Kerusakan Sawar Kulit pada Dermatitis Atopik (Skin Barrier Dysfunction in Atopic Dermatitis) Irmadita Citrashanty, Cita Rosita Sigit Prakoeswa Departemen/Staf Medik Fungsional Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya ABSTRAK Latar belakang: Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit kulit kronis inflamasi dengan perjalanan penyakit yang sering mengalami kekambuhan dan remisi. Didapatkan suatu teori adanya defek intrinsik pada kulit (stratum korneum) yang mengarah pada disfungsi sawar kulit. Namun karena kurangnya pemahaman tentang pentingnya perbaikan sawar kulit, sampai saat ini penatalaksanaan DA berdasarkan adanya disfungsi sawar kulit tidak selalu dilakukan. Tujuan: Memberikan pengetahuan tentang defek sawar kulit DA, sehingga penatalaksanaan DA yang holistik dapat menurunkan angka kekambuhan dan meningkatkan kualitas hidup penderita. Telaah Kepustakaan: Etiopatogenesis DA telah berkembang pesat. Teori yang saat ini berkembang adalah inside-outside, yaitu adanya defek intrinsik pada stratum korneum yang mengarah pada disfungsi sawar kulit. Defek ini menyebabkan suatu alergen mudah berpenetrasi dan menyebabkan gangguan imunologis. Pada kulit penderita DA didapatkan penurunan komposisi lipid di epidermis, khususnya kolesterol, seramid dan asam lemak bebas; defek filaggrin yang merupakan suatu protein penting pembentuk natural moisturizing factor (NMF) di dalam korneosit; defek involucrin; penurunan asam lemak esensial dan penurunan pH. Keseluruhan abnormalitas tersebut menyebabkan penurunan fungsi sawar kulit yang bermanifestasi kulit menjadi kering dan gatal. Oleh sebab itu hidrasi kulit serta moisturisasi dengan menggunakan agen oklusif maupun nonoklusif merupakan hal yang penting. Kesimpulan: Perjalanan penyakit DA yang kronis disertai keluhan utama gatal sering menimbulkan masalah psikologis dan sosial, sehingga penatalaksanaan DA yang baik memerlukan pendekatan sistematik yang tidak cukup dengan pemberian farmakoterapi saja. Diharapkan dengan adanya suatu penatalaksanaan DA yang holistik dapat menurunkan angka kekambuhan DA, dan meningkatkan kualitas hidup penderita. Kata kunci: dermatitis atopik, sawar kulit, inside-outside ABSTRACT Background: Atopic dermatitis (AD) is a chronic, inflammatory disease with frequent relapse and remission course. Theory regarding intrinsic defect in skin (stratum corneum) that leads to barrier defect has been proposed. Due to lack of comprehension regarding the importance of improving skin barrier, the management of AD based on skin barrier defect is still negligible. Purpose: To describe knowledge about skin barrier defect in AD, in order to improve the management of AD holistically so that can lessen the relapsing course and improving patient’s quality of life. Review: The pathogenesis of AD has been vast developing. Novel theory in AD is the inside-outside hypothesis, which explains the intrinsic defect of stratum corneum that leads to skin barrier defect. This defect causes an allergen easy to penetrate and lead to immunology sequence. In skin of AD patients reveal a decline of lipid composition in epidermis, specifically cholesterol, ceramide, free fatty acid; filaggrin defect which is a main protein in producing natural moisturizing factor (NMF) in corneocyte; involucrine defect; decreasing of essential fatty acid and pH. All mentioned abnormalities cause a reduction of skin barrier function in AD, which lead to dry and itchy skin. Nevertheless, skin hydration and moisturization with occlusive and non-occlusive agent is essential. Conclusion: The chronic course of AD with itchy and dry skin as the main complaint, lead to psychology and social problem. The management of AD is not sufficient to only admit pharmacotherapy, systematic approach is required. It is expected that a holistic management may lead to less frequent relapsing course of AD, so that it will improve the patient’s quality of life. Key words: atopic dermatitis, skin barrier, inside-outside Alamat korespondensi: Irmadita Citrashanty, Departemen/Staf Medik Fungsional Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo, Jl. Mayjen Prof. Moestopo No. 6–8 Surabaya 60131, Indonesia. Telepon: (031) 5501609, e-mail:
[email protected]
PENDAHULUAN Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit kulit kronis inflamasi dengan perjalanan penyakit
yang sering mengalami kekambuhan dan remisi.1,2 Manifestasi klinisnya ditandai dengan pruritus, xerosis cutis, dan distribusi lesi yang khas berdasarkan umur.1,2 Etiopatogenesis DA telah berkembang pesat,
Pengarang Utama 2 SKP. Pengarang Pembantu 1 SKP (SK PB IDI No. 318/PB/A.7/06/1990)
49
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin
setidaknya didapatkan dua hipotesis.3 Teori yang pertama adalah adanya gangguan imunologis yang menyebabkan sensitisasi IgE, yang menyebabkan kerusakan epitel sawar kulit sebagai akibat dari inflamasi lokal. Teori yang kedua adalah adanya defek intrinsik pada kulit (stratum korneum) yang mengarah pada disfungsi sawar kulit, sehingga suatu alergen mudah berpenetrasi dan menyebabkan gangguan imunologis.3 Namun sampai saat ini penatalaksanaan DA berdasarkan adanya disfungsi sawar kulit tidak selalu dilakukan, hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman tentang pentingnya perbaikan sawar kulit pada DA. DA biasanya berawal saat bayi meskipun dapat juga bermula saat masa anak bahkan dewasa. Pada umumnya DA akan membaik ketika anak mulai tumbuh seiring dengan bertambahnya usia, namun saat ini banyak juga didapat anak yang mengalami DA yang persisten, bertahun-tahun mengalami kekambuhan berulang sampai menjelang pubertas.2 Salah satu sebabnya adalah karena terabaikannya masalah disfungsi sawar kulit pada DA, disertai dengan gejala klinis utama yaitu gatal yang sering menyebabkan gangguan tidur, gangguan beraktivitas dan bahkan gangguan belajar pada anak.2 Perjalanan penyakit DA yang kronis menimbulkan masalah psikologis dan sosial yang akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup pada penderita DA dan bahkan pada keluarga penderita DA khususnya anak.1,2 Berbagai studi tentang sawar kulit pada DA telah dilakukan. Sator PG dan kawan-kawan (2003) melakukan penelitian dengan menggunakan Sebumeter® dan Corneometer® yang ditemukan oleh Courage dan Khazaka, hasilnya didapatkan penurunan total lipid permukaan kulit pada penderita DA.4,5 Yamamoto dan kawan-kawan (1991) menyatakan adanya penurunan ceramide 1 dan 3 pada stratum korneum penderita DA dibandingkan dengan kontrol.4,6,7 Melnik dan kawan-kawan (1990) juga menyimpulkan adanya penurunan komposisi lipid khususnya seramid total pada stratum korneum dan kuku pasien DA.7,8 Penatalaksanaan DA yang baik memerlukan pendekatan yang sistematik dan holistik, tidak cukup hanya dengan pemberian farmakoterapi.2,7 Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka pada makalah ini akan dibahas mengenai berbagai penyebab intrinsik terjadinya disfungsi sawar kulit yang mendasari penyakit DA. Selanjutnya berdasar berbagai penyebab disfungsi sawar kulit pada DA inilah, telah dikembangkan 50
Vol. 24 No. 1 April 2012
berbagai penatalaksanaan yang dapat meningkatkan fungsi sawar kulit. Diharapkan dengan adanya suatu penatalaksanaan DA yang holistik dapat menurunkan angka kekambuhan DA, dan meningkatkan kualitas hidup penderita. TELAAH KEPUSTAKAAN Etiologi dan patogenesis DA belum begitu jelas. Banyak faktor dipertimbangkan berperan penting pada patogenesisnya, antara lain: predisposisi genetik (kromosom 3q21, 1q21, 16q, 17q25, 20p, dan 3p26); disfungsi sawar kulit; faktor psikoneuroimunologi; pencetus endogen maupun eksogen.3,9 Adanya disfungsi sawar kulit menimbulkan suatu hipotesis yang dikenal dengan sebutan “insideoutside” dan “outside-inside”.7 Dari suatu penelitian dengan menggunakan metode biofisik, didapatkan peningkatan transepidermal water loss (TEWL) sebanyak dua kali lipat pada kulit tanpa lesi, dan empat kali lipat peningkatan TEWL pada kulit yang mengalami lesi, dibandingkan dengan kontrol yang normal. Hal ini membuktikan hipotesis inside-outside, bahwa pertahanan kulit yang tidak mengalami lesi pada penderita DA sudah mengalami kerusakan, dan kerusakan akan semakin signifikan pada kulit yang didapatkan lesi.7,10 Secara umum DA memiliki karakter pruritus yang intensif dan lesi eksim di mana morfologi dan lokasinya berubah seiring umur penderita.1,2 Pada bayi, DA dapat ditemukan segera setelah lahir dengan adanya xerosis pada diaper area. Inflamasi akut dengan eritema dan eksudasi biasanya didapatkan pada wajah dan bagian ekstensor kaki, namun juga dapat timbul pada semua lokasi tubuh.1,2,3 Pada masa anak, lesi cenderung didapatkan pada daerah fleksural seperti kaki, lengan, bagian belakang leher, pergelangan tangan maupun kaki. Lesi biasanya kering, namun dapat menjadi eksudatif pada fase akut, dan terjadi likenifikasi pada fase kronis.1,2,3 Pada masa remaja dan dewasa, lesi didapat pada daerah fleksural seperti belakang leher, belakang lutut, dan bagian depan siku. Biasanya kulit terlihat sangat kering, dan didapatkan likenifikasi.1,2,3 Beragam manifestasi klinis di atas menggambarkan bahwa pada DA secara jelas menunjukkan adanya abnormalitas sawar kulit. Kulit memiliki berbagai fungsi, salah satunya menjaga tubuh dari adanya alergen yang dapat menimbulkan respon imun dan inflamasi. Dalam hal ini, stratum korneum sebagai lapisan kulit paling
Telaah Kepustakaan
luar, merupakan pertahanan paling awal dan utama pada kulit.11 Ketiga komponen lipid utama pada stratum korneum yaitu seramid (50%), asam lemak bebas (10–20%), dan kolesterol (25%), membentuk membran lamelar stratum korneum.4,7,12 Pada DA didapatkan penurunan jumlah lipid yang sangat besar, yang sangat potensial atas abnormalitas sawar kulit.4,7 Mustakallio dan kawan-kawan (1967) melakukan penelitian dengan hasil epidermis DA mengalami penurunan total lipid, fosfolipid, dan sterol ester.4,7 Sator PG dan kawan-kawan (2003) juga melakukan sebuah penelitian kasus-kontrol restrospektif. Penelitian ini menggunakan alat yang disebut Sebumeter® dan Corneometer® yang ditemukan oleh Courage dan Khazaka. Hasilnya didapatkan penurunan total lipid dan penurunan kadar air permukaan kulit pada pasien DA.4,5 Beberapa studi menyatakan adanya penurunan kolesterol, seramid dan asam lemak bebas pada stratum korneum DA, namun lipid yang paling banyak mengalami penurunan adalah seramid.4,7 Defisiensi seramid yang signifikan terlihat pada lipatan lengan DA yang terdapat lesi, begitu juga pada plantar yang tidak mengalami lesi.7 Pada kulit kering DA, Fartasch dan kawan-kawan (1992) menemukan adanya gangguan ekstrusi lipid dari badan lamelar, hal ini dapat menjelaskan terjadinya penurunan total lipid stratum korneum.7 Melnik dkk (1990) melakukan penelitian komposisi lipid pada stratum korneum dan kuku pasien DA. Ekstraksi lipid kulit dan kuku diperiksa dengan alat thin-layer chromatography, hasilnya didapatkan penurunan total seramid pada kulit dan kuku pasien DA.7,8 Gambar 1 menjelaskan beberapa kemungkinan penyebab turunnya jumlah seramid dan sphingosine
Kerusakan Sawar Kulit pada Dermatitis Atopik
pada DA. Pertama adalah turunnya sintesa de novo seramid. Langkah kedua adalah adanya aktivitas enzim lyase, yaitu glucocylceramide/sphingomyelin deacylase yang menyebabkan peningkatan spingosylphosphorylcoline dan glucosylsphingosine. Ketiga adalah adanya aktivitas seramidase (CDase) dan yang terakhir adalah turunnya aktivitas sphingomyelinase dalam membentuk seramid.21 Jensen JM dankawan-kawan (2004) dan Seguchi T dan kawan-kawan (1996) menemukan adanya penurunan ekspresi FLG (filaggrin), yaitu suatu protein yang penting sebagai komponen terhadap pertahanan air pada kulit. 4 Didapatkan mutasi gen FLG pada orang Eropa sebanyak 9%. Hal ini yang menjelaskan mutasi loss of function dan adanya polimorfisme menimbulkan gejala xerosis kutis pada DA dan Ichtyosis vulgaris.4 Salah satu fungsi sawar kulit dibentuk oleh (corneocyte envelope) CE, yaitu suatu struktur protein dan lipid yang melapisi korneosit. CE dibentuk dari protein seperti involucrin, loricrin, filamen keratin, elafin yang kemudian terikat oleh ikatan ester dengan seramid dan membentuk lapisan monomolecular ω-hydroxyceramide. 13,14 Melalui metode ELISA dan analisa Western Blot pada kulit tanpa lesi DA didapatkan penurunan involucrin dan juga FLG, yang artinya didapatkan penurunan protein pada kulit DA dengan lesi. Pada analisis Western Blot bahkan penurunan involucrin lebih jelas pada kulit DA dengan lesi.7 Asam lemak esensial/essential fatty acid (EFA) berperan pada pembentukan acylceramide. Adanya penurunan n-6 EFA menimbulkan inflamasi dan peningkatan TEWL pada kulit manusia maupun hewan.4 Defisiensi EFA pada tikus menyebabkan kulit yang inflamasi dan berskuama dan meningkatkan TEWL sampai dengan sepuluh kali lipat.
Gambar 1. Mekanisme penurunan ceramide dan sphingosine pada dermatitis atopik.12 51
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin
Kulit normal memiliki pH yang asam, namun pada DA dan penyakit kulit inflamasi lainnya menunjukkan peningkatan pH pada permukaan kulit.14 pH yang meningkat ini menyebabkan peningkatan aktivitas serine protease, yaitu enzim chymotriptic dan tryptic pada stratum korneum. Protease-protease ini mengakibatkan terjadinya gangguan integritas dan kohesi antar sel korneosit.7 Selain itu bakteri patogen, seperti Staphylococcus aureus tumbuh baik pada pH yang netral, sementara normal flora tumbuh baik pada pH yang asam. Hal ini adalah salah satu faktor mengapa pada DA sering didapatkan peningkatan kolonisasi Staphylococcus aureus.4,7 Beberapa tata laksana berdasarkan defek sawar kulit DA telah dikembangkan oleh beberapa peneliti, meskipun beberapa penemuan ini penggunaannya masih kurang umum di masyarakat. Pada defek yang menyebabkan penurunan seramid, Uchiyama dkk (2008) menyatakan adanya peningkatan sawar kulit DA dengan pemberian glucosylceramide secara oral.15 Selain itu Hanley K. dan kawan-kawan (2000) melakukan sebuah penelitian bahwa pemberian topikal PPAR (peroxisome proliferator-activated receptor), yaitu suatu hormon nuklear liposensor, dapat meningkatkan ekspresi involucrin, loricrin, profilaggrin, dan transglutaminase-1 yang berperan dalam pembentukan CE.16,17 Defisiensi EFA sendiri dapat diperbaiki dengan pemberian diet. Beberapa studi melaporkan adanya perbaikan DA setelah pemberian γ-linolenic acid, namun studi lain hasilnya tidak signifikan dengan pemberian n-6 atau n-3 EFA.18,19 Hara J. dan kawankawan (2000) menyatakan perbaikan sawar kulit DA dapat dicapai dengan pemberian agen topikal yang salah satunya mengandung EFA, yaitu linoleic acid. Agen ini biasanya dikomposisikan bersamaan dengan cholesterol, ceramide, dan palmitic acid (non-essential fatty acid) dengan perbandingan 1:3:1:1.7 Hidrasi merupakan penatalaksanaan yang penting dalam kesuksesan perbaikan DA. Hidrasi (bathing) dapat dilakukan dengan cara membasahi kulit dengan air hangat selama sepuluh sampai lima belas menit.1,2 Setelah dilakukan hidrasi kulit, pasien sebaiknya segera mengeringkan air dengan handuk lembut dan secepatnya mengaplikasikan agen oklusif ataupun humektan. Kulit yang basah lebih permeabel terhadap air, sehingga penting untuk langsung mengaplikasi agen oklusif untuk mencegah evaporasi. Terapi hidrasi dan penggunaan agen oklusif maupun pelembap yang 52
Vol. 24 No. 1 April 2012
berkesinambungan sangat baik dalam mengoptimalkan kondisi kulit pada DA. Penting untuk mengerti perbedaan pelembap (moisturizer/humektan) dengan agen oklusif (emollient). Pelembap memiliki komposisi humektan yang dapat menarik dan mempertahankan air di kulit.20 Sedangkan agen oklusif fungsinya lebih pada menutup lapisan stratum korneum sehingga dapat menahan terjadinya TEWL yang berlebih.20 Namun keduanya sering disamakan karena pelembap maupun emolien dapat menambah kadar air pada kulit. Pelembap (moisturizer) biasanya merupakan emulsi minyak dalam air (oil in water) seperti losion, atau emulsi air dalam minyak (water in oil) seperti krim.20 Oklusif merupakan suatu bahan yang melapisi stratum korneum, mengganti lapisan hidrofobik sehingga mengurangi TEWL. Bahan oklusif ini mengandung lipid, dibagi menjadi dua yaitu lipid nonfisiologis dan lipid fisiologis.16,18 Jenis emolien lipid nonfisiologis yang banyak dipakai adalah petrolatum yang merupakan campuran beberapa hidrokarbon.20 Petrolatum dianggap sebagai emolien utama, sehingga dipakai sebagai standar preparat emolien. Keuntungan dari petrolatum adalah tidak menimbulkan reaksi alergi, yang biasanya memperparah kondisi DA. Jenis lain emolien adalah lanolin yang berasal dari sekresi glandula sebasea domba. Lanolin sering menimbulkan alergi, sehingga pada umumnya sekarang emolien tidak mengandung lanolin.3 Aplikasi lipid fisiologis dapat diberikan dengan meningkatkan konsentrasi salah satu lipid yang mengalami penurunan dari ketiga lipid utama, dengan ratio 3:1:1.21 Sehingga pada DA dapat diberikan emolien yang komposisinya dominan seramid. Humektan adalah suatu bahan yang bersifat larut dalam air dan mempunyai kemampuan tinggi menyerap air.20,22 Sebaiknya pemakaian humektan dikombinasi dengan emolien sehingga dapat mencapai efek maksimal.23,24 Beberapa contoh humektan yang banyak digunakan adalah Gliserin, sorbitol, sodium hyaluronate, urea, propylene glycol, α-hydroxy acid. PEMBAHASAN DA merupakan penyakit kulit kronis, di mana manifestasi klinis dan perjalanan penyakit yang sering mengalami kekambuhan berdampak besar bagi kualitas hidup pasien maupun keluarganya.1,2 Adanya gangguan sawar kulit pada DA mendasari penyakit ini. Gangguan sawar kulit pada DA menyebabkan mudahnya penetrasi alergen yang menimbulkan inflamasi dan respons imunologis,
Telaah Kepustakaan
selain itu penderita DA juga mudah terinfeksi patogen, yang tersering adalah Staphylococcus aureus.4,7,10 Penyebab abnormalitas sawar kulit pada DA antara lain adalah:1,4,7 1) Penurunan komposisi lipid khususnya ceramide, di mana ceramide merupakan komposisi terbanyak pada lipid ekstraselular stratum korneum (50%); 2) Defek filaggrin (FLG). FLG merupakan substansi protein yang penting dalam pembentukan natural moisturizing factor (NMF), yang berfungsi mencegah transepidermal water loss (TEWL); 3) Defek involucrin, involucrin merupakan struktur protein yang terikat dengan lipid kemudian berperan dalam pembentukan comeocyte envelope (CE). CE ini juga berperan dalam mencegah TEWL; 4) Penurunan essential fatty acid (EFA). EFA berperan dalam pembentukan acylceramide, sehingga adanya penurunan EFA menyebabkan penurunan pembentukan ceramide/acylceramide; 5) Perubahan pH pada DA yang meningkat. pH kulit normal adalah asam, dan keasaman ini yang melindungi sawar kulit dari patogen maupun virus. Pada DA peningkatan pH menyebabkan peningkatan aktivitas degradasi korneodesmosom, proses pembentukan ceramide yang terganggu, dan mudahnya terjadi kolonisasi Staphylococcus aureus pada kulit DA yang mengalami lesi.4,7,10 Saat ini telah dikembangkan berbagai modalitas terapi yang tujuannya adalah meningkatkan fungsi sawar kulit pada DA. Kondisi kulit DA yang kering (xerosis) dapat diperbaiki dengan terapi agen-agen lipid fisiologis baik secara oral maupun topikal yang tujuannya untuk meningkatkan produksi lipid secara endogen. Selain itu kekurangan lipid juga dapat diganti dengan pemberian lipid nonfisiologis. Pemberian terapi-terapi tersebut bersamaan dengan pemberian humektan, bertujuan mencegah terjadinya peningkatan TEWL. Selain itu hidrasi juga merupakan penatalaksanaan yang penting untuk mengganti terjadinya water loss.1,2,25 Diharapkan dengan adanya pemahaman mengenai berbagai penyebab abnormalitas sawar kulit pada DA, penyakit ini dapat diterapi secara holistik, khususnya dalam hal memperbaiki fungsi sawar kulit. Sawar kulit DA yang lebih baik dapat mencegah seringnya terjadi kekambuhan, dan akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup penderita DA. KEPUSTAKAAN 1. Leung DY, Eichenfield LF, Boguniewicz M. Atopic dermatitis (atopic eczema). In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA editors.
Kerusakan Sawar Kulit pada Dermatitis Atopik
2.
3. 4.
5.
6.
7.
8.
9. 10.
11.
12.
13. 14.
15.
16.
17.
Fitzpatrick’s dermatologic in general medicine. New York: McGraw-Hill Companies Inc; 2008. p. 146–58. Bever HV. Eczema or atopic dermatitis. In: Disease in children allergic the science, the superstition and the stories. Singapore: World Scientific Publishing Co; 2009. p. 110–39. Bieber T. Mechanism of disease: Atopic dermatitis. The New England J of Med 2008; 358: 1483–94. Proksch E, Folster-Holst R, Jensen J. Epidermal barrier in atopic dermatitis. In: Bieber T, Leung DY, editors. Atopic dermatitis. 2nd ed. New York: Replika Press; 2009. p. 69–86. Sator PG, Schmidt JB, Honigsmann H. Comparison of epidermal hydration and skin surface lipids in healthy individuals and in patients with atopic dermatitis. J of Am Acad Dermatol 2003; 48: 352–8. Yamamoto A, Serizawa S, Ito M. Stratum corneum lipid abnormalities in atopic dermatitis. Arc Dermatol Research 1991; 283: 219–23. Jensen J, Proksch E, Elias PM. The stratum corneum of the epidermis in atopic dermatitis. In: Elias PM, Feingold KR, editors. Skin barrier. New York: Taylor and Francis Group; 2006. p. 569–89. Melnik B, Hollmann J, Hofmann U. Lipid composition of outer stratum corneum and nails in atopic and control subjects. Arch Dermatol Research 1990; 282: 549–51. Buggiani G, Ricceri F, Lotti T. Atopic dermatitis. Dermatol Ther 2008; 21: 96–100. Kim D, Park J, Na G. Correlation of clinical features and skin barrier function in adolescent and adult patients with atopic dermatitis. The Int Soc of Dermatol 2005; 45: 698–701. Wasitaatmadja SM. Faal kulit. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI; 2007. hal. 7–8. Holleran WM, Takagi Y. Stratum corneum lipid processing: the final steps in barrier formation. In: Elias PM, Feingold KR, editors. Skin barrier. New York: Taylor and Francis Group; 2006. p. 231–59. Rawlings AV, Harding CR. Moisturization and skin barrier function. Dermatol Ther 2004; 17: 43–8. Elias PM, Feingold KR. Permeability barrier homeostasis. In: Elias PM, Feingold KR, editors. Skin barrier. New York: Taylor and Francis Group; 2006. p. 337–61. Uchiyama T, Nakano Y, Ueda O. Oral intake of glucosylceramide improves relatively higher level of transepidermal water loss in mice and healthy human subjects. J of Health Sci 2008; 54: 559–66. Feingold KR. The role of epidermal lipids in cutaneous permeability barrier homeostasis. J of Lipid Research 2007; 48: 2531–46. Schmuth M, Jiang YJ, Dubrac S. Peroxisome proliferator-activated receptors and liver X receptors
53
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin
18.
19.
20.
21.
54
in epidermal biology. J of Lipid Research 2008; 49: 499–509. Okamoto R, Arikawa J, Ishibashi M. Sphingosylphos phorylcholine is upregulated in the stratum corneum of patients with atopic dermatitis. J of Lipid Research 2003; 44: 93–102. Van Gool CJ, Zeegers MP, Thijs C. Oral essential fatty acid supplementation in atopic dermatitis: a metaanalysis of placebo-controlled trials. Br J Dermatol 2004; 150: 728–40. Baumann L. Cosmetic and skin care in dermatology. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA editors. Fitzpatrick’s dermatologic in general medicine. New York: McGraw-Hill Companies Inc; 2008. p. 2357–63. Uchida Y, Hamanaka S. Stratum corneum ceramides: function, origins, and therapeutic applications. In:
Vol. 24 No. 1 April 2012
22. 23.
24.
25.
Elias PM, Feingold KR, editors. Skin barrier. New York: Taylor and Francis Group; 2006. p. 43–64. Johnson AW. Overview: fundamental skin careprotecting the barrier. Dermatol Ther 2004; 17: 1–5. Soma Y, Kashima M, Imaizumi A, et al. Moisturizing effects of topical nicotinamide on atopic dry skin. Int J of Dermatol 2005; 44: 197–202. Lee CH, Chuang HY, Shih CC. Transepidermal water loss, serum IgE and β-endorphin as important and independent biological markers for development of itch intensity in atopic dermatitis. Br J of Dermatol 2006; 154: 1100–7. Boguniewicz M. Conventional topical treatment of atopic dermatitis. In: Bieber T, Leung DY, editors. Atopic dermatitis. 2nd ed. New York: Replika Press; 2009. p. 349–77.