1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penyakit alergi memiliki
pola perjalanan penyakit tersendiri yang
menggambarkan dermatitis atopik pada periode bayi akan berlanjut menjadi rhinitis alergika, alergi makanan dan atau asma. Perjalanan penyakit alergi dipengaruhi oleh faktor genetik, dan faktor lingkungan mulai dari masa intrauterin sampai dewasa (Wahn, 2004). Manifestasi penyakit alergi dapat dicegah dengan melakukan deteksi dan intervensi dini, salah satunya adalah dengan identifikasi kelompok risiko tinggi atopi melalui riwayat atopi keluarga (Harsono, 2005). Penyakit alergi seperti dermatitis atopik, rhinitis alergika, asma dan urtikaria adalah keadaan atopi yang cenderung terjadi pada kelompok keluarga dengan kemampuan produksi IgE yang berlebihan terhadap rangsangan lingkungan (Harsono, 2005). Dermatitis atopik merupakan penyakit peradangan kulit yang bersifat kronis, dengan onset puncak terjadi pada usia kurang dari 12 bulan dan sebagian besar kasus dermatitis atopik terjadi pada beberapa tahun pertama dalam kehidupan (Moore dkk., 2004; Illi dkk., 2004). Dermatitis atopik merupakan manifestasi paling dini dari penyakit alergi. Sebesar 50% penderita dermatitis atopik akan menjadi asma dan 75% menjadi rhinitis alergika (Spergel dan Schneider, 1999; Won Oh dkk., 2007). Penelitian The Copenhagen Prospective Study on Asthma in Childhood Cohort Study in High-Risk Children ( COPSAC) pada tahun 2006 menunjukkan
2
bahwa insiden kumulatif dermatitis atopik pada 3 tahun pertama sebesar 40%, dimana identifikasi gejala dermatitis atopik pertama kali pada usia 1 bulan (Halkjaer dkk., 2006). Angka kejadian dermatitis atopik meningkat 2-3 kali dalam beberapa dekade terakhir, dan telah menjadi masalah kesehatan di beberapa negara berkembang (Lee dkk., 2004). Peningkatan kejadian dermatitis atopik menimbulkan dampak beragam di antaranya biaya pengobatan yang tinggi. Pada dermatitis atopik derajat sedang diperlukan sedikitnya 6 minggu terapi dengan steroid pada 12 bulan pertama kehidupan dengan biaya pengobatan yang melebihi penyakit diabetes mellitus tipe juvenile (Moore dkk., 2004). Dermatitis atopik merupakan hasil interaksi faktor genetika dan lingkungan termasuk interaksi fetoplasenta, alergen ruangan dan polusi udara serta nutrisi. Beberapa penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa atopi pada masa anak kemungkinan disebabkan kelainan genetika, dimana kembar monozigot lebih berisiko dibandingkan dengan kembar heterozigot dan orang tua dengan penyakit alergi memiliki anak-anak yang berisiko tinggi mengalami asma (Liu dkk., 2003). Uehara dan Kimura pada tahun 1993 melaporkan pada 60% orangtua dengan dermatitis atopik memiliki anak yang menderita dermatitis atopik. Prevalensi dermatitis atopik anak sebesar 81% apabila kedua orang tuanya menderita dermatitis atopik, dan menjadi 59% bila hanya salah satu dari orang tuanya menderita dermatitis atopik dan pasangannya menderita alergi saluran napas. Prevalensi menjadi 56% bila salah satu orangtuanya menderita dermatitis atopik sedangkan pasangannya tidak menderita alergi saluran napas ataupun dermatitis atopik (Boediardja, 2004).
3
Pencegahan primer alergi pada awal kehidupan bayi sangat penting, karena ketika respons IgE sudah dimulai maka kaskade inflamasi alergi akan terus berlangsung sepanjang masa bayi dan kemudian sensitisasi terhadap alergen lain akan terjadi. Pencegahan primer sebaiknya dimulai sebelum terjadi sensitisasi terhadap alergen. Beberapa intervensi awal yang dapat dilakukan adalah dengan mengidentifikasi populasi risiko tinggi dan manipulasi lingkungan antara lain penghindaran asap rokok (Harsono, 2005). Salah satu cara identifikasi populasi risiko tinggi di Indonesia adalah melalui penentuan nilai atopi keluarga terhadap janin/bayi baru lahir dengan kartu deteksi dini risiko alergi Ikatan Dokter Anak Indonesia – Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (IDAI-POGI). IDAI bekerja sama dengan POGI telah melakukan sosialisasi kartu deteksi dini sejak tahun 2005, yang kemudian diperbarui pada tahun 2009 (IDAI, 2009). Pengaruh faktor lingkungan, higiene dan gaya hidup dalam peningkatan kejadian penyakit alergi menyebabkan perlunya evaluasi peranan kartu deteksi dini alergi, yang hanya mengklasifikasikan tingkat risiko alergi berdasarkan faktor atopi keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan membandingkan kejadian dermatitis atopik berdasarkan nilai atopi dalam kartu deteksi dini keluarga.
1.2 Rumusan Masalah Apakah kejadian dermatitis atopik pada bayi usia 0-4 bulan dengan nilai atopi lebih dari 0 lebih tinggi daripada nilai atopi 0?
4
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan Umum Mengetahui perbandingan kejadian dermatitis atopik pada bayi usia 04 bulan dengan nilai atopi 0 dan nilai atopi lebih dari 0.
1.3.2
Tujuan Khusus
1. Mengetahui perbandingan risiko dermatitis atopik pada bayi usia 0-4 bulan antara bayi dengan riwayat atopi positif (nilai atopi keluarga > 0) dan tanpa riwayat atopi (nilai atopi keluarga = 0). 2. Mengetahui perbandingan risiko dermatitis atopik pada bayi usia 0-4 bulan antara bayi dengan tingkat risiko sedang (nilai atopi keluarga 1-3) dengan tingkat risiko tinggi (nilai atopi keluarga 4-6). 3. Mengetahui waktu munculnya dermatitis atopik berdasarkan nilai atopi keluarga (0, dan >0).
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat praktis Penelitian ini membantu meningkatkan kesadaran tenaga medis akan peran riwayat atopi keluarga terhadap kejadian dermatitis atopik sehingga identifikasi populasi risiko tinggi dapat terlaksana dan mengurangi kejadian dermatitis atopik.
5
2. Manfaat akademik Penelitian ini dapat memberi masukan dan tambahan ilmu pengetahuan baru bagi sejawat dokter spesialis obstetri dan ginekologi, spesialis dokter anak, dokter umum dan bidan, serta mahasiswa kedokteran, sehingga kartu deteksi dini risiko alergi dapat menjadi salah satu sarana pembelajaran dalam mengklasifikasikan tingkat risiko alergi bayi/janin. Selanjutnya diharapkan penelitian ini dapat menjadi dasar penelitian lebih lanjut.
6
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Atopi 2.1.1 Definisi Atopi berasal dari bahasa Yunani, atopos, yang berarti strange diseases atau out of place, dalam bahasa Indonesia berarti di luar kebiasaan atau penyakit yang tidak biasa dan pertama kali diperkenalkan oleh Coca dan Cooke pada tahun 1923 (Hartert dan Ker, 2009; Soebaryo, 2004; Zulkarnain, 2009). Atopi didefinisikan sebagai kecenderungan seseorang dan atau keluarga untuk membentuk antibodi IgE sebagai respon terhadap alergen (Wahn dan Mutius, 2007). Atopic march atau perjalanan alamiah penyakit alergi adalah istilah untuk menerangkan perkembangan dari kelainan atopik, dari dermatitis atopik pada bayi, alergi makanan pada bayi dan anak, rinitis alergika pada anak usia sekolah dan asma pada anak yang lebih besar dan remaja sampai dewasa. Atopi dihubungkan dengan perkembangan penyakit alergi yaitu dermatitis atopik, alergi makanan, rhinoconjunctivitis dan asma (Liu, 2006). 2.1.2 Perjalanan Alamiah Penyakit Atopi Perjalanan alamiah penyakit atopi atau yang dikenal dengan atopic march adalah perjalanan alamiah manifestasi klinis penyakit atopi, yang ditandai dengan peningkatan immunoglobulin E sebagai respon antibodi dan munculnya gejala klinis pada awal kehidupan, bertahan selama beberapa tahun atau dekade, dan menghilang secara spontan sesuai usia (Wahn dan Mutius, 2007).
7
Meskipun banyak terdapat variasi individual, manifestasi penyakit atopi sudah mulai muncul pada dekade pertama kehidupan, seiring dengan maturnya sistem imun. Gejala klinis seringkali tidak tampak pada saat lahir. Produksi IgE sudah dimulai sejak umur kehamilan 11 minggu namun sensitisasi spesifik terhadap alergen makanan ataupun inhalan tidak dapat dideteksi dengan metode standar (Wahn dan Mutius, 2007). Insiden tertinggi dermatitis atopik dan alergi makanan adalah pada 2 tahun pertama kehidupan. Penyakit alergi yang sering terjadi pada umur 0 – 3 bulan adalah dermatitis atopik, alergi makanan, dan wheezing. Kemudian disusul dengan asma, rhinitis alergika, rhinoconjunctivitis yang seperti berbaris membentuk allergic march (Liu dkk., 2003). Sofranac, 2008 melaporkan peningkatan risiko asma pada sejumlah 169 anak dermatitis atopik yang diikuti selama 4 tahun. Meskipun dermatitis atopik meningkat pada 51% dan menghilang pada 34% pasien, 15% pasien dengan dermatitis atopik persisten memiliki risiko lebih besar terhadap asma. Sesuai dengan penelitian lain, penelitian ini juga menunjukkan bahwa sensitisasi yang terjadi lebih awal lebih beresiko terhadap penyakit asma. Penelitian ISAAC (International Study of Asthma and Allergies in Childhood) tahun 2003 yang meneliti prevalensi dermatitis atopik, rhinitis allergika dan asma di seluruh dunia dengan menggunakan kuesioner yang tervalidasi, menunjukkan adanya hubungan kuat antara prevalensi dermatitis atopik dengan prevalensi rhinitis alergika dan asma. Prognosis asma lebih baik pada anak yang tanpa riwayat dermatitis atopik. Pada evaluasi perjalanan penyakit asma selama 10 tahun pada pasien asma tanpa
8
riwayat dermatitis atopik, 41% pasien membaik, 52% menjadi asma ringan, dan 5% menjadi asma berat. Sebaliknya, pada penderita asma dengan riwayat dermatitis atopik didapatkan 34% membaik, 54% menjadi asma ringan dan 11% menjadi asma berat atau meninggal (Paller and Spergel, 2003).
Gambar 2.1. Grafik Allergic March (Dikutip dari Liu, 2006) Terdapat 4 karakteristik utama dalam perjalanan alamiah penyakit alergi, yaitu dermatitis atopik, alergi makanan, rhinitis alergika dan asma. Alergi makanan dan dermatitis atopik muncul pertama kali, tidak langsung setelah lahir, tetapi pada bulan awal kehidupan. Kondisi ini dapar berlanjut dan berkembang pada beberapa anak selama usia pra sekolah. Rhinitis alergika dan asma mulai tampak pada usia 3-4 tahun dan berlanjut sampai usia sekolah. Anak-anak yang mengalami dermatitis atopik dan atau alergi makanan sering berlanjut menjadi rhinitis alergika dan asma (Liu, 2006; Hartert dan Ker, 2009). 2.1.3 Pencegahan Primer Penyakit Atopi Pencegahan primer terhadap alergi pada trimester pertama kehidupan bayi sangat penting, karena sekali respons IgE yang sudah dimulai, kaskade
9
inflamasi alergi akan terus berlangsung sepanjang usia kehidupan bayi, dan sensitisasi terhadap allergen makanan yang lain akan terjadi. Beberapa intervensi yang bisa dilakukan antara lain : identifikasi populasi risiko tinggi, manipulasi lingkungan antara lain dengan diet eliminasi, pencegahan primer, dan pencegahan sekunder (Harsono, 2005). Telah diketahui bahwa alergi erat kaitannya dengan faktor genetik. Pada saat ini beberapa petanda pada region kromosom spesifik telah ditemukan dan berhubungan erat dengan dermatitis atopik atau asma, sedangkan region lain bertanggung jawab pada manifestasi alergi yang lain. Di masa yang akan datang, bila penelitian genetik ini membuahkan hasil, akan bermanfaat dalam berperan menentukan tindakan pencegahan primer, atau tindakan pengobatan yang tepat (Harsono, 2005). Pencegahan primer ditujukan pada populasi dengan risiko tinggi, tetapi belum menunjukkan gejala alergi. Pencegahan primer sebaiknya : 1) dapat dilaksanakan pada keseluruhan populasi, 2) tidak beresiko, dan 3) murah (Wahn, 2004). Pada umumnya disepakati bahwa pencegahan primer dimulai sedini mungkin sebelum terjadi sensitisasi (Harsono, 2005). 2.1.3.1 Pemeriksaan IgE Tali Pusat Produksi IgE dimulai di hepar fetus dan paru-paru pada minggu ke 11 kehidupan intrauterine, di cairan amnion pada minggu ke 13 dan di lien pada minggu ke 21. Akan tetapi, sel yang memproduksi IgE masih jarang sampai bayi berusia 9 bulan. Beberapa sel IgE+ dapat dideteksi di plasenta tetapi tidak ada bukti yang menunjukkan adanya produksi lokal IgE. Antibodi terhadap makanan
10
yang dikonsumsi ibu hamil telah ditemukan di cairan amnion. Fetus tidak dapat merespon dengan antibodi IgE melawan antigen makanan yang dikonsumsi ibu. Beberapa antigen dapat melewati barier plasenta, yang bersifat permeabilitas selektif, dimana hanya IgG yang dapat melewatinya, karena arteri tali pusat tidak dapat mengangkut IgE ibu, IgA dan IgM (Cantani, 2008). Beberapa penelitian mengenai kadar IgE tali pusat mengemukakan mengenai beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap kadar IgE tali pusat. Faktor yang berhubungan dengan peningkatan kadar IgE tali pusat adalah riwayat atopi pada orang tua dan atau kadar IgE orang tua yang tinggi, umur kehamilan < 38 minggu, paparan intrauterin terhadap alkohol dan atau kafein, paparan intrauterin terhadap progesterone dan metoprolol, jenis kelamin laki-laki, riwayat atopi maternal, riwayat merokok selama kehamilan, faktor yang berhubungan dengan tali pusat seperti kontaminasi oleh darah ibu, tehnik pengambilan sampel darah tali pusat, musim ketika lahir dimana kadar IgE lebih tinggi pada musim semi dan musim dingin (Cantani, 2008). Pemeriksaan kadar IgE telah lama dikembangkan untuk menegakkan diagnosis penyakit alergi. Croner dkk. pada tahun 1990 melakukan evaluasi terhadap 1701 anak dari lahir sampai usia 11 tahun, didapatkan 82% anak dengan peningkatan kadar IgE tali pusat sampai 0,9 UI/ml (nilai normal : 0,12 – 1,28 kU/l) berkembang menjadi penyakit alergi, dimana 68% yang telah tegak dan 15% masih kemungkinan. Dari penelitian tersebut didapatkan sensitifitas sebesar 26%, spesifisitas 94% dan efektifitas sebagai metode skrining sebesar 72%. Hansen dkk. mengambil kesimpulan bahwa kadar IgE tali pusat tidak dapat
11
digunakan sebagai faktor prediktif resiko atopi pada bayi, dengan hasil penelitian PPV (Positive Predictive Value) 44-48% dan sensitifitas sebesar 15-17 % dibandingkan dengan sensitifitas riwayat atopi keluarga positif sebesar 55-58%. Peneliti sepakat bahwa meskipun sensitif tetapi pemeriksaan kadar IgE tali pusat tidak dapat digunakan sebagai marker untuk memperkirakan perkembangan penyakit atopi dan bukan sebuah metode skrining untuk pencegahan primer alergi yang baik (Cantani, 2008). 2.1.3.2 Nilai Atopi Keluarga Pemeriksaan IgE tali pusat dianggap belum dapat digunakan sebagai marker untuk mendeteksi resiko penyakit atopik atau sebagai metode skrining untuk pencegahan primer alergi. Sambil menunggu tersedianya metode skrining atau marker yang sensitif dan spesifik serta mudah diaplikasikan, maka para peneliti sepakat untuk menggunakan riwayat atopi keluarga sebagai strategi dalam pencegahan penyakit alergi, salah satunya melalui metode dari Kjellman yaitu dalam bentuk skor nilai atopi keluarga (family atopy score) (Cantani, 2008). Para peneliti dalam mengambil kesimpulan bahwa metode yang paling tepat saat ini untuk memprediksi penyakit atopi adalah skor nilai atopi keluarga. Hubungan antara riwayat atopi keluarga dengan dermatitis atopik memiliki sensitifitas 80% dan spesifitias 85% (p<0,01), dan dapat digunakan sebagai identifikasi dini resiko alergi pada neonatus (Cantani, 2008).
12
Tabel 2.1 Skor nilai atopi keluarga (family atopy score) berdasarkan anamnesis riwayat atopi keluarga Skor Keluarga Dinyatakan Diduga Ayah 2 1 Ibu 2 1 Saudara kandung 2 1 (Dikutip tanpa modifikasi dari Cantani, 2008)
2.1.3.3 Kartu Deteksi Dini Risiko Alergi IDAI POGI Kartu deteksi dini risiko alergi IDAI POGI adalah kartu yang berisi tabel penilaian nilai atopi keluarga, yang berfungsi untuk menentukan tingkat risiko alergi pada janin/ bayi baru lahir, yang dikeluarkan oleh IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) dan POGI (Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia). Dalam kartu deteksi dini disebutkan bahwa apabila kedua orang tua tidak memiliki riwayat alergi maka sekitar 5-15% bayi berisiko terkena alergi, apabila kedua orang tua tidak memiliki riwayat alergi tetapi satu saudara sekandung terkena alergi maka sekitar 25-30% bayi berisiko terkena alergi. Apabila salah satu orang tua memiliki riwayat alergi maka 40% bayi berisiko terkena alergi, dan apabila kedua orang tua memiliki riwayat alergi maka 40-60% bayi berisiko terkena alergi. Bila kedua orang tua memiliki manifestasi alergi yang sama, maka risiko terkena alergi meningkat 60-80% (IDAI, 2009). Nilai atopi keluarga diberikan kepada semua anggota keluarga dengan tanda-tanda alergi seperti dermatitis/ eksim, diare, muntah, kolik, pilek, nafas berbunyi dan asma. Nilai 2 diberikan kepada anggota keluarga yang dinyatakan oleh dokter atau secara medis terkena alergi, nilai 1 diberikan kepada anggota
13
keluarga yang diduga terkena alergi, dan nilai 0 diberikan kepada anggota keluarga yang tanpa riwayat alergi apapun. Nilai atopi keluarga yang diperoleh kemudian dijumlahkan dan dibagi menjadi 3 kelompok besar yaitu nilai atopi 0, 1-3 dan 4-6. Nilai atopi keluarga 0 merupakan tingkat risiko kecil (5-15%), nilai atopi 1-3 merupakan tingkat risiko sedang (20-40%), dan nilai atopi 4-6 merupakan tingkat risiko tinggi (40-60%) (IDAI, 2009). Tabel 2.2 Kondisi riwayat alergi keluarga dan nilai atopi dalam kartu deteksi dini risiko alergi IDAI POGI Kondisi
Nilai
Ibu, bapak dan atau salah satu saudara sekandung janin/bayi
2
yang dinyatakan oleh dokter atau secara medis terkena alergi Ibu, bapak dan/atau salah satu saudara sekandung janin/bayi
1
diduga terkena alergi Ibu, bapak dan atau salah satu saudara sekandung janin/bayi
0
tanpa riwayat alergi apapun ( Dikutip tanpa modifikasi dari IDAI, 2009)
Tabel 2.3 Total nilai atopi keluarga dan tingkat risiko alergi bayi/janin Total Nilai Atopi Keluarga
Tingkat risiko alergi bayi/janin
0
Risiko kecil
1-3
Risiko sedang
4-6
Risiko tinggi
(Dikutip tanpa modifikasi dari IDAI, 2009)
14
2.2 Dermatitis Atopik 2.2.1 Definisi Dermatitis atopik adalah suatu penyakit kulit kronis, berulang, ditandai dengan adanya inflamasi dan disertai rasa gatal yang hebat, dan distribusinya pada tempat-tempat tertentu dari tubuh (Beck, 2004; Sicherer dan Sampson, 2004; Leung, 2003; Williams, 2005) ditandai dengan eritema dengan batas tidak tegas, disertai edema, vesikel, dan basah pada stadium akut, dan penebalan kulit (likenifikasi) pada stadium kronis (Williams, 2005). Dermatitis atopik lebih sering terjadi saat masa kanak-kanak (Beck, 2004; Sicherer dan Sampson, 2004; Leung, 2003). Dermatitis atopik sering dihubungkan dengan penyakit atopi yang lain seperti asma, rhinitis alergi, urtikaria, dan alergi makanan (Krafchik, 2008). Beck (2004) mengatakan pasien dermatitis atopik yang parah dengan kadar IgE yang cukup tinggi, perjalanan penyakitnya akan mengarah ke penyakit-penyakit atopik lain seperti rinitis alergika (60%), atau asma atopik (30%). Dengan demikian fokus penanganan dermatitis atopik sejak dini ini adalah pada allergic march, yaitu mencegah perjalanan penyakit dermatitis atopik ini ke arah rinitis alergi atau asma. Meskipun disebut atopik, 60 % anak dengan gambaran klinik dermatitis atopik, tidak memperlihatkan sensitisasi
yang dimediasi oleh IgE terhadap
alergen (Williams, 2005). 2.2.2 Epidemiologi Menurut International Study of Asthma and Allergies in Childhood, prevalensi dari gejala dermatitis atopik pada anak berumur 6-7 tahun selama
15
periode 1 tahun, bervariasi dari kurang dari 2 persen di Iran dan Cina, sampai sekitar 20 persen di Australia, Inggris , dan Skandinavia (Williams, 2005). Insiden dermatitis atopik, seperti juga asma tampaknya meningkat di daerah perkotaan di negara-negara barat, dengan estimasi sebanyak 2,5 kali lipat dari tahun 1960 sampai tahun 1990 di Eropa utara (Beck, 2004). Pada bayi dengan risiko tinggi, 48-65% kasus dermatitis atopik ditemukan pada usia 6 bulan pertama, dimana sebagian besar ditemukan pada usia kurang dari 4 bulan yaitu sebesar 57%, sejumlah 75-80% kasus terjadi pada usia kurang dari 1 tahun, dimana prevalensi laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan yaitu 1,5 : 1 (Cantani, 2008). Survey di negara berkembang menunjukkan 10-20% anak menderita dermatitis atopik. Hanya sedikit penelitian epidemiologi dermatitis atopik pada etnis Asia. Di Singapura prevalensi dermatitis atopik pada anak sekolah kelas 1 dan 6 tingkat sekolah dasar dan kelas 1 sekolah menengah atas sebesar 20,8%. Rasio pria dan wanita kurang lebih sama, pria sedikit lebih banyak pada usia 7 dan 12 tahun sedangkan pada kelompok usia 16 tahun wanita sedikit lebih banyak. Prevalensi pada ras Cina dan Melayu lebih tinggi daripada India, kebanyakan kelainan kulit ini timbul saat usia kurang dari 10 tahun pada kelompok usia 16 tahun. Pada populasi anak kembar, 37% terdapat riwayat dermatitis atopik pada ibu atau bapaknya. Di Hongkong prevalensi dermatitis atopik sebesar 20,1% pada anak usia 7-9 tahun. Di Indonesia tahun 2000 ditemukan 23,67% kasus baru dermatitis atopik anak dari 611 kasus baru penyakit kulit lainnya dan berada pada peringkat pertama dari 10 penyakit kulit anak terbanyak pada 7 rumah sakit pendidikan di lima kota di Indonesia (Jacoeb , 2004).
16
2.2.3 Patofisiologi Patofisiologi dermatitis atopik adalah adanya disfungsi imun yang menyebabkan terbentuknya IgE, dan gangguan barrier epitel kulit. Teori hipotesis yang pertama disebut juga teori imun hipotesis, menyatakan pada individu yang sehat, terdapat keseimbangan antara 2 subpopulasi sel T yang utama yaitu Th1 dan Th2. Tetapi pada individu tertentu terdapat ketidakseimbangan dimana terdapat dominansi Th2, yang mengakibatkan diproduksinya sitokin yaitu interleukin (IL) 4, IL-5, IL-13 dan granulocyte macrophage colony-stimulating factor (GM CSF), yang menyebabkan peningkatan jumlah IgE dan menurunkan kadar interferon gamma. Namun demikian pada dermatitis atopik yang kronis, jenis sel Th1 yang dominan. Selain kedua sub populasi sel T tersebut, sel lain yang juga terlibat dalam proses ini adalah sel Langerhans, keratinosit, dan sel B (Krafchik, 2008). Hipotesis yang kedua melibatkan defek fungsi barier dari stratum korneum epitel kulit pada pasien dermatitis atopik, yang memudahkan masuknya antigen yang berakibat pada terbentuknya sitokin inflamasi. Xerosis juga diketahui berhubungan dengan gejala pada dermatitis atopik. Bukti-bukti menunjukkan bahwa terdapat kehilangan fungsi yang kompleks akibat mutasi dari gen filaggrin (FLG) pada pasien dermatitis atopik di Eropa dan mutasi filaggrin tipe yang lain di Jepang. Gen ini bermutasi pada pasien dengan ichthyosis vulgaris yang berhubungan dengan dermatitis atopik dengan onset pada masa awal kehidupan dan penyakit pada saluran nafas pada pasien dermatitis atopik. Perubahan ini hanya terlihat pada 30 % pasien di Eropa, sehingga memunculkan
17
dugaan bahwa faktor genetik berperan pada patogenesis penyakit dermatitis atopik (Krafchik, 2008). Pada
dermatitis
atopik,
terjadi
peningkatan
kehilangan
air
transepidermal, defek pada badan lamelar yang disebabkan oleh ketidakknormalan produksi ceramide karena defek pada filagrin. Inflamasi yang terjadi disebabkan kerusakan epidermal barrier secara primer ataupun sekunder, sampai saat ini belum diketahui dengan jelas, tetapi dengan diketahuinya keterlibatan filaggrin dalam disrupsi epitel, dapat dijelaskan bahwa hal ini dapat meningkatkan penetrasi dari alergen lingkungan, yang bertanggung jawab pada patogenesis terjadinya dermatitis atopik (Krafchik, 2008; Soebaryo, 2004). 2.2.4. Respon Imun Sistemik Penderita dermatitis atopik memiliki kadar eosinofil darah tepi dan kadar IgE serum yang tinggi. Hampir 80 % anak dengan dermatitis atopik akan berkembang menjadi rinitis alergika atau asma. Sensitisasi alergen melalui kulit merupakan suatu predisposisi terjadinya penyakit saluran pernafasan karena efeknya pada respon alergi sistemik (Soebaryo, 2004). Sel T dari penderita dermatitis atopik memproduksi interleukin (IL) 4, IL-5, dan IL-13, tetapi hanya sedikit memproduksi interferon gamma. Perubahan imunologi ini sangat penting karena IL-4 dan IL-13 adalah satu-satunya sitokin yang menginduksi transkripsi dari germline pada Cε ekson, sehingga memicu perubahan ke arah IgE. IL-4 dan IL-13 juga menginduksi ekspresi adesi molekul vaskuler seperti molekul-1 yang terlibat dalam infiltrasi eosinofil dan down regulation dari aktivitas sitokin Th1. IL-5 berperan dalam perkembangan,
18
aktivasi, dan kelangsungan hidup dari sel eosinofil. Sebaliknya, IFN γ manghambat sintesis IgE sama seperti penghambatannya pada proliferasi Th2 dan ekspresi reseptor IL-4 pada sel T. Berkurangnya produksi IFN γ oleh sel T pada pasien dermatitis atopik, merupakan hasil dari berkurangnya produksi IL-18. Sel T sitotoksik juga ditemukan menurun pada pasien dermatitis atopik (Leung, 2003). Pada pasien dermatitis atopik terdapat peningkatan kecenderungan untuk mengalami infeksi bakteri, virus, dan jamur kulit. Staphylococcus aureus ditemukan pada 90% dari lesi kulit pada dermatitis atopik. Lesi kulit pada sebagian pasien dermatitis atopik, terdapat S. aureus yang mensekresi superantigen seperti enterotoksin A, B, dan toxin shock syndrome toksin-1. Kebanyakan pada pasien dermatitis atopik, lesi kulitnya ditemukan adanya produksi antibodi IgE spesifik yang secara langsung melawan superantigen yang dikeluarkan oleh staphylococcus. Hal ini meningkatkan kemungkinan bahwa superantigen menginduksi terbentuknya IgE spesifik pada pasien dermatitis atopik dan degranulasi sel mast in vivo jika superantigen berpenetrasi melalui barrier epitel yang rusak (Leung, 2003). Salah satu faktor penting pada memberatnya dermatitis atopik adalah siklus gatal dan menggaruk. Trauma yang berulang pada keratinosit berakibat pada dilepaskannya beberapa sitokin. Sitokin–sitokin penting yang dilepaskan termasuk IL-1 dan TNF- α. IL-1 dan TNF- α dan sitokin yang sejenis diperlukan untuk menginduksi adesi molekul yang menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi
19
yang lain menuju kulit. Baik sel lokal maupun sel yang menginfiltrasi, sama-sama menghasilkan inflamasi (Won-Oh dkk., 2007).
2.2.5 Faktor Risiko 2.2.5.1. Genetik Dermatitis
atopik
merupakan
suatu penyakit
kompleks
yang
merupakan hasil interaksi beberapa faktor. Beberapa gen telah diidentifikasi dapat menjelaskan beberapa kasus namun faktor genetik bukan faktor tunggal penyebab dermatitis atopik. Peran lingkungan ikut berperan penting, seperti dalam penelitian pada anak Jamaica yang tinggal di London memiliki risiko 2 kali lipat lebih tinggi untuk mengalami dermatitis atopik dibanding anak-anak Jamaica yang tinggal di Jamaica (Boediardja, 2004; William, 2008; Soebaryo, 2004). Transmisi dari gen pembawa risiko atopi ini berasal dari beberapa lokus gen (Schafer, 2006). Penurunan gen risiko atopi ini sangat kuat berasal dari gen ibu dan ditemukan bahwa terdapat peran yang potensial dari kromosom 5q3133 yang terkandung dalam keluarga gen sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan GMCSF yang diekspresikan oleh sel Th2 (Leung, 2003). Menurut Janeway dkk. (2001), kromosom 11q dan 5q mempunyai peran yang penting dalam atopi, dimana gen-gen pada kromosom ini mengkode subunit β dari reseptor IgE yang memiliki afinitas tinggi. Kromosom 5 terdiri kelompok gen yang diantaranya mengkode IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-12, IL-13 dan granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF). Sitokin-
20
sitokin ini sangat penting dalam aktifitas IgE, kelangsungan hidup eosinofil, dan proliferasi sel mast. Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Moore dkk. (2004) tentang faktor prediktor perinatal terhadap dermatitis atopik pada 6 bulan pertama kehidupan, didapatkan bahwa riwayat keluarga atopi memiliki risiko lebih besar untuk terjadinya dermatitis atopik, dan riwayat atopi pada ibu memiliki risiko lebih besar dibandingkan dengan riwayat atopi pada ayah. Riwayat dermatitis atopik pada orangtua adalah faktor risiko penting terjadinya dermatitis atopik pada anak, dan kejadian dermatitis atopik pada kembar monozigot lebih tinggi daripada kembar dizigot (Boediardja, 2004; Liu dkk., 2003). 2.2.5.2. Alergen Makanan Pada
awal
abad
ke-20,
Schloss,
Talbot,
dan
Blackfan
mempublikasikan suatu laporan kasus mengenai perbaikan klinis yang dialami oleh pasien dermatitis atopik setelah dilakukan penghindaran terhadap makananmakanan tertentu dalam diet mereka. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa alergen menginduksi aktivasi sel mast yang dimediasi IgE dan menghasilkan suatu hasil akhir berupa reaksi hipersensitifitas yang dikarakteristikkan dengan adanya infiltrasi monosit dan limfosit pada jaringan, contohnya kulit. Pola dari ekspresi sitokin yang ditemukan pada limfosit yang menginfiltrasi lesi dermatitis atopik yang akut adalah predominan Th2, IL-4, IL-5, IL-13. Sebagai tambahan, sitokin-sitokin ini memicu masuknya eosinofil yang telah aktif, dan melepaskan produk-produk dari eosinofil. Sel Langerhans yang menghasilkan IgE, diregulasi
21
oleh sitokin-sitokin ini sehingga menjadi sangat efisien dalam tugasnya mengantarkan alergen pada sel T (Leung, 2003). Fiocchi dkk. dalam review-nya terrhadap sedikitnya 15 penelitian dari tahun 1975 sampai tahun 2003, didapatkan alergen susu sapi paling sering menimbulkan alergi (Sinagra dkk, 2007). Pada penelitian yang dilakukan oleh Rennick dkk. (2006), dilakukan skin prick test alergen makanan pada populasi bayi dermatitis atopi derajat sedang dan berat yang mendapat ASI. Didapatkan 91,5 % positif terhadap satu atau lebih alergen makanan di antaranya susu sapi, putih telur, kacang dan gandum. Menurut Hanifin (1992), diperkirakan alergen makanan diabsorpsi melalui usus halus, kemudian memasuki sirkulasi dan terikat dengan sel mast yang telah tersensitisasi dengan IgE spesifik di kulit. Interaksi ini akan melepaskan histamin dan mediator-mediator lain yang menyebabkan eritema dan pruritus. Hal yang mendukung perkiraan mekanisme ini adalah pada pasien dermatitis atopik terdapat peningkatan permeabilitas usus terhadap molekulmolekul makanan yang berukuran besar. Kemungkinan yang lain adalah mediator-mediator yang dilepaskan oleh sel mast usus, akan menuju sirkulasi dan menyebabkan reaksi pada kulit dan saluran nafas. Dermatitis atopik tidak selalu disebabkan oleh alergi makanan, tapi dapat diprovokasi oleh makanan tertentu. Suatu penelitian yang dilakukan dengan sampel pasien dermatitis atopik yang dirawat di rumah sakit, terbukti bahwa alergen makanan dapat menimbulkan eksaserbasi sebesar 32% - 40%. Yang menarik adalah alergen yang bertanggung jawab terhadap lebih dari 90% reaksi
22
tersebut adalah susu sapi, telur ayam, gandum, kedelai, kacang dan ikan. Hasil ini ternyata konsisten dengan penelitian akhir tahun 1980 dan akhir tahun 1990 (Schafer, 2006). Penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa dengan eliminasi makanan yang diperkirakan sebagai penyebab, terjadi penurunan dalam jumlah spontaneous basophil histamine release (SBHR) pada anak dengan dermatitis atopik yang telah lama mengkonsumsi makanan dimana dia alergi terhadap makanan tersebut (Leung, 2003). Beberapa penelitian klinis menunjukkan bahwa eleminasi dari alergen makanan yang relevan, dapat memberikan perbaikan gejala pada kulit, dan pemberian kembali makanan tersebut, memicu terulangnya gejala (Leung, 2003). Suatu penelitian prospektif dan acak German Infant Nutrition and Prevention Study (GINI) yang dilakukan Laubereau (2004), didapatkan data yang valid tentang efek pencegahan dermatitis atopik pada formula hipoalergenik, dimana penggunaannya dapat menurunkan insiden dermatitis atopik setelah 1 tahun pada anak tanpa predisposisi genetik. Sebaliknya, insiden dermatitis atopik menurun pada anak dengan riwayat dermatitis atopik pada keluarga hanya bila diberikan formula ekstensif hidrolisis berbasis kasein. 2.2.5.3. Pengenalan Makanan Padat Dini Pengenalan makanan padat yang terlalu dini (saat umur 4 bulan) berhubungan dengan meningkatnya risiko dermatitis atopik, karena memudahkan masuknya makromolekul dari alergen makanan melalui saluran cerna yang imatur. Imaturnya saluran cerna ini mulai dari saliva yang masih sedikit
23
menghasilkan enzim ptialin pencerna karbohidrat, pH lambung yang cukup tinggi sehingga penghancuran makanan tidak sempurna, dan tight junction usus yang masih longgar. Kombinasi ini menghasilkan makanan dalam bentuk molekul yang besar, atau disebut juga makromolekul. Komite nutrisi AAP menyarankan penundaan pemberian makanan padat sampai umur 4 bulan dimana telah terjadi maturasi dan kesiapan dari sistem saraf dan saluran cerna (Sicherer dan Sampson, 2004). Hasil sebaliknya didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Snijders dkk.(2007), bahwa tidak ada hubungan antara pemberian makanan padat dini dengan dermatitis atopik. 2.2.5.4 Aeroalergen Aeroalergen adalah suatu substansi , biasanya protein atau glikoprotein berukuran 10-50 kDa yang terdapat di udara, yang mampu untuk menginduksi respon IgE (sensitisasi) pada seseorang yang mempunyai predisposisi genetik. Aeroalergen dibedakan menjadi dua yaitu alergen luar rumah, dan alergen dalam rumah (Yunginger, 2003). a. Alergen Luar Rumah Sumber utama alergen luar rumah adalah pollen dan jamur. Paparan terhadap pollen tergantung dari jenis tanaman dan lokasi tumbuhnya. Diperkirakan 20-100 serbuk pollen/m3, cukup untuk menimbulkan sensitisasi pada individu tertentu. Serbuk pollen berdiameter antara 10-100 µm, dan kebanyakan menempati rongga hidung atau nasofaring Jamur banyak terdapat di negara-negara dengan kelembaban tinggi, termasuk Indonesia. Beberapa spesies
24
jamur yang dapat menimbulkan sensitisasi adalah Alternaria, Aspergillus, Cladosporium, dan Penicillium (Yunginger, 2003). Kebanyakan alergi pada manusia disebabkan oleh sejumlah kecil alergen protein inhalan yang dapat menimbulkan produksi IgE pada individu yang rentan. Kita menghirup banyak macam protein yang tidak semuanya menginduksi timbulnya IgE. Kebanyakan protein yang bersifat alergen inhalan berukuran sangat kecil, dan mempunyai sifat larut yang tinggi. Pada kontak dengan mukosa hidung misalnya, partikel alergen yang kecil ini, contohnya pollen, akan berdifusi ke dalam mukosa. Alergen secara tipikal dipresentasikan pada sistem imun dalam dosis yang sangat rendah, mengubah keseimbangan Th2 yang akan menginduksi produksi dari IgE dalam responnya terhadap dosis alergen yang sangat kecil ini. Produksi antibodi IgE memerlukan sel Th2 yang memproduksi Interleukin (IL) 4 dan IL-13, dan hal ini dapat dihambat oleh Th1 yang memproduksi interferon – γ (IFN-γ) ( Janeway dkk., 2001). b. Alergen dalam rumah Alergen dalam rumah contohnya tungau debu rumah, bulu binatang dan kecoa. Dilihat dari struktur dan fungsinya alergen dalam rumah adalah berupa protein atau glikoprotein dengan berat molekul 10-50 kDa. Alergen ini akan memicu diferensiasi sel T menjadi sel Th2 yang memproduksi IL-4, IL-13 dan menginduksi terbentuknya IgE (Yunginger, 2003). Tungau debu rumah (Dermatophagoides pteronyssimus), adalah suatu parasit yang menginvasi inangnya dengan cara mensekresi enzim proteolitik yang merusak keutuhan jaringan sehingga memudahkan parasit masuk ke dalam
25
jaringan host. Diduga bahwa enzim yang dihasilkan tersebut secara aktif akan memicu respon dari Th2. Alergenisitas dari Dermatophagoides pteronyssimus (Der p 1 ) ini juga dipicu oleh sifat proteolitiknya terhadap beberapa reseptor protein pada sel B dan sel T. Selain itu Der p 1 ini juga mampu memecah subunit α dari reseptor IL-2 dan CD 25 dari sel T. Hilangnya aktivitas reseptor IL-2 akan mengganggu jumlah sel Th1, sehingga akan terjadi dominansi jumlah sel Th2 (Janeway dkk., 2001). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi lesi kulit eksematous yang gatal setelah dilakukan bronchial inhalation challenge dengan aeroalergen pada pasien dermatitis atopik yang tersensitisasi dengan alergen inhalan. Aplikasi suatu aeroalergen pada permukaan kulit, menimbulkan suatu lesi kulit yang eksematoid pada 30% - 50% pasien dermatitis atopik. Reaksi positif ditimbulkan oleh alergen tungau debu rumah, bulu binatang dan jamur (Leung, 2003). Aeroalergen terutama tungau debu rumah telah lama diketahui sebagai faktor pencetus dermatitis atopik. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk meneliti hubungan antara pengurangan alergen load dan titik akhir klinis. Sebagian besar penelitian ini memiliki dampak yang bermanfaat dalam menurunkan prevalensi dermatitis atopik, meskipun penelitian-penelitian yang lebih kecil belum dapat mengkonfirmasinya. Hubungan klinis antara dermatitis atopik dengan sensitisasi terhadap tungau debu rumah dapat dilihat pada suatu penelitian epidemiologi pada 2201 anak sekolah. Dan hubungan yang linear antara derajat sensitisasi terhadap tungau debu rumah dengan derajat keparahan dermatitis atopik juga telah dilaporkan (Schafer, 2006).
26
Beberapa penelitian juga mendapatkan bahwa penghindaran terhadap aeroalergen berhasil menghasilkan perbaikan klinis pada dermatitis atopik. Data laboratorium menunjukkan bahwa terdapat antibodi IgE terhadap alergen inhalan yang spesifik pada kebanyakan pasien dermatitis atopik. Penelitian terakhir menemukan bahwa 95 % serum pasien dermatitis atopik terdapat antibody IgE terhadap alergen tungau debu rumah jika dibandingkan dengan jumlah 42 % pada pasien asma. Derajat sensitisasi alergen inhalan ini berbanding lurus dengan derajat keparahan penyakit dermatitis atopik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa respon imun pada kulit pasien dermatitis atopik ditimbulkan oleh alergen inhalan atau aeroalergen (Leung, 2003). b. Binatang dalam rumah Hubungan antara binatang dalam rumah terhadap terjadinya penyakit atopi telah banyak diteliti. Studi terdahulu mendukung bahwa binatang peliharaan merupakan faktor risiko terjadinya penyakit atopi terutama pada bayi yang berisiko tinggi. Di pihak lain, beberapa penelitian terkini mendapatkan hasil bahwa alergen tertentu malah memberikan efek pencegahan terhadap terjadinya penyakit atopi (Schafer, 2006). Moore dkk. (2004) mendapatkan adanya kecoa di dalam rumah merupakan salah satu faktor prediktor terjadinya dermatitis atopik pada 6 bulan pertama kehidupan. Binatang-binatang lain yang telah diteliti untuk hal ini adalah kelinci, tikus, guinea pig, dan pada penelitian epidemiologi di Jerman mendapatkan bahwa tikus merupakan faktor risiko dermatitis atopik, dan pada anak sekolah didapatkan peningkatan kejadian dermatitis atopik jika memelihara kelinci dan babi guinea di dalam rumah (Schafer, 2006). Metodologi
27
penelitian yang baik dan teliti diperlukan untuk mengetahui hubungan antara binatang dengan dermatitis atopik (Schafer, 2006). Penelitian-penelitian pada anak-anak yang tumbuh dan besar di peternakan menunjukkan efek protektif terhadap sensitisasi alergen dan penyakit atopi, yang diperkirakan karena paparan endotoksin (Schafer, 2006). c. Faktor lingkungan yang lain Beberapa penelitian telah meneliti hubungan antara manifestasi atopi dengan eksema dengan parameter polusi udara. Di Jerman Barat dan Timur didapatkan hubungan linear yang signifikan antara parameter paparan NOx terhadap prevalensi dermatitis atopik dengan hasil 16,5 % dibandingkan dengan 14,9 % pada kontrol. Hasil yang sama didapatkan bahwa insiden dermatitis atopik meningkat pada daerah dengan kepadatan lalu lintas yang cukup tinggi. Ekspose terhadap komponen volatil organik khususnya toluene, juga dihubungkan dengan terjadinya dermatitis atopik pada anak (Schafer, 2006). Asap rokok juga diduga berhubungan dengan dermatitis atopik. Penelitian terhadap 421 anak prasekolah yang ibunya pada waktu hamil dan menyusui merokok, memiliki angka risiko 2,3 kali dibanding dengan yang tidak merokok (Benn dkk. dkk., 2004; Schafer, 2006). Menurut Terr (2003), asap rokok memiliki efek sebagai adjuvant terhadap produksi antibodi IgE total dan IgE spesifik. 2.2.6 Gejala Klinis Gejala klinis yang spesifik yaitu adanya rasa gatal (pruritus) yang hebat, dengan tempat predileksi yang khas, berlangsung kronis dan residif, serta
28
adanya stigmata atopik pada pasien maupun anggota keluarga yang lain. Tempat predileksi merupakan hal yang paling penting untuk diketahui dari pasien dermatitis atopik. Wajah adalah daerah yang paling sering terkena pada bayi muda serta permukaan ekstensor dari lengan dan kaki pada usia 8-10 bulan. Sedangkan pada anak-anak yang lebih tua, remaja dan orang dewasa, daerah yang sering ditemukan kelainan adalah antecubital dan fossa poplitea, wajah dan leher (Zulkarnain, 2009). Berikut merupakan gejala klinis dermatitis atopik yang sering dijumpai pada bayi dan anak-anak, antara lain : 1. Pruritus Pruritus atau gatal merupakan gejala utama pada dermatitis atopik. Keluhannya dapat menjadi parah sehingga mengganggu tidur, menyebabkan pasien mudah marah, dan mengalami tekanan emosional, baik bagi dirinya ataupun keluarga terdekatnya. Kulit atopik memiliki ambang rangsang rendah terhadap gatal sedangkan rasa gatal menimbulkan keinginan menggaruk. Tindakan menggaruk yang berlangsung lama akan membuat kulit menjadi tebal (likenifikasi), ekskoriasi dan merusak sawar kulit. Kelainan kulit pada dermatitis atopik sangat bergantung pada keparahan peradangan, tahapan penyembuhan yang tidak bersamaan, garukan terus menerus dan terjadinya infeksi sekunder (Jacoeb, 2004; Zulkarnain, 2009). Histamin, neuropeptida, protease, kinin dan sitokin diduga berperan dalam rasa gatal dalam dermatitis atopik. IL-31 merupakan interleukin yang diproduksi oleh sel T yang meningkatkan kemampuan sel-sel hematopoitik dan
29
merangsang produksi sitokin dalam proses peradangan di jaringan epitel. Proses ini sangat gatal dan IL 31 dan reseptornya diekspresikan berlebihan di lokasi lesi kulit. Paparan eksotoksin S. aureus meningkatkan IL-31 di jaringan kulit (Beiber, 2008). Beberapa stimulus dikatakan sebagai perangsang timbulnya gatal, udara panas dan keringat (96%), wool (91%), tekanan emosional (81%), makanan yang memicu vasodilatasi (49%), alkohol (44%), infeksi saluran napas bagian atas (36%) dan tungau debu rumah (35%). Penderita atopik memiliki respons terhadap iritan kulit lebih besar dibandingkan dengan individu non atopik. Bahan iritan tersebut antara lain sabun, deterjen, kontak dengan jus buah, sayuran, daging, bahan kimia dan asap. Sebagai pemicu gatal, bahan iritan mampu mencetuskan dermatitis atopik,
demikian juga alergen hirup (tungau debu rumah, bulu
binatang, serbuk sari) (Jacoeb, 2004; Zulkarnain, 2009). 2. Stigmata dermatitis atopik Tanda yang dipakai untuk menentukan seseorang dalam keadaan atopi disebut dengan stigmata atopi. Bila stigmata tersebut terdapat pada kulit disebut sebagai atopic diathesis kulit. Stigmata ini secara signifikan lebih sering didapatkan pada pasien dermatitis atopik dibandingkan pada individu sehat dan dapat digunakan sebagai petunjuk untuk penegakan diagnosis dermatitis atopik. Yang termasuk dalam stigmata dermatitis atopik antara lain : a. Kulit kering (xerosis) Kelainan khas berupa kulit kering, sedikit bersisik, tanpa tanda inflamasi dan meliputi seluruh bagian tubuh. Kulit yang terkena terlihat
30
kering, kasar, kusam dan bila dioles pelembab akan segera kering kembali. Kondisi ini dimulai pada saat bayi dan menurun sesuai dengan penyakitnya. Kulit kering terjadi sebagai akibat dari kemampuan mengikat air sel keratinosit atopik yang menurun dan adanya peningkatan kehilangan air transepidermal. Ketidakmampuan fungsi sawar pada kulit atopik memudahkan penyerapan
zat
iritan
ataupun
zat
alergen,
sedangkan
berbagai
mikroorganisme, misalnya virus, bakteri dan jamur dapat menembus sawar tersebut dengan mudah. Semua keadaan tersebut mampu memicu peradangan dan merangsang gatal. Kekeringan dapat bertambah bila terkena air, sabun alkalis, udara dengan kelembaban rendah, sinar matahari, serta cuaca dingin (Cantani, 2008; Jacoeb, 2004; Santosa, 2008; Zulkarnain, 2009). b. Palmar hiperlinearlity (and soles) Pada umumnya pasien dermatitis atopik sejak lahir memiliki banyak garis palmar yang lebih dalam dan lebih nyata, menetap sepanjang hidup. Pada kondisi kronis, sebanyak 88% pasien memiliki kulit yang cenderung kering, menebal dan mudah terbelah (fisura), tergantung terhadap adanya pajanan kontak dengan faktor eksogen. Palmar hiperlinearlity (and soles) ditemukan pada 28%-88% penderita dermatitis atopik (Cantani, 2008; Santosa, 2008; Zulkarnain, 2009). c. Dennie-Morgan infraorbital fold Kelainan ini pertama kali dilaporkan oleh Dennie dan diungkapkan oleh Morgan. Kelainan ini berupa cekungan yang menyolok dan simetris, berupa satu atau dua cekungan di bawah kelopak mata bagian bawah.
31
Ditemukan pada 12%-85% penderita dermatitis atopik dari berbagai variasi etnis. Keadaan ini muncul pada saat lahir, atau segera sesudah lahir dan bertahan sepanjang hidup, nampak seperti edema dari kelopak mata bawah dan menimbulkan suatu gambaran dari atopic diathesis. Namun tanda ini bukan suatu petanda patognomonik dermatitis atopik (Cantani, 2008; Santosa, 2008; Zulkarnain, 2009). d. White dermographism Bila kulit individu tanpa dermatitis atopik digores oleh suatu benda tumpul, maka akan timbul suatu garis merah mengikuti dermografisme, yang muncul dalam waktu 15 detik di tempat goresan. Setelah itu akan diikuti (biasanya dalam 15-45 detik) dengan erythematosa (disebabkan suatu axonreflex vasodilatation dari arteriol). Respon akhirnya berupa urtika (disebabkan oleh transudasi dari cairan kapiler yang terlu ka oleh kulit yang digores dalam waktu 1-3 menit kemudian). Individu dengan dermatitis atopik menunjukkan suatu pemucatan kulit yang berlawanan dan disebut sebagai dermografisme putih. Setelah digores akan muncul lebih dulu garis merah lalu digantikan (biasanya dalam waktu 10 detik) dengan suatu garis putih tanpa disertai urtika, oleh karena itu digunakan istilah dermografisme putih. Walaupun keadaan ini tidak patognomonik untuk dermatitis atopik, tetapi kadang-kadang dapat digunakan untuk diagnosis dermatitis atopik. Keadaan ini ditemukan pada 38%-100% penderita dermatitis atopik (Cantani, 2008; Santosa, 2008; Zulkarnain, 2009).
32
e. Facial Pallor Pasien dermatitis atopik mempunyai berbagai kelainan fisiologis yang tak dapat diterangkan dan respon paradoks terhadap berbagai stimuli. Pada ujung tangan dan muka bagian sentral terutama hidung, mulut, telinga cenderung menjadi pucat bila terpajan udara dingin. Diduga hal ini disebabkan oleh adanya reaktivitas pembuluh darah yang abnormal dimana terjadi vasokonstriksi pembuluh darah kecil sehingga menimbulkan warna pucat di jaringan sekelilingnya. Keadaan ini ditemukan pada 22%-85% penderita dermatitis atopik, dimana biasanya ditemukan pada penderita dermatitis atopik yang juga mengalami white dermographism (Cantani, 2008; Santosa, 2008; Zulkarnain, 2009). f. (Peri-)Orbital darkening (Allergic shiners) Sebagian besar penderita dermatitis atopik mengalami gambaran corak biru keabuan di sekitar area mata dengan corak yang terlihat lebih nyata pada area sub orbital. Kadang-kadang meluas dan disertai dengan edema, sehingga anak tampak seperti kelelahan. Keadaan ini ditemukan pada kebanyakan pasien dermatitis atopik usia anak dan dewasa muda. (Peri-) Orbital darkening merupakan manifestasi adanya bendungan pembuluh darah, yang disebabkan oleh adanya penekanan pada pleksus venosus. Proses didahului dengan edema di hidung dan rongga paranasal dan bengkak serta perubahan warna menjadi lebih nyata akibat garukan berulang di mata dan adanya rangsangan sel melanosit (Cantani, 2008; Zulkarnain, 2009).
33
g. Tanda Herthoge Tanda ini didefinisikan sebagai suatu penipisan atau hilangnya bagian lateral alis mata. Prevalensi kejadian ini sebesar 39% pada penderita dermatitis atopik (Cantani, 2008; Zulkarnain, 2009). h. Keratosis piliaris Keratosis pilliaris adalah kelainan keratinisasi folikel rambut yang ditandai dengan adanya papul berkelompok, hyperkeratosis folikular, keras, berbentuk kerucut. Lesi ini paling banyak ditemukan di tubuh, pantat dan sisi luar dari lengan dan kaki, serta member gambaran penampilan kulit yang mirip kulit ayam yang tercabut bulunya. Keadaan ini paling sering muncul pada masa kanak-kanak, mencapai pusat insidens pada masa remaja dan akan berkurang pada masa dewasa (Cantani, 2008; Zulkarnain, 2009). i. Cheilitis Cheilitis berupa kulit yang kering dan bersisik di bagian atas dan bagian bawah bibir, seringkali muncul sejak masa kanak-kanak. Dermatitis atopik pada bibir dapat mengakibatkan bibir pecah-pecah mirip angular cheilitis dan perioral eczema. Hal tersebut mengakibatkan kebiasaan membasahi bibir dengan air liur untuk mengurangi kekeringan pada bibir dan menghilangkan sisik yang melekat. Cheilitis juga dapat disebabkan karena pajanan zat iritan dari makanan dan minuman yang dikonsumsi secara terus menerus (Cantani, 2008; Zulkarnain, 2009 ).
34
j. Perjalanan penyakit dipengaruhi lingkungan dan emosi Anak dengan dermatitis atopik ditemukan memiliki ciri kepribadian yang khas berupa adanya gangguan psikologis berkaitan dengan rasa gatal, insomnia, stress yang berlanjut menjadi perubahan perilaku misalnya agresif dan mudah tersinggung (Zulkarnain, 2009). k. Katarak dan keratokonus Katarak diderita oleh 8%-20% kasus dermatitis atopik, kebanyakan bilateral, tetapi dapat unilateral, dikenal dengan sindrom Andogsky. Katarak subkapsular anterior terdapat pada 4-12% penderita dermatitis atopic. Katarak subkapsular
posterior
sering
merupakan
efek
samping
pemakaian
kortikosteroid oral atau topikal yang dipakai untuk kelopak mata. Keratokonus adalah pemanjangan permukaan kornea, terjadi karena gosokan pada mata terus menerus sehingga terjadi proses degenerasi kornea. Keratokonus ditemukan pada 1% penderita dermatitis atopik (Cantani, 2008; Zulkarnain, 2009). l. Peningkatan risiko infeksi Staphylococcus aureus dan Herpes Simplex Pada umumnya penderita dermatitis atopik ditemukan adanya perubahan imunitas selular. Secara klinis ini ditandai dengan adanya kerentanan mengalamin infeksi sekunder akibat bakteri seperti S. aureus, virus seperti herpes simplex, molluscum contagiosum, jamur maupun parasit (; Cantani, 2008; Zulkarnain, 2009).
35
m. Pityriasis Alba Pada area yang sebelumnya terkena dermatitis atopik, terutama daerah wajah, leher dan tubuh bagian atas, dapat timbul bercak hipopigmentasi dengan ukuran yang bervariasi, ukuran diameter mencapai 1 cm, berbatas jelas disertai dengan sisik halus, yang kadang-kadang menyerupai tinea korporis atau vitiligo. Pityriasis alba dilaporkan terjadi pada 35%-44% pada penderita dermatitis atopik. Penyebab dari pityriasis alba ini masih belum diketahui, diduga merupakan suatu dermatitis non spesifik (kemungkinan suatu bentuk ringan dari dermatitis atopik). Kebanyakan kasus disebabkan pajanan sinar matahari dan gangguan perlindungan dari penebalan stratum korneum serta disebabkan adanya gangguan melanisasi sel epidermal (Cantani, 2008; Zulkarnain, 2009). n. Eksim puting susu Eksim pada puting susu ditemukan pada 12%-23% pasien dermatitis atopik. Pada area putting susu, tampak adanya papula dan vesikel kemerahan yang basah, simetris dan dapat meluas ke area payudara di sekitarnya. Eksim pada puting susu merupakan kriteria yang dapat dipercaya untuk penegakan diagnosis dermatitis atopik (Cantani, 2008; Zulkarnain, 2009).
2.2.7 Manifestasi Klinis Manifestasi klinis dermatitis atopik berbeda pada setiap tahapan atau fase perkembangan kehidupan, mulai dari saat bayi hingga saat dewasa. Pada
36
setiap anak didapatkan derajat keparahan yang bervariasi, tetapi secara umum mereka mengalami pola distribusi yang serupa (Zulkarnain, 2009). Distribusi manifestasi klinis dibagi menjadi 3 tahap berdasarkan tahapan usia penderita dermatitis atopik, yaitu : (Cantani, 2008; Jacoeb, 2004; Zulkarnain, 2009) 1. Fase bayi (early infantile phase) Fase ini terjadi pada usia 0-2 tahun. Lesi awal dermatitis atopik muncul pada bulan pertama kehidupan, biasanya bersifat akut, sub akut, rekuren, simetris di kedua pipi, di dahi dan kulit kepala. Lesi tampak berupa bercak kemerahan bersisik yang sedikit basah. Bagian ekstensor tungkai bawah dan lengan dapat terkena. Hal ini berhubungan dengan daerah kulit yang kontak dengan tanah saat bayi mulai belajar merangkak. Lesi kulit muncul sebagai bintil-bintil merah kecil yang terasa gatal yang dapat bergabung membentuk bercak yang berukuran besar. Pada umumnya lesinya polimorfik, cenderung eksudatif, kadang-kadang disertai dengan infeksi sekunder atau pioderma. 2. Fase anak (childhood phase) Fase ini terjadi pada usia 2-12 tahun. Sejalan dengan pertumbuhan bayi menjadi anak-anak, pola distribusi lesi kulit mengalami perubahan. Awitan lesi muncul sebelum usia 5 tahun. Sebagian fase ini merupakan kelanjutan fase bayi. Tempat predileksi terutama di daerah fleksural bersifat simetris dan sangat jarang terjadi di daerah wajah, selain itu juga dapat mengenai bagian lateral dan anterior leher. Manifestasi klinis berupa
37
dermatitis sub akut dan cenderung kronis. Pada kondisi kronis tampak lesi hiperpigmentasi, hyperkeratosis dan likenifikasi. Akibat adanya rasa gatal dan garukan, akan tampak erosi, eksoriasi linear yang disebut scratch marks. Kulit tangan biasanya kering, kasar, garis palmar lebih dalam dan nyata, serta mengalami luka (fisura). Selain itu bibir terlihat kering, bersisik, sudut bibir, terlihat terbelah (cheilitis), demikian pula bagian sudut lobus telinga sering mengalami fisura. Lesi dermatitis atopic pada fase anak dapat juga ditemukan di paha dan pantat. 3. Fase dewasa (adolescent phase) Fase ini terjadi pada usia lebih dari 12 tahun. Bentuk lesi kulit pada fase dewasa hampir serupa dengan lesi kulit pada fase akhir anak-anak. Pada umumnya ditemukan adanya penebalan kulit di daerah belakang lutut dan fleksural siku serta tengkuk leher. Akibat adanya garukan secara berulang dan perjalanan penyakit yang kronis, lesi ditandai dengan adanya hiperpigmentasi, hyperkeratosis dan likenifikasi. Distribusi lesi biasanya simetris. Lokasi lesi menjadi lebih luas, selain fossa cubiti dan poplitea, dapat juga ditemukan di bagian lateral leher, tengkuk, badan bagian atas dan dorsum pedis. Pada fase remaja, area di sekitar puting susu juga dapat terkena.
2.2.8 Diagnosis Sampai saat ini belum didapatkan adanya gambaran klinis maupun pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk penegakan diagnosis dermatitis atopik. Diagnosis ditegakkan berdasarkan identifikasi gambaran morfologi yang
38
sering terdapat pada dermatitis atopik dan ditunjang oleh adanya riwayat atopi dalam keluarga. Terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis dermatitis atopik, antara lain kriteria Hanifin Rajka dan kriteria Williams. Masing-masing kriteria memiliki keunggulan dalam ketepatan dan kecepatan. Kriteria Williams lebih spesifik, sedangkan kriteria Hanifin Rajka lebih sensitif (Zulkarnain, 2009). Uji kulit terhadap berbagai alergen dan pengukuran kadar IgE bukan merupakan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis dermatitis atopik, melainkan untuk membuktikan adanya hipersensitivitas terhadap bahan alergen tertentu. 2.2.8.1 Kriteria Hanifin dan Rajka Menurut Hanifin dan Rajka, kriteria diagnosis dermatitis atopik adalah sebagai berikut : Kriteria Mayor (harus terdapat 3) yaitu a). gatal, b). penampakan dan distribusi lesi yang tipikal yaitu pada bayi dan anak-anak, lokasinya di wajah dan bagian ekstensor tubuh, sedangkan pada dewasa lokasinya di bagian fleksor tubuh dan terdapat likenifikasi, c). terdapat periode relaps yang sering dan kronis, d). terdapat riwayat atopi sebelumnya dan riwayat atopi pada keluarga (Zulkarnain, 2009). Sedangkan kriteria minor meskipun kurang spesifik bisa terdapat 3 atau lebih yaitu a). Xerosis atau kulit kering, b). IgE yang reaktif, c). Ichtyosis, keratosis pilaris, hiperlinearity pada telapak tangan, d). dermatitis pada tangan atau kaki, e). fisura periaurikuler, f). cheilitis, g). gatal bila berkeringat h).
39
aksentuasi pada perifolikuler, i). eksema pada puting susu, j). Pityriasis alba, k). meningkatnya tendensi mengalami infeksi kulit (Staphylococcus aureus, virus dan jamur), l). reaktifitas tes kulit tipe 1 (immediate type), m). wajah pucat/ eritema fasialis, n). onset usia awal, o). Dermatitis di lipatan leher anterior, p). konjungtivitis berulang, q). katarak subkapsular anterior, r). keratokonus, s). perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan emosional, t). intoleransi makanan, u). Intoleransi terhadap wol, v).hiperpigmentasi daerah orbita, w). lipatan infraorbital Dennie-Morgan, dan x). white dermographism (Zulkarnain, 2009). Kriteria diagnosis Hanifin Rajka berguna dalam menegakkan diagnosis dermatitis atopik. Kriteria ini juga didukung oleh UK Working Party’s Diagnostic Criteria for Atopic Dermatitis. Untuk mendiagnosis dermatitis atopik pada bayi, digunakan kriteria Hanifin Rajka untuk bayi, yaitu kriteria mayor yang terdiri dari: a). riwayat keluarga yang menderita dermatitis atopik, b). pruritus, c). eksim pada daerah wajah atau ekstensor atau dermatitis likenifikasi, d). daerah popok dan atau wajah sekitar mulut atau daerah hidung bebas dari lesi kulit. Kriteria minor yang terdiri dari : a) xerosis/ichthyosis/palmar hiperlinearlity, b) fisura periaurikuler, c) chronic scalp scaling, d) aksentuasi perifolikuler (Zulkarnain, 2009).
2.2.9 Diagnosis Banding Secara klinis dermatitis atopik memiliki gambaran papul, vesikel, plak, nodulus dan ekskoriasi sehingga diagnosis bandingnya cukup banyak.
40
Keadaan yang harus dipertimbangkan termasuk di antaranya dermatitis seboroik, psoriasis dan neurodermatitis (liken simpleks kronik). Gatal juga dijumpai pada beberapa penyakit sistemik, misalnya keganasan, tiroid dan gangguan hepar atau ginjal, oleh karena itu anamnesis dan pemeriksaan kulit yang teliti diperlukan. Dermatitis adalah gejala klinis dan bukan diagnosis spesifik. Semua eksim memiliki gambaran histopatologik spongiosis, tetapi tidak semua gambaran spongiosis secara klinis merupakan eksim sehingga berbagai diagnosis banding harus diperhitungkan (Zulkarnain, 2009). Pengalaman dan ketelitian klinis diperlukan untuk membedakan dermatitis atopik dengan penyakit lainnya. Berikut ini merupakan gambaran klinis beberapa pembanding dermatitis atopik yang disajikan dalam bentuk tabel (Zulkarnain, 2009). Tabel 2.4 Gambaran klinis beberapa diagnosis banding dermatitis atopik Penyakit Dermatitis seboroik Psoriasis Neurodermatitis Dermatitis kontak
Gambaran klinis Lesi kulit berminyak, skuama, riwayat keluarga tidak ada Plak pada daerah ekstensor, kulit kepala, gluteus, pitted nails Gatal, soliter, riwayat keluarga tidak ada Skabies Riwayat kontak, ruam di tempat kontak, Dermatitis herpetiformis riwayat keluarga tidak ada Dermatofita Papul, sela jari positif ditemukan tungau Imunodefisiensi sekunder Vesikel berkelompok di daerah lipatan Plak dengan central healing, KOH negative Riwayat infeksi berulang (Dikutip tanpa modifikasi dari Jacoeb, 2004) Kadangkala pasien dengan kelainan kulit memiliki riwayat atopik mengalami dermatitis kontak. Bila ternyata kekambuhannya dicetuskan oleh peristiwa kontak maka uji tempel harus dilakukan untuk mencegah kekambuhan.
41
Dermatitis kontak, dermatitis seboroik, dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis banding dermatitis atopik pada anak (Jacob, 2004; Zulkarnain, 2009). Tabel 2.5 Cara membedakan dermatitis kontak alergik, dermatitis atopik dan dermatitis seboroik pada anak Dermatitis seboroik Dermatitis infantile atopik < 3 bulan >2-3 bulan
Usia Keadaan umum Gatal Tidur Distribusi lesi
baik
iritabel
Dermatitis kontak alergika semua umur, anak jarang baik
tidak ada normal dapat mengenai daerah popok tidak ada
++++ +++ sulit tidur normal daerah popok terlokalisir di bersih daerah kontak Stigmata atopi ada biasanya tidak ada Uji kulit RAST negatif positif (80%) negatif Prognosis hilang dengan kronis residif sembuh setelah bertambahnya umur eliminasi kontak (Dikutip dari Zulkarnain, 2009)
2.2.10 Penatalaksanaan Penyebab pasti dermatitis atopik masih belum diketahui, oleh karena itu pengobatannya terutama masih bersifat simptomatik. Penyakit ini dapat bermanifestasi mulai dari yang ringan sampai berat sekali dengan berbagai faktor pencetus yang bervariasi sehingga memerlukan beragam pendekatan sistematik dan holistik dalam penatalaksanaannya. Hingga saat ini penatalaksanaan dermatitis atopik terutama ditujukan untuk mengurangi tanda dan gejala penyakit, mencegah atau mengurangi kekambuhan sehingga dapat mengatasi penyakit dalam jangka waktu lama serta mengubah perjalanan penyakit. Sebaiknya
42
penatalaksanaan ditekankan pada kontrol jangka waktu lama, bukan hanya untuk mengatasi kekambuhan (Sugito, 2009). The Second International Consensus Conference on Atopic Dermatitis (ICCAD II) diselenggarakan di Amerika Serikat pada tahun 2002 untuk menyusun suatu pedoman internasional mengenai pilihan terapi yang ada sekarang dan di masa depan untuk penatalaksanaan dermatitis atopik. Disepakati suatu algoritme sebagai
dasar
pedoman
praktek
klinis
yang
dapat
digunakan
untuk
penatalaksanaan dermatitis atopik pada stadium apapun dan di negara manapun (Sugito, 2009). Pengobatan awal dermatitis atopik terdiri atas penggunaan tak terbatas pelembab untuk hidrasi kulit yang disertai edukasi kepada pasien dan atau orang tua/pengasuhnya untuk menghindari faktor pencetus. Dalam keadaan flare, dapat diberikan kortikosteroid topikal jangka waktu pendek. Penghambat kalsineurin topikal juga merupakan pilihan lain pada fase akut tersebut untuk mengatasi inflamasi dan pruritus. Bila radang telah teratasi, kembali hanya diberikan pelembab (Sugito, 2009). Untuk pengobatan pemeliharaan pada kasus yang persisten atau sering kambuh, dapat diberikan penghambat kalsineurin topikal. Pimekrolimus terbukti dapat mencegah progresivitas penyakit dan mengurangi terjadinya flare. Takrolimus juga efektif untuk pengobatan dermatitis atopik jangka waktu lama, walaupun pengaruhnya terhadap insidens flare belum diteliti. Kortikosteroid topikal hanya diberikan pada eksaserbasi akut, dengan demikian lama
43
penggunaannya dapat dikurangi. Bila sudah remisi, pelembab dilanjutkan (Sugito, 2009). Bersamaan dengan pengobatan, beberapa terapi tambahan perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil yang maksimal, mulai dari menghindari faktor pencetus sampai dukungan psikologis. Infeksi dapat mengubah perjalanan penyakit, sehingga bila terdapat infeksi harus dievaluasi dan diberikan antibiotik, antijamur, dan antiviral yang sesuai secepatnya. Sebelum melakukan pemberian antiinflamasi, infeksi klinis pada lesi harus sudah teratasi (Sugito, 2009). Bila gejala dermatitis atopic refrakter dan tidak dapat diatasi dengan penghambat kalsineurin topikal maupun kortikosteroid topikal secara intermiten, beberapa pilihan dapat dipertimbangkan, bergantung pada keadaan pasien. Pilihan tersebut antara lain fototerapi, kortikosteroid yang lebih poten maupun sediaan oral, imunosupresan : siklosporin, metotreksat, atau azatioprin (sendiri-sendiri atau dalam kombinasi), dan psikoterapi/psikofarmakologi (Sugito, 2009).
44
Gambar 2.2 Algoritma penatalaksanaan dermatitis atopik Penilaian awal riwayat penyakit, luas dan derajat penyakit Termasuk penilaian efek psikologis, pengaruh terhadap keluarga
Pelembab, edukasi Remisi Penyakit (tidak ada tanda dan gejala)
Mengatasi pruritus dan inflamasi akut - Kortikosteroid topikal atau - Penghambat kalsineurin topikal - Pimekrolimus 2 kali sehari atau takrolimus 2 kali sehari
Terapi pemeliharaan Untuk penyakit persisten dan atau sering kambuh - Pada tanda dini rekurensi gunakan penghambat kalsineurin topikal untuk mencegah progresivitas penyakit - Pimekrolimus untuk mengurangi terjadinya flare - Kortikosteroid topikal secara intermitten - Penggunaan kalsineurin topikal jangka waktu lama untuk pemeliharaan
Penyakit berat dan refrakter - Fototerapi - Kortikosteroid topikal poten - Siklosporin - Metotreksat - Kortikosteroid oral - Azatioprin - Psikoterapi (Dikutip tanpa modifikasi dari Sugito, 2009)
Terapi tambahan/adjuvant - Hindari faktorfaktor pencetus - Infeksi bakterial : antibiotik oral dan atau topikal - Infeksi viral : terapi antiviral - Intervensi psikologis - Antihistamin
45
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir Angka kejadian dermatitis atopik meningkat 2-3 kali dalam beberapa dekade terakhir dan telah menjadi masalah kesehatan di beberapa negara berkembang. Salah satu dampak peningkatan kejadian tersebut adalah biaya pengobatan yang tinggi dan penurunan kualitas hidup penderita dan keluarganya. Dermatitis atopik merupakan manifestasi awal penyakit alergi yang sering dijumpai pada awal masa kehidupan. Perjalanan alamiah penyakit alergi menggambarkan bahwa dermatitis atopik pada masa bayi akan berlanjut menjadi rhinitis alergika, alergi makanan dan atau asma. Upaya pencegahan kejadian dermatitis atopik pada awal kehidupan diharapkan kelak akan dapat mencegah kejadian penyakit alergi lainnya. Pada umumnya disepakati bahwa pencegahan primer dimulai sedini mungkin sebelum terjadi sensitisasi. Dermatitis atopik merupakan penyakit kompleks, hasil interaksi dari berbagai
faktor.
Faktor
genetik
berupa
kelainan
pada
kromosom
2,3,5,6,11,12,13,14,16,17, dan 20, riwayat atopi keluarga yang positif; faktor lingkungan baik debu rumah, hewan peliharaan, pajanan dengan asap dan serbuk sari; faktor makanan seperti pajanan dengan alergen makanan (protein susu sapi, kacang-kacangan, produk susu sapi, dsb), kekurangan omega-3, asam folat dan kekurangan antioksidan; faktor hygiene seperti penggunaan antiseptik berlebihan, kejadian infeksi yang berkurang, jumlah anggota keluarga kecil, akan
46
menyebabkan gangguan keseimbangan Th1 dan Th2 didalam tubuh, bahkan sejak janin dalam kandungan. Ketidakseimbangan antara Th1 dan Th2 akan menyebabkan dominasi Th2, yang mengakibatkan diproduksinya sitokin yaitu IL4, IL-5, IL-9, IL-13 dan GM-CSF. Sitokin tersebut akan merangsang sel B untuk memproduksi IgE, dan memicu proliferasi, diferensiasi dan rekruitment dari eosinofil. Ketika dalam kandungan, secara alamiah sirkulasi fetoplasenta akan memproduksi Th2 lebih banyak untuk mempertahankan kehamilan dan janin akan terpapar oleh sitokin Th2 lebih tinggi daripada Th1. Setelah lahir, bayi non atopik akan mengalami pergeseran keseimbangan Th1 danTh2, dimana Th1 akan meningkat pelahan selama satu tahun pertama kehidupan dan mencapai keseimbangan antara Th1 dan Th2. Sedangkan pada bayi atopik pergeseran keseimbangan ini tidak terjadi sehingga masih terdapat dominasi Th2 dalam tahun awal kehidupan. Identifikasi populasi risiko tinggi, yaitu pada bayi atopik merupakan salah satu strategi pencegahan primer yang penting. Salah satu metode yang digunakan di Indonesia adalah melalui kartu deteksi dini alergi IDAI POGI. Kartu deteksi dini alergi ini mampu mengidentifikasi populasi risiko tinggi berdasarkan nilai atopi keluarga. Peranan faktor lingkungan, higiene dan gaya hidup dalam perkembangan penyakit alergi menyebabkan perlunya pengkajian ulang peranan kartu deteksi dini alergi, yang hanya mengklasifikasikan tingkat risiko alergi berdasarkan faktor atopi keluarga.
47
3.2 Kerangka Konsep
1. 2.
Riwayat atopi keluarga Nilai Atopi Keluarga dalam Kartu Deteksi Dini Risiko Alergi
3. Nilai 0 (risiko kecil)
Nilai 1-3 (risiko sedang)
Nilai 4-6 (risiko tinggi) 4.
Usia kehamilan Diet - Susu Formula - ASI eksklusif - Pengenalan makanan padat terlalu dini Hygiene - Infeksi neonatal - Imunisasi - Jumlah saudara kandung dalam keluarga Lingkungan - Paparan asap rokok - Hewan peliharaan
Dermatitis atopik
3.3 Hipotesis Penelitian Kejadian dermatitis atopik pada bayi usia 0-4 bulan dengan nilai atopi lebih dari 0 lebih tinggi daripada bayi usia 0-4 bulan dengan nilai atopi 0.
48
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini
dilakukan dengan rancangan
penelitian kohort
prospektif, untuk mengetahui perbandingan kejadian dermatitis atopik antara nilai atopi keluarga > 0 dan = 0 pada bayi usia 0-4 bulan. Sampel penelitian diikuti selama 4 bulan kemudian diamati adanya dermatitis atopik atau tidak.
Dermatitis Atopik
Nilai atopi keluarga > 0
Tidak Kriteria inklusi & eksklusi
Diikuti selama 4 bulan Sampel
Nilai atopi keluarga =0
Dermatitis Atopik Tidak
Bagan 4.1 Skema rancangan penelitian 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar mulai 1 Juni 2012 sampai dengan 31 Desember 2012. 4.3 Penentuan Sumber Data 4.3.1 Populasi Penelitian Populasi target pada penelitian ini adalah ibu hamil dan bayi yang dilahirkannya hingga usia 4 bulan. Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah
49
ibu hamil yang memeriksakan kehamilan di Poliklinik Kebidanan dan Kandungan RSUP Sanglah Denpasar saat trimester ketiga, dan atau melahirkan di Ruang Bersalin RSUP Sanglah Denpasar mulai 1 Juni 2012 sampai 31 Juli 2012 dan bayi yang dilahirkannya hingga berusia 4 bulan. 4.3.2 Sampel Penelitian Sampel penelitian ini adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 4.3.2.1 Kriteria Eligibilitas Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah: 1) tinggal di Bali dan tidak berencana keluar Bali selama 4 bulan mendatang, 2) dapat dihubungi melalui telepon, 3) orang tua menyetujui bayinya untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Sebagai kriteria eksklusinya adalah 1) ibu hamil dengan gejala imunodefisiensi sekunder, 2) ibu hamil dengan penyakit autoimun dan atau mendapat terapi kortikosteroid jangka panjang. Sampel penelitian dinyatakan drop out apabila : 1) bayi lahir mati, 2) bayi dengan kelainan kongenital, 3) lost of follow up. Sampel penelitian dinyatakan lost of follow up apabila 1) tidak dapat dihubungi melalui telepon sesuai yang tercantum dalam kuesioner dan atau alamat rumah yang tercantum tidak dapat dilacak, 2) bayi meninggal sebelum terdiagnosis dermatitis atopik. 4.3.2.2 Perhitungan Besar Sampel Teknik pengambilan sampel dengan cara berurutan (consecutive sampling), yaitu dilakukan subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan
50
kriteria eksklusi. Pengambilan sampel dilakukan sampai tercapai jumlah sampel yang diinginkan. Untuk menentukan besar sampel minimal berdasarkan rumus : 2
( Zα (P1-P2)2
(Machine, 1997) Zα
= derivate baku alfa untuk α = 0,05 dengan tingkat kepercayaan 95% sebesar 1,96
Zβ
= derivate baku beta untuk β = 0,20 dengan tingkat kepercayaan 95% sebesar 0,84
P1
= estimasi kejadian bayi dermatitis atopik yang lahir dari orang tua dengan riwayat atopi, diambil dari kepustakaan yaitu sebesar 0,32 (Halkjaer dkk., 2006)
Q1
= 1 – P1, diperoleh nilai 0,68
P2
= estimasi kejadian bayi dermatitis atopik yang lahir dari orang tua tanpa riwayat atopi yaitu sebesar 0,05
Q2
= 1 – P2, diperoleh nilai 0,95
P1-P2 = selisih proporsi yang dianggap bermakna, yaitu sebesar 0,27 P
= proporsi total = (P1+P2)/2, diperoleh nilai 0,18
Q
= 1 – P, diperoleh nilai 0,82
Sehingga diperoleh jumlah sampel minimal sebesar n1 = n2 = 32 orang.
51
Untuk antisipasi drop out yang diperkirakan 10%, maka jumlah sampel minimal adalah n1 = n2 = 36 orang.
4.4 Variabel Penelitian 4.4.1 Identifikasi Variabel Variabel bebas
: nilai atopi keluarga
Variabel tergantung : dermatitis atopik pada bayi usia 0-4 bulan Variabel pengganggu : paparan asap rokok, paparan hewan peliharaan (anjing dan kucing), cara persalinan, status imunisasi, infeksi saat neonatus, jumlah saudara kandung dalam keluarga, pemberian makanan padat terlalu dini, pemberian ASI eksklusif, paparan susu formula 4.4.2
Definisi Operasional Variabel
1. Nilai atopi keluarga adalah total nilai riwayat atopi keluarga sesuai kondisi yang disebutkan dalam kartu deteksi dini risiko alergi IDAI-POGI. Nilai diberikan terhadap anggota keluarga (bapak, ibu dan saudara kandung janin) yang memiliki gejala alergi, seperti dermatitis/eksema, kemerahan di kulit, diare, muntah, kolik, pilek nafas berbunyi, asma. Nilai 2 : untuk ibu, bapak dan atau salah satu saudara sekandung janin/bayi yang dinyatakan oleh dokter atau secara medis terkena alergi, nilai 1 : untuk ibu, bapak dan atau salah satu saudara sekandung janin/bayi yang diduga terkena alergi, nilai 0 : untuk ibu, bapak atau salah satu saudara sekandung janin/bayi tanpa riwayat alergi apapun. Kemudian nilai yang diperoleh dari
52
bapak, ibu dan saudara kandung janin dijumlahkan. Dibedakan menjadi 2 tingkatan yaitu : nilai 0, dan nilai >0 (skala variabel ordinal). 2. Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronis, berulang, ditandai dengan adanya inflamasi dan disertai rasa gatal yang hebat,dan distribusinya pada tempat-tempat tertentu dari tubuh, biasanya pada pipi dan bagian ekstensor ekstremitas tubuh pada bayi. Diagnosis dermatitis atopi pada penelitian ini ditegakkan dengan kriteria Hanifin dan Rajka untuk bayi. Dibedakan menjadi ya dan tidak (skala variabel nominal). 3. Berat badan lahir adalah berat badan yang diukur saat bayi lahir menggunakan satuan gram dan diukur dalam 1 jam pertama setelah lahir, dibedakan menjadi <2500 gram dan ≥2500 gram (skala variabel ordinal). 4. Usia kehamilan adalah usia kehamilan ibu saat melahirkan bayi, dihitung berdasarkan hari pertama haid terakhir dan hari saat bayi dilahirkan. Dibedakan menjadi < 37 minggu dan ≥ 37 minggu (skala variabel ordinal). 5. Cara persalinan adalah metode yang digunakan untuk melahirkan bayi. Dibedakan menjadi pervaginam dan sectio caesaria (skala variabel nominal). 6. Paparan asap rokok adalah terdapat anggota keluarga dan atau selain anggota keluarga yang merokok di dalam rumah, terutama di sekitar tempat tidur bayi. Dibedakan menjadi ya dan tidak (skala variabel nominal). 7. Paparan bulu hewan peliharaan adalah terdapat kontak rutin dengan hewan peliharaan yaitu kucing dan anjing yang tinggal serumah atau sering
53
berkeliaran di tempat tinggal bayi. Dibedakan menjadi ya dan tidak (skala variabel nominal). 8. Status imunisasi adalah kelengkapan imunisasi bayi sesuai dengan jadwal imunisasi IDAI 2011. Dibedakan menjadi lengkap dan tidak lengkap (skala variabel nominal). 9. Infeksi saat neonatus adalah infeksi yang terjadi saat bayi berusia kurang dari 1 bulan. Penegakan diagnosis infeksi dilakukan oleh dokter spesialis anak dan diketahui berdasarkan catatan medis bayi. Dibedakan menjadi ya dan tidak (skala variabel nominal). 10. Jumlah saudara kandung adalah jumlah total saudara kandung bayi yang tinggal serumah dengan bayi. Dibedakan menjadi <3 dan ≥3 (skala variabel kategorikal ). 11. Pemberian makanan padat dini adalah bayi diberikan makanan padat (bubur, buah) sebelum berusia 4 bulan. Dibedakan menjadi ya dan tidak (skala variabel nominal). 12. ASI eksklusif adalah bayi mendapatkan ASI sejak awal kelahirannya sampai usia 4 bulan, tanpa disertai susu formula. Dibedakan menjadi ya dan tidak (skala variabel nominal). 13. Paparan susu formula adalah bayi pernah mendapatkan paparan susu formula dari awal kelahirannya sampai usia 4 bulan, baik pemberian susu formula penuh atau ASI yang dikombinasi dengan susu formula. Dibedakan menjadi ya dan tidak (skala variabel nominal).
54
4.5 Instrumen Penelitian 1. Kartu Deteksi Dini Risiko Alergi IDAI-POGI Kartu yang digunakan untuk menentukan nilai atopi keluarga berdasarkan anamnesis riwayat alergi pada bapak, ibu dan saudara kandung bayi. Berdasarkan nilai atopi keluarga dapat ditentukan tingkat risiko alergi bayi. 2. Kuesioner Berisi identitas lengkap orang tua dan data riwayat alergi orang tua dan saudara kandung bayi, faktor-faktor resiko lain yang dapat memicu munculnya dermatitis atopik serta gejala-gejala dermatitis atopik. Kuesioner dilengkapi setiap saat ketika melakukan follow up baik ketika subjek penelitian melakukan pemeriksaan ke Poliklinik Anak, evaluasi melalui telepon ataupun kunjungan rumah.
4.6 Prosedur Penelitian 4.6.1 Cara Penelitian 4.6.1.1 Pengambilan Sampel Penelitian Ibu hamil yang kontrol di Poliklinik kandungan dan kamar bersalin RSUP Sanglah yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi diberikan informasi lengkap mengenai penelitian ini dan diminta kesediaannya untuk bekerja sama dalam penelitian ini, serta menandatangani informed consent. Bapak atau ibu dari bayi melengkapi data di kuesioner yang tersedia, mengisi identitas lengkap dan
55
mencantumkan nama, no telp rumah atau HP saudara terdekat dari bapak atau ibu hamil tersebut untuk mencegah lost of follow up. 4.6.1.2 Penentuan Nilai Atopi Keluarga Peneliti melakukan anamnesis mengenai riwayat alergi pada bapak, ibu dan anak kandung lainnya. Riwayat alergi bapak ditanyakan langsung pada bapak sampel penelitian. Apabila bapak sampel tidak ikut serta maka anamnesis riwayat alergi bapak dilakukan melalui telepon. Riwayat alergi yang ditanyakan mencakup gejala dari penyakit alergi, yaitu dermatitis atopik/eksem, rhinitis alergika, asma bronkial, dan alergi makanan. Pertanyaan mengenai riwayat dermatitis / eksem, kemerahan, diare, kolik, muntah, pilek, nafas berbunyi dan asma juga ditanyakan dan apakah gejala alergi tersebut sudah didiagnosis oleh dokter atau belum. Hasil anamnesis dikonversikan menjadi nilai keluarga dalam kartu deteksi dini risiko alergi IDAI-POGI, dimana : Nilai 2 : untuk ibu, bapak, dan/atau salah satu saudara sekandung janin/bayi yang dinyatakan oleh dokter terkena alergi, Nilai 1 : untuk ibu, bapak, dan/atau salah satu saudara sekandung janin/bayi yang diduga terkena alergi, Nilai 0 : untuk ibu, bapak dan/atau salah satu saudara sekandung janin/bayi tanpa riwayat alergi apapun, kemudian nilai keluarga yang diperoleh dijumlahkan. Total nilai keluarga yang diperoleh dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu : 1) Kelompok dengan nilai 0,
56
2) kelompok dengan nilai 1-3, dan 3) kelompok dengan nilai 4-6. Berdasarkan perhitungan nilai atopi keluarga, maka keluarga dengan total nilai atopi 0 dimasukkan sebagai kelompok tanpa riwayat atopi, keluarga dengan total nilai atopi lebih dari 0 dimasukkan sebagai kelompok dengan riwayat atopi. 4.6.1.3 Evaluasi Rutin / Follow Up Tim peneliti akan menghubungi subjek penelitian pada hari persalinan yang diperkirakan dan dilakukan pengambilan meliputi cara persalinan, berat badan saat lahir, usia kehamilan saat lahir. Apabila bayi lahir mati maka subjek penelitian dinyatakan drop out. Bayi yang memenuhi kriteria inkulsi diikuti selama 4 bulan atau sampai tegak diagnosis dermatitis atopik. Follow up dilakukan setiap bulan terhitung sejak hari lahir ketika orang tua memeriksakan bayinya secara rutin setiap bulan ke Poliklinik Anak RSUP Sanglah. Apabila bayi tidak kontrol ke Poliklinik Anak RSUP Sanglah dalam kurun waktu 2x24 jam, maka dilakukan follow up melalui telepon/Short Messages Services (SMS). Dalam follow up melalui telepon/SMS, ditanyakan secara rinci mengenai gejala dermatitis atopik yang muncul pada bayi, apabila dicurigai ada gejala dermatitis atopik seperti kemerahan pada pipi dan ekstremitas, disertai gatal, maka tim peneliti melakukan kunjungan rumah atau sampel penelitian disarankan ke Poliklinik Anak RSUP Sanglah..
57
Ketika kunjungan rumah tim peneliti melakukan evaluasi ulang gejala dan tanda untuk memastikan gejala dermatitis atopik atau bukan. Apabila gejala sesuai dengan kriteria Hanifin Rajka, maka bayi disarankan ke Poliklinik Anak RSUP Sanglah untuk menegakkan diagnosis dan mendapatkan terapi. Apabila, diagnosis dermatitis atopik telah ditegakkan, maka bayi tersebut dianggap telah memenuhi tujuan dari penelitian ini dan tidak dilakukan follow up lagi di bulan berikutnya, namun tetap disarankan untuk kontrol rutin ke divisi alergi imunologi Poliklinik Anak RSUP Sanglah Denpasar. Apabila gejala dan tanda yang dilaporkan ternyata bukan gejala dermatitis atopik, maka sampel akan dilakukan follow up lagi di bulan berikutnya. Orang tua juga telah diberikan informasi lengkap mengenai gejala dan tanda dermatitis atopik dan apabila orang tua menjumpai tanda dan gejala tersebut, maka orang tua dianjurkan untuk menghubungi peneliti. Apabila sampai usia 4 bulan, tidak ditemukan gejala dermatitis atopik pada bayi, maka bayi dimasukkan ke dalam kelompok bukan dermatitis atopik. Selama follow up rutin setiap bulan, dicatat juga data-data lain yang diperlukan seperti riwayat imunisasi, nutrisi yang diberikan (ASI dan atau susu formula) dan riwayat penyakit infeksi yang pernah diderita.
4.6.1.4 Diagnosis Dermatitis Atopik Penegakan diagnosis dermatitis atopik dilakukan berdasarkan kriteria Hanifin Rajka oleh residen senior yang bertugas di Poliklinik Anak, yang sebelumnya telah dilakukan uji Kappa (nilai 72,2%). Peneliti termasuk dalam
58
residen senior dan telah diikut sertakan dalam penilaian uji Kappa. Subjek dengan dermatitis atopik diterapi sesuai standar pelayanan medis di poliklinik anak RSUP Sanglah. Dokter residen senior (6 orang) yang menegakkan diagnosis dermatitis atopik tidak mengetahui nilai atopi keluarga dari bayi tersebut.
59
4.6.2 Alur Penelitian
Ibu hamil dari poliklinik kandungan dan kamar bersalin RSUP Sanglah Kriteria inklusi dan eksklusi Sampel Penelitian Anamnesis riwayat atopi keluarga : ayah, ibu dan saudara kandung bayi Nilai atopi keluarga dalam kartu deteksi dini risiko alergi IDAI-POGI
Nilai atopi keluarga =0
Nilai atopi keluarga > 0 Bayi dilakukan follow up rutin setiap bulan selama 4 bulan
Dermatitis atopik
Bukan dermatitis atopik
Analisis Data
Gambar 4.2 Skema alur penelitian
60
4.6.3 Prosedur Pengumpulan Data 4.6.3.1 Data Nilai Atopi Nilai atopi keluarga diperoleh dari anamnesis riwayat alergi keluarga, berdasarkan kartu deteksi dini risiko alergi IDAI-POGI. Kepada ibu hamil ditanyakan riwayat alergi pada dirinya sendiri dan anak kandung sebelumnya. Pertanyaan riwayat alergi meliputi : 1. Pernahkah ibu mengalami gejala alergi seperti dermatitis/eksema? Nafas berbunyi? Asma? 2. Pernahkan ibu dinyatakan oleh dokter menderita alergi? 3. Pernahkah salah satu anak kandung ibu mengalami gejala alergi seperti dermatitis/eksema? Kemerahan disertai gatal pada saat bayi, didaerah pipi atau tungkai? Diare atau muntah setelah minum susu formula? Kolik? Pilek yang tidak sembuh dengan pengobatan? Nafas berbunyi “ngikngik”? asma? 4. Pernahkan salah satu anak kandung ibu dinyatakan oleh dokter menderita alergi? Riwayat alergi bapak ditanyakan langsung kepada yang bersangkutan. Apabila bapak tidak hadir saat wawancara terhadap ibu dilakukan, maka wawancara terhadap bapak akan dilakukan melalui telepon. Pertanyaan riwayat alergi yang ditanyakan meliputi : 1. Pernahkah bapak mengalami gejala alergi seperti dermatitis/eksema? Nafas berbunyi? Asma? 2. Pernahkan bapak dinyatakan oleh dokter menderita alergi?
61
Dari hasil anamnesis tersebut di atas, kemudian dikonversikan ke dalam nilai atopi keluarga sesuai tabel di bawah ini. Tabel 4.1 Kondisi dan nilai atopi keluarga Kondisi
Nilai
Ibu, bapak dan atau salah satu saudara sekandung janin/bayi
2
yang dinyatakan oleh dokter atau secara medis terkena alergi Ibu, bapak dan/atau salah satu saudara sekandung janin/bayi
1
diduga terkena alergi Ibu, bapak dan atau salah satu saudara sekandung janin/bayi
0
tanpa riwayat alergi apapun
Dari tabel di atas maka akan diperoleh nilai total atopi keluarga, yang kemudian dapat diprediksi tingkat risiko alergi janin sesuai tabel di bawah ini. Tabel 4.2 Nilai atopi keluarga dan tingkat risiko alergi janin Nilai Atopi Keluarga Tingkat risiko alergi bayi/janin 0 Risiko kecil 1-3
Risiko sedang
4-6
Risiko tinggi
Bersamaan dengan dilakukan pengambilan data mengenai nilai atopi keluarga, juga ditanyakan mengenai identitas lengkap keluarga dan informasi lain seperti paparan asap rokok dan hewan peliharaan di rumah, sesuai dengan yang tertera di kuesioner. 4.6.3.2 Data Dermatitis Atopik Setelah orang tua menandatangani informed consent untuk ikut serta dalam penelitian, maka ibu hamil dan janin yang dikandungnya akan diikuti sampai bayi berusia 4 bulan atau sampai didiagnosis dermatitis atopik. Diagnosis
62
dermatitis atopik ditegakkan dengan kriteria Hanifin Rajka, yang terdiri dari kriteria mayor dan minor.
4.7 Analisis Data Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan program komputer. Karakteristik subjek penelitian ditampilkan dalam bentuk narasi dan tabel. Normalitas data dianalisis dengan uji Kolmogorov Smirnov (p>0,05). Untuk data yang berdistribusi normal ditampilkan mean dan standart deviasi, sedangkan data yang berdistribusi tidak normal ditampilkan median dan nilai minimum maksimum. Perbandingan kejadian dermatitis atopik pada masingmasing kelompok nilai atopi keluarga dianalisis dengan uji Chi-square. Kemudian waktu munculnya dermatitis atopik pada masing-masing kelompok nilai atopi keluarga ditampilkan dalam kurva Kapplan Meier.
4.8 Etika Penelitian Penelitian ini telah mendapat izin dan kelaikan etik (ethical clearance) dari Unit Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah No: 101/UN.14.2/Litbang/III/2012, dan surat izin
Direktur
SDM
dan
LB..02.01./II.C5.D11/3197/2012.
Pendidikan
RSUP
Sanglah
No:
63
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Sampel Penelitian Selama periode penelitian, terdapat total 280 sampel yang terpilih dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel penelitian terbagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok dengan nilai atopi keluarga = 0 yang setelah dilakukan follow up selama 4 bulan, terdapat 3 sampel meninggal dunia dan 11 sampel lost of follow up sehingga diperoleh 218 sampel. Pada kelompok nilai atopi keluarga > 0 terdapat 1 sampel meninggal dunia dan 1 sampel lost of follow up sehingga diperoleh 46 sampel (Gambar 5.1). Alasan lost of follow up adalah sampel penelitian tidak dapat dihubungi kembali saat penelitian berlangsung. Penyebab kematian pada 4 sampel penelitian adalah karena sindroma aspirasi mekoneal sebanyak 1 sampel, penyakit membran hialin sebanyak 2 sampel dan asfiksia berat sebanyak 1 sampel. Karakteristik dasar sampel penelitian ditampilkan pada Tabel 5.1. Uji normalitas Kolmogorov Smirnov dilakukan pada data karakteristik sampel penelitian dan diperoleh nilai p > 0,05 pada kedua kelompok.
64
Ibu hamil yang kontrol di Poliklinik kandungan saat trimester ketiga dan di kamar bersalin (mulai 1 Juni 2012 – 31 Juli 2012) n = 452
Kriteria Inklusi n = 428
Kriteria Eksklusi 1 suspek imunodefisiensi sekunder 23 tinggal di luar Bali (penduduk tidak tetap)
Consecutive random sampling n= 280
Nilai atopi keluarga = 0 n = 232
Nilai atopi keluarga > 0 n = 48 Follow up rutin selama 4 bulan
3 meninggal 11 lost of follow up
Nilai atopi keluarga = 0 n = 218
Dermatitis Atopik (+) n=8
Dermatitis Atopik (-) n = 210
1 meninggal 1 lost of follow up
Nilai atopi keluarga > 0 n = 46
Dermatitis Atopik (+) n = 21
Gambar 5.1 Skema hasil penelitian
Dermatitis Atopik (-) n = 25
65
Tabel 5.1 Karakteristik demografis subjek penelitian Variabel
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Umur Ibu, tahun median (min-maks) Umur Ayah, tahun median (min-maks) Tingkat pendidikan ibu SD SMP SMU S1 atau sederajat Tingkat pendidikan bapak SD SMP SMU S1 atau sederajat
n (%)
Nilai atopi keluarga (n, %) >0 0 (n=46) (n=218)
142 (53,8) 122 (46,2)
23 (50) 23 (50)
119 (54) 99 (45)
25 (19-37)
25 (19-37)
25,5 (19-37)
27 (20-40)
26 (21-38)
27 (20-40)
6 77 165 16
(2,3) (29,2) (62,5) (6,1)
0 (0) 15 (32,6) 29 (63,0) 2 (4,3)
6 (2,7) 62 (28,4) 136 (62,4) 14 (6,4)
4 68 176 16
(1,5) (25,8) (66,7) (6,1)
0 (0) 13 (28,2) 31 (67,4) 2 (4,3)
4 (1,8) 55 (25,2) 145 (66,5) 14 (6,4)
5.2. Perbandingan variabel penelitian terhadap kejadian dermatitis atopik Tidak didapatkan adanya perbedaan bermakna antara jenis kelamin, berat badan lahir, cara persalinan, usia kehamilan, pemberian ASI eksklusif, paparan susu formula, hewan peliharaan, riwayat infeksi, dan jumlah saudara kandung pada kedua kelompok (p>0,05). Sebesar 86,2% sampel dengan paparan asap rokok mengalami dermatitis atopik dan 65,5% tidak mengalami dermatitis atopik. Hasil uji Chi-square menunjukkan ada perbedaan bermakna secara statistik pada paparan asap rokok antara kelompok dermatitis atopik dan bukan dermatitis atopik (p = 0,02). Faktor pemberian makanan padat dini dan status imunisasi tidak dapat dilakukan analisis bivariat karena hubungan antara kedua variabel bersifat konstan (Tabel 5.2).
66
Tabel 5.2 Hasil uji analisis bivariat variabel penelitian terhadap kejadian dermatitis atopik Variabel
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Usia kehamilan < 37 minggu ≥ 37 minggu Berat badan saat lahir < 2500 gram ≥ 2500 gram Cara persalinan Pervaginam Sectio caesaria Jumlah saudara kandung <3 ≥3 Paparan asap rokok Ya Tidak Hewan peliharaan Ya Tidak ASI eksklusif Ya Tidak Paparan susu formula Ya Tidak Status imunisasi* Lengkap Tidak lengkap Riwayat infeksi neonatus Ya Tidak Pemberian makanan* padat dini Ya Tidak
Keterangan : *tidak dapat diuji † Uji Chi-Square
Dermatitis Atopik Ya Tidak (n = 29) (n = 235)
RR
p
IK 95%
13 (44,8) 16 (55,2)
129 (54,9) 106 (45,1)
0,6
0,30
0,3-1,4†
4 (13,8) 25 (86,2)
24 (10,2) 211 (89,8)
1,4
0,55
0,4-4,3†
6 (20,7) 23 (79,3)
27 (11,5) 208 (88,5)
2,0
0,16
0,7-5,3
19 (65,5) 10 (34,5)
164 (69,8) 71 (30,2)
0,8
0,64
0,4-1,8†
27 (93,1) 2 (6,8)
217 (92,3) 18 (7,7)
1,1
0,88
0,2-5,0
25 (86,2) 4 (13,8)
154 (65,5) 81 (34,5)
3,2
0,02
1,1-9,7†
1 (3,4) 28 (96,5)
14 (5,9) 221 (94)
0,6
0,58
0,1-4,4
16 (55,2) 13 (44,8)
152 (64,9) 83 (35,1)
0,7
0,31
0,3-1,5†
13 (44,8) 16 (55,2)
83 (35,1) 152 (64,9)
1,5
0,31
0,7-3,2†
0 (0) 29 (100)
0 (0) 235 (100)
0 (0) 29 (100)
6 (2,5) 229 (97,4)
0,4
1,1
1,0–1,2†
0 (0) 29 (100)
0 (0) 235 (100)
†
†
†
67
Tabel 5.3 Hasil analisis multivariat pengaruh paparan asap rokok terhadap kejadian dermatitis atopik* Variabel adjusted RR Paparan asap rokok 3,5 Nilai atopi keluarga 22,5 *Uji regresi logistik
IK95% 1,0-11,5 8,8-57,0
p 0,04 0,001
Hasil uji Chi-Square antara variabel paparan asap rokok terhadap kejadian dermatitis atopik didapatkan nilai p = 0,02 dengan RR 3,2 dan IK95% 1,1-9,7. Untuk menyingkirkan bias terhadap hasil penelitian ini dilakukan analisis multivariat dengan uji regresi logistik. Hasil uji regresi logistik menunjukkan pengaruh antara paparan asap rokok terhadap kejadian dermatitis atopik dengan nilai adjusted risiko relatif (RR) sebesar 3,5 dan IK95% 1,0-11,5 (p = 0,04) (Tabel 5.3).
5.3 Perbandingan Nilai Atopi Keluarga Dan Kejadian Dermatitis Atopik Insiden dermatitis atopik pada populasi penelitian ini sebesar 10,9%. Untuk memperjelas peran nilai atopi keluarga terhadap risiko alergi, peneliti juga menghitung insiden dermatitis atopik pada kelompok nilai atopi > 0 yaitu sebesar 45,6%, sedangkan insiden dermatitis atopik pada kelompok nilai atopi 0 sebesar 3,6%. Dari hasil uji Chi-square diperoleh adanya perbedaan bermakna kejadian dermatitis atopik pada kelompok nilai atopi keluarga > 0 dibandingkan kelompok nilai atopi 0 dengan risiko relatif (RR) sebesar 12,4 dan IK95% 5,8 – 26,3 (p=0,001) (Tabel 5.4). Analisis multivariat dengan uji regresi logistik menunjukkan ada pengaruh nilai atopi keluarga terhadap kejadian dermatitis atopik dengan nilai adjusted risiko relatif (RR) sebesar dan IK95% 8,8-57,0 (p = 0,001)
68
Kelompok nilai atopi keluarga > 0 dibagi lagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok dengan nilai atopi 1-3 dan kelompok dengan nilai atopi 4-6. Dari hasil uji Chi-square didapatkan adanya perbedaan bermakna kejadian dermatitis atopik pada kelompok nilai atopi keluarga 4-6 dibandingkan kelompok nilai atopi 1-3 dengan risiko relatif sebesar 5,5 dan IK95% 2,2 – 13,8 (p=0,001) (Tabel 5.5). Tabel 5.4 Hasil analisis perbandingan nilai atopi keluarga > 0 dan nilai atopi keluarga = 0 dengan kejadian dermatitis atopik Nilai atopi keluarga
Dermatitis atopik Ya Tidak (n= 29) (n= 235) 21 25
>0 (risiko sedangtinggi) 0 (risiko kecil) 8 Keterangan : * uji Chi-square
RR
IK 95%
p
12,4
5,8 – 26,3
0,001*
210
Tabel 5.5 Hasil analisis perbandingan nilai atopi keluarga 1-3 dan nilai atopi keluarga 4-6 dengan kejadian dermatitis atopik Nilai atopi keluarga
Dermatitis atopik Ya Tidak (n= 21) (n= 25) 4-6 (risiko tinggi) 17 3 1-3 (risiko sedang) 4 22 Keterangan : * uji Chi-square
RR
IK 95%
p
5,5
2,2 -13,8
0,001*
5.4 Waktu Munculnya Dermatitis Atopik Waktu munculnya dermatitis atopik pada masing-masing kelompok nilai atopi keluarga ditampilkan dalam kurva Kapplan Meier (Gambar 5.2). Pada kurva tampak kejadian dermatitis atopik muncul pada usia 1 bulan pada kelompok dengan nilai atopi > 0. Rerata terjadinya event adalah 2,5 bulan (standar error 0,189) dengan IK 95% 3,1-3,8 pada kelompok dengan nilai atopi > 0, dan pada
69
kelompok dengan nilai atopi 0 didapatkan rerata terjadinya event adalah 3,5 bulan (standar error 0,203) dengan IK95% 2,1-2,9. Perbedaan antara kedua kurva tersebut dengan signifikansi 0,01 menunjukkan bahwa perbedaan tersebut signifikan.
Dermatitis atopik 0 = ya 1 = tidak
Waktu (bulan)
Gambar 5.2 Kurva Kapplan Meier