BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronik, kambuhan, dan sangat gatal yang umumnya berkembang saat masa awal kanak-kanak dimana distribusi lesi ini sesuai dengan umur (Lyons et al., 2015). Dermatitis atopik merupakan manifestasi pertama dan tersering dari atopic march,
dan
bila
tidak
diatasi
dengan
tepat
akan
berlanjut menjadi rinitis alergi atau asma sebesar 80% (Kim,
2008).
Dermatitis
atopik
sering
dialami
pada
anak-anak, prevalensinya sekitar 10-20% di negara maju (Lyons
et
al.,
2015).
Dalam
30
tahun
terakhir
prevalensi meningkat 2-3 kali lipat, prevalensi pada anak-anak
5-15%
(Hadi,
2002).
Prevalensi
dermatitis
atopik diestimasikan 15~30% pada anak dan 2~10% pada dewasa, sedangkan insidensi dermatitis atopik meningkat 2 hingga 3 kalinya selama 3 dekade terakhir di negara industri (Bieber, 2010). Di
Indonesia,
prevalensi
dermatitis
atopik
diestimasikan sebesar 10% dari total populasi, penyakit
1
2
ini paling banyak dialami pada anak-anak dan individu dengan
usia
produktif
(Brahmanti,
2010).
Prevalensi
dermatitis atopik pada anak dibawah usia 14 tahun di Kelurahan
Utan
Kayu
Selatan,
Jakarta
sebesar
4,9%
(Widiono, 1994). Data dari Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr. Sardjito tercatat 248 pasien
dermatitis
atopik
atau
2,91%
dari
seluruh
kunjungan pasien selama tahun 2008, dan sebanyak 230 pasien
dermatitis
atopik
atau
2,7%
dari
seluruh
kunjungan pasien selama tahun 2009 (Brahmanti, 2010). Pada anak, prevalensi dermatitis atopik dengan onset 6 bulan pertama kehidupan sekitar 45%, dan 60% pada tahun pertama kehidupan, dan 85% sebelum usia 5 tahun
(Bieber,
berkurang
semakin
2010).
Prevalensi
bertambahnya
usia
dan
intensitas
(Rottem
et
al.,
2004). Selain itu, prevalensi dermatitis atopik lebih tinggi di perkotaan daripada pedesaan pada negara maju, dan penyakit ini lebih sering pada masyarakat dengan kelas sosial tinggi (Leung & Bieber, 2003). Dampak hanya
pada
mempunyai infeksi,
negatif kulit.
risiko gangguan
dari Anak
yang
dermatitis dengan
lebih
mental,
tinggi
dan
atopik
dermatitis untuk
penyakit
tidak atopik
terjadinya
alergi
yang
3
lainnya dibanding dengan anak tanpa atopik (Simpson, 2012). adalah
Komorbiditas infeksi
utama
pasien
Staphylococcus
dermatitis aureus
atopik
dan
eksim
herpetikum. Gatal kronis, kurang tidur, serta waktu dan biaya
yang
dikeluarkan
untuk
pengobatan
sangat
merugikan pasien dan keluarga. Dermatitis atopik juga dapat mengurangi prestasi di sekolah, dan rasa percaya diri (Lyons et al., 2015). Penyebab multifaktorial,
penyakit seperti
dermatitis alergen
atopik
hirupan
adalah
(kutu
debu
rumah, polen, bulu binatang), polusi, iklim, diit dan faktor
prenatal
(Charman, alergi
atau
1999).
makanan
awal kehidupan
Setelah
menurun.
usia Namun
3
seperti
tahun,
demikian,
infeksi
prevalensi sensitisasi
terhadap alergen hirupan menjadi lebih sering. Hal ini dapat dibuktikan dengan pasien dengan dermatitis atopik berat maupun sedang lebih sering menunjukkan hasil tes IgE
positif
(Alternaria)
terhadap dan
ragi
kutu
debu
(Malassezia)
rumah,
jamur
dibanding
pada
pasien asma atau nonatopik (Caubet & Eigenmann, 2010). Dengan uji tusuk, terdapat hubungan antara paparan kutu debu rumah dengan manifestasi klinis dermatitis atopik (Widiono, 1994).
4
Patogenesis kutu debu rumah dalam menyebabkan dermatitis atopik masih kontroversial. Studi terakhir menunjukkan bahwa kontak dengan alergen kutu debu rumah dapat
menginduksi
dermatitis
(Tupker
et
al.,
1996).
Pada tahun 1918, Walker meneliti bahwa beberapa dari pasien
dermatitis
atopik
menunjukkan
serangan
lesi
kulit setelah kontak dengan aeroalergen. Setelah itu, Tuft berpendapat bahwa hampir seluruh pasien dermatitis atopik
dewasa
terhadap
kutu
memberikan debu
hasil
rumah.
Dia
positif
tes
kulit
mendemonstrasikannya
dengan pemberian aeroalergen secara intranasal sehingga dapat
mengeksaserbasi
menghindari
kutu
debu
dermatitis rumah
dapat
atopik,
dan
mengurangi
juga gejala
kulit (Caubet & Eigenmann, 2010). Dermatophagoides Pteronyssinus) Farinae)
dan
sering
pteronyssinus Dermatophagoides
menghuni
rumah
(D.
farinae dan
(D.
memberikan
kontribusi besar sebagai alergen kutu debu rumah (Kim et al., 2013). Indonesia yang beriklim tropis dengan temperatur sekitar 22-27°C dengan kelembaban relatif udara sekitar 70-90% sangat mendukung pertumbuhan D. Pteronyssinus. Dari survey rumah tangga yang dilakukan pada
tahun
1989,
sebagian
besar
penduduk
Indonesia
5
masih menghuni rumah yang memiliki lingkungan rumah dan kamar
tidur
yang
meningkatkan
kurang
populasi
D.
sehat
sehingga
Pteronyssinus
dapat
(Rikyanto,
1994). Data
terdahulu
tersensitisasi
menyatakan
terhadap
kutu
35%
debu
pasien
rumah.
alergi
Pemahaman
tentang hubungan antara dermatitis atopik dan paparan alergen
kutu
debu
rumah
dapat
membantu
mencegah
keparahan gejala kulit pada pasien dermatitis atopik, terutama
anak
dengan
dermatitis
atopik,
karena
dermatitis atopik membutuhkan pengobatan komprehensif jangka panjang (Kim et al., 2013). Oleh karena itu, penelitian ini penting untuk melihat hubungan sensitisasi alergen kutu debu rumah dengan kejadian dermatitis atopik pada anak. Penelitian tersebut dengan cakupan anak sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta belum pernah dilakukan sebelumnya. Dengan mengetahui hubungan sensitisasi alergen kutu debu rumah dengan kejadian dermatitis atopik dapat membantu proses prevensi, terapi dan prognosis dalam dermatitis atopik.
6
B. Rumusan Masalah Apakah alergen
kutu
terdapat debu
hubungan
rumah
dengan
antara
sensitisasi
kejadian
dermatitis
atopik pada anak ?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
antara
sensitisasi alergen
kutu
debu
rumah
publikasi
karya
dengan kejadian dermatitis atopik pada anak.
D. Keaslian Penelitian Hasil
penelusuran
di
jurnal,
ilmiah kedokteran yang berhubungan dengan alergen kutu debu
rumah
dan
dermatitis
atopik
didapatkan
4
penelitian yang relevan. Penelitian oleh Sukses Hadi (2002) di Semarang dilakukan
dengan
desain
potong
lintang
pada
41
penderita dermatitis atopik anak. Variabel yang dinilai adalah derajat penyakit dermatitis atopik yang dinilai menggunakan
indeks
SCORAD.
Pada
penelitian
ini
dilakukan tes tusuk dengan kutu debu rumah. Lalu sampel kutu
debu
rumah
diperiksa
kepadatannya
pada
tempat
tidur dan lantai. Hasil dari penelitian ini didapatkan hasil 54% penderita dermatitis atopik derajat ringan,
7
dan sebanyak 56% memberikan hasil positif dan rata-rata kepadatan kutu debu rumah pada kasur 14,2/m2 sedangkan pada
kolong
tempat
tidur
11/m2.
sebanyak
Dapat
disimpulkan dari hasil penelitian yang dilakukan Hadi bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kepadatan kutu debu rumah dengan hasil positif tes tusuk dan ada hubungan
positif
antara
derajat
dermatitis
atopik
dengan hasil tes tusuk. Penelitian yang dilakukan Hadi berbeda dengan penelitian ini karena pada penelitian tersebut yang dinilai adalah derajat dermatitis atopik, dan kepadatan kutu debu rumah sedangkan pada penelitian ini
yang
Selain
dinilai
itu
adalah
penelitian
kejadian tersebut
dermatitis memasukkan
atopik. kriteria
subyek penelitian didiagnosis secara klinis dermatitis sebagai kriteria inklusi sedangkan pada penelitian ini tidak. Penelitian Belanda. alergen
oleh
Penelitian kutu
debu
Tupker
ini rumah
(1996)
dilakukan tangga
di
Groningen,
dengan
memberikan
dan
placebo
melalui
provokasi bronkial. Hal yang dinilai adalah perubahan keparahan
atau
lokalisasi
gatal
atau
eritem
serta
gejala respiratori seperti dispnea. Hasil penelitiannya menunjukkan alergen
bahwa
kutu
debu
provokasi rumah
bronkial
tangga
pada
dengan
ekstrak
double-blind,
8
randomized, placebo-controlled menimbulkan onset baru lesi kulit dermatitis atopik dan eksaserbasi dari lesi kulit sebelumnya. Dimana subyek penelitiannya adalah penderita dermatitis atopik ysng memiliki rentang usia antara
18-66
tahun.
Dimana kontrolnya
adalah
pasien
dermatitis atopik yang tidak diberi provokasi bronkial. Penelitian
tersebut
menggunakan
metode
yang
berbeda
dengan penelitian ini dalam memberikan paparan alergen kutu debu rumah tangga. Pada penelitian yang penulis buat paparan alergen diberikan melalui uji tusuk kulit, sedangakan dengan
pada
penelitian
provokasi
penelitian
ini
bronkial. adalah
Tupker Hal
paparan yang
kejadian
diberikan
dinilai
dermatitis
pada atopik
sedangkan pada penelitian Tupker yang dinilai adalah keparahan, onset baru dermatitis atopik serta gejala respiratori yang muncul. Perbedaan
studi
Hadi
dan
Tupker
adalah
pada
penelitian Hadi sensitisasi alergen dengan uji tusuk kulit
sedangkan
alergen
dengan
pada
penelitian
provokasi
Tupker
bronkial.
Hal
sensitisasi yang
dinilai
pada penelitian Hadi adalah derajat dermatitis atopik dan
kepadatan
kutu
debu
rumah,
sedangkan
pada
penelitian Tupker yang dinilai adalah keparahan, onset
9
baru dermatitis atopik serta gejala respiratori yang muncul. Penelitian
oleh
Sidabutar
(2011)
dilakukan
dengan desain potong lintang deskriptif yang bertujuan untuk
mengetahui
sensitisasi
alergen
makanan
dan
hirupan pada anak dermatitis atopik setelah mencapai dua tahun. Uji tusuk kulit dilakukan untuk mengukur sensitisasi memenuhi
oleh
alergen.
kriteria
Sebanyak
ikut
serta
35
dalam
subjek
yang
penelitian.
Ditemukan 29 subjek yang menunjukkan hasil uji tusuk kulit positif. Sebanyak 8 subjek diantaranya memberikan hasil positif terhadap alergen makanan saja, sedangkan 3
subjek
memberikan
hirupan/kontak positif
saja
terhadap
hasil dan
18
keduanya.
positif subjek Hasil
terhadap
alergen
memberikan uji
tusuk
hasil kulit
negatif ditemukan pada 6 subjek. Sehingga dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa sensitisasi alergen makanan lebih banyak dibanding alergen hirupan/kontak yaitu
sebanyak
Sidabutar
26
berbeda
subjek. dengan
Penelitian penelitian
yang
ini
dilakukan
karena
pada
penelitian tersebut yang dinilai adalah hasil uji tusuk kulit terhadap alergen makanan dan hirupan pada anak DA, sedangkan pada penelitian ini hanya uji tusuk kulit dengan alergen hirupan. Selain itu penelitian tersebut
10
memasukkan secara
kriteria
klinis
subyek
dermatitis
penelitian
sebagai
didiagnosis
kriteria
inklusi
sedangkan pada penelitian ini tidak. Penelitian Istimewa
oleh
Yogyakarta
Rikyanto
tepatnya
di
(1994) RSUD
di
dr.
Daerah
Sardjito.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan kasus-kontrol. penderita nonatopik
Dimana
dermatitis
subjek atopik
(kontrol).
penelitiannya (kasus)
Masing-masing
dan
adalah
dermatitis
kelompok
yang
terdiri dari 30 orang dianamnesis dan diperiksa kadar IgE spesifik D. Pteronyssinus. Didapatkan hasil bahwa frekuensi IgE spesifik D. Pteronyssinus pada kelompok penderita
dermatitis
atopik
lebih
tinggi
secara
bermakna
dibanding
kelompok
penderita
dermatitis
nonatopik
(p<0,01).
Penelitian
tersebut
menggunakan
sampel
yang
berbeda
dengan
penelitian
ini,
dimana
sampel pada penelitian tersebut memiliki rentang umur dari
10
tahun
sampai
53
tahun.
Sedangkan
pada
penelitian ini target populasi adalah anak-anak sekolah PAUD,
TK
alergen,
dan pada
SD.
Dan
penelitian
untuk
mengukur
ini
menggunakan
test bukan kadar IgE spesifik.
sensitivitas skin
prick
11
Tabel 1. Daftar penelitian-penelitian sebelumnya Penelitian (Tahun) Hadi (2002)
Desain Sampel Potong lintang
Variabel Bebas Sensitisa si alergen kutu debu rumah
Variabel Tergantung Derajat dermatitis atopik, kepadatan kutu debu rumah
Cara Pengukuran
Tupker (1996)
Randomize dControlle d Trial
Provokasi Bronkial dengan kutu debu rumah dan provokasi bronkial dengan placebo
Spirometer FEV1
Sidabutar
Potong
Sensitisa
Perubahan keparahan atau lokasi gatal atau eritem (gejala kulit) dan gejala respirator i seperti dispnea Penyakit
Hasil
Uji tusuk kulit, SCORAD index, pengukuran langsung kepadatan kutu debu rumah
54% penderita dermatitis atopik derajat ringan, dan sebanyak 56% memberikan hasil positif dan rata-rata kepadatan kutu debu rumah pada kasur 14,2/m2 sedangkan pada kolong tempat tidur sebanyak 11/m2. Ada hubungan positif antara derajat dermatitis atopik dengan hasil tes tusuk. dan Jumlah subyek diprovokasi bronkial dengan kutu debu rumah menunjukkan respon kulit lebih banyak dibanding jumlah subyek yang diprovokasi bronkial dengan placebo (p=0,011)
Uji tusuk kulit
Dari 35 subyek anak DA yang
12
(2011)
lintang
Rikyanto (1994)
Kasuskontrol
si alergen makanan dan hirupan
Alergen D. Pteronyssin us
dermatitis atopik
Kadar IgE spesifik
DA : Kriteria Hanifin & Rajka DNA : Dermatitis dengan gambaran klinis bukan DA DA : Dermatitis Atopik, DNA : Dermatitis Nonatopi
mencapai usia 2 tahun ikut serta dalam penelitian. Sebanyak 29 subjek memberikan hasil uji tusuk kulit positif yang terdiri dari 8 subjek positif alergen makanan saja, 3 subjek positif alergen hirupan saja dan 18 subjek memberikan hasil positif terhadap keduanya. Hasil uji tusuk kulit negatif ditemukan pada 6 subjek. Dapat disimpulkan bahwa sensitisasi alergen makanan lebih banyak dibanding alergen hirupan. Dari 30 subyek yang berusia 10-53 tahun diperiksa kadar IgE spesifik D. Pteronyssinus. Didapatkan hasil bahwa frekuensi IgE spesifik D. Pteronyssinus pada kelompok penderita DA lebih tinggi secara bermakna dibanding kelompok penderita DNA (p<0,01).
13
E. Manfaat Penelitian Pasien Pasien
mendapatkan
informasi
mengenai
kemungkinan kejadian dermatitis atopik akibat paparan alergen kutu debu rumah sehingga pasien dapat melakukan prevensi,
penanganan
yang
terbaik
sehingga
dapat
mengurangi angka morbiditas dan peningkatan kualitas hidup penderita dermatitis atopik dan keluarga pasien. Institusi Penelitian
ini
akan
memberikan
data
dan
statistik mengenai hubungan antara alergen kutu debu rumah dengan kejadian dermatitis atopik sehingga dapat digunakan dasar prinsip pencegahan dan penatalaksanaan dermatitis atopik. Selain itu data kejadian dermatitis atopik
ini
pada
populasi
anak
di
Daerah
Istimewa
Yogyakarta dapat dijadikan data awal untuk pengembangan penelitian dermatitis atopik lain. Peneliti Penelitian
ini
akan
memberi
wawasan
dan
pengetahuan tentang hubungan antara alergen kutu debu rumah
dengan
kejadian
dermatitis
atopik
pada
anak.
14
Wawasan ini dapat digunakan sebagai dasar penyampaian informasi mengenai kejadian dermatitis atopik ketika terpapar alergen kutu debu rumah.