensi DA, misalnya jumlah keluarga kecil, pendidikan ibu yang makin tinggi, penghasilan makin banyak, migrasi dari desa ke kota, meningkatnya penggunaan antibiotik berpotensi meningkatkan jumlah penderita DA rumah yang berpenghuni banyak, meningkatnya jumlah keluarga, urutan lahir makin belakang, sering mengalami infeksi sewaktu kecil akan melindungi timbulnya DA dikemudian hari (James, et al., 2006). Prevalensi DA di Indonesia termasuk lima
6
besar penyakit kulit yang sering dijumpai. Angka kejadian DA di sepuluh RS di Indonesia selama setahun sekitar 2-5 % dari seluruh kasus (Jacoeb, 2004). 2.3
Etiologi dan patogenesis
Etiopatogenesis DA sampai saat ini belum diketahui dengan pasti, diduga disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan (Leung, et al., 2008). Kadar IgE dalam serum penderita DA dan jumlah eosinofil dalam darah perifer umumnya meningkat. Terbukti bahwa ada hubungan secara sistemik antara DA dan alergi saluran nafas, karena 80% anak dengan DA mengalami asma bronkial atau rinitis alergik. Dari percobaan pada tikus yang disensitisasi secara epikutan dengan antigen, akan terjadi dermatitis alergik, IgE dalam serum meningkat, serta pada peningkatan eosinofil pada saluran nafas. Hal tersebut menguatkan dugaan bahwa pajanan alergen pada DA akan memperkuat timbulnya asma bronkial (Homey, et al., 2006). 2.3.1 Faktor predisposisi Faktor yang berperan dalam DA terdiri dari faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik berupa predisposisi genetik, disertai kelainan fisiologi dan biokoimia kulit,disfungsi imunologis, interaksi psikosomatik dan disregulasi / ketidakseimbangan sistem saraf otonom, sedangkan faktor ekstrinsik seperti alergen yang berasal dari lingkungan, trauma garukan, infeksi dan perubahan temperatur (Beltrani, 1999). 1. Faktor Genetik Dermatitis atopik diturunkan secara familial dengan pengaruh maternal yang kuat. Lebih dari 20 gen yang terlibat dalam perkembangan penyakit alergi. Salah satu gen
7
yang berperan pada penyakit atopi terdapat pada kromosom 11q13 yang menyandi subunit β reseptor IgE (Bos, 2000; Leung, et al., 2008) Kromosom 5q31-33 mengandung kumpulan famili gen sitokin IL-3, IL-4, IL13 dan GM-CSF yang diekspresikan oleh sel Th2. Ekspresi gen IL-4 memainkan peran penting dalam ekspresi DA. Perbedaan genetik aktivitas transkripsi gen IL-4 mempengaruhi predisposisi DA (Boniface, et al., 2007) Ada hubungan yang erat antara polimorfisme spesifik gen kimase sel mast dan DA, tetapi tidak dengan asma bronkial atau rinitis alergik. Varian genetik kimase sel mast, yaitu serine protease yang disekresi oleh sel mast di kulit, mempunyai efek spesifik pada organ dan berperan dalam timbulnya DA. Bila salah satu orang tua menderita atopi, risiko anak mereka akan mengalami gejala alergi lebih dari 50% dan risiko tersebut akan meningkat sampai 79% bila kedua orang tua menderita atopi (Bohme, et al.,2003; Boniface, et al., 2007). 2. Perubahan fisiologi dan biokimia kulit Kulit penderita DA sering tampak kering (xerosis) yang menetap selama hidup. Kelainan ini disebabkan oleh menurunnya kadar seramid, filagrin, lorikrin dan menurunnya enzim proteolisis endogen sehingga menyebabkan meningkatnya transepidermal water loss (Tiffany, et al., 2008). Gangguan fungsi barier pada DA menyebabkan meningkatnya penyerapan antigen dan hiperaktifitas kutaneus. (Segre, 2006). 3. Faktor psikosomatik Pada keadaan stres hipofise anterior akan melepaskan ACTH yang akan merangsang kelenjar korteks adrenal untuk melepaskan hormon kortisol (Wright, et al., 2005).
8
Kortisol dapat mempengaruhi makrofag maupun limfosit melalui reseptor dipermukaan sel Th. Kortisol menekan pertumbuhan dan diferensiasi terutama sel Th2 termasuk sitokin yang diproduksinya. Rendahnya kadar kortisol akan menekan peran inhibitor dari IFN-, sehingga hambatan terhadap sel Th2 tidak terjadi, maka peran Th 2 lebih dominan. Sitokin ini memegang peran penting dalam fase awal DA, sedangkan pada fase kronis peran Th1 menjadi lebih dominan (Buske-Kirschbaum, et al., 2002). Sebuah studi pada pasien DA menunjukkan mengalami kecemasan, depresi dan gangguan emosi secara bermakna dibandingkan dengan pasien yang tidak menderita DA (Seiffert, et al., 2005). Studi kasus kontrol pada calon anggota militer di Korea Selatan pada tahun 2003-2004 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan temperamen dan karakter antara penderita DA dengan non DA, terdapat korelasi parsial antara stres psikologis dengan severitas DA yang diukur dengan SCORAD (Kim, et al., 2006). 4. Gangguan saraf otonom Abnormalitas fisiologis dan farmakologik pada dermatitis atopik merupakan manifestasi dari blokade reseptor β adrenergik. Terdapat peningkatan aktivitas enzim c-AMP fosfodiesterase sehingga produksi c-AMP menurun. Penurunan c-AMP ini menyebabkan terjadinya degranulasi sel mast, yang kemudian melepaskan mediatormediator seperti vasoaktif amin, mediator lipid dan sitokin yang menyebabkan rasa gatal. (Archer, 2004; Leung, et al., 2008).
9
5. Disfungsi imunologis Pada dermatitis atopik didapatkan kelainan imunologi baik pada sistem seluler maupun humoral. Abnormalitas imunologi yang utama adalah pembentukan Ig E yang berlebihan, penurunan kepekaan
terhadap hipersensitivitas tipe lambat,
abnormalitas ekspresi molekul permukaan sel-sel penyaji antigen, dan disregulasi mediator sitokin (Leung, et al., 2008). Sitokin Th2 dan Th1 berperan dalam patogenesis peradangan kulit DA. Jumlah Th2 lebih banyak pada penderita atopi, sebaliknya Th1 menurun. Pada kulit normal ( tidak ada kelainan kulitnya ) penderita atopi bila dibandingkan dengan kulit normal yang bukan penderita atopi ditemukan lebih banyak sel-sel yang menghasilkan mRNA IL-4 dan IL-13, tetapi bukan IL-5, IL-12 atau IFN-γ. Pada lesi akut ataupun kronis bila dibandingkan dengan kulit normal atau kulit yang tidak ada lesinya penderita DA menunjukkan jumlah yang lebih besar sel-sel yang mengekspresikan mRNA IL-4, IL-5 dan IL-13 tetapi pada lesi akut tidak banyak mengandung sel yang mengekspresikan mRNA IFN-γ atau IL12. Lesi kronis DA mengandung sangat sedikit sel yang mengekspresikan mRNA IL5, GM-CSF, IL-12 dan IFN-γ, meningkat bila dibandingkan dengan yang akut. Peningkatan IL-12 pada lesi kronis DA berperan pada perkembangan Th1 ( Toda, et al., 2003; Lew, et al.,2004). Terdapat beberapa mekanisme partisipasi Ig E dalam menimbulkan suatu respon inflamasi pada kulit. Pada dermatitis atopik, Ig E memegang peranan penting dalam suatu allergen-induced cell-mediated reactions yang melibatkan Th2-like cells, yang berbeda dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat konvensional. Ig E-
10
dependent biphasic response, fase segera dan fase lambat, sering dihubungkan dengan reaksi alergi yang bermakna secara klinis dan menimbulkan proses inflamasi dermatitis atopik (Abramovits , 2005). Sebanyak 80% penderita dermatitis atopik menunjukkan peningkatan kadar IgE serum, tertinggi didapatkan pada penderita yang juga mengalami asma dan rinitis alergi, sedangkan penderita sisanya menunjukkan kadar
Ig E yang normal.
Peningkatan kadar IgE serum ini dalam beberapa penelitian dikatakan berhubungan dengan keparahan penyakit, tetapi kadarnya tetap tinggi atau menurun pada penderita-penderita yang telah remisi selama setahun atau lebih. Penelitian lainnya menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara kadar Ig E dengan derajat keparahan penyakit. Peningkatan kadar IgE juga dikatakan tidak hanya terjadi pada dermatitis atopik, melainkan juga pada penyakit lain (Bos, 2000; Czech, et al., 2002). 2.3.2
Faktor pencetus
Faktor pencetus dapat berupa diet, bahan iritan, bahan alergen, infeksi bakteri, virus dan dermatofita akan mudah menempel dan merangsang pelepasan mediator proinflamasi yang akan memperburuk gejala yang sudah ada (Giminez, 2000). 1.
Diet
Peranan diet dan komponennya dalam DA masih kontroversial. Pada anak, didapatkan beberapa jenis makanan yang menimbulkan 90% reaksi alergi yaitu susu sapi, kacang, kedelai, gandum, dan ikan. Pada dewasa, IgE yang dimediasi oleh hipersensitifitas terhadap makanan jarang terjadi. Makanan utama yang menimbulkan alergi pada dewasa adalah kacang, ikan, kerang (Giminez, 2000; Heine, et al.,2008).
11
2.
Bahan iritan
Bahan iritan merupakan bahan-bahan yang berefek langsung terhadap kulit. Efek bahan iritan akan meningkat sesuai dengan konsentrasi dan lama kontak dengan kulit. Bahan iritan yang termasuk disini antara lain sabun, detergen, bahan kimia, asap, pakaian kasar yang abrasif, paparan suhu, kelembaban, alkohol dan astrigen (Leung, et al., 2004) 3.
Bahan alergen
Paparan aeroalergen terlibat dalam terjadinya kekambuhan DA. Data laboratorium menemukan adanya hubungan yang kuat tentang peranan inhalan pada DA yaitu ditemukan hubungan antibodi Ig E pada pasien dengan derajat sensitisasi terhadap tungau, serbuk sari, bulu binatang serta secara langsung berhubungan dengan beratnya penyakit (Heine, et al.,2008) 4.
Infeksi bakteri, virus dan dermatofita
Gangguan sistem imunitas seluler yang terjadi pada penderita DA memudahkan terjadinya infeksi bakteri. Infeksi staphylococcus aureus dapat menyebabkan lepasnya alfatoksin dan eksotoksin sebagai superantigen yang mempunyai efek sitotoksik terhadap keratinosit sehingga melepaskan TNF α. Antigen bakteri ini dapat merangsang produksi IgE karena eksotoksin merupakan superantigen yang mengaktifkan limfosit B untuk melepaskan IgE lebih banyak. Infeksi virus dan jamur dermatofita dapat menyebabkan eksaserbasi DA karena dapat bertindak sebagai superantigen dan mengaktifasi limfosit secara keseluruhan (Leung, et al., 2004; Bieber, 2008).
12
2.3.3
Imunopatogenesis DA
Imunopatogenesis DA diawali oleh pengenalan alergen lingkungan oleh sel B, yang kemudian berdiferensiasi menjadi sel plasma untuk mensintesis antibodi (Ig E) terhadap alergen tersebut. Selain oleh sel B, alergen juga ditangkap oleh sel dendritik (sel Langerhans), antigen kemudian diproses dan dipresentasikan ke permukaan sel bersama MHC klas II, berikutnya terjadi proses yang panjang sampai peran dari selsel imunokompeten untuk melepaskan mediator inflamasi seperti sel Th, sel mast, eosinofil, monosit, makrofag dan lainnya melalui rangkaian reaksi yang teratur dan kompleks sehingga menimbulkan keradangan pada kulit. Proses berikutnya akan terjadi diferensiasi sel Th ke arah Th1 atau Th2. Perubahan keseimbangan Th1 dan Th2 sangat berperan dalam patogenesis penyakit ini (Romagnani, 2003). Imunopatogenesis DA merupakan peristiwa imunologis yang kompleks, melibatkan hampir seluruh komponen imunologis baik seluler seperti sel mast, eosinofil, sel T helper, serta berbagai sitokin. Faktor lingkungan seperti alergen, bahan iritan, infeksi bakteri dan trauma yang diterima oleh permukaan kulit akan membangkitkan respon imun humoral maupun seluler, respon imun spesifik maupun non spesifik. (Bieber, 2008).
13
Gambar 2.1 Imunopatogenesis dermatitis atopik (dikutip dari Spergel & Schneider , 1999). 2.4
Gambaran klinis
Gejala utama DA adalah pruritus, dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi didapakan lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi dan krusta ( Hanafin, et al., 2004). DA dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu; DA tipe infantil, (terjadi pada usia 2 bulan sampai 2 tahun), DA pada anak ( 2 sampai 10 tahun) dan DA pada remaja dan dewasa (Rajka, et al., 1989).
14
1. DA Infantil ( usia 2 bulan sampai 2 tahun) : lesi mulai di muka (dahi, pipi) berupa eritema, papulo-vesikel yang halus, karena gatal digosok maka lesi akan pecah, eksudatif, dan akhirnya terbentuk krusta. Lesi bisa meluas ketempat lain yaitu kulit kepala, leher, pergelangan tangan, lengan dan tungkai. Bila anak sudah mulai merangkak maka akan timbul lesi pada lutut, rasa gatal akan membuat anak susah tidur dan sering menangis. Lesi dapat meluas generalisata walaupun jarang, sehingga dapat terjadi eritrodermi, lambat laun lesi menjadi kronis dan residif. 2. DA pada anak (usia 2 sampai 10 tahun) : dapat merupakan kelanjutan bentuk infantil, atau timbul sendiri. Lesi lebih kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul, likenifikasi, dan sedikit skuama. Letak kelainan kulit dilipatan siku, lipat lutut, pergelangan tangan bagian fleksor, kelopak mata, leher dan jarang dimuka. Rasa gatal menyebabkan penderita sering menggaruk dapat terjadi erosi, likenifikasi mungkin juga mengalami infeksi sekunder. 3. DA pada remaja : lesi kulit DA pada bentuk ini dapat berupa plak papulareritematosa dan berskuama atau plak likenifikasi yang gatal. Pada DA remaja lokalisasi lesi di lipatan siku, lipatan lutut dan samping leher, dahi dan sekitar mata. Pada DA dewasa, distribusi lesi kurang khas, sering mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapat pula ditemukan setempat, misalnya dibibir (kering, pecah-pecah), vulva, puting susu dan kulit kepala. Lesi sangat gatal, terutama pada malam hari waktu beristirahat. Pada orang dewasa sering mengeluh kambuhkambuhan apabila penderita stres.
15
2.5
Diagnosis
Diagnosis DA berdasarkan kriteria yang disusun oleh Hanafin dan Rajka yang dimodifikasi, meliputi kriteria mayor dan minor (Hanafin, et al., 1980). Kriteria Mayor: a.
Pruritus
b.
Morfologi dan distribusi lesi yang tipikal pada fleksura likenifikasi pada remaja/dewasa, lesi pada muka dan ekstensor pada bayi dan anak-anak .
c.
Dermatitis yang bersifat kronis atau residif
d.
Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya ( asma, rhinitis alergik dan dermatitis atopik)
Kriteria Minor: a.
Xerosis
b.
Infeksi kulit
c.
Dermatitis pada tangan atau kaki
d.
Iktiosis/ Hiperlinier Palmaris/ keratosis pilaris
e.
Pitiriasis alba
f.
Dermatitis pada areola mamae
g.
White Dermographism
h.
Keilitis
i.
Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
j.
Konjungtivitis berulang
k.
Keratokonus
16
l.
Katarak subkapsular anterior
m. Orbita menjadi gelap n.
Muka pucat atau eritema
o.
Gatal bila berkeringat
p.
Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
q.
Aksentuasi perifolikuler
r.
Hipersensitif terhadap makanan
s.
Perjalanan penyakit dipengaruhi faktor makanan dan lingkungan
t.
Tes kulit alergi positif
u.
Kadar IgE dalam serum meningkat
v.
Awitan pada usia dini
Diagnosis ditegakkan bila mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor Untuk derajat keparahan penyakit, terdapat sistem indeks scoring atopic dermatitis (SCORAD) atau Grading the Severity of Atopic Dermatitis kriteria Rajka dan Langeland. (DiCarlo, et al., 2001, Leung et al., 2008).
2.6.
Derajat keparahan penyakit
Derajat keparahan penderita DA dinilai dengan menggunakan sistem SCORAD, yang terdiri dari beberapa kriteria : A. Luasnya lesi Menggunakan rule of nine, yang dinyatakan dalam persentase (0-100)
17
B. Intensitas lesi Kriteria ini meliputi eritema, edema/papulasi, krusta, ekskoriasi, likenifikasi, dan xerosis, yang dinilai dengan skor 0-3 C. Keluhan penderita Dua kriteria yang mencerminkan keluhan subyektif penderita yaitu gatal dan gangguan tidur, yang dinyatakan dalam skor 0-10 untuk masing-masing kriteria. Dari ketiga kriteria di atas dapat dihitung SCORAD dengan rumus A/5 + 7B/2 + C. Pada penelitian ini derajat keparahan DA dapat dibagi dalam 3 kategori, yaitu : a. Ringan : < 25 b. Sedang : 25-50 c. Berat : > 50
2.7
Diagnosis Banding
Dermatitis atopik harus dibedakan dari banyak penyakit misalnya sindroma WiskottAldrich, sindroma hiperglobulinemia-E, dermatofitosis, bentuk dermatitis lain seperti dermatitis seboroik, dermatitis kontak, dan dermatitis numularis (Leung, et al., 2008).
2.8
Penatalaksaan
2.8.1. Hidrasi Kulit (pelembab) Hidrasi kulit berperan penting, khususnya guna mengatasi kekeringan kulit akibat kurangnya seramid di kulit yang menyebabkan hilangnya air melalui lapisan epidermis. Kekeringan ini menimbulkan mikrofisura serta celah-celah di kulit yang memungkinkan masuknya patogen, antigen maupun bahan iritan. Akibat hal tersebut
18
timbul keinginan penderita untuk menggaruk, sehingga proses penyakit jadi menetap atau terjadi eksaserbasi penyakit (Beiber, et al., 2008). Emolien merupakan standar dalam perawatan kulit penderita DA yang berguna mengatasi kondisi kulit yang kering, selain itu berfungsi sebagai steroid sparing dan sangat bermanfaat untuk pencegahan dan terapi rumatan (maintenance therapy). Penggunaan emolien segera setelah mandi atau berendam air hangat sangat bermanfaat untuk mengatasi keluhan. Idealnya digunakan sediaan berbentuk salep seperti petrolatum atau bentuk krim. Selain itu dapat digunakan hydrophilic ointment. Pada lesi DA yang parah atau kronis dapat dilakukan kompres (wet dressing). Hidrasi dengan berendam atau kompres juga bisa berfungsi sebagai penghalang yang efektif untuk melakukan garukan (Pohan, 2006). 2.8.2. Kortikosteroid Kortikosteroid Topikal (KT) adalah sedian utama dalam pengobatan DA, KT merupakan anti inflamasi utama untuk DA akut maupun kronis.
Kortikosteroid
topikal berikatan dengan cytoplasmic glucocorticoid (CGR) dalam sel target agar terjadi efek anti inflamasi. Mekanisme kerja yang utamanya menghambat aktivitas transkripsi berbagai gen proinflamasi membuat membuat KT efektif dalam mengurangi baik inflamasi maupun rasa gatal (Perseden, 2002). Untuk wajah, selangkangan, ketiak hanya boleh digunakan KT potensi lemah, demikian pula untuk bayi. Sedangkan untuk anak yang lebih besar dan dewasa disarankan menggunakan KT mulai dengan potensi terendah yang paling efektif untuk penderita dan bisa dialihkan ke potensi yang lebih tinggi bila diperlukan.
19
Pendekatan yang lain, mulai dengan sedian potensi kuat atau sedang kemudian diikuti potensi yang lebih rendah bila ada perbaikan klinis (Perseden, 2002). Selain itu, dapat pula digunakan sedian potensi kuat dalam waktu singkat, dianjurkan intermiten (2 kali per minggu) dikombinasikan dengan penggunaan pelembab. Sedian salep
biasanya lebih poten, paling oklusif, paling sedikit
mengandung pengawet. Selain itu sangat bagus sebagai penghantar obat dan kurang terjadi penguapan. Salep harus dihindari pada lesi terbuka atau membasah dan pada area lipatan. Juga sebaiknya tidak digunakan pada kondisi panas serta lembab. Sediaan krim biasanya disenangi terutama pada cuaca panas, ketat dan lembab karena lebih mudah dioleskan, namun dapat mencetuskan dermatitis kontak alergi karena mengandung pengawet, sedangkan solusio bisa dipakai untuk kulit kepala atau daerah berambut lainnya. Frekuensi pengolesan secara umum disarankan dua kali sehari, bisa dikurangi pada area fleksura atau ditambah misalnya untuk tangan (Koll, et al., 2004). Penelitian menunjukkan secara umum KT aman serta efektif untuk terapi DA pada penggunaan hingga maksimal 4 minggu, namun KT potensi kuat dianjurkan tidak digunakan lebih dari 2 minggu. Untuk mengurangi toksisitas harus digunakan dalam jangka waktu sesingkat mungkin (Koll, et al., 2004). Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk kasus parah dan membandel atau eksaserbasi akut, sebaliknya pemakaian dalam waktu sesingkat mungkin (≤ 3 minggu), bila masih diperlukan disarankan dosis minimal diberikan secara selangseling saja (Buys, 2007).
20
2.8.3. Antihistamin Antihistamin oral yang bekerja menghambat reseptor H1, dapat mengurangi keluhan pruritus (gatal) akan tetapi histamin hanyalah salah satu dari berbagai mediator pruritus pada DA, sehingga beberapa penderita memperoleh manfaat yang minimal dari sedian ini. Beberapa antihistamin juga memiliki efek ansiolitik dan dapat memperbaiki keluhan melalui efek sedatif. Antihistamin non sedasi bisa bermanfaat bagi penderita DA yang disertai urtikaria atau rinitis alergika (James, et al., 2006). 2.8.4. Antibiotika Penggunaan antibiotika anti Staphylococcus bermanfaat bagi penderita yang terinfeksi atau terdapat kolonisasi Staphylococus aureus yang banyak. Sediaan topikal seperti mupirosin atau asam fusidat atau sedian oral seperti sefalosporin atau penisilin. Bila resisten terhadap penisilin dapat diberikan dikloksasilin, oksasilin, atau kloksasilin. Dapat dipertimbangkan penggunaanya tergantung luasnya lesi serta derajat keparahan infeksi, juga terdapat penelitian yang menunjukkan penggunaan kombinasi antibiotika topikal dan kortikosteroid memberikan hasil yang memuaskan (Jacyk, et al., 1991). 2.8.5. Imunosupresan Sistemik Siklosporin merupakan suatu imunosupresan poten yang bekerja utamanya pada sel T dengan menekan transkripsi sitokin, dalam jangka pendek bermanfaat bagi penderita DA yang parah dan membandel. Obat ini berikatan dengan cyclopilin yang merupakan suatu protein intraseluler dan kompleks ini akan menghambat kalsineurin suatu molekul yang dibutuhkan untuk inisiasi transkripsi gen sitokin. Terdapat beberapa variasi regimen yang telah digunakan. Dosis yang disarankan 5mg/kg dan
21
diturunkan menjadi 1-2mg/kg.
Bila ada perbaikan klinis sudah tercapai dapat
digunakan dosis 2,5-5mg/kg/hari. Kelemahan sedian ini adalah efek samping jangka panjangnya serta kecenderungan untuk kekambuhan segera setelah terapi dihentikan (Albanesi, et al., 1999). Azathioprin yang bekerja menghambat sintesis DNA dan RNA berguna untuk kasus yang rekalsitran melalui efek imunosupresif dan sitotoksik. Dosis 2,5mg/kg/hari atau 50mg dua kali sehari. Akan tetapi penggunaanya sangat dibatasi oleh karena efek sampingnya yang signifikan (Gudjonsson, et al., 2004). Metotreksat merupakan suatu anti metabolit asam folat dengan efek inhibisi poten pada sintesa sitokin dan kemotaksis sel, telah digunakan pada penderita DA dengan kondisi yang parah serta tidak responsif terhadap modalitas terapi lain (Albanesi, et al., 2000). 2.8.6. Fototerapi Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi manfaat fototerapi bagi penderita DA. Saat ini dapat disimpulkan bahwa fototerapi pilihan untuk DA akut yang parah adalah UVA-1 dosis tinggi atau PUVA sebagai monoterapi sedangkan untuk DA yang kronis derajat sedang pilihannya adalah narrow band UVB (311nm UVB) , UVA-1 dosis rendah, broad band UVB, broad band UVA kombinasi dengan glukokortikoid. Secara umum pilihan jenis fototerapi dan dosisnya bergantung pada tipe DA, derajat keparahan serta lokasi lesi. Sedangkan target dari fototerapi UVA adalah sel langerhans dan eosinofil, sedangkan UVB menghasilkan efek imunosupresif dengan menghambat fungsi sel langerhans penyaji antigen serta mengganggu produksi sitokin keratinosit. Penelitian lebih dalam menunjukkan
22
fototerapi UVA-1 memicu apoptosis pada sel T yang menginfiltrasi kulit sehingga terjadi penurunan infiltrat inflamasi (Krutmann, 2000). 2.8.7. Inhibitor Kalsineurin Topikal Takrolimus dan pimekrolimus topikal adalah suatu inhibitor kalsineurin telah dikembangkan sebagai imunomodulator non steroid yang dapat bermanfaat sebagai alternatif kortikosteroid topikal. Sedian ini menghambat kalsineurin di kulit sehingga terjadi hambatan aktivasi awal dan proliferasi sel T serta pelepasan berbagai sitokin dari Th1 dan Th2. Keuntungan dari sediaan ini adalah tidak menimbulkan atrofi kulit sehingga sangat berguna khususnya untuk daerah wajah termasuk kelopak mata, intertriginosa, selain itu hanya diabsorpsi secara minimal ke dalam darah. Salep takrolimus 0,03% dua kali sehari disarankan untuk terapi DA derajat sedang hingga parah pada anak usia dua tahun ke atas atau dewasa, sedangkan salep takrolimus 0,1% lebih disarankan untuk dewasa. Krim pimekrolimus 1% digunakan untuk anak usia dua tahun keatas yang menderita DA derajat ringan hingga sedang. Selama penggunaanya disarankan menggunakan tabir surya (Krutmann, 2000). 2.8.8. Pelembab dominan seramid Sedian yang baru digunakan saat ini adalah pelembab yang mengandung dominan seramid. Fungsi sawar kulit yang optimal membutuhkan adanya lipid ekstraseluler yang cukup membentuk system lamellar bilayer yang kompeten. Abnormalitas sawar kulit pada DA berhubungan dengan turunnya lemak stratum korneum secara global, terutama fraksi seramid. Sediaan topikal yang mengandung campuran seramid, kolesterol dan asam lemak bebas dalam proporsi optimal (3:1:1) dapat mempercepat perbaikan sawar kulit. Perawatan kulit dengan terapi topikal untuk menggantikan
23
lipid epidermis akan memperbaiki hidrasi kulit dan mengurangi gangguan sawar kulit (Leung, et al., 2008). 2.9
Prognosis
Laporan mengenai prognosis bervariasi. Terdapat kecenderungan secara umum adanya perbaikan secara spontan semasa anak-anak, dan sering kambuh ringan pada masa remaja. Sebesar 40-60% menyembuh dalam 10-20 tahun, 84% dalam 5-20 tahun, dan 50% dalam 10 tahun. Sebesar 30-50% dermatitis atopik infantil kemudian akan mengalami asma atau hay fever (Leung, et al., 2008).
2.10
Eosinofil dan Eosinophil Cationic Protein (ECP)
2.10.1
Eosinofil
Eosinofil, seperti halnya basofil dan netrofil, merupakan granulosit yang berasal dari sumsum tulang, dan dapat dibedakan dari keduanya berdasarkan afinitasnya yang kuat terhadap bahan pewarna eosin. Sel ini dibentuk dari sel induk yang sama dengan netrofil dan basofil (Terr, 2001). Usia eosinofil relatif pendek; maturasi pada sumsum tulang memakan waktu 2-6 hari, usia dalam sirkulasi 6-12 jam, dan kemudian berada dalam jaringan selama beberapa hari. Jumlah eosinofil darah yang bersirkulasi mencapai 1-3% lekosit yang bersirkulasi, suatu jumlah yang sangat kecil dari total simpanan eosinofil tubuh. Diperkirakan untuk setiap eosinofil yang bersirkulasi didapatkan ± 200 matur pada sumsum tulang dan 500 eosinofil pada jaringan konektif di seluruh tubuh. Growth factors hematopoetik
seperti GM-CSF, IL-3, dan IL-5 merupakan faktor yang
penting pada regulasi eosinofil (Terr, 2001).
24
Nukleus eosinofil bilobus dan tidak memiliki nukleolus. Gambaran paling khas adalah terdapatnya granul dalam sitoplasmanya. Pada setiap eosinofil manusia terdapat ± 200 granul sitoplasma sekunder, sepersepuluh jumlah yang didapatkan pada netrofil. Eosinofil juga memiliki granul primer yang ditemukan pada promielosit. Eosinofil manusia sedikit lebih besar dari netrofil, Ø 13-17 μm. Granula biasanya sferis atau bulat lonjong dengan Ø 0,5 μm (Terr, 2004). Eosinofil mengekspresikan beberapa protein membran dan reseptor. Adanya berbagai reseptor tersebut membuat eosinofil mampu untuk mengenali dan mengikat partikel antigen yang dilapisi IgE, IgG atau derivat komplemen. Ikatan tersebut menimbulkan aktivasi eosinofil, yang ditandai dengan : a. Peningkatan jumlah reseptor komplemen, Fc permukaan dan penanda permukaan lainnya b. Peningkatan metabolisme oksidasi dan meningkatkan aktivitas sitotoksik c. Sintesa dan pelepasan leukotrin C4 derivat arakidonat dan mediator proinflamasi lain d. Produksi dan pelepasan autokrin (IL-3, IL-5 dan GM-CSF) dan sitokin inflamasi akut (IL-1α, IL-6, IL-8, TNF α) Aktivasi eosinofil juga bisa ditimbulkan oleh kontak dengan sel endotel yang teraktivasi, limfokin yang berasal dari sel T (GM-CSF, IL-3, dan IL-5), atau dengan monokin seperti IL-1 dan TNFα (Terr, 2004). Interleukin-5 merupakan eosinofilopoeitin dan basofilopoeitin. IL-5 akan meningkatkan lama hidup, respon migrasi dan fungsi efektor eosinofil, serta meningkatkan adhesi eosinofil ke sel endotel (Thomas, et al., 2000).
25
Eosinofil nampak dalam jumlah yang besar pada daerah inflamasi dan sebagai respon terhadap infeksi parasit. Eosinofil berperan dalam sistem regulasi yang memediasi respon inflamasi. Sekitar 1 persen dari populasi eosinofil bersirkulasi di dalam darah. Sitokin berupa IL-3, IL-5, dan Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GM-CSF) meningkatkan perkembangan dan aktivasi eosinofil. Faktor kemotaktik seperti eotaxin, leukotrien, dan histamin menarik eosinofil menuju daerah inflamasi. Aktivasi eosinofil diikuti oleh kondisi inflamasi seperti asma bronkial, dermatitis atopik, rinitis, konjungtivitis alergi, infeksi bakteri dan penyakit autoimun (Kelly, 1999). Eosinofil yang teraktivasi secara khas masih polimorfonuklear, sering berbentuk motil, dan menunjukkan peningkatan jumlah badan lemak, vesikula, tubula, dan glikogen pada sitoplasmanya; granul spesifik mengeluarkan kandungan matriks dan inti, atau dilepaskan ke sekeliling sel (Murat-Sušic, et al., 2006). Granul-granul kristaloid eosinofil dikeluarkan dari sel melalui 3 mekanisme potensial, yaitu secara disintegrasi nekrotik sel atau ’sitolisis’, piecemeal degranulation dan compound exocytosis. Dua mekanisme pertama paling sering tampak pada biopsi jaringan penderita-penderita dengan inflamasi eosinofilik (Lacy, et al., 2000). Aktivasi eosinofil merubah morfologi dan fungsi eosinofil, dan disebut sebagai hypodense. Eosinofil yang teraktivasi dapat memfagosit berbagai partikel secara in vitro (termasuk bakteri, jamur, mikoplasma, partikel inert, dan kompleks antigen-antibodi), tetapi fungsinya sebagai fagosit secara in vivo masih belum pasti (Terr, 2001).
26
Gambar 2.2 Efek dari eosinofil (dikutip dari Rothenberg, 2009). Eosinofil menanggapi beragam rangsangan, termasuk cedera non spesifik jaringan, infeksi, alergi, dan tumor. Selain mengeluarkan protein kationik, eosinofil juga memproduksi berbagai sitokin, kemokin, mediator lipid, dan neuromodulator. Eosinofil berkomunikasi secara langsung dengan sel T dan sel mast secara dua arah. Eosinofil dapat melepaskan DNA mitokondria, yang berfungsi sebagai perangkap ekstraseluler untuk bakteri. Eosinofil yang diturunkan TGF-β menginduksi fibrosis (Rothenberg, 2009). Terdapat tiga macam granul pada sitoplasma eosinofil. Granul primer berbentuk bulat, padat elektron merata, dan didapatkan pada promielosit eosinofil. Granul sekunder mempunyai inti padat elektron yang tersusun atas kisi-kisi kristal,
27
dan matriks yang kurang padat elektron. Granula ketiga kecil, mengandung acid phosphatase dan arysulfatase (Leiferman, 2001; Terr, 2001). Didalam granul sekunder telah diketemukan beberapa protein, yaitu major basic protein (MBP), eosinofil cationic protein (ECP), eosinofil-derived neurotoxin (EDN), dan eosinofil peroksidase (EPO). Protein tersebut dibedakan atas sifat fisik, genetik-molekul dan sifat biologisnya (Thomas, et al., 2000). a. Major Basic Protein (MBP) : meliputi sebagian besar protein granul, berat molekul (BM) 14.000, kaya arginin, sangat basa dengan titik isoelektrik pada pH 10,9. Protein ini terdapat pada bagian inti granula. MBP telah ditemukan pada basofil, mastosit, tetapi tidak pada sel plasma, limfosit, atau netrofil. Bersifat toksin poten bagi cacing (helmintotoksin), sel tumor dan berbagai sel mamalia, dan diketahui dapat menginduksi pelepasan histamin dari basofil dan mastosit. b. Eosinofil Cationic Protein (ECP) : terletak pada bagian matriks. Kaya arginin, titik isoelektrik pada pH 11, BM 21.000, mempunyai aktivitas ribonuklease. Merupakan helmintoksin dan neurotoksin yang poten, dapat menghambat proliferasi limfosit, memperpendek waktu koagulasi plasma dan meningkatkan aktivasi urokinase-induced plasminogen. c. Eosinofil-derived Neurotoxin (EDN) : terletak pada bagian matriks, merupakan neurotoksin poten dan dapat merusak neuron bermielin. BM 18.000 dan 60% susunan asam amino terminalnya menyerupai ECP. Mempunyai aktivitas ribonuklease. d. Eosinofil Peroksidase (EPO) : terdapat pada bagian matriks. Terdiri dari 2 subunit dengan titik isoelektrik pada pH 11, BM 77.000, kaya arginin, leusin, dan asam
28
aspartat. Bila dikombinasi dengan peroksida dan halida dapat menyebabkan kematian bakteri, cacing dan sel tumor. Efek EPO juga menyebabkan leukotrin tidak aktif dan pada konsentrasi rendah dapat menyebabkan degranulasi mastosit sehingga terjadi pelepasan histamin.
2.10.2 Eosinofil Cationic Protein dan dermatitis atopik Pada awal tahun 1980, Major Basic Protein (MBP) mulai digambarkan sebagai bagian dari eosinofil yang bersifat toksik dan meliputi sebagian besar kandungan protein sel. Penelitian terhadap 16 penderita dermatitis atopik dan orang normal menunjukkan bahwa orang normal memiliki jumlah eosinofil normal dan kadar MBP yang rendah pada darah perifer, sedangkan lebih dari separuh penderita dermatitis atopik memiliki
jumlah eosinofil
yang meningkat.
Deteksi
MBP
secara
imunohistologi kemudian diteliti sebagai tanda degranulasi eosinofil, dan membuktikan bahwa pada kulit penderita dermatitis atopik terdapat deposit MBP (Leiferman, 2001). Terdapat beberapa pendapat mengenai proses degranulasi eosinofil, yaitu : a. Eosinofil mengalami degranulasi pada jaringan dan terjadi ”perembesan” granul protein eosinofil ke dalam sirkulasi. Eosinofil pada jaringan mungkin tidak dapat dikenali lagi secara morfologis karena telah mengalami degranulasi. b. Didapatkannya kadar granul protein yang tinggi pada darah perifer dan low density eosinophil pada darah perifer penderita dermatitis atopik menunjukkan bahwa deposit granul protein pada dermis kemungkinan akibat merembesnya
29
granul protein tersebut dari eosinofil yang teraktivasi dalam sirkulasi (Leiferman, 2001). Deposit ekstraseluler yang nyata dari granul protein eosinofil pada lesi dermatitis atopik dan peningkatan granul protein pada darah perifer yang berhubungan dengan aktivitas penyakit mengesankan bahwa protein-protein yang berkaitan granul tersebut dilepaskan dari eosinofil selama proses penyakit. Pada reaksi fase lambat yang diperantarai IgE, deposit granul protein eosinofil ekstraseluler sesuai dengan kehancuran eosinofil dan granul bebas pada jaringan yang tampak pada pemeriksaan mikroskop elektron (Dhar, et al., 2005; Leiferman, 2006). Fungsi granula protein eosinofil dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi parasit dengan membentuk pori-pori membran luar yang mematikan bagi parasit. Peneliti mendapatkan bahwa hanya eosinofil teraktivasi yang melepaskan elemen granuler, sehingga diduga level dari protein yang bersirkulasi dalam darah dapat dijadikan menjadi penanda spesifik kondisi inflamasi akut dibandingkan jumlah eosinofil itu sendiri. Walaupun level ECP yang bersirkulasi dapat bervariasi pada tiap pasien, beberapa penelitian menunjukkan kegunaan dari pengukuran level serum ECP sebagai penanda inflamasi. Konsentrasi ECP dalam plasma dan cairan tubuh lainnya meningkat selama reaksi inflamasi. Toksisitas neuronal ECP mungkin berperanan terhadap terjadinya rasa gatal dan konsentrasi ECP yang bersirkulasi dalam darah menggambarkan tingkat keparahan dari beberapa penyakit kulit. Pasien dengan erupsi papul eritematosa dan prurigo nodularis menunjukkan peningkatan level serum ECP yang akan kembali normal saat penyakit sembuh. Beberapa penelitian menunjukkan
30
bahwa konsentrasi ECP dalam serum merefleksikan derajat keparahan dermatitis atopik (Kelly, 1999). Eosinophil cationic protein (ECP) dikatakan lebih efektif daripada MBP. Hubungan antara jumlah eosinofil pada darah perifer dengan kadar ECP bervariasi. Kadar ECP serum tidak berhubungan dengan kadar IgE serum, dan kadar ECP serum meningkat pada penderita dermatitis atopik yang tidak disertai peningkatan IgE (Dhar, et al., 2005). Penelitian Chezh dan Krutmann (2002) terhadap 19 penderita dermatitis atopik menunjukkan bahwa kadar ECP meningkat pada penderita dermatitis atopik dan berkorelasi dengan total skor klinis dermatitis atopik yang dihitung berupa adanya likenifikasi, gangguan tidur, eritema, papul, rasa gatal dan ekskoriasi (Czech, et al., 2002).
31
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir Eosinofil teraktivasi melalui berbagai proses seperti cedera jaringan, paparan alergen, infeksi, dan aktivitas tumor.
Eosinofil yang teraktivasi akan mensekresikan
leukotrien, prostaglandin, bradikinin, berbagai sitokin, enzim, dan berbagai protein toksik dari granula-granulanya diantaranya eosinophil cationic protein (ECP) yang memegang peranan penting dalam perkembangan inflamasi. Inflamasi merupakan salah satu faktor yang memperberat gejala klinis dari penderita dermatitis atopik, selain peran dari faktor instrinsik dan ekstrinsik. Untuk mengetahui derajat keparahan penyakit, terdapat sistem indeks Scoring Atopic Dermatitis (SCORAD), sistem ini mengkombinasikan penentuan dari luasnya penyakit yang menggunakan rule of nine dengan enam ciri utama dari internsitas penyakit yakni: eritema, edema, krusta, ekskoriasi, likenifikasi dan kulit kering (dryness). Kulit kering dievaluasi pada kulit yang tidak beradang. Skor yang tinggi menunjukkan penyakit yang lebih parah. Penelitian ini dilakukan untuk mencari hubungan antara kadar ECP dalam serum dengan derajat keparahan penderita dermatitis atopik.
32
3.2 Konsep
Cedera jaringan, infeksi, alergen, tumor
Eosinofil teraktivasi
ECP
Prostaglandin Leukotrien
Radang / Inflamasi
Faktor intrinsik - Genetik - Kelainan fisiologi dan biokimia kuilit
Dermatitis Atopik
Sitokin (TNF α, IL-4, IL-5,IL-13, IL-12, IL-17, IL-18)
Faktor ekstrinsik - Lingkungan - Trauma - Infeksi
SCORAD
Keterangan : Diteliti
Tidak diteliti
3.3 Hipotesis 1.
Kadar Eosinophil Cationic Protein (ECP) dalam serum berbeda pada berbagai tingkat keparahan pada penderita dermatitis atopik di RSUP Sanglah, Denpasar.
2.
Kadar Eosinophil Cationic Protein (ECP) berkorelasi positif dengan derajat keparahan pada penderita dermatitis atopik di RSUP Sanglah, Denpasar.
33
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah cross-sectional (potong-lintang) analitik yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kadar ECP serum dengan derajat keparahan penderita dermatitis atopik RSUP Sanglah, Denpasar. Secara skematis rancangan penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.1 di bawah ini:
Peningkatan kadar ECP (+) Populasi/ Sampel Peningkatan kadar ECP (-)
Peningkatan SCORAD (+) Peningkatan SCORAD (-) Peningkatan SCORAD (+) Peningkatan SCORAD (+)
Gambar 4.1. Rancangan cross-sectional
4.2 Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Divisi Alergi-Imunologi Poli Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar. Pemeriksaan ECP serum dilakukan di laboratorium klinik Prodia, Denpasar. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus-September 2013.
34
4.3 Populasi Penelitian 1.
Populasi target adalah semua penderita DA.
2.
Populasi terjangkau adalah semua penderita DA yang berkunjung di Poliklinik Kulit dan Kelamin Divisi Alergi-Imunologi RSUP Sanglah, Denpasar dalam periode bulan Agustus – September 2013.
4.4 Sampel Penelitian Sampel dalam penelitian ini adalah penderita DA yang memenuhi kriteria penerimaan sampel yang berobat di Poli Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah, Denpasar. 4.4.1 Kriteria Inklusi a. Penderita DA baru atau lama yang memenuhi kriteria diagnosis DA menurut kriteria Hanafin dan Rajka. b. Berumur 14 sampai 50 tahun. c. Keadaan umum penderita baik. d. Bersedia diikutkan dalam penelitian dengan menandatangani inform consent oleh penderita. 4.4.2 Kriteria Eksklusi a. Menolak ikut dalam penelitian. b. Menderita urtikaria atau sindroma hipereosinofilia idiopatik berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik. c. Menggunakan kortikosteroid dan antihistamin baik sistemik maupun topikal dalam seminggu terakhir.
35
4.4.3 Besar Sampel Besar sampel adalah semua penderita yang memenuhi kriteria penerimaan sampel yang datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah, Denpasar. Besar sampel dihitung berdasarkan rumus : (Machine, et al., 1997; Madiyono, et al., 2010)
2 Z½α + Z β n =
+ 3 0,5 ln
1+r 1- r
n
: besar sampel
Zα
: besarnya 1,96 pada tingkat kemaknaan α = 0,05
Zβ
: besarnya 1,282 pada tingkat kemaknaan 10%
r
: korelasi, yaitu sebesar 0,5
2 1,96 + 1,282 n =
+ 3 0,5 ln
= 29,02 ~ 30 orang
1 + 0,50 1 - 0,50
Besar sampel dihitung berdasarkan asumsi koefisien korelasi terkecil (r) yang dianggap signifikan adalah 0,5, dengan tingkat kemaknaan deviat baku alfa 0,05 yang besarnya 1,96 dan tingkat kemaknaan deviat baku beta yang besarnya 1,282. Dengan
36
rumus di atas, diperlukan sampel minimal sebanyak 30 orang. Untuk menghindari lost to follow up jumlah sampel minimal ditambah 25% menjadi 37,5 dibulatkan menjadi 38 orang. 4.4.4
Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan cara consecutive sampling dengan mengambil setiap penderita yang didiagnosis sebagai dermatitis atopik yang memenuhi
kriteria
penerimaan
sampel
penelitian
serta
telah
menyatakan
kesediaannya mengikuti penelitian sampai sejumlah 38 orang, namun yang diikutsertakan dalam analisis adalah 36 orang, dimana 2 orang disimpan sebagai cadangan apabila ada yang lost to follow up.
4.5 Variabel Penelitian 1. Variabel tergantung : Dermatitis Atopik 2. Variabel bebas : ECP 3. Variabel perancu : Urtikaria, sindroma hipereosinofilia idiopatik, pengguna kortikosteroid topikal maupun sistemik dan antihistamin. Variabel tergantung
Variabel bebas
Variabel perancu
Gambar 4.2. Hubungan antar variabel
37
4.5.1 Definisi Operasional Variabel a. Dermatitis Atopik : adalah suatu penyakit keradangan kulit yang kronik, ditandai dengan rasa gatal, eritema, edema, vesikel, dan erosi pada stadium akut, tetapi pada stadium kronik ditandai dengan penebalan kulit (likenifikasi). Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis dari Hanafin dan Rajka (1981) seperti terlampir pada daftar Lampiran 1. b. Eosinophil Cationic Protein (ECP) : salah satu granul protein yang dikeluarkan oleh eosinofil, kadarnya dalam serum diukur dengan metode ELISA menggunakan ECP ELISA kit Code No.7618 E dari MBL Medical & Biological Laboratories Co. Ltd Japan. Pembacaan menggunakan panjang gelombang 450 nm dan konsentrasi dikalibrasi dengan kurva standar berdasarkan
referensi
standar. Hasil dinyatakan dengan satuan ng/ml. Pemeriksaan dilakukan di Laboratorium Prodia Denpasar. c. Derajat Keparahan Dermatitis Atopik : derajat keparahan penderita DA pada penelitian ini dinilai dengan sistim SCORAD, yang terdiri dari dari beberapa kriteria: 1.
Luasnya lesi Menggunakan rule of nine, yang dinyatakan dalam persentase (0-100).
2.
Intensitas lesi Kriteria ini meliputi eritema, edema/papulasi, krusta, ekskoriasi, likenifikasi, dan xerosis, yang dinilai dengan skor 0-3.
38
3.
Keluhan penderita Dua kriteria yang mencerminkan keluhan subyektif penderita DA yaitu gatal dan
gangguan tidur, dinyatakan dalam skor 0-10 untuk masing-masing
kriteria. Dari ketiga kriteria di atas dapat dihitung SCORAD dengan rumus A/5 + 7B/2 +C. Pada penelitian ini derajat keparahan DA dapat dibagi dalam 3 kategori, yaitu : Ringan : < 25, Sedang : 25 – 50, dan Berat : >50. d. Urtikaria : reaksi vaskuler yang timbul mendadak dengan gambaran lesi eritem, edema, sering disertai rasa gatal, dan sering hilang timbul dalam 24 jam. e. Sindroma hipereosinofilia : penyakit hematologik yang ditandai dengan : 1. Persisten eosinofilia > 1500/mm3 lebih dari 6 bulan 2. Tidak ditemukan penyebab eosinofilia 3. Keluhan dan gejala organ, termasuk hepatoslenomegali, murmur jantung, gagal jantung kongestif, abnormalitas sistem saraf, fibrosis paru, febris dan anemia. f.
Pengguna kortikosteroid topikal dan sistemik : subjek dengan riwayat sedang atau pernah mengkonsumsi obat kortikosteroid dalam kurun waktu lebih dari atau sama dengan satu minggu sebelumnya, diperoleh melalui teknik wawancara.
g.
Pengguna antihistamin : subjek dengan riwayat sedang atau pernah mengkonsumsi obat antihistamin dalam kurun waktu lebih dari atau sama dengan satu minggu sebelumnya, diperoleh melalui teknik wawancara.
39
4.6
Bahan dan Instrumen Penelitian
4.6.1
Alat dan cara kerja
a.
Sarung tangan
b.
Kapas Alkohol
c.
Tabung vacutainer SST
d.
ECP ELISA kit Code No.7618E dari MBL Medical & Biological Laboratories Co.Ltd Japan, terdiri dari : 1.
Microplate reader, botol / cawan pencuci, micropipet, 96-well polyvinyl plate, reagent vessel, air destilata
2.
Microwell strips dilapisi dengan antibodi anti-human ECP, standar ECP, assay diluent, reagen konjugat, antibodi ECP poliklonal, konsentrasi pencuci, reagen substrat, cairan penghenti reaksi
e.
Lembar pengumpul data
4.6.2
Cara Pemeriksaan ECP
Prinsip : Tabung reaksi dilapisi dengan antibodi monoklonal anti-himan ECP, sampel yang akan diukur diinkubasi. Setelah dicuci, suatu antibodi poliklonal anti-human ECP yang terkonjugasi dengan peroksidase ditambahkan ke dalam tabung reaksi dan diinkubasi. Setelah dicuci lagi, substrat peroksidase dicampurkan dengan kromogen dan diinkubasi. Suatu cairan asam ditambahkan ke dalam tabung reaksi untuk mengakhiri reaksi enzimatik dan menstabilkan warna yang terjadi. Optical Density (OD) masing-masing tabung reaksi kemudian diukur pada 450 nm dengan microplate reader. Konsentrasi ECP dikalibrasi dengan kurva standar berdasarkan standar referensi.
40
4.7 Alur Penelitian Alur penelitian dimulai dengan pemilihan penderita berdasarkan kriteria penerimaan sampel dengan menandatangani surat persetujuan / inform consent. Pada penderita dilakukan anamnesis dan pemeriksaan klinis, ditentukan apakah menderita DA sesuai dengan kriteria Hanafin dan Rajka atau tidak, serta dilakukan pemeriksaan klinis derajat keparahan DA dengan menggunakan SCORAD index. Kemudian dilakukan pengambilan darah untuk mengetahui kadar Eosinophil Cationic Protein (ECP) penderita tersebut. Data dan hasil yang didapat dimasukkan dalam lembar pengumpul data dan dilakukan analisa data.
Populasi target
Populasi terjangkau Kriteria inklusi
Kriteria eksklusi Sampel Penelitian cross sectional
DATA PENELITIAN (Kadar ECP dan derajat keparahan DA) Analisis statistik
Gambar 4.2. Alur Penelitian
41
4.8.
Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis data untuk penelitian observasional analitik: 1.
Pertama dilakukan analisis statistik deskriptif, analisis ini berguna untuk menggambarkan karakteristik umum dan distribusi variabel yaitu: umur, jenis kelamin, kadar ECP serum, dan derajat keparahan DA.
2.
Dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan uji normalitas Saphiro-Wilk.
3.
Dilakukan analisis komparasi menggunakan uji Kruskal-Wallis.
4.
Kemudian dilakukan analisis korelasi dengan uji korelasi Spearman.
42
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian Karakteristik subjek penelitian ini meliputi jenis kelamin, umur, dan derajat keparahan DA, data secara detailnya disajikan pada Tabel 5.1. Tabel 5.1. Karakteristik subjek penelitian No 1
2
3
Karakteristik Jenis kelamin - Perempuan - Laki-laki Umur subjek (tahun) - 16-29 - 30-39 - 40-50 SCORAD - Ringan - Sedang - Berat
Jumlah
Persentase valid
Persentase kumulatif
25 11
69.4 30.6
69.4 100.0
22 13 1
61.1 36.1 2.8
61.1 97.2 100.0
14 17 5
38.9 47.2 13.9
38.9 86.1 100.0
5.2. Kadar Eosinophil Cationic Protein dan Keparahan Dermatitis Atopik Adapun variabel penelitian yang dianalisis pada penelitian adalah kadar ECP dan keparahan DA. Data karakteristik dan distribusi frekuensi variabel kadar ECP dan keparahan DA, disajikan pada Tabel 5.2.
43
Tabel 5.2. Karakteristik dan distribusi frekuensi kadar ECP dan keparahan DA Parameter
Kadar ECP serum
Keparahan
(ng/mL)
(SCORAD)
Nilai rata-rata
35,346
31,183
Median
28,999
26,500
Standar deviasi
31,136
9,671
Varian
969,497
93,537
Skewness ± SE
1,743 ± 0,393
1,268 ± 0,393
Kurtosis ± SE
4,181 ± 0,768
0,362 ± 0,768
Nilai maksimum – minimum
150,858-1,821
52,5 – 21,9
Nilai p
0,001
0,000
Sebaran kadar ECP serum pada subjek penelitian dalam gambaran histogram, disajikan pada Gambar 5.1 Terdapat data outlier di luar nilai rata-rata kadar ECP pada box plot, disajikan pada Gambar 5.2.
Gambar 5.1. Sebaran kadar ECP serum pada subjek penelitian
44
Gambar 5.2. Box plot kadar ECP serum pada dermatitis atopik Data karakteristik dan distribusi skor derajat keparahan DA (SCORAD) pada penderita DA, disajikan pada Tabel 5.2. Sebaran nilai SCORAD dalam gambaran histogram, dan tidak terdapat data outlier pada box plot, disajikan pada Gambar 5.3 dan Gambar 5.4.
Gambar 5.3. Sebaran keparahan DA berdasarkan SCORAD
45
Gambar 5.4. Box plot Keparahan DA berdasarkan SCORAD Terdapat perbedaan nilai rata-rata kadar ECP pada setiap derajat keparahan DA baik ringan, sedang dan berat dan bermakna secara statistik dengan Uji KruskalWallis (p = 0,000), disajikan pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3. Kadar ECP serum berdasarkan kategori SCORAD Kategori SCORAD
Frekuensi
Ringan Sedang Berat
14 17 5
Rangking rata-rata (ng/mL) 11,36 21,35 28,80
Nilai p
0,002*
Keterangan : * Uji Kruskal-Wallis
5.3 Uji Normalitas Data Untuk menentukan uji statistik yang digunakan maka dilakukan uji normalitas data meliputi umur, kadar ECP serum dan SCORAD. Uji normalitas dilakukan dengan
46
menggunakan uji Saphiro-Wilk sebab jumlah sampel kurang dari 50 (Dahlan, 2008). Hasil uji normalitas disajikan pada tabel 5.4.
Tabel 5.4. Uji normalitas dengan Saphiro-Wilk
Umur ECP SCORAD
Statistik 0.968 0.846 0.782
df 36 36 36
Nilai p 0.381 0.000 0.000
Berdasarkan hasil uji normalitas maka diketahui bahwa data umur berdistribusi normal, karena memiliki nilai p lebih besar dari 0,05. Data ECP dan SCORAD didapatkan berdistribusi tidak normal, yang ditunjukkan dengan nilai p yang kurang dari 0,05.
5.4. Uji Korelasi Variabel yang dianalisis (kadar ECP dan severitas DA) merupakan variabel numerik, sehingga analisis korelasi yang digunakan adalah uji parametrik. Syarat untuk dilakukan uji parametrik adalah semua data harus berdistribusi normal. Data variabel tersebut tidak berdistribusi normal pada uji normalitas Shaphiro-Wilk. Penelitian ini menggunakan uji non parametrik untuk mengetahui korelasi antara kadar ECP serum dan derajat keparahan DA. Uji non parametrik yang digunakan adalah analisis korelasi Spearman’s rho (Dahlan, 2008; Pangkahila, 2010).
47
5.3.1. Korelasi antara kadar Eosinophil Cationic Protein serum dan derajat keparahan dermatitis atopik Analisis korelasi Spearman’s rho digunakan untuk mengetahui korelasi antara kadar ECP serum dan derajat keparahan DA. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang kuat (r = 0,639; p = 0,000) antara kadar ECP serum dan severitas DA, disajikan pada Tabel 5.5. Gambaran scatter plot hasil korelasi tersebut, disajikan pada Gambar 5.5.
Tabel 5.5. Korelasi antara kadar ECP serum dan keparahan dermatitis atopik Uji Korelasi Spearman rho
Parameter Korelasi antara kadar ECP serum dan keparahan DA
** Correlation is significant at the 0,01 level.
Koefisien korelasi (r) 0,639**
Nilai P 0.000
48
Gambar 5.5. Scatter plot korelasi antara ECP serum dan keparahan DA Pada gambar 5.5 dapat dilihat bahwa terdapat hubungan positif antara variabel 1 yaitu SCORAD dan variabel 2 yaitu ECP. Dimana peningkatan yang terjadi pada variabel 1 yaitu SCORAD akan diikuti oleh peningkatan variabel 2 yaitu ECP dan sebaliknya.
49
BAB VI PEMBAHASAN
6.1. Karakteristik Subjek Penelitian Penelitian ini melibatkan 36 subjek penelitian yang masuk dalam kriteria inklusi, dan tidak ada subjek yang hilang dalam penelitian yang ditunjukkan dengan persentase kumulatif sebesar 100%. Subjek penelitian ini dilakukan pemeriksaan severitas DA dengan metode SCORAD dan pengambilan sampel darah vena untuk pengukuran kadar ECP. Pada Tabel 5.1 tentang karakteristik sosial demografi subjek penelitian, menunjukkan bahwa kejadian DA lebih banyak pada perempuan (69,4%) dibandingkan dengan laki-laki (30,6%), dengan perbandingan antara perempuan dan laki-laki adalah 2,3 : 1. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya. Penelitian oleh (Dina) 2010 di RSUP Sanglah Denpasar ditemukan kejadian DA lebih banyak pada perempuan sebesar 61,5%. Penelitian oleh Artana (2013) di RSUP Sanglah Denpasar juga mendapatkan prevalensi DA pada perempuan yang lebih banyak dibandingkan laki-laki yaitu sebesar 1,6 : 1. Studi DA oleh Tsuboi, et al., 1998, didapatkan kejadian DA pada perempuan (76%) lebih banyak dibandingkan dengan pada laki-laki (24%). Dengan demikian, hasil penelitian ini ditemukan hasil yang sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Dina, Artana dan studi oleh Tsuboi, et al. Hal ini diperkuat dengan angka kejadian DA pada dewasa secara global, menunjukkan kejadian DA pada perempuan lebih banyak dibandingkan laki-
50
laki dengan perbandingan 1,5 : 1. Tidak ada prediposisi genetik pada perempuan untuk lebih rentan terjadi DA (Leung, et al., 2008). Berdasarkan kategori umur, pada penelitian ini didapatkan kejadian DA lebih banyak pada kelompok rentang umur 16-29 tahun, secara detail disajikan pada Tabel 5.1. Studi oleh Dina (2010) di RSUP Sanglah, didapatkan kejadian DA paling banyak pada kelompok umur 30-39 tahun (40,4%) berdasarkan umur. Artana (2010) di RSUP Sanglah mendapatkan kejadian DA paling banyak pada kelompok umur 18-30 tahun. Studi oleh Tsuboi, et al. (1998), didapatkan sebanyak 17 pasien DA yang berumur 16-39 tahun. Kejadian DA berdasarkan umur, pada penelitian ini telah sesuai studi oleh Artana dan Tsuboi, et al. Kejadian DA paling banyak pada kelompok umur ini, kemungkinan karena mempunyai aktivitas yang lebih tinggi, sehingga lebih sering terpapar alergen penyebab atau faktor-faktor pencetus DA lainnya.
6.2 Frekuensi Derajat Keparahan Dermatitis Atopik Berdasarkan pada Tabel 5.1, sebagian besar penderita DA pada penelitian ini didapatkan dengan derajat keparahan ringan (38.9%) dan sedang (47.2%). Hasil penelitian ini sama dengan studi pada DA dan tempat penelitian yang sama oleh Dina (2010), bahwa sebagian besar penderita DA dengan derajat keparahan ringan sebanyak 27 (51,9%) orang. Studi oleh Ando, et al. (2006), ditemukan bahwa sebagian besar penderita DA dengan severitas ringan sebanyak 87 (46%). Hal ini mungkin disebabkan karena sebagian besar penderita adalah perempuan yang berusia muda dan usia produktif sehingga kejadian DA sangat mempengaruhi penampilan
51
dan aktivitas mereka, dimana mereka mengambil keputusan untuk segera berobat walaupun keparahan DA yang mereka derita masih tergolong ringan.
6.3. Kadar Eosinophil Cationic Protein (ECP) pada Dermatitis Atopik Derajat Ringan , Sedang, dan Berat Pada penelitian ini didapatkan perbedaan rerata ECP yang signifikan antara kelompok DA derajat ringan, sedang, dan berat. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.3 dimana didapatkan kecenderungan kadar ECP yang meningkat sesuai dengan peningkatan derajat keparahan dari DA, yaitu penderita DA derajat ringan didapatkan mean rank 11,36 ng/mL, derajat sedang 21,35 ng/mL, dan derajat berat 28,80 ng/mL (p = 0,002). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ardiana (2004), dimana didapatkan perbedaan kadar ECP pada berbagai derajat keparahan dermatitis atopik. Furue, et al. (1999), yang melakukan penelitian pada 43 penderita DA bahwa kadar ECP serum meningkat pada penderita DA derajat sedang dan berat, dan kadar ECP tersebut menurun setelah pengobatan dengan kortikosteroid topikal dan antihistamin. Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa semakin tinggi derajat keparahan DA, maka semakin tinggi rerata kadar ECP. Beberapa tipe dari stimulasi inflamasi dapat menyebabkan degranulasi dari eosinofil. Interaksi dengan molekul adhesi, stimulasi oleh leukotrien B4 (LTB4), platelet activating factor (PAF), interleukin (IL)-5 dan faktor komplemen C5a dan C3a, dapat menyebabkan keluarnya ECP. Selama inflamasi seluruh granula eosinofil akan dilepaskan dari sel yang mengalami kerusakan (Bystrom, 2011).
52
6.4 Korelasi Kadar ECP dengan Derajat Keparahan Dermatitis Atopik Penelitian ini memberikan hasil bahwa kadar ECP serum berkorelasi positif dengan severitas DA (r = 0,639 dan p=0,000), yang berarti terdapat korelasi positif yang kuat antara kadar ECP serum dengan derajat keparahan DA, seperti pada Tabel 5.4. Tingkat korelasi pada penelitian ini lebih kuat (r = 0,639) dibandingkan dengan korelasi pada hipotesis penelitian ini (r = 0,5). Kadar ECP berkorelasi positif dengan derajat keparahan DA berarti semakin tinggi kadar ECP maka semakin tinggi derajat keparahan DA. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian oleh Ardiana (2004), dimana didapatkan hubungan yang bermakna antara kadar ECP serum dengan derajat keparahan DA (r = 0,631 dan p = 0,002), walaupun pengukuran derajat keparahan DA menggunakan kriteria Rajka dan Langeland. Gutgesell (2002), pada penelitian longitudinal terhadap 20 orang penderita DA derajat sedang dan berat selama setahun dengan penentuan derajat keparahan menurut kriteria SCORAD menemukan kecenderungan adanya hubungan antara kadar ECP dengan derajat keparahan tetapi secara statistik tidak bermakna. Murat-Sušic, et al. (2006) tidak menemukan korelasi antara kadar ECP serum dengan SCORAD pada anak-anak. Hal ini dijelaskan karena gejala subjektif seperti pruritus dan gangguan tidur yang merupakan 20% dari total indeks SCORAD sukar untuk dievaluasi pada anak-anak. Nilai aplikatif yang bisa diambil dari hasil penelitian ini adalah bahwa kadar ECP serum dapat digunakan sebagai indikator dalam menilai severitas DA, dan dapat dipertimbangkan sebagai pemeriksaan laboratorium tambahan untuk membantu mengetahui derajat keparahan secara objektif.
53
Kelemahan penelitian ini adalah penelitian ini merupakan penelitian potong lintang sehingga tidak mampu menentukan hubungan sebab akibat (kausatif) bahwa tingginya kadar ECP ini terjadi mendahului atau didahului oleh tingkat derajat keparahan DA. Hubungan sebab akibat ini tidak bisa didapatkan, maka disarankan perlu dilakukan dengan penelitian rancangan kohort prospektif untuk mengetahui hubungan tersebut.
54
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1. Simpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan penelitian ini, maka kesimpulan yang didapat adalah : 1.
Terdapat perbedaan rerata ECP yang signifikan antara kelompok DA derajat ringan, sedang, dan berat.
2.
Terdapat korelasi positif kuat antara kadar ECP serum dan derajat keparahan dermatitis atopik (r = 0,639; p = 0,000). Dimana kadar ECP serum meningkat sesuai dengan peningkatan derajat keparahan dermatitis atopik.
7.2. Saran Adapun saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Pemeriksaan kadar ECP serum dapat dipertimbangkan untuk menilai derajat keparahan DA secara objektif.
2.
Perlu dilakukan penelitian longitudinal yang mengevaluasi kadar ECP sebelum dan sesudah pengobatan, dan dihubungkan dengan derajat keparahan DA.
3.
Penelitian ini tidak mampu menentukan hubungan sebab akibat (kausatif) antara kadar ECP serum dan derajat keparahan DA, sehingga perlu dilakukan penelitian rancangan kohort prospektif.
55
DAFTAR PUSTAKA Abramovits, W. 2005. Atopic Dermatitis. J Am Acad Dermatol; 53: 586-593. Albenesi, C., Cavani, A., Girolomoni, G. 1999. IL-17 is produced by nickel specific T Lymphocytes and regulates ICAM-1 expression and chemokine production in human keratinocytes: synergistic or antagonist effects with IFN-gamma and TNF-alpha. J Immunol; 162: 494-502. Albenesi, C., Scarponi, C., Cavani, A., Fedeerici, M., Nasorri, F., Girolomoni, G. 2000. Interleukin-17 is produced by both Th1 and Th2 lympocytes, and modulates interferon-gamma and interleukin-4 induced activation of human keratinocytes. J Invest Dermatol; 115: 81-87. Amon, U., Memmel, U., Stoll, R., Amon, S. 2000. Comparison of severity scoring of atopic dermatitis values and serum levels of eosinophil cationic protein and mast cell tryptase for routine evaluation of atopic dermatitis. Acta Derm Venereol; 80(4): 284-6. Archer, C.B. 2000. The pathophysiology and clinical features of atopic dermatitis. In: William HC, eds. Atopic dermatitis. The epidemiology, causes and prevention of atopic exzema. Cambrige : Cambridge University Press. p. 25-37. Ardiana, D. 2004. Kadar Eosinophil Cationic Protein serum pada dermatitis atopik (Tesis). Surabaya: Universitas Airlangga. Artana, I.P. 2013. Kadar Malondialdehyde serum dan stres psikologis berkorelasi positif dengan severitas dermatitis atopik (Tesis). Denpasar; Universitas Udayana. Beltrani, V.S. 1999. Managing Atopic Dermatitis. Dermatol nursing; 11(3): 171-185. Bieber, T. 2008. Atopic Dermatitis. N Engl J Med; 358: 1483-94. Bohme, M., Wickman, M., Lennart, N.S., Svartengren, M., Wahgren, C. 2003. Family History and Risk of Atopic Dermatitis in Children up to 4 years. Clin Exp Allergy 2003;33:1226-31. Boniface, K., Diveu, C., Morel, F., Pedretti, N., Froger, J., Ravon, E. 2007. Oncostatin M, Secreted by skin infiltrating T lymphocytes is a potent keratinocyte activator involved in skin inflammation. J Immunol; 178: 461522.
56
Bos, J.D. 2000. Immunology of atopic dermatitis. In : Harper J, Orange A, Prose N, eds. Textbook of Pediatric dermatology. 2nd vol. Oxford : Blackwell Science Ltd: 178-85. Buske-Kirschbaum, A., Geiben, A., Hollig, H., Morschhauser, E., and Hellhammer, D. 2002. Altered Responsiveness of the Hypothalamus-Pituitary-Adrenal Axis and the Sympathetic Adrenomedullary System to Stress in Patient with Atopic Dermatitis. J Clin Endocrinol Metab ; 87: 4245-251. Buys, L.M. 2007. Treatment Options for Atopic Dermatitis. American Fam Physic; 75: 523-28. Bystrom, J., Amin, K., Bishop-Bailey, D. 2011. Analysing the eosinophil cationic protein-a clue to the function of the eosinophil granulocyte. Respiratory Research; 12: 1-20. Czech, W., Krutmann, J., Schopf, E., Kapp, A. 2002. Serum eosinophil cationic protein (ECP) is a sensitive measure for disease activity in atopic dermatitis. British J Dermatol; 126: 351-55. Dahlan, M.S. 2008. Langkah-langkah Membuat Proposal Penelitian Bidang Kedokteran dan Kesehatan. Cetakan I. Jakarta : Sagung Seto. DiCarlo, J.B., McCall, C.O. 2001. Pharmacologic alternatives for severe atopic dermatitis. Int J Dermatol; 40: 82-88. Dhar, S., Malakar, R., Chattopadhyay, S., Dhar, S., Banerjee, R., Ghosh, A. 2005. Correlation of the severity of atopic dermatitis with absolute eosinophil counts in peripheral blood and serum IgE levels. Indian J Dermatol Venereol Leprol; 71: 246-9. Dina, W. 2010. Hubungan kadar Interleukin-17 dengan tingkat keparahan dermatitis atopi di RSUP Sanglah Denpasar (Tesis). Denpasar; Universitas Udayana. Furue, M., Koga, T., Yamashita, N. 1999. Soluble E-selectin and eosinophil cationic protein are distinc serum markers that differentially represent clinical features of atopic dermatitis. British J Dermatol; 140:67-72. Gelfand, E.W., Leung, D.Y.M. 2007. Regulation of Ig E production and the development of allergic responses in different organs. In : Blumenthal MN, Bjorksten B, eds. Genetics of allergy and asthma. Methods for investigative studies. New York : Mercel Dekker, Inc: 63-89. Giminez, M.J.C. 2000. Review article atopic dermatitis. Alergol Imunol Clin; 15: 279-295.
57
Gutgesell, C., Heise, S., Seubert, A. 2002. Clinical and laboratory investigations. Comparison of different activity parameters in atopic dermatitis : correlation with clinical scores. British J Dermatol; 147: 914-9. Hanafin, J.M. 2004. Guideline of Care for Atopic Dermatitis. J Am Acad Dermatol; 50: 391-400. Hanifin, J.M., Rajka, G. 1980. Diagnostic features of atopic dermatitis. Acta Derm Venereol; 92:44–7. Heine, R.G., Hill, D.J., Hosking, C.S. 2008. Role of food allergens in atopic dermatitis. In: Reitamo S et al, eds. Textbooks of atopic dermatitis. Informa Healthcare. 1st ed. United kingdom. p. 1-13. Homey, B., Steinhoff. M., Ruzicka, T., Leung, D.Y. 2006. Cytokines and chemokines orchestrate atopic skin inflammation. J Allergy Clin Immunol; 118:178–89. Jacoeb, T.N.A. 2004. Manifestasi Klinis Dermatitis Atopik Pada Bayi dan Anak. Dalam: Boediardja SA, Sugito TL, Rihatmaja R. Dermatitis Pada Bayi dan Anak. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 5976. Jacyk, W.K., Ungerer, J.P. 1991. Serum lactate dehyrogenase activity in exfoliative dermatitis. J Dermatol; 18:743. James, W.D., Barger, T.G., Elston, D.M. 2006. Andrew’s Disease of The Skin Clinical Dermatology. 10th ed. Canada: Elseivier: 69-90. Kelly, J. 1999. Role of ECP in monitoring inflammatory condition. Diagnostic Product Corporation. Available from: URL: http:/ www.medical.siemens.com/siemens/en.../gg.../zb181-b_ECP.pdf. Accessed : 28 February 2010. Kim, T., Pae, C., Jeong, J., Kim, S., and Chung, K. 2006. Temperament and character dimensions in patients with atopic dermatitis. J Dermatol 2006; 1: 10-5. Kolls, J.K., Linden, A. 2004. Interleukin-17 family members and inflammation. Immunity; 21:467-76. Krutmann, J. 2000. Phototherapy for Atopic Dermatitis. Clin and Eksperimental Dermatol; 25: 552-58.
58
Lacy, P., Moqbel, R. 2000. Eosinophil Cytokines. In : Marone Gianni, ed. Human Eosinophils. Biological and Clinical Aspect. Basel: Kager:134-49. Leiferman, K.M. 2001. A role for eosinophils in atopic dermatitis. J Am Acad Dermatol; 45 (Suppl 1) : S21-24. Leung, D.Y.M., Boguniewicz, M., Howell, M.D., Nomura, I., and Hamid, Q.A. 2004. New Insights Into Atopic dermatitis. J Clin Invest. 113(5): 651-57. Leung, D.Y.M., Eichenfield, L.F., Boguniewicz, M. 2008. Atopic Dermatitis. In : Wolf K, Goldsmith IA, Katz SI, et al, editors. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 7th ed New York: McGraw Hill: 146-58. Lew, W., Bowcock, A.M., Krueger, J.G. 2004. Psoriasis vulgaris: cutaneous lymphoid tissue supports T-cell activation and ‘‘type 1’’ inflammatory gene expression. Trends Immunol; 25:295–305. Machine, D., Campbell, M., Fayer, P.M., Pinol, A.P.Y. 1997. Sample Size Tables for Clinical Studies. Edisi 2. Blackwell Science. Madiyono, B., Moeslichan, M.Z., Sastroasmoro, S., Budiman, I., Purwanto, S.H. 2002. Perkiraan besar sampel. In: Sastroasmoro S, Ismael S, eds. DasarDasar Metodologi Penelitian Klinis. Sagung Seto. 2 Ed. Jakarta: 259-287. Murat-Sušic, S., Lipozencic, J., Žižic, V., Husar, K., Marinovic, B. 2006. Serum eosinophil cationic protein in children with atopic dermatitis. Int J Dermatol, 45 (10): 1156-1160. Pangkahila, J.A. 2010. Buku Ajar Pedoman Praktis Ringkasan Analisis Statistik dengan SPPS. Denpasar : Bagian Andrologi dan Seksologi FK Unud. Hal : 818. Pedersen, K.T. 2002. Treatment principle of Atopic Dermatitis. JEADV; 16: 1-9. Pohan, S.S. 2006. Dermatitis Atopik . Permasalahan dan Penatalaksanaan. Berkala IPPK; 18: 165-171. Romagnani, S. 2003. Immunologic Influences on Allergy and the Th1/Th2 Balance. J Allergy Clin Immunol; 113(3): 1-6. Rothenberg, M.E. 2009. Biology and Treatment of Eosinophilic Esophagitis. Basic and Clin Gastroenterol; Vol.137. p. 1238-49. Segre, J.A. 2006. Epidermal barrier formation and recovery in skin disorders. J Clin Invest.116: 1150-58.
59
Seiffert, K., Hilbert, E., Schaechinger, H., Zouboulis, C.C., and Deter, H.C. 2005. Psychophysiological reactivity under mental stress in atopic dermatitis. Dermatology. 2005; 210: 286-93. Spergel, J.M., Schneider, L.C.1999. Atopic Dermatitis. The Internet J Allergy and Immunol. Volume 1 Number 1. DOI: 10.5580/36b.
Asthma,
Terr, A.I. 2001. Inflamation. In : Parslow TG, Stites Daniel P, Terr Abba I, eds. Lange Medical Immunology. 10th ed. New York : Lange Medical Books/Mc Graw-Hill: 189-203. Thomas, L.L., Page, S.M. 2000. Inflammatory Cell Activation by Eosinophil Granule Proteins. In : Gianni Marone, ed. Human Eosinophils. Biological and Clinical Aspect. Basel : Kager: 99-113. Tiffany, C., Scharschimidt, Serge, J.A. 2008. Modeling atopic dermatitis with increasingly complex mouse models. J Invest Dermatol; 128: 1061-64. Tsuboi, H., Kouda, K., and Takeuchi, K. 1998. 8-Hydroxydeoxyguanosine in urine as an index of oxidative damage to DNA in evaluation of atopic dermatitis. British J Dermatol. 2003; 149: 248-54. Toda, M., Leung, D.Y., Molet, S., Boguniewicz, M., Taha, R., Christodoulopoulos, P. 2003. Polarized in vivo expression of IL-11 and IL-17 between acute and chronic skin lesions. J Allergy Clin Immunol; 111:875–81. Wright, J.R., Cohen, R.T., and Cohen, S. 2005. The impact of stress on the development and expression of atopy. Curr Opin Allergy Clin Immunol 5:2329.
60
Lampiran 1
PENJELASAN DAN FORM PERSETUJUAN PENELITIAN
Judul: Kadar Eosinophil Cationic Protein (ECP) berkorelasi positif dengan derajat keparahan dermatitis atopik Peneliti Utama: dr. I Wayan Hendrawan
Latar Belakang Penelitian: Dermatitis atopik adalah penyakit kulit yang bersifat menahun dan kumatkumatan, paling sering muncul pada masa bayi dan kanak-kanak, biasanya dikaitkan dengan peningkatan kadar IgE serum dan riwayat atopi pada dirinya sendiri atau keluarga berupa dermatitis atopik, rinitis alergika, dan asma. Gambaran klinis dermatitis atopik meliputi makula eritema, papula/papulovesikel, krusta, likenifikasi, ekskoriasi, kulit kering, dan infeksi sekunder. Penderita dermatitis atopik yang terpapar oleh antigen akan mengalami lesi kulit dengan berbagai derajat keparahan. Derajat keparahan tersebut dapat dilihat dari berbagai parameter, diantaranya parameter laboratorium. Pada penelitian ini akan dilakukan pengamatan terhadap derajat keparahan penyakit yang diderita dengan mengukur kadar Eosinophil Cationic Protein (ECP) serum untuk menentukan langkah selanjutnya dalam penanganan penyakit. Penelitian ini akan melibatkan 36 orang peserta sukarela yang didiagnosis Dermatitis Atopik dan memenuhi persyaratan penelitian. Setiap pasien akan diambil sampel darah sekali saja oleh dokter/tenaga medis yang terlatih. Pengambilan dilakukan di rumah sakit saat Bapak/Ibu/Saudara diperiksa oleh dokter yang merawat. Peserta penelitian tidak dibebani biaya dan tidak ada risiko berbahaya, kemungkinan resiko ringan yang terjadi berupa flebitis/infeksi saat pengambilan darah vena yaitu pada daerah suntikan, dan dapat diatasi dengan tehnik pengambilan yang benar berupa penerapan tehnik septik aseptik.
61
Kami
sangat
berterima
kasih
apabila
Bapak/Ibu/Saudara
berkenan
berpartisipasi dalam penelitian ini. Tidak ada pemaksaan untuk berpartisipasi dan Bapak/Ibu/Saudara dapat mengundurkan diri dari penelitian ini kapan saja tanpa syarat atau sanksi apapun. Kami menjamin bahwa bahan dan data yang kami peroleh tidak akan digunakan untuk kepentingan lain dan terjaga kerahasiaannya. Data ini mungkin dipublikasikan tanpa mencantumkan identitas Bapak/Ibu/Saudara. Bila masih ada hal-hal yang perlu ditanyakan, Bapak/Ibu/Saudara dapat menghubungi dr I Wayan Hendrawan, Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RS Sanglah Denpasar, Jalan Pulau Bacan no 17, Denpasar, Bali, HP. 0818360691. Bersama ini kami sertakan formulir persetujuan mengikuti penelitian.
62
Lampiran 2 INFORMED CONSENT BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FK UNUD/RS SANGLAH DENPASAR
Saya yang bertanda tangan dibawah ini (penderita): Nama:.................................. Menerangkan bahwa telah mengetahui tujuan dan tindakan berupa: Pengambilan sampel darah untuk memeriksa kadar Eosinophil Cationic Protein (ECP). Menyatakan tidak keberatan dilakukan tindakan tersebut diata setelah mendapatkan keterangan yang cukup tentang tujuan dan akibat yang mungkinterjadi karenanya, dan bersedia ikut dalam penelitian ini. Denpasar,................................................
Dokter/peneliti
Yang memberi pernyataan,
dr. I Wayan Hendrawan
.................................................................
63
LAMPIRAN 3 Kriteria diagnostik dermatitis atopik dari Hanifin dan Rajka
1.1
Kriteria major
1. Pruritus 2. Morfologi dan distribusi yang khas : dewasa : lipatan mengalami likenifikasi atau likenifikasi linear anak dan bayi : mengenai daerah muka dan bagian ekstensor 3. Dermatitis khronis atau kambuhan 4. Riwayat atopi pada diri atau keluarga. 1.2
Kriteria minor
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Xerosis Ikhtiosis/keratosis pilaris/palmar hiperlinear Reaktifitas uji kulit tipe I Peningkatan kadar lgE dalam serum Usia awitan dini Cenderung mudah terkena infeksi kulit (Staphylococcus aureus, herpes simplex)/ gangguan imunitas selular (cell-mediated immunity) 7. Kecenderungan untuk menderita dermatitis pada tangan/kaki 8. Eksema pada puting susu (nipple) 9. Konjungtivitas 10. Tanda dari Dennie-Morgan 11. Kertokonus 12. Katarak subkapsular anterior 13. Warna gelap di bawah mata (infra orbital darkeling) 14. Wajah pucat/muka merah 15. Pitynasis alba 16. Lipatan pada leher bagian interior 17. Gatal saat berkeringat 18. Intoleran terhadap wool and bahan larut minyak 19. Perifolliculer accentuation 20. Intoleran makanan 21. Perjalan penyakit dipengaruhi faktor lingkungan/emosi 22. Demographisme putih/delayed blanch
* dikutip dan dimodifikasi dari Hanifin 1980 yang dimodifikasi oleh Budihardja Keterangan : untuk menegakkan diagnosis dermatitis atopik harus ada paling sedikit 3 kriteria major dan 3 kriteria minor
64
LAMPIRAN 4 SCORAD System
Kriteria : Ringan : < 25 Sedang : 25-50 Berat : > 50
65
LAMPIRAN 5 Status/Formulir Penelitian No.
RM
Nama
:
Alamat
:
Tanggal Jenis : L/P
Umur:
Pekerjaan : Suku
2
:
Agama
:
ANAMNESIS
Keluhan Utama : gatal-gatal, Apakah keluhan tersebut
sejak, __________________ 1. pertama kali atau 2. kumat-kumatan
Bila kumat-kumatan, sejak kapan pertama kali muncul : ____________ Derajat keluhan (SCORAD) :
1. ringan
2.sedang
3. berat
(mengganggu tidur) Apakah ada keluhan lain yang menyertai/memperberat keluhan tersebut : berkeringat, perasaan tegang/emosi, menghirup sesuatu, cuaca, makan sesuatu, hewan piaraan, dll. ________________________ Apakah ada riwayat alergi : 1.makanan
2.obat
3.jamu
(bila ada sebutkan jenisnya) : _______________________ Apakah ada riwayat alergi kontak seperti : jam tangan, sabuk, sandal jepit, asesori, nilon, boreh minyak rambut, sampo, kosmetika, bahan industri/kimia, sabun/ditergen, bumbu dapur, bahan kimia/organik akibat pekerjaan, daun-daunan dll. (bila ada sebutkan jenisnya) : _________________________________ Apakah anda pernah menderita biduran yang hilang dan timbul Apakah anda pernah mengkonsumsi obat anti alergi selama 1 minggu terakhir (bila pernah sebutkan nama obatnya) : ___________________________
66
3
Riwayat Keluarga
Apakah ada anggota keluarga (ayah, ibu, saudara, misan, keponakan, paman/bibi, kakek/nenek) yang menderita penyakit dibawah ini : 1. eksim/gatal kumat-kumatan 4
2. pilek yang lama/bersin 3. sesak/nafas/mengik
PEMERIKSAAN DERMATOLOGI
Lokasi (lihat gambar) Luas lesi (rule of nine) Stadium lesi
: eritema, edema, krusta, ekskoriasi, likenifikasi, xerosis, dan urtika
Tanda minor yang sesuai dengan literatur/Stigmata Atopik [] Xerosis
[] Hertoghe's sign
[] Perifollicular accentuation
[] Ichthyosis vulgaris
[] Cheilitis
[] Nummular dermatitis
[] Pityriasis alba
[] Chronic dermatophytosis
[] Dennie-Morgan folds
[] Pompholyx
[] Auricular fissure/dermatitis
[] Nipple dermatitis
[] Scalp scaling
[] Knuckle dermatitis of hands
[] Eyelid dermatitis
[] Dirty neck
[] Anterior neck fold
[] Prurigo nodularis
[] Facial erythema/pallor
[] Superficial folliculitis
[] Orbital darkening
[]Recurrent herpes simplex
[] Forehead lichenification
[] Keratosis pilaris
[] White dermographism
[] Keratolysis exfoliativa
[] Hyperlinear palm
[] Pitted keratolysis
[] Nonspecific hand-foot dermatitis
[] Nail pitting
67
[] Infragluteal dermatitis
[] Geographic tongue
[] Hangnail
[] Lainnya :
Beri tanda V bila ditemukan.
Tingkat severitas (SCORAD) (mengganggu tidur)
: 1. ringan
2.sedang
3. berat
68
Lampiran 6
Rekapitulasi Hasil Pemeriksaan ECP Peneliti. Dr. I Wayan Hendrawan No.
JK
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Lk Lk
Umur ( tahun ) 39 39
Pr Pr Lk Pr
28 33 36 16
Lk Pr Lk
31 21 46
Pr Lk
24 26
12
Pr
13
ECP (ng/mL)
Keparahan DA
SCORAD
79.689 30.485 25.802 31.968 86.411 46.170 11.025 54.721 21.594 1.947 150.858
berat ringan ringan sedang sedang sedang ringan sedang sedang ringan berat
51 24,6 23,9 28,5 27,5 27 24,8 35,7 39,9 21,9 52,5
30
4.285
sedang
25,8
Pr
36
33.139
ringan
22,6
14
Pr
29
57.157
sedang
35,7
15
Pr
21
15.068
ringan
22,6
16
Pr
21
13.771
sedang
26,5
17
Pr
30
89.782
sedang
39,9
18
Pr
23
60.423
sedang
28,8
19
Pr
30
35.777
ringan
24,8
20
Pr
29
26.687
ringan
24,6
21
Lk
27
27.514
sedang
26,5
22
Lk
19
1.821
ringan
21,9
23
Pr
29
10.484
ringan
23,9
24
Pr
25
8.640
ringan
24,6
25
Lk
23
32.505
sedang
35,7
26
Pr
16
18.472
ringan
24,8
27
Pr
27
58.070
berat
51
69
28
Lk
31
63.384
berat
52,5
29
Pr
22
55.156
sedang
35,7
30
Pr
21
30.571
sedang
26,5
31
Lk
32
18.347
berat
51
32
Pr
31
31.264
sedang
25,8
33
Pr
25
9.266
ringan
24,8
34
Pr
19
2.660
ringan
24,8
35
Pr
32
14.206
sedang
28,8
36
Pr
21
13.367
sedang
35,7
70
Lampiran 7 Statistics Kategori Jenis kelamin N
Valid Missing
SCORAD
36
36
0
0
Frequency Table Jenis kelamin Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
Perempuan
25
69.4
69.4
69.4
Laki
11
30.6
30.6
100.0
Total
36
100.0
100.0
Kategori SCORAD Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
ringan
14
38.9
38.9
38.9
sedang
17
47.2
47.2
86.1
berat
5
13.9
13.9
100.0
Total
36
100.0
100.0
Descriptives Statistic Umur
Mean
27.44
95% Confidence Interval for
Lower Bound
25.15
Mean
Upper Bound
29.73
5% Trimmed Mean
27.22
Median
27.50
Std. Error 1.128
71
Variance
45.797
Std. Deviation
ECP
6.767
Minimum
16
Maximum
46
Range
30
Interquartile Range
10
Skewness
.521
.393
Kurtosis
.320
.768
35.34683
5.189458
Mean 95% Confidence Interval for
Lower Bound
24.81167
Mean
Upper Bound
45.88199
5% Trimmed Mean
32.29703
Median
28.99950
Variance
969.497
Std. Deviation
31.136749
Minimum
1.821
Maximum
150.858
Range
149.037
Interquartile Range
SCORAD
41.579
Skewness
1.743
.393
Kurtosis
4.181
.768
31.183
1.6119
Mean 95% Confidence Interval for
Lower Bound
27.911
Mean
Upper Bound
34.456
5% Trimmed Mean
30.515
Median
26.500
Variance
93.537
Std. Deviation
9.6715
Minimum
21.9
Maximum
52.5
Range
30.6
Interquartile Range
11.1
Skewness Kurtosis
1.268
.393
.362
.768
72
Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
Umur
.084
36
.200
*
.968
36
.381
ECP
.195
36
.001
.846
36
.000
SCORAD
.264
36
.000
.782
36
.000
a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance.
Kruskal-Wallis Test
Ranks Kategori SCORAD ECP
N
Mean Rank
ringan
14
11.36
sedang
17
21.35
berat
5
28.80
Total
36
dimension1
a,b
Test Statistics
ECP Chi-square
12.460
df Asymp. Sig. a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Kategori SCORAD
2 .002
73
Correlations ECP Spearman's rho
ECP
Correlation Coefficient
SCORAD
1.000
Sig. (2-tailed) N SCORAD
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
.639
**
.
.000
36
36
**
1.000
.000
.
36
36
.639